JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, hlm. 99-103
RESENSI BUKU Judul Buku
: Family Ethics.
Practices for Christians Pengarang Penerbit Tahun Halaman
: Julie Hanlon Rubio : Georgetown University Press, Washington D. C. : 2010 : xii + 260
Ajaran Gereja Katolik (Roma) mengenai perkawinan banyak terfokus pada kasih interpersonal suamiisteri (terutama berkat teologi yang dikembangkan oleh Yohanes Paulus II), dimensi sakramentalitas dan fungsi prokreatifnya. Dalam konteks umum inilah, diskusi dan perdebatan mengenai moral seksual, perceraian, dan pengaturan kelahiran bergulir setelah Konsili Vatikan II (dan ensiklik Humanae vitae). Kini muncul generasi baru teolog-teolog moral yang tidak lagi didominasi oleh kaum selibater (kaum religius); termasuk dalam generasi ini adalah teolog-teolog awam yang berkeluarga (dan punya anak!). Mereka membangun teologinya dengan sudut pandang sosioekonomis dan sosio-kultural. Kondisi sosial masyarakat abad ini (terutama di belahan bumi utara) yang ditandai dengan konsumerisme dan liberalisme menjadi kepedulian mereka. Ini adalah kebaruan dan kesegaran dalam diskursus teologi moral mengenai perka-winan dan keluarga; suatu aspek yang hanya bisa direfleksikan secara mendalam –dan lebih hidup– oleh mereka yang mengalami tantangan nyata hidup berkeluarga. Mereka menekankan bahwa komitmen perkawinan dan komitmen sebagai orangtua membutuhkan
banyak perhatian dan dukungan, daripada penilaian-penilaian normatif. Salah satu di antara teolog awam (tambah lagi: seorang ibu dari tiga anak) adalah Julie Hanlon Rubio. Ia adalah pengajar teologi moral di St. Louis University, Amerika Serikat. Buku yang diresensi ini adalah bukunya yang kedua. Buku pertamanya, A Christian Theology of Marriage and Family (Paulist Press, 2003), berusaha menjawab pertanyaan yang aktual sekaligus provokatif: „Dipanggil menjadi keluarga seperti apakah keluarga-keluarga kristiani di zaman sekarang?“ Dengan memadukan pendekatan sosiologis dan teologis, Hanlon Rubio merefleksikan panggilan suami, isteri, orangtua dan anak-anak dalam keluarga kristiani. Di buku keduanya ini, sebagaimana tercermin dari judulnya „Practices for Christians“, Hanlon Rubio menawarkan sesuatu yang bersifat praktis dalam hidup berkeluarga. Namun lebih dari sekedar menyediakan penerapan ajaran moral kristiani dalam hidup berkeluarga, ia membangun suatu analisis etis atas hidup berkeluarga dengan menggunakan ilmuilmu sosial, aneka sumber tradisi kristiani, serta kebijaksanaan yang berasal dari pengalaman hidupnya sendiri. Sebelum bicara mengenai praksis (bab 4-8), ia menggali kembali ajaran kristiani mengenai keluarga dan perkawinan (bab 1-3). Dengan demikian ia mampu mengintegrasikan Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja, dan teologi moral dalam persoalan-persoalan konkrit menyangkut seks, makan, uang, pelayanan dan doa. Ia menulis dengan kesadaran, bahwa jika paroki-paroki tidak bisa membekali keluarga-keluarga Katolik dengan sesuatu yang khas dibanding 99
Resensi Buku
dengan tetangga mereka, maka hanya sedikit keluarga Katolik bisa bertahan berhadapan dengan tantangan zaman (hlm. 201). Memang konteks utama buku ini adalah masyarakat dan budaya Amerika. Namun dalam beberapa aspek amat mungkin ada kemiripan dengan budaya kita. Alasannya, Hanlon Rubio mengangkat tema-tema etis yang berangkat dari pengalaman hidup keluarga atau rumah tangga sehari-hari. Kelima hal yang disebut di atas merupakan “the ordinary things“ yang digulati oleh tiap anggota keluarga di kultur manapun. Tantangan etis yang muncul dari modernitas, seperti konsumerisme dan ketidakadilan, dihadapi keluarga dalam kelima bidang kehidupan: kehidupan seksualitas, makan, uang, pelayanan dan doa. Setiap bidang kehidupan ini dipaparkan dalam satu bab. Dengan suatu praksis hidup yang disadari (intentional pratices), menurut Hanlon Rubio, tantangan zaman dapat dihadapi oleh keluarga-keluarga. Beberapa refleksi teologis (-etis) mengenai perkawinan dan keluarga umumnya dilakukan dengan pendekatan "kembali ke akar tradisi". Hanlon Rubio menempuh pendekatan yang lain, yakni berfokus pada hal-hal yang biasa, namun dengan perhatian yang serius terhadap ilmu-ilmu sosial dan moral kasuistik (hlm. 9). Kombinasi ini tercermin dari istilah "practices" yang menjadi judul bukunya. Ia mencoba menghindarkan analisis sosial menjadi klaim-klam yang abstrak. Hanlon Rubio tidak semata-mata menggabungkan ilmu sosial dan moral kasuistik. Konsisten dengan perhatiannya pada "hal yang biasa-biasa/sehari-hari", ia menghindari analisis sosial yang luas, yang bicara mengenai perubahan struktur keluarga. Ia lebih berusaha untuk mengangkat apa yang senyatanya terjadi pada saat ini (di dalam kultur Amerika). Jadi, ia bicara di level mikro. Sedapat mungkin ia berusaha menghindari generalisasi. Di sisi lain, ia 100
tidak masuk pada cara kerja moral kasuistik, di mana orang melihat persoalan moral da-lam konteksnya yang amat khusus, dan merumuskan solusi yang amat spesifik pula. Misalnya saja, dalam bab mengenai makan-an (bab 5), ia tidak hanya menunjukkan perdebatan mengenai "makan secara adil", namun juga mempertanyakan "aturan ma-kan" (hlm. 146-151) yang seringkali dilihat orang dipengaruhi oleh pendekatan kasuis-tik. Hanlon Rubio mencoba menarasikan kembali pengalaman keluarga masa kini dan mengangkat nilai-nilai tradisi yang diusul-kan kembali untuk dihidupkan dalam kelu-arga masa kini sebagai "counterculture". Dengan menarasikan kembali pengalaman keluarga dan perkawinan dalam kelima bidang kehidupan (seks, makan, uang, pelayanan dan doa) Hanlon Rubio menyentuh distorsidistori yang terjadi di situ. Pasangan suami-isteri melakukan hubungan seks, keluarga mencoba untuk makan bersama, rumah tangga mencoba mendukung kegiatankegiatan karitatif dan melakukan pelayanan di paroki, dan setidaknya ada upaya doa bersama di keluarga-keluarga (sekali lagi, ini konteks keluarga Amerika). Kunci untuk menyadari kembali visi keluarga Katolik di masa sekarang terletak pada upaya menyadari bagaimana kelima bidang itu dijalankan dan bagaimana bisa muncul penyimpangan atau distorsi. Visi keluarga Katolik sebetulnya telah disediakan oleh tradisi dan ajaran Gereja. Hanlon Rubio mengangkat hal yang seringkali dilupakan orang jika bicara mengenai perkawinan kristiani, yakni aspek sosial dari keluarga. Maksudnya, sakramentalitas perkawinan katolik mempunyai dimensi sosial yang semestinya dihidupi secara aktif oleh pasangan-pasangan Katolik. “Families then have the potential to become a transforming social force.“ (hlm. 30). Panggilan untuk menjadi agen perubahan sosial ini adalah
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, hlm. 99-103
suatu perwujudan baru akan pemahaman mengenai panggilan awam. Pembicaraan mengenai perkawinan dan keluarga menjadi hangat kembali semenjak pelaksanaan sinode luar biasa ketiga yang berlangsung bulan Oktober 2014 yang lalu di Roma. Beberapa pengamat menilai positif baik dinamika maupun isi yang dibicarakan di situ. Dari segi dinamika pelaksanaannya, hal positif terletak pada keikutsertaan para awam untuk bicara, baik dalam angket sebelum Preparatory Document diterbitkan, maupun dalam diskusidiskusi selama sinode. Kiranya perkembangan positif ini adalah buah tidak langsung dari kemunculan para teolog moral awam yang bicara mengenai perkawinan dan keluarga, seperti Julie Hanlon Rubio penulis Family Ethics ini. (Dionius Bismoko Mahamboro) Judul Buku
Penulis Penerbit Tahun Halaman
: Etika Publik. Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi : Haryatmoko : Kanisius : 2015 : 272
Dengan ungkapan “etika” mau dikatakan tentang suatu bentuk spesifik terhadap bagaimana menghidupi dan memformulasikan moral dalam masyarakat sipil dan pluralistik. Maka etika memang pada dasarnya merupakan suatu moralitas sosial yang memberi perhatian pada terciptanya secara moral suatu relasi yang saling menguntungkan bagi segenap warga masyarakat. Dalam perspektif etika publik, pelayanan terhadap masyarakat bertujuan menjamin terwujudnya pemahaman manusia mengenai apa yang diyakini sebagai baik-jahat (konsep moral yang
paling dasariah), dalam sebuah relasi yang terbangun baik untuk tingkat relasi individu, sesama dan negara. Pengertian ini akan menempatkan etika sosial-publik sebagai keutamaan (virtue) yang utuh dan lengkap karena ia tidak hanya berbicara mengenai kebaikan bagai orang tertentu melainkan juga menuntut agar kebaikan itu diberlakukan bagi orang lain. Buku dari Haryatmoko kiranya berbicara pada tataran itu. Buku ini terdiri dari VI bab dan ditutup dengan sebuah kesimpulan. Bab I berjudul “Etika Publik dan Pelayanan Publik.” Etika publik, menurut Haryatmoko, adalah “refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan kuputusan untuk mengarahkan kebijkan publik dalam rangka menjalankan tanggungjawab pelayanan publik.” Maka etika publik mengatur political society dan civil society sehingga seluruh kegiatan publik dapat berjalan dengan baik. Pelayan publik, bagi Haryatmoko, mengutip pendapat B. Libois, adalah, “semua kegiatan yang pemenuhannya harus dijamin, diatur dan diawasi oleh pemerintah karena diperlukan untuk perwujudan dan perkembangan kesalingtergantungan sosial dan pada hakikatnya, perwujudannya sulit terlaksana tanpa campur tangan kekuatan pemerintah” (hlm. 25). Maka pelayanan publik adalah tanggung jawab kolektif terhadap seluruh kekayaan dan kegiatan demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Akuntabilitas dan transparansi menjali pilar pelayanan publik. “Lemahnya akuntabilitas dan transparansi menyebabkan korupsi merasuki semua bidang kehidupan, dari eselon paling atas sampai tingkat paling bawah dalam pelayanan publik, dari sektor swasta ke lembaga swadaya masyarakat, bahkan lembaga keagamaan.” Demikian Haryatmoko berargumen.
101
Resensi Buku
Haryatmoko memberi judul “Penalaran Etika dalam Kebijakan Publik” pada bab II dalam bukunya ini. Bagi Haryatmoko pelayanan publik yang profesional membutuhkan kompetensi tehnik dan leadership yang mengacu pada nilai-nilai moral. Semuanya itu akan melahirkan pelayanan yang efektif dan efisien (hlmn. 51). Maka pejabat publik yang profesional perlu memiliki kesadaran moral yang berstandar tinggi dengan melakukan pembatinan nilai-nilai moral demi membentuk pribadi yang berintegritas (hlmn. 64-65). Pembatinan nilai itu bisa diperoleh lewat pendidikan nilai yang tertanam lewat keluarga, adat-istiadat, pendidikan formal yang mengajarkan nilainilai kemanusiaan, pelatihan, pembiasaan dam lingkungan yang kondusif sehingga membentuk habitus kehidupan yang bermoral. Bab III diberi judul “Integritas publik dan Konflik Kepentingan.” Dasar dari etika publik adalah adalah integritas pribadi. Habitus moral bukan sekedar niat baik melainkan juga penyediaan infrastruktur etika. Integritas publik menolong orang untuk mempertajam makna tanggung jawab di tengah masyarakat (hlmn. 97). Integritas publik merupakan kualitas perilaku seseorang atau organisasi yang sesuai dengan nilai, standar dan aturan moral yang diterimanya dan dipakai untuk melayani masyarakatnya. Konflik kepentingan adalah gambaran orang yang tak pernah mempunyai integritas moral. Kepentingan pribadi atau kelompok sangat berbahaya bila ditempatkan di dalam pelayanan publik karena akan menjadi gerbang korupsi. Karena itu, pelayan publik perlu betul-betul bebas dari inerese pribadi dan kelompok agar ia mampu mewujudkan pelayanan yang maksimal. Bab IV berjudul “Akuntabilitas dan Transparansi Modalitas Etika Publik.” Modalitas adalah “cara bagaimana suatu hal 102
bekerja atau berfungsi”. Maka modalitas etika publik bukan sekedar norma-norma perilaku melainkan perilaku yang sesuai standar etika. Karena itu modalitas menekankan soal bagaimana (how) dari pada sekedar apa (what). Bagaimana merujuk pada proses. Pada proses ini jelaslah akuntabilitas dan transparansi memainkan peranan yang penting karena harus ada laporan terbuka kepada masyarakat yang dipublikasikan (hlmn. 143 dan 146) dan sekaligus memperlihatkan integritas, kejujuran dan perlakuan fair dari pejabat publik. Bab V dari Buku Haryatmoko ini berjudul “Transparansi Menghadapi konflik Kepentingan dan Korupsi dalam Pengadaan Barang /Jasa.” Dari judul ini jelaslah Haryatmoko ingin membahas soal konflik kepentingan dan korupsi. Sistem proyek yang terjadi pada pemerintahan negara sangat rentan terhadap konflik kepentingan atau korupsi. Korupsi bisa terjadi sampai 50% dari nilai total kontrak (hlmn. 179). Transparansi menjamin bahwa konflik kepentingan dan korupsi bisa dicegah. Transparansi dalam hal ini berarti adanya jaminan akses hukum dan regulasi, keputusan, standar kontrak, sarana, metode dan proses pengadaan barang yang memberikan ketegasan sehingga orang dapat bertindak dengan baik dan benar. Campur tangan negara sangat dibutuhkan manakala ada konflik kepentingan atau korupsi. Menurut Haryatmoko, untuk mencegah konflik kepentingan pejabat publik perlu i) menyaring relasi-relasi yang berisiko, ii) membuat laporan daftar kekayaan, iii) tidak memberikan informasi konfidensial atau favoritisme kepada kontrantor dan iv) peserta tender harus bersih. Untuk jabatan publik yang rentan terhadap risiko-risiko, perlu diperhatikan: i) perlu diidentifikasi jabatan yang rentan konflik kepentingan, ii) pejabatnya perlu dilindungi dari pengaruh atau tekanan pejabat tinggi, ii) seleksi jabatan harus
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, hlm. 99-103
berdasarkan jasa, prestasi dan integritas pribadi. Pada Bab VI, Haryatmoko memberikan judul, “Akuntabilitas dan Integritas Politisi Wakil Rakyat.” Pada awal bab ini Haryatmoko langsung mengeluarkan kritiknya, “Pandangan bahwa menjadi wakil rakyat berarti memperjuangkan kepentingan publik hanya berhenti di tataran teori” karena jabatan itu dilihat sebagai nikmat sosial (hlmn. 215216). Untuk itu dibutuhkan akuntabilitas dan integritas politisi agar dapat membentengi diri dari segala nafsu ingin berkuasa. Karena itu pula peran partai politik sangat signifikan dalam mengontrol politisinya, karena biasanya partai politik dicurigai sebagai penyebab korupsi (hlmn. 223). Wakil rakyat bisa dipilih bila ia bersih dan sesuai prosedur perundangan dan loyal kepada rakyat dan bukan loyal kepada partai karena ia dipilih oleh rakyat dan bukan dipilih oleh partai. Integritas hanya boleh terjadi antara politisi dengan rakyat yang menjadi wakilnya. Sebagai kesimpulan, Haryatmoko memberikan “Program Membangun Budaya etika Publik.” Akuntabilitas dan transparansi perlu diterjemahkan ke dalam i) membangun budaya etika public, ii) tranparasi pengadaan barang dan jasa, iii) memberdayakan civil society, iv) membentuk jaraingan pendidikan dan pelatihan dalam rangka memberantas korupsi dan v) ikut serta dalam pengawasan APBD. Intinya adalah perlunya pendidikan dan penanaman nilai-nilai etis sosial agar orang mampu melayani masyarakat secara jujur, adil dan benar. Di sisi lain perlu pula pemberdayaan masyarakat agar aktif
dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pejabat-pejabat publik Seperti buku-buku sebelumnya, buku Haryatmoko ini adalah juga buku yang ditulis dengan kajian-kajian filosofis etis yang mendalam. Haryatmoko selalu memberikan kajian-kajian filosofisnya dalam setiap halaman bukunya ini agar pembaca mempunyai dasar pemahaman yang jelas dan tegas mengenai masalahmasalah sosial yang sedang dikajinya. Kajian itu juga diperluas dengan data-data empiris sosiologis sehingga analisis Haryatmoko benar-benar sebuah analisa sosial terhadap permasalahan sosial. Haryatmoko selalu melengkapi kajiankajiannya terhadap tema tertentu dengan contoh-contoh konkrit yang terjadi di dalam kehidupan publik kita di Indonesia. Haryatmoko berani membuka “bobroknya” kehidupan publik kita. Lewat bukunya ini, ia sedang mengeritik pejabat publik dan politisi yang tidak mempunyai integritas moral di dalam memimpin. Namun masyarakat umumnya, atau bahasa yang digemari Haryatmoko adalah civil society, juga dikritiki karena pasif dan tidak melakukan pengawasan terhadap para pejabat publik dan politisi. Buku ini tentu akan memerahkan telinga para pejabat publik dan politisi bila berada di dalam lingkaran kajian yang dimaksudkan Haryatmoko. Namaun akan sangat enak dibaca bila orang mempunyai minat dan interese pada kebijakan publik atau pada masalah-masalah moral sosial. Buku Haryatmoko ini adalah salah satu sumbangan terbaik untuk membangun peradaban publik di Bumi Indonesia. (Mateus Mali)
103