1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Marga Gynura memiliki lebih dari 44 jenis yang tersebar di daerah tropis dari Afrika hingga Asia Selatan dan Asia Tenggara (Vanijajiva, 2009). Keragaman anggota marga ini paling banyak ditemukan di Asia Tenggara (Davies, 1978). Sejak zaman dahulu, anggota marga Gynura banyak dimanfaatkan, salah satunya untuk pengobatan (Perry & Metzger, 1980). Salah satu anggota marga Gynura yang banyak digunakan untuk pengobatan di Indonesia adalah Gynura procumbens (Lour.) Merr. atau dikenal dengan tanaman sambung nyawa (Winarto, 2003). Gynura procumbens adalah jenis tumbuhan anggota suku Asteraceae, merupakan tanaman yang berasal dari Birma tetapi telah banyak dibudidayakan dan menyebar di Pulau Jawa (Heyne, 1987). Secara tradisional, daun sambung nyawa digunakan untuk mengobati inflamasi, demam, rematik, penyakit ginjal, migrain, konstipasi, diabetes, hiperkolesterol, dan lain-lain (Kaewesejan dkk., 2012). Berkaitan dengan penggunaannya secara tradisional, banyak penelitian tentang aktivitas farmakologi dan kandungan kimia yang telah dilakukan. Hasil uji praklinik menunjukkan bahwa sambung nyawa berkhasiat sebagai penurun tekanan darah (hipotensif), pereda demam (antipiretik), penurun kadar gula darah (hipoglikemik), penurun kadar kolesterol total dan trigliserida darah (Winarto, 2003). Tanaman ini berkhasiat antara lain sebagai antipiretik, hipotensif, hipoglikemik, mencegah dan meluruhkan batu ginjal dan batu kandung kemih,
2
antihiperlipidemia, antibakteri, sitostatik, serta mencegah dan memperbaiki kerusakan sel-sel jaringan ginjal (Winarto, 2003). Daun sambung nyawa juga mengandung steroid yang berperan sebagai komponen untuk mencegah peradangan sel (Utami & Desty, 2013). Aktivitas farmakologi tersebut berkaitan erat dengan kandungan kimia daun sambung nyawa. Daun sambung nyawa mengandung senyawa flavonoid, sterol tidak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap berbagai aktivitas farmakologi tersebut (Sudarto & Pramono, 1985; Winarto, 2003). Kandungan kimia pada tanaman berkaitan erat dengan lingkungan tumbuh dan kondisi panen tanaman tersebut. Hanudin dkk. (2012) melaporkan bahwa intensitas cahaya matahari, unsur hara dan umur pemanenan mempengaruhi kandungan fenolik total dan flavonoid total dari tanaman meniran. Tingkat maturasi daun juga berkaitan erat dengan kandungan kimia yang ada pada daun tersebut (Anonim, 1985). Daun legundi dilaporkan memiliki kandungan viteksikarpin yang berbeda pada daun muda dan tuanya (Dwinatari, 2010), daun salam diketahui memiliki kandungan tanin yang berbeda pada daun muda, sedang dan tua (Kharismawati dkk., 2009). Pengetahuan akan tingkat maturasi daun dengan kandungan kimianya dapat membantu dalam pemanenan tanaman untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas. Perkembangan usaha industri obat tradisional yang meningkat dan potensi dari tanaman sambung nyawa yang besar sebagai tanaman obat menyebabkan tingginya permintaan simplisia daun sambung nyawa sebagai bahan baku produksi obat tradisional. Obat tradisional menurut BPOM (2005) digolongkan
3
menjadi jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Pengembangan obat tradisional pada level obat herbal terstandar dan fitofarmaka mensyaratkan penggunaan bahan baku yang terstandar. Sehingga simplisia sambung nyawa yang diinginkan adalah simplisia yang memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah seperti pada Farmakope Herbal Indonesia. Penggunaan bahan baku yang terstandardisasi sangat menguntungkan pihak konsumen, pemerintah, dan produsen, sebab penggunaan bahan baku yang terstandardisasi dimaksudkan untuk menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat obat herbal, menjaga senyawa aktif selalu konsisten dan terukur antar perlakuan, menjaga keamanan dan stabilitas ekstrak atau bentuk sediaan terkait efikasi dan keamanan pada konsumen dan meningkatkan nilai ekonomi (Saifudin dkk., 2011). Usaha budidaya tanaman sambung nyawa untuk memenuhi permintaan pasar telah dilakukan di Mangunan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Usaha ini dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda. Lokasi ini memiliki karakteristik seperti ketinggian yang berbeda-beda. Penelitian untuk mengetahui pengaruh lingkungan tumbuh dan kondisi terbaik (maturasi daun) dalam pemanenan terhadap mutu simplisia menjadi penting. Informasi ini dapat menjadi petunjuk pengembangan dan budidaya sambung nyawa khususnya di daerah Mangunan, Yogyakarta serta menjadi petunjuk dalam pemanenan daun sambung nyawa sehingga dapat didapatkan simplisia dengan kandungan kimia yang tinggi.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh lingkungan tumbuh terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa? 2. Bagaimanakah pengaruh maturasi daun terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa?
C. Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan informasi mengenai pengaruh lingkungan tumbuh terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa. 2. Mendapatkan informasi mengenai pengaruh tingkat maturasi daun terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh lingkungan tumbuh terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa. 2. Mengetahui pengaruh maturasi daun terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Sambung nyawa (Gynura Procumbens (Lour). Merr.) a. Kedudukan kategori taksa sambung nyawa dalam taksonomi tumbuhan divisi
: Spermatophyta
anak divisi
: Angiospermae
kelas
: Dicotyledoneae
bangsa
: Asterales
suku
: Asteraceae (Compositae)
marga
: Gynura
jenis
: Gynura procumbens (Lour.) Merr. (Backer & Van den Brink, 1965; Steenis, 1975)
b. Nama daerah Ada beberapa nama daerah yang digunakan untuk tanaman sambung nyawa, diantaranya beluntas cina atau akar sabiak di daerah Melayu dan ngokilo di Pulau Jawa (Sholihah, 2013; Heyne, 1987, Anonim, 1989).
Gambar 1. Tumbuhan sambung nyawa
6
c. Deskripsi Sambung nyawa memiliki nama botani Gynura procumbens (Lour.) Merr. (Wonohadi & Palupi, 2000). Menurut Heyne (1987), Gynura procumbens (Lour.) Merr. merupakan tumbuhan asli dari Birma dan Cina, tetapi tumbuhan ini telah banyak dibudidayakan dan menyebar di Pulau Jawa. Sambung Nyawa memiliki daun tunggal, tersebar mengelilingi batang, helaian daun berwarna hijau, bentuk bulat telur, panjang sampai 6 cm, lebar sampai 3,5 cm, ujungnya runcing, pangkal daun membulat, tepi daun rata sedikit bergelombang, panjang tangkai daun 1,5 cm atau lebih, kedua permukaannya berambut halus, pertulangan menyirip. (Wonohadi & Palupi, 2000). Sambung nyawa merupakan tumbuhan semak semusim dengan tinggi sekitar 20-60 cm. Berbatang lunak dengan penampang bulat dan berwarna ungu kehijauan. Berdaun tunggal, berbentuk bulat telur, berwarna hijau, tepi daun rata atau agak bergelombang, serta panjangnya bias mencapai 15 cm dan lebar 7 cm. Daun tanaman sambung nyawa bertangkai, letak berseling, berdaging, ujung dan pangkal meruncing, serta pertulangan menyirip. Sambung nyawa berakar serabut dan berbunga. Bunga sambung nyawa memiliki susunan majemuk cawan dan memiliki mahkota tipe tabung dengan panjang 1-1,5 cm. Warna bunga sambung nyawa jingga kekuningan atau jingga. Benang sarinya berbentuk jarum berwarna kuning serta kepala sarinya berlekatan menjadi satu. Buah
7
sambung nyawa berbentuk garis dengan ukuran panjang 4-5 mm berwarna cokelat (Maryati & Suharmiati, 2003, Smith, 1982). d. Tempat tumbuh Habitat sambung nyawa berada di hutan belantara, termasuk semak belukar. Sambung nyawa hidup pada ketinggian 1-1200 m di atas permukaan laut, tetapi akan tumbuh baik pada ketinggian 300-500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut (Winarto, 2003). Sambung nyawa dapat tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian 1.250 m dengan iklim sedang sampai basah dengan curah hujan antara 1.500 hingga 3.500 mm/tahun. Sambung nyawa sebaiknya ditanam di tempat yang agak teduh, idealnya mendapat 60% sinar matahari dengan menggunakan penaung berupa paranet. Hal ini dilakukan agar tidak menghasilkan daun yang keras (Maryati & Suharmiati, 2003). Hidayat (2000) melaporkan bahwa sambung nyawa tumbuh terutama pada daerah yang terkena sinar matahari langsung atau setengah ternaungi, lembab atau tidak terlalu kering. e. Khasiat dan kandungan kimia Daun sambung nyawa mengandung senyawa flavonoid, sterol tidak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Sudarto & Pramono, 1985). Tanaman ini berkhasiat antara lain sebagai antipiretik, hipotensif, hipoglikemik, mencegah dan meluruhkan batu ginjal dan batu kandung kemih, antihiperlipidemia, antibakteri, sitostatik, serta mencegah dan memperbaiki
kerusakan
sel-sel
jaringan
ginjal
(Winarto,
2003).
8
Kandungan flavonoid, terpenoid dan polifenol merupakan senyawa yang membantu peran daun sambung nyawa dalam menumpas kanker. Kandungan steroid dalam daun tersebut berperan sebagai komponen yang dapat mencegah peradangan sel (Utami & Desty, 2013). Penelitian Soetarno dkk. (2000) melaporkan bahwa daun sambung nyawa mengandung saponin dan flavanoid berupa asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-dihidroksi benzoat dan asam vanilat. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenolik (Harborne, 1987). Menurut Robinson (1995) flavonoid merupakan salah satu pigmen bunga yang berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan antara lain sebagai pengatur tumbuh, kerja antimikroba, antivirus, dan kerja terhadap serangga. Kegunaan dari flavonoid bagi kesehatan diantaranya adalah aktivitas antioksidan, kemampuan mengikat logam, stimulasi dari sistem imun, pencegahan nitrasi tirosin, antihistamin dan antibakteri (Merken dkk., 2001). Sambung nyawa memiliki bermacam-macam khasiat untuk kesehatan. Hasil uji praklinik menunjukkan bahwa sambung nyawa berkhasiat sebagai penurun tekanan darah (hipotensif), pereda demam (antipiretik), penurun kadar gula darah (hipoglikemik), serta penurun kadar kolesterol total dan trigliserida darah (Winarto, 2003). Ng dan Yap (2001) melaporkan ekstrak daun sambung nyawa secara signifikan dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida pada tikus, selain itu ekstrak
9
daun sambung nyawa juga mampu menekan kadar glukosa pada tikus yang mengidap diabetes. Tanaman sambung nyawa mengandung flavonoid, sterol tak jenuh, triterpenoid, polifenol, tanin, saponin, steroid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam para kumarat, asam para hidroksi benzoat, dan minyak atsiri. Hasil uji isolasi flavonoid dilaporkan keberadaan 2 macam senyawa flavonoid, yaitu kaemferol (suatu flavonol), kaemferol-3-orutinosida, dan astragalin (Zurina dkk., 2010). Tanaman sambung nyawa diduga mengandung senyawa isoflavon dengan gugus hidroksil pada posisi 6 atau 7, 8 (cincin A) tanpa gugus hidroksil pada cincin B (Sugiyanto dkk., 1994). Senyawa marker atau penanda dari sambung nyawa adalah kaemferol
(Anonim,
2010).
Kaemferol
(3,5,7-trihidroksi-2-(4-
hydroksifenil)-4H-1-benzopiran-4-on) adalah senyawa polifenol berwarna kuning dengan bobot molekul rendah (286,2 g/mol) yang banyak terdapat pada sayuran dan buah (Winkel-Shirley, 2001). Studi epidemiologi telah menunjukkan adanya penurunan risiko terkena penyakit kronik dengan penggunaan kaemferol, terutama kanker. Kaemferol telah dilaporkan mampu
memodulasi
transduksi
sinyal
yang
memicu
apoptosis,
angiogenesis, inflamasi dan metastasis. Keberadaan kaemferol pada tanaman juga merupakan salah satu pendukung aktivitas antioksidan dalam tanaman tersebut (Chen & Chen, 2012).
10
OH
O OH
HO
O
OH
Gambar 2. Struktur kaemferol
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu simplisia Kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor, seperti : umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh (ekofisiologi) (Depkes RI, 1985; Vijesekera, 1991). a. Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen Panen merupakan salah satu tahapan dalam proses budidaya tanaman obat. Waktu panen yang berkaitan dengan umur tumbuhan (tingkat
maturasi)
merupakan periode
kritis
sehingga
sangat
menentukan kualitas dan kuantitas hasil panen. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang berbeda, hal ini berkaitan dengan metabolit yang terdapat pada tumbuhan. Metabolit sekunder tertentu terakumulasi lebih banyak pada tingkat maturasi tertentu yang berbeda pada tiap jenis tumbuhan. Contohnya pada pemanenan tanaman sambiloto paling optimum dilakukan pada umur 3-4 bulan pada saat tanaman sudah berbunga tetapi belum berbuah. Bahan aktif tinggi pada fase awal pembungaan (Sembiring, 2008).
11
b. Waktu panen Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Waktu panen dan waktu pengangkutan harus diperhatikan. Beberapa simplisia hasil panen terfermentasi dan metabolitnya rusak jika terkena panas yang berlebihan sehingga mutu simplisia kurang baik (Vijesekera, 1991; Sembiring, 2008). c. Lingkungan tempat tumbuh Pengaruh ekosistem dominan pada berbagai tanaman (Sembiring, 2008). Kualitas dan kuantitas komponen aktif berbagai herba dipengaruhi oleh faktor ekosistem (Naiola dkk., 1996; Vanhaelen dkk., 1991). Faktor ekofisiologi harus optimal agar menghasilkan simplisia yang berkualitas (Gupta, 1991). Faktor-faktor yang terdapat pada lingkungan tumbuh, diantaranya: 1) Unsur hara Unsur hara merupakan faktor lingkungan yang mampu mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman membutuhnkan nutrisi dari tanah untuk dapat tumbuh dan berkembang. Unsur yang dibutuhkan untuk bertahan hidup tersebut adalah unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro terdiri dari karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), sulfur (S), fosfor (P),
12
kalium (K), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Unsur hara N, P, K adalah unsur hara utama yang diperlukan dalam jumlah lebih banyak sedangkan selainnya dibutuhkan dalam jumlah yang sedang, tetapi juga memegang peranan penting pada pembentukan jaringan tanaman. Unsur hara mikro diperlukan dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti: mangan (Mn), molibdenum (Mo), klor (Cl), seng (Zn), tembaga (Cu), boron (B), dan besi (Fe). Kekurangan unsur hara baik makro maupun mikro dapat menganggu pertumbuhan tanaman (Vickery, 1984; Prihmantoro & Indriani, 2001). 2) Ketinggian Ketinggian tempat tumbuh adalah kondisi lingkungan yang mencakup keragaman kondisi yang dapat membatasi ataupun mendukung pertumbuhan tanaman (Duryat, 2008). Ketinggian tempat tumbuh merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara morfologi maupun fisiologi. Ketinggian tempat tumbuh yang berbeda menyebabkan terdapat perbedaan ketersediaan unsur hara, kelembapan, intensitas cahaya matahari dan suhu. Perbedaan tersebut dapat secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi metabolisme tumbuhan, terutama tumbuhan obat karena berhubungan dengan zat aktif (Coomes & Allen, 2007; Duryat, 2008; Irwanto, 2006).
13
Ketinggian memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan dan metabolisme tanaman dalam pembentukan metabolit sekunder. Penelitian yang dilakukan Hakim (2012) melaporkan terdapat penurunan kadar kurkumin temulawak yang signifikan dengan adanya kenaikan tempat tumbuh. Hasil penelitian Arniputra dkk. (2007) melaporkan terdapat perbedaan kadar komponen minyak atsiri pada rimpang temu kunci dari ketinggian tempat tumbuh yang berbeda. 3) Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi metabolisme
suatu
tumbuhan,
terutama
metabolisme
yang
membutuhkan enzim sebagai katalisator. Suhu yang terlalu tinggi akan membuat enzim rusak sehingga kemampuan tumbuhan menghasilkan metabolit tertentu menjadi dorman. Suhu optimum berdampak pada pertumbuhan yang optimum pada tumbuhan (Vickery, 1984). 4) Kelembapan udara Kelembapan udara akan mempengaruhi laju pertumbuhan metabolisme tumbuhan secara tidak langsung. Kelembapan akan mempengaruhi laju transpirasi tumbuhan. Angka kelembapan yang tinggi pada pagi hari menyebabkan laju transpirasi menjadi lambat sementara ketika siang hari laju transpirasi akan meningkat karena angka kelembapan menurun. Laju transpirasi yang tinggi akan
14
memacu akar menarik air lebih banyak sehingga meningkatkan pasokan nutrisi (Rachmawati dkk., 2009). 5) Intensitas Cahaya Cahaya berkaitan erat dengan proses fotosintesis tumbuhan. Radiasi energi dari matahari adalah sumber energi untuk metabolisme tumbuhan. Hasil fotosintesis akan digunakan untuk pembentukan organ tumbuhan. Cahaya juga mempengaruhi kerja hormon-hormon mempengaruhi
pertumbuhan pertumbuhan
yang dan
secara
tidak
langsung
perkembangan
tanaman
(Rachmawati dkk., 2009). Tingkat intensitas cahaya yang kurang atau berlebih bisa menghambat pertumbuhan atau mengakibatkan pertumbuhan yang kurang baik. Proses metabolisme yang tidak normal dapat mempengaruhi kadar senyawa aktif tanaman (Nirwan, dkk., 2007). 6) pH tanah Nutrisi dari tanah dapat diabsorbsi akar apabila dalam bentuk senyawa yang sesuai. pH tanah yang terlalu asam atau terlalu basa akan menyebabkan beberapa nutrisi yang dibutuhkan tidak tersedia dalam bentuk senyawa yang bisa diabsorbsi. Kondisi pH tanah yang terlalu asam akan menyebabkan tanaman kekurangan mangnesium, kalsium dan kalium, sedangkan kondisi pH yang terlalu basa tidak terlalu memberikan stres pada tumbuhan disebabkan
adanya
kalsium
dalam
tanah.
Kalsium
dapat
15
meningkatkan agregasi partikel tanah sehingga dapat meningkatkan aerasi dan aliran air ke tanah (Kidd & Proctor, 2000). 3. Senyawa fenolik dan flavonoid a. Senyawa fenolik Fenolik atau senyawa polifenol merupakan metabolit sekunder dengan struktur cincin aromatik yang terikat satu atau lebih subtitusi gugus hidroksil, berasal dari jalur metabolisme asam sikimat dan fenil propanoid. Kelompok zat kimia yang memiliki gugus fenol dalam molekulnya disebut polifenol (Fessenden & Fessenden, 1982). Senyawa polifenol diantaranya yaitu: tanin, kumarin dan glikosidanya, naftakuionon, flavon dan glikosida flavonoid yang berkaitan, antosianidin dan antosian (Gulcin dkk., 2004; Evans, 1989). Senyawa polifenol umum ditemukan dalam tanaman baik bersifat nutrisi maupun non-nutrisi. Penelitian terhadap polifenol melaporkan bahwa polifenol memiliki berbagai aktivitas biologis diantaranya: mencegah penyakit degeneratif (Joshipura dkk., 2001), menstimulasi pelepasan immunoglobulin (Magnore dkk., 2008), meningkatkan pembentukan antibodi (Castaner dkk., 2011) dan berbagai aktivitas lainnya. Polifenol memiliki potensi sebagai antioksidan karena dapat menyumbangkan hidrogen radikal bebas dan mencegah pemecahan rantai reaksi oksidasi lipid pada tahap inisiasi awal (Kahkonen dkk., 2003; Gulcin dkk., 2004).
16
Senyawa fenolik bisa diidentifikasi secara sederhana dengan menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam kuat. Mayoritas senyawa
fenol dapat
dideteksi pada kromatogram
berdasarkan warnanya atau florosensinya di bawah lampu UV (Wagner dkk., 1984). Wagner dkk. (1984) juga melaporkan bahwa senyawa fenolik dapat dianalisis dengan KLT menggunakan fase diam silika gel 60 F254 dengan fase gerak n-butanol: asam asetat: air (4:1:5) v/v/v lapisan atas dan dideteksi dengan sinar UV 254 nm dan UV 366 nm secara visual. b. Senyawa flavonoid Flavonoid adalah salah satu metabolit sekunder yang termasuk dalam kelompok polifenol. Golongan flavonoid digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6, yaitu kerangka utamanya terdiri dari 15 atom karbon yaitu gugus C6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robbinson, 1995). Flavonoid mempunyai karakteristik pita I cincin B sistem sinamoil pada panjang gelombang 240-280 nm dan cincin II cincin A sistem benzoil pada panjang gelombang 300-380 nm (Schneider dkk., 1979).
B O
A
C
Gambar 3. Struktur dasar flavonoid
17
Flavonoid di dalam tumbuhan memiliki peran penting dalam pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tumbuhan (Pietta, 2000). Penelitian terhadap khasiat dari flavonoid telah banyak dilakukan diantaranya memiliki kemampuan kemopreventif pada model in vitro dan in vivo, mengurangi penyakit kardiovaskuler (Ronald dkk., 2008). Beberapa senyawa flavonoid juga mampu meningkatkan sistem imun tubuh dengan meningkatkan proliferasi sel T dan mensintesis immunoglobulin dari sel B (Brattig dkk., 1984). Senyawa kuersetin-3O-rutinosida,
kaemferol-3-O-rutinosida
dan
isorhamentin-3-O-11
dalam Urtica dioca L. diketahui mampu menstimulasi aktivitas killing intraseluler (Akbar dkk., 2003). Flavonoid dalam tumbuhan dapat dideteksi dengan berbagai cara, salah satunya dengan penetapan kadar flavonoid total. Penetapan kadar flavonoid total dapat menggunakan spektrofotometri dilakukan dengan prinsip pembentukan kompleks antara AlCl3 dan flavonoid yang dapat membentuk warna kuning stabil (Chang dkk., 2002). Kadar flavonoid dalam suatu simplisia atau ekstrak merupakan jaminan kualitas suatu produk, walaupun belum diketahui secara pasti senyawa yang terdapat di dalamnya (Soares dkk., 2003) 4. Spektofotometri dan Kolorimetri a.
Spektrofotometri Spektrofotometri
merupakan
suatu
metode
analisis
yang
didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis sampel pada panjang gelombang spesifik dengan mengguankan monokromator
18
prisma atau kisi difraksi. Analisis spektrofotometri terdapat tiga daerah panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, yaitu daerah ultraviolet (200-380 nm), daerah visibel (380-700 nm), daerah inframerah (700-3000 nm) (Rohman & Gandjar, 2007). Suatu molekul yang dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi sesuai, maka energi molekul tersebut akan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi sehingga terjadi penyerapan (absorbsi energi) oleh molekul. Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Terjadinya eksitasi elektronik pada molekul yang kompleks menyebabkan terbentuknya pita spektrum UV. Sampel yang dikenakan berkas radiasi akan meneruskan intensitas sinar radiasi yang besarnya dapat diukur (Rohman & Gandjar, 2007). b. Kolorimetri Kolorimetri adalah suatu metode analisis kimia yang digunakan untuk menentukan konsentrasi dari larutan berwarna, berdasarkan pada perbandingan intensitas warna larutan dengan warna larutan standarnya. Metode ini merupakan bagian dari analisis fotometri. Fotometri adalah bagian dari optik yang mempelajari mengenai kuat cahaya dan derajat penerangan (Housecroft & Edwin, 2006). Terdapat berbagai metode untuk menentukan konsentrasi dari pembanding warna pada kolorimetri, akan tetapi penggunaan spektrofotometri
lebih
sering
digunakan
untuk
meningkatkan
sensitifitas pada pengukuran warna (Carleton, 2010). Senyawa yang
19
tidak berwarna dapat dibuat menjadi berwarna dengan pembentukan kompleks sehingga misalnya dengan penambahan ion Fe3+ dan SCN menghasilkan larutan berwarna merah, atau pada pengukuran fenolik total senyawa heteropolifosfotungstatmolibdat yang bervalensi 6+ dan berwarna kuning dapat membentuk kompleks oktahedral dan menjadi berwarna
biru.
Penambahan
elektron
semakin
banyak
akan
membentuk senyawa berwarna biru yang semakin kuat, sehingga kadar senyawa fenolik pada sampel dapat dibandingkan dengan pembanding asam galat sebagai standar yang diketahui serapan dan konsentrasinya (Roth & Blashcke, 1998; Singleton, 1987). 5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)-Densitometri Kromatografi lapis tipis adalah prosedur pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi karena adanya perbedaan koefisien distribusi senyawa diantara dua fase yang bersinggungan dan tidak saling campur. Fase gerak dapat berupa cair sedangkan fase diam dapat berupa cair atau padat (Noegrohati, 1994). Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah bentuk kromatografi planar dengan bentuk sorben tersebar merata pada lapisan aluminium datar, plastik atau kaca. Zat terlarut akan bermigrasi melalui fase diam berdasarkan kepolaran atau afinitas terhadap fase gerak. Komponen yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan
20
komponen dengan sifat sebaliknya (Kealey & Haines, 2002; Gritter dkk., 1991). Pemisahan masing-masing komponen dalam KLT dinyatakan dengan faktor retardasi atau faktor perlambatan (dinyatakan dengan nilai Rf) atau hRf, yaitu nilai Rf dikalikan dengan seratus. Rf merupakan parameter pada analisis kualitatif yang digunakan untuk identifikasi dalam KLT. Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak pusat bercak yang muncul dari pusat penotolan awal terhadap jarak pengembangan keseluruhan (Kar, 2005). Fase diam pada KLT berupa padatan yang dapat berasal dari lempeng silika, tanah diatom, alumina dan serbuk selulosa. Fase diam yang berupa padatan memiliki mekanisme adsorpsi dan partisi dalam proses pemisahan dengan kromatografi (Gritter dkk., 1991). Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel yang diberi pengikat dengan tujuan memberikan kekuatan pada lapisan serta menambah adhesi pada penyokongnya. Pengikat yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat (Sastrohamidjodjo, 2002). Fase gerak pada KLT merupakan campuran pelarut yang ditempatkan pada bejana pengembang. Pelarut harus diperhatikan sebab kekuatan fase gerak dan distribusi analit tergantung pada solven penyusunnya (Watson, 1999). Sistem pelarut paling sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran ini dapat diatur untuk mengoptimalkan pemisahan (Braithwaite & Smith, 1999).
21
Analisis kualitatif pada KLT dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan mengukur bercak langsung dengan teknik densitometri atau dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadarnya menggunakan metode analisis lain seperti spektroskopi. Pada cara pertama tidak terjadi kesalahan akibat pemindahan bercak atau kesalahan ekstraksi sedangkan pada cara kedua memungkinkan terjadinya kesalahan akibat pemindahan (Rohman & Gandjar, 2007). KLT-denstometri merupakan metode uji kuantitatif yang dilakukan untuk menetapkan kadar suatu senyawa dengan mengukur kerapatan bercak dari senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT menggunakan alat KLT-densitometer yaitu Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner. Evaluasi bercak dilakukan dengan sumber sinar berbentuk celah yang bisa diatur lebar dan panjangnya (Rahman, 2009). Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur densitas bercak senyawa standar yang dielusi bersama-sama. Syarat senyawa standar adalah stabil, inert dan murni (Sastrohamidjodjo, 2002). Densitometer yang digunakan dalam KLT-densitometri adalah alat pengukur absorbansi sinar UV dan atau sinar tampak, floresensi, atau pemadaman floresensi secara langsung pada plat kromatografi lapis tipis. Teknik penggunaannya didasarkan pada pengukuran sinar yang diteruskan, diserap, dipendarkan atau dipantulkan. Densitometri bertujuan untuk menggambarkan bercak pada plat KLT dalam suatu kromatogram yang terdiri dari beberapa puncak. Posisi puncak pada kromatogram menggambarkan jarak migrasi
22
bercak, sedangkan tinggi puncak dan area di bawah puncak berhubungan dengan konsentrasi senyawa pada bercak (Fried & Sherma, 1994). Keberadaan kromofor yang merupakan suatu gugus fungsional tidak jenuh menyediakan orbital phi yang dapat menyerap pada daerah ultraviolet. Molekul yang mengandung kromofor disebut kromogen sedangkan auksokrom merupakan gugus jenuh yang terikat pada kromofor mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum, cirinya adalah heteroatom yang langsung terikat pada kromofor (Sastrohamidjodjo, 2002).
F. Landasan Teori Kandungan flavonoid dan fenolik pada tumbuhan berkaitan dengan lingkungan tumbuh dan kondisi panen dari tanaman tersebut. Sambung nyawa mengandung senyawa golongan flavonoid diantaranya yaitu kaemferol (suatu flavonol), kaemferol-3-o-rutinosida, dan astragalin (Zurina dkk., 2010). Sambung nyawa juga mengandung senyawa golongan fenolik lainnya berupa asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-dihidroksi benzoat dan asam vanilat). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenolik (Harborne, 1987). Kandungan senyawa flavonoid dan fenolik pada sambung nyawa yang kemungkinan memberikan perananan utama dalam aktivitas farmakologi daun sambung nyawa. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap kandungan metabolit sekunder pada tanaman. Penelitian Hanudin dkk. (2012) melaporkan bahwa
23
intensitas cahaya matahari, unsur hara dan umur pemanenan mempengaruhi kandungan fenolik total dan flavonoid total dari tanaman meniran. Kondisi pemanenan seperti tingkat maturasi daun juga berkaitan erat dengan kandungan kimia yang ada pada daun tersebut (Anonim, 1985). Penelitian yang telah dilakukan pada daun legundi melaporkan bahwa daun legundi memiliki kandungan viteksikarpin yang berbeda pada daun muda dan tuanya (Dwinatari, 2010). Pengetahuan akan tingkat maturasi daun dengan kandungan kimianya dapat membantu dalam pemanenan tanaman. Beberapa faktor penting dari lingkungan tumbuh diantaranya, ketinggian tumbuh, pH tanah, kelembapan tanah, kelembapan udara dan intensitas cahaya matahari. Ketinggian tempat tumbuh dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara morfologi maupun fisiologi. Ketinggian tempat tumbuh yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan kelembapan udara relatif, intensitas radiasi dan suhu. Perbedaan tersebut dapat secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi fisiologi tumbuhan dan berpengaruh terhadap produksi metabolitnya (Coomes & Allen, 2007; Duryat, 2008; Irwanto, 2006). Ketinggian memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan dan metabolisme tanaman dalam pembentukan metabolit sekunder. Penelitian yang dilakukan Hakim (2012) melaporkan terdapat penurunan kadar kurkumin temulawak yang signifikan dengan adanya kenaikan tempat tumbuh. Hasil penelitian Arniputra dkk., (2007) melaporkan perbedaan kadar komponen minyak atsiri pada rimpang temu kunci dari ketinggian tempat tumbuh yang berbeda. Keasaman tanah (pH tanah), utamanya mempengaruhi nutrisi pada tanaman. Kondisi tanah yang terlalu asam
24
atau terlalu basa menyebabkan nutrisi yang dibutuhkan tanaman tidak tersedia dalam bentuk senyawa yang bisa diabsorbsi. pH tanah yang terlalu asam menyebabkan tanaman kekurangan mangnesium, kalsium dan kalium. Hasil penelitian Yenni (2012) melaporkan perbedaan pH tempat tumbuh menunjukkan perbedaan kadar minyak atsiri dari umbi bawang merah. Penelitian yang dilakukan Reimberg dkk. (2009) melaporkan terdapat perbedaan kadar flavonoid yang signifikan pada daun Passiflora carnata L. yang tumbuh pada pH berbeda. Cahaya berkaitan erat dengan proses fotosintesis tumbuhan. Hasil fotosintesis akan digunakan untuk pembentukan organ tumbuhan. Cahaya juga mempengaruhi kerja hormon-hormon pertumbuhan yang secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Rachmawati dkk., 2009). Penelitian Ghasemzadeh dkk. (2010) melaporkan terdapat perbedaan kandungan total flavonoid dan total fenolik pada rimpang, daun dan batang jahe yang diberi perlakuan sinar matahari yang berbeda, semakin kuat intensitas sinar matahari total flavonoid dan fenolik dari tanaman semakin besar. Kelembapan udara akan mempengaruhi laju metabolisme tumbuhan secara tidak langsung. Kelembapan akan mempengaruhi laju transpirasi tumbuhan. Angka kelembapan yang tinggi pada pagi hari menyebabkan laju transpirasi menjadi lambat sedangkan ketika siang hari laju transpirasi akan meningkat karena angka kelembapan menurun. Laju transpirasi yang tinggi akan memacu akar menarik air lebih banyak sehingga meningkatkan pasokan nutrisi (Rachmawati dkk., 2009).
25
Kondisi lingkungan tumbuh optimal pada budidaya dan pemanenan sambung nyawa belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lingkungan tumbuh dan pengaruh maturasi daun terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa.
G. Hipotesis Berdasarkan landasan teori disusun suatu hipotesis yaitu lingkungan tumbuh berpengaruh terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa. Maturasi daun juga memiliki pengaruh terhadap kadar fenolik, flavonoid dan kaemferol simplisia daun sambung nyawa.