Transkripsi Diskusi
NURCHOLISH MADJID MEMORIAL LECTURE VI “MENEMUKAN KONSENSUS KEBANGSAAN BARU: NEGARA, PASAR, CITA-CITA KEADILAN”
Lecturer: Faisal Basri Moderator: Rosianna Silalahi Hari/Tanggal: Selasa, 11 Desember 2012 Waktu: 19.00-22:00 WIB Tempat: Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina I. PENGANTAR Ayu Mellisa (MC) Yang terhormat Faisal Basri, para pembina dan pengurus Yayasan Paramadina, para tamu undangan dan rekan-rekan mahasiswa yang berbahagia, assalamualaikum wr. wb., salam sejahtera dan om swastiastu. Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga pada kesempatan ini kita bisa berkumpul bersama-sama dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture yang ke-VI. Sekadar membuka memori, Nurcholish Madjid Memorial Lecture merupakan acara yang diadakan setahun sekali yang menampilkan sejumlah intelektual dari berbagai latarbelakang keilmuan untuk berpidato mengenang Cak Nur. Sebelumnya kami telah mengundang Komaruddin Hidayat, Goenawan Mohamad, Syafi’i Maarif, Karlina Supelli, dan William Liddle. Pada kesempatan kali ini, kami mengundang Faisal Basri, seorang ekonom, aktivis anti-korupsi dan dosen Universitas Indonesia. Keseluruhan acara yang kami susun pada malam yang berbahagia ini adalah sebagai berikut: pertama adalah sambutan Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini. Kedua adalah peluncuran buku “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan” karya Prof. Dr. William Liddle. Ketiga adalah orasi ilmiah, “Menemukan Konsensus Kebangsaan Baru: Negara, Pasar, Cita-cita Keadilan,” oleh Faisal Basri. Terakhir adalah penutup dan ramah tamah. Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami atas nama panitia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak. Acara ini terselenggara atas kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina dengan The Asia Foundation. Selanjutnya mari kita mulai acara ini dengan memberikan kesempatan pertama kepada Ketua Yayasan Wakaf Paramadina. Kepada Bapak Prof. Dr. Didik J. Rachbini kami persilakan. II.
1
SAMBUTAN KETUA YAYASAN WAKAF PARAMADINA DIDIK J. RACHBINI Didik J. Rachbini Bismillahirrahmanirrahim. Selamat malam dan salams sejahtera untuk kita semua. Saya sebagai ketua yayasan hanya memberikan sambutan saja karena yang kompeten membicarakan pasar adalah saudara Faisal, sahabat saya dan sahabat Jokowi juga. Teman-teman aktivis biasanya kalau mendengar kata “pasar” otomatis akan mengatakan itu kapitalis, liberal, neolib, dan seterusnya. Tapi nanti tanya ke saudara Faisal. Diskusi ini akan mendalam dan sangat bagus. Tentunya terima kasih sekali kepada saudara Ihsan yang sangat produktif. Saudara Ihsan ini kebalikan dari SBY. SBY banyak rapat tapi tidak produktif, sementara Ihsan jarang rapat tapi produktif sekali. Apakah pasar bisa menegakkan keadilan? Tentu di sampingnya ada negara. Banyak pihak yang ingin menghilangkan pasar dan menyerahkannya pada birokrasi seolaholah beras dan lain-lain didistribusikan Politbiro dari atas ke bawah. Ternyata hasilnya Politbiro itulah yang korup. Jadi pasar itu sunnatulah, hukum yang spontan, the spontaneous order. Dalam hal ini Faisal dan saya tak jauh berbeda karena samasama pendiri yayasan. Beliau juga pernah menjadi pengurus Yayasan Paramadina. Selamat berseminar, ini penting agar pemikiran Nurcholish Madjid tak lekang dimakan zaman. Pemikiran beliau sangat bernas dan kita semua adalah murid beliau. Wassalamualaikum wr. wb. III. PELUNCURAN BUKU NMML V “MEMPERBAIKI MUTU DEMOKRASI DI INDONESIA: SEBUAH PERDEBATAN” Ihsan Ali-Fauzi Selamat Malam. Assalamualaikum wr. wb. Tugas saya setiap tahun adalah memperkenalkan kepada publik bahwa kita masih memproduksi karya. Tahun ini alhamdulillah kita berhasil menerbitkan perdebatan dari Nurcholish Madjid Memorial Lecture. Setiap pidato Nurcholish Madjid Memorial Lecture selalu kita serahkan kepada sejumlah komentator untuk kemudian ditanggapi kembali. Mudah-mudahan ini mengawali perdebatan yang berkelanjutan terkait tema yang dibicarakan. Tahun lalu, sekitar tanggal ini, kami mengundang Pak Bill Liddle di sini dan hadirinnya seramai ini juga. Mudah-mudahan NMML tahun berikutnya selalu seperti ini. Pak Bill menyampaikan satu pidato, judulnya “Marx atau Machiavelli: Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia dan di Amerika Serikat.” Sesudah itu kita mengundang sejumlah komentator. Beberapa di antaranya hadir di sini, ada Usman Hamid, Bang Faisal, dan Ari Dwipayana. Kita mau luncurkan soft launching. Januari nanti Pak Bill akan datang ke sini dan kita akan menyelenggarakan sejumlah diskusi dalam rangka ini juga.
2
Saya ingin mengundang beberapa orang untuk menerima buku ini, Usman Hamid; sahabat saya, Martin Sinaga; mahasiswa saya di Paramadina, Juria Runi, semoga tesisnya segera selesai; Santoso, pendiri 68H dan terlibat banyak membantu bang Faisal dalam Pilkada kemarin; terakhir, Dirga Maulana, mahasiswa UIN, semoga setelah mendapat buku ini bisa segera lulus. Saya minta bang Faisal untuk menyerahkan buku ini karena Bang Faisal juga ikut menulis di sini. Terima kasih Bang Faisal. Tugas saya tahun depan mudah-mudahan kita punya buku sejenis ini dari pidato Bang Faisal yang akan disampaikan malam ini bersama Rosianna Silalahi. Saya hampir lupa, mestinya yang menyampaikan ini Pak Anies Baswedan, tapi kemarin baru saja dia mengirim kabar bahwa dia tak bisa datang karena sedang dirawat di Rumah Sakit. Dia menyampaikan salam kepada kita dan berharap acara ini berlangsung dengan baik. Jadi mari kita buat acara ini sebaik-baiknya dan kita berdoa semoga dia cepat sembuh dan bisa menggantikan SBY. Assalamualaikum wr. wb.
3
IV. ORASI ILMIAH “MENEMUKAN KONSENSUS KEBANGSAAN BARU: NEGARA, PASAR, CITA-CITA KEADILAN” Rosianna Silalahi Bapak Ibu, teman-teman mahasiswa Paramadina, selamat malam, assalamualaikum wr. wb. Meski judulnya orasi ilmiah, saya rasa kita tak perlu terlalu serius karena kita sudah terlalu sering melihat pemimpin yang sok serius sampai kantong matanya tebal. Sebaiknya segala sesuatu yang serius dan intelek itu dibawakan dengan santai, yang penting seperti Mas Ihsan, produktif. Malam hari ini kita akan dengar orasi ilmiah dari Bang Faisal dalam rangka mengenang pemikiran Cak Nur. Tanpa membuang waktu lagi, Bapak ibu sekalian dan teman-teman Mahasiswa Paramadina, kita berikan tepuk tangan untuk bang Faisal Basri. Faisal Basri Terima kasih Rosi, Bapak dan Ibu, teman-teman sekalian, Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, Mas Didik, assalamualaikum wr. wb., salam sejahtera. Judul ini dipilih setelah kita berdiskusi dengan Mas Ihsan dan beberapa teman lain, dilandasi oleh semacam keresahan. Ada sesuatu yang makin menimbulkan banyak anomali. Di satu pihak kita dipuja-puji di luar negeri, tapi kepuasan di dalam negeri makin hari makin terkikis. Pemikiran ini sebetulnya dilandasi pemikiran saya sebelumnya yang ada di buku yang baru diterbitkan Mas Ihsan tadi. Kita bernegara baru berproses, istilah Cak Nur-nya in making, banyak sekali yang sebetlunya belum hadir yang membuat kita punya pijakan dan arah ke mana kita pergi mencapai cita-cita itu. Saya sampaikan beberapa hal yang missing dalam konstitusi kita tapi pada saat yang bersamaan juga muncul satu gerakan yang massif sekali yang mengusung the so called empat pilar yang pokoknya tak bisa diutak-atik. Di satu sisi ada gereget untuk perubahan di tengah iklim bernegara yang tanpa ventilasi, tapi di lain pihak ada yang ingin mempertahankan keadaan yang ada sekarang yang nyata-nyata tidak jelas. Inilah yang juga mengilhami saya untuk mengajak mencari konsensus baru. Oleh karena itu perkenankan saya untuk menyampaikan. Ini sebetulnya belum selesai, ada yang masih mengganjal. Sebelum nanti diserahkan kepada para calon penanggap, saya ingin memperbaikinya dulu. Saya mulai dari gambaran tentang ekonomi Indonesia yang sebetulnya luar biasa. Tren pertumbuhannya dalam empat tahun terakhir tidak menurun. Indonesia adalah satu-satunya yang model pertumbuhannya seperti ini. Singapura, India, Cina, semua amblas dalam empat tahun terakhir kecuali kita. Pertumbuhan ekonomi kita steady dan tren-nya naik. Itu membuat pengamat-pengamat luar negeri penasaran ada sesuatu yang hadir di Indonesia yang sebelumnya tidak ada.
4
Dalam kurun 2000-2010 Indonesia berada di posisi ketiga di dunia dalam kinerja perekonomiannya. Ini diukur dengan PDB, indikator yang sangat agregat. Banyak puja-puji terhadap Indonesia. Majalah The Economist yang sebelumnya sangat kritis terhadap Indonesia mengatakan, “But the biggest praise will be for Indonesia: it will be the emerging-market star of 2011.” Pokoknya bintang tahun 2011 itu Indonesia. Baru-baru ini, The Economist edisi 10 November 2012, dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu dari dua negara di dunia yang pertumbuhannya paling steady pada level yang cukup baik. Negara yang menemani Indonesia adalah Bangladesh. Saya ingin menggarisbawahi fenomena Bangladesh. Perkembangannya luar biasa. Dia sekarang mampu mengalahkan India dalam berbagai indikator kesejahteraan sosial. Angka harapan hidup Bangladesh sudah mengalahkan India. Kalau pada 1990 angka harapan hidup perempuan lebih kecil dari laki-laki, sekarang angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Bangladesh mampu menurunkan jumlah anak per rumah tangga dari enam orang pada 1990 menjadi dua orang saja sehingga perempuan di Bangladesh punya keleluasaan untuk beraktivitas dengan kelompoknya dan melakukan aktivitas ekonomi untuk kesejateraan keluarga. Peran perempuan harus menjadi salah satu ikon pembangunan ekonomi Indonesia juga. Trigger Indonesia menjadi seperti ini adalah 2009. Bayangkan sebelum 2009, orang memicingkan mata kepada Indonesia. Majalah The Economist yang tadi memuji-muji itu pada 2008 memperkirakan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi -1,3%. Tapi ekonomi Indonesia menggeliat terus dengan kekuatan internalnya dan angka itu hampir setiap bulan dikoreksi hingga akhirnya mencapai angka 4,6%. Kenyataannya pada 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang 4,6%. Hanya tiga negara di dunia yang pertumbuhan ekonominya positif. Selain Indonesia, dua negara lainnya adalah Cina dan India. Tahun 2010 kita diproyeksikan cuma tumbuh nol koma sekian. Itu dikoreksi lagi sampai 5,5% dan kenyataannya melampaui 5,5%. Di makalah saya sebutkan juga bahwa IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi kita hanya 2,8%. Semua orang underestimate terhadap Indonesia. Indonesia seolah-olah sama saja dengan negaranegara lain yang mengalami kehancuran akibat krisis di Amerika Serikat. Faktanya berbeda. Setelah itu, Indonesia masuk ke dalam radar screen investor asing. Dulu Indonesia tidak ada di dalam jajaran ini, selalu di luar. Dulu maksudnya pasca krisis 1998. Sebelum krisis, sekitar 1980-an dan 1990-an, kita juga bagus dalam radar screen mereka. Sekarang posisi kita nomor empat dalam daftar negara yang paling atraktif bagi perusahaan asing. Mereka berencana untuk berinvestasi di Indonesia, negara tujuan paling menarik nomor empat. Ini meningkat dibanding laporan tahun sebelumnya di mana Indonesia berada di posisi keenam. Trigger-nya lagi-lagi 2009. FDI Confidence Index yang dikeluarkan ATKearney, perusahaan konsultan dunia, menempatkan Indonesia pada posisi kesembilan dari 19, jadi naik 10 peringkat. Kalau kita keluarkan Jerman, Australia, Inggris dan lain-lain yang bukan kompetitor Indonesia, maka Indonesia nomor empat. Datanglah investasi-investasi asing ke Indonesia selain investasi dari dalam negeri sendiri yang juga meningkat. Kondisi ini mirip dengan Indonesia tahun 1990-an sebelum krisis dan setelah itu Indonesia merosot terus.
5
Karena itu, peranan investasi asing terhadap PDB jumlahnya sudah mencapai 20,5% pada 2011. Ini memang tak terlalu besar kalau dibandingkan dengan Thailand (40%), Malaysia (41%), Kamboja (50%), Vietnam (60%). Dilihat dari perspektif ini, sebetulnya jauh api dari panggang kalau dikatakan bahwa Indonesia dijajah asing. Ini juga yang menjadi konsensus pertama yang ingin saya ajak teman-teman untuk memikirkannya. What is the role of foreign investment? Apakah kebangsaan kita terusik dengan posisi asing yang sebesar ini yang menurut saya tidak ada apa-apanya dibanding Bolivia sekali pun yang sangat anti-asing? Peranan investasi asing di Bolivia 31,6%, Cile 30%. Jadi kalau dibandingkan, Indonesia justru kurang disapa asing. Betul bahwa ada fenomena Freeport dan sebagainya tapi secara keseluruhan, asing tak pernah penting bagi kita. Karena Orde Baru, selama mereka berkuasa, tidak menganggap penting investasi asing dan lebih mementingkan utang luar negeri. Cina memilih penanaman modal asing ketimbang utang luar negeri. Di Indonesia, asing tak pernah mendominasi ekonomi Indonesia dalam hal investasi. Indikator-indikator lainnya yang membaik dan membuat kita semakin cantik di mata luar negeri saya lewati saja. Tapi pokoknya kesehatan ekonomi suatu negara perlu prasyarat. Prasayaratnya itu adalah inflasi, suku bunga dan nilai tukar. Sekalipun nilai tukar kita merosot, asing tidak pernah khawatir. Kemerosotan nilai tukar kita tak pernah sepanjang ini dan belakangan ini makin kencang. Di sini juga kita butuh konsensus. Kenapa nilai tukar rupiah bisa melorot? Itu karena pasokan dolar kita berkurang sehingga cadangan devisa kita turun. Kenapa cadangan devisa turun? Itu karena kita jeblok di income, net, laba perusahaan asing yang dibawa pulang ke negara asalnya. Angkanya naik pesat. Ini menandakan berusaha di Indonesia untungnya banyak dan wajar kalau keuntungannya dibawa pulang. Apakah Indonesia ditinggalkan asing dengan capital flight atau pelarian modal? Ternyata tidak juga. Alih-alih lari, modal justru banyak datang ke Indonesia. Satusatunya modal keluar dari Indonesia adalah pada triwulan ketiga 2011, selebihnya positif semua. Indonesia tidak ditinggal oleh investor asing, investor portfolio di pasar saham atau di pasar keuangan lainnya. Direct investment juga mengalir terus. Jadi ini bukan karena asing menjauh dari Indonesia. Impor naik gila-gilaan dari 88 ke 127 sampai 166 miliar USD. Ekspornya juga naik tapi lebih dahsyat impor. Apa yang kita impor? Apakah orang Indonesia makin gandrung terhadap barang asing? Tidak. Apakah orang Indonesia makin banyak yang sekolah ke luar negeri dan buang-buang uang ke luar negeri? Tidak juga. Yang paling mendasar dari impor yang naik ini adalah BBM. Kita makin gila-gilaan mengimpor BBM. Ini adalah neraca perdagangan BBM kita, defisitnya 8, 17 dan sekarang 15. Jadi hampir pasti menembus tahun sebelumnya. Ini ekspor minus impor. Impornya lebih gila lagi, angkanya naik dari 3, 5, 10, 12, 20, 28 miliar USD. Impor BBM kita tahun lalu 28 miliar USD. Padahal keuntungan asing kita tak seberapa. Tahun ini sampai Oktober impor BBM kita sudah 23 miliar USD. Jadi tahun ini keseluruhannya sekitar 30 miliar USD. Itulah yang menyebabkan
6
rupiah berantakan. Berapa pun rakyat mau mengimpor dipenuhi oleh pemerintah. Kuotanya ditambah. 7 trilyun, dana yang seharusnya dikeluarkan tahun depan, diambil tahun ini untuk menyenangkan pengguna BBM bersubsidi. BBM ini merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Gas kita sudah tak bisa menutup defisit BBM. Migas kita sudah defisit. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, neraca perdagangan kita defisit. Karena itu harus ada konsensus baru, mau diapakan BBM ini? Ini sudah merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berekonomi. Kita lantas merampok hak generasi yang akan datang, dan banyak lagi. Bukti bahwa merosotnya rupiah itu bukan karena pemburukan faktor-faktor fundamental adalah saham yang terus naik. Kalau ekonomi benar-benar sakit, efeknya paralel dengan saham dan mata uang. Sekarang mata uang kita saja yang melemah tapi saham kita tidak. Jelas bahwa BBM-lah penyebab utama rusaknya rupiah. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa asing mau datang ke Indonesia padahal iklim berbisnis di Indonesia masih buruk? Tahun lalu angkanya 31, sekarang turun hanya 30. Singapura sudah 100. Iklim berusaha di Indonesia memburuk. Governance kita juga menurun. Rule of Law makin buruk. Regulatory Polity makin juga buruk. Kenapa asing masih datang? Korupsi kita masih kampiun. Indeks persepsi kita nomor 100 menurut Transparency International. Menurut PERC, kita paling korup tahun 2009 dan 2010. Syukurlah tahun lalu kita jadi runner-up, juaranya digantikan Kamboja. Dengan kondisi seburuk itu, kenapa mereka tetap datang ke Indonesia? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah daya tarik jangka menengah dan jangka panjang Indonesia yang sangat menjanjikan. Pertama, penduduk kita sangat muda. 2/3 penduduk Indonesia muda. Bahkan 55% penduduk Indonesia berusia 15-49 tahun. Siapa yang tak tertarik melihat penduduk yang seperti sekarang? Italia, Jepang, dan Amerika Serikat sudah tidak bisa mencapai pertumbuhan di atas 4% lagi karena tidak ada yang bekerja. Karena itu, dependency ratio kita turun. Karena itu sekarang ini menjadi masa-masa keemasan Indonesia. Strata menengah Indonesia meningkat luar biasa. 56,5% penduduk Indonesia sudah di strata menengah, sudah bisa mencicil sepeda motor. Strata menengah ini diperkirakan akan meningkat luar biasa. Ada strata menengah bawah, tengah dan atas, dan pada 2025 strata menengah atas akan naik mengalahkan strata menengah bawah dan tengah. Era ini belum terjadi, dan baru di era ini saja kita sudah pusing menyediakan infrastruktur. Pola konsumsi kita sudah gila-gilaan. Apa saja laku. Bayangkan kalau sudah seperti ini? Siapa yang tak tertarik? Mereka tak akan menunggu era itu datang. Sejak sekarang mereka membuat fasilitas produksi sehingga ketika era itu datang, mereka sudah siap menawarkan berbagai macam kebutuhan. Itulah kehebatan Indonesia. Tapi perkenankan saya di bagian kedua ini untuk menunjukkan sisi-sisi gelapnya. Pertama, yang menyebabkan kita tumbuh seperti tadi adalah karena kita semakin menggasak kekayaan alam kita dan lingkungan kita makin rusak. Sudah begitu, hasilnya pun jelek. Kita punya tanah organik subur dengan 100 juta hektar di antaranya yang secara biofisik cocok untuk pertanian. Kita punya lautan yang luas
7
dengan garis pantai terpanjang di dunia dan segala macam yang bisa kita lihat satu per satu. Tapi nyatanya, di tengah pembangunan yang hebat itu, pangan kita makin rapuh. Sejak 2007 kita defisit pangan. Untuk urusan perut kita makin mengandalkan luar negeri. Ini terjadi ketika presidennya adalah doktor ilmu ekonomi pertanian. Ini tak bisa ditolerir. Manufaktur kita juga makin loyo. Manufaktur kita sudah defisit sejak 2008. Kita tak bisa main-main. Pertumbuhan 6% terlalu kecil buat kita. Sudah mahal ongkosnya, tapi tak membuat masa tua kita sejahtera. Bayangkan kalau kita tumbuh begini saja. Pada 2030 ketika aging sudah terjadi, penduduk usian tua mulai naik, dependency ratio, nisbah penduduk yang bekerja menanggung yang tidak bekerja, nanti naik. Jadi kesempatan kita sampai 2030. Setelah itu kita akan makin sulit. Kalau pada 2030 growth kita masih 6% saja kita masih kere. Pendapatan per kapita hanya 3.583 berdasarkan harga konstan dollar tahun 2000 (tanpa inflasi). Kalau pun kita seperti cacing kepanasan mampu mendorong pertumbuhan sampai 10%, per kapita kita baru 7.000, jauh lebih kecil dari negara-negara lain yang telah memasuki aging lebih dulu dari kita. Jepang, misalnya, pada 1970 sudah 17.000 dan sebagainya. Kita tak bisa diam saja. Mengingat negara kita masih relatif harus banyak dibimbing, negara harus lebih aktif. Jadi, konsensus ketiga adalah, sepakatkah kita untuk mendorong agar negara lebih aktif dalam kegiatan berbangsa dan bernegara? Negara tak boleh tinggal diam, tak boleh terkesan absen dari berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa saya katakan peran negara kita sampai sekarang ini terbatas? Tengok saja belanja pemerintah yang hanya menyumbang 9% dari kue nasional. Padahal Amerika Serikat yang “neolib” dan menyingkirkan peran negara sebisa mungkin itu lebih dari dua kali lipat peran negaranya. Kita lebih neolib dari Amerika Serikat terkait peran negaranya yang sangat minimum. Kalau ada salah satu kaum di negeri ini yang ditindas, polisi tidak hadir. Kalau ada kebakaran, pemadam kebakarannya datang setelah semua hangus. Orang sakit mengantri tak bisa ke UGD. Negara tak hadir. Jangan bandingkan dengan Amerika Serikat? Oke, bandingkan dengan Kuba, Swedia, Afrika Selatan, Rusia, semuanya, Indonesia tetap kelihatan sangat kecil. Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam, Bangladesh dan Kamboja. Jangan harapkan negara hadir ketika warganegara membutuhkan. Pelayanannya alakadarnya. Lalu siapa yang menggerakkan perekonomian sampai tumbuh 6% ini? Ya kita semua yang tak pernah lelah-lelahnya belanja. 5,7% pertumbuhannya, peranannya 54%. 54% kali 5,7 sudah 3,2%. Yang kedua adalah investasi swasta. Investasi tumbuh 10%, peranannya dalam ekonomi 32%, jadi 3,2% juga. 3,2% tambah 3,2% jadi 6,4%. Kenapa growth-nya cuma 6,2%? Harusnya 6,4%. Pemerintahnya memble jadi minus. Kalau pemerintah perform bagus, atau alakadarnya saja, growth kita bisa 6,5% atau lebih fenomenal lagi. Negara loyo. Negara juga wajib menghadirkan jasa dan barang publik seperti jalan raya, pelabuhan, bandara, irigasi supaya tidak semua jadi jalan tol. Semua itu, public investment kita, hanya 3% dari PDB. Apa yang bisa dilakukan dengan 3%? Padahal infrastruktur yang ada terkikis nilainya. Penyusutan lebih besar dari investasi baru. Karena itu, akumulasi modal infrastruktur sebetulnya turun sehingga tak bisa maksimal menopang pembangunan ekonomi. Sudah dananya kecil buat pemerintah, memakainya juga tak benar, tak bertanggungjawab, paling banyak untuk subsidi
8
BBM. Nomor dua adalah belanja pegawai negeri, belanja barang, dan belanja modal, semua kalah oleh subsidi BBM. Tapi yang paling menyayat hati adalah bantuan sosial yang turun. Saya penasaran di Amerika Serikat itu bagaimana APBN-nya? Tahun 2012 sekitar 2.000 trilyun USD. Income benefit untuk orang miskin, unemployment benefit, dan medicare jumlahnya 82% dari APBN. Amerika Serikat sosialistik sekali. Cina yang saya ingat untuk social security & unemployment benefit kira-kira 20% dari APBN-nya dan terus naik setiap tahun rata-rata 20%. Kita malah turun. Kurang jahat apa negara kita? Lebih jahat lagi terlihat di sini. Dari total subsidi, 61% adalah BBM, tapi subsidi benih hanya 0,04%. Karena itu jangan heran kalau indeks food security kita hanya 46,8. Di bawah 50 itu rentan, kalau ada apa-apa kita bisa krisis pangan, tak bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Sudah kecil alokasinya tak karu-karuan. Jadi in the absence of government kita masih bisa tumbuh 6,4%. Gara-gara ada government malah jadi 6,2%. Pemerintah pusat sering mengritik daerah, katanya daerah sudah diberi dana perimbangan dan alokasi umum tapi uangnya tak dipakai untuk dibelanjakan tapi disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD). BPD membeli SBI, jadi balik lagi ke Jakarta. Jumlah total yang dibawa ke SBI hanya 85 trilyun. Yang paling tidak becus adalah pemerintah pusat sendiri. Kita lihat, pemerintah pusat mendapat uang dari pajak bukan dipakai untuk dibelanjakan tapi disimpan di BI. Jumlahnya kadang mencapai 200 trilyun tapi rata-rata 150 trilyun. Jadi jangan mencerca daerah karena pemerintah pusatnya sendiri tak becus mengurus duit. Kita lebih sedih lagi karena belanja pemerintah itu menumpuk di bulan Desember. Hanya Indonesia dan India yang seperti itu. Negara lain merata pengeluarannya setiap bulan. Desember itu kan masyarakat belanja banyak, ditambah pemerintah belanja banyak, maka terjadilah inflasi gila-gilaan. Darah tidak mengucur ke tubuh perekonomian secara merata sepanjang tahun. Inilah kelakuan pemerintah pusat. Harus ada konsensus baru untuk mengoptimalkan peran negara. Pak Didik mungkin tahu ada persoalan budget cycle yang mesti dibenahi, hubungan keuangan pusat dan daerah, serta persoalan-persoalan lain yang tak bisa kita diskusikan semuanya malam ini. Kita sedang produktif-produktifnya. Sayang kalau masa produktif ini kita sia-siakan. Bagaimana caranya meningkatkan peran negara agar hadir secara proper mendukung kehidupan masyarakat dan kegiatan ekonomi? Pilihannya cuma dua. Pertama, pajak dinaikkan agar pemerintah punya uang untuk digunakan lebih banyak dalam pelayanan masyarakat. Pajak kita naik turun tak karu-karuan. Di dunia ini tak ada pajak naik turun seperti di Indonesia. Di mana-mana pajak itu stabil. Ini menandakan perpajakan kita kacau. Selain itu, pajak kita paling rendah kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pajak pemerintah federal Amerika Serikat kecil karena sebagian pajak diserahkan ke pemerintah negara bagian. Indonesia tak mau menaikkan pajak. DPR meminta pemerintah menaikkan pajak lalu ditolak dan diam saja. Kemungkinan DPR-nya juga tak bayar pajak dengan benar. Kedua, kalau mau mendorong pembangunan, adalah utang. Utang kita terus turun dan kita bangga. Tingkat utang kita sekarang terendah di dunia. Singapura makmur karena
9
mengutang. Apa kita menunggu kaya dulu baru membangun jalan, pelabuhan dan bandara yang benar? Kalau begitu kita sudah tua semua. Masa keemasan untuk meminjam adalah ketika kita masih muda. Utangnya pun bukan luar negeri. Kita sepakat konsensus kita tidak mau lagi berutang ke luar negeri. Kita berutang ke rakyat sendiri dengan mengeluarkan surat utang, kita yang beli. Kita oleh Vietnam saja kalah. Surat utang di Indonesia yang dikeluarkan negara dan swasta hanya 13%. Kita membangun jalan tol memakai pinjaman dari bank. Uang bank dari deposito 1-3 bulan pasti mahal, makanya jalan tol juga mahal. Masa bernegara begini terus? Kapasitas utang kita masih bisa dinaikkan, tidak gila-gilaan seperti Amerika Serikat dan Eropa tentunya. Rating kita juga membaik. Empat dari lima rating agency sudah menempatkan kita di investment grade. Jadi kalau kita berutang, ongkosnya makin murah. Tapi kita malah bertekad menurunkan derajat utang kita sampai nol. Perlu konsensus tentang utang ini. Utang justru adalah penambah darah segar bagi ekonomi. Kalau kita berutang kepada rakyat sendiri, bunganya lari ke rakyat kita sendiri, terus mengalir sehingga membuat jantung kita makin sehat. Jaminan sosial nasional baru 2019 akan diterapkan untuk pensiun. 2014 baru jaminan kesehatan saja. Negara berperadaban itu menjalankan sistem pasar tapi jaminan sosialnya juga sempurna, mulai industrial accident sampai family allowance. Hampir semua negara punya BLT, tapi built-in. Kita punya BLT tapi ketika mau pemilu saja. BLT family allowance ada sejak 1930 di Belgia, 1954 di Jerman, 1945 di Inggris. Mereka tak malu karena itu kewajiban negara mengingat ada masyarakat yang tak mampu ber-deal di pasar. Tak bisa diberi “kail” karena dia “memancing” saja tak kuat. Jadi harus disantuni. Ini wajib ada di setiap negara yang menganut sistem pasar. Uang ini dari iuran mereka yang mampu. Dari iuran kesehatan saja, dalam 10 tahun ke depan, kita bisa mendapat 632 trilyun, dan jaminan hari tua 758 trilyun. Total dalam 10 tahun kita bisa mengumpulkan 1.500 trilyun uang dari darah dan keringat rakyat. Karena rakyatnya masih muda dan pensiunnya masih lama, uang tabungan itu bisa dibelikan obligasi pemerintah atau BUMN. Jadi kita tidak perlu berutang ke luar negeri atau mengundang swasta yang konyol-konyol. Kadang perusahaan swasta nasional kita lebih jahat dari asing dan merampok lebih berani. Mungkin mereka merasa ini negara mereka sendiri sehingga bisa sesuka hatinya. Di anggaran ada istilah wiggle-room index untuk mengukur sejauh mana kita bisa leluasa mengutak-atik anggaran demi kesejahteraan rakyat. Kemampuan bermanuver Indonesia masih luas sekali, terluas kedua setelah Arab Saudi. Jadi masih banyak yang bisa kita lakukan dengan berutang, menaikkan pajak, efisiensi anggaran, dan sebagainya. Mesir dan India kalau mau bermanuver ruang geraknya terbatas sekali. Sayangnya kita tidak manfaatkan. Tapi semua ini sudah saya sampaikan bahkan ke Wapres sekali pun. Kita juga harus punya konsensus untuk persoalan ketimpangan. Pertumbuhan kita lumayan baik, kita juga cemerlang di berbagai sektor tapi ketimpangan kita luar biasa naik. Gini coefficient kita sudah menembus 0,4. Distribusi pendapatan kita menunjukkan 20% terkaya terus naik share-nya sementara 40% termiskin terus turun. 40% menengah juga terus turun. Ini dihitung dari konsumsi. Ketimpangan kita jauh lebih parah dari yang digambarkan angka ini. Sebagai indikasi, 54% buruh kita adalah buruh informal dengan upah di bawah minimum. Ada 38% yang bukan buruh informal tapi tak punya kontrak kerja. Jika
10
dijumlahkan semuanya 92%, gajinya kira-kira sekitar UMP. Permanent contract employees yang menikmati gaji bagus dengan segala benefit-nya hanya 6% ditambah employer-nya 2% jadi semuanya 8%. 8% dibandingkan 92% kelihatan bahwa distribusi pendapatan kita sangat jomplang. 40 orang terkaya di Indonesia kalau ditambah totalnya 1% orang terkaya bisa menguasai sampai 40% pendapatan nasional. Yang lebih mengerikan, orang kaya di Indonesia, kecuali pemilik pabrik rokok, bergerak di industri yang merusak alam dan ekstraktif, batu bara, sawit, dan sebagainya. Apa mau kita biarkan begini terus? Rasanya tidak bisa. Distribusinya harus lebih merata. Tadi sudah ditunjukkan bahwa daerah-daerah yang kerusakan alamnya parah akibat eksploitasi sumber daya alam, kualitas hidup manusianya kacau. Jadi kekayaan tidak menetes ke rakyat lokalnya. Karena itu, angka kemiskinan yang ini turunnya lambat. Saya percaya bahwa orang miskin di Indonesia makin sedikit tapi penurunannya makin lambat. Dalam 12 tahun hanya angka kemiskinan hanya turun 7%, dari 19 ke 12%. Ini terlalu kecil dan terlalu lambat. Mengapa ini terjadi? Menurut Acemoglu dan Robinson, selain perekonomian kita mengarah ke ekstraktif seperti yang sudah saya tunjukkan, … selama ini kita menyerahkan kepada pasar. Negara masa bodoh dan hanya melihat market signal saja. Pada 2001, ekspor kita yang berupa komoditi kira-kira 40%. Kalau negara itu makin maju, dia mengolah dulu komoditinya menjadi produk-produk industri. Alih-alih turun, pada 2011 ekspor komoditi kita naik jadi 65%. Ini menunjukkan terjadinya ekstraktifikasi dalam ekspor. Struktur ekspor kita mirip dengan struktur ekspor zaman penjajahan. Ini diperparah dengan extractive economic institutions yang dicirikan oleh lack of law and order. Bayangkan di Kalimantan Timur, luas wilayahnya 19,9 juta hektar. Tapi konsesi yang diberikan oleh negara untuk tambang, HPH dan perkebunan itu 22 juta hektar. Konsesi yang diberikan lebih tinggi daripada luas daerahnya. Ini contoh lack of law and order. Kita juga masih ada insecure property rights. Karena itu industri buku tak berkembang di Indonesia karena terus dibajak. Entry barriers and regulations preventing functioning of markets and creating a nonlevel playing field, jadi semakin monopolistik. Kian hari industri kita kian terkonsentrasi. Pengusaha makin mampu menentukan harga sesuka mereka. Inilah yang disebut extractive economic institutions. Ini beriringan dengan extractive political institutions yang dicirikan oleh terkonsentrasinya kekuasaan di tangan segelintir orang. Mereka tak punya kendala untuk melakukan apa pun sesuka hati mereka. Check and balances dan rule of law tidak tegak. Dengan extractive political institutions ini elit bisa leluasa merampok hak-hak rakyat, menjadi rente ekonomi dengan sesuka hati mereka, dengan memanipulasi, menyogok dan sebagainya. Ini yang menjadi masalah kita. Karena itu kita punya konsensus baru untuk mengembangkan institusi kita agar para politisi tak punya kemampuan manuver yang luar biasa lebarnya. Kalau political institutions-nya masih seperti ini, mereka akan menghasilkan institusi ekonomi dan sosial yang juga buruk.
11
Extractive economic institutions dan extractive political institutions harus ditransformasikan menjadi inklusif. Kalau inklusif, political institutions-nya memungkinkan partisipasi luas masyarakat, placing constraints and checks on politicians. Kalau sekarang anggota DPR bisa memeras, lalu dibentuk Dewan Kehormatan tapi dari temannya sendiri. Saya tunjukkan betapa ribetnya kita bernegara. Kita menganut sistem presidensiil di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Tapi sejak zaman bung Karno sampai Megawati, presiden dipilih MPR. Baru zaman SBY-lah kita presidensiil. Tapi sejak itu kekuasaan presiden dipreteli DPR dan ada koalisi. Mana ada koalisi dalam presidensiil, apalagi koalisinya tanpa ongkos. Ada partai pendukung pemerintah tapi kalau partai itu merasa ingin mengritik pemerintah, dia mengeritik saja. Di India kan partainya mundur karena tak sehaluan lagi. Di sini terserah presiden kalau mau memecat. Tidak ada ongkos untuk mbalelo. Kita tak bisa begini terus dalam bernegara. But also some degree of political centralization for the states to be able to effectively enforce law and order. Negara harus hadir. Di makalah saya sampaikan konsensus yang harus dibentuk adalah bagaimana peran negara dan peran pasar dan bagaimana kita menyikapi inequality. Dari mana konsensus itu? Saya bayangkan itu dari pemikiran Cak Nur. Cak Nur banyak menulis buku, tentang masyarakat Madani, tentang kisah-kisah di masa Rasulullah SAW, misalnya tentang peristiwa Hudaibiyah, ketika Rasulullah masuk ke Mekkah, lalu waktu Rasulullah berpidato di Haji Wada. Kalau melihat itu saya heran kenapa ada radikalisme di dalam Islam. Di Piagam Madinah itu, semua diberi hak yang sama dan dilindungi negara asal memenuhi kewajibannya. Di perjanjian Hudaibiyah Rasulullah dikerjai sedemikian rupa dengan perjanjian yang tak adil tapi tetap diteken oleh nabi. Tapi itulah awal kemenangan. Rasulullah juga tak dendam waktu masuk ke Mekkah, menandakan bahwa sudah tumbang rezim Quraisy. Rasul mengatakan, bagi orang Quraisy yang ada di rumah, kami tidak akan apa-apakan. Tidak ada dendam. Di Haji Wada itu dikatakan oleh Rasulullah, tidak ada perbedaan warna kulit, agama dan sebagainya. Yang berbuat baik sajalah yang kita promosikan. Di sini, sebagai umat yang konon sangat beragama, mestinya lebih mudah membentuk konsensuskonsensus baru tanpa ngotot-ngototan dengan penuh kejujuran dan keterbukaan. Kalau kita jujur dan terbuka, kita akan semakin mudah mencapai konvergensi yang membuat cara pandang kita terhadap sekian masalah ini tak terlalu bertolak belakang dan akan membawa kita ke perubahan yang semakin cepat. Terima kasih.
12
V. SESI DIALOG Rosianna Silalahi Saya beberapa kali memandu diskusi Bang Faisal, selalu membawa data yang kuat. Tapi kali ini Bang Faisal agak lebih relijius. Saya akan segera membuka sesi tanya jawab. Tapi sebelum itu saya ingin menyampaikan beberapa hal. Jadi memang ada semacam kontradiksi dan ini selalu menjadi pertanyaan saya. Indonesia selalu mendapat tempat yang luar biasa di media internasional tapi di sini pengakuan itu tidak terasa. Pak SBY juga menempati posisi yang begitu istimewa di mata para pemimpin dunia tapi di sini dipandang dengan sangat sinis. Di mana sebetulnya gap ini? Faisal Basri Asing memuji karena kepentingan dia berinvestasi di Indonesia dengan return yang bagus. Uang akan mengalir ke tempat-tempat yang return-nya besar. Berusaha di Indonesia juga prospektif dengan growing middle strata-nya. Mereka merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Tapi sebaliknya, rakyat kita merasa kesenjangan, jurang kaya-miskin, semakin melebar. Kesejahteraan hanya dinikmati segelintir rente sumber daya alam tadi. Konsesi sumber daya alam hanya dimiliki segelintir orang. Sementara rakyat kebanyakan 54% buruh sektor informal. 38% pekerja kita di sektor pertanian. Tak ada investor asing di sektor pertanian. Sektor pertanian kita bahkan menderita oleh kebijakan pemerintah kita yang makin terbuka. Ingat bahwa di tengah meningkatnya kegiatan ekonomi, ada sektor atau sub-sektor yang justru tenggelam akibat kita makin terbuka. Itulah yang dirasakan. Kita juga sebagai orang tua merasa, ketika pemerintah bilang 20% anggaran pendidikan dari APBN. Public spending untuk education naik. Tujuannya agar beban orang tua menyekolahkan anaknya turun. Sekarang ini public spending untuk education naik tapi private spending juga naik. Jadi ada yang hilang. Rakyat kebanyakan merasa pemerintah cuma ngomong saja, tidak perhatian. Rosianna Silalahi Terakhir, 2011 menjadi tonggak bagaimana kita dipuji dunia internasional karena mampu bertahan dari krisis global 2008. Salah satu ujian pengelolaan krisis pada 2008 itu adalah Century. Menurut bang Faisal, kalau Bank Century dulu tak diselamatkan, apakah ekonomi kita akan sama baiknya dengan sekarang? Faisal Basri Ini sulit dijawab karena “jika”nya itu sulit dihadirkan. Tapi yang ingin saya garisbawahi bahwa pada saat itu, risiko apa pun yang bisa membuat kita gonjangganjing harus ditutup. Jadinya mungkin konservatif dan pengambil keputusannya pun konservatif semua. Risiko sekecil apa pun tak boleh ada. Saya melihatnya dari sisi itu. Tapi kenapa kita mengurusi Century? Lihat ada PLN punya pembangkit listrik, namanya Tambak Lorok. Seharusnya dia mendapat pasokan gas dari Kapodang. Tapi gara-gara perilaku satu kelompok usaha yang namanya Bakrie Group, setiap tahun PLN dirugikan 2,2 trilyun. Jadi 3 tahun jumlah kerugiannya sama dengan Century tapi tidak ada yang ribut. Ini akan terus terjadi. Sekarang Tambak Lorok ditutup.
13
Banyak persoalan yang kita hadapi. Tak perlu berandai-andai. Kita lihat yang ada di depan mata saja. Ihwal terjadi ketidakbenaran yang dilakukan oleh pengambil keputusan, misalnya oleh Budi Mulya, yang nyata-nyatanya pernah meminjam dari Tantoelar sebesar satu milyar. Aneh sekali Deputi Gubernur pinjam dari pemilik Bank. Itu yang ketahuan. Kalau ada yang harus bertanggungjawab yang lebih tinggi ingin memberikan preseden mundur ya silakan mundur. Tapi kalau katakanlah kalau Pak Boediono mundur, siapa penggantinya? Penggantinya dipilih MPR, misalnya. Di MPR, partai berkuasa Demokrat dan Golkar. Jadi yang paling berhak untuk Wapres adalah Golkar, Anda mau? Saya lebih baik membela Pak Boediono. Rosianna Silalahi Langsung saya buka sesi pertanyaan. Silakan. Ihsani Ratnaningtyas Selamat malam. Nama saya Ihsani dari prodi Hubungan Internasional 2011 Universitas Paramadina. Saya punya dua pertanyaan. Pertama, di makalah Pak Faisal Basri disebutkan bahwa dengan pendapatan per kapita Indonesia sebesar 3.583 USD, pada tahun 2030 kita akan tetap tertinggal dari negara Asia lainnya. Pertanyaan saya, mana yang lebih penting, memacu pertumbuhan ekonomi atau membenahi kehidupan sosial? Lebih penting menerima arus investasi atau membenahi kehidupan masyarakat dulu. Kedua, sebenarnya apa penyebab utama ketertinggalan Indonesia? Apakah sumber daya manusianya yang buruk atau pengelolaan sumber daya alam yang buruk atau pemerintahnya yang buruk? Terima kasih. Rofiuddarojat Terima kasih. Selamat malam. Saya Rofi dari Hubungan Internasional Universitas Paramadina. Ketika bang Faisal maju di Pilkada kemarin, bang Faisal sering memakai kosakata cukong, pengusaha gelap dan sebagainya. Awalnya saya punya emosi tersendiri terhadap pihak yang disebut swasta. Tapi kalau melihat presentasi malam ini, memang yang bisa menyelesaikan masalah Indonesia selain negara adalah pasar. Jadi tersirat ada diskontinuitas. Soal pengusaha hitam ini, apakah itu salah swastanya atau salah regulasi atau pembuat regulasinya atau negara? Kedua, terkait strategi pembangunan kita. Sebagian besar GDP Cina adalah infrastruktur. Apakah kita harus mengalihkan strategi kita ke situ. Orientasi master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia yang dibuat pemerintah juga ke infrastruktur. Apa pendapat bang Faisal tentang ini? Terima kasih. Martin Sinaga Terima kasih. Saya bertanya karena hormat dan menikmati sekali tulisan bang Faisal. Ada seorang teolog yang mengatakan, “tell me your economy, I will tell you your God.” Saya tertarik kalau masa depan ekonomi kita lebih inklusif. Dalam inklusi itulah kita diajak masuk dalam konsensus atau kontrak sosial baru. Pertanyaan saya, agama menjadi kontraktor seperti apa di tengah-tengah itu. Ketika yang beragama hendak dimasukkan ke dalam inklusi itu, maka masuknya seperti apa? Pengalaman ini didasari pada pengalaman saya di Thailand, misalnya. Ketika kita menanyakan ini kepada orang Thailand, mereka menunjuk Sulak Sivaraksa yang membangun engaged Buddhism dengan movement of economic well being dan seluruh gerakan small is beautiful. Schumacher terkait dengan semangat itu. Di Italia ada Focolare di mana Katolisisme yang masuk dalam gerakan itu memberi 40% dari
14
setiap pendapatannya untuk orang miskin. Islam Indonesia ke mana? Blok ekonomi macam apa dari dirinya? Saya mendalami ekonom-ekonom Islam, mereka senang sekali kalau cocok dengan Max Weber, cocok dengan orang Protestan, cocok dengan Kapitalisme. Masuknya kok jadi begitu? Karena itu, pertanyaan saya, kalau Islam mau masuk dalam inklusi kontrak sosial baru, dia mau jadi kontraktor seperti apa? Terima kasih. Faisal Basri Mbak Ihsani, tidak mungkin kesejahteraan muncul kalau kita masih kere. Pendapatan per kapita 3.500 USD per tahun per orang itu ketika kita sudah tua, ketika kebutuhan orang tua makin tinggi. Obat makin mahal karena penyakitnya degeneratif yang obatnya harus diminum setiap malam. Kita tak punya kemewahan untuk memilih ini atau itu. Kesejahteraan tercermin dari pendapatannya. Membenahi institusi dan lainlain itu juga butuh uang. Di Amerika Serikat, medicare itu 450 milyar USD. Cadangan devisa kita hanya 110 milyar USD. Dari mana itu didapat? Dari APBN, APBN dari pajak, pajak dari kegiatan usaha dan pendapatan orang yang makin meningkat. Yang miskin tak bayar pajak. Jadi tak mungkin. Kedua, penyebab utama ketertinggalan Indonesia menurut saya adalah lack of institution. Proses pembangunan kita discontinue. Negara-negara yang pembangunannya bagus itu continue. Kita naik turun. Amerika Serikat waktu krisis kemarin hanya minus 2%. Recovery-nya cepat. Indonesia tahun 1998 pertumbuhannya -13,2%. Kita tak punya bantal pengaman. Tiba-tiba orang jatuh miskin. Persoalannya institusi. Saudara Rofi. Kita lihat tata kota Jakarta tercermin dari tata ruang yang diatur berdasarkan tata uang. Itu karena calon gubernurnya dibantu cukong. Dia dibantu cukong karena harus bayar ke partai politik. Jumlahnya puluhan sampai ratusan milyar. Cukongnya ya di bidang properti, perumahan dan lain-lain yang nantinya bisa mengendalikan pembangunan infrastruktur di Jakarta. Mana ada di dunia jalan layang yang dibuat di jalanan sempit seperti di Antasari. Apalagi kalau bukan didikte. Kita independen untuk melawan itu. Saya langsung tunjuk hidung. Ada yang bilang ke saya, katanya mau jadi gubernur kok memusuhi banyak orang? Tapi kan orientasi kita bukan hanya sekadar menang. Akibat dari munculnya calon independen, saya yakin Jokowi dan Ahok tak bayar partai. Ini jadi tren. Teten dan Rieke juga tak bayar partai. Saya jadi merasa menang walaupun kalah. Kita merasa mampu mengubah perilaku politik partai-partai. Itu tujuannya. Dari dulu saya pro-pasar. Tapi pasar bagaimana yang inklusif. Pasar juga bisa dimainmainkan, bisa di-bully. Ada dua jenis pasar, pasar yang berperadaban, inclusive economic institutions, ada juga pasar biadab, extractive economic institutions yang bisa memainkan harga sesukanya, mematikan pesaingnya, membohongi konsumennya. Jadi pasar seperti apa dulu. Saya akan konsisten terkait hal ini karena ini sangat ideologis. Mudah-mudahan saya bisa menjaga itu dan kalau saya melenceng tolong saya diingatkan. Pengusaha hitam bisa leluasa karena regulasinya tadi. Extractive economic institutions memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk mengeksploitasi rente sesuka hati mereka. Contohnya saya mau beli rumah, belum dibangun, tapi saya sudah bayar penuh. Rumah itu tak dibangun juga. Saya ke pengadilan dan saya kalah.
15
Merampok seperti itu gampang sekali. Saya punya polis asuransi investasi, sudah jatuh tempo. Seharusnya uang saya dikembalikan. Tapi bukannya uang, kita malah diberi surat utang. Ini dibiarkan. Saya tidak mengatakan semua pengusaha “hitam,” tapi “cukong hitam.” Pengusaha banyak sekali yang baik. Saya tidak anti pengusaha. Tidak ada di dunia ini yang bisa survive tanpa adanya pengusaha. Kalau Anda lihat GDP Indonesia itu didominasi oleh konsumsi. Konsumsi kita 54,6% dari PDB. Amerika Serikat 70,5%. Jadi di seluruh negara, komponen terbesar dari PDB adalah konsumsi. Cina juga demikian. Kecuali di Singapura, paling tinggi ekspor. Saya ingin luruskan saja bahwa tak ada masalah dengan ini. Makin maju suatu negara, konsumsinya makin banyak. Yang dia dapatkan dari pendapatan dia belanjakan. Cina juga mendorong konsumsinya dan upah minimumnya dinaikkan. Xi Jinping bilang, kita sudah tak mau lagi capek-capek meyakinkan masyarakat dunia dengan barang Cina yang murah. Lebih baik kami meningkatkan kesejahteraan buruh kami sehingga buruh kami punya daya beli yang bisa membeli produk-produk Cina sendiri. Orientasinya begitu. Infrastruktur sudah selesai di Cina karena semua diambil alih negara dan mereka punya keleluasaan untuk itu. Cina juga pinjam. Pinjaman lagilagi merupakan instrumen pembangunan. Kalau anti-utang, hidup kita jadi berat. Pak Martin, soal Islam dalam konteks ekonomi, ada cerita bahwa ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, yang dibangun pertama kali adalah akar peradaban, dan itu adalah pasar, bukan masjid. Kedua, Islam selalu mengedepankan jaring pengaman pasar yang namanya baitul mal. Ada cerita Khalifah Umar bin Khatab berkeliling memastikan tak ada rakyatnya yang kurang makan. Di suatu tempat dia mendengarkan ada anak menangis. Kata ibunya, sebentar nak, ibu lagi masak, tapi yang dimasak sebetulnya batu. Umar bin Khatab menangis, dia datang ke baitul mal lalu menyerahkan bahan makanan. Safety net seperti ini tak hanya ada dalam Islam. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga punya prinsip yang kurang lebih sama. Demikian juga terkait kodifikasi persaingan. Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan AlQur’an sarat dengan aturan-aturan terkait transaksi. Sampai ada yang menyebutkan kalau kita melakukan transkasi, tulis dan hadirkan saksinya. Yahudi, Nasrani, atau Islam harusnya jadi ujung tombak untuk mendorong terbentuknya suatu keadaban dalam ekonomi. Jadi agama berperan mengisi keadabannya, dengan jaring pengaman pasar, dan memastikan sistem yang berlangsung tidak eksploitatif. Itulah sebabnya semua agama melarang riba. Di Perjanjian Lama, hukuman riba bahkan congkel mata. Makin ke sini hukumnya justru makin enteng. Riba itu memporakporandakan peradaban, eksploitasi orang yang mampu atas orang yang berkebutuhan. Prinsip ketiga yang bisa diajak ke dalam kontrak sosial baru adalah sharing burden. Tak boleh ada zero sum dalam kegiatan bermasyarakat. Sekarang kalau Anda utung saya rugi, tak bisa untung sama-sama. Ajaran agama megedepankan prinsip dasar win-win solution. Seluruh ajaran agama menceritakan hal yang sama tentang hubungan antar manusia. Saya justru berharap tokoh agama masuk ke ranah itu tidak mengurusi BP Migas. Rosianna Silalahi Luar biasa. Saya buka sesi tanya jawab ke dua, saya harap bisa diformulasikan dengan singkat supaya lebih banyak yang mendapat giliran. Ayu
16
Saya Ayu dari Prodi Psikologi Paramadina. Saya tertarik ketika Bang Faisal menyebutkan bahwa sebagian besar SDM Indonesia berusia produktif dari usia 15 sampai 49 dan sebagian besar kosumtif. Kalau dalam kajian ilmu psikologi, kosumtif itu dekat dengan sebuah disorder yang disebut compulsive behavior disorder. Kalau ini menjadi daya tarik bagi investor, apa iya kita membuat disorder mereka yang 50 sekian persen itu tadi? rentetannya ke mana? Saya khawatir orang kaya semakin ke sini semakin depresi. Orang dengan compulsive behavior ini juga self esteem atau harga dirinya rendah. Orang dengan harga diri yang rendah tidak lagi berfikir apakah dia berintegritas atau tidak, berbahaya atau tidak terhadap orang lain. Rosianna Silalahi Apa semua orang yang berada di usia itu bisa dikategorikan dengan compulsive behavior? Ayu Tidak, itu kasuistik, tapi beberapa riset menunjukkan sebagian besar berusia segitu. Jadi di usia-usia produktif memang rentan sekali untuk itu. Biru Assalamualaikum wr. wb. Nama saya Biru. Semakin ke sini saya lihat BUMN-BUMN migas negara lain seperti Petronas atau Sinotex semakin gencar dalam melakukan ekspansi cadangan migas ke negara lain. Tapi ironisnya BUMN kita sendiri, Pertamina, sepertinya semakin mengikhlaskan kehilangan cadangan migas di tanah airnya sendiri. Tadi ada slide Bapak yang menunjukkan bahwa kita tidak berpihak kepada investor asing. Saya di sini justru merasa sepertinya pemerintah kita lebih berpihak kepada asing daripada BUMN sendiri. Kalau saya lihat dari berbagai data, yang harus dimenangkan dalam kasus Blok Semai kemarin itu seharusnya Pertamina. Karena itu saya ingin bertanya, sebenarnya apa alasan utama pemerintah lebih memenangkan pihak asing? Kedua, apa yang bisa kita lakukan supaya SDA kita bisa terkoordinasi dengan baik? Terima kasih. Hendriyono Terima kasih. Selamat malam. Nama saya Hendriyono. Di Indonesia, bantuanbantuan pusat terkait pertanian, perikanan dan yang lain-lain yang sampai ke masyarakat itu paling tinggi 50%, malah ada yang cuma 40%. Walhasil pekerjaannya tidak maksimal. Jadi programnya tidak berjalan. Kedua, yang saya tidak mengerti juga soal perkebunan dan adalah adanya undang-undang penanaman modal yang liberal yang memberikan ruang sampai 95% kepada pihak asing dan swasta. Sedangkan negara hanya mengambil posisi yang sangat sedikit. Contohnya Freeport yang belum selesai. Indonesia hanya mendapatkan posisi 9,36% sementara yang lain itu mendapatkan lebih 90%. Perkebunan kelapa sawit juga mengalami masalah yang sama. Di Kalimantan, terutama di Kutail Kartanegara, problem-nya adalah ternyata rata-rata perusahaan asing di sana 80% sampai 85% termasuk perusahaan dalam negeri. Terjadi ketimpangan seperti kata Bang Faisal, dengan pertumbuhan Kelapa Sawit ini. Perkebunan Kelapa Sawit juga berdampak pada terjadinya krisis air dan kekeringan. Bagaimana Bang Faisal memandang masalah ini dan apa yang harus dilakukan ke depan? Terima kasih. Faisal Basri
17
Seperti yang saya katakan tadi, orang muda itu bodoh kalau menabung, dia justru pinjam. Kalau dia nabung terus sepuluh tahun juga dia belum tentu bisa dapat rumah dari tabungannya. Kalau dia nabung terus malah dia kalah oleh peningkatan harga mobil atau harga motor. Jadi yang dia lakukan adalah dia berutang mumpung masih muda. Dengan berutang dia bisa punya rumah lebih cepat, punya mobil lebih cepat, lebih nyaman hidupnya, lebih enak istirahatnya, tidak tinggal di rumah mertua. Nah kalau itu dianggap perilaku kosumtif saya rasa silahkan kosumtif tapi produktif. Jadi saya tidak melihat ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Sekilas data itu seolah-olah menunjukkan bahwa kita gila kosumsi barang asing, tapi kalau dibandingkan data globalnya, total impor kita untuk kosumsi hanya 7%. 70%-an barang baku dan bahan penolong. 40%-an bahan modal. Tapi yang kita lihat hanya kosumsi yang terjadi di mall sehingga kita terkesima. Yang juga membuat saya tidak khawatir adalah tingkat tabungan kita juga tinggi, 20% sampai 25%. Kekhawatiran akan masifnya kosumsi itu dan jurang kaya-miskin memand ada. Oleh karena itu ada pilihan untuk menaikkan pajak kosumsi sampai tingkat tertentu kalau kita anggap kosumsi sudah mengkhawatirkan. Tapi sekarang ini menurut saya tidak juga. Angka itu menunjukkan comsumtion level kita turun dan investasi kita semakin lama semakin naik. Mungkin penelitian itu penelitian mikro jadi tidak representasikan seluruh perilaku masyarakat. Bukan berarti kita mendorong perilaku kosumtif yang eksesif. Karena itulah negara bisa mengendalikannya dengan cara tidak memberikan keuntungan perusahaan sektor kosumtif untuk berkembang. Sekarang ini masa mall Centre Point setiap bulan menikmati subsidi listrik sampai 50 milyar. Dia leluasa untuk macammacam karena dia mendapatkan sesuatu. Dia membayar ongkos yang tidak semestinya. Dia tidak membayar true price, social cost dari ongkos listrik itu. Kemudian, bagaimana orang tidak membeli mobil, beli sepeda motor kalau harga BBM-nya murah? Sekarang saya pakai kijang, saya pikir ke bandara lumayan juga bolak-balik 4.500, ya sudahlah nyetir sendiri. Saya nyetir sendiri ke bandara. Simpan di situ supaya mengirit dua perjalanan. Kenapa? Karena saya beli dengan harga yang benar. Tapi kalau orang beli dengan harga 4.500, foya-foya, mobil tidak dijalankan saja mesinnya tetap dinyalakan supaya ac-nya nyaman. Tidak ada rasa ingin mengirit itu karena saking murahnya. Negara masih punya keleluasaan untuk mengubah perilaku masyarakat. Tetapi negara sendiri justru menunjukkan yang tidak benar. Kemudian saudari Biru. Negara tentu saja berpihak kepada Pertamina. 50% wilayah minyak di Indonesia dikasih ke Pertamina. Tapi produksi Pertamina cuma 100.000-an dengan ongkos yang lebih mahal. Jadikan Pertamina sama dengan perusahaanperusahaan lain. Pemilik minyaknya pemerintah. Yang mengebor, menarik minyak dari bumi, itu namanya kontraktor dengan sistem bagi hasil. Jadi bagi hasilnya kalau asing dan swasta lainnya itu 85% buat pemerintah dan 15% buat kontraktor. Kalau Pertamina, pemerintah mintanya cuma 60%. Jadi pertamina sudah dimanja sekali. Mau bagaimana lagi, tapi tidak dewasa-dewasa begitu. Ini data saya 2009. Itu cost recovery. Jadi ongkos ngebornya ditanggung oleh perusahaan. Nanti kalau sudah dijual, pemerintah akan perhitungkan. Ongkosnya itu ditanggung pemerintah. Anda tahu bahwa cost recovery pemerintah sekarang sudah lebih kecil. Komparasinya saya rasa akan tidak jauh berbeda 34 dollar per barel kalau
18
ongkosnya dikeluarkan oleh pertamina. Kalau Chevron itu 6,8 dollar per barel. Yang menanggung negara. Ini yang repot. Saya justru mendorong bukan siapanya yang memproduksi tapi harus ada yang namanya oil fund. Bayangkan, Norwegia punya perusahaan minyak dengan oil fund 450 US. Indonesia juga bisa bikin oil fund. Jadi misalnya kalau saya perusahaan minyak swasta, saya kan dapat jatah 15%. Minyak ini minyak pemerintah. Tapi saya dapat konsesi untuk menggali minyak itu saja dengan 15% saya sudah bisa minta pinjaman. Ini sesuatu. Pemerintah yang share-nya 85% tidak bisa jadikan duit apaapa. Nah itu BP Migas. BP Migas itu bukan badan usaha, tidak punya neraca. Ini bisa dijadikan aset. Jadi kalau aset dalam perusahaan minyak, aset 15% bagi hasil di ladang minyak Anu yang kemudian yang produksinya seratus ribu barel, misalnya, kan bisa dihitung dengan uang. Makanya konsensinya itu bisa untuk modal kerja. Pemerintah itu tidak bisa. Lebih bagus lagi kalau Petrobras, perusahaan minyak di Brazil, dia investasi 250 Milyar US sehingga dia sekarang memiliki teknologi untuk mengambil minyak dari celah-celah sulit dan dari laut yang makin dalam. Profitnya itu jauh lebih besar dari Pertamina. Profit Petronas lebih besar dari laba seluruh BUMN di Indonesia kalau dikelola dengan benar. Tapi tidak ada konsensi. Konsesinya sama seperti yang dikhawatirkan oleh Pertamina di sini. Jadi berdasarkan undang-undang sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Terserah mau pertamaina atau yang lain dan kita memiliki kewenangan memberikan Pertamina privilege. Perlakuan khusus oleh anak kita sendiri wajar. Tapi kalau diteti terus bertahun-tahun, tidak bisa. Kemudian, yang penting itu aturan mainnya seperti apa dan aturan mainnya itu diterapkan. Bagi yang melanggar aturan main dihukum. Nah, teman-teman ini mendampingi rakyat agar memiliki posisi yang kuat dalam menghadapi kekuatan modal. Misalnya, polisi cenderung memenangkan pengusaha daripada masyarakat. Kalau masyarakatnya itu mengusahakan lahan yang diinginkan investor, seolaholahmasyarakat itu merebut lahan, padahal tidak. Itu punya nenek moyangnya. Rosianna Silalahi Ok. Ini sesi terakhir. Silahkan. Agus Abu Bakar Terima kasih Pak Faisal. Saya Agus Abu Bakar. Saya ingin menambahkan saja soal masalah kosumsi tadi. Ada yang disebut economy of need dan ada economy of want. Nampaknya yang punya penyakit banyak terjebak pada economy of want sehingga mengabaikan economy of need. Nah di Indonesia nampaknya yang berkembang itu economy of want. Kosumsi yang mengarah kepada konsumsi negatif dan yang membawa kepada penyakit harus kita tekankan. Kosumsi rokok di Indonesia itu 200 batang. Bagaimana pengaruhnya terhadap ekonomi? Kemudian bagaimana dampak penyakit yang disebabkan olehnya? Kemudian ketika berbicara mengenai cita-cita keadilan, yang pertama adalah hukum yang adil. Indonesia adalah negara yang KUHP-nya tidak ada karena yang kita warisi itu adalah punya Belanda. Yang kita pakai secara resmi itu tidak ada terjemahan
19
resminya. Nah kemudian penegaknya siapa? Polisi dan Jaksa. Itu adalah lembaga yang paling korup di negeri ini saat ini. Farid Nama saya Farid. Saya ingin bertanya dua hal. Indonesia sangat berbeda dengan negara macan Asia lainya. Korea, misalnya, produksinya tinggi. Sedangkan Indonesia tinggi tingkat kosumsinya. Kalau tidak salah Brazil pernah berpotensi menjadi negara maju tapi tidak jadi karena kelas mengahnya lebih banyak mengkosumsi daripada memproduksi. Kira-kira potensi Indonesia seberapa besar? Yang kedua, Jepang diperkirakan sistem sosialnya akan ambruk karena antara lain sistem tenaga kerjanya tidak jelas. Kontrak kerja yang kurang jelas. Bagaimana dengan Indonesia? Rafli Terima kasih. Nama saya Rafli. Pertanyaan saya singkat. Yang pertama, mengenai tesis yang dibangun oleh Pak Faisal menggunakan logika ekonomi yang kita tahu bahwa logika ini harus bertemu dengan logika politik. Jadi bagaimana kosensi ini harus dibangun dengan logika ekonomi yang harus berkompromi dengan logika politik? Kedua, kita tahu banyak kosensus yang diajukan. Kosensus yang didorong itu selalu terjebak yang namanya politik simbol. Jadi apa yang harus didorong oleh kita untuk kosensus baru ini? Terima kasih. Faisal Basri Pak Agus Abu Bakar, di negara lain untuk menekan kosumsi gampang saja, dinaikkan saja harganya. Di Singapura harga rokok itu kira-kira 120.000 atau 12 dolar Singapura. Itu efektif untuk mengurangi orang yang merokok. Kalau di kita masih belasan ribu. Jadi jauh lebih murah dan. Si Singapura muncul kesadaran di signal harga. Di Indonesia sekarang bea cukai berapa? Kalau tidak salah 35% dan tidak ada keraguan bahwa itu memang paling murah untuk meningkatkan kosumsi rokok dan itu memberikan kontribusi terhadap kenaikan kosumsi rokok. Jadi saya sepakat sekali untuk didorong agar harga itu bisa naik. Persoalannya kalau di Indonesia, yang harus diantisipasi adalah kalau harga itu naik terlalu tinggi maka, rokok ilegal akan tumbuh luar biasa tanpa terkontrol kadar TAR-nya dan lain-lain. Jadi lebih parah lagi. Jadi tinggal kita uji saja mana yang lebih ampuh untuk meredam ini sampai level mana. Jangan sampai kalau terlalu tinggi justru menyebabkan mudaratnya lebih banyak. Tinggal itu saja hitung-hitungannya. Tapi prinsip dasar soal cita-cita keadilan saya sepakat sekali. Negara tidak bisa men-training buruhnya, men-training polisinya karena anggarannya terbatas dan harus ada kosensus. Kalau menaikkan subsidi BBM itu bisa, kok menaikkan anggaran training polisi tidak bisa sampai harus meminta uluran tangan asing? Sebetulnya kita sanggup tapi kita tidak sanggup merealokasikan subsidi BBM itu menjadi subsidi meningkatkan kesejahteraan dan kapabilitas pegawai kita. Saya juga prihatin. Mentalitas kita beda dengan Macan Asia karena mereka lebih ke produksi sedangkan kita lebih kepada kosumsi. Mungkin lebih tepat lagi mereka juga menghadirkan inovasi-inovasi. Kita tidak ada inovasi. Coba bayangkan, alokasi RND kita cuma 0,08% dari PDB. Paling tinggi Israel 5%. Singapura 2%. Tapi rata-rata 1%. Kita sampai 0,1% pun tidak. Jadi lagi-lagi memang tidak ada isentif untuk kita menghasilkan sesuatu yang baru. Sebagai contoh, saya tadinya punya pabrik Garmen. Lebih untung bagi saya untuk menutup pabrik saya dan menjadikannya outlet garmen
20
dari Cina. Kalau di luar negeri ada isentif bagi yang meningkatkan kegiatan-kegiatan produktif dan ada disisentif buat kegiatan-kegiatan yang kosumtif. Jadi kembali kepada incentive structure di bidang ekonomi. Incentive structure adalah salahsatu elemen dari economic institution itu. Tapi lagi-lagi persoalan institusi yang menjadi akar dari masalah kita semua. Institusi politiknya dulu dibenahi, antara lain sistem ketatanegaraan kita. Yang saya katakan tadi, Cak Nur juga cerita tentang sistem parlementer, presidensil. Jadi kita sendiri masih belum jelas. Setiap pemilu, undangundang pemilu diganti. Jadi tergantung siapa yang menang pemilu kemudian dia otakatik sesuai dengan keuntungan dia. Hutang Jepang itu tertinggi di dunia sampai 240% dari PDB-nya. Yang berhutang siapa? Ya mereka itu orang-orang yang produktif. Prediksi yang saya jadikan basis, yaitu tahun 2050, penduduk tua di Jepang lebih banyak dari pada penduduk yang bekerja. Jadi seperti layang-layang. Piramida penduduk kita seperti candi Prambanan. Kalau di Jepang piramida layang-layang, besar di tua. Di usia kerjanya sudah turun. DI Jepang lebih banyak orang gandeng anjing daripada orang gandeng anak. Kemudian collaps-lah ekonomi Jepang kalau sekedar mengandalkan produksi dalam negeri. Tapi Jepang menggunakan akumulasi uangnya untuk memindahkan fasilitas produksi ke negara-negara yang penduduknya masih seperti kita. Mereka mendapatkan laba yang bisa mereka nikmati untuk anatara lain membiayai orang tua mereka. Jadi saya tidak melihat collaps dalam pengertian punah. Karena manusia juga punya kemampuan untuk survival dan adaptasi dengan hal-hal yang baru. Saudara Rafli, bagaimana memulai kosensus. Mungkin saya mulai, kalau kita lihat sekarang, jangan biarkan komunitas politik dan komunitas bisnis bergandengan tangan terus menerus tanpa keterlibatan civil society. Dia akan korupsi terus. Dia akan selingkuh terus. Dia akan melakukan tindakan-tindakan kaloboratif untuk merampok. Punya kepentingan yang berbeda-beda tapi sama-sama saling membutuhkan. Komunitas bisnis membutuhkan perlindungan politik dan izin politik untuk dia berusaha dalam memperoleh kosensi-kosensi yang lebih banyak. Si politisi butuh uang untuk misi poltiknya. Nah model yang seharunya berubah adalah civil society harus terlibat di dalam proses ini. Mas Usman dan kawan-kawan misalnya langsung datang ke KPK ketika KPK di kepung oleh polisi. Nah seperti itulah keterlibatan civil society. Dan kemarin hari minggu sudah berkali-kali berani jujur itu hebat itu yang melaksanakan teman-teman civil cociety. Jadi keterlibatan civil society bisa di sini untuk mengimbangi, meneriaki. Saya melihat peran civil cociety kita sudah mulai matang, beragam, makin independen dan mandiri seperti ICW. ICW kita semua yang membiayai. Itu suatu yang luar biasa dan dia teriak terus. Jadi ini harapan kita, tinggal teman-teman yang ingin masuk ke ranah ini, silahkan perkuat dari dalam. Cuma itu yang memungkinkan kita bisa menciptakan iklim baru. Namun kosensus baru itu biasanya muncul lebih mudah kalau kita sedang mengalami krisis. Misalnya kosensus baru terkait dengan praktek monopoli. Itu dulu pengusaha pun bisa sesuka hati. Monopoli dibolehkan kemudian krisis ekonomi, pengusaha banyak yang terkapar, negaranya sedang lemah. Masuklah undang-undang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang puluhan tahun diperjuangkan oleh Pak Kweek tidak tembus-tembus karena pengusaha sedang mesra-mesranya, tidak bisa diganggu gugat. Krisis yang membuat kita punya institusi yang lebih demokratik.
21
Tapi saya tidak berharap ada krisis lagi. Saya masih melihat ada konsolidasi civil society ini. Kalau krisis melulu nanti recovery-nya sepuluh tahun. Kalau begitu kapan kita sampai ke negara tujuan, ke cita-cita yang menjadi harapan kita bersama. Terima kasih. Rosianna Silalahi Terima kasih Bang Faisal. Saya rasa saya ingin menyudahi saja memorial lecture yang luar biasa ini. Saya tidak ingin mengambil kesimpulan. Tapi memang dari seluruh carut-marutnya sistem politik dan ekonomi kita, ini bukan berarti kita menginginkan atau berharap kembali ke zaman yang lalu. Kita semua yang hadir di sini meneruskan apa yang menjadi gagasan pemikiran Cak Nur dan tidak boleh berhenti untuk meberikan sumbangan pemikiran, tidak boleh berhenti untuk menyuarakan. Karena inilah sistem yang sedang kita ambil dan kita sama-sama memperbaikinya untuk Indonesia yang berkadilan dan bermartabat. Terima kasih sekali untuk Bang Faisal Basri. Terima kasih juga untuk Bapak, Ibu, teman-teman mahasiswa Paramadina. Saya tutup saja di sini. Terima kasih sekali lagi. Kita akan berjumpa lagi dalam kesempatan diskusi yang sama menantangnya secara intelektual tahun depan dalam rangka terus memelihara dan menjalankan pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid. Assalamu’alaikum wr wb.
22