DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR (ANALISIS PENETAPAN PERKARA NOMOR: 124/PDT.P/2010/PA.SRG. DI PENGADILAN AGAMA SERANG) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ARIF RAHMAN NIM: 106044101389 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR (ANALISIS PENETAPAN PERKARA NOMOR: 124/PDT.P/2010/PA.SRG. DI PENGADILAN AGAMA SERANG) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ARIF RAHMAN NIM: 106044101389
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR (ANALISIS PENETAPAN PERKARA NOMOR: 124/PDT.P/2010/PA.SRG DI PENGADILAN AGAMA SERANG) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) oleh: ARIF RAHMAN 106044101389 Di Bawah Bimbingan Pembimbing
DRS. H. A. BASIQ DJALIL, SH., MA. 1950030619760310001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR (Analisis Penetapan Perkara Nomor: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg. di Pengadilan Agama Serang), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Jakarta, 17 Juni 2011 Dekan,
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP: 195505051982031012 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA NIP. 195003061976031001
Sekretaris
: Rosdiana, MA NIP : 196906102003122001
(......................) (......................)
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA NIP. 195003061976031001
Penguji 1
:
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP: 195505051982031012 (......................)
Penguji 2
:
DR. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA. NIP: 195507061998031003
(......................)
(......................)
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, 9 Mei 2011
Penulis
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas segala limpahan nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya, terutama nikmat iman, kesehatan, kesabaran dalam menghadapi segala macam persoalan. Salawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan umat baginda Rasulullah Muhammad SAW. yang telah mengajarkan bahwa ilmu adalah bekal untuk menghadapi dunia dan akhirat. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dispensasi Nikah Anak di Bawah Umur (Analisis Penetapan Perkara Nomor: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg di Pengadilan Agama Serang)”. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulustulusnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dari semasa kuliah sampai menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu, kiranya penulis perlu mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya dan apresiasi yang tinggi atas semua bantuan serta jasa-jasa yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Terutama kepada beberapa pihak, diantaranya bapak/ibu: 1. Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif i
Hidayatullah Jakarta, penguji I dan pembimbing akademik yang dengan penuh kesabaran dan ketegasan dalam memberikan bimbingan serta nasehat, arahan dan petunjuknya yang sangat berharga. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. selaku Ketua Program studi Ahwal alSyakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran dan ketegasan dalam memberikan bimbingan serta nasehat, arahan dan petunjuknya yang sangat berharga. 3. Dra. Hj. Rosdiana, MA. Selaku sekretaris program studi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. DR. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA. selaku penguji II yang telah memberikan pengetahuan dan arahan yang sangat berharga. 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan peranan dalam proses pembelajaran sehingga tercapainya gelar sarjana dalam bidang ilmu syari’ah. 6. Pimpinan dan staff karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas untuk studi kepustakaan. 7. Drs. H. M. Hasany Nasir, SH. Selaku Ketua dan Drs. Moch. Tajudin selaku Hakim Pengadilan Agama Serang.
ii
8. Abah dan Ibu tercinta yang tegar dan bijak menyikapi hidup serta sabar menghadapi penulis. Semoga cinta kasih yang dicurahkan menjadikan kalian tiada jarak dengan Allah SWT. 9. Kakak-kakak dan adikku tersayang yang telah memberikan dukungan dan juga kesabaran kepada penulis. 10. Para sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Atas segala kebaikan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah SWT. Semoga amal baik tersebut mendapatkan balasan ridha dari-Nya. Akhir kata penulis berharap dengan segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. (Amin) Jakarta, 3 Mei 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v TRANSLITERASI ................................................................................................ vii BAB I
: PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
BAB II
D. Tinjauan Studi Terdahulu ...........................................................
6
E. Metode Penelitian .......................................................................
8
F. Sistematika Penulisan .................................................................
10
: PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF..
11
A. Pengertian dan Dasar Hukum .....................................................
11
B. Syarat dan Rukun Perkawinan .................................................... 16 C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ................................................ BAB III
33
: DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR .................................. 38 A. Pengertian Nikah di Bawah Umur dan Dispensasi Nikah ......... 38 B. Batas Usia Perkawinan ...............................................................
43
C. Sebab-Sebab Terjadi Perkawinan di Bawah Umur ....................
48
v
BAB IV
: ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SERANG.. 52 A. Potret Pengadilan Agama Serang ...............................................
52
B. Prosedur Permohonan Dispensasi Nikah dan Posisi Kasus ........ 54
BAB V
C. Pertimbangan Hukum .................................................................
59
D. Analisis Penulis ..........................................................................
62
: PENUTUP ........................................................................................
64
A. Kesimpulan ................................................................................. 64 B. Saran ...........................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 66 LAMPIRAN-LAMPIRAN : 1. Surat
Permohonan
Kesediaan
Menjadi
Pembimbing Skripsi .........................................
69
2. Surat Permohonan Data/Wawancara ................
70
3. Surat
Keterangan
Melakukan
Penelitian
(Pengambilan Data/Wawancara) ......................
71
4. Salinan Penetapan No.124/Pdt.P/2010/PA.Srg di Pengadilan Agama Serang ............................ 72 5. Wawancara Hakim Pengadilan Agama Serang
vi
84
TRANSLITERASI Transliterasi
yang digunakan
adalah
sistem
transliterasi
Arab-Latin
berdasarkan pedoman pembuatan karya ilmiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin: Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف
-
tidak dilambangkan
b
be
t
te
ts
te dan es
j
je
h
h dengan garis bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de dan zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan yr
s
es dengan garis di bawah
d
d dengan garis di bawah
t
te dengan garis di bawah
z
zet dengan garis di bawah
‘
koma terbalik di atas hadap kanan
gh
ge dan ha
f
ef vii
ق ك ل م ن و ه ء ي
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
h
ha
`
apostrof
y
ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksarnya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ ــ ِ ــ ُ ــ
a
fathah
i
kasrah
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــــ َ ي ـــ َ و
ai
a dan i
au
a dan u
Vokal panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (mâd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf yaitu: viii
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـ َﺎ ـ ِﻲ ـ ُﻮ
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Kata sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf Syamsiyyah maupun huruf Qamariyyah. contoh: al-Rijâl bukan ar-Rijâl, al-Diwân bukan ad-Diwân. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydiid yang dalam sistem tulisan arab dilambangakan dengan sebuah tanda ( )ــ ّ ـdalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tandda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
ُاَﻟﻀ ﱠ ﺮ ُو ْ ر َ ةtidak
ditulis ad-darûrah
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). ix
Contoh: No.
Kata Arab
Alih Aksara
ُطَﺮِﯾْﻘَﺔ ُاَﻟْﺠ َ ﺎﻣ ِ ﻌ َ ﺔُ اْﻹ ِ ﺳ ْ ﻼَﻣ ِ ﯿَﺔ ِ و َ ﺣ ْ د َ ةُ اْﻟو ُ ﺟ ُو ْ د
1. 2. 3.
Tarîqah al-Jâmiah al-Islâmiyyah Wahdat al-Wujûd
Huruf kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital juga digunakan. Dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam ejaan yang disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri di dahului kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî, bukan Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan AlKindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ini ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia nusantarara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî. x
Cara Penulisan Kata Setiap Kata, baik kata kerja (fi’il) ,kata benda (ism) maupun huruf (harf) ditulis secra terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat bahasa arab, denagn pedoman ketentuan-ketentuan sebagai di atas: Kata Arab
Kata Latin
ذ َ ھَﺐ َ اَﻟْﻘَﻀ ِﻲDzahaba al-qadî ُ ﺛَﺒَﺖ َ اْﻷَﺟ ْ ﺮTsabata al-ajru َاْﻟﺤ َ ﺮ َ ﻛ َ ﺔَ اْﻷَﺻ ْ ﻠِﯿَﺔal-harakah al-‘asriyyah ُ أَﺷ ْ ﮭَﺪ ُ أَن ْ ﻻَ إِﻟَﮫَ إِﻻﱠ ﷲAsyhadu an lâ ilâha illâ Allâh ِﻣ َﻮ ْ ﻻَﻧَﺎ ﻣ َ ﻠِﻚ ِ اﻟﺼ ﱠﺎﻟِﺢMaulânâ malik al-salih ُ ﯾُﺆ َ ﺛﱟﺮ ُ ﻛ ُ ﻢ ُ ﷲYu’atsirukum allâh ُاَﻟْﻤ َ ﺰ َ اھِﺮ ُ اْﻟﻌ َ ﻘْﻠِﯿﱠﺔal-Mazâhir al-‘aqliyyah ُاَﻵﯾَﺎت ُ اْﻟﻜ َﻮ ْ ﻧِﯿﱠﺔal-Âyât al kauniyyah tubîhu al-mahzûrât ِﱠ ﺮ ُو ْ ر َ ةُ ﺗُﺒِﯿْﺢ ُ اْﻟﻤ َﺤ ْ ﻀ ُﻮ ْ ر َ اتal-Darûrat اَﻟﻀ
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan sunnatullâh yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT. sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangannya sudah melakukan perannya masing-masing yang positif dalam mewujudkan pernikahan tersebut.1 Allah SWT. Tidak menjadikan manusia seperti makhluknya yang lainnya yang hidup untuk mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis tidak ada aturan. Manusia adalah makhluk yang lebih diutamakan oleh Allah SWT. dibandingkan dengan makhluk lainnya. Allah SWT. telah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia dengan adanya aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar sehingga manusia tidak boleh berbuat semaunya, seperti binatang kawin dengan lawan jenisnya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin.2 Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat alHijr ayat 22: 1
Slamet Aminuddin, Fiqh Munkahat (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h . 9.
2
H. A. S. al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 1989). h. 15
1
2
(٢٢ : )ا ﻟﺤﺠﺮ
Artinya: “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuhtumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (Q.S. al-Hijr: 22) Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. yang menyebutkan bahwa
makhluk hidup yang diciptakan dalam dunia ini tidak lain adalah untuk saling mengenal, saling membutuhkan, saling berdampingan dan berkasih sayang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkawinan merupakan sunnatullâh yang umum, yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, pada manusia dan tumbuh-tumbuhan.3 Perkawinan menjadi peristiwa yang didamba-damba semua orang karena dengan perkawinan seseorang dapat mendapatkan keturunan yang sah, baik dalam pandangan Agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 1 yaitu “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.4 Melihat begitu pentingnya sebuah ikatan demi eksistensi kehidupan 3
Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah. cet. VI. Penerjemah. Drs. Muhammad Thalib (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2006), h. 253. 4
R. Subekti dan R. Tirtosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Bw) Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agrarian dan Perkawinan (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), h . 449.
3
manusia, maka perlu ada pemikiran yang matang sebelum menjalin ikatan sebuah rumah tangga. Salah satu hal perlu dipikirkan adalah usia yang dikategorikan dewasa. Karena dengan usia yang matang rumah tangga nantinya akan terlaksana dengan baik. Perkawinan merupakan satu hal yang dilakukan dengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya. Oleh karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang matang, yaitu kematangan fisik dan kedewasaan mental. Pada dasarnya kematangan jiwalah yang sangat berarti untuk memasuki gerbang rumah tangga. Perkawinan pada usia muda di saat seseorang belum siap fisik maupun mental sering menimbulkan masalah di kemudian hari, bahkan tidak sedikit berantakan di tengah jalan.5 Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang telah sama-sama dewasa akan membawa dampak yang baik bagi perkembangan rumah tangga, dengan adanya kedewasaan dari kedua belah pihak baik secara fisik maupun mental, akan membawa rumah tangga tentram dan damai. Kematangan fisik merupakan potensi yang sangat dominan terhadap keharmonisan rumah tangga. Hal tersebut dapat mewujudkan perkawinan yang baik tanpa diakhiri dengan perceraian dan mendapat keturunan yang sehat. Yang tidak kalah penting adalah mentalitas yang matang merupakan kekuatan yang besar dalam memperoleh kebahagiaan rumah tangga. Kesiapan 5
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (Bandung: al-Bayan, 1995), h . 18.
4
dan kematangan fisik dan mental sebelum menikah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dengan bekal itu dengan sendirinya cita-cita untuk berumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera bisa terwujud.6 Agama Islam tidak menentukan batasan usia perkawinan yang jelas. Namun begitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan ketentuan atau kriteria-kriteria tersendiri terhadap batasan usia seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Ketentuan itu dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1): “Perkawian hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.7 Walaupun telah diatur dengan sedemikian rupa, kemungkinan terjadinya penyimpangan akan selalu terjadi. Oleh sebab itu ditambahkan dengan ayat (2) “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.8 Sekalipun Undang-Undang telah mengatur batasan usia nikah, namun dalam prakteknya masih ada nikah di bawah umur. Pernikahan di bawah umur boleh saja dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu ketika pemberitahuan ke KUA dengan melampirkan dispensasi nikah. Agar perkawinan itu bukan hanya sah 6
Ibid., h. 19.
7
Tim Redaksi Fokusmedia, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Bandung: FOKUSMEDIA, 2005), h. 4. 8
Ibid., h. 4.
5
menurut Agama tapi juga sah menurut Negara. Jika perkawinan tersebut tidak dengan dilampirkan dispensasi nikah maka perkawinan itu tidak dapat dicatatkan.9 Melihat pentingnya dispensasi nikah untuk pencatatan pernikahan di bawah umur agar sah menurut Negara, maka penulis bertujuan mengulas lebih jauh mengenai dispensasi nikah, yang dalam ini akan diangkat dengan judul “Dispensasi Nikah Anak di Bawah Umur (Analisis Penetapan Perkara No. 124/Pdt.P/2010/PA.Srg. di Pengadilan Agama Serang)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan ketentuan terhadap batasan usia seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Ketentuan itu dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1): “Perkawian hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.10 Walaupun telah diatur dengan sedemikian rupa, kemungkinan terjadinya penyimpangan akan selalu terjadi. Oleh sebab itu ditambahkan dengan ayat (2) yang berisikan tentang dispensasi nikah yang diberikan Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua pria maupun wanita.
9
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, h . 19.
10
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1).
6
2. Perumusan masalah Mengenai usia nikah telah diatur sedemikian rupa dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1), tetapi tetap saja ada penyimpangan mengenai batas usia nikah di lapangan. Bertitik tolak dari permasalahan di atas maka penulis memberikan beberapa masalah antara lain: 1) Bagaimana perspektif Fiqih dan Hukum Positif mengenai perkawinan di bawah umur? 2) Prosedur apa saja yang harus dilalui untuk pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang? 3) Pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim Pengadilan Agama Serang terkait penetapannya tentang dispensasi nikah pada penetapan Perkara No. 124/Pdt.P/2010/PA. Srg. di Pengadilan Agama Serang? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Untuk mengetahui batasan usia perkawinan menurut Fiqih dan Hukum Positif. 2. Untuk mengetahui prosedur apa saja yang dilalui dalam pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang. 3. Untuk mengetahui pertimbangan apa saja yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Serang terkait penetapannya tentang dispensasi nikah pada penetapan perkara No. 124/Pdt.P/2010/PA. Srg. di Pengadilan Agama Serang. D. Tinjauan Studi Terdahulu Dalam menyusun skripsi ini penulis melakukan studi terdahulu sebelum menentukan judul skripsi ini, diantaranya:
7
1.
Ahmad Ripa’i
: Pemberian Dispensasi Kawin di Bawah Umur oleh Pengadilan Agama (Studi Analisis Putusan No. 07/Pdt.P/2000/PA.CBN di Pengadilan agama Cibinong). Skripsi ini membahas dispensasi perkawinan di bawah umur dan sanksi bagi orang yang menikahkan anak di bawah umur tanpa dispensasi nikah Pengadilan Agama setempat.
2.
Danu Aprilianto :
Dispensasi Nikah dalam Perspektif Fikih dan Hukum Positif (Studi Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Tahun 2007-2008). Skripsi ini membahas fenomena perkawinan di bawah umur di Pengadilan Agama Purbalingga tahun 2007-2008 dan indikasi kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga dengan adanya batasan usia pada UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1.
Jadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu dalam penelitian ini fokus pembahasannya adalah mengenai pandangan fiqih dan hukum positif terhadap nikah anak di bawah umur, prosedur pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang dan Pertimbangan Hakim pada penetapan dispensasi nikah perkara nomor: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg di Pengadilan Agama Serang.
8
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari satuan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia, dengan mengkaji data-data dan literatur yang berkaitan dengan judul. Strategi pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah strategi deskriptif analisis, yakni bertujuan untuk menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data atau dokumen maupun wawancara. 2. Sumber penelitian Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data sekunder.
Sumber
data
primer
adalah
penetapan
perkara
Nomor
124/Pdt.P/2010/PA Srg. Selain itu juga wawancara yang dilakukan terhadap hakim di Pengadilan Agama Serang. Sumber data sekunder antara lain; bahanbahan hukum yang mengikat. Dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI), kitab-kitab fiqih dan literatur-literatur yang terkait dengan materi. 3. Metode pengumpulan data 1) Metode library research Yaitu penelitian kepustakaan dan literatur yang ada relevansinya dengan judul, di mana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji
9
dan mengulas penetapan perkara yang dikeluarkan Pengadilan Agama Serang (Penetapan Perkara Nomor 124/Pdt.P/2010/PA. Srg) 2)
Metode field research Menggunakan penelitian dengan cara datang ke lokasi yang ada hubungannya dengan tulisan ini untuk melakukan wawancara dengan para pihak yang terkait dan mumpuni, dalam hal ini dilakukan di Pengadilan Agama Serang.
4. Tekhnik pengumpulan data 1)
Seleksi data Setelah memperoleh data dan bahan-bahan baik melalui library research maupun field research, lalu data diperiksa satu-persatu agar tidak ada kekeliruan.
2)
Klasifikasi data Setelah data diperoleh lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil satu kesimpulan.
5. Analisa data Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpetasikan, atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada yang lain.11 Analisa data ini dilakukan dengan cara
11
Mari Singarimbuan dan Sofan Efendi, Metode Penelitian Survey. cet ke-1 (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 263, dan lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Bandung: Alfabeta)
10
membandingkan penetapan yang diperoleh dalam pemeriksaan perkara pemberian dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang. 6. Teknik penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan berpedoman pada prinsipprinsip yang diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet. 1, 2007. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis mengurai beberapa hal tentang sistematika sebagai berikut: Bab pertama tentang pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua tentang perkawinan menurut fiqih dan hukum positif, berisi tentang pengertian dan dasar hukum perkawinan, syarat-syarat dan rukun perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan. Bab ketiga tentang dispensasi nikah di bawah umur, mencakup pengertian perkawinan di bawah umur dan dispensasi nikah, batasan usia perkawinan, sebab-sebab terjadinya perkawinan di bawah umur. Bab keempat tentang analisis penetapan Pengadilan Agama Serang, potret Pengadilan Agama Serang, prosedur permohonan dispensasi nikah di bawah umur dan posisi kasus, pertimbangan hukum dan analisis penulis. Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran serta lampiran.
BAB II PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Menurut fiqih Perkawinan dalam istilah agama disebut nikah, yang dimaksud ialah: Melakukan suatu akad atau suatu perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup keluarga yang diliputi perasaan cinta kasih sayang dan ketentraman dengan caracara yang diridhoi Allah SWT.1 Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian pernikahan merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. Menurut kamus istilah fiqih sendiri (menurut syara’ ) hakikat nikah itu ialah: Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam rumah tangga dan memiliki keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan Syari’at Islam.2 1
Soemayati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Yogyakarta: Liberti, 1986), h. 8. 2
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’iah AM. Kamus Istilah Fiqih (PT. Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994), h. 249.
11
12
Al-Qur’an juga menggunakan kata zawwaja dari kata zawûj yang berarti pasangan untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.3 Kata nikâh mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti sebenarnya (hakikat) dalam arti kiasan (majaz). Di dalam arti yang sebeanarnya kata nikah itu berarti berkumpul “berkumpul”. Sedangkan dalam arti kiasan berarti “’aqad” atau “mengadakan suatu perjanjian perkawinan”.4 Menurut aturan agama, akad nikah harus diucapkan dengan kata-kata yang sarîh yang menunjukkan maksud nikah. Firman Allah. SWT:
...
(٣- ) ...
Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja... (Q.S. an-Nisa ayat: 3) Ulama Hanafiyyah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang lelaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan. Semantara ulama Syâfi’iyyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikâh atau zawûj, yang menyimpan arti memiliki wat’i, artinya dengan pernikahan seseorang
3
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Cet ke - VI (Bandung: Mizan, 1997), h. 191.
4
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: PT. Prenada Media, 2003), h. 7.
13
dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya. Di lain pihak ulama Malikiyyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya harga. Ulama Hanâbillâh menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal inkâhu atau tazwîju untuk mendapatkan kepuasan, artinya seseorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.5 Dapat dikemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang dilakukan antara seorang laki-laki dan wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.6 2. Menurut hukum positif Perkawinan adalah perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum maka perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum. Sah tidaknya suatu perbuatan hukum dalam hal ini perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.7 5
Slamet Aminuddin, Fiqh Munkahat I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h . 10-11.
6
Ibid., h. 11-12.
7
Undang-Undang Perkawinan Anggota IKAPI 2005. Cet 1, h. 2.
14
Pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 1 ditegaskan mengenai pengertian perkawinan ialah: “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.8 Bagi bangsa Indonesia perkawinan dinilai bukan hanya untuk memuaskan nafsu biologis semata, akan tetapi perkawinan merupakan suatu hal yang sakral atau suci. Seperti yang sudah dijelaskan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1974
Tentang Perkawinan
yang
menerangkan pengertian dan dasar hukum perkawinan, maka undang-undang perkawinan memandang bahwa suatu perkawinan bukan hanya perbuatan hukum saja, akan tetapi sebagai perbuatan agama juga. Hal ini lebih lanjut tersirat dalam penjelasan terhadap pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, mendapat keturunan yang juga tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.9 8
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Perkawinan, Edisi Lengkap (Bandung: FOKUSMEDIA, 2005), h. 1-2. 9
h. 24.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Perkawinan, Edisi Lengkap,
15
Oleh karena itu maka perkawinan adalah sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang isteri dan seorang suami, sehingga mengandung makna bahwa perkawinan adalah persoalan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, yang akan melangsungkan perkawinan adalah persoalan kedua belah pihak dan akan menjadi seorang suami isteri. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pada pasal 2 “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghaliidhan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah”.10 Dari beberapa penjelasan mengenai perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam diatas maka perkawinan itu adalah suatu ikatan/akad yang kuat (mitsâqon ghalîzan) yang dilakukan antara pihak laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai isteri untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia, mendapatkan keturunan, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sejalan dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia dan disertai sifatsifat keagamaan sehingga dapat terealisasinya keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan beragama.11
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007), h. 228. 11
Ibid., h. 228.
16
B. Syarat dan Rukun Perkawinan 1. Menurut Fiqih Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad (transaksi) apapun, termasuk untuk tidak mengatakan terutama akad nikah. Bedanya, rukun berada di dalam sesuatu akad (nikah) itu sendiri, sedangkan syarat berada di luarnya. Dikatakan ruknu al-sya’i mâ-yatimmu bihi, rukun sesuatu adalah sesuatu yang ada dengannya (sesuatu itu) akan menjadi sempurna (eksis), yang mana rukun itu sendiri merupakan bagian yang ada di dalamnya. Berbeda dengan syarat yang ada di luar sesuatu itu sendiri.12 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, syarat dirumuskan dengan “sesuatu yang bergantung padanya hukum syar’i dan dia berada di luar hukum itu sendiri.13 Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut.14 Adapun rukun nikah dengan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut: 12
‘Alî bin Muhammad al-Jurjânî, Kitab al-Ta’rîfât. (Beirut-Lubnan: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1408 H/1998 M). H. 112 13
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 5. (Jakarta: Ichtar Baru – Van Hoeve, 1997), h. 1691. 14
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 71
17
1) Calon suami, syarat-syaratnya; beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, baligh/ dapat memberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan. 2) Calon isteri, syarat-syaratnya; beragama, meskipun Yahudi maupun Nasrani, perempuan, jelas orangnya, baligh/dapat dimintai persetujuannya dan tidak terdapat halangan perkawinan 3) Wali nikah, syarat-syaratnya; laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwaliannya. 4) Saksi nikah, syarat-syaratnya; minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, Islam dan dewasa. 5) Ijab qabul, syarat-syaratnya; adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikâh, tazwîj atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara ijab dan qabul berkesinambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram atau haji dan majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu, calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi. 2. Menurut hukum positif Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum maka perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum. sah tidaknya suatu perbuatan hukum dalam hal ini perkawinan ditentukan oleh ketentuan-
18
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.15 Sahnya perkawinan ditentukan dalam bunyi pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu tentang sahnya perkawinan: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu” dan juga ditentukan dalam pasal 2 ayat 2 yaitu: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundangundangan yang berlaku”.16 Kemudian penjelasan dalam pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa: dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Adapun sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam disebut dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang syarat sahnya perkawinan.” Syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, meliputi syarat-syarat materil dan syarat-syarat formil. 15
Undang-Undang Perkawinan Anggota IKAPI 2005. cet. 1, h. 1.
16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (2).
19
Syarat-syarat materiil yaitu syarat-syarat yang berlaku mengenai diri pribadi calon mempelai. Sedangkan syarat-syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat berlangsungnya perkawinan.17 a. Syarat-syarat materil yang berlaku umum Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok ini diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, syarat-syarat materil sebagai berikut: 1. Pasal 6 ayat (1) perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai 2. Pasal 7 ayat (1), perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 3. Pasal 9, seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang ternuat dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4. 4. Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 39 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu tentang waktu tunggu seorang wanita yang putus perkawinannya. 17
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Mahkamah Agung RI, 2005), h. 26.
20
Tidak
dipenuhinya
syarat-syarat
tersebut
menimbulkan
ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan. b. Syarat-syarat materil yang berlaku khusus Dalam hukum Perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia dilarang menikah.18 1.
Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, larangan perkawinan ini telah diatur dengan jelas seperti yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang; (1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. (2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara. (3) Berhubungan semenda (4) Berhubungan susuan (5) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain dilarang kawin.
18
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996). h. 34.
21
Selanjutnya di dalam pasal 9 Undang-Undang perkawinan dinyatakan “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang ini”.19 Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang hanya memuat secara
singkat
larangan
kawin,
Kompilasi
Hukum
Islam
menjelaskannya lebih rinci dan tegas. Bahkan KHI dalam hal ini mengikuti sistematika Fiqih yang telah baku. Masalah larangan kawin ini dimuat pada bab VI pasal 39 sampai pasal 44. Di dalam pasal 39 dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita disebabkan; (1) Karena pertalian nasab: a. Dengan
seorang
wanita
yang
melahirkan
atau
yang
menurunkannya atau keturunannya. b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. (2) Karena pertalian kerabat semenda: a. Dengan saudara yang melahirkan isterinya atau bekas isteinya. b. Dengan
seorang
wanita
bekas
isteri
menurunkannya. 19
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 9.
orang
yang
22
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al-dukhul. d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sepersusuan: a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek sesusuan ke atas. e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.20 Sedangkan larangan yang bersifat mua’aqqat seperti yang termuat pada pasal 40 KHI dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu. (1) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. 20
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
23
(2) Seorang wanita yang masih berada pada masa ‘iddah dengan pria lain. (3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.21 Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang sudah dikawini, atau karena sepersusuan. (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalain nasab atau sepersusuan dengan isterinya; a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.22 (2) Larangan pada ayat 1 itu tetap berlaku meskipun isterinya telah ditalak raj’i tetapi dalam masa ‘iddah. Selanjutnya dalam pasal 54 KHI juga dijelaskan bahwa: (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam masa ihram, perkawinannya tidak sah.23 21
Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Citra Umbara, 2007) h. 241. 22
Ibid., h. 241
24
Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang sudah beristeri empat orang dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalâk raj’i masih dalam masa ‘iddah. Di dalam pasal 42 dinyatakan: Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam masa iddah dan talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i.24 Selanjutnya larangan kawin juga berlaku antara seorang lakilaki dengan bekas isterinya yang telah ditalâk ba’în (tiga) sampai bekas isterinya tersebut menikah dengan pria lain dan selanjutnya telah melangsungkan perceraian. Demikian juga larangan perkawinan isteri yang telah dili’an yaitu tuduhan seorang suami terhadap isterinya yang telah melakukan zinâ. Berkenaan dengan maslah li’ân ini telah dijelaskan Allah SWT. dalam al-Qur’an surat an-Nur:
23
Ibid., h. 246
24
Ibid., h. 241.
25
(٦-٩ : )اﻟﻨّﻮر
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orangorang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.(Q.S. an-Nur: ayat 6-9). Larangan terhadap isteri yang telah ditalak tiga dan dilia’an diatur dalam pasal 43 KHI yang berbunyi: (1) Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria: a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali b. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an. (2) Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da al-dukhul dan telah habis masa ‘iddahnya.25 Selanjutnya dalam pasal 44 KHI dinyatakan bahwa; “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”26 25
Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam, h. 242.
26
2.
Izin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun, dalam hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) ditentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:27 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah dalam keadaan meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalm keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalm garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
26
Ibid., h. 242.
27
Ibid., h. 242.
27
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.28 Selanjutnya pada pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih rinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, undang-undang mensyaratkan batas minimum umur calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun.29 Selanjutnya dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. c. Syarat-syarat formil Syarat-syarat formil ini meliputi:
28
Ibid., h. 4.
29
Ibid., h. 4.
28
1.
Pencatatan perkawinan Pencatatan ketertiban
perkawinan
perkawinan
dalam
bertujuan masyarakat.
untuk Melalui
mewujudkan pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri mendapat salinannya, apabila terjadi percekcokan atau perselisihan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing.30 Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama karena perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hubungan keperdataan. Ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan nomor 2.31 Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, dijelaskan pasal 5 Kompilasi Hukum Islam: (1) Agar terjamin perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo.
30
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h.
31
Ibid,.h. 108.
108.
29
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah Jawa dan Madura. Teknis pelaksaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyatakan: (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.32 Lembaga
pencatatan
perkawinan
merupakan
syarat
administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan perkawinan. Pencatatan
memiliki
manfaat
preventif,
yaitu
untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkretnya penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 tentang 32
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 229.
30
pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:33 (1) Setiap
orang
yang
akan
melangsungkan
perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurangkurangnya
10
(sepuluh)
hari
kerja
sebelum
perkawinan
dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.34 Tindakan yang harus diambil oleh pegawai pencatat setelah menerima pemberitahuan diatur dalam pasal 6 sebagai berikut: (1) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan
meneliti
apakah
syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. (2) Selain penelitian terhadap hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meneliti pula: a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
33
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. h. 108.
34
Ibid,. h. 42.
31
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan
dapat
digunakan
surat
keterangan
yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu. b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.35 2.
Akta nikah Akta nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan ia memiliki manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang.36 Akta nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu. Upaya hukum ke Pengadilan tentu tidak dapat dilakukan apabila perkawinan tersebut tidak dibuktikan dengan akta tersebut. Oleh karena itu, pasal 7 Kompilasi Hukum Islam menegaskan pada ayat (1) “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.37 Adapun manfaat Akta Nikah yang bersifat represif dapat dijelaskan sebagai berikut. Bagi suami isteri yang karena sesuatu pernikahannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah maka,
35
Ibid,. h. 43.
36
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. h. 116.
37
Ibid,. h. 117.
32
kompilasi membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan
isbât
nikâh
(penetapan)
ke
Pengadilan
Agama.
Pencatatan adalah suatu upaya pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.38 Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan: (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat nikah ke Pengadilan Agama. (3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya akta nikah. c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.39
38 39
Ibid., h. 117.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. h. 229.
33
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Menurut Fiqih Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah sebagai salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syariat yakni kemashlahatan dalam kehidupan.40 Bila kita urutkan ada tiga sumber alasan pokok pernikahan itu harus dilakukan. Pertama, menurut al-Qur’an; Kedua, menurut al-Hadits, Ketiga, menurut akal.41 a. Menurut al-Qur’an Ada dua ayat yang menonjol tentang pernikahan ini, pertama, dalam surat al-A’raf: 189 menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang.42 Dari ayat ini tampaknya kita tidak dilarang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal yang penting karenannya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu sebagai unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.43 Kedua, dalam surat 40
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo (Topik-Topik Pemikiran Aktual, Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah dan Kuliah Subuh) (Qalbun Salim, 2006), h. 86. 41
Ibid., h. 87.
42
al-Qur’an surat al-A’raf ayat 189, berbunyi:
(١٨٩: )اﻷﻋﺮاف... ...
Artinya: “Supaya dia bersenang-senang dengannya” 43
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo. h. 87.
34
al-Rûm: 2144 terkandung ada tiga makna yang dituju suatu perkawinan. 1) Litaskunû ilaihâ, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunû dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanaya berarti diam. Itulah sebab pisau dinanamakan sikîn, karena bila diarahkan ke leher hewan ketika menyembelih hewan tersebut akan diam; 2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap secara tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan muda-muda di mana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap. 3) Rahmah yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/ mawaddah. Dalam perjalananan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan maka rahmahnya semakin naik, sedang mawadahnya semakin turun. 44
al-Qur’an surat al-Rum ayat 21, berbunyi:
(٢١ : )اﻟﺮ ّ وم
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
35
b. Menurut al-Hadits Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut al-Hadits. Pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga farâj (kemaluan). Itulah makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan.45 Kedua, sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat islam melalui perkawinan yang jelas. secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu yang Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian walaupun jumlahnya besar jika kualitasnya rendah tetap saja Nabi mencelanya46. Disitulah kandungan makna bahwa kualitas sangat diperlukan.47 c. Menurut akal Menurut akal yang sederhana, ada tiga yang dituju perkawinan; Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternaya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah 45
Haditsnya berbunyi:
ْ ﯾَﺎ ﻣ َ ﻌ ْ ﺸ َﺮ َ اﻟﺸﱠﺒَﺎبِ ﻣ َﻦ ِ اﺳ ْ ﺘَﻄَﺎع َ ﻣ ِ ﻨْﻜ ُ ﻢ ُ اﻟْﺒَﺎء َ ةِ ﻓَﻠْﯿَﺘَﺰ َ و َ ج ْ ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ أَﻏ َﺾ ﱡ ﻟِﻠْﺒَﺼ َ ﺮِ و َ أَﺣ ْ ﺼ َ ﻦ ُ ﻟِﻠْﻔَﺮ ْ وجَِ ﻣ َﻦ ْ ﻟَﻢ ْ ﯾَﺴ ْ ﺘَﻄ ِ ﻊ ( ) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ. ٌ ﻓَﻌ َ ﻠَﯿْﺢِ ﺑِﺼ َ ﻮ ْ م ِ ﻓَﺈﻧﱠﮫُ ﻟَﮫُ وِﺟ َ ﺎء
Artinya: “wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaklah kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, maka hendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (H.R. Mutafaq ‘Alaih) 46
Hadits: akan datang suatu zaman di mana umat islam seperti buih di pantai (banyak tidak mempunyai kekuatan). 47
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo, h. 89.
36
nyatakan untuk kita (manusia).48 Bila orangnya sedikit maka banyak yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan.49 Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban, keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentunya akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besarnya bencana.50 Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika orang itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung peninggalan tersebut. Untuk tetribnya para ahli waris harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.51 2. Menurut hukum positif Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat (2), perkawinan didefinisikan “ikatan 48
al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 29 berbunyi:
(٢٩ : )اﻟﺒﻘﺮة....
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” 49
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo h. 90.
50
Ibid., h. 91.
51
Ibid., h. 91.
37
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.52 Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini jelas bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tapi juga memiliki unsur batin/rohani. Menurut Kompilasi Hukum Islam tujuan dari perkawinan tercantum dalam pasal 3 KHI yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakînah, mawaddah dan rahmah (tentram, cinta dan kasih sayang)”. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suamiisteri saling bantu-membantu serta saling lengkap-melengkapi. Kedua, masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
dan
untuk
pengembangan kepribadian itu suami-isteri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh bangsa Indonesia adalah keluarga yang bahagia yang sejahtera spiritual dan material.
52
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (2).
BAB III DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR A. Pengertian Nikah di Bawah Umur dan Dispensasi Nikah 1. Pengertian Nikah di bawah umur Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat. Ta’rîf (pengertian) perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau
mitsâqan
ghalîzan
untuk
menaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan mewujudkan rumah tangga yang sakînah, mawaddah dan rahmah.1 Banyak sekali dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang menganjurkan agar manusia untuk menikah. Sabda Nabi Muhammad SAW:
ُ ﯾَﺎ ﻣ َ ﻌ ْ ﺸ َ ﺮ َ اﻟﺸ ﱠ ﺒَﺎبِ ﻣ َ ﻦ ِ اﺳ ْ ﺘَﻄَﺎع َ ﻣ ِ ﻨْﻜ ُ ﻢ ُ اﻟْﺒَﺎء َ ةِ ﻓَﻠْﯿَﺘَﺰ َ و َ ج ْ ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ أَﻏ َﺾ ﱡ ﻟِﻠْﺒَﺼ َ ﺮِ و َ أَﺣ ْ ﺼ َﻦ 2
( ) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ. ٌ ﻟِﻠْﻔَﺮ ْ جِ و َ ﻣ َﻦ ْ ﻟَﻢﺘَ ْﻄﯾَِﺴﻊ ْ ﻓَﻌ َ ﻠَﯿْﺢِ ﺑِﺼ َ ﻮ ْ م ِ ﻓَﺈﻧﱠﮫُ ﻟَﮫُ وِﺟ َ ﺎء
Artinya: “wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaklah kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, maka hendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (Mutafaq ‘Alaih) Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi para “pemuda” (al-Syabâb), bukan orang dewasa (al-Rijâl) atau orang tua (al1
Perkawinan di bawah umur, www.lawskripsi.com/index.php?option=com.
diakses
2
pada
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtârul Ahâdits, h. 517.
38
24
mei
2011
dari:
http:
39
syuyukh). Hanya saja seruan tersebut tidak disertai indikasi (qarînah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalâb ghairu jâzim), alias sunnah (mandûb).3 Menurut kitab-kitab fiqih klasik atau yang sering disebut “kitab kuning” menyebut perkawinan muda/pernikahan dini dengan istilah nikah alShaghîr/al-Shaghîrah. Sementara kitab-kitab fiqih kontemporer menyebutnya dengan istilah al-zawâj al-mubakkir (perkawinan dini).4 Shaghîr/Shaghîrah, secara literatur berarti kecil, akan tetapi yang dimaksud disini adalah laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Pada anak laki-laki ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilâm, yaitu keluarnya sperma (air mani), baik dalam mimpi maupun keadaan sadar. Sementara pada anak perempuan, ketentuan baligh ini ditandai dengan menstruasi atau haid. Ketentuan baligh bagi perempuan juga bisa dikenakan sebab mengandung (hamil). Dalam literatur fiqih Islam, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan. Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan orang yang sudah tua dipandang sah sepanjang memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana sah bagi anak-anak yang masih kecil.5 3
H S A al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 5.
4
Hussein Muhammad, Fiqh Perempuan, cet II (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 89
5
Asrorun Ni’am Sholeh, Pernikahan Usia Dini Perspektif Fiqih Munakahat. Dalam Kumpulan Makalah Materi Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III (Jakarta: Tim Materi Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonnesia, 2009), h. 101.
40
Batasan mengenai kecil di sini, merujuk pada beberapa ketentuan fiqih bersifat kualitatif, yakni anak yang belum baligh dan secara psikis belum siap menjalankan tanggung jawab kerumahtanggaan. Sementara dalam perspektif hukum positif yakni anak yang masih di bawah umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan (merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).6 Mengenai praktek pernikahan dini sendiri telah lama dilakukan baik oleh para sahabat-sahabat Rasulullah maupun Rasulullah sendiri. Pernikahan usia dini dilakukan Rasulullah SAW. Ketika menikahi ‘Â’isyah ketika berumur 6 tahun yang kemudian beliau kumpuli setelah berumur 9 tahun, hal ini terdapat pada hadits riwayat al-Bukhârî:
ْ ﺗُﻮ ُ ﻓِﯿﱠﺖ: َ ﺣ َ ﺪ ﱠ ﺛَﻨِﻲ ﻋ ُ ﺒَﯿْﺪ ُ اﺑْﻦ ُ إِﺳ ْ ﻤ َﺎﻋ ِ ﯿْﻞ َ ﺣ َ ﺪ ﱠ ﺛَﻨَﺎ أَﺑُﻮ اُﺳ َﺎ ﻣ َ ﺔَ ﻋ َﻦ ْ ھِﺸ َﺎم ٍ ﻋ َﻦ ْ أَﺑِﯿْﮫِ ﻗَﺎل َ ﺠ َ ﺔَ ﻗَﺒﺧْﻞ َ ﺪ ِ ﯾْﻣ َﺨ ْ ﺮ َ جِ اﻟﻨَﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ إِﻟَﻰ اﻟْﻤ َ ﺪ ِ ﯾْﻨَﺔِ ﺑِﺜَﻼَثِ ﺳ ِ ﻨِﯿْﻦ َ ﻓَﻠَﺒِﺚ ُ ﺳ َ ﻨَﺘَﯿْﻦ ِ أَو ْ ﻗَﺮِﯾْﺒًﺎ ﻣ ِﻦ ْ ذ َ ﻟِﻚ َ و َ ﻧَﻜ َ ﺢ َ ﻋ َﺎﺋِﺸ َ ﺔَ ﺑِﻨْﺖ ُ ﺳ ِﺖ ﱢ ﺳ ِ ﻨِﯿْﻦ َ ﺛُﻢ ﱠ ﺑَﻨَﻰ ﺑِﮭَﺎ و َ ھِﻲ َ ﺑِﻨْﺖ 7
(ﺗِﺴ ْ ﻊِ ﺳ ِ ﻨِﯿْﻦ َ )روه اﻟﺒﺨﺎرى
Artinya: “disampaikan kepada kami al-Bukhârî oleh ‘Ubaid ibn Ismâ’il, yang mendengar dari Abu Usamah, dari Hisyâm, dari ayahnya (yang bernama Urwah) yang berkata: “Khadîjah meninggal dunia tiga tahun sebelum Nabi SAW. Hijrah ke madînah, dan Nabi menduda selama dua tahun atau mendekati dua tahun sebelum hijrah, setelah itu ‘Â’isyah menikah (dengan Nabi) pada umur enam tahun dan tinggal serumah (dengan Nabi SAW.) tatkala ia berumur sembilan tahun.” 6
Ibid., h. 102.
7
Shahîh Bukhârî, Jilid IV, Kitâb Manâkib Ansâr, Bab Perkawinan ‘Â’isyah. No. 3896, h. 252
41
Contoh lain pernikahan pada usia anak-anak adalah ‘Âlî bin Abî Tâlib mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kulsum dengan ‘Umâr ibn Khattâb, saat itu Ummi Kulsum masih muda. Kakek Rasulullah SAW. (‘Abdul Mutâlib) yang menikah dengan Hâlah binti Ummu Amînah pada hari di mana ‘Abdullâh, anak beliau yang masih terkecil menikah dengan seorang gadis seusia Hâlah, yaitu Amînah binti Wahâb. ‘Umâr bin Khattâb menikah dengan anak perempuan ‘Âlî bin abî Tâlib, sedang ia sebaya dengan usia kakeknya. ‘Umâr bin Khattâb menawarkan anak perempuannya Hafsâh kepada Abû Bakar Siddiq, yang mana jarak keduanya tak jauh beda dengan usia Rasulullah SAW. dengan usia ‘Â’isyah.8 Dalam kitab al-‘Umm Imâm al-Syâfî’î berpendapat bahwa tidak boleh dikawinkan anak yang perempuan yang masih kecil yang belum dewasa oleh seseorang selain oleh bapak atau kakek. Kalau dikawinkan juga maka perkawinan itu dibatalkan.9 2. Pengertian Dispensasi Nikah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi biasanya dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh pembuat Undang-Undang. Sedangkan menurut
170.
8
Ummu Aisyah. ‘Â’Isyah Saja Nikah Dini (Solo, CV. Pustaka Arafah, 2008), h. 81.
9
Imâm al-Syâfî’i, al-‘Umm, jilid VII. Penerjemah. H. Ismail Yaqub (Semarang: 1986), h.
42
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, dispensasi adalah penetapan yang sifatnya diklaratoir, yang menyatakan bahwa suatu ketentuan UndangUndang memang tidak berlaku bagi kasus yang diajukan oleh seorang pemohon.10 Dikatakan juga oleh Subekti dan Tjitrosubodo, dispensasi artinya penyimpangan atau pengecualian dari suatu perintah.11 Dalam pernikahan dianut adanya sikap dewasa dari masing-masing pasangan suami isteri, oleh karena itu salah satu persyaratan pernikahan adalah memenuhi ketentuan batas usia seperti yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.12 Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.13 Namun dalam hal mendesak dan amat penting adakalanya dirasa perlu untuk mempersamakan seorang anak yang masih di bawah umur dengan seorang yang sudah dewasa, agar anak tersebut dapat bertindak sendiri dalam 10
C.S.T Kansil dan Christine S.T kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu. Cet ke-2 (Jakarta: PT. Surya Multi Grafika, 2001), h. 52. 11
Subekti, dkk, Kamus Hukum. cet ke-4 (Jakarta: Pramita, 1979), h. 40.
12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1).
13
KHI (Kompilasi Hukum Islam). Pasal 15 Ayat (1).
43
hal-hal tertentu. Oleh karena itu dalam masalah pernikahan diadakan peraturan tentang proses persamaan status bagi anak yang masih di bawah umur dengan orang yang sudah dewasa yaitu melalui proses “Dispensasi Nikah”. Dispensasi nikah itu sendiri mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (2); “Dalam Hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi nikah ke Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.” Yang dimaksud dengan Pengadilan di sini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan kompetensi Peradilan Agama. B. Batas Usia Perkawinan Islam mengenai masalah perkawinan di bawah umur dalam nash alQur’an dan as-Sunnah tidak memberikan batasan yang sangat tegas terkait umur minimal seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan. Ulama Fiqih klasik juga tidak memberikan batasan yang begitu tegas tentang batas umur (baligh) tersebut. Secara global Ulama Fiqih hanya mensyaratkan adanya faktor kedewasaan antara kedua belah pihak tanpa adanya rincian yang sangat jelas dan tegas tentang manifestasi kedewasaan tersebut dalam bentuk batas umur.14 14
318.
Muhammad Jawâd Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2001), h. 317-
44
Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam pernikahan adalah 15 tahun, sedangkan Imâm Abû Hanîfah berpendapat batas usia tersebut adalah 17/18 tahun.15 Ibnu Syubrûmâh, Abû Bakar al-Ashâm, dan Utsmân al-Batti memiliki pandangan lain yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Mereka berpandangan bahwa laki-laki ataupun perempuan tidak bisa dinikahkan sebelum mereka mencapai usia baligh dan melalui persetujuan dari yang berkepentingan secara eksplisit dalam hal ini adalah anak yang dinikahkan tersebut. 16 Dasar hukum yang mereka gunakan adalah al-Qur’an surat an-Nisa ayat 6 yang berbunyi:
(٦ : )اﻟﻨّﺴﺎٓء...
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya.(Q.S. an-Nisa: 6). Menurut mereka jika anak-anak belum cukup umur boleh dinikahan sebelum berusia baligh maka apa jadinya arti ayat ini. Selain itu mereka juga
15
Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan. h. 90
16
Ibid., h. 94.
45
belum membutuhkan untuk kawin. Ibnu Syûbrûmah, mengatakan lebih lanjut: “ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil kecuali apabila telah baligh dan mengizinkannya”.17 Selanjutnya mengenai pernikahan Rasulullah SAW. dengan ‘A’̂isyah, Ibnu Syûbramâh berpendapat bahwa itu merupakan hal yang tidak bisa dijadikan hujjâh (alasan), karena pernikahan tersebut merupakan pengecualian atau suatu kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak diberlakukan bagi umatnya. Mengenai pernikahan di bawah umur, Imâm al-Ghazâlî menekankan agar seorang isteri harus terlepas dari hambatan yang menyebabkan tidak halal untuk dikawini oleh seorang calon suami, yaitu dalam kalimat: 18
ِن ْ ﺗَﻜ ُﻮ ْ أَن ُ ﺛَﯿْﺒًﺎ ﺻ َ ﻐ ِ ﯿْﺮ َ ةً ﻓَﻼَ ﺗَﺼ ِﺢ ﱡ ﻧِﻜ َﺎﺣ ُ ﮭَﺎ إِﻻﱠ ﺑَﻌ ْ ﺪ َ اﻟْﺒُﻠُﻮ ْ غ
Artinya: “seseorang janda yang belum cukup umur (belum dewasa/baligh) dalam kedewasaannya ini tidak sah nikahnya kecuali setelah baligh. Dalam kalimat ini menjelaskan bahwa al-Ghazâlî sangat menekankan pernikahan dilaksanakan ketika seorang calon suami atau isteri ini harus baligh. al-Ghazâlî tidak menentukan batas usia secara jelas akan tetapi hanya memberikan batasan baligh dengan diitandainya tumbuhnya bulu ketiak yang merupakan bukti balighnya seseorang.19
17
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan. h. 95.
18
Abû Hamîd Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Juz II, h. 40
19
Muhammad Jawâd Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab. h. 317.
46
Akan tetapi Imam asy-Syâfi’î yang merupakan pelopor madzhâb yang diikuti al-Ghazâlî, dalam hal ini (batas usia dewasa) membatasi usia baligh untuk laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun.20 Sedangkan dalam hukum positif Indonesia mengemukakan bahwa batasan usia pernikahan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.21 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan mengenai batasan usia dalam pernikahan adalah sesuai dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.22 Ketentuan batas umur ini seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan Undang-Undang Perkawinan, bahwa calon suami dan calon isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.23
20
Ibid,. h. 317.
21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 5. 22
Ibid., h. 233.
23
.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 76
47
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang rendah bagi wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. sehubungan dengan itu maka UndangUndang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi pria dan wanita.24 Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihâdiyyah, sebagai usaha pembaharuan fiqih yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar’i-nya mempunyai landasan yang kuat. Misalnya isyarat Allah SWT. Dalam surat an-Nisa ayat 9:
(٩ : )اﻟﻨّﺴﺎٓء
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (Q.S. an- Nisa: 9). Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan pasangan yang berusia muda di bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Secara metodologis, langkah usia perkawinan didasarkan maslahat murslah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihâdî, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya apabila karena sesuatu dan 24
Ibid., h. 77.
48
lain hal perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurangkurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, Undang-Undang tetap memberi jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi nikah kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita”. Dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya, jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin orang tua dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin Pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.25 C. Sebab-Sebab Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur Menikah sebelum cukup usia ternyata masih banyak terjadi di kota maupun di daerah-daerah di Indonesia. Budaya perjodohan bahkan sejak anak 25
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. h. 233.
49
perempuan belum lulus SD atau SMP, masih dilakukan banyak orangtua, terutama yang tinggal di Pedesaan. Pernikahan dini yang dilakukan anak-anak usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada 2006 – 2010, jumlah anak menikah usia dini (menikah di bawah usia 17 tahun) masih meningkat walaupun persentasenya naik turun. Ada beberapa penyebab terjadinya pernikahan anak usia dini. DR Sukron Kamil, salah seorang peneliti dari UIN menyatakan, 62 persen wanita menikah karena hamil, 21 persen pernikahan karena ingin memperbaiki ekonomi dan keluar dari kemiskinan dan sisanya karena dipaksa orangtua dan karena status sosial.26 Perkawinan usia muda tidak hanya terjadi di desa-desa, tetapi juga di kota-kota dengan sebab yang sama. Terlebih lagi di kota besar sekarang ini sering terjadi perkawinan di bawah umur karena kecelakaan (zinâ) atau si gadis dilarikan oleh pacarnya. Jadi perkawinan hanya sebagai usaha untuk menutup tantangan dan aneka macam kemesuman karena kebebasan pergaulan.27 Banyak faktor yang melatarbelakangi perkawinan di usia muda. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dan Suryono disebabkan oleh: 1. Masalah ekonomi keluarga
26
Syukron Kamil, “Penyebab Pernikahan di Bawah Umur”. Diakses pada 24 mei 2011 diakses dari http://www.kainsutera-penyebab-pernikahan-di-bawah-umur.html 27
Aisyah Dahlan, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari (Jakarta: PT. Pustaka Antara, 1996), h. 39
50
2. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya. 3. Bahwa dengan adanya perkawinan anak- anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan dan sebagainya).28 Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita, yaitu:29 1. Ekonomi Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mau. 2. Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecendrungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. 3. Faktor orang tua Orang tua khawatir terkena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. 28
umm.ac.id/ 29
Sebab-sebab pernikahan dini. Diakses pada 24 Mei 2011 dari: http: //alfiyah2 3.student. Ibid.
51
4. Media massa Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern kian permisif terhadap seks. 5. Faktor adat Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SERANG A. Potret Pengadilan Agama Serang 1. Kondisi geografi Posisi
: 50050"; - 60021" LS; dan 10050 7" - 10060 22" BT
Wilayah
: 172,403.75 Ha, dengan 32 Daerah dan 351 Desa
Batas Wilayah
: Utara
: Laut Jawa
Timur
: Kabupaten Tangerang
Barat
: Kota Cilegon dan Kabupaten Pandeglang
Selatan
: Kota Lebak
Temperatur Iklim : 22.10C - 32.70 C1 2. Sekilas tentang Pengadilan Agama Serang Pengadilan Agama Serang merupakan Pengadilan Agama provinsi karena terletak di Ibukota Provinsi Banten. Secara historis Pengadilan Agama Serang merupakan Pengadilan Agama yang sangat erat kaitannya dengan sejarah Banten di masa lalu.2 Eksistensi Pengadilan Agama Serang secara lembaga formal diketahui ada sejak sebelum tahun 1933, bahkan jauh sebelum tahun 1933 yaitu pada 1
Kondisi Geografis Pengadilan Agama Serang. Diakses pada 24 Mei 2011 dari http:/paserang.net-profil 2
Ibid.
52
53
tanggal 1 agustus 1982 pernah ditetapkan sebagai Peradilan Agama di Indonesia (Jawa dan Madura) khususnya Pengadilan Agama Serang. Perkara-perkara yang diajukan pada Pengadilan Agama Serang dari ke tahun ke tahun berjalan secara konstan. Mengenai kelas Pengadilan, berdasarkan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 039/SEK/SK/IX/2008. Pengadilan Agama Serang yang berada di wilayah Ibukota
provinsi, mendapatkan kenaikan status kelas yang
tadinya masih berstatus kelas II kini Pengadilan Agama Serang berstatus kelas I B. 3. Ketenagaan (kekuatan SDM) Pengadilan Agama Serang Sumber daya manusia (pegawai, termasuk hakim) yang ada pada Pengadilan Agama Serang tahun 2009 terdiri dari; satu (1) orang Ketua, satu (1) orang Wakil Ketua, sebelas (11) orang hakim, satu (1) orang Panitera / Sekretaris / Jurusita, satu (1) orang Wakil Sekretaris, tiga (3) orang pejabat kesekretariatan (Plt. Kaur Umum, Kaur Kepegawaian, dan Plt. Kaur Keuangan), empat (4) orang pejabat kepaniteraan (Wakil Panitera, Panmud Permohonan, Panmud Permohonan, Panmud Hukum), tujuh (7) orang juru sita pengganti yang merangkap tenaga administrasi, serta satu (1) orang panitera pengganti. Sedangkan untuk tenaga honorer yang dibiayai DIPA, Pengadilan Agama Serang memiliki 5 orang.3 3
Ibid.
54
B. Prosedur Permohonan Dispensasi Nikah dan Posisi Kasus 1. Prosedur permohonan dispensasi nikah Salah satu bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Agama adalah pemberian dispensasi nikah bagi anak yang masih di bawah umur sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (2). Bentuk perkara di Pengadilan Agama ada 2 (dua) macam, yaitu; perkara gugatan (kontentius) dan perkara permohonan (voluntair). Prosedur pengajuan perkara permohonan sama dengan prosedur mengajukan gugatan. Adapun mekanisme pengajuan perkara permohonan di Pengadilan Agama Serang adalah sebagai berikut: 1) Meja 1, menerima surat permohonan yang berisi, Identitas para pihak, fundamentum petendi/posita, petitum, menaksir panjar biaya perkara dan menuliskannya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).4 Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan secara prodeo (cuma-cuma). 2) Kasir, pemohon menyerahkan surat permohonan dan SKUM. Kasir kemudian; menerima uang tersebut dan mencatat jurnal perkara, menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada SKUM,
mengembalikan
surat
permohonan dan SKUM kepada
pemohon. 4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 8.
55
3) Meja 2, mendaftar permohonan dalam register, memberi nomor perkara dengan nomor SKUM, menyerahkan kembali kepada penggugat atau pemohon satu lembar surat gugatan atau permohonan yang telah terdaftar, mengatur berkas perkara dan menyerahkannya pada wakil panitera untuk disampaikan ke Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.5 4) Ketua Pengadilan Agama, mempelajari berkas dan Membentuk PMH (Penetapan Majelis Hakim). 5) Panitera,
menunjuk
panitera
sidang
dan
menyerahkan
berkas
permohonan/gugatan ke majelis. 6) PMH (Penetapan Majelis Hakim), membuat PHS (Penetapan Hari Sidang), memanggil para pihak melalui juru sita dan menyidangkan perkara. 7) Meja 3, menerima berkas dari majelis hakim, memberitahukan isi putusan kepada pihak-pihak lewat jurusita, memberitahukan ke meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas mereka, menetapkan kekuatan hakim, menyerahkan salinan putusan kepada pemohon dan instansi terkait, menyerahkan berkas kepada panitera muda. 8) Panitera muda, mendata perkara, melaporkan dan mengarsipkan. 2. Posisi kasus Berdasarkan surat yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Serang dengan nomor perkara 124/Pdt.P/2010/PA.Srg tertanggal 2 Juli 2010, 5
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Di Pengadilan Agama h. 28.
56
Bahwa Aan Siti Nurjahan binti H. M. Saleh Djian, umur 42 tahun, pekerjaan urusan rumah tangga, alamat di Jl. Tb. Suwandi, Gang Perintis No. 72, RT. 02 RW. 016, kelurahan Serang, Kecamatan Serang, Kota Serang, bertindak selaku ibu kandung mewakili anak kandungnya atas nama Salman Ahmad bin Aang Edwin, SE., umur 17 tahun (lahir 03 Juli 1993), agama Islam, pekerjaan pelajar, selanjutnya disebut pemohon, mengajukan permohonan dispensasi kawin untuk anak kandungnya dengan dalil sebagai berikut; 1. Bahwa, anak kandung pemohon yang bernama SALMAN AHMAD bin AANG EDWIN, SE masih dibawah umur untuk melakukan perkawinan, yaitu masih berusia 17 tahun (lahir 03 Juli 1993), oleh karena itu pemohon (AAN SITI NURJAHAN, BE binti H. M. SALEH DJIAN) selaku orang tua kandung yang mengajukan perkara ini. 2. Bahwa, pemohon bermaksud akan mengawinkan anak tersebut dengan seorang perempuan yang bernama ALANIA FAJRINA MASHRIQIS BARUS binti ATAUR RAZZAQ BARUS (umur 18 tahun) pada hari sabtu tanggal 3 Juli 2010. 3. Bahwa, antara anak kandung pemohon dan calon istrinya tidak ada larangan untuk melangsungkan perkawinan menurut ketentuan hukum Islam kecuali anak pemohon masih berumur 17 tahun dan belum mencapai batas minimal (19 tahun bagi seorang calon suami). 4. Bahwa, pemohon dengan calon istrinya telah menghadap di PPN KUA Kecamatan Serang tetapi ditolak secara lisan dan menganjurkan
57
mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang. 5. Bahwa, keadaan yang mendesak untuk anak tersebut agar dinikahkan oleh karena telah suka sama suka dan selalu bersama dan dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam Agama dan Undang-undang. 6. Bahwa, pemohon telah dapat bertanggung jawab, bersikap dewasa dan karena umurnya 17 tahun dan setelah perkawinan orang tua bertanggung jawab atas nafkah mereka. Berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Serang Cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi: 1.
Mengabulkan permohonan pemohon;
2.
Memberikan izin dispensasi kawin kepada anak pemohon;
3.
Memerintahkan kepada Kepala KUA Kecamatan Serang, Kota Serang untuk mengawinkan anak pemohon
4.
Membebankan biaya perkara menurut hukum; Atau, Apabila pengadilan berpendapat lain, mohon menjatuhkan penetapan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, pemohon, anak pemohon, orang tua calon istri serta calon istri anak pemohon telah hadir sendiri menghadap di persidangan.
58
Menimbang, bahwa pemeriksaan perkara ini dilakukan dalam persidangan terbuka untuk umum, majelis hakim memberikan nasehat agar pemohon mengurungkan niatnya dan bersabar menunggu usia anak pemohon mencapai 19 tahun, tetapi tidak berhasil, kemudian dibacakan permohonan pemohon, yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon. Menimbang, bahwa atas permohonan pemohon tersebut, anak pemohon dan calon suaminya telah memberikan keterangan yang pada pokoknya mempertegas dan mendukung dalil-dalil permohonan pemohon. Menimbang, bahwa disamping anak Pemohon dan calon istrinya tersebut, telah dihadirkan juga orang tua calon istri anak pemohon yang bernama Busroh Hamidah, agama Islam, pekerjaan Tidak bekerja, tempat tinggal di Kampung Babakan, RT. 03 RW. 04, Kelurahan Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, menyatakan telah mengijinkan anaknya untuk dinikahkan. Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonan, pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa: 1) Bukti Tertulis, fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), atas nama pemohon (Aan Siti), fotokopi Kartu Keluarga atas nama kepala keluarga (Aang Edwin, SE), fotokopi Surat pemberitahuan keinginan nikah kepada KUA Kecamatan Serang, fotokopi Surat keterangan untuk nikah atas nama Salman Ahmad, fotokopi Surat keterangan Asal usul atas nama Salman Ahmad, fotokopi Surat keterangan tentang orang tua yang
59
menerangkan bahwa Aang Edwin, SE dan Aan Siti Nurjahan, BE adalah orang tua kandung dari Salman Ahmad, fotokopi Daftar Pemeriksaan Nikah dengan Nomor 786/12/VII/2010 atas nama Salman Ahmad, fotokopi Surat Keterangan, fotokopi Kutipan Akta Kelahiran dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), atas nama Alania Fajrina Mashriqis. 2) Bukti Saksi, dua orang saksi yang telah memberikan keterangan secara terpisah dan di bawah sumpah. C. Pertimbangan Hukum Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 Ayat (1) tentang kewajiban hakim yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa kedilan yang hidup di masyarakat.6 Pada
pengajuan
dispensasi
kawin
perkara
Nomor.
124/Pdt.P/2010/PA.Srg. tertanggal 2 Juli 2010 yang telah terdaftar di Kepanitaraan Pengadilan Agama Serang telah memenuhi syarat-syarat baik formil maupun materil yang sesuai dengan prosedur permohonan yang berlaku di Pengadilan Agama, maka Majelis Hakim Menimbang; - Maksud dan tujuan pemohon sebagaimana yang telah diuraikan. - Bahwa pada hari sidang yang telah para pihak telah hadir. - Dalam hal pembuktian pemohon, Majelis hakim mempertimbangkan bahwa, 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Tamita Utama, 2004), h. 10.
60
bukti surat P. 1. hitam berupa Kartu Tanda Penduduk dapat membuktikan bahwa pemohon adalah pemohon yang benar. - Majelis hakim telah menasehati Pemohon agar pernikahan anaknya ditunda menunggu cukup umur (19 tahun), akan tetapi tidak berhasil. - Berdasarkan posita angka 1 (satu) yang didukung dengan bukti P.2. hitam berupa Fotokopi Kartu Keluarga pemohon dapat mengajukan permohonan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama Serang untuk anaknya tersebut. - Berdasarkan keterangan pemohon dan diperkuat dengan keterangan anak kandung pemohon dan Bukti Surat P.6.hitam berupa Fotokopi Akta Kelahiran, terbukti anak pemohon berumur 17 tahun, dalam hal ini belum cukup umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. - Oleh karena anak pemohon masih berumur kurang dari 19 tahun, maka berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, untuk dapat melangsungkan perkawinan harus mendapatkan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. - Keterangan saksi I terdapat keterangan yang sama dan bersesuaian dengan dalil-dalil permohonan pemohon diperkuat dengan bukti-bukti surat P.3.a hitam – P.3. d.hitam serta bukti surat P. 4. Hitam. - Menghubungkan keadaan yang terjadi, keduanya tidak ada halangan perkawinan maka untuk menghindari atau mencegah terhadap perbuatan yang tercela dan melanggar agama dengan prinsip menutup pintu kejahatan (Saddu Zar’iyyah), maka majelis hakim memandang anak pemohon tersebut dapat
61
dipandang dewasa dan majelis hakim patut memberikan dispensasi nikah. - Untuk kepentingan tersebut di atas, maka Pengadilan Agama Serang perlu mengeluarkan Penetapan Dispensasi nikah kepada anak pemohon dengan berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo pasal 6 (e) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. - Keterangan pemohon serta alat bukti yang tidak relevan dengan pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut. - Bahwa perkara ini voluntaire sifatnya ex-parte, seluruh kepentingan ada pada pemohon sehingga biaya perkara seluruhnya dibebankan kepada pemohon yang jumlahnya akan disebutkan dalam diktum penetapan di bawah nanti. Memperhatikan pasal-pasal perundang-undangan serta hukum syar’i yang berkenaan dengan perkara ini, maka majelis hakim
menjatuhkan diktum
penetapan sebagai berikut : MENETAPKAN 1.
Mengabulkan permohonan pemohon.
2.
Memberikan izin dispensasi nikah kepada anak pemohon yang bernama SALMAN AHMAD bin AANG EDWIN, SE (umur 17 tahun/lahir tanggal 3 Juli 1993) untuk melangsungkan perkawinan dengan perempuan bernama ALANIA FAJRINA MASHRIQIS BARUS binti ATAUR RAZZAQ BARUS (umur 17 tahun/lahir tanggal 18 Agustus 1992).
62
3.
Memerintahkan kepada Kepala KUA Kecamatan Serang, Kota Serang untuk mengawinkan anak pemohon tersebut dengan perempuan bernama ALANIA FAJRINA MASHRIQIS BARUS binti ATAUR RAZZAQ BARUS.
4.
Membebankan seluruh biaya perkara ini kepada pemohon, yang jumlahnya sebesar Rp. 141.000,- (Seratus empat puluh satu ribu rupiah),Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan majelis
hakim Pengadilan Agama Serang pada hari Selasa, tanggal 6 Juli 2010 M/ bertepatan dengan tanggal 23 Rajab 1431 H., oleh kami Drs. H. Ambo Asse, S.H., MH, sebagai ketua majelis, Drs. Nashruddin, SH dan Drs. Moch. Tadjuddin, masing-masing sebagai hakim anggota dengan dibantu oleh Ade Ahmad Hanif, SHI sebagai panitera pengganti, putusan tersebut diucapkan oleh ketua majelis dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri para hakim anggota tersebut dan dihadiri pula oleh pemohon. D. Analisis Penulis Dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Serang dalam memutus perkara dispensasi nikah kawin adalah berdasarkan bukti-bukti serta dalil-dalil pemohon. Dan selain menggunakan dasar hukum yang terdapat dalam Undang-Undang, majelis hakim juga menggunakan dasar hukum dari sumber hukum Islam. Berdasarkan syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan baik menurut hukum Islam maupun perundang-undangan telah terpenuhi. Sebagaimana penetapan Pengadilan Agama dalam perkara nomor 124/Pdt.P/2010/PA.Srg.
63
Dalam perkara tersebut majelis hakim memberikan penetapannya berdasarkan bahwa pernikahan mereka dapat segera dilaksanakan berhubung karena di antara para pemohon telah suka sama suka dan selalu bersama dan dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam Agama maupun Undang-Undang. Bahwasannya majelis hakim telah menasehati pemohon agar pernikahan anaknya ditunda menunggu cukup umur (19) tahun, akan tetapi tidak berhasil, karena pemohon tetap pada pendiriannya yang didukung dengan keterangan pemohon dan diperkuat anak kandung pemohon serta terdapat keterangan dari para saksi yang bersesuaian dengan dengan dalil-dalil permohonan, majelis hakim memandang mereka patut dinikahkan untuk menghindari atau mencegah terhadap perbuatan yang tercela dan melanggar agama di mana keduanya sering bersama, maka dengan prinsip menutup pintu kejahatan (Saddu Zar’iyyah), maka majelis hakim patut memberikan dispensasi nikah kepada anak kandung si pemohon agar dapat melaksanakan pernikahan yang sah di mata agama dan negara sehingga dapat tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dengan judul “Dispensasi Nikah
bagi
Perkawinan
di
Bawah
Umur
(Analisis
Penetapan
No.
124/Pdt.P/2010/PA.Srg di Pengadilan Agama Serang)”, serta penelitian yang penulis lakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam al-Qur’an secara konkret tidak menentukan batasan usia perkawinan, batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas. Sementara dalam perspektif hukum positif pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh anak-anak yang masih dibawah umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita harus mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua pihak orang tua (UU Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) dan (2)). 2. Prosedur mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Serang secara berurut yaitu; Meja I, Kasir, Meja II, Ketua Pengadilan Agama, Majelis Hakim, Panitera, Majelis Hakim, Meja III dan Panitera Muda. 3. Majelis Hakim Pengadilan Agama Serang pada penetapan perkara No. 124/Pdt.P/2010/PA.Srg. dengan pertimbangannya berdasarkan bukti-bukti yang ada mengabulkan permohonan pemohon untuk mendapatkan dispensasi nikah bagi anaknya.
64
65
B. Saran 1.
Bagi orang tua hendaknya memberikan pendidikan yang baik sejak dini bagi anaknya, memberikan pemahaman agama sebagai pedoman hidup dan memberi perhatian lebih terhadap segala perilaku putra/putrinya sehari-hari baik di dalam maupun di luar rumah agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang syari’at.
2.
Harus adanya sosialisasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang lebih dari pemerintah dan andil dari para tokoh masyarakat baik ulama, dosen dan guru dengan mensosialisasikan kitab-kitab ataupun dengan pengajian-pengajian atau seminar yang berkaitan dengan perkawinan di bawah umur.
3.
Tentang dispensasi nikah perlu dimasukkan dalam kurikulum fiqih Tsanawiyah/SMP atau Aliyah/SMA
yang membahas tentang perkawinan,
yang memberikan pemahaman terhadap pengertian perkawinan, tujuan, hikmah dan syarat sehingga hal ini dapat menekan laju jumlah perkawinan di bawah umur.
DAFTAR PUSTAKA al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2006. Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama UU RI Tahun 2006. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006. Arto, H. A. Mukti. Praktek Perkara pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. as-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam, 2004. Bisri, MS. Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Dahlan, Aisyah. Persiapan Menuju Perkawinan yang Lestari. Jakarta: PT. Pustaka Antara, 1996. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Djalil, A. Basiq. Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo; Topik-Topik Pemikiran Aktual, Diskusi, Pengajian, Ceramah, Qhutbah dan Kuliah Subuh. Qalbun Salim, 2006. Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005. Ghazali, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT. Prenada Media, 2006. Ikhsan, Ahmad. Hukum bagi Perkawinan yang Beragama Islam. Jakarta: Pradia, 1986. Kansil, C.S.T, dan Kristin S.T kansil. Kamus Istilah Aneka Ilmu. Jakarta: PT. Surya Multi Grafika, 2001. Karim, Helmi. Kedewasaan untuk Menikah: Problematika Hukum Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. 66
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial RI, 2003. Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Mahkamah Agung RI. Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama Dilengkapi Permasalahan Dan Pemecahannya. Jakarta: PUSDIKLAT PEGAWAI MAHKAMAH AGUNG RI, 2005. Mughniyyah, Muhammad Jawâd. Fiqh Lima Madzhab: Ja’farî, Hanafî, Malikî, Syâfi’î dan Hambalî. Penerjemah, Masykur Abdillah .Dkk. Jakarta: Lentera, 2008. Muhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Muthmainnah, Inna. Pernikahan Dini: Problema dan Solusi: Perspektif Psikologi dan Agama, 07 Mei 2002. Jakarta: BEM UIN Syarif Hidayatullah, 2002. Nuruddin, Amiur dan Azhari Kamal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, No 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004. Tim Penyusun. Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009. Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet ke-3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata: Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007. Rusyd, Ibnu. Bidâyat al-Mujtahid. Jilid 3. Penerjemah, Imam Ghazali Said dan A. Ziddun. Jakarta: Pustaka Amani, 1995. Sâbbiq, Sayyid. Fiqhu as-Sunnah. Penerjemah, Moh. Thalib. Bandung: PT. AlMa’arif, 1990. 67
Soemayati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Yogyakarta: Liberti, 1986. Soebekti, dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Pramita, 1979. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004. Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Tamita Utama, 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam (Beserta Penjelasannya). Bandung: CITRA UMBARA, 2007. Tim Redaksi Fokus media. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan. Bandung: Fokus Media, 2005. Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhâb Syâfi’î, Hanafî, Malikî dan Hambalî. Jakarta: CV. AL-HIDAYAH, 1964.
68
Narasumber : Drs. Moch. Tajuddin (Hakim PA Serang) Rabu, 6 April 11 WAWANCARA 1.
Bagaimana menurut bapak hakim tentang pernikahan di bawah umur? - Perikahan di bawah umur yaitu perkawinan yang calon suami dan istri belum mencapai usia sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.
Dalam pasal 7 ayat (2) diatur jika terdapat penyimpangan pada pasal 7 ayat (1) dengan mengajukan dispensasi nikah, lalu bagaimana menurut bapak hakim mengenai dispensasi nikah? - Dispensasi itu kan rukhsah, jadi jika calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 maka ada pengecualian, sehingga walaupun salah satu atau keduanya belum mencapai batas usia yang ditentukan UU, tapi mereka tetap dapat menikah jika telah mendapatkan izin dari Pengadilan berupa dispensasi nikah.
3.
Pada pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa dispensasi nikah diajukan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal orang yang bersangkutan sesuai dengan kompetensi absolut dan relatif. Lalu siapa yang dimaksud dengan pejabat selain Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh kedua orang tua para pihak tersebut? Apakah ada UU atau Peraturan lain yang mengatur hal ini? 84
- Saya sendiri kurang mengerti maksud dari pejabat lain yang ditunjuk itu selain dari Pengadilan Agama. Itu merupakan kerancuan yang terdapat pada pasal itu karena tidak ada penjelasan dalam pasal itu sendiri maupun dalam pasal-pasal lainnya. 4.
Prosedur apa saja yang harus ditempuh dalam mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama? - Untuk prosedur pengajuannya sama saja dengan pengajuan perkara-perkara lainnya. Baik yang sifatnya gugatan maupun yang sifatnya permohonan. Jadi jika seseorang mau mengajukan permohonan/gugatan itu harus ke meja 1 dulu, lalu ke kasir, meja 2, Ketua Pengadilan Agama, Panitera, meja 3, dan yang terakhir panitera muda. Untuk lengkapnya bisa dilihat di prosedur berperkara yang terpampang di depan bagian umum.
5.
Pertimbangan apa saja yang di ambil oleh majelis hakim terhadap penetapan perkara No: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg? - Ada beberapa pertimbangan yang diambil dalam menentukan penetapan ini, salah satunya adalah saddzu adz-dzarî’at, yaitu upaya yang dilakukan untuk menutup pintu kemungkaran yang mungkin disebabkan dari berpacaran yang begitu lama dan seringnya bersama, hal ini ditakutkan dapat menimbulkan adanya perbuatan yang dilarang oleh syara’. Selain itu juga ada fathu adzdzariâ’t atau kebanyakan ulama mengistilahkan masâlih al-mursalat. Yaitu membuka pintu kemakrufan, maksudnya adalah suatu perbuatan yang tadinya 85
merupakan kemungkaran jika dilakukan setelah perkawinan maka menjadi kemakrufan.
86