Clouds
Media Informasi dan Komunikasi Kelompok Fisika Awan
Media Informasi dan Komunikasi Kelompok FA
Volume 1 Nomor 1 Edisi Agustus - September 2011
Edisi 1 Agustus-September 2011
Prediksi Cuaca dan Iklim Agustus 2011
Mewaspadai Defisit Air dan Kebakaran Hutan Musim Kemarau 2011 Keringkah Tahun ini di Indonesia? Pengolahan dan Penerapan Data TRMM di DAS Larona
Segenap Keluarga Besar Kelompok Fisika Awan Mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Idul Fitri 1432 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin Vol.1 Nomor 1
Clouds 1
EDITORIAL
B
erawal dari forum pertemuan anggota kelompok Fisika Awan (FA) pada selasa (19/7) maka disepakati terbitnya majalah untuk ajang komunikasi dan informasi kelompok Fisika Awan. Majalah ini diberi judul “Clouds”. Kata “Clouds” dalam bahasa Inggris berarti “awan” dalam bentuk jamak, hal ini berkaitan dengan pekerjaan (tupoksi) kelompok Fisika Awan. Majalah Clouds bertujuan menampung semua ide dan pemikiran dari anggota kelompok FA. Majalah ini juga merupakan ajang aktualisasi diri kelompok FA sebagai bentuk eksistensi kelompok FA. Fokus utama majalah Clouds adalah prediksi bulanan mengenai iklim dan cuaca sebagai bentuk tanggung jawab kelompok FA terhadap UPT Hujan Buatan. Prediksi ini dapat dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Selain artikel Laporan Utama kami juga mengetengahkan tulisan menarik lainnya, mulai dari Rubrik Meteorologi, Artikel Ilmiah, Tahukah Anda dan lainnya. Semoga edisi perdana ini mendapat respon yang baik dan terus berlanjut. Selamat membaca. 2
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
Penanggung Jawab Ketua Kelompok Fisika Awan Pimpinan Redaksi Dini Harsanti Dewan Redaksi Halda Aditya Belgaman Cornelius Antoni Nababan Krisna Aditya Kontributor Tri Handoko Seto Erwin Mulyana M. Djazim Syaifullah Findy Renggono R. Djoko Goenawan
Alamat Redaksi Kelompok Fisika Awan UPT Hujan Buatan BPPT Gedung BPPT I Lt. 19 Jl. M. H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 3168828 Fax. (021) 3906225 E-mail:
[email protected]
DAFTAR ISI Editorial
1
Laporan Utama
4
Rubrik Meteorologi
14
Artikel Ilmiah
20
Tahukah Anda...
28
Rubrik Manajemen
31
Karikatur FA
35
Vol.1 Nomor 1
Clouds 3
LAPORAN UTAMA Mewaspadai Defisit Air dan Kebakaran Hutan Musim Kemarau 2011
H
ingga akhir Juli 2011, suhu muka laut (SST) di Ekuatorial Samudera Pasifik telah mendekati normalnya, sehingga secara umum fenomena La Nina yang sudah berlangsung beberapa bulan belakangan saat ini kondisinya sudah berubah menjadi netral. Walaupun La Nina sudah menghilang, namun sirkulasi atmosfer masih merefleksikan kondisi La Nina. Kondisi suhu muka laut yang netral ini diperkirakan akan berlangsung hingga November 2011. Berdasarkan data anomali OLR (Outgoing Longwave Radiation), selama Juli 2011 sebagian besar wilayah Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Teng4
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
gara mengalami defisit curah hujan, sedangkan di wilayah Sulawesi kondisinya netral. Wilayah Maluku dan Papua terjadi peningkatan curah hujan. Warna merah pada gambar di atas menunjukkan terjadi defisit curah hujan, sedangkan warna biru menunjukkan terjadi peningkatan curah hujan. Prediksi Agustus 2011 Prediksi yang dikeluarkan oleh APCC (Asia Pacific Climate Center) dengan model MME (Multi Model Ensemble) untuk Agustus 2011 menunjukkan di wilayah Indonesia curah hujan bervariasi antara normal, di bawah normal dan di atas normal. Wilayah Sumatera bagian selatan ekuator, Jawa, Kalimantan
LAPORAN UTAMA
bagian barat, dan sebagian besar Sulawesi serta Maluku bagian selatan diperkirakan akan mengalami defisit hujan. Sementara itu di NTB dan NTT serta papua bagian barat diperkirakan curah hujannya normal. Curah hujan di atas normal diperkirakan akan terjadi di wilayah Papua bagian timur. Perkiraan curah hujan untuk Agustus 2011 selengkapnya dapat dilihat pada gambar di atas.
dilihat pada gambar di samping. Berdasarkan gambar terlihat di wilayah Sumatera sebelah utara ekuator untuk tiga bulan ke depan (ASO 2011) hujannya di atas normal. Sebaliknya di wilayah Sumatera bagian selatan ekuator akan mengalami defisit hujan. Defisit hujan akan dialami juga di wilayah jawa hingga NTT. Sementara untuk wilayah Kalimantan dan Sulawesi serta Maluku hujannya normal. Di wilayah Papua bagian barat cenderung normal sedangkan di bagian timur relatif lebih basah. Dari hasil analisis prediksi curah hujan dari keluaran model yang ada
Prediksi Tiga Bulanan (ASO) Prakiraan hasil keluaran model Multi Model Ensemble (MME) di wilayah Indonesia untuk bulan Agustus-SeptemberOktober 2011 bisa Vol.1 Nomor 1
Clouds 5
LAPORAN UTAMA ini, maka disimpulkan sebagian besar wilayah Indonesia pada musim kemarau tahun ini diperkirakan hujannya normal dan di bawah normal. Perlu diwaspadai terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta defisit air di beberapa waduk dan danau di Indonesia. Daerah Aliran Sungai (DAS) Mamasa dan sekitarnya pada Agustus ini diperkirakan hujannya di bawah normal. Dengan demikian jika dilihat pola historisnya, pada bulan Agustus merupakan celuk terendah curah hujan tahunan. Pada bulan ini akan sulit ditemukan awan berpotensi hujan kecuali di sekitar punggungan bukit batas DAS Mamasa bagian timur yaitu di daerah Sumarorong. Kondisi yang sama diperkirakan terjadi di DAS Kota Panjang di Sumatera Barat dan Riau. Pertumbuhan awan dan hujan kemungkinan juga akan
sulit terjadi pada Agustus ini, kecuali di wilayah Bukit Barisan di bagian barat batas DAS Kota Panjang. Beberapa wilayah di Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah juga perlu diwaspadai munculnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan
lahan. Kondisi kering akibat sulit terbentuknya awan hujan dapat mengakibatkan mudah terjadi kebakaran di samping kultur sosial masyarakat pedesaan yang seringkali membuka lahan baru pada saat kemarau dengan cara membakar semak. (em)
Erwin Mulyana, lahir di Cirebon tahun 1964. Menyelesaikan S1 di jurusan Geofisika-Meteorologi ITB dan S2 di bidang Earth Environtmental Science Hokkaido University, Jepang. Bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak tahun 1992. Saat ini aktif sebagai peneliti di kelompok Fisika Awan.
6
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
LAPORAN UTAMA Keringkah Tahun ini di Indonesia?
I
stilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti "anak lakilaki", dalam bahasa Inggris “boy”. Nelayan Peru awalnya menggunakan istilah anak -referensi untuk anak Kristus- untuk menggambarkan kondisi lautan yang hangat di lepas pantai Amerika Selatan yang biasanya muncul sekitar Natal. Saat ini, istilah El Nino mengacu pada pemanasan luas lautan Pasifik Tengah dan Timur yang mengarah ke perubahan besar dalam pola cuaca di seluruh Pasifik. Fenomena El-Nino secara umum adalah kodisi suhu muka laut (Sea Surface Temperatur – SST) di Pasifik Tengah dan Timur wilayah Ekuator mengalami kenaikan terhadap nilai normalnya. Anomali SST adalah kondisi dimana terjadi perubahan/ penyimpangan nilai SST terhadap normalnya. Akibat dari kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan fenomena iklim secara global di sekitar wilayah tersebut. Peningkatan SST di wilayah tersebut menyebabkan meningkatnya aktifitas konveksi yang melebihi normal sehingga curah hujan meningkat di atas normal. Pusat konveksi di Pasifik Barat dan Indonesia akan bergeser ke wilayah ini, akibatnya
di sebagian wilayah Indonesia jumlah curah hujannya akan menurun secara drastis di bawah normalnya. Meningkatnya nilai SST tersebut menyebabkan tekanan udara menjadi rendah di wilayah tersebut sehingga mengakibatkan angin pasat yang bertiup di wilayah Pasifik Barat dan Tengah menjadi berkurang kecepatannya dan bahkan menjadi angin baratan. Fenomena yang lain yang merupakan 'pasangan' dari kondisi El-Nino adalah La-Nina. Fenomena La-Nina merupakan kondisi dimana nilai anomali SST negatif yang berarti nilai SST di Pasifik Tengah dan Timur lebih rendah dari nilai normalnya. Akibatnya pertumbuhan awan berkurang dan pusat pertumbuhan awan bergeser ke Pasifik Barat/Indonesia. Pada kondisi ini wilayah Indonesia menerima curah hujan yang besar yang dapat menyebabkan banjir. Secara umum tingkat intensitas/ kekuatan feno-mena El-Nino diukur dari besarnya anomali positif SST di wilayah Pasifik Timur / Tengah. Semakin besar nilai anomali SST di wilayah tersebut semakin besar kekuatan El-Nino. Vol.1 Nomor 1
Clouds 7
LAPORAN UTAMA Sea Surface Temperature (SST) Lantas bagaimana cara memonitor kondisi tersebut? Para pakar telah mengidentifikasi daerah laut
rada di 5oN~5oS dan 160oE~150oW, sementara daerah Nino3.4 merupakan interseksi dari Nino3 dan Nino4 yang berada di 5oN~5oS dan
Pasifik Tengah dan Timur yang suhu muka lautnya sangat mempengaruhi kondisi global tersebut, mereka menamakannya daerah Nino. Daerah Nino terbagi menjadi Nino1.2, Nino3, Nino3.4 dan Nino4. Daerah Nino1.2 berada di 0o~10oS dan 90o W~80oW, daerah Nino3 di 5oN~5oS dan 150oW~90oW, daerah Nino4 be-
170oE~120oE. Gambar paling atas mengilustrasikan posisi dari daerahdaerah tersebut. Data daerah Nino3.4 biasanya digunakan untuk analisis dengan alasan bahwa daerah tersebut mempunyai respon yang baik terhadap fenomena menghangatnya suhu muka laut di timur (Peru) dan di barat
8
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
LAPORAN UTAMA (Pasifik Barat) serta mempunyai korelasi yang cukup kuat terhadap nilai SOI. Disamping itu nilai anomali SST di kawasan ini juga mempunyai hubungan yang cukup erat dengan tingkat kekeringan di wilayah Indonesia. Gambar kedua dari atas menunjukkan kondisi anomali SST daerah Nino sejak tahun 2000. Dikatakan kondisi memasuki fase El Nino apabila nilai anomali tersebut mencapai di atas +1º, ada juga beberapa pendapat memberikan batas ambang di atas +0.5º sudah memasuki fase tersebut. Sedangkan kondisi La Nina terjadi apabila anomali mencapai di bawah -1º atau -0.5º. Nilai diantara keduanya adalah kondisi normal. Dari gambar tersebut terlihat pada Juli ini secara umum kondisi anomali suhu muka lautnya masih pada ambang normal. Sebagai tambahan pengetahuan kita, selama kejadian El Nino terjadi perubahan sirkulasi laut dan atmosfer yang meliputi: • Terjadi kondisi yang lebih hangat dari suhu air laut normal di seluruh bagian Tengah dan Timur Samudera Pasifik wilayah tropis. • Terjadi peningkatan konveksi meningkat atau meningkatnya keawanan di Samudra Pasifik tengah bagian tropis, terjadi migrasi konvektivitas dari Australia / Indonesia
timur menuju Samudera Pasifik Tengah. • Trade wind lebih lemah dari normalnya. • Nilai Southern Oscillation Index (SOI) yang negatif. Trade wind adalah angin yang bertiup dari timur (easterly) sampai tenggara (southeasterly) pada belahan bumi selatan, sedangkan di belahan bumi utara, angin bertiup dari timur (easterly) sampai timur laut (northeasterly) timur ke arah timur laut yang mempengaruhi daerah tropis dan subtropis, termasuk daerah Australia bagian utara. Ini berarti bahwa, di kedua belahan bumi, mereka cenderung bertiup dari timur ke barat dan menuju ke Ekuator. Southern Oscillation Index (SOI) Seperti disebutkan di muka selama kejadian El Nino terjadi perubahan pada South Oscilation Index (SOI). SOI menurut A.J. Troup (1965), didefinisikan sebagai : [ Pdiff - Pdiffav ] SOI = 10 ---------------------SD(Pdiff) dimana Pdiff = (rerata Tahiti MSLP di Tahiti ) (rerata MSLP Darwin), pada bulan itu Pdiffav = rerata historis (long term) of Pdiff pada bulan itu Vol.1 Nomor 1
Clouds 9
LAPORAN UTAMA
SD(Pdiff) = standar deviasi dari Pdiff. Perkalian dengan 10 merupakan konvensi saja, dengan menggunakan konvensi ini nilai SOI berkisar dari -35 sampai 35. Jika nilai SOI negatif, maka tekanan di Tahiti relatif lebih kecil dibandingkan dengan tekanan di Darwin. Kondisi ini antara lain menyebabkan; bergesernya kolam hangat dari Pasifik Barat ke Pasifik Timur; pertumbuhan awan di Pasifik Timur di atas normalnya; terjadi kekeringan di Pasifik Barat terutama di Indonesia Timur karena suplai uap air bergeser ke timur dan lain-lain. Fenomena ini yang disebut dengan fenomena El-Nino. Jika nilai SOI positif maka keadaan akan sebaliknya dan fenomena ini dikenal dengan fenomena La-Nina. Nilai SOI 10
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
yang kadang positif dan kadang negatif memberi pengertian bahwa kejadian/fenomena El-Nino maupun La-Nina mempunyai perulangan. Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai SOI selama tahun 2010 konsisten positif di atas +10, kondisi ini menyebabkan; bergesernya kolam hangat dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat; terjadi pertumbuhan awan di Pasifik Barat di atas normalnya dan bahkan mencapai wilayah Indonesia. Dari kedua parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum tahun ini masuk dalam kondisi normal dan untuk wilayah Indonesia potensi pertumbuhan awan masih cukup baik. Kelihatannya kondisi ekstrim kering tidak akan terjadi pada tahun ini.
LAPORAN UTAMA Dipole Mode Index (DMI) Selain fenomena El Nino di wilayah Pasifik, wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena iklim
di wilayah Samudera Hindia yang dikenal dengan Dipole Mode. Dipole mode disingkat DM merupakan fenomena yang mirip dengan El Nino tetapi terjadi di Samudera Hindia. Peristiwa dipole mode ditandai adanya perbedaan anomali suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature - SST) antara Samudera Hindia tropis bagian barat (50oE – 70 o E, 10oS – 10oN) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90oE – 110oE, 10oS – ekuator). Anomali SST ini memiliki kondisi yang lebih dingin dari normal dan muncul dipantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur), sementara di Samudera Hindia bagian barat terjadi pe-
manasan dari biasanya. Beberapa riset menentukan sebuah indeks untuk mempelajari fenomena dipole mode ini, yang
disebut dengan Dipole Mode Index (DMI)). DMI didefinisikan sebagai selisih anomali SST di Samudera Hindia Bagian Barat dengan wilayah Samudera Hindia Bagian Timur seperti pada gambar di atas : Secara umum tahapan siklus Dipole Mode dapat dijelaskan sebagai berikut : • Muncul anomali SST negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei – Juni, bersamaan terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. • Anomali terus menguat (Juli-Agustus) dan meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan Jawa Vol.1 Nomor 1
Clouds 11
LAPORAN UTAMA hingga pantai barat Sumatera. Kondisi diatas dibarengi munculnya anomali positif SST di Sam-
udera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub di Samudera Hindia 12
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
ekuator ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. • B i a s a n y a siklus mencapai puncaknya pada Oktober, dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada November-Desember. Nilai Dipole Mode Index positif DMI(+) : kondisi anomali SST di wilayah Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya akibatnya terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di Benua Maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari nor-
LAPORAN UTAMA
malnya yang menyebabkan kekeringan. Nilai Dipole Mode Index negatif DMI(-) : terjadi kondisi sebaliknya, yang menyebabkan terjadi peningkatan curah hujan di wilayah Benua Maritim Indonesia. Dari gambar terlihat bahwa nilai DMI beberapa minggu terakhir bernilai positif tetapi terkesan menurun tren-nya. Positifnya nilai DMI mengindikasikan penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama bagian barat sehingga perlu diwaspadai. Meskipun tahun ini merupakan tahun normal untuk kondisi El Nino,
tetapi untuk wilayah Barat Indonesia yang cukup dipengaruhi oleh fenomena Dipole Mode perlu mendapat perhatian khusus karena nilai DMInya yang masih positif meskipun kelihatannya cenderung menurun. Semoga ke depannya nilai DMI semakin turun dan ke arah negatif yang mengindikasikan banyaknya penguapan di wilayah Samudera Hindia tropis bagian timur, sehingga peluang hujannya semakin besar. Semoga. (djz)
M. Djazim Syaifullah, lahir di Kebumen tahun 1969, menyelesaikan S1 di jurusan Fisika MIPA UGM pada tahun 1994 dan S2 di bidang Agroklimat IPB. Bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak tahun 1995. Saat ini aktif sebagai Peneliti di Kelompok Fisika Awan dengan jabatan Peneliti Madya Vol.1 Nomor 1
Clouds 13
INFO METEOROLOGI Pengolahan dan Penerapan Data TRMM di DAS Larona
S
atelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) merupakan wahana yang tepat untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis. Satelit ini diluncurkan pada 27 November 1997 di Tanegashima Space Center Jepang yang membawa 5 sensor utama, yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIS (Visible Infrared Scanner), LIS (Lightning Imaging Sensor), dan CERES (Clouds and Earth’s Radiant Energy System). Satelit TRMM merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa nasional, yaitu Amerika Serikat (NASA: National Aeronautics and Space Administration) dan Jepang (NASDA: National Space Development of Japan, yang sekarang berubah menjadi JAXA: Japan Aerospace Exploration Agency). Satelit TRMM berorbit polar (non-sun-synchronous) dengan inklinasi sebesar 35o terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit 350 km (pada saat-saat awal diluncurkan), dan diubah ketinggian orbitnya menjadi 403 km sejak 24 Agustus 2011 sampai sekarang. Pengoperasian satelit TRMM pada ketinggian orbit 403 km ini dikenal dengan istilah TRMM boost. 14
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
Karakteristik umum sensor-sensor satelit TRMM dijelaskan berikut ini. Pertama, sensor VIRS (Visible Infrared Scanner) terdiri dari 5 kanal yang masing-masing pada panjang gelombang 0.63, 1.6, 3.75, 10.8 dan 12 mikrometer. Sensor VIRS ini terutama digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan, dan temperatur puncak awan, dan sensor VIRS TRMM ini memiliki kemiripan dengan sensor AVHRR NOAA (Advance Very High Resolution Radiometer, National Oceanic and Atmospheric Administration). Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS adalah 2,2 km. Kedua adalah sensor TMI (TRMM Microwave Imager) yang merupakan suatu multichannel passive microwave radiometer yang beroperasi pada 5 frekuensi, yaitu 10.65, 19.35, 37.0, dan 85.5 GHz polarisasi ganda dan pada 22 235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI ini dapat diekstraksi data-data untuk integrated column precipitation content, air cair dalam awan (cloud liquid water), es awan (ice cloud), intensitas hujan (rain intensity), tipe hujan (rain type), misalnya hujan stratiform ataukah hujan konvektif. Sensor TMI
INFO METEOROLOGI ini memiliki kemiripan dengan sensor SSM/I DMSP (Special Sensor Microwave/Imager, Defense Meteorological Satellite Program). Sensor ketiga adalah sensor PR (Precipitation Radar), sensor ini bekerja pada frekuensi 13.8 GHz untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 dimensi, baik untuk presipitasi di atas daratan maupun di atas lautan, serta untuk menentukan kedalaman lapisan presipitasi. Data-data yang dihasilkan dari ketiga sensor satelit TRMM ini (VIRS, TMI, dan PR) dikelola oleh GDFC (Goddart Space Flight Center) NASA. Sensor yang keempat, yaitu CERES (Clouds and the Earth’s Radiant Energy System). CERES ini digunakan untuk mengukur energi pada atmosfer, dengan menggunakan informasi dari instrumen cloud imaging yang beresolusi tinggi, CERES juga dapat menentukan cloud properties, termasuk jumlah awan, altitud, ketebalan, dan ukuran partikel-partikel awan. Sensor kelima adalah LIS (Lightning Imaging Sensor), sensor ini dikembangkan oleh Global Hydrology Center NASA yang merupakan kombinasi optik dan elektronik. Sensor ini menyediakan informasi mengenai karakteristik awan, storm dynamics, dan variabilitas seasonal dan tahunan thunderstorm.
Aplikasi Data TRMM Data-data hujan yang diperoleh dari satelit TRMM telah diaplikasikan untuk berbagai keperluan, seperti pengamatan iklim dan cuaca, analisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model iklim, studi hidrologi, Vol.1 Nomor 1
Clouds 15
INFO METEOROLOGI monitoring topan dan badai, banjir dan tanah longsor, dan lain sebagainya. Namun dalam pemanfaatan data TRMM ini tidak disarankan untuk mencari atau mengetahui jumlah hujan (kuantitasnya) dalam bentuk mm/ bulan atau mm/hari karena masih memiliki tingkat kesalahan atau bias error yang cukup besar. Oleh karena itu sebelum digunakan untuk mengetahui jumlah hujan (kuantitasnya), maka nilai bias error tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan koefisien nilai bias error rata-rata data TRMM. Akan tetapi apabila hanya se-kedar untuk mengetahui kualitas hujan, misalnya deras, besar, sedang, ringan, atau kecilnya curah hujan, pola hujan, sebaran spasial curah hujan, persentase anomali hujan, ataupun hubungan curah hujan dengan pengendali-pengendali hujan (ENSO, DMI, SOI, dan lain sebagainya), maka data TRMM sudah bisa digunakan karena nilai bias error hujan yang dihasilkan cukup seragam dan konstan untuk setiap waktu, musim, dan lokasi (Abd Rahman, 2010). Validasi Data TRMM dengan Data AWS di DAS Larona Data TRMM yang digunakan pada riset ini adalah data TRMM 3B42RT dengan resolusi data 3 jam dan 16
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
resolusi spasial 0.25 x 0.25 derajat. Data presipitasi TRMM ini dapat memenuhi kebutuhan data curah hujan dengan resolusi temporal dan spasial yang detail dan kontinu. Namun, keakuratan data TRMM perlu diuji lebih lanjut untuk keperluan riset selanjutnya. Riset ini dilakukan untuk menguji keakuratan dan keeratan data presipitasi TRMM dengan data curah hujan AWS dan penakar konvensional (Plantsite) pada resolusi spasial yang sempit (1 pixel dan 4 pixel). Pada riset ini digunakan data curah hujan dari penakar dan AWS di DAS Larona pada periode Oktober 2008 sampai September 2010. Data TRMM yang digunakan pada periode yang sama dengan mengambil 1 pixel data untuk Plantsite (0.25 x 0.25) dan 4 pixel untuk Sorowako (mewakili DAS Larona). Uji yang dilakukan adalah regresi linear sederhana untuk mencari koefisien determinasi antara TRMM dengan AWS, TRMM dengan Penakar (hanya Plantsite) dan AWS dengan TRMM (hanya Plantsite). Dari hasil plotting data TRMM, AWS dan Penakar (gambar 1), pola curah hujan pada DAS Larona merupakan pola ekuatorial dimana ada dua puncak hujan sepanjang tahun yaitu pada bulan Maret dan Desember. Pola curah hujan TRMM identik
INFO METEOROLOGI dengan pola AWS dan Penakar dimana pada 1 pixel (Plantsite) TRMM over estimate sedangkan pada 4 pixel TRMM under estimate. Pada penelitian sebelumnya (Prasetya, 2011), pola data TRMM (PR3A25) cenderung identik CH penakar pada resolusi spasial yang lebih luas (seluruh Indonesia). Data TRMM cenderung under estimate untuk resolusi spasial yang sempit (Plantsite) dan cenderung upper estimate untuk resolusi yang lebih besar (Sorowako). Kondisi ini bisa disebabkan karena curah hujan yang diukur oleh AWS maupun panakar pada DAS Larona berkumpul pada satu area, sehingga curah hujan yang terukur kurang mewakili curah hujan wilayah DAS Larona karena curah hujan yang lebih besar berada di atas badan air (di wilayah danau). Untuk pengukuran yang lebih akurat sebaiknya ada pengukuran hujan tepat di atas danau. Keakuratan data TRMM juga sangat bergantung dengan posisi satelit pada saat pengukuran. Pada sudut inklinasi yang besar (mendekati 35º), maka keakuratan data TRMM semakin rendah karena panjang area pengukuran yang semakin panjang sehingga awan yang terukur tidak tepat di atas target. A. Plantsite Pengujian data TRMM dilakukan
dengan melakukan regresi terhadap data Penakar dan AWS. Pengujian dilakukan dengan memposisikan data Penakar dan AWS sebagai independent variable dan TRMM sebagai dependent variable. Hasil regresi AWS dengan TRMM menunjukkan pola yang identik dengan slope 0,957 dan variasi data yang cukup jauh beda dengan intercept intercept 125,4. Selain itu juga koefisien determinasi (Rsquare) antara AWS dan TRMM tidak signifikan dengan nilai 0,154. Kondisi ini bisa saja disebabkan data AWS yang kurang baik. Hasil regresi linear antara TRMM dengan penakar menunjukkan pola yang identik dengan slope 1,7 namun memiliki variasi data yang sangat kecil intercept 0,127. Koefisien determinasi (Rsquare) antar TRMM dengan penakar lebih baik dari AWS dengan TRMM dengan nilai 0,256. Kondisi ini menunjukkan data TRMM tidak valid untuk dimanfaatkan dalam resolusi yang kecil (1 pixel). B. Sorowako Pengujian TRMM untuk resolusi yang lebih besar (Sorowako, 4 pixel) dilakukan dengan metode yang sama dengan melakukan analisis regresi sederhana dengan memposisikan TRMM sebagai independent variable dan AWS sebagai dependent variVol.1 Nomor 1
Clouds 17
INFO METEOROLOGI
able. Hasil regresi sederhana tersebut dilihat pada resolusi waktu harian dan bulanan. Untuk resolusi harian didapat nilai koefisien determinasi 0,142 dengan persamaan regresi y = 0,142 + 7,954. Sedangkan untuk resolusi bulanan nilai koefisien determinasi 0,235 dengan persamaan regresi y = 0,392 + 146,0. Hasil ini tidak signifikan dimana data TRMM hanya mampu menjelaskan 23,5% data AWS. Penulis mencoba mengurangi variasi bulanan data TRMM dan AWS dengan melakukan running average pada masing-masing data resolusi bulanan. Kemudian hasil running average di uji regresi linear. Hasilnya nilai koefisien determinasinya meningkat menjadi 0,455. Hal ini menunjukkan besarnya variasi data secara bulanan 18
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
baik pada data TRMM maupun AWS. Untuk melihat hasil yang signifikan perlu dilakukan filtering dengan metode lain yang lebih baik (misal low pass filter atau high pass filter) untuk melihat hubungan data TRMM dengan AWS maupun penakar dengan hasil yang lebih. Selain variasi data yang sangat besar, penempatan stasiun-stasiun AWS belum mewakili DAS Larona secara keseluruhan. Data AWS cenderung menumpuk pada satu wilayah tertentu, sehingga hujan yang cenderung jatuh lebih besar di atas badan air tidak dapat terukur. Keakuratan data TRMM juga sangat berpengaruh terhadap posisi sudut inklinasi dari satelit TRMM itu sendiri. Dengan variasi yang sampai 35º
INFO METEOROLOGI maka keakuratan akan berkurang begitu menjauhi wilayah Sorowako. (can)
Cornelius Antoni Nababan, lahir di Medan pada tahun 1985, menyelesaikan pendidikan S1 di Meteorologi dan Geofisika IPB dan mulai bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak 2011. Saat ini aktif sebagai anggota kelompok Fisika Awan.
Vol.1 Nomor 1
Clouds 19
ARTIKEL ILMIAH Karakteristik MJO di Benua Maritim Studi Kasus di Kototabang Sumatera Barat Oleh: Tri Handoko Seto
1. Pendahuluan Variasi IntraMusim (VIM) adalah kejadian dominan dari anomali konveksi di wilayah tropis. Fenomena ini dikarakterisasikan oleh konveksi yang merambat ke arah timur dan anomali sirkulasi dengan periode antara 30 sampai dengan 60 hari di daerah tropis (e.g. Matthews, 2000; Madden and Julian, 1994; Hendon and Salby, 1994; Rui and Wang, 1990). Banyak studi menunjukkan bahwa Pulau Sumatera berperan penting dalam proses perambatan VIM. Weickmann dan Khalsa (1990) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan suatu peristiwa konvektif di dekat Sumatera (~100 E). Sebaliknya, Peristiwa VIM mengalami penurunan signifikan mendekati wilayah benua maritim (e.g. Dunkerton and Crum, 1995; Nitta et al., 1992). Nitta et al. (1992) menunjukkan bahwa propagasi arah timur SCC dihalangi oleh topografi permukaan benua maritim (terutama di atas Sumatera) ketika melintas diatas benua tersebut. Pada beberapa kasus, tidak terdapat sistem baru 20
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
yang dapat berkembang di wilayah Pasifik barat setelah sistem-sistem konveksi tereduksi di atas benua maritim. Akan tetapi, pada kasus yang lain, terdapat SCC baru yang diciptakan di timur Kalimantan (Perhatikan Gambar 19 disadur dari Nitta et al., 1992). Variasi diurnal adalah salah satu peristiwa dominan dari aktivitas konveksi di wilayah tropis. Melalui pengamatan satelit terhadap variabel “kecerahan” temperatur (brightness temperature), Hendon dan Woodberry (1993) menunjukkan bahwa variasi diurnal aktivitas konveksi tropis muncul di setiap musim dan bahwa intensitas variasi diurnal tersebut relatif lemah selama musim panas di belahan bumi utara. Nitta dan Sekine (1994) menunjukkan bahwa variasi diurnal aktivitas konveksi sangat dominan diatas Suma-tera dan wilayah laut yang berdam-pingan dengan Sumatera. 2. Fenomena MJO Juli 2002 Gambar 1 menunjukkan plot longitude-latitude TBB dirata-ratakan terhadap tanggal 4-6, 10-12, 15-17 dan 24-26 Juni 2002. Pada tanggal
ARTIKEL ILMIAH
4-6 Juni, super cloud cluster pertama skala waktu > 1 hari. Selama tang(SCC1) muncul di sekitar 70 – 90 gal 10 – 14 Juni, CC dengan TBB < E (Gambar 1a). SCC1 kemudian 255 K berkembang di bawah naunmelaju ke arah timur dan muncul di gan/lapisan SCC1, dan lewat diaatas benua maritim (100-120 E) setas Sumatera dengan interbal 1 – 2 lama tanggal hari (pada 10-12 Juni. tanggal Sementara itu, 10, 11 dan SCC kedua 14 Juni). (SCC2) terSelama bentuk di sekitanggal 16 tar 70 – 90 E – 17 Juni, pada periode aktivitas yang sama konveksi (Gambar 1b). yang suSelama tangdah mengal 15 – 17 galami Juni, SCC1 kepeningkamudian melaju tan denke arah Pasifik gan TBB barat (140< 255 K 160 E), dan muncul di SCC2 melaju atas Suke arah timur matera Gambar 1. Longitude-latitude plots of TBB averaged over dari Samudera (a) 4–6, (b) 10–12, (c) 15–17, and (d) 24–26 in June 2002. d i d a l a m in each panel indicates the location of the observation n a u n g a n Hindia menuju “*” site. benua maritim fase ak(Gambar 1c). tif SCC2. Selama tanggal 24 – 26 Juni, SCC2 Aktivitas konveksi diatas Sumatera merambat lebih jauh ke arah timur dinaikkan hingga beberapa kali dendan menampakkan diri diatas Pasifik gan TBB < 240 K (pada ketinggian barat (Gambar 1d). ~ 10 Km). Umur aktivitas-aktivitas Penulis mendefinisikan CC sebatersebut adalah kurang dari 1 hari, gai cloud cluster yang berpropagasi dan tidak menunjukkan propagasi jeke arah barat dengan TBB < 255 K, las ke arah barat. Akan tetapi, ketika dengan skala spasial > 200 Km, dan SCC2 mencapai Pasifik Barat (130 – Vol.1 Nomor 1
Clouds 21
Artikel Ilmiah 160 E), propagasi jelas ke arah barat cluster-cluster awan akan teramati (e.g. dari 160 E pada tanggal 24 Juni
850 hPa, dan pergeseran vertikal angin horizontal antara 700 dan 150 hPa yang diturunkan dari reanalysis
Gambar 2. Time variations of (a) TBB, (b) zonal wind at 850 hPa, and (c) vertical shear of horizontal wind between 700 hPa and 150 hPa. Wind data are derived from NCEP/NCAR reanalysis. In panel (a), TBB is averaged over 100 E–105 E longitudinally and 1 S–1 N latitudinally. Thick solid curve shows TBB smoothed by 2-day running mean, and thin solid curve shows TBB observed every one hour. In panels (b) and (c), zonal wind at 850 hPa and vertical shear of horizontal wind between 700 hPa and 150 hPa are averaged over 100 E–105 E longitudinally and 2.5 S–2.5 N latitudinally. Zonal wind at 850 hPa and vertical shear of horizontal wind between 700 hPa and 150 hPa are smoothed by 2-day running mean.
ke 130 E pada tanggal 26 Juni). Penulis membagi periode observasi ke dalam 3 periode untuk membahas sifat-sifat aktivitas konveksi di atas Sumatera pada fase VIM yang berbeda. Gambar 2 me-nunjukkan variasi waktu TBB, angin zonal pada 22
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
NCEP/NCAR diatas wilayah khatulistiwa Sumatera. Penulis telah memilih level tekanan 700 hPa dan 150 hPa untuk menghitung pergeseran vertikal angin horizontal di troposfer, karena pergeseran vertikal angin horizontal di antara 700 hPa dan 150
Artikel Ilmiah hPa mempunyai kolerasi terbanyak dengan variasi di Indeks Presipitasi (GPI) Geostationary Operational Environmental Satellite (GOES) selama TOGA COARE (Saxen dan Rutledge, 2000). Angin zonal pada 850 hPa dan pergeseran vertikal angin horizontal di antara 700 hPa dan 150 hPa “dihaluskan” dengan menjalankan perata-rataan selama 2 hari. Dari variasi temporal TBB, angin Gambar 3. Daily rainfall amount observed at Kototabang GAWstation in June 2002. zonal pada 850 hPa dan pergeseran vertikal angin horizontal diantara 700 hPa dan 150 hPa sebagaimana disebutkan di atas, penulis membagi aktivitas konveksi lalu melemah keseluruhan periode observasi sebadengan cepat. Pergeseran vertikal gai berikut : angin horizontal diantara 700 hPa • Periode 1 (1-9 Juni) : angin zonal dan 150 hPa meningkat dari ~20 pada 850 hPa lemah (<1 m/s), m/s ke 32 m/s. Periode ini diklasifidan puncak awan bertambah sekasikan sebagai fase aktif VIM. cara bertahap dengan beberapa • Periode 3 (20-26 Juni): angin peningkatan aktivitas konveksi. baratan kuat dengan kecepatan Pergeseran vertikal angin horizon~2 m/s pada 850 hPa menjadi tal diantara 700 hPa dan 150 hPa dominan selama tanggal 20-22 meningkat dari ~ 10 m/s ke ~ 20 Juni, untuk kemudian berkurang m/s. Periode ini diklasifikasikan sesampai mencapai ~0 m/s pada bagai fase inaktif VIM. tanggal 26 Juni. Pada periode in • Periode 2 (10-19 juni) : selama aktivitas konveksi mengalami sutanggal 10-17 Juni, angin baratan presi. Pergeseran vertikal angin dengan tekanan 850 hPa meninghorizontal antara 700 hPa dan 150 kat sebesar 2 kali dengan berlaluhPa kemudian terus menurun. Penya SCC1 dan SCC2, dan puncak riode ini diklasifikasikan sebagai awan tinggi dengan TBB < 270 K fase VIM pasca-kemunculan menmenjadi dominan. Kemudian dari dadak angin baratan. tanggal 17 Juni, kemunculan menPeningkatan aktivitas konvektif, dadak angin baratan terjadi dan yang muncul dalam SCC-SCC yang Vol.1 Nomor 1
Clouds 23
Artikel Ilmiah teratur, berlangsung selama ~10 hari (10-19 Juni) pada kasus yang dibahas dalam makalah ini. Hal ini adalah konsisten dengan skala waktu tipikal (10 – 15 hari ) dari organisasi/keteraturan SCC-SCC (Lau et al., 1991). Penulis lebih lanjut menyelidiki variasi temporal data permukaan (jumlah curah hujan harian, tekanan, kelembapan spesifik, temperatur dan radiasi matahari) pada Juni 2002. Gambar 3 menunjukkan jumlah curah hujan harian yang diamati di Stasiun GAW Kototabang selama Juni 2002. Selama periode 1, kejadian curah hujan terobservasi setiap hari kecuali pada tanggal 3 dan 4 Juni. Jumlah curah hujan terbesar 73 mm/hari teramati pada tanggal 2 Juni, dan jumlah curah hujan yang cukup besar (>15 mm/hari) juga teramati pada tanggal 8 dan 9 Juni. Selama periode 2, kejadian curah hujan teramati ketika cluster-cluster awan yang tumbuh di SCC1 berada di atas wilayah pengamatan pada tanggal 10 – 12 dan 14 Juni. Jumlah curah hujan yang relatif besar, yaitu 18 mm/hari terobservasi pada tanggal 11 Juni. Kejadian curah hujan juga teramati pada tanggal 15 dan 16 Juni, ketika aktivitas konvektif mengalami peningkatan di SCC2. Akan tetapi, kejadian curah hujan tidak teramati pada wilayah observasi pada tanggal 17 Juni, meskipun puncak 24
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
awan dengan TBB < 255 K teramati di atas Sumatera. Selama periode 3, tidak ada curah hujan yang teramati. Meskipun penakar hujan di atas daerah pengamatan tidak bisa mengamati sama sekali kejadian curah hujan di atas Sumatera, kejadian curah hujan teramati di atas wilayah pengamatan mengalami penguatan oleh VIM. Level curah hujan berubah sekali tergantung terhadap apakah suatu kejadian curah hujan konvektif atau stratiform. Selama periode 1, kejadian curah hujan konvektif yang disebabkan oleh sirkulasi lokal dominan terhadap situs observasi. Sebaliknya, baik kejadian curah hujan konvektif maupun stratiform teramati selama periode 2. Pada tanggal 11 Juni, kejadian curah hujan stratiform yang disebabkan oleh lewatnya CC yang telah tumbuh dengan baik teramati di atas situs observasi. Ketika kejadian curah hujan disebabkan oleh lewatnya SCC2 teramati di atas situs observasi (15-16 Juni), baik kejadian konvektif dangkal maupun dalam teramati. 3. Diskusi Pada makalah ini, akan didiskusikan variasi temporal aktivitas konveksi di atas Sumatera dengan menggunakan klasifikasi periode 1-3. Variasi temporal aktivitas konvektif di atas Sumatera oleh VIM me-
Artikel Ilmiah miliki sifat yang sama dengan yang aktivitas konvektif yang sama selama TOGA COARE. Hal ini dijelaskan sebagai berikut : • Selama periode inaktif VIM (periode 1) aktivitas konvektif sebagaimana diketahui dari TBB secara gradual bertambah kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa mekanisme yang secara bertahap melembapkan troposfer tengah dan atas terjadi. Selama TOGA COARE, sel-sel konvektif yang terisolasi yang berulang kali menembus troposfer tengah dan atas dan melembapkan udara memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi yang baik untuk organisasi sistem-sistem konveksi berskala besar (Redelsperger et al., 2002; Demott and Rutledge, 1998a, b). • Intensitas maksimum aktifitas konveksi sebagaimana diketahui dari TBB terjadi pada tanggal 10-17 Juni, dan aktivitas tersebut mendahului kemunculan tiba-tiba angin baratan maksimum (17-18 Juni). Hal ini konsisten dengan model studi (e.g. Lau et al., 1989) dan studi pengamatan di atas Pasifik barat selama TOGA COARE (Rickenbach dan Rutledge, 1998; Lin dan Johnson, 1996). Pergeseran vertikal moderat angin horizontal (20-30 m/s) memiliki peran yang penting dalam organisasi aktivitas
konvektif mesoscale dengan skala horizontal >100 Km (Saxen dan Rutledge, 2000; Rickenbach dan Rutledge, 1998). Studi kasus yang dilakukan penulis selama Juni 2002 menunjukkan sifat yang sama yang ditemukan di TOGA COARE. Akan tetapi, suatu perbedaan juga teramati antara studi kasus penulis dan TOGA COARE. Selama TOGA COARE, kejadian konvektif mesoscale teramati 2-5 hari setelah kemunculan tiba-tiba angin baratan maksimum (Rickenbach dan Rutledge, 1998). Akan tetapi, pada studi kasus penulis, suatu kejadian konvektif yang teroganisir dengan baik/teratur tidak teramati selama pasca fase kemunculan tibatiba angin baratan VIM (periode 3). Lebih jauh lagi, mungkin terdapat sifat-sifat yang berbeda didalam studi kasus penulis karena Sumatera terletak di tepian paling timur Samudera Hindia dan memiliki kawasan pegunungan tinggi pada sisi baratnya (Sumatera). Interaksi antara samudera dan daratan kemungkinan menyebabkan sifat-sifat berbeda aktivitas konvektif di dalam VIM dengan aktifitas konvektif VIM di dalam TOGA COARE, karena pengamatan TOGA COARE dilakukan di atas samudera terbuka di Pasifik barat. Sehingga pada makalah ini, penulis juga akan memperhatikan perVol.1 Nomor 1
Clouds 25
Artikel Ilmiah bedaan-perbedaan aktifitas konvektif dari VIM antara TOGA COARE dan studi kasus penulis. 4. Kesimpulan Pada Juni 2002, aktivitas konvektif di atas Samudera Hindia, benua maritim, dan Pasifik barat diperkuat secara signifikan oleh VIM. Temperatur kecerahan (brigthness) benda hitam yang diamati oleh GMS (TBB) menunjukkan bahwa 2 kluster super cloud (SCCs) tumbuh di atas Samudera Hindia (70 – 90 E) di paruh pertama Juni 2002, dan berpropagasi ke arah timur dari Samudera Hindia ke Pasifik barat. Aktivitas konveksi juga meningkat di atas Pasifik barat (130 – 160 E) pada paruh selanjutnya bulan Juni 2002. Dari variasi temporal TBB, angin zonal pada 850 hPa, dan pergeseran vertikal angin horizontal diantara 700 dan 150 hPa, penulis mengklasifikasikan periode observasi menjadi fase inaktif (1 – 9 Juni), fase aktif (10 – 19 Juni), fase pasca kemunculan mendadak angin baratan VIM (20 – 26 Juni). Selama fase inaktif VIM, aktivitas konveksi yang disebabkan oleh sirkulasi lokal adalah dominan diatas Sumatera. Curah hujan lebat tercatat terjadi di atas daerah pegunungan Sumatera selama fase inaktif VIM. Selama fase aktif VIM, kluster-kluster awan (CCs), yang tumbuh di bawah nau26
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
ngan konvektif SCC dengan periode 1-2 hari, kebanyakan menyebabkan pembentukan aktivitas konveksi diatas Sumatera. Curah hujan yang relatif besar teramati terjadi di atas daerah pegunungan Sumatera selama fase aktif VIM. pada fase pasca kemunculan mendadak angin baratan VIM, aktivitas konveksi tersupresi di atas Sumatera. Sifat aktivitas konveksi yang ditemukan diatas Sumatera relatif sama dengan yang ditemukan di samudera tropis dan Global Atmosphere/Coupled Ocean-Atmosphere Response Experiment (TOGA COARE). Akan tetapi, sirkulasi lokal memiliki peranan penting dalam pembentukan aktivitas konveksi diatas Sumatera didalam fase inaktif VIM. (ths) Referensi 1. DeMott, C. A. and Rutledge, S. A.: The vertical structure of TOGA COARE convection. Part I: Radar Echo Distributions, J. Atmos. Sci., 55, 2730–2747, 1998a. 2. DeMott, C. A. and Rutledge, S. A.: The vertical structure of TOGA COARE convection, Part II: Modulating influences and implications for diabatic heating, J. Atmos. Sci., 55, 2748–2762, 1998b. 3. Dunkerton, T. J. and Crum, F. X.: Eastward propagating ~2- to 15-day equatorial convection and its relation to the tropical intraseasonal oscillation, J. Geophys. Res., 100, 25 781–25 790, 1995.
Artikel Ilmiah 4. Hendon, H. H. and Woodberry, K.: The di-
factors limiting cloud-top height follow-
urnal cycle of tropical convection, J. Geo-
ing the arrival of a dry air intrusion ob-
phys. Res., 98, 16 623–16 637, 1993.
served during TOGA COARE, J. Atmos.
5. Hendon, H. H. and Salby, M. L.: The life cycle of the Madden- Julian oscillation, J. Atmos. Sci., 51, 2225–2237, 1994.
Sci., 59, 2438–2457, 2002. 12. Rickenbach, T. M. and Rutledge, S. A.: Convection in TOGA COARE: Horizon-
6. Lau, K. M., Nakazawa, T., and Sui, C. H.:
tal scale, morphology, and rainfall pro-
Observations of cloud cluster hierarchies
duction, J. Atmos. Sci., 55, 2715–2729,
over the tropical western Pacific, J. Geophys. Res., 96, 3197–3208, 1991.
1998. 13. Rui, H. and Wang, B.: Development
7. Lin, X. and Johnson, R. H.: Kinematic and
characteristics and dynamic structure of
thermodynamic characteristics of the flow
tropical intraseasonal convection anom-
over the western Pacific warm pool during
alies, J. Atmos. Sci., 47, 357–379, 1990.
TOGA COARE, J. Atmos. Sci., 53, 695–
14. Saxen, T. R. and Rutledge, S. A.: Sur-
715, 1996.
face rainfall-cold cloud fractional cov-
8. Madden, R. A. and Julian, P. R.: Observa-
erage relationship in TOGA COARE:
tions of the 40–50-day tropical oscillation –
A function of vertical wind shear, Mon.
A review, Mon. Wea. Rev., 122, 814–837,
Wea. Rev., 128, 407–415, 2000.
1994.
15. Weickmann, K. M. and Khalsa, S. J. S.:
9. Nitta, Ts. and Sekine, S.: Diurnal varia-
The shift of convection from the Indian
tion of convective activity over the tropical
Ocean to the western Pacific Ocean
western Pacific, J. Meteor. Soc. Japan, 72,
during a 30–60 day oscillation, Mon.
627–641, 1994.
Wea. Rev., 118, 964–978, 1990.
10. Nitta, Ts., Mizuno, T., and Takahashi, K.: Multi-scale convective systems during the initial phase of the 1986/1987 El Ni˜no, J. Meteor. Soc. Japan, 70, 447– 466, 1992. 11. Redelsperger, J.-L, Parsons, D. B., and Guichard, F.: Recovery processes and
Tri Handoko Seto, lahir di Banyuwangi pada tahun 1971. Menyelesaikan S1 di jurusan Fisika Universitas Brawijaya dan melanjutkan pendidikan S2 serta S3 di Kyoto University. Bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak tahun 1997, dan menjabat sebagai Ketua Kelompok Fisika Awan sejak 2010. Vol.1 Nomor 1
Clouds 27
TAHUKAH ANDA... Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Sejarah Manusia
A
dakah hubungan antara perubahan iklim dengan peristiwa-peristiwa bersejarah? Para ahli berusaha mencari jawabannya. Kemunduran kerajaan atau kekaisaran masa lalu seringkali dikaitkan dengan ketidakcakapan pemimpinnya atau serangan dari lawan. Namun, ada penelitian yang mencoba mencari hubungan antara perubahan iklim dengan berbagai peristiwa dalam sejarah. Ternyata ada beberapa peristiwa besar yang bertepatan dengan perubahan cuaca dan iklim. Sebuah studi meneliti perubahan iklim musim panas di Eropa selama ribuan tahun dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi selama periode tersebut. Studi itu menghasilkan gambaran rinci tentang hubungan variabilitas iklim masa lalu dan perubahan dalam sejarah manusia. Penelitian yang dipimpin oleh Willy Tegel (university of Freidburg) dan rekannya, ahli paleoklimatologi dari Swiss Federal Research Institute WSL, Ulf Buntgen, berkolaborasi dengan para arkeolog untuk membuat pusat data yang terdiri dari 9000-an potongan kayu dari 2500 tahun yang lalu. Sampel ini berasal dari pohon hidup, sisa bangunan, dan artefak kayu lainnya. Semua sampel 28
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
berasal dari Jerman, Perancis, Italia dan Austria. Hasil studi mereka ini diterbitkan dalam versi online Jurnal Science pada 13 Januari 2011 lalu. Dengan mengukur luas cincin pertumbuhan tahunan kayu, para peneliti dapat menentukan suhu dan curah hujan tiap tahun. Untuk mendapatkan suhu tahunan, para peneliti mengukur lingkaran-lingkaran dalam kayu dari pohon konifera yang tumbuh lebih cepat saat musim panas dan lebih lambat saat musim dingin datang. Untuk memperoleh tingkat curah hujan, para peneliti melihat lebar lingkaran di pohon oak yang tumbuh lebih cepat saat curah hujan tinggi. Mereka juga menggunakan metode lain untuk memastikan tahun-tahun yang diwakili lingkaranlingkaran itu. Hasilnya, analisis menunjukkan perubahan iklim yang kita alami sekarang, belum pernah terjadi dalam 2500 tahun terakhir. Karena data menghubungkan pola cuaca dengan tahun tertentu, para peneliti juga dapat memastikan cuaca dalam momen tertentu dalam sejarah. Data menunjukkan iklim mempengaruhi budaya dengan cara yang dramatis. Contohnya pergeseran tidak biasa pola cuaca yang ekstrem antara ta-
TAHUKAH ANDA... hun 250 hingga 550, bertepatan dengan periode pergolakan politik dan ekonomi di Eropa. Saat pola cuaca kembali stabil pada sekitar tahun 700 sampai 1000, masyarakat kembali berkembang di pinggiran barat laut Eropa. Pada sekitar tahun yang sama, koloni Nordik berkembang di Islandia dan Greenland. Iklim juga diduga memiliki peran
dalam epidemi Black Death yang menewaskan setengah populasi Eropa pada tahun 1347. Selama puluhan tahun menjelang wabah ini, penelitian menunjukkan terjadi musim panas yang basah dan cuaca dingin. Kondisi ini kemungkinan menyebabkan meluasnya kelaparan dan tingkat kesehatan yang memburuk, sehingga orangorang mudah terjangkit wabah. Cuaca basah yang berkepanjangan hingga 300 tahun yang mendorong penyebaran wabah pes
pada abad pertengahan, bertepatan dengan kemerosotan Kekaisaran Romawi. Contoh lainnya ada cuaca dingin pada awal abad ke-17 yang bertepatan dengan Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Pada masa ini banyak orang meninggalkan Eropa dan bermigrasi ke Amerika. Mereka pergi bukan karena ada perang, tapi karena cuaca dingin. Namun Buntgen menegaskan, penemuan korelasi ini tidak serta merta membuat perubahan iklim menjadi penyebab utama sejumlah peristiwa bersejarah. Dengan melihat masa lalu, penelitian ini dapat membantu masyarakat mem-
persiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa mendatang. “Kita perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang sistem iklim masa lalu dan keberagamannya untuk memahami situasi saat ini”, ujar Buntgen. Vol.1 Nomor 1
Clouds 29
Tahukah Anda... Dalam jurnal “Proceedings of The Royal Society, series B: Biological Sciences” pada 13 Juli 2011 menerbitkan sebuah artikel penelitian yang berjudul “Periodic climate cooling enhanced natural disasters and wars in China during AD 10 - 1900” yang menyebutkan bahwa selama periode 10 - 1900 masehi, bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim secara periodik telah mengakibatkan pergantian dinasti China, di antaranya kehancuran dan keruntuhan dinasti Han, Tang, Song utara, Song selatan, Ming, dan lain-lain. Artikel ini juga menyebutkan, baik serangan dari luar maupun kekacauan dari dalam sama sekali bukan disebabkan oleh faktor yang dikenal sebelumnya, seperti feodalisme, perseteruan kasta, ataupun tidak becusnya suatu dinasti, melainkan diakibatkan oleh iklim yang dingin. Penelitian ini menggunakan metode analisis matematika, analisis wavelet, dan analisis statistik secara detail terhadap suhu udara, bencana alam, harga beras, wabah penyakit, wabah belalang, dan data peperangan sejak 10 - 1900 masehi yang diperoleh dari inti es, lingkar tahun pada pohon, endapan di dasar danau, serta catatan sejarah. Menurut pemahaman, setiap 2 derajat menurunnya suhu udara, masa tumbuhnya rerumputan akan 30
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
berkurang 40 hari, yang dapat mengakibatkan pengaruh sangat buruk di padang rumput, terutama menyebabkan krisis pakan ternak. Krisis ini berefek langsung terhadap produksi hewan ternak, sehingga suku pengembara yang tinggal di daerah utara China yang relatif lebih mudah terkena dampak langsung perubahan iklim dingin ini terpaksa harus mengungsi ke selatan. Selama periode musim dingin sepanjang sejarah kuno Tiongkok, tercatat perpindahan suku pengembara dari utara dalam skala besar. Tercatat juga dalam sejarah China bahwa musim kemarau yang berkepanjangan akibat perubahan iklim menyebabkan terjadinya wabah belalang sehingga menimbulkan krisis pangan akibat rusaknya tanaman padi. Artikel lainnya yang berjudul “Global climate change, war and population decline in recent human history” juga membahas hal serupa selama periode 1400-1900 atau yang lebih dikenal dengan nama jaman es kecil. Jaman es kecil adalah periode pendinginan yang terjadi setelah periode hangat abad pertengahan. Perubahan iklim pada periode ini ditenggarai sebagai pemicu munculnya ekspansi dan ekspedisi pelayaran bangsa Eropa ke seluruh penjuru dunia terutama ke daerah-daerah tropis yang kaya akan rempah-rempah. (dh)
RUBRIK MANAJEMEN Toxic Employee (Seri-1)
R
ubrik Manajemen majalah Clouds edisi perdana ini akan coba diisi dengan topik manajemen sumber daya manusia dan organisasi, mengingat pentingnya peranan SDM di dalam suatu organisasi. Artikel ini disarikan dari beberapa situs dan buku manajemen pengembangan SDM dan Organisasi, khususnya banyak disarikan dari buku karangan Anthony Dio Martin, seorang The Best EQ Trainer di Indonesia, yang berjudul “ Toxic Employee”. Karena terbatasnya jumlah halaman di majalah Clouds ini maka bahasan mengenai toxic employee dibagi menjadi beberapa seri yang tiap serinya akan terbit pada edisi Clouds berikutnya. Toxic Employee? Robert Payne, ahli sejarah serta penulis biografi terkemuka mengatakan, “The small Hitlers are around us every day” (Hitler-hitler kecil berada di sekitar kita setiap hari). Rasanya, ini tidak mengada-ada, Anda pasti setuju kalau di sekitar kita memang selalu ada orang yang perlu kita waspadai karena pikiran dan sikap mereka amat merusak. Namun menariknya, mereka sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa pikiran dan sikap mereka bisa merugikan bagi
orang lain. Hal ini betul-betul mirip seperti yang terjadi pada Hitler yang sebenarnya. Sejarah mencatat Adolf Hitler memang telah menumpahkan darah banyak orang tetapi dia sendiri tidak pernah melakukannya secara langsung. Dalam buku “The Life and Death of Adolf Hitler” dikatakan bahwa Hitler telah menyebabkan hidup jutaan orang menjadi gila maupun masuk camp konsentrasi. Tetapi, saat dia melewati tempat yang dia hancurkan, tirai jendela mobilnya selalu ditutup agar tidak menyaksikan kerusakan yang dia timbulkan. Namun dalam tulisannya kepada Eva Braun, Hitler tetap saja mengatakan “…Selama tiga dekade, hanya kasih dan kecintaan kepada orang-orang saya yang telah menuntun pikiran, tindakan serta hidup saya selama ini. Merekalah yang sebenarnya memberi kekuatan bagi saya untuk segera mengambil keputusan-keputusan yang sulit. Saya sendiri tidak mau terjadi kekacauan dan perang bagi Jerman di tahun 1939..”. Adolf Hitler yang sesungguhnya telah lama meninggal, tetapi kenyataan menunjukkan sifat-sifat yang sama masih sering kita temukan di sekitar kita. Sifat dari manusia peVol.1 Nomor 1
Clouds 31
RUBRIK MANAJEMEN muja diri, yang merasa dirinya melakukan kebaikan, tetapi pada saat yang sama juga menghancurkan orang lain atau organisasi di mana dia hidup, termasuk tempat kerjanya. Asal Mula Toxic Employee Asal usul toxic employee ini dari bidang psikologi dijelaskan dalam beberapa teori, yaitu teori nature, nurture, dan teori lainnya. Teori pertama, teori nature mengatakan bahwa ‘kebiasaan buruk’ toxic employee ini adalah bagian dari karakter yang sudah terbentuk sejak kecil. Sikapnya yang negatif dan meracuni sekelilingnya merupakan bagian dari kepribadiannya. Dengan kata lain, dalam DNA-nya sudah terdapat benih-benih toxic. Teori kedua, teori nurture mengatakan bahwa toxic employee terbentuk dari lingkungannya. Mulanya ia adalah karyawan yang baik dan positif, namun sejak ia banyak disakiti dan janji kepadanya tidak dipenuhi, ia mulai menjadi toxic. Teori ketiga, teori ember kosong. Teori ini diambil dari konsep psikologi positif yang dicetuskan Donald Cliffton. Pada prinsipnya teori ini mengatakan bahwa biasanya mereka-meraka ini adalah orang yang pahit dan punya pengalaman buruk sehingga output-nya pun jadi negatif. 32
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
Hampir mirip dengan teori nurture, hanya saja berdasarkan konsep ini, mereka mempunya ‘Rekening emosi pribadi’ yang kosong karena seumur hidupnya penuh dengan segala hal yang negatif. Hidupnya banyak diliputi mentalitas kekurangan, yang membuatnya sulit membagikan hal yang positif bagi orang lain dan cenderung ‘menghisap’ orang lain untuk keuntungan pribadinya. Teori keempat, mengatakan asal muasal toxic employee adalah dari kondisi yang mendapatkan penguatan (reinforcement). Dengan perilaku mereka, justru mereka mendapatkan tempat dan perhatian. Itulah sebabnya mereka mempertahankan sikap toxic mereka. Apalagi, jika sikap mereka bisa membuat mereka dipromosikan. Toxic Employee, Musuh Organisasi Berikut ini 7 ciri-ciri atau kriteria si toxic employee: Ciri pertama dari toxic employee adalah cenderung untuk selalu berpikir negatif (negaholic) dan pesimis. Bila ditanya pendapatnya terhadap sebuah ide baru, mereka akan selalu bersikap negatif. Mereka akan mengeluarkan berbagai alasan kenapa suatu ide atau gagasan itu tidak mungkin dijalankan. Mereka selalu menemukan masalah atau
Rubrik Manajemen kendala di balik ide-ide cerdas. Ini bertolak belakang dengan pengalaman orang-orang sukses yang justru menemukan ide-ide kreatif di balik masalah. Kalaupun tidak di depan Anda, mereka sering kasak-kusuk di belakang dengan mengatakan ideide baru itu sudah pernah dilakukan orang lain atau tidak bakal bisa diaplikasikan. Mereka belum mencoba, tetapi sudah berpikir negatif lebih dulu. Ciri kedua dari toxic employee adalah mereka menjadi duri dalam daging bagi tim. Akibatnya, energi tim lebih banyak dihabiskan untuk mengurusi mereka daripada memikirkan dan melaksanakan ide sebuah proyek. Pikiran, sikap, dan tindaktanduk mereka menyita banyak perhatian dan energi tim. Orang-orang tidak fokus lagi untuk memajukan proyek dan justru kehabisan energi untuk meladeni pikiran dan kritikan dari si toxic employee. Intinya, toxic employee mengurangi laju perkembangan kerja tim. Ciri ketiga dari toxic employee adalah mereka lebih banyak menjadi ‘masalah’ ketimbang memberikan ‘solusi’. Kadangkala mereka sangat kritis dan jeli dalam melihat permasalahan. Tetapi ujung-ujungnya mereka tidak akan bergerak dari masalah. Umumnya mereka senang melemparkan masalah dan mening-
galkan tim dalam kondisi bingung. Setelah itu, mereka hengkang tanpa meninggalkan solusi apapun. Ciri keempat dari toxic employee adalah egosentris (self centered). Dalam berbagai situasi, mereka bisa tampak melontarkan ide cemerlang yang bertujuan demi kepentingan banyak orang dan perusahaan. Tapi ujung-ujungnya hanyalah kepentingan sendiri yang ia pikirkan. Pernah ada seorang karyawan toxic yang menjadi pentolan serikat buruh perusahaan. Bersama dengan kawannya, mereka menuntut perusahaan mereka yang suka meminta lembur. Pembelaan yang mereka bawa yaitu, karyawan perlu lebih banyak waktu untuk keluarga. Ide ini nampaknya cukup humanis dan etis. Tetapi tanpa sepengetahuan teman dan perusahaannya, ia punya kepentingan lain. Ia tidak ingin terlambat untuk mengurusi klinik kesehatan yang dibangun oleh istrinya. Jadi, ia ingin pulang ontime agar bisa mengurus kliniknya. Di sisi lain, ia tergolong cukup egois dalam kerja. Kalau pekerjaannya selesai, ya sudah. Ia tidak peduli mengenai kualitas hasil kerjanya. Ciri kelima dari toxic employee adalah emosional. Hal menjengkelkan dari toxic employee adalah temperamennya yang emosional. Bila ditegur atau dikritik, mereka bisa menjadi sangat sensitif dan defensif. Kritik Vol.1 Nomor 1
Clouds 33
Rubrik Manajemen dinilai sebagai serangan pada dirinya. “Ah, paling-paling yang bilang begitu, ngga suka dan sentimen atau iri dengan saya”, itulah pikirannya dalam hati. Akibatnya, orang-orang ini menjadi sulit me-nerima masukan dan feedback dari orang lain. Ciri keenam dari toxic employee adalah suka menyebar gosip dan berita negatif. Gosip yang mereka lontarkan mampu mempengaruhi semangat dan budaya kerja. Akibatnya, aroma kecurigaan menguat di dalam tim. Orang menjadi mudah berprasangka negatif. Dalam situasi macam ini, justru dialah yang sering dijadikan tempat curhat. Inilah momentum baginya untuk menyebarkan virus-virus pikiran negatif dan kecurigaan kepada semakin banyak orang. Ciri ketujuh dari toxic employee adalah ia tidak pernah bersyukur. Saat mendapatkan hal-hal baik, orang-orang macam ini tidak mampu mengungkapkan rasa syukur. Mereka berdalih perusahaan/organisasi memang sudah sepantasnya berlaku seperti itu. Tidak ada sedikitpun rasa terima kasih pada perusahaan atas hal-hal baik yang sudah diterimanya. Mereka suka mengeluh dan mencari sisi-sisi negatifnya, daripada melihat sisi positifnya. Nah untuk membahas satu persatu ciri-ciri toxic employee ini dan 34
Clouds
Vol. 1 Nomor 1
cara menanganinya akan dilanjutkan pada edisi Clouds berikutnya. (dh) Referensi: 1. http://www.corporateheights.com/ core-characteristics-toxic-employee/ 2. http://www.smallbusinessmoney. org/toxic-employees.html 3. Anthony Dio Martin, Toxic employee, HR Excellency, Jakarta, 2009. 4. http://www.cartoonstock.com/ directory/s/suit_up_and_show_ up.asp 5. http://www.entrepreneurmag. co.za/advice/ staff/labour-com-
KARIKATUR FA
Vol.1 Nomor 1
Clouds 35
36
Clouds
Vol. 1 Nomor 1