i
PENGAWETAN KAYU JABON (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) DENGAN BAHAN PENGAWET DIFFUSOL-CB
Dima Meiyandi E24070083
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengawetan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Dima Meiyandi E24070083
iv
RINGKASAN DIMA MEIYANDI. Pengawetan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB. Dibawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, MSc. Dalam beberapa dekade terakhir ini, pemanfaatan kayu-kayu rakyat cenderung terus meningkat. Kayu rakyat bahkan sudah mampu berperan sebagai intake (bahan baku) industri perkayuan di Indonesia. Dibandingkan dengan kayu hutan alam, kayu rakyat cenderung kurang kuat dan kurang awet. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas kayu khususnya keawetan adalah dengan cara mengawetkan kayu rakyat. Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jabon dengan umur yang berbeda yaitu 5, 6 dan 7 tahun dan dari masing-masing umur tersebut dibagi menjadi tiga bagian pangkal, tengah dan ujung yang diperoleh dari hutan rakyat sekitar Ujung Genteng, Sukabumi. Bahan lainnya yaitu bahan pengawet Diffusol-CB. Metode pengawetan yang digunakan adalah proses rendaman dingin selama 2 hari (48 jam) dengan konsentrasi bahan pengawet 5%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan pengawet Diffusol-CB pada kayu jabon. Selanjutnya pengujian keawetan dilakukan selama 3 bulan menggunakan prosedur American Standard for Testing and Material (ASTM) D 1756 2008. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses pengawetan secara rendaman dingin menggunakan Diffusol-CB konsentrasi 5% menghasilkan nilai retensi tertinggi (7,30 kg/m3) pada kayu jabon umur 6 tahun pada bagian pangkal yang paling dekat kulit, sedangkan kayu jabon umur 7 tahun pada bagian ujung yang paling dekat empulur memiliki retensi terendah (2,61 kg/m3). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai kehilangan berat kayu jabon yang tidak diawetkan mencapai 87,74% terdapat pada kayu jabon umur 5 tahun pada bagian tengah dekat kulit, sedangkan terendah (14,77%) terjadi pada kayu jabon umur 7 tahun bagian pangkal yang mendekati kulit. Kayu jabon yang diawetkan memiliki kehilangan berat maksimum hanya sampai 3,52% terjadi pada kayu jabon umur 6 tahun pada bagian tengah yang dekat dengan kulit. Pemberian bahan pengawet Diffusol-CB dengan konsentrasi 5% dapat meningkatkan keawetan kayu jabon terhadap serangan rayap tanah. Hasil penilaian derajat proteksi kayu menunjukkan bahwa kenampakan kerusakan pada kayu jabon yang tidak diawetkan sangat besar, sedangkan pada kayu jabon yang diawetkan tidak nampak adanya kerusakan yang berarti, namun tetap mengalami kehilangan berat. Kata Kunci: Jabon, Diffusol-CB, Uji Lapang, Rendaman Dingin, Keawetan
v
ABSTRAK DIMA MEIYANDI. Pengawetan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB. Dibawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. Kayu jabon merupakan jenis kayu yang cepat tumbuh (fast growing species), memiliki sifat fisis mekanis dan keawetan yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan pengawet Diffusol-CB terhadap keawetan kayu jabon dari bagian yang dekat empulur menuju kulit. Kayu jabon yang digunakan pada penelitian ini memiliki umur yang berbeda yaitu 5, 6 dan 7 tahun dan dibagi menjadi tiga bagian pangkal, tengah dan ujung. Kayu jabon diperoleh dari hutan rakyat sekitar Ujung Genteng, Sukabumi. Bahan lainnya yaitu bahan pengawet Diffusol-CB konsentrasi 5%. Metode pengawetan yang digunakan adalah proses rendaman dingin selama 2 hari (48 jam) dan pengujian keawetan dilakukan selama 3 bulan menggunakan prosedur American Society for Testing and Material (ASTM) D 1756 2008. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses pengawetan secara rendaman dingin menggunakan Diffusol-CB konsentrasi 5% menghasilkan nilai retensi rata-rata sebesar 5,77 kg/m3 pada bagian yang paling dekat kulit, sedangkan nilai retensi rata-rata pada bagian yang dekat empulur sebesar 5,19 kg/m3. Nilai retensi tertinggi sebesar 7,30 kg/m3 pada kayu jabon umur 6 tahun pada bagian pangkal yang paling dekat kulit, sedangkan kayu jabon umur 7 tahun pada bagian ujung yang paling dekat empulur memiliki retensi terendah 2,61 kg/m3. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai kehilangan berat rata-rata kayu jabon yang tidak diawetkan sebesar 52,71%. Nilai kehilangan berat tertinggi mencapai 87,74% terdapat pada kayu jabon umur 5 tahun pada bagian tengah yang dekat kulit, sedangkan terendah sebesar 14,77% terjadi pada kayu jabon umur 7 tahun bagian pangkal yang dekat kulit. Kayu jabon yang diawetkan dengan Diffusol-CB 5% memiliki kehilangan berat rata-rata sebesar 2,55%. Pemberian bahan pengawet Diffusol-CB dengan konsentrasi 5% dapat meningkatkan keawetan kayu jabon terhadap serangan rayap tanah. Hasil penilaian derajat proteksi kayu menunjukkan bahwa kenampakan kerusakan pada kayu jabon yang tidak diawetkan sangat besar, sedangkan pada kayu jabon yang diawetkan tidak nampak adanya kerusakan yang berarti. Kata Kunci: Jabon, Diffusol-CB, Uji Lapang, Rendaman Dingin, Keawetan
vi
ABSTRACT Preservation of Jabon Wood (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) with Preservative Diffusol-CB 1)
Dima Meiyandi
2)
By: Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.
Jabon wood is a fast growing species that has a low mechanical physical properties and low durability. This study aims to determine the effect of DiffusolCB on the durability of jabon wood in parts of pith to bark. The jabon trees in the age of 5, 6 and 7 years old and a parts of bottom, middle and top were used in this study. Other material is preservative Diffusol-CB with concentration of 5%. Preservation method used the cold bath for the period of 2 days (48 hours) and the durability test was conducted for 3 months in the field using procedure of American Society for Testing and Material (ASTM) D 1756 2008. The results showed that the value of retention in the average of 5.77 kg/m3 for wood samples near the bark and of 5.19 kg/m3 for the sample near the pith. The highest retention was 7.30 kg/m3 for the bottom part of jabon 6 years. Meanwhile jabon wood at the age of 7 years near the pith had the lowest retention 2.61 kg/m3. The experimental results also showed that the weight loss of untreated jabon wood was in the average of 52.71%. Maximum weight loss of 87.74% was found in the middle part of jabon wood near the bark at the age of 5 years. Meanwhile the lowest weight loss 14.77% retained by jabon wood at the bottom part near the bark for the age of 7 years. The jabon wood treated by diffusol CB 5% suffered weight loss in the average of 2.55%. This results give an indication that the Diffusol-CB with a concentration of 5% can increase the durability of jabon wood against termite attack. Degree of protection results showed that the degree of damage for untreated jabon wood was very large. Meanwhile the treated jabon wood didn’t show any damages on the samples. KEYWORDS : Jabon, Diffusol-CB, Grave yard test, Cold bath, Durability
vii
PENGAWETAN KAYU JABON (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) DENGAN BAHAN PENGAWET DIFFUSOL-CB
DIMA MEIYANDI E24070083
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
viii
LEMBARPENGESAHAN
Judul Penelitian
Pengawetan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB
Nama
Dima Meiyandi
NRP
E24070083
Menyetujui:
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. NIP.19660212 199103 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Hasil Hutan akultas Kehutanan __ :::::::::::O~
an Darmawan M.Sc. 212 199103 1 002
Tanggal: I , f'
7 JUL 2u13
ix
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
:
Pengawetan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB
Nama
:
Dima Meiyandi
NRP
:
E24070083
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. NIP.19660212 199103 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. NIP.19660212 199103 1 002
Tanggal:
x
PRAKATA Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat, kasih sayang-Nya, Hidayah-Nya serta tidak lupa shalawat serta salam selalu tercurah untuk Nabi kita, Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah, penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir yang berjudul ”Pengawetan Kayu jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi selama penulis menyusun skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kadiman Lab. Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan segenap tenaga kependidikan di Departemen Hasil Hutan yang telah melayani dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah dan ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Dima Meiyandi
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
ii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Manfaat
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) 2.2 Pengawetan Kayu 2.3 Bahan Pengawet
2 4 5
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan contoh uji 3.3.2 Persiapan pengawetan 3.3.3 Perendaman contoh uji dalam bahan pengawet 3.3.4 Perhitungan Retensi 3.3.5 Uji kubur (Grave yard Test) 3.3.6 Derajat proteksi
6 7 7 7 7 8 8 8 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Retensi Bahan Pengawet 4.2 Uji Kubur (Grave Yard Test) 4.2.1 Kehilangan berat 4.2.2 Derajat proteksi
10 12 12 15
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
17 18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
ii
DAFTAR TABEL No. 1 2 3 4. 5
Dimensi serat kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Penggolongan Kelas Awet Kayu Penilaian visual grave yard test Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Data skoring jumlah kerusakan sampel kayu jabon pada uji kubur
Halaman 3 5 9 15 . 16
DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Teknik pemotongan contoh uji 7 2 Kondisi kedalaman penanaman contoh uji dilihat dari samping 9 3 Nilai retensi kayu jabon umur 5 tahun 10 4 Nilai retensi kayu jabon umur 6 tahun 10 5 Nilai retensi kayu jabon umur 7 tahun 11 6 Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 5 tahun yang tidak diawetkan 12 7 Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 6 tahun yang tidak diawetkan 13 8 Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 7 tahun yang tidak diawetkan 13 9 Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 5 tahun yang diawetkan 13 10 Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 6 tahun yang diawetkan 14 11 Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 7 tahun yang diawetkan 15 12 Jenis rayap tanah yang menyerang contoh uji di Arboretum 16 13 Kayu jabon yang diawetkan (a) dan tidak diawetkan (b) pada umur 5 tahun (1), 6 tahun (2) dan 7 tahun (3) 17
DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 3 1 Data Retensi (Kg/m ) Kayu Jabon Umur 5, 6 dan Tahun 21 2 Data Persentase Kehilangan Berat (%) Kayu Jabon Umur 5, 6 dan 7 Tahun 24 3 Gambar Contoh Uji Kayu Jabon Umur 5 Tahun Setelah Dikubur yang Diawetkan (kanan) dan Tidak Diawetkan (kiri) 27 4 Gambar Contoh Uji Kayu Jabon Umur 6 Tahun Setelah Dikubur yang Diawetkan (kanan) dan Tidak Diawetkan (kiri) 28 5 Gambar Contoh Uji Kayu Jabon Umur 7 Tahun Setelah Dikubur yang Diawetkan (kanan) dan Tidak Diawetkan (kiri) 29
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa dekade terakhir ini, pemanfaatan kayu-kayu rakyat oleh masyarakat cenderung terus meningkat. Kayu rakyat bahkan sudah mampu berperan sebagai intake (bahan baku) industri perkayuan di Indonesia terbukti dari banyaknya industri yang menggunakan kayu rakyat meskipun tidak semua kayu rakyat tersebut dapat menggantikan fungsi kayu konvensional yang selama ini digunakan. Menurut Djajapertjuanda (2003) yang dikutip oleh Mindawati et al. (2006), luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan tahun 2003 mencapai 1.265.000 ha yang tersebar di 24 provinsi. Lima ratus ribu ha diantaranya terdapat di Pulau Jawa. Produksi kayu rakyat diperkirakan telah mencapai 5 juta m3 per tahun. Kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat memiliki karakteristik yaitu cepat tumbuh (fast growing), rotasi pendek, berdiameter besar, memiliki sifat fisis mekanis yang rendah dan memiliki keawetan yang rendah. Untuk mengatasi kondisi tersebut, salah satu upaya yang dilakukan adalah peningkatan efisiensi kayu hutan rakyat. Peningkatan efisiensi kayu tersebut dilakukan dengan cara peningkatan terhadap kualitas kayu, peningkatan masa pakai kayu, pemanfaatan limbah, pemanfaatan kayu berdiameter kecil dan lain sebagainya (Syafii 1999). Kemajuan dalam bidang ilmu serta teknologi kayu memungkinkan jenis kayu jabon yang termasuk dalam kelas awet IV-V dapat diperpanjang umur pakainya melalui proses pengawetan kayu. Pengawetan kayu adalah pemberian perlakuan kimia terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu hingga beberapa kali umur pakai alaminya. Dengan demikian kayu tersebut mempunyai umur pakai yang lebih panjang. Pengawetan kayu memegang peranan penting dalam menjamin penggunaan kayu dengan umur pakai yang lama. Padlinurjaji (1980) menyatakan bahwa secara garis besar tujuan pengawetan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu untuk mempertahankan mutu kayu sebagai bahan baku dan mempertinggi mutu hasil produk. Bila daya tahan kayu terhadap kemungkinan kerusakan biologis meningkat, maka kayu dapat dipakai oleh konsumen lebih lama atau bahkan dapat memenuhi persyaratan untuk penggunaan tertentu yang lebih berarti. Faktor yang menentukan keberhasilan proses pengawetan antara lain yaitu jenis bahan pengawet dan metode pengawetannya. Bahan pengawet harus mampu melindungi kayu dari kerusakan yang disebabkan oleh faktor perusak biologis seperti jamur dan serangga. Jenis bahan pengawet Diffusol-CB sering digunakan karena mempunyai sifat antara lain efektif untuk mencegah serangan jamur dan serangga serta cocok dipakai untuk kayu kontruksi dengan berbagai metode pengawetan. Salah satu metode pengawetan yang mudah pelaksanaannya yaitu metode rendaman dingin. Ditinjau dari kecocokan tempat hidup, Bogor merupakan daerah yang mempunyai tingkat kelembaban yang cukup tinggi dengan fluktuasi suhu udara yang cukup tinggi pula, sehingga organisme perusak kayu seperti rayap dan jamur dapat berkembang biak dengan baik. Dengan pertimbangan bahwa
2
organisme perusak terutama rayap dapat menyerang kayu jabon dengan mudah, maka pada penelitian ini kayu jabon diawetkan dengan bahan pengawet DiffusolCB pada konsentrasi 5%. Keampuhan bahan pengawet Diffusol-CB untuk menahan serangan faktor perusak rayap dan jamur pada kayu jabon, diuji dengan menggunakan uji kubur.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan pengawet Diffusol-CB terhadap keawetan kayu jabon dari bagian yang dekat empulur menuju kulit.
1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan acuan penggunaan bahan pengawet Diffusol-CB untuk pengawetan pada kayu jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) yang termasuk ke dalam kelas awet rendah bagi para pengguna kayu jabon untuk bahan bangunan perumahan atau penggunaan lain yang mempunyai resiko dirusak oleh jamur dan serangga.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pohon Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) Jabon (A. cadamba (Roxb) Miq.) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya seperti penghijauan, reklamasi lahan bekas tambang, dan pohon peneduh. Pohon jabon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan tanaman jenis lain, antara lain: teknik budidayanya mudah, sebarannya luas, dan bernilai ekonomi tinggi. Pohon ini juga memiliki batang yang lurus dan silindris sehingga sangat cocok untuk bahan baku industri kayu. Pohon ini tergolong dalam tanaman yang cepat tumbuh dengan riap (pertumbuhan) diameter 7-10 cm per tahun dan riap tinggi 3-6 m per tahun. Jabon juga memiliki keunikan yaitu memiliki kemampuan dalam melakukan pemangkasan secara alami. Hal ini karena cabang-cabang yang berada di bagian bawah tidak terkena sinar matahari sehingga akan menggugurkan daunnya secara alami (Mansur dan Tuheteru 2010). Di alam, umumnya tinggi pohon jabon dapat mencapai 45 m dengan diameter 100-160 cm dan tinggi bebas cabang lebih dari 25 m (Soerianegara dan Lemmens 1994). Kayu ini memiliki batang yang lurus dan silindris sehingga cocok untuk bahan baku industri kayu. Berat jenis rata-rata kayu jabon sebesar 0,42 dalam selang (0,29-0,56) dan termasuk kayu kelas kuat III-IV serta kelas awet V. Kayu jabon banyak digunakan sebagai bahan pembuat korek api, peti
3
pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp dan kontruksi darurat yang ringan (Martawijaya et al. 1981). Martawijaya et al. (1989) mengatakan bahwa pohon jabon memiliki banyak nama daerah yang beragam, diantaranya jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa), galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampaian, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian, serebunak (Sumatera), ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan), bance, pute, loeraa, pontua, suge mania, sugi mania, pekaung, toa (Sulawesi), gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (NTB), aparabire, masarambi (Irian Jaya). Soerianegara dan Lemmens (1994) mengatakan bahwa di beberapa negara jabon dikenal dengan nama bangkal, kaatoan bangkal (Brunei), labula (Papua Nugini), thkoow (Kamboja), koo-somz, sako (Laos), krathum (Thailand), mau-lettan-she, maukadon, yemau (Burma), c[aa]y g[as]o, c[af] tom, g[as]o tr[aws]ng (Vietnam). Menurut Mansur dan Tuheteru (2010) berdasarkan taksonominya, jabon digolongkan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian) Genus : Anthocephalus Dalam hal tempat untuk tumbuh, jabon memiliki toleransi yang sangat luas, yaitu pada ketinggian dengan kisaran 0-1000 m dpl, tetapi ketinggian optimal yang menunjang produktivitasnya adalah kurang dari 500 m dpl (Mansur dan Tuheteru 2010). Kayu jabon memiliki kayu teras berwarna putih semu-semu kuning muda, lambat laun menjadi menjadi kuning semu-semu gading, dan kayu gubalnya tidak dapat dibedakan dari kayu terasnya. Tekstur kayu jabon agak halus sampai agak kasar. Arah seratnya lurus tetapi kadang-kadang agak berpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin dan mengkilap atau agak mengkilap (Martawijaya et al. 1989). Prosea (1997) menjelaskan bahwa kayu jabon memiliki pori baur yang hampir seluruhnya berganda radial yang terdiri atas 2-3 pori, kadang-kadang lebih atau bergerombol dengan diameter agak kecil. Frekuensi pori jarang hingga agak banyak dan bidang perforasi sederhana. Parenkima bertipe apotrakea kelompok baur berupa garis-garis tangensial pendek di antara jari-jari. Jari-jarinya sendiri sempit dan agak lebar dengan jumlah banyak dan ukurannya agak tinggi. Dimensi serat kayu jabon dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1. Dimensi serat kayu jabon (A. cadamba Miq.) Dimensi Panjang serat Diameter serat Diameter Lumen Tebal dinding serat Sumber : Martawijaya et al. (1989)
Nilai (µ) 1979 54 47,6 3,2
4
Soerinegara dan Lemmens (1994) menyatakan bahwa asal dan penyebaran geografis jabon secara alami dari Sri Lanka, India, Nepal dan Bangladesh bagian timur melewati Malesia hingga New Guinea. Dilihat dari segi ekologi, jabon merupakan salah satu jenis tumbuhan pionir dan sering dijumpai pada secondary forest dan beberapa juga ditemukan pada primary forest. Kondisi yang sangat penting untuk pertumbuhan jabon adalah kebutuhan akan cahaya dan tidak toleran terhadap naungan. Kayu jabon bisa digunakan sebagai bahan pembuatan core pada kayu lapis yang selama ini mengandalkan meranti dari kayu hutan alam karena kayu ini berserat halus. Selain itu, kayu jabon juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pulp. Di India kayu ini bukan hanya digunakan sebagai bahan konstruksi tetapi juga digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan furnitur dan patung (Anonim 2011).
2.2 Pengawetan Kayu Pengawetan kayu adalah perlakuan kimia dan/atau perlakuan fisik terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Dalam kenyataan seharihari, yang dimaksud dengan pengawetan adalah proses pemasukan bahan kimia ke dalam kayu untuk meningkatkan keawetannya. Bahan kimia yang digunakan dalam perlakuan tersebut dinamakan bahan pengawet kayu (Nandika et al. 1996). Hunt dan Garrat (1986) mengemukakan bahwa suatu bahan pengawet kayu yang baik untuk penggunaan komersial umumnya harus beracun terhadap perusak-perusak kayu, permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak merusak kayu dan logam, banyak tersedia dan murah. Untuk mengawetkan kayu bangunan atau barang-barang kerajinan, atau untuk tujuan-tujuan khusus lainnya diperlukan juga bersih, tidak berwarna, tidak berbau, dapat dicat, tidak mengembangkan kayu, tahan api, tahan lembab, atau mempunyai kombinasikombinasi tertentu dari sifat-sifat ini. Sebelum diawetkan, kayu harus sudah betul-betul dikerjakan agar setelah diawetkan kayu tidak perlu dikerjakan lagi. Demikian juga kadar air kayu harus disesuaikan dengan cara pengawetan yang akan dilakukan. Kayu harus dalam keadaan basah apabila akan diawetkan dengan proses difusi, tetapi harus dalam keadaan kering atau setengah kering apabila akan diawetkan dengan cara rendaman atau dengan proses vakum/tekan (Padlinurjaji 1980). Cara-cara mengawetkan kayu yang digunakan saat ini dapat digolongkan sebagai proses-proses tanpa tekanan, yang dilakukan tanpa pemakaian tekanan buatan, dan proses-proses bertekanan, dimana kayu dimasukkan dalam silinder pengawet lalu diimpregnasi dengan bahan pengawet dibawah tekanan tinggi. Proses-proses pengawetan tanpa tekanan dapat berupa pelaburan, penyemprotan, pencelupan, perendaman dingin dan perendaman panas-dingin (Hunt & Garrat, 1986) Menurut Nandika et al. (1996), proses perendaman dingin dapat dilakukan dalam suhu kamar selama beberapa hari atau beberapa minggu. Lebih dari separuh absorbsi bahan pengawet terjadi pada hari pertama (24 jam pertama). Penetrasi bahan pengawet pada kayu yang tidak mengalami pengeringan lebih dulu biasanya relatif kecil.
5
Kayu yang sudah diawetkan memiliki keuntungan dan manfaat antara lain nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata sejalan dengan peningkatan umur pakainya; biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan berkurang dan dalam jangka panjang kelestarian hutan lebih terjamin karena konsumsi kayu per satuan waktu lebih rendah (Nandika et al. 1996). Di Indonesia penggolongan keawetan kayu dibagi menjadi lima kelas awet yaitu kelas I (yang paling awet) sampai dengan kelas V (yang paling tidak awet). Penggolongan keawetan kayu didasarkan pada umur pakai kayu dalam kondisi penggunaan yang selalu berhubungan dengan tanah lembab dimana terdapat koloni rayap (Tabel 2). Tabel 2. Penggolongan Kelas Awet Kayu Kelas Awet I II III IV V
Umur Pakai (Tahun) >8 5-8 3-5 1-3 <1
Sumber: Nandika et al. 1996
Penggolongan kelas awet kayu ini hanya berlaku untuk dataran rendah tropik dan tidak termasuk ketahanan terhadap organisme penggerek di laut (Nandika et al. 1996).
2.3 Bahan Pengawet Menurut Hunt dan Garrat (1986), bahan pengawet kayu ialah bahan-bahan kimia yang apabila diterapkan secara baik pada kayu akan membuat kayu tersebut tahan terhadap serangan jamur, serangga atau cacing-cacing kapal. Efek perlindungannya itu tercapai dengan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme yang menyerangnya. Bahan-bahan pengawet ini dapat berupa senyawa kimia murni atau campuran dari senyawa-senyawa. Bahan-bahan pengawet ini sangat berbeda dalam sifat, harga, keefektifan dan kecocokan penggunaannya di bawah kondisi-kondisi pemakaian yang berbeda-beda, sehingga keefektifan bahan pengawet sangat tergantung pada daya racunnya. Senyawa yang banyak digunakan secara komersial sebagai bahan pengawet untuk mengatasi serangan rayap adalah persenyawaan boron. Menurut Martawijaya dan Supriana (1973) dalam Deswita (1997), persenyawaan boron merupakan bahan pengawet yang digunakan untuk meningkatkan daya tahan kayu. Sifat-sifat dari persenyawaan bor adalah : a. Beracun terhadap jamur dan serangga, tetapi tidak berbahaya bagi manusia dan ternak b. Dapat diaplikasikan dengan berbagai metode pengawetan. c. Tidak korosif terhadap logam dan tidak merubah warna. d. Kayu yang diawetkan tidak mudah terbakar. e. Tidak berbau.
6
f. Kayu dapat diplitur, dicat dan direkat dengan baik. Persenyawaan boron sebagai bahan pengawet banyak digunakan secara komersial untuk mengatasi serangan rayap, salah satunya adalah bahan pengawet Diffusol-CB. Bahan pengawet Diffusol-CB adalah bahan pengawet larut air yang berbentuk garam yang terdiri dari asam boraks, borat, tembaga, dan khromium dengan formulasi CuSO4 (32,4%), H3BO3 (21,6%), dan Na2Cr2O7 (36,0%). Bahan pengawet Diffusol-CB berbentuk pasta berwarna coklat gelap serta berbau. Menurut Hunt dan Garrat (1986), Diffusol-CB merupakan salah satu bahan pengawet pelarut air. Masing-masing persenyawaan dalam campuran bahan pengawet DiffusolCB mempunyai tujuan tertentu. Tembaga dimaksudkan untuk mencegah serangan jamur mikro perusak selulosa yang disebabkan oleh jamur pelunak (soft roots) dan untuk mencegah serangan binatang laut perusak kayu (Abdurrohim, 1981). Penembusan unsur tembaga lebih sukar dibandingkan unsur boron yang lebih mudah masuk ke dalam kayu. Unsur boron di samping mudah masuk ke dalam kayu juga mudah luntur dari dalam kayu. Namun karena adanya unsur tembaga yang cepat berfiksasi dan tahan terhadap pelunturan maka sifat mudah luntur dari unsur boron ini dapat ditekan. Garam-garam khrom yang digunakan tidak menunjukan keberhasilannya sebagai bahan pengawet kayu, namun khrom berfungsi sebagai komponen yang sangat berguna dalam pembentukan garam-garam dalam kayu itu agar tahan terhadap pelunturan dan sangat efektif terhadap jamur dan serangga. Berdasarkan alasan ini garam khrom merupakan salah satu unsur yang penting dari bahan pengawet baru yang tahan luntur (Hunt dan Garrat, 1986). Selain itu menurut Padlinurjaji (1985) bahwa tujuan penambahan garam khrom dimaksudkan untuk mencegah atau mengurangi sifat karat (korosif) dari beberapa bahan pengawet kayu terhadap besi atau logam lain dan untuk mengurangi sifat mudah luntur dari kebanyakan bahan pengawet garam.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sifat Dasar, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor selama empat bulan yaitu mulai dari Oktober 2012 sampai dengan Januari 2013. Lokasi uji kubur (Grave Yard Test) bertempat di Arboretum Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor merupakan daerah dengan jenis perusak biologis yang beragam dan diperkirakan memiliki intensitas serangan yang tinggi.
7
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jabon dengan umur yang berbeda, yaitu 5, 6 dan 7 tahun yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pangkal, tengah dan ujung. Bahan pengawet yang digunakan adalah Difffusol-CB dengan konsentrasi 5%. Terdiri dari 108 contoh uji kayu jabon ukuran 1,9 cm x 1,9 cm x 45,7 cm yang terdiri atas 54 kayu jabon yang tidak diawetkan dan 54 kayu jabon yang diawetkan. Peralatan yang digunakan antara lain adalah gergaji, bak rendaman, gelas ukur, kaliper, timbangan elektrik, gelas piala, oven, sarung tangan, masker, kertas amplas, linggis, tali rafia, sikat, alat al tulis dan kamera digital.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan contoh uji u Log kayu jabon yang digunakan untuk contoh uji adalah bagian pangkal, tengah dan ujung kayu. Masing-masing bagian kayu tersebut kemudian digergaji untuk dijadikan contoh uji dengan ukuran (1,9 x 1,9 x 45,7) cm3 (Gambar 1). Pengambilan contoh uji berdasarkan kedalaman kayu yaitu yaitu dari empulur ((pith) ke kulit,, dan diberikan nomor secara berurutan. Total contoh uji yang dibuat 108 buah dengan perincian 1 jenis kayu (kayu jabon) x 3 umur kayu (5, 6, dan 7 tahun) x 3 bagian kayu (pangkal, tengah dan ujung) x 6 (dari dari empulur ke kulit kulit) + 54 kontrol ontrol (kayu yang tidak diawetkan). diawetkan) Agar sampel yang digunakan seragam, maka dilakukan penyortiran contoh uji meliputi keseragaman relatif dalam hal kadar dar air, bentuk dan berat, porsi bagian gubal dan teras, serta kualitas kayu (tanpa cacat).
Gambar 1. Teknik pemotongan contoh uji
3.3.2 Persiapan pengawetan engawetan Contoh uji yang akan diawetkan harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mencapai Kadar Air ir (KA) kesetimbangan, maka dilakukan pengeringan dengan
8
menggunakan kipas angin (fan) pada seluruh contoh uji hingga mencapai kadar air dibawah 18% (KA<18%). Sebelum diawetkan masing-masing contoh uji yang telah mencapai kondisi kering udara ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya, kemudian masing-masing contoh uji diukur dimensinya (P x T x L) menggunakan kaliper untuk mendapatkan volumenya, kemudian masing-masing contoh uji diberi kode agar pada saat perendaman kayu tidak tertukar.
3.3.3 Perendaman contoh uji dalam bahan pengawet Perendaman contoh uji dalam larutan bahan pengawet dilakukan selama 2 hari (48 jam).`Contoh uji disusun rapi dalam bak rendaman dan antar susunan diberi ganjal (sticker) tipis. Pada susunan yang paling atas setelah ganjal kemudian diberikan pemberat untuk mencegah mengambangnya contoh uji saat larutan bahan pengawet dimasukan ke dalam bak rendaman. Setelah perendaman selesai, contoh uji diangkat dan tiriskan, lalu ditimbang untuk menghitung nilai absorpsi dan retensi yang terjadi. Contoh uji selanjutnya dikering udarakan untuk kemudian ditimbang kembali sebelum dilakukan uji kubur (Grave Yard Test).
3.3.4 Perhitungan retensi Sebelum dan sesudah diawetkan, contoh uji ditimbang untuk mengetahui retensi bahan pengawet Diffusol-CB. Retensi dihitung dengan menggunakan rumus, sebagai berikut : R = (B1 –B0) / V x K Keterangan : R = Retensi bahan pengawet (kg/m3) B1 = Berat contoh uji setelah di awetkan (kg) B0 = Berat contoh uji sebelum diawetkan (kg) V = Volume contoh uji (m3) K = Konsentrasi larutan bahan pengawet (%)
3.3.5 Uji kubur (Grave yard Test) Pengujian lapangan dilakukan berdasarkan standar American Society for Testing and Material (ASTM) D 1758-06. Contoh uji berukuran 1.9 x 1.9 x 45,7 cm3 dengan 3 kali ulangan. Sebelum dikubur contoh uji terlebih dahulu dikering udarakan dengan menggunakan kipas angin (fan) sampai beratnya konstan (W1). Selanjutnya contoh uji dikubur secara acak dalam tanah di Arboretum Fakultas Kehutanan IPB dengan jarak kubur antar contoh uji adalah 30 cm dan antar baris sejauh 60 cm serta kedalaman contoh uji yang terkubur adalah 2/3 dari panjangnya (Gambar 2). Setelah tiga bulan contoh uji dicabut dari tanah dengan posisi tegak dan dibersihkan dengan air, diamati kerusakan yang terjadi, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu (103±2)0C sampai konstan dan ditimbang (W2).
9
Gambar 2.. Kondisi kedalaman kedalaman penanaman contoh uji dilihat dari samping Kehilangan berat contoh uji setelah tiga bulan penguburan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
P = [(W1* - W2) / W1*] x 100% Keterangan: P = Penurunan berat (%) W1* = Berat contoh uji kering tanur sebelum dikubur (gram) = W1 / [1 + (KA/100)] W1 = Berat contoh uji kering udara sebelum dikubur (gram) W2 = Berat contoh uji kering tanur tanu setelah dikubur (gram)
3.3.6 Derajat proteksi roteksi Penilaian kerusakan dilakukan dengan menghitung derajat proteksi kayu terhadap serangan rayap yang dinilai secara visual dari kenampakan kerusakannya. Penilaian tingkat serangan secara visual dengan mencoco mencocokkan pada Tabel 3. Tabel 3. Penilaian visual grave yard test Penilaian Kualitatif
Tingkatan A B
Tingkat Serangan Tidak diserang Sedikit terserang
C
Serangan ringan
D
Serangan berat
E
Serangan hancur
Keterangan Kayu tidak diserang (0%) Terdapat serangan rayap seperti bekas-bekas gigitan dengan kedalaman sampai 12,5% Terdapat saluran dengan kedalaman maksimum 25% Terdapat saluran nyata sampai kedalaman 37,5% Serangan mencapai kedalaman > 50% dari kayu utuh
Sumber : Nandika dika (1975) dalam Nurlaia (1983) *Hasilnya Hasilnya menunjukan bahwa makin tinggi nilai maka kayu tidak awet
Penilaian Kuantitatif (*) Nilai 0 1 – 10
11 – 20 21 – 30 31 – 40
10
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Retensi Bahan Pengawet Setiap cara pengawetan yang digunakan bertujuan untuk memasukan bahan pengawet sedalam dan sebanyak yang dipersyaratkan. Menurut Nandika et al. (1996), efektivitas pengawetan kayu tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh bahan pengawet, akan tetapi juga ditentukan oleh jumlah bahan pengawet yang masuk kedalam kayu. Pengukuran retensi dalam penelitian ini menunjukkan banyaknya bahan pengawet Diffusol-CB konsentrasi 5% yang masuk ke dalam kayu jabon yang diawetkan. Hasil pengukuran retensi pada umur 5, 6 dan 7 tahun disajikan masing-masing pada Gambar 3, 4 dan 5, dan data lengkap pengukuran retensi disajikan pada Lampiran 1. 8.0 7.0 Nilai Retensi (Kg/m3)
6.0 5.0 4.0 3.0
PANGKAL
2.0
TENGAH
1.0
UJUNG
0.0 1
Gambar 3.
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Nilai retensi kayu jabon umur 5 tahun
8.0 7.0 Nilai Retensi (Kg/m3)
6.0 5.0 4.0 3.0 PANGKAL
2.0
TENGAH
1.0
UJUNG
0.0 1
Gambar 4.
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
Nilai retensi kayu jabon umur 6 tahun
6
11
8.0 7.0 Nilai Retensi (Kg/m3)
6.0 5.0 4.0 3.0 PANGKAL TENGAH UJUNG
2.0 1.0 0.0 1
Gambar 5.
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Nilai retensi kayu jabon umur 7 tahun
Hasil pengukuran retensi pada kayu jabon umur lima, enam, dan tujuh tahun (Gambar 3, 4 dan 5) memperlihatkan bahwa retensi meningkat dari bagian terendah yang paling dekat dengan empulur ke bagian tertinggi yang paling dekat dengan kulit. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian empulur lebih sedikit menyerap bahan pengawet Diffusol-CB pada konsentrasi 5% dibandingkan bagian kulit. Bagian yang dekat dengan empulur lebih sukar ditembus oleh cairan (bahan pengawet) karena rendahnya permeabilitas. Bagian empulur memiliki permeabilitas lebih rendah diduga karena terdapatnya zat-zat ekstraktif yang cukup banyak jumlahnya, sehingga dapat memperkecil absorpsi bahan pengawet (Achmadi, 1990; Haygreen & Bowyer, 1993). Pada Gambar 3 dapat dilihat perkembangan nilai retensi bahan pengawet Diffusol-CB dari empulur ke kulit pada kayu jabon umur lima tahun. Nilai retensi tertinggi terjadi pada bagian pangkal yang paling dekat dengan kulit yaitu sebesar 7,11 kg/m3, sedangkan nilai retensi Diffusol-CB terendah yaitu 4,92 kg/m3 pada bagian ujung yang dekat dengan empulur. Selanjutnya pada Gambar 4 nampak bahwa nilai retensi tertinggi dan terendah terjadi pada bagian pangkal yaitu nilai tertinggi sebesar 7,30 kg/m3 yang paling dekat dengan kulit, sedangkan nilai terendah sebesar 4,22 kg/m3 yang paling dekat empulur. Perkembangan nilai retensi yang sama juga terjadi pada kayu jabon umur tujuh tahun. Nilai retensi tertinggi dan terendah terdapat pada bagian ujung yaitu nilai tertinggi sebesar 6,45 kg/m3 yang paling dekat dengan kulit, sedangkan nilai terendah sebesar 2,61 kg/m3 yang paling dekat dengan empulur. Nilai retensi menurut standar SNI 03-5010.1-1999 yaitu sebesar 8 kg/m3 pada penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Hal ini menunjukkan bahwa nilai retensi dalam penelitian ini belum memenuhi standar. Nilai retensi kayu jabon dalam penelitian ini hanya berkisar 2,61 – 7,30 kg/m3. Namun demikian nilai retensi pada penelitian ini sudah memenuhi rekomendasi dari produsen bahan pengawet Diffusol-CB yaitu sebesar 5-8 kg/m3. Nilai retensi pada kayu jabon umur 7 tahun lebih rendah dibandingkan kayu jabon umur 5 dan 6 tahun (Gambar 3, 4 dan 5). Nilai retensi yang rendah dikarenakan kerapatan kayu umur 7 tahun lebih tinggi dibandingkan kayu umur 5 dan 6 tahun. Kayu dengan kerapatan tinggi memiliki dinding sel yang lebih tebal
12
sehingga larutan bahan pengawet yang masuk lebih sulit. Hunt dan Garrat (1986) menjelaskan bahwa kerapatan berhubungan dengan perkiraan banyaknya rongga udara (rongga sel) yang ada, maka semakin besar rongga-rongga sel (kerapatan rendah) akan semakin besar pula absorpsi larutan bahan pengawet yang akan dicapai.
4.2 Uji Kubur (Grave Yard Test) Pengujian dengan penguburan di lapangan memberikan keuntungan, antara lain kayu yang diuji berada pada kondisi yang sesuai dengan kondisi tempat pemakaian sehingga diperoleh data yang dapat diandalkan dan dapat mengukur lama masa pakai kayu tersebut (Tobing, 1971). Hal ini sesuai dengan. pendapat Martawijaya (1960) bahwa pengujian dengan menggunakan metode penguburan di lapangan merupakan cara pengujian keawetan yang terbaik. Organisme perusak kayu utama seperti rayap dan cendawan tidak terkait suatu keharusan menyerang kayu yang ada. Dengan metode ini maka organisme perusak kayu tersebut diberikan kebebasan untuk memilih, sehingga dapat menggambarkan perbandingan ketahanannya terhadap serangan organisme perusak kayu tersebut. 4.2.1 Kehilangan Berat Uji kubur yang dilakukan di Arboretum Fakultas Kehutanan IPB selama 3 bulan menunjukan nilai kehilangan berat kayu jabon pada umur 5, 6 dan 7 tahun yang hasilnya disajikan masing-masing pada Gambar 6, 7 dan 8. Data lengkap pengukuran persentase kehilangan berat disajikan pada Lampiran 2.
Nilai Kehilangan Berat (%)
100 80 60 40 Pangkal
20
Tengah Ujung
0 1
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Gambar 6. Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 5 tahun yang tidak diawetkan
13
Nilai Kehilangan Berat (%)
100 80 60 40
Pangkal Tengah
20
Ujung
0 1
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Gambar 7. Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 6 tahun yang tidak diawetkan
Nilai Kehilangan Berat (%)
100 80 Pangkal
60
Tengah Ujung
40 20 0 1
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Gambar 8. Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 7 tahun yang tidak diawetkan Grafik kehilangan berat kayu jabon umur lima, enam dan tujuh tahun (Gambar 6, 7 dan 8) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan penurunan berat (kehilangan berat) kayu jabon dari bagian terendah yang paling dekat dengan empulur ke bagian tertinggi yang paling dekat dengan kulit. Hal ini menunjukkan bahwa bagian empulur kurang disukai oleh rayap. Achmadi (1990), Haygreen & Bowyer (1993) menyatakan bahwa bagian yang dekat dengan empulur lebih tahan terhadap serangan serangga perusak kayu (rayap) dan cendawan disebabkan oleh adanya zat ekstraktif yang bersifat racun. Skaar (1972) juga menyatakan bahwa kayu yang dekat dengan empulur dan kayu yang dekat dengan kulit tidak berbeda secara struktur namun kayu yang dekat dengan empulur memiliki sifat-sifat yang lebih baik dari pada kayu yang dekat dengan kulit disebabkan terdapatnya zat ekstraktif didalamnya. Zat ekstraktif tersebut terdiri dari berbagai komponen yang berperan dalam ketahanan terhadap serangan perusak biologis sehingga keawetannya lebih tinggi.
14
Gambar 6 menunjukkan perkembangan nilai kehilangan berat kayu jabon umur lima tahun. Bagian-bagian pohon yang diteliti memiliki nilai kehilangan berat yang berbeda. Nilai kehilangan berat tertinggi terjadi pada bagian tengah yang paling paling dekat dengan kulit yaitu sebesar 87,74 %, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal yang dekat dengan empulur yaitu sebesar 46,55 %. Gambar 7 menunjukan perkembangan nilai kehilangan berat kayu jabon umur 6 tahun. Nilai kehilangan berat tertinggi terjadi pada bagian ujung yang paling dekat dengan kulit yaitu sebesar 86,05 %, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal yang dekat dengan empulur yaitu sebesar 30,27 %. Selanjutnya Gambar 8 menunjukan perkembangan nilai kehilangan berat kayu jabon umur 7 tahun. Nilai kehilangan berat tertinggi terjadi pada bagian ujung yang paling dekat dengan kulit yaitu sebesar 62,19 %, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal yang mendekati kulit yaitu sebesar 14,77 %. 5 Nilai Kehilangan Berat (%)
Pangkal
4
Tengah Ujung
3 2 1 0 1
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Gambar 9. Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 5 tahun yang diawetkan
Nilai Kehilangan Berat (%)
5 Pangkal
4
Tengah Ujung
3 2 1 0 1
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Gambar 10. Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 6 tahun yang diawetkan
15
Nilai Kehilangan Berat (%)
5 4 3 2 Pangkal
1
Tengah Ujung
0 1
2 3 4 5 Nomer Sampel Kayu Jabon dari Empulur ke Kulit
6
Gambar 11. Persentase kehilangan berat kayu jabon umur 7 tahun yang diawetkan Gambar 9, 10 dan 11 menyajikan persen kehilangan berat kayu jabon umur 5, 6 dan 7 tahun setelah diberikan perlakuan pengawetan dengan menggunakan bahan Diffusol-CB. Kayu jabon yang diawetkan memiliki kehilangan berat maksimum sebesar 3,52 % pada umur 6 tahun di bagian tengah yang dekat dengan kulit. Namun pada dasarnya kayu yang diawetkan tidak mengalami kerusakan. Kayu jabon yang tidak diawetkan mengalami kehilangan berat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kayu jabon yang diawetkan. Dengan demikian pemberian bahan pengawet Diffusol-CB dapat meningkatkan ketahanan kayu jabon terhadap organisme perusak yaitu rayap. Kayu jabon yang tidak diawetkan memiliki nilai kehilangan berat berkisar antara 14,77-87,74%. Nilai kehilangan berat yang tinggi ini membuktikan bahwa kayu jabon termasuk kayu dengan kelas awet rendah. Menurut Martawijaya et al. (1989), kayu jabon merupakan kayu dengan kelas awet V dan kelas kuat III-IV. Namun demikian pemberian bahan pengawet Diffusol-CB pada kayu jabon dengan konsentrasi 5% dapat meningkatkan keawetan kayu menjadi kelas awet III (Tabel 4). Tabel 4. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Kelas I II III IV V
Ketahanan Sangat Tahan Tahan Sedang Buruk Sangat Buruk
Penurunan Berat (%) < 3,52 3,52 – 7,5 7,5 – 10,96 10,96 – 18,94 18,94 – 31,89
Sumber : SNI 2006
4.2.2 Derajat Proteksi Penilaian kerusakan dilakukan pula dengan menghitung derajat proteksi kayu terhadap serangan rayap secara kualitatif yaitu penilaian dari kenampakan kerusakannya. Hasil skoring terhadap kerusakan kayu jabon pada uji kubur disajikan pada Tabel 5.
16
Tabel 5. Data skoring jumlah kerusakan sampel kayu jabon pada uji kubur Tingkat Serangan Bagian Kayu No Sampel Umur pada Batang dari Empulur Jumlah Diawetkan Tidak Diawetkan (Tahun) Pohon ke Kulit AB C D E A B C D E 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 Pangkal 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 5 Tengah 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 Ujung 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 Pangkal 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 6 Tengah 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 1 2 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 Ujung 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 1 2 Pangkal 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 7 Tengah 4-6 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1-3 6 3 0 0 0 0 0 0 0 1 2 Ujung 4-6 6 3 0 0 0 0 0 1 0 0 2 Tabel 5 menunjukkan contoh uji yang mendapat perlakuan bahan pengawet tidak mengalami kerusakan, namun sebaliknya terjadi kerusakan sangat besar pada kayu yang tidak dikenakan perlakuan bahan pengawet. Kerusakan disebabkan oleh serangga perusak yang menyerang yaitu rayap tanah. Jenis rayap yang menyerang contoh uji adalah rayap dari jenis Macrotermes gilvus Hagen Famili Termitidae (Gambar 12). Ciri-ciri yaitu kepala berwarna coklat tua dengan lebar 1,52-1,71 mm, mandibel berkembang dan berfungsi, mandibel kanan dan kiri simetris dan tidak memiliki gigi marginal, mandibel melengkung pada ujungnya, ujung labrum tidak jelas, pendek dan melingkar, antena 17 ruas, ruas kedua sama panjang dengan ruas keempat (Nandika et al. 2003). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulistyawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa rayap yang terdapat di Arboretum Fakultas Kehutanan IPB adalah rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen.
Gambar 12. Jenis rayap tanah yang menyerang contoh uji di Arboretum
17
Tingkat serangan rayap yang sangat besar pada contoh uji yang tidak diawetkan didukung oleh kondisi lingkungan sebagai habitat yang relatif dis disukai rayap. Pada saat dilakukan uji lapang pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Januari 2013 tingkat curah hujan di Darmaga Bogor relatif tinggi. Kondisi tersebut ebut menyebabkan kondisi didalam tanah menjadi lembab, sehingga intensitas serangan rayap menjadi lebih tinggi.
Gambar 13. Kayu jabon yang diawetkan (a) dan tidak diawetkan (b) pada umur 5 tahun (1 1), 6 tahun (2) dan 7 tahun (3). Penampilan contoh uji setelah setelah dikubur selama 3 bulan dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 memperlihatkan kondisi kayu jabon yang tidak menggalami kerusakan baik diawetkan pada umur 5, 6 dan 7 tahun. Namun pada kayu yang tidak diawetkan nampak ada kerusakan yang sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bahan pengawet dapat mencegah kayu dari serangan rayap. Hasil pada G Gambar 13 juga mengindikasikan bahwa kayu jabon pada umur 5 tahun mengalami serangan yang lebih besar dibandingkan kayu jabon pada umur 6 dan 7 tahun. Hall ini disebabkan karena kayu umur muda mengandung zat ekstraktif yang lebih rendah dibandingkan kayu umur tua. Menurut Tim ELSSPAT (1997), umur pohon memiliki hubungan yang positif dengan keawetan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur yang tua, pada umumnya lebih awet dibandingkan dengan pohon yang ditebang dalam umur yang muda, karena semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan bahan pengawet Diffusol Diffusol1. Kayu jabon bagian dekat kulit dapat menyerap bahan CB lebih besar dibandingkan bagian dekat empulur. RataRata-rata bagian kulit menyerap yerap bahan pengawet sebesar 5,77 kg/m3, dan bagian empulur menyerap rap bahan pengawet sebesar 5,19 kg/m3. 2. Kayu jabon yang diawetkan mengalami persentasi kehil kehilangan berat dan derajat kerusakan lebih kecil dibandingkan dengan kayu jabon tanpa
18
diawetkan. Rata-rata kehilangan berat kayu yang diawetkan adalah 2,55% dan rata-rata kehilangan berat kayu tanpa diawetkan adalah 52,71%. 3. Pemberian bahan pengawet Diffusol-CB dengan konsentrasi 5% dapat meningkatkan keawetan kayu jabon terhadap serangan rayap tanah. Keawetan kayu meningkat dari kelas awet V menjadi kelas awet I-II setelah diawetkan.
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, kayu jabon yang diawetkan dengan metode rendaman dingin memiliki nilai retensi yang belum memenuhi persyaratan SNI 03-5010.1-1999. Untuk memperoleh kayu jabon awetan dengan nilai retensi yang memenuhi persyaratan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan modifikasi metode pengawetan berbeda seperti vakum tekan dan rendaman panas.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrohim S. 1981. Distribusi Bahan Pengawet CCA pada Kayu Tusam (Pinus merkusii Jung. Et. De Vries) untuk Tiang Listrik. Tesis Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Achmadi S. S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Institut Petanian Bogor. Anonim. 2011. Jabon/Kelampaian. http://st296671.sitekno.com [15 maret 2013] [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2008. Standard Test Method of Evaluating Wood Preservatives by Field Test with Stakes. American Society for Testing and Materials. United States: ASTM D 1758-08. Deswita P. 1997. Kehandalan Wood Injector sebagai Perangkat Mutakhir untuk Pengawetan Kayu Pasca Konstruksi. [Skripsi] Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Duljapar K. 2001. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta. Haygreen J.G, and Bowyer J.L. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar (Terjemahan). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Holil A. 2003. Keterawetan Kayu Kelas Rendah Asal Jawa Timur terhadap Senyawa Boron dengan Metode Vakum Tekan. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hunt G.M, and Garrat G.A. 1986. Pengawetan Kayu (terjemahan). Gajah Mada University Press. Yoyakarta. Mansur I, dan Tuheteru F.D. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira S.A. 1981. Atlas Kayu Indonesia; Jilid I. Jakarta: Departemen Kehutanan. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang Y.I, Prawira S.A, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia; Jilid II. Jakarta: Departemen Kehutanan.
19
Martawijaya A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan pengembangan hasil hutan dan social Ekonomi Kehutanan Balitbang Kehutanan Bogor. Mindawati N, Asmanah W, Rustaman B. 2006. Revview Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Nandika D, Soenaryo, Aswin S. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta. Nurlaila. 1983. Pengujian Keawetan Alami Beberapa Jenis Kayu Perdagangan Di Daerah Bogor Terhadap Serangan Rayap Subteran. [Skripsi] Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Padlinurjaji I. 1985. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Keterlunturan Bahan Pengawet Wolmanit CB dan Basilit CFK dari Kayu Pinus. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. PROSEA. 1997. Seri Manual : Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea. Bogor. Skaar C. 1972. Water in Wood. Syracuse University prees. New York. [SNI] Standar Nasional Indonesia Nomor 03-5010.1-1999. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Soerianegara I, Lemmens R.H.M.J. 1994. Plant Resource of South-East Asia No. 5(1). Timber Trees: Major Commercial Timbers. PROSEA. Bogor Indonesia. Syafii W. 1999. Pentingnya Penelitian Sifat-Sifat Dasar Kayu dalam Rangka Peningkatan Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 1 (8) : 1 Tim ELSSPAT. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Jakarta: Puspa Swara. Tobing T. L. 1971. Ketahanan Alami Beberapa Jenis Kayu Terhadap Serangan Rayap Subteran. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
20
LAMPIRAN
1
Lampiran 1. Data Retensi (Kg/m3) Kayu Jabon Umur 5, 6 dan 7 Tahun KA Awal Berat Kayu Volume Kayu Berat Setelah Diawetkan No. Kayu (%) (kg) (m3) (kg) 5 P1 13,9 0,066 0,000174 0,087 5 P2 13,2 0,062 0,000172 0,083 5 P3 12,9 0,061 0,000171 0,083 5 P4 14,1 0,077 0,000165 0,097 5 P5 12,8 0,075 0,000173 0,098 5 P6 14,6 0,083 0,000171 0,107 5 T1 12,8 0,065 0,000171 0,084 5 T2 13,8 0,070 0,000176 0,090 5 T3 13,8 0,070 0,000176 0,091 5 T4 14,6 0,091 0,000177 0,111 5 T5 14,6 0,075 0,000175 0,095 5 T6 14,8 0,088 0,000171 0,108 5 U1 11,8 0,067 0,000168 0,084 5 U2 12,8 0,069 0,000166 0,087 5 U3 13,2 0,078 0,000167 0,098 5 U4 12,4 0,086 0,000166 0,102 5 U5 12,6 0,072 0,000165 0,090 5 U6 13,9 0,077 0,000172 0,096 6 P1 13,0 0,069 0,000169 0,083 6 P2 12,2 0,068 0,000171 0,086 6 P3 13,3 0,070 0,000172 0,089 6 P4 13,9 0,077 0,000176 0,100
Konsentrasi (%) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Lama Rendaman (hari) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Retensi (kg/m3) 5,79 6,10 6,44 6,05 6,55 7,11 5,52 5,86 5,97 5,64 5,65 5,97 4,92 5,23 5,85 5,12 5,46 5,52 4,22 5,21 5,58 6,56
2
Lampiran 1. Lanjutan KA Awal No. Kayu (%) 6 P5 13,9 6 P6 14,9 6 T1 13,8 6 T2 14,1 6 T3 13,9 6 T4 11,9 6 T5 10,3 6 T6 11,1 6 U1 12,1 6 U2 13,6 6 U3 12,4 6 U4 13,2 6 U5 13,6 6 U6 14,2 7 P1 13,1 7 P2 14,4 7 P3 12,3 7 P4 13,3 7 P5 14,0 7 P6 13,2 7 T1 12,2 7 T2 13,4
Berat Kayu (kg) 0,072 0,078 0,075 0,082 0,084 0,067 0,066 0,072 0,071 0,068 0,070 0,077 0,085 0,080 0,078 0,087 0,083 0,088 0,106 0,092 0,079 0,082
Volume Kayu (m3) 0,000166 0,000167 0,000166 0,000166 0,000165 0,000167 0,000172 0,000172 0,000169 0,000171 0,000172 0,000164 0,000169 0,000172 0,000175 0,000171 0,000172 0,000174 0,000169 0,000173 0,000159 0,000163
Berat Setelah Diawetkan (kg) 0,095 0,102 0,090 0,101 0,104 0,087 0,088 0,094 0,089 0,088 0,090 0,095 0,107 0,104 0,090 0,100 0,097 0,107 0,125 0,112 0,090 0,095
Konsentrasi (%) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Lama Rendaman (hari) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Retensi (kg/m3) 6,83 7,30 4,82 5,80 5,88 5,97 6,22 6,60 5,23 5,91 6,02 5,41 6,61 6,84 3,48 3,77 4,06 5,38 5,57 5,70 3,30 3,94
3
Lampiran 1. Lanjutan KA Awal No. Kayu (%) 7 T3 11,9 7 T4 13,1 7 T5 13,4 7 T6 12,5 7 U1 13,6 7 U2 13,1 7 U3 13,2 7 U4 11,7 7 U5 13,9 7 U6 14,7
Berat Kayu (kg) 0,077 0,079 0,080 0,081 0,093 0,086 0,090 0,089 0,099 0,094
Volume Kayu (m3) 0,000163 0,000159 0,000160 0,000160 0,000169 0,000170 0,000164 0,000167 0,000172 0,000169
Berat Setelah Diawetkan (kg) 0,090 0,095 0,096 0,100 0,102 0,102 0,108 0,107 0,120 0,116
Konsentrasi (%) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Lama Rendaman (hari) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Retensi (kg/m3) 4,13 4,84 5,15 5,89 2,61 4,70 5,31 5,28 5,98 6,45
4
Lampiran 2. Data Persentase Kehilangan Berat (%) Kayu Jabon Umur 5, 6 dan 7 Tahun BKT BKT KA Berat BKT Kehilangan KA Berat BKT Setelah Setelah No No Awal Kayu Awal Berat Awal Kayu Awal Dikubur Dikubur Kayu Kayu (%) (gram) (gram) (gram) (%) (%) (gram) (gram) (gram) Kayu Jabon yang Tidak Diawetkan Kayu Jabon yang Diawetkan 5 P1 12,3 65,76 58,56 31,30 46,55 5 P1 13,9 66,48 58,37 57,38 5 P2 13,8 65,15 57,25 28,54 50,15 5 P2 12,9 60,57 53,65 52,23 5 P3 14,1 59,26 51,94 21,84 57,95 5 P3 13,2 62,10 54,86 52,99 5 P4 14,0 87,05 76,36 39,04 48,87 5 P4 12,8 74,81 66,32 64,77 5 P5 13,7 86,45 76,03 36,47 52,03 5 P5 14,1 76,88 67,38 65,61 5 P6 14,5 89,96 78,57 33,66 57,16 5 P6 14,6 82,77 72,23 70,11 5 T1 13,8 65,76 57,79 16,36 71,69 5 T1 13,8 69,80 61,34 60,31 5 T2 12,8 67,22 59,59 16,83 71,76 5 T2 13,8 69,78 61,32 60,11 5 T3 13,1 68,50 60,57 16,66 72,49 5 T3 12,8 65,44 58,01 56,73 5 T4 13,4 73,50 64,81 18,73 71,10 5 T4 14,6 75,34 65,74 65,03 5 T5 14,4 88,77 77,60 18,84 75,72 5 T5 14,6 91,03 79,43 76,84 5 T6 14,3 85,69 74,97 9,19 87,74 5 T6 14,8 87,67 76,37 73,78 5 U1 12,9 76,61 67,86 22,41 66,97 5 U1 13,2 78,06 68,96 67,80 5 U2 14,3 83,28 72,86 20,45 71,93 5 U2 12,8 69,32 61,45 60,25 5 U3 12,3 67,84 60,41 10,59 82,47 5 U3 11,8 67,05 59,97 58,57 5 U4 12,7 74,39 66,01 23,48 64,43 5 U4 13,9 77,06 67,66 66,29 5 U5 12,9 78,65 69,66 17,01 75,58 5 U5 12,6 72,36 64,26 62,77 5 U6 13,4 79,30 69,93 8,59 87,72 5 U6 12,4 85,51 76,08 73,83
Kehilangan Berat (%) 1,69 2,65 3,41 2,34 2,63 2,93 1,67 1,97 2,21 1,08 3,26 3,39 1,68 1,96 2,34 2,02 2,32 2,95
5
Lampiran 2. Lanjutan No Kayu
KA Awal (%)
6 P1 6 P2 6 P3 6 P4 6 P5 6 P6 6 T1 6 T2 6 T3 6 T4 6 T5 6 T6 6 U1 6 U2 6 U3 6 U4 6 U5 6 U6
12,6 11,9 12,9 14,8 14,7 14,5 13,6 14,0 14,2 10,9 11,1 11,1 13,9 13,4 13,5 14,2 14,0 12,7
BKT Setelah Dikubur (gram) (gram) (gram) Kayu Jabon yang Tidak Diawetkan 64,04 56,87 39,66 71,40 63,81 35,93 71,94 63,72 33,19 84,28 73,41 36,87 73,81 64,35 28,88 77,11 67,34 16,75 79,08 69,61 46,58 72,94 63,98 25,20 73,70 64,54 25,28 77,35 69,75 28,17 71,54 64,39 23,66 67,46 60,72 14,75 71,43 62,71 42,04 75,94 66,97 39,81 72,78 64,12 28,92 87,36 76,50 20,17 77,03 67,57 16,38 73,74 65,43 9,13 Berat Kayu
BKT Awal
Kehilangan Berat
No Kayu
(%) 30,27 43,69 47,91 49,78 55,12 75,13 33,09 60,61 60,83 59,61 63,26 75,71 32,96 40,55 54,90 73,63 75,76 86,05
KA Awal (%)
6 P1 6 P2 6 P3 6 P4 6 P5 6 P6 6 T1 6 T2 6 T3 6 T4 6 T5 6 T6 6 U1 6 U2 6 U3 6 U4 6 U5 6 U6
13,3 13,0 12,2 13,9 14,9 13,9 14,1 13,9 13,8 10,9 11,9 10,3 12,4 12,1 13,6 14,2 13,2 13,6
BKT Setelah Dikubur (gram) (gram) (gram) Kayu Jabon yang Diawetkan 69,61 61,44 60,35 68,55 60,66 59,03 67,93 60,54 58,88 71,94 63,16 62,27 77,64 67,57 66,05 76,94 67,55 66,02 82,18 72,02 71,17 84,21 73,93 72,55 74,50 65,47 63,63 69,79 62,93 61,53 66,56 59,48 57,83 66,22 60,04 57,92 69,69 62,00 61,08 71,04 63,37 62,22 67,83 59,71 58,44 79,96 70,02 69,27 77,42 68,39 67,19 84,60 74,47 72,83 Berat Kayu
BKT Awal
Kehilangan Berat (%) 1,77 2,69 2,75 1,41 2,25 2,27 1,19 1,87 2,80 2,23 2,78 3,52 1,49 1,82 2,13 1,07 1,76 2,20
6
Lampiran 2. Lanjutan No Kayu
KA Awal (%)
7 P1 7 P2 7 P3 7 P4 7 P5 7 P6 7 T1 7 T2 7 T3 7 T4 7 T5 7 T6 7 U1 7 U2 7 U3 7 U4 7 U5 7 U6
13,2 13,3 14,6 13,9 14,6 13,9 13,8 12,9 12,0 12,6 11,9 13,1 12,8 11,9 12,5 13,4 12,3 12,8
BKT Setelah Dikubur (gram) (gram) (gram) Kayu Jabon yang Tidak Diawetkan 92,18 81,43 66,80 85,68 75,62 61,36 85,60 74,69 53,47 107,14 94,06 80,17 101,50 88,57 62,34 92,46 81,18 43,91 80,63 70,85 50,63 81,81 72,46 49,22 84,09 75,08 48,03 77,81 69,10 41,70 80,58 72,01 33,35 79,18 70,01 32,19 86,35 76,55 59,50 78,62 70,26 51,81 81,68 72,60 52,68 93,13 82,13 62,36 88,20 78,54 41,10 86,84 76,99 29,11 Berat Kayu
BKT Awal
Kehilangan Berat
No Kayu
(%) 17,97 18,86 28,42 14,77 29,61 45,91 28,54 32,08 36,03 39,66 53,69 54,02 22,27 26,26 27,44 24,07 47,67 62,19
KA Awal (%)
7 P1 7 P2 7 P3 7 P4 7 P5 7 P6 7 T1 7 T2 7 T3 7 T4 7 T5 7 T6 7 U1 7 U2 7 U3 7 U4 7 U5 7 U6
13,1 14,4 12,3 14,0 13,3 13,2 13,4 11,9 12,2 12,2 13,4 12,5 13,2 13,1 13,6 13,9 14,7 11,7
BKT Setelah Dikubur (gram) (gram) (gram) Kayu Jabon yang Diawetkan 77,90 68,88 66,67 87,49 76,48 73,92 83,20 74,09 71,58 106,15 93,11 90,72 88,43 78,05 75,36 92,29 81,53 78,69 81,94 72,26 70,49 76,98 68,79 66,57 79,03 70,44 67,98 71,63 63,84 61,89 79,88 70,44 68,47 81,12 72,11 69,59 90,17 79,66 77,64 85,68 75,76 73,77 92,99 81,86 79,46 99,14 87,04 85,21 94,22 82,14 80,05 88,98 79,66 77,39 Berat Kayu
BKT Awal
Kehilangan Berat (%) 3,20 3,34 3,38 2,57 3,45 3,48 2,45 3,23 3,49 3,06 2,80 3,49 2,53 2,62 2,93 2,10 2,55 2,85
i
Lampiran 3. Gambar Contoh Uji Kayu Jabon Umur 5 Tahun Setelah Dikubur yang Diawetkan (kanan) dan Tidak Diawetkan (kiri)
ii
Lampiran 4. Gambar Contoh Uji Kayu Jabon Umur 6 Tahun Setelah Dikubur yang Diawetkan (kanan) dan Tidak Diawetkan (kiri)
iii
Lampiran 5. Gambar Contoh Uji Kayu Jabon Umur 7 Tahun Setelah Dikubur yang Diawetkan (kanan) dan Tidak Diawetkan (kiri)
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Mei 1989 sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari pasangan Bpk. Dedy Muchtar dan Ibu Isma Nurillah. Pada tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui jalur seleksi masuk di IPB setelah menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Bina Bangsa Sejahtera (BBS) Bogor, Jawa Barat. Selama di IPB penulis aktif sebaga anggota Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN), Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB serta mengikuti kegiatan Bina Corps Rimbawan (BCR) dan KOMPAK DHH. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur Gunung Sawal-Pangandaran pada tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat tahun 2010 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Mega Tunggal Perkasa Mandiri di Jl Olympic Raya Blok A-12 Kawasan Industri Sentul, Bogor, Jawa Barat pada tahun 2011. Prestasi yang pernah diraih penulis selama di IPB yaitu juara 1 OMI 2008 di cabang olahraga Futsal, juara 2 OMI 2009 di cabang olahraga Futsal, juara 1 Forester cup 2008 di cabang olahraga futsal dan sepakbola. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengawetan Kayu jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dengan Bahan Pengawet Diffusol-CB” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir I Wayan Darmawan, M.Sc.