Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidananya
Alfanisa dan Theodora Yuni Shah Putri Faculty of Law, University Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Korporasi tidak dikenal sebagai subyek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP, termasuk UndangUndang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan ilmu hukum pidana pun semakin maju dengan kemunculan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun dalam praktik, putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi masih minim dan berbeda-beda penerapan hukumnya. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2010 PT. Giri Jaladhi Wana korporasi yang dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Kemudian diikuti oleh kasus tindak pidana korupsi dengan Terdakwa direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan yang sebenarnya lebih mengarah kepada tindak pidana korporasi. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah ada kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bagaimana pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korporasi dan apa saja kesulitan dalam pelaksanaannya akan dibahas pada penelitian ini. Kata Kunci
: Korporasi, Korupsi, Pertanggungjawaban pidana korporasi.
Corporation As a Perpetrator of Corruption and Its Criminal Liability Abstract Corporation is not known as a subject of criminal law in Indonesia Criminal Code. Corporation is recognized as a subject of criminal law in the acts outside of Indonesia Criminal Law, such as Law No. 31 Year 1999 on Eradication of Corruption (as amended by Law No. 20 Year 2001). The development of criminal law become more advanced with existence of corporate criminal liability doctrines. On the other side, in practice there is lack of jurisprudence that corporation become a subject of criminal law. For the first time, in 2010 Giri Jaladhi Wana Ltd was charged as perpetrator of corruption. This followed by corruption case where the director of Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, as a defendant although this case leads to corporate criminal offence. The
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
question arises whether there are difficulties to implement corporate criminal liability in corruption. How the implementation of corporate criminal liability and the difficulties to implement it will be discussed in this research. Keywords : Corporation, Corruption, Corporate Criminal Liability
Pendahuluan Tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan yang menyimpang dan merusak sendisendi kehidupan. Di Indonesia tindak pidana korupsi telah masuk ke berbagai sektor kehidupan masyarakat, seperti: pengadaan buku; masalah perizinan; pengadaan barang dan jasa; perpajakan; penyuapan; maupun sektor bantuan sosial/proyek pengentasan kemiskinan.1 Ketika tahun terus bergulir, kasus tindak pidana korupsi terus meningkat. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan tercatat bahwa sepanjang tahun 2011, 2012 dan 2013 kasus tindak pidana korupsi yang berhasil dituntut semakin meningkat. Data yang lebih jelas dapat diperlihatkan dalam tabel berikut2: Tabel 1.1 Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Korupsi Tahun 2011
2012
2013
Penyelidikan
699
833
1.696
Penyidikan
1.624
1.401
1.646
Penuntutan
1.425
1.501
1.964
Tahapan
1
Elok Dyah Meswati dan Brigitta Isworo Laksmi, “Gangren Desentralisasi Korupsi,” dalam Korupsi yang Memiskinkan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), hal. 72. 2
Tabel diolah dari Dharmawan Sutanto, “Sepanjang Tahun Ini Penanganan Korupsi di Kejaksaan Meningkat,” http://www.merdeka.com/peristiwa/sepanjang-tahun-ini-penanganan-korupsi-di-kejaksaanmeningkat.html, diakses 31 Januari 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Data ini belum lagi ditambah dengan laporan dari penegak hukum lainya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus.3 Ia diartikan sebagai kerusakan, kebusukan atau kejahatan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.4 Tindak pidana korupsi di Indonesia berawal sebagai delik jabatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perkembangan selanjutnya mengenai pengaturan tindak pidana korupsi terjadi di luar KUHP sebagai undang-undang pidana khusus. Tindak pidana korupsi yang membawa dampak buruk bagi pembangunan bangsa ini tidak hanya dilakukan oleh manusia akan tetapi juga dapat dilakukan oleh korporasi. Korporasi telah diakui sebagai subyek hukum pidana, khususnya dalam dalam tindak pidana korupsi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 31 Tahun 1999 bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi sendiri, dalam Pasal 1 angka (1), didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Penerimaan korporasi sebagai subyek hukum selain manusia alamiah menunjukan adanya perubahan dalam masyarakat dan ini terjadi juga dalam hal tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, walaupun undang-undang telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum sejak diundangkannya UU No. 31 Tahun 1999, namun korporasi sebagai terdakwa baru ditemukan pada tahun 2010. PT. Giri Jaladhi Wana menjadi korporasi pertama yang dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT. Giri Jaladhi Wana dituntut karena melakukan tindak pidana korupsi pada pembangunan Pasar Antasari. Selanjutnya diikuti oleh kasus tindak pidana korupsi dengan Terdakwa Hotasi Nababan selaku direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines. Hotasi didakwa karena telah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. Pada kasus yang kedua ini, korporasi tidak dijadikan terdakwa oleh Penuntut Umum. Namun, jika melihat pada uraian dakwaan dari Penuntut Umum maka kasus ini sebenarnya lebih mengarah kepada konsep tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
3
Andi Hamzah (1), Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana, 2002), hal. 4. 4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus besar Bahsa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)., hal. 597.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Sebagai subyek hukum, korporasi bisa menyokong pembangunan ekonomi negara tetapi di sisi lain bisa pula korporasi sebagai pelaku tindak pidana sehingga patut untuk dimintai pertanggungjawabannya. Praktik menunjukkan masih minim dan bervariasinya penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, khususnya tindak pidana korupsi, oleh para penegak hukum di Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari hambatan yang ditemui dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahsa bagaimana penerapan pertanggunggungjawaban pidana korporasi melalui dua studi kasus sebagaimana telah disebutkan serta apa saja hambatan dalam pelaksanaannya.
Tinjauan Teoritis Masalah pertama dalam membahas pertanggungjawaban pidana korporasi adalah apa yang dimaksud dengan korporasi. Pemberian makna terhadap korporasi tidak luput dari perdebatan. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum.5 Pada pandangan yang pertama ini, pengertian korporasi dibatasi hanya yang berbadan hukum. Pengertian korporasi sebagai badan hukum adalah konsep dalam hukum perdata karena dalam tataran ini korporasi identik dengan badan hukum.6 Sedangkan pendapat kedua memberikan definisi yang lebih luas. Korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang atau usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.7 Pendapat kedua inilah yang dianut dalam hukum pidana dimana korporasi tidak selalu berbadan hukum. Pandangan yang kedua ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-undang ini adalah undang-undang yang memperkenalkan secara luas korporasi sebagai subyek hukum pidana. Pasal 15 ayat (1) berbunyi: 5
Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, (Jakarta: Datacom, 2002),
hal. 32. 6
Konsep hukum perdata membagi badan hukum menjadi beberapa golongan. Pembagian tersebut terdiri dari: menurut macam-macamnya (dalam hal ini, badan hukum terdiri atas badan hukum orisinil dan yang tidak orisinil); menurut jenisnya (badan hukum menurut jenisnya ada dua, yaitu badan hukum publik dan badan hukum perdata); menurut sifatnya (badan hukum menurut sifatnya terbagi menjadi korporasi dan yayasan). Dari penggolongan badan hukum di atas, dapat diketahui bahwa korporasi masuk ke dalam salah satu jenis badan hukum. penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam buku karangan Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), hal. 55-72. 7
Loebby Loqman, Op.cit., hal. 32.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya. Jelas sudah bahwa hukum pidana memaknai korporasi secara luas, yaitu baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Hukum pidana tidak dengan mudah menerima korporasi sebagai subyek hukumnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu ajaran utama dalam hukum pidana yakni kesalahan. Kesalahan itu sendiri dalam arti yang luas, yaitu: 1. dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat; 2. adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa); 3. tidak
adanya
dasar
peniadaan
pidana
yang
menghapuskan
dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.8 Kesalahan memiliki hubungan yang erat dengan batin seseorang yang secara alamiah hanya dimiliki oleh manusia. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan suatu lompatan pemikiran dan mempertimbangkan apakah tindakan yang dilakukan oleh perorangan dapat ia pertangungjawabkan pada korporasi.9 Lompatan pemikiran ini diperlukan untuk menjawab permasalahan mengenai kesalahan korporasi. Dalam hal ini perlu dikemukakan konsep pelaku fungsional (functionele dader). Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia, maka pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia ini menjadi perbuatan korporasi, dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kehidupan bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan.10 Tentunya perbuatan yang dalam lalu lintas kehidupan bermasyarakat dapat dilihat sebagai perbuatan korporasi hanya apabila perbuatan tersebut masih sesuai dengan tujuan korporasi.
8
Andi Hamzah (2), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2005), hal. 137.
9
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 106. 10
Mardjono Reksodiputro (1), “Tindak pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia (Penyempurnaan Makalah tahun 1993),” (makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi tentang Asas-Asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta perkembangannya Dewasa Ini, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 23-27 Februari 2014), hal.11.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Pada perkembangan selanjutnya, korporasi telah diterima sebagai subyek hukum pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Namun, hal ini berkembang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP sendiri melalui Pasal 59 tidak mengakui korporasi sebagai subyek hukumnya. Berdasarkan perkembangan undang-undang di Indonesia maka terdapat tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu11: pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; dan korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Guna menunjang perkembangan hukum pidana dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, ilmu jukum pidana membuat suatu kemajuan dengan kemunculan berbagai doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Diantara sekian banyak doktrindoktrin tersebut, diantaranya ialah: vicarious liability, identification theory, dan due diligence defence. Vicarious liability oleh Romli Atmasasmita didefinisikan sebagai suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain.12 Vicarious liability biasanya diterapkan dalam hubungan antara pemberi kerjaan dan bawahan (employer and employee), pemberi kuasa dan penerima kuasa (principal and agent) dan antara para mitra (between partners). Teori yang lain ialah identification theory. Identification theory atau teori identifikasi berasal dari Inggris. Korporasi dipandang dapat melakukan tindak pidana melalui individu-individu yang dipandang mempunyai hubungan erat dengan korporasi dan dapat dipandang sebagai korporasi tersebut.13 Tindak tanduk dari orang-orang yang memiliki kaitan erat dengan korporasi ialah mereka yang memiliki posisi high managerial sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan korporasi. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh high manajerial officer, yang oleh Sutan Remy Sjahdeini, disebut dengan directing mind memiliki perbedaan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pegawai biasa. Perbedaan faktor antara pegawai yang merupakan directing mind dan pegawai biasa terletak pada derajat kewenangannya untuk membuat suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh seseorang. Seseorang yang bertanggung jawab untuk membuat dan melaksanakan kebijakan 11
Mardjono Reksodiputro (2), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989), hal. 9. Oleh Prof. Sutan Remy Sjahdeini, sistem atau model pertanggungjawaban pidana korporasi ditambah satu lagi yakni pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidananya. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: GrafitiPers, 2006), hal. 59-61. 12
Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hal. 93. 13
Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumintaran, 2008), hal. 50.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
korporasi adalah directing mind dari suatu korporasi. Sebaliknya, seseorang yang sehariharinya melaksanakan kebijakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai directing mind.14 Teori yang ketiga ialah due diligence defence. Due diligence defence adalah suatu bentuk pembelaan yang digunakan oleh korporasi atau personilnya yang telah melakukan usahausaha tertentu untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang dapat membuat mereka dituntut.15 Dalam menentukan apakah telah dilakukan due diligence, maka ada tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan yaitu16: 1. foresseability Apakah suatu kejadian yang buruk dapat diramalkan? Untuk menggunakan alasan ini, korporasi harus membuktikan bahwa ia tidak sama sekali mengharapkan kejadian tersebut terjadi. Korporasi harus mampu membuktikan bahwa ia paham tentang keputusan bisnis yang ditempuh dan risiko-risikonya. 2. preventability Apakah ada upaya untuk mencegah terjadinya kejadian tersebut. Korporasi harus membuktikan bahwa ia telah melakukan segala upaya-upaya yang terbaik untuk mencegah terjadinya kejadian tersebut. 3. control apakah ada pihak lain yang seharusnya mengontrol agar tidak terjadi kejadian buruk tersebut. Korporasi dapat mengajukan alasan bahwa ia tidak memiliki kontrol terhadap kejadian yang timbul karena ada pihak lain yang seharusnya menanggung beban tersebut. Misalnya saja, suatu korporasi menyewa mobil dari perusahaan rental mobil. Ternyata pekerja dari korporasi tersebut mengalami kecelakaan akibat rem mobil tidak berfungsi. Dalam hal ini, korporasi dapat menyatakan ia tidak bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut karena perusahaan rental mobil sebagai pemilik mobil yang seharusnya memikul tanggung jawab atas kelayakan mobilnya. Korporasi bisa memiliki dampak negatif selain dampak positif. Korporasi dapat melakukan tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri berasal dar bahasa Latin. Secara harfiah korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat 14
Sjahdeini, Op.cit., hal. 75.
15
http://www.tru.ca/hsafety/responsibilities/diligence.html, diakses 4 Juni 2014.
16
Government of Alberta Employment and Immigration, http://work.alberta.ca/documents/WHSPUB_li015.pdf, hal. 4-5. Diakses 4 Juni 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.17 Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi baru dikenal melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Pada undang-undang ini, korporasi dijadikan subyek hukumnya dengan merumuskannya ke dalam “setiap orang.” Setiap orang didefinisikan sebagai orang perseorangan atau termasuk korporasi.18 Sedangkan korporasi sendiri diartikan sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.19 Tindak pidana korupsi juga mendapat erhatian di kalangan internasional. Dua konvensi yang berfokus pada masalah ini ialah United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam dua konvensi internasional ini, dibahas pula mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, pengaturan di dalam konvensi-konvensi ini yang belum diatur oleh undang-undang di Indonesia ialah masalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sektor swasta, jual beli pengaruh, korupsi oleh pejabat publik asing dan lain sebagainya.
Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian dengan bentuk yuridis-normatif
ini
dilakukan
dengan
maksud
untuk
menelaah
pelaksanaan
pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Dalam hal ini akan ditelaah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi melalui studi kasus putusan pengadilan terhadap PT. Giri Jaladhi Wana dan Hotasi Nababan selaku direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines. Tipologi penelitian ini ialah deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.20 Di mana penelitian ini memaparkan mengenai 17
Andi Hamzah (3), Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana dan Internasional Edisi Revisi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 5. 18
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No.140 Tahun 1999, TLN No.3874, Pasal 1 angka 3. 19
Ibid., Pasal 1 angka 1.
20
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.4.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
bagaimana praktik peradilan di Indonesia dalam menyikapi korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Masih minim atau jarangnya putusan pengadilan yang menghukum korporasi sebagai pelaku dalam tindak pidana korupsi memberikan pendeskripsian tersendiri bahwa ada hambatan yang dihadapi oleh penegak hukum. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai buku, hasil penelitian, dokumen resmi, maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertangungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Untuk mendukung data sekunder tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. (akademisi), R. Narendra Jatna, S.H., LL.M (Atase Kejaksaan Republik Indonesia di Bangkok, Thailand)21, Stevanus Michael Tamuntuan, SIK. Msi. (Penyidik pada Mabes Polri), dan Satriyo Budiyono, S.H., M.Hum. (Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur). Oleh karena penelitian ini menitikberatkan pada studi dokumentasi ditambah dengan wawancara, maka metode analisa data yang digunakan adalah kualitatif sehingga menghasilkan penelitian deskriptif-analitis.
Hasil Penelitian Bentuk dari hasil penelitian ini adalah artikel jurnal yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pembahasan Pembahasan pada penelitian ini mengacu pada dua putusan pengadilan. Kasus yang pertama adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) yang
telah
diputus
melalui
putusan
Pengadilan
Negeri
Banjarmasin
No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm dan dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/PID.SUS/2011/PT.BJM. Kasus ini bermula ketika PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) ditunjuk oleh Pemerintah Kota Banjarmasin (Pemkot Banjarmasin) sebagai mitra kerja sama dalam pembangunan Pasar Induk Antasari. Penujukan pihak ketiga untuk membangun Pasar Antasari telah sesuai dengan Surat Keputusan DPRD Kota Banjarmasin pada tanggal 11 Juli 1998. Untuk merealisasikan 21
Wawancara dilakukan sebelum beliau bertugas ke Bangkok.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
hal tersebut, Pemkot Banjarmasin, yang diwakili oleh Walikotanya, menandatangani kontrak kerja sama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan Pasar Induk Antasari pada tanggal 14 Juli 1998. Pada saat penandatanganan kontrak tersebut, PT. GJW diwakili oleh ST. Widagdo selaku direktur utama. Kontrak tersebut membuahkan kesepakatan diantaranya: Pemkot Banjarmasin setuju Pasar Antasari dibangun oleh PT. GJW; PT. GJW wajib membayar retribusi pasar; dan PT. GJW wajib melunasi kredit inpres kepada Pemkot Banjarmasin. Dalam pembangunan pasar, PT. GJW melakukan kerja sama dengan PT. UE Sentosa. Untuk menambah modal pembangunan pasar, PT. GJW mengajukan permohonan kredit kepada Bank Mandiri. Diketahui kemudian PT. GJW melakukan penyimpangan-penyimpangan, baik terhadap Pemkot Banjarmasin maupun Bank Mandiri. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, diantaranya: membangun kios melebihi kesepakatan tanpa persetujuan Pemkot Banjarmasin; menjual kelebihan kios yang dibangun dan hasilnya tidak disetorkan ke Pemkot Banjarmasin; PT. JW tidak membayar retribusi pasar dan tidak melunasi kredit inpres; PT. GJW memberikan keterangan tidak benar mengenai pembangunan pasar yang seolah-olah pembangunan belum selesai; kredit dari Bank Mandiri digunakan untuk pinjaman direksi; kredit digunakan untuk transfer ke Bank lain; kredit digunakan untuk proyek Ambarawa dan Ungaran; dan lain-lain. Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh PT. GJW sebagaimana diuraikan di atas, telah merugikan keuangan negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516 dan Bank Mandiri sebesar Rp 199.536.064.675, 65. Berdasarkan hal tersebut Penuntut Umum menuntut PT. GJW dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo. Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Majelis hakim pada tingkat pertama mengabulkan tuntutan penuntut umum dan menghukum PT. GJW dengan pidana denda Rp 1,3 milyar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT. GJW selama 6 bulan. Atas putusan tersebut, PT. GJW mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin. Majelis hakim Pengadilan Tinggi mengambil seluruh pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin. Putusan tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin. dengan hanya memperbaiki pidana dendanya saja yakni menjadi Rp 1.317.782.129 (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan rupiah). Sedangkan pidana tambahan berupa penutupan sementara selama 6 bulan tetap sama.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Pengajuan PT. GJW sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi adalah hal yang dimungkinkan oleh UU PTPK. Hal ini kemudian dipertimbangkan oleh majelis hakim yang mengacu kepada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PTPK. Dimana PT. GJW adalah korporasi yang berbentuk perseroan terbatas sehingga ia sudah tentu berstatus sebagai badan hukum. Sebagaimana kita ketahui, PT. GJW sebagai korporasi dengan bentuk perseroan terbatas bertindak melalui organnya. Khusus untuk kepengurusan perseroan terbatas, organ yang ditunjuk ialah direksi.22 Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan PT. GJW diwakili oleh direktur utamanya, ST. Widagdo, dan direkturnya, Tjiptomo. Perbuatan PT. GJW melalui direktur utama dan direkturnya memiliki kaitan dengan syarat-syarat yang diajukan oelh Pasal 20 ayat (2) UU PTPK untuk menyatakan kapan tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi. Syarat pertama ialah adanya hubungan kerja. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja dengan PT. GJW yaitu mengurus korporasi agar usaha korporasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan korporasi sehingga mereka disebut sebagai pengurus korporasi. Sedangkan syarat kedua ialah perbuatan yang dilakukan oleh keduanya masih dalam ruang lingkup usaha korporasi. Ruang lingkup PT. GJW dapat dilihat dari anggaran dasar. PT. GJW merupakan korporasi yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa, transportasi, pembangunan, design interior.23 Pembangunan Pasar Antasari dan permohonan kredit kepada Bank Mandiri dalam rangkan pembangunan pasar masih berada dalam ruang lingkup usaha PT. GJW. Ole karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh PT. GJW melalui direktur utama dan direkturnya telah memenuhi syarat dalam Pasal 20 ayat (2) UU PTPK. Terkait penggunaan teori pertanggungjawaban pidana korporasi, majelis hakim nampak mengalami kegamangan hendak menggunakan teori yang mana. Di satu sisi majelis hakim menggunakan vicarious liability yang menekankan adanya hubungan kerja antara PT. GJW dengan ST. Widagdo serta Tjiptomo. Di sisi lain, majelis hakim mempertimbangkan kedudukan keduanya sebagai directing mind PT. GJW dimana konsep ini lebih mengarah kepada identification theory. Kasus kedua ialah kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hotasi Nababan selaku direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines (PT. MNA) dalam pengadaan dua buah 22
Perseroan Terbatas memiliki tiga organ, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan Direksi. Direksi ditunjuk oleh undang-undang sebagai organ yang berfungsi sebagai pengurus perseroan terbatas sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan terbatas tersebut. Lihat Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No.106 Tahun 2007, TLN No.4756, Pasal 92 ayat (1). 23
Putusan (1) Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, hal. 2.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
pesawat. PT. MNA melalui direktur utamanya mengadakan kerja sama penyewaan dua buah pesawat dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Berdasarkan kesepakatan, PT. MNA harus menempatkan security deposit sebesar US $ 1.000.000 kepada Hume & Associates sebagai pihak ketiga yang ditunjuk oleh keduanya. Penyewaan dua buah pesawat dengan jenis Boeing 737-400 dan 737-500 tidak dicantumkan secara eksplisit dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP). Dalam perjalanan, ternyata John Cooper dan Alan Messner sebagai pengurus TALG menggunakan security deposit tersebut untuk keperluan pribadi dan TALG gagal memenuhi prestasinya untuk mendatangkan dua buah pesawat tersebut. Atas dasar kejadian tersebut, PT. MNA melalui direktur utamanya mengajukan gugatan ke Court for District of Columbia dan dimenangkan oleh PT. MNA. Penuntut Umum menuntut Hotasi Nababan telah memperkaya korporasi lain, sehingga merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar US $ 1.000.000 sesuai dengan Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.
Dalam
putusan
dengan
register
perkara
Nomor
36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, majelis hakim memutuskan bahwa Terdakwa Hotasi D.P. Nababan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan primair dan subsidiair. Oleh karena itu, majelis hakim membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan. Atas putusan hakim tersebut, Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada tingkat kasasi, majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Artidjo Alkostar memutuskan Hotasi Nababan bersalah karena melanggar Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sebagaimana dalam dakwaan primair Penuntut Umum. Oleh karena itu, majelis hakim memvonis empat tahun penjara kepada Hotasi Nababan dan denda Rp 200 juta.24 Penuntut Umum memang tidak sama sekali menyentuh PT. MNA sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Penuntut umum hanya menuntut Hotasi sebagai pelakunya. Namun di sini nampak terjadi ketidakjelasan dan ketidakkonsistensian. Di satu pihak, Penuntut Umum menuntut Hotasi, yakni manusia alamiah, sebagai pelaku tindak pidana korupsi namun di pihak lainnya penjabaran yang dilakukan oleh Penuntut Umum lebih mengarah kepada suatu korporasi yang digerakan oleh organnya, yaitu direktur utamanya. Misalnya saja dalam menerangkan subyek hukumnya, baik dalam dakwaan primair maupun subsidair, Penuntut
24
http://bisnis.liputan6.com/read/2047839/hotasi-nababan-tolak-keputusan-ma-yang-beri-vonis-4tahun, diakses 14 Mei 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Umum menggunakan kalimat “......Hotasi D.P. Nababan, selaku Direktur Utama PT. Merpati Nusantara (Persero)..... ” namun tetap saja subyek hukumnya bukanlah PT. MNA. Tindakan Hotasi selaku direktur utama PT. MNA dapat ditarik menjadi perbuatan PT. MNA dengan memenuhi lima syarat. Syarat pertama bertitik tolak pada orang yang melakukan tindakan memiliki hubungan pekerjaan dengan korporasi yang bersangkutan. Dalam kasus a quo, Hotasi Nababan adalah seorang direktur utama PT. MNA. Hotasi memiliki legitimasi sebagai pihak yang mewakili PT. MNA dalam melakukan perbuatan hukum. Mewakili PT. MNA baik di dalam maupun di luar persidangan adalah tugas dari direksi. Oleh karena itu, Hotasi memiliki hubungan pekerjaan yaitu ia sebagai karyawan pada PT. MNA. Syarat kedua ialah tindakan tersebut sesuai dengan operasional bisnis seperti biasa/secara normal dari badan hukum tersebut. Untuk itu, perlu dilihat tujuan dari PT. MNA. PT. MNA adalah korporasi yang bergerak di bidang penerbangan sehingga pengadaan dua uah pesawat masih sesuai dengan tujuan usahanya. Sedangkan syarat ketiga adalah tindakan tersebut bermanfaat bagi usaha badan hukum. Pengadaan pesawat merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh PT. MNA karena ada ketimpangan antara jumlah pilot dengan pesawat. Keputusan ini diambil oleh direksi setelah para direksi menandatangani circular board of direction karena kondisi keuangan PT. MNA yang tidak baik (pemasukan dengan pengeluaran tidak seimbang) ditambah dengan persaingan yang semakin ketat dengan maskapai penerbangan yang lain. Dengan menyewa pesawat, PT. MNA berusaha menanggulangi keterpurukan ekonomi yang melandanya. Berdasarkan uraian tersebut, tindakan yang dilakukan oleh pengurus PT. MNA masih dalam ruang lingkup tujuan PT. MNA dan membawa manfaat bagi PT. MNA agar bisnis penerbangan PT. MNA kembali normal. Syarat keempat adalah badan hukum dapat memutuskan apakah tindakan tersebut harus dilakukan atau tidak. Dalam kasus a quo penyewaan pesawat dan penempatan security deposit dilakukan oleh PT. MNA melalui pengurusnya. Hal ini telah dibicarakan di kalangan direksi baik secara formal maupun informal. Sebagai tindak lanjut penyewaan pesawat, para direksi menandatangani circular board of direction. Artinya para direksi telah membuat kebijakan untuk menyewa dua buah pesawat dari TALG guna menanggulangi masalah keuangan PT. MNA. Penyewaan pesawat serta penempatan security deposit adalah hal yang harus diputuskan serta dilakukan secara cepat oleh PT. MNA melalui pengurusnya. Apalagi jika melihat posisi PT. MNA yang kurang baik di mata lessor akibat kondisi keuangan yang buruk.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Syarat kelima yaitu apakah tindakan tersebut dapat diterima atau biasanya diterima oleh korporasi yang bersangkutan. Menurut hemat peneliti, hal ini juga telah terpenuhi. Penempatan security deposit dalam rangka pengadaan sewa menyewa pesawat merupakan suatu hal yang lazim dilakukan dalam usaha aviasi (penerbangan). PT. MNA memang belum memiliki acuan tertulis untuk pengadaan pesawat. Sebagai acuannya adalah berpedoman pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pendahulu terhadap kegiatan sewa menyewa pesawat yang berlaku di PT. MNA.25 Kebiasaan PT. MNA dalam sewa menyewa pesawat dengan sistem ini telah dibuktikan dengan lessor-lessor (pemberi sewa) sebelumnya, yakni Montreso, Aergo Capital maupun Futura. Berdasarkan uraian di atas maka syarat-syarat untuk menarik tindakan direksi PT. MNA menjadi tindakan PT. MNA sudah terpenuhi. Oleh karena itu, yang seharusnya diajukan sebagai subyek hukum adalah PT. MNA bukan direktur utamanya. Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah perbuatan PT. MNA. PT. MNA dapat diajukan sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi. Namun, sekalipun ia diajukan sebagai pelaku tindak pidana korupsi peneliti berpendapat bahwa PT. MNA tidak dapat dipersalahakan. Untuk menganalisis hal ini, dapat dikemukakan teori due diligence defence. Teori ini merupakan pembelaan yang dapat digunakan oleh korporasi atau personilnya yang telah melakukan usaha-usaha tertentu untuk mencegah terjadinya tindakantindakan yang dapat membuat mereka dituntut.26 Teori ini telah digunakan di Inggris dan Canada. Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk menggunakan due diligence defence, yaitu: foresseability; preventability; dan control.27 Pertama, yaitu foresseability. PT. MNA harus membuktikan bahwa kejadian buruk tidak dapat ia ramalkan untuk terjadi. Penempatan security deposit kepada Hume & Associates adalah buah hasil kesepakatan antara PT. MNA dengan TALG. Sesuai dengan perjanjian, security deposit bersifat refundable yang berarti jika TALG tidak berhasil menunaikan prestasinya maka PT. MNA dapat menarik kembali security deposit. Namun, pihak TALG melakukan wanprestasi karena tidak dapat mendatangkan pesawat pesanan PT. MNA sesuai dengan jadwalnya. Malahan, uang security deposit dari PT. 25
Keterangan saksi Tony Sudjiarto, GM Aircraft Procurement PT. MNA pada putusan (2) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Ibid., hal. 43-44. 26
http://www.tru.ca/hsafety/responsibilities/diligence.html, diakses 4 Juni 2014.
27
Government of Alberta Employment and Immigration, http://work.alberta.ca/documents/WHSPUB_li015.pdf, hal. 4-5. Diakses 4 Juni 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
MNA disalahgunakan untuk kepentingan pribadi John Cooper dan Alan Messner. Atas kejadian tersebut, PT. MNA mengajukan gugatan kepada Court for District of Columbia dan pengadilan tersebut telah menyatakan TALG wanprestasi sehingga dijatuhi sanksi untuk mengembalikan security deposit ditambah dengan bunga. Disalahgunakannya uang tersebut oleh pihak TALG adalah sesuatu yang tidak dapat diramalkan dan tidak diharapkan oleh PT. MNA. Berdasarkan pengalaman PT. MNA, penempatan security deposit adalah hal yang lazim dilakukan dalam bisnis aviasi.28 PT. MNA telah melakukan beberapa kali perjanjian sewa menyewa pesawat dengan beberapa lessor sebelumnya dengan mekanisme yang sama. Namun, baru kali ini security deposit PT. MNA disalahgunakan sehingga apa yang terjadi kepada PT. MNA adalah sesuatu diluar kebiasaan dan tidak bisa diramalkan olehnya. Kedua, preventability yang berarti PT. MNA harus dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya suatu kejadian yang tak diharapkan. Penyewaan dua buah pesawat jenis Boeing 737-400 dan 737-500 memang tidak disebut secara eksplisit di RKAP tahun 2006. Menurut, Sofyan Djalil dalam keterangannya sebagai saksi, RKAP adalah guideline bagi perusahaan untuk menjalankan usahanya. Sebagai guideline, ia tidak perlu terperinci dan kaku tetapi harus tetap memerhatikan kondisi pasar.29 Terkait pengadaan pesawat, PT. MNA berpedoman dengan Surat Keputusan Direksi Nomor 22/IX/2001 tanggal 12 September 2001 tentang Prosedur Pengadaan Barang dan Jasa serta kelaziman bisnis yang biasa dilakukan oleh PT. MNA dalam hal sewa menyewa pesawat. Dalam dunia bisnis, kebiasan-kebiasaan yang berlaku dan diakui dalam industri juga diakui sebagai bagian dari hukum. Perusahaan yang masuk dalam industri tersebut harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikan dalam industri tersebut. PT. MNA dalam tekanan keadaan ekonominya yang buruk tidak segera mengambil keputusan untuk bekerja sama dengan TALG. PT. MNA menyewa jasa pengacara Laurence Siburian yang sedang menyelesaikan studinya di Amerika. Melalui Laurence Siburian, PT. MNA melalui direkturnya meminta agar Laurence mengecek keberadaan TALG. Hal ini untuk memastikan bahwa TALG adalah perusahaan yang sah di Amerika bukan perusahaan fiktif. Selain itu, PT. MNA melalui Tony Sudjiarto (GM Aircraft Procurement) telah melakukan pengecekan fisik terhadap dua buah pesawat yang akan disewa PT. MNA di China 28
Lihat putusan (2),mengenai keterangan saksi Guntur Aradea (direktur keuangan PT. MNA) dan R. Bagus Panuntun (staf Aircraft Procurement), Op.cit., hal. 28 dan hal. 31. 29
Hal ini kemudian terungkap dalam fakta hukum. Dalam butir 4.4.1.4 RKAP 2006 disebutkan ketersediaan pesawat dan harga sewa di dunia yang berubah secara cepat sesuai dengan kondisi supply-demand, maka perusahaan tetap meiliki fleksibilitas untuk memilih tipe dan jumlah pesawat yang diinginkan demi memaksimalkan perolehan cash flow positif dari penambahan armada. Lihat fakta-fakta hukum, Ibid.,hal. 82.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
dan Bandara Soekarno Hatta. Dengan demikian, PT. MNA telah melakukan upaya-upaya pencegahan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Ketiga, yaitu control. Di dalam faktor ketiga ini, PT. MNA harus dapat membuktikan bahwa ia tidak memiliki kontrol atau tidak bertanggung jawab atas kejadian yang terjadi. Kondisi keuangan PT. MNA yang buruk menyebabkan korporasi tersebut tidak mendapatkan kepercayaan dari lessor untuk menyewakan pesawatnya. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka PT. MNA akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, seperti: operasional penyediaan jasa penerbangan oleh PT. MNA akan terganggu; PT. MNA terancam kehilangan pilotpilotnya yang mungkin pindah ke maskapai lain; terjadi defisit keuangan yang semakin besar karena tidak adanya keseimbangan antara armada pesawat yang dioperasikan dengan jumlah karyawan PT. MNA yang harus digaji. Berdasarkan hal-hal tersebut, PT. MNA melalui direktur utamanya mengambil kebijakan bisnis. PT. MNA menerima tawaran dari TALG untuk menyewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. Sebagai tindak lanjut perjanjian, PT. MNA harus membayar security deposit sebesar US $ 1.000.0000 secara cash kepada TALG melalui Hume & Associates. Penempatan security deposit telah disepakati oleh jajaran direksi PT. MNA dengan ditandatanganinya circular board. Penempatan security deposit secara cash adalah permintaan dari lessor (TALG). Dengan keadaan krisis ekonomi yang dialami PT. MNA mengakibatkan posisi korporasi tersebut dalam keadaan yang lemah sehingga ia harus mengikuti keinginan pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat. Jika tidak maka PT. MNA akan kehilangan kesempatan menyewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 yang lebih irit dan efisien. Ketika security deposit tersebut disalahgunakan oleh Alan Messner dan John Cooper dari TALG, PT. MNA yang telah beberapa kali melakukan prosedur ini dalam sewa menyewa pesawat tidak memiliki kontrol apapun terhadap penyalahgunaan tersebut. Hal ini diluar kendali PT. MNA dan dianggap sebagai risiko bisnis yang tidak bisa dihindari dalam dunia bisnis namun hanya bisa dimitigasi seminimal mungkin, sebagaimana dipertimbangkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan uraian di atas, peneliti berpendapat bahwa PT. MNA juga tidak dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana korupsi seperti halnya ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengadili Hotasi Nababan.30 PT. MNA 30
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mempertimbangkan kasus ini sebagai risiko bisnis. Akan tetapi putusan bebas atas Hotasi Nababan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam hal ini, peneliti bertentangan pendapat dengan Mahkamah Agung yang menyatakan Hotasi melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Sampai dengan penelitian ini dibuat, Mahkamah Agung belum menerbitkan salinan putusannya. Berdasarkan berita-berita dari media massa, dasar putusan Majelis MA itu sama persis dengan isi Dakwaan JPU menurut Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, peneliti mengasumsikan bahwa pertimbangan yang dibuat oleh Mahkamah Agung dalam memutus Hotasi Nababan bersalah sama dengan dakwaan primair Penuntut Umum. Lihat
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
telah melakukan tindakan-tindakan sesuai prosedur, kelaziman dalam dunia bisnis aviasi, hatihati, terbuka, mementingkan kepentingan korporasi bukan individu tertentu atau korporasi lain. Jika PT. MNA hendak menguntungkan orang lain atau korporasi lain (dalam hal ini TALG) tentu PT. MNA tidak akan bersusah payah mengajukan gugatan kepada Court for District of Columbia agar security deposit dapat dikembalikan. Tidak dapatnya PT. MNA dimintai pertanggungjawaban dalam kasus ini juga berdasarkan penerapan due diligence defence.
Kesimpulan Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi mashi minim dan terdapat perbedaan penerapan hukum. Minim berarti masih sedikit jumlah putusan pengadilan yang menyatakan korporasi bersalah melakukan indak pidana korupsi. Sedangkan perbedaan penerapan hukum dapat dilihat dari dua kasus yang dijadkan acuan penelitian. Pada kasus PT. GJW Penuntut Umum berhasil membuktikan PT. GJW telah melakukan tindak pidana korupsi namun masih terdapat kegamangan pada majelis hakim dalam menggunakan teori pertanggungjawaban pidana korporasi. Sedangkan kasus PT. MNA, Penuntut Umum tidak sama sekali menyentuh korporasinya. Padahal uraian dakwaan Penuntut Umum lebih mengarah pada tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Namun, berdasarkan doktrin due diligence defence maka PT. MNA tidak dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi. Hambatan dalam pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mengenai substansi pengaturannya dan prosedurnya. Terkait substansi pengaturannya, hambatan-hambatan tersebut ialah peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memiliki keseragaman pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, masih kuatnya sudut pandang Pasal 59 KUHP, penegak hukum belum paham benar tentang konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Sedangkan hambatan yang terkait prosesnya ialah belum adanya pengaturan bagaimana cara menindak korporasi yang melakukan tindak pidana. http://bisnis.liputan6.com/read/2047839/hotasi-nababan-tolak-keputusan-ma-yang-beri-vonis-4-tahun dan http://news.okezone.com/read/2014/05/12/339/983595/divonis-4-tahun-penjara-oleh-ma-hotasi-nababan-kagetsedih. Diakses 4 Juni 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Saran Perlu adanya keseragaman pengaturan dalam hal pertanggunggjawaban pidana korporasi seperti teori apa yang akan digunakan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini seperti di Canada yang dalam Criminal Code-nya menggunakan teori identifikasi karena hal tersebut akan membantu pembuktian nantinya, menyesuaikan peraturanundangannya dengan konvensi internasional, dalam hal ini adalah UNTOC dan UNCAC sebagai konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut, kerja sama antar penegak hukum, pelatihan bagi penegak hukum agar lebih paham lagi mengenai konsep peranggunjawaban pidana korporasi.
Daftar Referensi Ali, Chidir. (1987). Badan Hukum. Bandung: Alumni. Ali, Mahrus. (2008). Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi. Yogyakarta: Arti Bumintaran. Atmasasmita, Romli. (1989). Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus besar Bahsa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Hamzah, Andi. (2002). Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana. --------------------. (2005). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. ---------------------. (2007). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana dan Internasional Edisi Revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Loqman, Loebby. (2002). Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian. Jakarta: Datacom. Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
Meswati, Elok Dyah dan Brigitta Isworo Laksmi. (2011). Gangren Desentralisasi Korupsi. Dalam Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Reksodiputro, Mardjono. (1989). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi. Semarang: FH UNDIP. Reksodiputro,
Mardjono.
(23-27
Pertanggungjawabannya
Februari
Perubahan
2014). Wajah
Tindak Pelaku
pidana
Korporasi
Kejahatan
di
dan
Indonesia
(Penyempurnaan Makalah tahun 1993). Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi tentang Asas-Asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta perkembangannya Dewasa Ini. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Remmelink, Jan. (2003). Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sjahdeini, Sutan Remy. (2006). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: GrafitiPers. Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN No.140 Tahun 1999, TLN No.3874. Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007. LN No.106 Tahun 2007, TLN No.4756. Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Government
of
Alberta
Employment
and
Immigration,
http://work.alberta.ca/documents/WHS-PUB_li015.pdf, hal. 4-5. Diakses 4 Juni 2014. http://bisnis.liputan6.com/read/2047839/hotasi-nababan-tolak-keputusan-ma-yang-beri-vonis4-tahun. Diakses 14 Mei 2014. http://bisnis.liputan6.com/read/2047839/hotasi-nababan-tolak-keputusan-ma-yang-beri-vonis4-tahun dan http://news.okezone.com/read/2014/05/12/339/983595/divonis-4-tahunpenjara-oleh-ma-hotasi-nababan-kaget-sedih. Diakses 4 Juni 2014. http://www.tru.ca/hsafety/responsibilities/diligence.html. Diakses 4 Juni 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014
http://www.tru.ca/hsafety/responsibilities/diligence.html. Diakses 4 Juni 2014. Sutanto, Dharmawan. Sepanjang Tahun Ini Penanganan Korupsi di Kejaksaan Meningkat. http://www.merdeka.com/peristiwa/sepanjang-tahun-ini-penanganan-korupsi-dikejaksaan-meningkat.html. Diakses 31 Januari 2014.
Korporasi sebagai..., Alfanisa, FH UI, 2014