DARI “KAMPUNG MALUKU” KE “KAMPUNG INDONESIA”: PERJALANAN DR. JOHANNES LEIMENA DALAM PENGABDIAN DAN JASA-JASANYA KEPADA BANGSA DAN NEGARA 1 Susanto Zuhdi 2 Kalau biasanya saya sulit mendapatkan fakta sebagai bukti sejarah untuk mendukung suatu
pengusulan seseorang calon pahlawan nasional dari beberapa daerah, maka kini saya pun mengalami kesukaran yang sama. Akan tetapi kali ini, masalah yang saya hadapi adalah dalam
arti untuk menepikan bagian-bagian mana yang merupakan bukti kepejuangan dan jasa-jasa seorang Leimena, karena terlalu banyaknya fakta. Proses untuk memilah dan memilih fakta
yang saya maksud ternyata begitu banyak, sehingga mana yang benar-benar relevan saja. Hal
itu terpaksa saya lakukan karena panjangnya makalah harus dibatasi juga. Jadi kalau saya diminta hanya dengan satu rangkaian kata untuk menegaskan identitas atau karakter pada Dr. J.
Leimena, maka ungkapan itu dengan mengangkat kembali apa yang pernah diucapkannya
sendiri dan kemudian dijadikan judul buku biografi, beliau adalah seorang “warganegara yang bertanggungjawab” (1995), baik secara vertikal maupun horizontal.
Dengan melihat hal tersebut di dalam kaitan dengan ajaran Islam, pribadi Dr. Johannes Leimena
dapat disebut sebagai seorang hamba yang telah menjalankan “hablum minallah wa hablum minannas” artinya “manusia yang dapat mengikat hubungan baik dengan Tuhannya dan sesama
manusia”. Di dalam kerangka itulah kita menempatkan sosok Johannes Leimena yang penuh
pengabdian besar dalam kanvas sejarah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ia cintai. Dengan meninjau biografi Leimena tersebut, ada maksud subyektif dari mempelajari sejarah yaitu untuk mengambil nilai keteladan beliau yang sangat diperlukan bagi bangsa
dewasa ini. Sebab sebagai fenomena, bangsa Indonesia saat ini menghadapi masalah langkanya
pemimpin yang memberikan teladan luhur dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Proyek besar untuk membangun bangsa dan memperkokoh negara untuk tetap merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur, ternyata kerap kali terkendala oleh perilaku para
1
Makalah disampaikan dalam Seminar Pengusulan Dr. J. Leimena sebagai Calon Pahlawan Nasional, Jakarta, 14 Juni 2010. 2 Prof. Dr. Susanto Zuhdi adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan mantan Direktur Sejarah pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata R.I. (2001—2006).
pemimpin yang lebih mementingkan diri pribadi atau kelompoknya sendiri daripada untuk seluruh bangsa dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya juga tampak bahwa terdapat di
kalangan masyarakat yang bertindak sendiri-sendiri dan tidak mengindahkan aturan sehingga
seringkali terjadi anarkisme.
Di dalam konteks permasalahan seperti itulah biasanya muncul keinginan mencari orientasi
nilai kepada sosok pribadi yang ada pada diri pahlawan. Gejala seperti ini menjadi wajar oleh karena hanya pada diri pahlawan itulah panutan yang sesungguhnya. Makalah ini bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai kepahlawanan yang melekat dalam perjalanan hidup Dr. Johannes
Leimena, dari publikasi yang sudah dikenal luas. PRIBADI YANG TANGGUH DAN ULET
Johannes Leimena lahir di Ema Ambon pada tanggal 6 Maret tahun 1905. Sejak kanak-kanak Johannes telah ditinggal wafat ayahnya dan hanya sampai berusia sembilan tahun saja ia berada
di kampung halamannya di Ambon, karena sejak itu mengikuti pamannya seorang guru, Jesaya
Lawalata ke Jawa. Di Ambon, Johannes belajar di sekolah dasar Ambonsche Burgerschool hingga
kelas dua. Awal kisah perjalanannya itu sungguh menarik karena dengan cara menyelinap ke
kapal sehingga ibunya tidak mengetahui kalau Jo kecil sudah berada di kapal. Ibunya tidak bisa berbuat banyak kecuali mengizinkannya berlayar ke Jawa. Hanya dengan pesan
kepada
pamannya agar, Jo dirawat dan dilindungi. Ayunan langkah Jo ini menjadi awal dari suatu
perjalanan panjang kehidupan sebuah sosok pribadi yang tangguh dan ulet sehingga menjadi dasar pembentukan karakter keindonesiaan dan pencapaian kariernya baik di dalam pemerintahan maupun masyarakat.
Lawalata tidak lama mengajar di Cimahi sebab kemudian ia dipromosikan ke Batavia. Jo kecil pun ikut berpindah. Setelah menamatkan sekolah dasar Jo masuk MULO. Setelah menamatkan
MULO, sebetulnya ia ingin belajar sambil bekerja. Namun pengalaman mencari pekerjaan
mendapat penghinaan dengan penolakan bekerja di Dinas Bea Cukai, karena hanya diisi oleh peranakan Indo. Begitu pula ketika ia melamar pekerjaan di Dinas Pos. Tekad untuk mendapatkan pekerjaan apa saja terus diusahakan di dinas kereta api, tetapi karena alasan usianya masih terlalu muda ia ditolak.
Dalam kondisi tidak menentu ia mendapat dukungan dari teman pamannya untuk
mendaftarkan diri ke Rechtschool (Sekolah Hakim) di Jalan Pegangsaan. Tetapi ketika ia tidak
segera dapat menemui direktur sekolah itu, Johannes mengubah pikirannya untuk memasuki
Stovia (School tot opleiding voor Indische Artsen) atau Sekolah Dokter Jawa. Dengan nilai di
rapor sekolahnya yang memenuhi syarat, ia diterima. Di Stovia, jiwa nasionalisme Johannes
terus berkembang secara bertahap. Perkenalannya dengan teman-teman dari berbagai suku
memberi wawasan baru. Di Stovia terdapat beberapa organisasi, di antaranya adalah Jong Ambon berdiri tahun 1917 dan sebuah perkumpulan mahasiswa Kristen, bernama Christen Studenten Vereniging (CSV) berdiri 1926.
Sebagai mahasiswa, Johannes tidak cukup belajar dari sekolah melainkan juga dengan
menambah pengetahuan dengan membaca dengan cara menjadi anggota perpustakaan di Jalan Merdeka Selatan. Johannes juga merambah menjadi anggota teosofi. Di sanalah ia mengenal
tulisan Gandhi, Vivekananda. Buku Bagavad Gita dibacanya pula. Dorongan untuk masuk ke
dalam dunia itu, ia dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pergerakan dari Sumatera seperti Amir Syarifudin, Mohammad Yamin, dan Bahder Johan.
Johannes ambil bagian yang intensif di dalam pergerakan nasional dengan memasuki Sarekat Ambon. Ia membaca surat kabar yang dipimpin oleh tokohh pergerakan seperti Parada Harahap dan Thabrani. Johannes juga banyak membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka seperti dari
Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane dan R.A. Kartini. Ia mengenal pikiran Bung Karno tahun 1925-1926,
yang
menjadi
inspirasinya
dalam
memperluas
wawasan
kebangsaan.
Perkembangan pergerakan nasional di Hindia Belanda semakin besar dan kuat terutama dalam merumuskan tujuan kemerdekaan bangsa setelah masuknya pengaruh Perhimpunan Indonesia di Nederland.
pemikiran dari
Dengan latar belakang dan suasana zaman seperti telah dipaparkan di atas memperlihatkan
sepak terjang Johannes sebagai dokter yang bukan hanya siap bekerja di bidangnya tetapi juga
dalam memasuki lapangan kehidupan lainnya: kemasyarakatan dan keagamaan. Pada tahun 1930 Leimena diangkat sebagai dokter yang bertugas di CBZ sekarang RS Ciptomangunkusumo.
Pengabdiannya mulai terlihat dalam membantu pasien di Kedu, sebagai korban dari akibat meletusnya Gunung Merapi. Setelah itu dr. Johannes bekerja di RS Imanuel di Bandung.
Perkawinannya dengan perempuan Sunda, Wiyarsih Prawiradilaga, dapat diinterpretasi sebagai
langkah menuju suasana keindonesiaan, meskipun pada awalnya ditentang oleh kedua pihak
keluarga mereka. Betapa tidak, bukankah dari segi waktu, peristiwa itu terjadi pada tahun 1930-an dalam masyarakat kolonial pula. Perempuan yang dikawininya itu adalah keturunan menak atau golongan bangsawan dari Priangan Timur. Belum lagi persoalan lintas suku dan
perbedaan keyakinan agama dari masing-masing kedua belah pihak keluarga. Semangat untuk terus belajar dan meneliti di bidang kedokteran dan kesehatan terus ditekuni Leimena, sehingga
pada akhirnya ia mendapat gelar Doktor. Topik disertasinya telah diawali dengan penyelidikan dari kasus-kasus penyakit yang dia jumpai selama menjalankan tugas sebagai dokter. Hasil kajiannya itulah yang kemduian diajukan sebagai disertasi yang dipertahankan berjudul
“Leverfunctie-proeven bij Inheemschen” pada tanggal 17 November 1939 di Geneeskundige
Hoogeschool di Batavia (kini fakultas kedokteran UI di Jakarta). Kegigihannya dalam meningkatkan ilmu pengetahuan, seharusnya menjadi teladan bagi generasi muda sekarang. Tidak mengenal putus asa dan terus belajar adalah suri teladan Leimena yang istimewa.
Tidak berlebihan dengan sifat yang tenang dan teliti, sehingga Leimena dikenal sebagai dokter
yang banyak berhasil dalam menangani pasiennya. Maka dikenallah Leimena sebagai dokter “bertangan dingin” karena dengan sentuhannya banyak pasien dapat disembuhkannya. Dari
tangannya pula, pada saat banyak orang mengalami penyakit kulit dikenallah “Salep Leimena”.
Leimena tidak merasa cukup bekerja di poliklinik atau rumah sakit saja melainkan kesukaannya
dengan melakukan kunjungan keliling ke daerah melihat kondisi kesehatan di masyarakat seperti di Sumedang, Padalarang, Malajaya, dan Ciparay. Ide pembentukan poliklinik untuk melayani masyarakat terutama kepada petani, terus dikembangkan Johannes pada tahun 1950, sistem ini pula yang kemudian dikenal sebagai Puskesmas.
Johannes adalah pribadi yang memiliki prinsip kuat dalam menentukan sikap. Pada masa
revolusi dan perjuangan kemerdekaan, ia memilih ke pihak republiken, sementara kebanyakan orang dari Maluku lebih condong memihak kepada Belanda. sikap ini merupakan bentuk keberanian. Karena ia seperti melawan arus ketika kebanyakan masyarakat lainnya memilih
berpihak kepada Belanda. Lebih daripada itu ia berarti berani menolak “rayuan” pihak-pihak
yang menginginkan Leimena berpihak ke Belanda dan memusuhi perjuangan Indonesia.
Sebagai seorang hamba yang berkeyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya, Kristen, dan sebagai seorang warganegara yang bertanggung jawab telah diperlihatkan Johannes
Leimena, dalam bentuk pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan negara. Perwujudan “pertanggung jawaban” seorang Leimena sebagai “Warganegara yang Baik” adalah dengan mengabdi yang diberikan kepada agama, bangsa, negara Indonesia. Di dalam konteks itulah
dapat diidentifikasi nilai-nilai yang memancar dari sepak terjang maupun pemikiran Leimena, yang bersifat kepahlawanan. Barangkali tidak berlebihan kalau sosok Leimena nyaris paripurna
dalam berkiprah pada aspek-aspek kehidupan dan dalam cakupan kegiatan yang begitu beragam. Sikap dan pembawaan yang sabar dan teliti, saya kira merupakan modal utama Leimena dalam menangani berbagai persoalan yang ia hadapi. Nilai yang memancar dari sikap
itu menjadi bekal siapa saja yang pandai meneladani sifat-sifat mulia Leimena. Proses
pendidikan dan berhasilnya seorang pemuda bernama Leimena sebagai dokter, membentuk karakter Leimena yang tenang (rustig), teliti, dan bertindak penuh perhitungan.
Di mata Mohammad Roem, Leimena adalah pribadi yang memiliki integritas, kejujuran penuh dedikasi. Oleh karena itulah Roem menaruh kepercayaan kepadanya (Roem 1983:162) MASA PERGERAKAN DAN PERJUANGAN Johannes mengalami kehidupan ketika ras diskriminasi menjadi kenyataan yang dihadapi dan dirasakan. Sikap peka terhadap kehidupan di alam penjajahan. Kehidupan di dalam alam
penjajahan yang diskriminatif itu mendorongnya memasuk kampung yang dicita-citakan yakni
Indonesia. Itulah sebabnya ia ditempa oleh pengalaman diskriminatif. Sewaktu menggantikan dr. Boenebakker di RS Padalarang untuk melayani pekerja pabrik yang orang Belanda dengan
nada tertentu menanyakan “mana dr Bonebakker? Tentu Leimena mengerti apa maksud ucapan
tersebut. Mereka sesungguhnya tidak menginginkan kedatangan Leimena apalagi untuk
menangani urusan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan. Namun demikian Leimena tetap melaksanakan tugasnya dengan baik sembari memberikan keterangan seperlunya.
Johannes memiliki kesadaran akan kebangkitan masyarakat baru: Indonesia. Johannes sering mengunjungi Volksraad untuk mendengarkan perdebatan antar pihak-pihak yang meninginkan
perubahan dan yang status quo. Pemikiran sosialisme yang dikemukakan Stokvis berhadapan
Zendgraaf, golongan pengusaha yang tidak memperhatikan keadaan sosial ekonomi masyarakat
jajahan. Johannes kagum kepada tokoh pergerakan seperti Mohammad Husni Thamrin, Agus Salim, Kusomoyudo, Kusumo Utoyo.
Masa pendudukan Jepang diingat dalam sejarah Indoensia menjadi trauma dan juga
mengesankan antara penderitaan tetapi juga timbulnya semangat kebangsaan. Pengalaman hidup pada diri Leimena seperti keluar dari “lubang jarum” dan selamat dari penyelidikan
Kempetai. Pada tahun 1943 Leimena ditangkap Kenpetai dan dipenjarakan di bekas gedung Rechtshooge school di Jalan Merdeka Barat (sekarang Kementerian Pertahanan); dugaan karena
ia berhubunga dengan Mr. Amir Syarifuddin, tokoh gerakan anti Jepang yang dibiayai oleh van der Plaas; dugaan kedua soal kegiatan di RS Purwakarta karena menerima dan merawat korban tentara Belanda dalam pertempuran di Subang dalam menghadapi masuknya tentara jepang ke
Jawa Barat. Keadaan pun berubah dan hal yang terduga pun terjadi. Ketika pimpinan Kenpetai
jatuh sakit, seorang anggotanya teringat akan salah satu tahanan adalah seorang dokter, dan orang itu tidak lain adalah Dr Leimena. Setelah pimpinan Kenpetai itu sembuh dari “tangan
dingin”nya Leimena, Kenpetai membebaskannya, ternyata tidak itu saja Leimena mendapat bungkusan hadiah keperluan sehari-hari yang justru sangat berarti pada masa itu: sabun, singlet, dan celana dalam.
Ancaman maut rupanya terus mengincar Johannes. Pada masa awal kemerdekaan di Tangerang
terjadi gerakan yang dipimpin oleh Kiyai Ahmad, yang dikenal dengan asebutan “Bapak Rakyat”
yang mendirikan “Republik Soviet Indonesia”. Dr Leimena ternyata termasuk di dalam daftar yang akan dibunuh. Namun sekali lagi karena profesinya itulah, sebagai dokter, Leimena luput dari ancaman tersebut. Rupanya banyak anggota gerakan itu yang mengenal Leimena sebagai
dokter yang telah banyak menolong dan menangani kesehatan warga di Jawa Barat termasuk daerah sekitar Tangerang.
Suatu kepiawaian beliau lain yang ia pelajari dari proses bekerja sehingga ia berpengalaman yaitu sebagai diplomat. Dan yang menarik adalah bidang yang beliau tangani adalah militer.
Pernah Thomas Chrithley, wakil Australia yang duduk di dalam Komite Tiga Negara (KTN= Komisi Jasa-Jasa Baik, yang berperan menjadi mediasi antara RI dan Kerajaan Belanda dalam
masa perundingan) bertanya kepada Mr. (Meester in de rechten=sarjana hukum) Mohamad
Roem, tokoh dan rekan sezaman, apakah Leimena mempunyai latar belakang militer.
Sedangkan kepiawaian Leimena di bidang diplomat dalam bidang militer itu tercatat dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan, selama empat tahun yakni sejak perundingan Linggarjati, Renville hingga KMB, Leimena menjadi ketua komisi militer.
Mohammad Roem mengungkapkan keahlian Leimena berdiplomasi dengan mengesankan. Dalam KMB diplomat Belanda yang dihadapi Leimena di dalam perundingan itu adalah
Buurman van Vreede. Jurus pembukaan Leimena dalam “bersilat lidah” di meja perundingan
adalah dengan cara memuji kehebatan lawannya. Orang sudah mulai senyum-senyum, begitu Roem memberi kesaksian, ketika Leimena membuka uraiannya sebelum akhirnya ia mengeluarkan kata-kata pamungkasnya. Begitulah ketika Leimena memulai pengantarnya dalam berhadapan dengan diplomat Belanda itu dengan mengatakan:
“semakin lama saya kenal Tuan Buurman, semakin saya dapat menghargai pribadinya”. Lebih lanjut Leimena mengatakan :”Tuan Buurman van Vreede tahukan Anda, bahwa nama Tuan itu Indah sekali? Tetangga Perdamaian. Ya kita di KMB ini mencari bagaimana hasil jerih payah kita dapat menjamin perdamaian. Tuan senantiasa melihat persoalan dari semua sudut. Itulah yang selalu saya temukan dalam pikiran-pikiran Tuan yang dimajukan dalam Konferensi ini. Kali ini saya cari-cari, tapi saya tidak menemukan rangkaian pikiran yang logis. Kemudian Dr. Leimena memajukan amendemen, yang menguntungkan Indonesia, yang dapat diterima oleh Konferensi” (Roem 1983:161)
Kepiawaian Leimena dalam berdiplomasi disampaikan Roem mengambil hampir dua halaman
dari bukunya. Dr. Leimena mempunyai cara khas dalam perdebatan lebih-lebih dalam
perundingan sehingga membuat lawannya kehilangan akal. Biasanya Leimena memulai dengan memuji lawannya, yang tidak sadar bahwa ia sedang masuk perangkap. Dengan pembukaan
seperti membuat lawannya kehilangan kesempatan untuk mempersiapkan ketika kemudian debat berlangsung (Roem 1983:160).
CENDIAKAWAN & NEGARAWAN DENGAN KESALEHAN SOSIAL Dr. J. Leimena termasuk sedikit dari cendekiawan yang dimiliki bangsa Indonesia yang sekaligus
sebagai negarawan besar. Cendekiawan adalah seorang yang memiliki pemikiran yang luas
tidak terbatas pada ruang dan waktu (Bachtiar dalam Mengenang Dr.J. Leimena: 429). Memang
mula-mula Leimena sebagai ahli dan spesialis tetapi ia mengembangkan pemikirannya
melampau batas-batas bidang kedokteran dan kesehatan yang dikuasainya. Cendikawan seperti
Johannes Leimena adalah orang yang terus menerus memikirkan harkat dan martabat kemanusiaan. Beberapa pemikirannya dapat dibaca dari karya tulisnya seperti dalam “Hoe zien
Wij Elkaar?” (“Bagaimana kita memandang satu sama lain”). Begitu pula dalam tulisannya yang berjudul “Nationalistische Stromingen in Nederlandsch Indie” (“Aliran-aliran Kebangsaan di
Hindia Belanda”). Dan juga menarik disimak tulisannya yang berjudul “Hoe beinvloeden de
wereldgebeurtenissen ons leven hir en wat hebben zij ons te zeggen” (“Bagaimana peristiwa-
peristiwa dunia mempengaruhi kehidupan di sini dan apa artinya ini bagi kita”) (Bachtiar ibid). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Johannes Leimena merupakan cendekiawan yang
tidak sekedar sebagai pemimpin apalagi elite yang hanya memikirkan kekuasaan dan kedudukan, tetapi Leimena adalah orang yang berpikir jauh ke depan untuk negara dan dengan kesalehan sosial yang tinggi pula.
Selain itu Leimena adalah dokter yang memiliki jiwa dan sifat kesetiakawanan yang tinggi.
Sebagai orang berkeyakinan terhadap agamanya, Leimena mampu mengamalkan ajarannya ke
dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam masa kolonialisme Belanda, Leimena
berpendapat bahwa kekristenan tidak sama dengan penjajahan. Bagi orang Kristen hidup di dalam dua dunia sekaligus, sebagai anggota bangsa Indonesia dan dalam “kerajaan Allah”.
Menurut Leimena pergumulan inilah satu-satunya jalan terhormat. Leimena pribadi yang sangat
taat menjalani ajaran agamanya yang diperlihatkan dalam perilaku kehidupan masyarakat.
Dalam istilah sekarang, perilaku seperti itu disebut sebagai orang yang memiliki kesalehan sosial. Johannes Leimena memandang oikumene yang sering diterangkan sebagai a vision that commits atau suatu kesadaran yang bertanggung jawab. Dalam konteks inilah Leimena berkeyakinan pula haruslah bahwa setiap umat Kristen Indonesia “berkewarganegaraan yang bertanggung jawab”
Karier pengabdian Leimena di pemerintahan dimulai pada tahun 1946 sebagai menteri muda
kesehatan hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1965 beberapa kali
menjadi Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Sampai-sampai ada ungkapan siapapun Perdana Menterinya, (salah satu) menterinya Leimena. Cendekiawan, menurut Harsja W. Bachtiar adalah
seseorang yang berpikir kritis dan kontributif bagi lingkungan kehidupannya. Sikap seperti itu diperlihatkan Johannes Leimena.
Ketika menjabat Menteri Kesehatan pada tahun 1953-1955, Leimena merancang pembangunan kesehatan secara komprehensif yang dikenal dengan ”Rencana Leimena”, yang mencakup dua prinsip pokok. Prinsip pertama adalah usaha preventif kuratif yang telah digagas di Bandung,
yang dikenal sebagai “Rencana Bandung”; dan kedua soal perimbangan untuk pelayanan kesehatan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Akhirnya tersusun rencana pembentukan Pusat Kesehatan di setiap kabupaten yang akan mendapat di kecamatan dan dalam dua tahun kemudian akan ditambah.
Dalam sejarah kemudian memang mencatat bahwa tidak semua rencana Leimena
dapat
terlaksana. Zaman konfrontasi “Ganyang Malaysia”, membuat banyak hal yang semula
berorientasi pada perbaikan ekonomi dan kesehatan dalam negeri menjadi terpinggirkan. Perhatian bangsa diarahkan keluar untuk mendukung proyek Bung Karno dalam menghadapi neokolonialisme (Nekolim), yang salah satu bentuknya adalah pembentukan Negara Malaysia.
Umum diketahui bahwa Leimena dekat dengan Presiden Soekarno, atau bahkan dapat dikatakan sangat dekat. Bagaimana tidak.
Soekarno sering memberi kepercayaan kepada
Leimena sebagai pejabat presiden, saat Soekarno yang sering kali melakukan lawatan ke luar negeri. Presiden Soekarno melihat Leimena sebagai pribadi yang jujur dan bekerja tanpa pamrih. Kedekatan Johannes Leimena dengan Presiden Soekarno hingga menjelang akhir
kekuasaannya, justru merupakan blessing in guise. Oleh karena berkat peranan Leimena,
Presiden Soekarno segera meninggalkan Pangkalan Utama Udara Halim Perdanakusumah pada tanggal 1 Oktober 1965. Bersama dengan Leimena itulah, Presiden Soekarno akhirnya menuju
Bogor. Apa kiranya yang akan terjadi jika presiden masih di sana ketika pasukan Letjen
Soeharto menyerbu dan bagaimana pula apabila ada pihak-pihak yang ingin menggunakan Presiden untuk tujuan Gerakan 30 September 1965 dan kepentingan PKI.
Setelah melepas jabatannya sebagai menteri, Dr. J. Leimena masih dipercaya dan diangkat
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sampai tahun 1973. Dalam masa akhir hayatnya Dr. Leimena masih berkesempatan untuk melakukan sesuatu terutama dalam
tugasnya di bidang gereja. Dalam tahun 1974, Leimena mengunjungi Eropa untuk memenuhi
undangan rekan-rekannya di kalangan gereja. Sekembalinya dari perjalanan itu, Leimena
tampak mengalami kemerosotan kesehatannya dan kemudian jatuh sakit. Pada tanggal 6 Maret tahun 1977, Dr. Johannes Leimena tutup usia.
DR. J. LEIMENA SEBAGAI TELADAN Meskipun diungkapkan pada tahun 1979, suatu pernyataan yang tetap relevan seperti
dikatakan Sultan Hamengkubuwono IX tentang pribadi Johannes Leimena adalah “ Andaikata
Oom Jo sekarang ini masih berada di tengah-tengah kita, niscaya dia akan menjadi tauladan kita
semua sebagai pemimpin politik yang jujur dan sebagai pemimpin yang tetap hidup sederhana dengan murni” (Kewarganegaraan 1995:201). Keteladan merupakan salah satu unsur yang melekat pada pahlawan.
Arti kata “pahlawan” dalam KBBI (1996:715) adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran”. Jika batasan ini kita lekatkan pada Johannes Leimena, maka sejak awal pada usia sembilan tahun, sudah kita dapati sikap keberaniannya yakni ketika ia meninggalkan Ambon dengan menyusup ke kapal yang membawanya, bersama
pamannya, ke Jawa. Dengan mengidentikkan pengorbanan dengan pengabdian maka sudah begitu banyak bentuk baik kuantitas dan kualitas yang diberikan Jo Leimena baik sebagai
dokter yang melayani pasien dan masyarakat dan membina umat, serta kepada negara dan
bangsa dalam arti luas. Tentu saja kebenaran yang dibela Leimena adalah sebuah masyarakatbangsa yang menerima perbedaan dari latar belakang yang beragam dalam membangun Indonesia sebagai rumah bersama yang memberikan kesejahteraan dan rasa damai.
Perjalanan Johannes Leimena memang telah melampau batas-batas “kampung halaman” dan kedaerahannya di Maluku, ketika ia memasuki “kampung Indonesia”. Saya menyetarakan Johannes Leimena sama dengan Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama R.I., yang juga
berkeyakinan dan telah meresap di dalam dirinya bahwa Indonesia adalah “kampung
halaman”nya. Di dalam perjalanan panjang penuh pengabdian dengan nilai-nili kejuangan dan teladan yang tinggi, itulah almarhum Dr.J. Leimena sangat layak dikenang dan kemudian untuk
diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Tentu saja mendiang sendiri tidak memerlukan gelar
tersebut, tetapi sesungguhnya yang menginginkan adalah kita bangsa Indonesia. Rupanya masih
dibutuhkan nilai-nilai kepahlawanan seperti yang melekat pada diri Dr. J. Leimena bagi kita yang hidup sekarang dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.*****
KEPUSTAKAAN -
Mengenang Dr. J. Leimena: Kewarganegaraan Yang Bertanggung Jawab, Penyusun Buku
Kenangan Dr. J. Leimena , Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1985
Roem, Mohammad. Bunga Rampai dari Sejarah 3: Wajah-Wajah Pemimpin dan Orang
Terkemuka Indonesia. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1983.
Silaen, Victor eds, Dr. Johannes Leimena Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2007.