1
Daftar Isi DAFTAR ISI.............................................................................................................iii EXECUTIVE SUMMARY........................................................................................... v KATA PENGANTAR................................................................................................. ix I. PENDAHULUAN....................................................................................................1 A. Latar Belakang............................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2 C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 3 D. Manfaat Penelitian........................................................................................ 3 E. Metode Penelitian.......................................................................................... 3 II. KEBIJAKAN DEFISIT APBD DAN PEMBIAYAAN DAERAH..................................7 A. Kebijakan Defisit APBD................................................................................. 7 B. Pembiayaan Daerah. .................................................................................. 10 C. SiLPA............................................................................................................ 11 III. HASIL TEMUAN LAPANGAN. ......................................................................... 13 A. Prov. Jawa Tengah........................................................................................ 13 B. Prov. Kalimantan Selatan............................................................................ 17 C. Prov. Riau..................................................................................................... 21 D. Kota Balikpapan.......................................................................................... 24 E. Kota Tomohon.............................................................................................. 27 F. Kota Bontang...............................................................................................29 G. Kabupaten Bogor.........................................................................................32 H. Kabupaten Minahasa..................................................................................34 I. Kabupaten Ketapang................................................................................... 37 J. Kabupaten Gowa.........................................................................................39 K. Kabupaten Samosir.....................................................................................42
iii
L. Kabupaten Pamekasan...............................................................................45 M. Kabupaten Sumenep...................................................................................49 N. Kabupaten Siak...........................................................................................52 O. Kabupaten Bangli..........................................................................................55 P. Kabupaten Tanah Laut................................................................................ 57 Q. Kabupaten Pati............................................................................................60 R. Kabupaten Takalar......................................................................................62 S. Kabupaten Klungkung.................................................................................64 T. Kabupaten Toba Samosir............................................................................66 IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN....................................................................... 69 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI..................................................................... 73 A. Kesimpulan..................................................................................................73 B. Rekomendasi............................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 75 Ucapan Terima kasih........................................................................................... 77
iv
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
EXECUTIVE SUMMARY Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara memperbolehkan pemerintah daerah menganggarkan pendapatan yang lebih tinggi dari belanjanya atau sebaliknya. Jika hal tersebut terjadi maka diwajibkan juga untuk menganggarkan pembiayaan sebagai sumber penerimaan atau sebagai pengeluaran pembiayaan. Namun kondisi APBD saat ini, pembiayaan daerah tidak hanya merupakan imbas selisih pendapatan dan belanja tapi juga sebagai penentu besaran belanja karena sebagian besar penerimaan pembiayaan (lebih dari 90%) berasal dari SiLPA. Besaran SiLPA terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana dalam realisasi APBD tahun 2012 telah mencapai angka Rp 97,1 triliun. SiLPA atau dana Idle dalam kondisi tertentu memang diperlukan, antara lain untuk mengatur likuiditas keuangan Pemda, utamanya di awal tahun. Meski demikian, SiLPA yang terlalu tinggi menunjukkan bahwa dana publik yang dikelola oleh Pemda tidak digunakan secara optimal untuk penyelenggaraan layanan publik. Meskipun SiLPA yang disimpan dalam perbankan secara tidak langsung juga berkontribusi dalam peningkatan jumlah PAD berupa pendapatan bunga, tapi akan jauh lebih besar manfaatnya jika dibelanjakan dengan output pelayanan masyarakat sebagaimana tugas pokok pemda. Dalam laporan ini, sesuai tujuan monev maka diharapkan dapat diperoleh faktorfaktor yang mendorong tingginya SiLPA, diketahui dampak yang ditimbulkan oleh adanya SiLPA serta kebijakan apa yang dapat diambil agar SilPA menjadi lebih rasional. Guna memenuhi tujuan tersebut maka pada monev kali ini tidak hanya dilakukan melalui focus groups discussion dalam memperoleh data primer yang bersifat kualitatif, namun juga didukung oleh analisis kuantitatif atas data skunder. Sebagai daerah sampel diambil dua puluh daerah dengan karakteristik yang diharapkan dapat mewakili karakteristik daerah secara keseluruhan. Daerah yang dipilih merupakan perwakilan kabupaten/kota dan provinsi yang dikategorikan sebagai daerah penghasil dan daerah non penghasil DBH.
Executive Summary
v
Dari hasil analisis dan pembahasan dalam Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2013 ini diperoleh beberapa kendala dan permasalahan yang terkait dengan SiLPA sebagai berikut : 1. Peningkatan besaran SiLPA yang cukup signifikan beberapa tahun terakhir dikarenakan adanya realisasi APBD yang cenderung mengalami surplus, dimana terjadinya surplus daerah penghasil lebih didominasi adanya realisasi pendapatan yang lebih tinggi dari anggarannya dibanding dengan belanja yang tidak terserap, sedangkan untuk daerah non penghasil belanja yang tidak terserap lebih dominan dibanding dengan pelampauan pendapatannya. 2. Pelampauan PAD Provinsi non daerah penghasil merupakan pendapatan dengan pelampauan terbesar dibanding dengan jenis pendapatan yang lain, sedangkan untuk provinsi dan kabupaten/kota penghasil, lebih disebabkan adanya pelampauan pendapatan yang berasal dari Dana Bagi Hasil. Selanjutnya kabupaten/kota non daerah penghasil sumber pelampauan pendapatan terbesar berasal dari Lain-lain Pendapatan Yang Sah (khususnya dana penyesuaian dan dana transfer dari provinsi). 3. Besaran SiLPA yang masih tinggi membawa dampak positif dan negatif bagi daerah, dampak positif adanya SiLPA adalah adanya imbal balik yang diterima pemda dari SiLPA yang disimpan di perbankan. Imbal balik dapat berupa jasa giro atau pendapatan bunga yang masuk dalam akun lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya belanja yang tertunda. Dari daerah sampel, belanja kegiatan fungsi pendidikan merupakan yang terbanyak tertunda atau tidak terserap dan jenis belanja modal yang paling dominan. Fungsi pelayanan umum merupakan fungsi belanja kedua yang banyak tertunda/tidak terserap dalam belanja daerah Dari kendala dan permasalahan diatas dapat direkomendasikan beberapa kebijakan yang dapat diambil, antara lain adalah : 1. Perlu adanya perubahan mekanisme transfer Dana Bagi Hasil dari pemerintah. Mekanisme yang diusulkan adalah alokasi Dana Bagi Hasil dapat ditetapkan bersamaan dengan penetapan DAU dan DAK, dan lebih penting lagi agar alokasi per daerah diinformasikan ke daerah bersamaan tepat setelah kesepakatan RAPBN di DPR (akhir Oktober) sehingga daerah mempunyai
vi
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
cukup waktu untuk memasukannya ke dalam RAPBD. Di sisi lain, disarankan agar alokasi dan penyaluran DBH tidak terdapat perubahan ditahun berjalan (based on budget), selanjutnya mengenai selisih dengan penerimaan riil negara dapat diakomodasi ditahun berikutnya. 2. Pemerintah Provinsi, juga perlu melakukan perubahan yang sama terhadap mekanisme transfer bagi hasil kepada kabupaten/kota seperti halnya mekanisme yang diusulkan dalam alokasi DBH pemerintah. 3. Bagi pemerintah daerah perlu kiranya membuat peraturan daerah dalam rangka meningkatkan SDM pejabat lelang, sehingga kekurangan SDM pejabat lelang tidak lagi menjadi kendala dalam penyerapan belanja. Perlu mekanisme konkrit untuk memaksa pejabat daerah memiliki keahlian dalam bidang pengadaan, antara lain melalui sertifikasi pengadaan barang dan jasa sebagai prasyarat jabatan struktural tertentu di Pemerintah Daerah. 4. Perlu pengaturan mengenai pembatasan atas besaran dana yang bisa disimpan dalam bentuk deposito berjangka, agar kewenangan untuk berinvestasi tidak justru meninggalkan tugas pemda yang utama untuk menyediakan layanan publik. Salah satu usul konkrit adalah agar deposito berjangka waktu 3 bulan atau lebih tidak diperkenankan apabila jumlah deposito tersebut melebihi 3 bulan belanja APBD.
Executive Summary
vii
viii
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, berkat ridho-Nya, “Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah” dapat diselesaikan. Laporan ini merupakan bagian pelaksanaan kegiatan pada Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah - Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tahun 2013. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal yang telah efektif dilaksanakan lebih dari satu dasawarsa telah membawa perubahan yang cukup mendasar dalam prinsipprinsip pengelolaan Keuangan Negara. Salah satunya adalah sistem penganggaran surplus/defisit. Jika anggaran defisit, maka kekurangan pendapatan atas belanjanya akan ditutup dengan pembiayaan yang salah satunya berasal dari SiLPA tahun anggaran sebelumnya, sedangkan jika terjadi surplus, akan dimanfaatkan untuk pengeluaran pembiayaan. Selanjutnya salah satu tujuan dari pelaksanaan Desentralisasi Fiskal adalah memberi kewenangan kepada pemda untuk mengelola keuangannya sendiri secara lebih optimal dengan menyajikan bentuk output layanan publik yang lebih sesuai dengan karakter dan kebutuhan daerah masing masing. Tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai, hal ini ditandai dengan masih terjadinya beberapa kendala dalam pengelolaan APBD, yaitu di sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan. Besaran SiLPA yang terus mengalami peningkatan dalam realisasi APBD tahun 2012 telah mencapai angka Rp 97,1 triliun harus menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah. Meskipun SiLPA yang disimpan dalam perbankkan secara tidak langsung juga berkontribusi dalam peningkatan jumlah PAD berupa pendapatan bunga, tapi akan jauh lebih besar manfaatnya jika dibelanjakan dengan output pelayanan masyarakat sebagaimana tugas pokok pemda terkait desentralisasi fiskal. Untuk itulah laporan ini disusun untuk dapat memberi kontribusi dalam memperbaiki kebijakan pengelolaan anggaran terutama terkait dengan masih tingginya SiLPA. Laporan ini disusun dengan skema pembahasan yang sederhana dan ringkas,
Kata Pengantar
ix
namun tetap mengutamakan aspek analisa yang komprehensif baik dari sisi kualitatif maupun kuantitatif. Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini.
Direktur,
Yusrizal Ilyas, MPA
x
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal yang telah dilaksanakan lebih dari satu dasawarsa bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, hal ini sesuai dengan tugas pokok Pemerintah Daerah terkait Desentralisasi Fiskal. Kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan UndangUndang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang keduanya telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Guna mendorong pembangunan secara nasional pemerintah telah memberikan dana transfer yang semakin meningkat tiap tahunnya. Dilain sisi guna meningkatkan penguatan pendapatan daerah, pemerintah telah meningkatkan kewenangan bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Mengingat tantangan yang semakin berat dalam mengelola APBN kedepan perlu kiranya Pemerintah Daerah semakin didorong untuk dapat memanfaatkan sumber pendapatan serta mampu mengefisienkan dan mengefektifkan sisi belanjanya. Dengan kewenangan dan keleluasaan yang dimilikinya dalam menggunakan dana transfer yang diterimanya, daerah diharapkan dapat berbuat banyak untuk melakukan penguatan sektor riil dalam meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan di wilayah masing-masing. Kondisi saat ini SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) dalam tiap tahunnya terus meningkat, dengan kata lain jumlah dana yang tidak digunakan dalam pelayanan ke masyarakat tiap tahunnya semakin meningkat. Tren SiLPA dapat dilihat dalam grafik berikut.
Pendahuluan
1
Grafik 1.1
Selain dari sisi nominal, persentase SiLPA terhadap total belanja juga mengalami peningkatan dari tahun 2009 sebesar 12,89% meningkat di tahun 2012 menjadi 15,72% total belanja. Peningkatan rasio tersebut dikhawatirkan akan kontrapoduktif dengan usaha pemerintah yang sedang menggenjot penerimaan pendapatan. Oleh karena itu perlu sekiranya dirumuskan kebijakan untuk dapat memacu daerah agar tidak menumpuk dananya dalam SiLPA. Dengan mengetahui sumber-sumber dan kendala penyebab tingginya SiLPA daerah, diharapkan dapat diambil kebijakan yang dapat menanggulangi kendala tersebut. Guna memperoleh gambaran lebih komprehensif atas pelaksanaan kebijakan APBD terkait pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah, khususnya yang terkait dengan SiLPA, yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki kebijakan pengelolaan keuangan daerah, maka Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah - Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada tahun 2013 melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah.
B. Rumusan Masalah Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam evaluasi ini adalah : i. Apa saja permasalahan dan kendala yang dihadapi pemerintah daerah yang mengakibatkan SiLPA semakin meningkat
2
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
ii. Bagaimana dampak peningkatan SiLPA pada APBD tahun berkenaan. iii. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan guna mengendalikan besaran SiLPA.
C. Tujuan Penelitian Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk i.
Mengindentifikasi faktor –faktor yang mendorong masih tingginya SiLPA.
ii. Mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dengan adanya SiLPA yang meningkat dalam APBD. iii. Memberikan rekomendasi terkait pengendalian besaran SiLPA yang meningkat tersebut.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya mengendalikan besaran SiLPA yang terus meningkat dari tahun ketahun, sehingga penerimaan daerah lebih dapat dialokasikan dan dimanfaatkan secara optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat..
E. Metode Penelitian Monitoring dan evaluasi pembiayaan daerah dilakukan pada beberapa daerah dengan diambil perwakilan dari provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang digunakan sebagai daerah sampel diharapkan dapat mewakili karakteristik daerah yang berbeda-beda.
1. Sumber dan Metode Pengumpulan Data Monitoring dan evaluasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, agar dapat diperoleh informasi pendukung dalam menjawab tujuan yang diharapkan. Data primer dibutuhkan untuk dapat melakukan pendekatan secara kualitatif, sedangkan secara kuantitatif digunakan data skunder. Secara lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pendahuluan
3
a. Data primer : yaitu data atau informasi yang diperoleh dari hasil Focus Group Discussion (FGD ) dengan pejabat pelaksana anggaran di daerah sampel. Dengan FGD diharapkan dapat digali informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran yang berkaitan dengan SiLPA daerah. b. Data skunder : yang berasal dari Subdit Data Keuangan Daerah, Direktorat EPIKD seperti halnya data Ringkasan dan Rincian APBD, APBD Perubahan dan Realisais PABD tahun anggaran 2012.
2. Pemilihan Daerah Sampel Proses pengumpulan data primer dimulai dengan mendatangi dan melihat kondisi riil daerah sampel yang akan dikunjungi melalui pelaksanaan FGD. Daerah sampel yang dipilih didasarkan pada besaran SiLPA yang dimiliki oleh daerah dan keterwakilan karakteristik daerah dilihat dari jenis pendapatan daerah. Karakteristik daerah dilihat dari jenis pendapatan yang dibedakan menjadi : a. Daerah dengan porsi PAD yang lebih tinggi dari dana perimbangan. b. Daerah dengan porsi dana perimbangan dari dana bagi hasil (DBH) yang cukup dominan. c. Daerah dengan porsi dana perimbangan dengan Alokasi Dana Umum cukup besar. Daerah Sampel yang dikunjungi antara lain adalah : No
4
Nama Daerah
No
Nama Daerah
1
Prov. Jawa Tengah
11
Kabupaten Gowa
2
Kabupaten Pati
12
Kabupaten Takalar
3
Prov. Kalimantan Selatan
13
Kabupaten Samosir
4
Kota Balikpapan
14
Kabupaten Toba Samosir
5
Kabupaten Bogor
15
Kabupaten Pamekasan
6
Kabupaten Minahasa
16
Kabupaten Sumenep
7
Kota Tomohon
17
Kabupaten Siak
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
No
Nama Daerah
No
Nama Daerah
8
Kota Bontang
18
Kabupaten Klungkung
9
Prov. Riau
19
Kabupaten Bangli
10
Kabupaten Ketapang
20
Kabupaten Tanah Laut
3. Metode Analisis Data Laporan monev ini akan menyajikan analisis dalam bentuk studi kasus. Hasil pengumpulan informasi dan data tiap daerah akan dianalisis secara deskriptif untuk menjawab faktor pendorong meningkatnya SiLPA. Sumber-sumber SiLPA akan diidentifikasi dengan cara membandingkan antara APBD, APBD Perubahan, dan Realisasi APBD.
Pendahuluan
5
6
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
II. KEBIJAKAN DEFISIT APBD DAN PEMBIAYAAN DAERAH
A. Kebijakan Defisit APBD Dengan pelaksanaan Desentralisasi Fiskal berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2004, daerah dimungkinkan menetapkan anggaran defisit, anggaran surplus, disamping anggaran berimbang yang telah dilaksanakan pada periode sebelumnya. Dengan model anggaran defisit, maka kekurangan pendapatan atas belanjanya akan ditutup dengan pembiayaan yang antara lain berasal dari SiLPA tahun anggaran sebelumnya, sedangkan jika terjadi surplus, akan dimanfaatkan untuk pengeluaran pembiayaan. Kebijakan pemerintah tentang pengendalian defisit APBD daerah merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengendalikan dan mengelola keuangan negara, yang didalamnya termasuk pengelolaan APBD. Pengendalian dimaksudkan agar defisit daerah tetap berada pada koridor yang telah ditentukan sehingga tidak menimbulkan suatu kondisi yang dapat membahayakan keuangan negara secara keseluruhan. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan tersebut, telah terbit beberapa peraturan yang terkait dengan pengedalian defisit APBD, yaitu:
1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara a. Pasal 12 Ayat (3)
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-Undang tentang APBN. Penjelasan :
Besaran Defisit Anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Kebijakan Defisit APBD dan Pembiayaan Daerah
7
b. Pasal 17 Ayat (3)
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Penjelasan :
Besaran Defisit Anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto Daerah yang bersangkutan.
2. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pasal 67 ayat (6) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. a. Pasal 83 ayat: (1) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD.
Penjelasan :
Yang dimaksudkan dengan jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD adalah jumlah defisit APBN ditambah jumlah defisit seluruh APBD dalam suatu tahun anggaran. Penetapan batas maksimal kumulatif defisit dimaksudkan dalam rangka prinsip kehati-hatian dan pengendalian fiskal nasional.
(2) Jumlah kumulatif defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihii 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.
8
Penjelasan :
Jumlah maksimal kumulatif defisit tidak melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto, hal ini sesuai dengan kaidah yang baik (best practice) dalam bidang pengelolaan fiskal.
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
(3) Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun.
Penjelasan :
Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD untuk masing-masing Daerah setiap tahun pada bulan Agustus.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan. b. Pasal 84 Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaan defisit bersumber dari: a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA); b. Dana Cadangan; c. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Pinjaman Daerah. Penjelasan :
Pada dasarnya APBD disusun dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah. Dalam hal belanja diperkirakan lebih besar daripada pendapatan, maka sumber-sumber pembiayaan defisit diperoleh dari penggunaan SiLPA, Dana Cadangan, hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Pinjaman Daerah.
3. PP Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemda. a. Pasal 3 ayat (2)
Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD
Kebijakan Defisit APBD dan Pembiayaan Daerah
9
b. Pasal 4 ayat:
Jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari PDB tahun bersangkutan. Penjelasan :
Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat atau Pemda dapat menjalankan anggaran defisit sesuai dengan keadaan keuangan dan perekonomian yang dihadapinya. Agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah, maka besaran defisit tersebut perlu dikendalikan. Sesuai kaidah-kaidah yang baik dalam bidang pengelolaan fiskal, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi paling tinggi 3% (tiga persen) dari PDB.
Dalam peraturan diatas dinyatakan bahwa pembiayaan timbul karena adanya imbas selisih pendapatan dengan belanja yang berbentuk surplus atau defisit. Namun kondisi saat ini pembiayaan daerah didominasi oleh penerimaan pembiayaan yang berasal dari SiLPA atau dengan kata lain sumber penerimaan pembiayaan tersebut berasal dari dana milik pemda sendiri. Penggunaan SiLPA dalam belanja daerah menyebabkan terjadinya defisit daerah, dengan kata lain besaran defisit daerah tidak murni disebabkan anggaran pemda yang ekspansif tetapi lebih dikarenakan penggunaan SiLPA.
B. Pembiayaan Daerah. Termasuk dalam penerimaan pembiayaan adalah Sisa Lebih Penggunaan Anggaran tahun sebelumnya (SiLPA tahun sebelumnya), Pencairan Dana Cadangan, Hasil Penjualan Kekayaan Yang Dipisahkan, Penerimaan Pinjaman dan Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman. Dari beberapa jenis penerimaan pembiayaan, maka SiLPA tahun sebelumnya merupakan sumber penerimaan pembiayaan yang paling dominan, karena jumlahnya lebih dari 90% total penerimaan pembiayaan, sedangkan penerimaan pembiayaan yang mempunyai resiko/kewajiban mengembalikan yaitu penerimaan pembiayaan dalam bentuk pinjaman hanya mempunyai kontribusi sekitar 1% saja dari total penerimaan pembiayaan. Hal lain yang terkait dengan pembiayaan adalah pengeluaran pembiayaan, dengan jenis pengeluaran pembiayaan antara lain adalah penyertaan modal, pembayaran pokok 10
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
utang, pemberian pinjaman daerah, pembayaran kegiatan lanjutan dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga. Dibanding dengan penerimaan, nilai pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil yaitu hanya sekitar 15% dari penerimaan pembiayaan. Realisasi penyertaan modal merupakan pengeluaran pembiayaan terbesar, dengan porsi berkisar 48% dari total pengeluaran pembiayaan.
C. SiLPA Dalam realisasi APBD terdapat dua jenis SiLPA. Pertama, SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan sisa penggunaan anggaran tahun sebelumnya dan merupakan bagian dari penerimaan pembiayaan. Kedua, SiLPA tahun berkenaan yang merupakan sisa penggunaan anggaran pada tahun berjalan dan akan menjadi salah satu penerimaan pembiayaan di tahun berikutnya. Dalam anggaran, SiLPA tahun sebelumnya cenderung dianggarkan lebih rendah dari realisasi. SiLPA tahun berkenaan mempunyai pergerakan yang meningkat dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2009-2012), bahkan besaran SiLPA tahun 2012 hampir mencapai dua kali lipat tahun 2009 (dari Rp52 triliun menjadi Rp 97 triliun). Kondisi ini menunjukkan gejala yang kurang baik karena semakin besar SiLPA tahun berkenaan maka menjadi indikasi semakin besar pula dana yang tidak digunakan dalam memenuhi pelayanan dasar kepada masyarakat. Walaupun secara nasional SiLPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang cukup besar, namun jika dilihat dari data APBD yang masuk maka akan terlihat bahwa terdapat beberapa daerah yang mempunyai nilai negatif atau lebih kecil dari nol. SiLPA tahun berkenaan yang bernilai negatif mempunyai arti bahwa pemda belum bisa menutup belanja dan/atau pengeluaran pembiayaan pada tahun tersebut, sehingga nilai tersebut akan menjadi beban pada tahun berikutnya. Beberapa kondisi tersebut mencerminkan masih belum optimalnya proses manajemen pengelolaan keuangan daerah, sehingga perlu aktivitas yang terus menerus dan sinergi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Kebijakan Defisit APBD dan Pembiayaan Daerah
11
12
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
III. HASIL TEMUAN L APANGAN.
SiLPA merupakan imbas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah, dengan kata lain sumber-sumber SiLPA dapat berasal dari pelampauan anggaran pendapatan, realisasi belanja yang rendah atau keduanya. Dalam kajian ini digunakan dua puluh daerah sampel yang diharapkan dapat mewakili karakteristik daerah yang ada. Tiap-tiap daerah akan dibahas secara terpisah guna memperoleh informasi yang lebih mendalam.
A. Prov. Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah (Prov. Jateng) merupakan salah satu provinsi yang sumber pendapatan APBD-nya lebih didominasi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tahun 2012, Jateng menganggarkan 53,5% pendapatan berasal dari PAD. Sumber PAD terbesar berasal dari pajak daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Lebih detail ringkasan pendapatan Jateng dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.1 Nominal (dalam miliar Rp) Total Pendapatan PAD
% Total Pendapatan
10,833.74 5,799.96
53.5
4,873.00
45.0
66.03
0.6
Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan
222.28
2.1
Lain-lain PAD yang sah
638.64
5.9
Pajak Daerah Retribusi Daerah
Hasil Temuan Lapangan
13
Nominal (dalam miliar Rp) Dana Perimbangan
% Total Pendapatan
2,130.49
19.7
DBH
562.96
5.2
DAU
1,516.89
14.0
DAK
50.63
0.5
2,903.30
26.8
2,834.43
26.2
68.87
0.6
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Lainnya
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, kontribusi dana perimbangan, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari pemerintah, hannya sebesar 19,7 persen. Sumber pendapatan lainnya yang berasal dari pemerintah adalah dana penyesuaian, yang mempunyai kontribusi sebesar 26,2% total pendapatan, namun penggunaan dana tersebut sudah ditetapkan (earmarked). Dengan melihat sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari PAD, maka sebagian besar belanja daerah sudah dapat direncanakan lebih baik disaat pembuatan rancangan APBD tahun berikutnya, karena prediksi pemda pasti lebih akurat terhadap rencana PAD dibanding Dana Perimbangan. Prediksi penerimanaan PAD yang baik akan mempengaruhi rencana belanja, karena jika prediksi penerimaan PAD pesimis maka akan membuat rencana belanja juga tidak berjalan optimal. Dilain sisi prediksi penerimaan PAD yang terlalu optimis dapat menimbulkan resiko tidak telaksananya rencana belanja karena realisasi akan lebih rendah dibanding anggaran. Dalam satu tahun anggaran pemerintah daerah dapat melakukan perubahan APBD dalam rangka melakukan penyesuaian belanja yang disebabkan oleh adanya perubahan rencana penerimaan pendapatan dan penerimaan pembiayaan. Tabel berikut menyajikan perbedaan APBD murni, yaitu APBD yang dibuat saat tahun anggaran belum berjalan; APBD-Perubahan, yaitu APBD yang dibuat di tahun berjalan karena adanya penyesuaian anggaran; dan realisasi APBD, yaitu nilai riil dari pelakasanaan APBD.
14
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Grafik 3.1
Pada tahun berjalan diketahui bahwa potensi pendapatan APBD tahun 2012 lebih besar dari yang dianggarkan, maka dalam APBD penyesuaian perkiraan pendapatan dinaikan sebesar 5,4% anggaran pendapatan APBD murni. Karena perkiraan pendapatan mengalami peningkatan maka dilakukan penyesuaian terhadap anggaran belanja yang naik sebesar 6,1% dari anggaran belanja APBD. Kenaikan belanja yang lebih besar dari pendapatan tersebut disebabkan adanya peningkatan di sisi pembiayaan, khususnya yang berasal dari besaran SiLPA tahun sebelumnya yang ternyata lebih tinggi dari perkiraan dalam APBD murni. Dalam APBD Perubahan dilakukan penyesuaian belanja dengan didasarkan perkiraan peningkatan pendapatan dan pembiayaan sehingga meningkatkan defisit APBD Prov. Jateng. Dalam kasus ini defisit dianggarkan guna memanfaatkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya (sumber utama pembiayaan) bukan sebaliknya, dimana pembiayaan dianggarkan guna menutup belanja yang tidak terpenuhi oleh pendapatan. Dalam hal Realisasi APBD Prov. Jateng tahun 2012 ternyata mempunyai penerimaan pendapatan yang lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam APBD murni dan APBD Perubahan, atau dapat dikatakan telah terjadi pelampauan anggaran pendapatan ditahun 2012. Berbeda dengan pendapatan maka realisasi belanja pada tahun tersebut justru terjadi sebaliknya yaitu lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD sehingga terjadi surplus. Sedangkan disisi pembiayaan tidak terjadi perbedaan yang mencolok antara realisasi dan anggaran karena pembiayaan yang sumber utamanya berasal dari SiLPA tahun sebelumnya, sudah
Hasil Temuan Lapangan
15
diketahui besaran pastinya dalam APBD Perubahan. Realisasi APBD Prov. Jateng 2012 mengalami surplus sehingga pembiayaan daerah tidak digunakan dalam belanja daerah. Oleh karena itu surplus dengan pembiayaan menjadi SiLPA tahun berkenaan di realisasi APBD 2012 dan akan digunakan dalam APBD 2013 sebagai penerimaan pembiayaan. Dengan melihat perbandingan SiLPA tahun sebelumnya (menjadi penerimaan pembiayaan) lebih rendah dari SiLPA tahun berkenaan (penjumlahan surplus dengan pembiayaan) maka dapat diartikan bahwa Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun 2012 lebih tinggi dari tahun 2011. SiLPA hasil realisasi APBD 2012 adalah sebesar Rp755,38 miliar atau sebesar 6,33% belanja yang dianggarkan di APBD Perubahan. Besaran SiLPA tersebut terjadi dikarenakan dalam realisasi APBD 2012, terjadi pelampauan pendapatan sebesar Rp271,22 miliar dibanding APBD-Pnya dan ada belanja yang tidak terserap sebesar Rp481,73 miliar, disamping itu juga terdapat peningkatan besaran pembiayaan sebesar Rp2,43 miliar. Dibanding dengan APBD murni, realisasi pendapatan dalam APBD Prov. Jawa Tengah lebih tinggi Rp860,7 miliar. Realisasi terbesar berasal dar pajak daerah dengan rincian Rp396,2 miliar berasal dari pelampauan penerimaan bea balik nama kendaraan bermotor, Rp160,9 miliar berasal dari pelampauan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Rp159,1 miliar berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor dan sisanya berasal dari pajak air permukaan. Sedangkan realisasi pendapatan dari pemerintah pusat terdapat pelampauan sebesar Rp188,32 miliar di penerimaan Dana Bagi Hasil, namun untuk penerimaan dana penyesuaian Rp140,23 miliar lebih rendah dari yang dianggarkan atau dengan kata lain pelampauan pendapatan yang berasal dari pemerintah adalah sebesar Rp48,09 miliar. Karena penerimaan pajak daerah dianggarkan meningkat di APBD-P maka belanja bagi hasil ke pemerintah kab/kota mengalami peningkatan sebesar Rp376,35 miliar dan telah direalisasikan 100%. Belanja hibah yang termasuk dalam fungsi pelayanan umum merupakan porsi terbesar dalam APBD 2012 Prov. Jateng (28,9%), belanja ini mempunyai penyerapan sebesar 92,7% APBD-P atau selisih antara anggaran dengan realisasi adalah Rp244,9 miliar. Pembiayaan daerah yang menjadi alat penyesuaian perbedaan pendapatan dan belanja juga mengalami perubahan di APBD-P, hal tersebut dikarenakan dalam
16
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
APBD sudah mencantumkan SiLPA tahun sebelumnya yang sesuai dengan audit BPK. SiLPA yang dicantumkan dalam APBD-P sebesar Rp705,31 miliar lebih tinggi dari yang dianggarkan di APBD (Rp562 miliar). Berdasarkan data APBD yang telah disampaikan diatas, maka diketahui bahwa SiLPA tahun 2012 Prov. Jateng mengalami peningkatan yang antara lain karena adanya realiasi pelampauan pendapatan sebesar Rp689,9 miliar dari APBD-P khususnya dari penerimaan pajak daerah, selanjutnya dari sisi belanja terdapat Rp454,03 Miliar yang tidak dapat direalisasikan dan sebagian besar berasal dari belanja hibah (fungsi pelayanaan umum). Dari uraian diatas dapat disimpulkan, karena realisasi pendapatan lebih besar dari belanja maka terjadi surplus anggaran dan menambah pembiayaan yang tidak digunakan sehingga SiLPA tahun 2012 Prov. Jateng menjadi Rp755,38 miliar.
B. Prov. Kalimantan Selatan Serupa dengan Prov. Jateng, pendapatan APBD Provinsi Kalimantan Selatan (Prov. Kalsel) tahun 2012 sebagian besar berasal dari PAD (63,5%) khususnya pajak daerah (53,9%). Sedangkan dana yang berasal dari pemerintah didominasi oleh Dana Perimbangan berupa DBH dan DAU. Tabel 3.2 Nominal (dalam miliar Rp)
% Total Pendapatan
Total Pendapatan
2,966.94
PAD
1,882.94
63.5
1,598.45
53.9
5.89
0.2
43.26
1.5
235.35
7.9
1,038.92
35.0
Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan Lain-lain PAD yang sah Dana Perimbangan
Hasil Temuan Lapangan
17
Nominal (dalam miliar Rp)
% Total Pendapatan
DBH
492.10
16.6
DAU
521.82
17.6
DAK
25.00
0.8
45.08
1.5
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
25.00
0.8
Lainnya
20.08
0.7
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Dari tabel 3.2 terlihat bahwa sebagian besar (63,5%) pendapatan daerah dapat diperkirakan sendiri oleh pemprov Kalsel, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau 63,5% belanja tergantung pada tingkat ketepatan perkiraan/ rencana perhitungan PAD. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Pemprov. Kalsel terhadap kecepatan informasi pagu dana trasnfer pemerintah pusat tidak terlalu dominan, dari data tersebut bahkan dapat dikatakan bahwa Prov. Kalsel lebih mandiri bila dibanding dengan Prov. Jateng. Dengan melihat postur pendapatan, belanja Prov. Kalsel sangat didominasi oleh belanja yang kebijakannya berasal dari Prov. Kalsel sendiri (non earmarked) dibanding belanja yang sudah ditentukan oleh pemerintah (earmarked). Hanya 1,6% dari total pendapatan yang peruntukannya sudah ditentukan oleh pemerintah (DAK dan Dana Penyesuaian). Perbandingan antara APBD, APBD Perubahan dan realisasi APBD dapat dilihat dalam tabel berikut :
18
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Grafik 3.2
Perbedaan APBD dengan APBD-P terlihat cukup besar yaitu mencapai Rp856,0 miliar, bahkan disisi belanja mempunyai perbedaan yang cukup mencolok yaitu mencapai 1,49 triliun. peningkatan anggaran belanja yang cukup fantastis tersebut dikarenakan terjadi peningkatan perkiraan penerimaan pendapatan daerah dan besaran pembiayaan daerah. Dalam APBD Perubahan, pendapatan dianggarkan lebih besar dengan nominal kurang lebih sebesar Rp856,5 miliar. Peningkatan anggaran pendapatan dikarenakan adanya perkiraan penerimaan PAD yang bersumber dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan yang meningkat dari Rp718 miliar menjadi Rp1,02 tiliun atau meningkat sebesar Rp294 miliar. Selain itu peningkatan disebabkan adanya penyesuaian penerimaan dana perimbangan (DBH dari Rp492,1 miliar menjadi Rp556,0 miliar; DAU dari Rp517,1 miliar menjadi Rp652,5 miliar dan DAK dari Rp25 miliar menjadi Rp38,9 miliar) sesuai dengan data alokasi pemerintah. Selanjutnya peningkatan penerimaan juga terjadi dalam pembiayaan daerah, dimana peningkatan tersebut terjadi karena adanya penyesuaian penerimaan yang berasal dari SiLPA tahun sebelumnya. Semula SiLPA tahun sebelumnya dianggarkan sebesar Rp165,0 miliar ternyata setelah akhir tahun besaran SiLPA tahun sebelumnya atau tahun 2011 mengalami peningkatan yang cukup fantasti yaitu sebesar Rp924,1 miliar. Peningkatan pendapatan dan pembiayaan mewajibkan adanya penyesuaian di belanja daerah, sehingga dalam APBD Perubahan Prov. Kalimantan Selatan disisi belanja daerah meningkat dari Rp3,11 triliun menjadi Rp4,60 triliun atau meningkat sebesar Rp1,49 triliun, angka tersebut merupakan nilai yang cukup besar untuk
Hasil Temuan Lapangan
19
diserap dalam waktu kurang dari 6 bulan. Menurut Permendagri, APBD Perubahan dapat dilakukan setelah ada audit BPK terhadap APBD tahun sebelumnya, sehingga paling cepat APBD Perubahan dapat dilakukan di bulan Agustus. Peningkatan belanja yang cukup besar adalah pada sisi belanja modal yaitu meningkat sebesar Rp584,19 miliar, belanja hibah Rp339,5 miliar, belanja barang dan jasa meningkat Rp257,4 miliar. Selanjutnya karena ada peningkatan pendapatan pajak daerah maka belanja bagi hasilpun mengalami peningkatan sebesar Rp239,4 miliar. Realisasi APBD Prov. Kalsel mengalami pelampauan pendapatan dan pembiayaan yang lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam APBD-P, hanya saja realisasi belanja daerah tetap lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD-P. Pelampauan pendapatan tersebut lebih didominasi adanya transfer pemerintah, khususnya DBH yang belum masuk dalam APBD-P atau dengan kata lain alokasi dana tersebut dikeluarkan setelah APBD-P diketok atau pada akhir tahun anggaran. Dua pendapatan yang mengalami pelampauan terbesar adalah pendapatan yang berasal dari dana perimbangan yaitu dana bagi hasil sebesar Rp264,2 miliar dan penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor sebesar Rp200,1 miliar. Kedua pelampauan pendapatan tersebut bersifat block grant atau penggunaannya tidak ditentukan, untuk tahun anggaran tersebut. Karena pendapatan tersebut belum dianggarkan penggunaanya dalam APBD-P maka pendapatan tersebut hanya dapat digunakan pada tahun berikutnya dengan masuk dalam SiLPA terlebih dahulu. Sedangkan disisi pembiayaan karena adanya selisih penerimaan kembali penyertaan modal. Realisasi penyerapan belanja Prov. Kalsel berkisar 87,1% dari belanja yang dianggarkan dalam APBD-P. Realisasi terendah adalah belanja modal (72,5%) khususnya fungsi pelayanan umum dalam rencana kegiatan pembelian tanah lingkar bandara dan pembebasan lahan guna pembangunan sport center dan perumahan PNS sebesar Rp174,4 miliar, sedangkan penyerapan belanja barang jasa yang paling rendah adalah fungsi pendidikan dimana 37,5% atau Rp148,9 belanja barang jasa fungsi pendidikan dan 36% atau Rp73,8 miliar belanja barang jasa fungsi pelayanan umum yang tidak terserap. SiLPA Prov. Kalsel tahun 2012 meningkat dari tahun 2011, dari Rp924,1 miliar menjadi Rp1,16 triliun. sebagaimana telah dirinci diatas, peningkatan tersebut
20
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
disebabkan terjadinya surplus anggaran sehingga pembiayaan tidak tergunakan dalam belanja dan menambah surplus menjadi SiLPA ditahun 2012.
C. Prov. Riau Prov. Riau mempunyai karakter pendapatan yang berbeda dengan dua provinsi sebelumnya. PAD Prov. Riau mempunyai porsi dibawah 50% yang menunjukkan bahwa PAD bukan merupakan pendapatan yang dominan. Porsi pendapatan terbesar Prov. Riau adalah pendapatan yang berasal dari dana bagi hasil (DBH) khususnya sumber daya alam, hal tersebut menunjukkan sebagian besar belanja daerah tergantung pada informasi besaran DBH dari pemerintah. Pendapatan APBD Prov. Riau tahun 2012 yang berasal dari DBH mencapai rasio 44,6% lebih tinggi dari rasio pajak daerah yang sebesar 27,4%, rincian pendapatan daerah Prov. Riau tahun 2012 dapat dilihat dalam table berikut. Tabel 3.3 Nominal (dalam miliar Rp)
% Total Pendapatan
Total Pendapatan
5,487.78
PAD
1,824.50
33.2
1,502.89
27.4
6.56
0.1
Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan
157.16
2.9
Lain-lain PAD yang sah
157.89
2.9
2,999.00
54.6
DBH
2,447.33
44.6
DAU
489.18
8.9
DAK
62.49
1.1
664.27
12.1
Pajak Daerah Retribusi Daerah
Dana Perimbangan
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Hasil Temuan Lapangan
21
Nominal (dalam miliar Rp) Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Lainnya
% Total Pendapatan
664.27
12.1
.00
0.0
Mekanisme alokasi DBH adalah sesuai dengan penerimaan Negara pada tahun berkenaan. Alokasi DBH disampaikan melalui Peraturan Menteri Keuangan dengan dua tahap, yaitu PMK alokatif dan PMK Definitif. PMK Alokatif berisikan perkiraan penerimaan DBH tiap daerah yang didasarkan pada perkiraan penerimaan tahun berkenaan, sedangkan PMK definitif diterbitkan pada akhir tahun yang didasarkan pada realisasi sumber daya alam/pajak yang telah diterima dan perkiraan penerimaan beberapa bulan di akhir tahun. Sebagian besar daerah menganggarkan pendapatan DBH menggunakan perkiraan dari pemda sendiri karena PMK alokatif masih belum terbit pada saat APBD diproses, sehingga penyesuaian sesuai PMK alokatif dilakukan pada saat APBD Perubahan. Perbandingan pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dianggarkan dalam APBD, APBD-P dan realisasi APBD dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 3.3
Dalam APBD Prov. Riau menganggarkan defisit dalam rangka menggunakan dana SiLPA tahun sebelumnya, dimana SiLPA tahun sebelumnya diperkirakan mencapai Rp453,88 miliar. Namun dari perbedaan besaran defisit dengan pembiayaan dalam APBD dapat diartikan bahwa Prov. Riau tidak menggunakan seluruh penerimaan dalam belanja atau sengaja menganggarkan SiLPA di akhir tahun 2012 sebesar
22
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Rp279,22 miliar. Hal tersebut tidak seperti kebanyakan daerah yang dalam APBD tidak menganggarkan SiLPA tahun berkenaan. Penyesuaian penganggaran dilakukan dalam APBD-P karena adanya perubahan penerimaan pendapatan dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah diperkirakan mengalami peningkatan khususnya yang berasal dari dana bagi hasil pajak/non pajak dari pemerintah dan pajak daerah. Penerimaan DBH dalam APBD dilakukan penyesuaian berdasarkan PMK Alokatif, sehingga terdapat selisih dengan APBD sebesar Rp794,94 miliar dan pendapatan dari pajak daerah diperkirakan meningkat sebesar Rp336,89 miliar. Penerimaan pajak daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang keduanya mencapai Rp280,7 miliar Dari sisi pembiayaan juga mengalami peningkatan karena telah diketahui besaran SiLPA tahun sebelumnya sesuai dengan audit BPK. Dengan adanya SiLPA yang lebih besar maka besaran pembiayaan juga mengalami peningkatan dimana yang semula Rp1,03 trliun meningkat menjadi Rp1,94 triliun. Karena adanya peningkatan pendapatan dan pembiayaan daerah maka dilakukan penyesuaian terhadap belanja daerah. Peningkatan belanja yang besar adalah belanja modal (Rp921 ,6 miliar), belanja bagi hasil (Rp430,81), belanja barang dan jasa (Rp281,86 miliar) dan belanja hibah (Rp236,49 miliar). Berbeda dengan yang dianggarkan, realisasi APBD Prov. Riau mengalami surplus dikarenakan adanya pelampauan pendapatan, sedangkan belanja daerah terserap hanya 79,27%. Pelampauan pendapatan yang terbesar berasal dari pajak daerah dan lain-lain PAD yang sah. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor merupakan pendapatan pajak yang mempunyai pelampauan penerimaan pajak terbesar (besar pelampauan adalah Rp136,1 miliar). Sedangkan dari lain-lain PAD yang sah terdapat tiga jenis pendapatan yang mempunyai realisasi lebih besar dari yang diperkirakan dalam anggaran, yaitu Penerimaan jasa giro (Rp46,8 miliar), penerimaan bunga (Rp40,7) dan pendapatan denda pajak (Rp60,0 miliar), pendapatan denda pajak merupakan salah satu jenis pendapatan yang belum dianggarkan dalam APBD-P. Realiasi belanja Prov. Riau adalah 79,27% dari belanja yang dianggarkan dalam APBD-P atau secara nominal terdapat Rp1,74 triliun belanja tidak terserap. Selisih tersebut disebabkan oleh beberapa jenis belanja yang tidak terserap yaitu empat
Hasil Temuan Lapangan
23
terbesarnya antara lain adalah Belanja Modal tidak terserap sebesar Rp495,46 miliar, belanja hibah Rp390,48 miliar, belanja barang jasa Rp364,5 miliar dan belanja bagi hasil Rp227,42 miliar. Untuk belanja modal, secara nominal terdapat dua fungsi yang merupakan kontributor terbesar yaitu fungsi pendidikan (Rp120,9 miliar) dan perumahan/ fasilitas umum (Rp269,5 miliar). Belanja modal yang mempunyai penyerapan rendah terdiri dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat multiyear. Sedangkan untuk belanja barang jasa, kontributor rendahnya penyerapan adalah dari fungsi pendidikan (tidak terserap Rp114,2 miliar) dan fungsi pelayanan umum (Rp118,6 miliar). Adanya pelampauan pendapatan dan realisasi belanja yang lebih rendah yang dianggarkan mengakibatkan realisasi APBD Prov. Riau terjadi surplus. Karena terjadi surplus maka pembiayaan daerah tidak tergunakan dan jika dijumlahkan dengan surplus maka hal tersebut dapat menunjukkan perkiraan besaran SiLPA tahun 2012.
D. Kota Balikpapan Porsi pendapatan APBD Kota Balikapan sebagian besar berasal dari dana bagi hasil khususnya sumber daya alam (41%), sedangkan pendapatan yang berasal dari PAD mempunyai porsi 17,6%. Semakin besarnya porsi pendapatan yang berasal dari dana transfer pemerintah menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan daerah terhadap informasi besaran yang akan diterima oleh pemda. Tabel 3.4 (dalam miliar rupiah)
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja
24
APBD
APBD-P
R APBD
1.647,13
1.950,23
2.206,40
290,01
303,98
352,03
1.074,52
1.130,89
1.339,02
282,60
515,35
515,35
1.823,79
2.399,40
1.671,85
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
APBD
APBD-P
R APBD
Belanja Pegawai
685,59
799,80
653,67
Belanja Barang dan Jasa
404,43
495,07
401,36
Belanja Modal
585,29
937,12
478,33
Belanja Lainnya
148,49
167,41
138,49
Pembiayaan Netto
176,66
449,18
449,67
Penerimaan Pembiayaan
186,53
466,87
467,36
Pengeluaran Pembiayaan
9,88
17,69
17,69
Dalam APBD Perubahan Kota Balikpapan dilakukan penyesuaian beberapa jenis pendapatan, Dana Perimbangan khususnya dana bagi hasil disesuaikan dengan alokasi yang tertuang dalam PMK karena angka yang ada dalam APBD merupakan anggka perkiraan dari pemda kota Balikpapan. Untuk PAD dilakukan penyesuaian dalam perkiraan penerimaan yang berasal dari pajak daerah khususnya Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dan pajak restoran. Dan selisih terbesar adalah berasal dari lain-lain pendapatan yang sah dimana ada tiga jenis pendaptan yang dilakukan penyesuaian karena sumbernya berasal dari provinsi dan pemerintah pusat, yaitu dana bagi hasil pajak dari provinsi yang meningkat sebesar Rp56,6 miliar, bantuan keuangan dari provinsi meningkat sebesar Rp112,9 miliar dan adanya dana penyesuaian yang belum dianggarkan dalam APBD sebesar Rp63,2 miliar. Selain pendapatan, pembiayaan juga mengalami peningkatan dikarenakan besaran SiLPA tahun sebelumnya sudah diketahui secara pasti setelah diaudit oleh BPK. SiLPA tahun sebelumnya atau sisa tahun 2011 yang semula diperkirakan sebesar Rp186,5 miliar ternyata dalam realisasinya lebih besar menjadi Rp466,9 miliar. Karena sumber penerimaan pembiayaan kota Balikpapan berasal dari SiLPA, maka netto pembiayaan juga mengalami peningkatan sebanding dengan besaran SiLPA. Dengan adanya pembiayaan yang meningkat maka besaran defisit kota Balikpapan disamakan dengan nilai pembiayaan. Selanjutnya peningkatan anggaran pendapatan mengakibatkan besaran belanja dilakukan penyesuaian
Hasil Temuan Lapangan
25
terhadap penambahan nilai pembiayaan dan pendapatan tersebut. Belanja modal merupakan belanja yang paling besar mengalami penambahan anggaran yaitu sebesar Rp351,8 miliar yang kedua adalah belanja pegawai tidak langsung yang mengalami peningkatan sebesar Rp102,2 miliar dan ketiga terbesar adalah belanja barang jasa yang meningkat sebesar Rp90.6 miliar. Belanja pegawai yang mengalamii peningkatan adalah belanja pegawai fungsi pendidikan (meningkat sebesar Rp329,9 miliar) kedua adalah belanja pegawai fungsi pelayanan umum (meningkat Rp108,5 miliar). Grafik 3.4
Realisasi APBD Kota Balikapapan mempunyai pendapatan yang melampaui perkiraan pendapatan yang dianggarkan dalam APBD-P. Selisih penerimaan pendapatan terbesar berasal dari dana perimbangan khususnya dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp208,1 miliar. Selisih pendapatan DBH yang dianggarkan dengan realisasi yang diterima tidak dapat digunakan dalam belanja daerah, antara lain karena belanja daerah sudah dapat ditutup oleh pendapatan dan pembiayaan lainnya, DBH bersifat block grant dan setiap penggunaannya harus sudah dianggarkan. Selisih DBH tersebut dapat digunakan di anggaran tahun berikutnya dengan terlebih dahulu dimasukkan dalam akun SiLPA APBD 2012. 26
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Dalam realisasi belanja kota Balikpapan mempunyai realisasi yang cukup rendah dibanding dengan APBD-P, yaitu 69,7% bahkan masih lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD. Belanja modal merupakan salah satu jenis belanja yang mempunyai penyerapan terendah dibanding dengan APBD-P (51,0%), yang kedua adalah belanja pegawai tidak langsung (80%). Belanja modal yang mempunyai penyerapan terendah adalah fungsi perumahan dan fasilitas umum (penyerapan sebesar 47%) dan fungsi lingkungan hidup (penyerapan sebesar 35%). Sedangkan untuk belanja pegawai tidak langsung, fungsi pendidikan merupakan yang fungsi yang mempunyai selisih nominal terbesar yaitu berkisar Rp92,2 miliar. Pelampauan pendapatan dan realisasi belanja yang rendah menyebabkan terjadinya surplus, selanjutnya ditambah dengan pembiayaan yang sebagian besar berasal dari SiLPA tahun sebelumnya maka besaran SiLPA tahun 2012 mempunyai nilai yang lebih besar dari tahun sebelumnya. SiLPA tahun 2011 Kota Balikpapan adalah Rp467,4 miliar ditahun 2012 menjadi Rp984,2 miliar.
E. Kota Tomohon Kota Tomohon merupakan salah satu contoh kota yang sebagian besar pendapatannya berasal dari dana perimbangan (96,3%) terutama dari Dana Alokasi Umum (81,6% total pendapatan). Daerah dengan karakteristik seperti Kota Tomohon mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap informasi dana transfer dari pusat dalam menyusun belanja daerah. Tabel 3.5 (dalam miliar rupiah) APBD Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja
APBD-P
R APBD
352,56
384,99
388,64
5,42
11,05
11,24
339,40
339,45
340,99
7,74
34,48
36,41
378,81
403,16
374,93
Hasil Temuan Lapangan
27
APBD
APBD-P
R APBD
217,54
244,23
237,29
Belanja Barang dan Jasa
63,10
68,31
56,96
Belanja Modal
88,33
83,11
73,95
Belanja Lainnya
9,83
7,52
6,73
Pembiayaan Netto
26,26
18,18
19,69
Penerimaan Pembiayaan
26,26
26,68
28,12
Pengeluaran Pembiayaan
0,00
8,50
8,43
Belanja Pegawai
Lain-lain Pendapatan Yang Sah merupakan pendapatan yang mengalami peningkatan yang terbesar secara persentase, yaitu mencapai 445,7% dari yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dikarenakan dalam APBD tidak dianggarkan dana penyesuaian yang berasal dari pemerintah sebesar Rp26,8 miliar. Sedangkan PAD yang merupakan pendapatan yang berasal dari Kota Tomohon sendiri mengalami peningkatan sebesar 203,8%. Peningkatan terbesar berasal dari lain-lain PAD yang sah, hal tersebut dikarenakan dalam APBD hanya tercatat penerimaan yang berasal dari jasa giro sedangkan dalam APBD Perubahan terdapat pendapatan lainnya yang dianggarkan seperti halnya pendapatan denda dan tuntutan ganti rugi (TGR). Dalam dana perimbangan tidak terdapat perubahan besar, karena alokasi DAU dan DAK tidak ada perubahan dalam tahun berjalan. Selain itu Kota Tomohon bukan merupakan daerah penghasil sehingga walaupun ada perubahan tetapi tidak terlalu significant. Dana penyesuaian yang ditransfer pemerintah telah mempunyai peruntukan, yaitu sebagai tambahan pernghasil bagi guru sehingga dalam APBD, penyesuaian masuk jumlah belanja pegawai tidak langsung. Dari segi pembiayaan daerah ada penyesuaian dalam pengeluaran pembiayaan, yaitu adanya penganggaran pembayaran pokok utang yang semula tidak dianggarkan dalam APBD.
28
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Grafik 3.5
Dalam APBD ataupun APBD-P Kota Tomohon dianggarkan defisit, namun dalam realisasinya terjadi surplus. Surplus tersebut terjadi karena realisasi belanja daerah lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD-P. Jenis belanja yang yang berkontribusi tinggi dalam penyerapan belanja secara nominal adalah belanja modal dan belanja barang jasa (72,6% selisih anggaran dengan realisasi). Belanja modall fungsi pelayanan umum, fungsi perumahan dan fasilitas umum serta fungsi ekonomi merupakan fungsi yang mempunyai selisih cukup tinggi jika dibanding dengan yang dianggarkan, sedangkan belanja barang jasa fungsi yang mempunyai selisih tertinggi dengan anggaran adalah fungsi pelayanan umum. Untuk Kota Tomohon peningkatan SiLPA tahun 2012 lebih disebabkan karena adanya penyerapan belanja yang lebih rendah dari anggaran.
F. Kota Bontang Postur pendaptan Kota Bontang sebagian besar berasal dari Dana Perimbangan khususnya Dana Bagi Hasil (63,9%),sedangkan untuk PAD sumber yang berasal dari lain-lain PAD yang sah (2,6% total pendapatan) mempunyai porsi lebih besar
Hasil Temuan Lapangan
29
dari pendaptan pajak daerah yang mempunyai porsi 2,3% total pendapatan. Karena sebagian besar pendapatan berasal dari dana perimbangan, sehingga hampir serupa dengan Kota Tomohon ketergantungan Kota Bontang terhadap informasi Dana Perimbangan juga cukup tinggi. Tabel 3.6 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
1.323,28
1.331,49
1.484,50
,85
85,00
96,73
1.010,38
970,19
1.136,38
228,21
276,30
251,39
1.508,28
1.540,73
1.262,17
39,73
411,09
3,70
Belanja Barang dan Jasa
471,48
397,85
341,34
Belanja Modal
578,04
575,83
410,15
Belanja Lainnya
61,48
15,60
140,38
Pembiayaan Netto
,19
209,24
235,24
Penerimaan Pembiayaan
,20
243,24
243,24
Pengeluaran Pembiayaan
,02
,03
,01
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
Anggaran Dana Perimbangan yang turun dalam APBD Perubahan menunjukkan bahwa dana perimbangan yang dianggarkan dalam APBD adalah perkiraan dari pemda Kota Bontang sebelum informasi Dana Primbangan turun sedangkan dalam APBD-P sudah disesuaikan dengan alokasi pemerintah. Dari sisi pembiayaan daerah, SiLPA tahun sebelumnya yang dianggarkan dalam APBD telah mendekati realisasinya sehingga dalam APBD-P kota Bontang tidak ada perubahan belanja yang terlalu besar. Dalam APBD-P juga terdapat perubahan komposisi belanja daerah, dimana belanja barang jasa mengalami penurunan sedangkan belanja hibah yang termasuk dalam belanja lainnya mengalami peningkatan.
30
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Dalam Realisasi APBD Kota Bontang, terjadi pelampauan pendapatan di PAD dan Dana Perimbangan. Pelampauan PAD berasal dari lain-lain PAD yang sah khususnya pendapatan jasa giro dan bunga yang yang terjadi pelampauan sebesar Rp8,21 miliar, pelampauan PAD yang kedua berasal dari pajak daerah khususnya pajak restoran dan pajak penerangan jalan. Sedangkan dari dana perimbangan, pelampauan pendapatan berasal dari Dana Bagi Hasil sebesar Rp166,2 miliar. Pelampauan yang bersal dari DBH pada umumnya diketahui pemda setelah adanya APBD-P, sehingga pemda tidak dapat menggunakan pelampauan tersebut pada tahun bersangkutan. Grafik 3.6
Realisasi APBD kota Bontang mengalami surplus, walaupun dalam APBD dan APBD-P dianggarkan defisit. Surplus tersebut dikarenakan adanya belanja yang tidak terserap, dimana jenis belanja yang mempunyai penyerapan terendah adalah belanja modal (71,23% APBD-P). Tiga fungsi yang mempunyai selisih realisasi terbesar adalah fungsi pelayanan umum (selisih terbesar belanja modal pengadaan tanah dianggarkan Rp148,5 miliar terealisasi Rp88,8 miliar), fungsi Pendidikan (selisih terbesar belanja pengadaan konstruksi bangunan dianggarkan Rp36,3 miliar terealisasi Rp4,5 miliar), dan fungsi Perumahan dan fasilitas umum (selisih terbesar adalah Pengadaan Konstruksi Jalan dan Belanja Modal Pengadaan Konstruksi/Pembelian Bangunan dianggarkan Rp203,8 miliar terealisasi Rp157,7 miliar) Penyerapan belanja sebesar Rp81,9% APBD-P menyebabkan realisasi APBD Kota Bontang terjadi surplus, sehingga pembiayaan daerah tidak tergunakan baik dalam
Hasil Temuan Lapangan
31
belanja ataupun pengeluaran pembiayaan. Oleh karena itu besaran SiLPA tahun 2012 mengalami peningkatan dari Rp243,2 miliar di tahun 2011 meningkat menjadi Rp457,6 miliar.
G. Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai rasio PAD cukup besar mencapai 26,9%, dengan sumber terbesar berasal dari pajak daerah dengan tiga sumber pajak terbesar berasal dari BPHTB (27,3% PAD), PBB perdesaan dan perkotaan (21,2% PAD) dan pajak penerangan jalan (21,2% PAD). Sumber pendapatan terbesar kedua adalah dana perimbangan yang berasal dari DAU (56,7% total pendapatan). Tabel 3.7 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
2.950,98
3.747,04
3.954,09
793,12
911,45
1.048,23
1.949,14
1.965,94
2.050,65
208,72
869,65
855,21
3.363,41
4.146,85
3.674,00
1.423,00
1.696,32
1.627,22
Belanja Barang dan Jasa
640,52
740,26
662,13
Belanja Modal
913,86
1.330,42
1.035,47
Belanja Lainnya
386,04
379,86
349,18
Pembiayaan Netto
412,43
399,81
399,80
Penerimaan Pembiayaan
467,93
478,71
478,70
Pengeluaran Pembiayaan
,56
,79
,79
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
32
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Di APBD Perubahan pemKabupaten Bogor mendapat alokasi dana penyesuaian khususnya dana tambahan dan tunjangan bagi guru, sehingga belanja pegawai mengalami peningkatan sebanding dengan alokasi dana tersebut. Perkiraan pelampauan pendapatan lainnya seperti dana perimbangan (adanya penyesuaian DBH dengan alokasi pemerintah) dan perkiraan pelampauan PAD menyebabkan adanya peningkatan belanja barang jasa dan belanja modal. Sedangkan disisi pembiayaan peningkatan penyertaan modal membuat netto pembiayaan menjadi berkurang dan sesuai dengan besaran defisit yang dianggarkan dalam APBD-P. Anggaran belanja hibah dan belanja tidak terduga mengalami penurunan, dimana hal tersebut tercermin pada besaran belanja lainnya yang mengalami penurunan. Grafik 3.7
Grafik diatas dapat dilihat perbandingan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBD, APBD Perubahan dan realisasi APBD. Pendapatan APBD dalam realisasinya kemballi meningkat, dimana sebelumnya dalam APBD-P telah dianggarkan lebih besar. Peningkatan pendapatan daerah tersebut lebih dikarenakan adanya peningkatan pendapatan pajak daerah terutama yang berasal dari bea perolehan ha katas tanah dan bangunan (BPHTB) yang mempunyai realisasi pendapatan hingga 176,3% (selisih anggaran dengan realisasi adalah Rp115 miliar). Di sisi dana perimbangan, pelampauan pendapatan dana bagi hasil mencapai Rp84,7 miliar. Dalam grafik diatas tampak bahwa realisasi APBD Kabupaten Bogor terjadi surplus, hal tersebut selain karena adanya pelampauan pendapatan sebesar Rp207 miliar
Hasil Temuan Lapangan
33
tapi juga dikarenakan adanya belanja yang tidak terserap sebesar Rp472 miliar. Belanja modal merupakan belanja yang mempunyai selisih terbesar antara realisasi dengan yang dianggarkan dalam APBD-P, yaitu sebesar Rp295.0 miliar (28,5% belanja modal dalam APBD-P). Belanja yang mempunyai selisih realisasi dengan anggaran terbesar kedua adalah belanja barang jasa, dengan belanja yang tidak terserap sebesar Rp78,1 miliar (11,8 % belanja APBD-P).
H. Kabupaten Minahasa Kabupaten Minahasa merupakan daerah yang pendapatannya sebagian besar berasal dari Dana Perimbangan. Dalam APBD-nya, 90,59% pendapatan berasal dari dana perimbangan dengan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pendapatan yang dominan. DBH selaku dana transfer yang alokasikan sesuai penerimaan riil pemerintah hanya mempunyai porsi sebesar 3,68%. Tabel 3.8 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
616,16
714,81
713,95
24,30
27,01
22,48
558,16
565,63
564,84
33,69
122,17
126,64
629,52
770,08
717,83
414,55
513,19
48,10
Belanja Barang dan Jasa
97,98
127,30
119,24
Belanja Modal
74,75
82,21
79,03
Belanja Lainnya
42,25
47,39
38,55
Pembiayaan Netto
13,37
55,27
58,84
Penerimaan Pembiayaan
16,22
6,06
6,06
Pengeluaran Pembiayaan
,29
5,29
1,73
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
34
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Perbandingan APBD dengan APBD Perubahan sangat menonjol dalam pendapatan daerah yang berasal dari lain-lain pendapatan yang sah khususnya dana penyesuaian yang berasal dari pemerintah. Dalam APBD Perubahan terjadi peningkatan sebesar Rp86,08 miliar, hal tersebut dikarenakan dalam APBD Kabupaten Minahasa hanya menganggarkan penerimaan yang berasal dari Dana Insentif Daerah (DID) sedangkan transfer dana tunjangan profesi guru PNSD dan dana tambahan penghasilan guru PNSD baru dimasukkan dalam APBD – Perubahan. Kedua dana transfer baru dapat dimasukkan dalam APBD-P karena ditahun 2012 kedua jenis transfer baik transfer tunjangan Profesi dan tambahan penghasilan ditetapkan bulan Maret 2012. Penyesuaian pendapatan dalam APBD-P lainnya adalah adanya penambahan target PAD yang berasal dari pajak daerah dan penyesuaian DBH sesuai alokasi. Penambahan pendapatan yang berasal dari dana penyesuaian (dana tambahan penghasilan dan tunjangan guru PNSD) sudah ditetapkan peruntukannya, yaitu masuk dalam belanja pegawai, oleh karena itu dalam APBD-P belanja pegawai Kabupaten Minahasa mengalami penyesuaian yang paling besar. Belanja yang mengalami penyesuaian terbesar kedua adalah belanja barang jasa dengan penyesuaian sebesar Rp29,3 miliar. Peningkatan anggaran belaja pada APBD-P selain dikarenakan adanya peningkatan dalam anggaran pendapatan juga disebabkan adanya penyesuaian pembiayaan yang terdapat penambahan karena adanya realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih besar (Rp60,6 miliar) dibanding dengan yang dianggarkan dalam APBD (Rp16,2 miliar). Perbandingan APBD, APBD-P dan realisasi APBD dapat dilihat dalam grafik dibawah. Grafik 3.8
Hasil Temuan Lapangan
35
Dalam realisasi APBD Kabupaten Minahasa tampak bahwa target PAD yang dianggarkan dalam APBD dan APBD Perubahan tidak mencapai target yang telah ditetapkan, hal itu tampak dalam nilai realisasi yang lebih rendah. Pendapatan pajak yang berasal dari pajak hotel dan pajak penerangan jalan merupakan pajak daerah mengalami penurunan dari target yang telah direncanakan, sehingga menyebabkan realisasi pajak daerah lebih rendah dari target yang dianggarkan. Sedangkan untuk retribusi, realisasi retribusi jasa umum merupakan retribusi yang mempunyai selisih terbesar dari yang dianggarkan (Rp2,00 miliar). Hal serupa juga terjadi pada pendapatan DBH, realisasi DBH atau dalam PMK definitif lebih rendah dibanding dengan yang dianggarkan dalam APBD-P /PMK alokatif. Sedangkan pelampauan pendapatan terjadi pada dana bagi hasil dari provinsi, dimana realisasi dan bagi hasil dari provinsi lebih tinggi Rp3,5 miliar dari yang diperkirakan dalam APBD-P. Belanja Kabupaten Minahasa tahun 2012 terserap 93,2% dari anggaran yang tertuang dalam APBD-P. Jenis belanja yang mempunyai selisih anggaran dengan realiasi terbesar secara nominal adalah belanja pegawai (tidak terserap Rp39,8 miliar). Kendala dalam belanja pegawai adalah adanya perencanaan kenaikan belanja pegawai yang dibuat terlalu besar serta adanya sisa tunjangan profesi guru yang tidak bisa digunakan. Sebagaimana diketahui belanja gaji dianggarkan untuk peningkatan gaji sebesar 10% ditambah acres 2,5% sedangkan realisasi kenaikan gaji pegawai adalah 7%. Belanja barang /jasa, belanja perjalanan dinas merupakan salah satu jenis belanja yang mempunyai selisih yang cukup besar (Rp2,5 miliar), sedangkan di belanja modal belanja reahabilitasi bangunan sekolah tidak terserap Rp2,8 miliar dari Rp9,2 milliar dana yang dianggarkan. Secara keseluruhan realisasi APBD Kabupaten Minahasa tetap mengalami defisit sebagaimana yang dianggarkan, meskipun realisasinya lebih rendah dari anggaran. Akumulasi defisit dengan total pembiayaan menjadi SiLPA tahun 2012 dimana nilainya mengalami penurunan meskipun tidak terlalu jauh dengan SiLPA tahun 2011 (SiLPA tahun 2011 Rp60,6 miliar, SiLPA tahun 2012 Rp55,0 miliar). Dengan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa SiLPA tahun 2012 Kabupaten Minahasa lebih dikarenakan adanya belanja yang tidak terserap.
36
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
I. Kabupaten Ketapang Seperti halnya Kabupaten Minahasa dan Kota Bontang, Kabupaten Ketapang merupakan daerah yang hampir sebagian besar berasal dari dana perimbangan, karena 92,5% pendapatan berasal dana perimbangan, khususnya Dana Alokasi Umum (76,63% total pendapatan). Untuk dana perimbangan, DAU dan DAK yang dianggarkan dalam APBD sudah mengacu pada alokasi pemerintah sedangkan untuk DBH masih menggunakan perkiraan dan dilakukan penyesuaian pada APBD Perubahan. PAD kabupaten Ketapang mempunyai porsi yang kecil dalam APBD, yaitu berkisar 5,07% total pendapatan, dengan pendapatan dominan di pajak daerah dan lain-lain pendapatan yang sah. Tabel 3.9 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
1.013,39
1.068,14
1.148,13
51,34
57,07
64,85
937,49
94,07
991,16
24,56
70,40
92,12
1.026,37
1.173,83
1.125,05
397,15
477,69
469,18
24,71
277,90
259,46
290,69
325,00
306,15
Belanja Lainnya
9,15
93,25
9,03
Pembiayaan Netto
12,97
105,69
105,68
Penerimaan Pembiayaan
33,41
115,12
115,11
Pengeluaran Pembiayaan
20,43
9,43
9,43
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
Penyesuaian anggaran pendapatan yang tertuang dalam APBD-P Kabupaten Ketapang sebagian besar dikarenakan adanya penyesuaian terhadap alokasi pemerintah, hal tersebut tampak pada penambahan pendapatan yang berasal dari Hasil Temuan Lapangan
37
Dana Penyesuaian dan penyesuaian besaran alokasi DBH. Sedangkan peningkatan perkiraan penerimaan PAD dikarenakan adanya percepatan dalam pembuatan regulasi di bidang Pajak dan Retribusi. Disisi belanja penyesuaian khususnya dilakukan pada Belanja Pegawai, sebagai imbas adanya dana penyesuaian yang peruntukannya sudah ditentukan untuk Tambahan Gaji Guru. Selain belanja pegawai terdapat peningkatan belanja lainnya, hal ini selain diakibatkan adanya peningkatan perkiraan penerimaan pendapatan, maka peningkatan belanja juga disebabkan oleh adanya peningkatan pembiayaan daerah. Peningkatan pembiayaan daerah tersebut dikarenakan adanya besaran SiLPA tahun 2011 yang realisasinya lebih besar dari yang diperkirakan pada anggaran. Dalam APBD perkiraan SiLPA tahun 2011 adalah Rp33,4 miliar namun dalam APBD-P SiLPA tahun 2011 disesuaikan dengan audit realisasi 2011 sebesar Rp115,1 miliar. Selisih antara perkiraan dan realiasi diprediksi karena adanya realisasi transfer diakhir tahun, juga adanya kontribusi dari belanja yang tidak dapat diserap. Grafik 3.9
Grafik 3.9 menunjukkan bahwa Realisasi pendapatan Kabupaten Ketapang lebih tinggi dari yang dianggarkan baik dalam APBD atau APBD-P. Pelampauan pendapatan terbesar berasal dari DBH, yaitu sebesar Rp50,5 miliar (63,1% total pelampauan pendapatan), pelampauan DBH tersebut menunjukkan adanya transfer di akhir tahun yang tidak dianggarkan dalam APBD-P. Pelampauan pendapatan terbesar kedua berasal dari dana bagi hasil pemerintah provinsi, yaitu sebesar Rp21,6 miliar (27% total pelampauan pendapatan). Disisi belanja, penyerapannya mencapai 95,91% total belanja yang dianggarkan dalam APBD-P, 38
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
dimana belanja yang mempunyai penyerapan tertinggi adalah belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa yang mencapai 99,8%. sedangkan belanja barang jasa dan belanja modal secara berturut-turut terserap 93,37% dan 94,2%, hal tersebut dikarenakan keterlambatan panitia pekerjaan dalam melakukan lelang dan terbatasnya SDM (PNS yang bersertifikat dan tenaga teknis). Realisasi pendapatan yang melampaui anggaran dan realisasi belanja yang terserap 95,8% menyebabkan terjadinya surplus, meskipun dalam anggarannya diperkirakan terjadi defisit. Terjadinya surplus mengakibatkan SiLPA tahun 2012 menjadi meningkat, yang semula Rp115,1 miliar menjadi Rp128,8 miliar. Secara nominal surplus Kabupaten Ketapang lebih didominasi adanya pelamapauan pendapatan (Rp80,0 miliar) dibanding dengan besarnya belanja yang tidak terserap (Rp48,78 miliar).
J. Kabupaten Gowa Kabupaten Gowa mempunyai postur pendapatan APBD tahun 2012 dengan besaran porsi dana transfer pemerintah (87,2%) dan pemerintah provinsi (6,2%), sedangkan potensi PAD adalah 6,6% total pendapatan. Hal tersebut memberikan gambaran tingkat ketergantungan Kabupaten Gowa akan informasi besaran alokasi dana transfer dari pemerintah secara cepat dan tepat, dengan adanya informasi yang cepat akan lebih memberikan kemudahan Kabupaten Gowa dalam mengalokasikannya dalam belanja dengan lebih baik. Secara rinci APBD Kabupaten Gowa dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.10 (dalam miliar rupiah) APBD Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja
APBD-P
R APBD
821,39
891,61
921,07
54,17
72,00
,79
669,26
669,26
681,32
97,95
150,34
161,05
830,32
952,24
853,56
Hasil Temuan Lapangan
39
APBD
APBD-P
R APBD
Belanja Pegawai
530,36
606,81
557,74
Belanja Barang dan Jasa
126,88
140,83
127,36
Belanja Modal
141,77
171,47
146,11
Belanja Lainnya
31,32
33,13
22,36
Pembiayaan Netto
0,89
60,64
75,56
Penerimaan Pembiayaan
37,41
111,65
121,83
Pengeluaran Pembiayaan
28,48
51,01
46,27
Tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian pendapatan dalam APBD-P sebesar Rp70,2 miliar, dimana sebagian besar (Rp49,2 miliar) disebabkan karena adanya alokasi Dana Penyesuaian yang belum tertampung dalam APBD, dana penyesuaian tersebut adalah alokasi tambahan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan guru PNSD. Penyesuaian besaran anggaran PAD lebih dikarenakan adanya peningkatan perkiraan pendapatan pajak daerah yang semula dianggarkan Rp19,6 miliar mengalami peningkatan menjadi Rp31,5 miliar. Peningkatan perkiraan pajak tersebut sebagian besar dikarenakan adanya perkiraan pendapatan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pembiayaan daerah Kabupaten Gowa juga dianggarkan meningkat, dimana dalam penyesuaian tersebut sebagian besar disebabkan adanya perubahan besaran SiLPA tahun 2011 sebagai sumber penerimaan pembiayaan. Dalam APBD SiLPA tersebut diperkirakan sebesar Rp34,06 miliar, tetapi dengan adanya pelampauan pendapatan dan belanja yang tidak terserap di tahun 2011 maka besaran SiLPA tahun 2011 meningkat menjadi Rp111,65 miliar. Perubahan besaran SiLPA berkontribusi dalam peningkatan anggaran belanja daerah karena pada umumnya besaran pembiayaan mempunyai nilai yang sama dengan defisit daerah, oleh karenanya defisit daerah secara langsung juga ditentukan oleh besaran belanja. Peningkatan besaran pendapatan dan pembiayaan daerah mengakibatkan adanya penyesuaian besaran belanja Kabupaten Gowa. Belanja Pegawai Tidak Langsung merupakan jenis belanja yang mempunyai peningkatan belanja paling tinggi, dimana sebagian besar peningkatan tersebut disebabkan oleh dana penyesuaian
40
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
yang berasal dari pemerintah. Belanja lainnya yang disesuaikan karena peningkatan pendapatan dan pembiayaan adalah belanja barang jasa dan belanja modal. Grafik 3.10
Perbandingan APBD, APBD Perubahan dan realisasi APBD tampak dalam grafik diatas, dimana dalam APBD dan APBD Perubahan pendapatan daerah lebih rendah dari belanja dan besaran defisit sama dengan nilai pembiayaan. Sedangkan dalam realisasi APBD Kabupaten Gowa tampak bahwa realisasi pendapatan lebih tinggi dari belanja sehingga tidak terjadi defisit tetapi malah terjadi surplus, atau dengan kata lain pembiayan daerah tidak tergunakan dalam belanja daerah. Jenis pendapatan daerah yang mempunyai realisasi lebih tinggi dari yang dianggarkan adalah transfer DBH yang mempunyai pelampauan pendapatan sebesar Rp12,06 miliar dibanding yang dianggarkan dalam APBD Perubahan, dengan kata lain terdapat alokasi dari pemerintah yang lebih besar di akhir tahun setelah APBD Perubahan disahkan yaitu sebesar Rp12,06 miliar. Jenis pendapatan yang mengalami pelampauan kedua adalah Dana Bagi Hasil dari Pemerintah Provinsi sebesar Rp11,47 miliar, dimana hal tesebut dikarenakan adanya pelampauan penerimaan pendapatan pajak atau retribusi provinsi sehingga terdapat transfer di akhir tahun dari pemerintah provinsi. Ketiga adalah PAD yang terjadi pelampauan sebesar Rp6,6 miliar, dengan kontributor terbesar adalah karena pelampauan realisasi pendapatan BPHTB sebesar Rp2,4 miliar dan pelampauan pendapatan jasa giro sebesar Rp2,5 miliar.
Hasil Temuan Lapangan
41
Penyebab terjadinya surplus adalah penyerapan belanja yang lebih rendah dari target yang ditetapkan. Belanja yang mempunyai selisih anggaran dengan realisasi terbesar adalah belanja pegawai tidak langsung, dimana realisasinya lebih rendah sebesar Rp47,98 miliar dari yang dianggarkan. Selisih tersebut sebagian besar dikarenakan adanya gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan PNSD fungsi pendidikan yang tidak terserap sebesar Rp31,6 miliar.Kedua adalah belanja modal dengan selisih anggaran dengan realisasi sebesar Rp25,4 miliar, dimana tiga kegiatan penyumbang tidak terserapnya belanja modal antara lain adalah penyerapan belanja modal pengadaan konstruksi/pembelian bangunan, kegiatan DAK bidang pendidikan yang tidak terserap Rp10,8 miliar (realisasi kegiatan 40,0%), kedua adalah tidak terealisasinya pembebasan tanah untuk kepentingan pemda yang masuk dalam fungsi pelayanan umum (Rp6,97 miliar) dan ketiga adalah tidak terealisasinya pembangunan puskesmas plus yang masuk dalam fungsi pendidikan (Rp5 miliar). Surplus yang terjadi dalam realisasi APBD Kabupaten Gowa menjai bagian dari SiLPA tahun 2012. Besaran SiLPA tahun 2012 meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2011, hal ini disebabkan terjadinya surplus dan terlebih realisasi pembiayaan lebih tinggi dari besaran SiLPA tahun sebelumnya. SiLPA tahun 2012 meningkat menjadi Rp197,4 miliar.
K. Kabupaten Samosir Tabel 3.11 menunjukkan porsi pendapatan APBD Kabupaten Samosir, dimana pendapatan yang berasal dari PAD mempunyai porsi cukup kecil (3,27%). Sebagaimana diketahui PAD merupakan pendapatan yang penganggarannya ditentukan oleh pemerintah daerah sendiri. Dengan porsi PAD yang sangat kecil menggambarkan tingkat kesulitan pemda dalam menganggarkan belanja daerah karena sebagian besar alokasi pendapatan ditentukan oleh pemerintah dan pemerintah provinsi, dimana informasi alokasinya cenderung didapatkan di akhir tahun (setelah APBN disahkan/tanggal 1 Oktober tahun bersangkutan). Dalam APBD tahun 2012, 92,7% pendapatan dianggarkan berasal dari dana transfer (Dana Perimbangan ditambah Dana Penyesuaian).
42
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
.Tabel 3.11 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
430,38
458,10
447,73
14,06
17,96
1,75
383,83
386,19
380,80
32,49
53,95
49,47
440,32
487,80
415,01
237,67
256,66
235,65
Belanja Barang dan Jasa
80,33
91,05
7,20
Belanja Modal
99,68
11,65
85,42
Belanja Lainnya
22,66
23,56
21,90
Pembiayaan Netto
9,94
29,71
30,71
Penerimaan Pembiayaan
0,07
91,33
62,39
Pengeluaran Pembiayaan
61,06
61,63
3,17
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
Dana penyesuaian yang dianggarkan dalam APBD merupakan angka perkiraan, dimana tampak dalam APBD-P angka tersebut mengalami perubahan yaitu disesuaikan dengan alokasi pemerintah. Dana penyesuaian tersebut merupakan dana yang diperuntukan untuk dana tambahan penghasilan dan tunjangan profesi guru PNSD. Pendapatan lainnya yang dilakukan penyesuaian adalah pendapatan dalam bentuk bantuan keuangan dari provinsi sebesar Rp9,3 miliar. SiLPA tahun sebelumnya dianggarkan dengan realisasi yang tertuang dalam APBD Perubahan mempunyai selisih Rp20,3 miliar. Selisih tersebut menyebabkan pembiayaan daerah juga mengalami peningkatan dengan nilai yang sama karena tidak ada perubahan anggaran pembiayaan daerah lainnya. Peningkatan besaran pendapatan dan pembiayaan daerah menyebabkan adanya peningkatan belanja yang dianggarkan. Alokasi dana penyesuaian juga menyebabkan belanja pegawai meningkat karena peruntukkan dana tersebut
Hasil Temuan Lapangan
43
sudah dipastikan. Peningkatan belanja terbesar yang lain adalah belanja modal yaitu meningkat Rp16,9 miliar, belanja barang jasa meningkat Rp10,7 miliar. Dalam perjalanan pelaksanaan anggaran terdapat peningkatan pendapatan dan pergerakan penyerapan belanja, dimana perbandingan anggaran dan realisasinya dapat dilihat dalam grafik di bawah ini. Grafik 3.11
Tidak jauh berbeda dengan reaiisasi APBD daerah lain yang telah dibahas sebelumnya, realisasi APBD Kabupaten Samosir juga terjadi surplus anggaran. Perbedaan daerah lain dengan realisasi APBD Kabupaten Samosir adalah realisasi pendapatan lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD Perubahan, namun karena belanja yang tidak terserap lebih besar maka tetap terjadi surplus. Realisasi pendapatan yang lebih rendah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain Dana Alokasi Khusus (DAK) tahap ketiga tidak terserap (25% alokasi atau sebesar Rp9,3 miliar), lain-lain pendapatan daerah yang sah yang lebih rendah Rp4,5 miliar (alokasi bagi hasil dari provinsi dan lain-lain pendapatan yang berasal dari bantuan PT. Inalum lebih rendah dari yang dianggarkan). Realisasi pendapatan yang lebih rendah dibarengi dengan realisasi belanja yang jauh lebih rendah. DAK dari pemerintah yang hanya terserap 75% berpengaruh pada realisasi belanja modal pada khususnya. Belanja modal Kabupaten Samosir terserap 73,3% atau terdapat Rp31,1 miliar dana yang tidak terserap. Kegiatan-
44
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
kegiatan yang mempunyai selisih anggaran dengan realisasi besar antara lain adalah pembangunan, peningkatan jalan (kontruksi paket) yang masuk dalam fungsi perumahan dan fasilitas umum, dalam APBD-P dianggarkan Rp33,2 miliar terealisasi sebesar Rp21,76 miliar atau tidak terserap Rp11,46 miliar. Kedua kegiatan lanjutan penataan dan pematangan lokasi kompleks perkantoran yang masuk fungsi lingkungan hidup dianggarkan Rp5,67 miliar terserap Rp1,16 miliar atau tersisa Rp4,5 miliar. Ketiga adalah fungsi pendidikan dalam kegiatan rehabilitasi berat gedung SMA Negeri 1 Pangururan yang dianggarkan Rp3,68 miliar terserap Rp0,99 miliar atau tidak terserap Rp2,69 miliar dan terbesar keempat adalah fungsi perumahan dan fasilitas umum dalam kegiatan pembangunan, peningkatan jalan (sumber dana DAK) yang dianggarkan Rp6,5 miliar terealisasi Rp3,91 miliar atau tidak terserap Rp2,59 miliar. Lima kegiatan tersebut sebagian merupakan belanja yang digunakan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain dana yang tidak terserap menggambarkan besaran pelayanan kepada masyarakat yang tertunda. Kabupaten Samosir memanfaatkan SiLPA tahun sebelumnya sebesar Rp31 miliar untuk investasi jangka pendek (kurang dari 1 tahun), hal tersebut tampak dari adanya investasi jangka pendek yang masuk dalam pengeluaran pembiayaan dan penerimaan kembali pemberian pinjaman dalam penerimaan pembiayaan. Imbal balik investasi tersebut masuk dalam salah satu pendapatan PAD, yaitu pendapatan bunga deposito sebesar Rp1,5 miliar. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka cash flow management dan salah satu cara menambah PAD khususnya bagi daerah dengan potensi pajak dan retribusi daerah yang tidak terlalu tinggi. Tahun 2012 SiLPA Kabupaten Samosir meningkat dibanding dengan tahun 2011, karena adanya surplus dalam realisasi APBD. SiLPA Kabupaten Samosir ditahun 2012 menjadi Rp63,43 miliar, dimana nilai tersebut lebih tinggi dari tahun 2011 yang mempunyai SiLPA Rp31,3 miliar.
L. Kabupaten Pamekasan Porsi pendapatan APBD tahun 2012 Kabupaten Pamekasan mempunyai porsi PAD 5,86% total pendapatan, Dana Perimbangan 79,02% total pendapatan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah mempunyai porsi 15,12% total pendapatan. Dibanding dengan Kabupaten Samosir, PAD Kabupaten Pamekasan lebih tinggi
Hasil Temuan Lapangan
45
namun penyumbang terbesar PAD Kabupaten Pamekasan bukan berasal dari pajak daerah ataupun retribusi daerah. Dalam APBD tahun 2012, sumber PAD terbesar dianggarkan dari lain-lain PAD yang sah (66,23% total PAD) khususnya berasal dari pendapatan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah(BLUD RSUD). Meskipun PAD Kabupaten Pamekasan lebih tinggi dari Kabupaten Samosir, namun tingkat ketergantungan terhadap informasi transfer pemerintah dan provinsi masih cukup tinggi (94,1% total pendapatan). Sebagaimana diketahui dengan keterlambatan informasi transfer tersebut dapat mempengaruhi kualitas belanja pemerintah daerah. Terlebih alokasi dana yang peruntukannya sudah ditentukan seperti DAK, bukan hanya informasi transfer namun kecepatan informasi petunjuk teknis pelaksanaan sangat diperlukan agar dapat mempercepat dan mempermudah dalam realisasinya. Tabel 3.12 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
957,86
1.014,12
1.055,81
PAD
56,16
65,96
84,38
Dana Perimbangan
75,69
765,27
792,71
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
14,48
182,90
178,72
1.112,62
1.213,08
1.100,32
Belanja Pegawai
584,97
607,25
583,88
Belanja Barang dan Jasa
177,11
254,88
222,53
Belanja Modal
257,95
249,96
199,46
Belanja Lainnya
92,59
100,99
94,45
Pembiayaan Netto
154,75
198,96
20,18
Penerimaan Pembiayaan
165,15
212,36
212,78
Pengeluaran Pembiayaan
10,40
13,40
11,02
Pendapatan
Belanja
46
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Adanya perubahan dana transfer pemerintah dalam APBD Perubahan Kabupaten Pamekasan seperti halnya DBH dan Dana Penyesuaian, menggambarkan bahwa saat penyusunan APBD kedua dana tersebut belum diketahui alokasi secara keseluruhan. Untuk DBH, penyesuaian tersebut dapat dikarenakan DBH alokatif belum diketahui secara keseluruhan dan/atau adanya dana escrow yang ditransfer pada bulan Februari tahun anggaran berikutnya. Selain dana transfer pemerintah, Kabupaten Pamekasan juga melakukan penyesuaian dana transfer yang berasal dari provinsi. Belanja daerah, khususnya belanja barang jasa mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu 43,9% dari APBD (dari Rp177,1 miliar menjadi Rp254,8 miliar). Belanja yang mengalami peningkatan cukup tinggi kedua adalah belanja pegawai tidak langsung, dimana hal tersebut berkaitan dengan alokasi dana penyesuaian yang peruntukannya digunakan untuk tambahan tunjangan dan gaji guru PNSD. Sedangkan Belanja Modal justru mengalami penurunan sebesar Rp7,98 miliar. Disisi pembiayaan dilakukan penyesuaian karena adanya perubahan besaran SiLPA tahun sebelumnya yang dalam realisasinya (setelah dilakukan audit realisasi APBD tahun 2011) lebih tinggi dari yang dianggarkan (anggaran Rp153,6 miliar, APBD-P Rp172 miliar). Selain SiLPA, Kabupaten Pamekasan menganggarkan pencairan dana cadangan yang lebih tinggi dari yang tertuang dalam APBD. Karena kedua hal tersebut maka nilai pembiayaan mengalami peningkatan. Untuk perbadingan APBD, APBD-P dan realiasi APBD dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 3.12
Hasil Temuan Lapangan
47
Dari grafik.3.12 terlihat bahwa postur realisasi APBD Kabupaten Pamekasan tampak serupa dengan APBD dan APBD-P, yaitu belanja lebih tinggi dari pendapatan sehingga terjadi defisit. Namun realisasi APBD mempunyai perbedaan, yaitu gap/ selisih antara pendapatan dengan belanja tidak terlalu jauh sehingga besaran defisit daerah lebih rendah daripada yang dianggarkan dalam APBD ataupun dalam APBD-P. Disisi pendapatan terjadi pelampauan beberapa jenis pendapatan, yaitu PAD yang didominasi oleh lain-lain pendapatan yang sah khususnya pendapatan dari BLUD RSUD dan adanya transfer DBH yang labih besar dari yang dianggarkan dalam APBD-P atau alokasi definitif DBH diakhir tahun lebih tinggi. Belanja Modal yang dalam APBD-P mengalami penurunan, dalam realisasinya juga mengalami penyerapan yang kurang baik sehingga mempunyai dana yang tidak terserap tertinggi dibanding dengan jenis belanja lainnya Rp50,5 miliar, belanja modal yang tidak terserap (terserap 79,8%). Belanja Modal yang tidak terserap kedua terbesar berasal dari fungsi pendidikan (Rp25,0 miliar) dan fungsi ekonomi (Rp11,1 miliar). Beberapa kegiatan belanja modal bidang pendidikan yang mempunyai dana yang tidak terserap terbesar antara lain adalah pembangun Sport Center (penyerapan 66,6%, selisih dana Rp7,97 miliar), rehabilitasi, RKB Sekolah Dasar Negeri dengan dana berasal dari DAK (terserap 44,45% dengan selisih dana Rp6,11 miliar), pembangunan sport center tahap dua (tidak terlaksana, selisih dana Rp2,5 miliar) dan DAK SDN dan SMP Swasta (tidak terserap, selisih dana Rp1,49 miliar). Sedangkan untuk belanja modal fungsi perekonomian, jenis kegiatan yang mempunyai sisa dana terbesar adalah pembangunan jaringan PLMD (tidak terserap dengan sisa dana Rp4,03 miliar) dan revitalisasi pasar tradisional dengan dana berasal dari bantuan keuangan provinsi (tidak terserap dengan sisa dana Rp1,55 miliar). Jenis belanja yang mempunyai sisa dana terbesar kedua adalah belanja barang jasa, dimana sebesar Rp32,35 miliar tidak terserap (terserap 87,3%). Belanja barang jasa fungsi kesehatan merupakan belanja yang mempunyai sisa dana tidak terserap terbesar (Rp12,1 miliar/38,2% dari tota dana yang tidak terserap). Tahun 2012 SiLPA Kabupaten Pamekasan mengalami penurunan dibanding dengan tahun 2011. Hal tersebut dikarenakan di tahun 2012 realiasi APBD mengalami defisit sehingga sebagian pembiayaan harus digunakan dalam menutup defisit tersebut.
48
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
M. Kabupaten Sumenep Proporsi pendapatan APBD Kabupaten Sumenep mempunyai tipe yang menyerupai pendapatan Kabupaten Pamekasan. Dominan didana transfer pemerintah dan provinsi termasuk pula sumber PAD terbesar berasal dari lain-lain pendapatan yang sah khususnya pendapatan BLUD fungsi kesehatan. Sebagaimana halnya daerah yang sangat tergantung akan informasi transfer, Kabupaten Sumenep juga sangat tergantung akan kecepatan informasi transfer dari pemerintah karena dalam APBD 2012, 87,67% pendapatan berasal dari transfer pemerintah, sedangkan transfer dari provinsi mempunyai porsi 6,8% total pendapatan. Selain pendapatan, dalam APBD juga dianggarkan pembiayaan guna menutup belanja yang mempunyai nilai lebih tinggi dari pendapatan yang dianggarkan. Kontribusi pembiayaan daerah terhadap belanja daerah tidak terlalu besar yaitu 3,4%. Nilai kontribusi yang tidak terlalu besar menunjukkan pola belanja daerah yang tidak terlalu ekspansif, sehingga cenderung dianggarkan sesuai dengan besar pendapatan daerah. Tabel 3.13 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
1.263,45
1.322,92
1.338,90
69,79
73,54
85,89
1.034,57
1.051,67
1.057,06
15,91
197,70
195,95
1.308,07
1.422,28
1.276,78
Belanja Pegawai
730,10
783,97
759,85
Belanja Barang dan Jasa
193,35
233,67
199,52
Belanja Modal
240,35
248,65
194,36
Belanja Lainnya
144,28
0,16
123,05
Pembiayaan Netto
44,62
99,37
158,53
Penerimaan Pembiayaan
68,62
182,63
183,03
Pengeluaran Pembiayaan
0,02
83,27
0,25
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja
Hasil Temuan Lapangan
49
Kabupaten Sumenep juga melakukan penyesuaian pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBD Perubahan yang disebabkan adanya besaran pendapatan dan besaran SiLPA tahun sebelumnya yang disesuaikan dengan hasil audit BPK. Penyesuaian pendapatan cenderung meningkat, khususnya dana transfer dari pemerintah yang berupa DBH dan dana penyesuaian (secara total meningkat sebesar Rp51,6 miliar). Sedangkan peningkatan anggaran dari PAD dan transfer provinsi cenderung tidak terlalu besar, yaitu berkisar di angka Rp3 miliar. Penerimaan pembiayaan yang berasal dari SiLPA dalam APBD-P hampir tiga kali lipat dari yang dianggarkan dalam APBD. Realiasi SiLPA tahun 2011 jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan karena dalam realisasi APBD 2011 terdapat belanja modal yang tidak terserap dan mempunyai selisih cukup tinggi (Rp64,7 miliar). Walaupun penerimaan SiLPA mengalami penyesuaian cukup tinggi, namun secara total peningkatan pembiayaan daerah masih jauh dibawah peningkatan SiLPA karena Kabupaten Sumenep menganggarkan pembayaran pada pihak ketiga pada pengeluaran pembiayaan. Peningkatan pendapatan daerah sebesar Rp59,5 miliar dan peningkatan besaran pembiayaan sebesar Rp54,7 miliar menyebabkan adanya peningkatan anggaran belanja sebesar Rp114,2 miliar. Besaran belanja daerah merupakan fungsi penambahan dari pendapatan dan pembiayaan karena sumber pembiayaan berasal dari SiLPA bukan pinjaman daerah atau dengan kata lain pemda menggunakan uang sendiri sebagai sumber pembiayaan. Sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 seyogyanya pembiayaan timbul karena adanya fungsi pendapatan dikurang belanja, dimana jika terdapat lebih anggaran dapat dimanfaatkan dalam pengeluaran pembiyaan dn jika terdapat kurang dapat dicari sumber pembiyaan lain guna menutup belanja. Dengan adanya pergeseran fungsi pembiayaan tersebut, belanja daerah cenderung diatur sedemikian rupa sehingga besaran defisit sama dengan besaran pembiayaan daerah. Perbandingan APBD, APBD-P dan realisasi APBD Kabupaten Sumenep dapat dilihat dalam grafik di bawah ini.
50
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Grafik 3.13
Dalam realisasi APBD terjadi Surplus, dimana hal tersebut lebih dikarenakan adanya penyerapan belanja yang lebih rendah dari anggaran (Rp145,5 miliar) dibanding dengan adanya pelampauan pendapatan (Rp15,98 miliar). Realisasi pendapatan Kabupaten Sumenep lebih tinggi dari yang dianggarkan karena adanya pelampauan pendapatan khususnya yang berasal dari PAD (Rp12,3 miliar) dan DBH (Rp5,4 miliar), sedangkan pendapatan lain-lain pendapatan daerah yang sah khususnya dana bagi hasil dari provinsi lebih rendah dari yang dianggarkan (Rp1,7 miliar). Disisi belanja, belanja modal merupakan jenis belanja yang mempunyai selisih anggaran dengan realiasi terbesar (Rp54,3 miliar, terserap 78,2%). Kedua adalah belanja barang jasa yang terserap 85,4% sehingga realisasi lebih rendah Rp34,15 miliar. sedangkan belanja pegawai secara keseluruhan baik belanja pegawai langsung dan tidak langsung terserap 96,9%. Selain ketiga jenis belanja yang mempunyai porsi terbesar pada umumnya, belanja hibah Kabupaten Sumenep juga mempunyai selisih anggaran dengan realisasi cukup tinggi sebesar Rp22,4 miliar dari Rp82,2 miliar yang dianggarkan terserap Rp59,8 miliar. SiLPA tahun 2012 Kabupaten Sumenep mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, dimana SiLPA tahun 2011 sebesar Rp182,6 miliar tahun 2012 meningkat menjadi Rp220,6 miliar. Peningkatan SiLPA tersebut dikarenakan terjadinya Surplus dan realisasi besaran pembiayaan yang lebih tinggi dari yang dianggarkan.
Hasil Temuan Lapangan
51
N. Kabupaten Siak Kabupaten Siak merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam yang potensial, dimana hal tersebut tampak pada besaran Dana Perimbangan berupa dana bagi hasil yang sangat besar (87% total dana perimbangan). Pola penyaluran DBH yang didasarkan pada realisasi penerimaan Negara memerlukan kinerja yang baik bagi pemda dalam membuat anggaran belanja. Mekanisme alokasi DBH saat ini adalah setelah APBN disahkan pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan PMK Alokatif DBH, dimana pemda dapat memasukkan alokasi tersebut dalam APBD. Diawal tahun, pada umumnya di bulan Februari tahun berkenaan, pemerintah mengalokasikan escrow tahun sebelumnya dan pemerintah daerah dapat menganggarkan dalam APBD Perubahan. Di akhir tahun pemerintah menerbitkan PMK definitif penerimaan hingga semester tiga, jika angka DBH definitif lebih tinggi dari angka DBH alokatif maka dana tersebut tidak dapat digunakan di tahun tersebut, sehingga akan masuk SiLPA dan baru dapat digunakan ditahun berikutnya. Dalam APBD, Kabupaten Siak menganggarkan SiLPA tahun berkenaan. Hal tersebut tampak pada besaran defisit yang tidak sama dengan nilai pembiayaan daerah seperti tercantum dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.14 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
1.646,78
1.737,30
2.248,77
184,01
226,94
346,60
1.389,23
1.410,49
1.768,15
73,55
99,87
134,02
2.139,85
2.372,47
2.071,32
Belanja Pegawai
717,17
745,88
657,32
Belanja Barang dan Jasa
441,82
548,03
446,61
Belanja Modal
713,79
835,06
743,04
26,71
243,50
224,35
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja
Belanja Lainnya
52
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
APBD
APBD-P
R APBD
602,47
744,57
745,69
Penerimaan Pembiayaan
0,61
74,49
745,69
Pengeluaran Pembiayaan
3,53
0,37
Pembiayaan Netto
Dalam APBD Perubahan, terjadi peningkatan perkiraan pendapatan PAD khususnya yang berasal dari pajak daerah dan hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan sebesar Rp90,5 miliar. untuk transfer pemerintah terdapat dua jenis transfer yang besarannya mengalami penyesuaian, yaitu DBH (Rp21,3 miliar) dan dana penyesuaian (Rp19,3 miliar). Peningkatan anggaran juga terjadi dalam pembiayaan daerah, dimana besaran SiLPA tahun 2011 lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam APBD (dalam APBD dianggarkan Rp606 miliar, dalam APBD-P menjadi Rp744,9 miliar). Adanya peningkatan anggaran pendapatan dan pembiayaan daerah dalam APBD Perubahan menyebabkan adanya peningkatan anggaran belanja daerah. Belanja daerah yang mengalami peningkatan cukup tinggi adalah belanja modal (Rp121,2 miliar) dan belanja barang jasa (Rp106,2 miliar). Peningkatan anggaran kedua belanja tersebut cukup besar terlebih karena sisa waktu untuk menyerap belanja setelah APBD Perubahan tidak lebih dari 6 bulan. Baik dalam APBD maupun APBD Perubahan terdapat selisih antara defisit anggaran dengan nilai pembiayaan. Selisih antara keduanya baik dalam APBD dan APBDPerubahan mempunyai nilai yang sama, yaitu Rp109,4 miliar. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Siak mengharapkan minimal terdapat sisa dana sebesar Rp109,4 miliar di akhir tahun anggaran yang menurut pemda Kabupaten Siak dana tersebut disiapkan untuk menggaji pegawai pada bulan Januari dan Februari tahun berikutnya.
Hasil Temuan Lapangan
53
Grafik 3.14
Belanja Kabupaten Siak terserap sebesar 87,3% atau selisih anggaran dengan realisasi sebesar Rp301,2 miliar. Sedangkan disisi pendapatan terdapat pelampauan pendapatan sebesar Rp511,5 miliar. kondisi tersebut menyebabkan anggaran yang direncanakan defisit tetapi dalam realisasinya terjadi surplus. Kabupaten Siak mempunyai BUMD yang bergerak dibidang minyak bumi, BUMD tersebut memberikan kontribusi pendapatan PAD cukup tinggi. Pendapatan BUMD tersebut masuk dalam pendapatan hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan mempunyai kontribusi sebesar 69% total PAD. Realisasi DBH Kabupaten Siak ditriwulan IV cukup tinggi yaitu mencapai Rp357,7 miliar, sehingga penerimaan DBH yang dianggarkan sebesar Rp1,23 triliun pada APBD Perubahan menjadi Rp1,59 triliun. Belanja Modal, Belanja Pegawai dan Belanja Barang/ Jasa merupakan tiga jenis belanja yang mempunyai selisih anggaran dengan realisasi terbesar, yaitu Rp101,4 miliar belanja barang jasa, Rp92,0 miliar belanja modal dan Rp88,5 miliar belanja modal. Beberapa kegiatan belanja barang jasa tidak dapat dilaksanakan sehingga dana tersebut terdapat selisih, contohnya adalah kegiatan sosialisasi dan adanya penghematan perjalan dinas. Sedangkan kendala pada proses lelang merupakan kendala utama dalam mereliasikan belanja modal. Untuk belanja pegawai yang tidak terserap dikarenakan adanya calon PNS baru yang belum mendapat SK pengangkatan sehingga terdapat gaji dan tunjangan PNS tersebut belum dapat direalisasikan.
54
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Surplus realisasi APBD ditambah pembiayaan merupakan nilai SiLPA tahun 2012, dimana secara total menjadi Rp923,1 miliar. SiLPA tahun 2012 lebih tinggi dibanding dengan tahun 2011 yang sebesar Rp744,9 miliar.
O. Kabupaten Bangli Tidak seperti Kabupaten Siak yang mempunyai PAD yang cukup tinggi, Kabupaten Bangli mempunyai anggaran PAD di kisaran Rp31 miliar dengan porsi terhadap total pendapatan sebesar 5,46%. Porsi dana perimbangan adalah 80,03% total pendapatan, dimana porsi terbesar adalah DAU. DBH Kabupaten Bangli tidak mempuanyai porsi yang cukup tinggi (porsi DBH tahun 2012 adalah 3,3%), sehingga jika ada perubahan alokasi DBH awal tahun dan triwulan empat tahun berjalan tidak terlalu menjadi kendala dalam pelaksanaan anggaran, tidak seperti daerah dengan alokasi DBH besar seperti halnya Kabupaten Siak. Tabel 3.15 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
567,25
62,09
622,72
0,03
0,04
40,75
453,99
45,71
459,41
82,26
12,48
122,55
596,75
644,51
592,23
373,09
391,65
364,84
Belanja Barang dan Jasa
89,48
108,90
94,60
Belanja Modal
83,81
89,87
82,34
Belanja Lainnya
50,37
54,09
50,45
Pembiayaan Netto
0,30
23,64
23,65
Penerimaan Pembiayaan
0,03
2,48
2,48
Pengeluaran Pembiayaan
0,50
1,14
1,13
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
Hasil Temuan Lapangan
55
Perubahan anggaran yang tertuang dalam APBD-P menunjukkan adanya penyesuaian besaran belaja daerah karena adanya perubahan perkiraaan pendapatan dan pembiayaan daerah. Perubahan pendapatan terbesar yang tetuang dalam APBD Perubahan adalah adanya perubahan anggaran dana penyesuaian dari pemerintah dan perubahan dana bagi hasil dari provinsi (dalam APBD Perubahan lain-lain pendapatan daerah yang sah dianggarkan meningkat sebesar Rp42,5 miliar). Untuk PAD perubahan anggaran terbesar adalah pendapatan yang berasal dari lain-lain PAD yang sah khususnya yang berasal dari BLUD RSUD. Pembiayaan daerah dalam APBD Perubahan dianggarkan lebih kecil dari APBD, karena besaran SiLPA tahun sebelumnya yang didasarkan hasil audit BPK lebih kecil dari yang dianggarkan (dianggarkan Rp30 miliar, dalam APBD-P menjadi Rp24,8 miliar). Penurunan nilai pembiayaan menyebabkan besar defisit daerah menjadi lebih rendah dibanding dengan APBD. Dalam menganggarkan SiLPA tahun sebelumnya di APBD, Pemda Bangli menggunakan acuan tren beberapa tahun terakhir . Peningkatan perkiraan pendapatan yang masih lebih tinggi dari penurunan nilai pembiayaan mengakibatkan adanya peningkatan besaran anggaran belanja. Alokasi dana penyesuaian yang lebih tinggi dari yang dianggarkan mengakibatkan peningkatan anggaran belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,73 miliar. Dibanding dengan belanja pegawai, belanja barang jasa mempunyai peningkatan anggaran yang lebih tinggi yaitu Rp19,4 miliar. Grafik 3.15
56
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Realisasi pendapatan secara total tidak terlalu jauh dibanding dengan yang dianggarakan dalam APBD Perubahan. Sedangkan untuk belanja dalam realiasinya mempunyai nilai yang lebih rendah dibanding dengan pendapatan, atau realisasi APBD Kabupaten Bangli terjadi surplus. Secara total penyerapan belanja Kabupaten Bangli cukup bagus karena terealisasi 91,9% anggaran belanja dalam APBD-P. Belanja yang mempunyai selisih terbesar secara nilai antara anggaran dan realiasi adalah belanja pegawai dan belanja barang jasa. Dengan terjadinya surplyus anggaran maka besaran SiLPA tahun 2012 Kabupaten Bangli mengalami peningkatan dibanding dengan realiasi di tahun 2011.
P. Kabupaten Tanah Laut Dana perimbangan merupakan pendapatan yang dominan bagi Kabupaten Tanah Laut, dengan proporsi DBH diAPBD 2012 adalah 18,45% total pendapatan. Dengan proporsi DBH tersebut menunjukkan bahwa bagi Kabupaten Tanah Laut DBH merupakan sumber pendapatan yang dominan walaupun yang utama tetap DAU yang mempunyai proprosi 56,56% total pendapatan. proporsi PAD Tanah Laut adalah 5,96% pendapatan daerah, dengan sumber terbesar berasal dari lainlain PAD yang sah. Secara rinci dalama APBD 2012, penerimaan jasa giro dan pendaptan dari BLUD RSUD merupakan sumber pendapatan yang paling tinggi. Tabel 3.16 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
705,11
867,65
1.109,80
PAD
42,06
56,04
78,98
Dana Perimbangan
54,93
633,08
802,92
113,81
178,54
227,90
909,16
96,74
814,15
454,32
483,21
41,99
Pendapatan
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
Hasil Temuan Lapangan
57
APBD
APBD-P
R APBD
Belanja Barang dan Jasa
213,81
230,44
173,28
Belanja Modal
188,30
196,54
164,56
Belanja Lainnya
52,73
57,18
56,41
Pembiayaan Netto
283,84
644,87
646,18
Penerimaan Pembiayaan
0,29
650,37
651,18
Pengeluaran Pembiayaan
6,16
0,06
0,01
Pendapatan APBD Perubahan Kabupaten Tanah Laut dianggarkan lebih tinggi dari yang ada diAPBD, peningkatan tersebut sebesar 23%. Pendapatan dari DBH merupakan pendapatan mengalami peningkatan paling tinggi (Rp83,8 miliar). Dalam menganggarkan DBH di APBD, Kabupaten Tanah Laut mengggunakan acuan 80% alokasi tahun sebelumnya , sedangkan untuk APBD Perubahan menggunakan 80% alokasi dialokasi ditahun tersebut. Sistem penganggaran tersebut digunakan untuk berjaga-jaga jika realisasi DBH ternyata dibawah target. dengan kebijakan tersebut akan muncul selisih realiasi DBH di akhir tahun yang cukup banyak karena alokasi DBH diawal cenderung dianggarkan pesimis terlebih porsi DBH Kabupaten Tanah Laut cukup tinggi. Transfer bagi hasil dari provinsi dalam APBD-P juga mengalami peningkatan, dimana dalam APBD Kabupaten Tanah Laut masih menggunakan data perkiraan dari tahun sebelumnya dan dalam APBD-P disesuaikan dengan alokasi provinsi karena alokasi dari provinsi baru diinformasikan di tahun berjalan. Realisasi SiLPA tahun 2011 hasil audit BPK yang dimasukkan sebagai salah satu sumber Penerimaan pembiayaan APBD-P jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan di APBD. Dalam APBD SiLPA diperkirakan sebesar Rp290 miliar dan dalam APBD-P dianggarkan sebesar Rp350 miliar. Defisit APBD Kabupaten Tanah Laut mempunyai nilai lebih rendah dari pembiyaan yang dianggarkan, dengan kata lain Kabupaten Tanah Laut menganggarkan SiLPA tahun 2012 (Rp79,8 miliar). Sisa tersebut direncanakan digunakan untuk kegiatan diawal tahun khususnya belanja pegawai, karena besaran belanja pegawai lebih tinggi dari alokasi DAU. Namun dalam APBD-P nilai tersebut ikut melonjak sebanding dengan peningkatan anggaran SiLPA tahun 2011, dimana dalam APBD-P
58
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
perkiraan SiLPA tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp545 miliar. Fungsi dasar pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, dengan tidak menganggarkan sisa dana tersebut dalam belanja daerah berarti pemda menunda penggunaannya, yang dengan kata lain pemda menunda pelayanannya kepada masyarakat. Perbandingan APBD, APBD-P dan realisasi APBD dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 3.16
Realisasi pendapatan lebih tinggi Rp242,2 miliar dibanding yang dianggarkan dalam APBD-P. peningkatan tersebut didominasi oleh adanya realisasi DBH yang lebih tinggi dengan selisih Rp169,8 miliar (79,4% DBH yang dianggarkan dalam APBD-P). Realisasi PAD juga lebih tinggi dari yang dianggarkan, dimana pelampauan tertinggi berasal dari penerimaan jasa giro. Realisasi belanja Kabupaten Tanah Laut lebih rendah dari pendapatan daerah, sehingga terjadi surplus. Belanja pegawai merupakan belanja yang mempunyai selisih dengan anggaran tertinggi (Rp63,3 miliar). Untuk belanja barang jasa dan belanja modal juga secara berturut turut mempunyai penyerapan sebesar 75,2% dan 83,7%, dengan selisih anggaran dengan anggaran Rp57,2 miliar dan Rp31,99 miliar. Kendala dalam merealisasikan keduanya antara lain dikarenakan adanya kendala dalam proses lelang.
Hasil Temuan Lapangan
59
Surplus realisasi APBD Kabupaten Tanah Laut adalah sebesar Rp295,6 miliar, dengan menjumlahkan dengan nilai pembiyaan maka SiLPA tahun 2012 menjadi Rp941,8 miliar (115,7% realisasi belanja). Angka tersebut sangat fantastis karena besaran tersebut sama dengan satu tahun belanja APBD. Menurut Pemda Kabupaten Tanah Laut besaran SLPA yang ideal adalah 50% pendapatan dalam satu tahun anggaran berjalan.
Q. Kabupaten Pati Pendapatan Kabupaten Pati lebih didominasi pendaptan dana transfer pemerintah (82,8%) khususnya Dana Alokasi Umum, sedangkan untuk DBH Kabupaten Pati hanya mempunyai porsi 3,92%. PAD Kabupaten Pati mempunyai porsi 9,86% dengan pendapatan dari badan pelayanan umum yang sangat dominan. Tabel 3.17 (dalam miliar rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
1.329,90
1.421,42
1.477,99
PAD
131,19
140,30
163,73
Dana Perimbangan
982,96
983,38
997,55
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
215,75
297,74
316,72
1.486,56
1.572,67
1.425,84
Belanja Pegawai
906,71
939,30
862,42
Belanja Barang dan Jasa
255,33
281,59
254,40
Belanja Modal
179,06
199,30
17,42
Belanja Lainnya
145,47
152,39
134,87
Pembiayaan Netto
156,66
151,25
152,84
Penerimaan Pembiayaan
165,09
165,12
166,71
Pengeluaran Pembiayaan
8,43
13,87
13,87
Pendapatan
Belanja
60
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Perubahan APBD Kabupaten Pati lebih dikarenakan adanya perubahan alokasi dana penyesuaian dan bagi hasil dari provinsi. Oleh karena itu perubahan belanja terbesar adalah perubahan belanja pegawai tidak langsung yang berkaitan dengan petunjuk penggunaan dana penyesuaian. Sedangkan peningkatan bagi hasil dan bantuan keuangan dari provinsi cenderung membuat belanja barang jasa dan modal meningkat. Untuk pembiayaan daerah tidak terlalu terjadi perubahan cukup besar karena nilai SiLPA tahun sebelumnya yang dianggarkan sudah hampir sama dengan realisasi SiLPA tahun 2011, bahkan untuk pembiayaan cenderung menurun karena adanya peningkatan pengeluaran pembiayaan. Grafik 3.17
Peningkatan anggaran belanja dalam APBD-P sebanding dengan realisasi belanja yang tidak terserap bahkan lebih tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan relisasi Kabupaten Pati mengalami surplus. Belanja pegawai tidak langsung bidang pendidikan merupankan jenis belanja yang mempunyai sisa anggaran terbesar, untuk belaja modal fungsi pendidikan juga merupakan jenis belanja modal yang mempunyai sisa anggaran terbesar. Surplus realiasi APBD Kabupaten Pati menyebabkan SiLPA tahun 2012 meningkat dibanding dengan tahun 2011. Jika dibandingkan antara realiasi APBD dengan APBD maka peningkatan SiLPA tersebut lebih dikarenakan adanya realisasi pendapatan yang lebih besar dari anggaran, sedang jika dilihat dari APBD-P maka peningkatan SiLPA cenderung dikarenakan belanja yang tidak terserap.
Hasil Temuan Lapangan
61
R. Kabupaten Takalar Terdapat 90% pendapatan yang dianggarkan dalam APBD Kabupaten Takalar berasal dari dana transfer pemerintah, sedangkan PAD hanya mempunyai porsi 5,8% total pendapatan. Porsi terbesar dana transfer berasal dari dan Alokasi Umum (68,0%). Tabel 3.18 (dalam jutaan rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
601,94
605,08
606,12
35,02
3,62
32,94
482,80
482,80
482,17
84,11
86,09
91,01
645,23
669,09
633,51
413,60
387,22
365,92
81,93
131,20
124,53
114,28
103,97
98,10
Belanja Lainnya
35,41
46,69
44,96
Pembiayaan Netto
43,29
64,01
64,41
Penerimaan Pembiayaan
80,46
101,04
95,20
Pengeluaran Pembiayaan
37,17
37,03
30,79
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
APBD Kabupaten Takalar ditetapkan tanggal 29 februari tahun 2012, yang berarti APBD ditetapkan terlambat dari ketentuan yang ada (31 Desember 2011). Dengan keterlambatan tersebut Kabupaten Takalar telah memperoleh informasi mengenai dana transfer secara keseluruhan, sehingga dalam APBD Perubahan tidak ada perubahan besaran dana transfer. Penyesuaian pendapatan berasal dari perubahan target PAD dan alokasi transfer dari provinsi, namun nilainya tidak terlalu besar (Rp3,1 miliar).
62
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Sisi pembiayaan mengalami peningkatan dari segi besaran SiLPA tahun sebelumnya. Dengan peningkatan besaran SiLPA maka nilai pembiayaan daerah juga mengalami peningkatan sehingga berdampak pada besaran belanja (defisit daerah menjadi lebih besar). Belanja barang jasa dan belanja Bansos merupakan jenis belanja yang mengalami peningkatan anggaran (Rp49,3 miliar untuk belanja modal dan Rp15,9 miliar untuk belanja bansos). Grafik 3.18
Penyerapan belanja Kabupaten Takalar termasuk salah satu yang baik, karena terserap lebih 94,7% total belanja APBD Perubahan. Dari jenis belanja, hanya belanja tak terduga yang mempunyai penyerapan dibawah 90% (83,8%). Secara nominal belanja pegawai tidak langsung merupakan jenis belanja yang mempunyai sisa anggaran terbanyak. Dari segi pendapatan walaupun tidak terlalu banyak, pelampauan pendapatan tetap terjadi khususnya dari transfer provinsi. Untuk PAD justru terjadi over target sehingga realisasi khususnya retribusi masih dibawah target yang diharapkan. Adanya anggaran belanja yang tidak terserap dan adanya pelampauan pendapatan membuat realisasi defisit Kabupaten Takalar lebih rendah dari yang dianggarkan.
Hasil Temuan Lapangan
63
Defisit realisasi daerah menyebabkan adanya penggunaan pembiayaan daerah (khususnya SiLPA). SiLPA tahun 2012 Kabupaten Takalar lebih rendah dari tahun 2011, hal tersebut dikarenakan adanya defisit daerah yang ditutup dari pembiayaan.
S. Kabupaten Klungkung Kabupaten Klungkung merupakan salah satu daerah dengan sumber pendapatan yang didominasi oleh pendapatan dana alokasi umum (69.8%), sedangkan porsi DAK dan DBH adalah 5,96% dan 3,55%. PAD Kabupaten Klungkung sebagian besar berasal dari pendapatan lain-lain PAD yang sah, yaitu berasal dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dengan porsi PAD sebesar 6,42%. Tabel 3.19 (dalam jutaan rupiah) APBD
APBD-P
R APBD
554,900
593,188
590,231
35,604
39,844
48,562
440,156
440,723
432,132
79,141
112,621
109,538
590,254
657,702
598,898
378,162
398,254
375,388
Belanja Barang dan Jasa
87,122
113,051
100,318
Belanja Modal
94,404
101,190
81,223
Belanja Lainnya
30,567
45,206
41,969
Pembiayaan Netto
35,353
64,513
64,623
Penerimaan Pembiayaan
37,703
66,863
66,723
Pengeluaran Pembiayaan
2,350
2,350
2,100
Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai
Dana bagi hasil provinsi mengalami peningkatan tertinggi dalam perubahan APBD Kabupaten Klungkung (Rp15,5 miliar), kedua adalah transfer pemerintah dana
64
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
penyesuaian (Rp13,9 miliar). secara total peningkatan anggaran pendapatan yang dicantumkan dalam perubahan APBD adalah Rp38,3 miliar. Pembiayaan juga mengalami peningkatan anggaran, dimana pembiayaan daerah yang disebabkan adanya peningkatan besaran SiLPA tahun sebelumnya meningkat sebesar Rp29,1 miliar. Secara total penerimaan pendapatan yang dianggarkan dalam perubahan APBD meningkat sebesar Rp67,45 miliar. Peningkatan penerimaan tersebut tergambar dari peningkatan belanja yang dianggarkan. Peningkatan anggaran belanja terbesar adalah belanja barang jasa sebesar Rp25,9 miliar. Belanja yang mengalami peningkatan kedua adalah belanja pegawai yang disebabkan oleh adanya transfer dana penyesuaian yang peruntukannya ditentukan sebagai tambahan gaji guru PNSD. Grafik 3.19
Realisasi belanja Kabupaten Klungkung terserap sebesar 91,1%, dengan sisa anggaran terbesar berasal dari jenis belanja gaji pegawai tidak langsung. Belanja pegawai tidak langsung fungsi pendidikan merupakan jenis belanja yang mempunyai sisa anggaran terbesar (Rp12,4 miliar dari Rp22,1 yang tidak terserap). Realisasi belanja yang mempunyai sisa anggaran terbesar kedua adalah belanja modal dengan fungsi ekonomi yang mempunyai sisa terbesar. Salah satu kegiatan fungsi ekonomi yang tidak terserap di tahun 2012 adalah pembangunan prasarana dan fasilitas perhubungan, dari Rp6,75 miliar yang dianggarkan hanya terserap Rp311 juta.
Hasil Temuan Lapangan
65
Walaupun realisasi pendapatan lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD Perubahan, tetapi karena belanja yang tidak terserap secara nominal lebih banyak maka besaran defisit Kabupaten Klungkung menjadi lebih rendah. Di tahun 2012 SiLPA Kabupaten Klungkung mengalami penurunan dibanding dengan tahun sebelumnya. Menurut Kabupaten Klungkung SiLPA yang ideal adalah nol, oleh karena itu penurunan mendukung pernyataan tersebut.
T. Kabupaten Toba Samosir Potensi pendapatan asli daerah Kabupaten Toba Samosir masih rendah, dimana tergambar dari porsi APBD tahun 2012 yang berkisar 3,28%. Porsi tersebesar berasal dari dana transfer pemerintah (85,18%) dan transfer provinsi (10,5%). Transfer provinsi lebih banyak berupa bantuan keuangan dibanding dengan bagi hasil, untuk bantuan keuangan dari provinsi cenderung telah ditentukan peruntukannya. Sedangkan untuk transfer pemerintah besaran DAU sangat dominan (67,29 total pendapatan) dan DBH hanya mempunyai porsi 4,31%. Dari transfer pemerintah dapat dipastikan perubahan yang terjadi dalam tahun berjalan tidak terlalu besar karena porsi DBH tidak terlalu besar. Tabel 3.20 (dalam jutaan rupiah) APBD Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
66
APBD-P
R APBD
576,041
650,814
656,082
18,913
18,416
16,543
464,588
466,061
463,268
92,540
166,338
176,271
576,915
659,103
619,897
360,523
372,112
345,530
83,989
110,644
98,713
109,900
154,817
153,981
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
APBD
APBD-P
R APBD
Belanja Lainnya
22,503
21,529
21,674
Pembiayaan Netto
873
n/a
1,943
Penerimaan Pembiayaan
3,048
n/a
2,417
Pengeluaran Pembiayaan
2.174
n/a
474
Dalam perubahan APBD, pendapatan daerah dianggarkan meningkat dengan perubahan terbesar berasal dari alokasi bantuan keuangan provinsi (Rp57,6 miliar atau 77,1% total peningkatan pendapatan dalam perubahan APBD. Secara total pendapatan daerah dianggarkan meningkat sebesar Rp74,8 miliar. Sisi belanja mengalami peningkatan anggaran karena adanya sisi peningkatan penerimaan, belanja daerah dalam APBD Perubahan dianggarkan meningkat Rp82,1 miliar. Jenis belanja yang mengalami peningkatan tertinggi adalah belanja modal. Sedangkan penyesuaian besaran pendapatan transfer dana penyesuaian berkaitan dengan peningkatan belanja pegawai tidak langsung. Grafik 3.20
Sisa anggaran belanja pegawai lebih besar dibanding dengan peningkatan anggaran belanja pegawai dalam perubahan APBD (64,4% sisa anggaran belanja yang tidak terserap disebabkan belanja pegawai tidak langsung). Realisasi belanja pegawai tidak langsung tersebut berkaitan dengan besaran gaji dan jumlah pegawai khususnya tunjangan profesi guru. Adanya belanja yang tidak terserap
Hasil Temuan Lapangan
67
dan pelampauan pendapatan membuat APBD yang dianggarkan defisit dalam realisasinya mengalami surplus. Surplus Kabupaten Samosir membuat SiLPA tahun 2012 meningkat dibanding tahun 2011 (dari Rp2,4 miliar menjadi Rp34,1 miliar). Rincian SiLPA terbesar berasal dari penghematan belanja (Rp16,4 miliar) dan dana bagi hasil dari provinsi (PT Inalum, Rp10,4 miliar).
68
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
SiLPA merupakan sisa dana yang tidak tergunakan dalam satu tahun anggaran, baik dalam pendapatan, belanja ataupun dalam pengeluaran pembiayaan. Dengan kata lain SiLPA merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. APBD terdiri dari tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih pendapatan dengan belanja akan mengakibatkan surplus/defisit dengan pembiayaan sebagai imbas terjadinya surplus atau defisit tersebut. Dalam realisasi APBD, surplus akan menambah pembiayaan dan defisit akan mengurangi pembiayaan. Peningkatan SILPA pada beberapa tahun terakhir (2009-2012) terjadi karena sebagian besar daerah cenderung mempunyai surplus dalam realisasi APBD. Karena pengeluaran pembiayaan tidak terlalu besar, penambahan surplus dengan pembiayaan netto akan mengakibatkan SiLPA tahun 2012 menjadi lebih besar dari SiLPA tahun 2011. Tahun 2012, dari 524 daerah terdapat 349 daerah yang mempunyai SILPA lebih besar dari SiLPA tahun sebelumnya dan dari 349 daerah tersebut hanya 9 daerah yang mengalami defisit. Secara umum tergambar dari daerah sampel, besaran belanja yang tertuang dalam APBD cenderung mengalami peningkatan dalam APBD Perubahan. Perubahan tersebut dikarenakan adanya penambahan anggaran pendapatan dan peningkatan pembiayaan daerah. Sesuai dengan ketentuan Permendagri no 22 tahun 2011 dinyatakan bahwa, APBD Perubahan tahun 2012 dilaksanakan setelah adanya hasil audit BPK mengenai Laporan APBD pada tahun 2011, dengan kata lain pemda telah mengetahui besaran SiLPA tahun 2011 secara pasti. Kecenderungan sebagian besar pemda memperkirakan besaran SiLPA tahun sebelumnya jauh lebih kecil dibanding dengan realisasi. Dalam APBD Perubahan 2012 SiLPA tahun sebelumnya dianggarkan meningkat berkisar 61% SiLPA yang dianggarkan dalam APBD. Peningkatan anggaran SiLPA tahun sebelumnya tidak sebanding dengan peningkatan pengeluaran pembiayaan, sehingga besaran pembiayaan netto menjadi lebih besar.
Analisis dan Pembahasan
69
Sebagian alokasi DBH dan penyesuaian tahun 2012 ditetapkan pada tahun berjalan atau pada awal tahun 2012 sehingga pemda menggunakan angka perkiraan dalam APBD. Dalam perkiraan DBH dan dana penyesuaian, pemda cenderung memperkirakan nilai yang lebih kecil (pesimis) dalam mengganggarkan DBH dan Dana Penyesuian. Dalam APBD-P 2012 DBH dianggarkan meningkat sekitar 12,5% dan Dana Penyesuaian meningkat sekitar 35%. Hal tersebut juga berlaku pada dana transfer bagi hasil dari provinsi, karena pendapatan pajak provinsi mengalami penyesuaian meningkat yang berdampak pada meningkatnya Dana Bagi Hasil provinsi ke kabupaten/kota. Beberapa daerah sampel menyatakan bahwa besaran dana transfer dari provinsi dialokasikan per triwulan. PAD dalam APBD-P juga cenderung dianggarkan meningkat, khususnya provinsi. Bagi kabupaten/kota dengan porsi DBH cukup besar (diatas 30%) peningkatan DBH dalam APBD-P lebih dominan dibanding dengan pendapatan yang lain, sedangkan daerah dengan DBH yang relatif lebih kecil peningkatan anggaran pendapatan lainnya (dana penyesuaian) merupakan penyumbang terbesar dalam peningkatan pendapatan. Penyesuaian DBH dan dana penyesuaian lebih dikarenakan informasi alokasi disampaikan setelah APBD terbentuk. Peningkatan pendapatan dan pembiayaan daerah menyebabkan belanja daerah dianggarkan meningkat pula . Secara umum Belanja Modal merupakan belanja yang mengalami peningkatan tertinggi (kurang lebih 18,6% belanja modal dalam APBD), kedua adalah belanja pegawai karena berkaitan dengan alokasi dana penyesuaian yang peruntukkanya sudah ditetapkan sebagai tambahan tunjangan dan penghasilan guru. Secara umum peningkatan anggaran belanja dalam APBD-P mempunyai nilai yang hampir sama dengan besarnya belanja yag tidak terserap. Mengingat sisa waktu setelah APBD Perubahan tidak lebih dari enam bulan dan memerlukan proses lelang, membuat sisa anggaran belanja modal dan barang jasa paling tinggi dibanding dengan belanja lainnya. Sebagai gambaran baik kabupaten/kota penghasil atau non penghasil dalam APBD-P belanja dianggarakan naik 10,9% dari belanja yang dianggarkan dalam APBD, namun dalam realisasi APBD terdapat 10,8% belanja yang APBD-P yang tidak terserap. Menurut informasi yang diperoleh dari daerah sampel khususnya daerah penghasil (dana perimbangan sebagian besar berasal DBH), besarnya peningkatan pendapatan yang masuk dalam APBD-P sulit terserap
70
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
karena waktu yang terbatas. Bagi beberapa daerah lainnya, kurangnya SDM dan peserta lelang menjadi kendala dalam merealisasikan belanja khususnya belanja dengan nilai yang besar. Berbeda dengan belanja, pendapatan daerah realisasinya cenderung lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam APBD-P, terlebih bagi daerah dengan Pendapatan DBH-nya besar. Secara umum bagi daerah penghasil, kontribusi pelampauan pendapatan terhadap surplus lebih tinggi dibanding dengan belanja daerah yang tidak terserap. Sedangkan bagi daerah non penghasil, surplus lebih disebabkan adanya anggaran belanja APBD-P yang tidak terserap dibanding dengan pelampauan pendapatan. SiLPA yang besar seperti pisau bermata dua, satu sisi SiLPA yang disimpan diperbankan dalam bentuk deposito dan giro dapat memberikan imbal balik bagi pemda berupa pendapatan bunga/jasa giro, sedangkan sisi negatifnya SiLPA menggambarkan besaran dana yang tidak digunakan dalam memberikanpelayanan kepada masyarakat. Imbal balik dari SiLPA yang disimpan dalam perbankan masuk sebagai salah satu sumber PAD. korelasi antara besaran SiLPA dengan pendapatan jasa giro dan bunga cukup kuat yaitu mencapai 86,39% (tidak terasuk DKI). DKI tidak dimasukkan dalam perhitungan korelasi karena besarnya SiLPA dan jasa giro/pendapatan bunga yang jauh lebih tinggi dibanding daerah lainnya, sehingga akan sangat mempengaruhi hasil korelasi. Scater plot perbandingan SILPA dengan besarnya jasa giro/pendapatan bunga dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 4.1 (dalam miliar rupiah)
Analisis dan Pembahasan
71
Dalam grafik 4.1 diatas menunjukkan kecenderungan daerah yang memiliki SiLPA tahun berkenaan mempunyai jasa giro dan bunga yang tinggi pula. Imbal balik dalam bentuk jasa giro lebih bersifat pasif karena akan langsung diterima oleh pemda yang menyimpan kas daerah diperbankan. Sedangkan pendapatan bunga lebih memperlihatkan upaya pemda menggunakan dana yang belum terserap guna memperoleh imbal balik yang lebih besar melalui simpanan berjangka. Pengaturan likuiditas kas daerah melalui penempatan dana pada berbagai portofolio adalah sah, namun tetap harus mengingat asas kepatutan, karena dana publik seharusnya digunakan untuk mendanai layanan publik dan bukan untuk investasi yang berorientasi pada keuntungan financial. Besarnya simpanan berjangka menjadi tidak sehat apabila telah berpotensi menghambat pendanaan untuk layanan publik. besar adalah daerah-daerah yang pendapatan dari DBH cukup tinggi, sementara DAU rendah. Bagi daerah tersebut adalah wajar untuk menyimpan dana kas dalam kondisi Idle selama 3 bulan, karena penyaluran DBH baru akan terterima pada awal April sementara daerah tersebut tidak menerima (atau kecil penerimaannya) DAU yang rutin setiap bulan. Sehingga untuk mendanai belanja dalam 3 bulan diperlukan sejumlah dana yang sumbernya dari dana Idle mereka. Dalam kaitan itulah, tolok ukur 3 bulan belanja ini dapat menjadi ukuran pembatasan penempatan dana berjangka Pemda. Peningkatan SiLPA juga disebabkan adanya belanja yang tidak terlaksana di tahun 2012. Belanja yang berasal dari dana yang penggunaannya sudah ditentukan (earmarked) wajib dilaksanakan pada tahun berikutnya. Dari daerah sampel diketahui bahwa belanja modal fungsi pendidikan merupakan belanja yang paling banyak mengalami penundaan atau mempunyai sisa anggaran terbesar. Sedangkan untuk terbesar kedua terdapat dua fungsi yang sama, yaitu fungsi pelayanan umum dan perumahan/fasilitas umum. Dalam rincian SiLPA beberapa daerah juga menunjukkan adanya sisa kegiatan yang sumber pendanaannya berasal dari sumber dana yang peruntukannya sudah ditentukan, seperti halnya berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), DBH hasil cukai tembakau (DBH-CHT), dana Tambahan Penghasil dan Tunjangan Profesi Guru. Perbandingan antara SILPA yang berasal dari dana earmarked tidak terlalu besar. Dari daerah yang memberikan rincian, SILPA yang berasal dari dana earmarked mempunyai porsi kurang lebih 10% dari total SILPA tahun 2012.
72
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
KESIMPUL AN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Analisis masing-masing daerah yang telah disajikan sebelumnya diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sumber-sumber yang mendorong meningkatnya SiLPA. Selain itu secara tidak langsung ada faktor positif dan negatif dengan adanya peningkatan SiLPA tersebut. Secara garis besar dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. SiLPA yang meningkat lebih dikarenakan adanya realiasi APBD yang surplus, dimana terjadinya surplus daerah penghasil lebih didominasi adanya realisasi pendapatan yang lebih tinggi dari anggarannya dibanding dengan belanja yang tidak terserap, sedangkan daerah non penghasil belanja yang tidak terserap lebih dominan dibanding dengan pelampauan pendapatan. 2. Pelampauan PAD Provinsi non daerah penghasil merupakan pendapatan dengan pelampauan terbesar dibanding dengan pendapatan yang lain, untuk provinsi dan kabupaten/kota penghasil, lebih disebabkan adanya pelampauan pendapatan yang berasal dari Dana Bagi Hasil. Sedangkan kabupaten/kota non daerah penghasil sumber pelampauan pendapatan terbesar berasal dari Lain-lain pendapatan yang sah (khususnya Dana Penyesuaian dan dana transfer dari provinsi).. 3. SiLPA yang semakin meningkat membawa dampak positif dan negatif bagi daerah, dampak positif adanya SiLPA adalah adanya imbal balik yang diterima pemda dari SiLPA yang disimpan di perbankan. Imbal balik dapat berupa jasa giro atau pendapatan bunga yang masuk dalam akun lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya belanja yang tertunda. Dari daerah sampel, terlihat bahwa belanja kegiatan fungsi pendidikan merupakan belanja yang banyak tertunda atau tidak terserap dan jenis belanja modal yang
Kesimpulan dan Rekomendasi
73
paling dominan. Fungsi pelayanan umum merupakan fungsi belanja kedua yang banyak tertunda/tidak terserap dalam belanja daerah
B. Rekomendasi Dari kendala dan permasalahan yang ada maka dapat direkomendasikan beberapa kebijakan yang dapat diambil, antara lain adalah : 1. Perlu adanya perubahan mekanisme pada transfer Dana Bagi Hasil dari pemerintah. Mekanisme yang diusulkan adalah sebagai berikut: alokasi Dana Bagi Hasil per daerah dapat ditetapkan bersamaan dengan penetapan DAU dan DAK. Dan yang lebih lebih penting lagi, dapat diinformasikan ke daerah secara bersamaan tepat setelah kesepakatan RAPBN di DPR (akhir Oktober), sehingga daerah mempunyai cukup waktu untuk memasukannya ke dalam RAPBD. Di sisi lain, disarankan agar alokasi dan penyaluran DBH tidak terdapat perubahan ditahun berjalan (based on budget), selanjutnya mengenai selisih dengan penerimaan riil negara dapat diakomodasi ditahun berikutnya. 2. Pemerintah Provinsi, juga perlu melakukan perubahan yang sama terhadap mekanisme transfer bagi hasil kepada kabupaten/kota seperti halnya mekanisme yang diusulkan dalam alokasi DBH pemerintah. 3. Bagi pemerintah daerah perlu kiranya membuat peraturan daerah dalam rangka meningkatkan SDM pejabat lelang, sehingga kekurangan SDM pejabat lelang tidak lagi menjadi kendala dalam penyerapan belanja. Mekanisme yang dapat digunakan untuk memaksa pejabat daerah memiliki keahlian dalam bidang pengadaan salah satunya adalah melalui sertifikasi pengadaan barang dan jasa sebagai prasyarat jabatan struktural tertentu di Pemerintah Daerah. 4. Perlu adanya pengaturan mengenai pembatasan atas besaran dana yang bisa disimpan dalam bentuk deposito berjangka, agar kewenangan untuk berinvestasi tidak justru meninggalkan tugas pemda yang utama untuk menyediakan layanan publik. Salah satu usul konkrit adalah agar deposito berjangka waktu 3 bulan atau lebih tidak diperkenankan apabila jumlah deposito tersebut melebihi 3 bulan belanja APBD.
74
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
DAFTAR PUSTAKA
DJPK (2013). Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012. Jakarta Wahyudi Kumorotomo. Dana Publik Yang Mubazir. From http://www.kumoro.staff. ugm.ac.id/file_artikel/Dana%20Publik%20yang%20Mubazir.pdf,November 2013. Abdul Hafiz Tanjung. SiLPA dan Hak Masyarakat. From http://www3.hafiz-konsultan. com/artikel/file_artikel/SILPA%20DAN%20HAK%20MASYARAKAT1.pdf, November 2013.
Daftar Pustaka
75
76
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Ucapan Terima kasih
Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi pemikiran, masukan, kritik yang konstruktif sehingga kegiatan Monev Pembiayaan Daerah yang dilaksanakan pada tahun 2013 ini bisa terlaksana dengan baik. Kami menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E (Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan) dan Drs. Yusrizal Ilyas, MPA (Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah) atas arahan yang telah diberikan kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diamanahkan kepada kami dengan baik. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Seluruh pejabat dan staf pada Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah atas kerja kerasnya serta kontribusi pemikiran sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu, terima kasih disampaikan kepada Putut Hari Satyaka, S.E., MPP., Aris Soedjatmiko, S.Sos., M.M., Wahyu Widjayanto, S.E., M.M., Ahmad Iskandar, S.E., M.F.M., Prasetyo Indro Soejono, S.E, M.E, Ganjar Prihatmoko, S.E, Radis Kusprihanto Purbo, S.E, Nanag Garendra Timur, S.Si., Mauliate Harnalyes Silitonga, S.E., Femmy Ferdiansyah, SH., Edi Soeprijono, S.Sos., Rizki Anggunani, S.Si, Desain Kristian Gulo, SE, dan Virgin Marthalia. Serta tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan subdit Data Keuangan Daerah atas support data yang diberikan.
Ucapan Terima Kasih
77
78
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa
Ucapan Terima Kasih
79