BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu pasar teknologi yang paling menjajikan di Asia (www.the-marketeers.com). Hal ini terkait dengan pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia yang kian tidak terbendung. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam risetnya mengenai pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013, menemukan bahwa jumlah pengguna internet tumbuh signifikan hingga 22% dari 62 juta di tahun 2012 menjadi 74,57 juta di tahun 2013. Lembaga riset MarkPlus Insight memperkirakan jumlah pengguna Internet di Indonesia masih akan naik pada tahun 2015 hingga menembus angka 139 juta pengguna atau naik 50% dari tahun 2012. Pengguna rata-rata menghabiskan waktu lebih dari tiga jam dalam dunia maya, sehingga hal ini cukup potensial bagi berkembangnya industri game online (www.apjii.or.id). Game online sendiri menempati peringkat ketujuh pada kategori aplikasi internet yang paling banyak digunakan di Indonesia setelah e-mail, Instant Messanger, situs jejaring sosial, search engine, berita online dan blog (Rhendie Arindra, Presiden Direktur PT Nusantara Wahana Komunika, www.techno.okezone.com). Menurut Komang Budi Aryasa, Senior Manager Content Aggregation and Incubation Telkom di Jakarta yang dikutip melalui www.teknologi.news.viva.co.id, menyatakan bahwa berdasarkan data statistik, sejak tahun 2010 jumlah pemain game online di Indonesia terus mengalami pertumbuhan, bahkan tumbuh melesat dibandingkan dengan negara-negara lain dengan kenaikan jumlah gamer sebanyak 33% setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri sebanyak 80% pemainnya berusia 15-25 tahun yang berasal dari lima kota besar yaitu, Jakarta, Depok, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Jenis game online 1
2
yang paling populer dimainkan di Indonesia menurut survei yang dilakukan sebuah situs komunitas gamers Indonesia adalah Massively Multiplayer Online Role Playing Game (MMORPG), Massively Multiplayer Online First Person Shooter (MMOFPS) dan Massively Multiplayer Online Real Time Strategy (MMORTS) (www.indogamers.com). Secara umum, ketiga jenis game online tersebut merupakan jenis video game dengan grafis 3 dimensi yang dimainkan secara online dan memungkinkan pemain untuk menciptakan avatar, dan permainannya bersifat persistent dan terjadi pada saat itu juga (real-time). Namun, popularitas game online yang semakin meningkat pada kenyataanya diikuti dengan munculnya dampak negatif yang merupakan kemungkinan dari dampak bermain game online. Menurut Anderson (2009), semakin tinggi budaya internet pada masyarakat di sebuah negara, maka negara tersebut akan menjadi tempat yang “subur” bagi pertumbuhan kasus-kasus kecanduan. Becker (Seok, 2014) menyatakan bahwa Massively Multiplayer Online Games telah dianggap oleh berbagai media sebagai sebab dibelakang beberapa kasus ekstrim seperti pengabaian anak, kegagalan hubungan, hingga kematian. Banyaknya kasus ekstrim yang dilaporkan telah terjadi di sejumlah negara membuat kecanduan game online menjadi perhatian banyak negara di seluruh dunia yang mencakup lintas perbedaan budaya, yaitu meliputi Eropa, Amerika Serikat, dan Asia (Iowa State University, 2011). Sedangkan, salah satu contoh kasus terbaru yang ditemui di Surakarta, Indonesia, setidaknya ada tujuh remaja yang sedang didampingi tim psikolog dari Yayasan Sahabat Kapas karena diidentifikasi mengalami kecanduan game online dalam enam bulan terakhir terhitung sejak Juli 2014. Kecanduan ini membuat remaja tersebut melakukan pencurian agar mendapatkan uang untuk bermain game online (www.tempo.co). Identifikasi kecanduan game online itu sendiri oleh Lemmens (2009) dapat dilihat dari ciri yang menonjol terkait dengan bermain game online, mengalami jumlah waktu bermain yang
3
meningkat, adanya modifikasi suasana hati pada saat bermain, mengalami perasaan yang tidak menyenangkan ketika tidak bermain, kembali bermain setelah masa kontrol, menghadapi konflik interpersonal disebabkan aktivitas bermain game online, dan mendapat masalah pada aktivitas vital seperti sekolah, pekerjaan, dan aktivitas bersosialisasi. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Orleans & Laney (1997), bahwa kecanduan game online yang dialami masa remaja dewasa ini, terbukti menyumbang sejumlah dampak yang dapat mempengaruhi aspek sosial remaja dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Berangkat dari hal tersebut, beberapa penelitian sebelumnya berusaha mengaitkan antara kecanduan game online dengan kehidupan sosial pemainnya. Penelitian tersebut menemukan bahwa kegiatan bermain game online yang berlebihan dengan jangka waktu lama dapat mengurangi hubungan sosial (Kraut dalam Seok, 2014). Di dalam penelitian yang lain disebutkan bahwa remaja yang mengalami permasalahan dalam bermain game online memiliki penurunan dalam aspek akademisnya, hubungan yang buruk dengan teman sebaya, orang tua, dan keluarga. Remaja yang mengalami hal tersebut akan cenderung menunjukkan tanda-tanda depresi, cemas, dan fobia sosial (Van Rooij 2011; Gentile dkk, 2011; Punamaki, 2009). Oleh karena aktivitas bermain game online yang berlebihan tersebut, adanya permasalahan yang terjadi pada bidang akademis, hubungan sosial, dan aspek intrapersonal kemudian akan memungkinkan pecandu game online memiliki keterampilan sosial yang rendah. Hal ini senada dengan Cartledge & Milburn (1995) yang menyatakan bahwa keterampilan sosial yang rendah memiliki keterkaitan dengan permasalahan perilaku. Keterampilan sosial itu sendiri salah satunya didefinisikan sebagai kemampuan untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain (Hendriani, 2001). Kusumadewi (2009) menyebutkan bahwa remaja yang kecanduan game online akan cenderung kurang mengembangkan jaringan sosial di dunia nyata dan memfokuskan
4
hubungan sosial hanya sebatas lingkungan game online, padahal jaringan sosial dan kualitas hubungan dengan lingkungan merupakan media yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan keterampilan sosial. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Valkenburg & Peter (Seok & DaCosta, 2014) justru mengungkapkan bahwa penggunaan internet, khususnya bermain game dapat meningkatkan hubungan yang sehat. Dunia virtual permainan MMOG yang beraneka macam dapat menjadi media untuk berinteraksi dengan teman di dunia nyata dan keluarga serta dapat memperdalam hubungan sosial, sehingga pemain memiliki kesempatan untuk membangun hubungan dan pertemanan yang kuat (Cole & Griffiths, 2007). Di sisi lain, menurut Umbara (2011) kesulitan dalam menghadapi permasalahan sosial dan mencapai tujuan akan dapat menyebabkan konflik yang berujung pada frustrasi, sehingga mengarahkan remaja pada tindakan agresif. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat remaja dengan keterampilan sosial yang rendah berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu, remaja cenderung mempersepsikannya sebagai tanda permusuhan sehingga remaja menghadapinya dengan tindakan agresif. Akibatnya, remaja menjadi sering mendapat penolakan oleh orang tua, teman sebaya, dan lingkungan. Penolakan ini justru akan semakin berdampak buruk bagi remaja, sebab pada dasarnya remaja membutuhkan lingkungan sosial yang positif selama pencarian model peran yang akan diikuti sebagai identitas diri remaja yang baru. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kecanduan game online merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan sosial pada remaja. Penelitian mengenai kecanduan game online yang dihubungkan dengan keterampilan sosial pada remaja di Indonesia pun tergolong masih terbatas. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN GAME ONLINE DENGAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA”.
5
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecanduan game online dengan keterampilan sosial pada remaja.
C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis: Sebagai informasi tentang hubungan antara kecanduan game online dengan keterampilan sosial pada remaja yang diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya pengetahuan dan keilmuan psikologi. 2. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang nyata bagi: (a) Orang tua, sebagai informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan prevensi maupun pendampingan kepada remaja dalam melewati masa-masa krisis pada perkembangan mereka, khususnya terkait dengan kecanduan game online dan perkembangan keterampilan sosial pada remaja. (b) Konselor, sebagai sumber pengetahuan tentang hubungan kecanduan game online dan keterampilan sosial yang dapat digunakan sebagai referensi penanganan kasus yang terkait dengan perkembangan sosial pada remaja pecandu game online. (c) Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan untuk lebih menegakkan regulasi bagi para pengelola game center tentang pendisiplinan waktu kunjungan khusus pelajar di jam-jam aktif sekolah, sehingga tujuan pemerintah dalam menekan perilaku
6
kenakalan remaja dan penurunan prestasi akademik akibat kecanduan game online dapat terlaksana.