Resensi Buku
RESENSI BUKU
Judul
Pengarang Penerbit Tahun Halaman
: Moral Formation according to Paul. The Context and Coherence of Pauline Ethics : James W. Thompson : Baker Academic : 2011 : xv + 256
Buku-buku dan tulisan mengenai ajaran moral pada corpus paulinum sudah banyak ditulis oleh mereka yang menggeluti New Testament Studies. James W. Thompson, profesor studi Kitab Suci di Abilene Christian University, Texas, mengangkat tema penelitian yang lebih spesifik, yakni pembentukan moral (moral formation) yang menjadi tujuan dari karya pewartaan Paulus. Thompson menerima pendapat umum bahwa Paulus di satu sisi tidak mempunyai teori atau pandangan etis yang komprehensif namun di sisi lain pada nasihat-nasihat Paulus terdapat koherensi. Untuk melihat koherensi ini, kita perlu mencermati instruksi-instruksi moral helenistikyudaistik pada surat-surat Paulus. Maka Thompson mencoba mengeksplorasi relasi antara tradisi paranetik Yudaisme dan petunjukpetunjuk moral dari Paulus kepada orang-orang Kristen baru (new converts) (hlm. 16). Menurut Thompson, jemaat Kristen awal menghadapi situasi yang mirip dengan situasi orang-orang Yahudi diaspora yang mencoba membangun identitas yahudi di tengah kultur helenistik. Hidup sebagai kelompok religius minoritas, baik orang Yahudi diaspora dan jemaat Kristen generasi pertama menghadapi ketegangan nilai-nilai dan norma-norma moral dalam berbagai bidang kehidupan. Thompson menjabarkan argumentasinya di dalam delapan bab dan mengakhiri bukunya dengan refleksi singkat mengenai relevansi instruksi moral Paulus untuk zaman sekarang. Pada bab satu, Thompson menunjukkan upaya pembentukan moralitas pada literatur Yahudi diaspora seperti Tobit, 4 Makkabe, Kebijaksanaan Salomo dan Didakhe. Pada tulisan-tulisan ini terdapat instruksi-instruksi moral. Kendati tidak mengutip Taurat, diandaikan bahwa petunjukpetunjuk tersebut diturunkan dari Taurat. Menurut
204
Thompson, literatur seperti ini merupakan obyek komparasi yang baik untuk Corpus Paulinum karena di balik penulisnya ada kepentingan mempertahankan identitas Yahudi di diaspora dengan cara membangun etos komunitas. "The writers urge their readers to appropriate the identity of ancient Israel as the people set apart from their contemporaries and called to demonstrate their election by a shared standard of conduct." (hlm. 39). Sebagaik kelompok minoritas dalam masyarakat helenis, jemaat Kristen generasi pertama juga menghadapi persoalan membangun a shared standard of conduct. Di bab dua, Thompson mencoba menjelaskan hubungan antara teologi Paulus dan ajaran moralnya (etika) dengan menggunakan paradigma identitas dan etos. Ini semacam pendekatan sosiologis terhadap suatu komunitas Kristen perdana. Orang Kristen datang dari berbagai macam latar belakang budaya namun masuk ke dalam identitas dan etos bersama (common identity and common ethic). Menurut Thompson, Paulus membangun kesadaran moral orang-orang Kristen pertama, yakni the gentile converts, dengan menggunakan istilah-istilah Israel kuno/klasik, misalnya keterpilihan, atau panggilan kepada kekudusan. Untuk membangun the sense of community, Paulus menggunakan sebutan-sebutan dalam keluarga, misalnya bapak, ibu, anak, saudara, saudari. Menjadi Kristen berarti menjadi anggota suatu keluarga baru. Instruksi-instruksi moral kepada orangorang yang menjadi "anggota keluarga" ini menunjukkan bahwa moralitas –panggilan untuk hidup ke arah kesucian– tidak bisa dijalankan sendirian. Tiap orang Kristen menjadi harus teman seperjalanan bagi sesama saudara Kristen dalam proses "hidup kepada kesucian". Tiap orang Kristen adalah anggota "satu keluarga kudus" yang dipanggil untuk menunjukkan kekudusan dalam hidup sehari-hari (hlm. 62). Orang-orang pagan yang telah menjadi Kristen mempunyai identitas baru. Bagaimana identitas baru ini bisa dibentuk? Thompson pada bab tiga mencoba merekonstruksi katekese Paulus dari 1Tes. Menurut Thompson, di 1Tes ini Paulus membangun narasi identitas orang-orang Kristen baru ini, the gentile converts. Mereka dimasukkan Paulus ke dalam dunia narasi Perjanjian lama (hlm. 65). Thompson menunjukkan, bahwa kendati Paulus tidak mengutip tulisan-tulisan Perjanjian
Vol. 03, No. 01, Mei 2014, hlm. 204-208
Lama, tampak jelas bahwa petunjuk-petunjuknya diambil dari situ (hlm. 74). Kendati Paulus tidak memberikan aturan tingkah laku (code of conduct) yang menyeluruh, daftar watak-watak buruk (vices) dan keutamaan-keutamaan (virtues) menyediakan contoh konkrit manakah kebiasaan yang sesuai bagi orang-orang Kristen baru itu. Pada bab empat Thompson menginventarisir watak-watak buruk dan keutamaan-keutamaan yang muncul di surat-surat Paulus. Memang ada beberapa yang umum ditemukan di aneka budaya, termasuk yahudi dan yunani-romawi. Namun anehnya, keutamaan kardinal yang terkenal dalam filsafat Yunani tidak muncul dalam corpus.Thompson selanjutnya memasukkan watak-watak buruk ke dalam dua kategori (lih. hlm. 90-101): dosa seksual (misalnya percabulan, 1Kor 6:9) dan dosa sosial (misalnya ambisi pribadi, 2Kor 12:20). Kedua kategori ini sudah jamak dalam literatur yahudi. Misalnya, peringatan terhadap dosa seksual bisa ditemukan dalam Im 18 dan 20. Namun tidak diragukan bahwa penyebutan dan seleksi watakwatak buruk dan –terutama– keutamaankeutamaan ini dipengaruhi oleh kristologi Paulus. Pada bab lima, Thompson mencoba menjelaskan peran Taurat dalam pemikiran Paulus. Menurut dia, 1Kor 7:19 merangkum cara pandang Paulus terhadap Taurat."Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah." Paulus di satu sisi sepertinya menganggap sunat tidak penting. Padahal sunat adalah "garis demarkasi" antara orang Yahudi dan orang kafir. Namun di sisi lain, Paulus menampakkan komitmennya yang serius untuk memenuhi hukum-hukum Allah (hlm. 133). Tampak bahwa pengenalannya akan Kristus yang bangkit memberi Paulus cara pandang baru terhadap Kitab Suci (Taurat). Jika bagi orang Yahudi, Taurat hanya berlaku bagi kalangan mereka saja (orang Yahudi), maka bagi Paulus hukum merupakan sarana untuk membentuk moralitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan hidup moral adalah kebahagiaan manusia, atau apa yang baik/indah bagi manusia (eudaimonia). Demikian rumusan para filsuf Yunani. Sedangkan tujuan itu dibahasakan sebagai "hidup" dalam tradisi biblis. Untuk mencapai tujuan ini, terdapat berbagai macam cara seperti berpegang pada perintah Allah (Ul 8:6), mengupayakan hikmat-pengertian (Ams 4:5) atau melakukan kehendak Allah (Mzm 40:8). Thompson melihat, bahwa pembentukan moral dalam jemaat Kristen mengandaikan adanya
tujuan yang hendak dicapai. Pengandaian ini berlaku juga bagi pandangan etis Yunani. Instruksi-instruksi moral Paulus merupakan sarana untuk mencapai tujuan itu. Namun baik tradisi filosofis maupun biblis mengakui fakta bahwa manusia harus berjuang untuk mencapai tujuan itu dan tidak sedikit yang gagal. Tradisi helenistik menyebutkan, penghalang ini ialah hawa nafsu (passions, pathemata). Pada bab enam, Thompson mencoba meletakkan nasihat-nasihat moral Paulus dalam konteks pemikiran kala itu mengenai penghalang dalam hidup moral. Ia menjelaskan bahwa baik tradisi yunani-romawi dan yahudi mengakui kebutuhan dan kemampuan manusia untuk mengatasi hawa nafsu. Yang pertama melihat pendidikan (hlm.136-139), sedangkan yang kedua melihat ketaatan pada hukum Taurat (hlm.139-141). Paulus berpendapat bahwa usahausaha manusiawi tadi tidak akan menolong. "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak." (Rm 3:10). Thompson mencermati, bahwa pandangan pesimistik mengenai kemampuan manusia ini adalah khas Paulus. Antropologi yang tampaknya pesimistik ini tampaknya merupakan "the logical conclusion of his soteriology" (hlm. 155). Di bab tujuh, Thompson membicarakan kategori sentral dalam instruksi moral Paulus, yakni kasih (agape). Kata ini merupakan kategori etis yang penting dalam corpus paulinum. Dalam identitas komunitas Kristen sebagai "keluarga", tentu saja "kasih" merupakan istilah penting. Dalam pemahaman Paulus, istilah "kasih“ mendapat dimensi baru karena dua hal. Pertama, pemahaman Paulus akan kasih ini bermuara pada kasih Allah kepada manusia dan kasih Kristus yang rela mengorbankan diri-Nya. Kedua, kasih mengatasi ambisiambisi pribadi. Dalam komunitas Kristen, di mana terdapat banyak perbedaan budaya dan mentalitas, membangun suatu identitas bersama bukan suatu pekerjaan yang mudah. Maka, "love involves assuming the roles of the family as the social safety net and the care of family members for one another." (hlm. 180). Pada bab terakhir, Thompson menunjukkan kontinuitas dan diskontinuitas instruksi moral dalam surat-surat yang termasuk dalam deuteropaulinum (Kol, Ef, 2Tes, 1-2Tim, Tit). Kontinuitas itu terletak pada pembangunan iden-titas, sementara diskontinuitasnya pada penambah-an instruksi-instruksi yang lebih spesifik pada aturan rumah tangga (household rules).Sebagai suatu hasil studi atas corpus paulinum, buku karya Thompson ini merupakan sumbangan penting terhadap teologi moral biblis. Thompson berusaha
205
Resensi Buku
menunjukkan bahwa agenda Paulus dalam karya pewartaannya adalah transformasi moral komunitas Kristiani yang dilayaninya. Thompson menelusuri akar-akar ajaran moral Paulus yang berasal dari tradisi Perjanjian Lama, dan juga dari kisah penebusan Allah dalam diri Yesus Kristus. Ini semua ditempatkan dalam konteks falsafah moral Yahudi Diaspora dan Helenistik-Romawi. Di sinilah point yang menarik: Thompson menempatkan corpus pauli-num dalam suatu konteks tertentu, yakni di dalam komunitas jemaat Kristen perdana, generasi pertama. Mereka ini adalah orang-orang yang sedang memulai suatu "hidup baru di dalam Kristus", yang menantikan kedatangan hari terak-hir. Mereka adalah orangorang yang memandang keberadaannya di tengah masyarakat sebagai suatu "moral counterculture". (D. Bismoko Mahamboro)
Judul Buku
Penulis Penerbit Tahun Halaman
: Pokok-pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat. : Emanuel Martasudjita, Pr. : Kanisius : 2013 : xiv + 298
Wahyu dipahami sebagai Allah sendiri, yang menyapa dan membuka diriNya bagi manusia dan iman dipahami sebagai manusia yang menerima pewahyuan itu dan menjalin relasi mesra dengan Allah. Jadi iman adalah tanggapan manusia atas pewahyuan Allah. Konsili Vatikan II mengata kan, “Kepada Allah yang mewahyukan diri, manusia harus menyatakan ketaatan iman. Dalam ketaatan iman tersebut manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan kepenuhan akal budi dan kehendak yang penuh kepada Allah pewahyu...” (DV 5). Dengan demikian, tampaklah bahwa iman dapat diartikan sebagai sikap penyerahan diri manusia, dalam perjumpaan pribadi dengan Allah. Sapaan dan pembukaan diri Allah yang paling jelas adalah lewat Yesus Kristus. Dia adalah Sakramen Allah, yang membuka rahasia Allah bagi manusia. Kita manusiapun hanya bisa menangkap sapaan Allah itu lewat pengantaraan Yesus Kristus. Jadi, konkritnya, iman berarti penerimaan Yesus Kristus sebagai “satu-satunya Pengantara”, (bdk., 206
Yoh 14:6) dalam relasi manusia dengan Allah. Kehadiran Kristus itu sekarang dilanjutkan oleh Roh Kudus yang berkarya melalui GerejaNya. Roh Kudus bersama Gereja melanjutkan misi Yesus Kristus untuk mempertemukan Allah dan manusia. Dari bahasa Konsili di atas, jelaslah bahwa orang yang beriman Katolik adalah orang yang menerima Allah di dalam kehidupannya dan kepada Allah ia taat dan berserah diri secara utuh dan penuh. Allah itu adalah Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Allah Tritunggal inilah pokok iman Gereja yang paling fundamental. Bertitik tolak dari pemahaman di atas, dapatlah dikatakan bahwa menjadi orang beriman Katolik berarti menjadi orang yang harus percaya, mempunyai sikap penyerahan diri secara utuh dan penuh, baik akal budi maupun kehendak (Mat 22:37), kepada Allah yang menyapa manusia dalam diri Yesus dan terus menyapa manusia lewat Roh Kudus. Iman seperti inilah yang hendaknya tumbuh dan berkembang, dalam diri dan hidup orang Katolik. Iman yang kuat dan berakar pada Allah Tritunggal inilah yang menjadi dasar keterlibatan seorang beriman Katolik di tengah hidup bermasyarakat. Paus Benediktus XVI mempunyai keprihatinan akan umat yang terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat namun kurang mendalami iman itu sendiri. Keprihatinan Paus itulah yang mendorong Rm. Emanuel Martasudjita menulis buku yang memuat kajian teologis tentang Allah Tritunggal sebagai pokok iman Gereja. Rm. Martasudjita memberi judul pada bukunya, Pokok-pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat. Beliau menulis, “Kita begitu giat dalam pelayanan seharihari kepada sesama baik dalam masyarakat maupun intern Gereja… tetapi ternyata kita jarang mendalami pokok-pokok iman kita sendiri.” (hlmn. iii). Rm. Martasudjita kiranya berteori bahwa seorang yang mempunyai dasar iman yang pasti akan kuat dan mampu untuk hidup di tengah masyarakat. Iman itu diamalkan dalam hidup sehari-hari. Rm. Martasudjita membagi bukunya ini atas 4 bab. Bab I pertama diberi subjudul “Pengertian Aku Percaya”. Lewat “Aku Percaya” ini, Rm. Martasudjita mengulas tentang Kredo, yakni pengakuan iman akan Allah Tritunggal. Ia mau memberikan pendasaran yang matang tentang Kredo agar umat memahami bahwa iman Gereja bertumbuh dan berkembang dari iman yang diwariskan para Rasul (hlmn. 27). Seperti iman para Rasul, iman Gereja (umat) juga berakar pada pengakuan akan ke-Allah-an Yesus Kristus, “Di mana dengan kepercayaan ini manusia
Vol. 03, No. 01, Mei 2014, hlm. 204-208
dimasukkan ke dalam suatu relasi yang sama sekali baru dengan Allah” (hlmn. 10). Iman itu kemudian berkembang menjadi iman yang triniter dimana terjadi pengakuan akan Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus dalam satu kesatuan ke-Allah-an (hlmn. 33-40). Pengakuan itu menjadi dasar kekristenan seseorang karena dengan mengakui Allah Tritunggal, seseorang dibaptis dan diterima di dalam Gereja. Bab II-IV merupakan uraian Rm. Martasudjita tentang isi iman Allah Tritunggal. Lewat bab II ini, Rm. Martasudjita ingin menguraikan siapakah Allah Bapa itu. Pengalaman akan Allah dari umat Perjanjian Lama menghantar kita untuk menjadi sadar bahwa Allah Bapa itu adalah Allah yang Mahabaik yang senantiasa menyertai umatNya. Ia membebaskan umat Israel dari perbudakan Mesir, turut berpe-rang bersama orang Israel dan menetap bersama mereka di Tanah Terjanji. Allah hadir dan terlibat dalam sejarah bangsa Israel dialami pula oleh Umat Perjanjian Baru bahkan mereka menyapa Allah itu sebagai “Bapa”, sebuah sapaan yang menyatakan kedekatan dan sekaligus kehangatan relasi yang sangat personal (hlmn. 6265). Puncak dari kehadiran Allah Bapa itu ada dalam diri Yesus Kristus; Dia menghadirkan Allah secara penuh. Dari konsep dasariah ini Rm. Martasudjita menguraikan konsepsi tentang “Allah Bapa Mahakuasa Pencipta langit dan bumi” sebagai-mana ada di dalam Kredo Para Rasul. Yang menarik dan menjadi kekhasan tulisan Rm. Martasudjita adalah bahwa penciptaan itu bukan sekedar creation ex nihilo namun juga adalah ex amore Dei. Penciptaan itu lahir dari cinta Allah maka “seluruh ciptaan termasuk manusia menjadi pernyataan kasih Allah” (hlmn. 86). Karena itu, selayaknya kita menjaga keutuhan ciptaan Tuhan itu dan menjaga terus kelangsungan keber-ada-an seluruh ciptaan. Bab III berisikan uraian Rm. Martasudjita tentang Yesus Kristus. Yesus dikenal berangkat dari iman paskah para muridNya. Pengalaman paskah itu menghan-tar para murid Kristus untuk merunut kembali sejarah kehidupan Yesus. Para murid berkesim-pulan bahwa Yesus memang Kristus yang telah dijanjikan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama, kini telah menjadi manusia dan melakukan kehen-dak Allah untuk menyelamatkan umat manusia. dalam pembicaraan mengenai Yesus historis ini, tak lupa Rm. Martasudjita menyisipkan tulisannya mengenai Bunda Maria. Pengakuan akan Yesus historis tentulah akan berdampak pada pembica-raan mengenai Maria sebagai theotokos. Pengaku-an demi pengakuan akan Yesus Kristus berpuncak pada pengakuan akan pribadi Yesus sebagai
“sungguh Allah dan sungguh manusia”. pengakuan itu tentu saja merupakan pengakuan hakekat Yesus yang sama dengan Allah. Dia adalah Allah yang turun ke dunia ini dengan menjadi manusia untuk menyelamatkan umat manusia. Kelak Ia akan datang untuk menyelamatkan manusia pada akhir zaman. Seluruh uraian tentang Yesus Kristus ini mengambil skema dari rumusan pengakuan iman: Yesus Kristus, Putera Allah sampai pada kedatanganNya di akhir zaman. Bab IV diberi subjudul “Iman Kepada Roh Kudus”, yang berisikan uraian Rm. Martasudjita tentang Allah Roh Kudus. Roh Kudus adalah “Tuhan yang menghidupkan”. Ia berasal dari Bapa dan Putera. Dialah yang mempersatukan “berbagai dan bangsa di dalam satu Tubuh dan satu Roh yakni Gereja.” (hlmn. 198). Yesus menjanjikan Roh Kudus kepa-da para muridNya dan keberada-an Roh Kudus itu menandai permulaan “zaman akhir”, seperti yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama (hlmn. 202). Langsung setelah pembicaraan mengenai Roh Kudus, Rm. Martasudjita menguraikan keberadaan Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik. Keberadaan Gereja yang seperti itu, tidak lain karena ia dibimbing oleh Allah Tritunggal. Kesatuan, kekudusan, kekatolikan dan sifat apostoliknya terjadi karena Allah hadir, berjalan dan menguduskan Gereja sepanjang zaman. Komunitas gerejawi yang sedang berziarah akan masuk dalam “persekutuan para kudus.” Persekutuan itu ternyata dimulai di dalam Ekaristi. Disinilah seninya Rm. Martasudjita mengangkat peranan Ekaristi sebagai pembentuk persekutuan (communio) itu. Liturgi (Ekaristi) adalah salah keahlian Rm. Martasudjita. Bab IV ini dilengkapi pula dengan penjela-san mengenai Pengampunan Dosa (hlmn. 255-262), Kebangkitan Badan (hlmn. 263-271), Ke-hidupan Kekal (271-281) dan Amin (281). Semua uraian itu tentu saja dilengkapi dengan data biblis dan pendasaran teologis yang sangat mendalam. Seperti biasa di dalam menulis, Rm. Martasudjita selalu akan menyajikan informasi selengkap mungkin agar pembaca tahu dan mengerti dengan baik tentang topik yang sedang dibahas. Buku ini sangat padat dan kuat dalam sentuhan itu sehingga dapat memberi kesan, “buku ini berat.” Walaupun kesan itu memang benar namun sebetulnya Rm. Martasudjita mengulas buku ini dengan bahasa yang sederhana dan lugas. Ia memang memaksudkan buku ini agar dapat dibaca oleh seluruh umat (hlmn. iii) dan karenanya ia memberikan contohcontoh ulasan yang hidup dalam keseharian kita (lih. Hlmn 42-43).
207
Resensi Buku
Buku ini sangat kaya akan informasi dan ulasanulasan dogmatis mengenai pokok-pokok iman Gereja Katolik. Rm. Martasudjita berusaha menyajikan seluruhnya baik dari segi Kitab suci, pendapat teologis dari para Bapa-bapa Gereja, kebiasaan dan praksis liturgis zaman itu, refleksi
208
teolog-teolog modern dan tentu saja refleksi pribadi Rm. Martasudjita. Maka kalau Anda mau mencari informasi selengkapnya tentang Syahadat Para rasul, buku ini akan memberikan jawaban yang memuaskan. Selamat membacanya! (Mateus Mali).