PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PADA PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR Skrpsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : SHOFA FATHIYAH NIM : 1110043200028
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Juli 2015
Shofa Fathiyah
iii
ABSTRAK
Tatanan sistem peradilan agama mempunyai tujuan utama yaitu sebuah keadilan. Demi mencapai tujuan tersebut, negara membentuk sistem hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama. Metode yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan hukum normatif. Penulis menggunakan dua jenis data yaitu data Primer dan data Sekunder. Primer yang digunakan adalah perpustakaan, arsip dan putusan pengadilan agama Jakarta Timur, sedangkan sumber sekunder berupa undang-undang yang diterapkan di Indonesia yang terkait kitab fikih, buku-buku dan Kompilasi Hukum Islam. Teori yang digunakan dalam penulisan adalah teori keadilan, penegakan hukum, pemenuhan hak dan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga. Dari analisis maka dapat diperoleh hasil bahwa hakim pengadilan agama Jakarta Timur belum memberikan pemenuhan hak dan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan undang-undang yang telah di atur. Shofa Fathiyah, 1110043200028. Perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Perbandingan Hukum, Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Dengan kata kunci Agama.
: perlindungan korban kekerasan di Pengadilan
Di bawah bimbingan : H. Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku dosen Hukum Acara Peradilan Agama. Daftar pustaka
: Tahun 1983 s.d Tahun 2014
iv
KATA PENGANTAR
ّللا الرَّحْ َم ِن الر َِّحي ِْم ِ ِبس ِْم ه
Assalamu’alaikum Wr Wb Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya yang senantiasa memberikan rahmat yang berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta pertolongan Allah yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
PADA
PERKARA
PERCERAIAN
DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR.” Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan di dalamnya dan masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yang penuh salah dan lupa. Selanjutnya karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide
v
serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Fahmi
Muhammad
Ahmadi,
S.Ag,
M.Si
selaku
Ketua
Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Hj. Siti Hanna, S.Ag., MA, selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, selaku Pembimbing Akademik, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. H. Kamarusdiana, S.Ag. MH, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya untuk memberikan pencerahan serta pengarahan yang begitu baik bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih yang sebesar-besarnya. 6. Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas
vi
untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan. 7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung. 8. Ayahanda tercinta Syaiful Bahry, MH dan ibunda tercinta Iik Mastariah, Mpd yang selalu mendukung dan memberikan segalanya kepada ananda, agar ananda dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Adik-adik tersayang, Mutia Nurhanani dan Muhammad Imam Rafy. 10. Teman berkeluh kesah Apriyanto Fitri Wibowo dan Tania S.Kom yang selalu memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis agar menyelesaikan Skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu per satu Perbandingan Hukum angkatan 2010 yang selalu memberikan motivasi dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta, 2 Juli 2015
Shofa Fathiyah vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ii LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................iii ABSTRAK ..................................................................................................iv KATA PENGANTAR ...............................................................................v DAFTAR ISI ............................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………........1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………........8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………….……………......9 D. Kajian (Review) Studi Terdahulu….....……………………….9 E. Metode Penelitian……………………………………………10 F. Sistematika Penulisan ………………………………….……13 BAB II KAJIAN TENTANG TEORI PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA A. Teori Penegakan Hukum.........................................................15 B. Teori Keadilan.........................................................................19 viii
BAB
III TINJAUAN UMUM
TENTANG
PERCERAIAN DAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Perceraian Menurut Hukum di Indonesia...............................29 B. Proses dan Akibat Perceraian..................................................36 C. Bentuk dan Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga………45 D. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..........................................52 E. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak........................................................................................55 BAB IV PERLINDUNGAN HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Tinjauan
Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Timur...........................................................................57 B. Bentuk Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga…........…………………………………………........ 59 C. Implementasi Perlindungan Hak Isteri dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta Timur........................................................................................62 BAB V PENUTUP ix
A. Kesimpulan………………………......……………........….....70 B. Saran……………………………………………………….....71 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN 1. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan 2. Keterangan Telah Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Timur 3. Salinan Putusan Perkara No: 2546.Pdt.G/2011/PAJT.
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Warga Negara Indonesia adalah salahsatu unsur pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1 Dengan demikian menjadi relevan apabila tujuan didirikannya Negara diarahkan kepada perwujudan masyarakat yang sejahtera, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.2 Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat) dan Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Amanat tersebut tentu didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib serta menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum.3
1
Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Penaku, 2008), Cet ke-2, Hal.7.
2
Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Pertama 1999-Keempat 2002, Hal.4. 3
Wildan Suyuthi Mustofa, Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Tatanusa, 2002), Hal.1.
1
2
Demi mencapai tujuan tersebut, Negara membentuk sistem hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Kehadiran sistem hukum tersebut merupakan bentuk konkret pertanggungjawaban negara atas kewajibannya untuk mewujudkan keadilan yang dinantikan oleh Warga Negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua memandatkan pelaksanaan hak asasi manusia dalam semua kebijakan Negara. Pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan falsafah dan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan ketentuan Perundangundangan yang berlaku. Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada hakekatnya menyatakan bahwa negara mewujudkan dan memastikan setiap Warga Negara memiliki kesetaraan hukum dan keadilan serta berhak untuk menikmati hak atas kesejahteraan. Dengan demikian upaya mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak warga negara harus terlaksana sesuai dengan derajat dan martabat kemanusiaannya. Secara faktual saat ini kondisi ideal seperti dimandatkan dalam konstitusi Republik Indonesia, belum dapat berjalan dengan optimal. Indikatornya terlihat dari tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bukan saja angkanya yang terus meningkat, namun masih banyak kasus yang tidak terlaporkan karena ketakutan korban terhadap stigma masyarakat serta layanan yang masih belum optimal memberikan rasa keadilan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Dalam konstruksi pemenuhan hak asasi manusia maka hal tersebut merupakan bagian dari negara terhadap pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak itulah yang sudah seharusnya
3
dipenuhi oleh negara. Hak atas kebenaran mewajibkan pemenuhan hak korban untuk mengetahui posisi pengungkapan kasus yang sedang dihadapi melalui berbagai sistem Peradilan yang disediakan oleh Negara. Hak atas keadilan memberikan kewajiban kepada negara agar sistem dan mekanisme yang di bangun oleh negara dapat memberikan rasa adil, termasuk memberi efek jera dan pendidikan pada pelaku. Hak atas pemulihan mengharuskan negara membangun sistem dan mekanisme perlindungan dan pemulihan korban sehingga korban dapat pulih seperti semula. Peradilan Agama sebagai suatu sistem dalam menemukan keadilan menjadi bagian penting terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”. Pengadilan Agama didedikasikan untuk menjadi lembaga yang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama secara adil bagi warga negara beragama Islam.4 Mengingat mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam maka tidak dapat di pungkiri bahwa keberadaan Pengadilan Agama menjadi salah satu tumpuan para pencari keadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh Pengadilan Agama yang bertindak sebagai peradilan tingkat pertama, bertempat 4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), Hal.10.
4
kedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten. Peradilan tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang bertempat kedudukan di Ibukota Provinsi.5 Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat Manusia, dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat, dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri) mereka saling berhubungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi yang berada dalam rumah tangga disebut “keluarga”. Keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT. 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Pencantuman berdasarkan ketuhanan yang maha esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha esa bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan mempunyai unsur lahir atau jasmani
5
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hal.100. 6
Hal.1.
Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),
5
tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani.7 Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Perkawinan yang di bangun dengan cinta yang semu (tanpa lahir batin), maka perkawinan yang demikian itu biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian.8 Perspektif Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, masalah perceraian terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perceraian merupakan salah satu penyebab dari putusnya perkawinan, sebagaimana diatur dalam pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian c. atas keputusan Pengadilan.9 Dalam perkara putusan perceraian di Pengadilan khususnya hakim harus memenuhi asas prinsip dasar sesuai dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 pasal 28 ayat 1 yaitu yang berkaitan dengan hakim dan kewajibannya yaitu: Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan bagi Masyarakat. Kita bisa menyimpulkan bahwa segala perkara yang diajukan ke pengadilan maka dalam memberikan putusannya hakim harus sesuai dengan kewenangan kekuasaannya. 10
7
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Study Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih. UU No.1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada Group, 2004), cet-3, Hal. 43. 8
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Hal. 1.
9
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Prenadya Paramita,1999), Hal. 549.
10
M Fauzan, Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet-1, Hal.7.
6
Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini harus segera diperbaiki dan dihilangkan dalam Masyarakat. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri pun dapat menggugat suaminya untuk meminta cerai apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya rumah tangga yang dibina itu tidak mungkin diteruskan.11 Pelaksanaan perceraian menurut pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tingginya perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan adanya harapan besar dari korban kekerasan dalam rumah tangga untuk terbebas dari kekerasan yang dialaminya dengan mencari keadilan di Pengadilan Agama. Kekosongan hukum tersebut dalam konstruksi pemenuhan hak asasi manusia adalah bagian dari pengabaian Negara terhadap pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan yang seharusnya sudah di penuhi oleh negara. Sementara itu pasca dimasukannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai landasan hukum formil dan materil di dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, belum banyak hakim yang merujuk kepada Undang-undang ini dalam pertimbangan hukum. 11
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hal. 9.
7
Gambaran di atas menunjukkan bahwa kekosongan hukum dalam pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui Pengadilan Agama dan sekaligus pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga yang menempuh proses hukum di Pengadilan Agama perlu ditangani segera sebagai wujud konkret komitmen Negara untuk menciptakan terwujudnya masyarakat yang adil. Kekosongan hukum tersebut selanjutnya diharapkan dapat di isi melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi bidang Yudikatif, sekaligus sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama. Hadirnya Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah upaya untuk pencegahan sekaligus peniadaan tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini melindungi khususnya perempuan sebagai isteri dalam rumah tangga. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam sejauh mana hukum memberikan perlindungan kepada korban akibat kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi. Perlindungan hak-hak korban yang ada di dalam aspek perdata di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang di atur dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Perlindungan Anak. Sering kita jumpai terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan persoalan hak dan kewajiban mantan suami dan isteri. Penulis ingin meneliti bagaimana ketentuan hukum memberikan perlindungan bagi isteri yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan hak-
8
haknya yang di atur dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 dan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor
35
Tahun
KEKERASAN
2014
DALAM
dengan
judul
RUMAH
PERLINDUNGAN
TANGGA
PADA
KORBAN PERKARA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Beranjak dari fakta yuridis dan kenyataan hukum di atas agar penelitian terfokus pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan permasalahan, maka permasalahan dari penelitian ini dapat diidentifikasi bahwa Pengadilan Agama yang dimaksud adalah Pengadilan Agama Jakarta Timur dan penelitian terarah kepada pokok yang menjadi obyek penelitian mengenai perlindungan kepada hak istri dan anak dalam proses perceraian. 2. Perumusan Masalah Permasalahan yang menjadi objek penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama? b. Bagaimana implementasi pemenuhan hak isteri dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga pada proses perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur?
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan penelitian yaitu: 1. Mengetahui bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama. 2. Mengetahui Implementasi pemenuhan hak istri dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga pada proses perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah: 1. Bagi praktisi hukum khususnya lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama untuk bahan masukan dalam penyusunan dan pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama. 2. Bagi Masyarakat untuk mengetahui bahwa mereka mempunyai hak-hak agar memastikan tidak teraniaya oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.
D. Kajian Studi Terdahulu Dalam penyusunan penelitian ini terdapat beberapa karya ilmiah yang serupa namun memiliki fokus permasalahan yang berbeda. Penelitian sebelumnya banyak sekali yang membahas permasalahan perceraian di Pengadilan Agama,
10
baik berupa skripsi maupun berupa tulisan-tulisan. Dari beberapa hasil penelitian yang telah Penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain:
No
Nama
1
Yuli Halimah Tuksa’diah
2
Lina Ervina
Judul Skripsi Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kesimpulan
Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Putusan Hakim dalam perkara perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga di Jakarta Selatan. Perlindungan Bentuk Hukum Anak perlindungan Korban hukum menurut Tindak hukum Islam dan Kekerasan hukum positif Dalam Rumah terhadap anak Tangga korban tindak (Analisis kekerasan dalam Komparatif rumah tangga. antara Hukum Islam dengan Hukum Positif)
Perbedaan Penulis membahas Implementasi proses dan pertimbangan majelis hakim dalam memberikan putusan perlindungan dan pemenuhan hak isteri dan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Penulis membahas bentuk perlindungan isteri dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga dalam proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
E. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan metode sebagai berikut:
11
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif yang bersifat pendekatan hukum normatif yang memiliki persamaan dengan penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 2. Sumber Data dan Proses Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer yang didapat untuk penulisan ini berasal dari studi dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan, arsip dan lain-lain.12 Penulis menjadikan “putusan” Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai data primer untuk kemudian penulis melakukan analisis hukum terhadap pertimbangan hakim tentang putusan. b. Data Sekunder Data sekunder yaitu data pendukung yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, seperti literature-literatur dan dokumen-dokumen antara lain: Perundang-undangan yaitu Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam, buku-buku fiqih dan umum yaitu pendapat-pendapat para ahli hukum yang disusun dalam bentuk buku, internet dan bahan informasi
12
Hal.50.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
12
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti juga hasilhasil penilitian hasil karya dari kalangan hukum. 3. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
(interviewe)
yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.13 Dalam pelaksanaan penelitian, interview bukan alat yang terpisah atau khusus, melainkan merupakan suplemen bagi metode dan teknik lainnya. Interview adalah percakapan dengan cara bertatap muka yang tujuannya memperoleh informasi factual dengan cara mengajukan pertanyaan dan penjelasan kepada hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. b. Studi Kepustakaan yaitu setelah data penulis peroleh dari studi kepustakaan kemudian di analisis dengan cara menggunakan analisis isi dan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat, memahami dan menghubungkan data yaitu keputusan hakim yang di dapat dalam peraturan dengan literatur yang berhubungan dengan topik penelitian.
13
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), Hal. 186.
13
4. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan deskriptif analisis dengan pendekatan konten analisis yaitu penganalisis isi (conten analysis) dengan menggunakan uraian-uraian untuk memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam pengambilan putusan perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian akan disajikan dalam pembahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab. I :
Pendahuluan. Bab ini memuat dan membahas mengenai: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
14
Bab. II : Kajian tentang Teori Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia. Bab ini memuat dan membahas mengenai: Teori Penegakan Hukum dan Teori Keadilan. Bab. III : Tinjauan Umum Tentang Perceraian dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bab ini memuat dan membahas mengenai: Perceraian Menurut Hukum di Indonesia, Proses dan Akibat Perceraian, Bentuk dan Faktor-Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Bab. IV : Perlindungan Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Bab ini memuat dan membahas mengenai: Tinjauan Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur, Bentuk Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama dan Implementasi Perlindungan Hak Isteri Dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Bab. V : Penutup. Bab ini memuat mengenai Kesimpulan dan Saran.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Perceraian Menurut Hukum di Indonesia 1. Perceraian Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam Perceraian dibolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak yang dapat diputuskan karena kehendak keduannya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan kepercayaan umum, Islam juga memperbolehkan perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal khulu.1 Talak walaupun dihalalkan, tetapi hal yang tidak disukai Allah SAW.Dalam agama Islam perceraian pada prinsipnya dilarang. Hal ini dapat kita lihat dari Sabda Rasulullah SAW :2
حدثىا كثٍر به عبٍد انحمصً حدثىا محمد به خاند عه معرف به واصم : عه محارب به دثار عه ابه عمر عه انىبً صهى هللا عهٍه وسهم قال ابغض انحالل انى هللا تعانى انطالق Artinya: “Katsir bin Ubaid al Himshi menceritakan kepada kami (Abu Dawud) ia berkata Muhammad bin Khalid menceritakan kepadanya dan ia dari Mu’arrif bin Washil dan ia dari Muharib bin Ditsar dari ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’ala adalah Thalaq.3 1
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga; Progresif, Responsif Gender, dan Akomodatif Anak, (Suka-Pres, 2013), Hal.255. 2
M.Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hal.16
3
Sunan Abu Dawud, Nu’jam Al-Mufahrash Li Alfadz An-Nabawiy, Juz II, Bab Karahatut Thalaq, Hal.934. diterjemahkan oleh M. Fuad Abdul Baqi. HR. Ahmad Ibn Yunus.
29
30
Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991) telah dijumpai dalam pasal 117 talak ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, 131.4 Kompilasi Hukum Islam mengenai perceraian telah diatur dalam pasal 113 sampai dengan pasal 148 dengan melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-alasan tersebut harus benarbenar menurut hukum. Hal ini ditegaskan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 115 yang isinya perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.5 Sesuai dengan tersebut yang dimaksud dengan perceraian perspektif Kompilasi Hukum Islam adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan di depan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar persidangan maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan. 4
Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Hal. 112. 5
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab XVI Pasal 115, Hal. 21.
31
Tampaknya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti terdapat pada pasal 66 ayat 1 yang berbunyi: seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.6 Perceraian adalah pelepasan tali perkawinan, baik menurut fikih Islam maupun menurut ketentuan sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, perceraian dapat dibagi ke dalam beberapa macam yaitu: a. Thalak Thalak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Rukun-rukun thalak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pengertian bahwa thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, maka tentu thalak itu terjadi pada pasangan suami istri yang telah terikat dalam perkawinan yang sah tanpa ikatan perkawinan tentu tidak ada thalak. 2) Sighot talak dilihat dari sisi kalimatnya dapat berupa kalimat yang jelas (sharih) dan dapat pula berupa kalimat sindiran (kinayah). Sighot talak yang jelas merupakan kalimat jelas bahwa suami menyatakan thalak kepada istrinya, sementara kalimat sindiran yaitu kalimat yang diucapkan hanya merupakan kalimat yang mengandung pengertian thalak di dalamnya, talak dengan tahrim (pengharaman) seperti kalimat: “kamu haram bagiku”.7
6
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, Hal. 221. 7
Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim,Hal. 603.
32
3) Suami yang hendak menceraikan istrinya harus benar-benar dalam kondisi yang sadar atau waras akal atau keinginan yang penuh sehingga jika suami dalam kondisi gila, tidur atau dalam kondisi emosional, maka ucapan thalaknya tidak dianggap sebagai thalak. 4) Perbuatan hukum yang disebut thalak merupakan perbuatan yang tidak hanya berakibat hukum kepada pasangan suami istri yang bercerai namun juga jelas menimbulkan pengaruh kepada pihak lain dan karenanya tindakan hukum thalak tidak dibenarkan hanya dilakukan secara rahasia tetapi harus disaksikan minimal oleh dua orang saksi yang adil. Hal itu sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat At-Thalak (65) ayat 2:
َِوأَ ْش ِه ُدوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْى ُك ْم َوأَ ِقٍ ُمىا انشهَا َدةَ ِلِل Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. b. Khulu Khulu‟ artinya tebusan. Khulu ialah menebus dirinya dari suaminya yang tidak disukainya dengan sejumlah uang yang ia serahkan kepada suaminya sehingga dengan demikian ia terlepas darinya.8 Perceraian dengan jalan khulu menimbulkan akibat yaitu perkawinan putus dengan talak khul‟i, berkurangnya jumlah talak dan tidak dapat dirujuk sesuai dengan pasal 161 Kompilasi Hukum Islam dan bekas suami bebas dari kewajiban untuk membayar nafkah iddah terhadap bekas istri sesuai dengan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam.9
8 9
Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Hal. 605. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Hal. 235.
33
c. Fasakh. Perceraian karena fasakh lebih dikatakan sebagai pembatalan nikah karena adanya suatu sebab. Nabi membubarkan perkawinannya dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar karena perempuan tersebut memiliki suatu penyakit lain yang menghalangi keharmonisan hubungan suami istri seperti penyakit kegilaan, kusta, penyakit menular dan lain sebagainya. Selain karena adanya penyakit tertentu, perceraian karena fasakh juga dapat terjadi karena salah seorang dari pasangan suami istri murtad atau karena ternyata pasangan suami istri tersebut memiliki hubungan yang dilarang melakukan perkawinan.10 d. Li‟an Li‟an berasal dari kata “La‟n” yang berarti laknat. Perceraian karena li‟an merupakan akibat dari tuduhan seorang suami kepada istrinya bahwa istrinya tersebut telah melakukan zina, “aku melihatmu berzina” kemudian kasusnya dibawa ke hadapan hakim. Di depan hakim, suami diminta mendatangkan bukti-bukti yaitu empat orang saksi yang bersaksi melihat istrinya berzina. Jika suami tidak bisa mendatangkan bukti-bukti tersebut, maka Hakim menerapkan li‟an (saling melaknat) kepada keduanya.11 Perceraian akibat li‟an maka suami istri tersebut putus perkawinannya untuk selama-lamanya sesuai dengan pasal 125 Kompilasi Hukum Islam dan tidak sahnya 10
Umar Mansyur, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek,
Hal. 98. 11
Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Hal. 609.
34
perkawinan (batal demi hukum) perkawinan antara bekas suami istri tersebut sesuai dengan pasal 70 huruf b Kompilasi Hukum Islam. 12 e. Dzihar Dzihar artinya punggung. Namun menurut istilah fikih dzihar adalah ucapan suami kepada istrinya dengan kata lain: “Engkau dengan aku seperti punggung ibuku”. Dzihar diharamkan karena Allah Ta‟ala menamakannya kemungkaran dan kedustaan melakukan dzihar. f. Talak Ta‟lik Thalak pada umumnya berlaku seketika, namun adakalanya ucapan thalak digantungkan pada suatu syarat dengan dikaitkan pada waktu tertentu yang akan datang. Suami dalam menjatuhkan thalaknya digantungkan kepada suatu syarat, seperti ucapan: “jika saya tidak memberikan nafkah kepada engkau tiga bulan berturut-turut, maka jatuhlah thalak saya satu kepadamu”. 2. Perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang 12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Hal. 233.
35
mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga antara suami dan istri tersebut. Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut: a. Perceraian menurut hukum Islam yang dipositifkan dalam pasal 38 dan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mencakup sebagai berikut: 1) Perceraian dalam pengertian cerai talak yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama sesuai pasal 14 sampai pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai pasal 20 sampai pasal 36. b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula dipositifkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu perceraian yang gugatan cerainya yang diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil sesuai pasal 20 dan pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
36
Perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.13 Namun, Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang disebut dengan istilah “cerai mati”. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti lebih sempit daripada pengertian menurut pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diuraikan di atas. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami istri, apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut.
B. Proses dan Akibat Perceraian 1. Proses Perceraian Pasal 73 ayat 1 telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah “istri”. Pada pihak lain “suami” ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian masing-masing telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami melalui upaya cerai talak dan jalur istri melalui upaya cerai gugat.14
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa, 1985), hal. 42.
14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 234.
37
Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 20 sampai pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pasal 113 sampai pasal 148 Kompilasi Hukum Islam. Tata cara penyelesaian cerai gugat diatur sebagai berikut: a. Cerai gugat diajukan oleh istri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam sesuai penjelasan pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama sesuai pasal 40 ayat 1 Jo. pasal 94 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. c. Surat gugatan cerai memuat nama, umur dan tempat kediaman penggugat yaitu istri dan tergugat yaitu suami, alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian, petitum perceraian. d. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997, pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pasal 51 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.15 e. Gugatan cerai prosesnya di Kepaniteraan Gugatan dan dicatat dalam Register Induk Perkara Gugatan. f. Pemanggilan pihak-pihak yaitu pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai gugat dilakukan sama dengan panggilan dalam perkara cerai talak, panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah pengadilan lain dan dilakukan melalui Pengadilan Agama di tempat kediaman pihak yang dipanggil. g. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan dan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan terhadap saksi-saksi sesuai pasal 80 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 33 Peraturan
15
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 237.
38
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Adapun mengenai asas-asas yang menjadi pedoman pemeriksaan perkara cerai gugat sama dengan asas umum yang berlaku dalam pemeriksaan perkara cerai talak.16 h. Tenggang waktu antara pendaftar perkara dengan pemeriksaan sama dengan dalam perkara cerai talak. i. Kumulasi
gugat
atau
samenvoeging
van
vordering
adalah
penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan atau beberapa gugatan digabungkan menjadi satu.17 Penggabungan gugat hanya diperkenankan dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila penggugat atau para penggugat dan tergugat itu-itu juga orangnya. Tujuan diterapkannya kumulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan menghindarkan yang saling bertentangan.18 Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap dan tata cara pemeriksaan kumulasi perkara ini sama dengan dalam perkara cerai talak. j. Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak. k. Gugat provisionil selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat,
ketentuan
pasal
78
Undang-undang
Pengadilan Agama dan tujuannya berupa tindakan sementara atau interim measure dari pengadilan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung ditetapkan lebih dulu kepastian yang menjamin nafkah yang ditanggung oleh suami, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak dan menentukan hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak 16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 238.
17
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,2001), Hal. 102.
18
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan, (Jakarta: 2002) Buku II, Hal. 118.
39
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.19 l. Pembuktian tentang alasan-alasan cerai gugat dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak, kecuali dalam hal cerai dengan alasan zina, pelanggaran ta‟lik talak dan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan. m. Putusan Pengadilan Agama setelah memeriksa gugatan cerai dan berkesimpulan bahwa istri punya alasan yang cukup untuk bercerai, alasan-alasan cerai tersebut telah terbukti dan kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, maka Pengadilan Agama memutuskan bahwa gugatan cerai dikabulkan dengan suatu “putusan”. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sesuai pasal 81 Undang-undang Pengadilan Agama. n. Terhadap “putusan” tersebut para pihak dapat mengajukan banding. 20 o. Gugat Balik dalam bidang perceraian pada umumnya menyangkut halhal yang merupakan asesor dari gugat pokok perceraian seperti hak perawatan dan biaya nafkah anak, hak pembagian harta bersama dan lain sebagainya. Gugat balik tidak dapat diajukan dalam tingkat banding bila dalam tingkat pertama tidak diajukan. 2. Akibat Perceraian a. Hak Bekas Suami Istri Menurut Hukum Islam Seorang istri yang telah diceraikan oleh suaminya dan seorang suami yang telah menceraikan istrinya atau suami istri yang telah diputuskan perkawinannya selain fasakh, lian atau dzihar mempunyai hak yang tidak dapat diambil begitu saja. Hak tersebut dikaitkan
19 20
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 259.
Mukti Atho, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Juli 2007), cet ke-5, Hal. 224-227.
40
dengan keinginannya salah satu pihak untuk kembali berumah tangga terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu: 1) Hak Rujuk Rujuk adalah sikap dari suami yang telah menceraikan istrinya dan bermaksud kembali membina rumah tangga dengan istrinya yang telah diceraikannya tersebut. Hak rujuk ini hanya berlaku pada perceraian dalam bentuk thalak raj‟i dan istri yang diceraikannya tersebut masih dalam masa iddah yaitu masa tunggu selama tiga kali suci bagi istri yang diceraikannya dalam keadaan suci dan sampai istrinya tersebut melahirkan jika istri yang diceraikan dalam keadaan hamil. Ketentuan hukum Islam sejalan dengan bunyi pasal 165 Kompilasi Hukum Islam bahwa: rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. 2) Hak Menikah Dengan Istri Yang Telah Diceraikan Khusus dalam perceraian dalam bentuk thalak raj‟i ternyata istri yang telah diceraikan telah habis masa iddahnya, maka jika suami berkeinginan untuk membina rumah tangga kembali maka ia dapat melakukannya dengan cara pernikahan baru. Begitu juga dalam perceraian dalam bentuk thalak ba‟in sugro sementara jika perceraian yang dijatuhkan dalam bentuk thalak ba‟in kubro maka pasangan suami istri tersebut tidak lagi dapat melakukan pernikahan ulang sebelum istri yang diceraikan menikah dengan
41
laki-laki lain dan mereka telah melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami istri. 3) Hak Melakukan Pernikahan Dengan Pasangan Baru Pasangan suami istri yang telah bercerai jika tidak dimungkinkan untuk melakukan rujuk atau menikah kembali dengan istri yang telah diceraikannya tersebut maka masingmasing pihak suami atau istri mempunyai kebebasan untuk menikah lagi dengan pasangan barunya. b. Kesimpulan-Kesimpulan Syara‟ tentang Talak Ketika laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya secara berurutan, ia memiliki memiliki berbagai kewajiban dan hak yaitu sebagai berikut: 1) Istri yang telah diceraikan menjadi perempuan lain yang tidak boleh untuk bersama-sama dengan mantan suaminya. Ia tidak boleh menampakkan perhiasan baginya. 2) Sebagian hal-hal yang mencegah pernikahan menjadi penghalang yang terjadi dalam pernikahannya tetap berlaku, maka sebagai contoh tidak boleh bekas suami tersebut yang telah bercerai menikahi ibu bekas isterinya. 3) Jika terjadi talak pada perempuan setelah berhubungan maka wajib bagi istri untuk „iddah selama tiga kali quru‟ sebelum kembali dalam kebebasannya dan bisa menikah untuk kedua kali, jika ia dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan. 4) Wajib bagi laki-laki untuk memberikan nafkah pada masa iddah, memberikan nafkah anak jika mereka memiliki anak. 5) Jika salah satunya meninggal sebelum habis masa iddahnya, maka yang hidup mewarisi dari yang meninggal. Selama talak yang
42
terjadi bukan talak ba‟in qubra (untuk ketiga kali atau setelah saling melaknat) atau pada talak ba‟in sugra (bagian kecil) dari ila‟ atau dzihar karena hak mewarisi menjadi batal sejak terjadinya talak. 6) Secara syara perempuan yang telah berkumpul memiliki hak atas semua mahar yang ditunda secara langsung kecuali jika disebutkan dalam akad bahwa ia memberikan secara lebih adil.21 c. Harta bersama Pembagian harta bersama hanya berlaku bagi negara yang secara adat (urf) menyatukan harta suami dan harta istri bertujuan mewujudkan kebersamaan dalam membina rumah tangga. Dengan demikian harta yang diperoleh setelah terjadinya akad nikah dianggap harta bersama suami istri tesebut tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih banyak dalam memperoleh harta. Permasalahan pembagian harta bersama telah di atur dalam pasal 35 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk menjamin keutuhan dan terpeliharanya harta bersama, bisa dilakukan dengan jalan meletakkan sita merital yang penjagaannya diserahkan kepada istri. Demikian kira-kira tujuan yang terkandung dalam pasal 78 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. d. Pemeliharaan Anak (Hadhanah) Hadhanah wajib diberikan kepada anak-anak yang masih kecil untuk menjaga badan mereka, akal mereka dan agama mereka. 21
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, Hal. 344.
43
Hadhanah bila terjadi perceraian, maka ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan hadhanah karena ibu dianggap lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa umur tersebut dan lebih bisa memperhatikan kasih sayangnya. Hak atas pemeliharaan anak tersebut berlaku sampai anak mencapai mummayyiz yang dipekirakan berumur tujuh atau delapan tahun. Pada masa mummayiz seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat serta yang sekiranya membahayakan dirinya, telah mampu makan dan berpakaian sendiri. Oleh karena itu, dia telah dianggap mampu untuk menjatuhkan pilihannya sendiri. e. Nafkah Setelah Perceraian Nafkah ialah makanan, pakaian dan tempat tinggal yang diberikan pada orang yang wajib diberi itu semua. Perbedaan pendapat yang ada hanya terletak pada banyak tidaknya dan baik buruknya, karena itu semua tergantung kepada kaya tidaknya pemberi nafkah dan status penerima nafkah. Oleh karena itu, lebih baik hal ini diserahkan kepada hakim.22 Hakim seharusnya memberikan penjelasan yang rinci tentang akibat hukum yang akan diberikan kepada siapapun yang tersangkut masalah hukum tersebut. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 241 dan al-Azhab ayat 49 menegaskan suami yang menceraikan istrinya juga berkewajiban memberikan mut‟ah dan ma‟ruf. Surat At22
Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim,Hal. 619.
44
Talaq ayat 6 menegaskan kewajiban suami yang menceraikan istrinya tidak terbatas hanya dengan pemberiah mut‟ah, akan tetapi juga kewajiban untuk menyediakan tempat tinggal dan nafkah selama masa iddah. Berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor:
328/K/Ag/2008 tanggal 17 September 2008 dengan menjatuhkan pertimbangan hukum sebagai berikut: “Bahwa sesuai ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, meskipun gugatan diajukan oleh istri, akan tetapi tidak terbukti istri telah berbuat nusyuz, maka Mahkamah Agung berpendapat Tergugat harus dihukum untuk memberikan nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah kepada Penggugat dengan alasan istri menjalankan masa iddah dan tujuan iddah itu antara lain untuk istibra, dimana istibra tersebut menyangkut kepentingan suami.” Putusan Mahkamah Agung Nomor: 381/K/Ag/2006 tanggal 14 Febuari 2007, Pertimbangan hukum sebagai berikut: “Bahwa oleh karena itu jumlah nilai mut’ah, nafkah, kiswah, dan maskan selama masa iddah tersebut, sebagaimana akan ditetapkan dalam putusan ini: Bahwa seorang ayah wajib menanggung nafkah dan hadhanah untuk anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun, maka berdasarkan pasal 80 ayat (4) Jo. pasal 149 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, Pemohon selaku seorang ayah dihukum untuk membayar nafkah 3 (tiga) orang anak kepada termohon sejak thalak dijatuhkan sampai ketiga orang
45
anak tersebut berumur 21 tahun (dewasa) yang jumlahnya akan ditetapkan dalam amar putusan ini.23 Selain itu di Al-Qur‟an ayat 66 menegaskan bahwa kewajiban orang tua untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Wanita yang ditalak dengan talak ba‟in sejak masa iddah-nya dan orang yang wajib memberinya nafkah ialah suami yang mentalaknya itu dengan syarat wanita tersebut hamil karena Allah Ta’ala berfirman:
ضع َْه َح ْمهَهُه َ ٌَ ت َح ْم ٍم فَأ َ ْوفِقُىا َعهٍَْ ِهه َحتى ِ َوإِ ْن ُكه أُوال Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (Ath-Thalaq: 6).24
C. Bentuk Dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan) yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik atau pun non fisik untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.25 Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah. Sedangkan kata kekerasan itu sendiri adalah perihal yang bersifat, berinci keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
23
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluraga Progresif, Responsif Gender dan Akomodatif Hak Anak, Hal. 261-263. 24 25
Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Hal. 618.
Mufidah, Psikolog Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang: 2008), cet ke-1, Hal. 267.
46
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik barang orang lain.26 Soerdjono Soekanto mendefinisikan bahwa kejahatan kekerasan dengan suatu istilah yang dipergunakan bagi terjadinya cidera mental dan fisik. Kejahatan kekerasan sebenarnya merupakan bagian dari proses kekerasan yang kadangkadang diperbolehkan sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang dianggap keras atau tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila itu terjadi.27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga Undang-undang tersebut tidak hanya ditunjukan kepada perempuan, namun realitas menunjukan bahwa korban terbanyak dari kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Minimnya kesadaran keadilan cara pandang terhadap perempuan, menyebabkan banyak orang dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan
26
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) edisi ke-2 cet VII, Hal. 484-485. 27
Soerjono Soekanto dan Puoji Santoso, Kamus Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Hal. 104.
47
keamanan dan kedamaian, justru berbalik bagi perempuan menjadi tempat yang paling rentan terhadap segala bentuk kekerasan.28 Kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak terungkap ke permukaan karena dianggap sebagai aib yang akan mempermalukan keluarga. Begitu juga ketika dipertanyakan tentang alasan perceraian, terkadang kekerasan dalam rumah tangga tidak diungkap karena korban mendapat ancaman dari pelaku apabila hal tersebut di buka pada Persidangan. Padahal jika hal tersebut di buka pada persidangan maka implikasi hukum pidana bagi pelaku akan ada pasca terjadinya perceraian.29 1. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga amatlah beragam bentuknya. Tindak kekerasan dapat dibedakan dengan beberapa aspek yaitu: a. Kekerasan fisik Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa, mulai
dari
menampar,
menempeleng,
memukul,
membanting
menendang, membenturkan ke benda lain sampai bisa jadi menusuk dengan pisau bahkan membakar. Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, kekerasan fisik yang dialami perempuan banyak yang mengakibatkan cidera berat, cacat permanen, bahkan
28
Faqihuddin Abdul Kodir, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hal. 55. 29
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga: Progresif, Responsif, dan Akomodatif Hak Anak, (Suka-Press 2013), Hal.265.
48
kehilangan nyawa. Bisa jadi kekerasan fisik itu tidak memiiiliki dampak atau hilang bekas fisiknya, tetapi hampir selalu memiliki implikasi psikologis dan sosial pada korbannya. b. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan yang mengarah kepada serangan terhadap seksualitas seseorang, bisa berupa pemaksaan
hubungan
seksual,
pemukulan
dan
bentuk-bentuk
kekerasan lain yang menyertai hubungan intim, bisa sebelum atau sesudah hubungan intim, pemaksaan sebagai posisi dan kondisi hubungan seksual ataupun pemaksaan pada istri untuk terus menerus hamil atau menggugurkan kehamilan. Kekerasan tidak saja berdampak pada organ seks atau reproduksi secara fisik, namun juga berdampak pada kondisi psikis atau mental perempuan dan anak-anak dalam rumah tangga. Kekerasan seksual tidak lagi didefinisikan sebagai kejahatan kesusilaan, namun
49
lebih dimaknai sebagai kekerasan yang mengancam integritas tubuh seseorang.30 c. Kekerasan Psikologi Kekerasan
psikis
yaitu perbuatan
yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan non-fisik atau kekerasan mental yakni kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap metal atau psikis seseorang, merupakan yang paling banyak terjadi dalam kasus-kasus yang dilaporkan lembaga-lembaga pendamping. Bisa berbentuk ucapanucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman. Perempuan dijadikan sasaran pelampiasan bisa jadi karena faktorfaktor yang ada diluar rumah tangga. d. Kekerasan Ekonomi (Penelantaran Rumah Tangga) Penelantaran
rumah
tangga
yaitu
setiap
orang
yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. 30
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 115.
50
Konstruksi masyarakat di Indonesia, laki-laki ditempatkan sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban untuk mencari dan memberi nafkah kepada istri, tetapi tidak sedikit dari mereka yang menelantarkan istri dan anak-anaknya secara ekonomi. Melarang istri bekerja tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang cukup untuk keluarga.31 2. Faktor-faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ada banyak faktor sosial yang melestarikan adanya kekerasan dalam rumah tangga dan menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari masyarakat. Pertama, adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, baik di rumah tangga maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini yang memaksa perempuan dan lakilaki untuk mengambil peran-peran gender tertentuyang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Posisi keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami yang berada pada kontrol dan pengawasannya. Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh, terutama masalah ekonomi yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya berada di luar rumah tangga. Banyak penelitian yang menunjukan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau pelecehan di 31
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 59.
51
tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada istri atau anakanak. Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi istri untuk mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang diinginkan dan memenuhi apa yang dibutuhkan. Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung abai. Keempat, keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang mungkin bersumber dari tafsir agama bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia keluarga, keyakinan tentang pentingnya keluarga ideal yang penuh dan lengkap, tentang istri shalihah juga kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari perceraian.32 Pada referensi lain dikemukakan bahwa faktor yang sangat dominan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut: a. Budaya patriarkhi adalah budaya masyarakat yang meletakkan lakilaki sebagai mahluk istimewa, memiliki nilai lebih unggul diutamakan dan
meletakkan
perempuan
sebagai
mahluk
yang
memiliki
kekurangan, lemah, berperan hanya sebatas kasur, dapur dan sumur. b. Sistem sosial kita (keluarga) mendorong perempuan untuk tergantung kepada suami khususnya secara ekonomi, ini membuat perempuan berada di bawah kuasa suami. Akibatnya, relasi antara suami dan istri tidak setaraatau relasi kuasa yang timpang. c. Perilaku hasil meniru (role modeling), dimana anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan yang ayahnya suka memukul ibunya 32
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 64-65.
52
cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia sudah memiliki pasangan (istri). Itulah mengapa banyak kasus kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dilakukan oleh mereka yang berasal dari keluarga yang ayahnya keras.33 Banyak faktor yang menyebabkan korban kekerasan dalam rumah tangga tidak melaporkan penderitaan yang menimpanya, antara lain: Pertama, si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau hubungan karena perkawinannya. Kedua, keengganan korban mengadukan kekerasan yang telah menimpanya dapat juga disebabkan masih dipertahankannya pola pikir bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga, sekalipun itu perbuatan-perbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan permasalahan rumah tangga pribadi dengan melaporkan dianggap membuka aib keluarga. Ketiga, kurang percayanya masyarakat kepada sistem hukum Indonesia sehingga mereka tidak memiliki kepastian bahwa mereka akan berhasil keluar dari cengkraman si pelaku.34
D. Perlindungan
Korban
Menurut
Undang-Undang
Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan atau kerugian yang sangat beragam seperti materil, fisik maupun psikis sehingga perlindungan yang diberikan kepada korbanpun harus beragam pula. Tidak sedikit 33
Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Awal Kehidupan Manusia: Modul Pelatihan Hak-hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, (Jakarta: LKAJ, 2003), Hal. 55. 34
Ali Yusuf As-Subki, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal.135.
53
korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami penderitaan secara beruntun pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, guna mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, Undang-undang memberikan hak korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara
khusus berkait dengan kerahasiaan korban,
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani. Kekerasan dalam rumah tangga juga telah merampas kebebasan korban, mereduksi kemampuan korban dan mengambil akses-akses ekonomi korban. Dampak yang sangat kompleks dan luas ini coba diakomodasi Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam pasal 39,40,41,42.35 Korban kekerasan dalam rumah tangga memperoleh perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, berdasarkan pasal 21 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.36 Pasal 40 mengatur tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
35
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal.116-117. 36
Ali Yusuf As-Subki, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: Grafika Offset,2010), Hal. 135.
54
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban dan sesuai dengan pasal 22 pekerja sosial yang akan memberikan pelayanan kepada korban diharuskan untuk melalakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan, mengantarkan korban ke rumah yang aman atau tempat tinggal alternative dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. Pengungkapan kebenaran adanya kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian menjadi penyebab terjadinya perceraian semakin terkuak, kemampuan para hakim Pengadilan Agama yang secara arif, bijaksana dan cerdas mengungkap fakta hukum terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Secara responsif, para hakim mengintegrasikan keberlakuan delik pidana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam perkara perceraian yang ditanganinya. Meskipun akhirnya dalam putusan, para hakim Pengadilan Agama tidak secara langsung dan serta merta menghukum pelaku dengan hukuman badan sebagaimana yang berlaku dalam sistem peradilan pidana di Peradilan Umum, tetapi mengintegrasikan rasa keadilan korban melalui antara lain nafkah hadhanah, Iddah, perlindungan dan nafkah hidup paska perceraian dan pemenuhan hak-hak korban kekerasaan.
55
E. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Anak (KHA) oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1990, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1990, merupakan salah satu langkah terpenting yang paling menjanjikan dalam upaya peningkatan kebijakan perlindungan anak di Indonesia. Keputusan Presiden tentang konvensi anak inilah yang kemudian berproses menjadi cikal bakal lahirnya Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan Anak menurut Undangundang tersebut adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.37 Sedangkan yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.38 Perlindungan Anak di Indonesia sendiri setidaknya ada dua mazhab besar yang mewakili dua perspektif besar yang saling bersebrangan satu dengan lainnya, yakni mengacu pada konsep hak anak sebagai bentuk sebagai hak atas perlindungan (child protection) dan pemberian kebebasan kepada anak (child liberation). Dalam hal ini negara berpretensi menjamin hak dan memberikan perlindungan penuh kepada anak-anak. Dalam kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi anak dalam keluarga, misalnya kebanyakan di latar belakangi oleh 37
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga: Progresif, Responsif, dan Akomodatif Hak Anak, Hal. 349. 38
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 107.
56
pandangan bahwa anak adalah aset bagi orang tua dan kelurganya cenderung membuat anak-anak sangat rentan pada berbagai bentuk kekerasan dan ekspoitasi dalam rumah tangga. 39 Selain Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang secara khusus mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pengaturan tentang kekerasan dalam rumah tangga juga diatur dalam Undang-undang Pelindungan Anak. Undang-undang tersebut secara tegas mengatur perihal kekerasan dalam rumah tanggarangga mewujudkan kepentingan terbaik untuk anak, the best interest of child. Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undangundang perlindungan anak juga menegaskan bahwa anggota keluarga yang kedudukannya di rumah tangga sebagai anak-anak ini mempunyai hak yang harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan penelantaran.40 Berkaitan dengan hak anak, pasal 105 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang hak asuh anak di bawah usia 12 tahun maka diasuh oleh ibunya. Sedangkan di atas 12 tahun anak akan memilih ikut ayah atau ibunya, ketentuan ini seharusnya dilengkapi dengan kewajiban bagi orangtua untuk memastikan perkembangan psikologi anak tetap tumbuh dan berkembang secara wajar ketika berada di bawah pengasuhan salahsatu orang tuanya. Untuk itu penerapan ketentuan ini perlu dilengkapi dengan
kewajiban
menghadirkan
psikolog
dalam
rangka
memantau
perkembangan mental anak selama proses pengasuhan pasca perceraian.
39
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga: Progresif, Responsif, dan Akomodatif Hak Anak, Hal. 352. 40
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 125.
BAB IV PERLINDUNGAN HAK KORBAN`KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Tinjauan Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Kasus perceraian yang terjadi di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 2013 cukup tinggi, yakni mencapai angka 3351. Jumlah tersebut terdiri dari kasus cerai talak yang berjumlah 1030 kasus dan cerai gugat 2321 kasus. Sisa Perkara Tahun 2013 di Pengadilan Agama Timur, yakni mencapai angka 1016 terdiri dari cerai talak yang berjumlah 35 kasus dan cerai gugat 981 kasus. Faktor penyebab kasus perceraian yang sering terjadi cukup variatif, berdasarkan data Pengadilan Agama Jakarta Timur terdiri dari beberapa alasan: 1. Cemburu dengan jumlah 246 perkara (9%). Kecemburuan ini biasanya ada sifat curiga antara pihak suami atau istri yang menyebabkan timbulnya konflik yang tidak selesai sehingga salah satu pihak menjadikan perceraian sebagai jalan keluar. 2. Poligami tidak sehat sebanyak 213 perkara (7,8%). 3. Ekonomi dengan jumlah 549 perkara (20%). Faktor ini merupakan persoalan yang cukup fundamental dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Kemudian hal ini menjadi salah satu faktor perceraian karena pihak suami tidak ada usaha keras untuk mencari nafkah guna memberikan penghidupan kepada keluarga. 4. Tidak ada tanggung jawab dengan jumlah 510 perkara (18,6%). Suami tidak memberikan nafkah yang layak sebagaimana kewajibannya.
57
58
5. Penganiayaan dengan jumlah 294 perkara (10,7%). Kekerasan dalam rumah tangga yaitu tindakan represif yang biasanya dilakukan oleh pihak suami kepada istri sehingga menimbulkan penganiayaan berupa fisik maupun psikis. 6. Gangguan pihak ketiga dengan jumlah 336 perkara (12,3%). Kasus seperti ini biasanya sering kita dengar dengan selingkuh yang menimbulkan kemarahan besar antara salah satu pihak yang berada pada posisi setia. Adanya pihak ketiga dijadikan alasan penggugat untuk mengajukan perceraian. 7. Tidak ada keharmonisan dengan jumlah 585 perkara (21,4%). Faktor cerai yang terakhir ini ada berbagai macam sebab diantaranya di mulai dari permasalahan ekonomi sampai pada perasaan.1
Faktor Penyebab Perceraian Tahun 2013 Tidak ada Keharmonisan
9% 22%
Gangguan Pihak Ketiga
24%
kekerasan fisik 13%
20%
12%
Tidak ada Taggung Jawab ekonomi Poligami Tidak Sehat
Data diatas terkait masalah cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga yakni mencapai 1938 perkara (70,7%) mengenai kekerasan fisik, psikologi dan ekonomi. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa faktor tidak harmonis menempati posisi tertinggi sebesar (21,4%) sebagai penyebab perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur tahun 2013. Menyusul faktor
1
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur 2013 diakses pada 20 Desember 2014 dari http://www.pa-jakartatimur.go.id/Laporan%20Tahunan/Laporan%20Tahunan%202013.pdf.
59
ekonomi di tempat kedua (20%) dan tidak tanggung jawab menjadi faktor ketiga terbanyak (18,6%).
B. Bentuk Perlindungan Hukum Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pengadilan Agama Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga menjelaskan bahwa tugas dari seorang konseling kepada korban kekerasan adalah melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban serta memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dan penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan. Pelayanan yang sifatnya rohani berdasarkan Undang-undang tersebut khusus untuk upaya pemulihan korban seorang tenaga kesehatan, pekerja sosial dan relawan pendamping dapat melakukan kerjasama sesuai seperti yang diatur dalam pasal 42. Ketentuan pentingnya peran pendampingan dalam proses hukum untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Undangundang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga didasarkan pada berbagai pertimbangan yaitu kehadiran pendamping diharapkan dapat menguatkan korban yang masih dalam keadaan terpuruk sehingga sulit menyampaikan keinginannya karena keterbatasan jumlah Advokat maka kehadiran pendamping yang pada awalnya berperan memberikan pendampingan tidak jarang juga memainkan perannya sebagai “paralegal” karena pendamping juga berperan untuk menjelaskan
60
hak-hak hukum korban dan akibat-akibat yang harus dijalani pada saat proses dan pasca putusan Pengadilan.2 Undang-undang perlindungan anak menyatakan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi ekonomi, penelantaran, perlakuan seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kekerasan harus mendapatkan upaya rehabilitasi sesuai dengan Undang-undang yang sudah diatur, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Kebijakan perlindungan istri dan anak korban kekerasan mempunyai tujuan untuk memberikan jaminan keamanan berupa perlindungan terhadap istri dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga dalam proses persidangan di Pengadilan dan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi perempuan dan Anak di ruang Pengadilan dalam rangka memberikan perlindungan dan menciptakan situasi yang kondusif bagi perempuan dan anak di Pengadilan Agama (ruang konseling, ruang laktasi, ruang ramah anak, ruang tunggu yang didampingi petugas keamanan di Pengadilan). Rumusan kebijakan mendasarkan kepada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
2
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 121.
61
tentang Peradilan Agama, maka dengan ini diharapkan hal-hal yaitu selama proses pemeriksaan cerai sebelum sidang pembuktian, istri dapat mengajukan hak asuh anak, nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah dan harta bersama. Istri dalam gugatan dapat mengajukan permohonan istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga untuk didampingi oleh seorang pendamping, permohonan penetapan perintah perlindungan sesuai dengan pasal 30 Undang-undang Nomor 24 tahun 2004, permohonan penetapan agar suami meninggalkan rumah kediaman bersama sampai ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, permohonan agar suami tetap memberikan biaya nafkah selama proses pemeriksaan perkara kepada istri dan anak-anak sesuai dengan pasal 41 huruf c undang-undang nomor 1 tahun 1974 jo pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan penetapan agar suami membayar biaya pemulihan istri dan anak perawatan fisik dan psikis korban tindakan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan pasal 39 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Penetapan besarnya Mut‟ah bagi korban kekerasan dalam rumah tangga harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kebutuhan pemulihan psikologi dan fisik korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam rangka untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban maka hakim secara ex-officio berwenang mengeluarkan penetapan berupa tidakan konseling untuk kepentingan pemulihan korban sesuai dengan pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan penetapan kepada pelaku untuk biaya pemulihan fisik maupun psikis korban.
62
C. Implementasi Perlindungan Hak Istri dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, psikologi, ekonomi sesuai data sebanyak 1.838 kasus (70,7%) dan perkara berdasarkan adanya kekerasan dalam rumah tangga di antaranya perkara No.2546.Pdt.G/2011/PAJT, 3220.Pdt.G/2013/PAJT, 257.Pdt.G/2014/PAJT dalam analisis ini bahwa berdasarkan amar putusan yang sudah ada di Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak ada perintah Hakim untuk memberikan penetapan perlindungan kepada korban kekerasan, biaya pemulihan baik fisik maupun psikis korban kekerasan dan tidak adanya pemenuhan hak-hak yang telah diatur dalam Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Putusan yang ada hanya di putus berdasarkan posita dari pihak penggugat, dalam perkara perceraian yang di putus hanya perceraiannya saja tidak ditambahkan dari sisi pemenuhan hakhak korban kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, Orba Susilawati selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengatakan bahwa Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur sudah mengetahui adanya hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan fisik maupun trauma psikis dan seharusnya hal ini sudah terpenuhi di Pengadilan Agama dan Hakim mengakui bahwa ini sebuah tuntutan terutama di kota-kota besar seperti Jakarta bahwa hakim seharusnya memberikan tim advokasi kepada korban yang mengalami trauma akan tetapi dalam pelaksanaannya Pengadilan Agama Jakarta Timur selama ini belum memberikan
63
perlindungan terhadap korban yang mengalami kekerasan. Namun demikian, hakim beralasan tidak bisa menjalankan ketentuan dalam Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini dikarenakan hakim tidak berani memberikan putusan sebab hakim terikat dengan asas ultra petita dan dalam mengeluarkan penetapan konseling guna pemulihan psikis korban, hakim membutuhkan sekian departemen, instansi untuk bekerjasama. Kerjasama ini berupa gangguan psikis yang membutuhkan kerjasama dari dokter ataupun psikiater dan berupa konseling yang dapat didatangkan secara pribadi korban yaitu dokter psikiater atau dari Departemen Agama ataupun Departemen Sosial tidak hanya sebatas Undang-undang saja namun hakim membutuhkan MoU atau kerja sama dengan istansi lainnya.3 Berpandangan bahwa hakim seharusnya menerapkan Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga meskipun tidak diminta oleh para pihak demi tercapainya rasa keadilan, sehingga
hakim harus melakukan ijtihad dan
melaksanakan Undang-undang sesuai dengan peraturan, maka sudah menjadi tugas hakim untuk memberikan hak yang seharusnya di dapat para pencari keadilan, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 5 ayat (2), yang menyatakan pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya keadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan quot. Terkait dengan hal itu, seorang hakim mempunyai hak yang melekat karena jabatannya
3
Wawancara Pribadi dengan Orba Susilawati, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 07 November 2014.
64
dimana dalam memutus suatu perkara seorang hakim dapat keluar dari aturan baku selama ada argumen logis dan sesuai aturan Undang-undang. Hakim dapat memutus lebih dari apa yang diminta karena jabatannya, secara eksplisit Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi nafkah dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istrinya”, sangat dilematis jika hal ini dikaitkan dengan pernyataan bunyi pasal 178 ayat 3 HIR dan pasal 189 RBg ayat 3, yang menyatakan hakim tidak dapat menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat atau memberi daripada selain apa yang di gugat. Dengan kata lain peran aktif dari hakim seakan-akan bertentangan dengan asas Ultra Petitum Partium, bahwa dalam proses memeriksa dan mengadili perkara Hakim dilarang memberi hal-hal yang tidak diminta. Selain itu jika kita melihat beberapa Yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya berpendapat bahwa mengabulkan lebih dari yang dituntut, memutuskan sebagian saja dari semua yang diajukan atau memutus hal-hal yang tidak dituntut sepanjang ada hubungannya serta tidak melanggar pasal 178 ayat 3 HIR, sehingga pasal tersebut tidak berlaku mutlak oleh karena itu hakim dapat menggunakan ex-officionya dalam memberikan perlindungan kepada korban dan pemenuhan hak-hak korban dalam mencapai keadilan. Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memberikan hak kepada korban untuk mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun
65
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan psikis korban. Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam perkara perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga korban kekerasan mengenai penetapan perlindungan sesuai dengan Undangundang yang mengatur di atas, belum ada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memberikan penetapan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga walaupun Hakim sudah melihat kedua Undang-undang ini sebagai dasar hukum perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga, namun hakim selama ini masih belum memberikan perlindungan pada proses perkara persidangan perceraian maupun dalam bentuk putusannya dan Pengadilan Agama Jakarta Timur belum memberikan petugas keamanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga. Lebih lanjut Orba Susilawati, mengemukakan bahwa selama ini korban yang mengalami kekerasan fisik ataupun trauma psikis tidak mendapatkan pendampingan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur yang sudah ada hanya sebatas mendampingi dari paralegal namun hanya sebatas mendampingi saja mereka sendiri belum mengerti fungsi untuk apa mereka duduk di sana, hanya sekedar mendampingi dan mau apa setelah itu mereka tidak tahu, misalnya setelah ini pendamping minta perlindungan kepada Departemen Sosial agar tidak terulang lagi dan adanya trauma si korban pendamping mengejar lagi pelaku untuk membayar segala biaya selama ini peran Pendamping pun tidak sampai kesitu, tugasnya tidak tuntas. Orba Susilawati mengatakan bahwa sejauh ini korban kekerasan dalam rumah tangga tidak
66
mendapatkan informasi apapun mengenai hak-hak korban yang dilindungi hukum dari pekerja sosial maupun dari Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang mengakibatkan kekurangtahuan korban adanya hak-hak yang dilindungi hukum. Hakim sejauh ini hanya memberikan sebuah himbauan berupa nasihat saja agar hal ini tidak terulang lagi. Hakim tidak sampai mengarahkan korban untuk ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia disebabkan Hakim Pengadilan Agama beralasan bahwa hakim membutuhkan payung hukum untuk melakukannya.4 Hak-hak tersebut kadang tidak diketahui oleh si korban sehingga koban enggan untuk melaporkan perilaku kekerasan yang menimpa dirinya. Oleh karena itu, meski Hakim Pengadilan Agama hanya bertugas pada perkara-perkara perdata, namun Hakim dapat memberikan informasi ini jika ternyata ada indikasi perilaku kekerasan dalam kasus yang sedang ditangani. Pencantuman hak-hak ini, dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga
tidak
saja
mengedepankan
unsur
hukumnya
saja
tetapi
juga
mempertimbangkan aspek lain yang berkaitan dengan yang di alami korban, oleh karena itu mendengar „suara‟ korban adalah bagian penting dalam proses pengakuan dan pemenuhan hak-hak korban. Bahwa untuk mendapatkan hak-hak istri dan anak yang menjadi koban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tersebut di atas membutuhkan biaya yang tidak selamanya dapat dipikul oleh koban kekerasan dalam rumah tangga.
4
Wawancara Pribadi dengan Orba Susilawati, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 07 November 2014.
67
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban yang di atur dalam Undang-undang perlindungan anak bahwa anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang mengalami trauma psikis maupun kekerasan fisik tidak mendapatkan
rehabilitasi
sesuai
dengan
Undang-undang
yang
mengatur.
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan mempertimbangkan bahwa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terungkap dalam pemeriksaan perkara perceraian, sering terjadi perebutan hak asuh anak, sulitnya pelaksanaan eksekusi putusan terkait soal hak pengasuhan dan nafkah anak agar anak terhindar dari penelantaran. Anak yang ditelantarkan akibat perceraian, berhak memperoleh perlindungan sesuai dengan pasal 13 huruf c. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat kekosongan hukum untuk pemenuhan hak-hak anak khususnya berupa hak nafkah anak terbebas dari kondisi penelantaran anak. Pasal 41 huruf c Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa biaya kehidupan anak ditanggung oleh ayah atau bapaknya. Oleh karena itu, diperlukan Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur pemenuhan hak nafkah anak agar terhindar dari kondisi penelantaran. Penetapan agar suami membayar biaya pemulihan istri dan anak perawatan fisik dan mental korban karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan penetapan besarnya mut‟ah bagi korban kekerasan dalam rumah tangga harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kebutuhan pemulihan psikologi maupun fisik korban kekerasan dalam rumah tangga. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menjawab bahwa saat ini hakim sudah melihat Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga sebagai dasar hukum perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah
68
tangga akan tetapi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur belum menggunakan ex officio nya dalam memutus perkara tersebut melihat kepada hak-hak korban, memberikan perlindungan kepada korban dan memberikan putusan untuk mengembalikan korban seperti semula dengan menghukum pelaku untuk bertanggung jawab dalam pemulihan fisik maupun psikis koban kekerasan.5 Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan pengaturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Menurut Lawrence Friedman unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure) meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan dan Kehakiman. Substansi hukum (legal substance) adalah norma, peraturan maupun Undang-undang dan budaya hukum (legal culture) adalah kebiasaan maupun prilaku dari masyarakat mengenai pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.6 Ketiadaan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga juga mengindikasikan bahwa keadilan yang diinginkan oleh istri dan anak di Pengadilan Agama Jakarta Timur belum terpenuhi karena Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga tidak diterapkan oleh hakim Pengadilan Agama disebabkan 5
Wawancara Pribadi dengan Orba Susilawati, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 07 November 2014. 6
Kalo, Syafrudin. "Penegak Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat”. Artikel diakses pada 20 Desember 2014 dari http://www.bibliopedant.com/Oo4nfjc0YgsskUsG9MM6.
69
faktor masyarakatnya tidak tahu hak-hak yang dilindungi hukum (budaya hukum) dan hakim sebagai unsur penegak hukum tidak mau menerapkan Undang-undang yang sudah mengatur berarti ada kelemahan penerapan hukum. Hakim beralasan bahwa hakim tidak mau bertentangan dengan asas ultra petitum partium namun apabila merujuk kepada pasal 178 ayat 2 HIR menjelaskan tentang sifat hakim yang harus aktif dan berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Terwujudnya penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian hukum merupakan harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa keadilan, sudah ada Undang-undang yang mengatur tetapi tidak bisa ditegakan karena struktur dan budaya hukumnya mengakibatkan substansi hukum yaitu Undang-undangnya tidak dilaksanakan seperti yang sudah diatur. Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga seharusnya diterapkan dengan menggunakan ex-officio hakim dikarenakan substansi hukumnya sudah ada. Hakim mengatakan yang sudah ada sekarang dalam pertimbangan hakim mencamtumkan pasal atau Undang-undang yang mendukung terhadap terjadinya gugatan perceraian tersebut yaitu Undang-undang Perlindungan Anak, Undangundang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan pelaksanaannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975 akan tetapi dalam pemenuhan hak-hak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan kepada korban dalam rumah tangga tidak ada putusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dari Hakim dalam memberikan pemenuhan hak dan perlindungan korban kekerasan tersebut.
70
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga harus ditopang oleh teks-teks keagamaan yang lebih memahami situasi dan kondisi diskriminatif gender pada perempuan. Penafsiran kembali atas teks-teks keagamaan adalah keniscayaan, karena fakta menunjukan terhadap pemahaman keagamaan yang justru kontradiktif dengan misi penghapusan kekerasan terhadap perempuan menuju keadilan bagi perempuan, sebagaimana ditegaskan oleh KH Husein Muhammad bahwa kita perlu membangun kembali makna kedilan substantif dan nyata. Pemaknaan keadilan bagi perempuan dalam konteks ini, harus didasarkan pada pengalaman-pengalaman perempuan sebagai korban ketimpangan relasi gender karena
pemenuhan
keadilan
secara
mendasar
harus
dengan
menunjukan
pemihakannya kepada korban. Hal ini yang lebih mendasar, pemaknaan keadilan harus didasarkan pada paradigma hak asasi manusia, melalui paradigma ini perempuan didudukan secara sejajar dengan seluruh potensi kemanusiaan yang dimiliki sebagaimana laki-laki. Konstruksi sosial yang menjamin keadilan gender diharapkan lahir menjadi basis pendefisian kembali tatanan hukum, aturan budaya, regulasi dan kebijakan, tidak terkecuali pemahaman-pemahaman keagamaan yang disebut dengan fikih.7
7
Faqihuddin Abdul Kodir, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hal. 8.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga pada proses perceraian di Pengadilan Agama adalah: a. Istri dapat mengajukan hak asuh anak, nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah, harta bersama b. Korban kekerasan dalam rumah tangga didampingi oleh seorang pendamping dan mendapatkan perlindungan dari petugas Pengadilan Agama pada proses persidangan. c. Penetapan suami memberikan biaya nafkah selama proses pemeriksaan dan membayar biaya pemulihan istri dan anak serta perawatan fisik dan mental korban karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga. d. Penetapan besarnya Mut‟ah harus mempertimbangkan rasa keadilan korban kekerasan dalam rumah tangga. Maka hakim secara ex officio berwenang mengeluarkan penetapan berupa tidakan konseling bagi para pihak. 2. Implementasi bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah a. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadikan Undang-
70
71
undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan
Peraturan pelaksanaannya Undang-undang
nomor 9 tahun 1975 dalam pertimbangan hukum memutus perkara, namun
dalam
proses
persidangan
dan
amar
putusannya
tidak
mencerminkan perlindungan, pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban sehingga dirasa kurang berpihak pada adil gender. b. Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak berani memutus karena terikat dengan asas ultra petita, amar putusan hanya terbatas pada apa yang telah diminta atau dituntut sebagaimana termuat dalam petitum penggugat, c. Seharusnya hakim dapat menggunakan ex officio yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam memberikan perlindungan, pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan.
B. SARAN 1. Majelis Hakim harus memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban dengan meggunakan ex-officio dalam memutus putusan perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga 2. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur seharusnya menggunakan ex officio dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak melihat kepada
72
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undangundang Perlindungan Anak. 3. Dibutuhkan berupa Surat Edaran Mahkamah Agung dalam memberikan MoU Pengadilan Agama dengan instansi yang terkait dalam pemulihan korban kekerasan. 4. Masyarakat seharusnya mengetahui dan memahami adanya hak-hak yang sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI A. Buku Abdul Kodir, Faqiihuddin. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Komnas Perempuan, 2013. Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2010. Ali Hasan, M. Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003. Atho, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet.V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Juli 2007. Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Eresco, 2003. As-Subki, Yusuf. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Grafika Offset, 2010. Bakar Jabir Al-Jazair, Abu. Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, cet.IV. Jakarta: Darul Falah, 2002. Ghani Abdullah, Abdul. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press. Fauzan, M. Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, cet.I. Jakarta: Kencana, 2005. J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Penerjemah Nurulita Yusron, Bandung: Nusa Media. M Manullang, Fernando. Menggapai Hukum Berkeadilan, Jakarta: Kompas, 2007.
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II. Jakarta: 2002. Manan, Abdul. Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008. ----------Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000. ----------Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Manan, Abdul dan Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Mansyur Syah, Umar. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Prakter, Garut: Al-Umaro,1997. Mufidah. Psikolog Keluarga Islam Berwawasan Gender, cet.I. Malang: UIN Malang, 2008. Musdah Mulia, Siti, dkk. Meretas Jalan Awal Kehidupan Manusia: Modul Pelatihan Hak-hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, Jakarta: LKAJ, 2003. Nuruddin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.I. Jakarta: Kencana, 2004. Ruhaini Dzuhayatin, Siti, dkk. Menuju Hukum Keluarga; Progresif, Responsif Gender dan Akomodatif Anak, Suka-Pres, 2013. Saraswati, Rika. PerempuandanPenyelesaianKekerasandalamRumahTangga, Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 2006. Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983. ----------Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet.V. Jakarta: Raja Grafindo, 2004. Soekanto, Soerjono dan Santoso, Puoji. Kamus Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Soemodihardjo, R. Dyatmiko Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Prenadya Paramita,1999. ----------Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Internusa, 1985. Supriatnoko. Pendidikan Kewarganegaraan, cet II. Jakarta: Penaku, 2008. Suyuthi Mustofa, Wildan. Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Tatanusa, 2002. Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar,edisi ke-2 cet VII. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Tim Redaksi Fokus media, “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam”. Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Yahya Harahap, M. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2001. ----------Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Yusuf As-Subki, Ali. Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, Jakarta: Amzah 2010. ----------Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Grafika Offset, 2010. Zaenal Fanani, Ahmad. Berfilsafat dalam Putusan Hakim Teori dan Praktik, Bandung: Mandar Maju, 2014.
B. Peraturan Perundang-undangan KompilasiHukum Islam (KHI) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, dalam UUD1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
C. Internet Anwar, Yesmil dan Adang. “Pengantar Sosiologi Hukum”. Artikel diakses pada 1 april 2015 dari https://books.google.co.id/books. Artikel
diakses pada 1 april 2015 https://masalahukum.wordpress.com/2013/10/05/teori-penegakanhukum/.
dari
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur 2013. diakses pada 20 Desember 2014 dari http://www.pajakartatimur.go.id/Laporan%20Tahunan/Laporan%20Tahunan%202013.p df. Syafrudin, Kalo. "Penegak Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat”. Artikel diakses pada 20 Desember 2014 dari http://www.bibliopedant.com/Oo4nfjc0YgsskUsG9MM6. Zaenal Fanani, Ahmad. Teori Keadilan dalam Perspektif Hukum Islam”. Artikel diakses pada 25 Desember 2014 dari www.badilag.net.