Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............... ....................... ....... ...... . ..................... ...... .............i
Daftar Isi............................................................................................................ii
I.
Pendahuluan..............................................................................................1
II. Landasan Teori . ...................................................... ... ............... ... ............
III. Permasalahan dan Pembahasan . ............................................................... a.
Permasalahan
b.
Pembahasan 1. Hukum dalam Hubungan Industrial ........... ............... ... ... ... ... 2. Posisi Dilematis Hukum Perburuhan di Era Globalisasi ............. 3. Peran Politis Strategis Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Era Globalisasi .......................................................................
IV. Kesimpulan…………………………………………………………………
Daftar Pustaka ............................................................................................
i Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
PERAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
I. PENDAHULUAN Globalisasi pada dasarnya telah dimulai sejak munculnya perdagangan internasional pada abad ke 191. Globalisasi tidak sepenuhnya diterima semua pihak sebagai suatu realitas yang memang tidak mungkin dihindari, namun juga ada yang mencemaskan dampaknya sehingga menganggapnya sebagai suatu keadaan yang harus dicegah. Kecemasan ini antara lain timbul karena pengalaman yang dialami misalnya oleh negara Kanada, pada saat perdagangan bebas NAFTA diterapkan, terjadi peningkatan pengangguran yang tinggi. Akibatnya pengangguran dan gelandangan meningkat jumlahnya, padahal dahulu Kanada termasuk negara yang "bebas " pengangguran dan gelandangan. Hal ini terjadi karena banyak pengusaha melakukan relokasi usaha ke Amerika Serikat karena upah buruh lebih murah. Kecemasan terhadap globalisasi ini kemudian menimbulkan penganut anti globalisasi. Dalam tingkat organisasi dunia yang membahas perdagangan internasional seperti WTO isu perburuhan juga menjadi topik yang masih diperdebatkan. Perdebatan terutama mengenai standard perburuhan internasional (core labour standard). Ada kelompok yang tidak menyetejui dibahas dan diaturnya masalah perburuhan dalam WTO (kelompok oponen) didasarkan pada alasan bahwa dengan dikaitkannya perdagangan dan standard perburuhan dalam WTO hanya akan meningkatkan perlindungan buat negara-negara maju. WTO sebaiknya hanya membahas masalah perdagangan, sedangkan standard
1
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan
Hukum dan Pembangunan Hukum di Indonesia, Pidato Pada Dies Natalis USU ke44, November 2001, h. 2-3: Surat Kabar Bintang Barat tahun 1885 memberitakan kedatangan kapal-kapal yang mengangkut barang dagangan dari Inggris dan Belanda ke Betawi, selain itu terjadinya perdagangan rempah-rempah, tanam paksa di Jawa, sampai perkebunan di Deli pada masa Hindia Belanda merupakan indikator telah terjadinya globalisasi ekonomi
1 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
perburuhan diserahkan pada ILO2. Kelompok yang menyetujui dibahasnya standard perburuhan dalam WTO (kelompok proponen) didasarkan pada alasan bahwa WTO memiliki mekanisme dan efektifitas penyelesaian sengketa yang lebih baik dibanding dalam konvensi-konvensi ILO3. Fenomena di atas menggambarkan bahwa globalisasi berpengaruh terhadap bidang perburuhan sehingga menjadi salah satu topik yang dibahas secara internasional karena di dalamnya menyangkut kelancaran ekspansi ekonomi-perdagangan antar negara. Hal ini mengharuskan kita menata kembali bidang perburuhan guna menghadapi globalisasi. Kondisi perburuhan Indonesia saat ini dinilai belum kondusif untuk mendukung iklim usaha. Belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai salah satu contohnya. UU No. 25 Tahun 1997 yang seyogyanya akan menggantikan 6 ordonasi dan 5 UU di bidang perburuhan mendapatkan tantangan dari buruh, hingga akhirnya UU ini tidak pernah berlaku sama sekali walau sudah diundangkan dalam LN No. 73/19974. Hal yang hampir sama kembali terjadi pada 25 Pebruari 2003 yang lalu, di mana buruh melakukan aksi penolakan terhadap pengesahan RUU Ketenagakerjaaan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna. Dalam aksi tersebut 2
Kelompok oponen ini antara lain Inggris, Organisasi Majikan Internasional, India, Pakistan, Indonesia, dan
beberapa NGO developmentalisme(Third World Network). Namun demikian, alasan mereka dimotivasi oleh kepentingan berbeda. Para pengusaha tidak memasukkan standar perburuhan dalam WTO karena tidak menginginkan buruh mendapat keuntungan dari penerapan WTO termasuk masalah investasi dan kompetisi. Baca dalam Hemasari,Perdebatan tentang Isu Perburuhan dalam WTO : Dilema Perjuangan Buruh Dunia, Makalah dalam Semiloka Tentang Sosialisasi tentang WTO, diselenggarakan oleh INFID dan KPA,Bandung1819November1999,h.4 3
Kelompok proponen ini antara lain Amerika Serikat, Perancis, Skandinavia, serikat buruh internasional ICFTU
(Internasional Confederation Free Trade Union). Argumnetasi mereka bahawa dengan dibahasnya standard perburuhan maka negara yang dihasilkan dengan cara eksploitasi terhadap buruh-buruhnya. Sedangakan serikat buruh berpendapat dengan dimasukkannya isu perburuhan dalam WTO memperlihatakan keberpihakan pada buruh, dengan menerapakan langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dasar buruh. Ibid 4Alasan penolakan buruh karena dua hal, yaitu materi UU yang tidak berpihak pada kepentingan buruh, yang kedua karena prosedur pembuatan UU ini tidak aspiratif dan menggunakan cara-cara di luar prosedur hukum yaitu penyelewengan dana Jamsostek untuk menggolkan RUU tersebut di DPR.
2 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
menimbulkan korban luka-luka di pihak buruh karena bentrok dengan aparat kepolisian5. Dari sudut pandang politik hukum, keadaan ini jelas menjadi pertanyaan besar. Usaha untuk memperbaharui hukum yang sebagian besar dihasilkan sejak zaman kolonial (berupa ordonansi) sudah sepatutnya dilakukan supaya tidak tertinggal dengan perkembangan zaman. Tetapi nampaknya usaha pembaharuan hukum peburuhan selalu tersandung dengan penolakan buruh dengan nada penolakan yang hampir sama yaitu peraturan yang baru tidak berpihak pada kepentingan buruh! sehingga dinilai pembentukannya tidak menyertakan aspirasi buruh. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pembangunan ekonomi dalam haluan negara dengan salah satunya menekankan pada bidang perburuhan yaitu dengan mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian tenaga kerja, peningkatan pengupahan, penjaminan kesejahteraan, perlindungan kerja dan kebebasan berserikat. Sedangkan untuk pembangunan ekonomi itu sendiri ditetapkan upaya untuk mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi6. Dengan demikian secara politis kebebasan berserikat diakui penting dalam rangka menata ekonomi yang berorientasi global, sedangkan legitimasi terhadap kebebasan berserikat telah mendapatkan bentuknya denga disahkannya UU No. 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (selanjutnya akan disingkat SP/SB). Hal ini membawa perubahan besar dalam system organisasi perburuhan dari bentuk single-union menjadi multy-union. Pemerintah yang ada pada masa Orde Baru meninggalkan organisasi buruh 5
Harian Umum Waspada, 26 Februari 2003 memberitakan 5 orang buruh luka-luka dan 3 orang lagi
tidak diketahui keberadaannya. Penolakan buruh didasarkan pada alasan yang hampir sama seperti terhadap UU No 25 / 1997 yaitu materi yang tidak berpihak pada buruh, bahkan dinilai hanya sebagai produk elitis, karena aspirasi buruh hanya diwakili oleh beberapa serikat buruh saja. 6
GBHN 1999-2004 Tap MPR No. IV/MPR/1999, Sinar Grafika. Jakarta.1999. h. 17 dan 20.
3 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
lainnya dengan dikeluarkannya UU No.21/2000 maka kini banyak berdiri SP/SB. Pada tingkat internasional kebebasan berpendapat dan berorganisasi dijamin dalam Konvesi ILO No. 87 Tahun 1948 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, juga Konvesi ILO No. 83/ 1998 dan UU No. 18 Tahun 1956. Tugas berikutnya adalah memposisikan peran SP/SB ini agar menunjang pembangunan bidang hukum perburuhan khususnya.
II. LANDASAN TEORI Penting untuk disimak pendapat dari Aloysius Uwiyono7 yang menegaskan bahwa:
Dalam era globahsasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi semakin besar. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan dimana peranan serikat pekerja dan pengusaha akan sangat berpengaruh dalam menetapkan syarat-syarat kerja atau peraturan perburuhan yang diatur dalam perjanjian Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Kondisi di atas ternyata mendapatkan ganjalan dari sudut sistem hukum yang berlaku di Indonesia, dimana Indonesia menerapkan sistem hukum sipil (Civil Law). Karakteristik dari sistem hukum sipil ini adalah besarnya peran pemerintah sebagai legulator dibandingkan pihak swasta, oleh karenanya pembuatan hukum biasanya lebih bersifat top down, sehingga aspirasi dari bawah (masyarakat hukum pada umumnya) kurang diperhatikan. Keadaan ini ditambah lagi dengan dianutnya prinsip negara kesejahteraan (welfare state), dimana tujuan dari negara kesejahteraan adalah untuk kesejahteraan umum. Untuk tujuan tersebut pemerintah selanjutnya dilengkapi dengan freis ermessen yaitu kebebasan bertindak atas inisiatifnya 7
Aloysius Uwiyono, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA, Jurnal Hukum Bisnis.
Vo1.22. Jan-Feb 2003. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta, h. 41
4 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
sendiri dan atas kebijakannya sendiri, hukum dan peraturan perundang-undangan tidak mengikat secara mutlak8. Jika pemerintah berlindung di balik sistem hukum yang berlaku dalam menetapkan berlakunya suatu peraturan, dengan mengesampingkan peran swasta, maka di era globalisasi nampaknya ini tidak sesuai lagi. Dari sudut pandang ilmu perbandingan hukum (Comparative Legal System) diketahui bahwa saat ini terdapat kecenderungan dimana dua sistem hukum yang dikenal di dunia yaitu Common Law dan Civil Law kini semakin memiliki kedekatan (coverage) dalam berbagai segi. John Henry Marryman (1978) menyatakan sistem hukum sebagaimana layaknya suatu masyarakat selalu mengalami perubahan dan memperlihatkan kecenderungan semakin mirip satu dengan lainnya. Kecenderungan mana didistilahkan sebagai Natural Coverage. Lebih lengkap mengungkapkan9: "the nation here is that as societies become more like each other their legal system will tend to become more alike". Dalam menghadapi globahsasi kiranya tidak tepat lagi jika pemerintah tidak mau apabila perannya digeser dalam hal menentukan peraturan perundangan-undangan dan menerima peranan swasta. Selain itu memperdebatkan sistem ekonomi barat dan ekonomi timur, tidaklah relevan lagi sebab secara gradual telah terjadi satu dunia yang elemennya bersatu padu.10 Dengan berlandaskan teori di atas akan dicoba untuk melihat peran strategis yang dimiliki SP/SB dalam rangka turut serta dalam upaya memperbaharui hukum perburuhan khususnya di era globalisasi.
8 Soehino, Masa Depan Hukum dan Demokrasi Indonesia Menggagas Paradigma Hukum yang Berdaulat, dalam Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, M. AS Hikam dkk, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h.40. 9
Perbandingan Sistem Civil Law dan Common Law, dikumpulkan oleh Erman Rajagukguk, Bahan
Kuliah, PPS USU Medan, 2002, h.21 10
Todung Mulya Lubis, Beberapa persepsi Non Barat Mengenai Hak Asasi Manusia, dalam Hukum
Kenegaraan Republik Indonesia Teori, Tatanan dan Terapan, untuk Memperingati Kelahiran Almarhum Prof, Djokasoetono, S.H, peny. Selo Soemardjan, YHS dan PT. Gramedia, Jakarta, h.102.
5 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
III.
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
a. Permasalahan Guna membatasi pembahasan dan membentuk alur pikir yang jelas berikut ini akan dikemukakan beberapa permasalahan sesuai dengan judul yaitu: 1. Bagaimana peran serikat buruh khususnya dalam hal regulasi bidang perburuhan untuk menghadapi era globalisasi? 2. Dalam era globalisasi apakah pengaruh pembuatan peraturan perundang-undangan yang aspiratif-pastisipatoris, terutama bagi buruh?
b. Pembahasan 1. Hukum dalam Hubungan Industrial Dalam sistem hubungan industrial ada dua jenis hukum yang mengatur yaitu: 1. Hukum herenom, yaitu hukum yang dihasilkan oleh legislator (DPR dan Presiden) maupun yang dibuat oleh pimpinan administrasi yang berwenang (antara lain presiden, menteri tenaga kerja, organ lainnya sampai tingkat daerah). 2. Hukum otonom, merupakan kaedah-kaedah hukum yang dihasilkan / diciptakan sendiri antara buruh dan majikan, antara lain berbentuk perjanjian kerja, peraturan dan perjanjian perbaharuan (KKB). Mencermati kondisi perburuhan belakangan ini dimana terjadi penolakan massal terhadap pengesahan RUU Ketenagarakerjaan pada 23 Pebruari 200311, patut disayangkan, apalagi Indonesia sedang dalam usaha mengembalikan citra baik sebagai negara yang potensial bagi penanaman modal dalam rangka globalisasi ekonomi dan perdagangan. Penolakan terhadap RUU Ketenagakerjaan dengan mempermasalahkan materi UU yang masih belum mengakomodir kepentingan buruh, mendatangkan pertanyaan apakah dalam
11
yang kemudian menjadi UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakeriaan.
6 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
pembentukan UU tersebut aspirasi buruh yang diwakili oleh SP/SB tidak sampai pada pembuat keputusan (decition maker) ataukah gerakan buruh melalui SP/SB yang tidak proaktif terhadap perkembangan perburuhan yang ada?. Jika di tahun 1998 dimana belum ada banyak SP/SB yang terbentuk juga terjadi penolakan terhadap UU Ketenagakerjaan No. 25/ 1997 karena dianggap belum memihak pada buruh baik dari segi materinya dan juga dari segi pembentukannya (terjadi penyelewengan dana Jamsostek), lalu apa bedanya dengan kondisi sekarang dimana menjamurnya SP/SB dari tingkat nasional sampai daerah, tetapi terjadi hal yang sama. Jika kita telusuri kembali sejarah perkembangan hukum di Indonesia, kita menganut asas konkordinasi (persamaan). Sistem Civil Law yang dianut menempatkan pemerintah dalam posisi kuat sebagai regulator dibandingkan swasta. Dampak sistem hukum sipil di bidang hukum ketenagakerjaan adalah bahwa pemerintah memiliki kekuasaan yang signifikan untuk secara aktif membuat peraturan bidang ketenagakerjaan. Akibat peran SP/ SB menjadi lemah, tak terkecuali juga pengusaha, bedanya pengusaha kuat secara finansial sehingga memiliki kekuatan untuk menekankan kepentingannya terhadap pemerintah. Hal ini menjadi kontradiktif dengan suasana globalisasi perdagangan, sebab hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah tidak terlalu besar. Ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan. Dalam lingkup mikro, pembuatan KKB diharapkan tidak terlalu dicampuri oleh pemerintah. Padahal pada satu sisi pemerintah mempunyai fungsi perlindungan terhadap buruh, sedangkan pada sisi lain pengusaha (asing) melihat besarnya proteksi terhadap buruh dalam negosiasi tidak seimbang. Dalam negara hukum modern selain aspek yuridis, dalam pembuatan peraturan perundang-undangan juga harus diperhatikan aspek filosofos dan aspek politis. Ketiga aspek ini menjadi acuan penting agar suatu peraturan tidak hanya memiliki daya laku secara hukum (yuridische gelding) namun juga memiliki daya laku yang nyata di masyarakat (siciologische gelding).
7 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
Memperhatikan aspirasi buruh berarti membuat UU dengan cara dogmatis-filosofis12. Dengan terakomodikasinya aspirasi buruh maka UU akan memiliki kandungan nilai-nilai yang khas dalam bidang perburuhan. Nilai-nilai khas mana yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memang menjalani hubungan perburuhan, yaitu kaum buruh itu sendiri. Indonesia dengan sistem hukum sipilnya memang cenderung menggunakan metode 'top down' melalui metode deduksi dalam pembuatan perundang-undangan. Beda dengan sistem Anglosaxon dimana pembentukan hukum terjadi melalui pengadilan dalam penyelesaian kasus-kasus, sehingga di sini hakim sangat berperan dalam pembentukan hukum. Sedangkan dalam sistem hukum sipil hakim adalah corong undang-undang yang menerapkan hukum, bukan membentuk hukum. Dalam pembentukan hukum yang berperan adalah lembaga legislatif, dengan demikian pemerintah termasuk pihak yang sangat berperan. Secara konstitusional dalam pembentukan hukum termasuk hukum perburuhan / ketenagakerjaan dilakukan oleh lembaga legislatif yaitu DPR. Pasal 20 dan 21 UUD Hasil Amandemen menentukan bahwa DPR yang berhak membentuk undang-undang. Selain DPR Presiden juga berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD Hasil Amandemen). Sebagai lembaga yang dipercaya membuat aturan hukum hendaknya kedua lembaga ini memahami akan masalah yang diaturnya dengan cara mendengar aspirasi kaum buruh. Hal ini berguna agar peraturan yang dihasilkan tidak hanya memiliki kekuatan yuridis saja tetapi juga secara politis mempengaruhi perilaku yang diaturnya sehingga keberlakuan secara yuridis
12
M. Solly Lubis menggunakan istilah dogmatis yang berarti suatu peraturan harus
benar-benar mengandung ius constituendum sebagai embrio aturan hukum yang biasa disebut aspirasi masyrakat untuk dijabarkan menjadi aturan hukum, dalam Makalah, Reformasi UU Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia, h.8.
8 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
didukung juga secara sosiologis. Sayangnya ini yang belum terlaksana, banyak peraturan terbentuk namun pada taraf implementasinya tidak efektif, sebagai contoh mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan. Hasil penelitian13 menunjukkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan hanya dilakukan terhadap perusahaan besar dan yang berada pada lokasi yang mudah dijangkau, sedangkan untuk perusahaan kecil yang berbentuk home industri serta yang sulit dijangkau pengawasan ketenagakerjaan tidak terlaksana, sehingga perlindungan buruh masih belum terlaksana secara komprehensif. Dalam rangka menghadapi globalisasi ekonomi dan perdagangan, dalam literatur bangsa Eropah dikenal adanya reformasi kapitalismel4. Bentuk reformasi ini menyangkut: Pertama, untuk meningkatkan upah dan kesejahteraan buruh harus dibuat mekanisme distribusi kesejahteraan baru melalui pajak. Kedua, perlu dibuat mekanisme politik baru dalam menyelesaikan masalah konflik majikan-buruh. Perlawanan buruh paling efektif melalui pemogokan, dilain pihak dengan mogok proses produksi terhenti dan mengakibatkan kerugian pada perusahaan untuk itu perlu dibuat pola penyelesaian konflik yang baru, yaitu secara preventif di Parlemen (produk yang dihasilkan berupa perundang-undangan). Implikasinya, selain peraturan menjadi lebih aspiratif juga buruh memiliki hak politik yang lebih besar, yaitu melalui organisasi serikat buruh sampai partai politik. Ketiga, untuk memenuhi tuntunan buruh maka kaum kapitalis (Eropah) harus memperbesar pasar dan menarik surplus di tempat lain yaitu melalui imperialisme. Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada dasarnya globalisasi adalah 'kerja' dari kaum kapitalis untuk tujuan kapitalisme mereka, yaitu sebesar-besarnya mendapatkan sumberdaya yang murah, pasar yang luas agar keuntungan sebesar mungkin, walaupun dengan cara persaingan bebas (liberal).
13
Agusmidah, Fungsi Pengawasan Pemerintah bagi Perlindungan Buruh Perempuan di Perusahaan (studi di Kabupaten Deli Serdang), Tesis, PPS USU, Medan, 2001. 14 Papang Hidayat, Menelusuri Pemahaman Teoritik Tentang Perubahan Masyarakat Rekontruksi Sosiologis atas Teori Perubahan Sosial, Jurnal HAM dan Demokrasi Diponegoro, Jakarta, YLBHI,1999, hlm. 50.
9 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
Namun demikian ada baiknya untuk menghadapi strategis kapitalis ini digunakan pula apa yang mereka lakukan khususnya poin kedua di atas dimana perlu dibuat mekanisme politik dalam upaya menyelesaikan konflik antara buruh dan majikan dengan memberdayakan SP/SB yang ada, maka untuk kondisi Indonesia dalam pembuatan UU Ketenagakerjaan dapat melalui mekanisme berikut:
Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
10
Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
Melibatkan buruh dalam pembuatan keputusan politik melalui SP/SB akan lebih efisien dan efektif mengingat dalam kenyataannya buruh cenderung memiliki solidaritas yang cukup kuat apalagi jika tergabung dan terkoordinir dalam organasasi. Selain melalui sarana pembuatan peraturan perundang-undangan melalui mekanisme diatas hingga diperoleh UU Ketenagakerjaan / Perburuhan yang aspiratif dan akomodatif baik untuk kepentingan buruh maupun pengusaha, maka yang tak kalah pentingnya adalah pembuatan perjanjian perburuhan. Dalam hal pembuatan hukum otonom yaitu berupa perjanjian perburuhan yang dikenal dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama)15, ada dua pihak yang terlibat yaitu serikat buruh dan pengusaha atau gabungan pengusaha. Kedudukan perjanjian perburuhan menurut Imam Soepomo16 sama kuatnya dengan UU. Pasal 1338 BW menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan sebagai suatu undang-undang bagi para pihak. Peran SP/SB dalam pembuatan KKB dengan demikian sangat penting dalam menciptakan hubungan industrial yang diharapkan. Selain itu perumusan KKB akan jauh lebih mudah sehingga lebih efisien dalam hal waktu dan kemungkinan berlakunya lebih efektif, karena dibuat oleh SP/SB yang benar-benar mewakili buruh. Dengan demikian dikaitkan dengan globalisasi perdagangan dimana hukum pasar bebas berlaku, fungsi KKB akan semakin penting. Namun demikian di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa sistem hukum yang dianut lebih bersifat 'top down' menempatkan 15
Dalam pembahasan tentang hukum otonom ini difokuskan pada KKB dengan alasan bahwa KKB merupakan induk dari pembuatan perjanjian kerja dan peraturan perusahaan. Ini berdasarkan pada penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 1954. 16 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Cet. XI, Jakarta, 1995, h.24.
11 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
pemerintah sebagai legislator yang berperan penting dalam menetukan hukum. Akibatnya pembuatan KKB tidak juga mampu menjawab tantangan globalisasi. Berbeda dengan negara Anglosaxon dengan sistem hukum Common Law perjanjian perburuhan (Collective Labour Agreement) dirumuskan secara mendalam dan rinci sekali. Kedudukan perjanjian perburuhan ini lebih dominan dibanding dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sistem Civil Law sebagaimana dianut Indonesia juga mengakui asas kebebasan berkontrak, namun dalam pelaksanaannya asas ini telah tereduksil7 karena: a. Perjanjian yang dibuat secara sukarela oleh para subjek hukum hanya sah jika perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah b. Kebebasan berkontrak hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang berada di bawah standar maksimum atau di atas standar manimum yang ditetapkan oleh pemerintah dalam berbagai peraturan perundang-undangan c. Berdasarkan alasan-alasan tertentu suatu perjanjian diancam dengan sanksi batal demi hukum. Kondisi ini menyebabkan kesulitan bagi SP/SB dalam merundingkan syarat-syarat kerja di atas batas minimum yang ditetapkan oleh pemerintah, sementara pengusaha bertahan pada batas minimum yang ditetapkan tersebut. Misalnya dalam menetapkan cuti tahunan selama 12 hari sesuai dengan ketentuan dalam UU No.1 Tahun 1951, SP/SB tidak akan mampu meminta agar cuti tahunan ditambah menjadi 14 hari, sedang pengusaha akan akan bertahan pada landasan yuridis bahwa 12 hari cuti tahunan adalah sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dalam hal perundingan bagi peningkatan
17
A. Wiyono, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22,
Jan-Feb 2003, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, h. 43.
12 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
upah kedudukan SP/SB juga lemah karena terdikte oleh sistem penentuan upah minimum oleh pemerintah, sehingga sistem pengupahan ini harus dikaji ulang. Berbicara tentang asas kebebasan berkontrak ini, sebenarnya dilatarbelakangi oleh pandangan indivual yang kuat dan mempengaruhi kebebasan individual, Prancis merupakan negara awal lahirnya liberalisme yang mengagungkan individualisme. Akan tetapi perkembangan kebebasan liberal ini kemudian menginginkan adanya campur tangan pemerintah antara lain untuk tujuan memberi perlindungan bagi pihak yang lemah. Pada hakekatnya dalam perburuhan terlibat dua pihak yang berbeda kedudukan dan status sosialnya yaitu buruh dan pengusaha. Suatu perjanjian yang dilaksanakan oleh pihak yang derajat dan kondisi sosial, ekonomi dan pendidikan yang tidak sama, maka akan sangat sulit menghasilkan perjanjian yang adil18. Dengan demikian suatu kebebasan harus dibatasi, yakni dalam lingkungan yang oleh pemerintah dianggap layak. Pihak buruh dianggap layak untuk dihndungi, karena posisi tawar yang lemah, agar tercapai keseimbangan guna menjamin kehidupan yang memenuhi syarat kemanusiaanl9.
2. Posisi Dilematis Hukum Perburuhan Menghadapi Era Globalisasi. Globalisasi dengan prinsip pasar bebas menjadi 'mantra' bagi banyak pemerintah dan pengusaha di belahan dunia. Dilaporkan sebanyak 600 negara sejak 1991 yang sebelumnya melaksanakan pembangunan ekonomi terencana (planed economic development) membuka pintu bagi perdagangan dari luar maupun investor asing20. Dalam Ekonomi pasar bebas antar negara berkembang saling bersaing untuk menarik investor sebagai primadona. Akibatnya pengusaha dengan mudah melakukan relokasi saat dinilai keadaan 18
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta Cet. IV, 1987,
19
Djumadi, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dalam Hubungan Industrial
h.57
Pancasila, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, h. 33. 20
Severyn T. Bruyi, A Civil Economy Transforming the Market in the Twenty First Century, dalam
A Uwiyono, Op Cit, h.45.
13 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
perokonomian, sosial dan politik di satu negara tidak kondusif untuk usahanya. Sebagai contoh perusahaan Sony merencanakan relokasi pabriknya dari Indonesia ke Malaysia pada Maret 2003. Di Prancis juga pernah terjadi relokasi perusahaan Hoover Eropa ke Scotlandia pada 25 Januari 1993. Salah satu faktor yang menjadi daya tarik investor asing menanamkan modalnya di negara berkembang adalah upah murah, pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang lunak, jaminan stabilitas kerja (tanpa sogok) dan sebagainya. Hal ini menjadi unggulan komparatif (comparative advantage) bagi negara berkembang termasuk Indonesia2l. Hal ini lebih jauh berdampak terhadap hukum perburuhan / ketenagakerjaan di Indonesia: Pertama, pasar bebas di suatu pihak menciptakan situasi dimana negara-negara berkembangan terpaksa menggunakan upah murah dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan yang lunak sebagai keunggulan komparatif untuk menarik investor. Kedua,
negara-negara
maju
yang
mempelopori
pasar
bebas
menekan
negara-negara berkembang untuk tidak menggunakan upah murah dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan yang lunak sebagai keunggulan komparatif, dengan mengupayakan agar negara-negara berkembang melaksanakan standar hukum ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh ILO atau mengupayakan disepakatinya pengkaitan standar ketenagakerjaan dengan perdagangan internasional. Ketiga, pasar bebas juga mengkehendaki agar pemerintah menjadi wasit yang adil bukan sebagai pemain langsung di bidang ekonomi termasuk di bidang ketenegakerjaan. Ketiga hal ini membuktikan dilematisnya pemerintah dalam upaya menegakkan hukum perburuhan di satu pihak dan menarik investor asing pada pihak lain.
21
Sebagaiman disinyalir oleh Asian-American Free Labour Institute (AAFLI) bahwa Indonesia selalu mengekspos upah rendah untuk menarik investor. Baca dalam Mimbar Umum 25 Februari 1997, Problema Sosial Buruh, Al-Zastrouw NG.
14 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
Pasca pemerintahan Soeharto upah murah dan pelaksanaan hukum perburuhan yang lunak tidak lagi digunakan sebagai keunggulan komparatif, salah satu penandanya adalah dengan diganfkannya sistem single union menjadi multi union system dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.
3. Peran Politis Strategis Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Era Globalisasi Pada dasarnya organisasi pekerja baik dalam bentuk SP / SB adalah untuk melaksanakan salah hak asasi manusia yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat dan berorganisasi, yang selanjutnya diharapkan terpenuhinya hak dasar buruh akan upah yang layak, tanpa diskriminasi dalam kerja dan jabatan, adanya jaminan sosial, adanya perlindungan dan pengawasan kerja yang baik, dan sebagainya22. Dalam UU No. 21 Tahun 2000 dijabarkan apa yang menjadi tujuan SP/ SB yaitu guna memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja / buruh dan keluarganya. Untuk tujuan ini ada beberapa fungsi SP/ SB yaitu: 1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan.
22
Bandingkan dengan A. Uwiyono, Serikat Pekerja dan Peningkatan Hak-hak Asasi Manusia dan Standart Ketenagakerjaan, Jurnal Studi Indonesia, Vol. 10 No. 1 Maret 2000. Bandingkan juga dengan Krzystof Drzewicki, Hak Bekerja dan Hak Dalam Pekerjaan, dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Buku 2, Editor: Ifdal Kasim dan Johannes da Masenus, ELSAM, 2000, hlm.176 yang menyatakan bahwa hak bekerja ada 4 kelompok, yaitu: 1. Hak yang terkait dengan pekerjaan 2. Hak yang diturunkan dari pekerja 3. Hak yang berkaitan dengan perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif 4. Hak-hak instrumental.
Hak kebebasan berpendapat, berkumpul, berorganisasi, hak atas tawar menawar kolektif, hak mogok dan kebebasan untuk migrasi pekerjaan termasuk dalam hak instrumental. Hak instrumental diartikan sebagai hak-hak yang menyediakan dasar bagi pelaksanaan dan pembentukan kerangka kerja yang menguntungkan, sehingga tanpa itu (hak instrumental) pelaksanaan hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan dapat terhambat.
15 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
2. Sebagai wakil pekerja / buruh dalam lembaga kerjasama di bidang ketenagakerjaan. 3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Sebagai saran penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. 5. Sebagai perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan pekerja/ buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
Peran serikat buruh dalam menyuarakan aspirasi dan partisipasi dalam pembangunan pada dasarnya termasuk dalam hak atas pembangunan. Partisipasi dalam pembangunan mengandung arti bahwa individu atau kelompok akan menikmati hash-hash pembangunan itu dengan hak berserikat yang terjamin. Secara konseptual melalui serikat buruh maka diharapkan: •:• Dapat berpartisipasi secara efektif dalam perumusan kebijaksanaan dan keputusan serta pelaksanaannya baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Sehingga aspirasi mereka benar-benar diperhatikan. •:• Merumuskan dan melakukan tugas ekonomi, sosial, politik dan budaya atas dasar pilihan sendiri berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan guna memperbaiki standard dan kualitas kehidupan mereka serta untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya. •:• Berpartisipasi dalam memantau dan meninjau kembali proses pembangunan.
Menghadapi era globalisasi peran SP/ SB hendaknya dimaksimalkan. Terutama mengenai hak untuk berunding bersama secara kolektif untuk
16 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
merundingkan syarat kerja dalam arti seluas-luasnya23. Makna seluas-luasnya ini arti meminta perhatian agar isi perjanjian perburuhan yang umumnya masih bersifat elementer yakni hanya berkisar pada masalah upah (dalam kepustakaan negara industri disebut 'bread and butter' ) agar semakin ditingkatkan pada hal-hal lain seperti hak untuk turut memiliki saham di perusahaan.
IV. KESIMPULAN Peran SP / SB dalam regulasi khususnya bidang ketenagakerjaan secara yuridis dan sosiologis. Mekanisme pembuatan peranturan perundang-undangan dalam era globalisasi diserahkan pada mekanisme pasar, sedangkan hal ini bukan ciri dalam hukum Indonesia. Jalan yang harus ditempuh pemerintah adalah melalui tindak preventif dengan mengusahakan agar terjadi dialog sosial antar organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha untuk nenghasilkan hukum ketenagakerjaan / perburuhan yang aspiratif. Ditengah maraknya isu globalisasi di segala bidang, perburuhan yang nerupakan bidang yang urgen dan menentukan perlu mendapat perhatian lebih, terutama jika menginginkan kondusifnya dunia perekonomian yang berimbas pada minat investor untuk menanamkan modal. Salah satunya dengan segera menciptakan aturan ketenagakerjaan yang aspiratif dengan sebanyak mungkin menyaring aspirasi buruh dan mengikutsertakannya dalam pembuatan keputusan politik yang sangat menentukan itu. Pada konteks ini buruh tidak ditempatkan sebagai unsur yang berdiri sendiri melainkan bagian integral yang tak terpisahkan dari bangsa ini. Kepentingan buruh tidak semata untuk buruh itu sendiri melainkan untuk kepentingan bangsa. Bahkan perannya menjadi sangat strategis apabila dihubungkan dengan masa depan kehidupan bangsa menghadapi globalisasi.
23
HP Radjagukguk, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan Indonesia Sebagai Penjabaran Dari Demokrasi Ekonomi, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, untuk Memperingati Kelahiran Almarhum Prof. Djokosoetono,SH, Selo Sumardjan, YIIC dan PT Gramedia Jakarta h 126.
17 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
Daftar Pustaka Agusmidah, 2001, Fungsi Pengawasan Pemerintah bagi Perlindungan Buruh Perempuan di Perusahaan Industri (studi di Kabupaten Deli Serdang), Tesis, PPS USU, Medan. Al-Zastrouw NG, Problema Sosial Buruh, Harian Mimbar Umum, 25 Februari 1997. A.Uwiyono, Maret 2000, Serikat Pekerja dan Peningkatan Hak-hak Asasi Manusia dan Standart Ketenagakerjaan, Jurnal Studi Indonesia, Vol. 10 No. 1. --------------2003, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, Jan-Feb 2003, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta. Djumadi, 1995, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dalam Hubungan Industrial Pancasila, Rajawah Pers, Jakarta. Erman Rajagukguk, 2001, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum di Indonesia, Pidato Pada Dies Natalis USU ke-44, November 2001. --------------2002, Perbandingan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law, Bahan Kuhah, PPS USU, Medan. Hemasari, 1999, Perdebatan tentang Isu Perburuhan dalam WTO: Dilema Perjuangan Buruh Dunia, Makalah dalam Semiloka Tentang Sosialisasi tentang WTO, diselenggarakan oleh INFID dan KPA, Bandung 18-19 November 1999. HP Radjagukguk, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan Indonesia Sebagai Penjabaran Dari Demokrasi Ekonomi, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, untuk Memperingati Kelahiran Almarhum Prof. Djokosoetono, SH, Selo Sumardjan, YIIS dan PT Gramedia, Jakarta.
18
Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006
Imam Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Cet. XI, Jakarta. 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta Cet XI. Krzysztof Drzewicki, 2000, Hak Bekerja dan Hak Dalam Pekerjaan, dalam Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku 2, Editor: Ifdal Kasim dan Johannes da Masenus, ELSAM. M. Solly Lubis, 1996, Dimensi-dimensi Menejemen Pembangunan, Mondar Maju, Bandung. -----------------------1999, Reformasi UU Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia, Makalah. Papang Hidayat, 1999, Menelusuri Pemahaman Teoritik Tentang Perubahan Masyarakat Rekontruksi sosiologis atas teori perubahan Sosial, Jurnal HAM dan Demokrasi Diponegoro, Jakarta, YLHBI. Soehino, 2000, Masa Depan Hukum dan Demokrasi Indonesia Menggagas Paradigma Hukum yang Berdaulat, dalam Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, M. AS Hikam dkk, Pustaka Pelajar, Yokyakarta. Todung Mulya Lubis, Beberapa Persepsi Non-Barat Mengenai Hak Asasi Manusia, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan Untuk Memperingati Kelahiran Alm. Prof. Djokosoetono, SH, Peny. Selo Sumardjan, YIIS dan PT. Gramedia, Jakarta. Waspada, Harian Umum, 26 Februari 2003
19 Agusmidah: Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menghadapi Era Globalisasi, 2005
USU Repository©2006