DAFTAR ISI Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 – 1964 Subhi Mamashony Harimurti Pengelolaan Majalah Internal Suara ‘Aisyiyah Pada Organisasi Masyarkat ‘Aisyiyah
1
12
Paramitha Fajarin Nova Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia
24
Didik Haryadi Santoso Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing Candidate In Electoral Campaign
31
Vivin Sylviana Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
39
Ratih Dwi Kusumaningtyas Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik
54
Anang Masduki Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: “Kajian Kritis Pengaruh Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah”
63
Anyakala Freddy Posisi Manusia dalam Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
71
Ahmad Zahri Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam Kasus Penyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura
77
Beni Irawan Tarigan Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
85
Uspal Jandevi 97
Kajian Singkat Bahasa Iklan di Televisi Swasta
Dwi Santoso
Jurnal Channel
Vol. 1
No. 1
Hal. 1-102
Yogyakarta, Oktober 2013
ISSN 23389176
SALAM SAPA REDAKSI
Bismillahirrahmanirrohim
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan member tuntunannya, sehingga kami dapat menerbitkan jurnal ilmiah CHANNEL volume 1 ini dengan tanpa halangan berarti. Kami menyadari ditahun ke-1 ini masih perlu terus ditumbuhsuburkan kerja keras dari segenap pihak, khususnya redaksi, agar jurnal ilmiah ini tetap eksis dan berkembang lebih sempurna. Dari naskah yang masuk dilakukan pencermatan, kami ambil tulisan yang memenuhi criteria dan termasuk dalam ketegori komunikasi yang kami muat. Dengan segenap kerendahan hati dan permohonan maaf, beberapa naskah belum dapat diterbitkan, karena patut dilakukan penyempurnaan pada isi dan format penulisan. Kami tetap mengundang siapapun untuk berkarya tulis pada jurnalini sesuai dengan nafas dan misi yang diembannya. Billahi taufiq wal hidayah
Redaksi
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
PEMAKNAAN SEMIOTIKA TINGGALAN ARKEOLOGIS DAN HUBUNGAN ANTARA PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH TAHUN 1912 – 1964 Oleh: Subhi Mamashony Harimurti (Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah UGM) Abstrak Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Alas an mendirikan perkumpulan ini karena melihat keadaan masyarakat, terutama ummat Islam khususnya di Yogyakarta, sudah mulai menyimpang dalam hal aqidah (keyakinan) maupun akhlaq (budi pekerti) dan tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam yang murni. Muhammadiyah adalah suatu organisasi yang dinamis dalam bidang ke-islaman, menyeru pada kebaikan, mencegah perbuatan keji, berlandaskan ajaran Islam, yang mengacu kepada kitab suci Al-Quran serta tuntunan Nabi Muhammad SAW. Perkembangan organisasi Muhammadiyah yang fenomenal beserta peningkatan aset organisasinya tentu menarik untuk dikaji dalam perspektif arkeologi. Sebagaimana dipahami secara luas, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tinggalan-tinggalan masa lalu antara lain untuk merekonstruksi kehidupan manusia pada masa itu. Dengan demikian, penelitian kali ini dapat dilihat sebagai upaya mempelajari tinggalan-tinggalan arkeologis Muhammadiyah dan mengaitkannya dengan perkembangan gagasan dan tindakan organisasi itu di masa lampau, terutama perkembangan amal usahanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika. Disini diharapkan tanda-tanda peninggalan Muhammadiyah
A. Pendahuluan Pada awal abad ke-20 banyak bermunculan perkumpulan atau organisasi modern yang cenderung mengarah kepada pembaharuan ajaran Islam, seperti Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah. Akan tetapi, hanya Muhammadiyah yang mempunyai paling banyak pengikut, memiliki organisasi yang teratur, serta tekun dalam memperjuangkan pemahamannya (Stoddard 1966, 306 – 307). Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh salah satu pahlawan pergerakan nasional Indonesia yaitu KH. Ahmad Dahlan. Beliau mendirikan perkumpulan ini karena melihat keadaan masyarakat, terutama ummat Islam khususnya di Kauman Yogyakarta, sudah mulai menyimpang dalam hal aqidah (keyakinan) maupun akhlaq (budi pekerti) dan tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam yang murni. Muhammadiyah adalah suatu organisasi yang dinamis dalam bidang ke-islaman, menyeru pada kebaikan, mencegah perbuatan keji, berlandaskan ajaran Islam, dan mengacu kepada kitab suci Al-Quran serta tuntunan Nabi Muhammad SAW. Menurut Anggaran Dasar yang sekarang, tahun 2000 bab I pasal 1 ayat 2, Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan Dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, berasaskan Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah (Pasha dkk 2003, 218). Dalam perjalanan sejarahnya persyarikatan ini setidaknya telah mendirikan beberapa amal usaha misalnya sekolah, rumah sakit, masjid, kantor, dan lembaga lain. Sejumlah amal usaha tersebut dibangun guna mendukung tujuan Muhammadiyah. Tujuan awal dari organisasi yang pada tahun 2010 mengadakan Muktamar Seabad adalah “Menyebarkan 1
Subhi Mamashony Harimurti
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera di dalam Residensi Yogyakarta dan memajukan hal agama kepada anggauta-anggautanya” (Darban dan Syakir 1994, 34). Seiring berjalannya waktu tujuan Muhammadiyah itu sendiri juga sering berganti-ganti susunan redaksionalnya, tergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang kala itu. Terhitung telah tujuh kali perubahan tujuan, yang terakhir adalah “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah subha:nahu wa ta’ala” (Pasha dkk 2003, 58). Sebagai wadah para pemikir Islam yang didirikan di Yogyakarta, Muhammadiyah senantiasa berkembang dengan pesat, tidak hanya di dalam Kota Yogyakarta tetapi juga melebarkan sayapnya sampai ke luar Pulau Jawa. Perkembangan peran organisasi Muhammadiyah sejatinya dilatarbelakangi oleh keberhasilannya dalam tabligh1, patron client2, dan pendidikan. Ulama dari golongan Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan, Nyai Hajjah Walidah Dahlan, KH. Mas Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo membantu memimpin perjuangan pergerakan bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman penjajah Belanda, sehingga membuktikan bahwa ummat Islam Indonesia telah memiliki andil yang cukup besar dalam perjuangan bangsa ini (Rais dkk 2000, 112). Muhammadiyah dalam sejarah awal pendiriannya pada faktanya telah melakukan sejumlah hal baru yang sangat luar biasa pada zamannya. Contoh nyata adalah didirikannya beberapa lembaga pendidikan modern dengan menggunakan gaya Eropa seperti keberadaan bangku, pemakaian jas saat sekolah, penggabungan pengajaran ilmu agama sekaligus umum, dan pengenalan sistem administrasi. Kesemuanya itu adalah hal yang langka dan baru dikenalkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Di antara beberapa sekolah awal kala itu adalah Qismul Arqa (sekarang Mu’allimin Muhammadiyah) berdiri tahun 1920 dan Sekolah Dasar Muhammadiyah Suronatan didirikan 1918. Contoh gerak nyata yang terhitung baru dari Persyarikatan Muhammadiyah lainnya yaitu berdirinya Penolong Kesengsaraan Oemoem (sekarang Rumah Sakit PKU Muhammadiyah) tahun 1923, rumah miskin, dan rumah yatim. Ketiga hal tersebut terakhir diprakarsai juga oleh Kyai Syoedja’ dan tentu bersama pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan (Syoedja’, 2003: iii). Perkembangan organisasi Muhammadiyah yang fenomenal beserta peningkatan aset organisasinya tentu menarik untuk dikaji dalam perspektif arkeologi. Sebagaimana dipahami secara luas, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tinggalan-tinggalan masa lalu antara lain untuk merekonstruksi kehidupan manusia pada masa itu (Soebroto t.t., 2). Dengan demikian, penelitian kali ini dapat dilihat sebagai upaya mempelajari tinggalantinggalan arkeologis Muhammadiyah dan mengaitkannya dengan perkembangan gagasan dan tindakan organisasi itu di masa lampau, terutama perkembangan amal usahanya. Hal ini sesuai juga dengan apa yang dikemukakan Schiffer mengenai arkeologi sebagai ilmu perilaku dalam bukunya Behavioural Archaeology (1976). Pakar arkeologi ini menyatakan bahwa pada dasarnya arkeologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara budaya bendawi (material culture) dengan gagasan dan perilaku masyarakat yang menghasilkannya. Kajian ini diharapkan juga akan dapat mengungkapkan apakah memang ada hubungan yang sejalan antara perkembangan organisasi Muhammadiyah dengan tinggalan arkeologisnya. Studi tentang tinggalan arkeologis Muhammadiyah sendiri tidak banyak dilakukan. Memang pernah ada sejumlah penelitian tentang Muhammadiyah, tetapi belum ada yang mencoba meninjau dari perspektif arkeologi. Kajian yang pernah dilakukan oleh Sony Saifuddin (2004), misalnya, lebih menitikberatkan pada amal usaha Muhammadiyah di Kecamatan Kotagede antara tahun 1923 hingga 2002 beserta sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Selain itu Ahmad Adaby D. dan Muhammad Syakir (1994) juga meneliti tentang perkembangan amal usaha Muhammadiyah. Akan tetapi keduanya tidak mengkerucutkan pokok persoalan pada tinggalan budayanya melainkan pada sejarah dari persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri. Kajian tentang Amal usaha Muhammadiyah yang berupa pesantren diangkat oleh Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya yang berjudul Pesantren dari Transformasi
2
Subhi Mamashony Harimurti
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Ia lebih menyoroti masalah perubahanperubahan pemikiran ke arah penjabaran dalam demokratisasi dalam institusi. Karya ini juga tidak terkait dengan kajian budaya bendawi tinggalan Muhammadiyah, tetapi sorotan penulis buku tersebut sedikit banyak membantu penelitian ini dalam mengungkap proses perubahan budaya dalam pesantren Muhammadiyah.
B. Semiotika Arsitektur Dakwah Muhammadiyah 1. Langgar KH. Ahmad Dahlan Kampung Kauman merupakan tempat lahirnya Muhammadiyah sehingga banyak tinggalan arkeologis Muhammadiyah yang terdapat di wilayah yang masih dalam lingkungan Kraton Yogyakarta ini. Di antara tinggalan-tinggalan yang termasuk sebagai bangunan cagar budaya adalah Masjid Gedhe Kauman, Langgar KH. Ahmad Dahlan, gedung pesantren (sekarang menjadi TK ABA Kauman), dan Mushalla ‘Aisyiyah, semuanya itu saling berkaitan dalam sejarah perjalanan organisasi Muhammadiyah (Setiawan dkk 2010, 2). Di rumah-rumah penduduk kampung, yang mempunyai luas 192.000 m2 ini, sering kali dijumpai adanya langgar (tempat shalat dan mengaji yang lebih kecil dari pada masjid). Hal ini dikarenakan banyak di antara mereka yang menyediakan mushalla/ langgar pribadi di rumah masing-masing. Tempat ibadah tersebut dimanfaatkan oleh pemiliknya sendiri bersama tetangga sekitar yang tidak memiliki langgar. Pada awal abad ke-20 langgar begitu menjamur di kampung yang padat penduduk ini. Akan tetapi hanya terdapat lima langgar utama yang dijadikan pusat belajar agama. Antara lain:
* * * * *
Langgar Lor (Utara), dipimpin oleh KH. Muhammad Noer Langgar Kidul (Selatan), dipimpin oleh Khatib Amin/ KH. Ahmad Dahlan Langgar Kulon (Barat), dipimpin oleh KH. Muhsen Langgar Wetan (Timur), dipimpin oleh KH. Abdurrahman Langgar Faqih, dipimpin oleh Ketib Faqih
Dari sejumlah langgar keluarga di kampung Kauman yang sekarang masih dimanfaatkan hanya tinggal sepuluh, termasuk Mushalla ‘Aisyiyah dan Ar-Rasyad yang merupakan diperuntukkan bagi jama’ah perempuan (Supardi 2010, 28 – 31). Tentu saja yang menonjol dari beberapa mushalla tersebut adalah Langgar KH. Ahmad Dahlan. Karena dari sinilah awal organisasi Muhammadiyah mulai dirancang. Mushalla KHA. Dahlan sering kali disebut dengan nama “Langgar Kidul”. Tinggalan arkeologis ini dibangun oleh ayahanda dari pendiri Muhammadiyah itu yaitu KH. Abu Bakar. Tokoh KH Ahmad Dahlan, yang juga dijuluki sebagai “Sang Pencerah” tersebut, juga sempat mengundang 17 orang ulama untuk membicarakan masalah arah kiblat di langgar kecil tersebut. Namun, ketika itu mereka tidak menemukan kesepakatan hingga shubuh (www.muhammadiyah.or.id). Penyebutan nama Langgar KH. Ahmad Dahlan dalam penelitian kali ini sudah termasuk dengan rumah dan pawiyatan karena nama resmi yang tercantum baik dalam dalam daftar warisan budaya Kota Yogyakarta maupun di lingkup Muhammadiyah adalah Langgar KH. Ahmad Dahlan. Kejadian fenomenal di langgar ini terjadi pada tahun 1898 M atau sama dengan tahun 1313 H Bulan Rajab Je yaitu ketika KHA. Dahlan melakukan renovasi sekaligus perluasan dan memperindah mushallanya. Diharapkan proses renovasi tersebut dapat selesai sebelum Bulan Ramadhan karena akan digunakan untuk Shalat Tarawih dan kegiatan keagamaan lainnya. Ketika itu langgar masih berdinding bambu dan hanya mempunyai satu lantai1. Tidak hanya itu sang kyai juga melakukan pembenaran arah kiblat dari yang semula menghadap lurus ke barat menjadi serong ke utara beberapa derajat. Pembenaran arah kiblat itu juga beliau lakukan di Masjid Gedhe Kraton yang mengakibatkan Pengulu Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 – 1964
3
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
KH. Khalil Kamaludiningrat dari Kawedanan Pangulon tidak terima dan menyuruh anak buahnya untuk merobohkan langgar yang terletak di barat daya Kampung Kauman (tepatnya RW 12) tersebut (Syoedja’ 2003, 47). Bangunan langgar yang ada sekarang adalah hasil pembangunan ulang setelah peristiwa perobohan bangunan yang baru selesai didirikan pada tahun 1901. Dasar KH. Ahmad Dahlan untuk menghadap ka’bah sebagai kiblat shalat adalah Hadits Nabi Muhammad SAW dari Ibnu Umar sebagai berikut: “Ketika orang-orang sedang melakukan shalat di Qubba, tiba-tiba datang orang yang membawa kabar bahwa semalam Rasulullah SAW mendapat wahyu berupa perintah untuk menghadap Ka’bah. Seketika itu mereka menghadap ke Ka’bah. Sebelumnya mereka mengahadap ke arah Syam, kemudian mereka berputar menghadap ke Ka’bah” (HR. Muslim). Langgar seluas 81,4 m2 atau juga setara dengan 0,007% dari Kecamatan Gondomanan ini sendiri menurut rencana akan dijadikan bagian dari museum Muhammadiyah. Hal ini bertujuan sebagai pengingat masyarakat terhadap perjuangan Ahmad Dahlan dalam pembenaran arah kiblat yang akhirnya ditiru oleh semua masjid ataupun mushalla di Indonesia. Selain itu dari bangunan kecil ini pula Muhammadiyah bisa menjadi besar dan mendunia seperti sekarang. Peristiwa yang terjadi di langgar ini justru membuat nama KH. Ahmad Dahlan semakin dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam. Setelah direnovasi dengan biaya Pemerintah Kota Yogyakarta mulai tanggal 19 Maret 2010 maka bangunan ibadah yang telah 35 tahun tidak dipakai itu sekarang dapat dimanfaatkan kembali seperti sedia kala yaitu sebagai tempat shalat dan mengaji masyarakat sekitar. Hal ini juga berarti langgar tersebut tidak pernah diadakan pengajian sebelum dilaksanakan renovasi. Dengan renovasi langgar bersejarah tersebut maka satu benda cagar budaya di Yogyakarta berhasil diselamatkan dan dapat menjadi tujuan wisata sejarah para wisatawan (www.republika.co.id).
2. Mushala Aisyiyah Kauman Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya banyak dijumpai mushalla atau langgar di Kampung Kauman. KH. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin Muhammadiyah telah mempunyai langgar untuk beribadah maupun sebagai tempat menuntut ilmu bagi para muridnya. Karena beliau sangat juga memperhitungkan potensi perempuan maka untuk mewadahinya dibangunlah mushalla untuk tempat shalat sekaligus sarana memperbincangkan masalah agama khusus bagi kaum hawa tersebut yaitu Mushalla ‘Aisyiyah. Kebanyakan yang meramaikan tempat ibadah tersebut adalah warga Kauman sendiri (www.muhammadiyah.or.id). Pada dasarnya bangunan ini didirikan karena beberapa faktor teknis seperti halnya kebutuhan perempuan Muhammadiyah akan adanya tempat untuk pusat berbagai kegiatan, beribadah, dan bermusyawarah. Selain itu anggapan bahwa perempuan dinilai ‘kurang pantas’ untuk melakukan ibadah di Masjid Gedhe juga dijadikan alasan pembangunan Mushalla ‘Aisyiyah. Sejumlah latar belakang tersebut pada hakikatnya didasari oleh prinsip dalam ajaran Agama Islam sendiri yang menekankan pemisahan antara laki-laki dan perempuan ketika beribadah (Nurhidayati 2004, 65). Bangunan yang berluas 0,03% dari Kecamatan Gondomanan ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 19225. Hal tersebut merupakan suatu prestasi tersendiri ketika itu karena merupakan mushalla dengan jama’ah khusus perempuan pertama di Indonesia. Baru beberapa tahun kemudian di Kotagede juga dibangun tempat ibadah serupa. Mushalla yang mempunyai luas 399 m2 ini terletak di wilayah RW 13 Kauman (Kauman Tengah). Adapun kegiatan yang berlangsung rutin di tempat tersebut hingga kini adalah sebagai berikut:
* * * * 4
Setiap hari Hari Ahad dan Jumat Hari Selasa Hari Rabu Subhi Mamashony Harimurti
: Jama’ah Shalat Rawatib6 : Kuliah Shubuh : Pengajian sore : Tadarus Al-Quran (Supardi, 2010: 32 – 33)
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
Pada awal berdirinya bangunan tersebut Siswa Praja Wanita yang merupakan cikal bakal berdirinya Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA)7 sering menggunakan mushalla ini untuk kegiatan pengajian, shalat jama’ah, peringatan hari besar Islam, dan acara keputrian lainnya. Dalam kegiatan ibadah seperti halnya shalat maka yang bertindak selaku imam maupun muadzin8 dan tentu saja jama’ahnya adalah perempuan. Sebelum menjadi mushalla sejatinya tempat itu sebelumnya adalah rumah milik Haji Irsyad9. Perkembangan bangunan mushalla ini sendiri bisa dikatakan tidak ada perubahan, masih sama dengan aslinya ketika awal didirikan.
3. SD Muh Notoprajan Gedung yang dimaksud dalam uraian ini kini dikenal sebagai Gedung Sekolah Notoprajan yang terletak di Jalan KH Agus Salim 66 Yogyakarta. Namun, sebelum digunakan sebagai gedung sekolah, bangunan ini telah mengalami sejarah yang panjang sejak didirikan pada tahun 1923. Gedung sekolah tersebut mempunyai denah berbentuk huruf L dan terdiri dari sejumlah ruangan yang dipakai sebagai ruang kelas. Gedung ini mempunyai luas 80 m2 atau sama dengan 0,0098% dari wilayah Kecamatan Ngampilan, mempunyai dua lantai, mempunyai satu pintu depan, dan dua jendela pada bagian atas. Perkembangannya diawali ketika bangunan ini diresmikan sebagai Rumah Miskin Muhammadiyah pada tanggal 13 Januari 1923. Pendirian itu sendiri merupakan usul dari KH. Syoedja’. Peresmian amal usaha yang terletak di sebelah timur pertigaan Ngabean ini dihadiri oleh Hoofd Bestuur (HB) Muhammadiyah, bagian PKO HB Muhammadiyah, RT Wirjokesoemo, perwakilan Rijk Bestuur KPA Adipati Danurejo, dan orang-orang terkemuka di Yogyakarta lainnya. KH. Ahmad Dahlan sendiri tidak dapat hadir karena sedang sakit keras. Seorang tamu dari Malang dr. Soemowidagdo kemudian menjenguk Sang Kyai sekaligus mengutarakan maksudnya untuk membantu Muhammadiyah dalam bidang kesehatan kemudian beliau memanggil KH. Syoedja’ yang merupakan Ketua Bagian PKO HB Muhammadiyah. Mereka akhirnya sepakat meresmikan Klinik dan Poliklinik PKO Muhammadiyah pada tanggal 15 Februari 1923 atau 28 Jumadil Akhir 1341 H. Pada hari yang telah direncanakan tersebut resmi berdiri Klinik dan Poliklinik Muhammadiyah Yogyakarta bertempat di Jalan Jagang Notoprajan (sekarang bernama Jl. KH. Agus Salim 66). KH. Ahmad Dahlan juga tidak dapat hadir dalam peresmian sebab sakit yang dideritanya semakin parah bahkan seminggu pascaperesmian sang pendiri persyarikatan tersebut meninggal dunia tepatnya hari Kamis Wage 6 Rajab 1341 H atau 22 Februari 1923. Lokasi di Notoprajan tidak mampu menampung pasien yang semakin banyak maka pada tahun 1927 Klinik dan Poliklinik pindah ke Jl. Ngabean 12 B (sekarang bernama Jl. KH. Ahmad Dahlan) yang kemudian hingga saat ini dikenal dengan nama RS PKU Muhammadiyah. Gedung di Notoprajan otomatis tidak ada yang menempati maka kemudian dimanfaatkan untuk Perpustakaan Islam. Pada tahun 1953 gedung ini digunakan oleh SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta. Tahun yang sama setelah itu PRM Notoprajan kemudian mendirikan SMA Muhammadiyah 3 (Muga) Yogyakarta untuk mewadahi lulusan SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta. SMA Muga menempati gedung di Jalan Agus Salim 66 pada siang hari karena paginya dipergunakan SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogya. Perkembangan kedua SMA tersebut cukup pesat sehingga dikarenakan gedung sekolah yang tidak dapat menampung keseluruhan siswa maka keduanya pindah ke Jl. Kapten Piere Tendean 58 Ketanggungan (tahun 1986 SMA Muhi pindah ke Karangwaru Kecamatan Tegalrejo dan SMA Muga tetap di Ketanggungan hingga sekarang).
4. Lapangan ASRI Wirobrajan Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang melaksanakan Shalat Hari Raya di tanah lapang. Sebelumnya Shalat Idul Fitri maupun Idul Adha hanya dilakukan di masjid saja. Pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim hal tersebut ditunaikan dengan Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 – 1964
5
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
menempati Alun-Alun Utara Yogyakarta pada tahun 1926 (Mulkhan 1990, 35) setelah mengkaji landasan hukum yang benar dalam Islam. Akan tetapi setelah sekitar 3 tahun berjalan pihak Kraton dalam hal ini Sultan Hamengkubuwono VIII merasa keberatan jika Alun-Alun Utara dipergunakan sebagai tempat Shalat Id, karena di Masjid Gedhe Kauman juga digelar Shalat Hari Raya serupa. Sultan Hamengkubuwono VIII mempersilakan Muhammadiyah untuk mencari tempat lain untuk kegiatan ibadah tersebut. Pada tahun 1930 Persyarikatan Muhammadiyah secara resmi membeli sebidang tanah yang cukup luas di Kecamatan Wirobrajan. Lapangan tersebut kemudian dikenal sebagai Lapangan Asri. Puluhan ribu jama’ah dari berbagai daerah termasuk luar Yogyakarta senantiasa datang memenuhi lapangan tersebut. Hal tersebut menyebabkan membludaknya jama’ah karena daya tampung Lapangan Asri tidak seluas Alun-Alun Utara. Akhirnya setelah melobi pihak Kraton Alun-Alun Utara bisa kembali dimanfaatkan untuk Shalat Id. Tepatnya pada tahun 1940 Muhammadiyah mempergunakan lagi tempat seluas dua kali lapangan sepak bola tersebut. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan X pun ikut dalam jama’ah Shalat Id di Alun-Alun Utara sehingga Masjid Gedhe tidak ditempati. Kadang penentuan tanggal Idul Fitri atau Idul Adha antara pemerintah dengan Muhammadiyah tidak sama akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi Sultan untuk berhari raya di Alun-Alun Utara13. Lapangan Asri pun tidak serta merta ditinggalkan karena seiring berjalannya waktu jumlah warga Muhammadiyah juga bertambah sehingga tempat tersebut masih dimanfaatkan sampai sekarang.
5. Muallimin Muhammadiyah selalu terkenal sebagai organisasi yang mempunyai banyak sekali lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang dipaparkan pada bagian ini adalah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Madrasah Mu’ allimin Muhammadiyah merupakan sekolah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan jauh sebelum Republik Indonesia lahir yaitu pada tahun 1918 dengan nama Qismul Arqa di Kauman Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta atau dekat Masjid Gedhe. Setelah waktu berjalan lembaga pendidikan yang dibina langsung oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini berubah nama menjadi Hogere Muhammadijah School kemudian Kweekschool Islam lalu Kweekschool Muhammadijah. Akan tetapi dikarenakan ada suatu kebijakan dari Belanda dengan dikeluarkannya Wilde Schoolen Ordonantie tahun 1932 yang berisi larangan dipakainya nama sekolah dalam bahasa Negeri Kincir Angin tersebut maka Kweekschool berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah untuk laki-laki dan Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah bagi perempuan (Darban 2000, 44 – 45). Keberadaan Mu’ allimin di Kampung Kauman tidaklah lama karena pindah ke Ketanggungan Wirobrajan15. Pada permulaan berdirinya, sekolah tersebut menggunakan sistem pesantren dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya akan tetapi kemudian berubah dengan memadukan dua rumpun ilmu yakni agama dan umum dalam satu wadah. Sistem pembelajaran yang digunakan cenderung kepada sekolah modern yaitu menggunakan bangku dan komposisi kurikulum menggabungkan antara Agama dan Umum. Sesuatu yang tabu ketika itu karena dianggap ‘sekuler’ atau tepatnya meniru penjajah Belanda (kafir). Akan tetapi pendiri Muhammadiyah tersebut tidak menghiraukannya sebab menurutnya metode seperti ini cukup efektif sebab umat Islam dapat menimba ilmu agama tanpa mengesampingkan hal-hal yang bersifat umum. Terbukti sampai sekarang hampir semua sekolah baik Islam maupun bukan menggunakan metode yang diterapkan Sang Kyai. Lambat laun waktu berjalan dengan bertambahnya jumlah siswa menyebabkan Mu’allimin pindah tempat ke Ketanggungan Wirobrajan sampai sekarang. Sebagai lembaga pendidikan Muhammadiyah tertua menyebabkan pesantren ini harus ganti pengelolaan dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah ke biro khusus yang dibentuk oleh PP Muhammadiyah dengan nama Badan Pembina (Pasha 2003, 176). 6
Subhi Mamashony Harimurti
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
Adapun perkembangan yang terjadi pada sekolah ini dimulai ketika awal kali pindah ke Jalan S. Parman seperti sekarang bangunan yang ada adalah gedung induk, masjid, rumah dinas direktur, dan kompleks asrama beserta pagar gerbang belakang yang masih asli sejak 1932 masih ada sampai sekarang. Berdasarkan pahatan angka pada dinding di atas gerbang belakang dapat diketahui bahwa bangunan ini dibangun tahun 1932. Hal ini diperkuat dengan goresan kecil di lantai depan asrama yang menunjukkan angka “1-1-1932”. Ini lah bukti arkeologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pasti. Gedung induk awal berdiri tahun 1929, sebelum akhirnya dibakar ketika revolusi kemerdekaan Indonesia. Baru pada tahun 1951 pembangunan gedung induk yang baru selesai dikerjakan. Usia bangunan ini cukup lama meskipun akhirnya hancur juga oleh peristiwa gempa bumi 26 Mei 2006. Hingga akhirnya sekarang dibangun lagi dengan konstruksi yang lebih modern dengan empat lantai. Luas lahan Mu’allimin adalah 9.125 m² 16. Mu’allimin sekarang telah mempunyai sembilan asrama luar selain juga terdapat di dalam gedung induk sendiri.
6. Gedoeng Moehammadijah Gedung Muhammadiyah tersebut diindikasikan sebagai situs arkeologi mengingat dari data wawancara, sertifikat tanah yang berangka tahun 1940, prasasti selesainya pembangunan pada 1942 atau tepatnya pemugaran (ketiganya memenuhi salah satu syarat objek arkeologi yaitu berusia lebih dari 50 tahun), serta ciri arsitekturnya seperti jendela kayu khas masa kolonial25, selain itu jendela pada ruang sidang I di lantai II juga bernuansa kolonial meskipun mempunyai perbedaan bentuk dengan yang telah disebutkan sebelumnya. Jendela khas kolonial atau Indis yang dimaksud adalah tata letak yang simetris di sebelah kanan dan kiri pintu, bentuk panil kayu, kupu tarung (mempunyai dua daun pintu, serta memiliki cat warna kayu (Prihantoro dkk 2009, 60). Bangunan ini masuk ke dalam daftar Bangunan Warisan Budaya Kota Yogyakarta dengan nomor 79 yang diinventarisir oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogya. Satu lagi yang dapat dijadikan indikasi sebagai situs purbakala adalah tulisan yang ada di atas lorong pintu gerbang. Tercantum angka tahun 1360 dalam angka India di bawah lambang persyarikatan. Ini merupakan tanda bangunan memang ada sejak 1360 H, sebelum akhirnya dipugar dan selesai tahun 1942. Tahun 1360 H sendiri bila dikonversikan ke tarikh umum sama dengan 1941. Ini diketahui menurut rumus pencarian tahun masehi yaitu seperti berikut:
Gambar 1. Rumus Hijriah
M (Masehi) = (32/33 x tahun hijriah) + 622
Berarti M = (32/33 x 1360) + 622 = 1318,79 + 622 = 1940,79 = 1941
G. Kesimpulan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi yang berdiri sejak tahun 1912 telah meninggalkan sejumlah tinggalan arkeologis. Tidak semua tinggalan arkeologis itu masih tetap ada. Hanya beberapa saja yang hingga sekarang masih ada dan dapat diidentifikasi sehingga dapat diteliti. Penelitian kali ini lebih condong dikaitkan dengan teori perilaku (behavior) yang menjadi salah satu kajian arkeologi. Kajian arkeologi perilaku ini lebih menekankan pada upaya mengungkapkan hubungan antara perilaku dengan benda bendawi. Di sini, hubungan keduanya tampak pada perkembangan Muhammadiyah yang dianggap sebagai perilaku organisasi terkait dengan amal usahanya yang dianggap sebagai aspek budaya bendawi atau tinggalan arkeologisnya.
Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 – 1964
7
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah mendirikan beragam amal usaha guna menopang berjalannya gerakan organisasi. Pendirian sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, dan panti asuhan adalah usaha persyarikatan ketika itu. Pendiri organisasi ini, KH. Ahmad Dahlan, meninggalkan Langgar Kidul Kauman, Mushalla ‘Aisyiyah Kauman, dan SD Muhammadiyah Notoprajan. Bentuk amal usaha yang ditinggalkan menunjukkan kegiatan pada tahap ini lebih condong pada kegiatan sosial keagamaan. Penggantinya yaitu KH. Ibrahim telah berjasa dalam mendirikan amal usaha berupa Lapangan Asri Wirobrajan, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, serta Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah. Ketiga bangunan ini menandakan KH. Ibrahim berkonsentrasi pada ranah ijtihad dan perkaderan. KH. Hisyam dalam kepemimpinannya antara lain telah berhasil mendirikan SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta yang termasuk aplikasi program pendidikan kader. Tokoh dari Surabaya KH. Mas Mansur berperan dalam diresmikannya Gedung Muhammadiyah sebagai bangunan yang lebih berkaitan erat dengan kegiatan administratif. TK ABA Kauman menempati gedung baru hingga sekarang sejak era Ki Bagus Hadikusumo. Berbeda dengan yang lain SD Muhammadiyah Kauman selesai pembangunannya oleh 2 periode yaitu HM. Yunus Anis dan juga KH. Ahmad Badawi. Ketiga pemimpin tersebut menaruh perhatian pada pendidikan dasar modern. Seluruh objek penelitian yang pada umumnya berupa bangunan bercorak masa kolonial kali ini mengalami sejumlah perkembangan antara lain fungsi, fisik, fungsi dan lahan, fisik dan lahan, fungsi dan fisik, serta tidak ada sama sekali. Mayoritas sebanyak 30 % mengalami perkembangan fisik saja. Hal ini dikarenakan letak tinggalan arkeologis tersebut umumnya berada di pusat kota, sehingga sulit untuk menambah atau meluaskan lahannya Semua bangunan yang tidak mengalami perubah fungsi adalah bangunan sekolah. Jadi, kenyataan ini sangat wajar terjadi karena sangat jarang suatu sekolah berubah atau mengalami perkembangan fungsi, selain fungsi utamanya yaitu sebagai tempat belajar mengajar. Masa awal persyarikatan Muhammadiyah (1912 – 1923) berdasarkan tinggalan arkeologisnya menitikberatkan pada permasalahan keagamaan dan sosial maka tidak heran jika organisasi ini sering disebut dengan gerakan sosial keagamaan. Bukti bangunannya adalah Langgar KH. Ahmad Dahlan, Mushalla ‘Aisyiyah, dan Rumah Miskin Muhammadiyah (kemudian berganti nama Klinik dan Poliklinik Muhammadiyah hingga sekarang menjadi SD Muhammadiyah Notoprajan). Muhammadiyah pada tahun 1923 – 1939 lebih bergerak pada aspek ijtihad dan pendidikan kader. Tinggalan arkeologis yang bisa dilacak adalah Lapangan Asri, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah dan SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Bangunan pertama menandakan ijtihad Muhammadiyah terkait pelaksanaan hari raya dan tiga berikutnya mengenai permasalahan perkaderan. Masa lanjut yaitu tahun 1939 – 1964 lebih pada program tertib administrasi dengan dibuktikan oleh keberadaan Gedung Muhammadiyah atau sering disebut Kantor PP Muhammadiyah lama dan pendidikan dasar modern yaitu adanya TK ABA Kauman dan SD Muhammadiyah Kauman. Dua yang terakhir merupakan awal pendidikan dasar medern yang memadukan kurikulum agama dan umum. Parameter dalam penelitian kali ini adalah data yang diperoleh dari PDM Kota Yogya yang menunjukkan bahwa objek tinggalan arkeologis yang berasal dari ketiga kecamatan tersebut di atas berjumlah 10 unit. Hal itu berarti parameter populasi berjumlah 10. Dari Hasil dari analisis dapat disimpulkan bahwa tinggalan yang paling dominan adalah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Hal tersebut membuktikan bahwasanya persyarikatan sangat concern pada aspek pendidikan perkaderan. Analisis statistik yang dapat menjawab permasalahan penelitian kali ini menggunakan metode korelasi. Tabel maupun diagram perkembangan anggota Muhammadiyah dan perkembangan luasan tinggalan arkeologisnya terdapat hubungan korelasi ditunjukkan dengan kenaikan yang seirama di antara keduanya. Hasil angka keluaran metode korelasi berimplikasi bahwa terdapat hubungan antara perkembangan Muhammadiyah dengan kuantitas tinggalan arkeologisnya di Kecamatan Gondomanan, Kecamatan Ngampilan,
8
Subhi Mamashony Harimurti
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
dan Kecamatan Wirobrajan Kota Yogyakarta tahun 1912 – 1964. Kesimpulannya terdapat hubungan yang kuat/ erat/ siginifikan/ tinggi antara kedua variabel tersebut di atas. Berdasarkan analisis peta dapat disimpulkan bahwa kesepuluh tinggalan arkeologis tersebut menempati ruang yang terkonsentrasi pada seputar Kauman Notoprajan. Hal ini adalah wajar jika dilihat dari sejarah Muhammadiyah sendiri seperti halnya yang tercantum pada Bab II. Hampir semua tinggalan terletak di lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Itu menandakan masih terdapat hubungan di antara kesepuluhnya.
DAFTAR PUSTAKA Adams, Cindy. 1966. Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Ajib. 2010. Kauman, Tempat Lahirnya Muhammadiyah. Jurnal Muktamar (7): 4. Anonim. 1936. Petikan Soko Register Bab Wawenang Andarbe Boemi Ngiras Lajang Oekoeran. Ngajogjakarta: Goepermen Ngajogjokarto. Anonim. 2008. Pesantren Modern. Dialog Jumat Harian Republika 21 Nopember 2008. 3–6. Anonim. 2008. Profil Mu’allimin. Yogyakarta: Madr. Mu’allimin Muh. Diperoleh dari www.muallimin.org. 30 Desember 2008. Anonim. 2009. Muhammadiyah Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: PP Muhammadiyah. Diperoleh dari www.muhammadiyah.or.id . 10 Oktober 2009. Anonim. 2010. Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Fak. Agama Islam Univ. Buya Hamka. Diperoleh dari http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=249. 21 Juni 2010. Anonim. 2010. Sejarah Panti Asuhan Muhammadiyah. Yogyakarta: PP ‘Aisyiyah. Diperoleh dari http://www.payaisyiyah.org/index.php?pilih=hal&id=2. 21 Juni 2010. Anonim. 2011. Profil KH. Ibrahim. Harian Republika 23 Januari 2011. 16. Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Da’wah Islam. Jakarta: Widjaya. Astuti, Fauziah T. 2009. Profil Madr. Mu’allimaat Muh. Yogya. Yogyakarta: Madr. Mu’allimaat Muh. Badan Pusat Statistik Kota Yogya. 2010a. Kecamatan Gondomanan dalam Angka. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogya. ___________. 2010b. Kecamatan Ngampilan dalam Angka. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogya. ___________. 2010c. Kecamatan Wirobrajan dalam Angka. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogya. Badawi, Djaldan. 2007. Kepala Kantor PP Muhammadiyah Cik Di Tiro. (Wawancara). 12 Desember. Bambang dkk. 2010. Panti Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah. Yogyakarta: Tanpa Penerbit. Bambang. 2010. Sekretaris Panti Asuhan Muhammadiyah Lowanu. (Wawancara). 14 Agustus. Darban, Ahmad A. dan Muhammad Syakir. 1994. Sejarah Muhammadiyah Bag I. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pustaka. Darban, Ahmad A. 2000. Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. Departemen Agama Republik Indonesia. 1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Press. Effendi. “Muhammadiyah Ijtihad Terbesar KHA Dahlan”. Suara Muhammadiyah. No. 15. Tanggal 1 – 15 Juli 2005. Efendi, Sofyan. 2008. Hadits Web 3.0 Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits. Tanpa kota: Tanpa penerbit. Gubernur DIY. 2002. Keputusan Gubernur DIY Nomor 186. Yogyakarta: Pemerintah Propinsi DIY. Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 – 1964
9
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
ISSN: 23389176
Hadjid. 2008. Pelajaran KHA Dahlan. Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muh. Hartono. 2010. SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasyim, Musthofa W. tt. Ensiklopedi Muhammadiyah. Belum diterbitkan. Hidayat, Taufik dan Iqbal Hasanuddin (ed.). 2010. Satu Abad Muhammadiyah Mengkaji Ulang Arah Pembaruan. Jakarta: Paramadina. IT SMP Muh. 1 YK. 2010. Kilas Balik Perjalanan Sejarah SMP Muh. 1 YK. Yogyakarta: SMP Muh. 1 YK. Diperoleh dari www.smpmuh1yk.sch.id. 13 Nopember 2010. Julianto, Supardi. 2010. Profil Kauman. Yogyakarta: PRM Kauman. Juraimi, Suprapto I. 2009. Perkembangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Tanpa penerbit. Diperoleh dari http://arwankhoiruddin.blogspot.com/2009/04/. 13 November 2010. Jurdi, Syarifuddin (ed.). 2010. 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kotz, Samuel (ed.). 2005. “Parameter”. Dalam “Encyclopedia Of Statistical Sciences”. Vol. 9. Washington: A John Wiley & Sons, Inc., Publication. Ma’ruf, Ade WS dan Heri Zulfan. 1995. Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ma’ruf, Muhammad KA. 2009. Sejarah Singkat Muhammadiyah Ranting Notoprajan. Yogyakarta: Garas Comm. Masri, Singarimbun dan Sofian Effendi. 1982. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Mu’arif. 2010a. Lima Matahari Lima Pemimpin. Suara Muhammadiyah 95 (24): 35. ________. 2010b. Songket Kauman, Potret Budaya yang Tergerus Zaman. Suara Muhammadiyah 95 (24): 36. Muhadjir, Ahmad. 2008. Pembantu Direktur II Mu’allimin. (Wawancara). 15 Desember. Mujiono. 2010. Petugas Keamanan SMP Muh.1 YK. (Wawancara). 27 Nopember. Mulkhan, Abdul M. 1990. Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara. _________. 2006. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Mu’ti, Abdul. 2010. “Mencari Identitas Pendidikan Muhammadiyah”. Dalam Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah. Ed. Faozan A. Jakarta: Al-Wasat Publishing House. Hlm. xix – xxi. Nakamura, Mitsuo.1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2009. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Nugrahani, DS (ed.). 2002. Jogja di Mataku. Yogyakarta: Panitia Lustrum VIII Arkeologi FIB UGM. Nurhidayati, Yuni. 2004. Musalla Aisyiyah Tinjauan Atas Latar Belakang Pendirian, Bentuk dan Peranannya dalam Pembaharuan Islam di Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FIB, UGM. Pasha, Musthafa K dkk. 2003. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. PP Muhammadiyah. 2000. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Tulungagung: PDM Tulungagung. Prihantoro, Fahmi dkk. 2009. Panduan Pelestarian Bangunan Warisan Budaya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogya. Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga. Rais, M. Amien dkk. 2000. Muhammadiyah dan Reformasi. Yogyakarta: Aditya Media. Romli, Inajati A. dan Anggraeni (ed.). 2003. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. Saifuddin, Sony. 2004. Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah di Kotagede Tahun
10
Subhi Mamashony Harimurti
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11
1923 – 2002 dan Faktor-Faktor yang Melatarbelakanginya. Skripsi. Yogyakarta: Jur Arkeologi, Fak Ilmu Budaya, UGM. Salman, Ismah. 2005. Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban. Santika, Denny. 2007. Masjid Raya Cipaganti di Permukiman Kolonial Belanda Abad ke-20 di Bandung Jawa Barat (Tinjauan Berdasarkan Aspek Keruangan). Skripsi. Yogyakarta: Jur Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Santoso, Slamet. 2009. Statistika Induktif. Yogyakarta: Ardana Media. Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archeology. New York: Academic Press, Inc. _______________ . 1995. “Social Theory and History in Behavioral Archaeology”. Dalam Expanding Archaeology. Ed. Skibo, James M. et.al. Salt Lake: University of Utah Press. Hlm. 35. Setiawan, Iwan dkk. 2010. Tour de Muhammadiyah. Yogyakarta: Seksi Syiar Panitia Penerima Muktamar 1 Abad Muh. Setiawan, Budi. 2010. Alun-Alun Utara Yogya. Jakarta: Koran Jakarta. Diperoleh dari koran-jakarta.com/berita-detail. 13 Nopember 2010. Shennan, Stephen. 1988. Quantifying Archaeology. Edinburgh: Edinburgh University Press. Shoim, Muhammad. 2010. Dosen STAIN Tulungagung. (Wawancara). 18 Nopember. Soekiman, Djoko dkk. 1986. Sejarah Kota Yogyakarta. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Stoddard L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Kementerian Koordinator Kesejahteraan. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sulomo, Achmad. 2009. Sebuah Renungan. Jakarta: Binamenteng Rayaperdana. Surjomihardjo, Abdurrachman. 2000. Kota Yogyakarta 1880 – 1930 Sebuah Perkembangan Sosial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Syoedja’, Muhammad. 2003. Cerita tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji Muhammad Syoedja’. Belum diterbitkan. Tim Litbang Kompas. 2001. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Undang Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Walpole, Ronald E. 1997. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Widiyastuti. 2010. KHA. Dahlan Ayah, Guru, dan Pembaharu dari Kampung Kauman. Yogyakarta: Yayasan KHA. Dahlan. Yulianingsih. 2010. Langgar KHA. Dahlan akan Dijadikan Museum Muhammadiyah. Jakarta: Republika. Diperoleh dari www.republika.or.id 3 Agustus 2010. Zuhdi, Najmuddin. 2003. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam Bidang Keagamaan. Tajdida (1): 57 – 74. Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 – 1964
11
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
produksi/percetakan dan sirkulasi.Artinya ada tahapan-tahapan pengelolaan di sini, seperti perencanaan yang dipermantap seperti intensitas untuk membahas tema tidak hanya dalam satu kali, pengorganisasian yang jelas job desk masing-masingnya, action/ pengarahan yang harusnya lebih diperbanyak artinya tidak hanya satu kali dan tidak hanya rapat formal yang diandalkan, bisa melalui telepon atau sms sebelum rapat formal yang akan menentukan keputusan, dan tahapan yang sering dilewatkan pada pengelola majalah Suara ‘Aisyiyah yaitu tahapan evaluasi. Seperti rapat evaluasi yang membicarakan mengenai oplah, rubrik, dan kinerja dari masing-masing penanggung jawab.
F. DAFTAR PUSTAKA Abrar, Ana Nadhya. 2005. Penulisan Berita. Yogyakarta :Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Baskin,Otis. Craig Arnoff. Dan Lattimore.1997. Public Relations The Profession and the Practie. 4thed. New York: McGraw Hill. Cottle, Smon. 2003. Media Organization and Production. London: Sage Publications. Djuroto, Totok. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung :Remaja RosdaKarya. Draft, Richard L. 2003. Management Manajemen. 6th ed. Jakarta: Salemba Empat. Effendy, M. Manullah. 1996. Dasar-Dasar Manajement. Jakarta :Ghalia Indonesia. Frank, Jefkins. 2004. Public Relations. United Kingdom :Erlangga. Fink, Conrand. 1998. Strategic Newspaper Management. New York: Random House. Gunaidi. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta: Grafindo. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda. Moore, Frazier. 2004. Humas Membangun Citra dengan Berkomunikasi. Bandung : Remaja Rosda karya. Neuman, W Lawrence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4th ed. United States of America: Alin & Bacon. Nurhaidi. 1992. Kamus Istilah Perpustakaandan Dokumentasi. Jakarta: Rosda. Oliver, Sandra. 2007. Strategi Public Relations. London :Esensi Erlangga Group. Pace,Wayne. DonF. Faules. 1998. KomunikasiOrganisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: Rosda. Pareno, Sam Abede. 2003. Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita. Surabaya: Papyrus. Romli, Sam Abede. 1999. Jurnalistk Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya. Siregar Ashadi dan Rondang Pasaribu. 2000. Bagaimana Mengelola Media Korporasi Organisasi. Yogyakarta: LP3Y. Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik Seputar Organiasi, Produkdan Kode Etik. Bandung: Nansa. Yin, Robert K. 2006. Studi Kasus Desaindan Metode. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Yunus, Syarifudin. 2010. Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia. Negatif Tentang Fisik dengan Body Esteem dan Harga Diri. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 11, no. 1, 18. Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Pengelolaan Majalah Internal Suara ‘Aisyiyah Pada Organisasi Masyarkat ‘Aisyiyah: Studi Kasus Pengelolaan Majalah Internal Suara ‘Aisyiyah Pada Organisasi Masyarakat
23
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
ISSN: 23389176
kreativitas. Hal itulah yang menjadi fenomena iklan rokok sekarang ini. Dari sekian banyak iklan produk komersial yang ditayangkan di media televisi, memang terdapat diferensiasi antara iklan produk rokok dan non rokok. Iklan rokok yang masuk dalam kategori jenis produk AKROBAT (Alkohol, Kondom, Rokok, dan Obatobatan) mempunyai keterbatasan dalam memvisualisasi kelebihan produknya. Hal tersebut lebih disebabkan ketatnya regulasi penayangan iklan rokok oleh pemerintah. Iklan rokok hanya boleh menampilkan citra produk tanpa adanya perwujudan dari produk rokok tersebut secara eksplisit. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pasal 17 menyebutkan, Materi iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilarang :
1. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; 2. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan; 3. memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok; 4. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan atau gabungan keduanya, anak, remaja, atau wanita hamil; 5. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok; 6. bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sumber: (http:// www.ilunifk83.com/t288-pp-no-19-tahun-2003 tentang pengamanan rokok-bagi kesehatan).
Bagi produsen rokok dan kreator iklan, regulasi tersebut tentu membatasi ruang gerak mereka untuk memasarkan produknya. Permasalahan iklan rokok tidak hanya berhenti disitu saja, frekuensi tayangan iklan rokok pun dibatasi, sebagaimana yang disebutkan juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 pasal 16 ayat 3 bahwa, “Iklan pada media elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat”. Keseluruhan regulasi penayangan iklan rokok tersebut semakin ‘menyudutkan’ ruang gerak para produsen beserta biro iklan rokok untuk memproduksi dan mendistribusikan iklannya. Para pembuat iklan rokok di televisi dituntut harus berpikir dua kali, selain dituntut untuk ekstra kreatif dalam pembuatan iklan tetapi juga dituntut untuk ekstra kreatif dan tidak sembarangan dalam mendistribusikan iklannya di media televisi. Terlepas dari kondisi seperti itu, disisi lain iklan rokok justru memiliki kebebasan untuk tampil lebih menonjol dibandingkan iklan produk non-rokok. Regulasi tersebut tidak mampu memenjarakan kreativitas mereka tetapi justru membuat kreator iklan rokok lebih bebas untuk ‘menyelami’ ide kreatifnya, dan juga merasa tanpa dibatasi oleh mandatori konservatif, koridor brief dan segmentasi iklan yang diminta oleh klien. Pada kenyataannya kreator iklan justru menciptakan ide yang out of box dan lebih kreatif. Hal ini terlihat dari maraknya iklan rokok yang muncul sekarang dengan mengedepankan unsur kreatif secara verbal maupun non verbal dan mengoptimalkan aspek visual tetapi lebih kreatif dalam menyampaikan pesannya yang mengandung multi makna, dan lebih populer lagi iklan rokok sekarang ini banyak mengangkat realitas sosial dalam masyarakat sebagai ide besarnya dalam mengkreasi sebuah iklan meskipun tanpa adanya relevansi antara produk dengan ide iklan yang ditampilkan. Dengan demikian, iklan dapat dikatakan telah mengalami pergeseran atau perluasan fungsi iklan itu sendiri, yang asal mulanya iklan mempunyai fungsi inti sebagai alat untuk memasarkan produk telah meluas fungsinya menjadi media representasi sosial, kontrol sosial dan bahkan kritik sosial. Salah satu diantara banyaknya iklan rokok yang terhimpit oleh ketatnya regulasi
13
Abid Hilmi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
penayangan dan menjadikan realitas sosial sebagai ide kreatifnya adalah iklan rokok Djarum 76, yang tampil dengan berbagai macam versi iklannya. Meskipun dalam sisi penayangannya terbatas, namun iklan tersebut tetap mampu menunjukkan eksistensinya di belantika periklanan televisi Indonesia. Iklan Djarum 76 merupakan salah satu diantara sekian banyak iklan rokok tematis yang selalu mempunyai ide tema tersendiri dan berkelanjutan. Dalam beberapa bulan terakhir, iklan rokok Djarum 76 yang sering menghiasi layar televisi adalah iklan yang selalu menampilkan tokoh utamanya yaitu “Jin Jawa” yang dibuat dalam berbagai versi. Salah satu versi yang bisa dibilang paling menarik idenya yaitu versi iklan yang menampilkan sosok mirip Gayus Tambunan, yang tak lain adalah sosok populer yang ramai diberitakan akibat praktik negatif dari sepak terjangnya di institusi perpajakan kala itu. Dalam iklan yang ber tag-line “Yang Penting Heppiii” itu juga terdapat ungkapan ampuh “Wani Piro” yang secara verbal merepresentasikan isu pungli (pungutan liar) atau sogokan yang kerap dilakukan oleh oknum birokrat di Indonesia. Dengan ungkapan “Wani Piro” tersebut menjadikan iklan Djarum 76 lebih menarik dan mudah diingat oleh khalayak, khalayak pun kerap menjadikan ungkapan tersebut sebagai bahasa prokem atau jargon dalam pergaulan di tengah lingkungan sosialnya dalam konteks tertentu. Selain itu banyak sekali interpretasi simbol-simbol dan tanda yang terdapat pada iklan tersebut yang mengandung makna kritik sosial. Berawal dari situlah akhirnya penulis menjadikan iklan rokok Djarum 76 versi “Gayus Tambunan” sebagai subyek sekaligus obyek penelitiannya. Selain itu, ketertarikan penulis pada pemilihan iklan rokok Djarum 76 versi “Gayus Tambunan” sebagai obyek penelitian lebih dikarenakan iklan tersebut merupakan sebuah karya kreatif dan satu-satunya iklan komersial yang secara langsung mengangkat realitas korupsi dan kebobrokan sistem di negeri ini sebagai ide iklan, yang di dalamnya banyak terkandung substansi penandaan yang mengandung kritik sosial. Meskipun iklan tersebut saat ini sudah tidak ditayangkan lagi di televisi dan digantikan dengan versi yang lainnya, tetapi simbol, relasi tanda dan pemaknaan tanda yang ada pada iklan tersebut tetap menarik untuk ditafsirkan, diteliti dan dikaji secara semiotika.
G. Pembahasan Berdasarkan analisis penanda (signifier) dan petanda (signified) yang telah penulis kemukakan sebelumnya secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa simulasi realitas yang diilustrasikan dalam iklan, lebih spesifik ingin memberikan sedikit penyadaran atau refleksi diri kepada masyarakat bahwa realitas korupsi di Indonesia dan kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) kurang lebih seperti yang direpresentasikan secara subyektif dalam iklan Djarum 76 versi Gayus Tambunan ini. Sesuai dengan apa yang disampaikan Hardiman (2009:20), Bahwa kritik berkaitan dengan kesadaran akan krisis sosial dalam kondisi historis tertentu, maka fenomena korupsi yang melibatkan oknum PNS di negeri ini juga merupakan bagian dari krisis sosial dalam kondisi historis bangsa sekarang ini. Kritik sosial dipahami sebagai sebuah bentuk komunikasi yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, berkenaan dengan masalah interpersonal, serta mengontrol jalannya sistem sosial (Soekamto, 1993:464). Sepertihalnya dalam iklan Djarum 76 versi Gayus Tambunan ini, iklan merupakan bentuk komunikasi yang ingin menyampaikan secara audio-visual berkaitan dengan masalah interpersonal dalam sebuah sistem sosial masyarakat, yaitu fenomena korupsi dan kinerja PNS di negeri ini. Hal ini terkait dengan maraknya kasus korupsi yang memang banyak melibatkan institusi negara dengan segenap perangkatnya yaitu pejabat publik, yang tak lain adalah PNS itu sendiri. Sebagaimana yang digambarkan pada scene kedua hingga scene kelima, dari penanda (signifier) dan petandanya (signified) menunjukkan bahwa setting atau latar iklan adalah kantor instansi pemerintah. Setting ruangan yang diilustrasikan dalam iklan identik dengan ruangan kantor instansi pemerintah, sedangkan pegawai yang berada di dalam Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan
14
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
ISSN: 23389176
ruangan kantor tersebut identik dengan pegawai instansi pemerintah atau lebih disebut PNS. Kantor instansi dalam iklan ini merupakan representasi atau simbol dari pemerintah, yang di dalamnya terdapat praktek kinerja dari masing-masing personal pegawainya yang berstatus PNS, Sedangkan unsur penanda (signifier) seperti pegawai instansi yang identik dengan Gayus Tambunan, dan juga isyarat jari tangan berupa ibu jari digesekkkan dengan jari telunjuk menandakan tentang praktek korupsi. Pada akhirnya yang menjadi kesimpulan cerita terdapat pada penanda (signifier) jin yang mengeluarkan ucapan verbal “wani piro” disertai isyarat jari tangan sama seperti isyarat jari tangan pegawai “Gayus Tambunan”, yang menandakan bahwa jin yang diharapkan dapat memberantas korupsi justru malah melakukan aksi pemerasan atau pungutan liar (pungli). Selain itu juga terdapat penanda (signifier) yang lain yang menandakan konteks cerita, seperti istilah “cuk”, baju beskap dan blangkon yang dikenakan jin, istilah “monggo”, istilah “wani piro”, burung yang berkicau, dan bangunan yang identik dengan gedung kantor instansi pemerintah tingkat desa disertai pepohonan yang masih rindang, yang kesemuanya itu menandakan bahwa cerita dalam iklan ini terjadi pada konteks desa atau daerah di pulau Jawa. Bisa diartikan bahwa korupsi tidak hanya dipraktekkan di tingkat pusat saja, tetapi sudah mengakar hingga tingkat desa atau daerah sekalipun. Iklan yang kental dengan unsur Jawa ini juga seakan ingin mengangkat kearifan lokal budaya Jawa ke dalam iklan. Menampilkan sisi lain dari kebanyakan iklan komersial lainnya, yang pada umumnya identik dengan perkotaan atau setting keindahan kota. Terlepas dari itu semua, ilustrasi iklan yang sarat dengan unsur Jawa ini merupakan representasi dari Pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan di negara ini, yang di dalamnya terdapat praktek-praktek kinerja pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat desa. Kritik Sosial dalam iklan ini juga disampaikan secara eksplisit, Ini sesuai dengan scene ketujuh yang memperlihatkan seorang pemuda yang meminta kepada jin, dengan berucap “Mau korupsi, pungli, sogokan, hilang dari muka bumi, iso jin?”. Kata korupsi, pungli, dan sogokan disampaikan secara langsung, transparan dan terkesan vulgar, tanpa diperhalus dengan kode sindiran yang lebih bersifat implisit. Tidak sepertihalnya iklan rokok lainnya yang kebanyakan menampilkan sindiran terhadap realitas sosial secara implisit dan terkesan halus dengan banyak menggunakan simbol dan kode yang menyembunyikan ‘rapat-rapat’ makna sebenarnya. Dari penanda (signifier) ini juga unsur kritik sosial yang terkandung dalam iklan dan menjadi inti pesan iklan dapat diketahui. Iklan Djarum 76 merupakan satu-satunya iklan komersial yang mengangkat realitas korupsi di negeri ini sebagai ide besarnya. Pesan kritik sosial yang disampaikan iklan Djarum 76 ini secara luas terkait dengan fenomena korupsi di negeri ini, yang tidak ada habisnya dan tidak ada ujung pangkalnya, baik untuk sekedar dibicarakan, diberitakan, maupun dituntaskan kasus dan prakteknya. Korupsi merupakan fenomena yang terus mendapatkan perlawanan, namun masih saja ada dan tak ada habisnya. Korupsi juga sebuah fenomena sistemik yang selalu terbaharui. Warisan Orde-Baru yang justru tambah subur karena budaya materialistis yang semakin di tuhankan. Belum tuntas kasus korupsi yang sedang ditangani, muncul kasus korupsi yang baru lagi, dengan menampilkan tokoh koruptor baru yang saling berintegrasi satu sama lain. Koruptor tak henti-hentinya menggerogoti uang negara, seolah-olah negara adalah lahan tambang yang potensial, yang bisa dieksplorasi kekayaannya tanpa memikirkan kehidupan rakyat kecil yang hidup disekitarnya. Korupsi yang tampak kasatmata melalui pemberitaan yang terus-menerus menunjukkan bahwa korupsi semakin merajalela, tak ada habisnya dan bahkan sulit menemukan jalan keluarnya. Unsur penanda (signifier) seorang pemuda yang sedang menghadap pegawai instansi pada scene kedua merupakan petanda (signified) dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dengan instansi pemerintah. Kepentingan tersebut terkait dengan fungsi lembaga pemerintah yang mengurusi berbagai macam masalah adminstrasi. Dalam
15
Abid Hilmi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
realitasnya, praktek korupsi, pungli dan sogokan banyak kita jumpai dalam bentuk pelayanan administrasi pemerintah tersebut. Mulai dari pengurusan Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dana BOS, sampai pengurusan perizinan usaha, dan itupun tanpa pelayanan yang baik dari pegawainya (PNS). Sesuai dengan penanda (signifier) pada scene ketiga yang memperlihatkan wajah oknum pegawai “Gayus Tambunan” dengan sorot mata yang tajam, yang terkesan tidak ramah dan bahkan marah. Ini terkait dengan aksi pemerasannya kepada si pemuda. Selain bisa dimaknai sebagai isyarat ancaman kepada si pemuda, penanda (signifier) ini juga seolah merepresentasikan kualitas pelayanan di instansi pemerintah yang buruk, dengan ketidakramahan pegawainya dalam melayani masyarakat. Masyarakat awam masih banyak menemui pelayanan dari pegawai kantor instansi yang seperti itu, tidak menerapkan pelayanan yang baik (good service) terhadap masyarakat. Selain itu masih diwarnai dengan prosedur yang berbelitbelit, biaya yang tidak jelas, dan banyaknya pungutan liar yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia memang masih rendah. Selain itu, terdapat kecenderungan ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat miskin sulit mendapatkan pelayanan sedangkan masyarakat yang memiliki uang akan mendapatkan pelayanan yang baik. Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2010 terhadap 353 unit layanan pemerintah menunjukkan penurunan kualitas pelayanan dalam setahun terakhir, baik di pusat maupun di daerah. Tahun sebelumnya, rata-rata indeks integritas nasional sebesar 6,5. Kini, indeks yang sama merosot menjadi 5,42. anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, ada dua macam pelayanan publik, yaitu yang dilakukan birokrasi murni dan badan usaha milik nasional atau daerah. Pelayanan publik yang paling parah adalah yang dilakukan oleh birokrasi. YLKI menilai banyak birokrat belum mengerti esensi Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik. Padahal dalam undang-undang itu jelas diatur kewajiban aparatur pemerintah untuk dapat melaksanakan pelayanan dengan sebaik-baiknya. Di antara instansi yang nilainya jeblok adalah kepolisian, Mahkamah Agung, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kepolisian mendapat indeks rata-rata 5,21 lantaran masih adanya pungutan liar dalam layanan pembuatan dokumen, surat izin mengemudi, dan surat keterangan catatan kepolisian.
(Sumber: http://www.tempo.co/read/news/).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di institusi kepolisian ini penuh dengan praktek korupsi, tetapi seolah dibiarkan saja dan terkesan sebagai sesuatu hal yang wajarwajar saja, tanpa adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk memberantas praktek negatif tersebut. Misalnya saja ketika masyarakat mengurus SIM, STNK beserta pelanggaranpelanggarannya. Baik itu praktek percaloan pembuatan SIM atau STNK, sampai uang damai jika masyarakat terkena tilang. Praktek-praktek korupsi yang ditunjukkan oleh oknum korps polisi itu seolah lazim untuk dilakukan, dan pemerintah maupun jajaran tinggi kepolisian sendiri terkesan menutup mata dengan praktek yang jelas-jelas merugikan masyarakat kecil tersebut, padahal tipe korupsi yang semacam ini yang secara langsung menginjak-menginjak harkat dan martabat masyarakat, karena secara langsung pula merampok masyarakat. Inilah realitas pahit yang harus diterima masyarakat. Persoalan korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. Dalam sejarahnya, korupsi di tubuh kepolisian bukanlah barang baru bahkan sudah menjadi rahasia umum yang semua orang sudah mafhum. Penelitian ICW (Indonesia Corruption Watch) mengenai SIM dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian menunjukkan bahwa korupsi di kepolisian bukan isapan jempol belaka. Begitu mengurat akarnya korupsi di kepolisian, maka dapat dipastikan seluruh proses hukum yang melibatkan dan menjadi tanggung jawab kepolisian tidak lepas dari praktek korupsi, mungkin hanya “polisi tidur” dan patung polisi saja yang tidak pernah melakukan korupsi (Noeh, 2005:66). Tentu tidak hanya di institusi kepolisian dan administrasi kependudukan seperti diatas saja praktek korupsi itu berlangsung, itu hanya sebagian kecil saja dari praktek Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan
16
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
ISSN: 23389176
korupsi dan terletak di lapisan paling dasar, atau bisa disebut tipe korupsi kelas teri, yang terjadi pada level struktur pemerintahan paling bawah yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Masih banyak dan dapat dikatakan merata di seluruh lapisan struktural lembaga yang bernaung dibawah institusi resmi pemerintah, baik itu dari level tertinggi seperti kementrian, anggota legislatif sampai level-level kekuasaan dibawahnya seperti BUMN, Dinas Perhubungan, DLLAJ, Bea dan Cukai, perpajakan dan lain-lain, sampai ke lapisan terendah di tingkat desa bahkan RT sekalipun. Maka dapat dikatakan korupsi telah dipraktekkan secara massive, besar-besaran dan kolektif. Praktek-praktek korupsi di lingkungan PNS terjadi bukan tanpa sebab, banyak faktorfaktor yang mendasarinya. Salah satu faktornya adalah proses perekrutan PNS itu sendiri. Hal ini juga tak luput dari sasaran kritik sosial yang disampaikan iklan. Sebagaimana yang diilustrasikan dalam scene kedua yaitu tentang seorang pemuda menghadap pegawai kantor instansi dengan membawa stofmap, yang bisa diartikan juga petandanya (signified) bahwa pemuda tersebut sedang melamar pekerjaan, tentunya sebagai PNS. Dalam realitasnya, dari dua fungsi lembaga pemerintah selain fungsi pelayanan administrasi, juga terdapat fungsi perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dalam proses perekrutan pegawai negara ini banyak membuka kran-kran mengalirnya korupsi, pungli dan sogokan. Ini terkait dengan praktek percaloan yang sering terjadi disetiap penerimaan CPNS. Dibaliknya ada upaya transaksional ilegal dengan tujuan memuluskan seseorang untuk menjadi seorang PNS. Menjadi PNS bukanlah hal mudah, ada kriteria kompetensi yang ketat untuk menjabat status PNS tersebut. Oleh segelintir oknum, hal tersebut dikesampingkan dengan memuluskan personal-personal yang seharusnya tidak layak justru malah dengan mudah dan seolah-olah layak menjadi PNS. Konsep “wani piro” lah yang berperan dalam konteks ini, seperti yang dilontarkan jin pada ilustrasi scene kesembilan. Ungkapan “wani piro” ini juga seakan telah menambah perbendaharaan kosakata bahasa dalam pergaulan seharihari di masyarakat. Seseorang akan lebih mudah mengucap “wani piro” untuk mengunci lawan bicaranya dalam konteks pembicaraan yang berhubungan atau berujung pada uang. Ungkapan “wani piro” tersebut sekarang sudah diadopsi menjadi jargon atau istilah dan banyak kita temui dalam pergaulan masyarakat sehari-hri dalam konteks tertentu. Dengan ungkapan “wani piro” ini juga brand Djarum 76 menjadi populer di kalangan masyarakat, seiring dengan popularitas ungkapan tersebut digunakan sebagai jargon masyarakat. Memang tak bisa dipungkiri tentang adanya realitas penerimaan PNS sarat akan praktek korupsi. Parameter untuk menjadi PNS bukan lagi pada kadar kualitas seseorang melainkan kadar “wani piro”, atau sesorang berani membayar berapa kepada sang oknum untuk bisa menjadi seorang PNS. Semua tergantungkekuatan materi yang dimiliki seseorang untuk bisa memberikan sogokan kepada pihak yang berperan sebagai calo PNS, yang tak lain adalah “orang dalam” yang bersembunyi dibalik institusi pemerintah itu sendiri. Inilah yang menjadi penyebab buruknya kinerja para PNS, yang hanya bermodal uang seseorang bisa menjadi PNS, tanpa disertai kapabilitas dan kredibilitas yang baik. Maka yang terjadi selanjutnya adalah tindak korupsi sebagai upaya dari pengembalian modal yang sebelumnya dikeluarkan untuk bisa menjabat sebagai PNS. Masih melekat dalam paradigma masyarakat, bahwa profesi sebagai PNS adalah profesi yang populer, menggiurkan dan membanggakan. Mayoritas masyarakat di Indonesia tergiur dan berlomba-lomba untuk menjadi PNS, ditengah sulitnya mencari pekerjaan di sektor swasta. Maka tidak aneh jika ada sejumlah pegawai honorer atau belum berstatus PNS merengek-rengek dengan kerap melakukan aksi demonstrasi memohon kepada pemerintah untuk mengangkat statusnya menjadi PNS. Sedang pemerintah sendiri kedepan menerapkan kebijakan ambivalensi dengan memoratorium PNS itu sendiri, seakan ingin memperlambat laju dari penerimaan PNS yang banyak dianggap gagal dengan buruknya kualitas yang dimiliki PNS, dan kontraproduktif. Seperti yang diilustrasikan pada scene keempat, penanda (signifier) yang di satu sisi memperlihatkan sosok pegawai instansi yang sedang tertidur dan disisi lainnya
17
Abid Hilmi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
memperlihatkan pegawai lain yang sedang berbicara sendiri. Ini merefleksikan tentang kinerja PNS yang kontraproduktif. Hanya sebagian potongan kecil saja yang direfleksikan iklan tentang praktek penyelewengan kerja oleh PNS. Dalam realitas sebenarnya banyak kita jumpai pemberitaan-pemberitaan di media, baik di media televisi maupun media massa lainnya tentang praktek negatif dan kontraproduktif para PNS. Pemberitaan tentang SATPOL PP merazia PNS yang sering mangkir dari pekerjaannya sudah sering kita dengar di kolom-kolom berita media massa. Itu menunjukkan buruknya kualitas kedisiplinan para PNS. Selain itu terkait dengan kinerjanya, banyak dijumpai PNS yang bekerja seenaknya sendiri, dengan berangkat telat, membolos kerja ataupun pulang lebih awal dari jam kerjanya dan bentuk-bentuk penyelewengan kerja dan ketidakdisiplinan lainnya. Jumlah PNS di Indonesia sendiri sampai saat ini mencapai sekitar 4,7 juta. Bila saja diasumsikan rata-rata gaji seorang PNS sekitar 3 juta perorang. Dengan jumlah 4,7 juta orang akan menghabiskan anggaran sekitar 14,1 trilyun perbulannya dan 162,9 trilyun pertahunnya. Apabila ditambah dengan gaji ke-13 maka akan berjumlah 183,3 trilyun. Ini masih gaji PNS, belum lagi ditambah dengan gaji TNI/Polri, BUMN dan para pejabat negara. (http://citraindonesia.com/kinerja-pns-buruk/). Bila imbangi dengan praktek korupsi yang dilakukan para pejabat publik (PNS) itu sendiri, yang bisa diartikan merampok uang negara, maka dapat dipastikan negara mengalami kerugian yang berlipat ganda. Realitas korupsi di kalangan PNS yang dimunculkan dalam iklan sesuai dengan konteks nyata tentang praktek korupsi yang banyak melibatkan oknum PNS di negeri ini. PNS dijadikan model simulasi iklan dan hanya sebagai contoh kecil saja dari representasi besar dan banyaknya praktek korupsi yang terjadi di negeri ini. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat terdapat 1053 tersangka kasus korupsi sepanjang 2011. Sebanyak 239 diantaranya berlatar belakang PNS. Peneliti Divisi Investigasi ICW Tama S Langkun mengatakan tersangka berlatarbelakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang. Diikuti oleh direktur/ pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang serta anggota DPR/DPRD dengan jumlah 99 orang. Tingginya tersangka korupsi dengan latar belakang pegawai ini konsisten dengan tahun 2010 meskipun jumlahnya menurun yakni 336 orang. Dari jumlah kasus tersebut dengan 1053 tersangka potensi kerugian negara sebesar Rp 2,169 triliun (suaramerdeka.com). Walaupun tidak bisa juga dikatakan, bahwa seluruh PNS berlaku korup dan mereka yang non PNS selalu jujur dan tidak korup. Tetapi ini cukup menunjukkan bahwa PNS sebagai pejabat publik, yang banyak memegang kendali uang negara dan menyangkut kepentingan rakyat justru malah melakukan penyelewengan kekuasaan dengan merampoknya. Perampok adalah julukan yang tepat untuk para koruptor sesuai dengan scene keempat yang mengilustrasikan pemuda mengumpat “cuk, dasar rampok” akibat ulah meminta uang sogokan oleh oknum pegawai instansi yang identik dengan Gayus Tambunan Wajah Gayus Tambunan seolah direduplikasi menjadi sosok oknum pegawai instansi dalam scene keempat iklan ini. Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau dipangggil Gayus Tambunan lahir di Jakarta, 9 Mei 1979, adalah mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Namanya menjadi terkenal setelah menjadi tersangka penggelapan pajak. Ketika itu Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus ini juga seolah mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia dikala itu. (Sumber: http://id.wikipedia.org. /wiki/Gayus_Tambunan). Nama Gayus Tambunan semakin populer meskipun telah berstatus sebagai tahanan, dirinya diketahui berada di Bali dan menonton pertandingan tenis Commonwealth World
Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan
18
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
ISSN: 23389176
Championship pada tanggal 5 November 2010 dan Gayus pun mengaku berada di Bali pada tanggal tersebut di persidangan pada tanggal 15 November 2010. Wajah Gayus Tambunan dengan memakai wig (rambut palsu) yang tertangkap kamera sedang menonton pertandingan tenis inilah yang diadopsi dan digunakan dalam iklan ini. Seperti apa yang dijelaskan Suyanto (2004:16), politisi, aktor, aktris, juru bicara masyarakat, professor, dan lainnya pada suatu waktu akan digunakan iklan untuk menciptakan reaksi yang diinginkan. Sosok seperti Gayus Tambunan pun tak luput dimanfaatkan iklan Djarum 76 sebagai model simulasi iklannya, untuk menciptakan reaksi yang diinginkan. Sosok Gayus Tambunan digambarkan sebagai simbol koruptor dalam iklan ini, bisa dimaknai pula bahwa Gayus Tambunan adalah sebagai penanda (signifier) dari praktek korupsi di negeri ini. Peran ikon Gayus Tambunan sebagai penanda (signifier) dalam iklan, hanya ilustrasi kecil saja sebagai representasi dari banyaknya kasus korupsi di negeri ini. Masih banyak kasus-kasus korupsi besar lainnya, yang tenggelam, belum terungkap ataupun diam di tempat tanpa adanya penyelesaian hukum yang tegas, jelas dan membuat efek jera para pelakunya. Dari segi popularitas kasusnya, sebut saja seperti kasus korupsi mantan presiden Soeharto, kemudian kasus korupsi di Pertamina, di Bapindo dengan pelakunya Edi Tanzil, kasus BLBI, begitu juga dana APBD sampai kasus-kasus korupsi terbaru di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mencuat lama, timbul tenggelam di media hingga sekarang ini, seperti kasus Century, Citibank, pembangunan wisma atlet sampai yang terbaru kasus suap Kemenakertrans. Sampai saat ini pun kasus-kasus korupsi tersebut belum terdapat kejelasan, terkesan utopia. Kasus korupsi seperti ini sulit untuk dituntaskan lebih karena pranata hukum di Indonesia yang lemah dan kurang mampu memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai catatan, negara ini sangat lemah soal regulasi tipikor. Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) seakan dianggap Tipiring (Tindak Pidana Ringan), padahal Tipikor adalah the extraordinary crime, sebuah tindak kejahatan yang luar biasa yang mempunyai efek luar biasa pula, sehingga dapat menyengsarakan kehidupan rakyat dan negara. Sebaliknya yang bersifat Tipiring justru dihukum berat, misalnya seperti kasus pencurian sandal, pencurian piring, pencurian pisang dan kasus pencurian kecil lainnya yang bersifat remeh temeh, yang banyak menyita perhatian publik akhir-akhir ini. Inilah realitas ketimpangan hukum di Indonesia. Sementara itu, regulasi lemah terhadap kasus korupsi yang diterapkan seakan berjalin-kelindan dengan kepiawaian legislator dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan. Tidak akan tercipta UU yang baik, yang tegas, kuat dan dapat membuat efek jera para pelaku korupsi jika para perumusnya sendiri tidak memiliki kapabilitas yang memadai. Bahkan, bisa jadi malah perumus itu sendiri yang merupakan aktor kambuhan tindak pidana korupsi. Maka yang terjadi adalah korupsi telah bersimbiosis atau bekerjasama dengan kekuasaan itu sendiri, sehingga aman karena telah bersembunyi dibaliknya. Jika kita membuat daftar kasus korupsi di Indonesia dari tingkat paling bawah hingga paling atas, dari daerah tingkat RT hingga Pemerintah Pusat, sejak berdirinya negara ini, maka tidak terbayang seberapa panjang daftar tersebut dapat ditulis, tidak terkira berapa banyak orang yang terlibat dan tercantum dalam daftar tersebut. Seberapa banyak uang negara yang raib, serta berapa kasus korupsi yang bisa terjadi dalam setiap jamnya. Seolah korupsi di negeri ini bukan hanya menjadi budaya, tapi sudah menjadi keyakinan atau kepercayaan seperti halnya agama. Lebih ekstrem lagi, Napitupulu (2010:6) dalam bukunya menyebutkan, bahwa Hampir semua institusi negeri ini tercemar korupsi, mulai dari institusi pemerintahan hingga penegak hukum dan terentang dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur. Di Aceh, Gubernur Abdullah Puteh tersangkut kasus korupsi yang beurjung vonis hukuman 10 tahun. Di Kalimantan, bupati Kutai Kertanegara, Syaukani H.R. terjerat kasus korupsi pembebasan lahan bandara. Dari ujung timur, Papua, kasus korupsi menjerat Daud S. Betawi yang merupakan Bupati Yapen. Sementara di Jakarta, banyak terungkap kebusukan
19
Abid Hilmi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
dari para aparat dan pejabat pemerintah pusat. Sebut saja kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, seorang anggota dewan yang bermain mata dengan Artalyta Suryani, atau Hamka Yamdu, seorang anggota dewan yang menjadi salah satu tersangka dalam skandal pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negeri ini tidak pernah beres, selalu ada penyimpangan. Dengan realitas yang seperti ini, maka korupsi seakan sulit untuk diberantas sampai ke akar-akarnya bahkan mustahil untuk dihilangkan dari negeri ini. Sesuai dengan scene kesembilan, tentang jin yang mengilustrasikan isyarat jari tangan berupa ibu jari digesekkan dengan jari telunjuk sembari mengucapkan “wani piro” kepada si pemuda. Ini menandakan jin pun yang diekspektasikan masyarakat menjadi sosok penyelamat justru malah berperilaku korup tak ubahnya pejabat negara. Ini terkait dengan realitas bahwa para pemimpin di negeri ini yang diekspektasikan rakyat bisa menjadi sosok penyelamat yang bisa menuntaskan dan memberantas korupsi ternyata tidak bisa berbuat apa-apa, dan bahkan berperilaku koruptif tak ubahnya para koruptor. Jin juga merupakan petanda (signified) tentang sesuatu yang irasionalitas, maka dapat dimaknai juga bahwa wacana Indonesia benar-benar bebas dari korupsi terkesan absurd, tidak logis dan mustahil, yang hanya berada pada wilayah imajiner saja tanpa adanya kepastian di dunia nyata. Wacana Indonesia bebas korupsi yang tidak logis ini tentu disertai dengan banyak faktor bersifat logis yang menjadi penyebabnya. Artinya bahwa banyak faktor logis yang menyebabkan korupsi sulit untuk diberantas sampai ke titik nol. Adapun faktor utamanya menurut penulis antara lain sebagai berikut. Pertama, korupsi adalah nafsu libidinal materiil manusia. Mengutip istilah yang digunakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah, bahwa korupsi adalah puncak nafsu libidinal material yang dimiliki manusia (Kompas:2009). Bahwa korupsi adalah bagian dari hasrat manusia yang sulit untuk dihilangkan meskipun bisa dikendalikan. Ini terkait filsuf seperti Socrates dan Plato yang membagi faktor penyebab hasrat menjadi dua: karnal dan libidinal. Karnal adalah hasrat manusia kepada hal-hal yang material, seperti keinginan terhadap harta benda, makanan dan berbagai jenis kebutuhan material lain, Sedangkan hasrat libidinal (libido) yang sering dikonotasikan oleh psikoanalisis dengan seksualitas adalah hasrat kepada hal-hal yang imaterial seperti cinta, citra, harga diri, kepandaian, penghormatan dan berbagai kebutuhan imaterial lain. Dalam realitanya, karnal dan libidinal menyatu bersama membentuk hasrat yang lebih kompleks. Misalnya keinginan memiliki mobil (karnal) karena dianggap bisa menaikkan gengsi dan harga diri (libidinal). Begitu juga korupsi yang dilakukan berdasarkan adanya keinginan (libidinal) menyatu dengan kebutuhan (karnal). Korupsi merupakan hasrat personal yang dimiliki setiap manusia, yang muncul berdasarkan sifat personal itu sendiri seperti keserakahan, kerakusan, adanya kebutuhan dan spontan dilakukan jika ada kesempatan. Inilah yang menjadikan tindakan korupsi sulit terdeteksi dan sulit dihilangkan dari sifat manusia. Setiap manusia mempunyai peluang yang besar untuk melakukan korupsi tergantung nalar sensitivitas koruptif dan oportunis masing-masing. Semua yang berhubungan dengan sifat manusia adalah sulit untuk dihilangkan. Korupsi, tentu saja tidak saja terkait dengan sistem, tetapi juga berurusan dengan persoalan moral manusia. Sehingga Korupsi memang sulit diberantas dan mustahil dihilangkan ataupun ditekan keberadaannya hingga ke titik terendah. Kedua, korupsi adalah kejahatan yang menyatu dengan kekuasaan. Seperti yang diungkapkan Piliang (2004:168), bahwa ketika kejahatan bersatu dengan kekuasaan, maka ia telah menemukan tempat yang sempurna bagi persembunyiannya. Dengan bersembunyi dibalik sebuah kekuasaan, kejahatan dapat menyempurnakan dirinya. Ketika kejahatan menyembunyikan dirinya dibalik kekuasaan negara (state power), maka tapal batas diantara keduanya menjadi kabur dan melebur. Tidak ada lagi batas antara penguasa dan penjahat, oleh karena kejahatan itu dilakukan oleh penguasa itu sendiri; tidak ada lagi batas antara hakim dan pencuri, oleh karena pencurian itu dilakukan oleh aparat hukum itu sendiri. Oknum yang melakukan korupsi adalah subjek-subjek yang mempunyai kekuasaan, yang bisa menyetir, mengendalikan dan menyembunyikan tindak korupsinya dari jeratan
Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan
20
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
ISSN: 23389176
hukum. Sehingga hukum sendiri dipolitisasi sedemikian rupa sehingga kasus korupsi tidak dapat terselesaikan. Lembaga penghambat dan penghancur korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan bahkan ingin dihancurkan dari dalam dan dari luar oleh satu orang, kelompok, bahkan oleh satu lembaga atau lebih yang mempunyai kekuasaan besar. Kita sudah menyaksikan banyak kasus korupsi yang tak selesai karena tersistematis berada dalam lingkaran kekuasaan ini. Banyak pengusutan kasus korupsi yang tak menyentuh pelaku utamanya, hanya menyentuh lapisan permukaannya, seperti fenomena puncak gunung es, sedangkan pelaku utamanya tidak tersentuh dan seakan aman dibalik kekuasaan tertinggi yang dia miliki. Konsekuensi logisnya adalah para koruptor saling sandera dan saling melindungi dibalik kekuasaan itu. Maka kebobrokan kualitas hukum di Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil pula, karena disetir dan disandera oleh kekuasaan. Kasus korupsi yang seharusnya diselesaikan dengan tegasnya hukum tetapi malah dipelintir dipolitisasi oleh elit-elit politik yang berkuasa itu sendiri. Ketidak berdayaan hukum dihadapan kekuasaan yang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab praktek-praktek korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Inilah yang menjadikan korupsi mustahil untuk dihilangkan sehingga layak disebut sebagai the extra ordinary crime, sebuah kejahatan yang luar biasa. Ketiga, pemerintah yang tidak tegas. Pada praktiknya Indonesia merupakan negara berkarakter lunak (soft state), yang saat ini dipimpin oleh pemimpin yang juga mempunyai karakter lunak atau tidak tegas (soft leader). Di awali dari ketidaktegasan pemimpin di tingkat eksekutif, yang mengarah pada ketidakberdayaannya dalam men-disiplinkan semua pihak, termasuk tingkat kepemimpinan lembaga negara di bawahnya secara struktural. Figur kepemimpinan yang tidak tegas seperti pemerintah sekarang ini tidak mampu berbuat banyak untuk mengurangi budaya korupsi di negeri ini. Sebuah negara yang lunak dipimpin oleh pemimpin yang tidak tegas, maka tak ayal lagi sistem dan hukum pun juga tidak tegas atau lemah. Realitas yang terjadi saat ini adalah presiden terkesan diam, dan tidak proaktif dalam pemberantasan korupsi, seakan mudah mentoleransi dan membiarkan tanpa adanya tanggapan serius terhadap pelanggaran atas hal-hal prinsip seperti korupsi yang dilakukan oleh elit oknum di jajaran intitusi pemerintahannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seolah bekerja sendiri tanpa adanya support dan peran aktif dari pemerintah yang membentuknya. Begitu juga kepolisian dan kejaksaan, yang seharusnya bersama KPK menjadi institusi yang bekerjasama dalam pemberantasan korupsi justru mandul, atau kontraproduktif. Padahal, dua institusi tersebut sangat menentukan keberhasilan KPK dalam mengusut kasus korupsi yang besar beserta penanganan hukumnya. Institusi kepolisian lantang untuk berperang melawan terorisme dan narkoba, tetapi tidak dalam soal korupsi atau suap, terutama dalam tubuh mereka sendiri. Begitu juga kejaksaan, keberanian mereka praktis menjadi anjlok, lembek, dan tidak berdaya jika dihadapkan pada kasus korupsi. Koruptor yang seharusnya mendapat tuntutan hukuman yang berat tetapi justru malah mendapat hukuman yang ringan. Ada aksi invisible (tak terlihat) yang mendorongnya untuk menuntut hukuman yang ringan bagi koruptor, seolah-olah tersandera oleh kekuasaan lain yang lebih besar. Oleh sebab itu, mafia peradilan tetap tumbuh subur dalam sistem penegakan hukum Indonesia yang lunak ini. Koruptor merampok uang negara secara besarbesaran yang seharusnya mendapat hukuman berat justru malah lebih ringan hukumannya daripada pelaku pencurian sandal, pencurian piring, pencurian pisang dan tindak pencurian ringan lainnya yang sering diberitakan di media akhir-akhir ini. penyelesaian kasus korupsi melalui jalur hukum cenderung mengecewakan daripada memuaskan. Banyak koruptor yang dihukum ringan di negeri ini, sampai di penjara masih mendapat fasilitas mewah, belum lagi setiap peristiwa tertentu mendapat remisi atau potongan hukuman, dan bahkan bisa keluar penjara sekehendaknya seperti yang dilakukan
21
Abid Hilmi
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
ISSN: 23389176
Gayus Tambunan. Inilah implikasi dari sistem hukum dan pemerintahan yang lunak, yang bisa dimanipulasi sedemikian rupa sekehendak orang yang mempunyai kekuasaan. Karakter dan watak pemimpin yang tegas sangatlah penting untuk memperkuat budaya anti-korupsi, terlepas baik itu di negara demokrasi atau tidak, yang dibutuhkan adalah sikap yang konsekuen dan komitmen keras dalam menghadapi korupsi. Peran pemimpin yang tegas sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi justru hilang di negeri ini. Seolah-olah negeri ini sudah kehilangan semangat memberantas korupsi karena kenihilan sang pemimpin. Menurut penulis, ketiga faktor utama di atas lah yang menjadi faktor logis bahwa korupsi memang sulit diberantas bahkan dihilangkan dari negeri ini. Meskipun realitasnya seperti itu, paling tidak semaksimal mungkin tindak korupsi dapat ditekan hingga ke titik yang terendah, sehingga budaya korupsi sedikit demi sedikit dapat terkikis dan tidak mewarisi kepada anak cucu kita kedepannya. Maraknya korupsi yang tidak tertangani membuat kondisi bangsa terus terpuruk. Realitas korupsi yang digambarkan dalam iklan ini merupakan refleksi realitas korupsi yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Terkait dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara yang gagal menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Korupsi semakin hari semakin menggurita sampai ke lapisan lembaga pemerintahan terkecil sekalipun. Berita tentang praktek korupsi yang muncul di media seakan tiada habisnya, yang melahirkan cerita baru dan menghadirkan aktor korupsi baru. Korupsi seolah telah sukses dalam mengaplikasikan konsep integrasi interkoneksi yang memadu padankan kasus korupsi satu dengan yang lainnya, terungkap aktor satu merambat ke aktor lainnya, yang menandakan korupsi dilakukan secara berjamaah, masive, tak ada habisnya dan tak ada ujungnya. Maka benar pada kesimpulan awal bahwa wacana Indonesia bebas korupsi adalah sesuatu yang mustahil. Sebagaimana dengan pesan iklan yang disampaikan iklan Djarum 76 ini, Iklan selain sebagai media komersial juga bisa difungsikan sebagai media penyampai kritik sosial. Kolaborasi antara partisipasi publik dan media inilah yang sejatinya mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi. Sehingga, muncul dominasi wacana publik bahwa korupsi adalah wajah buruk negeri ini dan memang harus diberantas bahkan dihilangkan, meskipun sulit diwujudkan. Barangkali usaha kecil ini perlu untuk terus dikembangkan sebagai sebuah upaya nyata perlawanan terhadap korupsi dan bukan hanya sekadar menjadi pemberitaan dan pembicaraan di forum-forum diskusi, tetapi memang harus berupa langkah nyata untuk memberantas korupsi. Dalam konteks inilah iklan harus dilibatkan dan berpihak pada rakyat, bukan hanya pada penguasa modal saja, yang lebih mementingkan sisi komersial tanpa ada sedikitpun kearifan sosial yang dapat mendorong masyarakat untuk mendapatkan semangat bertahan hidup ditengah carut-marutnya pemerintahan di negeri ini akibat ketimpangan sosial yang disebabkan oleh korupsi. Inilah realitas iklan dan juga realitas korupsi di negeri ini.
H. DAFTAR PUSTAKA Ardiyanto, Elvinaro; & Anees, Bambang Q. 2007. Filsafat Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Berger. Arthur Asa 2000. Media Aanalysis Technique. Second edition. Alih Bahasa Setio Budi HH. Yogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya. Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.Yogyakarta : Jalasutra. Daymon, Christine; & Holloway, Immy. 2008. Qualitative Research Methods In Public Relations and Marketing Communications. Cahya Wiratama (penterjemah). Yogyakarta: Bentang. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analsis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Garjito, Murdijati & Erwin, Lilly T. 2010. Serba-Serbi Tumpeng Dalam Kehidupan Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan
22
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23
Masyarakat Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hakim, Budiman. 2006. Lenturan Tapi Relevan. Yogyakarta: Galang Press. Hardiman, F. Budi. 1990. Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: kanisius. Hardiman, F. Budi. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif : Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisius. Hardiyanto. 2009. Modul Perencanaan Kreatif Periklanan: Teknik Kamera untuk Ekseskusi Iklan TV. Jakarta. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. Jefkins, Frank, 1997, Periklanan, Jakarta: Erlangga. Kotler, Philip. 2003. Marketing Insight from A to Z; 80 Konsep yang Harus Dipahami Setiap Manajer: By Philip Kotler ; Anies Lastiati (Penterjemah). Jakarta: Erlangga. Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Riset Komunikasi: Disertai Contoh P r a k t i s Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Cetakan ke-4. Jakarta: Kencana. Madjadikara, Agus. S. 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan: Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Murniati, Nunuk P. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga. Magelang: Perpustakaan Nasional. Napitupulu Diana. 2010. KPK in action. Jakarta: Raih Asa Sukses. Nawawi, H. Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Noeh, Munawar Fuad. 2005. Kiai di republik Maling. Jakarta: Republika. Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pawito . 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Piliang, Yasraf, Amir 2003, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Rangkuti, Freddy. 2009. Strategi Promosi Yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing Commmunication. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Semma, Mansyur. 2008. Negara dan korupsi, pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soekamto, Soerjono. 1993. Kamus Soiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Stokes, Jane. 2006. How to Media and Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang. Strinati, Dominic. 2003. Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya. Suhud, Laksita Utama. 2009. Start-Up Business Wizard: 21 Strategi Sukses untuk Memulai Bisnis. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Suyanto, M. 2004. Aplikasi Desain Grafis Untuk Periklanan: Dilengkapi Sampel Iklan Terbaik kelas Dunia.Yogyakarta: Andi Offset. Suyanto, M. 2005. Strategi Perancangan Iklan Televisi perusahaan Top Dunia. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Wibisono, Dermawan. 2009. Gading-Gading Ganesa (3G). Bandung: Mizan. Widyatama, Rendra. 2005. Pengantar Periklanan. Jakarta: Buana Pustaka Indonesia. Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender Dalam Iklan Televisi. Yogyakarta. Media Pressindo. Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan
23
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
NEGARA DAN SISTEM MEDIA: Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia Oleh: Didik Haryadi Santoso (Alumni S2, Jurusan Ilmu Komunikasi dan Media UGM) Abstrak Pendulum sistem media bergerak berdasarkan sistem politik yang dianut oleh tiap-tiap Negara. Disatu waktu, dapat berbasis pada kekuatan Negara (state base power), pada waktu yang lain dapat pula berubah berbasis pada kekuatan pasar (market base power), berbantung pada sistem politik yang dijalankan. Singkatnya, Sistem media merefleksikan falsafah politik sebuah Negara. Tulisan ini mencoba mendiskusikan sistem media Amerika dan Indonesia dengan menggunakan analisis komparasi sistem media Hallin & Mancini. Pada bagian awal akan dipaparkan tentang dinamika ,makna dan wacana globalisasi sistem media. Pada bagian kedua akan diuraikan kerangka konseptual analisis komparasi Hallin & Mancini. Pada bagian selanjutnya akan mengeksplorasi sistem media di Amerika dan sistem media di Indonesia. Kata-kata Kunci: Analisis Komparasi, Sistem Media, Amerika, Indonesia.
A. Pendahuluan Dalam tela’ah analisis komparasi, sistem politik cenderung turut mewarnai sistem media di suatu Negara. Perubahan sistem politik berkorelasi positif terhadap perubahan sistem media. Sistem media merupakan refleksi dari falsafah politik serta refleksi dari kondisi struktur sosial masyarakat sebuah Negara. Kajian ini mencoba mengeksplorasi serta mendiskusikan sistem media di Amerika dan sistem media di Indonesia. Meskipun kedua negara dalam dua kutub kemajuan dan perkembangan yang berbeda, namun dalam hal praktek bermedia, baik Amerika maupun Indonesia sama-sama dibawah cengkraman arus neoliberal. Kajian ini menjadi menarik mengingat praktek-praktek bermedia di kedua Negara akhir-akhir ini cenderung tunduk dan patuh pada pusaran kekuatan modal serta mekanisme pasar yang komersil dan eksploitatif. Hukum-hukum ekonomi bergerak demi pengerukan kepentingan finansial dan akumulasi modal. Di dalam silang sengkarut kepentingan ekonomi tersebut, terjadi deregulasi. Peran Negara sengaja diperlemah agar tunduk dan patuh kepada mekanisme pasar. Kajian ini mencoba mengekplorasi serta mendiskusikan sistem media kedua Negara dengan berbagai dimensi-dimensi yang melingkupinya. Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang dinamika globalisasi yang turut mewarnai sistem media dan sistem politik di Dunia. Pada bagian kedua akan diuraikan kerangka konseptual analisis komparasi sistem media Hallin & Mancini. Pada bagian ketiga akan mengeksplorasi sistem media di Amerika dan di Indonesia. Terakhir refleksi, kesimpulan dan penutup.
B. Globalisasi Sistem Media dan Sistem Politik: Antara Makna dan Wacana Di dalam era globalisasi, ke-canggihan teknologi transportasi maupun teknologi komunikasi dan informasi cepat atau lebih cepat mampu meningkatkan interaksi lintas 24
Didik Haryadi Santoso
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30
ISSN: 23389176
batas, melenyapkan batas-batas teritorial. Pengaruh globalisasi turut mewarnai dimensidimensi nilai dan sistem, termasuk sistem politik, sistem ekonomi, sistem media dan lain sebagainya. Sistem media misalnya, dalam kurun waktu yang relatif singkat, arus globalisasi mampu merubah secara fundamental sebuah tatanan sistem media di berbagai Negara. Globalisasi membawa berbagai macam muatan, ia lahir dan hadir bagai kendaraan truk besar yang lari tunggang langgang tanpa terkendali. Dalam wacana tentang globalisasi tak dapat disangkal bahwa kekuatan-kekuatan homogenisasi yang kuat, termasuk persenjataan militer, teknik periklanan, bahasa-bahasa yang dominan, format media, dan ke-cenderungan mode telah mempengaruhi kesadaran dan kebudayaan di hampir setiap sudut dunia. Termasuk budaya dalam mengakses media serta “memper-lakukan” media dalam lingkaran aturan dan sistem. Perubahan-perubahan sistem politik, sistem ekonomi, sistem media dan lain sebagainya yang merupakan kon-sekuensi logis serta akibat arus globalisasi memunculkan berbagai perdebatan yang cukup mencolok antara sceptist dengan globalist. Para sceptist melihat globalisasi sebagai proses internasionalisasi serta regionalisasi yang merupakan kumpulan dari negara-negara dan berbasis regional. Sedangkan globalist cenderung berangkat dari tesis bahwa hidup dalam satu dunia dengan jaringan lintas regional dan lintas benua. Pada dimensi kekuatan, sceptist berpegang pada kekuatan yang berada pada kendali Negara atau intergovermentalism. Sedangkan globalist cenderung memaknai kekuatan sebagai penyerahan kedaulatan Negara dengan melemahkan atau berkurangnya peran Negara. Pada dimensi ekonomi dan era pemerintahan, sceptist percaya pada rintisan blok regional serta pemisahan blok barat dan timur serta merintis pemerintahan Negara dan masyarakat Negara. Sedangkan globalist merintis ekonomi transnasional dengan basis kapitalisme global Untuk lebih jelasnya perdebatan diatas dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Bentuk Negara
No
DIMENSI
SKEPTIST
GLOBALIST Satu dunia, Jaringan lintas regional dan kontinental Penyerahan kedaulatan Negara, Berkurangnya peran Negara Global Popular culture, Hibridisasi Kapitalisme Global, Ekonomi Transnasional Lintas Masyarakat Global, Mengikis Hirarki Lama Pemerintahan Global Masyarakat Global
1
KONSEP
Internasionalisasi, Regionalisasi
2
KEKUATAN
Dibawah kendali Negara-bangsa (Intergovermentalism)
3
BUDAYA
Nasionalisme-Identitas Nasional
4
EKONOMI
Blok Regional
5
INEQUALITY
Pemisahan Blok BARAT-TIMUR
6
ERA
Pemerintahan (Inter-Nasional) Masyarakat Negara
Berkaitan dengan wacana globa-lisasi, setidaknya Appadurai menye-butkan beberapa dimensi hasil dari globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain yaitu: Etnoscapes, technoscapes, finanscapes, mediascapes dan ideoscapes. Etnoscapes merujuk pada arus orang-orang yang bergerak dari satu bagian dunia kebagian dunia yang lain. Di dalamnya termasuk wisatawan, imigran, pengungsi, orang-orang yang diasingkan, pekerja tamu, dan sebagainya. Technoscapes meng-gambarkan pemindahan teknologi industri melintasi batas-batas nasional. India, Cina, Rusia dan Jepang, misalnya, pernah mengekspor teknologi ke Libya dalam rangka membangun sebuah kompleks pabrik baja di Negara tersebut. Finanscapes mengacu pada pola tranfer uang secara global. Semisal, investasi asing yang disalurkan melalui Bank Dunia untuk proyek-proyek pengembangan energi, transportasi dan lain sebagainya. Kemudian Mediascapes. Media-scapes pada dasarnya mengacu pada perangkat keras media massa yang mekanis dan elektronik serta citra-citra yang dihasilkan. Dimensi 25
Didik Haryadi Santoso
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30
terakhir yaitu ideo-scapes yang sedikit mengacu juga pada citra, namun lebih cenderung pada aspek politik yang berdimensi ideologis. Ideoscapes mewakili posisi-posisi strategis dalam perjuangan untuk kekuasaan dan alokasi sumber daya dalam sebuah Negara. Domain-domain ideologis seperti hak, kebebasan, tanggung jawab persamaan, disiplin, demokrasi dan sebagainya membentuk ideoscapes dengan signifikansi yang berbeda-beda pada setiap Negara. Wacana-wacana diatas kemudian secara langsung atau tidak langsung dimaknai oleh berbagai Negara dengan cara yang berbeda-beda. Dalam tela’ah Antony Giddens (2003), Negara-Negara maju cenderung memaknai globalisasi sebagai perluasan atau ekspansi ekonomi dan politik Negara atau Korporasi. Berbeda dengan pemaknaan globalisasi pada Negara-Negara berkembang yang cenderung memaknai globalisasi sebagai deregulasi, priva-tisasi dan liberalisasi.
C. Komparasi Sistem Media: Teori dan Konsep Edmund Burke pernah mengatakan sambil menunjuk galeri pers di gedung House of Commons: “younder sits the Fourth Estate, and they are more important than them all”, Disana duduk wilayah ke empat, dan mereka lebih penting dibandingkan semuanya. Maksud Edmund Burke tidak lain adalah media pers. Dalam kajian-kajian tentang media pers dikenal empat teori pers yaitu teori otoritarian, teori tanggung jawab sosial, teori libertarian, serta teori pers komunis. Teori pers otoritarian “memper-lakukan” media pers untuk mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada Negara. Teori tanggung jawab sosial cenderung memberi kebebasan namun memiliki tanggung jawab serta batasan-batasan dalam hal akses informasi dan hiburan. Kemudian teori libertarian lebih menekankan pada kebebasan dalam hal akses serta pengelolaan yang berbasis pada profesionalitas dan logika-logika pasar atau prinsip-prinsip ekonomi. Sedangkan teori pers komunis cenderung memaknai pers sebagai kekuatan pendukung bagi kesuksesan partai penguasa. Selain empat teori pers diatas, dalam kajian-kajian tentang media khususnya tentang komparasi sistem media, Hallin & Mancini menawarkan kerangka konseptual untuk menganalisis secara komparatif sistem-sistem media di berbagai Negara diantaranya yaitu: Dimensi perkembangan pasar media, dimensi kesejajaran politis, dimensi profesionalisme jurnalistik, serta dimensi peran negara. Dimensi perkembangan pasar media menekankan pada kuat lemahnya hubungan perkembangan sirkulasi produksi media baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Kemudian dimensi kesejajaran politis lebih menekankan untuk melihat relasi atau hubungan antara orientasi sistem politik dengan sistem media. Sedangkan dimensi profesionalisme jurnalistik cenderung ditekankan untuk mengekplorasi profesionalitas praktek-praktek jurnalistik dengan tiga dimensi profesionalisme yaitu otonomi, perbedaan norma profesional, serta orientasi pelayanan publik. Terakhir, dimensi peran negara yang berhubung kait dengan keterlibatan Negara serta berkaitan dengan sistem penyiaran publik yang terdiri dari: government model atau model pemerintah, model profesional, model representasi proporsional serta model sipil atau korporatis. Government model atau model pemerintah lebih menekankan pada kontrol langsung dari pemerintah atau political majority dalam hal penyiaran publik. Model profesional cenderung meniadakan kontrol-kontrol politik dan berjalan sebagai penyiaran berbasis profesionalitas. Kemudian model representasi proporsional, dalam hal penyiaran publik cenderung mengakomodir kepentingan partai politik secara representatif serta proporsioanal. Sedangkan model sipil atau korporatis sedikit memiliki kemiripan dengan model representasi proporsional. Perbedaannya hanya terletak pada konsep representasinya yang tidak lagi pada konsepsi representasi kelompok partai politik melainkan representasi kelompok sosial, persatuan dagang, asosiasi bisnis, organisasi keagamaan, asosiasi etnis dan lain sebagainya. Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia
26
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30
ISSN: 23389176
D. Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia 1. Amerika dan Indonesia dalam Dinamika Perkembangan Pasar Media Perubahan yang cukup fundamental pada perkembangan pasar media di Amerika Serikat ditandai dengan adanya amanah yang tertulis dalam First Amandemen Amerika Serikat yang berbunyi: “Congress shall make no law, abridging the freedom of speech, or of the press.” Konsekuensi logisnya ialah terjadinya pergeseran dari pers partisan menjadi pers yang bebas-berkarakter liberal berbasis komersial yang cenderung mengikuti mekanisme pasar. Mandat First Amandemen kemudian mengikis regulasi-regulasi pemerintah hingga pada akhirnya regulasi-regulasi tersebut “absen” dari industri pers di Amerika. Dunia pers tumbuh dan berkembang cukup pesat dengan ditandainya banyaknya lahir media-media pers baru yang pro terhadap kebebasan. Paling tidak terdapat 1.600 surat kabar harian, 7.500 surat kabar mingguan, 11.000 stasiun radio, 4 stasiun televisi nasional berjaringan, 20 jaringan radio nasional, 1.000 stasiun televisi lokal, dan 6.000 televisi kabel. Namun demikian, banyaknya lahir media-media pers secara kuantitas tersebut tidak diimbangi secara kualitas, baik kualitas isi, kualitas akses maupun kualitas praktek jurnalistik. Terbukti, pasca lahirnya first amandemen muncul istilah-istilah seperti muckraker yang diasosiasikan kepada individu yang sangat suka menggaruk “kotoran”. Wartawanwartawan yang melakukan pembongkaran skandal korupsi, seks para aktor-aktor politik atau figur-figur terkenal akan dicap sebagai muckraker. Berkaitan dengan muckracking journalism, Carl Jensen, berpendapat bahwa Amerika Serikat tidak mempunyai pengetahuan yang cukup berkaitan dengan ketimpangan yang muncul dari sisi kuantitas informasi dan sisi kualitas informasi yang beredar di lapangan. Berbeda dengan Amerika, perkembangan industri pers atau industri penyiaran di Indonesia pada awalnya tumbuh dan berkembang pada situasi dan atmosfer perjuangan dibawah tekanan pengaruh Belanda dan Jepang. Media pers pada saat itu berada dalam konsep sebagai media komunikasi dan informasi. Seiring berjalannya waktu tumbuh media-media swasta yang berangkat dari sisi internal masyarakat pendengar sebagai media hiburan atau sosial dan niaga. Demikian pula dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang lahir dari ambisi pemerintah di tahun 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta. Pada tahun tersebut TVRI (Televisi Republik Indonesia) lahir di hadapan publik dengan siaran resmi pada 24 Agustus 1962. Kemudian, memasuki era 1980-an dibuka izin operasi bagi stasiun televisi swasta nasional. Era komersialisasi pun dimulai. Muncul RCTI dan SCTV ditahun 1987 dan 1989, disusul oleh TPI ditahun 1991, Indosiar di tahun 1992 dan ANTV pada 1993. Secara kuantitas, industri pers di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan, terlebih pasca lengsernya Presiden Soeharto. Ibarat kran yang terbuka dari tekanan air, industri pers kian bertambah banyak oleh karena tidak lagi ada pembredelan terhadap media secara sepihak. Namun demikian, geliat bertambahnya jumlah pemainpemain baru dalam industri pers Nasional dari sisi kuantitas tidak berimbang dengan sisi kualitas, baik kualitas isi, kualitas akses maupun kualitas praktek-praktek jurnalisme.
1. Indonesia dan Amerika: Antara Relasi Sistem Politik dan Sistem Media Perubahan atmosfer politik turut mewarnai sistem media. Di Amerika, pada saat partai Republik berkuasa di era 1990an, pers cenderung tidak nertal dari kepentingan politik serta hanya menjadi partisan. Namun setelah era partai Republik berakhir, muncul sebuah era yang mengutamakan profesionalitas dan netralitas politik. Pers menjadi komersil oleh karena mekanisme pasar yang lebih mendominasi. Era partai Republik berkurang, pers partisan pun ikut menghilang dan secara perlahan tergantikan oleh pers yang komersil. 27
Didik Haryadi Santoso
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30
Di Indonesia, awal mula pers partisan ditandai dengan keluarnya suatu rancangan Keputusan Menteri No 29/SK/M/65 tentang norma-norma dasar bagi perusahaan pers Indonesia pada Maret 1965. Di dalam Keputusan Menteri tersebut beriskan perintah agar semua surat kabar berafiliasi secara resmi dengan partai politik, instansi fungsional atau organisasi massa. Namun memasuki oktober 1965 era Orde Baru, terjadi pergeseran esensi isi Keputusan Menteri sebelumnya. Pers kemudian dituntut untuk memelihara keamanan nasional melawan ancaman internal dan eksternal serta harus menjaga Pancasila sebagai ideologi negara. Munculnya pelarangan terbit melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menyebabkan pers-pers tidak lagi terlalu memperhatikan dimensi isi atau pesan jurnalisme yang profesional melainkan cenderung melihat dimensi atau relasi politik dan kekuasaan dengan spektrum serta garis politik yang jelas. Pada posisi inilah perlahan muncul perspers partisan. Diawal era Orde Baru, pers-pers partisan berdimensi politik bentukan pemerintah dan Golkar salah satu diantaranya ialah Harian Suara Karya. Sedangkan era Orde Baru tingkat akhir, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) merintis pers partisan berdimensi agama khususnya Islam yaitu Republika. Namun demikian, pergeseran dari pers komersil ke pers komersial yang terjadi di Amerika juga dialami oleh industri pers Indonesia. Pada Juli 1968 melalui UU penanaman modal, pers perlahan direkonstruksi dari alat atau kendaraan politik ke arah industri dengan mekanisme pasar. Cikal bakal pers komersil pun tumbuh dan berkembang. Beberapa perusahaan surat kabar mendapatkan pinjaman dari Bank-Bank pemerintah. Semisal Kompas yang mendapatkan pinjaman 75% dari modal yang diperlukan untuk mendirikan kantor percetakan baru. Pendirian tersebut tentu dapat memangkas biaya produksi dan distribusi dan bermuara pada keuntungan yang berlipat-lipat ganda.
1. Profesionalime Jurnalistik “the greater the play of the market forces, the greater the freedom of the press; the greater the freedom of the audience choise”. Kata-kata tersebut merupakan salah satu dogma dalam paham neoliberal. Semakin besar permainan kekuatan pasar, semakin besar kebebasan pers; semakin besar kebebasan khalayak dalam memilih. Dogma tersebut secara tidak langsung diyakini mulai dari kalangan pemilik modal industri media hingga wartawan sebagai pekerja media. Dengan asumsi dasar bahwa proses liberalisasi dan derugulasi industri media akan menciptakan suatu tatanan “free market place of ideas”. Sampai disini, sudah tentu logika yang berlaku pada proses pengolahan informasi akan mengikuti logika pasar (profit oriented). Pada akhirnya proses produksi informasi tidak lagi berpihak kepada kepentingan moral melainkan berpihak kepada kepentingan modal. Paradigma media menjadi lebih maju dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Namun kemajuan tersebut tidak diimbangi dari sisi profesionalisme dalam praktek-praktek jurnalistik. Di Amerika, disatu sisi pasca lahirnya first amandemen atmosfer industri pers di Amerika mendapatkan angin kebebasan serta otonomi yang sangat luas. Namun disisi yang lain menyebabkan munculnya fenomena jurnalisme kuning dan fenomena muckraker atau wartawan-wartawan yang melakukan pembongkaran skandal korupsi, seks para aktor-aktor politik. Kedua kasus tersebut merupakan salah satu bukti otentik terkait isu profesionalisme jurnalistik. Jika di Amerika terdapat fenomena muckraker, di Indonesia terjadi praktek-praktek banalitas media serta trivialisasi media. Banalitas mengacu pada praktek-praktek media yang mengandung kekasaran simbolik sedangkan trivialisasi mengacu pada praktekpraktek media massa yang membahas hal-hal tidak penting atau remeh temeh dari sebuah isu sentral. Permasalahan yang dibahas hanya pada wilayah tepian atau pinggiran yang tidak substansial. Dibalik silang sengkarut tekanan modal ekonomi, agar tetap dapat bertahan industri pers pada akhirnya tidak lagi berupaya merintis tayangan atau pemberitaan yang menerapkan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah jurnalistik. Asal menguntungkan, prinsip Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia
28
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30
ISSN: 23389176
dan kaidah pun diabaikan. Maka kemudian tercipta sebuah produk-produk tayangan, berita-berita atau program-program investigasi yang jauh dari kata berkualitas, mendalam dan komprehensif. Praktek-praktek banalitas dan tirvialiasasi media massa tersebut belakangan ini menjadi tren dari industri media dengan jaringan konglomerasinya yang berorientasi pada keuntungan finansial. Artinya, demi ekspansi audien, media merancang program-program berita yang cenderung membahas hal-hal sepele dan tidak penting, dengan biaya produksi sekecil mungkin dan keuntungan sebesar mungkin.
1. Peran Negara dan Sistem Penyiaran Publik Dimensi peran Negara berhubung kait dengan keterlibatan Negara serta berkaitan dengan sistem penyiaran publik. Hallin dan Mancini membaginya menjadi empat model diantaranya: government model atau model pemerintah, model profesional, model representasi proporsional serta model sipil atau korporatis. Jika ditelaah lebih jauh, dalam konteks sistem media di Amerika, peran Negara cenderung pada model profesional yang meniadakan kontrol-kontrol politik dan berjalan sebagai penyiaran berbasis profesionalitas berkarakter liberal serta berbasis komersial. Di Indonesia, pada masa pemerintahan presiden Soeharto struktur industri pers Indonesia berada pada posisi dominasi kekuatan peran negara (state regulation) atau dalam kerangka teori Hallin dan Mancini masuk dalam kategori govermental model atau model pemerintahan. Hal ini ditandai oleh pengendalian dan pengawasan super ketat dari Departemen Penerangan. Pengendalian dan pengawasan super ketat tersebut secara tidak langsung menutup jalan informasi yang berasal dari luar kepentingan pemerintah. Pada masa era orde baru, diberlakukan sensor yang cukup ketat bagi produk-produk informasi hasil olahan individu yang bertentangan dengan kepentingan politik dan ekonomi orde baru. Naskah-naskah pidato para mubalig atau orator-orator wajib melalui proses pengawasan dan kontrol yang ketat. Begitu juga dengan produk informasi hasil olahan institusi dalam hal ini media massa. Ketika kepentingan orde baru belum terakomodir atau bahkan diabaikan, maka pemerintah dengan cepat membredel secara sepihak. Beranjak ke era reformasi pendulum industri pers bergerak dari arah dominasi kekuatan peran negara (state regulation) ke arah dominasi kekuatan peran pasar (market regulation). Bergeser dari govermental model kearah model profesional yang mengabaikan kontrol-kontrol politik dan lebih mengutamakan komersial serta mekanisme pasar. Dominasi kekuatan peran pasar pada era reformasi ini kemudian secara perlahan mengarah pada mekanisme pasar bebas yang merupakan mantra neoliberalisme.
B. Penutup Arus globalisasi turut mewarnai perubahan sistem-sistem media di berbagai Negara. Sirkulasi media bertambah, muncul pers-pers baru, dan paradigma media menjadi lebih maju. Namun kemajuan secara kuantitas tersebut tidak diimbangi dari sisi kualitas profesionalisme dalam praktek-praktek jurnalistik. Di Amerika, disatu sisi pasca lahirnya first amandemen atmosfer industri pers di Amerika mendapatkan angin kebebasan serta otonomi yang sangat luas. Namun disisi yang lain menyebabkan munculnya fenomena jurnalisme kuning dan fenomena muckraker atau wartawan-wartawan yang melakukan pembongkaran skandal korupsi, seks para aktor-aktor politik. Begitu pula di Indonesia, muncul fenomena banalitas media dan trivialisasi media. Di Amerika, pada saat partai Republik berkuasa di era 1990an, pers cenderung tidak nertal dari kepentingan politik serta hanya menjadi partisan. Namun setelah era partai Republik berakhir, muncul sebuah era yang mengutamakan profesionalitas dan netralitas politik. Pers menjadi jauh lebih komersil oleh karena mekanisme pasar yang lebih mendominasi. Persis yang terjadi di Indonesia, ketika terjadi perubahan sistem pemerintahan orde baru, secara perlahan pers-pers partisan pun berkurang dan secara 29
Didik Haryadi Santoso
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30
perlahan tergantikan oleh pers komersil yang sangat mendewakan akumulasi modal dan kalkulasi laba. Dalam konteks sistem media di Amerika, peran Negara cenderung pada model profesional yang meniadakan kontrol-kontrol politik dan berjalan sebagai penyiaran berbasis profe-sionalitas berkarakter liberal yang berbasis komersial. Di Indonesia, pada masa pemerintahan presiden Soeharto struktur industri pers Indonesia berada pada posisi govermental model atau model pemerintahan. Namun memasuki era reformasi pendulum industri pers bergerak dari arah govermental model kearah model profesional yang meminimalisir kontrol-kontrol Negara dan lebih mengutamakan sisi ekonomi yang tunduk dan patuh pada mekanisme pasar yang kadang sesat dan sesaat.
DAFTAR PUSTAKA Burhan, Bungin.(2009). Pornomedia. Jakarta: Kompas. Giddens Anthony. (1984). The Constitution of Society outline of the theory Structuration. Cambridge UK: Polity Press. Daniel Hallin & Mancini Paolo (2004). Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics, New York: Cambridge University Press. Ibrahim Idi Subandy, dkk. (1997). Hegemoni Budaya. Yogya: Yayasan Bentang Budaya. Littlejohn Stephen W, Foss Karen A.(2009). Encyclopedia of Communication Theory. London: Sage Publication. M Adeline.(2005). Laba-Laba Media: Hidup dalam Galaksi Informasi, Menurut Pemikiran Manuel Castells. Jakarta: LSPP. Mosco Vincent. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage Publications. Priyono Herry. (2002). Antony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta : KPG Soekanto Soerjono.(1992). Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Sunarto. (2009). Televisi, Kekerasan dan Perempuan, Jakarta:Kompas. Straubhaar, J & Larose R.(2006). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology. Boston: Wadsworth Cengage. Tester Keith, Immor(t)alitas Media, Yogyakarta: Juxtapose, 2009. Van Dijk Jan.(2006). The Network Society. London: Sage Publication. Wirodono S. (2005). Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, Yogyakarta:Resist Book. Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia
30
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
EFEK MEDIA BARU TERHADAP OPINI PUBLIK DALAM DEMOKRASI: Succesing Candidate In Electoral Campaign Oleh: Vivin Sylviana (Dosen Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD) Abstrak Fenomena pemanfaatan media baru dalam kampanye merebak akhir-akhir ini. Kriteria media baru dinilai menjual untuk meraih simpati publik. Benarkah hal tersebut juga mampu mempengaruhi pembentukan pendapat umum dalam negara berkembang dengan sistem demokrasi seperti Indonesia?. Pembahasan ini tentu akan terkait dengan jenis penelitian efek yang lazimnya menggunakan riset kuantitatif. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan karakter media baru ketika dikaitkan dengan kampanye dengan memasukkan beberapa asumsi mengenai kemungkinannya untuk mempengaruhi pendapat publik melalui beberapa insight kasus yang terjadi di Indonesia. Kata Kunci: Media baru, Kampanye, Opini Publik, Demokrasi
A. Pendahuluan Sistem demokrasi memungkinkan rakyatnya untuk terlibat langsung dalam proses politik semisal pemilihan wakil di pemerintahan. Proses pemilihan diawali dengan kampanye dimana beragam cara digunakan kandidat untuk meraih simpati voters salah satunya melalui media. Sebelumnya media konvensional seperti koran dan televisi lah yang mendominasi pembentukan pendapat publik, namun trend tersebut mulai bergeser. Media baru yang datang dengan penawaran akan kecepatan, kebaruan dan keluasan jaringan informasi termasuk informasi politik semakin menjadi pilihan terutama bagi masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi sekaligus akses besar terhadap teknologi. Telah banyak penelitian mengenai efek media massa dalam konteks politik, terutama soal posisi media sebagai alat propoganda dalam kegiatan kampanye. Namun, masih banyak pertanyaan mengenai hubungan kausal tersebut jika dikaitkan dengan media baru apalagi dalam konteks negara berkembang dimana sebagian besar penduduknya belum terpapar kecanggihan teknologi. Kepopuleran media baru sebagai alat kampanye sendiri mencapai puncaknya semasa pencalonan diri pertama kali Barrack Obama sebagai presiden Amerika Serikat . Respon positif masyarakat terhadap cara kampanye model ini kemudian dilirik oleh calon-calon politikus lain di berbagai wilayah. Salah satunya yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta tahun 2012. Ketergantungan masyarakat khususnya masyarakat perkotaan di Indonesia akan media baru seperti lamanlaman jejaring sosial sepertinya dimanfaatkan dengan baik oleh tim kampanye JokowiBasuki . Seperti disebutkan di banyak pemberitaan, pasangan ini benar-benar memaksimalkan fungsi media sosial alih-alih memperbanyak baligho ataupun iklan televisi. Langkah cerdas sebetulnya, sebab selain menghemat biaya kampanye, hal tersebut juga efektif untuk penyebarluasan dan percepatan umpan balik ide dan visi misi calon. Perlu disadari di era digitalisasi informasi, masyarakat sebagai audiens semakin menginginkan hal yang kasual; mudah diakses, mudah dimengerti sehingga mudah diterima dan dengan semakin meningkatnya jumlah kelas menengah yang notabene memiliki akses terhadap teknologi maka menjadi wajar ketika trend media baru menjadi fenomena . 31
Dani Fadillah
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
ISSN: 23389176
Setiap perubahan pasti menim-bulkan efek, tidak terkecuali pemanfaatan media baru dalam sistem demokrasi. Beberapa efek yang jelas terlihat adalah perubahan intensitas informasi yang bisa diakses publik, perubahan hubungan menjadi lebih horizontal antara publik dan pemerintah dan perubahan cara partisipasi dengan terbukanya opsi atas saluran yang bebas dari intervensi pemerintah sehingga publik berpotensi terlibat langsung dalam proses kebijakan . Terkait kampanye, jelas dan menjadi hal lumrah ketika kandidat yang bermaksud memenangkan pemilihan berusaha membangun popularitas positif di mata publik dengan beragam pendekatan. Jika media konvesional selama ini menghadirkan informasi satu arah dimana publik semata berperan sebagai konsumen informasi, maka berbeda dengan media baru yang membuka kesempatan bagi publik mengkonstruksi informasi yang dianggap ideal bagi dirinya sendiri. Artinya, terdapat kemungkinan baru bahwa opini publik yang terbangun tidak semata berasal dari media melainkan satu bentuk eksplorasi atas informasi yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Sehingga tidak heran apabila terjadi ketimpangan pengetahuan sebab cara individu memperlakukan kebutuhan akan informasi juga berbeda. Ketertarikan pribadi terhadap suatu isu pun belum tentu sama. Namun ketimpangan dan keterbedaan tersebut tidak menutupi efek lain yaitu perasaan terlibat ketika menggunakan media jenis ini. Perasaan terlibat adalah satu kondisi yang baik untuk meningkatkan awareness pada suatu isu. Publik dibawa untuk ‘berpadu’ dengan aktivitas produksi dan konsumsi informasi, bukan semata diposisikan terpisah sebagai objek. Karakter seperti ini yang memungkinkan media baru mencapai posisi yang terus signifikan untuk menjadi media pilihan bagi beragam aktivitas termasuk aktivitas politik. Memang diperlukan riset lebih lanjut untuk mengikuti kecenderungan pemanfaatan media baru semasa kampanye, apakah benar baik publik maupun kandidat merasa bahwa media baru menjadi opsi potensial dalam membangun pendapat umum. Salah satu riset yang lazim dilakukan dalam pendekatan masalah jenis ini adalah riset kuantitatif.
B. Tradisi Kuantitatif Mengenai Efek Media Atas Opini Publik Efek media terhadap individu dan lingkungan adalah bahasan utama tradisi kuantitatif terkait riset audiens. Secara umum, riset tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan media mentransfer pesan kepada publik. Metode yang seringkali ditempuh adalah survey, eksperimen dan analisis isi. McQuail menyebutkan tentang empat fase sejarah penelitian efek . Pertama, all-powerful media, berkisar antara tahun 1900-1940 dimana media sangat berkuasa dalam membentuk opini publik dan perilaku melalui propoganda. Kedua, theory of powerful media put to the test yang terjadi pada periode 1930an; media tidak seberkuasa sebelumnya bahkan muncul pemikiran bahwa kemungkinan tidak ada hubungan antara stimulus media dengan respon audiens. Ketiga, powerful media rediscovered, media kembali dianggap berkuasa pada tahun 1960an, salah satunya disebabkan kepopuleran penggunaan televisi. Keempat, negotiated media influence adalah periode dimana efek media tidak hanya diperhitungkan pada tataran individu melainkan juga terhadap struktur sosial. Empat tahapan diatas menunjukkan peran media yang bergeser dari waktu ke waktu. Pergeseran tersebut mempengaruhi cara dan karakter opini publik yang terbentuk pada masing-masing waktu kejadian. Periode awal lebih terfokus pada apa yang media lakukan terhadap audiens sedangkan dengan semakin berkembangnya pilihan terhadap media maka fokus berubah menjadi apa yang audiens lakukan terhadap media. Sederhananya, efek masih merupakan alur satu arah, sebab yang menimbulkan akibat, namun konstelasi peristiwa yang menimbulkan efek menjadi lebih kompleks. Media dengan fitur online tidak lagi berperan sebagai pemasok informasi utama melainkan sebagai wadah tempat informasi berkumpul dan ditemukan oleh individu sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pasif berganti menjadi aktif dimana efek kemudian tidak sekedar mempengaruhi pada level individu melainkan juga terhadap lingkungan sosial dan institusional. 32
Dani Fadillah
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
Seperti disebutkan sebelumnya, survey adalah salah satu teknik yang paling sering dipakai untuk menganalisa efek media dalam riset audiens (publik) termasuk mencari kecenderungan opini publik di wilayah tertentu. Teknik ini memungkinkan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk terjaring opininya dalam kondisi yang bersifat natural sebagai kebalikan dari teknik eskperimen. Terlebih, merupakan salah satu teknik saintifik yang didukung dengan pemakaian desain sampel yang diambil secara random (acak). Meskipun, pada perkembangan terakhirnya, studi etnografi mulai diperkenalkan untuk mengisi kekosongan survey yang dinilai tidak mampu memperhitungkan faktor diluar objek semisal pengaruh lingkungan. Namun apabila riset dimaksudkan sebagai penelitian aplikatif untuk menghitung secara rigid besaran efek, dengan kata lain mencari trend, dan bukan tentang kedalaman pemahaman terhadap satu peristiwa, maka teknik survey tetap menjadi opsi terbaik. Studi opini publik sendiri dibenarkan oleh gagasan sederhana bahwa institusi demokrasi harus menghasilkan keputusan pemerintah yang mencerminkan pandangan orang sehari-hari. Pandangan individu ataupun kelompok inilah yang berusaha digali oleh teknik survey. Selama masa pemilihan, survey opini publik umumnya dilakukan beberapa aktor: Pertama, lembaga survey independen sejenis LSI (Lembaga Survei Indonesia) di Indonesia, untuk melihat kecenderungan pilihan publik pra dan selama kampanye serta prediksi hasil pasca pemilihan. Contohnya, rilis nama-nama calon kandidat presiden 2014 dengan kualitas tertentu yang diperhitungkan akan berpartisipasi baik sebagai calon independen maupun calon yang berasal dari partai (Rilis LSI, 28/11/12) . Lembaga independen bagi riset opini publik sangat dibutuhkan terutama dalam negara demokrasi. Selain karena dipersepsi bebas dari intervensi pemerintah maupun pemilik modal, hasil riset dari lembaga semacam ini dihasilkan dengan teknik saintifik sehingga mewakili buktibukti kuat yang faktual. Kedua, media massa baik yang konvensional maupun media baru, yang melakukan riset opini publik sendiri. Biasanya dilakukan melalui polling semisal polling Republika online tentang Pilkada Jakarta 2012 (‘Siapa yang anda jagokan pada Pemilukada DKI putaran kedua nanti?’) dengan hasil polling kemenangan untuk pihak Jokowi-Basuki sebesar 85,69% . Jika tidak melakukan survey atau polling sendiri, media biasanya menyiarkan hasil riset dari lembaga yang dinilai kredibel untuk dijadikan berita dan ditanggapi oleh khalayak. Ketiga, survey yang dilakukan oleh tim kandidat calon baik secara mandiri (apabila merupakan calon independen) atau dikoordinir oleh partai (apabila berasal dari partai). Hal tersebut terutama dimaksudkan untuk melihat reaksi publik sebagai konstituen terhadap kandidat. Hasil dari riset ini akan sangat berguna untuk menentukan rencana tindak lanjut yang harus ditempuh sebagai upaya pemenangan calon. Terkadang hasil survey jenis ini juga dijadikan sebagai cara ‘menjual’ calon khususnya jika persentase popularitas memang besar. Tetapi karena survey dilakukan oleh tim suksesi kandidat maka hasil survey bisa saja bertendensi propoganda. Opini publik dalam negara demokrasi sendiri penting keberadaannya baik bagi publik maupun pemerintah. Rousseau adalah orang pertama yang menggunakan istilah opini publik (l’opinion publique) yang diartikan sebagai cara dan sikap yang dimiliki masyarakat sebagai kebalikan dari elit politik. Dalam negara penganut sistem demokratis, opini bagi publik adalah deskripsi dari representasi ide dan kepentingan tentang suatu proses politik serta berperan sebagai informasi tentang apa yang dipikirkan individu lain diluar dirinya tentang masalah bersama. Sedangkan bagi pemerintah, opini publik dapat menjadi acuan untuk mengidentifikasi isu yang penting bagi publik sebagai masukan dalam proses perumusan kebijakan dan sebagai excuse untuk menerapkan atau menolak tekanan politik dari pihak di luar pemerintah tentang suatu kebijakan selama berasal dari opini publik. Lalu, apakah opini publik dapat tumbuh di negara non demokrasi? Dalam negara non demokrasi, informasi terutama terkait aktivitas politik cenderung telah dibentuk sesuai dengan kepentingan pihak berkuasa, andaipun ada kebebasan berbicara maka hal tersebut
Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing Candidate In Electoral Campaign
33
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
ISSN: 23389176
tidak lebih dari usaha meredam kegelisahan publik dan biasanya isu yang dihalalkan untuk dibahas adalah yang tidak mengamcam kedudukan politis penguasa. Kalaupun berkaitan dengan masalah politis maka perkembangan isu akan dibatasi melalui penguasaan sumber (provider) dan saluran informasi termasuk monopoli pengaturan teknologi informasi sehingga opini publik ‘mati sebelum berkembang’. Konsep Great firewall yang berlaku di Cina adalah satu contoh dimana terjadi pengaturan yang ketat terkait arus informasi dalam negara non demokrasi (Cina menganut sistem komunis). Selain itu, partai dalam negara non demokrasi umumnya didominasi oleh partai penguasa sehingga tidak ada ruang perwakilan untuk membentuk opini lain karena memang tidak ada pilihan. Padahal opini publik baru dapat tumbuh dalam kondisi yang memungkinkan setiap individu memiliki akses informasi dan kebebasan pengungkapan atas kehendak yang dimilikinya. Informasi tersebut pun harus memiliki ruang untuk diperdebatkan secara seimbang hingga mampu mencapai konsensus yang dapat dimaknai sebagai opini publik, salah satu ruang tersebut adalah partai politik. Ketika kekuasaan politik didominasi oleh satu partai maka informasi tidak dapat diperdebatkan sebab kekuasaan dan pembicaraan merupakan alur komando satu arah seperti yang lazim dilakukan partai komunis.
C. Suksesi Kandidat? Mampukah Media Baru Berperan Individu umumnya memilih cara paling sederhana dan murah untuk mengakses informasi terkait politik. Pemanfaatan media baru dalam kampanye membuka kesempatan akan hubungan interaktif yang cepat, murah, terbuka dengan jangkauan informasi yang luas. Kampanye jenis ini terutama dapat menjaring konstituen kalangan muda dan kaum urban perkotaan sebab kandidat yang akrab dengan media baru lebih diasumsikan berpikiran modern dan menjanjikan pembaharuan. Apalagi dengan kecenderungan kinerja administrasi publik offline yang dipenuhi birokrasi panjang dan berbelit sehingga muncul harapan publik terhadap kandidat yang mampu memanfaatkan teknologi. Bahwa ketika kandidat tersebut terpilih, mereka dapat meminimalisir keruwetan birokrasi dengan penggunaan teknologi. Kandidat yang menggunakan media baru juga terkesan lebih memiliki visi ke depan karena menunjukkan awareness terhadap teknologi yang menjadi satu identitas masyarakat modern. Terlebih media baru saat ini bukan lagi sekedar wadah pencarian informasi namun sudah mengarah menjadi gaya hidup. Artinya, andaipun mereka tidak tertarik dengan aktivitas politik, mereka tetap cenderung merasa harus mengetahui informasi melalui media baru agar tetap well-informed. Trend media baru inilah yang dimanfaatkan pasangan Jokowi-Basuki untuk mendulang suara pada Pilkada Jakarta 2012 yang lalu. Pasangan ini membuat portal Jakartabaru.co, Fanpage Facebook ‘Joko Widodo dan Basuki T Purnama untuk Jakarta Baru’, Twitter @Jokowi_Basuki serta memanfaatkan fasilitas Skype untuk berdialog dengan konstituennya. Sebetulnya, calon kuat lain yaitu Foke-Nara juga melakukan hal yang kurang lebih sama, namun Jokowi-Basuki lebih aktif di media sosial , kemungkinan karena mereka memang menjadikan kampanye media sosial sebagai salah satu opsi utama mengingat sedikit sekali iklan kampanye yang berasal dari pasangan calon tersebut yang berbentuk baligho,poster bahkan iklan di media elektronik maupun cetak. Meskipun berdasarkan penelitian Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia, pasangan JokowiBasuki menguasai pemberitaan di hampir seluruh media massa cetak maupun elektronik selama tiga bulan masa pemilihan. Beberapa bahkan menyebut istilah media darling untuk menunjuk sosok Jokowi. Jika menimbang karakter media massa, terlepas dari apakah ada pemihakan politik di balik blow up berita Jokowi, media sebagai institusi bisnis sesungguhnya sedapat mungkin akan selalu menawarkan berita yang dinilai menarik dan dapat ‘dijual’ kepada publik. Figur Jokowi adalah figur yang menarik sejak menjadi Walikota Solo dan menghasilkan beberapa terbosan termasuk memasarkan mobil buatan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Solo. 34
Dani Fadillah
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
Publik sepertinya mulai bosan dengan profil pejabat yang ‘itu-itu saja’ dan terkesan terlalu birokrat. Media massa tanggap melihat ketertarikan tersebut dan mengeksplorasinya untuk dijadikan konsumsi publik. Di lain pihak, sosok Basuki sebagai calon wakil gubernur juga tidak biasa karena berasal dari kelompok minoritas (etnis Cina dan non-muslim). Serangan berbau SARA yang tersirat maupun tersurat, sadar atau tidak sadar, malah membangkitkan simpati di mata publik. Bagi media, ‘bad news is good news’ karena itu isu SARA dikedepankan karena mampu menyentil emosi publik secara pribadi. Pasangan tersebut juga tidak didukung oleh koalisi partai-partai besar seperti yang dimiliki oleh pasangan pesaingnya. Jika secara politis hal tersebut adalah kekalahan telak, lain soal ketika publik (khususnya yang tidak terlalu fanatik terhadap partai tertentu) nyatanya lebih merasa nyaman untuk mempercayai informasi melalui media dibandingkan partai politik. Pilkada Jakarta secara tidak langsung menunjukkan menurunnya derajat kepercayaan dan ketergantungan publik terhadap partai politik sehingga mereka beralih pada saluran partisipasi lain termasuk media online. Kemenangan pasangan ini adalah peristiwa unik dan dapat dikatakan menghadirkan momentum kesadaran bahwa telah terjadi pergeseran sosial tentang apa yang dianggap baik saat ini. Kampanye melalui media online yang dimaksimalkan Jokowi-Basuki merupakan satu poin deskriptif bahwa informasi yang dibawa teknologi pun dapat mengubah kelakuan atau kepercayaan. Dengan catatan informasi tersebut memiliki kriteria: dapat diterima, dapat dipahami, relevan, berbeda dengan kepercayaan sebelumnya dan kredibel . Pasangan ini menawarkan sesuatu yang berbeda melalui profil dan teknik pendekatannya terhadap publik, media baru adalah alat yang mendukung terbentuknya profil dan teknik pendekatan baru tersebut. Lalu sejauh mana media baru dapat berperan dalam suksesi kandidat pada masa kampanye? Terdapat beberapa tipologi yang mendefinisikan pengaruh penggunaan teknologi informasi komunikasi seperti media baru terhadap aktivitas politik yang dituliskan oleh Abramson , yaitu: memperluas volume informasi yang dapat ditukar, pertukaran informasi dapat dilakukan secara langsung untuk tujuan praktis apapun secara cepat dan luas, meningkatkan kontrol audiens terhadap apa dan kapan informasi tertentu akan diterima, meningkatkan kontrol pembuat pesan tentang audiens yang dituju, serta mempermudah penyebaran melalui media massa dan menciptakan pola interaktivitas komunikasi. Kemudahan yang ditawarkan media baru untuk kampanye politik tidak hanya persoalan alat kampanye yang lebih canggih tapi juga struktur dan pola hubungan. Struktur menjadi lebih luwes sekaligus lebih kompleks, begitupula dengan hubungan antar pihak dalam kampanye. Dalam struktur kampanye media baru yang dinyatakan Howard, terdapat empat elemen abstrak : pertama, objek politik yaitu aktor, argumen dan ikon. Kedua, proses politik yang merupakan prosedur dimana aktor menemukan kepuasan, argumen mendapatkan publisitas dan ikon menemukan jalan atau sirkulasinya. Ketiga, peristiwa politik yang dijalani oleh objek politik pada waktu tertentu. Keempat, ingatan politik yaitu suplai dan filter informasi yang berefek terhadap bagaimana kita mengingat dan menginterpretasi objek, proses dan peristiwa politik. Elemen-elemen ini harus dimengerti dan dipetakan terlebih dahulu sebelum memasuki masa kampanye. Pemetaan tersebut adalah tugas manager kampanye yang lazimnya disebut tim sukses. Jika pada masa sebelum penggunaan media baru, tim sukses adalah individu atau kelompok tertentu yang ditunjuk untuk ‘memasarkan’ kandidat maka berbeda dengan saat ketika kampanye dilakukan media baru. Karakteristik media baru yang memungkinkan setiap orang memproduksi sekaligus mengkonsumsi informasi dan aplikasi yang diinginkannya membuat individu atau kelompok yang tidak tergabung dalam tim sukses pun dapat mengekspresikan dukungannya. Sebagai contoh, tidak semua kampanye melalui media sosial yang dilakukan oleh Jokowi-Ahok berasal dari tim suksesnya, beberapa adalah bentuk dukungan sukarela kaum muda semisal video klip lagu di Youtube yang berjudul ‘what makes you beautiful by one direction’ dan Jokowi-Ahok
Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing Candidate In Electoral Campaign
35
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
ISSN: 23389176
Social Media Volunteers (JASMEV) yang merupakan bentukan sukarelawan pendukung Jokowi-Basuki dengan tujuan mempopulerkan visi dan misi pasangan tersebut lewat dunia maya. Dapat disimpulkan bahwa media baru memberikan keleluasaan lebih kepada publik untuk berpartisipasi bahkan ikut menggodok konten kampanye. Tugas manajer kampanye menjadi lebih ringan dan hal tersebut berefek pada opini publik yang terbentuk. Maksudnya, opini publik tidak lagi dibentuk sesuai penerjemahkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kampanye melainkan telah mewujud dan diekspresikan sendiri oleh publik yang mengapresiasi melalui media baru. Ikatan antara kandidat calon dengan konstituennya menjadi lebih intensif. Terjadi pula perubahan terkait pola informasi, jika sebelumnya melalui televisi atau radio konstituen akan mendapatkan informasi kampanye yang dibuat untuk semua sehingga bersifat umum, media baru menawarkan sesuatu yang lebih spesifik dan personal . Konstituen dapat mencari informasi yang sesuai dengan keinginannya. Di sisi lain, tim kandidat dapat memberikan informasi yang sifatnya lebih personal dan ‘mengena’ untuk menarik dan mempertahankan minat konstituen terhadap kandidat, caranya dengan mengirimkan email kepada setiap user yang pernah mengakses laman kampanye kandidat. Isi email tersebut dapat berupa informasi apa saja: jadwal dan tempat kampanye, kegiatan yang telah dilakukan kandidat, dll. Hal seperti ini juga yang dilakukan oleh tim Jokowi melalui laman Jakartabaru. Meskipun sebetulnya tim kampanye tetap harus memetakan segmentasi audiens untuk mencari langkah tepat mengkoordinir konstituen. Di lain pihak, sebetulnya efek media baru terhadap opini publik lebih sulit dianalisis secara pasti dibandingkan media konvensional. Kesulitan utama terkait sumber dan penerima. Sulit menelusuri sumber konten didalam media baru apalagi untuk merujuknya hingga ke pribadi di dunia riil sebab aplikasi online memungkinkan anonimitas lagipula produksi dan konsumsi teks dapat terjadi bersamaan. Karena itu banyak pendapat yang meragukan tentang apakah memang media baru menghasilkan efek yang nyata alih-alih hanya terjadi di dunia maya. Ketika media konvensional memiliki batas teritori yang jelas menyangkut objek, subjek, tempat dan waktu sehingga menghadirkan gambaran yang nyata, media baru seakan, menurut istilah Gibson, kerangkeng tak berhingga. Namun Castells menegaskan bahwa kekhasan teknologi informasi bukan pada kemampuannya mengimbas realitas maya ke dunia nyata, melainkan kemampuannya membangun kemayaan yang nyata, real virtuality . Lagipula realitas maya tidak akan terbentuk tanpa dorongan dari peristiwa nyata. Karena itu, kampanye online tetap harus berjalan berbarengan dengan kampanye offline. Kekhawatiran kedua, apakah media baru berefek pada pembentukan opini publik yang deliberatif? Mengingat begitu banyak informasi yang simpang-siur dan tumpang tindih hingga tidak menyisakan ruang bagi perdebatan. Menanggapi hal ini, kita harus melihat kembali pada asumsi ruang publik bagi warga negara di era digital. Kutipan Howard dari beberapa teoris seperti Habermas, Tarde dan Anderson, bahwa ruang publik yang sehat adalah ruang yang: memberikan kesempatan penyebaran informasi yang mudah diakses, membuka ruang diskusi dan menyediakan ruang aspirasi dan partisipasi yang berujung pada tindakan nyata. Tiga kriteria tersebut sederhananya dapat dipenuhi dengan pemanfaatan media baru, mengenai praktek di lapangan adalah tanggung jawab bagi semua pihak dalam negara: pemerintah, swasta, media dan publik untuk ‘menjaga’ dan bertindak tidak overlap satu dengan yang lain. Kebijakan pengaturan dapat dikatakan sangat kompleks, tetapi yang jelas tidak mungkin mendomestikkan kebijakan tentang media baru karena kriteria media ini yang ‘tak berhingga’. Kebijakan harus dibuat dengan menyeimbangkan akses dan konten dan paling penting perlindungan privasi bagi setiap pengguna. Terkait kampanye melalui media baru di Indonesia, kemungkinan besar memang baru mampu berhasil digunakan untuk pemilihan umum di daerah perkotaan dengan estimasi jumlah pengguna internet yang banyak, dipenuhi usia produktif yang ingin terlibat dalam aktivitas politik yang simple karena terhalang kesibukan serta pluralitas masyarakat
36
Dani Fadillah
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
baik dari segi identitas (SARA) maupun pemikiran. Karenanya, kampanye jenis ini tidak selalu cocok untuk tiap daerah apalagi daerah dengan penduduk yang belum terpapar teknologi secara merata.
D. Penutup Media massa memiliki peran krusial dalam proses politik termasuk kampanye pemilihan umum. Media baru sebagai perkembangan paling mutakhir dari teknologi informasi saat ini memberi alternatif segar bagi pengembangan cara kampanye. Efek media baru ini tidak hanya berkisar tentang kepraktisan berkat penggunaan alat modern melainkan lebih kepada perubahan struktur dan pola hubungan antar pelaku dalam kampanye. Opini publik terbentuk berdasarkan efek ‘pengalaman personal’ dan ‘perasaan ikut terlibat’ selama aktivitas politik berlangsung. Kampanye melalui media baru ini sangat potensial dijalankan di kawasan perkotaan yang memiliki terpaan tinggi terhadap teknologi dan kondisi pluralitas dalam masyarakatnya. Potensi efek negatif media baru seperti anonimitas, ketidakjelasan ruang dan waktu serta deliberasi semu memang harus diwaspadai namun tidak berarti menutup jalan bagi pemanfaatan lebih jauh, sebab jenis media ini memberikan apa yang paling dibutuhkan publik di negara demokrasi untuk terlibat dalam aktivitas politik yaitu akses informasi yang luas dan bebas yang sebelumnya hanya bisa dinikmati segelintir orang ataupun elite pemerintahan saja.
Daftar Pustaka Althaus, Schott. L. 2003. ‘Collective Preferences in Democratic Politics: Opinion Surveys and the Will of the People’. Cambridge University Press. h. 243-276 Coleman, Stephen and Jay G. Blumler. 2009. ‘The Internet and Democratic Citizenship: Theory, Practice and Policy’. UK: Cambridge University Press. h.168 Erikson, Robert. S and Kent L.Tedin. 2003. ‘American Public Opinion; Chapter 1: Public Opinion in Democratic Societies’. h. 1-22 Fallows, James. 2009. ‘Kartu Pos dari Tomorrow Square: Liputan dari China’. PT Elex Media Komputindo. Hacker, Kenneth. L & Jan Van Dijk. 2000. ‘Digital Democracy: Issues of Theory and Practice’. SAGE Publications. h.4 Holtz-Bacha, Christina. ‘Political Campaign Communication: Conditional Convergence of Media Election’. dalam Frank Esser and Barbara Pfetsch. 2004. Comparing Political Communication: Theories, Cases and Challenges. Cambridge University Press. h. 213-227 Howard, Philip N. 2006. ‘New Media Campaigns and the Managed Citizen’. New York: Cambridge University Press. h. 55-60, h.158-159, h. 182-183 Jensen, Klaus Bruhn. 2002. ‘A Handbook of Media and Communication Research’. h.139140 Minogue, Kenneth. 2000. ‘Politics: A Very Short Introduction’. New York: Oxford University Press. h.72 Page, Benjamin I; Robert Y. Saphiro and Glenn R. Dempsey. 1987. ‘The American Political Sciennce Review Vol. 81 No.1. h.23-44 Rice, Ronald E and Charles K. Atkin. ‘Communication Campaigns: Theory, Design, Implementation and Evaluation’. dalam Jennings Bryant and Dolf Zillmann. Media Effects Advances in Theory and Research: Second Edition. 2002. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. h.430-431 Supelli, Karlina. ‘Ruang Publik Dunia Maya’. dalam F. Budi Hardiman (ed.). 2010. Ruang Publik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. h. 337&338 Wring Dominic and Ivan Horrocks. ‘Virtual Hype? The transformation of political parties?’. dalam Barrie Axford and Richard Huggins. 2001. New Media and Politics. Sage Publications, h.193 Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing Candidate In Electoral Campaign
37
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38
Sumber Lain: http://www.antaranews.com/berita/333624/foke-unggul-sosialisasi-spanduk-jokowi-dimedia-sosial Diakses 01/10/2012 pukul 20:56 WIB http://www.lsi.or.id/riset/427/Rilis_Capres_Indonesia_2014 Diakses 29/11/12 Pukul 20:29 WIB http://www.republika.co.id/page/poll/6 Diakses 03/01/2013 Pukul 8:33 WIB http://www.tempo.co/read/news/2012/09/17/083429964/Survei-Foke-Versus-JokowiKalah-Tipis Diakses 03/01/2013 Pukul 8:39 WIB http://nasional.news.viva.co.id/news/read/351773-foke-lebih-populer--jokowi-lebihdisukai Diakses 03/01/2013 Pukul 8:51 WIB http://metro.sindonews.com/read/2012/09/16/63/672766/survei-aji-jokowi-lebih-populer Diakses 03/01/2013 Pukul 8:46 WIB http://www.youtube.com/watch?v=f-zR65eXXPc Diakses 03/01/2013 Pukul 11:24 WIB http://www.tempo.co/read/news/2012/08/12/230422972/Relawan-Jokowi---Ahok Luncurkan-JASMEV Diakses 03/01/2013 Pukul 11:28 WIB Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing Candidate In Electoral Campaign
38
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
PERAN MEDIA SOSIAL ONLINE (FACEBOOK) SEBAGAI SALURAN SELF DISCLOSURE REMAJA PUTRI Oleh: Ratih Dwi Kusumaningtyas (Mahasiswa Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Airlangga) Abstrak Penelitian ini berdasarkan adanya fenomena self disclosure (keterbukaan atau pengungkapan diri) yang dilakukan remaja putri melalui Facebook. Facebook yang sebenarnya diciptakan serta diharapkan sebagai media komunikasi positif, ternyata telah memberikan dampak negatif bagi beberapa remaja putri. Hal itu dibuktikan oleh beberapa kasus pelarian ataupun penculikan remaja putri yang berawal dari self disclosure remaja putri tersebut melalui Facebook. Hasil penelitian ialah peran Facebook sangatlah luar biasa sebagai saluran self disclosure remaja putri di Surabaya, karena mampu membuat informasi tersembunyi di kehidupan nyata (offline) cenderung diungkapkan pada Facebook (online) secara terbuka oleh Facebooker (informan penelitian). Remaja putri di Surabaya (informan penelitian) melakukan self disclosure di Facebook untuk memenuhi kebutuhan menjalin hubungan pertemanan, khususnya pertemanan lama dan mengaktualisasikan diri. Selain itu, kecenderungan terbesar Facebooker yang terdiri atas remaja putri di Surabaya, yaitu melakukan self disclosure bersifat negatif. Kesimpulan yang dihasilkan yakni, remaja putri di Surabaya (informan penelitian) merasa nyaman melakukan self disclosure di Facebook, karena kebutuhan yang dia harapkan dapat terpenuhi pula oleh Facebook. Kata kunci : media, facebook, self disclosure, remaja
A. Pendahuluan Alternatif komunikasi masyarakat modern saat ini menyebabkan tuntutan manusia terhadap kebutuhan informasi semakin tinggi. Hal itu turut melahirkan kemajuan yang cukup signifikan dalam bidang teknologi. Peningkatan di bidang teknologi, informasi, serta komunikasi mengakibatkan dunia tidak lagi mengenal batas, jarak, ruang, dan waktu. Seseorang dapat dengan mudah mengakses informasi penting tentang fenomena kejadian di belahan dunia lain, tanpa harus berada di tempat tersebut. Padahal untuk mencapai tempat itu memakan waktu berjam-jam, namun hanya dengan seperangkat komputer yang memiliki konektivitas internet, informasi dapat diperoleh dalam hitungan detik. Internet (interconnection networking) merupakan jaringan komputer yang dapat menghubungkan suatu komputer atau jaringan komputer dengan jaringan komputer lain, sehingga dapat berkomunikasi atau berbagi data tanpa melihat jenis komputer itu sendiri. Seperti yang diketahui internet merupakan bentuk konvergensi dari beberapa teknologi penting terdahulu, seperti komputer, televisi, radio, dan telepon (Bungin, 2006: 135). Di era internet ini, jenis media sosial online sangat beragam. Salah satunya yang paling populer adalah Facebook. Facebook atau situs jejaring sosial ini lahir di Cambridge, Massachusetts 14 Februari 2004 oleh Mahasiswa Harvard bernama Mark Zuckerberg. Menurut data di Alexa, Facebook adalah mesin jejaring sosial nomor satu. Dalam urutan keseluruhan situs di dunia, Facebook menempati rangking ke-5 setelah Yahoo, Google, YouTube, dan Windows Live. Kepopuleran Facebook di Indonesia, mulai tahun 2008 dengan jumlah spektakuler pengguna Facebook yakni sebesar 618%. Berdasarkan informasi dari checkfacebook.com, pengguna Facebook mencapai 300 juta orang dan pertambahannya akan terus meningkat di setiap minggunya. Indonesia 39
Ratih Dwi Kusumaningtyas
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
tergolong negara ke tujuh terbesar pengguna Facebook, hampir mencapai 12 juta orang dan jumlah ini terus mengalami pertumbuhan rata-rata 6% per minggu (Juju dan Sulianta, 2010:7). Dengan melihat data di atas, apabila Facebook dianalogikan sebagai “negara”, maka Facebook dapat menjadi “negara paling demokratis”. Setiap orang diperbolehkan menjadi warganya, dari anak kecil hingga orang dewasa, anak jalanan hingga professor, pangangguran sampai komisaris perusahaan. Semua orang dengan status dan lapisan sosial yang berbeda-beda dapat memasuki “Negara Facebook” dengan sangat bebas. Facebook merupakan salah satu produk internet, namun menjadi lebih populer daripada internet itu sendiri. Banyak orang rela mengakses internet demi Facebook, padahal dahulunya internet bukan teknologi yang mudah bagi kebanyakan orang. Mereka dengan kelemahan latar belakang pendidikan, usia, dan status sosial atau ekonomi mau belajar internet demi mengekspresikan dirinya pada Facebook. Dahulunya, tukang sayur, office boy, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, manula pada tahun 2003 tidak mengenal internet, namun kini mereka memiliki Facebook (Juju dan Sulianta, 2010:2). Mark Zuckerberg menulis alasan evolusi Facebook (Juju dan Sulianta, 2010 : 6): “Facebook’s mission is to give people the power to share and make the world more open and connected. In the last four years, we’ve built new products that help people share more, such as photos, videos, groups, events, wall posts, status updates, and so on.” (“Misi Facebook adalah memberi orang kekuatan untuk berbagi dan membuat dunia lebih terbuka dan terhubung. Empat tahun yang lalu, kami membangun produk-produk baru yang menolong orang lebih berbagi, seperti foto-foto, video-video, peristiwa-peristiwa, menulis pesan di dinding Facebook, meng-update status, dan seterusnya. ”)
Jadi, misi Facebook adalah “power share”, semua orang yang terkoneksi di Facebook dapat saling berbagi dan berinteraksi maka dari itu beberapa fitur dan produk layanan dibuat (Juju dan Sulianta, 2010 : 6). Pada dasarnya Facebook dibuat dengan niat baik dan benar-benar mengusung nilai-nilai pertemanan yang “kental”. Hal itu dapat dilihat pada fitur dan kemampuan seperti membuat pertemanan dan terus dapat berhubungan dengan teman-teman atau relasi, personal whiteboards atau umumnya disebut “walls”, membuat group, tergabung ke dalamnya, advertising parties / “events”, mengirimkan pesan personal layaknya e-mail, saling meng-upload dan sharing image, campus advertising, membuat pernyataan status. Dibalik atmosfer positifnya ternyata tidak dapat dipungkiri, Facebook menyimpan pula sisi negatifnya.Terutama kasus-kasus kejahatan melalui media Facebook yang menimpa para remaja sebagai korbannya. Maraknya, pelecehan seksual, praktek prostitusi, tindakan asusila, pertengkaran, penghinaan, pencemaran nama baik, dan cybercrime lainnya yang turut melibatkan remaja banyak ditemui melalui Facebook. Ujang, remaja lulusan SMA dilaporkan ke Mapolresta Bogor berkaitan dengan tuduhan Felly yang menyatakan bahwa Ujang telah menulis kalimat hinaan padanya di Facebook (okezone.com). Contoh kasus serupa di luar negeri, seorang remaja puteri asal New York menuntut empat orang mantan teman-teman SMA, orang tuanya, dan Facebook sebesar 3 juta dolar dikarenakan ia diperolok dan dihina dalam sebuah forum pribadi di Facebook (suara01.blogspot.com). Dampak negatif Facebook, dapat pula dibuktikan dengan penelitian baru oleh kandidat program doctoral dari Ohio State University, Aryn Karpinski dan rekannya Adam Durberstein dari Ohio Dominican University, menunjukkan nilai rata-rata IPK mahasiswa yang menjadi anggota Facebook turun secara signifikan dibandingkan mereka yang tidak bergabung dengan Facebook. Perbandingannya, nilai IPK bagi mahasiswa anggota Facebook mencapai 3,0-3,5, sedangkan mahasiswa yang bukan anggota Facebook, mampu mencapai 3,5-4,0. Hasil studi Ohio State University juga menyebutkan bahwa “semakin sering Anda menggunakan Facebook, semakin sedikit waktu Anda belajar dan semakin buruklah nilai-nilai mata pelajaran Anda.” (Solahudin, 2009 : 85) 40
Ratih Dwi Kusumaningtyas
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
Kasus-kasus berdampak negatif pada Facebook cenderung dialami para remaja. Hal ini dapat dikarenakan ketidakmatangan seorang remaja dalam mengenali identitas diri maupun lingkungannya. Dampak negatif bermedia Facebook sangat potensial dialami oleh remaja puteri. Hal tersebut dapat dipicu karena remaja puteri cenderung lebih memiliki keterbukaan diri daripada remaja laki-laki. Menurut De Vito (2006 : 63), “wanita lebih sering mengekspresikan perasaannya dan memiliki keinginan yang besar untuk selalu mengungkapkan dirinya.” Kecenderungan remaja puteri ini dapat membahayakan dirinya, apabila hadir pihak yang berniat buruk padanya. Melalui Facebook, pihak yang tidak baik juga dapat memperoleh informasi bahkan berkomunikasi langsung dengan remaja puteri yang bersangkutan untuk mempelajari sisi lemahnya. Terbukti berdasarkan kasus kejahatan di Facebook akhir-akhir ini, seorang remaja puteri yang gemar mencurahkan isi hatinya termasuk kesedihannya, dimanfaatkan oleh seorang pria yang “berkedok” baik membantu remaja tersebut keluar dari permasalahannya. Seiring waktu tumbuh perasaan nyaman dari remaja puteri tersebut, hingga akhirnya mereka memutuskan melakukan “kopi darat” atau pertemuan di dunia nyata. Pada akhirnya, hubungan itu berakhir pada pelecehan seksual, yang pastinya membawa kerugian besar bagi remaja puteri. Laporan dari pihak Komnas HAM diperoleh lebih dari 100 orang anak hilang akibat menjalin pertemanan melalui Facebook dengan rata-rata korbannya adalah remaja putri (smpn2banyuasin.wordpress.com). Berikut ini beberapa kasus Facebook yang menimpa para remaja putri: Marietta Nova Triana (14 tahun), siswi salah satu SMP Surabaya yang bertempat tinggal di Sidoarjo, menghilang dari rumah tantenya di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan dan ditemukan bersama Ari, seorang pemuda yang dikenalnya melalui Facebook. Marietta telah mengalami pencabulan sebanyak tiga kali. (jabodetabek.tvone) Kasus menghilangnya Stefani Abelina Tiur Napitulu (14 tahun) seorang siswi SMAN 22 Surabaya yang diduga pergi bersama teman yang dikenalnya dari Facebook, hingga akhirnya ditemukan di salah satu warnet di Jakarta dalam kondisi kehilangan handphone. (surabaya.detik.com) Aisyah Safira (14 tahun), pelajar kelas 3 SMP di Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang. Aisyah Safira menghilang empat hari dan ternyata dibawa lari kekasihnya bernama Airlangga (21), warga Ngawi, Jawa Timur yang dikenalnya melalui Facebook. Keduanya, dibekuk polisi di sebuah hotel di Cibitung, Kabupaten Bekasi, beberapa hari lalu. Tapi, pemuda pengangguran ini sempat menyetubuhi Asiyah sebanyak empat kali. (beritajatim. com) Rohmatul Latifah Asyhari (16 tahun), remaja putri warga Desa Mojoduwur, Kecamatan Mojowarno, Jombang menghilang setelah mendapat ajakan bekerja oleh pria bernama Anis Asmara (41 tahun) yang dikenalnya dari Facebook. Latifah mengaku dilarikan di Jakarta dan Bali, bahkan ia telah menikah siri dengan pria tersebut. (beritajatim.com) Empat pelajar remaja putri dikeluarkan dari SMA Negeri 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau gara-gara ia menghina gurunya melalui Facebook. (metrobalikpapan.co.id). Menghilangnya Rakhma Safitri (19 tahun), mahasiswi Akademi Kebidanan Bakti Asih Purwakarta dengan teman yang diduga dikenalnya melalui Facebook. (metrobalikpapan. co.id). Sylvia Russrina (23 tahun), mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah turut menghilang bersama seorang pria yang dikenalnya dari situs jejaring sosial Facebook. (www.detiknews.com) Dewi Fatimah (14 tahun) seorang siswi di SMP Tangerang selatan ditemukan tewas dibunuh oleh empat pria yang dikenalnya melalui Facebook. (www.detiknews.com)
Kasus-kasus yang marak dialami remaja melalui Facebook, ditengarai berawal dari self disclosure (keterbukaan diri) yang dilakukan oleh remaja tersebut. Keterbukaan diri (self-disclosure) remaja di Facebook dapat berpotensi baik ataupun buruk seperti “dua Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
41
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
sisi mata uang” yang ditimbulkan Facebook. Bedasarkan pendapat De Vito (2006:61-68), self-disclosure adalah suatu jenis komunikasi, yaitu pengungkapan informasi tentang diri sendiri baik yang disembunyikan maupun yang tidak disembunyikan. Rata-rata kasus melalui Facebook, mayoritas menjadikan remaja putri sebagai korbannya. Di sisi lain Facebook dapat dipilih sebagai jalur alternatif self disclosure yang paling banyak digemari oleh remaja putri. Kasus-kasus di atas telah membuktikan hal tersebut, terlebih lagi pertemanan dalam Facebook tersebut, diawali dengan self disclosure oleh remaja putri. Dari latar belakang permasalahan tersebut, akhirnya peneliti menggunakan judul “Peran Media Sosial Online (Facebook) sebagai Saluran Self disclosure Remaja Putri”.
B. Kerangka teoritik 1. Self Disclosure “Self disclosure is communication in which you reveal information about yourself, because self disclosure is a type of communication, it includes not only overt statements but also, for example,slips of the tongue and unconscious nonverbal signals.it varies from whispering a secret to a bestfriend to making a public confession on a television talkshow.” (“Self disclosure adalah komunikasi yang menyatakan pengakuan diri sendiri, karena self disclosure adalah jenis komunikasi yang tidak hanya menyertakan pernyataan tetapi juga terdapat maksud dari bahasa non-verbal, seperti halnya kita membuka rahasia kepada teman dekat kita dan melakukan pengakuan kepada publik pada acara talk show di televisi.”). (Devito, 2006:103)
Menurut Johnson dalam supraktiknya (2002:14), pengungkapan diri adalah “mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut”. Sedangkan menurut De Vito (2006:62) pengungkapan diri adalah “jenis komunikasi antarpribadi yang melibatkan sedikitnya satu orang lain dimana individu mengungkapkan informasi yang rahasia tentang dirinya kepada orang lain.” Menurut De Vito (2006:61-68), self disclosure adalah suatu jenis komunikasi, yaitu pengungkapan informasi tentang diri sendiri baik yang disembunyikan maupun yang tidak disembunyikan. Self disclosure sangat penting dalam komunikasi terutama dalam konteks membina dan memelihara hubungan interpersonal. Self disclosure dapat membantu komunikasi menjadi efektif, menciptakan hubungan yang lebih bermakna dan juga bagi kesehatan untuk mengurangi stress. Dalam istilah di Indonesia, self-disclosure juga disebut sebagai membuka diri atau penyingkapan diri. Penyingkapan diri adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Banyak hal yang dapat diungkapkan tentang diri kita melalui ekspresi wajah, sikap tubuh, pakaian, nada suara, dan melalui isyarat-isyarat non verbal lainnya yang tidak terhitung jumlahnya, meskipun banyak di antara perilaku tersebut tidak disengaja, namun penyingkapan diri yang sesungguhnya adalah perilaku yang disengaja. Penyingkapan diri tidak hanya merupakan bagian integral dari komunikasi dua orang;penyingkapan diri lebih sering muncul dalam konteks hubungan dua orang dari pada dalam konteks jenis komunikasi lainnya (Tubbs & Moss, 1996 dalam De Vito:2006:12-13). Rakhmat menuliskan bahwa dengan membuka diri (melakukan self disclosure), konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai pengalaman kita, maka kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasangagasan baru, lebih cenderung mengindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain. Hubungan atau konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Johari Window sebagai berikut:
42
Ratih Dwi Kusumaningtyas
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
DIRI YANG DIKETAHUI
DIRI YANG TIDAK DIKETAHUI
Gambar 1. Johari Window II (Rakhmat, 2000:10)
Sebelah kiri jendela menunjukkan aspek diri yang kita ketahui, sebelah kanan adalah aspek diri yang tidak kita ketahui. Bila kedua jendela digabung menjadi jendela johari yang lengkap dengan masing-masing daerah yaitu: “terbuka” (open), “buta” (blind), “tersembunyi” (hidden), dan “tidak diketahui” (unknown).
KITA KETAHUI
TIDAK KITA KETAHUI
PUBLIK
TERBUKA (I)
BUTA (II)
PRIVAT
TERSEMBUNYI (III)
TIDAK DIKENALI (IV)
Gambar 2. Johari Window III (Rakhmat, 2000:107)
Penjelasan dari gambar di atas adalah: Kuadran terbuka (I), mencerminkan keterbukaan seseorang pada dunia secara umum, keinginan yang untuk diketahui. Kuadran ini mencakup semua aspek diri seseorang yang diketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Kuadran ini adalah dasar bagi kebanyakan komunikasi antar dua orang. Kuadran buta (II), meliputi semua hal mengenai diri seseorang yang dirasakan orang lain tetapi tidak dirasakan sendiri. Mungkin seseorang cenderung memonopoli percakapan tanpa disadarinya, atau seseorang menganggap dirinya jenaka tetapi rekannya menganggap gurauannya canggung. Kuadran gelap dapat memuat setiap rangsangan komunikatif yang tidak disengaja. Kuadran tersembunyi (III), diri seseorang yang bersangkutanlah yang menentukan kebijaksanaan. Kuadran ini dibangun oleh semua hal dimana seseorang lebih suka untuk tidak Membeberkannya kepada orang lain, apakah itu mengenai dirinya ataupun orang lain, seperti gaji, perceraian, perasaan, dan lain-lain. Pendeknya, kuadran ini mewakili usaha seseorang untuk membatasi masukan atau informasi yang menyangkut dirinya. Kuadran tidak dikenali (IV), kuadran ini tidak diketahui oleh diri sendiri, meskipun diketahui orang lain. Kuadran ini mewakili segala sesuatu tentang diri seseorang yang belum ditelusurinya maupun oleh orang lain semua sumber yang tidak tersentuh, semua potensi seseorang bagi pengembangan pribadi. (De Vito, 2006:98)
2. Definisi Peran Berdasarkan segi bahasa, peran atau “Role” dalam kamus oxford dictionary ialah actor’s part, one task or function, yang berarti aktor, tugas seseorang atau fungsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia peran memiliki makna pemain sandiwara (film), perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang. Peran menurut Beck, dkk dalam buku Anna B. Keliat, 1992 merupakan pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Dari definisi-definisi peran yang berlaku pada manusia di atas, turut berlaku pada Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
43
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
media, khususnya media sosial online (Facebook). Hal itu berarti peran media sosial online (Facebook), yakni pola, sikap, perilaku, nilai, tujuan yang diharapkan dari media sosial online (Facebook) berdasarkan tugas, fungsi, ataupun posisinya di masyarakat.
3. Teori Motif Kebutuhan Manusia Menurut Winkel dan Azwar (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006), motif merupakan suatu keadaan, kebutuhan, dorongan, atau kekuatan yang berasal dari dalam diri seseorang baik yang disadari maupun tidak disadari untuk mencapai tujuan tertentu. Maslow membagi dorongan atau kebutuhan-kebutuhan universal yang dibawa individu sejak lahir dalam lima tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi dalam hirarki kebutuhan (need hierarchy). Susunan dari tingkatan paling rendah sampai paling tinggi, yakni (Effendy, 2003 : 290) : a. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (psysiological needs) Kebutuhan yang paling dasar, kuat, dan jelas adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, berteduh, oksigen, tidur, seks, dan sejenisnya. b. Kebutuhan-kebutuhan rasa aman (safety needs) Terdiri atas kebutuhan-kebutuhan akan jaminan, stabilitas, perlindungan, ketertiban, bebas dari rasa takut dan kecemasan. c. Kebutuhan-kebutuhan rasa memiliki dan cinta (Love needs) Pada umumnya, setiap orang mengharapkan hubungan yang penuh kasih sayang dengan orang lain, lebih khusus lagi kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki di tengah kelompoknya. Dalam hubungan ini memberi dan menerima cinta sama pentingnya bagi individu. d. Kebutuhan-kebutuhan penghargaan (esteem needs) Maslow membagi kebutuhan akan penghargaan menjadi dua, yaitu penghargaan terhadap diri sendiri dan penghargaan dari orang lain. Penghargaan diri sendiri atau harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain, yaitu prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, atau keberhasilan dalam masyarakat, semua sifat dari bagaimana orang lain berpikir dan bereaksi terhadap seseorang. e. Kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) Kebutuhan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dari semua bakat, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas, sesuai dengan potensi seseorang untuk menjadi. Atau dengan kata lain aktualisasi diri merupakan kebutuhan psikologis dalam menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan kemampuannya untuk menjadi diri sendiri sesuai dengan kemampuannya.
4. Teori Determinisme Teknologi Teori determinisme teknologi dicetuskan pertama kali oleh Marshall Mc Luhan dengan pernyatannya berupa “the medium is message” artinya bahwa dampak yang paling penting dari media komunikasi ialah bahwa media komunikasi mempengaruhi kebiasaan persepsi dan berpikir kita (Severin dan Tankard, 2005:536). Mc Luhan menggolongkan sejarah kehidupan manusia ke dalam empat periode: a. The tribal age (era suku atau purba) Pada era purba atau era suku zaman dahulu, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah “raja” ketika itu, “hearing is believing”, dan kemampuan visual manusia belum banyak diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alfabet atau huruf. b. The literate age (era literal/huruf) 44
Ratih Dwi Kusumaningtyas
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
Semenjak ditemukannya alfabet atau huruf, maka cara manusia berkomunikasi banyak berubah. Indera penglihatan kemudian menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan. c. The print age (era cetak) Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alfabet semakin menyebarluas ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak tersebut semakin merajalela. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi. d. The electronic age (era elektronik). Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat atau teknologi komunikasi. Telegram, telpon, radio, film, televisi, VCR, fax, komputer, dan internet. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai “global village”. Media massa pada era ini mampu membawa manusia mampu untuk bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja, seketika itu juga. Mc Luhan berpendapat, transisi antar periode tadi tidaklah bersifat gradual atau evolusif, akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi. Teori determinisme teknologi menjelaskan bahwa teknologi media membentuk individu bagaimana cara berpikir dan berperilaku dalam masyarakat. Teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi lain. (Nurudin, 2003 : 174).
5. Computer Mediated Communication (CMC) Bentuk dari perkembangan teknologi komunikasi yang dewasa ini sering digunakan oleh khalayak ialah komunikasi dengan menggunakan perantaraan media komputer atau yang biasa disebut Computer Mediated Communication (CMC) yaitu ruang tanpa batas sebagai bentuk dari interaksi manusia di antara dua atau lebih jaringan komputer. Saat komunikasi tradisional berpindah ke komunikasi yang terjadi dengan format media komputer, maka komunikasi tersebut juga menggunakan bentuk lain dari interaksi berbasis teks seperti penggunaan pesan teks. Penelitian pada (CMC) lebih difokusan pada dampak sosial dari perbedaan teknologi komunikasi dengan media komputer. Banyak studi yang telah ada melibatkan internet berbasis jaringan sosial yang didukung oleh software sosial. (Fidler, 2003:57) Penggabungan teknologi telekomunikasi dan komputer menjadi komunikasi berbasis komputer yang memiliki konsekuensi tertentu seperti dinyatakan oleh D. Beckers dalam Raharjo (2002 : 95): But the merge of telecommunication and computer, the computer mediated communication (CMC) might have even bigger concequences than the telephone and the television, because of its unique characteristics. In the first place the ease to generate and distribute data area unknown to any earlier technique based on this data can be generated, for example searching-mechanism. Second, computer mediated communication (CMC) is not limited to only text, but also transport picture, audio, and video. Third, computer mediated communication (CMC) is the first many-to-many medium. For example the telephone can only be used by two percent of time (one-to-one) and newspaper send information from one source to many (one-to-many). Last computer mediated communication (CMC) can be used both synchronies (for example for a telephone call the participants have to use the telephone at the same time) as a syncrhronous (for example a letter, that is written before hand and is read latter). (Tetapi menggabungkan telekomunikasi dan komputer (CMC) mungkin memiliki konsekuensi yang besar dibandingkan dengan telepon dan televisi. Karena (CMC) memiliki karakteristik yang unik. Pertama: meringankan, menghasilkan, dan mendistribusikan data sebagai contoh: mekanisme pencarian data yang lebih mudah. Kedua: (CMC) tidak hanya terbatas pada teks, tetapi juga dapat mengirimkan gambar, suara, dan video. Ketiga: Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
45
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
(CMC) adalah media pertama yang dapat mengirimkan pesan dari banyak orang kepada beberapa orang, sebagai contoh telepon hanya mengirimkan pesan dari satu orang ke satu orang yang lain , dan surat kabar mengirimkan informasi dari satu sumber kepada banyak orang. Terakhir: (CMC) dapat digunakan mensinkronisasi (sebagai contoh, pada panggilan telepon yang menelepon menggunakan telepon tersebut pada waktu yang sama) sebagai sebuah sinkronisasi (contohnya, surat ditulis dan dibaca nanti).
6. Remaja Putri Remaja bahsa aslinya adolescence, berasal dari bahasa latin yang artinya “tumbuh untuk mencapai keuntungan”. Anak dianggap sudah dewasa bila sudah mampu mengadakan reproduksi. Perkembangan lebih lanjut istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang dari usia puberstas. Menurut Desmita dalam bukunya psikologi perkembangan remaja menyatakan bahwa batasan remaja untuk masyarakat Indonesia adalah usia 12 sampai dengan 21 tahun dan belum menikah. (Desmita, 2005:190) Dalam tulisan Psikologi Perkembangan (Ahmadi Abu dan Munawar, 2005), menjelaskan pemahaman remaja sebagai berikut: “Remaja sebagai periode transisi antara anak-anak ke masa dewasa. Remaja juga merupakan restrukturisasi kesadaran atau masa penyempurnaan dari perkembangan dan puncak perkembangan ditandai dengan perubahan kondisi “entropy” ke kondisi “negative entropy”. Entropy adalah keadaan kesadaran manusia belum tertata rapi walaupun isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan). Istilah “entropy” ini sebetulnya dipinjam dari ilmu alam (fisika) dan ilmu komunikasi (khususnya teori komunikasi). Dalam ilmu alam “entropy” berarti keadaan tidak ada sistem yang tertentu dari suatu sumber energi sehingga sumber tersebut menjadi kehilangan energinya. Dalam ilmu komunikasi “entropy” berarti keadaan tidak ada pola tertentu dari rangsang-rangsang (stimulus) yang diterima seseorang, sehingga rangsang-rangsang tersebut menjadi kehilangan artinya. Entropy secara psikologik berarti isi kesadaran masih bertentangan, saling tidak berhuhungan sehingga saling mengurangi kapasitas kerjanya dan menimbulkan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi orang yang bersangkutan.”
Pernyataan di atas mencerminkan karakter remaja dengan ketidakjelasan batasbatas emosi yang tidak menentu dan terus menerus merasakan pertentangan sebagai bentuk kelabilan. Pada episentrum.com menyatakan potensi kelabilan remaja: “remaja cenderung labil dan berlaku sesuai keinginan hatinya walaupun dapat merugikan orang lain. Ketidakstabilan emosi yang ada di diri remaja pada masa-masa ini membuat diri remaja merasa untuk mengenal, mengerti, memahami diri maupun orang lain. Konflik ini muncul dalam bentuk ketegangan emosi yang terus meningkat dalam diri anak muda, bercampur dengan hal-hal yang berada di luar dirinya dan menjadi suatu keutuhan. Perasaan-perasaan yang dominan adalah ingin main-main, loncat-loncat, dan selalu membuat tingkah nakal.”
Meski demikian,dalam dunia remaja antara remaja putra dan putri memiliki perbedaan bahwa remaja putri mempunyai kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding remaja putra. Jika merasa bahwa apa yang ada pada diri mereka tidak cukup menarik untuk diperhatikan, maka hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri mereka dalam 46
Ratih Dwi Kusumaningtyas
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
suatu lingkungan. Sehingga remaja putri menyadari bahwa untuk diterima oleh lingkungan sosial pergaulannya, ia ingin dianggap anak gaul, stylish, modern, dan keren. Hal tersebut dapat terjadi karena pada masa remaja, menyesuaikan diri dengan standar kelompok jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada individualitas sehingga penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian sosial sangat dipengaruhi oleh sikap teman-teman sebaya terhadap perilaku kelompok (Hurlock, 1992:220). Ketertarikan remaja dalam hal asmara juga kuat. Kecenderungan kuat intensitas asmara (cinta) bagi remaja juga diperkuat dalam Psikologi Perkembangan (Ahmadi Abu & Munawar, 2005): “Pada masa ini pubertas seorang remaja tidak lagi hanya bersifat reaktif, tetapi juga anak mulai aktif mencapai kegiatan dalam mencari dirinya, mencari pedoman hidup, mencoba segala sesuatu dengan semangat yang menyala-nyala. Tetapi ia sendiri belum memahami akan Hakikat dari sesuatu yang dicari atau ditemukannya itu. Masa ini disebut dengan masa strumund drang ( badai dan dorongan ).Pada kegiatan strumund drang anak puber mulai mengenal segala macam corak kehidupan masyarakat tetapi anak belum sempurna pengetahuannya untuk membedakan ataupun menyeleksinya. Dan hal ini banyak terjadi dalam percintaan remaja. Cinta menjadi salah satu persoalan remaja yang penting dan penuh misteri, karena di masa ini remaja mulai tertarik dengan lawan jenis. Tidak sedikit remaja yang kesulitan dalam menjalani tugas perkembangan ini. Kegagalan bercinta pada masa remaja sering mempengaruhi perkembangan kepribandiannya dan juga hari depannya jika remaja itu tidak bisa mengontrol emosinya.”
7. Pemahaman Internet Internet (interconnection networking) merupakan jaringan komputer yang dapat menghubungkan suatu komputer atau jaringan komputer dengan jaringan komputer lain, sehingga dapat berkomunikasi atau berbagi data tanpa melihat jenis komputer itu sendiri. Seperti yang diketahui internet merupakan bentuk konvergensi dari beberapa teknologi penting terdahulu, seperti komputer, televisi, radio, dan telepon (Bungin, 2006: 135). Internet dapat diartikan sebagai sekumpulan jaringan yang terdiri atas jutaan komputer yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan suatu aturan komunikasi jaringan komputer sama. Pada dasarnya internet merupakan jaringan komputer sangat besar yang terbentuk dari jaringan-jaringan kecil di seluruh dunia dan saling terhubung satu sama lain. (Raharjo, 2002: 60) Internet memiliki karakteristik unik dan mampu mengadakan interaktif luas. Internet mempunyai karakteristik interactivity menurut Rafaeli dalam Jaffe et’al (1995:3), internet berpotensi disebut “interpersonal mass medium” (media massa interpersonal). Faktor interpersonal ini membuat CMC memiliki kapabilitas sebagai media massa pertama yang bersifat “many-to- many”. Peranan internet sebagai media baru dengan keunggulan interaktif dan membangun hubungan secara personal, kelompok maupun massa. Melalui internet, jarak, ruang, serta waktu bukan lagi menjadi penghalang untuk berkomunikasi sesuai pernyataan Harold Adam Raharjo (2002: 97): Introduction of new medium of communication sets in motion deep-routed changed in important societal institutions by influencing orientations about time and space. Writing more than a decade before “The medium is the message” became a part of popular culture. (Memperkenalkan media baru komunikasi, yang merubah tatanan penting interaksi sosial dengan mempengaruhi orientasi mengenai ruang dan waktu. Tertulis beberapa dekade sebelumnya “media adalah pesan” menjadi bagian dari budaya yang populer).
8. Facebook Facebook merupakan situs jejaring sosial yang dapat menggabungkan jaringan yang diorganisir oleh kota, tempat kerja, sekolah, dan daerah, serta saling berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain yang merujuk kepada suatu komunitas. Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
47
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
Facebook terletak pada kompleksitas dan simplisitas. Layanan Facebook hadir dengan berbagai macam fitur yang dapat dikatakan komplit. Semua ada di Facebook, mulai dari sekadar update status, berbagi link, berbagi gambar, bebagi video, berkirim pesan, blogging (note), chatting. Selain itu, Facebook juga menyediakan fitur undangan (Invitation), cause, quiz, group, dan lain-lain. Facebook seolah-olah menawarkan konsep “one-stopvisit” analogi dari konsep belanja “one-stop-shopping”. Facebook turut memberikan fasilitas bagi penggunanya untuk mencapai banyak motif yang dapat menunjang eksistensi Facebooker di dalamnya. Hal ini dinyatakan Ellison, Steinfeld, et al (2007): “Facebook merupakan aplikasi jejaring sosial online yang membuat penggunanya dapat menampilkan diri mereka dalam profil online, menambah “teman” yang dapat memposting komentar serta saling melihat profil satu sama lain. Para anggotanya juga dapat bergabung dengan grup virtual berbasis kesamaan minat, seperti kelas, hobi, minat, selera musik dan status hubungan romantis melalui profil mereka.”
Selain itu, Facebook memiliki keunikan sebagai jejaring sosial yang lebih memudahkan menjalin hubungan pertemanan lama. Hal tersebut dinyatakankan juga oleh Boyd dan Ellison (2007): “Keunikan situs jejaring sosial adalah bukan karena semata-mata media ini mampu membuat individu bertemu orang tak dikenal (strangers), namun lebih untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang memang telah menjadi bagian dari perpanjangan jejaring sosial mereka.”
Sebuah riset menunjukkan, rata-rata pengguna Facebook menghabiskan sekitar 30 menit dalam satu hari hanya untuk melihat status teman jaringan mereka. Status pada Facebook berisi suatu informasi dari Facebooker-nya, terkadang informasi tersebut bersifat pribadi namun berubah sifat menjadi informasi publik saat di Facebook. Hal itu terjadi pula pada fitur profile di Facebook. Ini dibenarkan oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan: “Di Facebook, tingkat visibilitas untuk melihat profil pengguna lainnya cukup tinggi. Para pengguna yang merupakan bagian dari jaringan yang sama dapat bebas melihat profil satu sama lain, kecuali jika si pemilik profil memutuskan untuk menutup profil mereka, membatasi hanya dapat dilihat oleh lingkaran teman terdekat saja.” (Ellison, Steinfeld, et al, 2007)
Dilansir melalui AFP, Senin (16/2/2009), para pengguna Facebook telah menghabiskan waktu mem-browsing Facebook setidaknya selama 24 menit dalam satu hari melalui ponsel. Sedangkan saat menggunakan komputer, mereka mampu menghabiskan waktu 27,5 menit dalam sehari. (okezone.com) Facebook memiliki sederet fitur yang memungkinkan penggunanya berinteraksi langsung (real time), seperti chatting, tag photo, blog, game, update status “what are you doing now”. Situs jejaring sosial ini telah membantu banyak orang tidak sekedar mencari teman baru, tetapi juga menemukan sahabat lama. (Tempo Interaktif) Di sisi lain, Facebook juga memiliki karakter media sosial online. Facebook adalah media yang bersifat anonimitas, yakni suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat diidentifikasi. Anonimitas ini mendorong ke arah timbulnya disembodiment, sebuah identitas yang tidak tergantung atau dibatasi oleh tampilan fisik. Seperti yang diungkapkan oleh Turkle (1995), “Anda dapat menjadi siapa saja di internet. Anda dapat sepenuhnya menciptakan identitas baru sesuai keinginan.” (Thurlow, Lengel & Tomic, 2007:99) Di dalam Facebook terdapat kecenderungan Facebooker membuka informasi pribadi tentang dirinya. Hal tersebut dikuatkan melalui hasil penelitian oleh Acquisti and Gross (2006), Lampe, Ellison, and Steinfield (2007), Stutzman (2006) yang menunjukkan 48
Ratih Dwi Kusumaningtyas
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
bahwa para pengguna Facebook membuka lebar informasi tentang diri mereka, dan tidak sadar dengan opsi privasi mengenai siapa yang dapat menyaksikan profil mereka. (Acquisti and Gross, 2006 dalam Dwyer, et.al, 2007)
C. Unit Analisis Data Pada penelitian ini, informan penelitian merupakan remaja putri di Surabaya berusia 12 sampai 21 tahun. Pemilihan Kota Surabaya, dikarenakan tingkat kejahatan melalui Facebook (pada pendahuluan) banyak terjadi di Surabaya. Remaja putri di Surabaya tersebut adalah pengguna aktif Facebook, artinya remaja putri yang memiliki akun pribadi di Facebook serta melaukan aktivitas online di Facebook rata-rata setiap hari minimal selama 30 menit per hari. Selain itu, peneliti memilih fokus penelitian fitur Facebook pada konten profil Facebooker yang terdiri atas wall (status) notes konten tersebut terdiri atas pesan teks (tertulis). Fitur-fitur sejenis itu memiliki prosentase sangat tinggi sebagai media komunikasi dan informasi remaja serta berpotensi sebagai saluran self disclosure remaja. Pesan yang disampaikan dalam bentuk bahasa dan tulisan (teks) melalui fitur-fiitur (wall (status) dan notes) di Facebook, diteliti agar mampu mendeskripsikan motif, jenis, sifat, serta proses self disclosure yang dilakukan oleh Facebooker yang berperan sebagai informan penelitian (sumber data dalam penelitian).
D. Teknik Analisa Data Patton mengungkapkan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Bogdan dan Taylor mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan olrh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. (Moleong, 2001:103) Terdapat langkah-langkah dalam menganalisis data (Moleong, 2001:105): 1. Data yang terkumpul dikategorikan dan dipilah-pilah menurut jenis datanya. 2. Melakukan seleksi terhadap data yang dianggap data inti yang berkaitan langsung dengan permasalahan dan yang hanya merupakan data pendukung. 3. Menelaah, mengkaji, dan mempelajari lebih dalam data tersebut kemudian melakukan interpretasi data untuk mencari solusi dalam permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Pada penelitian kualitatif ini, analisis data dilakukan semenjak awal penelitian. Pengamatan dilaksanakan di Facebook sebuah situs jejaring sosial di dunia maya yang banyak digunakan oleh netter (pengguna internet) sebagai saluran self disclosure melalui cyberspace. Aktivitas self disclosure yang terjadi di dalamnya diobservasi melalui pesan (bahasa dan tulisan) yang disampaikan remaja putri di Surabaya pada fasilitas-fasilitas komunikasi dan informasi (wall (status) dan notes) yang tersedia pada Facebook.
E. Gambaran Informan Penelitian Dalam penelitian ini informan yang berperan sebagai subjek penelitian, tidak dibatasi dan ditentukan jumlahnya. Kriteria menjadi informan adalah remaja putri di Surabaya yang memiliki akun pribadi di Facebook. Informan berusia 12-21 tahun. Informan seringkali melakukan self disclosure dengan para Facebooker di media sosial online (Facebook) dengan memanfaatkan fitur wall dan notes. Adapun self disclosure (keterbukaan diri) yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar merupakan informasi pribadi yang disembunyikan maupun tidak disembunyikan. Self disclosure yang dilakukan remaja putri dalam penelitian ini dipengaruhi oleh referensi dan pengalaman pribadi remaja putri yang bersangkutan. Setelah melakukan proses penelitian, peneliti menemukan lima informan penelitian. Persamaan dari semua informan adalah remaja putri yang masih menempuh pendidikan di Surabaya. Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
49
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
F. Motif Remaja Putri di Surabaya Memiliki Akun Pribadi di Facebook 1. Untuk Menjalin Hubungan Pertemanan Lama Media sosial online (Facebook), pada dasarnya merupakan situs jejaring sosial dengan karakteristik unik yang dapat membuat penggunanya menggunakan motif khusus untuk menjalin hubungan pertemanan lama. Hal tersebut dinyatakankan juga oleh Boyd dan Ellison (2007): “Keunikan situs jejaring sosial adalah bukan karena semata-mata media ini mampu membuat individu bertemu orang tak dikenal (strangers), namun lebih untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang memang telah menjadi bagian dari perpanjangan jejaring sosial mereka.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang menggunakan jejaring sosial online, termasuk Facebook tidak hanya bertujuan menjalin hubungan dengan orang baru yang tidak dikenal sebelumnya. Melainkan lebih banyak Facebooker memiliki motif menjalin pertemanan lamanya kembali melalui Facebook.
2. Untuk Aktualisasi Diri Motif informan lain memiliki akun pribadi Facebook dalam penelitian ini, sebagai media aktualisasi diri. Informan penelitian yang merupakan remaja putri memiliki rentang usia yang berada pada posisi pencarian identitas diri atau berupaya untuk menemukan dan menjadi dirinya yang sebenarnya. Terlebih lagi menurut Soekanto (2003:372), remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dalam badai”. Pada fase ini, perkembangan tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. Hal tersebutlah yang pada akhirnya menjadi alasan bahwa remaja membutuhkan media untuk menumbuhkembangkan potensi dirinya sesuai dengan keinginan serta kemampuannya. Dengan kata lain, remaja khususnya pada penelitian ini adalah remaja putri, membutuhkan media aktualisasi diri. Dalam Effendy (2003 : 290), aktualisasi diri merupakan kebutuhan psikologis dalam menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan kemampuannya untuk menjadi diri sendiri sesuai dengan kemampuannya. Beberapa remaja putri di Surabaya yang sekaligus bertindak sebagai informan penelitian, memiliki motif mengaktualisasikan dirinya melalui Facebook. Bagi mereka Facebook dapat membantu mengungkapkan dirinya secara utuh, sehingga jati dirinya mulai terlihat. a. Peran Facebook sebagai Saluran Self Disclosure Meninjau motif informan penelitian di atas, mereka memiliki Facebook untuk menjalin pertemanan lama dan mengaktualisasikan dirinya. Kedua motif itu jelas mengindikasikan adanya keterlibatan self disclosure (keterbukaan diri) melalui Facebook. Selain itu, remaja putri sebagai wanita yang ditengarai memiliki kecenderungan kuat melakukan self disclosure, sesuai pernyataan Devito (2006:63), “wanita lebih sering mengekspresikan perasaannya dan memiliki keinginan yang besar untuk selalu mengungkapkan dirinya”. Dalam menjalin pertemanan dipastikan Facebooker menyampaikan informasi pribadi tentang dirinya, misalnya menyampaikan identitas pribadinya. Sebab seseorang kemungkinan besar tidak akan menjalin pertemanan dengan orang yang tidak dikenalnya sama sekali, sebagaimanan penjelasan riset di atas. Tidak dipungkiri, bahwa identitas seseorang seringkali menjadi daya tarik orang lain mau berteman dengannya. Kecenderungan Facebooker membuka informasi pribadi tentang dirinya dikuatkan melalui hasil penelitian 50
Ratih Dwi Kusumaningtyas
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
oleh Acquisti and Gross (2006), Lampe, Ellison, and Steinfield (2007), Stutzman (2006) yang menunjukkan bahwa para pengguna Facebook membuka lebar informasi tentang diri mereka, dan tidak sadar dengan opsi privasi mengenai siapa yang dapat menyaksikan profil mereka. (Acquisti and Gross, 2006 dalam Dwyer, et.al, 2007) Kecenderungan pengungkapan informasi pribadi tersebut turut terjadi pada Facebooker atau informan penelitian yang memiliki motif untuk mengaktualisasikan diri lewat Facebook. Ketika seseorang memutuskan untuk mengaktualisasikan dirinya di Facebook, maka secara otomatis orang tersebut sedikit banyak melakukan pengungkapan informasi pribadinya. Terlebih lagi berdasarkan motif di atas, informan penelitian lebih banyak melakukan aktualisasi diri melalui tulisan-tulisan di wall (status) dan notes. Menurut mereka, membuat tulisan di wall atau notes dapat membebaskan ekspresi maupun pengungkapan diri mereka. Indikasi keterlibatan self disclosure tersebut, dibenarkan oleh seluruh informan penelitian melalui pernyataannya kepada peneliti melalui wawancara penelitian. Dari hasil wawancara penelitian itu, peneliti menemukan tiga kecenderungan sifat self disclosure yang dilakukan informan di Facebook, yakni bersifat positif, negatif, dan netral. Penggolongan sifat self disclosure tersebut merupakan korelasi dari hasil wawancara penelitian dengan pengertian sifat-sifat self disclosure. Berikut ini adalah sifat-sifat self disclosure informan penelitian melalui Facebook berdasarkan wawancara penelitian : b. Self disclosure bersifat positif Self disclosure bersifat positif adalah cara keterbukaan diri informan (Facebooker) dalam menyampaikan pesan positif yang bertujuan memberikan dampak positif di Facebook bagi informan sendiri maupun teman Facebooker-nya, misalnya menciptakan motivasi yang membangun melalui tulisan di wall (status) atau notes, menuliskan pesan yang dapat menimbulkan kesenangan atau kegembiraan. c. Self disclosure bersifat negatif Self disclosure negatif ialah cara pengungkapan diri informan (Facebooker), mengarah pada motif untuk menjadikan Facebook sebagai media penyampaian pesan negatif yang melibatkan luapan emosi (perasaan negatif), contohnya menyindir, menghina atau menghujat, berkata kasar, dan ungkapan negatif lainnya. d. Self disclosure bersifat netral Sementara self disclosure tergolong bersifat netral merupakan cara keterbukaan atau pengungkapan diri informan (Facebooker) melalui Facebook yang pesannya hanya dipahami oleh Facebooker itu sendiri, sehingga pesan yang disampaikannya tidak memberikan dampak signifikan positif ataupun negatif bagi pihak tertentu. Contohnya, pengungkapan isi hati Facebooker yang hanya dipahami maknanya oleh Facebooker itu sendiri, tanpa menuai respon positif atau negatif bagi pihak lain. Facebook masih menjadi saluran self disclosure yang nyaman bagi Facebookernya. Maka Facebook senantiasa menjadi media membuka atau mengungkapkan diri bagi para informan penelitian yang merupakan Facebooker remaja putri di Surabaya. Hanya saja kualitas serta kuantitas self disclosure setiap orang maupun setiap waktu tidaklah sama dan cenderung berubah-ubah. Seperti pembahasan di atas, self disclosure terkadang bersifat positif, negatif, atau netral. Selain itu, kualitas dan kuantitas juga ditentukan oleh derajat self disclosure seseorang. Ada orang yang terlalu membuka diri disebut sebagai over disclosure, yakni menginformasikan segala hal tentang dirinya kepada siapapun. Terdapat juga orang yang terlalu menutup diri atau under disclosure, yaitu jarang sekali membicarakan tentang dirinya kepada orang lain. Pada umumnya orang lebih banyak berada diantara kedua ekstrim tersebut, mereka memilih topik-topik mana yang diungkapkan dan kepada siapa mereka akan mengungkapkannya. (Devito, 1999 : 84-85)
G. Kesimpulan Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
51
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
Penelitian peran media sosial online (Facebook) sebagai saluran self disclosure remaja putri di Surabaya telah membuktikan bahwa Facebook berperan penting dalam mendorong Facebooker remaja putri di Surabaya (informan penelitian) mengungkapkan atau membuka dirinya melalui Facebook. Peran penting self disclosure di Facebook, terlihat dengan adanya informasi tersembunyi di kehidupan nyata (offline) cenderung diungkapkan pada Facebook (online) secara terbuka oleh Facebooker. Kecenderungan terbesar Facebooker dalam melakukan self disclosure di Facebook, yakni melakukan self disclosure dengan cara pengungkapan pesan negatif. Hal itu dikarenakan Facebook merupakan saluran self disclosure yang benar-benar bebas tanpa batas, sehingga mereka lebih berani melakukan self disclosure di dalamnya. Facebooker (informan penelitian) tersebut tetap memilih eksis dalam membuka diri di Facebook. Hal itu disebabkan adanya motif utama Facebooker untuk menjalin hubungan pertemanan lama dan aktualisasi diri melalui Facebook. Kedua motif tersebut jelas menerapkan self disclosure di Facebook, karena menjalin hubungan pertemanan lama maupun aktualisasi diri pasti mengungkapkan informasi pribadi (self disclosure). Pada akhirnya, Facebooker tetap nyaman di Facebook, karena motif utama yang diharapkan dapat terpenuhi. Facebooker pun terus menjadikan Facebook sebagai saluran self disclosure baginya.
H. Saran Berikut saran yang disampaikan peneliti dalam penelitian ini, antara lain: a. Hendaknya para remaja putri di Surabaya dapat meningkatkan kesadaran serta kepahaman dirinya sebagai individu yang segera beranjak dewasa. Kedewasaan yang tidak hanya pda fisik, melainkan jiwa dan pemikiran. Oleh karena itu, remaja putri harus mengutamakan etika positif dalam setiap aktivitas komunikasinya di Facebook (media sosial online) ataupun dunia nyata (offline). b. Facebook merupakan media sosial online yang melibatkan banyak individu, hingga dapat disebut publik. Karakter publik adalah kompleks dengan kebaikan serta keburukannya. Maka sebaiknya Facebooker tidak mudah menyampaikan ungkapan diri, luapan emosi, maupun informasi pribadi dalam Facebook. Hal itu sangat penting demi keamanan, kenyamanan, dan keleluasaan Facebooker itu sendiri. c. Inovasi teknologi dan komunikasi semakin maju dan berkembang, terutama penggunaan internet mulai menjadi bagian utama komunikasi. Hal itu sebaiknya mampu memotivasi kajian ilmu komunikasi agar lebih banyak mengarahkan kajiannya pada lingkup teknologi serta komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan, 2007. Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat), Jakarta : Kencana. Devito, Joseph A, 2006. Komunikasi Antar Manusia, Jakarta : Professional Books. Effendy, Onong, Uchjana, 2000. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. …………………., 2003. Ilmu, Teori, dan Praktek Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Juju, Dominikus, dan Sulianta, Feri, 2010. Hitam Putih Facebook, Jakarta :PT Elex Media Komputindo. Moleong, Lexy J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy, 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Nurudin, 2007. Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta : PT Raja Grafindo. Rakhmat, Jalaluddin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya., 52
Ratih Dwi Kusumaningtyas
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53
ISSN: 23389176
………………………..2005. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rogers, Everett M, 1986. The New Media in Society, New York : The Free Press. Severin, Tankard Jr, 2005. Teori Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Shedletsky, Leonard J, dan Aitken, Joan W, 2004. Human Communication on The Internet, USA : Pearson. Solahudin, 2009. Gara-gara Facebook, Yogyakarta : Leutika. Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Supratiknya, 2008. Komunikasi Antar Pribadi, Yogyakarta : Kanisius. Tubbs, Stewart, dan Moss, Sylvia, 2001. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Non Buku (Internet): www.mata-maya.com techno.okezone.com www.detiknews.com metrobalikpapan.co.id beritajatim.com suara01.blogspot.com surabaya.detik.com jabodetabek.tvone smpn2banyuasin.wordpress.com www.asburyseminary.edu www.tribunnews.com Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri
53
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
POLITIK PEMBERITAAN DALAM MENYIARKAN BERITA KONFLIK Oleh: Anang Masduki (Dosen Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD) Abstraksi Masih segar dalam ingatan tentang konflik antar-agama yang terjadi di Ambon, Maluku Utara?. Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta, konflik di Maluku tahun 1999-2002, pembersihan etnis Madura di Sampit, Kalimantan Barat tahun 2000, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998.. Peristiwa-peristiwa konflik tersebut pastinya terekam dalam memori ingatan seluruh masyarakat Indonesia pada masa itu. Salah satu peran penting media massa adalah sebagai sarana penyampaian informasi kepada publik. Tidak hanya sekedar menyampaikan informasi, media juga dituntut mampu menampilkan suatu peristiwa menjadi berita yang benar, aktual, dan dapat dipercaya. Di Indonesia, jurnalisme damai mulai menjadi sebuah wacana ketika terjadi konflik Ambon tersebut dan kemudian menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA Sebenarnya ada banyak alasan mengapa media massa mempunyai peran yang sangat penting dalam situasi konflik. Tapi satu hal yang ingin penulis tekankan adalah peran media dalam menyelesaikan konflik tersebut dengan menerapkan perspektif jurnalisme damai dalam meliput dan menyajikan peristiwa tersebut. Disinilah seorang jurnalis (wartawan) dituntut oleh masyarakat agar dapat memberikan informasi yang cepat, akurat, dan sesuai dengan fakta yang ada. Sehingga seorang wartawan harus mampu bersikap obyektif dalam menjalankan tugasnya. Idealisme seorang jurnalis menjadi taruhannya ketika ia harus ‘berperang’ melawan nuraninya sendiri. Berperang di antara tuntutan profesi dan kepentingan bisnis (keuntungan perusahaan tempat ia bekerja) yang mengharuskannya membidik suatu peristiwa yang booming dan layak dijual. Dalam penelitian ini, akan dikupas bagaimana posisi seorang jurnalis membidik suatu peritiwa konflik dimana hal tersebut akan berpengaruh pada peran institusi media tempat ia bekerja.kemudia akan dikemukakan mengenai bagaimana etika yang seharusnya dijaga dan diterapkan oleh seorang jurnalis dalam meliput berita tentang konflik. Kata Kunci: Konflik, Berita, Media
A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara multi etnis yang memiliki aneka ragam suku, budaya, bahasa, dan agama bersatu di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun tidak demikian halnya pada kenyataan. Keaneka-ragaman dan perbedaan itu merupakan potensi terpendam pemicu konflik. Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France Steward (Kompas 16/12/03) menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim demokratis. Indonesia bisa masuk dalam keempat kategori tersebut sekaligus.
54
Anang Masduki
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
ISSN: 23389176
Dalam kungkungan rezim Orde Baru, media massa kita dipaksa untuk berhati-hati dalam pemberitaan mereka atas kasus-kasus yang ber-nuansa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Wacana tentang etnis, ras dan agama selama ini menjadi hal yang selalu ditutup-tutupi dan tabu di kalangan masyarakat. Namun seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru, berubah pula tatanan institusi media. Di era Reformasi, kebebasan pers telah mengha-dirkan dengan telanjang segala keruwetan, kekacauan yang selama era Orde Baru selalu ditutup-tutupi. Pemberitaan media atas sejumlah isu memperlihatkan munculnya keberanian dan kejujuran dalam menentukan sikap. Pada era Orde Baru, tuntutan itu coba dipenuhi dengan meman-faatkan media massa. Dalam konteks ini media massa sebagai salah satu pilar terbentuknya negara demokratis dan masyarakat madani. Media massa menjadi wadah perbedaan pendapat yang sehat; tidak bertendensi memojokan kelompok yang berseberangan dengan dirinya. (Sudibyo, et al. 2001). Sebenarnya media massa memiliki dua pilihan tujuan ketika memuat berita, yaitu untuk memenuhi tujuan politik keredaksian media itu sendiri atau memenuhi kebutuhan khalayak pembacanya. Media massa yang mementingkan tercapainya tujuan ekonomis akan memilih berita yang bernilai jual tinggi. Namun media massa yang ingin agar informasi yang disampaikan bermanfaat bagi pembaca akan memuat berita-berita yang berguna bagi khalayak. Ada pula media massa yang menganggap informasi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis. Informasi disampaikan untuk mempengaruhi dan membujuk khalayak agar berbuat dan bersikap sesuai dengan tujuan ideologis yang hendak dicapai oleh media massa tersebut. Tiap media mempunyai frame yang berbeda mengenai peristiwa ini. Contoh jelas nampak pada Kompas dan Republika yang dengan ideologi masing-masing menjadi tidak netral lagi dalam meliput peristiwa tersebut dan secara implisit malahan berpihak pada salah satu kubu yang terlibat konflik. (Pantau, edisi 09/2000). Tak dapat dipungkiri bahwa setiap media pasti mempunyai ideologi atau bisa disebut doktrin-doktrin tertentu yang dipegang erat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan menggunakan ideologinya sendiri-sendiri dalam mengemas dan menyampaikan berita ternyata berpengaruh sangat besar bagi khalayaknya. Masing-masing media dengan ideologi institusinya mampu mengemas suatu peristiwa menjadi realitas baru untuk dikonsumsi khalayak pembacanya.
B. Liputan Media Massa Tentang Berita Konflik Informasi tentang krisis, konflik banyak kita temukan di media massa. Tetapi dari segi kualitas hal itu belum menjamin perbaikan situasi konflik dan krisis yang berlangsung. Kebanyakan informasi tentang konflik yang tersaji di media massa hanya bersifat permukaan, parsial, sepotong-potong, tidak proporsional, sebagian besar hanya menekankan aspek kekerasan dan konflik terbuka saja, bukan pada aspek situasi, akar masalah yang bisa mendukung perbaikan situasi dan perdamaian. Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis berdasarkan fakta sesungguhnya. Tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang sehingga mendistorsi fakta tersebut. Namun dalam realita media sebagai ruang publik kerap tidak bisa memerankan diri sebagai pihak yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun ideologis, media massa selalu terlibat dalam penyajian realitas yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Keterbatasan ruang dan waktu juga turut mendukung kebiasaan media untuk meringkaskan realitas berdasarkan “nilai berita”. Prinsip berita yang berorientasi pada hal-hal yang menyimpang menyebabkan liputan peristiwa jarang bersifat utuh, melainkan hanya mencakup hal-hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan. Berita juga sering dibuat berdasarkan semangat “laku-tidaknya berita itu dijual” Trijono L. (2002), mengatakan sejauh ini bisa dikatakan media massa boleh dikatakan cenderung meliput berita konflik hanya pada aspek perilaku konfliknya saja atau aspekaspek konflik yang kelihatan kasat mata. Misalnya perilaku membunuh, membantai kelompok tertentu, menembak, membakar, dan lain-lain. Berita-berita sensasional dan 55
Anang Masduki
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
dramatis demikian sering menjadi liputan utama. Mereka seringkali juga menyajikan secara berlebihan aspek kekerasan dan konflik, misalnya sekian banyak tempat yang strategis rusak dibakar, jumlah korban yang terluka atau terbunuh, dan sbagainya. Laporan mereka bukan pada keseluruhan fakta tentang dimensi-dimensi konflik yang ada, mencakup situasi konflik dan persepsi atau pandangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Sehingga infor-masi tentang konflik yang tersedia dalam dunia kita sekarang menjadi bersifat sangat permukaan (superficial) dan tidak proporsional (out of proportion). Fishman seperti dikutip Eriyanto (2002) mengatakan ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi berita dilihat, yaitu tahap seleksi berita dan pembentukan berita. Proses seleksi berita (selection of news) yang melahirkan teori gatekeeper ini melihat wartawan melakukan seleksi di lapangan, mana yang penting mana yang tidak, mana peristiwa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak. Setelah itu redaktur akan menyeleksi dan menyunting berita dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi dan ditambah. Pandangan ini mengandaikan seolah-olah ada realitas di luar wartawan yang benar-benar riil dan diseleksi oleh wartawan untuk dibentuk dalam sebuah berita. Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita (creation of news) yang melihat bahwa sebuah peristiwa bukan/tidak diseleksi melainkan dibentuk. Wartawan membentuk peristiwa, mana yang dapat disebut berita dan mana yang tidak. Wartawan aktif, dia berinteraksi dengan dunia (realitas) dan dengan orang yang diwawancarainya, dan sedikit banyak menentukan bagaimana bentuk dan isi berita yang dihasilkan. Disini, seorang wartawan atau jurnalis adalah orang yang pekerjaannya mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah, dan menyajikan berita dengan secepat-cepatnya kepada khalayak luas melalui media massa. Namun, dalam melakukan proses produksi berita seorang wartawan sebenarnya melakukan proses rekonstruksi realitas. Putra GN, (2002) menjabarkan hasil-hasil penelitian mengenai bagaimana media meliput krisis sebagai berikut; liputan media tentang krisis digambarkan oleh Scanlon, Luuko & Morten (1978) sebagai cenderung tidak akurat dan mengandung rumour atau desas-desus. Wilbur Schramm dalam artikelnya “Communication in Crisis” (1971) telah menyatakan bahwa laporan media tentang sebuah krisis cenderung kurang akurat dan lebih mengutamakan kecepatan. Dalam sebuah krisis, media cenderung lebih mengutamakan penyajian berita secara cepat dari pada berita yang akurat, demikian pendapat Dynes (seperti yang dikutip Scanlon, Luuko & Morten, 1978). Dynes menambahkan bahwa laporan media tentang sebuah krisis akan cenderung membesar-besarkan kejadian. Barton setuju dengan pendapat Dynes, menyatakan bahwa media akan menyebarkan berita yang terfragmentasi tanpa pengecekkan yang memadai untuk menjamin keakuratan isi. Fritz dan Mathewson juga berpendapat bahwa laporan media tentang suatu tragedi akan membingungkan, tidak terorganisir, menyajikan informasi yang saling bertentangan dan mengandung ketidak jelasan dan ketidakakuratan. Waxman, Kueneman dan Wright juga menemukan bahwa liputan media terhadap suatu krisis kurang akurat dan berisi informasi saling bertentangan. Sejauh ini telah umum diakui bahwa media massa seringkali menyajikan informasi tentang konflik secara permukaan dan sepotong-potong. Hanya aspek konflik yang paling mudah dilihat dan peristiwa konflik yang paling dramatis, yang mendapat perhatian terbesar untuk diliput. Aspek lain dari kekerasan, seperti situasi yang menjadi akar konflik dan persepsi berbagai pihak tentang konflik tidak mendapat perhatian berarti, meski hal itu sangat penting untuk diketahui publik. Reese dan Shoemaker (1996) dalam ‘Mediating the Message’, menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi proses produksi berita yang digambarkan dalam lingkaranlingkaran yaitu:
Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik
56
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
ISSN: 23389176
Individual level Media routines level Organizational level Gambar 1. Level Media
Faktor individual merupakan faktor-faktor yang berasal dari individu pekerja media itu sendiri yaitu wartawan. Ada dua jenis faktor indiviudal yaitu: a. Yang melekat seperti gender, seksualitas (jenis kelamin, termasuk orientasi seksual), etnik, nilai kepercayaan, dan agama. b. Yang dilekatkan seperti nilai kepercayaan dan agama, tingkat pendidikan, status ekonomi dan sosial, aliansi partai politik.
1. Faktor rutinitas media Institusi media massa merupakan lembaga yang memiliki karakteristik berbeda dengan lembaga masyarakat yang lain. Industri consumer good hanya mempunyai satu konsumen, sedangkan ‘industri’ media massa mempunyai dua konsumen yaitu pembaca dan pengiklan. 1. Bentuk-bentuk rutinitas media: a. Orientasi pada konsumen (pengiklan) b. Media massa seringkali mencari berita-berita yang bisa dijual (laku di pasaran). c. Kaedah jurnalistik d. Media massa berusaha memberikan yang terbaik bagi pembaca yaitu berita yang bermutu maka proses produksi beritanya harus menaati kaedah-kaedah jurnalistik yang ada, misalnya nilai berita, bentuk berita, metode pengumpulan data (mendapatkan sendiri atau dari pihak lain, misal kantor berita). e. Konsistensi terbit secara periodik dalam kurun waktu tertentu. f. Misalnya surat kabar harian yang harus terbit setiap hari, maka wartawan harus mampu memproduksi berita setiap harinya dan memenuhi tenggang waktu tertentu (deadline).
2. Faktor organisasi Media merupakan sebuah organisasi, maka ada faktor-faktor dalam organisasi media itu sendiri yang mempengaruhi berita. a. Tujuan organisasi b. Media massa sebagai industri tidak akan lepas dari tujuan mencari profit/ keuntungan. c. Peta organisasi 57
Anang Masduki
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
d. Peta organisasi terdiri dari aturan, struktur, dan kebijakan organisasi. e. Organisasi sebagai jaringan f. Kepemilikan media. Ada dua jenis kepemilikan media yaitu kepemilikan vertikal dan kepemilikan horizontal. Kepemilikan vertikal berarti sebuah organisasi media memiliki berbagai jenis media misal media cetak, radio, dan televisi. Sedangkan kepemilikan horizontal berarti sebuah organisasi media yang memiliki berbagai bidang usaha dari hulu ke hilir, misalnya dari usaha percetakan sampai toko buku.
3. Faktor ekstra media Media berada dalam sebuah tatanan sosial sehingga ia tidak berdiri sendiri, ada pihak-pihak lain di luar media tersebut yang juga mempengaruhi proses berita produksi berita antara lain: a. Sumber berita b. Wartawan tidak mungkin menyaksikan sendiri seluruh peritiwa yang dibuatnya menjadi berita, maka dia membutuhkan sumber berita agar dapat mengetahui peristiwa tersebut. Bahan-bahan untuk berita juga bisa dicari sendiri oleh wartawan, atau melalui sumber berita seperti interest group, dan kampanye public relations. c. Pengiklan dan khalayak d. Kedua belah pihak tersbut merupakan konsumen utama media massa. e. Advertisers muscle (kekuatan iklan) f. Kontrol pemerintah g. Kehidupan jurnalistik Indonesia memiliki sejarah kelam yang berhubungan dengan kontrol pemerintah, khususnya pada masa Orde Baru. Masa sekarang atau masa kebebasan pers, kontrol pemerintah memang tidak sekuat dulu, namun mereka tetap memberi batasan terhadap ruang gerak media massa melalui Undang-undang dan atau sejenisnya. h. Kompetisi i. Media massa tidak bisa lepas dari masalah kompetisi/persaingan layaknya industri lainnya. Kompetisi tidak hanya berlangsung antara media sejenis namun juga dengan media lain yang berbeda jenis.
4. Faktor ideologi Ideologi merupakan faktor terluar yang mempengaruhi proses produksi berita. Ideologi dari sebuah institusi media inilah yang menjadi dasar dan pedoman dalam memproduksi sebuah berita. Seluruh isi/teks yang akan muncul sebagai berita merupakan cerminan dari ideologi yang dianut oleh media yang bersangkutan. Ideologi dalam pandangan konstruktivisme memang dianggap wajar, berbeda dengan pandangan positivisme. Namun dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah praktek-praktek tersebut mencerminkan ideologi si wartawan atau media tempat ia bekerja.
C. Dosa-dosa yang Sering Dilakukan Media Massa Rosenstiel dan Kovach, penulis buku yang banyak dibaca saat ini berjudul ‘Elemenelemen Jurnalisme’, mengajukan sebuah pertanyaan masih dapatkah jurnalisme menjadi kekuatan independen dalam masyarakat?. Mengingat, seperti dikemukakan oleh Rosenstiel dan Kovach, eksistensi jurnalisme dalam masyarakat telah sedemikian bergeser. Ketika pasar masuk dalam bisnis berita, nilai-nilai professional telah melakukan begitumelayani system politik demokrasi dengan baik. “To the degree of society measures itself exclusively in term of commerce, democracy is reduced to capitalism”, demikian dikemukakan Rosenstiel dan Kovach. Dalam kaitan ini, produk jurnalisme tak lebih dari ‘barang dagangan’ yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik
58
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
ISSN: 23389176
Kritik serupa juga dikemukakan oleh kritikus media Robert McChesney (2004), ia dengan sinis menyatakan bahwa segala sesuatu hal buruk yang dilakukan oleh jurnalisme pada masa lampau, kini justru malah semakin buruk saja. Bidang-bidang yang dulunya memadai, menurutnya telah mengalami kemerosotan. Jurnalisme investigative yang mahal, yang menabrak kepentingan korporasi-korporasi besar dan keamanan nasional-dihambat dan tidak mendapat tempat. Sebaliknya menurut Puji Riyanto (2007), berita-berita tragedy dan berita-berita idiot berkualifikasi humant interest yang tidak relevan justru mendapatkan ruang liputan yang besar. Ini terjadi karena berita-berita semacam itu murah dan tidak mengandung resiko politik, terutama karena tidak mengancam penguasa politik dan kepentingan korporasi. Jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat Paul Johnson (1997) berdasarkan pengalaman langsung serta pengamatannya tentang adanya praktek menyimpang dalam melaksanakan kebebasan pers, menyebutnya “tujuh dosa yang mematikan” (seven deadly sins). Adapun tujuh dosa tersebut sebagai berikut. Pertama, distorsi informasi. Praktek distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah. Kedua, dramatisasi fakta palsu. Dramatisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip. Dalam media audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan gambar dan pemberian sound-effects yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan. Ketiga, mengganggu “privacy”. Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak. Kesempatan wawancaranya juga diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang diwawancarai. Keempat, pembunuhan karakter. Praktek ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya. Kelima, eksploitasi seks. Praktek eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar tulisan yang bermuatan seks. Keenam, meracuni benak/pikiran anak. Praktek ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak. Akhir-akhir ini praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur anak-anak sebagai sasaran antara dalam memasarkan berbagai macam produk. Ketujuh, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial/ pemberitaan media massa. Ketujuh “dosa jurnalistik” tersebut dapat disebut pula dan dapat dikenali sebagai praktek jurnalistik yang menyimpang, yang kerap terjadi juga di Indonesia, dan sering dilakukan media massa yang baru terbit. Pemahaman mengenai jurnalisme perdamaian ini ditempuh dengan cara membandingkannya dengan jurnalisme perang.
D. Jurnalisme Perdamaian: 1. Orientasi Damai a. Fokus pada proses terjadinya konflik: pihak-pihak terlibat, musabab pertikaian masalah yang menyertai, orientasi “menang-menang” 59
Anang Masduki
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
b. c. d. e. f. g. h.
Ruang dan waktu yang terbuka; sebab akibat terjadi dalam perspektif sejarah Memberitakan konflik apa adanya Memberi ruang kepada semua suara/versi; menampilkan empati dan pengertian Melihat konflik/perang sebagai sebuah masalah, fokus pada hikmah konflik Melihat aspek humanisasi di semua sisi/pihak Pro-aktif: pencegahan sebelum konflik/perang terjadi Fokus pada dampak non-fisik kekerasan (trauma dan rasa kemenangan, kerusakan pada struktur dan budaya masyarakat) 2. Orientasi Kebenaran Mengungkap ketidakbenaran di kedua belah pihak dan membongkar atau mengcover-up. 3. Orientasi Orang Banyak a. Fokus pada penderitaan semua: wanita, anak-anak, orang tua b. Memberi suara kepada korban c. Menyebut nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak d. Fokus pada para penggiat perdamaian di tingkat akar rumput 4. Orientasi Solusi a. Perdamaian = anti kekerasan + hikmah b. Mengangkat inisiatif perdamaian dan mencegah perang lanjutan c. Fokus pada struktur dan budaya masyarakat yang damai d. Usai konflik: resolusi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi
E. Jurnalisme Perang: 1. Orientasi Perang a. Fokus pada arena konflik: dua kubu bertikai, hanya satu tujuan (kemenangan), suasana/situasi peperangan, orientasi “menang-kalah” b. Ruang dan waktu yang tertutup; sebab-akibat terbatas arena konflik, mencari siapa yang menyerang duluan c. Ada fakta yang ditutup-tutupi d. Berita tentang “kita-mereka”, nuansa propaganda, suara dari dan untuk “kita” e. Melihat “mereka” sebagai masalah, fokus pada siapa yang menang perang f. Dehumanisasi di pihak “mereka”, humanisasi di pihak “kita” g. Re-aktif: menunggu terjadi konflik, baru reporting h. Fokus hanya pada dampak fisik kekerasan (pembunuhan, luka-luka, kerugian material) 2. Orientasi Propaganda Mengungkapkan ketidakbenaran “mereka” dan menutup-nutupi ketidakbenaran “kita” 3. Orientasi Elit a. Fokus pada penderitaan “kita”. Memberi suara hanya pada Kapten Perang b. Menyebut nama pelaku kejahatan di pihak “mereka” c. Fokus pada penggiat perdamaian di tingkat elit 4. Orientasi Kemenangan a. Perdamaian = kemenangan + gencatan senjata b. Menyembunyikan inisiatif perdamaian, sebelum kemenangan diraih c. Fokus pada fakta dan institusi masyarakat yang terkendali d. Usai konflik: siap bertempur kembali jika luka lama “kambuh” e. (Pantau, edisi 09/ 2000)
Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik
60
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
ISSN: 23389176
F. Kesimpulan Jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab dihasilkan oleh media massa yang sehat, yaitu media massa yang “bebas dan bertanggung jawab”. Dalam rangka mewujudkan citra media yang humanism maka tanggungjawab social para jurnalis merupakan keharusan agar masyarakat tidak dirugikan sekaligus masyarakat menjadi tujuan utama karena sebenarnya jurnalisme hadir untuk membangun kewargaan (citizenship). Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga Negara dan untuk membangun demokrasi. Oleh karena itu, menurut Rosenstiel dan Kovach (2003) media yang humanis paling tidak harus memenuhi beberapa unsur berikut: 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. 2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. 5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6. Jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga. 7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan. 8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. 9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Kalangan media massa sendiri harus memberikan penyebaran tentang media massa yang sehat sebagai berikut: “Media massa yang sehat secara ideal adalah media massa yang melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan konstitusi negara, secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilakanakannya dengan baik, apabila media massa itu sehat secara isi pemberitaan dan penyiaran, sehat secara ekonomis. Jika secara ekonomis, materiil media massa tidak sehat, maka terlihat kecenderungan pada sementara media massa mempertahankan survivalnya dengan mendasarkan orientasi perjuangannya kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain terlihat keadaan yang cenderung mengembangkan erosi idealisme perjuangan media massa yang hakikatnya harus diabdikan kepada tujuan-tujuan memasyarakatkan cita-cita nasional, yaitu masyarakat kebangsaan maju, adil dan makmur berdasarkan ideologi Pancasila. Untuk mengatasi masalah ini terdapat beberapa alternatif solusi yang dikemukakan oleh Chang yang dikutip oleh Trijono L (2002) sebagai berikut: a. Dengan menambah dan terus menerus membuka saluran (channel) komunikasi sehingga arus informasi terus mengalir dan ketersediaan informasi bisa diperoleh secara memadai. b. Meningkatkan kualitas informasi tentang konflik yang ada sehingga bisa diperoleh informasi yang bermakna dan berguna secara memadai bagi kepentingan publik secara luas. c. Momfokuskan pada penyajian informasi dan proses komunikasi yang mengarah pada isu-isu spesifik dari situasi konflik dan setiap dimensi krisis secara mendalam sehingga tidak memper-luas dan semakin membuat ruwet interpretasi dan pemaknaan publik yang bisa semakin mengacaukan situasi krisis. Perbaikan kualitas komunikasi dan informasi yang diliput media massa melalui berbagai upaya kampanye dan perluasan aktivitas komunikasi perdamaian atau jurnalisme damai dapat membantu perbaikan situasi konflik dan krisis di dunia saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme, terj. Jakarta: Yayasan Pantau, ISAI dan Kedutaan Besar AS. Eriyanto. 2002. Analisis Framing. Konstruksi Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. 61
Anang Masduki
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62
Jhonson, Paul. 1997, The Media and Truth: Is There a Moral Duty ?, an Article in Mass Media : Annual Editions, 97/98, Connecticut : Dushkin/ McGraw Hill,. McChesney, 2004, Robert W. The Problem of the Media. Monthly Review Press, New York. Putra, GN, 2002. Liputan Media Terhadap Tragedi WTC, Kasus Liputan Kompas dan The Jakarta Post, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, & Loeffelholz M, (ed): MediaMiliter-Konflik, Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional, Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta. Scanlon, T. Joseph, Rudy Lukko & Gerarld Morten, 1978. Media Coverage of Crises. Better Than Reported, Worse Then Necessary, dalam Journalism Quarterly. Vol 55. Shoemaker, Pamela J. dan Stephen D. Reese. 1996. Mediating The Message Theories of Influences on Mass Media Content. New York : Longman Publishers, USA. Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001. Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama di Media Massa: Institut Studi Arus Informasi, Jakarta. Trijono, L, 2002. Peran Komunikasi dalam Konflik dan Untuk Perdamaian, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, & Loeffelholz M, (ed): Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti Indonesia dan Internasional. Jakarta; Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers,.
Surat Kabar Harian Pantau, edisi 09/2000. France Stewart. 2003, dalam artikel Konflik dan Kekerasan yang Tak Kunjung Padam, SKH Kompas, edisi 16 Desember 2003 Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik
62
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
TEKNOLOGI INFORMASI DAN GERAKAN SOSIAL POLITIK: Kajian Kritis Pengaruh Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah Oleh: Anyakala Freddy (Alumni S2 Komunikasi dan Media, UGM) (Email:
[email protected]) Abstrak Dekade kedua abad ini di Timur Tengah dimulai dengan ledakan protes massa untuk perubahan rezim yang lebih demokratisasi: terutama di Tunisia dan Mesir, tetapi juga di Aljazair, Bahrain, Yordania, Libya, Suriah dan Yaman. Analis telah membahas penyebab protes dan berspekulasi tentang konsekuensi. Spesialis Timur Tengah telah lama menyadari masalah rezim otoriter, kesenjangan sosial yang semakin melebar, tingginya tingkat pengangguran kaum muda, infrastruktur dan pelayanan publik yang buruk. Tapi satu hal pasti telah berubah sejak tahun 1997. Internet perlahan-lahan menyebar luas ke masyarakat. Banyak negara di Timur Tengah telah banyak mengeluarkan uang untuk berinvestasi dalam infrastruktur TI, mereka sadar bahwa hal ini sebagai motor penting dari pembangunan ekonomi. Sebagai konsekuensi tren ini, media sosial telah tumbuh dan menyebar luas. Tulisan ini dimaksudkan untuk meneropong perkembangan teknologi informasi yang berpengaruh besar dalam tumbuhnya proses demokratisasi di Timur Tengah. Kata Kunci: Teknologi Informasi, Demokratisasi, tindakan kolektif, Timur Tengah.
A. Pendahuluan Pada tahun 1998, Jon B. Alterman berteori bahwa Internet akan membawa arus bebas informasi di dunia Arab, mengurangi efektivitas sensor oleh negara dan melemahkan kemampuan pemerintah bersikap otoriter. Debora Wheeler melakukan studi warung internet di dunia Arab, di mana ia menyimpulkan bahwa penggunaan internet membantu kesadaran politik dengan memungkinkan orang untuk sadar kesetaraan gender dan kelas sosial, membawa mereka ke dalam hubungan yang lebih terbuka dengan orang baru dan ide baru, mendorong mereka untuk menjadi lebih blak-blakan tentang pendapat mereka. Banyak blogger di Timur Tengah yang cenderung lebih bersikap kritis terhadap para pemimpin politik dalam negeri mereka, dan sering membahas hak-hak sipil dan politik dalam tulisan mereka (Miriam Puttick, 2010). Hal ini menunjukan bahwa media sosial dapat memiliki dampak yang signifikan pada fungsi demokrasi. Situs seperti Facebook, Twitter dan YouTube sangat berguna untuk mencapai berbagai tujuan politik - mulai dari penggalangan dana, untuk menggalang dukungan pemilih, untuk menyebarkan berita tentang peristiwa penting. Mereka menyajikan kesempatan unik bagi para politisi untuk terlibat komunikasi langsung dengan warganya. Di atas segalanya, mereka adalah forum di mana ide-ide politik dan informasi dengan mudah dan cepat disebarluaskan. Semua ini menjadi penting untuk negara-negara di mana kebebasan politik dan pendapat masyarakat sipil dibatasi, dan di mana pemerintah kadang-kadang langsung mengontrol semua outlet utama media. Dalam situasi seperti itu, masyarakat sipil online bisa bertindak sebagai pioner untuk masyarakat sipil dan menjadi tempat berkembang biak bagi ide-ide tentang demokrasi. 63
Anyakala Freddy
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
ISSN: 23389176
Contoh kasus, pada bulan November 2006 ada sebuah video yang mengganggu polisi Mesir, ketika polisi itu menyiksa seorang tahanan laki-laki dan videonya telah diposting pada sebuah blog di Mesir, yang menyebabkan salah satu kasus pengadilan pertama terhadap polisi terjadi. Tanpa ekspansi yang cepat dari blog di Mesir, cerita ini mungkin tidak pernah bocor. Tetapi karena muncul di internet, cerita ini mendapat liputan internasional. Amnesty International meneliti masalah ini dan menerbitkan sebuah laporan yang merinci ruang lingkup dan tingkat keparahan kasus-kasus pelecehan seksual dan penyiksaan di Mesir. Pada saat kejadian, banyak yang berspekulasi bahwa pasukan keamanan Mesir akan berpikir dua kali untuk menyiksa tahanan, "karena takut eksposur melalui blog Mesir yang menjamur". Paling tidak, contoh ini menunjukkan bahwa Internet bisa memiliki dampak dalam mendukung hak asasi manusia, yang merupakan fitur kunci dari demokrasi. Philip N. Howard, Assisten profesor komunikasi di Univ. Washington, dan sarjana lain telah menganalisa jutaan tweet, video YouTube dan posting blog dan menyimpulkan bahwa "media sosial memainkan peran sentral dalam membentuk debat politik di Musim Semi Arab”. Bukti menunjukkan bahwa media sosial membawa pesan tentang kebebasan dan demokrasi di Timur Tengah, dan membantu meningkatkan harapan akan keberhasilan revolusi. Orang-orang yang berbagi minat dalam demokrasi dibangun dari jaringan sosial yang luas dan terorganisir (Miriam Puttick, 2010).
B. Perkembangan gerakan dan tindakan kolektif Adalah hal menarik membicarakan pemahaman yang lebih mendalam menyangkut perilaku kolektif dari pandangan teori wacana (discourse theory/Post Marxist) mau pun dalam kaca mata teori Marxis. Berbagai ahli menyebutkan bahwa tindakan kolektif selalu dimulai dengan adanya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif dapat didekati dengan melihat wacana kolektif. Pertanyaannya, bagaimana proses pembentukan wacana kolektif, selanjutnya bagaimana pula wacana kolektif bisa membentuk tindakan kolektif serta akhirnya bisa membangun gerakan bersama atau gerakan sosial untuk perubahan?. Sementara perubahan, seringkali tidak bisa menghindar dari konflik, baik yang mengawali munculnya perubahan mau pun konflik yang berkepanjangan yang bahkan menghilangkan kemungkinan munculnya perubahan itu sendiri karena situasi politik yang terus-menerus tidak terkendali. Teori tentang kesadaran kolektif tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pandangan Karl Marx yang menghubungkan kesadaran dengan penguasaan atas basis material, yang kemudian lebih khusus mengaitkannya dengan kelas sosial-ekonomi. Pembagian kelas mulai muncul manakala nilai surplus, dimana masyarakat “non-producers” hidup bergantung kepada pihak “producers”. Dengan begitu, Marx berpandangan bahwa siapa yang bisa mengontrol alat-alat produksi, maka mereka lah yang akan menjadi kelas penguasa di masyarakat tersebut. Karena sifat dari produksi menjadi eksploitatif, maka kedua kelas ini menjadi bersinggungan. Pembagian kelas semacam ini memicu konflik dan mendorong perjuangan kelas, yang oleh Marx disebut sebagai penggerak perkembangan sejarah (George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, 2004). Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga timbul rasa kebersamaan diantara mereka. Rasa kebersamaan ini milik masyarakat yang secara sadar menimbulkan perasaan kolektif. Selanjutnya, perasaan kolektif yang merupakan akibat dari kebersamaan, merupakan hasil aksi dan reaksi diantara kesadaran individual. Jika setiap kesadaran individual itu menggemakan perasaan kolektif, hal itu bersumber dari dorongan khusus yang berasal dari perasaan kolektif tersebut. Durkheim memperkuat dengan argumentasinya, bahwa pada kesadaran kolektif sangat berlainan dengan kesadaran individual yang terlihat pada tingkah laku kelompok. Bilamana orang berkumpul untuk berdemonstrasi politik, huru-hara rasial atau untuk menonton sepakbola, gotong royong dan sebagainya, mereka melakukan hal-hal yang tidak mungkin mereka lakukan jika sendirian. Orang melakukan perusakan dan merampok 64
Anyakala Freddy
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
toko-toko, menjungkirbalikan mobil, atau menunjukkan sikap kepahlawanan, kegiatan religius, semangat pengorbanan yang luar biasa, semuanya dianggap musatahil oleh yang bersangkutan (Barlan and Devis, 2010). Durkheim melihat pada bagaimana pola masyarakat dalam membangun persekutuan itu sendiri. Di sini menurut Durkheim ada dua corak orang membangun komunalitas, yaitu secara organic (solidaritas organik) dan secara mekanis (solidaritas mekanik). Solidaritas organik adalah suatu bentuk cara untuk membangun komunitas dengan melihat pada latar belakang yang sama, dan terjadi secara spontan, tanpa melalui suatu rekayasa (sosial enginering). Berbeda dengan solidaritas mekanik yang terjadi karena faktor disengajakan atau diciptakan secara terencana. Ini berarti bahwa TIK (terkait jejaring sosial) memberikan fungsi dan juga ‘infrastruktur’ bagi sosialisasi masyarakat secara kolektif. Masyarakat cenderung dapat berinteraksi dan bersosialisasi di dunia maya dan lebih terbuka dalam dunia tersebut. Karena kemudahannya, maka lebih cepat membentuk komunitas untuk melakukan gerakan social, walaupun kebanyakan hanya simpatisan saja (Barlan and Devis, 2010). Masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar “kewajiban” yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga “kebaikan” ketika diri telah dihadapkan dengan dunia sosial. Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah merasuk dalam batin dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan karena proses pembatinan itu untuk menyesuaikan diri.
C. Latar belakang politik Timur Tengah Dalam tulisan ini tidak akan disampaikan sejarah menyeluruh tentang awal mula lahirnya bangsa Arab atau lahirnya agama-agama samawi. Melainkan akan disampaikan konstelasi politik kekinian yang berhubungan langsung dengan proses menjamurnya revolusi yang melanda Timur Tengah dan hubungannya dengan perkembangan teknologi yang menyertai revolusi tersebut. Islam sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian besar Muslim modern, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada tempat untuk demokrasi. Hak dan kebebasan orang seperti dibarat (kebebasan berpikir, pers, dan praktik keagamaan) tidak berarti apaapa di sebagian besar dunia Muslim, khususnya Timur Tengah. Terutama di mana hukum syariah (Islam fundamentalisme/islam garis keras) dikenakan, kemajuan umat manusia dalam pemahaman dan penerapan tampaknya telah pergi tanpa diketahui. Islam dan demokrasi tidak sepenuhnya kompatibel. Dalam hal ini perlu melihat kembali ke Baghdad dan kekhalifahan Córdoba (pertengahan 700M itu sampai 1300M) untuk menemukan contoh dari periode yang sangat progresif dari aturan Islam. Universitasuniversitas di Irak dan selatan Spanyol, perkembangan ilmu, seni, matematika, dan filsafat sangat luar biasa. Sayangnya, Islam modern yang di motori aliran Sunni, yang menyumbang sekitar tiga perempat dari populasi Muslim dunia, telah lama lupa sejarah ini. Lebih buruk lagi, telah tiba saat dimana ia secara doktrin sangat melekat sebagaiman dalam kitab suci yang praktis tanpa interpretasi, sehingga ayat tidak lagi menjadi rahmat bagi seluruh alam karena tidak mampu menjangkau perkembangan dan kemajuan yang dicapai saat ini (Abegabriel dan Abeverio, 2004). Dengan demikian, umat Islam saat ini secara mental dibatasi, dengan sistem pemerintah yang otoriter yang dianggap mewakili perintah Tuhan, khususnya di negaranegara Timur Tengah. Para pemimpin lebih suka membelengu rakyat atas nama praktek Islam dari pada memenuhi kebutuhan warganya atau kehendak kolektif mereka.
Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: “Kajian Kritis Pengaruh Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah”
65
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
ISSN: 23389176
Perdebatan konsep negara, mau memilih negara agama, demokrasi atau monarkhi menjadi sebuah perdebatan yang tidak henti sampai sekarang. Hal ini terkadang menimbulkan pertumpahan darah. Dan tidak jarang faksi-faksi yang terlibat perselisihan ditungangi oleh kepentingan-kepentingan negara-negara lain untuk berebut pengaruh. Pada sisi lain, kekayaan yang melimpah dari hasil minyak bumi, membuat negaranegara diluar kawasan ini begitu agresif memperebutkan pengaruh. Mulai dari Amerika Serikat, China, Russia dan negara-negara Uni Eropa senantiasa meminta jatah pasokan minyak. Padahal dengan fundamentalisme yang masih kuat, banyak negara Arab yang alergi dan cenderung anti negara barat. Sehinga hubungan yang tidak menguntungkan secara ekonomi dan ideologi ini sering menimbulkan riak-riak perselisihan dan bahkan pertempuran. Masih segar dalam ingatan ketika ketegangan masalah nuklir Iran mencuat, berujung pada penolakan Iran atas inpeksi IAEA dan pengurangan pasokan minyak dunia bahkan ancaman penutupan selat hormus oleh Iran di teluk persia membuat harga minyak membumbung. Pergolakan politik dengan isu utama pengayaan uranium oleh iran sangat menganggu stabilitas ekonomi didunia. Bahkan pemerintah SBY sampai berkeinginan untuk menaikan harga BBM yang dipicu oleh merangkaknya harga minyak dunia. Pada saat yang sama, faktor eksistensi negara Israel dengan proyek zionisnya diangap masih menjadi isu global di dunia Arab. Hal ini diperparah dengan sikap politik luar negeri Amerika Serikat yang masih memberlakukan politik dan kebijakan standar ganda. Disisi lain menolak pelangaran HAM, namun membiarkan dan justru membantu Israel untuk membunuh warga Palestina. Hal ini juga berlaku di Afghanistan dan Pakistan. Sehingga kebencian terhadap Israel dan Amerika semakin luas, dan mereka bahkan dianggap sebagai musuh bersama (Samuel Hutington, 2007). Perpecahan dunia arab dipertajam dengan kontroversi beberapa negara yang tidak sepakat dengan intervensi asing, khususnya dunia barat dalam setiap pergolakan. Beberapa negara, seperti Yaman, Arab saudi, Kuwait, Irak, Afghanistan, Pakistan yang notabene sekutu utama Barat bersebrangan dengan Iran, Syiria. Apalagi penempatan pasukan NATO diwilayah Timur Tengah, bagi yang kontra diangap sebagai sebuah pendudukan atau bahkan penjajahan. Selain itu, sejarah membuktikan, pasca pendudukan pasukan NATO di Irak, yang terjadi bukan lahirnya pemerintahan yang demokratis, yang diangap sebagian besar masyarakat dunia sebagai sebuah sistep politik yang ideal. Yang terjadi adalah tajamnya perpecahan antar golongan, faksi dan kolompok. Dan melahirkan permusuhan dan kebencian baru. Ini terbukti dengan banyaknya bom bunuh diri sebagai pelampiasan rasa marah, benci dan dendam. Hal ini tentunya memacu masyarakat untuk memaksimalkan pengunaan media lama maupun media baru sebagai ajang shering informasi dan pembahasan isu-siu kekinian.
D. Pengaruh Internet terhadap gerakan sosial politik di Timur Tengah Partisipasi politik adalah aspek kunci dari demokrasi. Baru-baru ini ditopang oleh perkembangan aktivitas internet yang berimbas terjadinya revolusi di Timur Tengah. Internet telah menghilangkan tantangan dalam berkomunikasi yaitu biaya yang mahal. Setiap individu sekarang bisa menjadi seorang wartawan, cendekiawan, atau organizer melalui web. Blog, khususnya. Dan telah menjadi salah satu sumber kunci dari ekspresi individu di Timur Tengah sehingga menyebabkan alarm dalam rezim otoriter. Sejumlah fitur khusus Internet menjadi salah satu prospek paling berharga untuk perubahan tersebut. Pertama, Internet membawa serta universalitas tertentu. Ini bukan untuk mengatakan bahwa semua orang dapat mengakses internet, melainkan bahwa internet tidak terikat oleh kebangsaan. Dengan internet orang dapat berkomunikasi dimana saja, kapan saja secara langsung, cepat, dan bebas. Kedua, internet dapat membentuk dan mengugah kesadaran publik. Akhirnya, internet berfungsi untuk melawan otoritarianisme. Walaupun 66
Anyakala Freddy
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
rezim berusaha mengontrol konten yang tersedia di internet, hampir tidak mungkin bagi rezim tersebut untuk membatasi segala sesuatu yang mungkin bisa merusak pesan mereka pada masyarakat, terutama pada situs-situs seperti blog. Akses ke internet secara umum sangat bervariasi di seluruh negara-negara Timur Tengah. Di Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar memiliki tingkat presentasi tertinggi; 60,9%, 55,3%, dan 52,3% orang adalah pengguna internet. Yaman dan Irak berada di daftar bawah, sebesar 1,6% dan 1,0% masing-masing. Secara umum di negara Timur Tengah rata-rata 28,3% warga merupakan pengguna internet. Secara keseluruhan Timur Tengah mengalami pertumbuhan 1,648.2% dalam penetrasi internet antara 2000 dan 2009, hal ini jauh bila dibandingkan dengan peningkatan dunia rata-rata 380,3%. Tingkat pertumbuhan tertinggi yang dialami di Timur Tengah adalah 12,780.0%, 11,783.3%, dan 3,783.3% di Iran, Suriah, dan Arab Saudi. Pada tahun 2002, jumlah rumah tangga yang menerima saluran satelit adalah 70-90% di Aljazair, Lebanon dan Arab Saudi, 40-50% di Yordania dan Syria dan 30 % lebih di Maroko dan Tunisia. menurut edisi 2003 dari Laporan Pembangunan Manusia Arab UNDP (Jeff Kaiser , 2011). Perkembangan media baru akhir-akhir ini sangat membantu rakyat Timur Tengah untuk melakukan konsolidasi sosial. Hal ini dikarenakan banyak kelebihan dari media baru tersebut. Mengutip pendapat Terry Flew (2005), media baru sebagai media konvergen memiliki tiga ciri khusus. Yaitu: pertama, jaringan komunikasi, dalam media baru terdapat teknologi yang dapat digunakan untuk berkomunikasi. Dengan jaringan komunikasi orang bisa melakukan komunikasi langsung atau yang sering disebut chatting. Hal ini lebih evisien dan dinamis. Kedua, informasi tekhnologi. Karakter-karakter tersebut menunjukkan bahwa media baru akan selalu melibatkan teknologi pengolah dan pendistribusi informasi sehingga komputer dan perangkatnya berperan penting dalam semua bentuk media baru. Makna kedua dari tiga karakter tersebut adalah media baru membawa isi pesan tertentu. Ketiga, isi atau kontent, isi pesan meliputi keseluruhan bentuk pesan media, gambar, audio, fisual. Dari kombinasi ketiga ciri khas media baru tersebut, berimbas pada terbentuknya jaringan sosial dalam masyarakat. Dengan jaringan sosial yang saling terhubung, maka informasi lebih mudah didistribusikan sehingga membangun kesadaran masyarakat secara bersama-sama. Hal ini yang akhir-akhir ini melanda dunia Timur Tengah. Konstelasi politik pertama dimulai terjadi di Tunisia, dimana sumber yang mendasari pemberontakan tersebut terletak pada pemerintah, ketimpangan sosial, korupsi, dan pengangguran. Protes dimulai pada Desember 2010 ketika Mohamed Bouazizi melakukan bakar diri di kota pesisir Sidi Bouzid karena merasa putus asa pada merebaknya praktek korupsi dan pengangguran. Dia meninggal karena luka bakar, yang menyulut protes dan demo besar-besaran. Meskipun hukum di Tunisia melakukan sensor yang ketat, namun konsolidasi masa cepat menyebar dengan alat internet. Di Facebook menyebar dengan cepat slogan pemberontakan, "Ben Ali, Out". Sehingga para demonstran sangat bergantung pada situs web media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk mengedarkan video. Bahkan sekarang lebih dari 30.000 video telah ditempatkan di YouTube. Terinspirasi penggulingan presiden Ben Ali di Tunisia, protes menyebar ke Mesir. Pemimpin oposisi menyatakan itu sebuah "Hari Kemarahan" dan pengunjuk rasa akan turun ke jalan menentang 30 tahun kekuasaan Presiden Hosni Mubarak. Diinternet banjir fotofoto dan video menunjukkan kehadiran massa yang cukup besar di Kairo, Alexandria, dan kota-kota Mesir lainnya. Protes berlangsung 18 hari dan demonstran mengunakan Twitpic, Facebook dan YouTube untuk menyebarluaskan video dan foto, dan meminta masyarakat Mesir untuk protes. Lebih dari 90.000 orang mendaftar pada halaman Facebook untuk protes dalam sehari, mereka menyerukan untuk melawan penyiksaan, korupsi, kemiskinan, dan pengangguran. Melihat demonstrasi yang meluas, pemerintah mulai melakukan tindakan keras guna membatasi akses internet. Koneksi internet dan ponsel terganggu atau dibatasi di Kairo, Alexandria dan tempat-tempat lain, untuk memotong situs media sosial yang telah
Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: “Kajian Kritis Pengaruh Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah”
67
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
ISSN: 23389176
digunakan untuk mengatur protes dan setiap upaya memberitakan kejadian di lapangan. Gerakan massa berujung turunnya Husni Mobarak dari tampuk kekuasaanya dan dijatuhi hukuman seumur hidup. Di Libya, revolusi akhirnya berhasil mengusir Muammar Gaddafi, media sosial memainkan peran yang tidak kecil. Pemerintah Libya mempertahankan kontrol yang kuat dari infrastruktur Internet, dan Gaddafi sebagai otokrat hanya merespon milisi pemberontak. Di Libya pemimpin lebih mudah dijatuhkan karena rakyat dibantu oleh tentara NATO walaupun menimbulkan korban yang tidak sedikit. Negara-negara Timur tengah mulai takut pada bayangan revolusi Tunisia, Mesir dan Libya dan ketakutan bertambah ketika melihat pemberontakan pemuda itu didorong oleh mobilisasi yang massif dari jaringan sosial. Walaupun peran media sosial jauh lebih rendah dalam aksi protes Suriah daripada negara-negara seperti Tunisia atau Mesir. Orang telah mempertaruhkan kehidupan mereka untuk menggunakan ponsel dan kamera kecil untuk menyebarluaskan video kekejaman dan tindakan keras Presiden Bashar Al-Assad pada demonstran. Para demonstran juga mengupload gambar-gambar ke Facebook atau YouTube. Bahkan email pribadi penguasa Suriah tersbut juga diretas oleh Hecker dan disampaikan kepada surat kabar The Guardian. Hal ini mengakibatkan dunia internasional melakukan tekanan agar presiden Assad untuk mundur dari kekuasaanya. Assad juga telah menggunakan website untuk melakukan propoganda dengan menegaskan bahwa video protes adalah palsu dan bahwa ia memiliki ratusan ribu pendukung yang masih setia. Kita sudah bisa melihat bukti dari media sosial yang mampu memproduksi sistem politik baru di Timur Tengah. Di Mesir, di mana keadaan darurat sejak tahun 1981, memungkinkan pihak berwenang untuk menangkap orang tanpa pengadilan pengawasan jika bersikap kritis seperti orde baru di Indonesia. Namun lingkup media online telah menjadi jalan berkembangnya ruang debat. Ikhwanul Muslimin, yang dilarang berpartisipasi dalam pemilu Mesir, banyak diprotes melalui media online. Facebook memainkan peran penting dalam mengorganisir dari pemogokan di Kairo dua tahun lalu. Blogger telah berperan dalam mengungkap kasus-kasus penyiksaan polisi di negara ini dan membuka mereka untuk diskusi publik dan internasional. Di Iran, peran Twitter ikut ramai selama pemilu presiden 2009 yang dipersengketakan, baik dalam mengatur protes dan menarik perhatian internasional terhadap situasi di negara itu. Bahkan Ratu Rania dari Yordania aktif menggunakan media sosial untuk mempromosikan dialog antar budaya, advokasi untuk perubahan sosial dan memberi warga sarana untuk terhubung dengan kerajaan. Meskipun contoh-contoh ini menggembirakan, situasi secara keseluruhan jauh lebih suram. Mungkin karena mereka telah menyadari potensi internet untuk membangkitkan perubahan, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan usaha mereka untuk menyensor. YouTube diblokir di Turki, Suriah, Iran, Libya dan Tunisia. Iran telah mengembangkan sendiri berbagai teknologi canggih untuk memblokir situs yang dianggap mengancam rezim. Kafe internet di banyak tempat tunduk pada pengawasan, dan pemilik diharuskan diwajibkan untuk menyimpan rekaman semua aktifitas pelanggan yang menggunakan layanan mereka. Untuk tingkat yang bervariasi dari negara ke negara, mengkritik para pemimpin politik atau agama melalui internet dapat mejadi alasan ditangkap dan dipenjara. Blog telah terbukti dapat memiliki efek langsung dalam mempromosikan demokrasi. Misalkan selama 2005, pemilihan parlemen di Mesir, blog mempublikasi berita harian media massa, memberikan masyarakat berbagai mainstream tentang pemilu. Banyak juga partai politik Islam sendiri yang menggunakan blogosphere dalam rangka menginformasikan kepada pendukung mereka tentang isu-isu penting. Pihak berwenang Mesir secara aktif mencoba untuk memblokir akses ke situs tersebut. Pada sisi lain jajak pendapat publik di website Al-Jazeera juga telah membantu dalam konsolidasi perjuangan demokrasi. Polling opini adalah tren terbaru di Timur Tengah, dan karya Al-Jazeera di lapangan telah membantu membentuk kesadaran publik yang telah lama ditindas oleh otoritarianisme. Seperti blog, jajak pendapat di website memungkinkan
68
Anyakala Freddy
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
setiap warga negara untuk mengungkapkan sudut pandangnya dan melihat sudut pandang orang lain. Pengukuran opini publik ini menunjukkan bahwa terjadi sudut pandang yang beragam di dalam negara. Pemerintah dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang mendesak, seperti pelanggaran hak asasi manusia, ketidaksetaraan politik, kasus korupsi pemerintah, dan fundamentalisme. Website Al-Jazeera telah menjadi senjata utama dalam pertempuran warga Arab untuk menentukan nasib sendiri, mengakhiri otoritarianisme, dan mencari dukungan internasional untuk menciptakan iklim demokrasi. Merujuk pada teori determinisme McLuhan dalam EM Griffin (2003), bahwa penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kemudian perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Dan terakhir manusia membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang digunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri. Demikian pula yang terjadi dan mewabah di Timur Tengah. Pola komunikasi yang dibangun berangkat dari perkembangan informasi dan tekhnologi yang segera mempengaruhi kasadaran publik. Protes satu orang dengan membakar diri di Tunisia, dengan cepat menyebar melalui jejaring sosial, YouTube, Facebook, Tweeter, dan Smartphon lainnya. Hal ini mengugah solidaritas bersama untuk kemudian melakukan gerakan sosial yang berujung pada revolusi dan turunnya beberapa pemimpin otoriter didaerah tersebut.
E. Penutup Revolusi di Tunisia, Mesir dan tempat lain di Timur Tengah sangat mengandalkan internet, media sosial dan teknologi seperti Twitter, Facebook dan YouTube pada tahap awal untuk mempercepat gerakan sosial. Ada argumen yang lemah memang bahwa media sosial memainkan peran yang kuat di tempat-tempat seperti Yaman (di mana penetrasi internet rendah) atau Libya (di mana internet dikendalikan pemerintah). Di Suriah, di mana masih berlangsung pertempuran dan terus menyebar sampai ke pinggiran kota Damaskus bahkan sampai kepelosok-pelosok, yang mana peran media sosial juga menjadi lebih terbatas. Mengecewakan, Twitter dan Google juga telah sepakat untuk membantu pemerintah Suriah dan rezim yang menindas lainnya dengan menegakkan aturan guna menyensor tweet atau posting blog di Suriah. Namun fakta bahwa banyak isu-isu seputar revolusi yang tersebar di berbagai konten di internet membuktikan bahwa peran internet tidak bisa diremehkan. Pengenalan bentuk media baru merupakan harapan baru. Media baru mampu membuka saluran komunikasi dan mendidik masyarakat ditengah-tengah rezim otoriter. Jika negara terbuka, individu atau warga biasa lebih bersedia untuk berekspresi dan terlibat dalam proses politik mungkin hal ini akan berbeda. Kecenderungan kegiatan politik yang meningkat di Timur Tengah secara bersamaan akan mendorong penduduk untuk melakukan perubahan politik yang institusional. Proses ini akan terus berkembang dan mendorong lahirnya aktivisme akar rumput untuk perubahan yang lebih demokratis. Dampak gabungan dari TV satelit, perkembangan pesat akses ke internet, prevalensi pertumbuhan blog dan bentuk media partisipatif lainnya merevitalisasi ruang publik Timur Tengah. Tidak lagi segelintir elit dari rezim otoriter yang memonopoli wacana publik. Efeknya telah terjadi penurunan sistem kekuasaan otoriter dan meningkatnya aspek demokratis masyarakat, terutama pertumbuhan perdebatan populer dan ekspresi, meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan kesadaran pelanggaran hak asasi manusia. Ada kemungkinan bahwa salah satu efek langsung dari tren yang diuraikan dalam makalah ini adalah serangkaian protes dan revolusi yang telah menyapu kawasan itu pada awal 2011. Pemerintah baru akan menggantikan rezim yang telah jatuh, dan beberapa rezim akan menahan agitasi saat ini untuk perubahan yang lebih demokratis. Apapun, baik penguasa baru dan lama terbentuk akan tetap tunduk pada tekanan yang ditawarkan media baru ketika kerusuhan meluas seperti sekarang. Kemajuan mungkin lambat, blogger dan aktivis media baru masih terus ditangkap dan dipenjara di seluruh wilayah jika bebas berekspresi dan memiliki perbedaan pendapat dengan pemerintah, tetapi akhirnya pemerintah akan Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: “Kajian Kritis Pengaruh Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah”
69
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70
ISSN: 23389176
menyadari bahwa ada kekuatan yang tak terbendung dari kemajuan demokrasi melalui media baru.
DAFTAR PUSTAKA Abegabriel, Maftukh dan Abeverio, Yani. 2004. Negara Tuhan; The Thematic Enciklopedia, Yogyakarta; SR-Ins Publising. Barlan, Stanley, and Davis, Dennis. 2010. Mass Communication Theory; Foundation, Ferment, and Foundation 5 edition, terj. Afrianto Daud. Jakarta: Salemba Humanika, Flew, Terry. 2005. New Media; an Introduction. second edition, oxford university press. Griffin, Emory A., 2003. A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill Hutington, Samuel. 2007. The Class Civilization and Remaking of World Order, terj. Sadat Ismail, Yogyakarta; Qolam. Puttick, Miriam. 2010. Social Media and Democratization in the Middle East. Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern (terj.), Jakarta: Prenada Media. Keisef, Jeff. 2011. The New Media and Democratization in Middle East, Sreberny, Annabelle. 2008. Middle East Journal of Culture and Communication 1th Edition Analytic Challenges of Studying the Middle East and its Evolving Media Environment.
70
Anyakala Freddy
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
POSISI MANUSIA DALAM PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Oleh: Ahmad Zahri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected] Abstract Information Communication Technology develop from time to time. Media revolution in sight. Humans as the creator of new media should be able to use the media efficiently, not to actually manipulated by the media. Media Determinism Theory by McLuhan help to give an overview of this situation. Keyword: Information Communication Technology, Media revolution, Media Determinism
A. Pendahuluan Teknologi berkembang cepat dan menyentuh bidang komunikasi hingga terjadi revolusi. Perubahan ini didorong oleh penemuan dibanyak bidang teknologi sehingga meminimalisir kendala dalam proses komunikasi sebelumnya. Kendala karena faktor jarak, jumlah, waktu, kapasitas, kecepatan, termudahkan oleh teknologi. Komputer ditemukan pada tahun 1930 an dan menyumbang perkembangan telekomunikasi dengan cepat. Tanggal 11 September 1940, George Stibitz berhasil mengirimkan masalah-masalah komputasi menggunakan teletype ke Complex Number Calculator di New York dan menerima hasil komputasinya di Dartmouth College, New Hampshire. Konfigurasi komputer terpusat ini tetap populer sampai era 1950-an. Teknologi informasi komunikasi terus berkembang sepanjang waktu. berawal dari tahun 1960, dimana ditemui hubungan antara komputasi dan seni radikal. Berlanjut di tahun 1980 bahwa Alan Kaydan rekan kerja di Xerox PARC mulai memberikan keajaiban komputer pribadi untuk personal ( Wardrip-Fruin dan Montfort, 2003: 124) In the late 1980s and early 1990s, however, we seem to witness a different kind of parallel relationship between social changes and computer design. Although causally unrelated, conceptually it makes sense that the Cold War and the design of the Web took place at exactly the same time (Wardrip-Fruin dan Montfort, 2003)
B. Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi Media cetak dan siaran analog msih dipakai hingga tahun 1980-an. Memasuki abad ke-21 transformasi informasi berlangsung cepat ke arah penggunaan teknologi digital seperti internet dan game online. Keduanya merupakan contoh dari media baru. Yakni mendigitalkan serta mengubah sisi “old media”. perubahan nyata yang dirasa seperti televisi menjadi digital, bisa diakses melalui streaming internet, mesin cetak yang mulai menyesuaikan design menggunakan adobe photoshop dan desktop publishing. Andrew L. Shapiro dalam Croteau dan Hoynes (2003: 322) berpendapat bahwa munculnya sesuatu baru, menjadikan teknologi digital berpotensi radikal untuk mengendalikan informasi, pengalaman dan sumber daya. Selanjutnya dikuatkan oleh W. Russell Neuman dalam Croteau dan Hoynes (2003: 322) menunjukkan bahwa sementara "media baru" memiliki kemampuan teknis untuk menarik satu arah, kekuatan ekonomi 71
Ahmad Zahri
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76
ISSN: 23389176
dan sosial tarik kembali ke arah yang berlawanan. Menurut Neuman evolusi jaringan interkoneksi universal audio, video, dan komunikasi teks elektronik akan mengaburkan perbedaan antara komunikasi interpersonal dan massa dan antara komunikasi publik dan swasta. Neuman berpendapat bahwa New Media akan: 1. Mengubah arti jarak geografis. 2. Memungkinkan volume komunikasi meningkat pesat. 3. Memberikan kemungkinan meningkatkan kecepatan komunikasi. 4. Memberikan kesempatan untuk komunikasi interaktif. 5. Memungkinkan bentuk komunikasi yang sebelumnya terpisah untuk tumpang tindih dan interkoneksi. Dari karakteristik ini media baru memberi berbagai dampak. Douglas Kellner dan James Bohman (2001: 57) mengatakan bahwa media baru, dan terutama internet, memberikan potensi untuk ruang publik demokratis postmodern, di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam informasi dengan baik, perdebatan non-hirarkis yang berkaitan dengan sosial struktur mereka. Penilaian positif dari pertentangan ini terlihat dari dampak sosial potensi media baru. Transisi ke media baru telah disasar oleh perusahaan telekomunikasi transnasional hingga mencapai tingkat pengaruh global yang sampai sekarang tak terbayangkan. Revolusi media telah menginspirasi pendekatan kontemporer dari teori media baru bisa terlihat dari investigasi dari era elektronik berbasis interaktivitas (Littlejohn, 2009: 684). Lister et al. (2003: 34) menyoroti potensi negatif dan positif dan kemungkinan implikasi aktual dari teknologi new media. Yakni mereka menunjukkan bahwa beberapa karya awal ke dalam studi media baru kurang tepat dalam menjabarkan teknologi, dimana dampak media ditentukan oleh teknologi sendiri, daripada melalui penelusuran jaringan sosial kompleks yang diatur pengembangannya, pendanaan, pelaksanaan dan masa depan teknologi apapun itu. Media baru dijelaskan lebih lanjut oleh Lev Manovich (2003: 16-23), dalam bukunya The New Media Reader. Manovich mendefinisikan new media dengan menggunakan delapan proposisi sederhana dan mudah dipahami, yakni: 1. Media baru versus cyberculture Cyberculture adalah berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan jaringan komunikasi (blog, online multi-player game), sedangkan new media yang bersangkutan lebih banyak dengan benda-benda budaya dan paradigma (digitalisasi untuk televisi analog, iPhone). 2. Media baru menggunakan teknologi komputer sebagai Platform Distribusi New media adalah obyek budaya yang menggunakan teknologi komputer digital untuk distribusi dan sarana pameran. Sebagai contoh: internet, situs, multimedia komputer, danuntuk entertainment ada Blu-Ray dengan kualitas HD. Masalahnya adalah, definisi dari media baru perlu direvisi setiap beberapa tahun. Istilah "media baru" tidak akan "baru" lagi, seperti kebanyakan bentuk budaya akan didistribusikan melalui komputer. 3. New Media sebagai data digital yang dikendalikan dengan software New Media didasarkan pada asumsi bahwa cultural objects yang mengandalkan representasi digital dan pengiriman berbasis komputer melakukan kegiatan berbagi atas sejumlah kualitas umum. New Media menjadi data digital yang dapat dimanipulasi oleh perangkat lunak sebagai data lainnya. Sekarang pengoperasionalan media dapat menjadi beberapa versi dari objek yang sama. Sebagai contohnya adalah gambar disimpan sebagai data matriks yang dapat dimanipulasi dan diubah sesuai dengan algoritma tambahan yang diimplementasikan, seperti inversi warna, greyscale, exposuring, sharpening, rasterizing, blooming dll.
72
Ahmad Zahri
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76
4. New Media sebagai percampuran budaya antara konvensi yang ada dengan konvensi software Secara jelas terlihat media baru dipahami sebagai campuran antara konvensi budaya yang lebih tua untuk kepentingan representasi data, akses, dan manipulasi dan konvensi yang lebih baru dari representasi data, akses, dan manipulasi ini. Penjelasan ringkas diatas adalah data yang tergolong "lama" adalah representasi dari realitas visual dan pengalaman manusia, dan yang disebut data "baru" adalah data numerik Komputer tidak kreatif, aktornya lah yang berperan. Misalnya dalam film, perangkat lunak digunakan di beberapa sektor produksi, sebut saja menggunakan animasi komputer. Film percampuran efek komputer dan manusia yang sukses contohnya adalah Transformers, Harry Potter, dan lainnya. 5. New Media sebagai estetika yang mengeiringi tahap awal setiap media modern baru dan teknologi komunikasi Ideologi dalam media baru sering disinggung, sedangkan tentang estetika media baru jarang dibahas. Jadi, agar pendekatan ini benar-benar berguna tidak akan cukup untuk hanya dengan strategi dan kiasan dan untuk merekam, melainkan kita harus mengembangkan analisis yang komprehensif yang akan mengkorelasika sejarah teknologi dengan sejarah sosial, politik, dan ekonomis atau periode modern. 6. New Media sebagai eksekusi lebih cepat atas algoritma yang sebelumnya dieksekusi secara manual atau melalui teknologi lain Kejaiban dari teknologi bernama komputer adalah kecepatan dari apa yang sebelumnya teknik manual. Sebut saja kalkulator. Manovich (2003: 20) mengatakan media baru: Dramatically speeding up the execution makes possible previously non-existent representational technique". On one level, a modern digital computer is just a faster calculator, we should not ignore its other identity: that of a cybernetic control device. (Media baru memberi ruang bagi art, sebagai contoh adalah interactive multimedia dan video games.) 7. New Media sebagai encoding dari avant-garde modernisme, new media sebagai metamedia Manovich menyatakan bahwa tahun 1920 lebih relevan dengan penyebutan new media daripada rentang waktu lainnya. Alasannya adalah meta-media bertepatan dengan postmodernisme dan keduanya bekerja sama mengolah pekerjaan lama daripada menciptakan pekerjaan baru. Media baru avant-garde "adalah tentang cara-cara baru untuk mengakses dan memanipulasi informasi" (misalnya hypermedia, database, mesin pencari, dll). Meta-media adalah sebuah contoh bagaimana kuantitas dapat berubah menjadi kualitas seperti dalam teknologi media baru dan teknik manipulasi dapat "mengkode ulang estetika modernis menjadi estetika postmodern sangat berbeda." 8. New Media sebagai artikulasi paralel gagasan seni serupa di Pasca-Perang Dunia II dan komputasi modern Art pasca Perang Dunia II atau "kombinatorik" melibatkan penciptaan gambar dengan sistematis dan mengubah parameter tunggal. Hal ini mengarah pada penciptaan atau gambar yang sangat mirip dan struktur spasial. "This illustrates that algorithms, this essential part of new media, do not depend on technology, but can be executed by humans." (Manovich: 23) Dari kedelapan proporsisi yang diberikan Manovich (2003) di atas, disadari bahwa posisi manusia sebagai aktor perlu menempatkan diri sebagai pengguna teknologi. Secara seimbang dan harmoni dengan ciptaan tangan mereka sendiri. Menggunakan teknologi dengan bertanggunjawab dan tidak menrugikan pihak lain.
Posisi Manusia dalam Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
73
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76
C. Posisi Manusia Komunikasi
dalam
Gempita
ISSN: 23389176
Teknologi
Informasi
Munculnya media baru telah menimbulkan gejala peningkatan arus komunikasi antara orang di seluruh dunia dan internet. Individu mengekspresikan diri melalui blog, website, gambar, dan media user-generated lain. McQuail (2000) menyebutkan internet merupakan salah satu bentuk new media berdasarkan tipe penggunaan, konten, dan konteks. Yakni: 1. Interpersonal Communication Media (konten bersifat privat, tidak bertahan lama, relationship lebih kuat dari informasi), 2. Interactive Play Media (yang terpenting dalam kategori ini adalah interaktifitas user), 3. Information Search Media (banyak informasi yang bisa di dapatkan dari internet mengingat storasinya yang luar biasa besar), 4. Collective Parsipatory Media (internet digunakan untuk saling berbagi gagasan, pengalaman, serta mengembangkan hubungan). Internet jelas memberikan fasilitas layanan kebutuhan berkomunikasi yang interaktif, menjangkau audiens luas, dan konten tak terbatas. Peningkatan interaksi dimudahkan oleh media baru. Sehingga diharapkan interaksi mengglobal yakni bisa berhubungan dengan negara lain, berekspresi lebih bebas dan akrab bertanggungjawab, mampu mengakses kebudayaan dari daerah lain, serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan aplikasinya untuk komunikasi massa menyebabkan perubahan signifikan dalam ekosistem media, dipahami dalam arti luas untuk mencakup semua aktor dan faktor interaksi yang memungkinkan media untuk berfungsi dan memenuhi peran mereka dalam masyarakat. perkembangan teknologi informasi dan komunikasi merupakan cara baru untuk menyebarkan konten dalam skala besar dan sering biaya jauh lebih rendah dan dengan persyaratan teknis dan profesional lebih sedikit. Fitur baru terjadi yang sebelumnya belum pernah terjadi dari interaksi dan keterlibatan pengguna. Media baru menawarkan kesempatan baru untuk membangun kewarganegaraan demokratis. Aplikasi baru juga memfasilitasi partisipasi pengguna dalam proses penciptaan dan dalam penyebaran informasi dan konten, sehingga mengaburkan batas antara komunikasi publik dan swasta. Media baru menawarkan alternatif kongkrit mengenai ideologi nilai. Eksekusinya akan berjalan mendekati sempurna jika benar-benar didasari kepentingan dan ideologi nilai sosial. Namun ketika sudah ditangan swasta, berarti kontrol atau gagasan “kegunaan” tetap menjadi dan di tangan pihak swasta. Seperti yang kita ketahui arahnya akan kemana, hal ini berarti gagasan itu akan tunduk pada manipulasi profit, bukan untuk kepentingan publik. Miege menulis artikel “Capitalism and Communication” dalam buku Calabrese (2004: 8788) menjelaskan bagaimana komunikasi informasi dipahami sebagai mode of production kapitalis. Miege berpendapat, bahwa ada tiga elemen yang perlu dicatat. Pertama, muncul fakta bahwa komunikasi informasi berkembang secara eksklusif dan berorientasi pada pasar serta terindustrialisasi. Kedua, adanya aktivitas komunal meningkat dan menginternasional sehingga sulit dipahami. Terakhir, tersebarnya ideologi globalitarian yang membawa isi kapitalisme di dalamnya. Media baru dengan segala kecanggihan yang ditawarkan terindikasi memiliki ketiga aspek tersebut, secara implisit. Individu sebagai aktor pengguna media baru perlu mengadopsi modalitas baru, prosedur dan hasil media baru. Fungsi dan keberadaan pelaku media tradisional, serta model-model ekonomi dan standar profesional, perlu dilengkapi atau digantikan oleh sistem lain. 74
Ahmad Zahri
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76
Karakteristik media baru yang jelas berbeda dengan media lama memunculkan dampak baik dan buruk. Jika tidak dikontrol dengan baik, media baru bisa mengambil peran institusi sosial dan mengarahkan nilai masyarakat. sebagai contoh institusi paling kecil yakni keluarga, jika salah satu anggota keluarga tersebut lebih memilih menggunakan nilai dari media baru tentu akan mengalami mengikisan nilai. Lingkup yang lebih besar, dikhawatirkan adanya pihak yang menggunakan media baru sebagai alat doktrinasi. Daya jangkau yang luas dan exposure tinggi dan lemahnya nilai struktur sosial dan nilai etika lebih mempermudah media baru dimanfaatkan. Berbicara tentang individu dalam teknologi komunikasi maka teori Media Determinism dari McLuhan bisa membantu menjelaskan. Dalam Griffin (2003: 341), McLuhan mengatakan bahwa kita memasuki mass-age. Kita hidup dengan sejarah peradaban dimana media mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku. Era masyarakat menjadi massa karena munculnya media massa. Teknologi membentuk kita, daripada melihat orang yang mendikte bahaimana teknologi seharusnya dipakai. McLuhan mengelompokan sejarah perkembangan komunikasi manusia pada masa Tribal, Literacy, Print dan Electrical. Masa Tribal dimana manusia menggunakan komunikasi oral. Masa Tribal mengandalkan kemampuan otak kanan dibanding otak kiri. Sedangkan Literacy kemampuan mendengar bertukar dengan kemampuan membaca dan mengamati objek visual dalam bentuk alphabetik phonetic melalui pandangan mata maka otak kiri menjadi berkembang. Era Print berada pada abad ke 15 saat Gutenberg menemukan mesin cetak untuk mencetak pesan-pesan tertulis lalu bisa digandakan. Era baru Electrical diawali dengan masuknya telegraf. Diikuti dengan telepon, radio, film projector, phonograph, televisi, photocopier, answering machine, komputer, VCR, compact disc, holograph, cellular phone, fax, DVD, modem, dan internet. Di era ini lah manusia menjadi mengglobal dan bisa bersentuhan dengan lainnya dimanapun secara instan. Jika Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka McLuhan beranggapan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi. Griffin (2003: 354) menyebutkan, nothing remains untouched by communication technology. Kini segala aspek kehidupan selalu terkait dengan media. Mulai dari infrastruktur hingga hubungan interpesonal. Media massa menjadi perpanjangan indrawi manusia, begitu yang McLuhan asumsikan. Media mempermudah jangkauan jarak, peristiwa, informasi, bahkan media mampu membantu manusia untuk menafsirkan makna hidup kita. Dalam bukunya Understanding Media, McLuhan (1964) mengatakan: The message of any medium or technology is the change of scale or pace or pattern that it introduces into human affairs. The railway did not introduce movement or transportation or wheel or road into human society, but it accelerated and enlarged the scale of previous human functions, creating totally new kinds of cities and new kinds of work and leisure. This happened whether the railway functioned in a tropical or northern environment, and is quite independent of the freight or content of the railway medium
Kata kuncinya adalah, “medium is the messege”. Media menjadi lebih penting dari isi pesan yang disampaikan media. Semakin pesatnya teknologi akhirnya membawa dominasi akan media terhadap manusia. sebagai contoh media baru, smartphone, banyak orang yang sangat tergantung pada gadget tersebut untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dibawa kemana-mana seakan tak bisa hidup berjauhan tanpa ponsel. Pendapat Everett M. Rogers dalam Abrar (2000: 4), pesan yang dibawa oleh teknologi informasi komunikasi adalah untuk mendidik pemakainya melakukan demassifikasi, menyesuaikan diri, dan meningkatkan interaksi.
Posisi Manusia dalam Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
75
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76
ISSN: 23389176
D. Kesimpulan Demassifikasi berkaitan dengan kontrol pesan dari produsen informasi. Produsen bukan lagi semata surat kabar atau media, tapi dengan demassifikasi khalayak menjadi pengontrol pesan. Jadi khalayak memilih informasi yang dianggap sesuai. Setelah terjadi proses demassifikasi, khalayak wajib melakukan standarisasi untuk beradaptasi. Mulai dari standar petunjuk menggunakan teknologi dari pengiriman pesan hingga nilai kemanusiaan serta makna. Menurut Abrar (2000: 4), salah satu cara menyesuaikan diri adalah berperilaku global. Dimana individu harus sadar bahwa mereka adalah bagian dari negara dunia. Individu harus paham semua aturan yang berlaku universal, jika tidak akan terjadi kegagalan komunikasi global dalam proses penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam proses menjadi manusia yang memahami penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, hambatan terbesar ada pada struktur pribadi dan sistem nilai (Abrar, 200). Struktur pribadi dipahami sebagai sikap yang tidak sesuai dengan nilai dasar teknologi informasi dan komunikasi. Sistem nilai juga mempengaruhi. Yakni sikap mental yang tidak cocok dengan perilaku efisien. Individu perlu mempelajari keduanya secara seksama. Media dengan segala teknologi yang mencakupinya harus menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Manusia adalah makhluk berpikir. Jika terlalu larut kedalam gempita teknologi dengan penggunaan media baru dan tidak berusaha menyesuaikan diri secepatnya, maka jelas akan manusia dikontrol oleh media. Padahal seharusnya manusia mengontrol alat, bukan sebaliknya.
E. Daftar Pustaka Abrar, Ana Nadhya. 2000. Teknologi Komunikasi dalam Perspektif ilmu Komunikasi. Yogyakarta: FISIPOL UGM Calabrese, Andrew et.al. 2004. Toward a Political Economy of Culture. USA: Rowman & Littlefield Publisher, hal 87-88 Croteau, David & Hoynes, William. 2003. Media Society: Industries, Images and Audiences (third edition).Thousand Oaks: Pine Forge Press Durham, M & Kellner, Douglas. 2001. Media and Cultural Studies Keyworks. UK: Blackwell Publishing Griffin, Emori A. A First Look at Communication Theory fith edition. New York: McGrawHill Lev Manovich. 2003. New Media from Borges to HTML. The MIT Press Lister, Martin, Dovey, Jon, Giddings, Seth. Grant, Iain. & Kelly, Kieran. 2003. New Media: A Critical Introduction. London: Routledge Littlejohn, S. W., 2009. Encyclopedia of Communication Theory. USA: Sage Publications McLuzan, M. 1964. Understanding Media: The Extensions of Man. 1st Ed. NY: McGraw Hill McQuail, Dennis. 2000. Mass Communication Theory. London: Sage Publications ardrip-Fruin, Noah and Nick Montfort. (2003). The New Media Reader. The MIT Press
Website: http://www.computerhistory.org/revolution/birth-of-the-computer/4/85/341
76
Ahmad Zahri
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam Kasus Penyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura Oleh: Beni Irawan Tarigan (Alumni Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email :
[email protected]) Abstrak Kekerasan dalam satu bingkai agama, khususnya islam syiah dan sunni memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan hampir tiap hari di Irak, pakistan, Afganistan dan dibeberapa negara Timur Tengah hampir terjadi tiap hari. Namun hal ini menjadi hal yang agak aneh ketika terjadi di Indonesia, yang mana telah disebutkan diatas bahwa Indonesia adalah negara yang selama ini terkenal dengan kerukunan antar umat beragama apalagi internal dalam agama itu sendiri. Sebagian Sunni menganggap golongan ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap keluarga dan keturunan Nabi Muhammad atau yang sering disebut sebagai Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib yang notabene keponakan sekaligus menantu Muhammad, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk menjadi khalifahan (pemimpin) dari Nabi Muhammad yang berasal dari wahyu dari Tuhan. Kata kunci: Sunni, Syiah, Spiral of Silant, media
A. Pendahuluan Indonesia dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika memang memiliki berbagai pulau, suku, ras, bahasa, adat istiadat dan budaya yang beraneka ragam. Begitu pula dengan jumlah agama yang ada diindonesia, bahkan dalam internal agama tersebut masing-masing memiliki beberapa ideologi atau kelompok gerakan sendiri. Sebut saja dalam Islam misalnya ada syiah dan suni, ada Muhammadiyah dan ada Nahdlatul Ulama, ada Islam garis keras dan ada islam moderat, ada islam liberal ada islam fundamentalis. Dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai bangsa timur dengan segenap keanekaragamannya terkenal sebagai bangsa yang santun dan menyukai perdamaian daripada kekerasan. Namun setelah 12 tahun revormasi entah mengapa kekerasan di Indonesia ekskalasinya meningkat dan cenderung anarkis. Lihat saja contoh kasus Mesuji, kasus kekerasan Bima, kasus freeport di Papua dan masih banyak lagi kekerasan ditempat lain. Bahkan jika melihat berita televisi yang ada seolah-olah adalah berita tentang kekerasan. Tak terkecuali adalah kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sampang Madura, dimana sebuah pondok pesantren yang notabene beraliran Islam syiah diserbu dan dibakar oleh warga sekitar yang mayoritas menganut Islam Sunni. Kekerasan dalam satu bingkai agama, khususnya islam syiah dan sunni memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan hampir tiap hari di Irak, pakistan, Afganistan dan dibeberapa negara Timur Tengah hampir terjadi tiap hari. Namun hal ini menjadi hal yang agak aneh ketika terjadi di Indonesia, yang mana telah disebutkan diatas bahwa Indonesia adalah negara yang selama ini terkenal dengan kerukunan antar umat beragama apalagi internal dalam agama itu sendiri. 77
Beni Irawan Tarigan
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
ISSN: 23389176
Jumlah islam syiah yang minoritas dibanding dengan jumlah penganut islam sunni yang mayoritas dalam konteks kekerasan di Sampang ini menarik untuk dibahas. Fonumena tersebut merambah kedalam bentuk komunikasi masa antara mayoritas dan minoritas. Problematika ini biasanya dilihat dengan kacamata perbedaan ideologi, dimana justifikasi tentang islam yang benar dan sesat diberlakukan. Menurut penulis ada sebuah prespektif lain untuk menelisik kasus tersebut yaitu konteks komunikasi massa. Sebuah perangkat yang tepat untuk membidiknya adalah teori spiral of silence. Untuk mendiskusikan masalah ini terlebih dahulu akan dibahas tentang devinisi dan batasan apa itu islam sunni dan islam syiah, selanjutnya akan masuk pada kronologis dan masalah seputar penyerangan pondok pesantren syiah di Sampang. Kemudian akan dibedah posisi teori spiral of silence dan peran media dalam kasus tersebut.
B. Konflik Islam Sunni dan Islam Syiah Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib pasca meninggalnya Nabi umat Islam yaitu Muhammad. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan. Dalam terminologi syariat Sunni, Rafidhah bermakna "mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar bin Khattab”. (www. Wikipedia.com). Sebagian Sunni menganggap golongan ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap keluarga dan keturunan Nabi Muhammad atau yang sering disebut sebagai Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib yang notabene keponakan sekaligus menantu Muhammad, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk menjadi khalifahan (pemimpin) dari Nabi Muhammad yang berasal dari wahyu dari Tuhan. Syi'ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif. Setelah Muhammad meninggal dunia, penganut syiah memiliki pemimpin yang disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Urutan imam mereka yaitu: 1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin 2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba 3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid 4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin 5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir 6. Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq 7. Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim 8. Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha 9. Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi 10. Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi 11. Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari 12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi. (www. wikipedia.com). Imam Syaebani (1988) menyampaikan, dalam perkembangan selanjutnya para penganut syiah secara politik meyakini bahwa hanya anak dan keturunan Ali yang berhak memimpin umat islam. Sehingga dalam kerajaan islam saat itu, mereka mengklaim mempunyai peminmin sendiri, sebagaimana disampaikan diatas. Hal ini ternyata berimplikasi terhadap masalah ideologis. Para penganut syiah dan sunni memang secara teologi masih bersatu, dimana masih mempercayai tentang tauhid sebagai konsep ketuhanan, kemudian Muhammad sebagai nabi terakhir dan Al Qur’an sebagai kitab suci. Akan tetapi ada beberapa perbedaan selain dalam hal politis: 78
Beni Irawan Tarigan
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
a. Dalam masalah hadits (perkataan, persetujuan dan perilaku Muhammad) banyak terjadi perbedaan. Dimana kaum syiah tidak bersedia untuk menerima hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dan begitu juga sebaliknya, kaum sunni tidak bersedia menerima hadits yang dipakai oleh kaum syiah. b. Penganut syiah membolehkan nikah Mut’ah, yaitu nikah dengan jangka waktu. Hal ini menurut pandangan sunni adalah haram hukumnya. c. Dalam menyebutkan nama Ali sebagai imam atau pemimpinnya, hal ini dilakukan sebagai bentuk kultus individu terhadap sosok ali Bin Abi Tholib. Tentu sangat berbeda dengan paham yang dianut oleh sunni yang tidak mengunakannya dan mengangap Ali hanya sebagai pemimpin bisa. d. Dalam hal kepemimpinan atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) menurut kaum syiah adalah memiliki sifat ma’syum atau terlepas dari dosa. Hal ini juga ditentang keras oleh penganut sunni, karena ma’syum adalah sifat yang hanya dimiliki oleh nabi. Sehingga penganut sunni berbendapat penganut syiah telah menyamakan pemimpin mereka seperti nabi. Beberapa poin perbedaan diatas, baik secara politis terlebih secara teologis berakibat terjadinya dikotomi yang mengarah kepada fanatisme buta. Bagi penganut islam sunni yang fundamentalis mengangap bahwa penganut syiah adalah sesat. Sebuah kalimat yang mengerikan. Karena kata “sesat” sering di apresiasikan sebagai lawan bahkan musuh sehingga bisa menimbulkan pertumpahan darah. Penganut syiah berkembang dengan pesat dan bahkan dianut secara mayoritas di negara Iran, selebihnya baik dinegara-negara Timur Tengah atau negara islam seperti Malaysia, Brunei dan dinegara lain penganut syiah adalah minoritas. Di Indonesia penganut Syiah telah masuk beberapa abad yang lalu, namun konstelasi politik dimasa orde lama dan orde baru tidak memberi ruang penganut ini untuk berkembang. Syiah di Indonesia mendapatkan momentumnya ketika revormasi, dimana pada tahun 2001 bertempat di Jakarta dideklarsikanlah sebuah organisasi yang bernama IJABI dengan kepanjangan Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia dengan ketuannya Jalaludin Rahmat. Sebagaimana di mayoritas negara-negara didunia kecuali Iran, penganut syiah di Indonesia juga minoritas. Menurut Jalaludin Rahmat, penganutnya tidak lebih dari 2,1 juta jiwa. Artinya hanya sekitar 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Hal ini sangat jauh bila dibandingkan dengan jumlah penganut ormas Nahdlatul Ulama, yang diklaim mencapai 40 juta atau ormas Muhammadiyah yang mencapai 30 juta orang, sebagaimana yang disampaikan oleh Din Syamsudin (ketua PP Muhammadiyah) ketikan diwawancarai oleh Alfito Denova dalam acara tokoh yang disiarkan oleh Tvone beberapa waktu lalu. Adapun Aksi pembakaran pesantren milik warga Syiah di Sampang, Madura, ternyata berawal dari konflik keluarga. Pemicunya antara Rois Alhukama yang berseteru dengan Tajul Muluk. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Polri, Inspektur Jenderal Saud Usaman Nasution, di Mabes Polri, Jumat, 30 Desember 2011 (VIVAnews.com). Kakak beradik ini berbeda paham dalam menerapkan ajaran agama kepada santri. Rois Alhukama berpaham Sunni, sementara Tajul Muluk adalah Syiah. Saud mengatakan, konflik keduanya sebenarnya sudah dijembatani dengan melakukan Musyawarah Pimpinan Daerah. Lalu dibuat perjanjian antara keduanya. Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, aksi pembakaran pesantren dan rumah warga Syiah diawali konflik keluarga yang sudah berlangsung lama. Dulu sudah dilakukan pendekatan. Namun juga tak kunjung terselesaikan. Hingga akhirnya merembet ke persoalan agama. Pihaknya mengaku, bersama Majelis Ulama Indonesia dan Pemerintah Sampang, sudah berusaha mendamaikan kedua kelompok tersebut. Namun, konflik keduanya belum bisa diselesaikan. Ujungnya Kerusuhan massa pada hari Kamis 29 Desember 2011 sekitar pukul 09.30 WIB terjadi penyerangan di pondok Pesantren Misbahul Huda Nangkernang, Sampang, Madura, Jawa Timur. Massa yang mengaku berasal dari kelompok Sunni membakar milik pondok milik kelompok Syiah secara membabi buta. Ada rumah dan sebuah musala yang
Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam KasusPenyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura
79
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
ISSN: 23389176
dibakar. Tak beberapa lama kemudian anggota polisi dari Polres Sampang tiba di lokasi. Polisi yang tiba itu kemudian mencoba untuk memadamkan api yang membakar tempat ibadah dan rumah warga tersebut. Namun massa dari kelompok Sunni menghalangi, nyaris terjadi kesalahpahaman karena mereka menuduh polisi membela kelompok Syiah (www. detik.com). Demi keamanan penganut Syiah asal Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam itu diungsikan ke Gor yang ada di Jalan Wijaya Kusuma, sekitar 20 kilometer dari kantor Kecamatan Karang Penang. Jumlahnya mencapai 225 orang. Para pengungsi tersebut dipindahkan menggunakan truk bantuan dari kepolisian dan Satpol PP.
C. Pembahasan. Spiral of silence adalah teori komunikasi massa yang diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle-Neumann untuk menggambarkan proses formasi opini publik. Noelle-Neumann mendefinisikan "spiral of silence" sebagai proses yang pengalaman individu ketika pendapatnya banyak yang mendukung atau diterima oleh khalayak maka cenderung untuk mengekspresikan pendapatnya, namun jika pendapatnya tidak diterima oleh khalayak atau minoritas maka akan cenderung diam dan menyembunyikan pendapat tersebut. (Littljohn dan Foss, 2009) Noelle-Neumann melanjutkan dengan mengatakan bahwa individu yang memiliki pendapat bertentangan dengan khalayak akhirnya akan mengalami perasaan isolasi, jika pandangan mereka diasampaikan secara terbuka atau terang-terangan, mereka berisiko menjadi terisolasi dari mayoritas. Noelle-Neumann mengacu pada penulis klasik opini publik untuk menjelaskan konsep reaksi oleh individu. Diantarannya adalah Tonnies yang menulis, "Opini publik selalu mengklaim sebagai otoritatif”. Hal ini menuntut persetujuan atau setidaknya memaksa diam, atau abstain dari kontradiksi. Demikian pula, Bryce menulis bahwa ada "mayoritas yang tetap diam karena merasa dirinya dikalahkan ". Sebagaimana yang dikemukakan oleh Littlejohn dan Foss (2011) bahwa tesis tentang teori spiral of silence berangkat dari dua pemikiran. Pertama, manusia mengetahui opini mana yang termasuk umum dan mana yang tidak termasuk opini umum. Dengan kata lain manusia tidak segan untuk menebak apakah dirinya termasuk mayoritas atau minoritas. Asumsi kedua adalah bahwa manusia menyesuaikan persepsi mereka dengan asumsi tersebut. Konsep yang digunakan oleh Neumaan dalam membangun Opini Publik: a. Kemampuan manusia untuk mengukur tren di publik. b. Kecemasan Individu yang dapat dibenarkan terhadap suatu bentuk Isolasi. c. Keraguan-raguan untuk mengekspresikan pandangan. Noelle-Neumann mengembangkan lima hipotesis yang untuk menguji teori spiral of silence. Hipotesis tersebut disusun berdasarkan teori-teori dominan dan inti konsep opini publik. Hipotesis pertama ini berpendapat bahwa individu membentuk sebuah frem dari distribusi pendapat dalam lingkungan sosial mereka dan dari tren pendapat masyarakat. Mereka mengamati pemandangan yang mendapatkan kekuatan dan yang menurun. Di sini, Neumann menyatakan bahwa individu melakukan perhatian pada apa yang yang terjadi di lingkungan sosialnya karena untuk membantu menentukan seberapa jauh seseorang mengharapkan untuk mengekspos dirinya ke publik tentang topik tertentu. Hipotesis kedua berpendapat bahwa kesediaan untuk mengekspos satu pandangan umum bervariasi menurut penilaian individu dari distribusi frekuensi dan kecenderungan pendapat dalam lingkungan sosialnya. Hal ini lebih besar jika ia percaya dirinya sendiri Berpandangansama dengan mayoritas. Jika individu melihat bahwa pendapatnya lebih disukai di depan umum, dia akan lebih bersedia untuk mengungkapkannya. Hipotesis ketiga berpendapat bahwa jika individu memiliki arus distribusi yang sebenarnya tidak kongruen adalah karena pendapat yang nya dirasa kuat sehingga berani ditampilkan di depan umum. Hipotesis keempat berpendapat dalam hal penilaian opini publik, dimana ada korelasi positif antara masa sekarang dan masa depan. Jika pendapatnya saat ini dianggap berlaku, kemungkinan akan 80
Beni Irawan Tarigan
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
dianggap sebagai masa depan juga. adapun jika korelasinya negatif maka untuk menjadi pendapat yang lebih umum akan melalui proses perubahan. Hipotesis kelima berpendapat bahwa jika individu berpikir bahwa kecenderungan pendapatnya diterima publik, maka risiko isolasi akan kecil. (Noelle-Neumann dalam Em. Griffin, 2006). Temuan kunci dari penelitian Noelle-Neumann adalah bahwa ketika individu dihadapkan dengan opini publik, kelompok minoritas yang diam mungkin kurang untuk menyesuaikan diri. Mereka melakukan dengan cara memilih orang-orang dan media yang sependapat pandangan mereka. Dengan cara ini, kelompok ini lebih merasa nyaman mencari cara dan metode dukungan untuk membuat rasa nyaman dalam mengekspresikan pandangan dan opini mereka daripada berpura-pura untuk menerima pandangan yang berlaku tetapi bertentangan dengan pendapat mereka sendiri. Noelle-Neumann juga berasumsi bahwa media massa sangat mempengaruhi opini publik. Opini publik yang semula bukan merupakan pendapat mayoritas, dengan publikasi media masa yang masif sehingga menjadi mayoritas. Hal ini berakibat individu yang masuk dalam kelompok minoritas semakin teralienasikan dan cenderung menyembunyikan pendapatnya. Skema tentang teori spiral of silence dapat digambarkan sebagai berikut: Muncul Perdebatan yang Menerpa Publik
Media masa memberikan opini‐opini dari perdebatan yang menerpa itu dengan dominan sesuai dengan karakteristiknya kumulasi dan harmoni
Keinginan untuk bicara
Pendapat minoritas: Ketakutan akan terisolasi
Orang‐orang secara secara mayoritas setuju dengan pendapat dari media massa
Muncul pendapat minoritas. Seseorang yang tadi ingin beropini menjadi menahan opini tersebut. Karena tertekan pendapat dari publik yang mayoritas dan media massa yang berbeda dengannya
Gambar 1, Spiral of Silent
Dari uraian dan sekema diatas bahwa teori spiral of silence dapat digunakan untuk memotret kerusuhan yang menimpa warga syiah yang ada disampang, Madura. Dengan komponen individu yang merasa minoritas, peran media dan opini publik. Penjelasannya kurang lebih sebagai berikut. 1. Opini publik yang berkembang selama ini pada masyarakat adalah warga syiah memiliki pemahaman agama islam yang menyimpang dari koridor dan kaidah sebagaimana yang dipahami oleh umum. Baik secara politis terlebih lagi secara ideologis. Mengacu pada teori spiral of silence, opini yang berkembang selama ini dimasyarakat akan mempengaruhi sesseorang untuk menyampaikan pendapat dimuka umum karena merasa dirinya monoritas. Kita bisa menyaksikan berapa orang yang berani untuk tampil untuk menyuarakan pendapat atau sekedar menyampaikan simpati. Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam KasusPenyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura
81
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
ISSN: 23389176
Bisa kita bandingkan dengan kasus yang menyangkut korupsi atau penegakan hukum yang menyangkut para pejabat misalnya. Karena kasus korupsi merupakan opini publik, maka siapapun tidak segan untuk tampil dimedia atau berbicara pribadi, entah di angkutan umum, diwarung makan, atau bahkan sampai melakukan demonstrasi. Tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan, remaja atau dewasa bahkan kita bisa melihat ditelevisi tentang kegiatan anak-anak yang resah dengan penegakan hukum di Indonesia dengan menyumbang sandal beramai-ramai. 2. Ekskalasi opini yang berkembang dipublik sebagai justifikasi terhadap para penganut syiah banyak dipengaruhi oleh media. Selama ini pemberitaan media yang menyampaikan bahwa kaum syiah adalah minoritas dan pahamnya diangap menyimpang oleh penganut sunni, menambah perkembangan opini menjadi semakin tidak seimbang dimasyarakat. Sebagai contoh adalah pemberitaan yang disampaikan di situs berita online, VIVAnews.com, hari kamis 29 Dersember 2011 pukul 13.15 dengan judul “Warga Syiah Madura: Kami Bukan Aliran Sesat” sebagai berikut; VIVANEWS - Sejumlah warga membakar pesantren Misbahul Huda milik warga Syiah di dusun Nangkernang, Sampang, Madura sekitar pukul 09.15 WIB pagi tadi. Tidak hanya pesantren, tiga rumah milik warga Syiah juga dibakar. Iklil Al Milal, warga Syiah di Nangkernang menyayangkan sikap aparat keamanan yang tidak bisa mengantisipasi aksi brutal massa. ”Kami sudah memberitahukan bahwa ada rencana pembakaran. Tapi setelah rata dengan tanah, petugas baru datang. Polisi sudah tahu akan ada pembakaran, karena saya sudah lapor,” tuturnya kepada VIVANEWS.COM, Kamis 29 Desember 2011. Bahkan saat ini, sekelompok warga yang mengatasnamakan kelompok Sunni itu masih beringas untuk membakar rumah warga Syiah di dusun itu. Termasuk rumah milik Milal. Untuk menghindari amuk massa, beberapa warga Syiah, kata Milal sudah mengungsi ke tempat lain. “Saya dan keluarga sudah tidak di rumah,” katanya. Milal menuturkan, keberadaan warga Syiah di dusun Nangkernang sudah sejak tahun 1980-an. Namun, beribadah secara terang-terangan baru berlangsung pada 2004 lalu. ”Sejak saat itu tidak ada masalah dengan warga. Tapi sejak banyak tokoh-tokoh agama muncul dan memprovokasi, tahun 2006 mulai ada penyerangan terhadap kami,” ungkapnya. Kemudian, pada 2009, Syiah di dusun itu bukan aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang. “Karena 2009 sudah ada pertemuan di Sampang. Hadir MUI Sampang, Kapolsek dan Danramil juga ada. Dan waktu itu Syiah dinyatakan memang bukan aliran sesat, karena tidak ada penyimpangan,” tuturnya. Perlindungan terhadap warga Syiah pun sudah dijamin oleh MUI dan pihak keamanan. Namun, warga setempat justru semakin keras menentang keberadaan Syiah di dusunnya. Bahkan, kata Milal, aksi mereka semakin brutal. Walau begitu, Milal menekankan kepada ratusan warga Syiah di dusun Nangkernang, Sampang tidak membalas aksi brutal mereka. "Kita hidup di negara ini harus patuh terhadap hukum negara ini,” katanya. (umi)
Kata sesat yang disematkan oleh VIVAnews diatas walau bentuknya adalah sebuah bantahan namun hal ini mengindikasikan jika selama ini paham syiah adalah dianggap 82
Beni Irawan Tarigan
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
sesat. Apalagi ketua MUI kabupaten Sampang yang menyebutkan orang syiah adalah sesat ketika diwawancarai setasiun televisi metrotv bebrapa minggu lalu ketika membedah kasus kerusuhan Sampang. Walaupun konteks konstruksi berita berbeda, karena disampaikan pada tahun 2009 dan satunya 2011oleh yang berbeda pula (dimana pengurus MUI tahun 2009 telah berganti) maka secara psikologis akan membuat orang yang awam kemudian mencari tahu tentang paham syiah, berhubung orang yang ada disekitarnya mayoritas sunni maka refresensipun kemudian sedikit banyak membenarkan apa yang dikemukakan oleh ketua MUI tersebut. Apalagi informasi ini masuk kepada orang yang sudah paham agama. Walaupun statemen ketua MUI Sampang tersebut dibantah lagi oleh ketua MUI pusat yang mengatakan bahwa penganut syiah tidak sesat. 3. Ketika opini publik yang didukung oleh peran media menempatkan sebuah isu tentang ekskalasi mayoritas dan minoritas, kemudian individu mengidentifikasi jika dirinya adalah masuk kategori minoritas maka dalam teori spiral of silence individu tersebut lebih memilih diam karena takut untuk diisolasi oleh publik yang mayoritas. Begitu juga yang terjadi dengan warga syiah diindonesia. Sama sekali kita tidak melihat ada pergerakan masa yang masif yang secara terbuka mendukung warga syiah yang diserang dalam kasus Sampang. Hal ini sangat kontras dengan mobilisasi masa yang dilakukan oleh ormas-ormas islam lain. Katakanlah misalnya Nahdlatul Ulama’ atau Muhammadiyah yang sering melakukan mobilisasi masa. Contoh lain misalnya FPI yang dalam setiap swipingnya terhadap apa yang mereka sebut sebagai “kemungkaran” selalu melibatkan massa yang banyak, menggunakan atribut bahkan sering mengjak media untuk meliput. Penganut syiah hanya beberapa orang yang berani menyampaikan secara terbuka untuk mengungkapkan dirinya syiah didepan publik. Antara lain adalah Jalaludin Rahmat sebagai ketua dewan syura IJABI atau para korban kasus kerusuhan Sampang. Itupun karena media mencari berita dengan mewawancarainya. Sebenarnya ada inddividu yang sedikit berbeda ketika mereka masuk kategori minoritas, dimana mereka punya kemauan untuk menyampaikan pendapatnya kepublik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Littlejohn dan Foss (2011) bahwa anak muda lebih ekspresif daripada yang lebih tua, orang yang berpendidikan akan lebih kritis daripada yang tidak berpendidikan, dan laki-laki umumnya lebih memiliki keinginan untuk mengungkapkan opini daripada perempuan. Namun spiral of silence adalah sebuah faktor yang kuat untuk mempengaruhi psikologis seseorang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nurudin (2007), bahwa teori ini mimiliki kekurangan, tak ubahnya seperti teori-teori yang lain, dimana selalu ada kritik terhadap teori tersebut. Kekurannganya adalah jika seseorang memiliki pendirian yang sangat kuat maka tentunya tidak mudah untuk mengikuti pendapat mayoritas. Bahkan mereka terkadang berani untuk mengemukakan pendapat. Hal ini juga terjadi pada kalangan penganut syiah. Diantarannya Jalaludin Rahmat. Bahkan dia berani muncul dimedia untuk meluruskan dan menyampaikan pendapatnya.
D. Kesimpulan Kasusus penyerangan, pembakaran dan pengrusakan atas nama apapun jelas kita sayangkan. Apalagi negara Indonesia adalah negara hukum. Tak terkecuali kasus yang terjadi di Sampang Madura. Kaum minoritas merupakan sekumpulan masyarakat yang secara psikologis sebagaimana disampaikan oleh Naumann dalam teori spiral of silence adalah kelompok yang rentan akan keterasingan dan tekanan. Dalam konteks komunikasi kaum minoritas cenderung diam dan hanya bisa leluasa berkomunikasi dengan sesama individu yang mempunyai kesamaan oponi. Maka seyogyanya mayoritas sebagai “pemenang” dalam meraih opini melindungi dan memberi ruang untuk berekspresi. Konstruksi hubungan antara opini publik, media dapat berpengaruh besar terhadap bentuk dan cara dalam berkomunikasi. Tak terkecuali dengan penganut syiah di Indonesia. Penganut syiah yang merasa minoritas harus menyembunyikan pendapatnya demi rasa rendah diri dan takut terisolasi dari pergaulan publik. Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam KasusPenyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura
83
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84
ISSN: 23389176
Daftar Pustaka Littlejhon. W. Stephen dan Foss. A. Karen, 2011, Teori Komunikasi, Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika. Littlejhon. W. Stephen dan Foss, A. Karen. (ed), 2009, Encyclipedia Of Communication Theory. London: Sage Publication. Noelle-Neumann, Elisabeth, 2006, Spiral of Silence. Dalam Em. Griffin, A First Look At Communication Theory edisi 6. New York: Mc Grew-Hill. Nurudin, 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Syaebani, Imam. 1988. Muhtasyar As Syiah. Baerut. Daar Al Qolam. www.detik.com. www.wikipedia.com. www.VIVAnews.com.
84
Beni Irawan Tarigan
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
EKSPLOITASI FISIK DALAM LELUCON (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia) Oleh: Uspal Jandevi (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Abstract Funny Scenens that use body as a medium for producting humor is very often encountered in avariety of shows on television, especially on programs comedy. Then how humor as created can be viewed from varoius perspectiv,among other expressions of the from of funny, until the production proces that humor. The result showed that body-themed humor that appears that humor. The result showed that body-themed humor that appears in the Comedy of Opera Van Java, is more likely to lead to an unactractive body shape (notaccording to ‘standart‘) as acommdity theme of humor body that can producelaughter does not only came from techniques (visually) in producing that humor, but also involves the relations whit the surronding enviroment, because in each of humors that is created there is always a connection between : a funny scene, funny understanding,and the place where the humor is procedured. Key Word: Body, Discourse, Comedy, Komodifikasi
A. Pendahuluan Banyak acara televisi yang menyajikan sesuatu yang lucu untuk memikat para penonton agar betah memilih stasiun televisi mereka menjadi stasiun favorit para audien, dan tujuan akhirnya tentu saja agar stasiun-stasiun televisi dapat melakukan prosen komodifikasi. Acara-acara tersebut pasti tidak lepas dari artis atau aktor yang membintangi acara yang sekaligus menjadi icon acara tersebut, dalam kasus yang tertuang dalam tulisan ini adalah program Pas Mantap (PM) yang ditayangkan oleh Trans7. Dibintangi olehpara paleku komedian dari salah satu acara andalan mereka juga (Opera Van Java / OVJ), Parto, Andre, dan Sule. Bahkan terkadang para pemain dalam acara OVJ lainnya seperti Aziz dan Nunung, besertabintang tamu yang biasanya turun muncul di OVJ juga turut dihadirkan. Komedian Talk Show yang membintangi PM sudah sangat di kenal sehingga tanpa diperjelas lagi, orang sudah mengenal dan menginat bahwa mereka sebelumnya adalah ikon-ikon OVJ,dimana mereka semua telah memiliki branding tersendiri, dan bila dibandingkan dengan acara komedi lain mereka memiliki kesan lebih lucu dan menarik untuk ditonton. Tim kreatif pun selalu berusaha menampilkan kelucuan yang khas disetiap episodenya. Kreatifitas tim kreatif juga tertunjang dengan karakteristik yang telah dimiliki oleh asing-masing komedian dalam PM untuk memikat perhatian penonton. Para komedian yang bertugas pun berusaha membangun sebuah karakter tertentu atau ciri khas supaya gampangdikenal masyarakat. Karakter lucu yang dibangun itu biasanya terdiri dari penampilan, gaya berpakaian, cara bicara,tingkah laku, sifat dan sikap mereka. Seperti komedian Sule yang membuat potongan rambutnya seperti ekor kuda, Andre yang selalu mengeluarkan suara cempreng dan bertingkah layaknya anak-anak (childish), Aziz yang setiap penampilannya selalu pura-pura menderita gagap, Parto yang suka tampil latah, Nunung yang senantiasa bangga dengan fisiknya yang over weightdan lain-lain. Contoh karakter yang mereka miliki jika dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kelemahan 85
Uspal Jandevi
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
ISSN: 23389176
dan memalukan bagi kebanyakan orang dan ingin menghilangkan kesan itu dalam hidup mereka, namun dalam dunia komedi hal-hal yang memalukan dan layak untuk ditertawakan itu adalah aset berharga yang harus senantiasa dipelihara. Komedian atau pelawak di Indonesia sendiri memang identik dengan wajah atau fisik yag bisa dikatakan kurang menarik. Misalnya seperti pada Nunung dan Sule, dua komedian masing-masing memiliki fisik yang unik dalam acara. Nunung yang over weight, sedangkan Sule meiliki rambut yang mirip seperti ekor kuda dan kemudian hidung yang pesek. Sekilas dekripsi dari bentuk fisik Sule dan Nunung dapat dibayangkan bahwa fisik tidak proposional, fisik dan potongan rambut tidak menarik dengan wajah yang tidak memenuhi kriteria kata ganteng. Tetapi semua kekurangan yang ada pada diri mereka justru menjadi keistimewaan dan kelebihan hingga membawa mereka pada kesuksesan. Dan barangkali jikaNunung tidak berfisik Over Weight atau Sule tidak berhidung pesek dengan rambut pirang ekor kuda, maka ada kemungkinan juga mereka tidak terkenal sepeti sekarang. Oleh karena itulah maka pada alenia diatas disebutkan bahwa identitas diri dari ciri khas fisik dalam dunia komedi adalah aset penting bagi ekstensi seorang komedian. Aktivitas verbal ataupun nonverbal dalam mengeksploitasi fisik sebagai sarana dan sasaran empuk untuk ditertawakan terasa sangat kental sekali pada acara OVJ yang kemudian ditularkan dalam acara PM. Meski hanya memeiliki satu saja bentuk fisikatau sifat dan sikap yang bisa dikatakan tidak sesuai dengan standar manusia lain, namun apa yang terlihat itucukup mewakili asumsi seseorang untuk menilai jelek seseorang secara keseluruhan atas fisiknya. Oleh karena itu lah komunikasi verbal mereka olah sedemikian rupa untuk melahirkan kata yang dapat mengundang tawa kerap kali menjadiakan fisik, entah miliksendiri atau pun fisik lawan mainnya, sebagai bahan tertawaan. Seperti mencela fisik secara langsungatau menyamakan obyek lelucon (diri sendiri atau lawan main) dengan hal-hal yang sebenarnya tidak pantas, sepeti hewan contohnya, dimana komedian yang bertubuh over weight diasumsikan dengan sapi atau babi. Selain komunikasi verbal, komunikasi non verbal juga sering dilakukan untuk membuat suasana menjadi semakin meriah maka tak jarang para komedia dengan sengaja menggerakakan fisik, berpose dan bermain–main dengan wajah mereka untuk menjadikan mereka semakin terlihat jelek, sehingga orang yang akan melihatnya akan meresakan geli dan akhirnya tertawa, sebagaimana komedian yang berhidung pesek dengan sengaja bertingkah seperti monyet untuk memancing ledakan tawa penonton.
B. Kajian Teoritis 1. Program Acara Talk Show Program talk show menurut Fred Wibowo merupakan sajian yang mengetengahkan pembicaraan seseorang mengenai suatu topik menarik atau yang sedang hangat dibicarakan masayarakat (Wibowo,1997:50). Talk show juga didevinisikan sebuah program yang menampilkan pembawa acara terkenal yang mewawancarai orang penting seperti, tokoh masyarakat ,atau orang-orang yang sudah dikenal banyak orang (lusiana, 2006:85). Beberapa pendapat tersebut adalah garis besar dari program bentuk talk show, tetapi bagaimana dengan talk show bergenre komedi seperti dalam acara PM? jika dilihat dari aktivitas dan topik yang dibahas talk shows itu sendiri bisa digolongkan menjadi dua :pertama; talk show yang bersifat serius (formal). Kedua; Talk show yang bersifat ringan dan menghibur. Talk Showsyang bersifat menghibur memang cendeung lebih di prioritas kan pada hiburan, dan cenderung menjadi sebuah pertunjukan komedi. Dalam persperktifnya, dapat dikatakan komedi karena menempatkan pelawak sebagai pembawa acara, singkat kata talks show dengan pembawa acara seorang pelawak maka segala aspeknya otomatis dapat dijadikan komedi. Umumnya talk show mengandalkan seorang pembawa acara yang dikenal bercitra cerdas, intelektual, kritis, pintar melontarkan pertanyaan cerdas bermutu dan berwajah yang enak dilihat. (Lathief, 2007: 74). Namum, sepertinya kriteria pembawa acarayang 86
Uspal Jandevi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
tersebut seolah tidakberlaku bagi acara talk shows bergenre komedi. Pasalnya dalam talk show bergenre komedi seperti PM, yang paling ditunggu justru adalah kekonyolan yang terjadi lewat interaksi pembawa acara dan para bintang tamunya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan talk show komedi adalah sebuah talk show dimana sang pembawa acara tidak perlu menarik dan tidakcerdas, yang paling penting adalah kekonyolan yang terjadi lewat interaksi pembawa acara dan para bintang tamunya. Pembawa acaranya harus seseorang berjiwa komedian yang memiliki sense of humor yang cukup tinggi, tampilan acara segar, tema yang dibahas ringan menghibur, dan apar bintang tamunya selain artis, kalau perlu sang bintang tamu juga orang yang memiliki keunikan atau kekurangan fisik tertentu sehingga bisa dijadikan bahan hiburan.
2. Komedi Sesuatu dapat dikatakan lucu apa bila berhasilmengundang senyum atau tawa. Komedi terbagi menjadi tiga kelompok; Pertama, teori superioritas dan meremehkan. Kedua, teori mengenai ketidakseimbangan. Ketiga teori mengenai pembebasan dari tekanan dan memberikan ketenangan (Suhadi,1992:26). Dan dari tiga jenis komedia itu, yang kerap kita temui adalh komedi dari tipe pertama, mengenai superioritas dan meremehkan. Tipe inidijelaskan pihak yang mentertawakan lawan berada pada posisi superior, sedangkan pihak lain sebagai obyek yang ditertawakan menempati posisi inferior, seolah menjadi sasaran yang memang pantas dan layak untuk diremehkan atau di hina (Suhadi,1992:26). Dan kesimpulan itu diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia akan tertawa jika ada sesuatu yang diluar kebiasaan dan sesuatu yang dianggap jelek (Suhadi, 1992:2).Dala lingkup acara komedi sesuatu yang berada diluar kebiasaan banyak orang, kemudian muncul didepan mata atau didengar secara tiba-tiba akan membawa sebuah bentuk rangsangan secara mendadak, inilah yang menimbulkan asumsi lucu sebagai suatu hal yang dapat mengundang tawa.
3. EksplotitasiFisik Secara kasat mata, fisik adalah simbol diri yang utama dalam kehidupan. Namun selain dari segi fungsi yang sebenarnya, manfaat fisik dalam hal ini adalah penggunaan fisik manusia sebagai alat untuk membangun sebuah hidup dan stereotip dalam sistem sosial (Faucault, 1997:75). Dan dalam fenomena sehari-hari, fisik memiliki posisi dan fungsi yang lain, itulah fisik perlu dikontruksi khusus agar fisik memiliki guna yang lain untuk diri dan orang lain. Inilah yang dimaksudkan oleh Foulcoult sebagai fenomena fisik yang taat. Kapanpun, dimanapun, jenis gender dan segala sektor kehidupan sosial menjadi sebuah mekanis mendalam ajang disiplin penguasaan atas fisik. Tiap bagian fisik tanpa kita sadari mempunyai porsi masing-masing dalam masyarakat yang menjadi tatanan struktur sosial sendiri (Synnott, 2007:371). Dan seolah ada hukuman untuk fisik yang keluar dari jalur kenormalan. Dan hukuman itu di kenakan terhadap segala aspek yang menyangkut lahir maupun batin dalam konteks sosial (Foucalt,1997:97). Sehingga bagaimana fisik itu diolah dan dikendalikan sangan terikat pada ukuran-ukuran standar nilai yang ada didalam identifikasi sosial (Pilliang, 1998:335). Bagaimanapun juga aktifitas atas fisik selalu mendapatkan kontrol dari orang-orang sekitar (masyarakat), adanya disipilin dalam segala aspek menjadikan fisik yang tidak mengikuti atau tidak berjalan sesui dengan batas kewajaran, dinilai menyalahi aturan. Intinya, setiap pribadi memiliki kekuasaan pada fisiknya, dikemukakan oleh Foucalt memiliki ciri yang paling utama, selalu dikoreksi setiap gerak natural anatomi atas fisik manusia (Suyono,2002: 397).
C. Anilisis Kritis Dalam pandangan Fairclough wacana merupakan bahasa yang dipakai untuk Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
87
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
ISSN: 23389176
memberikan sebuah gambaran akan suatu praktik sosial ditinjau dari sudut pandang tertentu. Dan adri sudut pandang konseptual teoritis, oleh Fairclough wacana diterjemahkan menjadi suatu dominan umum dari semua pernyataan, seperti kalimat dalam teks yang mempunyai makana dan mempunyai efek dalam dunia nyata (Sobur, 2006:11). Agar bisa melakukan analisis wacana secara menyeluruh, maka kita perlu menerapkan sesuatu yang bernama analisis wacana kritis(critical discourse analysis). Tujuan dari analisi wacana kritis sendiri adalah menjelaskan dimensi linguistik dalam fenomena sosial, kultural, dan proses perubahan dalam modernisasi terkini. Wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada pembentukan kembali struktur sosial namun merefleksikan pembentukan kembali struktur sosial tersebut (Jorgensen dan Philip, 2007:116). Teks dalam bentuk bahasa yang diproduksi baik secara verbal ataupun nonverbal dalam sebuah acara talk showkomedi ditelevisi memiliki wujud yang sangat nyata sehingga dengan menggunakan tiga dimensi yang dimiliki Fairclough, akan dapat mengetahui makna yang terkandung dalam proses produksi dan bentuk relasi dengan lingkungan sosialnya. Gambar dibawah adalah bentuk hubungan tiga dimensi dari Fairclought yang terdiri dari: Text, Discourse practice, Sociocultural practice. Teks,dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata, sematik,dan tata kalimat yang juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antar kata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practiceadalah dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks (Eriyanto 2001:288). Sosiocultural practicemeliputi kondisi-kondisi sosial,yang dapat lebih ditetapkan sebagai kondisi suatu produksi. Ringkasan tersebut menyatakan bahwa kondisi-kondisi sosial ini membentuk cara dimana teks diproduksi atau dihasilkan dan ditafsirkan (Fairclought, 2003:28).
D. Pembahasan 1. Tumbal Kemenarikan Lelucon yang dikemas dengan berbagai bentuk ungkapan sehingga dapat menimbulkan tawa bagaimanapun juga adalah buah kreatif dari para komedian dalam memanfaatkan berbagai keadaan di sekitarnya. Dengan memanfaatkan kekurangan pada fisik sendiri atau orang lain untuk dijadikan bahan lelucon, teknih ini selalu menjadi andalan para komedian disetiap acara bernuansa komedi muncul. Fenomena ini merupakan sebuah sinyal bahwa kondisi fisik yang atau tidak berada pada kategori normal bagi kebanyakan orang telah dimanfaatkan untuk komoditi tertentu. Aspek kebermanfaatan fisik bahkan cenderung telah bersifat manipulatif guna menimbulkan kesan bentuk fisik yang tidak menarik. Sebab dibalikfisik yang tidak menarik ituterdapat sebuah alat untuk memancing tawa dari masyarakat yang dianggap bahwa bagi mereka penampilan fisik adalah sebuah prioritas (Herabadi, 2007:18). Sikap para komedian ini didukung oleh standarisasi bentuk fisik ideal dalam asumsi masyarakat luas yang membuat khalayak senantiasa berpacu untuk membuat penampilan fisik menjadi lebih bagus menurut asumsi mereka masing-masing dan itu bersifat komunal,hingga kemudian orang-orang dengan kategori fisik yang tidak menarik dalam penilaian banyak orang menjadi sumber perhatian khalayak ramai, logika sederhananya; mereka yang tampil menarik dan sangat dekat dengan kata tubuh proporsional menjadi kategori biasa, dan orang-orang yang penampilan fisiknya jauh dari kata proporsional menjadi komunitas unik sehingga mendapatkanperhatian lebih intensif dari lingkungan sekitar. Lantas pandangan fisik terhadap orang-orang yang bertubuh jauh dari kata proporsional yang dapat memancing tawa bisa kita klasifikasikan sebagai beriktu; Pertama, tubuh yang tidak normal sebenarnya hanya ada pada satu bagin tubuh saja tertentu saja, seperti berhidung pesek atau berambut keriting. Kedua; keberadaan fisik yang memang jauh dari kata proporsional secara umum, musalnya tubuh yang terlalu over weight. Dari dua ketgori bentuk fisik yang kerap menjadi bahan tertawaan ini pada intinya 88
Uspal Jandevi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
dapat disebut sebagai sekelompok minoritas dalam ruang lingkup masyarakat. Sebab sebagaimana yang telah kita ulas dalam paragraf-paragraf di atas sebelumnya bahwa orang dengan fisik proporsional menjadi sesuatu yang biasa dan kerap dijumpai. Status sebagai minoritas inilah yang menjadikan mereka sebagai pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Tubuh non proporsional yang mendapat perhatian pengawasan dari berbagai khalayak lainnya itu tidak hanya mendapatkan pandangan lebih dari khalayak luas saja, tapi juga menjadi obyek investigasi orang-orang berfisik proporsional (Suyono, 2002: 431). Singkat kata, otomatis pihak-pihak bertubuh non proporsional mendapatkan tempat khusus dalam sanubari orang-orang berfisik proporsional. Oleh karena itu tubuh non proporsional dalam menciptakan aksi-aksi yang dapat mengundang tawa (lucu) selalu dijadikan magnet untuk merangsang munculnyab tawabahkan untuk dapat memunculkan tawa itu pemilik tubuh non proporsional harus reladiperlakukan dengan tidak menyenangkan. Fenomena tersebut terkategorikan dalam teori superioritas dan degradasi,artinya ada pihak yang dengan sengaja mentertawakan orang lain yang dianggap berposisi dibawahnya dalam hal struktur sosial maupun segi kemenarikan dalam segi bentuk fisik (Pradopo dkk, 1987: 5). Meskipun terkadang ketika tubuh yang non proporsional itudieksploitasi untuk mengundang tawa penonton tidak berhasil mengundang tawa, karena bukannya tidak mungkin terkadang yang muncul dalam benak audien adalah rasa iba atas perlakuan yang diterima oleh pemilik tubuh non proporsional. Namun bagaimana pun juga lebih kerap kita temuipara penonton tanpa segan menertawakan tindakan aniaya yang diterima oleh pemilih tubuh tak proporsionaldisebabkan secara psikologi sosial baik dan buruknya bentuk tubuh telah terpolarisasikan sedemikian rupa dalam benakmasyarakat, tubuh yang proporsional adalah representasi kebaikan baik secara lahir maupun moral yang senantiasa harus selalu dipuja dan pemilik tubuh proporsional ini harus senantiasa diagung-agungkan, sedangkan tubuh yang dinilai tidak menarik (jelek) menjadi representasi dari sebuah kejahatan baik lahir maupun batin hingga tidak harus dibela (Synnott, 2007: 159). Bukankah sedari kecil masyarakat kita sudah disuguhi sebuah cerita dimana orang-orang baik (pahlawan) senantiasa digambarkan berwajah rupawan dan bertubuh proporsional, sedangkan orang-orang yang ditokohkan sebagai penjahat digambarkan berwajah jelek dan bertubuh tidak menarik? Mindset itu telah menjadi budaya bagi masyarakat kita oleh karena itu orangorang dengan bentuk fisik non proporsionalmenjadi pihak yang tersisihkan dari lingkungan sekitarnya. Hingga dalam dunia komedi momen melakukan penghinaan yang berbau fisik menjadi saat yang ditunggu-tunggu untuk menarik tawa audien. Selain eksploitasi fisik yang terepresentasikan penghinaan, tindakn pelecehan atas tubuh laiinya yang kerap digunakan untuk memancing tawa adalah dengan meniru gerakan hewan. Meski sebenarnya ini adalah tindakan yang melecehkan diri sendiri (karena biasanya yang melakukan ini adalah hasil keinginannya sendiri, bukan dari keinginan lawan mainnya) tetapi tidak jarang bahwa sikap yang memalukan ini adalah senjata andalan para komedian untuk memancing audien tertawa. Janarto (1990: 160) berpendapat bahwa kelucuan dalam menirukan tingkahlaku binatang yang dilakukan oleh seorang komedian akan lebih sempurna jika sang komedian dapat mengkombinasikan komunikasi verbal dengan nonverbal, termasuk didalamnya adalah gerak badan. Dan dalam proses ekploitatif ini adalah bentuk peniruan terhadap hewan, yang terjadi adalah jika seorang komedian tengah menirukan suara monyet maka dia pun akan menampilkan totalitasnya dengan berjalan sambil menekuk lutut sembari menggaruk-garuk kepala dan mengatur mimik wajahnya meniru mimik wajah monyet. Komunikasi non verbal adalah upaya untuk menegaskan pesan yang disampaikan melalui komunikasi verbal, dan tak jarang seseorang senang memperhatikan gerak-gerik yang muncul dari lawan bicaranya. Disamping itu mimik mukajuga termasuk dalam kategori komunikasi non verbal yang mengandung banyak makna, oleh karena itu ada
Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
89
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
ISSN: 23389176
akalanyasadar atau tidaksebenarnya mimik mukasudah lebih dulu menyampaikan pesan sebelum pesan itu kita lontarkan secara verbal (Synnott, 2007 :116). Aktifitas merangsang tawa dalam tiap adeganhumor mulai didominasi dengan aktivitas nonverbal yaitu dalam bentuk gerakan menyerupai hewan, dan utnuk mensukseskan rencana tersebut maka diperlukan spiritdari sosok seekor binatang yang familiar dengan khalayak agar setiap simbol non verbal yang dikeluarkan oleh komedian dimengerti dengan mudah oleh audien, kalau menggunakan karakter binatang yang tidak familiar maka pesan yang ditransfer akan menjgandung unsur nois yang mengakibatkan tidak menghasilkan feed back sebagaimana yang diharapkan. Tubuh manusia pada hakekatnya telah terdesain sedemikian rupaagar beringkahlaku sebagaimana manusia mestinya, dan secara otomatishal ini mengakibatkan seorang individu berada dalam pengawasan masyarakat pada umumnya, oleh karena itu ketika tubuh digunakan atau digerakan dalam tingkahlaku yang tidak wajar dan tidak memenuhi fungsi sebagaimana tuntutan kodratnya masing-masing dalam pandangan manusia pada umumnya secara otomatis akan mendapatkan suatu hukuman yang terbentuk secara mental dan akan melekat dalam diri tiap masing-masing individu, (Suyono 2002: 398). Binatang yang dianggap memiliki drajat lebih rendah jauh dibawah manusia memiliki alasan tersendiri kenapa kerap dijadikan bahan untuk merangsang tawa audien. Melalui keyakinan binatang berposisi sebagai makhluk yang buruk dan berada dibawah drajat manusia menjadikan humor bertema binatang sebagai sebuah pesan yang bersifat merendahkan diri sendiri maupun orang lain. Pada dasarnya seseorang pasti akan terhina dan marah seandainya disamakan dengan hewan. Mengingat dari berbagai kemapuan hingga peradaban manusia lebih unggul secara telak. Namun dalam dunia komedi posisi hewan memiliki penafsiran makna sendiri menjadi sesuatu yang memiliki fungsi untuk menghibur, maka yang terjadi adlah perubahan makna dimana binatang yang dikenal sebagai makhluk yang jelekberubah menjadi menghibur.
2. Looney Style Style yangberbeda dari yang biasa dikenakan oleh kebanyakan orang / unik, sangat penting untuk membentuk karakter bagi seorang komedian, dari styleitulah karakter seorang komedian menjadi simbol yang memudahkan masyarakat untuk mengenalnya. Looney style tidak melulu harus di-representasikan dalam bentuk pakaian maupun kostum, akan tetapi dapat pula terwujudkan dalam bentuk gaya rambut, jenggot dan kumis, sampai asesoris khusus dan tambahan yang memang dengan secara sengaja dikenakan untuk menumbuhkan kesan lucu pada pada diri komedian yang berkepentingan. Disini pembahasan kita melangkah pada kajian fisik dimanipulasi sedemikian rupa dengan bantuan (penambahan) satu atau lebih obyek lainnya, yang tidak biasa dikenakan oleh masyarakat umum,yang dapat terlihat oleh audiendengan mengharapkan dapat ditransformasikanmenjadi sesuatu yanglayak ditertawakan. Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, di sini dimana fisik tidak hanya terpaku oleh relasi fisik dan gerak yang direkontruksikan, tetapi dalam hal ini jelas disiplin juga memusatkan kontrolnya pada hubungan antara fisik dengan obyek, menurut Foucault obyek yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang biasa dipakai atau dapat dimanfaatkan oleh fisik tersebut (Suyono, 2002: 408). Memanfaatkan sesuatu yang dapat menunjang fisik untuk memaksimalkan nilai gunanya dalam ruang lingkup talk show komedi adalah salah satu gambaran dari pembahasan ini. Fisik membutuhkan obyek lain untuk dapat memenuhi fungsinya, obyek tersebut meliputi komponen di luar fisik seperti pakaian dan asesoris rambut, sedangkan model rambut kribo (Budi Anduk) dan model kumis ikan lele (Tukul Arwana) adalah bentuk obyek yang sengaja diciptakan untuk mendapatkan nilai lebih atas fungsi dari fisik tersebut. Meskipun pakaian, asesoris, model rambut, dan model kumis, memiliki bentuk dan sifat obyek yang berbeda, namun di sini komponen tersebut samasamadapat dimanfaatkan sebagai sebuah obyek yang dapat mendukung dan meningkatkan 90
Uspal Jandevi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
nilai guna atas fisik di panggung komedi. Kontrol dalam memanfaatkan obyek tersebut senada dengan pendapat Foucault dalam memperhatikan fisik melalui ukuran disiplin, yang berusaha membuat elemenelemen fisik satu sama lain memiliki tipe-tipe hubungan yang produktif. Sehingga terhadap seluruh elemen-elemen fisik tersebut, Foucault melihat sebuah disiplin yang melakukan semacam coding atau pengkodifikasian elemen-elemen dalam memanfaatkan obyek (Suyono, 2002: 408). Kasus mengenai penampilan pada komedian tersebut) ikadisentuh denganpendapat Foucault dalamkodifikasi mengenai anatomi fisikjuga akan didapat ada dua unit yang dapatberjalan secara paralel, yaitu rangkaian bagian fisik yang digunakan dan obyek yang dimainkan atau digunakan. Sehingga jika pengkodifikasian tersebut diterapkan dalam penampilan para komedian yang memang telah berhasil memanfaatkan hal-hal lain dari luar fisik untuk menunjang fungsi fisiknya(Suyono, 2002: 409), bisa didapat sebagai berikut. Unit pertama; rangkaian bagian fisik yang digunkan misalnya seperti; badan, kepala, rambut, dan kumis, sedangkan unit kedua; obyek yang digunakan dapat berupa; pakaiaan, asesoris, model rambut, dan model kumis. Pengkodifikasian tersebut seharusnya telah mendapat sebuah aturan-aturan dimana pakaian, asesoris, model rambut, dan model kumis, telah memiliki bentuk standarisasi masing-masing, yang secara tidak langsung telah disepakati bersama. Masyarakat telah mendapat pendisiplinan secara tidak langsung mengenai apa yang terlihat dalam media dan bentuk realitasnya dalam masyarakat, penampilan seperti model baju, bentuk asesoris rambut, model rambut, dan model kumis, juga telah memiliki bentuk-bentuk standarisasi masing-masing dimana telah dipatuhi jauh sebelum masyarakat menyadarinya. Bentuk-bentuk pengungkapan ekspresi melalui penampilan seseorang kepada orang lain memiliki porsi masing-masing tiap individunya, sehingga jika terjadi sebuah penampilan yang keluar dari taraf kenormalan seperti yang dijelaskan sebelumnya akan mendapatkan pengawasan khusus dari individu lain. Seorang komedian dan segala hal menyimpang dari kebiasaan, menjadi target dimana terjadi pengawasan, seperti misal; Budi Anduk yang selalu mengenakan model pakaian aneh dalam membawakan acara “Untung Ada Budi”, baik itu dilihat dari corak warna hingga dengan model atau bentuk pakaiannya. Semua selalu akan berpengaruh pada pendapat setiap orang yang melihatnya ataubisa disebut sebagai sebuah bentuk relasi berdimensi sosial. Siapapun yang melihat penampilan Budi saat acara berlangsung pasti akan segera menilai pakaian tersebut memiliki kesan yang “aneh” karenamodel pakaian Budi berbeda dengan orang-orang yang ada sekitarnya. Sedangkan model rambut Budi yang tergolong jenis rambut kribo, yang semestinya dirapikan (dipotong pendek) tetapi justru rambut tersebut dipanjangkan sehingga terkesan jelek dan tidak beraturan.Model pakaian dan model rambut kribo tersebut akan cenderung mendapat koreksi dari individu di sekitarnya karena apa yang melekat pada fisik Budi Anduk telah keluar dari taraf kenormalan, sehingga mendapat pengawasan. Melalui pengawasan tersebut hal-hal yang melekat pada fisik Budi,telah menjadi sebuah magnet yang akan mendorong niat orang-orang di sekitarnya untuk melempar ejekan, celaan, atau hinaan atas apa yang melekat pada fisik Budi tersebut, yang tentunya diharapkan dapat memancing tawa penonton dari ejekan dan hinaan yang diterimanya. Penyebab atau sumber terjadinya kelucuan yang diungkapkan oleh Teguh Srimulat (1990:158) mengenai hubungan timbal-balik antara “lucu itu aneh dan aneh itu lucu” juga masih berlaku di sini. Penampilan yang sengaja diciptakan atau dilekatkan pada fisik komedian tak lain untuk membuat mereka terkesan aneh, konyol, jelek, namun dari asumsi “tidak baik” itu diharapkan akan muncul juga kesan lucu. Menurut Teguh Srimulat, rias wajah, model rambut, kostum, dan lain sebagainya sangat diperlukan untuk dapat mendukung sebuah karakter seorang komedian (Janarto, 1990: 160), kesan-kesan aneh dari penampilan tersebutlah yang dapat mendukung aksi lucu dalam setiap adegan yang dimainkan. Sebuah penampilan dapat dikatakan aneh tidak lepas dari pengaruh masyarakat sekitar, sebenarnya kesan aneh yang muncul atas sebuah penampilan juga didorong oleh sebuah ketidakwajaran dalam penampilan itu sendiri. Hal-hal yang dianggap menyalahi
Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
91
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
ISSN: 23389176
aturan atau tidak sewajarnya memunculkan sebuah kesan yang tidak baik seperti yang terjadi pada beberapa adegan lucu dalam episode tersebut. Pernyataan-pernyataan lucu bersumber dari ketidakwajaran dalam berpenampilan, ketidakwajaran tersebut dapat diungkapkan seperti misalnya:baju atau kostum yang dikenakan Budi Anduk, asesorisasesorisyang modelnya tidak biasa, hiasan rambut yang berlebihan, model rambut kribo yang dimiliki Budi, model rambut kotak dan model kumis ikan lele milik Tukul. Semua bentuk obyek tersebut dimanfaatkan sedemikian rupa untuk dapat menimbulkan kesan tidak wajar atau aneh, sehingga penampilan tersebut mendorong orang di sekitarnya untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan lucu yang berasal dari penampilan aneh tersebut. Sehingga jelas bahwa hal-hal aneh yang diupayakan seorang komedian untuk dapat melekat pada dirinya,akan menimbulkan kesan lucu, sebaliknya kesan lucu tersebut berasal dari hal-hal aneh yang sengaja diciptakan oleh para komedian.
3. Sociocultural Practice Ketiga pokok bahasan di atas hampir memiliki kesamaan dalam memproduksi sebuah kelucuan dimana telah dikategorikan menjadi tiga kategori menurut sumber kelucuannya. Secara garis besar ketiganya sama-sama memanfaatkan hal-hal yang berkaitan dengan fisik tidak nomal (keluar dari kebiasaan) baik itu yang dengan sengaja dimanipulasi sehingga keluar dari kebiasaan atau memang telah memiliki ketidaknormalan.Berbagai hal yang keluar dari kebiasaan di sini seperti; gerakkan, kondisi fisik, dan penampilan yang tidak sewajarnya, menjadi sebuah komoditi untuk memproduksi sebuah kelucuan. Kondisi fisik yang sedemikian rupa sebenarnya telah didisiplinkan untuk memenuhi nilai gunanya,tetapi dalam hal ini sengaja dibuat keluar dari kebiasaan, untuk memenuhi fungsi lain. Bentuk disiplin dan koreksi di sini diaktualisasikan dimana mengharuskan individuindividu agar berkelompok sesuai dengan struktur taraf-tarafnya yang ada, sehingga dapat dengan mudah dievaluasi menurut nilai fungsinya (Suyono, 2002:410).Disiplin sendiri merupakan mekanisme kontrol yang teliti atas fisik, melalui disiplin fisik dilatih hingga menjaditerampil, tetapi terus dikoreksi sehingga keterampilan tersebut menjadi mekanisme yang dengan begitu saja bekerja di dalam fisik.Disiplin akan terus meningkatkan daya guna fisik, sekaligus juga dapat menguasai dan menempatkan fisik tersebut ke dalam relasi yang tunduk dan berguna (Foucault, 1997: 76). Disiplin dalam masyarakat terdapatdua unsur terkait, yaitu obyek yang didisiplinkan dan obyek yang mendisiplinkan,pada acara komedi sendiri terdapat obyek yang didisipinkan (komedian) dimana telah mendapat sebuah disiplin untuk berperilaku sesuai standarisasi yang ada.Sedangkan obyek yang mendisiplinkan adalah orang-orang yang berada disekitar obyek yang didisiplinkan tersebut, individu-individu yang berperan sebagai audiens juga telah mendapat suatu disiplin dalam diri mengenai apa yang dilihat, sehingga mereka dapat menilaimana yang tergolong sebagai sesuatu yang menyalahai aturan atau tidak. Berkenaan dengan fisik yang tidak berjalan sesuai standarisasi baik itu gerak, bentuk, dan penampilan selalu mendapatkan sebuah hukuman yang secara langsung akan diterima oleh masing-masing individu. Hukuman tersebut seperti diketahui bukan hukuman yang menyentuh fisik secara lagsung, namun lebih pada hukuman yang membentuk fisik secara mental. Dari keseluruhan bentuk disiplin dan hukum yang dibahas pada kategori di atas dapat dipastikan akan mengarah pada lima peranan berikut ini. Pertama, hukuman disiplin membawa tindakan individu ke dalam wilayah perbandingan dan ruang tendensi. Kedua, membedakan individu satu dengan yang lain. Ketiga, mengukur “kodrat” individu secara kualitatif dan hierarkis.Kempat, memasukan paksaan supaya menjadi sesuai dengan yang seharusnya secara alami,dan akhirnya disiplin menjadi batas ketidaknormalan secara alami (Foucault, 1997: 97). Foucault menyatakan segala bentuk hukuman disiplin ini, tidak lain akan berujung pada sebuah bentuk “normalisasi”. Audiens yang berperan dalam penilaian suatu aktivitas dari para komedian, memiliki posisi yang lebih leluasa dari pada komedian itu sendiri, setiap gerak para komedian dapat dimonitoring atau dipantau terus-menerus sehingga audiens secara tidak langsung menjadi 92
Uspal Jandevi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
pendisiplin atau yang memiliki kekuatan untuk mendisiplinkan. Foucault melambangkan disciplinarypower dengan panopticon, pano menjadi sebuah istilah yang dipakai oleh Foucault untuk menghadirkan sebuah sentralisasi kekuasaan, strategi untuk sebuah pengawasan terpusat, dimana yang mengawasi lebih superior dari pada yang diawasi (Sutrisno, 2005:155). Audiens dalam menyaksikan tingkah laku para komedian memiliki posisi superior sebagai kelompok yang dapat menilai normal dan tidak normal atas apa yang dilihatnya. Sehingga di sini menjadi semacam bentuk proses koreksi kepada fisik-fisik yang keluar dari standarisasi seperti tingkah laku komedian dalam acara talk showbevgcmt komedi. Fisik yang posisinya berada dalam ruang media seperti di televisi dapat dengan mudah dikoreksi dan dievaluasi oleh individu lain demi sebuah disiplin, sedangkan media sendiri bukan tempat yang steril untuk fisik.Fisik yang ditampilkan dalam media bagaimanapun bentuknya akan selalu mengandung unsur politis dan memiliki berbagai bentuk relasi dengan hal-hal di sekelilingnya. Seperti diketahui disiplin juga merupakan teknik yang dapat diaplikasikan untuk memaksimalkan profit, dengan modus ini disiplin ditujukan sebagai alat pengontrol yang menekan agar keterampilan fisik dapat berkembang sesuai tuntutan (Suyono, 2002: 410). Fisik yang muncul dalam sebuah acara bernuansa komedi seperti di atas memang tak lepas dari sebuah kontrol untuk dapat meningkatkan nilai guna pada fisik tersebut, fisik yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai sebuah identitas penentu antara aku dan kamu (Synnott. 2007: 116) di sini ditingkatkan mutunya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu sebagai bentuk dari kuasa atas fisik itu sendiri. Secara tidak langsung para audiens yang ikut menyaksikan aktivitas yang terjadi dalam acara talk show komeditentunya akan membuat suatu polarisasi melalui sebuah disipin yang diapresiasikan melalui serangkaian standar-standar tertentu, dalam tiaptiap anatomi dalam; percakapan, bentuk fisik, gerakan, hingga penampilan, yang telah memiliki standar. Hal-hal tersebut diterapkan dalam individu masing-masing audiens demi tercapainya keseragaman yang memenuhi standar, terlebih lagi dalam membagibagi individu dalam kategori binarial: normal-abnormal, seperti diketahui normalisasi diukur dengan cara mempolarisasikan individu-individu pada kategori sehat dan tidak sehat (Suyono, 2002: 425). Normal-abnormal menjadi sebuah tolak ukur dimana fisik ditempatkan dalam sebuah aktivitas lucu, oleh sebab itu polarisasi antara bentuk keduanya harus tetap dijaga demi terciptanya sebuah adegan lucu dalam acara komedi. Adanya polarisasi tersebut sekaligus menciptakan sebuah perbandingan antara normal-abnormal, sehingga menjadikan fisik yang keluar dari taraf normal memiliki pembanding dengan fisik yang tidak normal, melalui perbandingan tersebutlah sebenarnya kelucuan-kelucuan dapat tercipta. Karena batasan antara fisik yang dinilai memiliki taraf kenormalan dengan fisik yang tidak, sebenarnya telahmenjadi sebuah acuan dalam memproduksi kelucuan yang sekaligus pembentuk lucu itu sendiri. Manipulasi fisik yang dilakukan sedemikian rupa akan bekerja dengan baik ketika ada subuah proses komunikasi yang melibatkan antara pembuat dan penerima, dalam hal ini bisa disebut sebagai produksi pesan dan penerima pesan. Jika lingkupnya adalah sebuah acara bernuansa komedi maka seorang komedian atau obyek lelucon tersebut bisa dikatakan sebagai pihak yang memproduksi pesan, sedangkan para audiens adalah penerima pesannya (Fiske, 2004: 8). Kelucuan yang terjadi adalah hasil dari sebuah timbal balik antara keduanya singkatnya adegan lucu tidak akan lucu jika tidak menimbulkan tawa, sebaliknya tawa merupakan sebuah hasil pemahaman “lucu” antara apa yang dilihat dan didengar oleh si penerima pesan. Orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak dalam terjadinya sebuah kelucuan memiliki berbagai pertimbangan dalam mengasumsikan bentuk kelucuan tersebut. Melalui berbagai bentuk ungkapan yang diproduksi oleh komedian dan asumsi lucu dari para audiens akan selalu dipengaruhi oleh kondisi disekitarnya sehingga dapat mengkategorikan sebagai normal dan tidak normal. Lingkungan secara tidak langsung juga ikut menentukan kelucuan yang terjadi dalam sebuah acara komedi, jika masyarakat sekitar mempercayai bentuk-bentuk ketidaknormalan dari apa yang ditampilkan dalam Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
93
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
ISSN: 23389176
acara komedi sebagai sesuatu yang lucu, maka akan tercipta pemaknaan seperti itu juga (Eriyanto, 2004: 320). Ruang dimana sebuah adagen lucu diproduksi merupakan tempat terjadinya sebuah interaksi awal dari keseluruhan rangkaian discourse. Acara talk show yang dibalut dengan nuansa komedi merupakan ruang dimana memiliki sebuah interaksi teraktif karena dalam talk show seperti ini terjadi sebuah proses komunikasi yang melibatkan banyak orang di dalamnya. Dalam proses komunikasi itu sendiri banyak ditemui bentuk-bentuk aktivitas teks yang muncul sebagai sebuah proses produksi wacana, tentunya melalui berbagai macam ideologi yang mewakili tiap-tiap diproduksi kelucuan. Sehingga dapat disimpulkan mimbar talkshow dimana terjadinya sebuah interksi antara individu satu dengan lainnya entah itu obyek sasaran kelucuan atau yang mengasumsikan kelucuan adalah sebuah ruang dimana terjadi sebuah produksi dan konsumsi teks {discourse practice). Kemudian tanggapan masyarakat dimana mereka mengasumsikan sebuah adegan lucu adalah sebuah bentuk refleksi dari ideologi yang berkembang di masyarakat, apa yang tersaji dalam televisi adalah suatu bentuk perilaku budaya sehingga bagaimanapun sebuah makna muncul akan selalu berada dibawah pengaruh ideologi yang akan terefleksi ke dalam bentuk tingkah laku perbuatan dan pemikiran masing-masing individu (Burton, 2007: 28). Dalam panggung komedi sendiri kelucuan yang terjadi adalah sebuah bentuk pembedaan antara yang baik dan yang buruk, normal tidak normal, melalui pembanding tersebut masyarakat akan mengasumsikan suatu kelucuan yang berujung pada tawa. Kelucuan tidak akan terjadi ketika seseorang berada dalam luar makna yang dimaksudkan dalam sebuah lelucon, sering dijumpai seorang komedian bermaksud membuat kelucuan dengan gaya mereka sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya, maka yang terjadi adalah sebuah missunderstanding sehingga kelucuan yang diproduksi tidak dapat membuat orang tertawa. Seseorang yang akan menafsirkan atau mengasumsikan suatu bentuk kelucuan sangat dipengaruhi oleh relasi-relasi dengan lingkungan sekitarnya. Terlihat juga bahwa cara seseorang menafsirkan suatu teks tergantung pada persetujuan sosial, terlebih jika discourse yang dijadikan sebagai sebuah acuan. Suatu aspek discourse jugaakan selalu diartikan berbeda-beda tergantung persetujuan yang ada dalam komunitas tersebut berada (Fairclough, 2003: 22). Kelucuan yang tampil dalam sebuah acara talk show dan disiarkan melalui televisi akan lebih banyak memiliki variasi bentuk penafsiran lucu, karena televisi memiliki lingkup lebih luas dan universal. Sehingga supaya bentuk- bentuk kelucuan tersebut bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat, maka dalam memproduksi kelucuan harus menggunakan bentuk ungkapan secara universal. Baik itu dari segi bahasa (verbalnonverbal), tampilan, penge-masan, hingga yang terpenting adalah proses pemaknaan atas kelucuan itu sendiri. Bagaimanapun bentuk kelucuan yang diciptakan komedian berfungsi untuk menghibur pada audiens, meskipun berbagai bentuk ungkapan muncul yang kadang dianggap memiliki tingkat kelucuan yang bisa dikatakan keterlaluan atau berlebihan dalam mengeksploitasi fisik, hal tersebut dapat dikembalikan lagi kepada lingkungan dimana posisi penerjamah pesan berada. Bentuk-bentuk ungkapan yang dianggap wajar belum tentu dianggap wajar oleh orang lain, begitu juga kelucan yang dianggap sebagai sebuah bentuk ungkapan yang menimbulkan tawa belum tentu akan menyebabkan orang lain tertawa. Kelucuan bertema fisik yang bersifat merendahkan merupakan sebuah ungkapan yang sensitif karena dapat menimbulkan berbagi bentuk asumsi dari yang menterjemahkannya, Herry Srimulat selalu menegaskan dalam menitik beratkan teknik-teknik dalam membuat kelucuan untuk membuat sesuatu yang aneh sehingga menimbulkan tawa, bukan dengan cara mentertawakan bentuk cacat fisik yang diderita orang lain karena lelucon yang seperti ini disadarinya akan lebih menimbulkan rasa kasihan bukan lucu (Janarto, 1990: 161). Dalam memahami apa yang dianggap lucu ada dua jenis individu yang berbeda dalam memahami apa itu lucu dan membuat tertawa. Duane Schultz membagi individu tersebut dalam sehat dan tidak sehat. Individu kurang sehat, cenderung akan mentertawakan tiga macam bentuk kelucuan: pertama lelucon permusuhan yang menyebabkan orang
94
Uspal Jandevi
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
merasa sakit, kedua lelucon superioritas yang mengambil keuntungan dari perasaan rendah diri orang lain atau kelompok, dan ketiga lelucon yang berhubungan dengan suatu situasi Oedipus (percakapan cabul). Sedangkan individu sehat,akan lebih tertarik pada lelucon yang bersifat filosofis, lelucon yang menertawakan manusia pada umumnya, tetapi bukan kepada seorang individu yang khusus. Lelucon ini sering kali bersifat instruktif, dipakai langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tawa. Inilah semacam lelucon bijaksana yang mengakibatkan suatu senyum dan anggukan tanda mengerti daripada menimbulkan gelak tawa yang keras, lelucon semacam inilah akan dimengerti dan dihargai oleh individu yang juga sehat (Schultz, 1991: 109-110).
E. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bagaimana fisik menjadi sebuah alat dalam acara talk show bergenre komedi untuk memancing tawa, hingga menjadi sebuah fenomena yang dapat dilihat dari segi wacana. Baik itu dari cara memanfaatkannya, pemaknaan, hingga posisinya dalam lingkungan sekitar. Dalam pembahasan kelucuan telah dikategorikan menjadi tiga kategori menurut sumber datangnya kelucuan tersebut.Pertama, fisik yang sengaja dicetak sehingga menyerupai binatang, fisik di sini fisik difungsikanuntuk menyampaikan suatu maksud dan tujuan. Sehingga ketika komedian berusaha meniru kerakter seekor binatang, di sinilah terjadi salah satu bentuk pemanfaatan fisik.Binatang sebagai makhluk yang derajatnya rendah, juga menjadi alasan para komedian memanfaatkan binatang sebagai bahan lelucon. Tujuanya tak lain supaya dirinya (komedian) juga terkesan rendahdi mata orang lain, sehingga akan muncul kelucuan dari pemaknaan tersebut. Kedua, fisik yang dijadikan bahan lelucon karena bentuk fisiknya yang tidak menarik. Lelucon yang tercipta lantaran dipicu adanya bentuk fisik tidak menarik merupakan suatu bentuk eksploitasi atas fisik, pemakanaan lucu sebenarnya juga muncul berdasarkan atas bentuk eksploitasi fisik tersebut. Ketidakmenarikan fisik sebenarnya merupakan hasil perbandingan antara bentuk fisik menarik dan tidak menarik. Perbandingan tersebut menjadikan jenis leluconyang satu ini cenderung memposisikan orang berfisik tidak menarikditempatkan dan diperlakukan berbeda, daripada orang berfisik menarik. Kemudian kategori terakhir, adalah fisik yang dimanfaatkan sebagai media untuk mengekspresikan penampilan unik. Kelucuan dapat tercipta karena ada obyek lain yang coba dilekatkan pada fisik,”obyek” yang dimaksud adalah suatuyang dapat dimanfaatkan oleh fisik dalam mendukung sebuah aktivitas lucu. Obyek tersebutlah yang sebenarnya menjadi sumber datangnya kelucuan, dimana untuk berfungsi dengan baik obyek tersebut tidak ditampilkan secara wajar, tetapi ditampilkan dan dikemas ke dalam bentuk-bentuk yang tidak sewajarnya.Tujuannya tidak lainsupaya fisik terkesan semakin jelek, sehingga akan muncul asumsi lucu dariperpaduan bentuk fisik dan obyek tersebut. Bisa dilihat kesimpulan dari ketiga kategori di atas telah membahas mengenai bagaimana fisik menjadi alat untuk memproduksi sebuah kelucuan dalam acara talk show bernuansa komedi. Kesimpulan juga telah menjelaskan mengenai bentuk-bentuk penyajian dan pemanfaatan fisik sehingga bisa mengundang tawa, baik itu dari segi teknik penyampaian sampai dengan posisinya dalam masyarakat. Disadari atau tidak ketika ungkapan-ungkapan lucu muncul, ternyata lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat menjelekan, merendahkan dan diskriminasi. Rasa tersinggung, marah, benci, yang seharusnya timbul karena hinaan atau ejekan (bersifat merendahkan) berubah menjadi lucu dan tawa, karena ungkapanungkapan tersebut muncul dalam sebuah ruang yang bernama komedi.Meskipun berbagai bentuk pemaknaan tentang fisik lucu muncul dari berbagai ungkapan pada tiap kategori di atas.Namun pada dasarnya seluruh kesan lucu tersebut muncul berdasarkan hal-hal yang keluar dari kebiasaan manusia (abnormal), baik itu yang sengaja diciptakan ataupun yang sudah ada pada fisik. Fisik mendapat peranannya ketika telah berhasil dimanipulasi baik itu secara verbal ataupun nonverbal sehingga menjadi sebuah komoditi untuk ditertawakan, di sinilah sebenarnya fisik ditingkatkan nilai gunanya dan mendapatkan tempat dimedia khususnya dalamdunia komedi. Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
95
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96
ISSN: 23389176
Daftar Pustaka Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi; Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Yogyakarta dan Bandung, Jalasutra. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Analisis Teks Media. Yogyakarta, LKiS. Foucault, Michel. 1997. “Bengkel Individu Modern; Disiplin Fisik. Yogyakarta, LKiS. Fiske, Jhon. 2004. Cultural and Communication Studies. Yogyakatra, Jalasutra. Jorgensen, Marianne W dan Philips Louise J. 2007. Analisis Wacana Teori dan Motode. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Janarto, Herry Gendut. 1990. Teguh Srimulat; Berpacu Dalam Komedi dan Melodi. Jakarta: PT. Gramedia. Lusia, Amelita. .2006. POprah Winfrey; Rahasia Sukses Menaklukan Panggung Talk Show”. Jakarta, Agromedia Pustaka. Lathief, Ira. 2007. “Tukul Arwana; Kumis Lele Rejeki Arwana”. Yogyakarta: PT Banteng Pustaka. Piliang, Yasraf Amir. 1998. Wanita dan Medi: Ideologi dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pradopo, Sri Widiati, Siti Soendari Maharto, Rama Indrian Hariant, Faruk H.T. (1987). Humor Dalam Sastra Jawa Modern. Jakarta, Pusat Pengembangan Pembinaan dan Kebudayaan. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengatar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing . Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suyono, Joko Seno. 2002. Fisik yang Rasis. Yogyakarta, Lanskap Zaman. Synnott, Anthony. 2007. Fisik Sosial; Simbol Diri dan Masyarakat. Yogyakarta, Jalasutra. Suhadi, Agus. 1992. Humor itu Serius; Pengantar ke Ilmu Humor. Yogyakarta, Grafikatama Jaya. Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktek; Analisis Wacana. Solo, Pustaka Cakra Surakarta. Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta. Kanisius. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta; Kanisius. Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jurnal Ilmiah I Dewa Putu Wijana. 2004. "Makian dalam. Bahasa Indonesia: Studi Tentang Bentuk dan Deferensinya". Humaniora Volume 16, No. 3, Oktober 2004: 246-247. Astrid, Gisela Herabadi. 2007. Hubungan Antara Kebiasaan Berpikir Negatif Tentang Fisik dengan Body Esteem dan Harga Diri. Makara, Sosial Humaniora, vol. 11, no. 1, 18. Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.
96
Uspal Jandevi
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102 Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ISSN: 23389176
KAJIAN SINGKAT BAHASA IKLAN DI TELEVISI SWASTA Oleh: Dwi Santoso (Dosen Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD) Abstract This study is intended to find out how advertisers in private televisions use a language not only as a means of communication but also to persuade consumers to buy their product. On this study, the writer finds out many varieties of language used by the advertiser in advertising the product. Most of the advertisers use ambiguity, vulgar image, words play, code mixing, rhyme and repetition in advertising the product. By doing that, hopefully the messages can be maximally accepted by the audiences. Keyword: private televisions, persuade consumers, advertising the product
A. Pendahuluan Sebagaimana burung punya sayap untuk menjelajah angkasa raya, manusia mempunyai bahasa untuk menyentuh kepekaan dan daya nalar. Dengan demikian, bahasa mampu menyatukan cipta dan rasa untuk menyampaikan konsep dari hati ke hati. Bahasa, bagaimanapun hidup dan ia memperjuangkan kehidupan. Bahasa begitu dahsyat sehingga tidak mengherankan bila Wardaugh (1992 : 89) mengatakan: When you open mouth, you must choose a paticular language, dialect, style, register, or variety that is a particular code. You can not avoid doing so. Moreover, you can and will shift, as the occasion arrises from one to another.
Pernyataan diatas mengacu pada kenyataan bahwa bahasa berfungsi dalam masyarakat dan masyarakat itu sendiri banyak bergantung pada bahasa sebagai alat komunikasi. Falk (1973 : 59) menyatakan: The use of language is almost always a social activity. We do not speak listen, read, and write for ourselves alone, but rather in intercommunication with other.
Begitu komplek keterkaitannya, sehingga kita harus memperlakukannya secara berbeda. Bagaimanapun ungkapan yang runtut, simpel dianggap sebagai hal yang mampu menyentuh kepekaan daya nalar pendengarannya. The success of our communicative effort depends not only on the content, or meaning, of what is expressed but also on the from of the expression. In any act of communication, it is necessary to select the vocabulary items, as well as the grammatical patterns, appropriate to the situation (Julia Falk, 1973 : 59)
Hal ini mengaplikasikan bahwa kita harus menguasai seperangkat aturan yang memungkinkan kita untuk memproduksi dan memahami kalimat-kalimat secara gramatikal benar. Selain itu kita juga dituntut untuk mampu menerapkan aturan-aturan itu yang secara sosial berterima. Singkatnya kita dituntut untuk menguasai kompetensi linguistik dan kompetensi komunikaitf. 97
Dwi Santoso
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102
ISSN: 23389176
Keenan dan Schieffelin (Taylor & Taylor, 1992 : 23) mengatakan : Language is possible only because of the amount of knowledge that the speaker and lintener share language, each other, and the world. In order to provide the necessary information, the speaker must properly estimate the listener’s knowledge so as, to avoid condescension, on the one hand, and my stification, on the other
Maka semakin luas pengalaman bahasa seseorang semakin banyak pilihan baginya dalam memilih kode untuk mengekspresikan gagasannya. Tak dapat disangkal bahwa pilih kode memegang peranan penting dalam keberhasilan komunikasi. Hal inilah yang sangat menarik, sehingga Wardaugh (1992 : 89) berkomentar seputar pilih kode ini. What is the interesting is the factor that goven the choise of particular code on a particular occasson. Why do people choose to use one code rather than another, what bring about shifts from one code to another, and why do they occasionally preffer to use a code formed from two other codes by mixing the two?
Pada keseluruhan paragraf di atas, penulis menelinap dari berbicara bahasa secara umum pada suatu kode tertentu. Dia yakin bahwa fenomena pilih kode banyak dipengaruhi oleh motif dan loyalitas tertentu dari masyarakat. Untuk itu penulis menggugah pembaca untuk mencermati dan mengungkapkan fenomena pemanfaatan pilih kode dalam bahasa iklan di televisi.
B. Televisi Sebagai Wahana Penguasaan Pasar Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan perubahan yang sangat besar baik fisik maupun non psikis. Segala sesuatu kini menjadi serba mungkin dalam perspektif dunia yang makin mengecil. Dunia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Peristiwa yang terjadi dibelahan dunia lain dapat kita saksikan pada saat yang bersamaan dengan peristiwa itu terjadi. Era kesejagatan atau globalisasi adalah era keterbukaan dan persaingan bebas. Dalam masa ini semua informasi dengan kecanggihan teknologi dapat diakses secara transparan. Apa yang sudah, sedang, akan terjadi di suatu negara, pada saat itu pula dapat diketahui oleh orang-orang di negara lain (Wijana, 2000: 1) Hal ini mengimplikasikan bahwa hanya dengan menguasai ilmu dan teknologi kita dapat memuilai suatu tatanan kehidupan untuk bisa mereaslisasikan diri sebagai subyek yang mampu menciptakan gagasan-gagasan serta mewujudkan setiap kemungkinan yang terjadi potensi kita dalam percaturan dunia. Menjadikan diri kita sebagai kaum yang mampu membuat jarak dengan alam kebendaan untuk mengakrabinya demi kemuliaan hidup dan kehidupan itu sendiri. Pendek kata, siapa yang mampu menguasai informasi dialah yang menguasai dunia. Fenomena ini ditangap positif oleh para pebisnis. Maka berlomba-lombalah mereka menginformasikan bahasa bisnisnya mempromosikan merek dagangannya lewat media informasi dan hiburan paling popular dewasa ini, televisi. Mengingat banyak kesamaan produk dan keragaman latar belakang calon konsumennya, tak dapat dihindari, bahasa menjadi sasaran eksploitasi pragmatic agar mampu mengkomunikasikan pesan-pesan bisnis.
1. Analisis Bahasa Iklan di Televisi (Swasta) Penjelasan berikut ini merupakan hasil analisis data mengenai bahasa iklan di televisi swasta yang penulis amati di sela-sela acara unggulan televisi tersebut seperti sinetron, telenovela, atau kuis. 98
Dwi Santoso
ISSN: 23389176
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102
Dari ratusan produk yang ditawarkan, kita dapat memilih-milih bahasa yang dijadikan medianya itu ke dalam beberapa kelompok sebagai berikut: 1. Ambiguitas Mari kita perhatikan cuplikan percakapan seorang gadus cantik dengan Si Om yang mengemudikan mobil (sewaktu lampu merah) ABG : Om, ……….. kacang ………..Om …….! Oom : Kacang ………… apa kacang ……..? ABG : Ini kacang open, Oom. Oom : Open ……… apa ofen, ……….? ABG : Ooooooooofen ! Dari cuplikan iklan di atas kacang IYES tersebut, kita merasa bahwa makna kedua kacang yang di ungkapkan si Oom tadi berbeda. Pada kata kacang yang pertama, ia bermakna kacang tanah yang kita bisa makan. Sama halnya dengan kacang rebus atau kacang goreng. Sementara pada kata kacang yang kedua, tidaklah mengandung makna kacang yang biasa kita makan sebagai makanan ringan. Tapi makna kacang di sini, khususnya bagi orang Sunda, mengandung makna negatif dalam arti menimbulkan pikiran yang negatif berbau porno, apalagi diungkapkan oleh si Oom. Begitu pula pada cuplikan kedua ketika si Oom menggoda si ABG (Anak Baru Gede) yang mispronouncing waktu mengucapkan kata OVEN dengan [ofn], yang seharusnya dalam bahasa Inggris diucapkan [Avn]. Si Oom berupaya membetulkan walaupun tidak lepas dari godaannya dengan mengatakan : OPEN, ……. Apa OFEN, ………? Disini si Oom seolah-olah mengingatkan si ABG tadi bahwa kata OPEN yang diucapkannya itu berarti BUKA dalam arti bahasa Indonesia yang ia hubungkan dengan kata KACANG yang KEDUA. Maka ia (si Oom) berlaga Inggris bahwa kata itu (yang ada sangkut pautnya dengan memasak kacang itu) adalah OPEN /?/, walaupun bila kita cek dikamus pengucapannya itu [Avn]. Bagaimana bunyi /f/ berbeda dengan bunyi /v/ dalam bahasa Inggris. Sebenarnya, kalau kita mau jujur tidak pernah ditemukan kata OFEN dalam bahasa Inggris, kalaupun terdengar ucapana [ofn] bukanlah berasal dari kata ofen itu tadi, melainkan dari kata OFTEN yang artinya sering.
2. Vulgar Image Walaupun sama-sama (ada kemiripan) dengan kasus di atas, vulgar image atau kesan cabul yang timbul dari ungkapan-ungkapan berikut ini lahir bukan karena ungkapan itu diperbandingkan, melainkan ungkapan itu sendiri telah mengandung makna tersebut dengan sendirinya, khususnya untuk kalangan tertentu usia, status sosial, ataupun etnik tertentu. Contoh-contoh berikut ini dapat kita uji kebenarannya. Seperti sudah terjadi trademarknya, kacang gurih Garuda akan selalu menyelinapkan ungkapan, INI KACANGKU ……….! Ungkapan ini terasal vulgar, karena selain kata KACANG, seperti diuraikan diatas, menimbulkan konotasi NEGATIF, didukung pula orang yang mengungkapkannya seorang GADIS cantik. Kasus serupa terjadi pada iklan kopi Torabika Duo yang merupakan produk minuman berupa kopi susu. Kalaupun tidak dijelaskan secara rinci orang sudah tahu betul arah pembicaraannya ketika mengatakan SUSU. Hal ini terasa semakin vulgar ketika kata Kajian Singkat Bahasa Iklan di Televisi Swasta
99
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102
ISSN: 23389176
SUSU itu didahului ole kata PAS menjadi PAS SUSUnya. Pemirsa umumnya menerjemahkan atau memaknai kata PAS bukan dengan padanan CUKUP dalam arti tidak lebih, tidak kurang melainkan dengan padanan TEPAT kena sasaran. Hal ini semakin menguat ketika yang mengucapkannya seorang LAKI-LAKI MUDA berhadapan dengan seorang WANITA cantik. Sehingga secara vulgar ungkapan PAS SUSUnya dimaknai bukan kopi ini nikmat karena susunya cukup. Contoh ketiga ini walaupun kata-katanya tidak secara langsung diperbandingkan dengan anggota tubuh (wanita), tapi ketika dirangkai kata-kata LUAR dan BIASA telah menimbulkan makna yang memang luar biasa bedanya. Apalagi diawali dengan pertanyaan BAGAIMANA? Sehingga cuplikan lengkapnya : Merriam Belina : Bagaimana ? Inneke K. : LUAR BIASA! Bagaimanapun iklan HEMAVITON ACTION ini langsung membawa alam pikiran pemirsa ke suasana BULAN MADU. Mengapa tidak? Kata ACTION sendiri telah mendukung suasana diatas, didukung oleh kedua orang bintang iklan cantik yang dikenal sebagai BOOM SEX.
3. Pertukaran Letak Kata Pertukaran letak kata dalam advertensi selain merupakan rangkaian ungkapan yang indah, ia juga mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam mengikat ingatan pemirsa akan produk tersebut karena biasanya akan teringat rangkaian kata-kata yang saling bertukar tempat itu. Mari kita simak salah satu kutipan/cuplikan iklan minyak goreng FILMA yang mengungkapkan: CINTA JERNIHNYA, JERNIH CINTANYA, …….! Ungkapan di atas seolah-olah ingin mengatakan bahwa minyak goreng produksi atau yang bermerek FILMA ini begitu jernih sehingga banyak orang jatuh cinta padanya, mengapa anda tidak? Begitu jernihnya, bersihnya, sehingga kalau dipakai menggoreng makanannya tidak lekas basi, bahkan lebih nikmat. Hal yang begitu mudah penafsiran di benak pemirsa terjadi pada produk minuman “ANGKER BIR”. Ini bir Baru, ………INI BARU BIR, ……….! Ungkapan pertama menunjukkan bahwa bir-bir yang ada semuanya baru, produk yang belum berpengalaman sehingga kualitasnya rendah. Berbeda dengan ungkapan kedua yang menunjukkan bahwa bir ini, ANGKER BIR, benar-benar bir yang berkualitas, benar-benar bir yang telah teruji rasa dan aromanya, benar-benar bir sejati.
4. Campur Kode Dalam upaya meraih konsumen yang paling bawah sekalipun pihak perusahaan tak segan-segan melakukan pendekatan bahasa, yakni memasukkan kata-kata kunci bahasa konsumen dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa pengatarnya. Dengan cara campur kode ini, konsumen selain merasa lebih dekat secara bahasa dan budaya ia juga merasa lebih aman dengan produk tersebut. Dari sekian banyak yang ditawarkan dengan memanfaatkan campur kode ini, ternyata campur kode yang berbasis bahasa Jawa menempati peringkat teratas. Hal ini dapat dipahami karena bintang iklannya berasa dari Jawa juga produknya kebanyakan berasa dari Jawa pula, misalnya:
….. larutan penyegar cap kaki tidak dirancang khusus untuk panas dalam.
100 Dwi Santoso
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102
ISSN: 23389176
SUEGER TEMEN REK !
….. kecap piring lombok memang PUALING UENAK ! Dari dua cuplikan iklan diatas, kita dapat pula menarik kesimpulan, walaupun terkesan tergesa-gesa bahwa dalam bahasa Jawa penambahan fonem /u/ pada kata sifat mengandung pengertian MENEKAN MAKNA, bukan hanya sekedar gaya. Campur kode ini tidak hanya sebatas bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Kita dapat pula menemukan contoh campur kode dengan bahasa asing Inggris. Perhatikan iklan POP MIE yang disampaikan oleh JOSHUA lewat nyanyian : …. POP MIE memang praktis. Cukup dengan HOT WATER, PLEASE Bila kita simak lagu aslinya yang dibawakan Joshua, maka akan kita dapati bahwa penggunaan bahasa Inggris di sana bukan hanya sekedar gaya, tapi untuk kepentingan LAGU. Dalam arti bahwa bila syair yang berbahasa Inggris itu diganti dengan syair berbahasa Indonesia misalnya, menjadi : … POP MIE memang praktis cukup dengan ari air panas saja Tidak akan kena dengan irama yang mengiringinya. Selain itu bunyi kedua baris syair itu menjadi tidak bersajak. Semula bunyi akhir masing-masing bunyi (i). Tapi kini bunyi akhirnya yang atas berakhir dengan bunyi (i), sedangkan yang berikutnya dengan bunyi (a).
5. Persesuaian Bunyi (Rhyme) Kalau kita berbicara ihwal rima (rhyme) seakan kita kembali kealam puisi lama, seperti jaman pantun. Rima yang dimanfaatkan dalam bahasa iklan ini terutama persamaan bunyi dari suku terakhir, produk permen “POLO”. “POLO, permen BOLONG rasa PLONG” Hal ini memang diilhami oleh permennya yang benar-benar bolong. Jadi siapapun yang mengkonsumsi permen ini akan menikmati tarikan nafas yang MELOMPONG, bagaikan kendaraan melewati jalan bebas hambatan. Hal ini juga tersugesti oleh simbolisme bunyi “O” yang mengandung makna longgar, tidak sumpek! Begitu pula dengan iklan permen “Tamarin” (bedanya tamarin memanfaatkan rima konsumsi). Ia diawali dengan situasi dalam bis umum yang penuh sesak. Keadaan ini mengingatkan kita pada keadaan yang dialami “Ahmad Albar dengan God Blessnya” yang berdesak-desakan dalam bis kota dengan bermacam aroma. Keadaan ini memang “bikin pusing kepala”, bikin enek [∂n∂k]. Disaat semacam ini permen “Tamarin” datang memberikan solusi. Siapapun orangnya bila ngisap permen Tamarin dijamin tidak akan sampai mabok. Mengapa? Karena “dengan tamarin ENEK jadi ENAK”.
6. Repitisi Banyak cara yang ditempuh oleh para produser untuk mengingatkan pemirsa akan merek yang dipasarkannya. Cara yang paling mudah adalah dengan melakukan pengulangan. Tetapi kalau sekedar pengulangan tidak akan mencapai sasaran. Maka perlu kemasan lain untuk memasarkannya. Dalam hal ini, Srimulat menunjukkan kejeniusan yang tetap dikemas dalam bentuk komedi ketika mereka menawarkan satu produk jenis minuman. Diawali dengan satu pertanyaan yang tujuannya hanya untuk menyamakan persepsi. Secara berturut-turut ketiga rekannya menjawab dengan jawaban yang sama. Untuk menghidupkan suasana kebahasaannya, mereka hanya memanfaatkan intonasi yang berbeda (idialek) sehingga secara lengkap pertuturan itu berbunyi. Kajian Singkat Bahasa Iklan di Televisi Swasta
101
Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102
ISSN: 23389176
Kratingdaeng? Kratingdaeng, Kratingdaeng, Kratingdaeng! Kemudian si penanya menyim-pulkan tindak tutur yang terjadi bahwa kebanyakan, kalaupun tidak semua orang “terkenal” mengkonsumsi Kratingdaeng untuk memulihkan stamina yang loyo. Kalau kami “Ya” mengapa anda “tidak”? Kratingdaeng memang shiiip, dech! Tentu saja contoh-contoh yang dipaparkan diatas hanyalah merupakan sampel bahasa iklan makanan dan minuman saja. Bagaimanapun bentuk eksploitasi pragmatik itu selama tidak melanggar norma-norma yang berlaku di negara kita harus dianggap sebagai keragaman yang menyejukan. Penulis menutup pembicaraan ini dengan mengutip pernyataan Wijana (2000 : 3), “Dengan berkembangnya budaya keterbukaan, dan mental bekerja dengan penuh kejujuran, …. Dapat kita lihat bahwa betapa fakta-fakta kebahasaan sebenarnya merupakan refleksi keadaan masyarakat pemakainya.
C. Kesimpulan Setelah mencermati secara kualitatif terhadap data yang ada, akhirnya sampailah kita pada kesimpulan bahwa faktor politik,, sosial, dan geografis merupakan faktor utama lahirnya sub variasi komunitas tertentu yang mendorong terjadinya pluralisasi bahasa. Keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh lengkapnya informasi yang diberikan, tapi lebih kepada bagaimana informasi itu dikemas. Untuk itu pilih kode merupakan cara yang tepat demi sampainya informasi kepada mitra tutur, atau bahkan sebaliknya. Demi penyebaran informasi yang cepat dan luas, para pebisnis memanfaatkan televisi yang merupakan media informasi dan media hiburan utama masyarakat dewasa ini. Promosi merek dagang para pebisnis ini cenderung mengeksploitasi pragmatik agar pesannya sampai kepada konsumen.
D. DAFTAR PUSTAKA Chomsky, Noam, 2000. Bahasa dan Pikiran. Jakarta : Logos. Falk, Julia S. 1973. Language: A Survey of Basic Concept and Application. Massacusetts : Xerox de Saussure, Ferdinand. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta : Gema Press. Blommfield, Leonard. 1995. Bahasa. Jakarta : Gramedia. Mills, Sara, 1997. Discourse. London : Routledger. Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics. Oxford : Blackwell. Wardhaugh, Ronald. 1992. Sociolinguistics. Cambridge : Blackwell
102 Dwi Santoso