CAPTER 7 THE LEGACY OF ISLAMIC THOUGHT: CONTRIBUTION FOR THE FUTURE
ABDUS-SAMAD AL-PALIMBANI: DATA BARU TENTANG HAYAT DAN KARYANYA Mal An Abdullah IAIN Raden Fatah, Palembang Abstrak: Risalah ini menyajikan data baru mengenai Abdus-Samad alPalimbani. Data dalam naskah manâqib-nya yang tersimpan di Palembang, Faydh al-Ihsânî, dan data dari sumber-sumber lain yang kini tersedia, memungkinkan kita memperoleh perspektif yang lebih utuh untuk memahami Abdus-Samad beserta peran sejarah dan keilmuannya dalam proses peradaban Islam Melayu-Nusantara. Menurut Faydh al-Ihsânî Abdus-Samad dilahirkan di Palembang pada tahun 1130/1737. Ayahnya bernama Abdur-Rahman, bukan Abdul-Jalil. AbdulJalil b. Abdul-Wahhab b. Ahmad al-Mahdali (mufti Kedah 1710-1782, asal Sanaa Yaman) adalah ayah Abdur-Rahman. Ia mernikah dengan Raden Ranti (anak dari Pangeran Purbaya b. Sultan Muhammad Manshur, Sultan Palembang ketiga) dan melahirkan Abdur-Rahman. Pendidikan awal Abdus-Samad berlangsung di Palembang, mengantarnya “memahami Quran dan ilmu agama, dan menjadi hafizh” pada umur sekitar sembilan tahun. Setelah dinikahkan, pada usia baligh yang awal, ia berangkat ke Makkah untuk naik haji, dan kemudian memutuskan untuk menuntut ilmu dan bermukim di sana. Di kota ini ia belajar ilmu-ilmu syariat pada “beberapa puluh” ulama terkemuka dalam masa dua puluh tahun. Setelah itu ia tertarik pada tasawuf, dan akhirnya mendapat bimbingan dari Muhammad b. ‘Abd alKarim al-Samman, pendiri tarekat Sammaniyah, di Madinah, yang kemudian menunjuknya menjadi khalifah tarekat Sammaniyah di Makkah. AbdusSamad menekuni Ihya’ dan mencapai puncak karirnya ketika berhasil mengembangkan tasawuf Al-Gazali (neo-sufisme) secara luas ke lingkungan ulama dan penuntut ilmu umumnya di Arabia, dan mendapat penghargaan tinggi dari mereka. Tidak seperti yang sering diperkirakan, Abdus-Samad pulang dan mengajar berulang kali ke Nusantara, terutama setelah era Sayr al-Sâlikîn. Ia wafat sebagai syahîd di medan juang Kedah melawan Siam pada 17 Dzulqaidah 1254 (1 Februari 1839). Kuburnya, yang dulu disembunyikan, dipastikan berada di Bantrab (Thai: Ban Trap), mukim Jenung, daerah Chenok (Chana), dalam wilayah Senggora (Songkhla), di sebuah kebun karet di pinggir laluan jalan raya antara Chenok dan Senggora. Warisan keilmuan yang ditinggalkan Abdus-Samad, yang teridentifikasi sekarang, berjumlah 26 judul tulisan. Dari 26 judul tersebut, satu di antaranya, yaitu Tuhfat al-Râgibîn fî Bayân Haqîqat Imân al-Mu’minîn wa Mâ Yufsiduhu fi Riddat al-Murtaddîn, masih diperdebatkan apakah karya AbdusSamad atau Al-Banjari. Risalah ini menyajikan data baru mengenai Abdus-Samad al-Palimbani, ulama Melayu-Nusantara terkemuka dari masa komunitas Jawi abad 18-19 di Haramayn. Banyak studi telah dilakukan terhadap Abdus-Samad, pemikirannya dan karya-karyanya. Namun demikian, sepanjang menyangkut biografinya masih sedikit yang berhasil diungkap, dan sebagian harus
~ 1733 ~
1734 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future dikoreksi. Data dalam risalah ini diharapkan membantu kita mendapatkan perspektif yang lebih utuh mengenai peran sejarah dan sumbangan keilmuan Abdus-Samad dalam proses peradaban Islam Melayu-Nusantara, yang bahkan masih berlanjut hingga kini.
Tentang Naskah Faydh al-Ihsânî Sumber penting, jika bukan terpenting, untuk penyusunan biografi AbdusSamad ditemukan di Palembang, berbentuk naskah manâqib yang berada dalam koleksi pribadi Kemas Andi Syarifuddin. Naskah itu berjudul Faydh al-Ihsânî wa Midâdâ li al-Rabbânî (selanjutnya Faydh al-Ihsânî), yang tampaknya merupakan hasil terjemahan dari tulisan lebih awal yang belum ditemukan. Naskah berukuran 28 x 16,5 cm, ditulis di buku tulis bergaris. Di sampul belakang tercetak “Electrische Drukker … Schrijfbehoeftenhandel Firma Ban Si(-)g Hoeat Palembang,” yang memastikan buku tulis itu merupakan hasil produksi akhir Palembang sendiri. Naskah ditulis dengan aksara Jawi (Arab-Melayu), menggunakan tinta biru dan merah. Seperti lazimnya naskah Jawi, penulisan naskah dimulai dari bagian belakang. Setiap lembar diberi nomor urut halaman, yang seluruhnya tertulis 54 halaman. Namun, setelah diperiksa, nomor urut 6 dan 8 terlampaui, sehingga sebetulnya jumlah halaman yang bertulisan hanya 52 halaman. Kebanyakan halaman mengandung tiga belas baris tulisan, namun ada yang lebih dan yang kurang. Di halaman pertama terdapat kolofon mengenai waktu naskah itu mulai ditulis: “memulai saya menulis ini pada tanggal 5-2-tahun 1937.” Sedangkan pada akhir naskah (hlm. 54) terdapat angka “4-3-37”, tanggal selesainya tulisan dikerjakan. Di sampul depan termaktub “yang mempunyai ini khaul Nyayu Halimah.” Menurut telusuran Andi Syarifuddin, Nyayu Halimah adalah penulis naskah tersebut, salah satu keturunan Abdus-Samad generasi ketiga yang ada di Palembang, dari pernikahannya dengan ‘Aisyah bt. Idrus dari Aden, Yaman. Melihat catatan itu kita perkirakan penulisan naskah dilakukan oleh Nyayu Halimah dalam rangka khaul Abdus-Samad. Bila dihitung berdasarkan kalender Hijriyah, tarikh penulisannya dimulai dari 24 Dzulqaidah sampai 21 Dzulhijjah 1355. Informasi ini sejalan dengan data pada manuskrip Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), MSS 2367, bahwa haul Abdus-Samad adalah “pada malam yang ketujuh belas daripada bulan Dzulqaidah.”. Mengenai siapa penulis awal manâqib ini, tidak ditemukan namanya dalam teks. Penulismya hanya menggambarkan dirinya sebagai “hamba Allah Ta’âlâ yang lemah lagi hina, yang faqir daripada segala murid, dan yang terlebih dhaif daripada segala mereka itu di dalam menjalani tarekat” (hlm. 7). Tetapi dari isi teks dan gaya bertuturnya (misalnya, dan menceritai Syaykh akan daku …), kita perkirakan ia mempunyai hubungan yang dekat dengan Abdus-Samad. Besar kemungkinan ia adalah Syaikhah Fathimah bt. Abdus-
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1735
Samad1 yang dicatat oleh Muhammad Yasin ‘Isa al-Padani sebagai anak Abdus-Samad yang bermukim di Makkah. Kelahiran dan Garis Nasab Tidak seperti sumber-sumber lain, Faydh al-Ihsânî memiliki informasi pasti tentang tahun kelahiran Abdus-Samad. Yaitu “ia diperanakkan pada tahun seribu seratus lima puluh tahun daripada hijrah Nabi Muhammad Saw … di dalamnya negeri Palembang” (hlm. 12). Atau kalau dihitung menurut kalender Masehi bersamaan dengan tahun 1737. Informasi yang jelas ini membantu kita menyelesaikan perdebatan yang ada. Sedikitnya terdapat tiga perkiraan tentang kelahiran AbdusSamad: 1704, 1714, dan 1719. Semua perkiraan itu (dari Quzwain, Azra, Abdullah, dan Laffan)2 dibuat berdasarkan Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah (selanjutnya Al-Tarikh). Menurut mereka, Abdus-Samad adalah anak Syeikh Abdul-Jalil al-Mahdani (Mufti Kedah 1710-1782) dari pernikahan dengan perempuan Palembang bernama Raden Ranti. Terhadap perkiraan tersebut, data Faydh al-Ihsânî adalah koreksi yang menyelesaikan. Mengenai nama ayahnya, Faydh al-Ihsânî menyebutkan pada tiga tempat dengan identifikasi sama, yaitu AbdurRahman: “… yaitu Syaykh Abdus-Samad yang anak Abdur-Rahman …” (hlm. 5), “… yaitu penghulu kita Syaykh Abdus-Samad yang anak Abdur-Rahman alJawi Palimbani negerinya …” (hlm. 7), dan “… yaitu Syaykh Abdus-Samad yang anak Abdur-Rahman al-Jawi Palembang negerinya …” (hlm. 11). Adapun kelahirannya, telah disebutkan, “ia diperanakkan pada tahun seribu seratus lima puluh tahun daripada hijrah Nabi Muhammad Saw … di dalamnya negeri Palembang” (hlm. 12). Dengan angka tahun kelahiran 1150/1737, tentu saja anak AbdulJalil yang dilahirkan tahun 1714 atau 1704 dari pernikahan dengan Raden Ranti bukanlah Abdus-Samad. Saya menduga anak Abdul-Jalil yang dimaksudkan itu ialah Abdur-Rahman, “ayah Abdus-Samad”, tetapi karena kekeliruan pencatatan tidak lagi tertulis sebagai “ayah.”3
1 Fathimah bt. Abdus-Samad al-Jawi al-Palimbani dikenal sangat berilmu dan dicatat menjadi guru dari banyak ulama Melayu-Nusantara. 2 Tahun 1704 diajukan oleh M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) dan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007). Tahun 1714 diperkirakan oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Syeikh Abdus Shamad Palembang: Ulama Sufi dan Jihad Dunia Melayu (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996). Sedangkan tahun 1719 disimpulkan oleh Michael Francis Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of Sufi Past (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2011). 3 Terdapat kesan kuat pada Mohd. Isa Othman bahwa Muhammad Hasan menulis Al-Tarikh, selain atas dasar sumber tertulis, juga banyak memanfaatkan sumber-sumber
1736 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Karena itu, jika data ini kita terima, garis nasab Abdus-Samad4 ialah Abdus-Samad b. Abdur-Rahman b. Abdul-Jalil b. Abdul-Wahhab b. Ahmad al-Mahdani (tetapi lebih tepat al-Mahdali, w. 1196/1782). Dengan susunan tersebut, yang mendudukkan Abdus-Samad sebagai anak AbdurRahman dan Abdur-Rahman anak dari Abdul-Jalil, dan ibunya sendiri (isteri Abdur-Rahman) juga “asli” Palembang, dapat dimengerti mengapa Abdus-Samad tidak pernah menisbahkan diri sebagai sayyid (seperti ditemukan Azra dalam sumber-sumber Arab). Sebaliknya, ia menyebut dirinya “al-Jawi”, identitas yang di Haramayn hanya digunakan oleh ulama, penulis dan penuntut ilmu dari komunitas Melayu. Sebuah pertanyaan: mengapa Abdus-Samad lebih tepat bermarga AlMahdali, bukan Al-Mahdani? Seperti telah dikemukakan, Azra mencatat sumber-sumber Arab menyebut Abdus-Samad sebagai Sayyid, dan ini terlihat misalnya pada Al-Baythar.5 Merujuk informasi ini, Abdus-Samad pasti bernasab Al-Mahdali, sebab “Al-Mahdani” bukan tergolong sayyid. Pertanyaan lain ialah siapa sesungguhnya Raden Ranti, isteri yang dinikahi Abdul-Jalil? Sebuah manuskrip tahun 1867, yang bertajuk Silsilah Anak-anak Bangsawan Palembang, mencatat Raden Ranti sebagai anak ke-15 (anak terakhir) dari Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya sendiri adalah anak laki-laki “tertua” dari Sultan Muhammad Mansur, Sultan Palembang kedua (memerintah 1706-1714). Ia berkedudukan sebagai putra mahkota tetapi tidak pernah naik tahta karena wafat lebih dulu dari ayahnya. Sebab itu dapat kita pastikan, dari sisi nenek perempuannya, Abdus-Samad adalah bagian dari kerabat Keraton Palembang yang mempunyai nasab ke atas yang terhubung lurus dengan Sultan. Masa Kecil dan Pendidikan Faydh al-Ihsânî menyimpan gambaran tentang masa kecil Abdus-Samad. Ia tidak lama merasakan asuhan ibunya: “dan adalah dahulu daripada sampai umurnya setahun maka lalu ibunya ke rahmat Allâh Ta’âla, maka jadi ia yatim di dalam rabbânî amat mudanya …” Berikutnya, ia harus dibesarkan tidak bersama ayahnya; “… tatkala sampai umurnya kira-kira sembilan tahun berpindah bapanya kepada negeri yang sejahtera …” Dan kepindahan itu didahului dengan kepergian ayahnya yang “… musafir kemudian daripada mati ibunya dengan kira-kira beberapa hari” (hlm. 12). Namun demikian ketiadaan ibu dan ketidak-hadiran ayah tidak menghalangi Abdus-Samad memperoleh pendidikan agama yang baik di negerinya sendiri. lisan, seperti yang tersirat dari ungkapan-ungkapannya: “demikian kisahnya,” “demikian kata yang empunya cerita.” 4 Kajian Laffan sudah menempatkan Abdus-Samad sebagai cucu Abdul-Jalil. Tetapi ia masih keliru memperkirakan tahun lahirnya, sekitar 1719. Lihat Laffan, op cit., hlm. 29. 5 ‘Abd al-Razzaq al-Baythar, Hilyat al-Basyar fî Târîkh al-Qarn al-Tsâlits ‘Asyar (Damaskus: Mathbû-’at Majma’ al-Lugat al-‘Arabiyah, 1993), hlm. 851.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1737
“Dan setengah daripada yang dinugerahi ia akan daku oleh Allâh Ta’âlâ dengan dia bahwa memudahkan atasku belajar mengaji Quran pada tajwidnya di dalam semudah-mudah masa daripada zaman itu dengan tiada bersusah-susah. Dan tiada ketakutan daripada kurang mengajar akan daku itu, kerana nikmat yang menugerahi Allâh Ta’âlâ akan daku dengan dia daripada paham dan hâfizh yang telah” (hlm. 13-14). Guru yang dikenangnya dari “masa Palembang” ini ialah Sayyid Hasan b. Umar Idrus, ketika “… melazimkan ia bagi rumah imam yang mempunyai ma’rifat pada pengetahuan akan Allâh Ta’âlâ, yaitu yang menarikkan akan kita, Sayyid Hasan yang anak Sayyid ‘Umar ‘Idrus, yang pilihan daipada anak cucu Nabi penghulu segala anak ‘Adnan, karena menuntut ilmu dan memaham dalam igama dan membaikkan tajwîd membaca Quran.” Sayyid Hasan berupaya membentuk pola kesehariannya, “maka menilik akan dia dengan tilik peliharaan dan bersungguh-sungguh ia dengan membaikkan akan kelakuannya itu …” Didikan sang guru meninggalkan kesan mendalam sehingga Abdus-Samad merasa: “Tiada hasil bagiku akan berkat yang sempurna melainkan daripada berkat beberapa perkataan yang ‘âlim ini lagi ‘allâmah yang shâlih lagi warâ’ (hlm. 14-15). Abdus-Samad bersyukur karena di masa kecil tidak tergoda untuk banyak bermain: “ketiadaan berpaling aku kepada perbuatan orang … pada masaku … kebanyakan kanak-kanak.” Hal itu dirasakannya bermanfaat untuk “menjadikan akan daku faqir kepada Allah Ta’âlâ daripada masa adaku kecil hingga bahwa aku jadi besar.” Dari ibu bapanya ia mendapat peninggalan harta berupa “dua peti daripada pakaian perak dan kain sutera … baik-baik.” Tetapi ia menggunakannya tidak lama, “maka hilang binasa keduanya itu dahulu daripada aku ‘aqil balig.” Ia tidak menyesalinya, “maka tiada aku berpaling kepada keduanya” karena merasa jalan hidupnya seperti mengikuti jalan hidup Nabi Saw.: “aku ketahui bahwa Allah Ta’âlâ menjadikan Ia akan daku mengikut dengan penghulu tempat kita berpegang, yaitu Nabi Muhammad Saw. (hlm 13). Ada lagi pengalaman masa kecil yang diceritakan dalam Faydh alIhsani. Ia menyaksikan kesucian laylat al-qadr: “dan menceritai Syaykh akan daku bahwasanya adalah ia melihat pada ketika kecilnya akan laylat al-qadr yang amat besar alamat kelakuannya itu; dan melihat ia di dalam laylat al-qadr itu daripada beberapa yang ajib-ajib, yang tiada dapat dihinggakan oleh qalam al-bayân” (hlm. 15). Makkah dan Karir Keilmuan Setelah berhasil “memahami Quran dan ilmu agama, dan menjadi hafizh” pada usia sekitar sembilan tahun, Abdus-Samad berangkat menuju Makkah untuk menunaikan haji. Menurut Faydh al-Ihsânî keberangkatan itu dirasakannya sebagai anugerah Allah, karena ia tidak mengira sedemikian cepat. Abdus-Samad menerima isyaratnya melalui mimpi:
1738 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Dan adalah sebab perginya naik haji ke Bayt Allâh al-Harâm bahwasanya ia melihat pada satu malam di dalam mimpinya akan panji-panji yang hijau yang amat besar, padahal lalu di atas hawa kepada pihak Makkah al-Musyarrafah hingga sampai ia kepada tempat yang demikian itu. Maka senantiasa ia daripada kemudian itu mencita-cita ia dengan berkehendak pergi naik haji hingga dimudahkan akan dia oleh Allâh Ta’âla atasnya di dalam tahun yang demikian itu jua (hlm. 15).
Tidak diceritakan pada tahun berapa Abdus-Samad berangkat ke Makkah, namun diduga masih pada umur balig-nya yang awal. Ayahnya sebetulnya tidak ingin ia pergi secepat itu. Ayahnya (bahkan) meminangkan dan memperisterikan dia dengan “… anak perempuan setengah daripadanya Wazir Sultan” (hlm. 16). Faydh al-Ihsânî tidak menyebutkan siapa nama isterinya itu, tetapi sepanjang dapat ditelusuri ia bernama Masayu Siti Hawa. Setelah tiba di Makkah, Abdus-Samad memutuskan untuk menuntut ilmu dan bermukim di sana. Di Makkah, ia belajar ilmu-ilmu syariat pada sejumlah ulama terkemuka, selama kira-kira dua puluh tahun. “Maka bersungguh-sungguh ia di dalam menuntut ilmu syariat yang zahir dari beberapa puluh, di dalam mengaji ilmu, atas beberapa bilangan daripada masyâikh yang besar-besar. Dan masa menuntutnya Syaykh itu akan ilmu syari’at yang zahir itu kira-kira dua puluh tahun” (hlm. 16). Di antara guru-guru Abdus-Samad periode ini, ada enam nama yang disebut dalam Faydh al-Ihsânî. Yaitu (Muhammad) Sa’id b. Muhammad Sunbul, ‘Abd al-Gani b. Muhammad al-Hilali, Ibrahim b. Muhammad Zamzami al-Ra’is, Muhammad b. Sulayman al-Kurdi, Sulayman ‘Ujayli (yang mashur dengan Jamal al-din), dan ‘Atha’ Allah b. Ahmad. Selain mereka tentu masih banyak guru yang namanya tidak tercantum: “dan yang lain daripada mereka itu daripada beberapa ulama yang terlebih tahu atas mereka itu rahmat Tuhan Malik al-Salam” (hlm. 19). Dari semua gurunya AbdusSamad berupaya mendapatkan kelebihan masing-masing, sebab “banyak yang mashur-mashur segala mereka itu dengan kelebihan dan shalih-shalih daripada orang Makkah yang maha murah, dan orang Madinah yang munawwarah, dan orang Mesir yang qâhirah, yang mempunyai pengetahuan bau ilmu yang harum-harum, yakni ilmu yang manfaat bagi manusia” (hlm. 17). Karir keilmuan Abdus-Samad berkembang cepat. Pada tahun 1767, ketika berumur 30 tahun, ia sedikitnya telah menghasilkan tiga karya tulis, Zuhrat al-Murîd fî Bayân Kalimat al-Tawhîd, Risâlah fî Bayân Asbâb Muharramâ li al-Nikâh dan Risâlah Mi’râj. Selain aktif belajar dan mencari guru, pada periode ini ia juga menjadi guru. Menurut Faydh al-Ihsânî, ia bahkan menyelenggarakan madrasah. Tasawuf dan Lanjutan Karir Setelah menjalani masa belajar yang mengutamakan ilmu-ilmu syariat, menurut Faydh al-Ihsânî Abdus-Samad berpikir tentang ”kebanyakan kitab ilmu hakikat yang meliputi atas beberapa rahasia yang halus-halus.” Pada
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1739
mulanya ia melihat perkataan di dalamnya “tidak mufakat dengan syariat yang pilihan.” Jika seseorang mnemuinya untuk mengkaji kitab seperti itu, ia menolaknya dan meminta kitab itu dibawa keluar dari rumahnya (hlm. 2021). Mendekati masa jadzbah ilahiyah, “supaya jadi yang dikehendaki bagi yang terdahulu baginya daripada ‘inayah (pertolong) pada azal,” Abdus-Samad menemukan suatu pengalaman baru. Ia merasa diseru oleh “suara hakikat yang sebenarnya: … carilah kepada kami hamba orang yang berpaling daripada kami, yang menjauh dengan dia kehendaknya, dan menjauh ia akan tempat ziarahnya, … hampirkan dirimu dengan hadirat kami supaya engkau dapat pakaian kemuliaan dan kemegahan” (hlm.20). Abdus-Samad merasa hatinya terpaut pada tasawuf, semakin lama semakin kuat. Ia memasuki “perhimpunan penghulu orang yang sufi,” yang sudah diikuti sahabatnya sesama Palembang, Dhiyauddin al-Palimbani. Buku tasawuf pertama yang dipelajarinya ialah karya ‘Abd al-Wahhab alSya’rani, Madârij al-Sâlikîn (ila Rusûm Tharîq al-‘Ârifîn). Sesudah itu ia mendalami kitab al-Gazali, Bidâyat al-Hidâyah dan Minhâj al-‘Âbidîn, yang disebutnya sebagai “… dua kitab itu yang amat besar di dalam bicara ‘âlim ilmu tarekat” (hlm. 21). Abdus-Samad menelaah kitab-kitab tasawuf itu terus menerus pada siang hari. Pandangannya berubah. Jika melihat perkataan Sufi yang menafikan “ilmu wahdat al-wujûd,” ia berkata “perkataan ini yang amat besar, dan bukannya aku daripada orang yang sampai menguraikan isyaratya per susunannya dan bagi segala rahasianya.” Untuk mengambil berkatnya, kini kitab itu disimpannya di dalam rumah. Kesungguhan menekuni tasawuf mendatangkan ilham padanya untuk berziarah ke kota Madinah, mencari guru mursyid di sana. Di Madinah Abdus-Samad mengambil talqîn tarekat Syathariyah di rumah Ibrahim (b. Muhammad Abu Thahir b. Ibrahim) al-Kurani. Ia juga mengikuti pembacaan râtib Ahmad al-Qusyasyi (guru Al-Kurani) dalam halaqah di madrasah yang diasuh keturunan-nya, Ahmad Abu al-Sa’adah. Ia pun mengambil ijazah atas râtib tersebut. Abdus-Samad belum merasa menemukan guru sufi yang dimaksudkannya. Tetapi tiba-tiba ia ingin kembali ke Makkah. Dalam perjalanan, pada waktu singgah di Jeddah, ia bertemu dengan Shiddiq alMadani b. ‘Umar Khan. Shiddiq bercerita tentang keutamaan gurunya di Madinah, Muhammad b. ‘Abd al-Karim al-Samman al-Qurasyi al-Madani (1130/1717-1189/1775). Abdus-Samad sangat menyesal, penuh duka hati, karena semasa di Madinah tidak mendengar berita tentang dirinya. Shiddiq berkata: “Demi Allâh Ta’âlâ sesungguhnya telah luput engkau kebajikan yang amat besar” (hlm. 24-25). Sesudah berada di Makkah, ia membaca risalah mengenai Al-Samman dan sebuah kitab tulisannya yang membuat desakan hatinya tidak tertahankan “maka tatkala membaca ia akan orang yang di dalamnya itu …
1740 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future hampir ia hendak terbang pergi … kerana birahi … mendapati akan dia.” Abdus-Samad pergi ke Madinah lagi. Ia menemui Al-Samman dan memutuskan untuk berguru penuh padanya. Ia pun menyuruh isterinya Halimah (yang menyertainya) kembali ke Makkah “dan putuslah ia padanya.” Abdus-Samad akhirnya ditunjuk menjadi khalifah Al-Samman di negeri Makkah. Mengikut Faydh al-Ihsânî (hlm. 25-29) penunjukan itu terjadi melalui proses dan tahap-tahap bimbingan Al-Samman yang kaya dengan pengalaman ruhani: Maka pergi ia … ke negeri Madinah dengan niat berjumpa dengan dia dan menuntut dari-pada berkatnya, dan turun ia dekat daripada rumahnya; dan pergi ia kemudian daripada ziarah Rasulullah Saw. kepadanya. Dan … tiap-tiap ketika berulang-ulang kepadanya tatap adalah tiada berceraikan akan dia melainkan kerana sangat hajat yang tak dapat tiada yang zahir padanya. Dan mengambil ia daripadanya akan tarekat dan berhubung ia dengan kaum mereka ahli sufi. Dan melazimkan ia akan dia, dan rapat dengan dia. Dan (ber)hasil ia dibukakan ilmu hakikat di dalam semudah-mudah masa, dan fana’ ia di dalam Syaykh itu; dan hapus ia daripada memandang akan yang lain dari-padanya, dan jadi ia tiada melihat akan wujud sekalian melainkan melihat akan dia. Dan kekal sertanya pandang ini selama beberapa hari lamanya. Kemudian maka memindahkan Allâh Taâlâ akan dia kepada maqâm yang … amat tinggi daripadanya dan yaitu fana’ kepada Nabi kita Muhammad Saw. Melihat akan dia mulia yang memenuhi wujud sekalian, dan sirr di dalamnya rahasianya yang amat besar. Maka masukkan ia akan dia daripada pintunya yang amat tinggi, dan melihatkan ia akan dia keelokan Zaynab dan Asma’, dan fana’ ia kepada Haqq Subhâna Allâh Ta’âlâ. Dan lenyaplah ia dengan meminum tuak syuhûd akan Allâh Taâlâ, dan gaib ia daripada panca inderanya, dan mesra di dalamnya cahaya wahdat al-wujûd. Wa akhbaranî r.a. annahu kâna yawma jâlisâ fî dârihi waqt al-zhahirat dhuha hari. Maka tatkala ia hendak keluar, menyeru akan dia oleh Syaykh kepadanya dan mendudukkan ia akan dia pada hadapannya, dan menyatakan ia atasnya akan satu faedah daripada ilmu sirr. Maka tatkala dengar ia akan yang demikian itu daripadanya, maka jatuh rahasianya di dalam hatinya seperti jatuh anak panah pada ketika itu, berubah kelakuan pada ketika itu jua, dan lagi ia akan dirinya, dan heran ia, dan jadi ia menangis yang memberi rindu baginya di dalam hati. Dan pada hatinya ber-nasyid guru kita Al-Syaykh Muhammad Samman: al-nâru tadhûmu fî qalbî wa fî kabadî syawqâ ila nûr, artinya bermula api syawq itu telah nyata dalam hatiku dan fu’ad-ku kerana syawq aku kepada nûr dan Tuhan yang wâhid al-shamad. Maka nugerai olehmu engkau dengan nûr dan Allah Yang Esa, hingga aku gaib daripada martabat tawhîd kepada murid ahadiyah. Menugerahi Tuhan dengan dia pada ketika itu jua tersebut ilmu hakikat yang melainkan ia akan hatiku daripada jasadku. Maka jadilah aku syuhûd akan Allah Ta’âlâ pada tiap-tiap yang turun padaku kerana pertolong(an) daripadanya di dalam dekat dan di dalam jauh. Tsumma raddahu ilâ maqâm … wa amarahu Artinya kemudian mengembalikan Syaykh itu akan dia daripada maqâm al-fana’ kepada maqâm al-baqa’. Dan memagihi ia akan dia makanan orang yang sufi. Dan menyuruh ia akan dia menunjukkan akan segala hamba Allah Taâlâ di dalam jalani tarekat. Dan memberi izin ia di dalam sirr ke negeri Makkah yang dijadikan Allah Ta’âlâ akan dia negeri yang aman hingga hari kiamat.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1741
Mengenai aktivitas dan karirnya dalam tasawuf, Faydh al-Ihsânî memberi gambaran yang cukup rinci. Setelah masa bimbingan Al-Samman, Abdus-Samad memperkaya khazanah tasawufnya secara berlanjut; kitabkitabnya dalam ilmu zahir, baik ‘aqli maupun naqli, “kebanyakan dijualnya, digantikannya akan dia dengan beberapa kitab penghulu kita orang yang sufi”. Ia sering ber-khalwat, dan tiap-tiap tahun pergi berziarah ke kubur ‘Abd Allah b. ‘Abbas di Thaif. Peran dan kepemimpinan Abdus-Samad dalam tarekat Sammaniyah setelah ditinggal wafat oleh pendirinya Al-Samman (w. 1189/1775) tampak menonjol. Menurut Faydh al-Ihsânî, Abdus-Samad adalah tokoh pertama “… yang berjalan pergi ke tempat mawlûd al-Nabi, yakni tempat Nabi diperanakkan, dengan mengarak berapa bendera daripada beberapa sahabat Sayyidi al-Syaykh Muhammad Samman pada malam mawlid al-Nabi …” Zawiyah-zawiyah Sammaniyah didirikan untuknya di banyak tempat (Makkah, Madinah, dan Thaif), dan beberapa rumah juga diwakafkan bagi keperluan tersebut (hlm. 31-32). Puncak Karir dan Masa Akhir Setakat ini karir keilmuan Abdus-Samad sering dikukiskan berpuncak pada Sayr al-Sâlikîn. Tidak lama setelah karya besarnya ini, yang selesai ditulis pada tahun 1203/1788, ia diperkirakan meninggal dunia. Argumentasi yang diajukan ialah karena setelah Sayr al-Sâlikîn tidak dijumpai lagi tulisan tertentu yang berasal dari Abdus-Samad. Untuk menilai argumentasi tersebut, Faydh al-Ihsânî memang tidak menyediakan informasi apapun. Tetapi bukti-bukti lainnya yang ada sekarang membuat kesimpulan itu harus dikoreksi. Al-Baythar6 memberitakan pada tahun 1206/1791-2 Abdus-Samad melakukan kunjungan ke Zabid, Yaman. Al-Baythar sendiri mengambil informasi itu dari sumber yang kuat: kamus biografi Al-Nafs al-Yamânî yang ditulis oleh murid Abdus-Samad yang bernama ‘Abd al-Rahman al-Ahdal. Karena itu tidak heran bila sumber-sumber Arab memastikan bahwa sampai tahun 1206/1791-2 ia masih aktif mengajar dan berkarya. Dalam kamus biografinya itu, Al-Ahdal menempatkan Abdus-Samad dalam kategori ulama utama yang mengunjungi Zabid dan melewatkan waktunya di sana terutama untuk mengajar. Ini menunjukkan fase baru dalam karir keilmuan Abdus-Samad: pengembangan tasawuf (tepatnya neosufisme) yang meluas ke lingkungan para ulama dan penuntut ilmu umunya di Arabia, di luar komunitas Jawi, dan mendapat penghargaan tinggi dari mereka. Dan periode ini berlangsung sesudah era Sayr al-Sâlikîn (1203/1789).
6
‘Abd al-Razzaq al-Baythar, op cit., hlm. 852.
1742 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Dengan jaringan murid dan keilmuan yang sedemikian luas, periode ini adalah puncak karir keilmuan Abdus-Samad. Pada masa inilah kelihatannya lahir karya besarnya yang selalu disebut oleh sumber-sumber Arab, Fadhâ’il al-Ihyâ’ li al-Gazâli. Selain itu, tampaknya dari masa ini pulalah lahir karyanya yang lain, yang disebut oleh Faydh al-Ihsânî, yaitu Sawâthi’ al-Anwâr. Tentang peran dan penghargaan terhadap Abdus-Samad di Timur Tengah, catatan Al-Ahdal memberikan informasi yang sangat bernilai. Nama lengkapnya Wajih al-Din ‘Abd al-Rahman b. Sulaiman b. Yahya b. ‘Umar Maqbul al-Ahdal (1179/1766-1255/1839), berasal dari keluarga sayyid di Arabia selatan yang termashur dengan keunggulan di bidang keagamaan. Garis keturunan Al-Ahdal terhubung dengan Imam Ja’far alShadiq, antara lain melalui tokoh yang dikenang sebagai Quthb al-Yaman, Abu al-Hasan ‘Ali b. ‘Umar b. Muhammad al-Ahdal. Abdus-Samad berkunjung ke Zabid pada 1206/1791-2 sembilan tahun setelah Al-Ahdal ditunjuk sebagai Mufti. Al-Ahdal7 menggambarkan Abdus-Samad sebagai generasi ulama masa itu yang sangat terpelajar, yang terkenal saleh dan memiliki pemahaman Islam yang sungguh mendalam. Ia diberitakan sebagai ulama yang produktif berkarya dan menguasai bidang ilmu yang berbagai. Ketika itu Abdus-Samad sudah sekian lama menekuni tasawuf dan memusatkan kesibukannya untuk menulis buku-bukunya tentang Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn. Ketika tiba di Zabid, Abdus-Samad melanjutkan ajakan mengkaji Ihya’. Al-Ahdal bersyukur (dan ia memuji Allah) karena membaca kitab tasawuf tersebut di bawah bimbingannya dari awal setiap rubu’. Al-Ahdal meminta Abdus-Samad memberinya ijazah atas Ihya’ agar ia terhubung dengan kebaikan para ulama yang meriwayatkannya dan memperoleh manfaat dari semua kandungan ilmunya. Abdus-Samad menulis ijazah yang sangat panjang, suatu cara yang menurut Al-Ahdal lazim dilakukannya jika seorang murid datang dengan pertanyaan yang terinci dan ia melihat kebaikan pada si murid. Ia juga akan menjelaskan aspek-aspek hukum dan tata adabnya untuk memantapkan pengamalannya, dan murid pun niscaya memahaminya dengan mudah. Abdus-Samad menerangkan kepada AlAhdal adab-adab berfatwa dan syarat-syarat mufti: tidak cukup hanya bertanya tentang fakta-fakta pada kasusnya tetapi juga mencermati relevansinya dengan situasi sekitar terkait aspek-aspek hukum yang akan difatwakannya. Al-Ahdal mengagumi Abdus-Samad sebagai tokoh yang tidak tergoda oleh pesona duniawi. Ketika seorang murid terbaiknya meminta ia berkenan menulis buku baginya, ia beranjak menuju simpanan bukunya dan 7 ‘Abd al-Rahman b. Sulayman Al-Ahdal, Al-Nafs al-Yamânî wa al-Rûh al-Rayhânî fî Ijâzat al-Qudhât Banî al-Syawkânî (Sana’a: Markaz al-Dirasat wa al-Abhats al-Yamaniyyah, 1979), hlm. 138-143.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1743
mempersilakan si murid untuk mengambil buku yang diinginkannya. Sang murid mengambil sejumlah buku yang harganya dinilai Al-Ahdal sungguh mahal. Al-Ahdal adalah contoh ulama Zabid yang namanya tercantum dalam Faydh al-Ihsânî (hlm. 49-54). Selain dirinya, dan “sekalian anak cucu laki-laki keluarga Ahdal,” Faydh al-Ihsânî mencatat pula nama-nama mashur lain yang juga menjadi muridnya seperti: Amr Allah b. ‘Abd al-Khaliq alMizjaji, Yusuf b. Muhammad ‘Ala’ al-din al-Mizjaji dan sekalian penghulu Mizjaji, ‘Umar b. Isma’il al-Musyarri’ dan sekalian anak cucu Musyarri’, Muhammad b. ‘Abd Allah b. Ahmad al-Zufari, Faqih ‘Abd Allah b. Ahmad al-Khairi, ‘Ali b. ‘Abd al-Barr al-Husayni al-Wana’i, dan Muhammad ‘Abd al-Khaliq b. ‘Ali al-Mizjaji. Terdapat catatan Faydh al-Ihsânî yang tampaknya menyangkut periode ini. Ketika meriwayatkan keberhasilan Abdus-Samad mengubah pandangan banyak orang terhadap tarekat, Faydh al-Ihsânî mencatat khusus bahwa “di dalam kebanyakan negeri, seperti pula negeri Makkah dan segala pewahannya (?) dan negeri Jawi dan negeri Yaman yang masyhur dengan ahlinya itu, sangat mereka itu mungkir atas orang yang mempunyai ilmu rahasia, maka kemudian … Syaykh mehela daripada mereka itu akan segala hati mereka … menjadi mereka itu kasih kepada Syaykh dan kepada ilmu rahasia, dan menzahirkan ia bagi mereka itu akan ilmu rahasia yang ada dahulunya terdinding daripada mereka itu” (hlm. 48-49). Penting diperhatikan, negeri Jawi dicatat khusus sebagai salah satu tempat berlangsungnya upaya intensif yang digambarkan itu. Informasi ini mendukung cerita tutur bahwa Abdus-Samad bukan hanya mengajar di Arabia tetapi juga di berbagai wilayah Melayu-Nusantara. Menurut tradisi lisan Palembang, misalnya, Abdus-Samad mengantarkan anak perempuannya Ruqayyah untuk berdiam di lingkungan kerabat asal mereka di sini. Ia juga datang menikahkan Ruqayyah dengan Kiagus Muhammad Zayn b. Syamsuddin (cucu ulama besar Palembang Faqih Jalaluddin) yang pernah belajar pada Abdus-Samad di Haramayn. Setelah Ruqayyah memperoleh anak, ia kerap melihat perkembangan cucu-cucunya, termasuk pada 1818 setelah Ruqayyah melahirkan anaknya yang keempat.8 Dalam setiap kunjungan yang diceritakan tersebut Abdus-Samad selalu mengajar. Mengikut cerita tutur Terengganu dan Pahang, Abdus-Samad juga berkali-kali pergi dan mengajar di Patani dan dua wilayah itu. Abdus8 Tradisi lisan Palembang, termasuk dari keturunan Abdus-Samad, mengenang pernikahan Ruqayyah melalui riwayat yang mengesankan. Ia mengalami semacam “mati suri” yang cukup lama. Keluarga di sini pada waktu itu hanya bisa berdoa agar ia sadar dan sembuh, dan agar Abdus-Samad dapat hadir bersama mereka. Abdus-Samad, di luar dugaan, tiba-tiba datang, berdoa, dan Ruqayyah kemudian pulih. Ia kemudian dinikahkan oleh Abdus-Samad dengan Kiagus Muhammad Zayn. Dari pasangan ini Abdus-Samad memperoleh tiga orang cucu perempuan dan seorang cucu laki-laki.
1744 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Samad juga mempunyai isteri asal Patani, dan anaknya (yang diberi nama sama dengan ayahnya) Abdur-Rahman semula juga berdiam di Patani. Atas petunjuk Abdus-Samad, pada 1810 ia pindah ke Kemaman (Terengganu), menetap di Kampung Tuan. Begitu pun Haji Senik (bangsawan Patani, murid Abdus-Samad), dan para pengikutnya, ikut pindah ke Kemaman dan akhirnya menetap di Beserah (Pahang), juga atas petunjuk Abdus-Samad. Informasi tertulis tentang Abdus-Samad pada masa sesudah 1206/1791-2 sejauh ini hanya tersedia dalam sumber-sumber Melayu. Dalam Al-Tarikh terdapat catatan bahwa “pada sa-puloh haribulan Muharram tahun Hijriyah sa-ribu dua ratus empat puloh empat (1244)” Tunku Muhammad Saad (sepupu Sultan Kedah) bermufakat dengan Abdus-Samad, Dato’ Kema Jaya Pulau Lengkawi dan para hulubalang untuk membuat angkatan yang kuat untuk merebut kembali kota Kuala Kedah yang jatuh ke tangan Siam (kini Thailand). Merujuk Al-Tarikh, Abdus-Samad menyertai perjuangan Muhammad Saad, sampai mereka berhasil merebut kota Kuala Kedah hingga ke wilayah Hatyai. Tetapi serangan balik besar-besaran oleh pasukan Siam membuat wilayah itu terlepas kembali. Abdus-Samad diberitakan menjadi syahîd dalam peperangan di sekitar Hatyai. Peristiwa kemenangan dan kekalahan Muhammad Sa’ad tampaknya tidak terjadi segera pada 1244/1828. Menurut sejarawan Kedah kemenangan angkatan Muhammad Saad terjadi pada 1838, sedangkan kekalahannya pada tahun berikutnya, Februari 1839. Dengan demikian, jika data ini kita terima, Abdus-Samad menyertai (persiapan) perjuangan Kedah selama hampir sebelas tahun. Dalam rentang masa tersebut besar kemungkinan Abdus-Samad telah pergi ke banyak tempat di wilayah Melayu-Nusantara. Ada cerita tutur bahwa ia pernah menemui sahabat-sahabatnya di Banjar dan mengajak mereka berjihad ke Patani. Di Palembang ia juga pernah menceritakan rencananya berjihad tersebut. Bahkan ada kemungkinan ia masih sempat pulang ke Haramayn.9 Terhadap kesimpulan di atas, ada dua soal yang diperdebatkan. Pertama, apakah Abdus-Samad pada masa perang Kedah melawan Siam yang diidentifikasi tersebut masih dalam masa hayatnya yang mungkin berperang? Kedua, perang Kedah melawan Siam yang manakah yang dimaksudkan itu? Mengenai soal pertama, penulis seperti Quzwain dan Azra menolak kemungkinan Abdus-Samad ikut berperang di Kedah mengingat umurnya yang sudah sedemikian tua. Berpegang pada tahun kelahiran 1704, mereka 9 Bahwa Abdus-Samad pulang ke Tanah Jawi berkali-kali, tersirat juga dalam catatan Faydh al-Ihsânî tentang kesaksian seorang muridnya mengenai karâmah yang dialaminya dalam pelayaran bersama Abdus-Samad: “… pada hari kami berlayar sertainya darpada negeri Arab kepada kufur Jawi …” (hlm. 43).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1745
menghitung umur Abdus-Samad pada tahun 1244/1828 saja sudah mencapai 124 tahun. Dengan angka tahun kelahiran yang pasti dalam Faydh al-Ihsânî, 1150/1737, alasan itu tentu dapat kita tolak. Selain data Al-Tarikh, ada bukti lain yang diajukan oleh Abdullah, Yusof dan Benjasmith. Yaitu dipastikannya kubur Abdus-Samad oleh para pengkaji sejarah Patani, pada tahun 1994. Kubur itu berada di Bantrab (Thai: Ban Trap), mukim Jenung, daerah Chenok (Thai: amphoe Chana), dalam wilayah Senggora (Thai: changwat Songkhla), yaitu di sebuah kebun getah (karet) yang berada di pinggir laluan jalan raya antara Chenok dan Senggora.10 Mengenai soal kedua, Benjasmith menyebut perjuangan yang dimaksudkan itu ialah perang Patani tahun 1831-1832, bukan perang Kedah tahun 1838-1839. Yaitu perang angkatan Kedah yang dipimpin Tungku Kudin yang berakhir setelah Siam melakukan serangan balik besar-besaran, mengalahkan Tungku Kudin, dan berlanjut dengan penyisiran kekuatan Patani tahun 1832 tersebut. Kesimpulan Benjasmith sulit kita terima. Sebab baik versi Kedah maupun versi Patani mengenai fase perjuangan ini memastikan bahwa Daud al-Patani ikut serta di dalamnya, dan ia diberitakan selamat karena berhasil mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu. Dihubungkan dengan informasi ini, tahun 1832 terlihat janggal, sebab pada tahun tersebut ia diketahui berada di Makkah dan menulis Dhiya’ al-Murîd fi Ma’rifat Kalimat al-Tawhîd.11 Ia sungguh-sungguh tidak tercatat menghasilkan karya tulis adalah lima tahun sesudahnya, yaitu antara 1837 sampai 1840. Karena itu perjuangan Kedah 1838-1839 itulah yang mungkin diikuti bersama oleh Abdus-Samad dan Al-Patani, yang membawa syahadatnya Abdus-Samad. Posisi syahîd Abdus-Samad ditulis jelas pada manuskrip Al-‘Urwat alWutsqâ salinan Mahmud b. Muhammad Yusuf Terengganu. Ulama ini dikenal sangat banyak membuat salinan manuskrip, dan ia melakukannya pada masa yang dekat dengan hayat Abdus-Samad, yaitu antara1235/1819 sampai 1291/1874. Ia pernah belajar di Makkah dan dipercaya pernah berguru pada Abdus-Samad. Dalam naskah Al-‘Urwat al-Wutsqâ, bagian “hadiah al-Fatihah”, ia menulis nama Abdus-Samad dengan “li-syaykhinâ wa ustâzinâ wa mulâzinâ wa maljânâ al-syaykh al-‘âlim al-‘allâmah asy-syahîd fî sabîl Allâh al-Syaykh ‘Abd al-Shamad al-Palimbânî …” 10 Ismail Ishaq Benjasmith, “Sejarah Hubungan Keilmuan antara Ulama Silam di Nusantara,” makalah seminar dalam Pengajian Akbar Kitab Hidayatus-Salikin, Pondok Pesantren Yasin, Banjar Baru, 6 Desember 2012. Wan Shamsudin Mohd. Yusof, “Periwayatan Syeikh Abdus Samad al-Falembani,” makalah Seminar, Alor Setar, 3 Desember 2002. 11 Untuk uraian terinci mengenai biografi dan karya tulis Al-Patani, lihat Francis R. Bradley, The Social Dynamics of Islamic Revivalism in Southeast Asia: The Rise of Patani School, 1785-1909, disertasi (University of Wisconsin-Madison, 2010), khususnya hlm. 247, 250-252
1746 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Alhasil, dapat kita simpulkan, akhir hayat Abdus-Samad adalah pada perang Kedah (yang didukung Patani) melawan Siam 1838-1839, yang berujung dengan kekalahan Kedah, dimulai dari Februari 1839. Mengenai saat wafatnya, ditemukan petunjuk pada kumpulan manuskrip PNM, MSS 2367. Pertama, ada jadwal haul yang mencatat “… pada malam yang ketujuh belas daripada bulan Dzulqaidah yaitu haul tuan Syaykh Abdus-Samad r.a.” Kedua, ada pula petunjuk tata cara ziarah yang menyebut “maka jikalau kita ziarah Syaykh Abdus-Samad maka hendaklah perbuat pada malam Jumat kemudian daripada sembahyang ‘Isya, dan jikalau kita perbuat pada siang hari hendaklah kemudian daripada sembahyang zhuhur.” Mengikuti dua petunjuk tersebut, kita simpulkan peristiwa syahadat-nya terjadi pada Jumat 17 Dzulqaidah 1254, bersamaan dengan 1 Februari 1839. Karya Tulis Mengikut data Faydh al-Ihsânî, sumber-sumber lain dan berbagai studi yang ada, setidaknya sudah 26 judul tulisan teridentifikasi sebagai karya Abdus-Samad. Ke depan jumlah ini mungkin masih akan bertambah. 1. Zuhrat al-Murîd fî Bayân Kalimat al-Tawhîd (selesai ditulis pada Rabu 23 Dzulhijjah 1178 atau 12 Juni 1765). 2. Risâlah fî Bayân Asbâb Muharramâ li al-Nikâh (1179/1765). Juga ditemukan Abdullah dengan judul Melayu, Risâlah pada Menyatakan Sebab yang Diharamkan bagi Nikah. 3. Risâlah Mi’râj. Ditulis di Makkah, selesai pada Jumat 11 Rajab 1181 (2 Desember 1767). 4. Nashîhat al-Muslimîn wa Tadzkirat al-Mu’minîn fî Fadhâil al-Jihâd wa Karâmat al-Mujâhidîn fî Sabîl Allâh. Risalah ini menurut Quzwain ditulis pada tahun 1186/1772, tetapi tampaknya lebih tepat 1185/1771 5. Nashîhat li al-Muslimîn wa Tadzkirat li al-Mu’minîn fi Fadhl alMujâhidîn fi Sabîl Allâh wa Ahkâm al-Jihâd fi Sabîl Allâh Rabb al-‘Âlamîn. Versi Nashîhat al-Muslimîn yang diringkas dan diberi terjemahan Melayu (Jawi). 6. Dua surat Abdus-Samad, dengan isi yang sama, ditujukan kepada: (1) Sultan Mataram Hamengkubuwana, dan (2) Susuhunan Prabu Jaka (atau Pangeran Singasari), menyampaikan pesan perang jihad melawan kaum kafir (Belanda), disertai alasan-alasan keagamaannya. 7. Surat Abdus-Samad kepada Pangeran Paku Negara (Mangkunegara). Juga memuat pesan jihad melawan kaum kafir (Belanda) dengan dalildalil keagamaan yang lebih panjang. 8. Zâd al-Muttaqîn fî Tawhîd Rabb al-‘Alamîn. Merupakan kumpulan hasil pengajian Al-Samman mengenai wahdat al-wujûd. 9. Al-‘Urwat al-Wutsqâ wa Silsilat al-Waliyy al-Atqâ. Ditulis bahasa Jawi, berisi kumpulan awrâd yang diperolehnya dari Al-Samman.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1747
10. Al-‘Urwat al-Wutsqâ yang tertulis dalam bahasa Arab. Versi ini lebih luas daripada yang berbahasa Jawi. 11. Al-Risâlat fî Kayfiyat al-Ratîb Laylat al-Jumu’ah. 12. Hidâyat al-Sâlikîn fî Suluk Maslak al-Muttaqîn, selesai penulisannya di Makkah pada Selasa 5 Muharram 1192 (1778). 13. Risâlah mengenai Hukum Syara’. Selesai ditulis pada Ahad 10 Rajab 1201 (28 April 1787) di Makkah 14. Sayr al-Sâlikîn ilâ ‘Ibâdat Rabb al-‘Âlamîn. Terdiri atas empat jilid: jilid pertama dimulai penulisannya di Makkah pada 1193/1779; jilid keempat selesai di Thaif pada malam Ahad 20 Ramadhan 1203 (1789). 15. Râtib al-Syaykh Abdus-Samad al-Falimbânî. 16. Mulhiq fi Bayân al-Fawâ’id al-Nâfi’ah fî Jihâd fî Sabîl Allâh (Suatu Perhubungan pada Menyatakan akan Beberapa Faedah di dalam Perang Sabilillah). Juga mengenai jihad, seperti suplemen Nashîhat al-Muslimîn. 17. ‘Ilm Tashawwuf (risalah yang lathif lagi mukhtashar pada menyatakan ilmu tasawuf serta termadzkur dalamnya ilmu tauhid). 18. Mulkhish al-Tuhbat al-Mafdhah min al-Rahmat al-Mahdhah ‘Alaihi alShalât wa al-Salâm. Saduran dari Tuhfat al-Mursalah Al-Burhanpuri, diberi gantungan makna dalam bahasa Melayu. 19. Anîs al-Muttaqîn. Menguraikan tema-tema akhlak menurut perspektif tasawuf. 20. Puisi Kemenangan Kedah. Tertulis dalam bahasa Arab di atas kain sutera berwarna jingga, bertarikh 1254/1838, tersimpan di Muzium Negeri Kedah dalam bentuk panji peperangan berukuran 82 x 179 cm. 21. Wahdat al-Wujud. Terdapat dalam koleksi Kemas Andi Syarifuddin, dalam bentuk salinan yang sudah dibuat dengan huruf Latin. 22. Sawâthi’ al-Anwâr. Judul ini disebut dalan Faydh al-Ihsânî, dengan menyertakan penjelasan terkandung “di dalamnya ma’rifat dan asrâr.” 23. Irsyadâ Afdhal al-Jihâd. Judul ini juga disebut dalam Faydh al-Ihsânî. 24. Risâlah fî al-Awrâd wa al-Adzkâr. Faydh al-Ihsânî menyebut judul ini sebagai “risâlah yang lainnya di dalam awrâd dan segala zikir.” 25. Fadhâ’il al-Ihyâ’ li al-Gazâlî. Selalu disebut dalam sumber-sumber Arab, yang (karena itu) dapat dipastikan berbahasa Arab. Telah dikemukakan, ada sebuah risalah yang masih diperdebatkan siapa penulis sesungguhnya, Abdus-Samad ataukah Al-Banjari. Risalah itu ialah Tuhfat al-Râgibîn fî Bayân Haqîqat Imân al-Mu’minîn wa Mâ Yufsiduhu fi Riddat al-Murtaddîn. Mengenai hal tersebut, Bradley12 memberikan informasi baru. Ia mencatat adanya versi Tuhfat al-Râgibîn yang ditulis oleh Al-Patani (1230/1814) dan menyebutnya sebagai “a translation of a work by the same name authored by al-Banjari and also includes work by al-Palimbani.” Maka ada 12
Lihat Bradley, op cit., hlm. 230-231.
1748 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future kemungkinan versi awal Tuhfat al-Ragibîn memang tidak tunggal. Karena itu, di luar versi Al-Banjari, masih cukup alasan untuk memperkirakan adanya risalah Tuhfat al-Râgibîn dari Abdus-Samad. Pengkajian lebih jauh, misalnya atas karya Al-Patani, mungkin dapat menjelaskan kemungkinan itu.13 Palembang, 25 Oktober 2013 Bibliografi Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. Al-‘Urwatul Wutsqa Syeikh Abdus-Shamad al-Palimbani: Pegangan yang Kukuh Golongan Shufi. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1998. ----. Syeikh Abdus Shamad Palembang: Ulama Sufi dan Jihad Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996. Al-Ahdal, ‘Abd al-Rahman b. Sulayman. Al-Nafs al-Yamânî wa al-Rûh alRayhânî fî Ijâzat al-Qudhât Banî al-Syawkânî. Sana’a: Markaz alDirasat wa al-Abhats al-Yamaniyyah, 1979. Arshad, Muhammad Hassan bin Datu’ Kerani Mohd. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Al-Baythar, ‘Abd al-Razzaq. Hilyat al-Basyar fî Târîkh al-Qarn al-Tsâlits ‘Asyar. Damaskus: Mathbû-’at Majma’ al-Lugat al-‘Arabiyah, 1993. 3 jilid. Benjasmith, Ismail Ishaq. “Sejarah Hubungan Keilmuan antara Ulama Silam di Nusantara.” Makalah. Seminar dalam Pengajian Akbar Kitab Hidayatus-Salikin, Pondok Pesantren Yasin, Banjar Baru, 6 Desember 2012. Bradley, Francis R. The Social Dynamics of Islamic Revivalism in Southeast Asia: The Rise of Patani School, 1785-1909. Disertasi. University of Wisconsin-Madison, 2010.
13 Kajian filologis Umi Kalsum menemukan dalam naskah Tuhfat al-Ragibîn yang ditelitinya kata Palembang yang tidak terdapat dalam kosakata bahasa Banjar. Lihat Nyimas Umi Kalsum. Tuhfah ar-Ragibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’min: Suatu Kajian tentang Tanggapan terhadap Doktrin Wujudiyah yang Berkembang di Palembang Abad ke-18: Suntingan Teks dan Analisis Isi, tesis Magister (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1749
Drewes, G.W.J. Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya alAnsari’s Kitab Fath al-Rahman and Its Indonesian Adaptations with an Appendix on Palembang Manuscripts and Authors. The Hague: Martinus-Nijhoff, 1977. ----. “Further Data concerning Abd al-Samad al-Palimbani,” Bijdragen tot de Taal, Land- en Volken-kunde 132.2/3 (1976): 267-292. Fathurahman, Oman. “Jama’at al-Jawiyyin di Haramayn dan Pembentukan Tradisi Intelektual Islam di Dunia Melayu-Nusantara,” Afkar (Kairo), September 2007. ----. “Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia.” Makalah. Seminar History of Translation in Indonesia and Malaysia, Paris, 1-5 April 2002. ----. “Neo-Sufisme Ghazalian Abdussanad Al-Palimbani.” Error! Hyperlink reference not valid.07/neo-sufisme-ghazalian-abdussamad-al.html. Diakses 24 Juni 2011. Faydh al-Ihsânî wa Midâdâ li al-Rabbânî. Manuskrip. 1937. Feener, R. Michael. “Yemeni Sources for the History of Islam in Indonesia: ‘Abd al-Samad al-Palimbani in the Nafs al-Yamânî,” La Transmission du Savoir dans le Monde Musulman Peripherique, (1999): hlm. 123-144. Hasan, Nurhaidi. “The Tuhfat al-Raghibin: The Work of Abdul Samad alPalimbani or of Muhammad Arsyad al-Banjari?” Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde 163.1 (2007): hlm. 57-85. Jamaluddin, Wan. Pemikiran Neo-Sufisme Abd Al-Shamad Al-Palimbani: Kajian Naskah Tuhfah al-Raghibin dan Badjoe Bacan Koleksi SaintPetersburg. Jakarta: Pustaka Irfani, 2005. Laffan, Michael Francis. The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of Sufi Past. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2011. Moris, Megawati. The Influence of al-Ghazzali on 18th and 19th Century Malay's Thinkers and Their Works, with an Analysis of Shaykh 'Abd al-Samad al-Palimbani's Siyar al-Sâlikîn, a Malay Rendition of the Mukhtasar Ihya' ‘Ulûm al-Dîn. Disertasi. International Islamic University Malaysia, 2007. Othman, Mohd. Isa. “Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah dalam Konteks Penulisan Sejarah Kedah.” http://www.mykedah2.com/10heritage/106_2_ p4.htm. Diakses 15 Juni 2011. Al-Padani, Muhammad Yasin b. Muhammad ‘Isa. Al-‘Iqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid. Surabaya: Dar al-Saqaf, 1401H.
1750 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Quzwain, M. Chatib. Mengenal Allah: Suatu Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang, 1985. Silsilah Anak-anak Bangsawan Palembang. Manuskrip. 1867. Syarifuddin, Kemas Andi. Hikayat Syekh Abdus Somad al-Palembani: Alih Aksara dan Alih Bahasa Naskah Kuno Arab-Melayu. Palembang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang, 2010. Umi Kalsum, Nyimas. Tuhfah ar-Ragibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’min: Suatu Kajian tentang Tanggapan terhadap Doktrin Wujudiyah yang Berkembang di Palembang Abad ke-18: Suntingan Teks dan Analisis Isi. Tesis Magister. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Van Bruinessen, Martin. “Studi Tasawuf pada Akhir Abad ke-18: Amalan dan Bacaan Abdus-Samad al-Falimbani, Nafis al-Banjari dan Tarekat Sammaniyah.” Dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisitradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. hlm. 55-87. Yusof, Wan Shamsudin Mohd. “Periwayatan Syeikh Abdus Samad alFalembani.” Makalah. Seminar, Alor Setar. 3 Desember 2002. Zakaria, Abdullah. “Sejarah Gerakan Politik Awal di Kedah.” Kertas kerja. http: //www.sabrizain.org/malaya/library/gerakankedah.pdf. Diakses 1 Juli 2011.
SALAFISM AND TRANSFORMATION OF INDIVIDUAL AND SOCIETY Din Wahid
Introduction Salafism has changed individuals’ lives – they start a new life, which is definitely different from the previous one before their conversion to Salafism. Conversion of individuals takes various forms: ‘retreat’ from the world, being ‘reborn’ Muslim, and change of personal attitude towards the government from ‘radical’ to ‘moderate’. Such individuals feel that they have been reborn to become good and true Muslims. They reject their previous beliefs, habits, behavior, and religious practices. In some cases, converts live together in one area, creating an enclave where they can freely observe and practice Salafi manhaj. This paper will discuss modes of individual conversion to Salafism and how this process changes converts lives. Salafi pesantren plays significantly in this process. In addition to formal programs and regular religious teaching, Salafi pesantrens provide religious learning both in and outside the pesantrens, and are open to the public audience. Moreover, the establishment of da’wa radio in a number of pesantrens also extends the reach of Salafi da’wa to a wider audience. There is a pattern to conversion: Once attracted by Salafi da’wa, a sympathizer will seek out further instruction in the pesantren. As this process continues, the sympathizer will be fascinated and finally convert to Salafism, ultimately rejecting old ways and beginning a new life. In its wider manifestation, conversion leads to the creation of an enclave where Salafis can put the Salafi manhaj into practice A. Being Salafi: Retreat from the ‘World’ One of the most radical changes in the life of persons who become Salafis is a change of attitude that may be called a “retreat from this world”. This refers to a situation in which a Salafi ‘withdraws’ from this worldly life: he leaves his previous activities, begins a new life, isolates himself in a place far from the hustle and bustle of the modern world, and focuses his activities on religious purposes such as teaching and learning. In short, he changes Din Wahid is lecturer at Faculty of Islamic Theology and Philosophy, UIN Jakarta, and a reseacher at Center for the Study of Islam and Society (PPIM) UIN Jakarta. Currently, he is PhD candidate at Utrecht University, The Netherlands.
~ 1751 ~
1752 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future his whole life. Salafism may not demand this kind of extreme attitude towards this worldly life, since it also supports its adherents to preach its doctrines, which requires contact to social life. Abu Musa is a good example of this case. He was born into a Muhammadiyah family in Klaten, Central Java, a small city about 70 kilometers from Yogyakarta. Abu Musa went to high school in his hometown between 1998 and 2001. In his teenage years, he actively attended religious lessons provided by the local branch of Muhammadiyah. He then continued his education, studying veterinary medicine at Gajah Mada University, Yogyakarta. As shown in chapter two, Yogyakarta has become a center of the Salafi movement in Indonesia. Consequently, it was no surprise that Abu Musa encountered Salafi da’wa in the early years of his study at Gajah Mada University. In 2002, Abu Musa began to attend Salafi religious gatherings on campus, including those held at the al-Hasana mosque. Furthermore, he studied Arabic in order to learn Islamic tenets from their original sources.1 It seems that Abu Musa’s previous activism in Muhammadiyah religious circles led him to seek out religious teachings. During his search, he found Salafi doctrines are close to those of Muhammadiyah, particularly with regard to the purification of Islamic beliefs and ritual practices. In 2005, Abu Musa completed his study and obtained a bachelor’s degree in veterinary medicine. In order to become a veterinarian, Abu Musa was required to pass a co-assistance program, which usually takes one to two years. However, it was at this point that Abu Musa made an astonishing decision: he left the campus, ignoring his ambitions, and those of his parents, to become a veterinarian, and focused his attentions on the study of Salafism. This decision was made in order to avoid sinful deeds (ma’ṣiya), such as the mixing of men and women (ikhtilāṭ), which are very common on campus.2 As a student, it was inevitable that Abu Musa mixed with women in the classroom, canteen and other places. In order to avoid this sinful deed, he decided to end his study and leave the campus. This decision disappointed his parents and aroused their anger. He had to explain the reasons for his decision to his parents and convince them that he had made the right choice. In 2006, Abu Musa moved to pesantren Dhiya’ al-Sunnah in Cirebon, in order to pursue religious studies. As his parents were no longer willing to support him, one of his colleagues provided him with financial assistance. When this support came to an end, he started teaching students
Interview with Abu Musa, Cirebon, November 26, 2008. On ikhtilāṭ, see for example, Ummu Ishaq al-Atsariyyah, “Ikhtilath antara Lawan Jenis”, Asy-Syari’ah, No. 45, Vol. IV, 2008, pp. 81-87. 1 2
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1753
of the Taḥfiz program at the pesantren. According to Abu Musa himself, during his stay in the pesantren he refrains from leaving the compound, except in an emergency. He also refrains from associating with people outside the pesantren. Once again the reason for such isolation is the desire to avoid ma’ṣiya. When reminded that Indonesia is not an Islamic state and, therefore, it is impossible to avoid mixing with women wherever he goes, Abu Musa responds that he seeks out the virtues of life (faḍā’il) for the sake of the afterlife. He adds that life in this world is temporary, whereas life in the hereafter is eternal.3 Abu Musa’s reasoning is interesting to analyze. There are a number of factors contributing to such a decision. First, Salafi teachers encourage university students to leave their campuses because campus life is perceived as un-Islamic. Ahmad Halim, a student of Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, confirmed such pressure. He, for example, refused to participate in his own graduation ceremony, because he views such an event as a Western tradition implanted in the Muslim world. Consequently, although he completed his study from UII, he does not hold a bachelor’s certificate. Instead, he went to live in the Salafi enclave located in the veteran compound in Ngaklik, Sleman, Yogyakarta, where he attended Salafi religious teaching at pesantren al-Anshar. He sold mineral water and gas to earn money.4 Currently, Halim studies Salafism in Dammaj, Yemen. Second, as a new doctrine, Salafism is appealing. It attracts adherents like magic and influences followers to change their lives. It is a common phenomenon that new thought fascinates adherents. The case of Abu Musa is evidence that participation in a strict religious movement like Salafi requires total commitment. Indeed, committed Salafis dedicate their energy, time and money to the movement. They also make every effort to live in accordance with Salafi manhaj, such as praying collectively and regularly attending Salafi religious gatherings. In some cases, like that of Abu Musa, they limit their communication with the outside community and even with their family members. Certainly, such activities can arouse stigma from communities. Despite this, many people participate in the movement. This raises the question, what attracts people to such a strict movement? Lawrence Iannaccone’s analysis of strict churches and sects is relevant here. Iannaccone’s starting point is Dean Kelley’s research on the steady growth of conservative churches in the United States. In this study, Kelley concludes that conservative churches grow consistently, whereas mainstream churches lose their adherents. He argues that the key factor in such growth is the demand for absolute loyalty, unquestionable faith and strict observance and practice, something with often means adopting a 3 4
Interview with Abu Musa, Cirebon, November 26, 2008. Interview with Ahmad Halim, Yogyakarta, January 19, 2009.
1754 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future particular lifestyle.5 Kelley identifies three characteristics of strict churches: absolutism, conformity and fanaticism. These traits are distinct from those of moderate and liberal churches: relativism, diversity and dialogue. According to him, strict churches claim exclusive truth – closed, allencompassing and eternal doctrines. They demand distinctive behaviors and lifestyles. They condemn outside communities as deviant; consequently, outsiders are shunned. The followers of these churches maintain unusual characteristics such as a certain dress, specific diets and isolation. Corresponding with this finding, Iannaccone’s study finds that although members of sects are poorer and less educated, they demonstrate greater commitment, including contributing more money to organizations, attending more religious rituals and services, maintaining stricter beliefs, engaging in more religious groups and avoiding participation in secular activities.6 Following Kelley’s argument, Iannaccone analyzes religious movements using an economic approach – i.e. in terms of producer and consumer, supply and demand, cost and benefit. According to Iannaccone, churches, sects and other religious movements are producers that supply commodities to the market, while adherents are consumers who buy the products, weighing up the costs they pay with the benefits they receive.7 Unlike physical goods, such as computers, or services, such as banking, which are based on the quality of the products, religious commodity is classified in a third category – ‘household commodities’, which offer both materials things, such as meals, as well as abstract ones, such as love. 8 In this regard, religion not only relates to what individuals feel, but also to what others sense. This deals with the situation and feelings of adherents when they perform rituals. In Muslim communities, for example, this relates to the calmness and quietness in a mosque when believers listen to the Qur’an; to the peace they feel when they listen to the sermon; to the warmth received when greeting each other (saying ‘al-salam ‘alaikum’), shaking hands, and receiving a hug from fellow Muslims; and the to the spiritual satisfaction they feel when performing prayers. Moreover, religious commodities are based on supernatural forces, promising eternal life, a peaceful life on earth, and enduring perfect happiness. Utilizing the language of economics, Iannaccone posits a cost-based analysis of the strict sects. He defines a sect as ‘a religious organization 5 Laurence R. Iannaccone, “Why Strict Churches are Strong”, American Journal of Sociology, vol. 99, no. 5, 1994, p. 1182. 6 Ibid, p. 1194. 7 Laurence R. Iannaccone., “Religious Markets and the Economics of Religion”, Social Compass, 39 (1), 1992, p. 123. 8 Iannaccone, “Religious Market”, p.125.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1755
with a highly committed, voluntary, and converted membership, a separatist orientation, an exclusive social structure, a spirit of regeneration, and an attitude of austerity and demanding strict asceticism’.9 A sect is different from a church, which is defined as ‘a religious organization that accepts the social environment, embracing the norms and values of the prevailing culture’. 10 His main argument is that ‘strictness increases commitment, raises levels of participation, and enables a group to offer more benefits to current and potential members’.11 Like other collective movements, religious movements encounter a serious problem in relation to ‘free riders’ This problem arises when there is an opportunity to benefit from the participation of others. For example, in a situation where a group has already struggled to achieve certain rights, there may be individuals who feel that they can benefit from these rights without engaging in any of the movement’s collective activities. Thus, the free-riding problem is based on an assumption that achievement of the movement’s goals is guaranteed.12 However, if a significant number of people adopt this attitude, the collective movement will fail. This is the problem Iannaccone tries to address when he proposes a cost-based analysis of religious movements. Iannaccone argues that the stricter a movement is, the less problems it will encounter with free-riders. Participation in a strict group such as a sect, demands total commitment, loyalty, and devotion. This will marginalize the free-riders. As possible method to reduce the problem of free-riding in religious movements, Iannaccone mentions the prohibition of and penalties for any involvement in activities outside the group. According to him, these methods (penalties and prohibition) examine the commitment of participants. Those participants who are less committed will automatically be excluded. Thus, these sanctions function like a ticket and only the most committed adherents will buy a ticket. Moreover, Iannaccone argues that penalties and prohibitions will actually increase the level of followers’ participation. Indeed, involvement in a religious movement comes at a high price – ultimately, the adherent’s exclusion from the rest of society. The greater the sanctions, the less likely an adherent is to be involved in activities outside the group. At the same time, adherents will demand greater input and substitute activities from within the movement.
Iannaccone, “Why Strict Churches” p.1192. Ibid., p.1194. 11 Ibid., p.1182. 12 Bert Klandermans, The Social Psychology of Protest, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1997, p. 76. 9
10
1756 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Consequently, the group is compelled to provide more activities in which the member can participate.13 Iannaccone also argues that strict religious demands – such as diet, dress, isolation, and other restrictions – often limit the social interaction of participants. This behavior frequently causes stigma and makes engagement in other activities outside the group costly. Encountered with this condition, there are only two possibilities available to potential members: full participation and rejection. While doubtful adherents will be eliminated, only members with total commitment will participate in strict religious movements. Consequently, Iannaccone argues that ‘perfectly rational people can be drawn to a decidedly unconventional group’.14 Stressing this aspect of rational choice, Iannaccone refutes a popular view that conversion to fundamentalist groups is caused by psychological alienation. He argues that ‘a high-cost group maintains its strict norms of conduct precisely because they limit participation in competing activities and thereby raise levels of participation within the group’.15 Iannaccone also notes that if a strict group is to be successful, it must provide its members with an alternative ‘close substitute’, something that compensates for the sacrifices they have made for the movement. A devoted member will have to sacrifice many things and endure conditions including living in an isolated place deprived not only of material pleasures such as meals, but also family, friends, and other associates. Consequently, a group must provide its members with alternative networks that offer a new family, friends and colleagues.16 The case of Abu Musa indeed displays an extreme conversion to Salafism. Like sect in Christianity, to follow Salafism is voluntarily. It demands the adherents to follow sunna in their daily life such as keeping long beard, wearing certain dress (jalabiya), and avoiding isbāl. Abu Musa practices strictly this common features of Salafism. Moreover, he isolates himself in the pesantren focusing on the learning religion and teaching the children. Although Salafism does not demand such sacrifice as leaving this world, he does sacrifice his future career as veterinarian that may provide him with good living. Consequently, he disappoints his parents, and loses his cheerful classmates in the university. Abu Musa may suffer from social stigma. However, he feels happy with this choice. This is because he finds what is called by Iannaccone as “close substitute” for the lost family and
13 Iannaccone, L. R. “Why Strict Churches”, p.1187. See also, Laurence R. Iannaccone, “Sacrifice and Stigma: Reducing Free-Riding in Cults, Communes and Other Collectives”, Journal of Political Economy, 1992, vol.100, no.2, p. 275. 14 Ibid., p.1188. 15 Ibid., p.1197. 16 Ibid., p.1204
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1757
friends. In his pesantren, he finds a new “family”, that is his teachers, colleagues, and students. B. Being Salafi: ‘Reborn’ Muslim Adherents react differently to Salafism. In addition to retreating from the world, as in the case of Abu Musa, others see Salafism as being ‘reborn’ into a true Muslim. This implies that a Salafi acknowledges that he previously held false understanding and practice of Islam, and that now he has found rue and authentic Islam. Unlike those Salafis who make the decision to retreat from the world, followers of this school of Salafism keep their activities and business in order to sustain themselves. That said, major adjustments are made to their business in order that it complies with Islamic law (shari’a), such as avoiding bank interest, as Salafis believe that bank interest is ribā (usury) and forbidden in Islam. Heriyanto provides us with a good example. In 1993, he obtained his bachelor’s degree in Islamic Education from the faculty of Education at the Wali Songo State Institute of Islamic Studies (IAIN), Semarang, Central Java. As a government-sponsored institution, IAIN teaches a rational interpretation of Islamic doctrines, and contextualizes Islamic doctrines in the modern circumstance. Furthermore, since the 1980s there has been a shift in Islamic studies at IAIN from a normative approach, which supports an idealistic Islam, to historical, sociological and empirical approaches, which incorporate social and historical realities in the interpretation of Islamic doctrines.17 By maintaining this course, IAIN has established itself as the basis for moderate and mainstream Indonesian Islam. As a graduate of IAIN, Heriyanto was occupied with the rational interpretation of Islam. In his last year of study at IAIN, he was introduced to Salafi gatherings and Salafi manhaj via a friend, who had been active in Salafi religious teachings. This provided him with a new interpretation of Islam, diametrically different from what he had studied at his alma mater. While IAIN advocates a rational interpretation of Islam, the Salafi manhaj supports scriptural interpretation of Islamic doctrines. For a while, Heriyanto was ambiguous about the two approaches: the rational and literal interpretations. However, intensive attendance at Salafi religious gatherings, complemented by discussions with Salafi teachers, has driven him to follow the Salafi manhaj. He believes that the Salafist approach to Islam is the true one. He argues that the religion of Islam was revealed to and practiced by the prophet, and consequently, Muslims should follow firstly, the explanation and the practices of the prophet, and secondly, the 17 Azyumardi Azra, “The Making of Islamic Studies in Indonesia”, in Abd, Samat Musa, et.al, (eds.), Islamic Studies in World Institutions of Higher Learning, Kuala Lumpur: Islamic University College of Malaysia, 2004, pp. 32-33.
1758 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future examples of early generations of Muslims who knew Islam best. Accordingly, Muslims have no right to interpret the prophet’s saying according to their own rationale.18 After completing his study at IAIN, Heriyanto did not try to find a white collar job, but started earning money as a pretty trader, selling eggs to villagers. This choice was not unrelated to his Salafi worldview and his desire to stay aloof from all that was not halal. Initially, some people ridiculed him for doing such lowly work as a Bachelor degree holder, but he persevered with his business. After some months selling eggs, it was clear to Heriyanto that the egg business, from upstream to downstream, was dominated by Chinese businessmen. He deduced that he could not achieve the necessary progress in his business because of the Chinese domination. After a considered analysis of the market, Heriyanto decided to change his business into one selling rice to the same customers who had bought his eggs. He started off by selling Kendal’s rice, however, when a number of customers complained about the quality he switched to rice from Solo. Heriyanto’s network of Salafi friends proved extremely useful in expanding his business, for it provided him with trustworthy and hardworking collaborators. His business flourished and soon he was able to manage the rice business from upstream to downstream: from production to distribution. Indeed, he began to produce rice; collecting rice from farmers, packaging and distributing it to a number of sales points. Today, his rice production is based in Semarang from where he distributes the rice to other cities. Heriyanto learned a great deal from observing Chinese businesses, including the need to secure his own business from sabotage by his competitors. That said, he still feels that the rice industry is insecure and fragile. According to his estimation, 80% of his market is vulnerable. This is the portion managed and run by distributors and clients whose loyalty he still doubts. To counter this, Heriyanto secures the remaining 20% of his market by allocating this portion to the people he can rely on most - his Salafi colleagues. This strategy is twofold: it not only secures 20% of his business, but it also provides job opportunities for Salafis. Heriyanto believes he can rely on Salafis. According to him, his business is doing well. He claims that his production has reached 60-100 tons of rice per month.19 Allocating certain portions of the business to the most trusted people is rational strategy. The trust is one of the main factors of successful business. In his study on the relationship between Protestant sects and the spirit of capitalism,20 Max Weber found some adherents of strict sects in Interview with Heriyanto, Solo, February 22, 2009. Interview with Hariyanto, Solo, February 22, 2009. 20 Max Weber, “The Protestant Sects and the Spirit of Capitalism”, in H.H. Gerth and C. Wright Mills, (eds.), From Max Weber: Essays on Sociology, London: Rutledge, 1991, pp. 302-322. 18 19
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1759
the United States, such as Baptist and Methodist, were successful in managing their business because of trust. The key factor of this success very much related to membership in sects that demanded special traits. In order to become a member of sect one would meet certain requirement: he or she must undergo probation, a trial period when he or she should behave correctly in accordance with ethical principles of the sect. During this period, the moral qualities of the prospective member, especially those related to business matters would be scrutinized. Once he or she passed the probation, he or she would be admitted to the sect, and hence, would be granted a certificate of membership. Thus, admission to a certain sect became a guarantee of good conduct and certificate of moral qualification.21 Furthermore, Weber found that members of sect brought the certificate when they moved on travelled to other cities. This certificate would grant them good opportunity for business, for it made them not only welcomed by other members, but also given credits. The creditors believed the bearers of the certificate were guaranteed by their sect. When they faced financial difficulties caused by external factors beyond their responsibility and not by their own fault, the sect arranged this problem by giving guarantee to the creditors, and made every effort to help its members. Thus, the creditors felt secure when they gave credits the sect members.22 The sect members’ ethos of work no doubt contributed to the success in their business. Weber found that members of puritan sect members, especially the Calvinist, were hard workers, showing their strong desire to success in their entrepreneurship. Weber noted that this ethos has its roots in religious doctrine of “calling.” The term “calling” is a translation of a Germany term “beruf”, which denotes “task set by God” to fulfill human mission in this worldly life. The “calling” is “a life-task” to work in this world.23 It becomes the highest form of moral obligation of the individual in the fulfillment of God’s task in this worldly life. The concept of “calling” relates to another religious teaching, predestination. In the Protestant sects, such as Baptist, Methodist and Calvinist, the doctrine says that only few people are chosen and saved from by God from entering the hell. In order to avoid damnation, human beings have to prove themselves of being elected by God. To be chosen by God, the believers must show a “sign” of being chosen by God, that is good life and prosperity in this world. This “sign” can only be achieved by hard work. To show living acceptable to God, the believers should work hard in this world.24 Max Weber, “The Protestant Sects”, pp. 305-306. Max Weber, “The Protestant Sects”, pp. 305. 23 Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, London and New York: Routledge, 1992, p. 39. 24 Anthony Giddens, “Introduction”, in Max Weber, The Protestant Ethic, pp. xii-xiii. 21 22
1760 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Salafis are strict adherents of Islam. Although Salafism has no specific doctrine of working such in the Protestant sects, Salafis are well known with moral qualities which are essential in running business, such as honest, reliable, responsible and dedicative. Having these traits, Salafis are good collaborators to work with and reliable. Once they get job or are given opportunity to work, they will work patiently and painstakingly. They are hard worker even though they do not make much profit. They will satisfy with small salary they get or little profit they make. They really believe in predestination (taqdīr): that human fate has been destined by God; that what human can do is only effort (ikhtiyār). In certain cases, this kind of interpretation undermines their ethos of work. This interpretation is in total different from how members of the Protestant sects understand it as described above. Heriyanto tries to run his business in line with Islamic law (shari’a). This includes avoiding bank interest. Conventional banking charges, including interest, are an inevitable aspect of running a large business. However, according to his own account, Heriyanto only engages with conventional banking when absolutely necessary, i.e. when it is impossible to avoid bank administration charges for transfers, etc. However, he will not take a bank loan. For example, when he needed a truck for distribution, but had insufficient funds to buy one, he did not borrow the money from a bank, but instead he rented one. He only bought a truck when he had sufficient money to do so. Heriyanto does not spend all his time on business activities. He also allocates some time for Salafi da’wa in his hometown of Karanganyar, Central Java. He manages regular Salafi religious gatherings at the public al-Furqan mosque in Karangpandan, Karanganyar, usually attended by about 40 Salafis. In addition, he manages a kindergarten. He often invites well-known Salafi teachers from other cities, such as Abu Qatadah from Tasikmalaya and Abdul Hakim Abdat from Jakarta, to deliver public lectures in Karanganyar. On such occasions, it is common for Salafis from outside Karanganyar to attend. As a Salafi, Heriyanto believes that he is now reborn as a true Muslim. He often recalls his religious attitude when he was a student at IAIN. At that time, he tried to interpret religious doctrine according to his own rationale; he sought a rational foundation for every doctrine. He now believes that religion is not subject to rationality. Rather, he believes that religion is a matter of belief and sometimes it goes beyond human rationale. As a result of this belief, Heriyanto claims to have found a calmness, peace and satisfaction when he performs religious duties; a feeling that he never achieved in the past. C. From radical to ‘moderate’: a life history
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1761
At the individual level, the change in a Salafi’s attitude occurs not only in terms of his orientation towards the world, but also in his orientation towards the movement. The change takes place in individuals who were members or even leaders in radical organizations, such as Darul Islam (DI) or Negara Islam Indonesia (NII, Islamic State of Indonesia) movement. Prior to conversion to Salafism, these DI or NII activists demonstrated a radical attitude towards the government. Indeed, the Indonesian government is perceived as un-Islamic and tyrannical and it should be replaced by an Islamic alternative. The basic argument behind this attitude is the Qur’anic verse stipulating that any ruler who fails to implement Islamic laws is kafir. The thought of Sayyid Qutb, the ideologue behind Egypt’s Muslim Brotherhood is influential in this regard. However, conversion to Salafism results in a change to this radical view. Followers’ attitude towards the government shifts from one of confrontation and opposition to loyalty. The following paragraphs discuss the life history of Abu Rijal, a former NII activist who converted to Salafism. This life history presents Abu Rijal’s personal journey and demonstrates his shift in attitude towards the government – from radical to moderate. Abu Rijal, Tasikmalaya, West Java Abu Rijal is currently the chairperson of the Yayasan Ihyaussunnah, Tasikmalaya, West Java., under which the pesantren Ihya’ussunnah operates. Like other children of the village, he was schooled in a traditional environment, taught to recite the Qur’an and to perform prayers. Having completed his education at an agricultural secondary school (SPMP, Sekolah Pertanian Menengah Pertama), between 1982 and 1984, Abu Rijal moved to Jakarta where he attended religious lectures given by prominent preachers, such as Abdul Qadir Jaelani and Mawardi Noor. He also attended a three day daura Islamiyya managed by Korps Muballigh (Preachers Corp) DKI Jakarta. It was during this time, according to his own narrative, that Abu Rijal learnt about religion. However, the religion that he learnt was a radical version of Islam, one which views the ruling Indonesian government as un-Islamic.25 As will be discussed later in this chapter, tensions between Muslims and the government in the early 1980s affected the relationship between Muslims and the state. In 1984, Abu Rijal returned to his home town of Tasikmalaya and joined the Persatuan Islam (Persis), a purist reformist organization. He became active in the da’wa movement, giving religious lectures and managing religious gatherings with preachers from outside the city. Persis calls on Muslims to return to the Qur’an and sunnah; it is strictly against
25
Interview with Abu Rijal, Tasikmalaya, February 16, 2010.
1762 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future the bid’as in Islamic doctrines and practices. Abu Rijal admits that this reformist organization has shaped his religious rituals. After having been active in Persis for three years, he was drawn into the Negara Islam Indonesia (NII, Islamic State of Indonesia) movement without however giving up his affiliation with Persis. The NII is a separatist movement, originally founded by Kartosuwiryo at the time of Indonesia’s independence struggle that aims to establish an Islamic state. Abu Rijal was recruited to this clandestine movement by Basuni, a prominent teacher from Persis in Tasikamalaya. As a member of this movement, he joined the Komando Wilayah 01 (Regional Commandment) that covers West Java. According to Abu Rijal, of the various factions into which the NII had split, this was the one considered as closest to the original movement. It was also the factions that well-known radical personalities such as Abdullah Sunkar, Abu Bakar Ba’asyir, H. Ismail Pranoto (well-known as Hispran), and Abdul Qadir Jaelani joined. Abu Rijal developed his career in this clandestine organization and was appointed as a non-territorial leader. This position enabled him to travel to cities such as Jakarta, Bandung, Surabaya and Majalengka to supervise and monitor the cadres. Friction within this faction emerged when Abdullah Sungkar accused its leader, Ajengan Masduki, of engaging in deviant religious practices. Sungkar and Ba’asyir warned that the movement was in danger because its leader had deviated from true Islam. The two men accused Ajengan Masduki of committing shirk (polytheist). This accusation led to the fragmentation of the movement into two: one faction sided with Sungkar and Ba’asyir, while the other remained loyal to Ajengan Masduki. Confronted with this situation, Abu Rijal refrained from taking sides with any faction and instead opted to become inactive in the movement. As a result of this decision, he was deposed from his position as a non-territorial chief and repositioned as a regional preacher. This move was designed to isolate Abu Rijal from NII members. However, the action failed because Abu Rijal stayed in touch with his cadres in the cities. Already at this time, he was critical to the movement. At a meeting with his colleagues, he criticized the movement for its vague goals. According to Abu Rijal, the movement will perish unless it meets certain requirements: it must have a goal (ghāya), creeds (aqīda), and method (manhaj). The movement’s goal should be achieving God’s satisfaction (riḍa Allah). There are two ways to achieve this: being sincere and following the prophet. With regards to aqīda, Abu Rijal contended that the movement should hold the true beliefs – the beliefs of the Salaf. Likewise, the movement should adopt the manhaj of the Salaf. 26 At this juncture, the 26
Interview with Abu Rijal, Tasikmalaya, February 16, 2010.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1763
influence of Salafi doctrines on Abu Rijal is clearly visible. However, Abu Rijal refutes this. Instead, he says he was influenced by the thought of Abdullah ‘Azzam,27 a jihadist ideologue from Afghanistan, and specifically his work, ‘Aqida al-Jayl al-Awwal’ (Creed of the first generation). ‘Azzam played an important role in mobilizing jihad in Afghanistan. His work on the obligation of jihad in Afghanistan attracted thousands of Muslims, including some activists from Darul Islam in Indonesia, to take part in jihad against the Soviet Union.28 As an NII activist, Abu Rijal held militant view of Islam. Indonesia is considered as dārul harb (the abode of war) and not dar al-Islam (the abode of Islam). He perceived the Indonesian government as the enemy – an enemy he should struggle against. Other Muslims outside NII are regarded as kafir (unbeliever).29 As previously mentioned, in addition to his activities in the NII movement, Abu Rijal was also a member of Persatuan Islam (Persis). This activism led him to adopt other ideas, including those of the Ikhwanul Muslimin. He claims that he read the works of the Ikhwanul Muslimin figures, particularly Sayyiq Qutb, Hasan al-Banna, and Said Hawwa. Furthermore, he frequently conducted religious gatherings and discussions on Islamic doctrines in a small mosque, which he built in 1990. Abu Rijal also established an Islamic foundation called Yayasan Bina Insan Kamil that ran a small pesantren. As part of his work in preparing cadre responsible for the future of the pesantren, he sent his younger brother, Abu Qatadah, to study in Yemen in 1996. At that time, Abu Qatadah was an activist in both the NII movement and Persis. He first became acquainted with the Salafi manhaj after two months studying with Shaykh Muqbil at Darul Hadith, Dammaj, Yemen. At the end of his first year, Abu Qatadah sent a letter to the Yayasan Bina Insan Kamil telling his brother and other colleagues about his discovery of true Islam, according to Salafi manhaj, and explaining what he believed to be deviations in the NII teachings. He was also keen to point out a number of deviant ideas held by Muslim Brotherhood thinkers, in particular Qutb. This last point is critical because, as an Islamic activist, Abu Rijal had adopted Qutb’s ideas in his own works, specifically in Fī Ẓilal al-Qur’ān and Ma’ālim fī al-Ṭarīq. Abu Qatadah went on to suggest that his brother meet some prominent Salafi preachers, such as Farid Uqba, Abu Haidar and Abu Nida. Abu Rijal took this advice and met with Farid Uqba, who went on to introduce him to the Salafi manhaj. 27 On brief biography of Abdullah ‘Azzam, see for example, Thomas Hegghammer, “‘Aballah ‘Azzam”, in Roel Meijer, Global Salafism, (ed.), London: Hurst & Company, pp. 443-444. 28 Sholahuddin, NII Sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, p. 22. 29 Interview with Abu Rijal, Tasikmalaya, February 10, 2009. See also, Solahudin, NII Sampai JI, p. 53.
1764 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future The initial meetings between the two men were characterized by heated debates on Salafi teachings. Uqba suggested that Abu Rijal read three books on Salafi manhaj: al-Uṣul al-Thalatha by Muhammad ibn Abd Wahhab; al-Firqa an-Najiya by shaykh Muhammad Jamil Zainu, and alBa’ith al-Ḥathith by Ibn Kathir. His curiosity led Abu Rijal to meet and talk to other Salafi preachers, such as Abu Haidar and Abu Nida. His interest in the salafi manhaj had been sparked and he now started to attend lectures given by Abdul Hakim Abdat.30 Fascinated by the Salafi doctrines, Abu Rijal discussed them with his colleagues in the NII. He argued, to achieve the movement’s goal activists must arm themselves with religious knowledge. The spirit of jihad alone is insufficient to reach the goals. He criticized other leaders for their ignorance of religious knowledge. Consequently, he was marginalized within NII. However, he maintained his alliance with the movement. He continued to hold discussions on religious matters with his loyalist comrades. He eventually converted to Salafism and finally left the NII movement for good in 2000. He declared his conversion before his loyal followers and called them to join him in the new movement. Thanks to his charisma, some of his followers, including Maman Suratman and Qasasih, joined him. Upon the return of his younger brother, Abu Qatadah, in 2000, he established a new foundation, the Yayasan Ihya al- Sunnah, which also runs the pesantren Ihya al- Sunnah in Tasikmalaya.31 Kosasih has become one of the foremost donors of the pesantren. The first buildings of the pesantren were constructed on the land endowed by Kosasih.32 Main argument: Loyalty to the Government Abu Rijal explains that the goal of the NII movement is to replace the government. The reason for such a rebellious aim is the government’s resistance to implementing Shari’a law. This reluctance means that the government is regarded as kāfir, and therefore should be overthrown and replaced by an Islamic government. As a member of NII, Abu Rijal shared this radical attitude to the government. However, when he converted to Salafism¸ this changed. As a Salafi, Abu Rijal shows no hostility to the regime; on the contrary, he demonstrates his loyalty to the government. This radical change arouses a critical question: what is the reason for this shift from a radical, activist attitude to moderation? According to Abu Rijal, the key factor that drives this changing attitude is Salafi doctrine on obedience to the government. As discussed in 30 Interview with Abu Qatadah, the director of pesantren Ihyaussunnah, Tasikmalaya, West Java, February 10, 2009. 31 Interview with Abu Rijal, Tasikmalaya, February 10, 2009. 32 Kosasih is one of the main donors of pesantren Ihya’ussunnah in Tasikmalaya, West Java. Interview with Kosasih, Salafi activist in Tasikmalaya, February 16, 2010.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1765
chapter one, the doctrine says that Muslims must obey the ruler; they have no right to rebel against the ruler, even if the ruler is repressive and tyrannical (ẓālim). The dogma also stipulates that fighting against an existing ruler is forbidden, because it will result in more damage to a country than any ruler could do. Muslims are prohibited from criticizing the ruler in public arenas, such as sermons, public lectures and demonstrations. Based on this doctrine, Salafis oppose any ideas of confronting the government. Salafis criticize those Islamist movements that criticize the government publicly, such as Front Pembela Islam (FPI, Islamic Defender Front), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI, Indonesian Mujahidin Council) and Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). The Salafis accuse these groups of mobilizing unrest via demonstrations, or by their sporadic cleansing actions to rid the country of, for example, foreigners or alcohol use. According to Salafis, the aim of Islamic da’wa is to call Muslims to true Islam. The duty of the preacher is to deliver (tablīgh) the message of Islam, and not to mobilize the masses. Mobilization via demonstrations and cleansing actions is not a true method of Islamic da’wa and will result in damage to the country. In tandem with this principle, Salafis also oppose terrorist acts such as the Bali bombings that killed hundreds of people. Although the perpetrators of the Bali bombings claim to be Salafis, Salafis criticize their actions. According to Ba’abduh, a leading Salafi figure, such action is influenced by the idea of takfīr (labeling other Muslims as kāfir). The basic argument of takfir is rooted in the Qur’anic verse 5:44, which reads: ‘Those who do not judge by the law which Allah has revealed, are indeed kafirs (unbelievers)’. The verse was used by the kharijite to charge Ali ibn Abi Thalib and Mu’awiya with being kāfir. In modern times, this verse has been used by radical Muslim thinkers, such as Sayyid Qutb, to accuse Muslim rulers who do not implement Islamic laws of being kafir. This idea has been adopted by radical groups in Indonesia. Quoting the opinion of Ibn ‘Abbas, Ba’abduh maintains that the term ‘kufr’ referred to inverse 5:44 is less kufr. Consequently, the person accused of being kāfir is not necessarily seen as an unbeliever.33 Social and Political Context In addition to the above religious arguments used by Salafis, it is worth discussing the social and political conditions in Indonesia. This examination will locate the changing attitude of Salafis in the context of the social and 33 Ba’abduh, Mereka adalah Teroris: Sebuah Tinjauan Syari;at, Malang: Pustaka Qaulan Sadida, 2005. pp. 505.
1766 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future political discourse from the period when Abu Rijal participated in the NII movement to his conversion in the late 1990s. I would argue that the shift in government policies towards the interest of Muslims contributes to the changing attitude of Salafis. It is widely accepted that Muslims contributed to the emergence of the New Order. Despite this fact, Indonesian Muslims have suffered from state repression since the late 1970s. The Indonesian government argued that political stability was necessary to achieve economic growth and consequently opted to marginalize political Islam. As an ideology, Islam was viewed by the New Order as a threat to political stability. The government adopted a number of important measures in this regard, including the simplification of political parties and the indoctrination of the national ideology, Pancasila. With the exception of Golkar, all political parties were forced to merge. Islamic parties were integrated into the United Development Party (PPP), and nationalist ones were united in the Indonesian Democratic Party (PDI). While there was little resistance to the fusion of political parties, the policy of Pancasila indoctrination was heavily opposed by Muslim activists. The program of indoctrination started in the late 1970s and involved all segments of society, from civil servants, students and young leaders to political and community leaders. The government managed various indoctrination programs, called Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4, State Ideology Indoctrination), with programs ranging from 25 to 200 hours. Pancasila was also incorporated into school and university curricula.34 In spite of Muslims’ rejection of the P4 program, the government persisted with the indoctrination and, in fact, developed it further by proposing Pancasila as the sole foundation for all organizations in 1984. This meant that all organizations, whether a political party or a mass organization, had to reject their own foundations and replace them with Pancasila, or face being banned. After much deliberation, mass Muslim organizations, including Nadlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah, accepted the policy. However, some Muslim youth organizations refused to accept the policy and faced a ban. Among those who refused to comply with the edict were Pelajar Islam Indonesia (PII, Islamic Student Association) and Himpunan Mahasiswa Islam (HMI, Muslim Student Association). The former was banned in 1988, while the latter split into two factions: one faction adopted Pancasila as its foundation, while the other, HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO, Assembly of the Saviors of Organization) resisted the policy. 34 Martin van Bruinessen, “State-Islam Relations in Contemporary Indonesia; 19151990 ”, in C. van Dijk and A.H. de Groot, State and Islam, Leiden: Research School CNWS, 1995, p. 105.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1767
Without doubt, the policy aroused resistance at the grass roots level. Non-compliance took many forms and often emerged during Friday sermons and via underground leaflets. The protests reached a peak in the riot of Tanjung Priok, North Jakarta in September 1984, in which, according to unofficial reports, hundreds were killed. During the 1980s the government was troubled by several violent actions run by radical Islamic movements or by oppositional groups. These actions included the Komando Jihad, the Borobudur temple bombing, and the case of Talangsari, Lampung, in 1989.35 On the other side, there were lessons to be learnt from the failure of various attempts to create an Islamic state. This period witnessed the emergence of new intellectual Muslims, namely Nurcholish Madjid, DJohan Effendi, Dawam Rahardjo and Abdurrahman Wahid, who changed the discourse from one of Islamic ideology to cultural and substantial Islam. Instead of struggling for a formalistic and legalistic approach to Islam, as represented in the notion of the Islamic state, these new emerging intellectuals asserted that Islamic values should be absorbed in daily life and the patterns of behavior. Thus, the struggle for Islam was oriented to universal values (rahmat li al-‘alamin), such as social justice, human rights and equity. These values are not exclusively Muslim.36 In the meantime, Muslims observed a shifting in the government’s policy. From the late 1980s the Indonesian regime changed its policies from repression of Islam to accommodating approaches towards Muslims. Bahtiar Effendy notes four categories of government policies: structural, legislative, infrastructural and cultural accommodations. 37 Of these categories, the legislative accommodations were the most relevant to Muslim interests. First, the Law of National Education (UUPN 1989) incorporated religion lessons into national curricula. It also acknowledged the right of students to receive religious instruction in accordance with their religion. Second, the promulgation of the Religious Court Law (UUPA 1989), followed by the Compilation of Islamic Laws (KHI 1991),38 empowered the religious court and upgraded it to a level equal with other civil courts. Before enactment of the new law, the religious court had less authority and its verdicts required validation by a public court before implementation. Related to the issue of the religious court was the fact that until the KHI was introduced, there had never been a single source or text for religious judges to refer to when considering their verdicts. The Ibid., p. 107-110. Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003, p. 150. 37 Ibid., p. 151. 38 On the practice of KHI, see, Euis Nurlaelawti, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010. 35 36
1768 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future acceptance of the KHI filled this gap. Third, there was a revision of the edict on school uniforms to include the jilbab (veil) in 1991. Before this law, female students were not allowed to wear the jilbab in public schools; those who flouted this rule faced intimidation. The last significant legislative change was the withdrawal of Sumbangan Dana Sosial Berhadiah lottery (SDSB, Philanthropic Donation with Prizes) in 1993. In addition to Muslim’s belief that SDSB was gambling, and therefore prohibited in Islam, the lottery produced a number of social, economic and moral problems. As a direct result of the harsh criticism by Muslims, the government terminated the lottery at the end of 1993.39 In addition to the legislative reforms, as early as 1990 Muslims observed more signs of the government’s acceptance of Islam. In 1990, the government permitted the establishment of the Association of Muslim Intellectuals of Indonesia (ICMI) headed by B.J. Habibie. In the following year, the first Islamic bank, Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) was established. Of huge symbolic importance, was President Suharto’s pilgrimage to Mecca in 1991. In addition to this demonstration of piety by the president, for many Muslims it marked the peak of the government’s acceptance of Muslim interests. Some scholars view these fundamental changes of the New Order regime towards Islamic interests in different ways, in particular to the emergence of ICMI. An American anthropologist who paid much attention to political Islam in Indonesia, Robert W. Hefner, sees that emergence of ICMI as the success of middle class Muslims in convincing the government that Islam could not be any longer conceived as an ideological threat of the state, and hence, the government accommodates Muslim interests. It was resulted from the long process of Islamization within bureaucracy and urban middle class that changed the perception of higher level officials on Islam.40 However, critical view on the emergence of ICMI appears. An American political scientist R. William Liddle, for example, views ICMI cannot be understood as “an expression of demands of the Indonesian Muslim community,” but it is a part of Suharto’s political strategy and tactic in controlling political Islam and sustaining power.41 Liddle argues that nature of Suharto’s political strategy was promoting individual piety and resistance to political Islam. In this rationale, he understands why Suharto depoliticized political Islam. Liddle sees that the roots of Suharto’s political supports were anchored in the army forces and the Golkar. Suharto always made control on these two political sources. However, Bahtiar Effendy, Islam and the State, pp. 154-167. Robert W. Hefner, “Islam, State and Civil Society: ICMI and Struggle for Indonesian Middle Class”, Indonesia, 56, (October 1993), p. 32. 41 R. William Liddle, “The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation”, The Journal of Asian Studies, Vol. 55, No. 3 (Aug., 1996), p. 631. 39 40
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1769
when Suharto saw lack support from the army, he turned to Islamic community to gain massive support for his reelection of his presidency.42 Given this social and political context, it is reasonable to argue that the period of the 1990s provided solid grounds for the behavioral change of radical Muslim activists towards the government. This is reflected in our case study. Abu Rijal held a radical view on the government in the 1980s and moved to a more accommodating position by the end of the 1990s, in response to the shifting government policy. D. Creating a Salafi enclave: Imagining and practicing the model of early Islamic community Perhaps even more successful than its conversion of individuals, has been Salafism’s ability to create a community, in the form of an enclave, where Salafis collectively and freely practice a Salafi way of life. Through the creation of the enclave, Salafis try to imitate a model of an early Islamic community. The dwellers comprise a number of families, mostly immigrants who move onto the site to live together with their fellow adherents. Some enclaves take the form of a compound, while others merge with villages. The aim of creating an enclave is to provide an environment conducive to the free and daily practice of Salafi doctrines. To realize this atmosphere, the enclave is often complemented by a mosque and a madrasa, or pesantren, where Salafis receive religious instruction. In fact, the mosque is central to the Salafi community. Besides being a place of worship, the mosque becomes the center of activities, and the place where religious learning occurs. Madrasah and pesantren provide a more systematic method of learning Salafi doctrines. Not just the adults, but children in the enclave are accustomed to practicing Salafi manhaj. Zainal Abidin, a leader of the Salafi enclave in Depok, West Java, talks of the enclave as ‘an incubator for the Salafi generation’.43 As an incubator, the enclave will produce Salafi generation willing to support Salafi da’wa. Emmanuel Sivan has identified a number of characteristics of the enclave. Life in the enclave is voluntary; members of the community can come and go at any time without punishment. The only bond that binds members is morality, and moral reward often goes hand in hand with economic advantages. Loyalty to the leader is another trait of the enclave. The leader obtains his authority through charisma and knowledge.44 Another important feature of the enclave is the belief in the end of the era. R. William Liddle, “The Islamic Turn in Indonesia”, p. 625. Interview with Zainal Abidin, Depok, September 5, 2008. 44 Emmanuel Sivan, “The Enclave Culture”, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, Fundamentalisms Comprehended, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1995, pp. 17-19. 42 43
1770 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future The residents of the enclave believe that they are living at the end of the era – that the world will soon perish and the hereafter is nigh. These characteristics demonstrate the strong bonds that bind community members. Sivan notes that the enclave offers an imagined boundary, the ‘wall of virtues’.45 This ‘boundary’ separates the community from life outside. Life in the enclave is based on morality, virtues and kindness. This is believed to be in contrast with outside life, which is deemed immoral and evil. Inside the community, life is seen as pure, good and safe, whereas life outside is ‘polluted, contagious, dangerous’.46 Therefore, it is crucial to limit contact with outsiders. The following paragraphs discuss the Salafi enclave in Depok, West Java. As a comparison, global information about the Salafi enclave in Sleman, Yogyakarta, will be provided. Salafi enclave in Beji, Depok, Bogor, West Java This enclave is located in the village of Tanah Baru, Beji, Depok, West Java, and is home to about 250 Salafi families. The center of this Salafi enclave is the Fatahillah mosque, which was founded by the Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) using a grant from Saudi Arabia. The community members live among the local villagers. Some buy plots of land from the villagers and build new houses, while others rent their homes. Although they mix with the villagers, Salafis are easily distinguished from the rest because of their appearance: the men have long beards and wear jalabiya, and the women wear the niqab. Living together in the enclave creates a collective identity among Salafis. Collective identity refers to ‘a shared definition of a group deriving from common interests, experiences, and solidarity, involving we-feeling, constructed, activated, and sustained through interaction in movement communities’.47 As Snow and McAdam have indicated, the essence of collective identity resides in ‘a shared sense of ‘one-ness’ or ‘we-ness’ among those individuals who compose the collectivity’.48 Salafis began to occupy this area in Depok in 2000. Zainal Abidin, the current leader of the enclave, made the decision to live in this particular village. Abidin received a Bachelor’s degree in International Relations from the School of the Ministry of Foreign Affairs (Sekolah Departemen Luar Ibid., p. 17 Ibid., p. 18. 47 Sheldon Stryker, “Identity Competition: Key to Differential Social Movement Participation?”, in Sheldon Stryker, et.al., Self, Identity and Social Movements, Minneappolis and London: University of Minnesota Press, 2000, p. 23. 48 David A Snow and Doug McAdam, “Identity Work Processes in the Context of Social Movements: Clarifying the Identity/Movement Nexus” in, Sheldon Stryker, et.al., Self, Identity and Social Movements, Minneappolis and London: University of Minnesota Press, 2000, p. 42. 45 46
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1771
Negeri, or Sesdelu) in Jakarta in 1981. He wrote his undergraduate thesis on the Impact of the Iranian Islamic Revolution on the Monarchies in the Middle East. Like other Muslim activists of the time, he was fascinated by the revolution. He believed that the Iranian revolution was an Islamic revolution and would affect other monarchies in the region. Rather than continue his career in the Ministry of Foreign Affairs, Abidin turned to the Islamic da’wa movement. In 1982, he attended the Academy of Arabic Studies (Akademi Bahasa Arab, ABA) of the Dewan Da’wah, but he did not complete the study. He continued at the Institute of Education for Islamic Da’wa (Lembaga Pendidikan Da’wah Islamiyah) of the Dewan Da’wah.49 Again, he did not finish his course. It was at these institutes that he was first introduced to Salafi doctrines. Influenced by the lecturers at the institutes, he began to change his view on the Iranian revolution being an Islamic revolution to believing that it had, in fact, been a Shi’ite one. The close relationship between the Dewan Da’wah and the Saudi government had resulted in tensions with the Shi’ite community. As mentioned in chapter two, Dewan Da’wah views Shi’ism as a deviant variation of Islam. Abidin became an activist of the da’wa movement as a student at ABA. In this period, he started to persuade children living around the Dewan Da’wah’s headquarters in Kramat Raya, Central Jakarta, to come and learn how to recite the Qur’an. The magnificence of the al-Furqan mosque proved to be a draw and the children came to the mosque and joined the program. This experience of teaching children contributed to his method of teaching the Qur’an when he moved to Depok, West Java, and established ‘Rumah Belajar Ibn ‘Abbas’ (the Ibn ‘Abbas House of Learning). In the second half of the 1980s, Abidin moved to Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Depok, and initiated the preaching of Salafi doctrines among university students at the Academy of Company Leadership (Akademi Pimpinan Perusahan, APP) and the National Institute of Science and Technology (Institut Sains Teknologi Nasional). In order to earn some money, he ran a small catering business for students. While delivering meals, he discussed religious matters with the students and called on them to attend his religious gatherings on Salafi doctrines. Through this approach, he succeeded in attracting a number of students and families around the campuses to join his program. In 1990, he began to teach children the Qur’an at the Fatahillah mosque, outside of Lenteng Agung. Abidin found many children willing to attend his program. Furthermore, in 1998, he founded the abovementioned Ibn ‘Abbas House of Learning. Abidin found Depok to be a good site for his da’wa. In recent years, Depok has transformed into an urban center comprising newly established housing compounds and shopping malls. Consequently, it has become a 49
Interview with Zainal Abidin, Depok, September 5, 2008.
1772 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future busy and polluted area. The site of the enclave, by contrast, offers a different environment. Located in the original village of Depok, it has a cool and calm atmosphere, surrounded by green trees and with fresh air. In 2000, Abidin, together with a number of Salafi families from Srengseng Sawah, moved to the area. Keen to avoid demographic turbulence and social shock at the new site, he managed the Salafis’ migration to this village carefully, bringing in new residents to the enclave only every six months. The influx of Salafis occurred after dissolution of Laskar Jihad in October 2002. After the dissolution, Abidin asked the Dewan Da’wah if he could make use of the Fatahillah mosque for Salafi activities. The consent of the Dewan Da’wah was given with a condition that Saafis did not make any changes in the mosque. Ever since, increasing numbers of Salafis have come to live in the area surrounding the mosque. According to Abidin, currently more than 250 Salafi families live in the enclave. To prevent infiltration by another party, Abidin has adopted a ‘one gate’ system: anyone who wishes to migrate to the area must first seek his permission. This policy means that Abidin gets to know the community members well and ensures that unexpected incidents, such as the infiltration of terrorists, can be avoided.50 The Ibn ‘Abbas House of Learning is an educational institution equal to an elementary school. It focuses on religious subjects, with particular attention to memorizing the Qur’an. Indeed, after six years of study, students are expected to have memorized the entire Holy Book. In terms of religious subjects, students are trained in basic religious knowledge such as aqīda, hadith, Islamic history, Islamic ethics and Arabic. In addition, they are taught mathematics and the national language. After graduation, the students continue on to other Salafi pesantrens, which provide higher levels of education, such as pesantren As-Sunnah in Batam, Riau Islands, and Salafi madrasa in Jember, East Java. The trademark of the Ibn Abbas House of Learning is its integration with the environment; the learning process is not limited to the classrooms, and often takes place in the open spaces of the compound. More importantly, the parents are also expected to learn what their children study at the school. Consequently, parents, too, are required to memorize the Qur’an, under the supervision of Abidin and other Salafi teachers. In order to achieve this, Abidin insists that parents who send their children to study at the Ibn ‘Abbas House of Learning move to the village. In turn, this policy encourages more Salafis to migrate to and live in the enclave. In addition to this program, Salafis have established another educational institution, the pesantren Salafiya led by Ja’ar Salih. This pesantren provides a six-year program for teenagers and adults, and focuses on religious subjects, in particular aqīda, fiqh and Arabic. Like other Salafi 50
Interview with Zainal Abidin, September 5, 2009.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1773
pesantrens, the works of early Salafi scholars such as Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab and Ibn Taymiyya are taught. In fact, many university students attend this program. Some of the alumni have gone on to study in Yemen, such as Ayub. Ayub was a student of Electrical Engineering at the prestigious Gajah Mada University of Yogyakarta between 1998 and 2000. He went to Ambon for a year when Ja’far Umar Thalib called on Muslims for jihad. After jihad, he attended the Salafi madrasa in Depok and went to Yemen in 2004. In 2008, he returned home and started to teach Salafi tenets at the Salafi community in Depok.51 In 2008, an internal dispute between leading figures led to the temporary closure of the pesantren. Recently, the madrasa was moved to Parung, West Java. The pesantren was led by Ja’far Salih. Salih completed his senior high school education in Jakarta. While he was a student, he was active in the Islamic section (Unit Kerohanian Islam) of the school’s students association. In addition, he also attended religious gatherings managed by activists of the Tarbiyah movement. Such activities were key in transforming his studies from secular to religious ones. He then studied Arabic at al-Manar institute, an Arabic learning center founded by the LIPIA alumni. In 1997, he went to Cairo and studied Arabic for one year in his preparation to study at al-Azhar University. However, he was disappointed by his al-Azhar colleagues. He felt that they did not behave in a truly Islamic way, for example neglecting the obligation to pray five times a day on time. Consequently, he decided not to study at al-Azhar. In the last six months of his stay in Cairo, he attended Salafi lectures by Usamah al-Qushi at ‘Ain al-Shams. In the year that followed, he went to Yemen to study with Shaykh Muqbil, and returned to Indonesia in 2001. Upon his return, he was asked to join and teach at the Salafi community in Depok. In 2003, together with his colleague, Yuswaji, he established a Salafi madrasa in Depok.52 In addition to these madrasas, Salafis in Depok also hold daily religious teaching at the Fatahillah mosque, in the evening after the ‘Isha prayer. The lectures, which were managed by the Yayasan al-Muhajirin wa al-Ansar, discuss various aspects of Islam, in particular aqīda, hadith and fiqh. Primary Salafi texts such as Kitāb al-Tawhīd and Thalāthat al-Uṣul of Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Lum’at al-‘I’tiqād, ‘Umdat al-aḥkām, Kitāb al-‘ad’iyat wa al-adhkār, Tafsīr al-Sa’dī, and Tarbiyat al-‘Abnā are learnt. Some other famous books on hadith such as al-‘Arba’in al-Nawawi and Riyaād al-Sālihīn are also included in the lecture. These lectures were delivered by Salafi teachers, including Ja’far Salih, Asasuddin, Abdullah Sya’roni, Abdul Barr, Barmen and Ayub. 51 52
Interview with Ayub, a Salafi teacher, Depok, August 27, 2008. Interview with Ja’far Salih, director of Salafi madrasa, Depok, September 10, 2008.
1774 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Despite the fact that this version of Salafism has attracted people to migrate to the area, it clearly does not attract local people. In fact, only a few local families practice Salafi manhaj. The presence of Salafis at this site does not appear to affect the villager’s level of religious piety. For example, while female Salafis wear the niqab, female villagers do not. This suggests that Salafis have no influence on local people; or, to put it in other words, the Salafi da’wa has failed. When asked about this failure, Salih, replied that the success of Salafi da’wa cannot be measured by the number of adherents. For him, it is enough that local people allow Salafis to practice their manhaj in their environment.53 Like Salafi communities in other cities, the Depok Salafis restrict their interaction with local people. This behavior causes tension with the villagers. Tension can be triggered by trivial issues, such as a greeting. For example, Salafis usually greet people when they meet in the street. However, some local people refused to respond to this greeting. This, in turn, led to Salafis withholding their greetings. This change in attitude aroused the anger of the local people, who felt the Salafis were behaving arrogantly. Another source of tension was the Salafis’ resistance to take part in the village activities commemorating Independence Day. To celebrate this historic day, local people usually put on a variety of fun activities for everyone. At the peak of these activities is a collective prayer, usually held in the evening at an open area, such as a field. Every person is supposed to attend this ritual. The villagers offer meals, including yellow rice. Salafis believe that these activities are a waste of time, energy and money, and hence, are prohibited by religion. Indeed, they consider a number of these activities as bid’a, and so they refuse to engage in them. This resistance has caused conflict between Salafis and local people. Local people accuse Salafis of being anti-nationalist. These conflicts can generally be resolved through dialogue between Salafi figures and village leaders. There are a number of jobs undertaken by Salafis in order to earn money. They range from casual jobs to permanent ones, such as teaching or being a street vendor. The essential criterion in selecting a profession is its compatibility with shari’a. As a result, many Salafis leave their jobs when they realize that their job contradicts Islamic law. Maman Sumanta, who converted to Salafism in 2001, left his job in the sales and marketing of insurance and credit cards. He realized that this previous job related to ribā’. Now, he sells Salafi books, VCDs, and CDs.54 Other Salafis sell herbal life medicines such as habbat al-sawda, Salafi uniforms, honey and nonalcoholic perfume. They usually display these materials in front of mosques after Friday prayers, or in small stalls. Others choose to be vendors of ice cream and bakso (meatballs). Because these jobs are considered as halāl 53 54
Interview with Ja’far Salih, director of Salafi madrasa, Depok, September 10, 2008 Interview with Maman Sumanta, Salafi follower, Depok, September 10, 2008.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1775
(lawful), they are not embarrassed to do them. Salafis claim that these casual jobs give them the space to manage their time flexibly, allowing them to collectively perform their daily prayers. Abu Hafsah, for example, sells ice cream in the school from 09.00 – 12.00, and 13.00-15.00. He returns home for noon and afternoon prayers.55 A similar scene can be found in another Salafi enclave in Ngaklik, Sleman, Yogyakarta. Unlike the Salafi enclave in Depok, where Salafis live among villagers, this enclave is a separate compound. The compound comprises one hundred small houses, which were initially provided by the government for veterans of the war of independence. When the owners left the houses, Salafis rented or bought them. The influx of Salafis to this compound occured after the closure of Laskar Jihad in October 2002. Recently, Salafis have occupied 83% of the houses. As in other enclaves, the Salafis in this compound face no constraints in terms of putting Salafi doctrines into daily practice. Salafis need educational institutions as their children reach school age. Sending the children to existing madrasas or schools is problematic, because they do not meet shari’a-based conditions. Thus, the Salafis in Ngaklik have established a new pesantren, al-Anshar. It was founded in 2004, with the support of Sugiharto, a Salafi sympathizer, who endowed 1000 square meters of land to the Salafi pesantren. Currently, the pesantren provides a program for children (Tarbiyat al-Awlād), a special program for women (Tarbiyat al-Nisā’) and a training program for preachers (Tadrīb alDu’āt). In addition to these educational programs, the pesantren is often used for national Salafi dawra. During such annual dawra, Salafis usually invite Salafi shaykhs from Saudi Arabia and Yemen. As mentioned earlier, the enclave provides Salafis with the opportunity to put Salafi doctrines into daily practice. The religious atmosphere is tangible when one visits the enclave in Depok. The women in the niqab, men with long beards and jalabiya, and children reading the Qur’an, are common sights on the site. At the Fatahillah mosque, one can often see a man reading religious books or the Qur’an. This is in sharp contrast to the scene found on the other side of the village, which is only few meters from the mosque, the center of Salafi activities. There, women are not veiled; some even wear miniskirts. Clearly, Salafis use their dress to create an imagined boundary. This is what Emmanuel Sivan calls the ‘wall of virtue’;56 it is a boundary that is based on morality. Through this imagined boundary, Salafis set a clear-cut distinction between themselves and others. In addition to their dress, Sivan notes, the distinction is apparent in their conversation and sermons.57 Thus, specific phrases such as Interview with Abu Hafsah, Salafi follower, Depok, September 8, 2008. Emmanuel Sivan, “The Enclave Culture”, p. 17 57 Ibid., p. 18. 55 56
1776 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future “qadara Allah” (meaning, ‘God decided’) and “jazākum Allah”58 (may God reward you) are frequently noticeable in their conversation. While in terms of their sermons, Salafis usually begin by warning Muslims to avoid bid’a, which will lead Muslims to the hell. Concluding Remarks Salafism has transformed individual lives and society. Individual changes appear in three forms: “retreat” from the world, being “reborn” Muslim and individual attitude towards the ruler from opposition to cooperation. In the first case, a Salafi totally changes his life by leaving the previous habits and activities, and starts a new life in a new environment. In the effort of making a clear demarcation between the past and new lives, Salafi of type limits himself by reducing contacts with outside community and making preference to living in isolated area. Unlike the first of type of conversion, the second model Salafi maintains his activities in this world. The changes occur in the religious thought and practices. However, these changes in turn lead Salafi to adjust his activities corresponding with the Salafi doctrines. While the third variety of conversion appears among Salafis who were active in militant movement and t opposed the government. Salafism changes their attitude towards the ruler from strong resistance to reception. Meanwhile, the transformation of society takes place in the creation of an enclave. In this enclave, Salafis live together and practice the Salafi manhaj freely. Live in the enclave is characterized by morality and good conduct, which is in contrast with outside enclave. The enclave creates an “imagined boundary” or “wall of virtue” between living community in the enclave and society outside.
58 During the fieldwork, I was often advised by Salafis to say “jazaka/jazakum Allah” instead of saying “shukran”, when I should thank someone for any help. Although the two phrases imply the same meaning, Salafis argue that saying the first phrase will provide the actor with two rewards; one from thanking and the other one from following the sunna. Meanwhile, the second phrase will give the actor one reward.
SUFISME PERENNIAL PADA MASYARAKAT PERKOTAAN (Studi Kasus: Padepokan Thaha Jakarta) Zulfan Taufik Abstrak: Makalah ini berusaha mengkaji fenomena sufisme perennial yang menekankan adanya kesatuan esoterik agama-agama sebagai tren baru pencarian spiritualitas masyarakat perkotaan Indonesia. Tulisan ini menyoroti ajaran sufisme perennial melalui konstruk teori perennialisme yang diusung oleh Frithjof Schuon dan murid spiritualnya yang amat setia dan terkemuka, Seyyed Hossein Nasr. Fokus kajian pada tulisan ini adalah kelompok sufisme yang mengusung ajaran perennial, yakni Padepokan Thaha yang berada di daerah Jakarta Selatan. Penelitian yang memotret ajaran dan praktek sufisme perennial di Padepokan Thaha Jakarta ini menyimpulkan bahwa model keagamaan masyarakat perkotaan Indonesia terbuka terhadap sifat pluralis dan eklektik, yang disebabkan oleh perubahan sosial budaya perkotaan kontemporer. Kata Kunci: sufisme perennial, perennialisme, perkotaan, Padepokan Thaha.
A. Pendahuluan Salah satu fenomena menarik yang mewarnai perkembangan masyarakat perkotaan kontemporer seperti Jakarta, adalah marak tumbuhnya wacana sufisme1 dengan berbagai bentuk. Sebagaimana banyak dilaporkan oleh media massa sejak 1980-an, bahwa kelas menengah kota berlomba-lomba masuk tarekat. Lebih jauh, sejak 1990-an, berbagai aktivitas yang berkenaan dengan sufisme semakin luas.2 Maraknya fenomena sufisme pada masyarakat kontemporer ini, diperkuat oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa sufisme sedang mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. 3 Bahkan fenomena sufisme kontemporer baik di Indonesia maupun 1Sufisme,
atau dikenal juga dengan tasawuf, adalah nama yang biasanya dipergunakan untuk menyebut mistik Islam. Lihat misalnya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 1. Bandingkan dengan R. A. Nicholson, The Mystic of Islam (London: Kegan Paul Ltd, 1966). Penggunaan sufisme atau tasawuf sebagai dimensi mistik, dapat juga dilihat pada Muḥammad Muṣṭafā Ḥilmī, AlḤayāh al-Rūḥiyyah fī al-Islām (Al-Qāhirah: t.p., 1945). 2Lihat misalnya laporan Tempo, 20 April 1991. 3Beberapa penelitian tersebut terangkum dalam buku Jamal Malik dan John Hinnels, ed., Sufism in the West (New York: Routledge, 2006); Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell, ed., Sufism and the ‘Modern’ in Islam (London: IB Tauris, 2006); Catharina Raudvere dan Leif Stenberg, ed., Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global Community (London: IB Tauris, 2009). Lihat juga William Rory Dickson, Living Sufism in North America (Disertasi di Department of Religion and Culture, Wilfrid Laurier University, 2012).
~ 1777 ~
1778 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future negara-negara lain saat ini, tidak lagi hanya diwakili oleh bentuk-bentuk tarekat konvensional, tetapi juga muncul bentuk-bentuk baru dari pengamalan sufisme. Di dunia Barat kontemporer misalnya, berbagai jenis tarekat dan keragaman baik komposisi etnis maupun pendekatan mencerminkan keragaman sufisme melampaui tanah asalnya di Asia dan Timur Tengah. Banyaknya ekspresi sufisme di Barat juga menunjukkan bagaimana kondisi modernitas/postmodernitas mempengaruhi proses pribumisasi. Misalnya saja Hermansen yang mengkaji tentang kelompokkelompok sufi di Amerika, menggunakan sebuah metafora taman untuk membangun tipologi sufisme menjadi tiga, yaitu: Pertama, Sufisme transplant; yakni kelompok sufistik yang bertahan dengan tasawuf ‘asli’ yang dibawa kaum Muslim ke wilayah diaspora dari negeri asalnya masingmasing. Kedua, Sufisme hibrida; yakni kelompok sufisme yang memperlihatkan kaitan erat dengan sumber dan kandungan Islam, yang kemudian dikontekstualisasikan dengan lingkungan sosial, kultural, dan spiritual Barat tertentu. Ketiga, Sufisme perennial: yaitu kelompok sufistik yang dekat dengan gagasan bahwa kebenaran yang berlaku abadi merupakan kerangka dasar seluruh agama.4 Di antara ketiga tipologi tersebut, sufisme perenniallah yang paling menyedot perhatian dan minat masyarakat, khususnya kelas menengah ke atas, karena sifanya yang inklusif, universalistik, dan mampu menampung gagasan berbagai latar belakang agama dalam satu wadah menuju Tuhan.5 Pada sisi lain, melalui sufisme perennial, terjadi proses re-islamisasi yang populer di kalangan borjuis Muslim. Sebagaimana penelitian Haenni dan 4Marcia Hermansen, “Literary Productions of Western Sufi Movement”, dalam Sufism in the West, ed. Jamal Malik dan John Hinnels (New York: Routledge, 2006), 28-29. Bandingkan dengan Schönbeck yang membuat tiplogi bentuk sufisme menjadi Islamic sufi orders, Quasi-Islamic sufi orders, dan Non-Islamic sufi orders. Lihat Oluf Schönbeck, “Sufism in the USA: Creolisation, Hybridisation, Syncretitation?”, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global,ed. Catharina Raudvere dan Leif Stenberg, 177-187. 5Dalam sebuah survey terhadap pengikut sufisme di Amerika pada pertengahan tahun 1980-an, ditemukan bahwa “sufisme perennial” seperti The Sufi Order pimpinan Inayat Khan memiliki 80% pengikut yang minimal berpendidikan sarjana, 23% Katolik, 48% Protestant, 12% Yahudi, dan 17% dari agama lain. Sedangkan pengikut “sufisme transplant” seperti Naqshabandi Haqqani, hampir 50% hanya tamatan SMA. T. Gabbay, A Discussion of Sufism and a Description of a Sample of American Sufi Practitioners (Disertasi di California Institute of Integral Studies, 1988). Bandingkan dengan Hermansen yang menyimpulkan bahwa “sufisme perennial” lebih berpengaruh dari sisi artistik, kultural, dan trend intelektual pada masa kontemporer Amerika, dibandingkan dengan model sufisme hibrida maupun transplant. Lihat Marcia Hermansen, “Hybrid Identity Formations in Muslim America: The Case of American Sufi Movement”, The Muslim World 90 (Spring, 2000): 158-197. Dan lihat juga Lihat juga penelitian Chalfant yang menyebut bahawa model sufisme yang terbuka terhadap kepercayaan agama lain, lebih dapat diterima oleh publik postmodern. Aubony R. Chalfant, Trancending the Metanarrative: The Postmodern Spirituality of Shirazeh Houshiary’s Sculpture (Tesis pada University of Missouri-Kansas City, 2012).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1779
Voix di Maroko, bahwa masyarakat Maroko belakangan ini menemukan cara lain yang lebih bijaksana untuk melakukan Islamisasi dengan cara-cara di mana pencangkokan dan perkawinan kultural dapat diterima. Di antaranya adalah penyusunan kembali kepercayaan agama dalam konteks New Age. Cara baru ini menempatkan diri di hadapan yang sakral, di mana kepentingan individu telah menggantikan dukungan terhadap PanArabisme atau Islamisme.6 Di Indonesia, khususnya Jakarta, predikat sebagai kelompok sufisme perennial sempat disematkan kepada Jamaah Salamullah, meskipun akhirnya mengalami perubahan mendasar dengan mendeklarasikan sebagai agama tersendiri dan keluar dari Islam. Kelompok lain yang muncul sebagai sufisme perennial di Jakarta adalah Padepokan Thaha yang dipimpin oleh KH. Rahmat Hidayat. Padepokan Thaha yang berdiri pada 2001 merupakan bagian dari pengajian majelis Misykatul Anwar yang berpusat di daerah Senopati Jakarta Selatan, dan sudah memiliki cabang di Bintaro, Yogyakarta, hingga Batam. Tulisan ini akan menyoroti ajaran sufisme perennial di Indonesia melalui konstruk teori perennialisme yang diusung oleh Frithjof Schuon dan murid spiritualnya yang amat setia dan terkemuka, Seyyed Hossein Nasr. Fokus kajian pada tulisan ini adalah kelompok sufisme yang mengusung ajaran perennial, yakni Padepokan Thaha yang berada di daerah Jakarta Selatan. Sebagaimana lazimnya dalam penelitian sosial kebudayaan (humanities research), paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif. Peneliti langsung terlibat secara aktif selama 4 bulan dalam kegiatan-kegiatan di Padepkoan Thaha untuk melihat dan merasakan situasi dan kondisi yang berkembang, demi terhimpunnya data yang menunjang ke arah materi penelitian. Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan metode observasi partisipan (participant observation), wawancara mendalam (in-depth interview), dan studi dokumentasi.7 Sedangkan untuk keperluan analisis data, peneliti mengikuti tiga tahap analisis yang diajukan Miles dan Huberman, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.8 6Patrick
Haenni dan Raphael Voix, “God by All Means...Eclectic Faith and Sufi Resurgence among Maroccan Bourgeoisie”, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (London: IB Tauris, 2006),241. Bandingkan dengan Julia Day Howell, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia: Changing Meaning of Religious Pluralism”, Social Compass 52, no. 4 (2005): 473-493. 7Lebih jelas mengenai teknik pengumpulan data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, lihat James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj. E. Koswara, dkk., cet. 3 (Bandung: PT Refika, 2001), 289. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 29 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 164. 8Penjelasan secara lebih rinci atas metode ini, lihat Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI-Press, 1992), 15-20. Lihat juga Sugiyono, Metode Penelitian
1780 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future B. Sufisme Perennial sebagai Nomenklatur Sufisme perennial,9 sebagai nomenklatur akademis tersendiri, dikemukakan oleh Marcia Hermansen ketika ia membaca karakteristik sufisme yang berkembang pada masyarakat Amerika. Menurutnya, istilah perennial bermakna bahwa ada suatu kebenaran universal dan abadi yang merupakan kerangka dasar seluruh agama,10 atau dalam bahasa Schuon, kesatuan transendental agama-agama (the trancendent unity of all religions).11 Dari makna demikian, tampak jelas bahwa sufisme perennial adalah kelompok sufisme yang dekat dengan ide-ide perennialis, universalis, dan tradisionalis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr. Perennialisme secara tegas bersifat ontologis, dalam pengertian bahwa perhatian utamanya adalah soal wujud (Being). Dalam perspektif perennial, wujud itu berkarakter hierarkis. Semua struktur kompleks dan proses-proses yang secara relatif memiliki karakter stabil pada dasarnya selalu menampilkan diri dalam organisasi yang hierarkis. Tiap-tiap struktur hierarkis yang ada dalam realitas dunia selalu saling terkait satu sama lain, dan pola hierarkis yang mencakup segala sesuatu ini memuncak pada realitas Ilahi.12 Jadi, segala sesuatu ada di dalam realitas Ilahi, atau dengan kata lain bahwa realitas Ilahi bersifat substansial bagi dunia, termasuk agama. Schuon menarik garis pemisah antara yang esoterik dan yang eksoterik.13 Menurutnya, perbedaan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain. Garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis yang besar dari agama-agama secara vertikal; agama Islam dari Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cet. 13 (Bandung: Alfabeta, 2011), 338-345. 9Secara etimologis, perennial berasal dari bahasa Latin: perennis, yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris, berarti: kekal, selama-lamanya, atau abadi. Dalam kamus Oxford memiliki dua makna, ‘constantly occurring’ dan ‘lasting for a long time’, yang singkatnya bisa diartikan dengan kekekalan dan keabadian. Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictonary Of Current English. 8th edition (New York: Oxford University Press, 2010), 1088. 10Marcia Hermansen, “Literary Productions of Western Sufi Movement”, dalam Sufism in the West, ed. Jamal Malik dan John Hinnels (New York: Routledge, 2006), 28. Bandingkan dengan Schönbeck yang membuat tiplogi bentuk sufisme menjadi Islamic sufi orders, Quasi-Islamic sufi orders, dan Non-Islamic sufi orders. Lihat Oluf Schönbeck, “Sufism in the USA: Creolisation, Hybridisation, Syncretitation?”, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global,ed. Catharina Raudvere dan Leif Stenberg, 177-187. 11Lihat buku Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions (Illinois USA: Theosophical Publishing House, 1984). 12Huston Smith, Beyond The Postmodern Mind (Wheaton, USA: Quest Books, 1989), 51-52. 13Esoterik berasal dari akar kata bahasa Yunani eso yang berarti “di dalam” atau “suatu hal yang bersifat batin bahkan mistik”. Sedangkan eksoterik berasal dari kata exo yang berarti aspek luar (external) atau yang di luar (outside). Jean L. Mckechine, ed. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The English Languange: Unabridge (USA: William Collins Publishers, Inc., 1980), 624, 643.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1781
agama Hindu, Budha, Kristen, dan seterusnya. Sebaliknya, garis pemisah itu bersifat horisontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah. Di atas garis itu terletak paham esoterisme, sedangkan di bawahnya terletak paham eksoterisme.14
Dari gambar di atas, terlihat bahwa peniruan (imitation) dan perwujudan Pribadi Mahatinggi ini terlihat dalam semua agama wahyu dengan tingkat kejelasan berbeda-beda. Ia juga merupakan titik tempat menyatunya berbagai agama itu. Namun kesatuan berbagai agama tersebut terjadi pada tingkat esoterik. Schuon mengibaratkan esoterik bagaikan “hati” agama, sedangkan eksoterik adalah “badan” agama. Kehidupan keagamaan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence) atau yang esoterik. Dimensi esoterik berada di atas atau melampaui dimensi eksoterik, dan kesatuan agama-agama hanya akan terjadi pada level yang tak berbentuk, yang batin, atau yang esoterik ini. Sedangkan pada level eksoterik agama-agama, yang dapat dilakukan adalah dialog berdasarkan rasa hormat satu sama lain dalam harmoni, bukan kesatuan.15 Seyyed Hosssein Nasr, yang juga merupakan murid spiritual Schuon, menjelaskan perbedaan antara hakikat, tarikat, dan syariat agama yang seumpama pusat roda dan jari-jarinya. Baginya, beberapa sufi tradisional, terutama dari Tarekat Shadhiliyah, menggunakan lambang lingkaran untuk menggambarkan hubungan antara dua dimensi besar dalam Islam, yakni tarekat dan syariat. Dari setiap titik dalam ruang dapat dibuat lingkaran dan jari-jari dalam jumlah tak terhingga yang menghubungkan setiap titik dalam lingkaran dengan pusat lingkaran. Lingkaran ini adalah syariat yang keseluruhannya membentuk masyarakat Muslim. Setiap Muslim yang 14Model gambar piramida yang menunjukkan pemikiran Schuon tentang esoterisme dan eksoterisme dibuat oleh Huston Smith dalam pengantar buku Frithjof Schuon, The Trancendental Unity of Religions, xii. 15Frithjof Schuon, The Trancendental Unity of Religions, 30.
1782 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future mengakui hukum Tuhan adalah sebuah titik dalam lingkaran ini. Jari-jari melambangkan ṭuruq (jamak dari ṭarīqah). Setiap jari-jari adalah jalan yang menuju ke pusat. Para sufi mengatakan bahwa jumlah jalan yang menuju ke Tuhan sama banyaknya dengan jumlah keturanan Adam.16 Tarekat yang terdiri dari berbagai bentuk, sesuai dengan kebutuhan dan tempramental spiritualitas manusia, adalah jari-jari yang menghubungkan setiap titik ke pusat. Hanya dengan berdiri di dalam lingkaran, yaitu menerima syariat, manusia dapat mencari jalan yang mengarah ke pusat. Dengan kata lain, hanya dengan menjalani syariat, kemungkinan terbukanya pintu kehidupan spiritual (hakikat) akan disadari. Di pusat terletak hakikat atau kebenaran, yang menjadi sumber tarikat dan syariat. seumpama titik yang membentuk lingkaran dan jari-jari, begitu pula secara metafisik, hakikat menciptakan tarekat dan syariat, hakikat (pusat) itu “ada di mana-mana dan (juga) tidak ada.” Syariat dan tarikat diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Benar, dan keduanya mencerminkan hakikat dengan cara yang berbeda. Menjalani syariat adalah hidup dalam cerminan hakikat atau kesatuan (unity), sebab lingkaran adalah refleksi pusat.17 Dalam tradisi Islam, sufisme yang memberi lahan subur bagi perennialisme adalah sufisme yang menganut paham kesatuan wujud (wahdat al-wujud) atau non-dualisme yang diusung Ibn al-‘Arabi. Doktrin tentang kesatuan (wahdah, union) ini pada akhirnya akan berimplikasi kepada paham akan kesatuan esoterik agama-agama yang merupakan perhatian utama perennialisme. Paham tersebut juga dianut oleh Rumi, Ibn al-Farid (1182-1235), Mahmud Shabistari (l. 1288), seorang sufi Persia yang masyhur dan pengikut setia Ibn al-‘Arabi, dan para sufi India seperti Dara Shikoh (1615-1659), Abd al-Rahman Chisti (w. 1638), Hazrat Inayat Khan (1882-1927), Bawa Muhaiyaddeen, dan Idries Shah (l. 1924).18 Menurut Ibn al-‘Arabī misalnya, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya, Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya.19 Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak
16Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd., 1996), 121-122. Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan, 2010), 16-17. 17Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, 122. 18Media Zainul Bahri, Kesatuan Transenden Agama-agama dalam Pandangan Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili. Disertasi pada SPs UIN Jakarta 2010, 34. 19Pandangan Ibn al-‘Arabī mengenai “Tuhan kepercayaan” (Ilāh al-mu‘taqad) atau Tuhan dalam kepercayaan (al-Ilāh fī al-I‘tiqād) adalah Tuhan dalam pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, tetapi adalah ciptaan manusia, yaitu Tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan,
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1783
dapat diketahui. Ini sama dengan “mengetahui Tuhan yang tidak dapat diketahui” (to know the Unknowable God). Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu adalah satu dan sama. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perennial dalam konteks pembahasan ini tidak dipahami sebagai paham yang berpandangan bahwa semua agama adalah sama—suatu pandangan yang menurut Komaruddin, sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular. Akan tetapi, perennial yang berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths) sebagaimana matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna. Artinya, meskipun hakikat Agama yang benar itu hanya satu, tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah.20 Pandangan sufi mengakui adanya penyelewengan-penyelewengan dalam agama-agama yang merupakan pengingkaran terhadap Tuhan. Dalam arti ini, semua agama tidak sama. Agama yang diselewengkan tidak akan membawa keselamatan. Agama yang diterima oleh Tuhan dan menjamin keselamatan dan kebahagiaan adalah agama yang mematuhi wahyu Tuhan, atau seperti dikatakan Ibn al-‘Arabī sebagai agama yang mematuhi Perintah Kewajiban (al-Amr al-Taklīfī).21 C. Profil Padepokan Thaha Jakarta Tarekat sebagai perkumpulan riil para ahli ibadah merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia. Martin van Bruinessen melansir bahwa dalam teks-teks paling awal yang ada, yang mengacu sejak akhir abad ke-16, kita dapat menemukan (sedikit) pengaruh sufisme metafisis dari Ibnu al-‘Arabī dan al-Jīllī, di samping etika sufi al-Ghazali, tetapi tidak ada rujukan ke tarekat tertentu. Barulah pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, terdapat guru-guru doktrin dan teknik spiritual di hampir seluruh Nusantara untuk memperoleh kekuatan dan pengetahuan supranatural, yang dikelilingi oleh sekoelompok murid dan pengikut. Hanya sebagian kecil dari mereka saja yang berafiliasi dengan salah satu tarekat besar internasional, berkat kemampuan mereka memenuhi biaya konsep, penangkapan atau persepsi manusia. Lihat Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi (Jakarta: Serambi, 2003), 36. 20Hidayat dan Nafis, Agama Masa Depan, 5. 21Noer, Tasawuf Perenial, 61.
1784 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future pelaksanaan haji ke Makkah. Kebanyakan mereka telah menyusun ramuan teknik spiritual dan spekulasi metafisik eklektiknya sendiri dari berbagai sumber.22 Salah satu dari keturunan silsilah geneologis para guru spiritual tersebut, yang kemudian berkembang membentuk kelembagaan sufisme dengan pengorganisasian modern, yang diberi nama Padepokan Thaha. Ssecara resmi, Padepokan Thaha berdiri pada tahun 2001 dan berpusat di Jalan Suryo Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Dalam sejarahnya, padepokan ini bermula dari pencarian seorang Hario Soeprobo, salah satu bankir terkemuka di Jakarta era 1990-an. Dalam pencariannya, ia bertemu dengan KH. Rahmat Hidayat dan menjadi murid pertamanya. Setali tiga uang, pertemuan itu bertepatan dengan masa awal Kiai Rahmat diberi amanat untuk melanjutkan silsilah pengajaran di “perguruan” sepeninggal gurunya pada 23 Desember 1991. Pada 10 Januari 1980, Kiai Rahmat yang ketika itu berusia 24 tahun, bertemu dengan guru spritualnya yaitu Syeikh Usman. Melalui Syekh Usman, mata kalbu Rahmat muda menjadi terbuka dengan berbagai pengalaman spiritual yang spektakuler. Singkat cerita, Ia kemudian menjadi asisten Sang Syekh hingga 23 Desember 1991 (hari wafat Syekh Usman). Kiai Rahmat sendiri memiliki silsilah “geneologi spiritual” sampai pada Kanjeng Sunan Kudus di Tanah Jawa, hingga Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya sampai pada Rasulullah.23 Sejak Kiai Rahmat mengangkat Hario sebagai murid pertamanya, Hario telah menarik orang lain di lingkarannya untuk turut serta dalam pengajian bersama Kiai Rahmat. Kala itu, pengajian rutin dilakukan di rumah Hario di bilangan Pancoran. Namun, pengajian sempat terhenti ketika ia menetap di Amerika selama tiga tahun (1992-1995). Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, Kiai Rahmat berkeliling memberikan pengajaran. Sekembalinya Hario dari Amerika sekitar tahun 1996, aktivitas pengajaran pun dimulai lagi dengan cara yang lebih berpusat, yakni di mushalla rumah Hario di Lenteng Agung. Pada tahun 1997, pusat kegiatan pengajian kembali berpindah seiring dengan berpindahnya Hario ke Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Hingga tahun 1999, jumlah peserta yang mengikuti pengajian kian membludak sehingga kediaman Hario tak sanggup lagi menampung para peserta pengajian. Hario dan Kiai Rahmat kemudian berinisiatif membangun lokasi baru sebagai pusat kegiatan pengajian di Jalan Suryo Kebayoran Baru— yang juga dekat dengan rumah Hario. Lokasi baru inilah yang menjadi 22Martin van Bruinessen, “Saints, Politician and Sufi Bureucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New Order, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Matin van Bruinessen dan Julia Day Howell, 94. 23Perkenalan dengan KH. Rahmat Hidayat pada “Program Pembinaan Diri Menuju Tawajjuh” pada tanggal 3 Juli 2013 di Padepokan Thaha Jakarta.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1785
stimulus ide pembentukan sebuah yayasan sebagai payung hukum segala kegiatan pengajian. Yayasan tersebut kini dikenal dengan nama Padepokan Thaha. Adapun pengajiannya, oleh Kiai Rahmat dibentuk dan diberi nama Majelis Ta’lim Misykatul Anwar. Nama tersebut diambil dari kitab karya Imam Ghazali yang menjadi referensi utama dalam perguruan ini. Penggunaan kitab Mishkat al-Anwār sebagai referensi utama, dapat menunjukkan corak tasawuf yang dianut, adalah tasawuf teosofi. Karena menurut Schimmel, meski aliran utama tasawuf ortodoks yang moderat disistematisasikan oleh al-Ghazali, namun karya-karya Ghazali (terutama Mishkat al-Anwār) sendiri mengandung pandangan yang nantinya akan dikembangkan penuh dalam aliran teosofi Islam.24 Dengan demikian dapat dipahami jika secara eksplisit, baik Kiai Rahmat maupun para pengurus, menolak jika dikatakan sebagai tarekat atau berafiliasi dengan tarekat tertentu. Sebaliknya, mereka lebih menyukai istilah “majelis ta’lim” karena lebih terdengar umum bagi kebanyakan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan.25 Sebagai lembaga, Padepokan Thaha beroperasi secara modern dengan model administrasi yang teratur dan akuntansi keuangan yang ketat. Kiai Rahmat, dalam pelaksanaan pengajaran dibantu oleh para fasilitator/pengajar dan petugas administratif. Kegiatan-kegiatan yang ditawarkan mulai dari bimbingan ibadah dan baca al-Qur’an, pengajian rutin tentang tafsir al-Qur’an dan kitab hadits, kajian kitab-kitab tasawuf seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Biḥār al-Anwār, sharing spiritual, bedah film, wirid agung, dan yang terpenting adalah prosesi pra-tawajjuh, tawajjuh, dan pasca-tawajjuh bagi yang ingin merasakan dan mendalami ilmu makrifat. Semua penjadwalan kegiatan dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan para “pencari” perkotaan yang kesehariannya sibuk bekerja di siang hari.26 Selain pengajaran, Padepokan Thaha juga melakukan kegiatan sosial, seperti sunatan massal, bakti sosial, dan sebagainya. Sebagaimana ditegaskan direkturnya, “Kita tidak hidup sendiri. Ini bukan padepokan di tengah gunung, tapi di tengah masyarakat”.27 Sebagai organisasi, direksi juga mengembangkan pusat-pusat kajian di luar Padepokan Thaha yang membahas hal-hal yang lebih umum untuk merangkul masyarakat secara lebih luas. Sebagaimana yang diceritakan oleh Hario: “Dulu kami punya Centre for Spiritual Leadership. Ini sebetulnya hampir sama 24Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, 329. dengan Pak Hario Soeprobo di kediamannya, pada tanggal 2 Oktober
25Wawancara
2013.
26Bentuk kegiatan di Padepokan Thaha ini, seperti yang tercantum dalam brosur info kegiatan rutin bulanan Padepokan Thaha (khususnya bulan Juni 2013). 27Petikan wawancara dengan Pak Hario Soeprobo di kediamannya, pada tanggal 2 Oktober 2013.
1786 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future kaya Paramadina dulu. Setelah Cak Nur nggak ada, saya bikin ini. Sebagai tempat kita mengakomodir hal-hal yang lebih luas dan umum… Selain itu saya juga punya Kafe namanya Omah Sendok. Tempat yang biasa digunakan untuk pentas kesenian dan keagamaan, dengan mengundang seniman-seniman tari untuk pentas. Karena seniman juga secara sifat dan jiwa, dekat dengan spiritual. Kita juga ingin punya sekolah. Inilah lingkaran luar atau umum untuk berinteraksi dengan masyarakat. Ini yang membuat orang berkumpul. Bagi mereka yang ingin lebih tahu lebih dalam, baru masuk ke sini (Padepokan Thaha).”
Pada perkembangannya, program dan ajaran yang ditawarkan oleh Padepokan Thaha mendapat sambutan dari masyarakat perkotaan. Terlihat, dari berdirinya cabang-cabang Padepokan Thaha baik di kota Jakarta dan sekitarnya seperti Gandaria, Fatmawati, Bintaro, dan Bekasi, maupun di luar Jakarta seperti di Bandung, Batam, Pekan Baru, Surabaya, dan Bali. Direktur Padepokan Thaha memperkirakan jumlah siswa untuk bilangan Jakarta saja sekitar 15.000-an siswa, dan jumlah siswa secara nasional menurut Kiai Rahmat tidak kurang dari 40.000 siswa. Pada hari-hari tertentu, kegiatan seperti hari raya, halal-bihalal, dan wirid agung, diadakan terpusat pada satu tempat. D. Perennialisme Ajaran Padepokan Thaha Menurut Hario Soeprobo, esensi ajaran dalam Padepokan Thaha ada tiga: Pertama, tentang mengenal diri sendiri (dari mana berasal dan kemana akan kembali). Kedua, lengkapilah pengetahuan itu dengan ibadah-ibadah syariat. Ketiga, ejawantahkan ke dalam hidup bermasyarakat. Bagaimana cara untuk mengenal diri sendiri secara mendalam, adalah ajaran yang paling utama dan esensi di Padepokan Thaha. Pada konteks inilah perennialitas dan universalitasnya tampak, karena pengetahuan mengenai jati diri memang merupakan pertanyaan eksistensial yang sering dilontarkan. Di mana pun kita dan pada masa kapan pun kita kebetulan hidup, kita tidak bisa menghindar dari mengajukan pertanyaan dasar tentang siapakah kita, dari mana kita datang, apa yang kita lakukan di sini, dan ke mana kita akan pergi. Dan tasawuf, sebagaimana di Padepokan Thaha, berbicara kepada sedikit orang yang mendambakan jawaban terdalam untuk pertanyaan tentang siapa mereka dan dengan cara yang akan menyentuh dan mentransformasi seluruh wujud mereka. Dengan kata lain, jalan sufi adalah jalan di dalam tradisi Islam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar ini dan untuk menemukan identitas sejati kita.28 Agama-agama sepanjang zaman telah berusaha untuk mengajari kita 28Uraian dan penjelasan ini penulis sarikan dari observasi partisipatif penulis dalam kegiatan “Open House” tanggal 30 Juni 2013 dan “Program Pembinaan Menuju Tawajuh” yang dilaksanakan di Padepokan Thaha selama 4 hari, dari tanggal 3 Juli sampai dengan 6 Juli 2013. Catatan penjelasan-penjelasan ini penulis bandingkan dengan pemahaman Seyeed Hossein Nasr dalam The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf (Bandung: Mizan, 2010).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1787
tentang siapa diri kita dan melalui ajaran-ajaran batinnya menyediakan jalan untuk “menjadi” Diri Sejati kita. Islam tentu tidak terkecuali, menyingkapkan doktrin lengkap tentang hakikat kita yang sebenarnya dan juga hakikat tingkatan-tingkatan yang memancar dari Yang Esa, yang hanya Dialah Yang Nyata pada akhirnya, dan memberikan ajaran yang jika dipraktikkan, membawa kita kembali kepada yang Esa melalui jalan spiritual dengan sepenuh sukacita dan kebahagiaan. Al-Qur’an sendiri menegaskan, “Sesungguhnya kita datang dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali” (Q.s. al-Baqarah/2: 156). Lalu, bagaimana cara untuk untuk mengenal diri sendiri dan akhirnya mengenal Tuhan? Sabda Nabi, “Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”.29 Tasawuf memandang serius hadits ini dan juga menempatkannya ke dalam amalan. Ia memberikan, di dalam semesta spiritual tradisi Islam, cahaya yang diperlukan untuk menerangi sudut gelap jiwa kita dan kunci untuk membuka pintu ke relung-relung tersembunyi dari wujud kita sehingga kita bisa berziarah ke dalam diri dan mengenal diri kita sendiri. Dan pengetahuan ini pada akhirnya mengantarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan yang bersemayam di pusat diri kita, sebagaimana ditegaskan oleh hadits qudsi, “Langit dan bumi tidak mampu meliputi-Ku, tetapi hati hambaku yang beriman mampu meliputi-Ku.” Pesan tasawuf itu abadi (perennial) karena watak manusia selalu sama, tak terjangkau kebetulan aksidental oleh epos-epos sejarah dan gaya hidup zaman ini, dan juga karena selama kita adalah manusia, pertanyaan yang dihadapi masing-masing adalah “Siapakah aku?” Tanggapan tasawuf terhadap pertanyaan abadi ini bergema hari ini sebagaimana dahulu bagi orang-orang yang telinganya peka terhadap panggilannya dan mendambakan pengetahuan yang mencerahkan, yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan istilah “makrifat”. Makrifat adalah sejenis pengetahuan untuk menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Makrifat berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu. Oleh karena itu, ia harus dialami, bukan dipelajari.30 Seperti untuk memahami pedas, akan bisa dengan mudah dilakukan dengan mencicipi cabai. Di sinilah fungsi seorang guru spiritual/mursyid yaitu untuk membimbing para pencari untuk dapat mengalami sendiri pengalaman 29Ini
merupakan hadits yang populer di kalangan sufi. Meskipun secara periwayatan dianggap hadits ḍa‘īf, namun Ibn al-‘Arabī dengan tegas mengatakan bahwa hadits tersebut shahih berdasarkan metode kashf. 30Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta:Erlangga, 2006), 10. Lihat juga Abu Bakr M. Kalabadzi, Menggapai Kecerdasan Sufistik: Belajar dari 32 Prinsip Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti (Jakarta: Hikmah, 2002), 77.
1788 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future mistik atau keagamaan sendiri, dan dengan begitu bisa mengalami sendiri. Demikianlah, melalui ajaran tentang pentingnya mengenal diri sendiri agar dapat mengenal Tuhan, Kiai Rahmat menjadi figur sentral di Padepokan Thaha yang dengan otoritas silsilah spiritualnya, dapat membimbing para pencari untuk mencapai Yang Esa. Dan melalui ma‘rifatullāh inilah, menghasilkan pandangan hidup yang terbuka dan toleran terhadap semua golongan, karena pada dasarnya juga menuju kepada Tuhan yang sama. Sebagaimana digambarkan Nasr, bahwa dalam ilmu makrifat, kebenaran ini adalah tauhid dalam artian metafisik, suatu hikmah yang kekal, religio perennis, yang dengan datangnya Islam diwujudkan sepenuhnya.31 Lebih lanjut, Nasr mengungkap bahwa para sufi sepanjang sejarah Islam hidup dengan kesadaran akan keuniversalan hikmah yang mereka peroleh dan terkandung dalam ajaran-ajaran dan metode-metode mereka. Tetapi hanya beberapa di antaranya yang memiliki keahlian istimewa untuk mengemukakan secara tersurat masalah ini, sementara yang lain tak mampu mengemukakannya. Seperti Jalaluddin Rumi yang memiliki beberapa murid Kristen dan Yahudi, dan yang Masnawi-nya penuh dengan sajak-sajak yang mengemukakan keuniversalan tradisi keagamaan.32 Dengan ajaran demikian, Padepokan Thaha membuka pintu bagi inisiasi orang-orang dari latar belakang non-Muslim dan berpandangan bahwa jalan menuju kebenaran ada di semua agama.33 Para murid yang datang dari latar belakang berbeda-beda—termasuk agama, diajarkan cara supaya dapat mengetahui lebih dalam jati diri sendiri, melalui tawajjuh atau yang terkadang disebut dengan ilmu makrifat. Kemudian setelah mengetahui jati diri dan mengenal Tuhan (ma‘rifatullāh), para murid depersilahkan untuk memeliharanya dengan cara menjalankan syariah masing-masing. “Salah satu dampak dari perjalanan spiritual untuk mengenal diri dan mengenal Tuhan (ma‘rifatullāh), akhirnya mereka memahami ada benang merah dari formal religion itu. Dan itu buat kami lebih penting. Bahwa syariat dalam setiap agama itu berbeda-beda. Kita pun memiliki syariat... Saya selalu membuat analoginya seperti kita jalan mendaki gunung. Mau dari utara, selatan, barat, timur, tujuan utamanya kan sama sebetulnya. Cuma di setiap jalan ini beda-beda. Jangan kita berantemin masalah itunya. Analogi lainnya seperti kita naik perahu. Mau pake perahu kuning kek, perahu hijau kek, tujuannya yang penting kamu sampai di pulau itu. Setelah kamu sampai di pulau itu, jangan lagi kamu berantem masalah perahu lagi... Sikap universalisme dan juga toleransi, otomatis akan menjadi sikap kamu kalau kamu
31Seyyed
Hossein Nasr, Living Sufism (London: Unwin Paperbacks, 1980), 115. Living Sufism, 132. 33Penulis memperoleh informasi eksplisit dari hasil wawancara dengan pengurus Padepokan Thaha, bahwa banyak juga para pencari dari latar belakang agama berbeda seperti Kristen dan Budha yang menjadi murid Kiai Rahmat di Padepokan Thaha.Wawancara di Padepokan Thaha pada tanggal 24 Juni 2013. 32Nasr,
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1789
melakukan perjalanan spiritual yang cukup dalam.”34
Titik berangkat dalam memahami universalisme yang diajarkan di Padepokan Thaha, adalah dimulai dari esensi setiap manusia yang di dalamnya terdapat unsur keilahian (esoterik), terlepas dari warna kulit, bahasa, agama, dll. Universalisme di sini bukan dalam arti semua yang terlihat (eksoterik) harus sama. Jadi, universalisme itu adalah bahwa unsur Tuhan ada dalam setiap manusia. Inilah yang dicari oleh para pejalan (salik), atau yang disebut juga ma‘rifatullāh. Mereka (para pejalan) sebenarnya mencari hal yang sama, meski dengan jalan yang berbeda-beda. E. Keberagamaan Masyarakat Perkotaan Salah satu fenomena yang sering diramalkan dan menjadi kenyataan pada abad XXI ini adalah munculnya berbagai gerakan spiritual sebagai reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan pada hal-hal yang bersifat material-profan. Dalam konteks Indonesia, periode Orde Baru (1966-1998) menjadi saksi perubahan besar dalam ranah sosiologis Islam Indonesia.35 Meningkatnya akses terhadap pendidikan sekuler dan langkah cepat pembangunan ekonomi serta perubahan teknologi pasca-industri, telah mendorong penyebaran jalan hidup dan sikap kosmopolitan di kalangan kelas menengah dan atas Indonesia yang luas, khususnya sejak 1980-an dan 1990-an. Akan tetapi, ini juga masa ketika banyak Muslim Indonesia, seperti kaum Muslim lain di dunia, menemukan minat baru untuk mengeksplorasi agama yang dipeluknya sejak lahir dan memperdalam kesalehan mereka. Kondisi demikian, sebagaimana kesimpulan Howell, telah menimbulkan tuntutan baru di pasar keagamaan Indonesia.36 Proses liberalisasi yang tengah berlangsung—baik secara polik, ekonomi, maupun sosial—mempunyai dampak yang mendasar terhadap praktik agama dan khususnya Islam. Bentuk-bentuk baru kehidupan berserikat meningkatkan interkoneksi transnasional dan global, serta penggunaan teknologi media modern memiliki dampak besar terhadap kehidupan beragama dan ekonomi yang semakin beragam dan kompleks. Karena itulah, gejala keagamaan kontemporer di Indonesia dan juga di tempat-tempat lain di dunia tidak lagi hanya diwakili bentuk-bentuk konvensional, seperti tarekat. Tetapi juga bahkan bentuk-bentuk baru yang mirip dengan apa yang disebut ahli sosiologi agama sebagai New Age Movement atau New Religious Movement (NRM). Model keagamaan yang pluralis dan eklektik cenderung berkembang dalam masyarakat yang telah mencapai tingkat industrialisasi dan 34Wawancara dengan Pak Hario Soeprobo di kediamannya, pada tanggal 2 November 2013 35Martin van Bruinessen, “Saints, Politician and Sufi Bureucrats”, 92. 36Julia Day Howell, “Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks”, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (London: IB Tauris, 2006), 228-229.
1790 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future urbanisasi tertentu. Seperti bentuk-bentuk pembaharuan kultural modern lainnya, pluralisme dan eklektisisme tumbuh dengan subur di daerahdaerah urban. Banyak dari aspek-aspek modernitas yang cenderung menguntungkan penyebarluasan model keagamaan demikian. Kebanyakan dari anggotanya berasal dari kelas menengah dan telah memiliki karier yang luas dalam pendidikan formal, termasuk pendidikan tingkat universitas, dan konsekuensinya terbiasa menerima ide-ide baru.. Perjalanan waktu dan komunikasi elektronik memberi ide-ide keagamaan baru dan suatu capaian global yang tidak mereka miliki dalam periode sejarah sebelumnya. Berkembangnya sufisme perennial seperti Padepokan Thaha di perkotaan Jakarta, juga menggambarkan suatu bursa persaingan dalam ide dan agama serta suatu konteks sosial di mana individu lebih dibiasakan memilih keyakinan dan komitmen personalnya sendiri, daripada mengikuti keyakinan dan komitmen orang tuanya. Pada dasarnya, perkembangan sufisme perennial pada masyarakat perkotaan dapat dilihat dalam konteks perkembangan New Age Movement. Keduanya sama-sama menawarkan agar manusia kembali kepada akar-akar spiritualitas dirinya tanpa tenggelam dalam gemerlap kehidupan materi yang seringkali membuat kita silau dan menimbulkan berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan kemanusiaan kita. Sehingga, dengan kembali pada pusat spiritualitas dirinya, manusia akan memiliki pandangan dunia (weltanschauung) holistik tentang dirinya, tentang alam, dan tentang dunianya. Namun, ada perbedaan antara New Age Movement dan sufisme perennial. Sementara New Age secara sadar ingin menciptakan sebuah spiritualitas tanpa “agama-agama formal”, karena dianggap hanya mereduksi universalitas pesan Ketuhanan dengan slogan “spirituality, yes; organized religions, no”.37 Sedangkan sufisme perennial lahir dari rahim “agama formal”, dan berusaha mencari titik temu dalam masalah-masalah spiritual yang bersifat transenden dan esoteris. Artinya, sufisme perennial tetap menganggap perlunya agama-agama formal sebagai sarana untuk menuju transendensi dan penyatuan esoteris. Inti pandangan sufisme perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik, ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. F. Penutup Perkotaan Indonesia, sebagaimana di perkotaan lain di dunia, memunculkan gejala keagamaan yang tidak lagi hanya diwakili bentuk37Lihat misalnya John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrend 2000; Ten New Direction for the 1990’s (New York: Avon Book, 1990), 295. Lihat juga Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esai-Esai tentang Agama di Dunia Modern, Penerjemah Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), 238.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1791
bentuk konvensional. Tetapi juga bahkan bentuk-bentuk baru yang bersifat pluralis, universalis, dan eklektik. Gejala ini dapat dipahami jika melihat bahwa banyak dari aspek-aspek modernitas yang cenderung menguntungkan penyebarluasan model keagamaan demikian. Tidak heran jiak kebanyakan dari anggotanya berasal dari kelas menengah dan telah memiliki karier yang luas dalam pendidikan formal, termasuk pendidikan tingkat universitas, yang memang terbiasa menerima ide-ide baru. Berkembangnya sufisme perennial seperti Padepokan Thaha di perkotaan Indonesia seperti Jakarta, juga menggambarkan suatu bursa persaingan dalam ide dan agama serta suatu konteks sosial di mana individu lebih dibiasakan memilih keyakinan dan komitmen personalnya sendiri, daripada mengikuti keyakinan dan komitmen orang tuanya. Isu dan tantangan besar dalam kehidupan keberagamaan zaman ini yang coba dijawab oleh sufisme perennial, adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain, yang juga eksis dan punya keabsahan. Sufisme perennial dengan kemampuannya menjamahi wilayah esoterik dengan melampaui bentuk-bentuk eksoterik, mampu berdialog dengan agama lain dan membuka pintu-pintu penghalang dengan kunci hikmah perennial dan universalnya. Dengan demikian, model keagamaan yang muncul bukanlah agama yang terpisah dan berbeda samasekali dari agama-agama tradisional. Namun pada tataran esoteris dan puncak-puncak peradaban itu akan muncul suatu paham keberagamaan eklektik dan sikap keberagamaan yang lebih humanistik-universal. Daftar Pustaka Bahri, Media Zainul. Kesatuan Transenden Agama-agama dalam Pandangan Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili. Disertasi pada SPs UIN Jakarta 2010. Bellah, Robert N. Beyond Belief: Esai-Esai tentang Agama di Dunia Modern. Terj. Rudy Harisyah Alam. Jakarta: Paramadina, 2000. Black, James A. dan Champion, Dean J. Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj. E. Koswara, dkk., cet. 3. Bandung: PT Refika, 2001. Bruinessen, Martin van dan Howell, Julia Day. ed., Sufism and the ‘Modern’ in Islam. London: IB Tauris, 2006. ------. “Saints, Politician and Sufi Bureucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New Order, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Matin van Bruinessen dan Julia Day Howell. Chalfant, Aubony R. Trancending the Metanarrative: The Postmodern Spirituality of Shirazeh Houshiary’s Sculpture. Tesis pada University of Missouri-Kansas City, 2012. Dickson, William Rory. Living Sufism in North America. Disertasi di
1792 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Department of Religion and Culture, Wilfrid Laurier University, 2012. Gabbay, T. A Discussion of Sufism and a Description of a Sample of American Sufi Practitioners. Disertasi di California Institute of Integral Studies, 1988. Haenni, Patrick dan Voix, Raphael. “God by All Means...Eclectic Faith and Sufi Resurgence among Maroccan Bourgeoisie”, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell. London: IB Tauris, 2006. Hermansen, Marcia. “Hybrid Identity Formations in Muslim America: The Case of American Sufi Movement”, The Muslim World 90 (Spring, 2000): 158-197. ------. “Literary Productions of Western Sufi Movement”, dalam Sufism in the West, ed. Jamal Malik dan John Hinnels. New York: Routledge, 2006. Ḥilmī, Muḥammad Muṣṭafā. Al-Ḥayāh al-Rūḥiyyah fī al-Islām. Al-Qāhirah: t.p., 1945. Howell, Julia Day. “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia: Changing Meaning of Religious Pluralism”, Social Compass 52, no. 4 (2005): 473-493. Kalabadzi, Abu Bakr M. Menggapai Kecerdasan Sufistik: Belajar dari 32 Prinsip Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti. Jakarta: Hikmah, 2002. Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta:Erlangga, 2006. Malik, Jamal dan Hinnels, John. ed., Sufism in the West. New York: Routledge, 2006. Mckechine, Jean L. ed. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The English Languange: Unabridge. USA: William Collins Publishers, Inc., 1980. Miles, Mathew B. dan Huberman, A. Michael. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press, 1992. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 29. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Naisbitt, John dan Aburdene, Patricia. Megatrend 2000: Ten New Direction for the 1990’s. New York: Avon Book, 1990. Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: George Allen & Unwin Ltd., 1996. ------. Living Sufism. London: Unwin Paperbacks, 1980. ------. The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, terj. Yuliani Liputo.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1793
Bandung: Mizan, 2010. Nicholson, R. A. The Mystic of Islam. London: Kegan Paul Ltd, 1966. Noer, Kautsar Azhari. Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi (Jakarta: Serambi, 2003. Oxford Advanced Learner’s Dictonary Of Current English. 8th ed. New York: Oxford University Press, 2010. Raudvere, Catharina dan Stenberg, Leif. ed., Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global Community. London: IB Tauris, 2009. Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, cet. 2. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. Schönbeck, Oluf. “Sufism in the USA: Creolisation, Hybridisation, Syncretitation?”, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global, ed. Catharina Raudvere dan Leif Stenberg. Schuon, Frithjof. The Trancendent Unity of Religions. Illinois USA: Theosophical Publishing House, 1984. Smith, Huston. Beyond The Postmodern Mind. Wheaton, USA: Quest Books, 1989. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cet. 13. Bandung: Alfabeta, 2011.
SOCIAL STRUCTURAL INNOVATION IN INDONESIA’S SUFI TRADITION: URBAN MAJLIS ZIKIR AND SALAWAT Arif Zamhari Social scientists and Islamists have predicted that the Sufi tradition as well as its proponents will diminish in the Muslim world following the development of Muslim society toward shariah oriented community (Howell 2001). Moreover, according to them, Sufi traditions will become the remnant of Muslim history when Muslim has adopted the values of modern society socially and economically and modern reformation of Islamic society has taken place. In the course of the history of Sufism in Indonesian, Sufi traditions have also experienced marginalization among modernist Muslims for several decades (Howell 2007:217). However, the prediction has proved to be flawed. Even though Sufi tradition has been strongly challenged by modernist Muslim in the last few decades, it has grown significantly in the Muslim world including Indonesia, the most populous Muslim majority country in the world. Sufism has been not only practiced by villagers, peasants, and non educated people, but also has been practiced by urbanites, national elites, and educated people. Even, modernist Muslims, who once were strongly opposed to Sufi tradition due to its heretical elements, have practiced Sufism and joined tarekat group. Moreover, during the last few decades Sufi tradition in both Indonesian urban and rural area has experienced significant innovation in term of its practices and organization (Zamhari, 2010). Previously, Sufism only can be practiced through numerous organized Sufi groups (tarekat), now in order to practice Sufi ritual, Indonesian Muslims need not join a particular structured Sufi order(tarekat) formally with its complicated rules. People can practice zikr ritual as widely practiced in the tarekat groups without necessarily being members of the tarekat. New majlis zikr and majlis salawat have been emerging in urban and rural areas. In stead of tarekat, these new groups serve as an alternative venue for Muslim to improve their spiritual lives. Majlis zikr and salawat have proliferated over the last few decades not only in urban areas but also in rural areas. Without a doubt, the locus of the majlis zikr and majlis salawat activities especially in the rural areas has been pesantren (Islamic boarding schools). Pesantren have played a pivotal role not just in Islamic education generally, but in maintaining Sufi tradition in Indonesia. The pesantren through their leaders and alumni networks have been disseminating majlis zikir and salawat throughout Indonesia. Recently
~ 1794 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1795
they have spread to urban areas, which is the focus of our current research project. In urban areas another institution has been important in facilitating the proliferation of majlis zikr and salawat: the majlis taklim. The majlis taklim also grew out of the pesantren, but have sprung up independently both in rural and urban areas. They now play an important role in preaching and teaching Islam to urbanites. In the last ten years the majlis taklim in urban areas functioned not only as centres for lectures on Islam (pengajian umum) but also as centers for activities known as majlis zikir and salawat, ritual practices commonly conducted by Sufi groups especially the tarekat or Sufi orders. This study examines the emergence of majlis taklim as a locus for zikr and salawat activities as well as centres for Islamic preaching (dakwah Islamiyah) among urbanites. Despite the importance of majlis taklim in urban areas, there has been scant attention to the study of the contemporary practices of zikr and salawat conducted by majlis taklim in urban areas. Moreover, in the study of urban Sufism, little attention has been given to the proliferation of zikr and salawat practices among urbanites as part of the development of neo Sufi tradition in Indonesia. In addition, as widely held among Indonesian Muslims, the popular practices of zikr and salawat proliferated in the last few decades cannot be regarded as part of Sufi practices that has been practised by tarekat groups. We spent almost nine months among majlis zikr and salawat groups in Jakarta and I spent a year in Kediri, East Java visiting areas in the city and village where the majils congregates, following from one of their zikr and salawat ritual to another ritual, recording their teachings and ceremonies, collecting their literature and interviewing the member of the majlis from the leader (kyai and habib), teachers (pl.,asatidz) to the followers of the majlis. It is hoped that this study will contribute to the understanding of spiritual life of urbanites. In urban areas which have been known for their secular orientation, majlis taklim have provided space for people to deeply experience a new way of encountering in Sufi tradition. Documenting the recent growth of majlis salawat and zikr in urban and rural areas will broaden our perspective on the innovation that has been made in the Sufi tradition in Indonesian Islam. In the following article, specially, we focus on ritual activity of best known urban majlis zikr and salawat group, Majlis Nurul Mustafa’s Habib Hasan bin Jakfar Assegaf in Jakarta and compare it with the widest and the most organized network of majlis zikr and salawat in Indonesia, Majlis Salawat Wahidiyah in Kediri, East Java, using pesantren (Islamic Boarding School) as a base of its activity with multi ethnic following. Both majlis zikr and salawat groups have exemplified structural and organizational innovation of Sufi tradition in Indonesia.
1796 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Majlis Nurul Mustafa was established by a habib, a title to name a descendent of the Prophet Muhammad, Hasan bin Ja’far bin Assegaf (b. 1977). Among people of Jakarta, the habib has been widely known as a leader of the majlis zikr and salawat group whose participants are mostly teenagers and youths. He is regarded as an Islamic preacher who has been responsible for introducing zikr and reciting salawat followed with musical instrument (marawis) among urbanites of Jakarta. His picture and the name of his majlis can be easily seen in big posters located along the street of the city before his group conducts zikr and salawat ritual. The ritual of the majlis which is involved thousands of participants is usually conducted once in a week (Saturday night). Salawat Wahidiyah group has been considered as the oldest rural majlis zikr and salawat group in Indonesia. It was established in 1959 by charismatic traditional ulama of pesantren, Kyai Abdul Madjid Ma’ruf (1918-1989) from Kediri, East Java. Among his followers he has been regarded as a wali and ghouth haza al-zaman (saints of God).However, among Indonesian tarekat groups, the Salawat Wahidiyah group has been considered as ghoiru mu’tabarah (non-recognised group) because the salawat text recited by the group does not have silsilah or transmission to the Prophet. The leadership of Salawat Wahidiyah group currently is in the hand of Kyai Abdul Latif Madjid, as the heir of his father’s leadership. After the death of the founder this group has been broken into different groups with different leaders, each of them has claimed to be the true successor of the founder. Currently, this group has branches in almost all provinces in Indonesia and overseas branches. Unlike tarekat, the text of Salawat Wahidiyah which is recited by the group during its ritual was created by the founder of the group based on his visionary dream of the Prophet Muhammad. As a result, some pesantren in Kediri not only have been objection but also have prohibited their students from reciting the salawat and joining the group. The Majils Nurul Mustafa began its activity from small Islamic lecture circles (halaqah) in the form of majlis taklim under the direction of Habib Hasan in Ciganjur, South Jakarta. After graduated from Pesantren Daruttauhid, Malang, East Java in 1996, he began his career as a wandering preacher in some regions in Jakarta. He held his majlis zikr in several communities’ houses as a venue of zikr and salawat ritual attended by ten to twenty participants. In the majlis, he invited several youths from the vicinity of the venue to practice zikr ritual by reciting Ratib al-Attas, zikr litanies which has been widely popular among Hadrami family in Indonesia. As the number of jamaah was growing, he united several majlis at several houses to one majlis held on Saturday night. He then asked the respected ulama, Habib Anis from Solo to give a name for his majlis zikr. Habib Anis named Habib Hasan’s majlis with Nurul Mustofa. Currently, Nurul Mustafa has developed as one of the biggest majlis zikr and salawat groups in Jakarta
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1797
attended by thousands participants in its weekly ritual on Saturday night (Anonymous 2011:51). Prior to the ritual, usually the jamaah are gathered by the coordinator of the majlis (kordinator lapangan) according to their regions. They meet in some meeting points and rally to the venue with motors, mini buses and rental cars handling the majlis flags and banner. The Understanding of Majlis Zikr, Majlis Salawat and Tarekat within the Indonesian Islam For the purpose of this study, it is important to explain particular terms such as majlis salawat, majlis zikr, and tarekat (Sufi groups) which have been widely used in the study of Indonesian Islamic spirituality for the last two decades. This explanation is necessary particularly to understand the phenomenon of the proliferation of various Islamic spiritual groups within the Indonesian urban Muslim society and the development of studies about Islamic spiritual groups and Sufi traditions in Indonesia. In urban areas the term majlis zikr and majlis salawat are sometimes used together to name a single type group (majlis) that practices Islamic devotional acts to remember God (zikrullah). These recitations include the repetition of the names of God (Asmaul Husna) and phrases derived from Hadith and Quranic verses of supplications but also the recitation of request for blessing for the Prophet. If the majlis categorizes itself as majlis zikr and majlis salawat, it always practices the recitation of salawat to remember and praise the Prophet Muhammad. Along with the recitation of zikr, salawat takes the form of the recitation of eulogy books of the Prophet such as Barzanjy1, Diba’2, and Simtudduror3 which contain long phrases of blessings of the Prophet and the history of the Prophet. Indonesian Muslim usually called those books as “Maulid” texts. In the Islamic knowledge, these books can be categorised as Islamic literature works (karya sastra) which are known in the classical Islamic nomenclature as Madaih al-Nabawiyah (eulogy of the prophet, sastra pujian kepada Nabi Muhammad). In Indonesia, these books are not only read by majlis zikr and salawat but they are also widely popular among other Indonesian Muslims (Gade,2004: 11). These books are popularly recited by Indonesian Muslim particularly on the occasion of the commemoration of the birthday of the Prophet Muhammad
1 The author of Barzanji is Syaikh Ja’far al-Barzanjy bin Husein bin Abdul Karim born in Madinah 1690-1766. The title of the book is ‘Iqd al-Jawahir but among Indonesian Muslim it is popularly known as Barzanjy which is taken from his name. 2 The book is written by Al-Imam al-Hafidz al-Muhaddith Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Syaibani al-Diba’i al-Yamani. The book is widely known among Indonesian Muslim as Maulid Al-Diba’iy. 3 The book is written by Al-Imam Ali bin Muhammad bin Husayn al-Habshi. This book is widely popular among Indonesian Hadrami Muslim .
1798 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future (Maulid al-Nabi), haul4 of the prominent habib or kyai of pesantren, and lifecycle celebrations such as the seventh month of pregnancy, the seventh day of the new born babies, circumcisions, and marriage. However, Indonesian urban Muslims cannot distinguish between the reciting of salawat and the tradition of reciting madaih. As a result, all of these books are regarded by Indonesian urban Muslim as part of salawat. The madaih books are mostly written in Arabic in a very beautiful and delicate style. Part of the books is chanted in a group in melodious manner, often under the direction of a leader, with reading alternating between soloist and group. This chanting is accompanied by musical instruments consisted of membranophones such as tambourines and drums. In Jakarta and its vicinity this instrument is called marawis, but in Central and East Java the instrument is called hadrah and in West Javanese Muslims call qasidahan. The chanting of madaih usually occupies more than half of the ritual of the group. An example of this kind of majlis zikr and majlis salawat is Majlis Rasulullah led by Habib Munzir al-Musawwa in Jakarta and Majlis Nurul Mustafa led by Habib Hasan bin Ja’far Assegaf in Jakarta, Majlis Ahbaburrasul in Solo led by Habib Syeich (Central Java). On the other hand, if the group calls itself as majlis zikr, it only practices the reciting of zikr formulas, the repetition of the Names of God (asmaul husna) and supplications taken from Hadith and Qur’an as commonly practiced by tarekat in order to achieve spiritual perfection and closeness to God. However, these majlis have no structural connection to any tarekat (Sufi order). A well- known example of this kind of majlis zikr is Majlis Zikr AlZikra of Arifin Ilham in Jakarta. This majlis zikr only focuses on reciting zikr in unison led by the leader without reciting Madaih al-Nabawiyah. The majlis zikr and salawat in urban area are generally initiated by majlis taklim, a non-formal institution initially established as centers of Islamic learning for the community. For the last two decades, majlis taklim have been instrumental in the proliferation of majlis salawat and majlis zikr especially in urban area. Such majlis taklim functions not only an Islamic learning institution but also as a centre of majlis salawat and majlis zikr practices. However, not all majlis taklim also provide majlis salawat and majlis zikr for their participants. There are some majlis taklim that focus only on Islamic learning activities for the community such as Majlis Taklim Kwitang, Jakarta established by Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi (1870-1968), a Hadrami descendent. Not only is The Majlis Taklim Kwitang regarded the oldest majlis taklim in Jakarta but also it has been considered responsible for the emergence of majlis taklim tradition in Jakarta. Habib Ali’s student Kyai Abdullah Syafii established the well 4 Haul literary mean circuit. This term is usually used to name the annual commemoration of the death of respected ulama, kyai, or habib.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1799
known Majlis Taklim Assyafi’iyah and Kyai Tohir Ramli established Majlis Taklim Attahiriyah. Many other majlis taklim in urban areas are established especially for female participants (jamaah) under the direction of ustadzah (female teacher). Some of these majlis taklim are regularly invited to fill an Islamic lecture program broadcasted live by private and public television stations.5 Another term which is important in the study of Sufi tradition in Indonesian Islam is tarekat (from the Arabic word tariqa). Tarekat are considered the oldest Sufi organizations in Indonesian Islam. This term is widely used in Indonesian Islam to refer to the centres where people practice communal rituals under the guidance of murshid (teacher) In the pesantren tradition, tarekat can be divided into two categories: first, tarekat amah (general way), that is, orders that encourage the continuous performance of pious acts with good intentions; and second, tarekat khassah (specific way), that is orders that conduct certain ritual of zikr under the guidance of murshid (the leader, spiritual teacher). The murshid must be linked through a spiritual genealogy to past murshid in a chain of authorization going back to the Prophet Muhammad. This form of tarekat has some formal conditions: First, in order to become a member of particular tarekat, a disciple must vow of allegiance (baiat) to the master of tarekat (Zamhari: 2010). The baiat is important requirement of tarekat, since it is considered to bestow the validity on the spiritual journey of the disciples. It is widely held in the tarekat world that following tasawuf path without the guidance of a murshid is like following the path under the guidance of Satan. Furthermore, some tarekat associated with the Nahdlatul Ulama (NU)organization promote the concept of tarekat mu’tabara (recognized and legitimate orders). This description applies especially to tarekat under the supervision of the NU. The meaning of this concept is that particular groups of tarekat can be considered as mu’tabara as long as the teaching of the group must conform with the Islamic Law and the wird or zikr practiced by the group must have a spiritual genealogy going back to the Prophet. As a result of this concept, any groups of tarekat that do not meet this requirements cannot be considered as mu’tabarah and should not be joined with NU organization. The reason to introduce this concept is not only to give strong legitimacy for the tarekat groups and to strengthen the 5Most of private TV stations in Indonesia provide a special program for Islamic lecture with their different format. Usually this program is held in the early morning starting from 5:00 am to 6:00 am. Some of these stations provide a particular space for female preachers with their female jamaah. Female preachers such as Ustadzah Dede Rosyidah Syarifuddin or well known as Mama Dede (Indosiar TV and ANTV), Ustadzah Umi Qurrotu A’yun (MNC TV), Ustadzah Tan Mei Hwa (JTV Surabaya and TV One) are current star among female Indonesian Muslim viewers.
1800 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future member’s faith in their rituals and teachings but also to make a clear-cut distinction between their ritual and other group ritual that The NU considers incompatible with Islamic law. Even though tarekat, majlis zikr and salawat have a similar objective, which is to purify the self in order to approach God, they differ in some practices. For example, majlis zikr and salawat do not require their followers to take an oath to the leader of these groups. In other words, people are able to join and practice their salawat and zikr without taking committing themselves exclusively to the leaders. As a result, people can join one particular majlis salawat and zikr group, while at the same time also become a member of another majlis salawat and zikr group, some thing which is not, generally, possible for members of tarekat in Java. Tarekat, majlis zikr and salawat also differ in the zikr recited in the ritual. The zikr text recited in majlis zikr and salawat is generally created by their leader or taken from zikr formula taught by the Prophet or widely used by prominent ulama. In contrast, zikr formula recited in the tarekat group are believed to have been transmitted from the teacher’s teacher and so on through a series of unbroken links back to and the Prophet. The followers of tarekat are obliged to recite zikr formula everyday, usually after the five obligatory daily times prayer. Unlike tarekat, the members of majlis salawat and zikr are allowed to practice the group’s zikr intermittently without any sanction, even though the leader of the groups recommended that their followers practice the chosen zikr continually. Distinguishing clearly those terms will give a clear sense of the variations in Islamic ritual groups that have developed within Indonesian Muslim society over the last few decades. In addition, distinctions will help people understand the innovations that have been made in the Sufi practice and organizations in Indonesia of late. General Features of Pesantren and Majlis Taklim Even though scholars have different view on the origin of pesantren in Indonesia, they have agreed that pesantren is the oldest system of Islamic learning and education in Indonesia. With the emergence of a modern Islamic education schools recently, pesantren has survived and maintained its tradition and at the same time accommodating some modern education system. In this regards, pesantren should compete with modern secular education institution. In Indonesia, we can find a various pesantren which generally function as a centre of learning Islam as well as a centre of Sufism and majlis zikr. Likewise, scholars cannot exactly know when majlis taklim term was initially introduced in Indonesian Muslim community. The majlis taklim is a term to denote an institution in which a group of Indonesian Muslim communities not only conduct learning of Islam and Islamic preaching activities but also conduct majlis zikr and salawat. In the
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1801
last ten year majlis taklim with its variety has proliferated particularly in urban area. Both pesantren and majlis taklim have minimum elements so that they can be called pesantren or majlis taklim. An institution of learning Islam in Indonesia can be regarded as pesantren if it meets the minimum elements of pesantren. As pointed out by Dhofier (1999), those basic elements of pesantren are the pondok (dormitories), the mosque, the study of classical Islamic texts (kitab kuning), the santri (student), and the kyai( leader). Unlike pesantren, the basic elements of majlis taklim are the venue for activities (majlis), the leader (can be a kyai, ustad, or habib), and the participants (jamaah). The first element of pesantren is pondok (dormitory). Pondok is important element of pesantren since it functions as a hostel for students who come from a far region. However, students from the vicinity of pesantren also live in the pondok. The pondok takes the form of permanent buildings divided into rooms each variably inhabited by six to ten students depend on the number of student who live in the pesantren. The house of the leader of pesantren is usually located within the complex of pesantren. In contrast, majlis taklim does not provide a dormitory for the participants (jamaah) of the majlis because they only attend the program of majlis taklim and return to their home when the program concludes. However, a few majlis taklim such as Majlis Rasulullah and Majlis Nurul Mustafa located in Jakarta provide a simple house as a residence for their technical staffs and a musallah (a small praying venue) which is used for praying, teaching activity and the ritual of zikr and salawat. In some cases senior staffs live in the house which also functions as the office of the majlis. One of the rooms in the house is usually provided for the leader which is used as his private room and office. Even though the leader of the majlis has a family private house, he usually lives in the house everyday together with his staffs and only visits his family twice a month. The residence is usually owned by the leader or is rented by the leader for the center for the activities of the majlis. Another important element of pesantren is a mosque which is the centre of Islamic education in the pesantren. A mosque is also a place where santri (students) perform Islamic rituals, learn to read and digest classical books. Some big pesantren in Java originate from the founding of a mosque. The pesantren mosque is not only used by students but also used by community in the vicinity of pesantren for Islamic rituals such prayer, zikr and general Islamic lecture (I., pengajian umum). Similar to pesantren, a mosque is the centre of Islamic rituals and activities for majlis taklim. However, unlike pesantren, majlis taklim do not establish their own mosque as the centre of their activities. The majlis taklim often make use of a community’s mosque as the venue of their regular activities. Even, similar to pesantren, some big majlis taklim in Jakarta originate from those
1802 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future mosques. The reason of using a community’s mosque as the venue of majlis taklim activities is that it is difficult to find big venues in urban area that can contain thousands of jamaah (participants).6 Such large majlis taklim occasionally make use of a city park or football stadium as a venue of big event which involves participants from many regions. However, to make use of a football stadium and city park, the majlis taklim has to pay a rental fee to the city administration, while to make use of mosques, the majlis taklim do not have to pay a rental fee. Therefore, every majlis taklim makes use of particular mosque in urban area as important venue for its regular activities. Each majlis taklim in urban area, for instance, usually make use of four of five mosques and conducts its ritual in those mosques weekly. However, some majlis taklim in Jakarta establish their own building as the venue of the majlis’s activity such as a big hall which is usually located close to the residence of the leader. In term of learning process, both pesantren and majlis taklim conduct Islamic learning for community by referring to classical Islamic books (kitab kuning). However, they differ on how to teach those books to students (santri) and followers (jamaah). Traditionally, a pesantren teaches a description of classical Islamic books by the system of sorogan (individual system of learning) and bandongan or wetonan (group system of learning). Today in some pesantren like pesantren Kedunglo (the home of Majlis Salawat Wahidiyah), in Kediri, secular subjects such as math, science and chemistry are also taught and madrasah (classical system) has been introduced. Even, some pesantren use national curricula for their students. In a pesantren using classical (madrasah) system, classical Islamic texts are given to students in accordance with their level of study from the lower to the higher following particular schedule. In traditional pesantren (pesantren salaf), particularly those of under Nahdlatul Ulama7, students have to use only classical texts categorized as mu’tabarah (recognized or legitimate) which means classical Islamic books which are compatible with the doctrine of Ahlussunnah wal jamaah. In contrast, majlis taklim do not use any specific Islamic books or books categorized as mu’tabarah. Majlis taklim use any Islamic books, either classical ones or modern ones, as long as they are relevant to the objective of the majlis and the interest of the leader of majlis. For instance, in the formative period of Majlis Zikr and Salawat Majlisrasullullah in Jakarta, the leader of this majlis taught Islamic Jurisprudence (fikih) to his participants. When the leader thought that the participants were not 6Interview
with the deputy of leader of Majlisrasulullah, Habib Ahmad, June, 2011 Nahdlatul Ulama is the biggest Muslim organization in Indonesia with more than 40 millions members established in 1926 by KH. Hasyim Asy’ari. There are more than 12.000 pesantren that affiliate with Nahlatul Ulama organised under Rabithah Ma’had Islam. 7
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1803
enthusiastic and no longer needed Islamic Jurisprudence subjects, he then changed the subject to the ethics of the Prophet taken from prominent Hadith books such as Bukhari Muslim.8 On the other hand, the leader of Majlis Nurul Mustofa prefers to teach the story of Muslim saints of Hadramaut (hagiography books), Yemen, and the book on Khashaish Ummat al-Rasulillah (The Distinctiveness of the Followers of the Prophet) , to his followers. The reason of the leader teaches the story of Muslim saints is to introduce his jamaah to those saints of God who have been able to obtain a highest spiritual stage in their life. In addition, it is expected that those saints of God (auliyaillah) who are the descendents of the Prophet can be used as a means for the jamaah (followers) to know (mengenal) the Prophet, whose example is the most important guidance to correct conduct and the achievement of states of grace.9 Both Pesantren and majlis taklim also have participants. The participants of the pesantren are called santri (students), while the participants of the majlis taklim are called jamaah (followers). However, the characteristics of those participants are different. Students of pesantren these days are formally registered and have to pay certain amount of money as a registration fee so that they become students in particular pesantren. In addition, they have to pay tuition fee in every semester or annually. Also in order to be a student of the pesantren they must be under particular age. In contrast, in order to be a follower of majlis taklim, one does not need to register formally and pay membership fee. There is no membership in a majlis taklim. People can be regarded as the followers of majlis taklim as long as they attend zikr and salawat ritual of majlis taklim and participate in the activity of the majlis. Moreover, people can voluntary join one majlis taklim while also joining another majlis taklim. People from different age are able to join the group regardless of their gender. However, recently some majlis taklim have been established especially for female participants, while other majlis taklim still include both female and male participants. In term of schedule, majlis taklim conduct its activities in the flexible time. While pesantren usually undertake its class in the morning on the daily basis under the instruction of teachers and kyai, majlis taklim conduct its activity any time according to the consent of the followers and the availability of the leaders. Sometimes, the activity of zikr and salawat is held in the morning and evening. However, most of majlis taklim in urban areas conduct its zikr and salawat ritual in the evening after isha’ prayer until midnight.
Interview with the Deputy of Majlis, June 2011 Interview with Ustad Riziq, a preacher of Majlis zikr and Salawat Nurul Mustafa, September 2011 8 9
1804 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future The leader is important element both in pesantren and majlis taklim. The leader of pesantren is commonly known as kyai, while the leader of majlis taklim can be an independent kyai, or habib. In the past, the title of kyai was commonly inherited (Turmudhi: 2006 ) especially kyai who runs pesantren. However, currently the concept of kyai in Java has changed. The title of kyai is no longer inherited genealogically. One can be a kyai as long as the member of society recognize him as a kyai by virtue of his mastering higher Islamic knowledge and his influential role in Islamic preaching among community. Therefore, it is not unusual that some prominent kyai in Java do not come from a kyai family and they do not run a pesantren. An example of this kyai is the late Kyai Zainuddin MZ, a famous Indonesian preacher well known as Dai Sejuta Ummat (preacher of millions people). The title of kyai is not similar to that of priest, monk and cleric as in Christian or in Buddhist tradition. There is no a particular Muslim institution in Indonesia that approves and authorize kyai. Similarly, there is no Muslim organization that can remove kyai from his position. Currently, it is not unusual for big pesantren to have more than one kyai. This happens usually when the founder of pesantren dies and he has several sons who have religious knowledge that allows them to be a kyai. They run collaboratively their family pesantren. The best example of this kind of leadership is Pesantren Modern Gontor. After the demise of the founder, the pesantren now is led by three kyais. In contrast to the term kyai, habib is a title given only to Hadrami people who are considered to be a descendant of the Prophet. In fact, the term habib is a name of social stratum to denote the social stratification system in Hadramawt society in Yemen. The saada or habib10 (pl. habaib), sayyid11 or syed are the descendents of the Prophet Muhammad and the top social strata among Hadramawt society. Although they lack of military power, the saada are highly respected as arbitrators in tribal conflict and in charge of religious education. The saada is followed by masyayikh, descendents of respected religious scholars and it is followed by qabail which is lower than masyayikh but still to be viewed as part of the second strata because most of them have common descent with the masyayikh. The lowest in the Hadramawt society is masakin, consisting of different group of artisans, servants and peasants. At the bottom of social rank is the abid, the slaves (Jacobsen 2009:8). Despite complicated strata among Hadrami, Indonesian Muslim usually call habib to any Indonesian Hadrami descendents regardless of their social strata as long as they are equipped with higher Islamic knowledge and also are active in the preaching of Islam among community. 10 11
Habib means ‘beloved’ in Arabic. Sayyid means ‘lord in Arabic.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1805
Salawat Wahidiyah of Pesantren Kedunglo vs. Majlis Zikr and Salawat Nurul Mustafa Many studies on pesantren conducted over the last two decades have shown that pesantren (Islamic boarding school) are playing important roles in the maintenance of Islamic tradition in Indonesia (Muhaimin:2006, Zamhari:2010). With its various religious activities, Pesantren which are mostly located in rural areas has been playing this role since its inception. In addition to pesantren, another institution which can also be considered as another venue that can maintain Islamic tradition among urbanites has been majlis taklim. Apart from tarekat, pesantren also becomes the home for majlis zikr and majlis salawat. Likewise, majlis taklim in urban area has provided a venue to conduct majlis salawat and majlis zikr. The following paragraphs will describe the comparison between Majlis Salawat Wahidiyah which is initiated by Pesantren Kedunglo, Kediri and Majlis Nurul Mustafa which arises from majlis taklim located in Jakarta. The Organization Gilsenan, in his classical work on Saints and Sufi in Modern Egypt, used term organization and association to describe the structure of Sufi orders (tarekat). An organization emphasizes ‘a high degree of stratification on the basis of differential expertise and/or efficiency.’ An organization is also characterized by ‘greater structural recognition of functional inequality and formal control based on hierarchy of authority statuses. In contrast, an association is characterized by ‘looseness of structure with minimal development of a status hierarchy. Individual commitment in an association is also voluntary and egalitarian. Moreover, the appointment of officials is based on administrative convenience. He concluded that the majority of Sufi orders in Egypt could be placed on a continuum between organization and association (Gilsenan 1973: 65-66). However, Gilsenan’s typology cannot be easily applied to describe the structure of majlis zikr and salawat in Indonesia. Unlike Sufi orders in Indonesia which have hierarchical positions such as master (murshid), vice master (khalifah), and disciples (murid), in majlis zikr both in pesantren and majlis taklim, these positions are not recognized. Both groups only recognize a single position of leader who is regarded as a central figure in both majlis. The figure of kyai and habib is instrumental in the organization’s structure of the majlis. Despite their similarity as group categorized as majlis zikr and salawa, Majlis Salawat Wahidiyah of pesantren Kedunglo and Majlis Nurul Mustafa differ on how they organize their activities. Salawat Wahidiyah in Kediri, for instance, conducts majlis zikr in the pesantren by establishing organization structure following the structure of other Indonesian Islamic organizations. Similar to other formal organizations, the Majlis Salawat
1806 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Wahidiyah establishes its branches at different level from village level, subdistrict and district and provincial level. The centre of the organization is located in the pesantren. Each level has its own officials and departments according to the need of the branches. Since the authority is centered in the hands of the leader of the majlis, he plays important role in establishing the branches and in electing the leader of those branches. In addition, he can freely choose someone to be head of departments called pramu, while he can replace a head of department with another if the former is regarded as an unsuccessful manager of his and her department. The central leader of the majlis has the authority to establish a new department on the basis of the need for organization. All the branches are responsible to the leader of central organization. Therefore, the highest authority in the majlis zikr is in the hands of the leader of the majlis zikr. Usually, the network of the alumnae of the pesantren facilitates the establishment of the branches in the different regions in Indonesia. The reason to establish the hierarchical structure of organization is to build strong ties among the followers, who cannot directly consult with the central board, and to help coordinating activities according to the level of organizational structure. In contrast to Majlis Salawat Wahidiyah, Majlis Nurul Mustafa do not have local branches. In order to run its activities, the majlis does not establish hierarchical organization from the higher level of organization of the capital city to the lower level of organization in villages. Instead, the leader of majlis simply chooses several staffs and technical assistants responsible for particular tasks in the central office of the majlis. The selection of staff and technical assistants is believed to be based on spiritual vision of the leader. The leader is believed to have a spiritual power to choose who the right person to be his staff is. These elected assistants and officials are instrumental in preparing activities of the majlis under the instruction of the leader of the majlis. They are monthly paid by the majlis taken from treasury of the majlis. A residence is provided by the leader for particular staffs and technical assistants. This residence functioned not only as a central headquarter of the majlis but also as a venue for the ritual and learning of Islam for small number of the followers. Instead of living with his family, the leader of the majlis mostly lives in the residence together with his staffs and teachers. To organize a big ritual event in the city, the staffs are helped with coordinators (kordinator lapangan) located in every region of the city. The number of coordinators is more than hundreds in all regions of Jakarta. These coordinators voluntarily help the majlis to organize followers of the majlis in their areas to attend and prepare any major events held by the majlis in the city. In order to hold a ritual event outside Jakarta, local committee will be responsible for the preparation of the event with supervision of the majlis.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1807
Nurul Mustafa is established in the form of yayasan (foundation) and it is registered in the Ministry of Law of the Republic of Indonesia. With this format, Nurul Mustafa must abide by the law of foundation stipulated by Indonesian government. As a yayasan, Nurul Mustafa has bureaucratic structure such as the head of yayasan, the deputy of yayasan, and treasurer. However, the majlis does not have departments or divisions which are responsible to implement organizational tasks. It seems that this foundation can be categorized as a family foundation, because most of the boards members of the foundation are the relatives of the leader of the majlis. Like in the leadership of tarekat, the concept of wakil, naib, (deputy) is also known in the Majlis Nurul Mustafa. The wakil of leader is needed in the majlis particularly when the leader cannot lead zikr service for particular reason. Usually, Habib Hasan, the leader of the majlis, asks his brother to replace himself if he is absent on the zikr and salawat ritual. Likewise, Majlis Salawat Wahidiyah is also established in the form of yayasan (foundation) led by the current leader of the group. As a foundation, Majlis Salawat Wahidiyah group has a formal structure of organization which comprises of the head of the foundation who is also the head of central organization and the guardian of the Wahidiyah struggle. The majlis has also several departments headed by pramu who are appointed directly by the head of the foundation. However, this pramu cannot replace the position of the leader during the ritual of the majlis. In other words, the position of wakil or naib (representative) is not acknowledged in the majlis. As described by the leader of the group, the structure of organization of Salawat Wahidiyah is similar to that of a state organization in terms of its function and purpose. He described it as the concept of state without land. In this sense, like the citizen of nation, the followers of the group must take responsibility for supporting the struggle within the group. In this sense, the structure of Salawat Wahidiyah’s organization follows the typical structure of other Islamic organizations, such as Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, the two biggest Islamic organizations in Indonesia. The Rituals Both majlis zikr and salawat of pesantren and majlis zikr and salawat of majlis taklim focus on reciting ritual of particular zikr and salawat. However, both differ on how they recite salawat and zikr. For Majlis Salawat Wahidiyah of pesantren Kedunglo of Kediri East Java, salawat and zikr are recited through mujahada ritual which means using a method and ethics taught by the author of the salawat and zikr including the imagination of the Prophet’s presence in the ritual and the presence of the founder of the group, deep feeling of sinfulness towards God, and the implementation of particular doctrine of the group. In other words, mujahada refers to an optimal effort to defeat passion (nafsu) in order to
1808 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future establish the consciousness of God and His Prophet and to achieve wusul to God. Prior to the ritual, it is strongly recommended that the followers of the group should follow courtesy (adab) that imposed by the group. First, people should be purified by major impurity (hadas besar)or minor impurity (hadas kecil). Second, they should face the direction of Kabah. Third, if the followers perform mujahada together, they should form a circle facing each other. Fourth, people should be inspired by the greatness of the Prophet by imagining that they sit in front of him. Fifth, people should feel full of sinful hoping for the God forgiveness and regretting their sinfulness. Sixth, the followers are strongly urged to visualize their master, because the master is believed to be able to watch his followers as well as educate them spiritually. The practices and ritual of Majlis Salawat Wahidiyah focus on continual recitation of salawat (called Salawat Wahidiyah) written by the founder of the majlis, Kyai Haji Abdul Madjid Ma’ruf. According to Kyai Zainuddin, deputy leader of the majlis, the aim of reciting the salawat is to provide a shortcut for people seeking ma’rifat billah (Gnosis of God). For Zainuddin, to achieve wusul (union) and ma’rifat is difficult for everyone, particularly without the guidance of a perfect master (murshid). Similarly, to find perfect teacher (kamil al-mukammil) is also not easy, particularly in this time. It so difficult to attain wusul and ma’rifat billah that some ulama point out that only particular people who can do so. Nevertheless, the majlis claims to offers the easiest way to achieve wusul and ma’rifat, which is, by reciting salawat wahidiyah during mujahadah ritual. The leader of Wahdiyah explains: The easiest way to achieve wusul ma’rifat to Allah particularly for those who have continuously committed sin, is by reciting istighfar (the forgiveness prayer) and salawat (exaltation) towards the Prophet of God.
Because mujahadah becomes an important ritual in Wahidiyah, the candidates of group’s member should practice mujahadah prior to joining the group. For instance, for those who are about to join the group have to practice mujahadah for forty days consecutively. This kind of mujahadah constitutes the initial part of the Wahidiyah ritual. This can also be regarded as a dowry (mahr), a word usually used to refer to an obligatory payment given by a husband to his wife before marriage. Like mahr, the forty days of mujahadah is an obligation for new followers. If they cannot recite the whole text of Salawat Wahidiyah, they must read part of the text. Unlike the ritual practice in a Sufi order, to become a member of Wahidiyah, the candidate does not undergo an initiation rite, bay’at (a vow of allegiance) to his or her master. Like Salawat Wahidiyah group, Majlis Salawat and Zikr Nurul Mustafa focuses their activity on reciting salawat and zikr ritual. However, the salawat which is taken from books categorized as Madaih al-Nabawiyyah
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1809
or ‘Maulid’ book is recited in the form of musical style accompanied by traditional music called marawis. This group recites one of Madaih alNabawiyah books called Simtudduror. The recitation of these books occupies the whole ritual of this group. Even though there is no particular courtesy during the ritual, one of teachers of this group stresses the importance of good intention and comprehension of every single text of the book so that people are able to achieve blessing (barakah). After setting good intention, then people should recite the opening chapter of the Qur’an (Al-Fatihah) conveyed to the author of the book and our parents so that we can feel the blessing of reciting the book. The group prefers to use Simtudduror as part of the ritual due to the fact that the author of this book is one of the descendants of the Prophet, while many other books are written by nondescendant of the Prophet Muhammad. In addition, the group also recites zikr formula of Ratibul Haddad written by the famous Muslim scholars from Hadramaut, al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1044-1132 H) (Al-Muhdhor 2010:2) as well as Ratibul Attas. The leader of the majlis does not recommend his followers to follow particular courtesy prior to the ritual of reciting salawat. However, during the recitation of the salawa, the Prophet is believed to be present in the ritual. As a result, the followers of the majlis are strongly urged to stand up to respect the Prophet. As happened in most maulid ritual in the Hadrami family in Indonesia, the ritual of reciting zikr and salawat in the majlis is accompanied with burning aromatic incense which release fragrant smoke. The incense burning place is put in front of the majlis close to the leader of the ritual. The aroma of incense as believed by one of teachers of the majlis will be the witness for those who practice in the salawat and zikr ritual in the hereafter. The ritual of Nurul Mustafa is conducted on the basis of a set of weekly schedule. The ritual of this majlis conducted in different places in Jakarta is led directly by the leader of this group, Habib Hasan bin Ja’far Assegaf and his three other brothers, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, Habib Mustafa bin Ja’far Assegaf, Habib Qasim Sami bin Ja’far Assegaf. Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, the leader of the majlis, usually leads the a big ritual of this majlis conducted on Saturday night in different places in Jakarta as well as a ritual held in the central office of the majlis,12 while other rituals held in other days are respectively under the direction of his three brothers. Habib Hasan, the leader, divides location of the majlis ritual in Jakarta into three areas: West Jakarta is led by Habib Mustafah bin Ja’far, East Jakarta is under the direction of Habib Qasim Sami, and South Jakarta led by Habib Abdullah bin Ja’far. These three areas will gather collectively in the majlis ritual on Saturday night. 12
palace).
Usually the followers and staffs of the majlis called their office as istana (the
1810 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future The leader of these groups usually delivers Islamic lecture on particular theme during the ritual held both in Salawat Wahidiyah group and Nurul Mustafa. The topic of the Islamic lecture is chosen by the leader. The theme of the lecture in the Nurul Mustafa includes the stories of Muslim saints (auliya), the story about the life of the Prophet, the importance of loving the Prophet and his family and the character of the Prophet. In the ritual held every Saturday night, the leader of Majlis Nurul Mustofa invites several Muslim scholars (ulama) to deliver a small speech after reciting zikr and salawat. However, the theme of the lecture in Majlis Salawat Wahidiyah includes the understanding of the teaching of the groups, the teaching of Islamic Sufism, and the story of the followers who are able to achieve spiritual experience. The relationship between the leader of those groups and the followers either during the ritual or outside the ritual is of important aspect of those groups. The relationship is not like the strong master-disciple (murshid- murid) relationship in many Sufi orders. The relationship is based on common relations practiced in teacher-student relations in the Islamic learning tradition, while the relationship between murid and murshid in Sufi orders is strongly based on a complex set of adab (comportment) as well as sanctions. The late Kyai Usman Ishaqi, the murshid of Qadiriyah wa Naqshabandiyah order from Surabaya, mentioned the adab by which the murid should completely respect their murshid. He puts it this way: You should respect your syaikh and believe outwardly (dhahir) and inwardly (batin), without the help of the syaikh, your objective will never be obtained. You should not complain about what the syaikh has done, even though the syaikh may have done something which is unlawful in appereance. Instead, avoiding negative prejudice against the syaikh, people should be convinced that what the syaikh done is clearly based on God’s orders. If you still do not understand this, you should think that this is because of your lack of your knowledge in understanding the essence of the matter…In all your life matters either in their totality or in their details, in devotional aspect or cultural aspects, you should abandon your own choice because your syaikh has chosen for you…You should not talk in front of your syaikh. When he asks you, instead of answering too long, you must answer the question precisely. This partly because speaking too much in front of the syaikh will eliminate his veneration. Therefore, the excellent adab of a murid toward his syaikh is that you should be silent, quiet, and pay attention to what the syaikh says and do that which contribute to welfare (Al-Ishaqi n.d.:5-6).
This adab (comportment) is relevant to the famous expression in the Sufi tradition,’Be with your syaikh like the corpse in the hands of the washer; he turns it over as he wishes and it is obedient (Trimingham 1971: 187). This long adab is extremely stressed in a Sufi tradition, either by murshid or his khalifah, especially on the occasion of initiation. In contrast, even though the jamaah of the majlis do not follows such adab, they still pay respect to their leader and consider their leader as the person who is able to guide them spiritually.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1811
Financial Support In order to run and support activities of the majlis, both the Majlis Salawat Wahidiyah and Nurul Mustafa seek and draw funding resources such as cooperatives, shops, financial government assistance as well as financial assistance from followers. However these majlis zikr differ on how to draw funding from the followers. Majlis Salawat Wahidiyah divides financial assistance from the followers into three categories. First category is income contribution, that is, at least one percent of followers’ income is taken for the organization’s fund every month. This can be taken from their daily income, monthly income or their occasional income. The second category is contributions taken from poll tax (zakat fitrah), wealth tax, and charitable gifts (sedekah). The third category is income from donations which are given voluntarily by followers on daily basis. These three categories of funding are provided by all followers who ear their own income. Further, the majlis collect funds from followers through collection boxes provided to followers. The box should be put in front of followers’ houses. It is highly recommended that the followers put some money into the box everyday with pure intention. Unlike Wahidiyah, Majlis Zikr and Salawat Nurul Mustafa draw funding from the followers through conventional mechanism. For instance, the majlis collect funds from the jamaah during the ritual by providing collection boxes. These boxes are distributed with the crews of the majlis among followers who attend the ritual. They are strongly recommended to give some money for the jamaah. Furthermore, the majlis also seeks funds resources from selling merchandise of the majlis such as the picture of the habib, the majli’s jacket uniform and DVD’s on the ritual of the majlis, charging parking fees, and charging electricity fees for street traders during the ritual, renting sound system, lights, and a stage. Sometimes the Majlis Nurul Mustafa is invited by the jamaah to conduct zikr and salawat ritual in their region. If this is the case, the jamaah must cover all expenses of the ritual including sound system rental, lights, and a stage catered by the majlis’s appliances. Moreover, the majlis also conducts annual program of visiting the sacred tombs of auliya throughout Jawa led by the leader of the majlis. In order to join this program, the jamaah should pay particular amount of money for a bus ticket rented by the majlis. All of these funds are being channeled for the activity of the majlis. Memberships As happened in many other Sufi groups, the exact number of members (jamaah) and their social background are not easy to establish because both Salawat Wahidiyah group and Majlis Zikr and salawat of Nurul Mustafa keep no official records and the recruitment of new followers is not officially recorded. The member of these groups includes
1812 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future not only elderly men and women but also younger people and children. However, the number of teenager exceeds the number of other group of age. To become participants of those majlis zikr and salawat groups, people do not need to take an oath or initiation (baiat) to the leader or his representative as in the case of member of tarekat. In other words, the mode of entry is voluntary, so people can practice the ritual and recite the zikr and salawat without asking direct permission to the leader. Moreover, those groups do not ask an exclusive commitment on the part of their members. Therefore, people can voluntarily take part in the activities of those groups while also being participants in other groups. As argued by Abdurrahman, coordinator of the Majlis Nurul Mustafa, the jamaah of the majlis are allowed to participate with other majlis to fulfill the obedience of seeking knowledge as Muslims. Seeking Islamic religious knowledge for him can be obtained from different sources and different majlis as long as they are relevant to the teaching of Islam. However, Abdurahaman, the coordinator of the Majlis, pointed out that people must find a single spiritual teacher who is able to guide them in this world and in the hereafter. In other words, the jamaah of Majlis Nurul Mustafa are not allowed to choose more than one spiritual teacher for their spiritual life. In this sense, if they have decided to choose the habib of Nurul Mustafa as their spiritual teacher, they are not permitted to follow other habaib as their spiritual teacher. He says as follows: ‘ People can join Majlis Nurul Mustafa and practice the ritual of other majlis. They have a freedom to join other majlis as part of their obedience to seek Islamic knowledge from any various resources. However if they seek a spiritual master for themselves they have to choose only one particular spiritual master.’ 13 It is interesting to note here that the Majlis Nurul Mustafa allows non Muslim to participate in the ritual without requiring them to convert to Islam. In contrast to majlis zikr and salawat, the Sufi orders (tarekat) ask their member to take avow of allegiance to their syaikh or murshid, before they can recite a special zikr and more ahzab, a special wird created by Sufi or Muslim scholars (Trimingham 1971:186). Even, Sufi groups such as Hamidiyah Shadiliya (Gilsenan 1973:94), and Tijaniyah Sufi groups have demanded an exclusive commitment from their member. For instance, people who join Tijaniyah are expected to abandon their commitment to other Sufi groups. Majlis Zikr and Salawat Nurul Mustafa also do not require a particular mode of recruitment. People can be regarded as part of jamaah of the majlis, if they would attend and participate in the ritual of the majlis 13
Interview with Abdurrahman, the coordinator of the ritual, November 2011.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1813
regularly. In this respect, the continuity (istiqamah) of attending and participating is extremely stressed in the majlis. For instance, in every zikr ritual held by the jamaah, the leader of the group continuously stresses the importance of attending and practicing the zikr and salawat ritual for his jamaah. For the leader of Nurul Mustafa, continuity is extremely important because it will generate a lot of blessings of God for the improvement of peoples’ spiritual life. Quoting a popular proverb in Sufi tradition, he pointed out that continuity is much better than a thousand of miracles (karamah). In order to keep the jamaah involve on the practice of zikr and salawat held by the majlis on regular basis, the leader of this group tries to find particular ways to increase their interest of attending the majlis ritual. One of the ways is by introducing and creating new melodies in the reciting of salawat accompanied by entertainingly musical instruments as well as creating new songs for the ritual. According to Ustad Jamal, who is a vocalist of the majlis, songs which he usually sings during the ritual are written by the leader of the majlis. He and the leader of the majlis regularly discuss the text of the song and make its melody. The salawat song is effective to attract the interest of the jamaah which is mostly dominated by teenagers and youngster to attend the ritual. In addition, in order to attract the jamaah to attend the majlis, the majlis also invites celebrities, TV stars, and public figures to attend the ritual and give them the opportunity to make a short talk before the ritual of zikr and salawat begin. Internet and SMS from mobile phone are another important means to keep the jamaah informed and involved in the activity of the majlis. The majlis sets up a website of the majlis ( http://nurulmusthofa.org) and facebook which mainly contain the activity of the majlis, a weekly schedule of the ritual, stream video live taken from the weekly ritual, pictures of the habaib and the transcript of the leader’s speech in the ritual of the majlis. Moreover, to attract the jamaah attending to the majlis, after zikr ritual held by the group in headquarter of the majlis, the habib also provides simple dinner. The majlis distributes a big plate with full of rice and meat accompanied by a cup of mineral water. One big plate is usually provided for three or four jamaah. Another salient strategy of this majlis to attract new participants is by introducing the leader of this jamaah as the descendent of the Prophet. This strategy is proven to be effective to improve the authority of the majlis among other majlis and the interest of jamaah to join the majlis. As a result, they become interested in keeping involved in the jamaah on regular basis because of the figure of the habib. One of the jamaah explained why he is interested in joining the group: ‘I joined and practice the ritual of zikr and salawat of Nurul Mustafa because of the figure of the majlis’s leader. He is a habib, the great grandson of the Prophet. Even though I have never met directly to
1814 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future the Prophet, of course I am not able to meet the Prophet by myself, at least I can meet His great grandson (cucu). For me, this is the same. I am not able to love the Prophet, but I am able to love the habib. I hope the way I love the habib, the Prophet’s grandson, is similar to the way the habib loves his grandfather.’ 14 Wahidiyah also have a strategy to attract new followers and to keep its follower involved in the ritual on regular basis. Recruiting new follower is extremely stressed in this group. One of the strategies is by introducing the benefit of reciting Salawat Wahidiyah texts to its followers. This strategy imitates the strategy of the Prophets of God who use miracle as a means of their preaching (dakwah). Those miracles are given to the prophet in order to meet peoples’ needs, including all aspect of life such as the need to achieve ma’rifat billah, quietness of heart, good health, and economic needs. Reciting the salawat, for instance, can not only generate a lot of virtues but can also fulfill peoples’ needs. In other words, reciting the Salawat Wahidiyah is like a panacea which is able to cure any diseases as well as to fulfill human’s needs. In order to prove the benefit of reciting the salawat, the group especially publishes a book about the testimonies of the jamaah who have experienced spiritual moment or unusual events after practicing the ritual of mujahadah or reciting the salawat. The spiritual experience is not only considered by the jamaah of the majlis as an important achievement but also the highest achievement that most of all jamaah aspire to attain. Moreover, the leader of Wahidiyah suggests to his follower to recruit at least one new follower in a month. Like Majlis Nurul Mustafa, the Majlis Salawat Wahidiyah can accept non Muslims become the jamaah of the group and to practice the ritual of salawat without requiring them to convert to Islam. Other Muslims might object to this practice but it can be regarded as part of Wahidiyah strategies to spread the Salawat Wahidiyah while demonstrating the tolerant nature of Sufism in general toward other religious faiths. The leader of the majlis said that he does not compel members of other religions to convert to Islam by practicing and reciting Salawat Wahidiyah, but they are only asked to approach God (Zamhari 2010: 156). The Authority of the Leader The head of the group is important both in Majlis Salawat Wahidiyah and Majlis Zikr and Salawat Nurul Mustafa. The head of the group has important role not only in developing the majlis but also in attracting the followers of the majlis. In this respect, authority of the leader 14
Interview with Faiz, the follower of the majlis, July 2011.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1815
is significant in the establishment of the majlis zikr or salawat. Most of majlis zikr and salawat are established on the basis of charisma of the leader. In the case of the Wahidiyah, the authority of the leader is built on the basis of the kiaiship (kekiaian) originated from the previous kyai, his father. In other words, because the leader of the majlis zikr is the offspring of the previous kyai who runs pesantren, he then is called as a kyai. However, there is the case that a kyai who does not have a genealogical line with previous kyai, leads majlis zikr and salawat. Similarly, the authority of the leader of tarekat is established on the basis of kiaiship originated from the previous leader of tarekat. In other words, the leader of tarekat is usually the offspring of the previous leader. This happened in the big tarekat such as Qadiriyah Naqshabandiah in Suralaya (Dhofier:1999, Howell: 2001) or Qadiriyah Nashabandiyah of Surabaya. In contrast, the authority of the head of Majlis Zikr and Salawat of Nurul Mustafa is built on the basis of the leadership of habib figure. Habib is a title given to those who are considered as male descendent of the Prophet Muhammad, while syarifah is a title given to female descendents of the Prophet. The concept of the habib and syarifah has been well preserved particularly in the Indonesian Hadrami families. The Hadrami family categorized as sayyid usually has the line of family tree (silsilah) which is traced back to the Prophet. In order to preserve the purity of their Arab family, they only get married with those from Arab family. Like many other Hadrami families in Indonesia, the leader of Majlis Nurul Mustafa put his genealogical family tree in his mushalla (a small venue for praying) so that the jamaah can clearly read and see his descendant up to the Prophet. Currently, among Indonesian Muslims, the title of habib is given only to those Indonesian Arab families who are not only the descendent of the Prophet but also those who are equipped with the higher Islamic knowledge and the highest station of Sufi practices. The habib believes that as habaib are the descendents of the Prophet, they have a potential of spiritual power (basyirah) derived from their grandfather (jid)15 (the Prophet Muhammad), which is easily used to improve their consciousness to God.16 Therefore, with his privilege, as the leader of majlis zikr and salawat, he regard himself responsible to introduce Muslim to the Prophet, as he is part of the family of the Prophet who has genealogical connection with those who have previously achieved the highest station of Sufi practices. In this regard, tawasul (seeking a means) through these renowned habaib (sing. habib) and auliya (the saints of God) is extremely stressed in the majlis. Habib Hasan explains the importance of tawasul as 15‘Jid’ meaning grandfather, is an Arabic work which is usually used by Indonesian habaib to call the Prophet Muhammad as their grandfather. 16 Interview with Habib Hasan bin Jakfar Assegaf, November 2011.
1816 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future follows, ‘Love of auliya can not only help us in the hereafter but also lead to love the Prophet and God.’ On the weekly ritual, he also says,’ We must give respect to the family of the Prophet Muhamad (zurriyatu al rasul) and the Saints of God. Our heart must not forget the Prophet. Respect His grandsons, in order to make them happy.’ The special status of the ahlul bayt is found in two verses in the Qur’an. The first verse is 33:33:’God only whises to remove all filth from you, people of the house (ahlul bayt), and to purify you completely.’ Another verse commanding Muslim to respect love the Prophet’s family( ahlul bayt) is 42:23:’ I do not ask you for reward (for delivering the revelation), except the love of those who are near of kin.’ There are numerous hadith (Prophet tradition) which extol the status of ahlul bayt and command Muslims to love them. The example of the hadith is ‘whoever prays a prayer in which he does not bless me and my family, it will not be accepted.’ Another hadith is ‘the people of my house are like the Ark of Noah, whoever rides is saved, and whoever stays behind is shaken by hellfire.’ Even though there are several verses and hadith commanding to love ahlul bayt, the habib never cited during his speech. He just stressed the importance of respect the Prophet’s families and extol the status of them. Moreover, the authority of the leader of the majlis is also based on the connection of the habib with that of habaib or ulama in Hadramaut, especially in the region of Tarim. Historically, Hadramaut has been considered as one of the origin of Islam in Malay-Indonesian Archipelago (Azra 1994: 28). The role of the Hadrami in the process of Islamization in the region has probably been substantial. With this historical position it is no doubt that Hadrami has been important among Indonesian Muslims religiously. Even, it is widely held among Indonesian habaib that most of the Nine Saints (Wali Songo), the preachers of Islam, in the history of Islamization in the archipelago are Hadrami or have Hadrami descendents. Among habaib in Indonesia in particular and Indonesian Muslims in general the region of Tarim has been well known as a place where most of renowned habaib and the saints of God live and a lot of shrines of auliya’ become the object visitation of Muslims from different places in the world. In addition to Haramain, Hadramaut is another destination for Indonesian Muslims who seek Islamic knowledge, visit the sacred sites and the centre for Sufi heritage. Therefore, with this important position of Hadramut religiously, the habaib of Indonesia try to link their connection with the habaib and the sacred places in Hadramaut. For instance, the leader of the majlis makes regular visit to Tarim and meet its habaib and ulama which are believed to be the saints of God. In addition, the majlis also invites the ulama and habaib from Hadramaut (Tarim) to attend and lead the annual ritual of the majlis. Inviting the habaib and ulama of Tarim without doubt can increase not only the authority of the majlis but also the leader of the majlis. The presence of the ulama from Tarim also makes the jamaah believe
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1817
that the ritual they practice is closely connected to the similar tradition widely held by ulama in Tarim to whom their leader has continuously told the story about their life, virtues and their Sufi practices. The importance of Tarim for this majlis has been told by one of the teachers of the majlis as is follows: ‘Without Tarim, Indonesia may be still in the age of dark. Tarim is a place where most saints of God grow. All the Nine Saints are from the descendent of Prophet of Tarim…Tarim can be described as the centre of electricity which illuminates to different places of the world. I have studied at Tarim for four and half years because of the habib asked me to study there. When I studied there I felt that the habib was presence. For me, although the habib never studied in Hadramaut, he has obtained the secret of Hadramaut’s ulama. I have met many respected ulama and studied Islamic knowledge from them. I have tested Tarim’s salt. All of them have the same virtues as the Habib Hasan. One day I felt very sad, because a lot of problems that I faced such as the delay of pocket money from my parent and homesick. One day I visited one of ulama of Tarim and he just rubbed my head and prayed for me then suddenly I felt happy.’17 In contrast, the authority of leader of Majlis Salawat Wahidiyah lies on the fact that Kyai Abdul Latif Majid is considered by his followers as saint of God. With this title, he has been believed to be able to give a spiritual guidance for his jamaah, even though his jamaah stay at different place. He is also regarded by his followers as a person who is able to give blessing and have divine sanctity. His religious authority is similar to that of leaders of tarekat which ‘claim of being a link between the here and the here after, and between the profane and the Devine’ (Bottcher 2006: 241).One way to introduce his ability to give blessing and to have divine is through stories of the followers who have experienced spiritual event which is related to the leader of the majlis. Without doubt, these extraordinary stories about Kyai Abdul Majid told by the jamaah clearly support his spiritual authority as saint of God. These stories are part of miracle (karamah) which tends to surpass natural law. It is no doubt that these stories of his extraordinary power play significant role in increasing and enhancing the followers’ love (mahabbah) to the leader of the jamaah as well as his spiritual authority. The example of the story is as follows: Several weeks after practicing Salawat Wahidiyah, I was working at a timber company. One day my company lost its motorcycle , which was kept in a warehouse. Because I worked at the warehouse, my boss was angry at me and at other workers who worked at the warehouse. He said to us:’If you cannot find the motorcycle, I will 17
Interview with Ustad Rizq, January 2012.
1818 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future accuse you of stealing the motorcycle.’ I a state of confusion, I will asked my friends to perform mujahadah after midday prayers. We recited ya sayyidi ya rasullallah (part of the ritual of Salawat Wahidiyah) form almost three hours. At the same time I focused my concentration (tawajjuh) towards Kyai Abdul Latif Majid saying : Romo Yahi please help us, if the motorcycle cannot be returned, we will be considered as a thieves.’ I asked my friend to keep saying ya sayyidi ya rasulullah, while I kept focusing my attention on Kyai Abdul Latif. At 19:00 pm the stolen motor was returned to the warehouse in which we worked. This story tells about the assistance and help which is given by the leader in minor occurrence in his followers’ daily life. Because of the intervention of Kyai Abdul Majid spiritually the problem of the jamaah can be solved. Of course there are many other stories told by the jamaah which indicate the extraordinary power of the leader which can make the jamaah give respect to their leader. Conclusion Sufi tradition in Indonesia has been experiencing innovation socially and structurally since the last two decades. This innovation is well exemplified by two Majlis Zikr and Salawat in Indonesia, Majlis Zikr and Salawat Wahidiyah and Nurul Mustafa. Both groups have represented new Sufi groups that arise out of tarekat group, a group that has been considered as ‘official institution’ in implementing Sufism. As we argued elsewhere, even though these groups cannot be categorized as tarekat, they strongly emphasize the ritual zikr and salawat and the teaching of Sufism which are also stressed in the tarekat traditions in Indonesia. As a Majlis Zikr and Salawat, both groups have introduced Sufi teachings in their rituals. However, either Salawat Wahidiyah or Majlis Nurul Mustafa differ on their emphasize on Sufism. For instance, Salawat Wahidiyah that has a strong basis among rural and arises from pesantren tradition strongly emphasizes Sufi teaching as the core of its activity. This can be seen clearly from the objective of reciting Salawat Wahidiyah which is to achieve wusul, makrifatrasul and makrifatbillah. Such terms as wusul, makrifaturrasul, makrifatullah are terms which not only have been discussed by Sufi at the very outset of Sufism in Islam but also become the ultimate objective of Sufism. Even, this group sets the majlis’s teachings and its elaboration which is based on the teaching of tasawuf and taken from classical Sufi teachings. In contrast, Nurul Mustafa which has its strong basis on urban society and arises from urban majlis taklim introduces Sufi teaching to its jamaah as the complementary of its activity. For instance, Sufi themes are given by this majlis as part of other themes including ethics (akhlak), Islamic Jurisprudence (fiqh), the hagiography of Saints of God, the
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1819
story of the Prophet (sirah al-nabawiyah), and the virtues of habaib. In addition, both groups also differ on the source of Sufi teachings used by those groups. On the one hand, Salawat Wahidiyah uses Sufi teachings from different sources and creates its own texts of zikr and salawat for its ritual. On the other hand, Majlis Nurul Mustafa selectively uses Sufi teachings and texts of zikr and salawat only from sources which are mostly taken from the tradition of Sufism practiced by Hadrami Ulama or habaib. The method used by both majlis to introduce the ritual of zikr and salawat among their jamaah is also different. Majlis Zikr and Salawat Nurul Mustafa whose jamaah are mostly urban teenagers and youths use popular methods to attract the interest of those groups to attend its ritual. The example of this popular method is by introducing membranophones or rebana music following the reciting of salawat. New melodies which are familiar to the ear of teenagers are also introduced in the recitation of salawat. The method is proven to be effective to attract the interest of youth and teenagers attending the majlis. In contrast, Majlis Salawat Wahidiyah whose jamaah are mostly rural people uses a method stressing the benefit of reciting Salawat Wahidiyah for practical purposes such as healing illness, improving the tranquility of heart, increasing harvest and so on so forth. Both groups strongly stress the importance of pluralism ideas. They allow non Muslims to practice and join the ritual without asking them to convert to Islam. It is undoubted that not all Muslims agree with this idea. Even, several Muslim groups considered pluralism as non-Islamic teaching that can be categorized bid’ah. In fact, the ideas of pluralism is necessarily needed for improving a peaceful life in Indonesia with its pluralistic culture and religions. Introducing the teaching of pluralism in the religious ritual will help to create a civilized society. In addition, this group also play important role in denounce the idea of radicalism which have proliferated in urban area after the reformation era. Sufism with its tolerant and ethics introduced by these groups is able to counter the radical teachings promoted by the so called radical Islam groups. Bibliography Anonymous. 2011 Menebar Dakwah Dengan Mahabbah.In Majalah Kisah Islami Al-Kisah. Pp. 49-55. Al-Muhdhor, Yunus Ali 2010, Mengenal Lebih Dekat al-Habib Abdullah bin Alawi alHaddad: Kisah Hidup, Tutur Katanya dan Tarekatnya, Surabaya: Cahaya Ilmu Publisher.
1820 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Azra, Azyumardi 1999 Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan Böttcher, Annabelle 2006 Religious Authority in Transnational Sufi Networks: Syaikh Nazhim Al-Qubrusi Al-Haqqani al-Naqsahbandi. In Speaking for Islam: Religious Authority in Muslim Societies. Gudrun Kramer and Sabine Schimidtke, eds. Leiden: Brill Dhofier, Zamakhsari 1999 The Pesantren Tradition The Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java. Arizona: Program for Southeast Asian Studies Arizona State University. Jacobsen, Frode F. 2009, Hadrami Arabs in Present-day Indonesia: An Indonesiaoriented group with an Arab signature, London and New York: Routledge Taylor and Francis Group Howell, Julia Day 2007, Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia’s new Sufi Networks. In Sufism and ‘The Modern’ in Islam. Martin Van Bruinessen and Julia Day Howell, eds. New York and London: IB Tauris. Howell, Julia Day 2001, Sufism and the Indonesian Islamic Revival. The Jural of Asian Studies 60 (3):701-729 Howell, Julia Day, M.A. Subandi, Peter L, Nelson, 2001 New Faces of Indonesian Sufism: A Demographic Profile of Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiah, Pesantren Suralaya in 1990s, Review of Indonesian and Malaysian Affairs 35(2):33-60 Al-Ishaqi, Muhammad Usman n.d. Al-Khulashah al-Wafiyyah Fi al-Adab wa Kayfiyat al-Zikr ‘Inda al-Sadat al-Qadiriyyah wa al-Naqshabandiyah. Surabaya: Al-Fitrah. Gilsenan, Michael 1973 Saint and Sufi in Modern Egypt: An Essay in the Sociology of Religion. Oxford: The Clarendon Press Trimingham, J, Spencer 1973 The Sufi Orders in Islam. New York: Oxford University Press Zamhari, Arif, 2010 Rituals of Islamic Spirituality: A Study of Majlis Dhikr Groups in East Java. Canberra: ANU Epress
Evaluating HTI’s Commitment of Peaceful Way in Promulgating Its Messages in the Democratic Indonesian State By: Mujahiduddin, S.Ag, M.Hum, MA Lecturer in Ushuluddin, Philosophy and Politic Faculty, UIN Alauddin Email :
[email protected] Contact: 081341770470
Abstract: This paper examines the emergence of HizbutTahrirIndonesia (HTI) as an openly fundamentalist movement in the democratic era. HTI existed in Indonesia since the early 1980s. Its early presence was as a clandestine organization, because of the repressive state, but after 2000 it transformed itself into as an open Islamist movement. The fall of Suharto and subsequent democratic transition eradicated political restrictions, providing oxygen for HTI to publicise its religious beliefs and political program. This paper explores how HTI use the democratic public sphere to disseminate its ultimate goal restoring an Islamic Caliphate marked by the implementation Islamic laws or syari’ah in daily life. Furthermore, whether HTI can be consistent to refrain from restoring violence. The thesis argues that the central question is whether HTI, which condemns the use of physical violence in pursuit of its goals, can continue to do so, as it refuses to participate in electoral politics. It concludes that though HTI has never committed physical violence or engaged in terrorist activities, it triggers structural and rhetorical or symbolic violence in its use of the democratic arena. Therefore, HTI’s activities may possibility hamper the process of consolidating democracy in Indonesia.
A. Introduction The downfall of Suharto’s regime in 1998 produced an explosion of social, political and religious movements as channels for aspirations that had been repressed for decades. One consequence of this ‘sense of freedom’ was the rise of political Islam. The aspirations of political Islam in the postSuharto era were expressed through the establishment of many Islamic parties using Islam as their ideology; for certain groups among Muslims, calls for the implementation of shari’a law, and the proliferation of radical Islamic groups such as Lasykar Jihad (Jihad Troops), Front Pembela Islam (FPI, or Islamic Defence Front), HizbutTahrir(Party of Liberation), and Angkatan Mujahidin Indonesia (the Jihad Fighter Group of Indonesia).1 1AzyumardiAzra, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia”, in Virginia Hooker and Amin Saikal (eds.), Islamic Perspectives on the New Millennium (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004), p., 133-34.
~ 1821 ~
1822 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future The presence of these radical Islamic groups attracted attention from both domestic and international media and academics, mainly after 9/11 2001 in the USA and subsequent terrorist attacks in Indonesia. The strong allegation was that a number of radical Islamic movements, such as Laskar Jihad and Jemaah Islamiyah, were terrorist organisations, and targets in the West’s ‘global war on terror’. Not surprisingly, some scholars argued that the al-Qaeda network had spread into Southeast Asia, including Indonesia.2 Some argue that the radical Islamist movements were brought to Indonesia from the Middle East, which accounts for its militancy and violence as part of a global threat.3 This assessment of political Islam in Indonesia, however, is an over-simplification that ignores the variations in the phenomena of transnational Middle Eastern Islamist movements. Not all Islamist movements in Indonesia committed violence or terrorism. Gerakan Tarbiyah and Hizbut Tahrir Indonesia were two instances of fundamentalist Islamic groups that were committed to physical nonviolence. In this regard Ayoob argues that “most contemporary transnational Islamist activities do not fall within the jihadist description”4 and that transnational Islamist movements were very numerous, ranging from missionary activity (da'wa) to political activity.5 This paper will focus on hizbutut Tahrir Indonesia (HTI), a fundamentalist Islamic group that eschewed physical violence and which was never known to be involved in achieving its goals through terrorist activities. HTI is a branch of Hizbut ut Tahrir (HT) which was founded in Jerusalem in 1953 by Taqiuddin an-Nabhani. He was born (1909) in Ijizm, a village near Haifa,6 in Northern Palestine. HT is a trans-national Islamist movement. Although, HT in Indonesia is a radical Islamist party, it strictly opposes violence and terrorism in promulgating its objectives. Ismail Yusanto, who is a well-known spokesman for HTI, argued that ‘in spreading its message, HTI holds to one fundamental principle, nonviolence. To change people through violence will never succeed’.7 2See for example, Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda: Global Network of Terror (New York: Colombia University Press, 2002); ZachariAbuza, Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror (Boulder and London: Lynn Rienner Publishers, 2003). 3For example, see Greg Fealy and Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (Joining the Caravan? The Middle East Islamism and Indonesia), (Bandung: Mizan, 2005). 4 Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in the Muslim World (USA]: The University of Michigan Press, 2008), p. 134. 5Mohammad Ayoob, The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in the Muslim World., p. 134-35. 6David Commins, ‘Taqi al-Din al-Nabhani and The Islamic Liberation Party’, The Muslim World Journal, vol. LXXXI,No. 3-4, 1991, p. 194. 7Agus Salim, The Rise of HizbutTahrir Indonesia (1982-2004): Its Political Opportunity Structure, Resource Mobilization, and Collective Action Frames, Unpublished MA Thesis (Jakarta: SyarifHidayatullah State Islamic University, 2005), p. 50.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1823
HTI is deserving of academic attention for two reasons. First, in general HT and HTI, like other radical Islamisist groups, have as their ultimate political aim, the establishment of an Islamic state, in the form of a Caliphate, over the world, beginning with Muslim countries or those countries, such as Indonesia, whose majority populations are Muslim. HT is also opposed to America, capitalism, democracy, liberalism and nationstates. However, it does not justify the use of violence or terrorism in establishing an Islamic Caliphate, unlike al Qaeda or other groups which commit acts of terrorism, justifying violence when it is used against kufr (non believers) for the purpose of restoring the Caliphate.8 Similarly, in an Indonesian context, HTI is unlike other Islamist groups, such as FPI, for example, which proclaims the legitimacy of the use of violence in establishing syari’a law in daily life. Secondly, some Western scholars view the presence of HT in many countries as a serious threat. Ariel Cohen, for example, encouraged the US to protect Central Asia from HT’s effort to destabilize it. He warned that HT was potentially the source of “the next wave of political violence” in Central Asia. According Cohen, HT promotes an anti-American agenda, tends towards extremism, and uses violence.9 A similar view was expressed by analysts who use a security approach to warn about HT, but were less knowledgeable about Islam. Such scholars tended to conclude that HT was a terrorist organization “in the mould of al-Qaeda” and highly recommend the abolition of the group and a freeze on its asset.10Zeyno Baran, for instance, portrayed HT as a ‘conveyor belt for terrorism’, and ‘Islam’s Bolsheviks’.11 He argued that HT has as its ultimate goal to take over of Western and Muslim governments to replace them with a Caliphate. Though HT was not involved in terrorist acts, it was concluded after S-11 that, based on its ideology, HT was likely to urge its adherents to use terrorist acts.12 However, these assessments of HT, in the anti-Islamic political climate after S-11, were open to serious scrutiny because HT in 8 S. Parashar, ‘HizbutTahrir: Solution or Problem?’, in South Asia Analyst Group, 30th September 2005. Available at: http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers16%5Cpaper1559.html. Viewed on 3th January 2012. 9A. Cohen, ‘Hizbut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia’, The Heritage Foundation Backgrounder, No. 1656, 30 May 2003. Available at: http://www.heritage.org/research/reports/2003/05/hizb-ut-tahrir-an-emerging-threat-tous-interests-in-central-asia. Viewed on 18th January 2012. 10R. Ehrenfeld, and A. A. Lapen, “Terror Rising: Two Islamic Terrorist Groups Launch their Bid for a Global Caliphate”, 2005. Available at: http://freerepublic.info/focus/f-news/1536359/posts. Viewed on 25th October 2011. 11Z. Baran, , “Fighting the War of Ideas”, Foreign Affairs, Nov/Dec 2005 12Z. Baran, Combating al-Qaeda and the Militant Islamic Threat, 2005, p. 5. Available at http://www.hudson.org/files/publications/CombatingalQaedaMilitantIslamic.pdf. Viewed on 2 January 2012.
1824 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Indonesia was not involved in violence and never advocated violence or terrorist activities. HT in Indonesia was not involved in any of the terrorist bombings against western interests after S-II. Ken Ward argued that one of reasons why HTI was acceptable in Indonesia is because HTI refused violence as a part of its strategy and did not have militia, unlike other radical Islamist groups.13 This paper is going to examine and assesses HTI’s doctrine of nonviolence in the context of the West’s post-S-11 war on terror in general, and the emergence of a democratic public sphere in Indonesia after the fall of the Soeharto’s regime in 1998 in particular. The democratic transition, and subsequent consolidation of democracy in Indonesia, had a profound effect on the political ideology and strategies adopted by HTI to achieve its long standing goals of basing all aspects of social life on Islamic teachings and law, and establishing an Islamic state. In this regard, the number of questions will be provided as guidance; did HTI have the potential to hamper the process of consolidating democracy in Indonesia, given that it used its freedoms to oppose freedom for other, ‘non-believers’? Finally, though HTI advocated ‘non-violence’ and was not involved in terrorism, as understood by the west in its war on terror, did HTI resolve the contradiction between its freedoms of expression and association and political goal of establishing an Islamic state and global Caliphate by resorting to forms of symbolic violence? The answer to this last question is yes, posing a major contradiction for HTI that will limit its ability to engage in democratic politics and gain popular support, but also threatens the consolidation of Indonesian democracy. B. Violence: Meaning and Category To avoid the misconception of term “violence” in this paper, I feel need to clarify it. According Johan Galtung there are three forms of violence; direct, structural, and cultural violence. Direct violence includes killing, maiming, sanctions, misery, desocialization, repression, expulsion, and so on. This feature of violence is easy to recognize, as it is ‘physical’, though most definitions of contemporary terrorism also stress the ‘threat’ of violence. This form of ‘violence’, according to Galtung, ‘tends to be institutionalized, repetitive, and ritualistic, like a vendetta’.14 Conversely, Structural violence and cultural violence are more complex. The key word for understanding structural violence is ‘exploitation’. Its simple logic is that ‘the topdogs get much more out of the interaction in the structure than others, the underdogs’. In other words, there is ‘unequal exchange’ in 13K. Ward, Non-Violent Extremists? HizbutTahrir Indonesia, Australian Journal of International Affairs, 2009, p. 152. 14Johan Galtung, ‘Cultural Violence’, in Journal of Peace Research, vol. 27, no.3, 1990, pp. 291-305, p. 292.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1825
interactions and relations between actors. 15 The process of exploitation is sustained by two other steps in structural violence. The first step is penetration combined with segmentation. The former means that the topdogs force the underdogs to speak based on the topdogs’ interests. The latter refers to the topdogs’ effort to limit the explanation of what really happens to the underdog. The second step is marginalisation combined with fragmentation. Marginalisation is an exertion to put and maintain the underdog on the periphery or outside, while fragmentation is to set the underdogs apart from each other.16 The final feature of violence, according Johan Galtung, is cultural violence. It refers to any aspect of culture, including religion, ideology, language, art, empirical science, and formal science (logic, mathematics), that can be utilized as a justification for and legitimation of direct and structural violence. As a result, both direct and structural violence look natural and right, or ‘normal’. 17 For example, as part of culture, religion plays a pivotal role in triggering violence because religion as a set of beliefs is easily manipulated by leaders to support violence by followers. For example, there are usually strict dichotomies between good and evil in which the former is quite often associated with God, or as revealed by God to the leader, while the later refers to Satan, with which the leader denounces the sins of opponents. Such black and white dichotomies create sharp opposition between ‘the Chosen One (by God) and the Unchosen Ones by God, chosen by Satan’. Those who are the chosen ones will receive eternal salvation and closeness to God in Heaven, whereas the unbelievers will are doomed to eternal damnation in hell with Satan.. According to Galtung, Heaven and Hell are also said to be felt on earth in the form of misery and luxury, which are preparations for Hell/Heaven.18 This view justifies violence by believers who judge others to be ‘unchosen’ and unworthy. Meanwhile, Mary R Jackman in “Violence and Legitimacy in Expropriative Social Relations”, offers a definition of violence based on the ‘injuriousness of actions’. She argues that violence contains ‘an action that inflicts, threatens, or causes injury’. The form of the injuries ‘may be corporal that has consequences such as ‘pain, laceration, death, functional and impairment’, and are against the ‘basic need of physical survival, avoidance of pain, and preservation of bodily integrity and autonomy’. It may be psychological including ‘fear, anxiety, anguish, humiliation, or 15Actors may encompass person, districts, nations, or region. Whatever they are, importantly they can act and interact each other. Johan Galtung, Peace and Social Structure, Essays in Peace Research, vol. III, (Copenhagen, Ejlers, 1978), p. 29-31. 16Johan Galtung, ‘Cultural Violence’, 1990, p. 293-294. 17Johan Galtung, ‘Cultural Violence’, 1990, p. 291. 18Johan Galtung, ‘Cultural Violence’, in Journal of Peace Research, 296-7.
1826 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future diminished self-esteem’, encompassing ‘the destruction, loss, or defacement of property or the loss of earnings’, or it may be social which includes ‘stigmatization, exclusion, imprisonment, banishment, or expulsion’.19 Violence ‘may be corporal, written, or verbal’. Because corporal violence is more easily identified, actors or agents of violence often try to use written or verbal means instead. Such ways may lead to injurious results either directly, ‘as in formal edicts or contracts stipulating physical harm against an individual or group’, or indirectly such as a ‘a moral or physical threat’ against individuals or groups.20 By considering these definitions of violence, it can be said that the forms it can take are diverse, ranging from direct or physical to symbolic violence, and which may be committed in various ways. Related to the assessment of Hizbut Ut Tahrir Indonesia in this writing, what is relevant from Galtung’s conception of violence is that religion has the potential to justify or legitimise violence. It does not mean that religion is inherently violent or will lead inevitably to violence. Whether or not religion results in violence depends arguably on the leader’s interpretation of the religion’s tenets and the fanaticism of followers. In other words, religion has the theological teachings and symbols to justify terrorist violence.21 Mary R. Jackman argues that the psychological and social outcomes of violence, publications defending violence and verbal calls to violence have to be taken into account. C. The Challenges to Democracy Posed by HTI HTI’s appeal for restoration of the caliphate and implementation of shari’ah will likely pose several challenges for the consolidation of democracy in Indonesia. Widely held and mobilised rhetoric that rejects democracy as alien to Islam and its involvement in structural violence may undermine acculturation of democratic values necessary for democratic consolidation. In this section, reasons behind HTI’s rejection of democracy will be explained in more detail, followed by explanation of HTI’s involvement in structural violence and its vitriolic rethoric. c. 1. HTI’s Refusal of Democracy There are several specific reasons of why HTI strongly rejects democracy revolving around arguments as we have seen, that democracy allegedly contradicts the principles of Islamic governance. First, HTI sees 19Mary R Jackman, ‘License to kill: Violence and Legitimacy in Expropriative Social Realtion’, in John T. Jost and Brenda Major, eds., The Psychology of Legitimacy: Emerging Perspectives on Ideology, Justice, and Intergroup Relation, (New York: Cambridge University Press, 2001), pp., 443-4 20Mary R Jackman, ‘License to kill: Violence and Legitimacy in Expropriative Social Realtion’, 21Mark Juergensmeyer, Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, (Berkeley: University of California Press, 2000), p. xii.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1827
democracy as a man-made political system that aims at protecting people from authoritarianism, injustice, and elites’ domination in the name of religion. Because it is a human creation, HTI argues that democracy has nothing to do with religion or divine revelation.22 It has no roots in Islamic doctrine or history and thus it is alien to Islam. Second, HTI denounces democracy as secular because it is rooted in a political ideology that separates religion and state and relegates religion to the private domain. This contradict with HTI’s interpretation of Islam which argues for the inseparability of Islam and the state.23 Third, HTI explains that democracy is ‘ruling of the people, for the people, and by the legislation of the people’.24HTI concludes, rightly, that it means democracy vests sovereignty and rule-making in the people. People are also able to revoke laws according to their own consideration and have a right to determine a ruler or leader.25 This principle, according to HTI, contradicts Islamic governance that puts sovereignty into in the hand of shari’ah (God) and the power to rule (assulthan) to the umma.26The right to make legislation belongs only to God and therefore all human legislation must abide by this principle.27 Fourth, democracy requires a majority vote as a benchmark in decision-making whilst Islam declares that not all matters may be resolved by simply relying on a majority vote. Some cases such as the stipulation of legal matters should not be based on the majority’s opinion but must refer to legal experts.28Lastly, democracy covers all kinds of freedoms ranging from freedom of belief to personal freedom and has to ensure the freedom of every single person in order that they may implement sovereignty,29whereas Islam restricts the concept of
22A.Q. Zalloom, Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for it, (London: Al-Khilafah Publication, 1995), p. 5. 23M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, (Genealogy of Radical Islam in Indonesia: Movement, Thought, and Prospect of Democracy), (Jakarta: Pustaka LP3ES,2008), p. 275. 24A.Q. Zalloom, Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for it, p., 7 25A. I. Rathomy, PKS dan HTI: GenealogidanPemikiranDemokrasi (PKS and HTI: Genealogy and Democracy Thinking), (Jogjakarta: Fisipol UGM, 2006), p. 134. 26The term umma means mother. It refers to Islamic conception of political community or the importance of Islamic solidarity among Muslim. Burhanuddin Muhtadi,’ The Quest for HizbutTahririn Indonesia’, in Asian Journal of Social Science, 2009, p., 633. 27M. Zaki Mubarak,Genealogi Islam Radikal di Indonesia, p., 276 28A. I. Ahmad and R. ‘Haryadi, PengusungSyariah di Jalur Tengah’ (Bearers of Shari’ah in the Middle Path), in A. S. Karni (ed.), HajatanDemokrasi: PotretJurnalistikPemiluLangsungSimpul Islam Indonesia dariModeratHinggaGarisKeras, (Jakarta: PT Era Media Informasi, 2006), p. 288 29A.Q. Zalloom, Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for it, p., 10.
1828 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future freedom. For example, it does not tolerate the freedom of religion. One who wants to convert his/her religion will be sanctioned.30 HTI’s rejection of democracy is its appeal in the public sphere to tilt opinion to opposing democracy as the only political game in Indonesa. As it attempts to reach and recruit grass-root audiences, HTI’s attitude of denouncing democracy may disrupt the on-going socialisation of a democratic political culture that is necessary for the consolidation of democracy in Indonesia. According to Juan Linz and Alfred Stepan, democracy will only be consolidated once the three factors are meet: Behaviourally, no significant institutions or actors spend significant resources attempting to achieve their objectives by creating a nondemocratic regime or turning to violence. Attitudinally, a strong majority of citizens believe that the democratic procedures and institutions are “the only game in town” to govern collective life in society. Constitutionally, governmental and non-governmental forces alike become committed to resolving conflicts within the specific laws, procedures and institutions sanctioned by the democratic process.31 In a same vein, Prezeworski argues that: Democracy is consolidated when under given political and economic conditions a particular system of institution becomes the only game in town, when no one can imagine action outside the democratic institutions, when all the loser wants to do is to try again within the same institutions under which they have just lost.32 From these quotations, democracy is consolidated when there is a shared conviction among political elites, political organisations, mass-based organisations and, more importantly, the public at large that democracy is a useful and worthwhile means for dealing with a wide range of social and political problems that come to surface. Democracy is the only rule of game accepted by the state and all segments of society should take part in achieving democracy. It does not overlook the diversity of opinions, organisations and political parties. As long as the differences are played out under democratic norms, procedure, and expectations, political contests are acceptable. In other words, no group, for example, has the right to take advantage of democracy by enjoying the freedom of expression and 30A.Q.
Call for it
Zalloom, Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or
31Cited from Bob S. Hadiwinata and Chirstoph Schuck, ‘Mapping Indonesia’s Way towards Democracy: In Search of a Theoretical Frame, in Hadiwinata and ChristophSchuck (eds.), Democracy in Indonesia…,p., 14. 32Saiful Mujani, Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia, Unpubilished Dissertation, OHIO State University, 2003, p., 235.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1829
assembly it confers to deny such freedoms to others, and disrupt or even replace democracy with another system. This political scenario applies to HTI when it exploits democracy to promote anti democratic rethoric through mass demonstrations and public propaganda. In short, HTI enjoy democratic freedom to instill imagination of action and objectives outside democratic institutions in the public sphere. HTI challenges other civil society groups that aspire to support consolidation of democracy in Indonesa. This is even more the case when HTI utilises its politically influential networks to affect political change toward non-democratic goals, as will be described below. c. 2. HTI’s Penetration in MUI The growing political influence of the MUI provides opportunities for HTI to affect political changes that it aspires to. Using MUI’s network of religious authority is a strategic political manuevere, considering that HTI and other radical groups do not posses as much religious charisma as MUI. In addition, the influence of MUI’s religious conservatism grew during the decade after 2001.33President Susilo Bambang Yudhoyono when officially openning the National Meeting held by MUI in November 2007, welcomed the MUI fatawa, ‘legal opinion of an Islamic scholar’34. The President also asked the public to stand firm against deviant beliefs: … Thus, according to rules of the game, MUI issued a fatwa. President cannot issue fatwa. After the fatwa was issued, the tools of the state carry out their duties. Hopefully the cooperation will be enhanced in the future.35
33MUI was established on July 26, 1975 in Jakarta as a result of the meeting attended by a large number of Muslim scholars, intellectuals, and government from all over the country. Basically, there are five main role of MUI, namely; as successor of Prophet’s tasks, as giver of fatwa, as guide of the ummah, as a organization serving to make reform and renewal, and as a organization serving to call for the enforcement of good deed and the prevention of bad deed, ‘Profil MUI (About us)’, MajelisUlama Indonesia, 08 May 2009, available in http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=53, accessed on 30 June 2012. ‘MUI was established with the endorsement of formerPresidentSoeharto’, see BenhardPlatzdasch, ‘Religious Freedom in Indonesia: The Case of The Ahmadiyah’, in ISEAS Working Paper: Politics and Security Series, no. 2, 2011, p. 3 34 Melissa Crouch, ‘Indonesia, Militant Islam, and Ahmadiyah: origin and Implications’, in Islam, Syari’ah and Governance Background Paper Series, (University of Melbourne, Melbourne Law School, 2009), p., 4 35Kiai Sahal: ‘Fatwa MUI tentang al-Qiyadah agar umattakterperdaya’,NU Online, 5 November 2007,available inhttp://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,10430lang,id-c,wartat,Kiai+Sahal++Fatwa+MUI+tentang+Al+Qiyadah+Agar+Umat+Tak+Terperdaya-.phpx, accessed on 2 July 2012.
1830 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future The tactic used was to go into the MUI and assist its agenda on behalf of the MUI. 36 Together with other radical groups such as DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia or the Indonesian Islamic Missionary Council)37, HTI got involved in the Congress of Indonesian Muslims (KUII) held by MUI in April 2005. Through the important individuals in these groups, such as Islami Yusanto, Muhammad al-Khaththath from HTI and K.H. Cholil Ridwan from DDII, they succeeded in pushing the agenda of shari’ah as a congressional recommendation.38 As a result, at national conference VII on 28 July 2005 in Jakarta, MUI issued a number of fatawa. One was a ban on JAI39 (Jamaah Ahmadiyah Indonesia or Indonesia Ahmadiyah Community) since, according to MUI, JAI had recognised its founder, Mirza Ghulam Ahmad as a Prophet after the last Prophet Muhammad. The notion contradicted the fundament tenet of Islam that there is no Prophet after Muhammad. Thus, MUI claimed that JAI was a deviant and heretical organization.40 In a further attempt to infiltrate MUI, together with other Islamic fundamentalists, HTI succeeded in gaining two prominent figures as committee members of the council for the period 2005-2010.41 They were Muhammad Ismail Yusanto, holding the position of Vice Chairman of the Commission of Research, and Muhammad al-Khaththath, serving as Vice Secretary of the Commission of dak’wah. The former Commission is in charge of conducting research concerning Islamic phenomenon and thus its findings form recommendation for the council when issuing a fatwa. The Commission plays a pivotal role. The aim of the latter Commission is to disseminate dak’wah throughout the country. 42
36Ismail
Hasani, et.all, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkayinan, p., 102. 37DDII was established by Mohammad Natsir, the former chairman of MASYUMI. After the MASYUMI being dissolved in 1960, he initiated to build another institution to continue the MASYUMI’s spirit and initial ideas through missionary way.LuthiAssyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia, p., 138. 38Ismail Hasani, et.all, Radikalisme Agama di JabodetabekdanJawa Barat: ImplikasinyaterhadapJaminanKebebasanBeragama/Berkayinan, p., 102-3 39Ahmadiyah is a religious movement established by MirzaGhulam Ahmad (15 February 1835 - 26 May 1908) in Qadian in Punjab, India, in 1889. It has been emerged in Indonesia since 1925. BenhardPlatzdasch, ‘Religious Freedom in Indonesia: The Case of The Ahmadiyah’, p. 1 40Ardian Wibisono, ‘MUI kembaliFatwakanAhmadiyahsebagaiAliranSesat (MUI reissued Ahmdiyah as a Deviant Stream), detik.com, July 28, 2005, available in http://news.detik.com/read/2005/07/28/201122/412058/10/mui-kembali-fat, accessed on 29 June 2012. 41Fahlesa Munabari, ‘Hizbut-Tahrir Indonesia: The Quest for the Caliphate and Shariah, A paper presented at International Workshop on Islam and Middle East: Dynamics of Social and Political Transformation, Kyoto, University, August 2-3, 2008 p. 16. 42Fahlesa Munabari, The Quest for the Caliphate and Shariah, p. 16
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1831
Since MUI issued a fatwa banning JAI, HTI advocated issuing fatawa as an important agenda for achieving the public’s sympathy.43 It also demanded the government ban Ahmadiyah.44By utilizing FUI a coalition dominated by hardliners, with the FPI and Hizbut-Tahrir Indonesia as two of its largest components and a senior HTI official, Muhammad alKhaththath, as its Secretary General, 45and also as member of MUI, HTI conducted demonstrations in favour of a ban on JAI 46 and pushed the government to disperse JAI.47 In an article entitled ‘FUI Minta Pemerintah Larang Ahmadiyah’(FUI Asking the Government to ban Ahmadiyah), HTI and FUI urged the government to ban the Ahmadiyyah. "So that no horizontal conflict," said Secretary General Al-Khaththath, when he visited the Attorney General on 3 January 3 2008. According to al-Khaththath, ‘freedom of religion is a human right. So if the Ahmadiyyah did not confess Islam, it's no problem’. 48 On 9 June 9 2008 the Indonesian government eventually enacted the so-called a Joint Ministerial Decree signed by the Attorney General’s office, the Ministry of Religion and the Ministry of Home Affairs,49 which required JAI to freeze all its activities. 50 The decree declared that JAI’s adherents who did not heed the degree would be subjected to sanction.51 Considering HTI’s penetration in MUI and relentless pressure on the government in the JAI case, it may argue that HTI contributed indirectly to creating structural violence. HTI, with other radical groups, 43International Crisis Group (ICG),’ Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree,’ Asia Briefing, No.78, 7 July 2008. 44M. N. M. Osman, Reviving the caliphate in the Nusantara: HizbutTahrir Indonesia’s Mobilization Strategy and Its Impact in Indonesia’, Working Paper, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore, 2009, p., 32. 45International Crisis Group (ICG),’ Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, available in http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/mediareleases/2008/asia/indonesia-implications-of-the-ahmadiyah-decree.aspx, accessed on 2 July 2012. 46International Crisis Group (ICG),’ Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree 47FahlesaMunabari, ‘Hizbut Tahrir Indonesia: The Rhetorical Struggle for Survival’, in Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, and Ahmad Suaedy (ed), Islam Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, (Jakarta: Wahid Institute- CSEAS-CAPAS, 2010), pp., 174-5 48‘FUI Minta Pemerintah Larang Ahmadiyah’, Tempo interaktif, 3 January 2008, available in http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2008/01/03/brk,20080103114719,id.html, accessed on 2 July 2012. 49Benhard Platzdasch, ’Religious Freedom in Indonesia: The Case of the Ahmadiyah’, inISEAS Working Paper: Politics & Security Series No. 2, 2011, p., 15. 50International Crisis Group (ICG),’ Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, Overview, 7 July 2008, available in http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/B078-indonesiaimplications-of-the-ahmadiyah-decree.aspx, accessed on 2 Ju;y 2012. 51Ardian Wibisono, ‘MUI kembaliFatwakanAhmadiyahsebagaiAliranSesat (MUI reissued Ahmdiyah as a Deviant Stream),detic.com
1832 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future successfully utilised influential institutions, such as FUI and MUI, and the government to ban JAI. The success was marked by the creation of the fatwa and the Decree that certainly marginalised and intimidated the minority religious group which existed in Indonesia since 1925. Equally important, in ICG’s report entitled ‘Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree’, it was asserted that ‘civil rights groups and many public figures argued that any state-imposed restrictions violated the constitutional guarantee of freedom of religion’. 52 The prohibition of JAI contradicted the 1945 Constitution based on Pancasila, which guaranteed the freedom of religion. For instance, the First Article of Paragraph 28 in the Constitution declared that: ‘Every citizen has the right to follow his/her religion and worship according to his/her beliefs…’. 53Also, it was not in accordance with principles of democracy such as tolerance, freedom of expression, and freedom of religion. c. 3. Vitriolic Rhetoric Referring to the definition of violence used in this writing that it may also be committed by using written or verbal means, such as making ‘a moral or physical threat’ to an individual or group, HTI can be categorised as a movement that uses violence. Despite never being proven to have carried out physical violence and terrorist activities in achieving its objectives,54 HTI sometimes utilises inflammatory and provocative language, mainly in describing non-Muslims as the enemies of Islam. HTI, according to Ken Ward, performs ‘violent rhetoric’. This is because ‘HTI’s language is indeed often vitriolic as it denounces the enemies of Islam, the indigenous servants of capitalism, and imperialism, or the assorted social ills those forces have inflicted on Indonesia.’ 55 In an article entitled ‘HTI Serukan Perang Terhadap Pornografi’ (HTI Calls for War against Pornography), HTI called on the government, the police, representatives, community leaders, and the Indonesian people to declare “war” on and to get rid of pornography from Indonesia.56 On 21 February 2008, around 300 members of HTI staged a demonstration in Bandung, demanding the
Decree,
52International
Crisis Group (ICG),’ Indonesia: Implications of the Ahmadiyah
53Benhard Platzdasch, ‘Religious Freedom in Indonesia: The Case of The Ahmadiyah’,pp., 19-20 54FahlesaMunabari, ‘HTI: The Rhetorical Struggle For Survival’, p., 182. 55Ken Ward, ‘Non-Violent Extremists?HizbutTahrir Indonesia’, p., 158 56HTI SerukanPerangTerhadapPornografi, Kompas.Com, 29 October 2008, available in http://nasional.kompas.com/read/2008/10/29/20335331/HTI.Serukan.Perang.Terhadap. Pornografi, accessed on 2 Juli 2012.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1833
Danish cartoonist humiliating the Prophet Muhammad be executed. ‘Capital punishment’ was the only course of action.57 In May 2012 HTI’s attention and anger was attracted by a planned Lady Gaga’s concert in Jakarta. The concert was cancelled eventually due to mounting pressure from conservative and Islamist groups, incluing HTI. On 25 May 2012, hundreds of students belonging to HTI did a street protest against Lady Gaga’s arrival in Indonesia. They recognised that her arrival was a form invasion by an unbeliever (kufr) that would destroy the younger generation’s morality. ‘We reject the arrival of Lady Gaga, because it contained disobedience and could damage the morality of the nation's next generation’, said one student, Mauladina in a speech.58Posters carried by students delivered messages such as: “Save our Generation with Syari’ah and Caliphate”, “Reject the Invasion of Infidel Culture”, “Lady Gaga Queen of Demon Lady Gaga Invite You To Hell", and "Destroy Liberalism Rise Khilafah".59 Like other Islamic Radical groups such as MMI, HTI argues that the concept of infidel (kufr) rest upon the ‘black and white’ paradigm. The notion ‘divides the world into two opposing halves, the world of Islam and the world of infidels (kufr), based on the idea of permanent conflict between truth (al-haq) and falsity (al-bathil)’.60Therefore, according to Ahnaf: The fundamentalist’s characterization of the Other as having a nature of endless enmity to Islam, threatening Islam, not being good leaders or alliances, and inherently in perpetual conflict with Muslim are also an example of symbolic violence,61 Taking this description into account, it may be said that the use of negative images and rude language by HTI in drawing the Other (non-Muslims and Muslims who disagree with it) is a form of violence. In short, it is argued 57Ahmad Yunus, ‘HukumMatiPenghinaNabi, detik News, 06 February 2006, available in http://news.detik.com/read/2006/02/06/110410/533137/10/hukum-matipenghina-nabi, accessed on 2 July 2012. 58Para Pelajar HizbutTahrir Indonesia MenolakInvasiBudayaKafirdanKonserMaksiyatdarimana pun AsalArtisnya (Student of HTI reject the Invasion of Infidel Culture and Misdeed Concert), Syabab.com, 28 Mey 2012, available in http://syabab.com/akhbar/ummah/2610-para-pelajar-hizbut-tahrir-indonesiamenolak-invasi-budaya-kafir-dan-konser-maksiyat-dari-mana-pun-asal-artisnya-f.html, accessed on 2 July 2012. 59Para Pelajar HizbutTahrir Indonesia MenolakInvasiBudayaKafirdanKonserMaksiyatdarimana pun AsalArtisnya (Student of HTI reject the Invasion of Infidel Culture and Misdeed Concert), Syabab.com, 28 Mey 2012 60Moh, Iqbal Ahnaf, The Image of the Enemy Fundamentalist Muslims’ Perception of the Other (Majelis Mujahididn Indonesia and HizbutTahrir Indonesia), Unpublished Thesis, (Jogjakarta, Universitas Gadjah Mada,2004), p., 47. 61Moh, Iqbal Ahnaf, The Image of the Enemy Fundamentalist Muslims’ Perception of the Other (MajelisMujahididn Indonesia and HizbutTahrir Indonesia), p., 120.
1834 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future that HTI may undermine the process of consolidating democracy in Indonesia. Its widely disseminated rhetoric that calls on people to reject democracy and its involvment in structural violence may contribute to the weakening of democratic culture necessary for the consolidation of democracy. D. Conclusion The presence of HTI in the democratic public sphere generated a series of ideological challenges. It faced the dilemma of an ideology that, on the one hand was clearly not in accordance with democracy, rejecting this system because it rests upon a secular paradigm that separates state from religion and the sacred cause. On the other hand, HTI accepted as a political reality that Indonesia is a state in the process of consolidating democracy. However, HTI faced another dilemma. Though it advocated nonviolence and was not involved in terrorism, HTI found it difficult to resolve the contradiction between its freedoms of expression and association, and strict rejection of democracy and the political objective of establishing a global Caliphate. This paper argued that HTI’s aggressive political rhetoric amounted to forms of symbolic and structural violence because of this dilemma. At the level of structural violence, together with other Islamist groups, HTI was able to influence institutions such as MUI and the state itself. HTI succeeded in placing its two prominent figures in strategic positions in MUI and pushing shari’a agenda in MUI. As a result, at National Conference VII on 28 July 2005 in Jakarta, MUI enacted a number of fatawa. Among them was a ban on JAI since it had acknowledged its founder, Mirza Ghulam Ahmad, as a Prophet after the last Prophet Muhammad. This move was condemned as heresy because it contradicted the fundamental tenets of Islam that there is no Prophet after Muhammad. HTI succeeded in pressuring the Indonesian government to ban JAI. On 9 June 9 2008 the government enacted the so-called Joint Ministerial Decree, signed by the Attorney General’s office, the Ministry of Religion and the Ministry of Home Affairs, which required JAI to freeze all its activities. The decree declared that JAI’s adherents who did not heed the degree would be subjected to sanction. At the level of rhetorical or symbolic violence, HTI had potential to trigger disunity among religious followers, not only among Islam’s adherents themselves, but also between Islam and non-Muslims, threatening to destroy Indonesia’s hard won harmony and pluralism and lead to future conflict. HTI often used inflammatory and provocative language, mainly in portraying non-Muslims as the enemies of Islam, the indigenous servants of capitalism and imperialism, or blaming them for an assortment of social ills.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1835
The writing argued that the involvement of HTI in triggering symbolic and structural violence more likely has the potential to hamper the process of consolidating democracy if HTI does not succeed in resolving the ideological and political dilemmas it confronts. Bibliography A. I. Rathomy, PKS dan HTI: GenealogidanPemikiranDemokrasi (PKS and HTI: Genealogy and Democracy Thinking), (Jogjakarta: Fisipol UGM, 2006). A. I. Ahmad and R. ‘Haryadi, Pengusung Syariah di Jalur Tengah’ (Bearers of Shari’ah in the Middle Path), in A. S. Karni (ed.), Hajatan Demokrasi: Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dariModeratHinggaGarisKeras, (Jakarta: PT Era Media Informasi, 2006). Ahmad Yunus, ‘Hukum Mati Penghina Nabi, detik News, 06 February 2006, available in http://news.detik.com/read/2006/02/06/110410/533137/10/huku m-mati-penghina-nabi Ardian Wibisono, ‘MUI kembali Fatwakan Ahmadiyah sebagai Aliran Sesat (MUI reissued Ahmdiyah as a Deviant Stream), detik.com, July 28, 2005, available in http://news.detik.com/read/2005/07/28/201122/412058/10/muikembali-fat. Agus Salim, The Rise of HizbutTahrir Indonesia (1982-2004): Its Political Opportunity Structure, Resource Mobilization, and Collective Action Frames, Unpublished MA Thesis (Jakarta: SyarifHidayatullah State Islamic University, 2005). Azyumardi Azra, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia”, in Virginia Hooker and Amin Saikal (eds.), Islamic Perspectives on the New Millennium (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004). A. Cohen, ‘Hizbut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia’, The Heritage Foundation Backgrounder, No. 1656, 30 May 2003. Available at: http://www.heritage.org/research/reports/2003/05/hizb-ut-tahriran-emerging-threat-to-us-interests-in-central-asia. A.Q. Zalloom, Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for it, (London: Al-Khilafah Publication, 1995). Benhard Platzdasch, ‘Religious Freedom in Indonesia: The Case of The Ahmadiyah’, in ISEAS Working Paper: Politics and Security Series, no.
1836 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future 2, 2011. David Commins, ‘Taqi al-Din al-Nabhani and The Islamic Liberation Party’, The Muslim World Journal, vol. LXXXI,No. 3-4, 1991. Fahlesa Munabari, ‘Hizbut Tahrir Indonesia: The Rhetorical Struggle for Survival’, in Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, and Ahmad Suaedy (ed), Islam Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, (Jakarta: Wahid Institute- CSEAS-CAPAS, 2010) _______, ‘Hizbut-Tahrir Indonesia: The Quest for the Caliphate and Shariah, A paper presented at International Workshop on Islam and Middle East: Dynamics of Social and Political Transformation, (Kyoto, University, August 2-3, 2008). FUI Minta Pemerintah Larang Ahmadiyah’, Tempo interaktif, 3 January 2008, available in http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2008/01/03/brk,20080103114719,id.html. Greg Fealy and Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (Joining the Caravan? The Middle East Islamism and Indonesia), (Bandung: Mizan, 2005). International Crisis Group (ICG),’ Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, Overview, 7 July 2008, available in http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-eastasia/indonesia/B078-indonesia-implications-of-the-ahmadiyahdecree.aspx. Johan Galtung, ‘Cultural Violence’, in Journal of Peace Research, vol. 27, no.3, 1990, pp. 291-305. _______, Peace and Social Structure, Essays in Peace Research, vol. III, (Copenhagen, Ejlers, 1978), p. 29-31. Kiai Sahal: ‘Fatwa MUI tentang al-Qiyadah agar umattakterperdaya’,NU Online, 5 November 2007,available inhttp://nu.or.id/a,publicm,dinamic-s,detail-ids,1-id,10430-lang,id-c,wartat,Kiai+Sahal++Fatwa+MUI+tentang+Al+Qiyadah+Agar+Umat+T ak+Terperdaya-.phpx. Ken Ward, Non-Violent Extremists? HizbutTahrir Indonesia, Australian Journal of International Affairs, 2009. Luthfi Assyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), 2009). Melissa Crouch, ‘Indonesia, Militant Islam, and Ahmadiyah: origin and Implications’, in Islam, Syari’ah and Governance Background Paper Series, (University of Melbourne, Melbourne Law School, 2009).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1837
M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, (Genealogy of Radical Islam in Indonesia: Movement, Thought, and Prospect of Democracy), (Jakarta: Pustaka LP3ES,2008). Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in the Muslim World (USA): The University of Michigan Press, 2008). Moh, Iqbal Ahnaf, The Image of the Enemy Fundamentalist Muslims’ Perception of the Other (Majelis Mujahididn Indonesia and HizbutTahrir Indonesia), Unpublished Thesis, (Jogjakarta, Universitas Gadjah Mada,2004) Mary R Jackman, ‘License to kill: Violence and Legitimacy in Expropriative Social Realtion’, in John T. Jost and Brenda Major, eds., The Psychology of Legitimacy: Emerging Perspectives on Ideology, Justice, and Intergroup Relation, (New York: Cambridge University Press, 2001). Mark Juergensmeyer, Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, (Berkeley: University of California Press, 2000). Pelajar HizbutTahrir Indonesia Menolak Invasi Budaya Kafir dan Konser Maksiyat darimana pun Asal Artisnya (Student of HTI reject the Invasion of Infidel Culture and Misdeed Concert), Syabab.com, 28 Mey 2012, available in http://syabab.com/akhbar/ummah/2610para-pelajar-hizbut-tahrir-indonesia-menolak-invasi-budaya-kafirdan-konser-maksiyat-dari-mana-pun-asal-artisnya-f.html. R. Ehrenfeld, and A. A. Lapen, “Terror Rising: Two Islamic Terrorist Groups Launch their Bid for a Global Caliphate”, 2005. Available at: http://freerepublic.info/focus/f-news/1536359/posts. Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda: Global Network of Terror (New York: Colombia University Press, 2002); ZachariAbuza, Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror (Boulder and London: Lynn Rienner Publishers, 2003). Saiful Mujani, Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia, Unpubilished Dissertation, OHIO State University, 2003. S. Parashar, ‘Hizbut Tahrir: Solution or Problem?’, in South Asia Analyst Group, 30th September 2005. Available at: http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers16%5Cpaper1559.html . Viewed on 3th January 2012. . Zyeno Baran, , “Fighting the War of Ideas”, Foreign Affairs, Nov/Dec 2005 _______, Combating al-Qaeda and the Militant Islamic Threat, 2005, p. 5. Available at http://www.hudson.org/files/publications/CombatingalQaedaMilitantIslamic.pd
Conceiving Market Mechanism Based on Social Justice in Islam (Analitical Studies of Imam al – Ghazali’s Thought) Suprihatin Abstract: Acknowledgement of Muslims (ummah) on the market mechanism that is initiated by conventional economics is a big problem in Islamic sciences’ (‘ulum al-Islam) perspective. This is because the market mechanism of the conventional economy is largely incompatible with Islamic teachings. First, the theory of utility generates an attitude of consumerism. Second, the law of offer and demand in market mechanism of conventional economics which is paradoxical can influence market turmoil, such as shortages and hoarding of goods. The use of market mechanism of conventional economics became a distinct phenomenon among Muslims, both in educational institutions, business and bureaucracy. Therefore, to socialize concept of market mechanism based on Muslim thinkers’ ideas who have authority in the Islamic sciences such as Imam al - Ghazali is a breakthrough to overcome this big problem. To uncover market mechanism in Imam al-Ghazali’s thought is to uncover his concept of market mechanism. The method used is content analysis using corroboration approach (comparing two states) and colligation approach (interpreting a special circumstance associated with common conception). Market mechanism in Imam al-Ghazali’s point of view is mechanism of demand and offer based on some aqad (Islamic contract) in accordance with Islamic teachings. To have a demand in consuming is based on people’s income. This is done to express gratefulness to Allah SWT. The demand scale is limited by the Islamic norms and consumer’s income. Offer is done by using the revenue for production. This is done to express gratefulness to Allah SWT. The offer scale is limited by the Islamic norms and producer/supplier’s fund. Pricing according to Imam al - Ghazali is flexible. Forms of flexibilities are providing affordable price, giving payment delay, giving easiness to pay debt and eliminating consumer’s debt. Flexible pricing objectives are to make profit and high sales volume. This pricing model in Imam al-Ghazali’s point of view consists of: 1). flexible pricing based on time 2). flexible pricing based on type of goods, and 3). flexible pricing based on customer classification. An approach taken to set the price is the cost of production approach. Offer, demand and prices have interdependent relationships in which offer and demand are elements that set price. Meanwhile, price is not an element that sets demand and offer like in the conventional economics.
This paper is sent to call Papers of Annual International Conference on Islamic Kementerian Agama RI 13th , November 2013 at Nusa Tenggara Barat Lecturer in the Faculty of Islamic Studies, Islamic University " 45 " of Bekasi
Studies,
~ 1838 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1839
A.
Background Market is one form of modern civilization in which resulted from a long journey of mankind after a period of subsistence economy. Therefore, in a modern economy, the market is the only important place to get varied needs between seller and buyer in short term and long term. Behavior in the market is strongly influenced by a society's values. In a society which develops values of materialism1, the seller and the buyer’s behavior is only guided to fulfill life needs which based only on biological stimulus ratio. Materialism values development in the field of economics has influenced an individualistic attitude that understands human beings as the only subjects in the universe and has an aim to gain happiness in this world just like hedonism, utilitarianism and pragmatism. Form of individualistic attitude in market mechanism can be found in logic of the law offer and demand that makes price is the main factor that can influence offer and demand. Pricing as a factor that sets the demand and offer is on the contrary with Islam’s principles in transaction, about aqad. The meaning of aqad is that the transaction undertaken based on producer and consumer’s activities. The importance of activity as basis of the transaction is described in the Holy Qur'an surah At-Tawbah verse 95. Hence, setting the price as a factor that influences demand and offer is just speculative or gharar and it can lead to social injustice. This is contrast with Abu Yusuf ‘s thought. In his point of view, a true market mechanism is a real market mechanism based on offer and demand. In this case, offer and demand are which set the price. Abu Yusuf’s thought can be found in his book al- Kharaj as quoted by Euis Amalia: “There is no specific boundary about cheapness and expensiveness of a thing that can be ascertained. It is already set. Its principle is unknown. Cheapness is not because of plenty of food and expensiveness is not because of rareness of food. Cheapness and expensiveness are the provision of God. Sometimes food is plentiful but it is expensive and sometimes rare but it is cheap.2
Concerning market mechanism, Imam Yahya bin Umar forbade two acts that are considered reprehensible, those are: (1) the merchants are reluctant to trade their particular goods that are needed. (2) The vendors do siyasah al - ighraq (dumping). 3
1 Materialism is a viewpoint of life which looks for base of every things including human life in the universe only and puts aside every things which surpasses human senses. Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 888 2 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam dari Masa Klasik Hingga Masa Kontemporer, (Jakarta, Granada Press, 2007) h. 86-87 3 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam dari Masa Klasik Hingga Masa Kontemporer, h.17
1840 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future In accordance with statements above, Imam al – Ghazali forbade to play price in the market. He stated:
يهماأأأف ايهأنحي أ غه ني أ, فينبغي أن أ أغغيصأحيه باأاليهأ أغنغيه يفأ ياأدأ.... كييفأغريي أفيياأ,ي أال أ غيصأايهأأأو,لر حأأأو أميكيفأذ,بيعأ, فم ذو أفياأأأأل أ ...4نقرغب, Furthermore, Ibn Taimiyyah explained that offer and demand are which influence the price. This is as explained by Ibn Taymiyyah as quoted by AA. Islahi: “Rising and falling prices are not always related to despotism (dzulm ) of a person . Once in a while, the reason is lack of production or decline in importing the goods required. So, the number of goods required rising while the offer declines, the price will rise automatically. On the other hand, if the ability to offer the goods increases and demand decreases, price will drop. Scarcity and abundance are not necessarily caused by one's actions. It could be related to the cause that is not injustice causality. Or occasionally, it can also be caused by injustice causality. Allah is the Almighty who created the will in the human heart.” 5
According to the Muslim classical scholars as mentioned above, they require an availability of goods and demand first then the price can be set in the market mechanism. So, producer can adapt its offer to the existing demand. Among the Muslim classical scholars mentioned above, I think that Imam Al- Ghazali’s thought in the market mechanism can be said as a concept of market mechanism which has dimension of social justice. Another interesting point that Imam al-Ghazali has is his unique personality. Although he is known as a Sufi, but he has a big attention to the importance of realizing the behavior of consumption and production in accordance with Islam teachings. In this case, this is different with perception of some people who describe Sufi as a person who does not need pleasures of the world. Instead, he has written a scientific work in economics. In his monumetal book, Ihya Ulumuddin, Imam al - Ghazali discussed at length in separated chapters about politeness in consuming in chapter al-adab al-aqli and in making a living in chapter adab al - Kasbi wa al ma'asyi. Even, Abdur Rohman in his research found that the scientific
4
h. 103
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II (al-Qahiroh, Dar al-Hadits, 2004)
5 A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyyah , penerjemah : Anshari Thayyib (Surabaya, PT.Bina Ilmu, 1997) h. 104
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1841
works of Imam al - Ghazali has revealed elements such as market demand and offer as well as price. 6 Based on the reasoning above, I intend to prepare a paper entitled Conceiving Social Justice-Based Market Mechanism in Islam (Analitical Studies on the Thought of Imam al - Ghazali). But, because of the discussion on market mechanism is so wide, so I limit the scope of the discussion into market mechanism in micro economics. B. Research problem The research problem in this research is, “How is the concept of social justice-based market mechanism in Islam? C. Research Objective The purpose of this study is to reveal the concept of social justicebased market mechanism according to Islam. D. Research Methodology 1. Type of research This research is a library-based research that makes the library as data resources.7 The research begins with the collection of data in the form of books discussing the ideas of Imam Ghazali market mechanism, especially Ihya ' Ulumiddin which is written by Imam Ghazali himself. The book is used as the primary data. Furthermore, I also examined Imam Ghazali. After primary and secondary data collected, I then started to analyze. 2. Research Methods and Approaches The method used in this study is a content analysis method. This method explains Imam Ghazali’s thought in Ihya' Ulumiddin about market mechanism from the data that had been collected and analyzed. Analysis using a critical approach that is coroboration (comparing two states) and colligation (interpreting a special circumstance associated with common conception). 8 3. Steps in Research There are three steps I use in this research: orientation, exploration and analysis. In orientation step, I collected data in general and made observations to obtain general information in object of research as much as possible. In the exploration step, I focused more on the collected data to get more focused and specific data. Especially for Ihya Ulumiddin, exploration is 6 Abdur Rohman, Ekonomi Al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya Ulum al-Din, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2010) h. 137-143 7 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008) h. 2 8 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, h. 75
1842 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future done by searching the indexed theme. The themes taken in Ihya ' Ulumiddin are Adab al - akli (a chapter about politeness in eating food), al - kasb adabi wa al - ma'asyi (a chapter about politeness in working and making a living), al - dunya Dzamm (a chapter about digraced world) and al - sabr wa al - syuki (a chapter about patience and thankfulness), and al - faqir wa al - Zuhd. In the analysis step, the collected data are identified and classified and then analyzed using corroborative approach and colligation approach. E. Imam Al – Ghazali’s Social Justice-Based Market Mechanism Imam al - Ghazali is a Muslim scholar who has high awareness in the importance to give understanding of Islam teachings to society. He appeared in arena of Islamic philosophy in his book, Ihya ' Ulum al – Din, which brings a new spirit to guard and to revive religious studies in the midst of development Neo-Platonism philosophy 9 among Muslims. A religious pattern of Imam al – Ghazali’s thought is a blend between philosophy and science of kalam (Islamic theology).10 Yet, he has his own method in his religious philosophy which, as mentioned above, is using an approach to God in a life of a Sufi. 11 Imam al - Ghazali's effort in guarding Islamic sciences (‘ulum aldin) is through making right all content of Prophet Muhammad’s teachings both which are obviously clear khabar (dhahir ), as we know in the Prophet Muhammad tradition (khabar/hadits/sunnah), or vague ( khafi). 12 This is in contrast to the assumption Neo-Platonism philosophers like Ibn Sina who feel anxious that the teachings of the Prophet which are doubtful treated as doubtless without any supporting argument that is demonstrative and dialectics, or the teachings of the Prophet contain absurd things and fable then move on to explain a truth of the religion using rational arguments. 13 Instead of following Neo-Platonism, Imam al - Ghazali actually has a strong commitment to Prophet Muhammad and all of his khabar. This, can be proved in his opinion about good behavior that should be applied and bad behavior that shouldn’t be applied and reasoning to do or not do only based on khithob al-syar’i. He stated:
9 Neoplatonism is falasafah with mystical tendencies ... Budy Munawar – Rakhman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid 3 (Jakarta, Mizan, 2006) h. 2185 10 Science of kalam is a science which deals with God and its variations. Budy Munawar – Rakhman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jilid 2 (Jakarta, Mizan, 2006) h. 998 11 Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta PT. Bulan Bintang, 1995) h. 33-34 12 Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, h. 163 13 Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, h. 137
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1843
14
شرعأ م أت لقأ هف هلأ كلقني, أ حلكمأيندأنهأيبهراأييفأخطهبأ
At this point, we know that Hujjat al - Islam title given on Imam al Ghazali is appropriate because he is a person who appreciates and respects the existence of religion either in relation to the religious teachings or to the bearer of religious teachings. This can be proven with his acknowledgment and his affirmation of syara (Islamic law) in each of his religious thoughts. That is why Imam al - Ghazali divides science into theology and nontheology. Theology is understood through studying the Prophet’s teachings while the non-theology is understood not from the Prophet’s but from a thinking process in mind. The non-theology is divided into praiseworthy, blameworthy and permissible.15 Apparently the division of the sciences by Imam al-Ghazali as mentioned above is Imam Ghazali’s strategy to realize his vision. Imam alGhazali’ vision is to keep authenticity and existence of Islam from rationalism’s wave in Muslims at that time. He, actually, did not refuse the use of ratio as long as it can bring goodness (maslahah) like medical science and industry. In this case, the position of the non-theology is instrumental. The importance of realizing his vision based on his religious understanding about destination of life which is to meet Allah in paradise. There is no way to do so but to understand Islam theology and then to implement it. Furthermore, Imam al - Ghazali also explained that to understand Islam theology and to implement it Muslims must be healthy. And, it can only be reached if Muslims consume good food. 16 His opinion is based on Holy Qur'an surah al - Mu’minun: 51: “O Messengers! Eat of good things and do good deeds; certainly I have knowledge of all your actions” At this point, Imam al - Ghazali tells us that economy has a close relation to religion. The economy is a tool to understand Islam theology and to implement it. So, all economical activities should be in accordance with Islam teachings. This opinion is based on the Qur'an surah al – Qasas:77: “Rather seek, by means of what Allah has given you, to attain the abode of the hereafter, while not neglecting your share in this world. Be good to others as Allah has been good to you, and do not seek mischief in the land, for Allah does not love the mischief mongers”. Besides that, Imam al – Ghazali also related his thought with one of Mu’ad bin Jabal statements:
14 Abi Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, (Libanon, Dar al-Kutub alIlmiyah, 2010) h. 75 15 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid I, h. 68-69 16 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 3
1844 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future وقال معاذ بن جبل رضي هللا عنه في وصيته إنه ال بد لك من نصيبك في الدد نيدا و وتندل إلد نصيبك من اآلخرة تحوج فابدت بنصيبك من اآلخرة و فخذه فإنك ستمر عل نصديبك مدن الددنيا .17فتنظمه Religiously, Imam al - Ghazali considered that market has a privileged position as a gift from Allah which can be used to obtain means of life. Conclusively, Imam al - Ghazali cited the following hadith:
وقييهلأحييل أ يأيلييياأوسييلمأ ألسييا أاا ييدأ يأت ييه أفميييفأنتههييهأنحييهبأانيياأ أ 18
بييرملأوجأ هيدوهأارفاييه, طيارغهتأايفأقيالأ نييفأ, رو هأ أ
Imam al - Ghazali also looked positively to activities in market. But, according to him, the activities in market should be carried out with no emotional levels, but with realistic calculations, as intended to not begging, ability to fulfill family’s needs, and for charity. His statement is supported by the following hadith:
ييره أ أرو هأ يير هيمأ حليير أدأ رغييبأ, نرييهراأفييا أفيةييهأتن ي أنيشييهرأ,يليييكمأ ه أ19حلدغث Islamic economic theory explained about market mechanism as a decision-making tool in production, consumption and distribution which is in accordance with Islamic values. One of the basics to decide is legality principle in doing activities in market. As explained above, in Imam al – Ghazali’s point of view, economic activity in market is a gift from Allah which is given to mankind to take pleasure in it. Imam al - Ghazali suggests that demand and offer in market is a gift from Allah which is given to mankind. In this case, Allah is the one who makes and moves human ability in making demand and offer in order to create affectionate mutual relationship to mankind. Imam al – Ghazali said that the offer and demand link comes from Allah’s power. This opinion is based on surah al – Anfal: 63: أأأأ أأأأأ أأأأ أأأ أأأأ أ أأأ
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 108 ِAbi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II , h. 81 19 ِAbi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 81 17 18
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1845
Hence, Imam al – Ghazali has a view that the foundation of market mechanism is mankind’s affection. Form of the affection in the market mechanism is aqad uttered between consumers and producers. This paradigm had been the foundation of Imam al - Ghazali in building theory in elements of market mechanism. Seemingly, the complexion of elements market mechanisms by Imam al - Ghazali is dogmatic because it comes from religion and rationality because it contains reasoning. Dogmatic elements of market mechanisms called by Imam al Ghazali as a pillar of buying and selling (transaction), consisting of the two people who do a transaction, object transaction and aqad transaction.20 Hence, the elements of market mechanism can be explained as follows: Figure 1 The elements forming the Market Mechanism Transaction Object Sharia S. al-Anfal : 63 Producer
Aqad
Consumer
According to Imam al - Ghazali the existence of market is taqdir or sunnatullah for human being as a social human being that can’t live alone and need to gather with other human being. So, people need to help each other in preparing the causes of food, clothing and educating children.21 Besides that, Imam al - Ghazali also explain the types of markets that can be realized in human life, namely production factor market and goods market.22 The market mechanism of micro economics by Imam al-Ghazali can be described as follows:
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 84 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III , h. 288 22 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III, h. 288 20 21
1846 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
Figure 2 The Market Mechanism in Micro economics by Imam al – Ghazali
Goods Market Demand Producer
Offer Sharia’s Aqad
Consumer
Offer
Demand Production Factor Market
Seemingly, the market mechanism in Imam al – Ghazali’s thought is a market mechanism based on offer and demand. But Imam al-Ghazali’s thought of demand and offer is different with the market mechanism in conventional economics. The basis of the market mechanism in economic conventional only based on ratio. The form of market mechanism in conventional economics is that the price causes demand and offer. In the conventional market mechanisms, a person has a high authority. Even, practically, government does not have the authority to regulate the market. The one who can regulate the market is an invisible hand. 23 Besides that, in the conventional economics, demand and offer are based on the value of utility (satisfaction) which encourages people to enjoy material uncontrollably. The view of speculation price and individualist attitude like this that can create anomaly in economy as can been seen at the time of Eid al-Fitr, or Eid al-Adha where we can find high prices of goods when demand increases. This condition is made without understanding that there is possibility of scarcity of goods at that time. The scarcity may occur as a true incident, a speculative incident, or an error incident. Imam Ghazali has described the reasoning of the market mechanism based on offer and demand.24 However, even though Imam al - Ghazali considers importance of market position in human life, but in his capacity as 23 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta ; PT. Rajagrafindo Perkasa, 2005). H. 32 24 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III, h. 290
~ 1847
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
a Sufi, he wanted the existing market mechanism to not encourage people to forget humans’ position as Allah’s creatures during their lifetime. Imam al - Ghazali warned very carefully, as follows:
...و ييهيمةمأيلييياأ ييرملألييعأ ييهلأ أعه,ي أأأفين بييا أهييالأ ,ليي أو ,نةييهرأدأ
ألسفهرأ,غرضأ ريأأأهمأونييبةمأانةهألعأ هلأ ,ييملأغ للياأ أعه,ي أ يريهمأ !أالاي ييهأقي ييههعأهرغي ييقأوالاي ييهأسي ييلطه أ ي ييهجأأأو,كي يييفأه ي ي أ يأت ي ييه أدأ فلي يينةمأ وهةلةمأنظهاهأ,ليبدمأواييل أ,ل بيهمألأ ي ألييعأنايارأ ,يدنيهأ ننظميةأ ه,غفلي أ وخني أ ةم ي ألأو,يياأيق ي أ ,نييهمهأو رتف ييةأيفمةييمأ ,هييدو أدأ ,ييدنيهأأأو,يياأف لييا أ ذ ,أ,بطلةأ هغشأأأو,اأ طلةأةلكا أوةل أ ,ههمأنغضه.25 Furthermore, Imam al - Ghazali also said the following:
...فةيهأهي أنغيغهلأ قليقأونيميهةمأ ,يوأنلبيا أيليةيهأأأوهيرهمأال أذ,ي أللياأ حلههي أال أ ,قيياتأو ,كنييااأو,كيينةمأننييا أدأنننييه أذ,ي أننفنييةمأواقيييامهمأ وانقلييبةمأوايياهمأفنييهها أوب ييلا أأأوس ييبقأال أيق يياةمأ ,ض ي يف أ ييدأن أل ييدر هأ همح أ غنغه تأ ه,دنيهأخيه تأفهسدا ...26أ As a scholar who upholds values of Islam, Imam al - Ghazali gave solutions so that people are not stuck with ilusion – delusion, so that the market mechanism needs to be grounded with knowledge and practices derived from Prophet Muhammad. He explained as follows:
...والمنييهأ ,نييهه أانةييهأفرق ي أو ييداأأأوه ي أ ,نييه,ك أاييهألييه أيلييياأرسييالأ يأ ح ييل أ يأيلي يياأوس ييلمأونحي ي ه اأأأوه يياأن أ أغ ييع أ ,ييدنيهأ ه,كليي ي أو أغقم ييعأ ,شييةا تأ ه,كلي ي ألأناييهأ ,ييدنيهأفي خيييأانةييهأقييدرأ ,ي مألأوناييهأ ,شييةا تأفيقمييعأ انةهأاهأخيرجأييفأههي أ ,شرعأو ,ق ألأو أغنبيعألي أغيةااأو أغيع ألي أغيةااأ لأ أغنبعأ ,دلأو أغع أل أغ أايفأ ,دنيهألأو أغطلبأل أغ أايفأ ,يدنيهأ ي أغ لييمأاقيييامألي أاييهأخلييقأايييفأ ,ييدنيهأودفظيياأيلي أ ييدأاقيييامهألأفي خيييأ ايفأ ,قاتأاهأغقاملأ اأ ,بد أيل أ ,بهماأوايفأ نكيفأاهأدفي أيييفأ ,ليياملأ Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III, h. 290 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III , h. 292
25 26
1848 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
بيد أنقبي أ, قليبأاييفأغيغ أ, أأأ يإأالذ أفيرلأ,كنااأليي, ربمأأأوايفأ, و حلرأو مييرأأأو ق ي أادهاييهأ, فكييرأهييالأ, يييلرأو,يل ي أ يأت ييه أ كنيياأيفنيياأو غيينغ أ ه ...27نقاى, ارعأو, شةا تأوار قبهأةهأ إأ أجيهوهأ دومأ, نيهس أ, Elements of demand and offer in market mechanism in Imam al – Ghazali’s thought can be explained as follows: 1. Demand In general, demand is the amount of goods or services that people want and able to be purchased. Even though Imam al - Ghazali did not mention explicitly the term of demand but he mentioned about aqad. The existence of aqad indicates that in his thought contains the concept of demand. Demand term that is used by Imam al - Ghazali is nafaqa – yunfiqu.28 In Islamic economic theory, there is a presumption that the aim of demand is to achieve maslahah (goodness). The goal of this aim is to remove satisfaction in consumption in conventional economics. The meaning of maslahah is all condition both material and non- material, which can improve status of human being. 29 Similarly, at the time of Imam Ghazali lived, there is an assumption that aim of consumption is only to satisfy. That is the way Imam al - Ghazali explained deeply about the blemish of the world. The world is blemish because the aim of many activities of human being is addressed not to Allah. That’s why the satisfaction consumption in the conventional economics must be eliminated because the meaning of satisfaction here is as a measurement of goods to satisfy the need of consumer using all of his/her fund.30 The aim like this can create a wasting attitude which is prohibited by Islam. In the context of micro economics, the aim of consumption by Imam al-Ghazali is a form of syukr (be grateful). The syukr is a form of consumption as an activity enjoying the gift of God, so that, when we can taste a gift from God we must be happy with it. Different from the meaning of satisfaction in conventional economics which based on happiness on material, Imam al - Ghazali explained about the meaning of syukr in a broader dimension. Imam al-Ghazali said that syukr contains an understanding about a pleasure of the material, understanding about a pleasure of material for human being, understanding about God who gives pleasure and a feeling of joy to God who gives the Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III , h. 29 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid I, h. 11 29 P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta ; PT Rajagrafindo, 2008) , h. 5 30 Sri Adiningsih, Ekonomi Mikro, (Yogyakarta, BPFE, 1999) h. 52 27 28
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1849
pleasure. 31 The determination a syukr as the aim of consumption is corresponding with micro economic which studies individual behavior. While maslahah (goodness) in Imam al – Ghazali’s persepective is a reasonable argument to regulate. 32 Thus, a syukr attitude in demand can be realized if consumers consume a number of goods with understanding about the benefit or pleasure of material, understanding about benefit or pleasure of material to consumers, understanding about the Creator of material and feelings of joy and gratitude to the Creator of the goods. A syukr’s function above can be described in an indifference curve 33 that illustrates the syukr attitude for the ability to consume two products that consumers need as the following: Figure 3 Indifference Curve with Syukr Attitude
Y
5
•D
Syukr curve occurs when consumers allocate income to consumption (IC) in a state to understand the benefits of the material, the material benefits for consumers, the Creator of matter and the feelings of joy and gratitude to the Creator of matter, not to the matter.
4
5
•A
4 3 2 1
•B
0
1 2 3
•C
•E
S (Syukr/Gratitude) X
According to Imam al - Ghazali , demand is determined by income that the consumers have. 34 So, a good use of income is for self consumption
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV, h. 104-105 Abi Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, h. 274 33 Indiferrence curve is a curve which describes alternative combination between two product that each product can give the same benefit . Christopher Pass &Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi kedua, Penerjemah : Tumpal Rummapea (Jakarta, PT. Erlangga ; 1997) h. 294 34 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV, h. 239 31 32
1850 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future and family, charitable 35 and saving 36. Hence, the consumer’s income can be described in equation function of consumer income as follows: I = Ic + Is + Ias Description: I = Income Ic = Income for consumption Is = Income for saving Ias = Income for charity Normatively, Imam al - Ghazali develops poor (Faqir)37 method and ascetic (zuhud) 38 method in the use of income for consumption and for saving. These methods are advanced methods that Imam al - Ghazali introduced to overcome the moral crisis and disorientation of life from Islam’s perspective. Through Faqir and ascetic method, humans are asked to stay away from a lost way of life which Imam al – Ghazali has described as a destructive illusion (delusion al - imperfect). Indicators of poor attitude are alienating the world from human while the ascetic attitude indicator is alienating people from the world.39 The measurement of the alienating is ability to organize wealth for life which is in accordance with values of Islam. Therefore it is, in a state of Faqir and ascetic, humans only need to meet the essential needs of life such as food and beverages, clothing, housing, marriage, wealth and splendor. 40 In this regard, Imam al - Ghazali has explained portion of income used for consumption in Islamic law perspective and rational. Among the arguments as the basis for Islamic law for consumption is the following hadith:
وقييدأقييهلأحييل أ يأيلييياأوسييلمأ أ أ ييقأ يييفأ معأال أدأنييد أ أه ييهعأغقيييمأ حي ييلباأأأوني ييابأغي ييا رملأيارتي يياأأأو يي ييةأغكني يياأأأفمي ييهأه مأفةي يياأ ني ييهبأ أرو هأ )41 عادملأايفأ دغثأيممه أ يفأيفه, Because of this, Imam al - Ghazali argued that the consumption of food is not only halal (legal) food that can straighten up the body. The Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV, h. 239 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid I , h. 11 37 Faqir is the one who does not a wealth, Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV h. 239 38 Zuhud is a precious maqam of the each of maqam from the people who go through hereafter way. Zuhud also a term about some one who turn around from something that is not like to something better . Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 271 39 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 238 40 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 288 41 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 262 35 36
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1851
share of food that can be consumed adjusted relatively to the length and width of the human body. Calculation of the need for human body is determined by amount of food, type of food and the time to eat it. While the calculation of needs for human body is by eating in times of need or simply can diminish hunger and fear of illness.42 Then the portion of income that is applied to saving by Imam al - Ghazali was among one day, forty days to one year. 43 Finally, the portion of income for charity is determined by amount of the income or the use of it for food and saving. According to Imam al – Ghazali, demand is developed through Faqir and ascetic attitude which is attached to two kinds of human. First, the demand comes from people who feel rich (al - mustaghni), that is, the one who doesn’t worried about his wealth or wealth less. Second, the demand comes from Faqir which consists five sections. (1) The person who’s ascetic (al - zahid ), that is the one who gets wealth he does not like it and feels tortured with his wealth so that he stays away from evil and bustle of the wealth. (2) People who are al - rodhiyan those are people who do not feel happy in wealth too much when they get wealth and do not hate it. (3) Demand from a class of people who are al - qani'a, those are the ones who feel happy when they are wealthy and not when they are wealthyless. However, al-Qani’a do not look for excessive wealth. But, if they are given a good way, they like to take it. (4), demand comes from greedy people (al harish), al-harish are the ones who leave the way to get wealth because they cannot get it, but if they have a capacity to get wealth, they like to be wealthy. Even if they find a way to be wealthy, they’ll like to pass it through anyway. (5) Demand comes from people who are repressed (al mudhtharru). They are the people who spend their wealth to fulfill their basic needs such hunger because they don’t have bread and the ones who are cold because they do not have any clothes.44 2. Offer Conventional economic theory suggests that offer is the amount of a product sold by a company. The method used in determining the number of offer is made through mathematical analysis. Mathematical analysis focused offers include production volumes, production costs and revenue. Determination of production is carried out by conventional economics alone is positive so that there are no provision to what can and cannot be produced in a religious approach. Production cost and income approaches were analyzed using mathematical economics.
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 288 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 288 44 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 239 42 43
1852 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future What has been described about the production activity in conventional economics also presents in Islam economics. It's just the nature of freedom that exists in the production of conventional economics that is rejected in Islam economics because the determination of economic production in Islam is bound with Islamic values both in relation to the purpose of producing and the goods that are produced. The purpose of producing in Islam economics is to achieve maslahah (goodness), while the goods that are produced are halal (legal) and toyyib (good). It can be concluded that the production according to Islam economics that there are two inter-related factors, namely between the values and behavior of the production, they are complementary to shape attitudes in production in accordance with Islamic teachings. Analysis of the volume and cost of production in Islam economics also uses a mathematical approach. According to Abdurrahman’s research, production process according to Imam al - Ghazali is the maximum deployment of human resources in order to manage/process raw materials into goods that are beneficial to human life. 45This conclusion is based on the Imam al – Ghazali’s thought: Ecah industry requires labor to create iron/steel, in which the iron/steel can be used for farming and weaving to prepare his tools.46 Production in Imam al – Ghazali’s point of view is not only a process of human rational activity like what is understood in conventional economics but it is basically a gift from God as well as a form of human freedom in producing work. In this case, it is understood that the nature of the production due to Allah who has created the universe in a form that can be used by human beings and who has given human beings with reasoning so that they can take advantage of the resources. In addition, Imam al Ghazali also argued that a production can be done, if the manufacturer has resources in the form of capital and labor.47 Production can also be done with a long-term production. Characters of the long -term production is the production of each variable can be changed in any production, and changes are substitutive. For production, manufacturers must have resources or funding sources. In detail, Imam al Ghazali did not explain the technical production as performed by modern economists, but in some statement can be considered principle of efficient use of production costs. 48 So that, to keep possession where it should be given, it is miserly. And to give possession, when it should be kept, it is mubadzir. And to be between miserly and mubadzir is praiseworthy. Hence, the law of offer 45 Abdur Rohman, Ekonomi al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya Ulum al-Din, h. 103 46 Abdurrahman, Ekonomi al-Ghazali, h. 103 47 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV , h. 148 48 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III, h. 3
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1853
according to Imam al – Ghazali are, (1) offer is as collective obligatory (fard al-kifayah). (2). Offer is based on the principle of cost efficiency of production with no interest and no other illegal levies and to set acceptable price for consumer. 3. Prices and Profits in Market According to Imam al - Ghazali In general, the price is understood as the value of goods. 49 General understanding of the price as the value of goods has been understood by Imam al - Ghazali. 50 The price as a reflection of goods was set by Imam al Ghazali in order to obtain profits and of sales. Imam al - Ghazali does not provide a quantitative restriction, but he warned that the manufacturers should not take excessive profit.51 Besides the profit -oriented, pricing that was initiated by Imam al Ghazali is oriented on achieving high sales volume. Therefore, Imam al Ghazali agreed with taking a low profit margin and low-price product. The benefit of this pricing is it affects sales growth and market share expansion, which in turn can increase profits. In explaining this pricing, Imam al Ghazali quotes an atsar as follows:
رمحيفأ يفأيافأرب أ يأينياأ أايهأسيببأغنيهر ألأقيهلأ أنيد أأأ, بدأ,قي أ اييهأرممتأر ييهأق ي أأأو أهلييبأاييخأ يييا أفي خرتأ ي يياأأأو أ ييةأ ننييي ألأ فأنهق أفمهأر حأال أيقلةهأ أ هعأل أيقهلأ يدرهمأفير حأفيةيهأ,وغقهلأ أالناأ هعأن .52فه,ياااأن,فهأور حأايفأنفقناأيليةهأ,ن In order to achieve the goal to make a profit and increase sales volume, Imam al - Ghazali is on the side of flexible pricing policy. In general, flexible prices are pricing to different customers at different prices.53 But, the flexible price according to Imam al- Ghazali is not only to a different consumer, but on the type of product and at different times. The permissibility of determining flexible price in this market supported by al hadith quoted by Imam al - Ghazali as follows:
49 Christhoper Pass&Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, seri kedua (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1988) h. 499 50 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid IV, h. 115 51 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III , h. 335 52 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II , h.104 53 Cannon dkk, Pemasaran Dasar, Pendekatan Manajerial Global, penerjemah : Diana Angelica dan Ria Cahyani (Jakarta, Penerbit Salemba IV, 2009) h. 185
1854 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
في أ خييرأ أفكهمنييهأ,اييفأهلييبأه هاييهأفبهييياأ ني رأغاايياأفكهنيياأتيييد أ ياأأأودأ أ54نفنريأايفأ دأغثأ يفأان امأ نندأب يف, ينفقأرقب أ أ يفأارموغاأدأ Regarding the provision of low prices, delay debt payments and the provision of facilities supported by atsar which means the following:
ييدغا أو نييه أفييياأ أاييراأ ه نييهع أو ي أ, ييمميفأوسييه رأ, دأ سيينيفه أ... نقيدأأأولي أ, ن خريأأأواراأ ه نههل أدأهليبأهياماأ, ب ضأأأواراأ ه اةهلأو,
.55ياأوعما أيليا, أاندوبأال,ذ
The model of flexible price according to Imam al - Ghazali is wider than the model of flexible price in general that is targeted only to consumers.56 The flexible pricing according to Imam al-Ghazali provided to consumers has specific classifications. The classifications are based on human qualities was defined as Imam al - Ghazali on the level of al mustaghni (the people rich) and al - Faqir (the people poor). The method of pricing according to Imam al - Ghazali uses cost production approach. Imam al - Ghazali actually refused pricing that is determined by variables outside production cost such as high demand. Although there is high demand, he still holds on to the pricing based on the cost of production which has been decided. Pricing with cost production approach can influence an inverted logic with conventional economics logic in general that says the price can determine demand and offer. The method of cost production shows that the offer can determine price. So either low or high prices can be understood by consumer.57 Imam al - Ghazali gave illustration through quoting atsar as follows:
غروىأنناأله أينيدأغيانبأ ييفأيبييدأ لي أ نلفي أ ألمثيه أ أبيربأقيمي ألي أ لي أ ييداأوخلييفأ يييفأ, انةيهأنر مه ي أأأوبيربألي أ لي أقيمنةيهأاه نييه أأأفمييرأال أ ييدله أأأفرييه أنييير أوهلييبأ ل ي أ ر مه ي أف ييرضأيلييياأايييفأ ل ي أ, نخييياأدأ ه ننيأفهسن نينةهأوربييةهأأأفهغيع ههأفمضي أهيهأوهي أيلي أغدغياأأأفهسينقبلاأ ألير أ أ كمأ غعغةألأفقيهلأ ر مه ي أأأفقيهلأ أ,غانبأف رفأ لناأأأفقهلأ Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II , h. 95 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 10 56 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 95 57 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 103 54 55
~ 1855
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
أتنييهوملأنلمييرأايييفأاييه ننيأفييهرهعأ ييإأترمهييهأأأفقييهلأ أهيييهأتنييهوملأدأ لييدنهأ مخنييمه أوننييهأنرتضيييةهأأأفقييهلأ,يياأغييانبأ أ نيييرفأفييا أ ,نيييحأدأ ,ييدغيفأخييريأ ايييفأ ,ييدنيهأالييهأفيةييهأأأكأرمهأال أ ,ييدله أورمأيلييياأا ييه وأمرهييمأأأوخهحييمأ يييفأ نخي يياأدأذ ,ي أوقهتل يياأأأوق ييهلأ أنا ييهأ س يين ييةأأأنا ييهأ تقي ييةأ يأأأت يير حأام ي أ ,مميفأوتع أ ,نييحأ,لمنيلمنيأأأفقيهلأو يأايهأنخييههأال أوهياأرضأهيهألأقيهلأ فةدأربيةأ,اأالهأتربههأ,نفن ...58 Another atsar that supports pricing method based on cost production also explained by Imam al - Ghazali as follows: وروي عن محمد بن المنكدر تنه كان له شقق بعضها بخمسة وبعضها بعشدرة و فبدا غالمدده فددي غيبتدده شددقة مددن الخمسدديام بعشددرة و فلمددا عددرا لددب د ل ل د ذلددك ا عرابددي المشتري طول النهار حت وجده و فقال له :إن الغالم قد غلط فباعك ما ساوي خمسة بعشرة و فقال :دا ذدذا قدد رضديل و فقدال :وإن رضديل فإندا ال نرضد لدك إال مدا نرضداه ن سدنا و فاختر إحدى ثالث خصال :إمدا تن أخخدذ شدقة مدن العشدر ام بددراذمك و وإمدا تن ندر عليدك خمسددة و وإمددا تن أددر شددقتنا وأخخددذ راذمددك و فقددال :تع نددي خمسددة و فددر عليدده خمسددة وانصرا ا عرابي سخل و قول :من ذذا الشيخ ? فقيل له :ذذا محمدد بدن المنكددر و فقدال : ال إله إال هللا و ذذا الذي نستسقي به في البوا ي إذا قح نا.59 According to the atsar above, Imam al - Ghazali himself gave a comment:
فةيي أال نييه أدأن أ أغيير حأيلي أ ,شييراأال أنيييفهأنوأو ييدأيلي أاييهأهييرتأ يياأ ,هماأدأام أذ ,أ نهعأدأذ ,أ كه أأأوايفأقنعأ ر حأقلي ألمرتأا هادتياأ و سنفهمأايفأتكررههأر هألمري أأأو اأتظةرأ ,ربل .60أ
4. Relation among Demand, Offer and Price In conventional economics, demand, offer and price have interlocking relation and have market structure like perfectly competitive market, monopoly market, monopolistic competitive market and oligopoly market. The market structures above are bound with the law of offer and demand. The law of demand states that at high prices, there will be low demand and at low price, there will be high demand. 61 The law of offer states that at Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II , h. 103 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 104 60 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid II, h. 104 61 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Bima Grafika……) h. 52 58 59
1856 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future high price, there will be high offer, otherwise at low price, there will be low offer.62 From the statement above of the law of demand and offer can be concluded that the price can determine demand and offer. The pricing like that is speculative and magnitude of its value based on the desire of producers rather than on actual production capability and the actual consumer ability. In Islamic economics, market structure in conventional economics can be accepted as a market structure in an Islam economy.63 The law of demand and the offer are still bound with the law of offer and demand logic in market mechanism of conventional economics. 64 In this case, the element of price is still a factor that can determine demand and offer. But, in the perspective of Islam economics, offer and demand behavior should be based on Islamic values such as voluntary and justice.65 The relation of demand, offer and price also present in the market mechanism on Imam al – Ghazali’s thought, but the relation among offer, demand and price is different with the relation in market mechanism in the conventional economics where price can determine offer and demand. This is because Imam al - Ghazali agreed on the pricing method based on cost of production and flexibility of price as described above. Seemingly, this pricing has rational considerations which based on the Islamic values. So it can be said price theory Imam al – Ghazali is a dogmatic - rational. Hence, the market mechanism by Imam al - Ghazali can be called as an integral market mechanism participatory which has a social justice dimension. In that market mechanism, there is intact and active interaction between individuals with the values of Islam. Imam al - Ghazali wants activity in the market departs from the faith of consumers and producers in Allah. Every producers and consumers participate in making the demand and offer as a form of worshiping which is based on nash. As the protector of Asy’ariyyah and Sufi, Imam al - Ghazali was very capable in explaining knowledge of market mechanisms in al-Qur'an and al - Hadith without diminishing it or having a little doubt on it. He was really Hujjat al - Islam as most people liked to tell me. F. CONCLUSION The thought of Imam al - Ghazali can be concluded as social justicebased market mechanism which can be realized in social life and the indicators are: 1. Demand and offer are based on Islamic values. 2. Pricing is based on the production costs and desired profit. Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, h. 61 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta, IIT ; 2002) h. 132 64 P3EI, Ekonomi Islam ( Jakarta, Rajawali Press, 2008) h. 318 65 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami , h. 132 62 63
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1857
3. There are flexible pricings that can be applied based on the classification of products or consumers. 4. Offer and demand determine price and not the price that determines the offer and demand. Allah knows bes REFFERENCES Adiningsih, Sri, Ekonomi Mikro, Yogyakarta, BPFE, 1999 Al-Ghazali, Abi Hamid, Ihya Ulum al-Din, volume I, II, III, IV alQahiroh , Dar al-Hadits, 2004 Al-Ghazali, Abi Hamid, Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Libanon, Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2010 Cannon dkk. Pemasaran Dasar, Pendekatan Manajerial Global , Translator Diana Angelica and Ria Cahyani, Jakarta PT. Salemba IV, 2009 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, PT. Rajagrafindo Perkasa, 2005 Amalia, Euis, Sejarah pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga masa kontemporer, Jakarta, Granada Press, 2007 Islahi, AA, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyyah, Translator Anshari Thayyib, Surabaya, PT.Bina Ilmu, 1997 Karim Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta, IIT, 2001 Munawar, Budi-Rakhman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, second edition, Jakarta, Mizan, 2006 Madjid, Nurcholish, (ed) Khazanah Intelektual Islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1995 Pass, Christopher & Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Second Edition, Translator Tumpal Rumapea, Jakarta, PT. Erlangga, 1997 P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta, PT. Rajawali Press, 2008 Rahman , Abdurrohman, Ekonomi al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya Ulum al-Din , Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2010 Sugono, Dendy, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008 Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Ekonomi Mikro, Bima Grafika Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan , Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2008
1858 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ISLAM, PLURALISM AND RELIGIOUS FREEDOM: Perspective of Religious Elites at Malang, East Java Dr. Umi Sumbulah, MAg.
Email:
[email protected] Abstract: This study aims to understand the meaning of pluralism and religious freedom elites perspective at Malang. First, the meaning of religious pluralism for religious elites can be categorized in three clusters, namely sociological pluralism, inclusive pluralism and parallelis pluralism. They understand with a very positive attitude and open, involved in many scientific forums, interfaith dialogue and activities, as a cultural terrains to create harmony and peace to the strong social integration. Harmony is not mean without conflict and dynamics, as they relate to aspects of religious freedom, namely: the fulfillment of the guarantee of freedom of religion in the form of respect and appreciation among religious believers on the one hand, and the violation of religious freedom, in the form of harassment and defamation against a particular religion, the emergence of sects or flow deemed to deviate from mainstream belief in a particular religion, and the establishment of houses of worship that are not procedurally on the other side. Second, the meaning of religious freedom is very varied, namely: as one of the basic human rights are guaranteed and there is legislation in the scriptures they believe; religious freedom is not free in the sense of changing religion, but requires the commitment of each community of religion against religion that believes; freedom of religion as one of the options given by God to be accountable to Him in the hereafter. Third, religious freedom violations occurred because they did not understand the nature of religion, selfishness and harassing attitude of other religions, as well as the ideological construct of preaching as a mission to make everyone else follow their religion, the ideology triumphalistic. Fourth, violations of religious freedom has positive and negative implications for the creation of religious harmony. Building efforts to strengthen the spirit of interfaith cooperation continues to increase, so does not growing prejudice among the religious communities. Keywords: pluralism, religious freedom, violation, religious harmony
~ 1859 ~
1860 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future A. Preface Freedom of religion in Indonesia has a number of constitutional guarantees, including the 1945 Constitution, particularly Article 28E of the amendment and the ratification of the Government on the International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) through Law no. 12/2005. In addition, the government also launched the National Action Plan on Human Rights (RANHAM) through Presidential Decree No. 129/1998, which ordered not only the instrument of ratification of international human rights, education and the dissemination of human rights, but also prepare for the harmonization of national legislation, to conform to the spirit and soul of human rights instruments.1 Although there is a constitutional guarantee that was born after the New Order, it seems that the new regulation at the level of moral imperative and not a binding legal product and can be applied in practice. This is reinforced by the fact that a number of violations of the right to freedom of religion-in its various forms- which shows the escalation that tend to increase from year to year. The Wahid Institute (WI) and the SETARA Institute (SI) report, that occurred during 2008, 107 incidents of violations of religious freedom in Indonesia. Violation is related to religious thought were 72 incidents (67%), place of worship some 15 incidents (14%), and religious activities were 12 incidents (11%).2 CRCS report in 2009 which focused on the context of compliance and violations of religious freedom, also showed an increasing escalation from year to year.3 Elsam report published by daily Kompas,4 also stated that in 2011 the majority of religious freedom violations committed by authorities, while the 2012 offense was dominated by intolerant groups. In the period on January to June 2013, the SETARA Institute noted 122 violations of religious freedom containing 160 actions. This event occurred in West Java with 61 cases, 18 cases in East Java, 10 cases in Jakarta, and others spread in 16 provinces. of the 160 forms of violations of religious freedom is, there are 70 state action involving state officials as an actor, in the form of 58 active actions (by commission), and 12 actions omission (by omission). Included in the active state actions are statements of public officials whose provocative and invites violence (condoning). For offenses involving the state as an actor, the legal framework is held accountable for human rights law, which is binding on 1Budhy Munawar Rachman (ed.) Membela Kebebasan Beragama, Book 2 (Jakarta:LSAF-Paramadina, 2010), xv. 2Ibid., xvii. 3Suhadi Cholil dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2009 (Yogyakarta: PPS CRCS-Universitas Gajahmada, 2009). 4Sandro Gatra,” Kebebasan Beragama Semakin Memburuk” dalam Harian Kompas, 03 June 2012.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1861
the state as a consequence of the ratification of the international covenants and conventions of human rights.5 Rachman et al report, said that violations of religious freedom caused by three things: the existence of the Act No.1/PNPS/1965, existence Bakorpakem agencies, and the confusion in the national legal system.6 The Act No.1/PNPS/1965 is the main legal basis for the emergence of a number of laws and other regulations in the field of religion. The law gives full authority to the states to determine what is called the principal teachings of religion, or specify a distorted interpretation does not deviate from the principal teachings of religion, and the investigation of alleged streams diverge. Authority of the second and third-Bakor PAKEM implemented since 1960 and the authority delegated prosecutor supreme.7 The government generally respected religious freedom for six officially recognized religions, but not for groups that are outside the six religions, or the groups that exist in the six official religions, but have an understanding of which is considered by local or national leaders deviant or abusive religion.8 Violations of religious freedom as in the statement WI, SI and civil society organizations concerned with religious freedom also occurred at Malang. In addition there is a positive relationship between religious involvement is manifested in the interfaith community actively in dialogue and cooperation, but the number of cases of violations of religious freedom in the region are also still common, thereby disrupting the inter-religious relations. Among these events are: first, the emergence of cases of blasphemy VCD by Indonesian Students Service Agency (LPMI) at hotel of Asida Batu on December 17-21, 2006;9second, inter-religious that was triggered by offending Muslims against harassment done by Rev.Ali Markus on March 19th, 2007 at the Christian Church of East Java (GKJW) Bumiaji, Batu. Third, the events "Khutbah Hostilities" worship at the Church followed the Christian Church at Malang, Sisir Village, Batu, which sparked Muslim anger.10 Fourth, demonstrations by Muslim community 5http://www.setara-institute.org/id/content/kondisi-kebebasan-beragama-danberkeyakinan-mid-2013, accessed August 12th, 2013. 6Rachman (ed.) Membela Kebebasan Beragama, xvii. 7Uli Parulian (ed.), Menggugat Bakor PAKEM: Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia (Jakarta: IRLC, 2008), 68. 8http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/news/keyreports_irf-2012-id.html, accessed 12th August, 2013. 9M. Zainuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis Islam Kristen di Indonesia (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 104. 10Umi Sumbulah & Nurjanah, Pluralisme Agama:Lokalitas Makna Kerukunan Umat Beragama (Malang: UIN Maliki Press, 2012), 4.
1862 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future organizations towards the establishment of houses of worship "Wisma Bhakti Luhur" which will be developed into a charitable foundation. Fifth, the case of Jehovah's Witnesses Christian denominations, streams have confidence that Jesus is not God,11 and religion anti trinity.12 The rejection of this flow comes from Christians and Muslims.13 Sixth, case of the establishment of multiculturalism school with the motto unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika) in 2007, Senior High School of Selamat Pagi Indonesia (SMU-SPI), because it is considered as a base Christianization activities.14 Cases of violations of religious freedom, it can be mapped to the realm of religious activity, the domain of the establishment of houses of worship, and the realm of religious disagreement. B. Islamic Perspective on Pluralism and Religious Freedom Besides having an exclusive doctrine, Islam also has an inclusivepluralist doctrine, which appreciate and acknowledge the truth of other religions. The Qur'an gives an appreciation that society consists of diverse communities which have an individual life, so they should be able to tolerate each other. Appreciation of pluralism is illustrated in the Qur'an, 13: 7, 14: 4; 16: 36: and 35: 24. Thus, God values diversity because it is part of the sunnatullah. Khaled Abou el-Fadl cites the Qur'an, 10:99, 11:118-119, 5; 49, and 16:25, to strengthen the consideration of God's appreciation of the diversity of religions. Based on these verses, el-Fadl asserts that God gave humans free will and ordered them to recognize the beauty of tolerance. Therefore, there is no right for a group to oppress and dominate others, as opposed to the principle of the creation of human beings with all the diversity of ideological orientation.15 Based on the Qur'an, 2:62 and 5:48, Fazlur Rahman stated that Muslims, Jews, Christians, and Shabi'in have the same opportunity to achieve God's heaven. Thus, Muslims are not the only competitors who compete in reaching the truth. 16 Inclusive-pluralist theology has exemplified the Prophet as a political and religious leaders in Medina. He guarantees protection and equal rights for non-Muslims as long as they are not hostile to Islam. Socio-theological commitment is encapsulated in the Constitution of Medina, that compiled by the Prophet with all elements of society in Medina. Appreciation of the 11Fr.
FX.Agis Triatmo, Interview, Malang, February 24th, 2012. accessed, September 7th, 2012. 13Ibid. 14Agung Purnomo, Interview, Malang, July 31, 2012. See SMU Selamat Pagi Indonesia (SPI): Konsep Indonesia Mini, http://www.hd.co.id/berita-lain/sekolah-spikonsep-indonesia-mini, accessed, September 8th, 2012. 15Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremists (New York: Harpercollins, 2005), 208. 16Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 16. 12http.id.wikipedia.org/wiki/Saksi-Saksi-Yehuwa,
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1863
existence of other religions, also carried by generations of the Prophet's companions. Some of the success of political expansion, not always followed by success propagation quantitatively because in Islam there is the principle of respect for religious beliefs, ie there is no compulsion to embrace Islam. The entry of Islam into Sicily in Italy, Spain up to India, are among the evidence that Islam upholds the principle of religious freedom. According to Amin Abdullah, the discourse on religious freedom involves three entities, namely: human beings have dignity (humanity; human dignity) that can not be reduced for any reason; human as citizens (nation states) are constrained by administrative and territorial boundaries, and human as followers of religions.17 Freedom of religion is a principle that has been accepted by almost all religious communities as a universal norm, but the mission of religious traditions, such as Islam, Christianity and Judaism, there are still some groups that have ideological triumphalistic. Triumphalistic ideology is an understanding that requires a religion beat and subdue other religions, and the view that freedom of religion does not exist.18 Freedom of religion and respect for other people's religion or belief constitute any religious teachings. Thus defends the freedom and respect other people's religion or belief, is an integral part of the value and the quality of one's religion. Therefore, the real freedom will be created only by means of letting other people have the same freedom.19 In the context of Islam, there is the principle that a spirit for the enforcement of fundamental human rights, which are summarized in the concept of al-dharuriya al-khamsa. Five basic human rights may include rights and freedom of religion (hidfz al-din), the right to survive and sustain life (hifdz al-hayat), ownership of the property (hifdz al-mal), the right to freedom of thought and opinion (hifdz al-'aql), and the right of descent through the institution of marriage and prevent adultery (hifdz al-nasl). In the context of enforcement of basic human rights, especially regarding freedom of religion (hifdz al-din), based on some verses of the Qur'an. Freedom encompasses the freedom of the external and internal freedom. External freedom is the freedom for a person to enter or not enter into a particular religion. While internal freedom, to be meaningful the two sides, namely: first, the freedom for people to choose certain sects and religious groups are concerned, secondly, the freedom to commit to the teachings of their religion. If someone has decided to choose a particular 17Amin Abdullah, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Dalam Perspektif Kemanusiaan Universal, Agama-Agama dan Keindonesiaan, Paper of Expert Conference on Shariah and Human Rights, Pascasarjana UMM and Oslo Coalition Norway, June 13-15th, 2010. 18Ulil Abshar Abdalla, “Kebebasan Pilih-pilih”, http://islamlib.com/id/ artikel/kebebasan -pilih-pilih, accessed, Februari 18th, 2012. 19Mohammad Imam Aziz, in Budhy Munawar Rachman (ed.), Membela Kebebasan Beragama,1259.
1864 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future religion, then he should have a commitment to maintain and implement the teachings of their religion as well as possible.20 Beside guarantee of freedom of religion, Islam also upholds tolerance, even the Prophet Muhammad did not teach and bless his followers attacking and insulting the beliefs of other religions.21 Islam explicitly gives complete freedom to mankind in matters of religion and religiosity. The Qur'an also adheres to the principles of the reality of religious plurality (Qur'an,2:62); peaceful coexistence and tolerance (Qur'an,109:1-6); orders compete in goodness (Qur'an,5:48); orders are proactive in establishing relations and cooperation with other faith communities (Qur'an,60:8); ban arguing with the people of the book (ahl al-kitab) except the good (Qur'an,29:46); protect houses of worship of all religions (Qur'an,22:40); freedom to believe or not believe (Qur'an,18:29); rights are treated well and interaction with fellow human beings (Qur'an,49:11-13); orders upholding equality and justice (Qur'an,5:8), and presence of Islam as a mercy to all the worlds (Qur'an,21:107).22 C. Meaning of Pluralism in Religious Elites Perspective The meaning pluralism according to the religious elites at Malang is very varied, namely plurality, harmony, tolerance, recognize the existence of other religions, understanding the fundamental teachings of other religions, all religions are equal, and all religions have the same goal. If viewed from the typology of religious pluralism can be stated that the meaning of elite perspectives religions can be categorized on sociological pluralism, inclusivist pluralism, and pluralism paralelis. First, the category of sociological pluralism, that pluralism is a social reality that is undeniable. This was stated Hashim Sirajuddin, Nur Yasin, Pariyanto, I Ketut Sidia, Achmad Katam, and Bratayana Ongko Wijaya.23 God has created man different, and has become a kind of reality God's law. Thus, it is the privilege of God to explain about the next life, why do people differ from each other ways. According to Rachman,24 plurality is a sociological fact that is indisputable. Therefore, pluralism is necessary to regulate the plurality. It is because, it is undeniable that contain the seeds of discord and a plurality of hostility. Hence also in the context of plurality is 20M.Quraish Shihab, “Wawasan al-Qur’an tentang Kebebasan Beragama”, in Komarudin Hidayat & Ahmad Gaus (ed,), Passing Over (Jakarta: Gramedia-Paramadina, 1998), 187-221. 21Hamdan, Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Balitbang Depag dan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003),182. 22Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Mujamma’ al- Malik Fahd li Thiba’at alMushaf, ttp., 1971). 23Data summarized from interviews with religious elites in December 2012. 24Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), 6.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1865
necessary tolerance, openness, and equality. Pluralism that is what allows for harmony and peace in a pluralistic society, not conflict and hostility. Pluralism recognizes plurality, and therefore need to be managed and developed.25 In Qur'an 11:118 and 5:48, God created man explained that not only consists of one group, race, color, and religion, but they vary in order to learn from each other, get along, get to know, and help the one and other. Thus, unity and similarity in religion and belief, it is not willed by God. Religious pluralism is understood as a plurality recognized by Islam. This is because it will be unearthed various joint commitment to fight for the values that go beyond the interests of the group and religion. Values and interests that include the struggle for justice, humanity, poverty alleviation, education, social, economic, political, and legal justice, which must be felt by all people, regardless of class, race, ethnicity, and religion. Cooperation and religious harmony implemented based on the interests of humanity. This can be seen in the terrain culture in the field of social harmony and humanity, such as cooperation in education, health, environment, and security, which is done by the religious community at Malang. Most of Islamic elite refuse the religious pluralism at the level of theology, based on the texts understood that truth and salvation is the monopoly of Islam, as the Qur'an 3:85 and 2:120. Understanding the verse, Taha26 said that the emergence of religious pluralism of thought motivated the rise of liberalism in the socio-political, which marks the modern era. For Taha, religious pluralism in the Islamic world is a new discourse has not root-normative strong ideological or theological. The idea of religious pluralism in the Islamic world is a modern Western penetration implications that arise during the second world war, when the youth of Islam have a lot of education in the universities of the West. According to Taha, Islam as a religion is believed to be the most correct, as in the Qur'an, 3:19. As part of the Muslim community, every Muslim has a duty to believe the doctrine. However, this superior feeling and attitude will be a conflict and hostility with other faith communities, if indicated arrogant and exclusive to the community with a pluralistic religious background. However, in this case a harmony with the needs that can not be avoided in the middle of a difference.27 To that end, building tolerance necessary to create religious harmony. Tolerance and harmony is the true set of conscience and initiative of all those involved in it. 25Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perspektif Kaum Muda Muhammadiyah:Suatu Tinjauan Sosiologi Pengetahuan, Doctoral Thesis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008), 44. 26Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 18. 27http://garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umat-beragama-diindonesia, accessed, Maret 18th, 2012.
1866 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Second, inclusive pluralism, specifically, there is recognition of the existence of other religions, as well as view of Abdul Mukhid, Lutfi Mar'i Talib, Rev. Micha L. Tobing, Rev. Citro Wasono, Fr. Agis, Yulianti, and I Ketut Sidia.28 In the religious life of all religious communities must recognize the existence of other religions. According to Ghazali,29 the reality of the differences shari'ah indicate that religion is not the same. Every religion has its own particularity context, which is different from one another, so that not all religions may be symmetrical, congruent and identical. Religious pluralism requires that every religious community, in addition to his own religious believes, should also give recognition to other religions actively. The existence of other religions are recognized as the existence of religion is believed by the concerned, and therefore every religion has the same right to life. Even in Indonesia, the major religions have gained protection law, through legislation and government regulations. In the context of social and national life, every religious community should recognize that these differences are often found covering almost all aspects of life. Therefore, it is not enough simply to maintain harmony by understanding that diversity that exists around us is factual and realistic, but must seek how to order it to be a potential difference to create harmony and peace. Thus, understanding the pluralism must involve themselves in a pluralist attitude anyway, the empathetic attitude, honest and fair to put diversity and difference in place. Because it takes mutual respect for, understand and acknowledge the existence of other people, as respect and acknowledge the existence of self. Openness adherents of one religion against another religion is very important. If a person or group of people has a fanatical outlook and attitude of truth claims, then it will be a tough obstacle in the business of giving and looked pluralism in a more active, positive and optimistic. When interreligious encounter often occurs, it will appear a new paradigm in religious thought. By this means all, religious community are no longer expected to be negative, apathy and prejudice against other religions. Even build communication and dialogue withother religious communities, can bring a positive attitude to the truth recognition of other religions, which in turn can be drivers of mutual understanding, respect and agree in disagreement. Therefore, we need to understand the fundamental beliefs of other religions. Understanding of the essence of the teachings of other religions to be very relevant and meaningful, to build religious harmony which refers to the teachings of the nature of humanity, love, brotherhood, and respect for fundamental human rights. 28Data summarized from interviews with religious elites in December 2012 and January 2013. 29Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Depok: KataKita, 2009), 67.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1867
In the Hadith, there are many signals about the need for Muslims to establish positive relationships with other people, namely: first, the command to do good and respect the rights of neighbors, without distinction of religion, race, ethnicity and skin color, that it is one parameters of belief in Allah and the Last Day, secondly, the Prophet is an advocate group dhimmis, i.e. non-Muslim minorities are protected under the rule of Islam. In fact, he stated, that the person who hurt dhimmi group, is to harm the Prophet.30 Teachings such as this, is a real signals that Islam is a religion that upholds the values and dignity of humanity, regardless of gender, race, ethnicity, class and religion. Thus, Muslims are required to understand and assess other faiths by their standards, and provide opportunities for them to articulate their faith freely. In this context, Alwi Shihab stated that religious pluralism is an attitude that every religious believer is required to admit the existence and rights of others, and engage in efforts to understand the differences and similarities, to create harmony in diversity.31 Third, pluralism paralelis, as stated Monk Kanti and Fr Agis Triatmo.32 For the Buddhist and Catholic elite, religion teaches kindness, which is one goal of all religions, only among the religions have different roads and ritual. It was not to be denied or deplorable because someone did a total homage to what he believed. Differences in the way and manner God is a rich language that can not be understood and captured its meaning by human languages. Therefore, no need to question why the Muslims, Christians, Hindus, Buddhists and others look different in the way to reach God. Differences in outward ritual that can only be captured by the naked eye, while the nature of the ritual is a tribute to what is considered sacred and glorious. All forms of human expression is just a symbol of religious spirituality in dialogue with God. Differences of each religion are instrumental, that behind the differences contained the same basic message, namely the divinity and humanity, which allows each religion to perform real encounter.33 Absolute God is the creator of man, because it is inside every human being is created, likeness and image of God. That's the basis of why humans have beliefs, because belief which unites man with the Absolute, God. In the Islamic concept, in man breathed the spirit of God. This means that humans inherit the attributes of God is reflected in the good names (asma al-husna). 30Budhy
Munawar Rachman, Argumen Islam, 92. Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), 340-341. 32Data summarized from interviews with religious elites in December 2012 and January 2013. 33Komaruddin Hidayat, “Isa al-Masih Sang Penebar Kasih”, in Komaruddin Hidayat and Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), 337. 31Alwi
1868 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Hence, there is a command in the hadith of the prophet to mankind that such moral character of God. The concept of the Absolute was crucial in all human activities in worship, behave, ethical, and in the fight of his life. The essence of the doctrine is to eliminate the exclusive nature of the Muslim community. Means to understand these Muslims are no longer expected to be fanatical, self-righteous and judge other religions are wrong. Quoting the Qur'an, 2:62 and 5:48, Muhammad Asad states that for all religious holy law, God has prepared the different divine law and an open road. Asad said that literally, the word means syir'ah way into water, used the Qur'an to show that the legal system is needed for the safety of the community and spiritual. The word minhaj meaning the open road, which is understood as a way of life. One of the most important themes of the doctrine of Islam is a historical continuity with regard to the various forms and phases apocalyptic Divine. Continuity is also on the essence of all religions are identical. In other words, all religions proclaim the same faith.34 Isa J. Boullata, also stated that the spirit of the Qur'an, 5:48 suggests that pluralism invited each group to compete in reaching the truth (fastabiq al-khayrat). The word “khayrat” written in the plural, indicating that in this world there are a lot of good, including the goodness or the truth of religion, so that each group should try to be fair and honorable to get the goodness and truth.35 According to John Hick,36 leaders of religious pluralism, in the principle of religious pluralism states that other religions are equally true path towards the same truth.In other words, other religions are paths equally valid, according to the perspective of each believer, to reach the same truth. Other religions speak differently, but it is the truths are equally valid, or any religion is an important part of expressing a truth. Madjid37 said that as religious views, basically Islam is inclusive and commentaries stretching toward an increasingly pluralist. Perennial philosophy of Schuon, has a goal to stretch a pluralist view, emphasizing the understanding that every religion is an expression of belief in the same God. Like the wheel, wheel center is God, and the radius of the wheel that is the way of diverse religions. Also divide the perennial philosophy of religion at the level of esoteric and exoteric. A religion different from other religions is the exoteric level, not at the level that he has the acidity esoteric. Therefore, there is One God many ways as stated Madjid is much 34Ibid.,
168. J. Boullata, “Fa-stabiqu al-Khayrat: A Quranic Principle of Interfaith”, in Yvonne Haddad & Wadi Z. Haddad (ed.), Christian-Muslim Encounters (Gainesville:University of Florida Press, 1995), 43-53. 36John H. Hick, Problem of Religious Pluralism (London: Mcmillan Press, 1988). See also Hick, God and the Universe of Faiths (Oxford: One World Publication, 1993). 37Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan (Bandung: Mizan, 1999), xix. See also Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995). 35Issa
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1869
inspired by the idea of Hick, means that pluralism is the rule of God that never changes, so it may not be denied its existence by anyone. According to Ayoub,38 that the Qur’anic theology of religious pluralism is based on the principle of the universality, and hence unity, of Truth. For Schuon,39 human cognitive awareness puts God at the highest level, in which there is the point of intersection of religious revelation, whereas at lower levels, religions are different from each other. In connection with this metaphysical reality, in terms of epistemology can be said that the differences between religions are seen in a wide split that difference narrowed and united at the highest level.40 Respond to this theory, Raharjo and Madjid as cited Arifin,41 stating that in the context of religion, pluralism refers to the theory that that all religions are in their perspective-which is essentially the path to righteousness and goodness. The statement that all religions are good and true, also need to be given additional information 'for its adherents'. It is based on the fact that every religious believer would have a strong belief that their religion is the best and right. With totally against his religious beliefs, religious community can be fully committed to the teachings of his religion. Therefore, in all religions, there is an exclusive doctrine that truth and salvation in their respective religions. However, the doctrine does not prevent them to give each other a recognition that there is also truth in other religions.42 D. Religious Freedom in Perspective of Religious Elites 1. Meaning of Religious Freedom Freedom of religion is one important aspect of Human Rights, which is a concept of political ethics modem with the idea of appreciation and respect for basic human and humanity. This idea implies the existence of a moral claims about how human beings should treat each other with good, fair, full of appreciation and respect. The moral demands can actually be regarded as the essence and the core teachings of all religions. That's because, all religions teach the importance of appreciation and respect for human and humanity, without distinction and discrimination. The moral imperative is important to protect a person or group that is weak or weakened (al-mustad'afin) of the tyrannical acts and abuse that is generally done by those who are strong, strong feeling or those who are in power. 38Mahmoud M. Ayoub, “Religious Pluralism and the Challenges of Inclusivism, Exclusivism and Globalism: an Islamic Perspective”, in TH. Sumartana et al (ed.), The Commitment of Faiths:Identity, Plurality and Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 150. 39Fritjof Schuon, Mencari Titik Temu Agam-agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), x. 40Ibid., xi. 41Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer (Malang: UMM Press, 2009), 167. 42Ibid.,166.
1870 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Therefore, the essential meaning of the concept of human rights is respect for the human person without exception and without discrimination on any ground and for any reason, as well as the recognition of human dignity and humanity. The concept of placing human rights as subjects, not objects, and considers man as a creature that is valued and respected regardless of race, color, sex, gender, ethnicity, language, or religion.43 As dignified beings, human beings have fundamental rights that must be protected, such as the right to life, freedom of opinion, the right of assembly, freedom of religion and belief. Teaches human rights principles of equality and human freedom so that there should be no discrimination, exploitation and violence, restrictions and curbs on fundamental human freedoms, including the right to freedom of religion. This can be seen in the implementation of religious freedom in a pluralistic and heterogeneous society. The implementation of religious freedom also looks at the experience and views of the religious elite about their attitudes toward religious conversion. Monk Kanti views that religious conversion as a right of every person. For him, freedom of religion-related inner experience as a Buddhist spirituality and family background are heterogeneous. Freedom that religious conversion is not violated. For him, apostasy is not a person who converts from Islam to another religion, but turned from good to bad, any religion.44 Thus, freedom of religion means that religion should not be forced to, but through awareness. Because at its core, religion is the clothes, the most important is the content, which is a good person as the primary goal of all religions.45 Rev. Tobing, elite Christianity, holds that the conversion is one of the basic human rights that must be respected in religion, whether from Christian to Muslim or Christian or Muslim to another.46 For Tobing, freedom of religion is an expression of appreciation and respect for other religions and therefore conversion is also one of the most essential rights, which also must be respected.47 This view is based on three things, namely: Act of 1945 which expressly provides for the guarantee of freedom of religion that believed, the Book of Joshua that says: "if you want to worship God please, if you do not want too no problem", and Human Rights, that freedom of religion is a right that should not be imposed and be contested by anyone.48 Pariyanto, the Hinduism elite, also said that the conversion is the right of every person, but must be accompanied by a strong 43Siti Musdah Mulia. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama, http://kebebasan beragama. blogspot. com/2007/10/hak-asasi-manusia-dankebebasan.html, accessed, January 28th, 2013. 44Monk Kanti Daro Mahatera, Interview, Malang, December 18th, 2012. 45Ibid. 46Rev. Micha N. L. Tobing, Interview, Malang, December 19th, 2012. 47Ibid. 48Ibid.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1871
commitment and based on the choice of inner conscience, not on compulsion or follow others.49 For him, the meaning of religious freedom is the right of every person to be respected. This view was reinforced Wahyudi, Hinduism teacher at SMU-SPI, which interpret as respect for religious freedom and not impose his religion to others.50 Similar views were expressed Fr. Agis, the Catholic elite, that religious conversion is a fundamental right of all people must be respected, but the conversion should be based on commitment and sincerity.51 Religious freedom for her departure from the belief that every human being expects power, God, than himself. Everyone is free to choose and believe the truth. Freedom of religion is a thing which God is absolute. Religion is an alternative path traversed to reach the ultimate goal, namely happiness with God.52 Agis view based on the belief that every human being has the same purpose in life, and must respect the existing religions, as in the formulation of the documents of Vatican Council II in 1962-1965. Documents produced by the council requires all Catholics to respect all beliefs that exist in this world, both among Christians-Catholic and Protestant-as well as the nonChristian.53 In view of Yasin, Muslim elite, that Islam gives freedom to its followers to choose according to his own religion. According to him, the meaning of freedom of religion is that Islam does not prohibit someone to embrace religion, gives you the freedom to choose religion whose adherents believed, as found in the Qur'an 109:6, 18:29, and 2:126. In Islam, religious conversion issues related to religious freedom. In the Qur'an there are several verses that give signals about these things, which are mentioned in the Qur'an 2:148 and 256, 10:99, 18:29, 42:15, and 109:6. There are no verses in the Qur'an or hadith that inflame hatred, hostility, and all forms of negative behavior that threatens the peaceful quality of life. But a misnomer, because it is still just emerging violence in the name of religion.54 Therefore we need the right formula for building a peaceful life, which became the basis for the relationship between religious community. God created human beings differently, so logically if He gave his protection to the followers of different religions and the places where they worship, to glorify the authority they believe (Qur'an 22: 40). Hence, in another verse Allah forbids Muslims revile other religions (Qur'an 6:108).55 Religious faith is the most personal, exclusive, and hidden in the human heart. Therefore, there is no power other than the power of God that can 49Pariyanto,
Interview, Malang, Desember 19th, 2012. Interview, Malang, October 5th, 2012. 51Fr. FX. Agis Triatmo, Interview, Malang, January 4th, 2013. 52Ibid. 53Ibid. 54Nur Yasin, Interview, Malang, December 18th, 2012. 55Ibid. 50Triwahyudi,
1872 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future force anyone to follow his teachings (Qur'an 88:22 and 10:99). Is God's power to decide whether the beliefs of each person's right or wrong in the accountability in the Hereafter (Qur'an 22:17).56 In the external context, freedom of religion has implications for the demand for Muslim tolerance towards religions other woods. If people outside of Islam is allowed to be Muslims, then the Muslims are also allowed to move to another religion. In this context, it can not be denied that even in the Quran does not explicitly mentioned penalty for Muslims who convert to another religion, but in the traditions of the prophet are found, which are listed in Saheeh Bukhari.57 Hadith about suicide law for a Muslim apostate, needs to be analyzed that underlie the emergence of context, namely: first, politically, Rasulullah need to strengthen theological Muslims in order political establishment, second, it should be viewed in context and position as to what the prophet when he said these traditions, whether as a religious leader and the state, a judge, a part of society in general, or in his capacity as an ordinary human being. This is important because it has implications for the presence or absence of necessity to follow and practice it. On this context, discuss Islam and Human Rights dialogue should be positioned. With this framework, as a charter that departs from the tradition of culture and context specific experience, the process of dialogue between human rights and religious traditions and spiritual values, dignity and glory of the essence of humanity needs to be done. According to Mahmoud Ayoub, the tradition of Islam, Hinduism, Buddhism, Confucianism, and spiritiual traditions that exist have moral values to support the realization of the essence of human rights in accordance with the character of their own community.58 Religious conversion is also an empirical fact of the diversity that must be addressed in a wise and proportionate. Even pejorative, often people who do religious conversion, referred to as the person in denial creed. The emergence of social change was followed by the increase of the intelligentsia, simply play a role in the system and a rigid doctrine, but religion is not the case. Religion is a unique entity and its uniqueness was obtained with the independence of spirit and commitment in religion, though not necessarily anti groups. Iqbal criticism against fatalistic religiosity also shows that only a pseudo religious Muslims struggling to maintain tradition. Religious power is not always white, as well as historical events in the form of human tragedy as "infidelity" religion and
56Ibid. 57Imam al-Bukhari,”Shahih al-Bukhari”, in Mawsu’ah al-Kutub al-Tis’ah (CD-ROM), version 2.0.(Makkah: Global Islamic Software, 1999). 58Fajar Riza Ul Haq and Endang Tirtana (ed.), Islam HAM dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama (Jakarta: Ma’arif Institute, 2009), 12-14.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1873
politics. The most phenomenal example in this context is the Crusades that occurred in 11-13 century.59 Although Islam is the religion of the mission (convert seeker), conversion is universally hated, not only because of theological arguments, but more important is the socio-psychological reasons. Apostasy is viewed as a process that makes the apostate experiencing psychological confusion. This is because the apostate will experience a "reversal" habits that have been formed by the construction of a particular religion tradition, but had to change due to follow the construction of a new religion that was followed. Therefore, logical that in the history of Islam, there is no one who does tyrannical Caliph of Islam to other faiths. In the context of social life, religion is a conscious human choice and not of necessity. Therefore, propaganda is no longer aiming to force someone into a particular religion, but the mission has social significance in real life. According to Rev.Tobing, freedom of religion is closely related to religious pluralism, which has earned the distinction of belief meaning of each religion, internally and among religious believers, namely: first, a fellow Christian sects accept, even in carrying out their church services also swapped the pulpit; second, accept differences outside streams in Christianity; third, accept the differences of other religions, because all religions teach goodness and bring humanitarian mission.60 Tolerance can be either on acceptance and respect in Christian sects and other religions. Christians are required to receive religious beliefs respectively, so that the Christian elite teach kindness to his followers. Manifestations may be helping each other, helping others who suffered, and fundraising for the common good. Appreciate other religions for Tobing very important because he believes that truth and salvation also exist in other religions. In Christianity also familiar with the concept of using the term propaganda mission and not always for the purpose of attracting followers of other faiths to Christianity. Similar views expressed Fr Agis, who interpret propaganda in the sense to invite others to follow the Catholic religion, but to proclaim love and kindness.61 Mission concept in Hinduism, for Pariyanto would violate the concept of religious freedom when done for the purpose of persuading other faiths embrace religion. Thus, the principle is the concept that must be held tat wam ashi (I was you, you are me).62 In Buddhism, preaching not intended to gain sympathy with the purpose of attracting followers of other religions to enter into Buddhism, but to help each other when they face the problems 59Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat Menepis Tudingan Kesalahpahaman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 100. 60Rev. Micha N. L. Tobing, Interview, Malang, December 19th, 2012. 61Fr. Agis Triatmo, Interview, Malang, January 4th, 2013. 62Pariyanto, Interview, Malang, December 19th, 2012.
Meluruskan
1874 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future of life. This is consistent with the core teachings of Buddhism is the command to do good, do bad and ban clears the mind.63 In the Islamic concept, preaching is not intended to force others to follow Islam, but a means of calling others to goodness, by adhering to the principles of preaching and argue in a good way (Qur'an 16:125). Basic philosophy for human rights in the Islamic teachings contained in the main, that is tawhid, because it contained the notion that there is only one Creator of the universe and the universe and its contents come from the Almighty. In the context of human rights, the doctrine of monotheism contain the idea of equality and brotherhood of all mankind (Qur'an 4:1 and 49:13). Therefore men are brothers and have the same degree, then people should not be enslaved by another man. Man in Islam is a free man (Qur'an 33:72), in free will and act (Qur'an 76:2-3), free from pressure and coercion, exploitation, and possession of another man (Qur'an 90:13), and free in religion (Qur'an 2:256 and 10:99) of the basic teachings of equality, fraternity, and human freedom, there arose another human rights. Man was given the right to live and obtain safety (Qur'an 4:29), the right family (Qur'an 4:1 and 30:21), the right to education (Qur'an 2:129 and 3:164), the right to obtain employment, wages and wealth (Qur'an 2:188 and 4:29), the right to mobility (Qur'an 30:20 and 67:15), the right to think, speaking, different opinions, and association (Qur'an 3:159, and 42:38), and the right to social security (Qur'an 51:19 and 90:14-16), the right to self determine (Qur'an 13:11),the right to justice before the law and protection from inhuman treatment in the resolution of social order (Qur'an 4:58 and 5:8), and the right to free of exploitation and all forms of discrimination (Qur'an 49:13).64 The essence of freedom of religion or belief is included in the eight major components, namely: first, internal freedom, that everyone has the freedom of thought, conscience and religion. This right includes freedom to adopt or establish religion or belief of his choice, including to change their religion or belief. Second, external freedom, that everyone has the freedom, individually or collectively, in private and public, to manifest his religion or beliefe. Third, there is no compulsion, no individual may be subject to coercion which would reduce the freedom to have a religion or belief of his choice. Fourth, non-discriminatory, that the state has the obligation to respect and guarantee the freedom of religion all its citizens, without discrimination on any basis. Fifth, the rights of parents and guardians, that the state has an obligation to respect the liberty of parents and legal guardians (if any) to ensure that the religious and moral education for their 63Monk
Kanti Daro Mahathera, Interview, Malang, December 18th, 2012. Santoso, “Islam dan Hak Asasi Manusia”, in Fajar Riza Ul Haq and Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi Untuk Pendidikan Agama (Jakarta: Ma’arif Institute, 2009), 50-51. 64Fattah
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1875
children in accordance with their own convictions. Sixth, freedom of organization and legal status, that a vital aspect of freedom of religion or belief for the religious community or association is to organize as a community. Therefore the religious community has the freedom of religion or belief includes the right of self-reliance in the organizational setting. Seventh, the permissible restrictions on freedom of the external, ie, the freedom to practice one's religion or belief can only be restricted by law, solely for the sake of safety and to protect public order, health or morals, and protect the rights and freedoms others. Eighth, non-derogability, that the state does not have the right to reduce religious freedom in conditions and for any reason.65 2. The Violation of Religious Freedom Freedom of religion in the form of realizing, implementing, or manifesting one's religion or beliefs, such as preaching or proselytizing actions and establish places of worship listed in the freedom of action (freedom to act). This form of freedom may be limited, or suspended execution can be arranged. But the postponement of the implementation, arrangement or restriction it should be done only under the law. Justifiable reason for doing it is solely the protection of five things, namely: public safet, public orders, public helth, public morals, and the protection of rights and freedom of others. Thus the main objective the implementation delays, arrangement or restriction it is to counter the threat to human safety or their property.66 Violations of religious freedom, according to Fr. Agis is a threat, pressure and adverse action other religious groups.67 There are numerous cases of violations of religious freedom, such as conflict and violence in the name of religion. Among these are: first, the case of the establishment of places of worship are considered to be procedural, so that fuel the conflict. The demonstration ended after the city government to stop the construction of a place of worship until the time is not limited.68 According to Fr. Agis, violations of religious freedom may manifest in the form of the establishment of houses of worship are conducted without regard to the rules. This is because life together necessitates certain rules that limit freedom, because there is no freedom without limitations.69 Respect for the houses of worship of other religions (Qur'an 22:40), requires that every religious community to maintain and respect the 65Siti Musdah Mulia. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama, http://kebebasan beragama. blogspot.com/2007/10/hak-asasi-manusia-dankebebasan.html, accessed, January 28th, 2013. 66Ibid. 67Fr. Agis Triatmo, Interview, Malang, January 4th, 2013. 68Nur Yasin, Interview, Malang, December 18th, 2012. 69Fr. Agis Triatmo, Interview, Malang, January 4th, 2013.
1876 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future existence of places of worship of other religions. According to Shihab, God does not desire the destruction of houses of worship. Hence the scholars stipulate that Muslims have a duty to maintain it. Not only maintain the mosques, but also keeping the houses of worship of others such as churches and synagogues. Though there are scholars who provide strict limitations, further Shihab that we can say that because Islam is a religion that gives freedom of religion, then it becomes the obligation of Muslims to participate actively in maintaining and preserving the freedom and peace of other people in carrying out their religion. Thus, Muslims should not bother them, as Muslims demand that they not be disturbed by anyone.70 According to al-Tabataba'i, the verse also shows that war in Islam is one religion which is the provision of nature. But even so, the war is to be taken in order to maintain the existence of religious communities from the threat of enemies who want to extinguish the light of God.71 Qutb also confirmed that no one can save the houses of worship except God's power to refuse the malignancy.72 Second, the emergence of the Christian sect considered heretical by mainstream Christian groups, namely Witnesses Yehuva, because doing missiology to those who already have confidence. According to Fr. Agis,Christian elites refuse the Yehuva witness to enter or return to Christianity, because it is considered deviant sects of the Christian faith in general.73 Yehuva witnesses have faith that Jesus is not God, but a prophet like Prophet Muhammad, refuse the Bible and Jesus, do not respect the head of state, not saluting the flag, the flag of the country of Indonesia.74 Rev.Tobing confirmed to the Reverend BKSG (Ecclesiastical Cooperation Agency) and the congregation, so be careful in coexistence with Muslims, people of other religions and other sects and streams.75 The Act PNPS No. 1 of 1965 is one of the laws that govern criminal sanctions for any person who is considered a desecration of religion. The existence of these laws can lead to complex problems for six religious faiths other than the majority. They are exposed to criminal sanctions because it has different teachings that are considered to deviate from the six major religions. Sujono Kusmanto arrest on December 18, 2009 because he believed the teachings of the Sabda Kusuma and criminal conviction of Lia Eden for 2.6 years as it is considered blasphemy on June 2009, are among the examples. The Act also provides space for the government to 70Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 9 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),72. al-‘Allamah al-Sayyid Muhammad Husein. Al-Mizan fi Tafsir alQur’an (Beirut: Muassasah al-A’lamiy, 1999), Part 14, 387. 72Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, http://www.shamela.ws. Ishdar Thani version 2.11, volume 5, 199. 73Fr. Agis Triatmo, Interview, Malang, January 4th, 2013. 74Ibid. 75Rev. Micha N. L. Tobing, Interview, Malang, December 19th, 2012. 71Al-Thabathaba’i,
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1877
distinguish one religion to the other. This example can be seen how the religious penalize countries that are considered disfiguring particular religion, but by law everyone has the same position. Actually the state has no right to assert a doctrine deviant or not deviant, perverted or misguided and so on. In this context, the state can only mention that a doctrine or a stream or group different from other teachings, or the teachings espoused by the majority group. By declaring a deviant teachings then it means that the state is not a neutral position. This law is also considered to have violated the right to religious freedom is constitutionally guaranteed by Article 29 UUD 1945 and other laws. Third, religious persecution in Asida hotel, which sparked Muslim anger. According to Rev.Tobing, training events conducted prayers on behalf of unscrupulous followers of the Christian religion by putting the Qur’an on the floor as well as insulting the holy book as a violation of religious freedom, as has been harassing certain religious scriptures. Strengthen the argument Nur Yasin, Rev.Tobing also of the view that efforts are made to foster harmony among religious believers is to coordinate with the government, and forum of religious harmony (FKUB). This event is blasphemy, combating Islam and insulting the Qur'an. The non-Muslim actors who wear Islamic costumes and even then eventually sentenced to five years in prison, as provided by law.76 Prohibition of degrading or insulting other religions, Islam has set in in the Qur’an, 6:108. According to Qutb, insulting gods of the polytheists it has no use for the Muslims, because it would invite abuse of the polytheists against God. This verse is the most important moral teachings for believers, who are committed to their religion. Prohibition of cursing the gods and trust the other party is a religious guidance, in order to maintain the sanctity of religions, creating a sense of security, and harmonious relations between religious communities. Humans are very easily provoked emotions when religion and belief alluded to. According to Tabataba'i, the verse that shows the general prohibition against insulting words to another religious sanctity. In addition, it is also a religious ethic that must be preserved in order to maintain the sanctity of religion. If the harassing believers worshiped the idolaters, they will reciprocate by insulting God who became god of the believers.77 In view of the Islamic elite, conflict is considered as a moment to establish a more harmonious relationship among religious believers. For him, conflict can foster ties assessed increasingly close inter-religious, but also can foster prejudice among each others.78 However, creating interreligious harmony can be achieved through dialogue and intensive 76Ibid. 77Sayyid 78Nur
Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, volume 7, 325. Yasin, Interview, Malang, December 18th, 2012.
1878 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future assessment efforts through FKUB. According to Rev.Tobing, the conflict would not have implications for interfaith harmony. The ripples of conflict in the name of religion it will not interfere with the harmony in life. Interfaith harmony can still be created through social activities.79 For Fr Agis, the conflict has no effect on cooperation with other people. Catholics ever together with the Muslims to do humanitarian work, such as greening and health screenings.80 Monk Kanti considers that the conflict will be a force when each can forgive and avoid feelings of revenge.81 In the context of Islam, the teachings of religious freedom has implications for internal and external. Internally, freedom of religion has implications for the demand for each religious believers to commit themselves fully to the entire religion. When a person has to choose one religion, then he is no longer free to choose the teachings that will be accepted or rejected. People who choose to accept Islam but only partially Islam, meaning not allowed. Meaning that the rejection of a particular section by someone who chose Islam, led to the rejection of the entire package in the Islamic religion.82 Thus, people who have become Muslim means being ready to accept and implement the teachings of Islam, without bargaining to do most and left most of the others. In Qur'anic perspective, God created human beings with dignity (Qur'an 17:70). Islamic doctrine of human rights has been actualized in the era of the Prophet Muhammad and the era of Khulafa al-Rashidun, as seen in some of the Sunnah and tradition’s companions. According to Syu'bah Asa,83 there are two declarations relating to human rights that the Prophet said, namely: first, the Medina Charter which is the political action in preparing the people of Madina, second, the Prophet's speech at the Farewell Pilgrimage which commands Muslims to uphold human rights, the rights of life, economic rights, and self-esteem.84 In addition, there are a number of hadith of the Prophet on this subject, namely: first, the Prophet advice to a woman who consulted about enforcing the law fairly regardless of social class, economic and other,85 second, the approval of the Prophet to ijtihad’s companions regarding strategic places to attack enemy in the battle of Badr; third, the Prophet agreement with the Christians of Najran, 79Rev.
Micha N. L. Tobing, Interview, Malang, December 19th, 2012. Agis Triatmo, Interview, Malang, January 4th, 2013. 81Monk Kanti Daro Mahathera, Interview, Malang, December 18th, 2012. 82Quraish Shihab, “Wawasan al-Qur’an tentang Kebebasan Beragama” in Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus AF. (ed.) Passing Over: Melintas Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 189-190. 83Syu’bah Asa, “Hak-hak Kemanusiaan dalam Perspektif Islam dan HAM”, in Fajar Riza Ul Haq and Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, 16. 84 Hadith narrated by Bukhari, Muslim, Ibn Majah, and Abu Dawud. 85Imam al-Bukhari, ”Shahih al-Bukhari”, in Mawsu’ah al-Kutub al-Tis’ah (CD-ROM), version 2.0. (Makkah: Global Islamic Software, 1999). 80Fr.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1879
that they get protection; fourth, Caliph Abu Bakr message when sending the first expedition to Sham to be fair and keep humanity in war ethics; fifth, Umar Ibn Khattab claims against Amr Ibn Ash is deprivation of personal freedom. Islam teaches that all humans are born in a state of purity, without anyone should intervene and co-opted.86 From the study of Islamic teachings about human rights and its actualization in the era of the Prophet and the Caliphs, it can be concluded that the basic principles relating to the human rights, such as equality, fraternity, liberty, freedom, and respect for others, confirmed since the early stages of Islam.87 Therefore, the right to dignity, right to liberty, and the right to choice are a human rights guaranteed by the existence of Islam. For Ali Gharisah, Islam puts human rights above the lawful position, namely hurumat (forbidden things to break), as tought by Rasulullah.88 The concept of no compulsion in (into) the religion (Islam) as in the Qur'an 2: 156, has become a respected religious commitments are honored by the Muslim rulers of classical and medieval era. Expression of history's most tolerant example is saving act committed by the Ottoman rulers of the Jewish community of Spain Savardik experiencing racial annihilation war (ethnic cleansing war) of Spain after the Christian reconquest of Spain (the Reconquista). Had the Ottoman rulers did not give political asylum to them, maybe the Jews Savardik extinct from this world.89 However phenomenon and implementation of religious freedom can not be separated by the necessity to tolerate, both the internal and inter-religious. Diversity requires Muslims are tolerant because God has provided a way of life choices (Qur'an 5:48), does not impose the will of others (Qur'an 10:99 and 18:6), respect differences and provide freedom (Qur'an 109:6). According to Brian J. Grim, as cited Fauzi and Mujani,90 declared religious freedom is violated when there were three limitations to it: first, the government regulations that restrict religious freedom.The emergence of some rules that show government interference in participating regulate one's worship and government regulations that explicitly restrict the religious freedom of a person running. Restrictions on the amount of five religions recognized religions in the New Order (Orde Baru) era with Presidential Instruction No.14/1967 is an example of this limitation 86Hadith
narrated by al-Bukhari and Muslim. Santoso, “Islam dan Hak Asasi Manusia”, in Fajar Riza Ul Haq and Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, 51-53. 88Riza Ul Haq and Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, xi-xii. 89Thoha Hamim, NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim (Surabaya: Diantama, 2003), 2009. 90Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani (ed.), Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah (Jakarta: in Cooperation between Freedom Institute and Nalar, 2009). 87Fattah
1880 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future dimension. Similarly, the emergence of religious beliefs such as a ban Ahmadiyya and Shi'a, which by Assyaukani called oficialisasi restrictions in the form of religion.91 Second, granting privileges by the government to certain religions groups. This dimension is often not caught because they are natural in the context of a country. Nevertheless, the government's actions have implications for restrictions on certain religious groups due to increased freedom of other religious groups. Third, social regulation that limits the freedom of religious groups. If certain religious groups oppose or support the government policies that have an impact on the birth of certain rules subordinating other religious groups, then in the context of religious freedom has actually happened. E. Conclusion Meaning of pluralism and religious freedom for religious elite at Malang can be concluded as follows: first, the meaning of religious pluralism for religious elites can be categorized in three clusters, namely sociological pluralism, inclusive pluralism and parallelis pluralism. Second, the meaning of religious freedom for religious elite is very varied, i.e., as one of the basic human rights guaranteed scriptural texts and laws in force in Indonesia, religious freedom requires the commitment of each religious community against religious teachings believed, and is one of the Godgiven choice to be accounted for in the afterlife. Third, cases of violations of religious freedom which occurs can be categorized in religious activities, the establishment of houses of worship that are not procedural, and abuse or desecration of religion, in the name of ideology triumphalistic. Fourth, violations of religious freedom has positive implications as a starting point to build in order to establish and strengthen the spirit of interfaith cooperation, and the negative implications that fosters prejudice attitudes among religious communities. REFERENCES Abdullah, Amin. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Dalam Perspektif Kemanusiaan Universal, Agama-Agama dan Keindonesiaan, Paper of Expert Conference on Shariah and Human Rights, in Cooperation between Pascasarjana UMM & Oslo Coalition Norway, June 13-15th, 2010. Al-Bukhari, al-Imam.”Shahih al-Bukhari”, dalam Mawsu’ah al-Kutub alTis’ah (CD-ROM), versi 2.0. Makkah: Global Islamic Software, 1999. 91Lutfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 200.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1881
Al-Thabathaba’i, al-‘Allamah al-Sayyid Muhammad Husein. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami, 1999. Arifin,Syamsul. Studi Agama:Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM Press, 2009. Asad, Muhammad. The Message of the Quran. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980. Asa, Syu’bah, “Hak-hak Kemanusiaan dalam Perspektif Islam dan HAM”, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi Untuk Pendidikan Agama. Jakarta: Ma’arif Institute, 2009. Assyaukanie, Lutfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute, 2011. Ayoub, Mahmoud M. “Religious Pluralism and the Challenges of Inclusivism, Exclusivism and Globalism: an Islamic Perspective”, in TH. Sumartana et al (ed.), The Commitment of Faiths: Identity, Plurality and Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perspektif Kaum Muda Muhammadiyah: Suatu Tinjauan Sosiologi Pengetahuan,Disertasi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008. Boullata, Issa J. “Fa-stabiqu al-Khayrat: A Quranic Principle of Interfaith”, in Yvonne Haddad & Wadi Z. Haddad (ed.), Christian-Muslim Encounters. Gainesville: University of Florida Press, 1995. Cholil, Suhadi dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2009.Yogyakarta: PPS CRCS-Universitas Gajahmada, 2010. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf, 1971. El-Fadl, Khaled Abou, The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremists. New York: Harpercollins, 2005. Fauzi, Ihsan Ali dan Saiful Mujani (ed.), Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah. Jakarta: Freedom Institute and Nalar, 2009. Gatra,Sandro.”Kebebasan Beragama Makin Memburuk”, in Kompas, 03 Juni 2013. Ghazali, Abdul Moqsith.Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Depok: KataKita, 2009. Hamdan, Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Balitbang Depag dan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003.
1882 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Hamim,Thoha. NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim. Surabaya: Diantama, 2003. Hick, John H. Problem of Religious Pluralism. London: Mcmillan Press, 1988 ---------God and the Universe of Faiths. Oxford: One World Publication, 1993. Hidayat,Komaruddin, “Isa al-Masih Sang Penebar Kasih”, in Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998. Madjid, Nurcholish (kata pengantar), Tiga Agama Satu Tuhan. Bandung:Mizan, 1999. ----------Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995. Parulian, Uli (ed.), Menggugat Bakor PAKEM: Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: IRLC, 2008. Rachman, Budhy Munawar. Argumen Islam Untuk Pluralisme.Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010. ---------(ed.) Membela Kebebasan Beragama. Jakarta: LSAF-Paramadina, 2010. Riza Ul Haq, Fajar and Endang Tirtana (ed.), Islam HAM dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama. Jakarta: Ma’arif Institute, 2009. Santoso,Fattah. “Islam dan Hak Asasi Manusia”, in Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi Untuk Pendidikan Agama. Jakarta: Ma’arif Institute, 2009. Schuon, Fritjof. Mencari Titik Temu Agam-agama.Jakarta:Pustaka Firdaus, 1987. Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.Bandung: Mizan, 1999. ---------Membedah Islam di Barat Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Shihab,M. Quraish, “Wawasan al-Qur’an tentang Kebebasan Beragama”, in Hidayat, Komarudin andAhmad Gaus (ed.), Passing Over Melintas Batas Agama.Jakarta: Gramedia-Paramadina, 1998. ---------Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQuran.Jakarta:Lentera Hati, 2002. Sumbulah, Umi & Nurjanah, Pluralisme Agama: Makna dan Lokalitas Kerukunan Umat Beragama. Malang: UIN Maliki Press, 2012.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1883
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Zainuddin, Pluralisme Agama Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis Islam Kristen di Indonesia. Malang: UIN Malang Press, 2010. Internet Sources: Abdalla, Ulil Abshar, “Kebebasan Pilih-pilih”, http://islamlib.com/id/ arti kel/kebebasan -pilih-pilih, accessed February 18th, 2013. Gaus,AF.http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Kebebasan%20Beraga ma%20dan%20Hak-hak% 20 Minoritas.pdf, accessed, February 16th, 2013. http://www.setara-institute.org/id/content/kondisi-kebebasan-beragamadan-berkeyakin- an-mid-2013, accessed, August 12th, 2013. http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/news/keyreports_irf-2012id.html, accessed, August 12th, 2013. http.id.wikipedia.org/wiki/Saksi-Saksi-Yehuwa, accessed, September 7th, 2012. http://www.hd.co.id/berita-lain/sekolah-spi-konsep-indonesiamini,September 8th, 2012. http://garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umatberagama-di-indonesia/, accessed, March 8th, 2012. Mulia,Siti Musdah. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama, http://kebebasan beragama.blogspot.com/2007/10/hak-asasimanusia-dan-kebebasan.html, accessed, January 28th, 2013. Quthb, Sayyid. Fi Dzilal al-Qur’an, http://www.shamela.ws. Al-Ishdar Thani, version 2.11.
THE CONSTRUCTION OF PRODUCTIVE ALMS BY BAZNAS KENDARI IN DEVELOPING THE PROSPERITY OF MARGINAL MUSLIMS Umi Rohmah Abstrak: Islam telah memiliki mekanisme dan sistem pengentasan kemiskinan, yang kini sedang menjadi proyek utama pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Agama, dengan zakat dan ini dapat ditumbuhkembangkan dengan lebih meningkatkan professionalitas dan akuntabilitas pengelolaan zakat, terutama sistem pendistribusian yang terfokus pada investasi jangka panjang dalam bentuk zakat produktif. BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) Sulawesi Tenggara yang ada di kota Kendari telah membentuk zakat produktif sebagai core project dalam pemanfaatan dana zakat baik itu melalui program beasiswa pendidikan maupun bantuan usaha kecil. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang berkesejahteraan dan berkeadilan sosial dengan mengupayakan perubahan status penerima zakat menjadi muzakki. Kata kunci: konstruksi, zakat produktif, BAZNAS, Kendari, marginal.
A. Background Alms or zakat is financial support collected from Muslim society to be distributed to the poor and marginal society, but there are weaknesses in terms of collection and distribution management. The alms was not collected by and in one institution or organization so that the total amount of alms from the whole Muslims in Indonesia and the total amount of distribution and shared was not well identified and organized. Therefore, it did not well function for developing the prosperity of marginal Muslims in general.1 The Law No. 23 Year 2011 of zakat management is the form of government attention for developing social fund from Muslims to be well organized in order to commonly enhance the social justice and welfare. Zakat management in the Law is meant to not only focus on collecting and distributing the alms but also on well designing, implementing, and reporting the whole management progress.2 These activities must be supported by professional human resources and potential institution units,
1 Asmuni Mth, “Zakat Profesi dan Upaya Menuju Kesejahteraan Sosial”, La Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1 No. 1 July 2007.p.43-56. 2 Chapter III the Law No. 23 Year 2011 of zakat management.
~ 1884 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1885
which were institutionalized by BAZNAS, to be able to optimize the function of alms institutions as the government and society wished. The institution of BAZNAS functions to enable the institution to collect alms and to maximize in distributing it. For instance, in Kendari the public civil servants in the government offices who wanted to give alms, donation, and charity do not need to come to the BAZNAS office or bank to pay it because there are alms collector units or UPZ (Unit Pengumpul Zakat) in their own offices. This is good for motivating and developing BAZNAS services and muslims’ interests in giving alms to help others, especially duafa (marginal) or poor society who need special financial supports. Therefore, collected alms will be able to reduce and to alleviate poverty in this country. Poverty is an increasing problem in Indonesia not only in big cities but also in small cities, such as Kendari.3 Based on the government data on poverty number in Kendari, it is noted that the number of poor society increased year by year as shown in figure 1.4 In addition, the family who live on the border line of economic prosperity indicated as Pra Sejahtera and Keluarga Sejahtera I almost reached 50 % of the total head families in Kendari. It is clearly identified that the prosperity of society in Kendari based on the number of family head is like shown below:5 Klasifikasi Keluarga Jumlah Kepala Keluarga (KK) Family Classification Number of Family Head (KK) (1) (2) Pra Sejahtera 10 443 Keluarga Sejahtera I 13 153 Keluarga Sejahtera II 19 301 Keluarga Sejahtera III 12 048 Keluarga Sejahtera III+ 3 504
Figure 1: Poverty Number Mashudi, Evalusi Pengelolaan Zakat, (tt:tp, 2011). See more on kendarikota.go.id retrieved on 15 August 2013. 5 Ibid. 3 4
1886 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future From the figure above, it indicates that the number of poverty in Kendari needs more attention by providing precise assistance and support such as alms that Islam ruled for special six types of marginal Muslims, namely fakir, miskin, mu’allaf, riqab, gharim, dan ibn sabil eventhough zakat can be given to the professionals who manage the alms as well as to the travellers. 6 Zakat or alms as media and system of social assistance for the marginal society should create independence and must bridge the poor with the rich by enhancing zakat productive activities in order to eradicate the poverty in this country. Productive alms described above is a kind of social fund usage for supporting productive acitivities of marginal Muslims to change the social status of the alms recievers (mustahiq) to become the alms givers (muzakki). BAZNAS Kendari as zakat management institution, in which Muslim public civil servant (PNS) of government offices give their alms, has reached Rp. 505.317.000,- of the total amount of collected social fund.7 The fund has been largely allocated for productive activites, such as investing in eduction and small business. Therefore, it is interesting to study about productive zakat in BAZNAS kendari. B.
Problems Recent years the government of Indonesian Republic especially the Ministry of Religious Affairs has been struggling for developing the management of zakat professionally to reach the goal of zakat itself, which is to increase the social prosperity in juctice. This issue becomes challenging if it is related to the project activities of BAZNAS Kendari in constructing productive alms, so that arises a question of how BAZNAS Kendari constructed the productive alms and what the reasons of constructing it. C.
Significance Based on the described problems, this research was aimed at giving constributions for the sistem development of alms management from the construction and the objectives of productive zakat project activities done by BAZNAS Kendari and if it is followed up so the study of productive alms will be more potential for developing marginal society’s prosperity in social justice and the socia participation in the country development will be achieved by loving alms and loving of giving alms. D. Literature review Zakat study has been frequently discussed academically, but somehow this study will be more complemential. The previous studies on 6 7
See QS. Al-Taubah (9) ayat 60. Interviews with the officer of BAZNAS Kendari on 21 May 2013.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1887
alms were done by Fadli, who wrote that alms management in BAZDA Denpasar was focused on consumptive supports 8, and Hidayatul Ihsan M, who wrote “Majanemen dan akuntablititas institusi pengelola zakat: suatu tinjauan teoritis” telling about alms administration institution should use the alms account well in addition to management and accountability in reporting the alms administration.9 Hikam in his dissertation wrote “Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif“ telling about the opinion of classic and modern ulamas about alms expenditure for productive business. It was related to Law No. 38 year 1999 of zakat and Islamic law in the practical level of zakat usage in Indonesia in the philosophical perspective of Islamic law that is more normative.10 Differently, Malik wrote in his dissertation that social knowleadge of alms was constructed by power relations. Hence, this study is different from other studies, especially BAZNAS Kendari as the locus of study.11 E.
Theoretical framework Contruction Theory. As a social creature, muslim interacts with each other in their daily life. Many events happened in the field of direct communication or face-to-face as a social interaction process (Berger and Luckmann, 1990:41). In the field of direct communication, every person will get in touch, interact, and express their thinking or feeling, so that interpretations and reflections happen. Direct interaction is highly potential to change the individual characters because intensive interaction might make someone to become generous, stingy, kindhearted, and so on. Then, there will construct a new character. Social interaction is always instilled by meaning gained from the interaction process, from externalization, objectivation, and internalization.12 externalization is a process or self expression of human being in constructing life, or adaptation process between individual and the environment. Objectivation is a process in which people practice their introduced values in the new social reality separated from their subjectivity, or a process of institutionalization such of values, symbols, and realigious
8 Rif’an Fadli, Manajemen Pengelolaan Zakat di BAZDA Kota Denpasar, (Malang: Jurusan al-ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2009). 9 Hidayatul Ihsan M, “Manajemen dan Akuntabilitas Institusi Pengelola Zakat,” Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol.3 No.1 Juni 2008. 10 Hikam, “Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif”, (Jakarta: Dissertasion UI, 2004). 11 Abd. Malik, “Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat”, (Bogor: Dissertasion IPB, 2008). 12 Luckmann Berger 1991: 35 in Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta: 2010), pp. 243.
1888 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future teachings. Internalization is a process of values learning and objective reality of individual that become part of his life.13 Marginal and Prosperity. Marginal means close to a lower limit or of lower class. It is producing at a rate that barely covers the production cost. 14 The main characteristic of marginal society is being marginalized in terms access to the source of economic and eduction.15 Prosperity refers to well being, success, strength, and welfare. It means a contented state of being happy, and healthy and prosperous. Prosperous means an economic state of growth with rising profits and full employment.16 Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor.17 Therefore, there will be a balanced and justice life among the rich and the poor as the main objectives and it is ruled in Islamic law in the concept of zakat or alms. Zakat. Law No. 23 year 2011 of zakat management Chapter 1 number 2 states, “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.” It means that zakat is one of every muslim’s obligation or legal body to be given to the one who are entitled in accordance with Islamic law, whereas alms management must be based several principles, namely Islamic law, trustworthiness, justice, legal ascertain, integrated, and accountable.18 Alms is provided Islam for poverty alleviation by building a justice and welfare society, and bridging disparity between the rich and the poor, especially who are classified as marginal society, namely fakir, miskin, gharim, ibn sabil, muallaf, and riqab.19 Therefore, productive alms are social funds provided for productive projects including scholarships and small business supports. F.
Research method
13 Luckmann Berger, 1991: 75-78 in Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi kebudayaan. (Yogyakarta: 244-245) 14 See audioenglish.org. retrieved on 14 August 2013. 15 Ahmad Taufiq, Memberdayakan Masyarakat Marjinal melalui pendidikan, (Ponorogo: tp, 2010), pp. 1. 16 See audioenglish.org. retrieved on 14 August 2013. 17 Charles H, Zastrow in Edy Suharto, Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), pp. 1. 18 See verse 2 in the Law No. 23 year 2011 of zakat management.
ِ ِ ِ َِمنييهل, ِلَ لف َقير ِ أو,يي َيدقَهتأ ِم مَفي ِأقليلييايل لة َم َأوِدأ,َ َ لم, يهأو َ ني َ َ َييهال, ني َأو َ أيلََيي َة َ َ َ َ م ل, المنيَيهأ ِ ِ منبِي ِأأۖأفَ ِر, لم ِاأو ِيفأ, َغَه ِرِانيأوِدأسبِي ِ أ, هبأو ِ ]٠ :٩[أيلِيمأأ َ ِكيمأ َ َ لمال, لمأاأۖأ َو, غض ًأا َيفأ ََ َ ََ َ َرق,ِّ 19
QS. Al Taubah: 60.
Trans: alms are for the poor and the needy, and those employed to administer the (funds); for those whose hearts have been (recently) reconciled (to Truth); for those in bondage and in debt; in the cause of Allah; and for the wayfarer: (thus is it) ordained by Allah, and Allah is full of knowledge and wisdom.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1889
This research was done in BAZNAS Sulawesi Tenggara, located in Kendari city, since the officer said that BAZNAS has never been studied or researched even though it operated in 1995 and developed after the publication of governor letter in 2008.20 In addition, this institution had alms colletor units called UPZ in 22 government offices in Kendari and has an interesting activity, namely productive alms. The data used in this study are qualitative data. Therefore, the methodology impelemented to collect and to scrutinize the data are interviews and observations. Interviews were done to find the opinions and thoughts of the officers of BAZNAS, muzakki dan mustahiq about productive alms construction and its reasons for focusing the alms distributions on productive activites, whereas observations were done to identify the fenomena in the field related to the research issue directly. G. Discussions Practically, BAZNAS Kendari had been collecting dan distributing zakat in different ways. In terms of collecting alms, BAZNAS Kendari cooperated with UPZ in 22 state offices, such as department of transportation, forestry, the government office of Sulawesi Tenggara Province, and many others.21 The collected alms, then, distributed for proposed and suggested groups or people based on the result of BAZNAS Kendari officers’ meeting. The distribution was focused on three targets, namely scholarship, social cash support, and productive support. The first target ranked the highest amount of support, and the last is the least one.22 However, the last one is the most interesting and challenging for developing the life prosperity of marginal Muslims so that they can participate in the country’s development by expending the productive alms.23 It is constructed from the following three phases: 1. The Socialization of productive alms Alms institution was firstly introduced to Kendari in 1995 and the fund was distributed for consumptive needs of the society, such as daily needs. Since the establishment of alms institution Kendari society used to give the alms to every person living nearby BAZNAS and the officers of BAZNAS until the Law No. 38 year 1999 of alms management was legalized. Then, it has changed since 2008 when the governor of South East Sulawesi introduced BAZNAS and the project of 20
2013.
Interviews with Hb as the officer of BAZNAS Sulawesi Tenggara on 10 June
Interviews with BAZNAS officers on 20 May 2013. Interviews with manager of BAZNAS Kendari on 20 May 2013. 23 Verse 26 says, “Pendistribusian zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan” in the Law No. 23 year 2013. It means that alms must be distributed based on priority scale and on he basis of distribution, justice, and district principles. 21 22
1890 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future alms to all of Muslims PNS (Public Civil Servant).24 Alms distribution according to the officer of BAZNAS Kendari was done by three channels, namely social supports (sultra peduli), scholarships (sultra cerdas), and small business support (sultra sejahtera). Therefore, the expenditure for productive supports such as education and small business was more granted by BAZNAS Kendari.25 BAZNAS Kendari introduced productive alms by face to face as the officer said,“Mereka diberitahukan oleh kepala biro dari mulut ke mulut.”26 It means that the adminitration officers of BAZNAS Kendari and the society (muzakki and mustahiq) knew about the productive alms from the chief of Social Welfare Bureau of Kendari City Government by meeting him directly both in the annual manager meeting and pengajian in Ramadan.27 Socialization was also done by introducing the Law No. 23 year 2011 of alms management, whereas alms usage for productive activities can be noted from the verse 27: (1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. (2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. The above quotation shows that alms can be used for productive activities in order to promote and support the government programs in poverty eradication. 2. The practice of productive alms Having known about the productive alms and socialized the officers of BAZNAS Kendari distributed the alms to the marginal society, especially who are targeted in Islam in the form of productive activities. One of the BAZNAS Kendari officers stated that productive alms were firstly given to the street sellers who sold the beverages on the border of street in Kendari. Productive alms, then, were also distributed based on suggestions and recommendations from BAZNAS officers and muzakki. In addition, productive alms could be given to the reviewed proposals from the society. Usually, direct observations were 24 The Governor’s Letter of Decision Number 730 year 780 of BAZDA construction and The Governor’s circulated Letter No. 451.12/3645 on 30 September 2010 about alms request for all Muslims Public Civil Servant. 25 Interviews with Hb, the officer of BAZNAS Kendari 20 May 2013. 26 Interviews with RB, one of muzakki in BAZNAS Kendari 20 May 2013. 27 Interviews with Hb, the officer of BAZNAS Kendari, 20 May 2013.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1891
conducted as well by BAZNAS officers to see the real condition of the candidates of mustahiq prior to the distribution.28 The main targets of productive alms distribution are:29 a. Poor and high performance students; they were Muslim students who need financial support and they came from poor family because they are assets of the country for creating a new social status and opportunity for success economically and mentally. b. Small Business Starters; they are Muslims who have high desire to change their life from the economic barriers so that they can support their own family to pay their daily needs and their children’s education, but they don’t have money to start their own business. c. Small business runner; they are Muslims who have run small business with capital limitation because their income can only pay their daily needs and they have difficulties to pay their children’s education. 3. The Internalization of productive alms Scholarships in the project “sultra cerdas” were a kind of future infestation in developing human recourses and supporting the nation development. This project is not only for educating people but also for creating equal opportunity for marginal Muslims in economic and social development of the country. BAZNAS Kendari supported students who came from poor family. The total amount of scholarship was Rp. 195.000.000,- for most of students of primary and secondary schools.30 Productive alms were internalized by assisting and providing more fund for the supported small business runner. Providing more fund for them will make them more potential to be more prosperous. It was stated by one of mustahiq, “awalnya saya hanya memperbaiki motor..., sekarang alhamdulillah bisa menjual juga oli, dan peralatan bengkel.” The productive alms were given by BAZNAS Kendari to 17 types of small businesses, and the most favorite type was daily-need-trade because it reached 21 traders of primary needs of 48 total mustahiq of productive alms in 2012.31 In addition, productive alms were also internalized by pengajian or religious preachings to develop the awareness of the society, whereas the practice of productive alms distribution described in the previous paragraphs was to create the equal opportunity for the society in economic and mental wellbeing. Pengajian was conducted regularly
Ibid. Ibid. 30 Interviews with Jm, the officer of BAZNAS Kendari, on 20 May 2013 31 Ibid. 28 29
1892 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future before distributing the productive alms when mustahiq gathered in BAZNAS Kendari office. The objectives of constructing productive alms are:32 1. Economically it assisted the poor family by cash support to be more prosperous economically so that it can develop their social functioning, such as the statement of a mustahiq, “dana itu... memperlancar usaha batu merah saya.”33It means that the received alms helped him to run his business on making and selling red brackets. 2. Mentally, it developed the welfare of poor society, such as feeling happy and healthy. It is suitable with one of mustahiq statements, “saya merasa nyaman”34 (I feel comfortable), and “ada kepuasan batin” (I feel spiritually contented).35 3. Culturally, developing knowledge and skills by education so it can provide opportunities for all society both the poor and the rich to participate in the process of welfare development in social justice so that it changes the social status of mustahiq to become muzakki. H. Conclusions BAZNAS kendari is one of productive alms institutions that work with marginal Muslims in Kendari to develop the opportunity and economic life of the society. The institution has well constructed the productive alms in the form of scholarships and small business supports. The construction of productive alms was aimed at enhancing economic, mental, and cultural quality of mustahiq’s life. Bibliography Abd. Malik. 2008, Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat, Bogor: Dissertasion of IPB. Abdullah, Irwan, 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahmad Taufiq, 2010. Memberdayakan Masyarakat Marjinal melalui pendidikan, Ponorogo. Asmuni Mth, 2007. “Zakat Profesi dan Upaya Menuju Kesejahteraan Sosial”, La Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1 No. 1 Juli 2007. Charles H, Zastrow in Edy Suharto, 2007. Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Hidayatul Ihsan M, 2008. “Manajemen dan Akuntabilitas Institusi Pengelola Zakat,” Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol.3 No.1 Juni 2008. Interviews with Hb, the officer of BAZNAS Kendari on 20 May 2013. Interviews with Js, a mustahiq of BAZNAS Kendari on 13 June 2013. 34 Interviews with Hb, the officer of BAZNAS Kendari on 20 May 2013. 35 Interviews with RB, a muzakki of BAZNAS Kendari on 22 May 2013. 32 33
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1893
Hikam, 2004. Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif, Jakarta: Dissertasion of Universitas Indonesia. Mashudi, 2011. Evalusi Pengelolaan Zakat, tt:tp. Rif’an Fadli, 2009. Manajemen Pengelolaan Zakat di BAZDA Kota Denpasar, Jurusan al-ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim. The Governor’s Letter of Decision Number 730 year 780 of BAZDA construction and The Governor’s circulated Letter No. 451.12/3645 on 30 September 2010 about alms request for all Muslims Public Civil Servant. Law No. 23 year 2011 of zakat management. Law No. 39 year 1999 of zakat management. Interviews with the officer of BAZNAS 21 Mei 2013. Interviews with RB, one of muzakki in BAZNAS Kendari. Interviews with Hb, the officer of BAZNAS Sulawesi Tenggara on 10 June 2013. Interviews with manager of BAZNAS Kendari on 20 May 2013. QS. Al-Taubah (9): 60. audioenglish.org. retrieved on 14 August 2013. kendarikota.go.id retrieved on 15 August 2013.
MERESPONS KEBUTUHAN UMAT: PERSPEKTIF PENDIRI TENTANG LATAR BELAKANG PENDIRIAN PONDOK PESANTREN DI BIMA Drs. Mukhlis, M.Ag (Jurnal Ulumuna IAIN Mataram email:
[email protected])
Abstract: Tulisan ini merupakan sebuah kajian emperik
terhadap fenomena berdirinya pondok pesantren di Bima, NTB. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang pendirian pondok pesantren di daerah itu. Latar belakang itu dikonstruk dari paparan para pelaku pendirian pesantren itu sendiri, yaitu mengenai sejumlah alasan yang mendasari tindakan mereka yang dihubungkan dengan kebutuhan umat Islam setempat. Penulis menemukan bahwa ada lima hal yang melatari pendirian pondok pesantren di Bima, yaitu kebutuhan umat terhadap: (1) layanan pendidikan Islam; (2) penggiatan dakwah Islam; (3) pemberdayaan generasi muda; (4) mempertahankan agama dari ancaman pemurtadan, dan; (5) mempertahankan ideologi mazhab/organisasi. Dari lima kebutuhan itu, kebutuhan yang pertama dan kedua adalah yang terkuat melatari pendirian lembaga pesantren di Bima.
A. ANJAKAN TEORETIK Tindakan mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam,1 misalnya pondok pesantren, bukanlah sebuah tindakan sederhana yang dapat muncul 1Terma pendidikan Islam, jika ditilik dari aspek program dan praktik penyelenggaraannya, menurut Muhaimin, dapat dikelompokkan ke dalam enam jenis, yaitu: (1) Pondok pesantren atau madrasah diniyah; (2) Madrasah dan pendidikan lanjutannya yang bernaung di bawah Departemen Agama; (3) Pendidikan umum yang bernapaskan Islam yang bernaung di bawah yayasan dan organisasi Islam; (4) Pelajaran agama Islam sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah, dan/atau program studi; (5) Pendidikan Islam dalam keluarga atau tempat-tempat ibadah dan/atau forum-forum kajian keislaman, majelis ta`lim, dan institusi-institusi lainnya yang diselenggarakan oleh masyarakat; (6) Pendidikan di sekolah atau di luar sekolah yang disemangati oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh pendidik atau tenaga kependidikan muslim yang memiliki
~ 1894 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1895
dan diwujudkan secara mudah. Ia melibatkan sejumlah perencanaan dan rangkaian kegiatan yang disertai dengan pilihan-pilihan rasional yang harus diputuskan oleh pelaku. Oleh karena itu, keragaman situasi yang melingkupi secara sosial dan budaya para pelaku, dalam hal ini para pendiri pesantren, dikonstruk secara beragam pula berdasarkan latar belakang wawasan, modal pengetahuan, norma dan nilai-nilai anutan tertentu. Jadi, variasi konstruk berkonsekuensi pada variasi pendefinisian dan penafsiran situasi, dan berakibat pada penjelasan yang berbeda-beda tentang latar belakang pendirian pesantren. Sejauh berkaitan dengan konstruk para palaku itu, maka latar belakang pendirian pondok pesantren di Bima dapat dijelaskan pula dari sisi motif2 yang mereka miliki. Dalam hal ini, in order to motive (motif-supaya [MOSUP]) dan because motive (motif-sebab [MOSEB]) secara dialektis meramu konstruk pemikiran para pelaku itu tentang realitas yang dihadapi mereka. Pada gilirannya, konstruk itu menjadi salah satu bagian dari latar belakang pendirian pesantren. Pendirian pesantren dapat dipandang sebagai pilihan rasional para pelaku untuk mengatualisasikan konstruk mereka; pesantren dapat diinisiasi pendiriannya dengan kondisi awal yang beragam mulai dari yang sangat terbatas sekali pun hingga ke kondisi yang relatif serba tersedia. Setiap tindakan—termasuk tindakan mendirikan pesantren— setidaknya memiliki empat aspek, yaitu apa yang dilakukan, kapan dilakukan, bagaimana cara dilakukan, dan mengapa dilakukan. Aspek keempat berhubungan dengan dorongan-dorongan alamiah dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang meliputi kebutuhan primer dan sekunder. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup secara sehat dan aman, dan merupakan naluri yang paling hakiki bagi semua makhluk hidup. Kebutuhan primer bersifat fisiologis atau biologis, seperti kebutuhan akan makanan, air, udara, tidur, seks, perlindungan terhadap penyakit, dan lain-lain. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup manusia yang bersifat psikologis bagi rohani dan pikiran manusia yang berkembang komitmen, loyalitas, dan dedikasi tinggi terhadap Islam. Lihat Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 20-1. 2Gerungan mendefinisikan motif sebagai “suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu”. Lihat W. A. Gerungan, Psikologi Sosial (Jakarta: Eresco, 1978), 42. Menurut Priyatna, motif adalah sesuatu yang tersembunyi dalam relung kejiwaan, namun mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap tingkah laku manusia. Motif itu sendiri dibedakan dari motivasi. Motif merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk mengambil tindakan tertentu, sedangkan motivasi ialah upaya memberikan dorongan kepada orang lain atau diri sendiri untuk mengambil tindakan tertentu yang dikehendaki. Lihat Soeganda Priyatna, Motivasi, Partisipasi dan Pembangunan (Tinjauan dari Sisi Komunikasi) (Jakarta: Universitas Kertanegara Press, 1996), 5-6 dan 14.
1896 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future sejalan dengan pertambahan usia. Kebutuhan sekunder juga bersifat relatif karena dipengaruhi oleh nilai sosial budaya dan berubah dari waktu ke waktu.3 Untuk menjelaskan hubungan antara kebutuhan dan wujud tindakan seseorang atau sekelompok orang, penting untuk disimak teori hirarki kebutuhan yang dikembangkan oleh Abraham Maslow. Dalam hal ini, Maslow mengembangkan teori tentang lima tingkatan kebutuhan yang mendasari motif perilaku individu yang disebutnya sebagai kebutuhankebutuhan dasar, the basic needs, yaitu: pertama, kebutuhan fisiologis (the ‘physiological’ needs) yang dimunculkan oleh dorongan-dorongan fisiologis (physiological drives); kedua, kebutuhan akan rasa aman dan tenteram (the safety needs); ketiga, kebutuhan akan cinta (the love needs); keempat, kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan diri (the esteem needs); dan kelima, kebutuhan untuk aktualisasi diri (the need for self-actualization).4 Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mulai dari yang terrendah hingga tertinggi itu menjadi pendorong timbulnya tindakan-tindakan. Teori tindakan sosial (action theory) Max Weber memandang tindakan manusia sebagai tindakan sosial yang memiliki makna subjektif yang hanya dipahami oleh si pelaku. Orang lain yang hendak menyingkap makna subjektif itu haruslah melalui kegiatan memahami (verstehen) terhadap sang pelaku.5 Di pihak lain, perspektif fenomenologi memandang perilaku manusia merupakan produk dari cara seseorang menafsirkan dunianya.6 Produk penafsiran itu membentuk pandangan yang khas tentang dunia dan menuntun individu untuk mengambil tindakan tertentu. Dengan demikian, tindakan individu muncul disebabkan oleh sesuatu, yaitu motifsebab (because motive).7 Jadi, secara umum dan dihubungkan dengan motifmotif pelaku, maka makna subjektif tindakan (action theory) dan tafsir-atasdunia (perspektif fenomenologi) itu dapat dirujukkan kepada MOSUP dan MOSEB yang sebelumnya mengalami proses intersubjektifitas karena terkait dengan hubungan antar manusia. B.
BIMA DAN PONDOK PESANTREN Tidak berbeda dari daerah-daerah lainnya dalam wilayah provinsi NTB, Bima adalah daerah dengan karakterisitik keberagamaan penduduk 3Soeganda
Priyatna, Motivasi..., 7-8. H. Maslow, “A Theory of Human Motivation”, dalam Psychological Review, 50 (1943), 372-383. 5George Ritzer and Barry Smart, Handbook of Social Theory (London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications, 2001), 59-60. 6Robert Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Method: A Phenomenological Approach to the Social Sciences (New York: John Wiley and Sons, 1995), 3536. 7Lihat Ach. Fatchan dan Basrowi, Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa (Surabaya: Yayasan Kampusina, 2004). 4Abraham
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1897
mayoritas muslim. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) NTB tahun 2005 menunjukkan bahwa pemeluk agama di daerah itu hampir seluruhnya adalah muslim, yaitu mencapai 99.04% dari total 508.302 pemeluk agama. Adapun 0.96% sisanya adalah gabungan pemeluk agama lainnya, yaitu pemeluk agama Hindu 0.37%, Katolik 0.31%, Kristen 0.19%, dan Budha 0.09%.8 Dominan dari segi jumlah penganut berdampak pada dominannya jumlah tempat ibadah untuk muslim (masjid, langgar, dan mushalla) untuk mendukung pelaksanaan ibadah dan kegiatan keislaman lainnya, serta aneka institusi pendidikan Islam, seperti madrasah, pesantren, perguruan tinggi Islam, dan sentra-sentra pendidikan al-Qur’an. Khusus mengenai lembaga pendidikan pesantren, data dari Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) NTB menunjukkan bahwa di Bima, tahun 2008, terdapat 46 pesantren dengan 10.945 santri yang belajar.9 Data terbaru, tahun 2013, dari Kemenag Kota Bima dan Kemenag Kabupaten Bima menunjukkan bahwa jumlah pesantren itu mengalami peningkatan, yaitu mencapai 66 buah; masing-masing 12 di Kota Bima dan 51 di Kabupaten Bima. Pondok pesantren-pondok pesantren itu terbagi dalam tiga tipe, yaitu: pesantren salafiyah/tradisional (tipe 1), khalafiyah/`ashriyah/moderen (tipe 2), dan campuran/kombinasi (tipe 3).10 Secara historis, kemunculan lembaga pendidikan pesantren di Bima adalah fenomena baru. Pesantren tertua yang masih bertahan hingga saat ini berdiri tahun 1968, yaitu Pesantren Darul Furqan yang terletak di desa Dodu kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima. Itu berarti sistem pendidikan pesantren di bumi Bima baru berusia sekitar 45 tahun. Usia itu apabila dihubungkan dengan usia masuk dan berkembangnya Islam di Bima yang sudah mencapai sekitar 400-an tahun dapat dinilai sangat muda. Kenyataan sejarah itu menunjukkan bahwa lembaga pendidikan pesantren di Bima tidak dikenal dan, oleh karena itu, tidak berperan dalam proses dakwah dan islamisasi Bima pada 350 tahun pertama perkembangan Islam di daerah itu. Pondok pesantren di daerah itu muncul setelah Islam menjadi agama mapan dan menjadi anutan hampir seluruh penduduk Bima. Sejarah masuknya Islam ke Bima telah dimulai pada tahun 1609, atau mungkin juga sebelum itu; dan masyarakat Bima secara masif telah
156.
8Badan
Pusat Statistik Provinsi NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2006/2007,
9Data kuantitatif tentang pesantren di Bima dalam penelitian ini merujuk kepada Kanwil Depag NTB, Data Pondok Pesantren Provinsi NTB tahun 2007/2008 (Mataram: Kanwil Depag NTB, 2008). 10Tentang pengertian yang lebih detail untuk masing-masing tipe itu, lihat Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2003), 28-31.
1898 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future menganut Islam sejak paroh pertama abad XVII.11 Jadi Islam di Bima, hingga saat ini, telah berusia empat abad. Dibandingkan dengan daerah lain yang juga telah berabad-abad menerima Islam dan mayoritas penduduknya muslim —seperti Jawa, Madura, Sumatera, dan Lombok— Bima dapat dibilang terlambat mengadopsi sistem pendidikan a la pesantren. Di Jawa, misalnya, cikal bakal pesantren telah lahir sejak abad ke-18 dan mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19.12 Dalam rentang perjalanan sejarah, sebagian dari pesantren mampu bertahan hingga sekarang dari semenjak pertama berdirinya, tumbuh dan berkembang, sedangkan sebagian lagi tidak mampu bertahan, tutup tertelan jaman.13 C.
PENDIRIAN PESANTREN SEBAGAI RESPONS TERHADAP KEBUTUHAN UMAT Sebuah studi emperik tentang pesantren di Bima pernah penulis lakukan pada tahun 2010. Berdasarkan informasi dari para pendiri pondok pesantren di daerah itu diketahui bahwa ternyata pendirian lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan sebentuk respons konkret mereka terhadap kebutuhan umat Islam, dalam hal ini adalah masyarakat muslim di mana pesantren itu berada. Kebutuhan itu sendiri beragam. Di bawah ini, penulis paparkan kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud yang dikonstruk berdasarkan perspektif dari para pendiri pesantren. Dalam hal ini ada enam kebutuhan, yaitu: kebutuhan umat terhadap: (a) ketersediaan layanan pendidikan Islam; (b) penggiatan dakwah Islam; (c) pemberdayaan generasi muda; (d) peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat muslim sekitar 11Terdapat kontroversi di kalangan sejarawan tentang waktu dan asal kedatangan Islam ke Bima. Setidaknya terdapat enam pendapat yang berbeda di kalangan sejarawan yang mengkaji masalah itu dengan menyebutkan angka tahun yang berbeda-beda, yaitu: 1050 H atau 1640 M menurut Ahmad Amin, lihat Ahmad Amin, Sejarah Bima (Bima: Depdikbud, 1971), 9; 1028 H atau 1608 M menurut M. Fachrir Rahman, lihat M. Fachrir Rahman, “Kontroversi Sejarah Masuk Islam ke Bima”, Ulumuna, vol IX, no. 1 (Januari-Juni 2005), 20-34; 26 April 1619 M menurut Syukri H. Ibrahim, lihat Syukri H. Ibrahim, Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan Peranannya dalam Pengembangan Islam di Kesultanan Bima, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1989); 1617 menurut Abdullah Tajib, lihat Abdullah Tajib, Sejarah Bima Dana Mbojo (Jakarta: Harapan Masa PGRI, 1995), 110-117; 1609 menurut Abdullah Ahmad, lihat Abdullah Ahmad, Kerajaan Bima dan Keberadaannya (Bima: t.p. 1992), h. 23 dan 52-55. Bahkan Zollinger menyebutkan angka yang jauh lebih tua lagi, yaitu 1450 atau 1540, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Tajib, Sejarah…, 106-107. 12Lihat Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren Asal Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan Depag. RI, 2004). 13Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Abu Hamid di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa banyak pesantren yang pernah tumbuh, kemudian hilang karena berbagai sebab dan muncul lagi pesantren sejenisnya di tempat lain. Lihat Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali bekerja sama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial [YIIS], 1983), 395.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1899
pesantren; (e) mempertahankan agama, dan; (f) mempertahankan ideologi mazhab/organisasi. 1. Kebutuhan Umat akan Ketersediaan Layanan Pendidikan Islam Ketersediaan layanan pendidikan Islam adalah salah satu kebutuhan dasar umat Islam di mana pun dan kapan pun. Meskipun demikian, layanan itu tidak serta merta ada dan mudah dijangkau. Beberapa kondisi menyebabkan layanan itu tidak bisa dinikmati oleh sebagian umat Islam, termasuk beberapa komunitas muslim di wilayah tertentu di Bima. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya-upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mewujudkannya. Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang bisa memberikan layanan tersebut. Para pendiri beberapa pesantren di Bima telah mengidenfikasi bahwa ketersediaan layanan pendidikan Islam itu adalah kebutuhan penting masyarakat di sekitar mereka. Identifikasi dan simpulan mereka itu didasari oleh beberapa kondisi. Pertama, tidak tersedianya lembaga pendidikan di suatu desa atau tersedia tetapi cukup jauh jarak aksesnya. Dalam konteks demikian inisiator pesantren terdorong untuk menyediakan lembaga pendidikan di tengah ketiadaannya atau mendekatkannya karena jauhnya jarak akses ke lembaga pendidikan. Kondisi di Bima menunjukkan bahwa sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah terdapat di hampir setiap desa, tetapi tidak demikian halnya dengan sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah yang bisa jadi hanya ada satu atau dua saja di setiap kecamatan, sedangkan di kecamatan itu terdapat lima atau bahkan lebih banyak desa. Lebih jarang lagi adanya adalah sekolah menengah atas atau madrasah aliyah, yang mana hanya tersedia satu untuk setiap kecamatan. Kedua, lembaga pendidikan tersedia tetapi hanya lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, atau SMA. Dalam konteks demikian inisiator pesantren terdorong untuk menyelenggarakan pendidikan formal keagamaan sebagai alternatif lain dan pilihan bagi masyarakat yang hendak menyekolahkan anak-anak mereka di jalur pendidikan keagamaan. Ketiga, adanya program dari Kemenag yang menyelenggarakan madrasah diniyah sebagai bentuk realisasi spesifik di lingkungan Kemenag terhadap program wajib belajar pendidikan dasar yang dicanangkan secara nasional melalui Kementerian Pendidikan Nasional. Dari hasil wawancara dengan para pendiri atau pimpinan pesantren di Bima terungkap bahwa sebagian terbesar dari mereka berobsesi untuk menyediakan layanan pendidikan Islam formal mulai dari jenjang ibtidaiyah/dasar hingga perguruan tinggi. Namun demikian, pada kenyataannya tidak satu pun pesantren di Bima yang mampu mewujudkan dengan lengkap obsesi itu. Hanya beberapa pesantren yang berhasil mewujudkan sebagian dari obsesi itu, yaitu menyelenggarakan pendidikan jenjang Madrasah Tsanawiyah dan sebagian lagi hingga Madrasah Aliyah.
1900 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Tidak ada pesantren yang mendirikan jenjang pendidikan ibtidaiyah dan pendidikan tinggi. Selain menyediakan layanan pendidikan formal, sebagian dari pesantren itu juga menyediakan layanan pendidikan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) yang dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) disebut dengan madrasah diniyah. Madarasah diniyah terdiri dari tiga jenjang, yaitu Ula (setara dengan madrasah ibtidaiyah atau Paket A), wustha (setara dengan madrasah tsnawiyah atau Paket B), dan ulya (setara dengan madrasah aliyah atau Paket C). Sebagian dari pesantren baik yang ada di Kabupaten Bima maupun Kota Bima hanya menyelengarakan madrasah diniyah dan tidak memiliki jenjang pendidikan formal. Pesantren yang telah mapan mampu melaksanakan beberapa jenis dan jenjang pendidikan sekaligus, seperti PP Al-Husainy, PP Al-Ikhwan, PP Al-Fatahu, PP Al-Falah Nipa, PP Al-Furqan, dan PP Darul Ma’arif. Pesantren-pesantren itu melaksanakan jenjang pendidikan formal tingkat MTs dan Aliyah serta madrasah diniyah tingkat Ula dan Wustha. 2. Kebutuhan Umat terhadap Dakwah Islam Islam adalah agama dakwah dan inhern memiliki karakter misionaris. Oleh karena itu, keislaman seseorang akan menjadi lebih lengkap apabila ia pun mengajak orang-orang di sekitarnya memeluk dan mengamalkan Islam. Kebutuhan terhadap dakwah bersama dengan kebutuhan terhadap pendidikan Islam tampak sebagai kebutuhan yang universal bagi umat Islam. Dalam konteks itu, sangat mudah dimengerti bila pemenuhan dua kebutuhan itu menjadi fungsi dasar pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Sebagimana dikemukakan oleh Mastuhu selain menyediakan layanan pendidikan dan membantu sosialisasi diri santri, fungsi utama pesantren adalah mendakwahkan Islam.14 Meskipun banyak dikemukakan secara verbal bahwa salah satu tujuan utama pendirian pesantren di Bima adalah untuk kepentingan dakwah Islam, pada prakteknya tidak semua pesantren menunjukkan aktifitas dakwah Islam yang menonjol. Dalam amatan penulis, ada tiga pesantren di Bima yang layak disebut sebagai pesantren yang paling menonjol aktivitas dakwah Islamnya, yaitu PP Al-Fatahu,15 PP Darul 14Mastuhu,
Diamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 59-61. Al-Fatahu didirikan oleh A. Fatah Agus, S. Ag pada tahun 1995. Nama Al-Fatahu itu sendiri merupakan pengabadian dari nama sang pendirinya itu. Pesantren yang terletak di desa Laju kecamatan Langgudu yang berjarak sekitar 50 km dari kota Bima ke arah selatan ini, dalam data Kantor Kemenag Kabupaten Bima tercatat dengan nomor statistik 512520605017. Pesantren ini berciri khas sebagai pesantren kombinasi, yaitu mengombinasikan karakteristik moderen (ashriyah) dan tradisional (salafiyah). Menurut data Kemenag Kabupaten Bima tahun 2009, pesantren ini memiliki 28 orang guru (10 orang guru laki-laki dan 18 orang guru perempuan) yang mengasuh 633 orang santri (319 santri laki-laki dan 314 santri perempuan). Sebagai sarana dan prasarana pendukung kegiatannya, 15Pesantren
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1901
Ma’arif, 16 dan PP Al-Husaini. Kegiatan dakwah di sini dibatasi dalam pengertian tablig ajaran Islam kepada masyarakat di luar komunitas pesantren itu sendiri, baik yang ada atau tinggal di sekitar lokasi pesantren maupun yang jauh atau setidaknya yang berada di desa atau kelurahan di luar desa/kelurahan lokasi pesantren. Di antara tiga pesantren yang disebutkan di atas, PP Al-Fatahu adalah yang paling fenomenal kegiatan dakwahnya. Ia fenomenal dalam pengertian bahwa tulang punggung kegiatan itu justru terletak pada para santrinya yang berperan sebagai juru dakwah muda. Hal itu berbeda dari dua pesantren lainnya yang mana juru dakwah utamanya adalah pimpinan atau ustaz senior di pesantren itu sendiri. Dalam kegiatan dakwah yang dilakukan oleh PP Al-Fatahu ke desadesa, pimpinannya hanya berperan sebagai komunikator dengan masyarakat dan memberikan kata pengantar dalam setiap kegiatan dakwah. Adapun yang bertindak selaku da’i atau penceramahnya adalah santri-santri terlatih yang telah dibekali dengan latihan-latihan yang cukup intensif di PP Al-Fatahu. Mereka tampil bergiliran pada hari yang berbeda dan di desa-desa yang berbeda. Hal itu pula yang membuat masyarakat mengenal luas PP Al-Fatahu hingga ke pelosok-pelosok kabupaten Bima.17 Kegiatan dakwah Islam ke desa-desa lain juga dilakukan oleh PP AlHusainy, tetapi dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan PP Al-Fatahu. Bila PP Al-Fatahu lebih mengedapankan peran da’i muda dari para santrinya sebagai penceramah, maka PP Al-Husainy peran itu dimainkan secara sentral oleh pimpinannya, yaitu Haji Ramli Ahmad. Hal itu terjadi karena pengaruh ketokohan sang pimpinan yang dikenal luas sebagai qari internasional kebanggaan masyarakat Bima. PP Al-Husainy memang dikenal sebagai pesantren penghasil qari’ dan qari’ah yang handal. Kesan itu diperkuat dengan menyediakan satu sesi sebelum acara inti tabligh agama untuk parade pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an oleh qari’qari’ terkenal di Bima yang menjadi anak binaan Haji Ramli Ahmad, dan
pesantren ini selain memiliki ruang belajar, juga mempunyai masjid, perpustakaan, dan asrama santri. Kemenag Kabupaten Bima, Data Pondok Pesantren Kabupaten Bima Tahun 2009. 16Pesantren Darul Ma'rif didirikan tahun 1979 atas inisiatif Haji M. Yasin Lathief (almarhum). Pesantren yang sekarang dipimpin oleh Haji Taufiquddin ini terletak di desa Roka kecamatan Belo kabupaten Bima. Dalam data Kemenag Kabupaten Bima, pesantren ini terdaftar dengan nomor statistik 512520603020. Pesantren dengan ciri khas ashriyah (moderen) ini memiliki 13 orang guru (10 orang guru laki-laki dan 3 orang guru perempuan) yang mengasuh 404 orang santri (200 orang santri laki-laki dan 204 orang santnri perempuan). Selain ruang belajar untuk pendidikan formalnya, pesantren ini juga memiliki mushalla dan asrama untuk mendukung kegiatan-kegiatannya. Ibid. 17Wawancara dengan A Fatah Agus, pendiri dan pimpinan PP Al-Fatahu, tanggal 9 Oktober 2009.
1902 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future telah memperoleh prestasi hingga tingkat nasional.18 Selain melaksanakan kegiatan berdakwah tandang seperti dikemukakan di atas, PP Al-Husainy juga mengadakan kegiatan dakwah kandang, yaitu pengajian rutin setiap hari Ahad bertempat di masjid dalam lingkungan pondok. Pengajian itu terbuka bagi masyarakat umum yang berminat untuk hadir, baik yang tinggal di sekeliling lingkungan pondok maupun dari tempat yang agak jauh. Materi pengajian itu selain masalah terkait ibadah juga masalahmasalah keagamaan kontemporer. Terkadang masalah yang dibahas itu beragam, karena dimunculkan oleh audiens yang mengajukan pertanyaanpertanyaan yang beragam. Bila PP Al-Fatahu dan PP AL-Hussainy, banyak melaksanakan dakwah tandang, maka PP Darul Ma'arif lebih fokus pada dakwah kandang. Bentuknya serupa dengan kegiatan tablig yang dilaksanakan dua pesantren di atas, kecuali bahwa dakwah yang dilakukan oleh PP Darul Ma'arif memiliki segmen khusus untuk perempuan yang dibedakan dari yang lakilaki. Pengajian untuk laki-laki, diasuh oleh Haji Abubakar Aziz, salah seorang tokoh inisiator pendirian PP Darul Ma'arif, dilaksanakan setiap hari setelah shalat jamaah magrib di masjid PP Darul Ma'arif hingga datangnya waktu shalat jamaah isya’, dan terbuka untuk siapa saja yang berkesempatan ikut. Materi pengajian itu adalah tentang soal-soal ibadah dan muamalah dengan merujuk kepada kitab tunggal, yaitu Subul al-Salâm. Meskipun demikian, materi kajian itu dapat berkembang ke berbagai masalah karena terbawa oleh pertanyaan-pertanyaan audiens pada sesi tanya jawab.19 Adapun pengajian khusus untuk perempuan di PP Darul Ma'arif, diasuh oleh ustazah Syar’iyah, dilaksanakan dua kali dalam sebulan, yaitu pada setiap tanggal 5 dan 15 setelah shalat jamaah Ashar hingga menjelang waktu Magrib. Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2001 dan masih berlangsung hingga saat ini. Materi pengajian adalah tentang soalsoal ibadah dan fiqih terkait dengan masalah perempuan. Selain mengadakan pengajian yang sifatnya lebih berorientasi kognitif itu, kelompok pengajian perempuan PP Darul Ma'arif kerap kali hadir memberikan warna keislaman dalam acara tradisi yang dilaksanakan oleh warga desanya, seperti dalam acara kiriloko,20 sehingga tidak melulu hanya sebagai tradisi yang terkadang sarat dengan mitologi.21
18Wawancara dengan Haji Ramli Ahmad, pimpinan dan pendiri PP Al-Husainy, tanggal 28 Maret 2009. 19Wawancara dengan Haji Abubakar Aziz tanggal 15 Januari 2011. 20Acara kiriloko adalah acara taradisi lokal dalam rangka mensyukuri usia kehamilan yang telah menginjak bulan ketujuh. 21Wawancara dengan Syar’iyah, pengasuh pengajian khusus untuk perempuan di PP Darul Ma'arif, tanggal 15 Januari 2011..
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1903
3. Kebutuhan Umat terhadap Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) adalah proses baik politik maupun sosial yang memberikan kemampuan kepada orang untuk membuat keputusan mandiri dan mengontrol sendiri kehidupannya.22 Pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam umat adalah sebuah kebutuhan, dan hal itu menjadi salah satu latar belakang pendirian pesantren di Bima. Pemberdayaan yang dimaksud di sini merujuk kepada pengertian yang lebih spesifik yaitu upaya-upaya sistematis melalui pesantren untuk mengentaskan kelompok tertentu dalam masyarakat muslim di Bima dari posisi semula mereka yang tidak atau kurang berdaya baik dari segi kemampuan finasial maupun perolehan kesempatan menempuh pendidikan ke posisi yang lebih baik. Pondok pesantren di Bima yang secara spesifik sangat nyata dan kuat orientasi pemberdayaannya adalah PP Anak Yatim Imam Syafi'i.23 Pesantren itu mengkhususkan diri menampung santri-santri miskin dan telah ditinggal mati oleh salah satu atau dua orang tuanya. Untuk memastikan status miskin dan yatim (piatu) para calon santri maka diperlukan keterangan dari pejabat desa asal mereka. Menurut penuturan salah seorang pendirinya dan saat ini berkedudukan selaku pimpinan PP Anak Yatim Imam Syafi'i, Ir. Fuad Abdurrahman bin Sef, didirikannya pesantren ini berangkat dari keprihatinan yang sangat mendalam tentang banyaknya anak yatim dan yatim piatu yang miskin di berbagai desa di Bima yang mana kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena kemiskinan dan tidak berdaya untuk menempuh pendidikan. Memperhatikan dan melindungi anak yatim adalah perintah Islam dan menjadi tugas yang sangat mulia. Jika mereka melarat dan terlantar, maka secara sosial kita semua menanggung dosa dan sangat mungkin Allah akan memurkai kita semua.24 22Marcel Danesi, Dictionary of Media and Communications (Armonk, New York: M.E. Sharpe, 2009), 110. 23PP Anak Yatim Imam Syafi'i beralamat di Jln. Raya Kedo Tolotonga Kec. Asakota Kota Bima. Pesantren yang dalam data Kemenag Kota Bima tercatat dengan nomor statistik 09512520608021 ini berdiri tahun 2007, tetapi baru mendapatkan landasan ijin operasional tahun 2009 berdasarkan SK Nomor 19.08/5/PP.00.7/144/2009 tanggal 05 Februari 2009. Saat ini PP Anak Yatim Imam Syafi'i memiliki santri sejumlah 82 orang yang terdiri dari 53 orang santri laki-laki dan 29 santri perempuan. Santri yang mukim dalam pondok adalah 77 orang, dan hanya 5 orang (2 laki-laki dan 3 perempuan) yang tidak mukim alias santri kalong. Ustaz yang membina para santtri itu berjumlah 16 orang, salah seorang di antaranya adalah guru berstatus pegawai negeri sipil yang diperbantukan di ponodok tersebut. Pondok dengan areal seluas 5.800 m 2 ini memiliki 1 asrama putra, 1 asrama putrid, 5 ruang pengajian / belajar, 1 ruang guru / ustadz, 1 ruang kantor / administrasi, 1 Mushala, 1 kamar mandi / WC ustaz, dan 7 kamar mandi / WC Santri. Kemenag Kota Bima, Data Pondok Pesantren Kota Bima Tahun 2009. 24Wawancara dengan Ir. Fuad Abdurrahman bin Sef, salah seorang pendiri dan pimpinan PP Anak Yatim Imam Syafi'i, pada tanggal 14 Oktober 2009.
1904 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future PP Anak Yatim Imam Syafi'i menyantrikan secara gratis para anak yatim itu, tidak dibebankan biaya pendidikan dan logistik apa pun. Mereka hanya perlu datang dengan membawa bekal apa adanya berupa pakaian untuk keperluan sehari-hari dan untuk sekolah. Bahkan jika kondisi mereka diketahui benar-benar tidak mampu, pakaian itu pun diupayakan oleh pihak pesantren untuk mereka. Dengan kebijakan yang demikian itu, maka beban operasional PP Anak Yatim Imam Syafi'i sangat besar. Namun demikian, sejauh ini dengan beberapa keterbatasan yang ada, beban operasional itu masih dapat tertanggulangi berkat bantuan dari beberapa pengusaha yang ingin menafkahkan sebagian kekayaan mereka baik sebagai infak maupun zakat kepada PP Anak Yatim Imam Syafi'i. Hal itu mereka lakukan karena rasa simpati mereka terhadap pola pemberdayaan anak yatim yang dilakukan oleh PP Anak Yatim Imam Syafi'i.25 4. Kebutuhan Umat terhadap Perlindungan Agama Secara Eksternal Perlindungan agama secara eksternal yang dimaksudkan dalam tulisan ini berkaitan dengan upaya melindungi dan mempertahankan keyakinan Islam dalam konteks problem pluralitas agama, dan hubungan antara pemeluk satu agama dengan pemeluk agama lain. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa pendiri pondok pesantren di Bima diketahui bahwa pesantren tertentu di Bima didirikan berlatarbelakangkan persoalan hubungan antar agama atau antar pemeluk agama, dalam hal ini adalah antara Islam dan Kristen. Ada tiga pondok pesantren yang dapat disebut dalam konteks ini, yaitu PP Umar bin Abdul Aziz di Desa Tolonggeru-Madapangga, 26 PP Miftahul Khair di desa Mbawa_Donggo, 27 dan PP Nurul Amin NW di desa Bugis-Sape. 28 25Ibid.
26PP Umar Bin Abdul Aziz terletak di Desa Tolonggeru Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Dalam data pndok pesantren milik Kantor Kemenag Kabupaten Bima tahun 2009 dikemukakan bahwa PP Umar Bin Abdul Aziz didirikan pada tahun 2005 dan tercatat dengan nomor statistik 512520602041 dengan pimpinan pondok Effendi. Pada tahun 2009 jumlah santri PP Umar Bin Abdul Aziz berjumlah 78 orang yang terdiri dari 48 laki-laki dan 30 perempuan, sedangkan ustaznya berjumlah 7 orang yang terdiri dari 3 orang guru laki-laki dan 4 orang guru perempuan. Kemenag Kabupaten Bima, Data Pondok Pesantren Kabupaten Bima Tahun 2009. 27PP Miftahul Khair terletak di desa Mbawa Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Pesantren itu didirikan pada tahun 2004 oleh pasangan suami istri alumni IAIN Alauddin Ujungpandang, Kadru dan Sumarni. Dalam data Kemenag Kabupaten Bima tahun 2009 pesantren itu tercatat dengan nomor statistik 512520602028, termasuk tipe pesantren salafiyah, dan pada tahun 2009 memiliki 119 santri yang terdiri dari 57 santri laki-laki dan 58 santri perempuan di bawah asuhan 11 orang ustaz yang terdiri dari 5 orang guru laki-laki dan 6 orang guru perempuan. Kemenag Kabupaten Bima, Data Pondok Pesantren Kabupaten Bima Tahun 2009. 28PP Nurul Amin NW didirikan tahun 1997, memiliki jumlah santri sebanyak 120 orang yang terdiri dari 20 orang santri laki-laki dan 70 orang santri perempuan, dan delapan orang guru yang terdiri dari 4 orang guru laki-laki dan 4 orang guru perempuan. Pesantren
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1905
Latar belakang pendirian PP Umar Bin Abdul Aziz terungkap dalam wawancara penulis dengan inisiator pendirinya, Haji Abdurrahim Haris, dan tokoh lokal yang cukup berperan memuluskan proses pendiriannya, Nurdin Ibrahim. Haji Abdurrahim Haris, selaku pengurus Dewan Dakwah Islam (DDI) NTB, mengarahkan program pembangunan masjid dan pondok pesantren di Bima, khususnya di wilayah yang penduduknya minoritas muslim dan dipandang rawan dan rentan menjadi sasaran upayaupaya konversi agama. Desa Talonggeru dipilih karena sesuai dengan kondisi kerawanan yang dimaksudkan itu. Selain itu, desa itu juga dekat dengan jalan utama yang menjadi pintu akses ke dan dari Bima di bagian barat.29 Demikian pula halnya dengan latar belakang pendirian PP Miftahul Khair di desa Mbawa. Menurut penuturan pendirinya, Kadru, kondisi hidup keagamaan di desa itu yang bercampur baur antara muslim dan Kristen tidak menguntungkan bagi kelangsungan agama Islam di kalangan anakanak dan generasi mudanya. Mereka sangat rentan menjadi sasaran pengalihan agama karena tidak tersedianya lembaga pendidikan Islam atau aktifitas-aktifitas pendidikan Islam. Oleh karena itu, dia dengan istrinya merintis pendirian PP Miftahul Khair. Menurut pengakuan Kadru, hadirnya PP Miftahul Khair dan aktifitasnya menimbulkan simpati beberapa pemeluk Kristen di desa itu sehingga mereka tertarik untuk masuk Islam alias menjadi muallaf. Mereka diislamkan oleh Kadru dalam arti dibimbing pengucapan ikrar syahadatainnya.30 Bila PP Umar Bin Abdul Aziz dan PP Miftahul Khair menghadapi tantangan hidup koeksistensi pemeluk dua agama (Islam dan Kristen) dalam satu desa dan mereka berasal dari garis genealogi dan kekerabatan yang bercampur baur, maka PP Nurul Amin NW menghadapi tantangan masuknya pengaruh agama lain (Kristen) yang disinyalir mengalir masuk dari arah timur (NTT). Tantangan itu mencuat dalam kesadaran warga muslim Sape karena terjadinya peristiwa yang dinilai sebagai upaya sistematis untuk melakukan kristenisasi di daerah itu pada tahun 1990-an. Pada sekitar tahun 1994 didirikan empat buah rumah panggung di atas areal tanah yang letaknya sangat strategis di pinggir jalan akses menuju ke Pelabuhan Sape. Di rumah itu dibuka lembaga pendidikan Taman KanakKanak (TK) Kristen gratis untuk anak-anak setempat disertai dengan fasilitas antar jemput yang juga gratis. Hal itu mencuatkan protes dan reaksi baik dari masyarakat muslim maupun dari pemerintah. Menanggapi dengan nomor statistik 512520604016 itu mengambil tipe sebagai pesantren kombinasi, yaitu memadukan ciri salafiyah dan ashriyah. Kemenag Kabupaten Bima, Data Pondok Pesantren Kabupaten Bima Tahun 2009. 29Wawancara dengan Haji Abdurrahim Haris, pendiri PP Umar Bin Abdul Aziz, tanggal 13 April 2010. 30Wawancara dengan Kadru, pendiri dan pimpinan PP Miftahul Khair, tanggal 12 Oktober 2009.
1906 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future kejadian yang dinilai sebagai upaya sistematis kristensasi di Sape itu, Depag Kabupaten Bima berinisiatif mendirikan Madrasah Tsanawiyah yang lokasinya berdekatan dengan lokasi TK itu. Menurut Haji Muhammaad Nur, Kepala Depag Kabupaten Bima saat itu, pembangunan MTsN di lokasi tersebut jelas dimaksudkan sebagai upaya meredam dan menghapus upaya kristenisasi tersebut.31 Meskipun terjadi beberapa tahun kemudian, pendirian PP Nurul Amin yang dilakukan 1997 itu pun distimulasi oleh peristiwa itu dan kesadaran di masyarakat Sape bahwa daerah mereka potensial menjadi sasaran proyek kristenisasi. Kesadaran seperti itulah yang memantik inisiatif beberapa tokoh lokal yang dipimpin oleh Haji Najib untuk mewujudkan pesantren itu sebagai pusat pendidikan Islam bagi generasi muda dan benteng untuk melindungi masyarakat muslim Sape dari infiltrasi pengaruh agama lain, khususnya kristenisasi. 5. Kebutuhan Umat terhadap Perlindungan Ideologi Mazhab/Organisasi Pengertian yang dimaksudkan dalam sub judul di atas adalah bahwa latar belakang pendirian pondok pesantren di Bima antara lain dihajatkan untuk memapankan dan menyebarkan paham mazhab tertentu dalam pemahaman keislaman atau pemahaman yang digariskan oleh organisasi. Pondok pesantren yang salah satu latar belakang pendiriannya demikian adalah PP Al-Ikhlas Muhammadiyah,32 PP Khalid Bin Walid, 33 dan PP Darul Ulum Wal Amal. 34
31Wawancara dengan Haji Muhammad Nur, mantan Kepala Depag Kabupaten Bima tahun 1989 s.d.1998, tanggal 20 Januari 2009. 32PP Al-Ikhlas Muhammadiyah didirikan pada tahun 1978. Pesantren yang tercatat dengan nomor statistik 512520608014 ini pada tahun 2009 memiliki 250 orang santri yang terdiri dari 135 santri laki-laki dan 113 santri perempuan. Pesantren dengan tipe kombinasi salafiyah dan ashriyah ini terletak di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota Kota Bima. Saat ini PP Al-Ikhlas Muhammadiyah di pimpin oleh M Syatur Ahmad yang juga tercatat sebagai tokoh pendirinya. Kemenag Kota Bima, Data Pondok Pesantren Kota Bima Tahun 2009. 33PP Khalid Bin Walid yang beralamat di Jln. Kartini Nomor 3 Kedo Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota Kota Bima. Pesantren yang berdiri tahun 2003 dibidani kelahirannya oleh tiga tokoh, yaitu Haji Yusuf Usman, Haji Ajrun Sulaiman, dan Abdullah Haji Muhammad Ali. Pesantren dengan tipe kombinasi salafiyah dan ashriyah ini tercatat dalam data Kemenag Kota Bima dengan nomor statistik 512520608016 dan beroperasi berdasarkan surat ijin nomor 19.08/5/005/2005. Dalam data itu pesantren ini tercatat memiliki santri 55 orang santri dengan rincian 50 orang santri laki-laki dan 5 orang santri perempuan. Ibid. 34PP Darul Ulum Wal Amal. Pesantren yang didirikan oleh Affandi Haji Ibrahim pada tahun 2003 ini terletak di Kelurahan Ntobo Kota Bima. Pesantren dengan tipe kombinasi salafiyah dan ashriyah ini tercatat dalam data Kemenag Kota Bima dengan nomor statistik 5125206080118 dengan santri berjumlah 112 orang yang terdiri dari 55 orang santri laki-laki dan 57 orang santri perempuan. Kemenag Kota Bima, Data Pondok Pesantren Kota Bima Tahun 2009.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1907
Sebagai lembaga pendidikan yang secara keorganisasian berinduk kepada Muhammadiyah, maka pemahaman keislaman yang dikenalkan kepada para santri PP Al-Ikhlas Muhammadiyah adalah yang sejalan dengan garis pemahaman dalam organisasi induknya itu. Adapun PP Khalid Bin Walid memiliki haluan keorganisasian dan garis pemahaman keislamannya berafiliasi kepada Persis (Persatuan Islam). Sayangnya, pesantren itu sejak tahun 2010 mati suri, karena tidak mendapatkan santri angkatan baru dan santri yang lama pun tinggal berjumlah sepuluh orang, yang akhirnya dipindahkan ke atau diambil alih kelanjutan pendidikan mereka oleh PP Al-Madinah yang terletak di Desa Kananga Bolo. Jadi, sejak tahun ajaran 2010 praktis tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar di PP Khalid Bin Walid.35 Berbeda dari dua pesantren itu, PP Darul Ulum Wal Amal berafiliasi pada organisasi ketarekatan, tarekat Naqsabandiyah. Menurut pendirinya, Affandi Haji Ibrahim, kondisi moral dan akhlak masyarakat Bima dewasa ini benar-benar dalam kondisi membahyakan disebabkan oleh dua hal, yaitu banyaknya pengaruh negatif dari media informasi dan telekomunikasi seperti televisi dan handphone, dan hilangnya keteladanan di kalangan orang tua. Oleh karena itulah dia berinisiatif mendirikan pondok pesantren dengan dua sasaran sekaligus, anak muda untuk menjadi santri sekaligus calon jamaah potensial bagi tarekat yang hendak dikembangkannya, dan para orang tua (dewasa) untuk menjadi jamaah tarekat Naqsabandiyah.36 D. ANALISIS LATAR BELAKANG PENDIRIAN PESANTREN Salah satu upaya untuk memahami tindakan mendirikan pesantren dapat dilakukan dengan meminjam, misalnya, perspektif teori tindakan (action theory).37 Bila perspektif teori itu dihubungkan dengan fenomena pendirian pesantren di Bima diketahui bahwa para pendiri itu memiliki tujuan-tujuan tertentu ketika memutuskan untuk mendirikan pesantren. Pada level yang umum tujuan-tujuan itu menunjukkan kesamaan-kesamaan, seperti untuk memberikan layanan pendidikan dan menggiatkan aktifitas 35Wawancara dengan Ustaz Jabir, pimpinan dan pendiri PP Al-Madina, Kananga Bolo Kabupaten Bima. 36Wawancara dengan Affandi Haji Ibrahim, pendiri PP Darul Ulum Wal Amal, tanggal 15 Oktober 2009. 37Teori itu mengusung sejumlah asumsi, yaitu: (1) Pelakunya memiliki tujuan tertentu, dan tindakan itu dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan tersebut; (2) Tindakan acapkali melibatkan pilihan sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu; (3) Pencapaian tujuan dan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan itu selalu terjadi dalam situasi-situasi yang mempengaruhi bentuk tindakan; (4) Tindakan dipengaruhi tidak saja oleh situasi-situasi tetapi juga oleh pengetahuan pelaku tentang tindakannya; (5) Pelaku memiliki ide-ide atau model-model pengetahuan yang berdampak pada persepsi-persepsinya tentang situasi; (6) Pelaku memiliki norma-norma dan nilai-nilai tertentu yang mengarahkan pilihan-pilihan tujuannya. Lihat Perci S. Cohen, Modern Social Theory (New York: The Free Press, 1967), 69.
1908 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future dakwah Islam. Namun, pada level yang lebih spesifik, para pendiri itu memiliki tujuan-tujuan yang bervariasi yang dibentuk oleh kekhususan kondisi sosial yang dihadapi. Pesantren itu sendiri merupakan pilihan di antara sejumlah media lainnya dalam mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Bagaimana corak dan aktivitas yang menjadi muatan pesantren itu dipengaruhi oleh situasi yang melingkupi secara sosial dan budaya setempat. Situasi-situasi itu sendiri dikonstruk oleh para pendiri pesantren berdasarkan latar belakang wawasan dan modal pengetahuan mereka. Para pendiri pesantren itu juga memiliki norma dan nilai-nilai anutan tertentu, seperti pandangan mazhab dan ideologi, yang mempengaruhi pilihanpilihan tindakan mereka. Para pendiri PP Miftahul Khair dan PP Umar Bin Abdul Aziz, misalnya, mendefinisikan situasi sosial Desa Mbawa dan Tolonggeru sebagai situasi yang mengancam keberlangsungan keislaman generasi muda di dua desa itu, dalam arti bahwa mereka rentan untuk mengalami peralihan agama dari Islam menjadi Kristen. Demikian pula pendiri PP Nurul Amin NW di Desa Bugis Kecamatan Sape yang mendefinisikan situasi di desa itu sebagai sasaran kristenisasi dari arah timur Bima. Pendefinisian dan penafsiran atas situasi di sekitar juga dilakukan oleh para pendiri pesantren lainnya. Selain beberapa kesamaan, mereka juga mendefinisikan secara berbeda dan oleh sebab itu mereka merespons sistuasi secara bervariasi. Hal itu sejalan dengan perspektif fenomenologi memandang perilaku manusia, yaitu kata-kata dan tindakan, sebagai produk dari cara seseorang menafsirkan dunianya.38 Variasi-variasi pendefinisian itu melahirkan konstruk penjelasan yang berbeda dari para pendiri pesantren. Meskipun mereka sama-sama memilih pesantren sebagai media realisasi tujuan, tetapi mereka menentukan aksentuasi kegiatan pesantren yang beragam, sesuai dengan latar belakang, wawasan, dan pengalaman khas dari para pendiri itu. Hal itulah yang bisa menjelaskan mengapa pendiri PP Al-Husainy, Haji Ramli Ahmad, sangat mengandalkan kegiatan seni membaca al-Qur’an, karena dia sendiri adalah seorang qari yang telah mengecap kompetisi tilawah al-Qur’an hingga level internasional. Demikian pula Affandi Haji Ibrahim, pendiri PP Darul Ulum Wal Amal, yang mengintrodusir kegiatan tarekat Naqsabandiyah, karena dia sendiri adalah pengamal tarekat itu. Pemenuhan kebutuhan umat terhadap layanan pendidikan dan dakwah Islam adalah latar belakang sama dan umum bagi seluruh pendirian pesantren di Bima. Tetapi, pada tataran yang spesifik pendirian suatu pesantren juga memiliki kekhasan masing-masing. Pendirian PP Anak Yatim Imam Syafi'i dilatari pula oleh kebutuhan untuk memberdayakan para anak yatim dan yatim piatu, agar mereka terentaskan dari kondisi lemah dan dilemahkan. Mereka tidak hanya diarahkan agar kelak mampu 38Robert
Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to…, 35-36.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1909
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, tetapi juga kebutuhan tertinggi mereka yang dalam istilah Abraham Maslow disebut dengan kebutuhan untuk aktualisasi diri (the need for self-actualization).. Pendirian PP Miftahul Khair dan PP Umar Bin Abdul Aziz pun memiliki latar yang spesifik, yaitu terselamatkannya keimanan generasi muda di desa Mbawa dan Tolonggeru dari ancama konversi agama. Perspektif para pendiri tentang latar belakang pendirian pesantren di Bima dapat pula dipolakan ke dalam kategorisasi tujuan-tujuan yang hendak mereka capai melalui pesantren yang didirikannya. Dalam konteks itu, dua fomulasi MOSUP (motif supaya, in order to motive) dan MOSEB (motif-sebab, because motive) akan membantu kategorisasi itu. Formulasi MOSUP merumuskan bahwa “para pendiri pesantren itu mendiri pesantren agar supaya ...”; sedangkan formulasi MOSEB menyatakan “para pendiri pesantren itu mendirikan pesantren sebab ...”. Dua formulasi itu, tentu saja, berkaitan dengan bagaimana para pendiri pesantren itu mendefinisikan dan menafsirkan situasi dan kondisi nyata yang mereka hadapi dalam konteks kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Berdasarkan dua formulasi itu, maka pendirian PP Miftahul Khair dan PP Umar Bin Abdul Aziz di ujung barat dan PP Nurul Amal NW di ujung timur wilayah Kabupaten Bima dapat dimengerti latar belakangnya, karena para pendiri itu mendefinisikan situasi sekeliling sebagai situai ancaman terhadap keimanan dan keislaman yang datang dari agama lain. Mereka mendirikan pesantren agar supaya (MOSUP) ancaman itu dapat terimbangi sebab jika tidak maka apa yang dikhawatirkan bahwa banyak generasi muda bisa teralihkan keimanan dan agama mereka akan menjadi kenyataan. Demikian pula dengan latar belakang pendirian pesantrenpesantren lainnya yang telah disebutkan dalam tulisan ini seluruhnya sebagai respons untuk menyediakan akses pendidikan Islam bagi masyarakat di sekitarnya. Respons itu pun dipicu oleh pendefinisian dan penafsiran atas situasi sosial di hadapan mereka yang dipandang kurang atau tidak memperoleh pendidikan Islam yang dibutuhkan (MOSEB). Oleh karena itu, mereka mendirikan pesantren-pesantren agar supaya tersedia lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan Islam. Jika kekurangan atau bahkan ketiadaan lembaga pendidikan Islam di daerah mereka dibiarkan maka kualitas keislaman warga setempat akan mengalami degradasi. Dari perspektif action theory, tindakan pendirian pesantren sebagai pilihan respons atas kebutuhan umat menunjukkan bahwa pilihan sarana untuk mencapai tujuan dipengaruhi oleh persepsi tentang situasi, norma dan nilai yang dianut, pengetahuan yang dimiliki, serta pendefinisian terhadap situasi yang dihadapi. Pesantren adalah pilihan utama karena ia adalah lembaga pendidikan Islam yang dapat diinisiasi dengan memanfaatkan sarana-sarana yang sudah dimiliki meskipun masih
1910 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future sederhana, misalnya, rumah, masjid, atau meminjam gedung. Hal itu ditempuh oleh pada pendiri PP Miftahul Khair di desa Mbawa, PP Nurul Ahmadi di Desa Wilamaci, PP Al-Aqhbar di Desa Doro O’o, PP Al-Fatahu di Desa Laju, dan PP Al-Rahman di Desa Sakuru. Di samping itu, ada juga beberapa pesantren yang tidak harus melewati masa-masa rintisan yang memprihatinkan dari segi sarana dan prasaranannya. Hal itu terjadi karena perintis pondok pesantren itu memperoleh bantuan dalam jumlah besar dari suatu proyek, seperti pada pembangunan PP Ulil Albab di Desa Simpasai Kecamatan Lambu, dan PP Al-Mutmainnah di Desa Punti Kecamatan Soromandi yang masing-masing melalui Kemenag memperoleh bantuan hingga 1,3 milliar dari luar negeri (Australia). Ada pula pesantren yang bisa menjadi langsung mapan sarana dan prasananya sejak awal perintisannya, karena ia menjadi bagian dari organisasi keagamaan yang memiliki gedunggedung lembaga pendidikan yang siap digunakan. Misalnya, PP Al-Ikhlas Muhammadiyah yang pada awal perintisannya menggunakan gedung dan masjid milik induk organsiasinya, Muhammadiyah. E.
SIMPULAN Uraian dalam tulisan ini sampai pada beberapa simpulan bahwa pencermatan beberapa orang terhadap situasi dan kondisi umat Islam di Bima telah membawa mereka kepada suatu pendefinisian kebutuhankebutuhan tertentu yang harus mereka respons. Mereka mengidentifikasi bahwa ada lima kebutuhan umat Islam di Bima, yaitu: (1) kebutuhan terhadap layanan pendidikan Islam; (2) kebutuhan terhadap penggiatan dakwah Islam; (3) kebutuhan terhadap pemberdayaan generasi muda, dalam hal ini anak yatim dan yatim piatu; (4) kebutuhan terhadap perlindungan agama dari ancaman eksternal, dan; (5) kebutuhan terhadap pertahanan ideologi mazhab/organisasi. Kebutuhan yang pertama dan kedua adalah yang terkuat dan yang terutama menjadi kepedulian bersama para pendiri pesantren di Bima. Tiga kebutuhan berikutnya merupakan identifikasi spesifik sebagian pendiri pesantren yang kemudian memberikan ciri/karakteristik terhadap pesantren yang dibangunnya. Merespons kebutuhan umat dengan cara mendirikan pondok pesantren adalah pilihan paling rasional untuk beberapa alasan. Merintis pendirian suatu pesantren memiliki beberapa kemudahan berupa fleksibiltas persyaratan atau modalitas awal untuk menginisiasinya. Pendirian pesantren dapat dinisiasi dengan kondisi awal yang sangat terbatas hingga ke kondisi yang relatif serba tersedia. Dalam hal ini, tentu saja, semakin terbatas sumber daya awal yang dimilliki oleh sebuah pesantren yang baru berdiri, maka semakin sulit atau lambat ia memenuhi kebutuhan umat yang didefinisikannya sebagai sesuatu yang melatarbelakangi pendiriannya. Pada titik inilah inisiatif para pendiri pesantren itu perlu diperhatikan oleh berbagai pihak terkait untuk
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1911
diberikan dukungan dan bantuan sehingga mereka dapat menggapai misinya. Wa al-Lâh a‘lam bi al-shawâb. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Ahmad. Kerajaan Bima dan Keberadaannya. Bima: t.p. 1992. Abdullah Tajib. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: Harapan Masa PGRI, 1995. Abraham H. Maslow. “A Theory of Human Motivation”, dalam Psychological Review, 50 (1943). Abu Hamid. “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Taufik Abdullah (ed). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali bekerja sama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial [YIIS], 1983. 323-457. Ach. Fatchan dan Basrowi. Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa. Surabaya: Yayasan Kampusina, 2004. Ahmad Amin. Sejarah Bima. Bima: Depdikbud, 1971. Badan Pusat Statistik Provinsi NTB. Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2006/2007. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2003. George Ritzer and Barry Smart. Handbook of Social Theory. LondonThousand Oaks-New Delhi: Sage Publications, 2001. Hanun Asrohah. Pelembagaan Pesantren Asal Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan Depag. RI, 2004. Kanwil Depag NTB. Data Pondok Pesantren Provinsi NTB tahun 2007/2008. Mataram: Kanwil Depag NTB, 2008. Kemenag Kabupaten Bima. Data Pondok Pesantren Kabupaten Bima Tahun 2009. M. Fachrir Rahman. “Kontroversi Sejarah Masuk Islam ke Bima”, Ulumuna, vol IX, no. 1 (Januari-Juni 2005), 20-34. Marcel Danesi. Dictionary of Media and Communications. Armonk, New York: M.E. Sharpe, 2009. Mastuhu. Diamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.
1912 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Robert Bogdan and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Method: A Phenomenological Approach to the Social Sciences. New York: John Wiley and Sons, 1995. Soeganda Priyatna, Motivasi, Partisipasi dan Pembangunan (Tinjauan dari Sisi Komunikasi). Jakarta: Universitas Kertanegara Press, 1996. Syukri H. Ibrahim. Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan Peranannya dalam Pengembangan Islam di Kesultanan Bima. Skripsi. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1989. W. A. Gerungan. Psikologi Sosial. Jakarta: Eresco, 1978.
مفهوم البيئة في ضوء القرآن الكريم إعداد
(الدكتور عبد المستقيم مدرس بكلية أصول الدين قسم التفسير و الحديث بالجامعة اإلسالمية الحكومية سونان كاليجاكا جوقجاكرتا) الملخص
ال أفنييهمأ ,بي ي أأوح ي أال أذروتيياأهايييفأ ,ن ها ي أ ,رنحييهعأ نييا شأويييدعأ ييع عأ ,شرلهتأ ن دم تأ جلنني أةب أ يأدأ ,طبي أ،و ,ني أ,نيداريههأهنييهأ,لير حأ،ايعأن أ يأس ييب ه أ يأت ييه أق ييدأ خن ييهرأه ييي أ ,ك ييا أ ,فن يييحألرتن ييهأ ألرب ييي أ,نك ييا أان يينقرأ يهل َأرئي َ أَِ,ل َمدَِ َك ي ِأالِ ِّ أ واكهنييهأو يييد أ,كننييه ألمييهأنغ يهرأال,ييياأ ,قيير أ ,كي يرْأقأوالِ َذأقَي َ َ هِ هي ِأدأ أل ََر ِ أخلِي َف ًلللأ ساراأ ,بقرا أ)03لأأويرفنيهأننياأأقيدأ ةيرألميريأاييفأفنيهمأ ض َ َ ,ييهجأأالييهألنييبةأنغييدملأ ,نييهمهأ ,يييملأنمىأال أ ةييارأ ييييبهتأو ,كييا ر أايييفأ ,فيييضأ وتغييري ,طقبأو ,نلييا أ ,بي ي أأو , , ,ي أأو ريييهر تأنربييي أواييهأنغييباأذ ,ي لأو نييه أيل ي أأ ذ ,ي أأ أ ييدأايييفأأ جلييههأأ جلدغييدأدأتفنييريأ ,قيير أ هينبييهرهأن أ ,قيير أايييدرأ ةد غ ي أأ ,ل فهظأيل أأ ,نيا ه أو ينيد لأأدأ م راأهيي أ ,يهجألأوانيهجأأتلي أ ألهاي أأال أ حلي أ ,شييهدأايييفأ يييثأ ,نظرغ ي أو ,نطبيقي ي أ ييإأغكييا أهييي أ ,ييهجأدأن نيييفأ حلييهلأوتكييا أ يييهاأ ننييه أدأ ألايييفأو ,نييدعأو ننييرهعلأفلييي ,أأغييرىأ ,كهتييبأننيياأأ أ ييدأايييفأ حيييه أافةيياعأ ,نفنييريأ غكا,يياه أ ,نفنييريأأ ,بي ي )أ,لمنييهيف أيل ي أا هجل ي أ ألها ي أ غكا,اهي ي أدأ ,اق ييةأ ,ييرهيفأأأل أا يييفأاقهح ييدأتفن ييريأ ,ق يير أه يياأا هجل ي أ ش ييكل أ ,دغني أو هنمهيي أ هحراأأ ,وأغا هاأأ ننه أأودأبميفأذ ,أنهاي أ ,بي ي لأفةييهأ ~ ~ 1913
1914 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
قه,ي ي أتن ييد أي يييفأ ,ني ييارأ ,ق يير أ ييالأمني ي أ ,دقي ي أ ,مدني ي أأ نا هني ي أأ يينيأنيأوأ ألنن ييه أوأ ,ييهجأأأل أ هالي ي أا ييعأ ,بي ي ي أ ييدو أ ,ن ييا ه أو حلمهغي ي أهي ي أقتاقي ييعأ ,ي ييدقأأ سرعأأقيهعأ ,نهي ل أ .1مقدمة أأأال أاشييكل أ ,بي ي أهي أايييفأ شييكدتأ ,ييوأ أتي لأدأالهييهرأ ,قضييهغهأ قمييبأ
,ر ينييي أ ,ييوأتكييا أو أتي لأو ق يي أدأيييرنهأ حلييدغثل1أولهنييةأهيييهأ ,قضييي أتفييعضأ و ق ي أايفأ شكدتأ هحراأ ,وأغا هةيهأ تنميعأ ,يياعأ يإأ ,قير أال يدىأويشيرغيفأ2أ أل أأفن ييهمأ ,بي ي ي أأل ييهمأن أغك ييا أدأذروت يياأوقمن يياأا ييعأن أ يأس ييب ه أ يأت ييه أق ييدأ خنييهرأايييفأ يينيأ ,كالييبأهييي أ ,كييا أ ,فنيييحألرتنييهأ ألربييي أ,نكييا أانيينقرأواكهنييهأ يهلأر يئ َ أَِ,لمدَِ َكي ِأالِ ِّ أه ِ ِ هيي ِأدأ َ َ يرْأقأوال َذأقَي َ َ و يييد أ,كننييه ألمييهأنغييهرأال,ييياأ ,قيير أ ,كي َ أل ََر ِ أخلِي َف ًلللأ سياراأ ,بقيرا أ)03لأوجأغةيي أسيب هناأوت يه أفيياأااليهلأواشيهربأ ض َ ونربهأذ,ا أحهحل أ,لمش أيليةهأف نبأوالمنهأوفرأ,اأ ي أانهسيب أ,ي ييشأفيةيهأسي يد أ ِ ِ يهأسيبلدً َأونَنيَ َلأ ملأه َ َأ َ,لك لمأ َأل ََر َ ان مهألمهأدأقا,اأت ه أ ,مي َ ض َأا َةدً َأو َسلَ َ أ َ,لك َيمأف َية ل ِايفأ ,منمه ِ أاه أأفََخرهنَهأ ِِاأن ََهو ههً ِّأايفأنيمب ٍ أغ مإأ[هاأ أ]30أ أ هت َ َ َ َ ً ََ َ َ َ أأو,ك يييفأ,ألس ييفأه ييد أألم ييهأيرفن ييهأنن يياأأق ييدأ ة ييرألم ييريأا يييفأفن ييهمأ ,ييهجأأال ي أيهأ لني ي ييبةأنغي ي ييدملأ ,ني ي ييهمهأ ,ي ي يييملأنمىأال أ ةي ي ييارأ يي ي يييبهتأو ,كي ي ييا ر أاي ي يييفأ ,في ي يييضأ وتغييري ,طقبأو ,نلييا أ ,بي ي أأو , , ,ي أأو ريييهر تأنربييي أواييهأنغييباأذ ,ي لأو نييه أيل ي أ ,ب ييا أ ,لميي أأن أ سيينلد عأ ,بييياتأ ,بدسيينيكي أنوأ ,هههيي أوقطييعأ ألغييرهرأ ييريأ ,قييهنا أولييي ,أ سيينغدلأ ,ييهجأق هسييمأ ,ننمي ي قأمو أ ,ريهغ ي أيل ي أ ,نييا ه أو ينييد لأأ ذددي :قضددية العولمددة ووالحقددوو ادنسددانيةو والد مقراطيددة ووالقضددا ا المت ندددرة القضددا ا
1و القضددا ا الخم د النسائية) ووكذلك ت ضا تزمة البيئة 2موجيو نو عبدد هللاو Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’anجاكرأدا :فراميددنو )2001 ص23 :
~ 1915
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
م,يي أيل ي أن أ ننييه أقييدأسييههمأيل ي أفنييهمأهييي ,هجلأفلييي ,أهنييه أس يانلألبييريأدأ با أنخد أ ,بي أأاههاأاةمأ ه,ننب أ,نهأأه أ سند ا أ ,ننمي أنعأ سند ا أ ,بي ؟ 3أ أوايييفأنه ي ي أنخييرىأأن أ ,قيير أهيياألنييهبأحييهوأ,ك ي أ ,اييه أو كييه أأوهيياأدأ حلقيق أغفه أأوايدر ةد غ أحل أ شكدتأ ,يوأغا هةيهأ ننيه لأوهيي أهب يهأأدنيهجأأ ال أ ,قيير اأ ننر ي أ,لق يير أأ ,ك ييرْأ ييإأميك يييفأ,ألنن ييه أنخ يييأا ييهأا يييفأ ,ق يييمأو ,ن ييه,يمأ يهمهأقَي َدأ ألخدقي أفياأأكأغطبقةهأدأ يه مأ ,يااي ألمهأنغهرال,ياأقا,اأت يه أغَيهأنَغيئ َةيهأ ,نم ل ِِ يهأدأ ,ئ ِ َهييه تَ لكمأ ما َا ِيظَي ِّأايييفأ مرِّ لكي َيمأو ِغ ي َفه أِّ,مي ِ نيأ[غييانبأ أ ىأوَر َمحَي أَِّ,ل لم ي َ ان َ يي ليدور َأولهي ًيد َ َ َ ِ ِ يهمهأو ييِّينَ ٍ ِ ]35أوقهلأت ه أأنغضهأ َغ َةرأرَا َ م يهت ِّأا َييفأ ملأنلن َِلأفياأ َ,لق َير ل ل أه ًيدىأِّ,لنم ِ َ َ لَ ضه َ أ ,ي َ َةلي َيدىللللأ ,بق ييرا أأ)583لأفك ييه أ ,ا ييهأيل ي ي أ نن ييه أن أغننش ييف أوأغن يينةد أ ييه,قر أأ ي ييثأن أجي ي ي أ ,ق يييمأ ,قر نيي ي أغ ييفه أ ييهأا يييفأ ألا ييرضأ قلقيي ي أو ش ييكدتأ
هنمهيي أأولي ,أ هجل أاشكدتأنها أ ,بي أدأهاهننهأ حلهبرل أ يهم ِأدأ أفميييفأ اغييهتأ ,قر نيي أ ,ييوأتن لييقأالشييكل أ ,بي ي أهيياأقا,يياأت ييه أ َ َةي َيرأ َ َ,ف َني ل ِ َ,ب ي ِّيرأو َ,ب ي ِر ِأالييهأ َلنييبةأنَغي ِيدملأ ,نمي ِ ِ ِ ملأي ِملييا أَ َ,لم لةي َيمأغيَ َرِه لييا َأ يضأ ,مييي َ َ َ َ َ َ ََ َ َ يهمهأ,يليييغ َق لةمأ يَ َي َ ل ساراأأ ,روع أ15أ)أهيهأ اغ أأخترب,نيهأأ ي أ ننيه أ,ياأمورألبيريأدأفنيهمأييهجأ ,يربأ
و ,ب ييرأأون أننييرهأ ,نييي أسييي امأال أ ننييه أنفنيياأ4أأاييعأننيياأالذ أن نيييفأ ننييه أال أ ,ييهجأفانيياأق ييدأن نيييفأال أنفن يياأأل أ ,ييهجأوأ نن ييه أدأ حلقيق ي ألهجلنييدأ ,ا ييدلأ و,كيييفأألسييفألي أ ألسييفأأفمييهأنلمييرأأايييفأ خنبي أيهر تأقنبل ي أناوغ ي أدأ ,ب ييهرأولييي ,أ نغضييهأ ,ميياراأ ,ييينهيي أاةمييهأتكييا أافيييداأواني داأيفأ يييهاأ ننييه أدأههنييبأأفف ي أ ههنبأ خرأالرهأقدأنمتأال أ ,فنهمأوأ ,نليا أ غكا,ياه 5لأفليي ,أقيهلأأ يأت يه أ ضأ ي ي َيدأأالِ ِ ِ هأو َميليياهلأ نههيييهأييييفأذ ,ي أ ,فنييهمأ قا,يياأت ييه أ َو َأتيل َفني ليدوَ ِأدأ أل ََر ِ َ َ َ ح يدَ َة َ 3سوني كيرااو Etika Lingkunganو جاكرأا :كومباسو )2006ص166 : 4انظر ابن كثير وأ سير القرتن العظيب ال ء ا ول و ص180 . 5م مع ال قه ادسالميو التلوث البيي قضا ا وم ا ا لبنان :ار اعلمية )2012ص8 :
1916 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ِِ ِ ني)أ أليييرفأ أ35أ)لأ يرمأ ه,فنييهمأ يةأ ,لقيياأقَ ِرغيب ِّأاي َييفأ َ,لم َ نين َ َخ َافيهً َأوهَ َم يهًأالِ م َأر َمحَ َ ه يياأ ,كف ييرأو ,م ي ي أ ه ي ييي لأفك ي ي أا ييهأغفن ييدأ ,ييهجأوا ييهأيل ي ي أ ألرضأوأا ييهأا ييةأ ,نييما تأه ي أايييفأ ,كفييرأاييعأننيياأأهلييبأانييهأن أنشييكرأيل ي أن ييمأيأأت ييه أفميييفأجأ غشكرهأفقدألفرأوايفألفرأفا أيي اأغدغدأ أ ر هيمأ )5لأأفياذ أنرمنيهأرمحي أ يأت يه أ فييدأ ييدأ,نييهأن أنكييا أايييفأ نييننيلأفميييفأتطبيييقأ نييه أيل ي أاييهأغييرهأ ,كهتييبأن أ دنيييفأ ننييه أ مهغي أأ ,طبي ي أوريهغنةييهلأوقييدأنفييهمأن يياأه فييرأ ,طييربملأييييفأ ,ر يييعأ يييفأ نن ي ييب،أي ي يييفأن أ ,ه,يي ي ي ،أين ي ييداهأغفن ي ييرأقا ,ي يياأت ي ييه أ َوالِذَ أقِيي ي ي َأ َة يل ي َيمأ أتيل َف ِن ي ي ليدو ِأدأ ألر ِ ي ييا أدأ ألرضأفم يييفأيي ي أ يأدأ ألرضأنوأنا ييرأال ي ييي أ يأ ضللل)أأأالن يياأ أت ل َ 6 فقي ييدأنفني ييدأدأ ألرضأأون أحي ييدءأ ألرضأو ,ني ييمه أ ه,طمهي ي ي ل أفي يياذ أألهني ييةأا ي ي أ ,طهي ي ي أتشي ييم أل ي ي أاي ييهأاي يييفأ انمي ييهلأنو اي ييرأ يأت ي ييه أأ--ودأب ي ييميفأذ ,ي ي أريهغن ي ي أ ,بي لوتنضميفأا أ ,طهي أنغضهألي أايهأاييفأ مهرسيهتأ ,يوأجأختيه,فأايعأنا هيياأاييفأ فنهمأهي أ ,كا ل أ نظييرأال أنيفي ي أهييي أ ,ابييعأأفييه فروضأن أجل ي أ ييههراأفنييهمأ ,ييهجأ يييف أيها ي أ نوفن ييهمأ ,بي ي ي أ ي ييف أخهحي ي أأم ف ي ي أأوعرلي ي أ,لمفني يرغيفأيلي ي أن أغي ييا ا أناي ييهأا يييفأ ,نفنريأ ,يملأغشرعأوأدرضأ ,نهمهأيل أن أغري أ ,يهجأ يقأريهغنياأأوهيي أايهأغ نيياأ ,كهتبأدأهيي أ ,ب يثأالييطدءأ ,نفنيريأ ,بيي لأألنياأغاهيدأهنيه أيدقي أالجيه يي أ ينيأ نمنييهنأايييفأنمنييهنأ ,نفكييريأو ,نييلا 7لأال ي أن أنمنييهنأ ,نفكييريأايييفأنفكهر ننييه أ ,لييوأ ت ي نرتأ اننهه ييهتأ ,نفن ييري ,بي أنحييب ةأنظها ييهأتيلاهي ييهأ ,يييملأمي ييهرمهأ يياأ نن ييه أدأ سيلالاأ ,ياايي لأفكلميهأليه أدأذهنياأ هنمييهعأالني و,ي أريهغي أ ,بي ي أللميهأليه أدأسييلالاأ نخييد أ نيين أاييعأ ,بي ي لأأل أاشييكل أنها ي أ ,بي ي أدأنسنييةهأوهيييورههأه ي أاشييكل أ
بر
6انظر ال بريو جامع البيان وال ء ا ول ص288 . 7اقدرت شديل ور جير ددو Local Knowledge : Futher Essays in Interpretive Anthropologyفونتندا .(1993
~ 1917
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ألخد أ خندلأ قلق)لأفلي ,أايفأ يثأ ,نيلاهي أ سداي أأن أ ألايارأ ,يوأ يدأ ن أغة يينمأه ييهأه ي أنغ يييفأا يييفأس ييلا أ نن ييه أ ,ييوأتي ي مملأال أ ننة ييه أ نن ييرهعأ ,ييهج؟8أ و ,دغيفأ ا أدنهجأال أاليهماأ ان يه أدأبيا أنهاي أ ,بي ي أ اهياماأدأيييرنهأ ,يرهيفلأ أل أ ,ييدغيفأغن ييهيدأيلي ي أتك يياغيفأااقفن ييهأا يييفأ ,ييهجأ ش ييك أي ييهعأأوا يييفأ ,بي ي ي أ ش ييك أ خييهمللأفف ي أ ,ييدغيفأأغاهييدأنغضييهأ دايييحأو غييهرتأ ,ييوأتشييريأال أايييفأهيياأ ننييه أ ايييفأنغيييفأهيياأوأال أأنغيييفأهيياأواييهأهيياأ ,ييهجأوليييفأغنبغ ي أ,لمنييدغننيأن أغن ييهالا أاييعأ ,بي لأأ أ و,كيفأأ,ألسفأهد أن ألمري أايفألنبأ ,نفنريأ اهياماأأ--أسيا ألهنيةأقدميي أ نعأ دغم --أ أتن د ألمري أافييدأوانظهايهأيييفأقضيي أنهاي أ ,بي ي لأ ,نفهسيريأ ,قدميي أ ام أ ,نفنريأ قهت أ يفأسيليمه أوأهيهاعأ ,بييه أ,لطيربملأأوتفنيريأ ,قير أ ,ظييمأأ ييفأ
لمييريأأولييي ,أ ,نفييهأسييريأ حلدغم ي أأ اهيياماأأدأيي يرنهأ ,يير هيفأأام ي أ نييهر مييدأيبييدهأأ ودأ دلأ ,قر أأ,لنيدأقطبأأأوألي ,أ ,نفنريأألمحدأاييطف أ ر ي أ--أاةميهأ غن ي ييم أ ه,نفن ي ييريأ ألمبأ هنم ي ييهي أ ,ي يييملأأل ي ييه أا ي يييفأاةمن ي يياأا هجلي ي ي أ غ ي ييكه,ي أ ,لمرنمعأ--أ أغاهدأهنه أ ثأخهملأومقيقأ الأهيهأ ,قضيي أألييفأليه أغنبغي أ يرملأ ,كننييه أأن أأغ ها ي أوغري ي أهييي أ ,ييهجأأ ييإأتكييا أرسييه ,أ قدف ي أدأ ألرضأجلي أ لمهأغرعأأ ينمهألهنةأأ ,در س أ,لقضهغهأ ,بي ي أ أتي لأأنهمراأأأ ه,ننيب أ,ليدأتاهيدأنملأ الغييهراأيل ي أ هييد ألمييهأقه,نيياأقهرغييداألانبييهمهقل9أاييعأن أهيييهأ ,در س ي --أالاييهأايييفأ ,ب ييا أ كنبي ي أنعأايييفأ ,ب ييا أ يد ني ي --أأاةم ي أهييد أ,ل ي أيل ي أاشييكل أنها ي أ ,بي ي أوفنييهمأ ,ييهجألأوهب ييهأانييهجأأتل ي أ ألها ي أأال أ حل ي أ ,شييهدأايييفأ يييثأ ,نظرغ ي أ و ,نطبيقي ي أ ييإأغكييا أهييي أ ,ييهجأدأن نيييفأ حل ييهلأوتك ييا أ يييهاأ نن ييه أدأ ألايييفأ 8محاسن و Islam Teologi Aplikatifجوك ا كرأا :بوستاكا تلف) 2003و ص170 : 9انظددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددر موقدددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددددع http://cetak.kompas.com/read/2010/03/02/05053081/Riset.Ekologi.Minimحملل وم الحدا ي العشر شهر سمبر 2012
1918 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
و ,نييدعأو ننييرهعلأفلييي ,أأغييرىأ ,كهتييبأننيياأأ أ ييدأا يييفأحيييه أافة يياعأ ,نفنييريأ غكا,يياه أ ,نفنييريأأ ,بي ي )أ,لمنييهيف أيل ي أا هجل ي أ ألها ي أ غكا,اهي ي أدأ ,اقييةأ ياأ ,رهيفأأيل أ ألق أايفأ يثأتشريعأ ,اي أ ,بي أأأل أاييفأاةمي أأتفنيريأ ,قير أه أ ليييفأ سيينرهبأوا هجلي أ شييكل أ ,دغنيي أو هنمهييي أ هحييراأأ ,ييوأغا هيياأأ ننييه أ أودأبييميفأذ ,ي أنهاي أ ,بي ي لأو أ ييدأ,نييهأنغضييهأايييفأأ ,نيييارأ ,قيير أ ييالأمني أ ,دقي أ ,مدني ي أأ نا هني ي أأ يينيأنيأوأ ألنن ييه أوأ ,ييهجأأأل أ هالي ي أا ييعأ ,بي ي ي أ ييدو أ ,ن ييا ه أ و حلمهغ أه أقتاقيعأ ,يدقأأ سرعأأقيهعأ ,نهي ل أ ناييهأ غييكه,ي أ أللهماي ي أ ,ر ين ي أ ,ييوأ أ ييدأايييفأالهه نةييهأدأهييي أ ,ب ييثأفة ي أ نو لأا ييههاأافة يياعأ ,بي ي ي أدأب ييا أ ,ق يير أ ,ك ييرْأين ييدأ ,نفن ييريأ ألغكا ,يياه أأولي ييفأ افةاعأهي أ ,نفنريأأجلههأ ,هج؟أأأنهنيهأللييفأ نيه أ ,دقي أ ن ني أ ملي أ ينيأنيأت يه أأ لهقييه,قأو يينيأ ننييه أأو ,ييهجأألييه للاقنيأدأافةيياعأ ,نفنييريأ غكا,يياه ؟أنه,مييهألاييهأ ه أ ,قيمأ قلقيي أ ي خاذاأاييفأ اغيهتأ ,قر نيي أ م راأهيي ,هجأ يإأغكيا أأدأن نييفأ حلهلأو حدءأ ,فنهمأ ألغكا,ياه أ؟أوهييأ ,ب يثأأ,ياأنيفينياأأيلي أ ألقي أاييفأ ييثأ ,نظرغ ي أأغفيييدأهييي ,ب ثأال أأتشييريعأأوا يرغضأ ,نييهمهأ يييف أيها ي أو نييلمنيأ يييف أ خهح أيلي أريهغي أ ,بي ي أوأ ,يهجأ نيه أيلي أ ,قييمأ ,قر نيي أ ,يوأ يدأن أغنيلكا أيليةيهلأ وأايفأ يثأ ,نطبيقي أأتنينطيعأ حلكااي أن أجل ي أوت نيربأهيي ,ب ثأأن يدأ ينبيهر تأ يهأأ و ,نظيير تأدأريهغي أ ,بي ي أو ,ييهجأوفقييهأيلي أايينة.أ ,قيير أ ,كييرْلأ سيييمهأ ه,ننيب أأ,ني أ له ندونينييينيأنلمييرهمأانييلما أأهييمأ ينييربو أن أ ,ييدغيفأ,يياأمورألبييريأدأتغيييريأنمنييهنأ ,نفكريو ,نلا لأأوالبهف أال أ أذ ,ي ي ي ي ي أأتطي ي ي ي يياغرأمر س ي ي ي ي ي أ ,ق ي ي ي ي يرن أاي ي ي ي يييفأ يي ي ي ي ييثأ ,نفنريلللنهأ نلما أت هرفنهأن أ ,قر أو دأوأنه ةأال أغاعأ ,قيهاي أأو,كييفأ ,نفنيريأ غنطييارأوغنغييريأ نييبأتطييارأوتغييريأ ,اييه أوأ ألاكييه لأفظةييارأ ,نفنييريأ ألغكا,يياه أالذ أ ايفأ,ا هعأ ,نهرغخأأ سنيره هأييفأنها أ ,بي ل أ
~ 1919
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
2منهج البحث
أأأال أال ييدىأنظرغ ي أ ,نفنييريأ هحييرأتيينتأيل ي أن أتغييريأ ,نفنييريأ نغييريأ ألهان ي أ و ألاكن لأوأ ,نفنريأ,لقر أ أ دأايفأ سينره أانطلبيهتأهاهنياأوأايدغهأتيالأوأ نطدقيهأأ ايييفأهيييهأ ,نظرغي أفييا أتفنييريأ ,قيير ألمننييهجأ ,فكييرأ,لرد,يي أ يينيأنييتأ ,قيير أو ,نيييه أأ لييه أم مييهأحييهوأ,نط يياغرأ نييبأأتطييارأوأا ييالأ ,ا ييه أو ك ييه أأوهب ييهأأدأب ييميفأ ييفأأ ذ ,ي أأ ةييارأ ,نغييري تأ ,بي ي ي أوتلانةييهلأالذ ألييه أ ,نفنييريأ ه,بييهأاييهأأغكييا أاييد أيي أ ليفي أأاليطه أا هىنأ غهتأ ,قر أقال نهههأ ,نه ق أأ ,ضييق قأأ ي أأ يإأن أغكيا أ يرمأ ,ق يرن اأ نكييرراأايييفأ ,نفهسييريأ ,قدمي ي ،أفانيياأ ييدأ ا أن أأف ي أيملي ي أأ ,نفنييريأقييهمرأ يل ي أفةييمأ ,قيير أأ ييه,قر اأ هحييرا10لأون أغكييا أ ,نفنييريأاننرييهأوابييديهأأ يييثأن أ غكييا أ ييدأ,لمشييكدتأ هنمهيي ي أو ,دغني ي أ هحييراأ،أنوأ بييهراأأنخييرىأ أ ييدأايييفأ الي ييهماأأاةمي ي أتفن ييريأ ,ق يير أ ,ك ييرْأ اح ييفةهأو يفي ي أا يييفأ ي ي أوأقغ ييفه قأ,لمش ييهل أ هنمهييي أأدأ تنمييعأ حلييدغثل11أهييي أهيياأ كييه أ ,يييملأجيييدأأ ,نفنييريأ غكا,يياه أ نيفيناأدأحيه أ فههيمأ ,قر ني أدأبا أيلمأ ,بي ل وناييهأ قط ييا تأ ,ييوأغنييرييليةهأ ,كهتييبأفة ي ألهألس ييلابأ ,اف ي أ ,ييوألهن ييةأدأ ا يينة.أ ,نفن ييريأ اب يياي 12أا ييعأ ييضأ ,ن ييدغدتأيلي ي أ ,ن يياأ ,ن ييهعألنو ،أادغ ييدأ ابيياعأغ ييخأاابيياعأ ,نفنييريأ ,بي ي أأأأ يييثأجلمييعأ اغييهتأ ,قر نيي أ نشيياراأدأغييإأ ,نييارأ ن لقي أ هألاار,بي يي أ سيينقر يهلأنهنيييه،أتفنييريأتلي أ اغييهتأأ ,قر نيي أأايييفأ يييثأ م ييهأ ,لغاغ ي ،أاييعأأاري ي أسيييهقةهأونسييبهبأن وةييهأأواقهحييدههلأونه,مييهأأت وغ ي أتل ي أ اغييهتأ ,كرميي أأ قيرناأا هحييراأ ييإأأتكييا أذ تأحييل أاييعأو قي يي أيييرنهأأأالبييهف أال أأ 10اقراء محمد شحرور ,الكتاب و القرآن قراء معاصرة (الدمشق :ا حالي لل باعة و النشر )2000و انظر ت ضا تحمد الر سوني وتحمد جمال باروم ,حوارام لقرن جد د :االجتها النص ,الواقع المصلحة ( بيروم :ار ال كر المعاصدر )2002 11اقراء عبد المستقيب Epistemologi Tafsir Kontemporer,جق اكرأا(2010 , LKiS: 12قارن مع تبي الحي ال رماوي ,البدا ة في الت سير الموضوعي( القاذرة :الحضارة العربية ,) 1976 ,ص-49 : 50
1920 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ذ ,أفا أ ,كهتبأنغضهأأغرغدأ ,مارأيل أ هىنأ ,را غ أأ ن لق أ هاي أ ,بي ي ،أ,لمنهقشي أ اعأاشيكل أ أللهممييي أدأهييهأ ,در سي لأر يه،أليعأ أل همغيثأ ,نباغي أذ تأ ,ييل أايعأ هي ,ب ثأوتفنري تأايفأيلمه أ ,بي أ,نكميي أ ,ن ليي أدأهيي ,ب ثلأخهانيه،أنييهماأ تفنييريأهيييهأ اغييهتأ ,بي ي ي ألك ي أو ,ب ييثأأي يييفأ ي أ نهسييبأ,لا قييعأوذ تأ ,يييل أ ,لن يييه أ حل ييهعأا ييعأ ش ييهل أ ,بي ي ي ي ،أوا يييفأكأه ي ي أ س يينننهههتأيل ي ي أ يياأ يياعأ وغها ل أ أ .3مفهوم البيئة في القرآن
للم ي أق ,بي ي قأدأنحييلةهأ غيينقهق أغ ييامأال أاييهماأقأ يانقأ ,يييملأغ ييامأدأنحييلاأ ال أق ه قأوقن ه قأابه اأأال أرهعأونرهعأال,ياأألي أ ,بي ي أهي أ كيه أ ,ييملأغ يامأال,ي أياأ ِ اس َأون َِخي ِياأنَ أتَيبَ ي ماَ أ ل أايفأ للاقهتأأأوقهلأت ه أاشري أال أذ ,أ َأون ََو َ َيينَهأال َ ل أا َ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ نيأ[غييانبأ أ يميياَأ ,م ي يدَاَ َأوَ ِّش ي ِرأ َ,لم ي َ ان َ َ ,أق َاا لك َمييهأال َ يي َيرأ يليلات يهً َأو َه َ ليياَأ يليليياتَ لك َمأقَبيلَي ً َأونَق ل ]85أنملأ ختي أايرأاكهنهأواننقر أ ,يغيفأغنكنه أفياأايعأقااةميهلأوأدأنفيبأ ي أ ِ م ِ ضأغينَب ي مان ِ ِ ييبأ َِر َمحَنِنَييهأ لأاَني َةييهأ َ َيي ل اسي َ يف ِأدأ أل ََر ِ َ َ قا,يياأت ييه َأأ َل ي َيَ َ ,أاكنِّييهأ,يل ل يثأغَ َشييه لأنليي ل ِِ ِ نيأ[غاسييفأ أ]35أوأورمتأنغضييهأا ي أ ييه أ حلمي أ َايييفأن َ َهي َيرأ َ,لم َ نيين َ ييعأن َ مشييه َأو َأنلضي ل ضٍ يب ِّأا َييفأ ,لم ِياأذَِ,ي َ أ و ,رهاعأ ه,ش أو نيرفأ األمهأدأقالأت يه أ أللللوَ ل ياوَوَأ ِغَ َ َ َِنيمةمأ َلهنلاَأغ َأك لفرو َ أ ِاغ ِ هتأ ,لم ِالللل أ ,بقرا 5أ)لأودأ أل همغيثأ ,نباغي أفقيدأورمأا يخأ َ ل َ لَ يانأال نييههأ ألولأغ ييخأرهييعأأيلي أسييبي أ مييهلأييييفأننييبأ يييفأاه ,ي أن أ ,ن ي أحييل أ يأ يلياأوسلمأقهل أقايفأليبأيل أان ميد أفلينبيانأاق يدهأاييفأ ,نيهرقأ رو هأ ييفأ بيه )أوأ ِ يهل َِ ِِ ِ هأيلَي م أ أيلََي ِيا َأو َسيلم َمأغيَ لق ل أيَنالأقَ َ يالأالِ م أ َليي ً َ أحيلم أ ,لميال َ َي َيفأ َ,لمغ َريا َأرب َ أ ,لمال َ أح َ ل يةأ ,نميِ م َ ٍ َ,ي َييبأ َل َكي ي ِيي ٍ أانَي َ ِّمي ي ًيد أفَي َليَنَبَي ي ي مانَ َأا َق َ ي َيدهل ِأاي ي َييفأ ,نمي ييه ِرأ رو هأ ب َ ب َ أيلَ ي ي أنَ َ ييد َأاي ي َييفأ َل ي ي َي َ أيلَي ي م ل َ
~ 1921
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
,بل ييهرمل)لأه ييي أه يياأ ي ي أ ,لغ يياملأ,لمي ييطلحأقأ ,بي ي ي قأ نا ه ييدأدأ ,ق يير أوأ ,ن يين أ نبأاهأ هلعأيلياأأ ,كهتبل أأأأ أ أأوناي ييهأدأ ,قي يير أأوس ي يين أرسي ييالأ يأح ي ي لمأفان ي يياأجأغ ي ييرمأأايي ييطلحأقأ ,بي ي ي قأ ه,شييك أ ن ييهرفأيلييياأدأيي يرنهأأأل أ ,قيير أ,يييبأ كنييهبأيلييمأ ,بي ي ألمييهأغييرءأ ,كهتييبأسييه قهلأو,كيييفأهييي أ,يييبأال ي أن أ ,قيير أ أغةيينمأ قضييي أ ,بي ي لأفه,بي ي أدأ ,قر أتنمم أدأللمي أ ألرضأوأ ,نيمه أوايهأدناغيههأأاييفأاكانيهتأ للاقيهتأأأالايهأ ايييفأأ ييريأ يييهاأدأاظييههرأسييطحأ ألرضأايييفأهب ييهلأوأهضييهبأوأسييةالأوأومغ ييه أ وتر ي أأواييا رمأايييههأواييهأنغييباأذ ,ي لأوالاييهأايييفأاكانييهتأ يييهاأتنمم ي أدأ ,نبهتييهتأوأ حليا نييهتأوأاييهأدييي أ ييهألأرضأايييفأ ييدفأهيياملأغضييمأ ,نهحييرأ ألسهسييي أ,اه ييامأ حليهاأيل أسطحأ ألرضل13أ أ و ,ل ييمأ ,يييملأغب ييثأفي يياأي يييفأ ,بي ي ي أغن ييم أدأيي ي يرنهأ ل ييمأ ,بي ي ي )(Ecologyلأأوقييدأترلييةأللم ي أEcologyأال أ ,لغ ي أ ,ر ي ي أ بييهراأقيلييمأ ,بي ي قأ ,ييوأوبي ي ةهأ ,ييهجأ أل ييه أ رنن ييةأهير ي أErnest Haeckelأي ييهعأ 5855عأ ي ي ي ي ييدأما ي ي ي ي يي.أللمن ي ي ي ي يينيأغان ي ي ي ي ييهنيننيأيف ي ي ي ي ييهأOikesأوا نهه ي ي ي ي ييهأان ي ي ي ي ييكيف،أ وأLogosأوا نههييهأيلييمأويرفةييهأ رييهأق ,لييمأ ,يييملأغييدرمهأيدق ي أ ,كه نييهتأ حلي ي أ ه,اس ي ي أ ,ي يييملأت ي يييشأفيي يياأوغةي يينمأهي ييي أ ,لي ييمأ ه,كه ني ييهتأ حلي ي ي أوتغي يييغنةه،أوهي يير أ ا يشيينةهأوتا هييدههأدأ نم ييهتأنوأجلم ييهتأسييكني أنوأغي اب،ألمييهأغنضييميفأنغضيهَأ مر س أ ,ا ا أ ريأ حلي أام أخيه تأ نهخأ حلررا،أ ,رها ،أ غي هيهت،أ يهه تأ يههأو ةا )أو قيه تأ ,في غه ي أو ,كيميه ي أ,ألرضأو ه أو ةا ل14أ
13خليل رزو و ادسالم و البيئة بيروم :ار الها ي لل باعة و النشرو )2006ال بعة ا ول ص43 . 14انظددر موقددع http://www.wildlife-pal.org/Environment.htmحمددل اليددوم الرابددع والعشددر ن نوفمبر 2012
1922 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
أفميييطدءأ ,بي ي أهي أايييطدءأغييه عأ سيينلد عأغيرتب أاييد,اةهأ يينم أ ,دقي أ ينةهأو نيأاننلداةهأفنقالأأامد -أ ,بي أ ,ريي ،أو ,بي أ ,ينهيي ،أو ,بي أ ,يي ي ،أ و ,بي ي ي أ هنمهيي ي ي أو ,بي ي ي أ ,مقهفي ي ي ،أو ,نيهسي ييي أوأهلمي ييهأهي ييرىلأوغ ي ي أذ ,ي ي أيدق ي ي أ ,نشهههتأ ,بشرغ أ ن لق أهييهأ تيه تلأوافةياعأ ,قير أ,لبي ي أليه أ ييف أيهاي أأأل أ ,قيرن أ,يييبألنييهبأ ,بي ي أوالمنييهأهيياألنيهبأ ةد غي لأأفمفةاايياأ,لبي ي أأافةيياعأغييها أفةي أ ت ييخأ ألرضأو ,نييمه أو جلبييهلأواييهأفيةييهأأايييفأ لاقييهتأوأيدقييهتأوا ي نر تأو ييا هرأ نلف ي أالييهأفيةييهأ ننييه أوأاييهأدييي أأ يياأايييفأمو فييعأويا هييفأوأ ر ي لأوأغنمي ي أذ ,ي أ فة يياعأ ش ييما,يناأفة ي أتض ييمأل ي أ لاق ييهتأ يأت ييه أا يييفأ ن ييبأوأه ييه أوأ ,ب ييهرأوأ ألرييهرأوأ جلبييهلأو ,نبهتييهتأوأ حليانييهتأوأ حلشيير تلأ15أفةنييه أنغييهتألمييرياأتن ييد أ شييك أيييهعأييييفأتل ي أ ,ظييههراأيل ي أسييبي أ مييهلأقا,يياأت ييه أ الِ م ِأدأخ َلي ِيقأ ,منييمهو ِ تأ َ ََ و ألَر ِ ِ ِ ِِ مةييه ِرأو َ,لف َلي ِ أ ,م ِيو ََ ِ ِ مه َأوَاييهأنَنيَ َلأ َ َ ض َأو َخيندَفأ ,لمَيي ِ َأو ,ني َ َ أجليرملأدأ َ,بَ َ يرأاليَيهأغَن َف ليعأ ,نمييه َ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ يي ِر ِ ِ غفأ يهأوَ م يثأف َيةيهأاييفأ للي ِّ َ أم يم َأوتَ َ ألر َ ,لقالأا َيفأ ,من َمه أايفأ ماه أفََ َ يَيهأ ياأ َ ضأ يَ َ َيد َأا َا َ َ ضأاغ ٍ هءأو ,من ِ يهتأَِّ,ق َياٍعأغيَ َ ِقليا َ أ[ ,بقيراأ أ]551أ هبأ َ,لم َن ِّ يل ِرأ يَ َ َ ينيأ ,من َيمه َأو أل ََر ِ َ ِّ,رغَ ِ َ َ ِ يهأدأ للم ِ ياعأِ,نَي َةنَ ليدوَ ِأهَ ِ يهتأ َ,بَي ِّير َأو َ,بَ َ ي ِرأقَي َدأ ئر َ ملأه َ َأ َ,لك لمأ ,ن ل نغضهأوله َاأ ,مي َ َ وقالأت ه أ َ ي ي ي َلنَهأ اغ ي ِ يهتأَِ,ق ي َياٍعأغيَ َ لَ لم ييا َ أ[ ألن ييهعأ أ]75فهحل ييدغثأي يييفأافة يياعأ ,بي ي ي أالذ أه يياأ فَ م َ حلدغثأييفأاكانه هأ ,طبي ي أوييفأ ,ظروفأو ,ا ا أ ,وأت يشأفيةهأ ,كه نهتأ حلي ل أ وغرىأ ,قر أن أ ,بي أألهنةأو داأاا يداأأ أتنري نأاييفأ ييثأ ,نشي اأو ,نفهيي أ مأاييفأنيم َف ٍ ِ ٍ أه َي َ ِأاَني َةيهأ نيأينهحرأ ,كا ألمهأنغهرأال,ياأقالأت ه أ َأخلَ َق لك ِّ يب َأو َيداأكلم َ ِ ِ أخ َلقيهً ِأايييفأ يَ َي ِيدأ يهأونَنيَ َلأ َ,لكي ِّ يمأاي َييفأ َألَنَي َي ِيهعأَمثَهنِيَي َأن ََهَو ٍج َ أخيَأل لق لكي َيم ِأدأ لطيليا أنلما َةييهت لك َم َ َهَو َه َةي َ ٍ ٍ ِ ي َيرفلا َ أ[ ,ايرأ أه َياأفَي م َىنأتل َ َخ َل ٍق ِأدأ لل َمهتأنَ َيد أ َذ ,لك ليمأ ,لميال َأرئ لك َيمأَ,يالأ َ,لم َلي ل أَ أالَِ,ياَأالِم ل ِ ضأ أخلَي َيقأ ,مني َيم َهو ت َأو َألَأَر َ أ]5أوقييهلأت ييه أنغضييهأدأ ييههراأ ,نفهي ي أ يينيأ ,كالييب َ 15قارن بصالح محمو وذبيو البيئة من منظور إسالمي
ار ال كر :مشقو )2004ص47 :
~ 1923
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
مةي َيهر َ م ِ ب َأو َ َ,ق َمي َيرأ لل ي أ ِي َ يهحلَ ِّقأغل َكي ِّيالرأ ,لمَيي َ َ مةييه ِر َأوغل َكي ِّيالرأ ,ني َ أيلَي أ ,ني َ أيلَي أ ,لَي ي َأو َس ي ملَرأ ,مشي َيم َ ِ يهرأ[ ,ا ييرأ أ]3أو ,ق يير أغط ييهأ ,ييبأ نن ييه أأ أا َن ييم أنََ ل َهي ي ٍ ل ََجيي ي ِرملأأل َ أه ي َياأ ِ َ َ,غي ي ل أ َ,غَ مف ي ل للليفي أدأ ألرضأ,ل فييهظأيلي أ ,طبي ي أو ,بي ي أألمييهأدأسيياراأ أليييرف أ35أأوغطييهأ ,باأنغضهأأ,دهنمهعأالري أأ ,نا ه أأجلههأ ,بي أألمهأدأساراأ ألسر أ55لأ أ ودأيلييمأ ,بي ي أأ,قييدأقنييمأ ييضأ ,بييه منيأ ,بي ي أال أقنييمنيأر ينيينيأيفييه -أنو أأ ,بي ي ي أ ,طبي ي ي ي -أوه ي ي أيبي ييهراأيي يييفأ ظي ييههرأ ,ي ييوأ أمخ ي ي أ,كنني ييه أدأوهامه ي يهأنوأ سيينلد اةهأوايييفأاظههرهييه أ ,ي ي ر ،أ ,ب ييهر،أ نييهخ،أ ,نضييهرغب،أو ييه أ ,نييط ،أ و جلييادأو حليييهاأ ,نبهتي ي أو حليا ني ي لأو ,بي ي أ ,طبي ي ي أذ تأت ي نريأابهغييرأنوأ ييريأابهغييرأدأ يهاأنغ ألهي أ يي أ )Populationأاييفأنبيهتأنوأ ييا أنوأالننيه لأونهنييهأأ ,بي ي أ ش يييدا -أوتنكي ييا أاي يييفأ ,بني ي ي أ ألسهسي ييي أ همغ ي ي أ ,ي ييوأغي يييدههأ نني ييه أواي يييفأ ,ي يينظمأ هنمهييي أو سنيهتأ ,يوأنقهاةيه،أواييفأكأميكييفأ ,نظيرأال أ ,بي ي أ شييداأاييفأخيدلأ ,طرغق أ ,وأنظمةأههأ تنم هتأ يه يه،أو ,يوأ يريتأ ,بي ي أ ,طبي يي أقداي أ حلههيهتأ ,بش ي يرغ ،أوتش ي ييم أ ,بي ي ي ي أ ش ي يييداأ س ي يين مه تأ ألر بي ي ي أ,ل ريي ي ي أو ن ي ييههقأ ,ن ي ييكني أ و ,ننقيبأفيةهأييفأ ,مرو تأ ,طبي ي أولي ,أ نههقأ ,ينهيي أوليي ,أ نيههقأ ,يينهيي أ
و رل أ ,نرهرغ أو د رمهأو ,ههدأو ,طر للل خلل16أ أ أو ,بي أ شيقيةهأ ,طبي ي أو شييدأهي ألي أانكهاي أغشيم أالههرهيهأ ,كيراأ ألربيي ،أ نوأ,نق ي ألالييبأ حليييها،أواييهأغ ي نرأفيةييهأايييفأاكان ييهتأ ,كييا أ ألخ ييرىأوعناغييهتأهييي أ هييهرأ,ينييةأههاييداأ ي أنرييهأم مي أ ,نفهيي أاي نراأواني نرالأهييي أرالييهأ ييهأغرغييدهأأعمييدأ ِ تأوَاي ِ ِِ ِ يهأدأ غي رورأ ننييبيحأ ,ييهجألمييهأنغييهرأال,ييياأقا,يياأت ييه أغل َنيبِّ لحأ,لمييا َأاييهأدأ ,مني َيم َهو َ َأل ََر ِ ضأ َ َ,ملِي ِ أ َ,لقي ئد أو ِمهأ ِ َ َ,غي ِأ َحلَ ِكييي ِمأ[ جلم ي أ أ]5لأ ,ننييبيحأهنييهأ,يييبأال ي أ ,نطييقأ 16قارن مع تبو نصر هللا عبد الع ) ص 28-25 :ا
فا ضل و البيئة من منظور الشرعي بيروم :ار الكت العلمية و 2009
1924 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
بأللم ي أقسييب ه أ يقأوأ,كنيياأال ي أ حلرل ي أ جلد,ي ي أأوأ ,نفهيلي ي ل17أو ننييه أنفنيياأ و ييدأايييفأاكانييهتأ ,بي ي أغنفهيي أاييعأاكانه ييهأالييهأدأذ,ي أنقر نيياأايييفأ ,بشيير،أوقييدأورمأ هييي أ ,فةييمأ ,شييها أيلي أ,نييه أ ,نيييدأغانهنييةأ ألايينيأ ,ييهعأ,ألاييمأ ن ييداأ يييثأقييهلأ قنننييهأغ ي نهأنعأن ينييهأننييهفرأسيياغ أيل ي أ ةييرألالييبأاشييع للأو,يييبأ,نييهأ ييدغ أا قييالأ ساىأن أن م ألي هًأ,نر أاناأ ي أنننطيعأ يفأونهفه,نهأن أن يشأفيةيهأ ييهاألهالي أ ان قلأوأهي أغنطلبأاييفأ ننيه أوهياأ ,هقي أ ,ا ييدأ ينيأحيارأ حلييهاأن أغن هاي أايعأ 18 ِ يمييهأ ,بي ي أ ييه,رفقأو حلنييه ،أغنيينممرههأمو أالتييدفأنوأتييداريل أألمييهأقييهلأت ييه َأو َينَي ِاأف َ ِ ِ ِ م هأونَ َ ِنييفأ َل َميهأنَ َ َن َييفأ ,لميالأالََِ,يي َ َأوَ أ ينبأنَيييبَ َ أا َييفأ ,ي ئدنَييَ َ تَه َ أ ,لالأ ,مد َرأ َاخ َيراَ َأوَ أتَ َ ِِ ضأالِ م أ ,لمياأَ لِ يهم ِأدأ َأل ََر ِ غيفأ[ ,قيييتأ أ]55أهيييهأ اغي أتشييريأ أدي ئ تَيَبي ِاأ َ َ,ف َني َ َ يبأ َ,لم َفنييد َ ال أنن يياأ أغن ييمحأأ,كنن ييه أن أغق يياعأالمهرس ي أ ,فن ييهمأدأ ألرضأ ييدأن أن ن يييفأ يأ ت يه أألليقأهيي ,هجأدأن نييفأ حلي أأفضييدأيلي أن أ ألرضأهياأ كيه أو قيرأ ,فرغييدأ ,ألنن ييه ألم ييهأغش ييريأال,ي يياأ ,ق يير أ ن يياأ أغي ي لأغ يييلرهأاف ييرم أوجأغ ييرمأدأ ,ق يير أللم ي ي أ قنر ب ق أ أأوالذ أ هل نهأدأ ,ع أ سدا أأفياهدأهنه أأنناأقدأقهعأ ,ن أحل أ يأأيليياأ وأسلمأأ ف أ ,طبي أ نكاغيفأ نطق أ را أو ,يد راأ لييي أحلمهغي أ يا رمأ ,طبي يي أأ و حليان ييهتأ قهح ي أ ي ييثأ أأد ي أأل ييدأن أغ ذغة ييهأنوغقنلة ييهلنوأ ب ييهراأنخ ييرىأهن ييه أ ادغ ييدأ ت ييه تأ ,ييوأ أغنبغي ي أ ه ن ي ييهجأ,قا ي ييدأ ,نظ ييهعأ غكا ,يياه ،أامي ي أ ,ين ييه يعأ و ألر ي ييهرأو ريه ي ييهلأومغ ي يييفأ س ي ييدعأ ,ي يياأنغض ي ييهأقا ي ي ييدأحلمهغ ي ي أ حلي ي ييهاأ ,ربغ ي ي أو ,غه ي ييهت،أ و ألغرهرلأهي أهاأاهأغنم أأالفةاعأ حلمي لأ حلمي أهياأعهو,ي أحلمهغي أ قيا أ يا رمأ ,طبي ي ي أ ألحييلي أ,ل فييهظأيل ي أ ,طبي ي ألأفقييدأروملأييييفأأهييه رأ يييفأيبييدأ يأ ,نييلم أ 17محمد شحرورو القرآن و الكتاب قراءة معاصرة 18انظددر موقددع http://www.wildlife-pal.org/Environment.htmحمددل اليددوم الرابددع والعشددر ن نوفمبر 2012
~ 1925
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
حييه بأرسييالأ يأحييل أ يأيلييياأوأسييلمأقييهلأ أال أ,نييهأ نمييهأو لمهنييهأوهييمأخيبطييا أ يل أ نمةمأايفأهيهأ ,ممراأ حلبلي أقيهلأخهرهي أوهي أمثيراأ ,نيمراأقيهلأهيه رأ أكأ أ أ خيب أو أغ ضدأمح أرسالأ يأحل أ يأيلياأوأسلمأو,كيفأهشا أهشهأقهلأهيه رأال أأ لييه أرس ييالأ يأح ييل أ يأيلي يياأوأس ييلمأن ن يياأق ييهلأغنة ي أن أغقط ييعأ ن ييدأق ييهلأه ييه رأ و ندأارومأ,لبكراأقهلأ يفأن أنوغبأ حلم أ الأ دغن ل 19أ أفم يييفأ ب ييهم أ ألخدقيي ي أدأافة يياعأ حلمي ي أه يياأاب ييدنأ أب ييررأو أب ييررأوي ييدعأ فنييهمأ,ل ييهجأو ,د ,ي أا يياأوذ ,ي أ,ن قيييقأ ةييدفأايييفأخلييقأ ,كييا أ سيياراأ,قمييه أ )03أو سيينلدفأو سيين مهرأدأ ألرضأاييعأاري ي أ ننييرهعأ ,ييهج،أأأل أ نن ييه أ هاأخليف أ يأدأ ألرضأوهاأ ن ولأييفأ همهيهرأ ألرضأ أسياراأ ,بقيرا أ،03أأسياراأ حهم أ،05أوساراأهام أ)55لأ أ أ .4العالقة المثلى بين اهلل واألنسان و العالم
ال أنهاي أ ,بي ي أ ,ييوأبيير ةأأ لييدنهأأالندونينيييهأ يييف أخهحي أو ييدمأ ,ييهجأ يييف أ
يها أألهنةأ نببأخط أ شرملأدأالم راأ ,طبي أأل أ يأت ه أدأ حلقيقي أأقيدأخليقأ هييي أ ,ييهجأانا هنييهأوأاننييرمهلأو,كيييفأيمليييهتأقطييعأ ألغييرهرأ ييريأ ,قييهنا أو ,ن ييدغيفأ ريأ شروع،أو سنلد عأ ,بياتأ ,هههي أوليي ,أ سينغدلأ ,يهجأأ يههراأاابيايي أ و قي ي ي ي أت ي ي مملأال أتغي ييريأ ,طقي ييبأ،أونها ي ي أ يي ييههأو ,فيضي ييهنهتأو ريي ييهر تأ ألربي ييي أ و ,كييا ر أدأل ي أاكييه لأفلييي ,أقييهلأوغنيياأ (Whiteأال أنها ي أ ,بي ي أدأهاهننييهأ ا أأجأتنناأال أ دأنننهأفدأق ,دغيفأ جلدغدقأ20لأال أهيي أ ,قيالأيلي أايهغرهأ ,كهتيبأأ في يياأالغ ييهراأأال أن أ ,يينة.أ نب ييعأدأ ,ن ييدغيفأ أ ييدأا يييفأالي ييهماأ ,بن ييه --أفكي ييفأا ييمدأأ 19تحمد ابن حسين تبو بكر البيهقيو سنن البيهقي الكبرى وباب كراذية ق ع الش رة بكدل موضدع ال د ء الخدام ص200 : 20و تده ج .ر لو The Historical Roots of Our Ecologic Crisisو سدي ين شهر مارس وسنة 1967وص1203 :
)Scienceالعدد 155
1926 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
غك ييا أافة يياعأ ,ييدغيفأأ,لبي ي --أايييفأخييدلأأتفنييريأ ,ق يير أ ,ك ييرْأدأنا يياأ جلدغييدلأ فليي ,أأ ه,ننييي أأ,نفنييريأ ,قيير أ يييفأدأ ههي أاهسي أال أ ا حييل أ لييمأ ,بي ي أنوأاييهأ غنم أ هألغكا,اه أ إأغمميرأاننههيهأخهحيهأاييفأ ,نفنيري تأ ,قر نيي أذ تأ هنميهعأ الشكل أ ,بي ل أ ال أ ,بي أ اهاماأاييفأ ا,نيهأةيهأنيفيي ألبيرياأ,ل فيهظأيلي أحي ننهأوليي ,أيلي أ نظرأ جلمهعأ,ي ,أ دأايفأوهامأيلمأغ م أيل أمر سينةهأ ,ييملأغنيم أ ليمأ ,بي ي أ ,يملأ,اأيلمه أ نينيأغ ملا أيل أ ,وأ نمأ ه,كه نيهتأ حليي أو ,دقيهتأ ,يوأتكاريهأ اييعأ ,بي ي أعناغييهتلأالنيياأ يييفأ ,ضييرورملأحيييه أ نييه أ ,فكييرأ,ل دقي أ ملي أ يينيأ يأت ييه أ و ننييه أو ,ييهجأأأل أهييي أ ,نيييارأ,يياأمورألبييريأدأأا هجل ي أنها ي أ ,بي ي أ قطريالهيييهأ ,قض ييي أنح ييدأأتن ل ييقأ ييهألخد أا ييعأ ,بي ي ي أأ ي ييثأهن ييه أغاه ييدأيلي ي أ ألقي ي أن ييد أ ,نيهرتأينداهأنن د أييفأ ,دق أ نيأ ألننه أو ,بي أوه أأ أ أأنو أأاهأغنم أ نييهراأقننعو ياأسيينعغبقأأال ي أن أ ننيه أهياأ يارأو رلي أ ألسييهمهأدأنظييهعأ حلي ييهاأأوهيياأ ,يييملأغ يينيأوأد ييدمأأا ي أوه ييامأ ,ييهجلأفه ,ييهجأوا ييهأ دناغاأايفأ للاقيهتأدأنفنياأيندهييهأ ,نييهراأأ,ييبأ,ياأا ي أمو أوهيامأ ننيه أ21أ الذأل ييه أ ألس ييهمهأدأ ,اهامغ ي أه يياأ ألنن ييه أنفن يياأمو أ ييريهلأأه يييهأ ,ني ييهراأفيم ييهأغ ييرهأ ,كهتييبأغ ي مملأال أ سيينةد أو سيينغدلأ ,ييهجأ ييدو أن أغري ي أأ ,نييا ه لأل ي أخدف ي أ نني ييه أدأ ألرضأه ي ي أ قدف ي ي أمو أنملأ ن ي ي ,يهتأناي ييهعأ يأت ي ييه أاي ييعأنري ييهأناهن ي ي أ تكفلةهأ ألننه أوأسافأتن أييفأليفي أنم ةهلأقهلأت ه أايلرأييفأنيفيي أهيي أ أالنميهأ ِ تأو َألَر ِ ِ يهلأفَي ي َ ينيأنَ َ ِ يهأونَ َغ ي ي َف َق َيف ِأاَني َةي ييهأ َيَر َ ض َأو َجلبَ ي ِ َ َ َ َ ب يينَهأ َأل ََاهنَي ي َ َ أيلَي ي أ ,مني ي َيم َهو َ َ أدم َلنَي َة ي َ ِ ِ يبأ أه لةي ييا ًأ[ أل ي ي بأ أ]50أوقي ييهلأنغضي ييهأ ن ََ نني ييه ل أالنيم ييالأ َلي ييه َأأ َلاا ي يهً َ َد َني ي ل َو َمحَلَ َةي ييهأ َ َ ِ أس ي ًيدىأ[ ,قيها ي أ أ]05لأأفطب ييهأه يييهأ ,ني ييهراأ أتا ف ييقأا ييعأانظ ييارأ نن ييه ل أنَ أغيلَن ي َيرَ ل َ َ 21ت .سوني كيرااو Etika Lingkunganجاكرأا :كومباس )2006و ص33 :
~ 1927
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
,قير أ ,كييرْأ ,ييملأغ ييدأن أ للاقييهتأ يريأ ننييه أنايمأنامه,ييالأقييهلأت يه أ أواي ِ يهأايييفأ ََ يهب ِأاييفأغي أٍ يهأدأ ِ ,كنَ ِ ضأو َأهَهأِ ٍرأغَ ِطري ِأِبَنَه َ َي ِاأالِ مأن َلامأن ََامَه,ل لكمأ ماهأفَيمرهَنَ ِ ٍِ َم م أدأ أل ََر ِ َ ل ََ ِ أد َشي ي ليرو َ أ[ ألن ييهعأ أ]08لأفي ييدأجي يياهأن أغ ذغةي ييهأ ألنن ييه أأأال أأ ي ييهحلقأأ كلمأالِ َ َأرِّه ي َيم لَ فضدأيل أن أغننة أ قا أ يه هأ دو أ ,ريهغ أيل أ ,نا ه أو ننرهعأهي أ ,هجلأ أ ونهنيييهأأاييهأغنييم أ نيييهراأقنغكيياأسيينعغبقأو ييضأيلمييه أ ,بي ي أغنييم أأأ نيييهراأ ق ي يياأس يينعغبقأأوه ي أتي ييهراأتقه ي أي يييفأ ,ني ييهراأ ,ن ييه ق أ ي ييثأن أل ي أ للاق ييهتأة ييهأ قيمنةييهأوي ييهأوأ قاقةييهأ ,ييوأ أ ييدأايييفأ يع فةييهأوأمحهغنةييهأ غييضأ ,نظييرأنه ي أافيييداأ
,كنن ييه أنعأ ل22أه يييهأ ,ني ييهراأفيم ييهأغ ييرهأ ,كهت ييبأن ن يييفأا يييفأ ,ني ييهراأ ,ييألو أ ر ييهأ ت نرب ألخرىأايفأ للاقهتأأ ريأ ننه أذ تأي اأو قا أ دأاييفأ ع اةيهأدأهييهأ حليييهاأ ييإأ أغن ييمحأ,كنن ييه أن أغفن ييدههأنوأهدا ييالأو,ك يييفأه يييهأ ,ني ييهراأغب ييدوأنر ييهأ م ييشأي يييفأموريأت ييه ألهق ييه,قأدأه يييهأ حلي ييهاأأأل أ ,ييرباأهي ي أ لل أاق ييهتأ حلي ييهاأ ف نبأوأل ناأ أيرباأ اهامأ يأت ه أومورهأدأ حليهالأ أ فلي ,أهنه أ أ دأايفأال رهأ ,نيهراأ ,مه,م أوه أاهأغنمياأ ,كهتيبأ نييهراأقنغكياأ تيا,ياه قأ ,ييوأت يدأن أ يأت ييه أهياأخييه,قأهيي أ ,ييهجأوأايهأفييياأاييفأ للاقييهتأأوأننيياأ ههيي ي أه ييي أ نن ييه أأللليفي ي أدأ ألرضأأفل يياأت ييه أ ييقأن أغ ب ييدهأأ ألنن ييه أ ييقأ يبهمتيياأأون أغشييكرهأيلي أليييعأن ميياأت ييه أأودأبييميفأهييي أ هييهرن أغري ي أ ننييه أ هي ييي أ ,ي ييهجأوأا ي ييهأفيي يياأاي يييفأ لاقهت ي يياأت ي ييه أ ك ي ي أ ,ريهغ ي ي أأألني يياأس ي ييافأغن ي ي لأي ي يييفأ اةم قليف أدأهيهأ ألرضلأهيهأأ ,نيهراأهي أ ,يوأتنهسيبأايعأ ,قير أ ,ظييمأيلي أايهأ يهأخلَ َق ي ل ِ ِ يبأالِم أِ,يَي َ بلي ليدو ِ أ غ يأير هأ ,كهت ييبلألم ييهأنغ ييهرأال,ي يياأق ييالأت ييه أ َأوَا ي َ يةأ َجلي ي ميف َأو َ ن ي َ ِ ملأخلَ َق لك ي َيمأ يهمهأ َيبلي ليدوَ َأرم لك ي ليمأ ,مييي َ [ ,ييي رغهتأ أ]35أوق ييهلأت ييه أأنغض ييه َأأغ ييهأنَغيئ َة ييهأ ,نمي ل مِ غيف ِأايييفأقَي َيبلِ لك َمأَ َ,لم لكي َيمأتَينمي لقييا َ أ[ ,بقييراأ أ]05لأفينبيينيأايييفأتلي أ اغي أن أيبييهماأ يأ َو ,ييي َ 22ن
المرجعو ص53-49 :
1928 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ت ه أا لق أ يف أ يأت ه أ ,يملأخلقأ ننه لأفاذ أنن أ ننه أييفأيبهمتياأت يه أ فقدأخه,فأييفأ ,غرضأ ألسهسي أاييفأخلقياأت يه أ,كننيه لأأأوقيهلأنغضيهأ ه,ننيب أ,يكأ أه ِ هيي ِأدأ أل ََر ِ أخلِي َفي ًأقَييه,لاَأ يهل َأر يئ َ أَِ,ل َمدَِ َكي ِأالِ ِّ َأ أأوالِ َذأقَي َ ض َ ننييه أللليفي أ يأت ييه أ َ ِ ِ ِ ِ ِ نَ ِ يهلأالِ ِّ أ ِّمهأَ,ي َ أقَي َ َ يهأوغَ َنيف ل أ ,ييد َ َجل َي لأف َيةي َ يهأاييفأغيل َفني ليدأف َيةي َ ِّاه َأوََ لييفأنل َنيبِّ لحأ َ َمييد َ َأونيل َقيد ل ن ََيلَي ليم َأاييهأ َأتَي َ لَ لمييا َ أ[ ,بقييراأ أ]03أوأنلييدأرسييالأ يأحييل أ يأيلييياأوأسييلمأ أ لللئ لكي َيمأ أي َيف َأر ِييمنِ ِاأللل 23أ َر ٍع أَأولللئ لك َم َأا َنلال َ و نطدق ييهأا يييفأه يييهأ ,ني ييهراأ ملي ي أأغ ييخأتي ييهراأقنغك يياأتيا ,يياه أأتك ييا أ ,دقي ي أ نا هن ي ي أ ي يينيأ يأت ي ييه أوأ ي يينيأ نني ييه أو ,ي ييهجأأيدق ي ي أو يفي ي ي أان ي ي و,ي أأال ي ي أن أ نن ييه أا يييفأنهي ي أاقي ييقأاةمي ي أ قدفي ي أدأ ألرضأ أ ييدأا يييفأ س يين مهرأه ييي أ ,ييهجأأ يييثأن أغنيينلدعألي أاييهأغفيييدأ,يياأايييفأاييا رمهأأمو أن أغفنييدهأأون أهييي أ ,ييهجأخلييقأ ِ ض َِ ملأخلَي َيقأ َ,لكييمأ ماي ِ يهأدأ أل ََر ِ ألي يهًأكلمأ َس ينَي َاىأالِ َ أ ,كننييه ألمييهأقه,يياأت ييه أ ل أهي َياأ ,مييي َ ٍ أح ييهو ٍ أيلِيييمأ[ ,بق ييراأ أ]07لأفي ي يحأن أ ت َأوله ي َياأ ِ لك ي ِّ َ أغ ي َ َ ,مني َيمه أفَ َن ي ما له ميف َ أسي َيب َع ََ َ ننه أ رأدأيملاأأو,كيفأ رغناأعدوماأ رغ أ ريهأأوهاأان ولأينال أ ودأانظ ييارأ ,ق يير أن أ ,ييهجأه يياأ غ ي أا يييفأ غ ييهتأ يأت ييه ألم ييهأقه ,يياأت ييه أدأ ِ ِ ,ق ي يير أأأالِ م ِأدأخ َل ي ي ِيقأ ,من ي ييمهو ِ ت َأو أل ََر ِ يهتأِّأل َلوِعأ مة ي ييه ِأرأاغَي ي ٍأ َ ض َأو َخ ي ييندَفأ ,لمَيي ي ي ِ َأو ,ني َ ََ ألَ,بي ِ يهبأ[ لأيميير أ أ]573أأأ اغ ي أأهنييهأال ي أق ,دا ي قأأنفييبأ غيينقه أ كلم ي أ َ ق ,ييهجقلأفميييفأنفنييدأهييي أ ,ييهجأفقييدأنفنييدأأ غ ي أايييفأ غييهتأ يأسييب هناأوأت ييه أأوأ ذ ,أأه أايفأ هرس أ ,كفرلأو ننه أنفناأهي أاييفأ ,يهجأأأل أايهأسياىأ يأت يه أ ه يياأ ,ييهجأألم ييهأأنسش ييهرأأال ,ي يياأق ييالأت ييه أ أقلللال أههيي ي أدأ ألرضلللقأ س يياراأ ,بق ييرا أ)03لأأفينب يينيأن أ يأه ي ي أ معألممم ي ي أ نن ييه أدأ ألرضلأدأه يييهأ اغ ي ي أأ غنينلدعأ يأت يه أ يرفأقدقأالغيهراأ ي أ ننيه أليه يفأوسيهليفأدأ رضأوهياأهي أ 23البخاريو صحيح البخاريو ال
ء الثالث ص 414 :و ماءخوذ من المكتبة الشاملة ادصدار الثاني
~ 1929
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
اي يييفأ ألرضأنوأ ,ي ييهجلأوجأغق ي ي أقيل ي ي أ رضقأ ي ييهذ ؟أأأأل أ ي ييرفأقيل ي ي قأدأه ي ييي أ ,نيييه أغفيييدأا ي أ ,غلبي أأ ييإألي أ ننييه أغنييمحأ,يياأن أغقيياعأ ننييلريأهييي أ ,ييهجأ و سنغد,اأمو أ ,ريهغ أ,دسند ا لأو يأنيلم أ .4القيم األخالقية القرآنية إلدارة هذالعالم
ال أ يأس ييب هناأوأت ييه أجأخيل ييقأه ييي ,هجأال أ ي ييل أ نن ييه أونن يياأت ييه أجأ خيلقأغي هأيبمهأأ أ,ك أغي أانف أو كم أأالذأننبنةأ أل ه أ ,لمي أ ناألميريأاييفأ نهفعأألغيه ألمرياألنهأن دههأبهراأنوأ دأنفعأفنرههأ ا أسرأانهف ةهأو كمةيهلأقيهلأ تأو ألَر ِ ِ ِ ِ أجلي ِر ِ ملأدأ مةييه ِر َأو َ,لأف َلي ِ أ ,مي ِيو ََ ت ييه أالِ م ِأد َ ض َأو َخييندَفأ ,لمَيي ِ َأو ,ني َ أخ َلي ِيقأ ,مني َيم َهو َ َ ِِ ِِ ِ ِِ ضأ يَ َي َيد َأا َاِ يَيهأ ألر َ يهمه َأوَاييهأنَن يَ َلأ ,لقييالأاي َييفأ ,مني َيمه أايييفأ ماييه أفََ َ يَييهأ يياأ َ َ,بَ َ يرأاليَيهأغَن َفي ليعأ ,نمي َ وي م ِ ِ أم مي ٍأوتَ َ ِ يهءأو ,من ي ِ ينيأ ,مني َيمه َأو أل ََر ِ ضأ هبأ َ,لم َني ِّ يل ِرأ َي َ َ ي ي ِرغفأ ِّ,رغَي ِ َ َ ََ يثأف َيةييهأايييفأ لل ي ِّ َ َ ٍ اغي ٍ يهتأَِّ,قي َياعأغيَ َ ِق لييا َ أ[ ,بقييراأ أ]551ألف لي أ ننييه أن أغنييد رأوأغريي أوأدمي أهييي أ َ ,هجأوأاهأفياأايفأ للاقهتأ إأغننفيدأ ننه أاهأايفأ كمأوأانهفعأخلقالأأأأأأأ أ و,ييي ,أنن ي لأسييب هناأوأت ييه أأ ,قيير أ ,كييرْأرمح ي أوهييدىأ,لنييهمهأوأهومهأ يأ ت ييه أأ ه ,قي ي أو ,قل ييبأ ييإأغن يينةدملأا ييهأدأ ,ق يير أا يييفأ رغ ييهم تأوأ ,ناهة ييهتلأ فه سيينةد أ ييه,قر أغ ي مملأال أأقر ي أرمح ي أ يأت ييه لأفطب ييهأأ ه,ننييب أال أالم راأوريهغ ي أ ,ييهجأ أ ييدأ,لمنييلمنيأن أأغره ييا أال أ ,قيير أله يييدرأ ألسهس ي أدأ سييننبهنأ ,قيييمأ ,ر ف أ ,ه,ي أو ,فهبل لأفنافأغاهدأهنه ألميريأاييفأ ,قييمأ ,ألخدقيي أ ألسهسيي أيلي أ اييهأغييرهأ ,كهتييبأ م راأوريهغي أهييي أ ,ييهجلأفميييفأ ,قيييمأأ ألخدقي ي أ ,ييوأ أ ييدأن أغنييريأ يليةهأ ننه أه أ أ أأأنو لأاب ييد أ ,نا ي ييدلأالذ أت الن ييهأأدأ ,قي يير أ ,ك ييرْأأفياه ييدأهن ييه أأ قهحي ييدأ ,قرنني أ ,وأ دأايفأ هنمهااأ يثأن أف لةهأنسهسيهأوابهم يهأحلمهغي أهييهأ ,بي ي أ ييف أ خهح أوهي أ ,يهجأ ييف أيهاي أوهياأافةياعأ ,نا ييدأ ,ييملأهياأالفير مأ يأتبيهر أوأت يه أ
1930 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ه,ر ا ينياأو أل,اهيي أأفيدأغشيهرلاأأن يدأأدأنملأغي أاييفأهيي أفةياأاقييدأغ يدأدأقمي أأ اقهحيدأ ,قيير أ ,لي لأفه,نا يييدأغي نرأدأ يييهاأ ننييه أايييفأ نلييفأ ,نييا أ ,فكرغي أوأ ,دغنيي أوأ حليييهاأ ,نطبيقيي لأفةيياأبييدأ ,شيير أويلمنييهأأن أايييفأ هرسي أ ,شيير أهيياأ ,كفييرأ يين مأ يأت ييه أ يييثأن أ أغريي أهييي أ ,ييهجأ ييقأريهغنييالأفبه,نا يييدأأغناقييعأن أغكييا أ هنييه أتلي ي أ ننييه أ,نفنيياأوأ,بي نيياأوأ,نظييهعأ يهتيياأوأ,ك ي أاييهأغ هغشيياأأنوأاييهأغنيييلاأ لفة ي أفييدءأ ننييه أأو اكهننيياأ,لقيييهعأهم ي أ ,افييه أأغ ي أ ,افييه أ ان ي أ يأت ييه أايييفأ سيينلدفأو سيين مهرأهييي أ ,ييهجلأوميكيييفأ,نييهأ نييبأاييهأغييرهأ ,كهتييبأن أنطييارأافةيياعأ ,نا يدأافةااهأأو س هأاييفأخيدلأ ي أ ,لغياملأال ي أننياأتا ييدأ ننيه أو ,كيا أنملأ ننيياأ أميكيييفأ ,في ي أ يينيأ ننييه أو ,كييا أ أ ينةمييهأيدق ي أونيق ي أوأانين ي أ أميكيييفأ فكةالأف نداهأغفندأ ننيه أهيي أ ,كيا أفم نيههأغفنيدأ,نفنيالأن,ينيةأاةمي أخدفي أ نن ي ييه أتك ي ييا أدأ ألرض؟أو ألرضأه ي ي أ ك ي ييه أ د ي ييمأ ,ا ي ي ييدأأ,كنن ي ييه أأأف ي ييهذ أ فندتأوأهلكةأ ألرضأفدأميكيفأ ,قيهعأ,كننه أأالةم أ قدف لأأأ أ أنهنيييهأأابييد أ ,د ,ي لأهييي أ بييد أهيياأايييفأ ألحييالأ ,ييوأ أ ييدأايييفأأ ,نمني أأ هييهأأدأالم راأ ,ييهجأومحهغنيياأأأل أ ,قيير أغ ارنييهأأ ه ,ييدلأدأل ي أتيييرفهتنهأأوأدأبييميفأ ذ ,ي أأ هالي أايعأ ,بي ي أأألميهأحييرءأ ياأ يييف أيهاي أقا,يياأت يه أالِ م أ ,لقيياَأغيَ َ لا لرأ ِهَ َ,ي َد ِلأ ِ ِ أي ي ِيفأ َ َ,ف َ َشييه َأو َ,لمن َك ي ِر َأو َ,بَي َغ ي ِ أغَ ِظل لك ي َيمأَ َ,لم لك ي َيمأ َو ِ َ َنييه َأوالِغنَييه أذملأ َ,لق ي َيرَو َأوغيََني َة ي َ تَي َي مل لرو َ أ[ ,ن ي أ أ]73لأأفمفةيياعأ ,د ,ي أيل ي أاييهأغييرهأ ,كهتييبأ,يييبأافةااييهأبيييقهأ فيمييهأغن لييقأ ه,قنييمأام ي أ ييا ر أنوأاييهأغن لييقأ ييهألاارأ ,نيهسييي أف نييبأأوأالمنييهأه ي أ تن لييقأنغضييهأدأل ي أها نييبأأناييارأ يييهاأ ألننييه لأأوقييهلأأ ,لمييه أ ,ييدلأهيياأوبييعأ ,شييي أدأعليياأأوبييدهأأغنييم أ ييه,ظلمأغ ي أوبييعأ ,شييي أدأ ييريأعلييالأفه ,ييدلأاييعأ ,هجأا نيههأن أ أغن يدملأ ننيه أيييفأ حليدومأ ,يوأتي مملأال أييدعأ ننيرهعأدأهييهأ
~ 1931
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
حليهالأوهي أ ,دلأاطلابأايفأ ننه أدأل أغيي أدأ همغيهتأو ناغيهتأأليي ,أ نغضهأدأناارأ ,بي أوأ حليهاأللةهل أ نه,مييهلأابييد أ ,نييا ه لأأفييه,نا ه أ,غي أن أغننييهوىأ ,شييي ه أدأ ,يياه أ يييثأأن أ أ غننةل أو سنغ أ ننه أاا رمأهيي أ ,يهجأمو أريهغي أ ,نظيهعأ ,بي ي لأو يهأ أغي أفيياأ ن أ يأت ه أخلقأل أغ أدأهيأ ,كيا أ نيهبأواقيد رلأأفيهأ ,قير أأغشيريأال,ينيهأن أ ]أنأم أ ب ي َيعأ ِ َ,ميي يَ َ أ[أَ 5 يهأوَو َ يأخل ييقأه ييي أ ,ييهجأ ييه,نا ه أق ييهلأت ييه َأو ,من ي َيمه َأرفَي َ َة ي َ تَطَغي ييا ِأدأ ِ َ,مي ي ي ِ أ[أِ 8 أختَ ِني ي ليرو أ ِ َ,مي ي يَ َ أ[ ,ي ييرمحيفأ أ]7لأ يمي ييا أ َ,ي ي َياَه َ أ ِهِ َ,ق َن ي ي ِ َأوَ ل َ ََ ]أونَق ل َ
فبهينبييهرأيلييمأ نهسييب أأ ييرمأ ييه ي أهنييهأهب ييهأ,يييبأ ,يياه أألمييهأدأ ألسييا أوالمنييهأهيياأ ي ي أ ,ك ييا أأأل أ جلمل ي أ ,ييوأتل ي أقبلة ييهأتن ييد أي يييفأ ,ن ييمه لأوأن أ ,ك ييا ألم ييهأ خلق يياأ يأت ييه أان ييا ه أدأنفن يياأانكهاي ي أ ض يياأ ض ييهل24أأودأيل ييمأ ,بي ي أن أأأا ييهأ غن ييم أ ييه,نا ه أ ,بي ي ي أنوأ ه,نظ ييهعأ ,بي ي ي أأه يياأان ييه أا يييفأ ,طبي ي ي أال ييهأاناغ يياأا يييفأ اكانييهتأ يي أو ييريأ يي أواييهأغييدورأ ينةييهأايييفأتفييهيدتأويدقييهتأانشييه ك ل أناملي أ أ ,غه ي أ–أ ,ي ي ر أ–أ ,ب ييرأ–أ دغن ي أ–أ ,قرغ ي أ–أ ,ييهجل و بييهراأنخييرىأن أ ,نييا ه أ ,بي ي هيياأ ,نييا ه أ ,طبي ي أ ,بيا,يياه أ ,يييىأغنشي أ يينيأ أل يييه أيفأ ,نظييهعأ ,بي ي أوفييياأ ديينف ألي أنيياعأ ناهغييعأيييدمىأنه ييةأتقرغبييهأ،ألمييهأغظ ي أرحيييدأ ,نهحييرأ ,كيميه ي ي أيفأ هي أ ,نظهعأنه نيهًأتقرغبيهًأ فضي أمور تأ ,نهحيرأوايهأتقياعأ ياأ ليدتأواييفأ ,ا اي أ ,يإأ ايدأايييفأ ,ن غيدأ ,درييه أألفير مأنىأنيياعأيفأ ,نظيهعأ ,بي ي أاييهأغلي 5 :لوهييامأنيييد مأ هبي ي ي أتننييهفبأيل ي أاييا رمأ ,غييي أ ييدوما 0ل -نقييتأ ييا رمأو نييه هتأ نه ي أ ,لنكهنرأو ننشهر0 .ل ,ظروفأ ,طبي يي أ ,يإأتي نرأيلي أييدمأوتاهغيعأونشيهنأ ألفير مألأ ام أ أ جلفهفأولمي أ ألاطهرأو حلرراأو ,ضا أوأ ,رغهء25أ أ 153
24قارن مع وسف القراضاويو رعا ة البيئة فدي شدر عة ادسدالم 1القداذرة :ار الشدوو )2001ص- 152: 25انظر إل الموقع http://alaabayoumionline.yoo7.com/t156 -topic
1932 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ر هلأ نه أو ننفهعأمو أ ,فنهملأفه ننه أهب يهأأغنيمحأ,ياأ ي أوغطه,يبأ انيياأأن أغننفييعألي أاييهأايييفأاييا رمأ ,كييا أ,ييديمأ يهتيياأدأهيييهأ ,ييدنيهأألمييهأأأنغييهرأال,ييياأأ ِ ض َِ ملأخلَي َيقأ َ,لكييمأ ماي ِ يهأدأ أل ََر ِ ألي يهًلللأ أ ,بقييرا أ)07لأو,كيييفأ أ ,قيير أ ,كييرْ ل أهي َياأ ,مييي َ
جيي يياهأ,كنني ييه أن أغكي ييا أ هرس ي ي أ ننفي ييهعأأغ ي ي مملأال أهل ي ي أوأفني ييهمأهي ييي أ ,كي ييا لأأ فه هال أأ ه نه أأاعأ ,بي أ يف أخهح أوأ ,هجأ ييف أيهاي أأأبيرورغ أهيد أوهي أ ضأ ي ي َيدأالِ ِ ِ هأو َميليياهلأ نغضييهأأايييفأبييرورغ أ ,ييدغيفلأقييهلأت ييهع َأو َأتيل َفني ليدوَ ِأدأ أل ََر ِ َ َ َ ح يدَ َة َ ِِ ِ نيأ[ ألييرفأ أ]35أللل َو َأتيل َف ِن ليدوَ ِأدأ ةأ ,لقاأقَ ِرغب ِّأا َيفأ َ,لم َ نن َ َخ َافهً َأوهَ َم هًأالِ م َأر َمحَ َ ضأ ي ييدأالِ ِ ِ ِِ نيأ[ ألي ييرفأ أ)83لأف ييريىأ أخَيي ييرأ,م لك ي َيمأالِ أ للن يينلمأ ئاي ي َ ان َ أل ََر ِ َ َ َ َ حي يدَ َةهأذَ ,لك ي َيم َ ,كهت ييبأا يييفأ اغن يينيأ يييلارتنيأن أ يأت ييه أق ييدأنح ييلحأه يييهأ ألرضأأوا ييهأفي يياأا يييفأ اكانهغيياأفييدأجييياهأن أغفنييدهأ ننييه لأوايييفأخييدلأيلييمأ ألحييالأميكيييفأن أغقييهلأأن أ ,نةي أييييفأ ,فنييهمأهيياأناييرأ ه نييه أأو نيه أاييعأ ,ييهجأغقييربأال أرمحي أ يأت ييهعأ وألي ,أنغضهأأن أذ ,أ نه أأهاأايفأاقيقأا أ مييه أأفيدأغي ايفأ ,رهي أنىأ أغكم أالميهناأمو أ نه أاعأ ,كا ل وميكيفأتفيي أ حلفهظأيل أ ,بي أايفأأ ,فنهمأأالهأغل أ أنو أأ ف أ ,بي ي أأاييفأ ,نلييفأأل أ ,قيير أغنة ي أريييهأا لييد أييييفأل ي أ هرس ي أ ي ي ي أت ي مملأال أالتييدفأغييي أايييفأ ,بي ي أوأه ي أ ,قيير أ يييفأميهرسيياأبيير هأايييفأبييروبأ ,نفييه أ نييهقضأ,كميييه لأقييهلأ يأأ ضأِ,يي َف ِني َيدأفِيِةييهأوغيةلِي َ أ َحليير َ أو ,نمني أو ,لقيياأ َ لِ ِ يبأ أدي ئ َ َلَ ََ َ َ َ َ ل أسي َ ِأدأ أل ََر ِ ل أأوال َذ أتَي َيام َ ت ييه َ يهمأ ,بقييراأ أ)033لأأنهنيييهأأ ف ي أ ,بي ي أايييفأ ,نلييا أأ نيياأغ ي مملأال ألمييريأايييفأ َ ,ف َني َ ألاييرضأ قطييريالأأوهييي أ ,نلييا أ ننييه أهيياأ ن ي الأينيياأوهيياأ ,يييملأغنييببأ,نفنيياأ قط ي ييرلأق ي ييهلأت ي ييه ألللو َأتيلَل لق ي يياَأ َِغ ي ي ِيدغ لكمأالِ َ أ ,نيمةل َك ي ي ي ِأونَ أ ِن ي ي ينلياَأالِ م أ ,لق ي ييا لِ يبأ أد ي ي ئ َ َ َ َ َ َ َ َ ِِ نيأ[ ,بقراأ أ]573لوةي أفا أ ,بي أانهجأال أننهمهأدبارهأوغ رفيا أ ,نهغي أهيهأ َ,لم َ نن َ
هيييد لأو ف ي أ ,بي ي أايييفأفييرنأ سيينةد أ يييثأأن أ أغنييرفأ ننييه أدأ سيينلد عأ
~ 1933
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
وغي ٍ وغي ٍ اييا رمأ ,ييهجأألمييهأدأقا,يياأت ييه أوهيياأ ,مي ِييملأنَنشي َأهنمي ٍ يهتأ يهت َأو ََي ي َير َأا َ لر َ يهتأ ما َ لر َ َ َ َل َ و ,نمل أو ,مر ِ ِ أانَ َشيه ٍِاأ لل لياَ ِأاييفأَمثيَأِرهِأالِذَ أنََمثََيرأ َ َ َ َ ََ أانَ َشيهههً َأو ََيي َير ل عأ لَنَلفهًأنل لل لال َأو ,مغَينليا َ َأو ,ئرمايه َ ل ِ و تيلياَأ مقيياأغ يياعأ ِ يهمهِأو َأتلني ِرفلاَأالِنيمياأ َ لِ نيأ[ ألن ييهعأ أ]515أأأو في أ أدي ئ يبأ َ,لأم َني ِرف َ ل َ َ ل َََ َ َ يي َ َ ,بي ي أ ه,ننمي ي أ يييثأن أغنم ي أأ ننييه أ ي أودييد أل ي أاييهأميكيييفأادغميياأايييفأاييا رمأ ,كا لأأ أ
الخاتمة
ايفأخدلأسيرمأ طييهتأو ,بيهنيهتأ اهياماأفييمكيفأ,لكهتيبأن أغنيننن.أايهأاييفأ ,ننييه .أ ,ييوأوح ي أال,يةييهأوفقييهأأ,كغييكه,ي أ أللهمميي ي أأ يييلاراأدأ قدا ي أأفة ي أنو أأ ال أافةاعأ ,بي ي أدأ ,قير ألهنيةأافةاايهأغيهادأأأتشيم أ ,بي ي ألي أايهأاييفأ للاقيهتأ ,وألهنةأدأ ألرضأوأ ,نمهو تلأفهحلدغثأييفأافةياعأ ,بي ي أدأ ,قير أهياأ حليدغثأ ييفأاكانه هأ ,طبي ي أوييفأ ,ظروفأو ,ا ا أ ,وأت ييشأفيةيهأ ,كه نيهتأ حليي أأوتنممي أ ,بي ي أدأ ,قيير أدأللمي أ ألرضأوأ ,نييمه أواييهأدناغييههأأايييفأاكانييهتأ للاقييهتأأالاييهأ ايييفأأ ييريأ يييهاأدأاظييههرأسييطحأ ألرضأايييفأهبييهلأوهضييهبأوأسييةالأوأومغييه أوتر ي أأ واا رمأايههأواهأنغباأذ ,أأوالاهأايفأاكانهتأ يهاأتنمم أدأ ,نبهتيهتأوأ حليا نيهتأوأ اهأدي أ يهألرضأاييفأ يدفأهياملأغضيمأ ,نهحيرأ ألسهسيي أ,اهيامأ حلييهاأيلي أسيطحأ ألرضل أ نهنيهأأن أ ,دقي أ ملي أ,ريهغي أأ ,بي ي أو حلمهغي أيليةيهأأ ييف أخهحي أو ,يهجأ ييف أ يهاي ي أهي ي أأ ,دقي ي أ ,نا يفيي ي -ني ي و,ي أنوأا ييهأغن ييميةهأ ,كهت ييبأ–دأاله ييهرأتي ييهر تأ ألخيد أاييعأ ,بي ي --أ ي غكاأتيا,اهييهلأال ي أن أ ننيه أ أ ييدأ,ياأايييفأ ييع فأوهييامأ خه,قأهيي أ ,يهجأوهياأ يأ ,ا ييدأ بيامأ غيرغ أ,ياأأو ننيه أهياأيبيدأاييفأيبيهمأ يأ ت ييه أأوخليفن يياأأدأ ألرضأأفل يياأمورألب ييريأدأ س يينلدف أه ييي أ ,ك ييا أو ننف ييهعأ ييا رمأ
1934 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
نا هيداأفيياأأو,كيييفأ غنيمحأ,ياأن أغكييا أ هرسيناأوأ سين مهرهأةييي أ ,يهجأأال أ يهأفييياأ ايييفأ نييهفعأو يييهوأ,كننييه أنفنيياأوليييعأ للاقييهتأأ ييإأ أغي مملألي أتيييرفهتاأدأ هي أ ,هجأال أفنهمأ ننرهعأ ,كا لأأأ أ نه,مهأأحلمهغ أ ,بي أو ,كا أفةنه أ ,قيمأ ألخدقي أ ,يوأ يدأاييفأ ,ن اةيهأوارينةياأ قأ ,ريهغ أوه أنو أأابد أ ,نا يدأ ,يملأدأا نههأأ قهملأهاأأالفأيرمهأت يه أ ي أ أ غشيير أ يياأدأيبهمتيياأت ييه لأفبه,نا يييدأأغناق ييعأن أغك ييا أهن ييه أتلي ي أ نن ييه أ,نفن يياأ و,بي نيياأوأ,نظييهعأ يهتيياأوأ,ك ي أاييهأغ هغشيياأأنوأاييهأغنيييلالأوميكيييفأنغضييهأتطيياغرأافةيياعأ ,نا يدأالفةياعأو سيعأاييفأخيدلأ ي أ ,لغياملأ نياأتا ييدأ ننيه أو ,كيا أنملأننياأ أ ميكيييفأ ,في ي أ يينيأ نن ييه أو ,ك ييا لأف نييداهأغفن ييدأ نن ييه أه ييي أ ,ك ييا أفم ن ييههأن أأ نن ييه أغفن ييدأأ,نفن ييالأنهني ييهأأاب ييد أ ,د ,ي أ ي ييثأن أغن ها ي أ نن ييه أا ييعأ ,ك ييا أ ه ,ييدلأ ي أ أغنيينلدعأاييا رمأ ,كييا أأابييد أ ,نييا ه أ يييثأأن أ أغنيينةل أو سيينغ أ نن ييه أاي ييا رمأهي ييي أ ,ي ييهجأمو أريهغ ي ي أ ,نظ ييهعأ ,بي ي ي لأأنه,مي ييهأأأابي ييد أ ننفي ييهعأمو أ ,فنهملأفه ننه أهب هأأغنمحأ,اأ أوغطه,بأاناأأن أغننفعأل أايهأاييفأايا رمأ ,كيا أ ,ديمأ يهتاأدأهيهأ ,دنيهلأوأ يأنيلمأ ه,يا بل أ المراجع أااهيياأنياأيبيدأ يأأal-Qur’an
Agama Ramah Lingkungan Perspektifأأ
ههلرته أفرايد أأ0335ل أ سا ألري فأ Etika Lingkunganأأأههلرته ألاابهمهأأ0335ل أ
أ يفألمريأأتفنريأ ,قر أ ,ظيمأ جل أ ألولأأ كنب أأ ,شهال أ حد رأ ,مه معأ ,فقاأ سدا أأ ,نلا أ ,بي أقضهغهأوا غهأأأ,بنه أ م رأ يلمي أأ0350ل
~ 1935
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
,طربملأأههاعأ ,بيه أأ جل أ ألولأأ كنب أأ ,شهال أ حد رأ ,مه غيييلفارمأهريغييدأأ Knowledge : Futher Essays in Interpretive Anthropologyأأفانننهأ رغبأأ 5770أ أ
Local
عمد أعهسيفأأ Islam Teologi Aplikatifأهالرهألرته أ اسنهلهأن,فأأ0330أأ أ اي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي يياأقي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ييعأ http://cetak.kompas.com/read/2010/03/02/05053081/Riset.Ekol
ogi.Minimأامي أغاعأ حلهمملأ ,شرأأغةرأمغنمربأ0350أأ عمييدأغي رورأأ ,كنييهبأوأ ,قيير أقيير أا هحييراأأ ,داشييق أ أل ييهعأ,لطبهيي أوأ ,نشييرأأ 0333أأ أ
نمحييدأ ,رغنييا أونمحييدألييهلأ ييهروتأأأ ييا رتأ,قيير أهدغييد أ هنةييهمأ ,يينتأأأ ,ا قييعأ يل أأأ ريوتأ أم رأ ,فكرأ هحرأأ0330أ يبدأ ننقيم Epistemologi Tafsir Kontemporer,أهقرهلرته LKiSأ,أ0353
ن أ حل أ ,فراهوملأأ ,بد غ أدأ ,نفنريأ ابياي أ ,قيههراأ أ حلضيهراأأ ,ر يي أأ5755أ 1أخلي ي أره أأأ س ييدعأوأ ,بي ي أأأأ ييريوت أم رأ ة ييهمملأ,لطبهي ي أوأ ,نش ييرأأأ 0335أ ااق ي ي ييعأhttp://www.wildlife-pal.org/Environment.htmأامي ي ي ي ي أأغ ي ي يياعأ ,ر ي ي ييعأ و ,شرغيفأنافمربأ0350أ أ حهوأعمامأأوه أأ ,بي أايفأانظارأالسدا أأأم رأ ,فكرأ أماشقأأ0331 ن يياأنيييرأ يأأيبييدأ ,غ ي أفييهأبييل أأ ,بي ي أأايييفأانظييارأ ,شييري أ ييريوتأ أم رأ ,كنييبأ ,لمي أأأ0337أ
1936 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ااق ي ي ييعأhttp://www.wildlife-pal.org/Environment.htmأدم ي ي ي أأ ,ي ي ي يياعأ ,ر ي ي ييعأ و ,شرغيفأنافمربأ0350أأأأ أ نمحيدأ يييفأ نينيأن يياأ كييرأ ,بيةقي أأسيينيفأ ,بيةقي أ ,كييربىأأ ييهبألر هيي أقطييعأ ,شييرراأ
ك أاابعأ جل أ قهابأمل أ033 أوغنيياأجألرألأأأ The Historical Roots of Our Ecologic Crisisأأأأ س يييرينبأ )Scienceأ ,ييدمأ 533أغ ييةرأا ييهرمهأأس يين أ5755أأمل أ 5030أ أ
1أنلأسا ألري فأأ Etika Lingkunganأ ههلرتهأ ألاابهمهأ0335 ,بلييهرملأأح ي يحأ ,بلييهرملأأ جل ي أ ,مه,ييثأأمل أ151أأاييه خاذأايييفأ كنب ي أ ,شييهال أ حد رأ ,مه أغاسيفأ ,قر بيهوملأأأريهغي أ ,بي ي أدأغيرغ أ سيدعأأأ ,قيههراأ م رأ ,شرو أ0335
اقعأhttp://alaabayoumionline.yoo7.com/t156-topic
ISLAM, LOKALISME DAN EKLEKTISISME Menelusuri Jejak Pemikiran Tasawuf Syekh Ahmad Mutamakkin (1645-1740 M) dalam Teks ‘Arsy alMuwah}h}idi>n Islah Gusmian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta
[email protected] Abstrak: Artikel ini menganalisis tentang pemikiran tasawuf Syekh Mutamakkin dengan mengacu pada teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n. Tema pokok yang dibahas dalam teks tersebut tentang ibadah salat dengan perspektif fiqh dan tasawuf. Melalui teks ini, terungkap bahwa bangunan tasawuf Syekh Mutamakkin merupakan bentuk eklektif dan konformatif antara tradisi Islam dan tradisi lokal (Jawa). Oleh karena itu, ia tidak bisa digolongkan dalam kelompok tasawuf Sunni atau Falsafi, juga tidak termasuk dalam tasawuf neo-sufi sebagaimana disimpulkan oleh Milal Bezawi. Kesimpulan ini menjadi data pembanding bahwa tuduhan heretik atas diri Syekh Mutamakkin dalam Serat Cebolek lebih disebabkan oleh faktor politik dan pertarungan antara ideologi Islam puritan dan Islam eklektif yang mengakomodasi tradisi Jawa ke dalam tubuh Islam. Kata Kunci: Syekh Mutamakkin, tasawuf, salat, serat cebolek.
A. Pendahuluan Syekh Ahmad Mutamakkin (1645-1740)1 dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa pada era abad 17 M. Pada masa hidupnya, sebagaimana terekam Serat Cebolek,2 ia dituduh 1
Untuk selanjutnya dalam tulisan ini nama Syekh Ahmad Mutamakkin dituturkan secara singkat dan akrab dengan sebutan “Syekh Mutamakkin”. Di masyarakat Kajen dan sekitarnya ada beberapa panggilan akrab terhadapnya: Mbah Mutamakkin dan Mbah Ahmad. Jarang yang memanggil dengan gelar haji, kiai, atau syekh. Dalam Serat Cebolek, ia disebut dengan panggilan Haji Ahmad Mutamakkin, menonjolkan gelar haji, sebagai suatu otoritas keagamaan. Panggilan atau gelar “syekh” dipakai di sini untuk menunjuk pada pengetahuan dan posisi spiritualitasnya yang tinggi pada masa hidupnya. 2 S. Soebardi mengungkapkan dalam The Book of Cabolek (1975) bahwa Serat Cebolek populer sebagai karya R. Ng. Yasadipura I (1729-1809 M), tapi Ricklefs meragukan kesimpulan ini, karena masa hidup Yasadipura I yang lahir pada 1729 M, pada era Pakubuwono II berkuasa pada 1726-1749 M, masih remaja. Lihat juga diskusi tentang ini dalam Zainul Milal Bizawi, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (Yogyakarta: Samha, 2002), hlm. 116. Serat Cebolek merupakan karya sastra Jawa yang mengisahkan tentang dua kiai kontroversial dan pembangkang kepada kekuasaan raja: Syekh Ahmad Mutamakkin Tuban dan Kiai Haji Ahmad Rifa’i Pekalongan. Kemungkinannya Yasadipura I hanya sebagai penutur ulang dari sejarah yang telah dikonstruksi oleh orang lain. Terlepas
~ 1937 ~
1938 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future pembangkang pada aturan Islam (syari’a>h) dan kekuasaan (kraton) ketika itu,3 sehingga harus dieksekusi dengan dibakar.4 Sejarah lisan yang hidup di desa Kajen, Pati,5 memberikan data dalam versi yang berbeda: Syekh Mutamakkin ditahbiskan sebagai pahlawan dan waliyulla>h yang berjasa dalam penyebaran Islam di pesisir utara Jawa. Perdebatannya dengan Ketib Anom Kudus mengenai serat Bima Suci digambarkan berakhir dengan kemenangan di pihak Syekh Mutamakkin. Bahkan, Paku Buwono II yang didesak oleh para ulama dan pejabat kraton untuk menjatuhkan hukuman kepada Mutamakkin berbalik arah: mengakui kealiman Syekh Mutamakkin dan bahkan berguru kepadanya.6 Lebih dari itu, kewalian, silsilah dan para muridnya yang menjadi penyebar Islam di Jawa dikisahkan sebagai peneguhan kepahlawanan dan ke-wali-annya. Tapi, pemikiran keagamaannya yang menjadi basis perjuangan dan keulamaannya, genealogi keilmuan, dan karya-karyanya justru tidak banyak diungkap. Padahal, upaya yang demikian ini penting untuk menjelaskan bangunan
dari perdebatan tersebut, Serat Cebolek mesti dipahami sebagai simbol peneguhan kepentingan raja sebagai panatagama (pengatur permasalahan sosial, budaya, politik dan agama) serta para ningrat dan ulama pada masa itu yang mendukungnya. Oleh karena itu, versi dan wacana yang dikembangkan adalah kepentingan dan perspektif keraton dan raja sebagaipenguasa 3 Kuntowijaya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, cetakan ke-4 (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 123-137. 4 Lihat dalam Serat Cebolek, pupuh 1, bait 7: “sora saru iŋ sareŋat Nabi/Iŋ Cebolek padusunan Tuban/kaŋ dadi lok lalakone/Ginereg ginarumuŋ deniŋ para ŋalim pesisir: aja aŋrusak sarak, durhaka iŋ ratu/pan ratu wenaŋ aniksa. Dikisahkan pula, ia memelihara dua ekor anjing yang diberi nama Abdul Qahar—mirip dengan nama penghulu di Tuban—dan Qamaruddin—mirip dengan nama khatib masjid Tuban. Sebelum eksekusi dilakukan, Sunan Amangkurat IV (bertahta pada 1719-1726 M), raja yang berkuasa di Surakarta ketika itu, wafat dan digantikan oleh Pakubuwono II (bertahta pada 1726-1749 M). Peralihan kekuasaan ini menjadi titik balik bagi nasib Syekh Mutamakkin: Pakubuwono II menolak petisi ulama yang mengklaimnya sesat tersebut dan mengutus Demang Urawan, salah seorang pejabat kraton, untuk mengungkapkan penentangan Raja atas sikap para ulama tersebut, dan meminta membatalkan eksekusi mati atas Syekh Mutamakkin. 5 Kajen merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Desa ini dikenal sebagai desa pesantren, karena di dalamnya tumbuh puluhan pesantren dan lembaga pendidikan formal. Di desa ini Syekh Mutamakkin dimakamkan. Sejumlah penelitian terkait dengan dunia pesantren dan tarekat di desa ini telah dilakukan. Di antaranya, Syafii Ahmad menulis disertasi di bidang Antropologi di UI Jakarta berjudul Tarekat Qadiriyah wal Naqsabandiyah, Kebangkitan Kembali Keagamaan di Kajen Jawa Tengah; Prajarta menulis tentang Kiai Pesantren dan Kiai Langgar untuk kepentingan disertasi. Baca, Pradjarta Dirdjosanjoto Memelihara Umat (Yogyakarta: LKiS, 1999). 6 HM. Imam Sanusi, Ah., Perjuangan Syaikh K.H. Ahmad Mutamakkin, hlm. 18. Kisah ini dirujukkan pada K.H. Ahmad Durri Nawawi, salah satu sumber lisan yang dipandang otoritatif oleh masyarakat Kajen terkait riwayat hidup, silsilah dan perjuangan K.H. Ahmad Mutamakkin.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1939
pemikiran keagamaannya dan pada saat yang sama mengurai penyebab tuduhan pejoratif terhadap dirinya tersebut. Usaha menjelaskan pemikiran Syekh Mutamakkin secara komprehensif memang tidak mudah, karena hingga kini masih sangat terbatas dokumen atau naskah yang bisa diacu sebagai sumber rujukan. Teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n7 menjadi penting keberadaannya. Melalui teks ini, ikhtiar memperoleh penjelasan tentang pemikiran Syekh Mutamakkin bisa dimulai. ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n merupakan teks yang diyakini oleh masyarakat di Kajen sebagai karya Syekh Mutamakkin. Setidaknya sampai saat ini, ia merupakan sumber tekstual yang ada dan kini disimpan oleh para keturunan Syekh Mutamakkin di Kajen dan tidak bersumber dari versi kraton. ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n merupakan teks yang di dalamnya berbicara perihal salat dengan sudut pandang tasawuf. Di sini salat bisa mempertautkan antara aspek syariah dan tasawuf, sehingga akan menjadi informasi penyanding terkait dengan tuduhan heretic atas diri Syekh Mutamakkin. B. Tentang‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, Naskah Kajen dan Asal-Usulnya Istilah Naskah Kajen dalam kajian ini digunakan untuk menunjuk pada satu naskah yang disimpan oleh para kiai di Kajen yang diyakini sebagai karya Syekh Mutamakkin. Teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n merupakan salah satu teks dari teks-teks yang ada di dalam naskah Kajen. Oleh karena itu, ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n dalam kasus ini lebih tepat disebut sebagai teks. Adapun oral history yang oleh Milal disebut Teks Kajen, di sini digunakan untuk menunjuk pada sejarah lokal atau sumber lokal yang dikonstruksi melalui cerita tutur di tengah-tengah masyarakat Kajen dan sekitarnya yang hidup hingga sekarang.8 Naskah Kajen ini merupakan naskah yang di dalamnya terdiri dari berbagai teks yang ditulis dengan beragam bahasa dan model khath Arab yang beragam pula.9 Tidak semua teks dalam naskah ini diberi judul secara tegas, dan bahkan sebagiannya lebih merupakan sebuah catatan-catatan yang berserak dan kurang sistematis dengan tanpa disertai identitas penulis atau 7
Naskah ini berada di tangan Kiai Husen Jabbar, seorang kiai di Kajen dan Guru di Madrasah Salafiyah Kajen. Sebagaimana dijelaskan oleh Zainul Milal Bizawi, naskah ini dikopi menjadi tiga eksemplar: masing-masing berada di tangan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), K.H. Hasim Wahid, dan Zainul Milal Bizawi. Lihat, Zainul Milal Bizawi, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 211 catatan kaki 1. Saya sendiri memperoleh copian naskah ini dari Jauharul La’ali, putra kedua dari Kiai Husen Jabbar. 8 Bandingkan dengan yang dilakukan oleh Milal dalam Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 135. 9 Pendeskripsian tentang jenis kertas naskah ini tidak dilakukan di sini, karena hingga kini penulis belum melihat naskah aslinya. Naskah-naskah yang disimpan oleh sejumlah kiai di Kajen, keseluruhannya merupakan hasil kopian dari naskah asli.
1940 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future pun penyalinnya. Untuk mempermudah dalam mendeskripsikan teks-teks dalam naskah tersebut, termasuk di dalamnya teks ‘Arsy al- Muwah}h}idi>n, di sini dideskripsikan teks-teks tersebut secara singkat berdasarkan urutan yang ada dalam naskah tersebut. Pada bagian permulaan merupakan teks yang berbicara tentang masalah fiqh, khususnya terkait dengan teknis pelaksanaan salat wajib lima waktu, misalnya terkait dengan tata cara niat salat, bacaan-bacaan dalam salat dan waktu pelaksanaannya. Teks ini ditulis memakai aksara PegonJawa. Teks kedua berisi tentang kajian ilmu Tauhid. Di bagian ini dijelaskan sifat-sifat Allah yang dirinci berdasarkan karakteristiknya, yaitu sifat nafsiyah, salbiyah, ma’a>ni> dan ma’nawiyah yang ditulis dengan bahasa Arab dan Pegon-Jawa. Teks ketiga berisi su>rah Ya>si>n yang dilengkapi dengan doa-doa untuk para arwah yang telah meninggal. Teks keempat berisi tentang ayat pilihan dari su>rah-su>rah dalam Al-Qur’an yang diistilahkan dengan “atine surah al-Qur’an”. Pada teks ini, ditunjukkan saripati terpenting dari setiap su>rah yang ada di dalam Al-Qur’an. pada bagian ini, teks Al-Qur’an ditulis dengan bahasa Arab dan penjelasannya memakai aksara Pegon-Jawa. Teks keempat berisi tentang tema keimanan dan mengetahui sifat-sifat Allah swt. Teks ini ditulis memakai bahasa Arab yang diberi penjelasan dengan teknik makna gandul10 memakai Pegon-Jawa. Teks kelima berisi penjelasan tentang makna dan filsafat salat. Teks ini berjudul ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n. Informasi tentang judul ini terdapat pada kalimat akhir yang ada pada teks tersebut, yaitu: faqad faraga ha>z\a> alkita>b al-musamma ‘arsy al-Muwah}h}idi>n, tetapi tidak disertai nama penulisnya, tahun dan di mana teks ini ditulis. Secara teknis, teks ‘Arsy alMuwah}h}idi>n ini ditulis memakai bahasa Arab dan disertai terjemaham dalam bahasa Jawa dengan teknik makna gandul yang ditulis memakai aksara Pegon. Setelah ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, terdapat sejumlah cacatan yang menjelaskan terkait dengan makna h}aqi>qah, makna la> ila>ha illalla>h, makna tauhid, niat salat, dan kisah Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam bentuh pupuh. Teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n yang menjadi sumber dalam kajian ini terdiri dari 21 halaman. Ia menyatu dengan teks-teks lain yang ada dalam Naskah Kajen. Setiap halaman terdiri dari enam baris, kecuali halaman pertama dan halaman terakhir yang terdiri lima baris. Panjang dan lebar bidang teks, masing-masing 14 x 10 cm., dan ditulis dengan memakai khath 10
Sebuah teknis penulisan makna harfiah atas sebuah teks yang diletakkan di bawah teks utama dengan cara ditulis dalam bentuk miring. Terkait dengan pembahasan ini baca Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia Abad 20: Studi Atas Dinamika Pemakaian Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir” Laporan Penelitian Kompetitif Individual yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIN Surakarta, 2009.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1941
Naskhi dengan besar bidang khath rata-rata sekitar 1,4 cm. Sebagai sebuah teks dari berbagai teks yang ada dalam Naskah Kajen, ‘Arsy alMuwah}h}idi>n termasuk salah satu teks yang utuh, ditulis secara konstan dan disertai judul teks. Pemberian makna gandul juga dilakukan secara konstan dari awal dan akhir. Naskah Kajen—yang di dalamnya terdapat teks ‘Arsy alMuwah}h}idi>n—ini disimpan oleh Kiai Husen Jabbar.11 Pada 1990 untuk kali pertama naskah ini difotocopi oleh Syafii Ahmad sebagai salah satu bahan menulis disertasi di bidang antropologi di Universitas Indonesia tentang Tarekat Qadiriyah wa an-Naqsabandiyah, Kebangkitan Kembali Keagamaan di Kajen Jawa Tengah. Selanjutnya, oleh Kiai Husen Jabbar naskah tersebut dikopi lagi menjadi tiga eksemplar: berada di tangan Gus Iim (K.H. Hasyim Wahid), Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Milal.12 Naskah Kajen yang menjadi objek penelitian ini saya peroleh dari koleksi Kiai Husen Jabbar—melalui putranya: Jauharul La’ali.13 Dari aspek filologis, naskah Kajen koleksi Husen Jabbar belum bisa dijelaskan otentitasnya. Milal sendiri dalam penelitiannya tidak melakukan kritik teks, penyuntingan serta kritik sejarah atas Naskah Kajen ini. Dari aspek kodikologi dan paleografi belum ada data yang bisa menolong untuk menjelaskan tentang kaitan naskah ini dengan Syekh Mutamakkin, karena teks ini ditulis memakai aksara Arab dan Pegon, yang menurut Ricklefs aksara ini tidak berlainan dari zaman ke zaman.14 Seandainya jenis kertasnya bisa diidentifikasi—sayang penulis belum menemukan naskah aslinya— tentu akan lebih mudah bagi kita untuk membuat estimasi terkait dengan masa dan era kapan naskah ini diproduksi.15 11 Ia adalah seorang kiai yang tinggal di Kajen dan mengajar di Madrasah Salafiyah Kajen. Ia dikenal sebagai kiai yang ahli di bidang ilmu nahwu. Dalam mengajar ilmu nahwu dengan buku Alfiyah ibn Malik sebagai teks rujukan, secara atraktif ia sering membaca baitbait yang dalam buku tersebut secara terbalik, yaitu dari bawah ke atas. Kemampuannya ini menunjukkan bahwa bait-bait tersebut dikuasi dan dihafalnya dengan baik di luar kepala. Penulis berkesempatan belajar bidang ini kepada beliau di Madrasah Salafiyah Kajen di era 1980-an selama 6 tahun. 12 Lihat, Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 211 catatan kaki nomor 1. 13 Secara khusus saya berterima kasih kepada Jauharul La’ali yang telah mengkopikan naskah tersebut dan memberikan kepada saya tanpa saya minta. Sayang, sebelum penelitian ini selesai ditulis, ia meninggal dunia pada Ahad, 26 Agustus 2012 di Kajen Pati, karena penyakit kelenjar getah bening yang ia derita selama satu setengah tahun. 14 Lihat, M.C. Ricklefs, “Kata Pengantar, Syekh Ahmad al-Mutamakkin dan Sejarah Jawa Abad ke-XVIII” dalam Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. xvii. 15 Meskipun belum ada data yang meyakinkan bahwa Naskah Kajen koleksi Husen Jabbar ini merupakan karya Syekh Mutamakkin atau setidaknya mewakili pemikirannya, versi sejarah lisan yang hidup di Kajen meneguhkannya sebagai karya Syekh Mutamakkin. Bahkan, Gus Dur dan Gus Iim ikut mengoleksinya. Tentu diperlukan kajian ilmiah yang lebih
1942 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
C. Syekh Mutamakkin: Silsilah, Peran dan Kontroversinya Syekh Mutamakkin lahir di desa Cebolek,16 10 km dari kota Tuban.17 Imam Sanusi ketika menulis sejarah Syekh Mutamakkin pernah mengunjungi desa Winong—menurut Milal merupakan nama pengganti dari desa Cebolek—18 untuk mengecek langsung peninggalan Syekh Mutamakkin. Di desa ini ada sebuah masjid tua yang letaknya di tepi sungai. Sayangnya, masjid ini telah mengalami renovasi beberapa kali karena diterjang banjir. Di dalam masjid ini masih tersimpan Klebut19 dan batu kecil berbentuk asbak yang diyakini sebagai peninggalan Syekh Mutamakkin. Di depan masjid, tumbuh pohon Sawo Kecik. Menurut kepercayaan masyakarat sekitar, di pohon ini masih tersimpan keris pusaka milik Syekh Mutamakkin.20 Di tempat yang lain, tepatnya di sebelah timur desa Kajen, Pati—di mana Syekh Mutamakkin dimakamkan—terdapat juga desa bernama Cebolek. Sejarah lisan yang hidup di masyarakat memberikan penjelasan yang agak rumit. Suatu ketika, Syekh Mutamakkin menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dengan diantar oleh Jin yang telah menjadi muridnya. Ketika kembali ke tanah Jawa, di tengah perjalanan, oleh Jin tersebut Syekh Mutamakkin dipindahkan ke atas tubuh ikan Mladang. Oleh ikan Mladang, Syekh Mutamakkin dibawa mengarungi samudra dan tak sadarkan diri komprehensif, bukan untuk menolak kepercayaan di masyakat Kajen yang hidup terkait dengan Naskah Kajen ini, tetapi mengokohkannya secara ilmiah. 16 Nama tempat Cabolek atau Cebolek menurut H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, mengingatkan akan bahasa Sunda, yaitu: ci. Dalam berbagai cerita legenda dalam kesusastraan Jawa, betapa penting kedudukan Tuban dalam hubungannya dengan Majapahit dan Jawa Barat, mengenai permulaan zaman Islam. Lihat, H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, editor naskah Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 316-7. Khususnya catatan kaki nomor 7 dan 13. 17 Soal desa Cebolek sebagai tanah asal Syekh Mutamakkin ini disebutkan dengan lugas dalam Serat Cebolek, pupuh I bait 7: “sora saru iŋ sareŋat Nabi/Iŋ Cebolek padusunan Tuban/kaŋ dadi lok lalakone/Ginereg ginarumuŋ deniŋ para ŋalim pesisir: aja aŋrusak sarak, durhaka iŋ ratu/pan ratu wenaŋ aniksa. Agak aneh, Imam Sanusi ketika menyusun riwayat hidup Syekh Mutamakkin menyebutkan bahwa nama populer desa Mutamakkin adalah Winong bukan Cebolek. Lihat. HM. Imam Sanuni, Ah, Perjuangan Syekh K.H. Ahmad Mutamakkin (Yogyakarta: Keluarga Mathaliul Falah Yogyakarta, 2002), hlm. 4. Padahal, ia merujuk buku S. Soebardi, The Book of Cabolek. Tampaknya Sanusi kurang teliti dalam merujuk buku ini. Pertama, ia mengutip dengan keliru judul buku ini dengan The Book of Cebolek. Kedua, nama S. Soebardi terkelirukan dengan Matius (R. Subardi). Ketiga, tahun terbit buku terkelirukan menjadi 1878. Padahal, buku ini awalnya merupakan disertasi S. Soebardi di The Australian National Univesity pada 1967 dan diterbitkan oleh Koninklijk Instituut Voor Taal, pada 1975. 18 Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 105. 19 Klebut adalah kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dulu biasa dipakai menjemur kopiyah. 20 Imam Sanusi, Ah., Perjuangan Syekh K.H. Ahmad Mutamakkin, hlm. 3.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1943
hingga tiba-tiba terdampar di tepi pantai yang letaknya di timur kecamatan Margoyoso Pati. Desa inilah kemudian oleh Mutamakkin diberi nama desa Cebolek: 21 dari kata Jawa: ‘jebul-jebul melek’ (tiba-tiba sadar) sudah sampai di tepi pantai. Di desa Cebolek inilah Syekh Mutamakkin kemudian memulai menyebarkan Islam.22 Penjelasan lain yang lebih rasional tentang desa Cebolek di Pati ini diberikan oleh K.H. Hambali, tokoh dan kiai di Kajen.23 Menurutnya, setelah menghabiskan masa mudanya di Tuban dan setelah melakukan perjalanan keilmuan ke Timur Tengah, Syekh Mutamakkin melanjutkan gerakan dakwah ke wilayah Barat dari Tuban, hingga sampai di desa Kalipang— daerah yang terletak di Kecamatan Sarang, Rembang. Di desa ini Syekh Mutamakkin tinggal beberapa lama dan sempat mendirikan masjid, lalu melanjutkan perjalanan sampai di Kecamatan Margoyoso, Pati, di mana desa Cebolek dan Kajen kini berada. Secara historis penjelasan ini lebih bisa dipahami, karena pada akhir abad ke-17 M, hubungan Tuban dan Pati— dimana pelabuhan Juana berada—dengan Banten sangat erat dengan seringnya para nelayan Banten singgah di dua Pelabuhan tersebut; ketika itu Juana masih merupakan bagian dari wilayah Pati. Kedua pelabuhan ini mempunyai peran penting bagi Mataram, yaitu sebagai sarana distribusi hasil pertanian dari daerah pedalaman, apalagi setelah Mataram membagi empat wilayah pesisir (Jepara, Semarang, Juana dan Tuban) dan pelabuhan Jepara ketika itu kurang aman karena sering terjadi perompakan kapal. Hubungan Banten, Juana dan Tuban, berperan penting bagi sejarah perjalanan intelektual Syekh Mutamakkin. Secara historis bisa diduga bahwa Syekh Mutamakkin sering melakukan pelayaran ke Banten dari Tuban. Ketika tiba di Banten, ia bertemu dengan Syekh Yusuf Al-Maqassari— karena pada era akhir 1600, Syekh Yusuf pernah tinggal di Banten dan
21
Cebolek yang dimaksud di sini merupakan sebuah desa yang letaknya berada di sebelah timur desa Kajen. Pada mulanya penyebutan desa Cebolek meliputi juga desa Bulumanis Lor, di mana telaga peninggalan Mutamakkin kini berada. Setelah Belanda membuat jalan yang memisahkan antara bagian barat dan bagian timur desa, maka yang bagian timur desa kemudian diberi nama Bulumanis (terdiri dari Bulumanis Lor dan Bulumanis Kidul). Desa ini berjarak sekitar 15 km dari Juana, sebuah wilayah yang menjadi pelabuhan dan berperan penting dalam hubungannya dengan transportasi laut. Patut diduga, bila memang sepulang dari Mekah Syekh Mutamakkin menuju di desa Cebolek Pati, berarti ia mendarat melalui Pelabuhan di Juana, sebab di desa Cebolek di samping tidak ada pelabihan, pantainya juga tidak bisa digunakan untuk bersandar kapal. 22 Kisah ini hidup di tengah masyarakat dan ditransmisikan secara oral oleh para kiai. K.H. Ahmad Durri Nawawi, misalnya, dalam momentum peresmian musala di komplek sumur peninggalan Syekh Mutamakkin di desa Bulumanis Lor pada era 1980-an, menyampaikan kisah ini di depan masyarakat Muslim yang hadir ketika itu. 23 Sebagaimana dituturkan kembali oleh Imam Sanusi, Ah, Perjuangan Syekh K.H. Ahmad Mutamakkin, hlm. 5.
1944 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future menikah dengan putri Sultan Banten.24 Dari Banten Syekh Mutamakkin kemudian melakukan perjalanan keilmuan ke Timur Tengah, berguru kepada para ulama dan tokoh tasawuf. Sepulang dari Timur Tengah, ia tidak langsung menuju Tuban, tetapi di pesisir wilayah Juana, karena kapal yang ditumpanginya dirompak oleh bajak laut dari Jepara. Penjelasan ini lebih bisa dimengerti ketimbang cerita kepulangannya bersama Jin dan ikan Mladang. Di daerah pantai bagian timur Pati ini, ia kemudian tinggal dan tempat itu diberi nama Cebolek—nama yang sama dengan tempat tanah kelahirannya di Tuban. Di Cebolek, Pati, Syekh Mutamakkin berdakwah menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Usaha dakwahnya bisa ditelusuri lewat keberadaan telaga—kini diubah menjadi sumur—warisan Syekh Mutamakkin. Ia menetap untuk beberapa lama di wilayah ini. Suatu malam, saat akan menunaikan salat Isya’, Syekh Mutamakkin melihat sinar menjulang tinggi di udara di arah barat desa. Pemandangan ini ia alami setiap malam. Penasaran dengan pengalaman itu, suatu sore setelah salat Asyar, ia bergegas berjalan ke arah barat, di mana sinar tersebut berasal. Di tempat itu, ia bertemu dengan seorang kiai bernama Syamsuddin atau Surya Alam.25 Oleh kiai Syamsuddin, Syekh Mutamakkin diminta untuk menetap di kampung tersebut untuk menyebarkan Islam dan bahkan oleh kiai Syamsuddin ia diambil menantu (dinikahkan dengan putrinya bernama Nyai Qadimah).26 Mengacu pada tanah kelahirannya, Syekh Mutamakkin juga dikenal dengan sebutan ‘Mbah mBolek’, atau dalam Serat Cebolek ia dipanggil ‘Ki
24 Berdasarkan Dagboek der Vorsten van Goa en Tallo yang dikeluarkan oleh Ligtvoet dalam BKI 4e Volgreeks IV, 1889 hlm. 90 sebagaimana dikutip Tudjimah, pada 22 September 1644 Syekh Yusuf menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, ia menetap di Banten. Sultan Banten Muda pun belajar Islam kepada Syekh Yusuf dan ingin menjadi wali. Lihat, Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar (Jakarta: UI Press, 1997), hlm. 4. 25 Kediaman Kiai Syamsuddin kini masih ada, yaitu berada di sebelah utara Perguruan Tinggi Islam Mathaliul Falah ke arah Timur. Adapun makamnya berada di sebelah barat makam Syekh Mutamakkin. Kiai Syamsuddin, dalam sejarah lisan, diyakini sebagai orang pertama yang melakukan dakwah Islam di wilayah Kajen, sebelum kemudian digantikan Syekh Mutamakkin. Nama Kajen sendiri sebagai bentuk identitas dari keberadaannya, yakni Kajen (bahasa Jawa) yang berasal dari kaji ijen—seorang haji sendirian. Penyebutan ini diberikan karena pada saat itu hanya kiai Syamsuddin yang telah menunaikan haji di daerah tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya, di tempat ini Syekh Mutamakkin menyebarkan Islam hingga wafat. 26 Pada masa kecil saya, era akhir tahun 1980-an, kisah ini disampaikan KH. Durri Nawawi pada acara khaul dan pengajian di musalla Mutamakkin yang didirikan di kompleks telaga yang diyakini sebagai peninggalan Syekh Mutamakkin yang berada di desa Bulumanis Lor. Lihat juga, Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, hlm. 106.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1945
Cebolek’.27 Nama bangsawannya adalah Sumahadiwijaya. Adapun nama “Mutamakkin”28 merupakan gelar yang diberikan setelah ia melakukan perjalanan intelektual mencari ilmu di berbagai wilayah di Timur Tengah. Nama itu berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya’. Syekh Mutamakkin merupakan keturunan Raden Patah (Raja Demak, Sultan Bintoro). Raden Patah mempunyai enam anak, yaitu Ratu Mas (istri Sunan Gunung Jati), Pati Unus (Pengarang Sabrang Lor), Pangeran Sedo Lepen, Sultan Trenggono (Ahmad Abdul Arifin), Pangeran Kandhuwuran, dan Pangeran Pamekasan. Silsilah Mutamakkin berada melalui Sultan Trenggono. Sultan Trenggono mempunyai empat orang anak, yaitu Putri Sekar Taji, Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin), Ratu Kalinyamat (istri pangeran Hadirin, Jepara) dan putri istri Pangeran Timur di Madiun. Putri Sekar Taji ini dinikahi Jaka Tingkir (Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya). Dari pernikahan ini lahir anak bernama Sumahadiningrat (Sunan Benawa I). Sunan Benawa I ini mempunyai putra bernama Sumahadinegara (Sunan Benawa II). Perkawinan antara Sunan Benawa II dengan Putri Raden Tanu melahirkan Sumahadiwajaya alias Syekh Ahmad Mutamakkin. Dari jalur Jaka Tingkir, Mutamakkin merupakan keturunan raja-raja Majapahit. Ini bisa dilihat dari perkawinan Brawijaya V (raja Majapahit terakhir) dengan Murdaningrum—saudara perempuan Candra Wulan (putri Campa) dari kerajaan Islam Campa. Dari perkawinan ini, lahir Raden Patah dan Ratu Pembayun. Ratu Pembayun mempunyai putra bernama Ki Ageng Pengging—dalam babad dijelaskan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Ki Ageng Pengging ini adalah ayah Jaka Tingkir. Dari garis ibu, Syekh Mutamakkin merupakan keturunan Sayid Ali Akbar dari Bejagung Tuban.29 Tidak ada informasi yang akurat mengenai tahun kelahiran dan kematian Syekh Mutamakkin. Milal membuat kesimpulan tentatif bahwa ia lahir pada 1645 M dan meninggal pada 1740 M. Kesimpulan ini didasarkan pada data sejarah bahwa Pangeran Benawa II pada 1617 M melarikan diri ke Giri, karena serangan Mataram, dan minta suaka politik. Pangeran Benawa II dalam era itu juga menjalin hubungan kekerabatan dengan Adipati Tuban.
27 Serat Cebolek, pupuh 1, bait 10. Lihat transliterasi yang dilakukan S. Soebardi, dalam The Book of Cablek, hlm. 68. Lihat Juga R.M. Ng. Poerbatjaraka, Kapustakaan Djawi (Jakarta: Djambatan, 1954), hlm. 150. 28 H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa, dengan merujuk pada Serat Cabolek menyebut Syekh Mutamakkin dengan nama “Haji Amad Mustakim” (lihat halaman 152 dan 299). Patut diduga, ia keliru menyebutnya, karena dalam Serat Cabolek dengan tegas disebut: Kaji Amad Mutamakin. Kemungkinan lain, editor atau penerjemah buku H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud ke dalam bahasa Indonesia ini yang keliru. 29 H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm. 50 dan 85; Imam Sanusi, Perjuangan Syekh Ahmad Mutamakkin, hlm. 37.
1946 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Dari pernikahan inilah yang kemudian lahir Mutamakkin. 30 Bila dikaitkan dengan Serat Cebolek yang mengisahkan tentang Syekh Ahmad Mutamakkin, maka ia hidup pada era Sunan Amangkurat IV (berkuasa pada 1719-1726 M) dan putranya, Pakubuwana II (berkuasa 1726-1749 M). Di luar dari konteks penanggalan ini, acara khaul31 Syekh Mutamakkin diadakan pada setiap 10 Muharram.32 Dalam acara ini diselenggarakan berbagai kegiatan, di antaranya khataman Al-Qur’an di kompleks makam, penggantian klambu,33 dan berbagai kegiatan sosial keagamaan lain. Sebagaimana halnya tentang tahun kelahiran dan kematiannya, genealogi keilmuan dengan ulama di Timur Tengah juga tidak ada data sejarah yang memadai. Azra dalam kajiannya tentang jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah pada abad 17 dan 18 M, tidak menyebut Syekh Mutamakkin.34 Dalam Serat Cebolek pupuh II, bait 10 dikisahkan tentang pengakuan Syekh Mutamakkin bahwa gurunya bernama Ki Seh Jen dari Yaman.35 Siapa sejatinya Syekh Zain ini, Serat Cebolek tidak menuturkan lebih rinci, demikian halnya sejarah lisan yang hidup di masyarakat Kajen. Menurut Ricklefs dalam The Seen and the Unseen Worlds in Java 1726-1749 Syekh Zain adalah Syekh Muh}ammad Zain al-Mizjaji 30
Ibid. Acara khaul adalah peringatan atas kematian seseorang yang diselenggarakan setiap tahun sekali yang diacukan pada tanggal kematiannya dengan menggelar acara berdoa dan membaca Al-Qur’an. 32 Tanggal 10 Sura bagi umat Islam merupakan tanggal yang bersejerah karena berbagai peristiwa besar dalam sejarah Islam terjadi, seperti banjir pada nabi Nuh dan peristiwa Karbala. Penentuan tanggal ini bagi kematian Syekh Mutamakkin demikian juga Sunan Kudus, juga bisa dilihat dalam konteks pengaruh tradisi Syiah di Jawa yang memandang 10 Sura menjadi momen sejarah Karbala yang selalu diperingati setiap tahun. 33 klambu atau slambu adalah kain jenis Mori berwarna putih yang digunakan untuk menutup nisan makam Syekh Mutamakkin dan komplek makam. Tradisi serupa terjadi di makam Sunan Kudus pada waktu yang sama. Peristiwa ini mengingatkan kita akan pergantian dan pembuatan Kiswah Ka’bah dan prosesi penggantiannya yang dilakukan setiap tahun. Terkait dengan peristiwa ini, Pradjarta telah merekamnya dengan baik dalam konteks tahun 1980-an. Lihat, Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 88. 34 Azra hanya menguraikan ulama dari Banjar, Palembang dan Patani dalam konteks abad XVIII. Selengkapnya Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998). Hal ini terjadi sangat mungkin disebabkan Azra tidak atau belum menemukan naskah atau teks utama yang ditulis oleh Syekh Mutamakkin. 35 Pengakuan ini diutarakan Syekh Mutamakkin kepada Ragapita, seorang utusan raja yang menjemput Mutamakkin untuk menghadap kepada sang raja, bahwa ia berterima kasih telah dipanggil raja dan akan dibakar oleh para ulama di atas tumpukan kayu. Barangkali dengan cara itu, tutur Mutamakkin, asap dari sekujur tubuhnya akan tercium sampai Arabia di mana ia pernah berguru kepada Syekh Zain dari Yaman—anak Ragapita mami/ kinarubut para ŋulama/pasti yen sida iŋoboŋ. Kaya mampu kukus kula/saŋkiŋ iŋ tanah ŋarab/ Ki Seh Jen nagari Yahman. Lihat Serat Cabolek pupuh II bait 10. 31
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1947
al-Yama>ni>. Bila asumsi ini benar, maka ia merupakan seorang tokoh tarekat Naqsabandiyah. Ayahnya, Syekh Muh}ammad bin ‘Abd al-Ba>qi alMizjaji al-Naqsabandi, adalah guru Syekh Yu>suf Al-Maqassari dan ‘Abdur Rauf al-Sinkili, yang wafat pada 1074/1664 M36 dan merupakan ulama penting di keluarga Mizjaji pada abad 17 M.37 Kesimpulan ini juga bisa diteguhkan dari hadrah yang ada dalam Naskah Kajen yang di dalamnya disebutkan tokoh-tokoh dalam tarekat, yaitu Muh}yiddi>n ‘Abdul Qa>dir alJaelani, Syekh Muh}ammad Asy-Syahi al-Samani, Syekh Abu> Yazi>d AlBustami, Syekh Abu> al-Qasim Junaid al-Bagdadi, dan Syekh Bahauddi>n an-Naqsabandi>. D. ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n: Sebuah Teks Tasawuf ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n merupakan teks yang berbicara tentang salat dalam perspektif tasawuf. Di bidang fiqh, pembahasan tentang salat umumnya dimulai dengan uraian tentang jenis, syarat, fardlu, dan hal-hal yang membatalkan salat, serta waktu-waktu salat. Pembahasan semacam ini, bisa dilihat misalnya dalam Tuhfah al-T}ulla>b, kitab fiqh yang populer dipakai sebagai bahan ajar di pesantren yang ditulis oleh Zakaria al-Ansari asy-Syafi’i dan Sabi>l al-Muhtadi>n karya Syekh Muhammad Arsyad alBanja>ri> (1710-1812 M), ulama Nusantara asal Banjar yang hidup pada era abad ke-18 M.38 Dalam ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, uraian tentang salat dimulai dengan peneguhan makna dan fungsi esoteriknya bagi Muslim. Hal ini tercermin dalam paragraf pembuka di halaman pertama dan kedua yang digunakan untuk mengawali penjelasan setelah ia memuji dan meminta pertolongan kepada Allah swt., serta bersalawat untuk Nabi Muhammad saw.
36 Imam Sanusi ketika mengutip tahun kematian Syekh Muhammad Al-Baqi ini—yang ia rujuk dari Milal dalam makalah tentang “Pondok Kajen Wetan Banon (PAS-Kajen: 2001), hlm. 3—tampak kurang cermat: ia menulis tahun 1633. Lihat, Imam Sanusi, Perjuangan Syekh Ahmad Mutamakkin, hlm. 8. Padahal, dengan merujuk pada buku, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Milal menulis tahun kematian Al-Baqi adalah 1663. Lihat dalam buku tersebut hlm. 109. Penulisan Milal ini berbeda dengan dengan data yang dipaparkan Azra, terpaut satu tahun. Azra menyebut tahun kematiannya pada 1664. Lihat, Azra, Jaringan Ulama, hlm. 215. 37 Terkait dengan guru Al-Maqassari dan As-Sinkili ini lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 215. 38 Lihat, Zakaria al-Ans}a>ri>, Tuh}fah al-T}ala>b bi Syarh} Tah}ri>r Tanqi>h} alLuba>b (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.th), hlm. 19-28 Syekh Muh}ammad Arsyad alBanjari, Sabi>l al-Muhtadi>n Littafaquh fi> Amr al-Di>n (Mesir: Da>r al-Fikr: t.th), hlm. 147.
1948 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ضهأَ م أ ب أ َ نَهفِ ِق َ َأ َ لم َقنَ ِدغَ َيف َأو ل َب, َ لم َا ِّ ِدغَ َيف َأو ِخ َغَ ل أ, ش أ م, هيلَ َم أَ م أ َ َف ً َني َوَغ َ يدََا أي َر ل ل ل ِِ أ.ني َ ِم َ َأ,َ َه, بأ بأِ َأ نمي َقئر لأ, ني َأوأ َ َه ِرفِ َ َأ, يدَاَ ِأا َ َر لجأ م, ِّ ع َر َ َ ك, منه, هه لأ َ َني َولان Dalam kalimat pembuka tersebut, Syekh Mutamakkin menyebut enam makna esoterik dari ibadah salat. Pertama, salat merupakan ‘arsy almuwah}h}idi>n (singgasana orang yang mengesakan Allah). Melalui kesadaran menegakkan salat, seseorang dimaksudkan membuktikan peneguhan tentang keesaan Allah, karena salat secara spiritual merupakan bentuk ketundukkan dan kepasrahan diri kepada Allah, dan salah satu bentuk kesadaran bahwa Allah adalah Zat yang pantas untuk memperoleh penyembahan dan ketundukan. Kedua, Syekh Mutamakkin meletakkan salat sebagai khizyah almuqtadi>n (bentuk kerendahan hati orang-orang yang menyediakan dirinya untuk taat kepada Allah swt.). Di sini, salat diletakkan sebagai simbol dari pengakuan seorang Muslim bahwa dirinya adalah makhluk lemah dan Allah yang Mahaagung. Salat sebagai sebuah ritus, di sini diletakkan bukan sekadar sebagai bentuk kewajiban, tetapi kepatuhan setiap diri yang selayaknya dipersembahkan kepada Allah. Adalah satu kepantasan bahwa manusia tunduk kepada Allah tanpa tergantung oleh imbalan pahala atau kenikmatan surga. Ketiga, Syekh Mutamakkin memandang salat sebagai h}ubs almuna>fiqi>n (benteng dari sikap-sikap hipokrit dan tidak konsisten). Di sini oleh Syekh Mutamakkin salat dipahami sebagai medium di mana seorang hamba menyadari bahwa di setiap gerak hidup, setiap jengkal kaki melangkah, di setiap degup jantung berdetak, pada setiap kata terucap dari lisan saat berbicara, pada setiap pikiran dan perencanaan lahir dari akal, semuanya diawasi secara cermat oleh Allah swt. Salat dengan demikian, menjadi sarana olah batin di mana setiap diri untuk selaras dalam hidup. Keempat, salat merupakan mi’ra>j al-‘arifi>n (jalan spiritual seorang hamba yang telah memahami kediriannya dan Tuhan). Jalan ini merupakan proses transendensi dari alam nasut (dunia manusia, historis) menuju alam lahut (dunia Tuhan yang transhistoris), sehingga ia bisa bertemu dengan Allah swt. sebagai Sang Kekasih sejati. Seperti halnya Nabi Muhammad saw. yang melakukan perjalan isra’ dan mi’raj, setiap diri dimungkinkan bisa melakukan proses pendakian yang lebih tinggi dari alam imanen menuju alam transenden. Salat sebagai mi’ra>j, memberikan penyadaran bahwa momentum salat, hakikatnya setiap diri Kelima, salat merupakan muna>jah al-sa>likin (medan spiritual orang-orang yang selalu menggerakkan hidupnya untuk meraih keridlaan Allah). Salat di sini dipahami sebagai menifestasi puncak kenikmatan sejati.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1949
Oleh Syekh Mutamakkin, salat di sini dipahami sebagai jalan menjadi media di mana seorang hamba menapaki etape-etape perjalanan secara terusmenerus yang muaranya adalah Allah. Keenam, salat sebagai taqarrub ila> rabb al-‘alami>n (sarana bagi setiap Muslim untuk selalu bergerak mendekat kepada Sang Pengatur semesta alam). Salat oleh Syekh Mutamakkin dimaknai sebagai gerak magnetik yang mendekat ke sumber pengatur dan pemilik kehidupan. Sebagai pengatur kehidupan, di dalam salat kekuatan magnetik Allah akan menarik kekuatan subjek-subjek yang menyadari dan merasakannya sebagai satu-satunya sumber kekuatan sejati.39 Enam hal terkait dengan ibadah salat yang diungkapkan Syekh Mutamakkin di bagian pengantar ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n di atas mengisyaratkan bahwa ia mengukuhkan dimensi syariah atau fiqh dan tasawuf dalam praktik ibadah. Sebagai ulama yang pada masa hidupnya dituduh heretic dan abai pada syariat, sebagaimana dikonstruksikan Serat Cebolek, kalimat pembuka di awal teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n tersebut merupakan pembanding sekaligus kounter terhadap tuduhan-tuduhan pejoratif tersebut. 1. Menyatukan Kesadaran, Zikir dan Tindakan Sebagai medium, oleh Syekh Mutamakkin salat dipahami menjadi arena untuk menjelaskan tentang makna kesadaran, zikir dan tindakan. Pandangan ini tampak ketika ia menjelaskan peran niat dan makna takbi>ratul ih}ra>m. Dalam kitab fiqh biasanya kasus ini dibicarakan ketika menguraikan rukun salat.40 Setelah mengulasnya dari aspek fiqih—dengan 39 Di antara masalah yang seringkali disalahpahami dalam tasawuf adalah adanya anggapan bahwa kaum sufi meremehkan ketaatan pada kewajiban syariah. Padahal, tidak ada satu pun tokoh sufi yang pernah menyatakan atau setidaknya menunjukkan sikap meremehkan syariah. Para sufi justru menjadikan ibadah (syar’i) sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan tertinggi. ‘Ali ibn ‘Us\ma>n Al-Hujwiri> dalam Kasyf al-Mah}ju>b menisbahkan kemunafikan kepada orang-orang yang mengaku sufi tetapi tidak menjalankan perintah syariah. Dalam kitab tertua di Persia di bidang tasawuf tersebut, Al-Hujwiri menguraikan makna praktik ibadah disertai dengan makna esoteriknya. Lihat, Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 67-73. Terkait dengan uraiannya tentang berbagai ibadah lihat bab 19-22 dalam buku ini. Ibn ‘Arabi (11651240 M), tokoh besar di dunia tasawuf yang pemikirannya banyak disalahpahami, mendefinisikan tasawuf sebagai ’mengikatkan diri kepada perilaku-perilaku terpuji menurut syariah, secara lahir dan batin.’ Di dalam Fusus al-H}ikam ia dengan filosofis menguraikan makna-makna esoterik ibadah salat, puasa, zakat dan haji. Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, Mutiara Hikmah 27 Nabi, terj. Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti (Yogyakarta, Islamika, 2004), hlm. 395-413. 40 Rukun niat tersebut adalah niat, takbiratul ihram, membarengkan niat dengan takbiratul ihram, berdiri bagi orang yang mampu berdiri, membaca su>rah al-Fa>tih}ah, ruku>’, i’tida>l, suju>d, duduk di antara dua sujud, tuma’ninah, tasyahud a>khir, membaca salawat untuk nabi setelah tasya>hud akhir, salam yang pertama, dan semua tindakan tersebut
1950 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future merujuk pandangan Ima>m Sya>fi’i> bahwa keduanya merupakan fardlu yang mesti dikerjakan agar salat seseorang menjadi sah—41 selanjutnya ia memahami niat sebagai bagian penting dari setiap tindakan mukmin. Dengan tegas ia mengatakan:
ِ ِ ِ وه ِيِأه ِح َف لأقَي َل تأنيَ َف َن أال ِا َيفأ ي ِّد لأ ِ ََا ِرَرِِّاأ َِا َي ِدهِأ َ مو ل َ َ َ لم َ ان, بأ ََ َ َ لم, نيأَ ِملأ َ ِّأخيَل 42
َغِّر َأا َ أال
Pada kutipan di atas tampak bahwa oleh Syekh Mutamakkin, niat dipahami sebagai kesadaran hati setiap mukmin yang selalu meneguhkan kekuasaan Allah swt. serta janji-Nya dalam setiap tindakan, sehingga hati bisa menjadi murni dari hal yang buruk. Dengan demikian, niat sebagai bentuk peneguhan tentang penyadaran keikhlasan untuk setiap tindakan dan ibadah di mana Allah swt. menjadi satu-satunya pusat orientasi. Pada bagian lain, Syekh Mutamakkin meneguhkan pemahamannya ini dengan menyebut niat sebagai ru>h} al-‘amal, bas}i>r al-i>ma>n, dan sifat al-qalb.43 Meski tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang makna dari ketiga istilah tersebut, secara implisit terlihat bahwa niat diposisikan utama dari suatu tindakan. Istilah ru>h} al-‘amal mengandaikan bahwa niat menjadi daya penghidup dan pendorong dari setiap tindakan seorang. Tanpa niat, suatu tindakan akan kehilangan elan vital, orientasi dan makna esoteriknya, seperti tubuh manusia yang di dalamnya tidak lagi ada ruh bersemayam, ia menjadi sekadar wujud material. Istilah bas}i>r al-i>ma>n dipakai mengandaikan adanya pemahaman bahwa melalui niat, iman akan menemukan kesadarannya. Iman merupakan tindakan hati, dan niat menjadi dasar penopangnya yang memberikan kesadaran bahwa setiap tindakan manusia selalu berada di bawah pengetahuan dan pengawasan Allah. Atas dasar ini pula tampaknya Syekh dilakukan secara tertib Lihat misalnya, Zakaria al-Ans}a>ri>, Tuh}fah al-T}ala>b bi Syarh} Tah}ri>r Tanqi>h} al-Luba>b hlm. 21-22; Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabi>l alMuhtadi>n, hlm. 192-226. Nuruddin al-Raniri menyebutkan niat dalam salah satu rukun salat yang jumlahnya sembilan belas hal. Selengkapnya lebih detail lihat Nu>ruddi>n al-Ra>niri>, Al-S}ira>t} al-Mustaqi>m, dicetak bersamaan di bagian pinggir kitab Sabi>l al-Muhtadi>n (Mesir: Dar al-Fikr, t.th), hlm.128. 41 Uraiannya ini diawali dengan hal-hal yang terkait dengan aspek fiqh, seperti tata cara niat, hal-hal yang mesti disebutkan di dalamnya, serta melafalkan niat dan bentuk kalimat takbir yang harus dilafalkan dalam takbi>ratul ih}ra>m. kewajiban bertakbir dalam salat ini ia sandarkan pada ayat: wa rabbaka fakabbir (Qs. Al-Mudas\s\ir [74]: 3) sebagai dasar tekstualnya. Di dalam teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n ditulis warabbika fakabbir, yang konteks maknanya adalah dalam bentuk sumpah. Huruf wawu di situ dimaksudkan sebagai wawu qasam, bukan wawu isti’na>f, oleh karena itu artinya adalah: “demi Tuhanmu, agungkanlah”. 42 Syekh Mutamakkin, ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, hlm. 5. 43 Ibid., hlm. 8.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1951
Mutamakkin mengistilahkan niat sebagai sifat hati (s}ifah al-qalb), karena niat merupakan kehendak dasar yang dibangun atas kesadaran hati seorang mukmin. Syekh Mutamakkin di sini juga menyebut zikir sebagai nafs al-‘amal (esensi dari tindakan). Sebagai esensi tindakan, zikir dalam konteks ini dipahami sebagai kesadaran tentang eksistensi Tuhan dan Ia sebagai satusatunya zat yang niscaya dan pantas memeroleh penyembahan.44 Gerak anggota tubuh sebagai refleksi dari perbuatan disebut sebagai jawa>rih} al‘amal (organ-organ tindakan), dan ketika perbuatan tersebut berupa amal kebajikan, maka ia sebagai jism al-i>ma>n (tubuh iman) yang telah mewujud dalam bentuk kongkret dan bisa dirasakan, serta niat yang baik sebagai bas}i>r al-i>ma>n, karena dengannya penglihatan batin seseorang telah mampu ‘melihat’ Tuhan. Ketiganya mesti salingkait: niat sebagai kesadaran, zikir sebagai penggerak amal diorientasikan menuju Tuhan, dan amal kebaikan sebagai bentuk pembuktiannya. Dari sini tampak bahwa Syekh Mutamakkin meletakkan syariah sebagai sarana melatih hati agar selalu ingat (zikr) Allah dan bergerak menuju-Nya serta dibuktikan dalam bentuk amal kebajikan. Itulah sebabnya, ia menyebut amal saleh dengan istilah jism al-i>ma>n. Iman adalah pekerjaan hati, bersifat abstrak, dan tidak bisa dilihat, adapun amal saleh merupakan pembuktiannya yang bersifat kongkrit, bisa dilihat dan dirasakan, dan niat-baik adalah yang menggerakkan seluruh tindakan hanya untuk Allah swt. Niat yang demikian, mampu membuka penglihatan batin setiap hamba untuk ‘melihat’ Tuhan. Niat sebagai kesadaran tindakan, zikir sebagai kesadaran arah tindakan diorientasikan, dan tindakan kebajikan sebagai wujud kongkritnya dalam pandangan Syekh Mutamakkin merupakan rangkaian sistemik yang tidak terpisahkan dan tidak saling bertentangan. Ketiganya bergerak sebagai refleksi dari kesadaran beribadah kepada Allah. 2. Salat sebagai Sikap Moral dan Jalan Transendensi Dalam ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, Syekh Mutamakkin menjelaskan medanmedan makna spiritual dalam praktik salat. Pada halaman 11 ia menguraikan tentang keharusan berdiri, ruku’, sujud dan duduk dalam salat yang secara tekstual dilandaskan pada Al-Qur’an, lalu menjelaskan hakikat makna dalam keseluruhan gerakan tersebut.
44
Syekh Mutamakkin di sini memakai istilah zikir bukan wirid. Hal ini mengandung arti bahwa zikir di dalamnya terkandung unsur kesadaran dan keterpautan hati dengan sang Khalik, sedangkan wirid lebih bermakna mekanis, di mana seseorang mengulang-ulang bacaan sebagai media mempertautkan diri kepada-Nya.
1952 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
ِ ِ َ ََب َد أغيَنَيغَيمي لرأ, أغهلِر أ َ ِهاد أذَ لِرأ ِد أ لل ِّ أ َ ٍهل َأوِ َ م أ َ أيه ِد َ َ ََبد َأوله َا, َوَه َي أح َف أل ِ هه ٍ أِ َع ِ ِا أيف ِح َفهتِِاأوغيَنن ِق ِأايفأ ٍهلأِ َ أ ٍهلأَمل ِايفأه ِ هجأوِايفأا ييَ ٍأِ َأ ع َ َ َ َ َ ٍ أي َ َ َ َ َ ََ َ ل َ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ هَهي ٍأ أوِايف أ َهفِ ٍ أ َع أذَ لِ ٍر أ ٍ َع قَ ِرغ ب َأو َأ أس َ َهماٍ َأوِا َيف أ َ َِي ٍد أ َأ َ َ َ َ أو ا َيف أس َق َهوا أ َع َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ,ِطَهأ,غَ لك َا ل ِأدأ َ ٍهلأو ِ ٍدأو َلدمأ هي ِأ َ َط, بَ َهما َأو,َ أجينَ ِة َأد نيَ َف َنالأ َعأ ََ َ َبأ َحلَ َننَ أ َ َ 45 ِ َ َكن, و بل َ َ Gerakan-gerakan dalam salat menurut Syekh Mutamakkin merupakan wujud dari sifat dan kesadaran orang yang tunduk, bersyukur, memuji, dan ingat kepada Allah di setiap keadaan. Sifat seorang hamba bisa berubah dan berganti: dari satu kondisi ke kondisi yang lain, yakni dari kondisi bodoh ke alim, dari maksiat ke taat, dari alpa ke ingat, dari celaka ke beruntung, dari jauh ke dekat (kepada Allah). Ia tak berada hanya dalam satu kondisi. Oleh karena itu, bagi seorang pencari kebajikan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah, ketaatan dan usaha mencari keberuntungan. Setelah menjelaskan gerakan-gerakan dalam salat sebagai wujud dari kesadaran ketundukan dan ingat kepada Allah, Syekh Mutamakkin kemudian memahami salat sebagai media yang bersifat fungsional. Pertama, fungsi personal, yaitu bahwa salat bisa media untuk mencegah diri dari perilaku buruk, menjauhkan diri dari maksiat, dan menjadikan diri kuat dari permainan (lahwu) dan tipudaya (laghwun). Kedua, fungsi spiritual, yaitu menunjukkan dan menyadarkan seseorang pada pahala dan menjadi sa>lik menuju jalan petunjuk.46 3. ‘Melihat’ Tuhan Melalui Kesadaran Tauhid dan Kebajikan Pada konteks yang lebih umum, Syekh Mutamakkin kembali menekankan bahwa ibadah, taat kepada Allah dan amal, merupakan jalan untuk menegakkan zikir (ingat) kepada Allah, yang dizikir ini merupakan bagian yang dituju di dalam salat. Menurutnya, zikir (dalam pengertian selalu ingat kepada Allah) merupakan pembersih hati. Ketika seseorang melanggengkan zikir, maka hatinya menjadi bening. Tidak cukup meletakkan zikir di dalam hati, tetapi mesti disertai dengan bentuk tindakan. Demikian halnya dengan membersihkan hati. Usaha ini menurut Syekh Mutamakkin tidak cukup dengan mendengarkan ucapan guru, tetapi dengan melanggengkan zikir, beribadah, dan taat (kepada Allah). Ketiga hal ini
45
Syekh Mutamakkin, ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, hlm. 12-13. Ibid., hlm. 6.
46
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1953
menurutnya sebagai sarana untuk bisa ‘melihat’ Tuhan. Pada halaman 14 – 16 di ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n ia menulis:
ِ ِ َ َكنب أِِ قَها, طمهي َ أو, َ ِبهمَأا و, أوَ ِ ينِبهر أَ م أ أغَي ٍ أ ِ لك ِّ َأ,لم ِا أ َل َمه أقَِي َ أ,أذ َل ِر َ َ َ َ َ َ ََ َ ََل ِ ِ ِ َ َق َل ِأ, َ لأ,َ أو ِح َقه,ِح َقه ِ َ ِم َرن َِاأ,أح ِفيهأ َله َ لما أ َ مو أ َذ, ب ذ َل لر أ َ أم أ َأوَع ِأد أذ َل ِرِه أفَييَ لك َا ل َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِّ ِّ ي َل لأر,ََ َق َلبأ, َ لأ,ي َل لرأح َقه, َ أ, بأ َل َي َ د, َم َرنَاأَ َحلَ َر لر َأو, ََأ,َوَ م أح َقه َ َك َن ل, ِّه ليف َأو ِ وِ َذ مأ أوأعأِدأ َلنبِ ِاأفَيي لكا ل أح ِفيهأو َغك ِ َ َف أ ِا ِ َ أ, هأيلََي ِاأِ م َأا َعأ َل َنبِ ِا َأوَل َي َ ب َة ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َق َل,َ َ لأ,ِح َقه هي ِ َأوِ َذ أ َ َط, َ بَ َهما َأو, ي َل ِر َأو,ِّ شَمي ِخأ مأ ِ َد َو ِعأ, بأ َأغَكَف أحَهعلأقَي َاِلأ ِ ِ َم أ أوع أيل ِ هل أيل َم لر أ َ ليفأ َ ََ ِم َرن َِا أفَيَر َ َأرمال أ َل َمه أق,أح ِفيه أ َله َ َ ََ َ َ م َمدنَ أفَأييَ لك َا ل, أهيه أ ِ ب ِ ِ َقَطم ِ َأح ِفيمهأ ِنب أذ َل ٍر َأو ِيبَ َهمتِِاأ َ لمال, هب َأرب َ أ َ َ أيَنال َأرنَىأأقَي َلِ َ َأرِّ َ َأوَله َ أقَي َلبلال أ47 هينِِأا َ ََوه
Kutipan di atas menjelaskan bahwa bagi Syekh Mutamakkin, pengalaman ru’yatulla>h sebagai puncak pengalaman spiritual dan keindahan hidup bagi Mukmin, bisa diperoleh dengan selalu ingat kepada Allah (z\ikrulla>h). Zikir ini ditopang dan ditegakkan oleh tiga hal, yaitu beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta melakukan kebajikan dalam kehidupan. Syekh Mutamakkin memahami zikir bukan sebagai ritus yang diulang-ulang secara mekanis dalam bentuk wiri-wirid, juga bukan dalam bentuk abstrak yang berada dalam batin. Lebih dari itu, zikir ia letakkan sebagai kesadaran dan sekaligus tindakan kebajikan yang diorientasikan hanya kepada dan untuk Allah. Istilah kasb yang digunakan Syekh Mutamakkin sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas dimaksudkan dalam pengertian sebagai usaha praktis dalam kehidupan sehari-hari. Secara implisit, Syekh Mutamakkin memberikan dorongan bagi para sa>lik untuk melakukan kerja-kerja praktis dalam dimensi sosial. Melakukan gerakan zikir secara benar dan tepat menurut Syekh Mutamakkin haruslah dilakukan di setiap saat dan setiap kondisi. Orangorang yang telah mampu melakukan praktik zikir secara benar dan konsisten—yang dasarkan adalah ibadah dan ketaatan—ia akan memperoleh ilmu dan rahasia-rahasia dari Tuhan. Mereka ini juga dalam dirinya akan dijauhkan dari rasa takut dan khawatir, baik dalam kondisi hidup ataupun mati.48
47
Ibid., hlm. 14-16. Ibid., hlm. 17-18.
48
1954 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Pada puncak penjelasan tentang makna salat, Syekh Mutamakkin menguraikan tentang situasi diri manusia yang bertauhid dengan benar. Dengan mengutip Misykah al-Anwa>r karya Al-Ghazali, ia menjelaskan bahwa hati orang-orang ‘a>rif (gnostik, ahli pengetahuan ruhani atau batin) tidak hanya menghadap kepada asma>’ Allah, tetapi bahkan menghadap pada wuju>d-Nya dan menafikan wujud selain-Nya. Inilah tauh}i>d alkhawa>s} (tauhid orang-orang khusus). Menurut Syekh Mutamakkin, orang yang telah mencapai posisi ini seluruh gerakan tubuhnya telah ‘gerakkan’ oleh Allah.49 Dalam situasi inilah seluruh gerakan dan usaha seseorang terkontrol oleh kekuatan Sang Mahabaik, sehingga yang lahir dari gerakan dan tindakan itu pun adalah kebaikan. Ia tak akan menentang Tuhan—baik secara samar atau terang-terangan, dalam situasi bergerak atau pun diam. E. Karakteristik Tasawuf Syekh Mutamakkin: Eklektik dan Konformitas Isi pokok dari ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n sebagaimana dijelaskan di atas memberikan peta penting tentang bangunan tasawuf Syekh Mutamakkin. Pertama, ia adalah ulama yang berpegang teguh pada syariah, bahkan dalam konteks yang lebih sempit adalah fiqh. Ketika menjelaskan niat dan takbi>ratul ih}ra>m dalam salat dan tatacaranya, misalnya, dengan tegas ia mengutip pandangan Asy-Syafi’i,50 satu mazhab fiqih yang secara umum dianut oleh kebanyakan masyakat di Jawa ketika itu. Hal ini merupakan bukti tekstual bahwa tidaklah benar tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya oleh sejumlah ulama—yang dimotori oleh Ketib Anom—bahwa ia merupakan ulama anti dan bahkan merusak syariat, sebagaimana digambarkan secara dramatis dalam Serat Cebolek.51 Kedua, dalam konteks tasawuf, tampak bahwa Syekh Mutamakkin— dalam teks ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n—tidaklah secara murni mengikuti ajaran wih}dah al-wuju>d dan panteisme yang dikembangkan Syekh Siti Jenar. Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, manusia ini merupakan manifestasi ruh Tuhan dan demikian juga semesta alam. Dalam Suluk Syekh Siti Jenar kecenderungan panteisme sangat terlihat. Di situ dikatakan: Syekh Siti Bang menganggep Hyang Widdhi, wujud kang nora katon satmata, sarupa yayah deweke, sipat-sipat mausup, lir wujudi blenger tan kaksi. 52 49
Ibid., hlm. 20. Ibid., hlm. 3. 51 Lihat pada Pupuh 1, bait 9. 52 Lihat, Suluk Syekh Siti Jenar, alih bahasa Sutarti (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984), hlm. 102; Babad Demak, alih aksara Maryono Truno (Semarang: Proyek Pengembangan Perpustakaan Daerah, 1980/1981), hlm. 23. 50
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1955
Beda dengan Syekh Siti Jenar, dalam pandangannya tentang pengalaman ‘melihat Tuhan’ pada diri orang beriman, Syekh Mutamakkin menekankan pada pentingnya beribadah kepada Allah dan tindakan praktis serta usaha (kasb) dalam kehidupan sebagai sarana meraih kenikmatan tertinggi. Di sini, transendensi Tuhan dan tanzi>h atas-Nya oleh Syekh Mutamakkin dijunjung tinggi. Memperkuat pandangan dan penjelasannya terkait dengan hubungan manusia dan Tuhan serta beribadah kepada-Nya, ia mengutip penjelasan Al-Gha>zali> dalam Misyka>h al-Anwa>r,53 yang mengibaratkan hati (qalb) manusia seperti cermin. Pembersihan adalah kebajikan amal dan zikir tauhid kepada Allah, sehingga pada tahap ini ru’yatulla>h akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Meskipun dalam tahapan tauhid tertinggi, seperti halnya Al-Ghazali, ia memahami bahwa wujud hakiki adalah Allah dan pada tahapan tersebut setiap diri hakikatnya yang menggerakkan adalah Allah sebagai sumber kebajikan, tetapi ia tetap menekankan amal ibadah, pengabdian dan kasb sebagai tahapan yang mesti dilalui dalam kehidupan. Satu hal penting yang mesti dicatat dari pemikiran tasawuf Syekh Mutamakkin adalah kemampuan dan keterbukaannya terhadap unsur-unsur dan kearifan lokal. Sebagai ulama, ia tidak canggung membaca Serat Dewa Ruci. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur lokal bahkan lintas kepercayaan, menurutnya menjadi salah satu bagian dalam merumuskan tindakan dalam berdakwah. Dalam ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n memang tidak secara tegas menjelaskan hal ini, tetapi sebagaimana disebutkan dalam Serat Cebolek dan sejarah lisan yang berkembang di Kajen, menunjukkan bahwa ia merupakan prototipe ulama yang terbuka dengan hal-hal di luar dari Islam. Oleh karena itu, tidak relevan bila dia dimasukkan dalam kategori aliran tasawuf sunni atau tasawuf falsafi. Sebagai orang Jawa dan Islam, ia tampak melakukan konformitas atas dua dimensi ini. Meskipun imannya terbang bersama Islam, tetapi kesadaran sejarahnya ia adalah orang Jawa. Unsur tradisi Jawa ia jadikan sarana penjelas terkait dengan nilai-nilai Islam. Dan model ini tampaknya yang dianut oleh Syekh Hasyim Asy’ari (keturunannya dan pendiri NU), sebagaimana dijelaskan oleh Gus Dur ketika memberikan pengantar dan sekaligus membantah kesimpulan Alwi Shihab terkait dengan posisi kakeknya tersebut dalam dunia tasawuf. Dengan demikian, bisa ditegaskan bahwa karakteristik tasawuf Syekh Mutamakkin, tidaklah bisa dikategorikan ke dalam tasawuf sunni, atau tasawuf falsafi, atau neo-sufi—sebagaimana disimpulkan Milal. Tasawuf Syekh Mutamakkin bersifat eklektik yang dibangun atas kesadaran di mana tanzih Allah diteguhkan melalui jalan amal kebajikan, tauhid, dan kasb. Halhal ini dilakukan dalam kerangka menurunkan nilai-nilai Tuhan yang 53
Lihat, Syekh Mutamakkin, ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n, hlm. 19.
1956 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future transenden ke dalam diri, sehingga seluruh gerak ini mencerminkan nilainilai dan sifat Tuhan. Oleh karena itu, tujuan akhirnya ternyata amal kebajikan yang diorientasikan kepada Allah menjadi sarana menikmati ru’yatulla>h. Konsep ini ia jelaskan bukan sekadar dengan dasar tekstual dogmatik, tetapi juga memakai sarana kearifan lokal di Jawa. Inilah cerminan dari sifat dan sikap eklektif yang ia lakukan di dalam membangun tasawufnya. Tuduhan sesat yang dibangun dalam Serat Cebolek lebih sebagai intrik kepentingan politik dan pertarungan ideologi. Secara genealogis, Syekh Mutamakkin merupakan keturunan Mas Karebet (Jaka Tingkir) yang dengan lentur menerima tradisi lokal. Kebo Kenongo, ayah Jaka Tingkir, diklaim sebagai pembangkang di bidang kepercayaan terhadap penguasa Demak.54 Hal ini terjadi karena, pada masa itu pemikiran keagamaan Islam terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Pertama, kelompok yang tidak menerima tradisi (Jawa) ke dalam Islam.55 Kelompok ini dipelopori oleh Sunan Giri, Sunan Ampel dan Sunan Kudus. Penganutnya didominasi para pedagang yang berpikir praktis dan ekonomis serta para penguasa yang masuk Islam dengan tujuan memperoleh dukungan dari para wali dan masyarakat di pesisir pantai. Kedua adalah kelompok yang menerima proses pertemuan tradisi setempat (Jawa) dengan Islam. Kelompok ini dipimpin Pangeran Panggung, Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar. Kelompok ini memperoleh dukungan dari kelompok Islam pedalaman (yang mayoritas petani dan berlatar agraris) dan Sunan Kalijaga. Pertarungan dua kelompok ini, ketika itu dimenangkan oleh kelompok pedalaman, yang kemudian memindahkan pusat kekuasaan Islam dari Demak ke Pajang.56 Mataram pasca Sultan Agung juga sering diguncang berbagai pemberontakan dan perang saudara. Setelah pembrontakan Trunojoyo, berbagai perang saudara terjadi yang intinya memperebutkan kekuasaan Surakarta. Pada 1719-1723 M. terjadi perang dan pembrontakan memperebutkan kekuasaan antara Sunan Amangkurat IV (yang ketika itu sebagai pemegang kekuasaan yang sah) dengan Pangeran Tepasana, Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, serta Adipati Natapura dan Pangeran Diponegara Herucakra. Amangkurat IV berhasil membasmi gerakan pembrontakan itu dengan dibantu oleh kekuatan militer Balanda. Dalam situasi politik yang diselimuti oleh perebutan kekuasaan dan perseteruan 54
Radjiman, Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Surakarta: t.p, 2002), hlm. 33. 55 Radjiman menyebut kelompok ini sebagai aliran pantai, karena berasal dari daerah pesisir pantai. Lihat., Ibid. Penyebutan ini tidak sepenuhnya tepat, karena banyak tokoh-tokoh dan para wali yang berasal dari daerah pesisir/pantai tetapi sangat akomodatif terhadap tradisi dan kearifan lokal, seperti Sunan Muria dan Syekh Mutamakkin sendiri. 56 Ibid.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1957
antara kelompok Islam puritan dengan Islam yang lentur menerima tradisi lokal inilah kisah Syekh Mutamakkin hidup. Tuduhan heretic kepadanya tidak terlepas dari perseteruan dua kelompok Islam tersebut. F. Penutup Keseluruhan penjelasan di atas memberikan dasar dalam menarik kesimpulan. Pertama, teks ‘Arsy Al-Muwah}h}idi>n merupakan teks yang berbicara tentang makna esoteris dari praktik ibadah salat. Ia merupakan teks tasawuf yang meskipun secara kodikologis belum memberikan informasi secara tegas sebagai karya Syekh Mutamakkin, tetapi secara spiritual para kiai di Kajen menyimpan dan meyakininya sebagai karya Syekh Mutamakkin. Kedua, ‘Arsy al-Muwah}h}idi>n menjelaskan ibadah salat sebagai media transendensi dan mi’ra>j seorang arif dalam berkomunikasi dengan Tuhannya. Di dalamnya juga menegaskan peran amal dan usaha manusiawi dalam kehidupan sosial dan spiritual ditekankan. Ketiga, karakteristik tasawuf Syekh Mutamakkin tidak serta-merta dapat diposisikan dalam kategorisasi yang dibangun oleh Alwi Shihab, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Demikian juga tidak serta-merta bisa dimasukkan dalam kategori neo-sufi yang bersifat puritan, seperti yang dikerangkakan Fazlu Rahman. Tapi, karakteristik tasawuf Syekh Mutamakkin bersifat eklektif dan konformatif atas tasawuf sunni dan falsafi serta mengakomodasi tradisi dan kearifan lokal—dalam hal ini adalah tradisi Jawa. Ia juga menyerap semangat hidup dinamis dari guru tarekatnya, Syekh Zain Al-Yamani. Dalam konteks ini, tuduhan heretic yang dialamatkan kepadanya lebih bersifat politis dan bagian dari pertarungan klan genealogi yang ikut terlibat di dalamnya: klan Sunan Kudus yang ortodok-politik dan Jaka Tingkir yang tradisional dan menghargai tradisi lokal.[]
DAFTAR PUSTAKA Al-Ans}a>ri>, Zakaria Tuh}fah al-T}ala>b bi Syarh} Tah}ri>r Tanqi>h} alLuba>b. Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.th. Al-Banjari, Syekh Muh}ammad Arsyad. Sabi>l al-Muhtadi>n Littafaquh fi> Amr al-Di>n. Mesir: Da>r al-Fikr: t.th. Al-Ghaza>li>, Abu> H}a>mid. al-Munqiz min al-D}ala>l. Kairo: Dar alMa’arif, 1316 H. Al-Hujwiri. Kasyful Mah}ju>b. terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM. Bandung: Mizan, 1992.
1958 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Al-Taftazani, Abu al-Wafa’. Al-Madkhal ila> al-Tasawwuf al-Isla>mi>. Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1976. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998. Babad Demak, alih aksara Maryono Truno. Semarang: Proyek Pengembangan Perpustakaan Daerah, 1980/1981. Badawi, ‘Abdurrah}ma>n. Tarikh al-Tasawuf al-Islami. Kuwait: Wikalah al-Matbu’at, 1975. Baried, Siti Baroroh dkk. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Bizawi, Zainul Milal. Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi. Yogyakarta: Samha, 2002. Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat, Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LkiS, 1999. Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat. Yogyakarta: LKiS, 1999. Goenawan Mohamad, “Dari Cebolek sampai dengan Kajen” dalam Catatan Pinggir , Tempo edisi 09/06/2002. Gusmian, Islah. “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia Abad 20: Studi Atas Dinamika Pemakaian Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir” Laporan Penelitian Kompetitif Individual yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIN Surakarta, 2009. H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, editor naskah Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003. Haidar Baqir, Buat Apa Shalat?! Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan kebahagiaan dan Ketenangan Hidup. Bandung: Kerjasama Penerbit Mizania dan Iiman, 2008. HM. Imam Sanuni, Ah. Perjuangan Syekh K.H. Ahmad Mutamakkin. Yogyakarta: Keluarga Mathaliul Falah Yogyakarta, 2002. Ibn al-Jauzi, Talbis Iblis. T.tp: Dar Umar ibn Khattab li al-Nasyr, t.th. Ibn Arabi. Fusus al-Hikam, Mutiara Hikmah 27 Nabi, terj. Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti. Yogyakarta, Islamika, 2004. Ibn Taimiyah, Fatawa ibn Taimiyah, Riyad: t.p, 1381 H.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1959
Kartapraja, Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Masagung, 1985. Kuntowijaya. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. cetakan ke-4. Bandung: Mizan, 1994. Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. California: Wadsworth Publishing Company, 1989. Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Nu>ruddi>n al-Ra>niri>, Al-S}ira>t} al-Mustaqi>m, dicetak bersamaan di bagian pinggir kitab Sabi>l al-Muhtadi>n. Mesir: Dar al-Fikr, t.th. R.M. Ng. Poerbatjaraka. Kapustakaan Djawi. Jakarta: Djambatan, 1954. Radjiman. Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Surakarta: t.p, 2002. Rahman, Fazlur. lslam. Chicago: The University of Chicago Press, 1979. Rekaman Diskusi Buku: Perlawanan Kultural Agama Rakyat di IAIN Jakarta, Selasa, 14 Mei 2002 yang dihadiri oleh Gus Dur, Bambang Pranowo, Goenawan Mohamad, dan Azyumardi Azra yang kemudian dipublikasikan oleh Jaringan Islam Liberal. http://islamlib.com/id/artikel/diskusi-buku-perlawanan-kulturalagama-rakyat. diunduh pada 15 April 2012. Ridwan Sofwan dkk. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. S. Soebardi. The Book of Cabolek. The Hague: Martinus Nijhoff, 1975. Saksono, Wiji. Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah atas Metode Dakwah Wali Songo. Bandung: Mizan, 1995. Shiddiqi, Nourouzzaman. “Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.) Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Shihab, Alwi. Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia. Bandung: Mizan, 2001. Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Bandung: Mizan, 2003. Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar, Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Spardley, J.P. “Adaptive Strategies of Urban Nomads: The Ethnoscience of Tramp Culture” dalam J. Friedl dan N.J. Chairman (ed.) City Way: A Selective Reader in Urban Anthropology, sebagaimana dikutip oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra “Peringatan, Cobaan, dan Takdir: Politik
1960 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Tafsir Bencana Merapi” dalam Jurnal Masyarakat Indonesia LIPI Jakarta, jilid XXVI, No. 1, 2000, hlm. 29. Suluk Syekh Siti Jenar, alih bahasa Sutarti. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984. Tudjimah. Syekh Yusuf Makasar. Jakarta: UI Press, 1997. Wawancara dengan Arwani Kohlejo, guru di desa Watoroyo, pada 11 September 2012. Wawancara dengan K.H. Muadz Thohir, pengasuh Pesantren Ar-Raudlah Kajen, Pati, pada 21 Agustus 2012. William C. Chittick “Ibn Arabi dan Mazhabnya” dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematik, Spiritualitas Islam, Manifestasi, terj. M. Sholihin Arianto dkk. Bandung: Mizan, 2003.
Peranan Kitab Tuhfah Al-Rȃgibȋn Terhadap Nalar Keberagamaan Masyarakat Banjar Abad Ke-18 M. Rusydi A. Pendahuluan Pembaharuan telah dilakukan Muhammad Arsyad Al-Banjari1 di Kalimantan Selatan. Hal ini cukup beralasan, karena ada yang berpendapat bahwa Islam masuk di Kalimantan Selatan sejak abad ke-16 M, sejak kerajaan Islam Banjar didirikan oleh Sultan yang pertama yakni Sultan Surianyah (1525-1550).2 Namun, dari segi intensitas pengamalan ajaran Islam yang sudah menjadi agama mayoritas penduduknya itu, baru secara intensif didakwahkan oleh Al-Banjari bersama para murid dan anak cucunya pada akhir abad ke-18 M.3 Dan salah satu pembaharuan yang dilakukan Al-Banjari adalah dalam bidang akidah yang terangkum dalam tulisannya Tuhfah Al-Rȃgibȋn. Kuatnya pengaruh dan peran kitab Tuhfah bagi perkembangan keyakinan masyarakat Banjar tidak diragukan lagi, sebab selain kitab ini menguraikan arah keyakinan saat itu sekaligus juga disinyalir pernah menjadi media legitimasi politis dalam tragedi pembunuhan Datu Abulung sebagai pemimpin aliran wujûdiyyah. Pengaruh kitab ini secara kuat mampu menumbuhkan suatu tindakan politis lain yang dilakukan oleh salah satu murid Al-Banjari yang menjadi raja, Sultan Adam, dalam bentuk undangundang yang lazimnya dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengetahui bagaimana peran kitab ini dalam kesejarahan keberagamaan masyarakat Banjar terutama pada abad ke-18. B. Tuhfah Al-Rȃgibȋn: Tonggak Utama Paradigma Tauhid Sunni Masyarakat Banjar Abad ke-18 1. Tuhfah Al-Rȃgibȋn Sebagai Karya Akidah Pertama Al-Banjari Al-Banjari kembali ke wilayah Banjar setelah menuntut ilmu selama kurang lebih 35 tahun di tanah suci, tepatnya pada bulan Ramadhan 1186 H (Desember 1772 M). Dua tahun setelah masa kembalinya ini tepatnya pada
saja
1Selanjutnya
nama Muhammad Arsyad Al-Banjari akan disingkat menjadi Al-Banjari
2Uraian singkat tentang sejarah kerajaan Banjar ini dapat dilihat dalam A. Samad Zawawi et. al, "Kesultanan Banjar", Ensiklopedi Islam (Jakarta: CV. Anda Utama, 1992), h. 567573. 3Sutrisno Kutoyo dan Sri Sutjianingsih (ed.), Sejarah Dakwah Kal-Sel (Jakarta : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1977/1978) h. 43.
~ 1961 ~
1962 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future tahun 1188 H, Al-Banjari menulis dua buah kitab akidah yang pertama yakni kitab Ushuluddin dan Tuhfah Al-Rȃgibȋn. Untuk kitab Ushuluddin tidak diketahui apakah permintaan Sultan atau tidak, namun kitab Tuhfah secara jelas dituliskan pada bagian awalnya tentang permintaan Sultan untuk menjelaskan masalah keimanan, sebagaimana berikut ini “talaba minnȋ man lâ yumkinunȋ mukhalifatahu min ba'di akâbir az-zamân asyraqallah qalbȋ wa qalbahu bi nûr al-tauhȋd wa al-'irfâni an asna'a lahu risâlah mukhtasarah bi al-lisân al-jâwi fȋ bayân haqȋqah al-ȋmân wa mâ yufsiduhu min al-aqwâl wa al-af'âl wa al- i'tiqâdâh al-jinân fa ajabtuhu ilâ żâlika an lam akun ahlan liżâlika”.4 Kitab Ushuluddin diperuntukkan untuk masyarakat awam sehingga uraiannya lebih praktis, berbeda dengan Tuhfah yang memang ditujukan untuk kalangan intelektual dan pihak kerajaan saat itu sehingga isinya secara teoritis lebih detil dibandingkan kitab Ushuluddin. Kitab Ushuluddin ini, menurut buku Sejarah Banjar, berisi sifat dua puluh Tuhan yang lazimnya diajarkan di masyarakat Banjar saat ini.5 Menurut Abu Daudi, salah seorang keturunan Al-Banjari, isi kitab ini saat ini telah dimasukkan ke dalam kitab Parukunan.6 Namun menurut Mujiburrahman, sifat Tuhan yang diajarkan dalam kitab tersebut hanya menyebutkan tiga belas sifat Tuhan bukan dua puluh sifat, karena memang sifat-sifat ma’ânî tidak disertakan, dan tidak dijelaskan secara rinci.7 Meskipun ini diperdebatkan namun secara jelas, ajaran akidah dalam kitab ini bersifat praktis dan untuk masyarakat awam, tidak seperti Tuhfah. Kitab Tuhfah meskipun tidak terlalu mendalam membahas berbagai aliran akidah Islam namun secara jelas menumbuhkan paradigma Sunni. Oleh karena itulah, menurut penulis, kitab ini menjadi dasar dari seluruh historisitas keberagamaan Banjar selanjutnya terutama pada abad ke-18. Adapun isi kitab ini terdiri dari mukaddimah, penjelasan tentang hakikat iman, penjelasan tentang hal-hal yang merusak keimanan, penjelasan tentang syarat-syarat terjadinya riddah (keluar dari Islam) dan 4 Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, Kitab Tuhfah Al-Râgibȋn (Martapura : YAPIDA, 2000) h. 2. (meminta daripadaku seorang yang tiada boleh akan daku menyalahi dia daripada setengah orang besar pada masa ini beriring diterangkan Allah ta'ala kiranya akan hatiku dan hatinya dengan cahaya tauhid dan ma'rifah bahwa aku perbuatkan baginya suatu risalah yang simpun dengan bahasa jawi pada menyatakan hakikat iman dan barang yang membinasakan dia daripada segala perkataan dan perbuatan dan i'tiqad hati maka aku perkenankan akan dia kepada berbuat risalah kepada yang demikian itu dan jika tiada aku ahli bagi yang demikian itu sekalipun). 5Tim Editor, Sejarah Banjar (Banjarmasin : Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2003) h. 135 6Abdurrahman, “Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Sebuah Refleksi Proses Islamisasi Masyarakat Banjar”, Makalah Kelompok Cendikiawan Muslim Banjarmasin, Juli 1988, tidak diterbitkan, h. 12 7Mujiburrahman, “Memotret Tauhid Orang Banjar Melalui Penelitian”, Kumpulan Makalah The 10th Annual Conference on Islamic Studies (Jakarta : Kementerian Agama RI, 2010) h. 843.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1963
pandangan hukum terhadap riddah, penjelasan tentang taubat dan syaratsyaratnya, dan kitab ini diakhiri dengan penjelasan tentang perbuatan hamba yang tercakup dalam pandangan Ahlu Sunnah Waljamaah, Qadariyyah, dan Jabariyyah. 2. Paradigma Sunni Dalam Tuhfah Al-Rȃgibȋn a. Paradigma Sunni Versus Paradigma Non-Sunni Paradigma Sunni terlihat jelas ketika Al-Banjari berbicara tentang konsep iman. Menurutnya, iman itu esensinya adalah tasdȋq (pembenaran dalam hati). Dengan kata lain, ikrar iman dengan lisan dan perbuatan bukanlah esensi iman namun ikrar iman dengan lisan berfungsi untuk menunjukkan diberlakukannya hukum-hukum Islam kepada yang berikrar sementara perbuatan hanyalah sebuah kesempurnaan iman; jika seseorang melakukan perbuatan iman maka ia telah menyempurnakan imannya dan jika ia tidak melakukan perbuatan tersebut maka itu berarti imannya belum sempurna. Meskipun demikian ia juga mengapresiasi definisi iman yang bersifat murakkab yakni tasdȋq di dalam hati dan ikrar dengan lidah dengan dua kalimat syahadat. Konsepsi iman seperti ini sebenarnya terdapat pula pada aliran Sunni. Menurut Abdurrahman Badawi, Imam al-Asy'ari (W. 324 H.) sendiri mengungkapkan bahwa esensi iman adalah tasdȋq sedangkan esensi kafir adalah at-takżȋb.8 Selanjutnya, dalam konteks esensi iman sebagai murakkab, terdapat pula pendapat salah satu tokoh Asy'ariah yakni Abdullah bin Said yang menyatakan bahwa "sesungguhnya iman adalah ikrar terhadap Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, setelah melakukan pembenaran dengan hati, apabila ikrar terlepas dari pembenaran tersebut maka belum sah untuk disebut sebagai iman”.9 Selanjutnya, dalam menegakkan aliran ini Al-Banjari juga menguraikan tentang perpecahan umat yang akan menjadi 73 golongan dan golongan Sunni saja yang selamat, sedangkan golongan lain sebanyak 72 golongan mengalami kesesatan. Uraian ini adalah serupa dengan uraian Syahrastani (W. 548 H.), seorang teolog Asy'ariah, dalam kitabnya Al-Milal Wa Al-Nihal.10 Perbedaan antara keduanya adalah jika pada Al-Banjari, 72 golongan yang sesat tersebut sebenarnya berasal dari enam golongan besar yaitu: Rafȋdiyyah, Kharȋjiyyah, Jabariyyah, Qadariyyah, Jismiyyah, dan Râjiyyah, sedangkan Syahrastani tidak demikian, ia beranggapan bahwa hanya ada
8Abdurrahman
Badawi, Mażâhib al-Islâmiyyȋn, Jilid I (Beirut : Dar al-'Ilm wa alMalayyin, 1971), h. 565. Juga dalam al-Baghdadi, Kitâb Ushûl ad-Dȋn, (Beirut : Dar al-Afaq alJadidah, 1981), h. 248. 9Abdurrahman Badawi, Mażâhib al-Islâmiyyȋn, h. 565. 10Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani, Kitab Al-Milal Wa Al-Nihal (t.t.: alAzhar, t.th.) h. 7
1964 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future empat aliran besar yang akhirnya terbagi menjadi 73 golongan tersebut. Adapun empat aliran tersebut adalah Qadariah, Sifatiyah, Khawarij, dan Syiah.11 Al-Banjari beranggapan bahwa aliran Sunni-lah aliran yang benar sebab aliran ini adalah aliran yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau. Untuk memperkokoh argumen tersebut ia pun mengidentifikasikan bahwa Sunni adalah golongan atau paham yang berada diantara mazhab Jabariyah dan Qadariyyah, antara mazhab Rafidiyyah dan Kharijiyyah serta antara mazhab Ta 'tȋl dan Tasybȋh. Dengan kata lain aliran Sunni dipahami sebagai paham yang mampu mengakomodir seluruh pandangan yang ada pada aliran yang lain dan memposisikannya pada tempat yang tepat.12 Lebih lanjut, Al-Banjari menjelaskan enam aliran utama yang menyebabkan lahirnya tujuh puluh dua golongan tersebut. Kemudian dilanjutkannya dengan uraian tentang aliran-aliran sufistik yang dianggapnya sebagai sesat yakni dalam kategori bid'ah dan kafir, namun penjelasan ini hanya memaparkan bentuk-bentuk keyakinan yang ada pada aliran-aliran tersebut. Dengan metode perbandingan ini dan dengan memposisikan segala keyakinan yang lain dalam kesesatan dan memperkenalkan Sunni sebagai golongan selamat dan terbaik, maka tentunya ini mengindikasikan bahwa Al-Banjari cenderung pada aliran ini. Kecenderungan Al-Banjari pada paradigma Sunni ini pun bisa dilacak pada berbagai referensi atau tokoh yang digunakannya, seperti; Syekh Ibnu Hajar, Imam Al-Ghazali, Syekh Ibnu Al-Muqry, Syekb Abdul Wahab AsySya'rani, Sa'iduddin Al-Taftazani, Syekh Abu Mansur, Syekh Izzuddin Abdussalam, Imam Nawawi, Imam Fakhruddin Al-Razi, kitab Syarah 'Ubab, Minhaj Al-‘Ȃbidȋn, 'Umdah Al-Murȋd Syarah Jauhar Al-Tauhȋd, Asnau AlMatâlib, Raudah Al-Tâlib, Syarah 'Aqâid, al-Yawâqitu wa al-Jawâhir, dan sebagainya.13 Demikianlah paradigma yang dibangun oleh Al-Banjari ketika berupaya menjawab aliran Islam yang benar menurut pandangannya. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana ia juga menggunakan paradigma ini dalam menjawab problema tradisi lokal yang ada di masyarakat Banjar saat itu.
11Ibid.,
h. 10 Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, Kitab Tuhfah Al-Râgibȋn, h. 15. 13Kecenderungan tokoh dan referensi tersebut kepada aliran Sunni dapat dibandingkan dengan pemetaan tokoh dan kitab-kitab yang cenderung kepada fiqih Syafi'iyyah dalam Siradjuddin Abbas, Sedjarah & Keagungan Madzhab Sjafi'i (Djakarta : Pustaka Tarbijah, 1972), h. 131-190. Lihat juga Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal- Djama'ah (Djakarta : Pustaka Tarbijah, 1971), h. 31. Atau dalam Tajuddin Abi Nasar bin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafy asy-Subky, Thabaqât asy-Syâfi 'iyyah al-Kubrâ (Mesir : 'Isya alBaby al-Halby, 1964). 12Syekh
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1965
b. Paradigma Sunni Menjawab Tradisi Lokal Masyarakat Banjar Pada masa hidup Al-Banjari di Kalimantan Selatan meskipun penduduknya telah memeluk agama Islam tetapi peninggalan kepercayaan sebelumnya masih sering dilakukan. Adapun diantara tradisi yang menjadi perhatian Al-Banjari dalam kitab Tuhfah adalah upacara menyanggar dan mambuang pasilih. Upacara manyanggar banua adalah upacara untuk menjaga desa dari bahaya-bahaya dan agar dapat limpahan rahmat serta kesejahteraan bagi seluruh penduduk. Adapun mambuang pasilih adalah suatu upacara untuk membuang berbagai kesialan dan agar semua permintaan terkabul dengan cara melakukan penyerahan sesajen kepada roh-roh halus. Permintaan- permintaan roh halus ini dapat diketahui dari seseorang yang dianggap berkompeten dalam hal itu seperti seorang dukun. Di saat dukun tersebut mengalami kasarungan (dirasuki roh halus) maka saat itulah terjadi komunikasi untuk mengetahui segala permintaan dari roh halus tersebut. Sebelum memvonis dua tradisi tersebut sebagai bid’ah dalâlah, AlBanjari terlebih dahulu menjelaskan bid’ah tersebut. Dengan merujuk kepada pengertian bid’ah dari kalangan mazhab Syafi'i, seperti ; Syekh Izzu Al-Din bin Abd Al-Salam dan Imam Nawawi, Al-Banjari menuliskan bahwa bid’ah adalah mengadakan dan memperbaharui suatu pekerjaan yang tidak terdapat dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan tersebut berupa keyakinan ataupun perbuatan. Dan lebih tegas lagi, Al-Banjari langsung mengutip pendapat Imam Syafi'i sendiri, yang mengatakan bahwa segala pekerjaan yang bertentangan dengan alquran, hadis, pendapat para sahabat dan ijma ulama disebut sebagai bid’ah dalâlah.14 Karena dua tradisi tersebut dianggap sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam terutama dalam pengertian Imam Syafi'i maka tradisi tersebut dikategorikan bid’ah dalâlah oleh Al-Banjari.15 Ketidakselarasan ajaran Islam dengan dua tradisi tersebut menurut AlBanjari adalah karena dua tradisi tersebut mengandung kemungkaran seperti membuang-buang harta (mubazir), mengikuti permintaan syaitan dan karena mengikuti permintaan syaitan ini maka bisa mengakibatkan kepada terjadinya syirik. Dan semua argumen tersebut disandingkannya dengan berbagai ayat alquran seperti al- Isra : 27 dan al-Baqarah : 208.16 Penolakan Al-Banjari terhadap tradisi tersebut masih berpijak pada paradigma Sunni, hal ini bisa dilihat dari pada dua hal yakni logika kausalitas Asy’ariah dan referensi yang digunakannya. Pertama, logika kausalitas Asy’ariah ini bisa dilihat dari argumentasi Al-Banjari ketika menanggapi dua tradisi lokal ini. Logika kausalitas ini adalah pemahaman bahwa hanya Allah yang mampu memfungsikan suatu 14'Izzit Ali 'Athiyyah, al-Bid'ah : Tahdȋduhâ wa Mauqif al-Islâm minhâ (Beirut : Dar al- Kitab al-Araby, t.th.), h. 160. 15Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, Kitab Tuhfah ar-Râgibȋn, h. 34-35. 16Ibid., h. 35-36.
1966 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future sebab hingga berwujud suatu akibat. Jadi jika ada keyakinan bahwa ada sesuatu yang lain selain Allah yang mampu memberi akibat maka hal ini masuk dalam kategori kafir. Kedua, referensi yang digunakan Al-Banjari untuk menilai dua tradisi ini adalah fikih dalam mazhab Syafi'i, sebagaimana diuraikan di atas. Nur Iskandar mengatakan bahwa teologi al-Asy'ari bersesuaian dengan fiqih Syafi'i, karena memang al-Asy'ari sebenarnya pembangun kembali paham-paham ushul Imam Syafi'i.17 C. Peran Paradigma Sunni Tuhfah Al-Rȃgibȋn Terhadap Sejarah Keberagamaan Masyarakat Banjar 1. Menjaga Hubungan Baik Antara Kerajaan Aceh dan Banjar Pada masa sebelum datangnya Al-Banjari, tepatnya pada abad ke- 17 perkembangan Islam menunjukkan kemajuan yang pesat. Menurut Zafri Zamzam, pada waktu itu seorang yang hidup dalam kerajaan Banjar di Martapura yang bernama Syekh Ahmad Syamsudin Al-Banjari telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang “Asal Kejadian Nur Muhammad” dan ajaran ini mengikuti ajaran Ibnu Arabi. Saat itu kitab ini dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh.18 Menurut R.O. Winstedt; “Hikayat Nur Muhammad” yang paling tua yang dijumpai di Jakarta ditulis tahun 1688 oleh seorang ulama Banjar yang bernama Syamsudin untuk Sultan Taj Al-Alam Syafiat Al-Din yang memerintah di Aceh. Memang dalam masa pemerintahannya Sulthanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H / 1641-1675, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wahdatul wujud.19 Jadi pengiriman naskah tentang “Asal Kejadian Nur Muhammad” itu ke kerajaan Aceh khusus untuk Ratu Aceh paling tidak mengindikasikan adanya hubungan timbal-balik yang baik antara kerajaan Aceh dan kerajaan Banjar. Memang harus diakui bahwa pada saat itu kerajaan Aceh memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi keberagamaan masyarakat Banjar apalagi dengan mengingat Aceh saat itu merupakan terminal bagi jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang kembali ke tanah air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa lama sambil menunggu perubahan angin yang baik untuk melanjutkan pelayaran. Dan kemungkinan selama mereka berada di Aceh mereka mengikuti kegiatan-
17Nur Iskandar, "Teologi Alternatif Memandu Pemikiran al-Asy'ari dan alMaturidi", dalam M. Masyhur Amin (ed.), Teologi Pembangunan (Yogyakarta : LKPSM NU DIY, 1989), h. 191 18 Tim Editor, Sejarah Banjar, h.124 19 Ibid.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1967
kegiatan yang bersifat keagamaan ataupun mengikuti pengajian-pengajian yang berkembang di Aceh saat itu. Ketika pemikiran keagamaan di Aceh mengalami perkembangan terutama ketika pemikiran Nuruddin Al-Raniri yang menekankan faham Sunni dengan titik berat pada pengembangan hukum fiqih menurut mazhab Syafi’i, maka perkembangan keagamaan pada masyarakat Banjar saat itupun ikut terpengaruh, yang awalnya didominasi oleh aliran sufi yang cenderung kepada wahdatul wujud menjadi ajaran yang cenderung pada aliran Sunni. Hal ini terbukti dengan dipergunakannya secara luas kitab “Sirât alMustaqȋm” sebagai kitab pegangan di kalangan masyarakat dalam wilayah kerajaan Banjar. Meskipun demikian, aliran Sunni belum tertanam kokoh pada masyarakat Banjar sebab kitab ini dianggap masih sulit dipahami oleh masyarakat Banjar.20 Untuk mengatasi hal ini, Al-Banjari sebagai ulama saat itu telah melakukan penulisan kitab dan risalah agama yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat Banjar dan ia pun melakukan pembentukan kader-kader agama yang bernuansa Sunni sebagaimana konsep dasar pikirannya pada kitab Tuhfah. Keberagamaan yang berparadigma Sunni ini tentu saja mampu menjaga hubungan baik antara kerajaan Banjar dan kerajaan Aceh yang pada saat itu memiliki peranan yang cukup signifikan. 2. Konsistensi Karya Al-Banjari Dalam Paradigma Sunni Jika ditelaah dari berbagai karya Al-Banjari maka sebagaimana diuraikan sebelumnya, kitab Tuhfah dan Ushuluddin adalah dua kitab tauhid pertama yang dikarang oleh beliau sekembalinya dari tanah suci Mekkah. Namun Tuhfah Al-Rȃgibȋn-lah yang menjadi paradigma dasar dari seluruh tulisan beliau selanjutnya sebab kitab ini ditujukan untuk kalangan intelektual dengan argumentasi yang lebih detil dibandingkan dengan kitab Ushuluddin yang ditujukan memang untuk kalangan masyarakat awam sehingga bersifat praktis. Menurut Sirajuddin Abbas, aliran Sunni adalah aliran yang mendasarkan dirinya pada akidah rumusan ulama ushuluddin yaitu Syekh Abu Hasan Ali Al-Asy’ari yang lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di Basrah pula tahun 324 H dan rumusan yang dilakukan oleh Abu Mansur Al-Maturidi yang wafatnya di Maturidi Samarkand, Asia Tengah dalam tahun 33 H, 9 tahun setelah Imam Abu Hasan Asy’ari wafat. Adapun dalam bidang fiqih aliran ini pendekatannya adalah mengikuti salah satu dari imam yang empat, yaitu imam Syafi’i, Maliki, Hambali dan imam Hanafi. Selanjutnya dalam bidang tasawuf sesuai dengan ajaran imam Al-Junaidi Al-Bagdadi dan imam Al- Ghazali.21 Oleh karena itu untuk melihat 20Ibid.,
h. 125
21Siradjuddin
Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal- Djama'ah., h. 132
1968 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future konsistensi paradigma Sunni yang diajarkan oleh Al-Banjari maka ada baiknya kita memperhatikan juga dua kitab lainnya yang juga memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bidang fikih dan tasawuf. Dalam bidang fikih, Al-Banjari sebenarnya telah menulis beberapa kitab seperti kitab tentang nikah (Kitâb Al-Nikâh), kitab tentang haid (Luqat al-‘Ajlân) dan lain sebagainya, namun ia lebih dikenal dengan karya besarnya yakni kitab Sabȋl al-Muhtadȋn. Kitab ini ditulis pada tahun 1193 H (lima tahun sesudah ditulisnya kitab Tuhfah sebab kitab ini ditulis pada tahun 1188 H). Kitab ini terdiri atas dua jilid yang berisi pembahasan tentang masalah ibadah. Isinya mencangkup semua macam ibadah dalam Islam, dengan memberikan porsi terbesar pada pembahasan masalah shalat, ditambah dengan masalah makanan dan perburuan. Naskah kitab Sabilal Muhtadin lebih seratus tahun beredar di kalangan para ulama dan kaum muslimin, khususnya di Kalimantan Selatan, dalam bentuk salinan tangan. Baru pada tahun 1300 H. (1882 M.) kitab ini dicetak di Mekkah. Kemudian pada tahun 1302 H dicetak di Istambul (Turki) dan pada tahun 1307 H. dicetak lagi di Mesir. Semua makalah itu ditashih oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Zaini Al-Fatani, seorang ulama berasal dari Siam yang mengajar di Mekkah.22 Naskah kitab ini pertama kali masuk ke Mekkah dibawa oleh Syekh Syihabuddin, putera pengarangnya, Al-Banjari, dan sempat dikoreksi oleh Syekh Daud bin Abdullah Al-Fatani, sahabat Al-Banjari waktu belajar di kota suci tersebut. Kitab ini ditulis dengan huruf Arab berbahasa Melayu dengan jumlah halaman 524 halaman, masing-masing 252 halaman untuk jilid pertama, dan 272 halaman untuk jilid kedua sebagaimana terdapat dalam cetakan Isa al-Babi al-Halabi Mesir, tanpa menyebutkan tahun penerbitannya. Salah seorang pengkaji intensif terhadap kitab ini adalah Asywadie Syukur. Beliau berpendapat bahwa dalam penyusunan kitab ini ada tiga puluh kitab rujukan yang dijadikan oleh Al-Banjari dan semua kitab ini, menurutnya, bermazhab Syafi’i.23 Adapun dalam bidang tasawuf, Al-Banjari dikenal dengan karyanya dalam bahasa Arab melayu yang berjudul Kanz Al-Ma’rifah. Zurkani Jahja berpendapat bahwa kitab ini adalah kitab tasawuf yang bernuansa Sunni. Hal ini ditemukan dari pemikirannya yang menonjolkan keharusan melakukan syariat layaknya yang dilakukan oleh Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Demikian pula penggunaan istilah qurb (dekat) serupa dengan tasawuf Al-Ghazali yang menyatakan bahwa tingkat tertinggi yang bisa 22H. W. Shagir Abdullah, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin (Kuala Lumpur : Khazanah Fataniah, 1990), h. 79-80. 23 M. Asywadie Syukur, “Telaah Khusus Terhadap Kitab Sabilal Muhtadin Karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari”, Makalah Seminar Internasional Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, di Banjarmasin 4 – 5 Oktober 2003, tidak diterbitkan, h. 2.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1969
dicapai seseorang dalam kehidupan sufi adalah situasi qurb (dekat) dengan Allah. Demikian juga penggunaan istilah fanâ’ (lenyap) masih sejalan dengan pengertian fanâ’ fȋ al-tauhȋd menurut Al-Ghazali. yang merupakan tauhid tertinggi. Kefanaan segala sesuatu selain Allah, termasuk dirinya sendiri, hanya dalam pandangan mata hati (syuhûd), jadi yang benar-benar ada sebenarnya adalah Allah saja. Dengan musyâhadah ini maka fana-lah dirinya dan segala alam semesta ke dalam wujud Allah. Paham seperti ini lazimnya disebut sebagai paham wahdah al-syuhûd dan termasuk dalam aliran tasawuf Sunni.24 Dari dua kitab tersebut di atas maka jelaslah konsistensi paradigma Sunni sebagai pengaruh dari kitab akidah yang pertama kali ditulis yakni kitab Tuhfah Al-Rȃgibȋn. 3. Kontroversi Tragedi Abdul Hamid Abulung Paradigma Sunni yang ditumbuhkan Al-Banjari bahkan hingga konsep tasawuf sebagaimana diuraikan sebelumnya memberikan pengaruh juga terhadap konsep tasawuf yang dianggap “tidak benar” dalam pandangan ini. Hal ini misalnya terlihat dari peristiwa kontroversial yang menimpa Abdul Hamid Abulung (selanjutnya Abulung saja), seorang tokoh yang dianggap menganut aliran wahdatul wujud, dan dihukum mati oleh pihak kerajaan karena aliran tasawufnya tersebut. Peristiwa ini disebut kontroversial sebab ada yang beranggapan bahwa tokoh ini sebenarnya hanya mitos, namun ada juga yang berpendapat bahwa tokoh ini memang benar-benar ada. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa tokoh ini memang ada akan tetapi hukuman mati itu bukanlah karena fatwa AlBanjari namun karena kepentingan politis saat itu. Kelompok yang beranggapan bahwa Abulung memang benar-benar ada dan mengalami tragedi hukuman mati dengan fatwa Al-Banjari diantaranya adalah Asywadie Syukur. Menurut beliau, Al-Banjari sebelum memberi penilaian terhadap ajaran Abulung, ia terlebih dahulu membicarakan hal-hal yang merusak keimanan dan sebab-sebab orang menjadi murtad baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun keyakinan pada pasal kedua di dalam kitab Tuhfah. Selanjutnya, beliau berargumen bahwa pada pasal tersebut Al-Banjari memetakan bahwa ada tujuh puluh dua golongan yang sesat dan yang selamat hanya satu, dan diantara yang tersesat tersebut adalah aliran wahdatul wujud (wujudiyah). Al-Banjari mengklasifikasikan wahdatul wujud ini menjadi dua yakni wujûdiyah muwwahid dan wujûdiyah mulhid. Wujudiyah yang pertama adalah wujudiyah yang benar sementara wujudiyah yang kedua adalah wujudiyah yang salah. Dalam hal ini, Asywadie Syukur menafsirkan bahwa Abulung 24Zurkani Jahja, “Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Bidang Teologi dan Tasawuf”, Makalah Seminar Internasional Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, h. 21.
1970 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future termasuk dalam ajaran wujûdiyah mulhid, dimana ia mengakui kesatuan antara Tuhan dan makhluk. Kemudian, menurut Asywadie Syukur, pada halaman enam belas di dalam Tuhfah Al-Banjari menegaskan pendapatnya bahwa “tiada syak pada wajib membunuh dia karena murtadnya, dan membunuh seseorang itu terlebih baik daripada membunuh seratus kafir asli”. Fatwa inilah, tulis Asywadie Syukur, yang melandasi Sultan Tahmidullah bin Tamjidillah menjatuhkan hukuman mati terhadap Abulung yang kemudian dikuburkan di desa Abulung, Sungai Batang (tidak jauh dari desa Dalam Pagar, kampung yang dibangun oleh Al-Banjari).25 Penafsiran Asyawadie tersebut bisa dimaklumi sebab dalam tulisan “Sejarah Banjar”, Abulung dinyatakan pernah berkata : “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, Tiada aku melainkan Dia, Dialah Aku, Dan aku adalah Dia”. Perkataan ini tentunya mengindikasikan wahdatul wujud.26 Kelompok lain berpendapat bahwa Abulung memang ada akan tetapi kematiannya bukanlah karena fatwa Al-Banjari namun karena adanya kepentingan politis. Menurut Humaidy, keberadaan Abulung bisa dilacak dari namanya sendirinya yakni Abulung. Abulung sebenarnya adalah nama sebuah desa yang bertetangga dengan desa Dalam Pagar. Menurutnya, kemungkinan Abulung lahir dan menyebarkan ajarannya di desa ini namun secara pasti saat ini kuburannya bisa ditemukan di desa ini. Kuburan ini juga banyak diziarahi dari berbagai pelosok daerah dan tak jarang dijadikan sebagai tempat bertapa para pencari ilmu laduni.27 Menurut Humaidy, Abulung sebenarnya adalah salah satu tokoh sentral dalam kerajaan saat itu sebelum kembalinya Al-Banjari dari Mekkah. Ia menjabat sebagai penasehat Raja sebab ajaran tasawuf yang dominan saat itu adalah tasawuf yang diajarkan oleh Abulung. Bahkan, menurutnya, sejak awal berdirinya kerajaan Banjar mulai dari Sultan Suriansyah (1527 - 1545) sampai awal-awal pemerintahan Tahmidullah II (Pangeran Nata Dilaga 1761-1801) ajaran tasawuf yang dominan adalah tasawuf aliran wujudiyah. Bahkan aliran ini sempat menjadi paham resmi kerajaan yang dianut oleh para sultan dan masyarakat secara keseluruhan.28 Selanjutnya, hukuman mati terhadap Abulung dikarenakan faktor politis bukan fatwa Al-Banjari. Humaidy mengajukan beberapa argumen. Pertama, tidak ada ungkapan secara jelas bahwa Al-Banjari memfatwakan hukuman mati terhadap Abulung. Menurutnya, yang terekam di dalam 25M. Asywadie Syukur, Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Dalam Bidang Tauhid dan Tasawuf (Banjarmasin : Comdes, 2009) 16-17 26 Tim Editor, Sejarah Banjar, h. 129 27 Humaidy, “Tragedi Datu Abulung : Manipulasi Kuasa atas Agama”, Jurnal Kebudayaan Kandil, Edisi 2 Tahun I September 2003 (Banjarmasin : Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 2003) h. 49. 28Ibid
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1971
kitab Tuhfah hanyalah penyebutan aliran tasawuf yang dianggap bid’ah dan sesat. Kedua, meskipun Al-Banjari orang penting dalam kerajaan namun ia, secara struktural kekuasaan, tidak pernah menjabat sebagai mufti kerajaan yang memungkinkannya untuk memberikan fatwa. Memang ia masih mungkin untuk memberikan pendapat kepada Mahkamah Syar’iyah saat itu yang berperan sebagai pemberi fatwa resmi namun ketika pendapatnya disetujui oleh Mahkamah dan dijadikan sebagai fatwa yang disebar luas maka itu bukan lagi pendapat Al-Banjari sendiri namun milik Mahkamah tersebut, demikian Humaidy. Ketiga, Al-Banjari juga orang yang bertasawuf bahkan pada zamannya ia dianggap salah satu khalifah tarikat Sammaniyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Samman Al-Madani.29 Menurut Humaidy, tidak masuk akal sesama penganut tarikat saling berbenturan dan saling mengkafirkan satu sama lain. Apalagi mengingat tarikat Al-Banjari dan tarikat Abulung (tarikat Naqsyabandiyah) samasama dikategorikan oleh jumhur ulama tasawuf sebagai tarikat mu'tabarah yang silsilah sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan Al-Banjari pernah akrab dengan seorang sufi yang dikenal dengan nama Datu Sanggul (Syekh Muhammad Thahir) dari Tatakan yang notabene ajaran dan prilakunya mirip dengan Abulung. Berdasarkan argumen ini, Humaidy berpendapat bahwa kematian Abulung lebih mungkin disebabkan oleh faktor politik. Dalam pandangan Humaidy, Abulung mungkin adalah orang yang dianggap “berbahaya” oleh pihak kerajaan yang ketika saat itu dipimpin oleh sultan Tahmidullah II yang sebenarnya bukan sultan yang sah, hanya sebagai wali pemegang kekuasaan sementara, menunggu pewarisnya yang sah tumbuh dewasa. Namun Sultan Tahmidullah II ternyata tidak mau lagi menyerahkan tahtanya kepada keponakannya, Pangeran Abdullah, melainkan justru membunuhnya. Dan Abulung tidak setuju dengan hal ini. Bisa jadi, ketidak setujuan ini ditampakkannya dengan penentangan terhadap kebijakan-kebijakan Tahmidullah II dan dukungannya terhadap perlawanan Pangeran Amir, adik Pangeran Abdullah yang ingin membalas dendam. Oleh karena itulah, Abulung dihukum mati.30 Pendapat selanjutnya beranggapan Abulung adalah cerita rekaan saja sebagaimana pendapat Steenbrink yang beranggapan bahwa cerita Abulung hanyalah cerita Syekh Siti Jenar versi masyarakat Banjar, layaknya cerita Syekh Siti Jenar yang merupakan versi Jawa dari kasus Al-Hallaj.31 29 Menurut penelitian Abdul Hadi berdasarkan kitab Kanz al-Ma’rifah, sebenarnya tarekat yang dipegang oleh Al-Banjari adalah tarikat versi Sammaniyah Syaziliyah bukan Sammaniyah Khalwatiyah atau Sammaniyah Qadiriyah). Abdul Hadi, “Tarekat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari : Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma’rifah”, Jurnal Al-Banjari, Vol. 10 No. 1, Januari 2010 (Banjarmasin : Program Pascasarjana IAIN Antasari, 2009) h. 123. 30Ibid., h. 56 31 Mujiburrahman, “Memotret Tauhid Orang Banjar Melalui Penelitian”, h. 836.
1972 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Menurut Mujiburrahman, dugaan Steenbrink ini belum tentu benar, namun ia sendiri masih belum menemukan bukti-bukti historis yang cukup kuat untuk membantahnya. Bahkan, menurut analisisnya, kutipan Asywadie tentang fatwa wajib dijatuhi hukum mati terhadap Abulung, ternyata justru bukan dalam konteks paham wujudiyah, melainkan tentang wali palsu. Adapun hukuman yang secara eksplisit diungkapkan Al-Banjari dalam Tuhfah bagi paham wujûdiyah mulhid adalah termasuk kafir zindiq, tanpa menyebutkan hukuman eksplisit yang harus diberikan pada orang tersebut. Jadi, penafsiran hukum mati terhadap Abulung hanyalah penafsiran analogis, bukan petunjuk eksplisit dari teks itu sendiri, demikian Mujiburrahman.32 Apapun perdebatan diatas tentang kematian Abulung, namun di sini terlihat jelas peran paradigma Sunni yang diusung oleh Al-Banjari lewat karyanya Tuhfah pada masa itu sehingga mampu menghadirkan berbagai penafsiran hingga saat ini. 4. Pembentukan Mahkamah Syariah dan Undang-Undang Sultan Adam Berbasis Sunni Masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II bin Sultan Sultan Tamjidillah, Al-Banjari melakukan gagasan yang terbilang baru saat itu yakni penerapan hukum Islam dengan membentuk lembaga mufti dan qadhi. Lembaga ini pula yang menandai awal didirikannya lembaga peradilan agama yang mandiri pada kerajaan Banjar. Selanjutnya, berdasarkan kondisi inilah, ketika Belanda berkuasa di daerah ini mereka membentuk suatu peradilan agama secara khusus pada tahun 1937 dengan nama Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar.33 Mufti secara spesifik bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada Sultan dalam masalah keagamaan sementara qadi mengurusi dan menyelesaikan masalah perdata, pernikahan dan waris yang muncul dalam masyarakat. Adapun yang menjabat mufti pertama saat itu adalah Muhammad As’ad, cucu Al-Banjari sendiri dan yang menjabat qadi yang pertama adalah Abu Su’ud, anak Al-Banjari.34 32Ibid. 33Tim Editor, Sejarah Banjar, h. 138. Lihat juga dalam Nor Wahidah,”Islam Di Kalimantan Selatan Dilihat Dari Perspektif Politik Dan Pemerintahan”, Jurnal Al-Banjari, Vol. 8 No. 1, Januari 2009 (Banjarmasin : Program Pascasarjana IAIN Antasari, 2009) h. 101. Menurut Abdurrahman, persiapan pembentukan Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar ini didasarkan pada laporan penelitian Eisenberger, dimana Eisenberger sendiri mendasarkan penelitiannya pada koleksi naskah Prof. Kern, seorang ahli bahasa, sejarah dan kebudayaan lokal Indonesia saat itu. Abdurrahman,”Undang-Undang Sultan Adam Dalam Perspektif Sejarah Hukum”, Jurnal Al-Banjari, Vol. 10 No. 2, Juli 2011 (Banjarmasin : Program Pascasarjana IAIN Antasari, 2009) h. 141 34Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Martapura: Sullam alUlum, 1996) h. 58
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1973
Pada masa Al-Banjari ini memang tidak ada informasi eksplisit yang menyebutkan dasar paradigma hukum Islam ini. Meskipun demikian, jika dilihat dari sumber hukumnya maka bisa diprediksi berdasarkan pada kitab fikih “Sabilal Muhtadin” yang memang dalam penulisannya diminta langsung oleh Sultan. Dan sebagaimana uraian sebelumnya, kitab fikih ini bernuansa Sunni. Paradigma Sunni semakin kokoh secara politis ketika pada tahun 1825-1857 yakni pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wasik Billah berkuasa. Pada masa mudanya Sultan ini diprediksi pernah menjadi murid Al-Banjari. Saat itu, Sultan ini menetapkan suatu ketentuan hukum yang dikenal dengan nama “Undang-Undang Sultan Adam” pada 15 Muharram 1251 (1835).35 Dalam undang-undang ini secara eksplisit diungkapan aliran Sunni yang harus diperpegangi oleh rakyat Banjar. Hal ini bisa dilihat dari dua pasal yang dicantumkan dalam undang-undang tersebut, sebagaimana berikut ini: Pasal 1 : Adapoen perkara jang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’iatkoe laki-laki dan bini-bini beratikat achlosoennah waldjoemaah dan jangan ada seorang beratikat dengan atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang beratikat lain daripada atikat ahal soenat waldjoemaah koesoeroeh bapadah kapada hakimnja, lamoen banar salah atikatnya itoe koesoeroehkan hakim itoe menoebatkan dan mengajari atikat jang betul lamoen anggan inja daripada toebat bapadah hakim itoe kajah diakoe.36 Pasal 5 : Tiada koebarikan sekalian orang menikahkan perempoan dengan taklid kepada madjahab jang lain daripada jang madjahab Sjafii maka siapa jang sangat bahadjatkan bataklid pada menikahkan perempoan itoe bapadah kajah diakoe dahoeloe.37 Dengan demikian, peran Tuhfah sebagai pembentuk paradigma dasar Sunni juga berlaku pada perpolitikan kerajaan Banjar saat itu. Selanjutnya 35Tim
Editor, Sejarah Banjar, h. 138. Abdurrahman, “Studi Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 (Suatu Tinjauan Tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat Dan Kerajaan Banjar Pada Pertengahan Abad ke-19”, Laporan Penelitian (Banjarmasin : Perpustakaan Universitas Lambung Mangkurat, 1989), tidak diterbitkan, h. 63 dan 80. (Adapun perkara yang pertama aku perintahkan untuk seluruh rakyatku laki-laki dan perempuan beri'tiqad ahlussunnah waljama'ah dan jangan ada seorang pun beri'tiqad dengan i'tiqad ahl bid'ah maka barang siapa yang terdengar ada yang beri'tiqad lain daripada i'tiqad ahlussunnah waljamaah kuperintahkan untuk melaporkan kepada hakimnya, jika benar salah i'tiqadnya itu kuperintahkan hakim itu menobatkan dan mengajari i'tiqad yang betul, jika enggan dia daripada taubat maka hakim tersebut melaporkannya kepadaku). 37(Tiada kubolehkan seluruh orang menikahkan perempuan dengan taklid kepada mazhab selain daripada mazhab Syafii maka siapa yang sangat perlu bertaklid untuk menikahkan perempuan itu maka ia harus melapor padaku dulu). 36
1974 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future akan dijelaskan bagaimana paradigma Tuhfah juga masih mempengaruhi lembaga pendidikan yang dibangun Al-Banjari di dalam “Punduk Dalam Pagar”. 5. Lembaga Pendidikan Punduk Dalam Pagar Salah satu pengokohan paradigma Sunni yang dikandung Tuhfah dan bersifat jangka panjang adalah pembentukan lembaga pendidikan Punduk38 Dalam Pagar. Punduk Dalam Pagar ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Kalimantan Selatan. Punduk ini dibangun Al-Banjari dari sebidang tanah tak terpakai dan masih berupa hutan belukar di luar ibukota kerajaan yang berada sekitar 4 km dari Martapura, tepatnya berada di tepian sungai Martapura yang membentang dari Riam Kanan dan Riam Kiri menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tanah ini adalah pemberian sultan Tahmidullah II (1761-1787 M.) kepada Al-Banjari. Untuk sampai ke tempat ini diperlukan alat transportasi berupa jukung (semacam sampan kecil) yang dikayuh dengan dayung kecil menelusuri aliran sungai yang cukup panjang dan berarus lumayan deras.39 Tanah ini kemudian dikelola oleh Al-Banjari dan murid-muridnya sehingga menjadi sebuah pusat pendidikan Islam yang mandiri sebab secara ekonomis Al-Banjari bersama dengan beberapa guru dan murid mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah dan kebun yang produktif. Kemudian, pusat pendidikan Islam tersebut diberi pagar sebagai perwatasan dan selanjutnya di dalamnya didirikan kampung baru yang sampai sekarang dikenal sebagai kampung Dalam Pagar, sehingga pusat pendidikannya pun disebut sebagai Punduk Dalam Pagar.40 Punduk Dalam Pagar ini pada waktu itu merupakan lembaga favorit yang selalu diperbincangkan di seluruh pelosok Kalimantan Selatan sebab punduk ini terkenal dengan alumni dan keberadaan ulama-ulama yang 38Punduk, menurut Humaidy, adalah istilah yang khas dan unik dan berbeda dengan istilah pondok pesantren. Perbedaannya adalah pertama, punduk kemunculannya bernuansa Timur Tengah yang berakar pada tradisi lokal sementara pesantren lebih terpengaruh oleh institusi pendidikan Hindu-Budha. Kedua, punduk itu didirikan dengan kerjasama tuan guru dan masyarakat bahkan sultan yang telah memberi tanah sehingga punduk adalah milik bersama, sementara pesantren pada umumnya dimiliki oleh kiainya. Ketiga, pola kepemimpinan di punduk tuan guru tidak berkuasa mutlak namun berbagi kekuasaan dengan guru lain bahkan dengan guru yang berada di luar punduk, sementara di pesantren kiai cenderung berkuasa mutlak pada santrinya. Keempat, dengan karakter ketiga itu juga menunjukkan punduk cenderung inklusif sementara pesantren cenderung eksklusif. Kelima, punduk hidup bersama masyarakat sementara pesantren agak “membuat jarak” dengan masyarakat demi menjaga lingkungan pesantren dari pengaruh luar. Humaidy, “Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan”, Jurnal Kebudayaan Kandil, Edisi 3 Tahun I Desember 2003 (Banjarmasin : Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 2003) h. 45-46 39 Ibid., h. 43 40 Ibid., h. 44
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1975
berpengaruh dan disegani masyarakat Banjar. Oleh karena itulah di masa keemasannya punduk ini merupakan lembaga yang paling banyak didatangi orang. Bahkan, dalam buku ”Sejarah Banjar” disebutkan bahwa dari lembaga ini muncul ”sejumlah ulama besar dan terkenal yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru Kalimantan bahkan juga sampai ke luar Kalimantan seperti Riau, Malaysia, Fatani dan sebagainya. Dan umumnya mereka muncul sebagai mufti atau qadi”.41 Pengukuhan ajaran Sunni pada lembaga ini terlihat dari tulisan Humaidy yang mengatakan bahwa ”sudah barang tentu Arsyad juga menggunakan kitab-kitab yang berbahasa Arab secara langsung, terutama karya-karya ulama Syafi’i dalam bidang fikih, madzhab ahlusunnah dalam tauhid dan tasawuf”.42 Jadi, lembaga inilah yang mampu mewakili dan terus-menerus memelihara paradigma yang dikembangkan Al-Banjari sejak kedatangannya di Banjar ini yang terangkum dengan jelas dalam kitab teologinya, Tuhfah Al-Rȃgibȋn. D. Penutup Muhammad Iqbal Noor, ketika memetakan nalar keislaman masyarakat Banjar, ia berpendapat bahwa pada abad ke-18 adalah masa terbentuknya nalar formal Islam Banjar.43 Dalam hal ini penulis setuju, namun penulis berpendapat bahwa dalam formasi nalar ini diawali oleh AlBanjari dengan tulisannya Tuhfah Al-Rȃgibȋn sehingga nalar formal yang dibentuk adalah nalar dalam paradigma Sunni. Nalar ini meskipun telah menyusut lebih spesifik menjadi nalar Sunni Asy’ariah Sanusiah dan mulai bersaing dengan nalar-nalar lain di era kontemporer ini namun nalar ini masih terasa dominan di kalangan masyarakat Banjar. Bukti-bukti historis dalam berbagai bidang kehidupan keberagamaan masyarakat Banjar, sebagaimana diuraikan sebelumnya, seperti bidang politik, pendidikan dan keagamaan memang menunjukkan bahwa paradigma Sunni telah tumbuh dan berkembang kuat dalam masyarakat Banjar terutama di abad ke-18 dan ini semua tidak bisa terlepas dari peran dan keberadaan kitab Tuhfah Al-Rȃgibȋn karya Al-Banjari. Wallâhu a’lamu bis sawâb. 41Tim Editor, Sejarah Banjar, h. 138. Menurut Deni S, di kampung Dalam Pagar inilah muncul beberapa ulama yang berpengaruh diantaranya Tuan Guru Zainal Ilmi, KH Kasyful Anwar (Pendiri Ponpes Darussalam Martapura), KH Syarwani Abdan (Pimpinan Ponpes Bangil Jatim) dan KH Sya'rani. Lihat Deni S, "Melihat Kampung Melayu dan Dalam Pagar (1) Kampung Ulama Besar Yang Tidak Diperhatikan", Radar Banjar, Rabu 24 September 2003. 42Humaidy, “Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan”, h. 49 43Informasi lengkap tentang hal ini baca dalam Muhammad Iqbal Noor, “Nalar Keislaman Urang Banjar”, Jurnal Al-Banjari, Vol. 10 No. 2, Juli 2011 (Banjarmasin : Program Pascasarjana IAIN Antasari, 2011) h. 195-213.
1976 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
Daftar Pustaka Abdullah, HW Shagir. 1983. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Matahari Islam. Pontianak: Yayasan Pendidikan & Dakwah al-Fatanah. ---------------------------. 1990. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin. Kuala Lumpur: Khazanah Fataniah. Abdurrahman. 1989. “Studi Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 (Suatu Tinjauan Tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat Dan Kerajaan Banjar Pada Pertengahan Abad ke-19”. Laporan Penelitian. Banjarmasin: Perpustakaan Universitas Lambung Mangkurat, tidak diterbitkan. ----------------. 2009. “Undang-Undang Sultan Adam Dalam Perspektif Sejarah Hukum”. Jurnal Al-Banjari, Vol. 10 No. 2, Juli 2011. Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari. Baghdadi (al). 1981. Kitâb Ushûl ad-Dȋn. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah. Banjari (al), Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah. 2000. Kitab Tuhfah AlRâgibȋn. Martapura: YAPIDA. Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama. Bandung: Mizan. Badawi, Abdurrahman. 1971. Mażâhib al-Islâmiyyȋn, Jilid I. Beirut: Dar al-'Ilm wa al- Malayyin. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Masyarakat Banjar. Jakarta: PT. RajaGraftndo Persada. Daudi, Abu. 1996. Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Martapura: Sullam al-Ulum. Editor, Tim. 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Hadi, Abdul. 2009. “Tarekat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari : Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma’rifah”. Jurnal Al-Banjari, Vol. 10 No. 1, Januari 2010. Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari. Humaidy. 2003. “Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan”. Jurnal Kebudayaan Kandil, Edisi 3 Tahun I Desember 2003. Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. -----------. 2003. “Tragedi Datu Abulung : Manipulasi Kuasa atas Agama”. Jurnal Kebudayaan Kandil. Edisi 2 Tahun I September 2003. Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1977
Iskandar, Nur. 1989"Teologi Alternatif Memandu Pemikiran al-Asy'ari dan al-Maturidi". dalam M. Masyhur Amin (ed.). Teologi Pembangunan. Yogyakarta: LKPSM NU DIY. Jahja, Zurkani. “Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Bidang Teologi dan Tasawuf”. Makalah Seminar Internasional Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. di Banjarmasin 4 – 5 Oktober 2003. tidak diterbitkan. Syahrastani (al), Muhammad bin Abdul Karim Kitab Al-Milal Wa Al-Nihal, t.t., al-Azhar, t.th. Mujiburrahman. 2010. “Memotret Tauhid Orang Banjar Melalui Penelitian”. Kumpulan Makalah The 10th Annual Conference on Islamic Studies. Jakarta: Kementerian Agama RI. Noor, Muhammad Iqbal. 2011. “Nalar Keislaman Urang Banjar”. Jurnal AlBanjari, Vol. 10 No. 2, Juli 2011. Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari. S, Deni. "Melihat Kampung Melayu dan Dalam Pagar (1) Kampung Ulama Besar Yang Tidak Diperhatikan". Radar Banjar. Rabu 24 September 2003. Syukur, M. Asywadie. 2009. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Dalam Bidang Tauhid dan Tasawuf. Banjarmasin: Comdes. Wahidah, Nor. 2009. ”Islam Di Kalimantan Selatan Dilihat Dari Perspektif Politik Dan Pemerintahan”. Jurnal Al-Banjari, Vol. 8 No. 1, Januari 2009. Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari.
AL-QIRA’AH AL-TSANIYAH TERHADAP SUNNAH NABI (Studi Atas Pemikiran Muhammad Syahrur Tentang Pemaknaan Ulang Sunnah Nabi dalam Konteks Umat Islam Kontemporer) Dr. Abdul Haris, M.Ag. Abstrak: Salah satu persoalan penting studi hadis saat ini adalah memaknai ulang konsep Sunnah Nabi dan peranannya dalam merespon problematika umat Islam kontemporer. Ketidakmampuan melakukan kajian terhadap pemaknaan ulang konsep ini telah mengantarkan sekelompok kecil umat Islam untuk meragukan peranan Sunnah Nabi dalam kehidupan umat Islam saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini mengangkat salah seorang tokoh yang bernama Muhammad Syahrur yang mencoba melakukan kajian ulang terhadap wacana pemikiran Sunnah Nabi dalam rangka memecahkan kebuntuan pemikiran dan keterbelakangan umat Islam yang diakibatkan ketidakmampun mereka dalam mengambil posisi dimensi ketiga (sairurah) dari “trilogy dimensi umat” (kainunah, sairurah, dan sairurah) dalam kehidupan mereka. Ketidakmampuan inilah yang meneyebabkan umat Islam berada dalam kondisi statis, status quo, terbelakang, dan tidak mempunyai tujuan dalam hidup. Pemahaman sunnah Nabi mereka hingga kini masih dipaksakan untuk tetap terkunci dalam tiga abad pertama sejarah umat Islam sehingga para ahli hukum Islam saat ini tetap membuat keputusan-keputusan hukum mereka sesuai dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada abad ke7 hingga abad ke-9 Masehi. Muhammad Syahrur mengajak untuk menatap ke depan dan tidak terkunci ke dalam persoalan-persoalan tiga abad pertama Umat Islam ini. Oleh karena itu, ia mengajak untuk melakukan pembacaan kontemporer (al-qira’ah altsaniyah) terhadap Sunnah Nabi.Pembacaan kontemporer ini dilakukan dengan cara mendefinisikan ulang Sunah Nabi yang didefinisikan sebagai segala hal yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perintah, larangan dan ketetapan. Harus dipertimbangkan bahwa definisi seperti ini bukan definisi yang berasal dari Nabi saw. sendiri sehingga definisi tersebut dapat diperdebatkan kembali. Selain itu, membuat klasifikasi baru terhadap Sunnah Nabi menjadi Sunnah Risalah dan Sunnah Nubuwwah juga diperlukan untuk mendapatkan pengertian bahwa tidak semua Sunnah Nabi itu harus diikuti sepanjang masa, baik pada saat Nabi masih hidup maupuan sepeninggal beliau. Bahkan mengklasifikasikan ulang hadis-hadis Nabi yang berada di dalam karya-karya himpunan hadis Nabi juga diperlukan.
Pendahuluan Sejak abad ke-19, umat Islam mendapatkan tantangan berat berkaitan dengan eksistensi hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang bersifat otoritatif kedua setelah al-Qur’an. Tantangan ini berasal dari para sarjana Barat-Eropa, seperti Gustaf Weil (1808-1889), Alois Sprenger
~ 1978 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1979
(1813-1893), William Muir (1819-1905), Ignaz Goldziher (1850-1921), Leone Caetani (1869-1935), Henri Lammens (1862-1937), D.S. Margoliouth (1858-1940), Joseph Schacht (1902-1969), dan G.H.A. Juynboll (19352010). Para sarjana ini telah mempersoalkan otentisitas, originalitas, provenance (asal-usul/sumber), authorship (“kepenga-rangan”) dan kebenaran hadis Nabi yang diyakini umat Islam selama berabad-abad.1 Bahkan, sejumlah umat Islam sendiri yang pernah bersinggungan dengan pemikiran para orientalis inipun, seperti Taufiq Sidqi dari Mesir, Kasim Ahmad dari Malaysia, dan Ahmad Ghulam Parwez dari India, kemudian juga turut meragukan otentisitas hadis sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi, dan bahkan mereka menolak peranan pentingnya dalam konteks kehidupan modern-kontemporer. Beberapa upaya telah dilakukan oleh sejumlah cendekiawan Muslim dalam rangka mengkaji ulang wacana hadis Nabi, baik yang berkaitan dengan otentisitas hadis Nabi maupun pemahaman ulang terhadap peranannya dalam kehidupan umat Islam modern-kontemporer. Fazlur Rahman, misalnya, menawarkan teori evolusi Sunnah dan Hadis Nabi dalam menjawab otentisitas Hadis Nabi, dan teori hermeneutika hadis dalam upaya memahami hadis Nabi2; bahkan M.M. Azami menawarkan teori kajian naskah yang membuktikan keotentikan naskah-naskah (kitabkitab) hadis masa awal jauh sebelum al-kutub al-sittah.3 Demikian juga yang dilakukan Yusuf Qaradhawi yang menawarkan teori tasyri’ dan ghair tasyri’ dalam menempatkan peranan hadis Nabi sebagai sumber pengetahuan dan peradaban Islam modern-kontemporer4; dan Muhammad Syahrur yang menawarkan teori pemaknaan ulang terhdapap konsep Sunnah Nabi dalam konteks peradaban umat Islam kontemporer. Yang terakhir inilah yang akan diuraikan dalam halaman-halaman berikut.
Kamarudin Amin, “Muslim Western Scholarship of Hadīth and Western Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to Hadīth Scholarship” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 46, Number 2, 2008/1429, p. 254; Kamarudin Amin, “The Reability of The Traditional Science of Hadīth” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga), Vol. 43, Number 2, 2005/1426, p. 257; dan Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Banding: Hikmah, 2009), p. 2. 2 Untuk tujuan ini Fazlur Rahman pada tahun 1965 menerbitkan buku yang berjudul Islamic Methodology in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965) 3 Lihat M.M. Al-Azami, Studies in Early Hadith Literature with a critical Edition of Some Early Texts, (Beirut, 1968); Studies in Hadth Methodology and Literature, (Indianapolis: American Trust Publication, 1992); dan On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, (Riyadh: King Saud University, 1985) 4 Lihat pada dua karya Yusuf al-Qaradhawi yang berjudul Kaifa Nata’āmal ma’a alSunnah al-Nabawiyyah: ma’ālim wa ḍawābiṭ, (USA: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1990) dan al-Sunnah: Maṣdaran li al-Ma’rifah wa al-Ḥaḍārah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1998) 1
1980 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Bagi Muhammad Syahrur,5 semua komunitas manusia di dunia, seharusnya memiliki tiga dimensi (kainūnah, sairūrah, dan ṣairūrah). Hilangnya salah satu dimensi ini akan berakibat celaka, khususnya dimensi ketiga (ṣairūrah) yang di dalamnya tersimpan faktor keputusan dan kehendak manusia. Komunitas manusia yang tidak memiliki dimensi ketiga (ṣairūrah) menjadi komunitas yang statis, tetap, dan tidak berkembang. Gerak perjalanan waktu (sairūrah) memang bergerak terus, tetapi gerak perjalanan waktu tersebut tidak akan membawa perubahan apapun. Akibatnya, komunitas seperti ini berada dalam kondisi statis, status quo, terbelakang, dan tidak mempunyai tujuan dalam hidup.6 Kondisi seperti inilah yang dialami oleh bangsa Arab pada umumnya, baik kelompok-kelompok Islam-fundamentalis, liberalis, marxis, maupun nasionalis. Mereka tidak memiliki kondisi menjadi di dunia ini, sehingga mereka selalu tergantung pada peradaban-peradaban yang eksis dalam dimensi ketiga, baik di bidang ilmu pengatahuan, teknologi, dan ilmu-ilmu sosial-humaniora.7 Yang demikian ini terjadi karena peradaban Islam dibangun di atas berbagai doktrin dan ajaran yang dianggap menjadi bagian Islam, padahal landasan tersebut harus dikaji ulang. Peradaban 5 Muhammad Syahrur adalah seorang professor Teknik Sipil yang ramah dan dilahirkan di Damaskus (Syiria) tahun 1938. Setelah menamatkan sekolah tingkat menengah, beliau pergi ke Uni Soviet untuk belajar teknik di Moskow dan kembali ke Syiria tahun 1964 untuk bekerja sebagai dosen di Universitas Damaskus. Pada tahun 1967, ia melakukan penelitian di Imperial College London Inggris. Namun ketika terjadi “Perang Juni” tahun 1967 antara Syiria dan Israil, yang mengakibatkan hubungan diplomatik antara Syiria dan Inggris putus, Syahrur memutuskan untuk pergi ke Dublin Irlandia sebagai utusan dari Universitas Damaskus untuk mengambil program Magister dan Ph.D. (di Universitas alQumiyah) dalam bidang Teknik Pondasi dan Mekanika Tanah. Pada tahun 1995, Syahrur pernah menjadi peserta kehormatan dalam debat publik mengenai keislaman di Lebanon dan Maroko. Mengenai “proyek” pembaharuan pemikiran keislaman kontemporer Syahrur dituangkan beliau dalam sejumlah karya antara lain adalah al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah (1990); Dirāsāt Islāmiyyah Mu’āṣirah fī al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994); al-Islam wa al-Imani: Manzumat al-Qiyam (1996); Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh alMar’ah “al-Waṣiyyah–al-Irtsi–al-Qawamah–al-Ta’addudiyyah –al-Libas (2000); Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008); dan buku berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh Brill, The Qur’an, Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Syahrur (2009). Yang terakhir ini dilakukan atas bantuan Andreas Chrismann. Mengenai biografi Syahrur secara lebih detail dapat dilihat dalam Peter Clark, “The Shahrur Phenomenon: a Liberal Islamic Voice from Syiria” dalam Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 7, No. 3, 1996, p. 337-341; Andreas Cristmann, “Read the Qur’an As If It Was Revealed Last Night: an Introduction to Muhammad Shahrur’s Life and Work” dalam Muhammad Syahrur, The Qur’an, Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Syahrur, translated, edited with an Introductioan Andreas Christmann, (Leiden: Brill, 2009), p. xvii-xlviii; dan Abdul Haris, “Hermeneutika Hadis: Studi Atas Teori Pemahaman Hadis Menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur”, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), p. 123-126. 6 Ibid., p. 147. 7 Muhammad Syahrur, Naḥwa Uṣūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi: Fiqh al-Mar’ah, (Syiria: Ahali, 2000), p. 45-46.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1981
Islam mengalami stagnasi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran keislaman karena masih dipenuhi berbagai taqlīd, mulai dari konsep qaḍā’ dan qadar, faham jabariyah, problematika pengetahuan, hingga masalah-masalah yang terkait dengan konsep negara, problem sosial-ekonomi, demokrasi, dan penafsiran sejarah.8 Dalam hal ini, pemahaman sunnah Nabi pun turut memberikan andil dalam menciptakan keadaan peradaban Islam yang statis dan terbelakang. Proses menjadi (becoming) dalam persoalan pemahaman sunnah Nabi pun hingga kini masih dipaksakan untuk tetap terkunci dalam tiga abad pertama sejarah Islam. Pandangan tradisional mengenai sunnah Nabi yang demikian telah membuat masyarakat Muslim-Arab menjadi datar (flat) –hanya dua dimensi— dan memaksa para ahli hukum Islam saat ini untuk membuat keputusan-keputusan hukum mereka sesuai dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada abad ke-7 hingga abad ke-9 Masehi.9 Oleh kerena itu, yang diperlukan adalah model pembacaan kontemporer terhadap Kitab Allah, hadis Nabi, tafsir dan buku-buku sejarah perjalanan hidup Nabi, serta buku-buku sejarah lainnya. Pembacaan ulang pun harus dilakukan terhadap buku-buku hadis dan perjalanan hidup Nabi atas dasar syarat-syarat dan kaidah-kaidah sektarian yang memandang adil atau tercelanya periwayat, sanad untuk menilai status hadis, kategori dua macam wahyu, hadis dapat me-naskh al-Qur’an, al-Tanzīl lebih memerlukan hadis dan sunnah, keterpasungan pada ke-ma’ṣūm-an Nabi tanpa memilah perannya sebagai rasul, nabi, dan manusia biologis. Bila hal ini tidak dilakukan, maka pembacaan yang dilakukan tidak akan melebihi apa yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Problema Kontemporer Studi Hadis Nabi Menurut Syahrur, ada pandangan yang berlebihan dari para ahli hukum Islam terhadap kehidupan Muhammad. Bagi mereka, sunnah Nabi secara teoritis tidak hanya menjadi sumber hukum Islam paling otoritatif kedua, melainkan juga secara praktis sangat sering digunakan mereka sebagai sumber utama dari legislasi Islam (aḥkām al-syar’iyyah). Ketika mengeluarkan fatwa, mereka pun sangat sering mengabaikan aturan-aturan al-Kitāb dan menggantikannya dengan sunnah Nabi. Dalam pengertian ini, sunnah Nabi menjadi referensi utama –dan hanya satu-satunya. Penempatan sunnah Nabi seperti ini, yakni sebagai sumber kebenaran yang paling otoritatif dan prinsip, atau setidaknya setara dengan firman Allah dalam alKitāb, membuat mereka melampaui batas posisi dan fungsi dari sunnah Nabi. Bahkan, yang paling “menjijikkan” dalam pandangan Syahrur adalah 8 Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah, (Damaskus: alAhali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992), p. 30. 9 Muhammad Syahrur, The Qur’an, Morality, p. 79.
1982 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future anggapan bahwa al-Kitāb itu tidak sempurna, sehingga memerlukan elaborasi dan spesifikasi dari sunnah Nabi. Dengan kata lain, wahyu Tuhan perlu disempurnakan dan ditegaskan/diperkuat oleh sebuah sumber kemanusiaan.10 Melalui sunnah Nabi –yakni berupa kata-kata, tindakan, perbuatan yang baik, pernyataan, dan keputusan Nabi—, mereka pun mengharuskan kita untuk selalu berusaha meniru contoh Nabi serigid mungkin dalam tindakan keseharian kita. Hal ini didasarkan atas firman Allah dalam [Q.S. al-Ahzab, 33:21] mengenai pola tindakan yang baik pada diri Rasulullah; dan dua hadis Nabi tentang jaminan tidak tersesat bagi orang yang berpegang teguh pada al-Kitāb dan Sunnah Nabi.11 Selain itu, ditemukan juga ide mengenai kesucian (ma’ṣūm) Muhammad sebagai Nabi dan Rasul. Sunnah Nabi, yakni bentuk kolektif dari seluruh hadis yang mencakup kata-kata dan tindakan dari seorang manusia yang diduga sempurna (über-human being), telah memperoleh otoritas yang memaksa masuk ke ranah kehidupan sehari-hari setiap Muslim. Isu-isu umum mengenai keyakinan keberagamaan dan pertanyaanpernyataan tertentu mengenai tindakan sosial Muhammad dipandang otoritatif dan mengikat kita semua. Setiap rincian kehidupan Nabi harus didefinisikan sebagai sesuatu yang suci, apakah berkaitan dengan pertanyaan universal, hukum obyektif (nubuwwah) atau legislasi (risālah); apakah ia mengacu pada pengetahuan Nabi (‘ilm), atau pada legislasi (aḥkām al-syar’iyyah). Dus, hadis-hadis mengenai sunnah Nabi memperoleh status teks suci yang otoritasnya tidak lagi dapat dipertanyakan. Hadis-hadis tidak dipedulikan, baik asal-muasalnya maupun lemahnya mata rantai para periwayatnya. Hadis juga diberi prioritas daripada wahyu, terlebih lagi jika terjadi pertentangan di antara keduanya.12 Menurut Syahrur, himpunan hadis-hadis dan proses pembelokan hadis-hadis menjadi teks-teks suci pasti terjadi di kemudian hari, mengingat Nabi sendiri pernah melarang penulisan hadis dan para sahabat pun sepeninggal beliau terkonsentrasi untuk usaha melakukan pembukuan wahyu Tuhan, yang dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar dan selesai pada masa Khalifah Usman bin Affan. Para sahabat pun juga sama sekali 10Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah, (Damaskus: alAhali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992), p. 71. 11 Terjemahan lengkap [Q.S. al-Ahzab, 33:21] adalah “Sungguh bagi kalian dalam diri Rasulullah terdapat pola tindakan yang indah bagi siapapun yang mengharap Allah dan hari Kiamat, dan banyak mengingat Allah”. Sedangkan, hadis yang pertama dikutip Syahrur dari kitab Muwatta’ al-Imam Malik yang berbunyi “Rasulullah s.a.w. bersabda ‘aku telah tinggalkan dua hal bagi kalian. Selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kamu tidak tersesat. Dua hal ini adalah kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya’.” Hadis yang kedua dikutip dari kitab Jami’ al-Usul karya Ibn Atsir yang berbunyi “Ingatlah, saya sudah diberikan al-kitab ini beserta sesuatu yang serupa.” Lihat Ibid., p. 79-80. 12 Ibid.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1983
tidak peduli terhadap hadis-hadis Nabi. Selain itu, pandangan mengenai penghimpunan hadis-hadis yang dimaksudkan untuk melengkapi wahyu Tuhan dinilai Syahrur bertentangan dengan [Q.S. al-Ma`idah, 5:3],13 di mana dalam ayat ini dinyatakan bahwa agama Islam sudah sempurna, sekalipun tidak ditemukan satu pun hadis Nabi.14 Munculnya pensucian teks-teks hadis ini, lanjut Syahrur, setidaknya dikarenakan ada enam kesalahan utama yang terjadi karena kesalahan dalam menafsirkan ayat alKitāb,15 yakni: 1) Kesalahan mengenai keyakinan bahwa kata-kata Muhammad adalah wahyu dari Allah yang didasarkan pada [Q.S. al-Najm, 53:3-4]16; 2) Kesalahan mengenai keyakinan bahwa tindakan dan perbuatan Muhammad adalah suci, yakni tanpa ada cacat oleh sebuah kekeliruan dan karena itu menjadi sempurna17; 3) Kesalahan mengenai ide ke-ma’ṣūm-an Nabi18; 4) Kesalahpahaman berkaitan dengan pernyataan yang berlebih-lebihan mengenai peranan Muhammad yang didasarkan pada [Q.S. al-Nahl, 16:44]19; 5) Kesalahpahaman dalam memahami [Q.S. al-Hasyr, 59:7]20; 13 “Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, melengkapi nikmatnikmat-Ku, dan Aku telah pilihkan al-Islam sebagai agama kalian.” 14 Ibid., p. 81. 15 Ibid., p. 81-101. 16 “Dan dia (Muhammad) tidak berkata menurut hawa nafsunya. Ia hanyalah sebuah wahyu yang diwahyukan”. 17 Bukti dari kekeliruan dari tindakan dan perbuatan Nabi dapat dilihat dalam [Q.S. ‘Abasa, 80:1-4]; [Q.S. al-Tahrim, 66:1]; dan [Q.S. al-Anfal, 8:67]. Terjemahan lengkap dari ketiganya adalah “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling ketika seorang buta mendatanginya –karena semua kamu ketahui, dia mungkin telah tumbuh spiritnya, atau mengambil catatan dari sesuatu yang berguna baginya” [Q.S. ‘Abasa, 80:1-4]; “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu dalam rangka menyenangkan istri-istrimu? Namun Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” [Q.S. al-Tahrim, 66:1]; dan “Tidaklah pantas bagi seorang Nabi bahwa ia memiliki tawanantawanan perang hingga ia menguasai wilayahnya. Kamu mengharap kebaikan sementara dari dunia ini, sedangkan Allah menghendaki Akhirat, dan Allah maha Perkasa dan Bijaksana” [Q.S. al-Anfal, 8:67]. 18 Menurut Syahrur pandangan ini bertentangan dengan firman Allah [Q.S. alMa`idah, 5:67] yang berbunyi “Wahai Rasul, sampaikanlah sesuatu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan –jika tidak kamu lakukan, maka kamu berati tidak mau mengkomunikasikan risalah ini— dan Allah akan melindungimu dari orang-orang. Dan Allah tidak memberikan petunjuk bagi siapa saja yang mengingkarinya.” 19 “(Kami utus mereka) dengan bukti-bukti dan kitab-kitab yang jelas; dan Kami wahyukan al-Dzikr, sehingga kamu dapat membuatnya jelas [li-tubayyin] kepada manusia apa yang telah diwahyukan kepada mereka, dan bahwa, sekiranya, mereka mau merefleksikannya.” 20 “Apapun yang Rasul berikan kepadamu [mā atākum], ambillah, namun apa saja yang beliau larang [mā nahākum], jauhilah. Takutlah kepada Allah, karena Allah sangat buruk balasannya.”
1984 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future 6) Kesalahan dalam menyamakan antara ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah. Memaknai Ulang Konsep Sunnah Nabi Menurut Syahrur, selama ini ada pemahaman yang keliru terhadap sunnah Nabi.21 Mayoritas umat Islam memahami sunnah Nabi sama dengan hadis itu sendiri. Tidaklah benar bahwa sunnah Nabi didefinisikan sebagai segala hal yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perintah, larangan dan ketetapan. Harus dipertimbangkan bahwa definisi seperti ini bukan definisi yang berasal dari Nabi saw. sendiri sehingga definisi tersebut dapat diperdebatkan kembali, baik untuk diterima ataupun untuk ditolak. Definisi seperti inilah yang menyebabkan Islam menjadi beku atau statis. Nabi dan para sahabat pun tidak mengetahui pengertian sunnah yang demikian. Oleh karena itu, lanjut Syahrur, sunnah Nabi harus didefinisikan ulang. Sunnah Nabi adalah metode berinteraksi dengan alKitāb sesuai dengan kondisi obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muhammad. Pada konteks ini, posisi Nabi menjadi teladan bagi kita, termasuk bagaimana beliau mencontohkan berbagai batasan hukum (ḥudūd), akhlak, dan segala hal yang termasuk dalam wilayah “ketaatan bersambung” dalam sunnah beliau. Secara spesifik dan lebih tegas, Syahrur juga mendefinisikan sunnah Nabi sebagai metode penerapan hukum-hukum umm al-kitāb secara mudah tanpa keluar dari batasan-batasan hukum Allah dalam masalah-masalah yang terkait dengan ḥudūd atau untuk menetapkan batasan-batasan yang bersifat lokal-temporal dalam masalah-masalah di luar ḥudūd. Usaha ini dilakukan dengan cara memperhatikan dunia nyata “ruang, waktu, dan kondisi-kondisi obyektif” yang menjadi wilayah dan ruang gerak bagi penerapannya berdasarkan prinsip [Q.S. al-Baqarah, 2:185] dan [Q.S. alHajj, 22:78].22 Oleh karena itu, apa saja yang telah diperbuat oleh Nabi di semenanjung Arab abad ketujuh Masehi merupakan model pertama bagaimana berinteraksi dengan Islam pada penggal ruang dan waktu tertentu, bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir. Rasulullah adalah mujtahid pertama yang telah membumikan wahyu absolut ke alam realitas obyektif melalui proses-proses historis (kondisi berproses dan kondisi menjadi) yang menentukan eksistensi dan masyarakatnya. Rasulullah berinteraksi atau menyikapi al-Qur’an (al-tanzīl al-ḥakīm) semata-mata melalui kondisi berproses dan kondisi menjadi historis bagi orang-orang Arab saat itu, dalam arti batas-batas sejarah dan Lihat al-Kitāb wa al-Qur’ān, p. 549 dan 580. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Q.S. al-Baqarah, 2:185] dan “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Q.S. al-Hajj, 22:78]. 21 22
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1985
geografis sesuai dengan taraf kehidupan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan mereka dan dalam rangka mengatasi problematika yang mereka hadapi.23 Selanjutnya, istilah sunnah Nabi harus dibedakan pengertiannya dari istilah hadis Nabi. Sunnah Nabi adalah metode berinteraksi dengan alKitāb sesuai dengan kondisi obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi. Posisi Nabi, dalam konteks ini, adalah sebagai teladan bagi kita, termasuk bagaimana beliau mencontohkan berbagai batasan hukum Allah (ḥudūd), akhlak, dan segala sesuatu yang termasuk dalam wilayah ketaatan tersambung (wa aṭī’ū allāh wa al-rasūl).24 Dengan redaksi yang berbeda, Syahrur juga mendefinisikan sunnah Nabi sebagai metode yang berada dalam pergerakan di antara batas-batas hukum Allah (al-ḥudūd) atau berhenti pada batas-batas tersebut, atau mengkreasi batas-batas lokaltemporal dalam persoalan yang tidak disinggung dalam al-Kitāb.25 Berkaitan dengan definisi sunnah Nabi di atas, Syahrur menyimpulkan ada enam prinsip yang harus diperhatikan,26 yaitu: a) Tradisi oral, yakni seluruh koleksi hadis, baik ṣaḥīḥ maupun ḍa’īf, mutawātir maupun aḥād, tidak memiliki otoritas yang mengikat. Sunnah Nabi berisikan legislasi manusia, dan legislasi manusia itu berubah sesuai dengan konteks historis. Kriteria kunci penerapan (atau perubahan)-nya adalah ada atau tidaknya tingkat kesesuaian hadis antara al-Kitāb dan realitas sosial, jika sesuai diterapkan dan jika tidak diubah. b) Sunnah Nabi adalah ijtihad pertama, yakni satu dari beberapa pilihan alternatif yang diterapkan Muhammad untuk memberikan keputusankeputusan konkrit dalam mewujudkan penerapan ide absolut ilahiyah, bukan yang terakhir dan satu-satunya. Ia merupakan suatu upaya mengadaptasi hukum ilahi dalam tatanan realitas sosial pertama yang paling sukses. c) Sunnah Nabi secara otentik merefleksikan kemampun kecerdasan Muhammad untuk mengkreasi –selagi menerima wahyu al-Kitāb— suatu realitas hukum, sosial, dan politik yang sepenuhnya sesuai dengan teks ilahiyah. d) Keputusan-keputusan hukum dari kerasulan Muhammad (al-risālah) hanya memiliki validitas terbatas. Harus diingat bahwa beliau menerima ayat-ayat ini (al-risālah) dalam suatu periode hanya 10 tahun ketika beliau hidup di Madinah. Situasi sosial dan politik yang beliau hadapi dalam periode tersebut tidak mungkin menjadi satu-satunya Muhammad Syahrur, Naḥwa Uṣūl, p. 60-61. Ibid., p. 580. 25Ibid., p. 581. 26 Muhammad Syahrur, The Qur`an and Morality, p. 110-111 23 24
1986 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future situasi yang dihadapi orang sepajang waktu di seluruh dunia. Padahal, tidak akan ada wahyu lagi dan kerasulan yang baru hingga Hari Kiamat. Karena itu, situasi periode tersebut tidak mungkin dapat mencakup seluruh situasi yang akan kita hadapi saat ini dan masa yang akan datang. Munculnya situasi yang berbeda dan baru, yang harus ditangani hukum Islam, akan membuat usang metode penalaran analogis yang mengambil basis pada ijtihad Nabi. Ijtihad kita harus didasarkan pada penalaran dan pemikiran modern yang sepenuhnya sesuai dengan al-Kitab dan realitas obyektif. e) Tradisi dan kebiasaan para sahabat Nabi tidak memiliki otoritas yang mengikat. Tradisi dan kebiasaan mereka hanya memiliki nilai sebagai informasi historis. Dalam fiqh Islam, ijma fuqahā’ harus diganti dengan ijma’ orang-orang yang masih hidup yang menerapkan hukum-hukum melalui lembaga-lembaga kontemporer seperti dewan legislatif dan parlemen. Kita yakin bahwa orang-orang yang masih hidup jauh lebih kompeten untuk memecahkan problema sosial-ekonomi kekinian dibandingkan para sahabat Nabi dan generasi tabi’in yang hidup 1400an tahun yang lalu. Namun, jika ternyata keputusan-keputusan mereka sesuai dengan problema kekinian kita, tentu kita tidak bersikap bodoh untuk menolaknya. f) Ijtihad tidak hanya dapat dibenarkan (legitimate) tetapi juga perlu. Kita menolak seluruh klaim bahwa ijtihad terhadap ayat-ayat naṣṣ itu dilarang, dan bahwa ijtihad hanya dibolehkan pada ayat yang tidak berisi aturan eksplisit, yakni ayat-ayat non-naṣṣ. Sedangkan, istilah hadis Nabi didefinisikan Syahrur sebagai suatu bentuk hasil interaksi Nabi dengan realitas tertentu dalam kondisi tertentu pada masa Nabi hidup. Dengan demikian, respon beliau terhadap realitas tersebut mengandung pengertian keterbatasan ruang dan waktu.27 Bila definisi ini dihubungkan dengan definisi sunnah di atas, maka perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa sunnah Nabi adalah metode interaksi Nabi dengan al-Kitāb, sedangkan hadis Nabi merupakan hasil dari interaksi Nabi dengan realitas obyektif tertentu. Klasifikasi Sunnah dan Hadis Nabi Sunnah Nabi dalam pandangan Syahrur harus diklasifikasikan menjadi sunnah risālah dan sunnah nubuwwah.28 Sunnah risālah terdiri dari hukum dan ajaran yang mencakup tema-tema ḥudūd, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran (al-ta’līmāt). Sedangkan sunnah nubuwwah terdiri dari ilmuilmu. Ketaatan berlaku pada sunnah risālah, bukan sunnah nubuwwah. Hal ini didasarkan pada sebuah kenyataan bahwa tidak ada satu ayat pun yang 27 28
Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān, p. 546. Ibid., p. 549-554
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1987
menggunakan redakasi aṭī’ū al-nabī (taatilah Nabi), redaksi yang ada adalah aṭī’ū al-rasūl (taatilah rasul). Berdasarkan ayat-ayat yang menggunakan redaksi aṭī’ū allāh wa al-rasūl atau aṭī’ū allāh wa aṭī’ū al-rasūl, serta [Q.S. alAhzab, 33:21]29 yang menyatakan dalam diri Rasulullah terdapat teladan baik, maka ketaatan kepada Muhammad adalah ketaatan dalam kapasitas kerasulannya, termasuk ajaran-ajaran yang tidak terkait dengan masalah halal dan haram. Selanjutnya, ketaatan dalam sunnah risālah juga harus dibedakan menjadi dua, yaitu ketaatan yang tersambung (al-ṭā’ah almuttaṣilah) dan ketaatan yang terpisah (al-ṭa’ah al-munfaṣilah). a). Ketaatan tersambung (al-ṭā’ah al-muttaṣilah) Ketaatan yang tersambung adalah jenis ketaatan yang memadukan antara ketaatan kepada rasul dan kepada Allah, seperti firman Allah “dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat” [Q.S. Ali Imran, 3:132], dan “jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” [Q.S. al-Nisa, 4:59]. Dengan mengingat bahwa Allah memiliki sifat Maha Hidup dan Abadi, dan bahwa ketaatan kepada rasul dipadukan dengan ketaatan kepada Allah, maka dalam kondisi ini ketaatan kepada rasul berlaku selama masa hidup beliau dan berlanjut sesudah wafatnya beliau sebagaimana ketaatan kepada Allah. Ketaatan ini berlaku dalam wilayah ḥudūd, ibadah, dan akhlak al-ṣirāṭ al-mustaqīm.30 b). Ketaatan yang terpisah (al-ṭā’ah al-munfaṣilah) Ketaatan yang terpisah adalah jenis ketaatan yang diposisikan secara terpisah dari ketaatan kepada Allah, seperti firman-Nya “Hai orangorang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul” [Q.S. al-Nisa’, 4:59], dan “dan taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada rasul, dan berhatihatilah” [Q.S. al-Ma`idah, 5:92]. Ketaatan jenis ini merupakan ketaatan yang hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, dan ketaatan ini gugur setelah wafatnya beliau. Bentuk ketaatan ini antara lain dalam masalah-masalah sehari-hari dan hukum-hukum yang bersifat lokaltemporal. Termasuk dalam jenis ketaatan ini adalah berbagai masalah dan keputusan yang beliau ambil sebagai kepala negara, hakim, dan pemimpin tentara. Demikian juga, masalah-masalah kerumahtanggaan, makanan, minuman, dan pakaian, di mana ketaatan ini mengikuti adat kebiasaan Arab 29 “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagimu, yakni bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” 30 Dalam karya Naḥwa Uṣūl Jadīdah Syahrur menjelaskan bahwa kandungan alrisālah memuat tiga ajaran, yaitu al-sya’ā’ir (ritual-ritual keimanan yang disebut Syahrur dengan istilah arkān al-īmān yang meliputi shalat, zakat, puasa dan lain-lain), akhlak, dan tasyrī’ (ayat-ayat hukum). Lihat Muhammad Syahrur, Naḥwa Uṣūl, p, 131-144.
1988 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future dan bergerak dalam ruang-ruang batasan hukum Tuhan, tanpa keluar darinya. Mengikuti ketaatan jenis ini harus selalu mempertimbangkan konteks di mana batas maksimal harus diberlakukan oleh Rasulullah tepat di atasnya. Yang terpenting adalah konteks pemahaman kontemporer terhadap hadis-hadis seperti ini dengan cara melihat “isi” atau substansinya. Bila ada hal-hal yang bermanfaat bagi kita, maka kita ambil, dan jika tidak ada manfaat bagi kita, maka kita tinggalkan. Sebagai contoh dari pemahaman hadis-hadis jenis ini adalah hadis-hadis Nabi yang menjelaskan larangan Nabi pada lukisan dan pahatan serta gambar. Larangan ini sebenarnya adalah berdasarkan pemahaman beliau dalam konteks zaman di mana Nabi hidup, mengingat bahwa bangsa Arab pada saat itu adalah bangsa yang suka menyembah berhala. Dengan demikian, larangan Nabi ini dibatasi oleh konteks waktu tertentu. Hadis-hadis seperti ini tidaklah terkait dengan batas-batas hukum Allah, sehingga bersifat temporal dan kita dapat menetapkan aturannya sendiri. Sedangkan hadis-hadis yang terkait dengan perilaku atau moral secara umum dan sosial pun harus pula diletakkan dalam konteks historis yang memiliki nilai penting. Hadis-hadis ini tidak berlaku wajib untuk setiap orang karena termasuk dalam kategori tasyrī’ khusus berupa penetapan dan jawaban dari berbagai pertanyaan yang disampaikan Nabi semasa hidupnya. Oleh karena itu, memilah hadis-hadis yang terkait dengan ḥudūd, ibadah, dan akhlak (al-ṣirāṭ al-mustaqīm) dari hadis-hadis selainnya adalah penting. Sementara itu, hadis-hadis nubuwwah pun harus diklasifikasikan menjadi dua, yakni (a) hadis-hadis yang terkait dengan masalah-masalah gaib. Hadis-hadis ini menjelaskan al-Qur’ān (ayat-ayat tentang fenomena alam) dan terkait dengan pemahaman umum terhadap al-Qur’ān. Hadishadis ini harus sesuai dengan konsep umum al-Qur’ān yang memiliki karakter sesuai dengan realitas dan akal. Karena itu, jika ditemukan hadishadis yang tidak sesuai dengan konsep umum al-Qur’ān, harus diabaikan. (b) hadis-hadis yang terkait dengan tafsil (perincian) al-Kitāb seperti sabda beliau “utītu al-qur’ān wa mitslahu ma’ahu”. Hadis ini menjelaskan bahwa alsab’u al-matsāni adalah seperti al-Qur’ān; juga contoh hadis “fī lailat al-qadr unzila al-Qur’ān ilā al-samā’ al-dunyā” (al-Qur’an diturunkan ke langit bumi pada malam qadar). Hadis ini harus sesuai dengan ayat-ayat tafṣīl al-Kitāb yang berkarakter tidak muḥkam dan tidak mutasyābih. Berkaitan dengan hadis-hadis yang terdapat dalam karya-karya himpunan hadis Nabi, Syahrur juga merekomendasikan untuk mengklasifikasikannya menjadi lima,31 yaitu: 31 Ibid., p. 163-164; dan lihat juga penjelasan Syahrur terhadap lima kategori hadis dalam Muhammad Syahrur, The Qur’an and Morality, p. 105-107.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1989
a) Hadis-hadis ritual (aḥādīts al-sya’āir), yakni perintah-perintah Nabi mengenai bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban ritual alKitāb. Jenis hadis ini termasuk dalam katehori hadis risalah dan wajib ditaati oleh seorang Mukmin, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun setelah wafatnya. Ketaatan inilah yang disebut dengan al-ṭā’ah al-muttaṣilah. b) Hadis-hadis tentang alam gaib (aḥādīts al-ikhbār bi al-ghaib), yakni spekulasi Muhammad sekitar alam gaib. Seluruh hadis-hadis macam ini ditolak, baik yang berkenaan dengan ramalan tentang kerajaan Allah atau pun berkenaan dengan informasi peristiwa-peristiwa yang akan datang. Dalam hal ini Nabi tidak memiliki pengetahuan khusus sekitar alam gaib. Atas dasar ini, tidaklah layak bagi kita menjadikan kata-kata beliau sebagai kebenaran. Sebagaimana setiap manusia, beliau hanya dapat mengimani eksistensi alam gaib, dan hanya dapat menegaskan hal-hal dari alam gaib, jika secara empiris dapat dipersepsikan, misalnya, melalui penelitian ilmiah. Hal-hal gaib merupakan bagian dari realitas ontologis tentang kosmos yang berada di atas dan melampaui batas wilayah al-īmān. c) Hadis-hadis hukum (aḥādīts al-aḥkām) yang terdiri dari setiap keputusan hukum dan setiap bagian legislasi (aḥkām al-syar’iyyah) yang diterapkan Muhammad. Hadis-hadis ini mencakup seluruh hadis Nabi yang mengandung hukum atau perundang-undangan (tasyrī’) yang tidak bertentangan dengan ayat-ayat hukum al-Qur’an (al-tanzīl) dan tidak mendekati atau melampaui batas dari yang ditetapkan oleh Allah. Hadis-hadis ini bersifat historis dan kondisional serta hanya berfungsi sebagai bahan pertimbangan (isti’nās) belaka, baik yang mutawātir maupun yang aḥād. Peran Nabi dalam hadis tersebut adalah sebagai mujtahid dalam pembatasan yang mutlak atau pemutlakan kembali terhadap pembatasan yang telah ditetapkan dalam wilayah yang diperbolehkan (ḥalāl) berdasarkan tuntutan kondisi obyektif yang ada saat itu. Hadis-hadis seperti ini hanya bersifat informatif, tidak memiliki nilai normatif, dan hanya merefleksikan aktifitas beliau dalam menerapkan ketentuan ilahi untuk problema sosial-politik yang beliau hadapi. d) Hadis-hadis Qudsi (al-aḥādīts al-qudsiyyah), yaitu hadis-hadis yang mengandung firman-firman Allah tentang alam gaib. Hadis-hadis ini, sebagaimana aḥādīts al-ikhbār bi al-ghaib, harus ditolak berdasarkan dua hal: (1) sesungguhnya Nabi tidak mengetahui hal gaib; dan (2) sesungguhnya ucapan yang dinisbahkan kepada Allah dalam hadishadis tersebut tidaklah keluar dari salah satu bentuk berikut: adakalanya merupakan penjelasan yang tidak memadai terhadap kemujmal-an al-Qur’an (al-tanzīl). Sekiranya Allah menghendaki dan
1990 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future penjelasannya bersifat mendesak, niscaya Allah akan menjelaskannya dalam bentuk ayat-ayat, dan bentuk ini tertolak berdasarkan firman Allah [Q.S. al-An’am, 6:114],32 juga adakalanya merupakan penambahan terhadap firman Allah dalam keterperinciannya al-Qur’an (al-dzikr al-ḥakīm). Hal ini juga tertolak karena termasuk mengadaadakan perkataan atas nama Allah dengan perkataan yang tidak diucapkan oleh-Nya. Hal ini adalah wilayah yang ancamannya sangat keras berdasarkan firman-Nya [Q.S. al-Haqqah, 69:44-46].33 Termasuk mengada-ada perkataan atas nama Allah adalah perkataan baik yang layak dan sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Dalam konteks ini, mustahil bagi Nabi berpikiran demikian, apalagi sampai melakukannya. e) Hadis-hadis tentang kehidupan dan sifat-sifat Nabi sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang manusia (aḥādīts al-ḥayāt al-insānī). Termasuk dalam kategori ini adalah hadis-hadis yang menjelaskan kehidupan pribadi Nabi, cara makan, pakaian, cara tidur, warna rambut, postur tubuh, cara berjalan, dan duduk nabi, sifat-sifat nabi seperti jujur, terpercaya, keceriaan wajah, kehalusan kata, kesopansantunan karakter, kemulian, kedermawanan, keberanian, keteguhan dalam mengatakan yang benar dan kebencian terhadap kezaliman, serta keteguhan hati dan kehati-hatian dalam melakukan segala hal dan ketika menghadapi kesulitan. Kesemua hadis ini, meskipun pantas untuk mengenang sejarah hidup Nabi dan dapat menghaluskan jiwa dan hati, namun tidaklah berarti pantas sebagai sunnah yang akan menjadi teladan bagi dan ditiru oleh seluruh penduduk bumi dalam segala ruang dan waktu. Selain lima macam klasifikasi hadis tersebut, ada juga hadis-hadis yang berisikan kata-kata bijak (ḥikmat al-rasūl).34 Karakteristik dari hadishadis yang demikian adalah (1) bahwa kata-kata bijak (ḥikmah) pada dasarnya berbentuk mengajaran umum (al-ta’limāt) yang bersifat etis yang keluar dari orang-orang bijak, tanpa membutuhkan wahyu, tidak pula kenabian dan risalah; (2) pengajaran umum tersebut dapat diterima/dipahami secara universal dan dirasakan oleh semuan orang; (3) pengajaran umum tersebut tidak mungkin dimaksudkan untuk tujuan menetapkan legislasi [aḥkām syar’iyyah) atau keyakinan (i’tiqād); dan (4) “Padahal Dia-lah yang telah menurunkan al-Kitāb kepadamu dengan terperinci” “Seandainya ia (Muhammad) mengada-ada sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia tangan kanannya, lalu Kami potong urat tali jantungnya.” 34 Dalam karya The Qur’an, Morality, and Critical Reason, Syahrur membuat dua kategori perkataan Nabi, yaitu (1) kata-kata bijak Nabi [hikmat al-rasul]; dan (2) pernyataanpernyataan Nabi yang mencakup lima klasifikasi hadis sebagaimana dalam uraian di atas. Lihat Muhammad Syahrur, The Qur’an, Morality, p. 103. 32 33
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1991
pengajaran umum tersebut juga diformulasikan dari wilayah pengalaman manusia, dan oleh sebab itu ia berasal dari dalam diri manusia.35 Karakteristik Sunnah Nabi Risalah Muhammad, dalam pandangan Syahrur, adalah bersifat ḥudūdiyyah, yakni berada pada batas-batas minimal dan maksimal dalam penetapan hukum. Hal ini dikarenakan sifatnya sebagai risalah terakhir.36 Selanjutnya, berkaitan dengan karakteristik hadis Nabi yang berfungsi untuk memerinci ayat-ayat al-Qur’an (al-tanzīl) yang masih bersifat global, penjelas terhadap makna kandungannya yang masih tersembunyi, pembatas terhadap kemutlakannya, dan pengkhusus terhadap keumumannya; bahkan hadis harus diutamakan daripada al-Qur’an, dapat menentukan dan menasakh hukumnya, serta kebutuhan al-Qur’an terhadap hadis daripada sebaliknya, adalah berlebih-lebihan dan sebuah kecerobohon.37 Bagi Syahrur, fungsi sunnah Nabi adalah untuk pembatasan sesuatu yang mutlak (taqyīd al-muṭlaq) dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasi (iṭlāq al-muqayyad) dalam wilayah yang diperbolehkan (al-ḥalāl).38 Pembatasan dan pemutlakan ini merupakan gambaran terhadap dimensi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dalam bingkai umum yang membatasi wilayah yang dilarang (al-ḥarām) dan wilayah yang diperbolehkan (al-ḥalāl).39 Oleh karena itu, perlu dipahami peran Muhammad sebagai seorang Nabi dan beberapa karakteristik khusus berkaitan dengan sunnah Nabi,40 yaitu (1) Sunnah Nabi merupakan ketetapan-ketetapan yang lahir dari kondisi kehidupan obyektif dalam masyarakat Arab pada masa kenabian; (2) Sunnah Nabi merupakan ijtihād dalam membatasi sesuatu yang dihalalkan (al-ḥalāl) yang tidak membutuhkan adanya wahyu; (3) Sunnah Nabi merupakan ijtihād yang bersifat pembatasan dalam wilayah yang dihalalkan secara mutlak, di mana sesuatu yang telah dibatasi tadi dimungkinkan untuk dimutlakkan kembali seiring dengan perubahan kondisi obyektif yang ada; (4) Sunnah Nabi merupakan ijtihād dalam wilayah yang 35 Empat karakter hikmat al-rasul ini disarikan dari uraian Syahrur dalam dua bukunya, yaitu The Qur’an, Morality, and Critical Reason dan Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh alIslami: Fiqh al-Mar’ah. Lihat Ibid., p. 103-105; dan Muhammad Syahrur, Naḥwa Uṣūl, p. 162. 36 Ibid., p. 143. 37 Ibid., p. 150. 38 Pembatasan Syahrur dalam wilayah yang diperbolehkan adalah berdasarkan pada pendangannya mengenai pengharaman atau penghalalan sesuatu. Wilayah pengharaman atau penghalalan sesuatu, menurutnya, adalah hak pribadi Allah, Rasul pun tidak memiliki hak tersebut, terlebih lagi ahli fikih, konsensus ulama, dan para anggota parlemen. Lihat ibid., p. 142 dan 155. 39 Muhammad Syahrur, Naḥwa Uṣūl, p. 151. 40 Ibid.
1992 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future dihalalkan, yang kemungkinan bisa salah dan bisa benar,41 karena ia bukan wahyu dan dapat dikoreksi kembali; (5) Sunnah Nabi merupakan ketetapanketetapan dari ijtihād Nabi dalam wilayah yang dihalalkan tanpa memandang sumbernya apakah bersifat kenabian atau bukan, dan tidak termasuk wilayah tasyrī’, melainkan hanya undang-undang sipil (al-qānūn al-madanī) yang tunduk pada kondisi sosial abad ketujuh, karena itu tidak bersifat abadi sekalipun terdapat ratusan hadis mutawātir dan ṣaḥīḥ mengenainya. Dengan pemahaman sunnah Nabi secara tepat, maka sesungguhnya nāsikh dan mansūkh dalam wilayah yang diperbolehkan adalah peran para anggota parlemen dalam seluruh pemerintahan di dunia. Parlemenlah yang meng-undangkan, membatalkan, atau menambahkannya. Seperti inilah, menurut Syahrur, yang dilakukan Nabi. Oleh karena itu, meminta pertimbangan hukum (al-istiftā’) dan penetapan perundang-undangan parlemen merupakan konsep kontemporer bagi sunnah Nabi.42 Penutup Ghazi Taubah dalam artikelnya yang berjudul “Syahrur Yulawwi A’naq al-Nusus li Aghrad Ghair ‘Ilmiyyah wa Taftaqirru ila al-Bara’ah” bersikap sinis dan menuduh Muhammad Syahrur sebagai salah satu dari tokoh yang menjauhkan Sunnah Nabi dari umat Islam.43 Bahkan, dengan nada yang sangat keras, Salim al-Jabi menuduh Syahrur secara emosional sebagai peramal pembohong dalam karya al-Qirā’ah al-Mu’āṣirah li alDuktūr Muḥammad Syaḥrūr: Mujarrad al-Tanjīm Kadhaba al-Munajjimūn wa lau Ṣadaqū. 44 Tentu saja sebagai sebuah upaya untuk mentradisikan mengembangkan teori-teori dan kajian keislaman ilmiah yang mampu merespon persoalan kekinian umat Islam, maka sudah seharusnya sikapsikap seperti itu harus dihindarkan. Muhammad Syahrur memang bukan seorang tokoh (ahli) hadis dalam batasan baku yang dibuat oleh ulama hadis. Namun, keberaniannya dalam mengekspresikan pemikiran-pemikiran tentang pemaknaan ulang 41 Menurut Syahrur Muhammad sebagai seorang manusia biasa dan seorang nabi tidak ma’ṣūm (terjaga dari salah). Muhammad sebagai rasul adalah ma’ṣūm dalam hal batasbatas hukum (ḥudūd al-risālah) yang terdapat dalam al-Qur’an. Di samping itu, istilah kenabian (nubuwwah) adalah terkait dengan sikap manusia terhadapnya, yakni bisa jadi sikap pembenaran (taṣdīq) atau bisa jadi pendustaan (takdzīb); sementara istilah kerasulan (risālah) adalah terkait dengan sikap manusia terhadapnya, yakni bisa jadi ketaatan, atau bisa jadi pembangkangan. Lihat ibid., p. 59 dan 154. 42 Ibid, p. 152 43 Ghazi Taubah, “Syaḥrūr Yulawwi A’nāq al-Nuṣūṣ li Aghrāḍ Ghair ‘Ilmiyyah wa Taftaqirru ilā al-Barā’ah” dalam Majalah al-Mujtama’, no. 1302 tahun 1998, p. 56-57. 44 Salim al-Jabi, al-Qirā’ah al-Mu’āṣirah li al-Duktūr Muḥammad Syaḥrūr: Mujarrad al-Tanjīm Kadhaba al-Munajjimūn wa lauṢadaqū, (Damaskus: AKAD, 1991), p. 12-3.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1993
terhadap konsep Nabi perlu diapresiasi dalam kerangka pembentukan paradigm pemahaman hadis kontemporer. Biarlah setiap pemikiran dari para tokoh dilontaran ke public untuk mendapatkan respon bersama dalam rangka menuju terbentuknya satu titik, yakni kejayaan umat Islam bersama keilmuan-keilmuan keislaman kontemporer. Amin. BIBLIOGRAFI Abdul Haris, “Hermeneutika Hadis: Studi Atas Teori Pemahaman Hadis Menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur”, Disertasi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011. al-Azami, M.M., Studies in Early Hadith Literature with a critical Edition of Some Early Texts, Beirut, 1968. -----------, Studies in Hadth Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust Publication, 1992. -----------, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, Riyadh: King Saud University, 1985. Clark, Peter, “The Shahrur Phenomenon: a Liberal Islamic Voice from Syiria” dalam Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 7, No. 3, 1996. Cristmann, Andreas, “Read the Qur’an As If It Was Revealed Last Night: an Introduction to Muhammad Shahrur’s Life and Work” dalam Muhammad Syahrur, The Qur’an, Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Syahrur, translated, edited with an Introductioan Andreas Christmann, Leiden: Brill, 2009. Al-Jabi, Salim, al-Qirā’ah al-Mu’āṣirah li al-Duktūr Muḥammad Syaḥrūr: Mujarrad al-Tanjīm Kadhaba al-Munajjimūn wa Lau Ṣadaqū, Damaskus: AKAD, 1991. Kamarudin Amin, “The Reability of The Traditional Science of Hadīth” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, 2005, Volume 43, Number 2, 2005/1426. ------------, “Muslim Western Scholarship of Hadīth and Western Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to Hadīth Scholarship” dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, Volume 46, Number 2, 2008/1429. ------------, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Banding: Hikmah, 2009. al-Qaradhawi, Yusuf, al-Sunnah: Maṣdaran li al-Ma’rifah wa al-Ḥaḍārah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1998.
1994 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future ------------, Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: ma’ālim wa ḍawābiṭ, USA: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1990. Rahman, Fazlur, Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965. Syahrur, Muhammad, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah, Damaskus: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992. ------------, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah, Damaskus: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992. Syahrur, Muhammad, Naḥwa Uṣūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi: Fiqh alMar’ah, .Syiria: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2000. ------------, The Qur’an, Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Syahrur, translated, edited with an Introductioan Andreas Christmann, Leiden: Brill, 2009. Taubah, Ghazi, “Syaḥrūr Yulawwi A’nāq al-Nuṣūṣ li Aghrāḍ Ghair ‘Ilmiyyah wa Taftaqirru ilā al-Barā’ah” dalam Majalah alMujtama’, No. 1302 tahun 1998.
INTELEKTUALISME PESANTREN (Studi Geneologi dan Jaringan Keilmuan Tuan Guru di Lombok) Adi Fadli1 A. Latar Belakang Sebuah budaya tidak lahir dalam ruang yang hampa. Teori ini menegaskan bahwa eksistensi dan identitas Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid2 yang ada sekarang bukan tanpa sejarah yang melatarbelakanginya. Yang lebih penting adalah sejauhmana sejarah itu memberikan arti dan manfaat bagi identitas Lombok sekarang ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi eksistensi Lombok sekarang adalah keberadaan pondok pesantren dalam jumlah besar. Tercatat sampai tahun 2011 bahwa jumlah pondok pesantren di Lombok adalah 495 buah3 dan sejumlah itu pulalah banyak tuan gurunya atau bahkan lebih. Banyaknya pondok pesantren ini banyak turut andil dalam mewarnai dan memberikan arti bagi perjalanan sejarah Lombok. Realitas sejarah tersebut di atas seringkali dilupakan atau terlupakan oleh generasi berikutnya. Bahkan pengetahuan kita, terutama masyarakat Sasak tentang pendiri dan jaringan intelektual tuan guru pondok pesantren di Pulau Seribu Masjid ini masih samar dan bahkan cenderung gelap. Dikenalnya TGH. Umar Buntimbe pada abad ke-184; atau TGH. Bangkol5, TGH. Umar Kelayu, TGH. M. Rais Sekarbela6 pada abad ke-19; atau TGH. M. Shaleh Hambali Bengkel,7 TGH. Zainuddin Abdul Madjid Pancor pada abad ke-20 merupakan tanda dan bukti sejarah tentang kontribusi mereka bagi kemerdekaan dan eksistensi masyarakat Sasak. Peranserta mereka bukan hanya dalam skala lokal saja, namun
1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram. Email:
[email protected] 2 Lombok dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid karena terdapat sekitar 5000 masjid di Lombok. 3 Wawancara dengan TGH. Shafwan Hakim, Ketua Forum Kerjasama Pondok Pesantren NTB, Sabtu, 17 Maret 2012. 4 Wawancara dengan Dr. Jamaluddin, M.A., Sabtu, 15 Oktober 2011. 5 Kisah tentang TGH. Bangkol banyak ditemukan dalam babad Lombok. 6 TGH. Umar dan TGH. Rais Sekarbela dikenal sebagai guru para tuan guru di Lombok dan disebutkan dalam banyak buku sejarah Lombok. 7 Baca disertasi Adi Fadli, Pemikiran Islam Lokal: Studi Pemikiran TGH. M. Soleh Chambali Bengkel al-Ampenani, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010.
~ 1995 ~
1996 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future intelektualisme dan kontribusi mereka diakui secara global sebagaimana yang ditunjukkan oleh TGH. Umar Kelayu.8 Mesti diakui bahwa data tentang pondok pesantren di Lombok masih lebih banyak berbicara dalam catatan angka dan jumlah santri, namun kurang (tidak) diketahui biografi lengkap pendirinya dan sejarah pondok pesantren tersebut serta sejauhmana kontribusinya dalam masyarakat, dan lebih lagi tentang jaringan keilmuan tuan guru antar pesantren. Walaupun ada yang membahasnya, masih bersifat parsial dan cenderung lebih banyak dalam warna politik dan baju mitos.9 Fakta dan fenomena ini menjadikan kajian tentang intelektualisme pesantren ini untuk mengetahui geneologi dan jaringan keilmuan tuan guru di Lombok menjadi penting, menarik, dan mendesak untuk diteleti. B. Rumusan Masalah 1. Siapa tokoh utama pesantren di Lombok dan bagaimana cakrawala pemikirannya? 2. Bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di Lombok? 3. Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? 4. Apa dampak pemikiran dan jaringan ulama terhadap perkembangan Islam di Lombok? C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan baru dalam sejarah pendidikan di Lombok dan dapat melahirkan teori jaringan baru dalam keilmuan tuan guru di Lombok. D. Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan teori jaringan ulama Azyumardi Azra dan teori tradisi besar dan tradisi kecil Robert Redfield untuk menjadi kerangka konseptual melihat dan menanalisis masalah yang diteliti. Azyumardi Azra menyatakan bahwa ulama Nusantara mempunyai geneologi keilmuan yang berasal dari Mekah dan Madinah. Kontak intensif dalam tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam antara murid dan guru memberikan kontribusi besar dalam pembentukan sifat istimewa dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama. Ciri utama dari wacana ilmiah dalam jaringan adalah telaah hadis dan tarekat. Melalui telaah-telaah hadis dan
8 TGH. Umar Kelayu menjadi guru di Masjidil Haram dan wafat di Tanah Suci pada tahun 1948. 9 Seperti buku Nasri Anggara, Politik Tuan Guru, (Yogyakarta: Genta Press, 2008); L. M. Azhar dan L. M. Sholeh Tsalis, Tuan Guru Lopan: Waliyullah dengan Kiprah dan Karomahnya, (Lombok: Ponpes as-Sholehiyah, 2003).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1997
tarekat, para guru dan murid dalam jaringan ulama menjadi terkait satu sama lainnya.10 Teori tradisi kecil dan tradisi besar Robert Redfield menyatakan bahwa untuk mempertahankan kebudayaan suatu wilayah sebagai kebudayaan lokal, dituntut adanya suatu komunikasi yang terus-menerus dengan pemikiran komunitas lokal (local community of thought) yang berasal dari luarnya. Wilayah lokal tersebut mengundang kita untuk mengikuti jalur interaksi yang panjang antara komunitas tersebut dengan pusat-pusat peradaban.11 Kebudayaan lokal yang diterima apa adanya oleh penduduknya dari leluhur mereka itulah yang disebut dengan tradisi kecil. Kebudayaan yang menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan disebut sebagai tradisi besar. Lebih jelasnya bahwa tradisi kecil adalah tradisi dari sebagian besar pemikir yang tidak reflektif yang berlangsung dalam hidup itu sendiri dan mereka yang tidak terpelajar di dalam komunitas-komunitas desanya dan diterima sebagaimana adanya dan tidak pernah secara cermat dipertimbangkan pengembangannya. Tradisi besar merupakan tradisi dari beberapa pemikir reflektif, para ahli filsafat, ahli ilmu ketuhanan, dan sastrawan adalah tradisi yang secara sadar diolah di sekolah-sekolah atau di kuil-kuil dan diwariskan. Kedua definisi tentang tradisi kecil dan tradisi besar itu dinyatakan oleh Robert Redfield dalam bukunya Peasant Society and Culture bahwa “In a civilization there is a great tradition of the reflective few, and there is a little tradition of the largely unreflective many. The great tradition is cultivated in schools or temples; the little tradition works itself our and keeps itself going in the lives of the unlettered in their village communities. The tradition of the philosopher, theologian, and literary man is a tradition consciously cultivated and handed down; that of the little people is for the most part taken for granted and not submitted to much scrutiny or considered refinement and improvement.”12 Teori jaringan ulama Azyumardi Azra ini digunakan untuk melihat ketersambungan sanad atau silsilah keilmuan tuan guru di Lombok dengan ulama di Mekah dan Madinah. Adapun Teori tradisi besar dan tradisi kecil Robert Redfield digunakan untuk melihat proses saling mempengaruhi antara tradisi kecil, yakni tradisi Sasak Lombok dengan segala dinamika lokalitasnya, dengan tradisi besar, yakni Timur Tengah, khususnya 10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-4, hal. 294-295. 11Robert Redfield, Peasant Society and Culture, (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), hlm. 40-41. 12Ibid., hlm. 41-42.
1998 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Makkah ataupun pesantren sehingga akan tampak terlihat jelas sejauhmana pengaruh pembaruan Islam yang dilakukan tuan guru dengan pesantrennya terhadap masyarakat sekitar. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi tokoh yang bersifat kualitatif deskriptif. Studi tokoh ini berdasarkan gabungan dari studi pustaka dan studi lapangan yang kemudian dideskripsikan dalam bentuk penjelasan yang analitik. Sumber data penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah buku atau dokumen tentang tokoh yang dibahas, karyanya, keluarga, dan sahabatnya. Juga tokoh itu sendiri apabila masih hidup dijadikan sumber utama. Adapun data sekunder penelitian ini adalah data pendukung yang dikumpulkan dari pendapat dan atau pandangan, teori-teori yang terkait dengan jaringan keilmuan, ketokohan, pesantren yang dikemukakan oleh para ahli pada bidangnya, baik yang terdapat dalam buku, riset ilmiah, koran, majalah, jurnal,skripsi, tesis maupun disertasi. Data yang dituntut adalah seputar biografi tokoh, jaringan intelektualnya, karya dan desiminasi pemikirannya untuk masyarakat Sasak khususnya dan semua orang pada umumnya. Berangkat dari penedekatan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara mendalam, dokumentasi, observasi, dan Focuss Group Discussion. Pengolahan dan analisis data merupakan bagian analisis terhadap seluruh data yang telah terkumpul dengan membangun pemahaman yang lebih komprehensip dan rinci khususnya mengenai geneologi, jaringan, dan desiminasi pemikirannya bagi masyarakat. Proses analisis data dilakukan dengan melakukan kritik terhadap data, yakni meneliti tentang keasliannya melalui kritik internal dan eksternal. Data yang diperoleh melalui teknis wawancara, dokumentasi, observasi, dan focus group discussion di atas segera dibuat pemetan berdasarkan pokok masalah yang ada dengan analisis reflektif. Khusus untuk data literer dianalisis dengan metode content analysis, yakni menjelajahai makna-makna terdalam dari ungkapan teks (al-qira’ah ma bainas suthur wa ma wara’as suthur). Berikutnya dilakukan analisis atas data-data hasil observasi dan wawancara dengan metode induktif dan komparatif . Kedua metode ini digunakan secara acak sesuai kebutuhan.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 1999
F. Hasil Penelitian dan Pembahasan Al-Haramain; Pusat Lingkaran Jaringan Ulama Sasak Azyumardi Azar memberikan sebuah pernyataan bahwah Makkah dan Madinah, atau dikenal dengan sebutan al-Haramayn (“dua haram”) menduduki posisi istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum muslim. AlHaramayn merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad. Makkah merupakan qiblah, ke arah mana para penganut Islam mengahadapkan wajah shalât, dan di mana mereka melakukan Ibadah haji.13 Dalam posisinya sebagai sentral ibadah dan ilmu pengetahuan kaum muslim, al-haramayn; terutama di seputaran Masjid al-Haram Makkah dan Masjid al-Nabawy Madinah menjadi ramai dikunjungi umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Di sini, berkumpul para intelektual Muslim-ulama, sufi, filosof, penyair, pengusaha dan sejarawan Muslim bertemu dan saling bertukar pemikiran dan informasi. Jadilah tempat ini semacam world class university yang membangun identitas diri pada dua hal mendasar; pertama, sebagai pusat pembangunan citra (brad image) bagi dunia, dan kedua berfungsi sebagai bentuk internalisasi unversalitas ajaran Islam; dunia akhirat. Dengan perannya sebagai world class university atau toward a world class university menjadi pusat perhatian pendidikan berkelas dunia, yang melahirkan dau memberikan sumbang pemikiran bagi pencitraan Islam yang multidimensional dan transnasional. Maka dan selanjutnya menjadi daya tarik bagi para pecinta ilmupengetahuan dari berbagai belahan dunia termasuk wilayah Nusantara wa bi al-khusus putra-putra Sasak Lombok. Al-Harîmain al-Syarîfain,khususnya Masjidil Haram seperti disebutkan sebelumnya tidak saja menjadi pusat ibadah (haji) akan tetapi pusat pendidikan tempat berkumpulnya para pencari ilmu agama. ulamaulama sasak sejak abad akhir abad XVII dan awal abad XVIII. Kehadiran para wufud /utusan di tempat yang disakralkan segera membangun semacam jaringan yang dijadikan sebagai jejaring ilmiah dalam bentuk lingkaran diskusi. Kedekatan mereka secara emosional, etnisitas, maupun lakalitas ke daerah-an dengan berbagai problematika sosial keagmaaan14
13 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII $ XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 51 14 Problematika sosial keagamaan di maksudkan adalah realitas masyarakt bangsa mereka yang dalam keadaa terpuruk baik secara pendidikan, ekonomi, budaya maupun politik. Kekuasaan kolonialisame yang semena-mena dengan dampak kebodohan yang ditumbulkan menjadi tema bahasan yang mampu memperekat kepekaan. Hal ini kemudian mereka lanjutkan ketika mereka pulan ke pangkuan ibu pertiwi, dengan membangun organisasi-organisasi massa Nahdlatul Wahtan oleh KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1916 yang kemudian kembangkan menjadai Nahdlatul Ulama (NU) 1924 misalnya. Di Lombok muncul ikatan-ikatan alumni al-Haramain melalui saling asih daan asuh (silturrah) dan juga organsisi massa seperti berperan sebagai Tokoh NU, Muhammdiyah, SI dan atau mendiriak
2000 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future yang dihadapinya mengukuhkan jaringan mereka dalam wujud intensitas dan kuantititas pertemuan yang semakin intens. Para pencari ilmu (thullab al-‘ilm) duduk bersama dalam lingkaran sehingga memungkian mereka membentuk hubungan yang lebih besar. Sistem belajar duduk berlingkaran dalam satu ruang diskusi yang disebut halâqah. Tradisi halâqah merupakan ciri utama sistem pembelajaran dan jaringan keilmuan yang dipertahankan di seputaran Masjid al-Haram Makkah dan Masjid al-Nabawi Madinah al-Munawwarah. Sistem dimana para murid duduk bersila mengelilingi guru-guru (masyayekh) tanpa menggunakan kursi dan meja juga tidak menggunkan sistem kelasikal (kelas belajar), tadak ada kenaikan tingkat atau kelas yang ada hanya perubahan materi dan sumber belajar. Proses belajar mengajar dalam halâqah ini biasanya diselenggarakan di pagi hari setelah shalat Subuh, setelah shalat ‘Ashar, Magrib, dan Insya.15 Tradsi belajar dalam sistem halâqah yang berkembang pesat yang dalam perspektif alam pikiran Robert Redfield dapat disebut sebagai tradisi besar (great tradition) yang dikembangkan oleh pemikir reflektif, para ahli filsafat, ahli ilmu ketuhanan (tafsir, hadis, taudid, fiqih), dan sastrawan adalah tradisi yang secara sadar diolah di kelompok-kelompok kajian (majâlis al-ta’lim) atau di masjid-masjid dan diwariskan. Pada urain sebelumnya, tergambar bahwa para ulama/Tuan Guru Lombok menganggap Makkah al-Mukarrahmah merupakan tempat belajar yang paling diidam-idamkan. Karena di tempat tersebut berkumpul para cendekiawan muslim dari berbagai punjuru dunia, termasuk kepulauan Nusantara. Kemudahan dalam mendaptkan ijin belajar dan terdapatnya fasilitas yang memungkin mereka berlayar ke tempat ini dan terutama kehausan mereka terhadap ilmu pengetahuan mendorong semangat mereka berangkat beribadah sambil memuntut ilmu. Meraka yang datang tersebut tercatat nama-nama ulama besar seperti; TGH.Umar Batu Timba (abad 18), TGH. Mustafa Sekarbela (abad 18), TGH. Abdul Ghafur (1754-1904), TGH. Amin Sesela (abad 18), TGH. Mukhtar Sedayu Kediri, TGH. Umar Kelayu dan lain-lainnya. TGH. Umar Kelayu seperti tercatat dalam manaqib para tuan guru Lombok adalah ulama yang paling populer dan paling diminati para murid Lombok. Argumen yang paling memungkinkan untuk mejelaskan hal tersebut adalah bahwa TGH.Umar adalah putra Sasak yang mengenal baik karakter para penuntut ilmu dari daerah nya. Juga karena TGH. Umar telah bermukim dalam jangka waktu yang cukup lama di Makkah yang memungkinkan telah terjalinnya komunikasi yang intensif dengan tokohtokoh yang paling berwibawa. Lesensi dan rekomendasinya akan lebih organisasi sendiri seperti Nahdaltul Wtahan (NW) oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid. 15 Azdyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah…hal. 80
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2001
mudah. Dan yang terpenting adalah bahwa TGH.Umar memiliki kadalaman ilmu dan cakrawala keisalaman dan kedaerahan. Ia mengarifi kondisi lokal (sasak Lombok) dalam mengemasi metode dan teknik dakwah (thurûq al-da’wah) maupun pendesainan dan penyeleksian materi seperti penguatan pemahaman al-Qur’an dan Hadis, aqidah dan fiqih, juga ilmuilmu alat (bahasa Arab) di tengah-tengah masyarakat yang masih terbelakang dan berkeyakinan sinkritis. Selain tokoh lokal seperti TGH.Umar Kelayu yang disebutkan sebelumnya, para thullab al-‘ilm mendatangi ulama-ulam Nusantara yang juga membangun kelas-kelas halaqah. Mereka seperti Syaekh Abdul Karim Banten. Syaekh Abdul Karim adalah adalah penerus dan atau pelanjut dari Syaekh Khatib Sambas yang mempertemukan dua aliran tarekat; Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Formulasi yang melahirkan Teqekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah seperti menghipnotis pada penuntut ilmu untuk memperdalam semangat dan spritual Islam. Sebagai khalifah tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah ini, halaqah Syaekh Abdul Karim dipadati oleh ulama –ulama Nusantra termasuk Sasak Lombok. Di antara mereka adalah tiga serangkai; Tuan Guru Haji Amin Pejeruk, Tuan Guru HajiMuhmmad Sidik Karang Kelok dan Tuan Guru Haji Muhammad Ali Sakra. Termasuk Tuan Guru Haji Muhammad Shaleh Lopan. Dari para Tuan Guru inilah tarekat ini kemudian tersohor di Bumi Sasak. Mereka ini telah menyebarkan ajarannya ke hampir semua semua ulama dan lapisan masyarakat Lombok. Tidak sekedar itu, para ulama yang mengajarkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah ini menjadi motor-motor penggerak perlawanan terhadap kekuasaan Kaerajaan Karang Asem Bali. Sperti Tuan Guru Haji Muhammad Ali Sakra, TGH. Muhammad Shaleh Lopan, TGH. Bangkol, TGH.Mali bin TGH. Abdul Hamid dan murid murid setia mereka. Jaringan yang mereka bangun bukan sebatas jaringan yang bersifat sosio-organis (dalam bentuk ajaran tentang-amalan dan atau zikir dengan berbagai rangakaiannya yang dijadikan sebagai latihan ruhanai (riyâdhah rûhâniyah) ), tetapi bergerak memasuki jaringan yang bersifat sosio-kultural sebagai wadah pengorganisasian massa untuk membangun kekuatan masyarakat bawah (gressroot) melalui-lembaga pendidikan dan sosial pendidikan bahkan menjadi jaringan yang bersifat sosio-politis sebagai wadah yang berlangsung secara gradual seiring engan relaitas dan kebutuhan masyarakat secara umu. Muncul perlawana sabililah yang dikomnadani oleh musyid-mursyid tersebut adalah bukti dari kepedulian mereka memperjuangkan hak-hak umat. Tokoh dan ulama lain yang ramai didatangi para ulama asal Lombok adalah Syaekh Mustafa al-Afifi yang pakar dalam bidang hadis Nabi, Syaekh Syu’ab al-Magriby seorang ulama yang diakui memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu dan terutama ilmu-ilmu bahasa Arab (nahwu, saraf, balaghah, ‘arudh), Syaekh Ahmad Khatib al-Minagkabawi
2002 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future seorag ulama pembela mazhab Syafi’i yang menentang yang keras menentang ajaran yang dianggap menyimpang dari syari’at Islam. Tokoh lain yang menginspirasi para ulama nuasantara untuk berjihad melawan kaum kafir adalah SyaekhAbdul Shamad al-Palembâni. Motivasi yang diberikan al-Palembani dituangkan dalam karya monumentalnya Fadhâil al-Jihâd juga dalam surat-surat yang ditulis kepada para penguasa (penjajah) dan pera pangeran Jawa untuk melakukan perang suci melawan kaum kafir.16 Sikap yang sama juga diperlihatkan oleh Syaekh Daud alFâtâni yang memperkokoh konsep jihadnya dengan gaagasaan negara Islam. Negara Islam (dâr al-Islâm) harus berdasarkan al-Qur’an dan hadis, jika tidak, maka ia akan dinamakan negara kafir (dâr al-kufr). Dalam memberikan perlindungan atas Islam dan kaum Muslim, maka adalah kewajiban penting (fardh al-‘ayn) bagi setiap Muslim untuk berjihad melawan orang-orang kafir (kafr al-harby). Jika sebuah negara Islam diserang dan dicaploki orang kafir, kaum Muslim wajib memerangi mereka sampai meraih kembali kemerdekaan.17 Secara mazhab, terlihat bahwa ulam-ulama Lombok sangat mengutamakan pelaksanaan ajaran Islam menurut Mazhab Imam Syafi’i. Pengaruh mazhab ini diperkirakan masuk ke Lombok melalui Sumbawa sejak abad ke-17. Mereka para ulama tersebut, mendalamidasar-dasar dan praktek mazhab Syafi’iyah dari para ulama pembela mazhab tersebut. Ada beberapa argumen yang bisa dijadikan untuk menjelaskan kecendrungan tersebut; pertama, menekakan persamaan hak dan derajat. Bahwa sosio kultural telah membedakan manusia berdasarkan ketruruan, warna kulit dan bahasa serta kedudukan. Syariat agama yang disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan.. Kedua, adanya prinsip meniadakan kesempitan. Bahwa hukum yang dibebankan kepada manusia berada pada batas yang sanggup dikerjakan manusia. Cara untuk menghilnagkan kesemptan tersebut adalah dengan mebrikan rukhsah (keringatan) secara hukum. Kedua alasan utama di atas, berangkat dari realitas masyarakat Sasak yang tertekan baik secara sosial maupun politik. Masyarakat yang pola kenyakinan banyak dipengaruhi oleh ajaran anismisme dan dinamisme. Sementara itu secara sosio-politik sedang dikuasai oleh kerajaan Bali uyang banyk memberi tekanan dan intimidasi. Sisi lain yang menarik diangkat sebagai sebuah analisis adalah bahwa sejaka awal telah muncul kelompok diskusi teman sebaya dan seperguruan dan atau hubungan senior dan yunior yang dialami di Masjidil Haram tetap dipertahankan setelah para tuan guru tersebut kembali ke tanah air. Maka istilah “Guru Muda “ atau “ Guru Bajang” menjadi istilah yang berkembang baik ketika mereka berada di Tanah Haram maupun di daerah tetap dipertahankan. Seperti hubungan akrab dalam nuasa saling 16Azdyumardi 17
Ibid, 355
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah… hal. 360
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2003
ta’zim (saling hormat) antara TGH. Mustafa Sekarbale dengan TGH. Umar Kelayu. TGH. Umar sangat menghormati TGH. Mustafa Sekarbela kerena beliau adalah guru ngajinya di Lombok yang secara umur lebih senior. Demikian juga TGH.Mustafa Sekarbela snagat menghormati TGH.Umar karena keluasan ilmu dan ketawaadhua’annya walaupun secara umur lebih muda. Contoh lain adalah seperti penunjukkan TGH. Muhammad Shaleh Chambali kepada muridnya yang bernama TGH.Turmuzi untuk memimpin halaqah pengajian di krebung nya. Pola hubungan tersebut berlanjut dalam bentuk yang lebih besar antara TGH. Muhmmad Rais Sekarbela dengan TGH. Shaleh Chambali Bengkel serta TGH. Zainuddin Abdul Madjid banyak melakukan diskusi. Pesantren; Dari Lingkaran Diskusi ke Lembaga Pendidikan Usaha membumikan syariat Islam di Gumi Sasak secara sungguhsungguh dan lengkap seperti diuraikan sebelumnya telah dimulai sejak peruh akhir abad ke XVIII. dan kemudian semakin gencar melembaga setelah abad ke XIX. Upaya memasyarakat ajaran Islam ini terilhami oleh pengalaman yang didapi para tuan guru selama belajar pada halaqahhalaqah, majâlis al-tadrîs serta kuttâb-kuttâb yang ada di seputar masjid dan rumah-rumah guru. Demikian juga pertumbuhan yang sangat pesat dari ribâth-ribâth atau zâwiyyah-zâwiyyah yang berfungsi sebagai pusat-pusat latihan yang menampung dan membimbing para sâlik (mereka yang meneempuh jalur sufi). Jaringan yang membentuk ordo terekat-terekat. Berkenaan dengan tradisi ilmiah yang berkembang al-Harâmayndan realitas sosial keagamaan masyarakat, maka membuka kepekaan mereka melakukan pemberdayaan pegembangan masyarakat. Sebuah upaya memasukkan ajaran-ajaran Islam ( ulama ) ke dalam tata nilai masyarakat juga menanamkan pentingnya pengamalan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Maka mereka para ulama tersebut membentuk majlis-majlis ilmiah layaknya pengelaman yang didapati pada saat belajar di seputar masjid dan rumah-rumah para syaekh. Seiring dengan tututan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap ajaran agamanya, beberapa tuan guru yang pulang kemudian membuka halaqah-halaqah di tempat merteka tinggal. TGH. Mustafa Sekarbela misalnya setelah membangun masjid yang kemudian dikenal dengan “Basjid Benga’ kemudian membuka pengaajian-pengajian umum dan khusus yang berhubungan dengan ilmu bahasa al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya untuk memahami ajaran agama. TGH. Abdul Hamid(1827-1934) yang berasal Pagutan juga mendirikan lembaga pendidikan pertama dengan nama “Nurul Qur,an” yang didirikan pada tahun 1872. TGH. Muhammad Rais (1275 H/ 1855 M-1388H/ 1968 M) membuka halaqahdi rumahnya “Bale Tajuk”. Para penuntut ilmu yang datang ke majlis-najlis tersebut umum nya datang dari masyarakat sekitar
2004 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future atau daerah-daerah lainnya yang lebih jauh. Dan para guru yang mengajar adalah para ustazyang telah pulang dari tanah suci. Sistem belajar pada majlis-majlis ilmiah yang dibangunpara tuan guru tetap manjaga sistem halaqoh.Meraka yang datang belum mempunyai kelas,tidak menggunakan papan tulis,meja kursi,bahkan juga kurikulum yang pasti. Umumnya mereka belajar hal-hal yang sederhana mengenai dasar-dasar pengetahuan ajaran Islam seperti cara membaca Al-Qur’an sampai pada pengetahuan yang lebih rumit dan mendalam ( memahami alQur’an, tafsir, hadis, fikih, tasawuf) dan masalah-masalah lain,seperti hukum-hukum agama yang berkaitan dengan shalat,puasa,masalah sah atau bathil,masalah halal atau haram dan lain sebagainya. Pola pendidikan pada halaqah-halaqah ilmiah dan atau majâlis altadrîsyang pada awal mulanya bersifat sederhana lambatlaun mengalami perkembangan. Tuntutan untuk melakukan perubahan seiring dengan perubahan dalam dunia kehidupan (way of life) dan juga diskursus masyarakatpun mengalami perubahan. Sebab pada prinsipnya semnagat dan sistem pembelajaraan yang dikembangkan berorientasi kepada basis masyarakat (community based education). Lembaga pendidikan dalam hal ini berperan sebagai lembaga sosial yang senantiasa terlibat aktif dalam dinamika permasalahan masyarakat sekitarnya yang terus berproses menuju perbaikan dan penyempurnaan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa tuan guru sebagai playmekerdalam kehidupan sehari-hari hampir selalu menjadi rujukan dan perpustkaan yang ramai didatangi masyarakat yang tengah menghadapi problem untuk mendapaatkan jalan keluar atau memperoleh nasehat-nasehat keagamaan. Atas semangat dan tuntutan tersebut, maka praktik pendidikan dan pengajaran agama yang dijalankanoleh para tuan guru,pada mulanya menggunakan sistem tradisional atau non-formal secara bertahapdidorong oleh masyarakat dan juga orientasi dan kebutuhan stakeholders untuk mengikuti pendidikan moderen dan merubah sistem pembelajaran dari prrimitif dan tradisional menjadi lebih maju dan berkembang. Selain itu, bahwa kondisi masyarakat yang berada dibawah cengkaraman pemerintahan kerajaan Karangasem Bali(1740-1894) menggiring masyarakat pada suasana yang benar-benar berada dalam kesuraman dan kemunduran.Demikian pendudukan pemerintahan Belanda(1894-1942) di pulau Lombok,tidak membuat berakhirnya tekanan terhadap masyarakat Sasak,dan tidak mengubah kondisi pendidikan Islam yang berada dalam kemunduran dan kesuraman akibat tekanan-tekanan yang ada bahkan semakin mencekam. Atas kesadaran yang tinggi dari para tuan guru dalam melihat situasi umat Islam yang tidak kondusif, membangkitkan semangat perjunagn yang lebih besar melalui usaha penerapan pendidikan formal.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2005
Maka sejak akhir abad ke-19 mulai dirintis lembaga pendidiak yang lebih besar. Berkait keintiman dan kerukunan dalam bersahabat dan berdakwah para tuan guru dalam wadah bersilaturrahmi dan bermusyawarah satu dengan lainnya tentang berbagai hal yang perlu dilakukan untuk mensukseskan dakwah islamiyah.Oleh karena itu wajar jika merekakemudian dianggap sebagai panutan umat Islam di seluruh pulau Lombok,terutama oleh para santrinya yang setia dan tekun mengikuti jejak mereka untuk menyebarkan ilmu,khususnya ilmu agama. Abad ke-20 yang ditandai oleh kemerdekaan bangsa Indonesia dari tekanan-tekanan kolonialis merupakan momentum yang tepat yang membawa angin segar bagi pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan;formal non formal.Lembaga-lembaga pendidikan tersebut pada hakekatnya merupakan pengembangan dari pola halaqah/ krebungyang tumbuh berjalan pada abad sebelumnya.Krebung-krebung itu merupakan cikat bakal berdirinya pondok-pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang muncul kemudian,terutama pada abad terakhir ini. Beberapa lembaga pendidikan dalam bentuk pondok pesantren kemudian dirintis oleh para tuan guru. Di Bengkel Lombok Barat pada tahun 1916 TGH. Muhmmad Shaleh Chambali yang merupakan salah seorang murid Tuan Guru Umar dan telah belajar al-Qur’an pada yayasan Nurul Qur’an yang didiran olhe TGH.Abdul Hamid Pagutan, merintis yayasan perguruan dengan nama Darul Qur’an. Tidak jelas, apakah nama Darul Qur’an terinspirasi oleh Nurul Qur’an yang telah dibangun jauh sebelumnya. Namun yang jelas bahwa lembaga pendidikan yang dibangun sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Sasak yang ketika itu pengetahuan agama dan terutama al-Qur’an masih rendah. Maka, terdorong oleh pentingnya pemahaman awal tentang ajaran Islam harus dimulai dengan pengenalan al-Qur’an. Melihat antusiame santri yang tinggi terhadap pentingnya ilmu agama maka pada tahun 1950-an dibangun Sekolah Muallimin Darul Qur’an. Setelah menamatkan para alumninyam mereka didorong untuk melanjutkan studi ilmu agamanya ke Makkah al-Mukarramah dengan harapan setelah kembali akan membangun lembaga pendidikan dan dakwah di tempat mereka masing-masing. Mereka antara lain; TGH. Turmuzi Badrudinn yang mendirikan Pondok Pesantren Qmarul Huda Bagu, TGH. Mahsun mendirikan Pondok Pesantren Ittihadul Ummah di Danger Masbagik Lombok Timur, TGH.Nuruddin Nur Badrul Islam mendirikan Pondok Pesantren al-Ma’arif di Darek Lombok Tengah, TGH. Ahmad Asya’ri mendirikan Pondok Pesantren Hidayatuddarain dasan Geres Lombok Barat, TGH. L. Khairi Adnan mendirikan Pondok Pesantren at-Tamimi Berangsak Lombok Tengah. Di Kediri Lombok Barat muncul tiga serangkai; TGH. Abdul Karim pada tahun 1934 merintis berdirinya Krebung di halaman rumahnya.
2006 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Kemudian tiga tahun setelah kemerdekaan (pada tahun 1948) dilakukan pembenahan sistem dengan perintisan pendirian lembaga Pondok Pesantren dengan nama Pondok Pesantren Nurul Hakim. Kemudian pada tahu 1972 berdiri lembaga pendidika formal dan non-formal. Langkah yang sama dilakukan oleh dua bersaudara TGH. Mustafa al-Khalidi dan TGH. Ibrahaim al-Khalidi. Setelah keduanya pulang dari tanah suci Makkah selama 12 tahun sejak tahun 1928 sampai tahun 1940. Pada tahun 1946 atau satu tahun setelah kemerdekaan merintis berdirinya pendidikan non formal dengan nama Pondok Pesantren al-Ishlahuddiny. Kemudai pada tahun 1953 dirintis lembaga pendidikan formal; Sekolah Rakyat Islam dan pada tahun 1955 berubah nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah, pada tahun 1956 berdiri Madrasah Mu’allimin dengan masa belajar enam tahun, Madrasah Muallimat empat tahun serta Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). TGH. L.Abdul Hafiz pada tahun yang sama di Kediri mendirika Pondok Pesantren Selaparang. Para santri yang datang ke Kediri belajar kepada hampir semua tuan guru yang ada. Para taun guru tersebut menyusun jadwal pengajaran yang dapat diikuti oleh para santri tanpa menggangu jadwal yang lain. Sehingga memungkin mereka dalam satu hari pada pagi harinya belajar pada TGH. Abdul Karimm setelah itu TGH.Ibrahim atau TGH. Mustafa dan TGH. Abdul Hafiz atau sebaliknya. Para alumni yang menyelesaikan pendidikannya di Kediri ini pun didorong untuk melanjutkan ke Timur Tengah sehingga kelak setelah selesai dapat mebuka lembaga-lembaga baru atau melanjutkan tugas dakwah Islam. Mereka seperti; TGH. Mutawalli Yahya al-Kalimi (1921 M1984) dari Jerowaru Lombok Timur. Setelah menamatkan pelajaran di TGH. L.Abdul Hafiz, pada tahun 1945 berangkat ke Makkah alMukarramah. Setelah pulang dari Makkah ia berdakwah dengan metode “ngamari” mengajar masyarakat tentang dasar-dasaar praktek agama dari kampung-ke kampung. metode yang juga telah dilakukan oleh tuan gurutuan gur sebelumnya seperti TGH. Muhammad Shaleh Lopan, TGH. Ahmad Tretetet bin TGH, Umar, dan lainnya. Ia juga mendirikan pasar (seperti pasar yang terletak di Beleka Lombok Tengah) tempat terjadinya transaksi perdagangan. Dan yang sangat menonjol adalah bahwa ia merintis berdirinya pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren Darul Aitam Jerowaru Lombok Timur. saat ini dipimpin oleh putranya TGH.Sibawaih Mutawallli Yahya al-Kalimi. Di Lombok Tengah juga berdiri halaqah-halaqah ilmiah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya pesantren. TGH. Lopan kita-kira tahun 1924 merintis majlis-majlis taklim untuk mengajari masyarakatnya. Ia juga berkelinling ke seluruh pelosok pulau Lombok untuk berdakwah mengajarkan agama agama Islam. Dan di setiap tempat yang disinggahi ia bersama masyarakat selalu mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat ibadah dan mengaji persis seperti yang dilakukan Nabi Saw. dalam perjalanan hijrahya dari Makkah ke Madinah yang ketika samapi di daerah
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2007
perbatan: Quba, mendirikan masjid. Selanjutnya seiring dengan semakin besarnya gelombang jamaah yang datang menuntut ilmu maka masjislismajlis tersebut kemudian kelola dengan lebih intens dan kemudian menjadi inspirasi terbentuk lembaga pesantren; Pondok Pesantren al-Shalehiyah Lopan Lombok Tengah. Sementara itu di Kota Praya TGH. Najamuddin Makmun bersama saudaranya TGH. Abdul Hamid setelah pulang dari Tanah Suci Makkah pada tahun 1910 kenudian merintis berdirinya Lembaga pendidikan di Karang lebah dengan nama Madrasah Nurul Yakin. Setelah itu pada tahun 1971 merintis berdirinya pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren Darul Muhajirin. Langkah yang sama dilakukan oleh TGH.L. Muhammad Faisal. Setelah menempuh pendidikan dasarnya di Pondok Pesantren al-Ittihad al-Islamiyah Ampnan (1933-1937) kemudian melanjutkan ke Pancor di Madrasah Nahdlatul Wathan (1937-1942) selanjutnya belajar ke Makkah al-Mukarramah (1947-1951). Sekembalinya dari Makkah kemudian merintis Majlis Ta’lim Manhalul Ulum dan Madrasah Manhalul Ulum di Praya Lombok Tengah. Di Lombok Timur, TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada tahun 1935 merintis lembaga pendidikan yang bersifatnya tradisional menjadi modern dengan menerapkan sistem klasik sejak tahun 1937 dengan nama madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah dan pada tahun itu mendirikan Pondok Pesantren Al-Mujahidin yang didirikan di kampung Bermis Desa Pancor Lombok Timur. Pada tahun 1965 pesantren dengan sistem non-klasik kembali didirikan di Pancor,dengan nama”Ma’had Darul Qur’an wal Hadist” , sebagai lanjutan dari pondok pesantren Al-Mujahidin yang didirikan pada tahun 1934, Ma’had DarulQur’an wal Hadist merupakan pondok pesantren dengan pola salafi yang dimanaj sedemikian rupa, sehingga mengarah kepada sistem yang lebih modern. Dengan didukung kurikulum yang memadai dan diajarkan beberapa pengajaran umum seert ilmu jiwa dan lain-lain yang dianggap penting. Terinspirasi oleh keberdaan pesaantren-pesantren di atas, dan sejalan dengan tuntutan membangun masyakat yang islami maka keberadaan pondok-pondok pesantren dari tahun ke tahun terus meningkat. Pondok-pondok pesantren tersebut ada yang berafilisai dengan dengan pesantren-pesantren yang telah ada sebelumnya karena pendirinya alumni dari pesantren di atas, atau ada juga pesantren yang berdiri tidak terikat oleh dari mana pendirinya belajar. Demikian juga secara orientasi pengembangan kajian, masingmasing pesantren kemudian menawarkan bidang kajian tertentu yang menjadi pencirinya. Pondok-pondok pesantren yang ada di Sekarbela dan sekitarnya tetap mempertahankan cintra dan spesialisasinya dalam bidang ilmu-ilmu alat atau ilmu bahasa Arab (mengikuti kepakaran TGH. Mustafa, TGH. Muhammad Rai, TGH, Syafi’i, TGH. Mustafa Bakri). Di Pagutan berdiri Pondok Pesantren Darul Falah yang secara khusus para
2008 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future santrinya dididik dalam bidang tasawuf (tarekat). Sebab dalam sejarah panjangnya Pegutan telah menjadi icon dari ilmu tasawuf. TGH. Abdul Hamid, dan juga TGH.Muin Paguatan adalah pioner-pioner dalam bidang tasawuf ini. TGH. Abhar Muhyiddin adalah pelanjut dari ajaran tarekat ini, ia juga menjadi founding father dari pondok pesantren yang sekaran eksis di Pagutan. Di daerah Gunung Sari tepatnya di Kapek juga eksis pondok pesaatren Al-Aziziyah yang para santrinya disipakan menjadi hafiz dan hafizah (para pengahafal al-Qur’an). Pondok pesantren yang dirintis oleh TGH. Mustafa Umar setelah lama menimba ilmu di Makkah al-Mukarrah. Pendirian Pondok Pesantren yang bercirikan “tahfiz al-Qur’an”jauh sebelumnya tersinspirasi oleh nenek moyangnya. TGH. Umar ayah dari TGH. Musfata adalah murid dari TGH. Muhmmad Rais Sekarbela murid dari TGH. Mustafa Sekarbela dan TGH. Umar Kelayu. bahkan jauh sebelumnya tercacat dalam sejarah TGH. Amin yang tinggal di Gunung Sari tepatnya di Sesela adalah tuan guru yang menguasai ilmu-ilmu alQur’an di sampng sebagai seorang hafiz. Murid yang datang belajar kepadanya lebih ditekaankan pada penguasaan al-Qur’an. Di antara sederertan murid TGH. Amin Sesela ini adalah TGH, Umar. Kelayu yang kelak menjadi guru dari keturunannya. Dari seberaan yang saangat luas, dan pencirian yang menjadi bendera dari masing-masing pondok terebut muncullah tipologi-tipologi pesantren. Ada pesantren yang tetap mempertahankan tradisi lamanya menjadi “pesantren Salafi”18.dan ada pesantren yang mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Keragaman arah, orientasi dan terget pembelajaran, maka semakin memperkaya khazanah kajian dan spesialisasi yang memungkinkan para pencari ilmu untuk memilih pesantren sesuai dengan bakat dan kecendrungannya. Maka munculah persepsi umum dikalangan masyarakat; jika ingin belajar Nahwu dan ilmu-ilmu alat lainnya datanglah ke Sekarbela, jika ingin memperdalam ilmu-ilmu tasawuf dan terekat datanglah ke Pondok Pesantren Darul Falah Pagutan, jika ingin belajar ilmu-ilmu fiqih dan bahasa Arab datanglah ke Kediri, dan jika ingin bmenjadi hafiz-dan 18 namun demikian istilah” pesantren Salafi” masih terjadi perbedaan. kementerian agama memberikan bataasan tentang pesantten salafi sebagaai peesantren yang tetap mempertahankan tradisi lama; tidak menggunakan sistem classical, dan tidak tidak menggunkan kurikulim berdasaarkan SKB Tiga Menteri. Pasntren ini hanya menghunkan kitabkitan kuning (al-kutub al-shafra) sebagai materi pelajaran. Mereka kemudian diberikan kemudahan untuk mengikuti ujian paket A,B, atau C. dengan mengambil mataa pelaajaaraan-mata pelajaaran yang diujinegarakan (UN). Ada juga yang menyebutkan bahwa “pesatren salafi” adalaah pesaantren yang mengembangkan keilmuan-keilmuan yang sejarah lasung bersangkutpaut dengan “ulama salafi” yaitu ulama yang yang mempraktekkan trasi Nabi, Shahabat dan tabii’ (tiga generasi awal). Pondok pesantren tipe tekahir ini cendrung keras melihat praktek-praktek keagamaan yang tidak bersumber dari tiga generasi awal tersebut.Seperti pesantren As-Sunnah Bagek Nyake Lombok Timu, Pesantren Abu Hurairah Mataram, Pasantren Abu Zar di Kediri dan lain-lain.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2009
hafizah maka datanglah ke pondok Pesantren al-Aziziyah. Sebutan-sebutan tersebut tentu tidak secata eksklusif menutup diri dari ilmu-ilmu keagamaan yang lain. G. Kesimpulan Jaringan ulama al-Haramayn dengan masyarakat Sasak telah berjalan sejak abad pertama kelahiran Islam.Hanya saja jaringanyang terstruktur dan menguat pada akhir abad ke XVII memasuki paruh pertama abad XVII kemudian melembaga pada abad-abad berikut. Jaringan para masyayekh (para guru besar) di Masjidil Haram terbentuk melalui halaqah-halaqah ilmiah maupun diskusi antar para thullâb yang berlangsung secara alami. Intensitas pertemuan yang tinggi-kualitas dan kuantitas- telah meciptakan iklim ilmiah sangat kondusif yaitu dalam bentuk saling memberi dan membimbing (teman sebaya) sehingga muncul istilah “ guru muda” Munculnya polariasasi pembinaan guru-murid atau dalam istilah tasawuf“mursyid-murid” merupakan contoh rill dari iklim ilmiyah tersebut. Polarisasi bentuk komunikasi dan regenerasi tersebut memberi dapat yang jelas pada hal-hal;( 1) Pola interaksi pembinaan dan pengajaran setelah mereka pula ke tanah air; gumi Lombok. (2) Terbentuk nya komunitaskamunitas ilmiah yang antara satu dengan lainnya saling mengunjungi, saling membina dan bahkan berkontribusi silang bantu membantu membangun lembaga pendidikan seperti yang dilakukan oleh Tuan Guru Haji Muhammad Rais, Tuan Guru Muhammad Shaleh Chambali yang intensif bertukar pikir dalam berbagai persoalan umat. (3).Munculnya kecendrungan kajian dan orientasi pengembangan sesuai dengan bakat dan minat mereka, seperti kajian tasawuf, kajian tafsir-hadis maupun fikih,kajian ilmu alat (ilmu bahasa Arab); nahwu saraf. (4) pelembagaan sistem dalam bentuk lembaga pendidikan pondok pesantren. DAFTAR PUSTAKA Buku Anggara, Nasri Anggara, Politik Tuan Guru, (Yogyakarta: Genta Press, 2008) Azhar, L. M. dan L. M. Sholeh Tsalis, Tuan Guru Lopan: Waliyullah dengan Kiprah dan Karomahnya, (Lombok: Ponpes as-Sholehiyah, 2003 Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998) Bruinessen Martin Van, Kitab Kuning, (Bandung: Mizan, 1995
2010 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Gottschalk, Louis, Understanding History: a primer of historical method diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nugroho Notosusanto dengan Judul Mengerti Sejarah (Cet. IV; Jakarta: UI-Press, 1985 Hakim, Lukman, Perlawanan Islam Kultural Relasi Asosiatif Pertumbuhan Civil Society dan Doktrin Aswaja NU, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2004) Hasbullah Moeflich, Sejarah Sosial Intelektuali Islam di Indonesia, (Bandung; Pustaka Setia, 2012 Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1970-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan Guru), Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2011 Lukman H.Lalu, Pulau Lombok Dalam Sejarah Tinjaun dari Aspek Budaya ( departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2005) Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Yogyakarta: Rake Sarasain 1996) MuhsinM. Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik Tafsir Sosial Sufi Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mulyati Sri, “Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah tarekat Temuan Tokoh Indonesia Asli” Dalam Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia Sri Mulyati (et.al), Jakarta: Prenada Media, 2005 Redfield, Robert, Peasant Society and Culture, (Chicago: The University of Chicago Press, 1956 Sudirman, Gumi Sasak Dalam Sejarah, (Mataram: Yayasan Budaya Sasak Lestari, 2007 Suprapto, Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009. Suryanegara, Ahmad Mansur, Tarekat dan Masyarakat Studi tentang Tarekat dan Perubahan Sosial di Indonesia, dalam Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah, Sejarah, Asal Usul dan Perkembangannya, edit. Harun Nasution, (Tasikmalaya: IAILM, 1990 Syakur Ahmad Abd., Islam dan Kebudayaan Akulturasi Nilai-nilai Islam Dalam Budaya Sasak, (Yogyakarta: Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006 Taqiuddin Ahmad, Sejarah Singkat Terbentuknya Jam’iyah Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat dan Biografi Tokoh Perintisnya (Tuan Guru Haji Mustafa Bakri), 1999
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2011
Zakaria Fath., Mozaik Orang Mataram, (Mataram: Yayasan Sumurmas alHamidy, 1998 Disertasi, Penelitian, Makalah dan Jurnal Adi Fadli, Pemikiran Islam Lokal: Studi Pemikiran TGH. M. Soleh Chambali Bengkel al-Ampenani, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010. Muhammad Sa’i, Perlawanan Congah Praya Terhadap Raja Karang Asem Lombok (Analisis Latar Sosio-Historis Pemberontakan Praya Praya Tahun 1891 Dalam Babad Praya), Laporan Penelitian Pada Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan Dan Lirbang dan Diklat Kementerian Agama republik Indonesia 2011 Shohimun Faisol, H.L. dan Muhammad Sa’i, Peranan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Dalam Dakwah Islamiyah di Lombok, laporan Penelitian pada Lemlit IAIN Mataram tahun 2004 Sri Banun Muslim, HJ, Kemampuan Manajerial Tuan Guru Dalam Penyelenggaraan Pengajaran Bahasa Arab (Studi Kasus di Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok ), Disertasi Pada Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang Program Pascasarjana, Januari 1995 Tawalinuddin Haris, M.Hum, Sumber Penulisan Sejarah, makalah pada Diklat Penelitian Naskah sebagai Sumber Penulisan Sejarah , Puslitbang Kementerian Agama tanggal 16 Nopember 2010 Tjeptjep Suparman, M.Si, Pentingya Naskah Dalam pembentukan dan Pembinaan Budaya Nasional, makalah pada Diklat Penelitian Naskah Sebagai Sumber Penulisan Sejarah, Puslitbang Kementerian Agama RI, 2010 Informan TGH. Shafwan Hakim, Ketua Forum Kerjasama Pondok Pesantren NTB TGH. Syukran Khalidi Kediri TGH. Zulkarnain Bengkel Drs. H.L. Sohimun Faisol, MA TGH. Mustiadi Abhar Pagutan UST. Abdul Bari, S.Ag Papuq Siddiq Kelayu Jorong Lombok Timur
MEMBONGKAR HIDDEN AGENDA FUNDAMENTALISME ISLAM: DARI NALAR ARAB KE NALAR PRIBUMI Ahmad Lutfi, M.Fil.I Abstrak: Arus modernitas bangsa Barat ke berbagai belahan dunia, memicu reaksi dari tubuh umat Islam. Reaksi tersebut terpola menjadi tiga model pergulatan wacana pemikiran. Pertama, merujuk teks-teks dasar al-Qur’an. Kedua, merujuk seluruh tradisi yang muncul pada era kenabian sebagai bentuk aplikasi yang pertama. Ketiga, merujuk pada keseluruhan produk dari interaksi tripartit antara umat Islam, teks-teks keagamaan dan situasi yang melingkupinya. Kelompok yang pertama yang menjadikan teks-teks dasar alQur’an sebagai satu-satunya otoritas epistemologis disebut Islam fundamentalis. Kelompok kedua yang mencakupkan tradisi sebagai bentuk aplikasi yang pertama disebut Islam tradisionalis. Dan kelompok yang ketiga dengan pendekatan tripartitnya selanjutnya disebut Islam liberal. Makalah ini akan memberikan suatu koreksi terhadap desain pemikiran yang sudah mengglobal pada diri Islam fundemantalis dengan proyek universalisme Islamnya dan akan menggunakan model pendekatan studi Postkolonialis. Pembahasan dalam studi postkolonial ini akan dibagi menjadi lima sub pembahasan. Pertama, mengenali akar-akar hegemonik Islam fundamentalis. Kedua, penerapan travelling theory tahap pertama. Ketiga, penerapan travelling theory tahap kedua. Keempat menggambarkan bentuk identitas etnis pada Islam tradisional. Dan kelima, faktor problematika dari Islam fundamentalis dan Islam tradisionalis. Key Words: Universalisme Islam, Postkolonialis, Travelling Theory, Identitas Etnis
I.
Pendahuluan Pasca meletusnya tragedi pengebomam di Pentagon pada 11 September 2001 merupakan titik pemicu bagi bangsa-bangsa Timur dan Barat, tak ketinggalan bagi para bangsa yang hidup di Asia tenggara seperti Indonesia, dalam memberi makna baru setelah peristiwa tersebut. Makna baru itu adalah penegasan dari teoritisi sosial yang meramalkan akan adanya babak baru dalam sejarah dunia, yakni babak agama dan itu adalah Islam.1 Masalah modernitas dalam tubuh umat Islam, Dalam pergulatan wacana pemikiran untuk merespon kehadiranya, ada tiga model wacana ke1 . Ahmad Norma Permata (ed), Agama dan Terorisme (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006). Dalam buku ini diulas pembahasan tentang tema agama yang dikaitkan dengan persoalan terorisme dalam kacamata Barat dengan menggunakan perspektif sosiologis.
~ 2012 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2013
Islaman yang mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pertama, merujuk teks-teks dasar al-Qur’an. ke dua, merujuk seluruh tradisi yang muncul pada era kenabian sebagai bentuk aplikasi yang pertama. dan ke tiga, merujuk pada keseluruhan produk dari interaksi tripartit antara umat Islam, teks-teks keagamaan, dan situasi yang melingkupinya. Masingmasing corak pemikiran tersebut saling berhimpitan di tengah kehidupan berbangsa, dan tak jarang juga terjadi benturan dan saling menyingkirkan. Kelompok pertama seringkali mengambil posisi berhadap-hadapan, bahkan tak jarang sikapnya melawan terhadap kelompok ke dua dan ketiga.2 Islam pada kelompok yang pertama, adalah kelompok Islam yang merujuk pada banyak organisasi keagamaan, yang biasanya punya corak militan. Disebut militan karena mereka ingin menjadikan Islam sebagai pondasi satu-satunya dan ingin mengembalikan pada zaman sebagaimana Islam itu dilahirkan, Arab. Kelompok Islam ini selanjutnya disebut Islam fundamentalis atau puritanis. Sementara kelompok kedua, punya sikap yang moderat karena tidak mengharuskan Islam sebagaimana yang ada pada tipe yang pertama melainkan melakukan pengawinan dengan budaya setempat. Pada kelompok kedua ini selanjutnya disebut sebagai Islam tradisionalis. Sedang kelompok yang ketiga lebih berbau Barat karena adopsi terhadap perkembangan keilmuan Barat. Kelompok ke tiga ini kemudian disebut sebagai Islam liberal.3 Dari sisi ini, keberadaan “Islam tradisional” dan “Islam liberal” sebagai manifestasi Islam yang lahir dari rahim bumi Indonesia, yang merupakan hasil pergulatan pemikiran Islam pribumi, sedang mengalami masalah penting. Misalnya, Islam tradisional dianggap sebagai kurang Islami, campur dengan “lokalitas”, takhayul, bid’ah, khurafat dan kalau 2 . Tipologi wacana pemikiran ini saya pinjam dari Adonis yang nama aslinya Ali Ahmad Said. Ia menggunakan tipologi itu untuk menggambarkan pergulatan pemikiran yang terjadi di dunia Arab. Namun dari sisi relevansinya terhadap kajian ini, yang khusus mengkaji bumi tanah air Indonesia, masih ada. Misalnya untuk mengidentifikasi gerakangerakan politik berbasis ideologi agama yang cukup marak di akhir-akhir ini serta menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai otoritas epistemologi satu-satunya. Kemudian gerakan pemikiran yang menggunakan otoritas nalar (akal) dan juga tidak mengenyampingkan al-Qur’an dalam epistemologinya. Dan juga ada kelompok yang mengambil posisi tengah antara kelompok yang pertama dan yang kedua. Gerakan Islam dengan orientasi politik atau gerakan politik disebut sebagai Islamisme, sementara gerakan pemikiran yang menggunakan akal sebagai media untuk mencari kebenaran disamping juga al-Qur’an disebut sebagai Islam lokal. Mengenai tipologi pemikiran di atas lihat Adonis, AtsTsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-Itba’ ‘Inda al-arab yang sudah di terjemahkan ke bahasa Idonesia dengan judul Arkeologi sejarah pemikrian Arab Islam (Yogyakarta: LkiS Group: 2007), hal VIII. 3 . Istilah ini kami gunakan bukan dalam arti yang pasti dan tetap pada setiap golongan tapi hanya untuk kebutuhan sebagai alat bantu analisis. Adapaun beberapa praktek penggunaan alat bantu analisis ini kami dasarkan pada Charles kurzman, “Pengantar Islam Liberal dalam konteks Islaminya”, dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal; pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001) hal XIII.
2014 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future perlu harus diperangi dan di-Islamkan oleh Islam Fundamentalis. Sedangkan pada Islam liberal dianggap sebagai “sekuler”, pro Barat, kufur dan lain sebagainya. Diantara problem itu antara lain di berbagai wilayah seringkali terdengar isu tentang konflik dan ketegangan antar umat beragama.4 Di satu sisi, Muncul istilah sesat dan saling menyesatkan, pengkafiran antar kelompok, klaim sebagai Islam yang murni dan otentik. Di sisi yang lain, muncul alternatif-alternatif seperti pemberlakuan syari’at Islam, negara Islam atau khilafah Islamiyah. Dari kelompok Islam fundamentalis ini pemahaman tentang agama dibelah menjadi dua, yakni Islam yang selamat dan Islam yang tidak selamat alias kufur.5 Pengambilan sikap konfrontatif yang ada pada diri kelompok Islam fundamentalis ini, termanifestasikan dalam wujud gerakan-gerakan sosial berbasis agama yang kian menggurita di zaman modern ini.6 Atas nama kebenaran dan mengatasnamakan Islam, mereka ingin mengembalikan Islam seperti wujud asalnya sebagaimana seperti di zaman Nabi SAW.7 Alasanya, di zaman itu Islam telah menjadi supremasi, maju, menguasai, dan menang. Kemudian mereka memandang Islam hari ini sebagai Islam yang berada dalam keadaan kalah, tertindas, terbelakang, dan lainya dari 4 . Masalah konflik dan ketegangan antara beberapa kelompok agama yang terjadi dalam banyak kasus di tanah air Indonesia dan berpotensi terjadi letupan dan konfrontasi lihat kompilasi kasus-kasus konflik berbasis agama, Wahid Institut, Seri Agama dan Konflik 2; Agama dan Pergeseran representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institut, 2009). 5 . Istilah kufur dimaknai sebagai sekelompok orang yang tidak menerapkan alQur’an dan al-Hadits. Hal ini didasarkan pada pemahaman mereka bahwa posisi Rsul dalam kehidupan manusia adalah penyambung hubungan antara manusia dan Allah. Maka pengambilan satu hukum di luar apa yang telah diajarkan rasul dan al-Qur-an adalah kufur. Pemahaman ini selaras dengan ayat al-Qur’an yang artinya “barang siapa menghukumi tidak dengan hukum Allah maka mereka itu adalah kafir”. Dengan demikian maka negara juga harus berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber dari segala sumber hukumnya. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Nidlom al-Islam. Terjemahan dengan judul Sistem pergaulan Dalam Islam (Jakarta: HTI Press, 2006) hal 100-127. 6. Tentang model-model gerakan Islam yang menjadi trend di tahun belakangan ini, misalnya gerakan Islam transnasional. Diantara kelompok Islam yang tergabung dalam Islam transnasional ini antara lain PKS, FPI, FKAWJ, FUI, MMI, KPPSI, Laskar Jihad, HTI dan JI. Kemudian ada model gerakan Islam “non mainstream” yang masih tergabung dalam Islam Transnasional, seperti Ahmadiyah, dan aliran Islam dari Indonesia sendiri yang dicap sesat seperti, Salamullah dan al-Qiyadah al-Islamiyah. Lihat Ahsin Wijaya, Menusantarakan Islam; Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang tak Kunjung Usai di Nusantara (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), hal 141. 7 . Untuk gerakan Islam transnasional ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, adalah Islamisme, dimana orientasinya adalah menjadikan Islam sebagai ideologi (mabda’). Gerakan ini bersifat politik. Kedua, salafisme, dimana orientasi gerakanya bersifat permbersihan Islam dari tradisi lokal. Tipologi Islamisme dan Salafisme ini di dasarkan pada makalah pelatihan Ideologi yang diadakan oleh team Litbang NU cabang Ponorogo yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 Mei 2013 oleh Ahsin Wijaya, “Peta Gerakan Islam Di Indonesia”, hal 1 dan 2.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2015
cepatnya laju kemajuan peradaban Barat serta modernitas yang menyertainya. Gerakan konfrontatif oleh kelompok Islam fundamentalis, serta dia menganggap Barat dan proyek modernitasnya sebagai wajah kolonial, dan pada Islam lokal dianggap telah mengalami bid’ah, takkhayul, dan khurafat serta upaya menegaskan diri sebagai kelompok Islam yang paling otentik itu, mereka namai sebagai proyek kebangkitan.8 Sebenarnya ada aspek yang terselubung dalam kata “kebangkitan” ini. Aspek terselubung itu adalah pada diri para Islam fundamentalis, dia membagi antara “Islam pusat” dan “Islam pariferal”. Islam pusat adalah Islam yang ada di masa Nabi Muhammad SAW dan secara geografis berada di timur tengah. Jadi untuk menjadi bangkit adalah Islam harus kembali ke “arena pusat”. Sementara Islam yang berada di daerah pariferal adalah Islam yang mengalami marginalisasi, tidak asli, dan jauh dari tipe ideal. Singkatnya, Dengan aspek yang terselubung itu, proyek kebangkitan dimaknai sebagai gerak untuk meng-“universalkan” Islam yang “pusat” serta memberlakukan standaritas yang ada pada wilayah itu pada wilayah yang lain, termasuk di bumi Nusantara ini. Jadi Islam yang pariferal harus diberangus, diracik ulang, dan lebih penting lagi “dipusatkan”. Jadi, atas nama kebangkitan Islam itu, mereka ingin melakukan “pembakuan” atau membuat sebuah “pakem” terhadap diri umat Islam tentang “Islam otentik” yang akan melahirkan kebangkitan. Sementara Islam di luar mereka dianggap sebagai terbelit oleh sistem budaya Barat dan lokalitas. Sistem budaya tersebut dianggap sebagai sistem yang melahirkan takhayul, bid’ah dan khurafat dan oleh karena itu, sesat dan kalah. Umat Islam yang mengadopsi sistem kufur tanpa melakukan perlawanan sama halnya dengan kekufuran itu sendiri. Oleh karena itu umat harus dibebaskan dari hal yang membelenggunya, yang darinya, melahirkan ketertindasan dan kemunduran dihadapan Barat. Dalam kajian ini, akan diupayakan memberikan satu koreksi atas desain global yang mengatas namakan misi “kebangkitan” tersebut. Yakni, koreksi atas produksi pengetahuan dan juga standar kebenaran yang diarahkan pada komunitas Islam tradisional untuk mengikuti suatu desain
8 . Istilah “kebangkitan” seringkali dugunakana semenjak tahun 1970-an untuk menyebut gerakan Islam transnasional. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, adanya banyak kekecewaan yang melanda masyarakat terkait dengan ideologi yang dianut dan suksesnya gerakan-gerakan Islam transnasional dalam merebut masa dan menawarkan diri seolah tampil sebagai alternatif terhadap bobroknya ideologi-ideologi besar. Kedua, mereka sibuk dalam merespon inisiatif pihak-pihak lain sembari menawarkan aspirasi ganda kalangan profesional modern dan masyarakat muslim yang menghendaki partisipasi besar dalam proses politik untuk terwujudnya masyarakat yang Islami. Lihat John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim; Problem dan Prospek (Bandung: Mizan, 1999), hal 5.
2016 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future global dengan isu yang yang dibungkus dengan “universalisme Islam”.9 Misalnya, kecenderungan untuk mengarahkan umat komunitas Islam untuk menjadi muslim yang taat, bagaimana menjadi muslim yang ideal, otentik dan asli sesuai dengan Nabi, Qur’anik, yang tentu taat dan Qur’anik yang sesuai dengan selera mereka, dan seterusnya. Dan kalau perlu, umat Islam hari ini harus memerangi Barat yang kolonialis dan faham Islam yang mengabsahkan dan mengadopsi lokalitas lainya yang mengancam pemberlakuan “Universalisme Islam” tersebut. Namun dalam tulisan ini hanya akan mengarahkan pada koreksi pengetahuan Islam fundamentalis yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuannya, yang akan melakukan misi kebangkitan dengan mengusung konsep universalisme Islam.10 Kemudian menyandingkan konstruksi pengetahuan model Islam tradisional. Telaah terhadap konstruk pengetahuan Islam fundamentalis ini akan menggunakan pendekatan model studi postkolonialis dengan tujuan untuk memberikan suatu “identitas konseptual” terhadap makna hegemonik pada Fundamentalis Islam dengan wacana universalisme Islamnya dan “identitas etnis” pada Islam tradisionalis. Sedangkan sesi yang membahas Islam liberal tidak kami ulas karena untuk lebih memfokuskan pembahasan. Adapun pembahasanya akan 9 . konsep universalisme dalam hal ini tidak sama sebagaimana dalam Istilah Nurkholis Madjid, dimana penggunaan istilah universal dalam kaitanya dengan titik temu antara agama-agama Samawi dalam masalah inti ajaran yakni Tauhid. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2005), hal 425. Juga bukan dalam Istilah yang digunakan oleh Harun Nasution dalam buku Islam Rasionalnya, dimana konsep universal diartikan sebagai kenabian Muhammad yang diutus oleh Allah kepada semua suku di Arab. Kemudian dia mengaitkan universalitas itu dalam kaitanya dengan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh umat Islam, yang meliputi ilmu agama dan sains yang keberlakuanya bersifat universal serta beberapa ajaran dalam Islam seperti musyawarah yang juga dipakai oleh siapapun dan dalam tempat serta situasi apapun. Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), hal 32-34. Bukan pula istilah universal ini sebagaiaimana digunakan oleh Abdurrahman Wahid dalam konsepnya tentang “pribumisasi Islam”, dimana dia menggunakan istilah universalisme dalam kaitanya dengan manifestasi ajaran fiqh, akhlak, dan tasawuf yang menampilkan kepedulian besar terhadap kemanusiaan. Lihat Ahsin Wijaya, Menusantarakan Islam; menelusuri jejak pergumulan Islam yang tak kunjung usai di Nusantara... hal 164. Lihat juga Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolit: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institut, 2007), hal 3. Adapaun yang kami maksud dengan universalisme dalam hal ini adalah sebagaimana dipakai oleh Edward Said yang mengatakan,”the attempt to hold to universal and single standard as a theme plays an important role in my account of the intellectual. Or rather the interaction betwen universality and the local, the subjective, the here and now”. Lihat Edward Said,Representations of the Intellectual the 1993 Reith Lectures (New York: Vintage Books, 1996), hal xiii. 10. Istilah Universalisme Islam dalam hal ini adalah upaya kaum Islam fundamentalis dalam mengusung Islam awal yang ada pada zaman Nabi SAW untuk diUniversalkan dan dijadikan sebagai “pakem” namun dalam versi pengethauan mereka. Jadi pemakaian “me” pada istilah universalisme, yang umumnya pemakaian “me” itu terkandung makna ideologi, karena Islam awal yang diusung tersebut merupakan Islam awal dalam konstruksi pengetahuan Islam fundamentalis.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2017
dibagi dalam beberapa sub pembahasan. Pertama, akan mengulas tentang akar-akar hegemonik universalisme Islam. Kedua, penerapan traveling theory tahap pertama. Ketiga, traveling theory tahap kedua. Keempat, menggambarkan “identitas etnis” atau “etnisitas” dari bentuk kultur lokal. Dan kelima, problema antara otoritas Fundamentalisme Islam dan Islam tradisional. II. Mengenali Akar-Akar Hegemonik Dalam Wacana Universalisme Islam Dalam kajian postkolonialis, yang dipersoalkan adalah siapa yang menjadi subyek dan mengobyektifikasi siapa. Dengan teori poskolonial ini, “Islam tradisional” yang sering diperlakukan sebagai objek, kini berbalik memperlakukan “Islam fundamentalis” sebagai objek. Dalam wacana Islam fundamentalis, yang menjadi objek adalah Islam tradisional yang berada di tanah air Indonesia. Sedangkan dalam wacana postkolonial atau dekolonisasi ini, yang menjadi objek justru Islam fundamentalis atau Islam ala Arab itu sendiri. Menurut Tiffin dan Lawson, kolonialisme (seperti rekanya rasisme) adalah sebuah formasi wacana, dan sebagai ruang pengoperasian wacana maka ia mempertanyakan (interpellat) subjek-subjek kolonial dengan memasukkan mereka ke dalam suatu sistem penggambaran.11 Dalam mengkaji masalah Islam fundamentalis dengan misi kebangkitan dan mengusung pemberlakuan “Islam pusat” untuk diberlakukan dimanapun kami namakan sebagai proyek universalisme Islam. Dalam istilah ini yang menjadi fokus adalah wacana dan bukan realitas Universalisme Islam. Namun pada hakekatnya wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwa tersebut dimasukkan ke dalam narasi yang bisa dikenali oleh kebudayaan tertentu.12 Dalam prosesnya, kita mengkategorikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan susah keluar dari struktur diskursif yang sudah terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar dan secara sistematis batas-batas itu 11 . C.Tiffin dan A.Lawson, De-scribing empire, Postcolonialism and Textuality (London and New York: Routledge,1994), hal 3. 12 . Dalam masalah ini penulis terilhami konsep Ferdinan de Sausure, peletak dasar teori linguistik modern, tentang masalah signifiant dan signifie. Signifiant adalah ilmu tentang tanda dan signifie adalah konsep yang dimaksudkan dalam tanda. Ketika seseorang berbicara menunjuk pada suatu obyek tertentu maka yang dimaksudkan adalah konsep yang tergambarkan dalam fikiran sang pembicara. Jadi signifie adalah aspek mental dari bahasa. Maka ketika seseorang sedang bercerita tentang suatu fakta tertentu, maka sebenarnya yang diceritakan adalah gambaran konsep yang telah terpatri dalam benak fikiranya. Jadi gambaran tentang peristiwa yang dituturkan oleh sang pembicara bukanlah fakta apa adanya, tapi sudah mengalami proses pembentukan narasi cerita yang dibentuk oleh nalarnya. Lihat ulasan tentang pemikiran ferdinan de Sausure dalam Karl bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis jilid II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal 179-184.
2018 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future berbentuk sebuah episteme13. Melalui episteme itulah kita mengerti dan memahami suatu obyek dengan pandangan tertentu, dan tidak yang lain. Nah dengan episteme inilah kita melakukan obyektifikasi pada the other (liyan). Misalnya dalam Islam tradisional dikenal penerimaanya terhadap budaya lokal dan adat serta segenap ide-ide yang menyertainya seperti, ritual dan upacara adat serta pengawinan hukum Islam dengan adat setempat. Namun dalam Islam fundamentalis hal tersebut dipandang sebagai ide “mistis” yang harus dibendung dan dimurnikan. Ada cara pandang yang berbeda antara Islam tradisional dan dan Islam fundamental. Dalam pandangan Islam fundamentalis, ide budaya lokal adalah konsep yang menjadikan Islam tercampuri dan tidak murni, sementara ritual dianggap cacat karena menjadikan Islam tidak seperti asalnya. Segenap retorika dimantapkan yang berujung pada penolakan. Sikap-sikap dan pandangan yang berbeda dalam memandang obyek dalam kasus seperti itulah episteme bekerja. Dalam kajian wacana, yakni ketika wacana Islam murni dan otentik dalam Islam fundamental dimantapkan dalam tulisan, dia telah berubah menjadi teks yang berbicara dengan sendirinya tanpa merujuk pada situasi awal yang mengitari sekitar dirinya.14 Inilah yang disebut otonomi semantis dalam pandangan Paul Recoeur. Dengan kata lain, menurut Recoeur, teks kini memasuki dunianya sendiri dan dunia tersebut tidak dibatasi oleh referensi yang bersifat “ostensif”, yakni yang bisa diamati secara langsung sebagaimana ketika dua orang saling bertutur tentang suatu hal. Dalam teks tertulis,”the world is totality references opened up by texts”.15 Karena dunia teks adalah totalitas berbagai referensi, maka teks berbicara tentang dunia-dunia yang serba mungkin, termasuk cara-cara dan kemungkinan untuk mengarahkan dirinya (oneself) ke dalam dunia tersebut. Maka referensinya pun pada giliranya bersifat “non situasional”, yang wujud dan hidupnya membentang lebih lama dari rujukan lingkup kebudayaan aslinya dan sekaligus menawarkan dirinya “possible mode of being”.16 Maka disini kita berkenalan dengan level lain dari dunia teks yang justru lebih 13 . Eriyanto, (cet IV) Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogjakarta: LKiS, 2005), hal 75. 14 . Islam itu sendiri sebenarnya lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Yang saya maksud dengan Islam sebagai produk lokal adalah Islam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalanpersoalan yang berkembang di sana. Hal ini memang kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global. Lihat wawancara antara Abdul Munir Mulkan dengan Ulil Absor Abdala tema “Islam adalah Produk Lokal” yang muat di situs internet pada tanggal 14 April 2002 . 15 . Paul Recoeur, Hermeneutics and The Human Sciences: Essays on language, action, and intepretation (terj. John B. Thompson) (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), hal 177. 16 . Ibid.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2019
fundamental: a proposed world. Pada awalnya suatu wacana berbicara dan bertitik tolak dari sebuah realitas tertentu, namun ketika dimantapkan dengan teks tulisan, maka wacana tersebut lalu menampilkan realitas pada level kedua: realitas yang bukan hanya memutuskan dirinya dengan relaitas yang pertama tapi juga malah melangkah lebih jauh menciptakan realitasrealitas baru dan menciptakan dunianya sendiri. Ketika misalnya teks-teks universalisme Islam dalam wacana fundamentalis Islam lahir dalam realitas social kehidupan beragama di Indonesia, maka ia tidak berbicara tentang realitas tersebut apa adanya seperti zaman ketika agama itu muncul. Ia justru mereproduksi kembali secara diskursif. Dalam arti ketika berbicara tentang realitas yang pertama, yakni kondisi social dimana ia lahir, teks tidaklah berbicara melebihi kemampuanya dalam mencover detil-detil realitas tersebut: dalam proses perumusan wacana ia mengangkat satu sisi dan membuang sisi lainya, menonjolkan satu unsur disamping juga mendiamkan unsur lainya, mendahulukan aspek tertentu dan mengedepankan aspek lainya. Ketika di tangan sang pengarang maka ia mencerminkan kadar kemempuan sang pengarang untuk tunduk dan terikat pada hokum diskursif tersebut: mengangkat satu dengan membuang yang lain dalam rangka meyakinkan pembaca.17 Maka realitas yang di repro (realitas ke dua) pun pada akhirnya sudah jauh berbeda dengan realitas pertama yang umurnya lebih pendek dan cuma “sekali hidup” itu dibandingkan dengan realitas baru tersebut. Apabila wacana mengungkap pemikiran tertentu maka pemikiran tersebut juga tunduk pada proses diskursif: ada yang dibuang, ada pula yang diangkat, ada yang didiamkan, dan ada pula yang disebut-sebut. Itu berarti, pemikiran apapun yang diformulasikan dalam sebuah wacana, dan dalam suatu bahasa, pada akhirnya melibatkan unsur-unsur psikologi, seperti hasrat keinginaan, harapan, perasaan, was-was, dan takut. Elemen-elemen semacam inilah yang disebut Foucault sebagai bagian integral dari “its unity, its characterization and the laws of its formation” dari suatu wacana; singkatnya sebagai “its formative element”18 dan itu punya dampak besar bagi analisa atas Islam fundamentalis “constructs and deconstructs itself, tells and untells itself”. Dalam kontek membaca wacana Islam fundamental ini, kita bisa belajar dari Arkoun ketika melakukan pelacakan terhadap ide nalar Barat yang mengalami universalisasi pada nalar Eropa abad 19 yang ekspansionis ke negara-negara jajahan atas nama ”Misi Pemberadaban” (Civilizing 17 . Penjelasan tentang struktur wacana dan proses diskursif ini kami dasarkan pada Muhammaed Abed al-Jabiri, al-Khithob al-Arob al-Mu’ashir: Dirosath Tahliliyah Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirosah al-Wihdah al Arobiyah, 1992)cet IV hal 10-13. Buku ini merupakan penerapan metodologi analisa wacana dalam kontek pemikiran Arab kontemporer. 18 . Michel Foucault, The archeology of Knowledge; terjemahan A.M. Sheridan Smith (London: Tavistock, 1972), hal 68.
2020 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future mission)19. Arkoun menyebutnya, berpretensi obyektif dan standar bakunya dianggap normatif. Dengan kata lain, standarisasi dan obyektifikasi selalu dilekatkan dengan Universalisasi. Menurut Edward Said, the universal is always achieved at the expense of the native20 (yang universal selalu dicapai atas kerugian penduduk pribumi). Atau menurut Frantz Fanon, salah seorang yang menekuni kajian pos kolonialis, for the native, objectivity is always directed against him.21 Dalam pandangan kaum universalisme dan obyektifis ini, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general aplication) dimana tak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokal tertentu. Oleh karena itu, bicara tentang Islam sebagai obyek kajian yang dipakemkan di Eropa, diyakini bisa juga berlaku di negeri-negeri jajahan terlepas dari soal apakah apakah Islam yang ada di negeri jajahan itu berbeda secara praktis dari pengelaman yang dipakemkan di negeri seberang sana. Terinspirasi dari kajian Arkoun tentang praktek universalisme Barat terhadap Islam tersebut, maka bicara tentang akar hegemonic dalam Islam fundamental ini berarti, bila Islam di Arab bisa dipraktiskan di Afrika dan berlaku sama, maka hal serupa juga bisa terjadi Asia Selatan, dan juga Asia Tenggara. Singkatnya, bentuk universalisme Islam yang dipakemkan di Arab oleh Islam fundamentalis bisa juga berlaku sama di negeri negaranegara yang lain dan mengorbankan lokalitas sebagaimana telah berlakunya model ke-Islaman Arab di negeri-negeri yang lain. Dalam kajian tentang tema “subaltern”, dalam sub pembahasan postkolonialis, penting sekali untuk mengungkap tentang bagaimana subyek-subyek yang terpinggirkan itu berbicara atau bagaimana ideologiideologi bekerja dan diubah. Said menekankan pentingnya pemahaman terhadap “lokalitas” dari masyarakat yang terpinggirkan yang akan membawa kita untuk kritis terhadap teks atau produk pengetahuan yang dipakemkan untuk di universalkan.22 Kemudian konsep lokalitas itu 19 . Ahmad Baso (makalah), “NU Studies vis-a-vis Islamic Studies: Perspektif dan Metodologi Dari Oleh Dan Untuk Islam Indonesia Pasca 11 Septemer” hal 2. Lihat juga Muhammed Arkoun, “Islamic Studies: Methodologies”, dalam John L. Esposito, The Oxford Enciclopedia of the modern Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 1995), vol 2 hal 332-340. bandingkan dengan Richard C. Martin (ed), Approach to Islam and Religious Studies (Tucson: The University of Arizona press, 1985); Azim Nanji (ed), Mapping Islamic Studies: Geneology, Continuity and Change (Berlin: Mouton de Gruyter,1997). Ulasan yang lain mengenai bagaimana publik barat menggambarkan dalam bentuk yang negatif, lihat Mohammed Arkoun, (terj. Hasyim Shalih), Membongkar Wacana Hegemonik Dalam Islam dan Postmodernisme (Surabaya: Al-Fikr, 1999), hal 192. 20. Edward Said, Power, Politic, and Power: Interview with Edward Said (edited and with introduction by Gauri viswanathan) (London: Bloomsbury, 2005), hal 111. 21. Frantz Fanon, The Wretched of the earth (New York: Penguin Book, 1967), hal 77. 22 . Dalam kajian Said tentang Orientalisme, mengilhami sebagian ilmuwan postkolonialis untuk meluaskan penulisan tentang “sejarah dari bawah” dan “menggali” pengalaman-pengalaman mereka yang sampai saat itu telah “tersembunyi dari sejarah”.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2021
dituurunkan kembali pada pada konteks dan situasi lokalnya. Sebuah pengetahuan atau teori manapun menurut Said pasti muncul dari lokus tertentu dari konteks lokalitasnya. Ketika teori atau pengetahuan tersebut bermigrasi keluar, maka ia berpotensi untuk menjadi “pakem” dan berlaku hegemonik terhadap diluar dirinya. Dengan adanya pemahaman yang memadai akan pengetahuan lokal, maka Kekuatan dan maknanya bisa melemah. Singkatnya, dalam bentuknya yang sudah melemah ini, maka keberlakuanya ditentukan oleh sejumlah adaptasi, negosiasi, resistensi dan konstruksi baru di luar lokusnya semula. Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan ”teori travelling” atau ”kritik sekuler”23. Dalam pengertian yang lebih mendetail, bahwa dalam konsep ”traveling teori” nya Said, lokalitas bisa bermakna ganda. Di satu sisi, ia bisa dipakai dalam memahami pengetahuan dan teori sebagai bentuk yang terbatas dalam lingkupnya masing-masing, di sisi lainya ia bisa dipakai sebagai pisau analisis bagi pengetahuan yang telah mengalami pembakuan untuk di migrasikan menjadi Universal. Dalam contoh kasus misalnya, kalau saya menempatkan Taqiyudin an-Nabhani sebagai salah seorang Islam fundamental dan seorang yang melekat pada dirinya sebagai seorang universalisme, maka sebenarnya ia bukanlah universalis, namun ia seorang intelektual lokal dengan segenap keterbatasannya (teori traveling tahap pertama), kemudian saya menempatkan pemikiran Nabhani dalam konteks dimana dia dibatasi oleh segenap konstruk pengetahuan dan kuasa yang ada di sekitarnya. Sehingga pemikirnya tidak berlaku bagi kita karena kita sudah punya tradisi berfikir sendiri tentang politik dan kultur bangsa kita yang kemudian dari sana kita dialogkan, adaptasikan, dan juga kita pakai untuk mengintervensi maupun resistensi terhadap pemikiran an-Nabhani (teori traveling tahap kedua). Dalam bahasa yang lebih tajam, bahwa dengan ”teori traveling” atau ”kritik sekuler”, keduanya mencoret universalismenya Nabhani dan membatasinya pada waktu yang bersamaan. Misalnya, kalau ada suatu yang dianggap ”universal”, maka tentu ada yang ”tidak universal”, yang mengganggu terhadap pembakuan universalitas itu: seperti ”lokal”, ”etnik” dan juga ”komunal”. Dalam contoh yang sangat lokal misalnya konflik yang berbasis militansi agama ditemukan penyelesainya dengan ”kultur lokal” atau kembali pada identitas budaya lokal, seperti dalam kasus kerukunan umat beragama antara Islam dan Katolik di desa klepu kecamatan sooko kabupaten Ponorogo. Bukan dengan konsep ”universalisme Islam” Lihat Ania Loomba, Colonialism/postcolonialism; (New York: Routledge,2000) terj; Hartono Hadi Kusumo, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hal 298299. 23 . Edward Said, “Traveling theory”, dalam The World, The Text, and The Critic (London: Vintage, 1983), hal 226-247. Teori traveling juga disinggung oleh Nyoman Kutha Ratna (cetakan pertama) dalam Buku Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,2008).
2022 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future sebagaimana diusung oleh Islam fundamentalis. Dengan kata lain “Universal” tidak punya arti apa-apa dalam kehidupan keseharian masyarakat dalam persilangan identitas agama, budaya, dan etnik. III. Teori Traveling Tahap Pertama: Lokal episteme Islam Fundamentalis Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai tahap operasionalisasi tentang “travelling theory”nya Edward Said, maka dalam sub tema ini akan diterapkan dengan cara melakukan pembatasan sekaligus meletakkan konteks lokalitas dari Universalisme Islam ala Islam fundamentalis (tahap pertama). Kemudian pada proses selanjutnya akan didialogkan, diintervesi, bahkan resistensi terhadap wacana Universalisme Islam (tahap kedua). Pendekatan yang dipakai dalam tahap pertama ini, adalah strategi “pemilahan” antara “pengalaman masa kenabian” dan “wacana kenabian”.24 Pengalaman masa kenabian adalah bertumpu pada poros” kehadiran” sedangkan wacana kenabian bertumpu pada poros Nabi “dihadirkan”. Yang pertama hanya terjadi sekali seumur hidup dan dimensi waktunya relatif pendek; hanya terjadi pada masa Nabi masih hidup. Sedangkan yang kedua berlaku terus menerus selama hidup dan dimensi waktunya relatif panjang. Yang pertama Nabi hadir dan hidup serta punya suasana yang menggetarkan ke segala penjuru Arabia, sedangkan yang kedua setelah Nabi wafat dan kenabian “dihadirkan” demi kebutuhan adanya social enginering. Konstruksi pengetahuan universalisme Islam sebenarnya pada posisi yang ke dua ini. Ketika wacana itu tampil dalam bentuk teks, ia tentu sudah mengalami sekian bentuk seleksi sehingga penampilan wacana kenabian itu serba tampil “ideal” yang tentu selaras dengan misi tertentu: ada yang didiamkan, disebut-sebut, ditonjolkan, diulang-ulang bahkan ada yang diabaikan. Pada proses selanjutnya, muncul standarisasi tentang apa yang disebut produk pengetahuan yang sah, yakni tentang bagaimana mengangkat “Islam dan teks”. Islam haruslah bersumberkan dari al-Qur’an dan al-Hadits. Segala pengetahuan yang muncul diluar itu, seperti “kitab kuning” karya ulama-ulama klasik, merupakan produk pengetahuan yang dianggap local dan harus disingkirkan. Bahkan “kitab kuning” dianggap tidak mencerminkan sesuatu yang universal dari Islam. Ada pula yang melihat bahwa Islam dengan sumber “kitab kuning” itu sebagai agama 24 . Strategi “pemilahan” ini, penulis terinspirasi dari metodologi pembacaan Muhammad Abed al-Jabiri. Dalam menjelaskan metodologinya ada tiga konsep yang diperkenalkan, yakni Jam’ al-Qori ‘ an al-Maqru, kemudian Fashl al-Qori’ an al-Maqru’ dan washl al-Qori ‘an al-Maqru. Lihat al-Jabiri, Nahnu wa Turots; Qiro’ah Mu’ashirah fi turatsina al-Falsafi (Casablanca: al-Markaz al-Tsaqofi al-‘Arabi, 1986) cet ke V hal 12-50.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2023
bid’ah, khurofat, dan penuh takhayul. Ini berbeda jika yang ditemukan ádalah ayat al-Qur’an atau teks Hadits. Mereka akan mengangkat sekian makna dan tafsir. Sehingga memungkinkan menjinakkanya dalam berbagai bentuk rekayasa makna. Misalnya, jika seorang “Islam tradisional” menyebut ayat dalam al-Qur’an sebagai pembenaran demokrasi, maka akan segera dicap bahwa tafsiranya keliru, tidak Qur’anik dan tidak Islami. Maka kemudian akan dicari-cari tafsiran yang sesuai dengan hasrat mereka. Misalnya mereka mencari dalam Islam bahwa demokrasi itu bukan ajaran Islam karena kedaulatan terletak di tangan rakyat dan bukan dari Allah.25 Jadi, seperti itulah konstruk pengetahuan Universalisme tentang Islam, yang menurut pandangan studi postkolonialis disebut sebagai nalar hegemonik, berhadapan dengan “Islam tradisional” dalam tradisi keIslaman di tanah air kita. Menurut Walter mignolo, “Project of inter-connection from subaltern perspective and beyond the managerial power and monotopic inspiration of any abstract universal”26. Terinspirasi dari Mignolo, bahwa banyaknya karyakarya penulis dari para universalisme Islam dari Timur tengah, yang mencoba mengangkat dunia Arab di zaman Nabi sudah menjadi bagian dari kehidupan seharí-hari dari para pelajar, mahasiswa dan peneliti dalam rangka kerja-kerja konstruksi pengetahuan ke-Islaman kita. Hampir setiap hari sejumlah karya dari para penulis Timur tengah hadir hadir di tengahtengah komunitas Islam di tanah air kita ini. Apalagi isu seksinya sekarang mengaitkanya dengan soal “khilafah Islamiyah”. Dengan membludaknya orang yang menulis tentang ke-Islaman, maka posisi subyektifitas Islam tradisional sedang ditantang untuk secara kritis memahami konstruk pengetahuan yang sedang dan akan dimapankan. IV. Teori Traveling Tahap kedua: Wacana Universalisme Islam Dihadapan Lokal Islam di Tanah Air. Untuk memahami isu sentral ini, kita harus meneliti dulu hakekat isu itu sendiri. Hal ini karena terkait erat dengan masalah impian-impian akan kebangkitan yang sedang diupayakan untuk segera muncul di bumi tanah air ini. Dari “rahim” inilah konsep Islam fundamental dan Islam tradisional itu lahir. Singkatnya, bagaimana mengemas Islam untuk tetap “shohih li kulli zaman wa al-makan”. 25 . Taqiyudin An-Nabhani, Nidlom al-Islam( Peraturan hidup Dalam Islam). Terjemah oleh Abu Amin Dkk (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2006) hal 39. Tidak hanya ide demokrasi yang ditolak oleh para ideolog Islam ini, namun juga Nasionalisme, kapitalisme, Sosialisme, dan termasuk konsep negara selain negara Islam atau daulat Islamiyat. 26 . Walter D. Mignolo, Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledge, and Border Thinking (Princeton: Princeton University Press, 2000). Mignolo mengungkap kisah pertemuan kelompok gerakan komunitas Zapatista dengan kelompok Marxis dimana Zapata ditempatkan sebagai pusat dalam sejarah perjuangan mereka bersama. Seperti Gus Dur yang menempatkan pesantren dalam pusat sejarah bangsa.
2024 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Dalam kaitan dengan isu tersebut, sebenarnya ada unsur yang harus dikenali di dalamnya, yakni Islam tradisional adalah umat yang menganut dan mengamalkan ajaran serta tradisi yang diwarisi dari Islam zaman pertengahan.27 Dan Islam fundamentalis yang mengakui dan membenarkan serta berusaha mendakwahkan ajaranya melalui lingkup ruang-ruang akademik,28 yang mengasalkan pemahaman atas universalisme Islam itu dari corak pemikiran model Islam zaman Nabi yang penuh toleransi, pluralis, dan humanis. Pada Unsur itu mereka mengenut satu ideologi yang lahir dari masa itu, namun tetap hidup melintasi waktu sekian abad, kendati basis sosial dan kelas yang melahirkanya telah sirna. Universalime Islam telah dirumuskan menjadi aliran pemikiran tertentu yang lebih otonom. Dalam arti ia tidak menggambarkan sepenuhnya kenyataan sosial dan basis kelas yang mengitari para penganutnya hari ini. Dan tidak pula mencerminkan satu kepentingan kelas tertentu. Dalam kerangka inilah kita melihat otonomi relatif pemikiran yang sudah mencapai kadar seratus persen otonominya dengan realitas sosial. Dari gambaran tersebut, Islam tradisional dengan faham tradisionalitasnya di Tanah air kita tercinta ini, menganjurkan untuk mengambil sikap mempertahankan sekuat tenaga, bahkan kalau perlu sampai “berdarah-darah”, segenap warisan tradisi “salaf” masa lalu sebelum terjadinya “penyimpangan” di zaman pertengahan dan melakukan modifikasi-modifikasi serta mengambil hal yang baru dari modernitas, namun mengisinya dengan khas lokalitas yang sesuai dengan bumi tanah air (al-muhafadlotu ‘ala qodimi as-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).29 Sedangkan yang ke dua, yakni Islam fundamentalis dengan Universalismenya, berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik yang 27 . Kaum Islam lokal dalam hal ini adalah penganut dan pengamal ajaran ulama Salaf al-Sholih yang hidup pada generasi tabi’in dan tabiin at-tabi’in. Kemudian penjagaan atas tradisi ini terpelihara sampai sekarang, yang mana benteng utamanya adalah “pesantren”. Model pengajaran yang dipakai biasanya bersifat doktrinal-dogmatis yang terpusat pada figur Kiai yang kharismatik. Sedangkan Universalisme Islam terpusat di pendidikan kampus sebagai markasnya dan diajarkan dengan media lembaga dakwah kampus atau LDK. Lihat Ahmad Syafi’i Mufid, Perkembangan Faham Keagamaan Transnasional di Indonesia (Jakarta: Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2011) hal 115. 28 .Penyebaran ide universalisme Islam ini melelui media masjid-masjid yang ada di kampus-kampus umum dan agama. Kasus di surabaya, kampus yang sering dipakai adalah Universitas Air Langga UNAIR, Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan kampus berbasis Agama seperti IAIN. Pemilihan media kampus sebagai tempat penyemaian ide karena asumsinya bahwa para mahasiswa adalah kader yang dianggap mempunyai daya juang dan progresifitas sehingga ide tersebut bisa segera ditularkan kepada yang lain. Ibid 115-117. 29 . Qaidah ini telah umum dipakai oleh kelompok Islam tradisionalis dalam membumikan Islam di Nusantara. Adapun pengambilan Qaidah ini di kutip dari kitab yang menjadi kurikulum penting dalam pengajaran di pesantren. Lihat Imam Jalalu ad-Din ‘abd ar-Rahman Abi Bakr as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadloir fi al-Furu’ (Semarang: Toha Putra, tth).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2025
dapat menandingi Barat serta menggunakan legitimasi masa lalu Islam, dan mempersatukan keduanya untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Bila kita menafsirkan mekanisme alur pemikiran ini melalui gelombang-gelombang realitas sosio-historis yang melatarbelakanginya bisa dikatakan: ketika konflik terjadi antara “unsur lama” dan “unsur baru” dalam suatu masyarakat mencapai tingkat tertentu dalam perkembanganya, kekuatan-kekuatan sosial yang mewakili unsur baru ini berjuang demi tegaknya “yang baru” di atas “yang lama”. Ini dilakukan dengan mencari masa lalu, di masa kehidupan Nabi SAW, “prinsip-prinsip dasar” yang mereka tafsirkan dalam bentuk yang sesuai dengan nilai-nilai baru yang mereka perjuangkan itu.30 Pembacaan yang mereka lakukan atas “masa lampau yang jauh”itu tampak seakan-akan memberi dasar baru bagi “unsur baru” tersebut.31 Sementara masa kini, dengan segenap nilai-nilai dan metode berfikirnya, dibuat seolah-olah tampak sebagai sesuatu yang menyimpang dari “prinsip-prinsip dasar” di atas. Sehingga, “masa kini” tersebut dikritik, dicela, bahkan kalau perlu dikutuki hanya demi membangun sebuah masa depan, tapi atas nama masa lalu. V. Bentuk dari kultur lokal Islam Tradisional. Makalah yang singkat ini tentu tidak cukup untuk mengungkap dan menunjukkan secara menyeluruh masalah identitas etnis dan variasinya yang dimaksudkan dalam sub tema di atas. Namun ada satu tipe yang bisa saya jadikan contoh yang mungkin bisa menginspirasi kasus lainya tentang masalah identitas etnis tersebut.32 30 . Untuk lebih jelasnya bagaimana unsur-unsur baru diletakkan di atas unsur-unsur lama dalam beberapa karya penulis Timur tengah lihat beberapa karya, Taqiyudin anNabhani, Nidlom al-Islam, terjemahan Peraturan Hidup Dalam Islam oleh Abu Amin Dkk (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2006). An-Nabhani, Ajhizah ad-Daulat al-Khilafah (Beirut Libanon: Dar al-Ummah,2005). An-Nabhani, Nidlom al-Ijtima’ fi al-Islam cet ke IV (Beirut: Dar al-Ummah, 2003). Ahmad Da’ur, Naqd al-Qanun al-Madani (ttp: Tp,1990). Hizb Tahrir, Mafahim Siyasi li Hizbit Tahrir terj oleh Siddiq al-Jawi cet ke IV (Jakarta: HTI, 2005). Dan lainya yang tidak kami sebut disini. Beberapa buku tersebut sebagai contoh bagaimana unsur-unsur baru diletakkan di atas undur lama. 31 . Misalnya dalam tulisan an-Nabhani, Nidlom al-Islam...hal 9 Dalam buku tersebut dikatakan, “pemecahan yang benar terhadap masalah tidak akan ditempuh kecuali dengan fikr almustanir (pemikiran yang cemerlang) tentang alam, manusia dan hidup. Karena itu bagi mereka yang menghendaki kebanhgkitan dan menginginkan kehidupan pada jalan yang mulia (Islam) mau tidak mau mereka harus memecahkan problematika pokok tersebut dengan benar, yakni melalui berfikir cemerlang tadi. Pemecahan inilah yang menghasilkan akidah dan menjadi landasan berfikir yang melahirkan setiap pemikiran cabang tentang perilaku manusia di dunia ini serta peraturanperaturanya”. 32 . Kembali pada tradisi dan identitas cultural yang berbasis pada lokalitas dalam berteori ini terisnpirasi dari kajian studi post kolonialis yang dilakukan oleh Ania Lomba dalam bukunya Colonialism/postkolonialism..hal 298-299 yang diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo. Dalam kajian subaltern yang ada buku tersebut diungkapkan, “penting sekali
2026 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Bentuk konkret dari Islam tradisional adalah tampak dari sejumlah kiai yang ada di berbagai pesantren di segala penjuru bumi Indonesia. Kebesaran mereka tidak dilahirkan dari rahim perguruan tinggi atau lembaga pendidikan formal. Mereka adalah murid dari para kyai pendahulu dan berasal dari pesantren. Kebesaran mereka muncul dari hasil interaksi dengan masyarakat lokal dan hidup ditengah-tengah berbagai problem yang mengitarinya. Para kyai itu adalah “produk pribumi” yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Sikap dan gayanya yang khas adalah corak asli dari wajah Islam yang telah bertaut dengan kultur lokal. Cara hidup yang bersahaja, seperti memakai sarung, kopyah dan cara baca kitab kuning yang khas ala pribumi, polos dan apa adanya, kadang dianggap sebagai keluar dari normalitas dan batas-batas norma yang ada pada masyarakat modern. Dengan karakter khas kyai itu, ia menjadi penerjemah ke-Islaman yang sudah “dipakemkan” di Timur tengah untuk “diracik” agar sesuai dengan selera penduduk pribumi. Pada sisi yang lain mereka juga menjadi benteng bagi masuknya modernitas untuk “dimodifikasi” ulang agar modern tapi modernitas itu ala budaya pribumi. Jadi posisinya di tengahtengah antara ke-Islaman ala Timur tengah dan ke-modernan ala bangsa Barat, dalam kenyataan hidup masyarakat pribumi. Dari posisi dua arah ini, kiai merupakan hasil yang lahir dari rahim interaksi dengan masyarakat pribumi. Posisinya sebagai penerjemah dua arus, yakni Barat dan Islam yang ada di Timur Tengah. Misalnya cara kiai memberi makna demokrasi, dalam arus kemodernan yang dipakemkan di dunia Barat, dan mengisinya dengan praktek ritual istighosah akbar di senayan ala pribumi, yang merupakan jenis ritual dan ibadah yang telah mengalamai pengawinan antara ke-Islaman Timur Tengah dan pribumi, sesuai dengan pemahaman yang mereka miliki. Seperti halnya muncul dalam pergulatan krisis politik Indonesia dalam rangka reformasi menuju proses demokrasi, menjamurnya sejumlah elemen-elemen civil society yang menggerogoti otoritas negara, perebutan makna untuk tampil menjadi sang reformis dan demokratis antar kelompok sosial di masyarakat, semua orang menjadi mendadak kritis terhadap negara, Abdurrahman Wahid dengan gaya politik dan menuver yang sering dilakukanya melakukan aksi yang justru berlawanan arus dengan gelombang besar reformasi tersebut. Dia melakukan rekonsisiliasi dan komunikasi kultural pada elit politik yang jadi sasaran kritik semua elemen masyarakat.33 Apa maknanya? Ketika negara sangat represif terhadap untuk mengungkap dan menulis “sejarah dari bawah” atau menggali pengalaman-pengalaman kelompok yang “tersembunyi dari sejarah”. Penulisan seperti ini penting sekali untuk mengungkapkan dan memberi konsep yang jelas akan suatu identitas lokal. Jika gambaran lokalitas atau identitas etnis ini ditemukan dan bisa digambarkan akan bisa ditemukan pula konsep apa saja yang menghegemoninya. 33 . Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Pluralisme, dan Pribumisasi Islam (Yogjakarta: Kutub, 2010), hal 40-42.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2027
kebebasan masyarakat untuk berpendapat, dan semua elemen bangsa takut untuk berbicara kritis, Wahid membentuk forum demokrasi sebagai pendakwah kebebasan. Namun ketika kran politik dibuka dan kebebasan berpendapat diberi ruang, Wahid justru mendampingi presiden Soeharto yang menjadi sasaran kritik semua orang. Dalam gerak manuver itu seolah ada makna yang disampaikan bahwa “orang lemah harus didampingi walaupun dia memusuhi kita saat dia sedang berkuasa”. Inti dari tradisi keilmuan kiai yang disebut dimuka sebagai ”identitas etnis pribumi” adalah perpautan antara Tauhid, Fiqh, dan Tasawuf secara tidak berkeputusan. Dalam jangka panjangnya, akan mengikatkan antara dimensi duniawi dan ukhrowi. Yang paling sering diperdengarkan dari ungkapan para Kiai adalah ”hidup di dunia adalah sarana untuk mencapai kehidupan akhirat, dan akan kehilangan maknanya bila tidak diperlakukan seperti itu”. Pertautan antara dimensi dunia dan akhirat dalam tradsis keilmuan Kiai ini merupakan basis pertahanan untuk menghadapi tantangan sekularisme yang sudah terang-terangan yang ditimbulkan dari modernisasi. Pertautan dimensi duniawi-ukhrowi ini tidak memungkinkan pandangan dunia yang hitam putih dan penolakan mutlak pada kehidupan dunia. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan duniawi haruslah dijalani dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Pada figur Kiai inilah, “identitas etnis” budaya lokal itu ditemukan konsepnya. Sesuatu yang khas yang ada di tanah air kita. VI. Problema Antara otoritas Islam Fundamentalis dan Islam Tradisionalis di Tanah Air. Bila kita melakukan perbandingan antara dua kasus di atas, sebenarnya akan sangat rumit bila kita hanya memfokuskan diri pada analisis internal ke dua wacana tersebut, utamanya faktor-faktor formasi “diskursif” yang melahirkan konflik antara “unsur lama” dan “unsur baru” . Bahkan bisa jadi faktor internal wacana tersebut merupakan hal yang bersifat sekunder dan bukan faktor utama. Hal itu dikarenakan, wacana tersebut masih menapak pada proses pembentukanya, atau dalam kata lain masih pada proses “pra sejarahnya”. Bahkan bisa dikatakan faktor luar seperti invasi bangsa Eropa dalam berbagai bentuknya dalam aspek ekonomi dan sosial merupakan hal yang utama. Ancaman ekspansi ekonomi politik dan budaya dari bangsa Barat yang semakin menguat dan mengancam ditambah keadaan sosial ekonomi dan politik tanah air Indonesia yang semakin tidak jelas. Penegakan hukum yang tidak kunjung mendapatkan kepastian. Tingkat inflasi yang tinggi, kemiskinan, dan angka pengangguran tambah meningkat, pendapatan yang rendah, dan akses kebutuhan yang semakin susah untuk dijangkau. Dalam posisi ini ini Barat tampil menjadi dua muka sekaligus. Di satu sisi, ia mewakili sebuah permusuhan, dominasi, hegemoni, dan imperialis. Sedang sisi lainya, ia menampilkan diri sebagai sebuah kemajuan dan kemodernan dengan
2028 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future segenap nilai-nilai dan unsur materialnya, seperti tehnologi, demokrasi, kebebasan dan sebagainya. Di sini Barat bagi kita tak ubahnya seperti musuh yang harus diwaspadai, tapi di sisi lainya juga sebagai tauladan yang menggoda untuk diikuti dan dipanuti (sam’an wa tho’atan). Demikianlah peranan faktor asing pada level kesadaran dan pemikiran. Dominasi kehadiran faktor asing beserta perannya itu telah menjadikan menjadikan hubungan antara “unsur lama” dan “unsur baru” di tanah air kita ini menjadi tumpang tindih. Hubungan tersebut keadaanya lebih mirip seperti “jalan di tempat”. Faktor luar tersebut masih tetap dan akan selalu mempunyai peranan langsung dan bahkan menentukan dalam mempengaruhi pihakpihak yang saling bertikai. Di tambah lagi Barat itu sendiri juga menunjukkan dirinya menjadi “al-ashl”, dan sebagai otoritas acuan yang baru dalam bentuk yang baru. Dan acuan tersebut mengklaim dirinya sebagai bentuk yang sesuai bagi “masa depan”. Di sinilah konflik otoritas terjadi: sebagian merujuk ke otoritas “al-ashl” dari tradisi Islam masa lalu, sementara yang lain mengkampanyekan seruan berpegang pada otoritas “al-ashl” Barat sebagai kerangka acuan dan referensi. Bagi kelompok Islam fundamentalis, adanya bentuk kehadiran bangsa Barat di bumi tanah air merupakan bentuk problematika sendiri. Karena pada kenyataanya, tradisi “salaf” yang telah mendarah daging serta mengurat nadir tetap hidup dalam jiwa, perasaan, persepsi, ingatan, dan harapan-harapan mereka. Sehingga dengan datangnya peradaban Barat itu, mereka terasa seperti memikul beban tradisi yang selama ini hidup di dada mereka menjadi semakin berat dan menyesakkan. Akibatnya muncul reaksireaksi kelompok untuk menghadang invasi kaum asing itu. VII. Kesimpulan Dari pemaparan makalah ini maka ada beberapa hal yang bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, akar hegemonik dalam wacana Islam fundamentalis ini terletak dalam hidden agenda universalisme Islamnya. Sisi hegemoniknya adalah konstruksi pengetahuannya tentang bentuk nalar Islam Arab yang dipakai sebagai standar kebenaran dan memaksakan pemberlakuanya pada wilayah manapun serta mengabaikan aspek etnisitas budaya lokal yang menjadi karakteristik nalar pribumi. Kedua, dengan menggunakan travelling theory tahap pertama, proyek universalisme Islam oleh Islam fundemantalis tersebut pada hakikinya adalah lokal arab yang diusung untuk menjadi standar baku demi kebutuhan social enginering. Ketiga, pada tahap kedua dari travelling theory, adanya bentuk nalar yang saling berhadap-hadapan yakni antara nalar arab dan nalar pribumi.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2029
Nalar Arab adalah Islam fundamentalis dan nalar pribumi adalah Islam tradisionalis. Dari nalar pribumi ini Islam di bumi tanah air Indonesia menemukan khas Islam lokalnya dengan melakukan pengawinan terhadap kultur lokal dan sekaligus menolak terhadap keberadaan nalar Arab pada diri Islam fundamentalis. Keempat, konsep “identitas etnis” sebagai manifestasi dari nalar pribumi adalah kyai dan pesantrenya yang tersebar di segala penjuru tanah air dengan karakter khas yang dimilikinya. Kelima, faktor utama yang menjadi problematika antara Islam fundamentalis dengan proyek universalismenya dan Islam tradisional dengan lokalitasnya adalah adanya invasi Eropa dengan proyek modernitasnya yang telah memasuki segala dimensi kehidupan masyarakat. Adanya invasi ini memunculkan ide Islam dengan unsur baru dan mencoba menegakkan diri di atas yang lama. DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkan dengan Ulil Absor Abdala tema “Islam adalah Produk Lokal” yang muat di situs internet pada tanggal 14 April 2002 . Abed al-Jabiri, Muhammad al-Khithob al-Arob al-Mu’ashir: Dirosath Tahliliyah Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirosah al-Wihdah al Arobiyah, 1992) , Nahnu wa Turots; Qiro’ah Mu’ashirah fi turatsina al-Falsafi (Casablanca: al-Markaz al-Tsaqofi al-‘Arabi, 1986). Adonis, Ats-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-Itba’ ‘Inda alarab yang sudah di terjemahkan ke bahasa Idonesia dengan judul Arkeologi sejarah pemikrian Arab Islam (Yogyakarta: LkiS Group: 2007). Ahmad Baso (makalah), “NU Studies vis-a-vis Islamic Studies: Perspektif dan Metodologi Dari Oleh Dan Untuk Islam Indonesia Pasca 11 Septemer”. An-Nabhani, Taqiyudin Ajhizah ad-Daulat al-Khilafah (Beirut Libanon: Dar al-Ummah, 2005). , Nidlom al-Ijtima’ fi al-Islam cet ke IV (Beirut: Dar al-Ummah, 2003). , Nidlom al-Islam. Terjemahan dengan judul Sistem pergaulan Dalam Islam (Jakarta: HTI Press, 2006). Arkoun, Muhammad (terj. Hasyim Shalih), Membongkar Wacana Hegemonik Dalam Islam dan Postmodernisme (Surabaya: Al-Fikr, 1999).
2030 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Arkoun, Muhammad “Islamic Studies: Methodologies”, dalam John L. Esposito, The Oxford Enciclopedia of the modern Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 1995). Bertens, Karl Filsafat Barat Abad XX Prancis jilid II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996). C. Martin, Richard (ed), Approach to Islam and Religious Studies (Tucson: The University of Arizona press, 1985). C.Tiffin dan A.Lawson, De-scribing empire, Postcolonialism and Textuality (London and New York: Routledge,1994). D. Mignolo, Walter Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledge, and Border Thinking (Princeton: Princeton University Press, 2000). Da’ur, Ahmad Naqd al-Qanun al-Madani (ttp: Tp,1990). Eriyanto, (cet IV) Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogjakarta: LKiS, 2005). Fanon, Frantz The Wretched of the earth (New York: Penguin Book, 1967). Foucault, Michel The archeology of Knowledge; terjemahan A.M. Sheridan Smith (London: Tavistock, 1972). Jalal ad-Din ‘Abd ar-Rahman Abi Bakr as-Suyuti, Imam al-Asybah wa anNadloir fi al-Furu’ (Semarang: Toha Putra, tth). Kurzman, Charles (ed), Wacana Islam Liberal; pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001). Kutha Ratna, Nyoman (cetakan pertama) dalam Buku Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,2008). L. Esposito, John dan John O. Voll, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim; Problem dan Prospek (Bandung: Mizan, 1999). Loomba, Ania Colonialism/postcolonialism; (New York: Routledge,2000) terj; Hartono Hadi Kusumo, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogjakarta: Bentang Budaya, 2003). Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2005). Nanji, Azim (ed), Mapping Islamic Studies: Geneology, Continuity and Change (Berlin: Mouton de Gruyter,1997). Nasution, Harun Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996). Norma Permata, Ahmad (ed), Agama dan Terorisme (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006). Recoeur, Paul Hermeneutics and The Human Sciences: Essays on language, action, and intepretation (terj. John B. Thompson) (Cambridge: Cambridge University Press, 1984).
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2031
Said, Edward Power, Politic, and Power: Interview with Edward Said (edited and with introduction by Gauri viswanathan) (London: Bloomsbury, 2005). , Representations of the Intellectual the 1993 Reith Lectures (New York: Vintage Books, 1996). , The World, The Text, and The Critic (London: Vintage, 1983), hal 226-247. Syafi’i Mufid, Ahmad Perkembangan Faham Keagamaan Transnasional di Indonesia (Jakarta: Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2011). Tahrir, Hizbi Mafahim Siyasi li Hizbit Tahrir terj oleh Siddiq al-Jawi cet ke IV (Jakarta: HTI, 2005). Wahid Institut, Seri Agama dan Konflik 2; Agama dan Pergeseran representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institut, 2009). Wahid, Abdurrahman Islam Kosmopolit: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institut, 2007). Wijaya, Ahsin Menusantarakan Islam; Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang tak Kunjung Usai di Nusantara (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012). , “Peta Gerakan Islam Di Indonesia”. Zainal Arifin Thoha, Zainal Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Pluralisme, dan Pribumisasi Islam (Yogjakarta: Kutub, 2010).
Rekonstruksi Metodologis Wacana “Keadilan Gender” Dalam Prespektif Intelektual Muslim Kontemporer Tsuroya Kiswati1 Abstract: This article wants to depict on reinterpretation about gender justice. Most of the traditional Moslem Intellectuals interpreted women injunctions in the al-Qur’an and Sunnah into bias and prefered to descredite women than gender justice. That is because they lived in the patriarchal societies whose doubted that men as the first creatures have superiority grade, and women as the second sex have only inferiority grade and they must be subordinated. Based on the other injunctions in the al-Qur’an, Contemporary Moslem Intellectuals want to give women the same grade with men such as equally, equity, freedom, justice and others of human rights. They offer to change method in understanding of al-Qur’an and Sunnah into methodological reconstruction until we have same interpretation with the principals that descripted by God in His holly book as a true guidance for human life Keywords: Keadilan gender, rekonstruksi methodology, Intellektual , Muslim Kontemporer.
Pendahuluan Hasan Hanafi mengkritik sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa “Islam itu one close moment in the history”. Bahwa zaman peradaban klasik Islam (zaman keemasan) dianggap sebagai puncak peradaban, prestasi dan keilmuan Islam yang takkan terulang dalam sejarah. Persepsi semacam ini menurutnya, merupakan kontra produktif sebab akan menggiring umat Islam untuk bersikap apologetic, hanya melakukan reproduksi, transmissi, imitasi dan romantisme terhadap masa lalu sejarah umat yang gemilang tanpa berupaya membangun dan menciptakan gebrakan dan terobosan baru, pengembangan dan penemuan dimensi lain dalam sejarah yang belum terungkap.2Sikap seperti ini terjadi sebab yang diambil hanya produk dan bukan metodenya yang diadopsi secara apa adanya (taken for granted). Yang diadopsi hasilnya, bukan proses, bukan cara berpikir dan bukan metodologi yang dipakai untuk menghasilkan produksi tersebut. Pendapat senada dikemukakan Shahrour. Hal yang cukup menarik dari petualangan intelektualnya adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap kajian 1
Dosen Guru Besar Fak. Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Seperti yang dikutip M. Agus Nuryatno dari diskusi dengan Hasan Hanafi yang diadakan Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2001.Lihat Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Studi atas Pemikiran Asghar Ali Engineer, (Jakarta: UI Press.,Cet. I, 2001), hal. 1. 2
~ 2032 ~
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2033
keIslaman. Menurutnya, umat Islam sekarang terpenjara dalam kerangkeng kebenaran yang diterima apa adanya (musallamatihi> al-mawru>thah) yang seharusnya dikaji ulang. Kebenaran terbalik, seperti sebuah lukisan yang digambar dari pantulan kaca cermin. Semuanya terkesan benar padahal hakikatnya salah.3 Sejak periode era pertengahan sampai awal abad duapuluhan, muncul berbagai upaya pemikiran yang mencoba meluruskan kesalahan ini dengan menampilkan Islam sebagai akidah dan tata cara hidup . Tetapi sayang, karena upaya itu tidak menyentuh persoalan yang mendasar, bahwa akidah seharusnya dikaji secara filosofis, upaya tersebut tidak mampu mengurai dilemma pemikiran yang sebenarnya.4 Hal ini terbukti dengan dilakukannya berbagai macam sharah{ dari kitab-kitab produk zaman klasik, terutama di zaman pertengahan tanpa berupaya menciptakan produk baru yang memadai sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman yang dinamis. Mereka menjadikan hampir seluruh produk zaman klasik sebagai model yang harus diikuti tanpa boleh melakukan dekonstruksi atau reinterpretasi sedikitpun juga. Produk fikih, usul fikih, tafsir, ilmu tafsir, ilmu hadis, sharah hadis dan konsep-konsep keagamaan lainnya- hasil produksi zaman klasik- dianggap sebagai pedoman baku yang tak seorangpun diperkenankan merubahnya sedikitpun. Seseorang yang mencoba melakukan reinterpretasi terhadap muatan keagamaan ini dianggap sebagai seorang yang ingin menggulingkan system bangunan kokoh dan mapan yang dibangun dengan susah payah oleh kalangan intelektual par excellence di zaman keemasan Islam. Produk keagamaan masa lalu dijadikan semacam dogma yang tak terusikkan oleh siapapun di mana seluruh umat Islam diharuskan menganggapnya sebagai kitab petunjuk yang harus diterima apa adanya tanpa boleh dipertanyakan lagi. ‘Abed al-Jabiri berpendapat sama dengan Hasan Hanafi, bahwa kemunduran umat Islam lebih banyak diakibatkan sikap romantisme dan menjadikannya model idealisme yang berlebihan terhadap masa lalu. Hal semacam terjadi pada pengembangan fikih, teologi bahkan bahasa ‘Arab harus selalu berpedoman pada masa lalu. Yang pertama (produk masa lalu) disebut sebagai pokok (us{ul) dan yang kedua (pengembangan selanjutnya) hanyalah cabang (furu’). Yang furu’ harus berkiblat dan dikembalikan pada yang us{ul. Dalam perkembangan bahasa ‘Arab misalnya, dengan dalih menjaganya dari kesalahan ucapan (lah{n) mereka selalu bercermin pada masa lalu (Jahiliyah) dengan menjadikannya (bahasa ‘Arab Badui)- yang menurutnya tidak terjangkau dan tidak terkontaminasi oleh dinamisasi dan perubahan zaman- sebagai patokan baku yang tidak dapat diganggu gugat. 3 Muhammad Shahrour, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n, Qira>’ah Mu’a>s{irah (Damaskus: Al-Ahali, 1990), hal. 29. 4 Ibid., hal. 29 -30.
2034 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Cara berpikir seperti ini disebut Al-Jabiri sebagai “nalar ‘Arab”5, yang harus didekonstruksi dan bahkan didestruksi. Produk masa lalu selalu dianggap valid, baku bahkan lebih jauh dianggap “dogma” yang tak tersentuh oleh perubahan apapun bentuknya. Menjadikan imitator produk peradaban dan kebudayaan masa lalu menciptakan umat Islam dalam kondisi ketergantungan yang rigid, tidak berdaya dalam menantang perubahan, dinamisasi zaman dan modernisasi yang senantiasa menerpa setiap saat. Melawan modernisasi hanya dengan mengandalkan produk masa lalu tanpa mempersiapkan diri melengkapinya dengan senjata yang ampuh, mengantarkan kehidupan umat ke dalam kehidupan yang rapuh, mengalami krisis multi dimensional yang mengarah pada kehancuran total. Cara berpikir demikian menjadikan umat Islam malas berpikir yang mengakibatkan dunia Islam pasca periode klasik mengalami stagnasi yang mengerikan, setelah mereka begitu progressif di zaman klasik. Kemunduran ini tidak saja hanya diakibatkan oleh cara berpikir di atas. Banyak faktor penunjang yang membantu lajunya kejatuhan umat Islam ke jurang kebodohan yang fatal. Disinyalir oleh banyak kalangan, di antara penyebab kemunduran berpikir umat Islam karena proyek besar produk Al-Ghazali “Maqa>s{id alFala>sifah” Tahafut al-Fala>sifah” dan “ Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n” ketika ia mengkritik habis-habisan produk filosuf muslim zaman klasik semacam Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina dan menghimbau umat Islam untuk meninggalkan cara berpikir al-burha>ni> (filsafat) dan menghidupkan kembali ilmu agama yang berpijak pada cara berpikir al-‘irfa>ni>.(tasawuf). Al-Ghazali menegaskan, ilmu yang benar datang dari Tuhan lewat intuisi manusia dan tidak membutuhkan argumen rasional:6 ألSejak itu, umat Islam di hampir seluruh belahan dunia terbius oleh hidup kesufian dengan membentuk berbagai organisasi tarikat.dan meninggalkan dunia intelektual yang dulu di zaman klasik menjadikannya sebagai nafas, spirit perubahan dan kreatifitas umat dalam merespons segala kebutuhan zaman dan masyarakat yang dinamis untuk mencari solusi problematika yang muncul. Faktor lain yang mengakibatkan kejatuhan umat Islam ke jurang kemunduran adalah disintegrasi politik yang memecah belah kekuatan dunia Islam menjadi berkeping-keping yang berujung pada jatuhnya kota Baghdad –ibukota dan pusat peradaban dan kebudayaan dunia Islam- ke tangan bangsa Mongol Jengis Khan pada tahun 1258M. Mereka membakar mayoritas karya besar produk intelektual muslim zaman klasjk. Faktor internal dan eksternal menjadikan dunia Islam membayar mahal dengan 5
Abed al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi>, (Beirut, Libanon: Markaz Dirasat al-‘Arabiyah, Cet.VII, 1998), hal. 80 – 81. 6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IV, 1985), hal. 43 – 44.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2035
kejatuhannya ke jurang kebodohan dan ketertinggalan yang paling dalam dan sulit bangkit kembali seperti masa lampau. Berawal dari abad 18 M., umat Islam berupaya mengejar ketertinggalannya dari Barat yang berada di ujung paling depan. Dimulai dari gebrakan M. Ali, Pasya Mesir yang sadar akan ketertinggalan Islam ketika dikejutkan oleh invansi Perancis ke Mesir di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte dengan membawa segudang perangkat alat perang, percetakan dan hasil teknologi modern lainnya. Segera ia mengirim utusan ke Perancis untuk mendalami science dan teknologi modern. Upaya ini dilanjutkan Rifa’ah al-Tahtawi dan para pemikir era modern di hampir seluruh dunia Islam. Pembaharu Mesir: Jamal al-Din al-Afghani, ‘Abduh, Mustafa Kamil, Sa’d Zaghlul, Rashid Rida, Jamal ‘Abd al-Nasir, Qasim Amin, ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Mustafa ‘Abd alRaziq, ‘Abbas Mahmud al-’Aqqad, Husein Heykal, Taha Husein. Pembaharu Turki, Pakistan dan India: Ameer ‘Ali, Ahmad Khan, Iqbal, Abu al’-A’la al-Maududi, Abu al-Kalam Azad, Zia’ Gokalp, Mustafa Kemal Attaturk.7 Pembaharu abad kontemporer bermunculan dengan berbagai metodologi cara berpikir yang ditawarkan seperti: Arkoun, Fazl al-Rahman, Hasan Hanafi, ‘Abed al-Jabiri, Sa’id al-‘Ashmawi, Al-‘Imarah, Asghar ‘Ali Engineer, Fatima Mernissi, Amina Wadud, ‘Ali Shari’ati, Isma’il al-Faruqi, Nasr Hamid Abu Zaid, Shahrour, Husein Nasr, Mahmoud Mohamed Taha, ‘Abd Allah al-Na’im, ‘Abd Allah Laroui, Tabataba’i, ‘Ali Harb, Yusuf alQardawi, Nawal El-Sadawi dan lainnya. Problematika gender merupakan satu contoh dari bentuk modernisasi yang mencuat ke permukaan sebagai salah satu tantangan umat untuk menjawabnya secara responsive. Ketidak-mampuan umat (Islam) dalam merespons tantangan itu terutama disebabkan karena kemiskinan metodologis mereka dalam menterjemahkan sumber-sumber ajaran agama, yang sesungguhnya selalu hidup, kreatif, aktif dan dinamis. Konsep Rekonstruksi Metodologis dalam Islam.Era Kontemporer Intelektual muslim era kontemporer berupaya mengejar ketertinggalan umat Islam dalam menterjemahkan pesan al-Qur’an dan hadis dengan merekonstruksi dan bahkan mendekonstruksi metodologi guna membentuk wacana baru yang berorientasi pada kebutuhan umat. Mereka memandang, hampir sebagian besar produk fikih zaman klasik sudah tidak layak digunakan merespons problematika umat masa kini dan di sini, yang kian hari kian memprihatinkan akibat dinamika dan perubahan zaman. Pendekatan ini sering dipergunakan para intelektual muslim kontemporer khususnya alumni Barat, seperti Arkoun, Fazl al-Rahman, Shahrour, Sa’id
7
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 34, 42, 51, 58, 68- 69, 77- 88, 135
2036 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future al-‘Ashmawi, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin dan lain-lain. Muhammad Arkoun menawarkan descontruction dan reconstruction. Berangkat dari “Al-Risa>lah” produk Al-Shafi’i dan “Ihya>’ ‘Ulu>m alDi>n” produk Al-Ghazali- kedua kitab ini memproklamirkan metodologi baru dalam memahami teks,, Arkoun memulai pembahasannya tentang metodologi yang ditawarkan.8 Kedua buku ini mengilustrasikan inisiatif intelektual dengan mengintegrasikan disiplin, pengetahuan dan sejarah baru dalam melihat Islam, sebagai agama yang sarat dengan muatan nuansa spiritual dan sekaligus visi kesejarahan tentang eksistensi manusia.9 Namun teori yang ditawarkan untuk selalu kembali pada sunnah dan ajaran pokok (us{u>li>) terjebak dalam kerangkeng berpikir Islam yang semula thinkable pada masa klasik, berubah menjadi unthinkable dan the not yet thought. Kejumudan berpikir ditopang oleh usaha pengumpulan ayat al-Qur’an yang dikodifikasikan dalam satu bentuk mushaf ‘Uthmani, sebab al-Qur’an digunakan melegitimasi kekuatan politik dan untuk menyatukan umat.10 Islam diasumsikan sebagai system berpikir spesifik, essensial dan tak terubahkan. Muncul distingsi antara muslim-non muslim, Islam lebih tinggi kedudukannya dari agama lain. Defenisi rigid seperti itu ditambah metode warisan teologi dan metaphisik klasik menjadi kendala bagi studi keIslaman yang progresif. Sejarah agama mengkoleksi fakta dan menggambarkan bermacam agama lain, tetapi agama sebagai dimensi universal bagi eksistensi manusia tidak didekati dengan prespektif epistemology yang relevan.11 Arkoun cenderung melakukan pendekatan sejarah, sosiologi, anthropologi bukan untuk mengingkari eksistensi teologi dan filsafat, tetapi lebih untuk memperkaya nuansa kesejarahan dan kondisi sosial objektif di mana Islam dipraktekkan. Strategi dekonstruksi adalah dengan melakukan kritik epistemology modern. Rasionalisasi harus bebas dari kungkungan ontology, transendentalisme dan substantialisme, khususnya yang diproduk oleh berbagai teologi yang dielaborasi dari logika dan metafisik Yunani.12 Dalam membaca dan memahami al-Qur’an, Arkoun memilih epistemology yang diperkenalkan linguistic dan semiotic modern. Dengan meminjam gramatikal dan leksikographi yang dikoleksi penafsir era klasik, Arkoun menerapkannya untuk membaca surat al-fa>tih}ah. Arkoun mengakui akan muncul berbagai problema yang harus dicari pemecahannya, sebab Islam mengatur kehidupan individual dan kolektif.13 Pembacaan model ini 8
Charles Kurzman, Liberal Islam, hal. 207. Ibid. 10 Ibid., hal. 214. 11 Ibid., hal. 206. 12 Ibid., hal. 207. 13 Ibid., hal. 207 – 208. 9
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2037
memerlukan suatu deskonstruksi pemikiran sehingga logosentrisme yang telah mengungkung umat dari masa ke masa dapat diangkat dan ditelanjangi secara transparan. Proses ini akan memperlihatkan bahwa epistem yang berkembang pada suatu masa dan tempat tertentu sangat mempengaruhi terhadap wacana yang dikembangkan pada saat itu. Artinya, penafsiran yang berkembang saat itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya, politik, ekonomi dan sebagainya yang menyertai kehidupan umat pada saat terjadinya interpretasi tersebut.14 Asghar Ali Engineer menawarkan teologi liberal (pembebasan) yang berorientasi pada keberpihakan terhadap kaum papa, miskin, marjinal, tertindas dan kaum lemah akibat ketidak-adilan yang dipromosikan oleh elite kekuasaan dan system patriarkhi untuk kepentingan pribadi. Kaum tertindas: a). kelompok sudra (kaum proletar), b).:penganut agama minoritas di Negara penganut agama mayoritas, c): perempuan. Pada era klasik telah muncul teologi yang berorientasi pada pembebasan manusia dari ketidak-adilan, seperti tercermin pada teologi aliran Khawarij, Mu’tazilah dan Shi’ah. Khawarij: aliran teologi pertama yang menyuarakan semangat liberasi. Mereka terdiri dari Arab Badui yang dikenal sebagai kaum proletariat Islam yang tinggal di gurun. Salah satu doktrin utama Khawarij adalah keadilan kolektif (collective justice). Asghar Ali menyebutnya dengan kelompok sosialis Islam karena pandangan mereka tentang persamaan dan keadilan diambil dari ajaran sosialisme Islam.15 Semangat demokrasi yang didengungkan Khawarij dalam masalah kepemimpinan bahwa setiap orang berhak dipilih menjadi pemimpin (kepala Negara) dan bukan monopoli satu suku tertentu saja, asalkan ia bisa bertindak adil dan berdasarkan shariat Islam setelah sebelumnya berkembang keyakinan bahwa yang berhak menyandang gelar pimpinan Negara hanyalah suku Quraish. Ini merupakan gebrakan baru dengan semangat liberasi Islam. Semangat keadilan dan pembebasan ini membuat mereka sangat concern pada perjuangan melawan penindasan dan otoritarianisme. Mereka disebut mewakili kelompok masyarakat bawah anti kemapanan terhadap kaum elite Quraish yang memerintah. Tetapi mereka juga memiliki nilai negative, sebab bersikap intoleran dengan menganggap orang selain Khawarij adalah kafir sehingga ia dan keluarganya berhak dibunuh. Sikap ini disebut Engineer sebagai sikap ekstrim, eksklusif dan intoleran. Mereka tidak menghargai pluralitas, baik pikiran, pandangan, sosial dan suku. Sikap seperti ini dikecam Engineer
14
Abd al-A’la, Kontekstualisasi Universalitas Bahasa Al-Qur’an, dalam Journal Akademika, (Surabaya: Program Pasca Sarjana IAIN, Vol. 14, No. 2, Maret 2004), hal. 61. 15 Asghar Ali Engineer, Islam and Revolution, (New Delhi: Ajanta Publication, 1984, hal. 18 – 19.
2038 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future sebagai bentuk kesewenangan dan absurd.16Mu’tazilah mengumandangkan semangat pembebasan dan kebebasan berpikir. Mereka dikenal sebagai aliran teologi liberal dan rasional. Mereka disebut sebagai kelompok pemikir bebas Islam karena corak pemikirannya mempunyai karakteristik “rationalistic objectivism”.17 Kebenaran suatu tesa harus bertumpu pada akal. Jika ditemukan kontradiksi antara teks wahyu dan akal, mereka lebih mendahulukan makna metaforis (ta’wi>l) ketimbang arti tekstual atau literal, karena tidak mungkin menemukan makna teks tanpa media akal.18 Dalam kaitannya dengan perbuatan manusia, Mu’tazilah memiliki pendapat kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya (free will dan free act), karena manusia yang bertanggung-jawab penuh atas segala perbuatannya dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Aliran seperti ini sering diasosiasikan sebagai mazhab Qadariyah dalam Islam. Mu’tazilah mempunyai doktrin monumental yang dikenal al-Us{u>l al-Khamsah yakni: Tauhid, Keadilan, al-manzilah bain al-manzilatain, al-wa’d wa al-wa’i>d dan amar ma’ru>f nahy munkar.19 Ke lima ajaran ini diperas Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar menjadi dua yaitu tauhid dan keadilan, Mereka dikenal dengan Ahl al-Tawh{i>d wa al-‘Adl (People of True Belief and Justice).20Senada dengan ini, Shi’ah juga mempunyai “Lima Rukun” yakni: Tauhid (Keesaan Tuhan), kenabian (nubuwa>t), kebangkitan jiwa dan tubuh di akhirat (ma’a>d), kepemimpinan (imamah) dan keadilan (al-‘adl).21 Dari sempalan Shi’ah Sab’iyah ada Sekte Qaramitah yang berusaha mengkombinasikan antara doktrin agama dengan gerakan revolusi dan program keadilan social serta pembagian harta kekayaan.22 Qaramitah, gerakan masyarakat akar rumput dari kalangan petani dan pekerja yang menyuarakan persamaan dan keadilan. tetapi kadang cara yang mereka tempuh terkesan serampangan, sewenang-wenang dan anti demokrasi. Hampir semua aliran zaman klasik bersifat ambigu, di satu sisi mereka menyuarakan liberasi, keadilan dan persamaan, di sisi lain mereka bersikap intoleran, eksklusif, sewenang-
16
Ibid. George F.Hourani, Islamic Rationalism (Oxford: Clarendon Press., 1971), hal. 3. 18 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press., 1986), hal. 42. 19 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press.), 1983), hal. 52. -56. 20 Al-Qadi Abi al-Hasan ‘Abd al-Jabbar, Al-Mughni, fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl, Muhammad Mustafa Hilmi, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Ibrahim Madkur, Taha Husein (ed.) (Mesir: Al-Mu’assasah al-Misriyah al-‘Amah li al-Ta’lif wa al-Anba’ wa al-Nashr, Al-Dar alMisriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Juz IV, 1965). 21 Ceryl Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, Cet.II), hal. 390. 22 Ibid., hal. 325. 17
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2039
wenang dan anti demokrasi. Engineer mengkritik teologi zaman klasik sebagai teologi yang melangit (spekulatif) ketimbang membumi (empirik). “Teologi klasik dalam bentuknya yang diterima saat ini tidaklah secara implisit mensiratkan pembebasan manusia, karena perhatian utama teologi tersebut adalah soal pembebasan dalam wilayah metafisik dan di luar proses kesejarahan. Diskursus teologi klasik cenderung mengarah pada speculative exercise dan bahkan tidak jarang menghasilkan pertumpahan darah. Perhatian teologi klasik hanya soal akhirat dan bukan tentang dunia”23
Melihat realitas ini, Engineer menggagas perlunya mengembalikan semangat al-Qur’an bersifat induktif kongkrit, bukan hanya bersifat metafisik spekulatif. Dalam istilah sekarang dikenal dengan tauhid sosial. Mansour Fakih menyebutnya dengan teologi Kaum Tertindas.24 Ada beberapa karakteristik teologi pembebasan yakni:25 1. Perhatian utamanya pada masalah dunia “kini” dan “di sini”, baru memikirkan masalah akhirat. Teologi harus berorientasi pada realitas praktis, kongkrit dan bukan realitas metafisis, abstrak seperti terjadi pada teologi Skolastik. 2. Melawan kekuatan pro status quo. Tidak pernah ada kemapanan dalam realitas sejarah. Untuk menciptakan tatanan yang lebih sempurna harus ada dinamisasi dan tidak boleh terjadi stagnasi, baik dalam bidang politik, agama dan sosial. 3. Berpihak: kaum marginal, tertindas, masyarakat akar rumput, kaum proletar. 4. Menekankan kemampuan manusia untuk mencapai tujuan temporer yang melampaui proses historis untuk menuju pada tujuan metafisis (akhirat). 5. Menekankan pada masalah praktis dan empirik daripada masalah abstrak spekulatif. Lebih menciptakan diskursus membumi dari pada diskursus melangit agar proyek emansipasi masyarakat dapat direalisasikan. Dalam mengimplementasikan ajaran tauhid, ia mengartikan terma-terma teologis : a. Tauhid. Kata “la> ila>ha illa Alla>h” bukan hanya menegasikan paganisme yang mempunyai konsekwensi religious tetapi sekaligus memiliki implikasi sosial politik ekonomi di mana Muhammad melawan dominasi dan hegemoni kelompok borjuis kapitalis. Tauhid tidak 23 Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990), hal. 1. 24 Mansour Fakih, Teologi Kaum Tertindas dalam “Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat”, (Yugyakarta: Dian Interfidie, 1994), hal. 203 – 242. 25 Engineer, Islam and Liberation Theology, hal. 1 – 6.
2040 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future hanya berarti keesaan Tuhan (the Unity of God) tetapi juga kesatuan manusia yang tidak dapat dicapai dalam pengertiannya yang paling benar kecuali dengan menciptakan masyarakat tanpa kelas (classless society).26 Pada dasarnya tauhid merupakan sebuah pengakuan atas kesatuan ciptaan Tuhan, tidak boleh ada diskriminasi antara satu etnis atau satu jenis atau satu kelompok manusia dari lainnya. Hubungan antar manusia harus berpijak pada kesetaraan, keadilan dan persamaan (equity, justice and equality).27Masyarakat egaliter dan madani merupakan cita-cita Islam. Kesatuan manusia berarti semua manusia itu sama di hadapan Tuhan tanpa membedakan warna kulit, ras, kebangsaan, kesukuan, jenis dan bahkan agama karena sesungguhnya pada dasarnya kesatuan manusia itu melintasi garis keyakinan.28 b. Keadilan Istilah keadilan mempunyai implikasi persamaan dan kesederajatan, lawan dari penindasan (z{ulm) dan perbuatan salah (jaur). Arti dari ‘adl atau qist berarti “distribusi yang adil, tempat yang sama, ruang yang sama, keadilan serta persamaan”. Kesamaan distribusi ini menyangkut distribusi sumber ekonomi. System kapitalisme diperbolehkan sepanjang untuk kepentingan sosial dan kepentingan bersama seperti koperasi dan bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang harus dihindari jika keadilan sosial ingin ditegakkan.29 c. Iman dan Kufur Iman tidak statis tetapi dinamis. Statis dan dinamisasi iman bergantung pada amal salih yang dilakukannya. Kata iman dalam alQur’an selalu disertai dengan amal salih. Fazl al-Rahman menegaskan bahwa pemisahan iman dari amal (tindakan) menurut al-Qur’an merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan dan absurd.30Hubungan antara manusia dan Tuhannya tidak boleh menafikan hubungannya dengan sesama manusia lainnya. H}abl min Alla>h dan h}abl min al-na>s selalu harus sinergis. Penghargaan 26
Ibid., hal. 8 Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Post Modernity, (Yapan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988), hal. 22. 28 Asghar Ali, Islam, The Ultimate Vision, (Internet: 12 Oktober 1999, Bag.II), hal. 2. 29 Al-Hashr, 59: 7 yang berbunyi: “Kekayaan itu tidak boleh hanya beredar di segelintir orang-orang kaya di antara kamu” 30 Fazl al-Rahman, Some Key Ethical Concepts of The Qur’an, dalam Journal of Religious Ethics (II, 1983), hsl. 171. 27
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2041
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan merupakan élan dasar dari keimanan. Rasa kemanusiaan ini juga harus tetap berlandaskan pada rasa ketuhanan. Kemanusiaan sejati bisa terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan, demikian sebaliknya. Pandangan hidup yang theosentris yang berlandaskan pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa semata, tetap takkan berarti apa-apa tanpa diwujudkan dalam bentuk kegiatan keseharian yang anthroposentris (mu’a>malah). Antara keduanya terjadi hubungan timbal balik yang tak bisa dipisahkan, karena sebagai konsekwensi logis, orang yang berketuhanan dengan sendirinya berperikemanusiaan.31 Pengakuan berketuhanan yang dinyatakan dalam bentuk kegiatan ibadah semata, ditegaskan Tuhan sebagai perbuatan yang tidak mempunyai nilai apapun sebelum disertai tindakan nyata dalam rangka kemanusiaan.32 Kufur dalam perspektif teologi pembebasan berarti “Ketidak-percayaan kepada Tuhan, secara aktif melawan segala usaha yang sungguh-sungguh untuk menata ulang masyarakat (restructure) agar mengeliminasi konsentrasi kekayaan, berusaha melakukan eksploitasi dan melakukan bentuk-bentuk ketidak-adilan yang lain”.33 d. Jihad Yang dimaksud jihad dalam al-Qur’an untuk mempertahankan diri (defensive) dan bukan untuk menyerang secara agresif (ofensive). Perang untuk menyebar-luaskan agama dilarang Islam, karena pada dasarnya tidak ada paksaan dalam agama.34 Perang untuk mempertahankan hidup merupakan keharusan. Orang yang ditindas, diserang dan diperlakukan tidak adil harus melawan. Itulah yang dilakukan Nabi ketika ia memproklamirkan perang terhadap orang musyrik Makkah. Al-Qur’an juga mengizinkan perang melawan tirani Makkah karena mereka harus melindungi kaum lemah dan tertindas. Jihad dalam perspektif teologi pembebasan adalah jihad demi pembebasan, bukan untuk agresi. Pembebasan dari eksploitasi, persekusi dan penindasan dengan segala bentuknya. Praktek pendehumanisasian manusia harus dilenyapkan dari muka bumi. 31
Surat Ali ‘Imran, 3: 112. Keseluruhan dari surat Al-Ma’un , 107: 1-4, mengandung prinsip hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan. 33 Engineer, Islam and Revolution, hal. 29. Surat al-Ma’un, 107: 1 – 7 menyebutkan: ”Tahukan kamu orang yang mendustakan agama?. Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orangorang yang salat yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya’ tetapi menolak mensuplai kebutuhan hidup meskipun yang membutuhkan tetangganya sendiri”. 34 Al-Baqarah, 2: 256. 32
2042 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Nabi pernah mengatakan bahwa bentuk jihad yang paling baik adalah menyatakan kebenaran di hadapan para tirani.35 Sejarah feminisme dalam Islam. Jauh sebelum Islam yang dibawa Muhammad saw. datang, nasib perempuan amat menyedihkan. Mereka tidak saja dianggap sebagai penduduk dunia nomor dua (the second sex) tetapi sekaligus juga dianggap bukan manusia dan tidak dimanusiakan. Beragam bangsa dan agama yang datang sebelum Islam, meletakkan perempuan di pinggiran (marginalisasi), subordinasi dan inferior, sedangkan kaum lelaki adalah yang paling superior. Menurut Mansour Fakih, perempuan dalam kehidupan masyarakat, senantiasa mendapat diskriminasi perlakuan yang tidak adil. Marginalisasi, subordinasi, stereotipi, multi burden dan violence merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sudah mengakar dan membudaya di masyarakat patriarkhi sejak awal zaman peradaban dan kebudayaan manusia.36 Hak-hak asasi kemanusiaan seorang perempuan dipasung karena dia hanya dipandang sebagai obyek dan tidak diperkenankan menduduki posisi subyek. Islam datang membawa sejumlah ajaran tentang kesetaraan, pembebasan, keadilan, persamaan, progressivitas dan kedamaian. Islam membebaskan perempuan dari keterkekangan dan pemasungan hak asasinya sebagai manusia. Al-Qur’an memanusiakan perempuan dan memberinya jiwa kembali setelah untuk sekian abad dinegasikan dan diabaikan oleh dunia Internasional. Al-Qur’an secara jelas tidak membedakan unsur dasar pembentukan manusia baik yang berjenis lelaki atau perempuan. Al-Qur’an mendeklarisasikan, semua manusia lelaki dan perempuan mempunyai hak asasi yang sama, baik di dunia profan atau dunia spiritual (akhirat). Semua manusia tak terkecuali, harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya di dunia dan berhak memperoleh balasan setimpal, yang berupa dosa atau pahala.37 Yang membedakan manusia terletak pada sisi keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan.38 Islam banyak mengubah adat kebiasaan buruk menjadi adat yang bertumpu pada kemanusiaan. Secara berangsur tapi pasti Islam melakukan berbagai dekonstruksi dan destruksi struktur sosial dan cultural, seperti penghapusan perbudakan. Islam memberi hak waris kepada perempuan setelah sebelumnya ia sendiri yang menjadi harta warisan. Islam menghimbau para suami untuk menghargai jerih payah isteri dalam mengelola rumah tangga dan memelihara anak-anak 35
Asghar Ali, Islam and Its Relevance to Our Age, hal. 76. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.IV, 1999), hal. 12 – 23. 37 Al-Nahl, 16: 97. Ali Imran, 3: 195. Al-Nisa’, 4: 124. Ghafir, 40: 40. 38 Al-Hujurat, 49: 13 36
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2043
dengan memberinya upah. Islam tidak hanya memberi perempuan peran dan fungsi reproduksi, tetapi sekaligus memberi peran dan fungsi produksi. Semua yang dilakukan Rasul, tidak lain kecuali merupakan cermin dari upaya pembebasan kaum perempuan dalam pergulatan hidup melawan ketidak-adilan gender. Pasca periode Rasul, ‘Umar mulai membatasi gerak dan langkah perempuan. Ia mengeluarkan kebijakan yang cenderung memojokkan dan merugikan perempuan. Ia menerapkan konsep segregasi terhadap perempuan, Perempuan salat di belakang lelaki, padahal di Masjid al-Haram tidak ada aturan seperti itu, larangan perempuan menjadi imam salat bila makmumnya terdapat seorang lelaki, padahal Umm Waraqah pernah diperintah Nabi menjadi imam salat bagi budak lelakinya,39 melarang perempuan berkiprah di bidang publik, melarang mereka memberi pendapat masalah politik, ekonomi dan kemayarakatan,40melarang mereka ke luar rumah meskipun untuk salat di masjid. Secara sengaja atau tidak, ‘Umar mulai lagi memasang belenggu di kaki perempuan.41Makin jauh dari periode Rasul, nasib perempuan kian terpuruk sampai batas di mana mereka benarbenar kehabisan nafas sebab makin sempit ruang geraknya. Keadaan semacam ditengarahi intelektual era kontemporer sebagai problema kesenjangan gender yang dipicu oleh beberapa faktor penyebab: 1. Intervensi cerita Isra’iliyat 2. Intervensi budaya patriarkhi. 3.Intervensi bahasa yang bias gender. 4. Intervensi politik. 5. Metode penafsiran yang kurang tepat. 6. Subyektifitas penafsir. 7. Hadis missoginis a. Intervensi malaikat dalam hubungan seksual. b. Larangan perempuan keluar rumah tanpa muhrim dan harus atas izin suaminya. c. Larangan perempuan menjadi pemimpin publik atau domestik. d. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan. e. Isteri harus tunduk dan taat pada suami. f. Penghuni neraka paling banyak kaum perempuan.42 39
Tabaqat Ibn Sa’d (vol. viii), hal. 335. Abu Syuqqah, Abd al-Halim Muhammad, Prof. Dr., Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr alRisalah, diterjemahkan menjadi “Jati Diri Wanita menurut Al-Qur’an dan Hadis”, Mujiyo (penterj.), (Bandung: Al-Bayan, 1993), hal. 138. 41 Asghar Ali, The Qur’an, Women and Modern Society, (New Delhi, India: Sterling Publisher Pvt., Ltd., 1999), hal. 9. 42 Engineer, The Qur’an, hal. 7. Menurutnya spirit hadis ini tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an sebab di dalamnya seakan Tuhan mendiskriminsikan perlakuan terhadap satu jenis manusia tertentu. Bagi Tuhan, lelaki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Tinggi 40
2044 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future g. Perempuan kurang agama dan kurang akal. h. Perempuan sumber fitnah, karena setan selalu mengikutinya dari belakang. i. Suara perempuan adalah aurat. j. Salat di rumah lebih baik bagi perempuan dari pada salat di masjid. Rifa’ah al-Tahtawi, orang Islam pertama yang menggagas kembali ide feminisme pasca Nabi. Di antara pilot projectnya adalah memberi pendidikan yang memadai bukan saja kepada generasi muda lelaki tetapi juga generasi muda perempuan. Gagasan ini diilhami oleh pengamatannya ketika berada di Perancis. Di antara karya monumentalnya tercatat,”AlMurshid al-Amin li al-Banin wa al-Banat” Pembaharu lain adalah Qasim Amin. Di dalam karya besarnya Tahrir al-Mar’ah mengingatkan bahwa di antara keterbelakangan umat Islam akibat mereka tidak memperhatikan kaum perempuannya. Pengamatannya terhadap perempuan Barat memberinya ilham untuk menggagas kemajuan bagi perempuan Mesir. Di Paris, ia melihat setiap warga Negara baik lelaki atau perempuan memiliki kesempatan sama untuk mengakses segala hasil kemajuan science dan teknologi. Perempuan dan lelaki sama-sama bergabung dalam pelbagai kegiatan pembangunan bangsa dan Negara, di bidang industri, niaga, kegiatan sosial, politik dan tak ada kesenjangan sosial. Perjuangan mereka diteruskan intelektual muslim era modern dan kontemporer. Pemikir Muslim, pejuang feminisme Islam: Engineer, Fazl al-Rahman, Mahmoud Muhammed Taha, Shahrour, Riffat Hasan, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin dan lain-lain.. Rekonstruksi Metodologis Wacana Keadilan Gender. Metodologi yang ditawarkan Engineer dalam merespons kesenjangan dan ketidak- adilan gender berpijak pada teologi pembebasan. Arkoun dengan metode deskonstruksi dan rekonstruksi, Shahrour dengan teori h}udu>d, Rahman dengan double movements. Al-Qur’an mencoba mengangkat status perempuan setelah sejak masa Byzantium dan Sasanid mereka dilecehkan. Islam memberi mereka hak dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan dan warisan.43Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk memahami teks al-Qur’an dalam hubungannya dengan kesetaraan dan keadilan gender: rendahnya derajat manusia tidak tergantung pada jenis kelamin tetapi pada ketakwaan dan keimnanan. Mereka juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat pahala atau dosa, semuanya bergantung dari perbuatan yang dipilihnya. Lihat surat al- Nisa’, 4:1, Bani Isra’il, 17: 70, al-Ahzab, 33: 35. 43 Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, (Lahore, India: Vanguard Books Pvt., Ltd., 1992), hal. 12 – 13.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2045
1).Al-Qur’an mempunyai dua aspek, normative dan kontekstual.44 Fazl alRahman memberi term berbeda dari Engineer tetapi memiliki kesamaan arti, yakni Islam normative dan Islam historis.45 Aspek normative merujuk pada system nilai dan prinsip dasar al-Qur’an, seperti prinsip kesatuan dan persatuan, keadilan, persamaan dan kesetaraan. Prinsip ini bersifat eternal, dogma yang meski tidak tersentuh perubahan, namun bisa diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Aspek kontekstual dan historis berkaitan erat dengan respons terhadap problem sosial yang muncul. Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, ayat ini dapat diabrogasi (di nasakh).46 Mahmoud Mohamed Taha lebih cenderung membagi teks menurut ruang dan waktu tempat wahyu turun. Menurutnya, ayat Makiyah merupakan ayat yang muh}kama>t tak bisa mengalami perubahan dan merupakan sumber hukum karena memuat pesan eternal dan fundamental, secara inheren menghormati eksistensi kemanusiaan (human being), tanpa pandang bulu dan tanpa memperhatikan perbedaan gender, agama, keyakinan, ras, suku. Ayat Makiyah memiliki karakteristik persamaan derajat dan status antara lelaki dan perempuan, memberi kebebasan setiap orang untuk memilih kepercayaan dan agama yang disukai. Setiap orang mendapat perlindungan dan bebas menjatuhkan pilihan tanpa adanya paksaan atau ancaman.47Ayat Makiyah tidak memilah-milah sekelompok orang dan tidak menimbulkan sektarianisme. Selalu menggunakan kata-kata umum seperti: ”wahai bani Adam” atau “wahai manusia” Ayat Madaniyah bersifat mutashabbiha>t yang bisa diabrogasi.48Di sini mulai ada diskriminasi kelas, jenis, ras, keyakinan dan agama. Surat Al-Nisa’ (perempuan) ditujukan untuk mengatur kehidupan perkawinan, perceraian, warisan dan mahar secara detail yang mempunyai dampak negative yang mengacu pemahaman diskriminasi terhadap perempuan. Surat Al-Nisa’, 4: 34, term qawwa>mah bisa membawa pengertian bahwa perempuan berada di level inferior dan subordinate dan pria berada di level superior. Ayat Madaniyah juga menciptakan kesenjangan dan diskriminasi sosial terutama terhadap non muslim, sebab mayoritas ayat-ayat ini ditujukan hanya untuk kelompok tertentu mukmin dan muslim, musyrik, kafir, munafik dengan kata:”Hai orang beriman”, Hai orang muslim” “Hai orang musyrik, Hai
44
Ibid., hal. 42. Fazl al-Rahman, Islam and Modernity, seperti dikutip Charles Kurzman (ed.) dalam Liberal Islam A Source Book, (New York, Oxford: Oxford University Press., 1998), hal. 310. 46 Asghar Ali Engineer, Justice, Women and Communal Harmony in Islam, (New Delhi: Indian Council of Social Research, 1989), hal. viii. 47 ‘Abd Allah Ahmad al-Na’im, Toward An Islamic Reformation, (New York: Syracuse University Press., Cet.I, 1990), hal. 52 -54.. Al-Baqarah, 2: 256 “tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama tertentu” 48 Ibid., hal. 52. Lihat pula Charles Kurzman, Liberal Islam, hal. 16. 45
2046 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future orang kafir”, “Hai orang munafik”49 Perbedaan ayat Makiyah dan Madaniyah bukan disebabkan perbedaan waktu dan tempat, tetapi lebih ditekankan pada perbedaan kelompok audience yang dituju al-Qur’an secara lebih khusus.50Artinya, ayat Makiyah merupakan ayat normative dan ayat Madaniyah merupakan ayat kontekstual. Aspek normative mempunyai kedekatan dengan kesucian ketuhanan (divine) , sementara aspek kontekstual lebih dekat dengan kemanusiaan (human being). Ditinjau dari perspektif normative, al-Qur’an menegakkan prinsip persamaan dan kesetaraan derajat antara lelaki dan perempuan. Dilihat dari perspektif kontekstual atau historis, Tuhan tidak memandang sebelah mata terhadap realitas sosial yang didominasi oleh system patriarkhi, sehingga al-Qur’an berbicara sesuai dengan konteks, kondisi dan situasinya.51 Surat Al-Baqarah menyebutkan secara eksplisit bahwa lelaki berada satu tingkat di atas perempuan, sebab situasi, kondisi umat saat itu belum memungkinkan menyamakan derajat lelaki dan perempuan.. Tujuan pembagian menjadi Islam normative dan Islam kontekstual atau historis, untuk membedakan antara apa yang diinginkan Tuhan dan apa yang dibentuk realitas empiris masyarakat pada saat itu. Al-Qur’an tidak hanya mempertimbangkan masyarakat ideal “apa yang seharusnya” tetapi sekaligus melihat realitas empirik atau realitas sejarah “apa yang terjadi”. Dengan demikian al-Qur’an tidak hanya memuat ajaran yang hanya sesuai untuk merespons realitas sejarah pada saat dan tempat tertentu, tetapi juga mengandung ajaran universal, global, fleksibel yang bisa merespons problema masyarakat yang muncul, di manapun dan kapanpun dibutuhkan.52 Al-Qur’an tidak pernah tuntas dipahami dan ditafsirkan sampai akhir zaman sekalipun. Inilah salah satu mukjizat alQur’an.53 Shahrour memiliki pendapat sama, menurutnya, ditinjau dari asal sumber al-Kitab (konsep Tuhan) maka ia mutlak, ditinjau dari sisi konsumen (manusia yang memahaminya), maka al-Kitab itu relative (nisbi) sesuai dengan tingkat pemahaman, konteks, situasi dan kondisi masyarakat yang memahaminya. Artinya, nasnya merupakan dogma, suci, tak bisa berubah sampai kapanpun, tetapi pemahamannya relative sesuai dengan zaman, tempat dan keadaan. Cara memahaminya dengan ta’wil dan tafsir.54 49
Ibid., hal. 55. Ibid. 51 Engineer, The Right of Women in Islam, hal. 45. 52 Engineer, The Qur’an, hal. 30.S 53 Surat Al-Kahfi, 18: 109 menyebutkan: “Katakanlah wahai Muhammad!. Seandainya seluruh lautan itu terdiri dari tinta untuk menulis kalimat Tuhanku, akan habis seluruh tinta sebelum habis kalimat Tuhanku, meski kami datangkan berkali-kali tinta yang serupa”. 50
اأه نهأالملاأادم,أو،ب رأقب أن أتنفدأللمهتأر أ, نفدأ,أ،كلمهتأر أ,ب رأاد م أ, األه أ,ق أ Bandingkan dengan Arkoun, Rethinking Islam dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, hal. 210.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2047
2).Penafsiran teks tergantung pada persepsi, pengalaman, latar belakang, sosio cultural, pandangan dunia (worldview / weltanschauung) penafsir. Engineer mengatakan “penafsiran terhadap fakta empiris atau teks kitab suci selalu tergantung pada posisi apriori seseorang. Setiap orang memiliki semacam pandangan dunia (worldview)”55,demikian pula menurut Arkoun56 dan Shahrour57 . 3).Makna ayat al-Qur’an terbentang dalam waktu. Penafsiran pendahulu dapat sangat berbeda dari penafsiran ilmuwan modern. Ini disebabkan karena al-Qur’an sering memakai bahasa simbolik atau metaforis yang mempunyai makna ambigu.58 Ambiguitas ini dimaksudkan membuka peluang fleksibelitas dalam melakukan penafsiran yang kreatif dan konstruktif. Engineer menghimbau untuk memberikan tafsiran bahasa simbolik al-Qur’an dari sudut situasi historis dan pengalaman kita sendiri.59 Dalam memahami teks keagamaan, hal yang lebih penting dikedepankan ialah aspek normative ketimbang aspek kontekstual, karena yang pertama sarat dengan nilai dan prinsip umum universal yang menjadi postulat dasar dari kitab tersebut, dan yang kontekstual harus dipahami secara ketat sesuai konteks sosio-historis ketika ayat diturunkan. Pertimbangan itu sangat penting untuk mengetahui makna tersirat yang secara implisit dikandung sebuah teks.60 Aplikasi metodologi terhadap ayat feminis. Surat al-Nisa’, 4:1, Bani Isra’il,17:70, al-Ahzab, 33:35. Ketiga ayat ini merupakan ayat normative, sebab merupakan prinsip dasar atas kesetaraan dan keadilan gender. a. Prinsip pertama: Lelaki dan perempuan diciptakan dari unsur dasar yang sama (single soul / nafs wa>hi{dah). Maka, Engineer menolak pandangan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, sebab akan mengimplementasikan pemahaman bahwa perempuan berada pada level inferior, lelaki pada level superior. Konsekwensi logis lainnya, bahwa perempuan the second sex, lelaki the first sex baik secara
54 Muhammad Shahrour, Al-Kitab wa al-Qur’an, Qira’ah Mu’asirah, (Damaskus: AlAhali, 1990), hal. 35 – 36. 55 Engineer, The Qur’an, Women and Modern Society, hal. 5. 56 Arkoun, Rethinking Islam dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, hal. 207. 57 Muhammad Shahrour, Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Fiqh al-Mar’ah, (Damaskus: Al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, Cet.I, 2000), hal. 55. 58 Engineer, The Qur’an, hal. 5. 59 Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, (New York USA: St. Martin’s Press., Cet.II, 1996), hal. 42. 60 Ibid., hal. 17.
2048 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future ontologis maupun kronologis. Lelaki dan perempuan secara esensial, diciptakan dari entitas dan unsur dasar yang sama.61 b. Prinsip kedua: Tuhan memuliakan seluruh anak Adam, lelaki dan / perempuan. Tuhan tidak mendiskriminasikan hamba berdasarkan jenis kelamin, tetapi yang membedakan hanya ketakwaan kepadaNya. c. Prinsip ketiga: Lelaki dan perempuan berhak mendapat balasan sama, mendapat pahala atau dosa tergantung dari perbuatannya. Reward and punishment Tuhan kepada lelaki dan perempuan tidak memandang perbedaan jenis kelamin, tetapi melihat tanggung jawab masing-masing individu. Ayat ini mendeklarasikan egalitarianisme yang berpijak pada pemikiran kesatuan manusia (the unity of human being), persamaan dan keadilan gender. Ayat ini juga merupakan revolusi pemikiran yang bertumpu pada persamaan hak asasi manusia. Dihadapkan pada ayat kontekstual, seolah ayat-ayat di atas berseberangan dan menemukan relevansi yang kontras. Pada surat al-Nisa’, 4:34, surat al-Baqarah, 2: 228 yang mengidentifikasikan terdapatnya kesenjangan posisi lelaki perempuan, sebab secara eksplisit disebutkan bahwa “lelaki memiliki derajat setingkat lebih tinggi dari perempuan”. Akibatnya pemahaman yang muncul bahwa lelaki superior dan perempuan inferior dan subordinate. Penafsiran bias gender bahwa lelaki dianggap memiliki kemampuan dan kesempurnaan akal, kelebihan penalaran, kejernihan berpikir, keteguhan pendirian, rasional, kesempurnaan agama, ketimbang perempuan. Itulah sebabnya seluruh tugas besar Islam selalu diberikan kepada lelaki, seperti rasul, nabi, imam, khalifah, saksi, wali, jihad, hak nikah dan cerai, waris dan lainnya. Engineer melihat ayat di sini secara kontekstual bisa berubah seiring dengan berubahnya konteks ruang dan waktu. Ia juga melihat kondisi obyektif sosio historis ketika ayat turun. Ayat ini tidak boleh dilihat hanya dari sisi ekspresi pandangan teologis semata, tetapi juga harus dilihat ekspresi sosiologis-historis ketika ayat turun.62 Dalam surat al-Nisa’, 4:34, Ada dua kata kunci di sini, “qawwa>m” yang biasa diterjemahkan pemimpin, pelindung, penjaga dan “qa>nita>t” yang diterjemahkan taat. Engineer melakukan pendekatan sosio teologis. Dengan merujuk pada alZamakhshari, Engineer melihat asbab al-nuzul ayat ini. Menurutnya, ayat ini turun berkaitan dengan kasus Habibah binti Zaid yang ditampar suaminya Sa’ad bin Rabi’, seorang pemimpin Ansar. Habibah mengadu kepada ayahnya, lalu diteruskan pengaduan ini kepada Rasul. Rasul menasihati Habibah untuk membalas tamparannya. Keputusan ini menuai protes dari 61 62
Engineer, The Right of Women, hal. 43. Ibid., hal. 46.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2049
kalangan lelaki Madinah. Rasul paham bahwa oposisi mereka dipengaruhi oleh konteks budaya ‘Arab yang patriarkhis. Maka turun ayat untuk membatasi scoup kekerasan terhadap perempuan. Superioritas lelaki dalam ayat ini khusus dari segi kelebihan finansial, karena lelaki sebagai pencari nafkah keluarga dan sama sekali bukan untuk melambangkan kelemahan perempuan.63 Shahrour memberi makna “fad}d}ala ba’d}uhum ‘ala> ba’d}” mengandung arti masing-masing memiliki kelebihan atas lainnya, sebab kata “hum” tidak eksklusif untuk lelaki saja tetapi juga untuk perempuan dan bukan kelebihan lelaki dibanding perempuan .64 Maka ayat ini bukan khusus untuk mengatur system kekeluargaan tetapi lebih jauh system sosial, seperti pekerjaan, dagang, produksi, administrasi, pendidikan pengajaran, kedokteran, farmasi, olahraga, hukum dan lainnya.65 , “Qawwa>mah” mengandung arti “pengabdian” yakni pengabdian lelaki pada perempuan, tapi lanjutan ayat “bi ma> fad}d}ala ba’d}uhum ‘ala> ba’d}” menafikan pemahaman ini, maka “qawwa>mah” untuk lelaki dan perempuan.66 Maka, ayat ini lebih merujuk pada fungsi sosial ketimbang kelebihan jenis kelamin tertentu. Ayat ini menggambarkan pernyataan kontekstual dan bukan pernyataan normative. Kata ”qa>nita>t” mayoritas tafsir klasik seperti Al-Zamakhshari mengartikannya “taat kepada suami”, sedang Al-Razi memberi arti “taat kepada Tuhan” dan “taat kepada suami”. Penafsir modern, Ahmed Ali mengartikan “taat kepada Tuhan” karena dalam konteks bahasa ‘Arab, kata “qa>nitat” hanya berarti “berpasrah diri dan taat kepada Tuhan” dan tidak memiliki arti lain. Amina Wadud memberi arti “perempuan yang baik”. Secara keseluruhan, ayat ini bisa merujuk kepada lelaki (surat al-Baqarah, 2:238, Ali ‘Imran, 3:17, al-Ahzab, 33: 35) dan bisa pula merujuk kepada perempuan (al-Nisa’,4:34, al-Ahzab, 33: 35, al-Tahrim, 66: 5, al-Tahrim, 66:12) yang menjelaskan karakteristik kepribadian seseorang yang beriman kepada Tuhan dan berpasrah diri kepada Tuhan.67 Maka surat al-Nisa’,4:34 ini adalah ayat kontekstual dan bukan normative. Dalam surat al-Baqarah, 2: 228 terdapat dua pernyataan Tuhan yang selintas ada kontradiksi, “dan kaum perempuan mempunyai hak sama dengan kewajibannya dengan cara yang adil” dan “meskipun lelaki berada setingkat di atas perempuan” Menurut Engineer, terdapat dua penafsiran a). Jika dilihat dalam konteks yang benar, kontradiksi ini merefleksikan realitas sosial tempat ayat diturunkan. Ayat ini turun pada konteks masyarakat ‘Arab yang patriarkhis. Dalam konteks yang spesifik dan 63
Shahrour, Nahwa Usul, hal. 320. Shahrour, Nahwa Usul, Hal. 320. 65 Ibid. 66 Ibid., hal. 321. 67 Amina, Qur’an, hal. 75. 64
2050 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future tertentu seperti ini, Tuhan memberi status perempuan lebih rendah disbanding lelaki untuk memenuhi dan memenangkan tuntutan ego lelaki. Ini merupakan kebijakan Tuhan seperti tertera dalam lanjutan ayat. Sebenarnya Tuhan ingin mengakui kesetaraan lelaki dan perempuan, tetapi konteks sosial tidak mengakuinya secara langsung, sehingga Tuhan mengijinkan lelaki memiliki sedikit superioritas dibanding perempuan. Jika tidak demikian, Nabi menghadapi situasi yang sulit.68 Ayat ini mengandung ayat normative “dan perempuan mempunyai hak sama dengan kewajibannya dengan cara yang adil” sekaligus kontekstual ”meskipun lelaki berada setingkat diatas perempuan”. Dicantumkannya dua pernyataan yang berbeda dalam satu ayat dimaksudkan bisa diterima masyarakat sosial setempat, dan untuk merespons keadaan pada masyarakat mendatang ketika kondisi sosial berubah dan lebih kondusif.69 b) .Kelebihan lelaki atas perempuan merujuk pada persoalan biologis. Lelaki bebas menikah lagi setelah bercerai atau isteri meninggal tanpa harus memperhitungkan kondisi biologis, apakah ia sedang hamil atau tidak. Perempuan harus menunggu masa ‘iddah sebelum menikah lagi.70 Itulah sebabnya consumer al-Qur’an tidak boleh menjustifikasi bahwa ayat ini merupakan legitimasi Tuhan akan superioritas lelaki atas perempuan dalam wilayah agama maupun sosial.
Daftar Pustaka Abu Syuqqah, Mudjiyo (penterj.), Jati Diri Wanita Menurut Al-Qur’an dan Hadis, Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1414H/ 1993M. Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1798 – 1939, London, New York, Toronto: Oxford University Press., 1962. Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Woman, Concordia:, Montreal, Canada: Concordia Book Store, tth., (Beli th.1997). Ashghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, New Delhi, India: SQ.Ghai, Managing Director, Sterling Publishers Pvt. Ltd., 1990. ---, Farid Wajdi dan Cici Farkha Assegaf (penterj), Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak), Cet.II, 2000.: ---, The Rights of Women in Islam, New York, USA: St. Martin’s Press., Cet.II, 1996 68
Engineer, The Qur’an, hal. 32 dan 53 Engineer, The Rights, hal. 10 – 11. 70 Engineer, The Rights, hal. 53. 69
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2051
---, The Qur’an, Women and Modern Society, New Delhi: Sterling Publisher Private Limited, 1999.. Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, A Story of The Modern Reform Movement Innaugurated by Muhammad Abduh, London: Oxford University Press, Humphrey Milford, 1988. Charles Kurzman, Liberal Islam A Source Book, New York: Oxford University Press, 1998. Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Judul Asli: Deconstruction: Theory and Practice, London: New Fetter Lane, EC4P4EE, Methuen & CO, Ltd. 1982M., Inyiak Ridwan Muzir (penterj.),Yogyakarta: Penerbit Al-Ruz, Edition Published, 2003. Fakhruddin Fa’iz, Hermeneutika Qur’an, Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Penerbit Qalam, Cet.I, 2002. Fatima Mernissi, Rahmani Astuti (penterj.), Pemberontakan Wanita Muslim Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah, Bandung: Penerbit Mizan, Cet.I, 1999. ---, The Veil and The Male Elite, A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam, Mary Jo Lakeland (penterj.), California, New York: Addison - Wesley Publishing Company, Inc. 1987. ---, The Forgotten Queens of Islam, Mary Jo Lakeland (penterj.), Minneapolis: University of Minnesota Press., Polity Press, 1993 Fazl al-Rahman, Islam & Modernity, Transformation of An Intellectual Tradition, Chicago, London: The University of Chicago Press, 1982, dicetak ulang 1984. ---, Islamic Methodology in History, Delhi, India: Adam Publishers & Distributors, Cet.I, 1994. ---, Ahsin Muhammad (penterj.), Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1421H/ 2000M. ---, Anas Muhy al-Din (penterj.), Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1417H/ 1996M. ---, Sufyanto Imam Musbikin (ed.), Cita-Cita Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.I, 2000 Harun Nasution,DR., Prof., Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I dan II, Jakarta: UI Press., Cet.V, 1985 ---, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, 1975. ---, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Penerbit Mizan, Cet.I, 1995.
2052 ~ The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future Mahmoud Mohamed Thaha, Abd Allah Ahmed al-Na’im (ed.), Toward An Islamic Revormation, New York: Copyright by Syracuse University Press, Cet.I, 1990 Mohammed Arkoun, Robert D. Lee (penterj.), Rethinking Islam, Boulder, San Fransisco, Oxford, West: View Press, America: Library Materials, 1984 ---, Ruslani (penterj.), Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Judul asli: Rethinking Islam Today, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset., Cet.I, 2001.. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi, Beirut, Libanon: Dar al-Thali’ah, Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, Dar al-Baidha’, 1983M. ---, Nahnu wa al-Turats, Beirut, Libanon: Al-Markaz al-Tsqafi al-‘Arabi, Cet.VI, 1993. ---, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab, Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, Imam Khoiri (penterj.), Yogyakarta: IRCIS.D, Cet.I, 2003. Muhammad Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Studi atas Pemikiran Asghar Ali Engineer, Yogyakarta: UII Press, Cet.I, 2001. Muhammad Quraisy Syihab,DR., Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan, Cet.V, 1977. ---, Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Penerbit Mizan, Cet.VIII, 2000. ---, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Penerbit Mizan, Cet.VI, 1994. Muhammad Syahrour, Al-Kitab al-Qur’an, Kairo, Mesir: Sina li al-Nasyr wa al-Amal, Cet.I, 1992. ---, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah, fi al-Dawlah wa al-Mujtama’, Damaskus: Al-Ahali li al-Thiba’ah wa al-Nasyr al-Tawzi’Cet.I, 1994M. ---, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah, Al-Islam wa al-Iman, Mandzumat alQiyam, Damaskus: Dar al-Baidha’, 1416H./1996M. ---, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh alIslami, Fiqh al-Mar’ah, al-Washiyah, al-Irts, al-Qiwamah, alTa’addudiyah, al-Libas, Kairo, Mesir: Al-Ahali, Sina li al-Nasyr wa alAmal, 1416H./1996M. Munawir Syadzali MA, DR., Prof., dkk., Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, Cet.I, 1988.
The Legacy of Islamic Thought: Contribution for the Future
~ 2053
---., dkk., Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina,& Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, Cet.I, 1995. Nasaruddin Umar, MA,DR.Prof., Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet.I, 1999. ---, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: IAIN Syahid, 2002 ---, dkk, Pemberdayaan Perempuan Melalui Pemahaman Ajaran Agama, Upaya Rekonstruksi Teks Agama, Muhammad Yazid (ed.), Surabaya: PSG IAIN, Cet.I, 2003. Suadi Putro, Drs, MA, Mohammed Arkoun tentang Islam Modernitas, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet.I, 1991