KASUS PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh : Dodi Darwin NIM : 207044100471
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Januari 2011 M 14 Safar
1432 H
Dodi Darwin
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Segala puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul Kasus Penetapan Ahli Waris Pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur ini dapat di selesaikan. Salawat serta salam semoga Allah SWT curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul yang terakhir yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar dan sekaligus menyempurnakan akhlak melalui petunjuk wahyu Ilahi. Begitu juga salam kesejahteraan semoga senantiasa dicurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan tabi’in serta seluruh umatnya yang selalu istiqomah hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikaan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan segala kemampuan penulis dan berkat dukungan dari berbagai pihak alhamdulillah tugas ini dapat terselesaikan. Salam ta’dzim dan ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yang senantiasa mendo’akan dan memberikan dukungan kepada anaknya agar menjadi manusia yang berakhlak mulia dan sukses dalam mengarungi kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan yang bermanfaat kepada penulis. 2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA dan Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Bapak Kamarusdiana. 3. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum beserta karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum. 4. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 5. Rasa ta’dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda serta Kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan moril, dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan do’a-do’a munajatnya yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. 6. Teman-teman mahasiswa program studi Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama Angkatan Tahun 2006 dan 2007, teman-teman kosan Dika,Oim, Pitik, dan Bams yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta Eka Wahyuni yang telah memberikan motifasi sehingga dapat membangkitkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, besar harapan penulis semoga Allah SWT melimpahkan taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga menjadikan skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian. -Amin Ya Rabbal ‘AlaminJakarta, 17 Januari 2011 M 14 Safar 1432 H
Dodi Darwin
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
…......……………………………………………… iii
......................,,,,,..................................................................
vi
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………..…..
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….. 6 D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………… 7 E. Metode Penelitian ……………………………………………..
8
F. Sistematika Penulisan ………………………………………… 11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS A. Pengertian Waris......................................................................
12
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam………………………………
13
C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi ………………….. 18 D. Penghalang Menerima Warisan ……………………………… 30 E. Asas-asas Kewarisan Islam ………………………………… BAB III
38
AHLI WARIS PENGGANTI A. Pengetian Ahli Waris Pengganti …………………………....... 40 B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum islam ......... 50 C. Kronologi Penetapan…….......................................................
62
BAB IV PEMBAGIAN WARISAN DALAM AHLI WARIS PENGGANTI A. Pembagian Warisan Menurut Fikih Islam ……………………...70 B. Pembagian Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam ……….75 C. Analisis Perbandingan ……………………………………… 78 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………....... 81 B. Saran ..........…………………………………………………… 82
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 84 LAMPIRAN ..................................................................................................... .... 87
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan, ada hukum yang mengatur segala hal yang dilakukan setiap individu baik secara vertikal maupun horizontal. Dari realitas sosial dan budaya serta dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pengaruh Islam sangat dominan dalam peta dan perkembangan hukum dalam masyarakat Islam itu sendiri. Hal ini dapat ditemukan pada masalah kewarisan keluarga. Pada prinsipnya persoalan kewarisan adalah langkah-lankah perumusan harta peninggalan dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan tetapi dalam realitanya proses atau langkah-langkah pengalihan sering terbentur dengan adanya kendala, baik yang bersifat intern ataupun ekstern. Suatu peristiwa hukum kewarisan, yaitu ketika meninggalnya seseorang berdampak kepada harta yang ditinggalkannya, dengan menyelesaikan bagaimana cara pengurusan dan penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum tersebut diatur dalam hukum kewarisan, yaitu
himpunan peraturan yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris.
1
Hukum kewarisan yang merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, dewasa ini mempunyai peranan yang sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hazairin menyatakan bahwa, “Dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang 2
berlaku dalam masyarakat”.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini, sungguhpun demikian, corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat di Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan tersebut. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad/pendapat ahli-ahli hukum dan bahkan individual itu sendiri.
3
Dalam ilmu fikih mawaris ada ashhabul furudl ialah “ orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash Al1
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: sinar grafika, 1995), h. 93 2 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al quran dan Hadist, (Jakarta: tina mas, 1981), cet. Ke-5, hal. 1 3 Abta Asyiari, Djunaidi Abd Syukur, Ilmu Waris Al- Faraidl, (Surabaya : Pustaka Hikmah Perdana, 2005)
Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’’. Selain mereka tidak ada yang berhak atas harta peninggalan. Jumlah mereka ada dua belas. Mereeka adalah empat orang lakilaki, yaitu : suami, ayah, kakek, walaupun betapa tinggi dan saudara lelaki seibu. Delapan orang dari para wanita, yaitu: istri, ibu, anak perempuan, cucu perempuan ari anak laki-laki walaupun betapa rendah derajat ayahnya, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seibu,dan nenek walaupun betapa tingginya. Dan merekalah yang harus di dahulukan dalam pembagian harta warisan.
4
Furudl, (jama’ dari fardlu) yakni : bagian-bagian yang sudah di tetapkan dalam kitabullah ada enam, yaitu : setengah (nisf), seperempat (rubu’), seperdelapan (tsumun), dua pertiga (tsulutsani), sepertiga (tsulus) dan seperenam (sudus). Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan kedudukan ahli waris yang sesungguhnya karena ahli waris sesungguhnya meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Pembagian harta warisan kepada yang berhak menerimanya atau dalam istilah Hazairin menurut garis pokok keutamaan, telah jelas diatur dalam Al-Qur’an, surat al-nisa, ayat 7, 11, 12, 33, dan 176 serta hadist yang
4 1997). h.52
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (semarang: pustaka rizki putra,
diriwayatkan oleh para sahabat Rasulullah. Sementara itu Al-qur’an tidak secara menjelaskan pembagian harta warisan kepada ahli waris pengganti.
5
Sebagai contoh, jika seorang A meninggal dunia, memiliki
harta,
memiliki tiga orang anak B, C, dan seorang cucu E sebagai anak dari D yang telah meninggal mendahului A. Penyelesaian menurut fikih Islam bahwa cucu E baik laki-laki maupun perempuan, tidak berhak menerima warisan selama masih ada anak laki-laki B dan C, atau dengan kata lain, cucu E terhalang oleh anak B dan C.
6
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cucu E menerima warisan dengan menggantikan kedudukan D sebagai ayahnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Instuksi Presiden No. 1 tahun 1991 pasal 185 ayat (1) dinyatakan: “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173” Namun di Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Intruksi Presidan No. 2 tahum1991 pasal 185 ayat (2) dinyatakan: “bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.
5 6
Syarifuddi Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : prenada media, 2004) Rofiq Ahmad, Fiqih Mawaris, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001)
Namun dalam prakteknya ada yang tidak sesuai dengan teorinya. Seperti dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta timur Nomor 0004/pdt.P/2008/PA JT di putusan ini seseorng di nyatakan sebagai ahli waris pengganti tidak sesuai dengan definisi yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam putusan ini seseorang dinyatakan sebagai ahli waris pengganti namun ahli waris sesungguhnya tidak meninggal terlebih dahulu dari si pewaris. Dari banyak kasus penetapan penulis mengambil satu penetapan karena ada ketidak sesuaian teori dengan praktek dalam penetapan ahli warisnya. Oleh karena itu, dari latar belakang diatas dan dengan adanya kasus dalam pembagian warisan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat membuat penulis terdorong mengangkat permasalahan ini yang kemudian di beri judul “KASUS
PENETAPAN
AHLI
WARIS
PENGGANTI
DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR “. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian dibatasi hanya pada seputar masalah hak ahli waris pengganti dalam pembagian warisan menurut hukum Islam dan kompilasi hukum Islam. Yang di maksud dengan ahli waris pengganti adalah sekumpulan orang atau individu anak, ayah atau ibu ahli menggantikan kedudukan ayah, ibu atau anaknya yang meninggal terlebih dahulu untuk menerima harta peninggaalan yang di tinggal mati oleh seseorang (pewaris). Hukum Islam yang dimaksudkan ialah hukum yang mengatur tentang pembagian warisan dalam Islam sedangkan
kompilasi hukum Islam ialah yang mengatur pembagian warisan umat muslim di Indonesia. Kemudian agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menetapkan ahli waris pengganti dalam kasus Nomor 0004/Pdt.P/2008/PA JT ?
2. Bagaimana tinjauan KHI tentang penetapan hakim dalam hal ahli waris dalam kasus Nomor 0004/Pdt.P/2008/PA JT ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana hakim pengadilan agama Jakarta timur menetapkan ahli waris. 2. Untuk mengetahui tinjauan KHI tentang penetapan hakim dalam hal ahli waris pengganti. 3. Untuk mengetahui ukuran yang harus diterima oleh ahli wari pengganti. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang hak ahli waris pengganti dalam pembagian warisan. 2. Menambah khazanah keilmuan, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
3. Pengembangan kwalitas pengetahuan hukum khususnya perkara-perkara yang menyangkut permasalahan hak ahli waris pengganti dalam pembagian warisan agar tidak terjadi perselisihan dalam hubungan keluarga.
D. Tinjauan Pustaka Muhammad Jamil (eksistensi hukum kewarisan Islam/ilmu faraid setelah lahir lahirnya inpres No 1 tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam). dalam skripsinya dia membahas tentang inpres No 1 tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. dalam kenyataannya di masyarakat, secara ide masyarakat muslim menerima konsep
kewarisan menurut hukum kewarisan
Islam. Tetapi didalam prakteknya masyarakat justru telah melepaskan ketentuanketentuan hukum kewarisan Islam dan mencari penyelesain-penyelesaian mengenai masalah kewarisannya ke pengadilan negeri. Dalam Kompilasi Hukum Islam tedapat beberapa pasal agak berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam hukum kewarisan atau ilmu faraid pada umumnya seperti pasal 185 tentang ahli waris pengganti dan pasal 209 tentang wasiat wajibah. Hal itu terjadi karena adanya penyelarasan hukum kewarisan Islam dengan kaidah dan budaya masyarakat lokal. Samsi ( ahli waris pengganti,wasiat wajibah, dan munaskhah dalam fiqh Islam). Dalam skripsinya membahas tentang ahli waris pengganti, wasiat wajibah, dan munasakhah dalam fikih Islam. dan ia membedakan antara ke tiganya. Saudara samsi dalam skripsinya menyimpulkan bahwa ahli waris
pengganti, wasiat wajibah, dan munusakhah sama yang mana ketiga konsep tersebut merupakan proses sistem penggantian dalam kewarisan Islam, namun ketiga konsep diatas mempunyai karakteristik dan tata aturan yang berbeda-beda yang berkonsekwensi dengan tampilnya beberapa ahli waris pengganti yang berbeda pula. Sedangkan, dalam skripsi ini saya membahas tentang bagaimana hakim menetapan ahli waris pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
E. Metode Penelitian Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian. Yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah cara meluluskan suatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan7. Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis pada penyusunan laporan8. Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang
7 1997), h. 1. 8
Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, h. 1.
bersangkutan. Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi9. Adapun metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah: 1.
Pendekatan Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah memakai
pendekatan kualitatif, berlandaskan pada prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang berupa kata-kata tertulis. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat analisis pustaka yaitu jenis penelitian yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap dukementasi penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Timur Nomor 0004/pdt.P/2008/ PA JT.. 3. Sumber Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka sumber data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer, penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 0004/pdt.P/2008/ PA JT. b. Data Sekunder, merupakan semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, seperti Peraturan Perundang-Undangan,
9 1986), h. 6.
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
buku-buku, karya dari kalangan hukum, dan literatur lain yang ada hubungannya dengan skripsi ini. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Observasi Mengadakan pengamatan secara sistematis dan mencatat
segala
kejadian-kejadian yang terjadi terhadap obyek penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung. b. Interview Yaitu metode pengumpulan data dengan cara Tanya jawab dengan pihak yang bersangkutan di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas. c. Studi Dokumentasi Metode pengumpulan data dengan cara mengambil informasi dari arsip-arsip yang berasal dari Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas. 5. Analisis Data Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Setelah dipelajari dan ditelaah, maka langkah penulis berikutnya adalah mereduksi data,dengan jalan merangkum masalah yang penulis teliti. Dalam menganalisa data penulis menggunakan pendekatan deskriptis analisis. Dianalisis secara kualitatif dan
dicari pemecahannya, kemudian disimpulkan dan digunakan untuk menjawab permasalahn yang ada.
F. Sistematika Penulisan Sitematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana dalam setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yaitu : BAB I
: meliputi: latar balakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II
:
meliputi : pengertian kewarisan, dasar hukum
kewarisan Islam, rukun, syarat, dan sebab kewarisan, penghalang menerima warisan, asas-asas keawarisan Islam. BAB III
: meliputi : pengertian ahli waris pengganti, ahli waris
pengganti dalam Islam, ahli waris penggnti dalam kompilasi hukum Islam, kronologi penetapan BAB VI
: meliputi : tinjauan KHI terhadap penetapan, tinjauan
hukum Islam, analis penulis. BAB V : meliputi : kesipulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS A. Pengertian Waris. Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata dimana, dari dahulu sampai sekarang ini, hukum waris Indonesia sangat beraneka ragam sekali. Adapun garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian : 1. Hukum waris yang terdapat dalam undang-undang perdata (KUH per/BW) 2. Hukum waris yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. 3. Hukum waris yang terdapat dalam hukum Islam, yang tersusun dalam fikih mawaris/faraidh. Adapun pengertian hukum waris dalam KUH perdata, menurut Hartono Suryopratiknyo hukum waris adalah keseluruhan
peraturan dengan
nama undang undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan, perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.
10
Hukum kewarisan dalam Islam di kenal dengan “ fikih
mawaris”. Mawaris dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal “ miras”, artinya harta pusaka atau harta warisan.
10
11
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata(BW), (Serang: Darul Ulum Press, 1993), Cet. 2 hal 50 11 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-quran, 1973), cet. Ke-1, h. 496
Menurut etimologi, warisan ialah pindahnya sesuatu dari orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sedangkan menurut terminologi, warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang ditinggalkannya itu benda bergerak atau tidak bergerak atau berupa hak-hak syara’.
12
Fikih mawaris dimaksudkan ilmu yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
13
Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah ilmu faraid. Dalam bahasa arab perkataan faraid menunjukan bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya faraidah yang beraarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu. Firman allah
artinya separuh dari apa yang kamu tentukan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu faraid adalah ketentuanketentuan bagian ahli waris yang di atur secara rinci di dalam Al-quran. B. Dasar Hukum Kewarisan Islam. Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu ayat-ayat Al-quran yang selain kedudukannya qath’i al-wurud, juga qath’i al-dalalah meskipun pada dataran tanfid (aplikasi), sering mengalami perubahan pada hitungan nominalnya, misalnya pada kasus raad dan aul dan sebagainya.
12
Muhammad Ali as-Sabuni, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah), (Bandung:CV. Diponegoro,1988), h. 40 13 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), cet. Ke-2, h. 1
Menurut Al-Syaibiti, terdapat ketentuan-ketentuan Al-quran yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci didalam AlQuran, seprti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abudy atau di terima secara take for granted. Karena itu realisasinya apa yang ditegaskan didalam AlQuran diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan pada ketentuanketentuan Allah. Selain Al-Quran, hukum kewarisan juga disandarkan pada sunnah Rosulullah SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang 14
mukhtalaf fih.
Ayat-ayat al-quran dan sunnah cukup banyak yang menunjuk tentang hukum kewarisan. 1.
Al-quran QS. An-nissa,4 : 11-12
14
Ibid, hal 374
“ maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang di tinggalkan. Jika anak perempuan seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak,masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia di warisi oleh ibu bapak (saja) maka ibunya
mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut diatas) sesudah di penuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya. (tentang orang tua dan anak-anak mu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari allah. Sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha bijaksana (QS. An-nissa; 4 : 11) 2.
Al-Sunnah Imam Bukhori menghimpun hadist tentang kewarisan tidak kurang
dari 46 hadist. Imam Muslim menyebut hadist tentang kewarisan kurang dari 20 hadist. Berikut dikutip beberapa hadist yang di anggap pokok. a)
Hadist riwayat mutafaq alaih atau yang di riwayatkan oleh Bukhori
Muslim:
(
)
Nabi SAW bersabda :” berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama 15
(dekat kekerbatannya) (Al Bukhori)
b)
Hadist lain yang isinya menegaskan kembali tentang bagian-bagian
warisan yang telah ditegaskan didalam al-quran. Misalnya riwayat dari huzail ibnu syurabil mengatakan :
. (
)
Nabi SAW memutuskan bagian anak perempuan separuh cucu perempuan garis laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan (riwayat Al-Bukhori) 3.
16
Hukum Islam yang sudah diundangkan Dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama pasal 49
didalamnya ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang peradilan agama. Tentang yang digunakan dalam penyelesaian warisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan Islam atau faraid. Dengan demikian kewarisan Islam yang bersumber pada KHI merupakan positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Pengertian positif disini adalah yang berlaku dan
15 16
Imam Abi Abdillah, Shahih Bukhari, (Semarang: PT. Toha Putra, 1997) juz 8 Ibid, hal. 11
dilaksanakan oleh peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarian Islam bukan nasional di Indonesia dalam arti “tertulis yang ditetapkan oleh badan yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga.” 4.
17
Yurisprudensi Dalam kamus fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi
dikemukan yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikn keputusaan permasalahan yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan kedaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
17 18
18
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 326 Ibid
C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi 1. Rukun Waris Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat, sujud dianggap sebagai rukun, karena sujud bagian dari shalat. Karena itu tidak di katakan shalat jika tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya bagian dari sesuatu yng lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain.
19
Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga :
20
1. Al-mawaris yaitu orang yang meninggaldunia atau mati, baik a hakiki maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang meninggaalkan harta atau hak. 2. Al-waris, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang. 3. Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraid menyebutnya dengan mirast atau irst. Termasuk dalam katagori 19
Komite fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004), hal. 41 20 Ibid, Hal. 28
warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seprti hak qishas (perdata) hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian. Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris mewarispun tidak dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta waris maka waris mewarispun tidak dilalukan karena tidak terpenuhinya rukunrukun waris. 2.
21
Syarat waris Lafal syuruth (syarat-syarat)adalah bentuk jamak dari syarth. Menurut
bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saah (tanda-tanda kiamat). Allah SWT berfirman “tidaklah yang mereka tunggu, melainkan hari kiamat kedatangannya kepada mereka yang tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila kiamat sudah datang ? (muhammad 47 : 18).
22
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya _isba tergantung pada ada dan tidak adanya sesuatu itu. Yang di maksud dengan adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya _isba.
21 Ibid . 22 Ibid.
Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang disyarati (masyruth) yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya syarat, namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat. Misalnya hubungan suami istri menetapkan adanya talak. Thaharah (bersuci) adalah syarat sah shalat. Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya tidak sah, akan tetapi melakukan tharah berarti ketika hendak melakukan shalat saja.
23
Dengan demikian, apa bila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit. Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak_isba dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan memerlukan syarar-syarat sebagai berikut:
24
Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki (sejati), 2) mati hukmy (menurut putusan hakim), dan 3) mati taqdiry (menurut pikiran). 23
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Geme Rislah Press, 1997), hal. 200 24 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal 29
Mati hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang (yang semula nyawa itu berwujud padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang disaksikan meninggal atau dengan pendeteksi dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu kematian yang disebabkankarena putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis kematian si mafqud (orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya). Status orang hilang, jika melawati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud karena berasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang yang telah mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah kematian ibunya yang melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan al-ghurah (hamba sahaya atau budak perempuan yang disamakan dengan lima tahun unta yang diberikan kepada ahli si bayi). Dengan demikian, si bayi meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi budak dari si bayi.
25
Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup secara hakiki maupun hukmy setelah kematian mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah SWT didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris dengan
25
Ibid, hal. 30
huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud. Kecuali hanya bagi orang yang hidup.
26
Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian. Maksudnya ahli waris harus mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat nasab(kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan dari Ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada seorangpun Ash-habul furudh) atau garis perkawinan atau garis wala. Hal seperti ini di berlakukan karena setiap garis keturunan memiliki _isba yang berbedabeda.
27
3. Sebab-Sebab Mewariskan Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i (pembuat hukum) di jadikan indikasi
adanya
suatu
yang
lain
yang
menjadi
akibatnya,
sekaligus
menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaannya karena ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya api merupakan sebab terjadinya kebakaran.
28
Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat, karena syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka 26 27 28
Ibid. Ibid. Ibid.
yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain, juga menjadi tidak ada dan mengecualikan makna “mani” (penghalang), karena mani mengecualikan adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain.
29
Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang
mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi tidak ada jika jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sabab-sebab mewarisi terbagi menjadi dua: pertama, yang disepakati, kedua, yang tidak disepakati oleh para ulama faraid. 1. Sebab-Sebab Mewarisi yang disepakati a. Kekerabatan (Al-qarabah) Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain terdapat dalam firman Allah surat An-nissa ayat 11. Ahli waris yang dapat mewarisi dari aris kekerabatan adalah Ushul (leluhur) si mayit, furu’ (keturunan) si mayit, dan hawasyi si mayit (keluarga si mayit dari jalur horizontal). Golonan ushul adalah 1) ayah, kakek, dan jalur keatasnya, 2) ibu, nenek (ibu suami dan ibunya istri) dan julur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1)anak laki-laki, cucu, cicit, dn jalur kebawahnya. Sedangkan golongan Hawasyi adalah 1) saudara lakilaki dan saudara perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun
29
Ibid, hal 32
seayah atau seibu, 2) anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3) paman sekandung seayah dan anak laki-laki paman sekandung.
30
b. Pernikahan Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan kekerabatan, hak waris juga berlaku atas dasar perkawinan ; dengn arti bahwa suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 surat An-nissa menyatakan hak kewarisan suami istri. Dalm ayat itu digunakan kata: azwaj, penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami istri) menunjukan dengan gamblang hubungan kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan alamiah diantara keduanya, maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri.
31
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan : Pertama: antara keduannya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yang sah di tetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan
30 31
Ibid, hal. 33 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 88
orang-orang yang beragama islam adalah sah apabila menurut hukum Islam. pengetian sah menurut Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan. Ketentuan yang kedua: berkenaan dengan hubungan kewarisan yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk dalm ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan perempuan masih dalam keadaam masa iddah. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin (menurut jumhur ulama) karena halnya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.
32
c. Wala Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqaah yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala almaulah dan mukhalafah membebaskan budak denan karena kepemimpinan dank arena ikatan sumpah. Karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda
32
Ibid, hal. 192
dalam sebab-sebab perwarisan.
33
Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah
adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak melalui pencabutan hak mewakili dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah syari’at atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat penyebabnya adalah kenikmatan
pemilik budak yang dihadiahkan kepada
dengan membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun setelah seorang tuan membebaskan budaknya, budak itu telah berubah status dari orang yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara sempurna. Dalil orang yang mempunyai hak wala memiliki hak waris atas harta peninggalan si budak adalah sabda Rosulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, “ hak wala itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya” (HR mutafaq alaih).
34
Adapun yang dapat mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki
dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya menjadi ashabah yaitu ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewarisi bukan diwarisi. Tanpa budak yang dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu sisi saja yakni sisi dari orang yang membebaskan budak.
33 34
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 40 Ibid.
2. Sebab-sebab waris yang diperselisihkan a. Baitul mal Para ulama fiqh berselisih diantaranya syafi’i, Maliki dan Hanafi dan hanabila tentang baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
35
Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitul mal yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dan tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum muslimin pun dibebani membyar diyah (denda) untuk saudara sesame muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian kedudukan mereka bagaikan ashabah (golongan yang mewarisi dalam lingkungan kerabat). Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan malikiyah dan imam syafi’i dalam qoul qodim (pendapat lamanya ketika berada di Baghdad).
36
Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan demikian andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu orangpun, maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal bukan atas dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum
35 36
Ibid, hal. 41 Ibid, hal. 42
muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-syafi’i dalam qoul 37
jadid.
Ketiga, baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak, ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hanabilah.
38
b. Al-hilf wa Al-Mu’aqadash atau janji setia Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal. Tujuannya adalah untuk kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa aman. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut: Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.
39
Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan 37 38 39
Ibid. Ibid. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal. 364
1/6 bagian, itupun didahulukan penerimanya baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainnya.
40
Perjanjian seperti ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam waktu yang lama, sampai-sampai Al-Quran merekamnya sebagai salah satu sebab mewaris yang di benarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33:
“bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang di tinggalkan ibu bapak karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya, sesungguhnya allah menyaksikan segala sesuatu (Q.S. An-Nissa Ayat 33). Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayorittas para ulama tidak melaksanakannya. Hanya sebagian ulama hanafiyyah saja yang tetap memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat atau keterangan atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan dengan kehidupan sekarang ini, telebih di dasari oleh nash-nash Al-Quran maupun hadist yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya perjanjian itu telah kehilangan atau setidaknya kurang relevansi. 40 41
Ibid. Ibid.
41
D. Penghalang Menerima Warisan Kata Al-Mawani adalah bentuk jamak dari mani. Menurut bahasa mani berarti penghalang. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi dan menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi ketiadaan syarat menurut mereka tidak disebut mani meskipun menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi yang dimaksud dengan beberapa penghalang mewarisi adalah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun, ketiadaan penghalang bukan berarti memberikan warisan kepada seseorang. Denga kata lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.
42
Jadi yang dilarang mendapatkan hak
waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Orang semacam ini yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaannya bagaikan tidak ada dan dia dapat menhalangi ahli waris lainnya baik secara hirman (tidak dapat warisan) maupun secara nuqshan (pengurangan).
43
Dengan demikian definisi diatas berarti meniadakan hukum dan seseorang dapat terhalang karena keberadaan ahli waris lainnya. Namun, ahli
42 43
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 46 Ibid.
waris lainnya menghalangi ahli waris yang terhalang dengan cara nuqshan (pengurangan). Demikian halnya, definisi tersebut meniadakan hukum warismewarisi karena ketiadaan sebab-sebabnya seperti orang asing (orang yang tidak mempuunyai hubungan kerabat dari manapun).
44
1) Penghalang-penghalang yang disepakati a.
Berlainan agama Para ulama ahli fikih diantaranya Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali
sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewaris. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan agama yang lainnya terjadi antara satu agama dengan satu syariat yang berbeda.
45
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam _isba waris. Dengan demikian orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang islam dan seorang muslim tidak mewarisi harta orang kafir, sebagaimana sabda Rosulullah SAW berikut:
(
)
Orang-orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam (HR Muttafaq alaih)
44 45
Ibid. Ibid. Hal 47
Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fikih sebagai pengalaman dari keumuman hadist diatas. Bila seorang mati meninggalkan anakanak laki-laki yang kafir dan paman nya muslim, niscaya harta peninggalan si mayit di berikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya.
46
Namun sebagian ulama ahli fikih berpendapat bahwa orang islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah (ahli kitab) mati meninggalkan suami muslim muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istri tapi tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas adalah: a)
47
Berdasarkan hadist Nabi SAW, “islam itu terus bertambah dan tidak
berkurang”. b) Dalam melihat hadist ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka juga berargumen dengan hadist “ islam itu tinggi dan ketinggiannya tidak dapat diungguli”. Dengan hadist ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah
46 47
Ibid, hal. 48 Ibid.
seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim. c)
48
Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta
rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya. b.
49
Pembunuhan Apabila seorang ahli waris membunuh ahli warisnya, maka ia tidak
berhak mewarisi harta pewarisnya, karena pembunuhan menghalanginya menerima harta warisan atau harta peninggalan. Orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari pembunuhnya. Apabila si pembunuh lantaran suatu sebab meninggal sebelum korbannya meninggal. Apabila seorang melukai saudaranya dengan luka sangat parah yang bisa menyebabkan kematian, kemudian dia lebih dahulu meninggal dengan suatu sebab niscaya si korban (orang yang dilukai) menerima pusaka dari orang yang melukainya apabila tidak ada ahli waris yang lebih kuat, asal saja orang yang dilukai atau korban ketika meninggalnya pelaku masih dalam keadaan hidup (hayat mustaqirah).
48 49 50
Ibid. Ibid. Ibid, hal. 52
50
Tegasnya si pembunuh tidak
boleh menerima harta warisan dari orang yang dibunuh. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
( Tidak ada pusaka bagi pembunuh
)
51
Kaidah fiqhiyah menetapkan:
“orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, niscaya disiksa dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ia segera menerimanya”
52
Apabila si pembunuh tidak dihalangi menerima warisan, tentunya banyak waris (orang yang menerima waris) akan membunuh muwarisnya (pewaris). Dan berkembanglah pembunuhan diantara kerabat-kerabat dekat dan kerabat yang jauh. Selain dari pada itu pembunuhan adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang harus dijatuhi hukuman yang sangat berat dan suatu maksiat yang dibalas dengan azab yang paling berat. Maka tidak layak baik menurut akal maupun menurut syara’ mengerjakan jarimah dan maksiat menjadi jalan untuk mencapai kenikmatan dan memperoleh keuntungan. Setelah ulama fikih sepakat antara lain Maliki, Syafi’i, dan Hambali tentang pembunuhan menjadi sebab penghalang menerima warisan kemudian 51
Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al-Athar Syarah Muntaqal Akhbar, (kairo: Al-Akhirah) jus 6 hal. 84 52 Muhammad Azzam Abdul Aziz, Qawaaidul Al-Fighiyyah, (kairo: Darr Al-Hadits, 2005)
mereka berselisih tentang hakikat pembunuhan yang benar-benar menjadikan seseorang menerima warisan apakah bentuk pembunuhan mutlak atau khusus. Dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama adalah sebagai berikut: 1.
Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh bentuk pembunuhan dapat menghalangi seseorang mendapat harta warisan. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa mewaris harta orang yang dibunuhnya, baik karena sengaja, mirip sengaja, khilaf (baik dengan hak atau tidak) atau di hukum setelah membunuhnya atau tindakan yang menyebabkan pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau tidak ada yang menyaksikan tindakan tersebut sekalipun pembunuhan itu tidak sengaja, seperti pelakunya orang yang sedang tidur, orang gila atau anak kecil atau tindakan tersebut demi kemaslahatan seperti pukulan ayah terhadap anaknya dalam rangka mendidik.
2.
53
Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewaris adalah pembunuhan yang hukumnya adalah qishash atau kafarah yaitu pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, dan pembunuhan yang di anggap khilaf misalnya seseorang yang sedang nyenyak tidur diatas tempat tinggi kemudian tempatnya runtuh dan
53
Komite Fakultas Syariah Universitas Al azhar Mesir, Hukum Waris Islam, Hal. 57
menjatuhi orang yang dibawahnya, sehingga membawa kepada kematian kepada orang yang dijatuhinya.
54
Adapun pembunuhan yang dianggap tidak menghalangi untuk mendapatkan warisan menurut kalangan Hanafiyah ada tiga macam 1) pembunuhan tidak langsung seperti seseorang menggali lubang bukan miliknya dan belum mendapat izin dari pemiliknya dan kemudian salah satu anggota keluarganya terperosok hingga jatuh dan meninggal, 2) pembunuhan karena hak, 3) pembunuhan yang dilkukan oleh anak kecil atau orang yang belum cakap untuk bertindak hukum. 3.
55
Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang untuk menerima warisan adalah pembunuhan sengaja karena permusuhan, sedangkan yang lainnya menurut mereka tidak menghalangi seseorang mendapat warisan.
4.
56
Mazhab Hanabila berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang hak, yakni pembunuhan yang dibebani dengan sanksi qishas, kafarat, diyat dan rugi, pembunuhan tersebut seperti:
54 55 56 57
Ibid, hal. 57 Ibid, hal. 58 Ibid. Ibid, hal. 59
57
a. Pembunuhan dengan sengaja dan terencana adalah suatu cara pembunuhan yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan ini eksis dengan adanya tiga hal: pertama, sengaja dalam berbuat, kedua, sengaja arah dan sasaran, ketiga, sengaja dengan menggunakan alat yakni menggunakan alat yang lazimnya mematikan. b. Pembunuhan mirip dengan sengaja adalah pembunuhan dengan sesuatu dengan alat yang tidak lazimnya tidak mematikan. c. Pembunuhan karena khilaf atau tidak sengaja pembunuhan yang didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan, baik alat maupun arahny seperti menembak burung tetapi mengenai orang dan mati. d. Pembunuhan yang dianggap khilaf yaitu pembunuhan yang tidak memiliki unsur kesengajaan berbuat tetapi membawa kematian terhadap seseorang. Adapun pembunuhan yang menurut mereka tidak menghalangi menerima warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sanksi tersebut diatas seperti pembunuhan karena melakukan had, qishas (pidana) untuk membela diri, untuk melawan pemberontak, atau untuk berbuat demi kemaslahatan. Dalam
Kompilasipun
dirumuskan
tentang
pembunuhan
dapat
menghalangi dari mendapat warisan. Kompilasi merumuskannya dalam pasal 173 yang berbunyi:
58
58
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, hal 3
Sesesorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan yang telah mempunyai ketentuan hukum yang tetap, dihukum karena: a.
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris. b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. E. Asas-asas Kewarisan Islam Dari pengamatan terhadap sumber hukum kewarisan Islam, dapat ditarik beberapa asas yang melandasi pembentukannya, antara lain adalah: 1.
59
Ijbari
Secara bahasa, ijbari mengandung pengertian paksaan. Kaitanya dengan kewarisan mengandung arti bahwa pemindahan harta peninggalan dari muwarris kepada ahli warisnya bukan kehendak dari muwarris, tapi akan terjadi dengan sendirinyasetelah yang bersangkutan meninggal dunia. 2.
Bilateral
Pengertian bilateral dalam kewarisan adalah seseorang dapat menerima warsian dari dua belah pihak, pihak ayah dan pihak ibu. Hal ini juga berlaku untuk anak perempuan.
59
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Hukum Islam I: Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: Rajawali Press, 1990, hal. 128
3.
Individual
Kewarisan islam menentukan bahwa setiap ahli waris berhak mendapatkan sebagian dari harta peninggalan muwarris dan tidak mengenal harta pusaka yang tidak dibagi-bagi yang penguasaannya dilakukan secara kolektif oleh para ahli waris. 4.
Keadilan berimbang Yang
dimaksud
keadilan
berimbang
disini
adalah
adanya
keseimbangan antara hak-hak yang akan diterima dan kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi. Dalam arti bahwa harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh sebab itu bagian yang diterimanya seimbang dengan kewajiban yang akan dipikul. 5.
Akibat kematian semata Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta pusaka dari muwarris
kepada ahli waris dapat dilakukan hanya apabila muwarris meninggal dunia. Dengan demikian, selama pemilik hartaa tersebut masih hidaup, tidak akan ada peralihan harta pusaka kepada ahli waris. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam syarat-syarat kewarisan dalam Islam.
BAB III AHLI WARIS PENGGANTI A. Pengertian Ahli Waris Pengganti Penggantian kedudukan (ahli waris pengganti) dalam kewarisan Islam merupakan suatu hal yang baru, mengingat terminologi ahli waris pengganti tersebut tidak secara lugas disebutkan dalam fikih Islam. Menurut Sajuti Thalib, dalam bukunya “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”, ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seorang ahli waris langsung, karena dalam kasus bersangkutan ia meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka kedudukannya di gantikan oleh anaknya, anak saudaranya atau anak tolan seperjanjiannya.60 Dalam kaitannya dengan ahli waris, hukum kewarisan Islam mengelompokkan mereka dalam tiga golongan yaitu ; ahli waris zawil faraid, ashabah, dan zawil arham. Sedangkan Haizairin mengelompokkan ke dalam ; zu al-faraid,zu al-qarabat, dan mawali. Dari penggolongan ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, dipahami bahwa ada diantara ahli waris dengan kedudukan tertentu mendapat bagian yang sudah jelas terdapat dalam Al-quran, yaitu : anak, ayah, ibu, suami, istri dan saudara. Mereka mewaris karena hubungan sendiri dengan pewaris dan
60
Thalib Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : sinar grafika 2000)
tidak karena menempati kedudukan ahli waris yang lain, karena itu, disebut sebagai ahli waris langsung. Di samping itu ada juga mereka yang menjadi ahli waris dikarenakan menempati penghubung yang sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Mereka adalah ; cucu menempati kedudukan anak, kakek menempati kedudukan ayah, nenek menempati kedudukan ibu, anak saudara menempati kedudukan saudara, dan begitu seterusnya. Ahli waris kelompok ini, kedudukan dan bagian mereka memang tidak dijelaskan dalam Al-quran, akan tetapi kedudukan mereka dan bagiannya ini dapat diketahui melalui perluasan pengertian ahli waris langsung yang dijelaskan dalam Al-quran. Pengertian anak diperluas kepada cucu, pengertian ayah dan ibu kepada kakek dan nenek, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara dan seterusnya. Dari dasar hukum dan cara mereka menjadi ahli waris, dapat disebut sebagai ahli waris pengganti. 61 Untuk pembahasan yang lebih luas, Allah menyerahkan kepada akal manusia untuk menentukan pelaksanaannya. Ulama Sunni, mengatakan bahwa secara garis besar ahli waris yang berhak mendapat warisan sebanyak tujuh belas orang yang terdiri dari sepuluh orang ahli waris laki-laki dan tujuh orang ahli waris perempuan. Ahli waris lakilaki terdiri dari anak laki-laki (ibn), cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibn al-ibn),
61
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta : PT Gunung Agung, 1994), cet I, hal 86.
ayah, suami, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara sekandung, anak lakilaki dari saudara seayah, kakek, paman, dan orang yang memerdekakan budak. Sedangkan ahli waris perempuan terdiri dari istri, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki (bint al-ibn), ibu, nenek, saudara perempuan, dan orang yang memerdekakan budak.
62
Dari sepuluh ahli waris laki-laki dan tujuh ahli waris perempuan tersebut ulama menjelaskan secara lebih detil sehingga ahli waris laki-laki berjumlah lima belas orang ditambah dengan saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, dan saudara laki-laki seibu dan anak paman, dan ahli waris perempuan menjadi sepuluh orang ditambah dengan perincian saudara perrempuan sekandung, seayah,seibu, serta nenek dari pihak ayah dan ibu. Penjelasan tersebut merupakan perluasan dari ahli waris yang semula tidak disebutkan secara rinci seperti saudara laki-laki paman yang semula tidak dibedakan antara saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu serta paman yang semula tidak disebutkan anaknya (ibn al-‘am) dalam daftar orang-orang yang berhak menjadi ahli waris.63 Mengenai siapa-siapa saja yang berhak memperoleh warisan dari pewaris berdasarkan cara penerimaan bi al-ashabah, bi al-fard dan bi al-rahm tersebut, ulama tidak berbeda pendapat dalam hal ini, dalam arti mereka
62 63
Ibn Ruysd, Bidayat al- Mujtahid, (beirut : Dar al-fikr) Juz II, h. 254.
Muhyi Muhammad al- Din Abd Al Hamid, Ahkam al –Miras fi al-syari’ah al-Islamiyah ‘ala al- Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-kitab al-arabi)h. 91-92
bersepakat dalam menentukan orang-orang yang tergolong dalam ahli waris. Dengan demikian, meskipun ulama sunni berbeda pendapat dalam beberapa hal ; namun dalam penentuan para ahli waris ini mereka secara consensus (ijma) sependapat satu sama lain. Lebih lanjut ulama mengatakan bahwa manakala semua ahli waris tersebut ada, maka ada empat ahli waris yang dipastikan akan selalu mendapatkan warisan. Mereka itu adalah, suami atau istri, anak, ayah, dan ibu. 64 Keempat ahli waris ini tidak akan pernah terhijab oleh ahli waris siapapun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merekalah ahli waris utama atau ahli waris langsung yang akan selalu diperioritaskan dalam memperoleh warisan. Hal ini bisa terjadi mengingat para ahli waris selain yang empat tersebut akan memperoleh warisan manakala diantara mereka seperti ayah dan anak laki-laki tidak ada, karena ayah dalam dokterin kewarisan yang ada bisa menutup saudara, kakek, paman, dan seterusnya, sedangkan anak laki-laki bisa menutup semua ahli waris selain ayah, ibu, suami atau istri, dan saudaranya baik laki-laki maupun perempuan. Dari adanya ahli waris utama dan langsung tersebut ditarik suatu ajaran dalm kewarisan yang dikenal dengan hajb (hajib dan mahjub) yang secara a contrario dapat diartikan sebagai sistem penggantian ahli waris dalam hukum
64
Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam al- Miras wa al-Washiyyah fi al-syari’ah alIslamiyyah, (Mansurat kulliyah al- Dakwah), h. 86
waris Islam65. Dari ajaran hajb (hajib dan mahjub) tersebut dapat ditentukan mana ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, sehingga dengan status kedekatannya tersebut dapat menutupi ahli waris yang lebih jauh. Ahli waris yang dihijab oleh ahli waris yang utama tersebut adalah mereka yang diantaranya dipertalikan dengan pewaris melalui orang-orang yang yang dapat menghijabnya. Anak laki-laki dapat menghijab semua ahli waris selain saudaranya dan keturunannya, ayah, ibu, dan suami atau istri. Ini berarti bahwa ahli waris lain anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki, dan semua ahli waris selain yang empat tersebut merupakan pengganti dirinya, karena mereka hanya bisa memperoleh harta pusaka apabila ia tidak ada. Hal serupa juga dapat dilihat dari otoritas ayah untuk menghijab saudara, kakek dan seterusnya yang juga dapat diartikan bahwa yang terhijab olehnya tersebut merupakan pengganti dari ayah. Disamping kedua ahli waris yang dapat menghijab ahli waris lainnya tersebut terdapat ahli waris lain yang juga mempunyai otoritas yang sama seperti ayah dan anak. Mereka adalah : 1. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung dapat menghijab ahli waris yang berada dilevel bawahnya seperti ibn ibn al-ibn dan bint ibn al –ibn, saudara dan paman. 2. Saudara laki-laki sekandung dapat menghijab anaknya, anak saudaranya, saudara laki-laki seayah, dan paman. 65
Wasit Aulawi, system Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 11.
3. Saudara laki-laki seayah dapat menghijab anaknya, anak saudaranya, dan paman. 4. Kakek bisa menghijab paman. Sedangkan anak kakek bersama-sama dengan saudara, ulama berbeda pendapat mengenai kewarisannya, ada yang mengatakan bahwa ia bisa menghijab saudara dan ada yang mengatakan tidak, tetapi ia bersama-sama dengan saudara menjadi ahli waris dari pewaris. Perbedaan tersebut terjadi karena Al-quran dan sunnah tidak menjelaskan prihal itu. Ulama yang mengatakan bahwa kakek menempati ayah sepenuhnya, dalam arti bisa menghijab saudara, karena kakek menurut mereka termasuk dalam kandungan kata ayah yang bisa diterjemahkan sebagai ayah dari ayah. Sedangkan yang tidak sependapat mengatakan bahwa antara kakek dan saudara sama-sama berada dalam satu garis, karena hubungan mereka masing-masing sama-sama melalui ayah,ini menunjukan bahwa kakek dan saudara mempunyai kekuatan yang sama dalam memperoleh hak waris. 5. Paman menghijab anak paman dan seterusnya. 6. Dua anak perempuan bisa menghijab cucu perempuan dari anak laki-laki, kecuali ia didampingi saudaranya yang laki-laki (akh mubarak). 7. Dua saudara perempuan sekandug bisa menghijab saudara perempuan seayah, kecuali ia didampingi saudaranya yang laki-laki (akh mubarak) 8. Seorang saudara perempuan atau lebih apabila bersama-sama dengan anak perempuan menghijab saudara ayah baik laki-laki maupun perempuan,
karena dalam hal ini ia memperoleh kewarisan melalui asabah maa’ alghair, sehingga dengan penerimaan asabah tersebut ia menghabiskan seluruh tirkah. Menurut Syafi’iyah dan ulama mujtahid terdahulu, hak yang diterima oleh ahli waris pengganti bukanlah yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya, dalam arti mereka tidak sepenuhnya menggantikan ahli waris yang menghubungkannya kepada pewaris, hal ini dapat dilihat dari contoh berikut: a. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak laki-laki; cucu perempuan melalui anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima anak perempuan, tidak sebagaimana yang diterima anak laki-laki yang menghubungkan kepada pewaris. b. Anak saudara menerima warisan sebagaimana anak saudara. Begitu juga paman, dan anak paman, ia menerima warisan sebagaimana hak dan kedudukannya sebagai ahli waris sendiri. Mengenai cucu, dalam keadaan apapun, para ulama terdahulu menempatkannya sebagi cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya, dan cucu yang dimaksud disini adalah khusus cucu laki-laki dan perempuan melalui pancar lakilaki, hak kewarisan cucu melalui pancar laki-laki ini termasuk kedalam far’u waris yaitu anak turun pewaris. Hak kewarisan far’u waris adakalanya dengan jalan fard, ataupun asabah. Dasar hukum kewarisan mereka adalah adanya
interpretasi kata walad dalam ayat waris diartikan secara mutlak yang dapat diterapkan untuk anak turun pewaris betapapun jauh menurunnya, juga dalil yang dikemukakan oleh sahabat rosulullah Zaid ibn Sabit:
.
:
. Artinya: “ Zaid berkata: cucu-cucu pancar laki-laki menduduki derajat anak laki-laki bila si mati tidak meninggalkan anak, kelaki-lakian mereka (cucucucu) seperti kelaki-lakian anak-anak, dan keperempuan mereka seperti keperempuan anak-anak yakni mereka dapat mewarisi sebagaimana halnya anak-anak menghijab, dan cucu pancar laki-laki tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki, oleh karena itu bila seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dan cucu laki-laki dari pancar laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat setengah dan cucu laki-laki mendapat sisanya”.66 Bagian cucu laki-laki adalah seluruh sisa tirkah setelah ashab al-furud, tetapi jika bersama dengan beberapa saudaranya, ia bersama-sama saudarnya yang lain menerima tirkah dengan perbandingan 2:1. Cucu perempuan menerima ½ apabila seorang diri, 2/3 apabila dua orang atau lebih, dan 1/6 fard sebagai takmilah 2/3 jika bersama dengan seorang anak perempuan, ataupun tidak mendapat sama sekali. Sebagai contoh: si A meninggal dengan ahli waris B
66
Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma’arif), h. 195
(istri), C (ayah), dan dua cucu laki-laki dari pancar laki-laki D dan E (yang orang tuanya telah meninggal mendahului A), maka penyelesaiannya sebagai berikut: Asal masalah : 24 B : 1/8 x 24 = 3 C : 1/6 x 24 = 4 D dan E : asabah binafsihi : 24 – (3+4) = 17 Dari uraian di atas dapat kita cermati bahwa cucu-cucu melalui pancar laki-laki dapat mewarisi sebagaimana halnya anak laki-laki dan perempuan mewarisi dengan syarat tidak bersamaan dengan anak laki-laki, karena ia dapat menggugurkan hk waris cucu-cucu pancar laki-laki ini. Adapun cucu perempuan dan laki-laki dari pancar perempuan termasuk kedalam kelompok zawil arham. Mereka terdiri dari garis lurus ke bawah, ke atas, ke samping pertama dan kedua yang dalam hubungannya dengan pewaris melalui perempuan, dan kerabat ketiga yaitu saudara kakek dan nenek. Tentang zawil arham ini para ulama berbeda pendapat, Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa zawil arham berhak atas tirkah jika tidak ada lagi zawil furud dan asabah. 67 Syafi’iyyah dan Malikiyah berpendapat berpendapat bahwa zawil arham tidak dapat menerima tirkah, sisa tirkah diserahkan kepada bait al-mal.68
67 68
Al-Syyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut, dar al-Fikr, 1983), juz III, h. 446 Ibn Qudamah, Al- Mughni, ( Riyad : Pustaka Riyad), Juz VI h.229.
Dengan demikian cucu perempuan dan laki-laki dari pancar perempuan berhak mewarisi tirkah dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jika tidak ada lagi ashab al-furud dan asabah. b. Jika bersama salah seorang suami/istri, maka sisa harta yang tidak dapat diselesaikan dengan radditerimakan kepada mereka. Hal ini diberikan kejelasan bagi kita bahwa zawil arham berhak tampil menjadi ahli waris jika tidak ada lagi zawil furud dan asabah. Karena itu, dalam kewarisan zawil arham ini juga kita menemukan proses penggantian ahli waris. Menurut sebagian ulama, ahli waris pengganti mendapat tirkah karena ada orang yang menghubungkannya dengan pewaris. Dasar hukum yang dipegang oleh sebagian ulama ini adalah suatu riwayat yang dinukilkan dari Ali RA dan Abdullah RA:
(
)
Artinya : “ dari Ali RA dan Abdullah RA, bahwa mereka menempatkan cucu-cucu perempuan pancar perempuan ketempat anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki ketempat saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan ketempat sudara perempuan. Saudari bapak ketempat bapak dan saudari ibu ketempat ibu”. (H.R. Ahmad) Menetapkan adanya hak kewarisan zawil arhham menurut sebagian ulama ini, yaitu dengan mencari dan menetapkan orang yang telah meninggal
lebih
dahulu
yang
menghubungkan
dengan
pewaris
untuk
ditempati
kedudukannya. Misalnya A meninggal, meninggalkan tirkah sejumlah 21 juta rupiah. Ahli warisnya (B) cucu perempuan dari pancar perempuan, dan (C) cucu lakilaki dari pancar perempuan. Maka penyelesaiannya adalah: B asabah bil al-ghair mendapat 1/3 dari 21 juta rupiah yaitu 7 juta rupiah, dan C asabah bi Al-ghair mendapat 2//3 dari 21 juta yaitu 14 juta rupiah, karena derajat keduanya sama yaitu menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal mendahului A sebagai kakek mereka. Amir Syarifuddin menyebut cara yang dilakukan sebagian ulama ini ini hampir sama dengan cara pewarisan sistem penggantian menurut BW, yang 69
disebut dengan kewarisan secara biijplaatsvervulling.
Menurut Hazairin, hal
ini disebut mewaris dengan cara mawali atau penggantian tempat. Dalam hal ini, ia mendasarkan argumentasinya kepada Al-Quran surat Al-Nissa; ayat 33. B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum Islam Mengingat persoalan yang menjadi kajian penulis adalah mencari landasan yurisprudensi bagi bentuk penggantian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, penulis secara legal formal dalam memberikan batasan ahli waris
69
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat minangkabau, (Jakarta : PT Gunung Agung, 1994), cet I, hal 84
pengganti akan merujuk kepada maksud yang dikandung oleh Kompilasi Hukum Islam tersebut. Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: 1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 70
173.
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Berdasarkan diktum pasal 185 ayat 1 tersebut dapat dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam secara tegas mendeklarasikan pengakuannya terhadap keberadaan ahli waris pengganti secara formal dan kuat, sehingga dengan penegasan tersebut, kedudukan ahli waris pengganti mendapat legalisasi secara penuh di mana ketentuan seperti itu tidak dijumpai dalam wacana hukum kewarisan Islam klasik. Hal ini terjadi mengingat konsepsi kewarisan Islam yang ada selama ini yang tertuang dalam kitb-kitab fikih tidak pernah menybutkan adanya ahli waris pengganti tersebut secara tersurat (explisit). Buku-buku tersebut selama ini hanya merupakan kelanjutan dari doktrin kewarisan yang mulai berlaku sejak awal Islam, yaitu sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya tanpa adanya perubahan terhadapnya. Hal tersebut beralasan
70
Didalam pasal 173 disebutkan ada dua hal yang bisa menjadi penghalang bagi ahli waris untuk mendapatkan warisan, yaitu ; a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris, b. Dipersalahkan karena menganiaya berat pewaris.
mengingat nas-nas yang berhubungan dengan persoalan waris telah memberikan penjelasan yang sangat rinci dan jelas, sehingga tidak diperlukan lagi penafsiranpanafsiran lain dari yang sudah ditentukan. Dengan kata lain dapat dikatakan, mengingat nas-nas tersebut telah memberikan penjelasan yang rinci, maka halhal yang tidak termasuk dalam penjelasan tersebut, tidaklah termasuk dalam golongan ahli waris.
71
Prof. Wasit Aulawi dalam suatu seminar mengatakan bahwa tindakan penentuan ahli waris pengganti, merupakan suatu terobosan dalam rangka mengatasi ketimpangan dan ketidak adilan
72
di antara orang-orang yang satu
sama lain mempunyai pertalian darah. Orang yang menjadi ahli waris pengganti tersebut juga mempunyai pertaliandarah dengan pewaris sebagaimana orang yang digantikannya (KHI. 171; c) KHI dalam menentukan bagian yang bisa diterima oleh seorang ahli waris pengganti tidak membeda-bedakan keturunan orang yang digantikan baik ia laki-laki maupun perempuan, dalam arti bahwa keturunan anak perempuan yang meninggal lebih dahulu mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu untuk menjadi ahli waris pengganti dalam mewarisa tirkah dari pewaris.
71
Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam al- Miras wa al-Washiyyah fi al-syari’ah alIslamiyyah, (Mansurat kulliyah al- Dakwah), h. 166-167 72 Wasit Aulawi, System Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 10.
Maka dengan ungkapan, “ ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris...” dapat dipahami orang yang meninggal terlebih dahulu itu laki-laki bisa juga perempuan. Dalam ungkapan lain dapat dikemukakan bahwa keturunan anak perempuan mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki untuk menjadi ahli waris pengganti dari orang tuanya yang telah meninggaal terlebih dahulu. Hal yang sama juga diberlakukan kepada ahli waris pengganti dari anak laki-laki dan ahli waris dari anak perempuan, dalam arti keturunan anak perempuan yang menggantikan ibunya meskipun ia laki-laki tidak akan menjadi asabah, karena kelaki-lakiannya, tetapi ia tetap sebagai penerima fard jika ibunya andaikata masih hidup ia menerima warisan dengan fard dan penerima asabah jika ibunya andaikat masih hidup asabah bi al-ghair, karena bersama-sama dengan saudara. Begitu juga anak perempuan dan anak laki-laki dari anak lakilaki yang orang tuannya meninggal lebih dahulu, ia akan menerima asabah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketentuan fard bagi ahli waris perempuan dan asabah bagi ahli waris laki-laki (selain saudara laki-laki seibu) hanya berlaku secara konsisten pada level kedua yangg menjadi pengganti dirinya, ketentuan fard dan asabah tersebut tidak demikian halnya, karena nasib (bagian) yang akan diterimanya tergantung status kewarisan pada level pertama. Sebagaiman penulis jelaskan bahwa hal ini berlaku bagi ahli waris pengganti laki-laki dan ahli waris pengganti perempuan.
Mengingat adanya kemungkinan ahli waris pengganti bisa melebihi bagian ahli waris pada level pertama (orang yang digantikan), KHI memberikan batasan agar ahli waris pengganti tersebut dalam memperoleh warisan tidak melebihi bagian orang yang sederajat dengan yang digantikannya (KHI, 185 :2). Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut dapat di pahami bahwa hak untuk menggantikan orang yang lebih dahulu meninggal dunia, ahli waris pengganti tidaklah mempunyai hak yang mutlak, dalam arti bisa saja ia tidak sepenuhnya memperoleh hak yang semestinya akan diterima oleh yang ia gantikan. Penetapan ketentuan tersebut menurut M. Yahya Harahap dilandasi asas kepatutan dan kontribusi. Dari segi kepatutan, tidaklah layak seorang ahli waris pengganti untuk mendapatkan bagian yang melebihi bagian ahli waris langsung dan dari segi kontribusi, ahli waris langsung banyak memberikan kontribusi kepada pewaris dimana kontribusi tersebut banyak yang melekat pada 73
harta warisan . Sehubungan dengan itu, Prof. Wasit Aulawi mengatakan bahwa pembatasan bagi ahli waris pengganti agar tidak boleh melebihi ahli waris langsung merupakan implementasi dari nilai yang terkandung dalam ketentuan 1/6 takmilah. Berdasarkan ketentuan tersebut, ditarik suatu kesimpulan bahwa
73
M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h, 38.
ahli waris pengganti tidak diperkenankan menerima bagian melampaui bagian ahli waris langsung.
74
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut, ahli waris pengganti hanya bisa mendapatkan bagian warisan maksimal sama dengan bagian orang-orang sederajat dengan yang digantikannya. Selanjutnya penulis gambarkan perihal ahli waris pengganti dan kemungkinan hak yang bisa ia terima lewat beberapa contoh kasus sebagai berikut: 1. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan A dan B. B meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak laki-laki C. 2. Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli wris dua orang anak perempuan A dan B. B meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak perempuan C. 3. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki A, anak perempuan B dan C, A meninggal lebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak perempuan D. 4. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorng anak lakilaki A, dan anak perempuan B dan C, A meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak laki-laki D. 74
Wasit Aulawi, System Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 14.
5. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris, seorang anak laki-laki A dan anak perempuan B dan C. A meninggal lebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai dua orang anak perempuan D, E dan seorang anak laki-laki F. Jika kita merujuk pada literartur fikih Islam, penyelesaian beberapa kasus diatas, adalah sebagai berikut: Pada kasus pertama dan kedua, seorang cucu (C) baik laki-laki maupun perempuan, akan terhijab oleh pamannya atau saudara ayahnya yang masih hidup. Pada kasus ketiga, seorang cucu perempuan (D) akan terhijab oleh keberadaan dua orang anak perempuan, dalam hal ini B dan C sebagai bibinya. Kasus keempat, seorang cucu laki-laki (D) tidak terhijab walaupun oleh dua orang anak perempuan, ia akan menerima tirkah dengan jalan ashabah, sedangkan pada kasus kelima, cucu D, ashabah. Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 1 dan 2 dapat dikemukakan penyelesaian kasus tersebut sebagai berikut: Pada kasus pertama dan kedua terdapat ahli waris pengganti
C.
Perbedaannya adalah C yang ada pada kasus pertama adalah lak-laki, sedangkan pada kasus kedua perempuan. Mereka sama-sama menjadi pengganti dari anak perempuan B yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Karena kedua ahli waris pengganti tersebut menggantikan ibunya (bint), mereka secara bersama-sama
dengan bibinya yaitu A menerima 2/3 (dua pertiga). A dan C dalam hal ini mendapat bagian sama besar, masing-masing 1/2 x 2/3. Kasus ketiga dan keempat terdapat ahli waris pengganti D. Perbedaan antara keduannya adalah pada kasus ketiga D berjenis kelamin perempuan, sedangkan pada kasus keempat berjenis kelamin laki-laki. Namun diantara keduanya ada kesamaan, yaitu sama-sam menjadi ahli waris pengganti melalui anak laki-laki (ibn) yaitu A. Dalam kasus ini ahli waris pengganti dari anak laki-laki A tersebut haruslah didudukkan sebagaimana kedudukan anak perempuan B dan C dengan bersama-sama menerima fard 2/3 (dua pertiga). Tindakan ini ditempuh agar penggantian tersebut diterapkan secara mutlak, tentulah D akan menerima dua bagian dari ashabah yang diterimanya, sedangkan kedua bibinya masing-masing akan menerima satu bagian. Namun apabila D dan E (perempuan) bersama dengan saudara laki-lakinya F seperti pada kasus kelima, maka bagian ahli waris dari A tersebut tidak perlu dimodifikasi karena bagian 2/3 dari ashabah tersebut harus di bagi lagi diantara D, E, dan F. Sehingga dengan banyaknya ahli waris pengganti tersebut, meskipun secara komulatif melebihi bagian B dan C (masingmasing 1/2), namun secara riilbagian tiap-tiap individu ahli waris pengganti tidak melebihi bagian B dan C. Untuk itu, dalam kasus ini D, E, dan F secara komulatif menerima penuh bagian orang yang digantikannya.
75
Ibid
75
Persoalan lebih lanjut ialah
bagaimana pembagian warisan yang diterima secara komulatif oleh ahli waris pengganti tersebut apabila diantara mereka ada yang laki-laki dan perempuan. Pasal 176 menyebutkan bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua bagian sedangkan anak perempuan satu bagian. Prinsip ini bisa dimasukan ke dalam ahli waris pengganti, mengingat penyebutan anak tersebut masih global, yang mengandung kemungkinan anak atau anaknya. Tidak ada penjelasan lain selain kalimat “cukup jelas” terhadap maksud pasal tesebut, maka bagian 2/3 di bagi berdasarkan ketentuan itu. Bagian D (perempuan) 1/4 x2/3, E (perempuan) 1/4 x 2/3, dan F (laki-laki) 2/4 x 2/3. Hal serupa juga terdapat dalam pasal 182 tentang bagian saudara perempuan apabila bersama dengan saudara laki-laki. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi ahli aris pengganti dari anak perempuan (bint) apabila diantara penggantinya ada yang laki-laki dan perempuan.
76
Persoalan lain yang bisa menimbulkan interpretasi beragam adalah apabila sesorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris anak laki-laki A dan B serta anak perempuan C dan D. B meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tapi ia mempunyai anak perempuan E yang akan menggantikan kewarisannya. Dalam kasus ini E akan memeperoleh 2/6 (dua perenam) dari ashabah sebagaimana A yang akan memperoleh bagian yang sama dengannya, karena ia menempati posisi B (anak laki-laki). Sedangkan C dan D masing-
76
Ibid
masing mendapatkan 1/6 (seperenam) sesuai dengan prinsip bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Di satu sisi E bisa menerima bagian seperti orang yang berada di level atasnya yaitu A, namun jika ia dihadapkan pada C dan D ia akan terlihat bahwa E mendapatkan bagian lebih besar dari keduanya. Masalah yang harus dipecahkan ialah apakah ia akan dibiarkan dengan bagian 2/6 karena tidak melampaui bagian A atau dikonversi dengan bagian yang semestinya diterima C dan D. Mengingat tidak adanya penjelasan rinci mengenai hal semacam itu, penulis berpendapat bahwa bagian E yang semestinya 2/6 dikonversi dengan bagian yang diterima C dan D. Maka bagian A, C, D, dan E adalah A=2/5, C=1/5, D=1/5, dan E=1/5. Pengkonversian ini didasari asumsi bahwa ; pertama, karena status kewarisan E bukan ahli waris langsung dimana dalam menerima warisan hrus disesuaikan dengan asas kepatutan dan kontribusi,
77
kedua, karena diktum pasal 285 ayat 2 bersifat global yang bisa
berarti tidak boleh melebihi semua ahli waris yang berada sederajat dengan ahli waris yang digantikannya dan bisa juga tidak boleh melebihi salah satu dari ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya. Jika dibawa kepada pengertian yang pertama, bagian E tidak perlu direkontruksi, mengingat bagian 2/6 tersebut tidak melebihi bagian semua ahli waris langsung diatasnya, karena selain dia ada ahli waris yaitu A yang mendapatkan bagian yang sama dengannya. Maka bagiannya harus dikonversi dengan bagian yang semestinya diterima C dan D.
77
Ibid
KHI, merekontruksi kewarisan ahli waris pengganti dapat dilihat dari penghilangan beberapa doktrin yang selama ini telah dianggap mapan dikalangan umat Islam. Hal itu terlihat dari penghapusan status fard 1/6 (seperenam) sebagai takmilah li al-sulusain (seperenam pelengkap) bagi cucu perempuan dari anak laki-laki (bint al ibn) apabila ia mewarisi tirkah bersama seorang anak perempuan kandung pewaris dimana hal itu juga berlaku untuk kewarisan saudara perempuan seayah (ukht li al-ab) apabila bersama-sama dengan seorang saudara perempuan sekandung (ukht syaqiqah)
78
mengenai perkataan Zaid,
barangkali tim perumus tidak menganggap sebagai sumber signifikan, mengingat dalam penyampaian hukum tersebut ia tidak menyebutkan bahwa hal tersebut dari sabda Nabi (sunnah atau hadist). Sedangkan mengenai pendapat kedua tentang kewarisan cucu perempuan dari anak laki-laki, meskipun yang bersangkutan mengklaim bahwa perempuan 1/6 tersebut sesuai dengan sunnah Nabi, namun pernyataan itu merupakan sesuatu yang masih dipertentangkan dikalangaan sahabat endiri. Sebagai bukti dari hal itu adalah adanya silang pendapat yang mengatakan bahwa cucu tersebut gugur karena dihijab oleh anak perempuan itu sendiri. Melihat adanya pertentangan itu disertai adanya kemungkinan pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad sahabat, perumus KHI rupanya lebih memilih kepada ungkapan umum dalam Al-quran yang hanya mencukupkan diri dengan 78
Ali Muhammad al-Sobuni, Al-Mawaris fi al_Syri’ah al-Islamiyah, (Beirut: Alam al Kutub, 1985), cet ke-3, hal 460.
menyebutkan anak saja. Sudah barang tentu kata anak tersebut mencakup didalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Dari ungkapan itu bisa ditarik pengertian lain yang meliputi keturunannya masing-masing. Tindakan tersebut dinilai lebih tepat agar diantara orang-orang yang masih dipertalikan dengan hubungan darah tidak tersisih dengan dalih ajaran Islam yang sebenarnya masih bisa direaktualisasikan guna menghadapi problematika sosial yang semakin kompleks. M. Yahya Harahap memandang pemasukan secara positif ahli waris pengganti merupakan tindakan kompromi, karena sejak dahulu umat Islam mengenal ahli waris pengganti.
79
Disamping itu terdapat kompromi terhadap
perkembangan peradaban, kemanusiaan, dan keadilan sehingga penyingkiran sebagian ahli waris dan pengukuhan sebagian ahli waris yang lain tidak akan terjadi, karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Pasal 171 huruf c menyebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan hubungan perkawinan dengan muwarris pada saat ia meninggal dunia. Dengan ketentuan tersebut, terbuka lebar bagi ahli waris pengganti untuk menerima hak sebagaimana ahli waris langsung, dengan penyebutan hubungan darah tersebut dengan sendirinya sudah tercakup didalamnya anak laki-laki dan perempuan berikut keturunannya masing-masing. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur mengenai konsep munasakhah-nya
79
M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h, 33.
yang
menyebutkan
bahwa
keturunan
seseorang
bisa
menggantikan
kedudukannya manakala orng yang digantikannya sempat hidup meskipun sebentar pada saat muwaris meninggal dunia. C. Kronologi Penetapan Dalam penetapan Nomor 0004/Pdt. P/2008/PA JT hakim pengadilan agama Jakarta Timur menimbang, bahwa para pemohon berdasarkan surat permohonannya tertanggal 16 Januari 2008 yang didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama Jakarta Timur telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut : 1. Djemblem binti Dung, pada tahun 1925 meninggal dunia, selanjutnya Djemblem binti Dung, disebut sebagai pewaris. 2. Bahwa disaat meninggal dunia Djemblem binti Dung, meninggalkan 2 (dua) orang saudara laki-laki kandung, yaitu : 2.1.
Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1930)
2.2.
Digul bin Dung ( meninggal dunia pada tahun 1935)
2.1. Ebong bin Dung meninggal kan 5 (lima) orang anak yang bernama: 2.1.1. Pilin bin Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1935) 2.1.2. Konok binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1943) 2.1.3. Saimah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1952) 2.1.4. Sailah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1976) 2.1.5. Sainah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1987) 2.1.1. Pilin bin Ebong bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan 1 orang anak yang bernama:
2.1.1.1. Rohadi bin Pilin bin ebong Ebong (umur 69 tahun) 2.1.2. Konok bin Ebong bin dung meninggalkan seorang anak Dalo yang meninggal dunia tahun 1970 dan tidak meninggalkan ahli waris. 2.1.3. Saimah binti Ebong bin Dung tidak meninggalkan ahli waris. Belum pernah menikah sehingga tidak meninggalkan ahli waris. 2.1.4. Sailah binti Ebong bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan 2 orang anak yang bernama: 2.1.4.1. Muhanah pr. Sailah binti Ebong bin Dung (umur 58 tahun) 2.1.4.2. Muhipah Pr. Sailah binti Ebong bin Dung (meningal dunia tahun 1996) dan meninggalkan seorang anak yang bernama: 2.1.4.2.1. Ratna Pr. Muhipah Pr. Sailah (umur 45 tahun) 2.1.5. Sainah binti Ebong bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak yang bernama : 2.1.5.1. Kojo Pr. Sainah binti Ebongbin Dung (meninggl dunia pada tahun 1975) dan tidak meninggalkan ahli waris. 2.1.5.2. Sainin alias Banin Pr Sainah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1981) dan meninggalkan seorang anak yang bernama: 2.1.5.2.1. Dimroh binti sainin alias Banin Pr sainah binti Ebong bin Dung (umur 44 tahun). 2.2. Digul bin Dung meninggalkan 2 orang anak yang bernama: 2.2.1. Saonah binti Digul bin dung (meninggal dunia pada tahun 1938) 2.2.2. Bohan bin Digul bin dung (meninggal dunia pada tahun 1958)
2.2.1. Saonah binti Digul bin Dung meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris. 2.2.2. Bohan bin Digul bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan 7 orang anak yang bernama: 2.2.2.1. Hj. Siti binti Bohan bin Digul bin Dung (umur 74 tahun) 2.2.2.2. Hj. Asiah binti Bohan bin Digul bin Dung (umur 72 tahun) 2.2.2.3. Murgani bin Bohan bin Digul bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1972) dan meninggalkan 3 orang anak yang bernama: 2.2.2.3.1. Mahari bin Murgni bin Bohan (umur 59 tahun) 2.2.2.3.2. Rosidah binti Murgani bin Bohan (umur 54 tahun) 2.2.2.3.3. Waris bin Murgani bin Bohan (umur 43 tahun) 2.2.2.4. Maimunah binti Bohan bin Digul bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1989) dan meninggalkan 2 orang anak yang bernama: 2.2.2.4.1. Salamah Pr Maimunah binti Bohan (umur 52 tahun) 2.2.2.4.2. Mansur Pr Maimunah binti Bohan (umur 50 tahun) 2.2.2.5. H. Arsyad bin Bohan bin Digul bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1993) dan meninggalkan 9 orang anak yang bernama: 2.2.2.5.1. M. Oleh bin H. Arsyad bin Bohan (umur 74 tahun). 2.2.2.5.2. Arni bin H. Arsyad bin Bohan (umur 69 tahun). 2.2.2.5.3. Saud bin H. Arsyad bin Bohan (umur 66 tahun). 2.2.2.5.4. Jaini bin H. Arsyad bin Bohan (umur 59 tahun). 2.2.2.5.5. Zakaria bin H. Arsyad bin Bohan (umur 58 tahun).
2.2.2.5.6. Aspas bin H. Arsyad bin Bohan (umur 57 tahun). 2.2.2.5.7. Marwan bin H. Arsyad bin Bohan (umur 52 tahun). 2.2.2.5.8. Masnun bin H. Arsyad bin Bohan (umur 52 tahun). 2.2.2.5.9. Rosip bin H. Arsyad bin Bohan ( umur 49 tahun). 2.2.2.6. Bukhori bin Bohan bin Digul bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1994) dan meninggalkan seorang anak yang bernama: 2.2.2.6.1. Sabariyah binti Bukhori bin Bohan (umur 43 tahun). 2.2.2.7. Mutinah binti Bohan bin Digul bin Dung (meninggal pada tahun 1998) dan meninggalkan seorang anak yang bernama: 2.2.2.7.1. Haryanto Pr Mutinah binti Bohan (umur 41 tahun). Setelah menimbang menimbang dari bukti-bukti yang ada hakim pengadilan agama Jakarta Timur menetapkan: 1.
Mengabulkan permohonan pemohon.
2.
Menyatakan almarhumah Djemblem binti Dung meninggal dunia pada tahun 1925.
3.
Menetapkan ahli waris sah almarhumah Djemblem binti Dung adalah 2 (dua) orang saudara laki-laki kandung yaitu:
4.
3.1
Ebong bin Dung.
3.2
Digul bin Dung.
Menyatakan almarhum Ebong bin Dung telah meninggal dunia pada tahun 1930.
5.
Menetapkan ahli waris sah almarhum Ebong bin Dung adalah: 4.1. Pilin bin Ebong,
: anak laki-laki.
4.2. Konok bin Ebong,
: anak laki-laki.
4.3. Saimah binti Ebong,
: anak perempuan.
4.4. Sailah binti Ebong,
: anak perempuan.
4.5. Sainah binti Ebong,
: anak perempuan.
6.
Menyatakan almarhum Pilin telah meninggal dunia pada tahun 1935.
7.
Menetapkan ahli waris sah almarhum Pilin bin Ebong adalah : 7.1. Rohadi bin Pilin,
8.
: anak laki-laki
Menyatakan almarhumah Konok binti Ebong telah meninggal dunia pada tahun 1943 dan tidak meninggalkan ahli waris.
9.
Menyatakan almarhumah Saimah binti Ebong telah meninggal dunia pada tahun 1952 dan tidak meninggalkan ahli waris.
10. Menyatakan almarhumah Sailah binti Ebong telah meninggal dunia pada tahun 1976. 11. Menetapkan ahli waris sah almarhumah Sailah binti Ebong adalah: 11.1. Muhanah,
: anak perempuan
11.2. Muhipah,
: anak perempuan
12. menyatakan almarhumah Muhipah telah meninggal dunia pada tahun 1996. 13. Menetapkan ahli waris sah almarhumah Muhipah adalah : 13.1. Ratna,
: anak perempuan
14. Menyatakan almarhumah Sainah binti Ebong telah meninggal pada tahun 1987. 15. Menetapkan ahli waris sah almarhumah Sainah binti Ebong adalah: 15.1. Kojo,
: anak laki-laki
15.2. Sainin alias Banin,
: anak laki-laki
16. Menyatakan almarhum Kojo Pr. Sainah binti Ebong telah meninggal dunia pada tahun 1975 dan almarhum tidak meninggalkan ahli waris. 17. Menyatakan almarhum Sainin alias Banin Pr. Sainah binti Ebong telah meninggal dunia pada tahun 1981. 18. Menetapkan ahli waris sah almarhum Sainin alias Banin adalah : 18.1 Dimroh,
: anak perempuan
19. Menyatakan almarhum Digul bin Dung telah meninggal dunia pada tahun 1935. 20. Menetapkan ahli waris sah almarhumah Digul adalah : 20.1. Saonah binti Digul,
: anak perempuan
20.1. Bohan bin Digul,
: anak laki-laki
21. Menyatakan almarhumah Saonah binti Digul telah meninggal dunia pada tahun 1928 dan tidak meninggalkan ahli waris. 22. Menyatakan almarhum Bohan bin Digul telah meninggal dunia pada tahun 1958. 23. Menetapkan ahli waris sah almarhum Bohan bin digul adalah 7 orang anak yaitu :
23.1. Hj. Siti binti Bohan,
: anak perempuan.
23.2. Hj. Asiah binti Bohan,
: anak perempuan.
23.3. Murgani bin Bohan,
: anak laki-laki.
23.4. Maemunah binti Bohan,
: anak perempuan.
23.5. H. Arsyad bin Bohan,
: anak laki-laki.
23.6. Bukhari bin Bohan,
: anak laki-laki.
23.7. Mutinah binti Bohan,
: anak perempuan.
24. Menyatakan almarhum Murgani bin Bohan telah meninggal dunia pada tahun 1972. 25. Menetapkan ahli waris sah almarhum murgani bin Bohan adalah 3 orang anak yaitu : 25.1. Mahari,
: anak laki-laki.
25.2. Roidah,
: anak perempuan.
25.3.Waris,
: anak laki-laki.
26. Menyatakan almarhumah Maemunah binti Bohan telah meninggal dunia pada tahun 1989. 27. Menetapkan ahli waris sah almarhumah Maemunah binti Bohan adalah 2 orang anak yaitu : 27.1. Salmah,
: anak perempuan.
27.2. Mansur,
: anak laki-laki.
28. Menyatakan almarhum H. Arsyad bin Bohan telah meninggal dunia pada tahun 1993.
29. Menetapkan ahli waris sah almarhum H. Arsyad bin Bohan adalah 9 orang anak yaitu: 29.1. M. Soleh bin H. Arsyad,
: anak laki-laki.
29.2. Arni binti H. Arsyad,
: anak perempuan.
29.3. Sa’ud bin H. Arsyad,
: anak laki-laki.
29.4. Jaini bin H. Arsyad,
: anak laki-laki.
29.5. Zakaria bin H.Arsyad,
: anak laki-laki.
29.6. Aspas bin H. Arsyad,
: anak laki-laki.
29.7. Marwan binH. Arsyad,
:anak laki-laki.
29.8. Masnun bin H. Arsyad,
: anak perempuan.
29.9. Rosip bin H. Arsyad,
: anak laki-laki.
30. Menyatakan almarhum Bukhari bin Bohan telah meninggal dunia pada tahun 1994. 31. Menetapkan ahli waris sah almarhum Bukhari bin Bohan adalah seorang anak yaitu : 31.1. Sabariyah,
: anak perempuan.
32. Menyatakan almarhum Mutinah binti Bohan meninggal pada tahun 1998. 33. Menetapkan ahli waris sah almarhumah Mutinah binti Bohan adalah seorang anak yaitu : 33.1.
Haryanto,
: anak laki-laki.
BAB IV PEMBAGIAN WARISAN DALAM AHLI WARIS PENGGANTI
A. Pembagian Warisan Menurut Fikih Islam Di dalam fikih mazhab dikenakan adanya istilh al-hajb dan ‘ashabah. Al-Hajb adalah :
. Artinya : “terhalangnya ahli waris tertentu untuk mendapatkan harta warisan, baik secara keseluruhan maupun sebagian saja disebabkan adanya ahli waris yang lain. Al-Hajb terbagi menjadi dua yaitu: hajb al-muqshan dan hajb alhirman. Hajb al-nuqshan adalah
. Artinya: “Terkuranginya bagian ahli waris dari mendapatkan bagian yang tersebar menjadi mendapatkan bagian yang terkecil disebabkan adanya ahli waris yang lain.” Seperti, suami yang terkurngi hak nya dari mendapatkan seyengh menjadi seperepat karen adanya ahli waris keturunan si istri. Atau istri yang terkurangi haknya dari mendapatkan seperempat menjadi seperdelpan karen adanya ahli waris keturunan si suami. Sebagaimana terdapat dalam QS. AlNissa’ ayat 12:
Artinya: “Dan bagimu (suami istri) seperdua dari harta yang ditinggal oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyi anak. Jika istri-isrtimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang di tnggalkannya ssudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan”. Sedangkan hajb al-hirman adalah
. Artinya: “Terhalangnya ahli waris untuk mendapatkan harta warisan sedikitpun.” Seperti, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang mendapatkan harta warisan dengan adanya anak laki-laki”. Sebagaimana perkataan Zaid bin Tsabit:
.
: .
Artinya: “Telah berkata Zaid bin Tsabit: Cucu (baik laki-laki maupunperempuan) dari anak laki-laki sederajat dengan anak, jika tidak ada anak laki-laki dan cucu perempuan seperti anak perempuan, mereka mewarisi
dan menghijab seperti anak, dan cucu tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki. Dari perkataan Zaid tersebut dapat dipahami bahwa cucu tidak dapat menerima harta warisan apabila adaanak laki-laki pewaris yang masih hidup. Dan perkataan tersebuta dapat dijadikan hujjah/dasar hukum karen Zaid bin Tsabit adalah sahabat Nabi yang paling mengetahui tentang perkara waris, sebagaimana Nabi S.W.T. bersabda:
,
:
,
: ,
,
, (
, , )
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SWT. Pernah besabda: Orang paling santun diantara umatku dengan umatku adalah Abu Bakar, yang paling teguh menjalankan agama Allah adalah Umar, yang paling benar selama hidupnya adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang yang halal dan yang haram adalah Mu’adz bin jabal, yang membaca al-Qur’an adalah Ubay, yang paling mengetahui tentang perkara kewarisan adalah Zaid bin Tsabit, dan setiap umat memunyai amanah (kepercayaan) dan orang-orang yang paling amanah diantara umat adalah Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidji dan Nasai’) Adapun ‘ashabah adalah ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka mengambil sisa harta setelah pembagian kepada bagian yang tetap, bahkan jika tidak ada ahli waris dengan bagian yang tetap, mereka
mengambil seleruh harta. Ashabah terbagi menjadi tiga macam, yaitu: ‘ashabah bi al-nafsi, ‘ashabah bi al-ghairi, dan ‘ashabah ma’a al-ghair ‘Ashabah bi al-nafsi adalah setiap ahli waris laki-laki yang sangat dekat hubungan kekerabatanya dengan si mayit, yang tidak diselingi oleh seorang perempuan (kecuali suami dan saudara seibu). Sebagian dari mereka yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi dibawahnya, bapak, kakek dan generesi diatasnya, saudara sekandung, saudara bapak,dan paman. ‘Ashabah bi al-ghairi adalah setiap perempuan yang mempunyai bagian tertentu, yang ada bersama laki-laki yang sederajat dengannya, dalam hal sepeti ini dia menjadi ‘ashabah dengan laki-laki itu. Mereka yang ternasuk ‘ashabha bi al-ghair yaitu anak perempuan bersama dengan anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki bersama cucu dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah. ‘Ashabah ma’a al-ghair adalah setiap ahli waris perempuan yang menjadi ‘ashabah bersama dengan ahli waris perempuan yang lain. ‘Ashabah ma’a al-ghair ini hanya ada dua, yaitu saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau bersama dengan mereka berdua, dan saudara perempuan seayah bersama dengan hak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau besama dengan mereka berdua.
Adapun penyelesaian kasus-kasus diatas menurut fikih Islam adalah sebagai berikut: Dalam hal ini yang berhak menerima warisan adalah Rohadi bin Pilin, Siti binti Bohan, dan Aisah binti Bohan. Mereka bersekutu dalam mewarisi seluruh harta warisan. Kedudukn Rohadi bin Pilin adalah ashabah bi al-nafsi sekaligus menghijab seluruh cicit laki-laki maupun perempuan ( melalui cucu laki-laki maupun perempuan yang telah meninggal) untuk mendapatkan harta warisan, sedangkan Siti binti Bohan dan Aisah binti Bohan ashabah ma’a alghair. Si Rohadi mendapatkan dua bagian dan Siti binti Bohan dan Aisah binti bohan masing-masing mendapatkan satu bagian. kedudukan Muhanah p.r. Sailah adalah sebagai dzawil arhamyang tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta warisan. Ahli Waris
Kadar Bagiannya
Asal masalah : 4
Rohadi bin Pilin
Ashabah : 2/4
2
Siti binti Bohan
Ashabah : ¼
1
Aisah binti Bohan
Ashabah : ¼
1
Muhanah p.r Sailah
Dzawil al-arham
X
Ratna p.r Muhipah
Mahjub
X
Dimroh binti Sainin
Mahjub
X
Mahari bin Murgani
Mahjub
X
Rosidah binti Murgani
Mahjub
X
Waris bin Murgani
Mahjub
X
Saimah p.r Maimunah
Mahjub
X
Mansur p.r Maimunah
Mahjub
X
M soleh bin Arsad
Mahjub
X
Arni binti Arsad
Mahjub
X
Saud bin Arsad
Mahjub
X
Jaini bin Arsad
Mahjub
X
Zakaria bin Arsad
Mahjub
X
Aspas bin Arsad
Mahjub
X
Marwan bin Arsad
Mahjub
X
Masnun bin Arsad
Mahjub
X
Rosip bin Arsad
Mahjub
X
Sabariyah binti Bukhori
Mahjub
X
Harianto p.r Mutinah
Mahjub
X
B. Pembagian Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam Untuk menyelesaikan kasus diatas ada tiga pasal yang menjadi rujukan utama yaitu ; mengenai ahli waris pengganti, hal terssebut diatur dalam pasal 185 yang berbunyi:
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Dari pasal tersebut cucu dari anak yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris masih mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dibatasi dengan ayat (2). Adapun latar belakang perumusan pasal 185 yaitu adanya rasa iba hati para perumus KHI ketika cucu dari anak yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris dan cucu dari anak perempuan tidak mendapatkan warisan. Logikanya, jikalau cucu tersebut masih kecil dan ia seorng diri, apakah tega naluri manusia melihat keadaan cucu tersebut tidak mendapatkan warisan. Dari alasan inilah dirumuskannya pasal 185 seperti demikian, hal inipun setelah melakukan pengkajian kitab-kitab dan melakukan studi perbandingan ke Negara Mesir, Turki, dan Maroko yang sudah terlebih dahulu menerapkan ahli waris pengganti dalam produk hukum kewarisan. Adapun penyelesaian mengenai kasus diatas menurut Kompilasi Hukum Islam yang merujuk pada pasal diatas adalah sebagai berikut; Dalam kasus ini pewaris meninggalkan 2 orang saudara yang bernama Ebong bin Dung dan Digul bin Dung. sehingga masing masing mendapat 1/2 dari harta warisan.karena keduanya pun telah meninggal ehingga di gantikan oleh
anak mereka berdua, bagian Ebong bin Dung di bagikan kepada anaknya sehingga : Pilin bin Ebong :2/4 Sailah binti Ebong
:1/4
Sainah binti Ebong
:1/4
Ketiga anaknya pun telah meninggal dan di gantikan oleh anaknya: Bagian Pilin bin Ebong 2/4 digantikan oleh Rohadi bin Pilin Bagian Sailah binti Ebong 1/4 digantikan anaknya Muhanah p.r Sailah dan Muhipah p.r Sailah yang masing-masing 1/2 dari bagian Sailah binti Ebong. Dan bagian Muhipah digantikan oleh Ratna p.r Muhipah. Bagian Sainah binti Ebong digantikan Sainin p.r Sainah dan digantikan Dimroh binti Sainin. Sehingga pewaris dari bagian Ebong bin Dung adalah ; Rohadi bin Pilin bin Ebong
:2/4 dari bagian Ebong bin Dung
Muhanah pr Sailah
: 1/2 dari bagian Sailah binti Ebong
Ratna p.r Muhipah p.r Sailah
:1/2 dari bagian Silah binti Ebong
Dimroh binti Sainin p.r Sainah: 1/4 dari bagian Ebong bin Dung. Bagaian Digul bin Dung di gantikan oleh anaknya Bohan bin Digul yang di gantikan oleh : Siti binti Bohan : 1/10 Aisah binti Bohan
: 1/10
Murgani bin Bohan
: 2/10 yang digantikan anaknya Mahari bin Murgani
dengan bagian 2/5, Rosidah binti Murgani dengan bagian 1/5 dan Waris bin Murgani 2/5. Maimunah binti Bohan : 1/10 yang digantikan anaknya Saimah p.r Maimunah dengan bagian 1/3 dan Mansur p.r Maimunah dengan bagian 2/3. Arsad bin Bohan : 2/10 yang di gantikan anaknya M Soleh bin Arsad dengan bagian 2/16, Arni binti Arsad dengan bagian 1/16, Saud bin Arsad dengan bagian 2/16, Jaini bin Arsad dengan bagian 2/16, Zakaria bin Arsad dengan bagian 2/16, Aspas bin Arsad dnegan bagian 2/16, Marwan bin Arsad dengan bagian 2//16, Masnun bin Arsad dengan bagian 1/16, dan Rosip bin Arsad dnegan bagian 2/16. Bukhori bin Bohan
: 2/10 yang digantikan anaknya Sabariyah binti
Bukhori. Mutinah bin Bohan
: 1/10 yang digantikan anaknya Harianto p.r Mutinah.
C. Analisa Perbandingan Setelah membahas penetapan Nomor 0004/Pdt. P/2008/PA JT hakim pengadilan agama Jakarta Timur, dalam kasus ahli waris pengganti ini penulis menemukan ketidak sesuaian dengan pengertian ahli waris pengganti sesuai dengan yang disebutkan dalam pasal 185 ayat (1) yang mengatakan ; “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”.
Dalam penetapan ini ahli waris ditetapkan sebagai ahli waris pengganti tetapi ahli waris sesungguhnya tidak meninggal lebih dahulu dari pewaris. Namun penetapan ini dikenal dengan munasakhah dalam fikih Islam, secara etimologi
mengandung
makna
memindahkan dan penghapusan.
Sedangkan munasakhah mmenurut terminologi adalah meninggalnya seseorang dintara ahli waris sebelum harta waris dibagikan, sehingga pindah kepad ahli waris yang lain. Dalam pembagian waris menurut fikih Islam yng mndapat warisan adalah Rohadi bin Pilin, Sitin binti Bohan dan Aisah binti Bohan, sedangkan yang derajatnya dibawah mereka semuanya terhalang oleh Rohadi bin pilin. Sedang kan Muhanah p.r Sailah sederajat dengan mereka tidak mendapatkan warisan karena dia Dzawil arham. Berdasarkan hasil musyawarah penulis dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur bapak H. Hafani Baihaqi, SH. MH. 1. Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menempati kedudukan (menggantikan ahli waris langsung) dan penggantian hanya terjadi karena adanya kemattian yang menimpa pewaris langsung. 2. Dalam penetapan Pengadilan Agama Nomor 0004/Pdt.P/2008/PA JT lebih cendrung menggunakan konsep fikih mawaris karena dalam KHI tidak menjelaskan tentang penggantian kedudukaan terhadap ahli waris yang meninggal sesudah pewaris.
3. Penggantian kedudukan dalam KHI dan munaskhah mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memberikan keadilan bagi anak yang ditinggal ahli waris langsung. Sehingga hakim menganggap munaskhah juga penggantian kedudukan yang diinginkan dalam KHI pasal 185 ayat (1). 4. Harta warisan sebaiknya dibagikan setelah meninggalnya pewaris dan pewaris langsung masih hidup. Sehingga tidak mengalami kesulitan dalam menentukan ahli warisnya karena sudah terlalu lama dan banyak keturunan yang telah lahir. Jika di tunda-tunda maka akan menyulitkan lembaga untuk menentukan ahli waris dari harta warisan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah penulis bahas dalam bab-bab yang terdahulu, penulis mengambil kesimpulan dari skripsi ini sebagai berikut : 1. Dalam penetapan Pengadilan Agama Nomor 0004/Pdt.P/2008/PA JT lebih cendrung menggunakan konsep fikih mawaris karena dalam KHI tidak menjelaskan tentang penggantian kedudukaan terhadap ahli waris yang meninggal sesudah pewaris. 2. Menurut hukum Islam cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak lakilaki yang meninggal dunia lebih dahulu akan mendapatkan harta warisan apabila tidak ada anak laki-laki si pewaris, karena anak laki-laki tersebut menghijab cucu laki-laki dan cucu perempuan untuk mendapatkan harta warisan. Apabila hanya ada anak perempuan atau tidak ada anak dari pewaris sama sekali, maka kedudukan cucu laki-laki dan cucu perempuan tersebut sebagai ashabah yang mendapatkan sisa harta setelah diambil oleh ashabul furudh. Adapun besarnya bagian untuk cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris dalam segala keadaan tidak dapat mewarisi harta warisan karena kedudukan mereka sebagai dzawil arham. 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam, cucu laki-laki dan cucu perempuan (baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan yang telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris) mendapatkan harta warisan menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris, akan tetapi besarnya bagian yang mereka dapat tiak boleh melebihi besarnya bagian anak pewaris yang masih hidup. 4. Dalam penetapan Nomor 0004/Pdt. P/2008/PA JT hakim pengadilan agama Jakarta Timur,tentang ahli waris menurut Kompilasi Hukum seluruh ahli waris menerima harta warisan karena sebagai ahli waris pengganti karena orang tua mereka telah meninggal. Menurut penulis penetapan ini bukan ahli waris pengganti karena ahli waris sesungguhnya tidak meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Kasus seperti ini disebut dalam Islam disebut munaskhah. B. Saran 1. Demi kemaslahatan ahli waris hendaknya umat islam di Indonesia menyelesaikan perkara kewarisannya di Pengadilan Agama agar terhindar dari penguasaan sepihak terhadap harta warisan sekaligus untuk mendapatkan kepastian hukum. 2. Bagi lembaga-lembaga hukum di Indonesia khususnya Lembaga Hukum Islam untuk lebih memasyarakatkan produk hukum Islam, karena masih banyak umat Islam yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam sebagai produk hukum Islam.
3. Pembagian warisan sebaiknya jangan di tunda-tunda agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembagian warisan dan tidak dan tidak menyulitkan lembaga untuk menentukan ahli waris dari harta warisan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemhannya. Abta Asyiari, Djunaidi Abd Syukur, Ilmu waris Al- Faraidl, (Surabaya : Pustaka Hikmah Perdana, 2005) Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, h. 1. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al qur’an dan Hadist, (Jakarta: tina mas, 1981), cet. Ke-5, hal. 1 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-azhar Mesir, Hukum Waris, senayan abadi publishing 2000 Kompilasi Hukum Islam, Citra umbara, Bandung M. Hasan Ali, Hukum Waris Dalam Islam, ( Jakarta : bulan Bintang 1996) M. idris ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: sinar grafika, 1995). Rofiq Ahmad, Fiqih Mawaris, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001) Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986). Syarifuddi Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : prenada media, 2004) Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (semarang: pustaka rizki putra, 1997). Thalib Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : sinar grafika 2000)
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata(BW), (Serang: Darul Ulum Press, 1993). Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-quran, 1973). Muhammad Ali as-Sabuni, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah), (Bandung:CV. Diponegoro,1988). Imam Abi Abdillah, Shahih Bukhari, (Semarang: PT. Toha Putra, 1997) juz 8 Komite fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004). Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul fiqih. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Geme Rislah Press, 1997). Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al-Athar Syarah Muntaqal Akhbar, (kairo: Al-Akhirah). Muhammad Azzam Abdul Aziz, Qawaaidul Al-Fighiyyah, (kairo: Darr Al-Hadits, 2005) Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam. Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Hukum Islam I: Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: Rajawali Press, 1990. Ibn Ruysd, Bidayat al- Mujtahid, (beirut : Dar al-fikr). Muhyi Muhammad al- Din Abd Al Hamid, Ahkam al –Miras fi al-syari’ah alIslamiyah ‘ala al- Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-kitab al-arabi).
Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam al- Miras wa al-Washiyyah fi al-syari’ah alIslamiyyah, (Mansurat kulliyah al- Dakwah). Wasit Aulawi, system Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992. Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma’arif). Al-Syyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut, dar al-Fikr, 1983), juz III. M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992. Wawancara Pribadi dengan Ibu Sri Hidayati, M.ag. Jakarta 29 Desember 2010.
LAMPIRAN Hasil wawancara Dengan Ibu Sri Hidayati,M.Ag Dosen ilmu faraid di Fakultas Syariah dan Hukum mengenai pembagian menurut Kompilasi Hukum Islam. Dalam kasus ini pewaris meninggalkan 2 orang saudara yang bernama Ebong bin Dung dan Digul bin Dung. sehingga masing masing mendapat 1/2 dari harta warisan.karena keduanya pun telah meninggal ehingga di gantikan oleh anak mereka berdua, bagian Ebong bin Dung di bagikan kepada anaknya sehingga : Pilin bin Ebong
:2/4
Sailah binti Ebong
:1/4
Sainah binti Ebong
:1/4
Ketiga anaknya pun telah meninggal dan di gantikan oleh anaknya: Bagian Pilin bin Ebong 2/4 digantikan oleh Rohadi bin Pilin Bagian Sailah binti Ebong 1/4 digantikan anaknya Muhanah p.r Sailah dan Muhipah p.r Sailah yang masing-masing 1/2 dari bagian Sailah binti Ebong. Dan bagian Muhipah digantikan oleh Ratna p.r Muhipah. Bagian Sainah binti Ebong digantikan Sainin p.r Sainah dan digantikan Dimroh binti Sainin. Sehingga pewaris dari bagian Ebong bin Dung adalah ; Rohadi bin Pilin bin Ebong
:2/4 dari bagian Ebong bin Dung
Muhanah pr Sailah
: 1/2 dari bagian Sailah binti Ebong
Ratna p.r Muhipah p.r Sailah :1/2 dari bagian Silah binti Ebong Dimroh binti Sainin p.r Sainah: 1/4 dari bagian Ebong bin Dung. Bagaian Digul bin Dung di gantikan oleh anaknya Bohan bin Digul yang di gantikan oleh : Siti binti Bohan
: 1/10
Aisah binti Bohan
: 1/10
Murgani bin Bohan
: 2/10 yang digantikan anaknya Mahari bin Murgani dengan
bagian 2/5, Rosidah binti Murgani dengan bagian 1/5 dan Waris bin Murgani 2/5. Maimunah binti Bohan : 1/10 yang digantikan anaknya Saimah p.r Maimunah dengan bagian 1/3 dan Mansur p.r Maimunah dengan bagian 2/3. Arsad bin Bohan
: 2/10 yang di gantikan anaknya M Soleh bin Arsad dengan
bagian 2/16, Arni binti Arsad dengan bagian 1/16, Saud bin Arsad dengan bagian 2/16, Jaini bin Arsad dengan bagian 2/16, Zakaria bin Arsad dengan bagian 2/16, Aspas bin Arsad dnegan bagian 2/16, Marwan bin Arsad dengan bagian 2//16, Masnun bin Arsad dengan bagian 1/16, dan Rosip bin Arsad dnegan bagian 2/16. Bukhori bin Bohan
: 2/10 yang digantikan anaknya Sabariyah binti Bukhori.
Mutinah bin Bohan
: 1/10 yang digantikan anaknya Harianto p.r Mutinah.