DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KELOMPOK MATA PELAJARAN ESTETIKA DAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN BERWAWASAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA UNTUK SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNARUNGU (SDLB-B)
Ketua: Drs. N.S. Vijaya KN, MA
Wakil Ketua: Drs. Jarwadi, M.Pd
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT KURIKULUM JAKARTA, 2010
DAFTAR ISI Hal DAFTAR ISI
I
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
A.
Latar Belakang ….......................................................................... 1
B.
Tujuan ........................................................................................... 2
C.
Ruang Lingkup .............................................................................. 2
D.
Permasalahan.................................................................................. 2
E.
Hasil Yang Diharapkan .................................................................. 3
F.
Keguanaan...................................................................................... 3
BAB II KONSEP PENGEMBANGAN MODEL ............................................ 4 A.
Landasan Yuridis .......................................................................... 4
B.
Landasan Teoritis ……………………………….......................... 4 1. Kelompok Mata Pelajaran ...................................................... 4 2. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa...............................
5
3. Tunarungu...............................................................................
9
4. Bahan Ajar.............................................................................. 17 BAB III PELAKSANAAN ............................................................................... 19 A.
Strategi Pelaksanaan Kegiatan ..................................................... 19
B.
Jadwal Kegiatan …………………………………....................... 19
DAFTAR PUSTAKA
24
i
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar semua peserta didik (termasuk peserta didik berkebutuhan khusus) di sekolah secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan tersebut seyogyanya diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama pada Pasal 5 Ayat (2) bahwa Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, dan Pasal 32 Ayat (1) bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, serta dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 15 menjelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sementara dalam Permendiknas No. 24 tahun 2006 dan perubahannya yang diatur dalam Permendiknas No. 6 tahun 2007 tentang pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan menyebutkan bahwa (1) satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh Balitbang bersama unit utama
1
terkait dan (2) Balitbang mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif. Salah satu tugas Pusat Kurikulum adalah melaksanakan pengembangan modelmodel kurikulum dan pembelajaran pada berbagai satuan pendidikan. Di antaranya adalah pengembangan bahan ajar pendidikan khusus untuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Pengembangan model-model kurikulum dan bahan ajar ini dapat menjadi acuan bagi sekolah untuk memaksimalkan kualitas penerapan kurikulum dan bahan ajar yang digunakan. Dengan demikian, model kurikulum, silabus dan bahan ajar perlu disusun sesuai dengan kondisi, kebutuhan, potensi dan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik yang dapat digunakan sebagai (1) acuan atau referensi bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum, silabus dan bahan ajar dan (2) bahan untuk diadaptasi atau diadopsi oleh satuan pendidikan sesuai kebutuhannya. Berkaitan dengan hal ini, pada tahun tahun 2009 Pusat Kurikulum telah mengembangkan model bahan ajar untuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Tunagrahita. Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2010 akan mengembangkan model bahan ajar kelompok mata pelajaran estetika dan jasmani, olahraga dan kesehatan berwawasan budaya dan karakter bangsa untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB-B). Dalam rangka pengembangan bahan ajar untuk pendidikan khusus ini perlu dilakukan serangkaian kegiatan yang dimulai dari penyusunan desain kegiatan, penyusunan kerangka dan pengembangan model bahan ajar, review model bahan ajar, penyusunan instrumen penilaian, ujicoba model bahan ajar, penelaahan dan perbaikan model bahan ajar, serta diakhiri dengan penyusunan laporan.
B. Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk membantu dalam meningkatkan kemampuan profesional tenaga pendidik dan kependidikan dalam mengembangkan bahan ajar dan dapat diimplementasikan secara efisien dan efektif oleh satuan pendidikan.
2
Melalui model ini dapat dijadikan acuan bagi satuan pendidikan untuk mengembangkan bahan pembelajaran yang lebih sesuai kebutuhan, lebih inovatif dan lebih efektif untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran.
C. Ruang Lingkup Lingkup kegiatan pengembangan model bahan ajar untuk SDLB: 1. Satuan pendidikan
: Sekolah Dasar Luar Biasa
2. Jenis Ketunaan
: Tunarungu
3. Komponen
: Kelompok mata pelajaran Estetika dan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
D. PermasalahanSeperti halnya anak berkebutuhan khusus lainnya, anak berkelainan tunarungu juga belum mendapatkan layanan pendidikan yang optimal. Oleh karena itu, melalui pengembangan model bahan ajar ini dapat dijadikan sebagai upaya memberikan layanan pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik dan kondisinya. Hal ini didasarkan atas permasalahan umum yang dihadapi anak tunarungu yang bersumber dari gangguan atau kelainan pendengarannya, antara lain: 1. Kurangnya kemampuan akademik yang menggunakan kemampuan auditori. 2. Defisit dalam komunikasi verbal. 3. Defisit dalam keterampilan sosial yang menggunakan bahasa verbal. 4. Percaya diri.
E. Hasil Yang Diharapkan Melalui kegiatan ini diharapkan menghasilkan bahan ajar kelompok mata pelajaran estetika dan jasmani, olahraga dan kesehatan berwawasan budaya dan karakter bangsa untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB-B).
3
F. Kegunaan Hasil kegiatan pengembangan model bahan ajar kelompok mata pelajaran estetika dan jasmani, olahraga dan kesehatan berwawasan budaya dan karakter bangsa untuk SDLB Tunarungu ini dapat digunakan oleh berbagai pihak terkait, antara lain: 1. Pusat Kurikulum Melalui hasil pengembangan model bahan ajar pendidikan khusus ini dapat digunakan oleh Pusat Kurikulum dalam menyediakan model-model kurikulum yang dapat dijadikan sebagai acuan atau contoh oleh satuan pendidikan. 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Hasil pengembangan model bahan ajar pendidikan khusus ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan/bagian yang akan dimasukkan dalam rangka pembinaan ke sekolah luar biasa atau sekolah yang berada dibawah binaannya. 3. Satuan Pendidikan Hasil pengembangan model bahan ajar pendidikan khusus ini dapat dijadikan sebagai acuan atau bahan referensi bagi satuan pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya dalam rangka perencanaan dan proses pembelajaran untuk anak tunarungu.
4
LANDASAN
A. Landasan Yuridis Peraturan perundangan yang dijadikan landasan dalam pengembangan model bahan ajar pendidikan khusus ini, antara lain: 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab IV pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 serta bab VI pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh layanan pendidikan khusus. 2. Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah dan Pembagian Kewenangan Pusat dan Propinsi, mengatakan bahwa Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa ada pada Dinas Pendidikan Propinsi. 3. Peraturan Presiden No. 18 tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah 4. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 6. Peraturan Mendiknas No. 32 tahun 2005 tentang Renstra Depdiknas tahun 2005 – 2009 7. Peraturan Mendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi 8. Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan 9. Peraturan Mendiknas No. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, yang disempurnakan dengan Peraturan Mendiknas No. 6 tahun 2007
5
10. Peraturan Mendiknas No. 40 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balitbang Depdiknas 11. Peraturan Mendiknas No. 37 tahun 2007 tentang Rincian Tugas Unit Kerja di lingkungan Balitbang Depdiknas 12. Surat Edaran Mendiknas No. 33/MPN/SE/2007 tentang Sosialisasi KTSP
B. Landasan Teori 1. Kelompok Mata Pelajaran Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bagian Kedua tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pasal 6, menyebutkan antara lain bahwa: (1)
Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d. kelompok mata pelajaran estetika; e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
(4)
Setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik.
(5)
Semua
kelompok
mata
pelajaran
sama
pentingnya
dalam
menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah. (6)
Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Lebih lanjut dijelaskan lagi pada Pasal 7, bahwa:
6
(7)
Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.
(8)
Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/
Paket
A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket
B,
SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.
2. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan
tujuan
pendidikan
nasional
yang
harus
digunakan
dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan
“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan
menjadi
warga
negara
yang
demokratis
serta
bertanggungjawab”. Tujuan pendidikan nasional tersebut adalah rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.
Budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia
7
dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dn keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Kehidupan manusia terus berkembang yang disebabkan oleh perkembangan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan,
ilmu,
teknologi
dan
seni
yang
diakibatkan
oleh
perkembangan dalam berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan. Manusia sebagai mahluk sosial menjadi penghasil dari sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan tersebut tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan terebut. Pendidikan merupakan proses terencana dalam mengembangkan potensi anak didik untuk memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang sudah ada dan mengembangkannya ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau juga kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan mendasari cara pandang, berpikir, sikap, dan cara bertindak orang tersebut. Kebajikan tersebut terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat kepada orang lain. Karakter bangsa terwujud dari karakter masyarakat dan karakter masyarakat terbentuk dari karakter masing-masing anggota masyarakat bangsa tersebut. Pengembangan karakter, atau pembinaan kepribadian pada anggota masyarakat, secara teoretis maupun secara empiris, dilakukan sejak usia dini hingga dewasa. Demikian pula program ”pengembangan karakter bangsa” atau ”pembentukan kepribadian bangsa” sebenarnya
sudah
berlangsung
sejak
kanak-kanak
sampai
yang
bersangkutan tidak lagi berada pada jenjang dan jalur pendidikan formal dan non-formal.
Pembentukan atau pembinaan karakter bangsa terus
berlangsung di masyarakat dalam berbagai lingkungan kehidupan.
8
Budaya dan karakter merupakan hasil dari pendidikan. Budaya dan karakter bangsa Indonesia tecermin dalam Pancasila. Membangun budaya dan karakter harus bertumpu pada pembangunan hati, otak dan fisik. Dengan demikian pendidikan budaya dan karakter bangsa ditekankan pada internalisasi, penghayatan, dan tingkah laku peserta didik. Sebagai suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik, pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi kehidupan mereka, kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk kelangsungan serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Pengembangan yang dilakukan pendidikan adalah melalui proses pengembangan potensi diri setiap peserta didik karena mereka adalah pendukung budaya dan karakter bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu proram pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berfokus pada nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang baik, diperlukan, dan diinginkan oleh masyarakat dan bangsa. Pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan
dan
keunggulan
bangsa
di
masa
mendatang.
Pengembangan tersebut harus dilakukan dengan perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan
metode belajar dan pembelajaran yang
efektif. Sesuai dengan sifat nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah dan oleh karenanya dilakukan secara bersama oleh semua guru, semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada peserta didik dan masyarakat/sekolah.
Pengembangan
nilai-nilai
tersebut
tetap
9
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang aktif mempelajari, menginternalkan, memasukkan nilai dalam sistem nilai yang sudah ada pada dirinya, menjadikan nilai baru tersebut menjadi bagian dari kepribadian dirinya. Nilai-nilai itu terus berkembang selama mereka berada dalam proses pendidikan di sekolah dan masyarakat, dan menjadi dasar untuk mempelajari nilai-nilai baru setelah sepenuhnya berkarya di masyarakat. Dengan perkataan lain, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang mampu membangun bangsa dan negaranya. Adapun NILAI 1. Religius
DESKRIPSI Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai habatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari apa yang telah dimiliki
7. Mandiri
Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8. Demokratis
cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai
10
NILAI
DESKRIPSI sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9. Rasa Ingin Tahu
sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar
10. Semangat Kebangsaan
cara
berpikir,
bertindak,
dan
wawasan
yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara
berfikir,
bersikap
dan
berbuat
yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. 12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
13.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang Bersahabat/Komuni
berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang
katif
lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
11
NILAI 18. Tanggung-jawab
DESKRIPSI Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
terhadap
diri
sendiri,
masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME
Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa tersebut dapat diterapkan dan diintegrasikan dalam program-program sekolah melalui: 1. Pengembangan Diri a. Kegiatan rutin sekolah b. Kegiatan spontan c. Teladan d. Pengkondisian 2. Pengintegrasian dalam mata pelajaran Nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa dikembangkan dalam setiap pokok bahasan dalam mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus. Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini: a. mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum di atas sudah tercakup didalamnya b. menggunakan tabel yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan c. mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel tersebut ke dalam silabus d. mencantumkan nilai-nilai yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP e. mengembangkan
proses
pembelajaran
siswa
aktif
yang
memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai
12
f. memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
3. Budaya Sekolah Budaya sekolah cakupannya sangat luas sekali, umumnya mencakup ritual, harapan, suatu hubungan, demografi, fokus kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar struktur di sekolah. Budaya sekolah kadang-kadang disebut juga iklim sekolah, budaya sekolah lebih kepada menentukan bagaimana seorang siswa berpikir dan bertindak. Konsep budaya mengacu pada sebuah keyakinan bersama kelompok, adat istiadat, dan perilaku.
Didalam budaya sekolah sangat penting untuk memahami dinamika yang berkembang di organisasi dan masyarakat sekolah. Kejadian realitas sehari-hari dan struktur dalam kehidupan sekolah memegang kunci keberhasilan dalam membangun pendidikan budaya sekolah, karena aspek-aspek budaya terutama terbentuk melalui interaksi guru-siswa (budaya kelas). Adapun pendekatan disiplin sebagai metode praktek dalam membangun budaya sekolah dan bagian yang lebih dapat mengeksplorasi hubungan ini.
3. Tunarungu a. Pengertian dan Definisi 1). Anak Tunarungu Istilah tunarungu merujuk pada keadaan seseorang yang mengalami kelainan atau gangguan pendengaran (hearing impaired). Dalam hal ini, gangguan pendengaran (hearing impaired) tidak terbatas pada individu-individu yang kehilangan pendengaran saja, melainkan mencakup seluruh tingkat kerusakan
13
pendengaran. Jadi tidak hanya anak tuli saja tetapi juga mencakup individu-individu yang kehilangan pendengaran sangat ringan yang masih dapat mengerti pembicaraan orang tanpa kesukaran. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, dimana mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat. Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari. Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat sampai sangat berat. Baik menurut Moores maupun Heward dan Orlansky, definisi ketunarunguan ada dua kelompok, yaitu tuli dan kurang dengar (hard of hearing). (a). Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Menurut Heward dan Orlansky, istilah tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat
14
seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat
menggunakan
pendengarannya
untuk
dapat
mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar. (b). Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar. Sementara menurut Heward dan Orlansky, istilah kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired). Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan
tersebut,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, berat dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.
2). Klasifikasi Tunarungu Berdasarkan pengertian dan definisi dari beberapa ahli tersebut maka tunarungu dibedakan dalam dua kelompok yaitu:
15
(a). Kehilangan pendengaran, Kehilangan pendengaran adalah terganggunya penangkapan suara yang dapat diukur dengan ukuran decibels (dB) yang dinyatakan dalam bentuk angka. Moores membaginya atas 4 tingkatan sedangkan Boothroyd membaginya menjadi 5 tingkatan dengan menambahkan kehilangan pendengaran total sebagai tingkatan terakhir. Namun demikian dikatakan baik oleh Boothroyd maupun Moores bahwa masih belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang klasifikasi tersebut.
(b). Terganggunya proses yang berkaitan dengan pendengaran. Proses yang berkaitan dengan gangguan pendengaran yaitu yang berkaitan dengan penginterpretasian terhadap suara. Hal ini biasanya
diawali
oleh
kerusakan
pada
mekanisme
saraf
pendengaran yang dapat disebabkan oleh karena kerusakan secara fisik atau karena perkembangan yang tidak wajar. Ada istilah yang digunakan oleh Booothroyd untuk menggambarkan atau menerangkan
bagaimana
seseorang
menggunakan
pendengarannya, yaitu bahwa hard of hearing ialah suatu kata sifat
yang
menerangkan
seseorang
walaupun
mengalami
kerusakan pendengaran, pendengaran tersebut digunakan sebagai modalitas primer untuk persepsi dan perolehan kemampuan bicara.
Sedangkan
menggambarkan
tuli atau
(deaf),
suatu
menerangkan
kata
sifat
seseorang
yang yang
pendengarannya tidak dapat digunakan sebagai modalitas primer untuk persepsi dan perolehan kemampuan bicara meskipun dapat dibantu oleh indra penglihatan dan perabaan sebagai pelengkap. Tuli total, satu tingkat ketunarunguan yang ditambahkan oleh Boothroyd
adalah
kata
sifat
yang
menggambarkan
atau
menerangkan suatu subkelompok orang-orang tunarungu yang tanpa
indra
pendengarannya
atau
yang
perkembangan
16
pendcengarannya sangat buruk sehingga tidak dapat memberikan bantuan apa-apa dalam persepsi dan perolehan kemampuan bicara atau dengan kata lain tanpa pendengaran.
Sementara itu, ahli lain yaitu Myklebust mengklasifikasikan tunarungu berdasarkan 3 hal, yaitu: (a). Tingkat
pendengaran,
yaitu
bergantung
pada
tingkatan
kehilangan pendengaran dalam pendengaran decibel sebagai hasil pengukuran dengan alat audiometer standar ISO (International Standard Organization), yaitu: (1). Sangat ringan (Mild hearing lost )
27 – 40 dB
(2). Ringan (Moderate hearing lost)
41 – 55 dB
(3). Sedang (Moderate/Severe hearing lost)
56 – 70 dB
(4). Berat (Severe hearing lost)
71 – 90 dB
(5). Berat sekali (Profound hearing lost) 91 dB ke atas
(b). Waktu rusaknya pendengaran (1). Bawaan: tunarungu sejak lahir dan indra pendengaran sudah tidak berfungsi untuk maksud kehidupan sehari-hari. (2). Perolehan: anak lahir dengan pendengaran normal akan tetapi di kemudian hari indra pendengarannya menjadi tidak berfungsi yang disebabkan karena kecelakaan atau suatu penyakit.
(c). Tempat terjadinya kerusakan pendengaran (1). Kehilangan
pendengaran
konduktif,
yaitu
hilangnya
pendengaran disebabkan oleh gangguan pada telinga luar dan telinga bagian tengah sehingga menghambat jalannya suara ke telinga bagian dalam. (2). Kehilangan pendengaran sensori-neural, disebabkan oleh kerusakan pada telinga bagian dalam.
17
(3). Kehilangan pendengaran campuran disebabkan adanya kerusakan di telinga bagian tengah dan bagian dalam. (4). Kehilangan pendengaran sentral atau perceptual, disebabkan oleh kerusakan pada syaraf pendengaran (Smith dan Neisworth, 1975: p.357).
Sementara itu, Puesche et. al. seperti dikutip Boothroyd (1982: p. 43) mengklasifikasikan tunarungu berdasarkan: 1). Tingkat ketunarunguan a). Kehilangan pendengaran ringan Kehilangan pendengaran ringan berarti bahwa suara-suara dengan kekuatan antara 25 – 40 dB dan diatasnya tidak dapat didengar. Seseorang yang kehilangan pendengaran ringan dapat mendengar dan berpartisipasi dalam percakapan akan tetapi mempunyai kesulitan dalam mendengar suara-suara atau bunyibunyi yang lembut. Namun demikian, biarpun mereka mungkin terlambat dalam perkembangan bahasanya namun bicara dan artikulasinya normal. b). Kehilangan pendengaran sedang Kehilangan pendengaran sedang berarti bahwa suara-suara dengan kekuatan 45-70 dB tidak dapat didengar. Pada tingkatan ini, percakapan yang normal sukar diikuti dan artikulasinya kurang baik. Perkembangan bahasa anak semacam ini biasanya terbelakang. c). Kehilangan pendengaran berat Kehilangan pendengaran berat berarti tidak dapat mendengar suara-suara sampai kekuatan 70-90 dB. Mereka sama sekali tidak dapat mengikuti percakapan yang normal. Sebagian bsear apa yang diucapkan orang tidak didengar. Alat bantu dengar sangat menolong baik bagi anak yang kehilangan pendengaran sedang maupun yang berat.
18
d). Kehilangan pendengaran sangat berat Bagi orang yang kehilangan pendengaran sangat berat, suarasuara harus mempunyai kekuatan 90 dB atau lebih agar dapat didengar. Tidak mungkin untuk dapat mendengar suara percakapan yang normal dan alat bantu dengar sedikit sekali manfaatnya. Anak-anak yang tuli berat biasanya belajar system komunikasi yang lain seperti bahasa isyarat atau menggunakan tulisan dalam berkomunikasi.
2). Tempat kerusakan dalam telinga a). Kerusakan konduktif Kerusakan pendengaran yang terjadi apabila bagian luar dan bagian tengah telinga tidak meneruskan getaran suara ke bagian dalam telinga. Ini biasa disebut dengan tuli konduktif. Umumnya pada anak-anak disebabkan karena otitis media (infeksi atau peradangan pada telinga bagian tengah). Tuli konduktif kurang sensitive terhadap suara dan biasanya sampai 50-60 dB. Apabila hal ini terjadi pada masa anak sebelum sekolah, dapat berpengaruh pada perkembangan persepstualnya dan dapat berakibat kesukaran tingkah laku atau kesukaran belajar pada waktu ia masuk sekolah. Ini dapat disembuhkan melalui pengobatan atau melalui pembedahan.
b). Kerusakan sensorik Kerusakan pendengaran yang disebabkan karena kerusakan sensori, biasa disebut dengan tuli sensoris atau tuli reseptif. Kerusakan sensori ini terjadi karena cochlea (rumah siput) tidak cukup mampu menghantarkan informasi mengenai macam-macam suara yang diterima dari bagian tengah telinga. Kemungkinan yang paling kuat sebab kerusakan sensori ini adalah karena kerusakan beberapa atau semua bagian yang
19
halus pada cochlea. Anak yang tuli sensori atau tuli reseptif akan kehilangan kemampuan dalam membedakan frekuensi suara, juga berkurangnya kemampuan dalam mengidentifikasi frekuensi-frekuensi suara yang sangat kompleks. Dengan demikian informasi yang disampaikan ke otak tidak rinci.
c). Kerusakan saraf Kerusakan
saraf
ini
menyebabkan
gangguan
dalam
memusatkan perhatian, mengingat, mengenal kembali, asosiasi, dan dalam memahami. Ini dapat disebabkan karena kerusakan langsung pada mekanisme saraf atau kerusakan tak langsung sebagai akibat dari kerusakan sensorik.
Berkaitan dengan pendidikan maka Kirk menambahkan klasifikasi ketunarunguan berdasarkan maksud atau tujuan pendidikan. Pada umumnya dalam praktik ada dua program pendidikan bagi anak tunarungu, yaitu: untuk anak yang kurang pendengaran dan untuk anak tuli.
3). Karakteristik Ketunarunguan Karakteristik atau ciri-ciri yang nampak pada anak tunarungu antara lain adalah sebagai berikut: a). Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar. Namun performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar. b). Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak
mendengar
terutama
pada
informasi
yang
bersifat
suksesif/berurutan. Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan.
20
c). Daya ingat jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah.
4). Faktor Penyebab Secara umum beberapa penyebab kerusakan pendengaran menurut Brown seperti dikutip oleh Heward dan Orlansky (1988: 1. 263-264) adalah: a). Materna Rubella (campak), pada waktu ibu mengandung muda terkena penyakit campak sehingga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak; b). Faktor keturunan, yang tampak dari adanya beberapa anggota keluarga yang mengalami kerusakan pendengaran; c). Ada komplikasi pada saat dalam kandungan dan kelahiran premature, berat badan kurang, bayi lahir biru, dan sebagainya; d). Meningitis (radang otak), sehingga ada semacam bakteri yang dapat merusak sensitivitas alat dengar di bagian dalam telinga; e). Kecelakaan/trauma atau penyakit
Selain itu, kerusakan pendengaran seseorang juga dapat dilihat dari waktu terjadinya, yaitu: a). Sebelum lahir (prenatal) Kondisi ibu yang terkena infeksi atau keracunan pada saat mengandung, sakit influenza atau campak juga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak, terutama pada 3 bulan pertama usia kandungan. Sebab-sebab pada saat sebelum lahir ini, termasuk juga factor darah dimana darah anak tidak cocok dengan darah ibu. b). Pasca saat kelahiran (perinatal) Pada saat lahir terjadi kecacatan seperti pada bagian luar telinga, gendang suara di bagian tengah, dan perkembangan mekanisme saraf yang terhambat. Penurunan fungsi saraf yang dibawa karena
21
keturunan dapat terjadi pada saat anak lahir, atau terjadi segera sesudah anak lahir. Penyebabnya antara lain adalah akibat tertekan oleh pinggul ibu atau akibat penggunaan alat yang menyebabkan pendarahan di otak sehingga merusak system saraf, anoxia, dan lain-lain. c). Pada saat sesudah kelahiran (postnatal) Misalnya karena penyakit atau kecelakaan. Apabila terjadinya pada tahun awal yaitu sebelum anak berbahasa maka pelayanan pendidikan bagi anak yang tuli sejak lahir. Meningitis paling banyak menyebabkan kerusakan pendengaran anak.
Sementara itu, ada pendapat ahli lain yaitu Boothroyd yang membedakan atas beberapa penyebab: a). Karena keturunan, ada factor-faktor yang dibawa oleh orangtua b). Karena penyakit, yaitu ibu pada waktu mengandung muda menderita suatu penyakit seperti rubella c). Karena obat-obatan, kadang-kadang ibi yang sakit banyak meminum obat sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan alat dengar anak yang masih dalam kandungan, dan juga pada anak yang terlalu banyak minum obat atau salah ukuran (dosis). d). Karena kondisi traumatis seperti kurang gizi, radiasi, kekurangan oksigen pada saat kelahiran premature atau karena mendengar ledakan kuat dan kebisingan.
Adapun beberapa akibat yang muncul dengan terjadinya kerusakan pendengaran seseorang, antara lain: a). Gangguan perceptual dimana anak tidak dapat mengidentifikasi bunyi dari alam sekitar benda-benda yang menghasilkan suara
22
b). Gangguan bicara sehingga anak tidak dapat mempelajari hubungan antara gerak mekanisme bicara dengan suara yang dihasilkan. Akibatnya mereka tidak memperoleh control terhadap bicaranya c). Gangguan komunikasi dimana anak tidak dapat mempelajari bahasa ibu mereka. Oleh karena itu, mereka tidak dapat mengekspresikan apa yang mereka pikirkan kepada orang lain kecuali melalui gerakan atau isyarat yang kongkret. Mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan orang lain dan tidak dapat berpartisipasi dalam percakapan d). Gangguan kognitif, anak yang memiliki bahasa akan mudah memasuki dunianya melalui bantuan pikiran orang lain, melalui ide abstrak dan melalui informasi tentang jarak waktu dan jarak tempat. Anak tanpa bahasa harus mempelajari dunia hanya melalui hal-hal yang kongkret, di sini dan sekarang. e). Gangguan social, bagi anak yang pendengarannya rusak akan menghadapi kesulitan perkembangan dalam cara bertingkah laku yang tepat pada orang lain. Mereka tidak dapat mendengarkan nada suara yang menunjukkan emosi. Pada waktu berikutnya mereka tidak mengetahui aturan social yang dijelaskan pada mereka. Mereka mengekspresikan perilaku manipulative dan ritualistic sebagai pengganti bahasa dalam usahanya untuk mempengaruhi orang lain. f). Gangguan emosi, anak tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan orang lain dan sulit mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga cenderung akan egosentris, mudah curiga, menarik diri atau berbuat berlebihan. g). Masalah kependidikan, anak tanpa bahasa memperoleh manfaat yang minimal dari pengalaman pendidikan. h). Gangguan dalam intelektual, anak dengan gangguan pendengaran bila dites secara nonverbal pada umumnya mereka normal dan kadang-kadang juga di atas rata-rata namun dalam pengetahuan
23
verbal dan bentuk bahasa mereka sulit sehingga intelegensi secara keseluruhan mengalami hambatan i). Masalah vokasional, kurangnya ketrampilan verbal, pengetahuan umum, kemampuan akademik, dan nketrampilan social, anak yang rusak
pendengarannya
setelah
dewasa
akan
menghadapi
kesempatan yang terbatas dalam mencari pekerjaan.
Mengingat secara fisik anak tunarungu tidak berbeda dengan anak pada umumnya, maka untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan beberapa cara. Menurut Kirk ada cara sederhana dan mudah untuk mengidentifikasi anak tunarungu, yaitu: 1. Ajaklah anak dalam percakapan. Percakapan normal dapat didengar dengan baik pada jarak 20 kaki. Mencobanya dengan menutup sebelah telinga secara bergantian sehingga dapat terdeteksi berat ringannya kehilangan pendengaran. 2. Bisikkanlah kepada anak sebuah bilangan dan suruhlah anak mengulang kemudian dengan sebuah kalimat. 3. Gunakanlah sebuah jam duduk yang terdengar suara detiknya. Mula-mula letakkan agak jauh kemudian dekatkan pelan-pelan sampai anak member tanda bahwa ia mendengar. 4. Gunakan 2 uang logam untuk diadu sehingga menimbulkan bunyi “kling”.
5). Lingkup Pengembangan Program Pendidikan bagi individu Tunarungu a. TKLB/TKKh Tunarungu Tingkat Rendah ditekankan pada pengembangan
kemampuan
senso-motorik,
berbahasa
dan
kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa. b. SDLB/SDKh keterampilan
Tunarungu
kelas
senso-motorik,
tinggi
ditekankan
keterampilan
pada
berkomunikasi
24
kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan sosial. c. SLTPLB/SMPKh
Tunarungu
ditekankan
pada
peningkatan
keterampilan berkomunikasi dan keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan keterampilan sosial dan dasardasar keterampilan vokasional. d. SMALB/SMAKh keterampilan
Tunarungu
ditekankan
berkomunikasi,
pada
keterampilan
pematangan menerapkan
kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup kemungkinan mempersiapkan siswa tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi.
4. Model Bahan Ajar Bahan ajar pada pendidikan anak tunarungu ditentukan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan anak tersebut. Sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) terutama pada bagian struktur dan muatan kurikulum terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam rangka memberikan layanan pendidikan bagi anak. Berkaitan dengan hal ini maka bahan ajar yang penting diberikan pada pendidikan anak tunarungu antara lain: 1). komponen mata pelajaran (akademis), yang menekankan pada kemampuan berpikir logis, konseptual, dan analisis sederhana; 2). Komponen program khusus yaitu Bina Komunikasi, Persepsi
Bunyi,
pengembangan
dan
Irama/BKPBI),
kemampuan
dalam
yang
menekankan
komunikasi;
3).
upaya
Komponen
Pengembangan Diri untuk mengoptimalkan potensi, bakat dan minat anak; dan 4). khusus untuk tingkat SMP dan SMA perlu ditambah komponen
25
keterampilan, yang diharapkan memberikan bekal ketrampilan sesuai dengan bakat dan minat anak untuk bekal hidup di masyarakat.
Seperti halnya pendekatan pembelajaran di tingkat sekolah dasar (SD) pada umumnya, pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan model bahan ajar untuk anak tunarungu ini juga dengan pendekatan tematik untuk kelas bawah (1-3) dan pendekatan mata pelajaran untuk kelas atas (4-6). Pendekatan tematik dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang relevan kedalam suatu tema yang difokuskan dari program khusus Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama. Model bahan ajar dengan pendekatan tematik untuk kelas bawah (1-3) secara lebih jelasnya dapat dilihat melalui diagram berikut: Model-1. Kelas Awal (1-3)
Model-2. Kelas Atas
(4-6)
Matematika B ahasa Indonesia
IPA
Matematika Bahasa Indonesia
IPA BKPBI
BKPBI
Pendidikan Agama
IPS
Pendidikan Agama
Seni Budaya & Ketrampilan
PKn
Penjasorkes
Seni Budaya & Ketrampilan
Tema
IPS
PKn
Penjasorkes
26
PELAKSANAAN
A. Strategi Pelaksanaan Strategi yang diterapkan dalam melaksanakan pengembangan model bahan ajar ini antara lain melalui workshop, curah pendapat (Brain Storming), kerja individual/kelompok, presentasi, diskusi dan penugasan. Dengan tahapan kegiatan meliputi, penyusunan desain kegiatan, penyusunan kerangka dan pengembangan model bahan ajar, review model bahan ajar, penyusunan instrument penilaian, ujicoba model bahan ajar, penelaahan dan perbaikan model bahan ajar, serta diakhiri dengan penyusunan laporan.
Tim pelaksana kegiatan adalah dari unsur Pusat Kurikulum dan unit lain terkait, mulai dari Direktorat Pembinaan SLB, nara sumber atau pakar PLB, kepala sekolah/pengawas/guru SLB. Untuk penyusunan model bahan ajar diperlukan rambu-rambu atau panduan dengan langkah sebagai berikut: 1. Menganalisis Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) untuk Tunarungu yang ditetapkan melalui Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 dan Standar kompetensi Lulusan (SKL) melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 untuk melihat kesesuaiannya dengan kebutuhan, kemampuan, dan karakteristik peserta didik. 2. Mengidentifikasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa 3. Mengidentifikasi muatan atau kegiatan dalam kelompok mata pelajaran estetika dan jasmani, olahraga dan kesehatan 4. Model
Bahan
Ajar
ini
berisikan
SK-KD,
Indikator,Tujuan
Pembelajaran,Kegiatan Pembelajaran,Analisis Tugas,LKS,dan Evaluasi 5. Model Bahan Ajar ini merupakan sebuah contoh Bahan Ajar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun / mengembangkan Bahan Ajar di sekolah.
27
6. Penyusunan/Pengembangan Bahan Ajar di sekolah dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan, kebutuhan, karakteristik peserta didik, situasi dan kondisi, serta kekhasan daerah setempat.
B. Jadwal Kegiatan 1. Waktu Pelaksanaan Kegiatan dilaksanakan mulai Februari – Mei 2010. 2. Pelaksana dan Penanggung Jawab a. Penanggung Jawab Kegiatan adalah Kepala Pusat Kurikulum b. Tim Pelaksana Kegiatan ini adalah Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Khusus sebagai Penanggung Jawab dan salah satu staf bidang sebagai wakil, serta beberapa orang anggota. 3. Langkah atau Tahapan Kegiatan ini dilaksanakan melalui 7 langkah meliputi, penyusunan desain kegiatan, penyusunan kerangka dan pengembangan model bahan ajar, review model bahan ajar, penyusunan instrumen penilaian, ujicoba model bahan ajar, penelaahan dan perbaikan model bahan ajar, serta diakhiri dengan penyusunan laporan. Secara khusus langkah pelaksanaan kegiatan pengembangan
model
bahan
ajar
pendidikan
khusus
ini
dapat
digambarkan melalui skema berikut:
28
Penyusunan Penyusunan DesainDesain
Penyusunan Kerangka dan Pengembangan Model
Review Model
Penyusunan Instrumen Penilaian
Ujicoba Model
Penelaahan dan Perbaikan Model
Desain Pengembangan
• Kerangka Model • Rambu-rambu/pedoman pengembangan Model Draft 1 Draft-2 Model
Instrumen
Data dan Analisisnya (Saran d M k )
Analisis Hasil Telaah Model Final
Penyusunan L
Laporan kegiatan
29
Uraian masing-masing tahapan atau langkah kegiatan adalah sebagai berikut:
No. 1.
Langkah Kegiatan Penyusunan Desain
Waktu
Tempat
Pebruari 2010
Kantor (Jakarta)
Peserta
1. 2.
Hasil
Nara sumber:
Desain Pengembangan
2 orang
Model Bahan Ajar
Tim: 5 orang
SDLB Tunarungu, yang berisi antara lain: 1.
Konsep atau teori berkaitan dengan karakteristik, permasalahan, dan pendidikan untuk anak Tunarungu (B)
2.
Berbagai data atau informasi berkaitan dengan permasalahan dan kebutuhan lapangan dalam penyelenggaraan pendidikan/pembela jaran anak tunarungu
2.
Penyusunan
Pebruari 2010
Bogor
1.
Kerangka dan
Nara sumber: 2
1.
Bahan Ajar
orang
Pengembangan Model Bahan Ajar
2.
Tim: 3 orang
3.
Dalam Jawa: 4
Kerangka Model
2.
Ramburambu/Panduan
orang
pengembangan, dan 3.
Model Bahan Ajar (Draft-1)
3.
Review Model Bahan
Maret 2010
Bogor
1.
Ajar
Nara sumber: 2
Model Bahan Ajar
orang
(Draft-2)
2.
Tim: 3 orang
3.
Dalam Jawa: 7 orang
4.
Luar Jawa: 9 orang
4.
Penyusunan
April 2010
Kantor (Jakarta)
1.
Nara sumber: 2
Instrumen terdiri atas:
30
No.
Langkah Kegiatan
Waktu
Tempat
Peserta
Instrumen Penilaian
2.
Hasil
orang
1.
Kisi-kisi
Tim: 6 orang
2.
Instrumen (kuesioner, panduan observasi, panduan diskusi focus)
5.
Ujicoba Model
April 2010
Bahan Ajar
3 Dalam Jawa
Masing-masing
(DI.Yogyakarta,
daerah:
Jawa Barat dan
1.
Panduan analisis
3.
Data (Saran dan Masukan)
4.
orang
Jawa Timur) dan 2 Luar Jawa
Responden: 20
3.
2.
(NTB,Sumatera
Analisis Temuan ujicoba
Tim Pusat: 3 orang
Selatan) 6.
Penelaahan dan
Mei 2010
Bogor
1.
Perbaikan Model
Nara Sumber: 2 orang
2.
Bahan Ajar
Tim Pusat: 10 orang
7.
Penyusunan Laporan
3.
Mei 2010
Kantor
-
Analisis Hasil Telaah
4.
Model Bahan Ajar (Final)
Laporan kegiatan
31
4. Matriks Pelaksanaan Kegiatan Langkah atau tahapan kegiatan pengembangan model bahan ajar pendidikan khusus ini dapat digambarkan melalui matriks berikut:
NO
KEGIATAN
1
Penyusunan Desain
2
Penyusunan Kerangka dan
BULAN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pengembangan Model 3
Review Model
4
Penyusunan Instrumen Penilaian
5
Ujicoba Model
6
Penelaahan dan Perbaikan Model
7
Penyusunan Laporan
5. Pembiayaan Kegiatan ini dibiayai melalui anggaran Pusat Kurikulum, Balitbang, Depdiknas tahun anggaran 2009.
32
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasopnal Pendidikan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Muljono Abdurrachman dan Sudjadi S. Pendidikan Luar Biasa, Departemen P dan K, Ditjen Dikti, 1994. Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa; Panduan untuk Guru dan Sekolah, Pusat Kurikulum Balitbangdiknas, 2009.
33