1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui penyebab pastinya. Beberapa faktor dicurigai sebagai penyebab antara lain faktor ekstrinsik seperti infeksi virus Epstein-Barr, nitrosamine, lingkungan dan faktor intrinsik misalnya gen HLA, gen onkogen, gen supressor (Zurhaunsen et al., 1970; Huang dan Lo, 1999; Y uan et al., 2000). Prevalensi KNF di Indonesia sebanyak 4,7 per 100.000 penduduk setiap tahun berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (1980) dan termasuk peringkat ke-5 tumor ganas terbanyak serta lebih dari 50% keganasan kepala leher berasal dari nasofarings. Menurut data di Badan Registrasi Kanker Ikatan Ahli Patologi Indonesia Yayasan Kanker Indonesia tahun 1991, kejadian KNF menempati urutan ke empat setelah keganasan di mulut/ leher rahim, payudara dan kulit (Gondhowardjo, 1998). Sementara prevalensi KNF pada populasi kaukasia, India dan Jepang dilaporkan sangat rendah (Lee et al., 2003). Angka kejadian kanker nasofarings hampir merata di setiap daerah, berdasarkan data yang diperoleh di SMF Telinga Hidung Tenggorok (THT) sub onkologi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta, angka kejadian KNF meningkat tiap tahunnya, dimana pada tahun 1992 ditemukan 48 kasus KNF, menjadi 58 kasus pada tahun 1993, dan 63 kasus pada tahun 1994. Perbandingan antara pria dan wanita 1
menderita KNF sebanyak 2-3:1 (Purba et al., 1997). Pada tahun 2002 sampai dengan bulan April 2005 ditemukan kasus baru KNF sebanyak 303 penderita di bagian THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Hariwiyanto, 2009). Karsinoma nasofarings lebih sering pada laki- laki dibanding perempuan (Titcomb, 2001; Chan et al., 2005; Thompson 2006). Kanker ini dapat mengenai semua umur dengan insidensi meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada usia 40-60 tahun (Chan et al., 2005). Kasus KNF juga pernah di laporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun (Sharaoui et al., 1999). Keterlibatan faktor genetik dibuktikan oleh adanya insidens i berbeda pada tiap populasi dimana KNF di China Selatan memiliki frekuensi sebanyak 100 kali lebih tinggi dibanding populasi kaukasia (Huang dan Lo, 1999), dan ditemukan generasi selanjutnya penderita KNF akan mendapatkan penyakit yang sama (Ung et al., 1999; Jia et al., 2004) serta dijumpai masih tingginya risiko KNF pada emigran asal C hina Selatan di daerah barat dengan insiden KNF rendah (Hua ng dan Lo, 1999). Berdasarkan penelitian Effert et al. (1992) dijumpai bahwa KNF yang terjadi oleh karena proliferasi klon p53 sel epitel diawali dengan infeksi virus Epstein-Barr dan dapat menyebabkan mutasi p53 sehingga menghilangkan fungsi p53 wild suppressor yang kemudian berlanjut pada proses keganasan pada nasofarings. Beberapa penelitian imunohistokimawi kasus KNF menunjukkan bahwa protein P53 mutan mengalami overekspresi (Husaini et al., 2011).
2
Patogenesis karsinoma sel skuamosa pada kepala dan leher melibatkan beberapa tahapan proses dan bersifat multifaktorial. Proses tersebut meliputi aktivasi dari onkogen dan inaktivasi gen penekan tumor terutama gen p53 (Hollstein et al., 1991). Gen suppressor tumor p53 bermutasi pada 50% tumor-tumor manusia di berbagai organ tubuh, dan dianggap sebagai gen yang paling sering bermutasi pada tumor ganas manusia (Gangopadhyay, 1997). Pada tumor ganas kepala leher dijumpai mutasi gen suppressor p53 sebanyak 60% dan dapat ditemukan pada lesi pre malignant (Irish, 2003). Gen p53 berfungsi untuk mengontrol regulasi siklus sel dan apoptosis. Inaktivasi gen ini menyebabkan gangguan apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel (Cotran et al., 2010). Akumulasi mutasi dan inaktivasi gen p53 merupakan mekanisme molekular utama dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher (DeVita et al. 2008; Field, 1992). Inaktivasi gen p53 terjadi karena inaktivasi pada satu alel oleh mutasi titik atau delesi kecil dan karena kehilangan alel normal oleh delesi segmen kromosom (Hollstein, 1991). Inaktivasi p53 terjadi pada perubahan dari lesi preinvasif menjadi invasif (Boyle et al., 1993). Inaktivasi gen ini dapat ditentukan dari level ekspresi protein P53 mutan dengan menggunakan tehnik imunohistokimia (Bosch et al., 2004). Jika terjadi kerusakan atau mutasi dari gen suppressor tumor p53 yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan maka terbentuklah protein P53 mutan yang tidak stabil dan tidak menghambat fase G1 ke S sehingga kerusakankerusakan sel tidak dapat diperbaiki. Akibatnya sel yang rusak terus berdiferensiasi
3
dan menyebabkan timbulnya proses keganasan pada sel epitel yang melapisi nasofarings (Gangopadhyay, 1997; Rotter, 2000; Sukardja, 2000). Protein p53 mempunyai hubungan yang erat dengan kejadian karsinoma nasofarings (Lei et al.,1999). Pada kebanyakan penelitian karsinoma nasofarings ditemukan peningkatan ekspresi p53 (Harn et al., 1996, Sheu et al., 1995 dan Sheu et al., 2000) dan umumnya p53 jenis wild, serta ekspresi p53 pada karsinoma nasofarings tidak berhubungan dengan derajat histologis, stadium klinik, umur maupun jenis kelamin (Sheu et al., 1995). Sebaliknya penelitian Cheng et al. (2001) mendapatkan peningkatan ekspresi p53 berhubungan denga n stadium dan terjadinya metastase ke limfonodi leher. Xu dan Zhang (2001) mendapati ekspresi p53 pada stadium III karsinoma nasofaring tipe karsinoma sel skuamousa tanpa keratinisasi lebih tinggi pada karsinoma invasif dan penurunan ekspresi p53 berhubungan erat dengan waktu survivalnya. Li et al. (2001) mendapati disfungsi p53 pada jaringan karsinoma nasofaring, demikian pula Shao et al. (2004) mendapatkan akumulasi p53 yang inaktif. Berbeda dengan itu penelitian pada tikus menunjukkan bahwa p53 tipe wild dapat menghambat pertumbuhan sel tumor dan p53 tipe mutant meningkatkan pertumbuhan sel tumor karsinoma nasofarings (Chen et al., 1992). Karsinoma nasofarings yang p53-nya positif didapatkan angka apoptosis yang lebih tinggi. Pada penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa apoptosis berhubungan dengan tipe dan stadium karsinoma nasofarings.
4
Berdasarkan klasifikasi histologi WHO tahun 1978, KNF dibagi menjadi tiga subtipe yaitu squamous cell carcinoma (WHO-1), nonkeratinizing carcinoma (WHO 2) dan undifferentiated carcinoma (WHO-3). Undifferentiated carcinoma (WHO-3) merupakan subtipe histologi yang utama di daerah endemik, sementara WHO-1 jarang (<5%)(Chan et al., 2005; Ou et al., 2007). Terdapat tiga faktor etiologi utama yang berhubungan dengan KNF yaitu infeksi EBV, kerentanan genetik dan faktor lingkungan. Di daerah endemik, infeksi EBV terutama berkaitan dengan KNF subtipe WHO-2 dan WHO-3, sedangkan untuk subtipe WHO -1 masih menjadi perdebatan (Sahraoui et al., 1999; Lo et al., 2004; Chan et al., 2005). Menurut stadium klinis ditemukan pada stadium I mempunyai survival 5 tahun: 67%-80,8%, dan pada stadium IV mempunyai survival rate 5 tahun 20-30% (Baker dan Wolfe, 1982; Sham et al., 1990). Metastase ke limfonodi ditemukan pada metastasis limfonodi leher homolateral mempunyai survival rate 5 tahun 30%. Limfonodi bilateral mempunyai survival rate 5 tahun 20%, meluas ke limfonodi leher bagian bawah mempunyai survival rate 5 tahun 8%. Dari uraian di atas ingin diketahui apakah terdapat perbedaan ekspresi p53 antara stadium klinis III dan IV pada penderita karsinoma nasofarings.
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut : 1. Prevalensi
karsinoma
nasofarings
berkisar
28-45%
setiap
tahun
dibandingkan dari seluruh keganasan di kepala leher. 2. Jumlah pasien karsinoma nasofarings RSUP Dr. Sardjito semakin meningkat setiap tahun. 3. P53 diketahui berperan pada karsinogenesis dan perubahan pada tingkat ekspresi P53 mutan banyak dijumpai pada tumor ganas. 4. Peran P53 terhadap perkembangan stadium klinis belum diketahui secara jelas. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan ekspresi protein P53 antara stadium klinis III dan IV karsinoma nasofarings di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang ekspresi P53 pada karsinoma nasofarings telah di lakukan dan di publikasikan. Sheu et al. (1995) di China pernah meneliti pemeriksaan ekspresi P53 pada karsinoma nasofarings. Penelitian Van Tornout et al. (1997) di California menemukan adanya mutasi P53 pada karsinoma nasofarings pada pasien
6
Non-Asia. Chow et al. (1995) di Hong Kong meneliti ekspresi P53 pada metastasis limfonodi karsinoma nasofarings. Khabir et al., (2000) di Tunisia mendapatkan perbedaan akumulasi p53 berdasarkan usia pada populasi di Afrika Utara. Protein ini lebih tinggi terekspresi pada pasien usia lebih dari 30 tahun dibandingkan usia kurang dari 30 tahun dan mendapatkan ekspresi protein P53 mutan paling banyak pada jenis karsinoma tidak berdifferensiasi. Pada penelitian lain menyimpulkan EBV merupakan faktor penyebab KNF dimana mungkin dipengaruhi oleh p53 dan BCL-2 (Niemhom et al., 2000). Pada penelitian menggunakan imunohistokimia oleh Oyong (2002) memperlihatkan bahwa infeksi EBV pada KNF berhubungan dengan akumulasi protein P53, bukan dengan BCL-2. Penelitian oleh Oyong (2002) menyimpulkan bahwa EBV merupakan faktor etiologi yang penting yang mungkin melibatkan overekspresi P53 dan BCL-2. Agaoglu et al. (2004) di Turki meneliti overekspresi P53 pada karsinoma nasofarings. Chen et al. (2004) melaporkan bahwa volume tumor lebih besar pada hasil imunohistokimia yang memiliki ekspresi P53 level tinggi. Cheng et al. (2005) menemukan korelasi antara ekspresi gen p53 dan metastasis limfonodi servikal. Penelitian yang dilakukan oleh Taweevisit (2007) di Bangkok pada 60 kasus KNF subtipe WHO-3 mendapatkan hasil adanya overekspresi protein P53 pada 73% kasus. Hal ini menunjukkan bahwa protein P53 berkaitan erat dengan tumorigenesis KNF. Chou et al. (2008) mendapatkan bahwa sel-sel KNF mempunyai kadar P53 yang meningkat, dengan LMP1 yang tinggi ya ng berkorelasi dengan ekspresi P53 yang lebih tinggi.
7
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan ekspresi protein P53 antara stadium klinis III dan IV pada karsinoma nasofarings di RSUP Dr. Sardjito.
F. Manfaat Penelitian Manfaat bagi peneliti dan pembaca diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam terapi dan prognosis karsinoma nasofarings pada masa akan datang. Bila ternyata di dapatkan bukti statistik strategi terapi gen p53 merupakan tumor suppressor yang penting untuk dikembangkan dan kemungkinan pengendalian p53 sebagai salah satu alternatif terapi tambahan pada karsinoma nasofarings yang dikombinasi dengan kemoterapi atau radioterapi merupakan suatu hal yang menguntungkan. Terapi gen kanker telah banyak dikembangkan selama kurang lebih 15 tahun terakhir dan beberapa penelitian meneliti terapi potensial dengan menggunakan gen p53 pada karsinoma nasofarings.
8