BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Pulau Alor merupakan salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Di pulau ini ditemukan banyak tinggalan arkeologis yang diperkirakan berasal dari periode yang berbeda. Salah satu lokasi yang memiliki banyak variasi tinggalan arkeologis adalah Kampung Lerabaing yang terletak Alor Barat Daya. Di kampung ini ditemukan sebaran tinggalan arkeologis yang berupa beragam hasil budaya, antara lain masjid kuno At-Taqwa, beberapa variasi makam, talud, kubur batu, batu misbah, dan fragmen keramik dan gerabah. Hasilhasil budaya tersebut merupakan salah satu perwujudan dari kemampuan masyarakat pendukungnya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Interpretasi terhadap tinggalan hasil-hasil budaya tersebut dapat memberikan gambaran tentang proses perubahan sosial-budaya yang terjadi dalam sebuah komunitas (Ahimsa-Putra, 1995 : 10-20). Komunitas masyarakat yang saat ini menghuni Kampung Lerabaing adalah penduduk keturunan dari Kerajaan Kui. Penduduk lokal percaya bahwa Lerabaing merupakan salah satu desa tua yang memiliki catatan sejarah panjang karena Kerajaan Kui merupakan salah satu kerajaan tertua di Pulau Alor yang berpusat di Lerabaing, khususnya di awal perkembangannya (Husen, 1993). Salah satu aspek yang menarik dari komunitas penduduk di Lerabaing adalah masih bertahannya
kepercayaan
terhadap
nenek
1
moyang,
meskipun
mayoritas
2
penduduknya saat ini memeluk agama Islam. Sistem kepercayaan ini mempengaruhi aspek kehidupan penduduk di Lerabaing hingga saat ini, seperti dalam mata pencaharian, organisasi sosial, teknologi, adat istiadat, agama, sistem kepemimpinan yang diturunkan oleh generasi sebelumnya melalui tuturan sebagai tradisi lisan. Tradisi lisan yang ditemukan di Lerabaing dapat memberikan gambaran informasi tentang kesinambungan budaya, khususnya yang berhubungan dengan tinggalan hasil budaya materi. Proses perubahan budaya yang terjadi di Lerabaing dapat dilihat berdasarkan tradisi lisan dan tinggalan arkeologis sebagai bukti fisiknya. Berdasarkan hasil observasi, tinggalan arkeologis di Lerabaing memiliki kemiripan motif ragam hias yang diduga semakin berkembang dengan berjalannya waktu. Hal tersebut dicoba untuk dianalisis dan dicari relasinya secara kontekstual. Mengacu pada Vansina (1984), salah satu cara untuk mendapatkan informasi tersebut adalah dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang mewakili penduduk di Lerabaing. Wawancara tersebut mencoba untuk melihat cerita rakyat yang dituturkan melalui tradisi lisan oleh generasi sebelumnya. Lokasi Lerabaing terletak di pesisir pantai sehingga memungkinkan adanya kontak dengan pihak asing. Kontak tersebut terjadi karena adanya suatu interaksi yang diduga menyebabkan keberagaman hasil budaya. Berdasarkan cerita rakyat yang dituturkan melalui tradisi lisan, salah satu peristiwa terpenting yang terjadi di Lerabaing adalah ketika Sultan Gimales Gogo datang dari Ternate untuk mengajarkan Islam. Sejak kedatangan Sultan, beberapa tatanan budaya mulai bernuansa Islami yang menggantikan kepercayaan dan hasil budaya yang
3
ada sebelumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dari bentuk dan motif ragam hias dari masjid, makam, dan artefak lain seperti keramik asing dan gerabah yang ditemukan di Lerabaing. Perkembangan variasi pada pola dipengaruhi oleh perubahan kondisi sosial, efek dari interaksi dan pertukaran, serta peran simbolik dari artefak lain yang berjalan seiring perkembangan waktu. (Tilley, 1989 : 188 – 190, Weissner, 1989 : 57 – 62). Proses pertukaran merupakan salah satu bentuk interaksi yang
menjadi contoh adanya pergerakan benda yang dibawa dan
didatangkan ke sebuah komunitas. Kronologi perkembangan budaya di Lerabaing menarik untuk diteliti lebih lanjut karena tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di sana diduga tidak berasal dari periode yang sama. Berdasarkan latar belakang ini, hasil tinggalan arkeologis di Lerabaing berpotensi untuk dijadikan penelitian dengan kajian tradisi
lisan
dan
menerapkan
paham
pendekatan
strukturalisme
untuk
menghasilkan suatu interpretasi. Perkembangan ini tentu tidak lepas dari cerminan kehidupan budaya di masa lampau yang tercermin dari kehidupan budaya masa sekarang. Analisis yang dilakukan untuk menentukan kronologi tinggalantinggalan arkeologis yang ada di Lerabaing tidak dilakukan melalui analisis pertanggalan absolut dengan carbon dating, melainkan dengan melakukan interpretassi tradisi lisan serta analisis bentuk dan ragam hias untuk mnemukan kondisi perkembangan budaya di Lerabaing secara relatif. Hubungan antar tinggalan arkeologis akan dicoba untuk dianalisis berdasarkan tradisi lisan yang diturunkan oleh penduduknya saat ini. Kajian tradisi lisan dan strukturalisme ini diharap mampu memberikan informasi perkembangan budaya di Lerabaing.
4
I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang hasil tinggalan arkeologi di Lerabaing yang beragam, muncul berbagai pertanyaan untuk mendukung penelitian. Pertanyaan tersebut dirumukan dalam rumusan masalah berikut ini : 1. Bagaimana kronologi tinggalan arkeologis di Lerabaing berdasarkan interpretasi tradisi lisan?
I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi data terkait kronologi tinggalan arkeologis yang ditemukan di Lerabaing melalui kajian tradisi lisan.
I.4 Ruang Lingkup Penelitian Batasan lokasi penelitian berada di wilayah Kampung Lerabaing, Desa Wakapsir, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Wilayah tersebut berada di dekat garis pantai sebelah selatan Pulau Alor. Penelitian ini difokuskan pada kawasan yang terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak.
I.5 Keaslian Penelitian Penelitian di Pulau Alor secara keseluruhan telah banyak dilakukan oleh beberapa disiplin ilmu terkait sejarah, budaya, linguistik, antropologi, dan arkeologi. Lerabaing merupakan salah satu lokasi yang pernah diteliti oleh berbagai disiplin ilmu oleh peneliti lokal dan asing. Pada disiplin ilmu sejarah,
5
Mukhlis M. Husen pernah melakukan penelitian pada tahun 1993 dengan judul “Sejarah Masuknya Islam di Lerabaing dan Berdirinya Masjid At-Taqwa”. Penelitian ini membahas tentang sejarah awal datangnya Sultan Gimales Gogo / Kima Gogo yang menyebarkan Islam dan latar belakang pembangunan Masjid AtTaqwa beserta dengan barang-barang yang ada di dalamnya. Penelitian Husen bersifat deskriptif dengan gambaran singkat tentang sejarah di Lerabaing. Pada disiplin antropologi, Katubi dari Pusat Peneltian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melakukan penelitian yang berjudul “Bahasa, Kebudayaan Material, dan Tradisi Lisan : Study Etnolinguistik Orang Kui di Alor, Nusa Tenggara Timur.” Berdasarkan hasil penelitian Katubi, bahasa, budaya, dan tradisi lisan saling berhubungan. Penelitian Katubi dipublikasikan pada “Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies : “Unity, Diversity, and Future”. Penelitian Katubi membahas tentang tradisi lisan yang menitikberatkan pada keberagaman budaya dan bahasa, meskipun ia tidak membahas tentang tinggalan arkeologi yang ada di Lerabaing. Pada disiplin linguistik, W.A.L. Stockhof pernah meneliti pada tahun 1975 dan 1984, dan Asako Shiohara pada tahun 2010, tentang penutur bahasa minoritas di Indonesia Timur. Pada disiplin arkeologi, penelitian dilakukan pada tahun 2014 dengan tema
“The Archaoelogy of Island Use in the Wallacean
Archipelago” oleh peneliti dari Australian National University (ANU) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Penelitian dalam skripsi ini merupakan bagian dari penelitian tersebut.
6
Penelitian arkeologi di wilayah lain di Pulau Alor pernah dilakukan oleh D.D. Bintarti pada tahun 1981 dan 1982. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengumpulkan data peninggalan masa perunggu dan besi. Selain mengumpulkan data, dokumentasi terhadap artefak juga dilakukan. Pendokumentasian tersebut meliputi moko milik warga setempat, tradisi pembuatan gerabah, dan logam. Beberapa hasil penelitian D.D.Bintarti telah dipublikasikan dalam Seminar Sejarah Nasional III Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktoran Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan judul “Moko sebagai salah satu unsur penting masa perundagian”. Pada tahun 1972, penelitian arkeologi di Desa Ala‟ang, Alor, dilakukan oleh Balai Arkeologi Denpasar. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat hasil tinggalan budaya berupa aneka nekara perunggu dan batu misbah sebagai tinggalan oleh masyarakat pendukungnya. Penelitian tersebut dilanjutkan kembali oleh Balai Arkeologi di Denpasar pada tahun 2013. Pada tahun 2012, hasil penelitian tentang tradisi megalitik di beberapa desa di Kabupaten Alor dan dipubliksikan dalam laporan penelitian oleh Ati R. Hidayat dan Gendro Keling dari Balai Arkeologi Denpasar. Penelitian tersebut melakukan ekskavasi dan survei di Kabupaten Alor. Hingga tahun 2014, penelitian arkeologi tentang interpretasi hasil tinggalan di Lerabaing dengan pendekatan etnoarkeologi di Lerabaing belum pernah dilakukan sebelumnya.
7
I.6 Tinjauan Pustaka Beberapa tinjauan pustaka yang dipakai untuk dijadikan acuan dalam penelitan dapat membantu menginterpretasikan tinggalan arkeologis di Lerabaing. Untuk analisis tradisi lisan, penulis merujuk buku “Oral Tradition as History” karya Jan Vansina (1930) yang memberikan informasi tentang metode pengumpulan data yang bersumber dari tradisi lisan yang diperoleh melalui sebuah tuturan dari komunitas masyarakat. Pengumpulan data tradisi lisan bersifat umum dengan menggunakan wawancara sehingga dapat dipakai untuk mendapatkan data di Lerabaing. Acuan cerita rakyat dan kebudayaan juga merujuk pada karya Mukhlis M. Husen (1993) pada buku yang berjudul “Sejarah Masuknya Agama Islam di Lerabaing dan Berdirinya Masjid At-Taqwa”. Husen mengungkap tentang sejarah agama Islam ketika disebarkan oleh Sultan Gimales Gogo yang berasal dari Ternate. Penelitian Husen hanya mengaju pada data sejarah tentang agama Islam dan Masjid At-Taqwa di Lerabaing, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis merujuk pada hubungan antara data sejarah, tradisi lisan, dan tinggalan arkeologis yang ditemukan di Lerabaing. Buku karya Van der Hoop (1949) yang berjudul “Ragam-Ragam Perhiasan Indonesia” dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini. Dalam buku tersebut, Van der Hoop mengungkap berbagai macam motif hias yang ada secara umum di Indonesia. Van der Hoop tidak menyinggung tentang motif hias di Lerabaing, namun ragam motif hias yang ditemukan pada tinggalan arkeologis di Lerabaing memiliki kemiripan dengan motif hias pada daerah lain sehingga dapat dipakai sebagai rujukan dalam penelitian ini.
8
I.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan langkahlangkah penelitian deskriptif yang memberikan informasi tentang data arkeologis yang ditemukan berdasarkan bentuk, waktu, dan hubungan antar variabel lain (Tim penulis „Metode Penelitian Arkeologi‟, 2008). Jenis penelataran induktif dengan melakukan pengamatan sampai dengan menginterpretasi data hasil tinggalan arkeologis di Lerabaing. I.7.1 Kajian Tradisi Lisan Menurut Vansina (1984), tradisi lisan disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan merupakan ekspresi dalam penyampaian pesan melalui ucapan yang dilakukan dalam waktu yang lama. Penutur tradisi lisan dapat memasukkan tradisi budaya yang merupakan suatu peristiwa / kejadian di masa lampau. Aspek-aspek yang terkandung dalam tradisi lisan, antara lain adalah aspek sejarah, nilai-nilai moral, keagamaan, dan adat istiadat. Berdasarkan aspek sejarah, tradisi lisan mampu menceritakan ulang peristiwa sejarah yang dianggap penting di dalam komunitas mereka. Umumnya peristiwa sejarah mengandung nilai moral dan berhubungan dengan adat istiadat setempat yang dapat menjadi identitas suatu komunitas. Salah satu bentuk dari tradisi lisan adalah folklor. Menurut Danandjaya, folklor merupakan sekelompok orang dengan ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan yang menyebarkan dan mewariskan hasil kebudayaan secara turun temurun. Menurut Danandjaya (1984), folklor umumnya mencakup aspek
9
material, spiritual, dan verbal dari suatu kebudayaan yang diwariskan secara lisan dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Penyebaran diwariskan secara lisan dan dapat disertai dengan gerak isyarat dan alat pengingatnya. 2. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang sama. Mungkin dapat terjadi perubahan jika disebarkan dalam waktu yang lebih lama. 3. Folklor bersifat anonim, yakni penciptanya sudah tidak diketahui lagi saat ini. Memori penutur sangat diandalkan dalam penyebaran folklor dan tradisi lisan. Bentuk folklor dapat berupa cerita rakyat, legenda, ungkapan/peribahasa, kepercayaan, bahasa rakyat, drama, dan nyanyian (Danandjaya, 1984). Penelitian ini menfokuskan pada cerita rakyat yang ada di dalam ingatan penduduk Lerabaing saat ini. Cerita rakyat yang dimiliki oleh penduduk Lerabaing merupakan hasil warisan lisan dari nenek moyang mereka. Hingga saat ini, sebagian besar penduduk masih memiliki ingatan yang baik mengenai cerita rakyat yang dituturkan dan mampu menunjukkan lokasi-lokasi yang dianggap berhubungan dengan cerita rakyat tersebut. Kekurangan dari tradisi lisan adalah dapat mengalami perubahan makna sehingga elemen-elemen, fungsi, dan cara penyampaiannya pun berubah (Vansina, 1984). Perubahan makna dapat terjadi karena proses penyampaian dalam waktu yang lama dan penangkapan oleh masing-masing individu yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, untuk meminimalisir kekurangan ini, penulis melakukan validasi untuk mengecek informasi yang diberikan antar narasumber. Tradisi lisan yang ada di Lerabaing umumnya berhubungan dengan kisah
10
perorangan, yakni saat kedatangan Sultan Gimales Gogo dari Ternate yang menyebarkan agama Islam. Kisah tentang kedatangan Sultan memiliki unsur magis religius yang dipercaya oleh penduduk lokal. I.7.2 Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data tradisi lisan dapat dilakukan melalui dua cara, yakni observasi dan wawancara. Proses pengumpulan data bertujuan untuk mendapat berbagai informasi untuk melakukan analisis tradisi lisan sehingga dapat menghasilkan interpretasi dan kronologi tinggalan arkeologis di Lerabaing. Pengumpulan data menggunakan peran penduduk lokal sebagai narasumber. Tahap observasi merupakan tahap awa untuk mengamati tinggalan arkeologi yang ditemukan di Lerabaing. Setelah melakukan observasi, tahap selanjutnya adalah dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang dianggapat dapat mewakili suatu komunitas (Spradley, 1997). Menurut Spradley dalam “Metode Etnografi” (1997), langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut : 1. Menentukan narasumber untuk membantu mengidentifikasikan permasalahan terkait tinggalan arkeologis di Lerabaing. Narasumber yang dipilih dalam penelitian ini merupakan beberapa orang tetua yang dianggap mampu mewakili komunitas masyarakat di Lerabaing. Narasumber yang dipilih memiliki pengetahuan tentang tradisi lisan, lokasi, dan tinggalan arkeologis di Lerabaing. 2. Mewawancarai narasumber dengan tujuan untuk mendapat informasi terkait tinggalan arkeologis. Teknik wawancara dilakukan secara terbuka dan langsung. Pedoman wawancara adalah dengan melakukan catatan harian setelah bertemu dengan narasumber (Singarimbun, 1982 : 145). Proses ini tidak mengacu pada
11
daftar pertanyaan, namun disesuaikan dengan keadaan dan pengetahuan yang dimiliki oleh narasumber. Pertanyaan yang diajukan bersifat deskriptif. 3. Membuat catatan yang meliputi catatan lapangan dan dokumentasi artefak. Catatan lapangan berkaitan dengan benda yang disebutkan dalam folklor dengan tinggalan arkeologis yang ditemukan di Lerabaing. Dokumentasi dilakukan dengan mengambil gambar dengan kamera dan merekam hasil wawancara dengan alat perekam. Studi pustaka berupa pengumpulan laporan penelitian sebelumnya juga menjadi informasi tambahan yang dapat melengkapi penelitian ini. 4. Melakukan analisis dengan menggunakan semua data yang terkumpul. Dari hasil wawancara diperoleh data tradisi lisan yang kemudian harus diinterpretasikan. Beberapa langkah yang diperlukan selajutnya adalah : 1. Mengumpulkan semua data berupa hasil wawancara, catatan lapangan, dan hasil analisis sementara. 2. Mengecek serta menvalidasi semua sumber dengan melihat persamaan cerita untuk meminalisir bias dari tradisi lisan. 3. Melihat sumber literatur lain untuk mendukung data sementara. 4. Mengolah data dan melakukan analisis lanjutan untuk melihat hubungan antara tinggalan arkeologis di Lerabaing dengan tradisi lisannya. I.7.3 Analisis Data Analisis yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas analisis tradisi lisan dan analisis ragam hias yang meliputi ragam hias, bentuk, dan struktur sehingga diharap dapat menghasilkan interpretasi kronologi hasil tinggalan arkeologis di Lerabaing.
12
Analisis tradisi lisan bertujuan untuk mengetahui tema utama, lokasi dari data arkeologis dan hubungannya dalam konteks budaya materi. Proses analisis lisan adalah dengan mengolah data hasil wawancara dengan narasumber untuk mengekstrak informasi yang telah didapat. Analisis tradisi lisan dapat melihat paham strukturalisme untuk memperkuat hasil interpretasi. Paham strukturalisme merupakan teori yang dikembangkan oleh Levi-Strauss dalam upaya untuk mencari pemecahan terhadap kontradiksi-kontradisksi empiris yang tidak dipahami oleh nalar manusia karena pada dasarnya tradisi lisan merupakan suatu pesan kultural terhadap anggota masyarakat (Taum, 2011). Menurut Ahimsa-Putra (2006), langkah analisis struktural adalah dengan membagi cerita rakyat ke dalam beberapa katagori untuk memudahkan proses analisis. Katagori dibagi berdasarkan cerita tentang peristiwa dan hasil budaya yang berbeda . Analisis ragam hias bertujuan untuk mengetahui perkembangan hiasan antar tinggalan arkeologis di Lerabaing. Proses analisis ragam hias dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan ragam-ragam hiasan yang ditemukan pada tinggalan arkeologis, baik yang bersifat bergerak atau tidak bergerak. Beberapa ragam hias pada tinggalan tersebut memiliki kemiripan sehingga diduga berasal dari suatu perkembangan ragam hias. Dari adanya hubungan yang berkaitan dengan tradisi lisan, konteks tinggalan arkeologis yang ditemukan, dan persamaan motif ragam hias pada artefak, interpretasi tentang perkembangan budaya di Lerabaing dapat dihasilkan.
13
I.7.4 Sintesis Pada tahap sintesis, seluruh data dan hasil analisis diolah untuk memberikan interpretasi tinggalan arkeologis di Lerabaing serta kronologi perkembangannya. Hasil interpretasi diharap dapat mengungkap makna budaya yang lebih luas.