66
BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PTT SERTA INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi evaluasi P3TIP ini adalah pada keluaran yang dicapai dari program inovasi sistem Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang diintroduksikan kepada para petani di BPP Ciruas. Sehubungan dengan itu, bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji dan analisis statistik atas sejumlah hipotesis berkenaan hubungan antara karakteristik individu dan rumahtangga petani peserta PTT serta peranserta mereka dalam Proyek PTT dengan keluaran P3TIP pada tingkatan individu dan rumahtangga petani peserta PTT. Di samping itu, bab ini juga menjelaskan secara kualitatif hubungan input proyek P3TIP terhadap peranserta petani dalam P3TIP - khususnya berkenaan bentuk dan jumlah dana hibah- serta penguatan kelembagaan petani terhadap keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan petani dan BPKP sebagaimana dikemukakan pada Gambar 2. 7.1. Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu 7.1.1. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada Karakteristik Individu Petani, yakni: Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Nonformal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT dengan keluaran yang terjadi pada petani peserta PTT pada tiga ranah, yakni pengetahuan, sikap dan tindakan/penerapan. Data berkenaan hubungan antara lima variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani PTT dengan tiga variabel pada Keluaran disajikan pada Tabel 18. Adapun data pendukung, berupa persentase petani peserta PTT menurut kategori kriteria
67
dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 18. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Keluaran Pada Tingkat Individu, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Karakteristik Individu
Tingkat Pengetahuan PTT
Sikap Petani terhadap PTT
RenSeTing- Rendah dang gi dah 1.Tingkat Pendidikan Formal (X1) Rendah 0 33 47 24 Sedang 0 7 13 2 Tinggi 0 0 0 0 2. Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Rendah 0 36 49 24 Sedang 0 4 11 2 Tinggi 0 0 0 0 3. Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3) Rendah 0 16 20 11 Sedang 0 11 27 9 Tinggi 0 13 13 6 4. Pola Perilaku Komunikasi (X4) Rendah 0 16 20 13 Sedang 0 20 26 11 Tinggi 0 4 14 2 5. Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5) Rendah 0 14 20 11 Sedang 0 22 31 13 Tinggi 0 4 9 2
Sedang
Tinggi
42 14 0
14 4 0
49 7 0
Tingkat Penerapan PTT Rendah
Sedang
Tinggi
31 4 0
38 11 0
11 5 0
12 6 0
31 4 0
44 5 0
10 6 0
20 22 14
5 7 6
13 11 11
20 20 9
3 7 6
16 31 9
7 4 7
18 13 4
11 31 7
7 2 7
16 31 9
7 9 2
16 15 4
11 31 7
7 7 2
Berdasar data pada Tabel 18 di atas, diketahui bahwa tidak satupun petani peserta PTT memiliki Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang tergolong kriteria rendah. Persentase mereka (total) yang tergolong memiliki pengetahuan kriteria tinggi lebih besar sekitar 20 persen dibanding mereka yang tergolong kriteria sedang. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari karakteristik individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05. Hal ini disebabkan karena fakta sebagaimana terlihat pada Lampiran 4 bahwa mayoritas peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori rendah baik dalam hal Tingkat Pendidikan Formal (X1) maupun Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) mereka, berturut-turut sebesar 80 persen dan 85 persen. Di samping itu, mayoritas petani
68
tergolong sedang dalam hal tiga variabel pada karakteristik individu lainnya, yakni 38 persen, 46 persen dan 53 persen berturut-turut pada variabel Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5). Temuan ini memperkuat hasil penelitian Kartono (2009) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal dan tingkat pengalaman usahatani tidak berhubungan secara nyata dengan persepsi petani terhadap inovasi PTT pada taraf α= 0,05. Lebih lanjut, sebagaimana terlihat pada Tabel 18, meskipun tidak ada petani peserta PTT yang tingkat pengetahuannya tergolong rendah, namun mereka terdistribusi ke dalam tiga kategori Sikap Petani terhadap PTT (Y2), dimana mayoritas tergolong kategori sedang (56 persen), kemudian diikuti oleh mereka yang tergolong rendah dan tinggi, berturut-turut sebesar 26 persen dan 18 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel karakteristik individu peserta PTT, khususnya pada dua variabel yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) tidak berhubungan nyata dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada pada taraf α=0.05. Hal ini disebabkan tidak adanya peserta PTT yang tergolong kriteria tinggi pada kedua variabel tersebut. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α berturut-turut sebesar 0,10 dan 0,20; sementara variabel Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) berhubungan nyata dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α masing-masing sekitar 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti dengan tingkat signifikansi sebesar 0,10 variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dianggap cukup baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Adapun untuk variabel-variabel yang tingkat signifikansinya sebesar 0,20 sampai dengan 0,30, yakni Pola Perilaku Komunikasi (X4), Tingkat Pendidikan Formal (X1), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap kurang baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Hal ini dimungkinkan, karena umumnya semua
69
petani yang menjadi peserta PTT adalah mereka yang memiliki sawah sehamparan yang menjadi bagian dari UP-FMA yang secara sepihak (top down) ditetapkan sebagai peserta oleh pihak Pimpinan P3TIP. Selain itu, sebagian besar diantara mereka mau menjadi peserta PTT dengan motivasi memperoleh insentif berupa stimulan pelatihan dan dana bagi usahatani mereka. Meskipun persentase mereka yang tergolong rendah dalam Sikap Petani terhadap PTT (Y2) hanya 26 persen, namun mereka yang Tingkat Penerapan PTT (Y3) -nya dalam kategori rendah ternyata menunjukkan persentase yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain, mereka yang Tingkat Penerapan PTT (Y3)-nya pada kategori sedang dan tinggi lebih rendah dibanding dengan persentase mereka dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada dua kategori yang sama. Ini menunjukkan mereka yang meskipun sikapnya positif terhadap Inovasi PTT, namun tidak diikuti dengan menerapkan inovasi PTT secara utuh. Selanjutnya, hubungan antara variabel-variabel karakteristik individu peserta PTT dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3), khususnya pada dua variabel yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Non Formal (X2) yang tidak berhubungan nyata tampaknya disebabkan oleh tidak adanya peserta PTT yang tergolong kriteria tinggi pada kedua variabel tersebut. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari karakteristik individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05. Hal ini terjadi karena pada fakta sebagaimana terlihat pada Lampiran 4 bahwa mayoritas peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori sedang, baik dalam hal Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), maupun Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5), dengan persentase berturut-turut sebesar 38 persen, 46 persen, dan 53 persen. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) pada taraf α=0,20. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal ini dapat diartikan bahwa variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3), sementara Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap tidak baik
70
mempengaruhi dan sangat tidak signifikan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) karena berhubungan pada taraf α lebih dari 0,30. Hal ini dimungkinkan oleh karena petani peserta PTT memiliki pendidikan non formal dan perilaku komunikasi yang sebagian besar lebih banyak berhubungan dengan pelatihan sebatas program PTT. Di samping itu, karena sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya (Tabel 17), mayoritas petani peserta PTT (83 persen) terdiri atas petani penggarap yang tidak sepenuhnya berhak mengambil keputusan untuk menerapkan inovasi PTT, karena hal itu umumnya dilakukan oleh pemilik lahan. 7.1.2. Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel bebas pada Karakteristik Rumahtangga Petani, yakni: Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani ( X7), Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) dengan Keluaran yang terjadi pada petani
peserta
PTT
pada
tiga
ranah,
yakni
pengetahuan,
sikap
dan
penerapan/keterampilan. Tabel 19 menyajikan data berkenaan huungan antara empat variabel bebas pada karakteristik rumahtangga petani dengan tiga variabel tidak bebas pada tiga ranah perilaku tersebut. Adapun persentase petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari semua variabel karakteristik rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. Data pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa dari hasil uji korelasi rank Spearman, diketahui bahwa Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05. Hal ini diduga karena sebagian besar usahatani (budidaya padi PTT) dikerjakan sendiri oleh petani peserta PTT (87 persen) -kriteria tergolong kriteria rendah- , sehingga tingkat pengetahuan disini mencerminkan pengetahuan peserta PTT itu sendiri. Hal ini tampaknya memperkuat hasil penelitian Kartono (2009), yang juga menemukan bahwa luas lahan usahatani tidak berhubungan nyata dengan persepsi terhadap PTT. Variabel-variabel Luas Lahan Usahatani (X6), Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9), dan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (X1) berturut-turut pada taraf α 0,10,
71
0,20, dan 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti variabel Luas Lahan Usahatani (X6) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Pengetahuan PTT (Y1); sementara Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9), dan Tingkat
Kekayaan
Rumahtangga
Petani
(X7)
dianggap
kurang
baik
mempengaruhi Tingkat Pengetahuan PTT (Y1). Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) VariabelVariabel Karakteristik Rumahtangga
Tingkat Pengetahuan PTT
Rendah
Sedang
Tinggi
Sikap Petani terhadap PTT
Rendah
1. Luas Lahan Usaha Tani (X6) Rendah 0 9 9 11 Sedang 0 24 27 15 Tinggi 0 7 24 0 2. Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Rendah 0 36 47 26 Sedang 0 2 9 0 Tinggi 0 2 4 0 3. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) Rendah 0 40 47 23 Sedang 0 0 13 3 Tinggi 0 0 0 0 4. Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Rendah 0 25 27 22 Sedang 0 4 4 4 Tinggi 0 11 29 0
Tingkat Penerapan PTT
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
5 29 22
2 7 9
11 24 0
5 22 22
2 5 9
48 4 4
9 7 2
35 0 0
43 4 2
5 7 4
48 8 0
16 2 0
33 2 0
38 11 0
16 0 0
25 2 29
5 2 11
27 4 4
20 2 27
5 2 9
Adanya hubungan yang cukup baik dari kedua variabel tersebut dengan Tingkat Pengetahuan PTT dimungkinkan karena sebagaimana terlihat pada Tabel 19 ada kecenderungan semakin tinggi persentase masing-masing variabel semakin Tingkat Pengetahuan PTT (Y1). Hal ini karena sebagian besar petani peserta PTT memiliki Luas Lahan Usahatani (X6) tergolong sedang (51 persen) dan tinggi (31 persen) yang berarti membutuhan tenaga kerja luar keluarga. Dalam hal tingkat kekayaan, sayangnya ternyata sebagian besar tergolong rendah (87 persen), yang berarti relatif homogen keadaannya. Lebih lanjut dalam hal ranah kedua, yakni Sikap Petani Terhadap PTT (Y2), sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5, uji korelasi Spearman menunjukkan
72
bahwa dua variabel yakni Luas Lahan Usahatani (X6) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) berhubungan nyata pada pada taraf α=0.05; sementara Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α sebesar 0,10. Adapun variabel selainnya yakni Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) berhubungan dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α lebih besar dari 0,30. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), Luas Lahan Usahatani (X6) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) sangat signifikan mempengaruhi Sikap Petani terhadap PTT (Y2), oleh karena baik petani pemilik maupun penggarapnya menyepakati/bersedia mengikuti aturan yang ditetapkan sebagai peserta PTT. Selain itu, pada dasarnya semakin tinggi luas usahatani semakin banyak stimulannya diperoleh. Adapun pada dua variabel selainnya diduga karena karakterstik pada kedua varabel tersebut mayoritas homogen kondisinya, yakni persentasenya sebagian besar tergolong rendah. Dalam hal hasil uji korelasi rank Spearman antara empat variabel karakteristik rumahtangga dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) diperoleh hasil bahwa Luas Lahan Usaha Tani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga (X7) berhubungan nyata dan signifikan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05, sementara variabel Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) memperlihatkan hubungan pada taraf α lebih dari 0,30, hal ini berarti variabel ini tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan dalam mempengaruhi Tingkat Penerapan Petani (Y3). Sebagaimana dikemukakan di atas, hal ini diduga karena semakin luas usahatani semakin besar stimulan yang diperoleh petani dan diaplikasikan dalam usahataninya, semakin kaya memungkinkan menerapkan inovasi oleh karena sebenarnya mereka tidak lain adalah anggota pengurus UP FMA dan Gapoktan.
7.1.3. Hubungan Antara Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu Diduga terdapat hubungan positif antara dua variabel pada Peranserta Petani dalam P3TIP, yakni: Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi Petani dalam program PTT (X11) dengan keluaran tiga ranah perilaku
73
petani peserta PTT. Tabel 20 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel-variabel bebas dan tidak bebas tersebut. Adapun distribusi petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari variabel Peran Serta Petani dalam PTT dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 20. Hubungan Antara Variabel-variabel Peranserta Petani Peserta PTT dengan Pada Tingkat Individu, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Tingkat Pengetahuan PTT Sikap Petani terhadap PTT Peran Serta Petani Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Rendah 0 31 27 17 32 9 Sedang 0 9 27 9 22 5 Tinggi 0 0 6 0 2 4 2. Tingkat Partisipasi Petani (X11) Rendah 0 40 52 26 52 14 Sedang 0 0 4 0 0 4 Tinggi 0 0 4 0 4 0
Tingkat Penerapan PTT Rendah
Sedang
Tinggi
24 11 0
27 20 2
7 5 4
35 0 0
45 0 4
12 4 0
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, tidak satupun petani peserta PTT memiliki pengetahuan tentang PTT yang tergolong kriteria rendah. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa hanya variabel Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05; sementara Tingkat Partisipasi Petani (X11) dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) berhubungan pada taraf α sebesar 0,10. Yang menarik bahwa sekalipun sebagian besar petani PTT tergolong rendah dalam frekuensi
mengikuti penyuluhan (58 persen) dan partisipasinya dalam
penyelenggaraan program (90 persen), namun tidak seorangpun diantara mereka yang berpengetahuan tentang PTT yang tergolong rendah. Hal ini dimungkinkan oleh karena sebenarnya pengetahuan tentang unsurunsur inovasi PTT diperoleh sebagian besar pada awal kegiatan penyuluhan PTT, yakni dalam pelatihan PTT. Frekuensi pertemuan sebanyak 24 kali itu sebagian besar memang dilakukan setelah pelatihan, dimana petani tidak terlalu berminat mengikutinya, karena bagi mereka motivasinya memperoleh stimulan, dan itu diberikan pada awal pelatihan. Pada masa pelatihan pula bahwa mereka dilibatkan dalam perencanaan, namun kegiatan monitoring dan sesudahnya mereka kurang
74
berpartisipasi. Hal ini antara lain diduga karena sebagian besar petani PTT itu terdiri dari petani penggarap yang karena kesibukannya bekerja di luar pertanian, seperti mengojek dan dagang. Berkenaan dengan ranah yang kedua, hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa ternyata kedua variabel pada peranserta petani dalam PTT berhubungan dengan Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) berturut-turut pada taraf α = 0,10 untuk variabel Tingkat Partisipasi (X11) dan pada taraf α = 0,20 untuk Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10). Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti Tingkat Tingkat Partisipasi (X11) dianggap cukup baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) sementara Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dianggap kurang baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sebagian besar petani peserta bersikap positif terhadap inovasi PTT karena harapan untuk memperoleh stimulan; dan hal ini hanya diperoleh jika petani ikut dalam perencanaan yang dilakukan sebelum pelatihan dilakukan. Selanjutnya diketahui bahwa hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi (X11) berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05, sementara variabel Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) berhubungan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) tersebut pada taraf α 0,10. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat diartikan bahwa Tingkat Tingkat Partisipasi (X11) dianggap baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3), sementara Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3).
7.2. Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga 7.2.1. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabelvariabel pengaruh pada Karakteristik Individu Petani, yakni: Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Non-formal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola
75
Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT dengan keluaran pada tingkat rumahtangga, yakni: Tingkat Produksi Usahatani dan Tingkat Pendapatan. Data berkenaan hubungan antara lima variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani PTT dengan dua variabel pada Keluaran pada Tingkat Rumahtangga selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Karakteristik Individu
Tingkat Produksi Usahatani
Rendah Sedang 1.Tingkat Pendidikan Formal (X1) Rendah 56 11 Sedang 13 0 Tinggi 0 0 2. Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Rendah 60 11 Sedang 9 0 Tinggi 0 0 3. Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3) Rendah 27 2 Sedang 24 7 Tinggi 18 2 4. Pola Perilaku Komunikasi (X4) Rendah 31 2 Sedang 27 9 Tinggi 11 0 5. Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5) Rendah 29 2 Sedang 29 9 Tinggi 11 0
Tinggi
Tingkat Pendapatan Petani Rendah
Sedang
Tinggi
13 7 0
56 13 0
13 5 0
11 2 0
14 6 0
64 5 0
11 7 0
10 3 0
7 7 6
24 25 20
9 7 2
3 6 4
3 10 7
31 29 9
2 11 5
3 6 4
3 15 2
29 31 9
2 14 2
3 8 2
Berdasar data pada Tabel 21, diketahui bahwa mayoritas petani peserta PTT memiliki Tingkat Produksi Usahatani (Y4) yang tergolong kriteria rendah, dengan rata-rata produksi kurang dari 4 ton per hektar. Sebagaimana terlihat pada Lampiran 4, persentase mereka sebesar 69 persen, atau 49 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tingkat produksi usahataninya tergolong tinggi (≥6 ton). Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari Karakteristik Individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α=0.05. Hal inipun karena mayoritas
76
peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori rendah baik dalam hal Tingkat Pendidikan Formal (X1) maupun Tingkat Pendidikan Non Formal (X2), berturut-turut sebesar 80 persen dan 85 persen; sementara itu pada tiga variabel lainnya menunjukkan kriteria sedang, yakni sebesar 38 persen, 46 persen dan 53 persen berturut-turut pada variabel Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5). Namun demikian, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Pola Perilaku Komunikasi (X4) dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α sebesar 0,10; sementara variabelvariabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α masing-masing sekitar 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti bahwa Pola Perilaku Komunikasi (X4) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4). Hal ini diduga berhubungan dengan pola komunikasi petani peserta PTT yang cenderung lebih kosmopolit, antara lain tercermin komunikasi mereka dengan sumber inovasi PTT, yakni sekitar 77 persen berkomunikasi dengan Ketua Gapoktan, 68 persen dengan PPL, dan sekitar 20 persen dengan Kontak tani. Selanjutnya, dalam hal Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap kurang baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4) diduga karena faktanya menunjukkan bahwa kecuali mengikuti pelatihan yang diadakan BPKP dalam konteks PTT, hampir semua petani tidak pernah mengikuti pelatihan lainnya yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas usahatani mereka; sementara itu kebutuhan petani akan PTT lebih banyak karena motivasi mendapat stimulan. Dua variabel lainnya, yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) tergolong tidak baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4) karena faktanya petani peserta PTT homogen, dalam arti mayoritas berpendidikan rendah, sementara dalam hal Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), meskipun cenderung relatif heterogen dan terdistribusi normal namun pengalaman tersebut belum menyangkut semua hal berkenaan dengan inovasi PTT. Hanya dua aspek, yakni penggunaan benih unggul dan bibit muda
77
yang lebih dari 60 persen diadopsi petani PTT, untuk lima unsur lainnya kurang dari 50 persen petani yang menerapkannya, bahkan semua petani menyatakan bahwa pupuk organik yang mereka gunakan tidak sesuai dengan kebutuhan karena tidak tersedia secara lokal. Dalam hal hubungan antara lima variabel pada karakteristik individu dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), diketahui kecuali Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4), tiga variabel selainnya tidak berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (X5) pada taraf α=0.05. Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α 0,20; sementara Tingkat Pendidikan Formal (X2) dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α lebih dari 0,30. Tingkat Pendidikan Formal (X1), Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) tidak berhubungan dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) karena pada dasarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani terbatas pada pendapatan yang diperoleh secara langsung dari hasil produksi usahatani, yang sepenuhnya sangat ditentukan oleh luasan usahatani sawah dan penerapan inovasi teknologi dalam budidaya padi dengan sistem PTT, sebagaimana dijelaskan pada sub-bab selanjutnya. 7.2.2. Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Keluaran Pada Tingkat Rumahtangga Sebagaimana dikemukakan di depan, diduga terdapat hubungan antara empat variabel pada Karakteristik Rumahtangga Petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga petani yakni Tingkat Produksi Usahatani (Y4) dan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Seperti terlihat pada Lampiran 4, tingkat produksi usahatani petani peserta PTT mayoritas (69 persen) tergolong rendah, atau lebih besar 49 persen dibanding mereka yang tingkat produksinya tergolong kriteria tinggi. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa kecuali variabel Jumlah Tenaga
78
Kerja Dalam Keluarga (X8), Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi (Y4) pada taraf α=0.05. Hal terakhir ini dimungkinkan oleh karena sebagaimana terlihat pada Tabel 22, terdapat kecenderungan dimana tingkat produksi pada petani dengan luas usaha tani yang kriterianya rendah semuanya (100 persen) rendah, sebaliknya pada petani dengan luas usaha tani yang kriterianya tinggi sebagian besar terdapat yakni sekitar 65 persen tergolong tinggi dalam tingkat produksi. Demikian pula halnya dengan dua variabel lainnya -Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Adapun data semua varibel bebas dan tidak bebas tersebut disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) VariabelVariabel Karakteristik Rumahtangga
Tingkat Produksi
Rendah Sedang 1. Luas Lahan Usaha Tani (X6) Rendah
18
Tingkat Pendapatan Petani Tinggi
0
Sedang 49 2 Tinggi 2 9 2. Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Rendah 62 11 Sedang 5 0 Tinggi 2 0 3. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) Rendah 63 4 Sedang 6 7 Tinggi 0 0 4. Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Rendah 50 2 Sedang 8 0 Tinggi 11 9
0
Rendah
Sedang
Tinggi
0 20
18 42 9
0 9 9
0 0 13
9 7 4
65 4 0
11 5 2
7 2 4
20 0 0
62 7 0
16 2 0
9 4 0
0 0 20
50 3 16
2 5 11
0 0 13
Demikian pula halnya hasil uji korelasi rank Spearman atas hubungan antara empat variabel pada karakteristik rumahtangga dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), ditemukan bahwa Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9)
79
berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf taraf α=0.05, sementara variabel Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) tidak berhubungan nyata. Hal ini dimungkinkan karena Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) sebenarnya mencerminkan hasil penjualan atas produksi usahatani dari menerapkan inovasi PTT. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) tidak berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), oleh karena sebagaimana diketahui sekitar 51 persen dan 31 persen rumahtangga petani PTT memiliki lahan yang sedang dan luas, dalam arti bahwa sebagian besar kegiatan usahatani sawah dikerjakan tenaga kerja luar keluarga.
7.2.3. Hubungan Antara Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada Peranserta Petani dalam P3TIP, yakni: Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi Petani dalam program PTT (X11) dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Peserta PTT. Tabel 23 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut, distribusi petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari variabel Peranserta Petani dalam PTT dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 23. Hubungan Antara Variabel-variabel Peran Serta Petani Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Tingkat Produksi Peran Serta Petani dalam P3TIP Rendah Sedang Tinggi 1. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Rendah 40 9 9 Sedang 27 2 7 Tinggi 2 0 4 2. Tingkat Partisipasi Petani (X11) Rendah 65 11 16 Sedang 0 0 4 Tinggi 4 0 0
Tingkat Pendapatan Rendah
Sedang
Tinggi
42 27 0
7 7 4
9 2 2
67 0 2
14 2 2
11 2 0
Berdasarkan Tabel 23, dapat diketahui bahwa apapun kriteria petani peserta PTT baik pada Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat
80
Partisipasi (X11), sebagian besar usahatani mereka tergolong memiliki tingkat produksi rendah. Tampaknya hal ini berhubungan dengan fakta bahwa tingkat produksi tersebut sangat ditentukan (berhubungan langsung) dengan tingkat penerapan inovasi PTT yang ternyata tidak sepenuhnya diterapkan pasca pelatihan. Selain itu, tingkat produksi berhubungan dengan aspek-aspek teknis budidaya lainnya lahan yang tidak ditelaah dalam penelitian. Gejala yang dijumpai pada aspek Tingkat Produksi Usahatani (Y4) juga berlaku pada aspek Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Namun demikian, Tingkat Partisipasi Petani (X11) berhubungan dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α
sebesar 0,10; yang berarti variabel Tingkat
Partisipasi Petani (X11) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Pendapatan PTT (Y5). Hal ini diduga karena baik pada variabel Tingkat Partisipasi Petani (X11) maupun Tingkat Pendapatan PTT (Y5) cenderung relatif homogen, dalam arti mayoritas tergolong kriteria rendah.
7.3. Hubungan Antar Variabel Keluaran P3TIP pada Tingkat Individu dan Rumahtangga Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, diduga terdapat hubungan antara variabel Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang dimiliki petani peserta PTT dengan variabel Sikap Petani terhadap PTT (Y2), dan variabel Sikap Petani terhadap PTT ini diduga berhubungan dengan variabel Tingkat Penerapan PTT (Y3). Hasil uji korelasi rank Spearman antar variabel tidak bebas tersebut dapat dilihat Tabel 24. Tabel 24. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antar Variabel Tidak Bebas, Desa Ciruas, Tahun 2010 Variabel Antar Keluaran Tingkat pengetahuan (Y1) dengan Sikap Petani terhadap PTT Sikap Petani terhadap PTT (Y2) dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3)
rs 0,652
Sig. 0.00
0,844
0.00
Seperti terlihat pada Tabel 24 hubungan antar variabel tidak bebas pada tingkat
individu tersebut menunjukkan hubungan nyata pada taraf α =0,05.
Dengan perkataan lain peningkatan pengetahuan akan PTT di kalangan petani peserta berhubungan dengan sikap mereka terhadap PTT, dan pada gilirannya
81
sikap mereka terhadap PTT berhubungan dengan tingkat penerapan PTT di usahatani mereka. Hal ini memperkuat hasil penelitian Kartono (2009) yang mengemukakan adanya hubungan yang nyata antara persepsi petani terhadap PTT dengan penerapan PTT petani. Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan bahwa ketiga variabel pada perilaku petani PTT tersebut berhubungan nyata dengan dua variabel pada tingkat rumahtangga, yaitu Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan. Tabel 25. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Variabel Keluaran Tingkat Individu dengan Variabel Keluaran Tingkat Rumahtangga Petani, Desa Ciruas, Tahun 2010 Variabel-Variabel Tingkat pengetahuan (Y1) Sikap Petani terhadap PTT (Y2) Tingkat Penerapan PTT (Y3)
Tingkat Pendapatan (Y5) Sig. rs 0,373 0,012 0,343 0,021 1 0,003
Tingkat Produksi Y4 Sig. rs 0,326 0,029 0,39 0,008 0,507 0.00
Sebagaimana terlihat pada Tabel 25, hasil uji korelasi rank Spearman antar variabel tidak bebas pada tingkat individu berhubungan nyata dengan semua variabel keluaran pada tingkat rumahtangga (Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan). Demikian pula halnya, terdapat hubungan antara Tingkat Produksi dengan Tingkat Pendapatan dengan korelasi (rs) sebesar 0,6 pada taraf α 0,00. 7.4. Hubungan Input Proyek dengan Keluaran P3TIP di Tingkat Kelembagaan Sub-bab ini mengemukakan deskripsi berkenaan hubungan input dan keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan BPKP dan petani. Pada tingkat kelembagaan BPKP meliputi jumlah pengembangan SDM penyuluhan, jumlah fasilitas (sarana) dan pelayanan yang diperoleh BPKP, serta jumlah penyuluh peserta pelatihan dan yang melanjutkan pendidikan tinggi. Sementara pada tingkat kelembagaan petani meliputi tingkat keberdayaan UP-FMA 7.4.1. Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan BPKP Penguatan
kelembagaan
dan
kemampuan
aparat
bertujuan
untuk
mengembangkan sistem penyuluhan yang terdesentralisasi melalui kerjasama
82
antara penyedia layanan penyuluhan swasta dengan kelompok tani dan perusahaan untuk keuntungan bersama. Untuk keperluan tersebut pemerintah mengintroduksikan beberapa kegiatan yang
mencakup:
penyediaan
pelatihan,
perbaikan
infrastruktur
beserta
perlengkapannya, serta penyediaan dana operasional bagi pelayanan penyuluhan di kecamatan dan kabupaten. Sejalan dengan ruang lingkup dari P3TIP, BPKP telah merealisasi pengembangan SDM dan fasilitas. Bentuk pengembangan kelembagaan yang dilakukan oleh BPKP melalui P3TIP itu tidak semata-mata berhubungan langsung dengan substansi P3TIP. Hal ini terlihat dari adanya aktivitas berupa pemilihan Konsultan Perencanaan Pengawas dan pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) di lingkungan kelembagaan penyuluhan dan tokoh masyarakat. Salah seorang diantara peserta pelatihan anti korupsi adalah Kepala BPP Ciruas. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Bentuk Pengembangan SDM dan Fasilitas pada P3TIP, Kabupaten Serang, Tahun 2008 Bentuk Pengembangan
Input
Materi
Output
Pelatihan metode fasilitasi dan FMA untuk para penyuluh pertanian di tingkat kecamatan (2 angkatan)
Dana penyelenggaraan sebesar Rp125.523.600,dan Fasilitator yang terdiri atas Tim Penyuluh Lapangan.
Pengkajian desa Secara Partisipatif (Partisipatory Rural Approach atau PRA) dan menyusun rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK), programa penyuluhan desa, dan proposal FMA, serta mengelola keuangan FMA dan penyuluhan desa secara partisipatif.
Penyuluh mampu melakukan: fasilitasi pertemuan-pertemuan tingkat kelompok/dusun/ desa, PRA, serta menyusun rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK), programa penyuluhan desa, serta proposal FMA, mengelola keuangan FMA dan penyuluhan desa secara partisipatif.
Konsultan perencanaan pengawas
Perencana, Surat Keputusan, Dokumen seleksi, dokumen teknis
Pembentukan panitia,pemilihan dan penilaian konsultan,
Terpilihnya konsultan, rencana anggaran belanja
Pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders)
Dana Rp13.799.000,- dan fasilitator yang berasal dari provinsi
Pertemuan anti korupsi yang dihadiri oleh 30 orang yang terdiri dari perwakilan Komisi Penyuluhan, anggota KTNA, Kepala BPP di 15 kecamatan, Ketua Bappeda, dan pemuka masyarakat.
Stakeholders dan peserta memahami tentang kegiatan yang akan dilaksanakan P3TIP Kabupaten Serang mulai tahun 2008 sampai dengan 2011
Pembangunan BPP Baru
Rp1.448.999.000,-
Membangun gedung BPP di lima kecamatan
Lima gedung BPP baru
Renovasi BPP
Rp 625.599.000,-
Merenovasi gedung BPP di lima kecamatan
Lima gedung BPP yang telah diperbaiki
Perlengkapan BPP baru
Rp 91.999.000,-
Membeli mebelair baru untuk lima BPP
Lima BPP yang diberi mebelair baru
Sumber: Laporan Akhir P3TIP Tahun 2008
83
Lebih lanjut, dari total dana sekitar Rp. 2. 305.919.600,- , sebagian besar yakni hampir 94 persennya dialokasikan untuk pembangunan sarana fisik, yakni sekitar 66,8 persen digunakan untuk membangun lima Kantor BPP baru beserta perlengkapan mebeleirnya dan 27 persen lainnya untuk renovasi BPP yang ada. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja (5,4 persen) yang dialokasikan untuk penguatan kelembagaan petani, termasuk yang dinikmati petani di BPP Ciruas yang menjadi peserta PTT.
7.4.2. Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan Petani di Desa Ciruas Pada periode tahun 2007-2009 terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh UP-FMA Harum Mekar, diantaranya kursus budidaya padi sistem PTT dan budidaya ternak itik. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan kursus tersebut meliputi ceramah, diskusi, simulasi/bermain peran dan praktik di lahan sawah. Adapun bentuk dan besarnya stimulan dan bantuan teknis yang diterima oleh UP-FMA Harum Mekar. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penjelasan selanjutnya secara khusus menelaah aspek berkenaan budidaya PTT. Pembinaan yang dilakukan BPKP kepada UP-FMA dan Gapoktan dilakukan
dalam
kegiatan
pengembangan
organisasi
petani
melalui
penyelenggaraan Lokakarya Pengembangan Jaringan dan Koordinasi Petani dengan pendanaan sebanyak Rp31.720.00,-. diikuti dengan pembentukan forum petani di tingkat desa dan kecamatan. Forum petani dan penyuluh di tingkat desa dilaksanakan di 40 desa pelaksana P3TIP, yang diikuti perwakilan dari masingmasing kelompok tani (ketua dan anggota), ketua Gapoktan, pengelola UP-FMA dan pamong/aparat desa, termasuk yang berasal dari Ciruas. Dalam forum penyuluhan desa ini dilakukan pembahasan permasalahan yang dihadapi oleh para petani di masing-masing desa, untuk kemudian mencari kesepakatan berkenaan kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut. Dana yang dialokasikan untuk kegiatan ini sebesar Rp20.000.000,-, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Serang. Kegiatan
84
pembinaan tersebut melibatkan sumber daya manusia berupa tim penyuluhan yang terdiri dari sejumlah penyuluh dari tingkat BPP di Kecamatan Ciruas. Jumlah keseluruhan dana hibah yang diterima oleh UP_FMA Harum Mekar adalah sebesar Rp17.000.000,-. Pertemuan UP-FMA umumnya dilakukan di tempat khusus yang disebut saung meeting, dimana pertemuan berbagai kegiatan setiap dua mingguan atau bulanan dilaksanakan di saung yang dibangun di lokasi kelompok hamparan PTT. Jumlah peserta pada kursus padi pola PTT sebanyak 45 orang sedangkan pada budidaya itik sebanyak 25 orang. Adapun data selengkapnya mengenai input dan bantuan teknis yang diterima UP-FMA dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Input (Stimulan) dan Bantuan Teknis yang Diterima UP-FMA Harum Mekar, Desa Ciruas, Tahun 2008 Bentuk Pengembangan
Input
Materi
Output
Kursus budidaya padi pola PTT
Dana bagi kegiatan UPFMA sebesar Rp12.410.000 ,Dana swadaya masyarakat Rp2.610.000, -
Dinamika kelompok Persiapan lahan dan pembibitan padi Praktik penanaman (legowo) Pengenalan dan pengendalian hama/penyakit padi Pemupukan Praktik pembuatan bokashi Tata guna air Pengetahuan umum pertanian Temu lapang
Meningkatkan pengetahuan, memperbaiki pola pikir dan meningkatkan keterampilan peserta dalam berbudidaya padi yang mengarah pada peningkatan produksi padi dan pendapatan petani di Desa Ciruas.
Kursus budidaya ternak itik
Dana UPFMA Rp3.400.000, Dana swadaya masyarakat Rp5.350.000, -
Budidaya ternak itik: Pemeliharaan itik Menyusun ransum itik Pengendalian penyakit itik Pengawetan telur Praktik pengawetan telur
Peserta kursus dapat memahami dengan baik konsep-konsep budidaya itik, terampil mengaplikasikan teknologi budidaya itik, terampil menangani penyakit itik dan terampil dalam melaksanakan pengawetan telur itik
Sumber: Laporan FMA Harum Mekar 2009
85
Kursus budidaya PTT ini dilakukan selama dua minggu dengan kegiatan pemaparan teknis dan praktik budidaya PTT secara langsung. Keseluruhan peserta budidaya PTT terkadang tidak seluruhnya dapat menghadiri pelatihan tersebut secara rutin. Sementara itu, pada kursus budidaya itik, peserta membuat tempat penetasan di lokasi yang berdekatan dengan pengurus UP-FMA. Peserta kursus budidaya itik dipilih karena kepemilikan ternak khususnya itik. Keluaran yang dihasilkan pada tingkat kelembagaan UP FMA. Dalam hal Keberdayaan UP-FMA antara lain diperlihatkan terutama oleh aksesnya anggota peserta terhadap pelatihan budidaya padi dan aksesnya anggota Kelompok Tani: Tani Mulya, Harapan dan Sawargi terhadap kursus budidaya itik; dimana kepada setiap peserta pelatihan tersebut kemudian diharuskan mendiseminasikan inovasi PTT padi sawah dan Budidaya Itik kepada masing-masing lima orang petani lainnya yang ada di kampung tempat mereka berdomisili. Yang menarik adalah bahwa keikutsertaan dalam kedua pelatihan (kursus) tersebut tampaknya merupakan representasi keluarga petani, dalam arti bahwa peserta kursus bisa diwakili
laki-laki
(suami)
atau
perempuan
(isteri).
Dengan
demikian,
kelompoktani dapat berfungsi sebagai media bagi proses difusi dari kedua jenis inovasi tersebut. Hal ini pada gilirannya dapat membawa pada kegiatan penyuluhan sehingga penyuluhan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien. Dalam memperkuat kelembagaan kelompok tani yang menjadi tanggungawabnya, UP FMA Harum Mekar memberikan penyuluhan yang dilakukan melalui metode ceramah/diskusi usahatani dengan nara sumber penyuluh dan melaksanakan, forum diskusi yang membahas agenda kelompok. Hal-hal yang dibicarakan dalam pertemuan kelompok tersebut diantaranya adalah membuat kesepakatan menentukan waktu tanam bersama yang efektif (dengan maksud untuk memotong siklus hidup hama), mengatasi masalah hama, memberi bantuan finansial, dan memberi rekomendasi saprotan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa mayoritas petani anggota UP-FMA Harum Mekar mengikuti kegiatan penyuluhan dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Program PTT dalam kategori rendah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini disebabkan karena para petani umumnya mengikuti
86
semua kegiatan penyuluhan yang diberikan menjelang dan selama pelatihan Budidaya padi PTT, termasuk demonstrasi plot dan pendampingan pada awal penerapan inovasi PTT sebagaimana dikemukakan di atas. Adapun dalam kegiatan setelahnya cenderung menurun, mungkin karena tidak ada lagi stimulan bagi mereka. Hasil wawancara dengan petani anggota UP-Harum Mekar menunjukkan bahwa mereka tidak terlibat aktif dalam kelompoktani karena beberapa alasan, antara lain karena: (1) aktivitas yang dilakukan kelompok tidak sesuai dengan kebutuhan anggota karena kegiatan kelompok hanya
sebatas pertemuan atau
berkumpul kalau ada kunjungan pihak luar (BPKP) dan bahwa kegiatan tersebut dipandang menyita waktu mereka, (2) kegiatan kelompok tidak berkembang atau tidak ada keluaran dari dulu sampai sekarang, (3) kegiatan kelompoktani tidak memecahkan permasalahan petani, dan (4) sejumlah petani tidak mengetahui manfaat kelompok. Kondisi ini dimungkinkan karena pembinaan oleh pihak BPKP sebagai penanggungjawab Program P3TIP juga hanya dilakukan secara intensif pada awal hingga pelatihan, sementara pemberdayaan yang seharusnya dilakukan oleh petugas penyuluh di BPP Ciruas setelah pelatihan hampir tidak dilakukan karena anggapan terlalu luasnya wilayah kerja mereka. Kondisi terakhir ini tampaknya akan berpengaruh pada menururnya dinamika kelompok petani dan UP-FMA Harum Mekar, padahal interaksi antar kelompok
tani
dalam
wadah
UP
FMA
sangat
penting
guna
menumbuhkembangkan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput yang dapat berfungsi sebagai forum belajar sekaligus forum mengambil keputusan untuk memperbaiki nasib mereka.
7.5. Permasalahan dalam Penyelenggaraan P3TIP Seperti telah dijelaskan sebelumnya, introduksi P3TIP bagi masyarakat petani pada dasarnya memiliki kegiatan inti yang secara konsep memandang petani sebagai prioritas utama dan melalui proses belajar (learning process approach). Kegiatan inti ini berupa kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani atau Unit Pengelola Farmers Managed Extension Activities (UPFMA). Melalui kegiatan ini petani difasilitasi untuk merencanakan dan mengelola
87
sendiri kebutuhan belajarnya, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Proses pembelajaran di tingkat desa dimulai dari kajian desa secara partisipatif yang dilaksanakan dengan difasilitasi oleh penyuluh swadaya yang dipilih secara demokratis dari dan oleh petani peserta. Kenyataan menunjukkan bahwa program P3TIP ini sudah berjalan dari tahun 2007, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menghadapi beberapa permasalahan, diantaranya sebagaimana dijelaskan di atas meliputi aspek kelembagaan P3TIP, sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Khusus di Desa Ciruas, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, meskipun implementasi P3TIP telah difasilitasi melalui PRA dan berhasil menyusun proposal UP FMA secara partisipatif, namun dalam kenyataan, sebagian gagasan dan ide-ide yang berkembang dalam PRA tersebut didominasi oleh pengurus FMA dan penyuluh pendamping. Hal ini dimungkinkan karena menurut Sekretariat Feati pada Evaluasi Pelaksanaan FMA Tahun 2008 dalam pelaksanaan P3TIP, penyusunan programa penyuluhan desa terkesan dilakukan terburu-buru karena
mengejar
target
tenggat
waktu
dalam
(http://feati.deptan.go.id/tampil.php?page=berita&id=275).
penyerapan Masalah
biaya lainnya
adalah bahwa frekuensi kunjungan penyuluh desa dan petani pemandu kepada UP-FMA juga cenderung menurun, antara lain diduga karena rendahnya rasio penyuluh dengan kelompok tani sebagaimana dikemukakan sebelumnya (1:21). Dalam hal pelaksanaan kegiatan Participatory Rural Appraisal (PRA) tampaknya juga tidak dilaksanakan dengan semestinya, baik dalam pengumpulan data maupun dalam interpretasi hasil PRA. Seperti yang dilaporkan pada proposal UP-FMA Harum Mekar Desa Ciruas tahun 2008, PRA pada prinsipnya alat atau metode yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama masyarakat, akan tetapi penjabaran PRA itu sendiri pada laporan tersebut masih mengedepankan gagasan penyuluh – yang berasal dari atas- bukan sebagai fasilitator. Selain hal tersebut di atas, terdapat permasalahan lain yang secara umum ada dalam pelaksanaan P3TIP sebagaimana dilaporkan oleh dalam website P3TIP ada dugaan bahwa Tim Verifikasi dari BPKP belum berfungsi optimal dalam
88
meloloskan atau menolak proposal yang diajukan, karena semua proposal yang berasal dari UP FMA diterima; hanya jumlah dana beragam tergantung pembenaran atas dana yang diajukan. Lebih lanjut, konsep dan “metodologi” FMA , khususnya di tingkat lapangan di hampir seluruh Kabupaten Serang untuk tahun 2007-2008 belum diterapkan secara taat azas, dan belum berorientasi pada pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Itu sebabnya, menyatakan perlunya tindakan korektif terhadap penerapan konsep dan metode tersebut di tingkat lapangan sebelum adanya implementasi FMA pada anggaran selanjutnya.7 Di pihak lain, sebagaimana diketahui, sebenarnya tujuan P3TIP adalah untuk memberdayakan petani dan organisasi petani dalam meningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan aksesibilitas terhadap informasi, teknologi, modal dan sarana produksi, pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha. Namun demikian, setelah sekitar dua tahun pelaksanaannya ternyata tujuan di atas, khususnya berkenaan dengan aspek pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha belum dilaksanakan. Hal ini tercermin belum mampunya UP FMA Harum Mekar dalam mengembangkan kemitraan dengan pelaku usaha lainnya, karena Gapoktan Harum Mekar yang membawahi mereka baru sebatas penyedia input produksi saja.
Data dalam
Laporan Akhir P3TIP 2008 memperkuat gejala tersebut, terlihat dari pernyataan bahwa program-program yang telah dilakukan dalam P3TIP sebatas perubahan perilaku individu petani, terutama peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam berbudidaya padi PTT. Dalam laporan juga dikemukakan bahwa hanya sekitar 40 persen dari 40 desa yang ada di Kabupaten Serang yang mendapatkan program ini PTT. Dalam kasus di Desa Ciruas, peserta yang dapat mengikuti kegiatan ini hanya sekitar 10 persen dari seluruh petani yang ada di desa ini. Padahal dengan kompleksitas permasalahan yang ada, petani yang mengikuti kursus tidak dapat berbagi pengalaman sepenuhnya dengan petani lainnya (difusi inovasi PTT), sehingga secara keseluruhan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Selain itu, banyak petani yang mengikuti program ini adalah petani kecil, dimana 7
http://feati.deptan.go.id/tampil.php?page=berita&id=275
89
waktunya banyak dicurahkan untuk mencari penghasilan tambahan di luar kegiatan usahatani di sawah. Oleh karena itu, para petani ini tidak dapat mengikuti kegiatan belajar secara penuh dalam satu musim. Kondisi tersebut, bersamaan dengan tidak adanya kegiatan lanjutan yang dapat melakukan pendampingan kepada para petani peserta PTT secara rutin diduga akan menghambat keberlanjutan penerapan PTT. Untuk kepengurusan UP-FMA, diakui oleh pengurus UP-FMA bahwa hingga saat penelitian berlangsung belum dijumpai permasalahan yang besar dalam pelaksanaan program P3TIP. Meskipun demikian, dari segi kepengurusan pernah ada pergantian penyuluh swadaya karena penyuluh swadaya terdahulu disibukkan oleh urusan pribadinya. Selain itu, pernah terjadi kurangnya koordinasi antar pengurus, dalam hal pertanggungjawaban dana, sehingga salah seorang pengurus merasa terbebani dengan tugas yang cukup besar. Pernah juga muncul isu yang mempertanyakan kejelasan atau transparansi dana UP-FMA yang dipegang oleh pengurus UP-FMA. Di pihak lain para anggota menyatakan keluhan mereka sehubungan dengan kegiatan kelompok yang seringkali tanpa rencana dan mendadak, yang ditentukan secara sepihak sesuai ketersediaan waktu tenaga lapang, sehingga menyulitkan kesinambungan kehadiran mereka. Berkenaan dengan budidaya tanam padi berdasar konsep PTT, secara umum para petani menganggap bahwa sejumlah komponen teknologi yang diintroduksikan dalam PTT sesuai dengan pengalaman dalam sistem budidaya padi yang konvensional, khususnya dalam hal: varietas unggul, benih bermutu, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, serta penggunaan bibit muda dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Namun demikian, terdapat sejumlah komponen yang menurut pandangan petani berbeda dengan sistem konvensional, yaitu penggunaan pupuk organik (bokashi) dan penanaman bibit sebanyak 1-3 bibit per rumpun dan menerapkan jarak tanam legowo. Penggunaan pupuk organik dianggap agak menyulitkan karena mereka tidak memiliki limbah ternak yang dibutuhkan untuk membuat bokashi secara swadaya. Terkait dengan penanaman bibit dan jarak tanam legowo, petani merasa terkendala oleh karena kedua kegiatan tersebut karena faktanya kegiatan pemupukan biasnya dilakukan
90
oleh buruh tani, sementara di pihak lain buruh tani menolak penggunaan pupuk bokashi dengan alasan tidak terbiasa. Terlepas dari adanya permasalahan tersebut di atas, petani peserta PTT merasa terbantu dengan adanya proyek ini karena mereka mendapat inovasi mengenai budidaya padi sawah sistem legowo (terjadi peningkatan pengetahuan terhadap PTT, sikap terhadap PTT dan penerapan PTT). Khusus petani lapisan atas (pemilik 0,5 ha ke atas) memperoleh manfaat berupa peningkatan produksi usahatani mereka dengan rata-rata produksi sekitar 3,2 ton/ha. Namun demikian, terdapat sejumlah petani berstatus penggarap yang menyatakan bahwa petani pemilik lahan usahatani mereka menyatakan tidak mau melanjutkan adopsi budidaya padi sistem PTT, karena kurangnya buruh tani yang mampu melakukan sistem tandur dan legowo. Gejala tersebut memperkuat belum terealisasinya pendekatan learning approach yang di dalamnya menuntut dilakukannya pelibatan masyarakat dimana proses saling belajar dan berbagi pengalaman dilakukan oleh sumberdaya manusia lokal, proses belajar melalui aksi berbasis lapangan dengan pelaksanaan yang gradual dan sesuai perkembangan subyek, dievaluasi secara internal menekankan adanya keberlanjutan.