BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja perempuan masih sedikit. Akan tetapi dalam pemberian hak dan kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak begitu besar layaknya pekerja lakilaki. Masih adanya proses segmentensi pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan yang telah terfeminisasi. 1 Di bidang Industri saat ini banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di Pabrik/perusahaan,
ini
merupakan
keputusan
seorang
perempuan
untuk
mendapatkan tambahan nafkah bagi yang sudah berkeluarga sedangkan bagi pekerja perempuan lajang bekerja di perusahaan merupakan satu-satunya tempat untuk bekerja. Pekerja perempuan perusahaan/pabrik pada dasarnya berpendidikan rendah, sehingga apa yang menjadikan hak itupun tidak dipedulikan asal ia bekerja dan mendapatkan upah. 2 Sementara seorang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari demi kelangsungan hidup keluarganya. Akan tetapi pada keadaan yang lain tidak jarang seorang perempuan dituntut untuk menjadi tulang punggung bagi
1
Editus Adisu dan Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Perempuan, (Jakarta : Penerbit Visi Media, Jakarta, 2007), hal 7 2 Ibid, hal 8
Universitas Sumatera Utara
keluarganya, sehingga pada akhirnya sebagai pencari nafkah yang utama dalam keluarga. Sebelum banyak perusahaan yang didirikan seorang perempuan bekerja sebagai bercocok tanam, tapi dengan adanya perkembangan ekonomi yang semakin maju bahkan ditunjang adanya teknologi, maka seorang perempuan cenderung bekerja di perusahaan/pabrik. Dengan adanya pengaruh teknologi akan berpengaruh pada suatu
system kehidupan yang semula bekerja tradisional
menjadi bekerja dalam industri. 3 Pada kenyataan, di dunia ketenagakerjaan yang paling banyak terserap di bidang industri adalah pekerja perempuan. Di bidang industri, pekerja kaum perempuan memiliki kelatenan dan keuletan dalam bekerja dan hal itu tidak dapat dipungkiri, pekerja perempuan dengan watak yang lemah lembut diperlukan untuk menangani pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh pekerja lakilaki. 4 Dalam kesempatan kerja seorang perempuan dan laki-laki sama, tetapi sampai saat ini seorang perempuan masih ada pandangan yang memperburuk keadaan pekerja perempuan di lingkungan perusahaan/pabrik, maka perlu adanya perlindungan hak khususnya pekerja perempuan. 5 Pandangan-pandangan yang seperti itulah yang seharusnya dihapus, karena seorang perempuan pada saat ini mempunyai potensi yang sama dengan kaum lakilaki, sehingga peran sertanya dalam suatu lapangan kerja harus diperhitungkan. Dalam berbagai tulisan tentang perburuhan seringkali dijumpai adagium yang 3
Ibid, hal 8 Rachmad Safa’at, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. (Malang: IKIP Malang. 1998), hal 16 5 Ibid, hal 16 4
Universitas Sumatera Utara
berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”. Pekerja dikatakan sebagai tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa adanya pekerja tidak akan mungkin perusahaan itu bisa jalan, dan berpartisipasi dalam pembangunan. Saat ini dapat dilihat kondisi buruh di Indonesia cukup memprihatinkan. Buruh yang selama ini mengerahkan tenaga dan waktunya untuk para pengusaha dan pemodal pada suatu perusahaan tidak mendapatkan timbal balik atau balasan yang setimpal. Justru oleh pengusaha dan pemodal dibalas dengan bentuk penindasan dan penghisapan. Dari upah terhadap buruh yang tidak layak atau tidak sesuai dengan standar hidup, pemotongan-pemotongan gaji, dan beberapa beban– beban lain yang ditindihkan di pundak para buruh. 6 Buruh di Indonesia ternyata didominasi oleh kalangan perempuan. Jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah sebesar 35.479.000 orang dan 87% dari angkatan kerja tersebut merupakan perempuan. 7 Dari prosentase tersebut kebanyakan perempuan muda yang belum kawin cukup banyak terserap dibeberapa industri padat karya seperti dipabrik, dan beberapa menjadi pekerja di toko-toko. Sayangnya, tingginya partisipasi perempuan dalam kerja ternyata tidak disertai jaminan terpenuhinya hak-hak buruh perempuan. Dibandingkan dengan buruh laki-laki, buruh perempuan lebih rentan terhadap tindak kekerasan dari perusahaan, terutama mereka yang bekerja pada level bawah struktur organisasi perusahaan, yang biasanya memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Buruh perempuan sebagian besar status
6
Abdul Budiono Rachmad, Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 1999), hal 48 7 Sakernas; Survei Angkatan Kerja Nasional 2003 diakses 10 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
kerjanya merupakan buruh tidak tetap, dan rentan diPHK Selain itu, buruh perempuan memiliki kepentingan yang khusus yang terkait dengan fungsi reproduksi biologisnya (hamil, melahirkan, dan haid) yang harus dilindungi. Sesungguhnya Indonesia telah memiliki seperangkat aturan untuk mengatur bidang ketenagakerjaan. Selain UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat berbagai dasar hukum yang dapat dijadikan acuan dalam melindungi buruh, khususnya buruh perempuan. Perlindungan hukum tersebut antara lain diatur dalam undang-undang nasional, yaitu: 1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 27, ayat 2 yang berbunyi: “Tiap- tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Undang-Undang
Ketenagakerjaan
No.13/2003:
Perlindungan
terhadap
perempuan terdapat pada pasal 5 dan 6; terhadap diskriminasi upah terdapat pada pasal 88-89; terhadap fungsi reproduksi biologis perempuan terdapat pada pasal 81-82; terhadap kekerasan seksual terdapat pada pasal 86 ayat 1; terhadap diskriminasi dalam organisasi buruh terdapat dalam pasal 119-121. 3. Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, khususnya pada pasal 11 tentang menghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan. 4. Konvensi
ILO
No.100
tentang
Kesetaraan
Upah
(Undang-Undang
No.80/1957). Kesetaraan upah dalam UU ini adalah kesetaraan upah bagi lakilaki dan perempuan untuk pekerjaan yang setara nilainya mengacu pada tingkat upah yang ditetapkan tanpa diskriminasi jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
5. Konvensi ILO No. 111 tentang Anti-Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan (Undang -Undang No.21/1999). Walaupun di Indonesia telah ada beberapa dasar hukum untuk melindungi buruh perempuan, tetapi dari pihak pemerintah sendiri tidak konsisten dalam melaksanakan perlindungan bagi kaum buruh. Dan dari hal itu maka nasib buruh adalah ditangan buruh, dia akan diam saja dan tunduk tertindas atau bangkit melawan. Persolan tentunya menjadi problem besar bagi perempuan, mengingat jumlah perempuan Indonesia yang relatif lebih besar dibandingkan dengan lakilaki. Kondisi kemiskinan ini membuat perempuan berupaya mengatasi kemiskinannya dengan bekerja untuk menopang kebutuhan dirinya dan keluarganya. Persoalan ekonomi akan berdampak pada persoalan lainnya, seperti sosial, pendidikan, kesungguhan dalam beragama, dan kesehatan. 8 Perempuan terpaksa beralih mengonsumsi makanan yang murah meskipun seringkali kurang bergizi, agar kebutuhan keluarganya terpenuhi. Kondisi demikian berjalan terus dan mempengaruhi status gizi perempuan, yang akan berdampak pada kondisi kesehatannya. Minimnya akses terhadap kesehatan, membuat
perempuan
mengatasi
sesuai
dengan
kadar
kemampuannya.
Kekurangsiapan diri yang meliputi fisik, mental, dan spiritual dalam berumah tangga menjadikan kondisi kesehatan yang makin menurun terutama kesehatan reproduksinya. 9 Sebagai akibat dari kualitas pendidikan perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki membuat minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang
8
Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal 71 9 Ibid, hal 71
Universitas Sumatera Utara
memadai bagi wanita. Mereka sering terpaksa cenderung memilih pekerjaan musiman, padat karya, dan pekerjaan yang lain, meski mengandung risiko. Gaji sebagai buruh juga pas-pasan. Hal inilah yang menyebabkan buruh kerap harus menjalankan siasat hidup dengan cara mengonsumsi makanan murah dan rendah kadar gizi. 10 Meskipun sebagian besar kaum buruh makan tiga kali sehari, menu hariannya lebih banyak lauk nabati. Padahal, pekerjaan buruh membutuhkan energi yang banyak dan berkualitas. Sementara kualitas lauk hewani lebih tinggi dibandingkan lauk nabati. Masalah kemiskinan pada dasarnya membawa persoalan yang lebih kompleks, dan mendalam. Sebab, hal itu akan berkaitan dengan kualitas hidup seseorang. Di antara penyebab kualitas kesehatan buruh perempuan adalah karena pengetahuan tentang gizi yang masih kurang. Pengetahuan seseorang ada kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. 11 Setelah melihat uraian tersebut, maka penulis mengambil judul tentang : “Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Buruh Perempuan Di PT. Indofood.”
B. Perumusan Masalah Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.
10 11
Ibid, hal 71 Ibid, hal 72
Universitas Sumatera Utara
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perlindungan buruh perempuan menurut konvensi ILO dan peraturan perundang-undangan nasional? 2. Bagaimana pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama? 3. Bagaimana pengawasan pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja/buruh perempuan di PT Indofood?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Untuk mengetahui perlindungan buruh perempuan menurut konvensi ILO dan peraturan perundang-undangan nasional. b. Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. c. Untuk
mengetahui
pengawasan
pelaksanaan
perlindungan
hak-hak
pekerja/buruh perempuan di PT Indofood. 2. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan. b. Memperkaya khasanah perpustakaan.
Universitas Sumatera Utara
1. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan di PT. Indofood. b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat khusus kaum perempuan mengenai perlindungan terhadap pekerja buruh perempuan di PT. Indofood.
D. Keaslian Penulisan Adapun judul tulisan ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Buruh Perempuan Di PT. Indofood. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Jalur usaha yang turut menentukan keberhasilan permbangunan ekonomi pada umunya adalah pemanfaatan sumber daya manusia.jumlah penduduk Indonesia lebih kurang 200 juta dengan separoh diantaranya adalah kaum wanita, merupakan salah satu modal dasar pembangunan yang harus didaya gunakan semaksimal mungkin. Pertumbuhan ekonomi yang sagat cepat ditandai dengan tumbuhnya industri-industri baru yang menimbulkan peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita. Sebagian besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak membutuhkan ketrampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak, dan
Universitas Sumatera Utara
berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutin, dan adanya kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga kerja wanita. Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang sudah dapat di golongkan pada angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang belum dewasa yang selayaknya masih harus belajar di bangku sekolah. Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda dengan yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari kondisi objektip tidak ada perbedaan-perbedaan. 12 Perhatian yang benar pemerintah dan masyarakat terhadap tenaga kerja wanita terlihat pada beberapa peraturan-peraturan yang memberikan kelonggarankelonggaran maupun larangan-larangan yang menyangkut kedirian seseorang wanita secara umum seperti cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya. 13 Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 14 Hal ini sesuai denagn undang-undang Nomor 14 tahun 1969, pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pakok mengenai tenaga kerja. GBHN 1988 dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan bangsa, wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber instansi bagi pembangunan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria disegala bidang kehidupan bangsa dalam segenap kegiatan pembangunan.
12
Ridwan Halim, Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta : Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1997), hal 24 13 Ibid, hal 25 14 Darwan Prints, Op.Cit, hal 17
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan atau pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah diterapkan dalam pasal 10 UU No. 1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun
wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan
kerja yang mencakup : 1. Norma Keselamatan Kerja 2. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan 3. Norma Kerja 4. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal kecelakaan kerja Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita. Undang-undang No. 14 tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa : “ Didalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh diadakan diskrininasi”. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengigat hal demikian pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja wanita. Secara umum hak dan kewajiban bagi tenaga kerja laki – laki maupun wanita adalah sama, seperti halnya : pengaturan jam kerja / lembur, waktu kerja
Universitas Sumatera Utara
dan istirahat, peraturan tentang istirahat / cuti tahunan serta jaminan sosial, pengupahan dan sebagainya. a. Pengaturan jam kerja / kerja lembur Didalam Undang – Undang nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang – Undang Nomor 12 tahun 1948 pasal 10 ayat 1 mengatakan : “ Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu“. Ini berarti bahwa waktu kerja dibatasi hanya dalam jangka waktu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kenyataannya banyak perusahaan yang memperkerjakan pekerjaannya melebihi ketentuan tersebut diatas. Hal tersebut diperbolehkan asal ada izin dari Departemen Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah No 4 tahun 1951 pasal II sub pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan izin dari kepala jawatan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya, bagi perusahaan yang penting untuk penbangunan negara, majikan dapat mengadukan aturan waktu kerja yang diatur dari pasal 10 ayat 1, kalimat pertama ayat dua dan tiga Undang – Undang kerja tahun 1948. Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat dicantumkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 608/MEN/1989 tentang : “Pemberian izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehari dan 54 jam seminggu “.
Universitas Sumatera Utara
b. Waktu kerja dan waktu istirahat Pengaturan jam kerja diatur dalam Undang - Undang No. 1 tahun 1951, pasal 10 ayat dan ayat 3 : 1) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus diadakan waktu istirahat yang sedikit–dikitnya ½ jam lamanya diadakan waktu istirahat tidak termasuk waktu jam bekerja. 2) Untuk tiap–tiap minggu harus diadakan sedikitnya satu hari istirahat. Hal ini dimaksudkan agar para pekerja setelah menjalankan pekerjaan didalam batas waktu tertentu setelah mendapat istirahat agar dapat segera menghadapi pekerjaan selanjutnya, dan diharapkan produktivitas kerja akan naik dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja. c. Pengaturan istirahat / cuti tahunan Bagi tenaga kerja yang sudah memiliki masa kerja 12 bulan berturut– turut berhak untuk mendapat istirahat / cuti tahunan. Hal ini diatur dalam Undang–Undang No. 1 tahun 1951 pasal 14 peraturan pemerintah No. 21/54 dan diperluas dengan surat keputusan menteri tenaga kerja dan Tranmigrasi No. 69/MEN/80 tentang perluasan lingkungan istirahat tahunan bagi buruh. Dalam pasal 14 disebutkan bahwa: 1) Setelah waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13 buruh menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari suatu organisasi harus diberi izin untuk beristirahat sedikit-dikitnya dua minggu tiap-tiap tahun. 2) Pemberian waktu istirahat tersebut disesuakan dengan jumlah hari masuk kerja selama 1 tahun.
Universitas Sumatera Utara
d. Jaminan sosial dan Pangupahan Agar para pekerja dapat menjalankan pekerjaanya dengan semangat dan bergairah, masalah jaminan sosial dan pengupahan perlu diperlukan oleh perusahaan. Jaminan sosial yang dimaksud antara lain jaminan sakit ,hari tua, jaminan kaesehatan, jaminan perumahan, jaminan kematian dan sebangainya. Mengenai jaminan sosial ini sudah diatur secara normatip didalam perundangan, sehingga bagi perusahaan yang belum atau tidak memenuhi standard yang sudah ditetapkan dapat dikenakan sangsi. Perihal perlindungan upah diatur dalam peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981, antara lain mengatur tentang upah yang diterima oleh para pekerja apabila pekerja sakit, halangan atau kesusahan. Disamping itu diatur pula tentang larangan diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita didalam hal menetapkan upah untuk pekerjaan yang sama nilainya. Berbagai bentuk pemilahan kerja yang banyak dilakukan di dalam analisis untuk memahami hakikat kerja perempuan. Pemilahan tersebut menyangkut kerja produksi (menghasilkan sesuatu) dan reproduksi (menggantikan yang habis atau hilang), kerja domestik dan kerja bukan domestik, serta kerja upah dan kerja tidak diupah. Perdebatan mengenai apakah kegiatan perempuan di wilayah domestik yang dikategorikan sebagai reproduksi (melahirkan, mengasuh anak) dapat digolongkan ke dalam “kerja” dan bukan kegiatan yang memarginalkan, atau yang distatuskan sebagai non-existent, dipicu oleh feminis marxis Margaret Benston pada tahun 1969. Argumennya adalah, kalau di dalam masyarakat ada kerja produksi demi kelangsungan hidup anggotanya, maka harus ada kerja reproduksi demi kelestarian sistem sosialnya. Benston melihat bahwa kerja perempuan dalam
Universitas Sumatera Utara
rumah tangga sebagai kebertahanan pra-kapitalis; di dalam kapitalisme perempuanlah yang terus menerus memproduksi nilai yang dipakai oleh seluruh anggota keluarga. Hanya karena kerja itu tidak berupah, maka menjadi tidak bernilai, dan kemudian tidak didefinisikan sebagai kerja sama sekali. 15 Dalam kenyataannya untuk perempuan terdapat tumpang tindih di dalam dikotomi ini. Seorang perempuan yang memasak makanan atau menanam sayur-mayur bisa melakukannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetapi juga sekaligus menjualnya ke pasar. Di lain pihak, proses reproduksi juga berlangsung secara sosial di mana hubungan produksi dan struktur sosial terus diperbaharui bukan hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga di wilayah publik, seperti misalnya dalam pelayanan pendidikan. Telaah oleh Clifford Geertz di sebuah desa di Jawa memperlihatkan bagaimana produksi untuk keperluan rumah tangga, seperti membuat kecap, beralih menjadi industri rumah tangga yang menghasilkan barang untuk dijual, ketika seorang perempuan berhasil mengembangkannya. Dalam hal ini perempuan sekaligus menjadi pekerja dan majikan untuk pekerjaannya. 16 Dalam tradisi kita, perempuan sebenarnya memegang peranan yang sangat besar dalam mencari nafkah. Di banyak wilayah perempuan merupakan pekerja-pekerja tani yang tangguh ketika laki-laki hanya berkumpul di warung tuak sambil bermain catur, atau bermalas-malasan di rumah sambil mabuk dan bicara politik. Di Jawa, perempuan sangat berperan dalam ekonomi keluarga, mulai dari kerja tani, pembantu rumah tangga di kota, penjual makanan dan jamu, sampai ke buruh pabrik dan melacur. 17 Banyak penelitian yang menggelagati masalah perempuan dalam kaitannya dengan ketidakadilan gender menemukan kemandirian perempuan sebagai salah satu jalan keluar dari posisi yang direndahkan. Kemandirian bisa dikembangkan bilamana seorang perempuan bisa melepaskan ketergantungan ekonomi dari lakilaki. 18 Dalam budaya kita, perempuan dengan sebuah penafsiran yang lebih luas ternyata menjadi sebuah komoditi keluarga yang bisa diberi nilai secara material.
15
Jurnal Perempuan, Kerja krisis dan PHK : Maknanya untuk Perempuan, Edisi 11, MeiJuli 1999, Jakarta, hal 5 16 Ibid, hal 5 17 Ibid, hal 45 18 Ibid, hal 45
Universitas Sumatera Utara
Posisi perempuan yang dimasukkan ke dalam sebuah sistem hubungan kekerabatan lebih merupakan pelengkap yang dapat diperlakukan semena-mena. Perempuan bekerjapun adalah juga merupakan sebuah proses ketergantungan pada sistem kekerabatan yang menempatkan laki-laki sebagai yang paling utama. Maka menjadi seorang pelacur tidak bisa diartikan sebagai sebuah pekerjaan di dalam konteks kekerabatan ini. 19 Azas persamaan hak, kedudukan, peran, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, yang menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Bagi kemanusiaan dengan adanya pasal tersebut secara tegas dinyatakan bahwa “pria dan wanita memiliki hak yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Arti luas hak tersebut termasuk kebebasan dalam memilih karir, promosi pelatihanuntuk mencapai suatu prestasi. 20 Hal ini selaras dengan pengertian kesetaraan gender yang dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang mencerminkan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian keadilan gender adalah kondisi perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki. 21 Arah dan pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan secara implisit sebetulnya sudah ada di dalam memberikan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Wanita. Akan tetapi dalam implementasinya masih banyak tenaga kerja
19
Ibid, hal 46 Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ; Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja, dan Calon Pekerja, Cetakan I, (Jakarta : Penerbit Pustaka Yustisia, 2008), hal 68 21 Ibid, hal 68 20
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang belum mengetahui dan memahami akan aturan-aturan yang berlaku. Oleh karena itu beberapa hal perlu diuraikan lebih lanjut. 22 a. Di dalam kesetaraan sebagai wanita, sekalipun fisik lebih lemah dari laki-laki, namun dalam mencapai karir dan jabatan tidak ada perbedaan lagi di dalam pelaksanaan tugas oleh karena pandangan yang menggambarkan seorang perempuan lebih rendah atau kurang pintar sudah tidak ada lagi. b. Terhadap perempuan karena kodratnya melahirkan seorang anak, padahal seseorang yang melahirkan kondisi fisiknya lemah, maka perlu istirahat oleh peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan membenarkan cuti istirahat 1½ (satu setengah) bulan sebelum melahirkan dan 1½ (satu setengah) bulan sebelum melahirkan . Hal itu juga berlaku apabila mengalami gugur kandungan yang diberikan 1½ (satu setengah) bulan cuti istirahat dengan tetap diberikan upah, dengan syarat ada keterangan dari dokter atau bidan kandungan. c. Terhadap karyawati yang mengalami haid dan merasa sakit dapat minta pada pengusaha untuk tidak melaksanakan pekerjaan selama 2 (dua) hari yang kemudian diatur dalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. d. Di dalam pemberian upah tidak boleh dibedakan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konvensi ILO No. 100 tahun 1950 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 80 tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini terbukti dengan penetapan upah minimum yang tidak ada perbedaan besarnya upah antara laki-laki dan perempuan. e. Pekerja buruh perempuan yang umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan pada malam hari mulai pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 termasuk perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi keselamatan kandungan maupun pekerja yang bersangkutan. f. Pekerja/buruh perempuan yang bekerja mulai pukul 23.00 sampai dengan 07.00, perusahaan wajib untuk : 1. Memberikan makanan dan minuman yang bergizi. 2. Menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja. 23 Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
22 23
Ibid, hal 69 Ibid, hal 70
Universitas Sumatera Utara
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh. 24 Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Demikian pula telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya DasarDasar untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Kedua konvensi tersebut dapat dijadikan dasar bagi pekerja/buruh untuk berorganisasi dengan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh. 25 Disamping itu, dimaklumi bahwa pekerja/buruh sifatnya lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap pengusaha. Karena itu, akibatnya pekerja/buruh tersebut tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasikan dirinya dalam suatu wadah untuk dapat mencapai tujuannya. Wadah yang dimaksudkan itu sekarang disebut serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang telah diatur dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 26 Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan, mengingat hal-hal sebagai berikut: 27 a. Para wanita umumnya bertenaga lemah, halus, tetapi tekun. b. Norma-norma susila harus diutamakan agar tenaga kerja wanita tidak terpengaruh oleh perbuatan negatif dari tenaga kerja lawan jenisnya, terutama kalau dipekerjakan pada malam hari. c. Para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan halus yang sesuai dengan kehalusan sifat dan tenaganya.
24
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja ; Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal 22 25 Ibid, hal 22 26 Ibid, hal 22-23 27 Ibid, hal 87-88
Universitas Sumatera Utara
d. Para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami atau berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai beban-beban rumah tangga yang harus dilaksanakannya pula. Seluas-luasnya emansipasi yang dituntut oleh kaum perempuan (agar dia mempunyai kedudukan yang sama dengan pria), namun secara kodrati dia tetap seorang
perempuan
yang
mempunyai
kelemahan-kelemahan
yang
harus
dipikirkan. Memang ada kalanya badan wanita itu lemah, yaitu pada saat harus memenuhi kewajiban alam, misalnya pada saat hamil, melahirkan/gugur kandungan, dan bagi beberapa wanita juga pada waktu haid. 28 Semua itu harus menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan norma kerja bagi perempuan. Untuk itu maka, UU No. 13 Tahun 2003, mulai Pasal 76 menentukan norma kerja perempuan sebagai berikut : 29 a. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari delapan belas tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Ini bahwa pengusaha
yang
harus
bertanggungjawab
atas
ketentuan
dilarang
mempekerjakan perempuan yang berumur kurang dari delapan belas tahun, dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 tersebut. b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungan maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 wajib : 28 29
Ibid, hal 88 Ibid, hal 89
Universitas Sumatera Utara
1) Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan 2) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. d. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antarjemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00. Kebijakan pengawasan ketenagakerjaan secara operasional ditetapkan sebagai berikut : 30 1. Pengawasan Ketenagakerjaan diarahkan kepada usaha preventif dan edukatif, namun demikian tindakan represif baik yang yustisial, maupun non yustisial akan dilaksanakan secara tegas terhadap perusahaanperusahaan yang secara sengaja melanggar ataupun telah berkali-kali diperingatkan akan tetapi tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yagn telah ditetapkan. 2. Unit dan aparat pengawasan diharapkan lebih peka dan cepat bertindak terhadap masalah-masalah yang timbul dan mungkin timbul di lapangan, sehingga masalahnya tidak meluas atau dapat diselesaikan dengan tuntas (tidak berlarut-larut). 3. Aparat pengawasan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan diharuskan turun langsung ke lapangan untuk melihat permasalahannya secara langsung, sehingga dapat dijamin obyektifitasnya. 4. Pemanfaatan aparat pengawas secara optimal sehingga dapat menjangkau obyek pengawasan seluas mungkin khususnya pada sektorsektor yang dianggap rawan dan strategis. F. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :
30
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta, 2001), hal 124
Universitas Sumatera Utara
1. Tipe Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. 31 Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif tenaga kerja perempuan. 2. Data dan Sumber Data Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 32:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
31 32
Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986) hal 9-10. Ibid, hal 51-52
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh. G. Sistematika penulisan Untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa subsub bab. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Bab ini berisikan tentang konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja, Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan, Konvensi ILO mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya di
Universitas Sumatera Utara
Sektor Industri, Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 Perlindungan terhadap marjinalisasi diskriminasi perempuan BAB III
PELAKSANAAN HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT.
INDOFOOD
PERATURAN
BERDASARKAN
PERUSAHAAN
DAN
PERJANJIAN PERJANJIAN
KERJA, KERJA
BERSAMA Bab ini berisikan tentang Hak atas upah yang sama dengan pekerja lakilaki, Hak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja diri dan keluarganya, Hakhak cuti khusus perempuan di PT. Indofood, Pekerja/Buruh perempuan yang berkerja pada malam hari di PT. Indofood. BAB IV
PENGAWASAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT INDOFOOD Bab ini berisikan tentang mekanisme Pengawasan Pelaksanaan HakHak Pekerja/Buruh Perempuan dan Penyelesaian Perselisihan Terkait Pelaksanaan Hak –Hak Pekerja/Buruh Perempuan di PT. Indofood.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.
Universitas Sumatera Utara