A Novel by KATHLEEN McGOWAN The Expected One Diterjemahkan dari The Expected One karya Kathleen McGowan Copyright Š 2006, Kathleen McGowan Hak cipta dilindungi undang-undang AU rights reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada UFUK Press Pewajah Sampul: Expertoha Studio Pewajah Isi: Ahmad Bisri Penerjemah: Leinovar Bahfeyn dan Lusia Nurdin Penyunting: Leinovar Bahfeyn Cetakan I: Februari 2007 ISBN: 979-1238-26-X UFUK PRESS PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21-7976587, 79192866 Homepage: www.ufukpress.com Blog : http://ufukpress.blogspot.com Email :
[email protected] Buku ini dipersembahkan kepada Maria Magda/ena, sumber inspirasiku, leluhurku; Peter McGowan, tiang kehidupanku; Orangtuaku, Donna dan Joe, untuk kasih tak bersyarat dan genetika yang menarik; Dan kepada pangeran Grail kami, Patrick, Conor, dan Shane, untuk cinta, canda, dan inspirasi yang senantiasa mereka curahkan ke dalam kehidupan kami Kepada sang perempuan terpilih dan anakanaknya, yang aku cintai daiam kebenaran; dan bukan hanya aku, tapi juga semua yang mengetahui kebenaran; karena kebenaranlah yang hidup di daiam diri kita dan akan bersama kita selamanya. 2 John 1-2 Prolog ~ 15 Satu - 19 Dua Ť- 41 Tiga ŚŚŚ 61 Empat ~ 77 Lima 93 Enam 119 Tujuh 151 Delapan — 197 Sembilan 211 Sepuluh 241 Sebelas 267 Dua belas *> 305 Tiga Belas 337 Empat Belas 365 Lima Belas - 383 Enam Belas - 401 Tujuh Belas ~ 413 Daftar Isi Delapan Belas ~ 483 Sembilan Belas *ť 503 Dua Puluh ~ 591 Dua Puluh Satu ** 629 Dua Puluh Dua Ť 633 Penutup ** 637 Persembahan ~ 653 Expected One A Novel
KATHLEEN McGOWAN UFUK Prolog Gait? Selatan Tahun 72 Tidak banyak waktu yang tersisa. Perempuan tua itu menarik kerudung lusuh ke pundaknya. Tahun ini musim gugur akan datang lebih cepat di pegunungan merah. Ini ia rasakan hingga ke sumsum tulang. Perlahan dan hatihati diregangkannya jari jemarinya, berharap sendi yang rematik itu melemas. Tangannya tak boleh membuatnya kecewa sekarang. Tidak ketika begitu banyak yang ia pertaruhkan. Ia harus menyelesaikan tulisan itu malam ini. Sebentar lagi Tamar akan datang membawa toples-toples, dan semua harus siap. Ia mengizinkan dirinya menghela napas panjang nan berat. Aku sudah lelah sejak lama. Teramat, sangat lama. Ia tahu, pekerjaan yang tengah ia lakoni adalah tugas terakhirnya di dunia. Kenangan yang ia ingat-ingat selama beberapa hari terakhir telah menguras seluruh sisa hidup tubuh keriputnya. Tulang belulang tuanya sarat dengan kesedihan yang tak terbilang dan kepenatan yang dirasakan mereka yang ditinggal mati oleh orangorang yang mereka cintai. Tuhan banyak memberinya cobaan, cobaan yang pedih. Hanya Tamar, anak perempuan semata wayangnya dan anak terakhirnya yang hidup, yang tersisa bersamanya. Tamar adalah rahmatnya, sepercik cahaya di antara saat tergelap ketika ingatan yang lebih menakutkan dibandingkan mimpi buruk enggan dijinakkan. Sekarang putrinya adalah satu di antara dua yang selamat dari Masa Besar. Meski ia hanya seorang bocah kecil ketika mereka semua melakoni peran masingmasing dalam sejarah kehidupan. Namun, tahu bahwa ada seseorang yang masih hidup, yang ingat dan mengerti, tetaplah melegakan. Vang lainnya telah pergi. Kebanyakan mati, menjadi martir lantaran manusia dan cara yang terlalu brutal untuk bisa ditanggung. Beberapa lagi barangkali masih hidup, tercerai-berai di berbagai penjuru bumi. Ia takkan pernah tahu. Bertahuntahun telah berlalu semenjak ia mendengar kabar dari yang lain. Namun ia tetap mendoakan mereka. Ia berdoa sejak terbit matahari hingga terbenamnya pada masa-masa kala ingatannya sangat tajam. Dengan segenap hati dan jiwa, ia berharap mereka menemukan kedamaian dan tidak membebaninya siksaan beribu-ribu malam tanpa mampu memejamkan mata. Ya, Tamarlah satusatunya tempat ia berlindung di tahun tahun terakhir ini. Anak perempuan itu masih terlalu muda untuk mengingat detail-detail mengerikan di Masa Kegelapan. Tapi ia cukup dewasa untuk mengingat keindahan dan keanggunan orangorang yang dipilih Tuhan untuk menjalani jalan suciNya. Mempersembahkan hidup untuk mengenang orangorang terpilih menjadikan perjalanan Tamar murni dengan pengabdian dan kasih. Pengabdian anak perempuan itu yang semata-mata demi menenteramkan ibunya di hari-hari belakangan ini sungguh luar biasa. Tinggal satu persoalan berat yang mesti kulakukan: meninggalkan putri tercintaku. Bahkan kini, saat kematian datang menghampiri, aku masih tidak sanggup. Meskipun begitu…
Perempuan itu mengintip dari gua yang telah menjadi rumahnya selama hampir empat dasawarsa. Langit cerah saat ia mengangkat wajah keriputnya. Dinikmatinya keindahan bintang gemintang. Takkan pernah ia berhenti mengagumi ciptaan Tuhan. Di sana, di atas bintangbintang itu, jiwa-jiwa yang sangat dicintainya telah menanti. Ia bisa merasakan mereka sekarang, lebih dekat dari sebelumnya. Ia bisa merasakannya. “Kau akan terlaksana,” bisiknya pada langit malam. Perlahan, dengan mantap, perempuan tua itu membalikkan badan untuk kembali masuk. Sembari menghela napas panjang, ia mengamati kertas kasar itu. Matanya menyipit dalam remang dan buramnya cahaya lampu minyak. Diangkatnya pena, kemudian ia kembali menulis dengan hatihati. …Tahun demi tahun berlalu. Menuliskan Yudas hkariol ternyata tidak lebih mudah dibandingkan dulu. saat masa-nusa gelap. Bukan karena aku menilai buruk dainya, tapi justru karena aku tidak betparidangaii begitu. Aku akan menceritakan kisah tentang Yudas dan berharap bisa melakukannya dengan adil la seorang lelaki yang sangat teguh memegang prinsipnya. Mereka yang mengikuti kami harus tahu mi: ia tidak mengkhianati mmkaatau kamidemi sekantong perak. Sesungguhnya Yudas adalah yang pahng setia di antara yang dua belas. Begitu ban yak alasan bagiku untuk tersedih selama talttin-tahun belakangan. Namun hanya Satuyanglebili kutaigisi dibandingkan Yudas. Banyak orang yang ingin agar aku menuliskan Widas secara keji Agar aku mengutuknya sebagai seorang penipu, sebagai seorang pengkhianat, sebagal seorang yang buta akan kebenaran. Namun aku tidak sanggup, karena jika itu kulakukan makagoresanku di atas kertas hanyalah kebohongan belaka. Cukup sudah tulisan dusta tentang sejarah kami. Tuhan lelah menunjukkannya padaku. Aku tidak akan menulis lebih banyak lagi. Karena apalah tujuanku, jika bukan untuk menceritakan segala kebenaran tentang segala yang terjadi saat ito? INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA. KITAB PARA MURID Satu Marseille September 1997 Marseille adalah tempat yang indah untuk mati dan sudah seperti itu selama berabadabad. Pelabuhan kapalnya yang legendaris memiliki reputasi sebagai sarang bajak laut, penyelundup, dan pembunuh. Itulah status yang telah disandang kota tersebut sejak bangsa Roma merebutnya dari tangan Yunani di era sebelum Kristus. Pada akhir abad 20, usaha pemutihan yang dilakukan pemerintah Prancis akhirnya membuahkan hasil. Marseille menjadi tempat yang aman untuk menikmati bouillabaissei tanpa harus takut dirampok.
Tapi, tetap saja kejahatan bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi penduduk lokal. Kekacauan telah terpatri dalam sejarah dan genetika mereka. Para nelayan tak sedikit pun berkedip saat jaring mereka menangkap sesuatu yang tidak pantas untuk ditambahkan ke dalam sup ikan setempat. 1 Semacam kari yang setidaknya terbuat dari dua jenis ikan, biasanya lima atau enam, ditambah bawang dan sayuran. Roger-Bernard Gelis bukanlah penduduk asli Marseille. Ia lahir dan besar di kaki bukit Pyrenees, dalam suatu komunitas yang berbangga bisa bertahan sebagai bukti sejarah. Abad 20 belum merusak kebudayaannya yang mengagungkan kekuatan cinta dan perdamaian melebihi segala urusan duniawi. Namun, ia tetap lelaki paruh baya yang tidak sepenuhnya mengabaikan urusan duniawi. Bagaimanapun juga, dialah pemimpin kaumnya. Dan meski komunitasnya samasama bernaung dalam suatu kedamaian spiritual, tak urung mereka memiliki musuh. Roger-Bernard gemar berkata bahwa cahaya terindah mengundang kegelapan terkelam. Ia lelaki bertubuh raksasa. Sosoknya membuat orang orang yang belum mengenalnya merasa terancam. Mereka yang belum mengenal kelembutan jiwa Roger-Bernard barangkali akan keliru karena menyangka lelaki ini patut ditakuti. Namun belakangan terbukti bahwa orangorang yang menyerangnya bukanlah orangorang yang tidak mengenalnya. Seharusnya ia tahu peristiwa itu akan terjadi. Seharusnya ia sudah mengira bahwa ia tak akan bisa memiliki sesuatu yang tak ternilai harganya dengan begitu bebas. Bukankah hampir sejuta nenek moyangnya mati demi harta karun yang sama? Tapi tembakan itu datang dari belakang, memecahkan kepalanya, bahkan sebelum ia tahu musuhnya sudah dekat. Bukti forensik dari peluru terbukti tak ada gunanya bagi polisi, karena para pembunuh tidak menuntaskan perbuatan kotornya dengan sederhana. Kejahatan ini pasti dilakukan oleh beberapa orang. Karena melihat ukuran dan berat tubuh korban, dibutuhkan tenaga sangat besar untuk dapat menuntaskan tindakan selanjutnya. Untungnya Roger-Bernard sudah mati sebelum ritual dimulai. Jika tidak, ia akan mendengar caci maki para pembunuhnya selama mereka melaksanakan tugas yang mengerikan. Terutama sang pemimpin, terlihat sangat bersemangat dengan kejadian berikutnya. Ia melafazkan mantra kuno berisi kebencian sambil bekerja. “Neca eos omnes. Neca eos omnes.” Memenggal kepala manusia dari posisi tubuhnya semula adalah pekerjaan yang sangat kotor dan sulit. Diperlukan kekuatan, kegigihan, dan alat yang sangat tajam. Para pembunuh RogerBernard Gelis memiliki semua ini, dan mereka menggunakannya dengan sangat efisien. f Jasad itu sudah lama berada di laut, dihempas gelombang dan digerogoti penghunipenghuni laut yang lapar. Para penyidik putus asa melihat kondisi mayat yang sedemikian rusak sehingga mereka tidak mengetahui ada bagian dari salah satu tangan mayat yang hilang. Otopsi, yang kemudian
dikesampingkan pihak birokrasi dan barangkali juga yang lain hanya mencatat bahwa jari telunjuk sebelah kanan terputus. Yerusalem September 1997 Kota Tua di Yerusalem yang kuno dan ramai saat itu penuh dengan bermacam aktivitas Jumat siang. Sejarah terasa kental di udara yang tipis dan suci sementara para pemeluk agama bergegas menuju rumah-rumah ibadah sebagai persiapan Hari Sabat. Umat Kristen menelusuri Via Dolorosa, Jalan Penderitaan, seurutan jalan berliku dan berkerikil yang menandai jalur penyaliban. Di sinilah Yesus Kristus yang terluka dan berdarah mengemban beban berat, berjalan menuju sebuah takdir mulia di puncak bukit Golgotha. Di sore musim gugur ini, Maureen Paschal, seorang penulis dari Amerika, tampak tidak berbeda di antara para peziarah yang datang dari jauh dan berbagai pelosok bumi. Angin kuat bulan September memadukan aroma daging kambing panggang dengan harumnya minyak-minyak eksotis yang berembus dari pasar kuno. Maureen melintasi sensasi yang terlampau kental khas Israel, sambil mengempit buku panduan yang ia beli dari sebuah organisasi Kristiani di Internet. Buku itu melukiskan arah Jalan Salib, lengkap dengan peta dan petunjuk empat belas Posisi di jalan Kristus. “Nona, Anda mau rosari? Kayunya dari Gunung Zaitun.” “Nona, Anda mau pemandu wisata? Anda tak akan tersesat. Saya akan tunjukkan semuanya.” Seperti kebanyakan perempuan Barat lain, ia dipaksa menolak perhatian para pedagang jalanan Yerusalem yang tidak diharapkan. Sebagian di antara mereka sangat gigih menjajakan barang atau jasa. Sebagian lainnya sekadar merasa tertarik pada perempuan mungil berambut merah panjang dan berkulit pucat, sebuah kombinasi eksotis di belahan dunia yang tengah ia pijak. Maureen menampik para pengejarnya dengan ucapan “Tidak, terima kasih” yang sopan tapi tegas. Kemudian ia memutus kontak mata dengan penjaja itu dan berjalan menjauh. Sepupu lelakinya, Peter, seorang pakar kajian Timur Tengah, telah membekalinya pengetahuan tentang kebudayaan Kota Tua itu. Maureen sangat teliti, bahkan terhadap detail-detail terkecil pekerjaannya, dan ia telah mempelajari perkembangan kebudayaan Yerusalem dengan seksama. Sejauh ini, pengetahuan itu sangat bermanfaat. Dan Maureen bisa meminimalkan gangguan-gangguan sementara ia fokus ke risetnya, menulis berbagai keterangan dan hasil observasi di buku tulisnya yang bersampul kain tebal. Saking terharu, air matanya menitik saat menyaksikan kemegahan dan keindahan Kapel Fransiscan Pencambukan yang berumur 300 tahun. Di sanalah Yesus menjalani hukuman cambuk. Reaksi emosional ini sangat tidak terduga karena Maureen datang ke Yerusalem bukan sebagai seorang peziarah. Ia datang sebagai seorang pengamat investigatif, sebagai seorang penulis yang mencari latar belakang sejarah yang akurat untuk pekerjaannya. Meskipun Maureen berusaha mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang kejadiankejadian seputar Jumat Agung, ia melakukan riset ini lebih dengan akalnya ketimbang dengan hatinya. Ia mengunjungi Biara Suster Sion, sebelum melanjutkan ke Kapel Hukuman di sebelahnya. Di kapel yang bersejarah itulah Yesus menerima salib setelah hukuman penyaliban diputuskan oleh Pontius Pilatus. Sekali lagi, tanpa ia sangka-sangka, tenggorokannya terasa tercekat seiring perasaan sedih yang sangat saat ia berjalan melewati gedung itu. Patung-patung berukuran seperti aslinya menggambarkan kejadiankejadian di pagi yang mengerikan, 2000 tahun lalu. Maureen
berdiri, terkesima, melihat adegan dalam gambar yang begitu gamblang dan menyentuh peri kemanusiaan: seorang murid lelaki berusaha melindungi Maria, ibunda Yesus, agar ia tidak menyaksikan pemandangan anaknya sedang mengemban salibNya. Air mata menggenang di balik mata Maureen ketika berdiri di hadapan gambar itu. Seumur hidup, itulah kali pertama terpikir olehnya bahwa figur-figur bersejarah ini adalah manusia yang nyata, semua itu adalah penderitaan riil manusia akibat peristiwa yang pedihnya nyaris tak terbayangkan. Merasa tibatiba pusing, Maureen menyeimbangkan diri dengan menopangkan sebelah tangannya ke dinding batu kuno yang dingin. Ia berhenti sejenak untuk mengembalikan konsentrasinya sebelum melanjutkan catatan tentang barangbarang seni dan patung. Ia melanjutkan perjalanan, tetapi jalanjalan yang seperti labirin di Kota Tua itu ternyata mengelabui. Meskipun di tangannya ada sebuah peta yang sangat jelas. Bangunanbangunan penting di sana umumnya sudah tua, rusak termakan cuaca, dan mudah luput dari penglihatan orang yang belum mengenal wilayah ini. Maureen mengumpat pelan saat sadar bahwa ia tersesat lagi. Ia bernaung di depan pintu sebuah toko, berusaha menghindari sinar matahari langsung. Panas yang menyengat, meski dengan semilir angin, mengisyaratkan bahwa musim ini berlangsung lebih lama. Sambil berlindung di balik buku panduan, ia melihat ke sekeliling, mencoba menentukan arah tujuannya. “Posisi Salib Kedelapan. Pasti di sekitar sini,” gumamnya dalam hati. Lokasi ini sangat menarik bagi Maureen yang tengah meneliti sejarah yang bertalian dengan perempuan. Setelah merujuk buku panduan, ia kembali membaca sebuah paragraf tentang Posisi Kedelapan dari Injil. “Banyak orang mengikutinya, termasuk perempuan perempuan yang berduka dan menangisinya. Yesus berkata, ‘Jangan tangisi aku, anakanak perempuan Yerusalem, menangislah untuk dirimu sendiri dan untuk anak-anakmu.1” Maureen dikejutkan oleh sebuah ketukan keras pada jendela di belakangnya. Ia menengok, mengira akan melihat sang empunya memelototkan mata dengan marah karena ia menghalangi jalan masuk ke tokonya. Tapi yang ia lihat adalah wajah yang menatapnya dengan ceria. Seorang lelaki Palestina berusia paruh baya yang berpakaian rapi, membuka pintu toko barang antik itu, mengajaknya masuk. Ia berbicara dalam bahasa Inggris yang baik, meski beraksen. “Mari, silakan masuk. Selamat datang, saya Mahmoud. Apakah Anda tersesat?” Maureen mengibaskan buku panduannya dengan loyo. “Saya sedang mencari Posisi Kedelapan. Peta menunjukkan…” Mahmoud mengesampingkan buku itu sambil tertawa. “Ya, ya. Posisi Kedelapan. Yesus Bertemu Perempuan perempuan Suci Yerusalem. Letaknya di sebelah sini, di sekitar sudut itu,” tunjuknya. “Tandanya adalah sebuah salib di bagian atas dinding batu, tapi Anda harus melihat dengan teliti.” Mahmoud memerhatikan Maureen dengan seksama beberapa saat sebelum melanjutkan. “Sama seperti semua yang lainnya di Yerusalem. Anda harus teliti melihat agar Anda menemukan tempat yang Anda cari.”
Maureen mengamati gerakgerik lelaki itu. Ia puas karena Maureen memahami petunjuk-petunjuk yang ia berikan. Sambil tersenyum, Mauren berterima kasih dan berbalik akan pergi. Namun langkahnya terhenti karena sesuatu di rak yang berdiri di dekatnya menarik perhatiannya. Toko milik Mahmoud termasuk yang berkelas di Yerusalem. Berbagai barang antik yang dijamin keasliannya, dijual di sana. Di antaranya lampu minyak dari zaman Kristus dan uang logam berlambang Pontius Pilatus. Suatu kilauan warna indah yang menembus jendela menarik perhatian Maureen. “Itu perhiasan yang terbuat dari pecahan kaca Romawi,” jelas Mahmoud sementara Maureen mendekati rak yang memajang perhiasan perak dan emas berhiaskan batu permata. “Cantik sekali,” jawab Maureen sambil mengangkat sebuah kalung perak. Aneka warna menembus keluar toko saat ia menghadapkan perhiasan itu ke cahaya, menyinari imajinasinya sebagai seorang penulis. “Kira-kira, ada kisah apa di balik kaca ini?” “Siapa yang tahu, benda apa ia dulunya?” Mahmud mengangkat bahu. “Botol parfum? Toples bumbu? Pot bunga mawar atau lili?” “Kalau dipikir-pikir, sungguh mengagumkan bahwa dua ribu tahun yang lalu ini adalah benda sehari-hari yang terdapat di rumah seseorang. Mengagumkan.” Setelah mengamati toko dan isinya dengan lebih cermat, Maureen takjub dengan kualitas dan keindahan benda-benda yang dipajang. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah lampu minyak keramik. “Benarkah benda ini berumur dua ribu tahun?” “Tentu saja. Sebagian barang dagangan saya bahkan lebih tua lagi.” Maureen menggelengkan kepala. “Bukankah barang antik seperti ini seharusnya berada di museum?” Mahmoud tertawa, suaranya keras dan berat. “Sayangku, seluruh Yerusalem adalah museum. Anda tidak pernah bisa menggali halaman rumah tanpa menemukan sesuatu yang antik. Kebanyakan benda yang benarbenar berharga menjadi bagian koleksi penting. Tapi tidak semuanya.” Maureen menghampiri sebuah lemari kaca yang penuh dengan perhiasan tembaga kuno yang ditempa dan dioksidasi. Ia berhenti. Perhatiannya tertuju pada sebuah cincin yang menyangga sebuah lempengan seukuran koin kecil. Mengikuti arah pandangannya, Mahmoud mengambil cincin itu dari lemari, menyodorkannya ke Maureen. Seberkas cahaya matahari dari jendela depan menerpa cincin itu, menyinari dasarnya yang bundar dan memamerkan suatu pola berupa patrian sembilan titik mengelilingi sebuah lingkaran di tengah. “Pilihan yang sangat menarik,” kata Mahmoud. Sifat gemar bercandanya langsung berubah. Sekarang ia tegang dan serius, mengamati Maureen dengan seksama sementara gadis itu bertanya tentang cincin itu. “Berapa umurnya?” “Sulit dipastikan. Sumber ahli saya mengatakan bahwa benda ini berasal dari zaman Bizantium, barangkali abad 6 atau 7, tapi barangkali lebih tua lagi.” Maureen mengamati pola lingkaran-lingkaran itu lebih dekat. “Pola ini sepertinya…tidak asing. Rasanya saya pernah melihatnya sebelum ini. Tahukah Anda, simbol apakah ini?”
Ketegangan Mahmoud berkurang. “Saya tidak dapat mengatakan dengan pasti apa tujuan kreasi seorang seniman pada seribu lima ratus tahun lalu. Tapi seseorang pernah bercerita bahwa itu adalah cincin seorang kosmolog.” “Seorang kosmolog?” “Seorang yang mengerti hubungan bumi dengan kosmos. Karena sebagaimana di atas, begitu juga di bawah. Dan harus saya akui, saat pertama kali melihat, cincin itu mengingatkan saya pada planet-planet yang menari-nari mengelilingi matahari.” Maureen menghitung titik-titik itu dengar suara keras. “Tujuh, delapan, sembilan. Tapi di masa itu, tidak mungkin orang sudah tahu bahwa ada sembilan planet, atau bahwa matahari pusat tata surya. Mustahil, bukan?” “Kita tidak bisa berasumsi bahwa kita tahu apa yang dimengerti oleh orangorang zaman dulu.” Mahmoud mengangkat bahu. “Coba saja.” Mencium trik penjualan tengah dilancarkan, Maureen mengembalikan cincin itu ke tangan Mahmoud. “Oh, tidak, terima kasih. Cincin itu memang indah sekali, tapi tadi saya hanya ingin tahu. Dan saya sudah bertekad tak akan berbelanja hari ini.” “Tidak apa-apa,” kata Mahmoud, besikeras tidak mau mengambil kembali cincin itu dari Maureen. “Karena cincin ini memang tidak dijual.” “Tidak dijual?” “Tidak. Sudah banyak orang yang menawar. Tapi saya tidak mau menjualnya. Jadi Anda bebas mencobanya. Sekadar iseng saja.” Barangkali karena nada bicaranya yang berkelakar, Maureen tidak merasa terbebani. Atau mungkin juga karena ia terpikat pola kuno di cincin yang masih misterius. Yang jelas, sesuatu membuat Maureen mau memasangkan cincin tembaga itu ke jari manis kanannya. Ternyata pas sekali. Mahmoud mengangguk, kembali serius, berbisik ke dirinya sendiri, “Seolah cincin itu memang diciptakan untukmu.” Maureen mengangkat cincin itu ke cahaya, mengamatinya di tangannya. “Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari perhiasan ini.” “Karena memang seharusnya kau memilikinya.” Maureen mengangkat kepalanya dengan perasaan curiga, kembali mencium trik penjualan. Mahmoud boleh jadi lebih elegan dibandingkan pedagang jalanan. Namun ia tetap seorang pedagang. “Saya pikir tadi Anda mengatakan cincin ini tidak dijual.” Maureen hendak melepas cincin itu. Perbuatannya itu sangat ditentang oleh sang pemilik toko, ia mengangkat tangannya, tanda protes. “Jangan. Saya mohon.”
“Oke, oke. Sekarang kita tawar menawar, bukan? Berapa harganya?” Mahmoud terlihat sangat tersinggung sebelum menjawab, “Anda salah paham. Cincin itu dipercayakan pada saya, sampai saya menemukan tangan yang pantas untuk mengenakannya. Tangan yang menjadi tujuan benda ini diciptakan. Sekarang saya menyaksikan sendiri bahwa tangan itu adalah tangan Anda. Saya tidak bisa menjualnya kepada Anda karena perhiasan itu memang milik Anda.” Maureen menunduk melihat ke cincin, lalu mendongak kembali ke Mahmoud, bingung. “Saya tidak mengerti.” Mahmoud tersenyum bijak, dan bergerak menuju pintu depan toko. “Tidak, sekarang Anda tidak mengerti. Tapi satu hari nanti Anda akan mengerti. Sekarang, simpan saja cincin itu. Sebagai hadiah.” “Saya tidak bisa …” “Anda bisa dan Anda akan menerimanya. Anda harus menerima. Kalau tidak, berarti saya telah gagal. Anda tentu tidak menginginkannya.” Maureen menggelengkan kepala dengan bingung sambil berjalan mengikuti Mahmoud ke pintu depan. Kemudian ia berhenti. “Saya benarbenar tidak tahu harus berkata apa, atau bagaimana harus berterima kasih kepada Anda.” “Tidak perlu, tidak perlu. Tapi sekarang Anda harus pergi. Misteri-misteri Yerusalem menunggu Anda.” Mahmoud membukakan pintu dan Maureen melangkah keluar. Ia berterima kasih lagi. “Selamat berpisah, Magdalena,” bisik Mahmoud saat Maureen berjalan keluar. Maureen berhenti, segera berbalik kepadanya. “Maaf?” Mahmoud tersenyum bijak dan misterius. “Saya bilang selamat berpisah, yang mulia.” Dan ia melambaikan tangan ke Maureen yang balas melambai sambil sekali lagi melangkah keluar, berjalan di bawah teriknya matahari Timur Tengah. f Maureen kembali ke Via Dolorosa. Di sana ia menemukan Posisi Kedelapan, seperti yang ditunjukkan Mahmoud. Tapi ia gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi karena merasa aneh setelah pertemuannya dengan sang pemilik toko. Saat kembali meneruskan perjalanan, rasa pusing yang sebelumnya melanda, datang lagi. Kali ini lebih kuat, sampai-sampai ia limbung. Ini hari pertamanya di Yerusalem, tentu ia tengah mengalami jet lag. Penerbangan dari Los Angeles sangat lama dan melelahkan, ia tidak cukup tidur semalam sebelumnya. Entah karena kombinasi panas, kelelahan, dan kelaparan, ataukah sesuatu yang lain yang tak dapat dijelaskan, namun kejadian berikutnya sungguh di luar dugaan. Setelah menemukan sebuah batu besar, Maureen duduk untuk beristirahat. Namun ia
kembali dihantam serangan pusing seiring kilatan cahaya menyilaukan yang berpijar dari matahari yang tak kenal lelah, yang mengantarkan pikirannya ke suatu tempat. Tibatiba ia berada di tengah sebuah kerusuhan. Sekelilingnya kacau balau. Orangorang menjerit dan dorong mendorong, kericuhan di segala penjuru. Namun Maureen masih cukup memiliki kecerdasan modernnya untuk menyadari bahwa badanbadan yang berlalu lalang itu memakai pakaian kasar yang dijahit sendiri. Alas kaki mereka adalah sandal yang sangat sederhana. Maureen melihatnya ketika salah seorang di antara mereka menginjak kakinya dengan keras. Kebanyakan adalah lelaki, berjanggut dan kotor. Teriknya matahari sore menimpa tubuh mereka, bercampur dengan keringat dan debu di wajahwajah yang marah dan tersiksa di sekitarnya. Ia sedang berada di pinggir sebuah jalan sempit ketika suatu gerombolan di depan mulai saling mendorong dengan kuat. Lalu terciptalah sebuah jalur kosong, dan sebuah kelompok kecil perlahan bergerak mengikuti jalan. Kerusuhan itu tampaknya mengikuti kelompok ini. Ketika kerumunan itu bergerak mendekat, Maureen melihat perempuan itu untuk pertama kalinya. Sebuah wujud sendiri dan tenang di tengah keru— sunan. Ia adalah satu di antara sedikit perempuan dalam keramaian itu. Namun bukan itu yang membuatnya berbeda. Akan tetapi pembawaan dirinya, suatu sifat keagungan yang menandakan bahwa ia adalah seorang ratu, meskipun tangan dan kakinya penuh debu. Ia tampak sedikit lusuh, seuntai rambut tebal warna merah kecokelatan terselip di bawah selubung merah yang menutupi paruh bawah wajahnya. Secara naluriah Maureen tahu bahwa ia harus menghampiri perempuan ini. Bahwa ia perlu berhubungan dengannya, menyentuhnya, berbicara dengannya. Tapi arak-arakan itu menghalanginya, dan ia berjalan dengan gerak lambat dalam mimpinya yang pekat. Sambil terus berusaha bergerak menuju perempuan itu, Maureen terpesona oleh keelokan wajah yang tak mampu ia gapai. Perawakan perempuan itu sungguh anggun, dengan bagianbagian wajah yang cantik lagi menawan. Tapi matanyalah yang merasuk perasaan Maureen, lama setelah visi itu usai. Mata perempuan itu besar dan terang dengan air mata yang tak terhapus, memantulkan warna antara cokelat kekuningan dan hijau keabu-abuan. Sungguh suatu warna cokelat kehijauan luar biasa yang menggambarkan kebijakan tak berbatas dan kesedihan tak terhingga dalam satu campuran yang mengiris hati. Tatapan mata perempuan itu yang menyentuh jiwa beradu dengan tatapan Maureen, untuk sesaat dan selamanya. Tersirat dari tatapan itu sebuah pernyataan keputusasaan. Kau harus menolongku. Maureen tahu bahwa pernyataan itu ditujukan kepadanya. Ia terkesima, kelu, ketika matanya bertemu dengan mata perempuan itu. Momen itu terpecah ketika tibatiba tatapan perempuan itu beralih ke seorang anak perempuan yang menarik kuat tangannya. Anak itu mendongak dengan mata besarnya yang hijau keabuan, serupa dengan mata ibunya. Dibela-kangnya berdiri seorang anak lelaki, lebih besar dan dengan warna mata yang lebih gelap dibandingkan anak perempuan itu. Namun jelas, ia putra perempuan itu. Saat itu juga Maureen tahu bahwa ia adalah satusatunya orang yang dapat menolong ratu yang asing dan menderita ini beserta anakanaknya. Perasaan sangat bingung, dan kesedihan, merasuki hatinya ketika ia menyadari hal ini. Kemudian kerusuhan kembali bergolak, menenggelamkan Maureen dalam lautan keringat dan kesedihan.
f Maureen rnengerjapkan matanya dengan keras, dirapat-kannya kelopak matanya kuatkuat selama beberapa detik. Lalu ia menggelenggelengkan kepalanya dengan cepat untuk menjernihkan penglihatannya. Sejenak ia tidak yakin sedang berada di mana. Melihat sekilas ke celana jeans, tas punggung dari bahan mikrofiber, dan sepatu jalan Nikenya membuatnya yakin bahwa ia berada di abad dua puluh. Kesibukan Kota Lama di sekelilingnya berlanjut. Namun sekarang orangorang terlihat berpakaian model kontemporer dan suarasuara yang terdengar pun berbeda. Radio Yordan mengumandangkan lagu pop Amerika dari sebuah toko di seberang jalan bukankah itu “Losing My Religion”nya R.E.M.? Seorang anak muda Palestina mengikuti ketukan irama lagu itu dengan menggendang di atas meja. Ia tersenyum pada Maureen sambil terus menggendang. Beranjak dari bangku batu, Maureen berusaha mengenyahkan visinya. Kalau pun itu sebuah visi. Ia tidak yakin, apa yang baru saja ia alami, tapi juga tidak bisa membiarkan dirinya terlarut di dalamnya. Waktunya di Yerusalem terbatas dan ada 2000 tahun pemandangan yang harus ia lihat. Sembari mengerahkan kedisiplinan penulisnya dan pengalaman seumur hidupnya dalam memendam emosi, Maureen menyimpan visi itu sebagai “riset untuk analisis selanjutnya” dan mendorong dirinya sendiri untuk terus berjalan. Akhirnya, secara tidak sengaja Maureen tergabung dengan sekumpulan pelancong Inggris saat mereka berbelok di tikungan. Rombongan itu dipimpin seorang pemandu yang mengenakan kerah pendeta Anglikan. Ia mengumumkan kepada kelompok peziarah itu bahwa mereka sedang mendekati lokasi suci umat Kristiani, Basilika Makam Suci. Dari risetnya Maureen tahu bahwa Posisi-posisi Salib selebihnya berada di dalam gedung yang diagungkan itu. Dengan luas beberapa blok, basilika itu mencakup tempat penyaliban dan telah seperti itu sejak Permaisuri Helena bersumpah melindungi tanah suci ini di abad ke-4. Berkat usaha-usahanya itu, Helena, yang juga ibunda Kaisar Romawi Konstantin, kemudian ditahbiskan sebagai orang suci. Perlahan dan ragu-ragu, Maureen menghampiri pintu masuk yang sangat besar. Ketika berdiri di ambang pintu, ia sadar bahwa sudah bertahuntahun ia tidak menginjakkan kaki ke gereja. Betapapun, ia tidak berpikir untuk mengubah status itu sekarang. Dengan tegas ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa riset yang membawanya ke Israel bersifat akademis, bukan spiritual. Selama ia tetap fokus dengan pandangan itu, ia mampu melakukannya. Ia mampu melangkah melewati pintu itu. Terlepas dari keengganannya, Maureen tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang sungguh magnetis dan membangkitkan decak kagum dalam tempat ibadah yang luar biasa besar ini. Saat melewati pintu besar itu, ia mendengar sang pendeta Inggris berkata: “Di antara dinding-dinding ini, Anda akan melihat tempat Juru Selamat kita melakukan pengorbanan terbesar. Tempat jubahNya dicampakkan, tempat Ia dipaku ke salib. Anda akan memasuki Posisi suci tempat raga-Nya dikebumikan. Saudarasaudaraku dalam Kristus, sekali Anda memasuki tempat ini, hidup Anda tak akan sama.” f Aroma dupa yang khas dan menyengat berembus menerpa Maureen begitu ia masuk. Peziarah dari segala jenis Kristiani memenuhi tempat ini dan memenuhi area luas
di dalam basilika. Maureen melewati sekelompok pendeta Kupti yang tengah berdiskusi dengan suara pelan dan sopan. Dan ia melihat seorang rohaniwan Yunani Ortodoks menyalakan sebuah lilin di salah satu kapel kecil. Paduan suara pria menyanyi dalam dialek Timur yang eksotis bagi telinga orang Barat. Himne itu bersumber dari suatu tempat tersembunyi di dalam gereja. Maureen sedang menikmati bermacam pemandangan dan suara di tempat ini, merasa agak linglung dengan begitu banyaknya kesan yang menerpa. Ia tidak melihat lelaki kurus kecil hadir di sebelahnya sampai lelaki itu menepuk pundaknya, membuatnya terkejut. “Maaf, Nona. Maaf, Nona Mo-ree.” Lelaki itu berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi tidak seperti Mahmoud, si pemilik toko yang penuh teka-teki, aksen lelaki ini sangat kentara. Keahliannya berbahasa Inggris paling banter sebatas dasar. Karena itulah pada awalnya Maureen tidak mengerti bahwa lelaki itu sedang memanggil namanya. Ia mengulangi lagi. “Mo-ree. Nama Anda. Mo-ree, benar?” Maureen bingung, mencoba memastikan bahwa lelaki kecil aneh ini benarbenar memanggil namanya dan, kalau begitu, bagaimana ia bisa tahu. Keberadaan Maureen di Yerusalem belum lagi dua puluh empat jam. Dan tidak ada orang selain petugas resepsionis Hotel King David yang tahu namanya. Tapi lelaki ini tidak sabar, ia bertanya kembali. “Mo-ree. Anda Mo-ree. Penulis. Anda menulis, benar? Moree?” Mengangguk perlahan, Maureen menjawab. “Ya. Namaku Maureen. Tapi bagaimana Anda bisa tahu?” Mengabaikan pertanyaan Maureen, lelaki itu menggamit tangannya dan menariknya untuk melintasi lantai gereja. “Tidak ada waktu, tidak ada waktu. Mari. Kami sudah lama menunggu. Mari, mari.” Untuk seorang lelaki bertubuh kecil ia lebih pendek dibandingkan Maureen, yang memang sudah termasuk mungil gerakannya sangat cepat. Kaki-kaki pendek membawanya melesat melintasi bagian tengah basilika, melewati antrean tempat para peziarah menunggu giliran diberi izin masuk ke Posisi Kristus. Ia tetap melesat dan mendadak berhenti saat mereka sampai di sebuah altar kecil, dekat bagian belakang gedung. Daerah itu didominasi sebuah patung seorang perempuan seukuran asli yang menjulurkan tangannya ke seorang lelaki dalam posisi memohon. “Kapel Maria Magdalena. Magdalena. Anda datang untuknya, benar? Benar?” Maureen mengangguk dengan hatihati, matanya menatap ke patung itu kemudian ke plakat di bawahnya yang bertuliskan: DI TEMPAT INI, MARIA MAGDALENA ADALAH ORANG PERTAMA YANG MENYAKSIKAN KEBANGKITAN RAJA Ia membaca keraskeras tulisan pada plakat lain di bawah patung itu: “Perempuan, mengapa kau menangis? Siapa yang kau cari?” Maureen tidak punya banyak waktu untuk mencerna pertanyaan itu karena lelaki kecil yang aneh itu menariknya kembali untuk menuju sudut gelap lain di basilika itu, dengan langkah-langkah cepatnya yang aneh untuk lelaki seperti dia. “Ayo, ayo.” Mereka mengitari sebuah sudut dan berhenti di depan lukisan besar dan tua,
potret seorang perempuan. Waktu, dupa, dan sisa lilin yang berminyak yang berusia ratusan tahun telah merusak barang seni itu, sehingga Maureen mesti mendekati potret gelap itu, menyipitkan mata. Lelaki kecil itu bercerita dengan suara yang sangat serius. “Lukisan sangat tua. Yunani. Kau mengerti? Yunani. Paling penting bagi Maria. Dia membutuhkanmu untuk menceritakan kisahnya. Itu sebabnya kau datang ke sini, Moree. Kami telah lama menunggumu. Ia telah menunggu. Untukmu. Benar?” Maureen mencermati lukisan itu, sebuah potret gelap, kuno, menggambarkan seorang perempuan yang mengenakan jubah merah. Ia menengok ke lelaki kecil itu, merasa sangat penasaran, ke mana arah semua pembicaraan ini. Tapi lelaki itu telah pergi ia menghilang secepat ia datang. “Tunggu!” Teriakan Maureen yang nyaring menggema dalam ruang gereja besar itu, tapi tetap tak terjawab. Ia kembali memerhatikan lukisan itu. Saat Maureen menyorongkan tubuhnya agar lebih dekat ke potret itu, ia melihat bahwa perempuan dalam lukisan itu mengenakan sebuah cincin di tangan kanannya: sebuah lempeng tembaga berbentuk bulat, dengan pola sembilan lingkaran mengelilingi bulatan di tengah. Maureen mengangkat tangan kanannya, tangan dengan cincin baru, untuk membandingkannya dengan lukisan itu. Kedua cincin itu sama persis. … Banyak yang akan dikatakan dan ditulis pada waktu yang akan datang tentang Simon, sang Nelayan. Tentang mengapa ia dipanggil dengan nama Petrus. sang batu. oleh Easa dan oleh diriku sendiri sententara orangorang memanggilnya Cephas, panggilan dalam bahasa mereka sendiri. Dan seandainya sejarali itu adil. ia akan bercerita tentang betapa Simon mencintai Easa dengan kekuatan dan kesetiaan yang tak tertandingi. Dan banyak sudah cerita, atau kabaryang sampaikepadaku, tentang hubunganku sendiri dengan Simon-Petrus. Ada yang \ta menjuluki kami pesaing, musuh Mereka ingin percaya bah Petrus membenciku dan kami bersaing di setiap kesempatan untuk memperoleh perhatian Easa. Adapula yang menjuluki Petrussebagai seorang pembenci perempuantapi tuduhan ini tidak pantas ditujukan kepada seorang pun pengikut Easa. Harap diketahui bahwa tidak ada satu pun pengikut Easa yang pernah mengecilkan seorang perempuan atau meremehkan nilainya dalam rencana Tuhan. Siapa pun lelaki yang melakukannya dan mengaku Easa sebagai gurunya adalah pembohong. Tuduhan-tuduhan terhadap fbtius tidaklah benar. Mereka yang menyaksikan pencelaan fctrus terhadapku tidak tahu sejarah kami atau dari mana amarahnya berasal. Tapi aku mengerti dan tidak akan pernah menghakiminya. Melebihi segala yang lain. inilah yang diajarkan Easa kepadakudan aku berharap ia ajarkan pub kepada yang lain Jangan menghakimi. INJIL ARQUES MARIA MACDALENA KITAB PARA MURID Dua Los Angeles Oktober 2QQ4 “Mari mulai dari awal: Marie Antoinette tidak pernah berkata, ‘Biarkan mereka makan kue,’ Lucrezia Borgia tidak pernah meracuni siapa pun, dan Mary, Ratu Skotlandia, bukan seorang pelacur berjiwa pembunuh. Meluruskan kesalahan-
kesalahan ini adalah langkah pertama kita untuk mengembalikan wanitawanita itu ke tempat yang pantas dan terhormat dalam sejarah tempat yang telah diambil alih oleh bergenerasi-generasi sejarawan dengan agenda politik tertentu.” Maureen berhenti sejenak saat desas-desus tanda persetujuan pecah di antara para pelajar dewasa. Ber bicara ke sejumlah mahasiswa baru sama seperti malam pembukaan di teater. Kesuksesan pertunjukan pertama menentukan efek keseluruhan proyek. “Selama beberapa minggu ke depan, kita akan menganalisis kehidupan beberapa perempuan paling terkenal, baik dalam sejarah maupun legenda. Perempuanperempuan dengan kisah yang meninggalkan jejak permanen dalam evolusi kehidupan dan pemikiran modern. Perempuanperempuan yang telah sangat disalahartikan dan diwakilkan secara buruk oleh mereka yang telah mem bentuk sejarah dunia Barat dengan menuliskan opiniopini mereka di kertas.” Ia sedang berapi-api dan enggan berhenti karena pertanyaan yang begitu dini diajukan. Namun seorang mahasiswa lelaki dari baris depan telah melambaikan tangan sejak awal ia berbicara. Kelihatannya lelaki itu seperti akan melompat keluar dari kulitnya. Tapi selain itu, tidak ada yang istimewa dari penampilannya. Kawan atau lawan? Penggemar atau fundamentalis? Itu selalu menjadi pertanyaan. Maureen memanggilnya, tahu bahwa lelaki itu akan terus mengganggu sampai ia meladeninya. “Apakah Anda menganggap penjelasan tadi sebagai pandangan feminis terhadap sejarah?” Hanya itu saja? Maureen merasa sedikit lega dan ia menjawab pertanyaan yang rutin diajukan itu. “Saya menganggapnya sebuah pandangan jujur terhadap sejarah. Saya tidak memiliki tujuan apa pun selain memperoleh kebenaran.” Namun ia belum lagi lolos dari perangkap. “Bagi saya, kesannya seperti serangan terhadap kaum lelaki.” “Sama sekali tidak. Saya suka laki-laki. Saya pikir setiap perempuan harus memiliki seorang laki-laki.” Maureen berhenti sejenak untuk membiarkan para mahasiswi tertawa. “Saya bercanda. Tujuan saya tak lain untuk mengembalikan persoalan ke posisi seimbang lewat cara pandang modern terhadap sejarah. Apakah Anda menjalani hidup dengan cara yang sama seperti orang orang yang hidup seribu enam ratus tahun lalu? Tidak. Jadi mengapa cara hidup kita di abad 21 ini mesti diatur oleh hukum, kepercayaan, dan pemaknaan sejarah yang diputuskan pada Era Kegelapan? Ini tidak masuk akal.” Mahasiswa itu menjawab. “Justru itu sebabnya saya berada di sini. Untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi.” “Bagus. Kalau begitu saya mendukung Anda untuk berada di sini. Saya hanya meminta Anda untuk tetap berpikiran terbuka. Bahkan saya ingin kalian semua menghentikan apa pun yang sedang kalian lakukan, angkat tangan kanan kalian, dan lafazkan sumpah berikut.” Kelompok mahasiswa malam itu berbisik-bisik lagi dan melihat ke sekeliling ruangan, sambil tersenyum dan saling mengangkat bahu, untuk memastikan apakah dosen mereka serius. Sang dosen, seorang penulis terlaris dan jurnalis terhormat, berdiri di depan mereka dengan tangan kanan diangkat dan ekspresi
wajah menunggu. “Ayo,” katanya besikeras. “Tangan di atas, dan ikuti ucapan saya.” Seluruh isi kelas mengikuti, mereka mengangkat tangan dan menunggu aba-aba. “Saya setulusnya berjanji, sebagai seorang pelajar sejarah sejati…” Maureen berhenti sejenak sementara para pelajar mengikuti dengan patuh, “untuk mengingat sepanjang waktu bahwa semua katakata yang tertulis di kertas adalah tulisan manusia.” Ia berhenti sekali lagi sementara para mahasiswa mengulangi ucapannya dengan patuh. “Dan, karena semua manusia dikuasai oleh emosi, pendapat, dan ikatan politik serta agama, maka seluruh sejarah terdiri dari pendapat sebagaimana juga fakta dan umumnya telah direkayasa agar sejalan dengan ambisi pribadi atau tujuan tersembunyi sang penulis. “Saya setulusnya berjanji untuk tetap berpikiran terbuka setiap saya berada di ruangan ini. Inilah semboyan kami: Sejarah bukan sesuatu yang telah terjadi. Sejarah adalah sesuatu yang dituliskan.” Ia mengangkat sebuah buku bersampul tebal dari podium di depannya dan menunjukkannya kepada kelas. “Apakah kalian sudah memiliki buku ini?” Anggukan kepala dan gumaman mengiakan menyertai pertanyaan itu. Buku di tangan Maureen adalah buku kontroversial ciptaannya sendiri. Judulnya Her Story: A Defense of History’s Most Hated Heroins (Kisahnya: Sebuah Pembelaan terhadap Perempuan Pahlawan yang Paling Dibenci Sepanjang Sejarah). Inilah alasan mengapa ia mengisi penuh kelas-kelas malam dan ruangan-ruangan kuliah setiap kali ia memutuskan untuk mengajar. “Malam ini, kita akan mulai dengan sebuah diskusi mengenai perempuan dalam Perjanjian Lama, leluhur leluhur perempuan dalam tradisi Kristiani dan Yahudi. Minggu depan kita akan berpindah ke Perjanjian Baru. Kebanyakan sesi tersebut akan kita gunakan untuk membahas seorang perempuan Maria Magdalena. Kita akan menganalisis berbagai sumber dan materi mengenai kehidupannya, baik sebagai seorang perempuan maupun sebagai seorang murid Kristus. Bacalah bab-bab yang bersangkutan dengan topik ini sebagai persiapan diskusi minggu depan. “Kita juga akan kedatangan seorang tamu khusus, Dr. Peter Healy. Barangkali sebagian di antara kalian yang mengikuti program tambahan kuliah humaniora sudah mengenalnya. Bagi kalian yang belum mendapat kesempatan mengikuti kuliah dari doktor yang baik ini, ia juga dikenal sebagai Bapa Healy, seorang cendekiawan Yesuit dan pakar studi Alkitab kaliber internasional.” Pelajar yang gigih di baris depan tadi mengangkat tangan lagi, tanpa menunggu Maureen mempersilakan untuk bertanya, “Bukankah Anda memiliki hubungan keluarga dengan Doktor Healy?” Maureen mengangguk. “Doktor Healy adalah sepupu saya. “Ia akan menyampaikan perspektif Gereja tentang hubungan Maria Magdalena dengan Kristus dan mengungkapkan bagaimana perkembangan pandangan seputar isu ini selama dua ribu tahun,” lanjut Maureen dengan perasaan gelisah karena ingin segera kembali ke mata kuliahnya agar selesai tepat waktu. “Akan menjadi malam yang menarik, jadi jangan sampai tidak datang. “Tapi malam ini, kita akan memulai dengan salah seorang di antara sekian banyak ibu yang menjadi leluhur kita. Ketika pertama kita bertemu Bathsheba, ia sedang ‘menyucikan dirinya dari
kenistaan…’” f Maureen bergegas keluar dari ruang kuliah sembari memohon maaf dan berjanji bahwa minggu depan ia akan meluangkan waktu setelah kelas usai. Biasanya ia menambahkan waktu sekitar setengah jam untuk berbincang-bincang dengan sejumlah mahasiswa yang pasti tetap tinggal dalam ruangan setelah sesi kuliah berakhir. Ia sangat menyukai saat kebersamaan dengan murid-murid seperti ini. Malah mungkin lebih suka dibandingkan saat ia menyampaikan kuliah itu sendiri. Karena mereka yang tetap tinggal usai sesi, tentulah para peminat mata kuliahnya. Para mahasiswa seperti inilah yang membuatnya terus mengajar. Ia tentunya tidak membutuhkan bayaran kecil yang diperoleh dengan mengajar di sekolah malam. Maureen mengajar karena menyukai hubungan dan stimulasi yang diperoleh ketika ia berbagi teoriteori yang diketahuinya dengan orang lain yang antusias dan berpikiran terbuka. Ketukan hak sepatu di jalan menciptakan irama. Maureen mempercepat langkahnya, melewati jalanjalan berpagar pohon di kampus utara. Ia sangat berharap Peter belum pergi. Maureen menyesali gaya berpakaiannya, seandainya saja ia mengenakan sepatu yang lebih cocok untuk berlari agar sampai di kantor Peter sebelum ia pergi. Seperti biasanya, Maureen berpakaian sangat rapi. Sama seperti terhadap berbagai aspek kehidupannya, ia sangat berhati-hati memilih busana. Baju resmi berpotongan sempurna karya seorang perancang itu sangat pas di badannya yang mungil. Dan warna pepohonan yang ia kenakan semakin menonjolkan matanya yang hijau. Sepasang sepatu tinggi Manolo Blahnik menambah sedikit gaya pada pakaiannya yang jika tidak terkesan konservatif, selain menambah tinggi untuk badannya yang hanya setinggi satu setengah meter. Namun sepatu Manolo inilah yang menjadi sumber frustrasinya. Terpikir olehnya untuk melempar saja sepatu itu ke seberang lapangan. Tolong jangan pergi. Tolong tetap di sana. Ia berbicara pada Peter dalam hati sembari bergegas. Uniknya mereka selalu tersambung, bahkan saat masih kanakkanak. Dan sekarang, Maureen berharap entah bagaimana Peter bisa merasakan betapa ia perlu berbicara dengan nya. Maureen sudah mencoba menghubungi Peter sebelumnya melalui caracara yang lebih lazim, tapi tidak berhasil. Peter benci telepon genggam dan tidak mau memilikinya meskipun Maureen telah membujuknya berkali kali selama bertahuntahun. Dan Peter lebih sering menolak mengangkat telepon di kantornya jika ia sedang asyik bekerja. Maureen mencabut hak sepatu yang menjengkelkan itu dan memasukkannya ke dalam tas kulit sambil berlari melintasi jarak terakhir untuk sampai ke tujuan. Sambil menahan napas ketika membelok, Maureen mendongak ke jendela di lantai dua dan menghitung dari kiri. Ia menghela napas lega ketika melihat cahaya di jendela keempat. Peter belum pergi. Perlahan Maureen menaiki tangga, mengambil waktu untuk bernapas. Di ujung gang, ia berbelok ke kiri kemudian berhenti sebentar sesampainya di depan pintu keempat dari kanan. Peter masih ada, serius melihat dokumen yang sudah menguning dengan kaca pembesar. Ia merasakan ketimbang melihat Maureen di ambang pintu, dan ketika ia mendongak, paras ramahnya menyunggingkan senyum mengajak masuk. “Maureen! Kejutan yang indah. Aku tidak berpikir a-kan bertemu denganmu malam ini.”
“Hai, Pete,” balasnya sama hangat sambil memutari meja untuk memeluknya sekilas. “Aku sangat senang kau ada di sini. Tadinya aku takut kau sudah pergi, padahal aku sangat perlu bertemu denganmu.” Bapa Peter Healy menaikkan sebelah alisnya dan berpikir beberapa waktu sebelum membalas. “Kautahu, biasanya aku sudah pergi sejak berjamjam lalu. Entah mengapa, aku merasa harus bekerja lembur malam ini.” Bapa Healy mengangkat bahu atas komentarnya sendiri dan menyunggingkan seulas senyum penuh arti. Maureen membalas ekspresi itu. Ia pun tak pernah bisa menjelaskan keterkaitannya dengan sang sepupu secara logis. Tapi sejak tiba di Irlandia saat ia masih kecil, mereka telah akrab seperti sepasang anak kembar, mampu berkomunikasi tanpa katakata. Maureen merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah tas plastik biru, yang biasa dipakai toko-toko barang impor di seluruh dunia. Di dalamnya ada sebuah kotak kecil, yang kemudian diberikannya pada sang pendeta. “Ahh. Label Emas Lyon. Pilihan yang bagus. Perutku masih tidak bisa mencerna teh Amerika.” Maureen mengernyit dan bergidik untuk menunjukkan bahwa ia pun tidak suka. “Air sampah.” “Sepertinya tekonya penuh, aku akan memanaskannya dan kita bisa menikmati secangkir teh sebentar lagi.” Maureen tersenyum sambil mengamati Peter bangkit dari bangku kulit usang yang didapatnya dari universitas dengan penuh perjuangan. Ketika menerima posisi di jurusan humaniora, Dr. Peter Healy yang terkenal mendapat sebuah kantor berjendela dengan perabot modern, berikut meja dan kursi praktis yang baru. Peter benci kepraktisan kalau itu berhubungan dengan perabotannya, tapi ia lebih benci lagi yang serba modern. Menggunakan pesona Gaelic-nya sebagai kekuatan tak terkalahkan, ia berhasil membuat para pegawai yang biasanya bandel menjadi luar biasa aktif. Bapa Healy bak pinang dibelah dua dengan aktor Irlandia, Gabriel Byrne. Mereka berdua samasama tidak pernah gagal memotivasi perempuan, baik yang berkerah rohaniwan maupun tidak. Para pegawai itu mencari di ruang-ruang bawah tanah dan menyisir ruang-ruang kelas tak terpakai sampai mereka menemukan perabot yang dicarinya: sebuah kursi kulit berpunggung tinggi yang telah usang dan sangat nyaman, dan sebuah meja kayu tua yang setidaknya kelihatan antik. Perlengkapanperlengkapan modern yang menjadi pilihannya adalah: kulkas kecil di pojok belakang meja, sebuah teko listrik kecil untuk merebus air, dan telepon yang lebih sering tidak diacuhkan. Maureen sudah lebih santai sekarang. Ia mengawasi Peter yang asyik membuat teh ala Irlandia dengan perasaan aman karena kehadiran sang sepupu. Peter berjalan kembali ke mejanya dan membungkuk ke kulkas yang terletak persis di belakangnya. Ia mengeluarkan tempat susu dan meletakkannya di sebelah kotak merah muda dan putih berisi gula di atas kulkas. “Harusnya ada sendok di sini tunggu ini dia.” Teko listriknya memuncratkan air sekarang, tanda isi di dalamnya sudah mendidih. “Biar aku yang mengerjakan,” Maureen menawarkan diri. Ia berdiri dan mengambil kotak teh dari meja Peter, membuka bungkus plastik
dengan ujung kuku jempolnya. Dikeluarkannya dua kantong berbentuk bulat dan dijatuhkannya ke dalam cangkircangkir yang berbeda warna dan bernoda teh. Menurut Maureen, pandangan umum mengenai orang Irlandia dan alkohol terlalu dibesar-besarkan. Sesungguhnya, orang Irlandia kecanduan minuman ini. Maureen menyelesaikan proses itu dengan mahir dan memberikan sepupunya secangkir teh panas kemudian duduk di kursi di seberang mejanya. Dengan cangkirnya sendiri di tangan, Maureen menghirup perlahan beberapa saat, merasakan mata biru Peter yang ramah menatap dirinya. Sekarang, setelah ia terburu-buru menemui lelaki ini, ia tidak yakin harus mulai dari mana. Pendeta itulah yang akhirnya memecahkan kebisuan. “Jadi, dia datang lagi?” tanyanya lembut. Maureen menghela nafas lega. Pada saat-saat kala ia merasa benarbenar berada di ujung batas kewarasan, Peter hadir untuknya. Ia sepupu, pendeta, sekaligus teman. “Ya,” balasnya, singkat, tidak seperti biasanya. “Ia datang lagi.” f Peter membolak-balikkan tubuh dengan gelisah di tempat tidur, tak bisa memejamkan mata. Percakapan dengan Maureen telah membuatnya risau, lebih dibandingkan yang ia perlihatkan pada sepupunya. Ia mengkhawatirkan Maureen. Baik sebagai kerabat terdekat maupun sebagai penasihat spiritualnya. Ia tahu, mimpimimpi gadis itu akan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih kuat. Ia telah menanti waktu kemunculannya, berjaga-jaga hingga waktunya tiba. Kali pertama kembali dari Tanah Suci, Maureen telah diganggu dengan mimpimimpi mengenai perempuan agung berselubung merah yang menderita, perempuan yang ia lihat di Yerusalem. Mimpinya selalu sama: ia tenggelam dalam kekacauan di Via Dolorosa. Terkadang, suatu mimpi sedikit berbeda dari mimpi lain atau berisi informasi tambahan, tapi selalu menggambarkan penderitaan yang mendalam. Kehadiran mimpi yang begitu jelas inilah yang mengganggu Peter, penjabaran Maureen begitu otentik. Hal semacam ini di luar jangkauan, sesuatu yang dibangkitkan oleh Tanah Suci itu sendiri. Sebuah perasaan yang pernah dialami Peter sendiri ketika sedang belajar di Yerusalem. Perasaan seolah sedang berada sangat dekat dengan para leluhur dengan orangorang suci. Sepulangnya dari Tanah Suci, Maureen banyak menghabiskan waktu untuk bertelepon jarak jauh dengan Peter, yang ketika itu sedang mengajar di Irlandia. Sepupunya yang dipercaya dan mandiri itu mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Selain itu, frekuensi dan kekuatan mimpimimpi itu mulai membuat Peter khawatir. Ia meminta dipindahkan ke Loyola. Tahu bahwa permohonan itu akan langsung dikabulkan, ia segera berangkat menuju Los Angeles agar lebih dekat dengan sepupunya. Empat tahun kemudian, ia bertarung dengan pikirannya sendiri dan dengan kata hatinya, tidak yakin bagaimanakah cara terbaik untuk menolong Maureen saat ini. Ia ingin mempertemukan Maureen dengan atasannya di Gereja, namun ia tahu gadis itu tidak akan setuju. Peter adalah penghubung terakhir dengan masa lalunya sebagai penganut Katolik. Maureen memercayainya hanya karena ia adalah saudara dan karena ia satusatunya orang dalam hidupnya yang tak pernah mengecewakannya. Peter bangkit untuk duduk, merasa tak akan bisa tidur malam ini dan berusaha mengenyahkan pikiran bahwa ada sekotak Marlboro di laci meja tempat lampu duduk diletakkan. Ia telah mencoba
menghilangkan kebiasaan buruk ini. Bahkan inilah salah satu alasan mengapa ia memilih tinggal sendirian di sebuah apartemen, bukan di perumahan Yesuit. Tapi beban itu terlalu berat, dan ia menyerah terhadap dosa yang satu ini. Setelah menyalakan sebatang rokok, ia menghirup napas dalam dalam dan memikirkan persoalan yang sedang dihadapi Maureen. Memang, selalu ada sesuatu yang istimewa jika menyangkut sepupu Amerikanya yang mungil dan pemberani ini. Saat pertama tiba di Irlandia dengan ibunya, Maureen adalah bocah tujuh tahun yang penakut dan penyendiri dengan logat bicara penduduk wilayah rawa. Peter yang delapan tahun lebih tua, melindungi Maureen. Ia mengenalkan gadis kecil itu ke anakanak di kampungnya dan tak segan-segan meninju siapa pun yang berani mengolok-olok sang pendatang baru beraksen lucu, hingga mata mereka lebam. Tapi Maureen tidak membutuhkan waktu lama untuk berbaur ke dalam lingkungan barunya. Dengan cepat ia melupakan trauma masa lalunya di Louisiana sementara kabut Irlandia menyelimutinya dengan penerimaan. Ia menemukan perlindungan di pedesaan. Peter dan saudarasaudara perempuannya membawa Maureen menelusuri jalanjalan panjang, menunjukkan kepadanya keindahan sungai dan lubang di rawa-rawa. Mereka melewati hari-hari musim panas dengan memetik buah blackberry yang tumbuh liar di perkebunan keluarga dan bermain sepak bola sampai matahari terbenam. Akhirnya, anakanak setempat menerimanya seiring perasaannya yang kian nyaman dengan lingkungan baru itu sehingga kepribadian sejatiya muncul. Peter kerap bertanya-tanya tentang arti kata “karisma” yang sering digunakan dalam konteks supranatural oleh gereja di masa lalu. Karisma: sebuah karunia atau kekuatan yang diberikan oieh surga. Barangkali hal ini berlaku pada Maureen dengan cara yang lebih gamblang dan lebih nyata dibandingkan segala yang diimpikan. Peter menyimpan jurnal berisi percakapanpercakapannya dengan Maureen. Kegiatan ini ia lakukan sejak komunikasi lewat telepon jarak jauh yang pertama, dan ia mencatat pula makna mimpimimpi itu berdasarkan pemahamannya. Dan ia berdoa setiap hari agar mendapat petunjuk apakah Maureen adalah orang yang dipilih Tuhan untuk melakukan sebuah tugas yang berhubungan dengan masa penderitaan, yang semakin diyakininya adalah peristiwa yang disaksikan Maureen dalam mimpi-mimpinya. Ia jelas sangat memerlukan bimbingan maksimal dari Sang Pencipta. Dan Gereja. Chateau Pom me s Bleues Wilayah Languedoc, Prancis Oktober 2004 “Marie de Negre akan memilih waktu yang tepat bagi Dia Yang Dinantikan. Perempuan yang terlahir dari domba Paschal ketika panjang siang dan malam tiada berbeda. Perempuan yang adalah anak kebangkitan. Perempuan yang menyandang Sangre-el akan diberikan kunci untuk mengungkapkan Hari Gelap Tengkorak. Perempuan itu akan menjadi sang Gembala baru dan menunjukkan Jalan kepada kita.” Lord Berenger Sinclair menapaki lantai mengilap di perpustakaannya. Api dari tungku batu yang sangat besar memancarkan nyala keemasan pada koleksi turuntemurun berupa buku dan dokumen yang tak ternilai harganya. Sebuah umbul-umbul usang tergantung dalam sebuah lemari kaca yang memanjang seukuran perapian raksasa di seberangnya. Terlihat kain yang dulunya putih, namun kini menguning, bergambar fieur-de-iis warna emas yang sudah pudar. Nama Jhesus-Maria tersulam di kain kasar itu, tapi hanya dapat dilihat oleh sedikit orang saja yang diberi kesempatan mendekati barang antik ini. Sinclaire mengulang nubuat itu dengan keras berkali-kali dengan aksen Skotlandianya sehingga huruf-huruf “r” dalam kalimat terdengar jelas. Berenger hapal isi nubuat itu kata perkata. Ia telah mempelajarinya saat duduk di pangkuan kakeknya ketika masih kecil. Ketika itu ia tidak mengerti artinya. Sekadar kalimat-kalimat yang ia hapal saat bermain dengan sang kakek ketika ia
menghabiskan musim panasnya di sini, di tanah luas milik keluarganya, di Prancis. Ia berhenti sejenak di depan sebuah gambar silsilah keturunan. Sebuah pohon silsilah generasi-generasi selama ratusan tahun yang menutupi dinding luas mulai dari lantai hingga langit-langit. Sebuah gambar sangat besar yang menampilkan sejarah keturunan Berenger yang flamboyan. Keturunan keluarga Sinclair termasuk yang tertua di Eropa. Awalnya dipanggil Saint Clair, keluarga ini diusir dari Amerika lalu mengungsi ke Skotlandia pada abad ke-13. Sejak itulah nama keluarga itu berubah menjadi seperti sekarang. Para leluhur Berenger termasuk yang paling masyhur dalam sejarah Inggris. Di antaranya James Pertama dari Inggris dan ibundanya yang terkenal, Mary, Ratu Skotlandia. Keluarga Sinclair yang berpengaruh dan pandai berhasil melewati perang saudara dan gejolak politik di Skotlandia. Mereka menduduki posisi penting di kedua sisi kerajaan sepanjang sejarah negara yang penuh gejolak itu. Sebagai pemimpin industri di abad ke-20, kakek Berenger berhasil membangun salah satu kekayaan terbesar di Eropa, yakni sebuah perusahaan minyak Laut Utara. Sedangkan Alistair Sinclair, biliuner dan petinggi Inggris yang memiliki kedudukan di House of Lords, memiliki segala yang didambakan seorang manusia. Namun ia tetap gelisah dan tak pernah puas, yang ia cari adalah sesuatu yang tak dapat dibeli dengan kekayaan. Kakek Alistair menjadi terobsesi dengan Prancis. Ia membeli sebuah chateaut di luar desa Arques, di daerah barat daya. Sebuah wilayah berbatu dan misterius yang dikenal dengan Languedoc. Rumah barunya ia namai Chateau des Pommes Bleues Puri Apel Biru. Alasannya hanya diketahui oleh segelintir orang terdahulu. Languedoc adalah wilayah pegunungan yang terkesan mistis. Legenda lokal tentang harta karun dan prajurit-prajurit misterius di wilayah ini telah berumur ratusan, bahkan ribuan tahun. Alistair Sinclair menjadi semakin terobsesi dengan legenda Languedoc. Lelaki ini membeli tanah di daerah tersebut seluas yang bisa ia dapatkan dan ia cari seiring kian kuatnya hasrat akan harta karun yang ia percaya terpendam di daerah itu. Namun, koleksi yang ia cari tidak ada hubungannya dengan emas atau kekayaan. Harta semacam itu telah dimilikinya dalam jumlah berlimpah. Yang ia cari adalah sesuatu yang lebih berharga baginya, bagi keluarganya, dan bagi dunia. Semakin usianya bertambah, semakin sedikit waktu yang ia lewatkan di Skotlandia. Ia merasa berbahagia hanya ketika berada di sini, di pegunungan merah Languedoc yang masih perawan. Alistair mengharuskan cucu lelakinya menemani dirinya selama musimmusim panas. Dan pada akhirnya, ia menurunkan kecintaannya pada daerah legendaris itu bahkan juga 1 Semacam puri yang banyak terdapat di daerah penghasil Anggur di Prancis. obsesinya kepada Berenger muda. Sekarang, di umur empat puluhan, Berenger Sinclair sekali lagi menghentikan langkahnya kala mengelilingi perpustakaan besar itu. Kali ini di hadapan lukisan kakeknya. Melihat bentuk wajah yang keras dan tegas, rambut hitam keriting, dan sorot mata tajam itu, ia seolah sedang bercermin. “Kau terlihat sangat mirip dengannya, Monsieur. Setiap hari, kau semakin mirip dengannya, dalam banyak hal.” Sinclair membalik untuk menjawab pelayan lelakinya yang bertubuh sangat besar, Roland. Untuk seorang yang berbadan bongsor, Roland luar biasa gesit dan sering muncul tibatiba. “Apakah itu hal yang baik?” tanya Berenger hambar.
“Tentu. Monsieur Alistair adalah seorang lelaki yang baik, dicintai oleh penduduk desa. Oleh ayahku, dan aku sendiri.” Sinclair mengangguk sambil tersenyum kecil. Tentu Roland akan berkata seperti itu. Raksasa Prancis itu adalah putra Languedoc. Ayahnya sendiri berasal dari sebuah keluarga lokal yang berakar sangat dalam di tanah legendaris ini, selain telah menjadi orang kepercayaan Alistair di purinya. Roland dibesarkan di lingkungan puri itu dan memahami keluarga Sinclair serta obsesi mereka yang aneh. Ketika ayahnya meninggal secara mendadak, Roland mengambil alih posisi ayahnya sebagai penjaga Chateau des Pommes Bleues. Ia adalah salah satu dari sedikit orang di dunia yang dipercaya oleh Berenger Sinclair. “Kalau kau tak berkeberatan dengan perkataanku, kami Jean Claude dan aku sedang bekerja di ruang seberang dan mendengarmu. Kami mendengarmu mengucapkan isi nubuatz itu.” Ia melihat ke Sinclair dengan bingung. “Apakah ada masalah?” Sinclair menyeberangi ruangan menuju sebuah meja kayu jati yang menutupi dinding di belakangnya. “Tidak, Roland. Tidak ada masalah. Malah, kupikir pada akhirnya keadaan akan menjadi sangat, sangat baik.” Ia mengambil sebuah buku berkulit tebal yang terletak di atas meja dan menunjukkan sampul buku itu ke pelayannya. Sebuah sampul buku modern, non-fiksi, berjudul: HerStory, subjudul: A Defense of History’s Most Hated Heroines. Roland melihat buku itu, bingung. “Aku tidak mengerti.” “Bukan, bukan. Balik bukunya. Lihat ini. Lihat dia.” Roland membalik buku itu untuk melihat potret sang penulis di sampul belakang dengan teks Penuiis Maureen Paschal. Penulis buku itu seorang perempuan menarik, berambut merah, usia tiga puluhan. Ia berpose untuk foto itu dengan menyandarkan tangan di kursi yang ada di depannya. Sinclair menggerakkan tangannya di atas sampul itu, berhenti tepat di tangan sang penulis. Kecil, tapi jelas, di jari manis kanan, adalah cincin tembaga antik dari Yerusalem, dengan gambar planet. Roland mendongak dari buku dengan terkejut. “Sacre bleu.” “Betul,” balas Sinclair. “Atau mungkin lebih tepat lagi, Sacre rouge.” Kedua lelaki itu diganggu oleh kedatangan seseorang di pintu masuk. Jean-Claude de la Motte, seorang elit dan 2 Ramalan/prediksi ilmiah anggota terpercaya di lingkaran dalam Pommes Bleues, melihat ke temantemannya penuh tanda tanya. “Ada apa?” Sinclair memberi tanda kepada Jean-Claude untuk masuk. “Belum ada. Tapi bagaimana pendapatmu tentang ini?” Roland menyerahkan buku itu ke Jean-Claude dan menunjukkan cicin di tangan sang penulis di sampul belakang. Jean-Claude mengambil kacamata baca dari kantongnya dan mengamati gambar itu beberapa saat sebelum bertanya dalam bisikan, “L’attenduel Dia Yang Dinantikan?”
Sinclair tertawa. “Ya, temanteman. Setelah bertahun tahun, akhirnya kita menemukan sang Gembala.” … Aku lelah mengenal l\tiu\ sejak anal aku bisa mengingat, karma ayahnya dan ayahku berteman, dan karma dia sangat dekat dengan kakak lelakiku. Utak rumah Tuhan di Capemaeum sangat dekat dengan rumah ayah Simon-fotrus dan kami sering mengunjunginya ketika kecil Aku ingat, kami bermain di tepi pantai di sana. Aku jauh lebih muda dari lelaki-lelaki itu dan sering bermain sendiri, tapi aku masih bisa mengingat suara tana mereka saat mereka bergulat satu sama lain. Petrus selalu lebih serius dibandingkan anak k lak i yang lain. Saudara kkkinya, Andreas, lebih ceria. Meski begitu, mereka samasama memiliki selera humor saat masih nuda. Keceriaan Petrus dan Andreas lenyap setelah Easa pergi. Dan mereka tidak bisa terlalu bersa bar kepada siapa pundi antara kami yang terus meratapi musibah itu sementara kami harus berjuangmempertahankan hidup. Petrus sangat mirip kakak lelakiku karena ia sangat serius dengan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Dan setelah beranjak dewasa, ia memindahkan rasa tanggung jawab itu pada pengajaranJalanNya. la memiliki keteguhan dan kebulatan tekad yang tak tertandingi oleh siapa pun kecuah’para guru itu sendiri. Itulah sebabnya ia sangat dipercaya. Tapi hagaimanapim. Easalah yang mendidiknya. Petrus bertarung melawan kebiasaannya sendiri lebih keras dibanditigkan yang diketahui banyak orang. Aku percaya, ia telah berkorban lebih banyak dibandingkan yang lain. demi mengikuti JalanNya. Karena ajaran ini menuntut banyak dari dirinya, memmtut banyak perubahan batin. Banyak orang yang akan keliru menilainya, bahkan ada sebagian yang akan nvmbencinya. Tapi aku tidak. Aku mencintai Petrus dan percaya padanya. Bahkan dengan putra sulungku. INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID Tiga McLean, Virginia Maret 2005 McLean, Virginia, adalah tempat yang menyenangkan, percampuran unik antara dunia politik dan gaya hidup pinggiran kota. Keluar dari Beltway, tidak jauh dari markas CIA, berdiri Tysons Corner, salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan termewah di Amerika. McLean tidak dikenal sebagai sebuah pusat permukiman spiritual. Setidaknya bagi kebanyakan orang. Maureen Paschal sama sekali tidak memikirkan masalah masalah sakral saat ia mengendarai mobil Ford Taurus sewaannya memasuki jalan panjang hotel RitzCarlton di McLean. Jadwal besok pagi sangat padat: bangun pagi-pagi untuk sarapan sekaligus bertemu dengan Perkumpulan Wanita Penulis Wilayah Timur, selanjutnya kemunculan di sebuah toko besar di Tysons Corner dan memberikan tanda tangan untuk para pembeli buku di sana. Setelah itu, sebagian besar waktu Sabtu siang dan sore menjadi miliknya sendiri. Bagus. Ia akan pergi melihat-lihat, seperti yang biasa ia lakukan saat berada di sebuah kota baru. Tak peduli seberapa kecil atau sesederhana apa pun kota itu, jika Maureen belum pernah mengunjunginya, tempat itu pasti memiliki pesona. Maureen tidak pernah gagal menemukan batu permata di mahkota, keistimewaan di setiap tempat kunjungan yang
menjadikannya unik. Besok, ia akan menemukan permata McLean. Menginap di hotel bukan perkara sulit. Penerbitnya telah menangani semua urusan. Maureen hanya perlu menanda tangani selembar formulir dan mengambil kuncinya. Kemudian naik lift dan masuk ke kamarnya yang indah, tempat ia memuaskan kebutuhannya menjaga kerapian dengan segera membongkar koper dan mengamati tingkat kekusutan baju-bajunya. Maureen menyukai hotel mewah. Semua orang pasti begitu, pikirnya, tapi ia bertingkah seperti anak kecil saat berada di hotel mewah. Dengan teliti ia mengamati perlengkapan kamar, isi kulkas kecil, baju kamar yang bersulam indah di belakang pintu kamar mandi, dan tersenyum saat melihat telepon sambungan di samping toilet. Ia bersumpah tak akan pernah terlalu lelah hingga tak bisa menikmati kesenangankesenangan kecil ini. Barangkali tahuntahun saat ia harus berhemat, makan mi instan Top Ramen, Pop Tarts, dan roti selai kacang, saat proyek risetnya menguras sisa tabungannya, ternyata baik untuknya. Pengalaman pengalaman awal itu membantunya menghargai hal-hal kecil yang mulai dianugerahkan kepadanya. Ia melihat ke sekeliling ruangan yang luas dan merasa sedikit menyesal di luar kesuksesannya sekarang, tak ada orang yang bisa dijadikannya tempat untuk berbagi segala yang telah dicapainya. Ia sendirian, selalu sendirian, dan mungkin akan terus sendirian… Maureen segera berhenti mengasihani diri sendiri, dan menengok ke sumber hiburan terampuh untuk mengalihkan pikirannya dari hal yang mengganggu itu. Beberapa pusat perbelanjaan paling menarik di Amerika telah menunggu di luar pintu. Ia mengambil tas, memastikan apakah kartu-kartu kreditnya ada di sana, lalu melangkah keluar untuk merayakan kebudayaan Tysons Corner. f Perkumpulan Wanita Penulis Wilayah Timur melangsungkan acara sarapan pagi di sebuah aula konferensi Ritz-Carlton di McLean. Maureen mengenakan “seragam” andalannya sebuah setelan jas bermerek yang konservatif, sepatu berhak tinggi, dan sepercik Chanel No.S. Tiba di aula tepat pukul 9:00 pagi, ia menolak untuk makan dan meminta secangkir teh Irlandia untuk sarapan. Makan sebelum sesi tanyajawab bukan ide baik bagi Maureen karena akan membuatnya mual, Maureen merasa tak segugup biasanya pagi ini karena moderator acaranya adalah seorang teman, perempuan bernama Jenna Rosenberg. Maureen telah berkomunikasi dengannya selama beberapa minggu untuk mempersiapkan diri. Dan yang paling penting, Jenna menggemari karya Maureen dan bisa mengutip karyanya secara rinci. Itu saja sudah membuat Maureen tenang. Lagi pula, acaranya diselenggarakan secara sederhana dengan meja-meja kecil yang berkumpul menyatu sehingga tidak memerlukan mikrofon. Jenna memulai sesi tanyajawab dengan sebuah pertanyaan sederhana tapi penting. “Apa yang menginspirasikan Anda menulis buku ini?” Maureen menaruh gelas tehnya dan menjawab. “Saya pernah membaca bahwa bukubuku sejarah a-wal Inggris diterjemahkan oleh sebuah sekte biarawan yang tidak percaya bahwa perempuan memiliki jiwa. Mereka menganggap kejahatan bersumber dari perempuan. Merekalah yang pertama kali mengubah legenda King Arthur dan sesuatu yang kita anggap sebagai Camelot. Guinevere menjadi seorang penyeleweng licik alih-alih seorang ratu pejuang yang penuh kuasa. Morgan le Fey menjadi saudara perempuan Arthur yang
menjerumuskannya hingga melakukan inses, alih-alih seorang pemimpin spiritual bangsa, sebagaimana yang disebutkan legenda awal. “Pemahaman itu mengejutkan dan membuat saya bertanya: apakah tulisan-tulisan sejarah lainnya yang menggambarkan perempuan juga didasari sudut pandang yang sangat bias seperti ini? Perspektif semacam itu jelas telah meluas dalam sejarah. Ini membuat saya memikirkan perempuanperempuan yang mungkin telah mendapat perlakuan seperti itu. Dari sanalah riset saya berawal.” Jenna memberi kesempatan para peserta yang menempati meja-meja di sekeliling mereka untuk mengajukan pertanyaan. Setelah beberapa tanyajawab tentang literatur feminis dan isuisu kesetaraan dalam industri penerbitan, muncul sebuah pertanyaan dari seorang perempuan muda yang mengenakan salib emas kecil di atas blus sutranya. “Bagi kami yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional, bab mengenai Maria Magdalena sangat membuka mata. Anda melukiskannya sebagai seorang perempuan yang jauh dari kesan seorang pelacur yang melakukan pertobatan, jauh dari kesan seorang perempuan nista. Tapi saya masih belum yakin apakah gambaran itu bisa dipercaya.” Maureen mengangguk paham sebelum memberikan jawaban. “Vatikan pun menyimpulkan bahwa Maria Magdalena bukan seorang pelacur dan bahwa kita tidak seharusnya terus mengajarkan kebohongan itu di sekolah Minggu. Sudah lebih dari tiga puluh tahun sejak Vatikan mengumumkan secara formal bahwa Maria bukanlah seorang perempuan nista seperti yang disebutkan dalam injil Lukas. Dan bahwa Paus Gregorius yang Agung telah rnenciptakan cerita itu demi meneruskan tujuannya sendiri pada Masa Kegelapan. Tapi opini publik selama dua rnilenia sulit dihapuskan. Pengakuan Vatikan atas kesalahan yang mereka lakukan pada tahun 1960an terbukti tidak lebih efektif dibandingkan penarikan berita yang dicantumkan di halaman terakhir surat kabar. Jadi pada dasarnya Maria Magdalena menjadi pendahulu para perempuan yang disalahpahami. Dialah perempuan penting pertama yang riwayatnya diubah dan dirusak secara sengaja dan tidak tanggung-tanggung oleh para penulis sejarah. Pad