Rubrik Utama
Daya Saing Bisnis yang Berkelanjutan: Tantangan ke Depan1)
D Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc2) Ir. Idqan Fahmi, MEc3) Andina Oktariani, SE4)
Daya saing pada masa yang akan datang harus didasarkan pada aspek yang lebih komperehensif dan terintegrasi. Produk Indonesia yang unggul secara biaya, misalnya, tidak otomatis akan dapat menembus pasar internasional jika dalam proses produksinya tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dan hak azasi pekerjanya yang merupakan persyaratan yang dituntut oleh konsumen negara maju. 1) Ringkasan Interpretatif Materi Seminar Nasional ”Sustainable Business Competitiveness: The Next Challenge” yang diselenggarakan tangal 24 April di Hotel Grand Hyatt, Jakarta 2) Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor 3) Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor 4) Staf Divisi Litbang Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor
4
Agrimedia
aya saing bisnis berkelanjutan dapat dikatakan sebagai sebuah tuntutan dari adanya fenomena era globalisasi yang menciptakan persaingan global antar negara. Pada era globalisasi batas antar negara dalam ekonomi semakin nisbi sehingga dikotomi antara pasar domestik dan pasar dunia menjadi semakin tidak relevan. Globalisasi juga membuktikan bahwa hanya negaranegara yang memiliki karakter yang kuat dan tangguh akan sanggup menghadapi berbagai tantangan pembangunan. Negara yang kuat dan tangguh juga akan sanggup untuk mengubah berbagai tantangan itu menjadi peluang yang menguntungkan. Fenomena ini memberikan sinyal bahwa dunia usaha harus mampu bersaing dengan pesaingnya jika ingin tetap bertahan. Upaya yang harus dilakukan untuk dapat menghadapi tantangan global tersebut adalah dari dalam dunia usaha itu sendiri dalam bentuk peningkatan daya saing yang berkelanjutan. Peningkatan daya saing bisnis selain sebagai tuntutan bagi dunia usaha untuk dapat bertahan pada era globalisasi, juga pendekatan yang komprehensif antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan dalam pengelolaan bisnis yang berkelanjutan. Dalam konsep daya saing bisnis berkelanjutan terdapat tiga elemen yang saling mendukung yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan sosial (people) dan keberlanjutan lingkungan (planet). Konsep ini menjadi landasan dunia usaha, khususnya dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks dalam era globalisasi saat ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan daya saing pada level bisnis merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan peningkatan daya saing nasional.
Jika saat ini pada umumnya perusahaan berupaya meningkatkan daya saingnya hanya sekedar berorientasi pada peningkatan output/profitabilitas semata, maka ke depan hal tersebut tidak akan memadai lagi. Daya saing pada masa yang akan datang harus didasarkan pada aspek yang lebih komperehensif dan terintegrasi. Produk Indonesia yang unggul secara biaya, misalnya, tidak otomatis akan dapat menembus pasar internasional jika dalam proses produksinya tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dan hak azasi pekerjanya yang merupakan persyaratan yang dituntut oleh konsumen negara maju. Oleh karena itu selain aspek keunggulan biaya yang biasanya dicerminkan oleh komponen profit, perusahaan harus memperhatikan dua aspek lainnya yaitu aspek people (baik karyawan maupun masyarakat sekitar lokasi usahanya dengan Corporate Social Responsibility, misalnya) dan aspek planet atau lingkungan dengan memastikan bahwa proses produksinya telah memenuhi persyaratan lingkungan yang dapat diterima masyarakat dunia.
corporate. Bagi pelaku bisnis (dengan tidak membedakan apakah swasta atau BUMN) yang notabene merupakan ujung tombak dalam menghadapi global competition, peningkatan keunggulan bersaing dapat dibangun melalui tingkat kesadaran yang tinggi terhadap faktor produktifitas, profesionalisme, kreatifitas, perilaku efesiensi, kualitas produk dan layanan yang prima. KINERJA DAYA SAING INDONESIA DI MATA DUNIA Dewasa ini semakin disadari bahwa peningkatan daya saing merupakan kunci menghadapi tantangan global ke depan. Pengembangan bisnis berbasis lokal membutuhkan peningkatan daya saing berkelanjutan di pasar domestik dan internasional. Daya saing bisnis lokal memang perlu mendapat perhatian dan secara sistematis harus ditingkatkan sebagai salah satu cara membangun dan meningkatkan daya saing nasional. Oleh karena itu, dalam kaitan ini perlu diketahui ukuran daya saing Indonesia di pasar internasional sebagai landasan untuk melakukan analisis daya saing dan merumuskan upaya-upaya peningkatan daya saing dalam rangka pembangunan daya saing bisnis lokal yang berkelanjutan.
Dengan tiga pilar yang saling mendukung maka para pelaku usaha mempunyai implikasi; (i) produksi harus dilakukan dengan menggunakan sumber alam yang efisien mungkin, (ii) pertumbuhan ekonomi harus tersebar dan mempunyai dampak terhadap lingkungan yang terkelola secara World Economic Forum (WEF), sebuah lembaga seimbang, (iii) konflik kepentingan dalam penggunaan pemeringkatan daya saing, mendefinisikan daya saing sumber alam harus dikelola secara baik dan adil agar sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan dan faktor-faktor menghasilkan produksi yang memberi kemanfaatan yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. WEF yang maksimal. Memadukan ketiga P ini (profit, people mengambangkan 12 pilar utama yang mempengaruhi daya dan planet) tentu saja jauh lebih sulit dibandingkan saing (Gambar 1). Kedua belas pilar tersebut digolongkan hanya mempertimbangkan salah satu aspek saja. Namun menjadi tiga kelompok besar penentu daya saing, demikian, tuntutan ini menjadi sesuatu yang krusial jika ingin daya saing yang Basic Requirements dibangun Indonesia tidak saja meningkat • Institutions Key for • Infrastructure Factor-driven tetapi juga berkelanjutan. Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka ini merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi bisnis/produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi. Sudah selayaknya hal ini menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri, tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis
• Macroeconomic Stability • Health and Primary Education
economics
Efficiency Enhancers • Higher Education and Training • Goods Market Efficiency • Labor Market Efficiency • Financial Market Sophistication • Technological Readiness • Market Size
Efficiency-driven
Basic Requirements • Business Sophistication • Innovation
Innovation-driven
Key for
economics
Key for
economics
Sumber: World Economics Forum: Global Competiveness Report 2008-2009
Gambar 1. Dua Belas Pillars of Competitiveness World Economic Forum
Volume 15 No 1 Juni 2010
5
Rubrik Utama
yakni kelompok persyaratan dasar (basic requirements). Persyaratan dasar ini harus dimiliki oleh suatu bangsa untuk memiliki factor driven economies. Sebagai dasar mewujudkan keunggulan kompetitif, didalamnya terdapat pilar kelembagaan (institutions), pilar infrastruktur (infrastructure), pilar stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability), dan pilar kesehatan dan pendidikan dasar (health dan primary education). Tidak ada bangsa yang dapat bangkit tanpa memenuhi persyaratan dasar tersebut. Kemampuan untuk menjadi negara yang unggul tidak hanya bertumpu pada persyaratan dasar (basic requirements) semata. Keunggulan kompetitif juga harus dibangun dengan penambah/peningkat efisiensi (efficiency enhancers) yang akan membentuk efficiency driven economies yang dapat dicapai melalui pilar pendidikan tinggi dan pelatihan (higher education and training), pilar efisiensi pasar barang (goods market efficiency), pilar efisiensi pasar tenaga kerja (labour market efficiency), pilar efisiensi pasar keuangan (financial market efficiency), pilar kesiapan teknologi (technological readiness) dan pilar ukuran pasar (market size). Indonesia memiliki kemampuan yang besar untuk membangun keunggulan kompetitif pada kelompok efficiency enhancers. Hal ini disebabkan karena kini market share dunia bergerak ke arah Asia Timur, bahkan menempati sharing sebesar 31 persen dari global market. Disamping itu, sektor non migas Indonesia telah menempati porsi di atas 80 persen dan volume dari sektor ini telah mencapai US$ 137 billion. Kelompok ketiga merupakan kelompok inovasi dan kecanggihan (innovation and sophistication) yang akan membentuk innovation driven economies yang terdiri dari pilar kecanggihan bisnis (business sophistication) dan pilar inovasi (innovation). Kedua pilar terakhir merupakan faktor penting untuk meningkatkan daya saing negara karena dengan kemampuan melahirkan inovasi akan mampu pula mengintervensi keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki sebuah negara. Maka dari itu, kedua belas pilar ini penting untuk dijadikan acuan ataupun patokan negara dalam meningkatkan daya saing negara. Menurut klasifikasi WEF, Indonesia sudah termasuk kategori negara transisi dari negara factor-driven (negara yang perekonomiannya digerakkan oleh faktor paling dasar seperti sumber daya alam dan buruh) dan sedang memasuki kategori efficiency-driven (berbasis pada proses produksi yang efisien). Tentunya, Indonesia terus berupaya 6
Agrimedia
hingga masuk kategori negara yang ekonominya berbasis innovation-driven, yaitu ekonomi yang dibangun atas dasar Iptek yang bernilai tambah tinggi. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memasuki kategori innovation-driven terletak pada bagaimana menjembatani kemampuan inovasi yang tinggi di satu sisi dengan upaya pemanfaatannya di sisi lain, terutama untuk meningkatkan produktivitas industriindustri nasional. Kolaborasi harmonis antara litbang dan para pelaku industri untuk pengembangan produk-produk kompetitif bernilai tambah tinggi yang berbasis iptek, menjadi kunci peningkatan daya saing perekonomian nasional. International Institute for Management Development (IMD) juga merupakan sebuah lembaga pemeringkatan daya saing yang melakukan suatu pemetaan secara komprehensif terhadap unsur-unsur yang membentuk keunggulan kompetitif suatu negara dengan menggambarkan competitiveness cube (Gambar 2). Competitiveness cube menggambarkan bagaimana interaksi dunia usaha, pemerintah dan masyarakat serta mekanisme terbentuknya keunggulan kompetitif di tingkat nasional dalam upaya meningkatkan daya saing suatu negara.
Sumber: IMD Gambar 2. Competitiveness Cube Dalam competitiveness cube dijelaskan interaksi antar stakeholders untuk menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan karena tidak ada keunggulan kompetitif bangsa tanpa keunggulan kompetitif perusahaan-perusahaan. Sebaliknya, perusahaan atau pelaku usaha tidak dapat meningkatkan keunggulan kompetitif tanpa adanya peran pemerintah. Iklim usaha yang kondusif dapat diwujudkan melalui peran besar dari pemerintah itu sendiri. Inti dari
model ini adalah perusahaan harus selalu menciptakan nilai tambah dengan melahirkan kreasi-kreasi (value added creation) sehingga akan menciptakan keberlanjutan usaha yang pada akhirnya membentuk keunggulan kompetitif pada perusahaan dan berdampak pada keunggulan kompetitif di tingkat nasional. Competitiveness cube ini menggambarkan penciptaan kekayaan suatu negara melalui empat faktor kekuatan yang membentuk keunggulan kompetitif, yaitu efisiensi ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan infrastruktur. Keempat faktor tersebut berorientasi pada kebijakankebijakan pemerintah seperti makroekonomi, Gross Domestic Product, trade, investment dan lain sebagainya sebagai bentuk peran pemerintah dalam meningkatkan daya saing suatu negara. Competitiveness cube mencerminkan bahwa penting adanya sinergitas dan harmonisasi antara pelaku usaha dan pemerintah dalam membentuk empat faktor kekuatan yang menjadi landasan dalam menciptakan keunggulan kompetitif suatu negara. Menurut IMD (2009), peringkat Indonesia mengalami peningkatan dari posisi rangking 54 (2007), rangking 51 (2008) menjadi rangking 42 pada tahun 2009 (Tabel 1). Berdasarkan peringkat Sub Indeks Daya Saing Global tahun 2009, Peringkat Indonesia pada sub indeks persyaratan dasar urutan 70, sub indeks peningkat efisiensi urutan 50 dan sub indeks faktor-faktor inovasi dan kecanggihan urutan 40. Kondisi ini memperlihatkan bahwa peringkat sub indeks persyaratan dasar berada di bawah peringkat GCI urutan 54. Walaupun peringkat Indonesia mengalami peningkatan dari posisi rangking 55 pada tahun 20082009 menjadi posisi rangking 54 pada tahun 2009-2010
(Tabel 1), namun juga harus memperhatikan sub indeks daya saing global yang menunjukkan faktor-faktor krusial mana yang menjadi proritas negara untuk dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam rangka mewujudkan daya saing yang berkelanjutan. Dengan sub indeks persyaratan dasar berada di peringkat bawah, maka ke depan jika kita ingin meningkatkan daya saing Indonesia, pilar kelembagaan (institutions), pilar infrastruktur (infrastructure), pilar stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability), dan pilar kesehatan dan pendidikan dasar (health dan primary education) harus menjadi agenda prioritas negara terlebih dahulu. Pilar-pilar ini juga menjadi indikator untuk mewujudkan efisiensi ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan infrastruktur yang kuat. Ketangguhan dalam persyaratan dasar tersebut mencerminkan Iklim investasi yang kondusif yang akan menarik investasi sehingga memungkinkan perusahaanperusahaan untuk tumbuh dan berkembang, dan kemudian menciptakan lapangan pekerjaan. Kondisi ini sangat diperlukan oleh suatu negara karena negara-negara bersaing satu sama lainnya menawarkan produktivitas tenaga kerja dan modalnya yang paling tinggi dan iklim investasi yang paling kondusif bagi investor/pelaku usaha. Oleh karena itu, adanya peringkat daya saing menunjukkan sejauh mana iklim investasi di suatu negara menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya. Semua pilar yang menentukan daya saing perlu kita perbaiki secara serempak, holistik, komprehensif dan terintegrasi, tidak parsial dan tidak egosektoral dengan cara membangun sinergitas dan harmonisasi antara pemerintah, baik pusat dan daerah, swasta/pelaku usaha dan masyarakat.
Tabel 1. Peringkat dan Sub Indeks Global Competitiveness Index (GCI) dan Peringkat International Institute for Management Development (IMD) Peringkat GCI
Sub Indeks GCI
Peringkat IMD
2008-2009
2009-2010
Persyaratan Dasar
Peringkat Eksistensi
Faktor-faktor Inovasi dan Kecanggihan
2007
2008
2009
Singapore
3
5
2
2
10
2
2
3
China
24
21
36
32
29
15
17
20
Malaysia
29
30
33
25
25
23
19
18
Thailand
36
34
43
40
47
33
27
26
Indonesia
54
55
70
50
40
54
51
42
Negara
Philippines 87 71 95 78 74 45 40 43 Sumber: The Global Competitiveness Report, 2009-2010 WEF dan International Institute for Management Development, World Competitiveness Yearbook. Volume 15 No 1 Juni 2010
7
Rubrik Utama
KINERJA MEMBANGUN DAYA SAING BERKELANJUTAN PARA PELAKU USAHA Tuntutan peningkatan daya saing bisnis yang berkelanjutan menjadi keharusan di era kompetisi saat ini. Daya saing bisnis berkelanjutan akan meningkatkan ketahanan ekonomi dan bisnis sebagai bagian dari perekonomian keseluruhan, khususnya pada era globalisasi. Daya saing bisnis berkelanjutan dapat dikatakan sebagai daya saing yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan usaha tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi di masa depan. Daya saing bisnis berkelanjutan mempunyai tiga pilar yang secara seimbang saling tergantung dan saling memperkokoh yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Daya saing bisnis berkelanjutan dilakukan untuk menjaga agar potensi pertumbuhan usaha selalu meningkat seiring dengan tanggung jawab sosial terhadap perusahaan. Perusahaan berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Saat ini dunia usaha tidak hanya memperhatikan keuntungan yang didapatkan, namun juga harus memperhitungkan aspek sosial, dan lingkungan. Ketiga elemen inilah yang kemudian bersinergi membentuk konsep pembangunan berkelanjutan. Tentunya, untuk memadukan ketiga elemen profit, sosial dan lingkungan merupakan pekerjaan yang berat bagi perusahaaan-perusahaan, terutama perusahaanperusahaan yang bergerak pada bidang perkebunan yang dikenal memiliki resiko tinggi (high risk). Tuntutan masyarakat internasional kepada perusahaan-perusahaan di bidang perkebunan sangat besar untuk dapat menerapkan pembangunan perkebunan berkelanjutan. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar maupun internasional terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Salah satu komoditi perkebunan yang menjadi sorotan dunia internasional dalam hal pengelolaannya yang diduga berdampak negatif pada lingkungan yakni kelapa sawit. Walaupun kelapa sawit memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian nasional dan pengembangan kelapa sawit di Indonesia juga meningkat dengan sangat pesat, namun kelapa sawit juga dihadapkan pada berbagai isu negatif antara lain pembangunan kelapa sawit di Indonesia telah merusak lingkungan, merusak dan menghancurkan keanekaragaman hayati, penyebab terjadinya degradasi lahan dan deforestrasi (merusak hutan), meminggirkan 8
Agrimedia
penduduk asli lokal, mengurangi satwa langka, serta penyebab terjadinya emisi gas rumah kaca. Industri kelapa sawit menghadapi kampanye negatif dari masyarakat Eropa dan USA. Adanya kampanye negatif tersebut menunjukkan bahwa industri kelapa sawit Indonesia dihadapkan pada praktik perdagangan tidak adil dalam pasar minyak nabati internasional. Kondisi ini merupakan tantangan bagi komoditi kelapa sawit Indonesia untuk terus berupaya dan menghasilkan produk yang lestari sehingga mampu melakukan kampanye positif di dunia internasional. Pada dasarnya, pembangunan pertanian dan perkebunan sudah memperhatikan berbagai aspek lingkungan dan sosialbudaya masyarakat. Hal ini terlihat dari susbstansi berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertanian antara lain UU No.12 Tahun 1992 tentang Budidaya dan UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan juga telah menerapkan kaidah-kaidah pembangunan perkebunan berkelanjutan seperti Good Agricultural Practices (GAP) dan menerapkan AMDAL serta membuka lahan tanpa bakar. Indonesia telah memiliki komitmen terhadap masalah lingkungan dan sosial masyarakat. Indonesia selalu berpartisipasi, bahkan menjadi pelopor dalam berbagai gerakan untuk mengurangi pemanasan global (global warming). Atas dasar itu, Indonesia akan mengakomodasi dan menerapkan RSPO dalam upaya bersama penerapan prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan di Indonesia. Dengan adanya tuntutan dari masyarakat Internasional tentang isu lingkungan maka perusahaan-perusahaan perkebunan nasional besar seperti PT SMART Tbk, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera (Lonsum) dan PT Musim Mas terus berupaya menjalankan praktik manajemen terbaik dengan pendekatan kelestarian.
Namun, pendekatan kelestarian tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan pasar internasional. Produsen minyak kelapa sawit mentah dengan sadar menjalankan seluruh prinsip kelestarian mengikuti regulasi pemerintah demi membangun bisnis yang berkesinambungan. Untuk menuju pengelolaan pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan, perlu diperhatikan beberapa aspek, kebijakan terkait dengan ekonomi, sosial budaya, lingkungan. Ketiga aspek tersebut merupakan bagian terpenting dalam AMDAL, Klasifikasi Kebun, KBKT, KBDD dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang konsen terhadap standar RSPO disadari memang masih minim. Hingga kini baru beberapa perusahaan yang mendapatkan sertifikat dari RSPO, antara lain MUSIM MAS GROUP dan PT. PP. LONDON SUMATRA (LONSUM). MUSIM MAS GROUP merupakan perusahaan pertama yang berhasil mendapatkan sertifikat kelestarian minyak kelapa sawit mentah (CPO) sesuai dengan standar Meja Bundar Minyak Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Musim mas berhasil memenuhi 8 prinsip dan 39 kriteria yang ditetapkan RSPO. Di antaranya komitmen terhadap transparansi, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, dan tanggung jawab terhadap lingkungan, konservasi, serta pekerja. PT Musim Mas memiliki 69 jenis produk hasil olahan sawit. Dua produk pada sektor hulu (upstream), 12 produk pada sektor menengah (midstream) dan 55 produk pada sektor hilir (downstream). Sekitar 90% dari produk-produk tersebut diekspor ke luar negeri. LONSUM adalah perusahaan berusia 105 tahun dan unit usaha agrobisnis Indofood dengan perkebunan kelapa sawit 140.000 hektar. Sertifikasi RSPO yang diperoleh Lonsum tidak terlepas dari keras keras selama 4 tahun untuk memastikan bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikelola Lonsum sepenuhnya memenuhi prinsip-prinsip dan kriteria (P&C) RSPO. Dengan adanya sertifikat RSPO membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki standar operasi yang tinggi dan mampu menghasilkan minyak sawit berkelanjutan. Dengan kata lain, perkebunan kelapa sawit tidak merusak lingkungan dan masalah sosial. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa kini sertifikat RSPO menjadi sesuatu yang penting dalam perdagangan sawit internasional. Lain halnya dengan yang dialami PT. SMART, TBK yang merupakan unit usaha agrobisnis terintegrasi Sinar Mas Group mengelola 140.000 hektar perkebunan kelapa sawit
yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dan 450.000 hektar perkebunan kelapa sawit milik Golden Agri Resources yang tercatat di Bursa Efek Singapura. Perusahaan ini diduga telah mengabaikan peraturan pemerintah tentang lingkungan dan sosial. Dengan adanya tuduhan tersebut, PT. SMART, TBK tetap berkomitmen dalam pembangunan kebun sawit dan akan mempertahankan produksi yang berkelanjutan. Bahkan SMART tidak melakukan penanaman baru kelapa sawit di atas lahan yang memiliki kandungan karbon tinggi (high carbon stock). Untuk itu PT SMART, berusaha melestarikan keanekaragaman hayati, termasuk usaha untuk melestarikan spesies orangutan yang terancam punah. Dalam konteks ini yang perlu dilakukan industri sawit nasional yang mendapatkan tuduhan adalah menunjukkan bahwa aktivitas perkebunan kelapa sawit yang mereka olah adalah bebas dari tuduhan melakukan konversi pembukaan atas kawasan yang memiliki stok karbon tinggi dan bernilai konservasi tinggi. Ada berbagai cara untuk merealisasikan hal tersebut, antara lain meminta pihak ketiga yang dinilai kredibel dan adil oleh stakeholder sawit internasional untuk mengaudit praktek pengelolaan perkebunan yang terbaik (best agriculture practices) yang tidak rawan terhadap perusakan lingkungan sehingga mampu mendapatkan sertifikat RSPO yang diakui dunia internasional. Dibalik berbagai isu negatif terhadap pengelolaan kelapa sawit Indonesia, Industri kelapa sawit nasional terus menekankan bahwa kelestarian lingkungan kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalankan bisnis untuk tetap bertahan pada dinamika perdagangan internasional. Mengutip pernyataan yang diutarakan oleh Charles Darwin “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change”. “Bukan spesies yang paling kuat yang dapat bertahan, bukan pula yang paling pintar, tetapi yang paling responsif menyesuaikan diri terhadap perubahan”. Penerapan usaha yang ramah lingkungan dalam standarisasi Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menjadi kampanye positif bagi pembangunan kelapa sawit ke depan. Bumi, manusia, dan laba (planet, people, and profit : 3Ps) telah berpadu dalam bisnis perkebunan. Dalam industri sawit, 3Ps bukan tuntutan tetapi keharusan agar dapat sustain untuk menghadapi era globalisasi saat ini. Profit merupakan orientasi penting bukan hanya untuk perusahaan tetapi juga untuk masyarakat sekitar, bangsa dan negara. Tentunya, profit dapat diperoleh dengan 1) menekan biaya melalui peningkatan produktivitas (tanaman, Volume 15 No 1 Juni 2010
9
Rubrik Utama
lahan, manusia dll), meningkatkan utilisasi dan skala operasi, melakukan operasi yang terintegrasi, inovasi dan dukungan riset; 2) diversifikasi pendapatan melalui diversifikasi jenis, mutu dan branding produk; serta 3) diversifikasi pasar dengan melakukan segmentasi industri dan segmentasi geografi. Aspek kedua dalam 3Ps adalah people yang memiliki pengertian bahwa membentuk struktur sosial di mana kesejahteraan perusahaan, tenaga kerja dan kepentingan stakeholder lainnya saling bergantung satu sama lain. Maka dari itu, keharmonisan dengan karyawan dan masyarakat sekitar harus dijaga. Aspek ketiga adalah planet dengan menjaga tatanan alam sebaik-baiknya atau mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya, minimalisasi pencemaran dan konservasi.
Penerapan praktik manajemen yang baik perlu berbagai dukungan dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri minyak sawit Indonesia berupa kebijakan dan peraturan yang kondusif, penyediaan infrastruktur yang memadai dan pengelolaan sumberdaya alam, manusia dan keuangan. Upaya-upaya peningkatan daya saing harus cukup kuat untuk menyaingi upaya-upaya pesaing. Isu lingkungan dan persaingan dagang minyak nabati internasional juga menjadi tantangan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun, tantangan terbesar adalah ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan daerah, pungutan liar, dan tata ruang.
Perwujudan peningkatan daya saing bisnis berkelanjutan juga tidak terlepas dari komitmen perusahaan dalam mematuhi regulasi yang diberlakukan oleh pemerintah. Kepatuhan terhadap regulasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu pertama, mandatory, seperti Perizinan (AMDAL, HGU, IUP dll), Pembukaan (Zero burning, dll), Operasional (B3, K3, dll), Perburuhan (UMP, PKB dll), Keuangan (Pajak), Proper; kedua, Voluntarily, seperti ISO, RSPO (Global dan NI, HCV, Newplanting, Smallholder), HACCP. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan salah satu praktek yang terbaik dalam menjalankan bisnis yang berkesinambungan. Terlebih, dinamika perkembangan bisnis di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat selama ini.
Pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, belum menjadi prioritas sampai saat ini. Program pembangunan negara-negara berkembang masih terfokus pada pengentasan kemiskinan dan eksploitasi sumber daya alam untuk menghasilkan pendapatan. Ketika pembangunan berkelanjutan diperkenalkan oleh negaranegara maju dan NGO’s banyak orang memandangnya sebagai sebuah agenda negara-negara kaya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Negara maju cenderung mendiktekan penerapan sustainability melalui terms dan conditions bantuan yang diberikan. NGO’s cenderung terlalu ekstrim memperjuangkan kepentingan lingkungan sehingga terkesan menomorduakan kepentingan pembangunan (manusia).
Dalam mengelola bisnis dibidang perkebunan agar berkesinambungan dengan menerapkan 3Ps, PT. SMART, Tbk mengandalkan kekuatan SDM, perencanaan yang menyeluruh, implementasi best practice dengan pengawasan menyeluruh dan dengan dukungan teknologi informasi. Dalam menerapkan 3Ps, PT. MUSIM MAS melestarikan ekosistem dan keanekaragaman hayati, mengurangi pencemaran dan emisi gas rumah kaca, memastikan praktek perburuhan yang adil dan mempertahankan keharmonisan sosial dengan masyarakat lokal menjadi prasyarat untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. PT. LONSUM menerapkan 3WP, winning people, winning concept dan winning system. 3WP ini memiliki keterkaitan satu sama lain, dimana perusahaan memberikan perhatian lebih pada kompetensi pekerja yang punya kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kebun. Hal ini penting untuk mempermudah penerapan praktik manajemen terbaik dalam mendukung produksi CPO lestari.
10
Agrimedia
TANTANGAN DAN STRATEGI MEMBANGUN DAYA SAING BERKELANJUTAN KE DEPAN
Akibatnya, meskipun konsep ini baik secara teori, namun belum berhasil pada tahap implementasi karena penerapan konsep sustainability tidak mendapat dukungan penuh masyarakat, dunia usaha dan pemerintah karena dianggap merupakan agenda negara kaya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Cara yang lebih baik untuk memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan adalah melalui proses pendidikan. Dengan proses pendidikan diharapkan konsep sustainability dapat diterima dengan kesadaran penuh dan diterapkan secara sukarela dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Perwujudan pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan SDM yang handal dalam memahami konsep sustainability itu sendiri. Kurangnya SDM berkualitas merupakan salah satu penyebab lambannya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Sosialisasi konsep sustainability dalam pembangunan, termasuk dalam menjalankan usaha, lebih strategis dilakukan melalui lembaga pendidikan karena tidak ada unsur pemaksaan. Memasukkan konsep sustainability dalam kurikulum lembaga pendidikan seperti Magister Manajemen diperkirakan dapat memainkan peranan penting untuk mensosialisasikan konsep sustainability itu sendiri. Hal ini didasarkan karena Peserta pada program ini merupakan pemimpin atau calon pemimpin di masa depan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan. Terlebih, asal peserta mencakup tiga stakeholder utama dalam pembangunan: sektor publik (eksekutif, legislatif dan yudikatif), sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society), termasuk NGO. Pilar utama daya saing bangsa adalah human capital atau sumber daya manusia. Indonesia memerlukan kader-kader terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap mental prima, unggul dan berdaya saing tinggi, kemampuan handal dengan nasionalisme sejati karena kemajuan ekonomi, kemajuan bangsa, itu disebabkan oleh kualitas dari human capital-nya. Salah satu prioritas utama adalah pembangunan kualitas SDM melalui pendidikan. Di sinilah diharapkan peran dan kontribusi pendidikan dalam melakukan regenerasi dan modernisasi industri serta mendorong pengembangan ekonomi dan pertumbuhan masyarakat. Untuk mengejar ketertinggalan daya saing global, kebijakan di bidang pendidikan harus dipayungi komitmen yang tinggi, konsisten dan berkelanjutan. Perguruan Tinggi yang tugas utamanya sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk mengajarkan kebenaran, menemukan kebenaran, membangun nilai-nilai baru sehingga berani menanggalkan kredonya sebagai
teaching learning university menjadi research university. Inilah Perguruan Tinggi yang semestinya dapat melakukan peran untuk mencapai daya saing bangsa yang kuat. Perlu dilakukan penataan sistem pendidikan dengan paradigma baru, perlu penataan diri yang terintegrasi, terus menerus mengupayakan kreativitas dan inovasi, peningkatan relevansi pendidikan, perlu penyusunan rencana strategis (renstra) dan rencana operasional (renop) untuk memacu target yang sesuai indikator kinerja yang dinyatakan dalam kuantitas dan kualitas serta relevansi lulusan, bahkan prinsip link & match supaya dapat diimplementasikan, dengan harapan pemerintah konsisten melakukan investasi dibidang pendidikan, peningkatan kualitas staf pengajar, sarana dan prasarana, meningkatkan keterlibatan seluruh civitas akademika melalui penataan organisasi, program, penggunaan dana yang efektif/efesien, saling tukar menukar pengalaman untuk mencapai kriteria Badan Akreditasi Nasional dalam peningkatan kemampuan pembelajaran supaya menghasilkan peningkatan kompetensi lulusan.===
DAFTAR PUSTAKA Daryanto, Arief. 2010. Peranan Program MM/MBA Dalam Mengembangkan Konsep Bisnis yang Berkelanjutan [National Seminar: Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge]. Hotel Grand Hyatt. Jakarta. 24 April 2010. Dharsono, Daud. 2010. PT. SMART TBK: Pengelolaan Industri Agribisnis Untuk Mencapai Daya saing Usaha yang Lestari [National Seminar: Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge]. Hotel Grand Hyatt. Jakarta. 24 April 2010. Lian Tiong, Gan. 2010. Managing Sustainability in Palm Oil Production : Opportunities & Challenges [National Seminar: Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge]. Hotel Grand Hyatt. Jakarta. 24 April 2010. Rajasa, Hatta. 2010. Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge [National Seminar: Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge]. Hotel Grand Hyatt. Jakarta. 24 April 2010. Tjoeng, Benny. 2010. Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge [National Seminar: Sustainable Business Competitiveness : The Next Challenge]. Hotel Grand Hyatt. Jakarta. 24 April 2010. Volume 15 No 1 Juni 2010
11