Resensi Buku Michael G. Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early Modern Times. New York & London: Routledge, 2009, ix + 339 hal. ISBN 978-0-415-93161-8.
Kathleen Azali Asia Tenggara telah lama dikenal memiliki, mengakui, dan melegitimasi tradisi gender dan seksualitas yang lebih beragam dan pluralistik daripada belahan dunia lainnya. Bukti-bukti sejarah dan etnografis menunjukkan bahwa praktik-praktik dan identitas transgender, serta berbagai macam seksualitas nonheteronormatif, mempunyai sejarah yang panjang dan terhormat di Asia Tenggara dan wilayah Asia-Pasifik secara keseluruhan. Namun dalam tiga hingga empat abad terakhir, pluralisme gender ini mengalami banyak penyempitan dan erosi legitimasi. Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early Modern Times secara khusus menyajikan dan mengulas sejarah dan dinamika pluralisme gender dan seksualitas di Asia Tenggara sejak zaman modern awal (sekitar abad ke-15 dan ke-16) hingga awal abad ke-21. Dibagi menjadi lima bab dengan tambahan epilog, di bab pertama, Peletz memberi pengantar latar belakang, metodologi, dan susunan buku, sementara bab-bab berikutnya ditata berdasarkan periode kronologis untuk menjabarkan bagaimana pluralisme gender mengalami perkembangan atau penyempitan, serta situasi dan kondisi seperti apa yang mendukung proses-prosesnya. Wilayah Asia Tenggara di sini dibatasi berdasarkan perbatasan geopolitis zaman sekarang (kecuali Tanah Papua), ditambah dengan sedikit membahas studi kasus diaspora dan transnasional orang-orang Asia Tenggara di Amerika dalam bab penutup. Sebagai kerangka interpretasi, Peletz menggunakan peran transgender sebagai lensa kritis untuk menganalisis pluralisme gender. Menurutnya, perubahan-perubahan situasi dan kondisi transgenderisme menandai proses dalam berbagai domain analitik dan budaya yang Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
139
saling berkaitan di Asia Tenggara. Peletz menggunakan konsep “pluralisme gender” untuk merujuk pada pluralisme dalam area atau domain bergender, yang mengindikasikan “sensibilitas pluralistik dalam hal-hal yang berhubungan dengan praktik...dan hasrat badani, begitu pula dengan peran sosial, hubungan seksual, dan hal-hal lain yang secara keseluruhan berhubungan dengan konsepsi sosial mengenai femininitas, maskulinitas, androgini, hermafroditisme, dan lain sebagainya” (hal. 10). Sebelumnya, perlu kita perjelas apa yang dimaksud dengan “keragaman” atau “perbedaan” di satu sisi, dengan “pluralisme” di sisi lainnya. Istilah-istilah ini marak digunakan di antara kalangan yang berbeda-beda, meskipun tidak selalu dibarengi dengan pemahaman yang jelas dalam penggunaannya.1 Untuk buku ini, Peletz mendefinisikan pluralisme sebagai “perbedaan yang diberi legitimasi (difference accorded legitimacy).” Maka, keragaman atau perbedaan yang sekadar ada dalam satu masyarakat tidak otomatis menjadikannya pluralisme. Ini penting diingat karena perbedaanperbedaan yang ada tidak selalu mendapatkan legitimasi, bahkan di berbagai kasus malah mengalami stigmatisasi. Selain itu, meningkatnya ragam perbedaan—entah etnis, rasial, religi atau bahkan pilihan “gaya hidup”—dapat dan kerap mengakibatkan penyempitan atau pembatasan sensibilitas pluralistik. Memasuki bab kedua, “Gender Pluralism and Transgender Practices in Early Modern Times,” kita diberi gambaran dasar corak pluralisme gender di Asia Tenggara di zaman modern awal dan sebelumnya. Peletz membuka diskusinya dengan memberi sketsa sejarah dan dinamika beberapa persamaan pola dalam keragaman Asia Tenggara. Dengan mengambil banyak sumber dari arsip dan catatan sejarah, Peletz menjabarkan bagaimana sistem kekerabatan Asia Tenggara kuno cenderung menekankan bilateralisme dan hubungan laki-laki dengan perempuan yang relatif setara. Perempuan memiliki otonomi dan kontrol sosial, 1 Sebagai contoh, istilah pluralisme sering disamakan dengan multikulturalisme, lintas budaya, keanekaragaman, atau bahkan masyarakat majemuk. Peletz di sini tidak membedakan konsep pluralisme dengan multikulturalisme, tapi pluralisme yang ia maksud berbeda dengan konsep masyarakat majemuk dalam kajian klasik Furnivall (1939). Untuk landasan teoretis mengenai perbedaan konsep masyarakat multikultural dan masyarakat majemuk (plural society), terutama dalam konteks Indonesia, baca Suparlan (2000).
140
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
serta aktif berperan dalam berbagai bidang, termasuk agama dan ritual, perdagangan, diplomasi, dan pemerintahan. Ada beragam modalitas transgenderisme dan praktik seks sesama jenis, dan di sini Peletz memberi kita beberapa studi kasus praktik transgender dan pluralisme gender saat itu: Iban (manang dan manang bali), Ngaju Dayak (basir dan balian), Bugis (bissu, calabai, dan calalai), Melayu (sida-sida dan teater mak yong), Burma (nat dan nat kadaw), dan Thai (kathoey). Menurut Peletz, situasi dan kondisi Asia Tenggara saat itu, yang erat berkaitan dengan kosmologi religi, mendorong dan mengakomodasi seks dan gender yang lebih cair dan fleksibel. Keanekaragaman seks dan gender di sini tidak dianggap sebagai keanehan atau pengecualian, tetapi bahkan diagungkan oleh elit politik, pemimpin ritual, dan dewa-dewa. Namun, menurut Peletz, ini tidak berarti peradaban Asia Tenggara kuno sama sekali tidak memiliki peraturan ataupun pranata seks atau gender, karena: (1) matriks heterogender masih umum meresapi relasi pernikahan dan sistem seks/gender, (2) ada larangan dan/atau peraturan yang berlaku untuk incest, monogami, perselingkuhan, poligini, dan (3) apa pun gender mereka, individu bertubuh perempuan cenderung memiliki pilihan yang lebih sedikit daripada individu laki-laki. Bab ketiga, “Temporary Marriage, Connubial Commerce, and Colonial Body Politics,” membahas transformasi yang terjadi di paruh kedua periode modern awal (kira-kira abad ke-17 dan ke-18), di mana perempuan, transgender dan berbagai bentuk pluralisme gender yang dibahas di bab sebelumnya mengalami erosi prestise dan legitimasi. Peletz terutama memfokuskan pada praktik dan makna pernikahan temporer yang umum terjadi antara laki-laki Barat dan Cina dengan perempuan lokal. Pada awalnya, hubungan pernikahan temporer ini bersifat relatif egalitarian dan mutualistik; kedua belah pihak mendapat keuntungan privilese dan prestise yang cukup seimbang. Laki-laki pendatang mendapatkan partner seksual sekaligus perantara budaya yang dapat membantu mereka mengerti dan bernegosiasi dengan elit dan penduduk setempat, sementara istri mereka mendapatkan hak-hak marital, keuntungan finansial, akses dalam perdagangan asing dan peningkatan status. Tapi, semakin meningkatnya jumlah laki-laki asing lajang mendorong monetisasi dan komodifikasi seks, dari istri temporer menjadi pelacur (Andaya 1998). Bertolak dari kajian komprehensif Stoler (2002), Peletz mengkaji Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
141
bagaimana dinamika budaya kolonial mempengaruhi pengetahuan lokal mengenai gender dan seksualitas, serta bagaimana dalam prosesnya, kolonialisme menjadi salah satu penyebab utama penyempitan pluralisme gender. Tapi, pasca-Stoler, ia mengajak kita untuk tidak lupa memperhatikan homoseksualitas (dan biseksualitas) sebagai variasi seksualitas yang tidak terpisahkan dari heteroseksualitas. Untuk menjustifikasi misi peradaban kolonialisme, praktik seksualitas sesama jenis, transgenderisme, dan berbagai bentuk pluralisme gender dikonstruksi dalam wacana kolonial sebagai bukti “keprimitifan” dan “ketidakberadaban”—dengan kata lain, keliyanan—penduduk lokal. Wacana biner dibangun dengan mengagungkan monogami dan heteronormativitas yang dikaitkan dengan superioritas ras dan kelas (kolonial). Ini sama sekali tidak berarti para penguasa kolonial membatasi diri dalam seks. Sebaliknya, sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas pegawai kolonial menyambut tugas dinas mereka di Asia Tenggara sebagai kesempatan menikmati pengalaman seksual yang lebih liberal (dan eksotis), jauh dari pengawasan tanah air mereka (Said 1978: 190), dan bahwa praktik seksual sesama jenis juga dijumpai di antara pegawai kolonial, baik antara mereka sendiri ataupun dengan penduduk laki-laki lokal (Aldrich 2003). Menurut Peletz, kekhawatiran dan ketakutan kolonial pada praktik seks sesama jenis, transgenderisme dan feminisasi—apalagi jika terjadi di antara orang-orang Eropa sendiri dan berpotensi menjatuhkan legitimasi mereka—berperan besar dalam mendorong perkembangan pesat prostitusi, perdagangan, dan obyektifikasi perempuan di Asia Tenggara. Di bab keempat, “Transgender Practices, Same-Sex Relations, and Gender Pluralism Since the 1960s,” Peletz memaparkan pengaruh perubahan politik, sosial, dan ekonomi dalam periode kolonial dan pascakolonial, terutama terhadap ahli-ahli ritual di Asia Tenggara, melalui empat studi kasus yang dia gunakan sebelumnya: Iban, Dayak Ngaju, Bugis, dan Burma. Dilihat dari perpektif jangka panjang, tak bisa disangkal memang ada penyusutan pluralisme gender, yang terutama disebabkan oleh: (1) sentralisasi politik, (2) pembangunan wacana nasionalis dan modernisasi, (3) proses urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, dan sistem ekonomi pasar. Ketiga hal ini mendorong rasionalisasi institusional maupun kultural yang menyusutkan dan membakukan landasan moral komunitas dan kosmologi agrarian yang sebelumnya lebih cair. Tapi, Peletz 142
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
juga menggarisbawahi bahwa ada resistensi dan perlawanan aktif terhadap proses-proses tersebut. Pada kenyataannya, di zaman itu pluralisme gender masih relatif banyak dijumpai di masyarakat Asia Tenggara. Sistem mite, ritual, dan kosmologi yang masih kental meresapi budaya Asia Tenggara mendorong relativisme, sinkretisme, dan pluralisme. Bab kelima, “Gender, Sexuality and Body Politics at the Turn of the Twenty-First Century,” menganalisis dinamika sosial dan budaya yang berkaitan dengan ketegangan dua fenomena yang tampak berlawanan di awal abad ke-21, yaitu: penyusutan pluralisme di satu sisi, dan maraknya keragaman atau perbedaan bermunculan di sisi lain. Ini, menurut Peletz, tidak terlepas dari proses fragmentasi dan krisis kekuasaan, yang terutama disebabkan munculnya pusatpusat kekuasaan baru, dengan standar-standar dan nilai-nilai legitimasi baru yang dilandasi baik wacana lokal maupun global. Peletz kemudian menganalisis bagaimana wacana narasi “nilainilai Asia” yang biner, heteronormatif, dan monolitik dibakukan, ditekan menjadi statis, dan dikumandangkan sebagai “tradisi” yang berlawanan dengan “Barat” untuk berbagai kepentingan (kriminalisasi), terutama di Malaysia sehubungan dengan kasus sidang Anwar Ibrahim atas tuduhan sodomi. Secara khusus Peletz menggarisbawahi politisasi “nilai-nilai Asia,” bagaimana nilai-nilai ini tidak jauh berbeda dari “nilai-nilai kekeluargaan” di Barat, ataupun—ironisnya—dari nilai-nilai “Oriental” yang diesensialisasikan oleh penguasa kolonial untuk merendahkan dan melumpuhkan masyarakat lokal di bawah dominasi mereka. Tapi, di sisi lain, peningkatan kontrol sosial ini juga dibarengi dengan munculnya berbagai wacana dan gerakan perlawanan oleh berbagai individu, organisasi, dan jaringan yang menuntut pengakuan eksistensi dan legitimasi hak seksual sebagai hak asasi manusia secara terbuka. Media (terutama internet) mendorong pertukaran transnasional wacana-wacana mengenai gender, tubuh, dan seksualitas dari seluruh penjuru dunia. Peletz juga menyorot bagaimana logika kapitalis dan keuntungan ekonomi bisa turut berperan: Singapura yang sebelumnya mengumandangkan “nilainilai Asia” seperti Malaysia, semenjak 2002 mengambil sikap lebih longgar pada ambiguitas dan pluralisme gender dan seks setelah tergiur melihat potensi dan pemasukan besar pink dollar dari tenaga kreatif artis dan entrepreneur LGBTIQ. Di bab penutup, “Asylum, Diaspora, Pluralism,” Peletz Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
143
kembali menekankan permasalahan pandangan biner “Timur vs. Barat” dengan membahas dan membandingkan dua studi kasus, di mana orang-orang Asia Tenggara telah berpindah keluar dari wilayah asalnya. Di kasus pertama, Peletz menganalisis narasi warga negara Malaysia yang memohon perlindungan dari Amerika atas dasar orientasi seksual saat kembali ke tanah air mereka. Amerika diidealisasi (benar atau terbayang) sebagai surga yang pluralistik, sementara Malaysia digambarkan sebagai kolot dan terbelakang— narasi yang jauh berbeda dari bukti-bukti yang dijabarkan Peletz di bab-bab sebelumnya. Namun, di kasus berikutnya, kita juga melihat idealisasi imigran gay dari Kamboja yang memandang masa lalu mereka di tanah airnya sebagai lebih toleran (seolah melupakan rezim Pol Pot) daripada di Amerika dengan strata status kelas dan rasialnya. Dari dua kasus di atas, Peletz sekali lagi mengajak kita untuk tidak terjebak dalam narasi linear yang mengidealisasi Barat sebagai progresif dan pluralistik, dan Timur sebagai konservatif, kaku dan terbelakang. Pluralisme, Peletz mengingatkan, bagaimanapun juga selalu relatif, dan perlu dikonseptualisasikan sebagai pluralisme bertingkat (graduated pluralism). Bagaimana pun pluralistiknya Asia Tenggara di zaman dulu, ada stratifikasi dan tingkatan di dalam sistemnya yang melibatkan derajat legitimasi yang berbeda-beda (misalnya, prestise untuk praktik transgender; stigma untuk incest), bukan semuanya bebas (anything goes). Ada jaringan-jaringan hubungan budaya-politik yang memfasilitasi perkembangan dan reproduksi kelompok tertentu, tapi juga menghambat kelompok lain. Buku ini tidak hanya menawarkan wawasan historis, tetapi juga pemahaman tentang pluralisme gender, serta bagaimana jaringan-jaringan politik, ekonomi, sosial dan budaya membentuk kecenderungan absolutis maupun pluralistik. Peletz menulis buku ini karena resah melihat kecenderungan umum kajian-kajian gender dan seksualitas yang masih memprioritaskan pengalaman, simbol, dan idiom perempuan (dan heteroseksualitas), serta kurang memberi perhatian terhadap sejarah, konteks, dan dinamika lain yang mempengaruhi pembentukan pluralisme seks dan gender. Sementara kajiankajian sejarah Asia Tenggara, jika membahas tentang gender, masih umum menggunakan pendekatan heteronormatif. Dalam hal ini, Peletz memang banyak menawarkan kerangka interpretasi yang lebih inklusif, serta berbagai refleksi mengenai cara pandang 144
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
dan perspektif kita selama ini. Satu lagi tawaran konsep Peletz yang berguna dalam buku ini adalah tinjauannya mengenai istilah heteronormatif yang umumnya tidak membedakan konsep heteroseksual dengan heterogender. Imbauan Peletz terasa semakin signifikan dan relevan dengan kondisi Indonesia dewasa ini, di mana gender masih sering disinonimkan sebagai perempuan, seksualitas nonhetero dianggap sebagai pengaruh buruk Barat, atau penyimpangan (psikologis atau biologis), dan tekanan-tekanan dari negara maupun agama makin meningkat. Sebagaimana dicatat oleh Boellstorff (2005: Bab 2), berbeda dengan praktik waria, tidak ada tradisi lokal atau adat yang merestui subyektifitas gay, lesbian, atau biseksual kontemporer. Sangat sedikit orang gay, lesbian atau biseksual di Indonesia mengetahui sejarah dan tradisi pluralisme gender yang ada di Indonesia. Wacana sejarah dan budaya pluralisme gender di Asia Tenggara yang ditawarkan Peletz mungkin dapat membantu proses penerimaan dan legitimasi, meskipun kita tentunya juga harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam perangkap esensialisasi ataupun pencampuradukan orientasi seksual dengan gender. Sayangnya, informasi yang ditampilkan terasa kurang merata, terbatas dan melompat-lompat, meskipun ini bisa dimengerti mengingat keterbatasan sumber yang tersedia, serta betapa luas dan beragamnya domain spasial dan panjangnya periode (lebih dari 600 tahun) yang dihadapi. Toh, melihat banyaknya sumbangan yang diberikan dalam meninjau ulang metodologi, perspektif, pendekatan, konsep dan teori, buku ini penting dibaca oleh siapapun yang tertarik pada kajian-kajian gender, seksualitas, sejarah, pluralisme, dan Asia Tenggara. Tentunya, kita harus berhati-hati untuk tidak menggeneralisasi Asia Tenggara hanya berdasarkan data yang ada dalam buku ini, tapi membacanya bersandingan dengan buku-buku lain, seperti The Gay Archipelago (Boellstorff 2005) yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Gender Diversity in Indonesia (Davies 2010), dan sumber-sumber lain dalam daftar pustakanya. Mudah-mudahan buku ini dapat mendorong lebih banyak penelitian dan kajian lanjutan yang dapat menggunakan dan melengkapi data dalam buku ini, terutama di Indonesia.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
145
KATHLEEN AZALI: Pemilik Perpustakaan C2O, Surabaya. Email:
[email protected]
RUJUKAN Aldrich, Robert. 2003. Colonialism and Homosexuality. London & New York: Routledge. Andaya, Barbara Watson. 1998. “From Temporary Wife to Prostitute: Sexuality and Economic Change in Early Modern Southeast Asia.” Journal of Women’s History 9(4): 11-34. Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton: Princeton University Press. Davies, Sharyn Graham. 2010. Gender Diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and Queer Selves. London & New York: Routledge. Peletz, Michael G. “Transgenderism and Gender Pluralism in Southeast Asia since Early Modern Times.” Current Anthropology 47(2): 309340. Said, Edward. 1978. Orientalism. London: Penguin. Sinnott, Megan. 2010. “Borders, Diaspora, and Regional Connections: Trends in Asian “Queer” Studies.” Journal of Asian Studies 69(1): 17–31. Stoler, Ann. 2002. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule. Berkeley: University of California Press. Suparlan, Parsudi. 2000. “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya.” Antropologi Indonesia 63: 1-13.
146
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011