Daftar Isi Kata Sambutan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kata Pengantar Daftar Isi
BAGIAN I PENDAHULUAN BAB 1 GAMBARAN UMUM KEUANGAN PUBLIK Alasan Mempelajari Keuangan Publik Pentingnya Sektor publik Karakteristik Kebijakan publik Ruang Lingkup Keuangan Publik Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik
1 2 3 5 6 7
BAB 2 BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS Barang Publik Perbedaan antara Barang Publik dan Barang Pribadi Free Rider Problem Eksternalitas
11 11 13 17 18
BAB 3 PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK Tujuan Kebijakan Harga Penentuan Harga Barang Publik Implementasi Penentuan Harga
31 31 32 34
BAGIAN II KONSEP DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BAB 4 FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN Fungsi dan Aktivitas Pemerintah Alasan Keterlibatan Pemerintah dalam Ekonomi Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian Fungsi Alokasi. Fungsi Distribusi Fungsi Stabilisasi
43 43 45 47 48 64 74
BAB 5 KONSEP ANGGARAN Jenis-jenis Anggaran Konsep PPBS (Planning Programming and Budgeting System) Siklus Anggaran
83 85 89 91
BAB 6 PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Unsur-Unsur Pembangunan Kebijakan Struktur Perpajakan Insentif Perpajakan
99 99 102 109
Kebijakan Pengeluaran Bantuan Internasional dan Redistribusi
113 115
BAGIAN III PERPAJAKAN BAB 7 DASAR-DASAR PERPAJAKAN Fungsi Pajak Prinsip-Prinsip Pajak Siklus Arus Pajak Tarif Pajak Istilah-istilah Dalam Perpajakan
121 124 125 127 128 130
BAB 8 KEADILAN DAN DAMPAK PERPAJAKAN Prinsip Manfaat Prinsip Kemampuan Membayar Kriteria Umum Keadilan Perpajakan Prinsip Keadilan dan Pajak Penghasilan Prinsip Keadilan dan Pajak Penjualan Prinsip Keadilan dan Pajak Kekayaan Dampak Pajak Kriteria Tarif Pajak Kriteria Struktur Pajak yang Baik
137 137 138 140 142 144 145 148 153 156
BAB 9 PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK PRIBADI Aturan Utama Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan Praktek Definisi Penghasilan: Pengecualian Praktik Definisi Penghasilan: Pengurangan Atas Penghasilan Neto Preferensi Pajak Problema Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Tinggi Problema Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah Pola Progresivitas Tarif Pajak Penyesuaian Terhadap Inflasi Pilihan Unit Kena Pajak
161 162 166 173 180 183 185 185 187 190 191
BAB 10 PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN Struktur Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Perlukah Perseroan Dikenakan Pajak? Siapa yang Menanggung Beban Pajak? Integrasi Pajak Aspek-Aspek Khusus Definisi Basis Pajak Investment Tax Credit
197 197 198 205 207 212 222
BAB 11 PAJAK ATAS KONSUMSI Jenis Pajak Atas Konsumsi di Indonesia Bahasan-Bahasan Dalam Pajak Atas Konsumsi
227 228 229
Pajak Pertambahan Nilai Distribusi Beban Pajak Pajak Pengeluaran Wajib Pajak Pribadi
233 238 240
BAB 12 PAJAK ATAS KEKAYAAN DAN WARISAN Alasan-Alasan Pengenaan Pajak Atas Kekayaan Pajak atas Tanah Struktur dan Basis Pajak Atas Kekayaan di Indonesia Distribusi Beban Pajak Properti Pajak Atas Kekayaan Bersih Bea Atas Modal Alasan-Alasan Pengenaan Pajak atas Warisan Tujuan dan Jenis Pajak atas Warisan Permasalahan-Permasalahan Khusus
249 249 251 252 255 261 265 265 265 267
BAB 13 PAJAK INTERNASIONAL Prinsip Pajak Internasional Koordinasi Pajak penghasilan Koordinasi Pajak Produk Tax Treaty Cakupan Tax Treaty Minimalisasi Pajak Berganda Pencegahan Penghindaran Pajak Ketentuan Lain Lain Tax Treaty Mengalahkan UU PPh Koordinasi Pengeluaran Koordinasi Stabilisasi
275 279 280 282 285 286 289 294 295 296 297 298
BAGIAN IV BELANJA PUBLIK BAB 14 KEBIJAKAN DAN STRUKTUR BELANJA PUBLIK Konsep Welfare State Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan Klasifikasi Belanja Publik
305 306 310 316
BAB 15 KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM Perlunya Analisis Sektor Pertahanan Nasional Jalan Raya Pendidikan Fasilitas Rekreasi Global Public Goods Privatisasi Barang Publik
325 325 327 330 331 333 334 334
BAB 16 KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN SOSIAL Program Jaminan Sosial di Amerika Serikat Sistem Jaminan Sosial di Indonesia
341 342 345
BAGIAN V DESENTRALISASI FISKAL BAB 17 KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH Dimensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
361 364 367
BAB 18 TRANSFER PUSAT KE DAERAH: TEORI DAN PRAKTIK Tujuan Transfer Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah Jenis-Jenis Transfer
373 375 380 381
BAB 19 PERPAJAKAN DAERAH 395 Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah 396 Ciri-Ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah 398 Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 402 Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi dan Peruntukkannya (Pasal 2A) 404 Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota 405 Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Pembiayaan Daerah 405
BAGIAN VI HUTANG PUBLIK BAB 20 HUTANG PUBLIK Surat Utang Negara Pengelolaan Surat Utang Negara Hutang Luar Negeri Proses Pelaksanaan Kerjasama Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Proses Penyusunan Perjanjian Kerjasama dan Pengusulan Program/Proyek PHLN Proses Pembuatan Loan Agreement Hutang Luar Negeri dalam Pembangunan Ekonomi
413 414 415 416 417
BAB 21 PINJAMAN DAERAH Pendahuluan Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman Persyaratan-Persyaratan Pinjaman Penggunaan Pinjaman dalam Pembiayaan Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia
431 431 432 434 435 436 437
Daftar Pustaka Biografi Penyusun
418 419 419
Kata Pengantar Seiring dengan tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sektor publik cukup mendapat sorotan dari masyarakat luas terutama terkait dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan publik ini merupakan suatu hal yang sangat penting terutama dalam hal mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional, melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, bahasan keuangan publik menjadi suatu hal yang perlu dipelajari seiring dengan pertumbuhan sektor publik dari waktu ke waktu dalam jumlah yang besar. Keuangan publik adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas finansial pemerintah dan bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Setiap keputusan yang diambil akan mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah tangga, dan swasta. Oleh karena itu, masyarakat sebagai para pemilih wakil rakyat yang membuat keputusan, perlu memonitor aktivitas para wakilnya apakah telah membuat kebijakan yang memihak pada rakyat. Keuangan publik, mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah, juga menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Buku Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi ini mencoba memberikan wawasan mengenai berbagai macam sisi dari keuangan publik dan diharapkan bisa menjawab berbagai pertanyaan mengenai aktivitas publik yang dilakukan pemerintah serta alasanalasan yang mendasari pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Selain berisi konsep, buku ini juga mencoba menyajikan contoh-contoh aplikasi dan kebijakan yang terkait dengan keuangan publik. Kami menyadari adanya keterbatasan sehingga buku ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, tanggapan, saran, serta kritik yang membangun dari pembaca akan menjadi nilai tambah yang sangat berarti bagi perbaikan kualitas di masa yang akan datang. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah membantu dalam merealisasikan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi buah karya yang bermanfaat bagi yang membaca dan menjadi salah satu referensi keilmuan dalam bidang keuangan publik.
Jakarta, April 2006
Penulis
GAMBARAN UMUM KEUANGAN PUBLIK
Keuangan publik adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas finansial pemerintah. Yang termasuk pemerintah di sini adalah seluruh unit pemerintah dan institusi atau organisasi pemegang otoritas publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah. Keuangan publik menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai belanja tersebut. Keuangan publik juga menganalisis pengeluaran publik untuk membantu kita dalam memahami mengapa jasa tertentu harus disediakan oleh negara dan mengapa pemerintah menggantungkannya pada jenis-jenis pajak tertentu. Hal hal yang termasuk dalam keuangan publik diantaranya adalah uraian-uraian yang menjelaskan mengapa pertahanan nasional harus dikelola oleh negara sedangkan makanan diserahkan kepada swasta dan mengapa suatu negara menggunakan komposisi berbagai jenis pajak dan bukan hanya pada pajak tunggal.
2
Bab I: Gambaran Umum Keuangan Publik
Keuangan publik mempelajari bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, karena setiap keputusan akan mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah tangga dan swasta. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengembangkan model-model ekonomi yang dapat membantu menjelaskan arti alokasi sumber daya yang efisien atau optimal, arti keadilan, dan antisipasi akibat finansial maupun ekonomi atas suatu keputusan publik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah, juga menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.
ALASAN MEMPELAJARI KEUANGAN PUBLIK Keuangan publik erat kaitannya dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan asas demokrasi. Apabila para pemilih wakil rakyat memonitor aktivitas para wakilnya, maka para wakil rakyat ini tentunya akan bekerja lebih keras dan berusaha meyakinkan para pemilihnya bahwa kontribusi mereka atas pembayaran-pembayaran pajak akan menyebabkan pencapaian kondisi yang lebih baik. Pertumbuhan sektor publik dari waktu ke waktu dalam jumlah yang sangat besar merupakan alasan yang kuat dalam menumbuhkan rasa ingin tahu permasalahan yang terdapat dalam keuangan publik. Dalam perkembangan selanjutnya, pertanyaan akan timbul berkaitan dengan mengapa pemerintah memerlukan anggaran sebanyak itu, digunakan untuk apa uang-uang itu, dan apakah uang tersebut digunakan dengan bijaksana? Di samping itu, akan muncul pula pertanyaan yang berkaitan dengan apakah hasil penerimaan pajak (terutama pajak penghasilan) dari rumah tangga seperti yang tercantum dalam anggaran negara memang relevan dengan aktivitas-aktivitas sektor publik ini dan apakah pengeluaran-pengeluaran untuk masing-masing jenis tersebut dilakukan dengan bijaksana? Dalam kondisi normal, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka akan semakin besar proporsi pajak yang harus dibayarkan. Seiring dengan itu, tentunya kepentingan dan perhatian publik akan semakin meningkat. Bagi individu yang merasa tidak puas dengan beban pajak yang menjadi tanggungan mereka, maka mereka akan memberikan pengawasan yang lebih pada aktivitas pemerintah. Namun apabila pembayar pajak merasa terpuaskan, mereka akan dengan sukarela menyerahkan sebagian pendapatan mereka. Dalam situasi ini, pembayar pajak akan memberikan otoritas lebih kepada pemerintah untuk mengelola dan mengendalikan sejumlah sumber
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
3
daya keuangannya. Dengan asumsi ini, sistem perpajakan sebaiknya diarahkan pada kepuasan para individu pembayar pajak.
PENTINGNYA SEKTOR PUBLIK Sektor publik dan sektor swasta merupakan kesatuan integral dalam sistem perekonomian. Namun demikian, pemerintah bertanggung jawab dalam melakukan tiga kegiatan publik utama, yang diantaranya adalah penyediaan pertahanan nasional, keadilan sosial, dan pekerjaan umum. Kebijakan publik akan merupakan suatu hal yang sangat penting terutama dalam hal mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional, melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. John Stuart Mill (1921), menyampaikan beberapa alasan mengenai perlunya aktivitas publik yang dilakukan oleh pemerintah, diantaranya sebagai berikut: 1. Dalam hal pertahanan nasional, campur tangan pemerintah, walaupun harus membatasi kebebasan individu, tetap dibutuhkan dalam memelihara perdamaian dan melindungi masyarakat terhadap serangan yang datang dari luar maupun dari dalam. 2. Pemerintah haruslah bersifat inferior dalam melakukan kegiatan industri dan perdagangan karena usaha seperti itu dapat dijalankan oleh sektor swasta. 3. Individu akan lebih percaya diri apabila mengerjakan sesuatu untuk kepentingannya sendiri sehingga pemerintah hanya bergerak dalam area yang menyangkut kepentingan publik atau umum. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh John Stuart Mill tersebut kemudian diterjemahkan dalam sistem perekonomian kapitalis. Sistem ini, menghendaki adanya kebebasan individu yang mutlak dan tidak membenarkan pengaturan ekonomi oleh pemerintah, kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat diatur sendiri oleh para individu. Dalam perkembangannya, tidak ada lagi paham ekstrim seperti itu sehingga negara kapitalis pun memandang perlu adanya peranan pemerintah dalam perekonomian. Peran pemerintah tetap diperlukan dalam melakukan kegiatankegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan mekanisme pasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Adanya barang publik (akan didefinisikan dan dibahas dalam bab mendatang) yang tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar sehingga harus disediakan oleh pemerintah.
4
Bab I: Gambaran Umum Keuangan Publik
2. Adanya perbedaan antara biaya pribadi dan biaya sosial, manfaat pribadi dan manfaat sosial sehingga pemerintah secara nyata diperlukan dalam pengelolaan biaya dan manfaat sosial karena swasta tidak ada keinginan untuk mengelolanya. 3. Adanya resiko yang sangat besar yang tidak mungkin dikelola oleh swasta. 4. Adanya sifat monopoli dalam bidang usaha tertentu yang menyebabkan pemerintah harus campur tangan agar monopoli tidak merugikan para pelaku ekonomi. 5. Adanya inflasi atau deflasi yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis oleh mekanisme pasar. 6. Adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku ekonomi pasar. Pada kenyataannya, dalam perekonomian, fungsi sektor publik berbeda dengan fungsi rumah tangga dan perusahaan. Peran tersebut dapat dilihat dalam siklus seperti dibawah ini.
Gambar 1.1. Hubungan antara arus sektor swasta dan sektor pemerintah Dari gambar 1.1 terlihat bahwa akan terdapat hubungan yang erat antara arus sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor pemerintah. Sektor publik (anggaran pemerintah) memberikan kontribusi pada pasar faktor produksi dan pasar produk sehingga merupakan bagian integral dari sistem pembentukan harga. Itulah sebabnya dalam merancang suatu kebijakan fiskal, perlu diperhatikan bagaimana sektor swasta akan bereaksi. Arus barang pribadi dan barang publik tidak dibiayai oleh penjualan tetapi melalui perpajakan atau melalui pinjaman. Barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dapat saja diproduksi oleh pemerintah atau diproduksi oleh swasta
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
5
untuk dijual kepada pemerintah. Peranan sektor publik dalam perhitungan GNP (Gross National Product) atau pendapatan nasional adalah bahwa pemerintah memberi kontribusi terhadap GNP melalui pembelian barang dan jasa.
KARAKTERISTIK KEBIJAKAN PUBLIK Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik. Kriteria pertama, komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai dengan keinginan konsumen, kedua adanya preferensi pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, dan ketiga tidak menyerahkan ekonomi hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian, karakteristik kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan, mengoreksi dan melengkapi peranan mekanisme pasar. Secara lebih terperinci karakteristik – karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Untuk mencapai efisiensi pasar. Suatu kondisi dimana produksi barang sama dengan keinginan pasar. Kondisi ini mensyaratkan adanya informasi yang lengkap mengenai pasar, baik bagi produsen maupun bagi konsumen dan peraturan pemerintah yang diperlukan untuk menjamin persyaratan kelengkapan informasi tersebut. 2. Peraturan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk mengoreksi penyimpangan yang terjadi apabila terdapat kondisi persaingan yang tidak efisien. 3. Pertukaran barang dan jasa tertentu. Dalam mekanisme pasar perlu ada proteksi dari pemerintah untuk melindungi pelaku pasar. 4. Timbulnya masalah eksternalitas (akan dibahas lebih lanjut pada bab mendatang) yang perlu dipecahkan oleh pemerintah, melalui anggaran, subsidi dan pajak. 5. Perlunya peran sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam mekanisme pasar. 6. Untuk menjamin kesempatan kerja, stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi.
RUANG LINGKUP KEUANGAN PUBLIK Bahasan keuangan publik dimulai dari keadaan dan alasan perlunya peran pemerintah dalam perekonomian. Hal ini menyangkut kondisi-kondisi adanya eksternalitas yang perlu dikendalikan pemerintah, adanya barang publik yang
6
Bab I: Gambaran Umum Keuangan Publik
perlu dialokasikan oleh pemerintah, adanya mekanisme pasar yang perlu diintervensi pola distribusinya oleh pemerintah karena berbagai alasan, perlunya pencapaian kondisi stabil dalam ekonomi dimana peran pemerintah sangat dominan, dan sebagainya. Secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa ruang lingkup keuangan publik mencakup hal hal sebagaimana dikemukakan di bawah ini: § Keuangan publik mencoba memberikan gambaran tentang pilihan publik yang menyangkut aspek institusi publik, keseimbangan publik yang dicapai melalui proses pemilihan umum. Hasil pemilihan umum ini akan menghasilkan keputusan yang diantaranya menyangkut penyediaan barang dan jasa publik, dan juga alokasi dan distribusi sumber daya. § Keuangan publik akan mencakup masalah-masalah bagaimana pemerintah memperoleh pendapatannya. Sumber pendapatan pemerintah dapat mencakup pajak dan non pajak, dan dalam keuangan publik, sumbersumber tersebut akan dihubungkan dengan aspek keadilan dan distribusi pendapatan. § Keuangan publik membahas aspek belanja publik yang merupakan aktivitas utama pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik untuk kesejahteraan masyarakat, (misalnya: belanja pemerintah yang meliputi pendidikan, kesehatan dan pertahanan), dimana bahasan tersebut akan dihubungkan dengan aspek efisiensi penyediaan jasa tersebut. Salah satu titik penting pada sisi belanja tersebut adalah adanya efek pengganda (multiplier) yang diperankan oleh pemerintah. § Aspek pembiayaan merupakan area pembahasan keuangan publik berikutnya. Secara khusus, pemerintah perlu memberikan stimulus pada perekonomian melalui kebijakan belanjanya yang mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu, dimana belanja tersebut dapat didanai oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan pemerintah. Untuk menutup kekurangannya, pemerintah dapat melakukan usaha-usaha memperoleh sumber pendanaan lainnya, misalnya melalui hutang. Bahasan yang meliputi kegiatan memperoleh pendapatan, kegiatan yang mencakup belanja publik dan kegiatan pembiayaan sering disebut sebagai struktur fiskal (fiscal structure). § Yang terakhir, bahasan keuangan publik biasanya juga menyangkut kegiatan analisis hubungan antara kebijakan pemerintah dengan perekonomian yang dikelola oleh rumah tangga dan swasta.
KRITERIA EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
7
Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik yang diantaranya adalah sebagaimana di bawah ini.
Keadilan dan kewajaran (Equity & Fairness) Suatu kebijakan publik dapat diuji dengan berbagai pertanyaan. Pengujian terutama dikaitkan dengan kewajaran dalam persepsi sosial dan fair tidaknya suatu kebijakan publik terhadap isu hak kepemilikan. Sebagai contoh, apakah wajar mempertimbangkan untuk menutup suatu perusahaan yang menyebabkan polusi udara dimana dalam pertimbangan lainnya, perusahaan tersebut juga menyediakan banyak kesempatan kerja pada saat tingginya tingkat pengangguran? Apakah wajar mempertimbangkan untuk menutup bisnis penebangan hutan dalam rangka menyelamatkan habitat burung hantu? Atau, apakah wajar mengenakan pajak yang digunakan untuk kebijakan pendidikan pada semua penduduk termasuk pada keluarga tanpa anak?
Efisiensi Ekonomi (Economic Efficiency) Kebijakan publik dapat dianalisis dari sudut Pareto Efficiency yaitu melalui realokasi sumber daya atau melalui perubahan alokasi – sehingga mencapai kondisi dimana seseorang atau beberapa orang mengalami kepuasan lebih baik tanpa menyebabkan pihak lain terbebani.
Sistem Paternal (Paternalism) Kebijakan publik dapat dievaluasi dari asumsi bahwa pemerintah adalah pihak yang paling mengetahui permasalahan penduduk suatu negara dan pemerintah bebas menentukan kebijakan apa saja. Sebagai contoh, orang tidak akan menabung dalam jumlah yang cukup untuk pensiun sehingga pemerintah harus mengalokasikan penerimaan pajak agar penduduk usia lanjut dapat memperoleh manfaat.
Kebebasan Individu (Freedom of choice) Salah satu indikator keberhasilan kebijakan publik adalah apakah kebijakan pemerintah dapat mendorong kebebasan individu dalam bertransaksi ekonomi. Dalam asas demokrasi, kebebasan individu dalam perekonomian memungkinkan pertukaran sukarela atau mempromosikan proses pengambilan keputusan sukarela yang didasarkan atas pertimbangan dagang yang bebas biaya transfer antar pihak yang bertransaksi.
8
Bab I: Gambaran Umum Keuangan Publik
Stabilisasi (Stabilization) Kebijakan publik dapat dianalisis dengan menilai apakah kebijakan yang diambil pemerintah mampu meningkatkan pengeluaran agregat? Atau apakah ekonomi sektor swasta - yang dapat memberi pekerjaan pada setiap orang perlu diintervensi pemerintah?
Trade Off Kebijakan publik dapat dievaluasi dengan pertanyaan apakah pilihan kebijakan tidak akan mengorbankan tujuan lainnya. Apakah manfaat agregat dapat melampaui beban agregat? Secara umum, ekonom menekankan efisiensi dan keadilan sebagai kriteria melakukan evaluasi atas kebijakan publik. Akan tetapi, mungkin ada konflik yang substansial antara beberapa kriteria tersebut. Contoh, kebijakan upah minimum mungkin mendorong keadilan, tetapi hal ini mungkin tidak efisien. Kemudian, welfare economics telah dipertimbangkan sebagai cara pemberian insentif untuk mengoreksi kebijakan berdasar keadilan sosial.
RANGKUMAN §
§
§
Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas finansial pemerintah dan bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, karena setiap keputusan akan mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah tangga dan swasta. Fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah, dan juga menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, ditribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Sektor publik telah mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Jumlah yang sangat besar nilainya ini merupakan alasan yang kuat untuk menumbuhkan rasa ingin tahu masalah keuangan publik.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
9
Kebijakan publik akan merupakan suatu hal yang sangat penting terutama dalam hal mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional, melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Dalam sistem perekonomian kapitalis sekalipun, peran pemerintah tetap diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan. Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik. Kriteria pertama, komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai dengan keinginan konsumen, kedua adanya preferensi pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, dan ketiga tidak menyerahkan ekonomi hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian karakteristik kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan, mengoreksi dan melengkapi peranan mekanisme pasar. Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik yang diantaranya adalah Equity & Fairness (Keadilan dan kewajaran), Economic Efficiency (Efisiensi Ekonomi), Paternalism (Sistem Paternal), Freedom of choice (Kebebasan Individu), Stabilization (Stabilisasi), Trade Off .
LATIHAN 1. Jelaskan pengertian dari keuangan publik dan apa saja fokus dari keuangan publik tersebut? 2. Jelaskan secara singkat mengapa sistem perpajakan haruslah diarahkan pada kepuasan dari sudut pandang para individu? 3. Jelaskan apa yang menjadi alasan tentang perlunya aktivitas publik yang dilakukan oleh pemerintah menurut John Stuart Mill? 4. Dalam perkembangan perekonomian, peranan pemerintah semakin diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan. Sebutkan kelemahan-kelemahan yang ada pada mekanisme pasar tersebut? 5. Dalam menilai pentingnya sektor publik, ada sejumlah kriteria/karakteristik kebijakan publik. Uraikan karakteristik tersebut?
10
Bab I: Gambaran Umum Keuangan Publik
6. Jelaskan alasan perlunya peran pemerintah dalam perekonomian dalam konteks keuangan publik? 7. Apa saja ruang lingkup keuangan publik ? 8. Dalam melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan anggaran pemerintah dapat dipakai beberapa pendekatan analisis . Uraikan dan jelaskan pendekatan-pendekatan analisis tersebut? 9. Sebutkan dan jelaskan kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik? 10. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah Fiscal Structure ?
BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS
BARANG PUBLIK Barang publik merupakan nonrival in consumption yang artinya adalah bahwa kuantitas dari barang publik dapat dinikmati oleh lebih dari satu konsumen tanpa mengurangi jumlah yang dinikmati oleh konsumen yang lainnnya (Heyman, 2002). Sifat pokok dari barang publik ini adalah barang ini tidak dapat dimiliki. Sekali sudah tersedia, maka barang ini akan tersedia merata bagi semua orang. Akibatnya konsumsi barang publik oleh satu orang tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Oleh karena itu tidak perlu bagi seseorang untuk memilikinya agar dapat memanfaatkannya. Terdapat dua karakteristik kunci dalam mengklasifikasikan suatu barang menjadi barang publik yakni bersifat nonrivalry (tidak ada persaingan dalam konsumsinya) dan nonexcludability (tidak dapat dikecualikan).
12
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
Nonrivalry di sini adalah bahwa barang tersebut akan dapat dikonsumsi oleh sejumlah orang secara bersama-sama, tanpa mengurangi jumlah yang dapat dikonsumsi oleh konsumen yang lainnya. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa satu orang akan dapat meningkatkan kepuasannya atas barang publik tersebut tanpa mengurangi kepuasan orang lain yang juga akan menikmati barang yang sama. Contoh yang paling nyata di sini adalah matahari, yang merupakan barang publik. Bandingkan dengan sepasang sepatu yang merupakan barang privat. Dilihat dari sudut pandang tertentu, barang publik tidak dikonsumsi dalam artian dipakai habis, melainkan barang barang tersebut dapat dinikmati. Dimensi kedua dari barang publik adalah Nonexcludability. Terminologi ini menggambarkan bahwa tidak ada cara yang mungkin untuk mengecualikan siapapun agar dapat memanfaatkan barang publik, seperti misalnya pertahanan nasional. Pertahanan nasional merupakan contoh klasik dari barang publik dimana manfaatnya akan diperoleh oleh masyarakat dalam bentuk perlindungan dari serbuan luar negeri yang berlaku secara tidak terbagi untuk seluruh masyarakat, dan tidak ada yang dikecualikan dari manfaat manfaat ini. Manfaatnya akan berlaku sama bagi semua orang, meskipun mereka dapat mempunyai preferensi yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikemukakan bahwa suatu barang publik akan mempunyai sifat-sifat berikut: 1. Konsumsi atas barang publik oleh seseorang tidak mempengaruhi penawaran barang publik tersebut untuk dikonsumsi oleh orang lain, atau suatu barang publik dapat dikonsumsi oleh beberapa orang secara bersama-sama. Sifat barang publik seperti ini disebut nonrival consumption. Contoh barang publik dengan sifat ini adalah jalan raya dan pertahanan nasional dimana konsumsi terhadap barang tersebut oleh seseorang tidak mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk ikut mengkonsumsinya. 2. Walaupun penyedia barang menginginkan, setiap anggota masyarakat tidak akan dapat dibatasi ataupun dilarang untuk mengkonsumsi barang publik. Sifat barang publik seperti ini disebut nonexclusion. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika seseorang akan mengkonsumsi barang publik, apakah seseorang itu mau membayar atau tidak (free rider) dalam mengkonsumsi barang tersebut, orang tersebut akan tetap dapat memperoleh barang tersebut. 3. Walaupun setiap orang mengkonsumsi jumlah yang sama atas barang publik, tidak ada persyaratan bahwa konsumsi ini dinilai atau dihargai oleh semua orang. Kontribusi seseorang atas penggunaan barang publik dapat
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
13
berbeda-beda. Seseorang atau sekelompok orang dapat saja terpaksa membayar lebih mahal akibat rendahnya kontribusi sebagian lainnya. 4. Sifat lain dari barang publik adalah bahwa barang publik tidak disediakan secara eksklusif oleh pihak swasta. Penyediaan barang publik yang dilakukan oleh pemerintah tidak berarti bahwa produksinya harus dilakukan oleh sektor publik, tapi mungkin disediakan oleh swasta kemudian pemerintah melakukan pembelian atas barang tersebut. Karakteristik barang publik seperti di atas tidaklah absolut, akan tetapi tergantung pada kondisi pasar dan teknologi. Misalnya saja, suatu komoditas dapat saja memenuhi satu kriteria dari barang publik, tapi mungkin tidak memenuhi kriteria yang lain. Beberapa barang tertentu yang secara konvensional tidak dipandang sebagai komoditas pribadi dapat saja mempunyai karakteristik sebagai barang publik.
Perbedaan Antara Barang Publik Dan Barang Pribadi Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi dan barang publik. Perbedaannya adalah bahwa pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak akan menghasilkan eksternalitas 1 , sedangkan pertukaran barang publik selain dapat menghasilkan manfaat eksternal juga akan dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain. Contoh barang publik yang menghasilkan manfaat eksternal adalah pertahanan nasional dan contoh barang publik yang menghasilkan beban eksternal adalah penyediaan mesin atau peralatan yang menyebabkan adanya polusi udara. Perbedaan lain adalah bahwa biaya marjinal untuk distribusi barang publik kepada konsumen adalah nol. Hal ini merupakan efek dari sifat non rival consumption. Contoh: Misalkan ada sekelompok orang yang berada di satu ruangan tertentu. Setiap hari, penghuni ruang ini dapat mengkonsumsi sejumlah roti dan udara sejuk dari alat pendingin ruangan. Jumlah roti yang tersedia akan dikonsumsi dengan porsi yang sama oleh orang-orang yang berada di ruangan itu, dan bila seseorang akan mengkonsumsi lebih dari porsinya, dipastikan akan mengurangi porsi orang lain. Di lain pihak, tidak mungkin membagi temperatur yang telah diberi pendingin udara kepada orang-orang dalam ruangan tersebut. Semua orang 1
Biaya atau manfaat yang muncul yang diakibatkan karena adanya transaksi pasar dimana biaya ataupun manfaat tersebut tidak tercermin dalam harga barang.
14
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang sama. Penambahan orang dalam ruangan, sampai batas tertentu, tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi atas udara sejuk tersebut. Tidak mungkin orang akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang berbeda satu sama lain. Sejumlah roti mempunyai karakteristik sebagai barang pribadi sedangkan tingkat suhu seperti uraian diatas mempunyai karakteristik sebagai barang publik bagi orang-orang yang menghuni ruangan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa terdapat beberapa alasan terjadinya perbedaan antara barang publik dengan barang pribadi, diantaranya adalah sebagai berikut:
Karena Kegagalan Mekanisme Pasar Kebutuhan barang pribadi akan dirasakan secara perorangan, sedangkan kebutuhan barang publik akan dirasakan secara bersama-sama oleh para individu dalam masyarakat. Manfaat yang dihasilkan oleh barang publik tidak terbatas pada konsumen tertentu saja yang membeli barang itu, akan tetapi juga bagi konsumen lainnya. Contoh barang pribadi adalah roti. Konsumsi orang satu dengan orang lainnya berada dalam hubungan yang saling bersaingan (rival), karena apabila roti tadi dikonsumsi oleh seseorang, maka barang tersebut tidak tersedia bagi orang lain. Sedangkan contoh barang publik adalah alat untuk mengurangi pencemaran udara. Jika alat tersebut berfungsi dan terjadi peningkatan kualitas udara, manfaat yang dihasilkan akan tersedia bagi semua orang yang bernafas. Konsumsi atas alat anti pencemaran udara tadi oleh beberapa individu adalah tidak saling bersaing (non rival), karena keikutsertaan orang lain untuk memanfaatkan alat tidak mengurangi manfaat bagi yang lainnya. Kedua sifat barang tadi akan menimbulkan permasalahan bagaimana konsumen berperilaku dan bagaimana kedua jenis barang tadi harus disediakan. Mekanisme pasar akan secara tepat dapat menggambarkan penyediaan barang pribadi. Mekanisme ini didasarkan pada pertukaran dan pertukaran hanya terjadi jika terdapat hak eksklusif bagi pihak yang membelinya. Suatu pasar menyediakan sistem dimana produsen akan memproduksi barang jika konsumen membutuhkan barang itu. Hanya pihak yang bersedia membayar
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
15
barang itulah yang dapat memperoleh manfaat atas barang. Dalam kondisi ini, pasar menjadi efisien, karena transaksi pemanfaatan barang dianalogikan sebagai suatu tender terbuka dan setiap orang boleh mengikuti tender sehingga tidak ada yang dirugikan. Lain halnya dengan penyediaan barang publik dimana tidak terjadi mekanisme pasar yang efisien. Satu orang tidak akan dapat secara ekslusif memanfaatkan barang publik, karena apabila orang tersebut mengkonsumsi, pada saat yang sama orang atau pihak lain dapat mengkonsumsi barang publik tersebut secara bersama-sama. Konsumen juga tidak bersedia untuk melakukan pembayaran atas barang publik tadi, dengan pertimbangan bahwa orang lain juga menikmati barang yang sama. Manfaat yang dirasakan oleh satu pihak akan sama dengan manfaat yang dirasakan pihak lain, sehingga pembayaran hanya oleh satu konsumen tidak signifikan. Hubungan antara produsen dan konsumen menjadi tidak ada dan dengan demikian maka tugas pemerintahlah yang harus bersedia memproduksi barang publik tersebut. Pemerintah juga harus mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tersebut tidak berjalan.
Ditinjau dari Proses Penyediaan Barang Publik Permasalahan yang mungkin timbul kemudian adalah bahwa bagaimana pemerintah harus menentukan berapa banyak barang publik yang perlu diadakan. Kesulitan akan terjadi dalam menentukan jenis dan kualitas barang publik, berapa konsumen yang harus membayar dan bagaimana manfaat ini akan dapat dinilai oleh konsumen. Dari sudut pandang konsumen, mereka tidak dapat menyatakan kepada pemerintah berapa nilai pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Persediaan barang publik tidak banyak dipengaruhi oleh kontribusi individu. Konsumen tidak mempunyai hak suara secara perorangan untuk menyatakan bagaimana nilai pelayanan yang nyata bagi mereka, kecuali ada jaminan konsumen lain juga akan melakukan hal yang sama. Konsumen akan dapat memilih sebagai free rider (dibahas lebih lanjut pada sub bab berikut) atas apa yang disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian, cara penyediaan barang publik dan alokasinya akan berbeda dengan cara penyediaan barang pribadi. Pada tahap ini, proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Pemilihan dengan pemungutan suara akan menggantikan transaksi jual beli yang terjadi di mekanisme pasar. Mereka merasa berkepentingan untuk memilih apa yang akan memberi manfaat bagi mereka. Hasil pemungutan suara akan menggantikan pilihan melalui mekanisme pasar. Tingkat efisiensi
16
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
proses pemilihan dan kebersamaan pilihan masyarakat akan menentukan tingkatan pencapaian pemecahan yang efisien.
Ditinjau dari Permintaan Barang Publik Kurva permintaan barang publik harus diinterpretasikan secara berbeda dengan kurva permintaan barang pribadi. Untuk barang publik (murni), seluruh konsumen harus mengkonsumsi sejumlah kuantitas yang sama atas barang. Para pembeli barang publik tidak akan dapat menyesuaikan tingkat konsumsinya sehingga misalnya seorang individu mengkonsumsi satu unit, sementara individu lain dapat mengkonsumsi dua unit. Para konsumen tidak dapat menyesuaikan jumlah yang dibeli, misalnya sampai harga barang publik sama dengan manfaat marjinalnya atau sampai dengan transaksi pengadaan barang publik tersebut terjadi (kondisi equilibrium). Sayangnya, barang publik tidak dapat dihargai seperti itu, karena sifatnya yang non exclusion. Bila digambarkan dalam grafik, sumbu vertikal bukanlah harga pasar, tetapi jumlah maksimum seseorang bersedia membayar per unit barang publik. Sebagai fungsi dari jumlah barang yang secara nyata tersedia adalah sumbu horizontalnya. Contoh: Ada tiga orang hidup bersama dalam sebuah komunitas yang kecil dan mempunyai keinginan yang sama untuk mengadakan satuan pengamanan (satpam). Harga sewa satpam merupakan jumlah maksimal yang individu bersedia membayar dan kuantitas proteksi keamanan dapat diukur dari jumlah satpam yang disewa untuk tujuan itu, dan merupakan cerminan dari barang publik yang dapat dikonsumsi oleh ketiga orang tersebut.
Ditinjau dari Tingkat Output yang Efisien Efisiensi dalam pasar barang pribadi mensyaratkan bahwa seluruh aktivitas ekonomi dilaksanakan sampai pada titik di mana manfaat sosial marjinal (marginal social benefit) sama dengan biaya sosial marjinal (marginal social cost). Kuantitas yang efisien per periode waktu berhubungan dengan titik di mana output meningkat sedemikian rupa sehingga jumlah manfaat marjinal konsumen sama dengan biaya sosial marjinal atas barang. Prinsip ini dapat juga berlaku untuk penerapan teori barang publik.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
17
Manfaat sosial marjinal adalah jumlah manfaat marjinal yang dinikmati oleh seluruh konsumen tersebut. Dimisalkan ada seseorang berkeinginan memproduksi atau membeli suatu barang (publik) untuk kepentingan pribadinya. Penyediaan barang publik oleh orang itu tidak hanya akan memberi manfaat kepada si penyedia tetapi juga kepada orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, total manfaat sosial marjinalnya akan melebihi manfaat yang diterima oleh orang yang menyediakan barang publik tadi. Gabungan seluruh manfaat yang dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya memberikan manfaat sosial marjinal atas tambahan unit yang disediakan.
FREE RIDER PROBLEM Sebuah sistem yang meminta kontribusi masyarakat secara sukarela untuk penyediaan dan pembiayaan barang publik akan dapat berjalan apabila komunitas publiknya hanya terdiri dari beberapa individu. Dalam kelompok kecil dimana masing-masing orang kenal satu sama lain, apabila mereka mempunyai gagasan terhadap penyediaan suatu barang akan lebih mudah mencapai kompromi. Hal ini dikarenakan setiap anggota kelompok akan dapat dengan mudah mengidentifikasi manfaat barang tersebut. Sebagai contoh, jika sekelompok orang yang menghuni sebuah apartemen mewah dan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam memperbaiki jalan atau mengadakan proteksi keamanan, mereka akan secara mudah untuk mencapai kompromi dalam rangka menyediakan barang publik tersebut dengan cara mendanai secara bersama-sama. Selain proses pencapaian kesepakatan menjadi tidak rumit, faktor pendukung lainnya adalah adanya keterikatan moral antar mereka. Hal ini akan sulit terjadi jika jumlah orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan bertambah dan informasi tentang selera dan kemampuan ekonomi kurang. Dalam kelompok dengan skala yang lebih luas, sepertinya akan sulit untuk menggambarkan preferensi kelompok tersebut, karena sebagian besar anggota dalam kelompok besar tersebut dimungkinkan akan tidak secara akurat memperoleh informasi tentang manfaat nyata atas pengadaan barang publik. Hal ini mengakibatkan beberapa orang secara sukarela memberikan kontribusi untuk penyediaan barang publik tersebut, namun di lain pihak, akan terdapat segelintir orang yang enggan memberikan kontribusinya secara sukarela. Pada dasarnya mereka mengetahui bahwa barang publik yang akan dibeli atau diadakan tidak mungkin hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang membayar saja. Apabila kondisi yang seperti ini terjadi, akan ada orang-orang yang mengambil manfaat barang publik tanpa memberikan kontribusi apa pun terhadap biaya penyediaan barang tersebut.
18
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
Orang ini disebut free rider. Problem akan muncul jika jumlah free rider bertambah banyak sehingga pada akhirnya penyediaan barang publik, misalnya perbaikan jalan akses ke apartemen, tidak jadi dilakukan. Semua anggota kelompok tersebut, pada akhirnya, tidak dapat menikmati kenyamanan menggunakan jalan tadi.
EKSTERNALITAS Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Mishan, 1990). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara. Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak eksternal yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah di sekitar daerah tersebut. Dalam contoh di atas, efek tersebut dalam perubahan harga tanah dimana kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio hargaharga barang dengan marginal rate of substitution (MRS). Jadi, suatu fakta
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
19
bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam hargaharga sehingga tidak terjadi ketidakefisienan dalam perekonomian. Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
Jenis-jenis Eksternalitas Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini: 1. Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers). 2. Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers) 3. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers) 4. Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers) Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up cost) oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan
20
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain. Dampak Produsen Terhadap Konsumen Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara. Dampak Konsumen terhadap Konsumen Lain Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau mengganggu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya. Dampak Konsumen terhadap Produsen Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
21
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas dalam dua pengertian yang berbeda: § Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain. § Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya. Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
Faktor-faktor Penyebab Eksternalitas Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini. Keberadaan Barang Publik Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good)
22
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property resource). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya. Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi barang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-ciri di atas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagian masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak seorang pun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cendrung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued). Sumber Daya Bersama Keberadaan sumber daya bersama (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
23
barang publik di atas. Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang terkenal dengan istilah tragedi barang umum (the tragedy of the commons). Ketidaksempurnaan Pasar Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan di dalam suatu tukar menukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempurna (imperfect market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal). Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang lebih tinggi dari normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya peningkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse off ). Kegagalan Pemerintah Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk: § Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.
24
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
§
Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barangbarang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri. § Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.
Solusi Pemerintah dan Swasta terhadap Eksternalitas Kita telah menyimak mengapa keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien. Namun sejauh ini kita baru mengulas secara sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut. Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihakpihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/ organisasi kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau “swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial. Pada bagian pembahasan berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam mengatasi persoalan eksternalitas.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
25
Regulasi Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar daripada keuntungan pihak-pihak yang melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi. Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karena polusi merupakan efek samping tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan penghapusan polusi total, melainkan pembatasan polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun juga tidak menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita harus menghitung segala untung ruginya secara cermat. Di Amerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA/Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup. Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit didapatkan. Pajak Pigovian dan Subsidi Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung di atas pemerintah
26
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu ekstenalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigovian tax), mengambil nama ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959). Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrikpabrik baja dan pabrik kertas yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni: § Regulasi: EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun. § Pajak Pigovian: EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik. Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik? Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih tidak beroperasi. Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan daripada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
27
Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini. Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada di bawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar. Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada umumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh pemerintah dan pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif di tengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.
RANGKUMAN § Dengan mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability, suatu barang dapat dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu barang publik, barang
28
§
§
§ §
Bab 2: Barang Publik & Eksternalitas
pribadi, barang publik lokal (yang sering disebut dengan congestible goods) dan barang dengan eksternalitas. Pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak akan menghasilkan eksternalitas, sedangkan pertukaran barang publik selain dapat menghasilkan manfaat eksternal juga akan dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain. Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi dan barang publik. Perbedaannya adalah bahwa pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak akan menghasilkan eksternalitas, sedangkan pertukaran barang publik selain dapat menghasilkan manfaat eksternal juga akan dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain. Perbedaan barang publik dengan barang pribadi juga dapat terjadi karena kegagalan suatu mekanisme pasar. Cara penyediaan barang publik dan alokasinya akan berbeda dengan cara penyediaan barang pribadi. Pada tahap ini, proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Pemilihan dengan pemungutan suara akan menggantikan transaksi jual beli yang terjadi di mekanisme pasar.
LATIHAN 1. Dalam mengklasifikasikan barang publik dan barang pribadi, dapat menggunakan gambar dengan Excludability dan Rivalry. Dengan mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability tersebut suatu barang dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori. Uraikan dan jelaskan karakteristik masing-masing jenis terutama sifat-sifat dasar yang dipertimbangkan dalam pembahasan aspek keuangan publik ? 2. Mengapa barang publik tidak disediakan secara ekslusif oleh pihak swasta? 3. Barang publik adalah barang-barang yang mempunyai dua sifat pokok yaitu Non rival dan Non exclucion. Jelaskan pengertian dari non rival dan nonexclucion tersebut ? 4. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan karakteristik antara barang pribadi dan barang publik ? 5. Terangkan perbedaan penyediaan barang pribadi dengan penyediaan barang publik karena kegagalan mekanisme pasar ? 6. Terangkan bagaimana suatu aktivitas ekonomi dalam pasar barang pribadi dikatakan efisien ?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
29
7. Apakah yang dimaksud dengan ungkapan “Free Rider” dan jelaskan problemnya ? 8. Jelaskan pengertian Eksternalitas ? Jelaskan tujuan-tujuan yang dapat dicapai dari Eksternalitas ? 9. Terangkan mengenai kurva permintaan barang publik ? 10. Apakah permasalahan dan kesulitan pemerintah dalam hal penyediaan barang publik?
PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK
TUJUAN KEBIJAKAN HARGA Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa pemerintah suatu negara tidak akan menjual jasanya kepada masyarakat walaupun pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan jasa publik kepada masyarakat dengan tanpa dipungut bayaran. Contoh yang paling nyata adalah dalam hal pengadaan jasa pertahanan nasional dimana masyarakat akan mendapatkannya secara gratis apabila mereka ingin memanfaatkannya. Jasa ini disediakan dengan pelayanan yang sama kepada seluruh pengguna di wilayah pemerintahan tersebut. Dengan demikian tentunya seluruh masayarakat akan dapat memanfaatkan jasa ini. Namun demikian, bukan berarti bahwa dalam rangka penyediaan jasa publik ini dapat dilakukan dengan tanpa menimbulkan biaya. Dalam banyak kasus, sebuah proses politik diperlukan untuk menentukan berapa jumlah barang publik yang harus disediakan serta bagaimana implikasinya terhadap distribusi biaya yang akan menjadi tanggung jawab para individu calon
32
Bab 3: Penentuan Harga Barang Publik
pengguna jasa publik tersebut. Oleh karena itu, pemerintah akan selalu terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik. Pertanyaan mendasar tentang mengapa pemerintah harus terlibat dalam kegiatan penentuan harga barang merupakan pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Dengan keterlibatannya dalam penentuan harga barang publik, pemerintah ingin meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya maupun keadilan dalam distribusi pendapatan, walaupun hal ini tidak berarti bahwa setiap tindakan pemerintah pasti akan berhasil mengatasi problem tersebut. Pada umumnya, dalam menentukan seberapa banyak suatu barang harus dibeli oleh individu-individu, suatu perusahaan hanya akan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh secara pribadi, sehingga kesempatan bahwa barang tersebut tersedia di pasar akan sangat kecil. Oleh karena itu, dalam kasus ini pemerintah akan melibatkan diri untuk menjamin bahwa manfaat eksternal harus juga dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan jumlah barang yang akan dikonsumsi oleh individu. Dengan analogi yang sama, pemerintah juga akan terlibat dalam penyediaan barang pribadi untuk memproteksi masyarakat dari penipuan (misalnya kebenaran iklan), kepastian tersedianya jasa (misal jasa rumah sakit dan pos), maupun keseragaman kualitas jasa (misal pendidikan). Semua keterlibatan pemerintah ini tentunya ditujukan untuk mencapai penentuan harga yang efisien. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan kebijakan harga oleh pemerintah akan mencakup tindakan-tindakan yang diperlukan agar pasar bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki arus informasi atau mengurangi unsur-unsur monopoli dan batasan-batasan dalam masuknya perusahaanperusahaan baru dalam pasar. Pada prinsipnya, akan selalu ada tujuan-tujuan baik ekonomi maupun non ekonomi yang dapat diikuti oleh pemerintah dengan cara melalui campur tangan, dalam usahanya untuk meminimalkan biaya ekonomi guna mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan.
PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK Dalam menentukan harga barang publik tentunya akan tergantung pada masing-masing tujuannya. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai banyak pilihan yang berkaitan dengan keputusan penyediaan barang atau jasanya, yang diantaranya adalah: 1. dapat dijual dengan harga pasar; 2. dijual dengan tingkat harga tertentu yang berbeda dengan harga pasar; 3. diberikan secara gratis kepada para konsumennya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
33
Masing-masing keputusan tersebut tentunya akan mempunyai konsekuensi yang berbeda beda. Sebagai contoh, meskipun keputusan memberikan secara gratis kepada masyarakat akan memaksimalkan penggunaan barang atau jasa oleh masyarakat, tentunya cara ini akan menimbulkan biaya yang sangat tinggi dimana biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah. Contoh tersebut menggambarkan kondisi yang tidak efisien dalam penyediaan barang dan jasa oleh pemerintah. Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam perekonomian, tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai, yang menggambarkan jumlah rupiah kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang dihasilkan oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk menghasilkan barang tersebut oleh produsen. Dalam mekanisme pasar yang bersaing sempurna, untuk menentukan tingkat keseimbangan pasar barang pribadi, berlaku hukum bahwa harga sama dengan biaya marginal (marginal cost) bagi konsumen dan sama dengan pendapatan marjinal (marginal revenue) bagi produsen, atau p = MC = MR, dimana p adalah price atau harga, MC adalah marginal cost atau biaya marjinal dan MR adalah marginal revenue atau pendapatan marjinal. Sehingga, apabila konsumen akan memaksimalkan kepuasannya, pada tingkat equilibrium, konsumen akan membeli barang-barang sampai tercapai kondisi equilibrium tersebut. Pertanyaan yang akan muncul adalah apakah hukum ekonomi tersebut juga berlaku untuk barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah? Pada dasarnya, tugas pemerintah adalah menyediakan barang untuk kepentingan orang banyak dengan harga murah. Dengan demikian, pemerintah akan ditekan oleh kekuatan politik untuk tidak mengambil keuntungan dari barang atau jasa yang dihasilkannya. Itulah sebabnya, pemerintah seringkali menetapkan harga di bawah tingkat yang sebenarnya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen barang tersebut. Konsekuensinya adalah, keputusan pemerintah ini menimbulkan ketidakefisienan atau terjadi pemborosan apabila dipandang dari ilmu ekonomi, karena konsumen akan menilai barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah tersebut terlalu murah dan juga mudah diperoleh. Contoh yang dapat digunakan adalah penyediaan public utilities oleh pemerintah, seperti air minum dan listrik. Pemerintah tidak diharapkan untuk memperoleh keuntungan dari penyediaan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak itu, sehingga pemerintah tidak dapat menetapkan harga tertinggi. Pemerintah hanya boleh mengenakan harga yang dapat menutup biaya total perusahaan-perusahaan pemerintah
34
Bab 3: Penentuan Harga Barang Publik
penyedia barang public utilities, supaya tetap dapat berjalan tanpa mengalami kerugian. Situasi penyediaan public utilities tersebut di atas tidak harus berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah. Perusahaan yang mengelola public utilities dan harus menjual produksinya tanpa memperoleh keuntungan sama sekali akan menghadapi permasalahan dalam ekspansi atau melakukan perluasan usaha. Dalam hal ini, pemerintah akan mengarahkan perusahaan pada kondisi bahwa, selain menghasilkan barang dan jasa sebanyak mungkin untuk mencukupi kebutuhan rakyat banyak, perusahaan juga diijinkan untuk memperoleh keuntungan dalam jumlah tertentu. Pemerintah akan menetapkan jumlah keuntungan maksimum, kemudian konsumen akan membayar jumlah di atas nilai yang ditetapkan sebelumnya pada saat zero profit. Dalam kondisi ini, konsumen tidak terlalu dibebankan pada tingkat harga yang terlalu tinggi, tetapi produsen masih dapat melakukan perluasan usaha untuk menambah investasinya. Penentuan harga dengan metode terakhir adalah yang sebaiknya dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penyediaan barang publik oleh pemerintah. Kajian-kajian harus dilakukan untuk memperoleh kebijakan yang tepat sasaran, artinya pemerintah di satu pihak melalui perusahaanperusahaan penghasil public utilities tetap diwajibkan menyediakan barang dan jasa publik, sedangkan di lain pihak, pemerintah berkewajiban membatasi keuntungan yang harus diperoleh oleh perusahaan-perusahaan tersebut, mengingat tugas pemerintah adalah sebagai penyedia barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
IMPLEMENTASI PENENTUAN HARGA Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan khusus, misalnya mendorong produksi atau memelihara kestabilan. Sebagai contoh, kebijakan publik dapat digunakan untuk mengatur tata niaga dan harga atas produk pertanian1. Produk pertanian di banyak negara mempunyai posisi strategis dan erat kaitannya dengan produk non pertanian, seperti alat-alat pertanian, pupuk kimia dan obat pembasmi hama. Sektor pertanian juga mempunyai kaitan yang erat dengan kebutuhan jasa angkutan, pendidikan dan kesehatan. Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis penyediaan produk pertanian adalah dengan menggunakan (1) kebijakan harga positif, artinya 1
Produk-produk pertanian merupakan barang primer, seperti bahan makanan atau bahan mentah yang akan diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
35
kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong peningkatan produksi, atau (2) kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga yang ditujukan untuk mengurangi peningkatan produksi.
Fungsi Penawaran Fungsi penawaran menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang ditawarkan dan berbagai tingkat harga dari barang tersebut. Hukum penawaran menyatakan bahwa jumlah yang ditawarkan akan meningkat apabila harga barang tersebut semakin tinggi (hal-hal lain tetap atau ceteris paribus). Secara matematis, fungsi penawaran dapat dinyatakan dengan: Q a = f ( P a, S, F, X, T ) Dimana: Qa = jumlah barang A yang ditawarkan Pa = harga barang A S = jumlah input yang tersedia F = keadaan alam X = pajak atau subsidi atau keduanya T = tingkat teknologi. Dalam menggambarkan hukum penawaran, maka yang dinyatakan tetap (ceteris paribus) adalah S, F, X dan T. Sehingga, kurva penawaran merupakan garis miring dari bawah ke atas, yang berarti apabila barang yang ditawarkan harganya naik, maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat, dan sebaliknya. Tentang jumlah barang yang ditawarkan akan tergantung dari tingkat elastisitas penawaran. Dengan mengubah harga, pemerintah akan mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan. Berkaitan dengan contoh produk pertanian di atas, apabila jumlah produk pertanian tersedia di gudang, peningkatan harga segera mendorong peningkatan penawaran produk tersebut. Namun, apabila peningkatan penawaran membutuhkan tenggang waktu, penyesuaian produksi akan mengikuti pola Cobweb theorem (sarang laba-laba) seperti digambarkan grafik sebagai berikut:
36
Bab 3: Penentuan Harga Barang Publik
Gambar 3.1 D merupakan kurva permintaan dan S kurva penawaran. Apabila pada periode tertentu harga pasar setinggi P a1, petani akan terdorong menanam atas dasar harga tersebut dan akan menghasilkan Q a1 pada akhir periode tanam. Karena terjadi peningkatan produksi di periode 2, maka harga pasar akan turun menjadi P a2. Pada tingkat harga tersebut, produsen akan terdorong untuk mengurangi produksinya dan harga akan meningkat menjadi P a3. Dengan tingkat harga itu, petani akan terdorong memproduksi sebesar Q a3 di akhir periode tanam berikutnya. Tetapi, harga akan terkoreksi menjadi P a4, karena fungsi permintaan tetap. Akan terjadi pergerakan sepanjang waktu ke arah titik perpotongan antara kurva D dan kurva S. Hubungan tersebut mengakibatkan tingkat harga akan cenderung mencapai equlibrium pada perpotongan kurva penawaran dan kurva permintaan.
Kebijakan Harga Positif Analisis di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sumber kapital bagi pembangunan. Syaratnya adalah apabila produsen cukup responsif terhadap insentif harga. Dengan memberikan jaminan harga yang tinggi, para petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi pangan. Kebijakan harga yang positif dapat berperan sebagai pendorong peningkatan produksi pertanian. Kebijakan ini akan dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi komposisi produk pertanian. Secara garis besar, terdapat tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga yang dapat dianalisis sebagai berikut: (1) perubahan komposisi produksi pertanian karena perubahan harga relatif masing-masing komoditi pertanian secara individu; (2) peningkatan produksi pertanian secara total karena adanya perbaikan harga relatif komoditi pertanian
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
37
dalam perbandingannya dengan harga komoditi sektor non pertanian; dan (3) peningkatan produksi pertanian yang dapat dipasarkan sebagai respon terhadap kenaikan harga komoditi pertanian (marketable surplus). Hasil studi mengenai tanggapan produksi di negara berkembang menunjukkan bahwa tanggapan pertama dapat bersifat sangat elastis untuk jenis komoditi tertentu. Artinya produksi pertanian meningkat sejalan dengan adanya insentif harga. Akan tetapi tanggapan kedua dan ketiga justru sangat inelastis atau bahkan negatif dengan adanya kenaikan harga, tingkat produksi menurun setelah diberlakukannya insentif harga. Pengecualian dapat terjadi, apabila komoditi tanaman tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder, akan tetapi juga ditujukan untuk ketersediaan pasar. Respon yang diharapkan pada kondisi tersebut, baik untuk produksi pertanian secara keseluruhan maupun untuk marketable surplus, akan menunjukkan positif. Hal ini dapat dijelaskan, misalnya setiap tanaman ditujukan untuk tujuan komersial, elastisitas penawaran komoditi yang dipasarkan akan sama dengan elastisitas produksi/output, artinya persentase peningkatan produksi sama dengan persentase peningkatan pemasaran. Namun apabila faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja dan kapital, harus diserap dari produksi komoditi lain, maka produksi pertanian secara total dapat menurun. Berdasarkan hasil studi, peningkatan produksi merupakan bentuk perubahan luas areal tanam, bukan dalam hal peningkatan produktivitas, karena produktivitas berkaitan erat dengan kondisi musim maupun faktor lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tanaman yang merupakan kebutuhan sekunder masyarakat cenderung memiliki elastisitas penawaran yang rendah, sedangkan tanaman komersial memiliki elastisitas penawaran yang tinggi.
Kebijakan Harga Negatif Kebijakan harga positif diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi pertanian. Namun demikian, karena hasil pertanian merupakan kebutuhan primer masyarakat (seperti makanan), kebijakan ini akan membuat biaya produksi sektor industri dan jasa lain juga tinggi, sehingga akan menghambat perkembangan produksi sektor industri dan jasa. Sektor ini menghendaki adanya harga pangan yang murah, untuk dapat menekan tingkat upah. Banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan dan produk pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga negatif. Kebijakan ini juga diharapkan mampu mendorong perkembangan sektor industri dan jasa.
38
Bab 3: Penentuan Harga Barang Publik
Tetapi, untuk mencegah agar produksi pertanian tidak merosot, maka pemerintah dapat mengenalkan program subsidi input yang dibarengi dengan penyuluhan peningkatan produksi pertanian secara insentif. Dengan demikian, di satu pihak, para petani tidak terlalu dirugikan dengan rendahnya harga produksi pangan dan di lain pihak, pertumbuhan sektor industri dan jasa tidak terhambat. Dari uraian di atas, jelas terdapat suatu konflik antara program bantuan harga dan program subsidi input. Di satu pihak, program bantuan harga membuat harga pangan dan produk pertanian mahal dan hasilnya dinikmati para petani, tetapi akan menghambat perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Di lain pihak, program subsidi input lewat harga faktor produksi pertanian yang murah akan mendorong produksi pertanian sehingga harga pangan akan murah dan dapat mendorong perkembangan ekonomi lebih lanjut. Cara subsidi yang terakhir ini menyebabkan pemerintah harus menyisihkan sebagian anggarannya untuk membiayai subsidi. Meskipun dengan menyisihkan anggaran ini akan mengakibatkan investasi di bidang lain, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya, menjadi berkurang, kebijakan ini juga diarahkan agar swasta dapat berkembang dengan sendirinya sebagai akibat adanya dukungan harga pangan yang murah. Cara ini, secara politis, juga merupakan alternatif yang akan menjamin ketenangan masyarakat.
Kebijakan Penyangga (Buffer Stock Policy) Dalam merumuskan kebijakan harga barang dan jasa publik pada umumnya, dan produk pertanian pada khususnya, pemerintah menghadapi dilema kepentingan. Di satu pihak, para konsumen akan mengharapkan harga pangan – khususnya – murah, dan di lain pihak, para produsen selalu menginginkan agar hasil produksinya dapat terjual dengan harga yang layak. Di sinilah kewajiban pemerintah untuk melindungi kedua kepentingan tersebut agar konsumen dan produsen tidak menderita. Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menentukan harga patokan berupa harga dasar (floor) dan harga maksimum (ceiling). Harga dasar ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di pasar tidak turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, sedangkan harga maksimum ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai menderita karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal dengan istilah kebijakan penyangga (buffer stock policy). Kebijakan penyangga dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
39
Gambar 3.2 Pada awalnya, keadaan keseimbangan tercapai pada harga P ao dan Q ao. Kemudian, bila penawaran bertambah, misal pada saat panen, kurva penawaran bergeser ke kanan, misalnya bergeser dari S o menjadi S 1, dan harga cenderung menjadi turun. Harga dapat saja bergerak lebih rendah dari P a2. Untuk mencegah supaya harga turun tidak terlalu drastis, dalam situasi ini pemerintah turut membeli hasil panen, sehingga kurva permintaan pasar bergeser kekanan menjadi D1 sampai memotong kurva penawaran S 1 tepat pada harga dasar P a2. Keadaan sebaliknya dapat pula terjadi, bila ada paceklik. Untuk melindungi konsumen, maka pemerintah dapat mencegah naiknya harga komoditi dengan turut menjual produk pertanian ke pasar. Berhasil atau tidaknya kebijakan penentuan harga ini tergantung pada tersedianya dana untuk operasi (sering disebut operasi pasar). Apabila dana operasi terbatas, sedangkan harga cenderung merosot terus (dalam keadaan over supply), maka pemerintah dapat saja tidak mampu melindungi produsen, atau sebaliknya. Dengan demikian, kebijakan penentuan harga perlu dukungan kebijakan lain, seperti kebijakan moneter.
RANGKUMAN
40 §
§
§
§
§
§
§
Bab 3: Penentuan Harga Barang Publik
Secara umum, pemerintah suatu negara tidak menjual jasanya kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah menyediakannya kepada masyarakat tanpa harus membayar. Namun demikian, bukan berarti bahwa penyediaan jasa publik ini tanpa menimbulkan biaya. Pemerintah terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik ini karena terjadinya kegagalan mekanisme pasar. Harapan pemerintah, dengan keterlibatan dalam penentuan harga barang publik, adalah ingin meningkatkan baik efisiensi alokasi sumber daya maupun keadilan dalam distribusi pendapatan. Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam perekonomian, tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai yang merupakan kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang dihasilkan oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk menghasilkan barang tersebut oleh produsen. Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan khusus, misalnya mendorong produksi atau memelihara kestabilan. Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis penyediaan produk pertanian adalah dengan menggunakan (1) kebijakan harga positif, artinya kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong peningkatan produksi, atau (2) kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga yang ditujukan untuk mengurangi peningkatan produksi. Kebijakan harga yang positif dapat berperan sebagai pendorong peningkatan produksi pertanian. Kebijakan ini akan dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi komposisi produk pertanian. Tetapi banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan dan produk pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga negatif. Kebijakan ini juga diharapkan mampu mendorong perkembangan sektor industri dan jasa. Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk melindungi produsen dan konsumen adalah dengan menentukan harga dasar yang ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di pasar tidak turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, dan harga maksimum yang ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai menderita karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal dengan istilah kebijakan penyangga (buffer stock policy).
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
41
LATIHAN 1. Terangkan tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan harga? 2. Mengapa pemerintah ikut terlibat dalam kegiatan penentuan harga barang? 3. Uraikan mengenai keputusan penentuan harga tersebut oleh pemerintah. Jelaskan? 4. Terangkan bagaimana mekanisme pasar barang pribadi yang bersifat persaingan sempurna dalam menentukan tingkat keseimbangan? 5. Jelaskan maksud dari kajian-kajian yang harus dilakukan untuk memperoleh kebijakan yag tepat sasaran sebagai perusahaan penghasil public utilitier? 6. Sebutkan dan jelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk melakukan analisis penyediaan produk pertanian! 7. Apa yang dimaksud dengan fungsi penawaran? Apa bunyi hukum penawaran tersebut? 8. Jelaskan yang dimaksud dengan “ceteris paribus”? 9. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penawaran? 10. Sebutkan tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga! Jelaskan hasil studi mengenai tanggapan produksi tersebut di negara berkembang! 11. Dalam kebijakan harga negatif, terdapat suatu konflik antara program bantuan harga dan program subsidi input. Jelaskan konflik tersebut! 12. Terangkan langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam melindungi kepentingan konsumen dan produsen!
FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN
FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH Pemerintah sangat diperlukan dalam perekonomian suatu negara, terutama untuk melaksanakan fungsinya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat meningkatkan standar kehidupan penduduk pada tingkat yang layak. Dengan melihat berbagai kelemahan mekanisme pasar sebagaimana telah dibahas sebelumnya, fungsi pemerintah dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1. Fungsi Alokasi Fungsi alokasi dalam kebijakan publik adalah fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana komposisi barang publik ditetapkan. 2. Fungsi Distribusi
44
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Fungsi distribusi dalam kebijakan publik adalah penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin pemerataan dan keadilan. 3. Fungsi stabilisasi Fungsi stabilisasi dalam kebijakan publik adalah penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran. Suatu kebijakan publik, misalnya pengenaan pajak dan pengeluaran publik, dapat secara simultan diarahkan kepada ketiga tujuan tersebut di atas. Permasalahan utama yang muncul adalah bagaimana merancang kebijakan anggaran sehingga dengan tujuan yang berbeda-beda tersebut akan dapat dicapai secara lebih terpadu. Dalam The Wealth of Nations, Adam Smith mencatat empat fungsi ‘pengoreksi’ yang dapat dijalankan oleh pemerintah yakni: § Tugas memproteksi suatu kelompok masyarakat dari pelanggaran dan invasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya. § Tugas memproteksi setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan dan dominasi yang dilakukan oleh anggota lain dalam masyarakat. § Tugas membentuk dan memelihara institusi publik agar memberi manfaat yang tinggi serta kesempatan kerja kepada masyarakat1. § Tugas mempertemukan biaya yang diperlukan untuk mendukung peraturan- peraturan. Pedoman aktivitas pemerintah yang dipromosikan oleh Milton Friedman adalah bahwa keterlibatan pemerintah harus dapat membuat dan memaksakan aturan-aturan umum yang mengatur perilaku para individu. Apabila pemerintah memutuskan untuk campur tangan dalam aktivitas individu, keterlibatan tersebut harus mempunyai tingkat yang minimal, misalnya hanya sebatas penyertaan modal saja, baik secara langsung atau tidak langsung. Milton Friedman juga menyarankan pemerintah supaya membeli sumber daya yang digunakannya dalam pasar, bukan mengendalikan/ mengatur sumber daya tersebut. Pada saat pemerintah memproduksi barang atau jasa, pemerintah harus membebankan secara pro rata kepada pengguna, dan bukan bertransaksi dengan pengguna. Aktivitas pemerintah, seharusnya, hanya 1
Karena sifat dari institusi publik, laba yang diperoleh institusi sering tidak mencapai tingkat pembayaran kembali. Dengan demikian, tidak dapat diharapkan bahwa kesempatan kerja akan disediakan dalam kuantitas yang tepat.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
45
berperan sebagai last resort, dalam mendanai, mengatur dan menyediakan barang atau jasa secara gratis.
Alasan Keterlibatan Pemerintah Dalam Ekonomi Dalam situasi tertentu, mekanisme pasar akan mengarah pada alokasi sumber daya yang efisien yang timbul pada saat tidak seorangpun akab dapat dipuaskan secara lebih baik dengan tanpa menyebabkan orang lain menderita kerugian (sering disebut efisiensi Pareto). Namun demikian, suatu masyarakat dapat saja memilih alokasi yang tidak efisien atas dasar kesetaraan atau kriteria lainnya. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya suatu intervensi pemerintah dalam operasi pasar bebas. Terdapat dua argumen mengenai bagaimana perlunya intervensi pemerintah yaitu (1) kegagalan pasar dan (2) penekanan pada aspek keadilan.
Kegagalan Pasar 1. Terdapat beberapa barang publik yang bersifat non rival dan non excludable, seperti pertahanan nasional dan penerangan jalan, yang membuat tidak mungkin membebankan biaya penyediaannya kepada para pengguna. Hal ini menyebabkan kegagalan pasar. Untuk itu, negara dapat mencoba turut campur mengatasi permasalahan ini. 2. Konsumsi atau produksi barang/jasa publik yang mungkin menghasilkan suatu akibat eksternal (positif atau negatif) kepada masyarakat yang tidak tercermin dalam harga barang. Tanpa intervensi pemerintah, pasar akan memproduksi barang publik tersebut secara tidak proposional, tergantung pada apakah eksternalitas ini baik atau buruk. 3. Tidak bisa bergeraknya sumber daya yang produktif, terutama tenaga kerja, dapat membantu mencegah pencapaian alokasi sumber daya yang efisien. 4. Informasi yang tidak simetris dan tidak sempurna yang mungkin mengarah pada penilaian yang salah atas barang dan jasa publik, dan dengan demikian akan menyebabkan penawaran dan permintaan yang tidak tepat. 5. Kegagalan pasar juga berhubungan dengan permasalahan dari seleksi yang tidak menguntungkan dan bahaya moral ketika pembeli atau penjual bertindak secara eksklusif atas dasar mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
46
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Aspek Keadilan 1. Kepedulian secara luas atas kebutuhan mengatasi kemiskinan secara lebih serius harus menjadi perhatian oleh pemerintah. 2. Data empiris di seluruh dunia secara umum menyarankan bahwa peningkatan keadilan memberikan kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan yang lebih cepat, dan berkurangnya kemiskinan. 3. Ketidakadilan sering menghasilkan situasi yang tidak aman, meningkatnya kejahatan dan eksternalitas negatif yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan keadilan sosial, secara nasional dan global. 4. Peranan sektor swasta dan kebutuhan kemitraan dalam kesempatan, pemberdayaan dan proteksi perlu difasilitasi oleh pemerintah. 5. Penekanan pada aspek keadilan bukan berarti bahwa hanya negara yang harus atau dapat memberikan kontribusi dalam rangka menekan kemiskinan. Tugas ini berhubungan dengan penyediaan kesempatan, pemberdayaan dan proteksi. Ketiganya merupakan dimensi pokok dari kemiskinan yang tidak dimiliki secara eksklusif oleh sektor swasta. Dengan demikian, sektor swasta dapat berperan secara aktif dalam menciptakan kesempatan ekonomi (seperti penciptaan lapangan kerja, kredit, dan sebagainya), mempromosikan tambahan manfaat kepada anggota masyarakat (erat hubungannya dengan produsen dan pekerja swasta), dan memberikan kontribusi untuk mengurangi ketidakadilan melalui aktivitas yang sebetulnya merupakan tanggung jawab pemerintah (seperti rumah sakit umum dan sekolah yang dananya dari swasta). Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa peran pemerintah yang berkenaan dengan keterlibatannya dalam perekonomian adalah sebagai peran penyedia (provider role) dan peran kemitraan (partnership role). Sebagai peran penyedia (Provider Role), pemerintah harus menyediakan barang publik untuk menjamin stabilitas ekonomi makro, keadilan, lingkungan yang bersih, penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi, dan stabilitas nasional. Namun demikian, tidak semua fungsi mensyaratkan kehadiran pemerintah sebagai penyedia barang atau jasa publik dimana masih terdapat beberapa diantaranya yang difasilitasi oleh peraturan dan penciptaan ruang gerak yang tepat 2 . 2
Monopoli yang alami dalam sektor tertentu seperti energi, tambang dan lain-lain, saat sekarang menjadi pertanyaan publik berkaitan dengan tersedianya teknologi masa kini.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
47
Sedangkan sebagai peran kemitraan (Partnership Role), pemerintah dapat menjadi mitra swasta dalam penyediaan peraturan, pembangunan infrastruktur dasar dan perlindungan dari risiko dan kerugian (misalnya asuransi). Diakui secara luas bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta tidak akan dapat berfungsi secara tepat tanpa berfungsinya peran kemitraan kedua sektor tersebut secara bersamaan. Pada masa sekarang, pemerintah lebih banyak dibutuhkan dalam perannya sebagai regulator dari mekanisme pasar dan sebagai fasilitator dari lingkungan kelembagaan dan pengaturan yang kondusif atas pembangunan sektor swasta.
AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN Tingkat konsumsi/produksi barang dan jasa oleh masyarakat dapat dirubah oleh kebijakan publik. Sebagai contoh 3 , suatu kebijakan publik tentang pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah akan memberi manfaat yang lebih tinggi kepada masyarakat dibandingkan dengan apabila pengelolaan tersebut dilakukan oleh sektor swasta. Sayangnya manfaat yang tinggi tersebut harus dibayar secara lebih mahal. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pengelolaan sumber daya alam cenderung mengarah pada kondisi yang spesifik. Kekhususan ini akan berakibat pada sejumlah produktivitas/efisiensi yang hilang/berkurang jika terjadi perubahan dari kondisi yang relatif baik kepada kondisi yang baik. Kebijakan publik dapat berpengaruh terhadap distribusi pendapatan nyata, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pertanyaannya adalah siapa yang memperoleh manfaat dan siapa yang menanggung beban dari suatu kebijakan distribusi tertentu? Siapa yang menanggung beban atas akibat diterapkannya kebijakan pajak penghasilan badan? Apakah kepada pengusaha, pekerja atau konsumen? Dan siapa juga yang menerima tanggung jawab akibat adanya pajak penjualan? Konsumen atau pekerja? Inilah yang dimaksud dengan true incidence dari kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan dalam upah minimum akan menyebabkan penerimaan upah lebih tinggi kepada pekerja, tetapi kesempatan kerja total mungkin turun sebagai akibat dari timbulnya kebijakan ini. Beberapa kebijakan secara aktual akan menggeser distribusi pendapatan antara generasi sekarang dan generasi mendatang. Isu inilah yang disebut dengan internerational transfer. Dimungkinkan adanya opportunity cost dalam hubungannya dengan efisiensi dalam merubah distribusi pendapatan, yakni memindahkan alokasi hak kekayaan. 3
Dalam contoh ini, para ekonom berpendapat bahwa kebijakan publik berakibat perekonomian tidak dalam kondisi pareto optimal.
48
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
FUNGSI ALOKASI Latar Belakang Adanya Fungsi Alokasi Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik – yang berbeda sifatnya dengan barang pribadi – tidak dapat disediakan melalui sistem mekanisme pasar 4 . Seringkali mekanisme pasar berfungsi, namun kadangkala tidak efisien. Beberapa alasan yang mendasari kemungkinan tersebut adalah karena: 1. Sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pasar dimana hubungan yang seharusnya terjadi antara produsen dan konsumen dalam suatu mekanisme pasar tidak berjalan, sehingga pemerintahlah yang harus bersedia memproduksi barang publik tersebut. Dalam kasus ini, pemerintah harus mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan; 2. Sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pasar yang lain dimana proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Dalam kondisi ini, pemerintah harus menjamin bahwa proses politik dalam pengambilan keputusan penyediaan barang dan jasa publik akan dapat terjadi secara efisien. Perbedaan yang mendasar antara barang pribadi dan barang publik adalah, barang pribadi dapat diproduksi dan dijual kepada pembeli baik oleh swasta maupun oleh perusahaan pemerintah, sedangkan barang publik, dengan cara yang sama dapat diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual kepada pemerintah atau dapat juga diproduksi secara langsung oleh pemerintah, seperti misalnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Permasalahan yang mungkin timbul dalam fungsi alokasi adalah berapa banyak barang publik yang harus disediakan oleh pemerintah, termasuk diantaranya adalah jenis dan kualitas barang yang perlu disediakan oleh pemerintah. Untuk barang-barang pribadi (private goods), sistem pasar akan terjadi melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individual dan sukarela. Kondisi ini menggambarkan adanya hubungan antara permintaan dan penawaran atas barang tersebut. Sistem pasar menjadi tidak berlaku jika diterapkan pada barang-barang publik (social goods). Contohnya adalah jika seseorang membutuhkan pakaian. Kebutuhan yang dirasakan oleh seseorang akan pakaian tentunya akan sangat berbeda dengan kebutuhan pakaian yang dirasakan oleh orang yang berbeda. Apabila seseorang membeli satu set pakaian, maka pakaian yang sama tidak akan tersedia untuk orang lain. Dalam 4
Sistem mekanisme pasar merupakan suatu transaksi antara konsumen dan produsen secara individu.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
49
kasus ini akan terjadi suatu kondisi bahwa konsumsi terhadap barang tersebut bersifat bersaing. Akan berbeda halnya jika kebutuhan seseorang tersebut terhadap, misalnya, penggunaan atas jalan umum. Kebutuhan atas barang ini akan dirasakan secara bersama-sama dan begitu pula terhadap manfaat yang dihasilkan dengan tersedianya jalan umum tersebut tentunya akan dapat dinikmati oleh banyak orang (tidak untuk satu konsumen). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa apabila seseorang mengambil manfaat dari adanya jalan umum tersebut, manfaat yang tersedia bagi orang lain tidak akan berkurang. Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa mekanisme pasar akan sangat cocok untuk menggambarkan penyediaan barang-barang pribadi. Mekanisme pasar akan terjadi apabila ada suatu permintaan dari konsumen, kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling diinginkan oleh konsumen. Konsumen akan berusaha mendapatkan barang yang mereka inginkan dengan harga yang serendah-rendahnya, sedangkan produsen akan menjual barang dengan harga yang setingi-tingginya. Mekanisme pasar tersebut akan membawa konsumen dan produsen ke suatu titik harga tertentu. Untuk barang seperti pakaian, aplikasi dari prinsip hubungan permintaan dan penawaran seperti ini menjadi suatu pemecahan yang efisien. Akan banyak keuntungan yang didapat – terutama oleh produsen – apabila membatasi konsumen yang ikut dalam sistem pasar dengan mensyaratkan mereka untuk mau membayar. Berbeda halnya dengan barang publik, mekanisme pasar tidak akan berfungsi secara sempurna. Konsumen biasanya tidak bersedia untuk membayar pemanfaatan atas barang publik, karena manfaat yang akan dirasakan oleh setiap orang akan sama saja, baik jika dia membayar ataupun tidak. Apalagi jika semakin banyak orang yang menggunakan barang tersebut, manfaat yang dirasakan masing-masing individu akan semakin tidak berarti apa-apa. Akibatnya tidak akan ada pembayaran yang dilakukan secara sukarela. Dalam kondisi seperti ini tentunya diperlukan campur tangan dari pemerintah.
Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar Dalam suatu sistem ekonomi pasar yang bersaing sempurna, kriteria efisien akan dapat digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya. Di sini diasumsikan bahwa terdapat adanya hak kepemilikan eksklusif terhadap semua sumber daya produktif yang tersedia di pasar dan tidak ada individu yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atas komoditi atau produk yang diperjualbelikan. Harga atas suatu komoditi sudah disepakati atau harus identik untuk semua pembeli dan penjual. Hal ini berarti tidak ada distorsi
50
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
pasar yang akan mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang diterima oleh penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli. Bila semua kondisi tersebut telah terpenuhi, sistem ekonomi pasar akan dapat menjamin penggunaan sumber daya secara efisien dalam penyediaan barang pribadi. Tentu saja, pandangan ini merupakan gambaran paling ekstrim dari sistem pasar. Dalam kenyataannya banyak kesulitan yang terjadi, sehingga pasar dapat menjadi ajang persaingan yang tidak sempurna. Distorsi yang disebabkan oleh iklan, misalnya, akan mengakibatkan konsumen kekurangan informasi atau dapat tersesatkan, dan hal ini berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh kosumen dan produsen tidaklah sama. Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme pasar, sehubungan dengan pemenuhan kriteria efisien. Di sinilah kemudian terjadi alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi dalam sistem ekonomi pasar. Alasan pertama adalah bahwa pemerintah diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat beroperasi secara efisien, terutama dalam hal persaingan. Alasan kedua, pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras untuk mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta, terutama dalam hal biaya produk dan kualitas produk yang dihasilkannya. Alasan ketiga terletak pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas barang-barang publik, misalnya terhadap sejumlah barang tertentu yang menjadi preferensi konsumen, namun pasar gagal dalam memproduksinya. Efisiensi produksi pemerintah di sini akan menjadi fokus pembahasan selanjutnya.
Barang Publik Istilah barang publik digunakan untuk menggambarkan barang atau jasa apapun yang disediakan oleh pemerintah, mulai dari lampu jalan sampai dengan keamanan nasional. Para ekonom secara lebih spesifik menjabarkan istilah barang publik sebagai barang-barang yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry) dan tanpa pengecualian (non excludability). Kedua sifat tersebutlah yang kemudian akan mengakibatkan kegagalan pasar dalam memproduksi secara efisien. Sifat Tidak Bersaing (Non Rivalry) Sifat tidak bersaing berarti bahwa barang tersebut dapat dikonsumsi sebanyak-banyaknya oleh seseorang tanpa akan mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk dikonsumsi oleh orang lain. Namun perlu dipahami, bahwa sifat tidak bersaing bukan berarti bahwa manfaat yang diterima oleh
51
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
setiap konsumen adalah sama. Misalnya konsumsi atas lampu jalan, seseorang dapat terlindungi dari gelapnya malam, tanpa mengurangi kebutuhan orang lain atas lampu yang sama. Namun, orang yang tinggal di sekitar wilayah lampu tersebut akan lebih merasakan manfaatnya, dibandingkan dengan orang yang tinggal lebih jauh dari wilayah lampu tersebut. Dari berbagai macam barang publik, terdapat barang-barang publik yang mempunyai sifat tidak bersaing dengan kadar yang tinggi dan rendah. Barang publik seperti lampu jalan dan keamanan, sifat tidak bersaingnya tinggi. Sebaliknya, untuk barang publik seperti, jalan lokal, pelayanan kesehatan dan pendidikan, terdapat sifat tidak bersaing yang rendah dalam konsumsinya. Semakin banyak orang dalam suatu wilayah, akan ada kemungkinan sifat bersaing dalam penggunaan barang publik tersebut. Rendah Tinggi Jalan Lokal
Pendidik an
Pelayanan Udara Kesehata bersih n
Keamanan Lampu Jalan
Gambar 4.1 Sifat Tanpa Pengecualian (Non Excludability) Dimensi kedua dari barang publik adalah sifat tanpa pengecualian. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan dalam mencegah seseorang yang tidak memberikan kontribusi (tidak membayar) untuk ikut mengkonsumsi barang publik. Misalkan, A tidak memberi kontribusi dengan membayar pajak, akan sulit bagi pemerintah untuk mencegah orang tersebut agar tidak menggunakan jalan umum, karena apabila pemerintah mencegah dengan cara tidak membangun jalan di sekitar rumahnya, maka hal tersebut akan dapat merugikan orang-orang di sekitarnya yang membayar pajak. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan sifat tanpa pengecualian ini dihilangkan, jika biaya untuk mendapatkan kontribusi konsumen tidak lebih besar dari manfaatnya. Misalnya tempat rekreasi, pemerintah mungkin saja menarik bayaran dari para pengunjung, selama biaya yang dikeluarkan untuk membayar staf penjaga tempat rekreasi tersebut tidak lebih besar dari pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, sama halnya dengan sifat tidak bersaing, terdapat garis spektrum yang menggambarkan tinggi rendahnya sifat tanpa pengecualian Rendah Tinggi
52
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Tempat Parkir
Tempat Rekreasi
Perpustakaan
Udara Bersih
Pendidikan
Jalan Lokal
Gambar 4.2
Barang Publik Versus Barang Pribadi Gambar 4.3. dan 4.4 di bawah ini menguraikan tentang perbedaan antara barang publik dan barang pribadi dalam suatu masyarakat yang diasumsikan hanya terdiri dari dua kelompok individu, yaitu A dan B. Gambar 4.3 mewakili barang pribadi yang mempunyai sifat bersaing dan pengecualian yang sangat tinggi. Kurva permintaan pasar (Dt) diperoleh dengan menambahkan secara horizontal kurva permintaan A (Da) dan kurva permintaan B (Db). Kurva permintaan pasar Dt berhimpitan dengan kurva permintaan Db, selama tingkat harga masih cukup tinggi, selanjutnya pada saat tingkat harga sudah cukup rendah, A dapat masuk ke dalam pasar sehingga kurva permintaan pasar Dt berbelok. Semua titik-titik dalam kurva permintaan pasar Dt merupakan gabungan dari titik-titik harga dan kuantitas yang diminta dalam kurva permintaan A dan B. Kurva penawaran pasar SS memperlihatkan biaya marginal (MC) yang dapat dibebankan kepada A dan B secara bersama-sama untuk berbagai output dari barang pribadi. Perpotongan antara kurva SS dan Dt menentukan titik ekuilibrium harga P1 dan titik ekuilibrium kuantitas Qt. Dengan catatan bahwa Qt merupakan penjumlahan dari Qa (barang yang dibeli oleh A) dan Qb (barang yang dibeli oleh B). Kurva Permintaan, Penawaran dan Equilibrium Pasar Atas Barang Pribadi
Harga
S = MC P1
E
Dt
Db
53
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
Gambar 4.3. Gambar 4.4 memperlihatkan pola yang sama namun untuk barang publik. Situasi yang berbeda terjadi di sini, karena barang publik mempunyai sifat tidak bersaing dan tanpa pengecualian, sehingga barang yang dikonsumsi oleh A sama jumlahnya dengan barang yang dikonsumsi B, baik manfaat yang diterima A lebih besar maupun lebih kecil. Misalnya A sebagai warga kota Jakarta dapat menggunakan seluruh jalan kota maka demikian juga halnya dengan B, meskipun A memiliki mobil sedangkan B tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini perbedaan terjadi bukan pada kuantitas yang dikonsumsi oleh masing-masing orang, tapi lebih kepada perbedaan dari manfaat marjinal dari setiap konsumen atau harga yang dibayarkan oleh masing-masing konsumen. Berdasarkan karakteristik dari barang publik tersebut, dalam kurva 4.4 tampak bahwa terdapat suatu titik yang menunjukkan maksimum harga yang bersedia dibayar oleh individu A (PA). Alasan atas kondisi ini, karena pada titik tersebut A memperoleh manfaat yang maksimum. Di atas harga PA, individu A tidak lagi bersedia untuk membayar atas barang publik tersebut, karena A tidak lagi memperoleh tambahan manfaat atas barang tersebut. Sementara individu B masih bersedia membayar sampai ke tingkat harga PB atas barang publik yang sama, dikarenakan manfaat marjinal atas barang tersebut masih terus diterima oleh B. Kurva Permintaan, Penawaran dan Equilibrium Pasar Atas Barang publik
Harga S = MC
P1 PB
PA
E Dt
54
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Gambar 4.4. Masih dalam gambar 4.4, tampak bahwa kurva permintaan pasar (Dt) berbelok pada tingkat kuantitas barang publik yang memberikan tingkat manfaat maksimum pada A – sehingga A tidak bersedia membayar harga tambahan lagi. Di atas harga tersebut (PA) tambahan barang publik dibayar oleh individu B. Sebagai contoh, dalam penyediaan jalan raya, individu A hanya bersedia membayar dengan harga cukup, karena mungkin hanya itu kebutuhannya. Sementara di lain pihak, individu B bersedia membayar lebih banyak lagi untuk penyediaan jalan raya, sebagai kompensasi atas kebutuhannya terhadap jalan tersebut. Maka total harga yang bersedia dibayar oleh pasar, adalah total harga yang bersedia dibayar oleh seluruh individu dalam pasar (P1=PA+PB).
Penyediaan Barang Publik Ketika pemerintah melakukan fungsi penyediaan barang publik, trade off dari penyediaan barang publik oleh pemerintah dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar dapat digambarkan dengan kurva kemungkinan produksi. Gambar 4.5 menunjukkan alternatif kombinasi antara barang publik dan barang pribadi, dengan asumsi seluruh sumber daya yang ada digunakan. Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual dan tersedia di pasar, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain. Sedangkan barang publik adalah barang-barang yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar, seperti: jalan umum, pendidikan, keamanan nasional dan lain-lain. Kurva Kemungkinan Produksi
55
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
Gambar 4.5 Titik A dalam gambar menunjukkan bahwa MX1 unit adalah jumlah barang pribadi yang dikorbankan oleh masyarakat sehingga pemerintah dapat menyediakan barang publik sejumlah OG1. Pengorbanan masyarakat merupakan harga sumber daya yang seharusnya digunakan untuk memproduksi barang pribadi digunakan oleh pemerintah untuk dapat menyediakan barang publik. Sumber daya yang dikorbankan tersebut adalah harga yang harus dibayar oleh masyarakat atau pajak yang diminta oleh pemerintah agar barang publik dapat tersedia. Peningkatan jumlah barang publik yang tersedia di pasar dalam satu tahun dari OG1 ke OG2 (titik B) akan meminta penurunan dari jumlah barang pribadi di pasar dari OX1 ke OX2, atau dengan kata lain meminta pengorbanan lebih besar dari MX1 ke MX2, jika diumpamakan peningkatan jumlah barang publik per tahun merupakan respon pemerintah atas peningkatan permintaan masyarakat terhadap keamanan nasional. Jika untuk memenuhi kebutuhan keamanan nasional tersebut pemerintah harus meningkatkan pajak penghasilan, maka kualitas keamanan yang disediakan pemerintah akan meningkat dan masyarakat akan merasa lebih aman. Namun di sisi lain, pengorbanan dari pihak masyarakat terjadi dengan menurunnya kemampuan konsumsi atas barang-barang pribadi.
Penyediaan Barang melalui Anggaran Sebagaimana telah diterangkan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam rangka penyediaan barang publik diperlukan adanya campur tangan pemerintah. Permasalahan yang timbul kemudian adalah tentang jenis dan kualitas barang seperti apa yang harus disediakan oleh pemerintah. Masalah lain yang juga
56
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
timbul adalah ketika pemerintah perlu menetapkan jumlah uang yang harus ditarik dari masyarakat untuk menyediakan barang publik tersebut. Oleh karena itu, diperlukan proses politik untuk mengungkapkan preferensi masyarakat kepada pemerintah tentang barang publik apa yang perlu disediakan dan melengkapinya dengan sumber-sumber pembiayaan yang dibutuhkan untuk membayar barang-barang publik tersebut. Pengungkapan preferensi masyarakat kepada pemerintah dapat dilakukan melalui proses pemungutan suara. Proses tersebut harus diawali dengan memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat tentang pentingnya memberikan suara mereka, karena adanya mekanisme mengikuti keputusan suara terbanyak dalam proses yang demokratis. Namun dalam prakteknya, banyak anggota masyarakat merasa bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk menyatakan tuntutan mereka seringkali lebih besar dari manfaatnya. Hal ini diakibatkan tidak cukupnya informasi yang disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah. Dasar pemikiran tentang komunikasi efektif antara pemerintah dan masyarakat mengikuti logika kepentingan setiap individu dalam masyarakat. Secara normatif, masyarakat dalam sistem yang demokratis akan terhindar dari apatisme anggotanya dalam proses pengambilan keputusan politik. Setiap orang akan dengan senang hati ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik – mulai dari sekedar memberikan suara, berkampanye, menyumbang bahkan sampai keluar dari pekerjaannya – jika mereka merasa bahwa ada akibat langsung dari kebijakan politik pemerintah kepada mereka. Sementara itu, apabila suatu usulan kebijakan tidak berpengaruh langsung atau kecil pengaruhnya - masyarakat akan merasa enggan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut, karena biaya yang mereka keluarkan akan lebih besar dari manfaat yang akan mereka terima. Agar dapat berfungsi sebagai mekanisme yang efisien dalam mengungkapkan preferensi, maka proses pemungutan suara harus mengaitkan keputusan perpajakan (sebagai alat pendanaan) dengan keputusan anggaran pengeluaran atau belanja publik. Para pemberi suara kemudian akan dihadapkan pada suatu pilihan di antara beberapa usulan pengeluaran publik berkaitan dengan sumbangan pajak mereka. Pilihan para pemilih akan tergantung pada pengetahuan mereka sendiri serta kesadaran mereka bahwa orang lain juga menyumbang sesuai dengan rencana perpajakan yang dianut.
Keterbatasan Jangkauan Manfaat atas Barang Publik Pada dasarnya, barang publik disediakan bagi semua orang yang mempunyai kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam prakteknya, ada
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
57
barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di dalam negara (berskala nasional) dan ada barang publik yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu (berskala lokal). Melihat sifatnya tersebut, barang publik berskala nasional lebih tepat disediakan oleh pemerintah pusat, sementara barang publik berskala lokal lebih tepat disediakan oleh pemerintah lokal atau pemerintah daerah. Barang publik berskala lokal dalam garis kontinum, seperti yang terlihat pada gambar 5.1. dan 5.2., mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah. Selain itu dalam skala lokal akan lebih dimungkinkan untuk mengatasi permasalahan free rider. Sebagai contoh, dalam suatu kelompok yang kecil, kontribusi seseorang baik itu berupa waktu, uang, maupun pemberian suara akan dapat menciptakan perubahan atas suatu keputusan. Berpartisipasi atau tidak berpartisipasi akan menjadi sangat terlihat, sehingga akan lebih memperkecil timbulnya masalah free rider. Tentunya akan lebih mudah bagi pemerintah lokal untuk menarik kontribusi dari para pengguna barang publik yang disediakan (seperti tiket masuk tempat rekreasi, karcis parkir, tol, atau retribusi pasar) dengan tarif ataupun biaya yang rendah. Dari sisi pengguna, mereka tidak akan merasa keberatan membayar untuk dapat menggunakan barang publik tersebut, karena akan lebih jelas manfaat yang dapat mereka peroleh bila dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Sebaliknya, bagi yang sedikit memberikan berkontribusi atau bahkan tidak sama sekali, maka akan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali manfaat yang akan mereka dapatkan. Dari sini dapat terlihat bahwa biaya marginal dari setiap tambahan penggunaan atas barang publik ini sama dengan atau paling tidak mendekati nol. Artinya para pengguna seharusnya akan lebih termotivasi untuk menggunakan barang-barang ini sampai pada titik dimana manfaat marjinal yang mereka peroleh sama dengan atau mendekati nol. Mereka akan terus menambah konsumsi mereka atas barang publik ini sampai manfaat yang mereka dapatkan maksimal, selama tidak ada tambahan biaya yang harus mereka keluarkan. Sebagai contoh, seorang pengguna jalan tol dalam kota akan masuk dari pintu terdekat dengan tempat dia berangkat dan keluar dari pintu terjauh, tapi paling dekat dengan tempat tujuannya, dari manapun dia masuk dan dimanapun dia keluar biaya yang harus dikeluarkan adalah sama. Berbeda dengan pengguna jalan tol luar kota, dia akan berpikir dari pintu tol mana dia harus masuk dan di pintu tol mana dia harus keluar, dengan mempertimbangkan kondisi kemacetan (biaya oportunitas) di luar jalan tol. Hal ini disebabkan, untuk setiap tambahan pintu tol yang dia lewati, harus ada tambahan biaya yang dikeluarkan.
58
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Barang publik berskala lokal adalah barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah lokal, yang dalam garis spektrum mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah. Dari berbagai macam barang publik jenis ini, ada yang disebut dengan istilah congestible goods, yaitu barang publik yang mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah hanya pada waktu penggunaannya padat atau penggunanya mencapai jumlah tertentu. Sementara itu, pada waktu yang lain ketika jumlah pengguna barang ini hanya sedikit, maka sifat tidak bersaingnya akan menjadi tinggi. Sehingga, jika pemerintah lokal harus menarik kontribusi atas pengguna barang publik ini, maka biaya marjinalnya bisa akan lebih mahal dari manfaat marjinalnya. Apabila dimungkinkan, pemerintah lokal tidak perlu menarik kontribusi dari pengguna barang publik ini. Gambar 4.6. memperlihatkan bahwa tambahan permintaan atas congestible goods pada musim sepi jumlahnya sedikit (pergeseran dari titik O ke D1 sampai ke D2), begitu juga biaya marginalnya yang tetap. Sebegitu rendah permintaannya sehingga pemerintah lokal merasa tidak perlu ada penarikan retribusi atas pengguna barang publik tersebut. Di lokasi perkantoran misalnya, dimana pada hari-hari libur hampir tidak ada mobil yang datang berkunjung, pemerintah dapat menghilangkan biaya parkir, jadi perlu juga tidak ada penjaga gerbang sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghapus biaya marjinal. Strategi lain dalam memperlakukan congestible goods adalah dengan menggunakan dua macam tarif, yaitu tarif tinggi pada musim padat dan tarif rendah pada musim sepi. Misalnya pada tempat-tempat rekreasi, pada musim liburan dimana pengunjungnya sangat padat, dapat dikenakan tarif tinggi, sedangkan untuk hari kerja atau sekolah, para pengunjung dapat menikmati tempat rekreasi dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini diharapkan dapat menarik minat pengunjung untuk mau masuk ke tempat rekreasi tersebut, sehingga biaya menempatkan penjaga gerbang akan tertutup dari pembayaran tiket masuk. Kurva Permintaan Congestible Goods
Harga MC
P1 D3
59
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
Gambar 4.6.
Efisiensi Penyediaan Barang Publik oleh Pemerintah Dalam hal efisiensi penyediaan barang publik oleh pemerintah, seorang ekonom Italia mengusulkan konsep efisiensi yang dikenal dengan istilah Efisiensi Pareto (Pareto Efficiency). Efisiensi Pareto didefinisikan sebagai suatu pengaturan ekonomi tertentu adalah efisien jika di sana tidak dapat dilakukan pengaturan kembali yang akan menyebabkan seseorang menjadi lebih baik tanpa merugikan posisi orang lain. Pada kondisi efisiensi pareto, tidaklah mungkin untuk mengubah metode produksi, kombinasi barang yang diproduksi, atau besarnya sektor pemerintah dalam usaha untuk membantu seseorang atau kelompok tanpa merugikan orang atau kelompok lain. Jika perubahan itu masih dimungkinkan maka kondisi tersebut belumlah efisien dan peningkatan efisiensi masih diperlukan. Kaidah efisiensi akan mengarah pada terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu agar tercapai pemecahan alokasi yang efisien. Secara sederhana, kita akan mempertimbangkan suatu perekonomian dengan hanya ada dua konsumen, yaitu A dan B serta dua macam barang yaitu X dan Y. Kondisi-kondisi berikut harus terpenuhi untuk mencapai efisiensi pareto: 1. Efisiensi menghendaki bahwa dengan menggunakan teknologi terbaik, jumlah tertentu barang X harus diproduksi sedemikian rupa sehingga memungkinkan diproduksinya Y sebanyak-banyaknya pada saat yang sama dan demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, jika suatu teknologi memungkinkan diproduksinya 10 unit barang X dan 8 unit barang Y, sedangkan teknologi lain memungkinkan diproduksinya 10 unit barang X dan hanya 5 unit barang Y, maka jelas bahwa teknologi pertama yang akan terpilih. 2. Tingkat substitusi marjinal dalam mengkonsumsi barang X dan Y harus sama baik bagi konsumen A maupun B. Artinya tingkat dimana
60
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
A dan B berkeinginan untuk menukarkan unit barang X dengan barang Y haruslah sama. Jika A ingin memberikan satu unit barang X untuk dua barang Y, sedangkan B mau menukarkan tiga unit barang Y untuk satu unit barang X, maka hal ini akan menguntungkan keduanya bila melakukan pertukaran, dimana A akan dapat meningkatkan konsumsinya terhadap barang Y sedangkan B dapat meningkatkan konsumsinya terhadap barang X, sampai tercapai tingkat substitusi marjinal yang sama. 3. Tingkat substitusi marjinal barang X untuk barang Y dalam konsumsi haruslah sama dengan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi. Tingkat transformasi marjinal dapat didefinisikan sebagai suatu tambahan unit barang X yang dapat diproduksi bila produksi barang Y dikurangi satu unit. Jadi jika tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi adalah 3X dan 2Y, sedangkan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi adalah 3X untuk 1Y, maka akan lebih diinginkan untuk meningkatkan output barang X dan mengurangi barang Y sampai kedua tingkat tersebut menjadi sama.
Alokasi yang Efisien Melalui Mekanisme Pasar Sekarang kita pertimbangkan suatu kondisi dimana cukup baik tidak hanya untuk produksi barang publik tetapi juga untuk produksi barang pribadi. Bagi barang pribadi yang tersedia melalui mekanisme pasar (dimana produsen akan memproduksi barang-barang yang paling diinginkan oleh konsumen atau preferensi konsumen teridentifikasi dengan jelas), produsen akan memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan metode biaya sekecil mungkin (memenuhi kondisi 1). Selanjutnya, konsumen akan mengalokasikan anggaran belanjanya di antara barang-barang tersebut sedemikian rupa sehingga menyamakan tingkat substitusi marjinal mereka dengan rasio harga barang (memenuhi kondisi 2). Harga per unit yang sama dibayar oleh semua konsumen, tetapi jumlah kuantitas konsumsinya berbeda, tergantung pada selera dan pendapatan mereka. Penjual dalam upayanya untuk memaksimalkan manfaat akan menyamakan biaya marjinal dengan penerimaan marjinal 5 (memenuhi kondisi 3). Dari sini, kita dapat melihat bahwa mekanisme pasar dapat menjamin terlaksananya penggunaan sumber daya yang efisien. Pemecahan efisiensi akan sangat dimudahkan dengan menggunakan pendekatan mekanisme pasar, karena di sini konsumen didorong untuk 5
Dalam keadaan bersaing, produsen akan menyamakan biaya marjinal dengan harga atau pendapatan rata-rata.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
61
menyatakan preferensi mereka, sehingga produsen termotivasi untuk memproduksi apa yang diinginkan oleh konsumen. 6 Namun kembali kepada masalah bahwa tidak semua barang bisa disediakan melalui mekanisme pasar, oleh karenanya harus disediakan oleh pemerintah. Pemecahan masalah efisiensi kembali perlu untuk ditemukan, sebagaimana pertama kali pernah dikembangkan oleh Samuelson, yang akan ditunjukkan melalui beberapa penjelasan di bawah ini.
Alokasi yang Efisien Atas Barang Publik Sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 4.3 dimana kondisi seluruh sumber daya yang ada dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi, penyediaan barang publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade off dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar. Artinya, setiap penyediaan atas barang publik harus ada pengorbanan dari sumber-sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi. Selanjutnya, jika kita perhatikan pada gambar 4.7 dibawah ini, kita akan melihat bahwa kurva kemungkinan produksi pada sumbu XY paling atas, sekali lagi mencatat kombinasi barang pribadi dan barang publik yang dapat diproduksi dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia. Sumbu XY pada gambar bagian tengah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu A, dan sumbu XY pada gambar bagian bawah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu B. Karena sifat barang publik yang tidak bersaing dan tanpa pengecualian, maka dapat diasumsikan bahwa jumlah barang yang dikonsumsi dari setiap individu adalah sama, sehingga kedua individu tersebut (A dan B) akan berada pada titik yang sama pada sumbu horizontal, tetapi mereka dapat mengkonsumsi barang pribadi dengan jumlah yang berbeda, sehingga keduanya akan berada pada titik yang berbeda pada sumbu vertikal. Akan tetapi, titik-titik ini akan berhubungan dengan kondisi bahwa jumlah barang X yang dikonsumsi oleh A dan B harus sama dengan output total barang X. Sebagai ilustrasi, jika A berada pada titik G pada gambar di bagian tengah, artinya A mengkonsumsi barang publik sebanyak 0F dan barang pribadi sebanyak FG. Dari gambar bagian atas, diketahui bahwa kombinasi output yang paling efisien meliputi barang publik sebanyak 0F dan barang pribadi sebanyak FE. Karena FG dikonsumsi oleh A maka jumlah yang tersisa
6
Ini adalah kelebihan dari the invisible hands sebagaimana yang dikemukakan pertama kali oleh Adam Smith.
62
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
bagi B sama FE-FG = FH, sehingga menempatkan B pada titik H pada gambar bagian bawah. Selanjutnya kita akan melihat pada tingkat kesejahteraan terbaik untuk A dan B. Untuk A misalnya dinyatakan oleh kurva indiferen ia2 pada gambar bagian tengah, menunjukkan bahwa jika A berada pada titik G maka B akan berada pada titik H pada gambar di bagian bawah. Kemudian jika A bergerak sepanjang ia2 ke titik P, T, dan V, berdasarkan alasan yang sama akan menempatkan B pada titik L, Z dan K. Jika A bergerak sepanjang ia2 dari tititk W ke kiri, maka B akan berpindah ke kiri sepanjang ULK. Bagi A, semua titik sepanjang ia2 akan sama baiknya, kesejahteraan A akan menjadi maksimal apabila A mendapatkan suatu titik yang akan dapat membuat B menjadi lebih baik. Hal ini akan terjadi pada titik L, dimana ULK bersinggungan dengan kurva indeferen ib4 dari B pada gambar bagian bawah. Inilah kurva tertinggi yang dapat dicapai oleh B. Jika A berada pada kurva indiferen ia1 pemecahan terbaik adalah dengan membiarkan A dan B pada titik P dan L, dimana output total barang publik (yang paling efisien) sejumlah ON, sedangkan total output barang pribadi sebanyak NM akan dibagi antara A dan B sehingga A menerima sebanyak NP dan B menerima sebanyak NL. Total X D M E
Y
0
N
F
U
C
Jumlah S
Jumlah X untuk A V ia3
P
G
W ia2
ia1 0
N
F
U
Jumlah S
Jumlah X untuk B
K
Z
L
ib1 0
H
ib4 ib3 ib2 Jumlah S
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
63
Gambar 4.7 Jika utilitas A berubah lagi, misalnya ke kurva ia3, maka kita dapat mengulangi prosedur yang sama untuk B. Dalam setiap kasus, kita akan menemukan posisi baru bagi B pada gambar di bagian bawah (dihubungkan dengan ULK) dan satu hasil optimal baru (dihubungkan kepada L). Dengan cara ini, kita akan memperoleh serangkaian pemecahan yang berkaitan dengan berbagai tingkat kesejahteraan untuk A dan B. Semua ini adalah efisien menurut pemikiran Pareto dan memenuhi kondisi kesamaan di antara tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi dan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi.
FUNGSI DISTRIBUSI Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa terdapat dua masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal yaitu masalah penggunaan sumber daya yang efisien dan masalah pendistribusian sumber daya tersebut dengan adil. Dalam pembahasan terdahulu penekanan lebih pada efisiensi, yaitu tentang bagaimana pengalokasian sumber daya di antara berbagai kebutuhan produksi yang saling bersaing guna mencapai suatu tingkat hasil (utilitas atau kepuasan) tertentu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada distribusi yang adil atau merata? Bagaimana keadaan distribusi yang adil dan merata itu yang dimaksud di atas? Ketika istilah efisiensi berada dalam suatu area yang dapat dikatakan mendekati nilai obyektif, istilah keadilan berada dalam suatu area yang sangat berlawanan. Istilah keadilan lebih dekat pada nilai normatif daripada obyektif. Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada teori mengenai peranan faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor produksi dan pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah, tenaga kerja dan modal. Teori ini memainkan peranan yang sangat penting dalam analisis ekonomi, namun demikian penekanan teori peranan produksi lebih pada pengalokasian yang efisien. Agar alokasi sumber daya menjadi efisien maka jumlah faktor produksi yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga nilainya sama dengan nilai biaya marjinal. Walaupun demikian, teori efisiensi alokasi faktor produksi ini bukanlah merupakan teori fungsi distribusi. Sebagai contoh, alokasi faktor produksi dapat dikatakan efisien apabila dasar penetapan harga faktor produksi juga efisien, tanpa memperhatikan masalah
64
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
distribusi akhir dari hasil penjualan produksi tersebut di pasar. Sedangkan, penekanan utama dari teori fungsi distribusi adalah pada bagaimana pendistribusian hasil produksi kepada individu-individu atau keluargakeluarga. Oleh karenanya, masalah distribusi pendapatan terhadap individu maupun keluarga akan dibahas lebih mendalam dalam bagian ini.
Konsep Keadilan Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan kebijakan publik. Apakah ada suatu cara untuk mendefinisikan keadilan? Pertanyaan ini telah memicu munculnya beberapa pemikiran terbaik dari para ekonom dalan kurun waktu dua abad terakhir ini. Idealnya, sistem perpajakan dan belanja publik harus dapat menjamin terciptanya suatu pengorbanan yang adil dari setiap warga negara, bukan dalam ukuran rupiahnya namun lebih pada utilitasnya. Sehingga apabila ada dua kelompok ekstrim dalam masyarakat, si miskin dan si kaya, akan terasa sangat logis jika standar adil dalam pengorbanan dipenuhi melalui sistem yang menjamin bahwa kontribusi si miskin harus lebih kecil dari kontribusi si kaya. Selanjutnya, masih dalam konteks ideal, fungsi pendistribusian oleh pemerintah dapat mencakup proses penarikan dana (melalui pajak) dari si kaya dan mentransfernya kepada si miskin baik itu dalam bentuk uang ataupun jasa. Namun pada kenyataannya, sebagian besar pendistribusian yang dilakukan pemerintah tidak menguntungkan bagi si miskin, melainkan tetap lebih memihak kepada si kaya. Konsep Keadilan Horizontal Salah satu jawaban atas dilema dalam mendefinisikan dan mengukur keadilan adalah konsep keadilan horizontal. Dalam konsep ini, diasumsikan bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang sama untuk menikmati pendapatan, atau paling tidak, kapasitasnya berada dalam suatu interval tertentu. Oleh karena itu, dari setiap orang akan ditarik pajak dengan jumlah yang sama. Sedangkan pemerintah akan menyediakan sejumlah barang publik yang sama pula. Permasalahannya adalah bahwa dalam suatu perekonomian, tidak hanya sekedar persoalan pendapatan. Pendapatan sendiri harus mencakup masalah seluruh pendapatan seumur hidup seseorang, bukan hanya pendapatan dalam satu tahun. Selain itu, hal lain yang mungkin perlu dimasukkan ke dalam pertimbangan adalah masalah kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, atau kondisi-kondisi khusus lainnya seperti ketidakmampuan (cacat), dan kondisi
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
65
kesehatan seseorang. Jadi, secara umum, pengukuran menggunakan konsep keadilan horizontal sulit ditemukan. Contoh konkrit dari konsep ini dapat ditemukan pada tiket masuk suatu tempat rekreasi yang tidak membedakan orang per orang. Jadi, setiap orang dianggap sama, tidak perduli kaya atau miskin, tua atau muda, cacat atau normal dan sebagainya. Konsep Keadilan Vertikal Konsep kedua dalam mengukur keadilan adalah konsep keadilan vertikal. Dalam konsep ini, keadilan berarti memperlakukan setiap orang secara berbeda disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Dasar pengukuran dapat berupa pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau kemampuannya untuk membayar. Oleh karena itu, melalui konsep ini, jumlah pajak yang ditarik dari setiap orang tidaklah sama, namun disesuaikan dengan kondisi mereka. Tarif pajak progresif – yang akan dibahas lebih lanjut di bagian mendatang – merupakan salah satu contoh konkrit dari konsep keadilan vertikal. Konsep keadilan vertikal juga tercermin dalam metode pengujian rata-rata yang digunakan bagi banyak program pemerintah, seperti pembebasan atau pengurangan biaya sekolah, dan subsidi perumahan dan kesehatan bagi rakyat miskin7. Salah satu kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang dapat dijadikan pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi (misalnya pendapatan) seseorang. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah pendapatan seseorang jika harus dikaitkan dengan perbedaan kemampuan orang tersebut dalam membayar pajak. Apakah seseorang yang mempunyai pendapatan dua kali pendapatan orang yang lain berarti bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan membayar dua kali juga atau tidak. Selanjutnya, dimana harus menetapkan batas suatu jumlah pendapatan sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah tersebut mempunyai kemampuan membayar pajak lebih rendah atau lebih tinggi. Apakah seseorang yang mempunyai jumlah pendapatan Rp 50.000.000,00 lebih rendah kemampuan membayar pajaknya dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai pendapatan Rp 50.000.001,-, sehingga pajak penghasilan menetapkan tarif yang berbeda.
7
Kategori rakyat miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan rata-rata – berdasarkan uji rata-rata – di bawah tingkat pendapatan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
66
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Prinsip Kompensasi Terakhir, konsep ketiga dalam upaya menginterpretasikan keadilan jatuh pada prinsip kompensasi. Keadilan diterjemahkan sebagai optimalisasi pareto yang menyatakan bahwa tidak mungkin merubah kondisi seseorang menjadi lebih baik, tanpa menyebabkan kondisi orang lain sebaliknya (lebih buruk). Jadi dalam konsep ini akan tercipta peraturan atau kebijakan yang mau tidak mau akan terdapat pihak yang menang dan kalah. Ketidakmampuan dalam membandingkan utilitas dari setiap orang, menyebabkan suatu keputusan atau perubahan kebijakan sangat sulit untuk dibuat tanpa mengakibatkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan dan pihakpihak yang dirugikan. Menyadari hal ini, para ekonom mencari beberapa kriteria untuk pengambilan keputusan dimana kondisi pareto optimal tidak mungkin dapat dicapai. Kriteria ini akan memandu pengambil keputusan untuk memilih keputusan terbaik kedua setelah pareto optimal. Salah satu kriteria yang paling sering digunakan adalah prinsip kompensasi8. Prinsip kompensasi sebagian dapat terlihat dalam hal kebijakan perdagangan. Penurunan secara bertahap terhadap hambatan perdagangan internasional akan memberikan keuntungan bagi para konsumen dan eksportir di atas beban para tenaga kerja dan produsen importir dalam industri yang bersaing. Namun kebijakan ini tetap diinginkan karena secara total, kesejahteraan publik akan lebih meningkat. Seandainya hambatan perdagangan tetap dipertahankan sehingga tetap ada dinding yang membatasi suatu negara dalam bertransaksi dengan negara lain, maka tetap saja akan ada pihak-pihak yang diuntungkan sebagai pemenang dan pihak-pihak yang dirugikan sebagai yang kalah.
Faktor-Faktor yang Menentukan Distribusi Tanpa adanya intervensi kebijakan, distribusi pendapatan dan kekayaan akan tergantung pada ketersediaan sumber daya alam dan kepemilikan atas kekayaan. Permasalahannya terletak pada aspek pemerataan dan keadilan. Apabila hukum ekonomi pasar diberlakukan, penggunaan sumber daya yang efisien akan ditentukan oleh nilai penetapan harga faktor produksi yang kompetitif, sehinggga mengakibatkan distribusi pendapatan keluarga juga ditentukan oleh proses pasar. Hal ini sering dipandang sebagai suatu tingkat 8
Prinsip kompensasi menawarkan suatu pedoman dasar untuk memilih dari beberapa alternatif kebijakan dengan ketentuan bahwa seseorang akan menjadi lebih baik atau lebih sejahtera.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
67
ketidakadilan yang besar, terutama dalam distribusi pendapatan modal9. Para ekonom sepakat bahwa dibutuhkan penyesuaian untuk menentukan batas minimum pendapatan untuk kelompok berpenghasilan rendah. Kebijakan penyesuaian tersebut akan menimbulkan inefisiensi dengan menimbulkan tambahan biaya. Dalam ekonomi pasar, distribusi pendapatan ditentukan oleh penjualan faktor produksi tenaga kerja dan modal. Distribusi pendapatan tenaga kerja berkaitan dengan distribusi kemampuan sekaligus keinginan tenaga kerja yang bersangkutan untuk memperoleh pendapatan. Distribusi pendapatan tenaga kerja dan modal terkait dengan investasi pendidikan, yang merupakan pengaruh dari tingkat upah yang dapat dicapai oleh seseorang. Selain bergantung pada turunan dari faktor-faktor produksi tersebut, distribusi pendapatan juga bergantung pada faktor harga. Dalam persaingan sempurna, tingkat harga akan sama dengan nilai dari faktor produk marjinal, oleh karenanya harga-harga tersebut akan bergantung langsung pada sejumlah variabel seperti faktor penawaran, teknologi, dan preferensi pelanggan. Namun dalam banyak kasus, tingkat pengembalian lebih ditentukan oleh pasar persaingan tidak sempurna dimana faktor-faktor institusi seperti struktur gaji, hubungan keluarga, status sosial, ras dan lain-lain masih memainkan peran yang sangat penting. Oleh sebab itu, tingkat pendapatan dari berbagai macam pekerjaan mungkin berbeda sejalan dengan pertimbangan status dibandingkan dengan produk marjinal. Begitu pula dengan kesempatan seseorang untuk memperoleh pekerjaan akan lebih bergantung pada hubungan kekeluargaan dibandingkan dengan kemampuan produktifitasnya, dan akhirnya pola pernikahan juga menjadi faktor terpenting dalam pendistribusian pendapatan. Distribusi pendapatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas, menunjukkan tingkat ketidakadilan yang sangat mencolok. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan persentase dari pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dengan persentase rumah tangga (pemilik modal) yang menghasilkan. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan meningkatnya ketidakadilan dalam pendistribusian pendapatan (Musgrave, 1991).
Distribusi sebagai Suatu Kebijakan Jika sebelumnya pembahasan distribusi lebih terfokus sebagai hasil dari perekonomian pasar, kali ini pembahasan akan difokuskan pada distribusi 9
Distribusi pendapatan modal mencakup distribusi kesejahteraan, sebagaimana telah ditentukan oleh warisan, pola perkawinan, pola hidup dan simpanan semasa hidup.
68
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
sebagai hasil dari suatu kebijakan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, meskipun tidak secara langsung, akan mempunyai dampak distribusional. Misalnya, kebijakan mengenai anti trust atau anti monopoli sebenarnya dirancang untuk mengefisienkan pasar, namun secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan modal dan tenaga kerja pada industri yang terkait dengan kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan riil dari konsumen yang menggunakan produk tersebut juga akan ikut terpengaruh. Contoh lain adalah kebijakan program investasi pemerintah – seperti pembangunan jalan yang tujuannya untuk menyediakan barang publik kepada masyarakat – akan mempengaruhi kesejahteraan berbagai kelompok masyarakat dari segi ekonomi dan tentunya pola distribusi. Oleh karena itu, perancangan kebijakan publik seharusnya juga mempertimbangkan masalah distribusi. Namun sayangnya, sampai saat ini para ekonom belum dapat menetapkan standar distribusi mana yang sebenarnya menjadi patokan, yaitu apa yang seharusnya menjadi kriteria bagi distribusi yang adil dan wajar. Tetapi, karena masalah distribusi sangat erat kaitannya dengan permasalahan kebijakan ekonomi, semestinya para ekonom yang berurusan dengan kebijakan umum pemerintah tidak boleh melepaskan pemikiran mereka dari masalah keadilan dalam distribusi pendapatan. Dalam mempertimbangkan instrumen kebijakan, perlu pula diperhitungkan bobot atau biaya efisiensi. Biaya efisiensi merupakan biaya yang timbul sebagai akibat pilihan terhadap perilaku konsumen atau produsen. Pemecahan optimal menghendaki suatu kombinasi yang kompleks antara pajak dan subsidi. Konsekuensi pilihan instrumen fiskal akan menunjukkan bahwa di satu sisi setiap perubahan harus diselesaikan dengan biaya efisiensi yang minimum. Sedangkan di sisi lain, timbul suatu kebutuhan untuk menyeimbangkan konflik antara tujuan pemerataan dan tujuan efisiensi. Adapun alternatif peralatan fiskal yang dapat diterapkan dalam fungsi distribusi adalah: (1) skema pajak progresif, yaitu pengenaan pajak dimana rasio pajak terhadap penghasilan naik dengan naiknya pendapatan; (2) pajak penghasilan (biasanya progresif) digunakan untuk membiayai pelayanan umum; dan (3) kombinasi antara pajak atas barang mewah dengan subsidi terhadap barang tidak mewah.
Pemecahan atas Distribusi yang Adil dan Merata Seandainya asumsi-asumsi yang mendasari berbagai konsep keadilan dapat digali, dan kemudian konsekuensinya dapat diamati sehingga dapat dipilih satu konsep tertentu untuk diterapkan, maka masalah distribusi akan menjadi
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
69
lebih sederhana. Namun karena belum ada alasan atau nilai-nilai yang terpilih sebagai dasar dalam menetapkan struktur masyarakat yang baik, maka masalah ini tetap belum terpecahkan. Jika diperhatikan, berbagai pendekatan dalam setiap konsep keadilan tidak perlu diterapkan secara murni, tetapi dengan perpaduan satu sama lain. Misalnya jika, prinsip keadilan yang dianut menginginkan tidak adanya satu anggota masyarakat pun yang miskin, maka kebijakan penarikan pajak berdasarkan pada prinsip keadilan horizontal baru akan diterapkan jika memang kondisi tersebut sudah tercapai. Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan modern berlaku prinsip bahwa suatu kondisi ekonomi disebut efisien jika, dan hanya jika, peningkatan kesejahteraan seseorang tidak akan merugikan orang lain (Pareto Optimum). Kriteria ini tidak sama artinya dengan suatu tindakan pendistribusian kembali atas sumber daya yang ada kepada konsumen, tetapi kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat efisiensi pasar. Sedangkan kebijakan distribusi yang optimal dapat diartikan sebagai distribusi yang adil dan distribusi yang merata. Distribusi yang adil mempunyai pengertian yang sangat dalam yang menyangkut pertimbangan sosial dan pertimbangan nilai. Dengan menyimpulkan berbagai faktor, pernyataan yang telah diterima secara luas, orang harus dikenakan pajak sesuai dengan kemampuan mereka membayar. Fokus perhatian distribusi yang merata terletak pada aspek posisi pendapatan relatif, yakni pemerataan secara keseluruhan. Secara lebih detail, aspek pemerataan membahas pencegahan kemiskinan dan penentuan batas minimum pendapatan kelompok berpenghasilan rendah. Kaidah pemerataan mempunyai dua masalah. Pertama, hampir tidak mungkin membandingkan tingkat utilitas masing-masing individu atas pendapatannya. Kedua, besarnya pendapatan yang tersedia untuk dikenakan pajak, tidak dapat dipisahkan hanya dengan cara mendistribusikan pendapatan tersebut. Simpulan umum berkaitan dengan pemerataan adalah bahwa kebijakan distribusi harus memperhitungkan cakupan tambahan biaya secara inefisiensi.
Redistribusi Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai fungsi distribusi yang menekankan pada pertanyaan dasar mengenai apa yang dimaksud dengan distribusi yang adil dan merata. Pertanyaan berikutnya sekarang adalah perlu tidaknya untuk mempertimbangkan atau bahkan menanggulangi masalah
70
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
distribusi yang kurang adil dan merata. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan redistribusi yang ditetapkan melalui proses anggaran. Kebijakan redistribusi mempelajari sampai sejauh mana dan dengan cara bagaimana mengubah keadaan distribusi yang telah ditentukan oleh pasar dan lembaga publik yang ada saat ini. Selanjutnya, hasil dari kebijakan ini dapat dievaluasi berdasarkan respon dari setiap pihak yang dirugikan atau diuntungkan pada proses tersebut . Pada gilirannya, hal ini bisa mempengaruhi bagian dari pendapatan nasional yang tersedia untuk redistribusi dan juga bisa menimbulkan biaya yang tentunya harus dipikul. Sebagian orang akan menolak adanya kebijakan redistribusi, jika hal tersebut merupakan kebijakan wajib dari pemerintah. Namun, hal sebaliknya sering kali terjadi jika redistribusi didanai melalui kontribusi sukarela, seperti penggalangan dana di mesjid, gereja, organisasi nirlaba dan sumbangan sosial individu. Hal ini dapat meredistribusi posisi pendapatan atau kekayaan yang telah ditentukan oleh kekuatan pasar. Jika kegiatan sukarelawan ini cukup untuk membuat perubahan yang dapat diterima, terjadi penurunan atas tingkat kemiskinan dan ketidakadilan dalam masyarakat, maka campur tangan pemerintah tidak lagi dibutuhkan. Tetapi apakah mungkin cukup menggantungkan keputusan redistribusi ini kepada individu atau kelompok sosial saja, apakah ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi akan optimal bagi masyarakat. Rasanya hampir mustahil, karena akan sangat mudah bagi setiap orang untuk menghindar dari membayar suatu sumbangan sukarela (menjadi free rider), terlebih dalam kelompok masyarakat yang besar. Di dalam masyarakat yang kecil pun, orang tetap bisa menghindar dari menyumbang secara sukarela, meskipun hal tersebut akan lebih mudah terdeteksi. Beberapa Hal yang Terkait dengan Redistribusi Pembayar pajak – dalam kasus kebijakan redistribusi oleh pemerintah – mungkin mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda dengan para penerima pajak. Secara umum, para pembayar pajak akan lebih tertarik untuk mendapatkan keadilan atas kesempatan dan memastikan apakah dana yang telah mereka keluarkan, dibelanjakan oleh pemerintah dengan seharusnya. Sementara itu di pihak penerima pajak – katakanlah rakyat miskin – lebih tertarik untuk memperhatikan keadilan atas hasil dan memiliki fleksibilitas dalam menggunakan sumber-sumber dana yang mereka dapatkan. Kedua kelompok ini akan memberikan suaranya, dan melakukan lobi politik untuk mempengaruhi pemerintah dengan berbagai cara. Pertanyaan berikutnya bagi pemerintah adalah apakah perhatian mereka terkait dengan konsep redistribusi,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
71
atau apakah harus lebih terpusat pada keadilan atas kesempatan10 atau keadilan atas hasil11. Perbedaan filosofi dari dua pendekatan keadilan redistribusi ini tercermin dalam pribahasa ”Berikan seseorang ikan, maka dia dapat makan untuk satu hari; ajari seseorang memancing, maka dia dapat makan seumur hidupnya”. Secara umum, keadilan atas hasil sebagai suatu strategi anti kemiskinan telah semakin menurun popularitasnya di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada. Isu kedua yang seringkali dipandang berbeda dari pihak pembayar dan penerima pajak adalah bentuk redistribusi. Para penerima akan lebih memilih untuk menerima uang tunai, karena akan lebih memberikan fleksibilitas kepada mereka untuk menggunakan dana tersebut. Di sisi lain pembayar pajak lebih memilih memberikan dananya dalam bentuk barang seperti, pakaian, dan makanan. Seandainya diberikan dalam bentuk uang, pihak pendana akan memasukkan preferensi mereka kepada pihak penerima, sehingga membatasi fleksibilitas penggunaan dana tersebut. Bagi pemerintah, cara yang termudah adalah dengan memberikan jasa pelayanan langsung seperti pelayanan kesehatan dan program pendidikan. Isu penting lainnya dalam masalah redistribusi yang efisien adalah penetapan bagian yang harus diredistribusikan. Redistribusi yang telah dibahas sejauh ini mencakup masalah biaya dan manfaat dimana keduanya harus dipertimbangkan. Pertama-tama, kebijakan untuk melakukan redistribusi dapat mengakibatkan bagian yang tersedia untuk didistribusikan justru menjadi lebih kecil. Hal ini diakibatkan oleh bekerjanya pengaruh perbedaan yang berlaku pada baik pihak pembayar pajak maupun pihak penerima pajak. Hal ini dapat diperlihatkan dalam hubungan antara penawaran tenaga kerja dengan tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi dimana masalah serupa juga akan timbul. Ketika redistribusi ditetapkan sehingga akan menurunkan tingkat pendapatan, maka pada tingkat tertentu sebagian besar masyarakat akan mengurangi usaha mereka dalam mencari pendapatan atau dengan kata lain mereka akan memperbanyak waktu santai mereka, sehingga tingkat produktivitas masyarakat menurun. Hubungan antara pendapatan, waktu senggang dan pajak dapat dilihat pada gambar 4.8.
10
Keadilan atas kesempatan dapat berupa penyediaan pendidikan (terutama dalam bentuk pembebasan uang sekolah dan wajib belajar), pelayanan kesehatan atau jasa lainnya yang dapat membantu masyarakat untuk berkembang atau paling tidak tetap berproduksi. Keadilan ini lebih bersifat filosofi dalam hubungannya dengan sistem pasar. 11 Dalam keadilan atas hasil, penekanannya lebih pada penurunan kesenjangan pendapatan dan penghapusan kemiskinan dengan cepat daripada menekankan pada berinvestasi pada orang miskin.
72
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Pendapatan, Waktu Senggang dan Pajak Pendapatan A1
A2 Y1 Y2 A3 Y3
0
X2 X1 X3
B
Waktu Luang
Gambar 4.8 Gambar 4.8. menunjukkan bahwa pada tingkat dimana seseorang tidak dikenakan pajak (garis A1B), dia akan memilih tingkat pendapatan OY1 dan jumlah waktu luang OX1. Kemudian, ketika pajak mulai dikenakan (garis A2B), pendapatan orang tersebut menurun menjadi OY2, begitu pula jumlah waktu luang yang dimilikinya menurun (OX2) – karena yang bersangkutan harus bekerja lebih giat guna menutupi turunnya pendapatan yang diperolehnya. Namun dapat terlihat bahwa penurunan tingkat pendapatan jauh lebih besar daripada penurunan jumlah waktu luang, atau dengan kata lain tingkat produktifitas meningkat. Namun, kejadian seperti ini tidak akan terus berlanjut, jika pajak terus ditingkatkan. Sebagai contoh, masih pada gambar 4.8, jika pajak terus ditingkatkan (garis A3B), maka tingkat pendapatan akan semakin menurun menjadi OY3, pada titik ini, ternyata orang tersebut justru menambah waktu luangnya (OX3) - mungkin sebagai bentuk penolakannya terhadap pajak. Maka pada tingkat pajak A3B, yang terjadi adalah penurunan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
73
tingkat produktifitas masyarakat. Oleh karena itu, penetapan tarif pajak perlu memperhatikan fenomena ini.
FUNGSI STABILISASI Di era globalisasi ekonomi yang semakin luas, fungsi pemerintah sebagai pengatur (regulator) semakin dirasakan kebutuhannya. Dalam hubungannya dengan persaingan yang terjadi pada ekonomi pasar, fungsi pengatur tersebut dapat berupa beberapa kebijakan baik sebagai pemicu maupun sebagai penghambat persaingan. Tanpa adanya kebijakan tersebut, perekonomian cenderung akan mengalami fluktuasi, peningkatan jumlah pengangguran dan juga akan terjadi inflasi. Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima. Dalam fungsinya menjalankan stabilisasi ini, pemerintah mempunyai dua instrumen penting yakni instrumen moneter dan instrumen fiskal.
Kebijakan Moneter Jika berfungsi dengan baik, suatu mekanisme pasar dijamin dapat diandalkan untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien di antara barang pribadi. Namun, para ekonom setuju bahwa mekanisme pasar tidak dapat dengan sendirinya mengatur jumlah uang yang beredar secara tepat. Sistem perbankan, jika tidak diawasi, akan berjalan tidak teratur, sehingga tidak hanya akan menghasilkan jumlah uang beredar yang tidak sesuai, tetapi juga menimbulkan reaksi dalam permintaan kredit di pasar yang akan cenderung menimbulkan fluktuasi. Oleh karena itu, keberadaan bank sentral sebagai pengawas jumlah uang beredar perlu menyesuaikan jumlah uang beredar dengan kebutuhan ekonomi, baik dalam hal stabilisasi jangka pendek maupun pertumbuhan jangka panjang. Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan kebijakan pasar terbuka. Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan moneter akan berakibat sebaliknya.
74
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal akan mempengaruhi secara langsung tingkat permintaan barang dan jasa. Kebijakan menurunkan pajak dapat dilakukan dalam upaya pemerintah untuk memperbesar total belanja pemerintah, karena para wajib pajak akan mempunyai disposible income yang lebih besar sehingga diharapkan akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar pula. Sejalan dengan itu, suatu kebijakan menambah pengeluaran publik jelas merupakan jenis kebijakan yang bersifat ekspansi, karena juga akan meningkatkan total permintaan agregat. Kebijakan ini, pada awalnya, akan menaikkan tingkat permintaan sektor pemerintah dan kemudian akan diikuti oleh sektor swasta. Di sisi lain, kebijakan defisit anggaran pemerintah akan memainkan peranan yang tidak kalah penting, tergantung pada bagaimana defisit tersebut dibiayai. Pembiayaan defisit akan lebih besar jika defisit tersebut ditutupi dengan pinjaman. Di lain pihak, jika peredaran uang diperketat, maka pinjaman tambahan akan mempertinggi suku bunga sehingga cenderung menghambat transaksi pasar.
Stabilisasi Anggaran Kegiatan-kegiatan pemerintah dalam melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi akan tercermin dalam kebijakan anggaran. Kebijakan anggaran, secara simultan, mempunyai beberapa tujuan berkaitan dengan pemenuhan ketiga fungsi tersebut. Suatu kebijakan publik tertentu mungkin tidak dapat memenuhi tiga tujuan sekaligus, sehingga dimungkinkan akan ada banyak pengecualian. Namun demikian, suatu kebijakan selalu berupaya meminimumkan konflik antar masing-masing tujuan. Ketiga tujuan tersebut adalah: (1) tujuan alokasi, yakni dengan meningkatan pelayanan pemerintah yang diikuti dengan kenaikan pajak; (2) tujuan distribusi, yakni dengan mendistribusikan pendapatan ke kelompok rendah dari kelompok tinggi (atau sebaliknya ke kelompok tinggi dari kelompok rendah) yang diikuti dengan pengenaan pajak progresif (atau sebaliknya regresif); dan (3) tujuan stabilisasi, yakni dengan membuat kebijakan yang lebih ekspasioner yang diikuti dengan menaikkan pengeluaran publik atau dengan menurunkan pajak. Anggaran, khususnya pengeluaran publik, mempengaruhi tingkat permintaan agregat. Perubahan tingkat permintaan agregat pada akhirnya menentukan kesempatan kerja dan tingkat harga. Mau tidak mau, anggaran akan sangat dikaitkan dengan perilaku perekonomian secara makro, pada gilirannya, akan menjadi alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi perilaku tersebut. Lebih jauh lagi, kebijakan anggaran juga mempengaruhi tingkat distribusi output total dengan membaginya di antara konsumsi dan tabungan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
75
(yang membentuk modal) yang selanjutnya mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan anggaran semestinya melibatkan beberapa tujuan yang berbeda, tetapi dalam prakteknya hal ini sering saling tumpang tindih sehingga mempersulit penyusunan kebijakan yang efisien, yaitu kebijakan yang benarbenar adil dalam rangka mencapai tujuan yang beraneka ragam tersebut. Sebagai ilustrasi, misalnya masyarakat menginginkan penurunan tingkat penganguran. Hal ini bisa diwujudkan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dimana salah satu faktor pendukungnya adalah peningkatan total permintaan agregat. Jika pemerintah berinisiatif dengan meningkatkan pengeluaran publik, defisit anggaran dapat ditutupi dengan peningkatan penerimaan dari sektor pajak. Kenaikan pajak pada gilirannya nanti akan dipertanyakan oleh masyarakat tentang cara pendistribusian bebannya. Dalam proses pemungutan suara akan ada pihak-pihak yang mendukung dan menolak terhadap perubahan atas model yang dipilih pemerintah, terutama berkaitan dengan perubahan kebijakan perpajakan. Idealnya, isu stabilisasi dan distribusi tersebut seharusnya dipisahkan. Masyarakat seharusnya bersedia membayar apa yang dianggap sebagai distribusi yang adil. Kemudian, dalam masalah pembiayaan kegiatan pemerintah, wajib pajak selayaknya melihat manfaat yang dapat diambil dari kegiatan tersebut, tanpa harus dihubungkan dengan kontribusinya, karena dua masalah ini sulit diselesaikan secara simultan. Akhirnya, kita dapat mengambil simpulan bahwa penentuan anggaran lebih condong sebagai proses politik ketimbang proses pasar. Proses politik didasarkan pada peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang suatu negara. Dalam suatu negara demokrasi, warga negara mempunyai kesempatan untuk memberikan suaranya dalam memutuskan suatu masalah yang berisi alternatif pencapaian tujuan yang saling bertentangan. Hasil dari proses tersebut tergantung dari hasil pemungutan suara atau dari tingkah laku para politisi yang bermain di dalam pemerintahan tersebut. Proses politik tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain faktor ekonomi, seperti ideologi. Namun demikian, dari sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang berguna bagi seluruh warga negaranya.
RANGKUMAN §
Beberapa fungsi pemerintah dalam perekonomian:
76
§
§
§
§
§ §
§
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
1. Fungsi Alokasi Fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana komposisi barang publik ditetapkan. 2. Fungsi Distribusi penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin pemerataan dan keadilan. 3. Fungsi Stabilisasi Penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran. Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik, yang berbeda sifatnya dengan barang pribadi, tidak dapat disediakan melalui sistem pasar melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individu Kondisi stabil tidak dapat dicapai secara otomatis. Tanpa kebijakan stabilisasi pemerintah, perekonomian cenderung mengalami fluktuasi, pengangguran dan inflasi. Komponen kebijakan moneter mencakup antara lain pembentukan cadangan wajib, tingkat diskonto, kebijakan pasar terbuka dan pengendalian kredit selektif. Mekanisme pasar terjadi apabila ada suatu permintaan dari konsumen, kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling diinginkan oleh konsumen. Mekanisme pasar akan membawa konsumen dan produsen ke suatu titik harga tertentu. Dalam suatu sistem ekonomi pasar yang bersaing sempurna, kriteria efisien digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya. Dalam pasar yang efisien, tidak ada distorsi yang akan mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang diterima oleh penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli. Harga atas suatu komoditi sudah disepakati oleh atau harus identik untuk semua pembeli dan penjual. Alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi dalam sistem ekonomi pasar: 1. Pemerintah diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat beroperasi secara efisien, terutama dalam hal persaingan.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
§
§ §
77
2. Pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras untuk mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta, terutama dalam hal biaya produk dan kualitas produk yang dihasilkannya. 3. Terletak pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas barang-barang publik Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual dan tersedia di pasar, sedangkan barang publik adalah barang-barang yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar. Penyediaan barang publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade off dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar. Artinya, setiap penyediaan atas barang publik harus ada pengorbanan dari sumbersumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi. Barang publik terbagi dua: 1. Barang publik yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry) 2. Barang publik yang mempunyai sifat tanpa pengecualian (non excludability) Pada dasarnya, barang publik disediakan untuk semua orang yang mempunyai kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam prakteknya, ada barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di dalam negara (berskala nasional) dan ada barang publik yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu (berskala lokal). Dua masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal, yaitu: 1. Masalah penggunaan sumber daya yang efisien 2. Masalah pendistribusian sumber daya tersebut dengan adil Teori distribusi biasanya mengacu pada teori mengenai peranan faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor produksi dan pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah, tenaga kerja dan modal. Beberapa konsep dalam mengukur keadilan: 1. Konsep Keadilan Horizontal 2. Konsep Keadilan Vertikal 3. Prinsip Kompensasi Dasar pengukuran konsep keadilan vertikal dapat berupa pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau kemampuannya untuk membayar Beberapa kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah:
78
§
§
§
§
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
1. Bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang dapat dijadikan pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi (misalnya pendapatan) seseorang. 2. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah pendapatan seseorang jika dikaitkan dengan perbedaan kemampuan orang tersebut dalam membayar pajak. Salah satu kriteria yang paling sering digunakan dalam prinsip kompensasi adalah prinsip kompensasi yang menawarkan suatu pedoman kasar untuk memilih dari beberapa alternatif kebijakan dengan prinsip bahwa seseorang akan menjadi lebih baik atau sejahtera. Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima. Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan kebijakan pasar terbuka. Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan moneter akan berakibat sebaliknya.
LATIHAN 1. Dengan adanya beberapa kelemahan pada mekanisme pasar maka peran pemerintah sangat diperlukan dalam perekonomian yang memiliki fungsifungsi tertentu. Sebutkan dan jelaskan fungsi pemerintah tersebut! Di antara fungsi pemerintah tersebut, fungsi manakah yang sulit untuk diperankan dan merupakan permasalahan utama? 2. Sebutkan dua argumen perlunya intervensi pemerintah! Mengapa intervensi pemerintah tersebut diperlukan dalam konteks kegagalan pasar? Dari intervensi pemerintah tersebut terdapat beberapa peran pemerintah. Uraikan secara singkat! 3. Jelaskan akibat-akibat kegagalan mekanisme pasar! 4. Faktor apakah yang menentukan fungsi distribusi? 5. Jelaskan mengenai perlunya kebijakan stabilisasi pemerintah dalam perekonomian?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
79
6. Apa saja yang termasuk dalam instrumen kebijakan stabilisasi? 7. Jelaskan penyebab adanya suatu intervensi pemerintah dalam operasi pasar bebas? 8. Masalah-masalah apakah yang timbul dalam fungsi alokasi? 9. Terangkan dua masalah yang ada pada kaedah pemerataan! Apakah yang dibahas dalam aspek pemerataan tersebut? 10. Terangkan alasan perlunya aturan pemerintah guna menjadi efisien dalam sistem ekonomi pasar? 11. Jelaskan disertai dengan contoh perbedaaan antara barang pribadi dengan barang publik! 12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “Dalam suatu sistem ekonomi pasar, kriteria efisien dapat digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya dimana semua pasar dalam kondisi persaingan sempurna”. 13. Terangkan bahwa biaya marginal dari setiap tambahan penggunaan atas barang publik sama dengan atau paling tidak mendekati nol! 14. Mengapa barang publik dapat mengakibatkan kegagalan pasar dalam produksi secara efisien? 15. Jelaskan arti dari istilah: a. Congestible Goods b. Pareto Efficiency 16. Uraikan salah satu contoh kelemahan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal pada fungsi alokasi yang anda ketahui! 17. Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada teori mengenai peranan faktor produksi. Sebutkan teori-teori yang dimaksud! 18. Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan kebijakan publik. Sebutkan tiga konsep untuk mengajukan keadilan! 19. Apakah inti dari kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi?
80
Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian
KONSEP ANGGARAN
Kebijakan fiskal suatu negara secara keseluruhan terangkum dalam laporan anggaran tahunannya yang di Indonesia dikenal sebagai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Pada masa orde baru, anggaran di Indonesia menganut sistem anggaran berimbang. Pada sistem ini pinjaman luar negeri dimasukkan sebagai unsur penerimaan negara. Sistem ini kemudian dikenal sebagai APBN berimbang dan dinamis. Tujuan utama dari diterapkannya sistem ini pada awal orde baru menurut Seda (2004) dimaksudkan mengurangi hyper-inflation yang mencapai 650% akibat adanya kegiatan pencetakan uang terus menerus untuk menutupi defisit anggaran. Dalam beberapa periode lanjut Seda (2004), sistem tersebut cukup efektif mengendalikan inflasi. Seluruh pengeluaran rutin dalam sistem ini diusahakan untuk ditutup dari penerimaan dalam negeri. Sedangkan pinjaman luar negeri digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Selanjutnya secara terus menerus diusahakan agar penerimaan
84
Bab 5: Konsep Anggaran
dalam negeri dapat lebih tinggi dari pengeluaran rutin sehingga tercipta tabungan pemerintah yang dapat digunakan sebagai bagian belanja pembangunan. Agar tidak terjadi tambahan inflasi akibat adanya hutang, seluruh nilai hutang dipergunakan untuk kegiatan pembelian barang-barang impor. Sistem ini berlaku sampai dengan tahun 1999. Setelah itu diberlakukan balance budget yang mengakui adanya budget surplus dan budget deficit (dibahas pada subbab berikut). Di dalam konsep anggaran perlu dibedakan antara penerimaan versus pendapatan, dan pengeluaran versus belanja. Yang pertama, penerimaan publik tidak selalu berupa pendapatan publik. Karena ada beberapa aktivitas yang mengakibatkan aliran dana masuk yang tidak menambah kekayaan neto negara, seperti penerimaan kembali anggaran pengeluaran yang tidak terpakai. Sedangkan pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan kekayaan neto negara, contoh penerimaan pajak. Berikutnya, pengeluaran publik tidak selalu identik dengan belanja publik. Pengeluaran publik seperti pembayaran pokok hutang akan diikuti dengan pengurangan liabilitas publik sehingga tidak mengurangi kekayaan neto negara. Belanja publik pasti mengurangi kekayaan neto negara, misalnya pembayaran bunga hutang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anggaran adalah suatu rencana keuangan yang merupakan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Setiap anggaran belanja menguraikan berbagai fakta yang khusus (spesifik) tentang apa-apa yang direncanakan untuk dilakukan oleh unit organisasi yang menyusun anggaran belanja tersebut pada periode waktu yang akan datang. Dalam anggaran, dipaparkan adanya rencana pengeluaran yang didasarkan pada ekspektasi pendapatan. Rencana pengeluaran sebaiknya mengindikasikan juga urutan skala prioritas serta ekspektasi kualitas dan kuantitas layanan.
Balance Budget Seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah biasanya melalui prosedur pembahasan oleh lembaga legislatif untuk disahkan setiap tahun, onbudget. Namun ada sebagian kecil anggaran yang dibiayai dengan dedicated fund tidak dibahas oleh lembaga legislatif setiap tahunnya, dikenal sebagai offbudget. Contoh dari off-budget adalah alokasi dana yang diperuntukkan bagi program pensiun dan tunjangan hari tua. Jika rencana pengeluaran melebihi anggaran penerimaan, maka timbul budget deficit sebaliknya jika penerimaan diproyeksikan dapat lebih tinggi dari rencana pengeluaraan maka disebut budget surplus. Pada umumnya on-budget mengalami deficit, sedangkan off-budget mengalami surplus. Apabila
85
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
anggaran disusun dengan mengkonsolidasikan antara on-budget dan offbudget, maka anggaran yang dihasilkan disebut unified-budget.
JENIS-JENIS ANGGARAN Jenis-jenis anggaran meliputi:
a. Anggaran Belanja Line-Item (Line-Item Budgeting) Jenis anggaran belanja yang hanya membuat daftar barang-barang atau obyek-obyek, disebut anggaran obyek pengeluaran atau anggaran belanja lineitem. Anggaran memuat perkiraan dari pengeluaran uang. Pengeluaran tersebut harus jelas maksud dan tujuannya. Apabila dikatakan untuk membeli barang, hal ini adalah sesuatu hal yang masih sangat umum, disebabkan setiap instansi atau departemen mempunyai kebutuhan barang yang berbeda. Oleh karena itu, harus disebutkan secara khusus atau spesifik, obyek-obyek atau item-item apa yang akan dibeli dengan uang yang dianggarkan itu. Bila obyek yang ada dalam line-item budget cukup banyak, maka perlu dibuat pengelompokan ataupun penggolongan. Penggolongan barang tersebut misalnya: jasa-jasa kontrak, perlengkapan dan material serta peralatan, tergantung pada kriteria unit atau organisasi yang bersangkutan. Dari pengelompokan barang-barang inilah maka digunakan istilah obyek atau lineitems. Contoh line-item budget adalah sebagai berikut.
•
•
Jenis Pengeluaran
Jumlah
Pengeluaran Rutin I. Belanja Pegawai II. Belanja Barang III. Subsidi Daerah Otonom IV. Pembayaran Bunga & cicilan Hutang
Rp Rp Rp Rp
XXX XXX XXX XXX
Pengeluaran Pembangunan I. Pembiayaan Rupiah 1. Bunga Kredit Program 2. Bunga Obl. Restrukturisasi Perbankan II. Pembiayaan Proyek
Rp Rp Rp Rp
XXX XXX XXX XXX
Kelebihan sistem anggaran line-item adalah mudah mengawasi penggunaanya, karena mencantumkan dengan jelas barang-barang atau obyekobyek di mana uang itu dibelanjakan. Setiap barang atau kelompok barang dibuat daftarnya disertai angka nilai rupiah, sehingga dari catatan tersebut dapat dilihat secara tepat, apakah anggaran belanja itu dipatuhi dengan baik
86
Bab 5: Konsep Anggaran
atau tidak. Dengan demikian orang yang bertanggung jawab dalam membelanjakan uang itu mudah diperiksa melalui keharusan mengikuti pengeluaran sebagaimana yang telah direncanakan. Sedangkan kelemahan sistem anggaran line-items adalah sulit menyederhanakan berbagai jenis barang untuk dikelompokkan. Di samping itu, terdapat perbedaan pengelompokan barang-barang antara unit atau organisasi yang satu dengan unit atau organisasi barang yang diperlukan setiap organisasi tersebut dan tidak didasarkan atas perencanaan yang menyeluruh dan berkesinambungan, karena perkiraan kebutuhan untuk masa mendatang tidak dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang lebih luas.
b. Anggaran Belanja Berprogram (A Program Budgeting) Suatu anggaran yang berorientasi kepada maksud dan tujuan untuk apa uang dibelanjakan, disebut anggaran berprogram (a program budget). Anggaran berprogram mengelompokan pengeluarannya ke dalam program-program. Penggunaan kata fungsi, kegiatan, atau misi, kadang-kadang diperlukan sebagai pengganti program-program. Dengan kata lain, suatu anggaran belanja yang disusun sesuai dengan tujuan, fungsi-fungsi dan kegiatan-kegiatan pengeluarannya disebut anggaran berprogram (a program budget). Contoh dari anggaran berprogram yang digunakan dalam menyusun APBN Indonesia Tahun 2005 adalah sebagai berikut. Kode
Nama Fungsi, Sub Fungsi, dan Program
Jumlah
01
PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN
XXX
01.01
LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, KEUANGAN DAN FISKAL, DAN LUAR NEGERI
XXX
01.01 01
PENYELENGGARAAN PIMPINAN KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN
XXX
01.01 02
PENYELENGGARAAN PIMPINAN DEPARTEMEN/ LEMBAGA
XXX
01.01 03
PEMBINAAN PRODUK LEGISLATIF
XXX
Kelebihan sistem anggaran berprogram adalah: 1. Memungkinkan kita membuat daftar prioritas dalam memutuskan kegiatan-kegiatan yang akan dibelanjakan. 2. Lebih informatif, karena dapat diketahui tingkat kepentingan tujuan pembelanjaan itu, bukan perincian yang sempit sifatnya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
87
Dengan anggaran berprogram, kita dapat mengetahui tujuan serta maksud membelanjakan uang tersebut. Kemudian, kita juga dapat menetapkan tingkat prioritas untuk membedakan bahwa program yang satu lebih penting dari program yang lain. Oleh karena itu, akan terdapat program yang mendapat dana jauh lebih sedikit dari yang lain sekalipun ia dianggap fungsi yang lebih penting. Dengan demikian, kita tidak cukup menggunakan suatu anggaran yang hanya menyebutkan daftar barang-barang yang akan dibelanjakan, sebab suatu program terdiri atas unsur-unsur program, yang merupakan bagian program yang lebih luas. Sedangkan kelemahan anggaran berprogram adalah lebih sulit dilakukan pengawasan, dibandingkan dengan anggaran line-item (line-item budget). Hal ini disebabkan karena dalam anggaran berprogram, anggaran belanja sistem hanya mencantumkan X rupiah untuk belanja yang satu dan Y rupiah untuk belanja yang lain. Misalnya X rupiah untuk kepentingan ketertiban umum, yang tidak jelas obyek-obyeknya, sebab arti ketertiban umum itu dapat pula untuk pembangunan prasarana fisik (kantor) yang mewah bagi kepentingan ketertiban umum yang menyimpan dari tujuan yang diharapkan. Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan anggaran berprogram dalam segi pengawasan dan tingkat keluwesan (flexibility) adalah dengan cara mengkombinasikan sifat anggaran berprogram dengan sifat anggaran berdasarkan anggaran line-item. Dengan demikian anggaran berprogram yang mempunyai perincian line-item dikaitkan dengan tujuan daripada program. Sekalipun demikian, disebut anggaran berprogram karena tidak hanya sekedar mendaftar barang-barang dan jasa-jasa yang akan dibelanjakan tetapi penyusunan dana itu disesuaikan dengan program-programnya.
c. Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budgeting) Anggaran belanja berbasis kinerja (performance budget) dibangun atas anggaran berprogram. Anggaran belanja berbasis kinerja ini hanya menambahkan keterangan berapa banyak jenis pelayanan yang akan disediakan untuk melaksanakan suatu tujuan. Ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja berbasis kinerja, yaitu, pertama, harus tersedia ukuran hasil kerja (output) yang realistis, artinya berapa banyak suatu hasil yang dapat dibuat dengan biaya itu. Jelasnya unit ukuran yang digunakan harus menguraikan secara nyata (konkrit) apa yang akan dikerjakan. Kedua, langkah selanjutnya adalah menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar.
88
Bab 5: Konsep Anggaran
Dengan demikian, anggaran berbasis kinerja adalah anggaran pelaksanaan yang mencakup kombinasi antara anggaran belanja line-item (line-item budget), anggaran berprogram (program budget), obyek-obyek pengeluaran (seperti persediaan dan bahan), dan data-data hasil kerja. Contoh anggaran belanja berbasis kinerja adalah sebagai berikut. Program: Peningkatan prasarana jalan Kegiatan I: Pembebasan tanah Ukuran hasil: -
Jumlah
Panjang lahan yang dibebaskan: 10 kilometer Biaya pembebasan per kilometer: Rp50.000.000
Jumlah Sub Total
Rp
500.000.000
Jumlah Sub Total
Rp
100.000.000
Total Biaya peningkatan prasarana jalan
Rp
600.000.000
Kegiatan II: Pembangunan jalan Ukuran hasil: -
Panjang jalan yang dibuat: 10 kilometer Biaya per kilometer: Rp10.000.000
d. Zero-based Budgeting Tidak seperti kebanyakan proses pengganggaran yang jumlah dan rincian kegiatannya didasarkan atas anggaran tahun sebelumnya seperti dinaikkan atau sama, zero-based budgeting menggunakan paket-paket anggaran. Seluruh program kegiatan pemerintah harus dijustifikasi setiap tahun dengan tidak mendasarkan atas kemiripan kegiatan yang telah diselenggarakan tahun sebelumnya. Konsep ini banyak didukung oleh para pemerhati anggaran yang tidak menginginkan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu oleh pemerintah. Namun dalam prakteknya, konsep penganggaran ini sulit dilaksanakan sehingga tidak banyak digunakan.
KONSEP PPBS (Planning Programming and Budgeting System) PPBS dimaksudkan sebagai usaha memperbaiki sistem penyusunan anggaran belanja pemerintah yang telah diuraikan di atas. Dalam membicarakan teori PPBS, dapat dijelaskan melalui konsep-konsep sebagai berikut:
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
89
Tujuan Sebagaimana telah diuraikan bahwa suatu anggaran belanja yang berencana (planning budget) disusun dengan penentuan tujuan-tujuan. Konsep tujuan sangat penting dalam sistem ini, karena orang ingin mengetahui mengapa suatu kegiatan dilaksanakan, yang merupakan landasan untuk penilaian kegiatan. Di samping itu dalam sistem anggaran belanja, ditunjukkan hubungan antara cita-cita atau tujuan pemerintah dengan kegiatan pemerintah, yang dikelompokkan menurut tujuannya. Adapun kelebihan penentuan tujuan, adalah: 1) Berguna untuk mengukur efisiensi dan produktivitas dalam pengertian manajemen. 2) Berguna dalam menilai keputusan-keputusan alokasi sumber. 3) Berguna bagi tujuan akhir dari kegiatan-kegiatan suatu pemerintahan.
Output Sekalipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hasil (output), akan tetapi yang dimaksud di sini adalah setiap penyelesaian kerja yang nyata dari seorang karyawan pemerintah adalah hasil (output) pemerintah. Hal ini dapat juga berupa sejumlah formulir pajak yang diproses sampai kepada pembangkit listrik yang menghasilkan sejumlah kilowatt listrik bagi kepentingan masyarakat. Pandangan yang paling umum mengenai hasil dari suatu institusi adalah konsep output yang universal. Konsep output yang universal beranggapan bahwa setiap penyelesaian kerja yang nyata dari suatu karyawan pemerintah dapat dipandang sebagai output. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hasil adalah barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan untuk disalurkan keluar pemerintah.
Pengukuran Biaya dan Manfaat Kegiatan Pemerintah Konsep biaya sebagaimana digunakan dalam PPBS adalah bersifat komprehensif (lengkap). Landasan berpikirnya bahwa dalam menghitung biaya produksi suatu produk (manfaat), kita harus melihat secara menyeluruh biaya-biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan secara nyata. Pendekatan sistem anggaran ini adalah mengaitkan satu sama lain segala sesuatu yang berhubungan dengan produksi, yaitu semua manfaat dan semua biaya yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu, PPBS menghendaki agar dalam pengambilan keputusan yang rasional memasukkan biaya kesempatan
90
Bab 5: Konsep Anggaran
(opportunity cost) sebagai bagian dari biaya-biaya yang relevan terhadap output. Yang dimaksud dengan biaya kesempatan adalah hilangnya kesempatan untuk membelanjakan uang atau waktu atau sumber-sumber lain untuk suatu alternatif tujuan. Misalnya kegiatan menghadiri rapat akan menghilangkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan lain yang memperoleh hasil. Analisis menghitung hubungan antara besarnya input (biaya) dan besarnya output (hasil-hasil yang dicapai) disebut input output analysis. Ukuran efektivitas biaya menunjukkan jumlah hasil-hasil yang dapat dicapai dengan mengeluarkan sejumlah rupiah tertentu. Akan tetapi efektivitas biaya (cost effectiveness) harus dipertimbangkan pula terhadap hasil-hasil dari sudut manfaat biaya (cost-benefits). Untuk itu, di samping mengukur biaya-biaya maupun manfaat menurut nilai sekarang, dibuat juga suatu perbandingan manfaat dan biaya dimana manfaat-manfaat yang dinyatakan dalam nilai uang dibagi dengan biaya-biaya. Jika perbandingan itu lebih besar dari satu (>1) maka simpulannya adalah bahwa proyek tersebut layak, karena manfaatnya melebihi biayanya. Misalnya :
manfaat Biaya
=
Rp50 juta Rp25 juta
=
2 1
= 2 (>1)
Sebaliknya seandainya rasio itu adalah kurang dari satu (<1), maka simpulannya adalah bahwa proyek itu tidak layak, karena biayanya lebih besar dari pada manfaatnya. Misalnya :
manfaat Biaya
=
Rp25 juta Rp50 juta
=
1 2
= 0,5 (<1)
Analisis yang Terbuka dan Jelas Analisis yang terbuka dan jelas merupakan asumsi yang merupakan unsurunsur kunci dan merupakan prasyarat pokok bagi keberhasilan PPBS. PPBS menitikberatkan pada pertimbangan rasional yang didasarkan atas data dan informasi. Hal ini berarti bahwa semua asumsi yang dipergunakan sebagai dasar pertimbangan harus dibuat dan didukung oleh data atau informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mekanisme analisis data dan informasi harus jelas, sehingga asumsi itu bersifat rasional dan objektif. Objektivitas yang selengkap-lengkapnya barang kali tidak mungkin diperoleh, akan tetapi kecenderungan untuk menutupi atau menyembunyikan data kunci harus dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena hasil analisis itu
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
91
mungkin diuji oleh analis-analis lain dan mungkin diulangi lagi dengan menggunakan susunan asumsi yang berbeda.
SIKLUS ANGGARAN Kebijakan fiskal pemerintah suatu negara secara ringkas tercermin dalam anggarannya, yang di Indonesia disebut APBN. Istilah APBN yang dipakai di Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja pemerintah pusat, tidak termasuk anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara. Penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktifitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk lembaga legislatif. Peran lembaga legislatif dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan proses penyusunan menjadi lebih demokratis, transparan, obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Proses perjalanan suatu anggaran yang dimulai dari penyusunan hingga pertanggungjawaban disebut dengan siklus anggaran. Secara umum siklus anggaran terbagi atas empat tahap yaitu: 1. Penyusunan anggaran (budget formulation). 2. Pengesahan anggaran (budget enactment). 3. Pelaksanaan dan pengawasan anggaran (budget execution). 4. Pemeriksaan dan pertanggungjawaban anggaran (budget auditing and assessment).
Penyusunan Anggaran Sebelum dibahas oleh lembaga legislatif, pemerintah berkewajiban menyusun dan mengajukan rancangan anggaran. Rancangan ini memuat asumsi umum yang mendasari penyusunan anggaran seperti perkiraan penerimaan, pengeluaran, transfer, defisit/surplus, dan pembiayaan defisit, dan kebijaksanaan pemerintah. Selain itu juga dimuat perkiraan terperinci pengeluaran dan penerimaan departemen/lembaga, dan proyek, data aktual dan proyeksi perekonomian, dan informasi terkait lainnya. Proses penyusunan dapat memakan waktu hingga beberapa bulan, tergantung kompleksitas struktur pemerintahan yang dilayani. Pada umumnya proses formulasi anggaran dilakukan oleh eksekutif yang khusus menangani anggaran negara. Lembaga tersebut biasanya di bawah naungan Departemen Keuangan yang bertugas mengkoordinasikan dan mengorganisasikan usulan
92
Bab 5: Konsep Anggaran
anggaran pembiayaan dan pengeluaran dari instansi-instansi terkait, serta mendistribusikannya sesuai urutan prioritas kegiatan dan tersedianya dana. Pada kebanyakan negara, anggaran disusun untuk masa satu tahun. Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya sering dijadikan landasan penyusunan anggaran tahun berikutnya. Namun hal ini tidak mencerminkan bahwa seluruh kegiatan harus dibiayai secara bertahap. Pemerintah dapat saja melakukan perubahan drastis terhadap beberapa pengeluaran jika dipandang perlu dipilih sebagai reaksi atas perubahan indikator-indikator perekonomian. Beberapa indikator ekonomi yang biasa diikutkan dalam pembahasan anggaran antara lain: ekspektasi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan karakteristik makro ekonomi lainnya seperti harga minyak mentah dunia. Ada tiga cara dalam menyusun anggaran yaitu: 1. Bottom – Up (dari bawah ke atas) Pada cara ini, penyusunan anggaran dimulai dari unit organisasi yang paling bawah kemudian diteruskan secara berjenjang ke unit organisasi yang lebih tinggi. Dalam mengajukan usulan, unit organisasi yang paling bawah harus memperhitungkan besar kecilnya kegiatan yang akan dilakukan. 2. Top – Down (dari atas ke bawah) Cara ini merupakan kebalikan dari cara bottom – up. Pada cara ini, unit organisasi yang paling tinggi menetapkan batas tertinggi (plafond) anggaran yang dapat dibelanjakan oleh unit organisasi yang lebih rendah. Unit organisasi yang telah ditetapkan batas anggarannya tidak boleh melakukan pengeluaran melebihi dari batas tersebut. 3. Campuran Cara ini merupakan gabungan dari 2 cara di atas. Proses ini dimulai ditandai dengan pengajuan usulan anggaran oleh eksekutif untuk dibahas di lembaga legislatif. Anggota dewan dapat mengundang pihak esksekutif pada waktu pembahasannya, atau memilih untuk mendengarkan opini publik untuk kemudian diambil keputusan. Hal ini biasa terjadi dikarenakan adanya kemungkinan anggota legislatif yang ditunjuk dalam komisi pembahasan anggaran tidak menguasai kerangka kerja anggaran. Faktor politik juga dapat ikut berperan dalam proses pembahasannya. Kesemua itu tidak mempengaruhi dibutuhkannya legalisasi usulan anggaran oleh dewan legislatif. Anggota dewan berhak menolak usulan anggaran yang diajukan pemerintah. Dalam hal tersebut, beberapa negara memungkinkan anggota dewan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
93
menyusun anggarannya sendiri atau memutuskan untuk menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Proses pembahasan selesai setelah usulan anggaran diundangkan atau diamandemen.
Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran Proses berikutnya adalah pelaksanaan anggaran yang telah disetujui dewan. Instansi dan departemen terkait, melakukan belanja publik terbatas maksimal sebesar tertera pada anggaran. Sedangkan untuk penerimaan publik diharapkan dapat melebihi atau minimal sama dengan anggaran yang telah disetujui. Untuk mengefektifkan pelaksaaan anggaran, dibutuhkan kegiatan pengawasan. Prosedur pengawasan eksekusi anggaran dapat berbeda di tiap negara. Menteri Keuangan secara terpusat dapat menerapkan kontrol ketat terhadap prosedur aliran dana keluar, memonitor efektifitas alokasi anggaran ke departemen-departemen lainnya, dan memberi persetujuan terhadap pengeluaran-pengeluaran yang besar. Atau departemen-departemen dibuat lebih independen dalam realisasi belanja publik. Sedangkan tugas Departemen Keuangan hanya memonitor melalui laporan yang disampaikan oleh departemen-departemen. Pada prakteknya, anggaran sering tidak dijalankan sama persis dengan jumlah yang disetujui. Beberapa deviasi menyebabkan beberapa pos pengeluaran tidak terealisasi sebagaimana tertera dalam anggaran. Tetapi pertanyaan harus diajukan oleh tim pengawas manakala terjadi perbedaan yang signifikan tetapi tanpa dasar alasan yang dapat diterima. Kemungkinan dari adanya perbedaan yang signifikan adalah adanya penyelewengan kekuasaan oleh lembaga eksekutif. Bisa juga disebabkan oleh tidak efisiennya mekanisme dan kekakuan pelaksanaan teknis realisasi anggaran di lapangan. Pengawasan anggaran secara kelembagaan dibagi dalam 2 bagian yaitu: 1. Pengawasan intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh unit inspeksi yang betugas melakukan pengawasan di lingkungan departemen yang bersangkutan. 2. Pengawasan ekstern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawasan dari luar departemen. Menurut subyeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan melekat (waskat), yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya. 2. Pengawasan fungsional (wasnal) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh institusi.
94
Bab 5: Konsep Anggaran
3. Pengawasan legislatif (wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh dewan legislatif. Di Indonesia, BPK merupakan lembaga tinggi negara yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah. 4. Pengawasan masyarakat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah. Menurut caranya, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan on the spot melalui inspeksi, sidak, maupun pemeriksaan. 2. Pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan berdasarkan laporan dari pejabat yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, aparat pengawasan legislatif, atau dari masyarakat. Menurut waktunya, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan sebelum kegiatan dimulai, yang disebut sebagai pengawasan preventif 2. Pengawasan selama kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai pengawasan represif. 3. Pengawasan setelah kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai post audit.
Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Siklus terakhir dari anggaran adalah pemeriksaan dan pertanggungjawaban atas efektifitas anggaran khususnya penggunaan pendapatan publik. Jika dimungkinkan, pihak eksekutif harus dapat melaporkan pelaksanaan kebijakan fiskalnya secara lengkap. Agar proses pemeriksaan atas pertanggungjawaban dapat dengan mudah dilakukan. Laporan ini harus diaudit secara reguler oleh badan independen semacam Auditor General (di Indonesia disebut BPK) yang memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaan yang akurat dan tepat waktu. Fungsi pemeriksaan dari lembaga legislatif tidak dimaksudkan untuk menekan pihak eksekutif atau sekedar mencari-cari kesalahan pejabat publik. Tapi lebih ditekankan pada bagaimana memanfaatkan seluruh kekayaan publik pada porsi yang paling menguntungkan ekonomi negara. Manajemen anggaran modern lebih menekankan pada perlunya sosialisasi dan distribusi informasi mengenai anggaran publik agar lebih dapat ditingkatkan efektifitas dan efisiensi prosesnya.
Masalah Umum Anggaran
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
95
Setiap siklus anggaran memiliki problem tersendiri. Problem pada fase penyusunan dan pembahasan lebih banyak akibat adanya campur tangan politik. Sedangkan pada pelaksanaan dan pemeriksaan lebih mengarah pada isu-isu manajemen dan akuntansi. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, kombinasi konflik antara manajemen dan politik perlu diakomodasi secara memadai. Pada umumnya negara berkembang, problem anggaran yang dihadapi meliputi penentuan asumsi-asumsi ekonomi dan indikator fiskal. Negaranegara tersebut seperti halnya Indonesia, menghadapi kerentanan tehadap fluktuasi perdagangan dunia, menentukan jumlah ideal penyerapan pendapatan publik melalui pajak, koordinasi pembangunan terencana dalam jangka panjang serta berkesinambungan. Beberapa permasalahan mungkin diakibatkan oleh faktor-faktor di luar kontrol, akan tetapi banyak juga ketidakefisienan yang disebabkan oleh praktek penyusunan anggaran yang tidak fair. Sebagian anggaran mengalami kebocoran atau penggunaan yang tidak selaras dengan pembangunan perekonomian berkesinambungan. Hal tersebut dapat juga disebabkan oleh lembaga-lembaga legislatif dan pemeriksa yang tidak independen atau tidak mempunyai kapasitas sebagaimana mestinya.
RANGKUMAN §
§
§
Perbedaan antara penerimaan versus pendapatan, dan pengeluaran versus belanja: 1. Penerimaan publik tidak selalu berupa pendapatan publik, karena penerimaan tidak menyebabkan kenaikan kekayaan neto negara, sedangkan pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan kekayaan neto negara. 2. Pengeluaran publik tidak selalu identik dengan belanja publik, karena pengeluaran publik tidak mengurangi kekayaan neto negara, sedangkan belanja publik pasti mengurangi kekayaan neto negara. Jenis-jenis anggaran: 1. Anggaran belanja line-item (line-item budgeting). 2. Anggaran belanja berprogram (a program budgeting). 3. Anggaran berbasis kinerja (performance budgeting). 4. Zero based budgeting. Kelebihan sistem anggaran line-item adalah mengawasi penggunaannya, karena mencantumkan dengan jelas barang-barang atau obyek-obyek di mana uang itu dibelanjakan, sedangkan kelemahannya adalah sulit menyederhanakan berbagai jenis barang untuk dikelompokkan.
96 §
§
§
§
§
§
Bab 5: Konsep Anggaran
Kelebihan sistem anggaran berprogram: 1. Memungkinkan kita untuk memuat daftar prioritas dalam memutuskan kegiatan-kegiatan yang akan dibelanjakan. 2. Lebih normatif, karena dapat diketahui tingkat kepentingan tujuan pembelanjaan itu, bukan perincian yang sempit sifatnya. Dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja berbasis kinerja, yaitu: a. Harus tersedia ukuran hasil kerja (output) yang realistis b. Menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar. Siklus anggaran terbagi atas empat tahap, yaitu: 1. Penyusunan Anggaran (Budget Formulation) 2. Pengesehan Anggaran (Budget Enactment) 3. Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran (Budget Execution) 4. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran (Budget Auditing and Assessment) Tiga cara dalam menyusun anggaran, yaitu: 1. Bottom- Up (dari bawah ke atas) 2. Top-Down (dari atas ke bawah) 3. Campuran Pengawasan anggaran secara kelembagaan dibagi 2 bagian, yaitu: 1. Pengawasan Intern 2. Pengawasan Ekstern Fungsi pemeriksaan dari lembaga legislatif lebih ditekankan pada bagaimana memanfaatkan seluruh kekayaan publik pada porsi yang paling menguntungkan ekonomi negara.
LATIHAN 1. 2. 3. 4. 5.
Apakah perbedaan antara penerimaan versus pendapatan pengeluaran versus belanja? Jelaskan pengertian anggaran! Jelaskan hal-hal yang diuraikan dalam suatu anggaran! Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis anggaran! Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari “line items”!
dan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
97
Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari anggaran berprogram! Sebutkan salah satu cara untuk mengatasi kelemahan anggaran berprogram! Uraikan hal-hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja berbasis kinerja! Apakah konsep PPBS (Planning Programing and Budgeting System) itu? Sebutkan beberapa kelebihan penentuan tujuan! Sebutkan siklus anggaran! Sebutkan beberapa indikator ekonomi yang biasa diikutkan dalam pembahasan anggaran! Uraikan tiga cara dalam menyusun anggaran! Sebutkan dan jelaskan pengawasan anggaran secara kelembagaan! Menurut subyeknya, caranya, dan waktunya, pengawasan dapat dibagi menjadi beberapa hal. Sebutkan dan jelaskan! Jelaskan mengenai masalah umum anggaran!
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Keuangan publik memainkan peranan penting dalam perekonomian negara. Sejumlah kesulitan yang mengganggu kemajuan ekonomi suatu negara harus dipecahkan oleh sektor publik. Namun masalah kelembagaan dan sosial yang dihadapi oleh suatu negara dapat memperpelik dan membatasi tugas kewenangan dalam menetapkan kebijakan anggaran dan stabilisasi. Karena itulah masalah-masalah pembiayaan pembangunan perlu dibicarakan secara khusus dan terpisah.
UNSUR-UNSUR PEMBANGUNAN Dalam rangka pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan, persyaratan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di negara-negara berpendapatan rendah sama halnya seperti persyaratan yang diperlukan untuk
100
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara yang relatif sudah maju. Namun di luar itu, masih banyak persyaratan lain yang diperlukan. Untuk mencapai pertumbuhan, tidak cukup hanya dengan cara penyediaan modal pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi sumber daya manusia) serta proses teknologi yang diperlukan, tetapi juga diperlukan sejumlah perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan sebab dan akibat dari tingkat pembangunan perekonomian yang masih rendah. Dalam hal ini, sektor publik memegang peranan penting terhadap semua unsur pembangunan ini.
Pembentukan Modal Pembangunan Sebagaimana telah diulas pada bagian terdahulu mengenai perkembangan sektor publik di negara-negara maju, sektor publik cenderung tumbuh sejalan dengan pertumbuhan pendapatan. Gambaran semacam itu yang terdapat baik pada negara berpendapatan tinggi maupun rendah. Persyaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikkan produktivitas. Bisa saja pengeluaran itu berupa investasi di sektor publik dan swasta. Pada tahap-tahap awal pembangunan, khususnya dalam bentuk infrastruktur, investasi pemerintah sangatlah penting. Infrastruktur ini akan menjadi kerangka persiapan bagi investasi pada tahap berikutnya, entah itu oleh pemerintah (di negara-negara sosialis) atau oleh swasta (dalam perekonomian pasar bebas). Lebih jauh lagi, pembentukan modal pembangunan meliputi investasi pada sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (training) seperti halnya investasi dalam bentuk fisik. Terdapat berbagai cara penggunaan sumber daya untuk meningkatkan produktivitas, dan perpaduan berbagai cara tersebut harus ditentukan dalam proses perencanaan pengeluaran dan sumber daya. Lebih jauh lagi, prioritas akan selalu berubah, demikian juga dengan bauran investasi yang optimum. Untuk sementara waktu kita akan mengabaikan masalah perencanaan investasi dan memusatkan perhatian pada dari mana kita akan memperoleh sumber daya tambahan untuk investasi tersebut. Jika sumber daya yang terbengkalai tidak bisa dimanfaatkan atau jika sumber daya tambahan tidak dapat diperoleh dari luar negeri, maka konsumsi periode berjalan harus dikurangi agar sumber daya bagi investasi tersedia. Sampai pada tingkat tertentu, mobilisasi sumber daya yang terbengkalai masih mungkin diupayakan. Misalnya, banyak negara berpendapatan rendah
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
101
mempunyai sedemikian banyak tenaga kerja yang terbengkalai dan lapangan kerja bagi mereka bisa tersedia hanya dengan usaha pembangunan yang sangat sederhana tetapi menyerap banyak tenaga kerja seperti pembangunan drainase, irigasi, jalan, dan bendungan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah hanya perlu berperan sebagai pengorganisasi bagi pemanfaatan sumber daya. Tetapi di lain pihak, sumber modal pembangunan semacam ini mempunyai keterbatasan tersendiri dan penyediaan lapangan kerja bagi para pengangguran mungkin akan memerlukan investasi pendukung tertentu. Kemungkinan lain adalah dengan mengusahakan sumber daya investasi dari luar negeri dalam bentuk pinjaman dan bantuan pemerintah atau sebagai investasi swasta. Akan tetapi, semua itu tentunya tidak akan mencukupi, dan walau bagaimanapun juga bantuan tersebut tidak akan diperoleh tanpa adanya usaha pendukung dari negara penerima bantuan. Para investor swasta dari luar negeri, sebagaimana halnya dengan investor domestik, memerlukan infrastruktur yang tersedia secara memadai dan bantuan pemerintah negara lain baru akan diberikan jika telah ada rencana pembangunan yang dirumuskan dengan baik. Hal ini akan mencakup ketentuan mengenai peningkatan investasi domestik yang sebagian besar dibiayai dengan pajak. Selanjutnya, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah besar adalah bagaimana mengalihkan sebagian konsumsi periode berjalan untuk digunakan sebagai sumber daya pembangunan. Pada perekonomian yang dikendalikan secara terpusat di mana badan usaha milik negara memegang dominasi, pengalihan ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian hasil pengembalian (returns) yang dibayar kepada faktor produksi sehingga pembayaran lebih kecil dari hasil produk marjinal. Tetapi pada perekonomian yang didesentralisasi, pembentukan modal dari hasil internal pasti akan berasal dari tabungan pemerintah atau swasta. Dalam kadar tertentu, jika keadaan cukup mendukung, kenaikan tingkat tabungan secara sukarela bisa terjadi lebih besar dari sektor swasta. Di sinilah diperlukan suatu usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas moneter sehingga kebiasaan menabung tidak diredupkan oleh inflasi yang tak berkesudahan. Di samping itu, pemerintah juga bisa berperan dalam penyediaan dan pembentukan lembaga keuangan yang cocok guna menarik tabungan rumah tangga dan menggunakannya secara produktif. Usaha terakhir ini sangat penting bagi para penabung kecil karena bagi mereka umumnya tidak tersedia sarana penabungan perorangan selain daripada meminjamkannya dengan risiko tinggi atau dengan menukarnya dengan barang berharga seperti logam mulia. Dalam kondisi ini, perpajakan akan sangat berperan untuk memberikan insentif bagi tabungan atau disinsentif bagi konsumsi barang-barang mewah. Tabungan perusahaan juga dapat dirangsang
102
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
melalui sistem penarikan pajak laba usaha yang mendorong ditahannya dan diinvestasikannya kembali laba usaha. Tabungan swasta secara sukarela, meskipun bermanfaat dan penting, tidak mungkin akan cukup, khususnya pada tahap awal pembangunan.
KEBIJAKAN STRUKTUR PERPAJAKAN Kapasitas Kena Pajak dan Upaya Perpajakan Walaupun merupakan suatu hal yang esensial untuk mengetahui berapa tingkat penerimaan pajak yang diperlukan guna menjamin tingkat pertumbuhan tertentu, namun kelayakan tingkat pengenaan pajak itu sendiri merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam menentukan target pertumbuhan. Dalam hal ini, kebijakan perpajakan harus dipertimbangkan secara bersama-sama dengan aspek-aspek lain dari kebijakan pembangunan, tetapi hal itu tidak bisa dianggap sebagai variabel dependen di dalam sistem tersebut yang berubah secara otomatis sesuai dengan pengenaan pajak yang diperlukan. Jika demikian, bagaimana kita dapat menilai kemampuan membayar pajak dari suatu negara dan bagaimana kelancaran pembayaran pajak dapat diukur? Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa besarnya sektor publik di negara-negara maju tidak hanya berkembang sejalan dengan pendapatan per kapita, tetapi kenaikan pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan persentase sektor publik dalam GNP. Pada kenyataannya persentase sektor publik jauh lebih kecil pada negara-negara berpendapatan rendah sebagai suatu kelompok, tetapi tidak terlihat adanya suatu hubungan yang mencolok di dalam kelompok tersebut. Pola yang sama juga akan kita jumpai sehubungan dengan rasio penerimaan pajak terhadap GNP. Rasio penerimaan pajak terhadap GNP di negara terbelakang cenderung sangat rendah, yaitu berkisar dari 8 sampai 18 persen. Di negara-negara Amerika Latin rasio umumnya adalah sekitar 14 persen, dan di beberapa negara sampai 8 persen. Rasio pada negara-negara di Asia dan Afrika dengan pendapatan per kapita yang serupa cenderung lebih tinggi. Sementara rasio semacam itu di negara-negara maju adalah 40 persen atau lebih. Mengapa upaya perpajakan (tax effort) di negara-negara berkembang sedemikian rendah, dan benarkah rasio yang rendah itu pada kenyataannya menandakan upaya perpajakan yang rendah? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita mengartikan upaya perpajakan itu. Lembaga pemberi pinjaman internasional mungkin saja mensyaratkan agar bantuan yang diberikan dibarengi dengan upaya perpajakan yang sepadan dengan negara penerima bantuan. Dengan demikian lembaga itu mungkin akan menuntut agar pada
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
103
negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi terdapat rasio penerimaan pajak yang tinggi guna menunjukkan keselarasannya dengan upaya perpajakan. Negara berpendapatan rendah menghadapi keterbatasan dalam mentransfer sumber daya untuk digunakan pemerintah. Pada tingkat pendapatan per kapita yang sangat rendah, semua pendapatan pribadi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti pangan, sandang, dan papan. Sekiranya dana pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyediakan kebutuhan hidup yang sama-sama mendasar (misalnya program kesehatan) maka penggunaan dana tersebut akan menimbulkan beban berat yang tidak sepatutnya. Tetapi asumsi ini tidak berlaku jika distribusi pendapatan sangat timpang yang mana akan mengakibatkan besarnya konsumsi barang-barang mewah. Keadaan ini sangat perlu diperhatikan sebagai sumber penerimaan yang potensial. Terlepas dari tingkat dan distribusi pendapatan, adanya penanganan pajak akan selalu berkaitan dengan struktur perekonomian suatu negara. Dengan demikian, pengelolaan pajak penghasilan akan jauh lebih sulit jika semua lapangan kerja terdapat pada perusahaan-perusahaan kecil. Penarikan pajak laba tidaklah layak sebelum praktek akuntansi mencapai standar minimal, dan hal ini sulit tercapai jika perusahaan-perusahaan yang ada berukuran kecil dan tidak stabil. Pajak produk tidak bisa dikenakan pada tingkat pengecer jika perusahaan pengecer kecil dan tidak permanen. Pengenaan pajak tanah yang efektif sukar dilaksanakan jika hasil pangannya dikonsumsi sendiri, sektor pertanian belum terukur dengan nilai mata uang, dan survai pertanahan belum memadai untuk menghasilkan penilaian yang semestinya. Di pihak lain, pengenaan pajak sangat sederhana pada perekonomiam yang sangat terbuka di mana impor dan ekspor berlangsung melalui pelabuhan-pelabuhan utama dan terbuka bagi petugas fiskus. Akhirnya, kelayakan pengenaan pajak tergantung juga pada kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan jujur. Pemberian jasa pungut pajak (tax farming), yaitu sistem dimana kepada para pemungut pajak diberikan persentase tertentu sebagai insentif, hanya bisa diandalkan untuk sementara waktu saja, demikian juga halnya dengan penetapan kuota pajak bagi para petugas pajak. Meskipun demikian, dengan cara-cara semacam ini pun tidak akan tercipta struktur perpajakan yang mapan dan adil. Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, maka penilaian yang realistis atas upaya perpajakan (tax effort) harus memperhitungkan penanganan pajak (tax handles) yang tersedia untuk itu. Dengan demikian, ukuran komparatif
104
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
atas upaya perpajakan dapat diperoleh dengan membandingkan rasio aktual dari penerimaam terhadap GNP pada suatu negara tertentu dengan rasio yang seharusnya diperoleh, dengan melihat respon pada umumnya terhadap penanganan yang tersedia.
Pengembangan Struktur Perpajakan Masalah perencanaan dan pengelolaan perpajakan akan berbeda-beda sesuai dengan struktur perekonomian suatu negara dan sikap masyarakat terhadap perpajakan. Perbedaan juga akan timbul sebagai akibat tahap-tahap pembangunan ekonomi, dan sejumlah ciri struktur perpajakan yang lazim ditemukan dalam kaitannya dengan pendapatan per kapita dapat diamati. Pajak akan berperan besar terhadap perdagangan luar negeri (terutama bea) dan pajak atas produksi dan penjualan domestik untuk negara-negara berpendapatan rendah. Dengan naiknya pendapatan per kapita, peranan pajak penghasilan pun makin meningkat relatif terhadap bea, demikian juga terhadap pajak penjualan dan produksi domestik. Peranan pajak upah juga makin penting dengan naiknya pendapatan per kapita. Selain itu terdapat fenomena menarik yang menyatakan bahwa pajak yang sering diklasifikasikan sebagai pajak penghasilan di negara miskin seringkali jauh berbeda dari pajak penghasilan perorangan di negara maju. Sejalan dengan itu, pajak penghasilan usaha seringkali lebih mirip dengan pajak penjualan daripada pajak laba sebagaimana ditemukan di negara-negara maju dan sebagainya.
Pajak Penghasilan Perorangan Pajak penghasilan perorangan tidak mungkin dan tidak dapat diharapkan untuk menduduki posisi sentral dalam struktur perpajakan pada negara sedang berkembang dan begitu juga umumnya di negara-negara maju. Meskipun demikian, pajak penghasilan harus ditata dengan baik sejak dini dan ditingkatkan selama berlangsungnya pembangunan. Pajak ini bersifat elastis terhadap pertumbuhan GNP, karena itu bisa menjadi sumber penerimaan yang cukup besar untuk pembiayaan pembangunan. Kontribusi pajak penghasilan perorangan di negara-negara Amerika Latin lazimnya berkisar 20 persen dan karena itu merupakan bagian yang besar dari penerimaan pemerintah, perusahaan asing, dan kelompok perusahaan domestik besar yang jumlahnya sangat kecil. Karyawan perusahaan kecil dan sebagian besar masyarakat yang mengelola usaha sendiri, khususnya di sektor pertanian, pada umumnya masih di luar jangkauan pajak penghasilan. Di satu sisi hal ini akan mencerminkan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
105
tingkat pembebasan pajak yang ditetapkan relatif tinggi jika dikaitkan dengan pendapatan rata-rata, tetapi hal itu juga merupakan akibat dari upaya pengelolaan yang tidak aktif. Pemungutan pajak penghasilan atas modal bahkan lebih sukar lagi. Prinsip penghitungan pajak sendiri (self assessment) seperti diterapkan di Indonesia tidak berjalan lancar. Penghitungan pajak oleh para petugas sering kali didasarkan pada negoisasi dan bukan ditetapkan secara objektif, dan pembayaran akhir sangat banyak yang terlambat. Penggunaan sistem pemungutan pajak oleh orang lain (witholding) bisa mempercepat pemungutan pajak dan hal itu sangat baik, tetapi penerapannya sangat terbatas pada jenis upah dan gaji tertentu saja sehingga lebih mudah dilaksanakan. Keterlambatan pembayaran pajak atas pendapatan modal merupakan keuntungan besar, khususnya jika hukumannya tidak sebanding dengan suku bunga dan nilai hutang pajak yang semakin menurun akibat inflasi. Meskipun tidak tersedia estimasi yang andal, namun bisa dikatakan bahwa pendapatan kena pajak akan benar-benar dicapai bila peraturan perpajakan dijalankan secara ketat. Tidak ada satu obat mujarab untuk mengatasi kesulitan ini kecuali dengan menerapkan wajib pungut pajak, penjatahan jumlah wajib pajak bagi setiap petugas (khususnya wajib pajak berpendapatan tinggi), komputerisasi dan penanganan terpusat atas surat pemberitahuan pajak, diharuskannya perusahaan dan bank menyampaikan informasi tentang pembayaran bunga dan pembayaran dividen, pengurangan keterlambatan penafsiran, dan hukuman yang lebih tinggi bagi pembayaran yang tertunda. Namun, semua itu tidak akan mencukupi kecuali jika badan pengadilan mendukung penuh penegakan peraturan perpajakan. Inilah prasyarat utama yang kerapkali sukar untuk dipenuhi oleh negara-negara berkembang dalam konteks budaya dan politik. Lebih jauh lagi, pengelolaan pajak penghasilan diperparah oleh masalah inflasi. Tidak jarang negara-negara berkembang menghadapi inflasi puluhan bahkan ratusan persen per tahun. Hal itu, misalnya telah dialami Cili dan Brasil selama bertahun-tahun. Guna menghadapinya, badan perpajakan bisa menaikkan tingkat pembebasan dan kelompok tarif secara otomatis setiap tahunnya sejalan dengan naiknya harga-harga, sehingga hubungan antara tarif marjinal dan pendapatan riil dipertahankan konstan. Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap perpajakan dinetralisir, tetapi peredaran inflasi secara melekat melalui pajak penghasilan progresif akan melemah. Masalah keuntungan modal, terutama dalam kaitannya dengan tanah dan bangunan, sangat penting bagi negara-negara berkembang dimana urbanisasi yang pesat akan menaikkan nilai tanah. Sebagaimana dialami Amerika Serikat
106
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
pada akhir abad sembilan belas. Sesuai dengan pengamatan Henry George, juga terjadi di Indonesia terutama di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, pajak atas keuntungan modal bagi real estate, yaitu bangunan dan tanah, dikelola sebagai suatu jenis pajak tersendiri.
Pajak Penghasilan Perusahaan Masalah yang pelik akan timbul dalam pengenaan pajak penghasilan perusahaan, entah itu berupa pajak laba perseroan atau pajak persekutuan dan perusahaan perseorangan yang dikenakan menurut pajak penghasilan perorangan. Bila akuntansi perusahaan belum begitu maju sehingga belum bisa mengukur laba dengan cukup akurat, metode lain harus digunakan. Banyak negara menggunakan taksiran dan bukan pendekatan langsung guna menentukan laba. Caranya adalah dengan menaksir marjin laba atas penjualan dimana terdapat marjin yang beragam untuk berbagai industri. Metode ini, yang digunakan secara luas di negara-negara Asia, akan mengubah bentuk pajak laba menjadi semacam pajak penjualan. Hal ini terjadi karena kewajiban pajak menjadi fungsi dari penjualan dan marjin tersebut merupakan taksiran dan bukan aktual. Dalam keadaan lain, laba taksiran didasarkan pada patokan tertentu seperti luasnya lantai atau ruang kerja dan lokasi pada wilayah perkotaan. Ini juga merupakan praktek yang bisa ditemukan pada tradisi perpajakan Eropa, khususnya sehubungan dengan pendapatan profesional. Dalam hal pertanian, luasnya lahan atau jumlah ternak bisa digunakan sebagai dasar taksiran. Serentak dengan itu, pembayar pajak yang setia perlu diberi penghargaan, sementara yang bandel diberi hukuman. Proses perbaikannya harus bertahap dan tidak bisa bergerak lebih cepat dari perbaikan metode akuntansi. Para pembaharu pajak sering menyepelekan perbaikan teknik penaksiran pajak terhadap perbaikan teknis dalam pemajakan perseroan, padahal hal terakhir ini tidak begitu penting bagi negara yang sedang berkembang. Lebih jauh lagi, bentuk hukum dari badan-badan usaha sering kali berbeda. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, hukum Eropa daratan lebih berperan daripada tradisi common law (hukum Inggris), sedangkan di negaranegara Asia sistem hukum kebendaan yang sangat berbeda bisa diterapkan; dan praktek yang cocok bagi suatu negara seperti Amerika Serikat mungkin tidak dapat diterapkan di negara sedang berkembang dengan mengingat tradisi dan tingkat pembangunannya saat ini.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
107
Pajak Tanah Satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas tanah, apakah pajak tersebut harus dikenakan atas nilai tanah, atas pendapatan aktual, atau atas pendapatan potensial yang bisa dihasilkan tanah tersebut jika dimanfaatkan secara penuh. Dalam sistem persaingan sempurna, ketiga dasar tersebut akan bisa saling dipertukarkan karena nilai tanah akan sama dengan nilai pendapatannya yang dikapitalisasi, dan pendapatan aktual akan sama dengan pendapatan potensial. Dalam kenyataan, tidak demikian halnya. Tanah seringkali tidak dimanfatkan secara penuh dan ditahan untuk tujuan spekulatif atau ditahan sesuai dengan adat istiadat setempat. Pasar atas tanah mungkin tidak tersedia dan nilai jualnya saat ini tidak bisa diperoleh. Dengan demikian, ketiga dasar tersebut akan memberikan nilai yang sangat berbeda. Pajak penghasilan jarang diterapkan secara efektif ke sektor pertanian sehingga pendapatan dari tanah seringkali merupakan gabungan dari pajak penghasilan dan pajak atas tanah, yang meliputi tidak hanya penyewaan atas tanah tersebut tetapi juga peningkatan nilai atas tanah.
Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan Di samping penerimaan dari tanah, penarikan pajak atas real estate dan pertokoan juga menjadi dasar pengenaan pajak yang penting, khususnya selama berlangsungnya urbanisasi. Ada baiknya jika hal tersebut di atas dikenakan pajak progresif atas tempat hunian, yang menggabungkan pajak atas sejumlah rumah dalam satu dasar pengenaan pajak guna melengkapi sistem penarikan pajak komoditas atas konsumsi barang-barang mewah di samping terhadap perumahan. Di luar semua ini, pajak kekayaan atas harta benda bersih jarang ditemukan dalam struktur perpajakan di negara sedang berkembang. Meskipun pajak semacam ini pada akhirnya akan lebih kecil daripada pajak bumi dan bangunan, karena banyaknya harta tak berwujud yang tidak termasuk dalam dasar pengenaan pajak, namun jenis pajak ini penting guna melengkapi pajak penghasilan.
Pajak dan Bea atas Komoditas Pengenaan pajak komoditas harus ditentukan berdasarkan kelayakan administratif sehingga tergantung pada struktur perekonomian negara tertentu. Dengan pajak yang dikenakan secara berjenjang seperti halnya pajak pertambahan nilai, penerimaan pemerintah yang hilang tidak akan besar meskipun tingkat pengecer tidak terjangkau. Jadi bukan merupakan kehilangan total seperti pada pajak penjualan eceran. Penggunaan metode faktur mungkin
108
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
akan membuat para wajib pajak lebih taat. Di pihak lain, pengenaan pajak produk dengan tarif yang berbeda-beda cenderung lebih sukar jika diterapkan dengan pendekatan nilai tambah. Jika suatu produk dengan nilai kena pajak yang sangat besar dihasilkan pada perusahaan yang relatif besar, maka pengenaan cukai atas produsen akan merupakan pendekatan yang paling sederhana dan gamblang. Kombinasi dari berbagai metode bisa diterapkan, tergantung mana yang paling jitu dalam keadaan tertentu. Cukai domestik juga perlu untuk dikoordinasikan dengan bea impor. Karena ingin membebani konsumsi barang mewah dengan lebih berat, seringkali mengenakan bea impor yang lebih tinggi atas barang mewah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keterkaitannya dengan pengenaan bea cukai atas produk domestik. Dengan demikian, bea masuk sering menjadi pelindung bagi produk barang mewah pengganti di dalam negeri. Jika hal ini terjadi akan merupakan kebijakan yang buruk. Jika pemerintah ingin menggunakan bea masuk sebagai proteksi atas industri itu, harus dipilih sesuai dengan potensi pembangunan sehingga pengembangan itu bukan merupakan efek samping dari pengenaan pajak barang mewah. Pendekatan terbaik dengan menggunakan tarif yang cukup seragam dan memasukkan unsur bea impor barang mewah di dalam sistem pengenaan cukai domestik. Aspek kebijakan bea masuk lainnya yang perlu ditinjau secara kritis adalah praktek pembebasan cukai atas barang modal yang digunakan di dalam negeri. Dalam situasi dimana, biaya modal cenderung dinilai terlalu rendah, praktek ini akan memperburuk distorsi harga.
INSENTIF PERPAJAKAN Tujuan pemerintah yang berupa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan bisa dicapai dengan berpedoman pada pajak konsumsi progresif. Disamping itu, pendekatan keadilan menuntut agar pendekatan ini dipadukan dengan penarikan pajak atas pendapatan modal dengan tarif progresif. Karena adanya kemungkinan timbulnya konflik antara pajak penghasilan progresif dengan insentif untuk inventasi, maka tidak mengherankan bahwa telah diupayakan berbagai cara untuk meminimumkan pengaruh masalah justifikasi sampai dimana pemerataan dan pertumbuhan didahulukan terhadap satu sama lain. Kebijakan perpajakan harus memperhatikan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi tidak akan memperparah pemerataan. Keringanan pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan pertumbuhan, bukan hanya menyebabkan hilangnya penerimaan pemerintah tetapi juga
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
109
memperbesar ketimpangan apabila keringanan itu diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi. Dengan alasan-alasan ini, insentif pajak bagi investasi pada umumnya merupakan pemborosan dan tidak adil sehingga banyak pengamat terdorong untuk menolak semua bentuk insentif. Namun, penolakan total tidak bisa diterima. Tekanan politik agar diberikan insentif pajak akan tetap ada dan tidak bisa dielakkan, maka sebaiknya insentif dirancang seefisien mungkin. Lebih jauh lagi, beberapa kelonggaran bagi pertumbuhan mungkin layak asalkan hal itu dilaksanakan dengan cara terbaik.
Insentif Domestik Dalam menangani masalah insentif, ada baiknya kita membedakan antara insentif domestik dan masalah insentif yang berkaitan dengan modal asing. Insentif domestik bisa dikaitkan dengan investasi pada umumnya atau dibatasi pada industri atau wilayah tertentu. Insentif bisa dirancang untuk menggalakkan ekspor dan memperkuat neraca pembayaran. Insentif Umum Insentif investasi umum bisa berupa kredit pajak atas investasi atau penyusutan yang dipercepat seperti lazim digunakan di negara-negara maju. Selain itu, di beberapa negara sering kali diberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu, misalnya selama lima atau tujuh tahun dimana selama jangka waktu itu pajak atas laba dibebaskan. Metode ini merupakan insentif bagi investasi yang memberikan laba yang tinggi pada tahap awal dan hal ini bertentangan dengan kebutuhan akan investasi yang stabil dan bersifat jangka panjang. Bagi perusahaan lama yang mengadakan investasi lama dan baru, masalah ini bisa diatasi dengan pendekatan kredit investasi atau bantuan investasi. Lebih jauh lagi, tidaklah bijaksana jika pemerintah mengadakan komitmen jangka panjang untuk mensubsidi pajak, teristimewa jika diperkirakan bahwa subsidi semacam itu tidak akan diperlukan di masa mendatang. Apapun masalahnya, insentif investasi umum tidak bisa efektif guna menaikkan tingkat investasi menyeluruh kecuali jika peningkatan tabungan juga mendapat perhatian. Ini bisa tercapai dengan mendorong perusahaan untuk menahan laba atau dengan memberikan kredit pajak bagi tabungan atas pendapatan perorangan. Tentu saja masalahnya adalah bagaimana mencapai suatu jumlah tabungan tertentu tanpa mengurangi tabungan di sektor lain.
110
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
Daftar Skala Prioritas Meskipun efektivitas investasi umum diragukan, namun insentif yang dibatasi pada sektor atau industri tertentu kiranya bisa lebih efektif dalam mengalokasikan modal data ekspor industri tersebut. Masalah utama di sini adalah bagaimana memilih industri yang akan diberi perlakuan istimewa tersebut. Dapat diduga bahwa industri yang akan dipilih adalah industri yang memainkan peranan strategis dalam pembangunan dan yang tidak akan berkembang jika tidak mendapat bantuan khusus. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan mengandung dampak eksternal (external economies) yang tidak diperhatikan dalam pengambilan keputusan investasi swasta dan pasar modal yang tidak sempurna bisa mengacaukan investasi meskipun tanpa eksternalitas. Karena itu, investasi semacam itu perlu dikoreksi. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal itu sangat sukar untuk dilaksanakan. Seiring daftar skala prioritas sedemikian luas sehingga hampir tidak ada yang patut dipilih. Sedangkan di pihak lain, pemilihan industri tertentu selalu dibarengi dengan tekanan politik dari kelompok tertentu dan dalam kesempatan lain lagi kita akan melihat bahwa insentif diberikan untuk mempertahankan pasar bagi perusahaan negara, seperti pabrik baja, yang seharusnya tidak mendapat prioritas utama. Meskipun pada prinsipnya insentif yang selektif itu baik, penerapannya secara efisien sukar untuk dilaksanakan. Insentif Regional Insentif selektif lainnya dapat kita temukan dalam kebijakan regional. Seperti telah kita ketengahkan sebelumya, kebijakan pajak bisa mempengaruhi keputusan lokasi investasi, apakah itu untuk tenaga kerja atau modal dan umumnya diharapkan agar kebijakan pajak bersifat netral. Namun, keadaan negara-negara berkembang bisa menuntut lain. Tenaga kerja mungkin tidak bisa berpindah secara luwes, mungkin juga tenaga kerja ingin dipertahankan di suatu daerah tertentu karena terlalu banyaknya perpindahan penduduk ke kota atau alasan non ekonomis yang menghendaki pemerataan tingkat pembangunan daerah. Karena itu, insentif khusus bisa diberikan demi pembangunan daerah tersebut. Masalahnya adalah apakah insentif itu lebih baik diberikan dengan mensubsidi investasi atau mensubsidi perusahaan pekerja di wilayah bersangkutan. Jawabannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, apakah peningkatan produksi atau nilai tambah di daerah tersebut, atau apakah peningkatan upah atau standar hidup masyarakatnya. Untuk tujuan terakhir ini, subsidi upah akan lebih efektif, khususnya jika
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
111
terdapat banyak penganggur atau penganggur tak kentara di sektor pertanian yang dapat ditarik ke sektor industri apabila biaya upah berkurang.
Insentif bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja Penggunaan bentuk investasi yang insentif modal didorong oleh distorsi harga yang menyebabkan biaya buruh terlalu tinggi dan biaya modal menjadi rendah. Biaya buruh yang tinggi umumnya disebabkan oleh peraturan upah minimum dan berbagai tuntutan serikat pekerja; biaya modal yang rendah disebabkan oleh kurs valuta yang menguntungkan, pembebasan bea masuk, dan pengenaan pajak atas laba yang tidak efektif. Guna mengembalikannya ke keseimbangan semula, subsidi upah bisa diberikan secara langsung atau tidak melalui kredit atas daftar upah yang pada prinsipnya mirip dengan kredit investasi. Pajak atas laba bisa lebih ringan dengan syarat peralatan yang digunakan harus padat tenaga kerja. Cara-cara semacam itu mungkin akan tepat dalam kaitannya dengan insentif regional dimana tujuannya adalah untuk menaikkan tingkat pendapatan di daerah terbelakang. Hal itu juga tepat untuk menanggulangi pengangguran akibat berjubelnya perpindahan penduduk ke kota. Cara lain untuk mendorong investasi yang padat kerja adalah dengan memberikan insentif pajak bagi pekerjaan gilir kerja (shift) malam.
Insentif bagi Modal Asing Dari sudut pandang nasional, peranan insentif pajak bagi modal asing berbeda dari insentif pajak bagi modal domestik. Insentif bagi modal domestik hanyalah melibatkan transfer dari pemerintah ke investor, tetapi keringanan pajak yang diberikan kepada investor asing akan mengurangi jatah keseluruhan negara atas laba yang dihasilkan modal asing tersebut. Karena itu, kerugian ini harus dikompensasi oleh keuntungan yang diperoleh akibat pelipatgandaan modal tersebut agar insentif pajak tersebut bisa diterima. Perancangan insentif mungkin akan bisa mengarahkan investasi tersebut pada sektor yang menguntungkan negara bersangkutan. Keuntungan tersebut berupa kenaikan penghasilan faktor-faktor produksi domestik akibat adanya modal asing. Tidak ada manfaatnya bagi suatu negara untuk menerima modal asing lengkap dengan sumber dayanya dan hanya meminjam lokasi pada negara tersebut. Karena itu, insentif pajak harus dikaitkan dengan nilai tambah domestik sebagai akibat adanya modal asing. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah insentif tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong
112
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
dilakukannya reinvestasi dan operasi permanen serta menghambat investasi yang hanya ingin mengeruk keuntungan sesaat. Apapun masalahnya, suatu negara membutuhkan kerja sama dari negara asal investor asing agar insentif yang efektif bisa diberikan. Jika negara sumber modal tersebut menarik pajak penghasilan yang diperoleh dari luar negeri dengan tarifnya sendiri sambil tetap memberikan kredit pajak luar negeri, maka pajak yang lebih rendah di negara tersebut hanya akan menjadi transfer ke negara lain tanpa adanya manfaat bagi investor yang mengirimkan labanya ke negara asalnya. Dalam hal ini, penundaan pajak akan menjadi sangat penting. Hal itu tidak hanya berfungsi sebagai penarik modal ke suatu negara yang menawarkan insentif pajak tetapi juga mendorong terlaksananya reinvestasi di negara tersebut. Karena itu, cukup beralasan untuk mempertahankan penundaan atas investasi di suatu negara yang sedang berkembang dan meniadakannya untuk investasi di negara maju. Cara lain untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai kesepakatan pajak bersama (tax-sparing arrangement). Dengan pendekatan ini, negara asal modal akan memberikan kredit atas laba yang direpatriasi sebesar pajak yang dikenakan di negara tujuan meskipun tidak ada pajak yang dibayar menurut kesepakatan insentif tersebut. Akan tetapi, pendekatan ini tidak menggairahkan reinvestasi karena tekanan politik akan menuntut agar insentif tersebut diberlakukan secara umum bagi investasi domestik, penarikan pajak atas laba secara umum bagi investasi domestik harus dipertimbangkan. Persoalan terakhir yang timbul dalam kaitannya dengan persaingan di antara negara sedang berkembang untuk memperebutkan modal asing adalah jika suatu negara mengalahkan yang lain dengan menawarkan insentif yang lebih besar, negara sedang berkembang sebagai suatu kelompok akan dirugikan. Untuk mengatasi hal semacam itu diperlukan semacam kerja sama antar negara sedang berkembang. Salah satu peran utama pasar bersama antar negara sedang berkembang adalah untuk menghindarkan hal semacam itu.
Insentif Ekspor Insentif pajak untuk ekspor merupakan kebijakan umum guna membantu pengembangan pasar luar negeri dan memperkuat neraca pembayaran. Agar efektif, insentif semacam itu tidak harus dikaitkan dengan total penjualan di luar negeri atau laba yang dihasilkannya, seperti lazimnya kita hadapi, tetapi dengan nilai tambah domestik. Hanya nilai tambah domestiklah yang menambah hasil perdagangan luar negeri bagi suatu negara. Pengeksporan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
113
kembali atas barang yang diimpor atau barang dalam transito tidak memberikan nilai tambah domestik.
KEBIJAKAN PENGELUARAN Peranan kebijakan pengeluaran dalam pembangunan ekonomi kurang disorot bila dibandingkan dengan kebijakan perpajakan dan data pembanding lebih sukar diperoleh. Negara-negara berpendapatan rendah menghabiskan banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sementara tunjangan sosial kurang diperhatikan. Dalam kadar tertentu, banyak pengeluaran untuk pendidikan juga mencerminkan tingginya biaya pendidikan di negara-negara ini. Besarnya tunjangan sosial di negara-negara kaya mencerminkan sistem jaminan sosial yang lebih baik. Peranan strategis dari investasi pemerintah dalam pembangunan ekonomi sebagian dilandasi oleh belum berkembangnya pasar modal swasta dan sebagian karena kurangnya bakat entrepreneurial (kewiraswastaan) masyarakat. Hal ini juga dilandasi oleh kenyataan bahwa tipe investasi yang diperlukan pada tahap-tahap awal pembangunan sering kali memerlukan jumlah besar, seperti untuk pembangunan sistem transportasi atau pembukaan suatu daerah yang terbelakang. Lebih jauh lagi, investasi semacam ini menghasilkan manfaat eksternal sehingga penyediaannya lebih baik dilakukan oleh pemerintah. Karena itu, tidak mengherankan jika pengembangan investasi pemerintah memainkan fungsi utama dalam perancangan rencana pembangunan di negara sedang berkembang. Dalam konteks ini, pengunaan analsis biaya-manfaat sangat penting. Negara–negara berkembang bisa dihantui oleh pemborosan sumber daya, namun evaluasi proyek yang efisien merupakan suatu tugas yang sukar. Di satu pihak, analisis biaya–manfaaat akan lebih mudah diterapkan di negara berkembang dari pada negara maju karena investasi pemerintah lazimnya dimaksudkan untuk penyediaan barang–barang antara yang nilainya bisa diukur dengan melihat pengaruhnya terhadap harga–harga barang yang disediakan oleh swasta. Jadi manfaat dari proyek transportasi atau irigasi dapat dinilai berdasarkan penurunan biaya produk yang ditimbulkannya di pasar. Suatu ukuran yang tidak bisa diperoleh jika pengeluaran publik digunakan untuk menghasilkan barang jadi untuk konsumsi. Tetapi di pihak lain, pelaksanaan evaluasinya di negara sedang berkembang lebih sulit. Di satu sisi, manfaat langsung yang tersedia disertai dengan manfaat tidak langsung atau manfaat eksternal yang lebih sukar untuk diperkirakan. Di sisi lain, jumlah biaya lebih sulit untuk ditentukan. Karena harga pasar mungkin tidak mencerminkan biaya sosial yang benar–benar terjadi, untuk itu harus
114
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
digunakan harga bayangan (shadow price). Jika modal dinilai terlalu rendah sementara tenaga kerja dinilai terlalu tinggi, penggunaan harga pasar akan menimbulkan distorsi yang mengarah kepada teknologi yang sangat padat modal sebagaimana telah kita simak sebelumnya. Kesulitan–kesulitan itu akan makin rumit dalam konteks pembangunan yang dinamis dimana harga-harga relatif yang berlaku pada saat proyek dimulai mungkin akan sangat berbeda dari harga–harga yang berlaku setelah proyek berfungsi. Sekali lagi, kemungkinan ini menunjukkan pentingnya perencanaan jangka panjang dan evaluasi atas setiap proyek dalam konteks rencana pembangunan yang menyeluruh. Faktor lain yang juga penting adalah penentuan tarif/tingkat diskonto. Karena pasar modal swasta yang belum berkembang sepenuhnya, penggunaan tarif sosial kiranya tidak bisa dielakkan. Dengan memperhitungkan adanya manfaat eksternal, tarif sosial tersebut harus ditetapkan lebih rendah daripada tarif yang berlaku sehingga menunjukkan tingkat diskonto yang lebih tinggi bagi penyediaan modal dan lebih mendukung pengadaan proyek–proyek jangka panjang. Jika kita melihat dari sisi yang berlawanan, akan kita jumpai bahwa biaya konsumsi sangat tinggi pada tingkat pendapatan yang rendah. Namun di masa mendatang, setelah keuntungan dari penundaan konsumsi itu diperoleh, utilitas marjinal dari konsumsi itu akan lebih kecil karena pendapatan sudah lebih tinggi. Kenyataan ini cenderung diabaikan dalam pengambilan keputusan tabungan perorangan tetapi pemerintah harus memperhitungkannya. Sebagaimana halnya dalam penentuan tingkat diskonto lainnya, taksiran yang lebih kasar mungkin akan digunakan. Dalam konteks pembangunan, pemerintah mungkin lebih praktis untuk menentukan tingkat konsumsi minimum yang secara politis dapat diterima untuk lima atau sepuluh tahun mendatang dan kemudian menghitung tingkat diskonto dari konsumsi minimum tersebut. Investasi dalam sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus dalam konteks pembangunan. Program pendidikan penting bukan hanya dalam kaitannya dengan kebijakan pertumbuhan tetapi juga dengan pendistribusian hasil-hasil pembangunan di antara lapisan masyarakat dan berbagai sektor perekonomian. Sejumlah studi telah memperlihatkan betapa besarnya manfaat investasi di bidang pendidikan bagi negara–negara berkembang. Yang perlu dipertimbangkan, investasi bagi pendidikan dirancang guna menghasilkan pekerja terampil sesuai dengan kebutuhan negara bersangkutan.
BANTUAN INTERNASIONAL DAN REDISTRIBUSI
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
115
Pertimbangan kemanusiaan atau politis yang menyangkut distribusi pendapatan di suatu negara tidak bisa dibatasi hanya pada lingkup negara itu saja. Kelihatannya aspek–aspek dari distribusi internasional akan menjadi unsur yang semakin penting dalam politik dunia masa mendatang. Meskipun hal itu penting, masalah distribusi di tingkat internasional lebih sukar untuk ditangani daripada lingkup suatu negara.Di tingkat internasional, kesenjangan lebih besar dan masalah organisasi lebih pelik karena tidak ada pemerintah pusat yang harus menanganinya dan upaya mengatasi ketimpangan tersebut harus melalui transfer antar negara. Upaya itu bisa dilaksanakan dalam bentuk bantuan internasional yang dirancang untuk menaikkan tingkat pertumbuhan negara-negara berkembang. Pendekatan ini telah dilaksanakan secara cukup besar-besaran dalam beberapa dekade terakhir. Mungkin pada suatu saat, hal itu dilaksanakan berupa redistribusi dari tingkat pendapatan dunia pada saat itu sehingga mirip dengan pajak penghasilan negatif yang diterapkan pada redistribusi domestik. Meskipun pendekatan ini tidak bisa diharapkan dalam waktu dekat, mungkin saja suatu saat nanti hal itu akan menjadi suatu pemikiran pokok.
Masalah Besarnya Transfer Dalam menangani distribusi pada taraf internasional, persoalan yang mungkin terjadi adalah perbedaan pendapatan rata-rata di negara-negara atau juga ketimpangan distribusi di antara masyarakat seluruh dunia tanpa memandang batas negara. Dalam kadar tertentu kedua masalah itu bertumpang tindih karena kebanyakan masyarakat miskin pada kenyataannya merupakan penduduk dari negara berpendapatan rendah. Tetapi jika keduanya tidak tumpang tindih, masalah mendasar adalah redistribusi di antara anggota masyarakat. Tidak ada gunanya jika redistribusi ke negara berpenghasilan rendah pada akhirnya hanya akan menambah kekayaan segelintir masyarakat kaya di negara tersebut. Jadi, masalahnya mirip dengan masalah antara negara bagian di suatu negara berserikat. Ketimpangan distribusi pendapatan di antara masyarakat dunia merupakan masalah yang sangat pelik. Ketimpangan di dalam negeri diperparah dengan ketimpangan pendapatan rata-rata di antara berbagai negara. Jika seseorang di suatu negara memperoleh pendapatan sebesar rata-rata di antara berbagai negara tersebut, maka bisa diperkirakan bahwa 40 persen termiskin dari penduduk dunia menerima 3 persen dari pendapatan seluruh dunia, sementara 20 persen terkaya menerima 60 persen. Jika ketimpangan di dalam negaranegara masih diperhitungkan lagi, maka rasio tersebut berubah menjadi 2 dan 70 persen. Tingkat ketimpangan ini jauh lebih besar daripada ketimpangan di
116
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
suatu negara, khususnya di negara maju. Dalam kondisi ini, mustahil kiranya untuk meratakan ketimpangan ini. Lebih jauh lagi, masuk akal bahwa pendapatan per kapita di negara maju akan naik lebih cepat ketimbang di negara miskin sehingga situasi tersebut akan semakin parah seperti halnya distribusi pendapatan domestik.
Bantuan Pembangunan Dari penjelasan terdahulu, terlihat jelas bahwa kebijakan redistribusi tidaklah sederhana dan pengaruhnya pertumbuhan ekonomi harus ditelaah dengan seksama. Jika sudut pandang ini mengena pada redistribusi yang bersifat nasional, akan lebih mengena lagi pada tingkat internasional dimana skala penyesuaian potensial yang harus dicapai melalui distribusi sangat besar. Tak ada manfaatnya jika kontribusi negara-negara maju terlalu dipaksakan sehingga kemampuan ekonominya untuk mempertahankan kesinambungan bantuan menjadi terganggu. Perbaikan besar atas kemelaratan masyarakat hanya dapat dicapai dengan meningkatkan produktivitas pekerja-pekerja di negara miskin. Salah satu upaya penting untuk ini adalah dengan menata kembali aliran modal dari negara kaya ke negara miskin. Dengan penerapan itu, output dunia akan meningkat karena modal akan dimanfaatkan secara efisien di negara dimana keuntungan modal pekerja sangat rendah. Para pemasok modal dari negara kaya tetap mendapat keuntungan karena memperoleh hasil pengembalian yang lebih besar dari investasinya di negara-negara miskin. Akan tetapi, akan terjadi redistribusi pendapatan dari pekerja negara kaya (yang akan beroperasi dengan modal yang cukup besar) kepada pekerja di negara miskin yang produktivitasnya akan meningkat bersamaan dengan naiknya keuntungan modal pekerja. Dengan demikian, perbaikan distribusi pendapatan dunia dapat dicapai meskipun dengan memperbesar ketimpangan (kendatipun hanya dalam taraf yang lebih kecil) di negara maju. Juga dipermasalahkan masuknya tenaga manajemen asing yang menyertai masuknya modal asing, di samping menambah keahlian juga menghambat pengembangan kewiraswastaan domestik dan menciptakan ketergantungan politis. Kontribusi penting kedua bagi pembangunan ekonomi adalah membuka pasar negara-negara maju lebih lebar bagi ekspor negara-negara berkembang. Ini bisa dilakukan dengan memberikan preferensi dan penghapusan pembatasan perdagangan. Dalam hal ini, pekerja di negara maju juga dirugikan karena mereka kurang leluasa untuk berpindah jika dibandingkan dengan faktor modal. Tetapi di pihak lain, sebagai konsumen mereka akan diuntungkan karena harga barang-barang impor menjadi turun. Akan tetapi,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
117
kebijakan-kebijakan semacam ini tidak menjamin bahwa negara-negara berkembang akan mampu secara independen untuk mempertahankan pertumbuhan yang telah mereka capai. Karena itu, sindrome orang kaya baru akan tetap menggejala dan hal ini merupakan hambatan baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
RANGKUMAN §
§ §
§
§
§
§
Untuk mencapai pertumbuhan, tidak cukup dengan cara penyediaan modal pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi sumber daya manusia) serta proses teknologi yang diperlukan tetapi juga diperlukan sejumlah perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan sebab-akibat dari tingkat pembangunan perekonomian yang masih rendah. Perkembangan sektor publik di negara-negara maju cenderung tumbuh sejalan dengan pertumbuhan pendapatan. Besarnya sektor publik di negara-negara maju tidak hanya berkembang sejalan dengan pendapatan per kapita tetapi kenaikan pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan persentase sektor publik dalam GNP. Kelayakan pengenaan pajak tergantung pada kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan jujur. Keringanan pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan pertumbuhan bukan hanya menyebabkan hilangnya penerimaan pemerintah tetapi juga memperbesar ketimpangan apabila keringanan itu diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi. Insentif pajak bagi investasi pada umunya merupakan pemborosan dan tidak adil sehingga banyak pengamat sampai terdorong untuk menolak semua bentuk insentif. Cara untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai kesepakatan pajak bersama.
118
Bab 6: Pembiayaan Pembangunan
LATIHAN 1. 2. 3. 4. 5.
Sebutkan inflasi dari segi sebab! Uraikan inflasi yang timbul karena meningkatnya permintaan! Sebutkan alat-alat ukur inflasi! Sebutkan empat tingkatan inflasi menurut sifatnya! Nilai riil dari biaya pekerja meningkat dan pada akhirnya terjadilah pengangguran. a. Apakah pengertian dari pengangguran? b. Uraikan dampak-dampak penganguran! 6. Apakah efek dari crowding out terhadap investasi? 7. Apakah maksud dari pembiayaan dengan pajak atau pinjaman mempunyai efek ekonomi yang seimbang? 8. Bersifat apakah kenaikan pengeluaran dan kenaikan pajak? 9. Jelaskan mengenai Inflasi yang diakibatkan biaya secara tiba-tiba? 10. Apakah akibat dari tindakan ekspasioner yang tidak diantisipasi secara sempurna?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
119
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
Dalam menjalankan tugas-tugas negara, tentunya pemerintah akan memerlukan sumber-sumber penerimaan. Dalam pencarian sumber penerimaan tersebut, terdapat beberapa cara. Secara garis besar, sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi dua sumber yakni dari dalam negeri dan luar negeri. Kedua sumber tersebut digambarkan oleh John F. Due sebagai berikut: § Penjualan Barang dan Jasa Milik Negara Barang dan jasa milik negara seperti tanah, barang hasil sitaan yang menjadi hak negara, dan barang produk perusahaan milik negara (misalnya pos, telegraf, telepon, listrik, minyak dan gas bumi) dapat dijual untuk
122
§
§
§
§
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
dipergunakan sebagai pemasukan kas negara. Barang dan jasa tersebut dapat diusahakan oleh negara secara terus menerus sehingga kelangsungan sumber penerimaan dari sektor itu dapat dijaga. Pinjaman Pinjaman merupakan suatu penerimaan yang mengandung konsekuensi untuk mengembalikan dalam jangka waktu tertentu ditambah jasa pinjaman berupa bunga. Pinjaman tersebut dapat berasal dari dalam negeri, misalnya berupa obligasi atau dari luar negeri berupa pinjaman dari pemerintah negara lain baik secara individu maupun kelompok seperti World Bank, Asian Development Bank, International Monetary Fund dan sebagainya. Pencetakan Uang Uang sebagai alat pembayaran yang sah, di samping mempunyai fungsi yang lain, dicetak oleh negara untuk memenuhi kebutuhan akan dana. Walaupun sumber dana tersebut mudah diadakan, tetapi mengandung resiko, yakni akan mendorong laju inflasi jika jumlahnya tidak terkontrol. Oleh karena itu, apabila negara ingin menggunakan dana harus bersifat produktif. Bantuan dari Negara Lain Berbeda dengan pinjaman yang mengharuskan negara penerima mengembalikan dana pinjaman, pemberian bantuan tersebut tidak perlu ada pengembalian (kecuali hibah yang mengandung syarat pengembalian lunak). Biasanya, pemberi bantuan tersebut dilakukan karena adanya musibah di luar kontrol manusia. Pemberian bantuan jenis ini biasanya menyalurkannya melalui badan resmi seperti WHO, UNESCO, FAO, COLOMBO PLAN atau bisa juga dari negara tertentu. Bantuan ini biasanya bersifat kemanusiaan, walaupun tidak menutup kemungkinan akan ada latar belakang politik. Perpajakan Pada hakekatnya merupakan sumber dana yang berasal dari masyarakat yang diharapkan akan menjadi tulang punggung penerimaan negara. Penerimaan negara dari sektor ini dapat berupa pajak, retribusi, iuran dan sumbangan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan. Oleh karena itu, pajak merupakan cara yang paling efektif untuk membagi beban pemerintah kepada rakyat. Hasil pemungutan pajak oleh pemerintah akan disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk sarana dan prasarana di bidang keamanan, pendidikan dan sosial. Ketiga bidang tersebut memang sangat
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
123
dibutuhkan oleh masyarakat. Sumber dana itu setelah memperhitungkan berbagai aspek, harus mendapatkan persetujuan rakyat dari wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Namun demikian, tidak mudah untuk memberikan batasan secara pasti terhadap macam-macam sumber penerimaan negara tersebut. Berdasarkan cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh sember dana, secara umum dapat digolongkan menjadi: § Pajak Pajak merupakan iuran dari rakyat (masyarakat) kepada negara (pemerintah) tanpa imbalan jasa langsung dan sifatnya dapat dipaksakan. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn dan PPnBM), Pajak Kendaraan Bermotor dan sebagainya. § Retribusi/Iuran Merupakan pembayaran dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam iuran, terlihat adanya imbal jasa secara langsung setelah pembayaran dilakukan. Contohnya adalah retribusi sampah, retribusi air minum, iuran televisi dan sebagainya. § Sumbangan Berasal dari sumbangan masyarakat atas jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah kapada pemakai jasa. Contohnya adalah pembayaran perizinan (lisensi) dan pungutan pada jalan-jalan tertentu. § Keuntungan dari Perusahaan Negara Merupakan penerimaan pemerintah yang berasal dari penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan negara. Contohnya adalah Pertamina, Perumtel dan sebagainya. § Denda dan Sitaan Merupakan penerimaan yang berupa denda dari kegiatan pelanggaran peraturan/ undang undang serta hasil sitaan yang menjadi hak negara. § Pencetakan Uang Karena kekuasaan yang dimiliki negara, serta sifat dan fungsi yang melekat pada tugasnya, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mencetak uang (kertas/logam), atau memohon pada bank sentral untuk memberikan pinjaman kepada pemerintah (walau tanpa jaminan). namun pencetakan uang itu akan membawa resiko inflasi, oleh karena itu pencetakan uang perlu dilakukan dengan hati hati. § Pinjaman
124
§
§
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
Pinjaman diperoleh dengan konsekuensi pengembalian dalam jangka waktu tertentu ditambah dengan beban tetap berupa bunga. Pinjaman itu dapat berasal dari dalam negeri atau luar negeri misalnya melalui Consultative Group on Indonesia (CGI) Hasil Undian Negara Pemerintah memperoleh dana dari kelebihan penerimaan hasil penjualan kupon berhadiah setelah dikurangi dengan biaya-biaya penyelenggaraannya, misalnya: Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Namun demikian, seringkali usaha memperoleh sumber dana dengan cara tersebut membawa pengaruh-pengaruh yang kurang baik. Hadiah Sumber dari jenis tersebut biasanya bersifat volunteer dan tanpa balas jasa baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya adalah hadiah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah satu negara kepada negara lain.
FUNGSI PAJAK Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan yang dikaitkan dengan beberapa aktivitas (Hyman, 2002). Penerimaan yang diperoleh melalui pajak biasanya digunakan untuk membeli input yang dibutuhkan dalam memproduksi ataupun menyediakan barang dan jasa pemerintah atau untuk redistribusi kekuatan daya beli masyarakat. Realokasi pajak yang bersumber dari private ke pemerintah digunakan dalam dua tahapan. Yang pertama adalah kemampuan individual untuk menguasai sumber daya berkurang, karena pajak akan mengurangi pendapatan untuk pengeluaran pada pasar barang dan jasa. Yang kedua adalah penerimaan pemerintah kemudian akan digunakan untuk menawarkan sumber daya yang dibutuhkan dalam penyediaan barang dan jasa pemerintah dan untuk menyediakan income support payments bagi penerima transfer dari pemerintah seperti social security pensiun.
Misalnya: Jika seorang keluarga mempunyai pendapatan per tahunnya 30.000.000,- dan membayar 6.000.000,- dalam pajak sehingga harus mengurangi konsumsi ataupun simpanan dalam satu tahun.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
125
6.000.000,- seharusnya dapat digunakan untuk membeli perlengkapan rumah tangga atau untuk membantu pembiayaan investasi pribadi. Barang dan jasa private yang semestinya dapat dibeli dengan 6.000.000,- adalah merupakan Opportunity costs dari penyediaan barang dan jasa pemerintah untuk keluarga tersebut. Berdasarkan definisi pajak yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, tampaknya memberikan kesan bahwa pajak dipungut pemerintah semata-mata sebagai sumber dana bagi pelaksanaan tugas-tugasnya. Tetapi pada kenyatannya, pemungutan pajak mempunyai fungsi yang lebih luas, yakni selain untuk mengisi kas negara, pajak juga dapat dipakai sebagai alat untuk mengukur kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Fungsi Anggaran (Budgetair) Disini, fungsi pajak diletakkan pada tujuan memperoleh dana, yakni pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara sehubungan dengan tugas-tugas untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kemakmuran. Fungsi Mengatur (Regulator) Sedangkan pada fungsi regulator, kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dengan cara mengatur pola produksi dan konsumsi barang-barang ekonomi. Dengan sistem perpajakan, pemerintah dapat mendorong investasi yang menghasilkan barangbarang produksi tertentu atau sebaliknya. Mekanisme perpajakan juga dapat diterapkan untuk mendorong atau mengurangi jumlah pendapatan yang dikonsumsikan.
PRINSIP-PRINSIP PAJAK Pada awal bab digambarkan bahwa pajak tidak hanya berfungsi sebagai penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik tetapi juga dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang relevan. Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu: 1. Prinsip keadilan (equity) 2. Prinsip kepastian (certainty) 3. Prinsip kenyamanan (convenience) 4. Prinsip ekonomi (economy)
126
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
Prinsip keadilan menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan relatif masyarakat. Jumlah nominal pajak yang dibayarkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih kecil dari golongan masyarakat yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, pajak diharapkan dapat menjadi alat distribusi pendapatan secara lebih fair dan akan mengurangi kesenjangan pendapatan. Pembahasan selanjutnya akan memaparkan bahwa apapun kebijakan yang diambil, prinsip keadilan yang memuaskan semua pihak tidak akan pernah tercapai. Prinsip kepastian dimaksudkan agar pada pelaksanaan pemungutan pajak tidak terjadi distorsi berupa kesalahan yang disengaja (penyelewengan) atau yang tidak disengaja sebagai akibat dari kekurangpahaman. Kebijakan perpajakan harus dibuat sesederhana mungkin dan diformulasikan menggunakan kata-kata yang meminimalkan adanya penafsiran ganda. Hal ini juga perlu ditunjang dengan adanya kecukupan proses sosialisasi dengan memasukkan unsur-unsur kemajemukan masyarakat. Prinsip kenyamanan, menggarisbawahi pentingnya menciptakan kondisi yang menyenangkan bagi wajib pajak agar dengan sukarela memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan kata lain, sebisa mungkin dihindarkan adanya unsur-unsur menekan atau kekerasan. Kenyamanan wajib pajak dapat diberikan dengan bentuk pelayanan prima. Prosedur pembayaran pajak harus dibuat semudah mungkin. Kepada mereka yang patuh harus diberikan penghargaan yang setimpal. Prinsip ekonomi menegaskan pentingnya perbandingan antara biaya dan hasil yang efisien. Upaya-upaya penarikan pajak harus disertai dengan kegiatan yang meminimalkan biaya pemungutan atau biaya-biaya lain yang dapat mengurangi penerimaan bersih negara. Biaya pemungutan tidak dapat dijadikan target utama penerimaan negara dari pajak. Wajib pajak sedapat mungkin tidak dikenakan biaya-biaya lain di luar kewajiban pajak murni. Sehingga, tujuan penggunaan pajak untuk pembiayaan pengeluaran publik lebih mudah tercapai.
SIKLUS ARUS PAJAK Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum dapat berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi. Pajak atas
127
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
pendapatan berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-pos penerimaan rumah tangga dan perusahaan dalam siklus perekonomian. Sebaliknya, pajak atas konsumsi berarti pengenaan tarif pajak atas seluruh pengeluaran. Untuk itu perlu diidentifikasi pos-pos penerimaan dan pengeluaran dalam siklus perekonomian. Siklus penerimaan dan pengeluaran dalam perekonomian pada umumnya adalah seperti gambar berikut:
Gambar 7.1 Pos yang pertama adalah pendapatan rumah tangga (1). Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan golongan masyarakat yang diperoleh dari penghasilan upah atau gaji sebagai karyawan dan pendapatan jasa modal. Sedangkan golongan masyarakat lainnya yang memiliki usaha yang menghasilkan produk dikategorikan sebagai perusahaan. Pendapatan rumah tangga ini kemudian akan mengalir dalam dua bentuk yaitu sebagian menjadi konsumsi rumah tangga (2) sebagai biaya pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat dan sisanya menjadi tabungan rumah tangga (3). Jumlah pendapatan rumah tangga yang dikonsumsi kemudian akan mengalir ke pasar barang konsumsi, sedangkan seluruh tabungan masyarakat diasumsikan
128
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
mengalir menjadi bagian dari investasi (5) yang pada akhirnya mengalir ke pasar barang modal. Jumlah nominal konsumsi masyarakat akan sama dengan jumlah penerimaan kotor perusahaan dari pasar barang konsumsi (4) sedangkan jumlah investasi akan sama dengan jumlah penerimaan kotor dari pasar barang modal (6). Adapun total penerimaan dari kedua pasar tersebut disebut penerimaan kotor perusahaan (7). Total penerimaan perusahaan tersebut selanjutnya sebagian akan digunakan sebagai pengeluaran perusahaan (8). Sebagian pengeluaran perusahaan akan disisihkan untuk biaya penyusutan (9), dan sebagian lagi dibayarkan perusahaan sebagai biaya gaji karyawan (11) sedangkan sisanya adalah keuntungan perusahaan (12). Termasuk dalam keuntungan perusahaan adalah pendapatan jasa modal (14) yang dibayarkan kepada rumah tangga seperti bunga, dividen, dan sewa. Sedangkan sisa keuntungan yang tidak dibagi (15) akan menjadi tabungan perusahaan (16). Jumlah biaya gaji yang dibayarkan perusahaan akan menjadi pendapatan gaji (13) bagi rumah tangga. Sedangkan tabungan perusahaan bersama-sama tabungan rumah tangga, diasumsikan akan menjadi investasi seluruhnya.
TARIF PAJAK Pada dasarnya, tujuan dari hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak. Keadilan di sini dapat diartikan sebagai adil dalam prinsip (undang undang) maupun adil dalam pelaksanaannya. Salah satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penerapan tarif pajak, yaitu dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak. Jika dilihat dari sudut pandang dasar penentuan tarif pajak, secara umum akan terbagi atas tiga bentuk yaitu: 1. Tarif Pajak Proposional (Proportional/ flat tax rate) 2. Tarif Pajak Progresif (Progressive tax rate) 3. Tarif Pajak regresif (Regressive tax rate) Proportional/ flat tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu. Dengan kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, jumlah pengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi, jika pendapatan yang diterima oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka secara
129
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
otomatis jumlah pajak yang terhutang menjadi naik sebesar 100%. Tabel di bawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak proporsional diterapkan. Tabel 7.1: Pajak Proporsional Pendapatan
Pajak Nominal
%
1.000
100
10.0
2.000
200
10.0
3.000
300
10.0
Dalam praktek, pajak yang menggunakan tarif proporsional adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 sebesar 20% dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)sebesar 0,5% Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah pendapatan yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan tarif yang lebih besar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar seorang wajib pajak naik sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi naik melebihi 100%. Tabel di bawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak progesif diterapkan. Tabel 7.2: Pajak Progresif Pendapatan
Pajak Nominal
%
1.000
100
10.0
2.000
300
15.0
3.000
600
20.0
Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif yang dikenakan. Sebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat kenaikan
130
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
pendapatan sebesar 100%, maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari 100%. Tabel di bawah ini menggambarkan bagaimana tarif pajak regresif diterapkan. Tabel 7.3: Pajak Regresif Pendapatan
Pajak Nominal
%
1.000
100
10.0
2.000
180
9.0
3.000
240
8.0
ISTILAH-ISTILAH DALAM PERPAJAKAN Pembahasan lebih lanjut mengenai perpajakan perlu dimulai dengan mengenal lebih jauh tentang definisi istilah yang sering muncul dalam dunia perpajakan. Beberapa istilah yang perlu mendapat perhatian khusus diantaranya adalah: § Pajak Perseorangan dan Pajak in Rem § Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung § Pembayaran Transfer Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang yang memperoleh penghasilan di mana besarnya jumlah yang terhutang disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan yang dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi. Untuk menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas pendapatan (personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan perseorangan harus digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika konsumsi juga akan dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan dalam bentuk pajak pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax). Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau objek yang dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak yang melakukan transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan aktivitasaktivitas tertentu atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib membayar pajaknya. Pajak in Rem dapat dikenakan atas rumah tangga atau badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli yang dikenakan terhadap perusahaan akan dapat
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
131
diperlakukan juga terhadap semua rumah tangga yang melakukan transaksi. Hal yang sama juga berlaku ketika mengenakan pajak terhadap harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai kekayaan dari perseorangan atau perusahaan. Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan terhadap perusahaan ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala. Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Ciri pajak langsung dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, secara administratif, pajak tersebut dikenakan secara periodik pada waktu waktu tertentu sesuai dengan masa pajak berdasarkan surat ketetapan atau kohir (tindasan surat ketetapan). Pada sistem self assessment tidak selalu menggunakan surat ketetapan. Kedua, secara ekonomis beban pajak harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan. Contoh dari pajak langsung adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang harus dipikul oleh wajib pajak, hanya saja pajak tersebut tidak dipungut secara berkala. Pajak tidak langsung ini boleh dibebankan/dilimpahkan kepada pihak lain, dan dapat beralih sampai dengan penanggung akhir beban tersebut. Pergeseran beban pajak dapat ke depan (forward shifting) maupun ke belakang (backward shifting). Forward shifting merupakan pergeseran beban pajak searah dengan arus barang yaitu dari produsen ke konsumen. Pergeseran itu sifatnya menaikkan harga barang karena pembeli harus membayar harga barang ditambah dengan pajak, misalnya adalah Penjualan Kena Pajak (BKP) dari pabrikan kepada pembeli, dimana pembeli harus membayar harga barang ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Backward shifting merupakan pergeseran beban pajak yang berlawanan dengan arus barang dimana pembeli menggeser beban pajak kepada penjual. Penggeseran beban pajak itu sifatnya menurunkan harga barang atau jumlah penerimaan yang diperoleh penjual. Misalnya, pabrikan (produsen) dapat menekan harga dari supplier sebesar pajak pertambahan nilai yang harus dibayar. Pada dasarnya yang menjadi tujuan dari pajak tidak langsung adalah pihak ketiga (konsumen), sedangkan produsen hanya sebagai wajib pungut. Pengenaan wajib pajak tidak langsung dilakukan dengan cara fiskus berhadapan dengan wajib pungut dan bukan dengan wajib pajak. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan pemungutan menjadi lebih efisien dan efektif karena dengan satu wajib pungut akan bisa menjaring banyak wajib pajak. Ciri pajak tidak langsung dapat dilihat dari dua segi. Pertama, secara administratif dipungut
132
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
secara insidentil, pada waktu-waktu tertentu berdasarkan adanya tatbestand (peristiwa, keadaan, dan perbuatan) tanpa didahului dengan surat ketetapan pajak. Kedua, secara ekonomis, beban pajak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn.BM). Terdapat beberapa kebaikan dan kekurangan dari pajak tidak langsung, yang diantaranya adalah sebagai berikut: Kebaikan Pajak Tidak Langsung: § Pajak tidak langsung cenderung lebih stabil digunakan sebagai sarana penerimaan negara dibanding pajak langsung. Jumlah nilai yang diperoleh melalui pajak tidak langsung cenderung lebih mudah diprediksi. § Pengenaan pajak dapat mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Tanpa pandang bulu, semua yang melakukan transaksi atau kejadian tertentu, diwajibkan melunasi pajak yang tertanggung. § Biaya-biaya yang ditimbulkan akibat adanya penerapan pajak tidak langsung relatif lebih murah dibanding pajak langsung. Dikarenakan kesederhanaan landasan aturan yang dipakai, tidak diperlukan banyak perangkat yang bertujuan untuk mensosialisasikan aturan tersebut. § Teknik pemungutannya yang sederhana tidak memerlukan kegiatan administrasi yang kompleks. Kesederhanaan aturan juga memungkinkan dilakukannya penelusuran dan pengecekan jika terjadi kesalahan dengan cepat tanpa perlu menggunakan formula audit yang kompleks. § Fungsi regulator yang dimiliki pemerintah dalam hal kebijakan perpajakan, dapat dengan mudah diterapkan. Dengan mudah dipahami, pemerintah lebih mudah memperkirakan dampak dari setiap kebijakan perpajakan yang dikeluarkan. Kekurangan Pajak Tidak Langsung: § Kurangnya rasa berkeadilan antara golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan kedua golongan tersebut dibebani tarif pajak yang sama untuk setiap transaksi atau kejadian tertentu. § Karena dimungkinkannya terjadi penggeseran beban pajak kepada golongan wajib pajak lainnya, penanggung akhir dari beban pajak tidak langsung belum tentu sesuai dengan target awal. Hal ini tergantung dari tingkat elastisitas kurva permintaan dan penawaran untuk barang-barang terkena pajak tidak langsung. Sebagai contoh, apabila kurva permintaan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
133
suatu barang adalah elastis sempurna maka seluruh beban pajak tidak langsung akan menjadi tanggungan produsen. Dengan kata lain, dalam kondisi seperti itu beban pajak tidak langsung tidak dapat dialihkan kepada konsumen. Dominasi Pajak Tak Langsung Masih dominannya jenis pajak tak langsung dibandingkan dengan pajak langsung di lima Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak sekarang ini, mencerminkan masih tidak adanya rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya wajib pajak. Hal ini terjadi karena masyarakat tetap dijadikan obyek pajak oleh pemerintah untuk memperbesar target penerimaan pajak dalam negeri. "Sebetulnya ini tidak adil. Di saat krisis, beban yang ditanggung rakyat terus-menerus diperbesar hanya untuk meningkatkan target penerimaan negara. Padahal, krisis yang terjadi ini bukan karena kesalahan rakyat," ujar anggota Komisi IX DPR, di sela-sela rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Keuangan berkaitan dengan pembahasan lima RUU Pajak di Panitia Khusus (Pansus) Pajak. Perbandingan antara pajak tak langsung dengan pajak langsung sekarang ini, antara 30:60. "Dominannya pajak tak langsung ini setahu saya hanya terjadi di Indonesia, dimana rakyat dibebankan kewajiban pajak tak langsung yang lebih besar daripada pajak langsungnya," ujar anggota DPR. Direktur Jenderal Pajak yang dimintai pendapatnya mengakui keadaan itu. Namun, perbandingannya tidak sebesar itu. "Hanya beda sedikit,". Dirjen Pajak membantah kalau dominasi pajak tak langsung ini hanya terjadi di Indonesia. Pajak tak langsung merupakan pajak yang bisa dialihkan ke pihak lain. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang, Bea Masuk, Bea Balik Nama, dan sebagainya. Sasaran pajak tak langsung ini sebenarnya konsumen, sedangkan pengusaha kena pajak hanya bertindak sebagai pemungut pajak. Namun adakalanya, pihak pengusaha tidak mau bertindak sebagai pemungut pajak, tetapi karena diwajibkan, pengusaha menggantikan pajak tadi dengan menekan ongkos produksi sehingga sama dengan jumlah pajak yang dipungut. Hal ini berarti, pengusaha menekan keuntungan yang diperolehnya. Pengusaha seperti ini termasuk langka, karena lebih banyak pajak dikenakan pada konsumen. Sebaliknya, pajak langsung adalah pajak yang harus ditanggung sendiri dan langsung oleh wajib pajak. Misalnya Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak ini langsung terkait dengan penghasilan wajib pajak atau Nilai Jual Obyek Pajak. (Diadaptasi dari: www.kompas.com, 7 Juli 2000) Mengapa Pajak Tidak Langsung dianggap kurang memenuhi prinsip keadilan, terutama bagi Wajib Pajak? Diskusikan!
Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagian besar negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajak tidak langsung. Hal ini terutama diakibatkan sulitnya melakukan administrasi yang baik dan teliti untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-negara maju,
134
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak langsung lebih banyak digunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara tersebut. Seluruh aliran dana yang masuk kas negara akibat diterapkannya kebijakan perpajakan biasa disebut sebagai pajak positif. Sedangkan pembayaran transfer oleh pemerintah dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pembayaran transfer atau grant oleh pemerintah dapat dianggap sebagai arus pajak dengan arah yang berlawanan. Misalnya adalah tunjangan sosial dan subsidi pajak terhadap beberapa jenis usaha tertentu. Pada beberapa negara, tunjangan sosial dapat diterapkan untuk memenuhi prinsip keadilan perpajakan. Sebagai contoh, program pensiun kepada semua pegawai akan menguntungkan golongan pendapatan yang rendah karena mereka memperoleh manfaat dari program ini melebihi jumlah kontribusi yang dibayarkan melalui pajak penghasilan yang progresif. Hal tersebut disubsidi silang oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas.
RANGKUMAN § § §
§
§
Secara garis besar, sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi dua sumber yakni dari dalam negeri dan luar negeri Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan yang dikaitkan dengan beberapa aktivitas Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu: 1. Prinsip keadilan (equity) 2. Prinsip kepastian (certainty) 3. Prinsip kenyamanan (convenience) 4. Prinsip ekonomi (economy) Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum dapat berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi. Pajak atas pendapatan berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-pos penerimaan rumah tangga dan perusahaan dalam siklus perekonomian. Sebaliknya, pajak atas konsumsi berarti pengenaan tarif pajak atas seluruh pengeluaran. Pada dasarnya, tujuan dari hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak. Keadilan di sini dapat diartikan sebagai adil dalam prinsip (undang undang) maupun adil dalam pelaksanaannya. Salah
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
135
satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penerapan tarif pajak, yaitu dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak. Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu. Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan individu. Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang terhutang disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan terhadap perusahaan ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala. Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang harus dipikul oleh wajib pajak hanya saja pajak tersebut tidak dipungut secara berkala
LATIHAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sebutkan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pajak! Sebutkan dan jelaskan mengenai prinsip dasar pengenaan pajak! Jelaskan bagaimana hubungan sistem perpajakan yang berlaku di suatu negara dengan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut! Apa tujuan pemerintah mendirikan perusahaan-perusahaan negara? Apakah perbedaan antara pajak dengan retribusi? Mengapa dalam negara-negara berkembang, penerimaan cenderung lebih banyak didapat dari sektor pajak tidak langsung? Apa yang disebut dengan pajak positif dan pajak negatif? Jelaskan mengenai Pajak in Rem dan Pembayaran Transfer! Sebutkan kelebihan dan kekurangan dari Pajak Tidak Langsung!
136
Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan
KEADILAN DAN DAMPAK PERPAJAKAN
Pada kenyataannya, sulit sekali didapat suatu formula kebijakan perpajakan yang memenuhi seluruh aspek keadilan. Tidak ada suatu kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain. Untuk itu perlu dibandingkan prinsip-prinsip yang menerangkan bagaimana konsep keadilan dapat dibakukan. Lebih lanjut pembahasan keadilan perpajakan dikaitkan dengan beberapa jenis pajak.
PRINSIP MANFAAT Setiap orang setuju bahwa sistem perpajakan harus adil dimana setiap wajib pajak harus memberikan kontribusinya yang layak untuk membiayai kegiatan pemerintah. Pendekatan pertama adalah prinsip manfaat (benefit principle). Suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap
138
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah. Berdasarkan prinsip ini, sistem pajak yang adil akan tergantung dari struktur pengeluaran publik. Oleh karena itu, prinsip manfaat memandang perekonomian sektor publik sebagai sektor yang melibatkan pengeluaran maupun penerimaan yang berkesinambungan. Agar prinsip manfaat dapat dilaksanakan, manfaat yang diperoleh wajib pajak atas terjadinya pengeluaran publik harus diketahui terlebih dahulu. Prinsip manfaat cenderung mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai jasa-jasa publik tetapi tidak terlalu mempertimbangkan pembiayaan transfer serta tujuan redistributif. Agar sistem perpajakan dengan prinsip manfaat bisa adil, harus diasumsikan bahwa ketika sistem tersebut mulai diberlakukan sudah terdapat distribusi yang tepat dalam perekonomian. Praktek penerapan kebijakan fiskal berdasarkan prinsip manfaat lebih banyak ditetapkan pada penyediaan jasa-jasa publik berdasarkan prinsip manfaat yang khusus. Misalnya pembebanan bea (bea cukai dan bea masuk) serta pajak pengganti pembebanan seperti pajak BBM dan pajak kendaraan dalam rangka pembiayaan jalan raya. Dalam halnya pengenaan pajak melalui pembebanan langsung terhadap pengguna, konsumsinya bersaing secara bebas. Manfaat hanya dapat diperoleh apabila pemakai dapat membayar, misalnya biaya penggunaan sarana transportasi dan penyediaan fasilitas bandar udara. Dengan penetapan harga, penyediaan jasa-jasa publik oleh pemerintah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang sama seperti yang dilakukan oleh swasta. Keuntungan penyediaan jasa publik model ini adalah dapat meringankan beban keuangan pemerintah. Mekanisme pasar dapat diterapkan untuk mendapatkan posisi tawar menawar yang efisien.
PRINSIP KEMAMPUAN MEMBAYAR Yang kedua adalah prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle). Menurut prinsip ini, sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik. Perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan tertentu dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Pendekatan ini menyebabkan sisi pengeluaran publik menjadi tidak jelas. Agar prinsip kemampuan membayar dapat diterapkan, harus diketahui terlebih dahulu bagaimana cara mengukur kemampuan tersebut. Pendekatan kemampuan membayar ini lebih baik dalam hal mengatasi masalah redistribusi akan tetapi mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. Ukuran kemampuan membayar mencerminkan kesejahteraan secara menyeluruh yang dapat diperoleh seseorang, termasuk diantaranya adalah pendapatan, pola konsumsi, dan kekayaan. Kemampuan membayar seseorang
139
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
tentunya akan meningkat jika pendapatan meningkat. Prinsip ini dianggap lebih berkeadilan secara horizontal dan vertikal1. Hobbes berpendapat bahwa kewajiban membayar pajak harus dikaitkan dengan pendapatan yang dibelanjakan bukan yang ditabung. Dalam arti, pemborosan harus dikenakan pajak, sedangkan kebajikan harus diberi penghargaan. Pendapat lain mengatakan bahwa tabungan adalah konsumsi yang ditunda. Dan apabila tabungan masyarakat memperoleh bunga, jumlah pajak yang dibayar ikut meningkat apabila seluruh tabungan tersebut dikonsumsikan. Adapun perbandingan dari metode pengenaan pajak terhadap pendapatan dan konsumsi dari prinsip kemampuan membayar tercermin dari tabel berikut. Tabel 8.1: Perbandingan Pajak Penghasilan dan Pajak Konsumsi Pajak Penghasilan
Pajak Konsumsi
Periode I •
Gaji
100
100
100
100
•
Pajak
10
10
10
0
•
Konsumsi
90
0
90
0
•
Tabungan
0
90
0
100
•
Bunga
0
9
0
10
•
Pajak
0
0,9
0
11
•
Konsumsi
0
98,1
0
99
•
Tabungan
0
0
0
0
Total Pajak
10
10,9
10
11
Nilai Sekarang (PV)
10
10,82
10
10
Periode II
Pajak = 10%; Inflasi/Bunga = 10%
Pengenaan pajak yang didasarkan atas diterimanya pendapatan (termasuk pendapatan dari bunga tabungan) akan menyebabkan total pajak yang dibayar oleh wajib pajak menjadi lebih besar dan akan berbanding lurus dengan besarnya jumlah pendapatan yang ditabung. Ilustrasi pada pajak penghasilan 1
Berkeadilan horizontal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang sama harus membayar dengan jumlah yang sama. Berkeadilan vertikal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih besar harus membayar pajak dengan jumlah yang lebih besar pula.
140
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
menggambarkan bahwa apabila seluruh pendapatan setelah dikurangi pajak dikonsumsi habis, maka tidak akan ada tambahan pendapatan pada periode II (berikutnya) dari tabungan gaji periode I. Sedangkan tambahan pajak akan dikenakan terhadap bagian gaji yang ditabung yang mendapat bunga. Keadaan ini menyebabkan orang cenderung untuk mengurangi tabungan. Ilustrasi pajak atas konsumsi tersebut di atas terlihat lebih adil. Hal ini disebabkan karena pajak akan tetap dipungut tanpa melihat kapan pendapatan akan dikonsumsi sehingga jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak mempunyai nilai sekarang yang sama. Atau dengan kata lain, ditabung atau dikonsumsi, jumlah total pajak yang dibayar memiliki nilai sekarang yang sama2 Apabila pajak atas konsumsi yang dipilih, dimungkinkan adanya bagian pendapatan yang tidak pernah kena pajak. Bagian pendapatan itu adalah pendapatan yang ditabung dan tidak pernah dikonsumsi, yang pada akhirnya akan menjadi kekayaan individu. Apabila kekayaan individu dapat diwariskan kepada individu lain tanpa dikenakan pajak, pendapatan tersebut selamanya bisa tidak dikonsumsi dan tidak kena pajak. Sebaliknya kekayaan individu bisa menambah pendapatan pemiliknya sebagai pendapatan barang-barang modal. Atas dasar ini, kekayaan individu dan warisan bisa dikenakan pajak.
KRITERIA UMUM KEADILAN PERPAJAKAN Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan pajak untuk memenuhi belanja publik yang harus didasarkan pada proporsi kekayaan dan pendapatan masyarakat. Pada umumnya, negara menganut prinsip ini dalam rangka memenuhi tuntutan keadilan dalam hukum walaupun pada pelaksanaannya masih banyak menimbulkan perbedaan-perbedaan. Secara konsep, keadilan perpajakan mengimplikasikan proses redistribusi kekayaan masyarakat dimana orang kaya membayar lebih banyak dari orang yang lebih miskin (dimensi vertikal). Dalam prakteknya, tidak dipungkiri jika orang kaya juga ikut menikmati sebagian keuntungan dari adanya belanja negara. Di samping melihat keadilan pajak dari sudut pandang dimensi vertikal, perlu juga diperhatikan keadilan pajak dari sudut pandang dimensi horizontal dimana pengenaan pajak terhadap seseorang harus lebih rendah dari kemampuannya membayar 3 dan prinsip keadilan pajak secara geografis 2
3
Kondisi ini diasumsikan nilai bunga sama dengan inflasi.
Sebagai ilustrasi, pajak terhadap seorang petani harus lebih rendah dari hasil pertanian yang dimilikinya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
141
dimana orang-orang yang tinggal pada daerah tertentu akan dikenakan pajak yang lebih tinggi. Prinsip keadilan pajak dapat juga dilihat dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Beberapa penulis berpendapat bahwa pajak akan dikatakan adil jika kenaikan pajak akan dikompensasikan dengan penyediaan pendidikan dan transportasi umum yang murah, dan pajak dikatakan tidak adil jika sumber pendapatan tertentu dikenakan pajak tinggi sementara sumber tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Struktur pajak yang progresif cenderung akan lebih mudah dicapai pada struktur perekonomian yang mapan. Dalam konsep ini, masyarakat golongan ekonomi rendah akan dikenakan pajak yang ringan dan bahkan dapat dibebaskan dari kewajiban pajak seluruhnya. Beberapa hambatan yang mungkin terjadi dalam menentukan suatu kebijakan perpajakan adalah keadaan ekonomi dan politik suatu negara, terbatasnya volume pendapatan masyarakat yang dapat dikenakan pajak, ketakutan akan efek negatif pajak terhadap produksi dan investasi nasional, serta pengaruh kekuatan orang-orang kaya terhadap kebijakan politik nasional. Tidak jarang para pelaku ekonomi yang kuat menyuarakan keluhan-keluhannya terhadap kebijakan pajak baru yang dapat menggangu kegiatan bisnisnya. Distribusi pembebanan pajak yang adil dipengaruhi oleh cakupan faktorfaktor siapa yang membayar, apa jenis pendapatannya serta bagaimana tarif pajaknya. Di samping itu, hal ini tentunya juga akan dipengaruhi oleh metode assesment dan akurasi penghitungan pajak terhutang. Ketidakakuratan dalam penghitungan pajak terhutang akan mengakibatkan ketidakadilan karena akan menimbulkan adanya pajak yang lebih bayar atau kurang bayar. Sulitnya menerapkan metode assesment yang baik juga muncul dalam hal menentukan subjek pajak yang dikecualikan. Kebijakan perpajakan dianggap adil jika faktor-faktor seperti lanjut usia, dibawah umur, kemiskinan, dan cacat dikecualikan dari subjek kena pajak. Di samping itu, tentunya keadilan pajak juga harus memperhitungkan besarnya jumlah tanggungan dalam keluarga4.
PRINSIP KEADILAN DAN PAJAK PENGHASILAN Pajak penghasilan biasanya dihitung atas jumlah penghasilan selama satu tahun. Penghasilan tersebut merupakan daya beli individu atas barang dan jasa selama satu tahun yang dapat dikonsumsikan atau disimpan untuk keperluan di masa mendatang. 4
Pada negara-negara yang relatif maju dalam perekonomian cenderung dapat mempercayai dokumen-dokumen yang membuktikan adanya hak atas pengecualian pajak.
142
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajak individu dan pajak badan. Sebagai pajak individu, pajak penghasilan akan dikenakan kepada setiap orang yang memiliki penghasilan tanpa melihat umur atau jumlah yang diterimanya. Sebagai pajak badan, pajak akan dikenakan atas keuntungan badan usaha yang diterima oleh para pemegang saham sesuai dengan proporsi nilai saham yang dimilikinya. Pendapatan masyarakat dapat diukur berdasarkan sumber perolehannya ataupun penggunaannya. Berdasarkan sumber perolehannya, pendapatan adalah seluruh penerimaan selama periode pajak yang berupa keuntungan jasa, tunjangan dari pemerintah atau swasta, dan kenaikan nilai kekayaan. Sedangkan berdasarkan penggunaannya pendapatan masyarakat dapat berupa pembelian barang dan jasa, beban pajak, sumbangan, dan tabungan. Pendapatan masyarakat tersebut dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: I = C + ΔNW Dimana: I = Pendapatan tahunan (annual income) C = Konsumsi tahunan (annual consumption) ΔNW = Perubahan kekayaan bersih setahun (annual change in net worth) Metode untuk mengukur pendapatan baik berdasarkan sumber perolehannya ataupun penggunaannya harus ditentukan sebelum pajak penghasilan dijalankan. Kebanyakan sistem akuntansi menggunakan sisi sumber sebagai alat ukurnya. Beberapa ahli menyarankan untuk memasukkan unsur tambahan yakni peningkatan kekayaan sebagai bagian dari pendapatan kena pajak. Dengan demikian, tentunya perlu dilakukan penghitungan berapa pendapatan yang sesungguhnya setelah dimasukkan unsur inflasi sebagai penyeimbang. Pengukuran akan relatif menjadi lebih mudah jika kekayaan yang dimiliki berupa saham dan obligasi. Jika dilihat dari sisi pengeluaran, akan terdapat item-item pengeluaran yang erat kaitannya dengan kegiatan memperoleh pendapatan seperti pembelian peralatan kerja, pakaian kerja, iuran serikat pekerja, biaya penitipan anak, dan transportasi dari/menuju tempat kerja. Pengeluaran-pengeluaran tersebut tentunya diperlukan dalam rangka mendapatkan penghasilan dan tidak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
143
menambah kekayaan wajib pajak sehingga layak untuk dikeluarkan dari jumlah pendapatan kena pajak5. Pada beberapa kasus, wajib pajak dimungkinkan untuk menerima pendapatan selain uang tunai. Dengan demikian, kesulitan akan muncul pada saat menghitung berapa nilai tambah kekayaan yang timbul sebagai akibat dari adanya transaksi non moneter ini (income in kind)6. Contoh lain adalah fringe benefit, dimana seorang wajib pajak misalnya menerima pinjaman kendaraan yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi atau tunjangan makan yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Semua itu dapat dikategorikan sebagai pendapatan yang tidak tercermin dalam gaji yang tertera (nonpecuniary returns). Secara umum, dapat dikatakan bahwa konsep keadilan dalam perpajakan masih dapat diperdebatkan. Akan tetapi, perbedaan pendapat dalam hal kebijakan yang berkeadilan lebih kompleks lagi pada pajak penghasilan. Baik prinsip keadilan secara horizontal maupun secara vertikal, perumusan rancangan kebijakan fiskal lebih memerlukan perhatian khusus. Secara horizontal, dikatakan bahwa pengenaan pajak harus sesuai dengan kesetaraan kemampuan ekonomi masyarakatnya. Yang menjadi pertanyaan, apakah kesetaraan kemampuan ekonomi bisa dijewantahkan sebagai kesamaan tingkat pendapatan, atau kesetaraan ini hanya diukur dari jumlah pendapatan yang diterima saja dengan sama sekali mengabaikan potensi perbedaan pengeluaran dari masing-masing rumah tangga 7 . Sedangkan secara vertikal, masih terdapat beberapa pendapat yang kurang setuju jika keadilan secara vertikal dilambangkan dengan tarif pajak progresif. Adapun alasan yang mendasari ketidaksetujuan mereka dapat dilihat dari dua kebijakan yang biasa berkaitan dengan pajak progresif. Pertama adalah kebijakan pendapatan tidak kena pajak. Kompensasi dari adanya kebijakan ini adalah rumitnya pelaksanaan peraturan dalam praktek. Pada akhirnya, kerumitan cenderung 5
Biaya pelatihan juga masih dalam perdebatan apakah dapat dikategorikan sebagai pengeluaran yang dapat mengurangi pendapatan kena pajak. 6 Pendapatan jenis ini sering terjadi pada usaha-usaha kecil yang memproduksi barang atau jasa. Pada kenyataannya akan terjadi seorang wajib pajak memperoleh suatu produk atau menerima jasa yang dihasilkan sendiri sehingga tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang. Kegiatan ini tentunya akan menambah kekayaan bersih wajib pajak, akan tapi, hal hal yang seperti ini biasanya luput dari pengenaan pajak. 7
Hal-hal seperti jumlah anggota keluarga, biaya kesehatan, biaya pendidikan yang bervariasi tentunya akan sangat mempengaruhi pola pengeluaran rumah tangga. Supaya lebih adil, seharusnya hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga juga ikut diperhitungkan.
144
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
mendorong keengganan dan penyelewengan wajib pajak. Kedua adalah kebijakan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk setiap tambahan pendapatan. Wajib pajak cenderung mempermainkan tempo pengakuan suatu pendapatan untuk menghindari pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi.
PRINSIP KEADILAN DAN PAJAK PENJUALAN Dalam pajak penjualan, prinsip umum yang ingin dicapai adalah bahwa jumlah pendapatan masyarakat yang ditabung seharusnya tidak perlu dikenakan pajak. Hal ini dipercaya akan dapat mendorong masyarakat untuk lebih meningkatkan tabungannya di samping kegiatan administrasi perpajakannya yang cenderung akan menjadi lebih mudah. Basis yang menyeluruh terhadap kajian pajak penjualan dapat diturunkan dari basis pajak penghasilan. Jika dalam pajak penghasilan seluruh konsumsi dan tambahan kekayaan wajib pajak akan dikenakan pajak, pada pajak penjualan tambahan kekayaan tersebut (yang biasanya dari tabungan) dikeluarkan dari basis pajak. Sebagaimana telah dijelaskan oleh ilustrasi pada awal bab, terdapat semacam penundaan pajak penghasilan sampai terjadi konsumsi atas bagian dari penghasilan tersebut. Untuk menghindari akumulasi pendapatan yang tidak kena pajak sebagai akibat wajib pajak meninggal dunia, warisan akan dikenai pajak seketika pada saat setelah wajib pajak diumumkan meninggal dunia. Pajak penjualan sama sekali tidak dipengaruhi inflasi. Hal ini disebabkan karena hanya porsi penghasilan yang dibelanjakanlah yang akan dikenai pajak. Bebeda dengan apa yang diterapkan pada pajak penghasilan, capital gain harus memperhitungkan tingkat inflasi sebelum menentukan jumlah kena pajak. Pada pajak penjualan, selisih lebih kekayaan wajib pajak secara moneter sebagai akibat dari adanya inflasi tidak akan membuat kemampuan membayarnya meningkat karena wajib pajak tersebut harus membelanjakan penghasilannya dengan harga yang telah terinflasi. Perbedaan yang menarik antara pajak penjualan dengan pajak penghasilan adalah pada dana yang tersedia berupa ‘pinjaman’. Dalam pajak penjualan, pinjaman yang dikonsumsikan akan tetap dikenai pajak. Sedangkan pada pajak penghasilan, pinjaman tidak dikenakan pajak. Justru bunga yang timbul sebagai akibat dari adanya pinjaman tersebut akan dapat mengurangi dasar penghasilan yang dikenai pajak. Pengenaan pajak penjualan akan lebih dirasakan dampaknya oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan, golongan masyarakat ini cenderung untuk mengkonsumsi seluruh pendapatan yang
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
145
dimilikinya. Sedangkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi memiliki kesempatan untuk menabung sebagian pendapatannya. Makin besar pendapatan golongan masyarakat, makin tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa langkah, dapat ditempuh oleh pemerintah seperti (Ulbrich, 2003): 1. Memperbanyak item aktivitas penjualan kena pajak yang hanya mungkin dilakukan oleh golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. 2. Mengurangi atau mengeliminasi pengenaan pajak yang lebih banyak dikonsumsi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah. 3. Mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk beberapa jenis produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. 4. Mengembalikan jumlah pajak penjualan yang dibayar kepada masyarakat dengan standar penghasilan tertentu.
PRINSIP KEADILAN DAN PAJAK KEKAYAAN Kekayaan adalah akumulasi dari tabungan dan investasi suatu negara. Seorang wajib pajak dapat memiliki kekayaan melalui kegiatan menabung, memperoleh hibah atau mewarisi kekayaan keluarganya. Seorang wajib pajak yang tidak mampu menabung, tidak memperoleh hibah/hadiah atau warisan tidak akan pernah disebut kaya. Banyak pendapat yang setuju jika pajak kekayaan diterapkan. Hal ini dikarenakan banyak wajib pajak yang berpenghasilan rendah namun pada kenyataannya mereka memiliki sejumlah kekayaan dan mereka memungut sewa atas pemanfaatan kekayaan tersebut oleh orang lain. Jika hal ini terjadi, akan menjadi sangat sulit untuk mengukur berapa jumlah tambahan pendapatan dari kegiatan sewa tersebut. Mengadministrasikan pajak kekayaan cenderung lebih sulit, terutama dalam hal kekayaan yang jarang diperjualbelikan. Estimasi nilainya sering meleset dari nilai yang sesungguhnya. Dalam hal kekayaan yang dimiliki dengan cara hutang, nilai bersih kekayaan harus dikurangi dulu dengan jumlah total hutang supaya tidak terjadi penghitungan ganda. Pengukuran nilai kekayaan akan semakin menjadi lebih sulit jika kekayaan tersebut berupa kekayaan yang tak berwujud (intangible asset). Secara umum pada pajak kekayaan, seorang penilai independen akan ditunjuk untuk mengestimasikan nilai kekayaan
146
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
tersebut. Jika hasilnya dirasa memadai, pengenaan tarif akan didasarkan atas estimasi nilai yang dihasilkan. Cara lain yang dapat dipakai untuk mengukur nilai sebuah kekayaan adalah dengan menghitung nilai sekarang (present value) dari potensi pendapatan sewa selama masa manfaat kekayaan tersebut. Tentu saja hal ini harus memperhitungkan tren kenaikan harga sewa sehingga dapat mencerminkan nilai pasar sesungguhnya. Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa target pengenaan pajak kekayaan8 adalah pemiliknya. Aplikasi pengenaan pajak terhadap kekayaan tersebut akan menjadi lebih mudah diterapkan jika pemilik dan pengguna kekayaan tersebut adalah orang yang sama. Problem distribusi pajak yang muncul akan menjadi lebih kompleks diprediksi keadilannya apabila kekayaan tersebut disewakan kepada pihak ketiga. Dalam dunia usaha, penanggung akhir dari adanya pengenaan pajak kekayaan makin sulit ditentukan karena melibatkan pemilik usaha, para pegawai, konsumen, dan pemilik kekayaan. Pajak kekayaan cenderung bersifat regresif, yang artinya bahwa pajak kekayaan lebih menguntungkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi karena nilai uang yang dikeluarkannya sebagai pajak akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai uang untuk pajak kekayaan yang dikeluarkan oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Efficiency Effect Sistem perpajakan yang baik adalah sistem perpajakan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap perekonomian negara. Sistem tersebut tidak boleh terlalu membebani perekonomian. Jika tujuannya adalah untuk mengoptimalkan tingkat produksi, kebijakan perpajakan yang dapat ditempuh dengan mengenakan pajak tidak langsung. Sebaliknya jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemerataan penghasilan, pajak langsung yang progresif lebih tepat untuk diterapkan. Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat di atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Hal ini mengakibatkan adanya keuntungan yang hilang sebagai akibat dari terdistorsinya keseimbangan harga pada kurva permintaan dan penawaran. Excess burden disebabkan adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia dibayar oleh pembeli dibandingkan dengan jumlah yang diterima oleh penjual. Dengan kata lain, penurunan pendapatan penjual tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas yang tersedia untuk dibeli. Berkaitan dengan penerimaan negara, terkadang total excess burden tidak sama dengan total penerimaan negara. Untuk mengukurnya 8
Kekayan yang dimaksud disini adalah berupa kekayaan atas benda-benda seperti rumah. Mobil dan kekayaan lainnya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
147
digunakan efficiency-loss ratio yakni Excess Burden dibagi Tax Revenue yang dapat diformulasikan dengan persamaan sebagai berikut: efficiency-loss ratio = W/ R dimana: W = Excess Burden R = Tax Revenue Estimasi efficiency-loss ratio penting dilakukan untuk meminimalkan total excess burden pada sistem perpajakan nasional. Dengan mengurangi pengenaan pajak yang menimbulkan excess burden lebih besar dalam jumlah nominal yang sama, tarif pajak dapat diturunkan tanpa mempengaruhi jumlah total penerimaan negara. Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku-pelaku ekonomi mana yang sesungguhnya menanggung beban pajak. Hal ini dimungkinkan karena pelaku ekonomi yang secara hukum berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah belum tentu menggunakan dana pribadi atau dengan kata lain dapat membebankan pajaknya kepada pelaku ekonomi yang lain. Berkenaan dengan dimungkinkannya memindahkan beban pajak kepada pelaku ekonomi lain secara keseluruhan atau sebagian (tax shifting) maka pembahasan tax incidence dapat dibagi dalam dua konsep yakni statutory incidence dan economic incidence. Statutory Incidence merujuk pada pelaku-pelaku ekonomi yang secara hukum terlibat dalam pendistribusian pembebanan pajak. Sedangkan Economic Incidence lebih mengarah pada pengaruh pendistribusian pembebanan pajak pada tingkat ekulibrium harga atau tingkat perekonomian secara umum. Economic Incidence lebih sulit dianalisa dibanding Statutory Incidence. Untuk menentukan manakala beban pajak dipindahkan, perlu diformulakan sebuah teori ekonomi tentang perubahan harga yang dipengaruhi pajak. Analisa tersebut kadang juga memerlukan pembahasan parameter yang tersembunyi, misalnya elastisitas harga produk tertentu. Kajian-kajian yang dilakukan mengenai tax incidence tergantung dari tersedianya sumber daya dan antisipasi pemindahan beban. Ketika mengidentifikasi distribusi beban pajak, perlu dispesifikasikan alternatif atas kebijakan pajak tersebut. Misalnya, ketika menganalisa penanggung beban pajak perseroan, maka akan timbul pertanyaan tentang kebijakan pajak apa yang yang dapat dibandingkan dengan pajak perseroan tersebut. Absolute Tax Incidence menggambarkan suatu kebijakan distribusi
148
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
beban pajak yang tidak memiliki pembanding. Sebaliknya Differential Tax Incidence menyoroti keadaan pendistribusian beban pajak yang memiliki beberapa alternatif lain yang berfungsi sama dengan kebijakan pajak dimaksud.
DAMPAK PAJAK Terhadap Sistem Ekonomi Keseluruhan Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari pendapatan nasional (Y), jumlah konsumsi (C) dan tabungan (S). Hubungan dari ketiga unsur tersebut adalah pendapatan nasional sama dengan jumlah konsumsi ditambah jumlah tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh tabungan (S) digunakan sebagai investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah tabungan (S) lebih besar dari jumlah investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan digunakan untuk investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi), dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi).
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
149
Gambar 8.1 : Hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional, dengan tingkat Konsumsi dan tingkat Investasi Gambar di atas menunjukkan hubungan antara tingkat pendapatan nasional (Y), dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat investasi (I). Pada tingkat pendapatan nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan seimbang, tidak ada inflasi ataupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (S
I) terdapat deflationary gap dimana hargaharga cenderung terus turun sampai tidak ada lagi perbedaan antara tabungan dan investasi. Pada kondisi ini, instrumen pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat deflasi, menggeser kurva C+I ke atas dengan menerapkan pajak atas tabungan.
Terhadap Komposisi Produksi Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil oleh para pelaku ekonomi. Dengan kata lain, pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktorfaktor produksi. Pergeseran yang dimaksud adalah mengubah pola produksi sehingga menghasilkan barang-barang yang lebih rendah biaya produksinya akibat tarif pajak yang lebih kecil atau beralih produksi. Sebagai contoh, perusahaan dapat saja mengurangi produksi barang-barang yang merupakan objek pajak dan meningkatkan produksi barang-barang lain yang masih belum merupakan kategori barang kena pajak. Perusahaan lain dapat saja berpindah lokasi industri dari suatu tempat yang mengenakan pajak yang tinggi ke tempat yang memberikan insentif pajak. Seberapa jauh pengaruh pajak terhadap penggunaan faktor-faktor produksi dipengaruhi elastisitas permintaan terhadap barang-barang yang dihasilkan. Barang-barang yang tingkat permintaannya inelastis sempurna tidak akan terpengaruh dengan adanya pengenaan pajak. Konsumen akan membayar seluruh beban pajak yang ditambahkan pada harga barang. Sebaliknya, jika elastisitas permintaan barang adalah sempurna, perusahaan tidak dapat
150
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
mengalihkan beban pajaknya pada harga barang. Sehingga disarankan untuk barang-barang yang memiliki elastisitas tinggi, dikenakan pajak yang ringan.
Terhadap Usaha Kerja Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara teoritis, pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja atau tidak bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan pajak penghasilan. Jika pilihan kedua yang dilakukan maka akan dapat dikatakan bahwa pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap kemauan usaha kerja. Dengan demikian, pajak akan dapat menyebabkan orang menjadi kurang giat bekerja. Orang lebih memilih untuk mempunyai lebih banyak waktu santai. Pada kenyataannya, pengaruh pajak terhadap kemauan kerja individu memiliki sifat yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, pajak tidak menimbulkan disinsentif untuk bekerja. Tidak setiap kenaikan pajak akan memberi dampak negatif pada tabungan masyarakat ataupun investasi. Reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak ditentukan oleh elastisitas penawaran usaha. Bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, biasanya permintaannya terhadap penghasilan adalah tinggi. Sehingga elastisitas penawaran usahanya adalah tinggi, turunnya pendapatan justru akan mendorong kemauan kerja yang lebih besar. Sedangkan bagi mereka yang kurang peduli dengan gaya hidup mewah, permintaannya terhadap penghasilan rendah sehingga elastisitas penawaran usaha dalam hubungannya dengan penghasilan adalah rendah juga. PERBEDAAN PAJAK ................................ Polandia, Slowakia, Ceko, dan Hongaria, anggota baru Uni Eropa-sebuah pasar tunggal diuntungkan oleh berbagai kombinasi. Hal itu antara lain upah buruh yang relatif murah, pajak yang relatif rendah, dan meningkatnya kepercayaan investor. Kombinasi itu membuat ekonomi negara-negara tersebut tumbuh lebih cepat. Bahkan pertumbuhannya dua kali lebih tinggi dari tetangga mereka yang kaya di UE sepanjang 2004 lalu. Data terbaru dari Eurostat-kantor statistik Uni Eropa (UE)-memperlihatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 4,4 persen pada sembilan bulan pertama 2004 untuk empat negara itu, yang bergabung dengan UE pada Mei 2004. Slowakia mengungguli kawasan dengan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen diikuti Polandia 4,8 persen, Hongaria 3,7 persen, dan Ceko 3,6 persen. Hongaria dan Ceko lebih tergantung pada ekspor ke UE seperti Jerman. Rata-rata pertumbuhan untuk empat negara itu dua kali lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi di UE. Sementara itu, anggota lama UE, seperti Jerman dan Perancis, mencatatkan pertumbuhan ekonomi masing-masing 1,3 persen dan 1,9 persen pada periode yang sama.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
151
Ekspor meningkat pesat seiring dengan hilangnya birokrasi di kepabeanan dan turisme melonjak karena maspakai penerbangan murah (budget airlines) mulai menjangkau negara yang sebelumnya tidak terjamah. Investasi asing berdatangan seiring dengan keyakinan mereka akan keadaan yang jauh lebih baik di negara-negara itu. Sebuah studi yang dilakukan oleh kantor akuntan publik, Ernst & Young, memperlihatkan bahwa arus investasi asing di Eropa naik 27 persen selama enam bulan pertama 2004. Ada sebanyak 1.432 proyek baru pada tahun 2004 dibandingkan dengan hanya 1.126 proyek baru pada paruh pertama tahun 2003 lalu. Investor UE juga mengutamakan anggota baru UE itu sebagai sasaran investasi. Hongaria memenangkan proyek lebih banyak ketimbang Jerman. Republik Ceko dan Polandia jauh lebih baik dalam pemasukan investasi baru ketimbang Spanyol. Slowakia menenggelamkan Austria sebagai tujuan investasi baru. Iklim perpajakan yang merangsang di Eropa Tengah telah membuat Zona Euro merasa gugup, khususnya Jerman dan Perancis-dua perekonomian terbesar di Uni Eropa. Zona Euro adalah julukan bagi sebelas negara di Uni Eropa yang menggunakan mata uang euro. Keputusan-keputusan oleh sejumlah perusahaan untuk merelokasi dan melakukan outsourcing produksi ke Eropa Tengah telah melahirkan perdebatan panas di Uni Eropa. Outsourcing adalah tindakan melakukan produksi ke pihak lain karena bisa dilakukan dengan lebih murah…………………….
Terhadap Distribusi Pendapatan Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok kaya inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakat cenderung lebih tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi pada akhirnya juga ikut berpengaruh pada tingkat inflasi nasional. Berdasarkan kenyataan tersebut, kebijakan perpajakan di Indonesia lebih banyak diterapkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan menerapkan tarif pajak progresif dan minimum pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Kelemahan dari tarif pajak progresif
152
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
adalah menekan pada kelompok-kelompok kaya pemilik modal sehingga mereka malas bekerja, menabung, dan melakukan investasi. PERBEDAAN PAJAK (Lanjutan................................) Perdebatan itu muncul karena relokasi produksi ke Eropa Tengah itu telah membuat terjadinya kehilangan pekerjaan Eropa Barat dan juga di Asia serta Afrika. Alasan utama relokasi adalah upah buruh murah di Eropa Tengah. Soal upah buruh, rata-rata gaji di Jerman adalah enam kali lebih tinggi dari rata-rata gaji di Eropa Tengah. Alasan kedua adalah sistem perpajakan yang lebih menguntungkan perusahaan. Pajak perusahaan di Jerman dan Perancis masing-masing 38,3 persen dan 34,3 persen. Tingkat perpajakan yang tinggi itu memberikan dampak buruk pada investor potensial dan mendorong keluar investor yang ada sekalipun dari Jerman dan Perancis. Dengan tingkat pajak yang 16 persen, Hongaria merupakan negara dengan tingkat perpajakan terendah di antara empat negara Eropa Tengah, yang diikuti Polandia 19 persen. Slowakia mengenakan pajak flat (sama rata) sebesar 19 persen-untuk korporasi, pendapatan perorangan, dan pajak pertambahan nilai. Sistem perpajakan di Slowakia itu benar-benar menjadi alat yang sangat efektif untuk merangsang masuk investor asing, yang sekaligus membuat Slowakia menjadi hub bagi manufaktur otomotif. Sementara itu, tingkat pajak di Republik Ceko adalah 28 persen, tetapi masih lebih rendah dari Jerman dan Perancis. Dalam dua tahun terakhir, PSA Peugeot Citroen (Perancis) dan Kia Motors Corporation (Korea Selatan) telah mulai membangun pabrik-pabrik di Slowakia untuk memproduksi 500.000 mobil per tahun yang akan terlaksana pada 2006. Ford Motor Co (perusahaan otomotif AS) dan Getrag Group (Jerman), Desember 2004 lalu mengumumkan rencana untuk membangun pabrik transmisi (mesin) senilai 399 juta dollar AS di Slowakia timur. Aliran masuk investasi asing ke Eropa Tengah didorong oleh keanggotaan di UE dan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, dan faktor itu akan terus berperan sebagai pendukung utama arus masuk FDI (Foreign Direct Investment) dalam jangka menengah. Masa depan juga cukup prospektif bagi negara-negara tersebut, karena investor asing masih terus berminat melakukan ekspansi ke wilayah itu pada 2005. Paris dan Berlin telah secara terang-terangan mengkritik sistem perpajakan di Eropa Tengah. Hal itu menimbulkan tekanan pada anggota-anggota baru UE untuk meningkatkan perpajakan mereka, atau terancam kehilangan subsidi dari UE. Namun Eropa Tengah tampaknya tidak terintimidasi oleh tekanan dari rekan mereka di UE dan bahkan merencanakan melakukan penurunan perpajakan. (Diadaptasi dari: www.kompas.com 21 Februari 2005) Setujukah Saudara dengan kebijakan yang diterapkan negara-negara Eropa Tengah? Diskusikan!
KRITERIA TARIF PAJAK Pertumbuhan ekonomi akan terjadi apabila lebih banyak masyarakat yang bekerja, menabung sebagian pendapatannya serta menginvestasikan nilai tabungannya. Hal-hal tersebut menurut Daniel J Mitchell (2003) adalah perilaku-perilaku yang dapat meningkatkan kekayaan nasional. Masyarakat tidak begitu saja bekerja secara produktif dengan diterapkannya anggaran pendapatan dan belanja berimbang. Mereka juga tidak begitu saja
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
153
meningkatkan tabungan dan investasi apabila dikenakan tarif pajak rendah atau subsidi perpajakan lainnya. Untuk meningkatkan pendapatan nasional sesuai dengan karakteristik masyarakat di suatu negara, para pengambil keputusan bidang pajak harus mengkonsentrasikan pada hal-hal yang berakibat positif terhadap prilaku bekerja, menabung, dan berinvestasi. Mitchell (2003) memaparkan sembilan petunjuk kebijakan perpajakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sebagai berikut: § Penurunan tarif pajak tidak perlu diterapkan seragam untuk seluruh wajib pajak. Beberapa opsi tarif pajak yang dipungut akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena tarif pajak yang rendah dapat membuat masyarakat yang produktif menjadi semakin giat bekerja. Sedangkan bagi sebagian masyarakat lainnya yang cenderung kurang peduli dengan pungutan pajak, penurunan tarif pajak tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. § Fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan pada penurunan tarif. Beberapa kebijakan insentif pajak atau subsidi dapat berakibat hanya mengurangi jumlah penerimaan negara tanpa menghasilkan peningkatan kegiatan ekonomi secara signifikan. Beberapa negara telah membuktikan bahwa deregulasi perpajakan yang kecil pengaruhnya terhadap turunnya penerimaan negara justru dapat meningkatkan gairah investasi dunia usaha. Tarif Tunggal........................ "Dana Moneter Internasional (IMF) mendukung rencana pemerintah untuk menerapkan tarif tunggal pajak penghasilan (PPh) badan. Sebab, hal itu dianggap akan menyerderhanakan cara perhitungan pajak dan memberikan kepastian bagi pengusaha dibanding dengan tarif PPh berlapis yang selama ini diberlakukan. IMF yakin, pemberlakukan tarif tunggal PPh ini akan mendongkrak sumber pendapatan baru negara." "Penerapan tarif tunggal PPh itu telah banyak diberlakukan negara-negara di dunia. Hasilnya cukup mengembirakan. Namun, Indonesia tidak boleh meniru begitu saja dan perlu ada penyesuaian," ujar Kepala Perwakilan IMF untuk Indonesia akhir pekan lalu. Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengusulkan, pemberlakukan tarif tunggal PPh sebesar 30% untuk badan (perusahaan) besar dan nantinya diturunkan secara bertahap menjadi 25%. Masalah ini sudah diakomodasi dalam draf RUU Pajak, yang diharapkan masuk ke DPR Juni 2005. Kini RUU Pajak itu sudah diserahkan kepada Presiden. Kepala Perwakilan IMF mengatakan, rencana pemberlakukan tarif tunggal PPh itu cukup baik asalkan diikuti implementasi di lapangan oleh aparat pajak dan wajib pajak (WP). Sebab, selama ini banyak WP di Indonesia, khususnya badan, mengeluh rumitnya perhitungan pajak, sehingga tingkat kepatuhan dan ketaatan membayar pajak menjadi rendah dibanding dengan potensi WP yang ada.
154
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
Dia menilai, jika tarif tunggal pajak itu dapat diturunkan ke 25% pada tahun pertama, kemungkinan besar jumlah WP badan yang membayar pajak akan meningkat. Sebab, bagi sebagian besar WP perusahaan besar, tarif 30% itu masih terlalu besar. "Tapi sebagai tahap awal, hal itu sudah cukup bagus sehingga perusahaan dapat mengetahui persis berapa pajak yang harus dibayarkan setiap tahun," katanya. Selanjutnya dia mengatakan, selain penyederhanaan tarif tunggal PPh, Ditjen Pajak harus menyederhanakan cara pengisian dan pelaporan pajak lewat self-assessment (menghitung sendiri pajak). Karena tidak ada gunanya tarif disempurnakan, tapi cara perhitungan dan pengisian masih berbelit-belit, sehingga WP enggan melaporkan harta dan kekayaannya......................................
§
§
Kebijakan yang baik menghasilkan penerimaan negara lebih banyak. Jika keadaan perilaku masyarakat wajib pajak adalah produktif, penurunan tarif pajak justru meningkatkan jumlah penerimaan negara. Agar pelaksanaan kegiatan pemerintah tidak terganggu, harus diperhitungkan cara-cara yang dapat mengkompensasikan turunnya penerimaan negara akibat pengenaan tarif yang lebih rendah. Jumlah potensi tambahan konsumsi masyarakat akibat adanya penurunan tarif pajak kurang signifikan terhadap peningkatan kegiatan ekonomi dibandingkan dengan turunnya jumlah total penerimaan negara. Untuk itu perlu diupayakan suatu kebijakan pelengkap yang dapat meng-offset selisih penurunan penerimaan negara tersebut. Pada akhirnya penurunan tarif pajak tidak merubah total pengeluaran, pendapatan nasional, dan pertumbuhan ekonomi.
Tarif Tunggal (lanjutan........................) Ia mengaku, jika Ditjen Pajak mampu meningkatkan rasio pajak terhadap PDB rata-rata 2% setiap tahun, itu akan membantu sumber pendapatan negara. Sehingga, defisit APBN setiap tahun secara berangsur-angsur dapat dikurangi. Mengenai tarif tunggal PPh sebesar 10% bagi pengusaha kecil dan menengah (UKM), dia mengatakan, hal itu sangat mendorong pertumbuhan UKM sebagai salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi kendala, tegasnya, penentuan kriteria sebagai UKM harus jelas dan transparan. Namun Dewan Penasehat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai, usulan Ditjen Pajak tentang pemberlakuan tarif tunggal pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 30% akan memberatkan pengusaha. Selama ini cukup banyak pengusaha yang membayar PPh dengan tarif 15% dan 20%." "Sedangkan, bagi pengusaha kecil dan menengah (UKM) yang akan dikenai tarif tunggal PPh sebesar 10%, itu sangat meringankan. Tapi bagaimana dengan perusahaan yang biasa membayar 15% dan 20%, di luar UKM," katanya Pernyataan itu menanggapi usulan Ditjen Pajak yang telah dituangkan dalam draf RUU Pajak yang baru. Selama ini, pengusaha membayar PPh 15% bila perusahaannya memperoleh laba bersih di bawah Rp 50 juta, dan 20% untuk Rp 50 juta dan 30% di atas Rp 50 juta. Lewat RUU itu, Ditjen Pajak mengusulkan agar diberlakukan tarif tunggal untuk PPh badan. Yakni 10% untuk UKM dan 30% untuk non-UKM.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
155
Selain mengusulkan tarif tunggal, Ditjen Pajak juga memberikan fasilitas perpajakan bagi sektor usaha tertentu. Hal itu dilakukan guna menarik minat investor melakukan bisnis di Indonesia. Di antara fasilitas perpajakan itu, yakni penghapusan kadaluarsa dipercepat dari 10 tahun menjadi lima tahun. Di samping itu, Ditjen Pajak juga memperpanjang kompensasi kerugian dari lima tahun menjadi paling lama 10 tahun. Sementara itu, pengusaha yang mendapat kredit investasi sebesar 30% dibebaskan dari pembayaran pajak selama enam tahun. Tarif PPh atas dividen turun dari 20% menjadi 10%. (Diadaptasi dari berbagai artikel yang diterbitkan Investor Daily Ind.) Diskusikan efek-efek yang mungkin timbul di Indonesia seandainya tarif pajak tunggal diterapkan!
§
§
§
§
§
Pertumbuhan ekonomi tidak diakibatkan oleh peningkatan konsumsi. Justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi sebagai faktor yang mendorong jumlah total konsumsi sebagai akibat dari meningkatnya jumlah daya beli masyarakat. Untuk itu, sebaiknya kebijakan publik tidak mengedepankan motif yang berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan jalan mendorong konsumsi. Kebijakan pajak yang berdampak positif pada jangka pendek biasanya berdampak positif pula pada jangka panjang. Sebagai contoh, insentif pajak investasi dalam jangka pendek akan menarik minat pemodal masuk ke dalam negeri. Secara jangka panjang, faktor produksi tersebut akan juga mendorong pertumbuhan ekonomi agregat menjadi lebih baik. Efisiensi belanja negara penting dilakukan. Meskipun beberapa pos-pos belanja negara membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti penyediaan keamanan dan penegakan hukum, studi membuktikan bahwa banyak pengeluaran publik yang justru berefek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Efisiensi belanja negara dapat dilakukan dengan merampingkan struktur pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh investasi yang produktif. Dana investasi terutama diambil dari tabungan masyarakat. Investasi dan tabungan, keduanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Sedangkan tarif pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi suku bunga. Untuk itu perlu dikembangkan kebijakan pajak yang mendorong iklim investasi dan menabung. Defisit belanja negara dapat berpengaruh pada turunnya tingkat suku bunga. Tetapi pengaruhnya kurang signifikan dibanding pengaruh faktorfaktor lain seperti pasar modal. Riset akademis yang dihasilkan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara anggaran surplus, berimbang, atau defisit dengan tingkat suku bunga.
156
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
Inti dari sembilan petunjuk di atas adalah segala upaya kebijakan pajak seharusnya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan insentif pada aktivitas-aktivitas produktif nasional. Walaupun di beberapa negara penurunan tarif pajak justru dapat meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi, penurunan tarif bukanlah satu-satunya cara yang dapat diambil pemerintah.
KRITERIA STRUKTUR PAJAK YANG BAIK Kebijakan perpajakan akan memberi dampak yang signifikan jika disusun secara komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh dampak yang dapat ditimbulkan pada level ekonomi makro. Seperti dikutip dari Musgrave (1989), kriteria yang bisa menentukan baik tidaknya sebuah kebijakan perpajakan dapat dilihat sebagai berikut: § Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat. § Distribusi beban pajak harus adil. Setiap orang harus dikenakan pajak sesuai dengan kemampuannya. § Penanggung akhir beban pajak harus menjadi pokok perhatian. § Peraturan perpajakan harus mendukung kebijakan perekonomian dan mendorong pasar yang efisien. § Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiskal untuk mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. § Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan mudah dipahami oleh wajib pajak. § Biaya administrasi dan biaya-biaya pembayaran pajak lainnya harus dibuat serendah mungkin. Penerimaan pajak harus dirumuskan secara tepat, merefleksikan kemampuan membayar dari seluruh wajib pajak yang ada sehingga tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Jika jumlah yang ditetapkan terlalu besar, dikhawatirkan investor tidak akan mau menanamkan modalnya di dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan multiplier efek yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak tercapai, pada akhirnya, jumlah target penerimaan pajak tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya jika jumlah yang ditetapkan terlalu kecil, dikhawatirkan jumlahnya tidak akan dapat membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah yang bermanfaat dalam menciptakan value yang dapat merangsang perputaran gerak roda ekonomi. Keadilan perpajakan pada intinya adalah bahwa beban pajak harus terdistribusi sedemikian rupa sehingga target pencapaian penerimaan pajak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
157
bisa diimbangi dengan mengurangi kesenjangan pendapatan golongan masyarakat yang kaya dengan golongan masyarakat miskin. Kecilnya kesenjangan ini akan bisa mendorong stabilisasi yang kondusif bagi perbaikan ekonomi nasional. Adanya kemungkinan peralihan beban pajak kepada penanggung akhir, perlu dilakukan pengkajian mendalam dengan melakukan simulasi secara menyeluruh untuk dapat memperoleh gambaran dampak pembebanan penanggung akhir terhadap stabilisasi ekonomi. Untuk itu, perlu dibuat aturanaturan teknis yang sederhana sehingga akan dapat menghindarkan terjadinya salah sasaran. Jika pajak diterapkan atas produk-produk tertentu, hal ini perlu dikaji serius mengenai elastisitas permintaan dan penawarannya dalam ekonomi pasar. Ekonomi yang terus tumbuh dan pasar yang efisien harus terus dijaga agar kemakmuran masyarakat tidak rusak akibat adanya penerapan kebijakan perpajakan. Kemungkinan pergeseran titik ekuilibrium kurva permintaan dan penawaran harus terus diantisipasi dan terus diawasi dengan memasukkan unsur-unsur spesifik para pelaku ekonomi setempat. Kebijakan perpajakan harus tetap mengindahkan konsep stabilitas ekonomi. Harus dapat ditentukan pada awal perumusan kebijakan bahwa implementasinya pada akhirnya akan meminimalkan gejolak ekonomi, misalnya dengan adanya kegiatan sosialisasi yang memadai. Ekonomi yang sering bergejolak biasanya tidak menguntungkan iklim investasi. Dengan kata lain, investor-investor terutama para pemodal asing sangat mengharapkan adanya kepastian iklim berusaha. Segala kebijakan harus mengacu pada kesederhanaan. Rumusan-rumusan yang dipakai harus menghindari kesalahpahaman massal yang menyebabkan kekacauan pada proses administrasi. Simulasi terhadap bakal munculnya kekeliruan yang tidak diharapkan harus disiapkan secara matang. Simulasi tersebut bisa menggunakan beberapa skenario yang berbeda dan mengamati hasilnya. Segala biaya yang tidak berkaitan langsung dengan beban pajak sesungguhnya harus diminimalkan. Hal ini untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pemilik modal dalam rangka menghitung proyeksi keuntungan investasi. Dengan demikian, risiko biaya tinggi yang tidak terduga akibat penyelewengan peraturan oleh oknum pelaku ekonomi bisa dieliminasi.
RANGKUMAN
158 §
§
§
§
§
§ §
§ §
§
§
Bab 8: Keadilan dan Dampak Perpajakan
Tidak ada suatu kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain. Menurut prinsip manfaat (benefit principle), suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah. Prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle) menginginkan sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik. Pendekatan kemampuan membayar ini lebih baik dalam hal mengatasi masalah redistribusi, tetapi mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan pajak untuk memenuhi belanja publik yang mana harus didasarkan pada proporsi kekayaan dan pendapatan masyarakat. Keadilan vertikal adalah prinsip keadilan dimana pengenaan pajak untuk memenuhi belanja publik harus didasarkan pada proporsi kekayaan dan pendapatan masyarakat. Keadilan horizontal adalah prinsip keadilan dimana pengenaan pajak terhadap seseorang harus lebih rendah dari kemampuannya membayar. Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat di atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Excess burden disebabkan adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia dibayar pembeli dibanding jumlah yang diterima oleh penjual. Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku ekonomi mana yang sesungguhnya menanggung beban pajak. Pada kondisi inflasi, kebijakan pajak dapat digunakan untuk mengurangi konsumsi dengan jalan menghambat investasi dan memberi insentif pada tabungan. Pada kondisi deflasi, kebijakan pajak dapat digunakan untuk mendorong konsumsi dengan jalan memberi insentif investasi dan memajaki tabungan. Pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktor-faktor produksi dengan mengubah pola produksi sehingga menghasilkan barang-barang yang lebih rendah biaya produksinya akibat tarif pajak yang lebih kecil atau beralih produksi. Bagi sebagian orang, pajak dapat menimbulkan disinsentif untuk bekerja. Tetapi reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak ditentukan oleh elastisitas penawaran usaha. Elastisitas penawaran yang tinggi,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
159
dimana dengan turunnya pendapatan, justru akan mendorong kemauan kerja yang lebih besar.
LATIHAN 1. 2. 3.
Apa yang dimaksud dengan pajak kekayaan bersifat regresif? Mengapa inflasi tidak dapat mempengaruhi pengenaan pajak penjualan? Faktor apa saja yang memungkinkan seseorang mendapat hak atas pengecualian pajak? 4. Apa yang dimaksud dengan Excess Burden? Apa sebab muncul dan bagaimana akibat yang dapat ditimbulkannya? 5. Definisikan Tax Incidence! Dan jelaskan konsep Statutory Incidence dan Economic Incidence yang terdapat dalam Tax Incidence! 6. Terangkan bagaimana insentif pajak dapat mempengaruhi komposisi produksi suatu perusahaan! 7. Jelaskan dengan singkat dampak perpajakan terhadap distribusi pendapatan! 8. Jelaskan dalam kondisi yang bagaimana penurunan pajak tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional! 9. Bagaimana kebijakan pajak yang berdampak positif dalam jangka pendek dapat pula berdampak positif dalam jangka panjang? Jelaskan dengan contoh! 10. Jelaskanlan bagaimana suatu investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara!
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK PRIBADI
Pajak penghasilan pertama kali diberlakukan di Indonesia sebagai suatu sistem perpajakan integral yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pertama kali diberlakukan dikenal dengan nama Pajak Pendapatan 1932 atau Inkomsten Belasting 1932. Pada tahun 1944, peraturan pajak ini diubah dengan Ordonansi Perpajakan tahun 1944 yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial Jepang untuk melakukan pungutan-pungutan terhadap hasil pertanian sebagai pajak. Selama masa revolusi, tidak ada pungutan pajak yang berarti dapat dikumpulkan. Yang ada hanyalah kantor iuran negara yang menerima pembayaran pajak dari beberapa pedagang. Setelah kedaulatan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia, peraturan perpajakan Belanda dipergunakan kembali dengan melakukan penataan dan perluasan seperlunya. Sehingga
162
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak yang berlaku di Indonesia yang dapat dikelompokkan sebagai pajak penghasilan adalah Pajak Pendapatan (PPd), Pajak Perseroan (PPs) serta Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti (PBDR). Setelah reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak berdasarkan peraturan perpajakan Belanda ini disatukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini mengalami perubahan dan perbaikan sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1991, 1994 dan 2000. Saat ini sedang berlangsung perubahan dan perbaikan yang keempat berkaitan dengan program reformasi perpajakan Indonesia.
ATURAN UTAMA Dalam penentuan besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh seorang wajib pajak pada satu tahun pajak, penghasilan wajib pajak dari semua sumber harus digabungkan menjadi satu angka tunggal ukuran penghasilannya, disebut sebagai penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini kemudian dikurangi dengan pengecualian-pengecualian dan penguranganpengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan yang akan dikenakan pajak disebut penghasilan neto. Penghasilan neto ini, setelah dikurangi sejumlah tertentu yang tidak dikenakan pajak menjadi dasar pengenaan pajak yang akan dikalikan dengan tarif pajak untuk mendapatkan pajak yang menjadi beban bagi wajib pajak.
Penentuan Penghasilan Kena Pajak Konsep utama dalam perhitungan penghasilan kena pajak adalah penghasilan bruto dan penghasilan kena pajak. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan perubahannya (UU Pajak Penghasilan) mendefinisikan penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dalam nama dan bentuk apapun.
Penghasilan Bruto
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
163
Dengan beberapa pengecualian seperti yang tertera pada UU Pajak Penghasilan, penghasilan dari semua sumber digabungkan untuk menentukan penghasilan bruto. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut, penghasilan ini akan meliputi: 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek profesi, dan sebagainya. 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan. 3. Penghasilan dari modal, berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan sebagainya. 4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Tidak semua penghasilan dari berbagai sumber harus dilaporkan sebagai penghasilan. Beberapa penghasilan tertentu bukan merupakan penghasilan menurut UU Pajak Penghasilan, seperti warisan atau hibah, kenikmatan dalam bentuk natura dengan persyaratan tertentu, dan ganti kerugian asuransi. Dari angka penghasilan ini, wajib pajak dapat mengurangkan biaya-biaya atau pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto. Penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dimasukkan dalam penghasilan neto setelah dikurangkan biaya-biaya. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dilaporkan dalam penghasilan setelah dikurangkan dengan beberapa biaya dan penghasilan yang dikecualikan. Walaupun penghasilan neto dimaksudkan untuk menjadi satu alat ukur yang komprehensif atas posisi penghasilan wajib pajak, alat ukur ini ternyata tidak sekomprehensif mungkin. Beberapa penghasilan non kas diabaikan (seperti imputed rent dan capital gain yang belum direalisasikan) dan beberapa penghasilan kas tertentu dikecualikan (seperti pembayaran asuransi dan pensiun). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Untuk wajib pajak pribadi, penghasilan neto yang telah dihitung kemudian dikurangkan dengan PTKP. PTKP yang berlaku saat ini adalah wajib pajak dan pasangannya (masing-masing Rp2.880.000, kecuali bila pasangannya tidak berpenghasilan maka PTKP-nya Rp1.440.000) ditambah tiga orang tanggungan (masing-masing Rp1.440.000). Variabel utama penentu PTKP adalah jumlah anggota keluarga sampai dengan maksimal 5 orang, yaitu suami/istri, pasangannya, dan tiga tanggungan.
164
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Penerapan Tarif Pajak Pajak dihitung dengan menerapkan angka tarif pada skedul tarif pajak dengan angka penghasilan neto setelah dikurangi PTKP. Skedul tarif ini ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan dalam bentuk tarif marjinal yang berlaku untuk tingkatan penghasilan yang naik secara berurutan. Sejak tahun 1983 sampai dengan 1994, tarif pajak yang ditetapkan antara 15% sampai dengan 35%, sejak tahun 1995 tarif pajak diturunkan antara 10% sampai dengan 30%. Oleh karena penghasilan sampai PTKP tidak dikenakan pajak, dapat dianggap bahwa penghasilan sampai sebesar PTKP ini dikenakan tarif pajak nol persen.
Prosedur Pembayaran Sistem penetapan pajak penghasilan di Indonesia dikenal dengan sebutan self assessment, yaitu suatu sistem yang memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan besarnya pajak penghasilan yang terhutang sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan pajak yang berlaku. Wewenang otoritas pemungut pajak (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) adalah memastikan bahwa wajib pajak telah menghitung, melaporkan, dan membayarkan beban pajaknya sesuai dengan peraturan dan perundangundangan pajak yang berlaku tersebut. Oleh karena itu, ada dua hal penting berkenaan dengan aspek prosedural utama pajak penghasilan: penyerahan SPT dan audit. Satu aspek prosedural yang juga penting adalah sistem pemungutan (pemotongan) yang didasarkan pada dua alasan utama yaitu prinsip kemudahan mengenakan pajak pada saat perolehan penghasilan (ability to pay) dan peningkatan ketaatan dari wajib pajak dengan mengharuskan pihak lain sebagai sumber penghasilan (pembayar) untuk bertindak atas nama negara memungut pajak tersebut. Kewajiban Menyerahkan SPT Kewajiban menyerahkan SPT Tahunan pajak penghasilan diberlakukan kepada semua wajib pajak yang telah memiliki NPWP. Oleh karena itu, hanya wajib pajak yang tidak wajib memiliki NPWP, tidak diwajibkan untuk menyerahkan SPT Tahunan. Wajib pajak tersebut adalah mereka yang mempunyai penghasilan neto lebih kecil dari PTKP atau yang memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja. Batas waktu penyerahan SPT Tahunan adalah tiga bulan setelah tahun pajak berakhir, pada saat wajib pajak harus menyerahkan pembayaran terakhir untuk pajak-pajak yang terutang pada tahun pajak yang telah berakhir atau menagih pengembalian pajak. Bersamaan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
165
dengan penyerahan SPT, wajib pajak menyerahkan estimasi pajak penghasilan yang harus dibayar tahun berikutnya, dan setoran pajak penghasilan masa tahun berikutnya itu didasarkan pada informasi estimasi ini. Audit Seperti dikemukakan sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki wewenang untuk memeriksa kebenaran perhitungan SPT Tahunan dari wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku, termasuk ketaatan pembayarannya. Untuk itu DJP melakukan pemeriksaan atas SPT-SPT yang dilaporkan. Dalam memeriksa aritmatika perhitungan pajaknya, walaupun dibantu oleh fasilitas komputer dan tenaga audit yang dimilikinya, DJP tidak dapat mengaudit semua SPT yang diterima. Biaya untuk mengaudit semua SPT tersebut akan sangat besar. Oleh karena itu, pemeriksaan sampel secara acak digunakan untuk membuat wajib pajak tetap patuh pada peraturan perpajakan. SPT yang melaporkan hal-hal yang tidak biasa (misalnya biaya yang mengurangi penghasilan yang sangat besar atau sumber penghasilan yang tidak biasa) dapat diaudit. Pada waktu-waktu tertentu kelompok wajib pajak tertentu akan diperiksa, misalnya dokter atau pengusaha retail. Walaupun begitu, cakupan auditnya terbatas. Pemotongan Pajak (Withholding) Sebagian besar pajak dipungut dengan cara dipotong oleh pihak yang melakukan pembayaran dengan alasan kemudahan untuk melakukan pungutan. Dengan sistem ini, pembayaran pajak lebih berkaitan dengan tingkat penghasilan tahun berjalan daripada tingkat penghasilan tahun lalu. Ketika wajib pajak memperoleh penghasilan, saat itu pula ia harus menyerahkan sebagian penghasilannya untuk beban pajaknya. Di Indonesia, pajak-pajak yang dipungut oleh pihak-pihak yang melakukan pembayaran ini disebut sebagai kredit pajak bagi wajib pajak. Sementara itu, dari sisi ilmu keuangan negara, kredit pajak merupakan pengurangan pajak yang diberikan atas aktivitas tertentu yang dilakukan oleh wajib pajak, seperti melakukan investasi, pengasuhan anak, perawatan orang tua, dan lain-lain. Dengan sistem pemotongan pajak ini, pembayaran pajak menjadi sangat responsif terhadap perubahan dalam tingkat penghasilan pribadi yang merupakan hal penting bagi efektivitas kebijakan stabilisasi. Penerimaan pajak negara berfluktuasi sesuai dengan perubahan penghasilan masyarakat yang merupakan bagian utama dari pendapatan nasional. Sistem pemotongan pajak juga memastikan ketaatan sepenuhnya karena pernyataan penghasilan tidak diberikan sepenuhnya hanya kepada wajib pajak.
166
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Pada saat yang sama, sistem pemotongan pajak juga menimbulkan biaya tersendiri. Jika tarif pajak yang dipotong ditetapkan cukup tinggi untuk mendapatkan penerimaan pajak setinggi-tingginya, kelebihan pemotongan pajak akan dialami oleh para wajib pajak tertentu sehingga para wajib pajak ini yang secara riil memberikan pinjaman bebas bunga kepada pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini DJP, harus mengembalikan kelebihan pemotongan ini kepada para wajib pajak tertentu tersebut.
PRINSIP-PRINSIP DEFINISI PENGHASILAN Konsep penghasilan dasar yang menjadi penentuan kewajiban pajak penghasilan dalam prakteknya adalah penghasilan neto. Seberapa baikkah penghasilan neto digunakan sebagai suatu ukuran kapasitas pajak? UU Pajak Penghasilan di Indonesia mendefinisikan penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari sumber mana pun yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaannya. Definisi ini sama dengan definisi penghasilan (income) oleh ahli ekonomi Robert M. Haig dan Henry C. Simons, yaitu accretion income. Dalam buku ini, istilah accretion income disinonimkan dengan tambahan kemampuan ekonomis atau kenaikan total kekayaan seseorang. Konsep accretion income ini berakar dari praktek pembukuan masa merkantilisme di Eropa yang telah menjadi bagian dari prinsip akuntansi sampai sekarang. Konvensi ini berkembang dalam praktek pembukuan di mana suatu pos “modal” dibuat tetap selama periode akuntansi. Dengan membuat saldo awal modal perusahaan menjadi tetap, setiap akumulasi (apresiasi) modal diperlakukan sebagai “penghasilan” dan penurunan nilai (depresiasi) modal diperlakukan sebagai “penghasilan negatif.” Walaupun demikian, praktek akuntansi dewasa ini memperlakukan kenaikan dan penurunan modal tersebut dengan cara berbeda. Apresiasi pada modal hanya dicatat ketika direalisasikan sedangkan depresiasi pada modal diperkirakan dan dicatat pada setiap periode akuntansi. Dari sisi manajemen bisnis, praktek ini memiliki dua keuntungan, yaitu memudahkan pengusaha untuk membandingkan berbagai aktivitas bisnis dengan suatu standar yang tetap dan menunjukkan sejarah akumulasi modal perusahaan yang dapat menunjukkan prospek kemampuan memperoleh penghasilan di masa depan. Sebelum adanya pajak penghasilan, para ahli ekonomi menggunakan istilah yield income untuk merujuk pada pengertian penghasilan dalam ilmu ekonomi, yang sampai saat ini menjadi definisi penghasilan yang paling diterima dalam ilmu ini. Yield income adalah jasa-jasa yang dihasilkan oleh modal, merupakan subset dari accretion income. Menurut Irving Fisher dalam buku klasiknya The
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
167
Nature of Capital and Income (1908), yield income terdiri dari uang yang diperoleh tetapi tidak disimpan dan pengurangan sumber daya untuk digunakan. Terminologi yield income ini mirip dengan (walau tidak sama persis) konsep penggunaan uang yang diperoleh untuk konsumsi.1 Dengan demikian, dalam konsep basis pajak ada dua kandidat utama sebagai basis pajak untuk pajak penghasilan pribadi, yaitu tambahan kemampuan ekonomis dan konsumsi. Bila kita memilih tambahan kemampuan ekonomis sebagai basis pajak, tambahan kemampuan ekonomis sebagai indeks kapasitas pajak seseorang, harus didefinisikan sebagai kenaikan total atas kekayaan seseorang. Semua tambahan kemampuan ekonomis (accretion) harus dimasukkan, baik teratur ataupun fluktuatif, diharapkan ataupun tidak diharapkan, baik terealisasi ataupun tidak terealisasi. Kita tidak perlu mempertimbangkan bagaimana tambahan kemampuan ekonomis tersebut digunakan, apakah akan diinvestasikan atau dikonsumsi. Selain itu, penghasilan dari semua sumber harus diperlakukan secara seragam dengan cara digabungkan sebagai penghasilan global yang kemudian akan dikenakan tarif pajak. Tanpa penggabungan ini, penerapan tarif yang progresif tidak dapat menghasilkan efek yang diharapkan yaitu mengadaptasi pajak pada kemampuan membayar wajib pajak. Pandangan pajak penghasilan ini banyak diterima oleh berbagai kalangan dewasa ini. Sekarang, konsep tambahan kemampuan ekonomis ini akan dianalisis secara mendalam apa implikasinya dalam praktek dan bagaimana konsep ini diterapkan secara memuaskan dalam perhitungan penghasilan neto.
Penghasilan Bruto versus Penghasilan Neto Seperti telah dikemukakan sebelumnya, konsep penghasilan yang mendapat banyak penerimaan dalam praktek pajak penghasilan di dunia adalah konsep tambahan kemampuan ekonomis. Konsep ini berakar dari praktek akuntansi selama berabad-abad oleh karenanya banyak inkonsistensi yang terjadi pada 1
Menurut para ahli ekonomi, penghasilan dan modal merupakan kategori yang mutually exclusive. Irving Fisher menyatakan bahwa kekayaan menunjukkan dua aspek bila dikaitkan dengan waktu, yaitu stok kekayaan dan aliran kekayaan. Orang dapat mengukur kekayaan pada suatu waktu tertentu atau sepanjang waktu tertentu, tetapi tidak dapat pada kedua waktu tersebut. Kekayaan yang diukur pada suatu waktu tertentu merupakan konsep ekonomi dari modal, suatu pengukuran atas stok. Kekayaan dalam ukuran jangka waktu merupakan konsep ekonomi dari penghasilan, suatu pengukuran atas aliran. Pada dasarnya, kedua ukuran tersebut ekivalen karena nilai ekonomis dari modal sama dengan nilai tunai dari nilai ekonomis dari aliran penghasilan di masa depan yang diharapkan. Ekivalensi ini bersumber dari fakta yang sangat penting bahwa modal tidak dapat dipisahkan dari penghasilan karena modal dan penghasilan saling terkait secara resiprokal.
168
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
penentuan penghasilan kena pajak terkait dengan inkonsistensi penentuan penghasilan dalam praktek akuntansi. Sebagaimana dalam pembukuan dimana penghasilan diukur dalam jumlah laba bersih, penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto yaitu penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan. Peraturan perpajakan mendefinisikan penghasilan yang akan dikenakan pajak sebagai penghasilan neto karena biaya-biaya yang terjadi dalam memperoleh penghasilan pada umumnya dikurangkan dari penghasilan dengan beberapa pembatasan biaya-biaya tertentu tidak boleh dikurangkan. Untuk wajib pajak pribadi, peraturan perundang-undangan juga membolehkan wajib pajak mengurangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Akan tetapi, ada konsistensi dalam perlakuan biaya modal. Biaya bunga boleh dikurangkan tetapi dividen tidak boleh dikurangkan, sama seperti dalam praktek akuntansi. Walaupun ada pengecualian-pengecualian tertentu, pada umumnya penghasilan yang dapat dikenakan pajak telah dinyatakan dalam satuan penghasilan neto. Agar konsisten dengan konsep tambahan kemampuan ekonomis, maka setiap pengurangan kemampuan ekonomis juga harus dipandang sebagai penghasilan negatif. Oleh karena itu, kerugian harus dapat diperlakukan sebagai pengurangan sepenuhnya. Karena tambahan kemampuan ekonomis dirancang untuk mengukur konsumsi dan kenaikan dalam kekayaan bersih, kerugian operasi harus dikurangkan dalam menentukan penghasilan neto dari kegiatan usaha. Kerugian mengurangi kekayaan bersih sebagaimana keuntungan meningkatkannya. Oleh karenanya, pemerintah harus konsisten memperlakukan keduanya. Walaupun peraturan perundang-undangan tidak memberikan fasilitas pengembalian pajak, para wajib pajak dapat memperlakukannya untuk mengurangi kewajiban pajak beberapa tahun yang akan datang.
Penghasilan atas Modal (Capital Income) versus Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan (Labor Income) Konsep tambahan kemampuan ekonomis tidak mempedulikan asal dari penghasilan. Akan tetapi, dalam praktek-praktek perpajakan ada perbedaan perlakuan pajak antara penghasilan dari pekerjaan (upah dan gaji) dan penghasilan dari modal. Penghasilan dari pekerjaan harus dikenakan beban pajak yang lebih ringan. Pada beberapa negara maju, ada kredit pajak bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan tetapi wajib pajak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
169
yang hanya memperoleh penghasilan atas modal tidak memperoleh kredit pajak ini. Hal ini dinilai sebagai ketidakkonsistenan penerapan konsep penghasilan ini.
Penghasilan Riil versus Penghasilan Nominal Dengan adanya inflasi, kenaikan kemampuan ekonomis pada akhir tahun yang diukur dalam satuan uang tidak seluruhnya merupakan tambahan kemampuan ekonomis dalam satuan riil. Secara nominal, kemampuan ekonomis harus diukur dengan satuan riil pada awal dan akhir tahun sehingga inflasi harus diperhitungkan. Dengan demikian, kenaikan dalam penghasilan uang yang sepadan dengan kenaikan harga-harga bukan merupakan kenaikan dalam penghasilan riil. Dalam situasi ini, kewajiban pajak dalam satuan riil sama dengan nol.
Penghasilan yang Terakumulasi versus Penghasilan yang Terealisasi Bila konsep tambahan kemampuan ekonomis diterapkan secara konsisten, setiap tambahan kemampuan tersebut baik sudah diterima dalam bentuk uang ataupun belum harus diakui sebagai penghasilan. Tidak boleh ada perbedaan apakah penghasilan tersebut telah diterima secara kas (seperti gaji, upah, dan hasil penjualan aset) ataupun terakumulasi dalam bentuk kenaikan nilai aset yang tidak dijual. Direalisasikan atau tidak adalah pilihan portofolio bagi investor dan tidak boleh mempengaruhi penghasilan yang diukur untuk keperluan perpajakan. Hal inilah yang menjadi bagian dari topik kontroversial untuk pengenaan pajak capital gains. Praktek-praktek yang tidak konsisten ini berakar dari praktek akuntansi yang menjadi acuan otoritas perpajakan, memberlakukan pengaturan pajak seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.
Penghasilan dalam Bentuk Natura atau Imputed Income Karena sulitnya menghitung berapa besarnya penghasilan, penghasilan dalam bentuk natura atau imputed income tidak dikenakan pajak penghasilan. Wajib pajak dapat menggunakan aset yang dimilikinya dengan dua cara, yaitu membuat aset tersebut memberikan penghasilan kas atau mengkonsumsi aset tersebut jangka panjang. Cara kedua ini memunculkan apa yang disebut penghasilan dalam bentuk natura atau imputed income. Contohnya rumah yang dimiliki wajib pajak dapat disewakan kepada pihak lain dengan mendapatkan
170
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
penghasilan sewa yang dikenakan pajak. Apabila rumah tersebut didiami wajib pajak sebagai pemiliknya, wajib pajak tersebut sama saja dengan memperoleh penghasilan sewa (dari dirinya sendiri) atau disebut juga “imputed rent” yang jumlahnya sama dengan penghasilan yang ia dapatkan apabila ia menyewakan rumahnya. Karena kenaikan kemampuan (accretion) didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan bersih dan konsumsi, nilai dari konsumsi yang imputed tersebut harus dimasukkan ke dalam basis pajak. Pengabaian ini menyebabkan ketidakadilan perlakuan pajak bagi pemilik rumah dan penyewa. Beberapa negara Eropa mengenakan pajak atas imputed rent ini kepada pemilik rumah yang mendiami rumahnya sendiri dengan data dari pajak atas kekayaan yang selalu menunjukkan nilai dari rumah tersebut. Selain imputed rent, ada beberapa penghasilan yang diterima dalam bentuk natura yang tidak diperhitungkan sebagai penghasilan dalam peraturan pajak, seperti mengkonsumsi tanaman dari kebun sendiri, fasilitas kendaraan kantor atau fasilitas perumahan dan akomodasi di daerah terpencil. Apabila penghasilan tersebut dapat diuangkan (diterima dalam bentuk uang), seperti dalam fasilitas kendaraan kantor yang dapat diganti dengan tunjangan biaya transportasi, penghasilan tersebut dikenakan pajak. Dengan demikian, penghasilan daLam bentuk natura dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai sarana untuk menghindari pajak. Penerapan imputed income pada dasarnya dapat dilakukan seluas mungkin akan tetapi untuk alasan-alasan praktis hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Contohnya, secara konseptual, jasa rumah tangga yang dilakukan ibu atau bapak rumah tangga sendiri (seperti memasak, mencuci, memelihara anak, membersihkan halaman, memperbaiki rumah) merupakan imputed income bagi rumah tangga. Alasan kepraktisan yang paling utama adalah memasukkan penghasilan ini ke dalam penghasilan neto memunculkan permasalahan serius dalam hal pengukuran dan hal-hal lain yang harus diperhitungkan ketika memberlakukan pajak penghasilan atas dasar rumah tangga. Permasalahan yang lebih rumit lagi adalah pilihan antara bekerja atau bersantai (tidak bekerja). Jika seseorang memutuskan untuk santai (tidak bekerja), secara logika ekonomi ia memperoleh penghasilan sebesar apabila ia bekerja. Bila ia bekerja, ia memperoleh penghasilan dalam bentuk uang. Bila ia bersantai, ia memperoleh penghasilan tersebut dan sekaligus mengkonsumsikannya dengan bersantai. Logika tambahan kemampuan ekonomis (accretion) menyatakan bahwa penghasilan yang diterima dalam bentuk natura, dalam bentuk ‘santai’ harus dimasukkan ke dalam basis pajak. Akan tetapi, implementasi dari aturan ini tidak akan mungkin dapat dilakukan.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
171
Penghasilan versus Transfer Dari sudut pandang ahli ekonomi, pendapatan nasional adalah jumlah dari pendapatan faktor selama satu periode, yang juga menyatakan nilai dari output yang diproduksi oleh faktor-faktor tersebut. Hal ini sesuai dengan konsep penghasilan menurut Irving Fisher. Transfer yang diterima dari pemerintah atau sumber-sumber swasta (seperti donasi dan hibah) bukan merupakan komponen penghasilan dalam istilah pendapatan nasional. Perlakuan pajak atas transfer seharusnya tidak mengikuti aturan dalam perhitungan pendapatan nasional. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pajak penghasilan menganut definisi accretion income yang dikemukakan oleh Haig-Simons. Oleh karenanya, penghasilan kena pajak seseorang tidak harus sama dengan bagiannya dalam pendapatan nasional dan juga total penghasilan kena pajak dalaM suatu negara harus sama dengan total pendapatan nasional. Transfer oleh pemerintah, seperti subsidi sekolah dan subsidi kesehatan, tidak dikenakan pajak penghasilan. Hal ini sebenarnya menyalahi konsep tambahan kemampuan ekonomis karena semua transfer tersebut menambah kemampuan penerimanya akan sumber daya, dan karenanya harus menjadi bagian dari penghasilannya.
Sumbangan, Bantuan, Warisan dan Hibah Transfer pribadi, seperti sumbangan, bantuan, warisan dan hibah, juga tidak dikenakan pajak penghasilan. Transfer seperti ini tidak dikurangkan dari penghasilan oleh pemberi dan juga tidak dilaporkan sebagai penghasilan oleh penerima. Dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion), perolehan warisan atau hibah merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi penerima, seperti juga tambahan kemampuan ekonomis dari sumbersumber lain, dengan demikian harus dimasukkan ke dalam basis pajak penghasilan bagi penerimanya. Jika hal ini dilakukan, apakah transfer seperti ini harus dikurangkan dari basis penghasilan pajak pemberi? Apabila mengacu pada konsep tambahan kemampuan ekonomis sepenuhnya, transfer ini merupakan bentuk penggunaan penghasilan, jadi bukan merupakan biaya. Konsep tambahan kemampuan ekonomis mengenakan pajak pada sumbernya, bukannya penggunaan. Juga, tidak ada keharusan bahwa basis pajak agregat sama dengan penghasilan total yang didefinisikan dalam pendapatan nasional.
Penghasilan Teratur versus Penghasilan Tidak Teratur
172
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Beberapa pendapat menyatakan bahwa penghasilan tertentu yang tidak teratur dan tidak diharapkan sebaiknya tidak dimasukkan dalam penghasilan yang dikenakan pajak dengan berbagai alasan yang tidak begitu kuat. Pada kenyataannya, penghasilan yang tidak teratur dan penghasilan yang teratur sama pengaruhnya bagi kemampuan wajib pajak. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membedakannya. Akan tetapi, karena pengenaan pajak menggunakan tarif pajak yang progresif perlakuan pajak cenderung diskriminatif terhadap penghasilan yang tidak teratur ini. Penghasilan yang teratur cenderung dikenakan tarif pajak yang lebih rendah daripada penghasilan yang tidak teratur. Permasalahan ini dapat dikurangi dengan menerapkan aturan meratakan penghasilan yang tidak teratur tersebut.
PRAKTEK DEFINISI PENGHASILAN: PENGECUALIAN Peraturan perundang-undangan perpajakan banyak menunjukkan penyimpangan dari prinsip tambahan kemampuan ekonomis. Penyimpangan ini disebut juga sebagai preferensi pajak yang menyebabkan perbedaan antara jumlah penghasilan kena pajak dengan ukuran penghasilan yang komprehensif. Preferensi pajak dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu, pengecualian, pengurangan sebagai biaya dan kredit pajak. Bagian ini akan membahas kategori pertama, yaitu pengecualian (exclusion).
Penghasilan-penghasilan yang Dikenakan Pajak Final Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak pada beberapa transaksi tertentu berlaku tarif pajak final. Pada transaksi-transaksi ini, pajak langsung dibayarkan dengan sistem pemotongan dan tidak dapat dikreditkan dalam perhitungan pajak penghasilan akhir. Beberapa penghasilan yang dikenakan pajak final adalah: 1. Penghasilan yang diperoleh dari hak atas tanah dan bangunan. 2. Penghasilan jasa konstruksi dan jasa konsultan, sebelum tahun 2000. 3. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek. 4. Penghasilan dari hadiah undian Perlakuan atas pajak final ini sebenarnya melanggar prinsip keadilan pajak. Pada transaksi tertentu seperti transaksi penjualan saham di bursa efek, walaupun belum ada penghasilan karena transaksi tersebut belum tentu
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
173
memberikan untung, wajib pajak sudah diharuskan membayar pajak. Demikian pula pada transaksi-transaksi yang menguntungkan, tarif pajaknya proporsional seberapa pun besarnya penghasilan (keuntungan) yang didapat. Keadilan horizontal dilanggar karena perlakuan ini menghasilkan perbedaan dalam kewajiban pajak pada tingkatan penghasilan tertentu. Keadilan vertikal dipengaruhi karena prinsip progresivitas tidak berlaku pada penerapan pajak final. Pajak Final Usulan mengambil pajak dari reksadana obligasi mencuat dan menimbulkan pro-kontra. Setelah menjadi polemik, akhirnya dalam UU Perpajakan yang baru muncul pasal yang mengatur soal itu. Di tengah-tengah minimnya sumber dana pembiayaan jangka panjang saat ini, peran reksa dana dirasakan sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional. Sumber dana pembiayaan perbankan memang dapat dipakai untuk membiayai kegiatan ekonomi berjangka panjang, namun kemampuan perbankan untuk membiayai sektor riil yang berjangka panjang juga terbatas sehingga kehadiran reksa dana akan menjadi pendukung perbankan untuk bersama-sama membantu pembangunan ekonomi nasional. Walaupun saat ini tidak ada pajak final untuk pendapatan yang diperoleh dari reksa dana, investor tetap berkewajiban untuk membayar pajak atas penghasilan yang diterima dari reksa dana maupun pendapatan lainnya dalam bentuk pajak penghasilan biasa yang harus dilaporkan setiap tahun. Bagi pengelola reksadana, tentu saja, usulan pajak final reksadana menyesakkan dada. Pengenaan pajak akan membuat reksadana kehilangan salah satu nilai jualnya. Dalam setiap prospektus reksadana, memang, salah satu yang paling dijual sang manajer adalah fasilitas bebas pajak dari penghasilan yang mereka peroleh. Nah, kalau dipajaki dengan sendirinya nasabah menjadi tidak tertarik lagi untuk membeli reksadana. Asal tahu saja, dari sekitar Rp 5,6 triliun dana yang diputar dalam reksadana, 60% di antaranya diinvestasikan dalam obligasi. "Kalau tetap diterapkan, tentu reksadana akan menuntut tingkat bunga obligasi lebih tinggi lagi untuk mengompensasi pajak itu," ujar Manajer Portofolio PNM Investment Management. Yang aneh, menurut pengurus APRDI, sebenarnya yang diusulkan APRDI bukan pengenaan pajak final atas kupon bunga obligasi. "Kami mengusulkan pajak final bagi capital gain," ujarnya. Maksudnya, yang dikenai pajak final bukan kupon obligasinya, tapi keuntungan yang diperoleh dari jual beli obligasi. Selama ini, capital gain dari obligasi bagi perusahaan reksadana dikenai PPh seperti umumnya, yakni bertingkat (progresif). Nah, menurutnya, APRDI mengusulkan agar pengenaan pajak dilakukan secara final saja, seperti PPh capital gain di bursa saham. "Jadi, dihitung dari nilai transaksi," katanya. Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak atas reksa dana haruslah ditanggapi dengan kepala dingin. Pertama- tama, masalah pajak adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah yang harus dihormati oleh semua pihak. Pengenaan pajak untuk reksa dana merupakan tindakan yang sah-sah saja menurut hukum karena hal tersebut adalah bagian dari kewenangan pemerintah. Masalahnya, reksa dana sudah diberikan dispensasi pajak sehingga pemerintah tentunya memiliki pertimbanganpertimbangan tersendiri. Apabila tujuan tersebut dalam rangka menggerakkan pertumbuhan reksa dana di Indonesia, maka upaya tersebut sangat tepat mengingat reksa dana merupakan instrumen investasi jangka panjang yang masih baru sehingga diperlukan insentif tertentu untuk menarik investor. Disamping itu, BES memang mengusulkan agar reksadana juga dikenai Pajak Penghasilan (PPh) 15% atas kupon bunga obligasi. Selama ini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46/1996, pajak final sebesar 15% atas kupon bunga obligasi hanya diberlakukan bagi transaksi yang melalui perusahaan
174
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
sekuritas. Adapun transaksi obligasi yang dilakukan bank, dana pensiun, dan reksa dana bebas dari pajak itu. Akibat perbedaan perlakuan seperti itu, selama ini, sering terjadi praktek washing alias jual beli obligasi secara fiktif demi menghindari pajak final tersebut. Caranya begini. Agar tidak terkena potongan pajak final atas pencairan kupon, perusahaan sekuritas atau individu akan menjual obligasinya kepada perusahaan reksa dana. Dengan begitu, pihak reksa danalah yang akan mencairkan kupon tersebut. Sesuai dengan aturan, dia tidak akan terkena pajak atas kupon yang dicairkan. Tentu saja perusahaan sekuritas atau individual bisa mematok harga premium. Jadi, biarpun tidak menerima pembayaran kupon, mereka menikmati rente secara tidak langsung. (Diadaptasi dari: berbagai sumber yang dimuat dalam http://www.kompas.com) Berdasarkan pemaparan diatas, diskusikan pengaruh kebijakan pajak final tersebut!
Laba Modal (Capital gain) Pengenaan pajak atas laba modal adalah salah satu topik yang paling kontroversial dalam ilmu perpajakan. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa pengenaan pajak atas laba modal ini merupakan salah satu bentuk kesalahan penerapan konsep penghasilan dalam peraturan perpajakan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, para ekonom sepakat bahwa konsep penghasilan menurut Irving Fisher, yaitu yield income, adalah konsep yang benar secara keilmuan. Laba modal bukanlah penghasilan karena bukan dihasilkan dari layanan yang dihasilkan oleh modal. Pada negara-negara yang peraturan perpajakannya mengacu pada konsep penghasilan ini, laba modal tidak dikenakan pajak, seperti di Inggris dan beberapa negara anggota the Commonwealth. Pada negara-negara lainnya yang menganut konsep accretion income pada peraturan perpajakannya, laba modal dikenakan pajak. Berkenaan dengan perlakuan pajak terhadap laba modal ini, debat juga terjadi pada negara-negara ini yang berkisar pada (1) apakah laba yang direalisasikan harus diperlakukan sebagai penghasilan biasa, dan (2) apakah laba yang tidak direalisasikan harus juga dipajaki. Perlakuan atas Laba Modal yang Direalisasikan Peraturan perpajakan memberikan perbedaan perlakuan pada laba modal yang direalisasikan, yaitu laba modal dari penjualan saham di bursa efek dan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pajak untuk transaksi-transaksi ini bersifat final dan dikenakan atas nilai transaksi, bukan atas labanya. Perlakuan ini jelas-jelas melanggar prinsip keadilan pajak, baik keadilan horizontal maupun keadilan vertikal. Prinsip progresivitas pajak dilanggar. Transaksi tetap dikenakan pajak, baik ketika untung maupun ketika rugi.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
175
Berdasarkan prinsip keadilan, tidak ada alasan untuk membedakan perlakuan pajak terhadap laba yang direalisasikan terhadap penghasilan dari usaha. Tidak ada bedanya penghasilan yang diperoleh dari usaha atau dari laba modal. Memang laba modal sifatnya tidak teratur dan cenderung berfluktuasi sehingga harus membayar lebih banyak dalam sistem tarif pajak yang progresif, dibandingkan jika laba modal tersebut diterima sebagai dalam bentuk pendapatan tetap. Akan tetapi, ketidakadilan ini dapat dihilangkan dengan menggunakan aturan yang tepat untuk meratakan penghasilan yang fluktuatif. Perlakuan terhadap Laba yang Belum Direalisasikan Berdasarkan prinsip kemampuan membayar, penghasilan neto dinyatakan dalam bentuk penghasilan kas dan hanya memasukkan penghasilan kas saja, laba yang belum terealisasikan dalam bentuk kas tidak dikenakan pajak. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan definisi tambahan kemampuan ekonomis. Berdasarkan definisi ini, penghasilan sebagai suatu indeks dari kapasitas wajib pajak harus diukur sebagai tambahan kekayaan. Semua tambahan kemampuan ekonomis harus dimasukkan, baik yang sudah terealisasi (berubah menjadi kas) maupun belum. Misalnya, Tuan Amir memiliki kekayaan dalam bentuk portofolio saham PT Telkom yang nilainya naik Rp100.000.000. Dengan kenaikan nilai portofolio ini, kekayaannya telah bertambah sejumlah tersebut. Kekayaan ini dapat ia ubah dari portofolio saham menjadi kas bila ia memutuskannya. Bila pada kenyataannya ia tetap memiliki dalam bentuk portofolio saham, itu menunjukkan preferensinya untuk tetap terus memegangnya dalam bentuk portofolio saham bila dibandingkan dengan bentuk alternatif lainnya, misalnya menjualnya untuk dikonsumsi atau diinvestasikan dalam bentuk aset lainnya. Laba dari sahamnya telah membuatnya memperoleh tambahan kemampuan ekonomis. Apakah laba telah terealisasi tidak ada relevansinya dengan apakah ada peningkatan kemampuan ekonomis. Bahwa realisasi dalam bentuk kas memungkinkan, keputusan untuk merealisasikan dalam bentuk kas atau tidak adalah keputusan manajemen portofolio. Penundaan pengenaan pajak setelah realisasi memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada jenis penghasilan yang belum direalisasikan. Perlakuan pengenaan pajak yang mengecualikan laba modal yang belum direalisasikan ini mendorong investor untuk tidak menjual asetaset yang memiliki akumulasi laba, yang disebut sebagai lock-in effect. Akan tetapi berbagai argumentasi melingkupi perdebatan tentang perlakuan pajak atas laba modal yang belum direalisasikan ini. Menurut Musgrave dan
176
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Musgrave (1989), beberapa bentuk perdebatan tersebut adalah sebagai berikut:2 § “Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena pemiliknya dihalangi untuk melakukan konsumsi.” Walaupun tidak ada konsumsi, hal ini tidak relevan dengan definisi basis dari pajak penghasilan. Prinsipnya adalah semua penghasilan harus dipajaki, tidak peduli akan digunakan untuk apa. Walaupun berdasarkan pajak konsumsi, pembedaan apakah sudah terealisasi dan belum terealisasi bukan merupakan hal yang utama. (Berdasarkan suatu pajak konsumsi, laba yang belum direalisasikan akan dikecualikan dan laba yang direalisasikan akan dimasukkan hanya jika dikonsumsi. Laba yang sudah direalisasikan tetapi tidak dikonsumsi perlakuannya sama dengan laba yang belum direalisasikan.) § “Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena ketiadaan realisasi membuat kita tidak mengetahui keberadaannya.” Pada awal munculnya pembukuan oleh para saudagar Venesia, mereka tidak membukukan pendapatan mereka sampai nakhoda kapal telah kembali ke pelabuhan dan menyerahkan uang hasil dagangan. Prinsip akuntansi yang hati-hati hanya mengakui pendapatan setelah ada realisasi. Akan tetapi, situasi bisnis telah berubah dan analogi seperti ini tidak tepat lagi, misalnya untuk pemegang saham PT Telkom yang dapat menjual sahamnya sewaktu-waktu. Pengukuran atas laba yang belum direalisasikan memang sulit, tetapi hal ini bukan halangan yang luar biasa. § “Pemajakan atas laba yang belum direalisasikan mengharuskan wajib pajak membayar pajak walaupun ia tidak memiliki uang kas untuk membayarnya.” Pandangan ini tepat, tetapi apakah hal itu jadi persoalan? Sebagaimana halnya hutang-hutang lainnya yang jatuh tempo, adalah beralasan bagi pemerintah untuk meminta wajib pajak melikuidasi sebagian asetnya untuk membayar pajak bila diperlukan. Untuk situasisituasi di mana likuidasi parsial tidak memungkinkan (misalnya bisnis keluarga), pemerintah dapat memberikan waktu yang cukup untuk itu. § Untuk suatu penghasilan yang akan diterima, penghasilan tersebut harus dapat dipisahkan dari aset yang menghasilkannya. Pandangan ini, yang banyak mendapatkan dukungan-dukungan hukum pada tahap-tahap awal diskusi pajak penghasilan, sulit digunakan untuk meyakinkan para ahli ekonomi. Pemisahan adalah pilihan investasi sedangkan penghasilan diperoleh karena nilai aset meningkat. 2
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, Edisi ke-5, New York: McGraw-Hill, hal. 338.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
177
Jika definisi tambahan kemampuan ekonomis diikuti secara konsisten, laba modal harus dimasukkan dalam penghasilan kena pajak dan digabungkan dengan penghasilan dari sumber-sumber lainnya, tanpa mempedulikan apakah sudah direalisasikan atau belum. Konsistensi juga harus berlaku bila terjadi rugi modal (capital loss) yang harus diperlakukan sebagai pengurangan atas penghasilan atau penghasilan negatif. Pengenaan pajak atas laba modal harus juga disesuaikan dengan inflasi. Laba modal yang dikenakan pajak, yang bukan disebabkan oleh inflasi. Dengan laba modal, nominal harus dikurangi dengan kenaikan harga dari aset karena inflasi untuk mendapatkan laba modal yang dimasukkan dalam penghasilan kena pajak. Bila pengenaan pajak atas laba modal tidak memperhitungkan inflasi maka akan memunculkan problema keadilan dan efisiensi pajak.
Permasalahan Penerapan Walaupun secara prinsip tidak ada lagi persoalan terhadap pengenaan pajak atas laba modal, akan tetapi pengenaan pajaknya menghadapi kendala operasional yang cukup berat. Dalam hal laba modal yang sudah direalisasikan, pengenaan pajaknya sepenuhnya dapat dilaksanakan tanpa kesulitan-kesulitan teknis yang muncul. Situasinya jauh lebih sulit untuk laba yang belum direalisasikan. Pengenaan pajak secara tahunan atas laba modal yang belum direalisasikan mengharuskan adanya penilaian aset secara tahunan, suatu praktek yang sangat tidak praktis. Beberapa aset yang memiliki pasar yang likuid, seperti sekuritas, dapat dinilai dan dikenakan pajak secara periodik, misalnya setiap lima tahun. Akan tetapi, untuk aset lainnya, seperti barang seni, bangunan pabrik, dan tanah, sulit untuk dinilai. Oleh karena itu, muncul usulan untuk mengenakan pajak pada saat kematian atau pemindahan aset ini dengan menganggap seolah-olah telah terealisasi pada saat itu (realisasi konstruktif). Penilaian atas aset hanya dilakukan pada saat realisasi konstruktif ini sehingga lebih praktis. Dengan memberikan aturan perataan penghasilan dan membolehkan penyebaran pembayaran pajak pada beberapa periode, dapat dihindari likuidasi paksa untuk tujuan pengenaan pajak yang menimbulkan ketidakadilan. Walaupun realisasi konstruktif dapat memindahkan laba yang belum direalisasikan ke dalam basis pajak, cara ini masih memberikan beberapa keuntungan bagi laba modal. Para pemilik aset dapat menunda kewajiban pajaknya sampai bertahun-tahun, bahkan sampai meninggal. Penundaan pajak ini sama dengan memperoleh pinjaman bebas bunga, yang nilainya sangat
178
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
substansial terutama bagi para wajib pajak muda yang mampu menunda untuk periode waktu yang sangat panjang.
Tabungan Hari Tua dan Rencana Pensiun Tabungan hari tua atau rencana pensiun adalah tabungan atau investasi yang diakumulasi dengan cara memisahkan penghasilan tahun berjalan untuk penggunaan di masa depan dengan menyetorkan sejumlah uang kepada lembaga dana pensiun atau sejenisnya. Ada dua alternatif pengenaan pajak atas iuran tabungan/pensium ini. Alternatif pertama, bila menggunakan konsep accretion income, pembayaran kepada dana pensium atau lembaga sejenis ini bukan merupakan biaya tetapi merupakan penggunaan penghasilan, jadi harus tetap dikenakan pajak. Iuran pensiun dan bentuk pembayaran tabungan hari tua lainnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan. Ketika uang manfaat pensiun atau tabungan hari tua diterima di kemudian hari, hanya komponen bunganya saja yang dikenakan pajak penghasilan. Alternatif kedua yang dipraktekkan saat ini adalah membolehkan pembayaran-pembayaran ini sebagai pengurang atas penghasilan dan mengenakan pajak sepenuhnya pada saat uang pensiun/tabungan dibayarkan kembali. Praktek yang berlaku saat ini memunculkan ketidakadilan terhadap para penabung lainnya karena dua keuntungan bagi pembayar iuran pensiun/tabungan. Pertama, penundaan pembayaran pajak oleh pembayar iuran pensiun/tabungan sama dengan perolehan pinjaman bebas bunga. Kedua, pembayar iuran pensiun/tabungan akan mendapat pengenaan tarif pajak yang lebih rendah atas penghasilannya yang ditunda pengenaannya karena penghasilan pembayar iuran pensiun di masa depan akan lebih kecil. Tabungan Hari Tua Peraturan perundang-undangan pajak penghasilan membolehkan setoran tabungan hari tua kepada PT Taspen tidak dimasukkan sebagai penghasilan kena pajak. Sebagaimana disebutkan di muka, aturan ini sama saja memberikan kepada pembayar tabungan hari tua suatu pinjaman bebas bunga dan penerapan tarif pajak yang lebih rendah di kemudian hari ketika tabungan ini diambil oleh penabung. Setoran ini semakin mendapatkan argumentasi dukungan untuk dimasukkan ke dalam basis pajak apabila dipandang sebagai skema redistribusi, bukannya asuransi. Perlakuan yang tepat tentu saja dengan memperlakukan setoran tabungan sebagaimana bentuk tambahan kemampuan lainnya dan dikenakan pajak sebagaimana mestinya. Setoran ini tidak dikenakan pajak apabila
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
179
penghasilan penerima berada di bawah PTKP, sebagaimana yang berlaku pada penghasilan dari sumber-sumber lainnya. Pajak penghasilan atas gaji/upah juga tidak dikurangkan dan menjadi bagian dari penghasilan umum dan diperlakukan sama seperti pajak-pajak lainnya. Iuran Pensiun Iuran yang tidak dikenakan pajak penghasilan adalah iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Hal ini berlaku baik iuran pensiun itu dipotong dari penghasilan para pegawai maupun dibayarkan atau ditanggung oleh perusahaan. Pengenaan pajaknya ditunda sampai uang pensiun diterima oleh para pegawai selama masa pensiun. Asuransi Jiwa Pembayaran premi kepada perusahaan asuransi jiwa dan pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi jiwa mendapatkan perlakuan yang berbeda. Pembayaran premi asuransi jiwa tidak boleh digunakan untuk mengurangi penghasilan yang akan dikenakan pajak. Sementara itu, pembayaran asuransinya tidak dikenakan pajak penghasilan. Perlakuan premi asuransi telah sesuai dengan konsep tambahan kemampuan tetapi perlakuan atas pembayaran asuransinya tidak sesuai. Asuransi jiwa tertentu memiliki komponen tabungan (investasi) yang karena perlakuan ini bunga yang diperoleh atas tabungan ini terhindar dari pengenaan pajak. Untuk asuransi jiwa yang tidak memiliki komponen investasi, perlakuannya sudah tepat yaitu pembayarannya dikecualikan dari pengenaan pajak tanpa memperbolehkan pengurangan atas premi yang dibayarkan.
Praktek Definisi Penghasilan: Pengurangan Atas Penghasilan Neto Peraturan pajak penghasilan di Indonesia hanya membolehkan satu jenis pengurangan terhadap penghasilan neto yang disebut pengurangan standar atau Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan pajak penghasilan di Amerika Serikat memberikan pilihan bagi wajib pajak, apakah akan menggunakan pengurangan standar atau pengurangan khusus (itemized deduction). Pada umumnya wajib pajak yang berpenghasilan tinggi akan memilih pengurangan khusus karena akan memberikan jumlah pengurangan yang lebih besar daripada pengurangan standar. Pengurangan khusus ini merupakan kategori lainnya dari preferensi pajak yang umumnya diberikan
180
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
dengan alasan bahwa aturan perpajakan harus adil terhadap unit-unit pengenaan pajak dan aturan pajak memberikan insentif atas kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat sosial. Pengurangan standar sebenarnya adalah penghasilan yang tarif pajaknya nol persen. Pengurangan standar pada mulanya diberlakukan untuk memudahkan ketaatan dan administrasi. Di Amerika Serikat, pengurangan standar ini ditujukan untuk menjadi substitusi dari pengurangan khusus sehingga memudahkan penghitungan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Akan tetapi, angka pengurangan standar ini telah dinaikkan jauh melebihi angka pengurangan khusus yang disubstitusikan. Oleh karena itu, pengurangan standar fungsinya menjadi hibrida antara pengganti pengurangan khusus dan memberikan tambahan pengurangan yang tidak berkaitan dengan ukuran rumah tangga.
Alasan-Alasan Memberlakukan Pengurangan Khusus Prinsip pengenaan pajak atas penghasilan mengharuskan basis pajak yang komprehensif, memasukkan semua tambahan kemampuan ekonomis. Oleh karena itu, tidak diperlukan adanya pengurangan-pengurangan khusus. Walaupun demikian, ada beberapa alasan yang patut diperhitungkan sehingga pengurangan khusus layak diberikan. Aspek Keadilan Sebagian alasan perlakuan pengurangan ini karena alasan keadilan yang terkandung dalam prinsip kemampuan untuk membayar dari wajib pajak. Wajib pajak dengan penghasilan yang sama tidak berarti memiliki kemampuan yang sama untuk membayar jika para wajib pajak berada pada posisi yang berbeda-beda karena statusnya, ukuran rumah tangganya (tanggungannya) ataupun hal-hal lainnya. Beberapa wajib pajak tertentu harus membayar pengeluaran untuk pengobatan yang sangat besar karena kondisi dirinya atau keluarganya tentu mempunyai kemampuan untuk membayar yang lebih rendah daripada para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi beban yang sama. Dalam situasi-situasi di atas, terutama untuk wajib pajak berpenghasilan rendah, perlu dirancang suatu sistem yang mampu menyeimbangkan kemampuan para wajib pajak tersebut. Misalnya, terhadap wajib pajak yang selalu mengeluarkan biaya pengobatan yang besar diberikan pengurangan atas penghasilannya sejumlah tertentu sehingga kewajiban pajaknya lebih rendah karena kemampuannya lebih rendah daripada wajib pajak lainnya yang berpenghasilan sama tanpa pengeluaran biaya pengobatan. Jika dirancang
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
181
dengan baik, pengurangan ini tidak saja mendapat dukungan tetapi juga mampu mendorong terciptanya basis pajak yang lebih adil. Pertimbangan yang sama juga dapat diberlakukan bagi para wajib pajak yang cacat karena mereka membutuhkan biaya hidup yang lebih banyak bila dibandingkan dengan wajib pajak yang normal. Pengurangan Pajak Pemerintah perlu memberi penghargaan bagi pengusaha yang punya tanggung jawab sosial tinggi dan bersedia bekerja sama membantu memecahkan masalah sosial di Indonesia. Penghargaan itu misalnya, berupa pengurangan pajak. Menurut Dirjen Pemberdayaan Sosial Depsos, usulan ini didasarkan pemikiran bahwa banyak masalah sosial di tanah air yang harus diselesaikan. Pemerintah jelas tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut sendirian karena dana yang ada sangat terbatas. “Kerja sama dengan masyarakat dan perusahaan akan membuat beban pekerjaan itu menjadi lebih ringan sehingga banyak masalah sosial bisa diselesaikan,” tuturnya dalam acara sosialisasi program Direktorat Peningkatan Peran Kelembagaan Sosial Masyarakat dan Kemitraan Depsos. Menurutnya, minat para pengusaha untuk membantu pemerintah menyelesaikan masalah sosial sebenarnya cukup tinggi. Akan tetapi, mereka tak tahu harus menghubungi siapa dan lewat jalur mana untuk bisa membantu. Untuk itu, Depsos bersama pengusaha akan membuat sekretariat tetap untuk memfasilitasi dunia usaha yang berniat membantu pemerintah. Langkah awal yang segera dilakukan adalah membuat identifikasi masalah sosial yang kelak bisa diberikan kepada perusahaan. Direktur Jenderal Perbendaharaan Depkeu mengatakan, KMK tentang fasilitas penurunan pajak itu bisa diberlakukan dalam kondisi darurat dan tidak terduga. Tentu saja, fasilitas ini akan membebani anggaran pemerintah sehingga perlu dicari sumber pembiayaan lebih besar. Akan tetapi, praktek program pengurangan beban pajak bagi wajib pajak yang menyumbang dinilai rawan korupsi. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mengatakan, kebijakan itu sangat rawan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para pengusaha dalam bentuk laporan yang tidak sesuai dengan nilai sumbangan yang diberikan. "Karena bisa saja seorang pengusaha menyumbangkan dana Rp 1 miliar, lalu dia laporkan sebesar Rp 5 miliar. Apalagi, seorang pengusaha bisa menyumbang di beberapa tempat yang berlainan," ujarnya. (Diadaptasi dari: berbagai sumber yang dimuat dalam http://www.kompas.com) Berdasarkan paparan diatas, diskusikan perlu tidaknya pengurangan pajak diberikan!
Aspek Insentif Peraturan perpajakan seringkali dirancang dan ditetapkan dengan tujuantujuan lain selain tujuan fiskal, seperti mendorong berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Biaya untuk melakukan aktivitas tersebut diperlakukan sebagai pengurangan atas penghasilan dan dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk hal-hal yang “mulia” seperti sumbangan sosial atau zakat. Pengurangan atas penghasilan juga dapat mendorong konsumsi atas hal-hal yang menimbulkan manfaat-manfaat eksternalitas, seperti investment tax credit untuk mendukung
182
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
iklim investasi. Dalam hal ini, pengurangan dapat dipandang sebagai hibah yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak sehingga biaya pelaksanaan aktivitas-aktivitas tertentu yang bermanfaat menjadi berkurang. Hal ini akan mendorong wajib pajak untuk membelanjakan lebih banyak uangnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas ini. Hanya saja, peraturan perpajakan seperti ini sebaiknya dikaji secara mendalam sehingga hanya untuk aktivitas-aktivitas yang layak didukung dan hanya jika pengurangan pajak adalah cara terbaik untuk melakukannya, yaitu keuntungan yang didapatkan dapat jauh melebihi kerugiannya pada aspek keadilan pajak. Tidak ada larangan bagi suatu peraturan perpajakan untuk mempunyai tujuan-tujuan selain tujuan fiskal. Pertanyaannya adalah apakah aktivitas yang perlu didukung itu membutuhkan subsidi. Jika subsidi dibutuhkan, apakah subsidi ini harus diberikan dalam bentuk pengurangan pajak. Walaupun demikian, berbagai aturan khusus ini sebagai suatu preferensi pajak ternyata menambah kerumitan perhitungan pajak sehingga secara administratif membebani tidak saja bagi wajib pajak dalam melaporkan pajak penghasilannya, tetapi juga dari aparat perpajakan yang harus melakukan audit atas laporan pajak penghasilan tersebut.
PREFERENSI PAJAK Preferensi pajak merupakan pengecualian-pengecualian dan penguranganpengurangan dari basis pajak yang komprehensif. Seharusnya, penghasilan kena pajak setelah pengecualian dan pengurangan sama dengan tambahan kemampuan ekonomis. Akan tetapi, preferensi pajak inilah yang menyebabkan penghasilan kena pajak berbeda dengan penghasilan komprehensif. Perbedaanperbedaan substansial yang timbul karena preferensi pajak inilah yang seringkali menyebabkan penghasilan kena pajak jumlahnya di bawah dari yang ditentukan oleh konsep tambahan kemampuan atau penghasilan komprehensif. Preferensi pajak dapat dipandang sebagai subsidi pada aktivitas ekonomi tertentu. Dengan adanya preferensi pajak ini, tingkah laku wajib pajak berubah untuk membuat beban pajaknya menjadi lebih rendah dengan memanfaatkan aturan-aturan tertentu yang juga disebut sebagai lubang-lubang dalam peraturan perpajakan. Preferensi pajak menyebabkan pengurangan atas basis pajak, sering disebut sebagai kehilangan potensi pajak. Dalam konteks keuangan negara dan ekonomi, kehilangan potensi pajak atau penyusutan penerimaan pajak ini
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
183
disebut pengeluaran pajak (tax expenditure). Istilah penyusutan penerimaan pajak digunakan karena kegagalan otoritas pajak mendapatkan penerimaan pajak disebabkan lubang-lubang dalam basis penghasilan kena pajak. Pada dasarnya, pengeluaran pajak ini adalah sama dengan memperoleh penerimaan pajak sepenuhnya (tanpa ada aturan preferensi pajak) kemudian melakukan pengeluaran (subsidi) dengan jumlah yang sama kepada wajib pajak sehingga wajib pajak tetap pada posisi yang sama. Misalnya, aturan yang membebaskan pajak atas bunga pinjaman rumah sama dengan mengenakan pajak penuh atas bunga pinjaman kepada pemilik rumah dan kemudian secara bersamaan melakukan pengeluaran subsidi kepada mereka. Keberadaan preferensi pajak tidak menjadi masalah keadilan pajak apabila basis pajak yang berkurang karena pengecualian dan pajak final dalam jumlah yang proporsional terhadap basis pajak sepenuhnya (tanpa preferensi pajak) bagi seluruh wajib pajak. Hal ini sama dengan memberikan pengurangan tarif pajak maksimal yang sama bagi seluruh wajib pajak. Dalam hal ini, preferensi pajak dapat dinetralisasi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih progresif. Pada kenyataannya, insiden preferensi sangat bervariasi, baik bagi wajib pajak rata-rata pada berbagai tingkat penghasilan maupun wajib pajak tertentu pada satu tingkatan pajak penghasilan, sehingga menimbulkan adanya ketidakadilan secara vertikal dan horizontal. Ketidakadilan pajak secara vertikal dapat timbul karena preferensi pajak memberikan manfaat-manfaat yang hanya dinikmati oleh kelompok wajib pajak dengan penghasilan tertentu. Misalnya, di Amerika Serikat, kehilangan potensi pajak dari aturan pajak terhadap laba modal cenderung lebih dinikmati oleh wajib pajak berpenghasilan tinggi karena merekalah yang memiliki lebih banyak aset daripada wajib pajak berpenghasilan rendah. Untuk di Indonesia, penelitian tentang hal ini ada, bagaimana aturan pajak menciptakan preferensi pajak bagi golongan-golongan wajib pajak dengan penghasilan tertentu. Ketidakadilan pajak secara horisontal terjadi karena wajib pajak dengan penghasilan sama tidak mendapat manfaat yang sama karena perbedaan aturan. Misalnya, wajib pajak yang menerima penghasilan dalam bentuk natura membayar lebih sedikit daripada pegawai yang menerima seluruh penghasilannya dalam bentuk kas.
184
Permasalahan Keadilan Berpenghasilan Tinggi
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Pajak
Bagi
Wajib
Pajak
Wajib pajak berpenghasilan tinggi dapat menggunakan preferensi pajak untuk melakukan penghindaran pajak, terutama yang berkaitan dengan berbagai jenis penghasilan modal. Cara penghindaran pajak yang paling utama adalah adanya tax shelter yang timbul dari kerugian usaha. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kerugian merupakan penghasilan negatif sehingga dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak. Bunga adalah satu-satunya biaya modal yang dapat dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kedua aturan ini memang konsisten dengan konsep tentang laba bersih sebagai basis pajak, konsep yang sangat dipengaruhi oleh praktek akuntansi. Keduanya dapat dikombinasikan sedemikian rupa untuk mengurangi beban pajak dengan membentuk suatu tax shelter, yaitu menciptakan kerugian dengan memunculkan biaya bunga yang besar. Contohnya, suatu perusahaan perseorangan atau firma dibentuk untuk investasi di dunia real estate. Dengan investasi modal yang kecil, firma tersebut dapat meminjam dalam jumlah yang banyak dengan jaminan harta real estatenya. Pembayaran bunga akan mengakibatkan kerugian yang besar pada periode-periode awal beroperasinya firma tersebut sebelum memperoleh penghasilan yang cukup besar. Dengan melakukan investasi pada firma tersebut, investor dapat menghapuskan kerugian yang besar tersebut pada penghasilan mereka sehingga mengurangi pajak yang dibayarkan pada periode awal tersebut. Para investor dengan penghasilan yang sangat besar pada periode ini dan penghasilan kecil pada periode berikutnya akan memperoleh manfaat yang besar dengan skema pengurangan pajak seperti ini.
Permasalahan Keadilan Berpenghasilan Rendah
Pajak
Bagi
Wajib
Pajak
Keadilan pajak menyiratkan bahwa wajib pajak berpenghasilan tinggi harus membayar pajak dalam jumlah besar dan wajib pajak berpenghasilan rendah hanya membayar pajak dalam jumlah kecil.
Berapa besarnya penghasilan minimal yang tidak dikenakan pajak? Pada umumnya, semua orang sependapat bahwa ada sejumlah tertentu penghasilan yang tidak boleh dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
185
tarif nol persen. Penghasilan yang dikenakan pajak (yang dikenai tarif pajak lebih dari nol persen) harus didefinisikan sebagai penghasilan kena pajak dikurangi dengan PTKP (yang dikenai tarif pajak nol persen). Ukuran untuk menentukan jumlah PTKP ini adalah tingkat penghasilan yang rendah yang membuat wajib pajak diklasifikasikan sebagai “miskin.” Karena tingkat kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya keluarga, besarnya penghasilan tidak kena pajak pun harus menyesuaikan dengan ukuran besarnya keluarga. Dengan demikian, pemerintah perlu selalu menyesuaikan besarnya PTKP sehingga mencerminkan tingkat penghasilan wajib pajak “miskin”, walaupun kategori “miskin” ini multi interpretasi. Titik awal beban pajak bergantung pada berbagai faktor. Pertama, PTKP bergantung pada jumlah tanggungan keluarga sampai dengan maksimal tertentu. Dalam hal ini, ada PTKP sebesar Rp1.440.000 per wajib pajak, pasangannya dan setiap tanggungan (maksimal tiga tanggungan). PTKP memperhitungkan ukuran keluarga dengan asumsi implisit bahwa tambahan tanggungan tidak menciptakan skala ekonomis. Berdasarkan faktor ini, jumlah PTKP maksimal adalah Rp7.200.000. Di Indonesia, jumlah maksimal tanggungan adalah tiga orang karena adanya tujuan tambahan untuk mendukung program keluarga kecil. Hal ini menimbulkan permasalahan ketidakadilan pajak karena aturan pajak telah terdistorsi untuk memenuhi tujuan-tujuan non fiskal. Ketidakadilan didapatkan oleh wajib pajak karena sesuatu dan lain hal, harus memiliki jumlah tanggungan lebih dari tiga orang. Berikutnya, ada PTKP bagi anggota keluarga yang memiliki penghasilan untuk wajib pajak yang bersangkutan dan pasangannya masing-masing sebesar Rp1.440.000. Ditambah dengan faktor ini maka jumlah PTKP maksimal adalah Rp10.800.000. Batas bebas pajak tersebut tidak hanya penting dalam menentukan batas bawah untuk kewajiban pajak, tetapi juga menentukan besarnya tarif pajak efektif atau pola progresivitas pada skala penghasilan menengah ke bawah. Dengan adanya PTKP ini, tarif pajak efektif (yang didefinisikan sebagai rasio pajak terhadap penghasilan neto) pada tingkat penghasilan neto yang rendah jumlahnya sangat kecil karena PTKP merupakan porsi terbesar dari penghasilan neto. Ketika penghasilan neto naik, jumlah PTKP turun secara relatif terhadap penghasilan neto sehingga tarif pajak efektif naik. Seperti dikemukakan sebelumnya, PTKP adalah penghasilan yang dikenakan tarif pajak sebesar nol persen dan merupakan bagian integral dari struktur tarif pajak sehingga menentukan tingkat progresivitas tarif pajak.
Kredit Pajak bagi Wajib Pajak berpenghasilan Rendah
186
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Pada negara maju, telah muncul pemikiran-pemikiran dan praktek-praktek berkaitan dengan tarif pajak negatif. Struktur tarif pajak tidak lagi selalu positif, tetapi bergerak dari tarif negatif pada penghasilan nol (wajib pajak pada tingkatan penghasilan ini mendapatkan subsidi dari pemerintah) bergerak ke angka nol (titik impas) dan menjadi tarif positif pada angka di atas titik impas ini. Prinsip progresivitas tidak saja menyatakan seberapa tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak berpenghasilan besar tetapi juga seberapa besar transfer yang dapat diberikan kepada wajib pajak miskin. Praktek ini dapat dilakukan dengan memberikan kredit pajak pada para wajib pajak berpenghasilan rendah.
Kredit Pajak untuk Biaya Mengasuh Anak Sejalan dengan perkembangan tentang hak-hak wanita dan perlakuan yang adil terhadap penghasilan keluarga, aturan hukum di negara maju menyediakan kredit pajak bagi keluarga yang memiliki anak dan pasangannya juga bekerja. Untuk keluarga seperti ini, mereka harus menyediakan dana untuk menyewa pengasuh bagi anak-anak mereka.
POLA PROGRESIVITAS TARIF PAJAK Pajak penghasilan merupakan suatu instrumen pajak yang progresif sesuai dengan prinsip kemampuan membayar dan keadilan pajak secara vertikal. Progresivitas ini memiliki arti tertentu dan diukur dengan cara tertentu.
Arti Progresivitas Tarif Pajak Pada saat membahas penghasilan neto, tarif pajak yang dikenakan meningkat seiring dengan peningkatan penghasilan neto. Pajak dikatakan progresif apabila tarif pajak cenderung meningkat sejalan dengan kenaikan tingkat penghasilan, proporsional apabila tarif pajak konstan pada semua tingkat penghasilan, dan regresif bila tarif pajak turun pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Progresivitas tidak hanya diukur dengan peningkatan kewajiban pajak sejalan dengan peningkatan penghasilan. Peningkatan kewajiban pajak harus lebih tinggi daripada peningkatan penghasilan untuk dapat dianggap sebagai pajak progresif. Bila peningkatan kewajiban pajak lebih rendah daripada peningkatan penghasilan, pajak tersebut dianggap regresif. Selain itu, semakin progresif pajak penghasilan, semakin cepat kenaikan rasio pajak terhadap PNB.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
187
Mengukur Tingkat Progresivitas Menurut Musgrave dan Musgrave (1989), ada beberapa ukuran dapat dipakai untuk mengukur tingkat progresivitas tarif pajak, yaitu3: n Rasio perubahan tarif efektif terhadap perubahan penghasilan. Ukuran ini disebut sebagai progresivitas tarif rata-rata (average-rate progression), merupakan ukuran kemiringan kurva yang diperoleh dari menggambar hasil bagi tarif pajak efektif terhadap penghasilan. Nilai dari koefisien ini adalah nol untuk pajak proporsional dan positif untuk pajak progresif. Kurva tarif efektif cenderung berkurang kemiringannya dan progresivitas cenderung menurun seiring dengan meningkatnya skala T1 − T0 Y1 Y0 penghasilan.Rumusnya: Y1 − Y0 n
Rasio persentase perubahan kewajiban pajak terhadap perubahan penghasilan. Ukuran ini disebut sebagai progresivitas kewajiban pajak, mencatat elastisitas kewajiban pajak terhadap penghasilan. Koefisien ini mengukur kemiringan kurva yang diperoleh dari menggambar hasil bagi kewajiban pajak terhadap penghasilan pada bagan log-ganda. Proporsionalitas ditunjukkan dengan nilai koefisien sama dengan satu dan progresivitas ditunjukkan dengan nilai koefisien di atas satu. Rumusnya: T1 − T0 Y0 . T0 Y1 − Y0
n
Rasio persentase perubahan penghasilan setelah pajak terhadap persentase perubahan penghasilan sebelum pajak. Ukuran ketiga atau progresivitas penghasilan residu mencatat elastisitas dari penghasilan setelah pajak Ukuran ini menunjukkan kemiringan kurva yang diperoleh dengan menggambar penghasilan sebelum dan sesudah pajak pada bagan log. Koefisiennya juga satu untuk pajak proporsional tetapi progresivitas sekarang ditunjukkan dengan angka koefisien yang kurang dari satu. Progresivitas pada semua indikator cenderung menurun seiring dengan kenaikan skala penghasilan setelah tingkatan penghasilan (Y − T ) − (Y0 − T0 ) Y0 . tertentu.Rumusnya: 1 1 (Y0 − T0 ) Y1 − Y0
Sebelum membandingkan tingkat progresivitas suatu struktur pajak atau tingkat progresivitas pada berbagai tingkatan penghasilan, perlu ditetapkan terlebih dahulu ukuran progresivitas apa yang akan digunakan. Hal ini sangat 3
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 359-360
188
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
penting supaya terhindar adanya pembandingan tingkat progresivitas dengan menggunakan ukuran-ukuran progresivitas yang berbeda. Debat mengenai tingkat progresivitas ini menjadi hal yang sangat penting ketika tarif-tarif pajak berubah. Ketika tarif-tarif pajak dinaikkan atau diturunkan, banyak pihak yang mengusulkan perubahan pada seluruh tarif untuk menjaga kenetralan kenaikan dan penurunan. Padahal kenetralan tersebut memiliki banyak interpretasi sejalan dengan adanya berbagai ukuran progresivitas. Misalnya, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif pajak. n Jika yang dimaksud dengan netralitas adalah progresivitas tarif pajak ratarata ditetapkan konstan, semua hutang pajak harus dinaikkan dengan persentase yang sama. Tarif-tarif pajak dinaikkan pada persentase yang semakin besar pada tarif-tarif yang lebih tinggi. n Jika yang dimaksud dengan netralitas adalah progresivitas kewajiban pajak ditetapkan konstan, semua tarif pajak dinaikkan sebesar persentase kenaikan yang sama. n Jika yang dimaksud dengan netralitas adalah progresivitas penghasilan residu ditetapkan konstan, tarif-tarif pajak akan dinaikkan pada persentase yang semakin kecil pada tarif-tarif yang lebih tinggi. Dengan demikian, pihak-pihak tertentu akan menginterpretasikan netralitas sesuai dengan kepentingannya. Ada implikasi politis dari hal-hal yang sifatnya teoritis, seperti halnya ukuran tingkat progresivitas pajak. Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang berpenghasilan rendah tentu saja akan sangat berkeinginan untuk menginterpretasikan netralitas dalam bentuk yang paling diinginkan yaitu progresivitas tarif rata-rata, kemudian progresivitas kewajiban pajak dan yang terakhir adalah progresivitas penghasilan residu. Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi akan cenderung mengambil posisi yang berlawanan. Yang lebih menarik lagi adalah urutan preferensi tersebut akan terbalik bila yang diperjuangkan adalah pengurangan pajak.
PENYESUAIAN TERHADAP INFLASI Pada bagian sebelumnya telah dibahas pengaruh inflasi terhadap penghasilan nominal. Secara teoritis, tambahan kemampuan ekonomis harus memperhitungkan tingkat inflasi sehingga hanya penghasilan dalam nilai riil saja yang layak untuk dikenai pajak penghasilan. Permasalahan inflasi tidak hanya berkaitan dengan angka nominal penghasilan, tetapi juga PTKP, besaran pajak yang dikenakan tarif tertentu, dan laba modal.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
189
PTKP dan Tingkat Penghasilan yang Dikenakan Tarif Pajak Inflasi menyebabkan nilai riil dari PTKP menjadi turun. Nilai PTKP sebesar Rp2.440.000 sepuluh tahun yang lalu nilai riilnya lebih besar dari sekarang. Tingkat penghasilan riil yang mulai dikenakan pajak dengan tarif tertentu juga semakin turun. Selain itu, ketika harga-harga naik, nilai riil dari tingkat penghasilan yang dikenakan tarif pajak turun, sehingga tingkat tarif pajak yang berlaku untuk tingkat penghasilan riil tertentu akan naik. Dengan demikian, kewajiban pajak naik dalam nilai riil lebih cepat daripada kenaikan harga. Berkaitan dengan pengaruh inflasi, peraturan pajak di Indonesia hanya menyesuaikan PTKP. Itupun tidak dilakukan setiap tahun, tetapi beberapa tahun sekali. Dengan demikian, nilai riil dari PTKP cenderung turun. Sementara itu, tingkat penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertentu tidak pernah disesuaikan. Karena pajak di Indonesia tidak terlindung dari pengaruh inflasi, wajib pajak di Indonesia mengalami kenaikan kewajiban pajak dalam nilai riil.
Penghasilan/Laba Modal Masalah inflasi juga mempengaruhi besarnya kewajiban pajak atas laba modal. Laba modal yang sudah terealisasi, sebagian dikenakan pajak final dan sebagian lagi dikenakan pajak reguler. Perlakuan yang sama terhadap laba modal seharusnya hanya akan mengenakan pajak atas laba dalam nilai riil (kenaikan harga dalam nilai riil), bukannya laba dalam nilai nominal (kenaikan harga dalam nilai nominal). Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian terhadap inflasi dengan mengurangkan kenaikan harga aset dari inflasi dari laba modal nominal. Permasalahan pengaruh inflasi yang sama juga dialami oleh kreditor yang menderita kerugian penurunan nilai riil hutang yang mereka berikan kepada debitor. Tentu saja, penurunan nilai hutang ini menjadi keuntungan bagi debitor. Bila peraturan perpajakan konsisten menggunakan basis tambahan kemampuan ekonomis yang diukur dalam satuan nilai riil maka aturan perpajakan harus membolehkan kreditor mengakui kerugian dan juga mengharuskan debitor mengakui keuntungan. Salah satu solusi yang pernah diusulkan adalah mengurangi penghasilan bunga kena pajak sesuai dengan tingkat inflasi. Depresiasi adalah pos berikutnya yang dipengaruhi inflasi. Ketika hargaharga naik, pengembalian dari biaya perolehan aktiva berkurang dalam nilai riil dan penyesuaian inflasi juga diperlukan dalam hal ini. Solusi atas
190
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
permasalahan ini dalam perundang-undangan pajak hanyalah parsial dalam bentuk penggunaan metode penyusutan dipercepat.
PILIHAN UNIT KENA PAJAK Pemilihan unit kena pajak merupakan salah satu hal yang kontroversial dalam pajak penghasilan yang belum ada solusi yang memadai saat ini. Problema ini muncul karena adanya kecenderungan lebih dari anggota keluarga memperoleh penghasilan sebagai akibat kecenderungan sosio ekonomis meningkatnya partisipasi wanita dalam angkatan kerja.
Pendekatan Unit Keluarga Pendapat umum dari para ahli perpajakan adalah bahwa unit kena pajak dan pengukuran kemampuan untuk membayar harus diarahkan kepada unit keluarga. Alternatif lainnya adalah pemilihan individu sebagai unit kena pajak dan pengukuran kemampuan untuk membayar. Aturan Dasar Dalam hal penetapan unit kena pajak, Musgrave dan Musgrave (1989) memberikan tiga aturan berikut agar pilihan unit kena pajak tersebut memenuhi asas keadilan pajak, yaitu4: § Unit-unit dengan penghasilan yang sama dan jumlah anggota yang sama harus membayar pajak yang sama jumlahnya. Aturan ini tidak perlu penjelasan lebih lanjut karena aturan ini secara sederhana mewakili persyaratan bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama juga. Ada hal yang perlu dipertegas bahwa aturan ini tidak membedakan kemampuan untuk membayar dalam konteks unit keluarga apakah penghasilan diperoleh oleh satu anggota atau lebih. § Di antara unit-unit yang berpenghasilan sama, unit yang jumlah anggotanya lebih kecil harus membayar pajak lebih banyak dan unit yang jumlah anggotanya lebih besar harus membayar pajak lebih sedikit. Aturan ini menunjukkan proposisi bahwa seorang bujangan dengan penghasilan Rp 30 juta memiliki posisi (kemampuan) lebih baik daripada pasangan dengan total penghasilan keduanya juga Rp 30 juta. Walaupun beberapa jenis pengeluaran konsumsi (misalnya penerangan di ruang tamu) dikonsumsi dalam jumlah yang sama baik oleh satu orang atau dua orang, pengeluaran-pengeluaran konsumsi lainnya (misalnya kursi untuk santai) 4
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 386.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
191
lebih mahal apabila untuk pasangan. Oleh karena itu, perlakuan yang adil apabila pajak yang dikenakan kepada seorang bujangan tersebut lebih tinggi daripada pajak yang dikenakan kepada pasangan suami-istri dengan tingkat penghasilan yang sama. Perbedaan seperti ini (pada jumlah yang layak) tidak boleh dipandang sebagai pajak yang diskriminatif terhadap seorang bujangan. Dengan pengenaan pajak progresif, jumlah pajak (yang dinyatakan dalam persentase terhadap penghasilan) untuk unit-unit dengan jumlah anggota yang sama harus naik seiring dengan kenaikan penghasilan unit. Aturan ini mengikuti secara langsung prinsip progresivitas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Sistem yang mengikuti aturan-aturan keadilan ini tidak akan mempengaruhi keputusan pernikahan, baik hanya satu orang dari pasangan yang menikah tersebut yang memiliki penghasilan ataupun kedua-duanya.
Penggabungan Penghasilan Ada dua cara untuk mencapai tujuan seperti yang tercantum pada aturan dasar di atas. Pertama, menetapkan PTKP tertentu sesuai dengan jumlah tanggungan dan jumlah penerima penghasilan. Kedua, menggunakan struktur tarif pajak yang berbeda untuk berbagai jenis SPT yang didasarkan pada jumlah tanggungan, status dan jumlah penerima penghasilan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, aturan perpajakan membolehkan tambahan PTKP sesuai dengan ukuran keluarga, walaupun dibatasi hanya sampai tiga tanggungan. Sistem pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak. Penggabungan penghasilan ini tidak mengurangi jumlah PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan, baik ketika penghasilan masih dilaporkan sendiri maupun penghasilan digabungkan.
Pendekatan Alternatif: Unit Peroleh Penghasilan Pendekatan alternatif dalam memilih unit kena pajak adalah dengan mengabaikan unit keluarga dan menggunakan individu sebagai unit yang dikenakan pajak. Bila individu ditetapkan sebagai unit kena pajak, kewajiban pajak gabungan pasangan suami istri bergantung pada bagaimana penghasilan terdistribusi di antara mereka. Struktur tarif yang digunakan, baik proporsional, progresif ataupun regresif, tidak menimbulkan perbedaan. Pendekatan ini memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah.
192
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Tanggungan dan Pasangan yang Tidak Bekerja Jumlah tanggungan menjadi pertimbangan utama dalam mengukur kemampuan untuk membayar dari suatu unit keluarga. Suatu keluarga besar (dengan tanggungan yang lebih banyak) dengan penghasilan neto tertentu mempunyai kemampuan untuk membayar yang lebih rendah daripada keluarga kecil (dengan tanggungan yang lebih sedikit) dengan penghasilan neto yang sama. Ada dua pertanyaan berkenaan dengan tanggungan ini. Pertanyaan pertama, siapa yang menjadi tanggungan. Pertanyaan ini akan menyangkut masalah bagaimana memperlakukan anak-anak yang tinggal jauh dari orang tua dan yang memiliki penghasilan. Pertanyaan kedua bagaimana pengurangan diberikan. Pertanyaan ini berkenaan dengan apakah pengurangan tersebut diberikan dalam bentuk pengurang atas penghasilan atau kredit pajak. Pendekatan kredit pajak lebih tepat digunakan bila setiap tambahan tanggungan diukur dalam satuan pengeluaran standar (misalnya pengeluaran rata-rata). Pendekatan pengurang atas penghasilan lebih tepat digunakan jika biayanya diukur dalam berapa banyak pengeluaran akan dilakukan. Karena wajib pajak dengan penghasilan yang tinggi mengeluarkan biaya untuk tanggungan (anak) yang lebih besar, sudah selayaknya diberikan keringanan pajak yang lebih besar pula. Cara lain dari perlakuan pajak terhadap tanggungan adalah PTKP. Peraturan pajak di Indonesia menggunakan cara ini dengan memberikan pengurangan atas penghasilan neto sebesar Rp1.440.000 untuk setiap tanggungan, tapi dengan jumlah maksimal tiga tanggungan. Pertanyaan terakhir dalam pajak penghasilan adalah bagaimana pengaturan tentang pasangan yang tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah untuk mengurus rumah, menjaga anak-anak, atau menganggur. Misalnya, ada sepasang suami istri A dan B dimana A memiliki penghasilan dan B tidak memiliki penghasilan. Kemudian ada pasangan lain, C dan D, yang keduanya memiliki penghasilan. Asumsikan bahwa A dan C penghasilannya sama dan bahwa B memiliki potensi penghasilan yang sama dengan D. Dalam peraturan perpajakan sekarang ini keluarga C dan D membayar pajak lebih besar daripada keluarga A dan B. Padahal berdasarkan aturan opsi yang sama (bekerja dan tidak bekerja) keduanya harus membayar pajak dalam jumlah yang sama, seperti kesimpulan kita pada pembahasan tentang imputed income di muka, yang harus dimasukkan sebagai tambahan kemampuan. Secara prinsip, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak didapatkan) dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam dasar pengenaan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
193
pajak. Selain itu, secara prinsip, prosedur yang sama juga harus diberlakukan kepada bujangan yang tidak bekerja
RANGKUMAN §
§
§
§
§ §
Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dalam nama dan bentuk apapun. Penghasilan bruto yang telah dihitung kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk mendapatkan jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto, yaitu penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan. Dalam membedakan antara penghasilan dari pekerjaan (upah dan gaji) dan penghasilan dari modal, ditekankan bahwa penghasilan dari pekerjaan harus dikenakan beban pajak yang lebih ringan. Penghasilan harus didefinisikan dalam satuan riil. Sesuai dengan definisi penghasilan, tidak menjadi perbedaan apakah penghasilan tersebut telah diterima secara kas (seperti gaji, upah, dan hasil penjualan aset) ataupun terakumulasi dalam bentuk kenaikan nilai aset (capital gain) yang belum terealisasi. Logika tambahan kemampuan ekonomis (accretion) menyatakan bahwa penghasilan yang diterima dalam bentuk imputed income (misalnya pemilikan aset jangka panjang) dan natura dalam bentuk santai harus dimasukkan ke dalam basis pajak. Perolehan warisan atau hibah merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi penerima sehingga harus dimasukkan ke dalam basis pajak penghasilan bagi penerimanya. Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak, pada beberapa transaksi tertentu berlaku tarif pajak final. Capital gain sifatnya tidak teratur dan cenderung berfluktuasi sehingga wajib pajak harus membayar lebih banyak dalam sistem tarif pajak yang progresif, bila dibandingkan jika capital gain tersebut diterima sebagai pendapatan tetap, kesulitan ini dapat dihilangkan dengan menggunakan aturan perataan yang tepat.
194 §
§
§
§
§
Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Pribadi
Iuran pensiun dan bentuk pembayaran tabungan hari tua lainnya seharusnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, dan ketika uang manfaat pensiun atau tabungan hari tua diterima di kemudian hari, hanya komponen bunganya saja yang dikenakan pajak penghasilan. Secara keadilan, wajib pajak dengan tagihan-tagihan darurat yang berat, seperti tagihan biaya pengobatan yang besar, dapat dikatakan memiliki kemampuan untuk membayar yang lebih kecil dibandingkan para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi tagihan-tagihan darurat tersebut. Pengurangan khusus dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk hal-hal yang mulia seperti sumbangan sosial. Tingkat kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya keluarga, sehingga beban pajak pun harus menyesuaikan dengan ukuran besarnya keluarga. Prinsip progresivitas tidak saja menyatakan seberapa tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak berpenghasilan besar tetapi juga seberapa besar transfer yang dapat diberikan kepada wajib pajak miskin. Sistem pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak. Pada prinsipnya, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak didapatkan) dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam dasar pengenaan pajak.
LATIHAN 1. Jelaskan prinsip dasar pengenaan pajak penghasilan dan bagaimana menentukan penghasilan kena pajak! 2. Jelaskan perbedaan prinsip Capital Income dan Labor Income! 3. Bagaimana penerapan pajak penghasilan terhadap: a. Warisan b. Penghasilan tidak teratur c. Imputed Income 4. Apa yang dimaksud dengan pajak final dan apa tujuan diberlakukannya? 5. Mengapa perlakuan terhadap pajak final dianggap melanggar prinsip keadilan pajak? 6. Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas : a. Laba yang telah terealisasi b. Laba yang belum terealisasi
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
195
c. Tabungan hari tua d. Iuran Pensiun e. Asuransi Jiwa 7. Jelaskan bagaimana aspek keadilan yang diberlakukan untuk pengurangan jumlah pajak penghasilan yang dikenakan terhadap wajib pajak! 8. Bagaimana bentuk ketidakadilan pajak yang terjadi akibat adanya preferensi pajak ? 9. Wajib pajak yang mempunyai penghasilan tinggi cenderung menginvestasikan uang mereka dibandingkan dengan menabungnya. Apa pengaruhnya terhadap pengenaan pajak penghasilan wajib pajak tersebut?
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
STRUKTUR PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN Prinsip dasar penentuan penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan tidak jauh berbeda dengan penentuan penghasilan kena pajak untuk wajib pajak pribadi yang mempunyai kegiatan usaha. Penghasilan bruto dari perseroan dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka menjalankan usaha akan menghasilkan laba bersih (identik dengan penghasilan neto) untuk dikenakan pajak. Pada dasarnya semua pengeluaran dapat dibebankan sebagai biaya apabila mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bruto yang menjadi objek pajak. Pengeluaran untuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
198
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Demikian juga pengeluaran yang melebihi batas kewajaran karena adanya hubungan istimewa tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Beberapa pengecualian permasalahan penghasilan yang muncul pada wajib pajak pribadi juga muncul pada wajib pajak badan, ditambah dengan masalahmasalah lain yang khusus ada pada pengenaan pajak penghasilan kepada wajib pajak badan, menambah kerumitan dalam merancang pajak penghasilan badan yang adil dan efisien. Permasalahan ini diantaranya penentuan pengeluaranpengeluaran apa yang dapat dibebankan sebagai biaya dan kapan pembebanan tersebut dapat dilakukan. Setiap industri memiliki kerumitan tersendiri sehingga sangat sulit untuk merancang suatu perlakuan pajak yang seragam untuk berbagai industri yang berbeda tersebut. Dengan adanya kerumitan hukum dari perseroan dan hubungan di antara mereka, suatu pajak penghasilan badan yang adil bukanlah pajak yang sederhana.
PERLUKAH PERSEROAN DIKENAKAN PAJAK? Menteri Keuangan Amerika Serikat, Paul H. O’Neill, pernah mengemukakan suatu pendapat: “For a long time we’ve maintained what I think is clearly a fiction – the idea that somehow corporations and business pay taxes. The clear economic truth is that businesses and corporations don’t pay taxes, they just collect them for the government ...”1 Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli ekonomi bahwa perseroan hanyalah lembaga atau unit yang mengumpulkan pajak untuk pemerintah, oranglah yang menanggung beban pajak pada akhirnya. Beberapa fakta berikut merupakan hal-hal yang disepakati oleh para ahli ekonomi: n Warga negara yang menanggung beban pajak penghasilan perseroan. n Pajak penghasilan perseroan menurunkan standar hidup masyarakat. n Pajak penghasilan perseroan merupakan praktek perpajakan berganda. Dengan demikian, banyak ahli ekonomi yang berpandangan bahwa perseroan sebaiknya tidak dikenakan pajak. Musgrave dan Musgrave (1989) berpandangan pada dasarnya berpendapat senada. Perseroan hanyalah alat ekonomi bagi para investor, manajemen dan karyawan untuk memperoleh penghasilan. Jika konsumsi dijadikan basis pajak penghasilan, pajak penghasilan tidak boleh dikenakan kepada badan. Sumber penghasilan dari korporasi hanya dapat dipajaki apabila didistribusikan dan dibelanjakan oleh penerimanya, baik investor, manajemen ataupun karyawan. 1
Wawancara terhadap Paul O’Neill, U.S. Secretary of Treasury, Financial Times, 21 Mei 2001. Pernyataan ini adalah jawabannya atas pertanyaan: “Bidang-bidang apa saja yang anda pandang membutuhkan perbaikan?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
199
Bila penghasilan digunakan sebagai basis pajak, pengenaan pajak kepada badan juga tetap dipertanyakan. Dalam hal ini, ada dua pendapat dalam pengenaan pajak perseroan. Pertama, pengenaan pajak pada perseroan sebaiknya diintegrasikan ke dalam pengenaan pajak penghasilan pribadi dari penerima penghasilan yang bersumber dari perseroan. Kedua pajak penghasilan perseroan sebagai pajak “absolut” terhadap penghasilan bersumber dari korporasi. Pandangan kedua ini yang digunakan oleh peraturan pajak penghasilan di Indonesia. Badan (dalam hal ini perseroan) dikenakan pajak dan tidak dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan pribadi atas penghasilan dividen. Pandangan lain yang berkembang di beberapa negara maju adalah mengintegrasikan penghasilan korporasi ke dalam pajak penghasilan individu.
Pandangan Integrasi Pandangan integrasi ini adalah pandangan yang paling diterima oleh para ahli ekonomi. Para penganut posisi integrasi memandang bahwa pajak pada akhirnya menjadi beban dari orang-orang pribadi. Oleh karena itu, pengenaan pajak pada perseroan harus dipandang sebagai satu cara memasukkan semua penghasilan yang bersumber dari perseroan ke dalam basis pajak penghasilan pribadi. Ada beberapa argumentasi untuk mendukung pandangan ini. Pertama, pada akhirnya pajak harus menjadi beban pribadi. Kedua, konsep keadilan, dalam hal ini keadilan pajak hanya dapat diterapkan kepada pribadi. Ketiga, penghasilan harus dipajaki secara keseluruhan dalam konsep penghasilan global, tanpa memperdulikan dari mana sumbernya. Bila mengenakan pajak pada laba perseroan, maka laba perseroan tersebut ketika didistribusikan dipajaki dua kali, pertama pada tingkatan perseroan dalam bentuk pajak penghasilan badan, dan berikutnya pada tingkatan pribadi sebagai dividen dalam perhitungan pajak penghasilan pribadi. Misalkan, seorang wajib pajak A adalah serorang wajib pajak dengan penghasilan besar sehingga membayar pajak penghasilan pribadi pada tarif pajak 25%. Bagiannya pada laba suatu perseroan yang sahamnya ia miliki adalah Rp10.000.000, yang dikenakan pajak dengan tarif efektif sebesar 30% (atau sebesar Rp3.000.000). Sisanya, sebesar Rp7.000.000 didistribusikan sebagai dividen kepada A, yang kemudian akan membayar pajak atasnya sebesar Rp1.750.000. Apabila kedua pajak ini digabungkan, jumlahnya menjadi Rp4.750.000. Bila tidak ada pajak penghasilan badan, pajak penghasilan yang dibayarkan pada penghasilan yang didistribusikan (dividen) sejumlah Rp10.000.000 hanya akan sebesar Rp2.500.000. Dengan demikian, ada “kelebihan pajak” sebesar Rp1.250.000. Berikutnya, seorang wajib pajak
200
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
B, yang berpenghasilan kecil sehingga membayar pajak penghasilan pribadi pada tarif pajak 15%. Baginya, pajak gabungan sama dengan Rp3.000.000 ditambah Rp1.050.000, atau sebesar Rp4.050.000. Pajaknya berdasarkan sistem integrasi hanya akan sebesar Rp1.500.000, sehingga ada kelebihan pajak sebesar Rp2.550.000. Beban pajak B lebih besar daripada beban pajak A. Dengan tidak mengintegrasikan penghasilan, sistem pajak di Indonesia memberikan tambahan beban pajak dan beban pajak atas penghasilan yang bersumber dari perseroan lebih besar bagi pemegang saham kecil yang pajak penghasilan pribadinya sebenarnya lebih kecil. Walaupun, sebagai wajib pajak yang berpenghasilan besar dan mempunyai banyak investasi menyebabkan proporsi dividen terhadap total penghasilan lebih besar pada wajib pajak A daripada pada wajib pajak B, pajak tambahan sebagai persentase dari total penghasilan akan lebih besar bagi A daripada bagi B, pajak tambahan ini tidak adil bila ditinjau dari sudut pandang penganut integrasi, sebab semua penghasilan (termasuk yang diperoleh dari sumber perseroan) harus dipajaki dengan tarif yang sama. Dengan demikian, sebaiknya pajak perseroan digantikan dengan pemungutan pajak pribadi atas sumber penghasilan dari perseroan. Pada kenyataanya sebagian dari laba korporasi setelah pajak ditanamkan kembali pada operasi perusahaan sebagai tambahan pada laba yang ditahan. Laba yang tidak dibagikan ini tidak diperhitungkan sebagai penghasilan pemegang saham sehingga tidak dikenakan pajak dua kali, praktek yang sesuai dengan pengenaan pajak penghasilan dengan sistem integrasi.
Pandangan Absolut Pandangan absolut memiliki pandangan yang berlawanan dengan pandangan integrasi. Walaupun perseroan bukan merupakan individu yang memiliki hak suara dalam pemilihan, sebagaimana paham tidak ada pajak tanpa perwakilan, perseroan adalah kekuatan ekonomi dalam suatu negara Perseroan yang dimiliki publik secara luas – merupakan wajib pajak besar yang menjadi sumber terbesar penerimaan pajak negara – bukan hanya instrumen untuk penghasilan pribadi. Perseroan adalah entitas legal yang memiliki keberadaan sendiri. Perseroan adalah pelaku ekonomi yang memiliki kekuatan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial melalui pengelolaan para profesional manajemen yang tidak secara langsung dikendalikan oleh pemegang saham secara individu. Oleh karena itu, sebagai entitas yang terpisah, perseroan juga mempunyai kapasitas membayar pajak tersendiri, telah dikenakan pajak yang terpisah dan absolut. Apakah laba setelah pajak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
201
yang diperoleh akan dibagikan atau ditahan tidaklah relevan dalam konteks ini. Secara rasional, pandangan absolut atau yang disebut juga pandangan klasik ini mempunyai dukungan yang sangat kuat untuk alasan bahwa perseroan adalah keberadaan yang memiliki kekuatan ekonomi dan sosial. Perseroan memang bertindak sebagai unit-unit pengambilan keputusan, yang terpisah dan seringkali tidak begitu jelas kaitannya dengan keinginan para pemegang saham, sehingga membutuhkan kebijakan pengaturan (termasuk pengaturan pengenaan pajak) tersendiri pada tingkatan korporasi daripada tingkatan pemegang saham. Selain itu, alat-alat pajak dapat berguna pada situasi-situasi tertentu untuk tujuan peraturan perundang-undangan tersebut. Alasan pengenaan pajak pada perseroan karena lembaga ini memiliki kemampuan membayar pajak sendiri dan oleh karenanya harus dikenakan pajak terpisah. Maka kemampuan untuk membayar ini sulit untuk diaplikasikan pada perseroan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan ini adalah kemampuan untuk membayar pajak tanpa mengalami kebangkrutan atau mengganggu operasinya. Konsep kapasitas membayar yang digunakan dalam pendapat ini lebih berkaitan dengan efek ekonomi dari pajak bukannya kemampuan untuk membayar yang digunakan dalam konteks keadilan pajak. Pada akhirnya, seluruh pajak harus dibebankan pada orang. Laba perseroan merupakan bagian penghasilan para pemegang saham untuk alasan tambahan kemampuan ekonomis, harus dipajaki sebagai bagian dari penghasilan mereka. Tidak ada alasan mengapa para pemegang saham harus membayar pajak tambahan atau diberikan perlakuan khusus. Pandangan absolutisme mendasarkan pada asumsi bahwa beban pajak dikenakan atas laba dan tidak digeserkan kepada pihak lain yaitu para pelanggan atau pekerja. Bila terjadi penggeseran beban pajak, maka tujuan dari para penganut absolutisme untuk membebankan pajak tambahan pada penghasilan yang bersumber dari korporasi tidak akan tercapai. Pajak penghasilan atas perseroan telah menjadi pajak penjualan atau pajak atas upah yang inferior dan arbiter, tanpa landasan rasional dalam suatu struktur pajak yang adil. Pajak ini dikatakan inferior karena tarif implisit dari pajak penjualan atau upah tidak memiliki korelasi yang jelas dengan rasio [marjin] laba atas penjualan atau rasio laba atas upah dari perseroan. Para ekonomi juga telah membuktikan dengan berbagai riset bahwa praktek pengenaan pajak menurut pandangan absolut telah menimbulkan distorsi dalam perekonomian. Perseroan cenderung tidak membagikan laba untuk menghindari pengenaan pajak berganda, yang apabila dibagikan kepada
202
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
investor mungkin dapat mereka gunakan untuk investasi-investasi yang lebih menguntungkan.
Alasan-Alasan Lain Mengenakan Pajak kepada Perseroan Walaupun pandangan absolut atau klasik tidak dapat memberikan argumentasi yang kuat untuk mengenakan pajak atas perseroan berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar, ada alasan-alasan lain yang dapat mendukung keberadaan pajak tersebut sehingga pajak tersebut diberlakukan seperti sekarang ini. Pertimbangan Manfaat Pemerintah dapat mengenakan pajak kepada siapapun dan apapun yang memperoleh manfaat dengan adanya pemerintahan. Perseroan dapat diminta untuk membayar pajak karena menerima manfaat dari berbagai layanan pemerintah. Layanan-layanan tersebut misalnya memberi manfaat kepada perseroan dengan cara mengurangi biaya, memperluas pasar, membantu transaksi-transaksi keuangan, dan lain-lain. Akan tetapi sebagian dari layanan ini, tidak hanya dinikmati oleh perseroan, tetapi juga oleh berbagai bentuk organisasi lainnya. Dengan demikian, cara yang lebih rasional adalah menerapkan pajak umum atas kegiatan bisnis bukannya menerapkannya dengan menggunakan pajak penghasilan badan saja. Walaupun ada beberapa biaya pemerintah yang dikeluarkan dalam kaitannya dengan keberadaan perseroan secara khusus, biaya-biaya ini hanyalah faktor yang minor dan sulit untuk dijadikan alasan untuk mendukung pengenaan suatu pajak penghasilan. Perseroan yang memiliki hak melakukan berbagai kegiatan berdasarkan kewajiban terbatas. Hak ini tentu saja sangat berharga bagi korporasi. Akan tetapi, lembaga yang memiliki kewajiban terbatas ini tidak membebani masyarakat oleh karenanya tidak layak dikenakan pajak atas manfaat yang didapat dari haknya. Tujuan dari pajak atas manfaat adalah mengalokasikan biaya pemberian layanan publik kepada yang menerima manfaat, bukannya untuk membebani manfaat yang tidak menimbulkan biaya. Walaupun pajak dapat dikenakan kepada perseroan atas dasar manfaat. Ada dua hal yang harus diputuskan. Pertama berkaitan dengan tingkatan pemerintahan mana yang harus mengenakan pajak. Pemerintah daerah menyediakan sebagian besar layanan publik yang memberikan manfaat kepada bisnis. Dengan demikian, pemerintah daerah lebih berhak untuk mengenakan pajak. Kedua, apa basis yang tepat digunakan untuk mengenakan pajak tersebut. Besarnya pajak akan bervariasi sesuai dengan nilai layanan yang
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
203
diberikan, bukannya sesuai dengan jumlah laba yang dihasilkan. Oleh karena itu, nilai properti akan lebih tepat menunjukkan nilai layanan pemadam kebakaran; jumlah pegawai dan menunjukkan input untuk pengeluaran sekolah umum; transportasi akan menunjukkan layanan jalan raya, dan sebagainya. Jika ukuran umum yang digunakan, total biaya yang dikeluarkan pada daerah operasi lebih tepat digunakan sebagai ukuran keseluruhan, dengan nilai tambah (termasuk laba dan biaya-biaya faktor lainnya) sebagai kemungkinan kedua. Tujuan-tujuan Peraturan Perundang-Undangan Berbagai alasan lain dikemukakan untuk mengenakan pajak penghasilan kepada perseroan. Semua alasan ini didasarkan pada pandangan bahwa pajak adalah instrumen pengendali berkaitan dengan tingkah laku korporasi. Dengan demikian, bentuk pajak atas perseroan yang tepat bergantung pada tujuan kebijakan tertentu yang akan dicapai. Musgrave dan Musgrave (1989) menjelaskan alasan-alasan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai berikut:2 § Pengendalian terhadap monopoli telah dilakukan dengan menggunakan alat peraturan perundang-undangan, tetapi pendekatan pajak dapat digunakan. Pengendalian ini tentu saja tidak akan menggunakan pajak umum atas laba, yang tidak akan efektif untuk mengoreksi tingkat laku monopolistik. Pengendalian ini memerlukan suatu pajak yang lebih kompleks, yang berkaitan dengan tingkat pembatasan monopolistik. § Jika ada keinginan untuk membatasi ukuran absolut atau besarnya perusahaan (yang tidak sama dengan membatasi monopoli atau pangsa pasar), suatu pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. Pengendalian ini membutuhkan pajak bisnis yang progresif. Alasan progresivitas tentu saja bukanlah kemampuan untuk membayar seperti pada pajak penghasilan pribadi. Perusahaan-perusahaan besar dapat dimiliki oleh investor-investor kecil dan perusahaan-perusahaan kecil dapat dimiliki oleh investor-investor kaya. Progresivitas akan digunakan untuk memberlakukan diskriminasi terhadap perusahaan besar dan membatasi apa yang dianggap sebagai akibat-akibat sosial yang tidak diinginkan dari perusahaan-perusahaan besar. Pertanyaan berikutnya adalah apakah pajak tersebut sebaiknya dikenakan pada laba dan bukannya ukuran aset atau penjualan. Walaupun ukuran yang besar tidak diinginkan,
2
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 374-375.
204
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
itu bukan alasan memberikan penalti kepada perusahaan besar yang menguntungkan. § Suatu pajak atas kelebihan laba dapat dikenakan pada periode-periode krisis (seperti perang) ketika diperlukan pengendalian langsung atas upah dan harga. Pembatasan atas upah dalam kondisi seperti ini tidak dapat diterapkan secara efektif tanpa juga membatasi laba, dan pajak atas kelebihan laba merupakan alat-alat yang berguna dalam kaitannya dengan situasi ini. Walaupun kelihatannya baik secara prinsip, pajak atas kelebihan laba sulit diadministrasikan karena kelebihan laba tidak mudah didefinisikan. Kelebihan laba tersebut harus diukur dengan membandingkannya dengan periode dasar, tetapi akan muncul ketidakadilan karena perbedaan posisi awal; atau, suatu tingkat pengembalian standar, dalam hal ini disparitas risiko dapat terlewatkan, sehingga memunculkan masalah yang sulit dalam hal menentukan tarif berapa yang cocok untuk setiap industri. Suatu situasi lain yang berbeda di mana pajak atas kelebihan laba secara selektif dapat dikenakan karena krisis tertentu, seperti krisis harga minyak dan pelepasan kendali atas harga minyak, yang memunculkan pengenaan pajak atas laba tak terduga dari kenaikan harga minyak. § Sebagai stimulus bagi formasi modal dan pertumbuhan, saving korporasi perlu didukung dan distribusi dividen perlu dibatasi. Tujuan ini dapat dicapai dengan mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan dan mengecualikan laba yang ditahan. Alternatif kebijakan lain, dalam rangka mendukung berfungsinya pasar modal atau meningkatkan pengeluaran konsumsi, distribusi dividen perlu didukung sedangkan menahan laba perlu dihindari. Tujuan ini dapat dicapai dengan mengenakan pajak atas laba yang tidak dibagi dan mengecualikan laba yang dibayar sebagai dividen. § Terakhir, pajak korporasi dapat digunakan untuk memberikan insentif atau disinsentif investasi, yang berbeda dari saving korporasi. Alat-alat seperti penyusutan dipercepat dan kredit pajak investasi dapat digunakan untuk tujuan ini dan juga dapat diterapkan secara siklus atau pada saat-saat tertentu. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa instrumen pajak digunakan untuk mengendalikan tingkah laku perseroan dalam berbagai situasi akan tetapi bentuk pajaknya bukanlah pajak atas laba.
SIAPA YANG MENANGGUNG BEBAN PAJAK?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
205
Sebagian besar ahli ekonomi memandang beban pajak penghasilan badan jatuh kepada pemilik modal, sesuai dengan model kompetitif. Hal ini merupakan pandangan yang tepat bila semua pasar beroperasi untuk memaksimalkan laba sehingga pemilik modal tidak dapat memindahkan beban pajak tersebut kepada pihak lain tanpa biaya. Para pelaku bisnis sering memiliki pandangan berbeda dan mereka memandang bahwa pajak adalah biaya yang harus dipindahkan pembebanannya kepada pihak lain. Hal ini dapat dilakukan bila perusahaan dalam situasi monopoli, jika penjualan yang dimaksimalkan, atau bila aturan harga lainnya yang berubah. Dalam situasisituasi tersebut, perusahaan akan berusaha memindahkan beban pajak dengan menaikkan harga. Demikian juga, bila pasar tenaga kerja tidak sempurna, pajak yang tinggi dapat dipindahkan kepada tenaga kerja dengan ditunjukkan pada keterbatasan daya tawar tenaga kerja pada perundingan dengan manajemen. Oleh karena itu, siapa yang menanggung beban pajak bergantung pada struktur dan tingkah laku pasar yang ada. Beberapa industri yang menggunakan administered pricing, yaitu penentuan harga bukan berdasarkan mekanisme pasar. Pemindahan beban dengan cara penyesuaian administered pricing (dibedakan dengan pemindahan beban karena perpindahan faktor dan perubahan pasokan faktor dalam pasar yang kompetitif) dapat terjadi. Hal yang sama juga berlaku pada pasar tenaga kerja yang terorganisir. Ada banyak upaya telah dilakukan pada tahun-tahun terakhir untuk memberikan bukti tentang ini. Apabila tarif pajak perseroan berbeda antar industri, perolehan jawabannya akan cukup sederhana. Berbagai pemahaman dapat diperoleh dari memeriksa perubahan-perubahan harga yang terjadi dan membandingkan posisi-posisi relatif beberapa sektor sebelum dan sesudah perubahan pajak. Hal ini tidak dapat dilaksanakan dalam dunia nyata karena pajak diterapkan pada semua perseroan dengan tarif efektif yang sama. Demikian juga, pembandingan antara tingkat pengembalian dari investasi pada perseroan dan non-perseroan sulit dilakukan karena ketidaktersediaan data pada usaha-usaha non-perseroan. Kemungkinan yang tersisa adalah mempelajari pengalaman sektor perseroan dan bagaimana berbagai komponen dalam sektor perseroan menanggapi perubahan pajak, termasuk tingkat pengembalian dari pemegang saham korporasi, bagian laba perseroan dalam nilai tambah pada sektor perseroan, dan marjin laba perseroan. Pendekatan inipun tidak dapat menghasilkan pemahaman yang cukup jelas karena perubahan tarif pajak tidak sering terjadi. Hasil penelitian di Amerika Serikat yang berkaitan dengan perubahan tarif pajak dalam rangka menguji adanya pemindahan beban pajak menunjukkan hasil yang berbeda-beda yang konsisten dengan hipotesa pemindahan maupun
206
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
hipotesa non-pemindahan. Hal ini terjadi karena banyaknya faktor-faktor nonpajak yang mempengaruhi hasil penelitian sehingga penelitian tidak dapat menunjukkan siapa sebenarnya yang menanggung beban pajak. Pendekatan lain untuk mengukur adanya pemindahan beban pajak adalah dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, yang dirancang untuk mengisolasi pengaruh pajak penghasilan perseroan. Berbagai studi telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, akan tetapi masalah ini masih kontroversial. Satu jenis penelitian menggunakan model bahwa tingkat pengembalian korporasi adalah suatu fungsi dari berbagai variabel yang telah ditentukan sebelumnya, seperti tingkat permintaan konsumen, utilisasi kapasitas, pengeluaran pemerintah, dan tarif pajak korporasi. Dengan memasukkan tarif pajak korporasi, para analis berharap menggunakan koefisien regresi dari variabel ini untuk mengukur pengaruh perubahan tarif pada tingkat pengembalian. Beberapa studi mengindikasikan adanya pemindahan beban pajak yang cukup tinggi, sehingga mengarahkan kepada hipotesa pemindahan beban pajak. Beberapa studi lainnya mengindikasikan hasil yang sebaliknya. Analisis ekonometrik tidak mampu secara bulat memisahkan pengaruh pajak dari beberapa perubahan yang terjadi secara bersamaan dalam pengeluaran publik, kondisi ekonomi dan faktor-faktor lain. Pada kenyataannya, tarif pajak itu sendiri merupakan konsep yang kompleks. Dan juga, yang terpenting adalah tarif pajak efektif bukannya tarif pajak nominal. Tarif pajak efektif ini bergantung pada aturan penyusutan, kredit investasi, tingkat inflasi, dan berbagai faktor yang tidak dapat dinilai dengan jelas. Teknik ekonometrik yang lebih baik dikombinasikan dengan penggunaan data yang kurang agregatif mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik.
INTEGRASI PAJAK Apabila pandangan bahwa pajak penghasilan perseroan diintegrasikan ke dalam pajak penghasilan pribadi adalah yang lebih diinginkan, muncul pertanyaan bagaimana cara mengintegrasikan penghasilan perseroan ke dalam penghasilan pribadi. Penyesuaian-penyesuaian apa saja yang harus diberlakukan dalam struktur pajak agar terjadi integrasi pajak perseroan dan pajak pribadi.
Integrasi Lengkap Integrasi lengkap adalah pendekatan pengenaan pajak penghasilan dengan mengintegrasikan seluruh bagian pendapatan dari perseroan, baik yang
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
207
dibagikan (diterima sebagai dividen) maupun yang tidak dibagikan (dalam bentuk akumulasi laba ditahan pada perseroan), ke dalam penghasilan pribadi dari sumber-sumber lain yang selama ini telah dilaporkan dalam SPT. Apabila pendekatan integrasi lengkap yang dipilih, pendekatan ini harus memberikan perlakukan yang sama atas bagian laba dari perseroan yang tidak dibagikan dengan bagian laba perseroan yang dibagikan (dividen). Ada dua metode pengenaan pajak yang menggunakan integrasi lengkap. Metode pertama disebut metode firma (partnership) yang memperhitungkan bagian laba seorang wajib pajak (investor) dari laba perseroan ke dalam penghasilan pribadinya dan dikenakan pada pajak penghasilan pribadi wajib pajak tersebut. Metode kedua adalah metode laba modal yang mengenakan pajak atas laba modal sepenuhnya (baik yang direalisasikan maupun yang belum direalisasikan).
Metode Firma Metode ini memperhitungkan bagian laba dari perseroan yang menjadi hak pemegang saham ke dalam penghasilan pribadi pemegang saham, baik yang dibagikan sebagai dividen maupun tidak dibagikan sebagai dividen. Untuk mendapatkan informasi mengenai besarnya penghasilan dari laba yang tidak dibagikan sebagai dividen, perseroan akan memberitahukan kepada para pemegang saham berapa bagian laba yang tidak dibagikan yang menjadi bagian mereka untuk ditambahkan ke dalam kekayaan mereka. Pemegang saham kemudian akan memasukkan jumlah ini ke dalam perhitungan laba kena pajak dalam SPT. 1000 Alasan untuk Pajak................... Perusahaan Anda merugi sampai 100 milyar rupiah. Saat diperiksa, metode depresiasi perusahaan Anda di-adjust, sehingga laporan keuangan yang baru menjadi laba 20 milyar. Ingat baik-baik bahwa ini sangat mungkin. Bayangkan keadaan tak terduga ini, Anda tidak berhak atas kompensasi kerugian, Anda harus membayar pajak tambahan, Anda dikenai sanksi perpajakan, Anda harus membayarnya segera. Tidak salah, jika Benjamin Franklin mengatakan "in this world, nothing is certain except death and taxes." Pajak bukan hanya masalah yang membebani perusahaan, dalam banyak kasus bahkan bisa menjadi hidup dan matinya perusahaan. Biasanya, masalah perpajakan akan muncul di saat-saat yang tidak tepat. Wrong time, wrong place. Dalam prakteknya, Anda bahkan mungkin akan berhadapan dengan wrong people. Coba kita perhatikan kapan munculnya masalah perpajakan yang sering membuat pusing kepala. Saat menerima Surat Tagihan Pajak (STP), saat menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Pajak (SPHP), saat menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP), atau bahkan saat orang pajak datang atau menghubungi Anda. "Orang pajak tidak pernah salah, sampai peraturan pajak mengatakan yang sebaliknya." Dalam tataran dunia pajak para pakar perpajakan cenderung menyetujui dogma itu. Padahal dalam konteks hukum, di
208
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
mana pajak juga merupakan produk hukum, yang biasa berlaku adalah asas praduga tidak bersalah. Dalam perpajakan, konsep itu tidak berlaku. Itu sebabnya, Anda diistilahkan dengan sebutan Wajib Pajak……………….
Praktek pemotongan pajak (withholding) juga dapat diterapkan dalam metode firma ini dengan menunjuk perseroan sebagai pemungut pajak. Dengan demikian, perseroan tidak saja melakukan pemotongan dan pemungutan pajak terhadap gaji, upah dan dividen, tetapi juga terhadap bagian laba dari perseroan yang tidak dibagikan. Misalnya, seorang pemegang saham memperoleh pemberitahuan dari perseroan yang sahamnya dimilikinya bahwa bagian labanya atas laba suatu perseroan adalah sebesar Rp10.000.000. Perseroan akan memotong dan memungut pajak kepada pemegang saham tersebut. Misalnya, tarif pemotongan pajaknya 15 persen, sehingga pemegang saham mendapatkan sisanya sebesar Rp8.500.000. Berapapun besarnya dividen yang diterimanya dari perseroan tersebut, pemegang saham akan melaporkan jumlah penghasilan brutonya dari perseroan sebesar Rp10.000.000 ke dalam penghasilan kena pajaknya. Bila atas penghasilan tambahan ini tarif pajak marjinalnya adalah 30%, maka besarnya pajak penghasilan atas penghasilan ini adalah sebesar Rp3.000.000. Dengan demikian, ia harus menyetor kekurangan setoran pajak sebesar Rp1.500.000 setelah mengkreditkan Rp1.500.000 yang dipotong oleh perseroan sebagai sumber penghasilan. Apabila pemegang saham tersebut hanya dikenakan pajak marjinal sebesar 10% maka beban pajaknya hanya sebesar Rp1.000.000. Karena ia telah dipotong sebesar Rp1.500.000, ia berhak mendapatkan restitusi pajak sebesar Rp500.000. Dengan melaporkan penghasilan laba pada jumlah kotornya ini, pemegang saham akan membayar pajak sesuai dengan tarif pajak marjinalnya. 1000 Alasan untuk Pajak (Lanjutan....) Satu hal yang pasti adalah fakta bahwa ruang gerak bagi perusahaan sebagai wajib pajak, telah dan akan menjadi makin sempit jika hanya berorientasi pada upaya menghindari pajak. Lihatlah perangkat aturan perpajakan yang diberlakukan sekarang dan di masa depan. Anda tidak bisa lagi menghindari dari pajak. Sejarah dunia tax management menggeser konsep dasar dari "minimalisasi pajak" menjadi "optimalisasi pajak". Dalam sejarah internasional, pajak muncul dari kebutuhan akan perlunya sumber dana yang terjamin untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan atau kenegaraan. Sumber itu, jelas tidak bisa diandalkan dari bentuk-bentuk usaha yang diupayakan oleh pemerintah atau negara sendiri. Sehingga, sumber itu harus berasal dari luar pemerintahan atau negara. Maka, rakyat (termasuk dunia usaha) lah yang pada akhirnya menjadi tumpuan. Di zaman feodalisme dan penjajahan, sekalipun pada prakteknya berbagai pungutan (yang waktu itu disebut dengan upeti) ini lebih termanfaatkan untuk kepentingan pribadi raja atau keluarganya, pada
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
209
prakteknya ia tetap digunakan untuk membiayai roda pemerintahan atau bahkan kelanggengan dinasti kerajaan. Maka, kita bisa memaklumi bagaimana istilah upeti sangat identik dengan kekejaman, pemaksaaan, perampokan dan bahkan pembunuhan. Pada era modern, kebutuhan itu tidak berubah, bahkan makin tumbuh menjadi besar dan bergeser menjadi semacam kemutlakan khususnya pada tataran ideologi demokrasi. Hanya saja, sejalan dengan makin majunya kebudayaan dan peradaban manusia, kebutuhan itu ditransformasi ke bentuk-bentuk pemupukan yang lebih lunak. Tidak ada lagi penjajahan secara eksplisit (mungkin yang ada sekarang adalah eksploitasi, yang sebenarnya bermakna sama). Tidak ada pembunuhan, tidak ada kekejaman fisik atau penganiayaan. Akan tetapi, sifat memaksanya tetap terabadikan akibat karakteristik pendanaan operasi pemerintah dan negara yang masih tidak mungkin dipenuhi oleh negara atau pemerintah sendiri. Di satu sisi, otoritas pemerintahan mencoba untuk tetap mengandalkan pembiayaan roda pemerintahan dengan menggali sumber-sumber dari rakyat secara langsung. Hal ini dilakukan dengan mentransformasi pajak dan pungutan lain dari pola-pola yang kejam dan tak berperikemanusiaan, menjadi bentuk-bentuk pemupukan yang tetap memaksa akan tetapi dengan cara yang lebih manusiawi. (Diadaptasi dari: Green version of 1000 Alasan untuk Total Tax Awareness. http://www.indodigest.com. 7 Juni 2005). Diskusikan bagaimana konsep perpajakan dapat diterapkan secara lebih manusiawi!
Dengan cara ini, pemegang saham seolah-olah merupakan anggota persekutuan suatu firma. Karena pajaknya telah dikenakan ketika laba dihasilkan, laba modal (capital gain) yang berasal dari kenaikan nilai kepemilikan akibat tidak membagikan laba harus dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan. Caranya adalah basis harga pokok untuk menentukan laba modal dari penjualan investasi harus ditambahkan dengan jumlah yang sama dengan bagian dari pemegang saham tersebut atas kenaikan laba yang tidak dibagi selama masa kepemilikan investasi tersebut. Karena dirasa cukup adil, metode ini umumnya diusulkan sebagai prosedur standar dalam perhitungan pajak penghasilan oleh para ahli pajak. Akan tetapi, metode ini memiliki beberapa kesulitan dalam penerapanya. Berdasarkan prinsip realisasi, wajib pajak hanya akan dikenakan pajak bila ia memperoleh penghasilan. Pertama, metode ini membuat wajib pajak harus membayar pajak padahal ia tidak menerima penghasilan tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan untuk membayar pajak. Oleh karena itu, tidak adil bila memasukkan laba yang ditahan ke dalam penghasilan kena pajak pribadi. Keberatan ini sama dengan yang dikemukakan dalam pembahasan pajak atas laba yang belum direalisasikan, tetapi tidak begitu meyakinkan. Sebenarnya, bila digabungkan dengan pendekatan pemotongan pajak, sebagian besar dari beban pajak telah dibayarkan ketika dipotong oleh perseroan sehingga menimbulkan masalah likuiditas pada pemegang saham. Sisanya baru akan menjadi beban apabila tarif pajak marjinal yang dikenakan kepada pemegang saham melebihi tarif pemotongan, yang dapat dibayar dengan
210
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
menjual sebagian saham yang dimilikinya. Kedua, pendekatan ini tidak mungkin diterapkan secara praktis untuk perseroan non-publik yang sahamnya tidak diperdagangkan, akan tetapi karena para pemegang saham perseroan ini memiliki pengendalian yang besar terhadap perusahaan, mereka dapat memaksa perseroan untuk meningkatkan pembayaran dividen untuk mendapatkan kas yang dibutuhkan. Pendekatan firma juga dipandang tidak praktis diterapkan pada perusahaan publik yang besar dengan kepemilikan yang menyebar luas. Karena para pemegang saham bertransaksi saham secara cepat di pasar modal, timbul kesulitan untuk mengalokasikan bagian laba di antara mereka. Pendekatan ini juga akan memunculkan kesulitan-kesulitan lain berkenaan dengan kebijakankebijakan pemberian insentif perpajakan, seperti kredit pajak atas investasi. Pemberian insentif tersebut dapat menjadi tidak efektif. Manajemen tidak akan bereaksi terhadap pemberian insentif tersebut karena insentif tersebut hanya akan dinikmati manfaatnya oleh pemegang saham. Padahal manajemen pada umumnya adalah pembuat keputusan investasi. Walaupun demikian, permasalahan-permasalahan dapat saja diatasi dengan berbagai cara bila usaha pengintegrasian penghasilan bersumber dari laba perseroan ke dalam penghasilan pribadi serius untuk dilakukan. Perlu diingat bahwa metode firma hanya mengintegrasikan penghasilan dari laba perseroan. Metode ini tidak menghilangkan pengenaan pajak penghasilan atas perseroan itu sendiri sebagai suatu badan hukum khusus. Integrasi dengan metode partnership tidak menyederhanakan administrasi pajak bahkan mungkin akan menambah kerumitan administrasinya. Metode Laba Modal Cara lainnya untuk mencapai integrasi sepenuhnya dengan mengenakan pajak penghasilan terhadap seluruh capital gain (termasuk yang belum direalisasikan) yang dikombinasikan dengan penghapusan pajak penghasilan atas laba perseroan. Bagian yang dibagikan kepada pemegang saham akan muncul dalam penghasilan pemegang saham sebagai penghasilan dividen, sedangkan bagian yang tidak dibagikan akan muncul sebagai penghasilan laba modal. Karena pajak penghasilan tidak dikenakan atas perseroan, tidak ada penentuan laba kena pajak untuk perseroan. Pengenaan pajak terhadap penghasilan laba modal secara periodik dapat digabungkan dengan pajak penjualan ketika terjadi pemindahan aset. Karena perseroan tidak dikenakan pajak, maka insentif pajak harus dirancang pada tingkatan pemegang saham atau sebagai subsidi langsung kepada perseroan.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
211
Integrasi Parsial Sampai sekarang, integrasi sepenuhnya belum dapat diterima sebagai suatu pendekatan dalam penentuan penghasilan kena pajak. Akan tetapi, pada beberapa negara maju, muncul praktek-praktek yang mencoba pendekatan integrasi ini, paling tidak secara parsial. Misalnya, di AS sebelum tahun 1986, pendapatan dividen maksimal sebesar $200 dikecualikan dari penghasilan kena pajak. Akan tetapi, keringanan ini diberikan dalam bentuk pengecualian dan bukannya kredit pajak. Akibatnya, manfaatnya dari insentif ini oleh penerima dividen akan meningkat proporsional dengan tarif pajak marjinalnya, sehingga wajib pajak yang berpenghasilan besar akan memperoleh keuntungan yang lebih besar, mengurang progresivitas pajak penghasilan itu sendiri. Sejak tahun 1986, dividen sebesar maksimal $200 tidak dikecualikan lagi dari penghasilan dan tarif pajak atas perseroan disamakan dengan tarif pajak untuk pajak penghasilan pribadi. Cara ini dipandang mendekati perlakuan yang terintegrasi untuk laba yang tidak dibagi, tetapi “pajak berganda” tetap berlaku bagi dividen.
ASPEK-ASPEK KHUSUS DEFINISI BASIS PAJAK Permasalahan-permasalahan pada keuangan perseroan, lebih rumit daripada keuangan pada wajib pajak pribadi, sehingga permasalahan-permasalahan desain pajaknya pada perseroan tentu saja lebih rumit daripada wajib pajak pribadi. Berikut ini beberapa contoh atas permasalahan pajak tersebut.
Hutang versus Modal Saham Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, karena ketiadaan definisi penghasilan yang ilmiah dan konsisten, peraturan pajak penghasilan “meminjam” praktek-praktek perhitungan penghasilan (laba) dari akuntansi perusahaan. Karena akuntansi perusahaan menekankan pada penentuan laba dari pemegang saham, bukannya sumber permodalan, terjadi ketidakkonsistenan pengenaan pajak antara sumber modal dari hutang dan dari saham. Bunga yang dibayar oleh perseroan atas dana yang diperolehnya melalui utang dikurangkan dari penghasilan kena pajak ketika memperhitungkan pajak penghasilan badan. Bunga diperlakukan sebagai biaya bisnis, seperti juga pembayaran gaji dan upah. Di sisi lain, dividen yang dibayarkan sebagai perseroan, dapat dipandang sebagai pembayaran kepada pemegang saham atas penggunaan dananya, tidak dikurangkan dari penghasilan kena pajak perseroan.
212
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Dengan tidak adanya integrasi penghasilan perseroan ke dalam penghasilan pribadi, praktek pajak ini memunculkan insentif bagi penyedia dana untuk memberikan pinjaman daripada melakukan investasi saham/modal. Bila meminjamkan, pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak penghasilan pribadi. Bila berinvestasi, dividen dikenai “pajak berganda”. Distorsi yang sama muncul dari pihak manajemen. Mereka akan lebih memilih pendanaan hutang, karena bunga yang dibayarkan dapat dikurangkan dari laba kena pajak, sedangkan laba atas modal ekuitas tidak boleh dikurangkan. Pendekatan integrasi lengkap akan mengembalikan netralitas perlakuan pajak terhadap sumber-sumber permodalan ini. Jika integrasi lengkap tidak dijalankan, netralitas dicapai dengan cara (1) memperluas cakupan “pajak berganda” dengan tidak membolehkan pengurangan biaya bunga pada pajak penghasilan badan (2) mengurangi cakupan “pajak berganda” dengan membolehkan pengurangan “bunga yang diperhitungkan” atas modal ekuitas dalam pajak penghasilan badan. Walaupun ada perlakuan buruk peraturan pajak terhadap sumber permodalan saham, pada kenyataannya sebagian besar modal perseroan berasal dari modal saham. Berdasarkan penelitian-penelitian di bidang manajemen keuangan, penyebab utama fenomena ini adalah mudahnya perseroan mendapatkan pendanaan dari sumber modal. Ketika perusahaan pada periode-periode awal, penyedia modalnya adalah pemiliknya yang tentu saja menginvestasikan dalam bentuk ekuitas. Ketika perusahaan sudah maju dan berkembang, perusahaan ini akan mengandalkan pendanaan dari laba perusahaan yang tidak dibagikan. Dengan demikian, sulit untuk membuktikan bahwa perlakuan pajak tidak netral terhadap sumber pendanaan dalam praktek sehari-hari.
Pembayaran dalam Bentuk Natura dan Biaya Entertainment Pembayaran dalam bentuk natura dan biaya entertainment merupakan topik yang banyak dibahas. Ketika biaya entertainment dapat dikurangkan dari penghasilan, akibatnya beban untuk pengeluaran tersebut yang dirasakan oleh perseroan akan berkurang sebanyak 30 persen karena tidak dikenakan pajak (dengan asumsi pajak marjinal perseroan pada tarif tertinggi, yaitu 30 persen). Hal ini sama saja dengan pemberian subsidi kepada kegiatan-kegiatan (dibiayai dengan biaya entertainment) yang sebenarnya tidak layak untuk memperoleh subsidi publik. Demikian pula, dalam hal pembayaran dalam bentuk natura terjadi subsidi publik pada wajib pajak yang menerima pembayaran dalam bentuk natura tersebut. Dengan membayar dalam bentuk natura daripada dalam bentuk kas, perseroan telah membantu pengawainya
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
213
mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka. Misalnya, bila sebuah mobil senilai Rp200.000.000 diberikan kepada manajer perusahaan sebagai ganti kenaikan gaji selama beberapa tahun. Biaya dari perseroan dengan memberikan mobil tersebut (biaya penyusutan) akan sama dengan biaya karena kenaikan gaji untuk beberapa periode dengan jumlah total yang sama. Akan tetapi, kenaikan gaji akan menambah pajak penghasilan bagi wajib pajak pribadi, sedangkan tunjangan kendaraan tidak. Cara penghindaran pajak seperti ini dapat dihilangkan baik dengan cara memasukkan pembayaran dalam bentuk natura ke dalam pajak penghasilan pribadi atau melarang pengurangan biaya-biaya entertainment pada pajak penghasilan badan. Cara yang dilakukan sekarang ini adalah jalan tengah dengan membatasi pengurangan atas pembayaran dalam bentuk natura dan biaya entertainment.
Metode Penyusutan dan Jangka Waktu Penyusutan Permasalahan penyusutan timbul karena sulitnya mendefinisikan penghasilan, terutama pada perseroan sebagai suatu badan usaha. Penyusutan merupakan praktek akuntansi yang didasarkan pada pendekatan praktis untuk mengukur laba secara periodik. Penyusutan timbul karena adanya periodisasi atas perhitungan laba/rugi. Permasalahan penyusutan adalah salah satu permasalahan yang paling sulit dan paling penting Karena pajak perseroan adalah pajak atas penghasilan/laba bersih, maka semua biaya untuk memperoleh dan memelihara penghasilan harus dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Untuk pengeluaranpengeluaran tertentu, seperti pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan mentah, pengurangan dapat dilakukan ketika pembayaran terjadi. Dalam hal pengeluaran modal, pengurangan itu dilakukan selama beberapa periode. Peraturan perpajakan umumnya mengatur berapa besar setiap periode pengurangan (penyusutan) tersebut, sebagai kompensasi untuk pengembalian biaya investasi. Peraturan perpajakan juga menentukan kapan pengurangan (penyusutan) dapat dilakukan, dan menentukan berapa besarnya setiap periode investor dapat memperoleh kembali biaya investasi. Kapan investor dapat memperoleh kembali pengurangan juga harus diatur karena pada saat penyusutan diperbolehkan nilai tunai dari kewajiban pajaknya menjadi turun. Pengurangan untuk biaya-biaya modal akan memberikan penghematan pajak bagi investor. Semakin besar pada periode-periode awal penyusutan tersebut, semakin besar
214
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
penghematan pajaknya. Oleh karena itu, nilai tunai dari pajak ditentukan oleh besarnya tarif pajak dan kapan penyusutan dilakukan, yang meliputi jangka waktu pembebanan penyusutan dan kecepatan penyusutannya. Lama Masa Perolehan Kembali Biaya Investasi Jangka waktu yang diperbolehkan untuk perolehan kembali biaya investasi atau penyusutan umumnya ditetapkan dalam peraturan perpajakan sama dengan “masa manfaat” dari aset bersangkutan. Peraturan perpajakan umumnya juga menetapkan “panduan umur” untuk setiap jenis aktiva tetap yang sejalan dengan “praktek bisnis yang sehat.” Ada beberapa insentif perpajakan yang dapat diberikan dengan membolehkan penyusutan dalam jangka waktu yang lebih cepat, seperti sistem penyusutan yang dipercepat. Metode Penyusutan Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk dipakai hanya dua metode yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun (declining balance method). Bangunan harus disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus dimana jumlah yang sama sebesar C/n harus dihapuskan setiap tahun, dengan C sama dengan nilai perolehan aset dan n adalah umur aset. Jadi, untuk suatu aset yang bernilai Rp100.000.000 dengan masa umur selama 10 tahun, setiap tahun sejumlah Rp10.000.000 boleh dikurangkan. Peralatan dan kendaraan disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun, dengan persentase sebesar dua kali tarif garis lurus dikurangkan pada tahun dan persentase yang sama kemudian diterapkan pada jumlah yang belum disusutkan setiap tahunnya. Dengan demikian, sebesar Rp20.000.000 akan dikurangkan pada tahun pertama, Rp16.000.000 akan dikurangkan pada tahun kedua, dan seterusnya. Ada satu metode lagi yang tidak diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan saat ini, yaitu metode jumlah angka tahun (sum-of-years-digits method); dimana bagian yang dikurangkan pada setiap tahun sama dengan rasio dari sisa tahun terhadap jumlah angka tahun selama masa manfaat aset. Jadi, untuk suatu aset dengan harga perolehan Rp100.000.000 dan masa manfaat selama 10 tahun, jumlah angka tahunnya sama dengan 10 + 9 + 8 + 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 55. Beban penyusutan tahun pertama adalah 10/55 dari Rp100.000.000 = Rp18.111.111; beban untuk tahun kedua adalah 9/55 dari Rp100.000.000 = Rp16.363.636; dan seterusnya. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini, perseroan yang menggunakan metode penyusutan dengan saldo menurun mendapatkan keuntungan penghematan pajak lebih besar daripada menggunakan metode garis lurus karena nilai tunai dari penyusutannya lebih kecil pada metode garis
215
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
lurus sehingga nilai tunai dari beban pajaknya lebih besar. Semakin panjang waktu penyusutan semakin besar perbedaan penghematan pajaknya. Simpulan yang sama juga berlaku apabila kita membandingkan metode jumlah angka tahun dengan metode garis lurus. Bila kita membandingkan antara metode saldo menurun dengan metode jumlah angka tahun, metode saldo menurun lebih menguntungkan pada aset-aset berumur pendek dan metode jumlah angka tahun lebih menguntungkan pada aset-aset yang berumur panjang.
Metode Penyusutan Ekonomis versus Metode Penyusutan Dipercepat Bila dikaitkan dengan pembebanan biaya investasi, tarif efektif dari pajak bergantung pada tarif nominal (sekarang 30 persen untuk perseroan) dan besarnya penyusutan yang diperbolehkan. Semakin cepat tingkat penyusutannya, semakin rendah tarif efektif pajaknya. Bila investor akan memutuskan untuk berinvestasi, investor akan membandingkan nilai tunai dari arus laba bersihnya terhadap biaya perolehan dari aset. Nilai tunai ini sama dengan nilai tunai dari arus laba sebelum pajak dikurangi dengan nilai tunai dari pembayaran pajaknya. Nilai tunai dari pajak dapat dihitung dengan mengurangkan nilai tunai dari pajak kotor (sebelum dikurangi dengan penyusutan yang diperbolehkan) dengan nilai tunai dari penghematan pajak dari penyusutan. Jika nilai tunai dari penghematan pajak ini menjadi semakin besar seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas, pajaknya akan semakin turun. N ila i T u n a i P e n y u s u ta n ( d a la m R u p ia h , H a r g a P e r o le h a n A s e t = R p 1 0 0 ,0 0 0 )
M a s a M a n fa a t ( I) 5 10 20 50 5 10 20 50
G a r is L u r u s S a ld o M e n u r u n ( II) ( III) D IS K O N T O 6 P E R S E N 8 6 .7 5 0 8 7 .8 1 1 7 5 .7 8 7 7 8 .7 1 6 5 9 .0 5 5 6 4 .6 6 1 3 2 .4 6 0 4 0 .9 3 5 D IS K O N T O 1 0 P E R S E N 7 9 .5 3 4 8 1 .1 0 0 6 4 .4 6 9 6 8 .5 2 8 4 4 .6 6 3 5 1 .5 3 9 2 0 .8 0 6 2 8 .8 2 9
J u m la h A n g k a Tahun ( IV )
Diadaptasi dari: Harold Bierman, Jr. and Seymour Smidt, The Capital Decision, 2d ed., New York: Macmillan, 1968
8 7 .5 1 5 7 9 .9 9 7 6 7 .6 8 0 4 4 .7 5 6 8 0 .6 1 4 7 0 .0 9 9 5 4 .6 9 7 3 1 .4 3 9
216
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Dengan demikian, metode penyusutan dipercepat menghasilkan penghematan pajak yang besar. Hasilnya demikian karena nilai tunai dari penghematan pajak akan semakin tinggi ketika penghematan pajak tersebut semakin cepat terealisasi. Mempercepat penyusutan (baik dengan cara memperpendek periode penyusutan atau membolehkan menyusutkan jumlah yang besar pada awal-awal masa guna aset) akan mengurangi tarif efektif pajak dengan menunda tanggal jatuh tempo dari kewajiban pajak. Dari sudut pandang investor, percepatan ini ekivalen dengan pinjaman tanpa bunga, dengan nilai tunai dari penghematan bunganya sama dengan nilai tunai dari penghematan pajak yang dihasilkan. Netralitas Metode Penyusutan Ekonomis Dari pemaparan di atas, dapat dibuktikan bahwa penyusutan yang dipercepat lebih menguntungkan investor, terutama untuk investasi-investasi pada aset yang berumur panjang. Dengan demikian, tarif penyusutan tidak netral terhadap semua investasi. Bila hanya melihat investasi tunggal, untuk menetralisasi pengaruh tarif penyustan ini, pemerintah dapat memberlakukan aturan tarif pajak yang dikombinasikan dengan tarif penyusutan yang menghasilkan perlakuan yang netral atas semua investasi. Suatu tarif pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarif pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Jika semua investasi sama, maka kombinasi apapun antara tarif pajak dan tarif penyusutan tidak menjadi persoalan. Pada kenyataannya, berbagai investasi berbeda dalam jangka waktu dan tingkat keuntungan sehingga hasilnya akan berbeda untuk berbagai kebijakan yang dipilih. Pada untuk keadilan, pajak harus netral dengan tidak boleh mendistorsi pola investasi. Pola penyusutan seperti apakah yang diperlukan untuk memastikan definisi penghasilan yang adil dan netral? Sebagaimana yang dikemukakan oleh Musgrave dan Musgrave (1989) aset yang dapat disusutkan dipandang sebagai menghasilkan dua arus penghasilan. Pertama adalah arus penghasilan positif berupa laba, yang timbul dari penggunaan aset. Yang lainnya adalah arus penghasilan negatif, yang ditimbulkan dari semakin memburuknya kondisi aset dan penurunan nilai karena keusangan. Bila kedua arus ini dijumlahkan, aset tersebut menghasilkan arus laba bersih positif yang nilai tunainya adalah nilai aset tersebut. Supaya perlakuan pajak netral, aset dengan nilai tunai arus laba bersih yang sama harus mendapat beban pajak yang sama yang didefinisikan sebagai nilai tunai pajak. Hal tersebut dapat dicapai bila penyusutan dibebankan ketika nilai aset mengalami penurunan. Dengan demikian, yang dikenakan pajak adalah arus penghasilan bersih yang diterima setiap tahun.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
217
Ingat, nilai aset sama dengan nilai tunai dari arus penghasilan bersih selama masa manfaatnya. Nilai berjalan dari aset pada setiap waktu sama dengan nilai kapitalisasi dari arus penghasilan di masa depan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, penurunan dalam nilai berjalan sama dengan nilai kapitalisasi dari penurunan arus penghasilan, yaitu biaya modal atau penyusutan ekonomis yang harus dibebankan bersama-sama dengan biaya lain dalam menghitung laba bersih. Bila penyusutan pajak sama dengan penyusutan ekonomis, pengenaan pajak akan mengurangi nilai dari arus penghasilan bersih sebesar persentase tarif pajak yang berlaku. Tarif efektifnya akan sama dengan tarif nominal atau tarif yang berlaku karena pengenaan pajak akan mengurangi nilai aset dikalikan dengan tarif pajak. Tarif ini independen terhadap umur aset dan karenanya tidak akan mendistorsi pilihan investasi di antara mereka. Jika penyusutan dapat dipercepat, investasi yang lebih lama akan mendapat keuntungan terbanyak dan juga mendapat manfaat dari tarif pajak efektif yang lebih rendah. Oleh karenanya, pilihan-pilihan investasi akan terdistorsi dan lebih banyak modal akan mengalir pada investasi-investasi yang lebih lama. Hal sebaliknya akan terjadi bila tarif penyusutan pajak lebih rendah daripada tarif ekonomis. Dengan demikian, ada alasan kuat untuk menggunakan penyusutan ekonomis. Akan tetapi, walaupun prinsipnya jelas, penerapannya tidak mudah. Aset-aset tidak aus secara seragam dan juga menjadi usang sebelum sempat digunakan sepenuhnya. Tingkat keusangan akan berbeda dan tidak dapat diprediksi dengan mudah. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah memakai masa manfaat seperti yang biasa dipakai dalam praktek bisnis dengan asumsi bahwa masa manfaat yang dipercepat merupakan masa manfaat yang “sebenarnya” dan jejak waktu dari arus penghasilannya. Tarif Pajak yang Efektif Berdasarkan diskusi sebelumnya, tampaklah jelas bahwa tingkat tarif nominal dan perubahannya tidak dapat menjadi indikator atas tingkat tarif efektif. Tarif efektif ditentukan dengan cara menghitung (rb – ra) / rb, di mana rb adalah tingkat pengembalian sebelum pajak dan ra adalan tingkat pengembalian setelah pajak. Dengan demikian, tarif efektif sama dengan persentase pengurangan dalam pengembalian modal karena pajak. Tarif efektif bergantung pada tarif pajak yang berlaku dan tarif penyusutan. Investasi Tunggal versus Investasi Berkelanjutan
218
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Untuk investasi tunggal yang dilakukan hanya sekali dan kemudian selesai, penyusutan yang dipercepat tidak mengurangi jumlah total pajak yang akan dibayarkan. Kewajiban pajaknya berkurang pada tahun-tahun awal dan bertambah pada tahun-tahun akhir. Keuntungan yang didapatkan, ekivalen dengan pinjaman bebas bunga, berasal dari penangguhan pajak pada awal periode, ketika pemerintah kehilangan pendapatan pajak pada tahun-tahun awal dan memperoleh kembali pendapatan pajak tersebut pada tahun-tahun akhir. Untuk investasi yang berkelanjutan, penangguhan ini dapat berlangsung selamanya. Misalnya, suatu aset diganti dengan pola penggantian yang membuat dasar penyusutannya tidak berubah. Keuntungan dari wajib pajak atas penundaan pajak (dan kerugian bagi pemerintah) akan naik pada tahuntahun awal dan kemudian akan rata seterusnya. Setelah tahun-tahun awal ini, kerugian pendapatan pemerintah akan berkurang tetapi pemerintah tidak pernah mendapatkan kembali kerugian karena penangguhan pajak pada tahuntahun awal tersebut selama reinvestasi terus menerus berlangsung. Perolehan kembali baru terjadi setelah reinvestasi berakhir. Apalagi bila dalam kenyataannya suatu perusahaan terus-menerus meningkatkan aset-asetnya yang dapat disusutkan sehingga basis penyusutannya setiap reinvestasi semakin besar. Jika penyusutannya cukup cepat dan ekspansinya cukup tajam, perusahaan seperti ini dapat menunda pembayaran pajak selamanya. Seluruh pembayaran pajak tersebut dapat dihindari dan tanpa pernah terjadi pembayaran pajak tertunda tersebut di masa depan.
Pembebanan Sekaligus Biaya gaji dan bahan mentah dikurangkan ketika pembayaran dilakukan atau ketika terjadi. Biaya-biaya ini langsung dibebankan. Pada pengeluaran modal pembebanan ini disebar ke dalam beberapa periode. Akan tetapi, ada kemungkinan pengeluaran modal tersebut dibebankan secara ekstrim sekaligus pada satu periode ketika pembayaran pengeluaran modal. Seorang investor yang melakukan investasi tunggal, ia mungkin tidak akan dapat memanfaatkan penyusutan sekaligus ini karena ia harus memperoleh pendapatan (laba) yang cukup untuk ditandingkan dengan beban penyusutan ini. Bila suatu perusahaan memiliki penghasilan dari investasi lain yang dapat dikurangkan dengan penyusutan sekaligus ini, investor tidak perlu membayar pajak dan pemerintah tidak memperoleh pendapatan pajak. Misalnya, A menginvestasikan uang Rp100 juta pada aset X dan segera membebankannya sebagai penyusutan sebesar Rp100 juta. Karena A belum mendapatkan penghasilan dari X, A menderita kerugian sebesar Rp100 juta. A kemudian membebankan kerugian ini pada laba dari aset Y (yang jumlahnya
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
219
lebih besar daripada Rp100 juta), sehingga mengurangi kewajiban pajak dari penghasilan aset Y. Dengan tarif pajak 30%, penghematan pajaknya akan sebesar Rp30 juta. A kemudian menambahkan sejumlah ini ke dalam investasi pada X, membebankan tambahan Rp30 juta sebagai penyusutan, mendapatkan penghematan pajak sebesar Rp9 juta, dan seterusnya. Bila kegiatan serial ini diulangi terus-menerus, A akan berinvestasi pada X sebesar Rp100 juta + 0,30 x Rp100 juta + 0,302 x Rp100 juta . . . . = Rp142,857 juta. Jika penghasilan A atas investasi pada X dengan cara ini dikenakan tarif pajak 30% akan sama posisinya dengan berinvestasi pada X sebesar Rp100 juta dan tanpa pajak. Penyusutan segera dengan reinvestasi secara terus menerus dari penghematan pajak yang didapat menghilangkan beban pajak. Dalam praktek, hal ini tidak pernah bisa sampai sejauh pemaparan di atas. Aturan pajak biasanya hanya membolehkan sebagian (misalnya sepertiga) dari biaya investasi yang dapat diperoleh kembali dengan penyusutan segera. Dalam hal ini, hanya sepertiga dari pajak yang akan dihapuskan. Pendekatan ini sering disebut sebagai cadangan awal (initial allowance) yang merupakan cara yang netral dalam memberikan insentif investasi. Suatu sistem yang membolehkan sebagian dari pajak dibiayakan dan menyusutkan sisanya sesuai dengan penyusutan secara ekonomis akan netral antara investasi jangka pendek dan jangka panjang.
Penyesuaian terhadap Inflasi Dengan harga-harga yang selalu meningkat, perolehan kembali investasi (penyusutan) berdasarkan harga perolehannya tidak akan memberikan penghematan pajak yang cukup untuk mempertahankan modal perusahaan dalam nilai riilnya. Pada akibatnya, penghasilan kena pajak terlalu besar, menimbulkan kenaikan tarif efektif pajak yang tersembunyi, bila diukur dalam nilai riil. Hal ini sangat relevan terutama dalam periode inflasi tinggi. Untuk menghilangkan permasalahan ini sekaligus mengatasi permasalahan inflasi dengan benar, dua solusi: (1) basis penyusutan dapat diindeks untuk naik sesuai dengan biaya penggantian; (2) seluruh penyusutan dapat dilakukan pada tahun pertama sehingga menghilangkan pengaruh inflasi. Laba dan Inflasi........................... Penghitungan harga pokok berkaitan dengan penentuan laba kena pajak. Menentukan laba yang akan dijadikan dasar untuk pengenaan pajak pendapatan badan, adalah dengan mengurangkan hasil penjualan dengan harga pokok. Bagaimana harga pokok harus dihitung adalah urusan yang tidak mudah. Sehingga sampai menjadi subdisiplin ilmu pengetahuan sendiri, yaitu yang dikenal dengan nama kalkulasi harga pokok atau cost accounting.
220
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Sebagai subdisiplin ilmu dalam rangka ilmu ekonomi perusahaan, cost accounting terus berkembang. Kalau dikatakan perkembangan ilmu pengetahuan mempengaruhi praktek bisnis, memang demikian halnya dengan perkembangan ilmu dalam bidang cost accounting. Sudah sejak lama, pimpinan perusahaan mempermasalahkan yang dinamakan laba. Laba adalah jumlah uang yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi pokoknya. Maka, kalau ada pedagang paku membeli 10 kg paku dengan harga Rp1.000 per kg, harga pokoknya Rp10.000. Ketika seluruh 10 kg pakunya dijual dengan harga Rp1.500 per kg, sehingga memperoleh hasil penjualan Rp15.000, labanya Rp5.000. Mengapa? Kalau Rp5.000 itu dipakai untuk membayar pajak dan dikonsumsi, sisanya adalah Rp10.000, yang sama dengan modal pokoknya. Modal pokoknya utuh. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sudah sejak sangat lama orang mempertanyakan apa betul labanya Rp5.000. Bagaimana kalau ketika si pedagang ingin memperbarui stoknya yang 10 kg itu, harga per kilogramnya melonjak menjadi Rp1.200? Bukankah labanya Rp3.000? Mengapa? Karena kalau laba dianggap Rp5.000 dan setelah dikenakan pajak dikonsumsi, sisa uang yang Rp10.000 kalau dibelikan paku lagi sebagai barang dagangannya, kuantitas barang menyusut menjadi 10.000:1.200 = 8,33 kg. Supaya pokok dalam bentuk barang tidak menyusut, yang dinamakan pokok adalah 10 kg paku dengan harga baru atau Rp12.000. Maka labanya hanya Rp3.000, karena kalau ini dipakai untuk membayar pajak dan dikonsumsi volume perdagangannya tetap, yaitu 10 kg paku. Dari gambaran di atas terlihat bahwa laba akan sama saja, seandainya harga paku tidak naik dari Rp1.000 menjadi Rp1.200 per kg. Dalam ekonomi yang harganya naik terus atau inflasi, tafsiran tentang berapa besar laba yang diperoleh perusahaan menjadi lain, apakah yang dinamakan pokok itu jumlah uang, ataukah yang dinamakan pokok jumlah barang dagangan. Dalam contoh di atas, inflasinya dari Rp1.000 ke Rp1.200 atau 20 persen. Bagaimana kenyataan bahwa di tahun 1998 inflasi Indonesia 80 persen? Mari sekarang kita lihat bagaimana jadinya dengan pedagang paku kalau yang diperdagangkan 1 juta kg paku. Modal awal adalah 1 juta kali Rp1.000 = Rp1.000.000.000. Hasil penjualannya 1 juta kali Rp1.500 = Rp1.500.000.000. Laba menurut fiskus Rp500.000.000. Jadi kena tarif 30 persen atau Rp150.000.000. Laba bersih yang dapat dihabiskan untuk konsumsi adalah Rp350.000.000. Modal uang masih utuh, yaitu Rp1.000.000.000. Sesuai inflasi, harga paku meningkat dengan 80 persen menjadi Rp1.800. Modal uang yang utuh kalau dibelikan barang dagangan paku menjadi 1.000.000.000 : 1.800 = 555.555,56 kg. Jadi tinggal sebagian. Dari sini jelas, pedagang paku sangat menderita penciutan kuantitas barang dagangannya sampai hampir separuh, tetapi harus membayar pajak yang didasarkan atas keutuhan modal uang sebagai harga pokok. Kita bayangkan berapa barang yang dapat dibeli dari laba bersih yang relatif sama jumlah nominalnya, sedangkan harga barang konsumsi yang dibutuhkan tentunya juga meningkat sesuai dengan inflasi atau sekitar 80 persen. Tadi dikatakan bahwa seandainya tidak ada inflasi, apakah modal yang dipertahankan harus utuh itu modal uang atau modal kuantitas barang dagangan, hasilnya sama saja. Tetapi kalau inflasinya hebat, jelas bahwa mempertahankan keutuhan modal uang akan memperkecil volume perdagangannya secara drastis. Pedagang tetap harus membayar pajak atas dasar keutuhan modal uang. Artinya, falsafah fiskus menganut asas keutuhan modal uang, walaupun modal kuantitas barang menciut drastis. Pedagang sudah menderita karena volume bisnisnya yang menyusut. Daya beli labanya dipangkas drastis pula, karena barang-barang konsumsi kebutuhannya juga meningkat drastis. Ketika di zaman orde lama inflasi berkecamuk hebat, modal pokok usaha tidak dinyatakan dengan uang, tetapi dalam jumlah kilogram emas. Pengusaha mulai dengan modal yang sama dengan jumlah kilogram emas tertentu. Hasil penjualan seolah-olah dipakai untuk membeli jumlah kilogram emas yang sama. Kalau ada sisanya barulah dikonsumsi.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
221
Benarkah pengusaha yang mendasarkan harga pokoknya atas jumlah kilogram emas? Benar kalau tujuannya berusaha adalah mempertahankan jumlah kilogram emas tanpa peduli kuantitas barang dagangannya menggelembung atau menciut. Kuantitas barang dagangan ini dengan sendirinya takkan menggelembung atau menciut, kalau kadar inflasi barang dagangannya sama dengan kadar inflasi dari emas. Kalau tidak sama, maka barang dagangannya bisa menggelembung atau menciut. Aliran lain lagi, yaitu yang bertolak dari pikiran, bahwa tujuan pengusaha adalah mempertahankan paket barang dan jasa untuk mempertahankan tingkat hidupnya. Bila ini tujuannya, maka laba harus dikoreksi dengan angka inflasi yang ditentukan oleh paket barang dan jasa yang menjadi pola konsumsi hidup yang dianggap wajar. Yang mana pun yang dipilih, apakah kuantitas barang dagangan, jumlah kilogram emas, atau daya beli, semuanya bertentangan frontal dengan falsafah yang melulu hanya menginginkan mempertahankan keutuhan modal uang. Kalau inflasi menghebat terus, dan pedagang disuruh sejalan pikirannya dengan pemerintah mengenakan pajak, yaitu modal pokok uangnya saja yang dipertahankan, dalam waktu singkat, barang dagangan akan menjadi nihil. (Diadaptasi dari: Kwik Kian Gie, Kompas, 5 April 1999) Menurut saudara, cara penghitungan laba kena pajak mana yang paling tepat diterapkan di Indonesia? Diskusikan!
INVESTMENT TAX CREDIT Di Amerika Serikat, pada dua dekade sebelum reformasi pajak tahun 1986, kredit pajak investasi (investment tax credit) merupakan alat insentif yang utama. Ketika pertama kali diperkenalkan tahun 1964, peraturan pajak membolehkan perseroan untuk mengkreditkan sebagian (pada tahun 1985 sebesar 10%) dari biaya investasi yang dikualifikasikan. Bila seorang investor yang membeli aset dengan harga Rp100 juta, maka ia memperolehnya pada biaya perolehan bersih sebesar Rp90 juta. Investasi yang dikualifikasikan untuk kredit pajak tersebut adalah semua aset yang dapat disusutkan kecuali gedung. Apakah penyusutan yang dipercepat dan kredit pajak atas investasi, sebagai alat insentif pajak, dapat diperbandingkan? Keduanya dapat digunakan untuk mengurangi pajak, tetapi mekanismenya berbeda. Kredit investasi tidak hanya merupakan alat penunda pajak, tetapi juga alat yang memberi hak untuk pengurangan pajak. Untuk suatu investasi tertentu dengan lama masa manfaat tertentu, dapat dirancang suatu peraturan pajak untuk penyusutan yang dipercepat dan kredit atas investasi yang menghasilkan nilai tunai yang sama kepada investor. Akan tetapi, kedua pendekatan itu akan berbeda dalam berbagai investasi. Penyusutan dipercepat lebih tepat untuk investasi jangka panjang, sedangkan kredit pajak memberikan keuntungan bagi aset berumur pendek. Aset yang berumur lebih pendek dapat diganti lebih sering sehingga dapat dimungkinkan untuk mendapatkan kredit pajak lebih sering lagi.
222
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Haruskah tarif pajak bagi UKM berbeda? Alasan pengenaan tarif pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib pajak pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perseroan. Perseroan pada dasarnya tidak memiliki kemampuan untuk membayar seperti halnya yang dimiliki individu dan beban pajak pada akhirnya ditanggung oleh individu, seperti telah dikemukakan oleh Paul O’Neill di muka. Tidak ada hubungan positif antara ukuran usaha perusahaan dan penghasilan pemiliknya. Banyak perusahaan kecil dimiliki oleh individu-individu berpenghasilan tinggi dan sebagian besar dividen yang dibayarkan oleh perseroan besar diterima oleh individu-individu dengan penghasilan menengah. Pengenaan tarif pajak progresif tentu akan didasarkan pada alasan-alasan lain, seperti menahan ukuran bisnis sehingga tidak terlalu besar atau mendukung usaha-usaha kecil. Jika tujuan menahan ukuran bisnis yang ditetapkan, maka pajak yang progresif dapat diberlakukan tetapi diterapkan pada ukuran usaha (ukuran aset), bukannya tingkat laba. Akan tetapi tujuan ini pun dapat dipertanyakan, pada umumnya perusahaan-perusahaan ukuran menengah dan besar lebih efisien daripada usaha kecil, walaupun sedikit sekali bukti bahwa ukuran usaha yang besar diperlukan untuk mencapai efisiensi. Walaupun demikian, keringanan pajak untuk usaha-usaha kecil selalu menjadi perbincangan politik yang penting. Posisi ini dapat dipandang benar untuk mengurangi kemampuan perusahaan-perusahaan besar untuk beroperasi pada pasar-pasar modal yang tidak sempurna dan mendapat manfaat dari praktek-praktek monopolistik. Selain itu, ada pandangan bahwa ada kebutuhan sosial untuk memelihara UKM walaupun tidak efisien.
Bantuan kepada UKM Untuk menghilangkan penerapan pajak berganda bagi usaha kecil berbentuk perseroan, ada aturan khusus pada peraturan-peraturan pajak negara tertentu bahwa usaha-usaha kecil sampai dengan ukuran aset atau ukuran penjualan tertentu boleh kenakan pajak sebagai suatu firma. Perseroan kecil ini dipandang sebagai mekanisme pemungutan/pemotongan pajak saja, suatu penerapan integrasi yang lengkap. Pemerintah dapat pula memberikan bantuan kepada UKM dengan mengenakan tarif terendah pajak yang lebih rendah. Tarif terendah yang lebih rendah ini tidak banyak manfaatnya bagi usaha-usaha besar, walaupun tarif terendah yang lebih rendah ini dapat digunakan oleh wajib pajak pribadi untuk mengurangi pajaknya. Untuk menghindari pemanfaatan oleh wajib pajak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
223
pribadi, dibuat aturan pajak berbeda untuk wajib pajak pribadi. Permasalahan lain yang dapat muncul adalah aturan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan besar dengan memecahnya menjadi unit-unit kecil dengan melakukan spin off. Permasalahan ini dapat diatasi dengan memberikan penalti kepada suatu perusahaan induk yang memiliki banyak anak perusahaan.
RANGKUMAN §
§ §
§
§
§
§
§
Pengenaan pajak perusahaan dapat dilakukan sebagai instrumen pengendali tingkah laku perusahaan. (1) Pengendalian terhadap monopoli; (2) Membatasi ukuran atau besarnya perusahaan; (3) Pembatasan laba; (4) Pemupukan modal atau pertumbuhan ekonomi; dan (5) Insentif atau disinsentif investasi. Dalam metode partnership, pemegang saham diperlakukan seolah-olah adalah partner dalam suatu bisnis. Metode integrasi tidak memerlukan penentuan laba kena pajak untuk perusahaan. Pajak dikenakan atas semua capital gain, termasuk yang belum direalisasikan. Permasalahan yang mungkin timbul untuk pajak badan adalah: (1) Hutang versus Modal Saham; (2) Natura; dan (3) Penyusutan. Bunga diperlakukan sebagai biaya bisnis, seperti juga pembayaran gaji dan upah. Bunga boleh dikurangkan dari penghasilan perusahaan kena pajak. Pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak penghasilan pribadi. Pemilik dana cenderung untuk meminjamkan daripada melakukan investasi saham. Integrasi penuh akan mengembalikan netralitas perlakuan pajak. Natura adalah penghasilan yang tidak berbentuk kas. Dengan membayar dalam bentuk natura, perusahaan membantu pengawainya mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka. Dalam hal pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan mentah, pengurangan dapat dilakukan ketika pembayaran terjadi. Tetapi dalam hal investasi modal, pengurangan itu dilakukan selama beberapa periode. Suatu tarif pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarif pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Pajak tidak boleh mendistorsi pola investasi. Seorang pemilik modal yang membeli aset dengan harga tertentu dapat mengkreditkan dengan beban pajak yang harus dibayar sebesar biaya perolehan.
224 §
Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Sebagian besar ekonom memandang beban pajak penghasilan badan seharusnya jatuh kepada pemodal, sesuai dengan model ekonomi kompetitif. Akan tetapi jika berada dalam situasi monopolistik, perusahaan akan berusaha memindahkan beban pajaknya dengan harga yang lebih tinggi.
LATIHAN 1. Sebutkan hambatan – hambatan dalam menerapkan prinsip keadilan, pajak penghasilan WP badan! 2. Jelaskan perbedaan pandangan integrasi dan pandangan absolute dalam pengenaan pajak atas suatu perusahaan! 3. Apa yang dimaksud dengan penerapan pajak atas pertimbangan manfaat? 4. Bagaimana bentuk pajak perusahaan yang tepat jika ada keinginan untuk membatasi besarnya perusahaan? Jelaskan! 5. Jelaskan pengenaan pajak yang diterapkan, jika perusahaan ingin meningkatkan pengeluaran konsumsi dan mendukung berfungsinya pasar modal! 6. Jelaskan integrasi pajak secara penuh dengan metode : a. Partnership b. Capital Gain 7. Mana yang lebih menguntungkan, dari sisi permasalahan perpajakan, memberikan pinjaman hutang atau menginvestasikan uangnya untuk modal saham? Apa Alasannya? 8. Mengapa secara teori dianggap lebih menguntungkan menggunakan metode penyusutan declining balance method? 9. Dilihat dari sisi kewajiban pajaknya, bedakan pengaruh investasi tunggal dan investasi berkelanjutan! 10. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah inflasi dengan baik? Jelaskan dan berikan contoh! 11. Mengapa tarif pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib pajak pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perusahaan? 12. Bagaimana peran pemerintah dalam rangka membantu Usaha Kecil dan Menengah untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak penghasilan badan?
PAJAK KONSUMSI
Pajak penjualan pada dasarnya mirip dengan pajak penghasilan karena pajak ini dikenakan arus yang diciptakan oleh produksi output tahun berjalan. Bila pajak penghasilan dikenakan pada sisi penjual dari faktor-faktor produksi (misalnya, atas penghasilan yang diterima oleh rumah tangga) maka pajak penjualan dikenakan pada sisi penjual dari transaksi produksi (misalnya atas penjualan yang dilakukan perusahaan), dengan angka penjualan diukur dalam ukuran unit produk atau penerimaan kotor. Pajak penjualan atas barang konsumsi dapat dipandang sebagai ekivalen dengan pajak yang dikenakan atas pembelian-pembelian rumah tangga karena barang-barang konsumsi adalah pembelian-pembelian rumah tangga. Bila pajak penghasilan didasarkan pada
228
Bab 11: Pajak Konsumsi
sisi sumber suatu rumah tangga maka pajak penjualan didasarkan pada sisi penggunaan suatu rumah tangga. Dalam pajak umum atas barang-barang konsumsi, semua penggunaan dikenakan kecuali untuk menabung. Pajak penjualan adalah pajak penghasilan bila definisi penghasilan mengacu pada definisi yield income dari Irving Fisher. Pajak penjualan merupakan pajak in rem yang berbeda dari pajak penghasilan yang merupakan pajak pribadi. Oleh karenanya, dalam pajak penjualan tidak ada situasi-situasi pribadi konsumen sebagaimana halnya dalam pajak penghasilan individu, seperti aturan-aturan pengecualian, pengurangan, dan tarif progresif. Oleh karena itu, pajak penjualan inferior baik dalam hal keadilan vertikal maupun keadilan horizontal.
JENIS PAJAK ATAS KONSUMSI DI INDONESIAA Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak atas konsumsi yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Pajak Penjualan (PPn) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1951. Proses penggantian Pajak Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan salah satu rangkaian perombakan sistem perpajakan nasional sebagai Reformasi Perpajakan tahun 1983 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985. Pajak. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984, yang telah mengalami perubahan-perubahan yang terakhir diubah dengan UndangUndang Nomor 18 tahun 2000. PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan atas konsumsi barang-barang dan jasa-jasa tertentu di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean). Selain itu, untuk konsumsi barang-barang tertentu yang dikelompokkan sebagai barang mewah di dalam negeri, selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Khusus untuk PPnBM hanya dikenakan satu kali ketika dijual oleh pabrikan atau ketika diimpor. Tidak semua konsumsi barang dan jasa dikenakan pajak. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah: n Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. n Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. n Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
229
n
Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN cukup banyak, seperti jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa keagamaan, jasa pendidikan dan lain-lain.
Cukai Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barang-barang tertentu. Pada prinsipnya, cukai adalah pajak atas konsumsi, seperti pajak penjualan, tetapi hanya dikenakan pada barang-barang tertentu seperti tembakau, gula, bensin dan minuman keras. Cukai merupakan hak atas pemerintah pusat.
Pajak Konsumsi di Daerah Jenis pajak konsumsi lainnya diberlakukan pada tingkatan daerah dengan besarnya tarif pajak bergantung pada peraturan masing-masing daerah. Pajakpajak ini diantaranya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Parkir.
BAHASAN-BAHASAN DALAM PAJAK ATAS KONSUMSI BPajak penjualan, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdiri dari beberapa jenis, termasuk definisi basis pajak, cakupan dan saat pengenaannya.
Pajak per Unit versus Pajak atas Nilai (Ad valorem) Pajak penjualan dapat dikenakan per unit produk dan dapat dikenakan atas nilai produk (ad valorem). Sebagian besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas BBM, cukai tembakau dan cukai minuman keras. PPN dan PPnBM merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad valorem. Di antara dua basis ini, bentuk ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit, seperti yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.
Ruang Lingkup Cakupan Pajak Penjualan Umum Karena perbedaan basis pengenaannya, pajak-pajak penjualan umum dapat berbeda dalam cakupan pengenaannya. Pajak-pajak tersebut dapat mencakup semua transaksi atau basisnya sama dengan PNB atau hanya konsumsi saja.
230
Bab 11: Pajak Konsumsi
Basis Transaksi yang Inferior Pajak berdasarkan perputaran (turnover tax) yang dikenakan pada jumlah total seluruh transaksi adalah pajak yang paling tidak diinginkan untuk diterapkan. Dalam pajak jenis ini, suatu produk dikenakan pajak berkali-kali sepanjang tahapan produksi. Misalnya, penjualan biji besi dikenakan pajak ketika biji besi tersebut berpindah dari tambang ke pabrik baja; penjualan besi baja dikenakan pajak ketika besi baja berpindah dari pabrik baja ke pabrik produksi lembaran baja; penjualan lembaran baja dikenakan pajak ketika lembaran baja berpindah dari pabrik produksi lembaran baja ke pabrik mobil, dan seterusnya sampai pajak terakhir dikenakan pada penjualan mobil eceran. Akibatnya, basis pajaknya akan berjumlah beberapa kali lipat dari PNB dan hasil pajak yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan tarif pajak yang rendah. Dengan PNB Indonesia yang diperkirakan sebesar Rp1180 trilyun misalnya, penerapan pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif sebesar 1% akan menghasilkan pendapatan pemerintah sebesar Rp46 trilyun, atau sepertiga hasil dari pajak penghasilan. Cara ini sangat menarik perhatian pemerintah karena kemampuannya menghasilkan pajak yang besar dengan penerapan tarif yang kecil. Pendekatan ini tidak akan menimbulkan permasalahan bila setiap produk melalui jumlah transaksi yang sama sehingga persentase total kewajiban pajak berdasarkan perputaran terhadap nilai pada penjualan akhir akan sama. Dalam kenyataannya, setiap produk melalui jumlah transaksi yang berbeda-beda. Dengan demikian, pajak berdasarkan perputaran menimbulkan diskriminasi pengenaan pajak terhadap produkproduk yang harus melalui banyak tahapan produksi dan distribusi. Selain itu, untuk menghindari pajak, perusahaan-perusahaan akan bergabung dengan para pemasok mereka, sehingga mendorong timbulnya integrasi vertikal yang pada gilirannya akan mengurangi kompetisi. Atas dasar inilah, pajak berdasarkan perputaran dipandang sebagai bentuk pajak yang inferior. Bahkan beberapa negara Eropa telah menggantikan bentuk pajak ini dengan pajak pertambahan nilai sebagai bukti inferioritas pajak atas perputaran ini. Basis Produk Nasional Bruto (PNB) versus Basis Penghasilan atau Konsumsi Karena basis transaksi menimbulkan pengenaan ganda dan harus dihindari maka pilihan lainnya adalah basis PNB, pendapatan nasional atau konsumsi. Pada umumnya, pajak penjualan yang dikenakan di berbagai negara didasarkan pada basis konsumsi.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
231
Pajak penjualan jenis PNB akan mengenakan pajak penjualan atas barangbarang konsumsi dan barang-barang produksi. Dengan demikian, basis ini akan sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan bruto, yaitu penghasilan tanpa diperhitungkan biaya penyusutan. Karena sama dengan pengenaan pajak atas penghasilan, pajak jenis ini memiliki kelemahan dalam hal keadilan dan efisiensi. Dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari semua sumber harus dikenakan pajak sepenuhnya dan dalam jumlah netonya, bukan dalam jumlah brutonya. Dalam hal efisiensi, pajak ini akan memberikan perlakuan lebih diskriminatif terhadap tabungan yang telah mendapat perlakuan diskriminatif dalam pajak penghasilan bila dibandingkan dengan bentuk tabungan rencana pensiun. Kelemahan ini tidak terjadi bila pajak hanya dikenakan pada basis yang sama dengan pendapatan nasional atau PNB dikurangi dengan pajak-pajak tidak langsung dan penyusutan. Pajak seperti ini akan memiliki basis yang sama dengan pajak penghasilan dan dapat diadakan dengan memberlakukan pajak pertambahan nilai jenis penghasilan, yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Karena basis penghasilan telah digunakan dalam pajak pribadi pada bagian sebelumnya dengan pengenaan pajak penghasilan, satu-satunya basis yang tersisa sebagai kandidat basis pajak adalah basis konsumsi. Basis inilah yang paling banyak digunakan dalam pajak penjualan. Pajak Konsumsi Komprehensif versus Pajak Konsumsi Tertentu Pajak penjualan umum atau eceran bertujuan mengenakan pajak yang mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan yang komprehensif sebesar 10% akan menghasilkan pendapatan negara sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah), konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dan lain-lain.
Tahap Pengenaan Keputusan mengenai tahap pengenaan didasarkan pada pilihan tahapan terbaik untuk pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak satu kali atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak merupakan hal yang substantif dalam menentukan jenis pajak yang akan diberlakukan,
232
Bab 11: Pajak Konsumsi
pemilihan tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif dalam rangka efisiensi pengenaan pajak atas basis yang dipilih. Saat Produksi versus Saat Penjualan Eceran Bila menggunakan pajak yang dikenakan satu kali, pilihan pengenaan pajak biasanya antara saat selesai produksi atau saat dijual secara eceran kepada konsumen. Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran lebih baik karena memungkinkan pengenaan tarif ad valorem yang seragam. Pengenaan pajak ad valorem dengan tarif yang sama pada tingkatan produksi menghasilkan tarif ekivalen yang tidak sama dengan pengenaan pada tingkatan penjualan eceran, karena rasio harga eceran terhadap harga produksi berbedabeda untuk berbagai produk. Pengenaan tarif yang berbeda untuk menghilangkan perbedaan rasio harga eceran terhadap harga produksi ini akan sangat sulit dan merupakan cara yang tidak seefisien dan seefektif pengenaan pajak pada tingkatan penjualan eceran. Jika pajak akan dikenakan secara selektif (PPnBM), tahapan mana akan dikenakan pajak merupakan hal yang sulit untuk ditentukan. Jika produknya dapat diidentifikasi pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, akan lebih menguntungkan mengenakan pajak pada tahapan ini, karena pengenaan pajak secara selektif pada tingkatan eceran akan sangat sulit. Dalam situasi lain (misalnya bahan kain yang digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah) dimana identifikasi produk tidak memungkinkan, maka pengenaan sebaiknya dilakukan pada tahapan eceran. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan sifat dari produk final pada tahapan penjualan eceran. Walaupun demikian, pandangan umum lebih condong kepada pengenaan pada tahapan penjualan eceran untuk diterapkan pada pajak penjualan umum dan tidak begitu sering digunakan pada pajak-pajak penjualan selektif. Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan produksi lebih menguntungkan karena cara ini akan mengurangi jumlah pembayar pajak yang harus ditagih pajaknya sehingga mempermudah administrasi. Pajak dikenakan pada produsen yang jumlahnya pasti lebih sedikit daripada pengecer/penjual ataupun konsumen. Selain itu, badan-badan usaha produksi cenderung lebih besar, lebih permanen, dan lebih memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha eceran. Karakteristik-karakteristik mampu memberikan perbaikan dalam kualitas perhitungan pajak di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi karena
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
233
jumlah titik penagihan pajak yang lebih sedikit, walaupun dampaknya dapat berbeda bila pajak tersebut dikenakan pada tingkatan penjualan eceran. Saat Penjualan Eceran versus Pertambahan Nilai Pertanyaan lebih lanjut pengumpulan pajaknya. Ada dua cara pengumpulan pajak penjualan, yaitu pada saat pengenaan di titik penjualan final dan dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan prosedur nilai tambah. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-potongan (nilai tambah pada setiap tahapan) dimana pajak dikenakan pada tahapan-tahapan sepanjang proses produksi. Walaupun ada perbedaan dalam teknik, basis nilai tambah dari pajak penjualan jenis konsumsi sama dengan basis penjualan eceran, hanya cara penagihannya yang berbeda. Pemilihan keduanya lebih didasarkan pada kemudahan administrasi. Penggunaan pendekatan beberapa tahapan dalam konteks pertambahan nilai harus dibedakan dengan yang sebelumnya dibahas dalam diskusi tentang pajak atas perputaran. Yang dikenakan di sini adalah pajak atas pertambahan nilainya sedangkan pada pajak atas perputaran dikenakan atas seluruh jumlah perputarannya di setiap tahapan produksi.
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Menurut sudut pandang ahli ekonomi, pajak pertambahan nilai yang diselenggarakan dengan benar akan ekivalen dengan penerapan pajak dalam satu tahapan pada titik penjualan. Oleh karena itu, pajak pertambahan nilai bukan bentuk pajak yang baru seperti pajak pengeluaran, pajak ini hanyalah pajak penjualan yang diadministrasikan dengan cara berbeda.
Nilai Akhir sebagai Agregat dari Pertambahan Nilai Mari kita lihat suatu produk, misalnya sepatu. Dengan menelusuri ke berbagai tahapan produksi, kita akan mulai dengan peternak yang menjual kulit hewan kepada penyamak, penyamak menjual kulit bahan sepatu kepada produsen sepatu, produsen sepatu menjual sepatu kepada distributor utama, distributor utama menjual sepatu kepada toko eceran, yang akhirnya akan menjual sepatu tersebut kepada konsumen. Pada setiap tahapan, nilai barang meningkat dan harga jual juga meningkat sejalan dengan peningkatan nilai tersebut. Setiap kenaikan harga menunjukkan tambahan nilai pada setiap tahapan, dengan nilai atau harga final dari produk tersebut sama dengan jumlah kenaikan atau pertambahan nilai pada seluruh tahapan. Suatu pajak
234
Bab 11: Pajak Konsumsi
yang dikenakan pada pertambahan nilai akan identik basisnya dengan suatu pajak yang dikenakan pada nilai final dari produk tersebut.
Jenis Pajak Pertambahan Nilai Ada tiga jenis pajak pertambahan nilai sesuai dengan basis PNB, Produk Nasional Neto (PNN), dan konsumsi, tetapi hanya jenis konsumsi yang dapat diterapkan secara praktis. Jenis PNB Bila semua barang dan jasa final yang diproduksi dan dijual dalam suatu periode, yaitu PNB, menjadi subyek pajak penjualan umum, pajak tersebut akan dikenakan baik pada barang konsumsi maupun barang modal. Pajak ini akan dibayarkan oleh penjual ketika produk dijual kepada pembeli terakhir, baik oleh konsumen rumah tangga, oleh suatu perusahaan untuk menambah persediaan barangnya, atau oleh suatu perusahaan untuk pembelian barangbarang modal. Dengan PNB Indonesia sebesar Rp1.170 trilyun, pajak dengan tarif 5% yang mencakup semua barang tersebut akan menghasilkan Rp58,5 trilyun pendapatan pajak bagi negara. Jumlah yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan nilai tambah, yaitu mengenakan pajak kepada setiap penjual dengan tarif 5 persen dari nilai tambah, yang dihitung dari penerimaan kotor dikurangi dengan biaya pembelian barang setengah jadi dari produsen sebelumnya dalam lini produksi. Basis pajak pada setiap tahapan akan sama dengan penyusutan, pajak, bunga, laba dan biaya-biaya. Pajak ini akan merupakan bentuk yang paling komprehensif dari pajak pertambahan nilai dan disebut sebagai pajak pertambahan nilai jenis PNB. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pajak ini ekivalen dengan pajak penjualan yang diterapkan pada barang konsumsi dan barang modal. Jenis Penghasilan Pendekatan nilai tambah ini, seperti yang telah dibahas sebelumnya, juga dapat digunakan untuk menyelenggarakan pajak penjualan pada produk neto. Seperti kita ketahui NNP sama dengan PNB dikurangi cadangan untuk konsumsi modal atau penyusutan. Pajak atas NNP dapat dikenakan dalam bentuk beberapa tahapan dengan mengenakan pajak pada nilai bersih yang ditambahkan oleh setiap perusahaan, dengan nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi pembelian atas barang setengah jadi dan penyusutan. Hasil yang sama dapat diperoleh dengan menerapkan pajak penghasilan umum karena basis suatu pajak produk neto sama dengan pajak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
235
penghasilan. Pajak pertambahan nilai jenis penghasilan berbeda dari jenis konsumsi. PPN jenis penghasilan membolehkan perusahaan mengurangkan penyusutan sedangkan PPN jenis konsumsi membolehkan perusahaan mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian barang-barang modal. Pajak ini tidak dapat dikenakan sebagai pajak atas total nilai bersih dari barang pada saat penjualan terakhir dilakukan karena prosedur ini mengharuskan pencatatan biaya-biaya penyusutan yang dibebankan oleh semua produsen sepanjang lini produksi. Jadi, hanya pendekatan nilai tambah yang secara praktis digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan pada produk neto. Jenis Konsumsi Basis untuk pajak pertambahan nilai jenis ini didefinisikan sebagai pendapatan bruto perusahaan dikurang nilai dari seluruh pembelian produkproduk setengah jadi (bahan mentah dan barang dalam proses) dan juga pengeluaran modalnya atas pabrik dan peralatan-peralatan. Dengan membolehkan setiap perusahaan untuk mengurangkan pengeluaran modalnya, yang tersisa hanyalah nilai dari output barang konsumsi saja. Pajak seperti ini akan sama dengan pajak penjualan eceran umum atas barang konsumsi, dengan perbedaan hanya pada prosedur administrasi saja.
Ilustrasi Perhitungan PPN untuk Setiap Jenis Ilustrasi perhitungan dari berbagai jenis pajak pertambahan nilai disajikan pada tabel berikut. Tabel ini menunjukkan perhitungan ketiga basis dengan menggunakan metode yang disebut metode pengurangan. Alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah metode penambahan. Untuk basis penghasilan, perhitungan dengan metode penambahan adalah dengan cara menambahkan semua pembayaran kepada berbagai faktor yang dinyatakan pada baris 05. Basis PNB dihitung dengan cara menambahkan pembayaranpembayaran kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07). Basis konsumsi ditentukan dengan menambahkan pembayaran-pembayaran kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07) kemudian dikurangi dengan pembelian barang modal (baris 09). Jadi metode penambahan langsung menghasilkan angka pada pajak pertambahan nilai jenis penghasilan tetapi agak membingungkan pada pajak pertambahan nilai jenis konsumsi.
236
Bab 11: Pajak Konsumsi
A
PERUSAHAAN B
C
Ekonomi
Pendapatan 01. Penjualan barang konsumsi 02. Penjualan produk setengah jadi 03. Penjualan barang modal
120 -
70 145 100
151 -
04. Jumlah total
120
315
151
Biaya 05. Upah, bunga, laba, dsb. 06. Pembelian produk setengah jadi 07. Penyusutan
100 20
80 120 15
90 45 16
08. Jumlah total
120
215
151
-
-
100
100
120 100 120
195 180 95
6 90 106
321 370 321
-
-
-
221 100 321 51 270
Biaya Modal 09. Pembelian barang-barang modal Basis-basis pajak 10. Basis konsumsi (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 09) 11. Basis penghasilan (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 07) 12. Basis GNP Perhitungan Pendapatan Nasional 13. Konsumsi 14. Plus Investasi 15. GNP 16. Minus Penyusutan 17. NNP atau Pendapatan Nasional
221 265 100
270 165 51
Sumber: Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave. Public Finance in Theory and Practice. 5th Edition. McGraw-Hill. New York: 1989. hal. 402
Basis konsumsi, seperti yang ditunjukkan pada baris 10, dihitung untuk setiap perusahaan dengan mendapatkan angka penjualannya dan dikurangi dengan pembelian barang-barang setengah jadi dan barang-barang modal (baris 06 dan 09). Basis penghasilan, seperti yang ditunjukkan pada baris 11, dihitung untuk setiap perusahaan dengan cara penjualan dikurangi dengan biaya barang-barang setengah jadi dan penyusutan (baris 06 dan 07). Basis PNB, seperti yang ditunjukkan pada baris 12, akan sama dengan penjualan total (baris 04) dikurangi pembelian barang-barang setengah jadi (baris 06). Penjumlahan basis-basis pada setiap perusahaan ini menghasilkan basis-basis untuk seluruh ekonomi, seperti yang ditunjukkan pada kolom terakhir. Jumlah total basis-basis ini sama dengan nilai dari konsumsi, pendapatan nasional, dan PNB yang ditentukan dalam perhitungan pendapatan nasional.
Metode Penagihan Bila kita melihat jenis konsumsi dari pajak pertambahan nilai, kita akan menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang setengah jadi dan barang modal.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
237
Bila perhitungan pajak telah selesai, ada dua cara untuk menagihnya. Pertama, dikenal dengan nama metode perhitungan, yaitu metode yang meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung tersebut. Kedua, metode faktur, yaitu metode yang mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan mengalikan tarif pajak terhadap total penjualan dan mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah yang sama dengan pajak yang telah dibayarkan oleh para pemasok yang barang-barang setengah jadi dan barangbarang modalnya dibeli oleh perusahaan. Dengan membuat aturan bahwa kredit pajaknya bergantung pada penyajian bukti setor pajak yang dilakukan oleh para pemasok, metode faktur memiliki elemen ketaatan karena setiap pembeli akan meminta salinan dari bukti setor tersebut. Metode ini cocok di negara yang ketaatan pajaknya rendah.
Simpulan Kita telah melihat bahwa pajak pertambahan nilai jenis konsumsi memiliki basis yang sama dengan pajak penjualan eceran dengan cakupan yang sama. Akan tetapi, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara kedua pajak ini mengenai yang lebih baik. Satu perbedaan pandangan politis. Pendukung pajak pertambahan nilai merasa bahwa pajak ini “tampak” berbeda sehingga tidak terkontaminasi reputasi buruk dari pajak penjualan eceran yang menyembunyikan beban pajak dari konsumen karena pajak sering tidak disajikan terpisah dari harga konsumen. Jika pajak bruto pengecer disajikan terpisah dari harga konsumen, konsumen akan menyadari adanya pajak pada kedua pendekatan ini. Selain pertimbangan politis, ada beberapa perbedaan teknis dalam implementasi yang cukup penting. Jumlah pembayar pajak dalam pajak penjualan eceran lebih sedikit daripada dalam pajak pertambahan nilai, sehingga memudahkan administrasi karena para pengecer dapat diakses secara efektif. Di negara maju yang usaha ritelnya sudah mapan, hal ini mudah dilakukan, tetapi di negara berkembang di mana usaha ritel umumnya usaha kecil, pajak penjualan eceran tidak akan efektif. Dalam pajak pertambahan nilai, pengecualian barang-barang modal dapat dilakukan dengan lebih efektif daripada dalam pajak penjualan eceran karena sulitnya menelusuri penggunaan barang-barang yang dibeli dari para pengecer. Selain itu, dengan menggunakan metode faktur, pajak pertambahan nilai memiliki elemen ketaatan yang tidak dimiliki dalam pajak penjualan eceran.
DISTRIBUSI BEBAN PAJAK
238
Bab 11: Pajak Konsumsi
Pajak penghasilan memiliki peringkat yang tinggi dalam hal keadilan karena dikenakan sebagai suatu pajak pribadi yang berusaha mencapai kemampuan membayar dari wajib pajak. Hal yang sama tidak berlaku untuk pajak penjualan dan cukai. Karena tidak dibebankan secara pribadi, pajak-pajak ini tidak mengindahkan aturan kemampuan untuk membayar.
Cukai Pada diskusi kita sebelumnya tentang tax incidence dari pajak penjualan, kita menyimpulkan bahwa distribusi beban pajak berdasarkan kelompok penghasilan didominasi dari sisi penggunaan, yaitu berdasarkan pola pengeluaran konsumsi atas produk yang dikenakan pajak. Beban dari pajak atas barang-barang kebutuhan sehari-hari cenderung regresif, sedangkan beban dari pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Cukai cenderung regresif karena dikenakan atas barang-barang konsumsi massal, seperti minuman beralkohol dan rokok. Konsumen dengan penghasilan berbeda dikenakan tarif cukai yang sama. Cukai juga diskriminatif terhadap konsumen dengan penghasilan yang sama tetapi dengan preferensi yang berbeda, mereka ini dikenai beban cukai yang berbeda. Konsumen yang memiliki preferensi lebih pada produk-produk kena cukai membayar cukai lebih banyak. Oleh karena itu, cukai memiliki peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal. Karena hanya dikenakan pada barang-barang tertentu, cukai akan menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak yang lebih umum. Cukai tetap dikenakan karena berbagai alasan. Cukai umumnya dikenakan kepada barang-barang konsumsi massal yang dipandang “kurang baik untuk dikonsumsi”, seperti rokok dan minuman beralkohol. Cukai juga dikenakan untuk memenuhi rasa keadilan karena barang-barang konsumsi tertentu hanya dinikmati oleh konsumen-konsumen berpenghasilan tinggi. Cukai juga dikenakan dalam rangka meminimalkan dead weight loss, tetapi hal ini belum menjadi kebijakan yang telah diterapkan.
Pajak Penjualan Umum Pajak penjualan umum dalam bentuk pajak penjualan eceran atas barangbarang konsumsi pada dasarnya sama dengan pajak umum bertarif tetap atas pengeluaran konsumen. Bila dilihat dari keadilan horizontal, suatu pajak penjualan umum memenuhi keadilan pajak bila indeks keadilan dinyatakan dalam bentuk konsumsi tetapi akan tidak memenuhi keadilan pajak bila indeksnya dinyatakan dalam bentuk
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
239
penghasilan. Keluarga-keluarga dengan penghasilan yang sama mungkin saja memiliki tingkat konsumsi (menabung) yang berbeda karena faktor usia atau faktor-faktor lainnya. Keluarga-keluarga seperti itu akan membayar jumlah pajak yang berbeda, sehingga melanggar keadilan horizontal dalam bentuk penghasilan. Bila dipandang dari keadilan vertikal, suatu pajak penjualan umum akan proporsional berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas penghasilan menurun (menabung dalam persentase atas penghasilan naik) sejalan dengan kenaikan penghasilan. Pola ini kurang regresif bila dihitung dalam jangka waktu seumur hidup dan bukannya tahunan. Bila dihitung dalam jangka waktu seumur hidup, penghindaran atas pajak penjualan hanya dapat dilakukan dengan melalui warisan. Perlu dicatat pula bahwa sifat regresif dari pajak penjualan telah dimodifikasi dengan mengecualikan beberapa produk konsumsi massal, seperti makanan.
PAJAK PENGELUARAN WAJIB PAJAK PRIBADI Pajak konsumsi baik melalui cara selektif (cukai) maupun pajak penjualan umum (PPN bila di Indonesia) tetap bersifat regresif karena pengeluaran konsumsi dalam persentase penghasilan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan penghasilan.Oleh karena itu, pajak penghasilan dipandang sebagai pajak yang progresif dan pajak penjualan dipandang sebagai pajak regresif. Dengan demikian, pendukung pajak penghasilan cenderung berasal dari pendukung progresivitas pajak, sedangkan pendukung pajak penjualan cenderung berasal dari penentang progresivitas pajak. Perbedaan progresivitas di antara kedua jenis pajak ini muncul karena pajak penghasilan telah dikembangkan dalam kerangka pajak pribadi, sedangkan pajak konsumsi telah ditetapkan sebagai kerangka dalam pendekatan non pribadi atau in rem dari pajak penjualan. Penggunaan suatu jenis pajak pribadi dari pajak pengeluaran akan menghilangkan perbedaan ini dan membuat pengenaan pajak atas konsumsi menjadi bersifat pribadi dan progresif. Pajak seperti ini pernah dicobakan di India dan Sri Lanka, tetapi pengenaan pajak ini dalam situasi modern belum pernah ada. Pajak ini merupakan ide yang baru dan menarik dan telah banyak mendapat dukungan dari para akademisi di dunia perpajakan. Berikut ini pembahasan teknis apabila pajak ini diterapkan.
240
Bab 11: Pajak Konsumsi
Penentuan Konsumsi Kena Pajak Apabila konsumsi digunakan sebagai indeks atas kemampuan untuk membayar, definisi global yang diterapkan dalam basis pajak penghasilan berlaku juga pada pajak konsumsi. Semua konsumsi harus dimasukkan ke dalam basis pajak dan kewajiban pajak para wajib pajak tidak dipengaruhi oleh pola tertentu dari pengeluaran konsumsi mereka. Dengan menggunakan analogi pajak penghasilan, wajib pajak akan menentukan konsumsinya pada suatu tahun pajak, kemudian akan mengurangkan konsumsi tidak kena pajak yang diperbolehkan, dan menerapkan tarif pajak progresif kepada jumlah sisanya yang merupakan konsumsi kena pajak. Ide ini tampaknya sederhana, akan tetapi penentuan konsumsi kena pajak dalam praktek bukan hal yang mudah. Perhitungan konsumsi dengan meminta individu menambahkan pengeluaran rupiah untuk konsumsi tidak mungkin diterapkan. Pendekatan kedua dimulai dari penghasilan dan mengurangkannya dengan jumlah tambahan tabungan. Untuk mendapatkan angka konsumsi, jumlah tambahan tabungan harus didefinisikan sebagai tabungan neto (tambahan tabungan dikurangi penarikan tabungan), atau penambahan atas kekayaan bersih. Pendekatan inipun bukan hal yang mudah, terutama untuk menentukan penambahan atas kekayaan bersih. Pendekatan ketiga merupakan paling baik dan yang paling mungkin untuk menentukan konsumsi tahunan wajib pajak adalah dengan menggunakan cara berikut:1 § Saldo bank dan uang pada awal tahun § + penerimaan uang § + tambahan pinjaman bersih (pinjaman baru dikurangi pembayaran pinjaman atau memberikan pinjaman) § – investasi bersih (biaya pembelian aset-aset dikurangi hasil dari aset-aset yang dijual) § – saldo bank dan uang pada akhir tahun § = konsumsi untuk tahun berjalan. Konsumsi dihitung dari perubahan dalam saldo bank dan uang dan arus penerimaan dan pembayaran-pembayaran non konsumsi selama tahun berjalan. SPT harus digunakan untuk membuat wajib pajak menyatakan jumlah-jumlah tersebut secara rinci seperti pelaporan penghasilan dalam pajak penghasilan. Konsep penerimaan yang digunakan dalam skedul perhitungan di atas sama dengan penghasilan yang didefinisikan dalam pajak penghasilan, disesuaikan 1
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave. Hal 405-406.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
241
dengan mengecualikan capital gain tetapi memasukkan imputed rent dari rumah-rumah yang dihuni pemiliknya juga warisan dan hadiah yang diterima. Walaupun konsumsi rumah akan dimasukkan dengan cara memasukkan komponen imputed rent, pembelian barang-barang konsumsi jangka panjang (seperti mobil), akan diperlakukan sebagai konsumsi tahun berjalan, dengan membolehkan penggunaan tarif rata-rata untuk menghindari ketidakadilan. Pendekatan ini lebih sederhana daripada yang dipakai dalam pajak penghasilan. Dilema dalam memperlakukan capital gain yang belum direalisasikan tidak ada. Jika aset dijual, hasil yang diterima akan masuk ke dalam basis pajak kecuali dikurangi dengan pembelian aset-aset lain atau kenaikan dalam saldo-saldo aset. Tidak ada kebutuhan untuk menentukan laba perseroan. Dividen akan muncul sebagai penerimaan, dan capital gain yang belum direalisasikan, yang diperoleh dengan menahan laba, bukan hal yang relevan sampai realisasi terjadi dan hasilnya disalurkan ke dalam konsumsi. Permasalahan sulit dari akuntansi penyusutan juga akan hilang. Penyesuaian terhadap inflasi hanya diperlukan untuk indeks tarif-tarif pajak. Dibalik kelebihan-kelebihan tersebut, pajak pengeluaran akan memunculkan kesulitan-kesulitan baru. Sulit untuk memberlakukan metode pemotongan dan pemungutan pajak dalam pajak pengeluaran untuk urusan kemudahan administrasi pajak. Karena pemotongan pajak hanya dapat dilakukan terhadap penghasilan penghasilan, maka harus ada suatu rasio yang ditetapkan sebelumnya dari penghasilan terhadap konsumsi dan penghasilan dikurangkan sebesar rasio ini untuk pemotongan pajak konsumsi. Selain itu, pemotongan pajak dalam sistem tarif yang progresif mempersulit penerapan karena tarif pajak yang tepat bergantung pada apakah penerimaan tersebut akan dibelanjakan atau diinvestasikan kembali, suatu situasi yang menyulitkan dalam dalam kasus penghasilan modal. Permasalahan lainnya adalah pentingnya mencatat secara lengkap saldosaldo kas pada awal tahun. Bila tidak dilakukan, akan terjadi penghindaran pajak konsumsi dengan menggunakan uang dari saldo-saldo kas tersebut untuk konsumsi. Untuk memastikan peminjaman dipertanggungjawabkan, pemberi pinjaman diharuskan untuk melaporkan informasi mengenai pinjamanpinjaman yang diberikan. Dengan demikian, pengecekan silang akan lebih banyak dilakukan. Hal yang sama juga diperlakukan untuk penjualanpenjualan aset. Untuk tujuan ini, wajib pajak diharuskan untuk melaporkan neraca atau daftar harta mereka dalam SPT.
Perlakuan atas Warisan dan Hibah
242
Bab 11: Pajak Konsumsi
Dalam konsep pajak pengeluaran wajib pajak pribadi, ada suatu permasalahan khusus timbul karena penghasilan tidak digunakan untuk konsumsi tetapi akan diwariskan atau dihibahkan. Berdasarkan filosofi tambahan kemampuan ekonomis, penerimaan suatu warisan/hibah akan dimasukkan ke dalam basis pajak penerima warisan/hibah. Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konsep penghasilan yang berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis memberikan perlakuan yang diskriminatif terhadap konsumsi di masa depan. Pajak konsumsi, memberikan perlakuan yang sama dengan menerapkannya pada nilai tunai konsumsi sehingga beban pajak tidak dipengaruhi oleh faktor waktu. Walaupun demikian, perlakuan terhadap warisan/hibah masih menimbulkan tanda tanya. Seorang pembayar pajak dapat menghindari pajak apabila ia memutuskan sebagian penghasilannya digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima warisan/hibah tidak membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak dikenakan pajak. Cara terbaik untuk mengatasi penghindaran pajak ini adalah dengan memasukkan warisan/hibah sebagai basis pajak pengeluaran. Dengan demikian, basis pajak yang adil bukan hanya konsumsi saja tetapi semua penggunaan penghasilan, baik itu untuk konsumsi ataupun untuk diwariskan.
Evaluasi Penggunaan pajak pengeluaran wajib pajak pribadi akan meningkatkan kualitas perpajakan konsumsi karena memungkinkan penerapan prinsip kemampuan untuk membayar dan menghilangkan sifat regresif yang melekat pada pajak penjualan umum. Walaupun pajak pengeluaran berbasis konsumsi merupakan cara yang lebih baik, akan tetapi ada hal yang harus dijawab terlebih dahulu. Pertama, basis mana yang lebih baik (penghasilan atau konsumsi). Kedua, bagaimana memperlakukan warisan/hibah. Apabla sistem pajak berupaya mendukung kegiatan menabung, pendekatan pajak pengeluaran lebih tepat daripada pemberlakuan pengecualian secara sepotongpotong dalam sistem pajak penghasilan. Menggantikan pajak penghasilan dengan pajak pengeluaran akan menyederhanakan beberapa hal penting, terutama yang berkaitan dengan permasalahan inflasi. Akan tetapi, penggantian ini juga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru seperti masalah pemotongan pajak. Pajak pengeluaran juga tidak akan menghilangkan perlakuan-perlakuan khusus dan loophole yang selama ini ada pada pajak penghasilan.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
243
RANGKUMAN §
§
§
§
Pajak konsumsi dikenakan dikarenakan adanya transaksi produk. Pajak konsumsi dihitung dalam ukuran unit produk atau jumlah penerimaan kotor. Pajak penjualan dapat dipandang ekuivalen dengan pajak yang dikenakan atas pembelian-pembelian rumah tangga. Pajak konsumsi didasarkan pada sisi penggunaan (pengeluaran). Porsi penghasilan yang ditabung tidak dikenakan pajak. Pajak konsumsi tidak memperhitungkan kondisi pribadi konsumen. PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan atas konsumsi barangbarang dan jasa-jasa tertentu di dalam negeri. Untuk konsumsi barangbarang tertentu yang dikelompokkan sebagai barang mewah di dalam negeri, selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. PPnBM hanya dikenakan satu kali ketika dijual oleh pabrikan atau ketika diimpor. Yang termasuk barang bebas PPN antara lain: (1) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; (2) barangbarang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; (3) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya; dan (4) uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Adapun jasa bebas PPN antara lain: (1) jasa pelayanan kesehatan, (2) jasa pelayanan sosial, (3) jasa pengiriman surat dengan perangko, (4) jasa keuangan, (5) jasa keagamaan, (6) jasa pendidikan dan lain-lain. Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barang-barang tertentu, seperti tembakau, gula, bensin dan minuman keras. Pajak konsumsi daerah adalah jenis pajak konsumsi yang diberlakukan pada tingkatan daerah dengan besarnya tarif pajak bergantung pada peraturan masing-masing daerah, seperti Pajak Bahan Bakar, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Parkir, dan lain-lain. Pada pajak penjualan selektif, beban dari pajak atas barang-barang kebutuhan sehari-hari cenderung regresif, sedangkan beban dari pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Pajak ini memiliki peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal; dan menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak penjualan umum. Kebijakan ini diambil untuk mengatur peredaran dan konsumsi barangbarang yang dipandang kurang baik, seperti rokok dan minuman beralkohol; atau dalam rangka meminimalkan dead weight loss. Sedangkan pada pajak penjualan umum berbentuk pajak penjualan eceran dengan tarif tetap atas pengeluaran konsumen. Pajak ini proporsional
244
§
§
§
§
Bab 11: Pajak Konsumsi
berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas penghasilan menurun. Penghindaran atas pajak penjualan dapat dilakukan dengan melalui warisan. Pajak konsumsi dapat dikenakan atas penjualan barang berdasarkan unit produk yang terjual, atau berdasarkan atas nilai produknya. Sebagian besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas bahan bakar minyak, cukai tembakau dan cukai minuman keras. Sedangkan PPN dan PPnBM merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad valorem. Bentuk ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit dalam rangka meminimalkan perubahan pilihan konsumen. Ini berarti bentuk ad valorem dapat lebih meminimalkan dead weight loss suatu kebijakan pajak (Musgrave and Musgrave, 1989). Menurut metode total transaksi, pajak dikenakan berdasarkan perputaran (turnover tax). Suatu produk dikenakan pajak berkali-kali sejalan dengan pergerakannya sepanjang tahapan produksi. Hasil pajak yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan tarif pajak yang rendah. Penerapan pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif sebesar 1% saja akan menghasilkan pendapatan pemerintah sebesar sepertiga hasil dari pajak penghasilan. Metode turn over menimbulkan diskriminasi pengenaan pajak terhadap produk-produk yang harus melalui banyak tahapan (piramida) produksi dan distribusi. Perhitungan pajak menggunakan basis GNP akan mengenakan pajak penjualan atas barang-barang konsumsi dan barang-barang produksi (modal). Basis ini akan sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan kotor; atau perhitungan laba sebelum dikurangi biaya penyusutan. Kelemahan dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari semua sumber dikenakan pajak sepenuhnya dalam jumlah netonya. Kelemahan dalam hal efisiensi, pajak akan memberikan perlakuan diskriminatif dengan mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak dikonsumsikan); dimana dalam pajak penghasilan tidak dikecualikan. Tujuannya adalah mengenakan pajak pada total penghasilan bersih atau Net National Product (NNP), yang sama dengan GNP dikurangi cadangan untuk pembelian barang modal atau penyusutan. Pajak dikenakan dalam beberapa tahapan pada nilai bersih yang ditambahkan oleh setiap perusahaan. Nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi harga pokok produksi dan penyusutan. Pajak pertambahan nilai jenis
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
245
penghasilan membolehkan perusahaan mengurangkan penyusutan untuk jenis penghasilan. Pajak pertambahan nilai jenis konsumsi membolehkan perusahaan mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian barang-barang modal. Hanya pendekatan nilai tambah setiap tahapan yang layak digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan pada produk neto. Pajak penjualan umum bertujuan mengenakan pajak yang mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan komprehensif sebesar 10% menghasilkan revenue sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah), konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dll. Total pengecualiannya dapat mencapai 50% dari potensi penerimaan komprehensif. Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran terasa lebih baik karena memungkinkan pengenaan tarif ad valorem yang seragam. Sedangkan pengenaan pajak ad valorem pada tingkatan produksi, menghasilkan revenue yang tidak sama dengan pengenaan tarif ad valorem pada tingkatan penjualan eceran. Hal ini dikarenakan rasio harga eceran terhadap harga produksi tidak selalu seragam untuk berbagai produk. Tarif yang berbeda untuk setiap produk sulit diaplikasikan dan tidak efisien. Jika pajak bersifat selektif, tahapan pengenaan tarif ad valorem akan lebih mudah dilakukan pada proses produksinya. Proses identifikasi pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, cenderung akan lebih menguntungkan kemudahan administrasi pemungutan pajaknya dibanding pada tingkatan eceran. Walaupun dalam situasi lain (misalnya bahan kain yang digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah), identifikasi menggunakan kriteria bahan baku produk tidak memungkinkan. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan bentuk akhir dari produk pada tahapan penjualan eceran. Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan produksi lebih menguntungkan. Di negara berkembang, perkembangan badan-badan usaha manufaktur cenderung lebih besar, lebih permanen, dan lebih memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha eceran. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi karena jumlah kegiatan penagihan yang lebih sedikit; walaupun hal ini dapat menghasilkan revenue yang berbeda jika diterapkan pada tahap penjualan eceran.
246 §
§
§
Bab 11: Pajak Konsumsi
Pajak konsumsi dapat dikumpulkan dalam satu kali pengenaan, pada titik penjualan final, atau dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan prosedur nilai tambah. Walaupun ada perbedaan, basis nilai tambah dari pajak konsumsi bertahap sama dengan basis penjualan akhir secara eceran; hanya cara penagihannya yang berbeda. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-potongan dimana pajak dikenakan pada tahapantahapan sepanjang proses produksi. Pemilihan satu di antara keduanya lebih didasarkan pada pertimbangan lebih mudahnya proses administrasi. Pertama, dikenal dengan nama metode account, yaitu metode yang meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung. Menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang antara dan barang modal. Kedua, metode faktur (invoice), yaitu metode yang mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan mengalikan tarif pajak terhadap total penjualan. Perusahaan kemudian mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah pajak yang telah dipungut dan disetorkan oleh para pemasok barang-barang antara dan barang-barang modalnya. Problema pajak konsumsi antara lain: (1) Basis Konsumsi Kena Pajak; dimana analogi dengan pajak penghasilan, wajib pajak akan menentukan konsumsinya pada suatu tahun pajak, kemudian akan mengurangkan konsumsi tidak kena pajak yang diperbolehkan, dan menerapkan tarif pajak progresif kepada jumlah sisanya yang merupakan konsumsi kena pajak. (2) Warisan dan Hibah, sehingga seorang pembayar pajak dapat menghindari pajak apabila ia memutuskan sebagian penghasilannya digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima warisan/hibah tidak membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak dikenakan pajak.
LATIHAN 1) 2) 3) 4)
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pajak atas konsumsi di Indonesia! Bagaimana tahapan pengenaan pajak konsumsi dapat diterapkan? Apa yang dimaksud dengan pajak penjualan atas nilai akhir sama dengan jumlah pajak konsumsi atas pertambahan nilai? Jelaskan metode-metode yang digunakan dalam penagihan pajak konsumsi!
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
5)
247
Dilihat dari sisi permasalahan politik, bagaimana dukungan pajak pertambahan nilai dibandingkan dengan pajak penjualan? 6) Beberapa ahli berpendapat bahwa pajak penjualan selektif seperti cukai bersifat regresif. Mengapa pemerintah tetap memberlakukan cukai? Lengkapi jawaban Anda dengan contoh-contoh yang memadai 7) Jelaskan bagaimana efek penerapan pajak penjualan jika dipandang menurut keadilan vertikal dan keadilan horizontal? 8) Bagaimana efisiensi penentuan basis konsumsi kena pajak jika dianalogikan dengan penghasilan kena pajak? 9) Apa perbedaan pajak penjualan yang dikenakan atas turn over dengan pajak atas ad valorem? 10) Didalam konsep pajak pengeluaran atas konsumsi, bagaimana perlakuan atas warisan/hibah?
PAJAK ATAS KEKAYAAN DAN WARISAN
ALASAN-ALASAN KEKAYAAN
PENGENAAN
PAJAK
ATAS
Pajak dikenakan atas kekayaan dengan alasan bahwa kekayaan menerima manfaat publik dan kemampuan untuk membayar. Akan tetapi, mengapa kekayaan hanya dikenakan pada bumi dan bangunan belum ada penjelasan yang masuk akal. Alasan manfaat mengarah pada pemberlakuan pajak bumi dan bangunan jenis in-rem sedangkan pertimbangan kemampuan untuk membayar mengarah pada pemberlakuan pajak kekayaan wajib pajak pribadi.
Alasan Manfaat Pajak atas Kekayaan Pajak dikenakan atas kekayaan karena layanan-layanan publik meningkatkan nilai dari bumi dan bangunan dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh pemiliknya. Argumentasi dukungan ini dapat diturunkan dari
250
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
teori Locke yang menyatakan bahwa negara adalah pelindung bumi dan bangunan, yang dinyatakan pada akhir abad ke-17. Salah satu dari fungsi dasar suatu negara, sebagaimana pendapat para ahli teori hukum alam, adalah pelindung properti. Oleh karena itu, pemilik properti membayar kepada negara untuk biaya-biaya negara tersebut. Bila teori tersebut yang menjadi acuan, basis pajaknya adalah seluruh kekayaan yang dimiliki oleh seseorang atau dapat menggunakan basis pajak kekayaan bersih, yaitu kekayaan wajib pajak dikurangi dengan kewajibannya. Demikian juga, berdasarkan konsep ini, pendapatan dari pajak harus dibatasi hanya sebesar biaya yang diperlukan untuk melaksanakan layanan perlindungan, seperti biaya penegakan hukum, administrasi perundangundangan dan administrasi pengadilan. Walaupun berapa besarnya biaya tersebut masih dapat diperdebatkan, yang pasti tidak semua biaya dari fungsi negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Penggunaan pajak kekayaan untuk mendanai fungsi lain, misalnya pendidikan atau kesehatan, tidak memiliki dasar yang rasional. Pada tingkat pemerintah daerah, penerapan alasan manfaat dapat menjadi lebih spesifik lagi, pemilik properti diharuskan membayar untuk layananlayanan khusus yang meningkatkan nilai dari properti, seperti pembangunan trotoar yang meningkatkan nilai gedung di belakang trotoar tersebut dan juga perlindungan khusus oleh polisi pada daerah-daerah tertentu. Dalam kasuskasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap properti dapat diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau lokasinya. Dalam kasus-kasus lain, manfaat yang dinikmati harus diperkirakan secara relatif terhadap nilai dari properti. Dengan demikian, suatu pajak khusus dapat dikenakan untuk mendanai suatu layanan tertentu. Cara pengenaan seperti ini sangat tepat dikenakan pada pajak-pajak pemda untuk mendanai layananlayanan khusus tadi.
Alasan Kemampuan Membayar Pajak Alasan kemampuan untuk membayar pajak sebagai argumentasi untuk mengenakan pajak atas kekayaan harus dilihat dari konteks sejarahnya. Pada masa lalu, kepemilikan harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan ternak) merupakan indeks yang paling mudah untuk menentukan kemampuan untuk membayar. Sebagian besar pajak yang dipungut oleh negara diterima dalam bentuk barang. Akan tetapi, dalam kondisi modern di mana penghasilan sebagian besar diterima dalam bentuk uang, kekayaan lebih sulit diukur daripada penghasilan. Berdasarkan situasi ini, dapatkah pajak kekayaan dibenarkan untuk alasan kemampuan untuk membayar?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
251
Ada dua kesimpulan yang diambil. Bila penghasilan digunakan sebagai indeks kesetaraan dan penghasilan didefinisikan sebagai secara komprehensif mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis, tidak diperlukan lagi pajak kekayaan sebagai pelengkap. Akan tetapi dalam prakteknya tidak semua penghasilan dapat dicakup dalam pajak penghasilan sehingga memunculkan kebutuhan akan pajak kekayaan sebagai pelengkap. Juga berdasarkan konsep pajak atas konsumsi, pajak tambahan atas kekayaan dapat dibenarkan karena alasan manfaat-manfaat yang dapat timbul dari penumpukkan kekayaan. Walaupun demikian, jika kekayaan dikenakan pajak karena alasan kemampuan untuk membayar, yang diperlukan bukanlah pajak atas bumi dan bangunan tetapi pajak atas kekayaan bersih wajib pajak pribadi.
Alasan Pengendalian Sosial Alasan lain untuk pengenaan pajak kekayaan adalah pengendalian sosial sebagai dampak dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan berbeda dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi konsumsi, dan karenanya masyarakat perlu menanganinya secara terpisah. Untuk tujuan ini, suatu pajak progresif atas kekayaan dan bukannya atas penghasilan adalah instrumen yang tepat. Sebagaimana berdasarkan pendekatan kemampuan untuk membayar, beban pajaknya merupakan pajak pribadi dengan definisi kekayaan secara global. Perbedaannya adalah basisnya lebih cocok menggunakan kekayaan kotor daripada kekayaan bersih karena kekayaan kotor lebih menunjukkan kemampuan kendali ekonomis yang diperoleh oleh pemiliknya.
PAJAK ATAS TANAH Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari properti telah diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Untuk alasan efisiensi, karena pengembalian atas tanah adalah dalam bentuk rente ekonomis (yaitu suatu tingkat pengembalian dari suatu faktor produksi dalam penawaran yang tidak elastis), tanah dapat dipajaki tanpa menimbulkan suatu “excess burden.” Pajak atas tanah juga dapat digunakan untuk mendorong penggunaan tanah yang lebih intensif. Untuk alasan keadilan, kenaikan tanah dapat dipandang sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil sehingga pengenaan pajak atas tanah akan mengembalikan keadilan.
252
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
Struktur Dan Basis Pajak Atas Kekayaan Di Indonesia (Pajak Bumi Dan Bangunan) Jenis pajak atas kekayaan yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas bumi (tanah) dan bangunan. Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, peraturan yang berkaitan dengan pajak atas tanah dan bangunan ini adalah UndangUndang Nomor 11 Prp 1959 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum Belanda (Barat), dan Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 untuk pungutan-pungutan lain daerah atas tanah dan bangunan. Setelah reformasi pajak, dasar hukum yang mengatur pajak atas bumi dan bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994.
Basis Pajak, Tarif Nominal, Rasio Penilaian dan Tarif Efektif Yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. Bumi mencakup permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, meliputi jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olah raga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, dan fasilitas lain yang memberikan manfaat. Beberapa objek pajak dikecualikan dari pengenaan pajak, yaitu: n Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. n Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya dengan itu. n Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. n Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. n Objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
253
Basis pajak untuk objek-objek pajak ini adalah harga pasar wajar atau harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Karena harga ini sulit didapat, yang sering dilakukan adalah menggunakan harga objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau nilai pengganti. Pada prakteknya, basis pajak ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap tiga tahun sekali, kecuali untuk daerah yang mengalami perkembangan pembangunan yang cepat, penetapannya dilakukan setiap tahun. Dari basis pajak ini tidak seluruhnya akan diterapkan PBB. Basis yang akan diterapkan pajak serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%, bergantung pada jenis objek pajaknya. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1998, hanya 40% dan 20% dari basis pajak saja yang akan dikenakan. Pada umumnya, pengenaan tarif pajak hanya akan dikenakan sebesar 20% dari basis pajak kecuali untuk objek-objek pajak tertentu, yaitu: n Objek pajak perumahan yang WP-nya perseorangan dengan basis pajak sama dengan atau di atas Rp1 milyar, tidak berlaku untuk PNS, ABRI, pensiunan janda/duda yang semata-mata dari gaji/uang pensiun. n Objek pajak perkebunan yang luasnya sama dengan atau lebih dari 25 Ha yang dikuasai BUMN dan Badan Usaha Swasta. n Objek pajak kehutanan, termasuk areal blok tebangan dalam kegiatan pemegang HPH, hak pemungutan hasil hutan dan pemegang ijin pemanfaatan kayu. Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5 persen yang merupakan tarif tunggal. Dengan demikian, tarif efektif PBB yang berlaku sekarang ini secara nasional adalah 1 persen dan 2 persen.
Nilai Pasar versus Penghasilan sebagai Basis Penilaian Pertanyaan yang paling mendasar dalam pajak atas kekayaan adalah bagaimana mengukur nilai kekayaan. Apakah kekayaan tersebut diukur dengan nilai jualnya atau nilai sewanya dan apakah nilai yang digunakan adalah nilai aktual atau nilai potensialnya? Negara-negara tertentu, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, menggunakan harga jual atau harga pasar sebagai nilai kekayaan, sedangkan negara-negara lain, seperti Inggris, menggunakan penghasilan sewa aktual yang diperoleh dari harta tersebut. Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan optimal terjadi, perbedaan ini akan hilang karena harga jual dari properti akan sama dengan nilai tunai dari penghasilan sewa aktual di masa depan, yang juga akan sama dengan potensi penghasilannya. Dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi.
254
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
Jika properti kurang didayagunakan maka properti kurang menghasilkan, pengenaan pajak berdasarkan basis penghasilan akan menghasilkan pajak yang rendah, suatu faktor yang sangat penting bagi negara-negara berkembang. Perbedaan lainnya antara pendekatan nilai pasar dan pendekatan penghasilan muncul dari perbedaan dalam menilai risiko. Satu properti dengan penghasilan tahunan sebesar Rp100 juta dapat memiliki nilai pasar sebesar Rp500 juta, sedangkan properti lainnya dengan penghasilan yang sama dapat memiliki nilai pasar dua kali lipat. Penghasilan dikapitalisasi dengan tingkat bunga yang berbeda karena adanya premi risiko yang harus dibebankan pada properti yang pertama. Properti yang pertama terletak pada daerah-daerah bisnis yang perekonomiannya sedang melesu yang menyebabkan properti-properti pada daerah ini memiliki tingkat hasil yang tinggi atas penghasilan bila dibandingkan secara relatif terhadap nilai pasarnya. Untuk situasi-situasi seperti ini, basis pengenaan pajak yang paling baik adalah pendekatan nilai pasar karena memperhitungkan perbedaan tingkat risiko atas properti-properti tersebut. Walaupun penilaian dengan menggunakan nilai jual lebih disukai, akan tetapi penjualan rumah-rumah sejenis tidak terjadi dalam frekuensi yang cukup untuk memberikan basis evaluasi nilai jual. Penilaian dengan perkiraan, berdasarkan jenis rumah dan lokasinya, terpaksa digunakan. Pada negaranegara tertentu, telah dikembangkan prosedur yang canggih untuk melakukan evaluasi atas nilai jual dengan menggunakan persamaan regresi yang berisi sejumlah variabel, yang mengaitkan nilai rumah terhadap berbagai karakteristik. Prosedur seperti ini memiliki keunggulan dalam hal memungkinkan dilakukannya penyesuaian atas nilai tanah dan bangunan lebih sering lagi, yang menjadi sangat penting pada periode-periode inflasi.
Tanah versus Bangunan sebagai Komponen Basis Pajak properti dikenakan atas nilai pasar suatu real estate tanpa membedakan apakah dikenakan pada komponen tanah atau komponen penyempurnaan tanah (bangunan). Dalam sudut pandang ekonomi, pembendaan ini penting sekali karena berkaitan dengan pembebanan pajak. Seperti dikemukakan sebelumnya, pengenaan pajak atas tanah dapat memenuhi unsur efisiensi pajak dan keadilan pajak. Karena penawaran atas tanah jumlahnya tetap, pengenaan pajak atas rente tanah atau mengenakan pajak atas nilai tanah (yang menunjukkan nilai kapitalisasi dari rentenya) telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang paling kecil kemungkinannya menghambat insentif untuk menginvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan). Selain itu, keuntungan yang timbul dari
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
255
kenaikan nilai tanah karena pertumbuhan populasi dan pendapatan dapat dipandang sebagai laba yang tidak diinginkan secara sosial. Dalam prakteknya, pengenaan pajak terjadi sebaliknya. Pada kota-kota besar negara maju, pengenaan pajak atas penyempurnaan tanah (bangunan) telah menghambat investasi pada sektor perumahan, terutama investasi untuk rumah-rumah murah.
Pengurangan Beban Pajak Pajak properti atas rumah tinggal merupakan beban bagi penduduk yang berusia lanjut. Sejumlah besar pemilik rumah yang berpenghasilan rendah adalah orang-orang yang berusia lanjut. Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara untuk menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia lanjut dan keluarga miskin, yang disebut juga dengan circuit breaker.
DISTRIBUSI BEBAN PAJAK PROPERTI (PBB) Beban atas pajak properti merupakan hal yang kontroversial. Satu pandangan menyatakan bahwa pajak properti merupakan pajak atas penghasilan modal apabila dikenakan dalam pasar-pasar yang kompetitif. Pandangan lain membedakan berdasarkan jenis pengenaan dan menempatkan lebih banyak pembahasan pada konsekuensi-konsekuensi dari ketidaksempurnaan pasar.
Pajak Properti sebagai Pajak atas Penghasilan Modal Bila Pajak Properti Dikenakan secara Nasional Misalnya suatu negara memberlakukan suatu pajak nasional atas semua barang modal. Dalam negara tersebut, pajak seperti ini dapat juga dipandang sebagai pajak atas penghasilan modal. Dengan asumsi pasar modal yang sempurna dan penentuan nilai barang modal yang sempurna, suatu pajak sebesar 5 persen yang dikenakan atas nilai dari suatu aset dapat segera diterjemahkan sebagai suatu pajak penghasilan atas penghasilan yang diperoleh dari aset tersebut. Ingat, nilai suatu aset sama dengan nilai tunai dari penghasilannya di masa depan. Misalkan aset tersebut memiliki nilai Rp100 juta dan memperoleh penghasilan tahunan sebesar Rp10 juta, yang sesuai dengan tingkat bunga pasar yang sebesar 10 persen. Hutang pajak berdasarkan pajak 5 persen atas nilai aset akan sebesar Rp5 juta. Angka ini sama dengan 50 persen dari penghasilan aset tersebut. Pajak sebesar 5 persen atas nilai aset
256
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
(pajak properti) adalah sama dengan pajak sebesar 50 persen atas penghasilan properti (pajak penghasilan). Dengan menggunakan rumus umum, nilai dari suatu aset pada pasar modal yang sempurna ditentukan dengan persamaan Y = iV, sehingga V = Y/i, di mana V adalah nilai aset, Y adalah penghasilan tahunan, dan i adalah tingkat bunga pasar. Jika hasil yang sama akan diperoleh dari pajak properti pada tingkat pajak tp dan suatu pajak atas penghasilan aset tersebut pada tingkat pajak ty, maka tpY/i = ty atau tp = ity.1. Dalam suatu pasar di mana barang modal menghasilkan tingkat pengembalian sebesar 10 persen, beban pajak dari suatu pajak kekayaan atas nilai aset modal yang dikenakan dengan tarif Rp5 juta per Rp100 juta nilai aset akan sama dengan beban pajak dari suatu pajak atas penghasilan dari barang modal dengan tarif 50 persen. Dengan demikian, terbukti bahwa pajak kekayaan sama dengan pajak penghasilan atas modal. Dengan beban yang dikenakan dari sisi sumber, pajak seperti itu akan mengurangi tingkat pengembalian bersih dari barang modal dan menjadi beban penerima penghasilan barang modal. Dengan pengecualian pada orang-orang yang berpenghasilan kecil, persentase penghasilan dari barang modal ini sebagai bagian dari total penghasilan akan meningkat besarnya sejalan dengan peningkatan penghasilan, sehingga beban pajaknya progresif. Dalam jangka panjang, penurunan dalam tingkat pengembalian bersih dari modal akan menekan persediaan modal, sehingga mengurangi produktivitas tenaga kerja di masa depan, sehingga beban pajak akan terdistribusi. Bila PBB Dikenakan secara Lokal Jika daerah dibebaskan untuk menentukan tarif atas pajak properti, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, maka kejadian pajak akan terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, modal yang diinvestasikan pada daerah-daerah bertarif tinggi tidak dapat bergerak dan pemiliknya harus menanggung beban pajak yang tinggi. Beban dari pajak atas penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi nilai properti, baik untuk bangunan maupun tanah. Penerima beban pajak dalam jangka pendek adalah pemilik dari properti lokal terkena beban pajak yang lebih tinggi. Beban pajak diterima oleh pemilik properti pada saat pajak tersebut dinaikkan. Mereka tidak dapat mengurangi beban pajak dengan menjual aset yang yang terkena pajak karena nilai properti pun segera terkoreksi. Untuk mengilustrasikan fakta ini, kita mengasumsikan kembali bahwa tingkat pengembalian atas modal sebelum pajak adalah 10 persen, sehingga 1
Ibid. hal. 419-420.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
257
suatu aset yang menghasilkan Rp10 juta per tahun memiliki nilai sebesar Rp100 juta. Sekarang asumsikan suatu daerah tempat aset tersebut mengenakan pajak properti sebesar Rp5 juta untuk setiap Rp100 juta nilai aset. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pajak ini sama dengan pajak penghasilan sebesar 50 persen. Penghasilan bersih berkurang menjadi Rp5 juta, yang bila dikapitalisasikan pada tingkat 10 persen akan menurunkan nilai aset menjadi sebesar Rp50 juta. Jika pemilik aset yang semula ingin menjual aset tersebut, ia harus menanggung kerugian pajak tersebut karena pembeli akan meminta suatu tingkat pengembalian sebesar 10 persen, sama dengan tingkat pengembalian investasi-investasi lain yang tersedia. Beban pajak jatuh pada pemilik aset mula-mula, yaitu pemilik aset sebelum pengenaan pajak tersebut. Pemilik berikutnya yang membeli aset tersebut akan melakukannya hanya pada harga yang lebih rendah sehingga tidak dibebani oleh pajak tersebut. Kerugiannya telah dikapitalisasikan dan tetap berada pada pemilik aslinya. Dalam jangka panjang, bagian pajak yang mengurangi nilai dari tanah tidak berubah. Tanah tidak dapat dipindahkan, sehingga pemilik asli dari tanah pada daerah-daerah berpajak tinggi akan menderita kerugian permanen yang besarnya sama dengan kapitalisasi bagiannya dalam pajak. Tidak ada perbedaan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada umumnya, kepemilikan tanah lebih banyak pada wajib pajak berpenghasilan tinggi, maka beban pajaknya bersifat progresif. Situasinya berbeda apabila yang dikenakan pajak adalah modal, seperti yang diinvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan) yang tidak akan melekat selamanya. Dalam jangka panjang, modal ini akan pindah dari daerah yang berpajak tinggi ke daerah yang berpajak rendah. Pengeluaran pemeliharaan atas aset-aset tua akan berkurang sehingga aset-aset tersebut akan pensiun dan investasi baru pada daerah berpajak tinggi akan menurun. Terjadi penurunan persediaan modal pada daerah berpajak tinggi dan kenaikan persediaan modal pada daerah berpajak rendah. Tingkat pengembalian kotor atas modal pada daerah berpajak tinggi akan naik sedangkan tingkat pengembalian kotor atas modal pada daerah berpajak rendah akan turun. Pergerakan ini akan terus berlangsung sampai tingkat pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak tinggi sama dengan tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain. Seperti situasi pada pajak perseroan, suatu pajak yang dikenakan pada modal dalam satu sektor ekonomi akan dibagi bebannya oleh semua pemilik modal. Seberapa besar perpindahan modal dari daerah yang berpajak tinggi bergantung pada mobilitas keluar dari tenaga kerja. Jika tenaga kerja dapat berpindah dengan segera, tenaga kerja tersebut harus dibayar sebesar apa yang ia terima di tempat lain dan perpindahan modal akan semakin besar. Jika
258
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
tenaga kerja tidak dapat berpindah, pajak akan dinyatakan dalam bentuk pengurangan upah. Karena tenaga kerja yang tidak terampil cenderung kurang mudah bergerak daripada tenaga kerja terampil, situasi seperti ini akan memunculkan pengaruh regresif. Bila tenaga kerja pada daerah berpajak tinggi cenderung merugi, tenaga kerja pada daerah berpajak rendah cenderung beruntung. Demikian juga, pemilik tanah dan pemilik modal lainnya. Pengaruh ini adalah yang paling penting bila dipandang dari perspektif suatu daerah khusus, walaupun secara nasional tidak berpengaruh terhadap distribusi beban pajak. Beban Pajak: Penduduk Lokal versus Penduduk Luar Pajak nasional dan lokal yang akan menjadi perhatian suatu daerah lokal hanya bagian yang akan terbeban bagi penduduknya dan bukan bagian yang menjadi beban penduduk daerah lain. Jadi misalkan suatu properti yang berada pada daerah A dimiliki oleh penduduk daerah B. Akibatnya, beban jangka pendek akan berada pada penduduk luar daerah tersebut sedangkan penduduk lokal menikmati free ride. Akan tetapi, free ride tidak akan dinikmati dalam jangka panjang karena modal akan berpindah ke luar. Dalam jangka panjang, penduduk lokal merasakan bahwa sewa meningkat dan upah turun sedangkan penduduk luar daerah mengalami keuntungan. Semakin besar perpindahan modal, semakin kecil pendapatan yang diperoleh dan semakin besar juga kenaikan sewa dan penurunan penghasilan yang dialami oleh penduduk yang berpajak tinggi. Tidak hanya penduduk lokal tidak mampu mengekspor beban pajak tersebut ketika ditagihkan, tetapi mereka juga mengalami kerugian terhadap pihak luar daerah karena modal makin sedikit tersedia untuk mereka. Dengan demikian kebijakan pajak pemda akan memunculkan pilihan sulit antara (1) laba yang diperoleh dari pemindahan beban pajak kepada penduduk luar daerah melalui pemajakan atas modal yang dimiliki oleh “orang asing” dan (2) bahaya kerugian pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal “asing.” Hal ini juga terjadi pada tingkatan internasional dalam hal perbedaan pajak antar negara. Perbedaan Manfaat Sebagaimana kenaikan dalam tarif pajak properti akan mengurangi nilai dari properti dan mendorong perpindahan modal ke luar, demikian pula penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai dari properti dan menarik modal masuk. Sekolah, sarana rekreasi, jalan raya atau layanan-layanan lokal
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
259
yang lebih baik akan membuat suatu kota atau daerah menjadi tempat yang lebih menarik untuk ditinggali dan menjadi lokasi bisnis. Perbaikan ini akan meningkatkan permintaan akan rumah dan bangunan, mendorong pada peningkatan nilai properti. Efek yang terjadi adalah kebalikan dari kenaikan tarif pajak properti seperti yang diterangkan sebelumnya. Dengan demikian, manfaat-manfaat dari pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi harus lebih besar daripada beban pajaknya supaya nilai properti tidak turun. Kombinasi pajak dan pengeluaran pemerintah daerah akan menyebabkan nilai perumahan menjadi turun, tidak berpengaruh atau naik, bergantung pada berapa besar pungutan pajak diperoleh dan berapa besar manfaat yang diperoleh oleh properti. Jika semua pajak properti dikenakan sesuai dengan prinsip manfaat, kedua pengaruh tadi akan saling menghilangkan dengan nilai properti tidak bergantung pada tarif pajak. Kenyataannya tidak demikian. Pajak properti, seperti PBB, digunakan sebagai sumber pendapatan umum dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya tidak selalu sejalan dengan kontribusi pajak. Walaupun demikian, penyelidikan empiris menunjukkan bahwa nilai properti berkaitan dengan pengeluaran pemerintah yang memberikan manfaat kepada properti dan juga perbedaan pajak, sehingga menyatakan secara jelas pentingnya mempertimbangkan kedua aspek tersebut. Keadilan Pengenaan PBB dan Pajak Penghasilan Karena keberatan utama atas pajak properti berasal dari pemilik rumah, mari kita bandingkan posisi mereka sebagai investor dalam jasa perumahan dengan posisi investor saham perusahaan, dengan mempertimbangkan tidak hanya pajak properti, tetapi juga pajak penghasilan wajib pajak pribadi dan pajak penghasilan perseroan. Walaupun investor pada jasa-jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi berdasarkan pajak properti, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah daripada kombinasi ketiga pajak ini. Hasil ini menunjukkan adanya beban tambahan yang harus ditanggung oleh pemegang saham karena pajak berganda dari pajak penghasilan perseroan dan juga perlakuan yang lebih baik kepada pemilik rumah berdasarkan pajak penghasilan wajib pajak pribadi.
Pola-Pola Alternatif Bagian pajak yang dikenakan atas tanah dapat segera dibebankan kepada pemilik tanah, karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis dan tanah
260
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
tidak dapat dipindahkan, tidak ada penghindaran atas pajak. Distribusi pembebanannya cenderung progresif. Pajak yang dikenakan pada bangunan komersial dapat dipandang sebagai sama dengan pajak penghasilan perseroan. Dalam kasus ini, kita dapat mengasumsikan suatu pasar yang tidak sempurna dan mempostulasikan bahwa sebagian dari pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan kepada konsumen. Bagian dari distribusi beban pajak ini kemudian akan menjadi regresif. Yang tersisa adalah pajak atas rumah tinggal. Sebagaimana masyarakat melihatnya, pajak ini dipandang sebagai pajak atas jasa-jasa konsumsi perumahan. Karena pengeluaran perumahan akan menjadi bagian yang semakin kecil sejalan dengan kenaikan skala penghasilan, pajaknya akan bersifat regresif. Bagaimana pandangan pajak ini, yang merupakan pajak atas pengeluaran perumahan, dapat direkonsiliasikan dengan interpretasi yang lebih awal, yaitu pajak atas penghasilan modal? Perumahan dapat dipandang sebagai pos investasi dan juga (dalam kasus perumahan yang ditinggali pemiliknya) sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Karena itu, pemilik yang menempati akan bersedia menerima sewa imputed yang lebih rendah pada perumahan daripada pada investasi lainnya. Sebagian dari beban pajak akan terserap dalam sewa-kepemilikan ini dan didistribusikan sejalan dengan konsumsi dan bukannya dibagikan kepada semua penghasilan modal. Penjelasan di atas tidak berlaku untuk properti yang disewakan, dimana pemiliknya hanya mempertimbangkan pilihan investasi. Jika pasarnya kompetitif, modal yang diinvestasikan pada rumah sewaan akan meminta tingkat penghasilan yang sama dengan modal-modal lain. Dengan demikian, distribusi bebannya sejalan dengan penghasilan modal. Akan tetapi hasilnya akan berbeda bila pasar sewa tidak sempurna sebagaimana yang sering terjadi. Pajak dapat mengarah pada peningkatan batas atas sewa atau pelonggaran dari penentuan harga monopoli yang dibatasi sebelumnya. Tingkat pajak properti efektif cenderung akan tinggi pada lingkungan berpenghasilan rendah dan sebagian disebabkan oleh pengenaan pajak pada tarif yang lebih tinggi di tengah-tengah kota pada lingkungan berpenghasilan rendah. Tambahan beban pajak ini akan ditanggung pula oleh penyewa.
PAJAK ATAS KEKAYAAN BERSIH Pengalaman berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas Kekayaan Bersih
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
261
Pajak atas kekayaan bersih diberlakukan pada beberapa negara, seperti Belanda, Jerman, negara-negara Skandinavia, Swiss, India dan beberapa negara Amerika Latin. Di kebanyakan negara, pajak ini dikenakan hanya kepada individu, walaupun pada beberapa negara (seperti Jerman dan India) juga dikenakan kepada perseroan. Definisi dari aset kena pajak biasanya mencakup aset berwujud dan aset tak berwujud. Kewajiban hutang juga dapat dikurangkan untuk memperoleh angka kekayaan bersih. Akan tetapi, beberapa negara tidak membolehkan kewajiban tidak berkaitan dengan perolehan aset kena pajak. Orang pribadi diberikan pengecualian dan tarif pajak dapat proporsional (umumnya 1 persen atau kurang) atau progresif ( berkisar sampai 2,5 persen). Pajak atas kekayaan bersih, kecuali di Swiss, merupakan pajak pusat. Negara yang menggunakan pajak ini umumnya menerapkannya sebagai pajak tambahan atas pajak properti sehingga pendapatan dari pajak atas kekayaan bersih hanya merupakan bagian kecil (di bawah 5 persen) dari total pendapatan pajak. Pajak ini merupakan salah satu komponen penting dalam struktur pajak karena pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap terhadap cakupan atas penghasilan modal yang tidak efektif dalam pengenaan pajak penghasilan, suatu aspek yang sangat penting pada negara-negara berkembang karena sulitnya mengenakan pajak atas penghasilan modal. Untuk negaranegara lain, pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap untuk pajak pengeluaran.
Struktur dan Basis Pajak Basis Pajak Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang pribadi dan perseroan. Dengan demikian beberapa aspek atau diskusi tentang basis pajak pada pajak penghasilan juga berlaku pada pajak kekayaan bersih ini. Seperti, sejalan dengan metode integrasi dari pajak laba perseroan, kekayaan bersih dari perseroan harus diperhitungkan kepada pemiliknya. Basisnya juga harus didefinisikan secara global sehingga dapat memberikan perlakuan yang sama pada semua komponen kekayaan bersih. Selain itu, prinsip keseragaman harus diterapkan baik kepada sisi aset maupun sisi kewajiban pada neraca. Semua aset berwujud dan tak berwujud, aset berpenghasilan dan yang tidak berpenghasilan semuanya dimasukkan. Demikian juga, semua kewajiban hutang juga dikurangkan.
262
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
Mengukur Kekayaan Bersih Administrasi pajak atas kekayaan bersih mengharuskan adanya identifikasi atas aset kena pajak dan verifikasi atas hutang yang dapat dikurangkan dari kekayaan. Oleh karena itu, SPT-nya harus melampirkan neraca tahunan yang berisi daftar harta dan kewajiban pembayar pajak. Berkenaan pelaporan tersebut ada beberapa permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah terhadap laporan yang diberikan: n Pemerintah harus memastikan bahwa semua aset telah dinyatakan. n Penilaian aset. Kesulitan-kesulitan yang melekat dalam penilaian aset seperti yang telah didiskusikan dalam kaitannya dengan pajak atas penghasilan modal juga terjadi dalam penerapan pajak kekayaan bersih ini. Seringkali diperlukan estimasi dalam menentukan nilai-nilai aset, terutama yang tidak diperjualbelikan. Dengan demikian, aset yang menjadi subjek pajak properti (terutama bila pengenaannya disamakan) dapat dinilai dengan cara itu, sedangkan aset lain, seperti sekuritas yang diperdagangkan, dapat dinilai berdasarkan harga penawaran di pasar. Untuk sisanya, perkiraan yang kasar (seperti biaya perolehan dikurangi dengan penyusutan) harus digunakan. n Penentuan hutang-hutang yang dapat dikurangkan. Kesulitan dalam mengadministrasikan suatu pajak atas kekayaan bersih yang baik sangat banyak sehingga lama-lama pajak ini terdegenerasi menjadi pajak atas bumi dan bangunan saja. Akan tetapi, kesulitan ini tidaklah sangat besar. Bila dikaitkan dengan administrasi pajak penghasilan, dan secara khusus dengan administrasi pajak pengeluaran, dapat memunculkan elemen self enforcement. Perolehan aset harus dinyatakan untuk meminimalkan pajak pengeluaran, pernyataan ini akan menambah basis dari pajak atas kekayaan bersih.
Peranan Harta Tak Berwujud (Intangibles) Klaim kepada swasta Asumsikan suatu keadaan di mana tidak ada hutang publik atau uang yang dikeluarkan pemerintah. Semua instrumen hutang adalah antara orang pribadi. Misalnya hanya ada dua orang, yaitu A dan B, yang posisi kekayaannya adalah berikut:
263
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
A Harta berwujud Hutang Piutang Kekayaan bersih
100.000 10.000 90.000
B 50.000 10.000 60.000
A+B 150.000
150.000
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, basis total untuk suatu pajak atas harta berwujud dan kekayaan bersih akan sama, yaitu sebesar Rp150.000. Jika kita menagih sebesar Rp15.000 dari suatu pajak sebesar 10 persen atas semua harta berwujud, A akan membayar sebesar Rp10.000 dan B akan membayar sebesar Rp5.000. Jika kita mengumpulkan jumlah yang sama dengan menggunakan pajak atas kekayaan bersih, A akan membayar sebesar Rp9.000 dan B akan membayar sebesar Rp6.000. Pada awalnya, hal ini menyarankan bahwa A akan lebih menyukai pajak atas kekayaan bersih sedangkan B akan lebih menyukai pajak properti. Akan tetapi, pasar akan menyesuaikan sedemikian rupa sehingga ketika pajak atas properti dikenakan, peminjam tidak akan bersedia membayar pada tingkat bunga yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya karena penghasilan bersih mereka dari investasi pada properti akan menurun. Pemberi pinjaman harus puas dengan suatu tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga sebagian beban pajak dipindahkan dari A ke B. Pada akhirnya, distribusi beban pajak akan sama dengan yang terjadi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih, yaitu sejalan dengan distribusi kekayaan. Jika suatu tarif proposional dikenakan, pilihan di antara keduanya tidak ada permasalahan. Sebaliknya, keduanya berbeda apabila pajak diterapkan dengan tarif progresif. Sesuai dengan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa distribusi beban dari suatu tarif progresif pada properti (di mana basis A dua kali basis B) akan berbeda dengan yang dikenakan pada basis kekayaan bersih (di mana basis A hanya lebih besar 50 persen daripada basis B). Karena pajak pribadi mengharuskan adanya pengenaan pajak berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar, pajak atas kekayaan bersih adalah bentuk yang paling baik dari pajak atas kekayaan. Klaim terhadap Pemerintah Perbedaan lebih lanjut dapat terjadi jika kita mengasumsikan adanya klaim terhadap pemerintah, apakah klaim itu dalam bentuk hutang publik atau uang yang didukung oleh kredit bank sentral. Klaim seperti ini akan menambah
264
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
kekayaan dari seseorang tanpa mengurangi kekayaan dari orang lainnya. Klaim-klaim seperti ini dapat menjadi tambahan pada basis kekayaan bersih bagi seluruh kelompok secara keseluruhan. Misalnya tabel di atas dimodifikasi sebagai berikut: A Kekayaan bersih dari tabel sebelumnya Klaim terhadap pemerintah Kekayaan bersih
90.000 70.000 160.000
B 60.000 20.000 80.000
A+B 150.000 90.000 240.000
Dalam kasus ini, penagihan sebesar Rp15.000 berdasarkan pajak atas kekayaan bersih tarif tetap akan mengharuskan pengenaan tarif sebesar 6,2 persen, dan mendapatkan Rp9.888 dari A dan Rp5.112 dari B. Untuk mendapatkan sejumlah pendapatan yang sama dengan pajak properti, suatu tarif sebesar 10 persen, dengan pembayaran sebesar Rp10.000 dan Rp5.000 masing-masing. Pasar sekali lagi akan mengkompensasikan untuk pengurangan tingkat pengembalian bersih dari properti, tetapi beban A akan tetap lebih tinggi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih daripada pajak atas properti.
BEA ATAS MODAL Satu bentuk pajak kekayaan lainnya adalah bea atas modal. Dikenakan sekali dan selamanya, bea ini telah digunakan oleh beberapa negara dalam situasi-situasi mendesak seperti reformasi moneter untuk menghentikan inflasi setelah perang. Jika sifatnya benar-benar satu kali dan selamanya, yang tidak diharapkan akan terjadi kembali, bea seperti itu berbeda dari bentuk pajak kekayaan lainnya karena ketiadaan efek-efek mengganggu terhadap ekonomi. Hal ini menambah daya tarik pajak jenis ini sebagai instrumen pajak redistribusi, akan tetapi asumsi mendasar tentang aplikasinya yang unik dan tanpa diharapkan terjadi kembali menyebabkan pajak ini tidak termasuk bagian dari struktur pajak normal.
ALASAN-ALASAN PENGENAAN PAJAK ATAS WARISAN APajak atas warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang dikenakan pada saat pemindahan dengan mewariskan atau menghibahkan, jadi tidak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
265
dikenakan setiap tahun. Pajak atas warisan dapat diterapkan pada tingkatan nasional maupun pada tingkatan lokal. Walaupun basisnya telah berkembang secara substansial di negara-negara maju, pajak atas warisan tidak akan menjadi sumber pendapatan utama suatu negara. Akan tetapi, pajak atas warisan mendapat perhatian luas karena filosofi sosial dan sebagai instrumen kebijakan untuk menyesuaikan distribusi kekayaan. Untuk alasan inilah pajak atas warisan secara potensial merupakan elemen yang penting dalam struktur pajak. Pajak atas warisan dapat dikenakan dalam berbagai bentuk. Pajak ini juga dikenakan dengan berbagai alasan tertentu. Pajak dapat dikenakan pada warisan secara keseluruhan atau atas jumlah yang diterima oleh ahli waris. Sepintas, tidak ada perbedaan apakah pajak dikenakan atas warisan atau kepada penerima warisan. Akan tetapi, apabila tarif pajak yang dipakai tidak proporsional, perbedaan pengenaan ini dapat menimbulkan perbedaan jumlah pajak.
TUJUAN DAN JENIS PAJAK ATAS WARISAN Beberapa hal berikut yang memunculkan pengenaan pajak atas warisan pada suatu masyarakat: § Masyarakat mungkin ingin membatasi hak seseorang untuk membagikan hartanya pada saat meninggal. Orang pribadi dapat menggunakan harta mereka ketika mereka masih hidup tetapi hak kepemilikan mereka berakhir ketika meninggal. Dalam hal ini, suatu pajak atas kekayaan dapat diberlakukan. Jika masyarakat ingin membolehkan orang untuk mewariskan secara bebas sampai sejumlah tertentu, dapat diberlakukan suatu pengecualian. Jika masyarakat ingin menyita warisan yang melebihi suatu jumlah tertentu, sejumlah warisan di atas sejumlah tertentu dikenakan pajak 100 persen. § Masyarakat dapat membuat batas sampai generasi tertentu suatu warisan dapat dipindahkan sepanjang generasi. Dalam hal ini, tingkatan tarif pajak atas warisan yang dapat diterapkan akan naik ketika kekayaan diwariskan pada generasi berikutnya, suatu pendekatan yang pertama kali disarankan oleh ahli ekonomi Italia, Eugino Rignano. § Masyarakat juga dapat membatasi hak seseorang untuk mendapatkan kekayaan dari warisan yang merupakan perolehan kekayaan tanpa usahanya sendiri. Dalam hal ini, pajak dapat dikenakan kepada ahli waris. Jika diinginkan, dapat diatur perolehan harta tertentu melalui warisan dapat
266
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
dibebaskan tetapi membedakan antara perolehan-perolehan besar dan kecil. Tarif progresif dapat diterapkan juga untuk cara ini. § Masyarakat juga dapat menggunakan pajak untuk mencapai tujuan yang lebih umum mencapai distribusi kekayaan yang lebih adil. Tradisi pewarisan merupakan satu faktor utama yang menimbulkan konsentrasi kekayaan. Pajak atas warisan dapat digunakan untuk mengurangi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ini. § Pajak pada saat kematian dapat dipandang sebagai pelengkap atas pajak penghasilan. Berdasarkan pendekatan tambahan kemampuan ekonomis dari pajak penghasilan, penerimaan dari suatu warisan menambah kemampuan ekonomis penerimanya sehingga selayaknya dimasukkan sebagai penghasilan bagi ahli waris. Bila warisan dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan, suatu pajak atas warisan (yang tarifnya disesuaikan dengan penghasilan dari ahli waris) dapat dipandang sebagai koreksi atas definisi penghasilan yang kurang baik dalam pengenaan pajak penghasilan. Hal yang sama juga dapat dinyatakan untuk peranan dari pajak atas warisan (yang dikaitkan dengan konsumsi dari pewaris) sebagai koreksi untuk definisi basis yang efektif dalam hal pajak pengeluaran yang tidak memasukkan warisan dalam basisnya. § Pajak atas warisan dapat dipandang sebagai suatu alternatif terhadap pajak atas penghasilan modal selama masa hidup penerimanya. Penggantian pajak penghasilan modal yang progresif menjadi pajak atas warisan akan mengurangi pengaruh disinsentif pada menabung dan investasi. Oleh karena itu, pilihan antara pendekatan pajak atas warisan atau pajak kepada ahli waris bergantung pada tujuan-tujuan yang akan dicapai dengan merancang pajak tersebut. Hanya jika tarif pajaknya proporsional tidak ada perbedaan apakah dikenakan atas warisan atau dikenakan kepada ahli waris. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya tidak harus mutually exclusice. Dalam mencapai tujuan 1 dan 3 di atas, masyarakat dapat menerapkan pajak atas warisan (yang mengurangi hak pewaris membagikan hartanya) dan pajak kepada ahli waris yang dirancang untuk membatasi hak ahli waris untuk menerima dan/atau mengkompensasikan ketidaktercakupan warisan ke dalam penghasilan kena pajak. Pilihan di antara tujuan-tujuan ini dan pemilihan pajak yang tepat bukanlah permasalahan yang sama dengan pertanyaan bagaimana transaksi-transaksi pada saat kematian (penerimaan suatu warisan atau memberikan warisan) harus diperlakukan dalam suatu pajak penghasilan atau pengeluaran.
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN KHUSUS
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
267
Capital gain Di Amerika Serikat, aset untuk tujuan pajak warisan dinilai berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya sebesar harga perolehan aslinya. Basis yang baru ini kemudian digunakan untuk tujuan pengenaan pajak atas penghasilan modal pada saat penjualan aset tersebut oleh ahli waris. Jadi, hanya peningkatan harga dari saat kematian saja yang diperhitungkan, membuat peningkatan harga sebelum kematian tidak dipajaki.
Pengurangan karena Status Pernikahan Permasalahan perlakuan terhadap unit keluarga yang muncul pada pajak penghasilan, terjadi juga pada pajak warisan. Apabila salah satu pasangan meninggal, warisan dapat diberikan kepada pasangannya yang masih hidup tanpa dikenakan pajak. Hal ini sesuai dengan pendekatan unit keluarga dalam pajak penghasilan. Harta yang diwariskan kepada pasangan yang masih hidup diperlakukan seolah-olah harta tersebut adalah harta bersama, walaupun sebelum kematian kepemilikannya terpisah. Aturan yang sama tidak berlaku untuk anak dan anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, aturan sampai seberapa jauh hubungan kekeluargaan menyebabkan pengecualian dari pengenaan pajak sangat bergantung pada peranan keluarga dalam kaitannya dengan hak untuk memindahkan harta setelah meninggal.
Sumbangan kepada Lembaga Sosial Sumbangan sosial juga penting dalam pajak atas warisan/hibah. Pada umumnya tidak ada batasan pengurangan atas sumbangan sosial dalam kerangka pajak atas warisan. Peranan dari sumbangan sosial dalam pajak warisan, sebagaimana juga dalam pajak penghasilan, melibatkan faktor-faktor budaya, sosial dan politik yang sudah di luar pembahasan kebijakan pajak. Organisasi-organisasi yang didukung oleh sumbangan-sumbangan tidak kena pajak telah mencapai tujuan-tujuan yang berguna bagi masyarakat yang tidak dapat dicapai melalui anggaran negara, akan tetapi pembebasan pajak ini mendorong timbulnya kendali privat yang tinggi dalam penggunaan dana yang sebenarnya dana publik.
Bisnis Keluarga Para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga. Salah satu keberatan yang dimunculkan adalah pajak atas warisan dapat membuat
268
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
ahli waris harus melikuidasi perusahaan dengan persyaratan-persyaratan yang tidak menguntungkan dalam rangka membayar pajak tersebut. Keberatan ini sebenarnya bukan masalah besar karena dapat diatasi dengan aturan-aturan yang liberal untuk pembayaran yang dicicil atau ditunda. Walaupun demikian, pembayaran pajak akan mengharuskan suatu likuidasi, yang tidak harus melibatkan pemecahan unit usaha. Unit tersebut dapat dijual secara keseluruhan atau sebagian dari ekuitas dapat dipindahkan kepada pihak luar. Konsekuensi yang mungkin sulit dicegah adalah gangguan atau pengurangan terhadap kendali keluarga atas bisnis sebagai akibat dari pengenaan pajak apabila kekayaan yang diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga.
RANGKUMAN §
§
Pajak atas bumi dan bangunan adalah jenis praktek pajak kekayaan yang paling sering muncul. Alasan kemampuan dimana pada masa lalu, kepemilikan harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan ternak) merupakan kriteria yang paling mudah untuk menentukan kemampuan untuk membayar. Dengan konsep kesetaraan, pajak kekayaan tidak diperlukan apabila pajak penghasilan didefinisikan secara komprehensif mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis. Dalam hal konsep pajak atas konsumsi, pajak kekayaan dapat dibenarkan karena alasan mengurangi penumpukkan kekayaan. Alasan pengenaan pajak kekayaan atas dasar manfaat adalah bahwa layanan-layanan publik meningkatkan nilai dari bumi dan bangunan. Oleh karenanya pemilik kekayaan dapat diharuskan membayar kepada negara untuk biaya-biaya negara tersebut. Tidak semua biaya dari fungsi negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Dalam kasus-kasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap kekayaan dapat diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau lokasinya. Penggunaan pajak kekayaan untuk mendanai pendidikan, misalnya, tidak memiliki dasar yang rasional.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
269
Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan berbeda dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi konsumsi, dan karenanya masyarakat perlu menanganinya secara terpisah. Basisnya lebih tepat didefinisikan sebagai kekayaan kotor daripada kekayaan bersih karena kekayaan kotor lebih menunjukkan cakupan kendali ekonomis yang diperoleh oleh pemiliknya. Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari kekayaan telah diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Alasan efisiensi karena tanah dapat dipajaki tanpa menimbulkan suatu excess burden. Karena pengembalian atas tanah berada dalam posisi penawaran yang tidak elastis. Alasan keadilan karena kenaikan nilai tanah dapat dipandang sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil. Selain itu, pajak atas tanah juga dapat digunakan untuk mendorong penggunaan tanah yang lebih intensif. Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan optimal terjadi, tidak ada perbedaan karena harga pasar dari kekayaan sama dengan nilai kapitalisasi dari penghasilan aktual. Dalam kenyataannya, nilai kapitalisasi penghasilan aktual dan nilai pasar tidak selalu menghasilkan angka yang sama. Jika kekayaan kurang didayagunakan, pengenaan pajak berdasarkan basis penghasilan aktual akan menyajikan nilainya yang terlalu rendah. Perbedaan lainnya ada dalam risiko yang ditanggung. Jika terdapat perbedaan hasil, basis pengenaan pajak yang paling baik adalah pendekatan nilai pasar; karena memperhitungkan adanya perbedaan tingkat risiko atas kekayaan-kekayaan tersebut. Pajak tanah telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang paling kecil kemungkinannya menghambat insentif investasi real estate. Dalam prakteknya, pengenaan pajak tanah dapat berakibat sebaliknya. Terutama pada kota-kota besar dan negara-negara maju, pengenaan pajak atas pematangan tanah telah menghambat investasi perumahan, terutama investasi untuk rumah-rumah murah. Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara untuk menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia tua dan keluarga dengan penghasilan rendah, yang disebut juga dengan circuit breaker. Circuit breaker berupa kredit pajak dapat berakibat pajak negatif. Dengan asumsi pasar modal dan prosedur penilaian yang sempurna, suatu pajak yang dikenakan atas nilai dari suatu aset dapat segera diterjemahkan sebagai suatu pajak penghasilan atas penghasilan yang diperoleh dari aset tersebut. Dalam jangka pendek beban dari pajak atas penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi nilai dari kekayaan. Dalam jangka
270
§
§
§
§
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
panjang, untuk barang tetap: pemilik tanah pertama akan menderita kerugian permanen yang besarnya sama dengan kapitalisasi beban pajak. Untuk barang bergerak: modal ini akan pindah dari daerah yang berpajak tinggi ke daerah yang berpajak rendah; akan terus berlangsung sampai tingkat pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak tinggi sama dengan tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain Dalam menyikapi pajak nasional dan pajak lokal, kebijakan suatu pemda hanya memperhatikan bagian yang penduduknya: keuntungan dari penggeseran beban pajak kepada pihak luar melalui pemajakan atas modal yang dimiliki oleh bukan penduduk lokal, dan bahaya kerugian pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal asing. Semakin besar perpindahan modal berarti semakin kecil pendapatan yang diperoleh. Semakin besar kenaikan sewa berarti penurunan penghasilan oleh penduduk daerah yang berpajak tinggi. Penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai kekayaan dan menarik modal masuk. Perbaikan layanan publik ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan rumah dan bangunan, mendorong peningkatan nilai kekayaan, dan karenanya menimbulkan efek kebalikan dari kenaikan tarif pajak kekayaan. Pajak kekayaan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya tidak selalu sejalan dengan kontribusi wajib pajak. Keberatan utama atas pajak kekayaan datang dari individu yang memiliki banyak rumah sebagai investasinya. Walaupun investor pada jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi dalam kerangka pajak kekayaan, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah dibanding kombinasi pajak kekayaan, pajak penghasilan perorangan, dan pajak penghasilan perseroan yang diderita investor saham. Kebijakan distribusi beban pajak properti pada dasarnya berbentuk: pajak atas tanah dan pajak atas bangunan. Lebih lanjut, pajak atas bangunan dibedakan menjadi bangunan komersial dan bangunan perumahan. Pajak atas tanah dapat segera dibebankan kepada pemilik tanah, karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis. Distribusi pajak atas tanah progresif. Pajak yang dikenakan pada bangunan komersial dapat dipandang sebagai sama dengan pajak penghasilan badan. Dalam pasar yang tidak sempurna, sebagian dari pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan kepada konsumen. Distribusi pajak bangunan komersial regresif. Rumah tidak hanya dapat dipandang sebagai pos investasi, tetapi juga dipandang sebagai barang konsumsi yang tahan lama (ketika rumah ditempati pemiliknya). Pajak atas bangunan perumahan dapat dikenakan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
271
sebagai pajak konsumsi atas jasa-jasa perumahan. Karena pengeluaran konsumsi rumah tinggal akan semakin kecil sejalan dengan kenaikan skala penghasilan rumah, pajaknya bersifat regresif. Tarif pajak kekayaan yang tinggi di kota-kota metropolitan, sebagian dibayar oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Praktek pajak kekayaan di seluruh dunia, yang diterapkan hampir seragam sebagai pajak in rem, atas tanah dan bangunan sering tidak mengarah pada pajak perseorangan dan tidak atas basis kekayaan bersih. Pajak atas kekayaan bersih umumnya dikenakan sebagai pajak pusat. Definisi dari aset kena pajak biasanya mencakup aset berwujud dan aset tak berwujud dan dalam banyak kasus semua kewajiban atau hutang berkaitan kepemilikan aset dapat dikurangkan. Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang pribadi; bukan perseroan. Sedangkan kekayaan bersih perusahaan harus diperhitungkan kepada pemiliknya (sebagai orang pribadi). Semua aset berwujud dan tak berwujud, aset berpenghasilan dan yang tidak berpenghasilan diperhitungkan. Demikian juga, semua kewajiban hutang dikurangkan. Menghitung kekayaan bersih menghadapi permasalahan dalam hal penilaian aset (asset valuation) dan menentukan hutang-hutang yang dapat dikurangkan. Penilaian aset menggunakan estimasi, harga pasar, dan harga pokok dengan penyusutan. Prinsip self enforcement dapat digunakan dimana pembelian aset dapat dikeluarkan dari basis pajak konsumsi, tetapi harus menambah jumlah basis kekayaan bersih kena pajak. Pengenaan tarif pajak kekayaan proposional (flat) tidak menghasilkan nilai yang berbeda untuk basis kekayaan bruto dan neto. Hal ini dengan asumsi tidak ada hutang publik dan pasar yang kompetitif akan menyesuaikan perbedaan nilai yang didapat dari kedua metode. Sebaliknya, hasil distribusi akan berbeda apabila pajak diterapkan dengan tarif progresif. Hutang Publik (klaim kepada pemerintah) dapat menambah kekayaan seseorang tanpa mengurangi kekayaan orang lain. Walaupun pasar akan tetap menyesuaikan, tetapi pola distribusi beban pajak kekayaan tidak sama antara metode kekayaan bruto dengan metode kekayaan bersih. Bea atas modal dikenakan sekali untuk selamanya. Metode ini telah digunakan oleh beberapa negara dalam situasi-situasi mendesak seperti reformasi moneter untuk menghentikan hyper inflasi setelah perang. Sifat pungutan yang sekali untuk selamanya tidak mengganggu perekonomian
272
§
§
§
§
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
secara keseluruhan. Tetapi jenis pajak ini tidak termasuk bagian dari struktur pajak normal. Pajak warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang dikenakan satu kali saja, yaitu pada saat pemindahan dengan mewariskan atau menghibahkan. Pajak warisan dapat diterapkan pada tingkatan nasional maupun lokal. Pajak warisan mendapat perhatian luas karena filosofi sosial dan sebagai instrumen kebijakan untuk menyesuaikan distribusi kekayaan. Pajak dapat dikenakan pada warisan secara keseluruhan atau atas jumlah yang diterima oleh ahli waris. Jika tarif pajak yang dipakai tidak proporsional (flat), perbedaan basis pengenaan dapat menimbulkan perbedaan jumlah pajak. Pajak warisan bermanfaat untuk: membatasi hak seseorang untuk membagikan hartanya pada saat meninggal, membatasi hak seseorang untuk memindahkan kekayaannya ke generasi-generasi berikutnya, membatasi hak seseorang untuk mendapatkan kekayaan dari warisan, misalnya karena tanpa usahanya sendiri, mencapai distribusi kekayaan yang lebih adil serta menghindari konsentrasi kekayaan, melengkapi pajak penghasilan, dan menjadi alternatif dari pajak atas penghasilan modal selama masa hidupnya. Pilihan antara pendekatan (1) pajak atas warisan atau (2) pajak kepada ahli waris bergantung pada tujuan-tujuan yang akan dicapai. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya tidak harus saling menghilangkan (mutually exclusice). Permasalahan khusus dalam pajak warisan antara lain: (1) Capital gain dimana pajak warisan dinilai berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya harga perolehan aslinya. (2) Status pernikahan dimana warisan dapat diberikan kepada pasangannya yang masih hidup bebas dari pajak. Aturan yang sama tidak berlaku untuk anak dan anggota keluarga lainnya. (3) Lembaga sosial dimana sumbangan sosial dikecualikan dalam pajak warisan. (4) Bisnis keluarga dimana para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga.
LATIHAN 1. 2.
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pajak atas konsumsi! Sebutkan dan jelaskan metode-metode yang digunakan dalam penagihan pajak!
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
3.
273
Jelaskan dan berikan contoh, tahapan pengenaan pajak yang tepat pada saat : a. Produk sedang diproduksi (dibagi pertahapan produksi). b. Produk selesai diproduksi. c. Produk siap dipasarkan secara eceran. 4. Dilihat dari sisi permasalahan politik, apa perbedaan Pajak Pertambahan Nilai dengan pajak penjualan? 5. Cukai hanya dikenakan pada barang-barang tertentu dan membutuhkan biaya ekstra, tetapi mengapa pemerintah tetap memberlakukan cukai? Apa alasannya? 6. Jelaskan bagaimana keadilan vertikal dan keadilan horizontal suatu pajak penjualan umum? 7. Bagaimana cara menentukan konsumsi tahunan wajib pajak? 8. Apa yang dimaksud dengan pajak warisan? 9. Jelaskan manfaat pajak warisan! 10. Mengapa pajak kekayaan dapat dipandang sebagai pelengkap atas pajak penghasilan? 11. Bagaimana efek pengenaan pajak dalam pajak atas warisan yang dipergunakan sebagai kontribusi bagi lembaga sosial? 12. Bagaimana pengenaan pajak apabila kekayaan yang diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga?
274
Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan Warisan
PAJAK INTERNASIONAL
Transaksi internasional bukan merupakan hal yang baru. Transaksi tersebut sudah dilakukan sejak jauh sebelum abad Masehi. Ekonom klasik menaruh perhatian terhadap perdagangan internasional. Adam Smith atau David Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan spesialisasi produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya, mengekspor barang tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang lain dengan lebih efisien. Sebagai contoh, negara dengan tenaga kerja murah akan lebih baik memproduksi barang bercirikan padat karya, seperti tekstil dan sepatu. Negara dengan kemampuan teknologi tinggi sebaiknya memproduksi barang seperti komputer atau perangkat lunak. Kemudian kedua negara tersebut akan melakukan pertukaran: negara yang satu mengekspor tekstil dan mengimpor komputer, sedangkan yang lainnya
276
Bab 13: Pajak Internasional
mengekspor komputer dan mengimpor tekstil. Dengan cara semacam itu kemakmuran dunia akan semakin meningkat. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai doktrin keunggulan komparatif. Asumsi dalam teori tersebut adalah bahwa faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan mesin tidak mudah berpindah (tidak mobile), sedangkan barang yang dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah. Juga teori tersebut mengasumsikan pertukaran barang komoditi, bukannya barang yang terdiferensiasi. Daya saing suatu negara sudah ditentukan (given), tergantung sumber daya yang dipunyai. Faktor lain seperti ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan dalam teori tersebut. Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan komparatif. Jika ekonomi klasik mengasumsikan bahwa faktor produksi tidak mudah berpindah, perusahaan multinasional dibangun dengan asumsi bahwa faktor produksi sangat mobile. Perusahaan multinasional bisa memproduksi barang di Indonesia (karena tenaga kerja murah), kemudian memperoleh modal dari pasar keuangan eropa, produk didesain di prancis, kemudian barang jadi dijual ke Amerika Serikat, sedangkan pusat perusahaan tersebut di Jepang. Faktor produksi tidak dibatasi oleh batas-batas negara, tetapi sudah melintas batas-batas negara. Koordinasi dan alokasi sumber daya menjadi kunci pengelolaan perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional berusaha mengoptimalkan sumber daya yang ada di dunia ini tidak terbatas pada batas-batas negara. Gambaran mengenai perusahaan multinasional tersebut di atas menunjukkan fakta bahwa semakin hari akan semakin meningkat saling ketergantungan perekonomian dunia dan kondisi ini akan semakin mempengaruhi aspek internasional dalam hal keuangan publik. Penyatuan perekonomian Eropa ke dalam pasar bersama, makin meningkatnya peranan perusahaan multinasional, pembiayaan badan kerjasama internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan NATO, dan ketimpangan distribusi pendapatan internasional akan mengarah kepada perlunya koordinasi fiskal internasional. Setiap negara tentunya akan mengatur bagaimana negara tersebut akan menarik pajak terhadap pendapatan warga negaranya yang diperolehnya dari luar negeri dan pendapatan warga negara asing yang berasal dari dalam negeri. Sejalan dengan kondisi tersebut suatu negara tentunya juga harus mengatur bagaimana pajak produk dan pajak penjualan dari negara bersangkutan akan diterapkan pada sistem ekspor impornya. Keputusan ini tentunya akan diambil secara bersama-sama dengan negara lain dan perjanjian pajak internasional merupakan suatu media yang dapat mengkoordinasikan masalah-masalah tersebut. Dalam hal penerapan koordinasi pajak internasional, terdapat beberapa asas yang perlu diperhatikan yang diantaranya adalah:
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§ § §
277
Keadilan antar perorangan. Keadilan antar negara. Efisiensi.
Keadilan Antar Perorangan Dalam prakteknya, jika seseorang menerima pendapatan yang berasal dari berbagai negara, dia akan dikenakan pajak lebih dari satu kali. Misalnya adalah Mr. A, seorang warga negara Amerika Serikat, yang dalam masa tertentu bekerja di Indonesia, akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan Indonesia atas penghasilan yang diperolehnya di Indonesia. Dalam kasus lain, Mr. A juga melakukan investasi di Indonesia dan menerima dividen yang dikenakan pajak oleh Indonesia. Karena dia juga menerima pendapatan sebagai warga negara Amerika Serikat, tentunya Mr. A juga akan dikenakan pajak oleh pemerintah Amerika Serikat. Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keadilan horizontal (keadilan antar perorangan) yang mengharuskan bahwa pajak total yang dibayarnya (baik di dalam maupun luar negeri) akan sama dengan pajak yang di bayar oleh Mr. B, yang menerima pendapatan total yang sama tetapi seluruhnya berasal dari Amerika Serikat? Atau sudah cukupkah kiranya jika Amerika Serikat menganggap pajak yang di bayar ke negara lain sebagai pengurangan pendapatan dan menyamakan beban pajak sesuai dengan pengenaan pajak di Amerika Serikat saja? Dalam kasus Mr. A, keadilan diinterpretasikan dalam artian internasional, sedangkan dalam kasus Mr. B keadilan diinterpretasikan dalam artian nasional.
Keadilan Antar Negara Masalah keadilan yang lebih pelik akan kita temui dalam menentukan pembagian penerimaan pajak di antara ditjen pajak atau departemen keuangan di berbagai negara. Meskipun dengan cara yang berbeda, masalah ini akan timbul baik dalam hal pajak penghasilan maupun pajak produk. Sehubungan dengan pajak penghasilan, secara umum disetujui bahwa negara di mana pendapatan itu dihasilkan (juga disebut sebagai negara sumber) berhak menarik pajak atas pendapatan tersebut, tetapi berapa tarif yang akan dikenakan masih menjadi persoalan. Konsekuensi dari kondisi tersebut di atas adalah bahwa pajak Indonesia yang dikenakan terhadap penghasilan atas modal Amerika Serikat yang ditanamkan di Indonesia tentunya akan mengurangi pengembalian (return) bagi Amerika Serikat. Berbeda halnya dengan pajak tambahan yang mungkin dikenakan oleh
278
Bab 13: Pajak Internasional
Amerika Serikat, sehingga tidak akan merugikan bagi Amerika Serikat tetapi hanya merupakan transfer dari warga negara Amerika Serikat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Oleh karena itu, kerugian yang diderita Amerika Serikat hanya akan tergantung pada tarif pajak atas modal Amerika Serikat yang dikenakan di Indonesia. Salah satu pandangan mengenai keadilan antar negara adalah bahwa negara sumber harus diperbolehkan menarik pajak atas pendapatan yang diperoleh investor asing dengan tarif sebesar yang di kenakan negara lain atas pendapatan warganya di negara tersebut. Kondisi ini bisa disebut sebagai prinsip berbalasan. Dalam hal pajak produk, masalah keadilan berkaitan dengan kemungkinan untuk membebani warga asing melalui perubahan harga. Jika negara A mengenakan pajak atas ekspor, tentunya biaya ekspor akan naik. Jika negara tersebut mendominasi pasar ekspor, harga ekspor akan naik dan konsumen di luar negeri akan membayar lebih mahal. Jadi, sebagian dari beban pajak akan digeser ke luar negeri. Sejalan dengan itu, jika Impor dikenakan pajak, pemasok luar negeri harus menjual produknya dengan harga yang lebih rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian beban pajak akan digeser ke luar negeri. Jika kita menerima kriteria bahwa suatu negara harus membayar pajaknya sendiri, maka penggeseran beban semacam itu bisa dianggap sebagai hambatan bagi keadilan antar negara.
Efisiensi Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari kegiatan perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya yang paling efisien. Jika Mr.C, seorang investor merasakan bahwa pajaknya akan lebih rendah apabila dia menanamkan modal di Vietnam daripada di Indonesia, maka Mr C akan menanamkan lebih banyak modalnya di Vietnam. Dengan demikian, permasalahannya adalah bagaimana mengelola pengenaan pajak atas pendapatan dan investasi internasional sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi modal secara global. Kondisi ini akan mengakibatkan bahwa lokasi produksi tidak lagi ditentukan oleh keunggulan komparatif (atau biaya sumber daya relatif), yang merupakan persyaratan bagi perdagangan yang efisien, tetapi dimodifikasi oleh perbedaan biaya pajak.
PRINSIP PAJAK INTERNASIONAL Berbagai struktur sistem pajak negara mempunyai dampak yang sangat penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara internasional. Konsekuensinya, akan tercipta efisiensi alokasi sumber daya di
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
279
seluruh dunia dalam integrasi perekonomi dunia. Walaupun kemungkinan tidak ada satu negara pun yang secara ketat menerapkan prinsip-prinsip pajak internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak internasional yang lazim dipergunakan yakni pajak penghasilan internasional dan pajak komoditi.
Pajak Penghasilan Internasional Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah prinsip pajak berdasarkan asas domisili dan prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan. Prinsip pajak berdasarkan asas domisili menyatakan bahwa penduduk akan dikenakan pajak di negara di mana ia berdomisili tanpa memperhatikan darimana sumber penghasilan yang diperolehnya baik pendapatan yang diperolehnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi yang bukan merupakan penduduk tidak akan ditarik pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di negara tersebut. Yang berkaitan erat dengan asas domisili ini adalah penentuan domisili bagi subjek pajak. Artinya, seseorang subjek pajak akan dianggap sebagai penduduk dalam negeri (resident taxpayer) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini tergantung pada undang-undang masing-masing negara. Di samping itu, setiap negara mempunyai definisi penduduk sendiri-sendiri, yang berbeda dari negara lain, tergantung dari falsafah yang dianutnya. Prinsip pajak berdasarkan asas dari sumber pendapatan menyatakan bahwa seluruh pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan tempat domisili penerima pendapatan tersebut, baik itu warga negara ataupun bukan warga negara. Jadi, penduduk suatu negara tidak akan dikenakan pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di luar negeri dan warga negara asing akan dikenakan pajak sama dengan pendapatan penduduk yang diterima di negara tersebut. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri dan (b) penentuan sumber penghasilan berdasarkan undang-undang pajak dari suatu negara. Pada umumnya, untuk menentukan letak sumber penghasilan, jenis-jenis penghasilan dibagi menjadi dua, yaitu: § Penghasilan dari usaha (active income). § Penghasilan dari modal (passive income), misalnya dividen, bunga, royalty dan penghasilan dari harta.
280
Bab 13: Pajak Internasional
Pajak Komoditi Dengan menganalogikan pada pajak domisili dan pajak sumber pendapatan pada pajak penghasilan internasional, terdapat dua prinsip pajak komoditi yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai) yakni prinsip pajak tujuan dan prinsip pajak sumber. Menurut prinsip pajak tujuan, barang atau jasa yang dibeli oleh penduduk dikenakan pajak, baik barang atau jasa tersebut dibuat di dalam negeri ataupun barang import. Jadi barang-barang impor akan dikenakan pajak sedangkan barang-barang ekspor dibebaskan dari pajak. Menurut prinsip pajak sumber, segala barang maupun jasa yang bertujuan untuk konsumsi akhir pada suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan sumber ataupun asal produksi.
KOORDINASI PAJAK PENGHASILAN Koordinasi Pajak Perorangan Setiap negara berhak untuk menarik pajak atas pendapatan warganya entah di mana pun pendapatan itu diperoleh. Secara umum prinsipnya adalah memperbolehkan pengenaan pajak atas pendapatan di negara sumber sedangkan negara asal warga bersangkutan akan memberikan kredit pajak. Kondisi ini selaras dengan konsep keadilan antar negara yang menyatakan bahwa negara sumber pendapatan tidak boleh melakukan diskriminasi, tetapi bisa menerapkan tarifnya sendiri terhadap penghasilan orang asing. Demikian juga dengan pemberian kredit pajak oleh negara asal warga bersangkutan, meskipun menyebabkan menurunnya penerimaan negara bersangkutan, kondisi ini selaras dengan pandangan internasional mengenai keadilan antar perorangan. Koordinasi pajak perorangan juga berlaku bagi investor perorangan yang menerima dividen. Investor yang menerima pendapatan investasi dari luar negeri akan membayar pajak penghasilan atas pendapatan tersebut. Pemerintah di negara sumber pendapatan lazimnya akan mengenakan withholding tax, misalnya sebesar 15 persen, yang selanjutnya akan dikreditkan terhadap pajak yang akan dibayarkan di negara asal investor. Berkaitan dengan pengertian tersebut berikut illustrasi yang mungkin terjadi jika seseorang warga negara Amerika Serikat bekerja di Inggris. Seorang warga negara Amerika Serikat, yang bekerja selama enam bulan di Inggris dan kemudian kembali ke Amerika Serikat, akan membayar pajak Inggris Raya atas pendapatan yang diperolehnya di Inggris. Guna menentukan pajak yang akan di bayarnya di Amerika Serikat, pendapatan di Inggris juga
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
281
akan diperhitungkan, tetapi pajak yang telah dibayar di Inggris akan dikreditkan terhadap kewajiban pajaknya di Amerika Serikat, karena hal itu merupakan pajak seharusnya akan dibayar seandainya pendapatan tersebut diperoleh di Amerika Serikat. Paling tidak itulah prosedurnya seandainya pajak yang dikenakan Inggris tidak melebihi pajak yang akan dikenakan Amerika Serikat atas pendapatan yang diperoleh di Inggris tersebut.
Koordinasi Pajak Laba Pada umumnya terdapat dua ketentuan dalam memperlakukan pendapatan investasi asing. Pertama, perusahaan yang mengoperasikan kantor cabang di luar negeri akan dikenakan pajak atas laba kantor cabang sesuai dengan peraturan pajak perseroan negara bersangkutan. Untuk pengenan pajak di negara asal, laba perusahan induk dan kantor cabang akan dianggap sebagai satu unit. Kedua, perusahaan anak yang didirikan di luar negeri (foreign incomporated subsidiary), secara hukum merupakan satuan perusahaan terpisah. Labanya akan dikenakan pajak laba perseroan negara asing dan pajak untuk negara asal akan ditangguhkan sampai laba perusahaan anak tersebut dikirimkan ke perusahan induk sebagai dividen. Ketentuan mengenai penangguhan pajak didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan anak di luar negeri benar-benar merupakan satuan usaha yang tepisah. Jadi, kelihatannya hal ini akan bertentangan dengan ketentuan mengenai pengkreditan yang mengganggap pajak perusahaan anak pada kenyataannya merupakan pajak perusahaan induk. Penangguhan pajak hampir tidak menimbulkan perbedaan apa pun bagi perusahaan induk jika tarif pajak luar negeri lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan di dalam negeri. Jika kondisi sebaliknya terjadi (biasanya pada negara–negara yang sedang berkembang, dimana mungkin tarif pajak sangat rendah), perusahaan anak akan condong menginvestasikan kembali labanya di negara domisili (yang disebut sebagai surga pajak). Jika dikaitkan dengan perusahaan multinasional, implementasi dari aturan ini, akan menyebabkan perlunya ditentukan berapa besar laba yang timbul pada setiap negara. Hal ini merupakan persoalan yang rumit. Sebagai contoh, sebuah perusahaan Amerika Serikat mengoperasikan sebuah perusahaan anak di Kanada. Sesuai dengan konsep keadilan antar negara, Kanada berhak menarik pajak perusahaan anak tersebut. Tetapi dengan cara apakah laba ini benar-benar bisa dipisahkan dari laba perusahaan induknya di Amerika Serikat? Jika terjadi transaksi jual beli yang terjadi antara perusahan induk dan perusahaan anak, maka laba bisa digeser dari satu negara ke negara lain guna memanipulasi pajak agar diperoleh pajak yang terendah. Kesulitan akan
282
Bab 13: Pajak Internasional
berlipat ganda apabila serangkaian perusahaan anak beroperasi di berbagai negara. Untuk mengantisipasi kondisi ini, telah diupayakan berbagai aturan untuk menghambat penggeseran laba, misalnya: persyaratan agar harga ditentukan berdasarkan transaksi yang wajar dengan pihak ketiga atau transaksi tanpa hubungan istimewa (arm’s-length-basis). Karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menghitung laba yang terpisah bagi satuan satuan usaha yang terkait, maka pernah disarankan suatu cara yang berbeda sama sekali. Laba sebagai dasar pengenaan pajak (profit base) dari perusahaan multinasional dapat dialokasikan di antara negara-negara tidak berdasarkan lokasi dari perusahaan anak; tetapi lebih berdasarkan negara asal laba yang diperoleh oleh group usaha tersebut secara keseluruhan. Negara asal tersebut bisa ditentukan dengan menggunakan rumus yang memperhitungkan lokasi, nilai tambah dan penjualan. Meskipun cukup menarik, namun pelaksanaan pendekatan ini memerlukan pengaturan pajak internasional dan karena itu masih merupakan alternatif yang tak terjangkau.
KOORDINASI PAJAK PRODUK Jika pajak penghasilan mempengaruhi aliran atau perpindahan modal, maka pajak produk mengarahkan perhatian kita pada pengaruhnya terhadap aliran produk. Hal ini akan semakin terasa jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Perdagangan internasional yang berlangsung secara bebas didasarkan pada argumen dasar bahwa semua negara yang berdagang akan mendapat manfaat jika masing-masing berspesalisasi pada produk dimana ia memiliki keunggulan komparatif. Anggaplah negara A mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan produk X sementara negara B mengimpor X dan mengekspor Y. Akan tetapi, karena biaya produksi semakin meningkat untuk jumlah yang makin besar, negara A akan tetap memproduksi sebagian dari Y dan negara B memproduksi sebagian dari X yang dibutuhkannya. Baik A maupun B akan lebih makmur daripada jika tidak ada perdagangan. Dengan mengekspor X dan mengimpor Y, negara A akan memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi daripada jika ia memproduksi semua Y yang dibutuhkannya, hal sebaliknya berlaku untuk B. Pada gilirannya, pajak tidak hanya mempengaruhi produksi barang substitusi tetapi juga lokasi produksi. Dalam menentukan apakah berbagai pajak yang ada berpengaruh atau tidak terhadap lokasi produksi, pertanyaannya apakah pajak bersangkutan mempengaruhi harga relatif antara barang produksi dalam negeri dan barang impor. Jika pajak mempengaruhi harga, konsumen akan mensubstitusikan kedua jenis barang itu satu sama lain
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
283
dan lokasi produksi yang mengenakan pajak akan berbeda dari lokasi produksi dengan pajak yang netral. Adapun jenis-jenis pajak yang dapat mempengaruhi lokasi produksi dapat dikategorikan sebagai (1) destination taxes dan (2) origin taxes.
Pajak Konsumsi Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak akan mempengaruhi lokasi produksi kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang produksi dalam negeri dan barang impor, sebagai contoh pajak dalam bentuk bea masuk dan cukai. Misalkan negara A mengenakan pajak terhadap konsumsi secara umum atas semua produk yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan karena harga relatif antara produk dalam negeri dan produk impor tidak berubah. Pajak konsumsi umum bisa mempengaruhi tingkat perdagangan tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi yang baru) masih akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif. Situasinya akan sangat jauh berbeda jika negara A mengenakan pajak hanya terhadap produk impor saja (melakukan diskriminasi). Yaitu jika terhadap impor dikenakan bea masuk. Pajak ini akan menyebabkan perbedaan harga relatif antara produk domestik dan impor, sehingga produk dalam negeri akan mensubstitusi impor. Dengan menurunnya impor, nilai mata uang A terhadap mata uang B akan naik. Jadi, ekspor dari A juga akan menurun sampai tercapai suatu titik ekuilibrium pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dan dengan kondisi komposisi produksi yang kurang efisien diantara negara A dan B. Pajak atau bea semacam itu akan melemahkan perdagangan yang efisien, dewasa ini telah banyak cara diupayakan untuk mengurangi perdagangan yang bersifat proteksionis.
Pajak Produksi Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak asal produk (origin taxes), kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi meskipun tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri. Pertama-tama anggaplah bahwa negara B mengenakan pajak penjualan umum (misalnya PPN) sebesar 10 persen terhadap barang lokal dan barang impor. Akibatnya, harga barang di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut. Karena merasa bahwa harga produk lokal, misalnya X, dalam negeri telah naik jika dibandingkan dengan harga produk impor X, konsumen negara B akan memperbesar impor X. Konsumen negara A akan merasakan hal sebaliknya.
284
Bab 13: Pajak Internasional
Eksportir negara B akan menambahkan pajak tersebut ke harga produknya, misalnya Y, sehingga harga barang impor Y bagi konsumen negara A menjadi lebih mahal sehingga impor Y akan dikurangi. Jika kurs valuta asing bersifat fleksibel, kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan permintaan atas mata uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A terhadap B. Ini akan menghambat keinginan konsumen B untuk menambah impor X dan keinginan konsumen A untuk mengurangi impor Y. Pada akhirnya, perbandingan harga antara ekspor dan impor tidak akan berubah dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh. Situasinya akan berbeda jika pajak produksi negara B dikenakan hanya pada satu jenis produk saja, misalnya atas produk Y yang diekspornya. Sekali lagi konsumen A akan merasakan naiknya biaya (harga) Y dan akan mensubstitusinya dengan Y produksi dalam negeri. Dengan menurunnya impor A atas barang Y (asumsi ekspor A atas barang X ke B tetap), nilai mata uang A terhadap B akan naik. Biaya impor bagi konsumen A menjadi naik dan karena itu impor Y dikurangi. Titik ekuilibrium yang baru akan dicapai pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dengan disertai perubahan distribusi lokasi produksi. Negara A kemudian memproduksi lebih banyak barang Y dan mengurangi produksi barang X. Sebaliknya, penurunan ekspor dan konsumsi produk Y di negara B lambat laun akan membuat negara tersebut memproduksi lebih banyak barang X daripada sebelumnya dan menjadi tidak efisien. Karena itu, pengenaan pajak ekspor di negara B menimbulkan efek distorsi yang mirip dengan efek distorsi yang timbul akibat dikenakannya bea masuk atas barang impor di negara A. Distorsi ini bisa dihindarkan seandainya negara B memberikan penghapusan pajak atas barang yang diekspornya. Tindakan B akan membatalkan efek kenaikan harga barang impor di negara A sehingga tidak perlu mensubstitusinya dengan memproduksi di dalam negeri. Dengan dihapusnya pajak atas barang ekspor oleh negara B, maka pajak atas barang impor di negara A dapat diubah dari pajak produksi (origin taxes) menjadi pajak konsumsi (destination taxes). Artinya hal itu sejajar dengan pajak penjualan umum atas seluruh produk di negara B yang seperti telah kita lihat sebelumnya. Pajak penjualan umum tidak mendistorsikan lokasi produksi sejauh dikenakan secara umum terhadap produk impor dan produk dalam negeri. Efek distorsi efisiensi perekonomian internasional juga akan terjadi jika negara B memajaki produk lokal X tetapi tidak terhadap produk impor X. Konsumen B dalam hal ini akan melakukan substitusi dengan produk impor X dan penyesuaian selanjutnya akan terjadi. Pada akhirnya, tingkat perdagangan riil akan naik tetapi lokasi produksi akan mengalami distorsi. Makin banyak X
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
285
diproduksi di A atau makin banyak Y diproduksi di B daripada sebelumnya. Distorsi dalam hal ini bisa dihindarkan jika B juga mengenakan bea masuk atas X untuk mengkompensasi pajak produk lokal X.
TAX TREATY Tax Treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan suatu perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka mengantisipasi pemajakan ganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini akan digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai dengan transaksi yang dihadapi. Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional dimana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada dasarnya terdapat dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB. Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty merupakan suatu kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh karena itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu. Pasal-pasal ataupun ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan (1) cakupan tax treaty, bagian yang mengatur (2) minimalisasi pajak berganda, bagian tentang (3) pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup (4) ketentuan lainnya.
CAKUPAN TAX TREATY Cakupan perjanjian antar negara dalam hal penghindaran pajak berganda biasanya meliputi: (1) cakupan personal atau personal scope, (2) jenis-jenis pajak atau tax covered, (3) definisi penduduk atau residence, (4) permanent establishment, (5) saat berlakunya atau entry into force, dan (6) saat berakhirnya atau termination.
286
Bab 13: Pajak Internasional
Personal Scope Tax treaty adalah persetujuan yang ditandatangani oleh dua negara, sehingga subyek pajak yang menjadi sasaran adalah mereka yang menjadi penduduk dari kedua negara tersebut (Rachmanto Surachmat, 2001). Dengan kata lain, ketentuan personal scope mengatur tentang kepada siapa sajaketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Dalam pasal dan ayat ini akan diatur ketentuan tentang siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha dan entitas lainnya yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah satu negara yang terikat perjanjian, termasuk di dalamnya orang pribadi, badan atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan status kependudukan ganda (double residence). Biasanya di sini definisi mengenai penduduk maupun perihal kependudukan ganda tidak diartikan lebih lanjut. Kedua hal tersebut akan diatur dalam klausul lain yaitu dalam klausul tentang general definitions dan tentang residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope akan berkaitan dengan pengertian-pengertian tentang kedua klausul tersebut.
Tax Covered Klausul ini mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur di sini akan mengikuti ketentuan sesuai dengan tax treaty dan mengabaikan ketentuan internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan suatu tax treaty memiliki suatu kekuatan yang berada di atas sistem perundang-undangan yang berlaku secara internal di dalam suatu negara. Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umum (general definitions), diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi persons (orang atau badan), national (negara atau kewarganegaraan), international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan lain lain.
Residence Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap orang pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
287
yang mempunyai karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah subjek pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lokal yang berlaku di negara tersebut. Perundangan nasional dari banyak negara umumnya mengenakan pajak berdasarkan hubungannya dengan negara yang bersangkutan (Rachmanto Surachmat, 2001). Artinya, pengenaan pajak tidak hanya mendasarkan pada alasan tempat tinggal, tetapi juga karena keberadaan secara teratur di negara tersebut. Dalam klausul ini juga menegaskan bahwa orang pibadi atau badan tidak dapat langsung dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam prakteknya, orang pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara berdasarkan asas world wide income. Hal ini bisa terjadi karena setiap negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan versinya masing-masing. Menyadari efek-efek negatif tersebut, pasal residence selanjutnya mengatur langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status kependudukan ganda yang sering disebut dengan tie breaker rule. Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari penentuan permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and social interests (pusat kepentingan ekonomi dan sosial), habitual abode (tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta mutual agreement (perjanjian antar otoritas perpajakan). Langkah-langkah tersebut secara berurutan bersifat prioritas, artinya apabila dengan menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu digunakan lagi. Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada satu ketentuan yaitu tempat di mana manajemennya efektif berada.
Permanent Establishment Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Pada jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri. Di negara lain pun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara lain itu ternyata berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di negara tersebut ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima. Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-batasan ataupun aturan yang jelas hingga bisnis yang dilakukan, yang sekaligus merupakan investasi di negara tersebut, tetap berjalan dengan baik. Cerminan dari batas atau aturan
288
Bab 13: Pajak Internasional
tersebut adalah ketentuan tentang permanent establishment atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Contoh-contoh dari BUT dapat dikategorikan menjadi empat macam yaitu: § BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain. § BUT Aktivitas. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnya). Lamanya time test yang digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara. § BUT Asuransi. Timbulnya BUT Asuransi ditandai dengan keadaan dimana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di negara lain. § BUT Keagenan. BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus barang-barang dagang di negara lain. Dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi dimana BUT dianggap tidak muncul seperti dalam hal tempat yang hanya berfungsi untuk memajang barang-barang dagangan, tempat yang hanya dipergunakan untuk pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.
Entry Into Force Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty. Saat berlakunya tax treaty sangat bergantung dari selesainya tahap-tahap pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan, tax treaty pun dapat diberlakukan.
Termination Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty. Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
289
mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.
MINIMALISASI PAJAK BERGANDA Klausul yang berisi ketentuan untuk meminimalisasi pajak berganda biasanya mencakup: (1) penghasilan barang-barang tak bergerak, (2) laba usaha, (3) laba perusahaan transportasi, (4) dividen, (5) pendapatan bunga, (6) royalti, (7) capital gains, (8) penghasilan jasa bebas, (9) penghasilan jasa terbatas, (10) director’s fee, (11) penghasilan artis dan olahragawan, (12) pendapatan pensiun, dan (13) gaji pegawai negeri sipil di luar negeri.
Income from Immovable Property Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang berasal dari harta tak bergerak termasuk penghasilan yang bersumber dari pertanian atau sektor perhutanan. Di dalamnya diatur bahwa negara tempat harta tak bergerak tersebut terletak juga dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari harta tersebut.
Business Profits Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment yang mengatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk suatu negara yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan dalam tax treaty). Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner mengenakan pajak, sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara. Laba usaha milik penduduk suatu negara pada dasarnya hanya dapat dikenakan pajak di negara tersebut. Namun apabila penduduk suatu negara mendapatkan penghasilan di negara treaty partner melalui BUT-nya, maka negara treaty partner tersebut berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan usaha yang dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui BUT, maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili (Rachmanto Surachmat, 2001)
Bisnis Transportasi Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau) dan perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional. Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan dari beberapa
290
Bab 13: Pajak Internasional
negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba yang diterimanya maka perusahaan pelayaran dan penerbangan tersebut tentunya akan menanggung beban pajak yang terlalu besar. Dalam menghadapi permasalahan ini pada umumnya diatur dua alternatif pengenaan pajak. Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan kepada negara tempat di mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama dengan alternatif pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari pengoperasian kapal laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara sekaligus.
Dividends Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen baik yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri. Klausul dividen, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata mata investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung ( saham dengan kepentingan kontrol)
Interest Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat penghasilan bunga berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen, artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen berasal.
Royalties Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti mengatur bahwa negara tempat di mana royalti berasal dapat pajak sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati.
royalti yang dividend dan di samping mengenakan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
291
Capital Gains Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan pemindahtanganan harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur bahwa negara tempat harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak untuk mengenakan pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini adalah harta berupa perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam bukunya, Rachmanto Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan pajak atas keuntungan karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk berusaha harus diberikan kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak mengenakan pajak atas business profit (negara tempat perusahaan berdomisili), tanpa membedakan apakah keuntungan itu diberlakukan sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan penghindaran pajak berganda tidak memerlukan aturan khusus yang membedakan capital gain dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang undang pajak domestik masing-masing negara.
Independent Personal Services Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima orang pribadi yang bersumber dari negara treaty partner sebagai imbalan dari jasa-jasa profesional yang diberikan di negara tersebut. Aturan ini pada dasarnya sejalan dengan aturan permanent establishment dan business profits namun secara khusus ditujukan untuk orang pribadi yang memberikan jasajasa profesional (seperti dokter, pengacara) untuk dan atas namanya sendiri di negara treaty partner. Negara treaty partner tempat jasa tersebut dilakukan dapat mengenakan pajak sepanjang orang pribadi tersebut memiliki tempat tetap (fixed base) di sana atau berada di negara treaty partner melebihi batas waktu yang disepakati bersama..
Dependent Personal Services Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa yang dilakukannya di negara lain dalam suatu hubungan kerja. Berbeda dari pemberian jasa oleh independent personal yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri, jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang dimaksud di sini merupakan jasa yang dilakukan untuk dan atas nama pihak lain yang memiliki hubungan kerja dengannya. Di sini diatur bahwa negara tempat orang pribadi tersebut bekerja dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterimanya. Namun untuk mengenakan pajak tersebut, ada beberapa syarat kumulatif yang terlebih dahulu harus dipenuhi yaitu: (1) Orang pribadi yang bersangkutan berada di
292
Bab 13: Pajak Internasional
negara lain melebihi time test yang telah disepakati; (2) Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut dibayarkan oleh pemberi kerja; dan (3) Penghasilan tersebut tidak dibebankan kepada BUT.
Director’s Fees Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara lain (merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini dinyatakan bahwa penghasilan yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya yang murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di negara domisili perusahaanya tanpa memandang jangka waktu keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan prinsip pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur dalam klausul dependent dan independent personal services yang menggunakan syarat jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek pemajakan. Menurut Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk menyederhanakan pengenaan pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana kegiatan pekerjaan dilakukan – dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi – adalah sulit. Fungsi sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara dimana ia berdomisili, karena itu yang diberikan hak pemajakan adalah negara di mana pihak yang membayarkan gaji berkedudukan. Namun demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi murni sebagai seorang direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak lagi mengikuti ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya disesuaikan dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur tersebut. Jika direktur tersebut melakukan tugas-tugas manajerial misalnya, aspek pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, aspek pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent personal services.
Artists and Sportsmen Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh artis (entertainer) dan olahragawan (sportsmen) dari negara lain. Prinsip pemajakan yang diatur dalam artikel ini adalah negara tempat penghasilan tersebut bersumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh artis ataupun atlit. Prinsip ini juga berlaku meskipun penghasilan tersebut tidak langsung dibayarkan kepada sang artis/atlit (dibayarkan kepada pihak lain, contohnya agen). Termasuk dalam pengertian entertainer dalam artikel ini antara lain yaitu artis televisi, artis radio atau musisi. Sedangkan termasuk
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
293
dalam olahragawan antara lain adalah pemain sepakbola, pemain golf, pemain tenis, pemain catur atau pemain bridge.
Pensions Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan swasta. Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di negara tempat di mana pekerjaan itu dilakukan. Namun sebagian besar tax treaty mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di negara di mana yang bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun
Government Services Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan yang diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu negara dan sudah sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka penghasilan yang diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.
PENCEGAHAN PENGHINDARAN PAJAKPE Penghindaran pajak menyebabkan salah satu negara mengalami kerugian akibat tidak diterimanya pajak seperti yang seharusnya. Klausul tentang pencegahan penghindaran pajak mencakup: (1) transaksi internal dan kesepakatan (2) pertukaran informasi.
Transaksi Internal Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan di mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar. Harga yang wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak wajar itu adalah terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara yang lainnya. Hal ini dipandang sebagai suatu usaha untuk menghindari pajak dari suatu negara. Dalam kondisi demikian, kepada negara yang bersangkutan
294
Bab 13: Pajak Internasional
diberikan hak untuk mengadakan penyesuaian penyesuaian sehubungan dengan pergeseran laba tersebut.
Exchange of Information Klausul ini mengatur tentang perjanjian pertukaran informasi antar otoritas pajak di kedua negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya pertukaran informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan pajak. Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pertukaran informasi secara rutin dan pertukaran informasi berdasarkan permintaan.
KETENTUAN LAIN-LAIN Adapun ketentuan-ketentuan lainnya yang biasa muncul dalam tax treaty meliputi: (1) perlakuan tanpa diskriminasi, (2) prosedur penyelesaian perselisihan, dan (3) pajak atas utusan diplomatik.
Non Discrimination Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga negara. Secara khusus Rachmato Surachmat (2001) dalam bukunya menyatakan bahwa klausul ini adalah aturan dalam hukum internasional yang memberikan perlindungan dari diskriminasi. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya. Perlakuan perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang terikat perjanjian.
Prosedur Penyelesaian Perselisihan Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan oleh kedua negara untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan antara pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai perpajakan tertentu. Klausul ini dapat dipandang sebagai semacam sarana bagi para pembayar pajak untuk “protes” atas suatu perlakuan perpajakan yang tidak disetujuinya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
295
Melalui ketentuan dalam klausul ini, otoritas perpajakan pun memiliki sarana untuk memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Namun demikian perlu diingat bahwa mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh klausul yang terdapat dalam sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat menikmati ketentuan dalam mutual agreement procedure antara lain adalah business profits, related persons dan royalty.
Member of Diplomatic Missions and Consular Posts Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan yang diberikan kepada anggota dari suatu misi diplomatik dan konsulat. Menurut Rachmato Surachmat (2001), maksud dari klausul ini adalah untuk menjamin bahwa para diplomat, berdasarkan tax treaty, tidak memperoleh perlakuan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan berdasarkan hukum internasional. Dalam kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di mana mereka berasal. Ketentuan dalam klausul ini pun mengatur hal yang sama. Jadi, meskipun anggota korps diplomatik atau konsulat mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara di mana mereka bertugas, negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atasnya.
TAX TREATY MENGALAHKAN UU PPh Bisa disimpulkan bahwa tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar. Pertama, keinginan untuk menghindari pemajakan berganda yang bisa menimbulkan distorsi ekonomi, yang berakibat buruk bagi investasi. Kedua, tax treaty juga dimaksudkan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran pajak yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu negara. Mengingat sifat perjanjiannya yang bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh yang berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, secara umum setiap tax treaty mengikuti prinsipprinsip dasar dari model model tax treaty yang ada seperti model OECD atau model PBB, yang dijadikan sebagai acuan pada saat pembuatannya. Memahami prinsip prinsip dasar tersebut akan memudahkan setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada, antara berbagai negara pada
296
Bab 13: Pajak Internasional
umumnya dan antara Indonesia dengan negara negara lain pada khususnya. Yang perlu diperhatikan adalah, dalam tax treaty pada umumnya sudah disepakati bahwa setiap negara treaty partner berhak menentukan prosedur dan tata cara untuk membuktikan bahwa suatu pihak benar-benar berdomisili atau berkedudukan dan berstatus sebagai pembayar pajak di negara treaty partner. Bukti dimaksud seringkali disebut Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence Taxpayer (CRT) yang diterbitkan oleh competent authority atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh suatu negara treaty partner. Surat keterangan yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau instansi sejenis di negara treaty Partner juga bisa dipersamakan dengan SKD/CRT. Dengan memiliki SKD/CRT, maka suatu pihak berhak untuk menerapkan suatu ketentuan tax treaty dengan negara di mana yang bersangkutan berkedudukan atau berdomisili. Jika tidak memiliki SKD/CRT, maka pengenaan pajaknya kembali pada undang-undang yang berlaku di negara masing-masing. Sebagai contoh, jika wajib pajak luar negeri yang berkedudukan di Inggris, maka wajib pajak luar negeri tersebut hanya dapat menerapkan ketentuan tax treaty Indonesia – Inggris apabila memiliki SKD/CRT dari competent authority yang ditunjuk negara Inggris. Jika tidak, maka penghasilan wajib pajak luar negeri yang bersumber dari Indonesia langsung dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 26% dari penghasilan bruto.
KOORDINASI PENGELUARAN Di antara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah, terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja sama dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha bersama dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar bersama. Semua ini menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Jika jumlah anggota kelompok atau pesertanya kecil, pembagian beban biaya bisa dirundingkan dengan membandingkan manfaat yang akan diperoleh setiap pihak. Khusus mengenai pertahanan, kerja sama akan lebih menguntungkan negara sekutu yang kecil karena peningkatan pertahanan yang kecil sekalipun oleh negara sekutu yang besar akan merupakan tambahan perlindungan yang sangat berarti bagi sekutu kecil tersebut. Jika anggotanya sangat banyak, maka masalahnya akan mirip dengan masalah penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan (assesment rate) yang proposional digunakan, setiap negara mungkin akan diharuskan untuk membayar dalam persentase GNP atau persentase pendapatan nasional yang sama. Jika perhitungan progresif
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
297
digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif tersebut hanya dikaitkan dengan pendapatan per kapita dari penduduk di berbagai negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar). Kedua macam pertimbangan di atas diperhitungkan dalam menentukan kontribusi bagi anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembagian beban biaya ditentukan melalui pemungutan suara setiap tahun dan direvisi berkali-kali. Prosedurnya adalah: biaya total dibagi diantara negara anggota sesuai perbandingan kontribusi dasar atau GNP. Ini akan menimbulkan pajak proporsional dalam kaitannya dengan GNP, terlepas dari pendapatan per kapita. Selanjutnya prinsip ini dimatangkan lagi dengan menambah sejumlah ketentuan seperti pembebasan beban bagi negara miskin, ketentuan kontribusi minimum, dan pembatasan jumlah yang harus dikontribusikan oleh suatu negara, dengan bagian tertinggi (sekarang 25 persen) disumbangkan oleh Amerika Serikat. Organisasi-organisasi lain menerapkan pola yang berbeda. Kontribusi bagi dana moneter internasional (IMF) tidak ditentukan berdasarkan manfaat yang diperoleh, melainkan dengan hak penarikan (drawing rights) yang ditetapkan sesuai dengan kemungkinan diperlukan kredit-kredit IMF. Prosedur yang kirakira sama diikuti dalam pemesanan modal saham International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua kontribusi ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau penyimpanan bagi negara tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk NATO, yang melibatkan jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu dasar perumusan yang ditetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada negosiasi. Amerika Serikat merupakan penanggung terbesar atas biaya NATO. Suatu nilai kontribusi yang mungkin melebihi bagian yang seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu ditentukan berdasarkan persentase GNP.
KOORDINASI STABILISASI Dengan makin meningkatnya saling ketergantungan dunia, maka nasib suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Suatu negara tidak mungkin lagi bertindak sendiri untuk mengendalikan persoalan yang dihadapinya. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan stabilisasi. Hal ini khususnya berlaku untuk negara-negara dengan perekonomian yang terkait erat seperti pasar bersama, tetapi juga berlaku bagi negara dengan perdagangan luar negeri yang terkecil seperti Amerika Serikat. Koordinasi khususnya diperlukan karena saling ketergantungan tidak hanya menyangkut perdagangan tetapi juga aliran atau perpindahan modal.
298
Bab 13: Pajak Internasional
Perdagangan Dengan asumsi bahwa keadaan kurs valuta asing yang bersifat tetap, menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja di negara A akan menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke negara B yang menghadapi penurunan ekspor. Jika A mengambil kebijakan ekspansionir, pendapatannya naik dan begitu juga halnya dengan impornya. Timbulnya impor akan memperkecil faktor pengganda (multiplier) dan karena itu kebijakan A menjadi kurang efektif, hal itu juga turut memulihkan keadaan negara B karena ekspornya jadi meningkat. Karena itu, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap negara lain sehingga diperlukan koordinasi kebijakan untuk menampung kebutuhan kedua negara. Pengaruh kebijakan ekspansioner dari negara A terhadap perdagangan akan diperlemah jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Dengan naiknya impor A, nilai mata uangnya akan turun. Karena itu, biaya impornya menjadi tinggi sehingga membatasi atau memperkecil defisit perdagangan negara A dan ekspor negara B. Dengan demikian kurs valuta asing yang fleksibel cenderung mengurangi saling ketergantungan. Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang tetap, kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke negara B ini tidak akan begitu saja terjadi karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs yang fleksibel akan mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi gambaran ini telalu disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung dalam sekejap dan perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor pengganggu pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang memerlukan kerja sama lebih lanjut.
Aliran Modal Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif terhadap perdagangan bisa dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi, bauran kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan dengan aliran modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
299
Peranan aliran modal menjadi penting jika kita mempertimbangkan pengaruh kebijakan stabilitasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Banyak hal tergantung pada bagaimana bentuk dari surplus impor yang ditimbulkan tersebut. Jika surplus impor tersebut berupa investasi riil, akan terjadi peningkatan modal di negara bersangkutan yang akan tercermin pada kenaikan produktivitas tenaga kerjanya. Pendapatan modal di masa mendatang akan dikirimkan ke luar negeri, sehingga keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa kenaikan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor domestik lainnya.
RANGKUMAN §
§
§
Adam Smith atau David Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan spesialisasi produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya, mengekspor barang tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang lain dengan lebih efisien. Asumsi dalam teori tersebut adalah: (1) Faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan mesin tidak mudah berpindah, sedangkan barang yang dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah; (2) yang dipertukarkan adalah barang komoditi, bukannya barang yang terdiferensiasi; dan (3) daya saing suatu negara sudah ditentukan, tergantung sumber daya yang dipunyai. Faktor lain seperti ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan. Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan komparatif. Perjanjian pajak internasional merupakan suatu media yang dapat mengkoordinasikan masalah-masalah penghasilan perorangan dan perseroan lintas negara. Beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam koordinasi pajak internasional: (1) keadilan antar perorangan; (2) keadilan antar negara; dan (3) efisiensi Berbagai struktur sistem pajak negara mempunyai dampak yang sangat penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak internasional yang lazim dipergunakan yakni (1) pajak penghasilan internasional dan (2) pajak komoditi. Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah (a) prinsip pajak berdasarkan asas domisili dan (b) prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan. Dua prinsip pajak komoditi yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai) yakni (1) prinsip pajak tujuan dan (2) prinsip pajak sumber.
300 §
§
§
§
Bab 13: Pajak Internasional
Perhitungan pajak di negara asal, laba perusahan induk dan kantor cabang akan dianggap sebagai satu unit. Laba perusahaan anak akan dikenakan pajak laba perseroan negara asing sehingga porsi pajak untuk negara asal akan ditangguhkan sampai laba dikirimkan sebagai dividen. Penangguhan pajak hampir tidak menimbulkan masalah jika tarif pajak luar negeri lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan di dalam negeri. Kondisi sebaliknya mendorong perusahaan anak menginvestasikan kembali labanya di negara domisili. Transaksi antara perusahaan induk dan perusahaan anak dapat menyebabkan pergeseran laba. Pajak bersama-sama kurs valas yang fleksibel mempengaruhi harga pokok produk. Harga pokok produk yang bervariasi pada gilirannya akan mempengaruhi pemilihan lokasi produksi. Pajak juga mempengaruhi preferensi masyarakat akan barang substitusi. Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak mempengaruhi lokasi produksi kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang lokal dan barang impor. Pajak konsumsi spesifik akan melemahkan perdagangan internasional yang efisien. Pengenaan pajak ekspor di suatu negara menimbulkan efek distorsi yang mirip dengan bea masuk atas barang impor. Pengenaan pajak atas produk lokal tetapi tidak terhadap produk impor akan mereposisi lokasi produksi. Tax treaty merupakan suatu perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka (1) mengantisipasi pemajakan ganda dan (2) berbagai usaha penghindaran pajak. Sebagai suatu perjanjian, treaty adalah suatu kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Personal scope mengatur tentang kepada siapa saja ketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Tax covered mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan tax treaty. Tie breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Bentuk BUT: (1) BUT fasilitas fisik timbul karena adanya fasilitas fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain-lain; (2) BUT aktivitas ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnya). Lamanya time test disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara; (3) BUT asuransi ditandai dengan keadaan dimana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di negara lain; dan (4) BUT keagenan timbul jika terdapat agen di negara lain yang
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
301
memiliki wewenang menentukan kontrak atau mengurus barang-barang dagang di negara lain. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan maka tax treaty pun dapat diberlakukan. Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati. Cakupan minimalisasi pajak berganda: (1) penghasilan barang-barang tak bergerak, (2) laba usaha, (3) laba perusahaan transportasi, (4) dividen, (5) pendapatan bunga, (6) royalti, (7) capital gains, (8) penghasilan jasa bebas, (9) penghasilan jasa terbatas, (10) director’s fee, (11) penghasilan artis dan olahragawan, (12) pendapatan pensiun, dan (13) gaji pegawai negeri sipil di luar negeri. Transaksi internal terjadi apabila terdapat transaksi antara pihak-pihak di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, dimana akan ada kecenderungan harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar. Pertukaran informasi antar negara dapat menjadi salah satu senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan pajak. Perlakuan perpajakan yang non discrimination mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut. Mutual agreement procedure sebagai sarana untuk memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Dalam kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di mana mereka berasal. Mengingat sifat perjanjiannya yang bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh yang berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negaranegara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Di antara sejumlah negara terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja sama dalam proyek patungan. Ini menyebabkan
302
§
Bab 13: Pajak Internasional
perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Kontribusi sesuai dengan GNP, drawing rights, dan negosiasi. Nasib suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan stabilisasi. Koordinasi khususnya diperlukan menyangkut perdagangan dan perpindahan modal. Menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja di suatu negara, akan menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke negara lain yang menghadapi penurunan ekspor. Kurs valuta asing yang fleksibel cenderung mengurangi saling ketergantungan antar negara. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya. Keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa kenaikan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor domestik lainnya.
LATIHAN 1) 2) 3) 4)
5) 6)
Apa yang dimaksud dengan doktrin keunggulan komparatif ? Mengapa dikatakan perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan komparatif? Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan koordinasi pajak internasional! Jika seorang warga negara asing melakukan investasi di Indonesia, bagaimana pengenaan pajak yang dapat diberlakukan terhadapnya menurut asas keadilan antar perorangan? Jelaskan bagaimana terjadinya pergeseran beban pajak antar negara dalam hal pajak produk untuk eksport dan import! Jelaskan prinsip pajak berdasarkan : a) Asas Domisili
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
7) 8) 9)
10) 11)
12) 13) 14)
303
b) Asas Sumber Pendapatan Jelaskan prinsip-prinsip pajak yang mendasari pengenaan pajak komoditi! Jelaskan secara singkat aspek efisiensi koordinasi pajak produk! Jelaskan apa yang dimaksud dengan : a) Destination Taxes b) Origin Taxes Jelaskan pengaruh pengenaan pajak produksi umum suatu negara dalam ekspor, impor, dan kurs valuta asing negara tersebut! Jelaskan mengapa dikatakan kurs valuta asing yang fleksibel cenderung mengurangi saling ketergantungan dan gejolak perdagangan di antara dua negara yang bekerja sama! Apa yang anda ketahui tentang Tax Treaty dan cakupannya? Jelaskan konsep Tie Breaker Rule untuk orang pribadi dan pihak ketiga! Diskusikan mengapa dikatakan Tax Treaty mengalahkan UU PPh?
KEBIJAKAN DAN STRUKTUR BELANJA PUBLIK
Bab ini akan membahas struktur belanja publik dan permasalahan kebijakan dalam penyusunan program belanja. Sebagai penyelenggara negara, salah satu fungsi pemerintah adalah menjadi penyedia barang dan jasa pada sektor tertentu dan menjadi fasilitator dalam hal penyelenggaraan barang dan jasa lain yang diadakan oleh sektor swasta. Khusus dalam penyediaan public goods atau barang publik1, pemerintah dapat berperan baik sebagai penyedia maupun sebagai regulator ketika barang publik ini diadakan oleh swasta. Adapun barang publik yang dimaksud di sini adalah jalan raya, pelabuhan (baik laut maupun udara), listrik, telekomunikasi, pembuangan sampah, limbah dan lain sebagainya. 1
Keterangan mengenai barang publik dapat dibaca di bab-bab awal
306
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
Dalam prakteknya, tidak ada rumus yang pasti mengenai bentuk maupun ukuran besarnya sektor publik. Namun demikian, ada beberapa prinsip umum yang dapat dijadikan alasan penyelenggaraan sektor umum ini oleh negara, misalnya kegagalan pasar dimana pasar tidak dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien dan aspek distribusi ke seluruh pelosok negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa perencanaan dan penerapan prioritas pengeluaran publik serta perpaduan yang serasi antara sektor publik dan swasta, memerlukan penjajakan yang terinci dan sangat tergantung dari keadaan masing-masing negara. Dalam setiap sektor, cara terbaik dengan menganalisa kebutuhan-kebutuhan yang saling bersaing dalam masing-masing program. Tujuan negara, potensi trade-off, dan indikator ekonomi dan sosial seperti berapa kilometer jalan yang harus dibangun, akses ke air bersih dan sanitasi, angka masuk sekolah, angka kematian bayi dan angka harapan hidup dapat digunakan untuk menentukan prioritas kebutuhan-kebutuhan di berbagai sektor. Di bawah ini akan dibahas hal-hal yang menjadi dasar kebijakan belanja publik serta hal-hal yang berpengaruh terhadap struktur belanja publik.
KONSEP WELFARE STATE Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah suatu negara hampir bisa dipastikan mempunyai landasan filosofis yang dapat ditarik ke akar ideologisnya. Kebijakan keuangan publik pun tidak terkecuali. Kebijakan pengeluaran publik sangat dipengaruhi oleh bagaimana suatu negara memandang dirinya dalam hubungannya dengan rakyatnya, terutama dalam konsep kesejahteraan atau welfare. Konsep welfare state ini dipahami secara berbeda oleh berbagai negara, yang menghasilkan pola pengeluaran publik yang berbeda pula. Esping-Andersen mengkategorikan tiga jenis pokok dari welfare regime, yaitu: § Corporatist regimes, berorientasi kerja dan diatur berdasarkan kontribusi individual. § Social democratic regimes, mengacu pada nilai-nilai dan prinsipprinsip universal. § Liberal regimes, cenderung bersifat residualis. Sistem residual cenderung tidak melembagakan jaminan sosial. Namun demikian, dalam hal terjadinya kemiskinan dan ketidakmampuan membayar jasa kesehatan, maka negara pembayaran jasa kesehatan ini ditanggung oleh negara melalui program jaring pangaman sosial.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
307
Sebagai contoh, kita akan melihat bagaimana konsep ini diterapkan pada berbagai negara.
Inggris Briggs (1961) dalam literaturnya yang terkenal mengenai belanja publik berkaitan dengan kesejahteraan, mengidentifikasikan tiga hal pokok dalam belanja publik yang berkaitan dengan kesejahteraan, yaitu: § Jaminan standar minimum, termasuk penghasilan minimum § Perlindungan sosial bila diperlukan § Penyediaan jasa pelayanan umum sebaik-baiknya Uraian Briggs ini kemudian menjadi “pakem” atau model kesejahteraan dimana elemen kuncinya adalah perlindungan sosial, diikuti dengan penyediaan pelayanan kesejahteraan sesuai hak warga negara. Dalam prakteknya, kesejahteraan sosial di Inggris sangat jauh dari nilai ideal ini. Tingkat cakupan (coverage) layanan memang tinggi, dalam arti pelayanan ini menjangkau sekuruh masyarakat (sebagai contoh, National Health Service berlaku bagi seluruh warga negara Inggris tanpa pandang bulu) namun mutu pelayanan masih belum maksimal. Sedangkan perlindungan sosial yang diselenggarakan bagi rakyat Inggris juga masih bersifat tambal sulam.
Perancis Sistem kesejahteraan di Perancis dirancang berdasarkan prinsip solidaritas, yang berarti bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama dan risiko ditanggung bersama. Sistem ini berusaha mencapai fullcoverage. Pada awalnya, hal ini dilakukan dengan memperluas jaminan sosial yang mencakup kesehatan dan jaminan sosial lain yang bersifat ekstensif atau mencakup semua penduduk termasuk mereka yang tadinya terpinggirkan. Mulai tahun 1988, diperkenalkan sistem terbaru dimana jaminan atas kebutuhan dasar ditambah dengan hal-hal lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Sistem semacam ini selain kompleks juga mahal untuk dilaksanakan, sehingga akan menimbulkan masalah pada anggaran pengeluaran publik negara tersebut. Hal yang menjadi keprihatinan pemerintah setempat bukanlah pengangguran, melainkan usia lanjut, karena adanya keistimewaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu. Selain itu pengeluaran untuk kesehatan masyarakat juga menjadi bermasalah dalam era swastanisasi dan
308
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
liberalisasi dimana jasa sangat tergantung pada pasar. Karena liberalisasi kesehatan ini menjadikan jasa pelayanan kesehatan menjadi mahal.
Amerika Serikat Amerika Serikat seringkali digolongkan sebagai negara yang menganut paham liberal dalam hal penyediaan kesejahteraan bagi rakyatnya, yang tercermin dalam konsep individualisme, laissez-faire (mengikuti arah pasar), paham residualisme, dan pandangan miring mengenai kemiskinan. Hal-hal tersebut di atas seringkali mewarnai debat mengenai konsep kesejahteraan di AS. Walaupun demikian, sistem kesejahteraan di AS tidak seragam. Federalisme mengakibatkan banyak keputusan penting, termasuk yang menyangkut kesejahteraan sosial, diatur di tingkat negara bagian. Sebagai contoh, di Minnesota dan Hawaii kesehatan masyarakat dibiayai oleh negara. Sebagai perbandingan dengan negara-negara berkembang, pemerintah pusat memiliki peran yang terbatas dalam penyediaan kesejahteraan sosial. Dalam prakteknya, AS memiliki sistem pluralistik, bukan sekedar liberal. Terdapat perbedaan yang signifikan dari model residual, misalnya sekolah negeri, jaminan sosial, maupun Veteran’s Administration menjamin kesejahteraan lebih dari empat puluh juta jiwa. Selain aktivitas di level pemerintah federal dan negara bagian, penyedia jaminan kesejahteraan juga mencakup sektor swasta. Hasilnya, sistem yang ada juga kompleks dan mahal.
Negara-negara Berkembang Masalah utama yang dihadapi oleh negara berkembang adalah kemiskinan. Menurut World Bank, setengah dari populasi dunia hidup dengan pendapatan kurang dari dua dollar per hari. Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan saja berakar dari kekurangan sumber daya, tapi lebih disebabkan oleh kurangnya entitlement:. Kelaparan terjadi bukan karena kurang pangan, melainkan karena orang miskin tidak boleh makan makanan yang ada. Untuk itulah perlu adanya pembangunan ekonomi, karena pembangunan ekonomi akan memproduksi barang materil, meningkatkan persatuan dan ketergantungan antar bangsa, yang paling penting dapat meningkatkan entitlement. Namun pada saat yang sama, pembangunan ekonomi juga menimbulkan korban. Pembangunan juga menjadikan orang miskin lebih rentan, karena akar kehidupan tradisionalnya dirombak, dan selanjutnya dapat mengakibatkan polarisasi sosial. Structural adjustment yang dipersyaratkan oleh lembaga keuangan internasional yang bertujuan untuk mendorong negara berkembang memasuki pasar bebas,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
309
ternyata banyak dituding sebagai penyebab makin rentan dan tidak terlindunginya masyarakat miskin. Pada tahun 1980an, badan keuangan internasional yaitu IMF dan World Bank meluncurkan suatu program yang disebut Structural Adjustment Program (SAP) untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi kemiskinannya dan memasuki perekonomian pasar bebas. Program ini terdiri atas paket pinjaman dan saran-saran tentang langkah-langkah restrukturisasi yang harus diambil pemerintah dalam kebijakan perekonomian negara. Salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh paket bantuan tersebut adalah negara yang bersangkutan harus melakukan ’efisiensi’ dengan cara mengurangi anggaran pengeluaran untuk sektor-sektor yang tidak menguntungkan (dalam hal ini adalah sektor-sektor sosial) seperti kesehatan, pendidikan dan sektor sosial lain. Secara bertahap, penyelenggaraan sektorsektor tersebut dan dialihkan ke sektor swasta. Peran negara sebagai penyelenggara dikurangi sedapat mungkin dan beralih fasilitator bagi sektor swasta yang terlibat. Hal ini tentu saja mengakibatkan pengeluaran negara dalam sektor publik menjadi berkurang. Ketika paket pinjaman bersyarat ini diambil dan dilaksanakan oleh negaranegara berkembang yang membutuhkan bantuan, memang terjadi sedikit peningkatan pertumbuhan. Namun, dampak sosial yang semula tidak diantisipasi ternyata sangat parah. Peningkatan pertumbuhan yang dihasilkan oleh paket ini ternyata hanya dicapai oleh segelintir orang sedangkan sejumlah besar lainnya justru terjerumus ke jurang kemiskinan akibat dihapuskannya sebagian anggaran kesejahteraan dari anggaran pemerintah. Pengelolaan sektor tersebut oleh pihak swasta yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, mengakibatkan meningkatnya harga jual barang dan jasa publik. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa jasa tersebut hanya dapat dinikmati oleh pihak yang mampu. Sedangkan kaum marjinal makin terpinggirkan. Trickle down effect yang semula diyakini akan terjadi ternyata tidak menjadi kenyataan (Sen, 1999). Hal ini kemudian diusahakan untuk diperbaiki dengan pola pinjaman bersyarat yang baru yaitu Poverty Reduction Strategy Paper, yang menurut banyak pihak hanya nama baru dari wajah lama.
310
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
www.globalissues.org Pertumbuhan belanja publik sangat erat kaitannya dengan tuntutan kemajuan masyarakat dan dikehendakinya pertimbangan sosial yang diperankan oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Dari studi empiris di Amerika Serikat telah dibuktikan bahwa belanja publik menunjukkan angka yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Belanja publik juga cenderung mengalami kenaikan porsinya, apabila dibandingkan dengan total pendapatan nasional. Kajian-kajian struktur belanja publik perlu mempertimbangkan kondisi objektif ini.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERTUMBUHAN Dalam memahami faktor penyebab pertumbuhan belanja publik, perlu dibedakan faktor antara belanja barang jasa dan belanja transfer. Kedua faktor ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Faktor belanja barang dan jasa Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa di antaranya adalah sebagai berikut: § Pertumbuhan Pendapatan per Kapita Proporsi antara barang pribadi dan barang publik selalu berubah sesuai dengan kenaikan pendapatan per kapita, porsi barang publik selalu menunjukkan peningkatan. Implikasinya adalah bahwa kebijakan anggaran yang efisien menghendaki adanya peningkatan rasio pembelian pemerintah terhadap pendapatan nasional. Biasanya, peningkatan per kapita seiring dengan perkembangan perekonomian yang berubah dari negara agraris (yang diasumsikan berpendapatan rendah) menjadi negara industri (yang diasumsikan berpendapatan tinggi). Permintaan barang publik akan semakin meningkat dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Ernst Engel seperti dikutip oleh Musgrave mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pengeluaran untuk barang-barang tertentu. Selama pendapatan rata-rata
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
311
meningkat, maka pola konsumsi bagi perekonomian diharapkan akan meningkat pula. Untuk barang publik, kecenderungan seperti di atas mempunyai dua kemungkinan. Barang publik yang merupakan kebutuhan dasar (bukan kemewahan) - seperti keamanan, pendidikan dasar dan sanitasi - mengalami kecenderungan menurun. Sedangkan kebutuhan lainnya, seperti pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan akan mengalami kecenderungan yang semakin meningkat bila pendapatan meningkat. Ditambah, barang-barang pelayanan umum yang merupakan barang mewah, seperti penyelidikan angkasa luar dan pangkalan perahu, terdapat kecenderungan yang meningkat. Pengamatan bisa dilakukan juga pada belanja publik dalam penyediaan barang modal. Pada tahap awal, pembangunan ekonomi menimbulkan kebutuhan khusus terhadap barang modal, seperti jalan, pelabuhan dan instalasi listrik. Barang modal tersebut mempunyai manfaat yang bersifat eksternal dimana belanja modal diperlukan dalam jumlah yang besar yang memerlukan pengembalian jangka panjang, sehingga tidak mudah dilakukan oleh pihak swasta. Kebutuhan akan barang modal ini harus lebih besar pada awal pembangunan ekonomi dan peran pemerintah akan semakin menurun dalam pengadaan barang modal, apabila sektor swasta telah terbuka kesempatannya menanamkan modal dalam pengembangan industri. Pola pertumbuhan belanja publik untuk penyediaan barang modal kelihatannya terbalik tetapi pengembangan industri akan menimbulkan akibat sampingan, seperti polusi dan kemacetan kota yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan investasi pemerintah. Akhirnya, investasi dalam sumber daya manusia dan biaya pendidikan akan mengalami peningkatan selama pendapatan meningkat seiring dengan laju pembangunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak dapat diestimasikan secara tepat kecenderungan yang akan terjadi pada belanja publik untuk barang konsumsi dan barang modal yang diakibatkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Kadang kecenderungannya meningkat dan kadang menurun. §
Perubahan Teknologi Perubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan porsi belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga berubah. Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan kepentingan penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat eskternal besar sehingga harus disediakan oleh pemerintah.
312
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
Sebagai contoh, penemuan mesin pembakaran mengakibatkan berkembangnya industri mobil. Dengan meningkatnya industri mobil, permintaan jalan raya bergerak sangat cepat, sehingga belanja sektor publik meningkat dibandingkan masa kereta kuda dan mesin uap yang digunakan untuk kereta api. Contoh lain adalah perubahan teknologi persenjataan yang mengakibatkan meningkatnya pengeluaran militer. Perubahan teknologi juga mempercepat barang menjadi usang sehingga biaya penggantian akan meningkat. Perubahan teknologi di masa datang yang menyebabkan membengkaknya anggaran pemerintah adalah bidang teknologi angkasa luar yang merupakan faktor penting dalam porsi pengeluaran negara, kecuali terbukti teknologi angkasa luar menjadi barang pribadi. §
Perubahan Populasi Perubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan kesehatan karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan juga akan mendorong peningkatan permintaan perumahan dan penyediaan jaminan hari tua. Peningkatan populasi yang disertai mobilitas populasi juga mendorong pertumbuhan kota baru yang menyebabkan kebutuhan peningkatan pelayanan umum, pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan anggaran. §
Biaya Relatif Selain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan di atas, tak kalah penting adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi. Meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah barang publik dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang elastis, kecuali bila permintaan barang publik bersifat inelastis, bisa diestimasikan bahwa porsi belanja publik akan meningkat. §
Urbanisasi Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah. Sebagai contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan meningkatnya
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
313
kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan barang-barang yang perlu disediakan oleh pemerintah.
Faktor Belanja Transfer Sejak tahun 1930-an, porsi belanja keperluan sosial dalam pendapatan nasional di Amerika Serikat meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan transfer. Contohnya adalah peningkatan asuransi hari tua. Program ini lebih merupakan alat untuk menyediakan jaminan hari tua dengan dasar pembiayaan swadaya. Sistem ini ditujukan untuk menyeimbangkan besarnya distribusi pendapatan melalui transfer dari anggaran pengeluaran ke program pembelian pemerintah yang ditujukan bagi penyediaan barang dan jasa untuk kelompok berpenghasilan rendah. Tindakan pendistribusian kembali pendapatan tersebut dapat dipengaruhi dari dua arah. Pertama, jika terdapat ketimpangan pendapatan oleh karena peningkatan pendapatan per kapita, penyesuaian atau perbaikan atas ketimpangan tersebut yang perlu dilakukan. Sehingga, perubahan hanya terjadi pada tingkat yang tidak signifikan atau distribusi pendapatan tetap stabil dan hanya sedikit mengarah pada pemerataan. Kedua, jika tujuan pendistribusian kembali pendapatan adalah untuk menyesuaikan pendapatan keluarga, peningkatan pendapatan rata-rata tidak mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Kecuali, jika tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan, kebutuhan untuk pendistibusian kembali pendapatan akan menurun jika pendapatan rata-rata meningkat. Tingkat pendapatan minimum ditentukan dalam pengertian ratarata, sehingga ruang lingkup pendistribusian kembali – yaitu transfer pendapatan sebagai suatu persentase dari pendapatan nasional – akan tetap konstan. Adanya perubahan ruang lingkup redistribusi pendapatan dapat timbul sebagai akibat dari faktor-faktor demografi. Apabila terjadi penurunan pertumbuhan populasi dalam bentuk meningkatnya penduduk yang lanjut usia, diperlukan peningkatan penyediaan kebutuhan penduduk berusia lanjut. Namun demikian, perubahan tersebut diikuti dengan pergeseran rasio penduduk pensiun ke usia kerja sehingga memerlukan peningkatan dalam rasio pengeluaran publik untuk penduduk usia lanjut terhadap pendapatan nasional. Penjelasan ini perlu dihubungkan dengan perubahan sosial dan politik, apakah ada tekanan politis untuk mendistribusikan pendapatan kembali atau tidak.
314
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
Efisiensi dan Keadilan dalam Belanja Publik Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien jika memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak merugikan orang lain. Secara teoritis, tingkat efisien semacam itu dapat dicapai. Akan tetapi dalam kenyataannya, proyek semacam itu sangat sulit dicapai sehingga diusulkan agar konsep efisiensi diperlunak. Misalkan suatu jalan akan dibangun dengan biaya $150,000 yang akan dibebankan dari general fund, sehingga A, B, dan C harus membiayai masing-masing senilai $50,000. Manfaat yang akan diperoleh A dan B masing-masing $70,000 dan C adalah $40,000, sehingga manfaat agregat adalah $180,000. Karena nilai manfaat lebih besar dari biayanya, dikatakan bahwa proyek tersebut layak dibangun, meskipun C mengalami kerugian. Pada kasus ini, prinsip pareto optimum dilanggar.
Namun demikian, dengan memperlunak konsep, efisiensi proyek tetap ada apabila orang-orang yang diuntungkan (A dan B) dapat menutupi kerugian pihak lain ( C ) dan dipandang masih lebih baik dibandingkan dengan tidak ada proyek. Berdasarkan kriteria ini, jumlah agregat manfaat bersih senilai $30,000 dapat disahkan dan proyek dikatakan efisien. Tetapi dalam kenyataan, pihak C tidak menerima manfaat dan kerugiannya belum tentu akan diganti. Perlu diadakan persyaratan tambahan agar proyek tetap dikatakan efisien yaitu bahwa penggantian kerugian harus benar-benar dilaksanakan dalam bentuk transfer dari A dan B kepada C. Efisiensi proyek tergantung bagaimana mendefinisikan efisiensi tersebut. Cara yang lebih tepat adalah mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian bersih dan kondisi ini menghasilkan proyek yang efisien menurut prinsip pareto optimum. Problem utamanya adalah preferensi seseorang tidak mudah untuk diungkapkan dan mungkin saja proyek tersebut tidak efisien. Aspek Keadilan Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan mengenai distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan proyek. Petimbangan distribusi dimulai dengan penentuan apakah bobot distribusi dapat digunakan dalam menilai besarnya manfaat dan biaya. Yang pertama, dimisalkan ada dua buah proyek yang dipertimbangkan dimana kedua proyek mempunyai biaya dan tingkat penggunaan yang sama, sementara dana terbatas untuk satu proyek, sehingga salah satu harus dikorbankan. Proyek I,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
315
dimisalkan, berupa penyediaan taman bermain di lingkungan masyarakat berpenghasilan tinggi dan proyek II, dimisalkan, berupa penyediaan taman serupa untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Permasalahan timbul dalam menyusun peringkat manfaat kedua proyek tersebut. Apabila nilai nominal proyek yang dijadikan dasar pertimbangan, masyarakat berpenghasilan tinggi akan menerapkan nilai yang lebih tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka mampu membayar lebih tinggi dan proyek I dianggap lebih layak. Tetapi, pertimbangan sosial dapat menyimpulkan sebaliknya. Setiap rupiah yang dibelanjakan oleh masyarakat miskin dapat dinilai lebih tinggi sehingga proyek II akan dipandang lebih layak. Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial yang tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi swasta dan proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan kecocokan dengan konsep efisiensi yang lebih luas. Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang berbeda. Dimisalkan akan dibangun sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya rendah. Misalkan juga biaya modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah. Tanpa mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai manfaat bersih lebih tinggi. Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan manfaat kepada mereka yang berpenghasilan rendah.
Dapat disimpulkan, jika distribusi pendapatan tidak optimal, penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biaya-manfaat dapat digunakan sebagai alat pengoreksi aspek distribusi. Fungsi obyektif dapat digunakan sebagai alat untuk menghitung pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Atau bobot dapat diperoleh dari analisis pajak penghasilan, berdasarkan asumsi bahwa dalam menerapkan tarif pajak, pemerintah bermaksud mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsip pengorbanan yang sama. Risiko Perubahan Perekonomian Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan risiko ketidakpastian manfaat di masa akan datang akan mengurangi nilai sekarang dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran investasi pemerintah. Hasil yang berisiko dapat diestimasikan dengan cara pembobotan
316
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
berbagai hasil berdasarkan angka probabilitasnya dimana jumlah probabilitas adalah sama dengan satu. Penjumlahan hasil tertimbang ini kemudian akan digunakan dalam analisis nilai manfaat yang diharapkan. Risiko perubahan perekonomian mempunyai implikasi perlunya pendiskontoan atas manfaat maupun biaya, karena adanya dimensi waktu. Evaluasi proyek jangka panjang perlu mempertimbangkan dinamika perkembangan perekonomian yang berkaitan dengan harga relatif dan pengaruh distorsi harga. Akibatnya, analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif saat dimulainya proyek. Pengaruh penundaan satu tahun akan menyebabkan perubahan nilai sekarang atas perhitungan neto manfaat dan biaya.
KLASIFIKASI BELANJA PUBLIK Klasifikasi belanja publik dapat dikategorikan berdasar berbagai macam kriteria. Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan belanja pemerintah adalah seperti diuraikan dalam Government Finance Statistics Manual. Klasifikasi belanja menurut fungsi pemerintah adalah sebagai berikut:
1. Belanja Jasa Publik Umum Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini antara lain belanja operasi untuk organisasi eksekutif dan legislatif, belanja untuk jasa-jasa umum, belanja riset dasar, belanja transaksi hutang, dan belanja administrasi transfer antar unit pemerintah. 2. Belanja Pertahanan Belanja-belanja dalam kategori ini antara lain belanja pertahanan militer dan sipil, bantuan militer untuk asing, riset pertahanan dan sebagainya. 3. Belanja Perlindungan Umum Belanja dalam kategori ini dibedakan dengan belanja pertahanan, di antara contohnya adalah belanja jasa kepolisian, jasa pemadam kebakaran, jasa pengadilan, jasa rumah tahanan dan penjara, dan juga riset untuk perlindungan publik. 4. Belanja Urusan Ekonomi Belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja urusan ketenagakerjaan, belanja komersial dan ekonomi, belanja kehutanan dan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
317
pertanian, belanja energi dan bahan bakar, pertambangan, transportasi, komunikasi dan belanja untuk perindustrian lainnya, termasuk risetnya. 5. Belanja Perlindungan Lingkungan Belanja yang termasuk di sini diantaranya adalah belanja pengelolaan limbah dan polusi, proteksi keragaman hewani maupun tata kota. 6. Belanja Perumahan dan Public Utilities Belanja dalam kategori ini diantaranya adalah pengembangan perumahan dan pemukiman, sistem penyediaan air bersih, belanja penerangan jalan, dan pekerjaan-pekerjaan umum lainnya. 7. Belanja Kesehatan Belanja kesehatan meliputi perlengkapan dan peralatan kesehatan, jasa kepada pasien, jasa rumah sakit umum, dan risetnya. 8. Belanja Rekreasi, Budaya dan Agama Di antara belanja yang termasuk dalam kategori ini adalah belanja jasa olahraga dan rekreasi, belanja jasa kebudayaan, jasa penyiaran, jasa urusan keagamaan dan komunitas, dan lain-lain. 9. Belanja Pendidikan Pendidikan mencakup belanja pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, termasuk belanja pendukung pendidikan lainnya. 10. Belanja Perlindungan Sosial Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja perlindungan terhadap manusia lanjut usia (manula), belanja perlindungan anak dan keluarga, belanja untuk mengatasi pengangguran, dan belanja sosial lainnya. Belanja Publik dan Prinsip Keadilan Dalam praktek penyelenggaraan negara, terutama negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya terbatas, seringkali terjadi pertentangan kepentingan antara keinginan untuk menghapuskan kemiskinan dengan kemampuan keuangan negara yang bersangkutan untuk mendanai proyek-proyek yang bertujuan mengurangi kemiskinan tersebut. Sehingga, satu hal penting yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki aspek distribusi. Dalam hal ini, pengeluaran publik yang tepat tentu saja akan membantu, namun harus diingat bahwa anggaran pengeluaran juga sangat terbatas. Sebagai akibatnya, pemerintah menghadapi adanya permintaan yang saling bersaing dan juga perdebatan apakah pola pengeluaran publik yang diterapkan dapat benar-benar memenuhi tujuan distribusi. 1. Secara umum, World Bank menggarisbawahi tiga pertanyaan penting yang harus dihadapi oleh pemerintah, yaitu: Apakah inti dari tujuan distribusi dari pengeluaran publik? 2. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan publik dengan anggaran yang terbatas? 3. Bagaimana menilai dampak pengeluaran publik bagi masyarakat?
318
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
Inti dari tujuan distribusi dari pengeluaran publik adalah: § Mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin/marginal. Peran pemerintah dalam penyediaan beberapa jenis barang dan jasa tidak dapat dipungkiri, karena tanpa campur tangan pemerintah ketersediaan barang dan jasa tersebut tidak dapat terpenuhi. Dengan demikian, peran pemerintah merupakan kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi secara utuh, yang juga menjangkau rakyat miskin. § Membantu mereka yang terpinggirkan/tertinggal dalam proses pertumbuhan ekonomi. Mungkin akan makan waktu agak lama bagi beberapa kelompok masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pembangunan; misalnya kelompok lanjut usia dan penderita cacat fisik, yang bahkan memang tidak akan mungkin dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Kelompok inilah yang memerlukan perhatian khusus. Selain itu, mungkin juga ada masalah kesenjangan pembangunan antara daerah yang satu dengan lainnya. § Membantu mengatasi masalah kerentanan (vulnerability). Pendapatan seseorang/keluarga dapat berfluktuasi sepanjang waktu, terutama pada perekonomian pedesaan, dimana consumption smoothing juga tidak sempurna. Sehingga, kaum miskin sangat rentan terhadap risiko yang disebabkan oleh perubahan cuaca, perubahan harga maupun hancurnya dukungan masyarakat setempat selama terjadinya krisis. Bagaimana caranya agar belanja publik dapat memenuhi ketiga kriteria ini dengan sumber daya yang terbatas? Jawaban yang sering diberikan bagi pertanyaan ini adalah “targeting”, yaitu dengan mengarahkan belanja publik untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan: yang miskin, yang tertinggal, yang terbelakang dan yang rentan terhadap risiko. Mereka inilah yang menjadi target group dari kebijakan belanja publik tertentu. Dalam prakteknya, pendekatan targeting dapat dikategorikan menjadi dua hal. Pertama adalah broad targeting atau pentargetan secara luas. Dalam hal ini, kaum marjinal tidak menjadi target secara individual, namun mereka dijangkau melalui pentargetan jasa atau komoditi yang paling banyak mereka konsumsi. Contoh yang paling sering digunakan adalah dengan mentargetkan jasa sosial dasar, seperti pendidikan dasar dan kesehatan masyarakat, serta infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi. Yang juga sering dilakukan adalah dengan mentargetkan aktivitas pembangunan pedesaan. Pendekatan kedua, yaitu targeting secara sempit, dilakukan dengan menargetkan individu atau keluarga yang masuk kategori miskin. Misalnya dengan melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial yang diadakan setelah Indonesia mengalami krisis moneter, pemberian susu dan makanan tambahan bagi balita miskin, program kredit mikro yang ditujukan bagi wanita pedesaan, proyek padat karya serta pembangunan daerah tertinggal.
319
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
Masing-masing pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan selalu ada pihak yang sebenarnya tidak termasuk target namun mendapatkan manfaat, ataupun yang sebenarnya harus dibantu namun tidak mendapat bantuan. Tidak ada aturan yang baku tentang mana yang lebih baik antara kedua pendekatan ini. Biasanya yang efektif adalah kombinasi keduanya. Kebijakan yang tepat akan sangat tergantung pada peta kemiskinan, tujuan kebijakan, serta keadaan spesifik dari negara yang bersangkutan seperti tingkat kemampuan administratif, pembangunan infrastruktur, ekonomi politis, serta hambatan-hambatan lain dalam instrumen kebijakan. Bagaimana kita bisa mengukur dampak dari kebijakan publik? Informasi mengenai dampak distribusi, terutama bagaimana rakyat miskin bisa mendapatkan manfaat pembangunan, dapat membantu untuk memilih prioritas belanja publik. Para ekonom serta para peneliti lain secara berkala mengevaluasi dampak distribusi dari kebijakan belanja publik. Banyak keputusan/kebijakan yang ada dibuat berdasarkan pengukuran kuantitatif dari dampak belanja publik untuk standar hidup, terutama bagi masyarakat miskin. Sampai seberapakah pengukuran ini dapat diandalkan? Metode-metode pengukuran yang ada dapat diklasifikasikan sebagai "benefit incidence studies" (Demery 1997, van de Walle 1998a) dan "behavioural approaches" (Grossman 1994, dan van de Walle 1998a untuk tinjauan ini). Hammer et al. (1995) menguraikan cara untuk menggunakan kedua pendekatan ini agar saling melengkapi. Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Misalnya, benefit incidence analysis terfokus pada manfaat rata-rata dari belanja publik dimana kesimpulan kebijakan atas reformasi belanja publik didasari oleh dampak atas margin perubahan tersebut. Sedangkan pendekatan perilaku (behavioural approaches) menggunakan ekonometri maupun metode eksperimental. Ekonometri sendiri, bila tidak hati-hati digunakan bisa menimbulkan bias pada perkiraan dampak dari proyek pembangunan.
Tabel 13.1. Prioritas Belanja Publik Berbagai Negara Belanja Pendidikan (% dr GDP) HDI rank
Belanja Kesehatan (% dr GDP)
Belanja militer (% dr GDP)
Total debt service (% dr GDP)
1990
1999-2001
1990
2001
1990
2002
1990
2002
High human development 1
Norwegia
7.1
6.8
6.4
6.8
2.9
2.1
..
..
2
Swedia
7.4
7.6
7.6
7.4
2.6
1.9
..
..
3
Australia
5.1
4.6
5.3
6.2
2.1
1.9
..
..
4
Kanada
6.5
5.2
6.8
6.8
2
1.2
..
..
5
Belanda
6
5
5.7
5.7
2.5
1.6
..
..
8
Amerika Serikat
5.2
5.6
4.7
6.2
5.3
3.4
..
..
9
Japan
..
3.6
4.6
6.2
0.9
1
..
..
12
Inggris
4.9
4.6
5.1
6.3
4
2.4
..
..
Medium human
320
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
development 59
Malaysia
5.2
7.9
1.5
2
2.6
2.4
9.8
8.5
76
Thailand
83
Filipina
3.5
5
0.9
2.1
2.3
1.4
6.2
15.6
2.9
3.2
1.5
1.5
1.4
1
8.1
11.8
90
Yordania
8.4
4.6
3.6
4.5
9.9
8.4
15.6
6.3
111
Indonesia
1
1.3
0.6
0.6
1.8
1.2
8.7
9.8
127
India
3.9
4.1
0.9
0.9
2.7
2.3
2.6
2.6
142
Pakistan
2.6
1.8
1.1
1
5.8
4.7
4.8
4.8
145
Lesotho
6.1
10
2.6
4.3
4.5
2.7
3.8
9.4
148
Kenya
6.7
6.2
2.4
1.7
2.9
1.7
9.2
3.7
171
Mozambique
3.9
2.4
3.6
4
10.1
2.4
3.2
2.1
173
Burundi
3.4
3.6
1.1
2.1
3.4
7.6
3.7
3.2
Low human development
Sumber: Human Development Report, UNDP 2004.
RANGKUMAN §
§
§
§ §
Sebagai penyelenggara negara, salah satu fungsi pemerintah adalah menjadi penyedia barang jasa pada sektor tertentu dan fasilitator jika penyelenggaraan barang jasa diadakan oleh swasta. Khusus dalam penyediaan barang publik, pemerintah dapat berperan sebagai penyedia dan regulator jika barang publik diadakan oleh swasta. Prinsip umum yang dapat dijadikan alasan penyelenggaraan sektor umum oleh negara yaitu market failure (kegagalan pasar dimana pasar tidak dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien) dan aspek distribusi ke seluruh pelosok negara. Kebijakan pengeluaran publik dipengaruhi oleh konsep welfare state yaitu bagaimana suatu negara memandang dirinya dalam hubungannya dengan rakyatnya mengenai kesejahteraan. Esping-Andersen mengkategorikan tiga jenis pokok dari welfare regime: (a) corporatist regimes, (b) social democratic regimes, (c) liberal regimes Konsep welfare state di Inggris sebagaimana dikemukakan oleh Briggs menekankan pada perlindungan sosial dan penyediaan pelayanan kesejahteraan . Tiga hal pokok dalam belanja publik yang berkaitan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
321
dengan kesejahteraan yaitu: (a) jaminan standar minimum termasuk penghasilan minimum, (b) perlindungan sosial bila diperlukan, (c) pelayanan jasa pelayanan umum sebaik-baiknya. Sistem kesejahteraan di Perancis dirancang berdasarkan prinsip solidaritas, bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama dan risiko ditanggung bersama. Amerika Serikat menganut paham liberal dalam hal penyediaan kesejahteraan yang tercermin dalam konsep individualisme, laissez-faire (mengikuti arah pasar), paham residualisme, dan pandangan miring mengenai kemiskinan. Namun, tiap negara bagian mengatur sistem kesejahteraannya masing-masing sehingga Amerika memiliki sistem pluralistik. Negara-negara berkembang mempunyai masalah utama yaitu kemiskinan. Amartya Sen berpendapat bahwa kemisikinan bukan saja terjadi karena kekurangan sumber daya tetapi juga kurangnya entitlement, karena itulah diperlukan pembangunan ekonomi. Structural Adjustment Program (SAP) yang dibuat oleh badan keuangan internasional yaitu IMF dan World Bank untuk membantu negara-negara berkembang menyebabkan pengeluaran negara dalam sektor publik berkurang dan dialihkan ke sektor swasta, sehingga harga jual barang dan jasa semakin meningkat. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir orang dan sejumlah besar lainnya justru terjerumus ke jurang kemiskinan. Faktor-faktor penyebab pertumbuhan belanja publik dibedakan atas (a) faktor belanja barang dan jasa dan (b) faktor belanja dari transfer porsi pendapatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa antara lain: (a) pertumbuhan pendapatan per kapita, (b) perubahan teknologi, (c) perubahan populasi, (d) biaya relatif, (e) urbanisasi Belanja transfer merupakan distribusi pendapatan (transfer pendapatan sebagai suatu persentase dari pendapatan nasional), yang dipengaruhi oleh dua arah, yaitu: (a) Distribusi pendapatan yang dilakukan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan karena peningkatan pendapatan per kapita. Jika dilakukan penyesuaian atau perbaikan atas ketimpangan tersebut, maka perubahan tidak signifikan dan distribusi pendapatan tetap stabil. (b) Distribusi pendapatan yang dilakukan untuk menyesuaikan pendapatan keluarga. Jika pendapatan rata-rata meningkat, tidak mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Kecuali tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan, jika pendapatan rata-rata
322
§
§
§
§
§
§
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
meningkat maka kebutuhan untuk pendistribusian kembali pendapatan akan menurun. Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien jika memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak merugikan orang lain. Pada kenyataannya prinsip ini sangat susah dicapai, sehingga cara yang paling tepat adalah dengan mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian bersih. Aspek keadilan dalam belanja publik untuk menentukan kebijakan proyek dipengaruhi oleh pertimbangan sebagai berikut: (a) Distribusi pendapatan, seberapa besar manfaat yang dapat diberikan bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Jika distribusi pendapatan optimal, penilaian proyek yang didasarkan pada permintaan konsumen akan dipandang layak dari segi sosial. Tetapi jika distribusi pendapatan tidak optimal, penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biaya-manfaat dapat digunakan. (b) Fungsi obyektif, sebagai alat untuk menghitung pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan risiko ketidakpastian manfaat di masa yang akan datang akan mengurangi nilai sekarang dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran investasi pemerintah. Analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif untuk mengatasi risiko perubahan ekonomi ini. Government Finance Statistics Manual menguraikan klasifikasi belanja menurut fungsi pemerintah sebagai berikut: (a) belanja jasa publik umum, (b) belanja pertahanan, (c) belanja pertahanan, (d) belanja perlindungan umum, (e) belanja urusan ekonomi, (f) belanja perlindungan lingkungan, (g) belanja perumahan dan public utilities, (h) belanja kesehatan, (i) belanja rekreasi, budaya, dan agama, (j) belanja pendidikan, (k) belanja perlindungan sosial. Inti dari distribusi pengeluaran publik, yaitu: (a) mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin/marginal, (b) membantu mereka yang terpinggirkan/tertinggal dalam proses pertumbuhan ekonomi, (c) membantu mengatasi masalah kerentanan (vulnerability). Cara memenuhi kebutuhan publik dengan anggaran yang terbatas adalah dengan melakukan “targetting” yaitu mengarahkan belanja publik untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan, terdapat dua pendekatan: (a) broad targetting atau pentargetan secara luas, pentargetan jasa atau komoditi yang paling banyak dikonsumsi, (b)
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
323
targetting secara sempit, menargetkan individu atau keluarga yang masuk kategori miskin. Informasi mengenai dampak distribusi yang dapat membantu untuk memilih prioritas belanja publik dapat diperoleh dengan melakukan dua metode pengukuran, yaitu: (a) benefit incidence studies, terfokus pada manfaat rata-rata dari belanja publik dimana kesimpulan kebijakan atas reformasi belanja publik didasari oleh dampak atas margin perubahan tersebut, (b) behavioural approaches (pendekatan perilaku), menggunakan ekonometri maupun metode eksperimental.
LATIHAN 1. Sebutkan faktor-faktor penyebab pertumbuhan belanja publik dari : a. faktor belanja dan jasa, b. faktor pengeluaran dari transfer posisi pendapatan. 2. Jelaskan mengapa pertumbuhan pendapatan per kapita bisa membuat belanja publik mengalami peningkatan dan dapat juga mengalami penurunan! 3. Mengapa meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, tetapi bukan berarti belanja publik dalam pendapatan nasional meningkat? 4. Mengapa perubahan biaya jasa publik berpengaruh terhadap belanja publik? 5. Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan, dan sebutkan apa saja yang mempengaruhinya! 6. Apa yang dimaksud dengan prinsip Pareto Optimum? 7. Bagaimana membuat efisiensi proyek tetap ada walaupun ada pihak yang dirugikan? 8. Apa yang dimakud dengan kondisi distribusi optimal? 9. Apa manfaat fungsi objektif dan apa yang dimaksud bobot? 10. Sebutkan klasifikasi belanja publik menurut fungsi pemerintah! 11. Bagaimana cara mengestimasi manfaat dari hasil yang berisiko? 12. Mengapa analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif saat dimulainya proyek?
324
Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja Publik
13. Sebutkan yang termasuk dalam belanja urusan ekonomi! 14. Sebutkan yang termasuk dalam kategori belanja pertahanan! 15. Bagaimana jika distribusi pendapatan tidak optimal?
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM
Dalam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta masalahmasalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan dan perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.
PERLUNYA ANALISIS SEKTOR Banyak pendapat tentang pengelompokan pengeluaran publik kepada sektor, akan tetapi sektor-sektor yang dibahas disini didasarkan pada klasifikasi Bank Dunia, dengan melihat pengalaman-pengalaman empiris di berbagai negara. Sehingga, pendekatan pengelompokan sektor diasumsikan mengacu pada laporan-laporan Bank Dunia, untuk lebih fokus pada pembahasan materi.
326
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
Tujuan analisis sektor menyangkut beberapa tujuan: § Membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk seluruh perekonomian. § Memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pembangunan sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan ekonomi negara. § Menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyek-proyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan. § Mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik. Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pilihan, prioritas, dan hubungan antar sektor di antara proyek dan program yang dilaksanakan pemerintah. Perencanaan yang berhasil memerlukan penerjemahan tujuan dan kebijakan sektor ke dalam kebutuhan sektor dan subsektor secara individual dan juga ke dalam rincian yang lebih detail pada proyek-proyek tertentu. Dengan demikian, tujuan analisis sektor adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat nasional, program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek individu. Ada beberapa cara atau metode yang dapat digunakan dalam analisis sektor: § Melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis pengaruh terhadap sektor, subsektor dan proyek, variabel-variabel kebijakan umum seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan tingkat bunga. § Analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan kerja, dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai masukan bagi keputusan badan perencana mengenai program dan prioritas investasi nasional. § Analisis sektor membantu menjamin bahwa proyek-proyek individu terpilih didasarkan pada perencanaan dasar kebutuhan dan prioritas sektor, perubahan kebijakan dan kelembagaan perlu berprestasi baik pada tingkat proyek atau tingkat ekonomi mikro.
PERTAHANAN NASIONAL Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade tersebut,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
327
belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam pembelian barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi belanja personel, operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa, penelitian dan pengembangan.
Masalah Utama dalam Belanja Pertahanan Masyarakat tidak dapat menyediakan sendiri keamanan bagi dirinya dan proteksi yang diberikan haruslah secara kolektif, sehingga contoh penyediaan jasa pertahanan menjadi contoh klasik yang dapat dibahas. Belanja pertahanan selain menghadapi masalah yang kompleks dalam perencanaan, juga melibatkan masalah-masalah kebijakan luar negeri, seperti kesediaan untuk menerima risiko konflik militer. Suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai kebijakan subyektif. Alasannya, seseorang dapat saja memandang kebijakan tersebut defensif, tapi orang lain dapat berpandangan bahwa kebijakan tersebut ofensif. Keputusan politik memegang peranan sangat penting dalam menentukan pola kebijakan pertahanan ini meskipun menjadi kebijakan yang sulit diperkirakan. Masalah lainnya adalah menyangkut keseimbangan antara angkatan darat, laut, udara dan marinir, dan pemilihan sistem persenjataan tertentu. Yang paling penting, perencanaan pertahanan nasional harus menemukan keseimbangan antara senjata konvensional dan modern, ruang lingkup nasional, regional atau internasional. Terakhir, masalah kekuatan militer tidak hanya meningkatkan akibat pengrusakan tetapi juga bisa mencegah konflik yang menimbulkan pengrusakan.
Efektifitas Biaya Modernisasi Kekuatan Strategis Kebutuhan pertahanan nasional dan berbagai masalahnya memerlukan perancangan yang kesemuanya harus dipenuhi dengan seefisien mungkin. Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sistem persenjataan, apakah harus memodernisasi kekuatan strategis ataukah harus membangun kekuatan strategis baru. Kelayakan proyek-proyek militer, mulai dari landbased missiles, submarine-based missiles, maupun Administrations Strategic Defensive Initiative (sering disebut perang bintang) sampai sekarang masih dipertentangkan oleh para ilmuwan, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Dengan melihat anggaran pertahanan Amerika Serikat saat ini, sangat sulit memperkirakan apakah akan ada pembatasan persenjataan strategis dengan melakukan pemotongan anggaran, mengingat peran Amerika dalam perang
328
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
melawan terorisme sangat besar bahkan menjadi sponsor bagi program internasional ini.
Dampak Terhadap Industri Karena pertahanan merupakan kontributor utama dalam defisit anggaran pemerintah federal AS, dampaknya terhadap perkenomian negara layak dilakukan pembahasan. Dampak pertama terjadi pada besarnya pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta pertumbuhan produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Terdapat pergeseran dari permintaan swasta untuk barang konsumsi dan perumahan kepada pembelian pemerintah untuk sektor pertahanan. Industri pertahanan mencakup sektor manufaktur, seperti aerospace, pabrik pembuatan kapal laut, dan pabrik persenjataan elektronik. Di lain pihak, sektor ini secara nyata juga mendukung kesempatan kerja di sektor swasta.
Dampak Terhadap Pertumbuhan Produktivitas Program riset dan pengembangan yang dilakukan untuk kepentingan pertahanan nasional berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan produktivitas. Dari satu pihak, produktivitas yang ditimbulkan oleh sektor pertahanan akan dialihkan ke sektor swasta - seperti komputer namun di lain pihak, terserapnya bakat ilmiah oleh industri pertahanan akan menyebabkan industri swasta tersebut ke arah penurunan. Bukti empiris menunjukkan bahwa negara dengan persentase belanja pertahanan terhadap pendapatan nasionalnya kecil, misalnya Jerman dan Jepang, ternyata mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibanding dengan negara dengan persentase belanja pertahanan yang lebih besar, seperti Amerika Serikat. Pertumbuhan produktivitas jangka panjang akan tergantung pada peningkatan jumlah orang berbakat ilmiah dan kontribusi anggaran dalam peningkatan aktivitas ilmiah tersebut.
BELANJA PERTAHANAN DAN MASALAH PEMBANGUNAN Perang di Irak dan di Afganistan, konflik antara Israel dan Palestina serta adanya serangan teroris di seluruh penjuru dunia (terutama setelah serangan menghebohkan pada tanggal 9 September 2001 yang terkenal dengan insiden 9/11) telah menjadi berita utama di seluruh surat kabar dunia. Sementara itu, ketidakstabilan makin terasa di dunia ini, Millenium Development Goals (yang dicanangkan untuk mengurangi kemiskinan di dunia menjadi 50% dari jumlah sekarang pada tahun 2015) dan program-program penghapusan kemiskinan terasa terpinggirkan. Hanya sedikit yang menghubungkan bahwa sebetulnya peningkatan belanja pertahanan telah menciutkan sumber daya yang seharusnya disediakan untuk pembangunan. Tahun 2004 telah ditandai dengan meningkatnya belanja
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
329
pertahanan dan militer seluruh dunia dan kurangnya pengeluaran untuk mengatasi tantangan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan manusia. Setelah berakhirnya perang dingin, antara tahun 1988 sampai dengan 1998, belanja pertahanan dan militer seluruh dunia mengalami penurunan drastis selama sepuluh tahun. Setelah 1998 sampai buku ini dibuat tahun 2005, total belanja pertahanan dan militer telah mengalami kenaikan kembali, dengan trend yang terus meningkat. Antara tahun 1998 dan 2002, belanja pertahanan seluruh dunia telah meningkat sebanyak US$ 800 milyar, dan tahun 2003 diperkirakan total belanja pertahanan dan militer melebihi satu trilyun dolar AS. Perang Irak yang diawali dengan serangan Inggris dan Amerika Serikat ke Irak telah menambahkan total belanja pertahanan dan militer secara signifikan, dan pertambahan ini didominasi oleh kenaikan belanja pertahanan dan militer Amerika Serikat, yang disinyalir mencapai tiga perempat dari total kenaikan belanja pertahanan dan militer dunia antara tahun 1996 dan 2002. Lima belas negara yang belanja pertahanan dan militernya teratas di dunia adalah negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis dan Jerman. Namun demikian, India dan Cina yang termasuk negara berkembang telah meningkatkan belanja pertahanan dan militernya sebanyak 18% dan 9%. Apabila kita melihat perbandingan antara belanja pertahanan terhadap sumber daya nasional, banyak negara berkembang yang membelanjakan lebih besar bagian dari sumber daya nasionalnya untuk belanja pertahanan dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut di atas. Pada tahun 2003, Amerika Serikat membelanjakan 6% dari GDPnya untuk belanja pertahanan dan militer. Namun demikian, pada tahun 2001 lima negara Timur Tengah yaitu Israel, Kuwait, Yordania, Saudi Arabia membelanjakan lebih dari jumlah tersebut, yaitu antara 8% sampai 13% dari GDP mereka untuk militer. Burundi dan Ethiopia juga membelanjakan lebih dari AS, yaitu 8% dan 6.2% dari GDP mereka untuk militer. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara berkembang tersebut di atas baru saja keluar dari kemelut dan peperangan. Namun demikian, belanja pertahanan dan militer dalam jumlah besar ini tetap merupakan satu hal yang menjadi keprihatinan pemerhati negara berkembang. Belanja pertahanan dan militer merupakan masalah pembangunan, baik dari sisi kemanusiaan maupun sisi ekonomis. Dari sisi kemanusiaan, belanja militer mengganggu belanja pendidikan, kesehatan dan pembangunan sosial. Dari sisi ekonomis, antara lain perlu dicatat bahwa pada negara-negara miskin, peningkatan belanja militer dalam persentase atas GDP berhubungan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Dividen Perdamaian Sama dengan yang dilakukan oleh banyak negara lainnya, Amerika Serikat menandai akhir perang dingin dengan pengurangan besar-besaran atas belanja militernya pada tahun 90an. Pada saat yang sama, negara ini juga mengurangi belanja pemerintah, yang menyebabkan banyak orang merasa bahwa dividen perdamaian tidak terlaksana. Namun demikian, analisa yang cukup terpercaya mengungkapkan bahwa pengurangan belanja militer AS mengakibatkan menurunnya defisit pemerintah dan tingkat bunga pada tahun 90an. Pengurangan defisit ini merupakan pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi AS tahun 90an, yang membuat era ini merupakan masa terpanjang bagi pertumbuhan ekonomi AS. Pertumbuhan ini telah memberikan dampak positif terhadap perekonomian global, membuat AS menjadi lokomotif ekonomi dunia, dimana hal ini sangat menguntungkan (baik secara nyata maupun secara potensial) negara-negara miskin. Dampak menguntungkan dari pengurangan belanja pertahanan AS ini sebetulnya akan dapat lebih dinikmati oleh negara-negara miskin kalau saja Bretton Woods Institution (World Bank dan IMF) tidak memaksakan kebijakannya, juga bila tidak ada konflik lokal di tingkat regional negara-negara miskin tersebut. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh IDS, belanja militer AS untuk perang di Irak dan di Afganistan telah membuat anggaran belanja AS defisit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prospek perekonomian AS dan seluruh dunia tampaknya tidak begitu baik, mengingat bahwa peningkatan belanja militer di satu negara di dunia akan mempunyai dampak terhadap kesejahteraan dan penghidupan bangsa lain (yang bukan saja bersumber dari serangan yang dilancarkan oleh negara yang belanja militernya meningkat tersebut terhadap bangsa lain). Namun demikian, masalah pokok tidak hanya terdapat pada terlalu banyaknya uang yang dibelanjakan untuk peralatan dan personel militer. Apabila tujuan utama dari belanja publik adalah untuk meningkatkan keamanan dan pembangunan manusia, uang tersebut seringkali dibelanjakan ke tempat yang salah. Selama beberapa puluh tahun terakhir ini, sifat ketidakamanan (insecurity) telah berubah. Insecurity tidak lagi terutama bersumber dari negara
330
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
tetangga karena masalah pertikaian perbatasan dengan negara tetangga sebagai musuh yang jelas. Ancaman utama saat ini lebih banyak merupakan ancaman terhadap human insecurity, yang terdapat dalam bentuk kejahatan perkotaan, HIV/AIDS, pengungsian, dan kekerasan berbasis gender, malaria, TBC, bencana alam dan lain-lain yang bersumber dari berbagai hal namun memiliki dampak yang sama: membuat hidup banyak orang terancam dan menjadi makin rentan. Dengan berubahnya konteks permasalahan, maka respon yang diberikan tentunya juga harus berubah. Perlucutan senjata dan pembangunan masa kini memerlukan pendekatan baru, yang berkaitan dengan ancaman baru (dan terus berubah) terhadap keamanan, terhadap faktor-faktor baru, juga untuk menyikapi kenyataan masa kini dimana hanya ada satu negara adikuasa. Karena itulah, saat ini pemerintah baik negara maju maupun negara berkembang perlu mengalokasikan sumber dayanya untuk mengatasi tantangan yang paling mengancam kesejahteraan warganya. Pendekatan ini dikenal dengan nama human security approach. Human security approach inilah yang mendasari banyak lembaga non pemerintah internasional seperti Oxfam International mengadakan kampanye untuk mengingatkan pemerintah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk tidak menjual peralatan militer kepada negara-negara berkembang, dengan alasan bahwa akan jauh lebih bermanfaat bagi negara-negara ini apabila dana tersebut dialokasikan ke sektor kesejahteraan. Namun demikian, banyak pihak juga mengecam tindakan beberapa negara donor yang mempersyaratkan negara berkembang untuk melakukan pengurangan senjata dan pengurangan belanja militer dan pertahanan, tanpa memperhatikan dan mengatasi akar masalah dari tingginya belanja militer: lemahnya pemerintahan, dominasi militer dalam pengambilan keputusan dan tidak adanya pertanggungjawaban publik. Hal yang mutlak untuk dilaksanakan adalah menganalisa dengan menjabarkan berbagai pilihan yang tersedia untuk mengalokasikan sumber daya. Setiap negara perlu memilih mana yang akan dijadikan prioritas, setelah menimbang-nimbang berbagai kombinasi pilihan yang paling tepat untuk mengatasi human insecurity. Di pihak lain, negara produsen peralatan militer perlu juga menimbang-nimbang antara pentingnya memperoleh pendapatan dari penjualan senjata dibandingkan dengan komitmen mereka untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Analisa semacam ini tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Namun pengalaman negara seperti Costa Rica dapat dijadikan contoh, dimana negara tersebut merasakan manfaat yang besar dari menghapuskan belanja militer dan mengalokasikannya secara langsung kepada sektor kesehatan, pendidikan dan sektor lain yang berkaitan langsung dengan pembangunan manusia.
JALAN RAYA Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga hal yaitu: § Kerjasama yang rapi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah lainnya. § Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. § Perkiraan pajak yang besar.
Kerjasama Antar Unit Pemerintah Pengeluaran untuk jalan raya di Amerika Serikat, paling banyak dilakukan pada tingkat negara bagian, termasuk jalan antar negara bagian. Sebagian yang lain dilakukan oleh pemerintah federal dengan mentransfer hampir seluruh penerimaannya melalui grant kepada tingkat pemerintah di bawahnya dan sebagian besar diterima oleh negara bagian. Sedangkan pemerintah lokal bertanggung jawab terhadap jalan raya di daerahnya. Pembagian kerja dan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
331
pembiayaan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah, baik federal, negara bagian, maupun pemerintah lokal lainnya.
Pembiayaan Melalui Pungutan Kepada Pemakai Pembangunan jalan raya sebagian besar didanai oleh pemakai jalan. Untuk tingkat federal, penerimaan berasal dari pajak bahan bakar, yaitu penghasilan yang ditransfer dari Highway Trust Fund dalam bentuk grant antar pemerintahan. Pada tingkat negara bagian, penerimaan jalan raya diperoleh dari retribusi dan pajak kendaraan bermotor, yang selanjutnya dipakai untuk membangun jalan negara bagian dan sebagian lainnya ditransfer ke pemerintah lokal dalam bentuk grant. Sedangkan pada tingkat pemerintah lokal, jalan raya dibiayai dari general fund, yang salah satunya berasal dari pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal serta dari pembebanan khusus lainnya. Penerimaan dari tarif tol tidak terlalu siginifikan dibanding dengan sumber pendanaan lainnya.
PENDIDIKAN Anggaran pendidikan di Amerika Serikat, terutama dibiayai oleh pemerintah lokal dan negara bagian meskipun pengendalian sistem pendidikan tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang disalurkan kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi terutama untuk mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga ikut membiayai pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar karena pendidikan pada dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Swasta ikut memberikan andil membiayai pendidikan juga meskipun kontribusinya tidak sebesar pemerintah.
Masalah-Masalah Kebijakan Pendidikan Permasalahan yang ada dalam kebijakan pendidikan menyangkut apa yang seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurikulum), bagaimana proses pengajaran berlangsung, siapa yang berhak memperoleh pendidikan, dan apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan swasta juga. Negara bagian pada umumnya mempunyai kebebasan yang cukup memadai dalam merancang struktur fiskal masing-masing dan dalam mengendalikan
332
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
pemerintah lokal yang secara langsung bertanggung jawab dalam penyediaan pendidikan. Hal ini telah mendapat dukungan undang-undang di negara bagian dan telah pula diakui oleh Mahkamah Agung bahwa setiap warga negara berhak atas perlakukan yang sama dalam bidang pendidikan. Namun demikian, tidak ada keharusan menurut konstitusi bahwa pendidikan harus sebanding di seluruh negara bagian. Pendidikan dasar dan menengah sebagian besar disediakan oleh pemerintah melalui sekolah negeri. Pada tingkat ini, timbul perdebatan tentang perlunya monopoli pemerintah atas sekolah pada tingkatan itu. Hasil yang efisien akan dapat diperoleh jika terdapat persaingan yang sehat antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Penganjur pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan kepentingan umum sehingga harus disediakan oleh pemerintah, akan tetapi mereka juga setuju bahwa tidaklah berarti bahwa pendidikan harus disediakan oleh sekolah negeri. Konsumen pendidikan mengharapkan pemberian pendidikan yang sama atau paling tidak ada standar minimum. Masalah pokok yang juga timbul adalah berkaitan dengan tingkat kualitas pendidikan. Persaingan yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta perlu didukung dengan kebijakan dalam menjamin persaingan yang sehat oleh pemerintah. Persoalan pendidikan bukanlah hanya persoalan fiskal saja, akan tetapi merupakan persoalan politik. Studi yang dilakukan oleh Institute of Development Studies di Inggris pada tahun 2004 menganalisa belanja publik bagi sektor pendidikan di subSaharan Afrika dan Asia Selatan, dengan fokus utama pada pendidikan dasar. Studi ini menemukan bahwa tingginya angka masuk sekolah berkaitan tidak hanya pada belanja publik untuk pendidikan dasar melainkan juga dengan adanya unit cost yang jelas dan sederhana. Karena itulah, agar pendidikan dasar dapat dicapai oleh semua anak usia sekolah, perlu adanya komitmen pemerintah untuk mereformasi belanja publik dan sektor swasta, meningkatkan efisiensi, serta memberikan prioritas yang tinggi terhadap pendidikan dasar.
FASILITAS REKREASI Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai. Dengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarif yang
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
333
akan dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan biaya proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari penghitungan tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat dijadikan dasar pengukuran manfaat. Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain adalah dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi keluar rumah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan dana. Selain berbagai manfaat di atas, perlu juga dipertimbangkan manfaat dalam bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagai contoh, proyek sumber daya air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga dapat digunakan untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah sebuah bendungan dapat dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir, irigasi, selain ditujukan untuk rekreasi. Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas fasilitas rekreasi harus lebih diutamakan, bukan penilaian seperti yang dilakukan dalam pengadaan fasilitas swasta. Dan, hal ini dapat dianggap sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta. Tujuan non finansial tertentu, misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus dipertimbangkan, meskipun tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian pasar.
GLOBAL PUBLIC GOODS Penjelasan mengenai public goods sudah Anda dapatkan pada bab terdahulu. Saat ini, di era globalisasi ada istilah global public goods, yang mengacu pada barang publik yang kegunaannya mendunia atau bisa bermanfaat tidak saja bagi satu kelompok masyarakat tertentu melainkan bagi seluruh dunia dan berbagai generasi. Misalnya lapisan ozon di cakrawala, yang penting bagi seluruh dunia sepanjang masa. Barang publik bisa juga dapat menjadi global melalui konsensus atau kesepakatan dunia- misalnya pada saat berbagai negara menyepakati suatu strategi internasional untuk menanggulangi penyakit menular, atau mengamankan hak cipta.
334
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
PRIVATISASI BARANG PUBLIK Penyediaan barang publik oleh pemerintah saat ini banyak mendapat tantangan, terutama dari kaum neo-liberalist. Alasan utama yang dikemukakan adalah bahwa market failure juga bisa terjadi dalam hal barang dan jasa publik diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal pemerintah tidak capable sebagai penyelenggara barang dan jasa publik. Argumentasi ini berakar dari ketidakpercayaan mereka terhadap kinerja pemerintah yang dinilai lamban dan tidak efisien, belum lagi ditambah dengan masalah korupsi yang ditudingkan pada aparat pemerintah. Oleh karena itu, menurut mereka, barang dan jasa publik sebaiknya diserahkan pada sektor swasta, dan biarkan mekanisme pasar yang menentukan, tugas pemerintah hanya mengawasi. Karena itulah, privatisasi termasuk salah satu yang dianjurkan oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF bagi negara-negara berkembang. Privatisasi (yaitu penjualan barang publik) kepada pihak swasta, merupakan fenomena yang umum terjadi di dunia ini. Tidak ada jasa yang luput dari privatisasi: perbankan, listrik, migas, kesehatan, air, pendidikan, telekomunikasi, dan transportasi seringkali dialihkan ke sektor swasta oleh pemerintah pusat maupun daerah. Walaupun trend untuk melakukan privatisasi di negara maju telah dimulai pada tahun 80-an, saat ini privatisasi juga telah menjadi praktek umum di negara berkembang, dengan menjual sumber daya alam. Misalnya, menurut data World Bank (2001), 40 persen dari pendapatan negara-negara maju yang didapat dari privatisasi pada tahun 1999 diperoleh dari penjualan hak atas pertambangan migas, barang tambang, pertanian dan kehutanan. Alasan privatisasi bisa berbagai macam. Salah satunya adalah untuk menyelamatkan perusahaan negara yang terus menerus merugi dan menghabiskan keuangan negara. Alasan lain adalah harapan bahwa pihak swasta akan dapat mengelola perusahaan-perusahaan tersebut dengan lebih efisien, memberikan pelayanan yang lebih baik daripada negara dengan suntikan dana segar, manajemen yang lebih profesional dan penggunaan teknologi yang lebih canggih. Namun demikian, keputusan untuk melakukan privatisasi seringkali merupakan keputusan yang kontroversial, terutama bila pemerintah menyerahkan pengelolaan air minum dan listrik kepada sektor swasta. Kekhawatiran yang ada menyangkut kemungkinan bahwa perusahaan swasta akan meningkatkan efisiensi perusahaan, tanpa menghiraukan misi sosial dalam pelaksanaannya. Misalnya dengan meningkatkan harga air dan tarif dasar listrik tanpa memandang kemampuan masyarakat. Kekhawatiran lain yang lebih mendasar adalah apabila privatisasi atau swastanisasi ini
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
335
menyangkut sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak, dimana pengelolaan oleh sektor swasta tidak saja mengakibatkan harga yang mahal namun juga mengakibatkan sebagian masyarakat yang tidak mampu membayar tersingkirkan (excluded). Privatisasi Air Minum Salah satu contoh privatisasi barang publik yang sedang menjadi sorotan masyarakat akhir-akhir ini adalah pengelolaan air, dengan disahkannya Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Secara kronologis, undang-undang ini merupakan bagian dari syarat pencairan pinjaman ketiga proyek WATSAL (Water Sector Adjustment Loan) didanai bank dunia. Bank dunia menyatakan harus ada perubahan kebijakan (policy reform) dalam pengelolaan air di Indonesia ke depan sebagai syarat dari pinjaman tersebut. Undang-Undang Sumber Daya Air ini merupakan persyaratan pencairan pinjaman ketiga proyek WATSAL tersebut. Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tersebut memberi ruang bagi peran swasta dalam penyelenggaran air, sebagaimana disebutkan dalam pasal 9, 10, 26, 40, 41, 45, 80, dan pasalpasal pelaksana lain, yang berkaitan dengan pasal tersebut. Undang-undang ini juga memungkinkan penguasaan sumber-sumber air oleh pemodal, dengan diberikannya Hak Guna Usaha kepada individu dan badan usaha. Konsep hak guna, yang merupakan hasil dari pemikiran liberal (pasar) dari bank dunia, memberlakukan air sebagai komoditas yang bernilai komersial. World Bank menyatakan “ Manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “ partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan” (World Bank, 1992). Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta.Menurut World Bank, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah harga pasar dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi Full Cost Recovery, dimana konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Pengalaman masa lalu tentang privatisasi air, seperti di Cochabamba, Bolivia oleh Bechtel Corporation, menunjukkan bahwa privatisasi dapat membuat kenaikan harga yang mempersulit akses rakyat miskin untuk mendapatkan air bersih. Banyak perusahaan air swasta yang berkecimpung dalam bisnis air minum juga merupakan produsen air minum dalam kemasan. Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa 80 persen populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk memenuhi hak dasar rakyat Indonesia atas air. Oleh karena itulah, banyak pihak beranggapan bahwa pasal-pasal dan ayat dalam UU No. 7/2004 tersebut mengingkari penghargaan terhadap hak asasi manusia dan welfare state. Padahal, UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Pada tingkat internasional, Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan di tahun 1992 menyatakan bahwa hak dasar (basic right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah akses kepada air dan sanitasi dengan harga yang terjangkau (FAO, 1995). Hak atas air yang setara juga diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002. Komite ini juga menyatakan bahwa air adalah harus diberlakukan sebagai barang sosial dan kultural, dan bukan komoditas ekonomi belaka.
336
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
Namun demikian, untuk dapat memenuhi kewajiban penyediaan air tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur pengairan, pemulihan, dan perawatan sumber daya air. Diperkirakan, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi, penyediaan dana tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah. Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi. Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati, dampaknya akan meningkatkan harga jual air yang justru dapat membatasi dan mengurangi akses masyarakat atas air bersih dan sanitasi.Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Pertama, melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam pengusahaan sumber daya air untuk mencegah pembebanan harga/tarif yang berlebihan kepada publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah yang menutupi kesenjangan (gap) antara tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar. Mekanisme ini dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat. Mekanisme lain yang menjamin hak dasar rakyat atas air dan perlindungan dari eksploitasi yang berlebihan akibat ketidaksempurnaan pasar harus terus dielaborasi dan direalisasikan. Ketiga, mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang efektif guna menjamin check and balances. Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi sumber daya air dapat diarahkan pada upaya-upaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat dan menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip konservasi dan pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama. Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal (polluters pay principle) harus diterapkan secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumber daya air yang lebih luas. Di lain pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan penggunaan air sebagai wujud pengakuan hak orang lain atas air. Rumitnya pengelolaan penyediaan air ini bukan hanya milik Indonesia. Hal ini telah dialami oleh banyak negara berkembang lain. Contoh di mana telah terjadi kekerasan akibat privatisasi air ini dialami oleh wilayah Cochabamba di Bolivia.
RANGKUMAN §
§
Pengeluaran publik dikelompokkan ke dalam sektor-sektor. Tujuan analisis sektor, antara lain: (1) membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk seluruh perekonomian, (2) memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pembangunan sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan ekonomi negara, (3) menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyek-proyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan, (4) mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik. Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pilihan, prioritas, dan hubungan antara sektor di antara proyek dan program yang dilaksanakan pemerintah. Tujuan analisis sektor adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
337
nasional, program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek individu. Metode yang dapat digunakan dalam analisis sektor: (1) melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis pengaruh terhadap sektor, sub sektor dan proyek, variabel-variabel kebijakan umum, seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan tingkat bunga, (2) analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan kerja, dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai masukan bagi keputusan badan perencana mengenai program dan prioritas investasi nasional. (3) analisis sektor membantu menjamin bahwa proyek-proyek individu terpilih didasarkan pada perencanaan dasar kebutuhan dan prioritas sektor, dan perubahan kebijakan dan kelembagaan perlu berprestasi baik pada tingkat proyek atau tingkat ekonomi mikro. Masalah utama dalam belanja pertahanan antara lain, perencanaan yang kompleks, masalah kebijakan luar negeri seperti kesediaan menerima resiko konflik militer, masalah keseimbangan antara angkatan darat, laut, udara dan marinir, masalah pemilihan sistem persenjataan, dan masalah kekuatan militer yang meningkatkan akibat pengrusakan. Dampak besarnya belanja pertahanan bagi industri yaitu besarnya pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta pertumbuhan produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Sementara dampak terhadap pertumbuhan produktivitas yang didapat dari bukti empiris menunjukkan bahwa negara dengan persentase belanja pertahanan yang kecil mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibandingkan negara dengan persentase belanja pertahanan yang lebih besar. Sistem jalan raya sebagai barang publik memiliki tiga hal keunikan, yaitu: (1) kerjasama yang rapi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah lainnya, (2) jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar, (3) perkiraan pajak yang besar. Pada tingkat federal di Amerika Serikat, pembangunan jalan raya dibiayai dari penerimaan yang berasal dari pajak bahan bakar, yaitu penghasilan yang ditransfer dalam bentuk grant antar pemerintahan. Untuk negara bagian penerimaan diperoleh dari retribusi dan pajak kendaraan bermotor lalu sebagian ditransfer dalam bentuk grant kepada pemerintah lokal. Sementara untuk tingkat pemerintah lokal penerimaan diperoleh dari general fund, diantaranya pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal.
338 §
§
§ §
§
§
§
Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor Umum
Permasalahan dalam kebijakan pendidikan antara lain: (a) apa yang seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurrikulum), (b) bagaimana proses pengajaran berlangsung, (c) siapa yang berhak memperoleh pendidikan, (d) apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan swasta serta (e) tingkat kualitas pendidikan. Perlu adanya kebijakan yang menjamin persaingan yang dilakukan sekolah-sekolah swasta. Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda, bagi pemakai, masyarakat sekitar, dan manfaat lain seperti keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang akhir atau konsumsi sementara jalan raya merupakan barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat atas barang ini dapat dinikmati oleh publik. Cara mengukur manfaat atas fasilitas rekreasi dapat dilakukan dengan cara: (a) kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarif yang akan dibebankan kepada pengguna lalu dibandingkan dengan biaya proyek, (b) melakukan penghitungan kesediaan membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi, kurva permintaan sebagai dasar pengukuran manfaat, (c) analogi fasilitas swasta yang menarik iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat, (d) menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi ke luar rumah, (e) melakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan dana. Global Public Goods adalah barang publik yang kegunaannya mendunia atau bisa bermanfaat tidak saja bagi satu kelompok masyarakat melainkan bagi seluruh alam. Contoh: lapisan ozon. Barang publik bisa juga dapat menjadi global melalui konsensus atau kesepakatan dunia. Kaum neo-liberalist menginginkan agar penyediaan barang publik diserahkan kepada sektor swasta karena market failure juga bisa terjadi pada barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, kinerja pemerintah yang lambat dan tidak efisien dan masalah korupsi di tingkat pemerintahan. Privatisasi (penjualan barang publik) dilakukan dengan berbagai alasan: (a) untuk menyelamatkan perusahaan negara yang terus menerus merugi dan menghabiskan keuangan negara, (b) harapan bahwa pihak swasta akan dapat mengelola perusahaan dengan lebih efisien, memberikan pelayanan yang lebih baik dengan suntikan dana segar (c) manajemen yang lebih profesional dan (d) penggunaan teknologi yang lebih canggih.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
339
Keputusan untuk melakukan privatisasi merupakan keputusan yang kontroversial karena menimbulkan beberapa kekhawatiran, antara lain jika perusahaan swasta meningkatkan efisiensi tanpa menghiraukan misi sosial dengan menaikkan harga tanpa memandang kemampuan masyarakat dan mengakibatkan sebagian masyarakat yang tidak mampu membayar tersingkirkan (excluded).
LATIHAN 1. Jelaskan tujuan analisis sektor dan mengapa diperlukan ? 2. Sebutkan metode apa saja yang dapat digunakan dalam analisis sektor ? 3. Mengapa suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai kebijakan subjektif? 4. Jelaskan dampak terhadap pertumbuhan produktivitas atas belanja pertahanan nasional! 5. Sebutkan keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik ! 6. Jelaskan masalah-masalah yang ada dalam kebijakan pendidikan ! 7. Mengapa fasilitas rekreasi memberikan manfaat ganda ? 8. Apa yang dimaksud dengan cara pengukuran analogi fasilitas swasta ? 9. Mengapa persoalan pendidikan bukan hanya persoalan fiskal tetapi juga persoalan politik. 10. Apa dasar pengukuran manfaat failitas rekreasi dengan cara pertama ? 11. Mengapa analisis sektor diperlukan ? 12. Mengapa belanja pertahanan diperlukan bagi suatu negara ? 13. Bagaimana dampak belanja pertahanan nasional terhadap industri ? 14. Jelaskan sistem/mekanisme kerjasama antar unit pemerintah dalam pengeluaran biaya untuk pengadaan fasilitas jalan raya ! 15. Bagaimana bentuk pembiayaan di dalam pengadaan barang dan jasa milik umum khususnya jalan tol ?
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN SOSIAL
Terdapat berbagai macam bentuk tunjangan sosial yang dikelola pemerintah. Sampai sejauh mana tingkat tunjangan diberikan tergantung pada kemampuan finansial masing-masing negara dan juga aliran pemikiran ekonomis negara tersebut. Berikut ini diuraikan kebijakan belanja publik dalam bentuk tunjangan sosial di Amerika Serikat (negara maju yang menganut sistem welfare state dalam arti bahwa negara hanya sebagai pengatur dan bukan pemain), serta di Indonesia sebagai sebuah negara berkembang yang masih mencari model yang cocok untuk kebijakan sosialnya.
PROGRAM JAMINAN SOSIAL DI AMERIKA SERIKAT
342
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
Tunjangan kepada Penghasilan Rendah Di Amerika Serikat, terdapat sejumlah program tunjangan yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Komponen-komponen utama program tersebut antara lain sebagai berikut: Medicaid Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria AFDC (Aid to Families with Dependent Children) yang sering disebut sebagai program kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah orang yang mempunyai pendapatan terbatas menurut kriteria SSA (Supplementary Security Income), serta semua orang yang berumur diatas 65 tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk Medicare yaitu asuransi kesehatan yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu negara. Program ini biasanya dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan berpedoman pada standar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Jaminan Penghasilan Tambahan Tunjangan ini diberikan dalam bentuk pembayaran tunai kepada orangorang yang penghasilannya atau aset seseorang kurang dari jumlah minimum yang ditetapkan. Program ini dikelola oleh pemerintah federal. Kupon Makanan Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon makanan jika mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari nilai yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program ini diberikan melalui pemerintah lokal. Perumahan Murah Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi perumahan diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani berpenghasilan rendah.
Tunjangan Kesejahteraan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
343
Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan bantuan kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk lain – yang kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai anak di bawah 18 tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lain. Program kesejahteraan ini paling banyak menimbulkan perdebatan. Program ini dipandang sebagai program yang merendahkan martabat karena persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga pria. Tunjangan yang diberikan dinilai tidak memadai untuk standar kehidupan minimum yang layak. Selain itu, program ini dipandang tidak mendorong orang untuk bekerja lebih giat, karena tunjangan akan menurun jika pendapatan meningkat – sering disebut tarif pajak marjinal. Titik permasalahan telah berubah dari memberikan keringanan dalam ekonomi kepada kesejahteraan anak dalam keluarga yang berorang tua tunggal. Untuk mengatasi kritik ini, pola tunjangan alternatif mulai dipertimbangkan. Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan mulai pendapatan tingkat bawah. Dengan demikian alternatif ini akan menjamin tingkat minimum yang cukup sesuai ketersediaan dana sosial pemerintah. Namun demikian, kebijakan pemberian tunjangan alternatif ini dapat mengurangi jumlah bantuan yang dapat diberikan kepada golongan yang paling membutuhkan. Pola alternatif lain adalah bentuk pajak penghasilan negatif. Bantuan diberikan kepada orang-orang dengan pendapatan rendah atau yang tidak berpendapatan. Jika pendapatan kotor meningkat, maka pajak negatif akan menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif yang terhutang. Prinsip ini merupakan perluasan prinsip perpajakan progresif yang telah diterima umum dan berbagai cara untuk menggabungkan prinsip pajak negatif ke dalam struktur pajak positif telah dipertimbangkan.
Asuransi Sosial Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika Serikat meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance).
Asuransi Pensiun dan Cacat
344
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
Peraturan OASI menetapkan bahwa program ini mencakup semua pekerja berusia dibawah 65 tahun dan bekerja di bidang komersial serta industri kecuali jalan kereta api dan karyawan pemerintahan yang mempunyai skema lain - berhak mendapatkan asuransi pensiun dan cacat yang preminya bersumber dari penerimaan pajak penghasilan upah dan gaji (payroll tax). Prinsipnya adalah menggabungkan kontribusi pemberi kerja dan karyawan. Asuransi Kesehatan Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas Medicare pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan dasar terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan kesehatan rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut apakah asuransi hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus diperluas kepada seluruh penduduk, dan kalau diperluas bagaimana bentuknya. Perdebatan muncul karena menyangkut pembiayaan yang sangat besar, pengaruhnya terhadap jasa medis yang diberikan, kebebasan memilih dokter, dan peranan asuransi swasta. Asuransi Pengangguran Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan dari negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi dari pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola oleh Federal Unemployment Trust Fund.
Sistem Tunjangan Sosial Terkini Seiring dengan perkembangan pemikiran aspek keadilan, sistem tunjangan sosial juga mengalami perubahan. Sistem tunjangan dalam bentuk tunai dipandang oleh para ekonom dapat menimbulkan efek yang negatif bagi golongan penghasilan rendah dalam hal produktivitasnya, sehingga golongan penghasilan tinggi mempunyai preferensi memberikan kontribusinya dalam bentuk non tunai. Salah satu perubahan yang substansial dari sistem kesejahteraan di Amerika Serikat berubah sejak diundangkannya Undang Undang Rekonsiliasi Kesempatan Kerja dan Tanggungjawab Personal tahun 1996. Aturan tersebut menciptakan program kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families (disingkat TANF) yang pada intinya mengatur hal-hal dibawah ini. § Menurut aturan AFDC, setiap orang yang mempunyai pendapatan di bawah batasan tertentu dan memenuhi persyaratan tertentu diberikan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§ §
§
345
bantuan manfaat tunai secara mutlak tanpa pandang bulu. TANF mengubah aturan bantuan tunai tersebut kecuali dalam hal bahwa bantuan secara tunai tersedia hanya temporer – tidak setiap saat - berdasarkan ada tidaknya program tunjangan tunai tersebut. Secara umum, TANF mengatur bahwa individu tidak diijinkan menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun. Setiap orang dewasa yang normal (tidak cacat) yang telah menerima pembayaran bantuan tunai selama dua tahun diharuskan mengambil bagian dalam suatu kegiatan yang ditujukan untuk membuat individu tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri. Setiap negara bagian diberikan grant dari pemerintah federal untuk mendanai program kesejahteraan dimana jumlahnya adalah tetap, kemudian negara bagian tersebut melaksanakan program kesejahteraannya sepanjang tepat sasaran dalam batasan grant tersebut. Dengan demikian, struktur pemberian bantuan kesejahteraan negara bagian dikendalikan oleh pemerintah federal. Suatu negara bagian dapat menggunakan grant tersebut untuk membayar bantuan secara tunai, melaksanakan program pelatihan kerja, melaksanakan program pembatasan kehamilan, atau program lainnya yang sejenis.
SISTEM JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA Menurut UUD 1945, jaminan sosial merupakan hak setiap warga negara dan oleh karena itu negara wajib menyediakannya. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 dan program Asuransi Kesehatan
346
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
(ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima Pensiun/Perintis Kemerdekaan/ Veteran dan anggota keluarganya. Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya, telah dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971. Berbagai program tersebut di atas baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut belum mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta. Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut: § Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. § Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta. § Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
347
Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara sukarela, sehingga dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam UndangUndang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial. Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam undang-undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai UU No.40/2004 adalah:
348
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) Menurut Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional yang berlaku sekarang (UU No 40/2004), terdapat lima jenis program jaminan sosial di Indonesia, yaitu: a. jaminan kecelakaan kerja (JKK); b. jaminan kematian (JK); c. jaminan hari tua (JHT); dan d. jaminan kesehatan pekerja (JKP). Jenis program jaminan sosial meliputi: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; b. jaminan hari tua; c. jaminan pensiun; dan d. jaminan kematian. Undang-undang di atas mengatur bahwa premi untuk program JKK, JK, dan JKP dibayar seluruhnya oleh perusahaan, sementara premi program JHT dibayar bersama oleh perusahaan dan pekerja. Program JKK, JK dan JHT diinvestasikan dalam sebuah dana tabungan wajib (provident fund) yang dikelola oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT (Persero) Jamsostek, sementara program JKP dapat dikontrakkan ke perusahaan asuransi kesehatan swasta apabila perusahaan dapat menunjukkan bahwa manfaat asuransi kesehatan swasta akan sama atau melebihi manfaat program JKP yang dikelola oleh PT (ILO, 93, Arifianto 2004). Program jaminan sosial yang disebutkan di atas tersedia bagi angkatan kerja yang aktif bekerja di sektor formal, dan jaminan tersebut bersifat contributory, dimana pihak penerima manfaat memberikan kontribusi dalam bentuk pembayaran premi yang dipotong dari gaji mereka. Sedangkan untuk anggota masyarakat yang tidak tergabung dalam sektor formal, jaminan sosial yang ada saat ini masih sangat terbatas.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
349
Jaminan Sosial Untuk Pegawai Negeri Walaupun masih dianggap jauh dari memadai, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia memiliki jaminan kesehatan dan pensiun sampai akhir hidupnya, dan bahkan janda/duda yang ditinggalkannya masih dapat menikmati hasil kerja pasangannya dengan mendapatkan pensiun janda/duda. Sistem dana pensiun bagi PNS telah ada sejak tahun 1963. Pada awalnya, sistem pensiun ini adalah dengan memberikan sejumlah uang secara lump-sum ketika seorang PNS memasuki masa pensiun atau apabila yang bersangkutan meninggal sebelum pensiun. Pada tahun 1969, barulah suatu sistem pensiun diadakan. Sejak 1971, anggota ABRI dan PNS di lingkungan Hankam juga menerima pensiun serupa dengan yang diterima para PNS. Saat ini, manfaat yang diperoleh meliputi asuransi kesehatan, sejumlah uang pada saat pensiun, serta uang pensiun bulanan yang tetap terus dibayarkan dengan persentase yang lebih kecil kepada pasangannya apabila PNS yang bersangkutan meninggal dunia. Dana pensiun tersebut dikelola oleh sebuah PT dimana pemerintah merupakan pemegang saham tunggal. Untuk PNS, pensiun dikelola oleh PT Taspen, sedangkan untuk anggota ABRI dan kepolisian, pensiun dikelola oleh ASABRI. Untuk asuransi kesehatan, PNS dan anggota ABRI, dikelola oleh PT ASKES. Pendanaan Sampai tahun 1994, semua tunjangan yang diterima oleh PNS dibayar seluruhnya dari APBN, yang dibiayai dari pajak dan pendapatan negara yang lain. Sejak 1994, skema ini didanai dari kontribusi PNS sebesar 10% dari gaji pokok. Jumlah ini terdiri atas: 4.7% sebagai pensiun bulanan, 3.25% uang pensiun, dan 2% untuk jaminan kesehatan. Namun jumlah ini tentu saja masih jauh dari cukup. Menurut Asher (1998:8), kontribusi dari para pegawai ini hanya mencapai 22% dari manfaat pensiun, sedangkan sisanya didanai oleh Pemerintah. Replacement Rates1 Bagi PNS yang memiliki masa kerja 20 tahun atau lebih pada saat pensiun, uang pensiun bulanan dihitung sebagai berikut: 1,875% dari gaji pokok 1
Replacement rate didefinisikan sebagai proporsi dari upah tertentu (biasanya gaji final seorang pegawai) yang dibayar sebagai uang pensiun setelah mengakhiri masa kerja.
350
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
dikalikan dengan masa kerja. Setelah ditambahkan dengan uang lump sump yang diterima pada akhir masa kerja, maka replacement rate adalah antara 75100% untuk masa kerja 20-35 tahun. Walaupun demikian, PNS yang berhenti bekerja sebelum 20 tahun masa kerja tidak mendapatkan pensiun dalam bentuk apa pun. Coverage Secara otomatis, PNS akan didaftarkan dalam skema tadi, sehingga cakupan keanggotaan di kalangan PNS tentu saja 100%. Menurut INSSA (1995, seperti dikutip oleh Tambunan dan Purwoko 2002), keanggotaan Taspen meningkat dari 3,74 juta pada tahun 1989 menjadi 4,12 juta pada tahun 1993. Sedangkan pada tahun 1993 sebanyak 1,48 juta pensiunan menerima uang pensiun bulanan. Angka terkini didapat dari Asian Development Bank 2001, dimana keanggotaan Taspen mencapai 5,7 juta orang, dimana 3,7 juta orang diantaranya merupakan kontributor (pembayar premi). Hal ini berarti cakupan mencapai 4% dari tenaga kerja. ASABRI memiliki anggota sebanyak 600.000 orang, yaitu 0,6% dari total tenaga kerja. Keanggotaan ASKES secara kasar mencakup 16 juta jiwa, yang terdiri atas PNS serta keluarga yang menjadi tanggungannya. Perspektif Mancanegara Di banyak negara, penyelenggaraan jaminan hari tua, tunjangan cacat dan tunjangan kematian untuk pegawai negeri sudah ada sebelum adanya program jaminan sosial untuk pegawai swasta. Keistimewaan juga kadang diberikan kepada kelompok pekerja tertentu di bidang pelayanan masyarakat, seperti tentara, polisi, guru, dan karyawan BUMN. Dari sejarahnya, tunjangan ini diberikan sebagai bentuk terima kasih atas pengabdian mereka. Pekerjaan seumur hidup tampaknya sudah merupakan pola dalam karir pegawai negeri, dan prospek untuk memperoleh pensiun yang memadai pada saat yang bersangkutan mencapai usia pensiun merupakan hal lain yang dipandang sebagai daya tarik untuk bergabung menjadi pegawai negeri. Walaupun program pensiun semacam ini didirikan oleh negara sebagai employer untuk para pegawainya (sehingga dalam hal ini hubungan kerja yang ada adalah sama dengan di perusahaan swasta), perbedaan terbesar adalah bahwa tunjangan-tunjangan ini dibayar dengan menggunakan pendapatan negara. Sehingga, dapat dilihat bahwa hal ini meningkatkan konsumsi negara, yang pada akhirnya berdampak pada keuangan negara. Di negara-negara industri, kebanyakan tunjangan pensiun untuk PNS terus menjadi satu program terpisah, bahkan setelah adanya broad based national
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
351
social insurance system. Sejak perang dunia kedua, sistem ini banyak sekali mendapat kritikan, terutama di negara-negara di mana proporsi PNS dalam ketenagakerjaan tinggi. Dengan dikembangkannya broad based national social insurance system yang berdasarkan prinsip-prinsip universal dan keadilan, makin terasa bahwa sistem terpisah ini kurang adil, karena system ini secara nyata mengistimewakan PNS. Di negara-negara miskin (terutama di Afrika), sistem ini merupakan peninggalan jaman kolonial, dan sampai hari ini, PNS merupakan satu-satunya kelompok yang mendapatkan uang pensiun bulanan. Dalam berbagai hal, tekanan finansial yang dihadapi oleh program pensiun pegawai negeri kurang-lebih sama di seluruh dunia. Kebanyakan negara mengalami periode di mana perekrutan PNS yang sangat besar (terutama di tahun 70 dan 80-an), yang kemudian diikuti dengan masa stabilisasi dan penciutan jumlah PNS. Fenomena ini sangat nyata, dalam arti rasio pensiunan yang semakin meningkat pada sepuluh tahun terakhir. Hal ini diperparah dengan pengenalan sistem pensiun dini untuk mengurangi beban anggaran belanja pegawai, yang pada akhirnya menambah jumlah pensiunan di berbagai negara. Mengingat pembiayaan pensiun PNS dibayarkan atau ditunjang oleh penerimaan negara, banyak yang mengatasi masalah keuangan negara dengan cara yang kurang tepat, yang tidak membawa hasil dalam mengembalikan keseimbangan fiskal. Karena itu, World Bank (2004) menganjurkan negaranegara berkembang tersebut untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengurangi kewajiban pembayaran pensiun melalui perubahan parameter (contohnya dengan mengurangi item-item yang dalam tunjangan atau mengurangi jumlahnya). 2. Secara berkala berpindah ke sistem cost-sharing dengan PNS. 3. Membuat sistem pensiun yang lebih luwes dan dapat diterapkan dalam jangka panjang. 4. Menyeimbangkan komponen yang dikompensasi untuk menarik, mempertahankan dan memotivasi PNS.
Asuransi Sosial untuk Pegawai Swasta Asuransi sosial yang diwajibkan bagi pegawai di sektor swasta dimulai pada tahun 1977 dengan dibentuknya ASTEK, yang pada tahun 1992 berganti nama menjadi JAMSOSTEK. Pada awalnya asuransi mencakup asuransi kecelakaan kerja, asuransi kematian pada kasus dimana yang bersangkutan meninggal
352
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
sebelum memasuki masa pensiun, serta tunjangan hari tua yang diberikan dalam bentuk sejumlah uang pada saat memasuki masa pensiun. Pada tahun 1992 jaminan kesehatan mencakup pelayanan pertama, kelahiran dan rawat inap di rumah sakit ditambahkan pada skema ini. Jaminan hari tua yang disediakan oleh JAMSOSTEK merupakan asuransi iuran pasti (defined contribution scheme) dimana manfaat yang diperoleh bergantung pada kontribusi yang dibayarkan: para pekerja akan menerima akumulasi dari tabungan mereka ditambah dengan bunga pada usia 55 tahun. Perlu juga ditambahkan bahwa hal ini tidak bisa disebut sebagai pensiun, mengingat tidak adanya ketentuan untuk menghitung anuitas dari jumlah yang diterima pada saat pensiun. Seperti halnya dengan Taspen dan Asabri, PT Jamsostek merupakan PT, namun dalam hal ini pemerintah Indonesia hanya salah satu di antara pemegang saham kepada siapa PT Jamsostek wajib membayar dividen. Pendanaan Asuransi kecelakaan kerja dan kesehatan didanai dari kontribusi yang dibayar oleh pegawai. Sedangkan jaminan hari tua didanai dari 5.7% dari gaji pokok bulanan (3.7% dibayar oleh pihak pemberi kerja dan 2% oleh pekerja). Asuransi kecelakaan kerja dan manfaat pensiun merupakan hal yang wajib, sedangkan asuransi kesehatan (yang dibayarkan oleh pemberi kerja sejumlah 3% untuk single dan 6% untuk pegawai yang berumah tangga) dapat dihindari bila perusahaan memiliki paket lain yang layak. Namun demikian, sistem ini tidak selamanya ditaati oleh pihak pemberi kerja, sehingga masih banyak pihak pemberi kerja yang tidak membayar asuransi kesehatan sama sekali (Asher 2000a). Replacement Rates Replacement rate untuk jaminan hari tua bagi pegawai swasta jumlahnya sangat rendah. Menurut Asher (1998), bahkan dengan menggunakan asumsi optimistik mengenai tingkat penegembalian investasi dan setelah kontribusi (yaitu masa kerja) selama 35 tahun, skema ini hanya memiliki replacement rate sekitar 10%. Menurut Gough (2001b), saldo rata-rata dalam provident fund pada akhir masa kerja adalah Rp.510.000, sekitar dua bulan upah minimum. Angka dari ILO Report (2003:99) sedikit lebih optimistis. Mengingat rata-rata jumlah lump sum yang dibayarkan pada akhir masa kerja seseorang adalah sebesar Rp.2.100.000,- maka hal ini kira-kira setara dengan delapan setengah bulan upah minimum.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
353
Ada beberapa alasan mengapa replacement rate di sektor swasta ini sangat rendah. Pertama, sebagian besar pekerja di sektor swasta (walaupun berada di sektor formal) berpenghasilan sangat rendah sehingga kontribusi yang diberikan (yang berdasarkan persentase) juga sangat rendah. Menurut suatu laporan yang tidak dipublikasikan (Gough 2001b), 57% anggota membayar kontribusi pada tingkat upah minimum. Tentu saja, kontibusi yang dibayar menurut tingkat upah minimum ataupun dibayarkan secara terputus-putus (biasanya terjadi di kalangan pekerja musiman dan para perempuan pekerja) secara otomatis menghasilkan jumlah pembayaran manfaat yang kecil pula. Selain itu, banyak pekerja di sektor formal digaji dengan upah minimum (yang merupakan dasar pembayaran asuransi), namun menerima penghasilan lainlain dalam bentuk tunjangan dan bonus. Kedua, anggota asuransi diperkenankan untuk menarik/mengambil dananya setelah lima tahun bergabung dalam skema asuransi, apabila yang bersangkutan berhenti bekerja. Hal ini berarti bahwa setelah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, banyak penarikan dana yang terjadi bukan karena pensiun melainkan karena PHK. Ketiga, replacement rate rendah disebabkan oleh kesalahan investasi dan tingginya biaya administrasi. Sebagian besar aset diinvestasikan pada deposito berjangka (41%), obligasi (11%), surat berharga pemerintah (30%), property (10%) dan saham (8%). Investment pada aset luar negeri tidak diperkenankan oleh peraturan, sehingga penyebaran risiko sangat terbatas. Lebih jauh lagi, sebagian besar investasi bersifat jangka pendek, padahal kewajiban membayar pensiun adalah jangka panjang. Coverage Menurut peraturan, perusahaan-perusahaan swasta yang mempekerjakan 10 karyawan atau lebih, atau memiliki payroll sebesar satu juta rupiah atau lebih, wajib bergabung dengan Jamsostek dan mendaftarkan karyawannya. Pada kenyataannya, tingkat kepatuhan perusahaan sangat rendah, dan sektor formal berkembang lebih cepat daripada tingkat coverage PT Jamsostek. Menurut Tambunan dan Purwoko (2002:45), hanya 57% karywan dari sektor formal swasta yang benar-benar tercover oleh asuransi PT Jamsostek. Hanya 25% anggota yang benar-benar mematuhi peraturan (Asher 2000b); sedangkan banyak perusahaan lain yang diduga tidak melaporkan jumlah yang sesungguhnya untuk mengurangi jumlah kontribusi yang harus mereka bayar. Coverage dari PT Jamsostek sangat rendah, karena Jamsostek hanya terbatas pada pekerja di sektor formal. Sehingga, pekerja di sektor non formal dan wiraswasta tidak termasuk di dalamnya. Selain itu, pada sektor formal pun banyak pemberi kerja yang menolak untuk mengcover pekerja kontrak dan
354
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
pekerja musiman. Padahal, jumlah mereka sangat banyak Satu hal lagi, karena buruknya reputasi PT Jamsostek, banyak pihak pemberi kerja yang tidak mendaftarkan diri (pendaftaran anggota dilakukan melalui pihak pemberi kerja, bukan secara langsung dari karyawan/pekerja).
Tunjangan Bagi Masyarakat Miskin Seperti sudah disebutkan di atas, pemerintah juga menganggarkan sejumlah dana dari APBN bagi kesejahteraan warga negaranya, namun bentuk jaminan sosial ini lebih bersifat sekali-sekali dan belum terlembagakan seperti jaminan sosial bagi sektor formal yang diuraikan di atas. Jaminan sosial yang dapat diidentifikasi sampai saat ini adalah: 1. Jaring Pengaman Sosial Program ini muncul setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997 dan sebagian dari program ini masih berlanjut hingga kini. Kegiatankegiatan JPS dapat dikelompokkan menjadi empat program besar, yaitu: a. Meningkatkan penyediaan dan penyaluran bahan kebutuhan pokok serta bantuan bahan pangan bagi masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan (food security). Contoh dari program ini adalah Raskin atau program pemberian beras bagi rakyat miskin (lihat boks). b. Perlindungan sosial (social protection) yang terdiri dari: o Meningkatkan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan bantuan obat-obatan bagi masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan; o Meningkatkan penyediaan fasilitas pendidikan dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik yang berasal dari kelompok masyarakat miskin, baik di pedesaan maupun perkotaan; c. Meningkatkan penciptaan kesempatan kerja langsung dan kesempatan berusaha untuk menumbuhkan daya beli masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan (employment creation); d. Menggerakkan kembali ekonomi rakyat dengan mendorong pembangunan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil. 2. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin Dana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM) tahun 2005 sebesar Rp 2,168
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
355
triliun akan dibayarkan langsung kepada PT Asuransi Kesehatan (Askes) tanpa melalui Departemen Kesehatan. Ini untuk efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, orang miskin di Indonesia yang akan diikutkan dalam program JPKMM sebanyak 36.146.700 orang dengan premi sebesar Rp 5.000 per orang per bulan. Maka dana untuk membayar premi selama satu tahun adalah Rp 2.168.441.000.000. Mereka yang masuk kriteria miskin adalah keluarga yang tidak bisa makan dua kali sehari, keluarga dengan anak drop out sekolah karena alasan ekonomi, keluarga tidak mampu mengobatkan anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan. Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) Dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Bidang Pangan Tahun 2003 Kebijakan subsidi pangan terarah (targeted food subsidy) sebagai kebijakan income transfer untuk keluarga miskin, menjadi penting sebagai program nasional. Program ini dirancang untuk tidak menghambat perkembangan pangan lokal serta tidak mendorong perubahan pola konsumsi yang terlalu cenderung ke beras atau gandum. Tujuan Raskin adalah membantu keluarga miskin/rawan pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan pokoknya sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat Raskin pada tingkat harga bersubsidi dengan jumlah yang telah ditentukan dan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan pemerintah. Masyarakat yang termasuk kelompok rawan pangan ini juga merupakan masyarakat miskin yang daya belinya rendah dan sebagian besar pengeluarannya adalah dibelanjakan untuk konsumsi pangan pokok. untuk membantu keluarga miskin/rawan pangan tersebut, maka langkah penanggulangan yang ditempuh adalah melanjutkan Program Beras Untuk Masyarakat Miskin (Raskin) yang memiliki ciri spesifik antara lain: a. Tidak disalurkan melalui pasar umum, tetapi penjualan langsung kepada keluarga penerima manfaat (bersubsidi). b. Jumlah beras yang disalurkan tidak tergantung pada permintaan pasar, tetapi berdasarkan jumlah keluarga penerima manfaat. c. Tidak ditujukan dalam upaya stabilisasi harga pasar, tetapi untuk membantu pemenuhan kebutuhan beras keluarga yang menjadi sasaran penerima manfaat Raskin. Penerima manfaat adalah keluarga miskin rawan pangan yang memenuhi satu atau lebih kriteria: a. keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, b. keluarga tidak mampu mengkonsumsi pangan sumber protein minimal seminggu sekali, c. sudah ada anaknya yang putus sekolah, d. pekerja/buruh kasar, e. bila anggota keluarga sakit tidak.mampu lagi ke fasilitas kesehatan serta dengan kriteria lainnya yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan Pemerintah Daerah setempat. Titik distribusi adalah tempat penyerahan/pendistribusian beras di tingkat kelurahan/desa yang terdekat dengan keluarga sasaran penerima manfaat, yang ditentukan atas dasar
356
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
kesepakatan/musyawarah antar instansi pelaksana Raskin yang terkait, sesuai tingkatan wilayah operasionalnya. Untuk daerah-daerah yang tidak memungkinkan titik distribusi di tingkat kelurahan/desa seperti daerah terpencil dan sulit transportasinya, maka penetapan titik distribusi dilakukan atas kesepakatan dengan pihak Pemda.
Tabel Asuransi Sosial Berbagai Negara Prosentase Jumlah Penduduk yang Tercakup
Prosentase Pembiayaan Kesehatan Askes Sosial/Sektor Publik
Prosentase Pembiayaan Kesehatan Askes Sosial/Total Pembiayaan Kesehatan
Total Biaya Kesehatan Prosentase GNP
Low Income § India § Kenya § Indonesia
5 10 13
9 7 17
2 4 6
6.0 4.3 2.0
Middle Income § Filipina § Turki § Korea Selatan § Paraguay
38 58 90 18
12 26 50 24
6 14 25 13
2.3 4.0 6.6 2.8
High Income § Jerman § Jepang § Perancis § Belanda
75 100 100 100
76 64 95 94
63 56 71 73
8.0 6.5 8.0 7.9
Group/Negara
RANGKUMAN § Tunjangan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah di Amerika Serikat terdiri atas komponen-komponen utama program sebagai berikut: (a) Medicaid, (b) Jaminan Penghasilan Tambahan, (c) Kupon Makanan, (d) Perumahan Murah, dan (e) Tunjangan Kesejahteraan. Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria AFDC (Aid to Families with Dependent Children) atau yang disebut program kesejahteraan. § Program kesejahteraan AFDC menerapkan tarif pajak marjinal, dimana tunjangan akan menurun jika pendapatan meningkat, sehingga tidak mendorong orang untuk bekerja lebih giat. Selain itu, persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga pria dan jumlah tunjangan yang diberikan dianggap tidak memadai.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
357
§ Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan mulai pendapatan tingkat bawah. § Alternatif tunjangan lain dengan bentuk pajak penghasilan negatif, jika pendapatan kotor meningkat maka pajak negatif akan menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif terutang. § Asuransi sosial di Amerika Serikat memiliki komponen-komponen utama yang terdiri atas sistem asuransi OASI (Old Age and Survivors Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance). § Beberapa jenis asuransi sosial yaitu: (1) Asuransi pensiun dan cacat, (2) Asuransi kesehatan, dan (3) Asuransi pengangguran. § Karena dianggap memberikan dampak negatif, tunjangan sosial terkini tidak lagi memberikan tunjangan dalam bentuk tunai tetapi beralih ke bentuk non tunai. Aturan tersebut menciptakan program kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families (TANF). § TANF mengatur hal-hal sebagai berikut: (1) bantuan tunai hanya temporer (tidak setiap saat), berbeda dengan AFDC yang memberikan bantuan manfaat tunai secara mutlak bagi orang yang mempunyai pendapatan di bawah batasan tertentu, (2) individu tidak diijinkan menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun, (3) orang dewasa normal (tidak cacat) yang menerima bantuan tunai selama dua tahun diharuskan mengambil bagian dalam kegiatan yang dapat menghidupi dirinya, (4) setiap negara bagian memperoleh grant untuk melaksanakan program kesejahteraan dari pemerintah federal yang jumlahnya tetap. Struktur pemberian bantuan dikendalikan pelaksanaannya oleh pemerintah federal. § Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. § Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional, sebagai berikut: (a) prinsip kegotong-royongan, (b) prinsip nirlaba, (c) prinsip keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas, (d) prinsip portabilitas, (e) prinsip kepesertaan bersifat wajib, (f) prinsip dana amanat, (g) prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial, dan (h) Sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib kerja yang diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
358
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
§ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai UU No.40/2004 adalah: (a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), (b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), (c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan (d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). § Menurut UU Jaminan Sosial Nasional (UU No 40/2004) terdapat lima jenis program jaminan sosial: (a) jaminan kesehatan, (b) jaminan kecelakaan kerja, (c) jaminan hari tua, (d) jaminan pensiun, dan (e) jaminan kematian. § Program jaminan sosial disediakan bagi angkatan kerja yang aktif bekerja di sektor formal, bersifat contributory, dimana pihak penerima manfaat memberikan kontribusi dalam bentuk pembayaran premi yang dipotong dari gaji mereka. § Jaminan sosial untuk pegawai negeri didanai oleh APBN, dengan replacement rates antara 75-100% untuk masa kerja 20-35 tahun, dan mencakup seluruh keanggotaan di kalangan PNS. § Dalam mengatasi pembiayaan pensiun yang semakin besar, World Bank menganjurkan negara-negara berkembang untuk mengambil langkahlangkah sebagai berikut: (1) mengurangi kewajiban pembayaran pensiun melalui perubahan parameter, (2) secara berkala berpindah ke sistem costsharing dengan PNS, (3) membuat sistem pensiun yang lebih luwes dan dapat diterapkan dalam jangka panjang, (4) menyeimbangkan komponen yang dikompensasi untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi PNS. § Asuransi sosial untuk pegawai swasta mencakup asuransi kecelakaan kerja, asuransi kematian, asuransi jaminan hari tua dan asuransi kesehatan yang didanai oleh pegawai dan pemberi kerja (khusus untuk jaminan hari tua). § Replacement rates di sektor swasta sangat rendah, hal ini disebabkan: (a) sebagian besar pekerja swasta berpenghasilan sangat rendah, sehingga kontribusi yang diberikan juga sangat rendah, (b) banyak penarikan dana asuransi yang terjadi bukan karena pensiun, melainkan PHK, (c) kesalahan investasi dan tingginya biaya administrasi, sebagian investasi berjangka pendek sedangkan kewajiban membayar pensiun berjangka panjang. § Jaminan sosial di Indonesia yang dapat diidentifikasikan sampai saat ini adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM).
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
359
§ Jaring Pengaman Sosial (JPS) dikelompokkan menjadi empat program besar, yaitu: (a) food security, meningkatkan penyediaan dan penyaluran bahan kebutuhan pokok serta bantuan pangan bagi masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan, (b) social protection (perlindungan sosial), meningkatkan penyediaan fasililtas pelayanan kesehatan dasar dan bantuan obat-obatan, pendidikan, bantuan pendidikan, (c) employment creation, meningkatkan penciptaan kesempatan kerja langsung dan kesempatan berusaha untuk menumbuhkan daya beli masyarakat miskin, (d) menggerakan kembali ekonomi rakyat dengan mendorong pembangunan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil. § Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) mendapat dana yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM), dibayarkan langsung ke PT. ASKES tanpa melalui Departemen Kesehatan untuk efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi.
LATIHAN 1. Mengapa program tunjangan kesejahteraan di Amerika banyak menuai protes dari masyarakat? 2. Apa yang dimaksud dengan: a. tarif pajak marjinal, b. pajak penghasilan negatif. 3. Jelaskan masalah yang terjadi dalam asuransi sosial untuk kesehatan! 4. Apa dampak sistem tunjangan dalam bentuk tunai! 5. Sebutkan hal-hal yang diatur dalam Temporary Aid for Needy Families (TANF)! 6. Dalam bentuk apa saja tunjangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah? 7. Jelaskan cara yang paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah ! 8. Sebutkan komponen-komponen utama dari asuransi sosial di Amerika dan jelaskan siapa saja yang berhak mendapat asuransi sosial tersebut!
360
Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan Sosial
9. Apa yang dilakukan dan dikelola oleh Federal Unemployment Trust Fund? 10. Apa saja yang dapat oleh pemerintah daerah dalam menggunakan grant yang diberikan pemerintah pusat ?
KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Dalam konteks desentralisasi fiskal, apapun bentuk pemerintahan suatu negara, baik itu negara federal maupun negara kesatuan (unitary), akan selalu memunculkan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship). Dan sebagaimana dikemukakan oleh Norregaard (1995), terdapat perbedaan-perbedaan dalam interval luas dalam struktur kelembagaan dan hubungan keuangan pusat dan daerah, baik dalam negara-negara yang pada dasarnya berbentuk federal maupun negara yang berbentuk kesatuan.
362
Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Tabel 17.1: Susunan Rak Desentralisasi Fiskal Kelompok Negara
Federalisme Fiskal
Keuangan Federal
Negara Maju
Perancis, Jepang
Amerika Serikat, Kanada
Negara Berkembang
Indonesia,Kolumbia, Maroko, India, Brasil, Argentina, Pakistan, Tunisia Afrika Selatan
Negara Transisi
Cina, Vietnam
Rusia, Bosnia Herzegovina
Sumber: Bird dan Vaillancourt (1998) Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), terdapat dua model hubungan fiskal antar pemerintahan yang berlaku saat ini (lihat Tabel 17.1). Pertama, federalisme fiskal (fiscal federalism). Kedua, keuangan federal (federal finance). Konsep federalisme fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah Tingkat II (kabupaten/kota) merupakan kepanjangan tangan dari pusat. Atau, di beberapa negara yang berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state) bukan merupakan pelaku otonom. Perancis dan Inggris mencerminkan pola ini untuk kelompok negara-negara maju (Bennet, 1990), sementara Indonesia1, Maroko dan Tunisia adalah untuk negara berkembang, serta Cina dan Vietnam adalah contoh negara transisi (Bank Dunia, 1996a). Dalam model federalisme fiskal, konsentrasi kekuasaan di pusat demikian tinggi. Dalam perspektif ini, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah bersifat “top down” dan berpola dekonsentrasi2 atau maksimalnya berpola delegasi3, dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory4. Implikasi 1
Indonesia di sini maksudnya adalah sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 2
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah. 3
Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority). 4
Menurut teori ini, principal (Pemerintah Pusat) dapat secara sepihak menentukan dan mengubah baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan Pemerintah Daerah dan pengaturan hubungan keuangan antar pemerintahan dalam upaya mengatasi permasalahan-
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
363
dari hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah berbagai bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Dati I dan Dati II) dalam rangka untuk menggalakkan otonomi regional dan untuk memperbaiki infrastruktur lokal, biasanya akan dibelanjakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan pedoman dan sektor-sektor yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Berbeda dengan model federalisme fiskal, model keuangan federal (federal finance) lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara, terutama negaranegara yang memiliki keanekaragaman dalam aspek geografis dan etnis (Bird, 1994b serta Bird dan Chen, 1996). Dalam model keuangan federal, batas-batas resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara umum ditetapkan melalui sebuah undang-undang. Secara teoritis, negara yang berbentuk federal, pada umumnya menganut model keuangan federal. Contoh yang paling aktual adalah Amerika Serikat dan Kanada. Di Amerika Serikat, model hubungan fiskal yang terjadi adalah hubungan fiskal antara pemerintah federal (pusat) dengan pemerintah negara bagian/propinsi (state) dan hubungan fiskal antara pemerintah negara bagian/propinsi (state) dengan pemerintah lokal (kabupaten/kota).5 Dimana masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi) yang jelas terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal. Bahkan, beberapa dewan sekolah (school board) di Amerika Serikat memiliki kekuasaan untuk mengenakan pajak (Davey, 1983). Meski secara teoritis negara yang berbentuk federal akan menerapkan model keuangan federal, tetapi pada prakteknya tidak selalu demikian. Menurut Bank Dunia (1995b) negara-negara seperti Pakistan, Argentina, dan Afrika Selatan adalah negara-negara berbentuk federal, namun prakteknya sejauh ini masih sentralisasi fiskal dan federalisme fiskal. Pada negara yang berbentuk kesatuan (unitary), model keuangan federal juga berlaku. Sesungguhnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Indonesia secara tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal. Ini terbukti, permasalahan informasi yang tidak simetri, serta perbedaan-perbedaan tujuan antara principal dan agent (Pemerintah Daerah). 5
Di Amerika Serikat (yang berbentuk negara federal), state dibagi ke dalam counties (wilayah kabupaten), parishes (suatu wilayah pemerintahan gereja, yaitu Lousiana), atau townships (Kota). Namun, di Amerika Serikat, counties merupakan agen utama pemerintahan regional dari pemerintahan propinsi dan memiliki memiliki kewenangan (authority) independensi yang signifikan.
364
Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 25/1999, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri. Bahkan, dibandingkan dengan Amerika Serikat, derajat desentralisasi fiskal di Indonesia lebih tinggi.
DIMENSI EKONOMI DARI DESENTRALISASI FISKAL Dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi (Musgrave dan Musgrave, 1989). Menurut para ahli ekonomi, aspek efisiensi merupakan raison d'etre untuk desentralisasi fiskal. Karena preferensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal di sebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan preferensi mereka dalam rangka untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial. Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa pemerintah daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dan pendapat dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber daya (resources) secara lebih efisien dibandingkan pemerintah pusat. Namun demikian, aspek efisiensi tidaklah satu-satunya dimensi ekonomi untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal. Desain fiskal antar pemerintahan juga memiliki implikasi penting atas keadilan dan stabilitas makro ekonomi.
Efisiensi Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah pusat hanya dapat menyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal, yaitu: (1) Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources) Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibandingkan pemerintah pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik yang dibuat oleh pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat. (2) Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local Governments)
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
365
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Suatu analogi argumen untuk menjelaskan hal ini dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai "The Tiebout Model". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 2002). Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
Stabilitas Makro Ekonomi Penilitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi (macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa desentralisasi inheren dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pengelolaan makro ekonomi menemukan bahwa “sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi dibandingkan sistem fiskal yang tersentralisasi”. Faktanya, negara-negara federal yang terdesentralisasi secara tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria, dan Amerika Serikat memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah (Shah, 1997). Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas makro ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan diterapkannya desentralisasi fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa jika suatu negara mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Atau, daerah akan menekan pusat untuk mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang lebih besar, atau kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-kasus di negara
366
Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Federasi Rusia (Wallich, 1994). Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan daripada pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana daerah dapat menurun dan ketidakseimbangan makro ekonomi dapat kembali muncul (Yu, 1996).
Keadilan (Equity) Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik, redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi pendapatan. Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua dimensi: keadilan horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-locality equity). Keadilan horizontal merujuk pada tingkat kapasitas pemerintah daerah (subnational governments) dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya ketidakadilan horisontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2) karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ini, maka perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources) yang lebih besar kepada daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan (equalization grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal tersebut. Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah miskin hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan dalam kebijakan redistribusi juga memerlukan perhatian yang khusus terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-locality equity). Dalam merancang kebijakan redistribusi, pemerintah daerah memerlukan dukungan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak dapat mengambil kebijakan redistribusi secara efektif. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil pemerintah daerah untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika pemerintah daerah mengeluarkan program redistribusi pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong penduduk berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan program redistribusi pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan subsidi bagi penduduk miskin.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
367
Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari level pemerintahan yang lain. Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Di samping itu, Sidik (2002) juga berpendapat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, maka pemerintah daerah harus didukung sumbersumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue, pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement, dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
RANGKUMAN § Menurut Bird dan Vaillancourt, terdapat dua pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship) yaitu federalisme fiskal (fiscal federalism) dan keuangan federal (federal finance). § Konsep federalisme fiskal menganggap Pemerintah Daerah Tingkat II merupakan kepanjangan tangan dari pusat. Di negara federal, pemerintah negara bagian bukan merupakan pelaku otonom. § Federalisme fiskal merupakan model konsentrasi kekuasaan di pusat yang semakin tinggi, sehingga kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah
368
§
§
§
§
§
§
§
Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
bersifat “top down’, berpola dekonsentrasi atau delegasi, dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory. Model keuangan federal biasanya diterapkan di negara-negara yang memiliki keragaman dalam aspek geografis dan etnis. Batas-batas resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara umum ditetapkan dengan undang-undang. Di mana pemerintah negara bagian ataupun pemerintah lokal memiliki kewenangan (otonomi) yang jelas terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal. Indonesia secara tidak langsung menerapkan model keuangan federal, hal ini terjadi sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini dapat terbukti, yaitu Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri. Dimensi ekonomi dari suatu kebijakan keuangan publik adalah stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal. Berdasarkan aspek efisiensi, desentralisasi fiskal memiliki keuntungan efisiensi potensial, yaitu: (1) efisiensi alokasi sumber daya (efficient allocation of resources), (2) persaingan antar pemerintah daerah (competition among local government). Efisiensi alokasi sumber daya, berarti bahwa pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibandingkan pemerintah pusat, sehingga keputusan mengenai pengeluaran publik yang dibuat oleh pemerintah daerah lebih responsif terhadap keinginan konstituennya. Persaingan antar pemerintah daerah, yaitu persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Seperti yang dikemukakan “Tiebout Model” bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerah. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Menurut penelitian empiris, desentralisasi inheren dengan destabilisasi, dimana sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi dibandingkan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
369
sistem fiskal yang tersentralisasi. Negara federal yang terdesentralisasi secara tinggi memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah. Khusus bagi negara berkembang, stabilitas makro ekonomi bukanlah hal yang otomatis terwujud dengan diterapkannya desentralisasi. Jika tanggung jawab pengeluaran lebih besar daripada sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Sebaliknya, jika penerimaan lebih banyak daripada pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana daerah dapat menurun dan ketidakseimbangan makro ekonomi kembali muncul. Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Redistribusi berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi pendapatan. Redistribusi memiliki dua dimensi, yaitu keadilan horisontal dan keadilan lokal. Keadilan horisontal merujuk pada tingkat kapasitas pemerintah daerah dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama penyebab munculnya ketidakadilan horisontal: (a) basis pajak (tax bases) sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan yang lain, (b) karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengatasinya, perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya yang lebih besar ke daerah yang miskin. Bantuan pemerataan (equalizational grant) adalah alat yang digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal tersebut. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil pemerintah daerah untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika dilakukan secara agresif, maka akan menciptakan suatu insentif bagi penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan mendorong penduduk berpendapatan tinggi untuk pindah ke mana saja. Prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro menurut Bird dan Vaillancourt adalah: (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis dan transparan, (2) biaya-biaya dari pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat sehingga tidak ada ekspor pajak dan tambahan transfer level pemerintahan yang lain. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi menurut Sidik (2002) tergantung pada: desain, proses, implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan dan masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan,
370
Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. § Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement, dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
LATIHAN 1. Sebutkan 2 model hubungan fiskal antar pemerintah yang berlaku saat ini, jelaskan ! 2. Apa yang dimaksud dengan Agency Theory ? 3. Mengapa Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat derajat desentralisasi fiskalnya lebih tinggi ? 4. Mengapa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya ? 5. Jelaskan yang dimaksud dengan Tiebout Model ? 6. Mengapa khusus untuk negara-negara berkembang, stabilitas makroekonomi tidak otomatis terwujud dengan diterapkan desentralisasi fiskal ? 7. Sebutkan faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya ketidakadilan horisontal ! 8. Sebutkan syarat-syarat keberhasilan desentralisasi fiskal menurut Bird dan Vaillancourt ! 9. Apa yang dimaksud dengan dekonsentrasi ? 10. Jelaskan keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal ! 11. Jelaskan hubungan antara desentralisaasi fiskal dengan pengelolaan makro ekonomi ! 12. Apa yang dimaksud dengan redistribusi ? 13. Jelaskan yang dimaksud dengan : a. keadilan horisontal, b. keadilan vertikal. 14. Apa akibatnya jika pemerintah daerah mengeluarkan program redistribusi pendapatan secara agresif ?
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
371
15. Bagaimana caranya untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ? 16. Menurut sidik (2002) pedoman apa saja yang harus dijalani agar pelaksanaan desentralisasi fiskal berjalan dengan baik ? 17. Sebutkan tiga dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik! 18. Jelaskan fakta di Pemerintah Daerah mengenai argumentasi ekonomi tentang efisiensi !
TRANSFER PUSAT KE DAERAH: TEORI DAN PRAKTIK
Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Desentralisasi memang merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sejalan dengan desentralisasi tersebut, aspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasinya, daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri biaya pembangunannya. Namun, ternyata banyak daerah di berbagai negara ini local government revenue tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah (lihat Tabel 18.1). Dari Tabel 16.1. terlihat bahwa, tidak ada satupun pemerintah daerah di berbagai negara yang disurvei memiliki pendapatan yang dapat membiayai seluruh pengeluarannya.
374
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
Tabel 18.1: Persentase Pendapatan atas Pengeluaran Daerah Negara Kesatuan Albania
1995
1996
1997
1998
5.64%
6.85%
3.69%
4.05%
Azerbaijan
73.97%
68.65%
66.78%
58.30%
Belarusia
73.18%
70.63%
77.73%
81.69%
Bulgaria
57.27%
66.19%
65.35%
61.08%
Kroasia
98.11%
93.62%
93.83%
89.18%
Republik Cekoslowakia
72.26%
60.28%
72.74%
75.80%
Denmark
57.10%
57.50%
58.55%
59.25%
Estonia
65.95%
66.97%
73.10%
72.04%
Irlandia
87.26%
84.64%
84.29%
85.31%
N/A
N/A
78.76%
71.68%
Latvia
75.53%
77.93%
73.82%
72.08%
Lithuania
73.82%
72.22%
71.71%
80.65%
Mauritius
39.51%
39.91%
40.68%
42.52%
Moldova
72.74%
60.50%
58.66%
62.49%
Mongolia
58.46%
56.92%
60.10%
57.32%
Norwegia
60.96%
62.10%
61.30%
59.71%
Polandia
71.52%
66.49%
66.21%
64.83%
N/A
89.65%
79.75%
73.69%
Slovenia
77.31%
82.83%
81.88%
80.60%
Inggris
27.47%
27.31%
27.91%
29.33%
Kazakhstan
Republik Slovakia
Negara Federal* Australia
85.73%
83.28%
81.92%
81.80%
Austria
82.74%
85.31%
87.28%
83.89%
Bolivia
85.64%
85.93%
85.85%
85.76%
México
97.37%
97.72%
99.98%
N/A
Switzerland
81.35%
81.91%
81.96%
82.02%
United States
62.43%
63.51%
64.32%
64.51%
*Pemerintah Daerah di negara-negara federal adalah kelompok Pemerintah Daerah yang terendah tingkat pendapatannya. Catatan: Pendapatan Pemerintah Daerah tidak termasuk transfer antar pemerintahan (intergovernmental transfers)
Sumber: International Monetary Fund. 1998. Government Finance Statistics Year Book 1998, Country Tables.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
375
Implikasi dari kondisi tersebut, transfer dana dari pusat (intergovernmental transfer) merupakan sumber penerimaan yang sangat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara, terutama negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia. Sumber ini membiayai sekitar 85% dari pengeluaran pemerintah daerah di Afrika Selatan, antara 67% sampai 95% pengeluaran negara bagian di Nigeria, 70% sampai 90% pengeluaran negara bagian yang miskin di Meksiko, 72% pengeluaran propinsi dan 86% pengeluaran kabupaten/kota pada dekade 1990-an di Indonesia (Simanjuntak, 2002). an Transfer
TUJUAN TRANSFER Pada dasarnya, transfer pusat ke daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan horisontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities), mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (experimenting with new ideas), stabilisasi, dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah.
Vertical Equalization Transfer Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumbersumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Sementara itu, pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada era tahun 1960-an, Pemerintah Federal Amerika Serikat sangat memonopoli sumber-sumber penerimaan. Kondisi ini akhirnya bisa menimbulkan ketimpangan antara pemerintah federal, pemerintah negara bagian (state), dan pemerintahan lokal. Kemudian, pada pertengahan era 1960-an hingga pertengahan 1980-an lahirlah kebijakan bagi hasil penerimaan umum (General Revenue Sharing/GRS). GRS untuk tingkat negara bagian diberlakukan secara tuntas pada tahun 1982 dan untuk tingkat lokal diberlakukan pada secara tuntas pada tahun 1986. Dengan demikian, tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk mengkoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan.
376
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik KOTAK 17.1: PRAKTEK VERTICAL EQUALIZATION DI INDONESIA
Penerapan vertical equalization di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Latar belakang diberlakukannya formula vertical equalization ini didasari oleh suatu kondisi selama Orde Baru, dimana pemerintah pusat begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber penerimaan negara yang berujung pada timbulnya ketimpangan fiskal secara vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Irian Jaya, terpaksa harus menjadi daerah miskin karena hasil dari sumber-sumber kekayaan alam mereka diangkut ke pusat. Kondisi ini kemudian berubah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 25/1999. Menurut Undang-Undang No. 25/1999 ini, daerah penghasil penerimaan (baik itu pajak maupun sumber daya alam) mendapat porsi yang besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing) yang lebih besar dibandingkan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 25/1999 (lihat Tabel 2.2. Dengan bagi hasil yang lebih besar ini, taxing power yang diterima daerah menjadi lebih besar dan ketimpangan vertikal dapat dikurangi. Tabel 17.2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Penerimaan Negara Sebelum dan Sesudah UU No. 25/1999 (dalam %) No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis Penerimaan
PBB BPHTB IHH PSDH/IHPH Land Rent/Iuran Tetap Royalty Pertambangan Umum Perikanan Minyak Gas Alam Dana Reboisasi PPh
Sebelum UU No. 25/1999
Sesudah UU No. 25/1999
Pusat
Dati I
Dati II
Pusat
Pro-pinsi
Kab/ Kota
Pemertaan Kab/Kota Lainnya
10 20 55 55 20 20 100 100 100 100 100
16,2 16 30 30 16 16 -
64,8 64 15 15 64 64 -
20 20 20 20 20 85 70 60 80
16,2 16 16 16 16 16 3 6 8
64,8(+) 64(+) 64 32 64 32 6 12 40 12
+ + 32 32 80 6 12 -
Sumber : Sidik 2002, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999
Horizontal Equalization Transfer Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan (revenue needs) dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horisontal. Artinya, dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah. Pengalaman empiris di berbagai negara menunjukkan ternyata kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerahdaerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
377
dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak, ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki sarana dan prasasarana yang telah lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah yang bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masingmasing daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari pemerintah pusat. Dengan kata lain tujuan dari horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah fiskal yang dimiliki oleh setiap daerah. KOTAK 17.2: PRAKTEK HORIZONTAL EQUALIZATION DI INDONESIA Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalizataion di Indonesia. Secara faktual, peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas dasar penghasil daerah (by origin atau vertical equalization) yang cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA yang terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal equalization, DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan daerah atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs). Sehingga, melalui suatu formula ini, maka dapat dihitung celah fiskal (fiscal gap) yang akan ditutup dengan transfer DAU dari pusat. Rumus umum DAU 2001 adalah sebagai berikut: 1.
DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan.
2.
Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Inpres tahun 2000. Oleh karenanya, dalam alokasi DAU 2001 terdapat faktor penyeimbang dan faktor lump sum. Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas pemerintah daerah dalam membiayai kewajiban-kewajiban mereka. Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk mengatasi permasalahan pendanaan akibat terjadinya transfer pegawai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang tentunya membawa konsekuensi pada gaji dan biaya-biaya terkait lainnya. Faktor lump sum intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN 925% dari penerimaan bersih domestik). Dalam prakteknya, terjadi selisih hitung antara total DAU yang dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula.
3.
Faktor formula DAU terdiri dari dua, yaitu potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal. Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer); (b) PDRB sektor industri dan jasa lainnya (non primer); dan besarnya angkatan kerja (SDM). Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah (a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah; (3) indeks harga bangunan; dan (4) jumlah penduduk miskin.
4.
Penentuan bobot dan alokasi daerah.
Sumber: Brodjonegoro dan Pakpahan (2002)
Correcting Spatial Externalities Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki “efek menyebar” (eksternalitas) ke wilayah-wilayah lainnya. Misalnya, pendidikan tinggi (universitas), pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah, sistem
378
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
pengendali polusi (udara dan air), dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat tertentu saja. Namun, tanpa adanya “imbalan” (dalam bentuk pendapatan) yang berarti dari proyek-proyek serupa di atas, biasanya pemerintah daerah enggan untuk berinvestasi di sini. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh daerah. Koreksi “Spillovers” Melalui Transfer P
MC
P1 PB
DT
PA DA QB
QT
DB Q
Gambar 18.1 Berdasarkan Gambar 18.1, jika permintaan dari penduduk (resident demands) setempat yang diperhitungkan, maka jumlah permintaannya akan sangat rendah, yaitu sebesar DA dan harganya (biayanya) pun relatif murah (PA) sehingga daerah setempat dipastikan dapat mengadakannya. Namun, untuk permintaan atas barang publik tertentu (misalnya, perguruan tinggi), peminatnya juga berasal dari luar daerah (nonresident demands), yaitu sebesar DB dengan harga (biaya) sebesar PB. Sehingga, total permintaan atas barang publik tersebut adalah DT dengan harga (biaya) sebesar P1, yang bagi daerah
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
379
bersangkutan akan sangat sulit untuk dapat mengadakannya, karena biayanya terlalu mahal. Agar penyediaan barang publik tersebut tetap dilakukan oleh daerah bersangkutan, maka pemerintah pusat memberikan transfer (subsidi), yaitu sebesar perbedaan antara PB dan P1. Dengan adanya subsidi ini, maka daerah bersangkutan dapat menyediakan barang publik tersebut, karena biayanya berada dalam jangkauan anggaran daerah.
Redirecting Priorities Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas yang dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya bertentangan dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan lainya. Misalnya, pemerintah pusat berkeinginan mengedepankan pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung. Namun ternyata, keinginan tersebut ternyata tidak sinkron dengan pola kebijakan daerah. Pemerintah daerah ternyata menginginkan pembangunan di sektor kesehatan lebih mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat. Agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara paralel, seyogyanya pemerintah pusat memberikan transfer atau insentif kepada daerah. Transfer pemerintah pusat kepada daerah semacam ini akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.
Experimenting with New Ideas Bantuan (grants) seperti ini berawal dari adanya keinginan pemerintah pusat untuk mengujicobakan suatu program baru di suatu daerah sebelum program tersebut diberlakukan terhadap seluruh daerah. Alasan perlunya bantuan dari pusat kepada daerah sehubungan dengan uji coba program baru tersebut, karena daerah yang menjadi tempat uji coba tidak mau menanggung kerugian dan risiko manakala terjadi dampak negatif terhadap program baru tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya bantuan untuk tujuan uji coba program baru ini tidak lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan daerah menjadi ajang uji coba suatu program baru dari pusat.
380
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
Stabilisasi Transfer dana dapat ditingkatkann oleh pemerintah ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi.
Memenuhi Standar Pelayanan Minimum Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor publik akan dijalankan oleh pemerintah pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat.
KRITERIA DESAIN TRANSFER PUSAT KE DAERAH Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar tingkat pemerintahan, dapat kiranya sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Berikut adalah beberapa kriteria umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia. 1. Otonomi Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal di dunia, apakah negara tersebut berbentuk federal maupun negara kesatuan. Prinsip ini menekankan agar pemerintah daerah memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada pembatasan yang sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di daerah harus mengikuti atau mengacu kepada ketentuan pusat. Pajak-pajak dimana daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan formula, ataupun transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut. 2. Penerimaan yang Memadai (Revenue Adequacy) Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
381
3. Keadilan (Equity) Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah seyogyanya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. 4. Transparan dan Stabil Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer), sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut seyogyanya dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5 tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah. 5. Sederhana (Simplicity) Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan pada faktor-faktor obyektif dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol atau dapat mempengaruhinya. Di samping itu juga formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk dipahami. 6. Insentif Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik, sebaliknya menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak perlu ada transfer khusus/spesifik untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah, atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.
JENIS-JENIS TRANSFER Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian transfer oleh pemerintah pusat kepada daerah dapat disertai dengan syaratsyarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial grant, spesific purpose grant).
Transfer Tanpa Syarat Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak.
382
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal (horizontal equalization). KOTAK 17.3: PRAKTEK TRANSFER TANPA SYARAT DI INDONESIA Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat (unconditional grant) untuk kasus di Indonesia. DAU adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 25/1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai berikut: 1.
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
2.
DAU untuk daerah propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari total DAU nasional.
3.
Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan perubahan tersebut.
4.
DAU untuk suatu daerah propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh daerah propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi daerah propinsi yang bersangkutan.
5.
Porsi daerah propinsi merupakan proporsi bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah propinsi di seluruh Indonesia.
6.
DAU untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
7.
Porsi daerah kabupaten/kota merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
8.
Bobot daerah ditetapkan berdasarkan: • kebutuhan wilayah otonomi daerah; • potensi ekonomi daerah.
9.
Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
383
Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbanganpertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi prioritas daerahnya.Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula tertentu. Namun, formula apa yang tepat untuk menjamin meratanya kemampuan fiskal (fiscal capacity) daerah dalam menjalankan pelayanan publik minimum, amat tergantung kepada kondisi atau keadaan di masingmasing negara. Penjelasan efek dari unconditional grant terhadap pembiayaan daerah, dapat dilihat pada Gambar 18.2. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran1 daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve)2. Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia.Karena tidak ada batasan pada cara pembelanjaan fasilitas publik manapun, maka yang bertambah akibat adanya transfer adalah jumlah anggaran. Hal ini digambarkan dengan adanya pergeseran (shifting) budget line yang sejajar dari AB menjadi FG. Sehingga, jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu menjadi OK (untuk assested public goods) dan menjadi OH (untuk other public goods). Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi lebih besar, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa penerima lebih memilih unconditional grants dibandingkan bentuk transfer lainnya. Ini mengingat, dengan unconditional grants memungkinkan tercapainya kesejahteraan yang
1
Garis anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar. 2
Kurva indiferensi (indifference curve) adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan sama bagi seorang konsumen.
384
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
lebih baik bagi daerah yang muncul dari kemungkinan untuk memilih yang lebih besar. Namun, bagi pemberi, hal ini bisa juga menjadi suatu kerugian karena tidak ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan maksud pemberian grants tersebut. Efek Unconditional Grant Terhadap Pembiayaan Daerah Other Public Goods
F
i2
i1 A
E1
H
i2 C
E
i1 O
D
K
B
G Assested Public Goods
Gambar 18-2
Transfer dengan Syarat (Conditional Transfer) Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh daerah. Contohnya adalah proyek-proyek yang menimbulkan efek eksternalitas positif bagi daerah-daerah lain ataupun proyek-proyek dari pemerintah pusat yang sifatnya uji coba atas suatu program atau ide baru (experimenting with new ideas). Transfer ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu:
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
385
Transfer Pengimbang (Matching Grants) Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat kepada daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Jadi, di sini pemerintah daerah telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut. Hanya saja, dana daerah belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis: 1) Transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants). Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut dapat dan memang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi. Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh pusat. Penjelasan efek dari open-ended matching grants dapat disajikan dalam Gambar 18.3. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve). Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Pemerintah pusat dan daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B, sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini, pemerintah pusat dan daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing, yaitu misalnya pusat 90% dan daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis anggaran (budget line) akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas barang B, sementara barang A tetap.
386
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
Sehingga, jumlah barang B (untuk assested public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu dari OD menjadi OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan untuk barang B pun menjadi lebih besar, namun untuk barang A tetap, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Efek dari Open-Ended Matching Grants Other Public Goods
A
i2
i1 S E1
N
i2 E
C Q O
D
B
P
i1
M Assested Public Goods
Gambar 18.3
Efek negatif dari open-ended matching grants adalah grant yang diberikan oleh pemerintah pusat justru akan menyebabkan ketidakmerataan antar daerah, karena sifat grant ini yang tidak terbatas. Akibatnya, daerah yang kaya akan mampu membuat proyek yang kaya pula dan menjadi semakin kaya, sementara daerah yang miskin akan tetap miskin karena mereka tidak dapat membuat proyek kaya, yang pembiayaannya bisa sebagian besar dari pemerintah pusat. 2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants). Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang dapat digunakan. Hal ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (pemerintah
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
387
pusat), karena walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu, pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya. Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas awalnya membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh pusat. Namun, dalam perjalanannya, estimasi biaya ternyata membengkak menjadi Rp110 miliar atau mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi. Karena pemerintah pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100 miliar. Penjelasan efek dari closed-ended matching grants dapat disajikan dalam Gambar 18.4. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve). Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E0, dimana posisi E0 ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dalam rencana awal, pemerintah pusat dan daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B, sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini, pemerintah pusat dan daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing. Misalnya, dari proyek senilai Rp100 miliar, pemerintah pusat akan memberikan kontribusinya sebesar 90% dan daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis anggaran (budget line) akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas barang B, sementara barang A tetap. Sehingga, jumlah barang B (untuk assested public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu dari OD menjadi OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan untuk barang B pun menjadi lebih besar, namun untuk barang A tetap,
388
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Namun dalam perkembangannya, terjadi kenaikan bahan baku sehingga budget seharusnya dinaikkan menjadi Rp110 miliar. Karena pemerintah pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100 miliar. Implikasinya, garis anggaran tidak jadi bergeser dari AB menjadi AM, tetapi dari AB menjadi AT yang berarti jumlah barang A yang dapat dihasilkan akan lebih sedikit dibandingkan perkiraan semula. Implikasinya, terjadi titik keseimbangan baru dari E menjadi E1, dimana posisi permintaan (demand) barang B adalah tetap OD. Dalam gambar terlihat bahwa rotasi pada budget line setelah batas tertentu, slope-nya menjadi sejajar pada budget line awalnya. Transfer Bukan Pengimbang (Non-Matching Grants) Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri telah/akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini dapat dipakai oleh pemerintah pusat untuk menjadi sarana menginternalisasikan limpahan manfaat, (eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi, kendati pemerintah daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan pendapatan daerahnya (local revenue) untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh pusat untuk mendorong daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut. Penjelasan efek dari non-matching grants terhadap pembiayaan daerah, dapat dilihat pada Gambar 18.5. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve).
389
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
Efek Closed-Ended Matching Grants Other Public Goods
A
i2
i1 S E1
N
i2 E
C Q
T O
D
B
P
i1
M Assested Public Goods
Gambar 18.4 Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dengan adanya transfer dari pusat ke daerah untuk keperluan khusus tanpa diperlukannya dana pendamping, maka budget line dari barang publik yang dibantu (assested public goods) mengalami pergeseran (shifting), namun tidak mengubah batas maksimum fasilitas publik lainnya (other public goods).
390
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
Efek Non-Matching Grants Other Public Goods
i2
i1 A
F E1
H
i2 C
E
i1 O
D
K
G
B
Gambar 18.5
RANGKUMAN § Konsep desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Daerah juga dituntut untuk membiayai sendiri biaya pembangunannya padahal pendapatan daerah tidak bisa membiayai seluruh pengeluarannya, oleh karena itu, transfer dana dari pusat (intergovernmental transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah. Transfer pusat ke daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). § Tujuan transfer dari pusat ke daerah, antara lain: (a) pemerataan vertikal, (b) pemerataan horisontal, (c) mengatasi persoalan efek pelayanan publik, (d) mengarahkan prioritas, (e) melakukan eksperimen dengan ide-ide baru,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
§
391
(f) stabilisasi, dan (g) menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Pemerataan vertikal (vertical equalization), bertujuan untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan, antara pemerintah pusat dan daerah yang disebabkan perbedaan atas penguasaan sumber-sumber penerimaan (pajak). Kebijakan yang dilakukan dengan melakukan GRS (general revenue sharing) yaitu bagi hasil penerimaan umum. Pemerataan horisontal (horisontal equalization), bertujuan untuk menutup celah fiskal yang dimiliki oleh daerah. Celah fiskal ini terjadi karena adanya perbedaan antara kapasitas fiskal, yaitu kemampuan untuk menghasilkan pendapatan dan kebutuhan fiskal, yaitu besarnya kebutuhan belanja/pengeluaran suatu daerah. Transfer dari pusat ke daerah akan digunakan untuk menutup celah fiskal tersebut. Mengatasi persoalan efek pelayanan publik (Correcting Spatial Externalities), maksudnya pemerintah pusat memberikan (transfer) subsidi kepada pemerintah daerah untuk penyediaan barang publik yang memiliki efek ‘menyebar’ ke wilayah-wilayah lainnya. Hal ini dilakukan karena dengan adanya externalities (penyebaran), permintaan meningkat, dan sulit bagi daerah untuk mengadakannya karena biayanya terlalu mahal. Subsidi dibutuhkan sebesar selisih akibat peningkatan permintaan sehingga biayanya berada dalam jangkauan daerah. Mengarahkan prioritas (redirecting proprities), bertujuan agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara paralel walaupun memiliki perbedaan prioritas. Perbedaan ini diatasi dengan memberi transfer/insentif ke daerah sehingga membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai harapan. Melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (Experimenting with New Ideas), berarti membutuhkan tempat uji coba. Bantuan (grants) ke daerah diperlukan sebagai kompensasi atas daerah yang menjadi ajang uji coba suatu program baru dari pusat karena daerah tidak mau menanggung kerugian dan risiko sendiri. Stabilisasi, yaitu menstabilkan kondisi perekonomian yang lesu dengan memberikan transfer maupun mengurangi transfer ketika perekonomian sedang booming. Instrumennya berupa transfer untuk dana-dana pembangunan (capital grants). Memenuhi standar pelayanan minimum, bertujuan memberikan subsidi ke daerah dengan sumber daya sedikit agar dapat mencapai standar pelayanan umum.
392
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
§ Kriteria desain transfer pusat ke daerah, antara lain: (1) otonomi, (2) penerimaan yang memadai (revenue adequacy), (3) keadilan (equity), (4) transparan dan stabil, (5) sederhana (simplicity), dan (6) insentif. § Jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar: (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant), dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial grant, spesific purpose grant). § Transfer tanpa syarat, bertujuan utnuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal dan menjamin adanya pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Ciri utamanya, daerah memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkannya sesuai dengan pertimbangan dan aturan yang menjadi prioritas. Unconditional grants lebih disukai karena memungkinkan tercapainya kesejahteraan yang lebih baik bagi daerah, tapi bagi pemberi bisa menjadi kerugian karena tidak ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan tujuan pemberian grants. § Transfer dengan syarat, digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh pemerintah daerah seperti proyek yang memiliki eksternalitas positif dan proyek yang bersifat uji coba. Transfer ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: transfer pengimbang (matching grants) dan transfer bukan pengimbang (non-matching grants). § Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat ke daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu, dikarenakan dana daerah yang tidak cukup. Transfer pengimbang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Transfer pengimbang tidak terbatas (open ended matching grants), yang memang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana dari proyek. Efek negatif dari transfer ini dapat menyebabkan ketidakmerataan daerah, karena sifatnya yang tidak terbatas. Sehingga daerah kaya membuat proyek kaya menjadi lebih kaya. (2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants), terdapat batasan jumlah dana maksimal yang dapat digunakan. Transfer ini disukai oleh pemberi bantuan, walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, jika biaya proyek melebihi jumlah tertentu, pemberi bantuan akan mencukupkan bantuannya. § Transfer bukan pengimbang (non-matching grants), diberikan oleh pusat kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah telah mengalokasikan dananya. Hal ini dilakukan untuk mendorong daerah agar
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
393
tetap bersemangat melaksanakan fungsi tersebut karena menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain.
LATIHAN 1. Apa saja tujuan dari transfer pusat ke daerah ? 2. Mengapa bisa timbul ketimpangan vertikal (vertical imbalance) ? 3. Sebutkan tujuan dari vertical equalization transfer dan horizontal equalization transfer ! 4. Jelaskan mengapa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalization transfer di Indonesia ! 5. Jelaskan kriteria desain transfer ke daerah dari sudut pandang : a. keadilan, b. transparan dan stabil, c. insentif. 6. Jelaskan adanya transfer tanpa syarat dan tujuannya ! 7. Apa yang dimaksud dengan transfer pengimbang tidak terbatas dan transfer pengimbang terbatas ! 8. Jelaskan yang dimaksud dengan transfer bukan pengimbang ! 9. Jelaskan yang dimaksud dengan desentralisasi ? 10. Apa implikasi dari aspek pembiayaan yang juga ikut terdesentralisasi ? 11. Sebutkan dua macam transfer pusat ke daerah ! 12. Mengapa diberlakukan praktek vertical equalization di Indonesia, jelaskan dengan contohnya ! 13. Apa yang dimaksud dengan horizontal equalization transfer dan mengapa hal itu diperlukan ? 14. Apa yang dimaksud dengan : a. faktor penyeimbang, b. faktor lump sum. 15. Jelaskan faktor formula Dana Alokasi Umum (DAU) dan sebutkan variabel-variabelnya ! 16. Apa yang dimaksud efek menyebar yang dimiliki pelayanan publik di suatu wilayah ? 17. Suatu kondisi yang seperti apa di dalam kurva jika daerah setempat dapat mengadakan fasilitas publik yang dimaksud ?
394
Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan Praktik
18. Bagaimana cara pemerintah pusat melakukan redirecting priorities terhadap pemerintah daerah ! 19. Apa yang dimaksud dengan experimenting with new ideas yang dilakukan pemerintah pusat pada pemerintah daerah ? 20. Jelaskan yang dimaksud dengan Pustulat Musgrave yang berkaitan dengan standar pelayanan minimum di daerah ! 21. Sebutkan kriteria umum desain transfer pusat ke daerah ! 22. Apakah ciri utama dari transfer tanpa syarat di daerah ? 23. Apa yang dimaksud dengan : a. garis anggaran b. kurva indeferensi 24. Mengapa penerima lebih memilih unconditional grants dibandingkan dengan bentuk transfer lainnya dan mengapa pemberi dapat merasa dirugikan ?
PERPAJAKAN DAERAH
Pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan dari perpajakan dengan tiga cara. Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, adalah melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing) yang dikenakan dan dipungut oleh pemerintah pusat. Dalam konteks Indonesia, menurut Undang-Undang No. 25/1999, pajak pemerintah pusat yang dibagikan adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kedua, pemerintah daerah dapat memungut tambahan pajak (opsen, surchage di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh pemerintah pusat. Menurut pengertian ini, para wajib pajak di wilayah (daerah) mereka, pada umumnya membayar pungutan tambahan beserta pajak-pajaknya kepada pemerintah pusat. Kemudian, pemerintah pusat membayarkan pendapatan opsen tersebut kepada pemerintah daerah. Praktek seperti ini diterapkan di
396
Bab 19: Perpajakan Daerah
Swedia, Amerika Serikat, dan India. Pemerintah Daerah Swedia, misalnya, memungut opsen atas pajak penghasilan nasional. Di Amerika Serikat, pemerintah daerah mengenakan opsen atas pajak penjualan di tingkat negara bagian (state). Sedangkan, beberapa panchayats (pemerintah kabupaten) di India menikmati opsen atas pajak tanah. Untuk lebih jelas memahami opsen, Davey (1983) mendefinisikan bahwa opsen adalah semacam pungutan pajak (precept) yang dipungut oleh propinsi (country) atau dewan desa (parish council) di Inggris di atas rate (pajak atas harta tetap, semacam PBB) dewan kabupaten (district council), sedangkan di daerah-daerah non metropolitan, precept pemerintah propinsi merupakan proporsi yang tinggi dari seluruh pungutan pungutan wajib wajib pajak. Opsen tersebut mungkin dipungut sebagai persentase tambahan atas pendapatan kena pajak (PKP), dalam hal pajak penghasilan atau alternatifnya, sebagai suatu persentase tambahan atas pajak yang sebenarnya dibayarkan kepada pemerintah pusat atau negara bagian. Ketiga, adalah pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah daerah sendiri. Adapun variabel yang utama adalah dasar hukumnya (kewenangannya). Suatu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah mungkin ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangan pemerintah pusat. Dalam konteks di Indonesia, pajak daerah jenis ini diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bagian ini hanya akan mendiskusikan mengenai pajak yang diperoleh oleh pemerintah daerah sendiri. Alasan pembatasan ini, adalah (i) tax revenue sharing telah dibahas pada bagian sebelumnya, dan (ii) pembahasan mengenai opsen, kurang relevan dengan sistem perpajakan di Indonesia, karena Indonesia tidak menerapkan sistem opsen.
PRINSIP DAN KRITERIA PERPAJAKAN DAERAH Menurut Davey (1983) terdapat empat kriteria mengenai pajak Daerah. Keempat kriteria tersebut adalah kecukupan dan elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif, dan dapat diterma secara politik. Kriteria pertama, kecukupan dan elastisitas. Kecukupan maksudnya bahwa sumber pendapatan tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Seringkali dijumpai pemerintah daerah mempunyai banyak jenis pajak, tetapi pendapatan yang dihasilkan tidak mampu melebihi biaya yang dikeluarkan untuk memungutnya.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
397
Sedangkan elastis maksudnya adalah kemampuan untuk menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan pengeluaran pemerintah daerah, dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis, misalnya, apabila harga-harga meningkat, penduduk di suatu daerah meningkat, dan pendapatan individu meningkat, maka dengan sendirinya pajak juga harus meningkat. Dalam hubungan ini, elastisitas mempunyai dua dimensi. Pertama, pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak itu sendiri. Kedua, kemudahan untuk memungut pertumbuhan pajak tersebut. Elastisitas merupakan kualitas suatu sumber pajak yang penting. Elastisitas juga dengan mudah dapat diukur dengan membandingkan hasil penerimaan selama beberapa tahun dengan perubahan dalam indeks harga, penduduk, atau PDRB. Kriteria kedua, adalah keadilan. Prinsip keadilan ini adalah bahwa beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan memiliki tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal, yaitu dalam hubungan pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, pajak dapat dikatakan baik kalau pajak tersebut bersifat progresif, yakni persentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya. Sedangkan, pajak dikatakan tidak baik, jika pajak tersebut bersifat regresif, yakni persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak berkurang dengan adanya kenaikan pendapatan. Kedua, pemerataan secara horisontal, yaitu dalam konteks hubungan pembebanan pajak berdasarkan sumber pendapatan. Maksudnya adalah seseorang yang memiliki jumlah pendapatan yang sama, seharusnya dikenakan pajak dalam jumlah yang sama. Petani yang memiliki pendapatan Rp100 juta per tahun, maka pajaknya harus sama dengan pegawai kantor (swasta atau negeri) yang memiliki gaji sebesar Rp100 juta per tahun. Dengan konsep keadilan horisontal seperti ini, maka diharapkan tidak ada penduduk yang yang kebal pajak. Ketiga, adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil antarpenduduk di berbagai daerah. Seseorang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu. Kriteria ketiga adalah kemampuan adiministratif. Untuk menilai suatu pajak agar dapat memenuhi tuntutan keadilan dan pemerataan, maka dibutuhkan suatu administrasi yang baik dan fleksibel. Dimana, administrasi pemungutan pajak harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.
398
Bab 19: Perpajakan Daerah
Kriteria keempat, adalah adanya kesepakatan politik. Tidak ada pajak yang populer. Semua orang pada dasarnya ingin menolak membayar pajak, kalau diperbolehkan. Bahkan, dalam beberapa jenis pajak, lebih tidak populer dibandingkan jenis pajak yang lain. Dalam kondisi seperti ini, kemauan politik diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi terhadap para pelanggar. Dengan adanya kemauan politik seperti ini, maka diharapkan pajak pun dapat secara politis diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. Sidik (2002) menambahkan bahwa selain keempat kriteria yang ditetapkan Davey (1983) di atas, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria non distorsi terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Namun demikian, jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss). Dalam konteks Indonesia, kriteria non distorsi terhadap perekonomian merupakan alasan keluarnya UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan adanya UU No. 34 Tahun 2000 ini diharapkan pajak daerah tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.
CIRI-CIRI TERTENTU SUATU PAJAK DAERAH Untuk mempertahankan prinsip-prinsip pajak daerah tersebut di atas, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut: § Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya. § Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam. § Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay). Dalam konteks Indonesia, terutama kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
399
selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu, pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri. Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota, yaitu: 1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. 2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak konsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi (pusat/propinsi). 3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada pemerintah pusat. 4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya
400
5.
6.
7.
8.
Bab 19: Perpajakan Daerah
pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan). Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat dilokalisasi bagi pembayar pajak lokal.
Model Leviathan Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Model Leviathan Tarif Pajak Daerah Kurva Laffer
t*
401
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
Gambar 19.1 Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 19.1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar 19.1 ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai revenue maximizing tax rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai total penerimaan pajak maksimal.
Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
402
Bab 19: Perpajakan Daerah
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indoneia telah diatur sejak lama, terutama sejak tahun 1997 dengan dikeluarkannya UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, dalam perkembangannya, UU No.18 Tahun 1997 dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah, namun harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satu pun daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Seiring dengan keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, maka UU No.18 Tahun 1997 diubah dengan UU No.34 Tahun 2000. Dengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota.
Jenis-Jenis Pajak Daerah Propinsi Pajak propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh propinsi terkait dengan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya propinsi dapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk pajak propinsi yang
403
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun 2001.
Jenis-Jenis Pajak Daerah Kabupaten Pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak (Pasal 2 ayat 2), yaitu : (i) pajak hotel; (ii) pajak restoran; (iii) pajak hiburan; (iv) pajak reklame; (v) pajak penerangan jalan; (vi) pajak pengambilan bahan galian golongan C; (vii) pajak parkir. Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud (Pasal 2 ayat 4): a. Bersifat pajak dan bukan retribusi. b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak pusat. e. Potensinya memadai. f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. h. Menjaga kelestarian lingkungan.
Ketentuan Mengenai Bagi Peruntukannya (Pasal 2a)
Hasil
Pajak
Propinsi
Dan
Hasil penerimaan pajak propinsi sebagian diperuntukkan bagi daerah kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
404
Bab 19: Perpajakan Daerah
diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 30% (tiga puluh persen); b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen); c. Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen). Hasil penerimaan pajak kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) bagi desa di wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan. Bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan daerah propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar daerah kabupaten/kota. Bagian desa ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar desa. Penggunaan bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan sepenuhnya oleh daerah kabupaten/kota. Dalam hal hasil penerimaan pajak kabupaten/kota dalam suatu propinsi terkonsentrasi pada sejumlah kecil daerah kabupaten/kota, gubernur berwenang merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada daerah kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan. Dalam hal objek pajak kabupaten/kota dalam satu propinsi yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, gubernur berwenang untuk merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada daerah kabupaten/kota yang terkait. Sedangkan ketentuan mengenai realokasi dilakukan oleh gubernur atas dasar kesepakatan yang dicapai antar daerah kabupaten/kota yang terkait dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
TARIF PAJAK PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh propinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda. Disebutkan dalam UU No. 34/2000 Pasal 3 ayat (1), tarif jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen);
405
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh persen); c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen); d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20% (dua puluh persen); e. Pajak Hotel 10% (sepuluh persen); f. Pajak Restoran 10% (sepuluh persen); g. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen); h. Pajak Reklame 25 % (dua puluh lima persen); i. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen); j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen); k. Pajak Parkir 20% (dua puluh persen). bupaten/Kota
Peranan Pajak Daerah Dan Mendukung Pembiayaan Daerah
Retribusi
Daerah
dalam
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah terkait penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI1 bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh: • Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis 1
Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia, LPEM Universitas Indonsia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
406
Bab 19: Perpajakan Daerah
pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi. • Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan. • Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy2 yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan. • Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%3. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
2
Buoyancy adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan perpajakan apabila PDB berubah 1%. 3
Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2001.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
407
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari ‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (pajak pusat dan pajak daerah).4 Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.
RANGKUMAN § Pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan dari perpajakan dengan cara: (1) melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing) yang dikenakan dan dipungut oleh pemerintah pusat, yaitu PPh, PBB, dan BPHTB menurut UU No.25/1999. (2) Pemerintah daerah dapat memungut tambahan pajak (opsen, surchage) di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh pemerintah pusat. (3) Pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah daerah sendiri yang diatur dalam UU No.34 Tahun 2000. § Kriteria perpajakan daerah antara lain: (1) kecukupan dan elastisitas, (2) pemerataan/ keadilan, (3) kemampuan administratif, dan (4) dapat diterima secara politik. § Kecukupan maksudnya bahwa sumber pendapatan tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Elastisitas adalah kemampuan untuk menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan pengeluaran pemerintah daerah dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis. § Pemerataan/keadilan, bahwa beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan memiliki tiga dimensi: (a) pemerataan vertikal, dalam hubungan pembebanan pajak atas 4
Machfud Sidik. 2002. op.cit. hal. 8.
408
§ §
§
§
§ §
§
Bab 19: Perpajakan Daerah
tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Pajak yang baik adalah pajak yang bersifat progresif dan pajak yang tidak baik bersifat regresif, (b) pemerataan horisontal, dalam konteks hubungan pajak berdasarkan sumber pendapatan, (c) keadilan geografis, pembebanan pajak harus adil antar penduduk di berbagai daerah. Kemampuan administratif berarti administrasi pemungutan pajak harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak. Adanya kesepakatan politik, untuk memunculkan kemauan politik yang diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut diterapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi terhadap para pelanggar. Dengan kemauan politik, timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. Selain empat kriteria, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria nondistorsi terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Ciri-ciri tertentu suatu pajak daerah, antara lain: (a) secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya, (b) relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, (c) tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay). Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) fungsi budgeter, pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, (2) fungsi regulator, pajak sebagai alat pengatur untuk mencapai tujuan, misalnya pajak minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. Kriteria dan pertimbangan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat pemerintahan pusat/propinsi dan kabupaten/kota menurut Tersa Ter-Minassian, yaitu: (1) pajak yang ditujukan untuk stabilisasi ekonomi dan distribusi pendapatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, (2) pajak yang terlalu “mobile” dipertahankan di pemerintah yang lebih tinggi, basis pajak yang diserahkan kepada daerah tidak terlalu “mobile” sehingga mempermudah daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat, (3) basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah dipertahankan di pemerintah pusat, (4) pajak daerah bersifat “visible” jelas bagi pembayar
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
§
§
§
§
§
§
409
pajak, yaitu objek, subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung, (5) pajak daerah tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, (6) pajak daerah dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar, (7) pajak daerah harusnya relatif mudah diadministrasikan, (8) pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan pada semua tingkat pemerintahan. Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari pajak daerah perlu memperhatikan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Model Leviathan yang menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak dengan penerimaan total maksimum, menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap penggunaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan maksimum. Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya yaitu PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh propinsi dan kabupaten/kota. Pajak propinsi terdiri atas empat jenis, yaitu: (a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk pajak propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun 2001. Pajak daerah kabupaten/kota terdiri atas tujuh jenis pajak, yaitu: (1) pajak hotel, (2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5) pajak penerangan jalan, (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan (7) pajak parkir. Pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, yaitu diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri
410
§
§
§
§
§
Bab 19: Perpajakan Daerah
jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut: (a) bersifat pajak dan bukan retribusi, (b) objek pajak terletak di wilayah daerah kabupaten/kota dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah yang bersangkutan, (c) objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, (d) objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan atau pajak pusat, (e) potensinya memadai, (f) tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, (g) memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, (h) menjaga kelestarian lingkungan. Ketentuan mengenai bagi hasil pajak propinsi dan peruntukannya, sebagai berikut: (a) hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan pada kabupaten/kota paling sedikit 30%, (b) hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota paling sedikit 70%, (c) hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota paling sedikit 70%. Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota diperuntukkan paling sedikit 10% bagi desa di wilayah kabupaten/kota. Gubernur berwenang untuk merealokasikan hasil penerimaan pajak jika penerimaan terkonsentrasi pada sejumlah kecil daerah saja. Menurut UU No.34/2000 , tarif pajak propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan paling tinggi sebesar: (a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen), (b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh persen), (c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen), (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20% (dua puluh persen), (e) Pajak Hotel 10% (sepuluh persen), (f) Pajak Restoran 10% (sepuluh persen), (g) Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen). (h) Pajak Reklame 25% (dua puluh lima persen), (i) Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen), (j) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen), (k) Pajak Parkir 20% (dua puluh persen). Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah satu komponen PAD. Namun, pelaksanaannya belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, disebabkan oleh: (a) relatif rendahnya basis pajak dan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
411
retribusi daerah, (b) perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, (c) kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah, (d) kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. § Peran PAD yang tidak signifikan, tidak lepas dari ‘’ tax assignment system” di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial. Ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia masih “sentralistis”.
LATIHAN 1. Sebutkan dua cara pemerintah daerah memperoleh pendapatan dari perpajakan di Indonesia ! 2. Berdasarkan prinsip keadilan dari perpajakan daerah, jelaskan yang dimaksud dengan : a. pemerataan secara vertical b. pemerataan secara horizontal c. keadilan geografis 3. Sebutkan empat kriteria perpajakan daerah ! 4. Apa yang dimaksud dengan kriteria non distorsi terhadap perekonomian, dan apa tujuan dikeluarkannya UU no. 34 tahun 2000 ! 5. Berdasarkan model Leviathan, mengapa total penerimaan pajak maksimum bukan pada saat tarif tertinggi? 6. Mengapa terdapat banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) ? 7. Jelaskan yang dimaksud dengan opsen ? 8. Jelaskan dua dimensi dari elastisitas sehubungan dengan pajak ? 9. Sebutkan ciri-ciri tertentu yang dimiliki suatu pajak daerah khususnya di negara yang sedang berkembang ? 10. Jelaskan fungsi pajak sebagai : a. Fungsi Budgetair
412
Bab 19: Perpajakan Daerah
b. Fungsi Regulator 11. Mengapa basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu mobile ? 12. Jelaskan dengan singkat pertimbangan yang diperlukan dalam pemebrian kewenangan perpajakan kepada tingkat pemerintahan ? 13. Apa yang dimaksud dengan pajak daerah seharusnya visible ? 14. Apa yang dimaksud dengan pajak propinsi bersifat limitatif dan mengapa pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif ? 15. Sebutkan yang termasuk jenis pajak propinsi ! 16. Sebutkan jenis-jenis pajak daerah kabupaten/kota ! 17. Bagaimana ketentuan pembagian dari hasil pajak propinsi ? 18. Mengapa peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum signifikan dalam anggaran daerah ?
HUTANG PUBLIK Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal bahwa pemerintah harus melakukan berbagai macam kegiatan dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara negara. Kegiatan kegiatan ini tentunya perlu ditunjang oleh pengeluaran pengeluaran pemerintah yang pada gilirannya pengeluaran pemerintah itu harus dibiayai dengan penerimaan pemerintah. Adakalanya pada saat tertentu pemerintah akan mengalami defisit anggaran. Untuk menutup defisit anggaran pemerintah ini salah satunya adalah dengan jalan hutang. Penutupan defisit anggaran pemerintah dengan melalui pinjaman baik dari dalam maupun dari luar inilah yang dinamakan pinjaman pemerintah (Mankiw, 2001). Hasil dari hutang publik ini akan memainkan peranan yang sangat penting baik sebagai sumber dana pada saat terjadinya pinjaman maupun pada saat kita harus melunasi hutang tersebut. Hal yang demikian ini dialami terutama oleh negara negara yang dalam masa berkembang termasuk Indonesia.
414
Bab 20: Hutang Publik
Hutang negara seringkali dibedakan menjadi dua yakni “reproductive debt” dan “dead weight debt”. Reproductive debt merupakan hutang yang dijamin seluruhnya dengan kekayaan negara yang berhutang atas dasar nilai yang sama besarnya. Sedangkan dead weight debt merupakan hutang yang tanpa disertai dengan jaminan kekayaan. Pembedaan jenis pinjaman yang lain adalah antara pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri (internal debt dan external debt). Pinjaman dalam negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga yang ada dalam negara itu sendiri. Pinjaman luar negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain. Pinjaman dalam negeri dapat bersifat paksa maupun bersifat sukarela, sedangkan pinjaman luar negeri biasanya bersifat sukarela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara lain. Pada pelaksanaannya, dalam membiayai pembangunan jenis hutang publik yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia adalah Surat Utang Negara (SUN) dan hutang atau pinjaman luar negeri. Pada bagian berikut, akan dibahas mengenai kedua jenis hutang tersebut.
SURAT UTANG NEGARA (SUN) Pengertian Surat Utang Negara diatur berdasarkan Undang-Undang No. 24/2002. Pengertian Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Surat Utang Negara diterbitkan dalam bentuk “warkat”, diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di pasar sekunder dan “tanpa warkat” (scripless), diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder. Surat Utang Negara terdiri dari surat perbendaharaan negara berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto dan obligasi negara berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Tujuan diterbitkannya Surat Utang Negara adalah untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari rekening kas negara dalam satu tahun anggaran dan mengelola portofolio utang negara. Kewenangan penerbitan Surat Utang Negara berada pada pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan dengan melakukan konsultasi dengan Bank Indonesia dan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR. Persetujuan akan diberikan oleh DPR dengan catatan bahwa
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
415
atas nilai bersih maksimal surat utang negara dalam 1 tahun anggaran dan pada saat pengesahan APBN. Dengan adanya persetujuan ini maka pemerintah wajib membayar bunga & pokok saat jatuh tempo dengan dana pembayaran bunga dan pokok disediakan di dalam APBN. Penawaran Surat Utang Negara dilakukan melalui lelang dan yang ditunjuk sebagai agen lelang Surat Utang Negara yaitu Bank Indonesia. Peserta lelang Surat Utang Negara adalah bank, perusahaan pialang pasar uang dan perusahaan efek. Penjualan Surat Utang Negara adalah dengan cara peserta lelang mengajukan penawaran pembelian kompetitif dan penawaran pembelian nonkompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. Adapun kegiatan penataausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setlement, serta agen pembayar bunga dan pokok Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank Indonesia.
PENGELOLAAN SURAT UTANG NEGARA Surat Utang Negara dikelola oleh Menteri Keuangan dan aktivitas pengelolaan tersebut meliputi hal hal yang diantaranya adalah penetapan strategi & kebijakan pengelolaan surat utang negara, perencanaan & penetapan struktur portofolio utang negara, penerbitan dan penjualan surat utang negara di pasar perdana melalui lelang dan atau tanpa lelang (issuance), pembelian kembali (buyback), Penukaran (debt switching/exchange offer), pelunasan surat utang negara (redemption) dan aktivitas lain dalam rangka pengembangan pasar Surat Utang Negara. Dalam hal ini, Menteri Keuangan membuka rekening dalam rangka pengelolaan Surat Utang Negara yang merupakan bagian dari rekening kas negara (Rek. 502.000.003 dan Rek. 502.000.001). Kegiatan penatausahaan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan settlemen, serta agen pembayar bunga dan pokok surat utang negara dilaksanakan oleh Bank Indonesia (Central Registry). Dalam pelaksanaan lelang Surat Utang Negara, Menteri Keuangan akan menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana lelang surat perbendaharaan negara di pasar perdana (Auction Agent). Di samping itu Menteri Keuangan dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana lelang obligasi negara di pasar perdana. Ketentuan mengenai metode lelang, jadwal pelaksanaan lelang, kriteria peserta lelang dan hasil akhir lelang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan juga dapat menunjuk Bank Indonesia dan atau pihak lain sebagai agen untuk membeli atau menjual Surat Utang Negara di pasar sekunder. Pengaturan dan pengawasan kegiatan perdagangan Surat
416
Bab 20: Hutang Publik
Utang Negara dilakukan oleh instansi pemerintah yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal (saat ini Bapepam). Berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansinya, penatausahaan dan pertanggungjawaban atas pengelolaan Surat Utang Negara dan dana yang dikelola dilakukan oleh Menteri Keuangan. Pertanggungjawaban di atas akan disampaikan secara bersamaan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Di samping itu juga akan dilakukan publikasi secara berkala atas informasi kegiatan pengelolaan Surat Utang Negara yang akan dilakukan oleh Menteri Keuangan.
HUTANG LUAR NEGERI Pinjaman luar negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.1 Kredit/pinjaman merupakan penerimaan negara, dalam bentuk devisa / barang / jasa, yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri (Lender), dan harus dikembalikan sesuai ketentuan dalam loan agreement. Pinjaman ini terdiri dari Soft Loan dan Export Credit. Ketentuan yang diberlakukan untuk soft loan, interest rate maksimum adalah 3.5%, grace period 7 tahun, dan pembayaran angsuran dalam 25 tahun (termasuk grace period), dan kegiatan proyek bersifat non komersial serta telah disetujui oleh CGI, sedangkan untuk Export Credit, interest rate lebih dari 3.5% dan maksimum LIBOR2 rate, pemerintah harus menyediakan down payment sebesar 15% dari biaya proyek, bersifat komersial, dan pengalokasiannya disetujui oleh Menko Bidang Perekonomian.
Proses Pelaksanaan Kerjasama Pinjaman Dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Dalam pelaksanaan kerjasama PHLN, prosesnya dimulai dari pertemuan awal dimana akan dilakukan pembicaraan/pembahasan kerjasama antar lembaga/ instansi terkait pada acara kunjungan resmi/tidak resmi, sebagai bagian dari rangkaian suatu perundingan. Hasil pertemuan ini kemudian dirangkum dalam catatan pertemuan, agreed minutes, summary record, record 1
Pengertian Pinjaman Luar Negeri berdasarkan SKB Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas No.185/KMK.03/1995 dan KEP.031/KET/5/1995 2 LIBOR (London Interbank Offer Rate), merupakan suku bunga yang umumnya dikenakan bagi pinjaman – pinjaman antar Eurobank
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
417
of discussion, atau minutes of meeting. Catatan di atas sifatnya belum mengikat dan tidak perlu mendapat persetujuan sekretariat kabinet; Pertemuan awal ini kemudian dilanjutkan oleh kegiatan “keinginan antar pihak” yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan awal, yang menghasilkan komitmen untuk melaksanakan kerjasama dalam bidang tertentu di masa mendatang. Masing-masing pihak berniat untuk menindaklanjuti pembicaraan tentang kerjasama yang pernah didiskusikan sebelumnya, namun belum siap untuk merumuskannya secara formal dalam bentuk agreement, Memorandum of Understanding, maupun perjanjian pelaksanaan. Hasil kesepakatan atau komitmen disebut naskah keinginan bersama, kesepakatan pendahuluan, nota kesepakatan, atau Letter of Intent (LoI). Naskah ini ditandatangani oleh pejabat lembaga/instansi yang terlibat, namun belum perlu mendapat persetujuan sekretariat kabinet. Langkah selanjutnya adalah adanya persetujuan antar pihak, yang merupakan suatu kesepakatan yuridis antar lembaga/instansi, namun tidak mengikat lembaga/instansi tersebut secara keseluruhan. Hasilnya disebut kesepakatan bersama, MoU, atau naskah persetujuan, yang dapat berfungsi hanya sebagai payung kerjasama, atau sebagai petunjuk teknis pelaksanaan dari suatu persetujuan yang sudah ada. Isi kesepakatan ini mencakup pokokpokok perjanjian secara umum/garis besar, dengan ruang lingkup bidang kerjasama tertentu/spesifik. Kesepakatan ini dapat mencakup lebih dari satu kegiatan yang melibatkan instansi-instansi tertentu. Tujuannya adalah untuk merealisasikan keinginan bersama yang telah dituangkan dalam LoI. Setelah terjadi persetujuan antar pihak, maka akan dilanjutkan dengan perjanjian pelaksanaan kerjasama (implementing arrangement). Implementing arrangement merupakan perjanjian yuridis antar lembaga/instansi yang mengatur kerjasama (teknis), dan sudah mengikat lembaga/instansi tersebut secara keseluruhan, dalam batas-batas yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat. Isi perjanjian mencakup hal-hal yang terinci dari suatu kegiatan kerjasama, dengan ruang lingkup yang lebih spesifik sampai pada jadwal pelaksanaan serta kualifikasi personel yang ditugaskan dan sebagainya, yang diajukan dalam bentuk proposal perjanjian pelaksanaan kerjasama pinjaman luar negeri. Draft perjanjian ini kemudian diajukan ke sekretariat kabinet untuk mendapat persetujuan. Tujuannya untuk menjabarkan rencana pelaksanaan kerjasama (teknik) secara rinci, sebagai tindak lanjut atau sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari MoU (yang merupakan payung kerjasama). Implementing arrangement dapat mencakup lebih dari satu macam perjanjian pelaksanaan.
418
Bab 20: Hutang Publik
Proses Penyusunan Perjanjian Kerjasama Dan Pengusulan Program/Proyek PHLN Tujuan proses ini adalah agar program/proyek pinjaman luar negeri tersebut mendapat persetujuan sekretariat kabinet, dan dapat dicantumkan ke dalam blue book oleh Bappenas. Proses penyusunan perjanjian kerjasama dan pengusulan program/proyek PHLN ini terdiri dari 2 (dua) tahap yakni penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN dan pengusulan program/proyek PHLN. Dalam penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN, draft perjanjian disusun berdasarkan MoU oleh unit pengusul, lalu disampaikan ke biro perencanaan. Kemudian, bersama dengan biro hukum, biro perencanaan akan merumuskan naskah perjanjian pelaksanaan kerja sama. Naskah ini kemudian dibahas dalam rapat pimpinan departemen/lembaga instansi, sehingga menjadi ”naskah awal”. Selanjutnya ”naskah awal” disampaikan ke Biro Kerjasama Teknik Luar Negeri (KTLN) sekretariat kabinet, untuk mendapat persetujuan. Naskah awal dibahas di sekretariat kabinet bersama instansi pengusul (pihak pertama), sekretariat kabinet, Deplu, perwakilan negara asing/lender/donor (pihak ke dua), serta instansi lain yang terkait. Setelah dibahas dan mendapat persetujuan sekretariat kabinet, naskah awal menjadi naskah akhir, yang kemudian dikirim oleh pihak pertama ke pihak kedua untuk disetujui dan ditandatangani bersama menjadi naskah kerja sama. Dalam proses pengusulan program/proyek PHLN, usulan program/proyek PHLN, yang dilampiri salinan naskah kerjasama, diajukan oleh departemen/lembaga pengusul kepada Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas untuk dicantumkan ke dalam blue book3 (khusus bagi program/proyek yang belum tercantum, atau bagi proyek/program yang belum ada kepastian pembiayaan dari negara/lembaga donor). Usulan ini disusun dalam 2 (dua) daftar yang terpisah, masing-masing untuk usulan bantuan proyek (project assistance) dan usulan bantuan teknis (technical assistance). Di sini, Bappenas akan melakukan evaluasi (appraisal I) terhadap usulan program/ proyek bersangkutan. Hasil appraisal I dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Deputi II Bappenas. Setelah itu, semua usulan program/proyek (yang sudah memiliki SK) dikonsolidasikan oleh Bappenas, dan dimasukkan ke dalam blue book. 3
Blue Book adalah suatu catatan yang berisikan Daftar Rencana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (DRPHLN), memuat berbagai usulan proyek yang dinilai layak mendapat pembiayaan dari PHLN, termasuk kredit ekspor, sebagaimana dimaksud dalam SKB Menkeu dan Ketua Bappenas No.: 185/KMK.03/1995 – No.:Kep.031/KET/5/1995, tanggal 5 Mei 1995.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
419
PROSES PEMBUATAN LOAN AGREEMENT Dalam pembuatan loan agreement, blue book dikirimkan oleh Bappenas ke Departemen Keuangan, instansi pengusul (excecuting agency), dan negara/lembaga donor, untuk diidentifikasi. Hasil identifikasi tersebut kemudian akan dikaji kembali oleh Bappenas, lalu dievaluasi ulang (appraisal II), sebagai bahan tindak lanjut bagi proses pembahasan teknik berikutnya. Hasil appraisal II, yang berupa appraised project, diproses berdasarkan basic model, multilateral model (World Bank & ADB), atau OECF model, tergantung jenis program/proyek dan dari mana sumber dana diperoleh. Dalam tahap ini hasil appraisal II kembali dibahas bersama oleh Bappenas, negara/lembaga donor, dan konsultan independen (appraisal III), dan hasilnya adalah appraisal result. Appraisal result kemudian akan dievaluasi lagi (reviewing) oleh Bappenas, excecuting agency, dan Departemen Keuangan. Hasil review inilah yang akan dijadikan dasar untuk melaksanakan persiapan perundingan (negotiation) untuk membuat loan agreement, penyusunan dan penandatanganan loan agreement.
Hutang Luar Negeri dalam Pembangunan Ekonomi Utang pada dasarnya adalah salah satu alternatif yang dilakukan karena berbagai alasan yang rasional. Dalam alasan-alasan yang rasional itu ada muatan urgensi dan ada pula muatan ekspansi. Muatan urgensi tersebut maksudnya adalah utang mungkin dipilih sebagai sumber pembiayaan karena derajat urgensi kebutuhan yang membutuhkan penyelesaian segera. Sedangkan muatan ekspansi berarti utang dianggap sebagai alternatif pembiayaan yang melalui berbagai perhitungan teknis dan ekonomis dianggap dapat memberikan keuntungan. Dari perspektif negara donor setidak-tidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut memotivasi politik (political motivation) dan memotivasi ekonomi (economic motivation) dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat satu dengan yang lain. Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi Amerika Serikat untuk mengucurkan dana bantuan dalam merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat setelah hancur saat Perang Dunia II, dan program ini kemudian dikenal dengan Marshall Plan (Todaro, 1985). Kesuksesan kembali membangun Eropa Barat menjadikan program ini sebagai cetak biru (blue print) yang kemudian digunakan dalam proses pengembangan ekonomi di
420
Bab 20: Hutang Publik
berbagai belahan dunia lainnya seperti Asia Selatan, Asia Tenggara bahkan selanjutnya sampai menyentuh Afrika serta Amerika Tengah. Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan dalam memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting (Todaro, 1985) yaitu: Pertama, adalah foreign exchange constraints. Argumen ini didasari atas two gap model dimana negara-negara penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik (domestic saving) sehingga tingkat tabungan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh negara yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor barang modal (capital goods) dan impor barang-barang intermediate (Intermediae goods). Dengan demikian untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan luar negeri. Kedua, adalah growth and savings, yakni untuk memfasilitai dan mengakselerasi proses pembangunan dengan cara meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Karena tingginya tingkat pertumbuhan di negara-negara berkembang akan turut meningkatkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju seperti yang dibuktikan studi Cooper (1995). Ketiga, adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari bantuan keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Hal ini harus dilakukan untuk menjamin bahwa aliran dana yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien dalam proses memicu kenaikan pertumbuhan ekonomi. Dan yang terkahir (keempat), adalah absorptive capacity yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang perlu diingat bahwa faktor pendorong dan faktor penarik (push and pull factors) adalah dua kata yang turut menentukan terjadinya capital movement ke negara-negara berkembang (Taylor dan Sarno, 1997). Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antara motif ekonomi dan politik yang menjadi pertimbangan utama bagi seorang investor yang rasional. Meskipun demikian peranan dana bantuan luar negeri dan modal asing terhadap kemajuan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negaraberkembang telah lama menjadi perdebatan hangat di antara kelompokkelompok ekonomi dunia. Sekelompok ekonom pada tahun 1950-an dan 1960-
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
421
an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan luar negeri mempunyai dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negara tanpa menimbulkan gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara debitor tersebut. Pengalaman keberhasilan pembangunan kembali perekonomian negara-negara Eropa Barat melalui Marshall plan seperti telah disinggung, menjadi dasar kelompok tersebut untuk menganjurkannya diterapkan di negara-negara berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses penganjurannya adalah bantuan luar negeri akan menambah sumber-sumber yang produktif tanpa menimbulkan dampak substitusi terhadap alokasi dan efisiensi sumber daya terutama tingkat efisiensi dalam penggunaan modal yang tercermin dari tingkat ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dan sumber-sumber tersebut di atas sangat langka di negara-negara sedang berkembang. Pengalaman seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teori yang dikembangkan oleh Sir Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dilanjutkan serta disempurnakan oleh Evsey D. Domar (AS) yang kemudian dikenal dengan teori Harrod-Domar. Teori yang berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan ini, selanjutnya dikembangkan lagi oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan Strout dan lain-lain pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran mereka ini seperti yang diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) dapat dikelompokkan ke dalam empat pemikiran mendasar: Pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai suatu dasar yang signifikan untuk memacu kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting dalam memobilisasi sumber dana dan transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal asing akan menjadi menurun segera setelah perubahan struktural terjadi (meskipun modal yang masuk belakangan menjadi lebih produktif). Pemikiran di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang, sehingga hampir tidak ada negara berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya proses pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi bantuan luar negeri tidak lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap (complementary factor), tapi telah menjadi sumber utama dalam membiayai pembangunan. Memang bantuan luar negeri sebenarnya dapat mencapai arah dan sasarannya, jika digunakan untuk investasi yang tingkat pengembalian investasinya (return on investment) dapat memicu kenaikan sumber daya ekonomi yang lebih besar, maka diharapkan bantuan luar negeri tidak saja menambah sumber daya ekonomi tapi juga sekaligus mampu membayar
422
Bab 20: Hutang Publik
kembali cicilan pinjaman sebelumnya. Keadaan ini telah dibuktikan oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok negara-negara industri baru (Newly Industrialized Countries/ NICs) seperti Korea Selatan dan Taiwan di mana utang luar negeri telah dengan sukses menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam perekonomian mereka. Tetapi sebaliknya, banyak juga negara-negara berkembang yang gagal dalam memanfaatkan utang luar negeri dengan baik. Kasus-kasus Amerika Latin seperti Mexico, Argentina, serta Brazil adalah contoh konkrit dari kasus yang terakhir ini. Utang luar negeri bukan hanya dibutuhkan dalam proses perdagangan, tetapi juga dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara untuk menunjang proses produksi dalam negeri. Artinya, utang luar negeri merupakan mata rantai yang menghubungkan kegiatan internal dan eksternal perekonomian suatu negara. Dalam pemahaman ini sulit sekali menyatakan bahwa suatu negara bisa saja tidak berutang sama sekali. Tetapi jelas sekali bahwa jumlah dan pemanfaatan utang tersebut harus dikendalikan dan dikelola secara benar sehingga justru tidak menjadi beban yang berkepanjangan. Dalam tahap-tahap awal pembangunan, penggunaan komponen utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan disadari begitu menguntungkan. Bahaya utang luar negeri belum dianggap serius oleh sebagian besar negara pengutang mengingat mereka sangat kaya akan sumber daya alam. Masuknya modal dari luar negeri juga dianggap sebagai salah satu cara mengatasi hambatan dalam pengelolaan kekayaan alam yang begitu melimpah ketika perekonomian dalam negeri tidak begitu mampu menyediakan dana untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila selain masuknya dana berupa fresh money ke dalam negeri, utang luar negeri juga dapat dilihat dari tinjauan pemberian bantuan tenaga ahli dan usaha joint venture perusahaan asing ke dalam negeri. Namun, dalam perkembangannya, masuknya dana ke dalam negeri tanpa usaha dan kerja keras telah ”meninabobokkan” negara-negara pengutang. Akibatnya, utang luar negeri berubah menjadi perangkap utang (debt trap) bagi negara-negara tersebut. Kucuran dana dari luar juga membentuk birokrasi yang sangat sensitif terhadap berbagai kebocoran, korupsi dan penyalahgunaan. Kondisi semakin sulit ketika kekayaan alam yang dimiliki dengan ujung tombak komoditas primer mengalami kerontokan di pasaran dunia serta makin proteksionalisnya negara-negara maju. Sementara masyarakat belum bisa maksimal digerakkan dalam partisipasi pembangunan selama ini cenderung lebih meletakkan posisi rakyat sebagai obyek pembangunan dan mempasifkan peranan mereka.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
423
Perangkap utang yang terbangun dalam frame bantuan pinjaman ini makin memojokkan negara-negara pengutang dan makin memperlemah posisi bargaining power mereka. Lemahnya posisi tawar menawar ini tidak saja dilihat dari makin kalahnya negara pengutang dalam kancah perdagangan dunia, namun munculnya bentuk intervensi dalam penentuan pengambil kebijaksanaan ekonomi negara pengutang yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia. Indonesia, sebagai salah satu negara pengutang terbesar, masalah utang, baik perannya dalam pembangunan, implikasi dan kemauan melakukan pembayaran bunga dan cicilan utang merupakan hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mencermati ketahanan ekonomi Indonesia saat ini, sangat sulit mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan berkurang untuk setidak-tidaknya 10 (sepuluh) tahun ke depan. Hal ini disebabkan karena masalah utang luar negeri yang dihadapi Indonesia mencapai tahap yang demikian kompleks sehingga sulit untuk diupayakan pemecahan dalam waktu yang definitif. Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih bergantung pada komponen ini. Seberapa besar tingkat ketergantungannya, tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indonesia untuk menginjeksi dana pembangunannya. Di era globalisasi dan dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya peran swasta dan langkanya pinjaman resmi yang bersyarat lunak. Oleh karena itu, tidaklah heran untuk masa datang perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial. Membesarnya pinjaman komersial ini akan membawa berbagai dampak kepada perekonomian nasional. Di satu sisi, pinjaman komersial ini dibutuhkan sebagai sumber pembiayaan dan juga untuk memperkuat cadangan devisa nasional. Sementara di sisi lain, pinjaman komersial memiliki dampakdampak yang apabila tidak diwaspadai dapat membahayakan keseimbangan makro. Dampak pertama yang ditimbulkan akibat pinjaman komersial ini adalah terjadinya ekspansi moneter yang akan mempengaruhi kestabilan ekonomi
424
Bab 20: Hutang Publik
makro dan neraca pembayaran. Hal ini dikarenakan bahwa pinjaman-pinjaman komersial jangka pendek yang dilakukan oleh pihak swasta menyebabkan penarikan pinjaman ini tanpa pemantauan otoritas moneter. Efeknya adalah kebijakan moneter yang dijalankan tidak akan mencapai sasaran yang juga pada akhirnya akan menganggu pencapaian sasaran ekonomi makro. Selain itu, penarikan yang berlebihan memliki potensi untuk memanaskan perekonomian (over heating). Dampak ekspansi ini akan menjadi sulit lagi sebagai konsekuensi sistem perekonomian terbuka yang dianut Indonesia, yang menyebabkan arus keluar masuk modal menjadi lebih mudah dengan jangka waktu yang sangat pendek. Dampak lain dari pinjaman komersial ini berkaitan dengan adanya gejolak nilai tukar mata uang dunia yang dapat dengan seketika melonjakkan beban pembayaran kembali pinjaman. Perekonomian dunia yang semakin terbuka semakin memperbesar ketidakpastian dari nilai tukar mata uang negara-negara maju. Fenomena Yendaka, misalnya, menimbulkan beban berat bagi Indonesia. Meskipun berbagai langkah telah dilakukan, misalnya dengan melakukan hedging di pasar finansial, namun resiko perubahan nilai tukar terhadap kemampuan membayar utang luar negeri tetap harus diperhatikan. Dampak terakhir dari kecenderungan peningkatan pinjaman komersial ini adalah makin tingginya country risk dari Indonesia. Konsekuensi dari ekonomi terbuka membuka banyak peluang kepada sumber dana dari luar negeri yang dapat berimplikasi pada membesarnya pinjaman luar negeri. Sementara di sisi lain, besarnya pinjaman luar negeri ini akan mengurangi kepercayaan pihak luar sehingga meningkatkan country risk dari Indonesia. Hal ini tercermin dari terus menigkatnya angka DRS (Debt Service Ratio) dan persentase dari defisit transaksi berjalan terhadap GDP (Gross Domestic Product). Masalah utang luar negeri Indonesia celakanya hanya dilihat dari mampu atau tidaknya dalam melakukan pembayaran. Bahkan, ketika ada kekhawatiran bahwa anak cucu yang baru lahir sudah ”terbebani” oleh warisan sejumlah utang, para pengambil kebijakan dengan mudahnya mengandai-andai bahwa jumlah utang tersebut akan segera ”dibereskan” dengan menjual seluruh asset yang dimiliki oleh BUMN. Persoalannya adalah bahwa cara pandang seperti itu terlampau memudahkan persoalan dan tidak dengan rendah hati ditempatkan pada basis pemikiran: seberapa besar manfaat nyata yang diperoleh dari pembiayaan melalui komponen utang luar negeri tersebut?. Dalam prakteknya, bukan rahasia lagi jika proyek-proyek yang dibiayai melalui pinjaman luar negeri banyak yang kurang efisien dengan berbagai praktek korupsi serta memberikan multiplier effect yang sangat kecil. Bahkan, daftar kekurangan ini semakin panjang jika proyek-proyek yang dibangun
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
425
dengan mempergunakan bantuan dari pihak luar seringkali tidak mengindahkan hak-hak asasi penduduk di mana proyek tersebut dibangun. Otoritas moneter, oleh karena sistem moneter yang begitu bebas terlihat sering ”keteter” dalam mengatur pinjaman dari pihak swasta yang kadang justru disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dalam negeri sendiri yang mendorong terjadinya arus masuk pinjaman luar negeri swasta yang membumbung tinggi tersebut. Persoalan utang luar negeri mesti disadari dengan kesadaran akan seberapa besar kemampuan dalam melakukan kewajibannya yang berkaitan dengan utang yang dipinjam. Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat urgen dewasa ini mengingat berbagai krisis yang telah melanda perekonomian Indonesia. Persoalan utang luar negeri dikaitkan dengan krisis yang menimpa sekarang ini tidak hanya berkaitan dengan kelanjutan pembangunan, namun yang paling pokok adalah sudah bersentuhan pada persoalan dasar kebutuhan hidup rakyat yaitu tersedianya kebutuhan pokok yang cukup dengan harga terjangkau dan tertutupinya pengeluaran rutin agar operasional pelaksanaan aparat negara bisa tetap berjalan.
RANGKUMAN § Pinjaman pemerintah adalah penutupan defisit anggaran pemerintah dengan melalui pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri (Mankiw, 2001). Hutang negara dibedakan menjadi dua, yaitu (1) reproductive debt, hutang yang dijamin seluruhnya dengan kekayaan negara yang berhutang atas dasar nilai yang sama besarnya, dan (2) dead weight debt, hutang yang tanpa disertai dengan jaminan kekayaan. § Dapat dibedakan juga pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri (internal debt dan external debt). Pinjaman dalam negeri, bersifat paksa maupun sukarela sementara pinjaman luar negeri bersifat sukarela. § Hutang publik yang dilaksanakan pemerintah Indonesia berupa Surat Utang Negara (SUN) dan hutang/pinjaman luar negeri. § SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalm mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Diatur berdasarkan Undang-Undang No.24/2002. § SUN diterbitkan dalam bentuk “warkat” dan “tanpa warkat” (scripless) yang diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di pasar sekunder.
426
Bab 20: Hutang Publik
§ SUN terdiri atas: (1) Surat Perbendaharaan Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto, dan (2) Obligasi Negara berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. § Tujuan penerbitan SUN: (a) membiayai defisit APBN, (b) menutup kekurangan kas jangka pendek, dan (c) mengelola portofolio utang negara. § Kewenangan penerbitan SUN berada di tangan pemerintah, diwakili Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Bank Indonesia dan disetujui oleh DPR, disertai catatan atas nilai bersih maksimal SUN dalam 1 tahun anggaran dan pada saat pengesahan APBN. § Pengelolaan SUN dilakukan oleh Menteri Keuangan yang meliputi: (1) penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan SUN, (2) perencanaan dan penetapan struktur portofolio utang negara, (3) penerbitan dan penjualan SUN di pasar perdana melalui lelang atau tanpa lelang (issuance), (4) pembelian kembali (buyback), (5) penukaran (debt switching/exchange offer), (6) pelunasan SUN (redemption) dan aktivitas lain dalam pengembangan pasar SUN. § Kegiatan penatausahaan SUN yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setlement, serta agen pembayar bunga dan pokok SUN dilakukan oleh Bank Indonesia (Central Registry). § Penawaran SUN dilakukan melalui lelang. Menteri Keuangan menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana lelang (Auction Agent) surat perbendaharaan negara dan obligasi negara di pasar perdana. Peserta lelang antara lain bank, perusahaan pialang pasar uang dan perusahaan efek. Ketentuan mengenai metode lelang, jadwal pelaksanaan lelang, kriteria peserta lelang, dan hasil akhir lelang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. § Menteri Keuangan juga menunjuk BI atau pihak lain sebagai agen untuk membeli dan menjual SUN di pasar sekunder. Pengaturan dan pengawasan kegiatan perdagangan SUN dilakukan oleh BAPEPAM. Pertanggungjawaban atas SUN dan dana yang dikelola disampaikan bersamaan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN demi akuntabilitas dan transparansi. § Pinjaman luar negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari pemeberi pijaman luar negeri (lender) yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu (loan agreement). Pinjaman luar negeri terdiri dari: (a) Soft Loan dan (b) Export Credit.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
427
§ Tahap-tahap pelaksanaan kerjasama Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN), yaitu: (a)pertemuan awal membicarakan/membahas kerjasama antar lembaga/instansi pada acara kunjungan resmi/tidak resmi, hasil pertemuan dirangkum dalam catatan ertemuan yang belum mengikat dan tidak perlu persetujuan sekretaris kabinet, (b) kegiatan “keinginan antar pihak” yang menghasilkan komitmen untuk bekerjasama dalam bidang tertentu di masa mendatang. Hasil kesepakatan disebut naskah keinginan bersama, kesepakatan pendahuluan, nota kesepakatan atau Letter of Intent (LoI), ditandatangani pejabat terkait namun belum mendapat persetujuan sekretaris kabinet, (c) adanya “persetujuan antar pihak” merupakan suatu kesepakatan yuridis antar lembaga/instansi, namun tidak mengikat. Hasilnya disebut kesepakatan bersama, MoU, atau naskah persetujuan sebagai payung bersama atau petunjuk teknis pelaksanaan dari suatu persetujuan yang sudah ada, (d) perjanjian pelaksanaan kerja sama (implementing agreement), merupakan perjanjian yuridis antar lembaga/instansi yang mengatur kerjasama (teknis), sudah mengikat lembaga-lembaga secara keseluruhan dalam batas-batas yang telah disepakati. Diajukan dalam bentuk proposal perjanjian pelaksanaan kerjasama pinjaman luar negeri ke sekretaris kabinet untuk mendapatkan persetujuan. Implementing agreement bertujuan untuk menjabarkan rencana pelaksanaan kerjasama (teknis) secara rinci, mencakup lebih dari satu macam perjanjian pelaksanaan. § Tujuan proses penyusunan perjanjian kerjasama dan pengusulan program/proyek PHLN adalah agar program/proyek pinjaman luar negeri mendapat persetujuan dari sekretaris kabinet dan dicantumkan ke dalam Blue Book oleh Bappenas. Terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu (a) penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN dan (b) pengusulan program/proyek PHLN. § Dalam penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN, draft perjanjian disusun berdasarkan MoU oleh unit pengusul, disampaikan ke biro perencanaan. Kemudian bersama biro hukum merumuskan naskah perjanjian pelaksanaan kerja sama sehingga menjadi naskah awal, setelah dibahas dan mendapat persetujuan sekretaris kabinet, naskah awal menjadi naskah akhir yang disetujui dan ditandatangani bersama menjadi naskah kerja sama. § Dalam proses pengusulan program/proyek PHLN, usulan program/proyek PHLN dilampiri salinan naskah kerja sama yang diajukan oleh departemen/lembaga pengusul kepada Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas untuk dicantumkan ke dalam blue book. Disusun dalam dua
428
§
§
§
§
§
§
§ §
Bab 20: Hutang Publik
daftar yang terpisah, yaitu usulan bantuan proyek (project assistent) dan usulan bantuan teknis (technical assistance). Dalam pembuatan loan agreement, blue book dikirimkan oleh Bappenas ke Departemen Keuangan, instansi pengusul dan negara/lembaga donor. Kemudian dilakukan evaluasi ulang sehingga dihasilkan appraisal result yang akan direview lagi, Hasil review yang akan dijadikan dasar untuk melaksanakan persiapan perundingan (negotiation) untuk membuat loan agreement, penyusunan, dan penandatanganan loan agreement. Dua hal penting yang memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara-negara debitor yaitu: (a) memotivasi politik (political motivation) dan (b) memotivasi ekonomi (economic motivation) Motivasi ekonomi dalam memberikan bantuan, memiliki empat argumen penting: (1) foreign exchange constraints, (2) growth and savings, (3) technical assistance, (4) absorptive capacity. Foreign exchange constraints, didasari oleh two gap model, dimana negara-negara pemberi bantuan khususnya negara berkembang, mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik (domestic saving) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kekurangan yang dialami negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor barang modal dan intermediate. Growth and savings, bahwa bantuan luar negeri akan digunakan untuk memfasilitasi dan mengakselerasi tingkat pertumbuhan yang tinggi, sehingga terjadi pertambahan tabungan domestik yang akan berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang dinikmati negara-negara maju. Technical assistance, pendamping dari bantuan keuangan yang bentuknya transfer sumber daya manusia tingkat tinggi untuk menjamin aliran dana digunakan secara efisien dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana itu akan digunakan. Teori Harrod-Domar berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan terdiri dari empat pemikiran mendasar: (1) modal asing (dana eksternal) dimanfaatkan untuk memacu kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi, (2) untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan, (3) modal asing berperan penting dalam memobilisasi sumber dana dan
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
429
transformasi struktural, (4) kebutuhan modal asing akan menurun segera setelah perubahan struktural terjadi. § Dampak-dampak dari pinjaman komersial selain sumber pembiayaan dan memperkuat cadangan devisa nasional, yaitu: (a) terjadinya ekspansi moneter yang akan mempengaruhi kestabilan ekonomi makro dan neraca pembayaran, (b) gejolak nilai tukar mata uang dunia yang dapat dengan seketika melonjakkan beban pembayaran kembali pinjaman, (c) makin tingginya country risk dari Indonesia, berkurangnya kepercayaan pihak luar karena jumlah pinjaman luar negeri yang semakin besar dengan meningkatnya DRS dan persentase dari defisit transaksi berjalan terhadap GDP.
LATIHAN 1. 2. 3. 4.
Jelaskan perbedaan reproductive debt dan dead weight debt! Apa yang dimaksud dengan Surat Utang Negara (SUN)? Sebutkan tujuan diterbitkannya SUN! Apa saja tugas Menteri Keuangan dalam pengelolaan Surat Utang Negara (SUN)? 5. Jelaskan proses pelaksanaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)! 6. Apa perbedaan antara soft loan dan export credit? 7. Bagaimana proses penyusunan naskah perjanjian kerja sama PHLN dilakukan? 8. Jelaskan bagaimana proses pembuatan loan agreement! 9. Jelaskan beberapa argumen penting yang menjadi dasar negara-negara donor untuk mengalirkan bantuan ke negara debitor secara motivasi ekonomi! 10. Bagaimana pendapatmu tentang penggunaan hutang luar negeri terkait dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, apakah sesuai dengan sasaran? 11. Sebutkan beberapa dampak dari membesarnya pinjaman komersial!
430
Bab 20: Hutang Publik
PINJAMAN DAERAH
PENDAHULUAN Pinjaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai pembangunan daerah. Sumber pinjaman dapat berasal dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya pihak yang dapat dijadikan sumber pinjaman membuat pembiayaan pembangunan dengan pinjaman mampu mengumpulkan dana yang cukup besar. Pinjaman dalam negeri dapat berasal dari; pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat, dan sumber lainnya seperti pinjaman dari daerah lain. Pinjaman yang berasal dari masyarakat penghimpunan dana dapat melalui penerbitan obligasi daerah. Walaupun kemungkinan nilai pinjaman yang mampu dikumpulkan cukup besar karena banyaknya sumber yang bisa digunakan, namun perlu diperhatikan adanya batas meminjam yang
432
Bab 21: Pinjaman Daerah
disesuaikan dengan kemampuan tiap-tiap daerah. Risiko yang terkandung dalam melakukan pinjaman, terutama risiko dalam pembayaran bunga maupun pokok, harus menjadi pertimbangan dalam melakukan pinjaman. Pinjaman juga dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu; jangka pendek dan jangka panjang. Pemilihan jangka waktu akan sangat tergantung pada jenis proyek yang akan dibiayai. Pada bagian ini akan dibahas mengenai tujuan dan batas-batas pinjaman, metode dan sumber-sumber pinjaman, persyaratan-persyaratan pinjaman, dan kemampuan meminjam (ability to borrowing). Agar pembahasan ini lebih riil di lapangan, dalam subbagian selanjutnya akan disajikan praktek pinjaman daerah di Indonesia.
TUJUAN DAN BATAS-BATAS PINJAMAN Pemerintah daerah dapat membiayai sebagian pengeluarannya dengan melakukan pinjaman. Dalam konstitusi di berbagai negara, masalah kewenangan daerah untuk meminjam ini telah diatur. Pada dasarnya kewenangan daerah melakukan pinjaman adalah seperti yang dituliskan oleh Davey (1983), bahwa berbagai pinjaman dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. untuk menutup kebutuhan dana (cash) jangka pendek; 2. untuk membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya rutin dan beban hutang; 3. untuk membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah; 4. untuk membiayai investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah; 5. untuk membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana atau penyediaan pelayanan umum). Pinjaman dengan maksud untuk menutup kebutuhan dana jangka pendek adalah sangat umum dilakukan, biasanya sebagai suatu keharusan karena pola pengumpulan penerimaan daerah yang tidak seimbang. Bentuk pinjaman yang umum berupa bank overdraft, akan tetapi pemerintah daerah seringkali mencari pinjaman langsung dari deposito jangka pendek dari masyarakat berupa short-term bills, dengan jangka waktu sampai tiga bulan. Kekurangan dana dari anggaran tahunan adalah hal yang umum terjadi untuk pemerintah pusat. Tetapi jarang diperkenankan bagi pemerintah daerah. Pada tahun 1975, pemerintah daerah di Italia meminjam 61% dari penerimaan kotor mereka untuk membiayai pengeluaran modal, membayar hutang dan membiayai sebagaian besar dari biaya-biaya rutin (operating cost).
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
433
Pemerintahan New York juga pernah melakukan pinjaman untuk membayar gaji pegawai dan uang pensiunan dan membayar hutang yang telah jatuh tempo. Pembelian sebuah pabrik dan peralatan lainnya juga dapat dibiayai dengan pinjaman. Suatu cara penyelesaian yang umum untuk membeli peralatan dengan pinjaman adalah dengan membeda-bedakan perkiraan umur masingmasing peralatan. Pilihan lain adalah dengan cara pinjam sewa (leasing). Cara leasing ini semakin dikenal untuk menghindari pembelian peralatan yang cepat menjadi usang sebagai akibat perubahan teknologi. Praktek dan konsep yang secara luas dapat diterima adalah dana pinjaman untuk membiayai kegiatan investasi yang dapat “membiayai sendiri”. Maksudnya adalah, proyek yang dibiayai tersebut dapat menghasilkan penerimaan (revenue) yang dapat digunakan untuk membayar kembali dana pinjaman. Praktek-praktek seperti ini antara lain sering diterapkan di negaranegara maju. Sebagai contoh, pembangunan British New Town Corporation dibiayai oleh Pemerintah Pusat Inggris. Pengembalian pinjaman tersebut dari hasil penjualan rumah-rumah dan toko-toko yang dibangun oleh British. Pemerintah negara bagian di Amerika Serikat juga mengadakan pinjaman melalui industrial aid bonds untuk menyediakan dana investasi perusahaan manufaktur perorangan. Manfaat dari pinjaman seperti ini adalah, selain mendapatkan sumber penerimaan bagi daerah, pemerintah daerah juga mampu menyediakan pelayanan publik secara lebih baik. Sementara itu, penggunaan dana pinjaman untuk membiayai pembangunan prasarana dan penyediaan pelayanan umum, biasanya diarahkan untuk membiayai prasarana publik yang relatif cenderung lebih mengedepankan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan revenue yang dihasilkan. Oleh karenanya, sumber pinjaman untuk pembiayaan jenis ini biasanya berasal dari negara-negara donor dengan tingkat bunga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bunga komersial. Dari pembahasan ini prinsip dasar yang harus dipegang ketika pemerintah daerah melakukan pinjaman adalah bahwa penggunaan dana pinjaman harus sesuai dengan karakteristik dari pinjaman itu sendiri. Pinjaman yang bersifat jangka pendek, tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan atau investasi jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch (ketidaktepatan) antara pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan penghasilan. Dengan kata lain, sesungguhnya batasan-batasan atau teknik-teknik pembiayaan yang berlaku dalam dunia korporasi juga berlaku bagi pemerintah daerah.
434
Bab 21: Pinjaman Daerah
METODE DAN SUMBER-SUMBER PINJAMAN Terdapat beberapa sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu: 1. Pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih atas (umumnya dari pemerintah pusat). 2. Pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB), Bank Pembangunan Amerika Latin (untuk negara-negara di kawasan Amerika Latin), Bank Asia Afrika dan bantuan bilateral, yang biasanya pinjaman ini diberikan kepada pemerintah pusat negara yang bersangkutan melalui mekanisme pinjaman two step loan atau subsidary loan aggreement.1 3. Pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing. 4. Obligasi jangka panjang (bond). 5. Pinjaman jangka pendek yang diberikan oleh bank-bank komersial. 6. Pinjaman hipotek atas aset tetap. 7. Pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, misalnya dana pensiun. 8. Dana untuk sewa beli peralatan (leasing). 9. Dana kontraktor untuk pembangunan proyek-proyek. Di antara sistem pinjaman tersebut di atas, ada tiga cara yang paling sering digunakan oleh pemerintah daerah di berbagai negara. Pertama, pemerintah pusat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah. Praktek ini diterapkan oleh India, dimana 71,6% pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat pada tahun 1979. Bahkan, di Indonesia, hampir 100% pinjaman jangka panjang pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat, karena ada larangan dari pemerintah pusat bagi pemerintah daerah untuk meminjam di luar skema pemerintah pusat. Pembahasan lebih lanjut untuk kasus di Indonesia ini akan dibahas secara khusus di subbagian berikutnya. Kedua, sumber dana yang berasal dari pasar keuangan. Misalnya, dengan mengeluarkan obligasi (bonds) di pasar modal. Ketiga, melalui bank-bank komersial, khusus untuk pinjaman jangka pendek untuk memenuhi cash flow pemerintah daerah.
PERSYARATAN-PERSYARATAN PINJAMAN 1
Mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan aggreement adalah pinjaman dari luar negeri ke Pemerintah Pusat, kemudian oleh Pemerintah Pusat, pinjaman tersebut diteruskan ke Pemerintah Daerah.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
435
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan. Jangka waktu pinjaman sangat tergantung dengan tujuan penggunaan pinjaman. Jangka waktu pinjaman pemerintah daerah bisa saja berkisar antara 24 jam (overnight) hingga 40 tahun. Untuk tujuan capital investment, maka pemerintah daerah harus mendapatkan pinjaman dengan jangka waktu yang setidaknya sama dengan umur proyek. Sebagai pilihan yang dapat dilakukan adalah jangka waktu pinjaman dapat diturunkan sesuai penerimaan dari pajak dan retribusi untuk mengimbangi beban pinjaman tersebut. Yang terpenting adalah bahwa jangka waktu pinjaman bergantung pada sikap pasar serta suku bunga yang berlaku. Biasanya, pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat atau lembaga keuanga internasional sering mencari turnover dana yang dipinjamkan secepat mungkin, misalnya pinjaman untuk masa 10 tahun, dengan maksud agar dapat meningkatkan kemampuan finansial pemerintah daerah. Persyaratan cara pembayaran kembali akan tergantung pada metode pembayaran yang dilakukan. Jika menggunakan metode anuitas berarti membayar beberapa kali angsuran dalam jumlah yang sama besarnya setiap kali pembayaran hingga masa pembayaran selesai. Komponen dalam setiap kali pembayaran tersebut adalah pokok pinjaman dan bunga pinjaman. Metode pembayaran yang lain adalah menggunakan metode sinking fund, dimana angsuran pinjaman dibayar secara tetap, sehingga hutang pokok yang dibayarkan adalah kumulatif selama masa pinjaman. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa bila cara sinking fund telah diterapkan dan untuk memenuhi kewajibannya disanggupi dengan baik, namun dalam prakteknya metode ini sering lebih merupakan usaha penyelematan terhadap utang kepada pihak luar (external debt). Persyaratan tingkat bunga pinjaman yang bersumber dari pasar keuangan pasti didasarkan pada bunga pasar. Pada umumnya, semakin lama suatu pinjaman, tingkat bunga pun akan semakin tinggi. Sementara itu, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional oleh suatu pemerintah biasanya memberlakukan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pasar. Namun, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional tersebut juga memberlakukan fee, berupa management fee dan commitment fee yang besarnya sangat tergantung dari negosiasi antara kedua belah pihak. Di Indonesia, misalnya, management fee dan commitment fee sekitar 0,25% dari pinjaman yang belum ditarik.
436
Bab 21: Pinjaman Daerah
Persyaratan keamanan pinjaman muncul karena pihak pemberi pinjaman biasanya menghendaki suatu keadaan aman terhadap kegagalan pembayaran kembali. Makanya, dalam berbagai klausul pinjaman oleh pemerintah daerah, tidak jarang pemberi pinjaman meminta adanya jaminan dari pemerintah pusat atau dijamin dengan aset tertentu. Persyaratan persetujuan muncul karena suatu pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah, biasanya tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan dari lembaga yang berwenang, misalnya lembaga perwakilan daerah. Dalam konteks di Indonesia, pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah baru dapat dijalankan jika DPRD setempat memberikan persetujuan.
PENGGUNAAN PINJAMAN DALAM PEMBIAYAAN Kebutuhan akan pinjaman daerah muncul akibat kecenderungan yang terjadi dimana peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, misalnya proyekproyek infrastruktur, semakin besar. Hal ini dilandasi dengan perkembangan tingkat urbanisasi yang lebih tinggi daripada kemampuan daerah menyediakan berbagai infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik. Kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk menentukan prioritas investasi daerah dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan daerah. Keterbatasan keuangan pemerintah pusat yang berimplikasi pada dana perimbangan pusat dan daerah. Keterbatasan pemerintah daerah dalam memobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari daerahnya sendiri menjadi alasan penggunaan pinjaman dalam pembiayaan suatu daerah. Dari sisi teori fiskal, pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu pada prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations). Proyek-proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi dan sosial selayaknya didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Masyarakat yang menerima manfaat proyek di masa mendatang secara prinsip harus ikut menanggung beban biaya pengadaan proyek tersebut, sedangkan pinjaman daerah yang berasal dari sumber non-pemerintah (private debt sources) akan meningkatkan efisiensi penggunaannya, karena pemerintah daerah harus memperhitungkan secara tepat nilai opportunity cost of capital yang sesungguhnya dan memprioritaskan proyek-proyek yang akan dilaksanakannya sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan ekonomi (Alisjahbana, 2001). Prasyarat utama bagi diperbolehkannya daerah meminjam adalah dengan menerapkan “the golden rule guidelines” bagi pinjaman daerah (Magrassi, 2000):
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
437
“ ...... local government should only use sub-national debt to finance capital projects that are anticipated to produce financial rate of returns that, vis-a-vis the project socioeconomic benefits, justify the debt service paid to lenders”. Untuk menghindari risiko yang dapat terjadi atas penggunaan pinjaman daerah dalam pembiayaan hendaknya memperhatikan kaidah yang berlaku dalam memperkirakan kapasitas meminjam pemerintah daerah. Dua ukuran yang sering digunakan untuk itu adalah Debt Service Ratio (DSR) dan Debt Coverage Ratio (DCR). DSR merupakan ambang batas kemampuan pelunasan daerah yang pada prinsipnya digunakan Pemerintah Daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. Sedangkan DCR pada prinsipnya merupakan angka perbandingan antara perkiraan kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan neto) dengan total rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya. Istilah disisihkan dimaksudkan untuk mempertegas adanya rencana untuk membiayai proyek melalui dana pinjaman daerah, dan terutama tersedianya dana untuk pengembalian pinjaman secara aman.
PRAKTEK PINJAMAN DAERAH DI INDONESIA Ketentuan Dasar Pinjaman Daerah di Indonesia Undang-undang No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari; (a) sumber dalam negeri (b) sumber luar negeri. Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri harus melalui pemerintah pusat, perlunya persetujuan pemerintah pusat harus ada evaluasi yang menyeluruh tentang aspek-aspek dapat tidaknya usulan pinjaman untuk diproses lebih lanjut. Sedangkan untuk pinjaman dari dalam negeri dapat secara langsung dilakukan bila disetujui oleh DPRD dengan prinsip pinjaman tersebut harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan daerah untuk membayar pinjamannya. Undang-undang No 25 Tahun 1999 Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa: "Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya". Pinjaman dari dalam negeri dapat bersumber dari (PP 107/2000 pasal 2 ayat 2); § Pemerintahan Pusat § Lembaga Keuangan Bank § Lembaga Keuangan Bukan Bank § Masyarakat § Sumber Lainnya Pinjaman daerah menurut PP No 107 Tahun 2000 adalah: semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai
438
Bab 21: Pinjaman Daerah
uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Dalam hal ini, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.
Pinjaman pada dasarnya dapat digunakan untuk pembiayaan defisit aliran kas jangka pendek; pembiayaan defisit anggaran rutin tahunan; pembelian peralatan dan kendaraan yang memiliki umur ekonomis jangka menengah; pembiayaan investasi yang diharapkan dapat secara langsung menghasilkan pendapatan, dan pembiayaan investasi jangka panjang yang tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Walaupun demikian, pinjaman harus didefinisikan sebagai sumber dana pelengkap untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Pinjaman harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan mengangsur serta cara mengalokasikan pada pembangunan dan atau penyediaan layanan publik yang produktif. Pinjaman daerah sebaiknya bersifat jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat (Wiratmo, 2001). Berdasarkan penggunaan dan melihat jangka waktunya maka; a. Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran arus kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang. b. Pinjaman jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
Beberapa Isu yang Terkait dengan Regulasi Pinjaman Daerah Pada tahun 1999, Pemerintah RI memberlakukan dua undang-undang penting yang berkaitan dengan desentralisasi, yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan keuangan. Salah satu hal penting yang membedakan derajat desentralisasi fiskal antara sebelum dan sesudah keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 adalah diperkenankannya daerah melakukan pinjaman sendiri secara langsung, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, yang artinya
439
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
pemerintah pusat tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Kondisi ini sangat berbeda dengan ketentuan mengenai pinjaman daerah sebelum UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 (lihat Tabel 21.1 ). Namun, pada kenyataannya lembaga lender multilateral (ADB, World Bank, dan lain-lain) mensyaratkan perjanjian pinjaman dilakukan oleh negara sebagai anggota, yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Hal yang sama juga berlaku untuk pinjaman bilateral, dimana negara lender hanya melakukan pinjaman dengan pemerintah pusat sebagai peminjam (Pakpahan, 2004). Pasal 11 UU No. 25/1999 menyebutkan bahwa: (1) Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. (2) Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui pemerintah pusat. (3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. (4) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah. Tabel 21.1: Pinjaman Daerah Sebelum dan Setelah Kebijakan Desentralisasi SEBELUM DESENTRALISASI
SETELAH DESENTRALISASI
Legal Foundation UU No. 5/1974
UU No. 25/1999 PP 107/2000
Institutional Setting Persetujuan (Approval) Persetujuan (Approval) Menteri Keuangan • Menteri Dalam Negeri, berkenaan • dengan persetujuan batas • DPRD maksimum pinjaman dan persetujuan pemberian. • Menteri Keuangan, sebagai pengawas RPD dan
440
Bab 21: Pinjaman Daerah
persetujuannya Batasan Pinjaman (Persyaratan) • 1982: Debt Service Coverage Ratio (DSCR) < 15% • Kepmendagri Nomor 96 Tahun 1994: § Minimum DSCR = 1 § Average DSCR > 1,5
Batasan Pinjaman (Persyaratan) • Jumlah kumulatif pokok pinjaman yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. • DSCR minimal 2,5 berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu pinjaman. • Jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 jumlah belanja APBD tahun anggaran berjalan.
Sumber-Sumber Pinjaman • Pinjaman Luar Negeri Pemerintah • Pusat • Pinjaman Pemerintah Pusat melalui RDI • INPRES untuk Pembangunan Pasar • • IPEDA • Sumber-sumber Lain (BPD dan sektor swasta) • Pemerintah Pusat melalui RPD
Sumber Dalam Negeri: § Pemerintah Pusat § Perbankan § Lembaga keuangan non-bank § Sumber-sumber lain Sumber Luar Negeri § Bilateral § Multilateral
Sumber: Alm & Mulyani, 2000 Lebih jauh, dalam rangka mengimplementasikan Pasal 11 UU No. 25/1999, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi/peraturan, yaitu PP 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Beberapa komponen kunci tentang pinjaman daerah yang ditetapkan oleh UU No. 25/1999 dan PP 107/2000 adalah sebagai berikut: Sumber Pinjaman
Institusi tempat Meminjam
Indonesia/Dalam Negeri
•
Pemerintah Pusat
441
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
• • • • • •
Luar Negeri
Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat Sumber Lainnya Bilateral Multilateral
Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 2 PP 107/2000
Jenis/Tipe Pinjaman
Penggunaannya
Jangka Panjang (Long • Term)
Hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
(Short •
Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.
Jangka Term)
Pendek
Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 4 & 5 PP 107/2000
Persyaratan
Keterangan
Jangka Panjang (Long • Term)
•
Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio
442
Bab 21: Pinjaman Daerah
(DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah). Jangka Term)
Pendek
(Short •
Jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 (satu per enam) dari jumlah belanja APBD tahun anggaran yang berjalan.
Sumber: Pasal 6 & 7 PP 107/2000
Prosedur Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat • Untuk memperoleh pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat, daerah mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk dilakukan evaluasi. • Perjanjian pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan kepala daerah. Sumber: Pasal 12 PP 107/2000
Prosedur Pinjaman Daerah dari Luar Negeri • Pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah pusat. • Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada pemerintah pusat disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan. • Pemerintah pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk dapat tidaknya menyetujui usulan tersebut. • Apabila pemerintah pusat telah memberikan persetujuan, pemerintah daerah mengadakan perundingan dengan calon pemberi pinjaman yang hasilnya dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah pusat. • Daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri,
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
443
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. • Perjanjian pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri ditandatangani oleh kepala daerah dengan pemberi pinjaman luar negeri. Sumber: Pasal 13 PP 107/2000
Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah • Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah yang jatuh tempo atas Pinjaman Daerah merupakan prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran APBD. • Pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri oleh Daerah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman luar negeri. • Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) kepada Daerah. • Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut diselesaikan sesuai perjanjian pinjaman. Sumber: Pasal 14 PP 107/2000
Larangan Penjaminan • Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan terhadap pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan Daerah. • Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman Daerah. Sumber: Pasal 10 PP 107/2000
444
Bab 21: Pinjaman Daerah
RANGKUMAN § Pinjaman daerah dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1) menutup kebutuhan dana jangka pendek, (2) membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya rutin dan beban hutang, (3) membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah, (4) membiayai investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah, dan (5) membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana atau penyediaan pelayanan umum). § Prinsip pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman adalah bahwa penggunaan dana pinjaman harus sesuai dengan karakteristiknya. Pinjaman jangka panjang tidak boleh untuk membiayai kegiatan/investasi jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch (ketidaktepatan) antara pembayaran yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan pengahasilan. § Sumber-sumber pinjaman yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu: (1) pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih atas, (2) pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, (3) pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing, (4) obligasi jangka panjang (bond), (5) pinjaman jangka pendek yang diberikan oleh bankbank komersial, (6) pinjaman hipotek atas aset tetap, (7) pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, (8) dana untuk sewa peralatan (leasing), (9) dana kontraktor untuk pembangunan proyek-proyek. § Persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman adalah : (a) jangka waktu pinjaman, (b) cara pembayaran kembali, (c) tingkat bunga, (d) keamanan pinjaman dan (e) persetujuan dan penyidikan. § Kebutuhan pinjaman daerah muncul karena alasan sebagai berikut: (1) peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, (2) tingkat urbanisasi yang lebih tinggi, (3) kewenangan daerah untuk menentukan prioritas investasi daerah, (4) keterbatasan keuangan pemerintah pusat, dan (5) keterbatasan pemerintah daerah dalam memobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah. § Pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu pada prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations). Proyekproyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi dan sosial didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Pinjaman daerah dari sumber non-pemerintah (private debt sources) akan meningkatkan efisiensi penggunaannya, karena pemerintah daerah harus memperhitungkan opportunity cost of capital yang sesungguhnya dan memprioritaskan proyek sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan ekonomi.
Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi
445
§ Digunakan dua ukuran untuk memperkirakan kapasitas meminjam pemerintah daerah agar terhindar dari resiko, yaitu: (1) DSR (Debt Service Ratio), merupakan ambang batas kemampuan pelunasan daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. (2) DCR (Debt Coverage Ratio), merupakan angka perbandingan antara perkiraan kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan netto) dengan total rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya. § Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 1999, daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari: (a) dalam negeri, secara langsung bila disetujui oleh DPRD, (b) luar negeri, melalui pemerintah pusat. § Pinjaman daerah menurut PP No. 107 Tahun 2000, yaitu semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Termasuk kredit jangka pendek yang lazim dalam perdagangan. § Berdasarkan penggunaan dan melihat jangka waktunya, maka: (a) pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang, (b) pinjaman jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali serta bermanfaat bagi pelayanan masyarakat. § Dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah banyak perubahan yang terjadi terkait dengan hubungan antara pusat dan daerah. Salah satunya, diperkenankannya daerah melakukan pinjaman sendiri secara langsung, artinya pemerintah pusat tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Namun, pada kenyataannya lembaga lender multilateral (ADB, World Bank, dll) mensyaratkan perjanjian pinjaman dilakukan oleh pemerintah pusat.
LATIHAN 1. Sebutkan persyaratan yang harus dipenuhi didalam ketentuan pinjaman ! 2. Jelaskan cara pembayaran kembali dengan : a. metode anuitas, b. metode singking fund.
446
Bab 21: Pinjaman Daerah
3. Jelaskan mengenai Debt Service Fund (DSR) dan Debt Coverage Ratio (DCR)! 4. Apa perbedaan manfaaat dari pinjaman jangka pendek dan pinjaman jangka panjang ? 5. Apa yang membedakan derajat desentralisasi fiskal antara sebelum dan sesudah keluarnya UU no. 22 tahun 1999 dan UU no. 28 tahun 1999 ? 6. Darimana saja pinjaman dalam negeri dapat diperoleh (PP 107/2000 pasal 2 ayat 2) ? 7. Jelaskan tujuan pemerintah daerah melakukan pinjaman menurut Davey (1983) ? 8. Apa manfaat dari cara pinjam sewa (leasing) ? 9. Bagaimana cara menghindari mismatch (ketidaktepatan) antara pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan penghasilan ? 10. Sebutkan sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah ! 11. Apa yang dimaksud dengan mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan agreement ? 12. Mengapa persyaratan persetujuan diperlukan dalam persyaratan pinjaman daerah? 13. Jelaskan yang dimaksud dengan prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations) dari pendapat yang mendukung pinjaman daerah ! 14. Bagaimana prosedur pinjaman daerah dari pemerintah pusat ? 15. Apa definisi dari pinjaman daerah menurut PP no 107 tahun 2000 ? 16. Jelaskan batasan pinjaman (persyaratan) dari pinjaman daerah setelah kebijakan desentralisasi ! 17. Jelaskan mengenai larangan penjaminan dalam pinjaman daerah ? 18. Bagaimana prosedur pinjaman daerah dari luar negeri ?
Daftar Pustaka Alisjahbana, Armida S. 2001. “Tinjauan Permasalahan serta Prakondisi yang Diperlukan Bagi Pengembangan Penggunaan Pinjaman Daerah di Indonesia”. Makalah pada sidang ISEI, Batam, Indonesia, 14 April. Aronson, J. Richard. 1985. Public Finance, McGraw Hill, Inc. Arsjad, Nurjaman, dkk. 1992. Keuangan Negara. Intermedia, Jakarta. Bennet, Robert J., editor. 1990. Decentralisation, Local Governments and Markets. Oxford: Clarendon Press. Bird, Richard M dan Chen, Duanjie. 1996. “Federal Finance and Fiscal Federalism: The Two Worlds of Canadian Public Finance”. Discussion Paper No. 6, International Centre for Tax Studies. University of Toronto (July). Bird, Richard M. 1994b. “A Comparative Perspective on Federal Finance” dalam K.G. Banting, D.M. Brown, dan T.J. Courchence, editor. The Future of Fiscal Federalism. Kingston, Ont.: Queen’s University School of Public Policy. Bird, Richard M. dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press. Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James. 1981. “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation: A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter dan Winer, Stanley, L. Cambridge University Press. Brodjonegoro, Bambang dan Arlen T. Pakpahan. 2002. ”Evaluasi atas Alokasi DAU 2001 dan Permasalahannya” dalam Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Cnossen, Sijbren & Hans-Werner Sinn. 2003. Public Finance and Public Policy in the New Century, MIT Press, Cambridge, London. Davey, K.J. 1983. Financing Regional Government: International Practices and Their Relevance to the Third World. University of Birmingham: Institute of Local Government Studies. Due, John. F. 1968, Government Finance: Economics of the Public Sector, Richard D Irwin, Inc.
Feldstein, Martin, 1984, Debt and Taxes in The Theory of Public Finance, Working Paper, National Bureau of Economic Research, Massachusets, Cambridge, USA. Fullerton, Don dan Metcalf, Gilbert. 2002. Tax Incidence- Working Paper 8829. National Bereau of Economics Reserach. Cambridge (Maret). Hyman, David N. 2002. Public Finance, A Contemporary Application of Theory to Policy. Edisi Ketujuh. United States: South-Western, Thompson Learning. Kadjatmiko. 2004. “Transfer Antar Tingkat Pemerintahan (Intergovernmental Transfer)” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI. Klenow, Peter J., 2004, Externalities and Growth, Stanford University and NBER Andres Rodriguez-Clare, Inter-American Development Bank (IADB) (December). Laporan Akhir Pengembangan Obligasi Daerah di Indonesia. 2002. Studi yang dilakukan oleh Sustainable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) Project A Banking Industry Reform, yang merupakan kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta dengan United States Agency for International Development (USAID). LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI (1999), “Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia”, Jakarta. Magrassi, Marco. 2000. “Subnational Investment Needs and Financial Market Response”. Inter-American Development Bank. Mankiw, N. Gregory, 2001. Principle of Economics, Second Edition, Harcourt Colledge Publishers. Mills, J.S., 1921, Principle of Political Economy, London, Longmans. Mitchell, Daniel J. 2003. Nine Simple Guidelines for Pro-Growth Tax Policy. Capitalism Magazine. (15 April). Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. International Edition. United States: McGraw-Hill, Inc. Norregaard, John. 1995. “Intergovernmental Fiscal Relations” dalam P. Shome, editor. Tax Policy Handbook. Washington, DC: International Monetary Fund.
Pakpahan, Arlen T. 2004. “Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI. Razin, Assaf and Sadka, Efraim, 1991, International Fiscal Policy Coordination and Competition: An Exposition, Working Paper, National Bureau of Economic Research, Massachusets, Cambridge, USA. Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah”. Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah”. Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”. Rosen, Harvey S. 2002. Public Finance (Sixth Edition), McGraw Hill, New York. Sidik, Machfud, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sidik, Machfud. 2002. ”Implementasi UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Kebijakan Pemerintah Dalam Perimbangan Keuangan)”. Makalah yang disampaikan Seminar Nasional Rencana Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah Kerja sama Forum Rektor - Fraksi Utusan Daerah MPR-RI. Jakarta, 4 April. Sidik, Machfud. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Makalah yang disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002. Bandung. 10 April. Sidik, Machfud, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI. Simandjuntak, Robert A. 2002. ”Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara” Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Subiyantoro, Heru dan Singgih Riphat, editor, 2003. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Kompas, Jakarta. Suparmoko, M, Drs., M.A., Ph.D. 1996. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek (Edisi 4), BPFE, Yogyakarta. Ulbrich, Holley. 2003. Public Finance in Theory and Practice. United States: South-Western, Thompson Learning. Ter-Minassian,Teresa. 1997. “Fiscal Federalism in Theory and Practice”, International Monetary Fund, Washington, DC. The International Budget Project. 2001. A Guide to Budget Work for NGOs, The Center on Budget and Policy Priorities, Washington DC (Desember). Wiratmo, Masykur. 2001. “Perencanaan Pembiayaan Daerah”. Makalah pada Worskhop Manajemen Strategik Penerimaan Daerah dan Keuangan Daerah, Malang, Indonesia, 26-27 September. World Bank. 1996a. “Vietnam: Fiscal Decentralization and the Delivery of Rural Services”. Report No. 15745-VN. Washington, DC (Oktober).