1 BIJI SESAWI DARI KAMPUNG BETAWI "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." (Mat 9:37)
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 15
1 BIJI SESAWI DARI KAMPUNG BETAWI "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." (Mat 9:37)
MEMBAYANGKAN situasi wilayah Kampung Sawah, Pondok Gede, di timur Jakarta 54 tahun lalu tentulah bukan perkara gampang. Meski lokasinya yang terhitung jauh di pinggir kota Jakarta, untuk takaran masa itu, daerah ini sudah lama mendapat julukan sebagai Kampung Betawi—dengan tambahan predikat: unik karena agama warganya beraneka. Lebih dari seabad lalu, warga kampung ini telah terbiasa hidup berdampingan meski mereka berbeda-beda suku bangsa (ada yang akar budayanya memang Betawi, ada yang Jawa, Sunda, Flores, bahkan Portugis) dan berbeda-beda latar agama (Islam, Kristen Protestan, dan Katolik).
16 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
Lima puluh empat tahun lalu itu pula, tepatnya pada 22 Juni 1959, tatkala kegembiraan menghampiri keluarga Lewi Noron yang beragama Katolik, kabar gembira itu pun segera tersiar baik ke keluarga besar Noron maupun ke para tetangga lainnya yang lokasinya tersebar. Hari itu, Maria Naomi melahirkan anak bungsunya yang diberi nama Yus Noron melengkapi kehadiran Chatarina Warsinah Noron, FX Maman Noron, dan Andreas Noron di keluarga itu. Meski demikian, kehadiran anak bungsu ini terpaut 19 tahun dari kakak sulungnya.
Sebagai seorang Katolik yang taat, Lewi Noron tak perlu berlama-lama memutuskan. Hanya beberapa jam setelah dilahirkan, ia pun membaptiskan bayi bungsunya ini lewat tangan Romo Bratasoegondo, SJ. “Aloysius”, begitulah nama santo yang dipilih Lewi Noron sebagai nama pelindung bayi mereka. Tentang kelahiran anak bungsu ini, Maman Noron, salah seorang kakak Yus Noron bercerita, “Sebenarnya dia lahir tanggal 21 Juni. Saya tahu persis. Karena waktu itu di sini Pastor hanya datang 2 minggu sekali. Jadi Sabtu dan Minggu di sini, Senin kembali. Saya sebenarnya punya 4 orang adik lagi, kakak-kakaknya Yus. Tapi semua meninggal saat mereka masih kecil sekali. Belum lama lahir, meninggal. Saya kurang tahu kenapa mereka meninggal. Waktu Yus lahir, ada Pak Mario—yang akhirnya jadi Pastor— bilang ke Abah saya, daripada meninggal lagi setelah usia 2 minggu, langsung dibaptis saja setelah lahir. Jadi, saya tahu persis adik saya ini diberi nama Aloysius sama Abah karena hari itu hari Sabtu peringatan Santo Aloysius. Jadi, langsung diberi nama Aloysius. Dia lahir jam 6 pagi. Lalu Abah bilang jam 7 langsung baptis saja. Nah mungkin, waktu itu masa
lahir jam 6 baptis jam 7, lalu catatannya dimundurlah satu hari. Jadi ditulis tanggal 22 Juni. Itu yang saya tahu.”
Rumah keluarga Lewi Noron yang asri di Kampung Sawah tempat Yus melewatkan masa kecilnya
Menjadi Katolik bagi Lewi Noron dan Maria Naomi bukanlah sekadar beragama, tetapi benar-benar diimani dengan sepenuh diri. Tak heran, bila nama Lewi Noron (dan beberapa kerabatnya: Yepta Noron, Tarub Noron, Yulius Sastra Noron) termaktub dalam catatan sejarah gereja Katolik Betawi Kampung Sawah, bersama nama-nama lain seperti Sael Niman, Gobeg, dan Saiman— yang meski menjadi penganut Katolik—
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 17
mereka tak lantas meninggalkan tradisi Kampung Sawah: berpeci. (lih. Gema Eklesia). Meski demikian, setiap kali ditanya dari latar suku bangsa apakah marga “Noron” itu, Romo Yus sendiri mengaku bingung dan belum menemukan jawaban yang pasti. “Saya merasa tercabut dari akar budaya saya sebenarnya. Dari nama Noron, ada yang mengatakan nenek moyang saya dari daerah Sulawesi. Namun, ada juga yang mengatakan dari kawasan Sumba atau Nusa Tenggara Barat.” Bisa jadi, bukan hanya Romo Yus seorang yang belum menemukan jawaban itu, pasalnya, hingga hari ini masih banyak yang mengira ia berasal dari keluarga Betawi asli. Padahal sejak kecil budaya Betawi tidak berlaku di keluarganya maupun keluarga besarnya. Seperti cerita Maman Noron tadi, mereka lebih terbiasa memanggil “Abah” kepada ayah mereka ketimbang sebutan “Babe” sebagaimana layaknya dipakai dalam budaya Betawi. “Memang, sekali-sekali di daerah tempat tinggal saya dulu bila ada pernikahan masih menggunakan petasan layaknya yang ada
18 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
dalam budaya Betawi, juga dialek Betawi mewarnai bahasa pergaulan kami seharihari,” aku Romo Yus. Malah, menurutnya, suasana budaya Porto (Portugis) lebih terasa dalam keluarga besar Noron. Salah seorang pamannya memiliki kelompok musik keroncong Porto, semacam keroncong Tugu yang sering diminta tampil di berbagai acara, termasuk tampil dalam setiap acara keluarga.
Terbang dengan Satu Sayap PAGI berganti petang. Siang berganti malam. Kesukaan berganti kedukaan. Di saat si bungsu Yus sedang lucu-lucunya dan membutuhkan perhatian besar orang tuanya, Tuhan berkehendak lain. Lewi Noron, Sang Kepala Rumah Tangga, mengalami sakit keras, Tuberkulosis (TB atau TBC).Tak ada yang tahu persis, sudah berapa lama Lewi Noron mengidap penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosisini. Yang jelas, raganya sudah tak kuasa untuk bertahan sehingga hari itu Romo
Bratasoegondo SJ berkenan datang untuk memberikan Sakramen Minyak Suci kepada Lewi Noron. Dengan penuh kepasrahan dan kondisi yang terus melemah, Lewi Noron menerima sakramen itu. Betapa gundah hati Maria Naomi. Terlebih lagi, dalam sakit kerasnya itu, Lewi Noron sempat terbatuk hebat hingga riak-darahnya mengotori jubah Romo Brata. Lewi Noron menitipkan keluarganya kepada Romo Bratasoegondo SJ. Tak banyak yang bisa dikatakan oleh Romo Brata, selain ia memberi kata-kata penghiburan, yang agaknya itu menjadi sebuah “rahasia kecil” yang melegakan Lewi Noron dan tetap disimpan kerahasiaannya oleh Maria Naomi sampai waktunya tiba. (baca Bab 3 Frater yang Pernah Ingin “Angkat Koper”). Kesukaan yang baru saja mereka terima, perlahan tapi pasti meredup berganti menjadi kedukaan. Lewi Noron menutup buku hidupnya di usia 49 tahun, meninggalkan Maria Naomi dan keempat anaknya. Langit serasa runtuh, gelap, bumi serasa berhenti berputar. Tiang utama keluarga telah tiada. Bagaimana masa depan hidup mereka, sungguh tak terbayangkan.
Yang ada kini hanyalah menyandarkan sepenuhnya harapan keluarga organis dan aktivis gereja itu kepada rencana penyelenggaraan Illahi. Yus yang baru menginjak 4 tahun jelas belum mengerti apa-apa tentang misteri kehidupan itu. Ia hanya merasa ada yang beda sesudah itu. Andreas Noron menceritakan, “Dia belum paham benar. Tapi dia tahu kalau ditanya akan menjawab ‘Abahnya Yus meninggal’. Karena kan waktu Abah masih hidup, tiap sore jam 4 Abah pulang kerja naik sepeda membunyikan bel sepeda ‘klining, klining’, artinya Abah pulang. Biasanya saya, kakak, atau Mama menyambut. Dia belum ngerti. Nah, setelah Abah meninggal kan tidak ada lagi yang membunyikan bel sepeda. Jadi, di situlah Yus paham kalau Abah sudah tidak ada.” Sepeninggal suaminya, mau tak mau Maria Naomi harus segera mengambil alih peran, menjadi ibu sekaligus ayah di keluarga itu. Ibaratnya, ia harus tetap membawa terbang keluarganya, meski kini hanya memiliki satu sayap, yakni dirinya. Si bungsu dan kakak bungsu masih menjadi tanggungannya.
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 19
Sementara, anak sulungnya sudah berkeluarga dan anak keduanya sudah bekerja. Itulah yang sedikit bisa mengurangi beban yang harus ditanggungnya.
banyak melakukan “akrobat finansial” dalam menyiasati perjalanan hidup selanjutnya, yang barangkali saat itu belum bisa direkam kuat oleh otak kanak-kanak Yus.
Tuhan, Sang Mahasempurna, telah mengatur semuanya dengan begitu indah dan selalu hadir tanpa pernah berhenti mendampingi umatNya dalam tiap pergumulan yang terjadi dalam hidup di dunia ini. “Marilah
kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan bela-jarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Mat 11: 28-30). “Mama seorang ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan uang pensiun almarhum Papa yang bekerja di Departemen Penerangan RI. Kata kakak saya, uang pensiun yang diterima Mama saat itu dua ribu rupiah,” ujar Romo Yus pada masa kecilnya. Uang pensiun itulah yang diandalkan Maria Naomi untuk membesarkan kedua anaknya. Maria Naomi tentu harus
20 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
Foto leluarga Lewi Noron tahun 1989 tanpa Abah. Dari kiri: Warsinah, Maman, Mama Naomi, Yus dan Andreas (dokumentasi pribadi)
Hidup terus bergulir. Yus terus bertumbuh. Kehidupan sebagai pelajar dilaluinya di SD dan SMP Strada Kampung Sawah. Pelajaran Sejarah adalah mata pelajaran yang paling disukainya, ketimbang pelajaran Berhitung yang dirasanya sebagai pelajaran sulit. Nilai pelajaran ilmu sosialnya mengalahkan nilai-
nilai pelajaran eksaktanya. Meski demikian, sesulit-sulitnya pelajaran Berhitung, tak menghalangi prestasi Yus di sekolah. Bukan hanya sekali-dua kali ia bahkan membukukan prestasi sebagai juara kelas. Sudah barang tentu hal ini membanggakan hati Maria Naomi, ibundanya. Boleh jadi, melihat kenyataan itu hati kecilnya kembali teringat pada “rahasia kecil” yang diterimanya menjelang kematian suami tercinta, yang terus disimpannya rapat. Menjadi juara tak lantas membuat Yus jumawa. Ia tetap sederhana, tak lalu menjauhkan diri dari teman-teman sepermainannya. Masa kanak-kanaknya bisa dibilang lengkap. Ia bermain layang-layang, bersepeda, dan juga bermain gundu alias kelereng. Untuk urusan adu gundu, dia pulalah biangnya. Matanya sangat jeli membidik, tembakannya selalu presisi dan kuat, membuat ciut nyali teman-temannya. Tidak ada yang berani melawannya. Meski ini hanya permainan, sepertinya Yus tidak menyadari bahwa sebenarnya ia sedang mempraktikkan teori-teori berhitung dan sains yang notabene tak terlalu disukainya di
kelas; bahwa mental juaranya sedang bekerja secara bawah sadar. Di sisi lain, hal ini menunjukkan betapa sejak muda Yus memang sudah “keranjingan” olahraga. Bulutangkis adalah olahraga yang menjadi kegemarannya. Tidak mengherankan, sebab semasa remajanya itu, bulutangkis memang menjadi olah raga kebanggan bangsa Indonesia. Hampir di setiap pelosok kampung, penduduknya gemar bermain bulu tangkis. Bahkan, tak ada raket, papan kayu pun jadilah. Yang penting bisa dipakai untuk memukul shuttle cock (kok)—alih-alih yang dimaksud shuttle cock di sini adalah kok bekas yang bulu-bulunya sudah banyak tercerabut. “Setiap kali ke sekolah saya bawa raket papan itu dan saya masukkan ke dalam tas. Lalu saat istirahat saya bermain bersama teman saya. Netnya pun hanya seutas tali yang kami ikat seadanya. ”Tak ada yang bisa menebak apa yang ada dalam benak Yus kala itu— barangkali saja sambil berjalan ke sekolah ia berkhayal dirinya bak Ferry Sonneville yang akan maju ke lapangan pertandingan.
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 21
Agaknya, Yus tidak menyadari bahwa polah tingkahnya itu tak lepas dari pengamatan kakaknya. Seolah tak tega melihat adiknya seperti itu, Sang Kakak pun lalu menghadiahinya sebuah raket asli, bukan papan. Betapa girang hati Yus Noron karena ia bisa bermain bulutangkis “beneran”, tanpa menghasilkan suara “tak, tok, tak, tok” saat shuttle cock beradu dengan senar raketnya. Semangat bermainnya semakin tinggi, lambungan umpannya semakin presisi, pukulannya pun makin kuat berisi—mungkin itu salah satu berkat dari teramat seringnya ia memukul shuttle cock dengan raket papan kayu. Tak heran bila sempat beberapa kali ia terpilih mengikuti kejuaraan bulutangkis. Adakah di balik semua ini sebenarnya tangan Allah sedang berkarya? Berkarya bukan untuk menyiapkan Yus Noron menjadi seorang atlet bulutangkis, melainkan menyiapkannya menjadi salah satu gembala-Nya? Gembala yang kelak mampu menjadikan bulutangkis dan olahraga ringan lainnya sebagai salah satu sarana menggembala di gereja diaspora. Rencana Allah adalah misteri, tidak seorang manusia pun mampu menduganya.
22 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
Biji Sesawi Itu Mulai Bertunas MARIA Naomi dan anak-anaknya lama kelamaan semakin terbiasa menjalani hidup tanpa kehadiran fisik seorang kepala keluarga. Ia tetap mendidik anak-anaknya secara Katolik, tiap hari Minggu membawa Yus mengikuti misa di gereja Kampung Sawah. Pilihan tempat duduknya selalu sama, bangku terdepan agar Yus dapat mengikuti ekaristi dengan baik. Sekolah Minggu dan kegiatan putra altar juga tak luput dari hidup beriman Yus. Tidak tanggung-tanggung, kecintaannya pada tugas putra altar ditunjukkannya dengan rajin bertugas pada setiap misa harian di gerejanya. Letak rumah keluarga Lewi Noron yang sangat dekat dengan gereja tentulah menjadi salah satu alasan rajinnya Yus bertugas sebagai putra altar. Rumah yang berhalaman cukup luas itu tepat berada di depan gereja. Itu hanyalah satu dari sekian banyak rumah yang dihuni oleh keluarga besar Noron. “Satu RT tempat tinggal saya semuanya beragama Katolik dan Kristen Protestan.
Namun, mayoritas adalah umat Katolik. Dalam catatan sejarah Katolik Kampung Sawah, disebutkan bahwa dulu memang ada guru-guru yang mengajarkan agama Katolik di sekitar Kampung Sawah. Dulu kakek saya memang diminta bantuan Pastor di Gereja Kampung Sawah untuk menjaga gereja, karena waktu itu belum ada Pastor yang menetap sehingga mungkin kakek saya beli tanah di seberangnya,” terang Romo Yus.
Keluarga Noron memang sebagian besar beragama Katolik dan Kristen Protestan, bahkan menjadi aktivis gereja, dimulai dari Sang Kakek. Oleh karena itu, tak heran bila sedang tidak bertugas ataupun mengikuti misa, Yus juga sering bertandang ke Pastoran dan Susteran sekadar untuk menumpang main dan menumpang membaca buku-buku koleksi gereja, antara lain buku tentang kehidupan para santo dan santa. Sesekali ia juga menyempatkan diri mengobrol dengan pastor dan suster yang ada di sana, mendengar cerita tentang pengalaman biarawan biarawati itu dalam melayani, sekaligus menimba cerita tentang pendidikan calon imam. Pembawaan Yus yang seolah telah menjadikan Pastoran dan Susteran sebagai rumah keduanya, tak heran menggelitik pastor dan suster untuk mengajak bocah itu ikut dalam pelayanan mereka, termasuk jalan-jalan berkunjung ke semiGereja St. Servatius Kampung Sawah yang letaknya hampir berseberangan dengan rumah keluarga Lewi Noron. Yus kerap duduk di bangku terdepan agar nari-seminari. dapat mengikuti ekaristi dengan baik.
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 23
Sampailah pada suatu hari ada seorang imam muda, gagah, dan pintar datang ke Gereja Kampung Sawah. Romo Sudiro Atmadja SJ. Sosok ini berhasil mencuri perhatian Yus, yang diam-diam mulai memperkuat keinginannya menjadi seorang imam. Panggilan itu mulai bersemi. Hingga akhirnya tahun 1971 terjadi peristiwa yang tak akan terlupakan oleh seluruh umat Katolik Kampung Sawah, tak terkecuali sang Putra Altar, Yus Noron. Pada 12 September 1971 Uskup Agung Jakarta menahbiskan seorang imam baru, Marius Mariatmadja. Dibilang istimewa karena setelah 20 tahun (1951-1971) Gereja Kampung Sawah tidak memiliki pastor tetap, akhirnya pada hari itu Bapa Uskup “menghadiahi” mereka seorang imam praja. Menariknya, saat ditahbiskan, Marius Mariatmadja sudah berusia 60 tahun. Dalam catatan sejarah Gereja Kampung Sawah dikatakan bahwa Marius dulu pernah mengikuti studi menjadi imam tapi gagal. Ia lalu menyampaikan permohonan kepada Monseigneur Djajaseputra agar boleh ditahbiskan sekalipun sudah lanjut usia. Permintaan itu ditolak. Penolakan itu tak
24 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
lantas menyurutkan semangat pelayanannya. Ia menjadi pengajar agama dan pendamping umat Katolik Kampung Sawah. Pada 1970, ketika Monseigneur Leo Soekoto SJ menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta, Marius kembali memberanikan diri mengajukan permohonan tahbisan, meski saat itu usianya sudah menginjak 60 tahun. Kali ini permohonannya dikabulkan. Mendengar hal itu, umat Katolik Kampung Sawah menyambut gembira dan penuh bahagia menyambut gembala mereka yang selama 20 tahun ini sudah mendampingi mereka. Dialah yang sebelumnya oleh umat Katolik Kampung Sawah sering dipanggil Pak Mario. Saat itu usia Yus telah beranjak remaja, 12 tahun. Ia pun larut dalam kesibukan upacara pentahbisan, khususnya bertugas sebagai putra altar. Semangatnya membuncah, perhatiannya selalu terpusat pada setiap detail acara. Hati kecilnya mulai berbisik, seandainya peristiwa itu adalah untuk dirinya. Mungkin persis seperti ketika dirinya dulu membayangkan sebagai pemain bulutangkis profesional.
Penahbisan ini begitu melekat dalam hati dan pikiran, melecut niatnya untuk meneruskan bersekolah ke seminari. Namun demikian, rencana Tuhan sungguh tidak bisa diduga. Setelah menjawab doa umat Katolik Kampung Sawah, pada 3 Oktober 1972, duka kembali menyelimuti umat Katolik Kampung Sawah, tak terkecuali Yus Noron. Tuhan memanggil pulang gembala-Nya. Romo Marius Mariatmadja wafat. Hanya setahun ia berkarya namun telah meninggalkan karya dan kenangan yang tak terhingga bagi perkembangan Gereja Kampung Sawah. Setelah wafatnya Romo Marius Mariatmadja, dua pastoran, Kampung Sawah dan Cililitan pun lowong. Untuk itu, sebagai tindakan darurat, pimpinan Serikat Yesus mengutus Romo Bratasoeganda SJ menangani paroki ini. Sayangnya, Tuhan kembali menguji iman umat Katolik Kampung Sawah karena belum genap 10 hari bertugas, Romo Bratasoeganda—yang pada 1959 membaptis Yus Noron bayi—pun dipanggil Tuhan pada 13 Oktober 1972.
Dua kali kehilangan gembala bukannya menyurutkan niat Yus untuk mengejar panggilannya. Niatnya malah semakin kuat. Di zaman yang masih serba terbatas itu, ia mulai mencari informasi seminari menengah mana yang cocok untuknya kelak setelah lulus dari SMP. Beberapa seminari memang pernah didatanginya bersama Frater Sujudanto ketika bertugas di Kampung Sawah. Tetapi, perhatiannya tertambat pada Seminari Santo Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Yus tertarik setelah melihat foto-foto kegiatan di seminari ini yang menunjukkan banyak sekali pilihan ekstrakurikulernya. Juga, ia ingin menjajal hidup di luar kota Jakarta. Sebuah lompatan besar bagi seorang remaja belasan tahun yang sejak lahir hidup jauh di sebuah “kampung” yang berani memutuskan sendiri untuk pergi dari tanah kelahirannya menuju kota kecil di Jawa Tengah. Tak bisa dipungkiri, tekad itu tentu terbangun oleh tempaan pengalaman hidup yang datang silih berganti, yang tentunya bukanlah sebuah kebetulan, tetapi sebuah ujian. Yus Noron lulus dalam ujian pertama. Dan kini, Roh Kudus mengarahkannya untuk memenuhi panggilannya sebagai imam. Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 25
26 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah