DR. JOHANNES LEIMENA MEMORIAL LECTURE JAKARTA, 21 SEPTEMBER 2010
KEINDONESIAAN DR. JOHANNES LEIMENA (6 Maret 1905-29 Maret 1977)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pendahuluan Pada waktu JA (Jong Ambon) berdiri di tahun 1918, Dr. Johannes Leimena baru berusia 13 tahun, tetapi kemudian ia tampil sebagai salah seorang tokoh inti pada pergerakan pemuda daerah itu. Dengan modal JA dia terus merambat dan bergerak dengan memasukkan dirinya secara aktif ke dalam putaran sejarah dalam proses pembentukan sebuah bangsa baru, sebuah keindonesiaan, dengan meleburkan diri semua corak sentimen kedaerahan, sebagaimana yang dilakukan mitranya dalam gerakan-gerakan pemuda Nusantara lainnya. Dr. Leimena dengan panggilan populernya Om Jo menjadi salah seorang arsitek Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai pembantu IV. Sejak dalam usia belia keindonesiaan Om Jo sungguh fenomenal, sebagaimana yang akan kita telusuri lebih jauh dalam refleksi pada malam yang bahagia ini. Om Jo dan Amir: dua arsitek Sumpah Pemuda yang berbeda nasib Untuk menyegarkan memori kolektif kita, perlu diulang kembali menyebutkan bahwa proses keindonesiaan untuk muncul sebagai sebuah bangsa adalah gejala 1920-an. Di Eropa dipelopori oleh PI (Perhimpunan Indonesia) yang semula bernama IV (Indische Vereeniging), dalam negeri oleh para pemuda daerah yang umumnya belajar di Batavia 1
dalam berbagai disiplin. Persis sama dengan teman-teman mereka yang belajar di Eropa untuk berbagai bidang ilmu. Patut juga kita kenang bahwa Panitia Inti Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda itu adalah: Soegondo Djojopoespito (ketuaPPPI), R.M. Djoko Marsaid (wakil ketua-Jong Java), Muhammad Yamin (sekretaris-Jong Sumateranen Bond), Amir Sjarifuddin (bendahara-Jong Bataks Bond), Djohan Mohammad Tjai (pembantu I-Jong Islamieten Bond), R. Katja Soengkana (pembantu II-Pemuda Indonesia), Senduk (pembantu III-Jong Celebes), Johannes Leimena (pembantu IV-Jong Ambon), Rochjani Soe’oed (pembantu V-Pemuda Kaum Batawi).1 Dari daftar nama-nama itu, sepanjang pengetahuan saya Om Jo adalah yang paling lama terlibat dalam proses keindonesiaan secara mulus, sebelum dan pasca proklamasi. Dan tokoh Sumpah Pemuda yang paling tragis nasibnya adalah Amir Sjarifuddin yang ditembak mati atas perintah Jenderal Gatot Subroto, karena terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Tiga tahun yang lalu, saya pernah menulis tentang Tragedi Amir ini: Kelompok kiri yang menguasai kementerian pertahanan di bawah menhan Amir Sjarifuddin telah membentuk tentara masyarakat di samping TRI/TNI. Amir bertindak lebih jauh, Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip dipecatnya. Akhirnya kabinet tidak bisa bertahan. Amir menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948, digantikan oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial. Soedirman-Oerip dipulihkan kembali untuk memimpin TNI. Karena kelompok kiri sedang kalah, mereka kehilangan keseimbangan. Oposisi mereka kepada Hatta telah berujung dengan pemberontakan PKI di Madiun dimulai 18 September 1 Lih. internet: Panitia Kongres Pemuda 1927‐1928.
2
1948 di bawah pimpinan Muso, bekas tokoh Serikat Islam/veteran PKI dalam pemberontakan 1926/1927, dan Amir terlibat. Hatta bertindak tegas, pasukan Siliwangi dikerahkan untuk menumpas pemberontakan itu. Dalam tempo singkat, kekuatan pemberontak dikalahkan. Amir ditangkap di persembunyiaannya di Desa Klambu, Purwodadi, pada 29 Nopember 1948 dalam keadaan sakit disentri. Semula Amir dibawa ke Kudus, kemudian ke Yogya. Atas permintaan Jenderal Gatot Soebroto sebagai gubernur militer, Amir dan tawanan yang lain dikirim ke Solo. Tengah malam tanggal 19 Desember 1948 Amir bersama 10 tawanan yang lain ditembak mati di Desa Ngalihan, Karanganyar, Surakarta. Amir salah seorang otak Sumpah Pemuda 1928, mantan menteri pertahanan dan perdana menteri di era revolusi kemerdekaan menjalani ujung hidupnya secara tragis ditembus timah panas atas perintah gubernur militer. Sengketa politik kekuasaan sering benar minta korban. Amir hanyalah salah seorang di antaranya.2 Om Jo adalah menteri kesehatan dalam Kabinet Amir I dan II (Juli 1947-Januari 1948). Saya tidak tahu bagaimana perasaan Om Jo ketika Amir Sjarifuddin mengalami tragedi politik yang pedih itu. Dari segi kejiwaan, Om Jo memang jauh lebih tenang dan stabil dibandingkan dengan Amir yang kemudian memilih politik kiri-radikal, tetapi yang berujung secara dramatis itu.3 2 Lih. Resonansi Ahmad Syafii Maarif, “Tragedi Amir Sjarifuddin” dalam Republika, 30 Oktober
2007, hlm. 12. 3 Tentang Amir ini, baik sekali dibaca tulisan sahabatnya dari Partai Masyumi, Dr. Abu Hanifah, “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae (ed.), Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981, hlm. 189‐218. Sebagai nostalgia, Abu Hanifah mengenang Amir ketika sama‐sama di asrama Menteng antara tahun 1928‐1931: “Kalau kebetulan waktu ujian, perdebatan tidak ada, dan masing‐masing terus masuk kamar. Di gedung hanya terdengar mahasiswa‐mahasiswa yang masih main billiard atau bridge. Kira‐kira pukul 12 malam, 3
Hubungan Bung Karno dan Om Jo Di antara tokoh pergerakan pemuda daerah yang kemudian melalui proses sejarah yang rumit dan dinamis dalam upaya membangun keindonesiaan, kestabilan karier Om Jo hampir tidak ada tandingannya. Sangat spektakuler. Sejak Kabinet Sjahrir II tahun 1946 sebagai menteri muda kesehatan sampai dengan Kabinet Dwikora III tahun 1966 sebagai wakil perdana menteri untuk urusan umum, Om Jo selalu dipercaya untuk tetap berada dalam hampir semua kabinet yang dipimpin oleh berbagai partai sebelum pra dan era Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Itu artinya bahwa Om Jo memang manusia luar biasa, hampir tanpa musuh. Semuanya ini terjadi mungkin karena keambonan yang biasa berwatak keras telah melunak berkat “didikan dan tempaan” kultural kejawaan dan kesundaan yang digelutinya selama puluhan tahun di rantau, sejak usianya yang sangat dini. Bung Karno sangat menyayangi Om Jo. Mengapa Bung Karno amat dekat dengan Om Jo? Inilah jawaban yang diberikan mantan presiden Megawati Soekarnoputeri: “Ayah mengatakan bahwa pemikirannya banyak persamaan dengan Pak Leimena, dan nasihat-nasihat Om Jo selalu benar dan disampaikan dengan tulus.”4 Bagi Megawati sendiri, kalimat berikut menjelaskan: “Bagi saya, Om Jo selalu merupakan orang yang bisa saya andalkan untuk nasihat bila saya menemui masalah. Ketika ada peristiwa-peristiwa yang mencemaskan, saya selalu datang pada beliau untuk bertanya, dan ingat dekapan Om Jo pada saya yang ketika itu sangat memberikan mulai kembali bunyi‐bunyian. Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu serenata yang sentimentil. Ini tanda bagi saya buat membalas. Sayapun mengambil biola dan membunyikan lagu‐lagu yang sama. Terdengarlah teriak dari kamar Yamin, bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk bekerja. Ia sedang menterjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga. Malahan Amir Sjarifudin bertambah asyik menggesek biolanya, sehingga Yamin berteriak‐teriak, dan kami bersama ketawa terbahak‐bahak (hlm. 193). 4 Lih. Victor Silaen (ed.), Dr. Johannes Leimena: Negarawan Sejati, Politisi Berhati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, hlm. 277. 4
ketenangan, dan beliau selalu mengatakan tidak usah takut dan khawatir.”5 Di atas itu semua, Bung Karno yang amat ganderung dengan persatuan bangsa, suatu ketika mengatakan: “… saya mau memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia itu tidak hanya Jawa dan Islam, tetapi ada juga Ambon dan suku-suku bangsa lainnya, seperti Johannes Leimena yang beragama Kristen itu.”6 Kedekatan Om Jo bukan saja dengan Bung Karno, tetapi juga dengan Bung Hatta, dan dengan hampir semua pemimpin bangsa dan partai, seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Sukiman Wirosendjojo, Amir Sjarifuddin, Wilopo, I.J. Kasimo. Tempaan dalam JA, kongres pemuda, dunia kesehatan dan politik, telah menjadikan Om Jo sebagai seorang pemimpin bangsa dengan karier panjang yang cemerlang. Tetapi mungkin karena hubungan yang sangat intens dan dekat dengan Bung Karno, Om Jo mengambil sikap sedikit berbeda dengan I.J. Kasimo dari Partai Katolik yang turut melawan konsep Demokrasi Terpimpin bersama dengan Partai Masyumi dan PSI. Om Jo sampai saat-saat terakhir tidak pernah berpisah dengan Bung Karno, mungkin sebagai bagian menyatu dengan semangat keindonesiaannya yang kental. Pada ranah teo-filosofis, bagi Om Jo, “Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani…”7 Nilai luhur semacam ini telah lama menghilang dari panggung politik kita, sementara agama dan Pancasila sebagai sumber moral dan acuan prilaku telah berhenti menjadi rujukan politik bangsa, sesuatu yang amat memprihatinkan. Akhirnya Di saat isu-isu persatuan, pluralisme, moralitas politik, dan kebinnekaan kultur bangsa sedang hangat dibicarakan tahun-tahun 5 Ibid. Disampaikan di Hotel Shangri‐La pada 29 Juni 2005. 6 Ibid., hlm. 272. 7 Lih. Elifas Tomix Maspaitella, “Pemikiran Teologi Johannes Leimena” disampaikan di forum GMKI Cabang Ambon, pada 23 Agustus 2010, hlm. 3 via internet. 5
terakhir ini, rasanya sosok Om Jo masih sangat relevan untuk diingat dan disegarkan kembali dalam memori kolektif kita. Bangsa ini harus mampu bertahan, jika mungkin sampai sehari menjelang kiamat. Untuk itu kompi-kompi negarawan idealis dan visioner di semua jenjang kehidupan bangsa amat diperlukan tampil dalam tempo dekat ini. Untuk tujuan itu, Dr. Johannes Leimena adalah salah satu pilar utama yang dapat dijadikan rujukan dan teladan oleh kita semua. (Disampaikan sebagai refleksi dalam acara Johannes Leimena Memorial Lecture di Hotel Santika, Jakarta, 21 September 2010)
6