RESENSI BUKU
Judul Buku Editor Penerbit Tahun Halaman
: : : : :
Hope & Solidarity. Jon Sobrino’s Challenge to Christian Theology Stephen J. Pope Orbis Books, Maryknoll, New York 2008 xiii + 282
Ada dua peristiwa yang saling terkait yang menjadi awal penulisan buku ini. Yang pertama ialah pembunuhan 6 Jesuits beserta pengurus rumahtangga dan anaknya di Universitas Amerika Tengah pada tanggal 16 November 1989. Jon Sobrino adalah anggota komunitas yang lolos dari pembunuhan itu. Meninggalkan kampunghalamannya di Spanyol, Jon Sobrino menjalankan pelayanan bagi kaum miskin di El Salvador. Yang kedua ialah notificatio terhadap tulisan Sobrino yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman pada tanggal 26 November 2006. Notificatio memuji tulisan Sobrino baik mengenai metode maupun isi, terutama berkaitan dengan relevansi Kristologi pada perjuangan keadilan serta keprihatinan Sobrino yang besar terhadap masalah kemiskinan dan ketidak adilan. Namun Notificatio tersebut memberi catatan mengenai peran yang terlalu besar pada otoritas ”Gereja kaum miskin”, dan kurang memberikan penghargaan terhadap iman apostolik yang diteruskan melalui tradisi. Notificatio juga memberikan catatan mengenai penafsiran Kitab Suci yang cenderung melemahkan keilahian Kristus, serta memisahkan secara tajam antara Yesus dan Kerajaan Allah (hal. xi). Menarik untuk mencermati notificatio terhadap Sobrino sebagaimana tampak dalam tulisan William Loewe (hal. 143-152). Bila dibandingkan dengan notificatio terhadap tulisan Roger Haights, Jesus Symbol of God tampaklah ada perbedaan antara keduanya. Notificatio terhadap tulisan Roger Haights secara tegas menyatakan bahwa tulisan itu salah dan berlawanan dengan ajaran iman disertai larangan bagi Roger Haights untuk mengajar teologi Katolik, sementara notificatio terhadap Sobrino, terutama bukunya Jesus the Liberator dan Christ the Liberator, lebih memberikan catatan-catatan kehati-hatian, dan yang menarik tidak disertai larangan bagi Sobrino untuk mengajar Teologi Katolik. James T. Bretzke secara rinci mengajak pembaca untuk memahami apa yang tidak dikatakan oleh notificatio terhadap Sobrino maupun apa yang dikatakan oleh notificatio itu (hal 177-178). Bagi James T. Bretzke, notificatio terhadap Sobrino tidaklah dimaksudkan untuk menghukum Sobrino, karena tidak mencantumkan hukuman itu, tetapi lebih menyampaikan suatu refleksi sebagai pegangan bagi umat beriman agar tidak salah menafsirkan misteri iman.
Resensi Buku
— 213
Notificatio lebih memberikan kriteria berdasar ajaran Gereja untuk mencermati pernyataan-pernyataan yang tertulis dalam buku Sobrino. Buku yang berupa kumpulan karangan ini mau mendiskusikan lebih lanjut pokok-pokok perhatian yang disampaikan oleh Kongregasi ajaran iman maupun apa yang menjadi perhatian Sobrino. Buku ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama diberi judul Theology. Bagian ini membahas metode teologi yang dikembangkan oleh Sobrino, terutama dalam kaitannya dengan orang-orang miskin. Seperti para teolog pembebasan lainnya, Sobrino menempatkan para teolog pada pihak orang miskin dan korban. Tentu saja para teolog pembebasan tidaklah mau memutlakkan pandangan ini, tetapi lebih memberi perspektif orang-orang miskin dan tertindas pada teologi. Maka menurut Dean Brakeley, dari sudut metodologi apa yang disampaikan oleh Sobrino sebetulnya hanyalah persoalan perspektif, persoalan sudut pandang dalam menafsirkan iman. Tentu perbedaan perspektif punya konsekwensi juga pada pemahaman (hal. 3). Keberpihakan pada orang miskin bukanlah hal yang baru dalam Gereja. Para Uskup Amerika Latin di Medellin tahun 1968 sudah menyuarakan keberpihakan pada orang-orang miskin. Dan Sobrino meneruskan gagasan dari para Uskup Amerika Latin, jeritan orang-orang miskin adalah tanda-tanda zaman yang mengundang untuk berefleksi. Dalam hal ini orang-orang miskin menjadi titik pijak berteologi, tanpa mengesampingkan Kitab Suci dan tradisi Gereja. Justru Kitab Suci dan tradisi Gereja dibaca ulang dalam konteks orang-orang miskin. Dalam hal ini, teologi menjadi suatu intellectus amoris, pengetahuan kasih, yang menggerakkan untuk membangun solidaritas dengan orang-orang yang menderita. Dan ini tidak berlawanan tetapi saling melengkapi dengan pemahaman teologi sebagai intellectus fidei, pemahaman iman (hal. 57). Bagian II diberi judul Jesus Christ and Christology, menampilkan karangankarangan berkaitan dengan metodologi, tema-tema Kristologi Sobrino, dan akhirnya beberapa catatan mengenai notificatio sendiri. Daniel J. Harrington berpendapat bahwa Sobrino menampilkan pendekatan yang lebih memadai dalam berkristologi yaitu pendekatan historis-teologis. Bagi Sobrino pendekatan historis-teologis terhadap Yesus dari Nasaret tidak dimaksudkan sebagai sejarah teologi, tetapi lebih memandang serius data-data historis mengenai Yesus Kristus dan berteologi atas dasar dan dalam terang data historis tersebut. Kematian Yesus bukanlah suatu kebetulan, tetapi konsekwensi dari hidupnya, konsekwensi dari inkarnasinya di tengah masyarakat yang anti Kerajaan Allah untuk membela para korban. Di sini ada analogi antara Yesus yang tersalib dengan orang-orang yang tertindas di Amerika Latin (hal 80-82). Hidup Yesus menjadi bermakna bagi orang-orang zaman sekarang. Kristologi menjadi Kristologi praksis, mengundang orang untuk mengikuti Yesus mewartakan Kerajaan Allah di tengah masyarakat yang tertindas. Hidup Yesus menjadi norma untuk hidup sebagai orang-orang Kristen. Kristologi lebih bernada soteriologi, 214 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18 NO. 2, OKTOBER 2009
bemakna pembebasan bagi masyarakat tertindas saat ini. Kebangkitan Yesus lebih dimaknasi sebagai tindakan eskatologis Allah yang menyelamatkan orangorang tertindas. Maka keselamatan dapat dipahami sebagai ”membangkitkan yang tersalib”, atau ”membawa rakyat yang tersalib turun dari salibnya” (hal. 127). Pendek kata kristologi diterangkan dari perspektif korban, dari perspektif orang-orang tertindas. Dalam hal ini J. Costadoat memberikan menyetujui notificatio dari Kongregasi ajaran iman bahwa dalam berkristologi Sobrino bisa jatuh pada penyederhanaan kategori-kategori yang biasa digunakan dalam kristologi, entah itu mengenai pendekatan dari bawah, mengenai identifikasi antara korban dengan Tubuh Kristus (hal. 127-128). Bagian III diberi judul The Church and Ecclesiology. Thomas M. Kelly memandang gagasan ekklesiologis Sobrino tetap ditempatkan dalam kerangka kaum miskin dan korban. Secara singkat Gereja haruslah menampilkan semangat belaskasih dalam praksis hidupnya, terutama dengan menanggapi dan menjawab kebutuhan orang-orang miskin. Dengan semangat belaskasih ini Gereja melayani Kerajaan Allah (hal 155-156). Dalam rangka Gereja yang melayani Kerajaan Allah inilah kemudian harus dibaca peran magisterium dan teolog. Tulisan James T. Bretzke secara khusus membicarakan bagaimana notificatio terhadap tulisan Sobrino dipahami. Bagian IV diberi judul Moral Theology and The Christian Life. James F. Keenan mencatat bahwa prinsip belas kasih merupakan tema sentral dalam gagasan Sobrino. Prinsip belas kasih inilah yang dikembangkan dalam opsi dasar preferential option for the poor, prinsip belas kasih inilah juga yang ditegaskan dalam ajaran-ajaran sosial Gereja. Dan akhirnya buku ini kemudian diakhiri dengan dua appendix, yaitu: Notification on the Works of Father Jon Sobrino SJ, dan Explanatory Note on the Notification on the Works of Father Jon Sobrino SJ. Kumpulan karangan ini memang dimaksudkan untuk mendiskusikan secara kritis pokok-pokok pikiran dari Jon Sobrino. Tujuannya untuk menempatkan pokok-pokok pikiran Sobrino dalam konteks keprihatinan Gereja sebagai tampak dalam notificatio yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman. Di sinilah kekuatan buku ini. Secara seimbang disampaikan kekuatan dari pandangan-pandangan Sobrino, yang juga diakui dan dipuji dalam notificatio sendiri. Namun demikian para pembaca tetap diajak untuk bersikap kritis, baik dalam memahami tulisan Sobrino maupun dalam membaca notificatio. Adanya teks notificatio dan catatan penjelasan mengenai notificatio yang ditempatkan dalam appendix buku ini membantu para pembaca untuk memahami secara tepat apa yang menjadi keprihatinan Kongregasi Ajaran Iman. Dengan cara itu, para pembaca diajak untuk melihat secara seimbang dalam memahami kasus Sobrino. (M. Purwatma)
Resensi Buku
— 215
Judul Buku : Surprised by Hope. Rethinking the Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church Pengarang : N. T. Wright Penerbit : HarperCollins e-books, Tahun : 2008 Halaman : x + 337 Buku ini adalah satu dari buku terbaru dari Wright, uskup Durham, yang dikenal sebagai seorang teolog ulung dari abad kita ini. Mereka yang akrab dengan karya-karya Wright segera dapat mengenali bahwa buku ini merupakan sebuah versi yang jauh lebih ringkas dan lebih popular dari magnum opus-nya The Resurrection of the Son of God (2003 : 817 hal) dan menggemakan kembali Simply Christian-nya (2006). Sebagaimana ia tulis pada awal, buku ini dibentuk oleh dua pertanyaan fundamental: apa sebenarnya yang menjadi harapan terakhir dari kekristenan sebagaimana terungkap di dalam Kitab Suci? Dan pertanyaan kedua, apa pengaruhnya bagi dunia yang sekarang ini kita hidupi? Tesis yang diajukan Wright adalah jika harapan kekristenan adalah naik ke sorga, yang berarti meninggalkan dunia tempat kita hidup ini, maka kedua pertanyaan itu tidak punya hubungan apa-apa. Akan tetapi, jika harapan kekristenan berarti suatu ciptaan Allah baru, langit dan bumi baru, maka pertanyaan pertama mau tidak mau berkaitan juga pertanyaan kedua. Apa yang dipikirkan tentang kematian dan hidup sesudahnya merupakan kunci untuk merenungkan hal lainnya secara serius. Begitu yang dikatakan para filsuf, demikian pulalah yang mesti diperhatikan oleh para teolog kristen. Surprised by Hope mempunyai lima belas bab yang terbagi menjadi tiga bagian: Setting the Scene, God’s Future Plan dan Hope in Practice: Resurrection and the Mission of the Church. Dalam Bagian I yang terdiri dari 4 bab, Wright mengajak pembaca untuk merenungkan kembali praktik serta anggapan orang tentang pengharapan Kristen, yaitu apa yang akan kita hadapi sesudah kematian. Menurut dia pandangan populer tentang hal ini yang juga terungkap dalam karya seni seperti lukisan, musik, novel, ungkapan idiomatik, dsb. diwarnai oleh kekacauan yang membingungkan. Secara tradisional, kita menganggap bahwa kekristenan mengajarkan tentang surga di atas sana, kemana mereka yang terberkati dan diselamatkan akan pergi; sementara neraka ada di bawah sini, yang disediakan bagi orang-orang jahat. Setelah mati kita akan pergi ke surga. Mungkin akan mengejutkan, demikian Wright, jika kepada mereka disampaikan fakta bahwa di dalam Alkitab, amat sedikit muncul gagasan tentang ’pergi ke surga setelah meninggal’ demikian pula halnya dengan ide tentang neraka. Gambaran abad pertengahan tentang surga dan neraka di dunia barat 216 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18 NO. 2, OKTOBER 2009
dipengaruhi kuat oleh karya klasik Dante, walaupun akarnya terdapat pada filsafat Platonis. Pengharapan Kristen yang berdasarkan Alkitab dan berakar pada Yudaisme adalah kebangkitan badan. ”Resurrection...did not mean going to heaven or escaping death or having a glorious and noble postmortem existence but rather coming to bodily life again after bodily death.” Semuanya itu akhirnya dijangkarkan pada kebangkitan badan yang sudah terjadi dalam Yesus sendiri. Pengharapan Kristen ternyata tidak seperti yang dibayangkan banyak orang selama berabad-abad. Inilah surprised by hope! Setelah mengulas situasi yang ada, pada Bagian II yang terdiri dari 7 bab, Wright secara bertahap mengemukakan gagasannya tentang pengharapan Kristen yang didasarkan pada teks-teks Alkitabiah. Wright mulai dengan meninjau dua pandangan umum tentang nasib alam semesta ini, yaitu yang disebutnya myth of progress dan mitos tentang soul in transit. Yang pertama berpandangan bahwa alam semesta ini secara ajeg bergerak menuju titik utopia terakhir; sementara yang kedua menganggap dunia ini begitu buruk, maka tujuannya adalah melepaskan diri dari dunia ini menuju suatu tempat lain, suatu utopia yang lain lagi. Kedua posisi ini dianggapnya tidak sesuai dengan pandangan Kristen. Oleh karena itu Wright mengajukan argumentasinya dengan berdasarkan pada tiga pokok: kebaikan ciptaan (goodness of creation), problem kejahatan (the nature of evil) serta rencana penebusan (plan of redemption). Ketiganya dirangkum dan mendapatkan makanya dari kedatangan dan terutama kebangkitan Kristus. Wright menulis, ”What creation needs is not abandonment on the one hand, nor evolution on the other, but redemption and renewal; and this is both promised and guaranteed by the resurrection of Jesus from the dead. This is what the whole world’s waiting for.” Setelah itu barulah Wright memaparkan dengan agak panjang lebar masalah kebangkitan Yesus dengan segala implikasi kosmisnya, termasuk kedatangan-Nya yang kedua. Kemudian dilanjutkan paparannya tentang kebangkitan badan, dan juga menyinggung sedikit masalah api pencucian, surga dan neraka. Pada bagian ini, Wright sekali lagi, memaparkan gagasan intinya, yaitu bahwa pengharapan Kristen bukanlah ’naik ke surga’ atau ’rapture’ atau yang lain lagi, melainkan dibangkitkan dengan tubuh yang mulia. Pengharapan Kristen bukanlah meninggalkan dunia ini dan pergi ke suatu tempat, melainkan kembali ke dunia ini bersama Yesus yang bangkit. Ciptaan baru adalah ”Yerusalem yang baru, turun dari surga” (Why 21,2). Inilah perkawinan antara langit dan bumi, surga dan dunia. Inilah yang menjadi jawaban pokok dari doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita, ”Datanglah Kerajaan-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga.” Kembali pada suatu pernyataan di awal bahwa paham tentang hidup sesudah kematian, menentukan juga bagaimana kita menyikapi hidup ini. Maka baru setelah gagasannya tentang pengharapan Kristen disampaikan, pada Resensi Buku
— 217
Bagian III yang terdiri dari 4 bab, Wright mengemukakan implikasi-implikasi dari pengharapan itu untuk dunia sekarang ini. Karya penciptaan baru yang sudah dimulai dengan kebangkitan Yesus dan terus bekerja dalam diri umat Allah yang hidup dalam Kristus yang bangkit dan dalam kuasa Roh Kudus, menunjukkan bahwa apa yang sekarang ini kita buat dalam Kristus bukanlah sesuatu yang sia-sia (bdk. 1Kor 15,58). Wright sendiri tidak bisa mengatakan secara tepat bagaimana hal ini terjadi. Ia hanya menunjukkan ”tanda arah dan bukan sebuah foto tentang apa yang bakal kita temui saat kita sampai ke tempat yang ditunjukkan oleh tanda arah itu.” Gagasan Wright tentang pengharapan Kristen yang alkitabiah tentunya merupakan pandangan yang menggoncangkan banyak orang dari kelompokkelompok Kristen yang ada. Pandangannya memang tidak biasa, tetapi mungkin kita memang mesti merenung bersama. Meskipun orang bisa tidak setuju pada gagasan Wright tentang pengharapan Kristen, tetapi pokok-pokok yang ia sampaikan khususnya pada bagian akhir bukunya, seperti misalnya ajakan untuk memperjuangkan keadilan, menikmati keindahan serta mewartakan Injil tetap relevan bagi kita semua. (Indra Tanureja)
218 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18 NO. 2, OKTOBER 2009