KEWASPADAAN ATAS RISIKO HUKUM BAGI PEMANGKU JABATAN DALAM SUATU KORPORASI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTY VIGILANCE ON THE LEGAL RISKS FOR OFFICE HOLDERS IN CORRUPTION BASED ON THE FIDUCIARY DUTY PRINCIPLE Noor Rochmad Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 Jakarta Selatan Email :
[email protected] (Diterima tanggal 9 Februari 2015, direvisi tanggal 16 Februari 2015, disetujui tanggal 20 Februari 2015) Abstrak Perlu Pembahasan yang mendalam tentang makna kekayaan negara yang dipisahkan dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara oleh Direksi dalam suatu Korporasi. Suatu Badan Hukum yang dibentuk Pemerintah dengan status kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna sejak dipisahkannya sebagian kekayaan Negara menjadi kekayaan Badan Hukum, telah terjadi transformasi yuridis atas keuangan publik menjadi keuangan privat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum perdata. Tujuan pemisahan tersebut adalah untuk membuat demarkasi yang jelas antara tanggungjawab publik dengan tanggungjawab korporasi. Inkonsistensi dalam memandang kekayaan negara pada Korporasi seolah-olah melekat dan satu kesatuan definisi dengan keuangan negara membawa konsekuensi yuridis yang serius. Dari sisi positif (upside benefit)nya akan memberikan pesan kehati-hatian disertai dengan ancaman pemidanaan manakala terjadi salah urus terhadap harta Badan Usah Milik Negara. Kata kunci : kekayaan negara, kerugian negara, kewajiban direksi Abstrack Keep in depth discussion of the meaning of state assets set asidein relation to the country’s financial losses by the board of directors in a corporation. A legal entitye stablished by the Government of the country’s wealth status implies separated from the separation portion of State assets into wealth Legal Entity, there has been a juridical transformation of public finances into private financial fully subject to civil law. The separation goal is to make a clear demarcation between public responsibilities with corporate responsibility. In consistencies in view of the country’s wealth to the Corporation as if attached an done entity definition with state financial juridical consequences are serious. From the positive side (up side benefits) it will give a message of prudence accompanied by the threat of punishment when there is mismanagement of the assets ofState Owned Enterprises. Keywords : wealth of the country, state loss, liability of directors.
I.
PENDAHULUAN Tanggung jawab direksi berdasarkan prinsip Fiduciary Duties sebagaimana tersirat dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroam Terbatas tersirat bahwa dalam Direksi / Pemangku kepentingan dalam suatu Perusahaan harus mampu melaksanakan tugasnya dengan penuh itikad baik, bertanggung jawab, serta menghindari adanya benturan kepentingan. Direksi juga dituntut untuk bertindak dengan penuh kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan (duty of care), serta mampu mengutamakan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadinya (duty of loyalty).
Disisi lain, pada pengelolaan Perusahaan BUMN tidak akan terlepas pada ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sehingga lumrah jika sampai sekarang dan hingga kini masih terus bergulir adanya perdebatan yang menyatakan aset BUMN menjadi bagian dari kekayaannegara. Diskusi-diskusi terkait Undang-Undang Keuangan Negara kerap dilakukan guna mencari kejelasan unsur kekayaan negara dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Di tengah kampanye besar-besaran dewasa ini untuk pemberantasan korupsi, terdapat suatu diskursus yang memperluas makna kerugian negara hingga kepada kerugian yang
Kewaspadaan atas Risiko Hukum bagi Pemangku Jabatan dalam suatu Korporasi Berdasarkan... - Noor Robhmad
141
mungkin timbul akibat “perbuatan” pemangku jabatan dalam suatu BUMN yang dibentuk oleh Pemerintah. Perluasan makna yang demikian tidak lepas dari sederet undang-undang yang memperluas makna kekayaan negara hingga kepada kekayaan milik korporasi. Rugi dan untung yang lumrah pada suatu korporasi terlepas apakah berbentuk Badan Hukum Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Negara yang kepemilikan sahamnya secara mayoritas oleh Negara c/q Pemerintah, atau Badan-badan swasta murni. Secara hakiki dapat dipahami bahwa setiap usaha pasti akan ada kemungkinan untung atau rugi. Membahas tema makalah tersebut diatas, dikaitkan dengan dengan prinsip-prinsip kehatihatian dalam pelaksanaan manajerial dan kegiatan operasional Perusahaan,tentu tidak terlepas dari pembahasan beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain : a. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Permasalahan
1. Prinsip-prinsip apa saja yang harus dipenuhi
b. Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.
agar suatu kebijakan/keputusan pejabat BUMN tidak dapat dipertanggungjawabkan jika terjadi suatu kerugian ?
c. Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
2. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah
d. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. e. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. f. Undang-undang lainnya yang terkait terutama Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yuncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara normatif Undang Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yuncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak membedakan kerugian yang timbul dari hubungan bisnis biasa dengan kerugian lain yang bottom linenya membawa pengurangan kepada harta negara, bahasa hukumnya yang biasa didengungkan oleh aparat penegak hukum/Penyidik adalah “sekali negara rugi atau dirugikan, itu korupsi“ titik. Ada beberapa permasalahan mengenai kerancuan “keuangan negara” dan “kerugian 142
negara” padahal, seyogyanya norma hukum yang ideal harus memenuhi asas lex certa yaitu rumusan harus pasti (certainty) dan jelas (concise) serta tidak membingungkan (unambiguous)1Dalam menerapkan normanorma tersebut harus dilandaskan kepada asasasas hukum yang telah diakui seperti asas ne bis in idem dalam hukum pidana, atau asas kebebasan berkontrak (party authonomy) dalam hukum perdata dan asas tidak bertentangan dengan UUD dalam hukum tata negara. Tulisan ini akan mencoba membahas makna kekayaan negara yang dipisahkan dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara, sehingga nantinya diharapkan hal ini akan dapat menjadi unsur kehati-hatian dan kewaspadaan bagi para pemangku jabatan di kalangan BUMN dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
sebagai pemegang saham menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham? II. PEMBAHASAN A. Prinsip-prinsip Pengelolaan keuangan negara. Untuk memperoleh pemahaman tentangprinsipprinsip apa saja yang harus dipenuhi agar suatu kebijakan/keputusan pejabat BUMN tidak dapat dipertanggungjawabkan jika terjadi suatu kerugian, maka Pejabat BUMN perlu memahami hal-hal berikut ini : Memahami definisi keuangan negara Definisi keuangan negara tidak dimuat secara tegas di dalam ketentuan Pasal 23 UUD 1945, sehingga untuk memahami konteks keuangan negara di dalam Pasal 23 UUD 1945 perlu melihat dari penafsiran-penafsiran pendapat ahli.Pada intinya, konteks keuangan 1 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Medan, Jakarta, 2006 hal.17
negara dalam ketentuan Pasal 23 UUD 1945 dapat dibagi di dalam 2 (dua) periode yaitu: 1. Periode Pra Amandemen III UUD 1945 dan 2. Periode Pasca Amandemen III UUD 1945. Dalam Periode Pra Amandemen III UUD 1945, pengertian keuangan negara hanya ditafsirkan secara sempit yaituterbatas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”). Hal ini dipertegas oleh pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan : 2
keuangan negara tidak hanya sebatas APBN dan APBD saja, melainkan juga meliputi Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) dan Badan Usaha Milik Daerah (“BUMD”) yang membawa konsekuensi pengertian keuangan negara meliputi APBN, APBD, BUMN dan BUMD. Berdasarkan hal tersebut diatas menurut saya terdapat perluasan makna, karena Pasal 23 UUD 1945 mendefinisikan keuangan negara hanyalah sebatas APBN dan APBD, sedangkan menurut UU 17/2003 dan UU 15/2004 juga meliputi BUMN dan BUMD.Suatu Badan Hukum yang dibentuk Pemerintah dengan status kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna sejak dipisahkannya sebagian kekayaan negara menjadi kekayaan Badan Hukum, telah terjadi transformasi yuridis atas keuangan publik menjadi keuangan privat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum perdata4. Penyertaan modal negara di sebuah korporasi statusnya adalah penyertaan biasa dengan status hukum yang sama dengan penyertaan oleh pihak swasta lain. Tujuan pemisahan tersebut adalah untuk membuat demarkasi yang jelas antara tanggungjawab publik dengan tanggungjawab korporasi.
“Pengertian anggaran pendapatan dan belanja yang dimaksud dalam UUD 1945 hanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tingkat pusat, sehingga tidak tercakup Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sama sekali tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan”Sedangkan, dalam Periode Pasca Amandemen III UUD 1945 pengertian keuangan negara tidak hanya sebatas pada APBN tetapi juga termasuk pada pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah3 Hal ini dikaitkan dengan terjadinya perubahan struktur organisasi dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”), di mana dalam Pasal 23 UUD 1945 hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK selain diserahkan kepada DPR (APBN) juga kepada DPD dan DPRD (APBD) sesuai dengan kewenangannya.
Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN pada penjelasan pasal 4 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Sayangnya beberapa Undang-undang lain, terutama yang menyangkut kewenangankewenangan instansional, seperti telah disebut di depan, menafikan dan mengaburkan serta menyamaratakan makna. Kerugian yang timbul dari transaksi yang dilakukan oleh suatu Badan atau Korporasi yang jelas-jelas merupakan korporasi dengan kekayaan negara yang dipisahkan berpotensi untuk dimaknai sebagai kerugian negara, yang ujung-ujungnya dapat diancam dengan pidana korupsi.
Menelisik lebih jauh dalam Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negaradinyatakan bahwa keuangan negara meliputi: kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negaramenyatakan bahwa pemeriksaan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU 17/2003. Ini berarti objek pemeriksaan Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta 2005. 3 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005 2
Di mata hukum, suatu korporasi adalah rechtpersoon, yaitu orang yang cakap 4
Ibid
Kewaspadaan atas Risiko Hukum bagi Pemangku Jabatan dalam suatu Korporasi Berdasarkan... - Noor Robhmad
143
menjunjung hak dan kewajibannya, memiliki kekayaan sendiri, memiliki kewenangan kontraktual serta dapat menuntut dan dituntut atas nama dirinya sendiri (persona standi in judicio). Tujuan pemisahan Badan Hukum Perdata dari institusi Negara adalah sangat jelas untuk membatasi tanggungjawab Badan Hukum manakala terjadi eksposure bisnis dari keputusan bisnis yang dilaksanakannya, untuk tidak menyentuh kekayaan negara yang lain. Inkonsistensi dalam memandang kekayaan negara pada Korporasi seolah-olah melekat dan satu kesatuan definisi dengan keuangan negara membawa konsekuensi yuridis yang serius. Dari sisi positif (upside benefit)nya akan memberikan pesan kehati-hatian disertai dengan ancaman pemidanaan manakala terjadi salah urus terhadap harta BUMN. Juga memberikan prioritas pengembalian tagihan dalam hal ada pailit, karena dalam undang-undang kepailitan hak negara mendapat prioritas terlebih dahulu dalam pelunasan dari boedel pailit. Namun sisi negatif (downside impact)nya juga tidak tanggung-tanggung, yaitu dalam sistem hukum Perdata Indonesia dianut asas bahwa pemilik bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh harta yang di bawah penguasaannya, serta jaminan pemenuhan prestasi (pembayaran hutang) meliputi seluruh harta baik yang ada maupun yang akan ada (bdk KUHPerdata ps. 1131, 1367). Contohnya, apabila suatu BUMN (PLTA) mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pencemaran radiasi, akibatnya massif, maka tuntutan strict liability dapat meluas dan menjangkau hingga ke harta negara yang lain di luar BUMN tersebut. Demikian juga apabila ada tuntutan pailit kepada suatu BUMN, maka tuntutan tersebut akan dengan mudah dapat diperluas hingga ke harta negara lainnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan BUMN tersebut. Padahal esensi dasar suatu BUMN dengan bentuk PT ( Perseroan Terbatas) misalnya adalah tanggungjawab terbatas dan maksimal sebesar kekayaan PT tersebut. PT adalah PT bukan menjadi Perseroan TIDAK Terbatas. Dari uraian diatas, saya menganalisa bahwa kita semua harus hati-hati dalam memahami kerugian keuangan negara, akibat terburuk dari pemahaman diatas adalah hilangnya legitimasi yuridis Pemerintah untuk mengurus harta 144
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
negara. Inilah antara lain suatu kemungkinan ekstrim, apabila kita bermain-main dalam memperluas makna kekayaan negara, yang meluas kepada kekayaan korporasi yang telah dipisahkan dari kekayaan negara,saya tidak dapat membayangkan absurditas yang muncul sebagai akibat skenario tersebut. BUMN yang dipailitkan, akan menjalar menjadi kepailitan negara, dan para pengurus negara (dalam hal ini Pemerintah pengemban kedaulatan negara) akan dituntut pailit oleh mitranya, yang dapat saja berupa suatu multi national corporation, yang tunduk dan didirikan tidak berdasarkan hukum Indonesia. Pasal 66 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/ rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian Perseroan Terbatas, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan. Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi.Sebenarnya ada doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hatihati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko
daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.
B. Prinsip-prinsip Fiduciary Duties dalam Perseroan Terbatas Sesorangyang memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) dapat berfungsi ketika ia memiliki kapasitas fiduciary (fiduciary capacity), sehingga merupakan suatu kewajiban bagi Pemangku kepentingan (para Direksi) di seluruh perusahaan untuk berindak secara jujur dan dapat mempertanggung jawabkan apa yang sudah diputuskan, sedangkan Fiduciary Duties mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan perseroan;
2. Direksi
tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga kecuali atas persetujuan perseroan;
perusahaan yang dipimpinnya. Direksi yang diberikan kepercayaan oleh perseroan harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, bertindak untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta bertindak dengan mengutamakan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadi6 Dari kedua komponen tersebut dapat diketahui bahwa Direksi dilarang menggunakan posisinya untuk mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan perusahaan yang telah memberinya kepercayaan dan segala perbuatan hukum yang menguntungkan pribadi Direksi serta merugikan perseroan. Apabila anggota Direksi menyalahgunakan kedudukannya sebagai pemegang amanah perseroan (Fiduciary Duties) atau apabila bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan perseroan menderita kerugian, maka setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi dan dapat diminta pertanggung jawaban ( Pasal 97 ayat (3) Undang Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). 1. Kerugian negara menurut UndangUndang TIPIKOR Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang menyatakan:
3. Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan aset perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga5
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Pada umumnya, Fiduciary Duties sebagai bentuk pertanggung jawaban Direksi dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu:
1. Duty of Care, direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan, direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada secara patut dan wajar.
2. Duty of Loyalty, direksi bertanggung jawab
Kata-kata : “... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ...”, dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang membacanya tidak
untuk selalu berpihak kepada kepentingan 5 Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan ke-1, FH UII Press, Yogyakarta, h.109, dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St.Paull-Minn: West Publishing Co, 2004), h.545
6
Ibid
Kewaspadaan atas Risiko Hukum bagi Pemangku Jabatan dalam suatu Korporasi Berdasarkan... - Noor Robhmad
145
mendatangkan kepastian hukum kepada pencari keadilan dan Penegak Hukum, karena perbuatan atau peritiwa tersebut belum nyata atau belum tentu terjadi dan belum pasti jumlahnya.Dengan adanya kata-kata “dapat” pembuat Undang-undang telah menggunakan kata-kata yang samarsamar. Bagaimana hukum harus ditetapkan atau hukuman dijatuhkan berdasarkan suatu peristiwa yang belum terjadi, belum tentu terjadi atau mungkin tidak terjadi. Katakata “... yang dapat merugikan keuangan Negara ...”, pada prakteknya kata-kata ini dapat berarti apa saja sesuai dengan pilihan pembacanya. Bagaimana besar akibatnya bagi tersangka yang dijatuhi hukuman berdasarkan kata-kata di atas, tetapi ternyata kemudian kerugian Negara itu tidak terjadi. Ketika sebuah kasus dibawa ke pengadilan, hal tersebut secara implisit memberikan wewenang kepada Jaksa dan Hakim untuk merumuskan peraturanperaturan terperinci yang diperlukan. Ketidakpastian kata-kata demikian tentu saja tidak diinginkan. Terkait dengan hal tersebut diatas, telah ada permohonan judicial review Pasal 2 & Penjelasannya, Pasal 3 & penjelasannya UU No. 31 th 1999 jo. UU No. 20 th 2001 tentang PTPK terhadap Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yang diajukan oleh IR. DAUD JATMIKO. Dalam Putusannya MK No : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006berpendapat : Pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan 146
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”; Mahkamah Konstitusi berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis,
pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan, oleh karena itu, rumusannya dapat dibagi menjadi 6 (enam) kelompok sebagai berikut : 1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi). 3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi) 6. Kelompok delik yang berkaitan dengan
pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang memuat unsur merugikan negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan 5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28 pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta, sehingga Para Pemangku Kepentingan / Direksi agar senantiasa menghindarkan diri pada beberapa perbuatan sesuai kriteria yang termasuk dalam perbuatan tindak pidana korupsi tersebut diatas. 2. Kerugian menurut hukum privat Dalam pengelolaan perusahaan (BUMN dan BUMD) adalah tunduk hukum kepada aturan-aturan pengelolaan bisnis yang baik (good corporate governance) seperti prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, transparansi dan cepat tanggap (responsif). Pengelola/ Pengurus bisnis dilengkapi dengan fiduciary duties (kepedulian, kemampuan dan kejujuran), duty of care (kehati-hatian agar terhindar dari kelalaian (negligence), dan tugas untuk menaati perundang-undangan (statutory duties). Doktrin penting lainnya adalah business judgement rule yang mengajarkan bahwa direksi (pengurus) suatu korporasi tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan pada itikad baik dan kehatihatian. Direksi mendapatkan perlindungan hukum tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. Namun dalam hal Direksi atau pengurus suatu perseroan mengambil tindakan yang melebihi kapasitasnya, mereka dapat dituntut berdasarkan doktrin ultraviles (doktrin pelampauan kewenangan). Itupun
Kewaspadaan atas Risiko Hukum bagi Pemangku Jabatan dalam suatu Korporasi Berdasarkan... - Noor Robhmad
147
sepanjang tidak bersentuhan dengan hukum memaksa, tuntutan yang dapat disampaikan adalah terbatas tuntutan keperdataan. Sebaliknya akan terjadi apabila Pemerintah terlalu banyak campur untuk sisi operasional suatu Badan Usaha yang kepemilikannya sebagian atau seluruhnya ada pada negara c/q Pemerintah. Makanegara atau pemerintah akan kehilangan kekebalannya sebagai pemegang otoritas kedaulatan negara (iure imperii) manakala Negara terlibat dalam suatu urusan bisnis (iure gestines). Negara akan turun derajat dan statusnya menjadi hanya menjadi pihak saja, sama seperti badan swasta atau perorangan lainnya. Secara perdata juga, Negara tidak dapat lagi mempertahankan imunitasnya tersebut berdasarkan doktrin piercing the corporate veil (menembus tirai korporasi). Menurut Frank H. Easterbrook and Daniel R.Fischel, apabila ada kerugian yang terjadi di suatu BUMN Persero, belum tentu kerugian tersebut mengakibatkan kerugian negara melainkan kerugian tersebut bisa juga merupakan kerugian perusahaan (resiko bisnis) sebagai badan hukum privat. Mengenai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan tersebut seharusnya menggunakan doktrin Business Judgement Rule.7 Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) belum mengatur secara rinci mengenai konsep Business Judgment Rule. Pasal 85 ayat 1 dari UUPT hanya menyebutkan secara umum mengenai prinsip itikad baik dan tanggung jawab dari direksi dalam menjalankan perseroan. Namun dalam UUPT yang baru (UU No.40 tahun 2007), konsep Business Judgment Rule telah dipertegas dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 102 ayat (4), dimana anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila dapat membuktikan bahwa: 1. kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya;
karena
7 Frank H. Easterbrook and Daniel R.Fischel, “The Economic Structure of Corporate Law”, Harvard University Press- Cambridge, Massachussetts, London, England, hal 40 -62
148
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Jadi dalam hal direksi dapat membuktikan keempat unsur diatas maka atas kerugian tersebut direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kerugian itu merupakan kerugian akibat resiko bisnis.Didalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum (rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi “ tidak sah” yang berakibat hukum menjadi “ batal” (nietig). Mengutip pendapat Prof. Van Der Pot, Bachsan Mustafa8 menyatakan ada 4 (empat) syarat yang harus di penuhi agar ketetapan administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah yaitu :
1. Ketetapan harus dibuat oleh badan (orgaan) yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
2. Karena ketetapan itu adalah suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh mengandung kekurangan yuridis yaitu tidak boleh mengandung paksaan, kekeliruan dan penipuan. 8 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979, Hal. 90.
3. Ketetapan itu harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan tata cara (prosedure) membuat ketetapan itu, bilamana tata cara ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dasarnya.
dan
tujuan
peraturan
Philipus M. Hadjon9 mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sahyaitu Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error in re”. selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda “ rechtmatigheid” (van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality. Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 (wewenang dan substansi) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. 3. Aspek Perdata dan Pidana pada Keuangan Publik BUMN atau Badan Hukum lainnya yang didirikan untuk kepentingan bisnis dalam beroperasinya adalah tunduk kepada mindsetlogika perdata. Logika perdata yang dimaksud antara lain adalah bahwa kontrak bisnis adalah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, itikad baik dianggap ada pada para pihak sampai terbukti sebaliknya, serta apabila suatu prestasi yang diperjanjikan tidak 9 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
dapat dipenuhi, maka akan dituntut wanprestasi dengan berbagai alternatif untuk memenuhinya. Logika bisnis adalah kehati-hatian, kemitraan, kerja sama dan trust. Misalnya, suatu mitra bisnis yang kesulitan melakukan pembayaran dan terlilit hutang, penyelesaiannya dapat berupa penundaan kewajiban pembayaran utang, hair cut (pelunasan sebagian), konversi hutang menjadi penyertaan modal dan sebagainya. Apabila ada sengketa bisnis, penyelesaiannyapun diusahakan dengan mediasi, dan paling jauh dengan arbitrase sebagai alternatif penyelasaian sengketa yang memberi win-win solution. Solusi pidana dalam hukum bisnis hanya upaya terakhir (ultimum remedium) yang tidak akan ditempuh kalau tidak terpaksa. Di sisi lain, apabila kaca mata pidana yang digunakan, maka logika perdata tidak akan atau sulit untuk berjalan. Kesulitan pembayaran oleh mitra bisnis dapat dituntut dengan delik penipuan atau penggelapan. Demikian juga dalam hal timbul kerugian. Penyelesaian seperti haircut, model Release and discharge seperti yang ditempuh dalam penyelesaian BLBI, hanya dipandang sebagai upaya administrasi semata yang tidak menuntaskan persoalan. Logika pidana adalah untuk memberi efek jera, bukan win-win solution, tetapi adalah zero sum game dengan win loss solution. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Logika pidana lebih menekankan kepada penghukuman (repressive mode) untuk memberikan efek jera, dari pada asset economic recovery yang dianut hukum perdata. Dalam konteks inilah sekarang pendulum kebijakan di negara kita ini sedang bergerak. Hukum menjadi ditafsirkan sangat kontekstual dalam dimensi waktu, rejim dan prioritas kebijakan. Hal-hal yang dahulu adalah murni business judgement rules yang mungkin saja hasilnya tidak seperti yang diperkirakan semula, bergeser
Kewaspadaan atas Risiko Hukum bagi Pemangku Jabatan dalam suatu Korporasi Berdasarkan... - Noor Robhmad
149
ke ranah pidana dengan ancaman korupsi karena merugikan keuangan negara atau membuat orang lain menjadi kaya. Apakah seorang pebisnis atau pengurus suatu korporasi yang sahamnya mayoritas dipegang negara harus diancam dipidana, hanya karena mitra bisnisnya menjadi kaya?. Atau bukankah berbisnis berarti berusaha untuk saling menguntungkan ? Inilah absurditas berikutnya dari logika yang dibangun dengan perluasan definisi keuangan negara menurut sistem hukum positif kita dewasa ini.
C. Upaya Hukum Pemerintah selaku Pemegang Saham. 1. Berdasarkan Perseroaan Terbatas
Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tetap memungkinkan Pemegang Saham dalam hal ini Pemerintah menggugat Direksi atau Komisaris apabila keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham berdasarkan pasal-pasal berikut ini: Pasal 61 yang menyatakan : “Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil akibat keputusan RUPS, Direksi atau Komisaris”. Pasal 97 ayat (3) yang menyatakan : “Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya dapat menimbulkan kerugian pada perseroan”. Pasal 97 ayat (6) yang menyatakan : “Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atas kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan”.Oleh karenanya Negara sebagai 150
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Pemegang Saham berdasarkan pasal-pasal di atas dapat menggugat individu Komisaris dan Direksi apabila keputusan mereka dianggap merugikan. 2. Berdasarkan pidana dalam korporasi
Pertanggungjawaban pengelolaan bisnis/
Delik-delik pidana tetap dapat diancamkan kepada pemangku jabatan dalam BUMN yang membawa kerugian kepada perusahaan yang dikelolanya. Namun harus dilihat penyebabnya adalah murni pidana, seperti penyalahgunaan kewenangan, melakukan penipuan, penyuapan dan kejahatan korporasi lainnya. Tetapi apabila pemangku jabatan dalam BUMN telah bekerja dengan cermat, dengan pertimbangan bisnis yang matang (yang dapat saja hasilnya melenceng dari yang diperkirakan), itikad baik dan dalam koridor kebiasaan pedagang yang baik (lex mercantoria), yang tidak melawan hukum, maka pada dasarnya bahwa pemangku jabatan dalam BUMN harus terlindungi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilakuuntuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur. Sehingga jelas uraian di atas dapat menjelaskan bukan berarti bahwa pemangku jabatan dalam BUMN akan terbebas dari immun dan tanggung jawab tuntutan pidana. Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.Kesalahan yang dilakukan oleh anggota Direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat seperti berikut :
1. Tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan kepada mereka.
2. Bukan merupakan penipuan yang dilakukan untuk perusahaan
3. Dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi Dengan kata lain jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut. Terdapat tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgement) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care, tolak ukur tersebut adalah adalah :
1. Memiliki
informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut itu benar.
2. Tidak
memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik
3. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah terbaik bagi perusahaan Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyality. Putusan Perkara Perdata Nomor 305/ Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel adalah sebagai contoh kasus, dimana seorang Direksi bagian investasi melakukan Self Dealing Transaction secara langsung dengan merekayasa pembelian Promissory Note yang telah default atau gagal bayar yang dibuat dengan menerbitkan Promissory Note baru sehingga seolah-olah tidak ada kesalahan dalam transaksi itu. Dalam transaksi tersebut dengan jelas terlihat sebuah
tindakan kecurangan (fraud) yang Direksi lakukan serta tidak ada itikad baik karena mengorbankan PT Sigma Batara sebagai perusahaan yang dipimpinnya untuk membeli Promissory Note yang default milik PT.CBE dari tangan Indover Bank.Dengan tindakan self dealing tersebut mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pribadi dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dan dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty.Sejalan dengan hal itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Direksi yang bersangkutan bersalah dan dibebankan pertanggungjawaban secara pribadi
III. KESIMPULAN Saya melihat, secara normatif dan bahkan dalam tataran praktis, perluasan makna keuangan negara yang merambah hingga kepada korporasi dengan kekayaan negara yang dipisahkan, telah mengikis dan mengancam para profesional BUMN kita yang tangguh, serta juga menulari mitra bisnis BUMN itu. Secara tidak sadar kita telah mendorong mereka menjadi birokrat yang patuh dan konservatif dari seharusnya menjadi seorang entrepreneur yang inovatif, yang berani mengambil resiko terukur (dan bahkan dapat merugi). Iklim inilah yang dapat membuat tidak munculnya para entrepreneur BUMN sejati, dan hanya akan menjadi ambtenar yang mengharap proteksi, diskresi dan fasilitasi negara, yang sesungguhnya sudah kuno di jaman globalisasi ini. Hal ini pada akhirnya hanya menjauhkan kita dari cita-cita kepastian dan kemanfaatan hukum. Untuk itu, para Pemangku Jabatan di BUMN perlu memahami dengan benar makna kekayaan negara yang dipisahkan dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara, sehingga nantinya diharapkan hal ini akan dapat menjadi unsur kehati-hatian dan kewaspadaan bagi para pemangku jabatan di kalangan BUMN dalam mengambuil keputusan dan membuat kebijakan.Berdasarkan uraian tersebut diatas maka yang dapat saya simpulkan adalah : 1. Pelanggaran terhadap Fiduciary Duty dapat menyebabkan Direksi dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap
Kewaspadaan atas Risiko Hukum bagi Pemangku Jabatan dalam suatu Korporasi Berdasarkan... - Noor Robhmad
151
DAFTAR PUSTAKA
perbuatan yang dilakukannya. baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. 2. Direksi diharuskan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas untuk menjalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dan secara pribadi bertanggung jawab atas penyimpangan atau kelalaian dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. 3. Para Pemangku kepentingan di Perusahaan/ Direksi hendaknya tunduk kepada aturan-aturan pengelolaan bisnis yang baik (good corporate governance) serta menerapkandoktrin business judgement rulesehingga akan membawa pada para Direksi untuk melakukan prinsip kehatihatian.
Buku Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Medan, Jakarta, 2006; Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979. Frank H. Easterbrook and Daniel R.Fischel, “The Economic Structure of Corporate Law”, Harvard University Press- Cambridge, Massachussetts, London, England. Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta 2005. Khairand, Ridwan, 2013, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan ke-1, FH UII Press, Yogyakarta, h.109, dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St.Paull-Minn: West Publishing Co, 2004). P. Soeria Atmadja, Arifin,Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yuncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
152
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015