KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA TERHADAP TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Penulis: H.U. Adil Samadani, SHI., SS., MH. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta 55283 Telp. : 0274-889836; 0274-889398 Fax. : 0274-889057 E-mail :
[email protected]
Samadani, H.U. Adil, SHI., SS., MH. KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA TERHADAP H.U. Adil Samadani, SHI., SS., MH.
TINDAK
KEKERASAN
DALAM
- Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 viii + 82 hlm, 1 Jil.: 26 cm. ISBN:
978-979-756-972-3
1. Hukum
I. Judul
RUMAH
TANGGA/
KATA PENGANTAR
T
indak Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2004 diajukan dan diproses di Pengadilan Negeri sebagai delik aduan, di mana delik ini baru ada tindakan aparat hukum jika ada pengaduan dari pihak korban atau delik yang penuntutannya didasarkan atas permintaan dari si korban atau si penderita dan jika pihak tersangka telah diadukan ke aparat hukum, kemudian pelapor atau pengadu berubah pikiran, maka ia dapat mencabut kembali laporan tersebut. Dengan masuknya Kekerasan Dalam Rumah Tangga ke dalam Delik Aduan, maka dituntut keaktifan pencari keadilan (korban) untuk mengadukan pelaku kepada aparat hukum, sementara disisi lain korban ingin bercerai dengan pelaku dan korban harus menggugat melalui Pengadilan Agama, sehingga korban harus berperkara di dua Pengadilan yang mempunyai Hukum Acara masingmasing padahal subjek hukumnya satu, namun menurut Undang-Undang objeknya harus dibedakan dan diproses di dua pengadilan. Keharusan berperkara di dua Pengadilan menurut sorotan penulis menimbulkan tidak berjalannya salah satu asas penting Peradilan yaitu asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Kecenderungan para pihak yang dirugikan (istri) lebih banyak memilih untuk bercerai ketimbang mempersoalkan pidananya, sehingga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kurang efektif di Pengadilan Negeri, sementara kesewenang-wenangan dari pihak laki-laki terhadap perempuan terus terjadi tanpa adanya hukuman bagi pelaku.
vi
Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ketika hal tersebut dilaksanakan oleh para pihak, maka akan timbul masalah kejiwaan tersendiri bagi pelaku, ketika masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga divonis terlebih dahulu di Pengadilan Negeri kemudian masalah perceraiannya diajukan di Pengadilan Agama, maka Pelaku sebagai tergugat harus menghadapi Gugatan perceraian sementara dia dalam penjara. Manakala masalah Perceraiannya yang diajukan terlebih dahulu, maka tergugat sebagai tersangka tindak kekerasan dalam rumah tangga, akan berperkara tanpa adanya status tersangka yang seharusnya ditahan. Semoga buku ini mampu menjawab ‘kehampaan’ para pencari keadilan serta mampu memberikan kontribusi positif bagi semua kalangan, terutama bagi kaum intelektual, mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Syari’ah, dosen, para pengacara, hakim, praktisi serta masyarakat yang haus akan keadilan. Selanjutnya, dalam penulisan buku ini ada beberapa pihak yang sangat memberikan dukungan penuh serta doa yang ikhlas bagi Penulis, yaitu Ibuku tersayang, Umi Hj. Siti Maryam, Teteh Hj. Nining Nurjanah, Ibu Hj. O. Rohayati, S.Ag., Bapak H. Eme A. Supandi, Penulis haturkan terimakasih yang banyak, jazaakumullah ahsanal jazaa, pun doa Penulis selalu menyertai mereka, terutama untuk almarhum bapaku tersayang, H. Adnan Muhyiddin, allahummaghfirlahu. Amien. Demikian juga penulis haturkan terimakasih yang tulus bagi Istriku tercinta, Femi Oktaviani, S.Ikom yang telah memberikan dukungan penuh bagi Penulis di saat hamil dengan ikhlas selalu memberikan motivasi, doa serta harapan yang luar biasa. Untuk saudara-saudaraku tersayang Penulis haturkan terimaksih kepada Ayai dan Teteh hajahnya, A. Haji Ude, S.Th.I beserta teteh hajahnya, Ida F., S.Pd.I, M. Mustofa, S.Pd.I, Imas Adidah, S.Pd.I, D. Leni Latifah, S.Pd.I, Sofyan Nurdin, S. Si. Neli Awalia, S.Si, Apt., Eli Srilasteni, S.Pt., dan Ahmad KWR, S.Pt. Ucapan terimakasih Penulis haturkan kepada teman-teman dosen di UIN Jakarta, Universitas Mercubuana Jakarta, Universitas BSI Bandung, dan juga para trainer dan motivator Excellent Learning Center (ELC) Bandung. Tak lupa juga, Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan terimakasih yang tulus kepada penerbit yang telah mempublikasikan sehingga dapat tersebar luar kepada masyarakat umum. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran konstruktif Penulis harapkan dari berbagai pihak.
Selamat Membaca, Bandung, 17 Desember 2012
H. U. Adil Samadani, SHI., SS., MH.
Prolog
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
v vii
BAB I
PROLOG
1
BAB II
PANDANGAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA
7
A. Peradilan Agama: Sebuah Pengertian B. Peradilan Agama: Sebuah Historis C. Kedudukan dan Susunan Peradilan Agama
7 10 24
BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
29
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga B. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga C. KDRT dalam Hukum Positif D. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
29 32 34
BAB IV KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA
45
45 51 56 60
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Wilayah Pengadilan Agama B. Tinjauan Yuridis C. Tinjauan Sosiologis D. Tinjauan Politis
40
viii
Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga
E. Peluang dan Tantangan Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama F. Proses Litigasi Perkara Pidana Di Pengadilan Agama
63 66
BAB V
LAW ENFORCEMENT DI PENGADILAN AGAMA
69
A. Pengadilan Agama Dalam Law Enforcement B. Pengadilan Agama Setelah Reformasi
69 74
BAB VI EPILOG
77
DAFTAR PUSTAKA
79 -oo0oo-
BAB I
PROLOG
I
slam is the way of life, begitulah ungkapan yang tepat mengawali prolog ini. Sejak priode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Aturan-aturan ini pada dasarnya adalah religius dan terjalin inherent (melekat) secara religius pula.1 Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan al-Qur’an sebagai wahyu ilahi yang terakhir diturunkan kepada manusia, yang aplikasinya sebagian besar telah ditetapkan operasionalnya oleh sunnah Rasulullah.2 Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin), diturunkan Allah SWT sebagai agama terakhir merupakan agama yang komprehensif dimana
Sedemikian rupa pentingnya kedudukan Hukum Islam dalam perkembangan Islam, sehingga mendorong seorang Sarjana Barat, Joseph Schact sampai kepada suatu kesimpulan bahwa “tidak mungkin untuk memahami Islam tanpa memahami hukum Islam”, Joseph Schact, 1996, An Introduction to Islamic Law, Oxford, University Press, h. 1. Hukum Islam adalah totalitas religius yang mengatur prilaku kehidupan kaum muslimin. Jika hal itu difahami sebagai produk pemikiran fuqaha, (muslim jurist), maka lazimnya disebut al-fiqh. Namun bila dipahami sebagai aturan-aturan hukum yang diwahyukan Allah, maka disebut syari’ah. Karenanya, apa yang secara sederhana dinyatakan dengan istilah ”hukum Islam” sebenarnya merupakan keseluruhan tata kehidupan dalam Islam. Atau seperti yang dikatakan oleh MacDonald: ”hukum Islam adalah the science of all things human and divine”. DB. MacDonald, 1903, Development of Muslim Theology Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, Charles Scriber’s Sons, h. 66. 2 Lihat Disertasi Abd. Salam Arief, 2002, Ijtihad Syaikh Mahmud Syaltut: Kajian Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta, Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, h. 1. 1
2
Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga
ajarannya lengkap mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia3. Hal ini sangat wajar karena Islam merupakan agama yang diturunkan Tuhan Pencipta alam yang mengetahui keadaan, kebutuhan dan kemampuan semua makhluknya dan Allah SWT telah menciptakan manusia tentu mengetahui barbagai kebutuhan manusia sekaligus menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan tersebut yang diiringi dengan aturan-aturan mainnya, agar tidak terjadi benturan-benturan kebutuhan antar sesama manusia sehingga terwujud ketertiban di muka bumi-Nya. Di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yang diatur cara pemenuhannya adalah kebutuhan biologis yang menuntut manusia untuk saling mencintai, memiliki pasangan hidup dan sekaligus melahirkan keturunan dari pasangannya tersebut. Hal itu diatur melalui Hukum Perkawinan. Selain untuk pemenuhan kebutuhan Biologis manusia, pernikahan juga bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, penuh dengan cinta kasih,4 saling percaya dan penuh rasa tanggungjawab, sehingga lahir dari keluarga tersebut keturunan yang baik dan berkualitas yang akan melanjutkan estafet perjuangan orang tuanya. Cita-cita untuk mewujudkan keluarga yang sakinah terkadang tidak tercapai karena timbulnya masalah dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena pernikahan merupakan pertemuan antara dua jiwa yang berbeda latar belakang, adat istiadat, pendidikan, prilaku dan kebiasaan, sehingga manakala satu dengan yang lainnya sudah tidak ada saling pengertian dalam perbedaan-perbedaan tersebut, maka muncullah masalah dalam rumah tangga yang kalau tidak cepat diselesaikan lambat laun akan menjadi prahara yang besar dalam rumah tangga. Dalam Islam, kehidupan suami istri yang mengalami kekacauan atau kebencian akibat tidak adanya kasih sayang, pergaulan yang tidak baik atau masing-masing pihak tidak menjalankan kewajibannya dengan baik, maka dalam hal ini Islam berpesan agar bersabar dan sanggup menahan diri dan menasehati satu sama lain. Tetapi terkadang kekacauan atau kebencian itu semakin membesar, perpecahan semakin sangat, penyelesaiannya menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang sehingga kehidupan suami istri akhirnya tidak dapat berdamai lagi. Maka pada saat-saat seperti ini, Islam membolehkan penyelesaian satu-satunya yang terpaksa harus ditempuh. Jika kebencian ada pada pihak suami, maka ditangannya terletak talak yang merupakan salah satu haknya. Dan jika kebencian itu ada pada pihak istri, maka Islam membolehkan dirinya menebus dengan jalan khulu’, dalam Undang-undang istilah ini dipakai dengan istilah cerai gugat, yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya guna mengakhiri ikatan sebagai suami istri.5
Lihat Firman Allah SWT QS : An-Nahl ayat 89 yang artinya “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quraan) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. 4 Lihat firman Allah SWT QS : Ar-Ruum ayat 21, yang artinya “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir.” 5 Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh al Sunnah, Beirut, Dar al Fikr, Juz II, cet. IV, h. 252. lihat pula dalam Ibnu Rusyd, 1995, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut, Dar al-Fikr, Juz II, cet. I, h. 54. 3