perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan yakni sensitivitas lembaga penyiaran radio terhadap advokasi difabel di Kota Surakarta utamanya masih sebatas pada pemahaman mengenai ada tidaknya program acara yang khusus ditujukan bagi difabel, baik berupa program on-air maupun off-air. Lembaga penyiaran radio publik, dalam hal ini RRI Surakarta, memiliki sensitivitas pada tingkatan acceptance tipe behavioral relativism dalam fase etnorelatif. RRI Surakarta telah menyediakan waktu siar khusus bagi program-program acara kelompok marginal termasuk di dalamnya adalah difabel antara lain berupa peliputan kru RRI ke lokasi komunitas difabel maupun dialog interaktif yang menghadirkan kelompok difabel. Namun waktu siar yang dialokasikan masih tergolong minim, yaitu sekitar dua persen dari total waktu siar. Di samping itu, secara institusional, RRI Surakarta telah mengetahui keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. Sebagai implementasi atas pengetahuan tersebut khususnya pada aspek non siaran, RRI Surakarta telah menggandeng kelompok difabel dalam beberapa program off-air yang diselenggarakan meski seluruhnya masih bersifat karitatif. Namun demikian, implementasi terkait dengan pemenuhan aksesibilitas fasilitas umum secara fisik di lingkungan RRI Surakarta diakui belum terlaksana. Sikap lembaga penyiaran radio publik ini mencerminkan adanya pengetahuan yang masih sebatas pada pengetahuan humanis yang selanjutnya mengindikasikannya termasuk ke dalam kelompok manusia dengan level kesadaran naif (naives consciousness).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
Di sisi lain, lembaga penyiaran radio swasta, dalam hal ini PTPN FM dan Solo Radio, memiliki sensitivitas pada tingkatan minimization tipe human similarity dalam fase entosentris. Lembaga penyiaran radio swasta belum menyediakan slot waktu khusus bagi program acara khusus difabel, namun mereka telah mengakomodir beberapa permintaan komunitas difabel dalam hal peliputan acara yang selanjutnya mereka sajikan menjadi program acara khusus yang bersifat insidentil. Di samping itu, lembaga penyiaran radio swasta juga telah menggandeng komunitas difabel dalam kegiatan off-air mereka, meski masih bersifat karitatif. Selain itu, hanya sebagian dari lembaga penyiaran radio swasta yang telah mengetahui keberadaan Perda Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. Namun bagi mereka yang telah mengetahuinya pun belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang disyaratkan di dalam Perda tersebut. Sikap lembaga penyiaran radio swasta ini mencerminkan adanya pengetahuan yang masih sebatas pada pengetahuan positivik klasik yang selanjutnya mengindikasikannya termasuk ke dalam kelompok manusia dengan level kesadaran magis (magical consciousness). Sementara itu, lembaga penyiaran radio komunitas, dalam hal ini MTA FM dan Radio Dakwah Syariah (RDS) FM memiliki sensitivitas pada tingkatan acceptance tipe value relativism dalam fase etnorelatif. Sensitivitas lembaga penyiaran radio komunitas terhadap advokasi difabel lebih mengarah kepada bagaimana isu marginalitas secara umum maupun difabilitas secara khusus dipahami melalui pendekatan konsep dakwah Islam yang menjadi ciri khas stasiun radio yang bersangkutan. Meski telah mulai memasukkannya sebagai konsep pendekatan dalam program acara, namun difabel dalam kerangka ini masih diletakkan sebagai sasaran atau objek program acara. Bahkan sebagian dari mereka juga masih memaknai hal ini sebagai pemahaman atas ada tidaknya program acara yang secara khusus ditujukan bagi difabel. Di samping itu, hanya sebagian dari mereka yang telah mengetahui keberadaan Perda Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel walaupun hanya sekilas sebatas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
referensi informasi secara umum yang perlu diketahui. Bagi mereka yang telah mengetahuinya pun belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang disyaratkan di dalam Perda tersebut. Sikap lembaga penyiaran radio komunitas ini mencerminkan adanya pengetahuan yang masih sebatas pada pengetahuan humanis yang selanjutnya mengindikasikannya termasuk ke dalam kelompok manusia dengan level kesadaran naif (naives consciousness). Di antara kelima lembaga penyiaran radio tersebut, RRI Surakarta merupakan lembaga penyiaran radio yang memiliki tingkat sensitivitas tertinggi dibandingkan dengan lembaga penyiaran radio lain. Secara garis besar, isu difabel belum dipahami sepenuhnya oleh lembaga penyiaran radio sebagai sebuah perspektif dan pendekatan bagi pengelolaan berbagai aspek di dalam organisasi keradioan, baik aspek program maupun nonprogram (misal kesempatan kerja dan penyediaan sarana prasarana fasilitas umum yang aksesibel). Sensitivitas atau kepekaan terhadap difabel dan perlunya advokasi difabel itu sendiri masih sebatas pada taraf apa yang disebut sebagai kesadaran magis dan kesadaran naif. Bahwa difabel masih dipandang sebagai
menempatkan difabel ke dalam posisi yang semakin tertindas karena mereka disamaratakan dalam persaingan hidup.
B. Implikasi B.1. Implikasi Teoretis Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menggali tentang sensitivitas lembaga penyiaran radio terhadap advokasi difabel di Kota Surakarta dengan menggunakan pendekatan Model Pengembangan Sensitivitas
Antar
Budaya
(Developmental
Model
of
Intercultural
Sensitivity/DMIS) Bennett serta Teori Pengetahuan dan Kepentingan Manusia Habermas. Dalam penelitian ini, pendekatan model DMIS ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
digunakan untuk menjelaskan konsep sensitivitas yang sesuai dengan konteks penelitian ini. Sensitivitas dalam konteks penelitian ini merupakan manifestasi sikap individu berupa tingkat kepekaan atas perbedaan yang dialami terkait dengan keberadaan difabel dan pentingnya advokasi difabel. Sedangkan Teori Pengetahuan dan Kepentingan Manusia Habermas digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji konsep sensitivitas sebagai cerminan atas adanya sistem pengetahuan tertentu yang dianut oleh lembaga penyiaran radio dalam memandang dan menyikapi advokasi difabel. Hal ini mengimplikasikan
bahwa
perlu
dilakukannya
penetapan
indikator
berdasarkan karakteristik unit analisis penelitian ini sesuai dengan kondisi yang dikemukakan di dalam kedua teori tersebut. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa hasil penelitian yang menggunakan DMIS Bennett serta Teori Pengetahuan dan Kepentingan Manusia Habermas sebagai kacamata analisis akan sangat bervariasi sesuai dengan konteks masing-masing fenomena yang dikaji.
B.2. Implikasi Praktis Kajian di dalam penelitian ini dilakukan terhadap lima lembaga penyiaran radio di Kota Surakarta, yaitu satu lembaga penyiaran radio publik, dua lembaga penyiaran radio swasta, dan dua lembaga penyiaran radio komunitas. Adanya perbedaan karakteristik dan orientasi kepentingan di antara masing-masing lembaga penyiaran tersebut mengimplikasikan bahwa perlu adanya sikap terbuka dan fleksibilitas tinggi peneliti di dalam mengelola berbagai respon dari masing-masing lembaga penyiaran tersebut. Masing-masing lembaga penyiaran ini memiliki prinsip dasar dan orientasi kepentingan yang berbeda dengan frame of reference peneliti, sehingga proses
penggalian
data
pun
menjadi
sangat
dinamis.
Hal
ini
mengimplikasikan bahwa temuan penelitian ini bersifat sangat kontekstual berdasarkan respon dari masing-masing lembaga penyiaran yang diperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
peneliti selama penelitian ini berlangsung. Sehingga dampak dari adanya penelitian ini pun akan sangat bergantung pada bagaimana masing-masing lembaga penyiaran menyikapi hal ini. Pada akhirnya, sensitivitas lembaga penyiaran radio terhadap advokasi difabel tidak dapat disamaratakan, begitu pula pada bagaimana nantinya masing-masing lembaga penyiaran ini mengambil peran di dalam proses advokasi difabel sebagaimana diharapkan, mengingat lembaga penyiaran tersebut tetap akan berorientasi pada kepentingannya masing-masing.
C. Saran Berdasarkan simpulan dan implikasi yang telah dikemukakan sebelumnya, saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi para peneliti lain, perlu adanya penelitian lanjutan yang mengkaji lebih dalam mengenai beberapa hal lain, antara lain analisis motif dan dampak atas tingkat kepekaan atau sensitivitas advokasi yang dimiliki oleh masing-masing lembaga penyiaran; pola gerakan advokasi melalui media secara lebih luas; maupun penelitian yang mengkaji tentang aspek hukum normatif terkait media massa dan advokasi. Penting kiranya untuk lebih digalakkan berbagai studi yang menerjemahkan bagaimana kekayaan khasanah Ilmu Komunikasi dapat digunakan sebagai bagian dari transformasi masyarakat menuju suatu kondisi masyarakat yang inklusif. Rangka bangunan advokasi difabel melalui media masih sangat membutuhkan berbagai referensi rujukan yang akurat dan sesuai dengan kondisi difabel, khususnya di Indonesia. Hal ini selain berguna untuk menyediakan referensi yang lengkap bagi pergerakan difabel, juga dapat memperkaya khasanah keilmuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
2. Bagi para pengelola lembaga penyiaran radio, perlu adanya sikap keterbukaan diri yang lebih atas upaya penyadaran bagi kalangan media terkait dengan difabilitas. Sikap para pelaku media yang menunjukkan masih digunakannya pendekatan charity oriented perlu digeser ke arah pendekatan human rights. Dengan semakin memahami siapa dan bagaimana difabel, media radiopun akan dapat menemukan apa yang seharusnya dilakukan. Orientasi profit seharusnya tidak lagi menjadi alasan untuk tidak berpihak kepada masyarakat, agar difabel tidak semakin termaginalisasi. Hal ini perlu dilakukan untuk
bagi kaum difabel. Media perlu mengambil peran penting dan strategis dalam alur advokasi difabel, dan memahami bahwa kerja advokasi bukan hanya merupakan kerja komunitas tertentu saja, melainkan seluruh elemen masyarakat yang memiliki kekuatan atau power terhadap keberadaannya masing-masing. 3. Bagi mantan pengelola Radio Suara Difabel (RSD) FM, perlu dilakukannya pembaharuan dan penajaman rancangan RSD FM agar dapat mengudara lagi. Perlu adanya keberanian untuk menjadi swadaya dalam hal finansial, antara lain dengan memaksimalkan potensi komunitas untuk secara produktif berkarya dengan memanfaatkan media radio ini, dan bahkan jika diperlukan, mewajibkan komunitas untuk berkontribusi kepada media radio ini sesuai kemampuan mereka masing-masing. Media radio ini dapat digunakan sebagai kekuatan inti bagi gerakan advokasi difabel, baik dari tahap penyadaran, pengorganisasian, hingga perebutan kekuasaan. Penyebab dari advokasi difabel harus dilawan dengan kekuatan atau power tandingan, agar ideologi kelompok penguasa kenormalan justru berbalik menjadi kekuatan baru yang mendukung keberhasilan advokasi itu sendiri. Dengan demikian, radio ini akan tetap terus ada dengan karakter kuat yang menjadi ciri khas komunitas yang memilikinya.
commit to user