“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
DRS. H. Sutan Bhatoegana, MM
Ketua Komisi VII DPR
“Pas barang tuh,” “ngeri-ngeri sedap”, “lucu-lucu ngeri”, “masuk tuh barang”, “ikan salmon”, itulah pernyataan yang sering keluar dari mulut Sutan, baik dalam forum formal maupun informal. Jargon-jargon yang membuat pemilik nama lengkap Sutan Bhatoeg ana ini dikenal di masyarakat luas.
Sekitar satu bulan lalu, Fraksi Demokrat DPR RI melakukan perombakan pengurus dan pimpinan komisi. Salah seorang yang mendapat kepercayaan adalah Sutan. Ia dipercaya menjadi Ketua Komisi VII yang membidangi masalah energy dan pertambangan, lingkungan hidup, Pertamina dan listrik.
Bagi Sutan, dunia pertambangan dan mineral bukanlah hal baru. Dunia pertambangan sudah lama digelutinya dan mengembangkan profesinya sejak dulu di bidang itu. Ia oernah menjadi manager bahkan komisaris di berbagai perusahaan tambang baik nasional maupun internasional.
Sutan mengenal dunia politk tahun 2001. Pada saat itu, Sutan bekerja sama dengan Vance Rumangkang mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan sebuah partai politik yang diprakarsai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Karier politik Sutan berjalan mulus. Pada Pemilu tahun 2004, Sutan ikut mencalonkan diri menjadi anggota legislative dari Partai Demokrat. Dia terpilih dan layak duduk di Senayan. Pemilu 2009, Sutan kembali ikut bertarung dan kembali menjadi anggota DPR untuk periode 2009-2014.
1 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
Sutan Bhatoegana lahir di Pemantang Siantar, Sumatera Utara, 13 September 1957. Pria bermaga siregar ini berasal dari keluarga militer. Dulu sanf ayah pernah menjadi anggota dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Sejak kecil, Sutan gemar membaca. Membaca buku sejarah adalah hobi Sutan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Berbagai buku tentang sejarah dan kisah orang besar pun telah dilahapnya. Selain membaca buku sejarah, membaca Koran pun sarapannya tiap pagi.
Hobi membaca menular dari sang ayah yang memang gemar membaca buku-buku sejarah. Salah satu tempat favorit Sutan membaca buku di atas pohon jambu. Dia mengaku lebih focus pada saat membaca dan merasa nyaman dengan angina sepoi-sepoi. Sutan juga gemar menonton film. Dia paling gemar menonton film India. Hobi yang satu ini karena pengaruh dari sang Ibu karena kerap diajak nonton film India bersama di rumah.
Semasa sekolah dulu, ia berpindah-pindah tempat. Saat sekolah di SDN 12 tahun 1970, ia bersekolah di Padang Sidempuan. Lulus SD, dirinya melanjutkan ke STN 1, Pemantang Siantar dan masuk ke STM di Medan. Lulus sekolah, ia hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Akademi ATN.
Selama kuliah, Sutan dikenal aktif di kegiatan kemahasiswaan. Berbagai organisasi kampus dan non kampus pun pernah diikuti, salah satunya menjadi Kasie II Yon V Mahakarta Yogyakarta dan Anggota Dewan Pembina FKPPI Lhokseumawe. Di organisasi Sutan memang dikenal lritis. Dengan pemikiran-pemikiran yang didapatnya dari membaca buku, ia tampil unggul di antara teman-teman seorganisasinya.
Sebagai wakil rakyat kini Sutan diharapkan bersikap arif. Sutan diminta untuk bersikap adil menyikapi kisruh keluarnya Permen 07 tahun 2012 yang dinilai menghancurkan perusahaan nasional. Permen yang dipandang hanya berpihak dan membela kepentingan asing. Benarkah demikian? Apa pendapat Sutan soal perintah UU No. 4 Tahun 2009 soal renegosiasi yang harus dilakukan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan kontrak karya? Apakah dia setuju BP Migas dibubarkan? Berikut pendapatnya yang disampaikan kepada Zulkarmedi Siregar dan fotografer Abdul Farid dari FORUM, di Pondok Indah Mall, kamis pekan lalu:
2 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
Permen 07 ESDM tahun 2012 mendapat tantangan besar dari berbagai kalangan terutama para pengusaha minerba karena dinilai tidak adil. Tanggapan Anda?
Permen 07 tahun 2012 menurut kaca mata kita menarik dan bagus sekali untuk diimplementasikan karena tujuannya untuk memberikan nilai tambah bagi negara. Tujuan lainnya agar raw material (bahan mentah) mineral begitu saja keluar dengan murah, tapi pada akhirnya kembali ke kita dengan bentuk-bentuk lain dengan harga yang jauh lebih mahal. Kebijakan Menteri ESDM itu mengharuskan mendirikan smelter itu juga bisa menciptakan lapangan kerja baru. Bukankah itu sesuai dengan kebijakan SBY yang pro growth, pro foor dan pro job , termasuk dibidang pertambangan. Permen itu sesuai dengan UU dan berpihak pada rakyat.
Secara substansi semangat Permen 07 dan UU No 4 Tahun 2012 tidak menjadi peroalan. Tapi yang dikeluhkan adalah soal waktu pembangunan selmter tersebut harus selesai 3 bulan dan itu sudah jatuh tempo Mei kemarin. Komentar anda?
Waktu 3 bulan itu, bukan semata-mata demikian. Tapi yang minta dalam Permen itu adalah koordinasi antara berbagai perusahaan pertambangan mineral. Beberapa perusahaan tambang mineral yang berdekatan, jika sudah ada satu smelter dalam satu perusahaan, maka perusahaan yang lain itu ikut kerjasama bergabung dengan perusahaan tersebut. itu sebuah jalan keluar sehingga keluhan para pengusaha tersebut bisa terselesaikan. Saya kira tidak masalah. Persoalan ini menjadi ramai karena ini diisukan soal batubara, padahal tidak demikian. Batubara tidak ikut diatur di Permen 07 itu hanya mineral saja. Mengenai batubara, justru pemerintah mengusulkan agar pajaknya dinaikkan. Kepada pengusaha batubara, justru pemerintah meminta agar ekspor dikurangi dan mendahulukan kebutuhan dalam negeri. Kementerian ESDM sendiri sudah melakukan dialog dengan pengusaha-pengusaha tambang mineral itu dan pada prinsipnya mereka setuju. Prinsipnya, kurangi sedikit untung tapi memberikan pendapatan negara yang lebih besar.
Bukankah pembentukan smelter itu sesuai UU No 4 Tahun 2009 diberikan waktu sampai dengan 2014. Kenapa pemerintah memaksakan waktu 3 bulan dan itu hanya berlaku kepada perusahaan nasional, kontrak karya tidak?
Betul. Batas pembentukan smelter itu hingga 2014. Tapi substansinya sebenarnya bukan
3 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
persoalan smelternya karena sudah banyak dibangun para pengusaha kita. Tapi yang mau kita proteksi itu adalah ekspornya. Misalnya Freeport itu kan sudah ada smelternya di Gresik baru diekspor ke luar negeri. Dan ini sudah terbukti memberikan manfaat bagi Indonesia karena menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak dan devisa negara bertambah dan itu sebenarnya tujuan utama UU No 4 Tahun 2009.
Kenapa kebijakan itu hanya berlaku kepada perusahaan nasional, kontrak karya asing tidak?
Berlaku untuk semua hingga tahun 2014, termasuk kontrak karya.
Kenapa aturan 3 bulan tidak berlaku bagi kontrak karya?
Kalau kontrak karya memang sampai tahun 2013. Memang untuk kontrak karya, perjanjian itu tidak bisa kita cederai, kecuali kita himbau sampai tahun 2014. Kawan-kawan memang meminta tahun ini juga. Kalau yang besar-besar itu memang agak sulit ktia mengaturnya, tapi yang kecil-kecil ini kan lebih gampang mengaturnya.
Tapi bukankah paptokan kita adalah UU No. 4 tahun 2012 itu, dimana pengusaha nasional dan kontrak karya diberikan waktu hingga 2014 untuk membangun smelter. Kenapa pengusaha nasional melalui Permen 07 hanya diberikan 3 bulan?
Berberda. Kontrak karya itu menyangkut pihak asing sehingga berbeda perlakuannya. Kalau mereka masukkan ke arbitrase internasional, kita akan selalu kalah. Kontrak ya kontrak. Lebih gampang mengatur kita sendiri. Kontrak karya itu, orang yang investasi. Mereka itu adalah perusahaan penanam modal asing.
Bukankan mereka beroperasi di wilayah kedaulatan kita sehingga mereka harus mengikuti aturan kita bukan kita yang tunduk pada asing itu?
4 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
Ini menyangkut perusahaan besar sehingga berbeda dengan yang kecil-kecil itu. Keluarga besar di bandung keluarga kecil, tentu lebih susah mengatur keluarga besar. Perusahaan besar jelas akan berdampak pada kita. Dan kontrak karya tidak boleh kita ganggu sesuai perjanjian. Kalau kita sidah meneken kontrak sampai 30 tahun, selama itu pula kita tidak bisa mengotak-atiknya, itu hak mereka.
Yang memunculkan diskriminasi itu soal transparansi. Freeport misalnya, hanya mengekspor konsentrat yang tidak ketahuan berapa sebenarnya jumlah emasnya. Kenapa kepada mereka tidak diwajibkan membangun smelter dalam tempo 3 bulan?
Kita sudah mendorong mereka untuk melakukan pembangunan smelter itu. Sekitar 30 persen konsentrat mereka sudah dikirim ke smelter yang ada di Gresik. Yang menyalahi memang, kenapa tidak dibangun di Papua. PT Smelting Gresik yang megelolanya disana.
UU No 4 Tahun 2009 pada pasal 169 memerintahkan pemerintah untuk menyelesaikan renegosiasi kontrak karya dengan batas waktu tahun 2010. Kenapa hingga kini renegosiasi itu belum selesai?
Betul. Kontrak karya itu, sama saja dengan LNG Badak dan LNG Arun yang memiliki kontrak hingga 40 tahun, apakah bisa kita potong begitu saja karena kita kekurangan gas, tidak bisakan. Ada renegosiasi, membatasinya sehingga kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi.
Tapi UU itu sudah jelas hanya memberikan waktu satu tahun kepada pemerintah. Artinya jika pemerintah tidak memenuhinya sama saja dengan melanggar UU bukan?
Begini. UU itu kan ada turunanya agar bisa dilaksanakan sesuai tujuannya. Ada peraturan pemerintah, ada peraturan menteri yang harus dirumuskan. Pemerintah sedang dalam proses mengerjakan itu semua. UU itu, kadang kala kalau tidak ada Permen-nya tidak bisa dijalankan. Itu sebuah senyawa.
Kalau pemerintah dinilai lalai menjalankan perintah UU itu?
5 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
Tidak juga. Pemerintah mengerjakan itu semua. Dalam melaksanakan UU, khususnya di wilayah pertambangan itu menurut UU harus mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat. Pertanyaannya, siapa yang disebut dengan tokoh di masyarakat itu. Semua tergantung, apakah orang tua di sana, DPRD atau asosiasi-asosiasi.
Kepres soal renegosiasi kontrak akrya itu baru keluar Januari 2012. Kenapa baru keluar setelah 2 tahun seharusnya renegosiasi itu selesai?
Begini. Kepres itu, memang sering terlambat karena memang bukan itu saja yang dikerjakan presiden. Banyak sekali perkerjaan presiden.
Kalau ada yang mengatakan, lambatnya keluar Kepres karena ada tekanan dari kontrak karya asing itu?
Tidak. Penilaian orang saja begitu. Perlu kitak etahui, UU No 4 tahun 2009 saja itu baru keluar 4 tahun. Selama itu memang terjadi tarik menarik yang kuat. Saya ikut didalamnya. Sudah memasuki pembahasan ke 20, itu mundur ke nol lagi secara tiba-tiba. Banyak kepentingan memang, tapi itu adalah yang terbaik.
Benarkah kontrak karya itu dijadikan “ATM” oleh kelompok dan partai tertentu?
Tidak. Tapi kalau ada pihak-pihak diluar yang berbuat begitu, kami tidak tahu. Tapi waktu membuat UU, tidak terjadi demikian, kita berbuat yang terbaik untuk rakyat. Bahkan Freeport itu sendiri, kita berkeinginan satu waktu, hasilnya harus lebih besar buat Indonesia daripada pihak asing itu. Tapi semua terkendala dengan kontrak karya I sampai IV itu. Kita tidak bisa menafikkan itu. Jika kita tetap paksakan, maka kita akan kalah jika mereka persoalkan. Kontrak itu tidak bisa begitu saja diputuskan.
Menurut anda sendiri seperti konsep renegosiasi yang harus dilakukan pemerintah kepada kontrak karya?
6 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
Konsepnya adalah win-win solution. Perusahaan kontrak karya itu tidak rugi, kita memberikan nilai tambah, yang kemarin 1 persen bisa naik menjadi 3-4 persen.
Bukankah itu terlalu kecil. Bahkan ada pihak-pihak yang menginginkan dinasionalisasi saja kontrak karya itu seperti yang terjadi di Venezuela?
Itu terlalu naïf. Mana mau orang sana itu. Itu perlu, tapi kita jangan berandai-andai.
Venezuala bisa?
Beda. Negara itu sosialis dan akhirnya dikucilkan negara lain. Dan mereka masih punya cadangan migas yang besar. Kekuatan Migas nereka bermiliar barel. Apakah kita mau diperlakukan seperti Iran itu. Kita bakal diboikot.
Pengusaha juga mengeluhakn kebijakan bea keluar 20 persen badi penrusahaan mineral nasional oleh Kementerian Keuangan. Lagi-lagi dipersoalkan, selain jumlahnya yang terlalu besar, kenapa hal itu tidak diberlakukan kepada kontrak karya itu?
Bea keluar 20 persen itu hanya berlaku bagi batubara. Mineral tidak sama sekali. Prinsipnya, batubara itui dinaikkan pajaknya 20 peren, ekspor bahan baku mineral tidak boleh.
Kemarin ada Judicial Review soal dana bagi hasil Migas di MK. Daerah-daerah penghasil Migas menuntut pembagiannya diperbesar untuk mereka. Bagaimana anda menilai persoalan itu?
Prinsipnya kita setuju dan itu tujuan kita. Kita mendukung, jika dalam satu daerah ada tambang, apapun itu, utamakan dulu daerah setempat untuk mendapat bagian yang layak. Misalnya blok Cepu, rakyat disana melalui pemerintah daerah memiliki saham 3-5 persen. Pada saat awal, itu
7 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
menjadi perdebatan hangat kita. Akhirnya ada solusi di angka itu dan termasuk besar.
Daerah penghasil Migas itu menuntut, misalnya Kaltim, karena Papua dan Aceh yang sama-sama penghasil Migas kenapa bisa mendapat bagian hingga 70 persen?
Dalam hal ini, kita memang membutuhkan kearifan local daerah itu, seperti apa kemampuan perusahaan dan tentu kepentingan pemerintah pusat. Harus berbeda-beda memang, tidak bisa disamakan. Melihat kandungan migas-nya juga. Pasti jumlah kandungannya berbeda-beda makanya pembagiannya juga berbeda. Tapi yang paling penting adalah rakyat setempat mendapat bagian. Itu terobosan yang luar biasa, seperti yang terjadi di Newmont NTB. Bahkan, lucunya ketika mereka ingin melepas, malah kita yang berkelahi, pusat ingin, pemerintah daerah juga. Padahal mereka, sama-sam pemerintah. Yang tidak boleh itu aneh-aneh, berkata demi pemerintah tapi ada kontraktor nasional di dalamnya, itu yang tidak boleh karena seharusnya untuk rakyat setempat melalui pemerintah daerah. Kalau masuk ke kas Pemda, baru disalurkan ke rakyat melalui APBD. Contoh, yang bagus itu di Blok Cepu. Pemerintah provinsi dapat, tiga pemerintah kabupaten di sekelilingnya juga dapat, itu yang benar.
Apa tanggapan Anda terhadap rencana Lapindo Brantas yang berencana melakukan pengeboran di sekitar Lumpu Sidoarjo yang hingga kini belum tuntas?
Begini. Harus kita pisahkan kasus per kasus. Kalau kasus yang terdahulu, pihak yudikatif sudah mengatakan semua sudah clear. Tapi memang ada tanggungjawab yang harus diselesaikan PT Lapindo Brantas. Tapi harus kita bedakan, yang sedang berjalan dan yang ingkar. Kalau ada kontraktor nasional yang memiliki perusahaan da nada kejadian seperti Lumpur Lapindo, kemudian kabur, tentu kita repot. Ini kan, PT Lapindo Brantas mau bertanggungjawab, Cuma memang ada tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Yang dikhawatirkan itu adalah munculnya kasus Lumpur Lapindo baru?
Itu wajar. Tapi harus kita antisipasi semua. Kita sepakat, apa yang sudah terjadi sebelumnya, tidak boleh terjadi lagi.
8 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
Terkait pembahasan revisi UU Migas, ada usulan BP MIgas dibubarkan saja. Tanggapan anda?
Ada aspirasi itu memang. Kita sedang membahas soal itu. Kita mau mengkaji lagi kkurang lebihnya BP Migas itu. Dan sejarah BP Migas ini adalah bagian dari Pertamina. Kenapa BP Migas dibentuk saat itu, tujuannya untuk mempermudah pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan asing itu. Tidak langsung dilakukan oleh pemerintah. Kalau memang nanti, setelah kita kaji lebih mendalam, memang manfaat keberadaan BP Migas ini kecil, tentu bisa kita bicarakan lagi. Kalau Pertamina yang menangani itu, mungkin lebih baik. Pertamina harus kita jadikan pemegang leading sektor migas. Saat ini Pertamina ikut tender, itu sama saja kita memperkecil diri kita sendiri. Itu salah siapa? Ini salah yang ikut reformasi keblabasan itu. Sekarang kita amandemen lagi untuk perbaikan.
Salah satu aspek yang dikritisi berbagai kalangan adalah soal cost recovery perusahaan asing yang sering kali diduga mark up sebelum diklaim ke BP Migas. Pendapat Anda?
Saman Pertamina dulu, itu juga ada. Sekarang kita perbaiki dengan melakukan pengawasan yagn ketat. Cost recovery itu sebenarnya baik buat kita. Mereka datang mencari minyak dengan biaya sendiri, tidak dapat rugi sendiri.
Tapi yang sering terjadi, klaimnya sering dipermainkan?
Beda. Kalau tidak dapat minyak, tidak ada klaim, begitu cara kerjanya.
Sumber : Majalah FORUM No. 10/ June 25 – 1 Juli 2012
9 / 10
“Terlalu Naif Nasionalisasi Kontrak Karya” Ditulis oleh David Dwiarto Jumat, 06 Juli 2012 03:22 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 06 Juli 2012 03:34
10 / 10