@Surat Pembaca Mengapa Biaya Sekolah Islam Mahal? Salam kenal, menarik membaca Pranala tentang perumahan muslim. Tema ini seakan menjadi pelengkap fenomena Islamisasi di berbagai bidang. Di bidang pendidikan salah satunya. Sekolah Islam Terpadu menjadi ikon pendidikan yang berkualitas sekaligus “mahal”. Tentu biaya yang mahal akan mempersulit akses bagi yang tidak mampu. Hingga yang bisa masuk adalah mereka yang berduit, sedangkan yang miskin dilarang masuk! Saya rasa akan menarik jika ada laporan tentang biaya di sekolah-sekolah Islam menjadi mahal. Semoga bisa diliput oleh Pranala. Triyanto, Mantrijeron
"Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1436H Mohon Maaf Lahir dan Batin"
Sejarah Mulai Terkuak Pranala membuka wawasan tentang fakta sejarah yang selama ini tak terungkap. Membuka sisi lain sejarah bangsa yang selama ini sudah pakem di dunia pendidikan nasional. Meski tidak sampai tuntas membacanya, edisi pertama majalah Pranala cukup bagus. Saya jadi semakin yakin bahwa ada fakta sejarah yang dibelokkan. Semoga masih ada sepercik harapan akan terbukanya tabir kelam masa lalu. Maju terus untuk Pranala! Ummu Annisa, Bantul
Daftar Isi 2 EDITORIAL
Sulitnya Memutuskan Identitas
4 LAPORAN UTAMA Kampung Seribu Takjil
9 LAPORAN UTAMA
Suatu Hari di Jogokaryan
15 LAPORAN UTAMA
Wajah Ramadhan di Griya Pitu
18 WAWANCARA
Dr, Fathurrahman, S.A.,M.si.
24 TOKOH
Dr. Gregorius Sri Nurhartanto, S.H. LL.M., Toleransi Sang Rektor
30 TAGAR
Puasa Mendunia
32 RESENSI
Kebebasan Berkeyakinan dan Masa Depan Islam
35 PERSPEKTIF
Agama, Toleransi dan Bayang-bayang Absolutisme
―Tim Majalah Pranala
Editorial
SULITNYA MEMUTUSKAN IDENTITAS Oleh: Puguh Windrawan
Perang selalu melahirkan kepedihan. Setidaknya inilah yang kemudian dirasakan oleh Amin Maalouf. Selepas perang saudara meletus di Lebanon pada tahun 1975, ia nekad mengungsi ke desa leluhurnya di pegunungan. Waktu itu, ia berprofesi sebagai seorang jurnalis. Tak ada jaminan dalam perang bahwa seorang jurnalis akan tahan peluru, atau tak di tembak aparat. Maka, mengungsi adalah salah satu cara yang menurutnya paling masuk akal. Tidak untuk menyerah dan lari dari gelanggang, tetapi dengan mengungsi, ia punya banyak kesempatan untuk berpikir.
M
aka, negara Perancis akhirnya membawa pria kelahiran Beirut pada 1949 itu ke kejayaan yang lain. Kejayaan yang kemudian membuka mata dunia bahwa seseorang asal Lebanon punya kepiawaian dalam menuliskan sesuatu. Dunia kepenulisan ia geluti secara serius. Sampai akhirnya, ia terkenal dan memperolah beberapa penghargaan. Salah satu kumpulan essay yang kemudian banyak mengandung kritikan sekaligus pujian, terkumpul dalam sebuah buku berjudul In the Name of Identity. Penulisan buku ini berdasarkan pengalamannya tentang peperangan di Lebanon, yang berkecamuk di depan matanya. Ia melihat 20 mayat bergelimpangan akibat
2
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
saling tembak. Saat itu juga, saat kejadian itu, ia sedang berada di gudang bawah tanah, bersama isterinya yang sedang hamil dan seorang anaknya yang masih kecil. Secara psikologis, hal ini sangat berpengaruh pada kehidupannya. “Ketegangan etnis bisa membuat siapa saja menjadi pembunuh,” kata Maalouf. Selusin pertanyaan menggurat di hatinya. Termasuk, mengapa orang bisa sampai melukai orang lain hanya gara-gara ia berbeda? Berbeda dalam hal keyakinan, berbeda etnis, bahkan termasuk berbeda mata pencaharian. Maalouf, bagaimanapun juga adalah penikmat dari berbagai pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang akhirnya coba untuk dijawabnya sendiri. Ia memulainya dari
sesuatu hal yang sepele, tentang identitas yang semula hanya berupa seperangkat KTP atau paspor. Sepele, tapi pada nantinya akan cukup emosional saya kira. Awalnya, ia rumuskan kegalauannya akan identitas yang selama ini ia kandut. Lahir di Lebanon dan punya karir di Perancis, membuat Maalouf bimbang. Orang manakah dia sebenarnya? Jelas tidak mungkin ia mengaku orang Lebanon saja, karena pada kenyataannya ia bekerja dan menjadi terkenal gara-gara ia mencari nafkah di negeri Eifell itu. Sementara, jika mengaku menjadi orang Perancis semata, maka ia kehilangan makna sejarahnya sendiri, karena bagimanapun ia lahir di Lebanon. Maalouf merasa tidak adil jika hanya mengakui salah satu negara saja sebagai tanah airnya. Identitas, baginya, selalu tersusun dalam kepingankepingan budaya dan saling menyatu. Saya mengibaratkan, ia seperti puzzle yang ditempelkan hingga membentuk sebuah gambar. Bisa jadi seseorang lahir dan besar di sebuah negara atau lingkungan tertentu. Akan tetapi, pertanyaannya, bagaimanakah dengan kepribadiannya dan pemikirannya? Maalouf mengatakan tidak mungkin kepribadian dan pemikirannya tunggal. Ia jamak. Maka, dalam hal ini ia ingin menyatakan bahwa identitas seseorang selalu terpengaruhi oleh apa yang ia temui dan apa yang ia rasakan. Bayangkan, tulis Maalouf, perbedaan seseorang yang hidup misalnya di Afghanistan dengan mereka yang hidup di Norwegia. Apalagi ditambah bahwa orang itu adalah wanita, tentu akan memperjelas perbedaan kaidah identitas itu. Memang mereka sama-sama wanita, akan tetapi lingkungan dan budaya membuat mereka
Pranala
menjadi berpikir berbeda. Wanita dengan kesehariannya hidup dengan budaya Eropa yang kental akan berbeda apabila dihadapkan dengan wanita yang terkungkung dalam ketidakjelasan politik seperti yang terjadi di Afghanistan. Jelas, identitasnya menjadi berlainan, meski mungkin status di kartu identitasnya sama: perempuan. Simak kata-kata Maalouf, yang bagi saya cukup menarik dan pantas untuk ditelisik dan dipikirkan secara mendalam. Ia tuliskan, bahwa “Seseorang sudah sejak awal bukanlah menjadi dirinya sendiri. Ia berkembang bukan atas kemauannya sendiri, akan tetapi oleh lingkungan yang itu diperolehnya secara bertahap. Proses berguru ini dimulai sejak dini pada masa kanak-kanak. Sengaja atau tidak, orang-orang di sekitar dia membentuknya, menempanya, menanamkan dalam dirinya kepercayaan, ritual, sikap, dan aturan-aturan keluarga yang bebarengan dengan bahasa aseli, cita-cita, prasangka, rasa dendam. Segera saja, di rumah, di sekolah, dan di jalan sebelah, ia akan menerima pukulan pertamanya. Dengan ucapan dan cara pandang mereka, orangorang lain akan membuatnya merasa dia itu miskin, atau pincang, cebol, ceking, hitam, putih semrawut dan kesemuanya itu akhirnya membentuk kepribadian seseorang.”
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Arifuddin, Budy Prasetyo | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email:
[email protected]
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
3
Laporan Utama
4
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
KAMPUNG SERIBU TAKJIL Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto: Gibbran Prathisara
Di Yogyakarta, muncul alternatif tempat wisata bernuansa religius. Hanya muncul di saat bulan suci Ramadhan. Namanya kampung Jogokariyan.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
5
Laporan Utama
S
iang hari, persis di depan teras halaman masjid Jogokariyan. Ting...ting...ting...bunyi ribuan piring yang dibersihkan seolah saling bersahutan. Piring-piring yang kemudian ditata rapi oleh sejumlah ibu-ibu yang memakai kerudung. Mereka terlihat begitu cekatan. Antusias dan tetap semangat, meski berada di bulan puasa. Sesekali mereka saling mengobrol dan bercanda. Tak jauh dari tempat mereka bekerja, terdapat spanduk yang tertulis: “Barang siapa yang menjamu orang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahalanya”. Bunyi kalimat itu adalah hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh HR Tirmidzi. Ribuan piring yang dibersihkan dan ditata rapi oleh sejumlah ibu-ibu itu punya maksud tertentu. Sengaja disiapkan untuk penyediaan seribu porsi takjil (makanan buka puasa-red) untuk semua orang. Tak peduli mereka warga kampung Jogokariyan, musafir yang sedang singgah, atau para mahasiswa yang ngabuburit ke wilayah itu. Semua mendapat hak yang sama. Bisa menikmati takjil yang tersedia. Semua bisa makan dan minum gratis di masjid Jogokariyan sebagai bagian dari nikmat dan berkah bulan Ramadhan. “Ini sedang menyiapkan seribu porsi (takjil),” ujar koordinor penyediaan takjil, Ismail Toha Putra, sambil menunjuk ibu-ibu yang sibuk membersihkan dan menata piring. Bahkan, kata Ismail, hari pertama puasa kemarin, seribu porsi takjil yang disediakan menjadi kurang. Saking banyaknya orang yang datang. “Seribu takjil hari pertama habis. Malah kurang,” lanjutnya sambil tertawa kecil. Mengantisipasi kurangnya porsi takjil tersebut, panitia menyiapkan seribu lebih porsi takjil di hari-hari berikutnya. Kelompok ibu-ibu di kampung Jogokariyan yang memasak dan menyiapkan semua makanan. Sementara dananya disubsidi dari masjid. “Terdapat 27 kelompok ibu-ibu. Dari masjid ngasih subsidi Rp. 3,5 juta per hari. Kalau kurang ditomboki (dibayar kekurangannya-red) sendiri oleh ibu-ibu,” terang Ismail.
6
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Rencana semua biaya yang dianggarkan untuk penyediaan berbuka puasa di masjid Jogokariyan tahun ini, kata Ismail, dibutuhkan biaya kurang lebih Rp. 154 juta. Biaya itu dipergunakan selama tiga puluh hari. Semua itu didapatkan dari sponsor dan ditambah infaq dari pedagang yang berjualan di sepanjang gang Jalan Jogokariyan. Ada yang unik dari perhelatan penyediaan buka puasa di masjid Jogokariyan ini. Dibandingkan dengan tempat lain, meski tersedia lebih dari seribu porsi, tempat makan tetap menggunakan piring. Bukan kotak kardus. Meski untuk menyediakan dan membersihkan piring tentunya butuh tenaga ekstra. Inilah salah satu yang membuat panitia terlihat lebih repot. Tiap kali bulan Ramadhan datang, kampung ini seolah memiliki hajatan besar. Semua kegiatannya terpusat di masjid Jogokariyan. Di depan masjid dipasang umbul-umbul warna-warni dan panggung acara. Tidak hanya ibu-ibu yang sibuk, laki-laki, baik generasi tua dan mudanya, yang menjadi panitia, juga terlihat sangat sibuk menyiapkan berbagai rangkaian kegiatan selama
"MESKI TERSEDIA LEBIH DARI SERIBU PORSI, TEMPAT MAKAN TETAP MENGGUNAKAN PIRING. BUKAN KOTAK KARDUS. MESKI UNTUK MENYEDIAKAN DAN MEMBERSIHKAN PIRING TENTUNYA BUTUH TENAGA EKSTRA."
Ramadhan sampai Idul Fitri tiba. Berbagai acara di masjid ini juga diberi nama-nama seperti menu-menu buka puasa. Ada Kolag, sebagai singkatan dari Kajian, Obrolan dan Lagu. Lalu ada acara Buka Puasa Bersama Anak Yatim yang disingkat sebagai Buryam. Ada pula Ramadhan Gerr dan lain sebagainya. Ini sudah menjadi menu kegiatan yang khas setiap bulan Ramadhan di masjid Jogokariyan, sekalipun berganti-ganti tema tiap tahunnya. Ramadhan kali ini, panitia memilih tema “Syiar Dakwah Nusantara”. Dengan menambah dan memperkenalkan beberapa menu acara baru, seperti Jogokariyan Dakwah
Club. Acara ini mengadopsi acara terkenal di televisi yang dipandu Karni Ilyas, Indonesia Lawyer Club. “Hampir sama, sih. Tapi tahun ini kita membuat Jogokariyan Dakwah Club,” kata salah seorang panitia kegiatan, Enggar Haryo. Acara ini secara khusus membahas kondisi keindonesiaan terkini dengan menghadirkan beberapa tokoh. Diantaranya adalah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas. Beberapa tokoh lain juga diundang, seperti Irfan S. Awwas, Cholid Mahmud dan M. Jazir. ***
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
7
Laporan Utama Menjelang sore, usai sholat Ashar, para pedagang mulai berdatangan dan sibuk menyiapkan barang dagangannya. Banyak macam ragamnya. Mulai dari berbagai jajanan pasar, berbagai macam minuman es dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan keagamaan memang dikemas secara menarik di masjid Jogokariyan, yang terletak di Jalan Parangtritis Km 2 itu. Selain itu, panitia memang mempersilahkan para pedagang untuk berjualan di sepanjang gang Jalan Jogokariyan. Syaratnya mendaftar dan meminta izin terlebih dahulu ke panitia untuk membuka lapak. Tidak dipungut biaya dalam proses pendaftaran dan perizinan itu. Semuanya gratis. “Yang jualan gratis. Enggak usah bayar. Kita data dan kelola. Ada sekitar 250 stand yang terdaftar,” terang Ismail. Menurutnya, yang tak terdaftar juga banyak. Seperti pedagang pakai motor yang tiba-tiba datang dan keluarmasuk untuk berjualan di tempat ini. Para pedagang yang membuka stand hanya dimintai infaq seikhlasnya tiap dua hari sekali. “Bayar seikhlasnya saja,” ujar Dodi, salah seorang pedagang, yang hari itu berjualan es cokelat kakao. Melihat banyaknya rangkaian kegiatan keagamaan yang dikemas secara menarik dan banyaknya lapak, membuat kampung Jogokariyan ini terkenal. Dijuluki sebagai tempat pariwisata alternatif bernuasa religius selama Ramadhan di Yogyakarta. Nuansa Ramadhan di Jogokariyan tidak hanya dinikmati oleh mereka yang muslim saja. Semua kalangan berhak menikmatinya, termasuk mereka yang non-muslim. Baik yang dari dalam negeri maupun yang datang dari manca negara. “Di sini kita menyediakan pasar sore, tentu saja yang datang membeli warga umum. Kita enggak mengkhususkan muslim,” papar Enggar, salah seorang penujual. Bahkan, kata Enggar, pernah sejumlah mahasiswa Jepang dan Amerika berkunjung untuk melihat kemeriahan kampung Ramadhan di Jogokariyan ini.
8
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Suatu Hari di Jogokariyan Oleh: Prayudha Maghriby | Foto: Gibbran Prathisara
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
9
Laporan Utama
Seorang lelaki tua berdiri di atas panggung. Tangannya memegang erat pengeras suara. “Assalamuallaikum warahmatulahiwabarokatu. Good afternoon boys and girls,” ucapnya dengan lantang. Dia mengulangi salam dalam bahasa Arab dan Inggris itu hingga tiga kali. Namun, jamaah di depannya tidak merespon dengan antusias. Mereka malah asyik ngobrol dengan sesama jama’ah. Itu wajar. Lelaki tua itu sedang memberikan tausiah pada balita-balita peserta TPA.
10
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
“Do you know the prophet Muhammad? Do you understand? Stand?” ujar lelaki itu mencoba kembali. Dan, sebagaimana lumrahnya anak-anak, mereka tetap tak begitu peduli. Mereka tetap asyik dengan obrolan anatar mereka dengan tema yang juga hanya mereka yang pahami. Suasana ceria itu ada di masjid Jogokariyan. Tepat di jalan depan masjid, sepanjang jalan Jogokaryan, orang tumpah-ruah. Mereka tengah asyik memilih menu berbuka hari itu. Semua menu tersedia. Penganan-penganan yang sulit ditemukan di hari biasa, seketika menjadi nyata di pasar ramadhan itu. Saya menjadi bagian dari kerumunan orang yang berburu menu berbuka sore itu. Di salah satu sisi jalan, saya penasaran dengan kerumunan mengitari sebuah gerobak. Sebagian besar kerumunan itu adalah anak-anak. Di atas gerobak itu tertulis “Ice Cream Pot”. Itu semakin membuat saya penasaran. Bentuk sajian itu memang hampir sama persis
pot bunga. Wadahnya dari bahan dengan warna persis pot tanah liat. Es krim berwarna pink menjadi dasar pot. Setelah itu, sereal berwarna coklat kehitaman dimasukan ke wadah. Di atas sereal ditumpuk dengan snack hitam yang dihancurkan. Wujudnya menyerupai tanah. Untuk menambah kesan alami, coklat kental memanjang ditempatkan di atas snack. Itu tampak persis seperti cacing. Pada proses terakhir, setangkai bunga matahari ditancapkan di atas es krim. Tapi karena terlalu antre, saya memutuskan untuk tidak membelinya. Pandangan saya tertumbuk pada lapak-lapak makanan. Ada pasangan suami isteri muda dengan anak mungilnya tampak berjualan pecel. Sang isteri dengan telaten meramu beraneka sayuran beserta sambal kacang. Sang suami duduk di sampingnya sembari menjaga balitanya. Tangannya penuh tato.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
11
Laporan Utama Dari pergelangan tangan hingga batas baju lengan pendek semua penuh dengan gambar entah apa. Namun demikian, ayah muda itu tetap tersenyum saat balitanya menariki rambutnya. Ketika si buah hati mencubit pipinya, ia membalasnya dengan ciuman penuh sayang. Keduanya lantas sama-sama tertawa ceria. Rupanya ada beberapa pria bertato hari itu. Sekelompok tepatnya. Mereka berjalan dari arah barat ke timur. Salah seorang bertato itu telinganya berlubang sekitar 2 cm. Istilahnya piercing. Saat dia mendahului saya, tampak tatonya hingga ke leher. Usinya mungkin 20-an. Saya terus mengamati gerombolan itu. Dan, di sebuah perempatan, salah satu dari mereka mendekat ke penjual bakso tusuk. Anggota kelompok ikut mendekat. Terjadi sedikit perbincangan. Hingga akhirnya sang penjual memberikan satu bungkus bakso tusuk. Pria bertato lantas tersenyum. Akhirnya, semua pria bertato itu ikut membelinya.
12
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
**** Saya melanjutkan perjalanan dan masih dengan tangan kosong. Di sebuah sisi jalan saya berhenti sejenak dan kembali mengamati sekitar. Terdengar lagu anak-anak. Judulnya Kodok Ngorek. Saya menoleh ke arah sumber suara. Rupanya ada odong-odong. Tampak dua anak kecil duduk di atasnya sembari tertawa-tawa. Di belakangnya ada lelaki tua mengayuh odong-odong. “Setiap hari ke sini, pak?” tanya saya. Dia tersenyum. Sejenak dia menatap ujung kaki hingga kepala saya. “Nggih, mas. Tiap hari,” jawabnya sembari tersenyum lebar. Namanya Suwandi. Dia sudah sekian tahun merantau dari kampung halamannya, Purwodadi. Pria 62 tahun itu hampir tiap hari datang ke arena pasar Ramadhan Jogokaryan. Pendapatannya naik di tempat ini. Selain itu, ia tak harus berkeliling dari kampung ke kampung untuk mencari pelanggan. Masjid Jogokariyan juga sengaja menyediakan hidangan berbuka bagi para penjual. Sejenak ngobrol dengan Suwandi, saya kembali berjalan menyusuri pasar. Ada wanita berhijab berjalan berlawanan arah dengan saya. Dia memakai kostum unik. Ada semacam papan pengumuman yang menempel di badannya. Tulisannya, “Pinjaman berbunga ringan”. Tampak ada logo salah satu bank di papan pengumuman itu. Rupanya, wanita itu adalah marketing yang tengah mempromosikan produk dari salah satu bank syariah. Setelah wanita itu berlalu, mata saya tertuju pada tiga orang pemuda yang tampak melahap tempura persis di depan penjualnya. Saya sedikit heran. Ini karena waktu berbuka masih setengah jam lagi. Saya pun sengaja mendekat ke arah mereka. Saya mempersiapkan pertanyaan yang sebaik mungkin agar mereka tetap nyaman. “Mas, mohon maaf mengganggu sebentar. Saya sedang melakukan penelitian,” kata saya. Dia mempersilahkan saya untuk sedikit bertanya. Nama pemuda di depan saya ini Bagus. Usianya 28 tahun. “Saya dari Bali. Saya Hindu, mas,” jawabnya. Dia bekerja di salah satu perusahaan di Yogyakarta. Kebetulan adik-adiknya datang ke Yogyakarta untuk berlibur. Mereka menginap di salah satu hotel di Jalan Jogokariyan. Tertarik dengan menu-menu di pasar
Ramadhan, ia mengajak serta adik-adiknya untuk berbelanja. Yang paling unik dari pasar ini menurutnya adalah menu-menu khas nusantara. Sulit untuk menemukannya di tempat lain. Wilayah sekitar Jogokariyan, selain dekat dengan kompleks pondok pesantren, juga banyak berdiri hotel-hotel besar. Beberapa hotel merupakan langganan wisatawan mancanegara. Tak heran jika para “bule” juga tampak menyusuri pasar Ramadhan ini. Mereka tampak antusias untuk mencicipi hidangan yang ada. **** Waktu berbuka semakin dekat. Tangan saya masih kosong tanpa penganan apapun. Saya berbalik arah. Ada pemandangan unik di salah satu penjual jajanan pasar. Seorang suster tampak tengah memilih penganan. Di sampingnya ada remaja putri mengenakan jaket “Manchester United”. Rambut remaja itu yang kriting dikepang dua. Tampaknya dia dari Papua.
Melihat pemandangan itu saya langsung mengelurkan kamera dan memotret mereka. Saya menunggu mereka selesai sembari menyiapkan kertas dan pena. “Ini informasi mahal,” kata saya dalam hati. Setelah mereka tampak akan meninggalkan lapak, saya langsung mendekat. Saya memohon izin untuk melakukan sedikit wawancara. “Maaf saya terburu-buru,” jawab suster itu sembari menaiki sepeda motor. Saya kemudian memperkenalkan diri, namun mereka tampak memang sangat terburu-buru. Saya hanya bisa memandangi suster dan remaja Papua itu pergi dengan motor mereka. Saya juga mulai sadar jika belum ada penganan satupun di tangan. Saya berjalan kembali. Tampak semua pengunjung membawa tas kresek berisi penganan masing-masing. Saya masukan kembali kamera, kertas, dan pena ke dalam tas. Ketika waktu berbuka semakin dekat, ada beberpa
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
13
Laporan Utama
wanita berpakaian cukup ketat menawar-nawarkan bungkusan-bungkusan kecil. Mereka dari dealer sepeda motor. Memang ada beberapa produsen membuka stand pameran di pasar Ramadhan Jogokariyan. Saya pun mendekat. Salah satu wanita itu menatap saya. “Mas, mau tajil gratis?” katanya. Tanpa pikir panjang, saya langsung menerimanya. “Terimakasih banyak, mbak,” kata saya. Setelah berjalan sekian langkah, adzan kemudian berkumandang. Saya pun berbuka dengan penganan gratis di salah satu emperan toko. Sembari lesehan di lantai tak bertikar, saya menikmati agar-agar, kacang telor, dan sepotong roti serta aqua gelas.
14
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Wajah Ramadhan di Griya Pitu Oleh: Kamil Alfi Arifin | Foto: Gibbran Prathisara
Sejumlah tempat kos di Yogyakarta ditinggali oleh para mahasiswa yang berbeda-beda agama. Bagaimana situasinya?
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
15
Laporan Utama
D
ari kejauhan, rumah yang cukup besar dan berpagar tinggi itu tak seperti tempat hunian bagi mahasiswa. Halamannya luas, rindang, teduh karena banyak tanaman dan bunga-bunga. Ternyata, selain ditinggali sendiri oleh yang punya, rumah itu juga disewakan dan dijadikan tempat kos untuk mahasiswa. Di dalamnya terdapat dua belas kamar. Sepuluh kamar di antaranya, ditempati oleh sejumlah mahasiswa, baik yang sedang menempuh studi sarjana maupun pasca sarjana dalam berbagai jurusan. Diantaranya da yang sedang menimbal ilmu di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kos ini bernama Griya Pitu. Terletak di Gang Mulia VI, Jalan Timor-timur, Plemburan, Yogyakarta. Seperti sejumlah tempat kos-kosan lain di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota yang majemuk dan plural, kos Griya Pitu ini juga ditinggali oleh para mahasiswa yang berbeda latar belakang agama, etnis dan suku. Kadek Ari, merupakan salah seorang mahasiswa yang tinggal di kos ini. Dari namanya, mudah ditebak jika dia berasal dari Bali. Dia beragama Hindu. Di kos ini, lelaki yang kini sedang berusaha menyelesaikan tesisnya di jurusan Komunikasi UGM itu, tinggal bersama teman-temannya yang Muslim dan Nasrani. “Di sini empat orang Hindu, satu orang Nasrani dan lima Muslim,” ujar Kadek saat ditemui di kosnya. Sementara beberapa kamar sisanya yang lain kosong. Belum ada yang menempati. Di saat-saat bulan puasa Ramadhan seperti saat ini, Kadek merasakan denyut toleransi hidup dengan orang lain yang berbeda. Dia belajar menghargai teman-teman Muslimnya yang berpuasa. Tak hanya berhenti belajar toleransi dari buku-buku semata, seperti belakangan ini banyak dia baca karena topik tesisnya terkait dengan pola komunikasi antara umat Hindu dan Muslim di sebuah kampung di Bali. Bulan puasa, kata Kadek dengan nada bercanda, mempengaruhi waktu jam makannya. Sebab dia kerap ikut berbuka puasa dan sahur bersama. “Pola makan tetap, sih. Tapi sahur ikut mereka. Buka puasa juga ikut mereka,” ujar Kadek sembari melempar senyum. Para mahasiswa yang tinggal di Griya Pitu ini memang sering berbuka puasa bersama. Mereka yang beragama Hindu dan Nasrani menemani teman-temannya
16
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
yang Muslim berbuka puasa. Buka puasa bersamanya pun, kata Kadek, kerap dilakukan di ruang tamu kos. Meski sesekali mereka ngabuburit di luar. “Buka puasa di sini. Buka bareng. Ibu kos sering ngasih takjil. Mereka buka, kami temenin,” lanjut Kadek. Saat hendak makan siang atau mau merokok, dia berusaha diam-diam dan sembunyi dari depan teman-teman Muslimnya. “Diusahakan lebih sepi lah makannya,” ujarnya. Sementara di waktu sahur, meskipun dalam keadaan cuaca yang dingin, Kadek juga kerap menemani temantemannya yang Muslim cari makan sahur di luar. Jika dia bangun duluan atau kebetulan sedang begadang, Kadek membangunkan sahur teman-temannya yang muslim.
"POTRET TOLERANSI YANG HIDUP DI TEMPAT-TEMPAT KOS DI YOGYAKARTA, TERUTAMA SELAMA RAMADHAN, TAK BANYAK DISOROT OLEH MEDIA. SELAMA INI KOS-KOS DI YOGYAKARTA CENDERUNG DINILAI NEGATIF DAN MIRING OLEH BANYAK ORANG."
“Sahur...sahur... cak,” dia mencontohkan bagaimana dia membangunkan salah seorang teman Muslimnya yang berasal dari Jawa Timur, yang kamar kosnya berada tepat di depan kamarnya. Kadek seorang Hindu yang taat. Di kamar kosnya terdapat pelangkiran berwarna kuning dan bercorak, yang diletakkan di atas meja laptopnya. Pelangkiran dalam agama Hindu merupakan media sembahyang yang di dalamnya diisi kembang dan dupa. Di samping Pelangkiran tersebut, Kadek juga memasang gambar dewa-dewi. Dia rajin bersembahyang. Meski tinggal di lingkungan kos yang masyarakatnya relatif islami dan banyak mesjid di sekitarnya, dia tak merasa terganggu dengan suara-suara speaker orangorang Muslim mengaji saat bulan puasa tiba. “Biasa saja, menurut saya enak kadang dengernya,” terang lelaki yang mengaku senang belajar hal-hal baru itu. Tak hanya dia seorang yang berusaha toleran dan menghargai teman-teman Muslimnya yang berpuasa
di bulan Ramadhan. Saat giliran Hari Nyepi tiba, kata dia, teman-teman Muslim dan Nasraninya di kos ini juga menunjukkan sikap yang penuh pengertian. “Pas lagi nyepi, teman-teman juga mengkondisikan juga. Teman-teman enggak terlalu ribut kayak biasanya,” katanya. Salah seorang teman Muslimnya yang tinggal di kos ini, bernama Ahmad, juga kerap menemani Kadek bersembahyang di Vihara. Potret toleransi yang hidup di tempat-tempat kos di Yogyakarta, terutama selama Ramadhan, tak banyak disorot oleh media. Selama ini kos-kos di Yogyakarta cenderung dinilai negatif dan miring oleh banyak orang. Kos hanya tempat kenakalan anak-anak muda. Padahal, di tengah-tengah banyaknya sikap intoleran yang mencuat dan terjadi di banyak ruang di Yogyakarta, kos bisa jadi adalah pengecualian. Tempat-tempat kos kadang justru menjadi bagian dari toleransi yang layak diperhatikan, seperti di Griya Pitu ini.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
17
Wawancara
Dr. Fathurrahman, S.Ag., M.Si.
Ka.prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah & Hukum UIN Yogyakarta Aktif di PW. NU Yogyakarta. Wawancara Oleh: Kelik Sugiarto | Foto Oleh: Gibbran Prathisara 18
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Bentuk-bentuk toleransi seperti apa yang bisa dibangun antara muslim dengan non muslim selama ramadhan ? Pada dasarnya setiap agama memiliki keyakinanannya sendiri-sendiri. Dan keyakinan itu pada tingkatan personal bersifat eksklusive, karena ia meyakini apa yang menjadi ajaran2nya. Nah kemudian hal itu bisa menjadi problem ketika ajaran yang diyakini terlibat di ruang publik. Dimana di ruang publik itu banyak terdapat pemangku ajaran2 agama yang lain. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana antara kelompok pemangku agama yang satu dengan yang lain ini bisa membangun ruang untuk berinteraksi yang dinamis dan positif. Ada satu buku yang mengatakan bahwa setiap orang bisa sangat fanatik menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya, tapi ketika masuk ke ruang-ruang publik jangan sekali-kali merepresentasi agamanya. Karena pada saat tampil pada ruang publik dengan menonjolkan sisi keagamaannya maka pada saat yang bersamaan pihak yang lain juga akan menonjolkan sisi keagamaannya. Nah disini akan terjadi problem. Di dalam islam sendiri sebenarnya sudah ada konsep bagaimana satu orang dengan orang lain itu harus membangun sikap apresiasi. Nah apresiasi itu bentuknya bisa macam-macam. Semisal saya mengapresiasi non musilm karena prestasi yang di miliki. Masalah yang terjadi adalah ketika terdapat ruang interaksi maka yang ditonjolkan ya ajaran agamanya. Betul bahwa orang itu harus fanatik dan eksklusif terhadap ajarannya tapi kan itu harus berada di ranah privat. Jadi pada dasarnya toleransi dalam ruang publik itu adalah sebuah manifestasi dari ajaran atau nilai-nilai agama secara substansial dan bukan secara simbolik. Problemnya kemudian orang terlibat benturan karena masing2 orang hadir dengan egoisme. Pandangan keagamaan itu ketika masuk pada ruang publik harus di relatifisasi. Tapi bukan berarti tindakan relatifisasi itu dianggap sebagai menciptakan tindakan inferior terhadap ajaran agamanya. Artinya bahwa ajaran agama hanya baju dan saat baju itu dilepas maka masing2 akan berdiri sejajar sebagai manusia dan mempunyai hak yang sama di hadapan Tuhan.
"ORANG BANYAK YANG TIDAK FAHAM BAHWA TINDAKAN RELATIFISASI DI RUANG PUBLIK ITU DIANGGAP TIDAK SAJA MENGEBIRIKAN TAPI JUGA DIANGGAP SEBAGAI PENDANGKALAN AQIDAH."
Bagaimana dengan anggapan dari gerakan islam politik yang mengatakan sikap relatifisasi sebagai bentuk pengebirian ajaran Islam di ruang publik ? Orang banyak yang tidak faham bahwa tindakan relatifisasi di ruang publik itu dianggap tidak saja mengebirikan tapi juga dianggap sebagai pendangkalan aqidah. Padahal orang yang mendangkalkan aqidah adalah ketika ia tidak menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Kalau ada seorang muslim tapi kok dia tidak sholat berarti dia mengingkari ajarannya sendiri kan ? nah ketika masuk ke ruang publik maka substansi ajaran agama itu yang harus dimanifestasikan tanpa harus mengatakan “ini lho agama saya yang paling benar”. Orang yang mengatakan itu berarti masih terjebak pada klaim kebenaran. Menganggap dirinya yang paling benar. Nah ini sesungguhnya yang menjadi penyakit. Jadi orang yang melakukan sebuah tindakan relatifisasi ajaran agama dalam sebuah ruang publik itu bukan bentuk pengebirian atau pendangkalan aqidah. Karena pendangkalan aqidah terjadi ketika orang tidak melakukan ajaran agamanya baik di tingkatan ritual religius maupun konteks sosial.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
19
Wawancara Pada ruang-ruang publik tersebut bentuk tindakan seperti apa yang bisa dilakukan oleh kalangan non muslim dalam memberikan apresiasi pada saat ramadhan ini khususnya di Yogyakarta ? Saya ilustrasikan pertanyaan itu dengan sebuah cerita. Dulu ada seorang nasrani yang akan melakukan peribadatan. Lalu datang kepada Nabi dan berkata “ wahai Nabi saya akan melakukan peribadatan “ oleh Nabi kemudian dijawab “silahkan pakai itu masjid”. Artinya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi itu sebenarnya sedang memisahkan ini Masjid adalah bagi dia yang sedang sholat. Tapi kemudian menjadi gedung yang tidak berupa masjid yang selanjutnya direpresentasi sebagai tempat peribadatan nasrani ya tidak masalah. Cerita ini memberi sebuah inspirasi kepada kita bahwa ketika orang memberikan apresiasi kepada orang lain, sebagai contoh umat nasrani yang memberikan ta’jil buka puasa demikian juga sebaliknya umat islam memberikan apresiasi pada saat natal itu jangan dipahami bahwa makanan itu bagian dari ritus peribadatan yang titik sambungnya kepada Tuhan. Sebab kalau difahami seperti itu yang terjadi adalah monopoli bahwa kesejahteraan itu hanya milik orang islam dengan orang islam, antara nasrani dengan nasrani. Dan itu yang sebenarnya merusak inti dari nilai-nilai Islam. Maka ketika orang non muslim memberikan apresiasi dengan membagikan
"ALI SYARIATI MENGATAKAN FANATISME ITU PENTING TAPI PADA SAAT SEPERTI APA FANATISME ITU DIMUNCULKAN ? KALAU DI RUANG PUBLIK YA JANGAN. KARENA DIA AKAN MENJADI BENALU BAHKAN BISA MENJADI BUMERANG." 20
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
ta’jil buka puasa itu adalah bentuk kepedulian. Namun memang harus kita akui juga ada kelompok2 tertentu yang melakukan absolutisasi ajaran2 agama sampai pada ruang publik sehingga ketika ia berhadapan dengan kelompok2 yang berbeda pasti akan menjaga jarak. Dan tidak segan untuk memberikan label atau jargon2 takfiri. Nah di Yogyakarta ini saya rasa masih ada kelompok2 yang mencoba untuk terus membangun relasi antara satu umat beragama dengan dengan umat beragama yang lain tanpa lalu kemudian terjebak pada sebuah defisit kebenaran. Karena kalau orang sudah terjebak pada defisit kebenaran maka sesungguhnya ia sudah mempersonifikasi diri sebagai Tuhan dan itu adalah bentuk dari sebuah kesyirikan. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang syirik ? orang yang melakukan relatifisasi ajaran agama di ruang publik atau orang yang melakukan absolutisasi ajaran agama di ruang publik ? makanya harus ada garis demarkasi yang tegas di antara dua hal tersebut. Ali syariati mengatakan fanatisme itu penting tapi pada saat seperti apa fanatisme itu dimunculkan ? kalau di ruang publik ya jangan. Karena dia akan menjadi benalu bahkan bisa menjadi bumerang. Dan tindakan2 absolutisasi ajaran agama itu kalau tidak bisa membuka ruang dialog yang hanya akan menciptakan klaim kebenaran saja.
Di Yogyakarta banyak muncul pasar Ramadhan. Apakah kemunculan pasar2 itu bisa dijadikan media untuk saling bertoleransi antar pemeluk umat beragama ? Terkait pertanyaan tadi saya sebenarnya sedang mempersiapkan sebuah tulisan. Pada intinya saya membagi puasa itu menjadi tiga dimensi. Pertama adalah faith (kepercayaan). Dalam dimensi ini bagaimana orang berpuasa itu dijalankan penuh dengan kepercayaan, keimanan, “imanan wahtisaban” dan sebagai implementasinya adalah dengan melakukan sekian banyak ibadah baik wajib maupun sunnah. Kedua adalah food (makanan). Artinya adalah bahwa makanan ini menjadi sarana terciptanya ruang silaturahim antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, antara satu kasta dengan kasta yang lain, antara yang kaya dengan yang miskin. Bahkan kalau dalam sebuah kantor food ini bisa menjadi pola2 penyegaran hubungan antara satu penganut agama dengan penganut agama yang lain. Food ini bisa menjadi mediasi lunak untuk menjembatani antara satu orang dengan orang yang lain apapun latar belakangnya.
Maka apa yang dilakukan menteri agama dengan mempersilahkan warung untuk tetap buka sesungguhnya itu upaya dari membangun toleransi. Ketiga adalah fashion. Fashion ini menjadi perlambang untuk mensucikan diri. Kenapa orang memakai baju baru ? itu sebenarnya sebuah simbol saja antara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Dengan fashion ini orang ingin menunjukkan “ ya saya ingin memperbaharui sikap saya kepada anda” dan implementasinya adalah dengan cara saling bermaafmaafan. Hanya memang kalau orang tidak faham dengan makna dari fashion ini maka hanya akan dianggap sebagai tindakan vulgarisasi. Padahal ketika orang secara sadar atau tidak sadar berbelanja fashion ini sebenarnya dia mempunyai niat yang suci bahwa dengan harapan ketika ia menggunakan baju maka pada tingkatan dzahir sebenarnya ia ingin memperbaharui sikap. Dan ketika tingkatan dzahir ini diperbaharui maka akan terdapat ruang potensi untuk menunjukkan sesuatu yang lebih bersifat internal. Faith, food dan fashion ini bisa dijadikan modal untuk membangun kualitas ramadhan yang lebih baik.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
21
Wawancara Tapi soal food dan fashion ini alih-alih menjadi sarana toleransi dalam ruang publik, yang terjadi adalah terkooptasinya manifestasi ajaran2 agama oleh budaya konsumerisme. Food dan fashion ini menjadi lahan basah bagi pasar kapitalis. Bagaimana pendapat anda ? Dalam pandangan saya food pada saat ramadhan ini adalah media untuk membangun kohesi social. Pada saat buka bersama misalnya, makanan adalah media yang efektif untuk membangun hubungan yang setara antar masing-masing orang. Bahwa kemudian ada fakta lain yang muncul di kalangan masyarakat dimana orang kemudian berbondong-bondong mencari food ini, itu kan karena food ini dilokalisir untuk kepentingan individual saja. Andai food ini dilokalisir untuk kepentingan social maka food ini akan menjadi salah satu tindakan yang bias merekatkan hubungan yang satu dengan yang lain. Maka tindakan berlebih-lebihan itu ketika food ini dilokalisir untuk kepentingan pribadi saja. Dan memang ini yang menjadi problem. Pada tingkatan faith juga sama kalau hanya dilokalisir untuk kepentingan dirinya saja, tidak berkembang pada penguatan humanisasi, emansipatoris, liberasi maka ya akan kehilangan maknanya. Fashion juga sama. Kalau tidak difahami untuk menutup bopeng-bopeng pada dirinya, hanya melayani logika hedonisme saja maka ya akan tertinggal dengan sendirinya. Faith, food and fashion ini kalau hanya dilokalisir untuk kepentingan individual saja maka yang terjadi seperti dalam kerangkeng besi saja. Segala sesuatunya jadi serba seragam. Ramadhan ini kan juga punya makna “membakar”. Artinya membakar segala bentuk ke-egoisan dan seluruh energy negative dalam diri. Baik itu pada tingkatan faith, food maupun fashion sehingga yang muncul kemudian adalah energi positif berupa faith, meningkatkan kualitas keimanan sehingga bias berdampak secara social, sedangkan food menjadi sarana untuk membangun silaturahim. Dalam fashion juga sama. Kalau kita tidak bisa menempatkan fashion ini dengan baik ya kita akan menjadi individu2 yang tidak tahu diri.
22
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Bagaimana dengan aksi-aksi sweeping yang dilakukan kelompok2 tertentu kepada warung makan yang tetap buka di bulan ramadhan. Bukankah ini bentuk tindakan intoleransi kepada pihak lain ? Sampai saat ini saya kok tidak percaya bahwa tindakan sweeping yang dilakukan itu sebagai bagian dari “nahi munkar” dalam artian tindakan sweeping itu dilakukan untuk memelihara kesucian ramadahan. Makanya saya sangat apresiasi sekali kepada Kepolisian yang memberikan warning kepada siapapun yang bertindak sebagai pengamanan liar akan ditindak. Karena kalau kelompok2 ini mengalih fungsikan pengamanan yang secara institusional itu melekat pada diri kepolisian lalu kemudian di ambil alih hanya untuk mengatakan saya ingin melakukan nahi munkar dari sebuah ritual keagamaan saya tidak terlalu yakin. Yang selama ini terjadi saya melihat sebagai show of force dari kelompok tertentu kepada pihak lain untuk tidak melakukan tindakan macam-macam lah. Jadi ada tindakan seseorang yang kontroversial terhadap fenomena sosial yang dianggap
berbau maksiat. Lalu atas nama agama yang bersangkutan ingin melakukan tindakan tegas terhadap fenomena tersebut. Tapi sesungguhnya tindakan kontroversialnya itu terbelah. Artinya ketika ia mencoba untuk menegaskan tinddakan nahi munkar sesungguhnya ia melakukan kemunkaran yang baru. Dan sweeping2 yang terjadi dimana saja itu tidak berdiri sendiri dan motifnya bisa macam-macam. Bisa ekonomi bisa juga motif politik. Kalaupun ada motif agama paling hanya sekian persen saja. Untuk di katakan ada motif budaya ya tidak juga. Karena budaya kita di Indonesia ini kan tidak seperti di arab. Bhineka Tunggal Ika itu kan sangat meresap dalam setiap pribadi. semangat gotong royong juga luar biasa. Menjadi agak gegar itu kan karena disusupi ajaran2 dari luar kan. Baik itu separatisme ataupun terorisme. Negara kita kan dari dulu tidak pernah bergejolak. Bahwa ada letupan2 kecil iya. Tapi tidak sampai seperti yang terjadi di Timur Tengah. Indonesia ini kan Baldatun Thayyibatun Wa rabbun ghafur. Nah siapa kemudian yang menjadikan baldatun sayyiatun ? bisa jadi ini adalah ulah tangan2 tak nampak yang bermain di belakang layar.
"AGAMA ITU SANGAT POTENSIAL TERGANTUNG ORANG YANG MEMBAWANYA. DIJADIKAN SEBAGAI SARANA PEMERSATU BISA SANGAT LUAR BIASA. TAPI KALAU DIJADIKAN ALAT PERPECAHAN JUGA LUAR BIASA DAMPAKNYA." Agama pun kemudian menjadi salah satu bahasa yang paling bisa diterima. Karena agama bisa menyambungkan antara satu orang dengan orang yang lain yang latar belakangnya itu bisa berbeda-beda. Misalnya dari etnis jawa dengan sumatera itu dimasukki dengan agama itu bisa nyambung. Jadi agama itu sangat potensial tergantung orang yang membawanya. Dijadikan sebagai sarana pemersatu bisa sangat luar biasa. Tapi kalau dijadikan alat perpecahan juga luar biasa dampaknya.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
23
Tokoh
“Jangan cuma terus berdebat soal sila pertama. Kalau bisa dibalik. Kita bicara soal keadilan sosial terlebih dahulu,”
24
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
TOLERANSI
SANG REKTOR Oleh: Prayudha Maghriby Foto: Gibbran Prathisara
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
25
Tokoh
P
ukul 12.30, Jum’at, 26 Juni 2015, saya menghubungi sebuah nomor milik Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Nama lengkapnya Dr. Gregorius Sri Nurhartanto, S.H. LL.M. Ini kali pertama saya berkomunikasi dengannya. Dengan hati-hati saya tekan nomor demi nomor pribadinya. Sekian detik setelah saya melakukan panggilan, seseorang berbicara dengan nada sumringah.
26
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
“Selamat siang. Ini Pak Nur. Ada yang bisa saya bantu.” “Saya Yudha dari Pusham UII, Pak Nur,” jawab saya. Rupanya, sosok penting itu sangat ramah. Saya kemudian menjelaskan jika ingin mewawancarainya di akhir pekan ini. Sayang, dari malam Sabtu hingga Minggu malam ia ada acara di Bandung. Namun, dengan tanpa saya tawar, ia mempersilahkan saya
datang ke kantornya sore itu juga. Ia punya waktu sekitar satu jam untuk saya wawancarai. Saya sampai rektorat UAJY tepat pukul 14.30. Seorang staf rektorat menanyakan asal muasal saya. Setelah saya menjawab, ia langsung mengantar saya sekaligus membukakan pintu ruangan milik orang nomor satu di kampus itu. “Selamat siang, mas. Silahkan masuk. Silahkansilahkan,” ujar Nurhartanto sembari menjabat erat tangan saya. Dia segera mempersilahkan saya untuk duduk. Tampaknya, sofa kulit berwarna coklat yang ditata serupa huruf “U” itu tempat khusus untuk tamu. Setelah mengambil catatan, pena, dan alat rekam, saya langsung mengajaknya berbincang. Dia rupanya langsung hafal nama saya. Wawancara yang lebih tepatnya disebut obrolan santai itu segera mengalir begitu saja. Nurhartanto adalah seorang penganut Katolik yang memimpin sebuah kampus yayasan Katolik. Selain itu, ia juga menjadi anggota Forum Kerukunan Umat Beragama DIY (FKUB DIY). Tentunya, cukup menarik untuk membahas bagaimana ia menjalani aktivitasnya di bulan Ramadhan. **** Saat itu Nurhartanto masih menjadi Dekan di Fakultas Hukum UAJY. Seorang staf pengajar yang kebetulan seorang muslim datang menghadapnya. “Pak Nur, kalau misalnya saya pakai hijab kira-kira bagaimana, yah?” tanyanya. Dosen wanita itu baru saja menunaikan ibadah haji. Keragu-raguan itu wajar karena dia berada di dalam yayasan Katolik. “Kalau semisal ndak diizinkan tidak apa-apa kok, Pak Nur,” tambahnya. Mendengar pertanyaan koleganya, Nurhartanto segera memberikan izin. Padahal, kala itu masih jarang orang yang mengenakan hijab. Alasan Nurhartanto sederhana. Itu hanya pakaian dan wajib baginya untuk menghargai semua keyakinan. Keputusan tersebut sempat menjadi perbincangan hangat. Namun, Nurhatanto tetap menyakini jika itu bukan masalah. Nurhartanto juga mengatakan jika di UAJY
"SEMANGAT SALING MENGHARGAI ITU IA BAWA JUGA DALAM LINGKUNGAN KELUARGA. SAAT BULAN PUASA, TAK JARANG ISTERINYA MEMASAK HIDANGAN KOLAK. TAK JARANG PULA HIDANGAN ITU DIBAGIKAN KE PARA TETANGGA." terdapat organisasi mahasiswa Muslim. Saat mengajar terkait hukum internasional, tak jarang ia mengajak mahasiswa Muslim untuk berdiskusi seputar dunia Islam. UAJY, dalam kepemimpinannya juga rutin mengadakan acara syawalan untuk merayakan Idul Fitri. Acara itu dihadiri oleh para mahasiswa Muslim dan warga sekitar kampus. Semangat saling menghargai itu ia bawa juga dalam lingkungan keluarga. Saat bulan puasa, tak jarang isterinya memasak hidangan kolak. Tak jarang pula hidangan itu dibagikan ke para tetangga. Puasa ini rencananya anaknya yang tengah menempuh pendidikan di seminari akan pulang. Calon pastur itu jauh-jauh hari sudah memesan kolak khas buatan sang ibunda. Ketika lebaran tiba, seolah mengikuti tradisi, Mari Eimaculata Sumarmi Ningsih, isteri Nurhartanto, juga tak pernah absen memasak ketupat dan opor. Idul Fitri bagi keluarga Nurhartanto punya rasa kemeriahan setara dengan Natal. Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Charles Darwin University ini selalu mengajak isteri dan ketiga anaknya berkeliling. Mereka menyambangi tetangga-tetangganya di perumahan Candi Permai Blok 1, Tirtoyoso, Kalasan.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
27
Wawancara “Pulang-pulang perut kami penuh sampai susah jalan,” candanya. Di rumah dia juga menyiapkan hidangan yang lengkap. “Pintu rumah kami buka lebar-lebar,” tambah pria 52 tahun ini. Tak hanya itu, keluarga Nurhartanto juga punya kebiasaan berbagi bingkisan. Beberapa hari sebelum lebaran, ia sudah menyiapkan sekian kardus bingkisan. Isinya macam-macam. Mulai dari camilan, kacang mete, kue kering, dan sebagainya. Bukan soal isi kata Nurhartanto. Makna bingkisan itu sebagai perekat rasa kebersamaan jauh lebih utama. Sebaliknya, ketika perayaan Natal tiba, tetangga Nurhartanto juga ikut mengucapkan selamat. Beberapa tetangga bahkan memberikan bingkisan balasan. Ketika ada misa kecil di kediamannya, pihak RT juga meminjamkan sound system. Sikap toleransi dan saling menghargai, menurut Nurhartanto, sudah menjadi karakter masyarakat Yogyakarta pada sedari dulu. Budaya Jawa pada dasarnya mengandung ajaran welas asih pada sesama. Hanya saja, ia sedikit khawatir dengan munculnya kelompok-kelompok yang anarkis. “Kelompok yang gemar memaksakan kehendak itu agak mengkhawatirkan,” ujar akademisi yang juga lulusan Universitas Diponegoro dan Universitas Gajah Mada ini. Pendekatan budaya ia pandang menjadi cara terbaik untuk merawat kerukunan umat beragama di Yogyakarta. Tradisi semisal kenduren dan bersih desa bisa menjadi wahana mempererat persaudaraan. “Tapi sayang kenduren sekarang seringnya dikasih bahan mentah. Padahal saya itu paling jago nyewiri (membagi-red.) ingkung ayam, loh. Seneng banget saya,” tukas Nurhartanto sembari terkekeh. **** Suatu hari, para anggota FKUB Jogjakarta bertamu ke rumah Nurhartanto. Di tengah obrolan santai, azan ashar berkumandang. “Pak Nur, masjid di sini di mana?” tanya salah seorang anggota FKUB.
28
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Nurhartanto kemudian menjawab jika jarak masjid cukup jauh. Ia menawarkan rekannya untuk sholat di rumahnya. Rekan Nurhartanto sedikit heran. “Sampean mau sajadah berapa? Sarung berpa? Mukena berapa Di sini ada lengkap semuanya,” canda Nurhartanto. Ia memang sengaja menyiapkan peralatan shalat komplit. Katanya, peralatan itu komplit karena ia memiliki banyak sanak saudara Muslim yang cukup sering bertandang ke rumahnya.
“MEREKA BISA DAPET UANG SAKU DOBEL, SAAT LEBARAN DAN NATALAN,” KATANYA KEMBALI MENUAI TAWA. SEMANGAT TOLERANSI ITU JUGA IA WARISKAN PADA ANAK-ANAKNYA SEJAK DINI." Nurhartanto adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Dari jumlah itu, lima saudaranya beragama Islam. Dua di antaranya telah menunaikan ibadah haji. Sementara itu, dia dan kedua saudaranya adalah penganut Katolik. Ayahnya yang seorang Muslim memberikan kebebasan Nurhartanto dan saudarasaudaranya untuk memilih keyakinan. Nurhartanto sendiri akhirnya mengikuti keyakinan ibundanya yang seorang Katolik.
kecerdasan para pendiri bangsa untuk merangkum perbedaan dalam sebuah ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, Nurhartanto memberi sedikit catatan terkait pengamalan Pancasila. Dalam kacamata seorang ahli hukum, ia membaca jika ideologi itu belum cukup dibumikan. Mestinya ada penjelasan lebih lanjut terkait pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diskursus serius dan mendalam dari berbagai elemen bangsa untuk terus membumikan nilai-nilai Pancasila. “Jangan cuma terus berdebat soal sila pertama. Kalau bisa dibalik. Kita bicara soal keadilan sosial terlebih dahulu,” katanya.
Saudara-saudara Nurhartanto kini berdomisili di berbagai tempat. Minimal tiap setahun sekali mereka berkumpul. Ketika mendapat giliran sebagai tuan rumah, tentunya ia musti siap dengan berbagai perlengkapan ibadah saudara kandungnya yang muslim. Menurut pria kelahiran Grobogan, Jawa Tengah ini, anak-anaknyalah yang sangat menikmati keberagaman dalam keluarganya. “Mereka bisa dapet uang saku dobel, saat lebaran dan natalan,” katanya kembali menuai tawa. Semangat toleransi itu juga ia wariskan pada anak-anaknya sejak dini. Ayah Nurhartanto adalah seorang militer angkatan darat. Sekian tahun keluarga itu tinggal di perumahan prajurit. Di lingkungan itulah Nurhartanto ditempa menjadi pribadi yang toleran. Tentara berasal dari ras, suku, dan agama yang berbeda-beda. Namun demikian, mereka menjadikan nasionalisme sebagai perekat atas perbedaan yang ada. Terkait nasionalisme, sebagai akademisi, Nurhartanto menilai jika founding fathers bangsa Indonesia sangat jenius. Mereka bisa mengumpulkan elemenelemen bangsa yang majemuk dalam Sumpah Pemuda. Selain itu, Pancasila menurutnya adalah buah
Sumber: google.co.id
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
29
Tagar
Puasa Mendunia Oleh: Prayudha Maghriby
Tema puasa pastinya menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ini tampak dari banyaknya tweet dengan tagar puasa. Ada lima tagar yang paling sering diperbincangkan, yakni #puasa, #puasaohpuasa, #puasabrow, dan #puasamania. Tanggapan netizen cukup beragam dari yang bernuansa serius sampai sekedar berbagi candaan. Presiden Amerika Serikat, Barack Obama secara resmi mengadakan buka bersama di Gedung Putih. Acara ini menjadi simbol jika Amerika Serikat menghargai Islam dan menerimanya menjadi bagian dari negara itu. Berita terkait buka bareng Obama itu sempat ramai di media masa. Akun resmi kedutaan besar Amerika untuk Indonesia berbagi berita tersebut melalui akun @usembassyjkt. “Hormati umat Islam, @POTUS adakan buka #puasa bersama di @ WhiteHouse. http://goo.gl/z6EyhQ (24 Juni 2015)” tulisnya. Tampaknya, acara buka bersama itu juga ditujukan untuk menepis paham “islamofobia” yang masih ada. Masih dari Amerika, kabar soal beberapa pesohor yang menjalankan ibadah puasa juga banyak diposting oleh netizen. Ini karena muslim menjadi penduduk yang minoritas di negara itu. Semisal adalah pemilik akun @Aktualco yang menulis, “Pesohor #Hollywood Ini Juga Menjalankan Ibadah #Puasa #Ramadan : Walaupun Legenda NBA… http://goo.gl/ fb/3mNX29 #aktual (19 Juni 2015)”.
30
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
Sesama negara dengan penduduk mayoritas muslim di belahan dunia lain memiliki suasana yang berbeda dengan Indonesia. Beberapa warga negara Indonesia yang tengah tinggal di negara-negara tersebut berbagi laporan pandangan mata. Suasana hikmat bisa dirasakan di Mesir. Seorang neitzen dengan akun @ mynameisabang menulis, “Subhanallah, Lihat : Jalanan #Mesir Menjadi Senyap Ketika Malam #Ramadhan #Puasa #1436H (19 Juni 2015). Di tengah krisis politik yang terus berkecamuk, suasan hikmat itu cukup melegakan. Itu sedikit menjadi harapan bagi segera pulihnya negara yang menjadi salah satu tujuan pelajar Indonesia untuk memperdalam ilmu agama Islam tersebut. Di Brunai Darusalam, negara yang telah menerapkan syariat Islam memberlakukan sejumlah peraturan untuk menjaga kekhusukan beribadah. Ini sebagaiman dibagi oleh pemilik akun @MirajNewsAgency. “BRUNEI LARANG RESTORAN LAYANI PELANGGAN SELAMA RAMADHAN (19 Juni 2015),” tulisnya. Aturan serupa sering diberlakukan di Indonesia. Akan tetapi, Ramadhan kali ini, Kementerian Agama RI sedikit membuat heboh. Lukman Hakim Saifudin, Menteri Agama periode ini, melontarkan pernyataan jika warung makan tak harus tutup di bulan puasa.
Alasannya, mereka yang menunaikan ibadah puasa semestinya bisa toleran pada mereka yang tidak menjalankan. Sontak, pernyataan itu membuat pro dan kontra di masyarakat. Jika menengok bulan Ramadhan sebelumsebelumnya, acapkali, aturan menutup warung makan justru berdampak buruk. Beberapa kelompok menjadikan aturan itu sebagai alasan untuk melakukan tindak kekerasan. Terdapat kelompok atau organisasi yang melakukan sweeping dengan cara merusak warung makan yang tetap buka. Cara-cara semacam itu dianggap menodai semangat ibadah puasa. Terikait komunitas muslim di Indonesia yang beragam, jatuhnya tanggal 1 Syawal tahun ini relatif seragam. Dua ormas Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, meski dengan metode berbeda, sama-sama menentukan 1 Syawal jatuh pada 18 Juni. Namun demikian, terdapat pula komunitas-komunitas lain yang berbeda pandangan.
Ini seperti dikemukakan oleh situs berita Republika.co.id. “#InstaROL #indonesia #Padang #puasa | Jamaah Tarekat Sattariyah Sumbar Baru Mulai Puasa Hari Jumat… https://instagram.com/ p/4Gq9X0tBQa/ (19 Juni 2015),” tulis portal berita dengan akun @republikaonline ini. Keberagaman pendapat ini menurut akun tersebut justeru semakin memperkaya khasanah Islam di Nusantara. Selain tanggapantanggapan tersebut, peristiwa Ramadhan juga banyak dimanfaatkan sebagai sarana promosi barang dan jasa. Tingkat konsumsi yang tinggi selama bulan Ramadhan menjadi pendorong banyaknya iklan khas Ramadhan. Ada semisal produk minuman ringan yang menulis.
“Hayo siapa nih yg udah celingak celinguk ngeliat jam buat buka puasa?? #lol #puasa (19 Juni 2015).” Pemilik akun @FruschDrink itu sekaligus menawarkan produknya sebagai minuman yang pas untuk berbuka puasa. Kicauan yang paling sering dengan tagar puasa justru bersifat menghibur. Akun @_prasyoga semisal menulis, “#puasaohpuasa #jomblo masih aja ngejomblo ... (21 Juni 2015)?” Netizen lain sengaja memparodikan saat-saat lapar di tengah puasa. “Terbayang soto daging di siang hari... Pake sambel, kecap banyak, minum es jeruk, angkat 1 kaki ke kursi, mmmmmmm #puasa (19 Juni 2015)” tulis pemilik akun. @AhmadAbdulQodir. Kicauan ini cukup menjadi tren karena di-retweet sebanyak 38 kali. Ini wajar karena pemilik akun ini adalah Abdul Qodir Jaelani yang dikenal dengan sapaan Dul. Dul sendiri adalah anak dari musisi kenamaan Ahmad Dhani. Kicauan bersifat parodi sekaligus edukatif dilontarkan oleh pemilik akun @hagunggunard1. “cie yg ngefans ma Rossi ampe bela2in libur tarawih.. #DutchGP #Tarawih #puasabro (27 Juni 2015),” ujarnya. Menurut Hagung Gunardi, pemilik akun itu, ibadah di bulan Ramadhan tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Mengurangi aktivitas kurang produktif dan memperbanyak kegiatan postif juga musti digalakan di bulan penuh barokah ini.
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
31
Resensi
Kebebasan Berkeyakinan dan Masa Depan Islam Oleh: Budy Prasetyo Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari Yogyakarta
Kita kini tinggal di satu bumi dengan berbagai kesulitan yang sama (Karen Armstrong)
B
uku yang sudah terbit lima tahun lalu ini, ternyata masih tetap segar dan konstekstual dengan apa yang dihadapi oleh umat Islam, khususnya yang tinggal di Indonesia. Seperti dalam pengantarnya yang dikutip dalam quote awal tulisan ini, Karen Armstrong, bahwa bumi seluruh umat manusia hanya satu. Di dalamnya ada banyak agama, etnis, bangsa, budaya, serta adat istiadat yang dianut oleh penghuninya. Di satu tempat inilah berbagai aktivitas manusia dijalankan. Salah satu permasalahan yang terus menerus timbul yakni tentang konstruksi hubungan antar manusia. Dimana manusia satu sama lainnya yang berbeda itu saling tidak memahami. Ini menjadi salah satu pemicu terjadinya konfllik atas perbedaan tersebut. Dalam konteks keindonesian, gambaran dalam buku ini penting untuk ditelaah. Tujuannya untuk mengatasi berbagai problematika umat Islam saat ini. Riuh rendah opini publik tentang berbagai permasalahan yang menyangkut berkeyakinan menjadi penting. Seperti halnya masalah baru-baru ini tentang rekonstruksi “Islam Nusantara”, atau tentang kicauan menteri agama yang kontroversial soal warung makan yang buka di bulan Ramadhan. Islam bukan sebuah ide yang ansih, sehingga
32
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
tetap original sebagaimana saat diturunkan pertama kali terus terjaga. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyak penganutnya Islam berkembang pesat. Banyak varian-varian dalam tafsiran atas Islam.
Mentafsirkan Kembali Islam Berbagai persinggungannya dengan ide-ide lainnya yang telah sebelumnya dianut oleh orang-orang terdahulu, membuat semakin banyak penafsiran terhadap Islam. Inilah yang membuat citra dan realitas Islam serta umat Islam sendiri banyak dan beragam (hal. 33). Baik secara religiusitas, budaya, ekonomi, politik, bahasa serta adat kebiasaanya. Indonesia hanya salah satu dari sekian bentuk wajah Islam di muka bumi ini. Meski begitu, Islam di Indonesia menjadi bagian penting dari kemajemukan dan perkembangan Islam itu sendiri. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Islam Indonesia pun menjadi potret Islam moderat terbesar. Jadi tak salah ketika ada penyebutan “Islam Nusantara”, dalam rangka untuk meneguhkan identitas Islam yang dianut oleh orang-orang Indonesia. Tetapi tidak salah pula ketika ada pihak-pihak yang tidak sependapat, bahkan dengan terang-terangan menolak ide “Islam
dalam beberapa hal, semisal Nhdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah, NU dengan Front Pembela Islam (FPI) atau sebaliknya. Di Indonesia ada beragam corak karakter Islam. Ada yang qunut ada yang tidak. Ada yang menghalalkan tahlil, ada yang membid’ahkan, dan perbedaan berbagai keyakinan ekspresi keislaman lainnya. Jelas ini sebatas permasalahan klasik yang akan terus terjadi. Dalam bahasa Islam, perbedaan ini di sebut dengan furu’iah (cabang). Atau bisa diartikan perbedaan yang tidak seharusnya dibesar-besarkan dan dibahas. Umat Islam sekarang harus segera beralih untuk mempelajari kebangkitan kembali Islam dalam politik dan masyarakat Muslim. Selanjutnya mengkaji dampak dan implikasinya secara global (hal. 95). Hal ini berangkat dari sejarah bahwa dahulu Islam mampu mengentaskan umatnya dari berbagai masalah sosial seperti kejumudan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Belum Munculnya Semangat Toleransi Judul Buku : Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajuan dan Benturan dengan Kemajemukan Judul Asli : The Future Of Islam Penulis : Jjhon L. Esposito Penerbit : Mizan Tahun : Desember, 2010 Tebal : 343 Halaman
Nusantara”. Dalam buku ini, permasalahan tersebut merupakan bagian dari dinamika perkembangan Islam. Namun esensinya yakni, bagaimana mengkomunikasikan hal-hal seperti ini sesama penganut Islam itu sendiri. Tak jarang kegagalan komunikasi menyebabkan konflik antar sesama umat Islam. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, kegagalan komunikasi terus membarakan konflik antar sesama umat Muslim. Seperti kasus Syiah, Ahmadiyah, Kejawen, bahkan penganut Islam moderat dan mayoritas pun masih sering berkonflik
Salah satu ironi besar umat Islam di Indonesia yakni ketidaktoleranan, baik antar umat Islam sendiri maupun dengan pemeluk agama lainnya. Mereka sadar, bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang, serta Maha Adil. Mereka juga mengakui bahwa manusia adalah mahluk yang tidak sempurna tenpat salah dan dosa. Namun di sisi lain, tanpa bersalah menghakimi tetangga mereka dengan kejam. “Agama saya yang benar, dengan demikian agamamu salah; dan kamu masuk neraka” (hal. 262). Dalam bukunya ini, Esposito menerangkan secar adil bahwa pemahaman inklusif kebenaran milik agamanya bukan saja menjadi monopoli umat Islam. Semua agama mendoktrinkan faham inklusif ini pada semua pemeluknya. Yang kemudian menjadi masalah yakni bagaimana mengkomunikasikan faham ini agar tidak menimbulkan konflik terbuka di masyarakat. Bangsa Indonesia mempunyai sejarah panjang tentang akulturasi budaya dan agama yang berkembang seiring dengan waktu. Jauh hari sebelum Islam masuk, bahkan agama-agama modern di nusantara, orang Indonesia menganut kepercayaan nenek moyangnya (animisme dan dinamisme). Selanjutnya pada periode abad 10-an,
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
33
agama Hindu dan Budha masuk dan menjadi mayoritas. Di abad periode abad 15, Islam masuk ke nusantara melalui para pedagang dari India. Sejarah ini menunjukan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia bukan Islam yang “asli” dari Timur Tengah. Islam di Indonesia datang dengan corak berbeda dengan Islam yang berkembang di tempat asli agama ini diturunkan. Perkembangan Islam pada masa lalu juga datang dengan corak berbeda penuh dengan toleransi. Bukan Islam yang datang dengan semangat penaklukan seperti yang berkembang di kawasan Asia, Afrika, juga sebagian Eropa. Siapapun yang mengikuti perkembangan Islam saat ini atau perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM), tentunya akan mengetahui permasalahan pluralisme dan toleransi di dunia Islam. Khususnya di Timur Tengah, perkembangan toleransi tidak begitu menggembirakan. Plurarisme di daerah-daerah mayoritas Islam khususnya di Timur Tengah berada pada titik terendah. Di Indonesia sendiri, meski dikenal dengan penganut Muslim moderat terbesar di dunia, permasalahan-permasalahan tentang pluralisme masih sering terjadi. Meski konstitusi di Indonesia sudah dengan terang-terangan memuat kebebasan beragama dan berkeyakinan serta melindungi kaum minoritas, tetap saja konflik minoritas dan mayoritas terjadi. Umat Islam saat ini di seluruh dunia bergulat dengan masalah pluralisme agama dalam tiga sisi, yakni status dan hak non-Muslim di negara Muslim, status dan hak Muslim di negara barat, serta hubungan SunniSyiah (hal. 264). Indonesia bisa juga dikatakan sebagai miniatur Islam dunia. Bagaimana tidak, di sini ketiga permasalahan ini juga terjadi. Pertama status dan hak non Muslim di daerah mayoritas Muslim. Hal ini bisa dilihat terjadi di Nangroe Aceh Darussalam, dimana penerapan syariat Islam dilegalkan dalam undang-undang di sana. Kedua status dan hak Muslim di daerah mayoritas non Muslim. Kenyataan
34
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
kedua ini bisa dilihat terjadi di Papua, Nusa Tenggara dan daerah Indonesia timur lainnya. Ketiga hubungan Sunnah-Syiah yang masih menyisakan konflik ini terjadi di Sampang, Madura.
Islam Rahmatan Lil Alamin Akan seperti apa wajah Islam di masa depan? Jawabannya sedang disusun bersama saat ini oleh seluruh umatnya, khususnya para penentu kebijakan dalam hal ini para alim ulama. Saat ini, kaum Muslim di seluruh dunia sedang berhadapan dengan dua pilihan besar untuk menentukan seperti apa Islam di masa datang. Pertama, yakni Islam yang dibatasi hanya untuk kehidupan pribadinya saja. Kedua, kalangan yang berusaha mewujudkan suatu kerangka Islam yang kontrusktif (hal 293). Keduanya mempunyai pengikut dan loyalis masing-masing. Perbedaan ini juga seringkali menimbulkan konflik terbuka yang menyebabkan gesekangesekan di lapangan. Pada masa yang akan datang, agama tetap akan menjadi kekuatan politik dan sosial yang berpengaruh bagi dunia. Diperlukan komunikasi-komunikasi yang mendasar untuk mengatasi perbedaan-perbedaan yang timbul karena faham keagaam ini. Hal yang tidak hanya bagi kalangan Muslim dengan non Muslim, namun juga antar sesama pemeluk Islam. Perbedaan-perbedaan yang ada seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam, karena akan mewarnai dunia. Bukan sebaliknya menjadi sumber malapetaka dan kehancuran bagi bumi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan harus terus dipacu. Kebebasan tidak ada dalam kehampaan. Kebebasan bukan berfungsi tanpa batasan. Yang terpenting di sini adalah komunikasi yang intens dalam mengekpresikan kebebasan ini. Muslim moderat di Indonesia harus mampu mempelopori hal ini. Mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. Islam yang menjadi penyejuk dan pemersatu bagi sekalian alam. Bukan Islam yang menjadi sumber konflik dan kehancuran di bumi.
Perspektif
Agama, Toleransi dan Bayang-bayang 1 Absolutisme Oleh: Arifuddin Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Budaya dan Media UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan Tempo di Makassar
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
35
Perspektif
Agama apa pun yang bisa membuat Anda lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih beretika, agama yang punya kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik. (Dalai Lama) Agama merupakan fenomena universal umat manusia. Meski tidak semua manusia kemudian beragama, namun pada kenyataannya, mereka punya keyakinan masing-masing tentang yang transenden. Di sisi lain, ketika manusia beragama, yang kerap terjadi adalah pemutlakan terhadap kebenaran agama masingmasing. Pemutlakan ini, pada akhirnya bisa menutup pintu dialog. Karena itu, mendiskusikan kembali kebenaran agama menjadi sebuah keniscayaan agar upaya membangun semangat toleransi tidak semakin terkikis oleh klaim-klaim absolutisme tiap-tiap agama. “Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan,” demikian ungkap Coward.2 Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif. Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari keberadaannya. Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Seperti pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika pemeluk agama tidak memahami secara benar dan arif, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa (Zainuddin: 2013). Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun
36
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mengapa terjadi konflik antarumat beragama? Benarkah konflik itu disebabkan karena adanya klaim absolutisme? Apa yang seharusnya dilakukan oleh umat beragama untuk meminimalisir konflik tersebut? Tulisan ini hendak memotret fenomena klaim absolutisme yang datang dari agama-agama besar. Karena keterbatasan ruang, tulisan ini telah mengalami “pemadatan”, dan berusaha untuk tidak menghilangkan esensinya.
Agama dan Klaim Absolutisme Klaim absolutisme sebagaimana yang diungkap oleh John Hick (1985: 46) dilakukan oleh semua agama, baik Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi.3 Dalam tradisi Hindu misalnya, seorang Hindu mempercayai bahwa seseorang dapat mencapai Sanata Dharma, kebenaran eternal, yang menjelma dalam bahasa manusia sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Veda. Ada toleransi umum yang terkait dengan anggapan, “bahwa cepat atau lambat setiap orang pada waktunya akan memasuki atau mengalami kesempatan memahami Veda”. Dalam pandangan filsafat advaitic dinyatakan, bahwa bentuk teistik agama merepresentasikan sekurang-kurangnya keasadaran yang tinggi tentang “realitas agung”.4 Menurut Hick (1985: 48), Hinduisme adalah kesadaran—sekurang-kurangnya bagi banyak
pengikutnya—dan keunggulan khusus di antara gerakan-gerakan keagamaan dunia, dan kesadaran semacam itu, kata Hick, secara alamiah tidak medorong penerimaan sebuah keaslian pluralisme agama. Klaim absolutisme agama bagi orang-orang Yahudi adalah, bahwa mereka mengaku sebagai umat atau “manusia pilihan Tuhan”, sebagai perantara Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada semua manusia. Untuk menjadi Yahudi, orang harus mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan. Agama Budha mengklaim, bahwa penghargaan yang sesungguhnya mengenai keberadaan manusia terjadi sebagian besar dan efektif dalam ajaran Budha Gautama. Menurut Budha, Dharma adalah yang memelihara kebenaran penuh, penjelasan yang khusus dan efektif serta akhir di antara illuminasi dan wahyu tentang dunia. Dalam agama Islam, ada kepercayaan tegas bahwa Muhammad adalah Nabi dan melalui al-Qur’an Tuhan telah mewahyukan kepada manusia akan kebenaran agama itu. Bahwa agama yang paling benar adalah Islam, segala penyembahan harus kepada Allah, selain-Nya adalah syirik. Masih dalam frame yang sama, konsep teologi dalam Kristen menekankan bahwa Yesus Kristus adalah peletak dasar dan pusat agama. Dia juga Tuhan dalam bentuk manusia. Dogma ini merupakan konsekuensi sejarah yang alami bagi orang-orang Krsiten yang menganggap agama mereka sebagai satu-satunya agama yang benar, yang dibangun oleh Tuhan dalam dirinya dan akibat dari itu adalah bahwa semuanya menempuh jalan menuju Tuhan. Dari sinilah kemudian timbul perintah untuk mengajak semua orang bersedia menerima agama Kristen serta menjadi anggota gereja. Masing-masing dari tradisi agama besar dengan demikian menempuh satu jalan atau jalan lain yang memiliki kelebihan khusus. Demikianlah adanya. Semua agama seperti berlomba “mengampanyekan” kebenaran agama masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan Hans Kung (1998: 11) bahwa posisi Katolik tradisional memiliki ungkapan yang tidak plural: “Tak ada keselamatan di luar gereja”. Gereja
Suci Roma tegas-tegas meyakini, bahwa tak seorang pun di luar gereja Katolik, baik orang kafir atau Yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari gereja akan ikut bersama-sama dalam kehidupan yang kekal, tetapi akan binasa dalam api kekal yang disediakan untuk setan dan anak cucunya jika orang-orang tersebut tidak tergabung dengan gereja Katolik sebelum mati. Klaim-klaim kebenaran seperti ini, menurut Kung, sudah berjalan selama lebih dari 1.200 tahun.5 Dalam karyanya, On Grading Religions, Hick berusaha menilai agama-agama itu sebagai tradisi-tradisi yang utuh (total), ketimbang melihatnya sebagai fenomena keagamaan yang partikular dan pada akhirnya merupakan kerja yang tidak realistik. Hick melihat tradisi perbedaan keagamaan dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness, istilah yang dipakai Tracy) menuju perhatian pada Tuhan (RealityCentredness). Hick dalam hal ini menganalisis kriteria dan pendekatan-pendekatan evauluatif yang mungkin dapat membantu dalam menilai kultur keagamaan secara lengkap dan utuh (lihat juga Hick, 1985: 53). Menurut Hick (dalam Zakiyuddin, 2002: 20), pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi seluruh varietas pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang, sebagaimana kata Soroush (2000: 104), adalah seorang teolog yang membela pluralisme dan inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee. Pertanyaan kritis yang berikutnya adalah mengapa pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark (2003: 171-173), claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif —bahwa agama yang dipeluknya adalah
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
37
Perspektif satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)– banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya, Stark berkesimpulan, bahwa perbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan (Stark, 2003: 175). Ketika beberapa agama partikularistik yang kuat saling mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik akan termaksimalisasikan, begitu pula tingkat intoleransi (Stark, 2003: 183). Berangkat dari pemikiran Stark ini, seharusnya kita meyakini sebuah hal. Pluralisme agama memang merupakan keniscayaan. Pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens (Stark, 2003: 76). Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan (Stark, 2003: 181).
Dari Multikultural Menuju Harmoni Umat Harus diakui, bahwa agama-agama, di samping memiliki klaim absolutisme, juga memiliki klaim inklusivisme. Dalam konteks ini misalnya, ada kasus menarik yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi untuk berkata kepada mereka: “….Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui” (perhatikan QS.34:24-26). Menurut penafsiran Quraish Shihab (1992:222), ketika absolutisitas diantar ke luar (ke dunia nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan tentang absolutisitas agama tersebut),
38
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
"JIKA AGAMA DIANGGAP DAPAT BERPERAN DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN, MAKA PENGANUT AGAMA HARUS BELAJAR MENINGGALKAN ABSOLUTISME DAN MENERIMA PLURALISME."
tetapi justru sebaliknya. Itulah sebabnya menurut Quraish Shihab, salah satu yang menjadi titik lemah manusia adalah semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan. Misalnya, menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi satu aliran dan satu agama. Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan pandangan absolutnya untuk dianut orang lain. (Quraish Shihab, 1998: 153). Pada umumnya kebanyakan filsuf berpendapat bahwa hakikat realitas tertinggi adalah satu. Maka secara otomatis, prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama juga satu. Ketika ‘allamah Thabathaba’i berbicara tentang agama pada level filosofis, ia tidak pernah bersikap permisif, tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari. Itulah sebabnya menurut Shihab, dalam masalah perbandingan agama hendaknya digunakan perspektif filosofis, bukan sosiologis, agar terhindar dari jebakan simbol-simbol agama. Dengan demikian, untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami agama-agama tersebut melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurut Panikar, setiap agama memiliki kecenderungan untuk selalu merefleksikan, membenarkan, dan melawan yang lain (Lyden, 1995: 86). Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna agama dalam pengalaman masyarakat menjadi lebih unik dan rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila suatu masyarakat mampu memahami peranan agama dalam membantu menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi tersebut, maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-tengah masyarakat. Persoalan makna agama sebagaimana tergambar di hampir semua agama merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan makna agama yang berada pada level individual
bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhan. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Fenomena semacam ini secara sosiologis sangat bisa mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran moral terhadap tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak jarang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, apabila interpretasi yang dilakukan oleh masing-masing anggota masyarakat tidak mencapai titik temu. Jika agama dianggap dapat berperan dalam mewujudkan perdamaian, maka penganut agama harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme, demikian ungkap Nurcholish Madjid (1998: 161-162). Kita boleh memandang agama sebagai absolut, namun yang harus diingat bahwa pemahaman kita –baik pribadi maupun kelompok– menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Petunjuk konkret untuk memupuk persaudaraan, menurut Nurcholish adalah, supaya suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman tidak memandang rendah atau meremehkan orang dan agama lain.6 Semua agama cenderung memiliki klaim absolutisme, baik Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi. Klaim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif akan berdampak pada konflik antarumat beragama, dan konflik tersebut akan memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan. Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari keberadaannya, dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh agama-agama dunia dewasa ini. Untuk menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan pemahaman yang plural terhadap agama. Setiap agama hendaknya dinilai sebagai tradisi-tradisi yang utuh, bukan sebagai fenomena keagamaan yang partikular. Tradisi perbedaan keagamaan hendaknya dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-Centredness).
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
39
Perspektif Penutup Klaim kebenaran ajaran agama, secara sepihak juga dapat dipandang sebagai penyebab munculnya segregasi sosial. Ketika umat agama tertentu mengklaim ajaran agamanya paling benar, maka sesungguhnya ia telah menuduh ketidakbenaran ajaran keagamaan pihak lain. Klaim dan tuduhan seperti itu bisa muncul di antara para pengikut agama yang berbeda atau dalam satu agama, serta kelompok-kelompok yang ada dalam satu agama. Pada saat klaim dan tuduhan dilontarkan, secara tidak sadar telah terbentuk pemilahan di antara umat beragama atau kelompok di dalam satu agama. Anggapan demikian semakin dikukuhkan ketika mereka terlibat dalam kompetisi. Faktor-faktor seperti itu di satu sisi dianggap dapat memunculkan konflik di antara mereka, tetapi pada sisi yang lain mereka dapat bersatu ketika mereka merasa perlu melakukan kerja sama. Selain karena klaim kebenaran, segregasi sosial, menurut F. Schuon, juga dapat terjadi akibat tafsir keagamaan dan ideologi keagamaan yang dikembangkan. Karena adanya perbedaan
demikian, maka masing-masing kelompok merasa perlu memiliki wadah tersendiri. Dengan wadah itu, dapat meneguhkan dan mensosialisasikan hasil-hasil tafsirannya. Keberadaan umat beragama dan kelompok keagamaan, dapat dilihat dalam konteks seperti ini. Karena klai kebenaran pada akhirnya memunculkan konsep in group dan out group. Munculnya konsep ini bisa jadi akan melahirkan peluang-peluang untuk kompetisi dan konflik di antara mereka. Kompetisi dan konflik yang bergerak atas alasan agama atau faham keagamaan ataupun karena alasan kepentingan komunitas. Agama sejatinya merupakan seperangkat konsepkonsep ajaran dan doktrin yang telah diciptakan Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia. Agama juga dipenuhi oleh relativitas teologi yang mau tidak mau hal itu akan memengaruhi gerak langkah keberagamaan manusia. Teologi akan senantiasa menghegemoni agama, mengatur agama, dan menentukan corak agama. Bagaimana wajah agama yang akan tampil ke panggung sejarah kemanusiaan, bisa dilacak dari corak teologinya.
(Endnotes) 1 Tulisan ini merupakan bagian dari laporan penelitian penulis pada Fied Research Program for Young Intellectuals “Konsep dan Sistem Khilafah Ahmadiyah” yang diadakan oleh Institut of Southeast Asian Islam (ISAIs) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 18-10 Juni 2015. 2 Lihat, Coward, Harold (1989). Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, hal 5. 3 Hick mengajukan evaluasi rasional mengenai kognisi, elemenelemen teori mengenai tradisi keagamaan dan evaluasi moral tentang aktualisasi kultur-sejarah kepercayaan keagamaan. Namun menurut penilaian Stenger (lihat Dean, ed., 1985: 93), keduanya (baik evaluasi rasional maupun moral) mengarah pada kesimpulan positif dan negatif, lebih kuat dan lebih lemah yang memberi contoh setiap tradisi. Orang boleh juga mempertanyakan, apakah visi dasar keagamaan berlanjut menjadi efektif secara “soteriologic” (soteriologically effective) atau hidup yang transformatif, tetapi akhir pembuktian tentang itu bersifat eskatologis. Pada akhirnya –menurut Stenger– Hick tidak menemukan kriteria yang cukup untuk perbandingan yang memadai dan penilaian yang baik terhadap tradisi keagamaan secara utuh. Meski begitu menurut Stenger, kriteria-kriteria yang dibuat Hick itu bisa dipakai pada fenomena keagamaan khusus dan oleh karena itu patut dipertimbangkan
40
PRANALA { Juli - Agustus 2015 }
dalam persolan yang terkait dengan isu penilaian kebenaran keagamaan tersebut. 4 Lihat www.zainuddin.lecture.uin-malang.ac.id Agama: Antara Pluralisme dan Absolutisme 5 Berangkat dari pernyataan Hick yang menganalisis tiga kriteria ketika orang menyambut dan menerima perantara Tuhan dalam membangun sebuah tradisi keagamaan. Pertama, adalah kriteria moral yang didasarkan pada sebuah tatanan moral universal, yang mempertanyakan: Apakah perantara (mediator) itu lebih baik dari kejahatan, dan apakah ajarannya menawarkan sebuah visi moral lebih baik dari pada moralitas umum yang ada? Kedua, kriteria yang menfokuskan pada kemampuan mediator untuk mengungkapkan visi baru tentang realitas yang mendorong manusia untuk mengikutinya: Apakah visi baru itu lebih baik, dan apakah kehidupan baru dan lebih baik itu bisa melalui mediator tersebut? Ketiga, kriteria yang memusatkan pada respon manusia: Apakah manusia bisa berubah dan dijamin bahwa Tuhan kenyataannya mengantarkan mereka? 6 Lihat Nurcholis Madjid. 1995, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta, Paramadina.