Pembuatan Perekat dari Biji Durian Mirna Rahmah Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
Abstrak. Pemanfaatan biji durian sebagai bahan baku pembuatan perekat telah dilakukan dengan menghidrolisis tepung biji durian menjadi dekstrin menggunakan katalisator asam klorida (HCl). Variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah temperatur hidrolisis, waktu hidrolisis, konsentrasi HCl, volume larutan formaldehid, pH, dan temperatur pencampuran perekat. Hasil hidrolisis yang tersebut selanjutnya ditambahkan dengan natrium bikarbonat (NaHCO3), larutan formaldehid (CH2O), dan natrium hidroksida (NaOH) untuk memvariasikan pH. Setelah temperatur pencampuran bahanbahan tersebut divariasikan, maka dilanjutkan dengan menganalisis kekuatan geser, viskositas intrinsik, dan berat molekulnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi pencampuran optimum diperoleh pada volume formaldehid 2 ml, pH 12,63, dan temperatur pencampuran 50oC, yang menghasilkan perekat dengan kekuatan geser 39,2 kg/cm2, viskositas intrinsik 0,1065 dl/g, dan berat molekul sebesar 813,72. Kata kunci: biji durian, perekat, dekstrin, kekuatan geser, berat molekul
PENDAHULUAN Biji durian dikenal orang sebagai limbah padat yang tidak dimanfaatkan. Biji durian banyak mengandung karbohidrat (pati) yang berbentuk polisakarida, yaitu bentuk polimer dari monosakarida. Polimer dari pati biji durian tersusun dari polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua jenis polimer ini sangat potensial untuk dibuat bahan perekat (starch gum) untuk keperluan industri kertas, keramik, kosmetik, cat, percetakan, plywood, dan sebagainya. Biji durian kemungkinan akan dapat dimanfaatkan sebagai perekat dan juga untuk pembuatan keripik durian. Kedua produk ini belum dimanfaatkan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Mengingat banyaknya limbah padat biji durian yang terdapat di pasar-pasar Banda Aceh, maka diupayakan pemanfaatannya untuk pembuatan perekat. Penelitian ini mengolah tepung biji durian yang dapat digunakan sebagai perekat. Perekat tersebut dibuat dari hidrolisis biji durian dengan HCl, kemudian dicampurkan dengan NaHCO3, larutan CH2O, dan NaOH. Variabel yang digunakan untuk pembuatan bahan perekat tersebut adalah volume larutan formaldehid, pH, dan temperatur pencampuran. Pelarut yang diperoleh diukur kekuatan gesernya terhadap lapisan kayu, viskositas intrinsik, dan berat molekul rata-rata. Penelitian ini ingin menentukan kekuatan geser yang paling maksimum dan campuran perekat yang bagus. Penelitian ini bertujuan untuk membuat bahan perekat dari limbah biji durian melalui proses hidrolisis menggunakan katalis HCl. Penelitian ini
diharapkan dapat mengembangkan IPTEK dan mengurangi pencemaran lingkungan di pasar. Gambaran Zat Pembentuk Perekat Bahan kimia yang terkandung dalam biji durian ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia biji durian Kandungan kimia Komposisi (%) Air 15 Pati 10,44 Abu 50,1 Sumber: Muhammad (1993) Kandungan pati di dalam tanaman tersimpan pada akar, buah, biji, benih, dan batang. Menurut Kirk dkk. (1954), pati terdiri dari dua jenis polimer, yaitu polimer rantai taklurus yang dinamakan amilopektin dan polimer rantai lurus yang disebut amilosa. Menurut Groggins (1958), hidrolisis pati tersebut menghasilkan dekstrin atau glukosa, tergantung pada jumlah rantai polisakarida yang dapat dipecahkan. Pati mempunyai sekitar 25 residu glukosa, sedangkan dekstrin mempunyai 6 residu glukosa (-dekstrin). Viskositas dekstrin lebih rendah daripada pati yang mempunyai spesifik gravitas 1,038 sedangkan pati 1,5. Dekstrin dapat larut dalam air dan memberikan film yang cepat mengering. Dekstrin dapat digunakan dalam industri kertas dan keramik, perekat perangko dan amplop. Dekstrin dapat dibuat dengan memanaskan pati kering dan larutan asam encer yang menyebabkan hidrolisis parsial atau hidrolisis pati dengan sejumlah kecil katalis. Dekstrin dapat pula dibuat dengan pemanasan pati kering tanpa katalisator sehingga produknya disebut roasted gum atau starch gum. Menurut Kerr (1950), suspensi pati dipanaskan antara 175-200 oC pada tekanan 1 atm atau menurut Brantlecat (1953), pada 199-245 oC selama periode 15-20 menit. Menurut Brantlecat (1953), variasi konsentrasi asam, waktu dan temperatur hidrolisis akan menghasilkan dekstrin dengan kelarutan dalam air yang berbeda. Menurut Agra dkk. (1979) metode Lane Eynon menyatakan: Dekstrin (%) = (B-A)/Berat kering (1) yang mana: A= kandungan glukosa bebas (gram) B = kandungan glukosa total (gram) Glukosa bebas (A) = M x 50/(m x 5) x (V1 – V2) x C gram (2) Glukosa total (B) = M x 500/(m x 5) x (V1 – V2) x C gram (3) Dalam hubungan ini: M = Berat hasil untuk setiap hidrolisis M = Berat hasil yang dianalisis V1 = Volume larutan glukosa standar yang diperlukan untuk menitrasi larutan fehling V2 = Volume larutan glukosa standar yang diperlukan untuk menitrasi larutan fehling dan hasil
C = konsentrasi larutan glukosa standar = 2,5/500 Metode yang umum digunakan menghidrolisis pati antara lain: 1. Asam disemburkan ke pati dan dicampur hingga homogen, lalu dihidrolisis. 2. Pati disuspensikan dalam air dan ditambahkan HCl, dikeringkan, dan akhirnya dihidrolisis. Perekat yang terbuat dari tepung kebanyakan berasal tumbuh-tumbuhan seperti: jagung, kentang, singkong, sagu, gandum, beras, kedelai. Pada umumnya pengolahan tepung secara kimiawi memiliki unsur yang sama yaitu selulosa (C6H10O5)n. Menurut Cowd (1991), selulosa tidak larut dalam air dan pelarut lain. Sifat tepung tergantung juga pada bahan mentah. Sebagaimana dikemukakan oleh Tjokroadikoesoemo (1986), bahan mentah terutama mengandung protein, padi, serat, lemak, dan bahan pengotor (debu, dll). Bila tepung diproses secara hidrolisa, amilase mengubah sifat dirinya menjadi koloidal dan kemudian terbentuk pasta. Sifat ini disebut gelatinisasi, yang terbentuk karena perubahan suhu. Menurut Tano (1997), terbentuknya gelatin terhadap tiap bahan dasar berbeda-beda. Keuntungan dan Kerugian Perekat Menurut Hartomo dkk. (1984), keuntungan penggunaan perekat antara lain: perekat mampu menyambung berbagai jenis bahan yang berbeda ketebalannya. Perekat juga memudahkan penyambungan dan fabrikasi bentukbentuk rumit, saat cara lain sulit dilakukan. Perekat memungkinkan terjadinya produk akhir dengan penampilan memuaskan, permukaan bagus, tak ada rongga, tak ada bagian menonjol seperti sekrup, dan sebagainya. Bentuk dan cara pakai perekat juga memungkinkan penerapannya pada alur proses produksi (on-line). Perekat juga mudah dan cepat dipakai, disamping dapat sekaligus menyambungkan banyak komponen. Kekuatan perekat sering amat tinggi, biayanya ekonomis dibandingkan cara lain. Mempergunakan perekat dapat memperingan berat barangnya (bukan sekrup atau belt), juga menyeragamkan distribusi stress pada segenap bagian benda yang disambungkan. Perekat memiliki sifat elongasi (pemanjangan) memadai, sehingga ia mampu menyerap stress, mendistribusikan, dan memindahkan stress tersebut secara merata-efektif. Sifat getaran dan keluwesannya baik. Penggunaan perekat juga merugikan karena proses perekatannya terkadang rumit agar hasilnya baik, karena perlu persiapan permukaan yang hendak disambungkan. Kondisi suhu, tekanan, dan kelembabannya perlu optimal, waktu curing dapat lama (bahkan suhu tinggi), juga memerlukan berbagai alat dan assesori lain. Kuat ikatan optimalnya tidak seketika tercapai sebagaimana pada teknik las. Kekuatan geser yang dapat disangga oleh ikatan perekat dapat dihitung dari persamaan: S=F/A (4) 2 dengan S = kekuatan geser perekat, kg/cm F = gaya geser, kg A = luas ikatan perekat, cm2
Perekat juga tidak seratus persen tahan panas, kerusakan oleh organisme, bahan kimia, zat pemlastik, radiasi, dan kondisi pemakaian ekstrim. Terutama perekat basis-pelarut, dapat menyebabkan bahaya keracunan atau mudah terbakar. Viskositas dan Berat Molekul Campuran Menurut Bilmeyer (1962), pengukuran viskositas campuran biasanya dilakukan dengan membandingkan suatu effluks t yang dibutuhkan untuk mengalir melalui tube kapiler dengan waktu effluks to pelarutnya. Dari t, to, dan konsentrasi zat terlarut tersebut diturunkan beberapa persamaan sebagai berikut: sp = ( - o) / o = (t – to)/to (5) [] = (sp / C) c = 0 (6) dimana: sp = viskositas spesifik = viskositas larutan o = viskositas pelarut [] = viskositas intrinsik to = waktu effluks pelarut mengalir melalui tube kapiler t = waktu effluks larutan mengalir melalui tube kapiler Mark-Houwink (1938) menghubungkan viskositas intrinsik dengan berat molekul (M) rata-ratanya sebagai berikut: [] = K . M (7) dengan K merupakan tetapan antara 0,5 sampai 5 x 10-4 dan merupakan tetapan dari 0,5 sampai 1. Viskositas intrinsik [] tersebut tidak tergantung pada konsentrasi, tetapi berdasarkan atas ekstrapolasi pada C = 0. BAHAN DAN METODE Tahap Persiapan Biji durian dicuci, dibersihkan, dan direbus selama 15 menit untuk memudahkan pengupasan kulit luar. Lalu dicuci untuk memudahkan penggilingan dan dijemur di panas matahari selama 3 hari. Kemudian digiling dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Penelitian ini dilakukan dengan berbagai variasi sebagai berikut: 1. Temperatur hidrolisis sebesar 80, 90, 100, 120, dan 140oC. 2. Konsentrasi HCl sebesar 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 N. 3. Waktu hidrolisis selama 10, 30, dan 50 menit. 4. Volume larutan CH2O sebanyak 0,5; 1; 1,5; 2; dan 2,5 ml. 5. Temperatur pencampuran pada temperaur ruang (29oC), 40, 50, 60, dan 70oC. Tahap Operasi Proses hidrolisis dilakukan pada 20 g tepung biji durian di dalam cawan, mengunakan katalis HCl dengan variasi konsentrasi, waktu hidrolisis, dan temperatur hidrolisis. Tiap sampel dianalisis untuk glukosa bebas dan glukosa totalnya guna menentukan kandungan dekstrin. Untuk memproduksi perekat dari dekstrin, 8,8 g sampel ditambahkan dengan NaHCO3 0,025 g dan larutan CH2O sebagai komponen yang divariasikan. Alat utama yang digunakan pada tahap ini adalah suatu bejana yang dimasukkan ke dalam bejana yang berukuran lebih besar. Kekuatan geser dianalisis dengan menggunakan shear stress testing machine setelah mengoleskan campuran tersebut pada kayu meranti seluas 2,5 x 2,5 cm2.
Sampel yang mempunyai kekuatan geser paling tinggi, ditambahkan NaOH dan diaduk sampai rata. Lalu pHnya diukur sehingga mencapai harga yang diinginkan dan diukur juga kekuatan gesernya. Selanjutnya perekat dibuat dengan kondisi yang sama, temperatur pencampuran diatur seperti yang dikehendaki, dan diukur kembali kekuatan gesernya. Tahap Analisis Prosedur analisis dilakukan dengan variasi berikut ini: 1. Konsentrasi HCl sebesar 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 N. 2. Konsentrasi lem yang diencerkan sebesar 0,6; 0,8; 1; dan 1,2 g/ml Analisis hasil hidrolisis dilakukan untuk menghitung glukosa total dan glukosa bebas, dengan menggunakan metode Lane Eynon: 1. Glukosa bebas Hasil hidrolisis sebanyak 2,5 g dilarutkan dalam 50 ml aquades. Larutan ini diaduk dan disaring. Filtratnya diambil 5 ml, dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambah 5 ml fehling A dan 5 ml fehling B. Campuran ini ditambah indikator metilen biru 2 tetes dan dititrasi dengan glukosa standar dalam keadaan mendidih. 2. Glukosa total Hasil hidrolisis sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 100 ml HCl yang konsentrasinya tertentu. Campuran ini dipanaskan dalam erlenmeyer yang dilengkapi kondenser, selama 2 jam. Setelah itu larutan tersebut diencerkan dengan aquades sampai 500 ml. Larutan diambil 5 ml, dinetralkan dengan NaOH, dan dilakukan titrasi seperti sebelumnya. Analisis juga dilakukan dengan mengencerkan lem biji durian yang mempunyai kekuatan geser paling tinggi dan lem merk Nippon untuk menentukan viskositas intrinsik dan berat molekulnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Temperatur Hidrolisis terhadap Kadar Dekstrin Kadar dekstrin yang optimum diperoleh pada kondisi variasi temperatur hidrolisis 120oC, waktu pemanasan 10 menit, dan konsentrasi HCl 0,6 N. Kadar dekstrin akan bertambah dengan bertambahnya temperatur hidrolisis hingga 120oC. Hal ini sejalan dengan prinsip kinetika reaksi kimia, bahwa kinetika reaksi meningkat dengan bertambahnya suhu reaksi, yaitu akibat bertambahnya energi kinetik yang dihasilkan dari molekul-molekul yang bereaksi. Kadar dekstrin maksimum diperoleh pada kondisi tersebut yaitu 55,3%. Pengaruh temperatur pemanasan terhadap kadar dekstrin ditunjukkan dalam Gambar 1. Pada temperatur 140oC dekstrin yang dihasilkan menjadi berkurang dibandingkan pada suhu 120oC. Hal ini mungkin disebabkan molekul-molekul pembentuk dekstrin mengalami degradasi dengan terjadinya pemutusan ikatan rantai pada senyawa dekstrin. Dekstrin yang dihasilkan memperlihatkan perubahan warna menjadi coklat tua. Sedangkan dekstrin yang dihasilkan pada kondisi optimum memperlihatkan warna coklat muda. Hal ini berbeda dengan literatur Saifullah (1997) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan katalis HCl pada hidrolisis pati memberikan hasil hidrolisis yang bening.
Dekstrin (%)
60 50 40 30 20 10 0
10 menit 30 menit 50 menit
60
80
100
120
140
160
Temperatur (oC)
Gambar 1. Hubungan antara temperatur hidrolisis dengan kadar dekstrin yang menggunakan 0,6 N HCl
Dekstrin (%)
Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Kerr (1970) bahwa untuk memperoleh dekstrin dari pati dengan menggunakan katalis pada tekanan 1 atmosfer, suhu pemanasan berkisar antara 70-130oC dan waktu pemanasan antara 3-15 menit. Sedangkan untuk proses tanpa menggunakan katalis, suhu pemanasan disarankan antara 175-250oC. Analisis Hasil HCl digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis untuk mendapatkan dekstrin. Hubungan antara konsentrasi HCl terhadap kadar dekstrin pada temperatur hidrolisis optimum 120oC ditunjukkan pada Gambar 2. 60 50 40 30 20 10 0
10 menit 30 menit 50 menit
0
0,2 0,4 0,6 0,8
1
1,2
Konsentrasi HCl (N)
Gambar 2. Hubungan antara konsentrasi HCl dengan kadar dekstrin pada temperatur hidrolisis 120oC Kurva dalam Gambar 2 menunjukkan dengan bertambahnya konsentrasi HCl menyebabkan kadar dekstrin yang diperoleh juga meningkat hingga konsentrasi HCl 0,6 N. Penggunaan konsentrasi HCl 1 N menyebabkan perolehan kadar dekstrin menurun menjadi 37,93% dengan waktu pemanasan 10 menit, sedangkan pada konsentrasi HCl 0,6 N dengan waktu pemanasan yang sama diperoleh kadar dekstrin 55,3%. Penentuan kadar dekstrin dengan menggunakan HCl 1 N mungkin disebabkan adanya kerusakan atau degradasi pada senyawa dekstrin selama proses hidrolisis. Hal ini juga ditunjukkan dengan perolehan berat tepung hasil hidrolisis yang menjadi berkurang.
Untuk penentuan daya rekat lem dekstrin terhadap kayu, digunakan dekstrin dengan kadar maksimum 55,3% yang diperoleh pada kondisi optimum, yaitu pada suhu pemanasan 120oC, konsentrasi HCl 0,6 N, dan waktu pemanasan 10 menit. Hubungan antara jumlah reagen formaldehid yang ditambahkan terhadap daya rekat lem dekstrin ditunjukkan dalam Gambar 3. Sebagai pembanding terhadap pengujian daya rekat digunakan lem kayu yang dijual di pasar (merk Nippon). Kekuatan geser (kg/cm2)
15 10 5 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Volume CH2O (ml)
Gambar 3. Hubungan antara volume CH2O dengan kekuatan geser perekat dekstrin
Kekuatan geser (kg/cm2)
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada penambahan jumlah CH2O 2 ml ke dalam campuran dekstrin, tanpa NaOH, diperoleh kekuatan geser 12,8 kg/cm2, yaitu lebih kecil dari kemampuan daya rekat lem kayu biasa yang besarnya 38,4 kg/cm2. Dengan demikian daya rekat dari lem biji durian pada kondisi ini adalah 12,8 kg/cm2. Daya rekat ini dapat ditingkatkan dengan pemberian filler (bahan pengisi atau aditif) lain, yaitu untuk menambah kekuatan pada gaya kohesi resin dan gaya adhesi antara resin dengan permukaan kayu, karton, dan sebagainya. Kenaikan pH akan menyebabkan kenaikan kekuatan geser, seperti terlihat pada Gambar 4. 40 30 20 10 0 0
3
6
9
12
15
pH campuran
Gambar 4. Hubungan pH campuran dengan kekuatan geser Hal ini dapat disebabkan dengan bertambanya pH, viskositas perekat juga meningkat, karena terjadinya reaksi sebagai berikut:
1. NaOH + HCl 2. HO-CH2-OH CH2O
NaCl + H2O CH2O + H2O
CH2O
OH
O-CH2
HO
O--- H + CH2O n
HO
OH Gugus dekstrin
O--- H + H2O n O Dekstrin berpolimerisasi
Kekuatan geser (kg/cm2)
Kurva hubungan kekuatan geser terhadap temperatur dibuat untuk perekat yang mempunyai pH 12,63. Hal ini disebabkan pada temperatur ruang (29oC), perekat yang mempunyai pH 12,63 dengan penambahan NaOH, akan menghasilkan kekuatan geser yang lebih tinggi dari perekat Nippon. Kekuatan gesernya sebesar 39,2 kg/cm2. Kenaikan temperatur sampai batas 50oC akan menyebabkan kenaikan kekuatan geser perekat, seperti terlihat pada gambar 5. 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
Temperatur pencampuran (oC)
Gambar 5.
Hubungan antara temperatur pencampuran dengan kekuatan geser pada pH 12,63
Hal ini dapat disebabkan semakin tinggi temperatur, maka makin besar pula energi kinetik molekul-molekul perekat. Molekul-molekul yang bereaksi menjadi lebih aktif mengadakan tabrakan-tabrakan. Memperbesar temperatur akan mengakibatkan reaksi berlangsung lebih cepat, namun pada batas tertentu dapat menyebabkan perekat dapat berkurang kekuatannya. Menurut Hartomo dkk. (1984), batas wajar untuk kebanyakan perekat adalah sekitar 70 oC. Ini menunjukkan bahwa temperatur pencampuran meripakan faktor yang menentukan agar perekat efektif. Viskositas Intrinsik dan Berat molekul Rata-rata Perekat Viskositas intrinsik dan berat molekul untuk perekat yang dibuat tesebut masing-masing adalah 0,1065 dl/g dan 813,72, sedangkan untuk perekat merk Nippon sebesar 0,2145 dl/g dan 1952,413. Bertambahnya molekul air (pelarut) yang dihasilkan dari penetralan HCl dengan NaOH akan mempengaruhi harga viskositas intrinsik dan berat molekul. Menurut Cowd (1991), jika suatu polimer dihasilkan dalam suatu pelarut dan terjadi penyambung-silangan, maka viskositas
larutan meningkat dengan tajam. Pada titik tertentu bahan semacam gel terbentuk dari larutan. Pengukuran viskositas perekat dapat digunakan antara lain untuk menaksir berat molekul perekat. Viskositas perekat cenderung berkurang dengan turunnya konsentrasi lem (yang ditandai dengan sedikitnya volume NaOH yang ditambahkan), dan dengan naiknya suhu. Akibat gaya tolak-menolak antar muatan yang sejenis pada rantai yang berdampingan, serta pengionan yang mungkin tidak sempurna, maka rantai tidak memanjang. Jika volume NaOH ditambah, tolakmenolak antar muatan pada rantai yang sama dapat menyebabkan rantai memanjang sehingga viskositas naik. Gejala ini disebut “sifat polielektrolit”, yaitu viskositas perekat berkurang pada saat larutan NaOH mulai ditambahkan, tetapi pada penambahan lebih lanjut viskositas justru meningkat lagi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pengukuran viskositas intrinsik dan berat molekul perekat hanya dilakukan pada perekat yang mungkin mempunyai viskositas tertinggi yaitu pada pH 12,63. Pemilihan pengkuran viskositas intrinsik dan berat molekul rata-rata perekat juga didasarkan atas pertimbangan bahwa kekuatan geser perekat dengan pH 12,63 dan temperatur pencampuran 50oC lebih besar dibandingkan dengan perekat Nippon. Dalam mempergunakan perekat untuk suatu keperluan, sifat mekanisnya harus diperhitungkan, disamping pertimbangan ekonomis-desainnya. Sejumlah sifat mekanis dipengaruhi oleh berat molekul. Perekat di pasaran mengandung zat perekat dan juga berbagai zat aditif, seperti katalis dan pengubah sifat, sehingga meningkatkan konsisitensi berbagai sifatnya. Menurut Hartomo (1984), pengubah sifat ini meliputi filler, ekstender, thinner, pemlastik, penstabil, dan zat pembasah. Untuk menghasilkan perekat yang lebih kuat maka penambahan zat aditif tersebut tentu perlu dipertimbangkan. KESIMPULAN Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa limbah biji durian dapat diolah menjadi bahan perekat (adhesiv) karena dapat menghasilkan dekstrin yang merupakan bahan baku perekat. Kadar dekstrin maksimum yang diperoleh adalah sebesar 55,3%. Kondisi ini diperoleh pada temperatur hidrolisis 120oC, waktu hidrolisis 10 menit, dan konsentrasi HCl 0,6 N. Kekuatan geser maksimum untuk perekat dari dekstrin biji durian dalam penelitian ini adalah sebesar 39,2 kg/cm2. Hasil ini diperoleh pada kondisi 2 ml penambahan larutan formaldehid, pH campuran 12,63, temperaur 50 oC, viskositas intrinsik 0,1065 dl/g, dan berat molekul dekstrin yang berpolimerisasi sebesar 813,72. Kekuatan geser perekat dekstrin tersebut lebih besar dari kekuatan geser perekat Nippon yang besarnya 38,4 kg/cm2. Perekat Nippon ini mempunyai viskositas intrinsik 0,2145 dl/g dan berat molekul rata-rata senyawa yang terkandung di dalamnya sebesar 1952,413. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada laboratorium MIPA atas bantuan bahanbahannya dan kepada Bapak Ir. Saifullah Ramli, M. Sc atas diskusi yang sangat berharga mengenai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Agra, I. B., Warnijati, S., dan Pujianto,B., 1973, Hidrolisis Pati Ketela Rambat, Forum Teknik, Jilid 3, 115-128. Agra, I. B., Warnijati, S., dan Riyadi, R. S., 1979, Hidrolysis of Sweet Potato Starch at atmosphere pressure, Research Journal, 2(3), 34. Bilmeyer, F. W. Jr., 1962, Text Book of Polymer Science, John Wiley and Sons, New York. Brantlecat, Ch. A., 1963, Starc its Sources, Production and Uses, Reinhold Publishing Corporation, New York. Cowd, M. A., 1991, Kimia Polimer, Penerbit ITB, Bandung. Groggins, P. H., 1958, Unit Process in Organic Synthesis, 5th ed., MGH, Tokyo. Hartomo, A. J., dkk1984, Memahami Polimer dan Perekat, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Kerr, R. W., 1950, Chemistry and Industry of Starch, 2nd ed., Academic Press Inc., New York. Kirk, R. E. Dan Othmer, D. F., 1954, Encyclopedia of Chemical Technology, vol. 2, The Interscience Encyclopedia Inc., New York. Muhammad, 1993, Pembuatan dekstrin dari Biji Durian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Saifullah dkk., 1995, Pemanfaatan Tanin dari Kulit Kayu Pinus Merkusii sebagai Bahan Perekat, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Tano, E., 1997, Pedoman Membuat Perekat Sintetis, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Tjokroadikoesoemo, P. S., 1986, HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.