Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004: 23-33
Kelainan Neurologis pada Penyakit Sistemik Taslim S. Soetomenggolo
H
ampir semua penyakit sistemik dapat menyebabkan kelainan neurologis, maka dari itu berhubung terbatasnya waktu pada makalah ini hanya akan dibahas beberapa penyakit yang penting saja. Kelainan neurologis yang akan dibahas adalah ensefalopati metabolik, kelainan neurologis pada penyakit paru, penyakit gastrointestinal dan hati, penyakit ginjal, kelainan neurologis beberapa penyakit jantung, leukemia, dan kelainan endokrin.
• Ensefalopati Metabolik
iskemia. Apabila segera diberikan oksigen maka akan segera sembuh; tetapi apabila anoksia berlangsung melebihi 1 – 2 menit, akan terjadi kelainan neurologis sementara atau menetap.3 Manifestasi Klinis Hipoksia
Gejala permulaan berupa penurunan kesadaran secara bertahap. Pada bayi berupa iritabel, tidak nafsu makan dan kesadaran berkurang. Hiperpnea dapat berkembang menjadi cheyne-stokes. Hiperpnea dapat berubah menjadi apnea. Pada keadaan koma yang dalam mata mengarah ke depan (posisi di tengah).2,3
Ensefalopati metabolik adalah ensefalopati yang disebabkan oleh gangguan metabolik otak secara langsung maupun tidak langsung.
Pengobatan
Manifestasi Klinis
Obati penyebabnya dan berikan oksigen segera. Pada hipoksia berat disertai hiperkapnia perlu dipasang ventilasi mekanik.4
Gejala yang khas berupa stupor atau koma, pernapasan dapat berupa apnea, Cheyne-Stokes, hiperventilasi atau hipoventilasi, tremor, asteriksis, mioklonus multifokal, rigiditas deserebrasi atau flaksiditas, kadang-kadang bisa timbul kejang fokal maupun umum.1,2
• Hipoksia dan Hipoglikemia Hipoksia Hipoksia yang disertai hipotensi atau gangguan aliran darah akan disertai iskemia dan disebut hipoksia
Alamat Korespondensi: Prof. Dr. Taslim S. Soetomenggolo, SpA(K). Divisi Neurologi, Departemen Ilmu kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta. Jl. Salemba 6, Jakarta 10430. Telpon 021-3149161, Fax. 021-3913982.
Hipoglikemia 1. Hipoglikemia pada Neonatus
Kadar glukosa darah yang dianggap terlalu rendah sukar ditentukan, karena bayi baru lahir tidak mempunyai kapasitas neural untuk menunjukkan simtomatologi. Pemeriksaan kadar glukosa plasma pada bayi cukup bulan sehat rata-rata 55 - 60 mg/dl pada 1 – 2 jam setelah lahir dan akan naik pada 3 – 4 jam walaupun belum diberi makan. Nilai rata-rata pada 3 – 72 jam kira-kira 70 mg/dl, setelah itu kira-kira 80 mg/dl.5 Berdasarkan statistik, hipoglikemia adalah apabila glukosa plasma kira-kira kurang dari persentil 5. Pada pemeriksaan brain stem auditory evoked responses pada bayi cukup bulan terdapat perpanjangan latensi pada kira-kira glukosa plasma kurang dari 47 mg/dl. 5 Srinivasan dkk menyatakan yang disebut hipoglikemia pada bayi cukup bulan apabila kadar glukosa darah < 23
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
35 mg/dl pada umur 0 – 3 jam, < 40 mg/dl pada umur 3 – 24 jam, dan < 45 mg/dl pada umur lebih dari 24 jam.6 Heck dan Erenberg menyatakan hipoglikemia pada bayi cukup bulan apabila kadar glukosa darah < 30 mg/dl pada umur 0 – 24 jam dan < 40 mg/dl pada umur 24- 48 jam.7
2. Hipoglikemia pada Anak
Hipoglikemia pada anak apabila kadar glukosa darah kurang dari 40 mg/dl (2,2 mmol/l), 9,10 terbanyak adalah hipoglikimia ketotik.9 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis
Hipoglikemia dapat disertai gejala klinis (simtomatik) atau tanpa gejala klinis (asimtomatik). Gejala klinis berupa stupor, jitterinnes (80% kasus), kejang (50%), gangguan pernapasan dan hipotonia.
Gejala hiposlikemia pada anak berupa penurunan kesadaran (koma, sopor atau obtundasi), perubahan perilaku, pusing, tremor, kejang dan hemiparesis mendadak. Kejang terjadi apabila hipoglikemia berlangsung lama dan pengobatan terlambat. Pada saat hipoglikemia berat bisa timbul buta kortikal.10
Pengobatan Pengobatan
Hipoglikemia merupakan kegawatan dan harus segera diobati. Pengobatan neonatus dengan hipoglikemia simtomatik dahulu dengan bolus glukosa 25% sebanyak 2 – 4 ml/kg secara intravena dengan kecepatan 1 ml/menit, kemudian diikuti dengan infus terus-menerus dengan 8 – 10 mg/ kg/menit. Ternyata cara ini akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia, terutama pada bayi-bayi prematur yang kecil yang menyebabkan diuresis osmotik dan dehidrasi, dan berhubungan dengan angka kematian yang tinggi serta sering diikuti oleh rebound hipoglikemia pada bayi dengan hiperinsulinisme. Saat ini pengobatan dengan minibolus glukosa 200 mg/kg (2 ml glukosa 10% per kg) secara intravena, disuntikkan selama lebih dari 1 menit, dan segera diikuti infus glukosa 8 mg/kg/menit. 8 Dengan minibolus ini akan didapatkan hasil yang cepat, dalam 1 menit didapatkan kadar glukosa darah 70 – 80 mg/dl dan stabil. Penilaian atas hasil minibolus ini perlu, terutama kalau indikasinya kejang dan kalau tidak berhasil minibolus yang kedua boleh diberikan. Apabila kadar glukosa darah stabil 70 – 100 mg/ dl, infus dekstrosa diturunkan dengan 2 mg/kg/menit tiap 6 – 12 jam dan glukosa darah dipertahankan di atas 50 mg/dl. Pada bayi yang kadar glukosa darahnya tidak dapat naik secara adekuat infus glukosa dapat dinaikkan sampai 12 mg/kg/menit. Apabila hipoglikemia kembali lagi atau infus glukosa melebihi 12 mg/kg/menit perlu diberikan hidrokortison 5 mg/ kg/tiap 12 jam. Pada pasien asimtomatik tidak perlu minibolus. 24
Pada dasarnya, paling baik adalah pencegahan hipoglikemia dan pengobatan yang tepat dengan glukosa intravena baik yang simtomatik maupun yang asimtomatik.
• Hiponatremia Manifestasi Klinis
Hiponatremia dapat terjadi karena kehilangan natrium yang berlebihan, intake atau retensi air yang berlebihan, penggeseran air dari sel ke cairan ekstraselular, atau penggeseran natrium dari cairan ekstraselular ke dalam sel.11 Manifestasi klinis timbul apabila natrium darah kurang dari 125 mEq/l, berupa nausea, muntah, twitching otot, letargi dan penurunan kesadaran. Gejala lebih berat berupa kejang dan koma terjadi pada kadar natrium darah lebih rendah dari 115 mEq/l. Pada hiponatremia dengan dehidrasi terdapat juga gejala dehidrasi, dan pada dehidrasi berat disertai renjatan kadang-kadang terjadi trombosis vena otak yang menyebabkan gejala hemiparesis dan kejang. Hiponatremia dapat terjadi sebagai akibat hipervolemia (water intoxication) yang terjadi akibat intake air yang berlebihan. Gejala yang terjadi tidak khas, tetapi kejang lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan keadaan hiponatremia yang disertai dehidrasi. Gejala lain berupa iritabel, nyeri kepala, nyeri perut, mengantuk dan koma. Hiponatremia yang dikoreksi terlalu cepat akan menyebabkan terjadinya mielinolisis pons sentral yaitu
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
destruksi mielin simetrik di daerah pons sentral yang dapat dilihat pada pemeriksaan MRI. Mielinolisis pons sentral biasanya terjadi secara akut pada kadar natrium permulaan kurang dari 105 mEq/l, hiponatremia yang terjadi secara akut, dan koreksi hiponatremia yang terlalu cepat. Kelainan ini sering fatal dengan gejala klinis berupa bingung, kelainan saraf kranial, pada lesi yang luas akan terjadi sindrom locked in dan kuadriparesis, yaitu kelainan berupa pasien tetap sadar, tetapi tidak dapat bergerak dan komunikasi karena paralisis sistem motor yang berat. Diagnosis dan Pengobatan
Untuk menentukan apakah hiponatremia disertai hemokonsentrasi atau hemodilusi perlu diperiksa kadar ureum darah dan hematokrit. Pemeriksaan yang lain berat badan, elektrolit darah dan analisis gas darah. Pada hiponatremia pada dehidrasi pengobatan ditujukan untuk mengganti cairan yang hilang dan cairan rumat. Pada pasien dengan kadar natrium kurang dari 125 mEq/l perlu pengobatan dengan cairan hipertonik. Keperluan natrium dapat diberikan seperti rumus berikut. mEq Na+ = (0.6) (berat badan dalam kg) ( [Na+] yang diinginkan – [Na+] sekarang). [Na+] = Kadar natrium dalam mEq/l.
pemberian cairan pekat maupun ketidakmampuan ginjal untuk memekatkan urin. Terjadi hipernatremia apabila konsentrasi natrium serum melebihi 150 mEq/ l, dengan gejala iritabel atau penurunan kesadaran berupa letargi sampai koma dan kejang. Kejang lebih sering terjadi dibandingkan dengan keadaan hiponatremia, dan dapat terjadi karena pengobatan yang terlalu cepat, dapat menyebabkan edem otak dan kematian. Pasca hipernatremia dapat terjadi pengerutan otak (shrinkage of the brain) dan kadangkadang disertai petekie dan hematoma subdural. Ensefalopati pada hipernatremia dapat menyebabkan gejala sisa kira-kira pada 10% pasien. Pengobatan terhadap pasien hipernatremia yang disertai dehidrasi harus berhati-hati dan tidak boleh terlalu cepat untuk mencegah terjadinya water intoxication. Pada hipernatremia dengan dehidrasi pengobatan diberikan dalam waktu lebih dari 48 – 72 jam dan penurunan kadar natrium plasma jangan melebihi 10 – 15 mEq/l per hari. Pengobatan terdiri atas defisit, rumat dan yang hilang masih berlangsung. Diberikan larutan yang mengandung 0,33 – 0,5 N Nacl, sedangkan kadar dalam plasma tetap di pantau. Pada umumnya hiperglikemia menyertai hipernatremia dengan dehidrasi terjadi pada 50% pasien, maka lebih baik diberikan glukosa 2,5% daripada 5%. Hipokalsemia terdapat pada 10% kasus.12 Hipernatremia dengan Hidrasi Normal
Pada pasien dengan kejang dan kadar natrium kurang dari 115 mEq/l perlu pengobatan cepat dengan NaCl 3% (513 mEq/l) secara intravena dengan dosis 5 ml/kg akan menaikkan kadar natrium 3 – 4 mEq/l. Pada hiponatremia dengan water intoxication diberikan larutan NaCl 2,5 % sebanyak 5 – 10 ml/kg BB secara intravena dan pemberian cairan dibatasi. Hiponatremia yang lain adalah syndrome of inappropriate antidiuretic hormon secretion (SIADH) yang biasanya timbul akibat obat-obatan, trauma kepala, operasi kepala dan infeksi susunan saraf pusat. Pengobatan ditujukan terhadap hiponatremia dan penyebab primer.
Hipernatremia dengan hidrasi normal disebut juga hipernatremia neurogenik. Pada pasien ini tidak terdapat dehidrasi, pengeluaran vasopresin normal, dan respons ginjal terhadap vasopresin juga normal. Terdapat dua jenis hipernatremia neurogenik, keduanya disebabkan oleh kelainan pada hipotalamus yang menyebabkan gangguan haus (hipodipsia) atau sensitivitas osmoreseptor atau keduanya. Keduanya dapat dibedakan dengan memaksa masukan air (forced water intake). Pada hipodipsia hasilnya baik, dan osmolalitas menjadi baik; sedangkan pada tipe kedua tidak ada hasil dan disebut sebagai hipernatremia esensial, pengobatan diberikan klorpropamid.
Hipernatremia Hipernatremia dengan Overhidrasi Hipernatremia dengan Dehidrasi Keadaan ini biasanya disebabkan oleh diare, anoreksia dan muntah. Faktor lain adalah demam, hiperventilasi,
Hipernatremia dengan overhidrasi disebabkan karena minum atau infus larutan hipertonik. Pada bayi dapat terjadi karena pemberian makanan dengan kadar 25
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
natrium tinggi, bayi yang diberikan natrium bikarbonat karena distres pernapasan atau sebab lain. Apabila hipernatremia terjadi dengan cepat, natrium akan menarik air ke dalam vaskular, hal ini dapat menyebabkan perdarahan otak, edem paru atau hipertensi. Sehingga pemberian air untuk menurunkan kadar natrium sering memperburuk keadaan. Pengobatan ditujukan untuk mengeluarkan kelebihan natrium dengan diuretik apabila fungsi ginjal normal. Pada fungsi ginjal tidak normal atau pada bayi harus dilakukan dialisis peritoneal.
• Hipokalsemia Hipokalsemia dapat terjadi pada semua umur, tetapi yang sering para neonatus; dapat disebabkan oleh karena minum susu formula (tidak minum air susu ibu), ibu menderita hiperparatiroidisme yang tidak diketahui, ensefalopati dan agenesis kelenjar paratiroid. Hipokalsemia pada bayi dan anak dapat terjadi karena rakitis gizi, obat (fenitoin atau fenobarbital), sindrom malabsorpsi kronik, pada pengobatan dehidrasi, hipoparatiroidisme dan pseudohipoparatiroidisme. Gejala yang timbul pada neonatus berupa hiperiritabel, tetani dan kejang yang timbul pada hari 4 – 7 pasca lahir. Pada ensefalopati, kejang timbul dalam 3 hari pertama pasca lahir. Pada bayi berat lahir rendah hipokalsemia timbul pada hari ke 2 – 3 setelah lahir.13 Gejala hipokalsemia pada anak berupa parestesia dan kekakuan pada ekstremitas, stridor dan tetanii karpopedal. Tetani dapat ditimbulkan dengan hiperventilasi atau ditekan dengan manset tensimeter (tanda Trousseau), gejala lain berupa hiperrefleksi dan tanda Chvostek positif. Kadang-kadang terdapat gejala bingung. Kejang umum dapat terjadi setiap waktu dan terjadi pada 50-70% pasien anak dan dewasa. Kejang dapat juga berlangsung fokal. Kejang pada hipokalsemia tidak responsif terhadap pengobatan dengan antikonvulsan. Kadar kalsium kurang dari 7 mg/dl biasanya menimbulkan gejala, apabila serum albumin normal. Sebenarnya yang penting adalah jumlah kalsium ion yang tidak terikat, sehingga pada pasien dengan tetani perlu diperiksa pH, CO2 dan protein serum. Fosfor serum perlu diperiksa untuk diagnosis banding. Pengobatan hipokalsemia adalah pemberian kalsium glukonat 10% sebanyak 5 – 10 ml, sedangkan pada neonatus dengan kalsium glukonat 5% sebanyak 4 ml/ 26
kg. BB (200 mg/kg. BB) sambil dilakukan pemantauan elektrokardiografik atau auskultasi jantung.
• Gangguan Sistem Asam-Basa Asidosis dan alkalosis yang menyertai beberapa penyakit dapat nmenyebabkan terjadinya koma metabolik. Di antara kelainan sistem asam - basa hanya asidosis respiratorik yang merupakan penyebab langsung terjadinya stupor dan koma. Gejala neurologis biasanya timbul apabila pH cairan serebrospinal turun dibawah 7,25. Pada kelainan keseimbangan asam-basa, pH darah kurang berhubungan dengan adanya/beratnya kelainan neurologis, karena pH cairan serebrospiral kurang berfluktuasi dibandingkan pH arterial.3 Manifestasi Klinis
Kelainan neurologis pada kelainan asam-basa tidak khas, biasanya berupa penurunan kesadaran, kemudian delirium dan koma; Sedangkan kejang jarang terjadi.3
Kelainan Neurologis pada Penyakit Paru Penyakit degeneratif progresif pada susunan saraf pusat terlihat pada bayi prematur dengan displasia bronkopulmonari atau penyakit paru kronik yang mendapat bantuan ventilator. Keadaan ini akan menyebabkan kelainan pada korteks serebri, batang otak, atau ganglia basalis. Kelainan pada neuromuskular ditemukan pada anak yang memakai ventilator lama dan obat neuromuscular blocking agents. Pada pasien yang apnea atau asma yang mendapat teofilin dapat terjadi komplikasi kejang umum maupun fokal yang sukar diobati dengan antikonvulsan, dan dapat terjadi ensefalopati toknik dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Kelainan ini terjadi apabila kadar teofilin dalam darah tinggi (21-23 ug/ml).3 Pada penyakit fibrosis kistik dapat terjadi kelainan neurologis karena hipoksia dan retensi CO 2. Pasien mengalami letargi, infeksi saluran pernapasan, dan menjadi koma. Kira-kira 4% menderita papiledem karena tekanan intrakranial yang meninggi akibat retensi CO2 kronik, dan dilatasi pembuluh darah otak.
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Kelainan Neurologis pada Penyakit Gastrointestinal dan Hati
•
Ensefalopati Hepatik Ensefalopati hepatik adalah keadaan yang disebabkan oleh kerusakan hati akibat penyakit hati akut atau kronik dengan gejala neuropsikiatrik.3
•
Patologi dan patogenesis Perubahan morfologik di dalam otak didominasi oleh perubahan astrosit. Abnormalitas mikroskopik termasuk pembesaran dan penambahan jumlah astrosit protoplasmik. Sel Alzheimer II adalah sel astrosit dengan pembesaran, nukleus pucat, dan pengurangan jelas dalam protein asidik fibrillari glial. Sel Alzheimer II terdapat di seluruh korteks serebral, ganglia basal, nuklei batang otak dan lapisan Purkinje serebelum. Sel tersebut paling prominen pada penyakit hati kronik dan pada pasien yang meninggal dunia setelah mengalami koma yang lama. Umumnya tidak terlihat adanya perubahan neuron, tetapi kurang sering ditemukan adanya mielinolisis pada pons sentral. Ensefalopati hepatik adalah kelainan dengan multifaktor, dan faktor yang paling penting pada patogenesisnya adalah peningkatan kadar amonia dan GABAergic neurotransmission dalam plasma dan otak. Amonia telah lama dikenal sebagai neurotoksik, tetapi kira-kira 10% pasien ensefalopati hepatik mempunyai kadar amonia normal atau hanya meningkat sedikit, jadi bukan hanya hiperamonia yang berperan pada ensefalopati hepatik, tetapi gangguan metabolik lain turut berperan dalam terjadinya ensefalopati hepatik. Manifestasi klinis
Ensefalopati hepatik terjadi dari gagal hati fulminan akut dan ensefalopati kronik progresif; pada anak ensefalopati hepatik biasanya terjadi sebagai akibat gagal hati akut. Berdasarkan gejalanya dibagi menjadi 4 stadium: • Stadium I Kelainan mental/perilaku seperti, bingung ringan, gelisah, iratabel, agitasi pola tidurnya berubah, atensinya mengurang, depresi Kelainan motor/refleks seperti tremor postural halus, koordinasinya lebih lambat
•
Stadium II Kelainan mental/perilaku seperti, mengantuk, letargi, perubahan personalitas kasar,disorientasi (terutama waktu), pelupa, perilakunya tidak sesuai Kelainan motor/refleks yaitu asteriksis, disartri, paratonia, ataksia Stadium III Kelainan mental/perilaku yaitu delirium, sangat bingung, paranoia, disorientasi (waktu dan tempat), bicara ngacau, somnolent Kelainan motor/refleks yaitu hiperrefleksia, kejang, mioklonus, hiperventilasi, tanda Babinski(+), hipotermia, inkontinensia Stadium IV Kelainan mental/perilaku yaitu koma, Kelainan motor/refleks yaitu posisi deserebrasi, refleks okulocefalik meninggi
Edem serebral pada ensefalopati hepatik akut merupakan penyebab kematian, dengan herniasi otak terdapat pada 80% pasien yang meninggal. Penyebab edem serebral tidak diketahui, tetapi dipercayai karena edem vasogenik dan sitotoksik. Pada umumnya gambaran EEG abnormal, tapi tidak khas untuk ensefalopati hepatik, namun sesuai dengan ensefalopati metabolik. Gelombang trifasik khas untuk ensefalopati hepatik pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak. Pengobatan dan prognosis Setelah keberhasilan transplantasi hati, terjadi revolusi dalam tata laksana, pengobatan dan prognosis pada anak dengan gagal hati dan ensefalopati hepatik. Keberhasilan tranplantasi hati antara 55-89%.3 Keterlibatan ahli saraf pada pengobatan ensefalopati hepatik karena adanya gejala neurologis yang disebabkan oleh hipoglikemia, sepsis, perdarahan intrakranial akibat koagulopati, gagal ginjal, gangguan elektrolit dan edem serebral. Edem serebral tipe sitotoksik, maka kortikorteroid tidak berguna. Pengobatan yang paling baik dengan pembatasan cairan, hiperventilasi, kurangi stimulasi (cahaya, suara, pengisapan endotrakeal) dapat diberikan short-acting narcoties pada kenaikan tekanan intrakranial karena stimulasi; Juga boleh diberikan manitol. Pengobatan yang paling pasti adalah transplantasi hati.3 Mortalitas ensefalopati hepatik stadium IV adalah 63% - 80%, 15% diantara pasien yang hidup 27
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
mengalami kelainan neurologis berat.3 Makin lama interval antara permulaan ikterus dan timbul ensefalopati hepatik makin buruk prognosis. Pemeriksaan somatosensory-evoked potentials lebih superior dari pada EEG untuk menentukan prognosis.
Kelainan Neurologis pada Penyakit Ginjal Patogenesis gejala serebral masih belum diketahui namun diketahui beberapa toksin ikut berperan. Telah diketahui bahwa beratnya gejala serebral kurang berhubungan kadar urea serum. Kreatinin, p-cresol, guanidin dan paratiroid-hormon ikut berperan terjadinya gejala neurologis pada uremia, khususnya neuropati perifer dan miopati.3
masuk ke dalam otak, dan keadaan ini disebut sebagai sindrom disekuilibrium-dialisis. Pada umumnya gejala motor cenderung menjadi baik ketika kadar urea darah menurun, sedangkan gejala sensori cenderung masih menetap. Keberhasilan transplantasi ginjal berhubungan dengan percepatan pertumbuhan kepala dan memperbaiki fungsi intelektual. Namun penelitian prospektif pada anak dengan penyakit ginjal bawaan sedang dan berat menunjukkan bahwa perkembangan kognitif dan motor umumnya terlambat. Keterlambatan ini disebabkan oleh efek toksik dari uremia, malnutrisi kronik, bermacam-macam gangguan metabolik, dan malformasi otak yang menyertainya. Pengobatan kejang tergantung penyebabnya. Kejang karena keadaan disekuilibrium biasanya sembuh sendiri dan dapat dicegah dengan pengawasan yang cermat.
Manifestasi klinis Komplikasi pengobatan uremia kronik
Gejala neurologis uremia adalah abnormalitas keadaan mental, tremor, mioklonik, asteriksis, kejang dan kram otot. Saraf perifer umumnya ikut terkena, yamg paling sering adalah polineuropati. Kelainan ini dapat simtomatik campuran motor dan sensori neuropati atau subklinik dan hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan kecepatan hantar saraf. Gejala neuropati mulai dengan kelainan sensori anggota gerak bawah, dapat progresif perlahan-lahan menjadi kuadriplegia flaksid total. Pada pasien dengan ensefalopati hipertensif yang terjadi pada glomerulonefritis akut terdapat gejala peninggian tekanan intrakranial dengan nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan dan papiledem. Gejala lain berupa kejang dan kelainan serebral fokal, termasuk hemiparesis dan buta kortikal. DQ pada anak yang menderita gagal ginjal kronik sebelum berumur 1 tahun lebih terpengaruh daripada yang di bawah 3 tahun. Pasien yang menderita gagal ginjal kronik sejak bayi lebih dari 50% jelas mengalami keterlambatan perkembangan, disertai dengan pengurangan lingkar kepala yang jelas.14 Pengobatan dan prognosis
Pengobatan pada uremia termasuk koreksi gangguan elekrtrolit dan rumatan komposisi plasma normal, dan ini dapat dicapai dengan dialisis. Beberapa ahli berpendapat bahwa urea dalam otak tidak seimbang terhadap bebas dengan urea dalam darah, sehingga air 28
Pada umumnya komplikasi neurologis lebih sering setelah hemodialisis daripada dialisis peritoneal. Gejala yang timbul berupa kegelisahan, nyeri kepala, nausea, muntah. Gejala di atas terjadi akibat peningkatan tekanan osmotik akibat urea yang keluar dari darah lebih tinggi daripada urea dari otak. Nyeri kepala juga dapat disebabkan oleh gangguan regulasi vaskular oleh ginjal yang rusak dengan nefrektomi bilateral akan menyebabkan pengurangan nyeri kepala secara total pada 70% kasus daripada melanjutkan dialisis. Dengan dialisis yang berulang kali akan menyebabkan terjadinya sindrom yang disebabkan oleh kekurangan vitamin atau faktor nutrisi yang lain. Kelainan tersebut antara lain neuropati sensorimator perifer (burning feet atau restless legs syndrome), mielinolisis pons sentral ensepalopati Wernicke, dan kram kaki. Restless legs sysndrome dan kram kaki sembuh dengan suplementasi vitamin, terutama kram kaki sembuh dengan vitamin E atau quinine.3 Sindrom demensia dialisis ditandai dengan gangguan bicara secara cepat dan progresif, mioklonus, asteriksis, kejang dan perubahan kepribadian. Terdapat juga gangguan fungsi bulbar, kelemahan, EEG abnormal, dan apabila tidak diobati akan menyebabkan kematian dalam beberapa tahun kemudian. Sindrom demensia dialisis permulaan dilaporkan hanya terjadi pada dialisis kronik, ternyata terjadi juga pada pasien gagal ginjal kronik yang tidak pernah mengalami dialisis.
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Aluminium dapat juga sebagai penyebab terjadinya sindrom demensia dialisis. Logam ini masuk ke dalam tubuh tidak hanya melalui cairan dialisis, tetapi juga secara oral, dalam bentuk resin aluminium Penghentian pemberian gel aluminium, kelasi aluminium dengan deferoxamine, dan paratiroidektomi dapat merubah demensia dialisis.
Kelainan Neurologis pada Penyakit Jantung
Kelainan Neurologis pada Keganasan Leukemia Dengan pemberian kemoterapi antileukemik yang efektif kelangsungan hidup pasien lebih lama, komplikasi neurologis leukemia akut menjadi lebih umum, dan pengobatan menjadi problem medis. Komplikasi neurologis terjadi sebagai akibat penyakitnya sendiri dan karena pengobatan. Leukemia susunan saraf pusat
Ensefalopati hipertensif Komplikasi neurologis pada hipertensi adalah ensefalopati hipertensif, gejalanya biasanya berupa kejang fokal atau umum, nyeri kepala, dan gangguan penglihatan. Penyebabnya biasanya karena penyakit ginjal atau esensial. Dengan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala akan terlihat adanya kelainan pada otak di korteks dan substansia alba.
Komplikasi neurologis karena penyakitnya sendiri adalah leukemia susunan saraf pusat (SSP). Berdasarkan keputusan Children’s Cancer Group (CCG) diagnosis leukemia SSP ditegakkan apabila jumlah sel dalam cairan serebrospinal lebih besar dari 5 dan ditemukan sel limfoblast pada pemeriksaan mikroskopik atau perhitungan cytospin. Patologi
Pengobatan
Turunkan tekanan darahnya 20% - 25% akan menyebabkan perbaikan neurologis dalam waktu 24 – 48 jam. Komplikasi Neurologis pada Bedah Jantung Komplikasi neurologis yang terjadi setelah pembedahan jantung secara terbuka adalah ensefalopati hipoksik-iskemik akibat aliran darah yang inadekuat ke daerah otak yang vital. Berbagai penyebab antara lain cardiac arrest yang lama, hipoksia dan hipotensi sistemik selama operasi atau pasca operasi, dan oklusi vascular serebral akibat trombi atau embolisasi. 3 Gejalanya berupa kejang, kesadaran menurun, perubahan perilaku, dan defisit fungsi intelektual.3 Apabila selama operasi terjadi kerusakan otak luas akibat hipoksia atau hipotensi, maka pascaoperasi kesadaran pasien tidak akan sembuh, dan pasien akan mengalami kejang fokal atau umum, rigiditas ekstensor, papiledem, mata terfiksasi, dilatasi pupil, dan hemiparesis. Bila terjadi emboli serebral maka dapat terjadi gejala hemiplegia, defisit lapangan penglihatan, dan kejang.
Komplikasi neurologis terjadi karena infiltrasi leukemik pada meningen, otak, dan saraf kranial atau tepi atau perdarahan intrakranial dan infeksi. Lesi pada otak yang paling sering adalah atropi serebral (65%), kemudian infiltrasi leptomeningeal dan berbagai macam perdarahan.3 Perdarahan petekial dan gagalnya kemoterapi menembus blood – brain barrier, maka masuklah sel-sel leukemia dari darah ke dalam susunan saraf pusat, dan terjadilah leukemia susunan saraf pusat. Manifestasi klinis
Gejala serebral leukemia adalah muntah, nyeri kepala, papildem, nafsu makan dan berat badan bertambah, kelainan saraf kranial, kejang, ganguan penglihatan, dan ataksia. Muntah, nyeri kepala dan papiledem karena peninggian tekanan intrakranial; kejang jarang terjadi, kadang-kadang ditemukan kuduk kaku. Kelainan saraf kranial relatif sering dan terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemia pada meningen basal, yang sering terkena adalah N.fasialis, abdusens, dan auditori. 3 Nafsu makan dan berat badan bertambah indikasi adanya infiltrasi ke hipotalamus. Hiperleukositosis yang terjadi leukemia limfoblastik akut dapat 29
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
menyebabkan terjadinya sindrom leukostatik dengan gejala neurologis berupa papiledem, gangguan pendengaran, gengguan fungsi vestibular, dan berbagai macam defisit neurologis fokal. Gejala akan hilang apabila jumlah leukosit menurun. Diagnosis Jumlah sel dalam cairan serebrospinal meningkat, kadar glukosa menurun pada kira-kira 10% kasus, dan kadar protein meningkat pada kira-kira 50% kasus. CT scan kepala menunjukkan pelebaran sutura, MRI menunjukkan adanya kelainan di meningen, terutama apabila memakai kontras. Profilaksis dan pengobatan Pengobatan leukemia susunan saraf pusat terdiri atas kemoterapi sistemik dengan berbagai macam obat, pengobatan intratekal dan iradiasi kraniospinal. Leukoensefalopati akut dapat terjadi setelah pengobatan terutama setelah kombinasi metotreksat intratekal dan iradiasi susunan saraf pusat. Keadaan ini disebabkan oleh virus (J C virus) yang biasa pada anak kecil, yang terreaktivasi, menyebabkan infeksi, dan terjadi demielinisasi. Gejala klinisnya berupa demensia, spastisitas, ataksia, gejala neurologis fokal yaitu hemiparesis dan buta; kadang-kadang terjadi kejang-kejang dan gangguan kesadaran. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian atau sembuh dengan gejala sisa neurologis. Beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah profilaksis dapat juga terjadi gejala neurologis berupa kejang dan hemiparesis. Pada MRI terdapat kelainan fokal progresif, multifokal, atau difus pada substansia alba. Pada CT-scan kepala tampak adanya kalsifikasi mikroangiopati. Kelainan ini biasanya bilateral dan lebih jelas di daerah putamen dan kapsula interna, tetapi dapat juga di korteks serebral dan serebelum, dan kalsifikasi korteks ini dapat menyerupai railroad tracks pada sindrom Sturge-Weber. Hal ini biasanya terjadi pada profilaksis dengan iradiasi pada anak di bawah umur 5 tahun. Pada pengamatan jangka panjang terdapat pula defisit fungsi intelektual, kemampuan akademik, perhatian, konsentrasi, dan memori jangka pendek. 30
Komplikasi Neurologis karena Obat Antineoplastik Komplikasi penggunaan vincristine adalah neuropati perifer yang berhubungan dengan dosis. Kelainan saraf kranial jarang, dan biasanya yang terkena neuritis optika, ptosis, optalmoplegia, dan palsi fasial, selalu disertai kelemahan dan atrofi otot perifer. Gangguan autonomik berupa konstipasi, ileus paralitik, atoni kandung kencing , dan hipotensi ortostatik. Neuropati vincristine akan kembali normal setelah penghentian pemberian vincristine. Kejang dan koma jarang terjadi pada pengobatan dengan vincristine. Komplikasi neurologis pemberian methotrexate intratekal ada 2 : 1. araknoiditis kimia dengan gejala demam, nyeri kepala, sakit pinggang (back pain), dan kaku kuduk.3 Komplikasi yang lebih serius adalah timbulnya paraparesis atau paraplegia sementara atau menetap. Komplikasi neurologis yang terjadi pada L-asparaginase adalah trombosis intrakranial dan infark hemoragik yang terjadi pada 1-2% kasus dengan gejala nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang fokal, dan hemiparesis yang disebabkan oleh defisiensi antitrombin, plasminogen, dan fibrinogen dengan akibat terjadinya gangguan pada hemostasis plasma. Cisplatin adalah obat antineoplastik yang digunakan pada neuroblastoma, osteosarkoma, dan tumor lain dapat menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi, terutama pada anak yang masih muda. Kadang-kadang penggunaan cytosine arabinoside dapat terjadi komplikasi berupa paraplegia, buta, dan neuropati perifer. Komplikasi lain berupa kelainan serebelar, kejang, dan leukoensefalopati. Gejala biasanya timbul dalam 24 jam setelah pengobatan terakhir, dan dengan dosis tinggi kejadiaan toksisitas susunan saraf pusat bertambah. Fluorouracil dapat menyebabkan kelainan serebelum dengan disfungsi cara berjalan dan koordinasi. Kelainan akan sembuh dengan menghentikan pengobatan. Pada pasien yang mendapat pengobatan fenitoin dan methotrexate, kadar fenitoin serum akan menurun, dan akan menurunkan ambang kejang dan kejang dapat timbul kembali.
Hipotiroidisme Manifestasi Klinis Berdasarkan gejala neurologisnya dibedakan dalam (a). hipotiroidisme nongoiter neonatal, (b). hipotiroidisme
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
goiter kongenital, (c). hipotiroidisme goiter dengan tuli (sindrom Pendred), (d). kretinisme endemik, (e). defisiensi tiroid kongenital dengan hipertrofi muskular (sindrom Kochet-Debré-Semelaigne). Pada hipotiroidisme non goiter neonatal, kelenjar tiroid tidak ada atau sangat kecil. Pada waktu lahir gejala hipotiroidisme sukar ditentukan. Biasanya masa gestasinya panjang dan berat lahirnya besar, cenderung mengalami ikterus neonatal yang lama (prolonged neonatal jaundice), perut besar, fontanel posterior luas, kulit bercak-bercak, dan aktivitas motor menurun. Tuli sensorineural terjadi pada paling sedikit 10% kasus dan gangguan pendengaran terjadi karena gangguan perkembangan koklea. Perkembangan motor dan intelektual terlambat. Sepertiga jumlah kasus spastik, tidak terkoordinasi, dan ataksia serebelar. Pada EEG tampak perkembangan otak terlambat. Sindrom Pendred (hipotiroidisme goiter dengan tuli) diturunkan secara resisif autosomal, dan terdapat kira-kira 7,5 % pada anak tuli. Kretinisme endemik adalah hipotiroidisme yang paling banyak terjadi, terutama di negara berkembang. Kelainan neurologis berupa lingkar kepala kecil, retardasi mental, tanda-tanda traktus piramidalis, defisit ekstrapiramidal berupa distonia fokal atau umum, cara jalan dan langkahnya khas seperti pasien parkinsonisme. Tuli terjadi karena kerusakan kohlea, terdapat pada 90% pasien kretinisme endemik.3 Pada pemeriksaan CT scan, perkapuran pada ganglia basalis pada 30% kasus, terutama pada pasien hipotiroidisme berat dan yang telah berlangsung lama. Pada MRI terdapat pelebaran fisura Silvii dan hiperintensitas globus palidus dan substansia nigra. Diagnosis
Diagnosis hipotiroidisme kongenital dipertimbangkan pada anak dengan retardasi perkembangan, wajah infantil, perut buncit, rambut dan kulit kering. Diagnosis dipastikan dengan pertulangan terlambat, pertumbuhan terlambat, proporsi badan infantil, dan yang paling spesifik adalah menentukan kadar T4 dan T3 serum, serta peninggian kadar TSH. Pengobatan dan Prognosis Pengobatan hipotiroidisme dengan levotiroksin sintetik. Apabila pengobatan dimulai dalam minggu pertama kehidupan, pertumbuhan somatik dan lingkar
kepala menjadi normal, tetapi prognosis untuk fungsi mental kurang jelas. Faktor risiko independen yang paling penting untuk outcome adalah beratnya hipotiroidisme kongenital pada saat diagnosis, yang dapat dilihat dari kadar T4 permulaan dan maturasi tulang. Umur saat pengobatan dimulai, dosis T4 dan T4 plasma selama pengobatan kurang penting untuk menentukan perkembangan kognitif di kemudian hari. Diabetes Mellitus Komplikasi neurologis pada diabetes melitus (DM) terjadi karena penyakitnya sendiri atau karena hipoglikemia. Hipoglikemia menyebabkan kelainan susunan saraf pusat berupa kejang, koma, dan sindrom mental organik, sedangkan komplikasi neurologis pada DM berupa kelainan saraf sentral atau perifer.10 Neuropati diabetik Neuropati merupakan komplikasi DM yang paling umum, terjadi pada kira-kira 50% pasien yang mendapat insulin; terjadi berhubungan dengan kontrol metabolik, dan biasanya pada kasus yang lama.10 Neuropati terjadi karena hiperglikemia dan berhubungan dengan lama dan beratnya hiperglikemia. Manifestasi klinis Neuropati pada DM terdiri atas polineuropati simetris distal, neuropati motor proksimal dan neuropati fokal. Jenis neuropati diabetik yang paling sering adalah kombinasi polineuropati sensorimotor autonomik dengan berbagai tingkatan, dan kelainan sensori berbentuk kaos kaki dan kaos tangan. Gejala neuropati berupa parestesi, kaki terasa seperti terbakar, kulit sakit seperti terbakar, kram, nyeri seperti ditusuk-tusuk, pada malam hari tambah buruk Pada kasus yang berat terdapat anestesia dengan ulkus neuropatik dan artropati. Neuropati fokal dan multifokal termasuk mononeuropati akut atau mononeuropati multipleks terjadi tersendiri, yang sering terkena adalah saraf medianus, ulnaris, dan poplitea lateralis. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan EMG menunjukkan adanya denervasi dan pemeriksaan ini lebih sensitif daripada kecepatan hantar saraf. Pada polineuropati awal amplitudo potensial sensori berkurang dan potensial cetusan somatosensori lambat. 31
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Pengobatan
Ketoasidosis diabetik
Pasien yang mendapat injeksi insulin terusmenerus menunjukkan perbaikan kecepatan antar saraf dalam jangka waktu pendek dan panjang. Yang paling baik adalah mengontrol kadar glukosa darah. Pengobatan dengan ganglioside memperbaiki kecepatan hantar saraf motor dan sensori, nyeri pada neuropati dapat diobati dengan fenitoin atau karbamazepin. Kelainan autonomik dapat diobati dengan metoclopramide untuk kelainan matilitas gastrointestinal, dan fludrokortison untuk hipotensi ortostatik.
Gejala yang mendahului ketoasidosis diabetik adalah tidak nafsu makan, haus, nyeri kepala, lemas, nyeri otot dan perut, dan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), distimulasi oleh asidosis metabolik berat. Hal ini menyebabkan hipokapnia dan vasokonstriksi serebral dengan akibat aliran darah otak berkurang dan kebutuhan oksigen otak berkurang, karena adanya sawan darah otak, maka pH otak tidak jelas terpengaruh. Sebagai akibat, derajat kelainan susunan saraf pusat dan penyembuhannya bervariasi. Manifestasi neurologis
Retinopati
Frekuensi retinopati meningkat berhubungan dengan lamanya DM. Perubahan retina berupa mikroaneurisma, perdarahan, eksudat, edem pada makula, perdarahan preretina, dan neovaskularisasi. Embriopati
Sejumlah malformasi susunan saraf pusat dan lainnya pada bayi baru lahir dari ibu diabetik adalah defek tuba neural (anensefali, spina bifida), displasia kanudal, mikrosefali, hipoplasia N.optikus, hidrosefalus, atrofi otak, dan retardasi mental. Kebanyakan terjadi sebelum minggu ke-tujuh kehamilan.10 Komplikasi Susunan Saraf Pusat
Anak dan remaja yang menderita DM dalam 5 tahun pertama kehidupannya menunjukkan defisit kognitif di semua bidang, termasuk intelegens, kemampuan visuospatial, kecepatan motor, dan koordinasi mata-tangan lebih cepat daripada mereka yang menderita DM lebih lambat. Sebagai akibatnya anak-anak tersebut mempunyai kemampuan sekolah kurang. Otak muda lebih sensitif terhadap gangguan metabolisme yang disebabkan oleh DM, anak yang menderita hipoglikemia berat, terutama sebelum berumur 5 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap abnormalitas neuropsikologik. Kejang tidak biasa terjadi pada DM anak, sedangkan EEG abnormal pada DM diduga karena sering menderita episod hipoglikemia berat atau ketoasidosis diabetik.10 32
Pemeriksaan patologik pada otak anak yang meninggal karena ketoasidosis diabetik menunjukkan edem otak umum, herniasi tonsil unkus, dan nekrosis serebelum. Patogenesisnya tidak diketahui. Serebral edem biasanya lebih jelas setelah beberapa jam pengobatan ketoasidosis diabetik dimulai, telah ada perbaikan biokimia, dengan gejala perubahan status mental yang berkembang menjadi koma. Kelainan neurologis lain berupa optalmoplegia dan dalam posisi dekortikasi atau deserebrasi.10 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan EEG abnormal dan derajat abnormalitasnya berhubungan dengan kelainan biokimia (glukosa serum, osmolaritas, bikarbonat), tetapi tidak dengan pH. Pemeriksaan CT-scan kepala dapat menunjukkan adanya edem serebral. Pengobatan
Pengobatan harus diberikan agresif termasuk hiperventilasi, pembatasan pemberian cairan, dan kalau perlu diberi manitol.
Daftar Pustaka 1.
2.
Saing B, Soetomenggolo TS. Manifestasi neurologis penyakit sistemik Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak, Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2000. h. 466 – 534. Plum F, Posner JB. Multifokal, diffuse, and metabolic brain diseases causing stupor and coma. Dalam: Plum F, Posner JB, penyunting. The diagnosis of stupor and
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
coma. Philadelphia: FA. Davis, 1980. h. 77-303. Menkes JH, Fink BW, Huvitz CGH, Hyman CB, Jordan SC, Watanabe F. Neurologic manifestations of systemic disease. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, 2000. h. 1093-154. Bashis OA. Disorder of the respiratory track. Dalam: Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, penyunting. Textbook of clinical pediatrics. Tokyo: Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 167-83. Volpe JJ. Hypoglycemia and brain injury. Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the newborn. Tkyo: W.B. Saunders company, 2001. h. 497-520. Srinivasan G, Pildes RS, Cattamanchi G dkk. Plasma glucose value in normal neonates: a new look. J.Pediatr 1986;109:114-7 (Dikutip oleh Volpe JJ, 2001) Heck LJ, Erenberg A. Clinical and laboratory observation. J.Pediatr 1987;0:119-22, (Dikutip oleh Volpe JJ, 2001). Lilien LD, Pildes RS, Srinivasan G. Treatment of neonatal hypoglycemia with minibolus and intravenous glucose infusion. J.Pediatr 1980;97:295, (Dikutip oleh Volpe JJ, 2001). Ashwal AA. Hypoglycemia in infants and children.
10.
11.
12.
13.
14.
Dalam : Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, penyunting. Text book of clinical pediatrics. Tokyo: Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 1350-8. Steinberg A, Frank Y. Neurological manifestations of systemic diseases in children (International review of child neurology series). Dalam: Steinberg A, Frank Y, Penyunting. New York: raven Press, 1993. Frank Y, Ashwal S. Neurologic disorders associated with gastrointestinal diseases, nutritional deficiencies, and fluid-electrolyte disorders.Dalam : Swaiman K, Ashwal S, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Toronto: Mosby, 1999. h. 1438-69. Matto TK, Gruskin AB, Dabbagh S, Apostol E, Fleishmann L. Hyponatremia and hypernatremia. Dalam: Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, penyunting. Text book of clinical pediatrics. Tokyo : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 732-6. Volpe JJ. Neonatal Seizures. Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the newborn. Tokyo: W.B. Saunders company, 2001. h. 178-214. McGraw ME, Halka-Ikse K. Neurologic developmental sequelae of chronic renal failure in infancy. J. Pediatr 1985;106:579-82 (Dikutip oleh Menkes JH, 2000).
33