arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
Christa Indah
Dalam arsitektur, geometri merupakan bagian yang sangat penting. Sebastiano Serlio menyatakan bahwa geometri merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam arsitektur.“How needful and necessary the most secret art of geometry is – without it the architect is no more than a stone despoiler” (Robin, 1995). Dalam pemahaman mengenai geometri secara umum, geometri akan selalu elemen-elemen bentuk, titik, garis dan bidang. Dari pengertian tersebut maka hal tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa bentuk geometris adalah bentuk yang Perlu dipahami bahwa geometri bukan merupakan objek namun sebagai bentuk kerja yang menyertakan objek. Bukan sebagai hasil akhir namun sebagai proses yang menghasilkan. Dengan demikian, tidak setiap bentuk merupakan bentuk geometris dan sebaliknya, bentuk yang tidak geometris itu ada. Dan untuk menentukan penilaian tersebut perlu ditelusuri terlebih dahulu proses Sepanjang sejarah peradaban manusia, berbagai hal dan ilmu pengetahuan Golden section atau proporsi agung pada classical order proporsi berbagai benda dan makhluk yang ada di alam, diterapkan sebagai alat dalam menentukan sikap dalam reka bentuk dalam mencapai kesempurnaannya. ruang tiga dimensi cartesius, suatu ruang tiga dimensi maya yang bersifat linier dan tak berbatas. Dalam ruang tersebut Euclid menggelar pemahamannya terhadap elemen-elemen bentuk seperti titik, garis, sudut,dll. Ketidaksepahaman terhadap postulatnya yang kelima pun menyebabkan munculnya geometri nonkenyataannya, yakni pada ruang bumi dengan bidang-bidangnya yang parabolik, sama sekali tidak linier seperti pada ruang cartesius. Pada masa setelah terjadinya revolusi industri pemahaman terhadap rasionalitas,
fungsi. Kemudian perkembangan pemikiran manusia pun lagi-lagi menimbulkan Dari penjabaran perkembangan geometri tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa berkembang. 14
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
Arsitek adalah pemikir yang berusaha memecahkan suatu permasalahan desain. Bagaimana seorang arsitek menjabarkan pemikirannya akan tertuang dalam desain bentuk yang dihasilkannya. Berbagai ilmu pengetahuan pun menjadi penting dan relevan dalam mencapai suatu bentuk yang dibutuhkan dalam arsitektur untuk menjawab berbagai pertanyaan akan kebenaran suatu desain. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ilmu pengetahuan itu tidak terbatas. Dan jika ilmu pengetahuan itu menjadi alat bagi arsitektur untuk dalam mengembangkan pencapaian dalam desain. Proses interpretasi yang dilakukan oleh arsitek menjadi eksekusi terhadap tools, suatu proses yang sangat penting dan menentukan. Arsitektur akan selalu menghasilkan bentuk sebagai hasil dari pemikirannya. Ketika berbicara bentuk yang pertama terbayang adalah bentuk-bentuk geometri yang diajarkan semasa sekolah dasar dahulu, kotak, segitiga, kubus, dsb. Tertanam begitu lama di dalam pemikiran kita, sehingga ketika memasuki dunia arsitektur kita menganggap bahwa bentuk dari arsitektur itu adalah kotak, lingkaran, kubus dan sebagainya, dan kita hanya belajar mengkomposisikannya (dengan aturan-aturan yang dibuat manusia sendiri) sebaik mungkin agar berjalan sesuai kebutuhan. Tapi, apakah itu yang dinamakan berasitektur? Tidak ada bentuk, rancangan, konsep dalam arsitektur yang bisa lepas dari geometri. Tetapi, bukanlah geometri-geometri “kuno” di atas yang akan menentukan seperti apakah bentuk arsitektur kita, tetapi pemikiran-pemikiran baru, sudut pandang yang berbeda, dan paksaan forces (kemajuan teknologi, zaman, populasi, alam, manusia) yang dapat menghasilkan bentuk arsitektur yang baru. Arsitektur hadir untuk menciptakan hidup yang lebih baik. Disini ada kata menciptakan, yang artinya kita tidak cuma memecahkan masalah, memecahkan masalah berarti pikiran kita “berhenti” pada saat ini, tetapi mencipta hadir untuk masa depan, sesuatu yang baru yang menghadirkan dimensi waktu. Pertanyaannya, produk atau bentuk arsitektur seperti apa yang dapat kita hasilkan? Bagaimana kaitan geometri dengan bentuk-bentuk arsitektur? Bagaimana persepsi baru tentang geometri menghasilkan sebuah bentuk yang baru, arsitektur yang baru. Sesuatu yang baru bukan berarti 100 persen berlawanan dengan yang lama, atau semacam pemberontakan, tetapi hanya memperbaiki atau menyempurnakan hasil yang ada dengan zaman atau waktu, dengan keadaan di masa kini dan yang akan datang, dimana pemikiran-pemikiran lama sudah tidak bisa lagi memecahkan persoalan. Tidak tepat lagi karena adanya unsur pertumbuhan, unsur tekanan (forces), dan unsur keterhubungan. MVRDV Pada tahun 1991 MVRDV dibentuk di Rotterdam oleh Winy Maas, Jacob Van Rijs, Nathalie De Vries setelah memenangkan The Berlin European Competition. MVRDV bekerja di Rotterdam dalam bidang urbanisme, arsitektur, dan rancangan lansekap. MVRDV cukup menghasilkan bentuk baru dalam arsitektur bagi saya. Baru di sini dalam artian terdapat perubahan dalam pemikiran, dan perubahannya itu bukan karena ingin keren atau tampil beda, atau bosan dengan yang lama, atau sekedar ingin memberontak. Tetapi karena hasil dari penelitian, ada faktafakta baru yang terungkap, dan keinginan untuk menghadirkan sesuatu yang lain. Negeri Belanda tempat mereka bekerja merupakan negeri dengan luas lahan yang minim. Mereka berpikir jauh ke depan bagaimana jika populasi di Belanda kian bertambah, hutan (alam) habis, dan tidak ada lagi tanah bagi manusia. 15
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
Pola berpikir mereka memang cenderung pragmatis dan menjadikan manusia sebagai pusat perhatiannya, tetapi di samping itu alam dan teknologi jugalah yang menentukan eksistensi manusia itu sendiri, sehingga alam dan teknologi juga memiliki peranan penting. Dalam setiap karyanya, MVRDV selalu mengkombinasikan praktek dan riset karena menurut mereka karya-karya MVRDV tidak akan terwujud tanpa adanya suatu penelitian yang mendalam. Dengan adanya penelitian, proyek dengan skala terkecilpun akan memiliki kualitas yang menjelaskan segala informasi dan sarana yang dapat diaplikasikan ke dalam skala yang besar. Dan penelitian ini harus didasarkan pada hipotesis dan spekulasi karena sulit untuk mengetahui dengan persis apa yang dibutuhkan pada masa mendatang. “To MVRDV, architecture is a form of research, an evaluation that observe, extrapolate, analyze and criticize our behavior. work. They are following in the modernist tradition of attempting to deal with societal-scale problems (population explosion, changes in production, pollution) through re-organization of the city.” (MVRDV, 2002) Karya MVRD tampak didasari pada hampir semua karya yang berdasar pada pilihan radikal yang diambil ke tingkat ekstrim, daripada sebuah ide pemikiran yang rasional. Perubahan pada suatu ketidakpastian yang terkait dengan hal-hal mendatang adalah sumber utama dari suatu inovasi atau suatu kemajuan (pada karyanya) dan ini semua menjelaskan bahwa karya MVRDV tidak semuanya rasional. MVRDV sangat tertarik dalam merancang zona konvensional dan mengerti kemungkinan atau kemustahilan dalam berkarya di bawah kondisi ini. Taktik yang ekstrim merupakan salah satu peralatan utama MVRDV dalam merancang penggunaan ektrimisme, menurutnya dapat berguna dalam mengumpulkan kejelasan. Keekstriman adalah sebuah tonggak bersejarah dalam perkembangan suatu kemajuan sehingga hal ini dapat menunjukkan kita dimana tepatnya batasan kejelasan tersebut. Sebagai identitas ruang, MVRDV secara konstan bekerja menggunakan pemikiran pada percampuran fungsi (mixing functions), bagaimana berlaku pada batasan antara interior dan eksterior atau bagaimana mereka bernegosiasi dengan (ruang) publik dan privat, suatu perbedaan yang digabungkan dan perancangan obyek dianggap MVRDV mampu mengubah kualitas dan karakteristik mendatang. MVRDV juga memperhatikan aspek sosial dan berniat bekerja dengan cara percampuran fungsi dan membuatnya menjadi diminati di samping persoalan kepadatan ruang. “MVRDV are daring to take positions outside their own domain. Can architecture become idealistic again? Working on a grand scale, architecture can be an instrument for wider agendas. Maas treats the whole world like early Dutch planners treated Holland. A ring of autonomous cities that are never less interrelated. This represents a shift in scale. Maas envisions architecture as people management and technological possibilities associated with that. This is obviously anti-humanist. The research is the project, not just the building. Sometimes the building is an afterthought.” (MVRDV. 2002)
16
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
Dalam setiap karyanya MVRDV menganggap suatu monumetalitas dapat menadi sarana perlengkapan yang sangat berguna karena menurutnya icons dianggap membantu menghentikan keinginan dan tren publik yang tersembunyi terlihat namun sulit dipahami. Hal ini dapat dianggap sebagia utusan dari suatu keinginan dari generasi mendatang. Usaha perlawanan terhadap gravitasi selalu menjadi cara yang paling sederhana bagi MVRDV dalam membuat suatu obyek arsitektur yang monumental. Karya-karya MVRDV mengarah pada bentangan dataran buatan yang mencerminkan negara industrial sekarang pada umumnya, ini dilakukan MVRDV sebagai usaha penggalian terhadap negara Belanda. Dikarenakan Belanda merupakan negara yang berpopulasi tinggi dan memiliki standar tinggi dalam kemakmuran. Pada saat ini Belanda mementingkan daratan dibandingkan lautannya dan kemungkinan dalam waktu mendatang ruang tambahan yang dibutuhkan akan dipenuhi dengan cara menambah ruang secara vertikal ke atas. “Data is used as an intermediary language, a language that allows the translation of one into another. Data has become the preeminent international language, superseding money. As rejecting specialization, while maintaining the critical perspective of a possible “universal expertise”. As a practice, datascaping permits a high degree of differentiation through which this cryptocriticism reproduces the conceptual structure of marketing. As a method of interpretation, it allows architects to master a world that in reality is far beyond their grasp. A major problem with that is most architects don’t think we should surrender to this system of are not design proposals. Maas states that society can produce more than mediocrity if only architects are willing to take collective demands, desires and fears seriously instead of focusing on their own signature and stardom. Creativity is expressed not as the invention of new forms, but as the reformulation of existing constraints.” (MVRDV, 2006) What shapes and forms can be created from this data? MVRDV PROJECT: DUTCH PAVILION EXPO 2000
Sumber: MVRDV, 2002
17
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
tinggi 50 meter. Ukuran ini tidaklah cocok dnegan istilah paviliun yang pada umumnya merupakan suatu bangunan yang relatif kecil. Dan dari melihat struktur bangunan yang besar ini, tak ada yang dapat menyebutnya sebagai bangunan yang sederhana. Yang terlihat dalam bangunan ini adalah suatu lansekap yang bertumpuk-tumpuk. Pada level paling bawah, tiruan gua dengan bahan semen lengkap dengan suara rekaman ombak airnya, mengingatkan kita pada daratan di bukit pasir. Setelah itu bila kita melihat level berikutnya terdapat bagian tanaman yang diolah, bunga menguning yang diatur dalam pot disinari lampu tanaman yang terang. Di atas tingkatan ini merupakan level utama dan terdapat pepohonan yang dipindahkan ke dalamnya dan hampir seluruhnya diisi oleh tanah yang juga berfungsi sebagai toilet ataupun kloset. Di tingkat berikutnya terdapat pohonpohon besar yang menjadi daratan hutan yang ditinggikan. Hutan ini menjadi tempat hidupnya tumbuh-tumbuhan yang bersaing dengan batang pohon besar yang sebagian berfungsi sebagai (kolom) pendukung. Di atasnya terdapat level ruangan penyaringan, dan pada akhirnya di bagian atas terdapat sebuah danau dengan pulau (ruang VIP) dan kincir angin pada sudutnya. Dalam bangunan ini MVRDV menumpuk daratan berdasarkan sumbernya. Permainan cahaya pada hutan yang mengapung juga danau pada bagian atap sebuah bentang daratan (landscape) yang menjulang tinggi.
Sumber: MVRDV, 2002 Semua ini menurut MVRDV adalah kontradiksi persepsi. Namun disini gambaran alma yang kita punya hampir tidak dapat disamakan dengan kenyataannya. Walaupun begitu, keaslian telah bercampur menjadi citraan (gambaran). Bangunan ini merupakan taman multi-level monumental yang mengambil karakter suatu kejadian. Jenis bangunan ini belum pernah ada sehingga menurutnya bangunan ini juga mendapatkan fungsi sebagai laboratorium yang tidak hanya menghemat ruang, namun juga menghemat energi, waktu, dan infrastruktur. Disebutkan bahwa dengan adanya bangunan ini suatu ekosistem mini telah diciptakan yakni suatu kotak kelangsungan hidup yang tentu juga mencoba untuk menemukan solusi dari kemungkinan kekurangan cahaya dan daratan. Pada waktu yang sama kepadatan dan percampuran fungsi yang mana merupakan karakter dari karya MVRDV membangun suatu hubungan baru. Dengan caranya yang khusus, karya MVRDV dapat dikatakan kontekstual. Dikatakan khusus karena tetap menggunakan kegiatan penelitian yang cukup 18
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
dalam. MVRDV memilih aspek tersebut dari konteks yang umumnya dipilih dan kemudian digambarkan dengan cara yang sangat abstrak,yang juga terbentuk dari data-data umum yang hanya bergantung secara tidak langsung dari alam bentuk dalam mendapatkan kumpulan tapak atau tipe bangunan tertentu yang mirip, atupun kombinasi dari keduanya. Beginilah kecenderungan MVRDV dalam melihat suatu konteks ke dalam pemikiran yang lebih luas. Project yang saya lakukan lebih kepada metode yang digunakan MVRDV dalam membuat sebuah form. Menurutnya, form adalah sesuatu yang menterjemahkan isi, dimana isi itu disusun sedemikian rupa dengan tujuan dan sasaran tertentu sehingga form tersebut mampu berinteraksi dengan sekitarnya, yang membuat arsitekturnya bermakna. “Form helps to display contents. It will be silly to think architecture without forms. We could reason and debate the number of formal aspects in a project. Sometimes terseness helps to achieve your set goals, but at other time an overloads does the same thing.” (MVRDV, 2002) Pemikiran MVRDV yang selalu berorientasi ke masa mendatang menyebabkan pemikirannya bersifat ekstrim dan radikal, cenderung berbeda dari apa yang ada, mencoba menghasilkan sesuatu yang lain. Mereka sangat berpengang pada data hasil dari penelitian secara mendalam, dan data-data itu yang mereka terjemahkan dan menjadi dasar pembentukan form mereka. Penelitian mengenai isu kepadatan membuahkan metode stacking dan layering sebagai bangunan ikon berskala nasional, ia tidak bermain dengan bentuk yang liar, ia tidak bermain dengan skala yang sangat besar, ia tidak mencoba menjadi “stranger”. Sebaliknya, ia bermain dengan “proses penterjemahan”. Mengumpulkan data tentang negeri Belanda, bahwa “Holland makes space”, dengan menciptakan alam buatan yang sesuai dengan karakteristik negeri Belanda. Hutan pinus, bunga tulip, gua dan bar Heinneken, serta kincir angin. Dan penyusunannya itu dilakukan dengan pengurutan data energi, nilai positif dan negatif dari setiap lantai guna menciptakan mini ekosistem. Arsitekturnya tidak hanya memecahkan masalah, tetapi membuat atmosfer baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan menumpuk program per layer, menciptakan suatu keadaan yang anti gravitasi, menciptakan kontra antara batasan publik dan privat serta interior dan eksterior dengan fasad yang transparan, atau bahkan tanpa fasad, yang terpenting isinya dapat diterjemahkan dan berinteraksi dengan baik. “We are interested in this type of transparency,this spatial interization that is not complete or radically interior, but which instead strives to generate a grading and interdependency between interior and external appereance” (MVRDV, 2002). mencoba menterjemahkannya dari segi sebuah objek. Pertama bahan-bahan dijajarkan secara mendatar, kemudian dicoba ditumpuk dalam suatu wadah dengan sifat transparan. Saya sengaja tidak menggunakan sekat diantara bahan karena keterhubungan antara dua lapisan adalah inti dari metode ini. Urutan menumpuknya juga didasarkan atas percobaan untuk menghasilkan rasa, aroma, kualitas, serta tampilan yang diinginkan.
19
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
Yang paling utama haruslah bahan dasar, karena merupakan pondasi (bahannya agak kental dari buah strawberry yang dihancurkan) serta bahan utama untuk membuat minuman ini. Kemudian lapisan atasnya ialah pisang yang masih bersifat padat guna mengurangi rasa asam dari buah strawberry. Kedua buah ini harus berinteraksi terlebih dahulu guna menghasilkan aroma dan rasa yang diinginkan. Lapisan ketiga merupakan gula pasir sebagai pelengkap. Karakteristiknya masih padat, tapi tidak sepadat dua bahan sebelumnya, lebih kecil dan berupa butiran. Tambahkan dark chocolate powder, bentuk padat tapi sudah menyerupai bubuk untuk memberi warna pada , rasa pahit, serta aroma gurih. Yang terakhir lebih bersifat pelengkap sekaligus simbol (ikon), yaitu susu yang diaduk (bersifat busa dan ringan) sehingga orang langsung mengenali. Wadahnya berupa gelas kaca biasa, yang bentuknya tidak aneh-aneh dan bersifat transparan, sehingga ketika orang melihatnya dapat segera menyadari kalau banana strawberry milkshake bentuknya berupa lapisan warna-warni yang saling berinteraksi satu sama lain, bukan gelas dengan larutan yang sudah bercampur aduk. Lapisan per lapisan inilah yang member makna dan jati diri bahwa ia adalah Banana Strawberry Milkshake, bukan gelas luarnya. Geometri selalu berkembang sesuai pemikiran. Untuk itu perlu dipahami bahwa geometri bukan merupakan objek belaka namun merupakan bentuk kerja yang menyertakan objek, bukan sebagai hasil akhir namun sebagai proses yang menghasilkan. Dunia geometri sebenarnya merupakan dunia yang kaya akan potensi yang baru. Geometri mengandung pengertian yang sangat luas. Suatu bentuk geometri adalah sebuah form yang mampu menciptakan suatu persepsi bagi orang yang melihatnya. Karena itu sebuah form perlu dapat bercerita, perlu mengandung proses, isi yang beralur itulah geometrinya. Sehingga pemahaman sempit bahwa geometri hanya berupa titik, garis, bidang yang dikomposisikan dengan aturan-aturan tertentu tidak menjadi relevan lagi. Selalu ada kebebasan kontradiksi dan bersumber pada data (program), sehingga bentuknya mengikuti data yang terkandung di dalamnya.
20
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 4
Daftar Pustaka Davidson, Peter & Bates, Donald L. (2004). Architecture After Geometry. Architectural Design Press. Evans, Robin (1995). The Projective Cast: Architecture and its Three Geometries. London: The MIT Press. Hartono, W. (2007). Geometri sebagai Ekspresi Kebebasan Bentuk. www. arsitektur.net
Widyaningsih, U. (2007). Book Review: Architecture after Geometry. www. arsitektur.net
21