BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sampai saat ini ketersediaan bahan baku obat di Indonesia masih memprihatinkan karena sebagian besar masih impor dari negara lain, seperti Cina dan India. Hal ini menyebabkan tidak adanya jaminan kesinambungan, kualitas bahan baku tidak terjamin, harga tidak stabil dan risiko kekosongan obat (Anonim, 2013a). Salah satu obat yang sering digunakan dan bahan bakunya masih impor adalah antibiotik (Anonim, 2013a). Antibiotik turunan penisilin seperti ampisilin dan amoksisilin masih merupakan obat pilihan untuk menyembuhkan penyakit infeksi. Kebutuhan terhadap antibiotik tersebut menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 70% dari total kebutuhan obat antibiotik nasional. Sayangnya, Indonesia masih tergantung pada impor dari negara lain, sehingga berdampak pada keberhasilan Program Pembangunan Kesehatan Nasional. Sebenarnya kemajuan bidang bioteknologi di Indonesia sudah cukup maju baik di sektor lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun industri, sehingga memungkinkan untuk dapat membuat bahan baku obat secara mandiri (Anonim, 2012d). Antibiotik turunan penisilin dapat dibuat secara semisintetik dengan mereaksikan rantai samping yang dibuat dalam bentuk garam (dane salt) dengan 6-aminopenicillanic acid (6-APA) yang diperoleh dari hasil hidrolisis penisilin G. Hidrolisis tersebut akan menghasilkan 6-APA dan phenylacetic acid (PAA). 1
2
Senyawa 6-APA yang terbentuk ini yang akan digunakan sebagai starting material pembuatan antibiotik turunan penisilin (Canon dkk., 1989). Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik pemisahan untuk mendapatkan senyawa 6-APA secara murni dan sebanyak mungkin. Salah satu teknik yang dipakai untuk memisahkannya salah satunya adalah secara ekstraksi. Teknik ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai agen pemisah (Sukma, 2012). Teknik ini dipilih karena sederhana dan efisien sehingga berpotensi untuk dikembangkan ke skala industri (Santoso dkk., 2010). Berbagai metode telah dilakukan untuk optimasi pemisahan 6-APA ini, namun hal ini belum banyak dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai metode yang sederhana dan efisien untuk pemisahan 6-APA yang optimal di Indonesia. Teknik ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan tipe ekstraksi reaktif cair-cair dimana zat yang akan dipisahkan berada di dalam campuran cairan, pemisahannya dengan cara pengikatan agen pengekstraksi pada senyawa sampel yang selanjutnya akan dibawa ke dalam fase penerima (Blaga dkk., 2010). Agen pengekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah amberlite-LA2 dalam pelarut organik (diklorometan). Pada penelitian sebelumnya, pernah dilakukan teknik ini menggunakan perforated disk dan vibrasi untuk proses ekstraksi (Cascaval & Galaction, 2002). Teknik tersebut dilaporkan dapat memisahkan 6-APA dari PAA dan penisilin G. Pada penelitian ini, proses ekstraksi tidak
3
mengggunakan perforated disk dan vibrasi, namun hanya dengan penggojogan vortex dan homogenizer, sehingga lebih sederhana. Amberlite-LA2 merupakan basa organik berupa amina sekunder (Thung, 1993). Senyawa tersebut dapat berinteraksi ionik dengan ion 6-APA, PAA dan penisilin G (Santoso dkk., 2010). Di antara ketiga senyawa tersebut, 6-APA memiliki nilai log P oktanol/air paling rendah dan polaritas paling tinggi (Anonim, 2012a). Hal tersebut menyebabkan kelarutannya dalam air paling tinggi sehingga paling sulit berinteraksi dengan amberlite-LA2 dan masuk ke dalam fase diklorometan. Oleh karena itu, sebagian besar 6-APA tertinggal dalam fase air sehingga terpisah dari PAA dan penisilin G. Tempat terjadinya interaksi ionik amberlite-LA2 dengan 6-APA, PAA dan penisilin G adalah dalam fase emulsi yang terbentuk karena penggojogan yang cepat pada saat proses ekstraksi. Interaksi ionik dapat terjadi jika ketiga senyawa tersebut terionisasi pada pH basa (Santoso dkk., 2010). Namun demikian, pada pH yang terlalu basa struktur senyawa 6-APA dan penisilin G dapat rusak (Cascaval & Galaction, 2002). Pada kadar amberlite-LA2 melebihi cmc (critical micelle concentration) dapat membentuk misel (Martin dkk., 1993). Misel dapat menahan 6-APA, PAA dan penisilin G yang masuk dalam fase diklorometan (Blaga dkk., 2004). Namun demikian, jika misel terbentuk berlebihan dapat menghalangi ketiga senyawa tersebut berinteraksi dengan amberlite-LA2 dan masuk dalam fase diklorometan. Oleh karena hal-hal tersebut, diperlukan penelitian untuk mengoptimasi jenis penggojogan ekstraksi, kadar amberlite-LA2 dan kondisi pH larutan fase air untuk memisahkan 6-APA dari PAA dan penisilin G. Diharapkan
4
dari penelitian ini didapatkan kondisi yang optimal untuk memisahkan senyawa 6-APA dari PAA dan penisilin G, sehingga dapat menunjang pembuatan antibiotik turunan penisilin yang sekarang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh cara penggojogan menggunakan homogenizer dan vortex terhadap keberhasilan pemisahan 6-APA dari PAA dan penisilin G dengan amberlite-LA2? 2. Berapa kadar amberlite-LA2 yang optimal untuk memisahkan senyawa 6-APA dari PAA dan penisilin G? 3. Berapa pH fase air yang optimal untuk memisahkan senyawa 6-APA dari PAA dan penisilin G? 4. Berapa kadar dan kemurnian senyawa 6-APA yang diperoleh dari hasil ekstraksi terbaik dengan amberlite-LA2?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh cara penggojogan menggunakan homogenizer dan vortex terhadap keberhasilan pemisahan 6-APA dari PAA dan penisilin G dengan amberlite-LA2.
5
2. Mengetahui kadar amberlite-LA2 yang optimal untuk memisahkan senyawa 6-APA dari PAA dan penisilin G. 3. Mengetahui pH fase air yang optimal untuk memisahkan senyawa 6-APA dari PAA dan penisilin G. 4. Mengetahui kadar dan kemurnian senyawa 6-APA hasil ekstraksi terbaik dengan amberlite-LA2.
D. Tinjauan Pustaka 1. Antibiotik penisilin Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dapat dibuat secara sintesis dan memiliki kemampuan untuk membunuh mikroorganisme dalam larutan encer. Cara kerja antibiotik adalah dengan menghambat (bakteriostatik) pertumbuhan atau membunuh (bakteriosid) mikroorganisme (Anonim, 2011). Penisilin merupakan
antibiotik
golongan β-laktam
yang
digunakan sebagai obat antibakteri spektrum luas (Anonim, 2011). Hingga saat ini, telah dikembangkan beberapa antibiotik turunan penisilin, antara lain penisilin G, amoksilin, dan ampisilin. Pada penelitian ini yang digunakan adalah penisilin G.
6
H N O
S N
O COOH
Penisilin G
Gambar 1. Struktur Kimia Penisilin G
Gambar 1 adalah struktur kimia senyawa penisilin G. Senyawa ini memiliki berat molekul 334,38 atau 372,48 (dalam bentuk garam kalium), serbuk amorf putih, nilai konstante disosiasi pKa = 2,76, nilai log P oktanol/air = 1,83, titik leleh = 106-110°C, sedikit larut dalam air (bentuk utuh), larut dalam air (bentuk garam), tidak larut dalam petroleum eter, larut dalam metanol, etanol, benzen, kloroform, etil asetat dan aseton (Anonim, 2012b).
2. Ekstraksi Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu campuran dalam padatan atau cairan dengan bantuan pelarut (solvent). Pemisahan terjadi atas dasar kelarutan yang berbeda dari komponenkomponen dalam campuran. Jika campuran berada dalam cairan dan dipisahkan
dengan
pelarut
maka
disebut
ekstraksi
cair-cair
(Sukma, 2012). Dalam penelitian ini, ekstraksi cair-cair dilakukan untuk memisahkan 6-APA dari PAA dan penisilin G dalam fase air (bufer fosfat). Di antara ketiga senyawa tersebut, 6-APA memiliki nilai log P oktanol/air paling rendah dan polaritas paling tinggi. Hal ini mengakibatkan kelarutan 6-APA dalam air paling tinggi, sehingga
7
setelah proses ekstraksi senyawa ini akan tertinggal dalam fase air. Namun, jika hanya mengandalkan perbedaan kelarutan dalam air dari ketiga senyawa tersebut, ekstraksi ini menjadi kurang efektif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi yang disebut reactive extraction (ekstraksi reaktif) agar ekstraksi jauh lebih efektif. Pada ekstraksi reaktif ini solven mengandung agen pengekstraksi yang dapat berikatan kompleks dengan zat tertentu yang berada dalam campuran awal, sehingga kemampuan solvent untuk mengekstraksi akan meningkat (Blaga dkk., 2010). Dalam hal ini agen pengekstraksi yang ditambahkan dalam solvent adalah amberlite-LA2. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggojog campuran larutan dengan cepat. Alat yang dapat dipakai untuk menggojog campuran larutan dengan cepat adalah vortex dan homogenizer. Vortex memiliki kecepatan
penggojogan
hingga
3200
rpm
(Anonim,
2000).
Homogenizer dapat dijalankan pada kecepatan 500-40.000 rpm (Bhavsar, 2011). Pada saat proses ekstraksi berlangsung, fase air dan fase organik akan membentuk lapisan di antara kedua fase berupa emulsi. Lapisan emulsi ini terbentuk karena adanya gaya tarik dipol-dipol terimbas antara molekul polar (air) dan molekul nonpolar (diklorometan). Penggojogan yang cepat dapat memudahkan gaya ini untuk terjadi. Gaya tarik dipol-dipol terimbas termasuk gaya Van der Waals (Purba, 2007). Menurut teori DLVO (Derjaguin-Landau-Verwey-Oberbeek)
8
dalam sistem emulsi gaya Van der Waals ini akan berkompetisi dengan tolakan elektrostatik (Petsev, 2004). Gaya tarik dipol-dipol terimbas ini bersifat lemah sehingga hanya terjadi beberapa waktu saat saja (Purba, 2007). Hal ini menyebabkan emulsi yang terbentuk tidak stabil dan mudah pecah. Emulsi yang tidak stabil dalam ekstraksi reaktif ini akan memberikan keuntungan yang memudahkan proses pemisahan. Skema terjadinya gaya ini ditunjukkan pada gambar 2. Selain itu, emulsi juga terbentuk dari bantuan amberlite-LA2 yang memiliki bagian hidrofilik dan lipofilik sehingga dapat berada pada fase air dan fase organik (Martin dkk., 1993).
Gambar 2. Gaya Tarik Dipol-dipol Terimbas
Emulsi yang terbentuk merupakan tempat terjadinya interaksi antara amberlite-LA2 dengan 6-APA, PAA, dan penisilin G. Amberlite-LA2 yang tertempeli proton H+ pada atom nitrogen, menjadi bermuatan positif. Proton ini berasal dari disosiasi penisilin G, PAA dan 6-APA pada gugus –COOH dalam suasana basa. Hal ini menyebabkan ion negatif dari senyawa 6-APA, PAA dan penisilin G dapat berinteraksi secara ionik dengan amberlite-LA2 (Santoso dkk., 2010). Interaksi ini memudahkan senyawa-senyawa
9
tersebut untuk tertarik dan larut dalam fase organik (Blaga dkk., 2004). Reaksi dapat dituliskan sebagai berikut: RR'NH(org) + H+(aq) + penisilin G-(aq)
penisilin G-RR'NH2(org)
RR'NH(org) + H+(aq) + PAA-(aq)
PAA-RR'NH2(org)
RR'NH(org) + H+(aq) + 6-APA -(aq)
6-APA-RR'NH2(org)
Keterangan : org = fase organik
Kompleks
aq = fase air
(Santoso dkk., 2010)
6-APA-RR'NH2,
PAA-RR'NH2
dan
penisilin G-RR'NH2 terjadi di fase emulsi, kemudian dibawa masuk dalam fase organik. Ion-ion tersebut memang tidak akan terlarut dalam fase organik, namun dengan berikatan kompleks dengan amberlite-LA2
akan
membentuk
agregat
amina
yang
dapat
menginduksi kelarutan zat-zat tersebut dalam fase organik dengan solvasi atau penjebakan di dalam misel (Blaga dkk., 2004). Senyawa yang ditarik oleh amberlite-LA2 dalam fase organik akan terjebak dalam misel yang terbentuk dari amberlite-LA2 (Blaga dkk., 2004). Misel ini merupakan agregat senyawa yang terdiri dari 50 monomer atau lebih (Martin dkk., 1993). Amberlite-LA2 dapat membentuk misel karena memiliki bagian yang bersifat hidrofilik yaitu pada amina, dan bagian yang bersifat lipofilik yaitu pada kedua alkil rantai panjang. Misel dapat terbentuk saat mencapai konsentrasi misel kritis atau cmc (critical micelle concentration). Konsentrasi di atas cmc
10
menyebabkan misel terbentuk lebih banyak. Di dalam pelarut organik yang nonpolar bagian hidrofilik menghadap ke dalam misel, dan alkil rantai panjang akan mengelilinginya (Martin dkk., 1993). Namun demikian, kecenderungan 6-APA berikatan dengan amberlite-LA2 paling kecil karena memiliki nilai log P oktanol/air yang rendah dan polaritas lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan
6-APA memiliki
kelarutan paling besar dalam air sehingga kemungkinan kontak dengan amberlite-LA2 paling rendah. Oleh karena itu, sebagian besar 6-APA tetap tinggal di fase air dan terpisah dari PAA dan penisilin-G. Skema ekstraksi ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Skema Ekstraksi
11
3. Asam 6-aminopenisilinat (6-aminopenicillanic acid; 6-APA)
b
a
Gambar 4. Struktur Kimia 6-APA
Struktur kimia senyawa 6-APA ditunjukkan pada gambar 4. Senyawa ini merupakan bahan baku pembuatan penisilin semisintetik dan dapat dibuat secara biosintesis, hidrolisis kimiawi dan enzimatik. Senyawa ini terdiri dari dua inti siklik dan satu substituen. Dua inti tersebut terdiri atas cincin thiazolidin (a) yang terikat pada cincin βlaktam (b), yang memiliki gugus amino bebas. Substituen merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai radikal asam (Tipper & Strominger, 1965). Variasi pada rantai samping pada gugus amino bebas menghasilkan berbagai macam turunan penisilin yang dapat ditunjukkan pada tabel I.
No. 1. 2. 3.
Tabel I. Daftar Derivat Penisilin R C6H5-CH2-COC6H5-CH(NH2)-COC6H4OH-CH(NH2)-CO-
Nama Penisilin G Ampisilin Amoksisilin
Senyawa 6-APA bersifat amfoter, berupa serbuk kristal putih kekuningan, non higroskopis, berat molekul 216,25, densitas 350550 Kg/m3, nilai log P oktanol/air -2,3, nilai konstante disosiasi pKa 2,3 (gugus karboksil) dan 8 (gugus NH3+). Kelarutan dalam air 4 g/L.
12
Senyawa ini memiliki titik leleh 206-208°C dan baik disimpan pada suhu 2-8°C (Anonim, 2012e).
4. Asam fenilasetat (Phenylacetic acid; PAA)
Gambar 5. Struktur Kimia PAA
Struktur kimia senyawa PAA ditunjukkan pada gambar 5. Senyawa ini berupa serbuk putih, dengan rumus kimia C6H5C2COOH. Senyawa PAA memiliki berat molekul 136,15, titik leleh 76,5°C, konstante disosiasi pKa 4,28, nilai log P oktanol/air 1,41, sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol, aseton dan kloroform (Anonim, 2012c).
5. Amberlite-LA2 (lauril-trialkil-metilamin) R2
R1
N H
Gambar 6. Struktur Kimia Amberlite-LA2
Struktur kimia amberlite-LA2 ditunjukkan pada gambar 6. Amberlite-LA2 merupakan amina sekunder dengan alkil asimetris, dimana satu alkil adalah rantai lurus C12 dan alkil yang lain merupakan
rantai
bercabang
dengan
jumlah
karbon
12–15
(Thung, 1993). Alkil R1 pada amberlite-LA2 adalah CH3(CH2)11
13
sedangkan R2 adalah CH3C(CH3)2(CH2C(CH3)2)2 (Kislik, 2012). Amberlite-LA2 dilaporkan dapat membentuk agregat molekul (20-40 monomer) jenis misel (Blaga dkk., 2004). Amberlite-LA2 memiliki titik uap pada 160°C dan densitas 0,83 g/mL pada suhu 25°C (Anonim, 2012a). Amberlite-LA2 akan mudah terprotonasi pada atom nitrogen nya membentuk suatu amina bermuatan positif, reaksinya ditunjukkan pada gambar 7 sebagai berikut:
+
N H
H
Amberlite-LA2 (Amina sekunder)
N (H)2 Amberlite-LA2 terprotonasi Gambar 7. Reaksi Protonasi Amberlite-LA2
6. Kromatografi cair kinerja tinggi Kromatografi Performance
Cair
Liquid
Kinerja
Tinggi
Chromatography)
atau
HPLC
merupakan
(High teknik
kromatografi untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik dan senyawa biologis dengan menggunakan prinsip dimana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi karena solut ini melewati suatu kolom kromatografi (Gandjar & Rohman, 2007).
14
Instrumentasi HPLC terdiri atas 6 komponen yaitu: gradien controller (pengatur gradien), pompa penyedot fase gerak, sample introduction, kolom, detektor, dan suatu komputer atau perekam (Noegrohati dkk., 2007). Daya elusi dan resolusi pemisahan dalam HPLC ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponenkomponen pelarut. Untuk fase normal (polaritas fase diam lebih polar daripada
fase
gerak),
kemampuan
elusi
meningkat
dengan
meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Elusi dalam HPLC dapat dilakukan secara isokratik (komposisi fase gerak tetap selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi) (Gandjar & Rohman, 2007). Sebagian besar fase diam dalam HPLC berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH). Selain itu, ada oktadesil silan (ODS atau C18) juga merupakan fase diam yang sering digunakan karena mampu memisahkan senyawasenyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang hingga tinggi (Corradini, 2011).
15
Detektor dalam HPLC dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor universal (bersifat mendeteksi sampel secara umum, tidak selektif dan tidak spesifik) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yabg spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia. Detektor yang ideal memiliki sifat seperti berikut: a. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel. b. Memiliki sensitivitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil. c. Stabil dalam pengoperasianya. d. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita. Untuk kolom konvensional, selnya bervolume 8 µL atau lebih kecil, sementara kolom mikrobor selnya bervolume 1 µL atau lebih kecil lagi. e. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier) f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak. Dalam penelitian ini, detektor yang digunakan adalah detektor UVVis. Detektor ini didasarkan pada adanya penyerapan radiasi ultraviolet (UV) dan sinar tampak (Visibel) pada kisaran panjang
16
gelombang 190-800 nm oleh spesies solut yang mempunyai struktur atau gugus kromoforik (Gandjar & Rohman, 2007). HPLC menurut sistem pemisahanya dibagi menjadi 4 jenis yaitu: a. HPLC Adsorbsi Pemisahan kromatografi adsorbsi biasanya menggunakan fase normal dengan menggunakan fase diam silika gel dan alumina, meskipun demikian sekitar 90% kromatografi ini menggunakan silika sebagai fase diamnya. Pada silika dan alumina terdapat gugus hidroksi (silanol) yang akan berinteraksi dengan solut. Gugus silanol pada silika mempunyai reaktivitas yang berbeda, karenanya solut akan terikat secara kuat sehingga dapat menyebabkan puncak yang berekor (tailing). Solut-solut akan tertahan karena adanya adsorpsi pada permukaan gugus aktif silanol dan akan terelusi sesuai dengan urutan polaritasnya (Gandjar & Rohman, 2007). b. HPLC eksklusi ukuran Kromatografi ini dapat digunakan untuk memisahkan atau menganalisis senyawa dengan berat molekul 5-20 juta Dalton. Fase diam yang digunakan dapat berupa silika atau polimer yang bersifat porus sehingga solut dapat melewati porus (di antara partikel) atau berdifusi lewat fase diam.
17
Molekul solut yang memiliki berat molekul yang lebih besar akan terelusi terlebih dahulu (Wu, 1995). c. HPLC partisi Kromatografi ini juga disebut kromatografi fase terikat. Pada penelitian ini digunakan kromatografi jenis ini. Kebanyakkan
fase
diam
yang
digunakan
dalam
kromatografi ini adalah silika yang dimodifikasi secara kimiawi atau terikat seperti oktadesilsilan (C18). Sebagai fase gerak biasanya digunakan campuran asetonitril atau metanol dengan air atau bufer. Untuk solut yang bersifat asam lemah atau basa lemah, peranan pH sangat krusial karena kalau pH fase gerak tidak diatur solut akan mengalami ionisasi atau protonasi. Terbentuknya spesies yang terionisasi ini akan menyebabkan ikatanya denan fase diam akan menjadi lebih lemah karenanya spesies yang mengalami ionisasi akan terelusi lebih cepat (Gandjar & Rohman, 2007). d. HPLC penukar ion HPLC jenis ini menggunakan fase diam yang dapat menukar kation atau anion dengan suatu fase gerak. Kebanyakkan pemisahan kromatografi ion dilakukan dengan menggunakan media air karena sifat ionisasinya (Corradini, 2011).
18
Pada HPLC pemisahan yang baik dari senyawa-senyawa sampel didukung oleh efisiensi kolom yang tinggi. Efisiensi kolom dapat dinyatakan sebagai tinggi plat teoritis atau HETP (Height Equivalent to a Theoritical Plate). Nilai HETP yang semakin besar maka efisiensi kolom semakin rendah. HETP dipengaruhi oleh adanya faktor difusi Eddy, difusi longitudinal dan transfer massa (Koleangan, 2012). Difusi Eddy adalah proses mengalirnya molekul analit (sampel) yang tidak seragam karena lintasan yang ditempuh dalam kolom packed berbeda-beda, sehingga jarak yang ditempuh juga berbeda. Perbedaan lintasan ini disebabkan karena sampel harus melewati celah-celah di sekitar partikel fase diam yang berkelok-kelok dan bercabang-cabang (Mabrouk, 2013). Hal ini menyebabkan pelebaran peak kromatogram seperti yang terlihat pada gambar 8.
Waktu Gambar 8. Difusi Eddy
Peranan difusi Eddy terhadap HETP dapat dirumuskan pada persamaan (1) berikut: A = 2λdR
(1)
19
dimana A adalah peranan difusi Eddy, λ adalah faktor pengepakan dan dR adalah diameter partikel fase diam rata-rata. Faktor pengepakan adalah konstante dimensi yang biasanya bernilai antara 0,5 hingga 1,5. Pada persamaan (1) terlihat jika semakin besar diameter partikel fase diam, maka peranan difusi Eddy juga semakin besar (Mabrouk, 2013). Difusi longitudinal adalah proses mengalirnya sampel ke arah samping dari aliran fase gerak. Jenis difusi ini merupakan pergerakan alami dari sampel dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi longitudinal berpengaruh pada pelebaran peak kromatogram, yang tergantung pada koefisien difusi solut dalam fase gerak dan lamanya solut berada dalam kolom (Mabrouk, 2013). Peranan difusi longitudinal terhadap HETP dapat dirumuskan pada persamaan (2) berikut: HD = B/µ = 2yDM/ µ
(2)
dimana HD adalah peranan difusi longitudinal terhadap HETP, B adalah difusi longitudinal, µ adalah kecepatan fase gerak,
y adalah faktor
obstruksi, dan DM adalah koefisien difusi sampel dalam fase gerak. Faktor obstruksi adalah konstante dimensi yang menyatakan ketidakhomogenan susunan fase diam. Faktor obstruksi tergantung pada kecepatan fase gerak. Hal ini dikarenakan kecepatan fase gerak dipengaruhi oleh ukuran celah fase diam. Nilai faktor obstruksi antara 0,6 hingga 0,8. Pada kromatografi cair nilai DM sangat kecil, maka HD sering diabaikan (Mabrouk, 2013). Transfer massa adalah proses perpindahan sampel yang dapat terjadi pada fase diam dan fase gerak. Hasilnya adalah konsentrasi sampel
20
dalam fase diam selalu sedikit tertinggal dari posisi kesetimbangan, dan konsentrasi sampel dalam fase gerak berada sedikit di atas posisi kesetimbangan. Hal ini akan menyebabkan pelebaran peak kromatogram (Mabrouk, 2013). Skema terjadinya transfer massa ditunjukkan pada gambar 9. Fase gerak
Arah elusi
Fase diam Peak Transfer massa
Peak setelah beberapa saat Gambar 9. Transfer Massa
Peranan transfer massa terhadap HETP dapat dirumuskan pada persamaan (3) berikut: Hmass transfer = C/µ = (Cs + Cm)µ
(3)
dimana Hmass transfer adalah peranan transfer massa terhadap HETP, C adalah transfer massa total, Cs adalah transfer massa dalam fase diam, Cm adalah transfer massa dalam fase gerak, dan µ adalah kecepatan alir fase gerak. Pada persamaan 3 terlihat jika semakin tinggi kecepatan alir fase gerak, maka peranan transfer massa terhadap HETP semakin besar (Mabrouk, 2013).
21
Pengaruh faktor difusi Eddy, difusi longitudinal dan transfer massa terhadap HETP dapat dirumuskan dalam persamaan Van Deemter (4), yaitu: HETP = A + B/µ + Cµ
(4)
HETP = L/Neff
(5)
Neff = 16(tR/W)2 Keterangan:
(6)
A = difusi Eddy
L = panjang kolom
B = difusi longitudinal
Neff = jumlah plat teoritis
C = transfer massa
tR = waktu retensi senyawa
µ
W = lebar dasar peak kromatogram
= laju alir fase gerak
Pada persamaan (4) menunjukkan bahwa jika semakin kecil faktor difusi Eddy, difusi longitudinal dan transfer massa maka HETP semakin kecil. Nilai HETP yang kecil ini akan berpengaruh pada semakin banyaknya jumlah plat teoritis (Neff) yang dapat dilihat pada persamaan (5). Jumlah plat teoritis menyatakan banyaknya kesetimbangan yang terjadi dalam kolom. Setiap plat teoritis akan terjadi kesetimbangan solut (senyawa sampel) dalam fase diam dan fase gerak. Semakin banyak plat teoritis, maka kesetimbangan juga semakin banyak sehingga pemisahan semakin baik (Noegrohati dkk., 2007). Pada persamaan (6) terlihat jika semakin banyak jumlah plat teoritis, maka lebar dasar peak kromatogram semakin sempit.
22
7. Homogenizer Homogenizer
merupakan
alat
yang
digunakan
untuk
mendispersikan suatu cairan di dalam cairan lainnya agar cairan tersebut memiliki konsistensi yang seragam dan sulit terpisah satu dengan yang lainnya. Alat ini biasanya dipergunakan untuk membuat emulsi dengan kestabilan yang tinggi karena dapat menghasilkan ukuran partikel emulsi yang sangat kecil. Penggunaan alat ini bertujuan agar lebih mudah terbentuk emulsi. Kecepatan penggojogan alat ini bisa diatur dari 50040.000 rpm (Bhavsar, 2011).
8. Vortex Vortex adalah alat untuk menggojog larutan dalam tube. Alat dapat dioperasikan pada daya listrik 220 volt. Kecepatan penggojogan alat ini mencapai 3200 rpm (Anonim, 2000).
E. Landasan Teori Senyawa 6-APA memiliki nilai log P oktanol/air paling rendah dan polaritas paling tinggi dibanding PAA dan penisilin G. Hal ini menyebabkan 6-APA memiliki kelarutan paling besar dalam air (Anonim, 2012b,c,e). Amberlite-LA2 merupakan senyawa basa organik berupa amina sekunder. Senyawa ini mempunyai alkil rantai panjang pada R1 (CH3(CH2)11) dan R2 (CH3C(CH3)2(CH2C(CH3)2)2) (Kislik, 2012). Struktur seperti ini menyebabkan amberlite-LA2 memiliki sifat sebagai surfaktan karena memiliki bagian yang
23
bersifat hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak) (Martin dkk., 1993). Oleh karena itu, amberlite-LA2 dapat berada tepat di antara kedua fase polar dan nonpolar. Elektron bebas pada atom nitrogen amberlite-LA2 dapat terprotonasi menghasilkan amina bermuatan positif. Hal ini menyebabkan amberlite-LA2 dapat berinteraksi secara ionik dengan suatu nukleofil (Santoso dkk., 2010). Proses ekstraksi dilakukan dengan menggojog campuran larutan dengan cepat. Alat yang dapat dipakai untuk menggojog campuran larutan dengan cepat adalah vortex dan homogenizer. Vortex memiliki kecepatan penggojogan hingga 3200 rpm (Anonim, 2000). Homogenizer dapat diatur kecepatannya dari 50040.000 rpm sehingga dapat menghasilkan emulsi dengan kestabilan tinggi dan ukuran partikel sangat kecil yang terdispersi merata (Bhavsar, 2011). Pada saat proses ekstraksi berlangsung, fase air dan fase organik akan membentuk lapisan di antara kedua fase berupa emulsi. Emulsi ini terbentuk karena adanya gaya tarik dipol-dipol terimbas antara molekul polar (air) dan molekul nonpolar (diklorometan). Gaya ini bersifat lemah sehingga hanya terjadi beberapa waktu saat saja (Purba, 2007). Hal ini menyebabkan emulsi yang terbentuk tidak stabil dan mudah pecah. Emulsi yang tidak stabil dalam ekstraksi reaktif ini akan memberikan keuntungan yang memudahkan proses pemisahan. Selain itu, emulsi juga terbentuk dari bantuan amberlite-LA2 yang memiliki bagian hidrofilik dan lipofilik yang dapat berada pada fase air dan fase organik (Martin dkk., 1993).
24
Emulsi yang terbentuk merupakan tempat terjadinya interaksi antara amberlite-LA2 dengan 6-APA, PAA, dan penisilin G. Amberlite-LA2 yang tertempeli proton H+ pada atom nitrogen menjadi bermuatan positif. Proton ini berasal dari disosiasi penisilin G, PAA dan 6-APA pada gugus –COOH dalam suasana basa. Hal ini menyebabkan ion negatif dari 6-APA, PAA dan penisilin G dapat berinteraksi secara ionik dengan amberlite-LA2 (Santoso dkk., 2010). Interaksi ini memudahkan untuk tertarik dan larut dalam fase organik (Blaga dkk., 2004). Gugus –COOH dari senyawa 6-APA, PAA dan penisilin G dapat terionisasi pada pH basa. Namun demikian, pada pH yang sangat basa struktur senyawa 6-APA dan penisilin G dapat rusak (Cascaval & Galaction, 2002). Senyawa yang ditarik dalam fase organik akan terjebak dalam misel yang terbentuk dari amberlite-LA2 (Blaga dkk., 2004). Misel ini merupakan agregat amberlite-LA2 yang terdiri dari 50 monomer atau lebih (Martin dkk., 1993). Amberlite-LA2 dapat membentuk misel karena memiliki bagian yang bersifat hidrofilik yaitu pada amina, dan bagian yang bersifat lipofilik yaitu pada kedua alkil rantai panjang. Misel dapat terbentuk saat mencapai konsentrasi misel kritis atau cmc (critical micelle concentration). Konsentrasi di atas cmc menyebabkan misel yang terbentuk lebih banyak (Martin dkk., 1993). Di dalam pelarut organik yang nonpolar bagian hidrofilik menghadap ke dalam misel, dan alkil rantai panjang akan mengelilinginya. Penjebakan dalam misel akan membantu menahan 6-APA, PAA dan penisilin G yang masuk dalam fase organik (Blaga dkk., 2004).
25
F. Hipotesis Kelarutan 6-APA dalam air lebih besar daripada PAA dan penisilin G, yang menyebabkan paling suka berada dalam fase air sehingga paling sulit berinteraksi dengan amberlite-LA2 dan larut dalam fase organik. Hal ini menyebabkan sebagian besar senyawa 6-APA tetap tinggal dalam fase air. Senyawa PAA dan penisilin G yang memiliki kelarutan dalam air lebih rendah daripada 6-APA akan lebih mudah berinteraksi dengan amberlite-LA2, sehingga sebagian besar akan masuk ke dalam fase organik. Campuran larutan bufer fosfat dengan diklorometan dapat menghasilkan emulsi saat dilakukan penggojogan cepat. Emulsi memudahkan interaksi amberlite-LA2 dengan 6-APA, PAA dan penisilin G. Alat yang dapat dipakai untuk menggojog campuran larutan tersebut dengan cepat adalah vortex dan homogenizer. Penggojogan yang mampu menghasilkan dispersi partikel merata dapat mengakibatkan senyawa 6-APA tidak terpisah dari PAA dan penisilin G dengan baik. Penjebakan dalam misel akan membantu menahan 6-APA, PAA dan penisilin G yang masuk ke dalam fase organik. Namun demikian, misel yang terbentuk terlalu banyak juga akan menghalangi interaksi amberlite-LA2 dengan 6-APA, PAA dan penisilin G. Selain itu, akan menghalangi ketiga senyawa tersebut masuk ke dalam fase organik. Interaksi amberlite-LA2 dengan 6-APA, PAA dan penisilin G adalah interaksi ionik. Hal ini terjadi karena senyawa-senyawa tersebut dapat terionisasi
26
pada pH basa. Namun demikian, kebasaan yang tinggi juga menyebabkan senyawa 6-APA dan penisilin G menjadi rusak.