Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
ABSTRAK Tanah adalah usur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, khususnya kaum tani. Bahwa tanah memiliki makna tinggi yang dapat dipadankan dengan nyawa, sehingga bila ada usaha memisahkan tanah dari pemiliknya bakal membangkitkan pergolakan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa tanah adalah sejarah penuh pertentangan, konflik, yang tak jarang mengobarkan perang yang memakan korban jiwa tidak sedikit. Cerita tentang ekspansi wilayah kerajaan-kerajaan, pada dasarnya merupakan bentuk lain dari sengketa tanah, perebutan wilayah. Konflik yang terjadi bukan bersumber pada mereka yang berada dilapisan bawah, tapi mereka yang berada di lapis atas, sedangkan rakyat sendiri, sebagai pihak yang mengisi lapisan bawah struktur sosial, sejak dahulu, lebih banyak menjadi korban dari sengketa tersebut. Kenyataan sejarah tersebut, menunjukkan bahwa, manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah karena manusia berasal dari tanah dan akhirnya juga kembali ke tanah dan di atas tanahlah manusia hidup dan menggali sumber kehidupannya. Manusia berdiam secara berkelompok dalam kampung, Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Negara, dalam masing-masing kelompok tersebut perlu tanah untuk penghidupan. Pemilikan tanah secara bersama-sama yang diolah secara terus menerus, turum temurun oleh persekutuan (komunal) disebut hak ulayat. Hak ulayat diakui keberadaannya dan diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960. Pada mulanya tanah ulayat dijumpai pada hampir seluruh wilayah Indonesia, tetapi dengan bertambah luasnya hak penguasaan pribadi, juga karena faktor-faktor di luar masyarakat hukum adat, secara alamiah kekuasaan hak ulayatnya semakin lama semakin melemah, hingga akhirnya menjadi tidak tampak lagi keberadaannya. Hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Masih adanya hak ulayat di suatu masyarakat hukum adat hanya dapat diketahui dari hasil tinjauan dan penelitian setempat. Hak ulayat yang kenyataannya sudah tidak ada, tidak akan dihidupkan kembali. Dengan sendirinya juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru masyarakat-masyarakat hukum adat yang tidak pernah mempunyai tanah ulayat. Kabupaten Labuhanbatu sebagai bagian dari Propinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari 22 Kecamatan, 209 Desa dan 33 Kelurahan, dengan jumlah penduduk 950.378 jiwa dan luas wilayah 922.318 Ha (9.223,18 Km2). Pada masa dahulu sampai sekarang masyarakat hukum adat mengakui keberadaan tanah adat mereka, walaupun tanah tersebut dikuasai sebagian oleh PTPN dan perkebunan Swasta Lainnya. Karena secara historis tanah-tanah tersebut dikontrakkan oleh Pihak Kesultanan, (yang dibuktikan dengan akta konsensie), dimana Sultan bertindak untuk dan atas nama masyarakat hukum adat. Berakhirnya kekuasaan Kesultanan secara ketatanegaraan harus tetap dihormati dan diteruskan hak-hak atas tanah ulayat menurut konsep hukum adat tetap melekat pada masyarakat adat.
i Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... : i KATA PENGANTAR ............................................................................................. : ii DAFTAR ISI ............................................................................................................ : iv
BAB I
:PENDAHULUAN A Latar Belakang ................................................................................ : 1 B. Perumusan Masalah ....................................................................... : 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................... : 6 D. Tinjauan Pustaka ............................................................................ : 6 E. Metode Penelitian Penulisan .......................................................... : 14 F. Sistematika Penulisan ..................................................................... : 15
BAB II : IDENTIFFIKASI PERMASALAHAN A. Eksistensi Hak Ulayat ................................................................... : 17 B. Gambaran Umum Kabupaten Labuhanbatu .................................. : 22 C. Hak Masyarakat Adat Labuhanbatu .............................................. : 33 D. Upaya Masyarakat Adat ................................................................ : 42 BAB III : ANALISIS PERMASALAHAN A. Keberadaan Hak Ulayat Ditinjau Dari UUPA di Kabupaten Labuhanbatu………………………………………. : 45 B. Pengelolaan, Kepemilikan Tanah Ulayat Sebagai Upaya Penertiban Administrasi Pertanahan ............................................. : 54 C. Upaya Pemerintah Dalam Menertibkan Keberadaan Hak Ulayat : 61 D. Hukum Adat Sebagai Dasar Hak Ulayat Dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup ………………………. ............... : 67 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................. ………….: 78 B. Saran ............................................................................. ………….: 79 DAFTAR PUSTAKA iv
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN
TABEL & LAMPIRAN
1. Datar kasus tanah yang terdapat di Kabupaten Labuhanbatu ... ... ... ... ... ... ... ... 29 2. Peta Kabupaten Labuhanbatu ... ... . .. . .. ... .. . ... ... ... ... ... ... ... . .. . . . ... bagian akhir 3. Peta Kecamatan yang terdapat di kabupaten Labuhanbatu .. . ... ... . . . . . . bagian akhir 4. Surat keterangan bukti penelitian peneliti dari BPN Labuhanbatu ... .........bagian akhir
v
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dewasa ini kita tengah menyaksikan suatu proses menuju krisis sosial yang disebabkan oleh sengketa tanah. Tanah, sejak lama memang menjadi hal sangat rawan dan potensi pemicu krisis sosial. Karena itu, perhatian yang sungguh-sungguh untuk memahami dan menemukan solusi yang adil terhadap masalah tanah perlu dilakukan. Gejala krisis sosial akibat sengketa tanah ini telah memanifestasi dalam bentuk pertentangan kepentingan atas tanah antara rakyat dan negara maupun antara rakyat dengan modal. Persoalan tanah dijaman awal kemerdekaan merupakan periode transisi antara jaman kolonialisme dan developmentalisme. Masa transisi ini bersamaan dengan periode revolusi Indonesia, terjadi proses sengketa antara petani dan pihak perkebunan serta proses nasionalisasi perkebunan kolonial. Proses perebutan tanah yang dilakukan oleh petani kecil masa itu adalah merupakan suatu bentuk dari “landreform spontan” yang dilakukan oleh mereka yang dahulunya tergusur. Proses sengketa tanah dan aksi sepihak yang dilakukan pada awal republik tersebut dimungkinkan karena bersamaan dengan revolusi fisik kebangunan Republik Indonesian (1945-1949). Berbagai persengketaan tanah ini akhirnya telah melahirkan apa yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan undang-undang landreform 1960-1965 yang merupakan bentuk penyelesaian persengketaan tanah melalui intervensi
1
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
negara. Bersamaan dengan itu pula sejumlah peraturan keagranan juga lahir, seperti Undang-Undang Pokok Bagi Hasil, Peraturan Pendaftaran tanah dan lain sebagainya. Lahirnya Undang-Undang tersebut berkaitan atau hash dari suatu proses konflik antara kepentingan kelas dalam masyarakat. Namun pada akhirnya sebelum landreform atau agrarian
reform
bisa
sepenuhnya
dilaksanakan,
Indonesia
telah
memasuki
era
developmentalisme, dimana semangat, visi dan paradigma model perubahan nasional yang mendasarinya berbeda dengan kepentingan dan gagasan yang melahirkan undang-undang tersebut. Sengketa tanah yang terjadi pada era developmentalisme pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari kebijakan agraria model developmentalisme. Sementara kebijakan agraria tak bisa dilepaskan dari idiologi dan paradigma perubahan sosial yang menopang struktur dan sistem sosial yang dianut negara tersebut. Menurut Noer Fauzi, dengan disahkannya UUPA 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang terkenal dengan UUPA itu merupakan tonggak sejarah agraria di Indonesia, karena hal itu mengatasi berlakunya dualisme hukum agraria, antara hukum agraria produk Kolonialisme Belanda dan hukum yang berasal dari adat ash Indonesia.(Forum LSM/LPSM DIY, 1995: 23). Dalam perkembangan sejarah hukum pertanahan di Indonesia, telah terjadi konflik antara hak menguasai negara dengan hak ulayat. Meskipun menurut pembuat Undang-undang Pokok Agraria, hak menguasai negara tersebut adalah pencerminan dari hak ulayat dalam skala nasional. Namun dalam praktek, perbedaan persepsi mengenai kedua hak menguasai tanah tersebut telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
2
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman Kolonial sampai saat ini, khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsesi yang diberikan sultan kepada orderdeming di atas tanah ulayat. Hak konsesi berkembang menjadi hak erfphacht yang kemudian setelah kemerdekaan hak erfphacht berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGB). Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik vertical maupun horizontal. Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintah dan pihak onderneming yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat adat. Sengketa ini dalam praktek sulit untuk diselesaikan, bahkan sebelum diselesaikan, muncul lagi sengketa baru. Sebagai bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka penertiban hukum sangat tergantung dari konsistensi lembaga negara untuk menertibkannya. Karena persoalan hukum adat bukanlah berada dalam wilayah politik, namun dalam praktek bernegara. Terlaksananya hukum secara baik dan bertanggungjawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara. Dalam konteks perundang-undangan yang mengatur tentang hak ulayat jelas tercantum dalam UUPA. Namun demikian penerapannya dalam praktek mengalami kendala yang signifikan. Lebih dari itu, kerap muncul multi tafsir atas teks-teks undang-undang itu, sehingga tidak jarang terjadi konflik yang berkepanjangan antara rakyat adat dengan pemerintah maupun pihak swasta.
3
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Tanah pada kenyataannya adalah tetap dalam arti tidak ada perluasan lagi, karena setiap manusia berjuang dalam hidupnya untuk memperoleh tanah untuk perumahan, pertaman sehingga dibutuhkan pengelolaannya sebagai upaya terpadu untuk menata, memanfaatkan,
mengembangkan,
memelihara,
memulihkan,
mengawasi
dan
mengendalikan. Tanah sebagai sarana hidup manusia/masyarakat, maka perlu relasi yang koordinatif. Relasi dan koordinasi itu disebut pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 5 Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 23 tahun 1997, tentang Lingkungan Hidup (UU PLH) mengatur:
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. 3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam mewujudkan,
rangka
pengelolaan
menumbuhkan,
lingkungan
mengembangkan
hidup
dan
pemerintah
meningkatkan
berkewajiban kesadaran
dan
tanggungjawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan hngkungan hidup, secara nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinir oleh menteri, dan untuk pelaksanaannya pemerintah dapat menyerahkan kepada Pemerintah Daerah. Konflik antara rakyat dan modal atau rakyat lawan industri yang merupakan sengketa yang terus berkepanjangan. Hal ini tidak terlepas di daerah Kabupaten
4
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Labuhanbatu yang sebelum kemerdekaan memiliki daerah 4 (empat) daerah Kesultanan, yang tidak menutup kemungkinan di daerah kesultanan tersebut terdapat tanah ulayat. Contohnya saja di daerah Kabupaten Labuhanbatu terdapat 29 kasus sengketa tanah yang hingga saat ini belum selesai. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengadakan penelitian seputar tentang keberadaan tanah ulayat di Kabupaten Labuhanbatu. Atas dasar itu, maka hemat penulis upaya kaji ulang (reconstruction) terhadap hak ulayat masyarakat adat khususnya di Kabupaten Labuhanbatu merupakan langkah pertama yang harus dengan serius dilakukan. Sebagai the starting point penting dipahami bahwa hukum adat yang hidup dimasyarakat perlu dipelihara agar tidak sampai terjadi konflik vertikal maupun horizontal yang berkepanjangan antara pemerintah maupun pihak swasta dengan masyarakat adat yang hidup. Sehubungan dengan itu juga perlu untuk mencari formula yang tepat dalam penguasaan, pengelolaan dan perlindungan hak ulayat atas tanah di Kabupaten Labuhanbatu dalam korelasi antara UU PLH No.23 tahun 1997 dan UU No. tahun 1960. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian ilmiah dengan judul HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT YANG ADA DALAM MASYARAKAT KABUPATEN LABUHANBATU DEMI TERCAPAINYA TERTIB HUKUM TENTANG PENGUASAAN TANAH
5
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
B. Perumusan Masalah Penelitian ini akan membatasi fokus kajiannya kepada masalah-masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keadaan hak ulayat masyarakat adat menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1960. 2. Bagaimana keberadaan hak ulayat masyarakat adat di Kabupaten Labuhanbatu. 3. Bagaimana upaya masyarakat adat untuk memiliki dan mengolah tanah ulayat sebagai upaya penertiban administrasi pertahanan.
C. Tujuan Penetitian Sesuai dengan judul “Hak Ulayat Masyarakat Adat Yang Ada Dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu Demi Tercapainya Tertib Hukum Tentang Penguasaan Tanah”, penelitian ini ditujukan untuk : 1. Mengetahui keberadaan hak ulayat atas tanah pada masyarakat dalam hubungannya sebagai pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 2. Mengetahm keberadaan hak ulayat masyarakat adat di Kabupaten Labuhanbatu. 3. Mengetahui upaya masyarakat adat untuk memiliki dan mengolah tanah ulayat sebagai upaya penertiban administrasi pertahanan.
6
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
D. Tinjauan Pustaka 1. Masyarakat Hukum Adat Berbicara tentang berbagai lembaga hukum yang ada pada masyarakat hukum adat seperti lembaga hukum perkawinan, lembaga hukum pewarisan, lembaga hukum anak angkat, lembaga hukum tentang kepemilikan atas tanah dan lain-lain, kita harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan. Berlakunya lembaga hukum pada masyarakat setempat sangat dipengaruhi oleh sistem serta struktur dari masyarakatnya. Dengan demikian maka berbicara tentang hukum tanah adat, pads pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum keluarga serta hukum tata negara adat terutama apa yang dinamakan dengan persekutuan hukum (recht gemeenschaapen). Masyarakat hukum adat (persekutuan hukum) adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya (Bushar Muhammad, 1998: 30). Dengan demikian maka berbicara tentang persekutuan hukum (masyarakat hukum adat harus dipenuhi kriteria-kriteria :
a. Merupakan kesatuan manusia teratur. b. Menetap di atas daerah tertentu.
7 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
c. Mempunyai penguasa. d. Mempunyai kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud.
Sedangkan Mahadi mengatakan bahwa persekutuan hukum itu mempunyai ciri-ciri : a. Adanya sejumlah orang tertentu yang bertindak semua merasa terikat dan semuanya mempersoalkan untung rugi. b. Apabila kita melihat ke dalam, maka akan tampak adanya orang-orang tertentu atau golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan. c. Adanya harta benda bersama seperti barang-barang tertentu, tanah, air, tanaman, tempat peribadatan, gedung dan lain-lainnya dan semua orang ikut memelihara benda itu, menjaga kebersihan fisiknya, menjaga kesuciannya dan sebagainya. Semua boleh menikmati dari harta benda itu, akan tetapi orang yang bukan anggota pada umumnya tidak boleh mengambil manfaat daripadanya kecuali dengan seizin persekutuan.
Persekutuan-persekutuan hukum itu tidak bersifat suatu badan kekuasaan (gezagsemeenschap) seperti halnya dengan suatu Kota-Praja di negeri-negeri Barat dan Indonesia modern. Melainkan kehidupan masyarakat di dalam badan-badan persekutuan itu bersifat kekeluargaan, merupakan kesatuan hidup bersama (levensgemeenschap) dari suatu golongan manusia yang satu sama lain kenal mengenal sejak waktu kanak-kanak hingga menjadi orang tua, suatu golongan manusia yang sejak zaman dahulu tinggal bersama di tempat kediaman mereka dan seluruhnya serta kebahagiaan perseorangan dari teman-teman segolongan (Soepomo, 1977: 57).
8
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Suatu persekutuan hokum dikepalai oleh kepala persekutuan (Kepala Rakyat), yang aktivitasnya dapat dibagi dalam 3 hal :
a
Urusan tanah
b. Penyelenggaraan tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakat desa bejalan sebagaimana mestinya, supaya mencegah adanya pelanggaran hukum (preventif). c. Usaha
yang
tergolong
dalam
penyelenggaman
hukum
untuk
mengembalikan
(memulihkan tata tertib sosial dan tata tertib hukum serta keseimbangan menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan yang religio-magis (represif) (Bushar Muhammad, 1988: 39).
Menurut dasar susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini didasarkan kepada : a. Teritorial yaitu : masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan oleh sebab itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, karena ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggal mereka. b. Geneologis yaitu : masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari satu keturunan yang sama. c. Teritorial-Geneologis yaitu masyarakat adat para anggotanya merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ada ikatan antara mereka masing-masing di samping dengan tanah tempat tinggal mereka, juga
9
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
karena berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari suatu keturunan yang sama.
Berdasarkan susunan dan struktur tersebut di atas maka kepala persekutuan dari masyarakat hukum adat itu ditentukan dan terikat kepada asas kewilayahan atau keturunan
Dengan demikian maka :
1). Semua badan persekutuan hukum dipimpin oleh seorang ketua atau kepala. 2). Sifat dari susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap-tiap jenis badan persekutuan hukum bersangkutan.
2.
Hak Ulayat
Hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah (air dan udara) dari masyarakat adat sebagai suatu kebulatan warganya. Hak itu bukan hak milik, melainkan merupakan suatu hak kepunyaan bersama dari para warga masyarakat sebagai perwujudan (personifikasi) seluruh warga masyarakat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan warganya. Kekuasaan itu meliputi tanah (air dan udara) dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat dan pada asasnya tidak dapat dikurangi atau dipindahkan. Kekuasaan itu dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat hukum adat yang merupakan masyarakat hukum para warga sebagai kesatuan, para warga bersama dan warga perorangan.
10
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Penjelmaan hak ulayat ini terlihat dari gambaran :
a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri bersama warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di daerah kekuasaannya. b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan seizin penguasa persekutuan tersebut, tanpa izin ini dianggap pelanggaran. c. Warga sepersekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba (hak ulayat) dengan retreksi hanya untuk keperluan somah/brayat keluarganya sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapat izin lebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan izin kepala persekutuan hukum disertai pembayaran seperti (recoqnitte, restributie) kepada persekutuan hukum. d. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukum yang merupakan delik. e. Hak purba (ulayat) meliputi juga tanah yang sudah digarap oleh hak perorangan. Sehubungan dengan hak masyarakat hukum adat atas hak ulayat tersebut maka masyarakat hukum adat sebagaimana umumnya penguasa mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :
a. Melakukan usaha dan mengatur. 1) Penyediaan tanah, artinya masyarakat hukum adat wajib menyediakan tanah bagi para warganya untuk kepentingan hidupnya : pangan, sandang dan papan dengan jalan membuka hutan tanah yang belum diolah.
11
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
2) Pendayagunaan tanah, yaitu menyuburkan atau meningkatkan kesuburan tanah, misalnya dengan menyelenggarakan irigasi pembukaan dan sebagainya. 3) Pemeliharaan yaitu menjaga agar tanah-tanah tidak menjadi rusak-tandus karena kurang terpelihara atau penggunaan yang tidak tepat. b. Mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan tanah misalnya hak apakah yang dapat dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat dan orang luar (asing), antara lain : hak milik yayasan, pusaka/hak pakai, hak memungut hasil hutan, hak membuka tanah dan lain-lain. c. Mengatur hubungan hukum antara perorangan dengan tanah atau yang ada hubungannya dengan tanah, misalnya hubungan jual (jual lepas, jual gadai, jual sewa), pewarisan, tukar menukar, transaksi bagi hasil. Dengan demikian maka hak ulayat tersebut : a
Hanya dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum dan tidak boleh dimiliki perorangan.
b. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan selama-lamanya. c. Apabila ulayat itu dilepaskan sementara maka harus ada imbalan (pembayaran) kepada persekutuan hukum yang memiliki tanah tersebut.
3. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Menguasai Antara hak ulayat sebagai atribut dari masyarakat hukum; (adat) dengan menguasai sebagai atribut dari Negara Persatuan Republik Indonesia terdapat hubungan kefilsafatan, karena menurut ketentuan Pasal 5 UUPA hukum adat dijadikan dasar
12
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
hukum agraria nasional. Ini berarti bahwa asas-asas dan ciri hukum adat tentang tanah dijadikan sumber bahan penyusunan hukum agraria nasional, melalui pengolahan dengan dasar kerohanian/politik Negara Republik Indonesia Pancasila dibentuklah hukum agraria nasional. Disamping penyempumaan hukum adat dan penyesuaiannya dengan kepentingan serta kebutuhan hukum masyarakat Indonesia modern, maka dalam rangka pembinaan Negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, unsur agamapun diperhatikan pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak menguasai Negara yang menjadi atribut hukum agraria positif merupakan peningkatan dalam arti luas dari hak ulayat yang semula menjadi atribut hukum tanah positif dari masyarakat-masyarakat hukum (adat) yang tersebar di seluruh wilayah nusantara (Vide Pasal 2 UUPA). Selain hubungan tersebut di atas, antara hak menguasai dengan hak ulayat masyarakat hukum (adat) terdapat hubungan timbal balik antara kekuasaan Negara sebagai organisasi seluruh rakyat dengan kekuasaan masyarakat hukum (adat) sebagai kebulatan para warganya, suatu kekuasaan yang berada di bawah kekuasaan Negara kesatuan Hubungan tersebut terjalin dalam imbangan menebal-menyusut, dalam toleransi harmonis, seperti halnya hubungan antara hak ulayat suatu masyarakat hukum (adat) dengan hak perorangan para warganya. Dalam hukum agraria positif, hak menguasai Negara memberi dasar pendorong bagi pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum (adat) – sekedar masih ada dalam Negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, ialah sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan kesatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan
13
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Jadi dalam hal masyarakat hukum (adat) melaksanakan hak ulayatnya, kepentingan yang lebih luas harus dijadikan dasar pertimbangan, bahkan pada asasnya harus diutamakan dari pada kepentingan sendiri. Sebaliknya negarapun harus mengingat kepentingan masyarakat hukum yang bersifat lokal itu, jangan diabaikan apalagi dihilangkan. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara hukum kesejahteraan harus melaksanakan hakekat tujuan hak menguasai Negara atas bumi, air dan ruang angkasa dan tujuan hidup. Asas penghormatan terhadap hak masyarakat hukum (adat) itu dalam UUPA antara lain ternyata dari penjelasan Pasal 3 dan penjelasan umumnya yang menyatakan dalam hal hak ulayat itu masih ada, bila Negara akan meletakkan hak guna usaha misalnya, diperlukan persetujuan dari dan pemberian ganti rugi kepada masyarakat hukum (adat) yang bersangkutan (vide Pasal 3 UUPA dan penjelasan II.3).
E. Metode Penelitian Sesuai dengan judul penelitian ini, maka lokasi yang menjadi bahan telaah ada di Kabupaten Labuhanbatu secara umum melalui data yang resmi diterbitkan oleh instansi yang berwenang dan penglihatan di lapangan secara nyata. Sarana yang diperlukan adalah informasi, wawancara serta penelitian kepustakaan yang menyangkut keberadaan hak ulayat pada kecamatan-kecamatan tertentu, menyangkut bagaimana pengelolaan, penguasaan, pemanfaatan dan kedudukannya secara yuridis formil.
14
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bersifat kualitatif, yuridis formil dan sosiologis. Pendekatan ini dihadapkan dengan masalah dan cara memperbandingkan fakta dengan hukum yang berlaku. Mengingat Kabupaten Labuhanbatu terdiri dari 22 Kecamatan dan memungkinkan dicari informasi keberadaan tanah ulayat di daerah-daerah tersebut. Pengumpulan data sekunder sebagai pendukung informasi (wawancara) data primer dilakukan berdasarkan : buku-buku, makalah-makalah, peraturan perundang-undangan, surat kabar dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dari laporan penelitian ini terdiri dari : Bab I : Pendahuluan Dalam bab ini penulis menguraikan Latar Belakang penelitian, disusul dengan Perumusan Masalah yang perlu diteliti, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Bab II : Identifikasi Masalah Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Eksistensi Hak Ulayat, Kondisi dan Potensi Wilayah Kabupaten Langkat, Hak Masyarakat Adat Melayu Langkat dan Upaya Masyarakat Adat Melayu Langkat dalam mempertahankan hak ulayat mereka. Bab III : Analisis Permasalahan
15
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Dalam Bab Ini Penulis Menguraikan Keberadaan Hukum Adat Sebagai Dasar Hak Ulayat Ditinjau Dari Undang-Undang Pokok Agraria Di Kabupaten Langkat, Pengolahan, Kepemilikan Tanah Ulayat Sebagai Upaya Penertiban Administrasi Pertanahan, Upaya Pemerintah Dalam Menertibkan Keberadaan Hak Ulayat Dan Hukum Adat Sebagai Dasar Hak Ulayat Dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bab IV: Penutup Merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran.
16
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH
A. Eksistensi Hak Ulayat Baik dalam UUPA maupun kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat, terlihat dengan jelas adanya pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat dan sekaligus memberikan kedudukan yang istimewa terhadap hukum adat Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 22 ayat (1), Pasal 56, Pasal 58 UUPA No. 5 Tahun 1960, serta Pasal VI dan Pasal VIII ketentuan konversi, dan dalam penjelasan umum Undang-undang Pokok Agraria. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut di atas adalah sebagai berikut “Pasal-pasal tersebut antara lain; Pasal 2 ayat (4) hak menguasai negara pelaksanaannya dapat dikuasakan pada swantantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan pemerintah. Pasal 3 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut ketentuan yang masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa serta tidak boleh bertentang dengan Undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Pasal 22 ayat (1) terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 56 selama mengenai Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat dan peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang
17
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dengan Pasal 20, sepanjang itu tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pasal 58 selama peraturan pelaksana Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung alam di dalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. Pasal ketentuan konversi: Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip hak-hak dimaksud Pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini yaitu: Hak Vruchtgebruik, gebruik grant controleur, bruik leen, ganggam bauntuik, hanggaduh, bengkok lungguh, pituas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan ini. Pasal 13 dan Pasal 5 UUPA menggariskan tentang hak-hak tanah adat termasuk di dalamnya hak ulayat. Rumusan tanah adat yang secara jelas atau tegas tersurat dan tersirat dirumuskan dalam UUPA : 1. Bahwa berhubung dengan penegasan dalam UUPA maka perlu adanya hukum agraria nasional yang mendasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana dengan tidak mengabaikan pada unsur yang bersandar pada hukum agraria.
18
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
2. Penjelasan UUPA pada nomor II/3 disebutkan sebagai berikut : Bertalian dengan hubungan antar bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara seperti disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 maka di dalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, maksudnya akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara. Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus dipertahankan sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan dan keselamatan serta kesatuan bangsa sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku dalam masyarakat tertentu serta diperhatikan secara serius dalam keputusan-keputusan pengadilan oleh hakim Indonesia, nyatanya secara resmi belum pernah diakui dalam undang-undang masa Hindia Belanda, Jepang dan sampai pada saat sebelum UUPA, sehingga sebelumnya tentang hak ulayat sering diabaikan. Dengan pengakuan hak ulayat, maka pada dasarnya hak masyarakat kolektif secara adat akan diperhatikan sepanjang kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan, sebaliknya jika berdasarkan hak ulayat manjadi penghalang kemajuan pembangunan masyarakat dan sertifikasi tanah, sehingga harus diutamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
19
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Tidak dibenarkan suatu kelompok masyarakat menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran guna pelaksanaan proyek besar untuk tujuan peningkatan taraf hidup masyarakat sekitarnya dalam penambahan hasil bahan makanan dan penataan/pemindahan penduduk. Fakta seperti di atas sering menjadi sukar dalam pembangunan wilayah tertentu karena dengan alasan mempertahankan hak ulayat (tanah adat) maka segala bentuk peningkatannya ditolak. Tidak dibenarkan dalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak-hak ulayat secara mutlak, seakan-akan terlepas hubungannya dengan masyarakat hukum pada daerah-daerah lainnya dalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Kepentingan yang besar harus lebih dijunjung dan dihargai sehingga masyarakat/wilayah kecil harus secara sadar menyerahkan hak ulayatnya secara ikhlas. Hak ulayat masyarakat hukum adat setempat tidak dapat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum pemerintah, termasuk penataan tata ruang kota/kabupaten. Misalnya menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek besar atau untuk kepentingan transmigrasi. Demikian pula sebaliknya tidak dibenarkan apabila hak ulayat dipakai masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang. Kalau kita perhatikan dengan seksama tiang tonggak dari hak ulayat itu bertumpu pada adanya Hak Ulayat dan adanya Masyarakat Hukum Adat, sehingga Mahadi (alm) pemah menyatakan bahwa tidak mungkin masyarakat hukum adat itu
20
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
tanpa ada hak ulayat dan adanya hak ulayat itu melekat dengan adanya masyarakat hukum adat. Van Vollenhoven menukilkan suatu kepastian hak terhadap masyarakat hukum adat dengan menuliskan, bahwa di seluruh kepulauan Indonesia ini hak ulayat (beschikkingrecht) merupakan hak tertinggi terhadap tanah (het hoogste recht tenaanzien van grond). Hak tertinggi atas tanah artinya tidak ada yang lebih tinggi, tidak juga hak-hak seperti yang diatur dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Penjelmaan secara murni hak ulayat antara lain dapat diuraikan sebagai berikut; 1. Persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya berhak mengerjakan tanah hutan. 2. Orang asing hanya boleh jika mendapat izin dari persekutuan hukum yang bersangkutan dan harus membayar bunga hutan (recognitie) 3. Sesuatu yang tunduk pada hak ulayat tidak dapat secara abadi diserah lepaskan. 4. Meskipun sebidang tanah telah dibuka dan dikerjakan campur tangan persekutuan hukum tidak lenyap seluruhnya. 5. Transaksi yang objeknya tanah harus mendapat izin dari persekutuan hukum. 6. Tanah usaha yang pemiliknya pindah atau berakhir haknya, jatuh kembali pada persekutuan hukum (Mahadi, 1978: 90) Secara konkrit untuk wilayah Labuhanbatu penulis kutipkan lagi pendapat Van Vollonhoven :
21
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
1. Pada suatu masa di Labuhanbatu menebang atau merusak pohon tualang merupakan perbuatan terlarang, sebab lebah suka sekali bersarang di pohon itu. Larangan ini didasarkan kepada kenyataan, bahwa rakyat bebas mengambil manisan lebah (madu) dan lilin lebah. Larangan ini serasi dengan ciri-ciri hak ulayat, bahwa rakyat bebas mengambil hasil hutan, namun tetap memperhatikan warga persekutuan hukum. 2. Di Labuhanbatu pernah ada kebiasaan kalau seseorang menginginkan sebatang pohon besar dalam hutan untuk mempergunakan kayunya menjadi sebuah sampan, tetapi pada ketika itu belum mempunyai peluang untuk menebangnya maka dikulitinya kayu itu sebesar dua jari, sebagai tanda larangan kepada orang lain untuk menguasai pohon itu. Menurut hemat kami, kebiasaan itupun sesuai dengan ciri-ciri hak ulayat. Hak adat atas tanah itu bukanlah suatu mimpi atau angan-angan, tetapi benar- benar berakar di dalam kesadaran hukum rakyat. Hak adat itu adalah untuk menggambarkan adanya hak ulayat atau hak pribadi masyarakat adat.
B. Gambaran Umum Kabupaten Labubanbatu
1. Kondisi Fisik Wilayah
Kabupaten Labuhanbatu dengan Ibukotanya Rantauprapat merupakan salah satu Kabupaten terbesar di Propinsi Sumatera Utara yang berada pada kawasan Pantai Timur Sumatera Utara, terletak pada koordinat 1 26° - 2 11° Lintang Utara dan 91 01° - 95 - 53° Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten Asahan dan Selat Malaka
22
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
b. Sebelah Timur berbatas dengan Propinsi Riau c. Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Tapanuli Selatan d. Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara Luas wilayahnya 922.318 Ha (9.223,18 Km2) atau 12,87 % dari luas Propinsi Sumatera Utara dan merupakan Kabupaten nomor dua terluas setelah kabupaten Tapanuli Selatan sebelum dimekarkan dari Kabupaten Madina. Kabupaten Labuhanbatu mempunyai kedudukan yang cukup strategis, yaitu berada pada jalur lintas trans Sumatera Timur tepatnya pada persimpangan menuju Sumatera barat dan Riau yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan wilayah di Sumatera dan Jawa serta mempunyai akses yang memadai ke negeri karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Penggunaan wilayah di Kabupaten Labuhanbatu didominasi oleh perkebunanperkebunan rakyat dan perkebunan besar yaitu seluas 424.180,98 Ha (45,98 %) hutan 29,613%, pertanian tanaman pangan baik lahan basah maupun tanah kering 14,875 % dan penggunaan lain seperti permukiman, tambak, kolam dan lain-lain 9,532 %. Secara geografis Kabupaten Labuhanbatu terbagi atas kawasan pantai dan kawasan lainnya yang terletak pada ketinggian 0 – s/d 1.685 m dari permukaan laut serta mempunyai tiga sungai besar, yaitu sungai Kualuh, Bilah, dan Barumun dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) nya sebagai berikut; a. DAS Barumun meliputi : Kecamatan; Sungai kanan, Kotapinang, kampung Rakyat, Panai Hulu, dan Panai tengah
23
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
b. DAS Bilah meliputi
: Kecamatan; Bilah Barat, Rantau Utara, Rantau Selatan, Bilah Hulu, Pangkatan, Bilah Hilir dan Panai Hulu.
c. DAS Kualuh meliputi
: Kecamatan; Kualuh Hulu, Kualuh Selatan, Aek natas dan Kualuh Hilir
Wilayah Kabupaten Labuhanbatu meliputi 22 Kecamatan yang terdiri dari 209 Desa dan 33 Kelurahan dengan jumlah penduduk akhir tahun 2005 adalah 950.378 jiwa. Secara
umum
Daerah
Kabupaten
Labuhanbatu
menurut
susunan/sistem
Kekeluargaannya terdiri dari dua sistim kekeluargaan, antara lain: a. Sistim keibubapaan (parental) yang pada umumnya suku melayu, seperti di daerah : 1). Kecamatan Panai Hulu 2). Kecamatan Panai Tengah 3). Kecamatan Panai Hilir b. Sistim
kebapaan
(patrilinial)
yang
pada
umumnya
terdapat
pada
suku
Mandailing/Tapanuli dan letak wilayahnya berada di sekitar daerah perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan seperti di daerah : 1). Kecamatan Sungai kanan 2). Kecamatan Bilah Barat 2. Potensi Wilayah Potensi andalan Kabupaten labuhanbatu sampai dengan saat ini adalah sektor perkebunan, hal ini dapat dilihat dari penggunaan lahan maupun nilai produksi yang dihasilkan. Hasil perkebunan merupakan bahan baku industri pengolahan yang
24
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Ini berarti perkebunan merupakan potensi pendukung dalam perkembangan ekonomi labuhanbatu. Secara umum potensi yang terdapat di Kabupaten Labuhanbatu adalah : a Kecamatan Kualuh Hulu
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) Perusahaan Swasta, pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Galian “C” Perdagangan di daerah Aek Kanopan
b. Kecamatan Kualuh Selatan
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Galian “C”
c. Kecamatan Aek Natas
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Galian “C” PTPN IV
d. Kecamatan Aek Kuo
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi)
e. Kecamatan Na.IX.X
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Galian “C” PTPN IV
f. Kecamatan Merbau
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), sekarang terdapat 7 (tujuh) titik sumber minyak, yang gambarannya pada tahun 2010 sudah siap dipanen.
25
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
g. Kecamatan Bilah Barat
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi), Galian “C” Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Pariwisata Aek Buru
h. Kecamatan Rantau Utara
: Pusat Perdagangan Rantauprapat, Pusat Pemerintahan Kabupaten
Labuhanbatu,
Stasiun
Kereta
Api,
Terminal Bus, Galian “C” Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan Perusahaan Swasta i. Kecamatan Rantau Selatan
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Getah Hock Lie, SPBU, Perusahaan Swasta
j. Kecamatan Bilah Hulu
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Galian “C” Perdagangan di daerah Aek Nabara, PTPN III, SPBU, Perusahaan Swasta
k. Kecamatan Kp. Rakyat
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), SPBU
l. Kecamatan Kotapinang
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa
sawit)
Pabrik
Kelapa
Sawit
(PKS),
Pasar/Perdagangan di daerah Kotapinang, SPBU
26
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
m. Kecamatan Silangkitang
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS),
n. Kecamatan Sungai Kanan
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Galian “C”, Pasar/Perdagangan di daerah Langgapayung
o. Kecamatan Torgamba
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa
sawit)
Pabrik
Kelapa
Sawit
(PKS),
Pasar/Perdagangan di daerah Cikampak, PTPN IV, SPBU p. Kecamatan Pangkatan
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Pabrik Kelapa Sawit (PKS),
q. Kecamatan Bilah Hilir
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (kelapa sawit) pertanian (padi), Nelayan
r. Kecamatan Panai Hulu
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (kelapa sawit) pertanian (padi) Nelayan
s. Kecamatan Panai Tengah
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (kelapa sawit) pertanian (padi) Nelayan
t. Kecamatan Panai Hilir
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (kelapa sawit) pertanian (padi) Nelayan
27 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
u. Kecamatan Kualuh Hilir
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan Swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi)
v. Kecamatan Kualuh Ledong
: Perkebunan rakyat dan Perkebunan swasta (karet dan kelapa sawit) pertanian (padi) Nelayan
Data yang disajikan tersebut di atas diperoleh dari Bapade kabupaten Labuhanbatu tahun 2005. Adapun uraian dari data-data tersebut adalah sebagai berikut:
2.1. Pertanian Tanaman Pangan Labuhanbatu merupakan salah satu lumbung padi di Sumatera Utara dengan luas areal persawahan mencapai 88.410 Ha dan produksi padi yang dihasilkan mencapai 356.053 ton
a. Perkebunan Perkebunan di Kabupaten Labuhanbatu didominasi oleh komoditi karet dan kelapa sawit yang pengolahannya masih sampai tahap pengolahan bahan mentah menjadi bahan baku. Untuk mengolah hasil karet tersebut di Labuhanbatu terdapat 8 (delapan) unit pengolahan dengan produksi yang dihasilkan sebesar 57.666,60 ton. Sedangkan kelapa sawit hingga saat ini masih menjadi komoditi primadona dan merupakan bahan baku untuk industri eleo kimia dan miyak goreng. Dengan didukung oleh adanya 34 unit pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di seluruh wilayah Labuhanbatu dapat dihasilkan CPO sebanyak 86.423,614 ton/bulan
28
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
b. Perikanan Labuhanbatu mempunyai wilayah laut yang cukup luas dengan panjang pantainya ±75 Km dan berbatasan dengan perairan Internasional dan tiga Sungai besar yang mengambarkan perikanan laut dan sungai di Kabupaten Labuhanbatu cukup potensial, namun sebagian besar masih dikelola secara tradisional.
c. Kehutanan Kabupaten Labuhanbatu juga memiliki potensi di bidang sumber daya hasil hutan serta memiliki satu unit pabrik penghasil plywood, block board, dan moulding dan 7 (tujuh) unit penghasil kayu gergajian. Bila dilihat dari gambaran umum di atas, kondisi fisik dan wilayah Kabupaten Labuhanbatu cukup menggiurkan para investor untuk dapat menanamkan modalnya di kota dolarnya tersebut, tapi di balik sumber daya alam tersebut, masih menyisakan 29 sengketa pertanahan yang hingga saat ini belum tuntas, adalah sebagai berikut; NO 1
2
3
PIHAK YANG BERSENGKETA PTPN IV BerangirMasyarakat Desa Sei Raja (PIRLOK) seluas 405 Ha di Kecamatan Na.IX.X. PT. Sei Pinang dengan anggota HKTI (izin lokasi BPN 1994) seluas 500 Ha di Aek Korsik Kec. Aek Kuo PT. Putra Lika dengan masyarakat Langga Payung (kawasan Hutan) seluas
MASALAH Permasalahan tahun 1982, tanah seluas ± 405 Ha yang semula dijanjikan peserta PIR untuk 126 KK Permasalahan mulai tahun 1982, tuntutan agar tanah mereka dikeluarkan dari areal izin lokasi PT. Sei Pinang Permasalahan tahun 1998, tuntutm agar tanah mereka dikembalikan seluas ±
UPAYA PEMECAHAN 26 petani dibayar kompensasi 100 KK dalam proses Menunggu putusan Mahkamah Agung
Proses pengukuran dan inventarisasi yang terkena dalam HPH
29 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
6.000 Ha di Kec. Sei Kanan
1.200 Ha dari areal HPH
PT. Putra Lika Perkasa dengan masyarakat Desa Bangai Kec. Torgamba (Yayasan Panca Moral) kawasan hutan seluas 10.000 Ha PT. Milano dengan masyarakat Desa Batang Seponngol (HGU) seluas 1935 Ha Kec. Kp. Rakyat
Permasalahan tahun 1998, seluas ± 1.800 Ha termasuk areal HTI PLP dikembalikan kepada masyarakat
Pihak PT. PLP sedang menyelesaikannya dengan masyarakat
Permasalahan tahun 1998, penggarapan masyarakat seluas ± 400 Ha yang ditelantarkan sejak tahun 1988 oleh pihak PT. Milano
Masih dalam proses
6
PT. Cisadane dengan masyarakat peserta PRPTE (HGU) seluas 8.652 Ha di Desa Meranti Paham Kec. Panai Tengah
Permasalahan tahun 1994, masyarakat memiliki sertifikat tanah seluas ± 314 Ha dalam areal HGU
Penyelesaian Tim Sengketa Tanah sejak tahun 1994-1998, dengan 3 alternatif penyelesaian yaitu; 1. BPN Propinsi dapat menunjukkan areal PRPTE yang telah memiliki sertifikat. 2. Peserta PRPTE dijadikan plasma 3. Peserta PRPTE ditampung sebagai tenaga harian. Sampai saat ini dalam proses
7
PT. Sinar Belantara Indah dengan masyarakat Desa Sungai Meranti Kec. Torgambs(kawasan hutan) seluas 6.000 Ha PT. Sinar Sumatera Plywood Indonesia dengan Masyarakat SeiMenanti Kec. Torgamba seluas 30.000 Ha (kawasan kebun)
Permasalahan tahun 1998, masyarakat menuntut seluas ± 200 Ha agar dikembalikan
Masih dalam proses
Permasalahan mulai tahun 1998, tanah seluas ± 100 Ha termasuk dalam areal PT. SSPI dikembalikan kepada mereka
Sedang dalam proses
PT. Cisadane Sawit Raya
Permasalahan mulai tahun
Dalam roses
4
5
8
9
30 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
dengan masyarakat Desa Sei Tarolat Kec Bilah Hilir (HGU) seluas 8.652 Ha
1998, masyarakat menuntut seluas ± 200 Ha yang belum ditanami diberikan kepada masyarakat
10
PT. Grahadura.Leidong Prima, PT. Sawita Leidong Jaya dengan masyarakat Desa Air Hitam Kec. Kualuh Hilir (izin lokasi BPN 1996) seluas ± 14.500 Ha
Permasalahan mulai tahun 1997, tanah seluas ± 1.800 Ha dalam izin lokasi dikembalikan kepada masyarakat
Dalam proses
11
PT. Socfindo dengan Nurdin Matondang (HGU) Desa Halimbe Kec. Aek Natas seluas 662 Ha
Permasalahan mulai tahun 1998, tanah seluas ± 106 Ha digarap PT. Socfindo tanpa ganti rugi
PT. Socfindo meminta penyelesaian melalui jalur hukum
12
Sengketa PIR antara kelompok 253 dengan kelompok 88 dan 25 PIRLOK PTPN III Aek Goti kee. Silangkitang seluas 506 Ha
Permasalahan mulai tahun 1990, masyarakat kelompok 88 menuntut menjadi peserta PIR dilokasi.
Proses PTUN dan MA
13
PT. Marbau Jaya Indah dengan masyarakat Dusun Teluk Lesung Kec. Merbau (HGU) seluas 4.386 Ha
Permasalahan mulai tahun 1990, tuntutan agar lahan mereka seluas ± 200 Ha yang masuk dalam HGU dikembalikan
Dalam proses
14
PT. Marbau Jaya Indah Raya dengan warga Aek Korsik Kec. Aek Kuo dan Bilah Hilir (HGU seluas 4.928 Ha)
Permasalahan mulai tahun 1990, lahan seluas ± 1.100 Ha dalam HGU agar dikembalikan pada masyarakat
Dalam proses
15
PT. Wisuindo Jaya dengan masyarakat eks kelompok tarsi legium veteran (HGU) seluas 1.000 Ha di Kec. Kotapinag
Dalam proses
16
PT. Malino dengan masyarakat Desa
Permasalahan mulai tahun 1990, tuntutan agar lahan pertanian yang mereka kuasai sejak tahun 1971 seluas ± 1.000 Ha agar dikembalikan Permasalahan mulai tahun 1998, tuntutan agar
Dalam pertimbangan perusahaan
31 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Pengarungan (HGU) seluas 2.494 Ha di Kec. Torgamba
diberikan areal HGU yang belum dikelola seluas ± 50 Ha
17
PT. Herfinta dengan masyarakat Tanjung Medan Kec. Kp. Rakyat (HGU) seluas 3.263, 38 Ha
Permasalahan mulai tahun 1998, tuntutan agar tanah milik mereka dalam areal HGU dikembalikan
Disetujui akan dilaksanakan ganti rugi oleh pihak PT. Herfinta
18
PT. Belongkut Jaya dengan masyarakat Sipare-Pare (HGU) seluas ± 1.900 Ha Kec. Marbau
Permasalahan mulai tahun 1998, masyarakat menggarap areal HGU seluas ± 1.000 Ha karena lahan tidak dikuasai sejak tahun 1992
Pendataan ulang namanama warga penggarap
19
PT. Nubika Jaya dengan masyarakat Desa Tj. Mulia Kec. Kp. Rakyat (izin lokasi BPN) seluas 8.000 Ha
Permasalahan mulai tahun 1998, tuntutan agar mereka diberikan tanah seluas ± 2.000 Ha dalam areal PT. Nubika
Telah dilakukan pengukuran ulang dan disarankan masyarakat dijadikan peserta plasma PT. Nubika Jaya
20
PT. Putra Lika Perkasa dengan masyarakat Desa Mampang (kawasan hutan) Kec. Torgamba
Permasalahan mulai tahun 1999, tuntutan agar tanah mereka dikembalikan seluas ± 150 Ha
Dalam proses
21
PTP. III kebun Janji dengan masyarakat kelurahan Aek Paing Atas Kec. Rantau Utara
Permasalahan tahun 1999, menuntut agar tanah masyarakat seluas ± 42 Ha dikembalikan
Sedang ditangani POLRES
22
PT. Alam Jaya dengan masyarakat Dusun Sirit Sei Daun (HGU) Kec. Torgamba
Permasalahan mulai tahun 1999, masyarakat menuntut lahan perladangan yang terkena gusur seluas ± 300 Ha agar dikembalikan
Dalam proses
23
PT. Sumatera Matra Abadi dengan masyarakat Dusun Sidodadi Kec. Kp. Rakyat (HGU)
Permasalahan mulai tahun 1999, masyarakat menuntut tanah seluas ± 1.116 Ha agar dikembalikan
Dalam proses
24
PTPN III Kebun Aek Torop
Permasalahan mulai tahun
Dalam roses
32 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
dengan masyarakat Dusun Haruoma Kec. Torgamba (HGU)
1998, tuntutan agar tanah mereka dikembalikan seluas ± 100 Ha
25
PT. Smart Corporation dengan masyarakat kelompok tani Padang halaban (izin lokasi BPN) Kec. Aek natas dan Marbau
Permasalahan mulai tahun 1999, tuntutan agar lahan mereka dikembalikan
Tim Sengketa Tanah Kabupaten Labuhanbatu menyarankan melalui jalur hukum
26
PT. Indo Sepadan Jaya dengan masyarakat Desa Pig Seleng Kec. Bilah Hulu (SKPT) An. A Sihombing
Permasalahan mulai tahun 1998, tuntutan agar lahan kelompok tani seluas ± 54,4 Ha dikembalikan
Dalam proses
27
PT. Ranto Sinar Karsa dengan masyarakat Pulo Jantan Desa Tanjung Harapan Kec. Pangkatan (HGU) seluas 4.366 Ha
Permasalahan mulai tahun 1990, tuntutan lahan masyarakat seluas ± 1.000 Ha agar dikembalikan
Proses pengadilan
28
PT. SSPI dan PT. SBI dengan masyarakat Dusun Pintu Gajah I, II, III Desa Sei Meranti Kec. Torgamba (kawasan hutan)
Permasalahan mulai tahun 1998, tuntutan lahan masyarakat seluas ± 5.000 Ha agar dikembalikan
Dalam proses
29
PT. Sinar Mas group dengan masyarakat petani Desa Sialang Taji (HGU) Kec. Kualuh Selatan
Permasalahan mulai tahun 1999, masyarakat menuntut ganti rugi atau dikembalikan lahan mereka Sumber BAPEDA gabupaten Labuhanbatu, 2004
Dalam proses
C. Hak Masyarakat Adat Labubanbatu
Untuk mengkaji asal muasal hak masyarakat adat Labuhanbatu, di dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Tim Pengkajian Pemekaran Labuhanbatu Medan Tahun 2003 yang diketuai oleh Drs. H. Jhon Tafbu Ritonga, MEc dapat diketahui bahwa Labuhanbatu berasal dari kata sebuah dusun yang terletak di pinggiran Sungai Siarti,
33 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
sekarang Kecamatan Panai Tengah, yang berbatasan dengan Propinsi Riau. Pada mulanya merupakan sebuah dusun yang diangkat dari kata kata Pelabuhan Batu yang dijadikan tempat persinggahan perahu yang membawa barang, baik dari hilir maupun dari hulu. Sejarahnya dimulai pada tahun 1861 ketika Belanda datang ke Labuhanbatu dipimpin oleh Bevel Hebe melalui Pelabuhan Batu. Sejak itu, Pelabuhan Batu dijadikan Belanda sebagai tempat untuk mengangkut bahan-bahan dari dan ke Negeri Belanda. Kabupaten Labuhanbatu sebelum tahun 1945 merupakan Onder Afdeling dari Afdeling Asahan-Labuhanbatu yang berkedudukan di Tanjung balai. Pada masa pemerintahan Hindu Belanda dalam wilayah Onder Afdeling Asahan-Labuhanbatu, Labuhanbatu dipimpin 4 (empat) Kesultanan, yaitu; 1.
Kesultanan Kualuh, berpusat di Tanjung Pasir,
2.
Kesultanan Bilah, berpusat Di Negeri Lama
3.
Kesultanan Kotapinang, berpusat Di Kotapinang, dan
4.
Kesultanan Panai, berpusat Di Labuhan Bilik. Dalam sejarah melayu dikenal sebagai sumber pensejarahan negeri-negeri Melayu,
ditulis oleh Tun Sri Lanang disebutkan bahwa di Sumatera Timur wujud negeri yang dipimpin oleh Sultan, yaitu Negeri Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai. Sebagaimana sifat dari fakta sejarah yang bersumber dari sebuah karya sastra, yaitu kerap kali menggambarkan etnosentrisme semua negeri-negeri itu dengan kata-kata yang bisa membentuk citra keagungan, dinyatakan, negeri-negeri tersebut makmur dan kuat-kuat orangnya.
34
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Dalam hikayat Deli, yang ditulis oleh Panglima Besar Kesultanan Deli pada awal abad ke-17 juga dinyatakan kedudukan dan kemakmuran negeri-negeri di Kabupaten Labuhanbatu yakni, Kotapinang, Panai, Bilah dan Kualuh. Dalam hikayat Deli ini lebih menggambarkan tentang keadaan terjadinya pembauran terhadap masyarakat negeri-negeri tersebut dengan komunitas masyarakat lain. Dari uraian di atas jelas bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat labuhanbatu merupakan masyarakat yang heterogen dan terbuka untuk berbaur dengan komunitas masyarakat lain yang ingin merantau ke Labuhanbatu. Selain itu masyarakat Labuhanbatu juga memiliki ikatan persaudaraan yang erat, sehingga tidak mengherankan jika pada waktu itu, Labuhanbatu merupakan daerah yang sangat makmur. Secara administratif awalnya pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu dipimpin oleh seorang asisten residen (bupati) sedangkan Onder Afdeling dipimpin seorang counteleur (wedana). Counteleur Labuhanbatu yang pertama (1862-1920) berada Di Kampung Labuhanbatu. Pada tahun (1920-1924) dipindahkan ke Labuhan Bilik. Pada tahun 1924 dipindahkan lagi ke Merbau (1924-1928). Empat tahun kemudian dipindahkan ke Aek Kota Batu (1928-1932). Pada tahun 1932 dipindahkan ke Rantauprapat (1932-1948). Selama tahun 1948-1949 pinda ke Lobusona. Pada tahun 1949 kembali lagi ke Rantauprapat dan berkelanjutan hingga proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang.
35
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Berdasarkan Undang-Undang No. l tahun 1957 Labuhanbatu ditetapkan menjadi daerah swatantara tingkat II dengan 12 Kecamatan dan 4 kewedanaan yakni sebagai berikut; a. Kewedanaan Kualuh Ledong berkedudukan Di Aek Kanopan b. Kewedanaan Bilah berkedudukan Di Rantauprapat c. Kewedanaan Kotapinang berkedudukan Di Kotapinang d Kewedanaan Panai berkedudukan Di Labuhan Bilik Pada tahun 1965 struktur Kewedanaan dihapus sesuai dengan Undang-Undang No. 18 tahun 1965, dalam perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974, struktur pemerintahan Di Kabupaten Labuhanbatu berkembang dengan dibentuknya 3 wilayah pembantu Bupati, yakni; Wilayah I meliputi
: Kecamatan Kualuh Hulu, Aek Nabara, Na.IX.X, dan Merbau, berkedudukan di Aek Kanopan
Wilayah II meliputi
: Kecamatan Kotapinang, Torgamba, Silangkitang, Bilah Hulu, Bilah barat, Kampung Rakyat, Sungai Kanan, berkedudukan Di Kotapinang
Wilayah III meliputi : Kecamatan Panai Tengah, Panai hilir, Kualuh hilir, Bilah hilir, Pangkatan, berkedudukan Di Labuhan Bilik. Pada tahun 1992 disusul pula dengan pembentukan Kota Administratif Rantauprapat berdasarkan Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1992, tetapi dalam perkembangannya pembentukan Kota Adiministratif kemudian dihapuskan
36
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
karena adanya ketentuan baru dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999, tentang Otonomi Daerah. Dalam perkembangan terakhir dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.43 tahun 1999, Kabupaten Labuhanbatu menjadi 22 Kecamatan. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, sistem pemerintahan kesultanan dan kerajaan di Sumatera Timur tetap dijalankan sebagaimana masa Kolonial sebelumnya, kecuali di samping Sultan dan Raja terdapat wakil pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 13 Maret 1946 pemerintah sipil Negara Republik Indonesia di seluruh Sumatera Timur dibubarkan, sejak itu pula di seluruh wilayah Sumatera Timur dijalankan pemerintahan militer. Pada tanggal 9 April Gubernur Sumatera mengeluarkan pengumuman berisikan keputusan menghapuskan pemerintahan militer di Sumatera Timur dan mengembalikan kepada pemerintah sipil. Selanjutnya, diputuskan pula mengenai sistem pemerintahan daerah Sumatera Timur dan sistem pemerintahan swapraja dihapuskan. 1. Masa pemerintahan RIS sampai Negara Kesatuan RI 2. Dekrit 5 Juni 1959 3. Setelah Masa Orde Baru 4. Masa Reformasi
Dari perjalanan sistem pemerintahan tersebut, asal muasal hak masyarakat adat Labuhanbatu telah ada sejak masa kesultanan, dan dilanjutkan ketika Belanda membuka
37 Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
perusahaan perkebunan karet di atas tanah adat yang dikontrakkan oleh Sultan bersama datok-datok. Berdasarkan kontrak tersebut kepada masyarakat adat diberikan hak berupa tanah jaluran, dan sebagian masyarakat adat ada yang telah menduduki kawasan itu untuk keperluan kampung. Namun dengan adanya perubahan dan kemauan politik hak-hak tersebut dihentikan dan dibekukan oleh adanya kebijaksanaan pemenntah, sehingga menimbulkan permasalahan antara masyarakat adat dengan pemerintah atau penguasa. Hasil inventarisasi yang dilakukan, terdapat hak masyarakat adat yang dihentikan dan dibekukan tersebut antara lain di beberapa desa di kecamatan Bilah Barat, Kecamatan Sungai kanan. Untuk mengetahui keberadaan hak ulayat masyarakat adat di Kabupaten Labuhanbatu memerlukan suatu kajian secara utuh dan mendalam dari semua aspek dan semua pihak yang terkait. Yang sangat menentukan adalah kemauan yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu beserta masyarakat. Berhubung keberadaan hak ulayat masyarakat adat sudah lama terbenam. Jika melihat dan membaca berdasarkan bahasa tutur secara turun temurun tentang keberadaan hak ulayat masyarakat adat yang berada di Kabupaten Labuhanbatu dari aspek sejarah, maka terlebih dahulu ditelusuri keberadaan kampung-kampung/kota-kota/kedatukan sampai pada masa Kesultanan. Sampai saat ini masih terdapat bukti-bukti sejarah yang dapat diketahui oleh masyarakat, yaitu : a. adanya nama kampung kota b. adanya nama perkebunan PT. LONSUM c. adanya istana Sultan (tanda kutip tidak lestarikan/rawat)
38
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
d kuburan (keramat) Sultan Kotapinang dan Kualuh Ledong e. bandar Udara di Aek Nabara. Sebelum masa kesultanan Labuhanbatu tatanan hukum masyarakat adat yang berdomisili di setiap wilayah Labuhanbatu menganut norma - norma dan sistem hukum adat di masing- masing wilayah yang dipimpin oleh Datuk-Datuk maupun Raja-Raja. Secara hukum keberadaan masyarakat adat sangat jelas dari semua aspek yang berlaku pada masa itu. Bahkan sampai dengan masa Kesultanan Labuhanbatu hukum adat ini masih terus berlaku. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan : a. padang buruan (Rusa) b. padang reba c. padang Larangan dan Rimba Larangan d pengambilan hasil hutan e. pengambilan hasil sungai (air tawar dan asin) Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia, dengan dikeluarkannya UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria telah dicantumkan masalah hak ulayat, akan tetapi sampai dengan tahun 1999 tidak pernah dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang menyangkut tentang petunjuk pelaksanaan hak ulayat, yang ada dikeluarkan hanya mengenai tanah garapan. Pada masa Pemerintahan Reformasi Pembangunan yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ing. Bj. Habibi, barulah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Akan tetapi sangat disayangkan, sampai saat ini masalah hak ulayat masyarakat hukum adat tidak
39
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
dapat diperlakukan secara utuh, pada Pasal 3 PP tersebut, karena tanah yang merupakan objek/wilayah yang dimaksudkan PP tersebut telah/masih dikuasai oleh perusahaan asing (sebelum kemerdekaan) dan BUMN maupun swasta pada masa kemerdekaan saat ini. Akibat objeknya tidak ada selama ratusan tahun, maka pada saat ini jelas tatanan hukum dan struktur masyarakat adat tenggelam (mati suri). Bahkan sangat disayangkan tanda-tanda keberadaan hak masyarakat adat habis pada tahun 1968, dengan dihapusnya keberadaan tanah jaluran. Secara ekonomi hak ulayat masyarakat adat sangat penting nilainya, sehingga tanah Labuhanbatu merupakan tumpuan harapan hidup para pengusaha asing, karena tanahnya yang sangat subur, sehingga hasilnya sangat besar, yang dapat memberikan kontnbusi keuntungan baik kepada pengusaha maupun kerajaan pada saat itu. Demikian juga setelah masa kemerdekaan perusahaan asing maupun pemerintah tetap mendapat keuntungan yang sama. Bagi masyarakat hukum adat keberadaan perusahaan asing, BUMN maupun swasta belum terasa memberatkan. Akan tetapi sejak dikeluarkannya surat keputusan Gubemur Sumatera Utara Nomor : 370/III/GSU/1968 Tanggal 16 Juli 1968 tentang penggarapan tanah jaluran dihapuskan, maka ekonomi masyarakat adat itu (Melayu) semakin berat sampai saat ini. Apalagi keberadaan posisi/letak kampung-kampung masyarakat adat yang masih ada sekarang sangat terpencil karena keberadaannya di antara sungai dan pegunungan perbatasan perusahaan perkebunan, baik BUMN maupun swasta. Dengan demikian pengembangan dari segi ekonomi menjadi punah.
40
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Dengan hilang/hapusnya objek/wilayah hukum masyarakat adat, maka dengan sendirinya, secara perlahan-lahan sosial budaya (adat budaya) Masyarakat Adat menjadi tenggelam (mati suri), bahkan dikhawatirkan akan punah. Keadaan ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya : a. dari segi ekonomi, sumber pendapatan masyarakat adat terus berkurang, karena lahan pencarian yang bertambah sempit. b. dari segi hukum formal, keberadaan hukum formal yang kurang tegas dan selalu menjauh dari masyarakat adat. c. dari segi pengaruh budaya lain, akibat dari kedua faktor tersebut maka menjadi terimbas terhadap keberadaan sosial budaya (adat budaya) masyarakat adat. Bahkan dikhawatirkan adat budaya masyarakat adat akan punah, diantaranya : a. sistem pola tanam padi b. model panen padi c. pola hidup gotong royong d. menghadapi pesta perkawinan e. perduli terhadap lingkungan f. dan sebagainya. Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Gubemur Sumatera Utara Nomor : 370/III/GSU/1968 Tanggal 16 Juli 1968 berakibat buruk bagi masyarakat adat, karena salah satu sumber penghasilan menjadi punah. Dengan demikian mengganggu keamanan dan sekaligus ketertiban. Jenis jenis kerawanan yang ditimbulkan diantaranya : a. terjadi bentrokan antara masyarakat adat dengan pihak perkebunan
41
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
b. di sekitar perkebunan sering terjadi perampokan, baik malam maupun siang hari. c. sebagian anggota masyarakat kurang mengindahkan kaedah hukum d. dan sebagainya. Yang dikemukakan di atas merupakan sumbang saran dan pemikiran dari Pengurus Raja Adat Marga Hasibuan dan Tim Kajian Pemekaran Labuhanbatu Kabupaten Labuhanbatu kepada pihak Ekskutif dan Legislatif Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, sebagai rasa tanggung jawab untuk menyumbangkan pemikiran dalarn penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat adat di Kabupaten Labuhanbatu.
D. Upaya Masyarakat Adat Republik ini tampaknya lupa pada asal usul-usulnya sehingga masyarakat adat, yang sudah hidup lebih dulu, seringkali tidak diakui keberadaannya. Tidak mengherankan kalau ada hak-hak masyarakat adat yang diabaikan. Akibatnya, di sejumlah daerah muncul konflik yang sangat merugikan. Padahal bangsa ini sangat membutuhkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk membangun negara. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur Daerah Istimewa
Yokyakarta
Sultan
Hamengku
Buwono
X
dalam
serasehan
Nasional
Pemberdayaan Lembaga Adat dan Adat Istiadat Dalam Rangka Penguatan Persatuan dan Keasatuan Bangsa “Kepemilikan tanah oleh masyarakat adat, tidak akan diakui negara kalau tidak berbadan hukum sehmgga ketika masyarakat memanfaatkan lahan dituduh perambah illegal” (Kompas: 20 Desember 2005).
42
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Menurut Sultan, diperlukan kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk memberdayakan dan menghargai masyarakat lokal dan lembaga adat. Namun, pada saat yang sama masyarakat adat juga harus melangkah ke konteks kekinian dan menghargai kebangsaan, dan mentransformasikan budaya dengan kearifan lokal. Kalau tidak, apa kita harus mengusir transmigran dan BUMN yang dituduh menyerobot tanah adat. Kalau ini yang terjadi, maka kita hanya menghidupkan kembali neofeodalisme yang justru saya tentang “ujar Sultan” yang menambahkan bahwa banyak orang yang hidup dalam romantisme masa lalu, tetapi tidak berbuat untuk menghidupkan semangat masa lampau itu. Dengan kearifan, bangsa ini sebenarnya bia menyelesaikan sendiri semua masalah yang muncul. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat adat dalam menyelesaikan persoalan yang muncul, dan pada saat yang sama , masyarakat adat juga perlu membuka diri. Dengan keluarnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 5 Tahun 1999 dan berkaitan dengan penjelasan Bapak Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid di depan Konferensi Nasional Pengembangan Sumber Daya Alam yang menegaskan bahwa PT. Perkebunan (PTP) sepatutnya merelakan 40 persen tanah yang dikuasainya untuk dikembalikan kepada rakyat. Sebab banyak tanah yang sekarang dikuasai PTP, sesungguhnya milik masyarakat yang diambil tanpa dibayar. Kalau masyarakat rela, mereka bisa memiliki 40 persen saham PTP tersebut (KOMPAS, Rabu, 24 Mei 2000). Di Kecamatan Bilah Barat Kabupaten Labuhanbatu tetap menguasai lahan yang menjadi hak adat mereka, yang belakangan ini mereka memanggil investor keturunan
43
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
untuk mengolah tanah tersebut dengan syarat dibuatkan jalan, musalla, sekolah agama dan diberikan setiap kepala keluarga 1 Ha tanah. Dan di daerah Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhanbatu mempercayakan kepada sebuah LSM “BILHAL” untuk mengurus tanah mereka yang bersengketa dengan perasahaan swasta PTTN. Tetapi perlu disadari bahwa dasar hukum UUPA adalah hukum adat dan telah diterjemahkan kembali oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dengan peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa tanah-tanah ulayat harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam peraturan tersebut (Hasil wawancara dengan Jappar Nasution, seorang pemangku adat di Kecamatan Sungai Kanan).
44
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
BAB III ANALISIS PERMASALAHAN
A. Keberadaan Hak Ulayat Ditinjau Dari UUPA di Kabupaten Labuhanbatu. Beberapa pandangan tentang pengertian dan kedudukan hukum adat di dalam perundang-undangan agraria yang berlaku secara nasional mengundang berbagai tanggapan dan pendapat menyangkut eksistensi UUPA, dalam hubungannya dengan hukum adat. Dengan lahirnya UUPA ditandai dengan diundangkan pada tanggal 24 September 1960
yang
mengakibatkan
terjadinya
perubahan
besar
dan
prinsipil
dalam
perundang-undangan yang menyangkut agraria, sehingga lenyaplah dualisme dalam hukum pertanahan kita. Hukum Eropah seprti tersebut dalam Buku II Burgerlijke Wetboek sepanjang mengenai: bumi, air dan ruang angkasa serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, sepanjang sudah diatur di dalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai pelaksanaan atau perwujudan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas-asas kekeluargaan. Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat (4) Perekonomian nasional
45
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan bersendikan pada hukum adat nasional yang diakui sebagai permulaan besar dari kodifikasi hukum nasional yang menurut para ahli memberi gambaran jelasnya sebagai berikut : 1. Soeripto: menilai UUPA ini sebagai salah satu hasil usaha untuk menjebol tata hukum kolonial. 2. Wirjono Prodjodikoro: Menilai UUPA ini dapat dikaji sebagai suatu langkah perbaikan perundang-undangan di bidang hukum perdata. 3. AP. Parlindungan: menilai UUPA sebagai karya terbesar di bidang hukum setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. 4. S. Adiwinata : mengatakan bahwa UUPA bukan saja mengadakan perombakanperombakan secara struktural mengenai kedudukan hukum tanah di Indonesia tetapi juga secara tidak langsung merombak sistem hukum adat. 5. Subekti: menulis bahwa dalam rangka upaya mengadakan unifikasi maka kita telah mencapai suatu hasil yang gemilang dalam bidang hukum tanah, yaitu dengan tercapainya atau terciptanya unifikasi dalam waktu yang singkat disebabkan adanya dorongan yang kuat yaitu urgensi untuk mengadakan suatu landreform; dan upaya ini merupakan pendobrak hukum agraria kolonial dan merupakan alat pembuka kemungkinan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.
46
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
6. Boedi Harsono: menilai dengan berlakunya UUPA terjadiIah perubahan fundamental pada hukum agraria Indonesia yang berupa penjebolan hukum agraria yang lama dan pembangunan hukum agraria yang baru. Dari pendapat para ahli tersebut di atas maka disimpulkan harus diadakan landreform (penataan tentang pertanahan) yang bermuara pada : a. Adanya keahlian sosial dalam bidang pertanahan b. Emansipasi para petani c. Pembangunan sosial ekonomi yang merata sampai pada rakyat jelata, rakyat petani. UUPA telah berhasil mewujudkan menurut dasar pada hukum adat, berarti hukum adat menduduki posisi sentral di dalam sistem hukum agraria nasional. Hal ini secara abstrak dapat ditunjuk dasar-dasarnya tetapi bila kita ingin melihat secara konkrit akan banyak timbul kesulitan dalam bagaimana sebenarnya hukum adat itu dan hukum adat yang mana ditempatkan sebagai dasar hukum agraria nasional. Memang benar di dalam konsideransnya dinyatakan UUPA disusun berdasarkan hukum adat tetapi kenyataan selanjutnya cara penyusunannya tidak diikuti oleh cara-cara seperti terjadi pada hukum adat. Dikaitkan dengan UUPA Pasal 5 yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan
47
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Sedangkan jika diurut ke atas maka Pasal 3 mengatur sebagai berikut : “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”. Mengenai hak ulayat dan pengakuannya oleh UPPA, Maria S. W. Sumardjono menyatakan bahwa dengan semakin meingkatnya kebutuhan atas tanah untuk keperluan pembangunan, sementara tanah negara hampir tidak tersedia lagi, isu tentang eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional. Ada dua pandangan/sikap mengenai hal tersebut, yaitu di satu pihak terdapat kekhawatiran, bahwa hak ulayat yang semula tidak ada lagi, kemudian dinyatakan “hidup”. Di pihak lain ada kekhawatiran, bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, akan semakin mendesak hak ulayat yang keberadaannya dijamin oleh Pasal 3 UUPA. UUPA sendiri tidak memberikan penjelasan tentang pengertian hak ulayat, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht, UUPA juga tidak memberikan kriteria mengenai hak ulayat itu (Koesnadi Hardjasoemantri, 2001: 157-158). Hak menguasai oleh negara dapat dikuasai pada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sehingga dari UUPA disimpulkan muara akhir dari penguasaan
48
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
tanah di Indonesia adalah : Hukum Adat dan Hak Ulayat tunduk kepada hukum adat, permasalahan timbul hukum adat yang mana dan siapa pelaksananya. Pengertian tentang hukum adat menurut pendapat para sarjana : 1. Soeripto Hukum adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstaturory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwujud tetap ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan berkuasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 2. Soekanto Hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dilibatkan, tidak dimodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai saksi, jadi mempunyai akibat hukum. Dihubungkan dengan ketentuan dalam UUPA, di Indonesia menurut pembagian lingkungan hukum adat menurut Van Vollenhoven sebanyak 19 (sembilan belas) lingkungan secara nyata masing masing lingkungan hukum adat tersebut tunduk dan taat secara konsekuen dengan hukum adat di lingkungannya yaitu : dipatuhi oleh masyarakat setempat, 19 lingkungan hukum adat itu mempunyai kedudukan yang sama. Khusus mengenai hak ulayat diakui eksistensinya dalam Hukum Tanah Nasional kita sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 3 UUPA. Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh masyarakat hukum adat
49
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
yang bersangkutan masing-masing menurut ketentuan hukum adat setempat dengan mengingat keberadaannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah negara. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 ditetapkan sebagai pegangan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan melaksanakan urusan pertanahan pada umumnya dalam hubungannya dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Pasal 2 ayat (1) menyatakan, bahwa pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pada mulanya tanah ulayat dijumpai hampir pada seluruh wilayah Indonesia. Tetapi dengan bertambah kuatnya hak penguasaan pribadi atas bagian-bagian tanah ulayat oleh para warga masyarakat hukum adatnya, juga karena faktor-faktor di luar masyarakat hukum adat yang bersangkutan sendiri, secara alamiah kekuatan hak ulayatnya tambah lama menjadi tambah melemah, hingga akhimya menjadi tidak tampak lagi keberadaanya_ Karena pada kenyataannya keadaan dan perkembangan hak ulayat saat ini sangat beragam, tidak mungkin dikatakan secara umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat hukum adatnya masih ada atau sudah tidak ada lagi atau tidak pernah ada sama sekali. Pasal 5 ayat (1) menyatakan, bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pakar-pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah
50
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instans-instansi yang mengelola sumber daya alam. Masih adanya hak ulayat di suatu masyarakat hukum adat hanya dapat diketahui dari hasil tinjauan dan penelitian setempat. Hasil penelitian yang diadakan itupun tidak selalu digunakan sebagai proto-tipe keberadaan dan berlakunya hak ulayat di wilayah bersangkutan (Boedi Harsono, 2000: 6-7). Keberadaan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 telah memberi peluang menuju pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat, sehingga penjabaran dan pelaksanaan ketentuan itu terpulang kepada kita untuk menyambutnya dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan dalam menikmati hak-hak yang adak diperoleh dan disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta strategi yang dapat diupayakan untuk melestarikan hak-hak masyarakat adat berkelanjutan. Hal ini merupakan penjabaran dari Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pada kenyataanya di daerah Kabupaten Labuhanbatu terdapat hak masyarakat adat yang dihentikan dan dibekukan. Menurut OK. Saidin, hak adat adalah hak yang melekat secara turun temurun terhadap masyarakat adat yang tidak dapat hapus oleh suatu keadaan (tak lapuk karena hujan, tak kering karena panas). Oleh karena itu jika ada upaya untuk menghapuskan hak-hak adat baik secara legal-konstitusional maupun
51
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
secara illegal-konstitusional, maka itu dikatakan sebagai peningkatan kalau tidak ingin disebut sebagai pengkhianatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Lahan-lahan perairan pinggiran pantai (baik rawa maupun paya) yang ditumbuhi hutan bakau maupun nipah yang dalam terminologi UUPA No. 5 Tahun 1960 dirumuskan sebagai tanah yang “dikuasai” oleh Negara yang terbentang di sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera Timur sesungguhnya adalah hak ulayat masyarakat Melayu Sumatera Timur, yang melekat secara turun temurun, oleh karenanya harus dihormati sebagai institusi/pranata hukum yang hidup. Demikian pula lahan-lahan yang terbentang luas di Kabupaten Labuhanbatu adalah lahan yang diusahakan oleh PT. Perkebunan Nusantara (dahulu pengusaha onderneming Belanda) dan perkebunan swasta lainnya yang dikelola di atas tanah hak ulayat masyarakat adat, jika hak-hak tersebut berakhir (tadinya berasal dari hak erfacht versi KUH Perdata dikonversi menjadi Hak Guna Usaha versi UUPA No. 5 tahun 1960) maka seyogyanya tanah tersebut kembali kepada masyarakat hukum adat (berdasarkan akta konsesi 1884 dan 1892, konrak-kontrak tersebut diikat oleh pihak Sultan selaku pemangku adat dengan pihak pengusaha perkebunan). Negara dalam hal ini berusaha memposisikan dirinya menurut Undang-Undang Pokok Agraria yakni sebagai pemegang “hak menguasai” bukan “eigendom” atau pemilik. Pemilik sesungguhnya adalah masyarakat hukum adat. Pihak PTPN dan
Perkebunan
Swasta lamnya adalah pihak yang diberi hak untuk “berusaha” di atas lahan
52
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
milik masyarakat hukum adat yang dalam terminologi Negara berdaulat dapat dibaca sebagai Hak Guna Usaha (HGU) di atas tanah hak ulayat yang dikuasai oleh Negara Berdasarkan kerangka itu pihak pemegang HGU harus menjalankan fungsi sosial HGU tersebut sesuai dengan amanah Pasal 6 UUPA tahun 1960: “Semua hak-hak atas tanah berfungsi sosial” yang selama ini diabaikan oleh pihak pemegang HGU. Oleh karena itu setiap upaya perpanjangan, pengelolaan bahkan sampai pada penentuan distribusi pendapatan dari hasil pengelolaan HGU tersebut harus melibatkan masyarakat hukum adat. Khusus untuk hak ulayat laut dan pinggiran pantai pengelolaannya sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat setempat. Oleh karena itu setiap ada usaha untuk pemanfaatan atau pengelolaan lahan hak ulayat tersebut secara formal harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setelah mendengar pertimbangan dari persekutuan masyarakat hukum adat setempat (OK. Saidin, 2002: 1) Sedangkan secara nyata di kantor Badan Pertahanan Nasional Kabupaten Labuhanbatu, sampai hari ini belum ada tanah ulayat yang didaftarkan, hal ini terjadi kata seorang Raja Adat Hasibuan, masyarakat tidak mau mengeluarkan dana untuk pendaftaran, selanjutnya urusannya sangat rumit dan berbelit-belit. Lanjutnya kata Raja Adat Hasibuan tersebut, kalaupun ada hak ulayat yang diserobot oleh PTPN dan perusahaan swasta mereka serahkan kepengurusannya kepada LSM-LSM yang mengurusnya, mereka hanya hanya mau mengumpulkan uang sekedar dana transportasi pengurus LSM tersebut, sehingga banyak urusan tanah adat yang hingga saat ini tidak dapat diselesaikan oleh PEMKAB Labuhanbatu.
53
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
B. Pengolahan, Kepemilikan Tanah Ulayat Sebagai Upaya Penertiban Administrasi Pertanahan. Hak ulayat sebagaimana dimuat terdahulu mempunyai peran ganda ke dalam dan ke luar sehingga diperlukan upaya untuk memelihara dan mempertahankan hak ulayat, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dilakukan secara langsung dengan memasang tanda/papan pengumuman sebagai tanda milik, dapat dilakukan dengan memasang pasak-pasak, dapat pula dilakukan dengan membuat patok tanda batas keliling wilayah kekuasaan/ulayat dimaksud. Tetapi cara seperti itu jarang dilakukan mengingat masyarakat persekutuan itu tempat tinggalnya tersebar di beberapa tempat, apalagi hak ulayat ini adalah tanah kosong yang luas. Upaya lain yang dilakukan dengan cara menunjuk petugas yang bertugas mengawasi dan menjaga tanah ulayat persekutuan dari serobotan orang dari luar persekutuan. Cara lain untuk memelihara dan menjaga hak ulayat suatu masyarakat adat tertentu adalah dengan mengusahai, mengolah tanah adat secara berlanjut; penguasaan dan pengolahan untuk tertibnya dilakukan oleh kepala suku dengan membagi-bagikannya kepada warga persekutuan untuk dijadikan lahan pertanian masing-masing secara perorangan. Demikian juga apabila warga persekutuan sendiri yang memilih sebidang tanah hutan dan selanjutnya memberi tanda tapal batas dengan seizin dan atau sepengetahuan Pemangku Adat, berarti secara nyata telah dilakukan hubungan hukum dengan tanah
54
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
ulayat tersebut, selanjutnya hanya dialah yang berhak mengerjakan tanah itu sepanjang dikelola dengan baik dan berlanjut. Sebaiknya bila tanah yang digarap itu akhirnya diterlantarkan serta tidak diurus atau diperdulikan lagi, maka Pemangku Adat dapat meminta kembali tanah ulayat atau menanyakan apakah tetap mengolah tanah itu atau menyerahkannya kepada persekutuan masyarakat adat, selanjutnya diserahkan kepada warga lain. Secara teoritis atau idealnya demikianlah pemeliharaan dan pelestarian kepemilikan dan pengolahan atas tanah adat atau hak ulayat tetapi sejalan dengan perkembangan nilai sebidang tanah yang sudah mengarah kepada sikap ekonomis dan sudah mengurangi sikap magis religius antara manusia dengan tanah dan seiring pula pergantian generasi yang biasanya kepala suku, Pemangku Adat sudah lebih tua sedangkan yang mengolah relatif masih usia muda sehingga asal-usul/sejarah tanah akan semakin kabur. Pengakuan sepihak orang yang mengolah, menguasai yang beralih sikap menjadi pemilik yang dengan sewenang-wenang menjual kepada orang lain, baik warga persekutuan maupun orang yang berasal dari daerah lain. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 (PP No. 10/1961) mengatur mengenai tanah di Indonesia, dahulu disebut Kantor Kadaster berkedudukan di kota-kota yang bertugas mengurus pendaftaran tanah yang tunduk sebelumnya pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata Barat. Sedangkan pada waktu itu untuk golongan bumi putera belum ada ketentuan tentang pendaftaran tanah yang seragam dan permanen, karena
55
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
masih tergantung pada daerah-daerah, secara khusus di Sumatera Utara berlaku berbagai kebijakan setempat menurut pemimpin, raja, pemangku adat atau lain-lainnya. Pendaftaran tanah sebagai suatu proses tata cara demi terwujudnya kepastian hukum yang sah tentang penguasaan tanah. Sebagaimana dalam memori penjelasan UUPA yang menyebutkan salah satu tujuan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk terciptanya kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah termasuk subjek (pemilik hak) dan objek (lokasi tanah). Dalam hukum adat pengalihan hak atas tanah dilakukan secara terang dan tunai, disebut terang apabila dilaksanakan secara adat, disaksikan oleh pengetua, pemangku adat, yang dalam kenyataannya sekarang ini hanya dilaksanakan di hadapan Kepala Desa setempat, walaupun secara jelasnya transaksi ini diakui sebagai akte di bawah tangan. Transaksi demikian dalam perkembangan selanjutnya mempunyai kelemahan karena buku desa tentang peralihan hak/pemilik dan sejarah tanah tidak termuat secara rinci di Kantor Desa. Hal ini berbeda dengan Buku Desa yang terdapat di Jawa Barat yang dimuat dalam Buku C desa dan Giriknya yang menurut sejarah, pemecahan atas kepemilikan sebidang tanah termasuk batas-batas dan luasnya masing-masing. Pendaftaran tanah, termasuk tanah adat yang diprogramkan pemerintah demi terwujudnya ketertiban administrasi pertanahan ditujukan demi memberikan kepastian hukum kepada seseorang atas tanah yang dimiliki selain itu tujuan lainnya untuk menghindari terjadinya sengketa mengenai batas maupun statusnya. Karena dengan
56
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
pendaftaran ini usaha tanahnya akan diukur dengan dikeluarkannya surat ukur/gambar situasi, pengukuran mana dilakukan secara teliti dan setepat mungkin. Mengenai manfaat pendaftaran tanah oleh Douglas J. Whalen, mempunyai 4 (empat) keuntungan :
1. Security and certainly of title, sehingga kebenaran dan kepastian dan hak tersebut baik dan rangkaian peralihan haknya dan kedua jaminan bagi yang memperolehnya untuk adanya suatu klaim dari orang lain. 2. Peniadaan dan keterlambatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut tidak perlu selalu mengulangi dari awal setiap adanya peralihan hak, apakah dia berhak atau tidak dan bagaimana rangkaian dari peralihan hak tersebut. 3. Penyederhanaan atas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian peralihan hak itu disederhanakan dan segala proses akan dapat dipermudah. 4. Ketelitian: dengan adanya pendaftaran maka ketelitian sudah tidak diragukan lagi. Pendaftaran tanah juga dapat memberikan informasi mengenai suatu bidang tanah, baik mengenai penggunaan, dan pemanfaatan tanah terhindar dari kekeliruan. Sehubungan dengan kebijakan dan perencanaan, penguasaan, penggunaan tanah, perencanaan pengaturan pemilikan tanah diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 tahun 1986 yang pada Pasal 3 menjelaskan sebagai berikut :
a. Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan penguasaan dan penggunaan tanah. b. Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip-prinsip dalam UUPA.
57
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
c. Melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaflaran tanah dalam upaya memberikan kepastian di bidang pertanahan. d
Melaksanakan pengukuran hak-hak tanah dalam rangka memelihara tertib administrasi di bidang pertanian.
e. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan. f. Dan lain-lain yang ditetapkan oleh Presiden. Pada dasarnya pemerintah melakukan pendaftaran atas semua tanah di Negara Indonesia, hal ini didasarkan pada Pasal 19 UUPA yang mengatur : 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 2. Pendaftaran tanah tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi : a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan perahhan hak-hak atas tanah c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta memungkinkan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
58
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
4. Dalam peraturan pemenntah diatur biaya biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Sebagai perbandingan tentang penguasaan tanah persekutuan (ulayat) diuraikan di bawah ini hal-hal yang terjadi nyata di Sumatera Barat/Minangkabau; susunan masyarakat Minangkabau diurutkan dari bawah seperti : kaum, suku dan nagari; setiap nagari minimal terdiri dari 4 suku; setiap suku terbagi atas beberapa kaum dan setiap kaum terdiri dari beberapa paruik. Sebagai pimpinan kemasyarakatan adalah laki-laki yang dituakan disebut ninik mamak dengan gelar yang diwariskan secara turun temurun, sedangkan kaum dipimpin oleh mamak/kepala waris; serta paruik dipimpin oleh Tungganai. Sementara di tingkat nagari dipimpin oleh himpunan penghulu suku yang bergabung dalam lembaga kerapatan adat nagari. Struktur penguasaan/pemilikan tanah sejalan dengan susunan kemasyarakatannya setiap tingkat kesatuan masyarakat mempunyai tanah sendiri yang disebut ulayat 3 (tiga) jenis yaitu : a. Ulayat nagari berupa kawasan hutan di luar kawasan hutan lindung atau hutan negara (yang dahulu disebut ulayat raja). Tetapi tidak termasuk kawasan yang sudah menjadi ulayat suku dan ulayat kaum. b. Ulayat suku yaitu hutan di luar kawasan hutan negara/lindung yang belum menjadi ulayat suku. c. Ulayat kaum: tanah yang lepas dari ulayat nagari dan ulayat suku serta bukan pula termasuk tanah milik perseorangan.
59
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Tanah ulayat digunakan untuk kesejahteraan anggota kaum, suku, atau nagari; yang diolah berdasarkan izin ninik mamak atau mamak kepada waris selanjutnya tetap menjadi tanah ulayat, sehingga secara penataan pendaftaran lebih jelas dan lancar adanya karena lembaganya hingga dengan sekarang ini tetap hidup dan berlanjut, dalam hubungan inilah Ismail Saleh, ketika masih menjabat Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam pertemuan Keluarga Sadar Hukum menyatakan agar tanah objek hak ulayat didaftarkan pada kantor Badan Pertanahan Nasional atas nama persekutuan oleh : Kerapatan Adat Nagari atau Ninik Mamak atau Mamak/Kepala Waris atau Tunggani, dengan tujuan agar tanah adat dengan hak ulayat di Sumatera Barat terlindung dan tetap terpelihara. Berbeda struktur kemasyarakatannya dengan masyarakat Sumatera Utara yang masing-masing mempunyai sistem kekerabatan sendiri-sendiri untuk masing-masing etnis suku bangsa, yang nyatanya sekarang ini sudah pupus hilang terhapus tiada bekas, kecuali di Kota Medan yang dikenal dengan adanya Kesultanan Deli yang terakhir menyatakan diri sebagai Pemangku Adat Deli dengan batas wilayah yang tidak jelas karena pada waktu penjajahan telah menyerahkan tanahnya yang luas kepada konversi perkebunan Belanda dan kepada perseorangan di samping kepada keturunan kerabat Melayu Deli juga kepada orang-orang dari suku lain untuk dimiliki. Di daerah Kabupaten lain juga seperti di Kesultanan Asahan, Labuhan Batu di Pantai Timur tanah Kesultanan itu secara nyata sudah tidak ada lagi, yang ada sekarang adalah tanah untuk perorangan.
60
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Demikian juga di daerah Tapanuli, tanah milik marga sebahagian besar sudah dijadikan tanah negara dan marga/tua mengalami kesulitan dalam mendaftarkan tanah leluhur/ulayatnya karena struktur kekerabatan tidak ada yang berkedudukan sebagai pimpinan atau raja dan juga karena anggota persekutuan sudah banyak dan terpencar ke daerah/negara lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Pegawai Negeri Sipil di Kantor Badan Pertahanan Nasional Kabupaten Labuhanbatu yang secara tegas menyimpulkan bahwa di Kabupaten Labuhanbatu tidak ada setifikat atas tanah ulayat, atas nama persekutuan masyarakat adat, sebagai akibat dari sejarah yang secara bertahap dari suatu masa ke masa dan sifat kebersamaan, kekeluargaan/kekerabatan dengan adanya prinsip masyarakat Sumatera Utara yang berubah dari yang bersifat sosial menjadi ekonomis serta pola hidup perekonomian masyarakat yang berubah menjadi industri.
C. Upaya Pemerintah Dalam Menertibkan Keberadaan Hak Ulayat Berdasarkan pertimbangan pada konsiderans UUPA menyatakan : bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomian, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai fungsi yang adil dan makmur dalam bidang agraria. Sebelum UUPA diundangkan masih bersifat dualisme yaitu : berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat, sehingga Presiden Republik Indonesia berpendapat perlu adanya hukum agraria Nasional yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan dapat menjamin kepastian
61
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama; sehingga dapat ditujukan demi kepentingan rakyat Indonesia menurut tuntutan zaman dan kondisi setempat. Baawa UUPA diupayakan menjadi aturan pelaksanaan lebih lanjut dari dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal 33 UUD 1945 dan manifesto politik Republik Indonesia yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan menata penggunaannya, hmgga semua tanah di seluruh wilayah Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat baik secara perorangan maupun secara gotong royong; dengan fungsi sebagai Undang-Undang pokok maka UUPA akan merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi dalam arti lestari untuk selamanya. Hak menguasai dari negara pelaksanaannya adalah hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat adat, sepanjang menurut ketentuannya masih ada, harus sedemikian rupa sehmgga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan asas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum yang dapat memberi wewenang untuk mempergunakan tanah sekedar
62
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang. Hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan dengan sosialisme Indonesia serta peraturan perundang-undangan dengan mengindahkan unsur yang bersandar pada agama. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Repunlik Indonesia yang meliputi : a. Pengukuran, perpetakan dan pembukuan tanah b. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang sah Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Dalam UUPA secara tegas mengakui hak ulayat dengan 2 (dua) syarat yaitu : a. Eksistensinya b. Pelaksanaannya Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tetapi di daerah yang sudah tidak ada lagi tidak akan dihidupkan kembali dan di daerah yang tidak pernah ada tidak akan dilahirkan hak ulayat yang baru.
63
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Adakalanya hak ulayat itu dalam pelaksanaannya oleh para penguasa/Kepala Adat/Pemangku Adat dan sebagainya melakukan upaya yang menghambat atau merintangi upaya pemerintah, karena dewasa ini dalam masyarakat adat masih banyak orang yang mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, tidak mendukung program persatuan dan kesatuan bangsa, yang seakan-akan masyarakat hukum adat itu terlepas dari masyarakat hukum daerah lainnya di lingkungan Indonesia, yang mengangggap masyarakat hukum itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya dan tanah di wilayahnya dianggap hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat hukum adat setempat. Sifat demikian bertentangan dengan UUPA. Mengingat penguasaaan tertinggi atas hak ulayat masyarakat adat adalah pemerintah, maka sudah seharusnya masyarakat menyerahkan hak penguasaan tersebut kepada pemerintah untuk menatanya dan menertibkannya sesuai dengan prinsip landreform atau reformasi di bidang pertanahan. Memang kenyataannya di berbagai tempat masyarakat hukum adat yang masih mempunyai hak ulayat tetapi itensitas eksistensinya bervariasi untuk berbagai daerah untuk memperjuangkan hak ulayat mereka kembali masyarakat adat Kabupaten Labuhanbatu membentuk orgamsasi-organisasi yang menjadi tempat bersatunya mereka sebagai contoh:
a. Forum Pejuang Masyarakat Melayu Sumatera Utara b. Forum Pembebasan Tanah Ulayat Masyarakat Melayu c. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia
64
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Dari keberadaan masing-masing, maka sebagian besar adalah sebagai upaya/tuntutan untuk menghidupkan atau melahirkan lembaga baru yang secara swadaya masyarakat, bukan lembaga resmi yang berdiri menurut peraturan perundang-undangan yang resmi, melainkan hanya klaim sepihak. Lembaga tersebut dari awal tidak dikenal, bahakan ada yang baru muncul dan berupaya menuntut haknya setelah masa reformasi di Negara Indonesia Adapun latar belakang tuntutan masyarakat atau lembaga yang tersebut di atas adalah karena habisnya Hak Guna Usaha PTPN di wilayah Sumatera Timur. Ada yang menuntut hak masyarakat adat tersebut kepada Pemerintah Daerah, tetapi tidak ditanggapi sesuai dengan keinginan mereka, sehingga dengan upaya paksa mereka merebut dan menguasai tanah-tanah perkebunan tersebut secara liar. Bahkan ada warga yang tidak termasuk dalam kriteria masyarakat hukum adat yang ikut dalam organisasi tersebut. Kadang-kadang mereka lebih bersemangat daripada masyarakat hukum adat yang asli. Tujuan mereka adalah bagaimana agar mereka juga memperoleh hak atas tanah ulayat itu, padahal mereka tidak berhak sama sekali. Hal inilah yang membuat perjuangan itu menjadi tidak murni. Dan ada pula upaya dari pihak-pihak yang menamakan dirinya masyarakat yang berhak atas wilayah tanah perkebunan tersebut, tetapi mengapa justru tanah yang akan diambil alih itu justru terletak di pinggiran jalan-jalan utama. Ini tentulah ada indikasi bahwa tanah itu bukan sesungguhnya untuk rakyat, tetapi untuk orang-orang tertentu yang berlindung dan memanfaatkan hak-hak rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional mengalami kesulitan untuk menertibkan keberadaan hak ulayat atas tanah.
65
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Kesulitan penataan itu sendiri terjadi karena penderitaan masyarakat yang masih banyak belum mempunyai sebidang tanah untuk perumahan, persawahan dan perladangan. Faktor lainnya adalah adanya perbedaan pendapat antara aparatur pemerintah, yang sebagian mengakui keberadaan hak ulayat secara lisan dan sebagian lagi meniadakannya. Sengaja UUPA tidak mengatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengenai hak ulayat dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut hukum adat setempat, karena mengatur hak ulayat menurut perancang dan pembentuk UUPA akan berakibat menghambat perkembangan alamiah hak ulayat yang pada kenyataan cenderung melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan bertambah kuatnya hak-hak individu melalui pengaturannya dalam bentuk tertulis. Melemah atau mungkin menghilangnya hak ulayat diusahakan penampungannya dalam rangka pelaksanaan hak menguasai dari Negara dan menggantikan peran kepala adat dalam hubungannya dengan tanah-tanah yang sudah dihaki secara individual oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Perolehan tanah berstatus tanah ulayat untuk kepentingan pembangunan tidak mudah, melainkan selalu melalui proses yang panjang dan rentang waktu yang relatif lama, termasuk peralihan haknya. Sehingga dapat ditegaskan bahwa pendaftaran tanah adat milik bersama masih menghadapi kendala. Di Kabupaten Labuhanbatu tanah adat belum pernah didaftarkan dalam pendaflaran tanah adat, karena masih dalam perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkannya kembali.
66
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
D. Hukum Adat Sebagai Dasar Hak Ulayat Dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hukum). Hak ulayat tersebut berisi wewenang untuk: 1. mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam dan lain-lain), persedian (pembuatan pemukiman/persawahan baru dan lainlain), dan pemeliharaan tanah. 2. mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu); 3. mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan, dan lain-lain)(Koesnadi Hardjasoemantri:1999:158) Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan, bahwa hubungan antara masyarakat hukum ada dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di dalam hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didukinya, terdapat hubungan yang erat sekali “hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis” (Bushaf Muhammad: 1981:103)
67
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini, menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tenah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu. Bersumber dari amanat Undang-Undang Darar 1945, berbagai peraturan perundang-perundangan Nasional yang mengatur tentang pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa, dijadikan pedoman dasar untuk mewujudkan tujuan negara dan tujuan nasional dalam pembangunan berkelanjutan (Alam Setia Zain, 1995: 13). Dengan adanya penataan lingkungan yang dikaitkan dengan hubungan antara manusia dan lingkungan sosial budayanya, maka pembangunan manusia seutuhnya yang berwawasan lingkungan, sehingga tercipta masyarakat aman, tertib dan damai, sesuai yang diharapkan oleh pemerintah dalam mensukseskan pembangunan seutuhnya. Kalau pemerintah dapat menghargai hak-hak rakyat yang selama ini telah turuntemurun menguasai tanah adat mereka, maka rakyatpun akan turut serta dalam menciptakan suasana kondusip di tengah-tengah masyarakat, serta mendorong pembangunan yang berwawasan pancasila. Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia, maka dengan wawasan nusantara dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lmgkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup diamanatkan untuk tercapainya kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan
68
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
yang berwawasan lingkungan (ramah lingkungan) berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Demikian sebahagian konsiderans pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPH). Dihubungkan dengan materi pasal demi pasal yang secara khusus perlu diperhatikan tentang : Pasal 1 butir 1 dan 2 yang menyatakan pengelolaan lingkungan hidup adalah : a. Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. b. Upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Sarana pengelolaan lingkungan hidup di antaranya adalah : tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dan terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan membina lingkungan hidup. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup. Pengelolaan lmgkungan hidup dihadapkan dengan hak ulayat mempunyai kaitan dan ketergantungan antara satu dengan lainnya jika dengan itikad dan kesadaran penuh
69
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
untuk melibatkan dan menghormati hukum adat atas tanah adat, maka hak-hak masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya akan terlindungi dengan baik pula. Dalam pengembangan lingkungan hidup yang melibatkan masyarakat adat adalah harus didasarkan pada eksistensi hak ulayat, yang selanjutnya dengan berpegang pada konsepsi hukum adat. Menurut Maria SW Soemardjono ada 3 (tiga) kriteria eksistensi hak ulayat yaitu; Masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik tertentu. a. Adanya objek hak ulayat berupa tanah yang menjadi daerah penguasaaanya b. Adanya kewenangan dari masyarakat hukum adat untuk mengelola tanah di wilayahnya, termasuk menentukan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan penyediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestariannya. Jika ketiga hal di atas telah terpenuhi secara kumulatif rasanya cukup objektif untuk memastikan masih adanya hak ulayat. Dengan demikian suatu masyarakat hukum adat merasa berhak atas sebidang tanah namun tidak memiliki dua kriteria lainnya maka secara rela harus mau menerima kenyataan bahwa hak ulayat pada masyarakat itu sudah tidak ada lagi, karena hakekatnya secara sosiologis sejak Indonesia meredeka, masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia. Namun di lain pihak jika ketiga unsur kriteria telah terpenuhi maka harus diberikan pengakuan hak tersebut di samping pembebanan kewajiban oleh negara. Pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk diperlukannya izin terlebih dahulu dari masyarakat hukum adat jika ada pihak yang memerlukan, jika perlu jangan memberikan
70
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
pemulihan keseimbangan berupa apapun yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat. Hak ulayat yang sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara harus memenuhi kriteria
yang
tersebut
di
atas
dengan
memperhatikan
peraturan-peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pengakuan tentang hak ulayat, yaitu dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat hukum Adat pada tanggal 24 juni 1999. Peraturan Menteri tersebut ditetapkan dengan pertimbangan: a. bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyatannya masih ada, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut undang-undang Pokok Agraria); b. bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini dibanyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusannya, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya; c. bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya;
71
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
d. bahwa sehubungan dengan itu perlu diberikan pedoman yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan melaksanakan urusan pertanahan pada umumnya dalam hubungannya dengan hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut dikemudian hari. Dari sudut wewenangnya oleh pemerintah dikaitkan dengan hak menguasai yang ada pada negara sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang. No. 4 tahun 1982 Tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (Lembaga Negara No. 3215), dikaitkan dengan penjelasan UUPA tentang : Hak menguasai dari negara, yaitu hak ulayat yang diangkat paling atas, yaitu pada tingkatan menyangkut seluruh wilayah Negara, memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Berdasarkan wewenang tersebut Negara berperan ganda yaitu :
1. Ke Dalam a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan-keperluan yang bersifat politis, ekonomis dan sosial (Pasal 14 ayat (1) UUPA), sedangkan Pemerintah Daerah juga diharuskan membuat rencana yang demikian itu sesuai dengan rencana pusat (Pasal 14 ayat (2) UUPA).
72
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi perorangan/badan hukum tertentu dimungkmkan mempunyai hak milik privat atas tanah. c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki/dikuasai perorangan (Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA), kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarga (Pasal 9 ayat (2) UUPA). d. Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri, dengan beberapa pengecualian (Pasal 10 UUPA). Hal ini menjaga jangan sampai ada absenteisme. e. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dan bahwa memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya dan mencegah kerusakannya merupakan kewajiban siapa saja yang mempunyai suatu hak atas tanah (Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA). f. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, ruang angkasa dan sebagainya. Misalnya soal hak guna usaha, hak guna bangunan, sewa menyewa dan sebagainya seperti tersebut juga dalam pasal 16 UUPA.
73
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
g. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA) dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 37 dan Pasal 38 UUPA). h. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA). i. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA).
2. Ke Luar a
Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa di dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bersifat abadi (Pasal 2 ayat (3) UUPA). Hal ini berarti bahwa hubungan ini tidak dapat diputuskan oleh siapapun.
b. Menegaskan bahwa orang asing (bukan bangsa Indonesia) tidak dapat mempunyai hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalam wilayah Indonesia. Hanya warga negara Indonesialah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dan yang terkuat itu (hak milik atas tanah) di seluruh wilayah Indonesia (Pasal 21 UUPA). Wewenang-wewenang tersebut di atas harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) sebagai berikut : “Ayat (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
74
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, adil dan makmur”. Hak menguasai dari negara meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang : a. di atasnya sudah ada hak-hak perorangan/keluarga, apapun nama hak itu. b. di atasnya masih ada hak ulayat dan hak-hak semacam itu, apapun nama hak tersebut. c. di atasnya ada hak-hak tersebut sub a dan b dan/atau sudah tidak ada pemegang hak-hak tersebut. (Misalnya bekas tanah Swapraja, tanah bekas hak-hak Barat, tanah tak bertuan, hutan negara dan lain-lain sebagainya),
Sebagai perbandingan tentang hak ulayat dikutip pendapat Mr. CCJ Muassen dan A. PG. Hens dalam bukunya Agrarische regelingen voor het Gouvernements gebied van Java en Madura (Peraturan-peraturan agraris di daerah Gubeneeman Jawa dan Madura) jilid I halaman 5 menerangkan sebagai berikut : “yang dinamakan hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi yang belum dapat diselesaikan”. Demikian erat dan saling mendukung adanya hukum adat sebagai dasar hak ulayat dalam hubungannya dengan peranan masyarakat di Sumatera Utara dalam melakukan peranan serta kewajibannya memelihara kelestarian lingkungan dan fungsi
75
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
lingkungan hidup secara sederhana, sehingga terhindar dari adanya pertentangan/gejolak dalam menentukan status sebidang tanah khususnya tanah jaluran yang diklaim sebagai tanah adat dan hak ulayat nyatanya hanya sebagai peminjam sementara Van Vollenhoven dalam bukunya Een Adat Wetboekje voor hell Indonesie menegaskan sebagai berikut : a
Beschikkingsrecht atas tanah hanya dapat dimiliki oleh persekutuan hukum (gemeenschap) dan tidak dapat dimiliki oleh perseorangan.
b. Beschikkingsrecht tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya. c. Jika hak itu dilepaskan untuk sementara, maka bilamana ada alasan selain kerugian untuk penghasilan-penghasilan yang hilang harus dibayar cukai (heffingen) oleh orang-orang asing menurut hukum adat diwajibkan membayar kepada persekutuan hukum (gemeenschap) yang memiliki tanah itu. Selain para warga masyarakat hukum adat sendiri, bukan wargapun dengan izin Pengusaha Adat yang bersangkutan diperbolehkan menguasai sebagian tanah ulayat untuk diusahakan, dengan pemberian apa yang dikenal sebagai pengisi adat. Penguasaan tanahnya sifatnya sementara. Untuk keperluan Proyek-Proyek Pembangunan, baik Pemerintah maupun swasta dimungkinkan Penguasaan dan penggunaan bagian-bagian tanah ulayat yang tersedia. Penguasaan dan penggunaan tanah-tanah itupun harus melalui tata cara hukum adat setempat yang berlaku, yaitu dengan seizin Penguasa Adat dan pemberian apa yang disebut recognitie.
76
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
Hal ini dicapai melalui musyawarah dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk recognitienya. Diikuti dengan upacara penyerahan tanah yang diperlukan pemberian recognitie yang disepakati. Proyek itupun jangan merupakan suatu “enclave” dalam lingkungan masyarakatmasyarakat hukum adat yang bersangkutan. Tetapi hendaknya bisa merupakan bagian daripadanya, hingga pada kenyataanya benar-benar dirasakan manfaatnya bagi masyarakat lingkungannya. Kesepakatan mengenai penyerahan tanah itu meliputi kejelasan jangka waktu penguasaanya, apakah hanya selama waktu yang ditentukan atau tanpa batasan waktu. Tidak diperhatikannya hal itu bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Mengenai recognitienya perlu juga ada kesepakatan yang jelas. Recognitie mengandung arti “Pengakuan”. Pemberian recognitie merupakan wujud pengakuan bahwa tanah yang diterima penyerahannya itu adalah tanah ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sebelum kegiatan pembangunan dilaksanakan secara besar-besaran tidaklah terlalu sukar memperoleh tanah ulayat yang diperlukan, asal ditempuh tata cara dan persyaratan hukum adat yang bersangkutan, seperti yang diuraikan di atas. Tetapi setelah dalam era pembangunan kegiatan ekonomi yang memerlukan tanah luas direncanakan dan dilaksanakan secara besar-besaran. Kebutuhan akan tanah merambah meliputi juga tanah-tanah ulayat yang semula tidak tersentuh oleh kegiatan ekonomi modern. Para ketua adat dan warganya menjadi terbangun dan menyadari akan meningkatnya nilai ekonomi tanah ulayat dan tanah pribadinya sebagai sumber
77
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
perolehan uang yang merupakan sasaran dan ukuran bagi tercapainya kemakmuran pribadi para warga masyarakat hukum adat tersebut. Memperoleh tanah tidak semudah sebelumnya. Kenyataan perkembangan keadaan tersebut berpengaruh juga pada penentuan bentuk dan besarnya recognitie yang harus diberikan. Kalau dulu cukup berupa benda-benda yang dipercayai mempunyai nilai magis, tanpa memperhatikan nilai ekonomisnya. Ataupun hanya dalam bentuk pemberian fasilitas umum bagi masyarakat hukum adat tersebut. Saat ini tuntutan itu berubah menjadi bentuk uang. Banyak sengketa mengenai penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang sedang digunakan oleh Pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta perkebunan, industri dan pertambangan, berdasarkan izin usaha dan /atau surat keputusan pemberian hak yang sudah didaftar dan ada tanda bukti sertifikatnya. Kalau perolehan tanahnya tidak melalui tata cara sebagai yang dikemukakan di atas, memang besar kemungkinan timbul sengketa itu. Berusaha memperoleh tanah ulayat yang diperlukan semata-mata atas dasar izin usaha atau surat pemberian hak oleh pejabat atau instansi Pemerintah saja, tidak tertutup kemungkinan akan menghadapi kesulitan di kemudian hari. Yang sudah mengikuti ketentuan hukum adatpun ada yang menghadapi sengketa. Mungkin mengenai masalah bentuk recognitienya yang dirasakan sekarang kurang wajar atau ada provokator yang menggunakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
78
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian penjelasan Laporan Penelitian sebagaimana tersebut di atas disimpulkan sebagai berikut : 1. Hak ulayat masih diakui dengan syarat-syarat : a. Sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara b. Masih ada dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat c. Pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan udang-undang dan peraturanperaturan yang lebih tinggi. 2. Masyarakat hukum adat di Kabupaten Labuhanbatu masih mengakui keberadaan hak ulayat mereka, walaupun sebagian masih dikuasai pihak PTPN dan Perusahaan Swasta lainnya dengan HGU. Mereka mengharapkan pengakuan dari Pemerintah Daerah dan Pusat atas hak ulayat mereka tersebut, dan mereka berharap agar HGU PTPN dan Perusahaan Swasta yang sudah habis jangan diperpanjang lagi. 3. Gencarnya tuntutan masyarakat terhadap hak ulayat di Kabupaten Labuhanbatu adalah untuk mempertahankan keberadaan hak ulayat mereka, walaupun tidak dapat diingkari juga ada sebagian masyarakat yang bertujuan untuk kepentingan yang bersifat pribadi.
79
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
B. Saran 1. Kepada warga persekutuan yang merasa sebagai pemilik tanah ulayat hendaknya melengkapi surat-surat yang berhubungan dengan tanah ulayat tersebut dan mendaftarkannya pada kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Labuhanbatu, agar tidak menjadi persengketaan di kemudian hari. 2. Kepada warga persekutuan yang tanah ulayatnya tidak dikelola, agar mengelolanya dengan baik, hal ini untuk menghindari terjadinya tanah tidak bertuan 3. Kepada warga persekutuan agar dapat membuka diri terhadap pembangunan yang berwawasan pancasila, yang orientasi demi kepentingan umum. 4. Demi untuk menjaga keamanan, ketentraman dalam bernegara serta tercapainya tertib hukum, maka disarankan kepada warga persekutuan adat yang berkonflik dengan tanah, agar menyelesaikan masalah sengketa tersebut melalui jalur hukum, tidak melalui tindakan demonstrasi yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. 5. Kepada pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional hendaknya dapat mengupayakan
solusi
yang
tepat,
sehingga
masyarakat
mengerti
cara
mempertahankan hak ulayat milik persekutuan.
80
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Forum LSM/LPSM DIY, 1995, Editor Untoro Hariadi dan Masruchan, Tanah, Rakyat dan Demokrasi Hardjasoemantri, Koesnadi, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh Cetakan Ketujuh Belas, Gajah Mada Universty Press, Yoyakarta. Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum tanah Nasional, Djambatan, Jakarta. Muhammad, Bushar, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan Kesembilan, PT. Pradnya Paramita Jakarta. Zain, Setia Alam, 1995, Hukum Lingkungan: Kaedah-Kaedah Pengelolaan Hutan, Manajemen PT. Raja Grafindo Persada Jakarta Mahadi, 1976, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah Di Sumatera Timur 1800-1975, Bandung Alumni. Muhammad, Bushar, 1988, Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, PT. Pradnya Paramita Jakarta Saidin, OK, Keberadaan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di Kabupaten Deli Serdang, Disampaikan pada Seminar Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Melayu Sumatera Utara, Medan, 2 Februari 2002. Soepomo,1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita Jakarta
SURAT KABAR
Kompas, Kolom Kebangsaan, Jangan Lupakan Masyarakat Adat, 20 Desember 2005 Kompas, 24 Mei 2000
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 5 Tahun 1960 UU No. 23 Tahun 1997 PERMEN Agraria/Ka. BPN No. 5 Tahun 1999
Abu Bokar Tambak : Hak Ulayat Masyarakat Adat yang Ada dalam Masyarakat Kabupaten Labuhanbatu demi…, 2006
USU Repository © 2006