CAPTER 6 THE HERITAGE OF ISLAMIC HISTORY FOR CIVILIZATION
PERAN WALI DAN SITUS KERAMAT DALAM DINAMIKA PERKEMBANGAN ISLAM DI LOMBOK1 Erni Budiwanti2 Abstract: This paper mainly features the inter-relationship amidst Wali and the sacred sites, playing vital role in the process of Islamization in Lombok, Eastern Indonesian island. The early stage of conversion was strongly marked by contextualizing Islam into the local culture, and producing various symbolic ritual behaviour fully imbued with subjective cosmological beliefs. Embedded in this stage is the development of venerated qualities ascribed to Wali, taking the forms of: karomah, ngalap berkah, and wasilah. These spiritual attributes are pinpointed to highlight a distinctive cultural variance of Sasak Muslims in Lombok. Key words: Wali, Old mosque, Makam, Ritual Symbols, Karomah, Barokah, Wasilah.
Perjalanan Islam Nusantara H.J. de Graaf (1970:123-124) menggambarkan penyebaran Islam di Nusantara melalui: perdagangan (by the course of peaceful trade), dakwah para Wali (by preachers and holy men), kekuatan dan peperangan (by force and the waging of war). Islam tersebar dari Timur Tengah ke berbagai wilayah seperti Afrika Utara, Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara tanpa melalui peperangan. Begitu pula halnya dengan penyebaran Islam di Nusantara, di Jawa dan Lombok terutama, sering dilukiskan berlangsung relatif damai. Dengan kata lain, sesuai pendapat Graaf, proses ini lebih diwarnai dengan cara yang pertama dan kedua (Azra 1994, Soebardi 1976, Levtzion 1979, Ricklefs 2008). Di wilayah Indonesia, seperti Sumatra dan pantai utara Pulau Jawa, kehadiran Islam terkait dengan aktivitas dagang dan hubungan baik yang terjalin di antara para pedagang asing dengan penguasa-penguasa setempat. Armada kapal-kapal dagang dari Arab, Gujarat, Madagaskar, MalabariIndia memasuki wilayah perairan nusantara melalui jalur laut Selat Malaka. Di Pelabuhan Malaca, Penang, dan Palembang-Sumatra para pedagang ini mensuplai keluarga kerajaan dengan berbagai ornamen perhiasan dan alatalat rumah tangga dari keramik maupun porcelain., sutra, rempah-rempah, dan wewangian. Mereka dikenal sebagai royal traders atau pedagang yang 1Makalah dipresentasikan pada acara AICIS-Annual International conference on Islamic Studies ke-13 di IAIN-Mataram 18-21 November 2013 2 Peneliti di Pusat Sumber Daya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoneisa (PSDR-LIPI)-Jakarta
~ 1437 ~
1438 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization melayani keperluan anggota keluarga kerajaan dengan berbagai kebutuhan di atas (Titus M. dalam Woodward 1999: 103). Kepercayaan yang terbentuk antara konsumen dan penjual, pada akhirnya memberikan akses bagi para pedagang Muslim untuk dapat tinggal dalam wilayah Kerajaan Malaka, bahkan menikahi anggota keluarga kerajaan (Nagata 1993:5): It is now widely accepted that the Islamization of the Malay Peninsula can be attributed to the influence and the activity of Indian Muslim traders, who carried the faith along with their worldly commodities. Some of these traders made regular circumnavigations of the entire Southeast Asian region. Southeast Asia region including Sumatra and other islands of the Indonesian archipelago, South Thailand, Myanmar (Burma), and then back to Corromandel coasts. A number of them no doubt setlled permanently in the region, marrying and becoming absorbed into the local (Malay population). (Sekarang diterima secara luas bahwa Islamisasi Semenanjung Melayu dapat dikaitkan dengan pengaruh dan aktivitas pedagang Muslim India, yang membawa agama bersama dengan komoditas duniawi mereka. Beberapa dari pedagang ini melakukan pelayaran secara teratur ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara termasuk Sumatera dan pulau-pulau lain di kepulauan Indonesia, Thailand Selatan, Myanmar (Burma), dan kemudian kembali ke pantai Corromandel. Beberapa dari mereka tinggal secara permanen di wilayah tersebut, kawin dan menjadi bagian dari masyarakat setempat). Sebagaimana halnya dengan wilayah Indonesia lainnya, di Lombok Islam hadir dengan penuh kedamaian, tanpa unsur paksaan, kekerasan, maupun peperangan. Bila di Jawa dan Sumatra proses pengIslaman berlangsung sejalan dengan aktivitas perdagangan, di Lombok kegiatan mengIslamkan (si’ar) ditunjang dengan mobilitas fisik atau migrasi Wali dari Jawa ke Lombok. Perjalanan Wali dari Pulau Jawa ke Lombok, Bali hingga Sumbawa mempertegas asumsi Graaf (1970) bahwa perdagangan lintas pelabuhan (port trading) bukan satu-satunya jalan memperkenalkan Islam. Setelah melalui jalur laut, para Wali menempuh rute darat untuk menembus daerah-daerah pedalaman dan perbukitan, seperti Pujut, Rembitan, dan areal pemukiman di lereng-lereng Gunung Rinjani di Bayan dan Sembalun. Disini Wali bukan hanya menjadi figur legendaris perintis penyebaran Islam di Jawa saja sebagaimana diutarakan Soebardi (1976), tetapi juga di kalangan komunitas Sasak di Pulau Lombok. Ekspedisi Wali danTradisi Ziarahi Situs-Situs Keramat Bukti-bukti Islamisasi di Lombok tampak dari beberapa nama tempat yang dihubungkan dengan Wali, seperti “Giri” Menang (di Lombok Barat), “Lingsar” (yang berasal dari kata Ling “siar” di Lombok Barat), Kelurahan
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1439
“Prapen” (di Lombok Tengah), Bukit Kance “Wali” (di Rembitan-Lombok Tengah), “Ampel Duri”, “Ampel” Gading, dan “Lokok Jawa” (di BayanLombok Utara),. di Tempat-tempat ini menjadi “saksi-saksi sejearah tentang kedatangan Wali untuk tinggal sementara demi mengajarkan Islam pada penduduk setempat. Dalam bahasa lokal, aktivitas ini dikenal dengan “ngamarin”. Masyarakat Sasak di Bayan-Lombok Utara menghubungkan beberapa tempat tertentu di wilayah mereka tinggal dengan Wali. Seperti halnya pantai Carik di Anyar, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, mereka yakini sebagai tempat Wali berlabuh pertama kali setelah melakukan perjalanan bahari dari Jawa. Bayan mereka anggap sebagai tempat pertama Wali tinggal sementara dan menjalin hubungan dekat dengan penguasa lokal, Susuhunan Bayan. Masjid kuno Bayan yang terbuat dari bambu dan kayu suren sebagai tiang utamanya, di lengkapi dengan fungsionari agama di dalamnya (Penghulu, Lebai, Ketib, Modim), menandai kesuksesan Wali untuk mengIslamkan Raja dan rakyat Bayan. Masyarakat Bayan memahami “Bayan” sebagai nama yang diberikan oleh Wali. Bayan adalah kosa kata bahasa Arab yang berarti ‘keterangan’ atau penjelasan. Salah seorang Pemangku Bayan di dusun Karang Salah menyebutkan (dengan nada bangga) bahwa menggunakan bahasa Arab sebagai nama desa yang lokasinya relatif terpencil dari ibu kota merupakan hal yang langka apalagi bila mengingat sebagian besar penduduk di masa itu hanya menguasai bahasa ibu. Menurut penjelasan dari pendiri dan pemimpin pesantren Nurul Bayan, Tuan Guru Haji Abdul Karim, di Lendang Bagik- Kecamatan Bayan, istilah Bayan disebut 3 kali dalam Al Qur’an i.e. Suroh Ali Imron: 138, Ar Rohman: 4, Surah Al Qiyamah: 19. Beliau menyimpulkan “dengan memberi nama Bayan Wali berharap wilayah ini bisa menjadi pusat Islam, yang diikuti oleh area lain di Lombok”. Nama Pelabuhan pantai di Anyar, Carik, yang dipercaya sebagai tempat Wali Jawa mendarat pertama kali, dipercaya oleh masyarkat setempat juga berasal dari kosa kata Arab, thoriq, yang berarti jalan. Terjadi naturalisasi dari thoriq menjadi Carik, lantaran masyarakat kurang fasih menyebut huruf (Arab): “tho” dan “qo”. Anyar, nama ibu kota Kecamatan Bayan, juga berasal dari bahasa Arab, ahyar, yang berarti pilihan atau dipilih. “Ahyar” mengalami naturalisasi menjadi Anyar. Bayan, Thoriq (Carik), Ahyar (Anyar) secara umum berarti penjelasan tentang jalan pilihan, yakni Islam. Sebelum kedatangan Wali, menurut penjelasan Pemangku Karang Salah, Bayan dikenal sebagai negare suwung, yang artinya tempat yang sepi lantaran jumlah penduduknya yang masih relatif sedikit, dan lokasinya yang terisolir, belum tersedia prasarana jalan aspal yang menghubungkannya dengan wilayah lain di Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah.
1440 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Bagaimana Bayan yang sebelumnya begitu terisolir, buta bahasa Arab, dan belum memeluk Islam, dapat menggunakan bahasa Arab sebagai nama tempat, membangun masjid berikut perangkat keagamaan yang tetap berfungsi/bekerja sampai kini? Keterangan Pemangku Karang Salah mengacu lebih lanjut pada “figure dari luar” yaitu Wali yang berjasa memberikan nama-nama tempat dan membangun institusi Islam di wilayah yang jaraknya sekitar 90 kilometer dari ibu kota propinsi NTB, Mataram. Pengaruh (pemakaian) kosa kata Arab juga terlihat dari nama-nama perangkat adat di Bayan seperti Modin yang sebetulnya berasal dari kata Muadzin (orang yang mengumandangkan azan), Ketib berasal dari kata Khotib (pembaca kutbah). Anggapan bahwa Wali yang datang ke Bayan bukan dari Jawa Barat, adalah dengan tidak dipakainya “Ajengan”.yang berarti Kiai dalam bahasa Sunda Adanya istilah Penghulu dan Kiai Santri yang dipakai di Bayan untuk merujuk pada perangkat keagamaan di desa ini makin memperkuat kesan bahwa Wali yang mengajarkan Islam berasal dari wilayah sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bukti tertulis tentang kedatangan Wali dari Jawa di Gumi Sasak di antaranya adalah peninggalan kitab Al-Qur’an kuno, prasasti dalam bahasa Jawi kuno yang ditulis di atas daun lontar, dan dikenal dengan sebutan Jejawen atau takepan. Beberap lontar yang menceritakan Islam di antaranya adalah Jati Suara dan Layang Ambia. Penghulu Bayan menegaskan keberadaan lontar bertuliskan bahasa Jawi kuno memperkuat kesan tentang peranan Wali Jawa untuk menyebarkan Islam di Lombok dengan memakai bahasa Jawa. Lontar ini biasanya dikeluarkan dan dibaca oleh Kiai dalam event atau momen-moemn sakral, seperti di saat acara ngurisang (gunting rambut bayi)3, pegat/peleng sabuk kemaliq, ngitanang (khitan), dan ngawinang atau metikah (perkawinan atau menikah). Kecuali pegat sabuk kemaliq, semua acara ini merupakan sunah-sunah Rasul yang umum dilakukan oleh komunitas Sasak di Lombok. Bukti lain dari masuknya Islam di Lombok dari Jawa adalah tetap terpeliharanya tradisi pembacaan syahadat dan janji akad nikah dalam bahasa Jawa yang menjadi bagian inti dari ritual akad nikah di Bayan (Budiwanti 2000: 276): Asyhadu ala ilaa haillallah wa asyhadu anaa Muhamaddrasulullah. Asyhadu ingsun sinurun anak sine anging setoken ora ono Pangerang anging Allah Pangeran kang sabenere. Lan ingsun kang ngeruhi Muhammad utusan dening Allah. Sebutan Wali Rauh makin memperkuat kesan bahwa Wali yang mengajarkan Islam ke Lombok berasal dari Jawa. ‘Rauh’ berasal dari bahasa halus Jawa ‘rawuh’ yang berarti datang. Wali Rauh atau Wali Dateng (datang) bagi masyarakat Lombok identik dengan kedatangan Islam dari 3
Di dunia Islam dikenal dengan aqiqah, kemudian diIndonesiakan menjadi kekahan.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1441
Jawa. Beberapa nama tempat di Lombok, yang identik dengan nama tempat di Jawa Timur seperti Kediri, Kahuripan, begitu pula halnya dengan nama Prapen dan Giri Menang yang diambil dari nama Wali Sunan Prapen, dan Sunan Giri dari Jawa Timur menegaskan keterkaitan dan keterikatan sejarah (historical ties) Lombok dengan Jawa dalam Islamisasi. Masyarakat Rembitan bahkan secara khusus menyebut Wali Rabu Rauh yang berarti Wali yang datang pada hari Rabu. Mereka menganggap Rabu bukan hanya hari sakral yang menandai kedatangan Wali, tetapi juga hari yang teramat istimewa yang merefleksikan misi sang Wali: mengenalkan Rob (Penguasa dan Pengatur Alam Semesta). Rob dan Rabu dianggap memiliki kesamaan alphabet - keduanya berasal dari huruf Ro (huruf ke-sepuluh) dan huruf Ba’ (huruf ke-dua dalam bahasa Arab). Mereka memegang teguh pesan Wali untuk “mencermati” Rabu sebagai hari barokah dan keramat. Dua huruf pertama dari kata ‘baroqah’: Ro dan Ba’, secara etimologis dikaitkan pula dengan Rob dan Rabu. Dengan alasan ini maka hanya pada hari Rabu saja para penziarah diijinkan untuk mengunjungi makam Nyatoq. Selain hari Rabu makam Nyatoq tidak terbuka untuk umum, penjaga makam melarang siapapun untuk masuk,demi menjaga wasiat De side Wali Nyatoq. Berbagai situs keramat yang dihubungkan dengan kedatangan Wali di Lombok adalah masjid kuno dan makam keramat yang tersebar di berbagai wilayah Lombok dan tetap diziarahi oleh masyarakat dari dalam maupun luar Lombok. Disebut masjid kuno4 lantaran berdinding dan beratap bambu dan berlantai tanah, dan memiliki asosiasi yang kuat dengan figur keramat, Wali Dateng atau Wali Rauh, yang pertama kali merintis pembangunannya. Masyarakat Lombok menganggap Wali adalah sosok yang mengawali pembangun masjid di Lombok, sekaligus memperkenalkan fungsi masjid dan melengkapinya dengan perangkat fungsionaris keagamaan yang terkait dengan ativitas masjid: Penghulu, Ketib, Lebai, Modim, Kiai Santri. Beberapa masjid kuno yang masih dipertahankan keaslian bentuk bangunan dan bahan-bahan yang dipakai, menyiratkan kuatnya hubungan antara Wali dan pengikutnya. Masjid-masjid ini biasanya dipugar setiap 5 tahun sampai 10 tahun sekali – tergantung kondisinya- tanpa menghilangkan sama sekali format aslinya, maupun bahan-bahan bangunan yang dipakainya, yaitu dinding bambu, lantai tanah, atap rangka bambu yang ditutup dengan ilalang kering seperti yang terdapat di Pujut dan Rembitan, Lombok Tengah. Sedang di Bayan, 4 Ada sekitar 13 buah masjid kuno yang tersebar hampir di seluruh Pulau Lombok: 3 di Kecamatan Kahyangan-Lombok Utara(desa Sesaid, Sesalut, Gumantar), 7 buah di Kecamatan Bayan-Lombok Utara: (1) Batu Gembung desa Akar-Akar, (2) Dusun Labang Kara, (3) Dusun Sembagik, (4) Dusun Semokan, (5) dusun Sukadana –Desa Sukadana, 6) Bayan Beleq-Desa Bayan di desa Pujut dan Rambitan, 7 Dusun Barong Biraq- Desa Loloan; 1 buah di Desa Karang Bayan, Kecamatan Narmada, Lombok Barat; 2 buah di desa Desa Rambitan dan desa Rambitan, Kecamatan Pujut-Lombok Tengah.
1442 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Lombok Utara, masjid kuno berdinding bambu, berlantai tanah, dan beratap santek (susunan bilah-bilah bambu yang dibuat meruncing), keempat pilar masjid yang dibuat dari kayu suren- pohon pilihan. Bagi masyarakat Sasak, makam5 tidak identik dengan kuburan atau tempat yang menandai jasad (fisik) sang Wali dikuburkan, melainkan sebagai penanda di mana Wali terlihat untuk terakhir kalinya. Sebagian makam Wali di Lombok dipercaya sebagai situs di mana masyarakat menyaksikan keberadaan Wali untuk terakhirnya kalinya sebelum menghilang (mokse atau moksa). Mokse mengandung pengertian yang luas, menghilang untuk pergi, pindah, meneruskan perjalanan si’ar ke tempat lain6. Makam Batu Layar, makam Loang Baloq, makam Wali Nyatoq, dan makam Medane diyakini masyarakat sekitar sebagai penanda Wali Mokse. Juru kunci Makam Batu Layar di Senggigi, Lombok Barat, mengungkapkan bahwa makam Batu layar adalah tempat di mana Wali ketinggalan sorbannya saat beristirahat dan sholat, sebelum melanjutkan perjalanannya ke wilayah lain. Makam Loang Baloq, di Kelurahan Tanjung Karang, Kecamatan Ampenan Selatan, Kota Mataram memiliki legenda tersendiri tentang menghilangnya Wali di area ini. Penjaga makam di sini menuturkan bahwa Wali ketika itu berusaha menyelamatkan diri dari kejaran laskar kerajaan Bali yang menentang kegiatan si’ar beliau untuk merubah agama lokal Sasak. Wali akhirnya menemukan ‘loang’ (dalam bahasa Sasak berarti lubang) sebagai tempat persembunyian, dan masyarakat melihat kehadiran beliau yang terakhir kali di tempat persembunyian tersebut. Setelah ditinggalkan, loang yang dikelilingi belukar dan rawa-rawa tersebut dihuni oleh ‘bebaloq’, yang dalam bahasa Sasak berarti buaya. Semenjak itu makam yang didirikan untuk menandai tempat persembunyian dan sirnanya Wali disebut Loang Bebaloq yang artinya Lubang Buaya. Versi lain menceritakan Loang Baloq secara harafiah berarti lubang (loang) yang sudah sangat tua (baloq). Makam ini memang tepat berada di bawah pohon beringin yang berongga besar. Dari bentuk pangkal pohon dan cabang-cabangnya yang besar, dengan akar lebat yang menjuntai, pohon yang menaungi makam ini diyakini berumur ratusan tahun. Penjelasan petugas Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Mataram 5Makam berasal dari kata maqom (dalam bahasa Arab) yang berarti tempat. Seperti halnya makam Ibrahim, adalah tempat Nabi Ibrahim berdiri ketika hendak meninggikan pondasi Qa’bah. Bekas telapak kaki Ibrahim dinamakan makam Ibrahim. 6Beberapa makam keramat yang dipercaya sebagai situs atau tempat Wali Mokse di antaranya adalah: makam Loang Baloq dan makam Batu Layar di Lombok Barat, makam Medane di Lombok Utara, makam De Side Wali Nyatoq di Rembitan Kecamatan Pujut Lombok Tengah, makam Selaparang di desa Selaparang dan makam Haji Ali Batu di Sakra, Lombok Timur.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1443
menyatakan pada tahun 1866, seorang ulama besar bernama Maulana Syech Gaus Abdurrazak yang berasal dari jazirah Arab datang ke Palembang. Dari Palembang, beliau menuju perairan Selat Lombok, dan mendarat di pesisir Pantai Ampenan, Kota Mataram untuk menyebarkan Islam. Makam kedua disebut makam Anak Yatim, terletak di samping bagian luar makam Maulana Syech Gaoz Abdurrazak dengan ukuran yang relatif lebih kecil. Meski tidak berada tepat di ditengah-tengah beringin, makam ini juga dinaungi kerindangan cabang-cabang pohonnya. Di luar area pohon beringin, ada lagi makam Datuk Laut yang dinaungi bangunan permanen berukuran 3 x 4 meter berkeramik warna hitam. Anak Yatim dan Datuk Laut diyakini sebagai pengikut (murid) utama dari Syech Gaoz Abdurrazak. Ketiga makam ini ramai dikunjungi khususnya pada saat Lebaran Topat7. Makam Medane adalah penanda mokse dari Papuk Dane dan putri tercintanya di pantai Medane, Desa Medane, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Legenda setempat yang diceritakan kembali oleh penjaga makam mengungkapkan pada masa hidupnya Papuk Dane dikenal sebagai orang kaya yang sangat dermawan. Beliau dikenal memilik lahan pertanian dan kebun yang luas serta ternak yang banyak. Hasil bumi dan ternak sering dia berikan pada siapa saja yang memintanya. Beliau dikenal sebagai tokoh yang tidak pernah menolak permintaan. Ajaibnya, harta beliau tidak pernah berkurang, bahkan semakin sering diberikan semakin bertambah. Suatu hari datanglah utusan dari penguasa (datu) setempat yang mendatangi Papuk Dane dan meminta harta yang paling berharga, yaitu putrinya bukan untuk dikawini tapi untuk dibunuh. Dengan berat hati Papuk Dane memberikan. Singkat cerita, karomah yang dimiliki Papuk Dane, membuat putrinya tertukar dengan putri penguasa. Keduanya terlihat terakhir kalinya di pantai Medane, sebelum pergi untuk menyelamatkan diri. Tak seorangpun mengetahui keberadaan mereka. Kisah ini berakhir dengan penderitaan penguasa dzolim yang tidak menyadari bahwa yang dibunuh pengawalnya adalah putrinya sendiri. Masyarakat mendirikan makam disekitar pantai Medane untuk menandai tempat Papuq Dane dan putrinya mokse sekaligus menghormati kedermawanan dan pengorbanan beliau. Makam keramat, yang senantiasa ramai dikunjungi peziarah khususnya di hari-hari besar Islam seperti di waktu Lebaran Topat pada bulan Sywal, Lebaran Haji di bulan Dzul Hijjah, dan Maulud di bulan Rabiul Awal, adalah sacred symbols yang menjadi pusat-pusat penghormatan 7Sebagian masyarakat Lombok menjalankan puasa sunnah yang disebut juga sebagai Puasa Syawal dari tanggal 2 sampai dengan 6 di bulan Syawal. Pada hari ke-7 Syawal mereka merayakan Lebaran Topat, dan sebagian merayakannya dengan mendatangi makammakam keramat yang terletak di sepanjang pantai mulai dari makam Cemare di Lembar, Loang Baloq di kota Mataram, Bintaro dan Batu Layar di Lombok Barat, sampai ke makam Medanae di Lombok Utara, makam Nyatoq dan makam Ketaq di Lombok Tengah.
1444 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization kolektif terhadap Wali dan misi mengIslamkan yang dijalankannya. Tradisi ziarah merupakan collective representation – cara masyarakat setempat untuk mencintai, mengenang, dan menghormati figur spiritual yang sekaligus diyakini memiliki karomah dan membawa keberkahan. Keberadaan Wali juga dihubungkan dengan munculnya mata air yang dikeramatkan, seperti di Kemaliq Lingsar, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar. Kemaliq Lingsar adalah bangunan yang menaungi mata air keramat yang kemunculannya dihubungkan dengan kedatangan Wali Syech Maliq Ibrahim yang dikenal pula dengan gelar Raden Mas Sumilir. Menurut narasi Pemangku Kemaliq Lingsar, Suparman, air memancar dari celah-celah lubang tatkala Raden Mas Sumilir menarik tongkat yang ditancapkannya. Sebelumnya, Lingsar dikenal sebagai lahan kering yang tandus, tak memiliki sumber mata air. Sejak penemuan mata air ini, Lingsar menjadi lahan pertanian yang subur. Sejak itu pula, menurut penuturan Suparman, kehadiran Wali dimaknai sebagi penghantar keberkahan Tuhan, ‘berkah Wali’. ‘Keberkahan’ ini bukan saja berujud ajaran Wali yang tetap berkembang, tetapi juga dari mata air yang tidak pernah kering dan menghidupi sekian generasi dari sejak ditemukannya sekitar abad ke15-16. Di samping kesuburan, mata air di Kemaliq Lingsar diyakini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Masyarakat selalu membasuh muka, kepala, tangan, meminumnya setiap berziarah ke Kemaliq, menyimpannya di dalam botol, jirigen dan membawanya pulang. Gelar Raden Mas adalah penanda latar belakang Wali, sebagai tokoh bangsawan Jawa, sedang ’Sumilir’ menandai tehnik atau metoda beliau dalam menyampaikan ajarannya. Mangku Suparman mengisahkan bahwa Wali dari Jawa sangat dikenal santun, berbudi pekerti halus yang membuat rakyat sangat tertarik pada kepribadian beliau. Cara-cara yang begitu lembut dan menyejukkan hati membuat beliau dijuluki Sumilir. Nama ini berasal dari kosa kata Jawa, silir-silir yang berarti angin sejuk sepoi-poi basa. Masyarakat merasakan ketenangan yang luar biasa berada di dekat Wali dan mendengarkan tutur kata beliau yang memukau. Singkat kata, gelar ‘Sumilir’ secara simbolik merepresentasikan keindahan ahlak beliau (ahlaqul qorimah) dalam menyampaikan wejangan-wejangan, yang membuat masyarakat mudah menerima segala sesuatu yang beliau ajarkan. Setiap tahunnya sebelum acara Perang Topat dimulai, masyarakat Lingsar mengadakan ritual procession mengelilingi bagian luar dan dalam Kemaliq, masing-masing sebanyak tiga kali putaran. Kebon Odik Mame dan Kebon Odik Nine, botol momot, pesajik topat, dan buah-buahan lainnya diusung di atas kepala oleh para wanita tua (sudah menopause) sebagai bagian dari prosesi ini. Ritual mengelilingi kemaliq ini merupakan simbol napak tilas jejak Wali”, dan dimaknai sebagai mengikuti langkah-langkah (ajaran) Wali.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1445
Kebiasaan membasuh muka, kepala, dan tangan, kemudian menyimpan dan membawa pulang air yang dikeramatkan, begitu pula dengan mengambi sejimpit tanah makam Nyatoq dilandasi keyakinan akan karomah Wali. Air dan tanah ini dianggap mempunyai ‘healing power’berisi kekuatan menyembuhkan. Kosmologi tentang penyakit dan penyembuhan melekat pada situs-situs “peninggalan” Wali. Tidak mengherankan bila situs-situs keramat menjadi pusat ziarah, penyembuhan, dan juga tempat menyelenggarakan ritual di sekitar siklus kehidupan manusia (life cycle rituals) seperti ngurisang, pegat (potong) sabuk kemaliq, ngitanang, dan bayar nadzar. Simbol-Simbol Ritual dan Pemaknaanya Mengenal Diri dan Oposisi Binari (Binary Opposition) Wali dipandang memiliki kemampuan menafsirkan ajaran agama ke dalam konteks sosio-kultural dengan memanfaatkan media setempat. Kontekstualisasi teks ayat suci ke dalam simbol perilaku ritual tercermin dari penggunaan pesajik (sajian ritual) sebagai catalyst atau medium untuk mengajarkan nilai tertentu. Bebeberapa perilaku ritual yang diilhami kisahkisah dalam Al Quran dan diselenggarakan pada bulan-bulan Islam dinamai sesuai dengan pesajik yang menjadi penanda utama seremoni. Di antaranya adalah: Selametan Bubur Petaq (Putih), Bubur Beaq atau Bubur Abang (Merah), Lebaran Topat, dan Perang Topat. Ritual ini merupakan ciri khas Islam Sasak. Masyarakat Rembitan, Lingsar, dan Bayan menyelenggarakan Selametan Bubur Putiq8 dan Bubur Beaq untuk memperingati penciptaan manusia pertama dan kedua, Adam dan Hawa. Selamatan pertama diselenggarakan pada 10 Muharram, sedang yang kedua pada 12 Sapar. Putih adalah representasi nutfah (semen) yakni Adam, sedang Merah adalah representasi haid (menstrual blood), yaitu Hawa. Makna yang diwakili dari Putih dan Merah adalah pasangan yang berlawanan (binary opposites): sepasang mata kanan dan kiri, lahiriah-batiniah (raga-jiwa), Adam dan Hawa, lelaki dan perempuan, awal dan akhir, kelahiran (kehidupan) dan kematian. 8 Bubur putih dibuat dari tepung beras yang dimasak dengan adonan santan dan diberi garam. Sementara bubur merah ditambah dengan gula merah. Bubur ini dipersiapkan di bale pemole (rumah adat), setelah matang ditempatkan dalam mangkok dan di tempatkan di atas dulang. Dalam menyiapkan pesajik mereka tidak menggunakan perabotan modern, tetap memelihara semua peralatan tradisional yang terbuat dari tanah liat: kuali perebus bubur, telekuk (mangkok tanah liat), dulang (nampan tanah liat berbentuk bulat berdiameter 15 centimenter) untuk menempatkan mangkuk bubur. Peralatan tanah liat merupakan simbol yang mengingatkan jati diri (makrifat diri) bahwa manusia asal dari tanah akan kembali ke tanah. Pesajik bubur dibawa dalam satu prosesi ke masjid kuno sebagai pusat peringatan dengan Kiai sebagai pemimpin doa. Menyantap bubur bersama-sama menjadi bagian penutup dari seremoni ini.
1446 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Masyarakat Bayan di Lombok Utara menyebut Muharram sebagai bulan asal-usul kejadian (Budiwanti 1997: 175-176). Muharram disebut pula dengan wulan kemetuan, berasal dari bahasa Jawa: wulan (bulan) dan kemetuan atau metu yang berarti keluar atau lahir. Mereka meyakini bahwa Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, dan Hawa sebagai manusia kedua, oleh karenanya selametan yang menandai penciptaan Adam diperingati terlebih dahulu daripada Hawa. Bubur petaq dan bubur abang adalah hidangan ritual utama yang dikonsumsi bersama dalam peringatan ini. Pemangku Lingsar, Suparman, menjelaskan makna yang diajarkan melalui simbol-simbol perilaku ritual tahunan ini adalah manusia diingatkan tentang asal-usul kejadiannya, yakni dari Adam yang diciptakan langsung dari tanah, dan kemudian ditiupkan roh oleh Sang Pencipta. Peringatan Bubur Putih dan Bubur Merah, menurut Suparman, lebih dalam lagi dimaksudkan agar manusia mengenali dirinya (makrifat nafsi) untuk bisa mengenali siapa Penciptanya (makrifatullah). Termasuk disini adalah mengenali proses kejadiannya dan tujuan penciptaannya. Suparman menamakannya Wetu Telu (waktu tiga): waktu diciptakan dan dilahirkan di dunia (darimana asalmu), sewaktu menjalani kehidupan di dunia (untuk apa hidupmu), waktu setelah meninggalkan dunia (dimana tempat kembalimu yang abadi). Ajaran Wetu Telu ini bersinggungan dengan ajaran Sangkan Paraning Dumadi yang dianut oleh faham sufisme Jawa. Sangkan Paraning Dumadhi merupakan ajaran dari Wali Syech Siti Jenar yang termaktub dalam lirik dandang gulo (http://kariyan.wordpress.com/284-2/): Kawruhana sejatining urip (Ketahuilah sejatinya hidup), Urip ana jroning alam donya (Hidup di dalam alam dunia), Bebasane mampir ngombe (Ibarat perumpamaan mampir minum), Umpomo manuk mabur (Seumpama burung terbang), Lunga saka kurungan neki (Pergi dari kurungannya), Pundi pencokan benjang (Dimana hinggapnya besok?), Awja nganti keliru (Jangan sampai keliru) Umpama lunga sesanja (Umpama orang pergi bertandang), Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih (Saling bertandang, yang pasti bakal pulang), Mulih mula mulanya (Pulang ke asal mulanya) Baik Wetu Telu maupun Sangkan Paraning Dumadi sama-sama mengandung nasehat penting tentang: i) kemanakah setelah kita ‘mampir ngombe’ (mampir minum) di dunia ini, ii) dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari ‘kurungan’ (badan jasmani) dunia ini, iii) kemanakah kita hendak pulang setelah pergi bertandang ke dunia ini. Penganut faham sufistik-kejawen memahami pertanyaan ini sebagai tangga makrifat untuk mengenali siapa diri, dan siapa yang akan melepaskan burung dari kurungan (mengeluarkan ruh dari badan jasmani) atau mengembalikan kita
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1447
ke tempat yang kekal abadi. Dengan kata lain Wetu Telu dan Sangkan Paraning Dumadi pada intinya sama-sama mengajarkan untuk tidak berorientasi pada kehidupan dunia saja, sebab dunia bukanlah tempat yang langgeng, di samping mengajak untuk mengenali diri agar bisa mengenali yang Azali (man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu). Kemampuan untuk mengenali diri diyakini sebagai satu maqom (tingkatan spiritualitas) untuk menuju pada tingkatan yang lebih tinggi, yakni mengenali Robb. Adanya kesamaan faham antara Sasak dan Jawa tentang asal usul dan tujuan hidup hakiki memperkuat asumsi bahwa yang pertama mengadopsi pengaruh Islam dari yang kedua. Berdasarkan penjelasan Pemangku Lingsar dan Bayan, selamatan bubur putih dan bubur merah merupakan representasi simbolik dari asalusul kejadian manusia dan tujuan hidup yang paling hakiki, azwaja (pasangan hidup yang berlawanan jenis), nasab (pertalian keturunan) melalui perkawinan, ajaran Wetu Telu (Sangkan Paraning Dumadi), dan mengenali sang Pencipta (makrifatullah) melalui pengenalan jati diri (makrifatul nafsi). Khusus di wilayah Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar kabupaten Lombok Barat, binary opposites dilambangkan dengan sepasang Kebon Odek Mame dan Kebon Odek Nine yang diarak dalam prosesi sebagai bagian dari ritual Perang Topat9. Susunan Kebon Odek terdiri dari: bagian terbawah wadah kuningan yang berisi beras, koin Cina (kepeng bolong), daun sirih, di bagian tengah berupa buah kelapa yang di tengah-tengahnya ditancapkan satu bilah bambu berukuran sekitar 25 cm yang di ujungnya ditancapi dengan buah nenas (utuk Kebon Odek Nine) dan buah papaya untuk Kebon Odek Mame. Dalam bahasa Sasak, mame berarti laki-laki, dan nine berarti perempuan. Mame dilambangkan dengan buah pepaya, sedang nine dilambangkan dengan buah nenas. Sekeliling buah kelapa ini ditancapi lagi dengan delapan buah bilah bambu berukuran 20 cm. Di ujung masingmasing bilah ditancapi dengan beraneka buah-buahan. Sedang bungabungaan yang ditancapkan di lidi dipasang mengelilingi buah nenas dan papaya. Menurut keterangan Suparman, Pemangku kesembilan dari situs keramat Kemaliq Lingsar, Kebon Odek (secara harafiah berarti Kebun/Taman Mini), adalah “simbol miniatur dunia dan isinya”. Ketiga susunan Kebon Odek ini dimaknai berbagai jenis mahluk penghuni bumi: i) Manusia (perempuaan dan laki-laki yang dilambangkan dengan nenas dan pepaya), ii) bumi bulat yang dilambangkan dengan buah kelapa, iii) 9Ritual Perang Topat dilaksanakan setiap tahunnya di Lingsar antara umat HinduBali dan Sasak Muslim tepatnya pada sasih purname kepitu dalam kalendar tradisional Sasak. Ini adalah perang simbolik yang menggunakan ketupat sebagai senjata dan untuk mewujudkan perdamaian diantara keduanya. Permusuhan masa lalu antara Bali dan Sasak didamaikan melalui ritual symbols (lihat Budiwanti 2013: 18-24).
1448 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization diversifikasi tanaman yang dilambangkan dengan bijian-bijian, buahbuahan, dan bunga-bungaan. Kebon Odek Mame dan Nine melambangkan isi dunia yang subur, yang dihuni mahluk yang beraneka ragam dan masingmasing memiliki pasangan-pasangan. Serabi, Rabu, dan Ritual Bayar Nadzar Masyarakat Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah mempercayai bahwa masjid kuno dan makam Nyatoq adalah dua bangunan keramat yang menandai keberadaan Wali Rauh di wilayah ini. De Side Wali Nyatoq adalah figur yang membangun masjid kuno di sekitar abad ke-16. Sedang makam Nyatoq yang terletak sekita 5 kilometer di Utara masjid kuno Rembitan adalah tempat beliau moksa (menghilang). Penduduk Rembitan memiliki kebiasaan untuk membayar nadzar (kaul) di dalam masjid kuno, dan ini diyakini sebagai tradisi yang diwariskan oleh Wali. Kaul berasal dari bahasa Arab ‘qul’ yang berarti berucap. Nadzar biasanya berbentuk ucapan atau tidak diucapkan tetapi memasang niat di hati, bahwa jikalau terkabul apa yang diharapkan dia akan saur sesangi (memenuhi nadzarnya) di dalam masjid kuno. Harapan ini bemacam-macam seperti sembuh dari penyakit, lulus sekolah, mendapat pekerjaan, terlunasinya hutang, mendapatkan jodoh, anak. Ritual bayar nadzar atau kaul dilakukan setelah hajat atau cita-cita seseorang terlaksana. Kue serabi10 menjadi pesajik utama dalam ritual bayar nadzar/kaul yang dibawa dalam suatu prosesi oleh para anggota keluarga yang membayar nadzar ke masjid kuno, sekitar tujuh sampai sepuluh orang. Kiai memimpin seremoni bayar nadzar di dalam masjid dengan bacaan Al Fatihah, surat-surat pendek, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat Nabi, dan ditutup dengan doa yang diamini oleh rombongan prosesi. Ritual ini diakhiri dengan makan serabi secara bersama-sama. Kepercayaan tentang berkat memberikan alasan untuk menyisakan sebagian kue serabi untuk dibawa pulang dan dibagikan pada anggota keluarga di rumah. Ini dimaksudkan agar mereka juga menikmati berkat, keberkatan dari serabi yang dihantar ke masjid kuno dan sudah didoakan oleh Kiai. Berkat berasal dari kosa kata Arab, baroqah, dan setelah diadopsi ke dalam bahasa setempat menjadi berkah/berkat. Tokoh adat Rembitan, Mamik Zul, menyatakan bahwa tradisi di atas bermula dari kebiasaan Wali yang setiap hari Rabu minta diberi hindangan khusus,“serabi”. Mamik Zul menuturkan bahwa Rabu – sebagai hari 10 Serabi adalah penganan kecil yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan. Adonan santan dan tepung beras ini dicetak dan dipanggang dengan kayu bakar di atas sagon (pemanggang dari tanah liat). Kue serabi yang berdia meter 17 sentimeter di tempatkan di mangkuk dari tanah liat. Dalam satu mangkuk berisi lima sampai tujuh buah serabi. Dua mangkuk serabi dan semangkuk santan ditata di atas sampak (nampan dari tanah liat) dan menjadi pesajik utama dalam ritual bayar nadzar.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1449
keberuntungan Wali - dan serabi sebagai makanan kesukaan beliaumemiliki pertautan simbolik. “Keduanya mempunyai dua huruf utama: ‘ro’ dan ‘ba’ yang mengacu pada Robb – yang Menciptakan. . ‘Rabu’dan ‘serabi’ secara simbolik mengisyaratkan hubungan dengan Robb” sebagai pengatur keseimbangan kosmos. Semua bahan utama untuk pembuatan serabi berwarna putih: beras, tepung beras, santan, dan, garam, dan kain putih yang menyelimuti tempolak (penutup dulang). Warna putih representasi dari kesucian. Yang mengolah hidangan rata-rata perempuan tua yang sudah menopause dan di kerjakan dalam rumah adat (bale pemole) untuk menjaga kualitas kesuciannya. Wanita yang menstruasi identik dengan ritual pollution karenanya tidak diperkenankan untuk memasak apalagi menyajikan. Penekanan aspek kesakralan dalam perilaku ritual bukan hanya menyangkut tata cara menyiapkan serabi sebagai pesajik utama, tetapi juga pemilihan tempat penyelenggaraan ritual bayar nadzar yakni di dalam masjid kuno dan diiringi doa-doa yang dipimpin oleh Kiai bukan Pemangku. Nasi Rasul dan Milad Nabi Peringatan kelahiran Nabi Muhammad di Lombok disebut Mulud, dari kosa kata Arab ‘milad’ yang berari lahir. Di Lingsar kelahiran Nabi Muhammad diperingati dengan pembuatan Nasi Mulud dan Nasi Rasul11. Nasi Mulud secara simbolik menandai kelahiran Rasulullah, sedang Nasi Rasul secara simbolik dimaknai sebagai perjalanan hidup Rasulullah yang berarti perjalanan Islam itu sendiri. Mereka menyiapkan hidangan makanan ini dengan sangat takzim. Hanya wanita-wanita tua (yang sudah menopause) yang diijinkan mengolahnya, untuk menjaga “kesucian” hidangan. Di Lingsar, dzikiran – ditandai dengan pembacaan surat Al Fatihah, surat-surat pendek, tahlil, tahmid, tasbih, sholawat Nabi, do’a selamat menjadi inti perayaan Mulud dan diadakan setelah selesai Sholat Subuh, sekitar jam lima pagi di kediaman Mangku Suparman. Mangku mengungkapkan, lantaran Rasulullah lahir pada waktu Subuh, sebelum matahari menyingsing acara sudah selesai. Nasi Mulud dan Nasi Rasul menjadi hidangan utama yang disajikan setelah selesai acara dzikiran. Hakekat perayaan Mulud di Lingsar dan Lombok umumnya, sebagaimana dikatakan Suparman adalah: Nabi dilahirkan untuk membawa rahmat Tuhan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Beliau lahir di kala Subuh, Subuh adalah 11Kedua nasi ini dibuat dari bahan ketan putih yang diwarnai dengan kunyit, di atasnya ditaburi serundeng (parutan kelapa muda yang digoreng dengan bumbu bawang), suwiran daging ayam kampung panggang, kacang dan bawang goreng. Dihidangkan di atas alas daun pisang yang kemudian dihidangkan di atas dulang (nampan terbuat dari tanah liat).
1450 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization “cahaya” dini hari yang menyiratkan misi beliau memberi penerangan (pencerahan) hati bagi seluruh penghuni alam. Muhammad lahir untuk membebaskan manusia dari kegelapan menuju penerangan (fii zulumati ilaannuur). Simbol-simbol yang tersirat dalam ritualisme mengandung realitas kosmologik – hubungan antara micro dan macro cosmos- yang dihayati bersama oleh masyarakat pelaku ritual tersebut. Kesepahaman kolektif tentang makna kosmologik (cosmological meaning) yang terkandung di dalam ritual tertentu di samping menjamin kedekatan hubungan emosional dengan dunia transedental yang immanent, juga menjaga kelangsungan solidaritas sosial itu sendiri (Durkheim 1995). Simbol-simbol ritual dengan realitas kosmologik di dalamnya, dengan demikian menegaskan statement Walter Kintsch (2008: 145): Simbol-simbol dikonstruksikan agar bermakna karena dihubungkan dengan simbol-simbol lain. Simbol tidak selalu ditentukan oleh alam (fisik material) yang nyata (visible), tapi lebih merupakan refleksi dari alam nyata itu sendiri. Hal ini berarti inner subjective meaning yang diangkat dan dilekatkan pada simbol bisa berbeda sekali dengan bentuk luar (outer performance) dari simbol itu sendiri. Ini menguatkan pendapat Tillich (1957) bahwa simbol mewakili makna di luar simbol itu sendiri dalam arti kandungan makna bisa bertolak belakang dengan wujud simbol yang mewakilinya. Bagi masyarakat Rembitan, ‘Serabi’ dan ‘Rabu’ adalah simbol-simbol mengubungkan mereka sebagai bagain dari micro-cosmos dengan macro cosmos (universe), maupun dengan penguasa dan pengatur kosmos. Keyakinan tentang adanya keseimbangan kosmos menghubungkan manusia sebagai pelaku ritual dengan dunia transcendental. Dunia ketubuhan (fisikal) manusia memaknai relasi sosialnya maupun hubungan spiritual-transendentalnya melalui simbol-simbol perilaku keagamaan. Wali berperan sebagai figur yang mengenalkan, sekaligus memaknai simbolsimbol pengetahuan transendental yang daiajarkannya dan menjembatani hubungan di antara kedua kosmik d atas. Atribut KeWalian: Karomah, Wasilah, Ngalap Berkah Wali diyakini memiliki keistimewaan spiritual yang tidak diberikan atau dimiliki sembarang orang. Wali digambarkan sebagai figur yang dikeramatkan lantaran kedalaman pengetahuan keagamaannya dan kedekatan hubungannya dengan Tuhan. Di samping itu Wali dianggap memegang peran penting dalam membentuk dan membina kesalehan masyarakat. Kesalehan Wali yang melahirkan kekaromahannya dan menumbuhkan kepercayaan setempat tentang barokah, wasilah, dan ngalap (mencari) berkah.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1451
Salah satu manifestasi nyata dari kekaromahan Wali, adalah doanya yang makbul lantaran kedalaman hubungannya dengan Allah. Samsul Munir Amin (2008:28) menyatakan bahwa “karomah” seorang Wali terjadi karena kehendak Allah. Allah yang menganugerahkan karomah tersebut. Karomah ini secara khusus diberikan kepada orang-orang yang masa hidupnya diperuntukkan bagiNYA dan didedikasikan bagi pengemban agamaNYA”. Lebih jauh lagi Samsul Munir Amin (208:40-41) mengemukakan bahwa Wali dikaruniai extra-sensory perception, pregocnition yakni kemampuan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan datang, menerima informasi gaib melalui mimpi (kasyaf), bisikan hati, pandangan hati (bashiroh). Ini disebut ilmu weruh sadurunge winarah (mengetahui kejadian masa depan). dan menjadi bagian dari karomah para Wali di Jawa maupun Lombok. Karomah adalah suatu keistimewaan yang diberikan Tuhan karena kedekatan hubungan Wali dengan Pencipta (Schimel 1975, Soebardi 1976, Titus1930, Woodward 2004). ”Kehidupan keagamaan Islam berhubungan erat dengan para Wali dan penghormatan terhadap mereka, dan sejarahnya berkelindan satu sama lain” (Titus dalam Woodward 2004: 105). “Penghormatan Wali berkaitan erat dengan pemahaman teologi mengenai kenabian, kosmologi, dan kesempurnaan manusia”(Schimel dalam Woodward 2004: 105) . Karomah atau keramat bermakna sesuatu yang luar biasa yang zahir maupun yang batin yang tidak bisa diperoleh dengan dipelajari, dan tidak pula diajarkan. Ini merupakan suatu kemuliaan dari Allah untuk para hamba-Nya yang Dia ridhoi (Samsul Munir Amin 2008). Taraf kekeramatan seorang Wali, menurut Samsul Munir Amin, lebih rendah daripada mukjizat para rasul. Lantaran hanya Rasul yang menerima mukzizat langsung dari Allah berupa turunnya wahyu yang merupakan kalam atau firman Allah. Hanya Rasul yang langsung berdialog dengan Malaikat (Jibril dengan Muhammad), dengan Allah seperti kisah Musa di bukit Thursina. Henri Lambort dan Claude Gulliot (2007) menafsirkan Karomah sebagai keajaiban. Sedang Samsul Munir Amin (2008:9) menyebut kekaromahan Wali sebagai persitiwa khawariqul ‘adat dengan menyebutkan sebagian dari karakteristiknya: (i)Tidak tunduk pada dimensi ruang dan waktu. Ini berarti dekat dan jauh, di sini dan di sana sama saja, tidak ada selisih jarak dan waktu yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya, satu masa ke masa yang lain (past, present, future become one time line). (ii) Tidak tunduk pada hukum kebendaan. (iii)Tidak tunduk pada hukum sebab akibat sebagaimana terjadi pada alam benda dan peristiwa normal sehari-hari. Di samping diyakini memiliki keistimewaan (kekuatan) spiritual atau karomah, Wali juga dipercaya bisa mendekatkan hubungan seorang hamba
1452 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization dan menghantarkan doa-doanya kepada sang Kholiq. Dengan kata lain, Wali dianggap bisa menjadi mediator, penengah, penghubung, perantara (wasilah) yang mampu mendatangkan barokah atau keberkahan dari Maha Pencipta. Kepercayaan tentang wasilah dan ngalap berkah yang melatari alasan makam-makam dan situs-situs yang dibangun Wali semacam masjid kuno dan sumber mata air, selalu menarik perhatian dan mengundang banyak pengunjung. Banyak peziarah yang bertawasul dengan dasar keyakinan Wali dapat mempercepat proses diterimanya/dikabulkannya doa tersebut. Tidaklah mengherankan apabila para peziarah, sambil jongkok di sisi makam mengutarakan niat dan tujuannya berziarah, seperti meminta rizki, pengobatan, mendapatkan jodoh yang ideal, memiliki anak, pekerjaan, dan posisi yang menguntungkan. Tradisi berziarah yang mencari dan mengharap keberkahan sang Wali (ngalap berkah) mengundang kontroversi dan perdebatan di kalangan Muslim Muhamadiyah dan pengikut salafus salih. Uniknya, kepercayaan untuk berwasilah atau bertawasul dengan Wali bukan hanya berkembang di Lombok, atau Indonesia pada umumnya, tetapi juga di Brunei, Malaysia, dan India. Soebardi (1976:44) mengungkapkan bahwa “pengkultusan terhadap Wali berujud dalam prilaku atau tindakan untuk menziarahi makam-makam keramat mereka”. Bertawasul dengan menziarahi dan berdoa di makam-makam Wali merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Sasak di Lombok, dan dikerjakan terutama di saat ‘bulan-bulan besar’ seperti Idul Fitri, Lebaran Topat di bulan Syawal, dan Idul Adha/Qorban yang dikenal pula sebagai bulan Haji. Tradisi ini bertahan seiring dengan existensi Islam itu sendiri. Selama Islam berkembang, selama itu pula pengaruh Wali berikut atributatribut spiritual yang menyertainya – karomah, barokah, wasilahsenantiasa hadir dan membentuk realitas kultur keagamaan setempat. Ibarat sumber air yang terus mengalir, karomah dan keberkahan yang melekat pada sosok Wali tidaklah pupus, walau secara fisik beliau tidak hadir lagi di tengah-tengah mereka. Wali tetap berpengaruh, dikenang, abadi dalam ingatan sebagaimana dengan ajaran yang disebarkannya. Kelestarian atribut dan karakteristik spiritual ini menjadi bagian yang menyatu dari tanda keWalian itu sendiri. Mangku Gingsir, juru kunci makam Nyatuq Rembitan, menyatakan hubungan antara sosok Wali dengan apa yang diajarkannya laksana air dan tanah. Air adalah sumber segala kebaikan dan sumber kehidupan. Tanah akan selalu memerlukan air untuk menumbuhkan pohon yang subur dan banyak buahnya. Ajaran yang baik datangnya dari orang yang baik – yang mampu menunjukkan ketauladanan atas apa yang diajarkan– dan pasti menghasilkan kebaikan pula, yakni mempengaruhi perilaku dan tindaktanduk konstruktif bagi orang-orang yang diajarinya.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1453
Masyarakat menilai ‘karomah’, ‘barokah’ yang disandang Wali adalah konsekuensi layak dan patut diterima sebagai hasil kedalaman hubungannya dengan Tuhan. Atribut ini mereka pandang semacam ‘hadiah’ karena Wali pada hakekatnya adalah Wakil Allah di muka bumi (Waliullah) yang berbuat dengan ‘tangan’ Allah, ‘melihat’ dengan ‘pandangan’ Allah, berbicara dengan ‘lidah’ Allah, dan ‘berjalan’ dengan ‘kaki’ Allah. Kesimpulannya, seperti yang dikatakan Michael Chodkiewicz (dalam Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot 2007: 10-19) bahwa “Para Wali adalah friends of God (mereka yang mencintai dan dicintai oleh Allah) dan dikatagorikan sebagai kelompok ‘orang-orang yang didekatkan’ (muqorrobin). Imam Ja’far Shadiq (dalam Claude Guillot 2007: 23) menyatakan bahwa “Allah telah menjadikan hati WaliNYA taman keakraban-NYA karena Allah berada di hati mereka. Dia telah menanam di taman itu pohon-pohon makrifat-Nya”. Sebagaimana halnya hubungan antara Islam dengan Muhammad, yang tak mungkin dipisahkan, begitu pula hubungan antara Wali dengan para pengikutnya termasuk disini peziarah. Islam diajarkan melalui lisan Rasul, yang kemudian diteruskan ke para Wali. Oleh karenanya Wali juga disebut sebagai pewaris Nabi (ulama wa rosatul ambiya) yang menjadi bagian mata rantai proses penyebaran Islam. Selama ajaran Islam tetap berkembang atau diamalkan, selama itu pula nama Muhamamd saw, dan para Wali yang melanjutkan risalah Nabi akan tetap harum dan dikenang. Mereka mendapat gelar Waliullah – Wakil Allah di muka bumi - dan jasa mereka tetap lestari dalam collective memmory masyarakat lokal secara turun temurun. Karomah pada intinya merupakan kejadian, peristiwa-peristiwa ajaib yang tidak bisa dibayangkan secara lahiriah, tidak pula bisa diukur dengan akal sehat. Tiap Wali dikarunia kekhususan karomah, dalam arti masingmasing dianugrahi karakteristik kekaromahan yang berbeda-beda, spesifik. Sebagaimana dijelaskan di atas, keyakinan masyarakat Lingsar tentang sumber mata air yang keluar dari tongkat yang dicabut Wali Raden Mas Sumilir adalah bagian dari karomah ilmu beliau. Masyrakat Rembitan mempercayai Wali Nyatoq bisa menembus batasan jarak ruang dan waktu, dan kemampuan ini diyakini sebagai bagian dari karomah (kemulian) dan barokah yang Allah anugrahkan khusus buat beliau. Wali kerap diceritakan dapat berada di beberapa tempat dalam tempo yang sama sebagaimana penuturan Mangku Rambitan di bawah ini Menurut cerita orang-orang tua dulu setiap hari Jum’at Wali Nyatoq selalu membawa oleh-oleh buah-buahan yang dikeringkan, buah kurma yang tidak terdapat di sekitar sini, dan sebotol air suci yang beliau katakan banyak mengandung barokah, dan disebutnya zam-zam. Wali bercerita bahwa beliau baru menjalankan sholat Jum’at menghadap batu hitam berbentuk kubus.
1454 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Pernghormatan terhadap Wali dan ajarannya juga tercermin dari pemeliharaan sumber mata air, bowon Grepek, yang terdapat di lokasi menuju makam Nyatoq, sumur air (tampelan) di depan makam dan komplek masjid kuno Rambitan. Ketiga situs air ini digunakan untuk berwudhu (mencuci muka, tangan, dan kaki) sebelum memasuki areal dalam masjid kuno dan makam Nyatoq. Menurut Pemangku Gingsir, juru kunci makam Wali Nyatoq di Rembitan, “sumber mata air ini menjadi saksi bagaimana Wali dulu mengajari nenek moyang kami thoharoh (membersihkan diri) dan berwudhu sebelum memasuki tempat atau bangunan suci”. Kebiasaan ini, menurutnya, adalah perlambang bahwa kalbu dan niat dalam hati juga perlu disucikan, di samping jasmani. “Wali mengutamakan kebersihan lahir dan batin”. Penghormatan terhadap Wali bukan hanya terjadi di masa-masa awal proses pengajaran dan penerimaan Islam, tetapi cenderung berlanjut sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Wali diyakini masih tetap hidup, dalam pengertian hakekat, yakni ajarannya yang tetap berkembang. Amin (2008:7) memperkuat asumsi “kelestarian” ini dengan menyitir Qs Ali Imran (3): 169 : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Menurut Amin menyebarkan ajaran Islam masuk dalam kategori berjuang di jalan Allah”. Di Lombok terdapat berbagai pendapat yang bervariasi tentang figur yang berperan dalam penyebaran Islam. Sebagian tokoh adat di Bayan, Kecamatan Bayan menyebut Sunan Prapen, cucu dari Sunan Giri merupakan Wali yang sangat berjasa mengIslamkan Lombok, sedang tokoh adat Sesaid, Kecamatan Kahyangan, Lombok Utara menyatakan Syech Sayid Rahmat yang datang pertama kalinya ke Desa Sesaid untuk mengenalkan Islam. Di Lingsar, Lombok Barat adalah Sunan Malik yang bergelar Raden Mas Sumilir. Dua desa dalam satu Kecamatan Pujut, Lombok Tengah mengembangkan versi yang berbeda: desa Rembitan menyebut Wali Nyatoq, dan Syech Ali Ramitan untuk desa Sade. Begitu pula dengan Lombok Timur yang menokohkan Syech Gaoz Abdur Razak. Pemangku Rembitan dan Lingsar mengakui bahwa Wali sebenarnya satu, namun menggunakan nama yang berbeda-beda di setiap tempat yang disinggahinya. Studi antropologis tentang Wali tidak menelusuri validitas dan reliabilitas masing-masing narasi tetapi lebih mencermati makna simbolik dan kosmologik dari peran Wali dalam dinamika penyebaran Islam. Perbedaan narasi tentang siapa figur Wali penyebar Islam di Lombok mendukung argumen Vickers (1985: 39). dalam tradisi lisan adalah suatu kelaziman untuk mengembangkan berbagai legenda yang berhubungan dengan asal-usul komunitas, ketidak serasian ini berarti bahwa cerita yang berbeda dapat dipakai dalam konteks yang berbeda pula.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1455
Perbedaan nama dan narasi tentang figur legendaris yang merintis penyebaran Islam di Lombok mencerminkan tingginya sentimen lokal. Setiap komunitas menyimpan kebanggan tersendiri tentang figur keramat yang pernah mendatangi, mengajar, dan membangun masjid dalam wilayah tinggal mereka. Tidaklah mengherankan bila banyak nama-nama tempat di Lombok yang diasosiasikan dengan nama dan asal Wali, seperti Lokok ‘Jawa’ dan ‘Ampel’ Duri sebagai nama sungai di Desa Bayan, ‘Giri’ Menang menjadi nama Kelurahan di Lombok Barat, ‘Prapen’ menjadi nama kampung di Lombok Tengah. Kebanggan kolektif setempat bukan hanya tercermin dari perbedaan nama, tetapi juga dari berbagai peritiwa karomah yang menyertainya. Kekhususan narasi yang tidak ditemui di tempat lain tampaknya memberikan sense of pride tersendiri PENUTUP Islam disebarkan melalui kontak-kontak dagang yang mengedepankan azas kejujuran dan hubungan saling mempercayai antara pedagang Muslim yang datang dari Gujarat, India, Hadramaut, Yaman, Baghdad dengan penguasa dan masyarakat lokal. Hubungan ini yang memungkinkan terjadinya konversi masyarakat setempat dari agama lokal ke Islam di awal abad ke-13. Pasca era perdagangan, Wali menjadi figur sentral yang monumental dalam menyebarkan Islam ke daerah-daerah terpencil di pedalaman, dan menjadi mata rantai utama dalam proses penyebaran ilmu hampir di seluruh dunia Islam. Fenomena perjalanan spiritual Wali yang dilanjutkan para pengikutnya menggaris bawahi bahwa Islam merupakan agama yang ditegakkan dan dipelihara oleh kesinambungan mata rantai dakwah para alim ulama. Di Lombok Islamisasi berlangsung dalam suasana yang relatif damai dan tidak mengundang reaksi pertentangan dari masyarakat, bahkan melahirkan kecintaan dan penghormatan luar biasa terhadap Wali. Ini dikarenakan penyebar Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Rauh bukan hanya sangat toleran terhadap nilai-nilai budaya setempat, tetapi juga melibatkannya sebagai mediator untuk mengenalkan Islam. Hasilnya, banyak ritual adat-keagamaan - yang didasari kisah-kisah dalam Al-Quran dan memakai bulan-bulan Islam – dinamai dan dimaknai sesuai dengan simbol-simbol lokal yang digunakan sebagai mediasi. Dakwah atau si’ar Islam pada masa Wali sangat disesuaikan dengan konteks masyarakat yang hanya mengenal bahasa ibunya. Wali berperan vital dalam mengajarkan Islam dengan menggunakan lambang atau simbol yang tersedia di alam semesta untuk mengenalkan ‘oposisi binari’, ‘kesuburan’, ‘perkembang-biakan’. Islam diterjemahkan secara kontekstual ke dalam simbol-simbol budaya asli setempat. Penemuan ini memperkuat pemikiran dari Womack (2005:99)
1456 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Kebudayaan manusia menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan ideologi, struktur soial, dan untuk merepresentasikan sifat-sifat kultur yang spesifik. Dengan demikian simbol menyampaikan makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks kebudayaan seseorang. Makna yang direpresentasikan tidak senantiasa menjadi bagian inherent dari simbol itu sendiri, tetapi lebih merupakan proses yang dipelajari. Wali dinilai sering menerima inspirasi gaib (tersembunyi), cakap membaca simbol-simbol di alam raya, menghubungkan manusia dengan simbol-simbol (pengetahuan-pengetahuan) supra natural, seperti asal-usul kejadian manusia, keseimbangan kosmos (cosmological order), esensi hidup yang mengandung oposisi binari. Keseluruhan simbol-simbol yang diajarkan Wali pada akhirnya membentuk kosmologi lokal dan mozaik tradisi ritual yang sarat diwarnai oleh perpaduan genre kultur lokal dan Islam. Wali adalah figur sakral yang bukan hanya menjadi milik dan berkembang dalam atmosphere Islam sufistik Jawa, tetapi juga di Lombok. Dinamika kultur keWalian di Lombok tercermin dari perilaku (beragama) masyarakat yang mencintai, memuja, menghormati, dan mengabadikan Wali dalam tradisi ziarah dan berkhalwat (tindakan mengasingkan diri dari keramaian untuk berkontemplasi, beribadah) di dalam masjid kuno dan kompleks makam keramat. Keyakinan akan kekeramatan dan kesucian menjadi atribut tak terelakkan dari keWalian, dan ini terpatri dalam laku ‘ngalap berkah’, ‘berwasilah’ dan napak tilas jejak Wali. Wali adalah spiritual medium - penghantar berkah yang menghubungkan doa-doa, dan harapan dari para pengikut dengan dunia metafisikal. Islamisasi bukan hanya melibatkan proses mengganti kepercayaan lama, tetapi juga turut mewarnai sikap-sikap kultural setempat dalam mengapresiasi peran Wali, ajaranajaraan yang diwariskannya, serta situs-situs keagamaan yang dikeramatkan yang diwariskannya. Wali menentukan hubungan sosial dan transendental yang spesifik terhadap situs-situs yang disinggahi, ditempati, dibangunnya yang pada akhirnya menjadi pusat-pusat kekeramatan dan keramaian. Situs-situs ini menjadi semacam wilayah sakral yang diyakini paling tepat dan afdol untuk munajat bahkan menjadi pusat menyelenggarakan ritus-ritus di sekitar siklus kehdiupan seperti ngurisang (gunting rambut bayi) dan ngitanang atau nyunatang (khitan) untuk mencari barokah. Dinamika keWalian beserta keyakinan tentang kekeramatan dan keberkahan di dalamnya menjadi elemen krusial dari dinamika penyebaran Islam di Lombok.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1457
PUSTAKA ACUAN Agung, Lukman. Keajaiban Orang Shalih. 2007. Jogjakarta: DIVA Press. Amin, Samsul Munir. 2008. Karomah Para Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Ashadi. 2006. Warisan Walisongo: telaah kritis atas 'Cinanisasi' dalam proses islamisasi di Jawa melalui penelusuran sejarah dan transformasi arsitektural. Bogor: Lorong Semesta. Azra, Azyumardi. 1994. JaringanUlama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual. Jakarta: Kompas. Budiwanti, Erni. 2013. “Food Fight: Negotiating Ethno-Religious Differences in Lombok”. Strategic Review. January-March, Vol 3, No 1. Hal 18-24. ------------2000. Islam Wetu Telu vs Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS ------------1997. “Religion of the Sasak”. Ph.D Thesis. Australia: Department of Sociology and Anthropology, Monash University. Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot (eds). 2007. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Christomy, Tomy. 2008. Signs of the Wali. Canberra: ANU Press. De Graaf, H.J. 1970. “South-East Asian Islam to the eighteenth century,” dalam P.M. Holt, Ann K.S.Lambton and Bernard Lewis (eds.). The Cambridge History of Islam, vol. 2. Cambridge: Cambridge at The University Press. Durkheim, Emile. 1995. The Elementary Forms of Religious Life (translated by Karen E. Fields). New York: The Free Press. Kintch, Walter.2008. “Symbol systems and perceptual representations” In M. De Vega, A. Glenberg, & A. Graesser (eds.) Symbols and Embodiment. Oxford: Oxford University Press. Kegley, Charles W. & Bretall, Robert W. (eds.) 1964. The Theology of Paul Tillich. New York: The Macmillan Company Levtzion, Nehemia. 1979. Conversion to Islam. Holmes & Meier. M, Titus. 1930. Indian Islam. A Religious History of Islam in India. Oxford: Oxford University Press Nagata, Judith. 1993. “Religion and Ethnicity Among the Indian Muslims in Malaysia”. In Shandu, KS and A. Main (eds). Indian Communities in Souteast Asia. Singapore: ISEAS
1458 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Nurhayati, Feby. 2007. Wali Sanga: Profil dan Warisannya. Yogyakarta: Pustaka Timur Purwadi. 2007. Dakwah Wali Songo : penyebaran Islam berbasis kultural di Tanah Jawa Yogyakarta : Panji Pustaka, 2007. Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Inodnesia. USA:Standford University Press?. Ruslan, Arifin Suryo Nugroho. 1984. Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka Timur. Schimmel, Annemarie. 1975. The Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North California. Soebardi, S. 1976. “The Place of Islam”.In Elaine McKay. Studies in Indonesian History. Australia: Pitman Sunyoto, Agus. 2003. Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar.2003.Yogyakarta: LKiS. Sutrisno, Budiono Hadi. 2009. Sejarah Walisongo : Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka. --------. 2009. Islam Kejawen. Yogyakarta : Eule Book. Tillich, Paul. 1957. The Dynamics of Faith. New York: Harper & Row, Publishers. Titus, M. 1930. Indian Islam: A Religious History of Islam in India. Oxford: Oxford University Press. Vickers, Adrian. 1985. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali in the Pesisir World”. Seminar Paper presented at the International association for the History of Religions at the Sydney University on the 8th to 23rd of August. Woodward, Mark R. Islam Jawa. 1999. Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LkiS. Womack, Wari. 2005. Symbols and Meaning: A Concise Introduction. California: Alta Mira Press.
DARI HAMZAH FANSURI KE HEGEL: KAJIAN TENTANG AKAR PARADIGMA STUDI ISLAM DI INDONESIA Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Dosen,
[email protected]
Makalah ini berupaya untuk mencari spirit studi Islam di Indonesia. Untuk menggali hal tersebut, studi ini akan memaparkan pemikiran Hamzah Fansuri dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770- 1831). Dua pemikir ini memang tidak pernah bertemu dan berada di dalam ruang dan waktu yang berbeda. Hegel mewarnai pemikiran di Eropa, sedangkan Hamzah Fansuri lebih dikenal di Asia Tenggara. Pengaruh kedua pemikir ini pun tidak sama, tetapi kedua pemikir tersebut berkontribusi di dalam peradaban pada masing-masing kawasan. Adapun perbedaannya Hamzah Fansuri berangkat dari ranah tasawuf (gnosis), sedangkan Hegel kerap dikenal sebagai pemikirannya dalam bidang filsafat. Hegel lebih diterima pemikirannya, sedangkan Hamzah Fansuri dikecam karena telah memperkenalkan doktrin wahdat al-wujud. Namun kedua pemikiran ini memulai kajian mereka dari persoalan spirit (geist). Studi ini akan mencoba mencari titik-titik pemikiran kedua mereka dalam persoalan tersebut. Hal ini penting dilakukan untuk mencari paradigma studi Islam di Indonesia. Sejauh ini, arah studi Islam di Indonesia lebih banyak diwarnai dengan kontribusi filsafat dan ilmu sosial. Namun, sangat jarang sekali ada upaya untuk mencari akar keilmuan dari ilmu sosial tersebut dari tokoh filsafat yang memberikan pengaruh bagi perkembangan ilmu ini sendiri. Upaya untuk menarik sisi-sisi pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri mengenai spirit pada fondasi pengembangan studi Islam masih belum mencuat. Paling tidak, kajian terhadap Hamzah Fansuri lebih banyak diarahkan pada persoalan sastra, tasawuf, dan kontroversi syari’ah dan tasawuf. Sehingga, upaya untuk menggali aspek inti dari pemikiran Hamzah lebih banyak dikesampingkan, karena ada doktrin bahwa syari’atlah yang mengawal tasawuf. Dengan kajian ini diharapkan bahwa masa depan studi Islam tidak lagi pada tahap menjelaskan sisi pemikiran seorang tokoh lalu merekonstruksi suatu paradigma keilmuan, tetapi lebih dalam lagi masuk pada aspek meta-teori dan metafisik dari inti pemikiran yang mewarnai suatu peradaban ilmu pada, seperti Hegel di Eropa dan Hamzah Fansuri di Aceh. Adapun pendekatan yang digunakan di dalam studi ini adalah sosiohistoris dan gnosiologi. Kedua pendekatan ini akan dijadikan digunakan untuk membedah kedua pemikiran tokoh tersebut dalam hal spirit dan
~ 1459 ~
1460 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization bagaimana mereka menggunakannya di dalam menyajikan hasil-hasil pemikiran mereka. Awal perkenalan saya dengan Hamzah Fansuri dan Hegel adalah ketika membaca dua karya yakni Syed Naquib Al-Attas mengenai mistisisme Hamzah Fansuri1 dan Charles Taylor tentang Hegel.2 Dari karya pertama didapati bagaimana kontribusi Hamzah Fansuri dalam pemikiran tasawuf di Aceh. Ulama ini dianggap kontroversi karena memiliki keunikan di dalam menyajikan pemikirannya.3 Biografi awal ulama ini masih mengundang sejumlah perdebatan di kalangan para sarjana.4 Namun pengaruh Hamzah Fansuri dalam di Asia Tenggara tidak dapat dipungkiri telah mewarnai cara pandang para sarjana terhadap perkembangan pemikiran Islam pada abad ke-16 hingga 17 Masehi. Pengaruh Hamzah Fansuri sampai ke Pulau Jawa, terutama di kalangan para penganut Kejawen.5 Era kehidupan Syeikh Hamzah Fansuri lebih awal ketimbang Hegel. Biografi Hegel tertata dengan baik. Para penafsir pemikirannya juga sangat rajin mengomentari dari berbagai sudut pemikirannya,6 terutama karyanya Phenomenology of Spirit.7 Namun, pemikiran Hegel sebenarnya tidak kaitannya dengan studi Islam. Akan 1 Syed Mohd. Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri. (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). 2Charles Taylor, Hegel. (Cambridge: Cambridge University Press, 1975); idem, Hegel and Modern Society. (Cambridge: Cambridge University Press, 1979). Tentang Charles Taylor, baca Arto Laitinen, Strong Evaluation without Moral Sources: On Charles Taylor's Philosophical Anthropology and Ethics. (Berlin: Walter de Gruyer, 2008). 3Baca misalnya Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, Comments on the Reexamnination of Al-Raniri's Hujjatu'l-Siddiq: Refutation. (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1975); idem, A commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri. (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, Malaysia, 1986); Azyumardi Azra, "Education, Law, Mysticism: Constructing Social Realities," dalam M. T. Osman (ed.), Islamic Civilization in the Malay World, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka and The Research Centre for Islamic History, Art and Culture, 2000). 4Lihat misalnya V. I. Braginsky, "Towards the Biography of Hamzah Fansuri. When Did Hamzah Live ? Data From His Poems and Early European Accounts." Archipel 57 (1999), h.135-175; Amirul Hadi, "Exploring the Life of Hamzah Fansûrî." Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 41, no. 2 (2003)h. 277-306; T. Iskandar, "Hamzah Fansuri Pengarah, Penyair, Ahli Tasawuf," dalam diedit oleh Mohammad Daud Mohamad (ed.) Tokoh-Tokoh Sastera Melayu Klasik, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka: 1987); Zakaria Ahmad, "Guru Dan Murid (Riwayat Hamzah Fansuri Dan Syamsuddin asSumathrani," Dalam Dari Sini Ia Bersemi.( Banda Aceh: Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur'an Tingkat Nasional Ke 12, 1981). 5Simuh. "Kajian Keislaman Dalam Pandangan Kejawen," dalam Zainuddin Fananie and M. Thoyibi (ed.), Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999), h.188. Mengenai sejarah awal tokoh-tokoh Kejawen, lihat Hadiwijaya. TokohTokoh Kejawen. (Yogyakarta: Eule Book, 2010). 6Alexandre Kojeve, Introduction to the Reading of Hegel. (Ithaca dan London: Cornell University Press, 1969). 7J. Loewenberg, "The Exoteric Approach to Hegel's "Phenomenology"." Mind, (1934), h.424-445.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1461
tetapi, ketika ilmu-ilmu sosial digunakan untuk membedah studi Islam, mau tidak mau, pengaruh Hegel tidak dapat diabaikan. Di Indonesia misalnya, tidak sarjana yang mencoba mengaitkan perkembangan pemikiran Islam atau studi Islam dengan pemikiran Hegel. Walaupun pengaruh paradigma ilmu-ilmu sosial di dalam studi Islam sudah dirasakan sejak kedatangan Belanda hingga pengaruh Amerika. Dari Belanda, pengaruh yang cukup besar datang dari Snouck Hurgronje yang membawa aliran pemikiran strukturalis dan fungsionalis, sedangkan dari Amerika melalui pemikiran Max Weber sehingga dengan Talcott Parson.8 Adapun Weber tidak dapat dipungkiri telah terpengaruh oleh tradisi yang ditinggalkan oleh Hegel di Jerman.9 Pengaruh Hegel yang lebih dominan juga terlihat pada pemikiran Karl Marx (1818-1883).10 Karena itu, cara pandang ilmu-ilmu sosial di dalam sejarah studi Islam era kolonial dan post-kolonial di Indonesia, tidak dapat diabaikan juga memiliki pengaruh dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Kenyataan inilah yang menggiring saya untuk melihat apakah benar studi Islam di Indonesia filosofis telah dipengaruhi oleh Hamzah dan Hegel? Dalam kajian ini, bukan hendak membandingkan pemikiran Hamzah dan Hegel, akan tetapi ingin mencari inti pemikiran di antara keduanya, dimana fokusnya dapat dilihat dari pemahaman mereka mengenai spirit. Setelah membedah secara sepintas biografi Hamzah dan Hegel, studi ini akan menelaah bagaimana aspek filosofis dari pemikiran keduanya. Setelah itu, dibedah pengaruh pemikiran mereka terhadap studi Islam. Pada akhirnya, studi ini akan memperlihatkan bahwa dialektika pemikiran Islam di Indonesia, ternyata tidak dapat dipungkiri juga dipengaruhi oleh tata cara berpikir yang dikembangkan oleh Hegel dan Hamzah Fansuri. Tujuan akhir dari studi ini adalah mencari penyangga meta-fisika dan meta-teori terhadap tiga paradigma keilmuan dalam studi Islam di Indonesia yaitu paradigma inter-koneksi, reintegrasi, dan islamisasi. Paradigma pertama dikembangkan oleh M. Amin Abdullah (mantan rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta).11 Sementara paradigma kedua dikembangkan oleh Azyumardi Azra (mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).12 8Hanneman Samuel, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda Hingga Modernisme Amerika. (terj.) Geger Riyanto. (Jakarta: Kepik Ungu, 2010). 9 H.H. Gerth dan C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology. (London: Routledge, 1974), h.45. 10George Ritzer, Sociological Theory. (New York: The McGraw-Hill Companies, 1996), h.45; Tom Bottomore (ed.), A Dictionary of Marxist Thought. (Oxford: Basil Blakcwell, 1988), h.198-199. 11 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010); Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Penelitian 3 (Tiga) Disertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga. (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2012). 12Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006); idem, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta: Logos, 1999); idem, "Pengelompokkan Disiplin
1462 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Adapun paradigma ketiga dikembang di Malaysia, terutama oleh sosok Syed Naquib al-Attas.13 Amin Abdullah pernah mengkaji pemikiran alGazzali dan Immanuel Kant.14 Adapun tokoh terakhir sangat berpengaruh pada sosok Hegel. Sementara Naquib al-Attas memang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti pemikiran Islam di Aceh, khususnya pada sosok Hamzah Fansuri dan Nurdin Ar-Raniry.15 Sementara Azra menggunakan pendekatan sosial sejarah ketika mengkaji sejarah jaringan ulama pada abad ke-17 M di Aceh, dimana di dalamnya juga terdapat Hamzah Fansuri.16 Sejauh mengenai biografi Hamzah Fansuri, para sarjana belum menemukan kata sepakat mengenai tanggal dan tempat kelahiran. Para sarjana telah mengulas biografi Hamzah Fansuri dari catatan syairnya.17 Namun, ada kesepakatan bahwa Hamzah Fansuri hidup pada masa Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah (1589-1604)18 dan muridnya adalah Syamsuddin alSumatrani (w. 1629).19 Sosok Hamzah Fansuri yang ditemukan dari syairnya ketika dia telah mengalami proses ‘kelahiran kembali’, suatu keadaan di dalam tasawuf yang membuat seseorang dapat bertamasya secara lahir maupun batin ke beberapa tempat. Menurut Marcinkowski, Hamzah mengalami “identitas baru” ini ketika berada di Shahr Nawi, tepatnya di Ayutthaya.20 Pengembaraan Hamzah Fansuri, menurut Azra, "Ilmu Agama": Perspektif IAIN," dalam M. Amin Abdullah (ed.) Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi.(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000). 13Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. (Bandung: Mizan, 2003); Ali Alawi, "Re-Islamising The World," dalam Wan Mohd Nor Wan Daud dan Muhammad Zainiy Uthman (ed.), Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Skudai: UTM, 2010), 59-81; Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism. (Kuala Lumpur: ABIM, 1978). Lihat juga 'Adi Setia, "Al-Attas' Philosophy of Science: An Extended Outline." Islam & Science 1, no. 2 (2003), h.165-214. 14M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. (Bandung: Mizan, 2002). 15Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Rânîrî and the Wujûdiyyah of 17th Century Acheh. (Singapore: MBRAS, 1966); idem, Comments on the Reexamnination of Al-Raniri's Hujjatu'lSiddiq: Refutation. (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1975); idem, Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. (Singapore: Malaysia Sociological Research Institute, 1963). 16Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia. (Bandung: Mizan, 1994); idem, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. (Bandung: Mizan, 2002); idem, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: RajaGrafindo, 1999. 17Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, h. 4-30; Hadi, Exploring the Life of Hamzah Fansûrî, h. 68-73; Braginsky, Towards the Biography of Hamzah Fansuri. 18Hadi, Exploring the Life of Hamzah Fansûrî, h.73; Braginsky, Towards the Biography of Hamzah Fansuri, h.143 19 Naquib Al-Attas, A commentary on the Hujjat al-Siddiq, h.6. 20M. Ismail Marcinkowski, "Jejak Kehadiran Persia di Asia Tenggara," Dalam Islam, Iran, & Peradaban: Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam, (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012), h.556.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1463
hingga ke Timur Tengah yaitu Mekkah, Madinah, Yerusalem, Baghdad, sebelum dia kembali ke Aceh.21 Menurut Braginsky, Hamzah sendiri bukanlah seorang Arab atau Persian,22 tetapi perjalanan intelektual dan spiritualnya telah mencakup dan menguasai berbagi ilmu dari dua negeri tersebut.23 Era kehidupan Hamzah Fansuri memang berada di awal puncak kerajaan Aceh Darussalam. Karena itu, kerajaan ini disinggahi oleh berbagai pendatang dari Arab, Parsi, Turki, Benggal (India), Pigu, Siam, Portugis, dan Spanyol.24 Di samping itu, gambaran kerajaan Aceh memang menjadi minat para pendatang dari Eropa.25 Mereka kerap berjumpa dengan ‘ulama yang berada disamping Sulthan. Saat itu, menurut Naquib Al-Attas, di dalam kerajaan Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah telah terjadi “a ‘democratization’ of the Sufi doctrines and way of life.”26 Dengan kata lain, pemikiran tasawuf telah menaungi Kesultanan Aceh. Disebutkan dalam sejarah Aceh, nama-nama tempat di sekitar Banda Aceh diberi penuh dengan nuansa pemikiran kesufian: Daru’l Dunya, Darul Kamal, Darul al-
Ṣafa, Kota Khalwat, Pulau Raḥmat, Medan Khayyali, Teluk ‘Ishqidar, Kuala Merdu ‘Ishqi, Darul ‘Ishqi, Wadi al-Ṣafa, Mir’at al-Ṣafa. Tidak hanya itu, gelar Sultan pun memakai nama Sayyid Mukammil.27 Gelar terakhir ini tentu saja mengingatkan kita pada Insan Kamil (Manusia yang Sempurna). Jadi, kehidupan Sufi dan metafisika telah menjadi dasar bagi rakyat Aceh. Di dalam hal ini, Hamzah terus mengarang puisi mistik-nya. Menurut Naquib, Hamzah merupakan Bapak Sastra Melayu Pertama di Nusantara.28 Walapun kemudian, pemikiran Hamzah Fansuri mendapat 21Azyumardi Azra, "Kontroversi dan Oposisi Terhadap Wahdah al-Wujud: Wacana Sufisme di Daerah Indonesia-Melayu pada abad 17 dan 18," Dalam Islam, Iran, & Peradaban: Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam, (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012), h.525. 22Vladimir Braginsky, "The Name and the Named: On the Extent of Hamzah Fansuri's Renown in the Malay Indonesia World (Notes and Materials)," dalam Knowledge, Language, Thought and The Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib Al-Attas. (Skudai: UTM Press, 2010), h.368. 23Mohamad Nasrin bin Mohamad Nasir, "Pengaruh Persia dalam Mistisisme Hamzah Fansuri," dalam Islam, Iran, & Peradaban, (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012), h. 357378. 24H. M. Zainuddin, , Tarich Atjeh Dan Nusantara. (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), h.401. 25Pierre-Yves Manguin, "Demografi dan Tata Perkotaan di Aceh pada Abad 16: Data Baru Menurut Sebuah Buku Pedoman Portugis Tahun 1548," dalam Henri ChamberLoir dan Hasan Muarif Ambary (ed.) Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h.225-243. 26Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, h. 17. 27Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri , h. 17. 28Syed Naquib Muhammad al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. (Bandung: Mizan, 1990).
1464 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization penentangan dari ulama Aceh lainnya, yaitu Syeikh Nurdin Ar-Raniry yang datang ke Aceh pada 1637.29 Para sarjana telah membahas bagaimana perdebatan wujudiyah di Aceh pada abad ke-17.30 Namun, perdebatan tersebut ternyata telah menyisakan persoalan yaitu kekuatan Sufi tidak lagi berada di atas kekuasaan kerajaan Aceh. Adapun karya-karya Hamzah Fansuri telah dimusnahkan, kendati pengaruh pemikiran Hamzah Fansuri tetap terasa sampai hari ini di Nusantara.31 Salah satu ‘ulama yang paling mempengaruhi Hamzah Fansuri adalah Ibn ‘Arabi, terkait dengan konsep wahdat al-wujud.32 Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri sebagai “a veritable Ibnu’l-‘Arabi of the Malays.”33 Pengaruh pemikiran Hamzah Fansuri telah dirasakan sejak dari Aceh hingga ke Sulawesi. Teks-teks Hamzah Fansuri dapat dijumpai dalam Hikayat Si Burung Pingai di Bengkulu. Di Semenanjung Tanah Melayu, Riau, dan Singapura, teks-teks puisi Hamzah Fansuri tersebar luas hingga abad ke-19. Di Jawa, khususnya Banten, karya-karya Hamzah dan muridnya juga dibaca dan dikupas, seperti dalam Kitab Bayanullah. Di Jawa Tengah, kitab Hamzah Fansuri yang berjudul Syarab al-‘Asyikin diterjemahkan pada sekitar pertengahan abad ke-18.34 Untuk mengakhiri pengaruh Hamzah Fansuri di Asia Tenggara, Braginsky mencatat: The name of Hamzah did become known across a greater part of the Archipelago from Aceh in the west to Bima in the east. Familiar mostly in littoral cities, his name, in some cases, penetrated from there deep inland, as happened, for instance, it the interior of South Sumatra, where the Rencong syllabary was spread. And yet, if we look closely at those points on the map of the Archipelago, where Hamzah’s name became known earlier … was known better than in the others, we shall easily understand why knowledge of his name and ideas spread along this route.35 Tentu saja perkembangan gagasan Hamzah Fansuri tidak sebanding dengan pengaruh Hegel. Namun cakupan wilayah dan dampak pemikiran 29Naquib
al-Attas, Some Aspects of Sufism, h.26. Fathurahman, Tanbîh Al-Mâsyî Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17. (Bandung: Mizan, 1999). 31Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Wahdatul Wujud: Membedah Dunia Kamal. (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013); Kautsar Azhari Noer, "Tasawuf Falsafi dan Kontroversi Paham Wahdat al-Wujud," dalam Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari and Yudian W. Asmin, (ed.) Islam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: LPMI, 1995), h. 35-44. 32Tentang Ibn Arabi, Henry Corbin, Creative Imagination in the Sûfism of Ibn 'Arabî. R. Manheim (terj.) (New Jersey: Princeton University Press, 1969). 33Naquib al-Attas, Some Aspects of Sufism, h.23. 34Braginsky, The Name and the Named, h. 296-398. 35Braginsky, The Name and the Named, h.399. Baca juga kajian Braginsky tentang Hamzah dalam V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 17-19. (Jakarta: INIS, 1998). 30Oman
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1465
yang dihasilkan oleh Hamzah Fansuri, paling tidak, hampir sama dengan pengaruh Hegel. Cakupan Hegel adalah Eropa, sedangkan Hamzah Fansuri di Nusantara. Hegel lahir pada 27 Agustus 1770 di Stuttgart dan meninggal pada 14 November 1831 di Berlin.36 Pada tahun 1788-1793, Hegel belajar teologi di University of Tübingen bersama dengan Holderlin dan Schelling. Saat itu, Hegel mulai mempelajari filsafat Immanuel Kant (1724-1804).37 Di Jerman, pemikiran Kant sangat mempengaruhi Hegel, Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854), dan Arthur Schopenhauer (1788-1860).38 Setelah lulus kuliah, Hegel pindah ke Bern dan pada 1797, dia pindah ke Frankfurt. Pada 1801, Hegel pindah lagi ke Jena, dimana merupakan salah satu kampus yang paling dinamis. Di Jena, Hegel mulai membangun dasar pemikiran filosofisnya melalui beberapa publikasi. Pada 1805, Hegel menjadi associate professor di Universitas Jena, dimana karyanya yang sangat terkenal Phenomenology of Spirit terbit. Sejak 1807, Hegel mulai dikenal sebagai seorang filosof terkemuka karena karya tersebut. Tahun berikutnya dia menjadi Professor Filsafat pada Gymnasium di Nürnberg. Diantara tahun 1808-1816, dia kembali menghasilkan karya Science of Logic. Selama delapan tahun pula dia menjadi Rektor di kampus tersebut. Setelah itu, dia selama dua tahun menjadi Profesor di Heidelberg, dan sejak 1818 dia pindah ke Berlin. Puncak karirnya adalah ketika menjadi Rektor di Berlin yaitupada 1829. Tiga tahun berikunnya, dia meninggal secara mendadak karena kolera. Charles Taylor mencatat bahwa: Hegel did make an impact. He rapidly grew to be the major figure in German Philosophy, and the influence of his thought spread to other related fields, law and political thought, theology, aesthetics, history. Many came to his lectures, and a number became disciples. Hegel’s thought more or less dominated German philosophy for two decades, the 1820s and 1830s.39 Jadi, pengaruh Hegel memang tidak dapat diragukan lagi dalam tradisi intelektual di Jerman. Filsafat Jerman dipandang sebagai salah satu dari sekian faktor di dalam penyebaran ilmu-ilmu sosial di Eropa. Ken Morrison menyebutkan ada tiga hal pengaruh dari Hegel terhadap ilmu sosial: First, he forced philosophy to confront historical and social questions, thus transforming philosophic concepts into social and 36Biografi Hegel diambil dari G. W. F. Hegel, Political Writings. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), h. xlii-xliv; Taylor, Hegel, h.572-573 37Tentang Immanuel Kant, baca Samuel Enoch Stumpf dan James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond: A History of Philosophy. (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2008), h.271-294. 38Ibid., h. 296. 39Taylor, Hegel, h. 573.
1466 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization historical ones. Second, Hegel’s writings acted a theoretical background to Marx’s and Engels’s economic and political works because Hegel had identified society as a field of activity outside of history. Third, it was Hegel’s philosophical idealism which later shaped Comte’s critique of philosophy known as ‘positivism,’ leading eventually to a widespread opposition to idealism and to its eventual decline.40 Dari uraian singkat biografi dan pengaruh Hamzah Fansuri dan Hegel, terlihat bahwa kekuatan tasawuf dan filsafat di dalam memberikan dasar-dasar pemikiran. Hamzah lahir di Nusantara dan mengembara, hingga dia menjadikan tasawuf dan sastra sebagai pisau bedah di dalam menjelaskan aspek filsafat ilmunya. Sedangkan Hegel yang hidup pada tradisi filsafat Jerman yang baru saja mengalami Era Pencerahan, mencoba menyambung pemikiran filsafat sebelumnya dan menstrukturkan melalui karya-karyanya hingga mempengaruhi para ahli ilmu sosial, baik pada zamannya maupun pada era sesudahnya.41 Hamzah Fansuri telah memasukkan tasawuf di dalam kehidupan yang lebih nyata. Tidak hanya itu, dia juga dikenal sebagai ‘penyambung pemikiran’ Ibn ‘Arabi (1165-1240). Klaim ini seakan-akan mempertegas bahwa di Aceh, Hamzah Fansuri telah ‘menghidupkan’ pemikiran Ibn ‘Arabi yang dipandang sebagai tasawuf falsafi.42 Kautsar Azhari Noer mendefinisikan tasawuf falsafi: “tasawuf yang memasukkan ke dalam ajaran-ajarannya pandangan-pandangan filosofis dari luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan Kristen.”43 Tasawuf model ini, menurut Noer, “mengungkapkan ajaran-ajarannya dengan memakai istilah-istilah filosofis dan simbol-simbol khusus yang sulit dipahami oleh orang banyak.”44 Adapun simbol-simbol khusus tersebut diperoleh melalui active intelligence. Ibn Sina menyebutnya dengan istilah Holy Spirit melalui Malaikat Jibril sebagai Malaikat Ilmu dan Wahyu. Pemahaman ini, merupakan fondasi dari filsafat kenabian (prophetic philosophy).45 Adapun menurut al-Kindi, ilmu yang diberikan kepada para Nabi adalah al-‘ilm al-ilāhi, sementara bagi manusia dikenal dengan filsafat yang diistilahkan dengan al-‘ilm al-insān.46 Karena 40Ken Morrison, Marx, Durkheim, Weber: Formations of Modern Social Thought. 2. (London: Sage Publications, 2006), h. 29. 41Baca misalnya hubungan antara Hegel dan Marx dalam Tom Bottomore (ed.), A Dictionary of Marxist Thought, h.199-201. 42Franz Rosenthal, "Ibn 'Arabī between "Philosophy" and "Mysticism": "Sūfism and
Philosophy Are Neighbors and Visit Each Other". fa-inna at-taṣawwuf wa-t-tafalsuf yatajāwarāni wa-yatazāwarāni." Oriens 31 (1988), h. 1-35. 43Noer, Tasawuf Falsafi dan Kontroversi Paham Wahdat al-Wujud, h. 35-36) 44Kautsar Azhari Noer, "Mengkaji Ulang Posisi Al-Ghazali dalam Sejarah Tasawuf." Paramadina 1, no. 2 (1999), h.165. 45 Corbin, Creative Imagination, h.10. 46 Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages. (New York: Caravan, 1969), h.12
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1467
itu, agaknya Ibn ‘Arabi telah mencoba menggabungkan al-‘ilm al-ilahi (divine knowledge) dan al-‘ilm al-insan (human knowledge). Penggabungan ini kemudian memperlihat bahwa “their world is the world of symbols and of symbolic knowledge, the world to which Ibn ‘Arabi penetrated with ease from his earliest years.”47 Hamzah Fansuri telah memperkenalkan ilmu-ilmu tersebut yang dibungkus dalam simbol-simbol. Dengan demikian, dari tasawuf falsafi kita diarahkan pada symbolic knowledge yang berasal dari angel of knowledge. Jika pandangan ini diterima, maka Hamzah Fansuri sebenarnya telah memasukkan filsafat di dalam pemikiran tasawufnya yang disimbolkan di dalam beberapa puisinya. Akan tetapi, jika ditarik lagi ke belakang, model pemikiran tasawuf falsafi ini banyak diketemukan di dalam pemikiran Islam-Persia atau kemudian kerap dikenal dengan istilah Syi‘ah. Karena itu, tidak mengejutkan, ada pandangan yang mengatakan bahwa Hamzah Fansuri merupakan penyebar aliran Syi‘ah di Aceh.48 Di samping itu, tidak dapat dielakkan bahwa hampir semua Sufi menyandarkan silsilah mereka pada Imam Pertama Syi‘ah, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib dan biasanya menjadi murid dari Imam Keenam, Ja‘far al-Ṣādiq (702-765).49 Selanjutnya, fokus pemikiran Hamzah Fansuri merupakan pengaruh dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud dan insan kamil (Manusia Sempurna).50 Kajian ini kerap ditelaah dalam persoalan tasawuf falsafi. Akan tetapi, dalam lintasan sejarah, dua persoalan ini menjadi hal penting di Nusantara. Sebab, kedua persoalan tersebut oleh Hamzah berhasil diperkenalkan ke Aceh, lantas ke seluruh penjuru Nusantara. Tasawuf falsafi merupakan pengembangan ide-ide Neo-Platonis, walaupun di kalangan para Sufi, mereka tidak dikenal sebagai filosof.51 Plotinus merupakan salah seorang filosof yang lahir di Mesir pada tahun 204 M. Jasa Plotinus adalah: “[H]e combined a speculative description of reality with a religious theory of salvation…In short, Plotinus developed a theory about God as the source of all things and as that to which people must return.”52 Adapun filosof yang dikenal sebagai Neo-Platonis adalah Proclus (410-485) yang hidup di Syria, dikenal sebagai “Pseudo-Dionysius”. Ada tiga ide yang sangat mempengaruhi dalam kajian Neo-Platonic yaitu asal usul dunia, Corbin, Creative Imagination, h.11. Christoph Marcinkowski, Shi'it Identities: Community and Culture in Changing Social Contexts. (Berlin: Lit Verlag, 2010), h.166; idem, Jejak Kehadiran Persia di Asia Tenggara, h.557. 49Nasr, Three Muslim Sages, h.85. 50Lihat misalnya Michel Chodkiewiz, "The Vision of God to Ibn 'Arabi," dalam JeanLouis Michon dan Roger Gaetani (ed.), Sufism: Love & Wisdom, (Indiana: World Wisdom, 2006), h. 33-48. (Chodkiewiz 2006). 51Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam. (Chapel Hill: The University of North Carolina, 1975), h.45. 52 Stumpf dan Fieser, Socrates to Sartre, h. 108. 47
48Baca
1468 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization pengetahuan tentang Tuhan, dan persoalan Iblis. Mengenai persoalan pengetahuan tentang Tuhan, disebutkan: Dionysius gave an account of the relation of the world of God in which he combined the Neoplatonic theory of emanation and the Christian doctrines of creation. He wanted to avoid the pantheism embedded in Neoplatonic theory, according to which all things are emanations from God …he wanted to establish that whatever exists comes from God, though he apparently had no clear conception of God’s creative act as an act of free will … Dionysius argued that the world is the object of God’s providence. God has placed between himself and human beings a virtual ladder or hierarchy of being called heavenly spirit.53 Adapun filosof yang melanjutkan ide Neo-Platonis adalah John Scotus Erigena lahir pada 810 M. Dia menyebutkan bahwa “God, who is the cause of all things but does not himself need to be caused. He brought all creatures into existence out of nothing.”54 Azyumardi Azra menyebutkan bahwa, “al-Fansuri dan al-Sumatrani, sejalan dengan pemikiran Neo-Platon, menjelaskan alam semesta dalam konteks serangkaian emanasi dan menganggap masingmasing emanasi sebagai aspek-aspek Tuhan sendiri.”55 Namun, Naquib AlAttas tidak ingin menyamakan konsep wahdat al-wujud dengan filsafat NeoPlatonis, karena “konsep-konsep itu berdiri tegak atas dasar-dasarnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan yang berkesan mendalam bagi tiap segi dan akidah, tiap aspek kehidupan orang Islam.”56 Diskusi mengenai Tuhan telah dimulai jauh sebelum Ibn ‘Arabi lahir. Pengetahuan ini menjadi salah satu dasar bagi manusia untuk mengenali Tuhan,57 kemudian baru berpindah pada kajian alam dan manusia. Karena Tuhan adalah Maha Prima Kausa, maka persoalan yang muncul adalah heavenly spirit (spirit surgawi). Jika dilihat dari sisi pemikir filsafat tersebut, mereka ingin melanjutkan bahwa heavenly spirit ini menyelinap pada diri manusia. Dan, ini boleh di dapati di dalam ajaran Kristen, dimana Yesus tempat berdiam spirit tersebut. Karena itu, penganut Kristen memasukkan manusia (Yesus) sebagai bagian dari trinitas. Akan tetapi, di dalam Islam, manusia tidak dibolehkan menyembah Nabi Muhammad, karena dia merupakan makhluk, bukan Tuhan.58 Akan tetapi, dikalangan para Sufi muncul keyakinan tentang Nūr Muhammad (Cahaya 53Stumpf
dan Fieser, Socrates to Sartre, h. 133. h. 135. 55Azra, Kontroversi dan Oposisi Terhadap Wahdah al-Wujud, h.526. 56Muhammad al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, h.48. 57Bandingkan dengan Noer, Tasawuf Falsafi dan Kontroversi Paham Wahdat alWujud, h.43. 58Lihat Fritz Meier, "The Mystic Path," dalam Howard M. Federspiel (ed.), An Anthology of Islamic Studies, (Montreal: McGill Institute of Islamic Studies, 1996), h.122 54Ibid.,
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1469
Muhammad) dan Haqīqat Muhammad. Dalam Islam dianjurkan untuk berhenti di tahap Nur Muhammad ketika seseorang ingin masuk pada Kerajaan Allah.59 Wilayah kajian Hamzah Fansuri adalah upaya untuk membahas tentang kesatuan wujud pada level “wujud” yang dipahami secara gnosis (‘irfan), bukan wujud secara burhani atau bayani. Dewasa ini, tiga model epistemologi tersebut yang dikembangkan oleh ‘Abed al-Jabiri, dimana di Indonesia dikembangkan oleh M. Amin Abdullah,60 sebenarnya sudah lama diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri di Nusantara. Sementara itu, Nasr Ahmed Abu Zayd sudah memulainya dengan proses falsafah takwil dan hermeneutika yang juga dibedah dari sisi pemikiran Ibn ‘Arabi.61 Hanya saja, Hamzah Fansuri memutar tasawuf falsafi ke arah sastra.62 Hamzah memainkan ide-ide metaforisnya di dalam syair atau puisi. Untuk memahami aspek pemikiran Hamzah Fansuri, seseorang harus menyelami puisi-puisinya. Dalam memahami aspek metafisika pemikiran Hamzah Fansuri, Naquib al-Attas menulis: Hamzah identitfies this spirit with the Light (al-Nûr), the Intellect (al-‘Aql) and the Pen (al-Qalam) as each of these is also referred to in the same saying of the Prophet as the first God created. The spirit is the Divine Consciousness (Sirr Allâh) and pertains to the Divine Knowledge, for it is because the Divine Knowledge is living that it is called Spirit, because the Divine knowledge visualizes the things known it is called Light; because the Divine Knowledge patterns the ideas of things known it is called Intelect; because the Divine Knowledge is the forms of the things Known it is called Pen. The Divine Knowledge is also call the Tablet (al-Lawh) because it receives the imprints of the forms of the things known. It is also called the Reality or Idea of Muhammad (Haqîqat Muhammad) which in turn is called the Light of Muhammad (Nûr Muhammad) of which God says in the Holy Tradition: Were it not for you I would 59Baca juga Ibn Arabi, The Wisdoms of the Prophets (Fusus al-Hikam). (Kuala Lumpur: Synergy Books International, 2001); William C. Chittick, Ibn 'Arabi: Heir to the Prophets. (Oxford: Oneworld, 2007), h.16-17 60Baca M. Amin Abdullah, "Al-Ta'wîl Al-'Ilmî: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci." Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 39, no. 2 (2001), h. 359-391; idem, "New Horizons of Islamic Studies Through Socio-Cultural Hermeneutics." Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 41, no. 1 (2003), h.1-24. 61Nasr Hâmed Abû Zayd, Falsafah Al-Ta'wîl (Dirâsah Fî Ta'wîl Al-Qur'ân Inda Muhyi Al-Dîn Ibn 'Arabî) . (Beyrouth: Al-Markaz al-Tsaqafî al-'Arabî, 1996); idem, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-Qur'an Menurut Mu'tazilah. (Bandung: Mizan, 2003); Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.125-152. 62Lihat juga Jalaluddin Rumi yang menghasilkan syair dari pemikiran Sufi. Baca Rumi. Daylight: A Daybook of Spiritual Guidance . (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., 1996); idem, Masnawi: Senandung Cinta Abadi. (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013).
1470 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization not have created the Heavens. The spirit is also called by Hamzah the Relational Spirit (Ruh Idhafî), another name for … Holy Spirit (Rûh al-Qudus).63 Dari penggalan di atas, tampak bahwa konsep spirit yang ditawarkan oleh Hamzah adalah dapat dilihat dari cahaya, akal, dan qalam. Ini semua bersumber dari Allah melalui divine knowledge (ilmu kewahyuan). Ilmu ini hidup, karena itu disebut sebagai spirit. Karena ilmu ini memvisualkan sesuatu, maka disebut sebagai cahaya (nûr). Karena ilmu ini berisi tentang gagasan mengenai sesuatu, maka disebut sebagai intelek. Karena ilmu membentuk tentang sesuatu, maka disebut dengan qalam. Secara harfiah ini merupakan bagian dari kesatuan sebagaimana dilihat dari diagram dibawah ini: Ilmu Keilahian Nûr
Intelek
Qalam
Spirit
Ada beberapa kata kunci dari penjelasan di atas yaitu living (hidup), visualizes the things (visualisasi tentang sesuatu), patterns the ideas of things (pola ide mengenai sesuatu), the forms of the things (bentuk akan sesuatu). Jadi, ketika kita bicara mengenai spirit, maka itu berkaitan dengan ilmuilmu yang bersumber dari Allah. Ilmu ini kemudian menjadi sinar dari “sesuatu.” Cahaya ini dapat dikatakan sebagai dasar dalam memahami konsep darimana asalnya ilmu. Dari “sesuatu” yang terpancarkan dari nur itu kemudian membentuk “gambar” dimana kemudian diberikan nama-nama (asma). Hasil visualisasi tersebut kemudian melahirkan ilmu pengetahuan, ketika akal mencoba memahami bentuk-bentuk kekuatan gagasan yang berasal dari hasil cahaya. Kemampuan manusia untuk memahami ilmu ini bisa masuk memahami sumber cahaya, kekuatan cahaya, dan dampak dari cahaya. Inilah kemudian melahirkan bentuk-bentuk pemahaman melalui visualisasi yang dibantu oleh qalam (pena). Allah
cahaya Ilmu keilahian
Pena
Intelek
Proses di atas memperlihatkan bagaimana spirit wujud dalam transfer ilmu pengetahuan dari Allah kepada manusia, baik secara langsung,
63Naquib
Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, h. 86-87)
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1471
maupun melalui Malaikat Jibril. Inilah jasa Hamzah Fansuri dalam menjelaskan spirit bagi peradaban Aceh pada masa dia hidup. Untuk melengkapi proses tersebut, Syeikh Nurdin ar-Raniry dalam Khalq bad al-Samawât wa al-Ardhi menceritakan sebagai berikut: Bermula pasal yang pertama pada menyatakan peri yang yang pertama dijadikan Allah ta’ala dan peri kejadian tujuh petala langit dan bumi dan barang yang takluk dengan keduanya di dalamnya beberapa pasal pada menyatakan peri kejadian Nur Muhammad SAW dan yang takluk kepadanya (qâ la al-nabî SAW kâna Allâh ta‘ala wa lâ syai ma‘ahu) telah bersabda Nabi SAW tidak suatu sertanya jua pun segala segala bersatu. Pada suatu hari Abu Zayn al-‘Aqli berdatang sembah kepada Nabi SAW ya Rasul dimana Tuhan kita tatkala belum Ia menjadikan sekalian makhluk maka sabda-Nya (kâna fî ‘imâ’ ma tahtahu hawa’ wa mâ fawqahu hawa’) artinya bahwasanya adalah Ia pada ‘ima’ tiada dibawah adanya tiada di atas adanya ada ia pada ‘ilmu-Nya… firman di dalam hadits qudsî yang diceritakan Jabir R.A. (Inna Allāh khalaqa rûh al-nabî SAW min zatihi wa khalaqa al-alam … min ruh Muhammad SAW) artinya bahwasanya Allah SWT menjadikan nyawa Muhammad SAW daripada zat-Nya dan dijadikan sekalian … daripada nyawa (dan) lagi sabda Nabi SAW ana min Allah wa al-mukmin minni) artinya Aku yang pertama dijadikan Allah ta’al dan segala mukmin dia dijadikan daripada Aku (dan) lagi firman-Nya di dalam Hadits Qudsî (khalaqtu al-asy’a li ajlika wa khalaqtuka li ajli) artinya kujadikan sesuatu itu karena mu ya Muhammad dan Aku jadikan Engkau karenaku (dan) lagi firmannya di dalam hadits (law lâka lammâ khalaqtu al-aflâk) Artinya jikalau tidak Engkau ya Muhammad tiada Aku jadikan tujuh petala langit dan bumi dan sabda Nabi SAW (kuntu nabiyyan wa Adam bayn al-ma’ wa al-thîn) Artinya Aku dijadikan Nabi dan Adam antara air dan tanah (dan) lagi sabda Nabi SAW (awwal ma khalaqa Allâh ta‘âla al-‘aql) artinya pertama-tama dijadikan Allah ta’ala ia akal (dan lagi (sabda nabi SAW (awwal ma khalaqa Allâh ta‘âla al-qalam) artinya pertamatama dijadikan Allah ta‘ala itu qalam (dan lagi) sabda Nabi SAW (awwal mâ khalaqa Allâh ta‘âla al-arwâh) Artinya pertama-tama dijadikan Allah ta’ala itu segala nyawa (adapun) rahin daripada ‘akal dan qalam dan ruh dan ruh ini kejadian Nur Muhammad SAW seperti sabda Nabi (awwal mâ khalaqa Allâh ta‘âla nûri) artinya pertama-tama dijadikan Allah ta‘ala itu cahaya Ku pada suatu riwayat (awwal mâ khalaqa Allâh ta‘âla ruhi) artinya yang pertamatama dijadikan Allah ta’ala nyawa Ku maka ialah sempurnanya cahaya.
1472 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Dari uraian Syeikh Nurdin ar-Raniry dan juga pandang Syeikh Hamzah Fansuri memperlihatkan bagaimana konsep penciptaan “kepertamaan” atau “keberawalan” antara dua hal yaitu: Pertama, keberadaan Allah sebelum Dia menciptakan semua makhluknya. Disini dapat dipahami bahwa Allah berada pada ilmu-Nya. Kemudian, daripada zat-Nya, Allah menciptakan Nur Muhammad, lalu dari ruh Nabi Muhammad, baru kemudian diciptakan alam semesta. Dari sini dapat dipahami ada segitiga yang amat berhubungan yaitu:
Allah Ilmu Nur Muha mmad
'Alam
Piramid di atas juga bisa dilihat dari penjelasan Hamzah Fansuri di dalam salah satu puisinya: Unggas nuri asalnya chahaya Diamnya da’im di Kursi Raja Daripada nurinya faqir dan kaya Menjadi insan, Tuhan dan saya. Kuntu kanzan asal sarangnya ‘Alam Lahut nama padangnya Terlalu luas dengan lapangnya Itulah kanzan dengan lawangnya ‘Aqlu’l-Kulli nama bulunya Qalam al-A’la nama kukunya Allah Ta’ala akan gurunya Oleh itulah tiada jodohnya Jalal dan Jamal nama kakinya Nuru’l-awwal nama jarinya Lawh al-Mahfuz nama hatinya Menjadi jawhar dengan safinya Itulah Ahmad awwal Nabinya Nur Allah dengan suchinya Sekalian ‘alam panchar daripada nurinya
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1473
Menjadi langit serta buminya.64 Disini Syeikh Hamzah Fansuri membuat suatu persamaan kajian yang dibuat oleh Syeikh Nurdin Ar-Raniry dalam bentuk seekor unggas. Bait demi bait di atas memperlihatkan bagaimana kesamaan cara pandang mengenai konsep penciptaan Nur Muhammad dan alam semesta. Puisi ini semakin terkait dengan penggalan dari Syeikh Nurdin jika dilihat bagaimana konsep paska penciptaan Nur Muhammad pada bagian kedua yaitu “apa yang pertama kali diciptakan oleh Allah.” Untuk memudahkan kita memahami pemetaan dari Syeikh Nurdin, berikut digambarkan diagramnya: Allah
Nur Muhammad
Akal
qalam
Ruh Muhammad
Arwah
Dari diagram di atas, tampak bahwa ilmu, Nur Muhammad, dan Ruh Muhammad merupakan “awal” dari konsep penciptaan sekalian alam semesta. Dari situ kemudian muncul tiga hal lagi yang menjadi “penentu” bagaimana alam semesta ini berjalan menjadi ruh idhafi (the Relational Spirit) yaitu: al-‘aql al-kulli (akal universal), al-qalam al-a‘la (Qalam yang Tinggi), dan Lawh al-Mafhuz (Tablet).65 Ilmu-ilmu yang suci atau Divine Knowledge berada di dalam tiga tempat tersebut yang “diikat” oleh Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammad. Spirit Relational ini kemudian juga dapat dilihat dari puisi Syeikh Hamzah berikut: Ta’ayyun awwal wujud yang jami’i Pertama disana ruh Idhafi Semesta ‘alam sana lagi ijmali Itulah bernama Haqiqat Muhammad al-Nabi.66 Jadi, ilmu-ilmu yang sudah diciptakan oleh Allah dalam bentu “sesuatu” dan “nama” telah tertulis di dalam akal, qalam, dan lawh mahfuz. Terkait dengan pemahaman akal, Harun Nasution menjelaskan konsep tersebut sebagai berikut: 64Teks ini merupakan sya’ir Hamzah Fansuri terdapat dalam Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, h. 499) 65Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, h. 71. 66Ibid., h. .492.
1474 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Akal, dalam pengertian Islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu dari Tuhan.67 Inilah yang diketemukan oleh Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Nurdin ar-Raniry mengenai bagaimana sistem berpikir ulama pada abad ke-16. Dari turunan konsep di atas, maka Hamzah menjelaskan konsep mengenai dua hal lagi yaitu keberadaan (being) dan kenal (knowing). Sampai disini dapat dikatakan bahwa Hamzah Fansuri telah memberikan suatu dasar fondasi studi Islam pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, akan ditelaah sisi pemikiran Hegel mengenai spirit. Munson mengatakan bahwa filsafat Hegel adalah bersifat teologis.68 Dengan begitu dapat dipahami bahwa Hegel ingin membuktikan keberadaan Tuhan di muka bumi ini.69 Ini titik keberangkatan Hegel dalam agama Kristen tentang bagaimana agama tidak mengajarkan segala sesuatu yang berlawanan dengan keberadaan Tuhan.70 Karena itu, pembicaraan Hegel pada gilirannya adalah tentang ‘keberadaan’ Tuhan yang dibuktikan. Setelah itu, muncul kesadaran kosmik, dimana manusia merupakan “vehicle of his spiritual life.”71 Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Geist atau spirit kosmik. Charles Taylor menulis konsep spirit dari Hegel sebagai berikut: Now for Hegel, the Absolute is subject. That which underlies and manifest itself in all reality,what for Spinoza was ‘substance’, and come those inspired by the Sturm and Drang to be seen as a devine life flowing through everything., Hegel understood as Spirit. But spirit or subjectivity is necessarily embodied. Hence Geist or God cannot exist separately from the universe which he sustains and in which he manifest himself. On the contrary this universe is his embodiment, without wASwhich he would not be, and more than I would be without mine.72 Dapat dikatakan bahwa dari konsep Geist ini menciptakan suatu pemahaman bahwa Tuhan tidak dapat memisahkan diri-Nya dari hasil ciptaan-Nya. Proses manifestasi Tuhan ini sepintas mirip dengan unity of 67Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam. (Jakarta: UI Press, 1986), h.13. Thomas N. Munson, "Hegel as Philosopher of Religion." The Journal of Religion 46, no. 1 (1966), h.10. 69 Frithjof H. Bergmann, "The Purpose of Hegel's System." History of Philosophy, h. 189-204; Otis Lee, "Method and System in Hegel." The Philosophical Review 48, no. 4 (1939). 70 Taylor, Hegel, h. 55. 71Ibid., h. 71. 72Taylor, Hegel and Modern Society, h.23. 68
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1475
being dalam pemahaman wahdatul wujud. Namun, konsep wahdatul wujud dimulai dari mistisisme, sedangkan konsep geist muncul dari kajian yang bersifat teologis. Hegel memasukkan teologi ke dalam filsafat, sementara Hamzah Fansuri memasukkan mistisisme ke dalam ranah filsafat.Pengembangan tentang spirit absolut tersebut, kemudian menjadi dasar pijak bagi Hegel di dalam mengembangkan pemikiran kefilsafatannya. Disini tawaran pengetahuan dimulai dari proses dialektika, dimana pengetahuan tentang Absolut merupakan sintesa dari spirit subjektif dan objektif. Disini disebutkan bahwa “our knowledge of the Absolute is actually the Absolute knowing itself through the finite spirit of human beings.73 Selanjutnya, pengetahuan mengenai absolut, dapat dicapai melalui tiga tahap: dari seni ke agama, dan terakhir filsafat. Adapun gambar ketiga proses tersebut, dapat dibaca berikut: Art provides “a sensuous semblance of the Idea” by providing us with an objet of sense. In the object of art, the mind apprehends the Absolute as beauty. The objecr of art, moreover, is the creation of Spirit and, as such, contains some aspect of the Idea. There is an ever-deepening insight into the Absolute as we move from Asian symbolic art, to classical Greek art, and finally to romantic Christian art. Art leads beyond religion. What differentiates religion from art is that religion is an activit of thought, where an aesthetic experience is primarily a matteng of feeling. Although art can direct consciousness toward the Absolute, religion comes closer to it precisely because the Absolute is Thought. At the same time, religious thought, Hegel says, is pictorial thought. In early religions pictorial elements large. “Thw Greek God,” … is the object of naïve intuition and sensous imagination. His shape is therefore to bodily of shape of man. At the apex of religis is Christianity, which is the religion of the Spirit. Hegel regarded Christianity as the pictorial representation of philosophy. He believed that religion and philosophy have basically the same subject matter, that both represent “knowledge of that which is eternal, of what God is, and what flows out of his nature,” so that “religion and philosophy come to the same things.” Philosophy leaves behind the pictorial forms of religion and rises the level of pure thought. But philosophy does not offer knowledge of the Absolute any particular moment, for such knowledge is the product of the dialectic process. Philosophy itself has a history, a dialectic movement, in which the major periods and systems of 73Stumpf dan Fieser, Socrates to Sartre, h. 308. Baca juga Nectarios G. Limnatis, "Reason and Understanding in Hegelian Philosophy." The Southern of Journal of Philosophy 4, no. 4 (2006), h.607-627.
1476 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization philosophy are not mere haphazard developments. These systems in the history of philosophy represent the necessary succession of ideas required by the progressive unfolding of the Idea. The history of philosophy is for Hegel, therefore, the development of the Absolute’s self consciousnees in the mind of people.74 Uraian di atas memperlihatkan hirarki pengetahuan mengenai Spirit atau Absolut. Tampak bahwa seni menempati urutan pertama, karena dia memberikan merupakan abstraksi gagasan dari Absolut. Setelah itu, agama mencoba memberikan jalan untuk menyatakan bahwa Asbolut itu sendiri adalah proses akal atau pikiran. Karena itu, agama adalah sprit yang sudah menjadi suatu Pemikiran (Thought). Semua pikiran kemudian masuk ke dalam manusia yang menjadi semacam Spirit. Disini terlihat bahwa agama Kristen merupakan agama yang memberikan contoh bagaimana spirit itu masuk ke dalam diri manusia. Sementara itu, dialektika pemikiran merupakan aktivitas filsafat, tentang sejarah tentang bagaimana Geist tu masuk ke dalam akal manusia. Pola ini merupakan suatu sistemasasi pengetahuan yang ditawarkan oleh Hegel, mengenai hubungan seni, agama, dan filsafat di dalam reproduksi pengetahuan yang berbasiskan Geist.75 Menurut Thomas J.J. Altizer, Hegel merupakan filosof pertama: [T]o center his thinking upon crucifixion and resurrection; the fact that this never occurred within the world of Christendom is itself an all too significant sign of the non-Christian ground of that world, and if such thinking is possible only after the end of Christendom, it may well be that a uniquely Christian theology is possible only as a consequence of the historical realization of the death of God, a realization which is absolutely fu ndamental to the thinking of Hegel and Nietzsche a like.76 Demikianlah pemikiran Hegel mengenai Spirit atau Geist. Pada prinsipnya, pengaruh pemikiran Hegel yang menempatkan Spirit sebagai dasar pijakan di dalam kontruksi pengetahuan, telah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi ilmuwan di Barat.77 Robert Knap menyebutkan dampak pemikiran Hegel terhadap Marx, Durkheim, dan Weber:78 74Stumpf
dan Fieser, Socrates to Sartre, h. 308-309. juga Christopher Anderson-Irwin, ""But the serpent did not lie": Reading, History, and Hegel's Interpretation of Genesis Chapter 3." Clio 35, no. 1 (2005), h. 29-50. 76Thomas J.J. Altizer, "Hegel and the Christian God." Journal of the American Academy of Religion 59, no. 1 (1991), h. 71-91. 77Pengaruh Hegel terhadap Marx, baca Andrew Buchwalter, "Hegel, Marx, and the Concept of Immanent Critique." Journal of History of Pilosophy 29, no. 2 (1991). Pengaruh Hegel pada Marx Weber dan Durkheim dalam proses teoritisasi Sosiologi, lihat Peter Knapp, "Hegel's Universal in Marx, Durkheim and Weber: The Role of Hegelian Ideas in the Origin of Sociology." Sociological Forum 4, no. 1 (1986), h. 586-609. Pengaruh Hegel di Amerika, baca G.A. Kelly "Hegel's America." Philosophy and Public Affairs 2, no. 1 (1972): 75Lihat
The Heritage of Islamic History for Civilization
No. 1.
Marx Humans are a collective, historical, social product
2.
Private interests are the motor of history
3.
Philosophical, ethical, or social positions must be criticized immanently, in terms of actual contradictions Labor is the production of laborers Human action (objectification, alienation) is social. Property is fundamental to the law and the state.
4. 5. 6.
7.
Durkheim Objective, supra-individual cultural, normative processes shape and con-strain human thought and action. They include language, law, morality, custom, kinship, religion, politics, di-vision of labor and science. They form an integrated, historically developing system.
Weber Social structure consists of interlocked social roles.
They form a functional system; nothing exists without reason. Humans only become human by participation in these processes.
Structures of domination generate general rules. These emerge from particularistic structures.
Religion expresses the moral reality of the society.
World historical individuals/charismatic leaders transform traditional structures. Systems of general rules are driven by private interests.
Growth of science and technology are potent social forces. The productive process is a collective, social product.
The basis of impersonal law.
9.
People are moved by unrecognized social forces.
The main political need is for authoritative intermediaries.
10.
Universalistic outcomes are achieved behind actors' backs
The modern world is morally split and fragmented
8.
~ 1477
freedom
is
Law in the West developed universal, general rules.
Their subjective meanings constitute self-consciousness There is a single twosidedd evelopment of structures of organization and of systematic theory
These rational structures produce increasing irrationalities. Christianity helped develop Western rationality. Protestantism accentuated these elements of Christianity
Tentu saja pengaruh Hegel yang sedemikian rupa terhadap para Bapak Sosiologi, ikut terkena di dalam studi Islam. Harus diakui bahwa studi Snouck Hurgronje di Aceh mengenai ummat Islam di Nusantara adalah penerapan dari teori-teori Durkheim.79 Sementara studi yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Jawa merupakan penerapan dari teori-teori
30-36. Pengaruh Hegel terhadap Gadamer, lihat Anders Odenstedt, "Hegel and Gadamer of Bildung." The Southern of Journal of Philosophy 46, no. 4 (2008), h. 559-580. Pengaruh Hegel pada Freud, lihat Clark Butler, "Hegel and Freud." Philosophical and Phenomenological Research 36, no. 4 (1976), h. 506-522. 78Knapp, Hegel's Universal in Marx. 79Samuel, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia.
1478 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Weberian.80 Sementara itu, alumni-alumni dari Amerika Utara yang menstudi Islam merupakan hasil dari pengembangan teori-teori mazhab Chicago dan Talcott Parson.81 Karena itu, model studi Islam di Indonesia jika dilihat dari kacamata ilmu-ilmu sosial lebih merupakan penerapan teori-teori dari Weberian dan Durkheimian.82 Salah satu pengaruh pemikiran Hegel yang paling signifikan adalah pada pemikiran Harun Nasution melalui istilah Islam Rasional dan Nurcholish Madjid dengan istilah Islam Peradaban. Hal ini disebabkan proses rasionalisasi yang mereka kedepankan adalah proses rasionalisasi yang diketengahkan oleh Weber yang merupakan kelanjutan dari pemikiran Hegel. Hingga disini dapat dilihat bahwa ada gejala yaitu apakah pemikir Islam memulai dari persoalan teologis di dalam membangun paradigma pemikirannya atau memulainya dari ranah tasawuf. Kedua aspek ini digiring pada kajian filsafat. Jika dari ranah teologis, maka model nya akan mengikuti pola Hegel yang boleh jadi sampai pada Immanuel Kant. Sementara jika memakai model tasawuf dan filsafat, maka akan lahir model pemikiran seperti Syed Naquin Al-Attas dengan model Islamisasi. Namun, dia tetap tidak bisa lari dari model berpikir Hamzah Fansuri yang kemudian dapat ditarik pada pemikiran Sufi. Model kajian seperti ini lebih mirip dengan model kajian yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu. Sementara jika penggabungan dua tradisi tersebut, sangat boleh jadi akan memunculkan istilah integrasi. Kajian Azra misalnya, menggabungkan studi Islam pada abad ke-17 dan 18 M adalah penemuan doa model pemikiran yaitu Hamzah (tasawuf) dan Hegel (dialektika dan sejarah).83 Adapun paradigma interkoneksi yang dikembangkan oleh Amin Abdullah mencoba melakukan proses bracketing ideas yaitu merujuk pada Immanuel Kant dan al-Ghazzali. Immanuel Kant merupakan pemikir sebelum Hegel, sementara al-Ghazzali yang mencoba mendamaikan antara tasawuf dan syari’ah.84 Agaknya 80Baca Nancy K. Frankenberry dan Hans H. Penner. "Clifford Geertz's Long-Lasting Moods, Motivations, and Metaphysical Conceptions." The Journal of Religion 79, no. 4 (1999), h. 617-640; Clifford Geertz, "An Incostant Profession: The Anthropological Life in Interesting Times ." Annual Review of Anthropology 31 (2002), h. 1-19; Fred Inglis, Clifford Geertz: Culture, Customs and Ethics . Cambridge: Polity Press, 2000; Richard Handler, "An Interview with Clifford Geertz." Current Anthropology 32, no. 5 (1991): 603-613. 81Lihat proyek ini dalam Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1988). 82Lihat misalnya M. Atho Mudzhar, "Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam," dalam Kamaruzzaman BA dan A. Masrur (ed.), Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001) h.27-66; idem, "Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi." Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam . (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999). 83Istilah yang paling sering dimunculkan oleh Azra adalah Jaringan Ulama dan Sejarah Sosial. 84 Che Zarrina Sa'ari, Al-Ghazali and Intutition: An Analysis, Translation and Text of Al-Risâlah Al-Laduniyyah (Kuala Lumpur: Departement of Aqidah and Islamic Thought,
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1479
pandangan M. Amin Abdullah cenderung ke arah filsafat dan hermeneutik. Di Indonesia, pemikiran al-Ghazzali lebih terformalkan, ketimbang pemikiran Ibn ‘Arabi. M. Amin Abdullah, dengan begitu, memberikan peluang Hegel dan Hamzah Fansuri untuk memberikan kontribusinya, namun peran akal dan etika sangat penting di dalam melakukan dialog keilmuan.85 Kajian ini masih dapat dikatakan sebagai pengantar untuk memahami akar paradigma studi Islam di Indonesia. Tentu saja masih perlu pendalaman lanjutan untuk memahami pengaruh Hamzah Fansuri dan Hegel dalam studi Islam di Indonesia. Namun, kemunculan ISTAC, IIUM, UIN, dan IAIN merupakan tempat bertemunya berbagai ide-ide besar yang sudah menjadi paradigma keilmuan pada masing-masing kampus. Paling tidak, dalam studi ini telah diperlihatkan bahwa akar paradigma studi Islam pada prinsipnya tidak dapat menepikan pengaruh teologi dan tasawuf dalam pemikiran filsafat. Hamzah melakukannya pada Islam, sementara Hegel menerapakkannya pada Kristen. Pengaruh kedua mereka memang tidak pernah diragukan. Hegel lebih mendominasi, karena balutan pemikirannya telah diarahkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sementara Hamzah Fansuri masih perlu ditampilkan secara utuh dan otentik dalam ranah ilmu-ilmu tersebut. Kedua mereka memiliki usaha yang sama untuk menemukan spirit, yang kemudian dimasukkan ke dalam akal dan batin manusia. Keduanya juga berusaha untuk melanjutkan studi tentang Manusia Paripurna yang dikenal dengan istilah Insan Kamil atau Wise Men. Karena itu, pengembangan studi Islam harus memiliki tujuan akhir yaitu bentuk akhir dari keberadaan manusia di muka bumi ini. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari kajian ini. Pertama, Hamzah Fansuri dan Hegel merupakan dua pemikir yang telah mempengaruhi pengembangan tradisi ilmu yang mencapai pada tahap peradaban. Hamzah Fansuri memiliki warisan pemikiran di Aceh yang memiliki dampak ke seluruh penjuru Nusantara. Adapun Hegel memiliki pengaruh yang cukup besar di Jerman dan telah menjadi salah seorang rujukan penting dalam tradisi ilmu-ilmu sosial di Eropa. Kedua, Hamzah dan Hegel hidup hampir pada era dimana peran agama sangat diperlukan sebagai spirit kehidupan dalam masyarakat. Persoalan tentang menghadirkan spirit surgawi dan membina menjadi fondasi keilmuan telah dipraktikkan oleh Hamzah dan Hegel. Ketiga, Hamzah menggabungkan tasawuf ke filsafat, sementara Hegel memasukkan teologi ke filsafat. Academy of Islamic Studies, University of Malaya, 2007); Hamid Fahmy Zarkasyi, AlGhazâlî's Concept of Causality With Reference to His Interpretations of Reality and Knowledge. (Kuala Lumpuir: IIUM Press, 2010). 85Baca misalnya Abdullah, M. Amin. "Relevansi Studi Agama-Agama dalam Millenium Ketiga (Mempertimbangkan Kembali Metodologi dan Filsafat Keilmuan Agama dalam upaya Memecahkan Persoalan Keagamaan Kontempotrer)." Ulumul Qur'an VII, no. 5 (1997).
1480 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Penggabungan kedua metode mereka tersebut ternyata telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pengembangan studi agama, baik di Nusantara maupun di Eropa. Keempat, para pemikir studi Islam di Nusatara ternyata tidak dapat melepaskan pengaruh Hamzah dan Hegel. Dalam studi ini, telah diperlihatkan konteks pengaruh tersebut dalam tiga paradigma keilmuan yang sedang berkembang di Indonesia yaitu Islamisasi, Integrasi, dan Inter-koneksi. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. "Al-Ta'wîl Al-'Ilmî: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci." Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 39, no. 2 (2001): 359-391. —. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Diterjemahkan oleh Hamzah. Bandung: Mizan, 2002. —. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Diedit oleh M. Adib Abdushomad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. __. "New Horizons of Islamic Studies Through Socio-Cultural Hermeneutics." Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 41, no. 1 (2003): 1-24. __. "Relevansi Studi Agama-Agama dalam Millenium Ketiga (Mempertimbangkan Kembali Metodologi dan Filsafat Keilmuan Agama dalam upaya Memecahkan Persoalan Keagamaan Kontempotrer)." Ulumul Qur'an VII, no. 5 (1997). Ahmad, Zakaria. "Guru Dan Murid (Riwayat Hamzah Fansuri Dan Syamsuddin as-Sumathrani.” Dalam Dari Sini Ia Bersemi . Banda Aceh: Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur'an Tingkat Nasional Ke 12, 1981. Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Comments on the Reexamnination of Al-Raniri's Hujjatu'l-Siddiq: Refutation. Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1975. __. A commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri. Kuala Lumpur: Ministry of Culture, Malaysia, 1986. —. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM, 1978. —. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990. —. Rânîrî and the Wujûdiyyah of 17th Century Acheh . Singapore: MBRAS, 1966. —. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970. __. Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Singapore: Malaysia Sociological Research Institute, 1963.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1481
Alawi, Ali. "Re-Islamising The World.” Dalam Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, diedit oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dan Muhammad Zainiy Uthman, 59-81. Skudai: UTM, 2010. Almond, Ian. Sufism and Deconstruction: A comparative study of Derrida and Ibn 'Arabi. London: Routledge, 2004. Altizer, Thomas J.J. "Hegel and the Christian God." Journal of the American Academy of Religion 59, no. 1 (1991): 71-91. Anderson-Irwin, Christopher. ""But the serpent did not lie": Reading, History, and Hegel's Interpretation of Genesis Chapter 3." Clio 35, no. 1 (2005): 29-50. Arabi, Ibn. The Wisdoms of the Prophets (Fusus al-Hikam). Kuala Lumpur: Synergy Books International, 2001. Azra, Azyumardi. "Education, Law, Mysticism: Constructing Social Realities.” Dalam Islamic Civilization in the Malay World, diedit oleh M. T. Osman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka and The Research Centre for Islamic History, Art and Culture, 2000. —. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan, 2002. —. Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: RajaGrafindo, 1999. —. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1994. __. "Kontroversi dan Oposisi Terhadap Wahdah al-Wujud: Wacana Sufisme di Daerah Indonesia-Melayu pada abad 17 dan 18.” Dalam Islam, Iran, & Peradaban: Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam, 515-542. Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012. —. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2006. —. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999. __. "Pengelompokkan Disiplin "Ilmu Agama": Perspektif IAIN.” Dalam Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi, diedit oleh M. Amin Abdullah. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000. —. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of MalayIndonesianj and Middle Eastern in Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawa'i Press, 2004. Bergmann, Frithjof H. "The Purpose of Hegel's System." History of Philosophy 189-204. Binder, Leonard. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1988. Bottomore, Tom, ed. A Dictionary of Marxist Thought. Oxford: Basil Blakcwell, 1988.
1482 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Braginsky, V. I. "Towards the Biography of Hamzah Fansuri. When Did Hamzah Live ? Data From His Poems and Early European Accounts." Archipel 57 (1999): 135-175. __. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 1719. Jakarta: INIS, 1998. __. "The Name and the Named: On the Extent of Hamzah Fansuri's Renown in the Malay Indonesia World (Notes and Materials).” Dalam Knowledge, Language, Thought and The Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Skudai: UTM Press365-430, 2010. Buchwalter, Andrew. "Hegel, Marx, and the Concept of Immanent Critique." Journal of History of Pilosophy 29, no. 2 (1991). Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. Wahdatul Wujud: Membedah Dunia Kamal. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013. Butler, Clark. "Hegel and Freud." Philosophical and Phenomenological Research 36, no. 4 (1976): 506-522. Chittick, William C. Ibn 'Arabi: Heir to the Prophets. Oxford: Oneworld, 2007. Chodkiewiz, Michel. "The Vision of God to Ibn 'Arabi.” Dalam Sufism: Love & Wisdom, diedit oleh Jean-Louis Michon and Roger Gaetani, 33-48. Indiana: World Wisdom, 2006. Choir, Tholhatul, dan Ahwan Fanani, . Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Corbin, Henry. Creative Imagination in the Sûfism of Ibn 'Arabî. Diterjemahkan oleh R. Manheim. New Jersey: Princeton University Press, 1969. Daud, Wan Mohd. Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan, 2003. Fathurahman, Oman. Tanbîh Al-Mâsyî Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17. Bandung: Mizan, 1999. Frankenberry, Nancy K., dan Hans H. Penner. "Clifford Geertz's LongLasting Moods, Motivations, and Metaphysical Conceptions." The Journal of Religion 79, no. 4 (1999): 617-640. Geertz, Clifford. "An Incostant Profession: The Anthropological Life in Interesting Times ." Annual Review of Anthropology 31 (2002): 1-19. Gerth, H.H., dan C. Wright Mills, . From Max Weber: Essays in Sociology. London: Routledge, 1974. Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010. __. "Exploring the Life of Hamzah Fansûrî." Al-Jâmi'ah: Journal of Islamic Studies 41, no. 2 (2003): 277-306. Hadiwijaya. Tokoh-Tokoh Kejawen. Yogyakarta: Eule Book, 2010.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1483
Handler, Richard. "An Interview with Clifford Geertz." Current Anthropology 32, no. 5 (1991): 603-613. Hegel, G. W. F. Political Writings. Diedit oleh Laurence Dickey dan H.B. Nisbet. Diterjemahkan oleh H. B. Nisbet. Cambridge: Cambridge University Press, 1999. Inglis, Fred. Clifford Geertz: Culture, Customs and Ethics . Cambridge: Polity Press, 2000. Iskandar, T. "Hamzah Fansuri Pengarah, Penyair, Ahli Tasawuf.” Dalam Tokoh-Tokoh Sastera Melayu Klasik, diedit oleh Mohammad Daud Mohamad. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka: 1987, 1987. Kelly, G.A. "Hegel's America." Philosophy and Public Affairs 2, no. 1 (1972): 30-36. Kleiner, Marcus S. "Hegel.” Dalam Encyclopedia of Social Theory, diedit oleh George Ritzer, 319-320. London: Sage Publication, 2005. Knapp, Peter. "Hegel's Universal in Marx, Durkheim and Weber: The Role of Hegelian Ideas in the Origin of Sociology." Sociological Forum 4, no. 1 (1986): 586-609. Kojeve, Alexandre. Introduction to the Reading of Hegel. Ithaca and London: Cornell University Press, 1969. Laitinen, Arto. Strong Evaluation without Moral Sources: On Charles Taylor's Philosophical Anthropology and Ethics. Berlin: Walter de Gruyer, 2008. Lee, Otis. "Method and System in Hegel." The Philosophical Review 48, no. 4 (1939): 355-380. Limnatis, Nectarios G. "Reason and Understanding in Hegelian Philosophy." The Southern of Journal of Philosophy 4, no. 4 (2006): 607627. Loewenberg, J. "The Exoteric Approach to Hegel's "Phenomenology"." Mind, 1934: 424-445. Manguin, Pierre-Yves. "Demografi dan Tata Perkotaan di Aceh pada Abad 16: Data Baru Menurut Sebuah Buku Pedoman Portugis Tahun 1548.” Dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, diedit oleh Henri Chamber-Loir and Hasan Muarif Ambary, 225-243. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. Marcinkowski, Christoph. Shi'it Identities: Community and Culture in Changing Social Contexts. Berlin: Lit Verlag, 2010. __. "Jejak Kehadiran Persia di Asia Tenggara.” Dalam Iran, Iran, & Peradaban: Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam, 543-560. Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012. Meier, Fritz. "The Mystic Path.” Dalam An Anthology of Islamic Studies, diedit oleh Howard M. Federspiel, 113-128. Montreal: McGill Institute of Islamic Studies, 1996. Morrison, Ken. Marx, Durkheim, Weber: Formations of Modern Social Thought. 2. London: Sage Publications, 2006.
1484 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Mudzhar, M. Atho. "Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam.” Dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, diedit oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dan Abdullah Masrur, 27-66. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. —. "Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi." Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam . Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999. Munson, Thomas N. "Hegel as Philosopher of Religion." The Journal of Religion 46, no. 1 (1966): 9-23. Nasir, Mohamad Nasrin bin Mohamad. "Pengaruh Persia dalam Mistisisme Hamzah Fansuri.” Dalam Islam, Iran, & Peradaban, 357-378. Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012. Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages. New York: Caravan, 1969. Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986. Noer, Kautsar Azhari. "Mengkaji Ulang Posisi Al-Ghazali dalam Sejarah Tasawuf." Paramadina 1, no. 2 (1999): 162-185. __. "Tasawuf Falsafi dan Kontroversi Paham Wahdat al-Wujud.” Dalam Islam Berbagai Perspektif, diedit oleh Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari dan Yudian W. Asmin, 35-44. Yogyakarta: LPMI, 1995. Odenstedt, Anders. "Hegel and Gadamer of Bildung." The Southern of Journal of Philosophy 46, no. 4 (2008): 559-580. Ritzer, George. Sociological Theory . New York: The McGraw-Hill Companies, 1996. Riyanto, Waryani Fajar. Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi Dalam Penelitian 3 (Tiga) Disertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga. Diedit oleh Mardjoko Idris. Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2012. Rosenthal, Franz. "Ibn 'Arabī between "Philosophy" and "Mysticism": "Sūfism and Philosophy Are Neighbors and Visit Each Other". fainna at-taṣawwuf wa-t-tafalsuf yatajāwarāni wa-yatazāwarāni." Oriens 31 (1988): 1-35. Rumi. Daylight: A Daybook of Spiritual Guidance . Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., , 1996. Rumi, Jalaluddin. Masnawi: Senandung Cinta Abadi. Diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013. Sa'ari, Che Zarrina. Al-Ghazali and Intutition: An Analysis, Translation and Text of Al-Risâlah Al-Laduniyyah . Kuala Lumpur: Departement of Aqidah and Islamic Thought, Academy of Islamic Studies, University of Malaya,, 2007. Samuel, Hanneman. Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda Hingga Modernisme Amerika. Diterjemahkan oleh Geger Riyanto. Jakarta: Kepik Ungu, 2010.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1485
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North Carolina, 1975. Setia, 'Adi. "Al-Attas' Philosophy of Science: An Extended Outline." Islam & Science 1, no. 2 (2003): 165-214. Simuh. "Kajian Keislaman Dalam Pandangan Kejawen.” Dalam Studi Islam Asia Tenggara, diedit oleh Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999. Stumpf, Samuel Enoch, dan James Fieser. Socrates to Sartre and Beyond: A History of Philosophy. New York: McGraw-Hill Higher Education, 2008. Tabataba'i, Muhammad Husayn. A Series of Islam and Shi'a. Qum: Alhoda International Publishers, 2005. Taylor, Charles. Hegel. Cambridge: Cambridge University Press, 1975. _____. Hegel and Modern Society. Cambridge: Cambridge University Press, 1979. W.M., Abdul Hadi. "Jejak Persia dalam Sejarah Kebudayaan dan Satra Melayu.” Dalam Islam, Iran, Peradaban: Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam, 447-472. Yogyakarta: RausyanFirk, 2012. Zainuddin, H. M. Tarich Atjeh Dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961. Zarkasyi, Hamid Fahmy. Al-Ghazâlî's Concept of Causality With Reference to His Interpretations of Reality and Knowledge. Kuala Lumpuir: IIUM Press, 2010. Zayd, Nasr Hâmed Abû. Falsafah Al-Ta'wîl (Dirâsah Fî Ta'wîl Al-Qur'ân Inda Muhyi Al-Dîn Ibn 'Arabî) . Beyrouth: Al-Markaz al-Tsaqafî al'Arabî, 1996. ____. Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-Qur'an Menurut Mu'tazilah. Diterjemahkan oleh Muhammad Kasdi dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan, 2003.
Banjarese Ethno-Religious Identity Maintenance Through The Reintroduction of Banjar Jawi Script Saifuddin Ahmad Husin Introduction Sociolinguists suggest that there are many different social reasons for choosing a particular code or variety in a community where various language or code choices are available. When discussing about language choice and its results; language shift and language maintenance, sociolinguists mostly speak about choosing a whole system and structure of language. Seldom, if never at all, have they discussed it with respect to the script in which a language is written. Therefore, research on use of script has been a scarcity in the field of sociolinguistics. One of such scarcity has been the work of Christina Bratt Paulston (2003) which mentioned choice of alphabet as one of the major language problems. Language sociologists propose some factors contributing to the choice of a language over the other. These factors include economic, social, political, educational, and demographic factors. Other language scientists mention religious, values and attitudinal factors. What is real choice is there for those who use lesser-used script, such as Arabic script for Malay and Bahasa Indonesia, in a community where most people use a major national script, i.e. Latin script to write their language. How do economic, political, religious, educational, and demographic factors influence the choice of use of script for a language? This study is about Arabic script used to write Banjarese language. Such script is usually known as Malay Arabic script or Jawi Script. The use of such script varies from place to place following the system and structure its respective language user. Since this study discusses exclusively Jawi script which is used for Banjarese language, for the sake of convenience the term used here is Banjar Jawi Script. This study is uniquely about the reintroduction of Banjar Jawi script as a phenomenon of language maintenance and revitalization efforts. When speaking of Malays and Malay language and culture we are inclined to think in the first place of the parts of Sumatra and the Malay Peninsula which are traditionally considered as the homeland of the Malays. We often forget, however, that there is a third Malay settlement area, namely the island of Kalimantan, Kalimantan is traditionally considered the land of the Dayaks. The popular name among modern Malays to refer to their ethnic-geographic attribute is ‘coastal Dayaks’ (Dayak pesisir). Malays in Kalimantan, living not only on
~ 1486 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1487
the coasts but also far inland, have so far received little attention. The ‘coastal’ Kalimantan Malays are of importance for researchers, scholars, as well as students of Malay language and culture. They are generally conservative and have been less influenced than the Malay communities to the west. Several original linguistic and cultural features that have disappeared in Sumatra and Malaysia may have been preserved in the Malay enclaves in Kalimantan. Despite some linguistic and cultural differences, Kalimantan Malays and their counterparts in Sumatra and Malaysia share one distinctive commonality. They share Muslim identity. The degree of Muslim identity distinctiveness ranges from arts, traditions, and clothes to educational and linguistic orientation. Whereas Malaysian Malays have kept the tradition of using Arabic script for religious and other public purposes in Malay language, Sumatra and Kalimantan Malays have only been recently to revert to and revive the use of Arabic script for public purposes. This study is aimed at two objectives; firstly, exploring and describing some considerations and perspectives on the assertion of Banjerese ethnic Muslim identity through the efforts of reviving the use Arabic script (Jawi) in the writing system of Banjar Malay, secondly, to describe views from the local government, public-religious figures, and general people of the community. Linguistic, sociological, and sociolinguistic perspectives are major references for argumentation that are proposed in this study. Theories used in the analysis of this study include language and its relation with ethnicity, language contact, language maintenance and shift, the function of Arabic in Indonesia, and Malay Arabic script or Jawi script. Data are mainly from interviews with the above mentioned parties. Language and ethnic identity W.W. Isajiw (1974) in defining ethnicity included the term ‘collective, intergenerational cultural continuity’. The term inherently contains the sense of links to one’s own kind, i.e. one’s own people, to collectiveness that not only purportedly have historical depth but, more crucially, share putative ancestral origins, and therefore, the gifts and responsibilities, rights and obligations deriving all of society and culture, depending on the extent to which ethnicity does pervade and dictate all social sensings, doings, and knowings. In this context, Fishman, Le Page & Tabouret-Keller (1982) in commenting these components of definition proposed three conclusive ethnicity-related questions: Who are we? From where do we come from? What is special about us? Fishman (1989, p 336) further claimed that language is part of the authentic ‘doing’ constellation and authentic ‘knowing’ constellation that are recurringly assumed to be dimensions of ethnicity. It is indeed widely believed that there is a natural connection
1488 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization between the language spoken by members of a social group and that group’s identity. By their accent, their vocabulary, their discourse patterns, speakers identify themselves and are identified as members of this or that speech and discourse community. From this membership, they draw personal strength and pride, as well as sense of social importance and historical continuity from using the same language as the group they belong to (Kramsch, 1998). Yoshino (1995:12), in discussing ethnicity, claimed that the uniqueness of the in-group is most directly felt in interactions with outsiders, the linguistic and communicative mode is the key area. Indeed, language together with culture, religion, and history, is a component of ethnicity and nationalism. In this context, language relates with past time pride and authenticity. Besides, it also functions as contrastive selfidentification. The latter function can be in the form of unifying function and at the same time separating function. Kramsch (1998) argued using or choosing one code over the other implies the performance of cultural acts of identity. Although ethnic differences are sometimes not accompanied by linguistic differences, it is rare to find two or more mutually unintelligible languages used in a society without the speakers belonging to different ethnic groups. Banjarese People and Banjarese Language Banjar refers to both linguistic identity and ethnic entity. Ethnically speaking, Banjar is the name people living in the southeastern coastal part of Kalimantan island. Banjarese language is the language spoken by these people. The lexicons of Banjarese are mixture of Malay, Javanese, and various Dayak dialects (Usman, 1990:39). Banjarese is also identified as one of the many Malay dialects. John U. Wolff (quoted by Ahmad and Zain,1988: 85) discuassing about Banjarese language, said: “… on Banjarese Malay. This dialect is spoken through most of the province of South Kalimantan and northwards along the West Coast - I am not sure how far north. What is known is that Malay dialects are spoken all along the West Coast and that they are all very similar to Banjarese - there probably is no sharp demarcation between the dialect of Banjar and that of Kutai to the north of it, they are both quite similar Malay dialects”. In line with the above view, Johannes Jacobus Ras (1926:7-12), author of the famous Hikajat Bandjar: A Study of Malay Histroiography, said: “The language spoken in this part of Borneo, the Banjarese colloquial, … is
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1489
perhaps best defined as the independent continuation of a rather archaic type of Malay, superimposed on a substratum of Dayak dialects, with admixture of Javanese”. These views support the opinion that genealogically Banjarese is a malay dialect spoken throughout South Kalimantan as well as in its neighboring provinces. Ninuk Kleden-Probonegoro (1996:70) asserted that Banjarese language is also used by other ethnic groups in neighboring Central Kalimantan and East Kalimantan as a second language. Besides being used as a vernacular, Banjarese language is also used as medium of instruction in South Kalimantan elementary schools up to the third grade. Language Contact Language contact takes place between speakers of different languages in contact situation. The two languages in contact become a sprachbund (Lehiste, 1988: 59), i.e an area where two or more languages meet and used there. Cause of contact languageis the arrival of a group of people in large number to a linguistically homogeneous place. The consequence is both the immigrants and the locals use their respective language, and this will finally lead to a Sprachbund; a meeting area of two different languages used in that area. The immigrants might assimilate with the locals and use the local vernacular as their own language; or on the reverse, the local language is overtaken by the immigrants’ language, hence the locals use the immigrants’ language. Whichever the result of language contact phenomenon depends very much on extralinguistic factors such as the number speakers of respective languages, status or degree of material and non-material cultures, political and military power which are available to each of the groups. Language contact can also take place without irect meeting or cantct of the speakers of two or more languages. Such contact situation is evidenced in English and Arabic. Classical Arabic, for example, underwent contacts with other languages in many parts of the world through spread of Islamic religion. This can be seen in massive borrowing from Arabic in languages such as Persian, Turkish, Urdu, Malay, and Bahasa Indonesia whose speakers are predominantly Muslims (Thomason, 2001:2-3). Not only did contact between Arabic and these languages result in heavy borrowing of lexicons, but also in the adoption of Arabic alphabets as medium of writing the local languages.
1490 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Language Shift and Language Maintenance When a group of speakers of a language live side by side with other group of language speakers their language will undergo one of two tings: language maintenance; their language continues to be used for social interaction, and therefore is maintained, by its speakers and other speakers of other language, or language shift; the language will be ceased and replaced by a new language, which is the most frequently used in social interaction. Linguists have identified a number of significant factors explaining how society’s change of attitude towards a preference of language choice and how shift takes place. Some of these factors include migration, industrialization, urbanization, language prestige, education, and government policy pertaining to a particular language which is used as medium of instruction at schools and other formal institutions. Romaine (2000:40) added some external factors that influence maintenance, shift, and death of a language are number of speakers, social class, educational and religious background, pattern of settlement, and government policy. N. Glazer in his article, `The process and problems of language-maintenance: an integrative review' (p.358-68), confirmed some other factors which promote language maintenance, including: a. Support of a minority group in the form of parochial school, in the tradition of Christianity; and/or Madrasah and Pesantren or Islamic boarding schools in Islamic tradition. b. The prestigious status resulting from the establishment of the only official language, such as the case of Spanish in Mexico, French in Lousiana, USA, and Malay during the colonial era in the Dutch East Indies. Arabic as the language of Islamic religion Along with the advent of Islam in this archipelago, a large number of new religious concepts, which are Arabic specific and therefore intranslatable to the local vernacular, were introduced. In fact, there are many religious expressions are directly borrowed from Arabic. Every Muslim in the world, regardless of their native language, learned a number of expressions in Arabic, such as greeting (Assalamu’alaikum), supplication (Bismillahi), expression of faith (Laa ilaha illallah), and some formulaic expressions and terminologies in prayers, including the obligatory recital of the first verse of the Qur’an and other optional verses in the performance of five-time daily prayers. For academicians and researchers who deal with Islamic studies need a good mastery of Al-Qur’an and Hadits (Prophet’s traditions and sayings), as well as other fields of Islamic academic heritage.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1491
Arabic Script in Indonesia If we discuss about the use of Arabic script in Indonesia, it is inevitable for us but to touch on the discussion of the relationship between Arabic language and the religion of Islam. Prior to the influx of European elements, Bahasa Indonesia had traditionally been influenced by and incorporated many elements from Sanskrit and Arabic. The influence of the two languages is a byproduct of the acceptance of the Hinduism, Budhism, and Islam by people living in the archipelago stretching from Malay Peninsula in Malaysia, Sumatra, to the Moluccas. The extent of influence of Sanskrit and Arabic in Bahasa Indonesia, especially in its lexicon, can be seen in the wide spread use of terminologies. Religious or liturgical terminologies are interchangeably used across religion. For example, do’a which is Arabic word and of course associated with Islamic religion, yet it is used by adherents of other religions. The same is true with the Sanskrit word sembahyang (literally means to worship gods) is used interchangeably with its equivalent Arabic word shalat by Muslims. As for the magnitude of Arabic influence in Bahasa Indonesia can be seen in the these Indonesian sentences, which most of the constituents are from Arabic (Arabic words are in italics): - Masyarakat wajib taat hukum (‘People must comply with laws’) - Berdasarkan musyawarah dan mufakat akhirnya anggota syarikat pekerja itu sepakat untuk menyampaikan maksud mereka secara lisan kepada kepala daerah. (Based on conventional agreement, members of the labor union agreed to convey their intention orally to the district government’). In the first sentence, each of the words is Arabic. The word masyarakat (‘people, society’) derives from Arabic verbal root /sy-r-k/ شا رك 'to join, gather’ assemble’; wajib from verbal root /w-dƷ-b/ ' وجبoblige, a must, inexcuseable’; taat from /th-?/ ' طاعobedient, comply’; and hukum from /h-k-m/ ' حكمdecide, law, wise'. While the Arabic elements in the second sentence are musyawarah, mufakat, akhir, syarikat, sepakat, maksud, lisan, and daerah which derive from /sy-w-r/ ' شاورdiscuss', /w-f-q/ ' وفقagree', /a-xr/ ' اخرend, finish', /q-s-d/ '' قصدintention, to head to', /lisan/ لسان 'tongue', and /d--r/ ' دارcirculate, cover' respectively. In the field of education and academic, especially in religious teaching, Arabic is compulsary for it is the language in which Islamic literature is written. In many Islami boarding school (pesantren) Arabic is a compulsory language of instruction and day-to-day language used by students and their teachers’ interaction. The important position of Arabic language in the domains of religion, eduction, and other social life leads to its popularity and use of Arabic alphabets to write the language. The use of
1492 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Arabic alphabets is not only limited to Arabic literature, but also in writing the local vernacular, especially Malay and its various varieties, including Malay dialect of Banjarese language. Jawi Script: Arabic alphabets used to write Malay language. Cornelis Spat (1931), a Dutch Malay language researcher, said that there has been no record explaining that the Malay peoples had their own alphabets, before Arabic alphabets were used to write their language. There had been no written Malay language before the introduction of Islam except some scripts on the stone which used Hindu-Java script. Islam indeed encouraged the Malays to use alphabets intensively and probably extensively. The acceptance of Islamic religion by the local Malays facilitated the use of alphabets of the foreign people who brought the religion. Up until now the alphabets are still used, although it is not the only medium of writing for Malay language, because Latin alphabets, introduced by the Europeans, are extensively used. (Re)Introduction of Banjar Jawi Script : Analysis In 2006, District Government of Banjar, South Kalimantan issued regulation number 5 on the system of writing identities in Arabic script. Based on this regulation, names of public offices, schools, streets, and other government agencies be written both in Latin alphabets and Arabic script. This regulation reflects the intention and effort by the local government to revive one of the traditions that has long been abandoned and once was distinctive literacy tradition of the old Banjar Sultanate. This revival is not without historical, socio-psychological, and educational justifications. To revive a writing system for a language is the domain of language planning in the linguistics discussion. Language planning may be defined as deliberate, institutionally organized attempts at affecting the linguistic or sociolinguistic status or development of language. One such form of language planning is auxiliary-code standardization. It is standardizing or modifying the marginal, auxiliary aspects of language such place names, and rules of transliteration and transcription, either to reduce ambiguity and thus improve communication or to meet changing social, political, or other needs or aspirations. Therefore, to revive a writing system of a language, in this case Arabic script, has very much to do with the status of the source language as the original user of the alphabets. Such attempt should take into account both linguistic and extralinguistic considerations, as well as social, religious, and political factors. Due to political, social, or emotional significance of names, signs, and the like, place naming is frequently motivated by such considerations rather than by genuine communicative need.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1493
Linguistically speaking, the Arabic language status as the language of Islamic religion is one of the key factors in the successful attempt of reintroduction of Banjar Jawi script in South Kalimantan. In fact, Islam is the religion of the majority of inhabitants of District of Banjar in particular, and South Kalimantan provinnce in general. This psycho-socio-religious factor is of important relevance in this context. Muslims highly revere anything written in Arabic alphabets, even if the writing has nothing to do with anything Islamic such as a piece of torn news paper in Arabic would likely be considered as a piece of the holy script. Extralinguistically, Banjarese people enjoy a high level of literacy in Arabic alphabets, because they are generally very religious. Taking these factors into account, reintroducing the use of Malay Banjar Jawi script (Arabic alphabets) to school students presumably will not have any inhibition or resistence either from students, parents, or teachers. Literacy tradition in Islamic South Kalimantan has witnessed extensive use of Arabic scripts in Malay vernacular (Jawi script) to write public or religious documents. With special respect to religious texts written in Jawi script, history has recorded a substantial number of works. The following texts are some examples of the works by Banjar Muslim scholars: 1. Sabilal Muhtadin by Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari 2. Kitab al-Nikah by Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari 3. Kanzu al-Ma’rifah by Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari 4. Asrar al-Salat by Abd al-Rahman al-Siddiq Sapat 5. Senjata Mukmin by Husin Qadri 6. Parukunan Jamaluddin by Qadi Jamaluddin Al-Banjari 7. Kitab Haji dan Umrah by Husin Qadri 8. Al-Dur al-Nafis by Muhammad Nafis Al-Banjari 9. Kitab Sifat Dua Puluh (anonym) 10. Hikajat Banjar (anonym) 11. And various works on Tasawuf written anonymously The Sultanate of Banjar in South Kalimantan has initiated an effort to revitalize and revive the use of Banjar Jawi script. This effort is a way of preserving a tradition which had long been practiced by the community in the province. Socio-politically, language planning policy, particularly the revival of the use of Arabic alphabets along with Latin alphabets in place, street, and office names initiated by the Banjar District government has been supported widely by local society. Therefore, all the above mentioned factors may become a supporting factors as well as strong consideration or rationale for the reintroduction of the use Arabic alphabets to write Indonesian language in the local educational institutions. However, all of
1494 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization these arguments will not mean anything unless standardization of the writing system is also carried out.
Political and Cultural Context
At the beginning of the first four-year term, the new elect regent of Banjar District issued a regulation which dictates that names of public offices, schools, streets, and other government agencies be written both in Latin alphabets and Arabic script. Four years later, family members of the former Sultan of Banjar re-established the Sultanate of Banjar on July 24, 2010. The re-establishment is precedented by the founding of LAKKB – Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (Institute of Tradition and Royal Kinship of Sultanate of Banjar). This institute is the promoter of the re-establishment. From the perspective of temporal context, the current regent or head of Banjar district happens to be one of the many princes and princesses of Banjar Sultanate. The LAKKB has used his term to reintroduce and re-establish the Sultanate of Banjar. Although the reintroduction and re-establishment of the sultanate is claimed to merely play roles and functions of creator, conserver, continuer, and developer of both court and public traditions and cultures. Historically, the sultanate was the creator and developer of new traditions in and for the royal court and the people. Hikajat Banjar recorded that the Islamic court had sent envoys to Giri, East Java to bring mask puppet, puppet dancer, and other forms of dances to liven up the court life. Prior to that, the Hindu court had received presents from Majapahit kingdom a set of gamelan instruments (Si Rancakan) and babuns (traditional drum). During the Islamic sultanate, the court was active in developing traditions and cultures. In 1666, prince Singa Marta was sent to Bima to purchase some horses to breed in Banjar. Not only did the envoy go back with horses, but also with some artists and singing instructors from the island of Bima. In the period of Sultan Inajatullah reign (ca. 1678), gamelan was no longer the sole music instrument played in the court, royal family and the people were enjoying the play of Dayak small guitar, and other Borneo-specific and indigenous instruments. During the term of prince Hidyat (1854-59), besides Javanese, Bugis and Malay arts and literature flourished well. All of the above mentioned facts are indicative that the royal court of the sultanate of Banjar was traditions and culture creator. With the abolition of Banjar sultanate in 1860 by the Dutch, performances of rituals, festivals, and ceremonies, which had functioned as both political and cultural bonds between the court and the people, were forbidden by the Dutch colonialists. Such ban had cut the people of Banjar from their patrons politically and culturally. Some cultures and traditions which were introduced by the court were gone while some others were
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1495
livened up or taken over and developed by people. One such tradition is the use of Arabic script for writing. The current sultan of Banjar has been sensitive enough to play the role of continuing, reinventing, and feveloping these long gone traditions. What the sultan has done, in Eric Hobbawn’s (1983) term is ‘tradition invention’. It is about tradition that is actually invented, constructed, and officially institutionalized whose data and time are easily traced and readily proves by itself as ‘tradition’. Invented tradition refers to a set of practices -whose rules are officially formed explicitly or implicitly-, or a set of rituals or symbols – which thrive to internalize values and norms of certain behaviors in a repeated manner, and show their connectedness with the past. Tradition invention is therefore process of formalization and ritualization which indicate connections with the past. Tradition invention in the context of reintroduction of the use of Banjar Jawi script is therefore important for the Banjar sultanate institution not only for its historical ground, but also for the acceptance of the existence of the sultanate institution by the people of Banjar. The reestablishment of Banjar Sultanate institution is a tradition invention in its own right. Reference Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU, Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com Fathullah, M Luthfi. 2008 Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah. Jordan: university Jordan press. Glazer, N. 1968. `The process and problems of language-maintenance: an integrative review' dalam Joshua Fishman. Language Loyalty in the United States. The Hague: Mouton. Hobsbawm, Eric. 1983. “Introduction : Inventing Traditions”, dalam Eric Hobsbawm dan Terence Ranger (ed.), The Invention of Tradition, Cambridge: Cambridge University Press. Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan. kampungrison.wordpress.com Lehiste, Isle. 1988. Lectures on Language Contact. Cambridge, Mass.: MIT Press. Medri. 2008. Jejak Bahasa Melayu Aceh. Acehlong.com Muhandri.2003.Bahasa Jawa, Arab, dan Melayu di Palembang. www2.kompas.com. Nuswanto, Heru Susetyo . 2008. Bangsa Moro di Mindanao : Roh Islam Melayu di Jasad Pinay. www.heru.blogspot.com.
1496 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Ras, J. J. Hikajat Bandjar: a study of Malay Historiography, The Hague: Martinus Nijhoff, 1968. Romaine, Suzanne. 1989 (reprinted 2000). Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell. Spat, C. 1989. Bahasa Melayu: Tata Bahasa Selayang Pandang. Jakarta: Balai Pustaka. Thomason, Sarah G. 2004. Language Contact. Edinburgh: Edinburgh University Press. Van wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa Melayui. Jakarta : Djambatan. Appendix: 1. Aksara Arab Melayu Character
By itself
Initial
ا
ﺍ
ب
ﺏ
ﺑ
ت
ﺕ
ث
Medial
Final
Names
ﺎ
alif
ﺒ
ﺐ
ba
ﺗ
ﺘ
ﺖ
ta
ﺙ
ﺛ
ﺜ
ﺚ
tsa
ج
ﺝ
ﺟ
ﺠ
ﺞ
jim
ح
ﺡ
ﺣ
ﺤ
ﺢ
ha
چ
ﭺ
ﭼ
ﭽ
ﭻ
ca
خ
ﺥ
ﺧ
ﺨ
ﺦ
kha
د
ﺩ
ﺪ
dal
ذ
ﺫ
ﺬ
dzal
ر
ﺭ
ﺮ
ra
ز
ﺯ
ﺰ
zai
~ 1497
The Heritage of Islamic History for Civilization
sin
ﺲ
ﺴ
ﺳ
ﺱ
س
syin
ﺶ
ﺸ
ﺷ
ﺵ
ش
ṣad
ﺺ
ﺼ
ﺻ
ﺹ
ص
ḍad
ﺾ
ﻀ
ﺿ
ﺽ
ض
ṭhad
ﻂ
ﻄ
ﻃ
ﻁ
ط
ẓhad
ﻆ
ﻈ
ﻇ
ﻅ
ظ
'ain
ﻊ
ﻌ
ﻋ
ﻉ
ع
ghain
ﻎ
ﻐ
ﻏ
ﻍ
غ
nga
ـڠ
ـڠـ
ڠـ
ڠ
ڠ
fa
ﻒ
ﻔ
ﻓ
ﻑ
ف
pa
ﭫ
ﭭ
ﭬ
ﭪ
ڤ
qaf
ﻖ
ﻘ
ﻗ
ﻕ
ق
kaf
ـك
ـكـ
كـ
ك
ك
gaf
ـڬ
ـڬـ
ڬـ
ڬ
ڬ
lam
ﻞ
ﻠ
ﻟ
ﻝ
ل
mim
ﻢ
ﻤ
ﻣ
ﻡ
م
nun
ﻦ
ﻨ
ﻧ
ﻥ
ن
nya
ـڽ
ـڽـ
ڽـ
ڽ
ڽ
1498 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
و
ﻭ
ﻮ
wau
ۏ
ۏ
ۏ
va
ھ
ھ
ھـ
ـھـ
ـھ
ha
ي
ﻱ
ﻳ
ﻴ
ﻲ
ya
Letters appear in gray rows represent specific sounds in Malay/Indonesian language. 2. Examples of Jawi script guide a. Syllable that begins and ends with consonant are written in consonants only. Examples : tangkas = تڠکسtempat = تمفت b. If penultimate syllable contains [a] sound, the syllable is written by adding an alif ( ) ا, diacritic, whereas the final syllable is not added an alif ( ) اeven if it ends with [a] sound. Exmaples: raja = راج c. If penultimate syllable contains [e] sound and the following ends with [a] sound, the penultimate syllable is written by adding an alif ( ) ا. Examples: re-da = راد d. If the first syllable contains one of [i, e, ai] sounds,the syllable is written with ya ( ) يdiacritic. Examples: ki-ri : كيري se-ri = سيري e. If the first and second syllables contain the sounds of [o, u, au] they are written with wau ( ) وdiacritic. Examples: ro-da = رود pu-lau = فوڶو f. If the final syllable has the sound of [wa] it is written with both wau ( ) وand alif ( ) اdiacritics. Examples: ji-wa = جيوا g. If the initial sound of a syllable begins with vocal followed by a consonant sound, an alif ( ) اrepresents the vocal sound. Examples: an-tar = انتر h. If syllable begins with [a] sound an alif ( ) اrepresents the syllable. Example: a-man = امن i. If final syllables end with [ai] or [au] ya ( ) يwau ( ) وdiacritics represent the sounds respectively. Examples: tu – pai = توفي ker – bau = کربو
أثر العقيدة المذهبية على عمارة المساجد الشيعية بإيران الحسينيات
د.غادة عبد المنعم الجميعي مدرس بقسم اآلثار اإلسالمية -كلية اآلثار -جامعة القاهرة E-mail:
[email protected].
ملخص: يهتم ذتتال لث بتتض حمالتتر لثتتئدي لثمذهبتتئش ثل تاذ لث تترم لت ظهتتاي عتتاي ئيتتئ متتأ وعتالي لد تته ئ لثت ال يفمتتعا ا س لثمتتهال لا تتثم لث تترم رتتض د تتل ه م هتته لثمئيتتئ متتأ لث تتهير س ي تعلق دلثم تعلر دمتتأ لدمتتعدا وق ظهتتاي تتهي لد تته ئ وييف ت وييف هط تهب م هً تعلب حهث تتئ ا لو ئي تتم دظه تتاي لب تتثس ديث تتل ت ح تته م ت ئ لثع تتا "ص" ثكت تتأ ظهت تتاي لحل ت تتر رهء حت تتئ م ت تتا لثذت تتعق لثعلح ت ت ل ت تتعش معيف ت تته حه ت تتئل لث ره تترم ثلئدثتتم لثم ه تترم س يفلتتل لثت ت د تتم ع ح تته لحل تتر رهء حمتتئ يثتتل ح تتك ممذ ت ت ت ض ت تتط دللت ت ت معيف ت ت تهب حهحلكام ت تتهء دلث ت تتئد لثت ت ت ك ت ت ت لثم ت تتهال لب ت تتثم ديفا هههتتته لثتكعيتتم دلثمذهبئيتتم ا وتتته ظهتتعء حكرتتع س لثم تعيأ لث تتتاش دلثذه تتهيش س ي تعلق دس لثم تعلر س حل ت لء لحلك ت لث تتتاش دهه تتم س هتتئ لث تته تته ل د 8301-999ذت.8269-8911/ تتهي ذتتال لث تتاي متتأ لد تته ئ حلهتتا لثمهم ت ومتته تتأ وذ ت لثمالم ت لث ت وهذ تتعء ل ت لثمذهبئش لدعيف حهثتكع لث رم دويكهعم دحلعد م لثعبر رم دلث حهث ختمل متأ حلع تم ت ت مت تتالذ لث ت تترمم لدم ا ت تتم دلد م ت تتع .د ت تته وق ذ ت تتال لث ب ت تتض ت تترهم آلهت تتع ~ ~ 1499
1500 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
حهحل ر رهء س يعلق حلإق لث كرز ركاق ل وذع لثتكع لثمذهبئش لث رم ثتئ لثتع تم تتهي لحل تتر رهء ح تتإيعلق د ه تتمثا لد تتذ لاحلذ ت دلثا تتئلء لاذ تتش ت تعيم ل ت دلثم ه ع لدكاعم ثم تهي ذتال لث تاي متأ لد ته ئ تأ يفلتل لدا تاس حهد ته ئ لثعبر ترم رم ت تهب ح تتإهمثا دلدمعدحل تتم س كهحل تتم وي تته لثم تتهال لب تتثم دلث ت ت يف ت تعيف حهد تتل ذهب تتئذ د ييف تتهخ ذ تتال لبه تتمثا حاظرت تتم لد تته ئ لث تترمرم تتأ ضطذ تته دذ تتا م تته ت تترهم ذ ت تتال لث بت تتض ح ت تتإحعل ك ت تته ت تترهم حت تتإحعل لثا ت تتئلء دلثم ه ت تتع لثت ر ت تتم يلء لدئثااء لثعمزيم دلث يفتزيأ ويكتهق د دليته لحل تر رهء متأ لثتئله دلحتهير و رهعتهب دمته ه مأ يمزيم ذهبئيم يف ط ثلتكع لث رم ح ك م هًع د عي .
-1مقدمةة تششةةم يفتتهييع تهي لحل تتر رهء س لثمتتهال لا تثم
دو ت ه ظهايذتته
دوذع لثتكع لث رم ل هيهته. -8.8يفمعيت لحل تر رهء :ت وق وحتئو س لحلتئيض تأ يفتهييع تهي لحل تر رهء ][1 تر رم ديفكرتم ودس وق وًط لىل يفمعي لحل ر رم ] [2رض وق ذ هك ث س ح ثتت ] [3دحذمتتم ] [4دههعذتته ] [5د متتهس لس ] [6دم تتل ] [7تتع تتئ لد ت ي ود لآلذعش لايعلين ] [8رض يفمتق ر ذتا لثم تهبع س وتته ح هيتهء ماذ رتم ختتمص تتع وق حمت ت ل ذت تعي س وضل ه تته حإ هم تتم دظ تتهب دمعل ت ت خت تتص لد تتاذ لث تترم تهي لد ت ئ لبيعلعر خيل اق ح ذا لثم تهبع لداذ رتم لثت ا هتثا لرهته دحت دلدئي تتم رتتض يمتتئدت ه ويمتهب كم تتهبع ماذ رتتم عاتعلب ثذرهمه تته حت م لدعل ت لث تترمرم وذ تته لا ر تتهس دلب مت تتهاء لحه ت ت حهث تترمم .د لرت ت حل تتإق لحل تتر رهء ذت ت ل م تتهكأ لدخ ت ا همتتم لثممتته ش لثئي ر ت " تزل سليش" ] [9دذ ت لدعل ت لث ت ار ت ل تتممعل يكت تتع مذم ت ت
ت تترئعه لحل ت ت يل ت ت ل
ت ت دمعل ت ت لثممزيت تتم ي ت تتم حلره ت تته عت تتاي م ت تتأ
~ 1501
The Heritage of Islamic History for Civilization
لا تتممعل خت تتص ث ت ت وم تتهكأ دل تتمم ك تتط تته ه ا تترمهه ديف ت ت لحل ت تتر رهء ه ر هب مأ و ذال لثغع ( لر )19-17 :8019 , -8.6يفتتهييع لحل تتر رهء :عحل ت لثممتته ش ديفعلحلتتق ممهتته ع ت لحل تتر رهء س لثم تتع لث تاش دهه م س لدئق دلثذع لث غط مث لعم تعء حمتئ يثتل س رت وإته يتعلق حت ت س لثم تتهال لا تتثم لث تترم د تتئ يف تتايء س يت تعلق س ه تتئ ك تتع ه تتهق ر تتض حتتئ ء يفاهتتع تته ه ا تترم س لثم رر ت داهدثتتم لثم تتهحم حهحل ت دوذ ت حرمتتم دل تتر لد هد ث مث يف ايء ثم م لثمكايأ لد تع وكرتع س هتئ عه تع لثتئيأ هتهق ديثتل مت تتم علي لثم ت ذطلء لاديحرتتم دممعحلمتتم حهب تتا لد تتع رم دذ ت تتعد سي رت يف ت س حلت تتار لد ت تتع: ( .ت تتاي ,س.ء .)60 :دس ذت تتا لثممت تته ش يكت تتاق ثك ت ت ًت تتخص مت تتأ لد تتهيك حلرهتته سدي يذتتاس حت ديعيفتتئش حلرت ذرتته هه تتم ديم ت حلرت حهحلتتئ يعلحلذتتم س يثل لاسدلء لحلعحرم مأ لثعم دلث ر دلثئيي دلح تع دلثذعحتم دلحل تهق ك ته يفعلحلذت و ت تالء لث ت تتا دلث ت تار دلث ت تتهش دلث ت ت " دلث ت تتئمهس "م ت ت ذعلء ت تايفر " دس لاضل ت ت ل تتم ئء لثممتته ش مذامههتتته لثت رتتم متتأ لدعلبت دلدعلذ ت دلدتتئلب دلد ه ت ديفلتتل لدعلذ ت يفكتاق س لثغهثت م اامتتم ًتمعل يذتعو لت حلتأ د يذتهي هتتهص حت (اتتئذ : 8991 , .)91-92ديف ت ثتاتتم لحل تتر ر ىل لحل ت لرت لث تتثس ك تته وتتته يفمتتعا حإ ت ] .[10د ل ت لثتتعض متتأ وق حئليتتم ع تته لحل تتر رهء تته س لثم تتع لث تتتاش ل ت د ت لح تتاص ا وعت يمتتز عم تتهي لحل تر رهء س ليتعلق ىل لثم تتع لثذه تتهيش رتتض دلدخ تتهء لدم هييتتم
د تتلم ه متتأ ذتتا لحلذ تتم لثمئيتتئ متتأ لحل تتر رهء يلء لد تته لدممئس دلدخملتم . -8.0ومهرتتم لحل تتر رم :ثلب تتر رم ثتتئ لث تترمم ومهرتتم ك تتط يف ت ر حمتتئ لد ت ئ م هًتتع دثك هتته ا يف تتملزس عتتتس ال تتئ دًتتعدخ سهتتا لد ت ئ د تتئ ظهتتعء س ل ضل ت م ت لاب م حمئ ما مم كعحث ثلئاثم ل لد
لث ا هته لحل ت دو تعيفم ] [11حلتعض
1502 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
ممهي تتم متته يمتتعا حهثمذرتتم س يثتل لثمهتتئ لد كتتع هاحلتهب متتأ ح ت حت ومرت ح تته لث ت لد تهيك ا وتت تتهمال حم ررت و تئل لدمعكتتم مت متأ ال يلبتتق ته ثر تهذئذه دثرتتممل م هتته تتع يفكتتاق ت حلرهتته لثم ت دلثتهبتتئ دحتتهث كتتهق يثتتل ثركتتاق تعلب حمرتتئلب تتأ
وعا ت تتهي لحل ت تتهك ت تال س لثم ت تعيأ ل م ت تتاش ود لثم ه ت ت لد ك ت تتع ا لع ت ت م ت ت ظه ت تتاي لثذامر تتهء لث هبتر تتم دلثمع ر تتم ديفذ تتر لثم تتهال لب تتثم س لثم تتع لثم ه ت ت حت ت ومت تعل لدذهطمهء دل هثر حلذئ ظهتعء لثتئد لث ترمرم لحلهك تم مرت لثئدثتم لث ايهرت س حمت م تتئق ي تعلق دع تتعء ماذ ت ت لح تتهص .د ل ت لث تتعض م تتأ يث تتل حللت ت يفم تتعا ر تتالب تته لحل ر رهء د منه كهع يفم ه ومالي لث ال .دلث كه دلثل ]. [12 ديمم م يها لث ترمم وق ود متأ تهس حهثمايت دلث برت دلثمتزل كتهق لحل ت يلت ل ت ح ت ت لت عت ت ديثتل س لثرتتاس لثعلحت متتأ ويتهس ًتتهع اتعس وش ت مذملت ح تتمم
ويهس رض وذ حرمم مأ لثع ه دلث ه دلاطته دكهعال ويحم د تئ حكت لتره تته دتته يفعلب ت ث ت وذ تال يتتاس لثمهًتتع متتأ اتتعس رتتض تترذم متتأ هتتل لث ت (ص) ذثذتتاق عتتتع ح ت ي ت دلم تعو دطت ت ( لثم ت ش )17-10 : 8990 ,دكهع ت يفتتم معل ت لثم تزل س لثمكهيتته دلحهعذ تتهدلء دضطذ تته ثمتتئس ذ تتهي لحلت تته لثم ه تتراق دك تتاثل لث لثايأ كهعال م م عيأ س يعلق س يثل لثا د تم ع لحلته ذكتال تع ل تثق – 72 يتعلق سدثت ًتترمرم س هتتئ لث تته ه رت لاد )م ت :8011 ,ت8 .(71ك ه يف مخئس و رهعهب لدرهسيأ لثمهمم كب ر رهء حمئ لتهحلم حمت لثمبت لثت
ه سااء ذهبئيم هه م حراس هًايل ديثل س د ت همتم معل ت هًتايل دكتاثل س وحل رم لثمكهيه لثك ط دلث ذهي ( يفا ل .)821-829 :8010 , 8.7مال ت ت لحل تتر رهء :يف ت ت لحل تتر رهء ضهث ت تهب لت ت م تتئله لد تتئق دلثذ تتع ود س دليهذه رض يعل س هممهه ئس مأ لثمالم ئسء عم هيذه حلذئ كهعت لدئي تم تتئ هب –لثم تتع لث تتتاش -يفذ ت ت م تتأ لث تتئله لىل معك تتز لدئي تتم د لثت ت يلمت ت
ا تته
~ 1503
The Heritage of Islamic History for Civilization
جم ا م اثء مأ هث تئس متأ لث تعر لحهثرتم لثت يفتعيف مت حممتهه لثت م ح تم د تتهيلء ىل هعت مرتتئلع يبر تتر و تتئمهه مرتتئلق تتهس وتتهيش ود كتتام دلآلهتتع يفكرتم ود تر رم ] [13ك ته س تتهق ديتزس دهتتعلق دعتهب دضطذته متأ متئق ليتعلق دحت تتئس ع ت م م تته م لحل تتر رم ح ت م تتئس لث تتكهق حهد ذ تتم لثال م تتم تته تتع خت تتئس كهق لد ذ ح عذه.
ًتك ( )8مئي تم عتتهب ً .A :تك يالت يفا يت لحل تتر رهء سلهت لدئي تتم .B ً ت تتك يال ت ت ت لث ت ت ت م ح ت ت ت م ت تته م لد ذ ت تتم ديفا ي ت ت ت لحل ت تتر رهء حك ت ت ت م هت ت تته ( ل هعزلس )803-99 :8017, -2دراسة أثرية معمارية لنماذج لحسينيات إيرانية من العصر الصفوي يف ذ لحل ر هء مأ رض خت ر هه ىل مأ لد هين لداذ رم لاهع ديفكاق ذا لحل ود تتر رهء م ت تتلم خت ر ه تته ح تتك هه تتم تته .دذتتا لحل تتر رهء ذ ت لث ت يف
ر رهء ملبذتم ح ذتهي ود متهس لس دضطذته ر رهء سله لدئي تم اتته يفم ت جم ت سيت م تتمذ ديفك تتاق يلء د تتئلء دمث تتق ت ل ت متتئله لدتتئق .دمتتأ لثم تتهبع لث ت
يفلب تتق حم تتهي لحل تتر رم ديفك تتاق مم تتلم ود م ت تتلم ه تته ذت ت لث ت ت ر " تتذهههع " ثلم تتاكط ا م تتم لثم ت دلاال ود يفم تتاي ل ت الع ه تته و تال لد تته " ت ه " د تتههيي"" لع تتهي" يفم ت حهحل تتر رم تتأ طعيتتق تالء ك تته س تتر رم عا هحتتهس ود يا تتئ ح تئلهلهه ك تته س تتر رم كل تالق د تتر رم حتته لد ت ئ د تتر رم تعلش عتتا ( ت ت ت تتل هق لس .)807 : 8017 ,دك ت ت ت تتاثل م ت ت ت ت ئ ب همت ت ت تتم لث ت ت ت تتلالء لح ت ت ت تتس
1504 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
"منه ههعت " دوهتطلب م ت ع ثم ت ل طم ت لحه تم حها متتهاء لثئي رتتم .دك ته عم تتعء لحل ر رهء س يعلق س لثم ع لث تتاش رتض و هل ت لثئدثتم لدتاذ لث ترم لدتاذ لثع ه حلذتئ لعم تعء ويمتهب س لثمتعلر دهه تم س حلت لء كت لث ته ته ثلمتعلر
د ت لعم تتهي ل ت لثمر تتهع ك تته ظهتتعء ويمتته لحل تتر رهء س ل تتئ دم ذتتم تتره دذ لد ذم لث هس حلرهه لحلك لث تتاش دلثت يفت ذعء س حل اتته د ه تعذه لثا لدم هييم حهثتأ دلثم هي لثتهي رم ديثل ل مع لثمهييع. د تتئ د تتل ه لثمئي تتئ م تتأ لد تته لاحلذر تتم لثت ت ل م تتئذه لدم تتهيش ب هم تتم لحل تتر رهء
لبيعلعرتتم حلذتتئ د تتلم ه تتر رهء يلء م تتذ وحلذ ت معح ت ود م تتم ر ك تته د تتلم ه ويمتهب تتر رهء يلء م تتذ وحلذ ت متتر أ لث تتك دسلبتتعش و رهع تهب .ديفمكتتاق ضهث رتتم لحل تتر رهء لبليعلعر تتم م تتأ ط تتهحذ .د لت ت لث تتعض م تتأ يث تتل حلذ تتئ د تتل ه تتمره تتال لثمخ ر س ئس مأ لحل ر رهء رض د لم ه ر رهء مأ طهحق دل تئ حلذت ك ته ر رم هتعلق دلث يفمعا حمكرم د لم ه ر رهء مممئس لث الحق"ذثذم طالحق" مر لحلكام تم دلث ت ومتتع عه تتع لثتتئيأ ًتته ح ع ت ذه تتهس 8693ذ تت8110/س يف ت ذعلب حتتهثتكع لد ع ل دييب دذ مأ تئ طالحتق لث تهحق ل د يد م ته م حلمته يما ت م ح ته متتأ ل تتص يتتم لر ت ل همتتم لدعلذ ت دل ًتتمهي لدلب رتتم س ت ي تتغ حتته لث الحتتق جم ا تتم م تتأ لثغ تتعا يلء لد تتذ لآلحلذت ت لد تتم ر دلثت ت ه ت ت ا هم تتم لث تته دو عيفم دكاثل ثل معل دلدم ه ]. [14 ومه أ طع هي لحل ر رهء حله يلء خت ر يالين يمكاق حممهه مأ يتالق دل تئ هي لحل تر رهء تهي لد ته ئ دلدتئلي لث تتايم ود يالع ود ويحمم دحاثل يف وع ه عع لحثا حرت ه دلث و م ئء لثمخ ر لبيالين لثمخ ر لثع ه س س ييف تتهخ تتهي لبيت تالق حهد ت ت ئ دلدئي تتم حا تتئ لث تتعدلر س ت ت ال يفاه تتع ذ تتا لثا تتئ لدم هييتتم س تتهي لحل تتر رهء ت .دحلر تته يلت يكتتع منتتهخ دطتتع لحل تتر رهء
~ 1505
The Heritage of Islamic History for Civilization
لبيعلعرم د ئ ت مهه ىل من ت يبر تر ل د منت لحل تر رهء لد تمذلم دلثرتهين منت لحل تتر رهء لدلبذتتم ا تتهء مم هييتتم دذتتا لدث تتق دلثا تتئلء لدم هييتتم لدلبذتتم يفكاق ا ذم ود هحذم ل ح ه لحل ر رم دحلر ه يل ًع .ثك من ل ئ . -3النمط االتل النمط المستق دو تتئ تتال لث ت
لد تتمذ يفلتتل لحل تتر رهء لث ت ح ر ت متتتعس سدق حلتتهر د تتئلء
مم هييم خمملتم لثاظرتم لثرهته د تئ ح رت ذتا لحل تر رهء ثتالهته دثمذتاس حاظرتتم دل تئ دذ لثمزل ويهس هًايل د ئ د ل ه مأ ذال لثت ذثذتم طتع و م تئء س يفذ تر هه ل ئس لايالعهء لدذ م لثي لحل ر رم مأ لثئله دذ كهآلر: -3.1الطراز األتل طراز الحسينية ذات االربع ايوانات ديفمم ئ س م تذ هه لاحلذت لت ويحت يالعتهء يفما ت ولتثي لحل تر رم متأ لثتئله ي تتغ ل ل تتثي لو تتاي حت ت لبيالع تتهء حم تتئس م تتأ لث تتئهثء لدمذ تتاس لد ت ت مم ود لدتما م لث يف سش ىل علء دمأ منهي هه: -3.1.1حسة ةةينية ارة ةةت ارد يفذت ت
ذ تتم "ك تتعر لً تتمههيس" حمه ت تعلق ديم تتاس يفهيخيه تته
ثلم ع لث تاش (كرهين )809 :8021 ,دذت يفمكتاق متأ تبأ ود ت مك تاا ا تتم متتأ لدث تتق يما ت ولتتثي معح ت لث تتك يفذعي تهب ً ت ت دليتته دًتتغل لث تتبأ ويح ت يالعتتهء يفتتتم حكهم ت ليف تته هه ل ت لث تتبأ د وكرتتع ذتتا لبيالعتتهء ت تعيف يفتمب تته حكهمت ت يف تته ه ه لت ت ذت تهب لبيت تالق لثعبر ت ت ديذت ت لت ت هع رت ت لث تتبأ داهذ ت س ممتتئلسذ ممتتئلس لبي تالق لثعبر ت يذهحل ت و تتئ ي تالين لدتتئه .د حهحل ر ر مئهل كثمهه ممه ل حمخ ر مم رز رتض يم ت لبيتالق حتئيكه لدتئه دذ يلء م ذ وحلذ مر أ لث ك يفتم ل لث هيي مأ هث حلمبم حه مم تمم ع ل ت دي تهي لثتئله يلء م تذ عيف حال ل هع يالق لدئه
1506 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
وحلذ ت م تتم ر س ت ًتتغ لثمتتل ل تتايب لثغتتعيب تتئه لحل تتر رم لثرتتهين دلثتتاش تعلء يلء م تذ وحلذت م تم ر يت سش ثل تهحق لثرتهين ومته يتم متأ هع رت لت ا تم متتأ لحل تعلء لدم تتلم دلثت يتتم لثتتئها ثرهتته متتأ لثمتتل لدذهحت حلذتتئ ًتتغ هث ذث سهثء ممذاس وكرعذه ليف ه هب سهلم لبيالق.
ًك ( )6ر رم لًمههيس :م ذ وحلذ ثلب ر رم. (كرهين)144: 1368 , 3.1.2حسينية باب المسجد :يفذ ئي م عهب
بلم سي م
ئ ديماس يفهيخيهته
ثلم تتع لثذه تتهيش (كرتتهين )809 :8021 ,ديفمكتتاق متتأ تتبأ ود ت مك تتاا ًغل ودل ولث حت يح يالعتهء يفتتم حكهمت يف ته هه لت لث تبأ دلحل تر رم يفمكاق مأ طهحذ حك طهحق جم ا م مأ لحل علء .لبيالق لثعبر دلبيتالق لدذهحت ثت يتتتم لت لث تتبأ حتترث سهتتثء ممذتتاس حمذتتئ متتئح وكرتتعذ يف تته هب د ييفته تهب لثمذ تتئ ل د ت ت ض ت ت لبيت تالق لثعبر ت ت حذ تتم معيفتم تتم يلء ي تتم هثر تتم يف ت ت لثذ تته لث ع ئيم ك ه ض رت لحل تعلء لت هع رتم حذ ته تغط مت تم ومته لثمتلمهق لدمذهحثق حلذئ ه ء حلمبم ذتئ لبيتالق ته ثمتتم حكهمت يف ته ه ه لت لث تبأ دمهتته يد م تتذ وحلذت له ت لث تتك يكم تت لت ر تتم دي تتهي ويحت سهتتثء حال ت ذ ت حك ت هع ت همرتتز و تتئمهه ح ت ق م ت و تتئ متتئله لحل تتر رم دلث ت يفتتتم ل ت لث بأ حكهم يف ه هه.
~ 1507
The Heritage of Islamic History for Civilization
ًك ( )0ر رم حه لد ئ .A :م ذ وحلذ ثلب ر رم .Bم اتاي ثال هتهء لحل ر رم يال يف هحق وسدلي لحل ر رم مه ح سهثء ه دوهع يف سش حل علء. ( ل هعزلس )831-830 :8017 , -3.2الطراز الثاني طراز الحسينية ذات االيوانين يمم تتئ م تتذ هه ل حلذ ت ت
لت ت
تتبأ ود ت ت مك تتاا ً تتغ ل تتلمهذه لثعبر تترهق
ا تتم متتأ لثتتئهثء لدمذتتاس حإيالعتتهق ممذتتهحثق ومتته حتته ل لتتثي حلذتتئ ًتتغل ود عئث مأ هث ه ىل علء دمئله هه م حهحل ر رم. حمذئ مئح م -3.2.1حس ةةينية انجاهة ة يفذ ت ئي تتم ع تتهب
لثذه تتهيش (كر تتهين )809 :8021 ,دذت ت
بل تتم عا هح تتهس ديم تتاس يفهيخيه تته ثلم تتع تتهي تتأ م تتذ وحلذت ت معحت ت يما ت ت هه
تتبأ مك تتاا ي تتغ لتتلمهذه حإيالعتتهق وكرتتع يف تته هب د ييفته تهب متتأ حتته لحل تعلء يم ر تتز و تتئ ذ تتا لبيالع تتهء ح عت ت مذ ت ت ىل سديي تتأ دا يت تتم لت ت لث تتبأ حكهمت ت يتم لبيالق لدذهحت يف ه دي سش ذال لبيالق ىل مئه لحل ر رم لد هًع س ث ت ل ت لث تتبأ حكهم ت يف تته ومتته لثمتتلمهق ل هع رتتهق حلر تتغ ك ت م ه تته تتس دل هع ي سش ىل علء د ئ ض و تئ لدتئله سهثء ممذاس حممهه م لثعبر رم ثلب تر رم لثت يفتتم لت لث تبأ ح تك م هًتع حذ تم يلء حلتهعا دلحل تر رم يفمكاق مأ طهحذ .
1508 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
ًك ( )0ر رم :هذ :م ذ وحلذ دم ااي ثلب ر رم. ( ل هعزلس )882 :8017, -3.2.2حسةةينية سةةن
يفذ ت ئي تتم عتتهب
بلتتم ت " ،اسلثتتا" ديمتتاس يفهيخيهتته
ثلم ت تتع لثذه ت تتهيش (كر ت تتهين ( )809 :8021 ,ت تتل هق لس )866: 8017 , دلحل ر رم يلء م ذ وحلذ م م ر لث ك حيم حلرهه لث تبأ م ته م ك تط ًتغ للمهق مأ ولث هه حإيالع لثعبر يتم ل لث بأ حكهم يف ته ومته لدذهحت ىل سهلم ممذتاسيف حمذتئ متئح س ت ًتغل حته ولتثي لحل تر رم حلذئ ت تعلء ت تتغط دل هت تتع يفتت تتم ح ت تته ل ت ت حت تتئهثء ممذت تتاس حممت تتهه م ت ت لد تته م د تتئ ض ت و تتئ لدتتئله لثعبر تترم لد هًتتع ل ت لث تتبأ حذ تتم يلء حلتتهعا دلحل ر رم يفمكاق مأ طهحذ .
ًتك ()7
تتر رم ت . A :،م تتذ وحلذت د تتهي دل هتم حل تتر رم ت .B ،
ت تتهي م ات تتايش ثال هت تتهء لحل ت تتر رم مت تتأ لثت تتئله يال ت ت ولث هه ل هع رم. ( ل هعزلس )867-860 :8017,
ت تتئس يف ت تتهحق لحل ت تتر رم س
~ 1509
The Heritage of Islamic History for Civilization
-3.3الطراز الثالث طراز الحسينية ذات االيوان الواحد
م تتذ هه لاحلذ ت يمكتتاق متتأ تتبأ ود ت مك تتاا ًتتغ لتتلمهه لثعبر ت حتتهيالق ا ت متتأ لثتتئهثء لدمذتتاس حمذتتئ دل تتئ حلذ ت ومتته حتته ل لتتثي حلذتتئ ًتتغل مئح م م ود عئث مأ هث ه لىل
علء دكاثل مئله هه م حهحل ر ر .
-3.3.1حسة ةةينية كلة ةةوان يفذ ت ت ئي ت تتم عت تتهب لثذه تتهيش (كرتتهين)809 :8021 ,
بلت تتم كل ت تالق ديمت تتاس يفهيخيهت تته ثلم ت تتع
د تتئ ولتترت لثرهتته تتئيرهب مرم ت س د ت
لث بأ د لحل ر رم يفمكاق مأ طهحذ دلد ذ ل حلذ ثلب ر رم يمكاق مأ تبأ ود ت م تتم ر مك تتاا ي تتغ لتتلمهه ل تتايب لثغتتعيب لبيتالق لثعبر ت دلثتتاش يتتتم حير ح ه ولتثي لث تبأ د لت ت دي تهي ل لث بأ حكهم يف ه س لبي تالق جم ا تتم م تتأ لحل تعلء يلء لد تتذ ل حلذ ت لد تتم ر ديت تتم ل ت لث تتبأ ذث مئله ديغ
ل ز ل د
حهثمل لث هيل لثغعيب حذ م يلء حلهعا .
ًتتك ( )9تتر رم كل تالق .A :م تتذ وحلذ ت د تتهي ثال هتتم لحل تتر رم لثعبر تترم م ت وهع هع ر مأ لثئله . . Bم اتتاي دل هتتم ثلب تتر رم متتأ لثتتئله يال ت يف تتهحق ولتتث هه ديفغ رمهتته حذ تتم يلء حلهعا . ( ل هعزلس )837-830 :8017,
1510 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
-3.3.2حسينية نوگاباد :يفذ ح هب
بلم عا هحتهس ديمتاس يفهيخيهته ثلم تع لثذه تهيش
(كر تتهين )809 :8021 ,ديفمك تتاق م تتأ م تتذ وحلذ ت ت م تتم ر لث تتك يما ت ت تتبأ ك تتط مك تتاا ً تتغ و تتئ ول تتث م ح تتإيالق ر تتق وم تته ح تته ل ل تتثي حلذ تتئ ًغل حئهثء ممذاس حمذئ مئح حممهه م ت دلثت م لاهتع م هته يت سش لىل ت تعلء يلء م ت تتذ وحلذ ت ت م ت تتم ر دلحل ت تتر رم يفمكت تتاق مت تتأ طت تتهحق دل ت تتئ حلذ ت ت مئله ض لثعبر م هه حذ م يلء حلهعا . دثلب ر رم
ً تتك ()2
ت تتر رم عا هحت تتهس .A :م ت تتذ وحلذ ت ت ثلب ت تتر رم د ت تتهي ثال هههتت تته .B
م اتتاي ثال هتتهء لحل تتر رم متتأ لثتتئله يال ت يفغ رمهتته حذ تتم يلء حلتتهعا ئس يف هحق دل هههته لثئلهلرم. ( ل هعزلس )886-888 :8017 , -3.3.3حس ةةينية سة ةراي ن ةةو يفذت ت ئي تتم ع تتهب
ىل هع ت
بل تتم ع تتا ديم تتاس يفهيخيه تته ثلم تتع
لثذه تتهيش ( تتل هق لس )881: 8017 ,ديفمك تتاق م تتأ م تتذ وحلذ ت ت م تتم ر تتبأ ود ت مك تتاا يما ت لتتلمم ل تتايب لثغتتعيب يتالق معيفتت لث تتك يما ت تتع لت ت دي تتهي لبيتالق ومتته حتته ل لتتثي حلذتتئ لت هع رتتم تعيف حال ت ا ت متتأ لث تتئهثء لد ت م دلحل تتر رم متتأ ط تتهحق دل تتئ ديغ ت و تتئ ًتتغل مئلهلهه لثذ م يلء لثتهعا .
~ 1511
The Heritage of Islamic History for Civilization
ًك ()1
ر رم علش عا :م ذ وحلذ د هي ثال ههء لحل ر رم لثعبر رم
( ل هعزلس )863 :8017, -3.3.3حس ةةينية ﭼهة ة داتة ةران يفذ ت ئي تتم ع تتهب
بل تتم ﭼذ ت سه ت لق ديم تتاس
يفهيخيه تته ثلم تتع لثذه تتهيش (كر تتهين )809 :8021 ,دذت ت يلء م تتذ وحلذت ت معحت ت ي غ م ه م لث بأ حلرهه وكرع مأ ع تتهه يما ت لتلمهه لث ت هيل لث تع يتالق ا تتم متتأ يتتتم حكهم ت يف تته ل ت لث تتبأ ومتته حتته ل لتتثي حلذتتئ ًتتغل لثئهثء لدم هحذ لدمذاس حمذئ مئح دامه ذا لحل ر رم حمتئس متأ لد رتزلء يضت غع م ه مهه رض يا ئ حمتلمهه لث ت هيل لث تع م اتع ] [16ك ته س لد ته ئ دلدتتئلي لايعلعرتتم ك تته يا تتئ حمتتلمهه ل تتايب لثغتتعيب حتتعر ي ت لدت يق لث تتاييم رتتض ه ت متتأ م تتذ وحلذت معحت تته ذلرت ل هتتط مذ ت دمتتتع يمتتعا ح ت حتتهس ط ][17 دذتتا ر ت ملذ ت ذ تال ثمل رت سي تتم تعلي لحل تتر رم دمتتأ ل تتئيع حهثتتاكع وق م اتتع لحل تتر رم ا يف ممتتئ تتأ لث ت ر ح ت كثمهتته ل ت ه ت دل تتئ يفذعي تهب .دحتتاثل و ت ذتتا لحل تتر ر حت ت د ت تئيف مم تتهييم و تتئمهه هه ت ت حم تتهي لد تته ئ دلاه تتع هه تتم حهثم هي لدئعرم
1512 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
ًتتك ( )1تتر رم ﮁذت سهت لق :م تتذ وحلذت د تتهي م اتتايش ثلب تتر رم يفالت يفغ رم لحل ر رم دملذ ل ال لدلبق ه. ( ل هعزلس )861: 8017 , -3.3.3حسةةينية نةةو أبةةاد :يفذت ئي تتم عتتهب ح تتهيي سكت ًتعيم
بلتتم عتتا حتتهس
ديماس يفهيخيهه ثلم ع لثذه هيش دامه ذا لحل ر رم تأ حته طتع لحل تر رهء لدمعدحلتم ح تتته يف ذ ت متتأ لثتتئله ىل ت و تتئمهه مك تتاا دل هتتع مغ ت رتتض ه ت لثذ لدك تاا متأ م تذ وحلذت م تم ر يما ت م تبأ ك تط مم ت ي تغ تز لث ت هيل رمت يلء م تتذ وحلذت متتر أ يتتم س لتتل لث تتبأ ل تتايب حلمبتتم ذتتئ يتالق يفتتتم حكهمت يف تته هه لت لث تتبأ ومتته لثمتتلم لث تتع دلث ت هيل حلذتتئ ًتتغث دل هت تتع يف ت ت سش دث ت تتق ختت تتئس دظرتت تتم ا ت تتم مت تتأ لثت تتئهثء حممت تتهه م ت ت لحل ر رم ومه لثمل لثغعيب مأ لحل ر رم حلذتئ ًتغ تز ل تايب حئهلتم ممذتاس حمذتئ مئح يف سش ىل لثذ لدغ مأ لحل ر رم دذ يلء م ذ وحلذت متر أ حلتم حكت لتتل متتأ ولتتثي لدتتر أ سهل ت ممذتتاس يفتتتم حكهم ت ليف تته هه ل ت لدتتر أ ل د ت لدغ ت حذ تتم مت تتم يلء حلتتهعا دامتته ذتتا لحل تتر رم تتال لثمخ تتر لد مكتتع لثتتاش خيئس معل لثممه ش ال س لث ر ود لث مه .
~ 1513
The Heritage of Islamic History for Civilization
ًك ( )1م ذ وحلذ حل ر رم عا حهس (مطل حلعذ ك ك اي و مهق تههق) -3النمط الثاني يتبع مجمعات دينية مذهبية
دذتتال لث ت يفك تتاق حلر ت لحل تتر رم و تتئ لثا تتئلء لدكاع تتم ثل ا تتم ر تتض حتم تتاش لجمل ا تتم لت م ت ئ ود لتعي ود لمتتهمزلس ود يفممتتئس حلرهتته لثا تتئلء مرل تته ت ع س جم ا تتم ذهيدعر تتم دجم ا تتم م تتهسي ً تتهذزلس دض تتطذ ديفك تتاق ذ تتا لثم تتهبع تتهحذم ود ا ذم ضهث هب ل -3.1طراز إيواني
هي لحل ر رم.
-3.1.1حسةةينية هارتني ة ] [18دذ ت يفم ت س خت ر هتته متتهمزلس ذهيدعر ت
ذتتم
ذهيدعرت س مذهح ت م ت ئ ل متتم حإ تتتههق ديفذت س مال هتتم م ت ئ ل ت دم ت ئ يع و ت ح ته أ ديماس يفهييع ع ه لحل ر رم ثلم ع لث تاش س ه متتهس لس ىل لثم تتع لث تتل ا ود لثغزعتتاش دلث ت م ي ت ع تتهبهه ىل ذتتعدق حتتأ ل مأ و تهس معء مهس ل كعس ل د هت (ذ عحلتع )023 : 8093 ,مث تئس س ه تتئ لث تته ه رت ت ديذ تته وعت ت وئي تتئذه س ه تتئ لث تته طه ه ت ت لت ت ي تتئ ت ت ت هت ت تتهق ًت ت تتهملا ديثت ت تتل ت ت تتهس 901-981ذت ت ت ت 8908-8986 /س سديم ت ت ت (لح ب ت ت ت :8781 ,ت ت ت ( )668 6لع ت تتهيش ( )668: 8068 ,مهعلح ت تتهسش ,
1514 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
)939: 8096ديف تتغ لحل تتر رم و تتئ ولتتثي لمتتهمزلس رتتض يفمكتتاق متتأ جم ا تتم متتأ لدلبذتتهء متتأ مئي تتم دل تعي ىل هع ت لحل تتر رم دلمتتهس لس حلهتتا حتتاثل ر ت جم ت سي ت متتاذ ديتتم لثتتئها ثرهتته متتأ هتتث لث تتبأ تتأ طعيتتق متتئهل ك ت م ه تته ممذتتاس حمذتتئ متتئح دلحل تتر رم متتأ لثتتئله تتهي تتأ م تتذ وحلذ ت م تتم ر يفم ت س حمتتص ولتتث هه ب تعلء هع رتتم يتتتم حممتتهه ل ت لث تتبأ د تتئ ي ت الب هه حه ثس دلث هيلء.
ًك ( )9ر رم مهس لس ذهيدعر :م تذ وحلذت جمل ا تم متهمزلس ذهيدعرت يالت لرهه ما لحل ر رم دخت ر هه. (مطل حلعذ ك ك اي و مهق تههق) -3.1.2حس ةةينية إم ةةا زادإ درب إم ةةا :دذت ت يفم ت ت جم ا تتم لم تتهمزلس سي لم تتهس ح تتتههق ديمتتاس يفهيخيهتته ثلم تتع لث تتتاش دلحل تتر رم يلء م تتذ وحلذ ت م تتم ر
ً تتئيئ لب تتم هثم ً تتغ ل تتلم ل تتايب لثغ تتعيب ح تتإيالق تتغط ا يم ه ت ت مت ت يف تتهي م تته م لث تتبأ ي ت سش ىل لجمل ا تتم لدم هيي تتم بمتتهمزلس د تتئ ًتتغل حتته ول تتثي ه لحل ر رم حئهثء ممذاس حمذئ مئح
~ 1515
The Heritage of Islamic History for Civilization
ًتك ( )83متهمزلس سي متهس :م تذ وحلذت جمل ا تم سي متهس مالت لحل ر رم لدلبذم حهجمل ا م (مطل حلعذ ك ك اي و مهق تههق)
ته خم ت
-3.1.3حس ةةينية م ةةادر ر ةةاه ادإ دذ ت يفم ت س لثمخ تتر يفكر تتم م تتهسي ً تتهذزلس
ذت ختت حلتتااس حإ تتتههق ديمتتاس يفهيخيهتته ثلم تتع لثذه تتهيش دلد تتذ لاحلذ ت ديفذت ثلب ر رم هي أ م م ر ًغ للمم ل تايب لثغتعيب حتإيالق مذ ت متأ لثتئله ىل ا تم ومه حته ل لتثي حلذتئ ًتغل ذثذم و هس طاثر وكرعذه يف ه هب لثا متتأ لثتتئهثء لث ت يفتتتم ل ت لث تتبأ حمذتتئ متتئح دثك هتته م ت م س ت ًتتغ ا م متأ لحل تعلء لثت يفتتم لت لث تبأ حمذتاس مئح تم. لثمل لث هيل لث ع د ئ ًغ
بأ لثمكرم رم يلء م ذ وحلذ مر أ.
ًتتك ( )88تتر رم متتهسي ًتتهذزلس :م تتذ وحلذ ت ثل لحل ر رم لدلبذم حهجمل ا م (مطل حلعذ ك ك اي و مهق تههق)
ا تتم مال ت
تته خم ت
1516 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
-3النمط الثالث حسينيات مغطاإ دتن الصحن
دذتتال لث ت يد م تتذ وحلذ ت تتهي تتأ تتبأ ود ت مغ ت ديفكتتاق حتتاثل تتهي لحل تتر رم ح ك لهتته مغ تته دعاتعلب بيف تتهي اتتر لث تتذ لثتتاش يتتم يفغ رمتتم حهثكهمت س وضلت ل تال حلتتإق لدم تتهيش وييفكتتز لت دل ت س همتتهء ه ت رم يفغ ت س ود تتهء همتتم لدعل ت ح تتم ديثتتل حمتتئ تتذاخ تتذتهه ل تتل لثتتاش يفتتئل م ت لث تتزمأ مرل ه ع س يفكرم سدث حهس. -3.1حسةةينية رمس ةةي يفذ ت ر تالي مئي تتم إتتس حتتهس حإ تتتههق ديع ت يفهيخيه تته
آلدلهتتع لثم تتع لث تتتاش دامتته ذتتا لحل تتر رم رتزيف ود تته وتتته تتر رم مغ تته سدق لث تبأ رتض عتئث لثرهته م هًتتع متأ هتث حلمبتم حتته ممذتاس حمذتئ متئح يفت سش ىل سيك ت تته مر ت تتم لث ت تتك يفت ت تتم لت ت ت م ت تته م مم ت تتمم يلء م ت تتذ وحلذت ت ت م ت تتر أ ل لثي دلحل ر رم م ذاحلم – هثرهب -ح ض رم مأ لثذ هش دذ جمتئس حهثكهمت من هه لثذئ .
لت
ًتتك ( )86تتر رم إ تترم .A :تتهي يو ت ثال هتتم لحل تتر رم لثعبر تترم .Bتتهي ئ ولثي لحل ر رم ل هع رتم يفالت لثمذ تر هء لث اثرتم دلثتئهثء ح لتثي يو لحل ر رم. (
لث ه ض)
~ 1517
The Heritage of Islamic History for Civilization
-3.2شكيةةة دتل ة
بةةاد :يفذ ت حه هع ت ل تتايب لثغتتعيب متتأ م ت إتتس لثم تتهي
ت م 8617ذتت 8617 /س حهثمل ل ايب لث ع مأ كه ل مهق حمهعلق لع ت ( يکتته )690 611 :8079 ,د لت لثتتعض متتأ د ت لد تتش حهثمكرتتم س لدعل ت دلد تتهسي ا وتتته ح ر ت دظرتر تهب متتأ و ت لثذرتتهس عل ت لثم تزل دضتتط متتأ لا متتتهاء لداذ ر تتم ثل تترمم ] [18د تتئ وم تتع لث تته عه تتع لث تتئيأ حما تتر ذ تتا لثمكر تتم ثلب تتئ عاتعلب ثمترق حته لحل تر رهء حمهتعلق دلثت كرتعء لث تكا متأ لترذهه د تئس لا
تتم ه م د تتاا لث تته تته لىل هع ت لثع تته عا تعلب ب س همهتته ثتتاثل تته خت تتر لثمكرتتم متتأ م تتذ وحلذت م تتمئيع ي لتتق عذتته 233س يفذعي تهب د ييفته هتته 67س (حلتتعد , ) 1: 8070دلثمكرتتم يفمكتتاق متتأ ويح ت طالحتتق م ت ه طتتهحق م تتعدر ياهتتع س دل هتتم لحل تتر رم لحهي رتتم ( ل م هسلث تتل :8020 ,ت ت )19 8ه تتص لث تتهحق ل د
ثلتتا يل د كتتهس لثاايتتهء ومتته لث تتهحق لثرتتهين حلذتتئ ه تتص ثلبتتع دس تتئ و زلب ت سهلتم ممذتتاس يف ت لبيتالق دذت وكرتتع ييفته تهب د يف تته هب ه ت لتتا لث تته س لت لد تتهذئ لثم ررلرت دلآلآلء دضطذتته (لدحتتأ, ت ه تتص لث تتهحق لثرهثتتض ثلذتتهب )809 :8026د تتئ كتتهق تتذ لثمكرتتم ه ت متتأ تعيف د تتئ يف تتذق دهت تتئس حل رت ت ثلمكر تتم تتذ ممب تتعك ر تتض تتئ لدم تتهي حمزدي تتئذه بت تاليل 86تتا م تتأ لحلئيتتئ دلح ت يفغ ت وذ تته معل ت لثممزيتتم حهثذ تتهش ديثتتل س اهدث ت م ت ثمختر ت ل محتته لثال متتم لت تتهي لثمكرتتم عاتعلب ث يف تتهي لث تتئيئ ثذ عذتته دلثمكرتتم س جمل هتته مزي" مأ لثم ذطلء ل ديحرم لثاللبم ل خت ر لد ش دلث يف م ىل تئ ك تط م تع. حلطدع ت تته ) (Veronaحإي هثر ت تته (حل ت تتعس ( )912 916 :8012 ,يک ت تته :8079 , 690ت )697رتتض يممت س خت تتر لثمكرتتم يف ذعذتته لثاللت حهد تتهي .لثعدمهعرتتم لثت و م ذ ت تته عه ت تتع لث ت تتئيأ ً ت تته ه ت تتهي لث ت تتاير ل حلمت ت ت لث ت تتاش حيم ت تتا حت ت ت س ت تتهي لحل تتر رهء ر تتض م تته تتذ ل حلذت ت لث تتئلبعش دجم ا تتم لد تتهط لدم هحذ تتم لثت ت
1518 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
يف ه ئ لد ع .ل لثذرهس حاظرتمم د مرمه وك ئس مأ لد هذئيأ دذتا مته ي ت دظرتتتم لحل تتر رم رتتض حتمتتهر م تته م دل تتمم ا همتتم معل ت لثممتته ش د همتتم لد تتهذئ لثم ررلرم دذم لحل .
ثا م ( )8يفال خت ر يفكرم سدث ال لح رم
حهس ديفمئس طالحذهته ديف تذرتهه حهثذ تم يلء لا
يكه ()879 ,8079 -6دراسةة ننيةةة للعنااةر ال ارنيةةة الثابتةةة تالمنقولةة علةةى الحسةينيات اإليرانيةةة نةةي العصرين الصفوي تالقاجاري حتمتتاش لحل تتر رهء ىل هع ت لثم ه تتع لثت رتتم لد ذاثتتم متتأ و تتلب ديمتته .دضطذتته متتأ ل سدلء لث ت يف تتمخئس وذ تته يف سيتتم لدعل ت ل ت تتاي و تتاس ثمم تتط لحل تتر رم دخن ت ث ًتتهي آل لث ر ت ( يفا تتل )891 :8010 ,د ل ت كل تتهء د ت تته سااهتتته لحه تتم لثت ت خت تتئس معل ت ت لثمم تتزش م ه تته "ث ر تتل سل ت ت ل " دذت ت يفذ تته ت ت م ت تعلء كإ تتمغهذم حهحل ت لر ت لث تتثس ك تته دتتئ حلرهتته يمتتز لثرتتئ دثتترس لدذ تتاس ذ تته لثرتتئ لدعيف م حئحل لحل تئ حت لدذ تاس ته لثم تترق ث متهس لحل ت " لد تهحلذم" ثعتهب تأ
~ 1519
The Heritage of Islamic History for Civilization
م هيمم لدمزي حهبمهم ث ترئعه لحل ت لرت لث تثس (لثم ت ش)18-13 :8990 , تتم دل تتثس لث تتاسل ثلعذتته دذت س يثتتل يفعمتتز حرتتهس ك تته يملتتق س لحل تتر رهء ل لحل ت دوذ ت حرم ت لثت كهع ت مذهمتتم رتتئلق لدمعكتتم حك تعحث ك تته يتتم ييفتتئل مثحتتس حرمتته دهمتعل د )809 :8010 دحتتث ديفمتتعا ذتتا لثكهًتتهين ].[19
تتاسل ث تترمم لحل ت دو تتبهحم دمثحتتس محتعل تتئل ( ه تتعش, دلث ت يكم ت لره تته ع تتاص ً تتمعيم ثل لب تتم لحل تتر رم س ك تتع تتم حهثلا تتم دضهث تهب متته يكمت لرهتته وحرتتهء متتأ ًتتمع ام ت ل ك تته حتمتتاش لحل تتر رهء ل ت ط ت يعمتتز ىل يفتتهحاء لث ت
لثاذ ] [20هذ "لثاش دلت حلرت يو لحل ت يلت ل ت دمتأ لت "حيت حتأ كعيه لث ئيق" .ديم يعمتز لىل يفتهحاء و لت لثتعم دذتا لثتاش يحلت لرت يو لحل ت ملم ثلم ت ذملم دط ق يعمز لىل يفتهحاء لث تق ك ته يا تئ سلهت لث عي مأ تتبأ لحل تتر رم تعيع معيفتت متتأ لح ت دلثذت حإييفتتتهي مت يفذعي تهب حلتتار لاي يفذتتهس لر حم معل لثمزل ك ه يا ئ حئله لحل ر رم راا ديفتعد دلسدلء عحرتم مممتتئس يفمك تتس ي تتاس مذم ت لحل ت يل ت ل ت ر تتض ي تتم تته ارر ت طعيذ تتم م ت لحل دمه ئ مأ ارر ررمم لث عيتم. ك تته يا تتئ س لحل تتر رم وًتتكه حل رتتم مالتتا م ل ت يمتته .تته ممتتهين دسااء يمزيتتم ديفكاق مأ لث به م هته لثمته تم دلثكرتع دلثعدمتهق دثكت متأ ذتا لثر تهي تم يفتعح ح لحل د ئ ي ا ل (ص) (ععل )666 :8071 , ك ه ظهتعء ي تاس لث تالديس لت لثعمته .لث به ترم ] [49رتض يعمتز ثرت ذ ته لت وع ت و تتئ مثبك تتم ل ت دم تتأ يم تتا لث تتمهس لاحئي تتم ] [21ك تته يال ت ل ت ذ تتا لثعمتته .هتتهيا ثل تتئ دلثتتاش يعمتتز ح ت تتئ ل ل ت حتتأ ويب طهث ت يل ت ل ت دويله
1520 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
ً تتك ( )80و تتئ لحلالم ت لث ت يف م تتع ح تتئله ول تتثي لحل تتر رهء ياه تتع تته ت ت لث ت تترئ حلهط ت تتم د ل ت ت دلحل ت تتأ دلحل ت ت ىل هع ت ت لآلي ت ت لثذعوعر ت ت ":وا حت تتاكع ل يف أ لثذلا " ك ه ي غ لتل لثتعم ح تاس حت ت تراا يفعمتز ث ترئعه لت يلت ل لر ىل هع ي اس لحلرهء دضطذه ( لث ه ض) ك تته وق ه تتهيا ل تتاس م تتأ لثزه تتهيا لدمعدحل تتم س لثت تتأ لث ه تتهين س يت تعلق ك تته ظه تتعء ث تتئي ه ليم تته ه تتهيا لحلر تتهء دلثت ت يم تتئىل م تتأ ث تتهته و ت تعل دلحلرت ت كهعت ت ههسم تتم سس س ل ت ت دثك ه تته ً تتهيك مت ت لث تتهدد س سه تتا لحل تترس ىل ل ت ت مم تته مم م ذ اخ سس ثلي ( يه )827-823 : 6332 , د ئ كهع لحلر مأ و تأ لثتئدل ًتكثب دو ا هته تئيلب س ل ت ت عزد ته ثتثي
دلثذتا دو ت ته تتهء ثرهه لبع هق م تا و تئس لثم تاي لثت ] [22د ئ ع تتبعيم د تتا هتر ت و ت اييم ] [23دثتتاثل تتئذه لبع تتهق ت يفهيخي ت لثذتتئ لحلر حر هبرم لحتط دلث تع ممتهب ( يه ت )897 : 6332 ,د تئ يفعمتز دحاثل ييف
لحلر ت س ذتتا لثعمتته .ك ل ت ثلب هيتتم دلث تتع ك تته ي اتتع ثرهتته ل ت م تتهي وتتته متتأ لثذا لث يف خع بًه م لث اتهس س لثكتاق دحتذرتق لثمئلثت ( وعتس لثا تاس: 8999 , لر لث ثس لثتاش لتب ح ت ت متأ و ت حتذرتق )17-10ديذ ئ ذ ه ه لحل لثمئلث دلثئحلهي أ لث عيم
~ 1521
The Heritage of Islamic History for Civilization
ه تع هعحلرت متأ طتالديس د رتهء ًك ( .A )87يفتعيق ئ لثعمه .لث حت ىل هعت لثرتتئ دحمت لثم ه تع لثزهعحلرتتم لثعمزيتتم ل هتع .Bيو لث تتر ديعمتتز حت ث تتر ل ت لد تتلا ي مه ت ح تتع د لحلر تتهء دك تتاثل مذ م تتم ويمت تهب حي تتر حت ت ي د لحلرهء ثلب هيم دلثع هيم (
لث ه ض)
ثا م ( )6منهير ثا ئلء د ه ع حل رم سله (يف ايع لث ه ض)
ر رم ذهيدعر
-7أهم النتائج .1لت ت لث تتعض م تتأ وق ود ظه تتاي ثم تتهي لحل تتر رهء س يت تعلق ك تتهق س لثم تتع لث تتتاش ث تترهس لدتتاذ لث تترم تته ا وق ي تعلق ًتتهئء طتتتع س تتهي لحل ت تتر رهء س لثم ت تتع لثذه ت تتهيش حلذت تتئ عم ت تتعء لحل ت تتر رهء سله ت ت لدت تتئق
1522 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
لثك ط دلث غط س هئ كع ههق دعه ع لثتئيأ هتهق دضطمهته .ديثتل لت لث ذ تتر مم تته عت تعل س ه تتئ لا تتع لثذه هيي تتم م تتأ ل تتم تتئس لحل تتا لء لثمل رت ت دلد اخ ه يفملر ديفئيي كالسي ل رم ختمص حمئييس لداذ لث رم دي ته يمتتز يثتتل ث تترهس لثعد هعرتتهء س لثم تتع لثذه تتهيش تتأ لثملتتاس دلث ت ك تتهق يذاس لب مهه حإذهي لث م ل لثئدث . .2يف تتهيأ خت تتر لد ت ئ تتأ خت تتر لحل تتر رم ح تتك كهم ت ر تتض تته ء لحل ر رم مأ م ه م م م رلم ضط مذ م ا حمئس مأ لدث ق دلثغتعا لثت يفتم ل لثئله دحهثمهيل ال حتمت م ته متأ تبأ لحل تر رم لثتاش ي هت س ع ت تتهب لبيف ت تتهي د ت تتئس د ت تتاس و ت تتئ ود س همت تتهء ك ت تته ت تته ء يفغ رت تتم لحل تتر رهء ح ر تتم ود ح تتذاا م ت ت بم س ت ت يمك تتاق لد تتذ لاحلذ ت ت ثل ئ مأ بأ ود يما ويح يالعهء يفم س ل ضل ح ممتهه متأ هتث ويد ت ديغ ت يالعتهء لد ت ئ دويد مت حذ ته ود ر تهء دو رهعتهب و ر . تتهي لحل تتر رهء لبيعلعرتتم وت تته يك تتاق ملب تتق تته م تتأ .3يمم ت دمم ت خت تتر ههي هته س ممات ل رتهق ح تع تع يتاحلع لدته تهذط لدمتزي ك ته وعت رت ط رمم لثتكع لث رم دمئ يفذئي ًهئل وذ ل
ثم ع لده لثاش متهء اعدمتهب م ت ترئ
.3امه لحل ر رهء لبيعلعرم حممئس متئلهلهه لثعبر ترم دلثتع رتم دلثت تئ يف ت لىل مم مئله يفتم حكهم يف ه هه لت لث تبأ دح تك م هًتع ممته ي ته ئ لحل ر رم ل وسل دظرتمهه. .3متته و تتئ متتئله لحل تتر رهء ح عت مغ ت حذ تتم معيفتمتتم يما ت هه حلتتهعا د تتئ ظهعء ذا لثا تئ س وضلت لحل تر رهء مالتاي لثئيل تم د لت لثتعض متأ
~ 1523
The Heritage of Islamic History for Civilization
وق ولتتهحلم لثذ تتم يلء لثتتتهعا تتئس ارتتز ذتتال لدتتئه حت ش مرتتز مم هيي ت مخئلمهه يثل س لثم هبع لبيعلعرم لثئي رم حا تهس يتئ دلث ال ي ل م هي ذال لدئه ذا لدئه لثعبر ثلب ر رم .6تته خت تتر لحل تتر رهء مثب تهب ثئي تتم ك تتط ثاظرتمهتته رتتض لممتته ء ح تتمئس مأ لد رزلء عاكع م هه-: يف هي م ه م لث بأ د ئس ًغل ح ش د ئ مأ لثا ئلء لدم هييم ا حلر ه عئييفمئس لدئله دخت ر هه ح ك م هًع ثمتم ل لث بأ هد لدم هيش لبثمزلس خ هء لد ته ئ دلدتئلي لث تتايم دلثذه هييتم متأ رتضلث ك ا وع د ل لثعض مأ يثل دحم هذط لثاظرترم ل لثمخ ر حلذتئ ه مت لثمئيتئ متأ لثتتئهثء لدا تتاس ح لتتثي لحل تتر رم لثت يفتتتم لت لث تتبأ م ت م عاتعلب ثمتتئس ل تتمخئلمهه ممتته يم ت وق لدم تتهيش لبي تعلين تتهحل متتأ ه تتث خت ر تتم ل ت لث تتك لحهي لد ثاا ثئي ا وع ال ياظ لثا ئلء لث ولهحلهه ثم هييف يل لدم هيش يف هد حل ا لث ت م تا ًتهع اتعس ممته ي غت ممت د تاس م ته هءم ذت بيفذه لث س د لث مه دمت يثتل حلذتئ مت ع ت م ته م لحل تر رم يفذعي تهب هي أ بأ حلهي مأ وش ع ود د ئ مم هييم ك ه عث ت متأ يفم ت لد ته ل حلذرتم ثلب تر رهء س يتعلق وتته ال يفا ت عه رتم لثذ لتم رض وته ال خت ص ب همم لث لالء ه ع وق لدم تهيش ال يمم تئ س يفا رت يالعت لثعبر وه لثذ لم ديثل س لحل ت رهء لد تمذلم رتض وحلهتق ته س لثغهثت دح تك م ت م ئ غط "منه ههع " م تاخ حت لثذرتهس حاظرتتم لد ت ئ لدخ تص ثل تلالء ا تهء سي رتم رتض دتئ وق لح س ا وع ته دتئ لثمكتس س لحل تر رهء لدلبذت لدم هي د لحل ر رم وه لثذ لم عاعلب ثذرهمهه حمتئس متأ لثاظتهب لدخملتت ىل هعت حله هه حم هبع سي رم يفذهس ه لث ث .
1524 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
الحواري
] .[1دذ ت عتتاي متتأ لث هيتتهء لداذ رتتم يفذتتهس حلرهتته لدعل ت لحه تتم ح يتتهس لثممتته ش تتئ لث ترمم حلتع )8019( ,ص .16د تئ عحلهتته لدع تاس و.س ًتمه (" )8013ح تته يفكرتتم يفذتتهس حلرهتته لثعدلتتم لث تعيتم ديفذتتهس حلرهتته لب متتتهاء لثئي رتتم" ( ت 8ص .)916ك تته يفمت تتعا لحل ت تتر رهء س حم ت ت لثكم ت ت حهثمكهيت تته لث ت تتم رم مث عحل ت ت حهثزي رت تتم ات تتئذ , ( )8991ص 838 ] .[2يفمتتعا حمتتئس متتأ ل تته لحه تتم حم هيهت تته حلذ ت دذ ت زلههع ت ديفمزي ت ههع ت دختمل ت دلمتتهس حتتهي د هًتتايل ههعت ديفتتهحاء ههعت د تايفع د تتاك متتهس تته ذا لا ه حإهمثا ل هثر لث وع م ه ك ه وق وضل لحل ت ر رهء يفكتاق يلء طهح ًخ ضط يفهحمم ثلبكامم ل كس لد ئ ديممت لثت م وق ع ت بهه س س ت
حم ت ل تتهثر تته متتأ ذتتال لد لتتق رتتض يفتتئيأ لثئدثتتم حهدتتاذ لث ت يا ئ ئس مأ لث رمم ه جم ا م حه ر )8020( ,ص 7 ] .[3يفمعي ت لثمكرتتم ذ ت مكتتهق همتتم لثعذ تتهق ود لث تاحلرم د لر ت يف ت م س هيهت تته لحهعذ تته ه تتايش )8197( ,ص .90س ت ت يك تتع حل تتع وت تته مك تتهق ت تعل لدعل ت ت لداذ رتتم لث تترمرم حلتتع )8011( ,ص .26ممتته يم ت وتتته يفذتتاس حكتتث لثتتاظرتم ل ت ك تتس لحل تتر رم لث ت ت يفذ تتاس عل ت ت لثمم تته ش حلذ ت ت د لر ت ت حلإت تته ختمل ت ت س خت ر ه تته ديفكاي هتته لدم تتهيش ح تتك دلل ت د تعي تتأ لثمكهي ته د ل ت لثتتعض متتأ يثتتل حلذتتئ هم ت لثمكهيتته حتتئدي ك تتط س معل ت لثممتته ش دلث تال .دضطذتته رتتض كهع ت خت تتص س ً تتهع ا تتعس تتا لثاظرت ت ععل ت )8017( ,ص ص . 666-668د لثمكر تتم ذ ت ا همم لثمزل دهه م س ًهع اعس ديذه " لثمكرم ذ لثذه تئ لدم ايتم لثرهعرتم حمتئ لد ئ ثئ لد ل دهه تم لث ترمم مت ه دذتا لدالت لثتايأ يذر تاق حلرت لثممته ش ث تترئ لث تتهئل د تته تتلم ئ تتم ح تتهثمعد لثت ت كهعت ت يف تتم س ه تتئ لث ر تتئلي "
~ 1525
The Heritage of Islamic History for Civilization
ه ت ت ت )8018( ,ص .29ديذ ت تته وت ت تته كهعت ت ت يف ت تتش س لث ئلي ت تتم لحل ت تتر رهء ود لثزي رتتهء رتالي لثمكهيتته مث اثت لثمكرتتم س يلهتتته لىل تتر رم باتتهس معل ت لثمتزل حلذت دختل ت ت ت ت ت تتأ دظرتم ت ت ت لادىل دذ ت ت ت همت ت تتم لث ت ت تاحلرم دلد ت ت تتهك جم ا ت ت تتم حت ت تته ر , ( )8020ص ص60-66 ] .[4يف لق ل مم مأ ل ي لد ش لحهعذه لدذتهس دلثم تهي لداذ رتم لدخ تم ثزيهي مزلي ود مع ئ خيص ًخ رم ماذ رم ود ل رم سي رم دو ت لثكل تم يف لتق لت لث رت رلتال لب ت ثل تترمم دذتتا مع تتئ لمتتهمزلس وش وتتته ختتتص وًتتخهص متتأ ع ت لثم هبع يفكاق مزهعحلم حزههيا ه سااثمهه لثمذهبئيم حلع )8013( ,ص.01 ] .[5ههعذت تته ود ههع ت تته يفم ت ت م ت تتش خم ت تتص ثل ت تتئيلدي م ت تتأ لث ت تاحلرم ثلم ت تتهسلء دلب همم حلع )8013( ,ص .19دذ هي سي رم ثر ت هه تم حهث ترمم حلذت حت ت تته م م تتع س لثم تتهال لب تتثم كل ت د تتئ د ت ثتت ت دم تتئثا لحهعذ تته بيت تعلق مت ت لث رع ت لثئيأ ل يسحرلت لثتاش كهعت ثت ههعذته س ويسحرت وع ت هه ثت يفر تاي ث تل ر تتض خيملت ت لدت ت يه س ماذ ت ت ر تتض ي تتع لثت ت م وعت ت ت ت لد تتاذ دي ت ت لآلهعدق لىل رئعه ل يلت ل ت دود متأ وًتهي ىل يثتل لث ته طه ه ت س ل تتلم لث ت لد تتاحم ثرت دلد متتئ ىل لث رت لم تتهدي )8913( ,ت 6ص ص .023-073حلل ت )8919 ( ,ص " ر " .لحاىل ( )8912ص 09 ] .[6دذ متئحلأ ل ب ت دوداسذت ل طهتهي دك تهي تهسلء لث ترمم حلتع)8013( , ص61 ] .[7لد تتل م تته م دل تتمم مك تاحلم ضتتط اتتئس ح تالي خم تتم ث تتث لثمرتتئيأ ديفكاق ل وطعلا لدئق ويمهب يفا ل )8010( ,ص 891
1526 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
] .[8ك ه يفهمعا ل مهكأ لداذ رم س يعلق ح ته ك لد هين لث وع ت د ته حلكتع سيت متتاذ مر ت م تته ئ حذتتهي مم كتتم متتئلي سي رتتم لمتتهمزلس دضطذتته حلتتع)8013( , ص 61 ] .[9دذتتا لدرتتم ا ت همتتم معل ت لثم تزل ط ر رتتهق )8011( ,ص222 حلره تته لث برت ت دلث ك تته دلثمايت ت دلثل تتر دض تتط مم تته يعذت ت حت ت لث تترمم وعت تته لحل ت تترئ ً تتهئل وذ ت ل ت ديك تتاق م تتأ ود ي تتاس ا تتعس م تتا يفا ت لحل لث ت تتع يتتاس هًتتايل دذتا متته يمتتعا حرتتاس لآلال لثك تط ومتته ل تتزي ل كت
ديكتتاق دلب تتم ت ىل حلركتتاق
ديكاق لثراس لحلهسش ع تع لثرهثتض تع ويتهس ياس هًايل ياس إع ديح لحل يفذ تتط حلتتق لحل ت س لثتتئحلأ رتتض ظ ت هيي تهب مذمتتااب معمر تهب ل ت لث ت ل ثرثذتتم ويتتهس ل لثمتاليل مث يت ر لثرتاس ل يحمت دذتا يتاس سحلتأ لحل ت لحلذرذت ر ته سحل ت يو تم لث تعيتم ددزيتتئ تتأ وحلمتتلرم لث كتته دلث بر ت دلثماي ت وعاتتع اتتئذ )8991( ,ص ص 16-13 ] .[10دي ت لث تترمم ىل لحل ت يل ت ل
ت لثمئيتتئ متتأ لدعل ت حلم تتئذ لح ت
لحل تتر لثلبتتأ لحل تتر لثم تتق لحل تتر لث تتغ لحل تتر لث تتمع لحل تتر لحلتتعس دلدتتثي لحل تتر هًتتايل لحل تتر رم يفمزيتتم لحل تتر كت ذتتا لدعل ت دل ع ت ي ت هه وذ لث رمم ثلب دته ثت متأ م زثتم دمكهعتم هثرتم حلهتا ترئ ًتهئل وذت ل ت دذتا تتل ل
لرت ت د تتل
ه تتعش )8010( ,ص
دث تتئ حلهط تتم لثزذت تعل ح ت ت لثع تتا 862 ] .[11يتتاكع حمت لدت يه وق ذ تتهك ث ت حت ع ت لحل تتر رم دمتته تتعا س حمت لثئيهعهء لثتهي رم لثذئ م مر لث رئلًرم رض مأ يتاكع د تاس تلم حت لدعل ت لثت
~ 1527
The Heritage of Islamic History for Civilization
تتهبئ
تتئ لث ر تتئلسي
دزيتتئ
يفذتتهس س لحل تتر رهء ديفلتتل لثمتتعد لثذئ تتم لثت كهعت مأ لثمته ر لعاع ه )8018( ,ص29 ]" .[12حلهثم لث هكرم م ت حلتر ل " حللل كته لت م تر م وحتا تئ ل ذتال ك تط
حلذتئ حكت لرت كت متتأ س لث ت الء دلآليلت جمل ت )8730( ,ص .79حلذتتئ تته لبمتتهس لثعلتته ا تتئ و تتبهح " ...ق ك ت حهكرتهب لت ًت حلت حك لت لحل ت حتتأ ل ت حتتأ تتئ لد ل ت حلإع ت يح ت ك تته يفتتاح لثك ت " جمل ت )8730( ,ص 086ص 080ك تته تته " ق لو تتعس ًتتهع ك تتهق وذ ت ل هذلرتتم حيعم تتاق حلر ت لثذم تته حل تتمبل حلر ت سمه ع تته دذمك ت حلر ت عمم تته د ت حلر ت ييليي تته دع تته عه دول تتعم لث تطلق س ممتتهيح ه دلعمه متته حلرهتته متتأ ذذل تته دال يفتتعي ثع تتا ل عمتتم س ومعع تته ق ي تتاس لحل ت و تتع .تاع تته دو ت سما تته دوي زيزع تته ح ت ي ك تتع دح تتث وديذم تته لثكع دلث ث ىل ياس لبعذمه حلمل مرت لحل ت حللر تل لث تهكاق حلتإق لث كته لرت حي ت لثتتاعا لثماتتهس" د تتئ تته لحل ت "وعتته مر ت لثم ت ا يتتاكعين م ت مأ ا دحك ت " د ه لث هسر" ك ل زي دلث كه مكعد ا ل زي دلث كته لت لحل ت " جمل ت , ( )8730ص 610ص 619ائذ )8991( ,ص ص 18-13 ] .[13دزيت تتئ مت تتأ لثمته ت تتر لعات تتع د ليء م ت تتكأ دًهع ت تته ش ممهدع ت ت ًهع ت تته ش دمم تتهيش )8029( ,و ت تتا ديدًت تتههش طعل ت ت ًت تتهعش دحلمت تتهذهش م ت تتكاين سي ت )8016( ,حلم تتهذهش ً تتهعش سيحهحلمه تتهش لي تعلق ت ت 8هت تعلق .تتل هق لس يفهيخي ليعلق خ 6هتعلق . ] .[14ذئم ذا لثمكرم م 8061ش دكهق ما مهه هل لد عا لثتاط تئ ار لحمهي سذذهين ً ه )8016( ,ص ص77-09 ] .[15يفمتعا س لثتهي ترم حه ت كلئ تم gol- dasteط ر رتتهق )8011( ,ص .190دذتا لثا تتئ لدم هييتتم ذت لدخ
تتم ثتتميلق دلب همتتم ثث تتثق دل تتثس تتأ
1528 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
لث ث دذ لثم ع لدممهس د اس س لد ه ئ لبيعلعرم عاتعلب ث تئي د تاس لدتويق دلثت يفا تتئ س لد تته ئ ل هممتتم لثك تتط حلذ ت دي ت خ س ما ت لد اتتع وق يف تتعا ل ت وك لث اليي لثعبر رم ود لت ل تم لدكئ تم حهث تكهق ود لثت ارت ًتاليي يفتعح حت لد هطق لثم هييم ] .[16دي لق ذال لد ل ل يفلل لثا ئلء لدم هييم لث يف لدئه تم ديفممتئس حلرهتته حلمبتتهء لثمهايتتم د ر ت ملذت ذ تال دثت منتتهير مممتتئس س لثم تتهبع لدئعرتتم هه تتم دس ل ت تالر هم تتم دو تتئمهه س كعم تتهق س ح تته لي و ا ت ت دح تتهس ط سدث ت ت ح تتهس حرت تتزس ل ال ذا س ح تئي ه
دحهس ط ﭼپذی ح ط هق ديفممئس مث ح ك هس يفمال ئ س ك مئق ليعلق. ] .[17مر مت ت يفهيخير تته حتت ت ي ت ت 663مهعلح تتهسش )8096( ,ص .983ديفم تتعا مئي مهه ئي م مط ل ًه
لح ب )8781( ,
داي تمهق د ت د
ت 6ص.633
] [18وًعء س حئليم ئير أ لحل ر رهء ديف ت رمهه تأ د تاس هلت حت يف ت رم لحل تتر رم دحمت لثم تتهبع لداذ رتتم لاهتتع دم هتته لثمكهيتته لا وعت ديفهيخيرتهب ددظرترتهب حلتتإق دعل لثمزل دضط . ذا لثمكرم ه ع ذه ده ] . [19ذتتا إتتس لث تتمعل ام ت لثكهًتتهين تتهش س حتتئليهء لثم تتع لث تتتاش يفتتاس تتهس 992ذ تت8911/س د تتئ ه تتص ًتتمع كل ت ثعذتته لحل ت يل ت ل ت دلذ ت حر لثع ا (ص) ائذ )8991( ,ص739 ] .[20ي تتاكع س لثمثم ت ت جمل ت ت )8730( ,تتأ ذ تتا لثر تتهي لث تترث لآلر ":وق تترئعه لحل تتأ دلحل ت س تتغعمهه دكهع تته تتئ ي تتا ل دمم ت ي ت لر ت لث تتثس ته يت لرت لث تثس يفته تم د تتع لم ديدمهعتم ي احلاق ا لث ديلم اق و و هذته لث تلت ثع تا ل حلهد تهمهه حل
هذته مه ته حلهط تم دوهتا لثع تا دحلهط تتم
~ 1529
The Heritage of Islamic History for Civilization
دلثاثتتئيأ يت كلال مت ه حلممتتاسل ث رمتتمه ل دىل دو تتم ع ذتتال تتع دحلتته لث ت (ص) تته لحل ت حلل ت يلبذ ت لثمغرتتط دلث ت تتهق ويتتهس حلهط تتم حلل تته يفاحلر ت حلذتتئعه لثعمهعتتم دحذ ت لثمته .دلث تع ويتهس لت حلل ته م تهئ حلذتئعه لث تتع دحذت لثمتته .لت هثمت تتع حم تتئ م تتههس لحل تتأ لر ت لث تتثس حهث ت دحذر ت لثمته تتم ىل لثا ت لث تتاش ت حلل تته وً تتمئ ل ت ت حلر تتكأ بم م ت حلر ت متتأ لدتته حلك ت وإهتته يل ت مذملت لرت ت ممتتمهه حل يذ ت حهثت تته " يد ت يثتتل لت حتتأ لحل ت لث ثس ح ه " "ديذه وق وي كعحث ت ه هب يتتا .م هته يلببتم لثمتته ".اتئذ ,
( )8991ص ص . 896-898 ] .[21ظهتتعء وً تتكه د ه تتهيا لث تالديس س ي تعلق ح تتك ك تتط ديد تتل حكهحل تتم لثت تتاق لثم رذرتتم لبيعلعرتتم دعث ت ظهتتاي ذتتال لثم تتع لثت ت س لثم تتع لب تتثم س يعلق م ا هئ لث ث ذم دو م ع ع لثم ع لث تاش دلثذه هيش , pp.179-180 (1994)Daneshvari, A, ] .[22ر ت ت
ت تتأ لحل ت تتأ لر ت ت لث ت تتثس "وذ ت ت
حئ تتمر هق م تتأ لث لثئمطش( ,س.ء) ] .[23ر ت عذ تثب
سس حه ت تتئ د ت تال رت تتئ د حلت تترس
تتع دوذ ت لحلر تتم ح ت ههق" لح تتأ كر تتط )8999( ,ص .66 ت 8ص62 تتأ لثذتتعط س يفت تتط تتاي ضتتهحلع أ كم ت ل تتهي وع ت تته " دتته
هلتتق ل لثمتتعش تته :ال خيلتتق ل يفمتتهىل هلذتهب و ات مت دوذمتتز يفمهظ تهب حل ا ت ل تته .س ك ت تته .ت ماق وث ت يي تتم س ك ت يي تتم يفمتتهىل بر ت تته ت ماق وث ت ماق وثت د ت س كت د ت ت ماق وثت حلت س كت حلت ت ماق وثت ث تهق خيتعر متأ وحلالذهته كت يتاس متأ لثم ت ر تتئس تع لد تع د تئس دير لث ت ع د تئس لحل ت دلثرع د ئس ويهس لثتئعره د تئس لدثبكتم و مت
حلت ثماء لحلرت لت لثمتعش حلتهثمعش
1530 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
مه ىل ع ص696
لحلر دذ ملمايم لر حلمالل
المصادر المراجع:
لح ب مط رئتههق. يفهييع 0ل زل لحتتأ كرتتط لحلتتهحلئ ل خ 0لثذهذع . ل م تتهس لث تتل ا تتئيفهييع ليعلق ت 8هتعلق.
تئ يثتل" لثتئمطش( ,س.ء)
ت8
ما تئ )8781( ,يف تر د تا ل رتم ل تتههق سي طتا
تتهس لثتتئيأ)8999( ,
تتص لاع رتته حتذرتتق ويب تتهي حتتأ
تتأ حتتأ لتتی )8020( ,لدتتوذع د لاذتتهي سي ﭼهت
تته
لثم ت ت ت ش مت ت تتع )8990( ,ل ي ت تتهس لحل ت تتر رم يفع ت تتم لحت ت تعلذر يحله ت ت ت خ 8سليلدعيفم حطدء. تتتههق س لثم تعيأ لث تتتاش دلثذه تتهيش ل رم ت ضتتهس )6339( ,متتئليخم اخ سكمايل لثذهذع سيل م مذهيع م مررلمهه س لاعهلا د ره لثا لحاىل م )8912( ,يفهييع لث تاي د مهيهت لثذهذع . لثمثم جمل )8730( ,بهي ل عالي حطدء. وعتتس لثا تتاس ذ تته ( )8999يمتتز ل حلم ت س لث ت ل لثمعيب ل ر ت لثمهم ت ثذ تتايلثرذهحل يلكع لام 88لثذهذع خ6 لع تتهيش تتهر متتط ل تتأ هتتهق ًتترع تتهحعش )8068( ,يفتتهييع ل تتتههق ديشيد عهمم دجملم هعس هتعلق. لدحتتأ لد ق )8026( ,تتتععهم د حعي تترههف تتتط حلعلع ت سي لي تعلق يفع ت دالًی د يفالربهء ل لی ل غع مرئف هتعلق.
~ 1531
The Heritage of Islamic History for Civilization
:تتاي ه تتعش تتهحع )8010( ,يفت ت ذط يف تتر ح تتع وح رت ت وم تتهكأ د يهييف تته ذ تتهشه سدس إهي .1 ماذ ليعلق حل عهم ًرم ً ه تتر ر ذ تته يفكهي تته م تتل ذ تته مذهث تتم م تتاي س يفا تتل ا تتئ)8010( ,ا ئ يا كرهين هتعلق. كمه مم هيش يعلق سدي ثم هايش وم )8197( ,يحلرق لثمر هين م مم كلرم لآلسل حطدء.تترئ )8016( ,هي تته ما تترذ م تتاذ سي ليت تعلق سذذ تتهين ر تتم ًت ت ههتعلق. تتل
هتتعلق د يلذ تتهش
يکتته حيرت )8079( ,يفهيخيچت تتههم هق ذتتهش ليکه ل مهق هتعلق لعم هيلء لد أ ذهي مل . لم ت ت تتهدي سدليس )8913( ,مم ت ت ت لاع ت ت تته دل ت ت تعلء لحلهك ت ت تتم س لثم ت ت تتهييعلب ثم وهع م ك ا ئ أ د أ ا اس ت 6حطدء. )8016( ,حلمهذهش ًهعش سيحهحلمههش يفهيخي ليتعلق خ6 ل هق لسهتعلق. )8017( ,عهب ًهع ذزلي ذهش يفهيخي سحلت :ودذ تههش ل هق لسهتعلق. حلعذ تتلر م يتتئ )8019( ,معل ت تزلسليش متته اتتعس سي ًتتهذعدس مذهث ت م تتايي .89 لم مطل حلعذ ًمه حعلذر لثئ ا )8013( ,لدم لثتهي لثك ط 0جملئلء لثذهذع ط ر رهق رئ محرئ )8011( ,حلعذ ،حلع لق هتعلق ه مهئش )8018( ,يفهييع يفكهيه د زلسيلش ع ع عاي ئ .ليعلق هتعلق حلع مرئ حلث )8019( ,.حلعذ ل دل ذهش مم هيش -حلعد مهئف( ,ل ت ئ )8070يفکرم سدث
ذ ع دمعسس سدي ئيئ ش .69
1532 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
كرهين ا ئ يا )8021( ,مم هيش ليعلق هتعلق جم ا م حه ر )8020( ,سليع ممهيا يف ر ح رهس ثم طهذع. -جم ا تتم حتته ر )8020( ,جملتتم رهتتهق حلعذ ت لث ت 83لثمتتئس 0م
تتم
رههق هتعلق ص ص69-66 تالس )8991( ,ما تتا م هًتتايل يفع تتم هلر ت لم ت لثم تتهم خ8 اتتئذحطدء م ت ت ل تتك ئي حر تتل )8011( ,يف تتهييع تتهال يل ه ت ت يف تتبر ا تتئه ر يلالش 0ت هتعلق. مهعلحهسش وحا لثذه يحلرم )8096( ,ذهي يفهيخي ل تههق هتعلق. -مت تطل حلعذ كت ت ك تتاي )8011( ,ك همت ت ح هذ تتهش م تتاذ هتت تعلق سحلت ت
تتاس
هتعلق. ت تتأ )8017( ,ذ ت تتهي يف ت تتهيخي ًهع ت تتمهتهش كهً ت تتهق دع ت تتز ل ت تتلم ععل ت ت تلعم هيلء لد أ ذهي دمتههع حلعذ ك خ 8هتعلق. ر تتم وذتتهي يفتتهيخي و تتتههق خ 6هخيهع ت ي تته ذ عحلتتع ث ت ل )8093( ,هتعلق. تتئ لث ه تتع )6332( ,لثعمزيتتم لثئي تتم س لثزهعحلتتم لا تتثمرم (سيل تتم س يه تمرمهحلرزيذه لثتأ لا ثم ) لثذهذع حي ييأ( ,س.ء) ل ه يفه عر ه هتعلق.ل رم ضتهس )6330( ,م ته ئ تتههق س هتئ لث تهخم اخ مه مط هممم لثذهذع
ته لاد دلثرتهين
~ 1533
The Heritage of Islamic History for Civilization
ت ت 8د هم ت ت كم تته لث تتئمطش ك تته لث تتئيأ( ,س.ء) ر تته لحلر ت تالق لثك ت تهب ت ت ت لدخلا ت ت تتهء دلحلرالع ت ت تتهء دضعلب ت ت ت لدا ت ت تتاسلء ثثم ت ت تتهس كعي ت ت تته ح ت ت تتأ ا ت ت تتئ لثذزدي سلي ره لث ل لثمعيب حطدء حلل تتت ع تتع ل )8919 ( ,يتعلق د ث مهتته لحهي رتتم س لثم تتع لث تتتاش يفع تتما ئ حلمب لثعيس سلي لثرذهحلم ثل ه م دلث ع لثذهذع . د ليء م ت تتكأ دًهع ت تته ش ممهدعت ت ت ًهع ت تته ش دمم ت تتهيش )8029( ,و ت تتاديدًههش طعل ًهعش دحلمهذهش م كاين سي ليعلق ت 8هتعلق. - Daneshvari, A, )1994 (, A preliminary study of the iconography of the peacock in medieval Islam, the art of Saljuqs in Iran and Anatolia, California
Studi Pesantren dan Filologi: Kontribusi untuk Studi Islam Indonesia Kontemporer (?)1 Mahrus, M.Ag.2 Pengampu Studi Naskah Kalam dan Filsafat Islam Program Studi Akidah Filsafat IAIN Syekh Nurjati Cirebon Abstract: Studies of Pesantren-related texts, an integral part of Indonesian Islam heritage, have been started long time ago. Even, at least in the last twenty years, it attracts interests of not only prominent orientalists, but also Islamists, Indonesianists and students of this traditional institution of Islamic education who turn to be intellectual. However, such studies do not employ philological approach yet. It is indeed through old manuscripts in Pesantren that Ulama’ genealogy of knowledge can be traced back. Hence, it is not surprising if such manuscripts become one of quintessential aspect of Islam in Indonesia. Pesantren and Islamic kingdoms in Indonesia for example can be regarded as two sides of a coin due to its inextricable relationship. The writer argues that the reason why such manuscripts are not studied within philological framework is its overlapping categorization with Javanese and Malay texts in the form of ‘babad’, ‘serat’, ‘tembang’ and others. In addition, such manuscripts and texts also shared the same language and writing systems in the form of Arabic, ‘pegon’, ‘Jawi’ and local dialects. In this study, conceptualizing philology of ‘Pesantren’ is important but initially the limitation of pesantren texts and manuscripts along with its repository must be clearly defined and explicated. Hopefully, this philological study of Pesantren manuscripts can broaden the horizon of Islamic studies of Indonesia and contribute new insights to philology in general. Key words: Islamic studies of Indonesia, philology, Pesantren and manuscripts. Abstrak: Dalam khazanah studi Islam Indonesia, sedari dulu telah muncul kajian filologi terhadap naskah-naskah di pesantren. Naskah pesantren tentu saja bagian tak terpisahkan dari khazanah studi Islam Indonesia. Studi tentang pesantren dalam 20 (dua puluh) tahun terakhir nampaknya masih belum menggunakan khazanah tersebut dengan pendekatan filologi. Padahal, 1Sebagian tulisan ini dengan judul kajian berbeda (akan) dimuat pada salah satu jurnal ilmiah di Jakarta. Tulisan tersebut belum pernah dipresentasikan. Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi pada pengembangan kajian Islam, The Legacy of Islamic Thought ; Contribution for the future melalui AICIS 2013 di Lombok Mataram Indonesia, pada tanggal 18-21 Nopember 2013. 2 Penulis adalah Alumnus PP. Salafiyah Pemalang dan PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta; Pengajar di Program Studi Akidah Filsafat IAIN Syekh Nurjati Cirebon; Kandidat Doktor Filologi di Dept. Sastra Fakultas Ilmu Budaya UI Depok; Pendiri Pusat Studi Budaya dan Manuskrip (PSBM) ISIF Cirebon; Bid. Diklat. Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Jakarta (2012-2016); Bid. Litbang PP LP Maarif NU Jakarta (20112015)
~ 1534 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1535
studi pesantren telah diminati tidak hanya oleh kalangan orientalis, islamolog-indonesianis, tapi juga kalangan santri yang menjadi intelektual. Melalui keberadaan naskah kuna di pesantren, dapat pula diungkapi geneologi keilmuan ulama di pesantren tersebut. Karena itu, tidak mengherankan apabila naskah pesantren dapat menjadi anak panah peradaban Islam Nusantara. Dalam batas tertentu, relasi pesantren dan kerajaan Islam Nusantara ibarat koin mata uang. Tulisan ini dengan sebuah argumen, bahwa selama ini, naskah pesantren belum pernah secara sungguh-sungguh diperhatikan kaum filolog. Sebab, naskah pesantren mungkin saja termasuk dalam kategori naskah Jawa, Melayu, dst. dalam bentuk babad, serat, tembang, dst. Begitupun dengan bahasa dan aksara yang menjadi ciri khasnya; Arab, Pegon, dan Jawi, dapat pula ditemukan pada aksara/bahasa lokal setiap daerah di Nusantara. Itulah argumen yang dibangun penulis dalam paparan singkat ini, ikhtiar menuju filologi pesantren. Untuk dapat merumuskan filologi pesantren, maka harus disepakati terlebih dahulu tentang batasan naskah pesantren, teks pesantren, dan keberadaan naskah pesantren di belahan dunia ini. Bagaimanapun, studi naskah pesantren dapat menjadi salah satu pengetahuan baru di lingkungan dunia filologi dan studi Islam Indonesia. Kata Kunci: Studi Islam Indonesia, filologi, pesantren, dan naskah
Dalam paparan berikut, penulis berikhtiar mengungkap sedikit gagasan tentang studi pesantren dan filologi dalam khazanah studi Islam Indonesia. Untuk mengawalinya, penulis akan menyebutkan karya-karya terkait studi pesantren secara umum untuk menempatkan filologi dan studi pesantren sebagai kontribusi studi Islam Indonesia sebagai alternatif pengetahuan baru (baca: filologi pesantren), sebagaimana filologi Jawa, filologi Melayu, dan filologi Batak3. Berikutnya, penulis akan mengulas sekilas tentang “pesantren”, studi Islam dan filologi. Bagi penulis, dalam konteks filologis, sebuah teks dapat mengungkap suatu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan yang melatarbelakanginya4, karena itu penting kiranya diungkap “teks pesantren” yang dimaksud dengan tepat dan berbasis metodologis. Setelah itu bahasan lebih fokus pada naskah pesantren yang tersebar dalam katalog dan pesantren di nusantara. Terakhir, bahasan ditutup dengan harapan kontributif pada munculnya studi tentang filologi pesantren pada khazanah studi Islam Indonesia. Kajian tentang Pesantren dari Masa ke Masa Menelusuri karya-karya hasil studi pesantren sungguh menarik untuk saat ini. Ibarat kata membuka tabir kehidupan pesantren masa awal, pertumbuhan, dan pengembangannya melalui narasi-narasi itu. Untuk 3
1999).
Merujuk pada karya Uli Kozok, Warisan Leluhur dan Aksara Batak, (Jakarta: KPG,
4 Panuti Sudjiman, Filologi Melayu: Kumpulan Karangan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 10.
1536 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization karya-karya dimaksud, penulis membagi dalam 3 (tiga) gelombang; pertama, gelombang tahun 70-80an. Untuk tahun 70-an penulis menemukan studi awal pesantren, Guruku Orang-orang Pesantren (1974) karya K.H. Saifuddin Zuhri, terbit ulang Jogjakarta: LKiS, 2001; S. Soebardi, The Book of Cabolek: A Critical Edition with Introduction, Translation, and Notes, A Contribution to the study of the Javanese Mystical Tradition (The Hague-Martinus Nijhoff, 1975). Karya tersebut disertasinya di ANU pada tahun 1967; Dawam Rahardjo (edit.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974, pada tahun 1988 dicetak ulang kelima oleh penerbit yang sama); Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982, terbit ulang pada tahun 2011, cet. IX edisi revisi oleh penerbit yang sama), alih bahasa dari disertasinya di Australian National University, The Pesantren Tradition: The Role of the Kyai in Maintenance of Traditional Islam in Java (1980); Ann Kumar, The Diary of a Javanes Muslim: Religion, Politics, and Pesantren 1883-1886 (Canberra: ANU, 1985); M. Dawam Rahadrjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985); Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), dan Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, penterj. Kareel A. Steenbrink dan Abdurrahman (Jakarta: LP3ES, 1986); Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, penterj. B. Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986); Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, penterj. Umar Basalim (Jakarta: P3M, 1987). Gelombang kedua, pada tahun 90-an, penulis dapat menyebut karya tentang pesantren itu seperti menemukan kembali Islam Indonesia atau Nusantara. Diantara karya itu antara lain; Iik Mansurnoor, Islam in an Indonesian world: Ulama of Madura (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1990); Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, (Jakarta: Alvabet, 2006), alih bahasa disertasi di Univeritas Monash Australia tahun 1991, Creating Islamic Tradition in Rural Java; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1994, edisi revisi oleh Jakarta: Prenada, 2004). Karya asal Disertasi ini ditulis pada tahun 1992, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Dengan judul itu diterbitkan pada tahun 2004 oleh Canberra: Allen Unwin & AAAS Honolulu, University of Hawaii Press, Leiden, KITLV; Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1994, edisi revisi oleh Jogjakarta: Gading, 2012). Sebagian telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, al-Kitab al-‘Arabi fi Indonesia, penterj. Qasim alSamarra’i (Riyadl: Maktabah al-Malak al-Fahd al-Wataniyah, 1995); Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1537
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994); AG. Muhaimin, The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, (Australia: ANU Press, 1995); diterjemahkan A. Suganda, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, (Jakarta: Logos, 2002), cet. II; Endang Turmudzi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, penterj. Supriyanto Abdi (Yogyakarta: LKiS, 2004). Karya disertasi ini diterbitkan dalam bentuk aslinya oleh ANU pada tahun 2006, Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java. Disertasinya diselesaikan pada tahun 1996; Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren5, (Jakarta: Paramadina, 1997). Pradjarta Dirdosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa (Jogjakarta: LKiS, 1999); Gelombang ketiga, karya terbitan sekitar pesantren pada tahun 2000an lebih beragam lagi. Selain, berasal dari karya/tulisan (peneliti) sebelumnya, juga merupakan terbitan ulang dari media lain, sehingga karya-karya itu juga lebih mirip karya ensiklopedis, kecuali beberapa karya disertasi. Di antara karya yang dimaksud antara lain; Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001, cet. II tahun 2007 pada penerbit yang sama6); Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak (Yogyakarta: LKiS, 2001); Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (editor), Seri 1 Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2003); Seri 2 Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren; Seri 3 Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren; Abdurrahman Mas’ud, Intelektualisme Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2004, terbit ulang Jakarta: Prenada, 2006, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren); Roland Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, penterj. Abdurrahman Mas’ud, dkk. (Yogyakarta: Gama Media, 2004). Abd A’la, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006); Mujammil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2006); Muhammad Abdullah, Khazanah Sastra Pesisir, (Semarang: BP UNDIP, 2009); Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Lintasan Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012), alih bahasa disertasi di Universitas Leiden tahun 2007, Islamic Knowledge, Authority, and Political Power The ‘Ulama in Colonial Indonesia; terakhir, 3 (tiga) Jilid karya Ahmad Baso, Pesantren Studies Jilid 2a, dan 2b (Jakarta: Pustaka Afid, 2012) dan Jilid 4a diterbitkan pada tahun 2013 oleh penerbit yang sama. Beberapa tulisan Nurcholis Madjid pernah ditulis pada tahun 1970an. Karya Abdurrahman Wahid itu beberapa tulisannya pernah dimuat di Kompas pada tahun 1970-an. Lihat juga, Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 133-142. 5 6
1538 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Dari studi pesantren sejak tahun 1974-2013 tersebut kiranya dapat dibuat kata-kata kuncinya, antara lain; sejarah dan perkembangan pesantren, spesifikasi keilmuannya, sastra dan budayanya, materi pembelajarannya, sistem pendidikannya, figur tokoh kiai/pengasuhnya, nama-nama kitabnya, lingkungan masyarakatnya dan geneologi keilmuannya. Berikutnya, pesantren dilihat dari fungsi dan peranan bagi warga bangsanya termasuk di dalamnya kajian potensi, hambatan dan tantangannya, bahkan sampai dengan solusi untuk mengatasinya dalam menghadapi dunia modern, globalisasi, dan terorisme. Dinamika pesantren juga dikaji mulai dari pesantren tradisional dan modern, serta pertumbuhan organisasi para ulama (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dst.). Tetapi, acapkali yang dikaji sebagai bagian tak terpisahkan dalam studi pesantren tersebut adalah NU. Kesan positif dan negatif terhadap pesantren-pun akhirnya terbuka bagi pembaca melalui kajian tersebut, begitupun dengan keunggulan dan kelemahannya, bahkan sumbangsihnya terhadap Indonesia dan peradabannya pada masa lalu, saat ini, dan masa depan. Bahkan, dinamika pesantren tersebut telah mempengaruhi kehidupan global, bukan sematamata karena dapat memberi kontribusi pada dunia, tetapi pesantren menjadi “sub kultur” di Indonesia. Para penulis dan peneliti tentang pesantren juga berragam, mulai dari internal pesantren, (kyai dan santri), pribumi, hingga orientalis, lalu islamolog-indonesianis, hingga para sarjana tingkat doktor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pendekatan studi pesantren juga tidak tunggal atau tidak hanya terjebak dengan perspektif keilmuan tertentu, seperti sosiologi, antropologi, etnografi, politik, filologi, tetapi juga dengan cara bertutur seperti novel dan refleksi sebagai opini. Studi tentang pesantren selalu up to date dan uniqeness, bergantung dengan siapa yang mengkaji dan apa yang dikaji. Dilihat dari tujuannya, studi tentang pesantren tersebut nampak sudah sangat lengkap dimulai dengan to know, to understand, to describe, to interpret sampai dengan to change. “Teks pesantren” seperti menyatu dalam diri kyai, ajaran-ajarannya, sistem pembelajarannya, dan komunitasnya. Diluar karya-karya studi pesantren tersebut telah muncul kajian Islam Nusantara, baik menyoroti ajarannya, wilayah geografisnya maupun komunitasnya. Di antara kajian-kajian itu antara lain tentang keagamaan orang Jawa, di dalamnya kajian tentang santri oleh Clifford Geertz, The Religion of Java (1960). Karya itu diterjemahkan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981 dan cetak ulang ketiga, 1989); Sebelum itu, A.H. Johns menulis The Gift Addresed to the Spirit of the Prophet (Canberra: ANU, 1965). Johns mengkaji salah satu kitab tasawuf yang berpengaruh dalam Islam di Sumatra dan Jawa, baik di kraton maupun di beberapa pesantren yaitu at-
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1539
Tuhfa al-Mursala ila Ruh an-Nabi. Agak jauh sebelum karya itu terdapat pula kajian sejarah Islam oleh G. F. Pijper, Fragmenta Islamica, Studien over het Islamisme in Nederlandsch-Indie (1934), diterjemahkan Tudjimah Fragmenta Islamica: Beberapa studi mengenai Sejarah Islam di Indonesia Abad XX (Jakarta: UI, 1987). Sebelumnya, diterjemahkan pula karya Pijper oleh orang yang sama, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 19001950 (Jakarta: UI, 1984). Pijper menjelaskan tentang masjid-masjid di Jawa, penghulu (qadli), relasi perempuan dan masjid, reformisme Islam di Indonesia, dst. Selain peneliti asing, seorang peneliti pribumi, sebelum itu juga telah mengkaji sejarah Islam di Banten, yaitu karya Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa, penterj. KITLV-LIPI (Jakarta: KITLV-Djambatan, 1983). Kajian itu berasal dari disertasi Djadiningrat pada tahun 1913 di Universitas Leiden, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving. Buku itu dapat menjadi salah satu rujukan kajian filologi dan sejarah untuk melihat keberadaan Islam di Indonesia, terutama Banten dan Cirebon melalui naskah. Pesantren, Studi Islam, dan Filologi Dari telaah singkat tentang studi pesantren di atas, nampaknya belum ada satupun kajian khusus tentang naskah dan teks pesantren. Beberapa tahun terakhir, telah muncul kajian Oman Fathurrahman di Sumatera yaitu naskah-naskah yang berada di surau, dayah/zawiyah, lalu Amiq mengkaji pesantren berbasis filologis melalui jaringan sosial dari beberapa pesantren di Jawa Timur. Berbeda dengan kedua penulis tersebut, Ahmad Baso (AB) dalam Pesantren Studies mencoba menjelaskan tentang “teks pesantren” dan jaringannya. Akan tetapi dalam buku AB itu “teks pesantren” sepertinya dijelaskan tersendiri tentang “teks” dan “pesantren” yang berbeda dengan kajian lainnya, seperti pada kutipan berikut ini; “Buku ini melihat teks sebagai sesuatu yang beredar dan menyebar (sirkulatif, tadawuli). Artinya, ia memberi perhatian kepada aspek material dari suatu teks. Teks bukanlah lembaran-lembaran yang bisa diobyektifikasi, misalnya oleh kaum filolog. Bukan pula barang independen atau yang terpisah dari subyek-subyeknya (penulis, khalayak penikmat atau komunitas pembacanya). Teks sebaliknya menyatu dan mewujud menjadi bagian dari unsur pembentuk identitas, penentu khalayak atau komunitas, dan juga penggerak sosial. Teks tidak pernah terpisah dari basis komunitas pembentuk dan pendukungnya. Teks bukan pula tabula rasa, yakni, ibaratkertas kosong yang bisa diapakan apa saja. Teks bersatu dan bersenyawa dengan sejarahnya; demikian pula sejarah terbentuk dengan
1540 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization kehadiran teks. Kalau Anda membaca tulisan yang menyebut ada 100 buku yang mengubah sejarah, saya kira itu menunjukkan salah satu pengertian teks yang sirkulatif.”7 “…pengertian kedua tentang teks, yang akan menjadi acuan dalam buku ini. Yakni, teks sebagai sesuatu yang cair, bergerak terus (mobil), serta senantiasa dalam posisi menjadi (in state of becoming). Dalam pengertian ini Foucault misalnya menekankan hakekat keberadaan suatu arsip sebagai sesuatu yang discontinuous (mengalami keterputusan), historical (menyejarah) dan fractured (dalam bentuk patahan-patahan). Dari pengertian ini, teks menjadi arena kontestasi atau pertarungan di antara berbagai ideology. Misalnya antara produksi pro-kolonial dan produksi anti-kolonial.”8 Lebih jauh lagi, dalam bagian tertentu, AB juga “menuduh” para filolog ketika memandang teks. Pernyataan lengkap AB, sebagai berikut; “…Filologi memperlakukan teks seperti halnya benda-benda museum, obyek-obyek mumi para arkeologi, atau artefak-artefak eksotik para antropolog. Dari tinjauan sudut pandangan ekonomipolitik global, benda-benda ini bisa dindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Baik untuk kepentingan penelitian maupun untuk bisnis benda-benda langka. Dengan memperlakukan teks-teks demikian, mereka sebetulnya mereka sebetulnya memperdagangkan berbagai narasi, informasi dan data tentang obyek-obyek tersebut, yang kemudian mereka edarkan dari satu tangan ke tangan lainnya...”9 “…kalangan filolog masih enggan untuk menyebut teks-teks obyek kajiannya itu sirkulatif. Dalam arti mereka tetap mempertahankan persepsi umum yang berlaku di antara mereka bahwa teks itu tetap, fixed, dan stabil. Mereka merawatnya seperti benda-benda museum yang statis, sebagai benda-benda eksotik dan bersejarah yang tak ternilai harganya. Dan bukan teks yang diamalkan oleh komunitasnya yang berubah-ubah, actual, dan dinamis.”10 Pernyataan-pernyataan AB terhadap penjelasan “teks” itulah, menurut hemat penulis menarik untuk dilihat dalam pandangan filologi. Antara lain sekedar klarifikasi, misalnya apakah benar, teks diperlakukan semacam itu oleh AB? Dalam konteks tulisan pendek ini, kiranya penting untuk dicarikan titik temu atau jalan tengahnya. 7 Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra Pesantren” dalam Pesantren Studies 2b., hlm. 1. 8 Ibid., hlm. 3 9 Ibid., hlm. 2 10 Ibid., hlm. 2-3
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1541
Diakui atau tidak, dalam Pesantren Studies karya AB itu merupakan salah satu bentuk counter terhadap wacana “pesantren” yang ada. Karya AB yang terakhir itu juga berangkat dari insider, seorang alumnus pesantren Makassar. Akan tetapi, counter itu sayangnya kurang memperhatikan pendekatan studi filologis. Karena itulah tulisan ini mencoba melakukan klarifikasi dalam konteks filologis dan studi Islam.11 Sekalipun, tulisan sederhana ini masih belum sempurna. Studi tentang pesantren di Indonesia, dapat juga dikatakan sebagai studi tentang Islam di Indonesia. Adanya keragaman pendekatan studi Islam, berragam pula pendekatan studi pada pesantren. Karena itu, tidak mengherankan, apabila studi Islam Indonesia telah menggunakan metode filologi12, maka nama pesantren disebut pula para pengkajinya. Adapun obyek kajian filologi itu dengan menggunakan naskah kuna (selanjutnya disebut naskah). Kait kelindan tradisi pernaskahan dengan pesantren, senyatanya sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Hal itu dapat dilihat dari dinamika kerajaan-kerajaan Islam (baca: kesultanan) Nusantara sejak awal abad ke13.13 Tradisi tulis tangan (manuskrip) dengan alas tertentu14 dalam pengajaran ajaran Islam sudah dikembangkan sejak saat itu. Zamakhsyari Dhofier merujuk A.H. Johns dan Soebardi menuliskan bahwa peran pesantren tersebut dapat menjadi “anak panah” dalam penyebaran Islam di wilayah Nusantara, sebagaimana kutipan berikut: “Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok perdesaan. Dari lembaga-lembaga pesantren itu sejumlah manuskrip pengajaran Islam di Asia Tenggara dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah 11 Filologi menjadi salah satu pendekatan Baso, selain sejarah dan antropologi ketika menulis Pesantren Studies. NU Online, “Ahmad Baso.”, Ibid. 12 Filologi berasal dari bahasa Yunani, philologia, terdiri dari kata philos berarti cinta dan logos diartikan kata. Filologi berarti senang akan kata, lama kelamaan pemahamannya berkembang menjadi ‘senang kepada karya tulisan yang bernilai tinggi’, seperti karya sastra. Dalam bahasa Arab, filologi adalah ‘ilm tahqiq al-nusus atau tahqiq al-turas. Dalam dinamikanya, filologi terbagi menjadi dua, filologi tradisional dan filologi modern. Titik Pudjiastuti, “Naskah dan Identitas Budaya”, Makalah Pidato pada upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pengerhuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 3 November 2010, hlm. 3; Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: YMAI, 2007), cet. III edisi revisi, hlm. 17-23. 13 Saya mengacu pada Kesultanan Islam di Lamreh (1200). lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011) edisi revisi, hlm. 28 14 Alas tulis tangan pada naskah itu berupa lontar, dluwang, dan kertas Eropa. Lihat Titik Pudjiastuti, Ibid., hlm. 6-8.
1542 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembagalembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini”.15 Jika pesantren dapat menentukan watak keislaman kerajaan-kerajaan pada saat itu, maka patut diyakini pula bila manuskrip di pesantren-pun dapat mempengaruhi corak keislaman di Indonesia hingga saat ini. Dengan demikian, studi pesantren dengan filologi sangat penting dalam konteks khazanah studi Islam untuk saat ini. Bahasan selanjutnya, akan dilihat lebih dekat terkait filologi dengan beberapa bahasan “teks pesantren” yang telah beredar dalam studi pesantren. Naskah (Sastra) Pesantren: Teks Keagamaan atau Pesantren(isasi) Teks? Dalam bahasan di atas, buku Pesantren Studies, AB merasa berbeda dengan kaum filolog seperti disebut dalam kutipan panjang di atas. Sebelum menemukan titik bedanya, penulis akan kemukakan terlebih dahulu beberapa term dalam filologi, yaitu teks dan naskah. Teks (nas) dan naskah (makhtutat) mempunyai arti sendiri dalam filologi.16 Secara singkat, teks adalah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Naskah merupakan bahan tulisan tangan terkandung di dalamnya ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya masa lampau, dan mengandung unsur sejarah. Dalam bahasa bahasa belanda, naskah dikenal dengan handscrift (hs) dan dalam bahasa Inggris disebut manuscript (ms).17 Dengan kalimat yang berbeda, teks adalah isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah itu wujud fisiknya. Studi tentang pernaskahan disebut kodikologi. Studi yang berkaitan dengan seluk beluk isi teks dan bentuknya disebut tekstologi. Dalam tekstologi juga berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman teks serta penyuntingan teks secara kritis ilmiah.18 Dengan mempelajari teks diharapkan dapat menemukan sesuatu yang bernilai untuk suatu kebudayaan atau masyarakat tertentu. Sejarah Zamakhsyari.,Ibid., hlm. 36 dan 40. Hal ini berbeda dengan perkembangan ungkapan dalam keseharian kita di Indonesia, misalnya teks/naskah pidato, diartikan sama, karangan yang masih dalam bentuk tulisan tangan, rancangan. Lihat, “teks” dan “naskah” dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 17 Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah, hlm. 9 dan 81. Lihat, Achadiati Ikram, dkk., Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari, (Jakarta: Manassa-YOI, 2001), hlm. 1. Bandingkan Baried (1985: 54). 18 Panuti., Ibid., h. 11. Nabilah Lubis, Naskah, hlm. 28. Bandingkan; Viviane SukandaTessier dan J.J Witkam,. "Nuskha." Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Edited by: P. Bearman; , Th. Bianquis; , C.E. Bosworth; , E. van Donzel; and W.P. Heinrichs. Brill, 2011. Brill Online. Australian National University. 16 December 2011
15 16
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1543
teks tidak dapat dipisahkan dari sejarah pendidikan dan ilmu pengetahuan.19 Dengan kalimat lain, sebuah teks tidak mungkin seolah-olah tanpa konteks; teks tidak berdiri sendiri, baik waktu, tempat, maupun lainnya. Karena itulah dalam filologi mencakup jauh lebih banyak kajian daripada sekadar “kritik teks”.20 Dengan begitu, bila dikatakan AB bahwa teks itu stabil, fixed, tentu kurang tepat. Seandainya Baso menyebutkan siapa kaum filolog yang menyatakan itu, misalnya, dan bagaimana konteksnya, barangkali penulis akan lebih mudah lagi untuk menunjukkan bahwa teks menurut kaum filolog tidak stabil. Sebab, dengan adanya edisi kritis dalam filologi, maka teks itu tidak dianggap stabil. 21 Di sisi lain, dalam hemat penulis, AB juga tidak membuat perbedaan antara “teks” dan “naskah” seperti kaum filolog.22 Padahal “teks” dan “naskah” selalu lahir dengan konteks sosial dan budaya tertentu. Karena itu, setiap “teks” dalam “naskah” tidak dengan serta merta dapat langsung diberi konteks sendiri. Dikatakan para filolog, naskah merupakan bukti peninggalan masa lampau suatu peradaban dari masyarakat tertentu.23
The history of text cannot be separated from the history of education and scholarship… L.D. Reynold & N.G. Wilson, Scribes & Scholars, (Oxford: Oxford University, 1974), hlm. v 20 Stuart Robson, Principles of Indonesian Philology, (Leiden: Foris Publications Holland, 1988), hlm. 8-11. Lihat, R.O. Robson, Prinsip-Prinsip Filologi di Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan (Jakarta: RUL, 1994), hlm. 10-13 21 Kritik semacam ini pernah disampaikan juga oleh M. Adib Misbahul Islam, filolog muda dan dosen UIN Ciputat ketika menjadi pembahas bedah buku PS 2b di UIN Syarif Hidayatullah, tahun 2012. Hanya saja tidak direspon Baso yang saat itu hadir. Untuk informasinya, penulis sampaikan terima kasih kepada Adib. Disampaikan Adib kepada penulis akhir April 2013 di Pamulang. Setelah penulis konfirmasi ke Baso soal itu melalui chatting facebook dua minggu setelahnya, dijawab Baso, “karena Adib belum maqamnya, Adib suruh tulis buku dulu, kwkwkwkwkkwkw, la ya’riful katib illal katib”.. [kritik penulis di sini juga, jangan-jangan dianggap serupa oleh Baso] 22 Baso sepertinya tidak membedakan dua kata itu, atau pembaca dibuat menjadi bingung, atau ketidaktahuan Baso, atau kesalahan tulis? Sebutlah hal itu karena kesalahan tulis, mengapa sejak buku 2a, 2b, dan 4a kesalahan itu terjadi? Dalam buku 2a (hlm. 166) dituliskan, Demikian pula berkaitan dengan “ilmu wirasat” (firasat), seperti disebut dalam Serat Centhini. Ilmu itu disebut-sebut dipelajari dari “Imam Supingi”. Juga ada satu tembang didaktis, teks kode LOr 40.540, tentang ilmu wirasat yang disebut disalin dari “Imam Sapingi”; lalu 2b (hlm. 14); Revolusi itu tergambar misalnya dalam Koleksi 149 Naskah Ulama Banten Tahun 1890 yang tersimpan dalam perpustakaan Leiden hingga kini (teks-teks kode LOr 5591 hingga LOr 5739); dan 4b (hlm. 383); Ada banyak teks-teks pesantren yang dimanfaatkan oleh para aktor politik Nusantara. Seperti naskah NBS 95 berjudul Darma Sunya Keling (versi adaptasi dari Kakawin Dharmasunya), yang disalin di Kartasura pada November 1716 oleh Pangeran Diponegoro Erucokro ini. Nama sang pangeran juga muncul dalam Serat Cebolek (teks kode LOr 6373). Dalam setiap katalog, yang dimaksud LOr adalah naskah dari koleksi Timur, Universitas Leiden. Karena itu, hampir tidak ditemukan tulisan teks kode LOr, sebab, dalam satu naskah itu berisi lebih dari satu teks. 23 Achadiati., Ibid. 19
1544 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Keberadaan naskah di Indonesia, selain berada lingkungan kraton, kesultanan Islam, dan pesantren, juga komunitas kraton dan pesantren. Pesantren atau lebih dikenal luas dengan nama pondok (funduq), lalu disebut menjadi pondok pesantren merupakan tempat santri belajar mendalami ajaran Islam. Kata “pesantren” merupakan istilah khas Indonesia, terutama di Jawa. Di Minangkabau, wilayah Sumatra “pesantren” paralel dengan nama surau atau dayah di Aceh. Di Malaysia dan Pattani, Thailand Selatan juga sering menggunakan istilah “pondok”.24 Belakangan, seperti dalam tulisan ini, digunakan cukup dengan “pesantren”, lazim pula dalam istilah bahasa Indonesia. Poerbatjaraka, Voorhoeve dan Hooykaas pernah menyusun sastra pesantren (pesantren-literatuur) dalam kumpulan naskah Indonesia, Indonesische Handschriften pada tahun 1950. Dalam buku itu, pesantrenliteratuur dibedakan dengan naskah soeloek dan primbon. Di antara pesantrenliteratuur kali pertama disebut Poerbatjaraka adalah Lahad. Berturut-turut dijelaskan lebih lanjut adalah Radja Kandak, Semangoen, Djatikoesoemo, Asmarasoepi, Prantaka, Raden Soelam alias Poerbaningrat, Aroeman, Djaka Soelewah, Djaka Sasigar, Imam Nawawi, Moersada, Iman Soedjana, Raden Koesoema, Seh Djabar Sidik, Dewi Maleka, Djatiswara, Aboenawas, Radja Darma, Moertasijah, Amad Mohammad, dan AbdorrahmanAbdoerakim.25 Dari 22 judul naskah sastra pesantren tersebut, keseluruhannya berjumlah 84 naskah, baik ditulis dengan lontar, daluwang maupun kertas Eropa. Aksara yang digunakan Arab, Pegon, Jawi, dan Jawa (baik Jawa tengahan maupun kuno), sebagian besar dalam bentuk tembang, seperti Asmaradana, Sinom, Dandanggula, dst. Naskah seringkali diawali dengan teks bismillahirrahmanirrahim. Tetapi, pembuka dengan bismillah juga terdapat dalam kategori naskah Rengganis dan Anbija. Adapun dari naskah pesantren tersebut, terdapat pula naskah dari Cirebon antara lain, Lahad, Semangoen, Amad Mohammad dan Abdurrahman-Abdurrakim. Kategorisasi semacam pesantren-literatuur tersebut, nampaknya belum dijumpai dalam katalog-katalog naskah di Indonesia saat ini. Untuk dapat mengetahui yang terkait dengan naskah pesantren, maka harus dicari dalam bebarapa kategori; Agama Islam di Katalog Museum Sonobudoyo Jilid 1 (1990)26, Cerita Bercorak Islam, Santri Lelana, Al-Qur’an dan Teks-teks Islam 24 F.M. Denny, "Pesantren." Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Edited by: P. Bearman; Th. Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; and W.P. Heinrichs. Brill, 2011. Brill Online. Diunduh pada 11 November 2011, Australian National University. http://www.brillonline.nl/subscriber/entry?entry=islam_SIM-6116 25 R.M. Ng. Poerbatjaraka, P. Voorhoeve, dan C. Hooykaas, Indonesische Handschriten, (Bandung: A.C. Nix, 1950), hlm. 75-138. 26 Jika lebih detil membacanya, sebenarnya Katalog Museum Sonobudoyo juga menjelaskan beberapa naskah yang termasuk kategori khas pesantren, seperti Serat Ambiya dalam kategori “sastra”, dijelaskan bahwa naskah Serat Ambiya termasuk kelompok naskah
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1545
dalam Katalog Fak. Sastra UI Jilid 3-A dan 3-B (1997); Koleksi Arab, Koleksi Abdurrahman Wahid di Katalog Perpustakaan Nasional RI Jilid 4 (1998); Islam pada Katalog Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga Jilid 5A (1999); Islam pada Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari (2001); dan Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman (2005). Berbeda halnya, bila melihat katalog-katalog yang secara keseluruhan naskah Islam, maka dapat dilihat aspek-aspek keilmuan dalam Islam, seperti Katalog Naskah Ali Hasjmi Aceh (2007), kategorinya Al-Qur’an, Hadits, Tafsir, Tauhid, Fikih, Tasawuf, Tatabahasa, Zikir dan Doa, Hikayat; Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (2010), kategorinya sama dengan Ali Hasjmi, kecuali ditambahin Logika dan Ushul Fikih, serta Sejarah. Seperti disebut di muka, belakangan, studi di perguruan tinggi Indonesia, kajian terhadap naskah-naskah dari pesantren mulai semarak seiring tumbuhnya tradisi filologi (tahqiq). Beberapa di antaranya penelitian dilakukan Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya melalui program Manuskrip Islam Pesantren (MIPES) telah menemukan 321 naskah di 3 (tiga) kabupaten; Pondok Pesantren Darul Ulum Tuban, Pondok Pesantren Tarbiyya al-Talaba (Pondok Tabah) Lamongan, dan koleksi pribadi di Ponorogo Jawa Timur.27 Begitu juga dengan temuan 82 naskah di Pesantren Sabilul Muhtaddin (PSM) Takeran Magetan Jawa Timur. Temuan naskah-naskah itu berkat PSM Takeran bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Ilmu dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Jakarta terutama pada saat proses digitalisasi tahun 2010.28 Belum lagi dari program lembaga lainnya, deretan panjang itu tentu dapat ditulis di sini, baik dalam karya skripsi, tesis, maupun disertasi. Pertanyaannya, dari semua jenis naskah dan kategorisasi naskah dalam setiap katalog tersebut, bagaimana mendefiniskan bahwa naskah itu disebut naskah pesantren atau sastra pesantren? Lebih spesifik lagi, teks mana yang dimaksud dengan teks pesantren? Dalam konteks menuju rumusan filologi pesantren dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, barangkali terdapat beberapa pertanyaan lanjutannya; pertama, apakah kita akan memulai mendefinisikan dengan melihat hasil penelitian terdahulu tentang kitab-kitab apa saja yang dipelajari di pesantren, seperti studi pesantren terdahulu, antara lain dari pesantren. Hal ini dapat dimaklumi, karena ternyata merujuk juga pada kategorisasi Poerbatjaraka (1950). T.E. Behrend (penyunting), Katalog Museum Sonobudoyo Yogyakarta, (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 208 dan 304. 27 Amiq, “Tipologi Manuskrip Islam Pesantren Indonesia”, makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-13 di Solo, 27-29 Juli 2010, hlm. 3-4. 28 Fathin Masyhud, “Manuskrip Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran (Sejarah, Karakteristik, dan Akses Naskah digital), makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-13 di Solo, 27-29 Juli 2010, hlm. 14.
1546 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Zamakhsyari Dhofier dan Martin van Bruinessen? Setelah itu, nama kitab dicari dalam naskah-naskah pesantren seperti yang tercantum dalam katalog-katalog naskah? Atau kedua, apakah kita akan memulainya, seperti dilakukan LPAM, PPIM, dan MANASSA, terjun langsung terlebih dahulu ke pesantren-pesantren untuk mencari naskah-naskah yang belum tersentuh? Setelah terkumpul naskah-naskahnya, baru dilakukan kajian filologisnya? Dengan tanpa mengabaikan cara pandang AB terhadap filologi seperti dipaparkan di atas, AB memberikan deskripsi tentang karakter, gaya, dan ciri khas teks-teks pesantren. AB menjelaskan bahwa dalam teks pesantren itu ada dua kategori, yaitu teks kitab mu’tabarah karya santri‘ulama’, dan teks adaptasi kitab mu’tabarah, karya santri-mustami’. Jenis pertama, seperti diakui AB, disebut juga dengan “sastra kitab” adalah jelas teks-teks pesantren. Kategori kedua, teks adaptasi itu dalam bentuk syair29, tembang, babad, serat, hikayat atau cerita. Acuan dari teks adaptasi tersebut adalah kutub mu’tabarah. Contoh dari teks kitab mu’tabarah, ‘Aqidah alAwwam lalu menjadi teks adaptasi Hikayat Aqidatul Awwam. Bahkan, AB menegaskan, jika terdapat seorang penulis tidak pernah belajar di pesantren, tidak pernah menjadi santri, dan tidak seagama dengan kaum pesantren, tetapi ketika menulis menggunakan format bahasa dan substansinya ada unsur kepesantrenan, maka dapat disebut pula teks pesantren. Contoh kategori penulis yang tidak belajar di pesantren, tetapi menuliskan teks semacam ini, antara lain “atas izin dan kehendak Allah ta’ala”, “karsaning Allah”, “takdir Allah”, atau “Wallahua’lam”.30 Kategori semacam ini perlu dipertimbangkan lagi, mengingat terkesan memaksakan diri pada sebutan teks pesantren, dalam istilah lainnya, “pesantrenisasi teks”. Bukankah juga, jika semacam itu dapat masuk kategori contradictio in terminis dengan “pesantren”? Serupa dengan teks pesantren, Oman Fathurrahman menyebutnya dengan teks-teks keagamaan untuk naskah Nusantara. Sejalan dengan sebutan teks keagamaan, maka semua naskah di atas juga disebut dengan kategori naskah keagamaan Nusantara. Di lingkungan kementerian Agama, terutama Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Agama dan Keagamaan sejak tahun 2003 telah mempunyai program “Inventarisasi, Pelestarian, Penelitian, dan Pemanfaatan Naskah-naskah Keagamaan 29 Khusus untuk istilah syair, barangkali perlu mendapat perkecualian, mengingat temuan Dewaki tentang syair Injil, mungkin syair dianggap sudah menjadi istilah universal. Dewaki Kramadibrata, “Syair Injil”, dalam Titik Pudjiastuti dan Tommy Christomy, Teks, Naskah, dan Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram, (Depok: Yanassa, 2011), hlm. 135-177. 30 Ahmad Baso, Pesantren Studies 2b., hlm. 214-215, 219. Bandingkan, Pesantren Studies 2a., hlm. 146-151. Ciri khas teks pesantren lainnya, diawali dengan bismillahirrahmanirrahim, amma ba’du dan atau wabihi nasta’in, lalu intertekstualitasnya, dan terdapat pesan uswah hasanah,”baldatun thayyibatun wa rabbun gafur”.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1547
Nusantara”. 31 Artinya, teks pesantren juga termaktub dalam teks keagamaan itu. Sebelumnya, pada tahun 1997-1998 Badan Litbang menerbitkan katalog naskah kuno yang bernafaskan Islam di Indonesia. Bahasa dan aksara dalam naskah terdiri dari Arab, Jawa, Sunda, Melayu, Sasak, Ambon, Bima, Pegon, Jawi, Jawa-Kawi, Jawa-Madya, dan BugisMakassar.32 Membincang teks dan naskah, maka tidak dapat dilupakan juga dengan sastra pesantrennya. Berkaitan dengan itu, seperti Poerbatjaraka sebutkan sebagian naskahnya di atas, Muhammad Abdullah memberikan definisi karya sastra pesantren, yaitu kumpulan karya sastra kitab (sastra keagamaan) dan sastra syiir, dan sastra lisan yang berkembang di lingkungan pesantren, baik masalah ajaran yang dogmatis-ritual maupun rasional-spiritual. Dengan mengutip Bragensky, Abdullah melanjutkan, sastra keagamaan adalah kitab-kitab yang berisi ajaran hukum-hukum formal agama (syari’ah), teologi, tasawuf, dan metafisika Islam.33 Berangkat dari paparan di atas, hemat penulis, sastra pesantren merupakan bagian dari sastra keagamaan yang berasal dari lingkungan kraton/kesultanan Islam dan pesantren. Dalam teks pesantren, bahasa dan aksaranya bergantung dengan keberadaan pesantren dan afiliasi keilmuannya di dunia Islam. Karena itu, agak sulit diterima akal, bila dikatakan bahwa dalam sejarahnya sastra pesantren ditulis menggunakan huruf Arab pegon, dengan beragam bahasa Nusantara. Namun begitu, dapatlah kiranya ditegaskan bahwa ciri khas teks pesantren itu menggunakan bahasa Arab dan aksara Arab atau derivasinya, seperti Pegon dan Jawi. Bentuk dan karakternya, ditulis dan atau dinyanyikan melalui puisi dan prosa, baik syiir, nadhom, serat, suluk, hizib, tembang, puji-pujian, wawacan, primbon, babad, maupun hikayat, yang seringkali dipertunjukkan sebagai performing-art, dan semua itu juga dilakukan dengan intertekstual karya sastra kitab dari Timur Tengah, Arab, Parsi, dan India. Isi ajaran dan pesannya berkaitan dengan al-Quran, tafsir, hadits, tauhid, fiqih, tasawuf, bahasa, logika, dan sejarah.34 31 Oman Fathurrahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang, 2010), hlm. 103-111. Lihat juga, Oman Fathurrahman, “Filologi dan Teks-teks Keagamaan”, Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Agenda Riset LPIU UIN Syarif Hidayatullah, Bogor 27 Maret 2000, diterbitkan jurnal alTurats, Vol. 9. No. 2, 2003. 32 Balitbang telah menerbitkan 2 (dua) buku katalog naskah-naskah kuno Islam. Katalog I terbit pada tahun 1997/1998 dan kedua tahun 1998/1999. Penelitiannya sendiri dilakukan pada tahun 1994-1995 di 14 Propinsi dari 27 Propinsi di Indonesia. Musda Mulia, dkk., Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, (Jakarta: Balitbang, 1998), hlm. 3-4 33 Muhammad Abdullah, Khazanah Sastra Pesisir, (Semarang: BP UNDIP, 2009), hlm. 2, 14-15. 34 Ciri-ciri ini selain simpulan dari Baso, Fathurrahman, juga dari Abdullah, Khazanah Sastra., hlm. 15, 43. Bedanya, ciri-ciri oleh penulis tidak ditetapkan waktunya,
1548 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Dengan batasan-batasan tersebut, sekalipun masih perlu didalami lagi, diharapkan kita tidak terjebak pada “pesantrenisasi teks”. Kiranya, tidaklah berlebihan pula, jika dengan fakta sejarah sastra pesantren tersebut, kita dapat berharap adanya filologi pesantren; suatu kajian filologi khusus terkait dengan hal-ihwal pesantren. Filologi Pesantren: Alternatif Kajian tentang Pondok Pesantren Naskah-naskah di pesantren, sesuai dengan paparan di atas, kini sudah mulai terbuka dan dibuka aksesnya kembali melalui penulusuran digitalisasi naskah dan restorasi/konservasi naskah. Realitas itu harus terus dipelihara dan dipertahankan demi nilai manfaat dari pesan teks dalam naskah sendiri. Sebagai hasil karya budaya, naskah dan teks mempunyai sejarahnya sendiri. Di situlah naskah pesantren mempunyai nilai signifikansinya. Sebelumnya, program penyelamatan naskah Nusantara masih terbatas pada kraton/ kesultanan Islam atau orang-orang dan daerah tertentu saja. Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan pengasuh pesantren juga kini sudah dilibatkan secara aktif, baik melalui kerja-kerja filologi maupun penyelamatan naskah melalui konservasi dan restorasi naskah. Dengan adanya penyelamatan naskah itu telah mendorong terjadinya kajian terhadap naskah pesantren, baik dari lingkungan pesantren, maupun di tempat penyimpanan naskah lainnya, seperti yang tertulis dalam katalog-katalog naskah Nusantara. Fakta itu semestinya menggerakkan kita untuk lebih menekuni naskah pesantren. Pada dasarnya, kajian terhadap naskah pesantren secara metodologis tidak berbeda dengan kajian naskah Jawa, Melayu, Batak, dan semacamnya. Karena itu, dengan bekal kajian-kajian terdahulu pada naskah pesantren, kiranya dapat membantu perumusan filologi pesantren. Diantara kegunaan naskah pesantren, antara lain nilai-nilai dan ajaran Islam dalam naskah itu dapat diselamatkan, sehingga dapat menjadi pelajaran berharga bagi peradaban pesantren, Islam dan bangsa Indonesia, khususnya. Naskah pesantren yang dimaksud itu dapat berupa teks yang berbahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Sasak, dst. dengan aksara Arab, Pegon, Jawi, maupun Carakan, baik dalam bentuk babad, wawacan, serat, hikayat, dst. Pekerjaan rumah menuju filologi pesantren masih terbentang luas. Selain perlunya disepakati tentang definisi teks pesantren dan naskah pesantren, juga harus diketahui dimana saja naskah pesantren itu berada, baik dalam negeri maupun luar negeri. Setelah itu, katalog naskah
seperti dalam Abdullah, abad ke-19, karena bagi penulis, hal itu masih belum clear dari naskah-naskah yang ada, maupun dalam sejarah sastra pesantren.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1549
pesantren juga perlu disediakan demi memudahkan kajian filologi pesantren. Dengan demikian, dalam ranah studi tentang pesantren, seperti yang sudah berkembang hingga saat ini, filologi pesantren dapat menjadi studi pesantren “plus”. Diharapkan pula, dengan kajian pada naskah-naskah itu pesantren dapat menjadi diri sendiri, baik dari sejarahnya, geneologi keilmuannya, maupun lainnya. Semoga. Wallahu a’lam bis sawab. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad. Khazanah Sastra Pesisir. Semarang: BP UNDIP, 2009 Amiq, “Tipologi Manuskrip Islam Pesantren Indonesia”, makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-13 di Solo, 27-29 Juli 2010. Behrend T.E. (penyunting), Katalog Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan, 1990. Denny, F.M. "Pesantren." Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Edited by: P. Bearman; Th. Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; and W.P. Heinrichs. Brill, 2011. Brill Online. Diunduh pada 11 November 2011, Australian National University. http://www.brillonline.nl/subscriber/entry?entry=islam_SIM-6116 Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011. edisi revisi. Fathurrahman, Oman. dkk., Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang, 2010. Ikram, Achadiati. dkk., Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Manassa-YOI, 2001 Kozok, Uli. Warisan Leluhur dan Aksara Batak. Jakarta: KPG, 1999. Lubis, Nabilah. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: YMAI, 2007. cet. III edisi revisi. Masyhud, Fathin. “Manuskrip Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran (Sejarah, Karakteristik, dan Akses Naskah digital), makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-13 di Solo, 27-29 Juli 2010. Mujiburrahman, “NU Studies: Upaya Meneguhkan Posisi Penulisnya”, Studia Islamika, Vol. 13, No. 3, 2006.
1550 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Mulia, Musda. dkk., Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II. Jakarta: Balitbang, 1998. Poerbatjaraka, R.M. Ng. P. Voorhoeve, dan C. Hooykaas, Indonesische Handschriten. Bandung: A.C. Nix, 1950. Pudjiastuti, Titik. “Naskah dan Identitas Budaya”, Makalah Pidato pada upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pengerhuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 3 November 2010. Reynold L.D. & N.G. Wilson, Scribes & Scholars. Oxford: Oxford University, 1974. Robson, Stuart. Principles of Indonesian Philology. Leiden: Foris Publications Holland, 1988 Sukanda-Tessier, Viviane. dan J.J Witkam,. "Nuskha." Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Edited by: P. Bearman; , Th. Bianquis; , C.E. Bosworth; , E. van Donzel; and W.P. Heinrichs. Brill, 2011. Brill Online. Australian National University. 16 December 2011. Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok: Desantara, 2001. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Tak Ada Domba di Kampung Naga: Studi Etnografi Perayaan Idhul Adha dan Hajat Sasih di Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat Rahman, M.Pd1 Abstrak: Manusia adalah makhluk sempurna, kesempurnaannya terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dengan akal ini manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan lahir ataupun kebutuhan batin. Kebutuhan batin manusia terpenuhi dengan adanya kedamaian, kebahagiaan dan aktualisasi diri. Untuk mencapai hal tersebut manusia berusaha untuk mencari hakikat kehidupan, dalam agamalah manusia menemukan hakikat kehidupan tersebut. Selanjutnya manusia berusaha untuk mengaplikasikan keyakinan keagamaannya dalam bentuk berbagai ritual keagamaan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di antara ritual yang dilakukan oleh manusia adalah Perayaan Hari Raya Idhul Adha yang dilaksanakan masyarakat adat Kampung Naga. Perayaan ini sangat menarik karena dilanjutkan dengan ritual Hajat Sasih sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada nenek moyang masyarakat Kampung Naga. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan paradigma etnoscience dari James P. Spradley, fenomena Perayaan Idhul Adha dan Hajat Sasih direkam dengan metode etnografi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan Perayaan Idhul Adha dilaksanakan dengan penuh khidmat sesuai dengan ajaran Islam, walaupun tidak ada penyembelihan domba padanya. Sikap menghormati adat dari pada perayaan Idhul Adha menjadikan mereka lebih mengutamakan ritual adat dalam bentuk Hajat Sasih daripada Idhul Adha yang sunnah hukumnya. Ritual Hajat Sasih dilaksanakan setelah selesainya shalat Idhul Adha, ritual ini dilakukan dengan prosedur sesuai dengan yang dilakukan para leluhur dengan memberikan Pahajat (bingkisan berisi makanan dan hasil bumi) kepada Punduh dan Lebe pada satu hari sebelum pelaksanaan, sementara Punduh dan Lebe juga memberikan pahajat-nya kepada Kuwu (Kepala Desa) dan Naib (Amil) Desa Neglasari. Hajat Sasih merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang direpresentasikan dalam bentuk ziarah ke makam para leluhur yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana. Selain itu Hajat Sasih juga menjadi momen istimewa bagi warga Kampung Naga untuk bersilaturahmi dan mengharapkan barokah dari ziarah kubur dan dari tumpeng yang didoakan oleh sesepuh Kampung Naga. Kata Kunci: Islam Lokal, Hari Raya Idhul Adha, Hajat Sasih, Kampung Naga dan Ziarah
1 Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah Bogor, penulis dapat dihubungi di [email protected]
~ 1551 ~
1552 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization A. Pendahuluan Merujuk teori Abraham Maslow bahwa manusia memiliki lima kebutuhan mendasar yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi.2 Kebutuhan yang bersifat ruhani adalah kebutuhan akan sesuatu yang bisa dijadikan pedoman dan sarana dalam mencapai kepuasan spiritualnya tersebut. Sesuatu itu adalah agama, yang akan memenuhi kebutuhan manusia terutama kebutuhan akan tuntunan dan pedoman bagi kebahagiaan kehidupannya. Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Manusia Primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenal Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan sekalipun terbatas “daya khayal”nya. Daya khayal inilah yang melahirkan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar diri manusia. Selanjutnya, kepercayaan-kepercayaan tersebut dikenal dengan istilah Dinamisme, Animisme, dan Politeisme.3 Carld Gustave Jung berpendapat bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatakan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama. Semua itu menunjukan bahwa manusia mempunyai potensi untuk meyakini adanya kekuatan lain di luar dirinya yang disebut tuhan, dengan kata lain manusia memiliki potensi kuat untuk bertuhan.4 Setelah manusia memahami bahwa agama adalah bagian dari kebutuhan hidupnya, selanjutnya mereka mencoba untuk mengaplikasikan keyakinan tersebut dalam berbagai pola keagamaan dan ritual keagamaan. Maka saat ini kita saksikan manusia berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai ritual keagamaan yang mereka yakini mampu menjadi wasilah bagi kedekatannya dengan Tuhan. Walaupun ada banyak ritual keagamaan yang dilakukan oleh manusia, namun semuanya memiliki mata rantai yang tidak bisa diputus dan terlihat dari esensi ritual keagamaan tersebut. Semua itu dilakukan dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka meyakini bahwa ritual tersebut akan menjadi satu jalan bagi kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan. Beberapa bentuk ritual keagamaan yang telah ada sejak dahulu adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Ritual ini adalah salah satu dari ritual khas dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, dari ujung barat Indonesia di Aceh hingga ujung timur Indonesia di Merauke. Mereka 2 Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), tahun 2001, hlm. 262. 3 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press), tahun 2010, hlm. 4. 4 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hlm. 6.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1553
memiliki ritual keagamaan dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ketika nenek moyang tersebut sudah meninggal dunia ritual penghormatan tersebut diarahkan ke makam atau kuburan nenek moyang tersebut. Dari sinilah muncul ritual untuk menghormati leluhur, dalam taraf lebih lanjut adalah muncul keyakinan bahwa arwah nenek moyang itu memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia (animisme). Suku Sunda sebagai salah satu dari suku bangsa yang ada di Indonesia juga memiliki ritual untuk menghormati para leluhurnya. Hal ini terlihat dari berbagai ritual keagamaan yang ada di wilayah yang didiami oleh suku Sunda, terutama di Provinsi Jawa Barat, Banten, sebagian Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Di Panjalu Kabupaten Ciamis terdapat ritual Nyangku yaitu ritual yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dari Kerajaan Galuh Panjalu. Di Kabupaten Garut ada ritual Ziarah Makam Karamah yaitu mengunjungi makam leluhur Kampung Dukuh agar keinginannya dapat tercapai. Di Kabupaten Bogor dan Kuningan ada Seren Taun Guru Bumi sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, ritual ini diawali dengan ziarah ke beberapa makam leluhur. Di Propinsi Banten ada komunitas Badui yang memiliki ritual Muja yaitu penghormatan kepada situs leluhur.5 Demikian pula di Indramayu terdapat ritual Sedekah Bumi sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dengan mengunjungi makam leluhur. Sedangkan di Kampung Adat Banceu Kabupaten Subang terdapat ritual Ngaruat Bumi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Demikian pula di Tasikmalaya ada Hajat Sasih yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga sebagai sebuah ritual untuk menghormati leluhur Kampung Naga. Ketika Islam datang ke tanah Pasundan dan bersentuhan dengan budaya Sunda terjadilah dialog di antara keduanya, terjadi proses saling mengisi dan melengkapi antara Islam dan budaya Sunda, hingga terciptalah satu kebudayaan yang merepresentasikan kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan baru ini kemudian diwariskan secara turun temurun sehingga sadar atau tidak kebudayaan baru tersebut merupakan budaya Islam dengan citarasa lokal. Di antara wujud dari dialog antara Islam dan budaya lokal adalah perayaan hari raya Idhul Adha yang dilanjutkan dengan ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. Bagaimana sebenarnya proses pelaksanaan Idhul Adha dan Hajat Sasih di kampung Naga? B.
Kampung Naga : Harmoni Insan dan Alam Semesta Perjalanan menuju Kampung Naga dapat ditempuh dari Bandung melalui dua arah, yaitu melalui Tasikmalaya dan Garut. Jika melewati 5 Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda : Suatu Pendekatan Sejarah, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Jaya), tahun 2009, hlm. 63.
1554 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Tasikmalaya maka perjalanan berjarak kurang lebih 30 KM, Jika menggunakan jalur Bandung-Garut-Singaparna maka maka jarak tempuhnya kurang lebih 160 KM, sementara dari Kota Garut berjarak 26 KM. Untuk mengetahui arah Kampung Naga maka terdapat sebuah plang yang menunjuk ke arah Kampung Naga. Memasuki lokasi Kampung Naga pengunjung disambut oleh sebuah gapura6 dengan atap terbuat dari injuk dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Di bagian kanan gapura terdapat pohon Caringin (Beringin) besar yang memberikan kesan sejuk, menurut Bapak Abdul Majid salah seorang pemilik kios di depan gapura, pohon caringin ini ditanam bersamaan dengan dibangunnya terminal tempat parkir Kampung Naga. Sementara di bagian kiri terdapat papan bertuliskan “Tanah ini milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya” tertulis luas tanah 2.635 M2, Nomor Sertifikat 10. Melangkah masuk ke dalam tepatnya ke Terminal (tempat parkir kendaraan), tampak lokasi parkir yang cukup luas dengan model parkir serong sehingga memungkinkan hingga sepuluh bis besar terparkir di situ. Pada bagian sebelah kiri terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan drum-drum minyak tanah. Bangunan sebelahnya adalah Kantor Pusat Informasi dan Kantor Koperasi Warga Kampung Naga dengan nama “Sauyunan”. Bangunan ini juga menjadi Kantor Perhimpunan Pramuwisata Kampung Naga yang disingkat “Hipana”. Bersebelahan dengan kantor ini berjajar kios-kios cenderamata yang menjual produkproduk masyarakat Kampung Naga dan sekitarnya. Sementara di sebelahnya lagi terdapat banguan yang digunakan untuk tempat pembakaran sampah. Maju ke depan lagi terdapat sebuah bangunan yang belum jadi yang akan digunakan untuk loket parkir dan kios cinderamata. Pada bagian ujung kiri tempat parkir berdiri kokoh Tugu Kujang Pusaka7 yang tampak megah dengan warna dominan hitam. Tugu ini dikelilingi pagar besi yang memiliki satu pintu di bagian muka. Pada kedua sisi pintu pagar bagian luar terdapat patung kepala harimau. Pada bagian kanan tugu terdapat tulisan mengenai keterangan detail pembangunan tugu ini. Tertulis bahwa tugu ini diresmikan oleh Gubernur Jawa barat pada 16 April 2009 atau 19 Maulud 1430 H. Pengagas utama pembuatan tugu ini adalah Drs. Anton Charliyan, MPKN yang pada waktu itu menjabat sebagai Kapolwil Priangan dan KRAT. H. Derajat Hadiningrat selaku Pimpian Graha Limau Kencana. Tugu ini dikelilingi oleh sebuah kolam kecil dengan ukuran kurang lebih 80 cm, serta dikelilingi pagar besi kecuali
6 Gapura ini dibangun oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya bersamaan dengan dibangunnya lahan parkir bagi pengunjung Kampung Naga. 7 Disebut Tugu Kujang Pusaka karena tugu ini memiliki bagian atasnya berupa kujang yang terbuat dari kurang lebih 900 pusaka yang berasal dari seluruh wilayah Pasundan.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1555
di bagian depan. Pada bagian belakang tugu terdapat tembok yang menjadi batas dengan warga Sa-naga. Untuk menuju lokasi Kampung Naga ada beberapa jalan yang bisa ditempuh, namun jalan resmi yang digunakan oleh para pengunjung hanya ada satu menuju ke lokasi yaitu dengan menuruni anak tangga yang berjumlah kurang lebih 400 anak tangga. Anak tangga pertama berjumlah 11 anak tangga yang menyampaikan saya ke perempatan tangga. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menuruni tangga dan menyusuri jalan di tepi sungai Ciwulan. Perjalanan memasuki kampung disambut dengan pemandangan sungai yang menghampar di sebelah kanan, gemericik air yang jatuh dari tebing di ujung sebelah kanan membawa pesona yang berbeda dengan suasana di tempat lainnya. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hijau yang berpadu dengan warna dasar coklat tanah khas pedesaan. Sementara memandang ke depan tampak Kampung Naga dengan susunan rumah yang tertata rapi dengan warna dominan hitam. Perjalanan menyusuri jalan kampung di tepi sungai Ciwulan berjarak kurang lebih 500 meter dan berakhir pada sebuah belokan ke arah kiri menuju wilayah pemukiman Kampung Naga. Memasuki area Kampung Naga kita disambut dengan sebuah tanah lapang dengan dua buah rumah di bagian kiri dan tiga buah rumah di bagian kanan. Rumah Kuncen sendiri berada di bagian kiri nomor dua dari arah pintu masuk. Pandangan pertama ketika masuk selain adanya tanah lapang juga berdiri kokoh sebuah Masjid dan Bale Patemon8 yang saling berdampingan. Di sebelah kiri masjid terdapat lokasi bekas Leuit9 yang dipagari dengan bambu welahan. Berjalan menaiki sebuah tangga batu dan berbelok sedikit ke kanan akan menyampaikan ke Bumi Ageung.10 Bangunan ini adalah salah satu dari empat bangunan yang dikeramatkan dan tidak boleh diambil fotonya serta tidak sembarang orang bisa memasukinya, bahkan warga Kampung Naga sendiri tidak bisa memasukinya. Berdampingan dengan Bumi Ageung yang dibatasi oleh pagar Kandang Jaga11 terdapat rumah penduduk. Di sebelahnya lagi terdapat bangunan yang disebut katarajuan12 yaitu sebuah bangunan yang digunakan oleh perwakilan dari Desa Jahiyang yang akan mengikuti ritual Hajat Sasih. 8 Bale Patemon adalah sebuah bangunan sebagai tempat untuk menerima tamu, bermusyawarah dan kegiatan yang bersifat massal. 9 Leuit atau lumbung padi adalah sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai persiapan di masa yang akan datang. 10 Bumi Ageung secara bahasa berarti rumah Rumah Besar, ia adalah sebuan bangunan berbentuk rumah yang dikelilingi oleh pagar bambu dua lapis dengan susunan bersilang. Bumi Ageung diyakini sebagai bangunan keramat oleh masyarakat Kampung Naga sehingga tidak boleh dimasuki oleh setiap orang kecuali sesepuh Kampung Naga 11 Kandang jaga adalah pagar bambu yang mengelilingi Kampung Naga yang diyakini oleh masyarakatnya dapat menjaga mereka dari berbagai gangguan makhluk halus. 12 Katarajuan menjadi salah satu bangunan yang dilarang untuk dipotret.
1556 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Jalan setapak yang berada di samping bangunan ini merupakan jalan menuju makam Sembah Dalem Eyang Singaparana. Pada lokasi ini tidak diperbolehkan seorangpun boleh memotretnya, hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki makam dengan persyaratan yang sangat ketat. C.
Etnografi Perayaan Idhul Adha dan Ritual Hajat Sasih Suasana masjid tampak temaram dengan lampu minyak tanah di bagian tengah, seorang lelaki tengah mengumandangkan adzan dengan sebelumnya memukul kokol dan bedug pertanda waktu shubuh telah tiba. Hanya selang beberapa menit untuk melaksanakan shalat sunnah shubuh iqamat-pun dikumandangkan. Selaku imam shalat shubuh Bapak Karmadi salah seorang warga Kampung Naga yang juga merupakan keluarga dekat Kuncen Kampung Naga. Beberapa lelaki berbaris di belakangnya menjadi makmum, tidak lebih dari sepuluh orang peserta shalat shubuh berjamaah pada shubuh ini. Setelah berdzikir sejenak masing-masing mereka bersalaman dan segera menuju ke rumah masing-masing. Kang Entang sendiri kembali ke rumah sebentar mengganti pakaian shalatnya lalu segera menuju ke balong13. Setelah ditinggal kurang lebih 1,5 jam air dalam balong tersebut sudah surut, ikan-ikan yang sebelumnya tidak tampak kini mulai terlihat menggelepar mencari air yang lebih dalam. Setelah menunggu sebentar akhirnya Kang Entang turun dan membuat semacam parit kecil untuk memudahkan penangkapan ikan. Setelah melakukan beberapa gerakan agar ikan-ikan tersebut berkumpul di tempat yang telah disediakan segera ia membendung tempat tersebut dan mulai menangkap ikan-ikan tersebut dengan bantuan sair. Kang Entang tidak sendirian, ia kini dibantu oleh beberapa warga yang datang untuk membantu menangkap ikan tersebut. Ada Pak Ucu, Kang Iin dan tidak ketinggalan anaknya-pun ikut turun ke balong. Sesuai dengan permintaan dari tetua adat maka ikan yang pertama kali diambil adalah ikan nila, dengan bantuan sair14 Kang Entang menangkap beberapa ekor ikan nila dan dimasukan ke dalam tempat dari bekas drigen yang dibelah bagian pinggirnya. Setelah ditimbang ternyata mencapai 20 Kg ikan nila, selanjutnya ikan tersebut segera dibawa ke rumah tetua adat untuk dimasak. Selanjutnya ikan yang ditangkap adalah ikan Nilem, karena ikan ini tersedia dalam jumlah banyak maka dilakukan seleksi yaitu dengan memilih ikan Nilem yang benar-benar telah siap untuk dipanen untuk Hajat Sasih. Pada Hajat Sasih kali ini ikan Nilem yang ditangkap seberat 25 Kg yang dibagikan kepada warga terutama para 13 Balong adalah kolam yang digunakan oleh warga Kampung Naga untuk memelihara ikan, ada dua jenis balong yaitu balong milik umum dan milik pribadi. 14 Alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dibuat melengkung dengan bagian tengahnya terdapat jarring ikan.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1557
sesepuh adat. Satu hari sebelum Hajat Sasih, digunakan oleh warga Kampung Naga untuk menyiapkan hidangan yang akan digunakan pada ritual tersebut. Beberapa ibu terlihat sibuk menumbuk beras untuk dijadikan tepung sebagai bahan pembuatan gorengan, sementara sebagian lainnya menumbuk padi menjadi beras untuk keperluan yang sama. Beberapa warga yang menggunakan beras dengan jumlah yang banyak memilih menggiling padi dengan mesin penggiling padi atau ngadisel. Para lelaki di Kampung Naga juga tidak tinggal diam, sebagian mereka sibuk dalam persiapan Idhul Adha dan Hajat Sasih esok hari. Jika ikan nilem diperoleh dari balong umum maka sebagian warga juga memancing di balong milik mereka sendiri. Sementara sebagian yang lain memancing di sungai Ciwulan. Bagi yang tidak suka dengan ikan maka mereka memilih ayam sebagai hidangan Hajat Sasih, maka daging ayam tersebut sebagian diperoleh dengan membeli di luar sementara sebagian yang lain memotong ayam yang menjadi ternak peliharaan mereka yang disebut hayam kolong.15 Bagi yang ingin praktis, mereka memilih laukpauknya dengan membeli di warung yang berlokasi di luar kampung atau menunggu para pedaganag yang berkeliling ke Kampung Naga misalnya membeli tempe, tahu, dan lauk-pauk lainnya. Persiapan Hajat Sasih semakin terasa ketika matahari mulai merangkak ke angkasa, ibu-ibu yang tadi pagi sibuk dengan pekerjaan rumah tangganya kini mulai beralih ke pekerjaan dua bulanan yaitu menyiapkan hidangan untuk Hajat Sasih esok hari. Persiapan satu hari sebelum acara adalah menyiapkan lauk yang tidak bisa dimasak secara mendadak misalnya ikan goreng, ayam goreng atau mengupas kentang. Tentu saja sebelum acara masak-memasak dimulai terlebih dahulu peralatan masak tersebut dibersihkan dan dipersiapkan. Pekerjaan membuat tumpeng16 menjadi hal utama dalam mempersiapkan Hajat Sasih bagi ibu-ibu, maka hal yang harus ada adalah daon cau (daun pisang) sebagi alas sekaligus penutup tumpeng. Maka untuk urusan ini menjadi tanggungjawab para lelaki untuk mencari daon cau tersebut. Satu hari menjelang Hajat Sasih juga dilakukan pahajat17 yaitu mengantar atahan kepada Punduh18 dan Lebe19. Atahan sendiri adalah hasil 15 Istilah yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk jenis ayam yang tinggal di kolong rumah panggung mereka. 16 Tumpeng di Kampung naga adalah nasi yang dimasak dengan menggunakan aseupan dengan warnaluar putih dan di bagian dalamnya diberi warna kuning dan potong ayam atau teri . tumpeng melambangkan sebuah telur sebagai symbol bagi kehidupan manusia. 17 Pahajat adalah pemberian dari Kuwu (Kepala Desa) dari Punduh dan untuk Amil dari Lebe Kampung Naga pada saat Hajat Sasih. 18 Punduh adalah seseorang yang dituakan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan adat-istiadat di Kampung Naga tugasnya adalah meres laku ngarah gawe yaitu mengatur pelaksanaan adat-istiadat.
1558 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization bumi semisal, beras, pisang, singkong, ubi dan lain sebagainya sebagai bentuk penghormatan kepada para sesepuh Kampung Naga. Tradisi memberikan hajatan ini secara turn-temurun dilaksanakan sesuai dengan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Dalam hal ini jika satu keluarga memberikan pahajat-nya kepada seorang Punduh maka secara turun-temurun atahan tersebut akan diberikan kepada Punduh setiap akan dilaksanakan Hajat Sasih. Demikian juga jika sebuah keluarga memberikan pahajat-nya kepada Lebe maka anak turunannya juga akan memberikan pahajat tersebut kepada lebe. Atahan yang diberikan oleh warga kepada Punduh dan Lebe akan dimanfaatkan untuk keperluan warga terutama pada saat Hajat Sasih ataupun malam-malam takbiran ketika Hajat Sasih tersebut dilaksanakan pada bulan Syawwal, Rayagung (Idhul Adha), dan Mulud. Punduh dan Lebe sendiri mempunyai tradisi untuk memberikan Pahajat kepada Pak Kuwu (Kepala Desa) dan Pak Naib. Punduh akan selalu memberikan Pahajat-nya kepada pak Kuwu (Kepala Desa) sementara Lebe akan memberikan Pahajat-nya kepada Pak Naib. Tidak jauh berbeda dengan pahajat yang diberikan oleh warga kepada Puduh dan Lebe, maka pahajat keduanya juga berupa beras, pisang, ubi, singkong dan hasil kebun lainnya. Selain itu dibawakan juga seekor ayam yang masih hidup sebagai pelengkapnya. Kebiasan memberikan pahajat kepada kuwu dan naib adalah sebagai bentuk penghormatan sekaligus ucapan terima kasih sebagai warga desa kepada para pemimpin pemerintahan formal. Dari wawancara yang dilakukan dengan Punduh Kampung Naga diketahui bahwa sesungguhnya salah satu dari inti Hajat Sasih adalah memberikan pahajat kepada para sesepuh dan pimpinan baik yang formal (kuwu dan naib) maupun non-formal (punduh dan lebe). Tujuannya adalah sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan bagi warga kampung bagi para sesepuh yang telah mengayomi mereka. Kegiatan menyerahkan pahajat dilakukan secara sukarela, dalam hal ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan sehingga ada beberapa keluarga yang tidak memberikan pahajat-nya. Pemberian pahajat sendiri dilakukan sejak beberapa hari sebelum pelaksanaan Hajat Sasih dan maksimal satu hari sebelum pelaksanaan. Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun sejak zaman dahulu kala, sehingga warga akan merasa malu ketika tidak melaksanakannya. Sebagai persiapan Hajat Sasih juga sebagian warga mengambil akar pohon Kapirit untuk kuramas dan bebersih. Fungsinya adalah semacam shampo yang digunakan pada saat Hajat Sasih terutama pada saat mandi di sungai Ciwulan. Akar ini diambil dari nagawir lereng-lereng di tepian sungai Ciwulan dan beberapa lokasi lainnya. Nantinya akar ini akan dicampur dengan buah honje sebagai shampo tradisional. Pelaksanaan Hajat Sasih kali 19 Lebe adalah sesepuh Kampung Naga yang memiliki tugas sebagai penghulu yaitu mengurus masalah keagamaan dan pengurusan jenazah.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1559
ini agak berbeda karena bersamaan dengan perayaan Hari Raya Idhul Adha. Sebagaimana umat Islam lainnya, masyarakat Kampung Naga juga merayakan Idhul Adha ini. Ciri khas dari perayaan Idhul Adha di Kampung Naga adalah pelaksanaan takbiran pada malam harinya. Ketika matahari telah kembali ke peraduannya, kumandang adzan terdengar dari masjid yang berada di tengah kampung. Walaupun tanpa speaker atau pengeras suara namun panggilan menuju kemenangan itu sayup-sayup memasuki setiap jengkal Kampung Naga. Beberapa laki-laki tampak bergegas dengan memakai sinjang (sarung) dan tidak lupa ikat kepala. Shalat maghrib secara berjamaah dilaksanakan dengan imam Kang Iin sebagai wakil dari DKM masjid. Suasana masjid sedikit berbeda dengan hari-hari biasa, jika pada hari biasa penerangan masjid hanya menggunaan lampu minyak, maka pada malam ini penerangan berupa lampu petromak sehingga suasananya lebih terang dan lebih meriah dengan kehadiran anakanak kampung. Kesibukan di rumah warga juga sudah tampak, selain untuk persiapan Hajat Sasih sebagian mereka juga menyiapkan hidangan istimewa untuk acara takbiran yang akan dilaksanakan malam ini untuk menyambut Hari raya Idhul Adha esok hari. Istri Punduh Ma’un sibuk dengan memotong cabe hijau, kembang honje (kecombrang), tempe dengan potongan dadu, serta sayur lainnya yang akan dijadikan masakan gembrung20 khas takbiran. Perempuan tua dengan badan yang tinggi semampai ini tidak sendirian, ia dibantu oleh anak perempuannya dan juga istri Lebe Ateng bersama-sama menyiapkan hidangan untuk takbiran Idhul Adha. Shalat Isya baru saja selesai ketika beberapa laki-laki warga Kampung Naga berdatangan ke masjid, sebagian mereka mengenakan baju kampret warna putih dan hitam, memakai sarung dan tidak lupa iket yang menempel di kepala mereka. Tanpa dikomando, beberapa lelaki mengambil terbang gembrung21 dari balik pengimaran22 setelah semua dikeluarkan satu persatu terbang tersebut diperbaiki oleh beberapa warga. Tampak Kuncen, punduh dan lebe duduk di bagian depan masjid, sementara warga yang sudah siap memegang terbang bergerombol di sebelah kanan. Tampak Kang Entang memegang terbang besar bersandar di barisan paling pinggir.
20 Masakan Gembrung di Kampung Naga mirip dengan sayur lodeh di beberapa wilayah lain, bedanya sayur ini menggunakan campuran cabe hijau dalam jumlah banyak yang menjadikan rasanya pedas sehingga bermanfaat untuk mengusir rasa kantuk bagi para peserta takbiran. Menu ini ditambah dengan ikan nilem goreng. 21 Terbang Gembrung adalah sejenis rebana dengan ukuran besar, ia merupakan salah satu dari kesenian yang ada di Kampung Naga, terbang ini hanya dikeluarkan tiga kali dalam setahun, saat Idhul Adha, Idhul Fitri dan Maulud Nabi. 22 Pengimaran adalah tempat bagi khatib untuk menyampaikan khutbahnya baik khutbah jumat, Idhul Fitri dan Idhul Adha. Bagian bawah belakang pangimaran terdapat sebuah tempat yang digunakan untuk menyimpang terbang gembrung.
1560 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization “Allahu Akbar…. Allahu Akbar…. Allahu Akbar…” suara takbir dengan logat khas Sunda perlahan mengalun syahdu, suara terbang yang ditabuh dengan nada lambat mengiringi suara takbir yang terus mengalun dari warga yang datang. Beberapa anak Kampung Naga tampak bergerombol di bagian belakang masjdi dan tempat shalat perempuan. Suasana benar-benar khidmah hingga menjelang tengah malam, beberapa makanan khas kampung seperti pisang rebus, wajik, ubi rebus, kue pisang disajikan dengan menggunakan rigen besar. Kepulan asap dari para penabuh terbang dan warga yang hadirin menyajikan pemandangan khas kampung yang hanya ditemui setahun sekali pada Idhul Adha. Waktu menunjukan pukul 11.00 ketika waktu yang ditunggu-tunggu tiba, hidangan khas malam Idhul Adha yaitu sayur gembrung tiba. Tanpa menunggu beberapa warga menyiapkan masakan tersebut, nasi dimasukan ke dalam piring terbuat dari seng dibagikan satu per satu kepada seluruh warga yang hadir, dimulai dengan memberikannya kepada Kuncen, Punduh, Lebe dan para pemuka adat. Semua tampak bergembira dan menikmati masakan tersebut, ini adalah awal dari sebuah perayaan yang akan dilaksanakan esok hari. “Menjadi sebuah amalan ibadah ketika bisa menghidupkan malam lebaran rayagung” kata Didin salah seorang warga Kampung Naga. Waktu Shubuh, menjelang pelaksanaan Shalat Idhul Adha dan Hajat Sasih, tidak ada aktifitas yang berarti selain shalat shubuh dan bagi ibuibunya sejak bangun pagi tadi melanjutkan kegiatan menyiapkan tumpeng dan lauk-pauknya. Shalat shubuh berjama’ah di masjid Kampung Naga berlangsung seperti biasa, setelah memukul kokol dan bedug selanjutnya dikumandangkan adzan oleh muadzin. Shalat shubuh dilaksanakan dengan penuh khidmat di bawah temaram lampu minyak. Hanya ada beberapa lelaki yang mengikuti shalat shubuh berjama’ah di masjid, sebagian yang lainnya melaksanakannya di rumah. Pukul 06.30, seluruh warga laki-laki bergegas mendatangi Masjid, suasana masih tampak lengang. Kabut tipis masih meliputi wilayah Kampung Naga, ketika shalat Idhul Adha dimulai. Pak Danu bertindak sebagai Imam dan muadzin adalah Kang Iin, tiga orang perempuan warga tampak berada di bagian belakang masjid mengikuti jalannya Shalat Idhul Adha, sementara yang lainnya sibuk menyiapkan tumpeng untuk Hajat Sasih. Setelah pelaksanaan shalat selesai dilanjutkan dengan khutbah Idhul Adha yang disampaikan oleh Pak Danu, menggunakan baju koko warna putih, sarung kotak-kotak warna coklat serta Peci Hitam, khatib menyampaikan khutbahnya dengan menggunakan bahasa Arab dan sebagian bahasa Sunda. Jamaah yang hadir di tempat itu tampak khidmat mendengarkannya, walaupun suasana di luar gerimis namun tidak menyurutkan kekhidmatan pelaksanaan perayaan Idhul Adha. Setelah shalat selesai dilanjutkan dengan berjabat tangan kepada kuncen, punduh, lebe dan beberapa tetua adat. Kemudian masing-masing
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1561
kembali ke rumah untuk mempersiapkan diri melaksanakan Hajat Sasih. Tidak ada pemotongan hewan kurban, baik sapi ataupun domba. Hasil wawancara dengan Kuncen Kampung Naga menyebutkan bahwa tidak adanya pemotongan hewan kurban bukan tanpa sebab, warga di sini kebanyakn memiliki penghasilan yang pas-pasan sehingga penghasilannya hanya cukup untuk makan, tidak ada untuk berkurban. Apabila dilihat dari satu sisi maka alasan ini ada benarnya, sebagian besar warga Kampung Naga adalah petani yang memiliki penghasilan kecil. Namun di balik itu keyakinan bahwa adat lebih utama dilaksanakan daripada kurban tampak dari perayaan ngaruwat lembur yang memotong kambing sebagai sembelihan membuktikan kebalikan dari alasan pertama. Maka tidak adanya domba yang dijadikan kurban pada perayaan Idhul Adha bukan tanpa sebab, namun ia adalah salah satu pola keagamaan masyarakat Kampung Naga yang lebih kuat memegang teguh adat-istiadat mereka. Waktu menunjukan pukul 09.00 WIB ketika terdengar suara Kokol (kentongan) dipukul oleh seorang warga, ini adalah tanda dimulaianya pelaksanaan Hajat Sasih. Tanpa menunggu komando lainnya, para peserta Hajat Sasih segera menuju sungai Ciwulan. Beberapa dari mereka masih mengenakan pakaian lengkap, sementara sebagian yang lainnya hanya menggunakan kain sarung dengan bertelanjang dada. Kesamaan di antara mereka adalah sudah tidak mengenakan alas kaki. Tampak Kuncen dan beberapa orang membawa tempat kecil seperti baskom yang akan digunakan sebagai tempat leuleuran. Para peserta Hajat Sasih berjalan ke arah timur menuju sungai Ciwulan, setelah keluar dari batas kampung berupa jaga kandang mereka berbelok ke arah kiri, menyusuri tepi sungai dan menuju ke tempat yang bisa digunakan untuk bebersih dan kuramas (mandi bersama). Sesampainya di tepi sungai, beberapa warga memetik buah honje lalu masing-masing mereka membentuk semacam kelompok untuk menumbuk akar kepirit dan buah honje tersebut pada sebuah batu. Ada lima kelompok yang masing-masing menumbuk akar tersebut dan mencampurnya dengan buha honje. Selanjutnya mereka memasukan campuran tersebut ke dalam sebuah tempat khusus. Sebelum memulai bebersih terlebih dahulu kunci memimpin do’a sebagai niat dalam mandi. Selanjutnya masing-masing peserta mengambil shampo tersebut dan mengusapkannya di kepala kemudian membilasnya dengan air sungai ciwulan. Setelah kuramas selesai dilanjutkan dengan mandi seperti biasa dengan membuka seluruh pakaian dan berendam di sungai Ciwulan. Setelah selesai mandi, diteruskan dengan abdas (berwudhu) dan memakai sinjang (kain sarung). Setelah selesainya ritual ini maka setiap peserta tidak diperbolehkan untuk memakai pakaian dalam dan alas kaki. Demikian juga setelah mandi tidak diperkenankan untuk menggunakan handuk. Tidak memerlukan waktu lama untuk melakukan ritual ini, tidak sampai setengah jam sudah selesai.
1562 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Selanjutnya masing-masing peserta kembali ke rumah masingmasing untuk mengganti pakaian. Pakaian yang digunakan untuk Hajat Sasih terdiri dari tiga buah, yaitu Totopong (ikat kepala), baju jubah, dan sinjang (kain sarung). Pakaian ini khusus hanya digunakan untuk acara Hajat Sasih yang dilaksanakan enam kali dalam satu tahun. Penggunaan totopong (ikat kepala) berbeda dengan ikat kepala yang digunakan seharihari. Demikian juga pemakaian sinjang yang mencapai setengah betis. Jubah yang digunakan tidak menggunakan kancing, hanya ada seutas tali untuk menutup dada mereka. Namun dalam kenyataannya tali ini jarang tidak digunakan. Para peserta membiarkan dadanya terbuka. Ikat pinggang juga digunakan berupa kain putih panjang yang digunakan untuk menguatkan sinjang. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki dan juga pakaian dalam. Setelah selesai memakai pakaian selanjutnya para peserta Hajat Sasih menuju ke Masjid. Mereka masuk ke dalam masjid dengan rapih dengan terlebih dahulu mencuci kaki di tempat wudhu yang berada di sebelah kiri dan kana masjid. Tujuan dari menunggu di masjid adalah menanti Kuncen, Punduh dan Lebe yang sedang memohon izin ke Bumi Ageung. Kuncen, Punduh dan Lebe berangkat menuju ke Bumi Ageung dengan membawa leumareun. Masing-masing mereka membawa leumareun milik mereka sendiri dan titipan dari warga Kampung Naga. Ritual di Bumi Ageung dilakukan oleh Kuncen sendiri, sementara Punduh dan Lebe menunggu di luar Bumi Ageung. Kuncen masuk ke dalam dan melantukna do’a-doa yang intinya berisi permohonan izin untuk melaksanakan ziarah ke makam. Setelah ritual di Bumi Ageung selesai selanjutnya Kuncen, Punduh, dan Lebe berangkat menuju makam. Melihar sesepuh ini menuju makam maka peserta Hajat Sasih segera berjalan beriringan menuju makam di belakang Kuncen, Punduh dan Lebe. Para peserta Hajat Sasih keluar dengan membawa sapu nyere (sapu lidi) yang diambil dari para-para masjid. Sapu ini terbuat dari lidi pohon kawung yang dibersihkan dari daunnya dan diikat dalam satu ikatan. Sapu tersebut diletakan di pundak sebelah kanan, selanjutnya mereka secara beriringan berjala menuju makam. Dari masjid mereka berjalan melewati depan Bale Patemon lalu berbelok ke kanan melalui jalan menanjak berbatu dan berbelok lagi ke kiri lalu berjalan lurus ke arah selatan dan berbelok lagi ke arah barat menuju makam. Cara jalan mereka beriringan dan berbaris satu-satu, tidak ada kata-kata yang keluar dari peserta, semuanya tampak khidmah dan penuh kekhusyuan. Ritual di makam dimulai dengan permohonan izin oleh Kuncen kepada Eyang Sembah Dalem. Di depan makam, dengan suara yang halus, Kuncen melakukan unjuk-unjuk, memberitahu bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung Naga) telah berkumpul dan menyampaikan maksud serta tujuannya menyelenggarakan ritual Hajat Sasih. Unjuk-unjuk
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1563
dilakukan Kuncen sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Selain menyampaikan niat ziarah, Kuncen juga menyampaikan sembah hormat dan permohonan maaf jika seandainya terdapat adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar. Setelah selesai selanjutnya seluruh peserta dipersilahkan untuk mulai membersihkan makam. Mereka menyapu, mencabut rumput yang tumbuh di sekitar makam, memotong pohon-pohon liar yang tumbuh di areal makam dan membuang seluruh sampah yang ada di area tersebut. Memakan waktu cukup lama untuk membersihkan makam tersebut. Setelah selesai selanjutnya mereka ngagunduk (duduk bergerombol), sementara Kuncen memimpin do’a-do’a berupa tawasulan kepada Eyang Sembah Dalem. Usai doa diteruskan dengan sungkeman, masing-masing peserta melakukan sungkem kepada Kuncen dengan cara mencium tangannya dan mengucapkan kata-kata yang baik. Sekitar lima orang dari peserta mendahului mereka kembali untuk membersikan Depok, yaitu lokasi bekas tempat shalat (peshalatan) yang berada di belakang rumah kuncen atau di bagian depan sebelah kanan masjid dan Bale Patemon. Karena Depok ini dikelilingi oleh pagar bambu bersilang dan tidak ada pintunya maka satu-satunya cara untuk masuk ke dalamnya adalah dengan menggunakan taroje (tangga). Ada dua tangga yang digunakan, yaitu tangga untuk naik dari bagian luar dan tangga untuk turun di bagian dalam. Proses membersihkan depok dilakukan dengan membersihkan seluruh sampah yang ada di dalamnya, mencabuti rumput, dan menebas pohon-pohon liar yang tumbuh di area tersebut. Proses membersihkan tempat ini sangat khidmat sehingga tidak ada satu suarapun yang keluar dari mereka. Setelah selesai membersihkan selanjutnya mereka mendekat batu yang menjadi bekas pengimaran dan melakukan sungkem sebanyak lima-tujuh kali kemudian berdo’a. Masing-masing peserta yang membersihkan depok melakukan hal yang sama, yaitu sungkem (menangkupkan kedua telapak tangan dan mengisyaratkan ke batu tersebut dan ke bagian mukanya. Hal ini dilakukan sebanyak beberapa kali. Jam dinding di masjid Kampung Naga menunjukan pukul 12.30 ketika pelaksanaan shalat jum’at selesai. Tanpa membuang-buang waktu segera peserta Hajat Sasih berkumpul dengan duduk berkeliling masjid dengan formasi di bagian depan duduk dengan bersila Kuncen, Punduh, Lebe dan keluarga dekat Kuncen. Kuncen yang akan memimpin do’a juga diikuti oleh anak laki-lakinya yang baru berumur 12 tahun, sejak shalat jum’at tadi anak tersebut selalu diajak oleh Kuncen. Sementara peserta lainnya duduk di bagian selatan, timur, utara dan dua baris berada di tengah. Posisi duduk mereka berhadap-hadapan dengan tumpeng berada di tengahnya. Di depan kuncen sendiri dan para sesepuh terdapat banyak tumpeng yang diletakan di dalam rigen dan boboko.
1564 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Sebelum pelaksanaan ngadu’aan tumpeng dimulai, beberapa warga yang belum melakukan sungkem di makam kepada Kuncen diperkenankan melakukan sungkeman terlebih dahulu kepada Kuncen. Satu per satu mereka menuju Kuncen dengan penuh khidmat, menyalami Kuncen dan mencium tangannya. Tidak ada kata-kata yang terucap, setelah selesai mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing. Sementara warga yang dari tadi membawa tumpeng dipersilahkan untuk memasukan tumpeng-tumpengnya ke dalam masjid. Warga yang didominasi oleh ibuibu segera berhamburan menuju ke dua pintu utama masjid untuk memasukan tumpengnya. Selain itu empat buah jendela yang berada di samping kiri kanan masjid juga digunakan untuk memasukan tumpengtumpeng tersebut. Suasana cukup ramai ketika satu per satu ibu-ibu tersebut menyerahkan tumpeng ke peserta yang bertugas memasukan tumpeng dari warga ke dalam masjid. Di bagian kanan masjid pada jendela bagian depan tampak Kang Entang sigap mengambil tumpeng dari warga Kampung Naga untuk diletakan di dalam masjid. Semuanya tampak bergembira, dengan senyuman khasnya Kang Entang melayani mereka satu per satu. Sebagian warga ada yang masuk ke dalam masjid di bagian belakang untuk menyaksikan pelaksanaan do’a ini, sementara sebagian lainya menunggu di luar dengan duduk-duduk di sekitar masjid. Dari raut muka mereka terlihat khidmat menunggu selesainya pelaksanaan ngadu’aan tumpeng dalam rangkaian Hajat Sasih tersebut. Setelah seluruh tumpeng masuk ke dalam masjid dan peserta Hajat Sasih telah siap, seorang perempuan yang disebut Patunggon menyerahkan leumareun kepada kuncen sebagai bentuk pelayanannya kepada pemimpin mereka. Ngadu’aan tumpeng dimulai dengan membakar kemenyan dan Kuncen melafadzkan do’a-doa bagi keselamatan seluruh warga Kampung Naga dan Sa-naga. Dilanjutkan dengan ucapan salam dan nasihat-nasihat keagamaan bagi seluruh peserta Hajat Sasih. Sesekali tangan Kuncen dikatupkan secara bersamaan (sungkem) dengan meletakan kedua ibu jarinya ke depan mulutnya. Setelah nasehat dari Kuncen selesai dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh Lebe, seluruh peserta mengaminkan doa tersebut. Pada ritual hajat Sasih yang dilaksanakan pada bulan mulud di akhir pembacaan doa masing-masing peserta memasukan tangannya ke dalam tumpeng dan mengambil pucuk tumpeng tersebut dan meletakannya pada lembaran daun pisang. Sambil terus berdoa seluruh peserta memegang pucuk tumpeng tersebut. Dengan selesainya pembacaan doa maka berakhirlah Hajat Sasih, warga Kampung Naga dipersilahkan untuk mengambil tumpeng-nya masing-masing. Agar tertib maka peserta Hajat Sasih yang bertugas di pinggir pintu dan dekat jendela membantu mengambilkan tumpengtumpeng tersebut dari dalam masjid ke warga secara estafet. Suasana sangat ramai dengan warga Sa-naga yang menunggu tumpengnya masing-
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1565
masing. Satu per satu warga Kampung Naga mengambil tumpengnya dan membawanya pulang ke rumah, beberapa warga yang bertempat tinggal di luar Kampung berjalan beriringan keluar Kampung Naga dengan raut muka penuh kebahagiaan. Para peserta Hajat Sasih juga masing-masing mengambil tumpeng yang mereka bawa dari rumah, sebagian ada yang dimakan di rumah sementara sebagian lainya di bawa pulang ke rumah. Kang Entang misalnya ia membawa tumpeng yang dibawanya dari rumah untuk dinikmati bersama keluarganya, “Ada keberkahan dalam tumpeng ini” begitu katanya. Simpulan Perayaan Idhul Adha di Kampung Naga yang dilanjutkan dengan ritual Hajat Sasih di Kampung Naga merupakan tradisi yang menggabungkan antara hukum agama (Islam) dan Adat Sunda. Pelaksanaan shalat Idhul Adha adalah tradisi Islam yang diterima oleh masyarakat Kampung Naga sebagai bagian dari agama mereka. Sementara tradisi Hajat Sasih adalah adat-istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang sebagai bentuk penghormatan kepada para karuhun lembur (nenek moyang) khususnya Sembah Dalem Eyang Singaparana. Keduanya dilaksanakan masyarakat Kampung Naga secara turun-temurun hingga sekarang. Daftar Pustaka : Abdul Rozak, 2005, Teologi Kebatinan Sunda, Bandung : PT Kiblat Buku Utama Ahmad Gibson AlBustomi, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”. Posted on http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/12/islamsunda-bersahaja-di-kampung-naga/ Ahmad Sya, M,dkk. 2008. Sejarah Kampung Naga. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Balai Pengembangan Kemitraan dan Pelatihan Tenaga Kepariwisataan. Beatty, Andrew, 2001, Variasi Agama di Jawa : Suatu Pendekatan Anthropologi, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Connoly, Petter (editor), 2011, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : LkiS Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California. Darsa, Undang A. Dan Edi S. Ekadjati. 2006. Gambaran Kosmologi Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama, edisi ke 10. Yogyakarta: Kanisius
1566 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Ekadjati, Edi S., 2009. Kebudayaan Sunda : Suatau Pendekatan Sejarah, Jilid 1, Jakarta : Pustaka Jaya. Fetterman, David M. 2010, Ethnography: step-by-step, London : Sage Publication Inc. Giri MC, Wahyana, Sajen dan Ritual Orang Jawa, Yogyakarta : Penerbit Narasi Ihromi, T.O. (editor), 2006, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Kluckhohn, Clyde. 1942. “Myths and Ritual: A General Theory”, dalam Harvard Theological Review, XXXV. Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan Mentalitas dan Pembanguan, Jakarta : PT Gramedia Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : PT. Rineka Cipta Koentjaraningrat, 2007. Sejarah Teori Antropologi I dan II, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press. Lubis, Nina Herlina (ed.). 2003. Sejarah Tatar Sunda, Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit UNPAD Mattew B Milles. A Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, UI Press Moleong, Lexi J, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda karya. Nasution, Harun, 2010, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIPress. Nugraha, Angga. 2011. Makna Simbol Komunikasi Dalam Upacara Hajat Sasih. Bandung : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Nur Syam, 2007, Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Nur Syams, 2005, Islam Pesisir, Yogyakarta : LKIS Pokok-pokok antropologi budaya, Ihromi, 2006. Jakarta: yayasan obor Indonesia. Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan. Jakarta: IAAI. Saringendyanti, Etty. 2008. Kampung Naga, Tasikmalaya dalam Mitologi: Upaya Memaknai Warisan Budaya Sunda, Bandung : Laporan Penelitian di Universitas Padjadjaran. Soekanto, Sarjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1567
Spradley, James P. 2007, Metode Etnografi, Yogyakarta : Tiara Wacana Suganda, Her. 2006. Kampung Naga: Mempertahankan Tradisi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama Suprayogo, Imam dan Tobroni, 2001, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : PT. Remaja Rosda karya. Suriasumantri, Jujun, 2001, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan Suryani NS, Elis dan Anton Charliyan, 2010. Menguak Tabir Kampung Naga, Tasikmalaya : CV. Danan Jaya.
TRACES OF PESANTREN IN THE SPREAD OF ISLAM IN THE LAND OF SUNDA IN THE 15TH-16TH CENTURY Dr. AdingKusdiana Lecturer of History and Islamic Culture Departement, Adab and Humanities Faculty, State Islamic University of Sunan Gunung Djat Bandung E-mail: [email protected] Abstract: Quro Islamic Boarding School in Karawang, Pasambangan and Ciptarasa Boarding Schools in Cirebon can be said as three important pesantrens in garnering Islamic spread and one of important chain of Islamic school dissemination in Sunda in the 15th and 16th century. The reason is that since 1418 in those two areas (Karawang and Cirebon) there had been established some education and Islamic missionary centers by Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik who built Quro School in Karawang and Syekh Datuk Kahfi who built Pasambangan School in Sembung village, Cirebon. Thereafter, during the time of Syarif Hidayatullah (1470-1528) Ciptarasa Boarding School developed as another chain of the spread of Islam and other Islamic schools in the Sundanese region. From these three schools, Islam flourished in the land of Sunda. Keywords: Islam, Trace, Chain, Islam, Pesantren, Land of Sunda
Introduction Educational institutions whose functions are to harness learningteaching and eventually to educate the people always exist in every generation and every community. Each and every generation will have certain view on the importance of educational institutions and will exert the best effort to maintain their existance. That is what is found in the life of Sundanese people. As Edi S. Ekadjati1 has argued, since old times, educational activities had existed in the Priangan region. Even before the establishment of Islamic boarding schools, educational institutions had been established in the prehistoric times. Although there is no exact knowledge of how the education was managed at that time as the sources are lacking, it is argued that there were generally informal education in the very early period.
1Edi S. Ekadjati, “Sejarah Sunda” in Edi S. Ekadjati (Ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984), p. 75-115.
~ 1568 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1569
Further Edi S. Ekadjati2proposes that during the Sunda Kingdom between 7th and 16th century, it is evident that some kind of education system was established in the region which was mainly influenced by Hinduism and Budhism. The evidence is that in the manuscript of SiksaKandangKaresianarranged in 1518 M there are such wordslikesisya (student of pupil), guru (teacher), agama (religion), pandita (monk), pamagahan (advice), danwarah sing darma (monk’s teaching). Islam and Pesantrenin the Land of Sunda An Islamic boarding school (or pesantren)3 appeared in a society to answer the demand of Islamic preaching whose ultimate goals are to expand and advance Islam, as well as to train new scholars and preachers for the community. A pesantrenis also built when there is a demand of an educational institution to deliver and spread religious teachings, and to widen Islamic society’s horizon of knowledge. A pesantrenis developed on the basis of certain social construction. A pesantrencould develop itself and the whole surrounding society because of its own potential as an institution that is able to advance the capacity of the community maximally and integrally, other than that most of the pesantrensare in rural areas. Therefore, an Islamic boarding school and its bind with the surrounding society is one of the importance, for instance that parents send their children to the pesantren. Pesantren as an educational institution in Muslim society in the Sundanese land was established at the same time as the arrival and early development of Islam in this area that is the western part of Java island4. Henceforth, the arrival of Islam in Sundanese region cannot be separated from the role of the northern part of the Sundanese land as the key chain of the entrance and spread of Islam. Before Islam spread into the interior of Sundanese land, it was established in the northern shore of western Java. Therefore, the route of the Islam expansion in Sundanese region is certainly started from the northern shore. The evidence is upheld by the trace of pesantrenchain. As a spearhead of Islam expansion, the pesantrensin the whole Sundanese land 2Edi
S. Ekadjati, Ibid., p. 75-115. means a learning place for santri. There are some terms that are used to denote the Islamic traditional educational institution, or the so called pesantren. In Java island, including in the Sundanese region, and Madura this place is commonly known as pesantren or pondok (literally means “to stay over” or “a lodge” or “a small house”). In Aceh this place is known as dayah or rangkungor meunasah, and surau in Minangkabau. The word pesantrenstems from santriwhose meaning is a person who seeks for Islamic teaching. In general pesantrenrefers to a place where santris spend most of the time to stay and to learn (Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren , (Jakarta: LP3ES, 1990), p. 18 & 44. 4Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat;Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), p. 25. 3Pesantrenliterally
1570 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization cannot be separated from the existence of the pesantrens in the northern part of the region. From the northern shore, the pesantrens extended to the interior part. According to the data recorded by Hageman implying that Islam spread in Sunda was begun when there came “a native Muslim merchant” who had perform the haj. He was Haji Purwaor Haji Bahaudin who went to Cirebon GirangandGaluhin 1250 Hijri/1337AD to spread Islam, it can be predicted that the first chain of Islam expansion is Cirebon and then followed by Galuh5. And so are the educational activities by Muslim society. It is predictable that the teaching centers were established during that period and begun in those areas.Henceforth the first stage of the Islamic spread is from the east.6 It is also important that based on the local historical sources, if Haji Purwa or H. Bahaudinis the cornerstone of the spread of Islam in Sundanese Land, this should also mean that, first, Islam was brought there from Mecca by merchants. Second, on the first stage, Islam was not only introduced in the northern area, but also in the interior. However, this religion did not instantly spread. This was due to that there were only limited number of preachers, even less than ten, and at the same time, Hinduism harnessed by Galuh Kingdom was still really strong within the people7.
PesantrenQuroandPasambanganas the First Chain of the Spread of Islam in Sundanese Land in the 15th Century UndangSunardjostates that in 1418 in Karawangthere was a pesantrenafter the arrival of SyekhHasanudinbin Yusuf Sidik—who had visited Cirebon right beforehand—and finally resided in that area and built and led the Pesantrenof Qurountil his death8 (Sunardjo, 1983). Two years later, that was in 1420, a scholar namedSyekhDatukKahficame in Cirebon. He built and led another pesantrenin Pasambanganvillage which was later named asPesantrenPasambangan. He died in that place in interned in 5 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan. 1995), p. 98 ; Djadja Sukardja, Situs Kawali (Astana Gede, (Ciamis: Tanpa Penerbit, 2007), p. 29. 6Hageman, H.J. “Geschiedenis der Soendalanden” , TBG. XVII. 1867, p. 16; Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda; Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), p. 259; Edi S. Ekadjati, loc. cit., p. 75-115. 7Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Pemda Tingkat I Jawa Barat dan Fakultas Sastra Unpad, 1991). p. 13; Nina Herlina, et al. Sejarah Tatar Sunda,(Bandung: Satya Historika, 2003), p. 165; Djadja Sukardja, Situs Kawali (Astana Gede, (Ciamis: Tanpa Penerbit, 2007), p. 29 . 8Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983), p. 37-38; Nina Herlina, loc. cit. 165.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1571
GiriAmparanJati9. Based on this information, PesantrenQuroin Karawang and PesantrenPasambanganin AmparanJati, Cirebon, can be dubbed as the first chain of Islamic spread in Sunda land. From this information, too, there is possibility that the spread of Islam and Islamic educational instiutions started not only from Cirebon—which was at that time a part of Galuh kingdom, but also from Karawang. There are some indications that the expansion did not only started from Cirebon, but also from Karawang. First, in 1422 Ki Gedeng Tapa, the Chamberlain of Singapura as well asthePort Master of MuaraJatiwhich was at related time under the administration of Galuh kingdom,sent his daughter, NhaySubangLarang, to learn Islam to SyekhQuroinKarawang, which was rather far from Singapura10. According to the same source, there is also a possibility that NhaySubangLarang, fulfilling his parents’ will, had some companions or guards entrusted by Ki Gedeng Tapa himself, as she was at that time only a teenage and needed protection. Other than that, as a daughter of a chamberlain, NhaySubangLarang is predicted to always have some protectors or companions who are themselves Muslims, either converted in Singapura or when they arrived in Karawang11 In the 15th century Cirebon andKarawangdeserved to have a role as the first chain of Islam spread in Sunda land as both of them were inseparable. Although SyekhQuroresided and built a pesantreninKarawang, he arrived in Cirebon beforehand. Therefore, from these two places, Islam and pesantren started to expand to the whole Sunda areas. There is another indication that the spread of Islam and Islamic education in Sundanese region began from, that is the fact that Ki Gedeng Tapa or Ki GedengLumajangJatiwere converted to Islam since 1418 after his acquaintance with SyekhHasanudin bin Yusuf SidikorSyekhQuro. It is difficult to understand if Ki Gedeng Tapa had his daughter learn Islam if he was not a Muslim himself. It also important that through time, it was not only NhaySubangLarang as a non-resident who learnt at PesantrenQuro, but other people from other regions, too, including from southern regions of Karawangthat is included as interior Sunda. So, based on UndangSunardjo’s information, the spread of Islam—followed by pesantrens—in Sunda land predictably started from the eastern part,
9Unang Sunardjo, Ibid. p. 43; Nina Herlina. loc. cit., p. 173; P.S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, (Cirebon: Tanpa Penerbit, 1984), p.1516. 10Edi S. Ekadjati, loc.cit., p. 83-84 ; Unang Sunardjo, loc. cit., p. 14-20; Sukardja, loc. cit., p. 30-31. 11Edi S. Ekadjati, loc.cit. p. 85; Edi. S. Ekadjati, Sunan Gunung Djati; Penyebar dan Penegak Islam Islam di Tatar Sunda, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2005), p. 94; Ahmad Mansur Suryanegara, loc. cit., p. 148.
1572 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization initially, and on the second stage started from the north, that is Karawang.12
PesantrenCiptarasa as the Second Chain of Islam Spread in Sunda Land during SyarifHidayatullah Reign In the 16th century, religions and faiths in Sunda land were still fundamentally transforming. One of the factors is the entrance of Islam and the collapse of Hindu civilization. Cirebon is the first area in Sunda land accepted Islam and from here the new religion expanded to other areas. On later stages, Cirebon which at time played as the religious center, in the early 16thcentury succeeded to Islamize Banten, as well as Jayakarta, CimanukandKuningan. By the middle of that century Islam had spreaded to some parts of Sunda land. The expansion was intensified by the fall of Sunda kingdom in 1579 after the attack of Bantenkingdom under the leadership of MaulanaYusup13. The growth of Islam followed by the establishment of pesantrens in Sundanese region was fastened after the arrival of SyarifHidayatullahorSunanGunungDjati and acted as the religious leader and the kingdom ruler in Cirebon. Since 1470 the role of Cirebon as the Islamic preaching and education centerswas strengthened under the reign of SyarifHidayatullah. He established a pesantrenin DusunSembung,Pasambanganand taught Islam in KampungBabadan, which was around 3 kilometers to the west of Pasambangan. During the first years in Cirebon, he was very active in teaching replacing the role ofSyekhDatukKahfi. He also adapted himself to the local tradition and values which he was himself newly acquinted14. After a while he was entrusted by the community to be the leader. This role was authorized by his legal appointment in 1479 as the leader of Cirebon with the noble rank ofTumenggung(some kind of duke) and was dubbed as SusuhunanJatiorSunanGunungJati. Not long after, he was authorized by the walis(Islamic early preacher in Java) to be the leader of Islam to the whole Sundanese land, from Cirebon as the centre. During his time, as the kingdom ruler and religious leader, he gave priority to the spread of Islam by building numerous grand mosques in Cirebon vassals, making the grand mosque of Ciptarasaas the centre as well as a pesantren. This innitial stage was followed by the strengthening stage
12Unang
Sunardjo, loc. cit., p. 38-41. De Graaf, Geschiedenis van Indonesie, (Bandung: N.V. Uitgeverij W. Van Hoeve- s”Gravenhage, 1949), p. 114-115; Nina Herlina, loc. cit., p. 325-326. 14H.J. De Graaf, Ibid., p. 116-117; 14 Unang Sunardjo, loc. cit., p. 54-55 ; Edi S. Ekadjati, loc.cit. p. 91 . 13H.J.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1573
that was filled with mental and spiritual development among the people of Cirebon15. After his success in making Cirebon as a Sultanate, SyarifHidayatullahpaid more attentions to religious development both in Cirebon and other areas in Sunda. Since 1528SyarifHidayatullahmade a lot of trips to preach Islam numerous areas. Although he was the leader and head-teacher of the Pesantrenof Ciptarasa, he seems to be equally very active to directly enhance religious teachings to the interior areas of Sunda. He succeeded convert two prominent figures to Islam: PatihKelingandDipatiCangkuang. PatihKelingwas Islamized on a sea-trip and so were his men. They, then, resided in Cirebon. DipatiCangkuangwas from Kuningan. DipatiCangkuang’s conversion to Islam made the expansion of Islam in the area a lot easier. DipatiCangkuanghimself played important role in spreading Islam and strengthening Islam power in tha land of Suna. From this area Islam spreaded to other areas such as Galuh, Talaga, Kuningan, Ciamis, Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Jakarta, and Ujung Banten.To manage the Muslim society in Sunda land, SyarifHidayatullahappointed four families and their followers as leaders in different areas. They arePangeranSebakingkin (Hasanudin) inBanten, RajaLahutinJaketra, Haji Dzuliman(Cakrabuana, Ki Samadullah, or Abdullah Iman) inPajajaran, and Raja Sengara (KianSantang) inTegalLuar16 SyarifHidayatullahhad a big attention to Islamic preaching. He made a lot of travels to remote areas and sent emmisaries to other regions such as toLuragung(Kuningan), Sindangkasih, Rajagaluh andTalaga (now in the Regency of Majalengka), Ukur (Bandung), Cangkuang (Garut) Cibalagung, KluntungBantar, Pagadingan, PasirLuhur, Indralaya, Batulayang (all of which are in the western and southern part of Sumedang), Timbanganten andCianjur17. That was the spread of Islam to the interior of the Sultanate of Cirebon centered at the Mosque and the pesantrenofCiptarasa. Seeing those influenced areas, the SyarifHidayatullah succeeded to reach far and wide in the interior of the land of Sunda. During the time of SyarifHidayatullah, the spread routes are, one Cirebon-Kuningan-Talaga-Ciamis; two, Cirebon-Kadipaten-MajalengkaDarmaraja-Garut; three, Cirebon-Sumedang-Bandung; four, Cirebon-
15Nina
Herlina,
16Edi
loc. cit., p.188.
S. Ekadjati, loc. cit., p. 103. Sunardjo, loc. cit., p. 85-94 & 94-95; Sulendraningrat, loc. cit., p. 36-37 & 57 & 86-89; Edi S. Ekadjati,loc. cit., p. 91-93; Nina Herlina, loc. cit. p. 188. 17Unang
1574 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Talaga-Sagaraherang-Cianjur; five, Banten-Jakarta-Bogor-Sukabumi; and six, Banten-Banten Selatan-Bogor-Sukabumi18 Conclusions PesantrenQuroinKarawang, PesantrenPasambangan, and PesantrenCiptarasa in Cirebon are three Islamic schools that can be said as the first chain of Islam spread in Sunda land in the 15th and 16th century. They are labeled as the first chain as in those two areas, there had developed the Islamic preaching and education centers since 1418. The cornerstones were the establishment of PesantrenQuro bySyekhHasanudin bin Yusuf Sidik and PesantrenPasambanganinSembung, Cirebon, by SyekhDatukKahfi. Proceedingly, during the reign ofSyarifHidayatullah (1470-1568), with his capacity as the kingdom rulerand religious leader the mosque ofCiptarasawas expanded as a pesantren. He prioritized the spread of Islam and got directly involvedin the activities in the interior of Sunda land. REFERENCES Van Bruinessen, Martin (1994) Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat;Tradisitradisi Islam di Indonesia,Bandung: Mizan. Dhofier, Zamaksari (1982) Tradisi Pesantren, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Ekadjati, Edi S.(1984) “Sejarah Sunda” in Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya Edi S. Ekadjati , Ed., Jakarta: Girimukti Pasaka, pp 75-115. -------- (2005) Sunan Gunung Djati; Penyebar dan Penegak Islam Islam di Tatar Sunda, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. De Graaf, H.J. (1949). Geschiedenis van Indonesie, Bandung: N.V. Uitgeverij W. Van Hoeve- s”Gravenhage. Hageman, H.J.(1867) “Geschiedenis der Soendalanden” , TBG. XVII. Herlina, Nina et al. (2003) Sejarah Tatar Sunda,Jilid 1, Bandung: Satya Historika. Rosidi, Ajip et al.(2000) Ensiklopedi Sunda; Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, Jakarta: Pustaka Jaya. Sukardja, Djadja ( 2007) Situs Kawali (Astana Gede, Ciamis: Tanpa Penerbit.
18Nina
Herlina, loc. cit., p. 188
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1575
Sulendraningrat, P.S. (1984) Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Cirebon: Tanpa Penerbit. Sunardjo, Unang (1983) Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito. Suryanegara, Ahmad Mansur (1995) Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. ----------(2009) Api Sejarah; Buku yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia, Bandung: Salamadi Pustaka Semesta. Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad (1991) Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Pemda Tingkat I Jawa Barat dan Fakultas Sastra Unpad. Peta Mata RantaiMasukdanMenyebarnya IslamdanPesantrenke Wilayah Pedalaman Tatar Sunda/Priangan
Sumber
: AdingKusdiana, JaringanPesantren di Priangan (18001945), Disertasi, Bandung, UniversitasPadjadjaran, 2013: 184.
1576 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Keterangan :Mata rantai masuk dan menyebarnya agama Islam dan pesantren kewilayah pedalaman Tatar Sunda berasal dari tiga tempat yaitu Kesultanan Cirebon, Karawang dan Kesultanan Banten. Cirebon merupakan mata rantai pertama, karena dari daerah ini Islam dan pesantren mula-mula masuk ke wilayah Tatar Sunda bagian timur, yang kemudian menyebar ke bagian pedalaman Tatar Sunda, dan selanjutnya menyebar ke daerah pedalaman bagian tengah dan barat. Selain dari Cirebon Islam dan pesantren masuk ke daerah pedalaman Tatar Sunda dari arah Karawang dan Banten.
KEPEMIMPINAN KIAI DAN JAWARA DI BANTEN (Studi Kasus di Desa Pasanggrahan Serang Banten) Prof. Dr.H.M.A.Tihami, M.A., M.M. Abstrak: Artikel ini mencoba memotret kepemimpinan kiai dan jawara di salah satu desa di Banten. Kiai dan jawara merupakan dua prominent figure yang paling sering disebut orang ketika menulis atau mendiskusikan tentang Banten. Dua tokoh ini menjadi simbol identitas masyarakat Banten sebagai daerah yang dikenal relijius dan negerinya para ulama dan jawara. Kekuasaan, otoritas dan pengaruh mereka melampaui batas-batas geografis dalam suatu kolektif sosial (masyarakat atau kelompok). Peran dan posisi mereka sangat penting dalam perjalanan dan perkembangan sosio-historis masyarakat Banten sejak masa kesultanan hingga sekarang. Dalam konteks masyarakat Pasanggrahan Kecamatan Pabuaran, Serang Banten, di mana penelitian ini dilakukan, kedua figur ini dianggap sebagai pemimpin mereka karena masing-masing memiliki kelebihan dan pengaruh yang kuat dan unggul di masyarakat. Kiai, dengan kelebihan ilmu agama dan kemampuan magisnya (yang bersumber dari agama) untuk keperluan melayani masyarakat, menjadi poin penting bagi masyarakat Pasanggarahan dalam memposisikan kiai sebagai pemimpin informal bagi mereka. Sedangkan jawara, karena keberanian dan kemampuan magisnya (yang bersumber dari kiai) yang juga difungsikan untuk melayani dan melindungi masyarakat, menempatkan mereka pada posisi tinggi dalam hierarki sosial masyarakat Pasanggrahan. Sebagaimana kiai, jawara juga dianggap sebagai pemimpin informal dalam kehidupan sosial masyarakat Pasanggrahan. Pendahuluan Pada abad ke-16 Masehi Agama Islam menyebar di Banten yang mencapai puncaknya pada berdirinya kerajaan Islam dengan Sultan Hasanudin (1526-1570 M) sebagai raja pertamanya. Pada masa itu islamisasi cenderung hanya bersifat perkenalan saja, terutama yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Pengetahuan Agama Islam secara luas belum mendapat perhatian walaupun sudah dilakukan pengislaman di berbagai daerah. Barulah pada abad ke-18 berdiri lembaga-lembaga pengajaran Agama Islam yang disebut dengan pesantren yang ditandai dengan berdirinya pesantren tertua di Caringin (Banten). Upaya ini menurut Ekadjati (1988:5) adalah tahap ketiga islamisasi di Jawa Barat
~ 1577 ~
1578 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization yang bukan saja karena didorong oleh keinginan orang-orang Islam untuk memperdalam ajaran agamanya, tetapi juga karena mulai masuknya pengaruh orang Belanda di lingkungan keraton-keraton (Cirebon dan Banten). Apapun yang mendorong munculnya lembaga pesantren dalam konteks islamisasi memunculkan adanya figur kepemimpinan, yaitu kiai. Kiai adalah pihak yang memberikan pengajaran Agama Islam sebagai guru dalam pesantren (lihat Dhofier, 1985: 19). Kedudukannya sebagai “perpanjangan tangan” sultan dalam proses islamisasi di daerah-daerah pedesaan karena kesultanan sendiri berdiri atas dasar upaya islamisasi, baik untuk mengembangkan pengaruh maupun untuk memperkuat kekuasaan dan kedudukan sultan, sangat menguntungkan kiai yang mendudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Kedudukan ini terus berlangsung walaupun Kesultanan Banten telah berakhir pada tahun 1820, yaitu pada masa Sultan Rafiudin (1813-1820) sebagai sultan yang terakhir, sehubungan dengan dimulainya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Kelestarian kepemimpinan ini nampaknya didukung oleh rakyat banyak yang membenci Belanda yang telah memporak-porandakan sistem kesultanan, sehingga pemimpin-pemimpin inilah yang berada pada abad ke-19 yang berhasil memobilisasi masyarakat untuk memberontak, seperti pemberontakan petani di Cilegon pada 1888 yang dipimpin oleh Kiai Haji Wasid (lihat Kartodirdjo, 1966). Di samping dukungan-dukungan kelestarian kepemimpinan tersebut di atas, ada satu dukungan Islam yang berkenaan dengan sistem kepercayaan masyarakat, yakni kemampuan pemimpin itu dalam menggunakan kekuatan supernatural. Para sultan sendiri disebut waliyullah, yaitu orang yang dianggap memiliki kekuatan Allah. Kekuatan-kekuatan inilah yang kemudian diturunkan kepada kiai-kiai dalam bentuk keramat dengan melalui lembaga tarekat.1 Kekuatan-kekuatan ini mempunyai kesanggupan bahkan menawarkan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan manusia dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kekuatankekuatan inilah yang disebut dengan magi, yakni upaya yang bersifat supernatural yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis manusia selagi tidak terpenuhi oleh kekuatan-kekuatan lain (lihat Malinowski, 1972: 63). Selain golongan agama (kiai) yang sanggup menembus batas-batas hierarki di pedesaan terutama pada abad ke-19 menurut Kartodirdjo (1966: 1 Tarikat (tarekat) ialah suatu cara tertentu dalam tasawuf (mistik) yang bertujuan memperoleh hubungan langsung dan secara sadar kepada Tuhan. Pelaku-pelaku tasawuf disebut dengan sufi. Orang inilah yang mendapat keramat yang dalam arti sufi disebut mukjizat (pekerjaan luar biasa) (lihat Shaidly, 1984: 1750, 3454, 3458). Tarekat dan keramat dalam arti ini menunjukan bahwa di dalamnya ada kekuatan mistik (mystical power) melalui hubungan langsung dengan Tuhan sehingga Tuhan akan dengan mudah memberi pertolongan. Harapan akan pertolongan Tuhan melalui cara-cara tertentu ini berarti merupakan upaya magi.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1579
57) adalah golongan jawara. Meskipun golongan ini menurut Kartodirdjo pada umumnya terdiri atas orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap dan seringkali melakukan kegiatan-kegiatan kriminal, namun karena juga memiliki kekuatan-kekuatan dari manipulasinya terhadap kekuatan supernatural, tetap disegani. Jika kiai memperoleh kekuatankekuatan ini melalui lembaga tarekat atau hikmat, maka jawara memperolehnya dengan penggunaan jimat, yaitu penggunaan “tanda-tanda keagamaan untuk kekebalan” (Cheong 1973: 26). Oleh karena jimat ini menggunakan tanda-tanda keagamaan (misalnya ayat-ayat suci), maka yang mengeluarkannya adalah kiai sebagai tokoh agama. Jimat yang memberikan harapan tanpa memenuhi kebutuhan praktis pada jawara yang salah satunya adalah kekebalan, ini menunjukkan bahwa kekuatan jimat adalah kekuatan magi. Jadi, antara kiai dan jawara dalam ciri-ciri kepemimpinannya berkaitan dengan magi, atau bahkan bergantung pada magi itu. Kedua pemimpin tersebut sampai sekarang masih ada di Banten, khususnya di Desa Pasanggrahan, Kecamatan Pabuaran Serang, meskipun secara fisik mungkin berbeda dibanding pada jaman penjajahan. Karena keduanya mempunyai kelebihan masing-masing, yaitu kemampuan magi dibandingkan dengan orang kebanyakan, maka dalam interaksi sosialnya mereka mempunyai peranan sebagai pihak yang memimpin. Namun demikian, keduanya berbeda dalam bentuk kepemilikan, penggunaan dan ketergantungannya. Kiai adalah golongan yang berkemampuan mewujudkan magi dan menjadi sumber pengetahuan tentang formulaformulanya, sedangkan jawara adalah golongan yang menerima kemampuan magi dari kiai. Jadi nampak bahwa kelestarian kedua kepemimpinan ini berkaitan dengan agama dan magi. Bagaimana keterkaitan kepemimpinan pada agama dan magi adalah masalah dalam penelitian ini. Pengetahuan dan Konsep Kepemimpinan Dalam bahasa sehari-hari, kepemimpinan diungkapkan dengan kata pingpinan, sedangkan orang yang memimpin (pemimpin) disebut pamingpin. Kepemimpinan dipahami sebagai suatu keharusan dalam (kelompok) masyarakat untuk membedakan peranan dan menjamin keutuhan masyarakat sendiri. Setiap ada kegiatan yang memerlukan kerja sama selalu memunculkan prakarsa akan lahirnya kepemimpinan. Secara fisik terlihat bahwa kepemimpinan itu ada dalam suatu perkumpulan yang di dalamnya jelas ada anggota-anggota sebagai pihak yang dipimpin. Kepemimpinan dalam bentuk ini merupakan mekanisme organisasi yang memaksa pimpinannya cenderung dimunculkan lewat kehendak anggota yang ditentukan dalam waktu singkat. Dalam bentuk yang lain, ada kepemimpinan yang berpengaruh pada masyarakat dan mempunyai kesanggupan untuk membantu memenuhi
1580 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization kebutuhan masyarakat. Secara konkrit kepemimpinan dalam bentuk ini ialah kiai. Atas dasar kesanggupan kiai dalam membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya pengobatan, perjodohan, ketentraman, kekayaan, dan kedudukan, kiai memperoleh kepercayaan sebagi pihak yang diturut (anu digugu). Kepercayaan masyarakat pada kiai atas dasar indikator pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, cenderung melahirkan klasifikasi kiai dalam kualitas kepemimpinannya. Semakin besar kesanggupan kiai dalam membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, semakin tinggi pula kualitas kepemimpinannya. Oleh karena itu di Pasanggrahan ada sebutan kiai sepuh dan ada kiai anom. Kesanggupan kiai dalam membantu memenuhi kebutuhan masyarakat adalah melalui kepandaiannya memberikan makna simbolsimbol agama dan penguasaannya terhadap magi. Dalam memberikan makna-makna terhadap simbol-simbol agama untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, dapat diterima dengan penuh keyakinan. Dalam hal pemerintahan, muncul pula pemimpin yang harus ditaati, yaitu orang-orang yang memperoleh tugas dari pemerintah untuk memimpin masyarakat. Yang termasuk dalam pamingpin seperti ini ialah kepala desa dan perangkatnya, mantri pertanian, mantri hewan, dan kepala sekolah dasar. Kepala sekolah dan perangkatnya dianggap sebagai pamingpin umum, sedang yang lain-lainnya dianggap pamingpin khusus (tatanen, piaraan, dan kapinteran). Perbedaan ini berakibat bahwa kapala desa dianggap lebih tinggi daripada yang lainnya sebagai pingpinan pamarentahan. Dalam hal ketaatan masyarakat terhadap pamingpinpamingpin ini terbatas pada masa jabatan-jabatannya berlangsung saja, kecuali jika pingpinan ini mempunyai ciri-ciri seperti kepemimpinan kiai. Selain itu ada kepemimpinan yang berkaitan dengan hubungan antara orang kaya (pengusaha) dengan buruhnya yang secara tidak langsung juga dengan masyarakat. Orang kaya (pengusaha) ditaati oleh buruh atau pegawai-pegawainya karena dianggap sebagai orang yang menghidupi (memenuhi kebutuhan materiil). Tetapi orang kaya juga dianggap pamingpin dan ditaati oleh masyarakat karena sebagai penyandang dana kemasyarakatan yang seringkali ketergantungan masyarakat akan dana selalu berkaitan dengan orang-orang kaya ini. Haji Hs direktur P.T. S.C. adalah penyandang dana kemasyarakatan di Desa Pasanggarahan ini. Mesjid Kampung Sampiran dibangun olehnya, demikian pula beberapa jalan desa dan madrasah. Orangorang Pasanggarahan menyatakan bahwa Haji Hs adalah pamingpin mereka. Bahkan Lurah Ib menyebutnya sebagai tokoh masyarakat, yang bukan saja memiliki harta banyak tetapi juga mempunyai elmuelmu magi dari kiai. Haji Hs dikatakan pula oleh Lurah Ib sebagai pamingpin anu beunghar tur deukeut jeung kiai (pemimpin kaya yang dekat dengan kiai).
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1581
Melihat pengetahuan masyarakat tentang kepemimpinan seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan dikonsepkan sebagai suatu kekuasaan yang berwibawa, yang karena kewibawaannya itu memperoleh respon dari masyarakat berupa ketaatan. Berdasarkan macammacam kewibawaan yang menurut Weber (lihat Sills, 1972:104) ada tiga, yaitu kharismatik, tradisional, dan legal, maka kepemimpinan di Pasanggarahan dapat dikonsepkan melalui tiga macam kewibawaan ini. Kepemimpinan yang termasuk kepemimpinan dengan kewibawaan kharismatik (charismatic authority) adalah kiai, sebab kepemimpinan ini didukung oleh kekuatan “luar biasa” yang terutama ditandai oleh kemampuan memiliki kekuatan magi. Demikian pula bagi kepemimpinan yang ada hubungannya dengan kiai dalam hal magi, yaitu kepala desa dan orang kaya yang mempunyai kekuatan magi. Kepemimpinan yang mirip kepemimpinan dengan kewibawaan tradisional (traditional authority) adalah orang kaya (pengusaha) terhadap buruh-buruhnya atau terhadap masyarakat yang merasa mendapat pengayoman, sebab kepemimpinannya didukung oleh ketentuan kelas-kelas sosial yang salah satu contohnya adalah feodal (lihat Sills, 1972:104).2 Bagi pihak yang mendapat pengayoman menjadi pengikut setia, sedang pihak yang dianggap memberi pengayoman adalah pamingpin. Oleh karena itu tidak heran kalau orang Pasanggrahan menganggap bahwa kepemimpinan secara umum adalah termasuk orang-orang kaya ini (sarua bae pamimping urang= sama saja pemimpin kita). Sedangkan yang termasuk kepemimpinan dengan kewibawaan legal (legal authority) adalah yang melalui prosedur hukum (resmi), yaitu pejabat-pejabat pemerintah, ketua-ketua organisasi, dan kepala-kepala kelompok organisasi profesi (guru, pedagang, dan kuli). Terhadap tiga macam kepemimpinan dilihat dari ketiga kewibawaan (authority) tersebut di atas, bagi orang Pasanggrahan adalah bentuk kepemimpinan yang dikonsepkan secara rinci. Jika dimintai penjelasan tentang orang-orang yang termasuk dalam tiga macam kewibawaan (misalnya kiai, pejabat/ pimpinan organisasi, dan orang kaya) itu sebagai 2 Feodal (feodalisme) secara ideal adalah organisasi politik yang berkembang di Eropa pada abad pertengahan, di mana kaum bangsawan yang menguasai sumber penghidupan pertama (tanah) berkuasa atas pengikut yang setia atas hak-hak pengolahan tanah yang diberikan. Para pengikut yang mengolah tanah ini merasa dihidupi dan sekaligus dan diayomi dalam kehidupan sehari-hari meskipun dalam perkembangan selanjutnya mereka harus menyewa tanah-tanah itu. Akibat dari kesetiaan pengikut ini, muncullah struktur feodalisme dalam bentuk piramida (the feudal pyramid) di mana puncak piramida ini ditempati oleh orang-orang bangsawan (kaya), sementara posisi di bawahnya adalah pengikut-pengikut (lihat Michell, 1979: 83; Suyono, 1985: 121). Gambaran ini memperlihatkan adanya cirri-ciri yang berkaitan dengan bentuk kepemimpinannya, yaitu ada pihak bersedia mengayomi dalam segi finansial, dan ada pihak yang merasa diayomi. Hubungan antara pihak-pihak ini diwujudkan dalam bentuk pentaatan pihak yang memperoleh pengayoman terhadap pihak yang dianggap memberi pengayoman. Ciri-ciri inilah yang tetap ada meskipun bukan lagi dalam stratifikasi bangsawan –non-bangsawan.
1582 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization pemimpin atau bukan, warga masyarakat menyatakan ketiga macam kewibawaan sebagai pemimpin (pamingpin urang sadayana=pemimpin kita sekalian). Namun jika tidak disebutkan orang-orang atau jabatanjabatannya dalam meminta penjelasan tentang kepemimpinan, maka orang Pasanggrahan hanya menyatakan bahwa pamingpin mereka adalah kiai dan pejabat pemerintah (kepala desa/lurah). Dinyatakan oleh Sad (supir Tb. Bsn, orang kaya) dan Uc (anggota masyarakat yang bekerja sebagai guru agama) bahwa kiai dan lurah itu adalah pemimpin mereka yang disebut juga sebagai tokoh masyarakat. Pamingpin urang di dieu mah ngan kiai reujeung lurah, sabab nu mere tungtunan jeung katentraman masyarakat euweuh iwal ti kiai reujeung lurah; kumaha kaayaan masyarakat ditentukeun ku duaanana (pemimpin kita di sini ialah kiai dan lurah, karena yang memberi tuntunan dan menjamin ketentraman masyarakat adalah kiai dan lurah; keadaan masyarakat tergantung peranan kedua pimpinan ini). Berdasarkan pengetahuan dan upaya konseptualisasi masyarakat tentang kepemimpinan (pemimpin), dapat disimpulkan bahwa hakekat pemimpin adalah suatu figur yang memperoleh kepercayaan masyarakat agar terjaminnya pemenuhan kebutuhan masyarakat dari figur itu. Dalam kategori kewibawaan adalah mempunyai kewibawaan kharismatik dan kewibawaan legal. Adapun kewibawaan tradisional agaknya tidak nampak, sebab ternyata orang kaya sangat dekat dengan kiai yang sedikit banyak upaya memperoleh kekayaan itupun tidak lepas dari peranan kiai sebagai pemberi ‘jimat’ mempermudah pekerjaan. Kepercayaan orang kaya pada kiai menunjukkan adanya pengakuan terhadap kiai sebagai pemimpin. Jadi kepemimpinan itu timbul atas dasar charismatic authority dan legal authority yang personifikasinya adalah kiai, orang kaya, dan pejabat pemerintah, sebab mereka dipercayai dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Proses Terjadinya Kepemimpinan Disebutkan oleh Sills (1972: 105) bahwa istilah pemimpin (leader) secara tradisional adalah seseorang yang dengan jelas dibedakan dengan orang lain dalam hal kekuasaan (power), kedudukan (status), pandangan (visibility), dan beberapa hal yang berkaitan dengan karakter bawaan, misalnya pendirian, keberanian, integritas, dan kecerdasan. Tanda-tanda yang menunjukkan kepemimpinan ini dimiliki oleh beberapa orang terpilih saja, yang karena tanda-tanda ini masyarakat terpilah dalam dua pihak, yaitu pihak yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih, dan pihak yang dipimpin sebagai orang kebanyakan (lihat Kartodirdjo, 1984: v). Tanda-tanda tersebut merupakan syarat bagi seseorang untuk menjadi pemimpin yang belum tentu berarti bahwa pemimpin harus memiliki/memenuhi semua syarat-syarat tersebut. Jika dalam kepemimpinan terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1583
untuk lahirnya seorang pemimpin, maka berarti terjadinya kepemimpinan adalah melalui suatu proses tertentu. Di Pasanggrahan, nampak ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak menjadi pemimpin. Apa yang dikatakan oleh Sills di atas ditemukan beberapa hal yang berlaku di Pasanggrahan dalam membedakan pemimpin dari yang dipimpin. Seseorang dikatakan pemimpin apabila mempunyai kekuasaan (power), kedudukan (status), keberanian, dan integritas. Semua persyaratan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan satu sama lain. Semua persyaratan ini dapat terpenuhi melalui dua cara (proses), yaitu melalui keturunan (nasab), dan melalui penguasaan (kekuatan) magi. Kedua cara inipun ada yang dilakukan dalam waktu yang sama, dan kadangkadang pula hanya melalui satu cara saja, yaitu kekuatan magi. Cara yang pertama (proses keturunan) adalah suatu kepemimpinan melalui ‘pewarisan darah’ dari seorang ayah, kakek atau saudara tertua, cucu, menantu atau saudara termuda. Pihak yang mewarisi kepemimpinan itu hanya ada pada laki-laki, tidak pernah terjadi kepada anak/cucu/menantu perempuan, karena sistem kepemimpinannya adalah serba laki-laki (patriarki). Cara yang melalui pewarisan darah terjadi, baik atas prakarsa pihak yang mewariskan maupun atas prakarsa masyarakat (orang yang dipimpin). Yang dimaksud munculnya kepemimpinan melalui jalur pewarisan darah atas prakarsa pihak yang mewariskan adalah upaya ‘pengkaderan’ pemimpin atas seseorang atau beberapa orang anak keturunan yang terpilih melalui proses sosialisasi/enkulturasi atau penugasan-penugasan. Seorang ayah menjadi pemimpin membiasakan anak-anaknya meniru atau membantu pekerjaan orang tua. Upaya pembiasaan ini berkaitan dengan kecenderungan (pemimpin) untuk tidak melepaskan kepemimpinan di luar keturunan atau kerabatnya, baik karena mempertahankan status maupun karena ‘mahalnya’ nilai persyaratan kepemimpinan, misalnya magi (keberanian). Kasus diangkatnya Lurah Ib dan kedudukan kiai (muda) Gzl membuktikan keadaan ini. Moh. Syf yang menjadi Kepala Desa Kadubeureum mempunyai adik kandung bernama Ib yang kemudian diberi jabatan sebagai polisi desa pada tahun 1972. Ib, karena wewenangnya itu ia tahu persis kondisi kampung-kampung di desanya. Pengetahuannya inilah yang memberi nilai lebih dibandingkan dengan pejabat-pejabat desa lainnya sehingga ia juga sering diberi wewenang untuk mewakili kepala desa dalam acara-acara penting, misalnya rapat di kecamatan dan kabupaten. Pada waktu pemekaran Desa Kadubeureum menjadi dua desa (tahun 1983) Moh. Syf mencalonkan Ib untuk menjadi kepala desa di desa yang baru itu. Dengan dukungan kuat dari Moh. Syf selaku kepala desa ini, kemudian Ib berhasil menjadi kepala desa di desa yang baru itu (Pasanggrahan).
1584 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Munculnya kepemimpinan atas prakarsa masyarakat (pihak yang dipimpin adalah suatu kepemimpinan karena mitos keturunan. Ada pepatah yang berlaku: ari bapa’ na maung mah anakna oge maung (kalau ayahnya harimau, maka anaknya juga harimau). Harimau adalah simbol keberanian dan kepintaran yang biasa diberlakukan kepada kepemimpinan. Oleh karenanya ungkapan itu berarti bahwa kepemimpinan ayah akan (pasti) turun kepada anaknya; dan anak seorang pemimpin dianggap sebagai pemimpin juga karena dianggap mewarisi kepemimpinan ayahnya. Akibat dari pandangan ini anak kiai dianggap mewarisi bidang-bidang keahlian kiai, dan karenanya patut menjadi kiai setelah ayahnya meninggal dunia. Pepatah lain yang senada ialah: ari kacang mah kumaha lanjahanana (pohon kacang panjang akan tumbuh menurut kayu rambatnya). Pohon kacang panjang adalah simbol anak sedangkan kayu tempat merambat pohon kacang adalah simbol orang tua (ayah). Makna dari pepatah ini adalah bahwa kedudukan atau profesi anak itu tergantung pada kedudukan/profesi orang tuanya. Jika orang tuanya pintar, maka anaknya juga akan menjadi pintar; jika orang tuanya menjadi pejabat (disebut orang menak), maka anaknya juga menjadi menak. Manifestasi dari pepatah ini diberlakukan pada orang-orang yang gagal menjadi pegawai (negeri) atau menjadi menak walaupun sekolahnya ataupun ijazahnya cukup memadai. Itulah sebabnya Uc yang berpendidikan sarjana muda, telah beberapa kali gagal melamar menjadi pegawai negeri, mengatakan: aing mah moal bisa jadi menak merenan sabab kolot aingmah tani (saya tidak mungkin jadi pegawai sebab orang tua saya hanya seorang petani). Dalam kepemimpinan, pepatah-pepatah tersebut di atas mendorong masyarakat untuk dengan sendirinya menuntut pada seorang anak kiai untuk menjadi kiai juga guna menggantikan kepemimpinan ayahnya. Seorang kiai yang tidak mempunyai anak atau menantu laki-laki, atau tidak mempunyai saudara laki-laki sangat disayangkan, sebab dianggap tidak mempunyai penerus kepemimpinannya. Sebagai petunjuk betapa masyarakat menuntut anak laki-laki kiai untuk menjadi kiai menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia, dapat terlihat dalam kasus Haji Gzl. Haji Ahmad Gzl, putera Kiai Str, ‘dipaksa’ oleh masyarakat untuk memimpin masyarakat dan mengasuh pesantren di Kampung Sampiran setelah ayahnya (Kiai Str) meninggal dunia, padahal usianya masih muda (27 tahun) dan mengaku ilmunya belum cukup. Paksaan tidak memberinya peluang untuk mengelak, karenanya ia belajar sendiri dan belajar pada kiai-kiai terdekat untuk menyesuaikan kedudukannya, termasuk belajar kemampuan magi. Sambil belajar itu ia juga ‘terpaksa’ mengajar santri-santrinya (yang masih tersisa sepeninggal ayahnya) dan memimpin upacara-upacara agama di kampungnya. Sesudah satu tahun berjalan (1985-1986), ia merasa mampu dengan kedudukannya itu dan sejak saat itu pula ia
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1585
betul-betul merasa menjadi kiai, walaupun elmu brajamusti (pukulan dahsyat) dan elmu seserem (ditakuti orang) belum sempat ia warisi dari ayahnya (Kiai Str). Cara kedua untuk memenuhi persyaratan kepemimpinan adalah penguasaan kekuatan magi, yaitu memiliki kemampuan-kemampuan dan formula-formula magi. Seorang kiai dituntut untuk menguasai elmu-elmu magi baik untuk penampilan dirinya yang harus mempunyai kelebihan, maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai pihak yang dipimpin. Kebutuhan-kebutuhan dimaksud yang bersifat praktis yang mungkin tidak dapat dipenuhi kecuali dengan magi, misalnya pengobatan sakit ingatan, menemukan barang yang hilang, dan lain-lain. Jika seseorang mempunyai keahlian ini dan mempraktikkannya untuk melayani masyarakat, baik terus menerus maupun sewaktu-waktu, maka ia disebut kiai. Kiai dan Jawara sebagai Pemimpin Dalam kehidupan masyarakat Pasanggrahan ada aturan-aturan yang disebut agama dan darigama. Agama adalah aturan-aturan yang dianggap sakral, sedangkan darigama adalah aturan-aturan yang biasa (profan),3 meskipun yang biasa ini juga kadang-kadang berasal dari agama atau ‘diselimuti’ oleh agama (sakral). Aturan-aturan agama adalah segala sesuatu yang harus diamalkan, diikuti, dan diyakini untuk memperoleh kebahagiaan(kabagjaan) hidup di dunia dan kebahagian hidup di alam benjang (hidup setelah mati/alam arwah). Jaminan kebahagiaan hidup di dunia oleh aturan-aturan agama juga berfungsi memberi makna terhadap kelakuan manusia; dan jaminan kebahagiaan hidup di alam arwah oleh aturan-aturan agama adalah karena agama berfungsi menyucikan manusia supaya kehidupan alam arwah yang suci itu dapat dicapai oleh manusia. Kehidupan manusia tidak hanya mengacu pada aturan-aturan agama saja, melainkan juga pada aturan-aturan bukan agama, karena banyak acuan yang dibutuhkan oleh manusia tidak tertampung oleh dan dalam agama. Acuan-acuan inilah yang ditampung dalam darigama sehingga orang memperoleh kemudahan dalam menghadapi lingkungannya. Aturan-aturan darigama ini tidak pernah bertentangan dengan aturan-aturan agama, demikian pula sebaliknya. Kerukunan kedua aturan inilah yang jika diamalkan, disebut oleh orang Pasanggrahan, akan memperoleh kehidupan 3 Pada arti yang ideal, darigama menurut pandangan orang Sunda adalah pengamalan (pembumian) ajaran agama itu. Terhadap agama Islam menurut pandangan orang Sunda, ajaran agama Islam itu harus ia amalkan atau dilaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari itulah yang dinamakan darigama. Oleh karena itu agama tanpa darigama tidak mempunyai arti apa-apa. Orang Sunda menyebutnya dengan: agama kudu jeung darigama (agama harus diamalkan) (Lihat Suhamihardja, 1984: 280).
1586 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization tata tentrem kerta raharja (hidup tertib, aman, dan makmur). Walaupun kedua aturan itu berbeda sumbernya namun bertujuan sama yaitu membahagiakan (ngabagjakeun) manusia. Kenangan terhadap dua aturan tersebut melahirkan dua macam kepemimpinan, yaitu kepemimpinan agama dengan kepemimpinan bukan agama (dunia). Orang Pasanggrahan menyebut pemimpin agama ini dengan kiai, dan pemimpin dunia dengan pamarentah, walaupun tidak selamanya pemimpin ini menjadi pejabat pemerintahan. Misalnya orang kaya (pengusaha) yang dianggap sebagai pemimpin, disebut juga dengan pamingpin pemerintah karena dianggap menjalankan tugas-tugas pemerintah. Kiai dan pamarentah ini menjadi pemimpin karena mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan orang kebanyakan. Kelebihan kiai sebagaimana disebutkan di atas, adalah dalam kemampuannya memiliki magi dan menyebarkannya kepada masyarakat yang memerlukan. Ada beberapa macam magi yang dibutuhkan masyarakat itu. Sebagian di antaranya ialah magi tentang kedigjayaan (kesaktian) yang meliputi jenisjenis kesereman dalam penampilan sehingga ditakuti orang, kekebalan tubuh dari senjata tajam, dan kekuatan fisik dalam bersilat. Magi yang semacam inilah yang dibutuhkan dan dimiliki oleh sebagian orang yang disebut jawara. Magi seperti ini diperoleh dari kiai dengan bentuk atau melalui pemberian formula-formulanya atau alat yang dipakai yang biasanya disebut jimat atau rajah. Jadi menurut pemahaman orang Pasanggrahan, jawara ialah orang-orang yang mempunyai kekuatan magi seperti ini; sedangkan yang tidak memilikinya berarti bukan jawara. Jawara dengan ciri-ciri tersebut di atas jumlahnya relatif banyak (kira-kira berkisar 8-10 orang pada setiap kampung). Namun tidak berarti bahwa setiap jawara ialah pemimpin. Jawara dapat disebut pemimpin apabila menduduki jabatan tertentu, yaitu pejabat pemerintah desa (terutama kepala desa), dan orang kaya (pengusaha). Bahkan untuk jabatan kepala desa (lurah) ada persyaratan yang tidak tertulis, yaitu harus dari kalangan jawara. Keharusan ini berkaitan dengan tugas pokok kepala desa (pemimpin desa yang menurut orang Pasanggrahan adalah melindungi rakyat dari segala tindakan tidak aman). Yang termasuk gangguan keamanan secara fisik adalah pencurian dan perkelahian. Terhadap gangguan-gangguan ini kepala desa yang jawara akan sanggup mengatasinya, karena dianggap mempunyai “kesaktian” dalam keberaniannya. Lurah Ib dikenal oleh masyarakat sebagai jawara. Ia berguru pada Kiai Ud dalam memperoleh kekuatan maginya. Dalam tugas pengamanan di desanya, pada malam hari ia mengenakan pakaian hitam sebagaimana umumnya pakaian pesilat (orang Pasanggrahan menamakan pula dengan pakaian jawara). Ketika seorang tamu Th kesulitan menyimpan kendaraan pada malam hari, Lurah Ib berkata:
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1587
simpen bae di payun bumi abdi, aman, moal nanaon (simpan saja di depan rumah saya, pasti aman, tidak ada apa-apa). Jaminan keamanan ini betul-betul terbukti, bahkan Pak Mo menyebutkan bahwa keamanan di desanya terjamin baik karena lurahna jawara (karena lurahnya jawara). Banyak orang lain yang dianggap jawara oleh orang Pasanggrahan, misanya Pak Si, Hn, Drk, dan lain-lain, tetapi mereka tidak dianggap sebagai pemimpin sebab tidak menduduki jabatan tertentu. Oleh karena itu persyaratan jawara bagi pimpinan pemerintah desa adalah yang dianggap mempunyai elmu lebih “kesaktiannya”. Kelebihan-kelebihan kesaktian seorang jawara seringkali hanya bersumber dari gosip-gosip orang lain (masyarakat), terutama pendukung-pendukungnya. Tidak pernah terjadi semacam tes bagi jawara-jawara itu untuk menentukan siapa yang mempunyai kelebihan. Cara lain untuk menentukan kepemimpinan bagi jawara adalah melalui petunjuk kiai yang dianggap “lebih” di desa ini. Bila kiai merestui seseorang (jawara) menjadi pemimpin pemerintah desa, maka jawara-jawara lain yang mungkin mempunyai kemampuan untuk menduduki jabatan itu, bersedia mendukung tokoh yang direstui kiai, karena berarti mempunyai kelebihan elmu. D. Pemimpin dan Pengikut-pengikutnya Kepemimpinan kiai ternyata tidak terbatas oleh batas-batas teritorial tertentu, karena di samping jabatannya sebagai pemimpin upacara-upacara agama, juga ahli magi, sehingga seorang kiai dianggap sebagai seorang pemimpin bukan saja dalam lingkungan desanya, tetapi juga pada desa-desa lainnya bahkan jauh ke tempat-tempat lain. Kepemimpinan jawara yang berkedudukan sebagai orang kaya (pengusaha) juga tidak terbatas pada teritorial tertentu, tetapi tidak seluas kiai, sebab bagi orang kaya ini berlaku relasi dagang. Sedangkan kepemimpinan jawara yang berkedudukan sebagai pejabat pemerintahan desa terbatas pada desanya; orang-orang di luar desa yang diperintahnya tidak mengakuinya sebagai pemimpin. Berbeda jika dilihat secara khusus; pihak yang dipimpin bisa disebut sebagai pengikut-pengikut bagi pemimpinnya. Pengikut-pengikut ini jumlahnya kecil daripada pihak yang dipimpin secara keseluruhan, sebab ikatannya bukan sekadar pengakuan kepemimpinan terhadap pimpinannya (kiai dan jawara), melainkan ada hubungan khusus. Bagi kiai ada pengikutpengikut yang khusus, yaitu mereka yang mempunyai ikatan moril (bukan sekedar pengakuan) yang terdiri dari santri dan bukan santri. Hal ini berkaitan dengan kegiatan kiai di Pasanggrahan, yaitu ada kiai yang mengasuh pesantren dan ada kiai yang tidak mengasuh pesantren. Pengikut yang tergolong santri ialah yang berada atau pernah berada di pesantren yang diasuh oleh kiai. Tipe ini khusus bagi kiai yang mempunyai/mengasuh pesantren. Santri-santri yang datang dari desa setempat dan desa-
1588 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization desa/daerah-daerah lainnya mempunyai hubungan murid-guru dengan kiai. Ikatan murid-guru ini bukan sekadar ikatan penerima dan pemberi ilmu pengetahuan agama (Islam) melainkan juga ikatan penerima dan pemberi formula/kekuatan magi. Ikatan ini tumbuh karena di pesantren itu tidak hanya dipelajari ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab saja, melainkan kiai juga mengajarkan formula-formula magi yang pada kebiasaannya atas permintaan santri. Bagi santri yang banyak memohon kepada kiai untuk diberi formula-formula magi dan dikabulkannya, akan banyak pula memperoleh kekuatan magi. Bagi yang tidak pernah meminta kepada kiai, tetap saja akan menerima formula magi yang rupanya merupakan keharusan bagi kiai untuk memberinya kepada semua santri sebelum meninggalkan pesantren, yaitu formula bagi yang dianggap harus dipunyai santri. Formula magi dalam batas minimum ini berbentuk bacaan tertentu yang diambil dari kitab suci yang harus dibaca berulang-ulang setelah sembahyang; pengulangan membaca ini disebut wirid atau amalan. Kegunaannya adalah untuk memperoleh jaminan keselamatan. Terhadap santri yang hendak meninggalkan pesantren, kiai, seperti yang dilakukan Kiai Gd, memesankan: mun maneh geus rek kaluar ti pesantren ieu kula mihape, maneh kudu ngamalkeun ieu…(sambil memberi secarik tulisan) sangkan maneh salamet; (kalau kamu sudah mau keluar dari pesantren ini, saya berpesan agar kamu mengamalkan ini…[secarik kertas berisi doa dari ayat kitab suci], agar kamu selamat). Ikatan hubungan santri dengan kiai terus berlanjut meskipun santri sudah keluar dari pesantren. Bahkan dalam waktu yang relatif lama, hubungan ini berubah menjadi ikatan (seperti) anak dengan orang tua. Santri (mantan) menyebut kiai dengan kolot seperti lazimnya penyebutan pada orang tua, sementara kiai menyebut (mantan) santrinya dengan anak. Dalam ungkapan sehari-hari sebutan ini biasa muncul. Jika santri hendak mengunjungi kiainya dikatakan hendak berkunjung ke rumah kolot; jika kiai berkunjung ke rumah santri dikatakannya ngalongok anak (menengok anak). Sebutan ini semakin menunjukkan keeratan hubungan mereka yang biasanya berwujud pula dalam bentuk mohon restu. Apabila santri hendak melaksanakan sesuatu yang dianggap penting, misalnya upacara-upacara dalam daur hidup, mendirikan/menempati rumah baru, berdagang, naik haji, dan lain-lain, memohon restu dan petunjuk dari kiai. Jika kiai sudah merestui, maka maksud yang dikehendaki oleh santri itu dapat dilaksanakan. Pengikut kiai yang mempunyai ikatan moril tetapi bukan santri, adalah orang-orang yang pernah mendapat formula-formula magi dari kiai atau pernah memperoleh pertolongan melalui kekuatan magi kiai. Pengikut seperti ini tersebar di daerah-daerah yang tidak tentu, dan tidak sama kapan mulai menjadi pengikut kiai. Akibatnya satu sama lain tidak saling mengenal, tetapi mereka dapat berkumpul di rumah kiai sekalipun tidak
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1589
diundang apabila kiai mengadakan upacara-upacara atau pada hari raya puasa. Yang tergabung dalam tipe pengikut seperti ini ialah jawara-jawara sebab mereka juga memperoleh magi dari kiai. Dalam kepemimpinan jawara, pengikut-pengikut dapat dibedakan menjadi pengikut-pengikut secara umum dan pengikut-pengikut secara khusus. Yang dimaksud pengikut secara umum ialah seluruh warga masyarakat yang terikat dengan pengakuannya, atau terikat dalam hubungan politik. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa jawara itu bisa menjadi pemimpin apabila menduduki jabatan pemerintahan desa atau menjadi orang kaya. Orang-orang Pasanggrahan mengakui kepemimpinan orang kaya yang jawara dengan sebutan tokoh masyarakat atau pingpinan (dalam bahasa kasar disebut jejegud). Demikian pula seorang tokoh menempatkan dirinya sebagai pemimpin bagi masyarakatnya, misalnya dalam perkumpulan/upacara-upacara kemasyarakatan dan keagamaan. Atas dasar inilah berarti pengikut-pengikut jawara secara umum adalah warga masyarakat setempat. Sedangkan jawara yang menjadi kepala desa, pengikutnya secara umum adalah seluruh warga desa. Pengikut inilah yang mempunyai ikatan politik, karena kepala desa sebagai pemerintah (penguasa negara) dan warga masyarakat sebagai pihak yang diperintah. Adapun pengikut jawara yang khusus adalah orang-orang yang mempunyai hubungan khusus yang lebih dekat dengan jawara sebagai pimpinannya. Kedekatan hubungan itu ada yang terjadi karena hubungan kerja, misalnya orang-orang yang bekerja (karyawan) di perusahaan orang kaya yang jawara; ada pula karena hubungan jabatan dalam pemerintahan, misalnya pejabat-pejabat di bawah kepala desa; bahkan ada pula yang disebabkan karena persamaan guru (saguru saelmu) magi dengan memperhatikan peringkat senior-junior (pangheula-pandeuri). Pengikutpengikut khusus ini dinamakan dengan anak buah, baik yang menyebutnya orang lain maupun pengikut itu sendiri. Haji Tb Bsn, orang kaya (kontraktor) yang jawara mempunyai karyawan (pembantu) yang dipercaya antara lain bernama Ksm (supir pribadi) dan Abd (sekretaris). Kedua orang ini disebut oleh orang lain dan oleh dirinya sendiri dengan sebutan anak buah. Orang lain menyebutnya dengan: maranehna anak buah Haji Bsn (mereka anak buah Haji Bsn). Sedang dirinya sendiri menyebutnya dengan: urang mah anak buah Haji Bsn (kita sih anak buah Haji Bsn). Demikian pula Skm (sekretaris desa) disebut oleh orang lain dengan: anak buah Lurah Haji Ib; dan menyebut dirinya sebagai anak buah Haji Ib. Pengikut-pengikut khusus bagi jawara ini selain yang disebabkan karena adanya hubungan saguru saelmu itu bisa diakhiri (berakhir) dengan mudah. Seorang pengikut jawara bisa mengakhiri statusnya sebagai pengikut karena hal-hal tertentu. Pengikut yang sudah mengakhiri
1590 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization statusnya ini disebut urut anak buah (bekas anak buah). Hal-hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya status pengikut (anak buah) adalah karena pernyataan dari anak buah itu sendiri, atau karena tidak diakui oleh pemimpin sebab kehilangan kepercayaan (sudah tidak dipercaya lagi). Anak buah yang mengakhiri statusnya ini bisa dipindah kepada pemimpin lain dan menjadi anak buah pemimpin yang baru itu. Inilah yang diperlihatkan oleh Id yang menjadi anak buah Haji Bsn yang sebelumnya adalah anak buah Haji Hs; Mn yang sekarang menjadi pengemudi (supir) mobil sendiri dikenal sebagai urut anak buah Haji Hs. Adapun anak buah yang terikat melalui jabatan pemerintahan desa dapat berakhir dengan berhentinya yang bersangkutan dari jabatan tertentu, seperti yang dialami oleh Ahmad Hd bekas polisi desa. E. Berakhirnya Kepemimpinan Kepemimpinan sebagai sesuatu yang terbentuk tentu juga bisa berakhir. Yang dimaksudkan adalah berakhirnya kepemimpinan seseorang (figur pemimpinnya), bukan kepemimpinannya itu sendiri, sebab kepemimpinan dalam masyarakat itu selalu ada (tidak pernah berakhir). Keberadaan kepemimpinan dalam masyarakat adalah suatu kepastian sebagai perwujudan dari organisasi sosial. Menurut Sills (1968: 101), para penulis sosiologi menyatakan bahwa dalam organisasi sosial (kelompok, komunitas, atau negara) itu ada kepemimpinan yang menggunakan kekuasaan untuk menjalankan fungsi-fungsinya yaitu mempertahankan tujuan bersama, menciptakan struktur untuk mencapai tujuan, dan mempertahankan atau mengembangkan struktur itu. Dalam setiap masyarakat secara wajar timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin dan yang dipimpin. Jadi yang tetap adalah kepemimpinan sebagai suatu pranata sosial, sedangkan orang yang menjadi pemimpin tentu saja bisa berakhir. Bagi orang Pasanggrahan nampak bahwa berakhirnya suatu kepemimpinan itu disebabkan karena meninggalnya seorang pemimpin dan karena penggantian. Kedua penyebab ini hanya berakibat berakhirnya kepemimpinan secara fisik, sedangkan secara moral hubungan-hubungan kepemimpinan itu tetap ada. Meninggal (kematian) sebagai penyebab berakhirnya suatu kepemimpinan, berlaku bagi semua pemimpin, yaitu kiai, jawara yang berkedudukan sebagai orang kaya, dan jawara yang berkedudukan sebagai pejabat pemerintahan desa. Sedangkan penggantian hanya berlaku bagi pejabat pemerintahan desa (khususnya kepala desa). Penyebab ini berkaitan dengan terbatasnya masa jabatan kepala desa dalam periodisasi tertentu, dan munculnya kepemimpinan kepala desa adalah melalui pemilihan umum warga desa setempat. Seorang kiai yang meninggal dunia, secara fisik kepemimpinannya dianggap berakhir dengan berangsur-angsur sesuai dengan perjalanan rohnya. Dalam masa transisi ini kepemimpinan kiai belum bisa diganti.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1591
Calon penggantinya adalah keturunannya (anak) atau kerabat dekatnya; jika tidak ada maka dapat digantikan oleh menantu laki-lakinya. Lamanya masa transisi itu berkaitan dengan perjalanan roh orang yang meninggal dan upacara-upacaranya. Selama tujuh hari sejak kematian, roh kiai yang meninggal masih berada di sekitar rumah dan kuburannya. Dari tujuh sampai empat puluh hari, roh berangsur-angsur menembus langit ketujuh. Selepas langit ketujuh inilah roh bertempat tinggal di suatu tempat yang disebut alam barzah. Sehubungan dengan perjalanan ini, kepemimpinan kiai yang meninggal belum boleh digantikan sebelum lewat seratus hari. Pesantren yang dimiliki/diasuh kiai berkabung selama masa seratus hari ini, bahkan jika penggantinya belum siap, pesantren bisa bubar. Kiai yang membuka praktik magi, baik mengasuh pesantren maupun tidak, jika meninggal maka belum bisa digantikan dalam masa seratus hari itu; bahkan jika penggantinya belum siap, praktik magi tidak bisa berlanjut (tidak dilanjutkan). Meninggalnya kiai yang menandai berakhirnya kepemimpinan secara fisik, kepemimpinannya secara moral (non fisik) tetap berlanjut. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat bahwa roh orang-orang ‘pintar’ (kiai) itu tetap berhubungan dengan orang-orang yang hidup, terutama kiai yang menggantikannya. Roh kiai itu dapat dimintai keramatnya untuk suatu maksud tertentu. Bagi kepemimpinan jawara (yang menjadi orang kaya atau pejabat) meskipun tidak setinggi kiai, tidak berakhir secara moral karena kematiannya. Mereka tetap dianggap terus menerus memimpin, karena ada peninggalan-peninggalan yang tetap utuh. Jawara yang orang kaya menjadi sumber dana tempat-tempat ibadat yang menurut kepercayaan masyarakat benda-benda yang disumbangkan kepada tempat-tempat ibadat itu tetap menjadi saksi bagi si pemberinya meskipun si pemberi meninggal dunia. Kepercayaan ini mengakibatkan adanya aturan bahwa seluruh benda-benda rumah ibadat itu tidak boleh dirusak oleh tangan manusia, tidak boleh diambil atau dimiliki oleh seseorang, dan tidak boleh diperjual-belikan. Larangan merusak barang-barang tersebut sama artinya dengan tetap mengakui pemberinya (jawara yang orang kaya) sebagai pemimpin. Oleh karena itu almarhum Haji Shoh (jawara yang orang kaya) seperti tetap dianggap ada melalui peninggalan-peninggalannya di mesjid Kampung Sampiran. F. Penutup Hubungan simbiotik dalam sistem sosial antara elemen-elemen pemimpin (kiai dan jawara), kepercayaan (teks suci) agama, dan formulaformula (bentuk-bentuk) magi yang telah diperlihatkan pada pembahasaan di muka, memperjelas bahwa pelaku (aktor) dalam jaringan sistem itu ialah kiai dan jawara. Sebagai pelaku, kiai dan jawara dapat memperbesar
1592 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization fungsinya sebagai pemimpin atau memperkecilnya. Apabila kiai dan jawara memperbesar fungsinya dalam jaringan sistem sosial, maka kepercayaan, aturan-aturan dan teks-teks suci agama (simbol-simbol agama) juga menjadi besar fungsinya, karena kiai dan jawara harus mendapat sumbangan dari kepercayaan-kepercayaan dan simbol-simbol agama ini. Akibatnya juga formula-formula dan bentuk-bentuk magi menjadi besar pula fungsinya karena dituntut sumbangannya oleh kiai dan jawara. Besarnya sumbangan yang dituntut dari formula-formula (bentuk-bentuk) magi akan memperbesar pula fungsi kepercayaan dan simbol-simbol agama terhadap formula-formula magi itu, karena dari kepercayaan dan simbolsimbol agamalah formula-formula magi itu bersumber dan mendapat legitimasi. Pembesaran (perluasan) fungsi-fungsi dalam sistem sosial tersebut mengakibatkan besar pula fungsi-fungsi bagi elemen-elemen dalam sistem budaya. Kiai dan jawara yang memperkuat fungsinya sebagai pemimpin dalam sistem sosial, mengakibatkan kepemimpinan dalam sistem budaya juga menjadi besar fungsinya. Kemudian, hal tersebut berpengaruh pada fungsi agama yang juga menjadi besar karena kepemimpinan, menuntut sumbangan dari agama yang lebih besar sehubungan dengan agama befungsi sebagai sumber dan pemberi legitimasi kepemimpinan. Demikian pula magi menjadi besar fungsinya karena kepemimpinan menuntut pengaruh dari magi yang lebih besar sehubungan magi berfungsi sebagai sumber dan pemberi kekuatan pada kepemimpinan. Hal ini berarti pula bahwa fungsi agama dalam memberi sumbangan menjadi besar terhadap magi, sebab agama berfungsi sebagai sumber dan pemberi legitimasi. Daftar Pustaka Geertz, Clifford, ‘Religion as a Cultural System’, dalam Michael Bantom (ed.), Anthropological Approachs to the Study of Religion, London: Tavistock Publications, 1969 _______, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983 Hamid, A., Tragedi Berdarah di Banten, Cilegon: Yayasan Kiai Haji Wasid, 1987 Hawley, Amos H., ‘Human Ecology’, dalam Sills (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 3 & 4, New York: The Macmillan Company & the Free Press, 1972 Hisyam, Muhammad, Perubahan Aspirasi Kemasyarakatan dalam Komunitas Muslim Pedesaan, Tesis FPS Universitas Indonesia, 1989 Hobsbawn, E.J., ‘Bandit Sosial’, dalam Kartodirdjo (peny.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1593
Horikoshi, Hiroko, A Traditional Leader in a Time of Change the Kiai and Ulama in West Java Ph.D. Dissertation University of Illionis, 1976 Kaplan, David & Manners, Robert A., Culture Theory, New Jersey: Prentice Hall, 1972 Kartodirdjo, Sartono, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966 _______, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985 Koentjaraningrat,Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987 Krige, J.D., ‘The Social Function of Witchcraft’, dalam Max Marwich (ed.), Witchcraft and Sorcery, New York: Penguin Education, 1975 Levi-Strauss, Claude, Structural Anthropology, New York: Doubleday & Company Inc., 1963 Loze, Th. H. M., ‘Iets Over eenige typisch Bantamsche Instituten’, dalam Kolonial Tijdschrief vol. 23 Mair, Lucy, An Introduction to Social Anthropology, London: Clarendon PressOxford, 1972 Makmun, Ismail, Riwayat Singkat Berdirinya Satuan Karya Ulama Golkar, Serang: Setpan Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985 Malinowski, Bronislaw, ‘The Role of Magic and Religion’, Lessa & Vogt, Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach, New York: Harper & Row Pub., 1972 Parsons, Talcott, ‘Social Interaction’ dalam Sills, International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 7, New York: The Macmillan Company, 1972 Sills, David L. (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1972 Suparlan, Parsudi, ‘Kebudayaan, Masyarakat dan Agama’, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama, Jakarta: Puslitbang Agama Depag RI, 1981 Tannenbrum, Arnold S., ‘Leadership: Sociological Aspects’, dalam Sills (ed), International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 9 & 10, New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1972 Turner, Jonathan H. & Maryanski, Alexandra, Functionalism, California: The Benyamin/Cummings Umat, Ki, Pahlawan-pahlawan ti Pesantren, Bandung: Domas, 1966
RENEGOTIATING ISLAM: THE KIAI AND PEOPLE’S RESISTANCE AGAINST THE GOVERNMENT IN THE 1993 NIPAH DAM INCIDENT IN SAMPANG, MADURA Yanwar Pribadi IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten Abstract: This paper discusses the Indonesian government’s plans to ‘modernise’ Madura during the New Order administration (1966-1998) and how segments of society responded to these plans. Specifically, it is concerned with a conflict between the government and the powerful Islamic elites together with the people in the Nipah dam incident in 1993. One of the most obvious aspects that can be highlighted from these rejections is the inability of state officials, especially at regional levels, to cope with the high expectations of the central government. Another central aspect underlined by these rejections is the undemocratic approach of the government towards the implementation of its plans. As we shall see, the government’s plans to ‘modernise’ Madura eventually created resistance among some segments in society and these segments made extensive use of Islamic symbols in resisting the government’s plans.
Introduction This paper discusses the Indonesian government’s plans to ‘modernise’ Madura during the New Order administration and how segments of society responded to these plans. Specifically, it is concerned with a conflict between the government (at central, provincial, and regency levels) and the powerful Islamic elites together with the people in the Nipah (or Nepa) dam incident in 1993. Among the questions posed in this paper are: what is the origin and nature of the Nipah dam incident? What were the government’s efforts in implementing plans to ‘modernise’ Madura? How did the kiai1 1 In the Indonesian languages, such as Javanese, Madurese, and Bahasa Indonesia (the official language of Indonesia), the term kiai can be used in both singular and plural forms. Other non-English terms in this study can be used as both singular and plural forms as well.
~ 1594 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1595
(religious leaders) and the people respond to the government’s approaches? How were Islamic symbols used in order to convey messages of rejection? Under the Suharto administration, the lack of state2 capability to implement its policies was often demonstrated in pressures towards the people. Nevertheless, the inability of the state to govern was not the only factor generating resistance in society. Indeed, there was another significant factor: the structure of the society. The structure of Madurese society affected state capability during the New Order, for instance, as it influenced the state when the state wished to implement its policies. The structure of society in Madura has been dominated by religious facets, which have often generated difficulties for the state in terms of getting the people to comply. The high position of religious leaders in society places them as commanding figures that the people follow. Although according to Pierre James, ‘[…] the santri3 group has not emerged as a significant threat to the administration due to their dependence upon the government for subsidies and other benefits, and their vulnerability vis-à-vis the peasantry’ (James, 1990: 20), in Madura, religious leaders, who compose the main element of the santri group, actually posed a constant threat to the government during the Suharto administration. Their strong identification with Islam was applied politically in the form of support for the PPP (Partai Persatuan Pembangunan – the United Development Party), and they were seen by the state as a regular menace, especially during elections. The New Order was an era of ‘pembangunan’ (development, modernity) and, according to Robert Cribb, it was characterised by unity, uniformity and conformity, contrary to the colonial era, which was characterised by a thoroughgoing fragmentation of society, culture and politics (Cribb, 2010: 70). Although the Old Order administration was also concerned with pembangunan, in reality, the Sukarno administration seems to have been more interested in building and presenting a certain independent image of the country to the outside world, as well as being busy coping with separatist and Islamic rebels. It was during the Suharto administration that pembangunan became a hot subject in the Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun - the Five Years Development Plan).4 2 I follow Pierre James’s concept of ‘state’, which is defined as the government, bureaucracy, and other instruments of the government (1990: 15). Another concept of ‘state’ is taken from Hans Antlöv (1995: 7): an apparatus embracing the legislative, executive, and judicial arms of central and local governments, including their offices, office holders and resources. 3 The term santri has several meanings, such as pupils of pesantren (Islamic boarding schools). Here it simply refers to devout Muslims. 4 Repelita was a grand design for development created by the New Order administration. In Repelita I (1969-1974), the focus lay primarily on the fulfillment of basic needs and infrastructure with the focal point on agriculture. In Repelita V (1989-1994), the fields of transportation, communication, and education took centre stage.
1596 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization According to Hans Antlöv, the New Order built a centralised economy system in which government agencies monitored credits, technological inputs, distribution, and prices (Antlov, 1995: 35). Moreover, if Pancasila (the official five pillars and philosophical foundation of the Indonesian state) represents the political character of the New Order, then pembangunan represents the economic character. Opposition to pembangunan was seen as being as political as opposition to Pancasila (Antlöv, 1995: 43). According to Michael van Langenberg, the New Order was both state and state system. While the state was an entity, an arena, and an idea, the state system was made up of the executive government, military, police, parliament, bureaucracy and courts. Thus, it can be perceived as a network of institutions, through which the rulers of the government attempted to control civil society and manipulate the means of production, distribution and exchange, in pursuance of declared national and community interests (Van Langenberg, 1990: 122). The state was concerned with constructing a continuous local economy. The economic transformation that Indonesia experienced during the New Order period, particularly the rapid industrial growth, transformed Indonesia from an economy highly dependent on agriculture in the mid 1960s, to one in which the manufacturing sector contributed more to the Gross Domestic Product (GDP) than agriculture, in the mid 1990s. The expectation was to create a modern industrial and service-based economy. In fact, economic pembangunan could be viewed as the main goal of the era and all parts of society were to work towards this objective (Wie, 2002: 196; Wood, 2005: 89). During the New Order period, the central government targeted Madura as one of the many areas to be pembangunan-ised. The process, however, was not smooth. There were several rejections of plans to build mega-projects on the island. One of them was the people and the kiai’s rejection of the Nipah dam. The Nipah dam incident was marked by four deaths. The incident was characterised by the involvement of kiai as the leaders of the people’s power. One of the most obvious aspects that can be highlighted from these rejections is the inability of state officials, especially at regional levels, to cope with the high expectations of the central government. In the Nipah dam incident, the regent of Sampang failed to accommodate the voices of people at the grassroots level who did not want their land and property to be taken away and did not want to be forced to accept the government’s plans. Another central aspect underlined by these rejections is the undemocratic approach of the government towards the implementation of its plans. In the Nipah dam incident, the government theoretically saw village inhabitants as those who needed the dam and who needed pembangunan. The dam was meant to benefit farmer-dominated villagers,
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1597
ensuring that farm lands would be well irrigated. For those who did not depend on agriculture, it was meant to create work opportunities in other sectors that would possibly be generated from the dam, such as in the tourism or fishery sectors. Therefore, the government, in this case the Sampang regency administration, believed that all efforts to build the dam would be endorsed by the villagers. In fact, the regional government was unable (or perhaps did not want) to conceive a pembangunan plan that would place the villagers as equal partners whose opinions would be taken into consideration. The origin and nature of the incident Like other regencies in Madura, Sampang has extensive areas of arid and infertile land that make it difficult to grow rice plants. According to the statistical records for 1971, of the total area of the Sampang regency (1,152.04 km²), only 15,863 hectares or 158.63 km² or 13.76 per cent was harvested areas of wetland paddy (Jawa Timur dalam Angka tahun 1971: 84). In 1983, the harvested areas increased to 22,329 hectares or 223.29 km² or 19.38 per cent (Jawa Timur dalam Angka 1983: 147), and in 1991, the harvested areas increased to 23,005 hectares or 230.05 km² or 19.96 per cent (Jawa Timur dalam Angka 1993: 91). In comparison, of the total area of East Java province (47,922.00 km²), the harvested areas in 1971 were 1,195,818 hectares or 11,958.18 km² or 24.95 per cent (Jawa Timur dalam Angka 1971: 84), while in 1983 these figures increased to 1,469,654 hectares or 14,696.54 km² or 30.66 per cent (Jawa Timur dalam Angka 1983: 147). In 1991 this reached 1,480,801 hectares (14,808.01 km²) or 30.90 per cent (Jawa Timur dalam Angka 1993: 91). Table 1 Harvested (wetland paddy) and total areas of the East Java province and Madura in 1971, 1983, and 1991 Harvested 1971, hectare 1983, hectare 1991, hectare Total areas /percentage /percentage /percentage area (km²) East Java 1,195,818/24. 1,469,654/30. 1,480,801/30. 47,922.00 95 66 90 Bangkalan 29,702/25.94 30,880/26.97 30,199/26.38 1,144.70 Sampang 15,863/13.76 22,329/19.38 23,005/19.96 1,152.04 Pamekasan 9,556/13.03 9,994/13.63 12,166/16.60 732.85 Sumenep 16,971/9.13 17,984/9.68 21,068/11.34 1,857.59 Source: Jawa Timur dalam Angka 1971, 1983, and 1991 For the New Order government, these figures showed that Sampang and also other regencies in Madura needed more paddy fields in order to achieve self-sufficiency in rice. Food security—articulated in the press as self-sufficiency in domestic rice production (swasembada pangan)—
1598 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization remains a potent idea in Indonesia, where it has always been a political issue. In 1984, for instance, when Indonesia temporarily achieved swasembada pangan, 41 per cent of all planted areas were planted with rice. By contrast, in Malaysia, the total area planted with rice declined from 25 per cent in 1972 to 13 per cent in 1998 (Timmer, 2004: 2, 11). The Banyuates sub-district in the Sampang regency, with an area of 141.23 km² or 11 per cent of the total area of the Sampang regency, was seen by the central government as a potential location for the introduction of an irrigation system by building a new dam. The idea was based partly on the fact that the Nipah River, 21.77 km in length and flowing primarily through the sub-district, could be the main source of the dam. In addition, the rainfall in the sub-district was relatively high for Sampang.5 The fact that the area was also dry and un-irrigated prompted the government to transform the area with plans to build a dam. The idea was to flood the areas surrounding eight villages in the sub-district, namely the villages of Planggaran Barat, Planggaran Timur, Tolang, Nagasareh, Lar-Lar, Tapa’an, Montor and Tebanah. Only one of these villages, Nagasareh, would be completely inundated. After the site was flooded and the dam was constructed, it was expected that the farmers in the area would change their cropping pattern (the selection of crops to be made depending on the soil and the source of water) so that eventually they would benefit from the dam.6 According to the 1993 plan, the government aimed to build a number of dams in East Java province. Some of these dams were already under construction, while some projects were not yet implemented. Table 2 List of dams under construction and awaiting construction in 1993 in three river areas (wilayah sungai) in the East Java province A. Wilayah Sungai Bengawan Solo Size 1. Gongseng dam(Bojonegoro) 13 million m³ 2. Kerjo dam (Bojonegoro) 11 million m³ 3. Cawah dam (Bojonegoro) 13 million m³ 4. Nglambangan dam (Bojonegoro) 12 million m³ 5. Belah dam (Bojonegoro) 11 million m³ 6. Jipang dam (Cepu)* 560 million m³ 5 In 2009, the average monthly rainfall was 100 mm/month, slightly higher than other sub-districts such as Torjun whose average monthly rainfall was 60 mm/month, or Omben whose average monthly rainfall was 80 mm/month, but slightly lower than Kedundung or Tambelangan whose average monthly rainfall was 110 mm/month (Kabupaten Sampang dalam Angka 2010: 3). 6 Many irrigation development plans throughout the world have been conventionally based on cropping pattern selection and aimed at maximising the revenue from irrigation activities. In reality, however, several complexities make the cropping pattern selection a more complicated problem (Tsakiris & Spiliotis, 2006: 57).
The Heritage of Islamic History for Civilization
7. 8. 9. 10.
~ 1599
Bugel dam (Tuban) Tawun dam (Bojonegoro) Lamong dam (Lamongan) Sangiran dam (Ngawi)
14 million m³ 32 million m³ 13 million m³ 15 million m³ Sub-total: 694 million m³ B. Wilayah Sungai Brantas Size 120 million m³ 1. Wonorejo dam (Tulungagung) 1 million m³ 2. Sejawe dam (Tulungagung) 40 million m³ 3. Tugu dam 9 million m³ 4. Bagong dam (Trenggalek) 19 million m³ 5. Kampak dam (Trenggalek) 100 million m³ 6. Beng dam (Jombang) 289 million m³ Sub-total: C. Wilayah Madura Size 1. Blega dam 70 million m³ 2. Samiran dam 60 million m³ 3. Nipah dam 2.5 million m³ Sub-total: 132.5 million m³ Total: 1,115.5 million m³ *the location is in the Central Java province, but the benefits are also felt in the East Java province Source: DPU Pengairan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, 1993 (quoted in Hardiyanto, 1995: 5). The plan to build the Nipah dam had been on the table since the fiscal year of 1981/1982. Indeed, it was implemented from that fiscal year until the fiscal year of 1985/1986 with funds from the Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN - Budget Revenue and Expenditure) through the project Pembangunan Jaringan Irigasi Sedang Kecil Jawa Timur (Small Medium Irrigation Development in East Java). The project was halted due to lack of funds and was scheduled to restart in the fiscal year of 1986/1987 (Hardiyanto, 1995: 10). In 1982, the government started the process of acquiring land with a total area of 53 hectares. This land acquisition, however, was postponed since the government decided to reschedule the project in 1984 (Kompas, 17 October 1993). In the end, no further action was executed until a decade later and the fiscal year of 1993/1994. In the fiscal year of 1993/1994 the Nipah irrigation development project was scheduled to recommence. The proposal came from Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Daerah Jawa Timur (DPUPD Jawa Timur the East Java Public Works Office of Irrigation Areas), the East Java provincial government, and the Sampang regency government (Hardiyanto, 1995: 10).
1600 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization In order to build the dam, the government needed to acquire land, and that included people’s property, such as houses, mosques and burial grounds. The land acquisition issues turned out to be a major problem. The government did not publicly explain the plan to the residents, and despite the fact that the land belonged to the people, the villagers were not invited to discuss the land acquisition process. The land acquisition began with a measurement of the land instead of a discussion of the plan with the land owners. The land measurements caused unrest among the villagers, and they felt that they were not given adequate information regarding the plans. According to the statistical records for 1992, the population of Banyuates was 60,837 people or 8.65 per cent of the total population of Sampang.7 The total number of households within the eight villages was 11,424, while the types of work undertaken by the inhabitants were farming (87.63 per cent) and trading (8.16 per cent) (Hardiyanto, 1995: 13). For the farmers, their land was not only a source of income, but also a sacred possession. There were graveyards and langgar (small mosque) on their lands. These places were regarded as sacred, and together with their houses and their paddy fields they constituted a connected family property. Khudori, who was considered the ringleader of the people’s protests, revealed that his property was inherited land and that he had no desire to sell it: ‘If I sold it, how would I visit (ziarah) the graves of my parents?’ (Tempo, 16 October 1993). Moreover, Musa, the father of Nindin (one of the victims who died in the incident), stated that he had two hectares of land and that he did not want to sell: ‘The land was inherited from my parents. I was afraid to get kualat (being cursed and struck down by calamity) if I sold it; what is more, it was my only property’ (Kompas, 17 October 1993). The measuring of the land by the officials of the Badan Pertanahan Nasional (BPN - the National Land Board) started on 5 July 1993 in the villages of Nagasareh and Tapaan and ended on 31 July 1993. On 2 August 1993, around 35 landowners came to the local parliament of Sampang to ask about the measuring process. They also demanded that the regency parliament clarify the plans to build the dam. However, they did not receive a clear answer. The local government saw the visit as a protest. As a result, the measuring was suspended for eight days (Hardiyanto, 1995: 27). On 25 August 1993, around 32 landowners went to the regency parliament once again. They complained about the unrest being caused by the measuring. Reports by the fact-finding team of Lembaga Bantuan Hukum (LBH - Legal Aid Organisation) Surabaya indicated that landowners were restless and uneasy because village officials were forcing them to give their approval (to give cap jempol, literally a thumb mark) to 7 In 2009 the inhabitants were 73,234 people or 8.47 per cent of the Sampang population (Kabupaten Sampang dalam Angka, 2010: 55).
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1601
the measuring. The landowners discovered that this thumb mark was being used as a sign of approval of the measuring, whereas they were initially told that the thumb mark would be a sign that their land would not be measured. As a result, the following day, four landowners, Khudhori, Makruf, Masruki, and Mar’i were ordered to come to Koramil (the military rayon command) Banyuates. They were taken to Kodim (the military district command) Sampang and stayed there for two days. They were accused of: 1) being the masterminds behind the rejection of the Nipah dam; 2) being ringleaders in terms of organising other villagers to come to the local parliament; 3) leading the way in the rejection of the measuring process; and 4) influencing people to not sell their land. Furthermore, the four men were forced to accept the land prices set by the government and were forced to influence fellow landowners to sell their land (Hardiyanto, 1995: 27-28). The arrest of these four landowners was actually part of a rather common pattern in many places in Indonesia. As Lucas has indicated, the ‘mysterious’ arrests of activists or people labelled as activists who tried to organise resistance and change the security forces’ perception of its own role in land acquisition disputes, also happened in Plumpang, north Jakarta and Tubanan, north Surabaya (Lucas, 1997: 255). During the measuring on 8 September 1993, officials from the BPN, accompanied by the klebun (village heads) of Planggaran Barat, two police officers from Polsek (the sector police in the sub-district) Banyuates and a soldier of Koramil Banyuates were intercepted by around one hundred villagers. Asdin, the klebun, armed with a machete, threatened the villagers not to disrupt the measuring. The villagers demanded that the measuring be stopped and, after a heated debate, this is indeed what happened (Hardiyanto, 1995: 28). This disturbance on 8 September annoyed the regent who ordered a briefing (penyuluhan) be held among the villagers. On 20 September 1993, the regent along with a number of members of the DPRD II (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - the regency parliament) Sampang and a group of officials of the sub-district of Banyuates (Muspika) conducted a briefing in Planggaran Timur village hall. A local ulama, Kiai Jauhari was also spotted at this briefing. The regent was angry because the measuring process was not going smoothly. He threatened that anyone who obstructed the Nipah dam project would be shot (Hardiyanto, 1995: 30-31; Elsam, 1996: 5). On 23 September 1993, the regent held a coordination meeting (rakor) with the regency parliament head, the police chief of Sampang (Kapolres), the commander of Kodim Sampang (Dandim), BPN, and other officials. One of the outcomes of this rakor was the replacement of police officers (Polres Sampang) in the measuring process with the armed forces (Kodim 0828) (Hardiyanto, 1995: 31). On 24 September 1993, one day
1602 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization before the Nipah dam incident, officials from BPN and around 20 security officers from Polres Sampang and Kodim 0828 conducted the measuring in Planggaran Timur village. No incident took place on that day. To conclude, it seems that the government consistently attempted to measure the land despite a number of protests from landowners. Lucas reveals that this kind of situation has been common in the period since the late 1980s, when land disputes involving the authorities and landowners became a major source of local and national tension in Indonesia. The disputes were usually concerned with compensation offered for the land at rates well below market value (Lucas, 1997: 230). The low prices of the land were caused by, among other things, landholders’ failure to register their lands, because of both the costs and the bureaucratic procedures involved. Therefore, the only proof of ownership or cultivation rights is the length of time they had been cultivating the land and their payment of all financial obligations (Lucas, 1992: 84). The shooting After 24 September passed without incident, the officials of BPN and the Social and Politics Office (Kantor Sosial Politik) of Sampang and around 20 security officers, recommenced measuring on 25 September. Unlike the day before, this time hundreds of villagers had gathered on the site where officials were attempting to measure the land and protested against the process. There are several different versions of the incident reported in the media. One of the reports mentions that the villagers were armed with sharp weapons and tried to attack the officials. They forced the officials back until the distance between them was only five metres, and then, following a number of warning shots, which were ignored by the protesters, the security forces fired on the villagers. As a result, three villagers, Mutirah, Nindin, and Simuki, died on the spot, and one, Muhammad, died in a hospital a couple of days later (30 September 1993) (Surya, 26 September 1993; Tempo, 16 October 1993). The findings of LBH Surabaya reveal another story. According to this organisation, the villagers of Planggaran Timur, Lar-Lar, Tolang, Nagasareh, Tapaan, Montor, and Planggaran Barat, came to the site to ask why their property was being measured while the question of whether they were willing to sell their property or not, and whether the prices being offered were appropriate had not been resolved. Moreover, according to this version of the story, the villagers were not carrying any weapons and were shot from a distance of 125 metres, rather than five metres (Hardiyanto, 1995: 36). After the incident, the Coordinating Minister for Politics and Security (Menko Polkam), Susilo Sudarman, stated that the guilty parties would be prosecuted (Surya, 29 September 1993). Consequently, the
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1603
soldiers who had shot the four people were brought to court and punished. Furthermore, Dandim 0828 Sampang, Lieutenant Colonel (Artillery) Sugeng Wiyono and Kapolres Sampang, Lieutenant Colonel (Police) Siswinarto, were dismissed from their posts (Suara Karya and Jayakarta, 16 October 1993).
Kiai in power One of the most active kiai in the protest was Kiai Alawy Muhammad. After the incident, Kiai Alawy, together with Sampang residents, demanded justice. Vice President Try Sutrisno asked Kiai Alawy to calm the fiery situation in Sampang. Meanwhile, other kiai also responded to the incident. Kiai from the NU of East Java, represented by its board members, Kiai Imron Hamzah and Kiai Hasyim Muzadi, stated that: ‘the NU of East Java deeply regrets the three persons shooting incident. The NU of East Java is very concerned. The suspects in the Nipah incident must be thoroughly investigated under applicable laws, taken the public interest into account’. The NU of East Java also urged the nahdliyin (the NU followers) to perform shalat ghaib (a funeral prayer performed when the corpse is not in the same location as those performing the prayer) and tahlilan (a prayer performed on six consecutive nights to facilitate a deceased person entering paradise) for the victims (Jawa Pos, 30 September 1993; Surya, 31 September 1993). Meanwhile, on Saturday, 2 October 1993 twenty ulama from Sampang who had signed a statement of concern and regret over the Nipah incident were invited by Muspida Sampang (a group of officials of the Sampang regency) to an event titled ‘Pertemuan Ulama-Umaro Sampang’ (the meeting of ulama-umaro (the government) of Sampang). However, only one of the twenty invited ulama attended, Kiai Busyiri Nawawi, the kiai of Pesantren Asy-Syirojiyah Sampang. Among others present at the meeting were Dandim 0828, the vice Kapolres, the chairman of the municipal court, the chairman of the municipal parliament, and a number of other officials (Surya, 3 October 1993; Surabaya Post, 3 October 1993). In the meantime, Kiai Alawy, one of the ulama who had signed the statement, stated that he did not have to attend the meeting because the regent, Bagus Hinayana, had not apologised, and had instead persisted in blaming the citizens for being ‘puppeteers’ of the incident and the on-going protests to reject the dam. Kiai Alawy claimed that he did not know about the government’s plan to build the dam: ‘I have never been asked to consult about the plan, Mister Bagus [Hinayana] has only been here once, at the opening of Penataran P4 (the Upgrading of the Guidance to the Perception and Practice of Pancasila) some time ago’. Another ulama, Kiai Marzuki Djufri, the chairman of the education foundation Al Jufri, Blumbungan, Pamekasan, supported Kiai Alawy’s statement, saying that ‘the eruption of
1604 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization the incident is proof that the role of ulama and public figures is not taken into consideration’ (Jawa Pos, 4 October 1993; Surya, 4 October 1993). The statements of a number of ulama were later taken into consideration by the authorities. Around seventeen ulama, led by Kiai Alawy, were invited to meet with the governor of East Java. In the meeting with the ulama, the governor was accompanied by the chairman of the MUI (Majelis Ulama Indonesia - the Council of Indonesian Ulama) of East Java, Kiai Misbach. According to Kiai Alawy, the main purpose of the meeting was to deliver ten points of concern from the Madurese ulama on the incident. These points included the handling of the incident. The ulama voiced their concern that to deal with the incident, peace must first be created in the villages surrounding the dam, people’s lives must be put back to normal, people’s trust had to be restored in the government’s plan, and mutual suspicion between the various parties must be eliminated. The governor was said to have appreciated the initiative of the ulama to convey their ten points: ‘[…] well done, they were willing to help and cooperate with us to calm the community around the site’ (Hardiyanto, 1995: 55; Jawa Pos, 6 October 1993; Surya, 6 October 1993). Two days later, a larger meeting was held in the Grahadi building in Surabaya. Among the participants were Kiai Alawy, the chairman of the MUI of East Java, and a number of Madurese ulama. Meanwhile, a number of officials came to represent the authorities. Moreover, Mohammad Noer, a Madurese public figure was also spotted there (Jawa Pos, 8 October 1993; Hardiyanto, 1995: 55). The incident was also discussed in a Bassra (Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura – The Association of Friendship of Madurese Pesantren Ulama) meeting in Pesantren Raudlatul Muta’allimin, Bangkalan on 17 October 1993. Around 75 ulama were present to hear an explanation from Kiai Jauhari of Banyuates (Surabaya Post, 18 October 1993). In an interview with the Surabaya Post, Kiai Alawy asserted that the plan to build the Nipah dam was not crystal clear for the people surrounding the site. He added that the villagers did not completely understand the benefits of the dam and that they only knew that their land was being measured, so it was easy to see how the misunderstanding had surfaced. He urged the officials measuring the land to have direct meetings with the villagers and demanded that the villagers be provided with clear explanations about the benefits of the dam, the prices of their land and, finally, why the land should be measured. He also mentioned that the incident happened because the government had not approached the ulama and other public figures about this matter adequately. He lamented that the government did not invite the ulama to discuss the plan prior to the measuring (Surabaya Post, 4 October 1993). The important role Kiai Alawy played was approved by the governor of Lemhanas (the National Resilience
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1605
Institute), Major General R. Hartono, who publicly voiced his unhappiness about the plan that had not involved the ulama, including Kiai Alawy (Jawa Pos, 4 October 1993). What we may notice from the incident is that after the incident, the villagers turned to leaders who they expected would be able to solve the problems. During this time, the ulama showed their influence and became involved for two reasons. Firstly, they became involved because the people called on them to help solve the problems, and secondly—and this is actually more important—it was because the ulama felt the need to involve themselves in the conflict. They believed that their capacity as leaders of the people would be preserved if they were seen to be on the villager’s side, supporting the people, and criticising the government. Land acquisition and the problems of ‘provocateurs’ Fresh water is a much-contested resource. Industry, households, and farmers make competing demands on available water resources, using them diversely for, among other things, transport, a source of drinking water, and a key resource for agriculture and fish farming. The 1990s saw governments worldwide experimenting with market-mimicking devices for water management (Braadbaart, 2007: 297). The incident over land acquisition in Sampang was actually part of a series of wider land disputes in Indonesia. During the New Order, land dispossession was guarded under the strict control of the bureaucracy and the military, justified by utilitarian ideas of development and public purposes (Fauzi & Bachriadi, 2006: 3-4). According to Lucas, during the early 1990s, an enormous increase in land disputes was caused by the rapid expansion of foreign and domestic private investment. The government had to facilitate the acquisition of land by investors for the building of factories and public projects such as housing, dams, roads, and urban renewal schemes. The help given to private investment was part of the government’s industrialisation programme (Lucas, 1997: 231-232). In almost all land dispute cases, bureaucracy plays a pivotal role in the administration of land acquisition as well as in the settling of disputes. It is the bureaucracy of various ministries at the village, regency, and provincial levels that has the responsibility to implement government laws and regulations regarding land, from the Basic Agrarian Law of 1960 (which sets the legal framework for all land regulations) to Keppres/Keputusan Presiden (the Presidential Decree) No. 55/1993, which covers the implementation of land acquisition, definitions and interpretations of public interest (Lucas, 1997: 232). In the Nipah dam incident, which cost the lives of several villagers, there was a common attitude among the civil and military authorities, which was asserted in various statements, that the incident was
1606 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization masterminded (didalangi) by third parties (pihak ketiga) or outsiders (orang luar). The governor insisted that the incident happened because there were third parties encouraging landowners to reject the dam. Pangdam V/Brawijaya even accused three villagers of being ringleaders in opposing the measuring team and the security forces (Hardiyanto, 1995: 46). The regent suspected ‘outsiders’ of being the actors behind the protests: ‘I suppose that the protests were driven by outsiders, not by the local people, but I do not know who drove it’ (Kompas, 28 September 1993). According to the special report of the DPUPD, the protesters, including the three dead victims, were mostly not the landowners, and that the protests from 2 August 1993 to 25 September 1993 were masterminded by Makruf of Larlar, Khudhori of Talang, and Siseh of Talang (Hardiyanto, 1995: 50). One year after the incident, a team from Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta (Centre for Research of History and Traditional Values Yogyakarta) under the Ministry of Culture and Tourism investigated the incident and visited the site. According to their report, officials returned to the site to install markers on the acquired land. They were accompanied by security forces and measured the land in the villages of Lar-lar, Talang, and Nagasareh. These activities were said to have generated anxiety amongst the villagers who still hoped, indeed, expected, that the incident would be settled (Nurhajarini et al, 2005: 99). What about the regent? In the midst of the pressure from the ulama and the general public to investigate the incident thoroughly, the Minister of Home Affairs, as the regent’s ultimate superior, appeared hesitant. Up until 15 October 1993, the minister was still waiting for the report from the governor (the official report of Bakorstanas of East Java - Badan Koordinasi Keamanan dan Stabilitas Nasional/Body for the Coordination of National Security and Stability), which was necessary before any punishment could be imposed. He said that punishments could vary from being discharged of duties, demotions, or cuts in salary (Hardiyanto, 1995: 53). Prior to 15 October 1993, the regent released a statement that he would take full responsibility for what happened in the incident (Suara Merdeka, 13 October 1993). This did not prevent the governor from asserting that he would bear the ultimate responsibility for the incident: ‘It is not fair to blame others in the incident. This is completely my responsibility as the governor of East Java; do not blame the regent of Sampang Bagus Hinayana in this case because he was only the executor [of the project] in the daerah (region, here it means in Sampang)’ (Merdeka, 15 October 1993; Tempo, 23 October 1993; Hardiyanto 1995: 53). Following the hesitation of the higher authorities, such as the Ministry of Home Affairs and the governor, to dismiss the regent, residents
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1607
of Sampang demanded justice by protesting in front of the regent’s office on 9 September 1993. They did not have simply one demand. They also called for the abolishment of the SDSB (state-sponsored lottery) and for the Bahari movie theatre to be closed down because it was undermining people’s morality (Surabaya Post, 9 November 1993; Jawa Pos, 10 November 1993). A number of santri who claimed to be representatives of Pesantren Tanwirul Islam and Darul Ulum also came to the DPRD II Sampang in order to request that parliament dismiss the regent (Surya, 16 November 1993). The protests were not only voiced by those who were against the regent. Twelve kiai from Omben, led by Kiai Asyari Munir, came to the DPRD II Sampang to give their support to the regent. They asked the DPRD not to dismiss Bagus Hinayana and, in fact, requested that parliament let him keep his position until the end of his tenure. However, they also requested that the SDSB in Sampang be abolished (Surya, 16 November 1993). It seems that there was a political agreement between the regent and his supporters that would allow the regent to retain his position as long as the SDSB was abolished. It is also possible that these kiai, in order not to appear to be direct supporters of the regent, raised the issue of abolishing the SDSB so that their disagreement with the SDSB indicated their support for Islamic law. Meanwhile, in an interview with Surya, Kiai Alawy stated that the regent must be punished: ‘Not only has he to be sanctioned in the form of dismissal from his position,’ he said, ‘but he also has to be brought to court’. He also condemned the twelve kiai who gave support to the regent, saying that those who supported the regent could not claim to be kiai. He suggested that that those who supported the regent were driven by contractor companies; if they did not support the regent, he reasoned, they would not get governmental projects. The same opinion was also voiced by the FPP (the United Development Fraction) of DPRD II Sampang who demanded that the regent resign from his position (Surya, 18 November 1993). Nevertheless, on 17 November the DPRD confirmed that the regent would remain in his position until the end of his tenure in 1995. This decision was made for several reasons, such as the fact that the regent was still needed to rule the regency and that during his tenure he had achieved much for the regency. The FPP, who had voiced their disagreement with other fractions in the parliament, ultimately had to agree with the decision. However, they made sure that their opinions on the regent would be inserted into the statement that would be sent to the governor (Surabaya Post, 18 November 1993). Subsequently, there were no further attempts to bring the regent to court or to dismiss him from his position for the remainder of his tenure.
1608 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Conclusion If we look at the situation at the end of the twentieth century more globally, it is not surprising to see that the rapid and sustained development in Indonesia was also found in other third world countries in Asia and Latin America. What is more interesting to note is that the efforts to create development in all these places were typically state-led or statedesigned in top-down policies. In New Order Indonesia, development was associated with rapid industrial transformation and efforts to narrow the large gap between the middle class and workers, peasants, and other city dwellers. The main positive aspect learnt from the New Order experience is that an open trade and investment regime and efficient supply-side investments were beneficial for Indonesia. This can be seen from Indonesia’s thirty years of rapid growth and the rapid improvement in living standards (Hill & Narjoko, 2010: 63). The role of authoritarian governments, such as the New Order administration, was very important as they functioned as strong and active economic actors and consequently became vigorous in intervening in all aspects of development. In the Nipah dam incident, however, state intervention ignored people’s rights and disregarded the kiai’s authority. The rejections of the Nipah dam occurred in the last years of the Suharto administration. In the Repelita VI (which began in 1994 and ended suddenly when the Suharto administration collapsed in 1998), tinggal landas (literally, ‘take-off’) was a term to denote the stages of pembangunan that would supposedly be achieved by the end of the Repelita year in 1999. However, the discourse on tinggal landas had surfaced in the previous Repelita IV and Repelita V. The government intensified pembangunan in Repelita IV and Repelita V as an effort to prepare for the tinggal landas era in Repelita VI. Nevertheless, the economic element of the development policies of the New Order seem to have neglected the un-readiness of social, political, and cultural aspects of pembangunan. If we observe the strategy of the national economy development, especially in Repelita IV and Repelita V, it seems that the priority of the development policies was to achieve fast economic growth as preparation for entering the tinggal landas era. The landowners at the Nipah dam site, together with a number of kiai, led by Kiai Alawy, protested against the unjust process of land acquisition and the shooting incident that took four lives. However, the rejections are not best identified as a refusal of pembangunan. The rejections were not directed against the dam, which symbolised the unremitting efforts of the government to develop the country. Indeed, the kiai and the people realised that the dam was essential in the process of pembangunan for Madurese society. The construction was eventually accomplished after the government tried a few different policies. Therefore, the rejections are best
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1609
described as the dissatisfaction of segments of society towards the undemocratic and authoritarian policies of pembangunan. With these rejections, segments of society, especially the kiai, maximised the use of cultural and Islamic symbols. In the Nipah dam incident, issues such as the drowning of mosques, sacred graveyards, and inherited lands were prevalent. The people assumed that their inherited lands were crucial for their life, as it was widely believed that those who sold the lands would experience misfortune. Nevertheless, the inappropriate prices of the lands were actually the decisive factors which drove people to protest against the land acquisitions. Kiai Alawy and other kiai who demanded justice for the Nipah dam incident acted in the name of the public and of Islam. Their involvement was actually demanded by the public since the people had great expectations of their leaders. On the other hand, they were also requested by the government to help solve the incident. The government realised that it was easier to ask the kiai to pacify the heated situation than to cope with the tense circumstances without involving local leaders. Here we see the importance of the kiai as brokers, and the alignment of these kiai with the people made their influence more powerful. In other words, we see how kiai were trying to renegotiate Islam in their own ways. It is now very clear that Madurese ulama, particularly those who were not affiliated with the state, were very much aware and conscious of contemporary socio-political circumstances. Most Madurese kiai were not partners of the state and they remained outside the state system. However, they were aware that their influence in society was great and, thus, they attempted to maintain their authority and prevent it from being usurped by the state. We can conclude, therefore, all rejections witnessed in the Nipah dam incident were not solely meant to guard Islamic principles, but perhaps also because the plans might have a direct impact on their authority, not only in terms of religious authority, but also social, political, economic, and cultural authority. In order to protect themselves, they used their religious authority extensively to convey their messages; indeed, this was their main weapon and the people did not expect anything less. Bibliography Government Publications Jawa Timur dalam Angka Tahun 1971 Jawa Timur dalam Angka 1983 Jawa Timur dalam Angka 1993 Kabupaten Sampang dalam Angka 2010
1610 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Books and Articles Antlöv, Hans. Exemplary Centre, Administrative Periphery: Rural Leadership and the New Order in Java. Richmond: Curzon Press, 1995. Braadbaart, Okke. “Privatizing Water: the Jakarta Concession and the Limits of Contract”. In A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories, edited by Peter Boomgaard. Leiden: KITLV Press, 2007. Cribb, Robert. “The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond the Colonial Comparison”. In Soeharto’s New Order and its Legacy, edited by Edward Aspinall and Greg Fealy. Canberra, ANU E Press, 2010. Fauzi, Noer and Dianto Bachriadi. “The Resurgence of Agrarian Movements in Indonesia: Scholar-Activists, Popular Education and Peasant Mobilization—Some Sketches for Discussion”. Paper presented at the International Conference on “Land, Poverty, Social Justice and Development: Social Movements Perspectives”, 9-10 January 2006 at Institute of Social Studies (ISS), The Hague, The Netherlands. Hardiyanto, Andik. Insiden Nipah: Sengkok Cinta Tang Disa Ma’e Tembak. Surabaya and Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum and Direktorat Operasional YLBHI, 1995. Hill, Hal and Dionisius Narjoko. “Managing Industrialisation in a Globalising Economy: Lessons from the Soeharto Era”. In Soeharto’s New Order and Its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, edited by Edward Aspinall and Greg Fealy. Canberra, ANU E Press, 2010. James, Pierre. “State Theories and New Order Indonesia”. In State and Civil Society in Indonesia, edited by Arief Budiman. Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1990. Langenberg, Michael van. “The New Order State: Language, Ideology, Hegemony”. In State and Civil Society in Indonesia, edited by Arief Budiman. Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1990. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/Elsam. Peradilan Setengah Hati: Laporan Proses Persidangan Kasus Nipah di Mahkamah Militer III-12 Surabaya, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 1996. Lucas, Anton. “Land Disputes in Indonesia: Some Current Perspectives”. Indonesia, No. 53 (1992): 79-92. Lucas, Anton. “Land Disputes, the Bureaucracy, and Local Resistance in Indonesia”. In Imagining Indonesia: Cultural Politics and Political Culture, edited by Jim Schiller and Barbara Martin-Schiller. Athens: The Center for International Studies, Ohio University, 1997.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1611
Nurhajarini, Dwi Ratna et al. Kerusuhan Sosial di Madura: Kasus Waduk Nipah dan Ladang Garam. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005. Timmer, Peter. “Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook”. Working Paper Number 48, November 2004, Center for Global Development, Washington DC. Tsakiris G. and M. Spiliotis. 2006. “Cropping Pattern Planning under Water Supply from Multiple Sources”, Irrigation and Drainage Systems. No. 20 (2006): 57–68. Wie, Thee Kian. “The Soeharto Era and After: Stability, Development and Crisis, 1966-2000”. In The Emergence of a National Economy: an Economic History of Indonesia, 1800-2000, edited by Howard Dick et.al. Leiden: KITLV Press, 2002. Wood, Michael. Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and Counterviews. Leiden and Boston: Brill, 2005. Newspapers Jawa Pos Jayakarta Kompas Merdeka Suara karya Suara Merdeka Surabaya Post Surya Tempo
HERITAGE OF LOCAL ISLAM IN THE ARCHIPELAGO: A CONTRIBUTION OF QUR’ANIC EXEGESIS IN SUNDA REGION (WARISAN ISLAM LOKAL UNTUK PERADABAN ISLAM NUSANTARA: KONTRIBUSI PENAFSIRAN AL-QUR’AN DI TATAR SUNDA) Jajang A Rohmana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Email: [email protected]. CP: 081320129296 Abstrak: Dalam sejarah kajian Al-Qur’an di Nusantara, studi terhadap tafsir Melayu-Indonesia menjadi kecenderungan umum di kalangan para sarjana setidaknya sejak seperempat akhir abad ke-20. Namun secara akademis, kajian tersebut terlalu memperhatikan perkembangan tafsir dengan jangkauan luas dan tidak melirik tafsir dengan publikasi yang relatif terbatas. Banyak tafsir lokal yang cukup berpengaruh pada masanya cenderung termarginalkan dan luput dari perhatian. Tafsir Sunda misanya, sejak awal abad ke-20 ikut memperkuat indigenisasi ajaran Al-Qur’an ke dalam karakteristik tradisi Islam lokal. Beragam metode, aksara, dialek bahasa dan situasi sosial-keagamaan menghiasi latar historisitasnya. Ia mencerminkan pengalaman keagamaan orang Sunda dalam berinteraksi dengan kitab sucinya di lingkungan alam kesundaan. Kajian ini berusaha memberikan sedikit gambaran tentang kontribusi tafsir lokal di tatar Sunda (Jawa Barat) sebagai warisan khasanah Islam Nusantara. Sedikitnya terdapat tiga hal yang menunjukkan karakter lokal dalam tafsir Sunda: penggunaan tingkatan bahasa (undak usuk basa), ungkapan tradisional dan metafor alam Sunda. Kajian ini sangat signifikan tidak saja menegaskan identitas tafsir Sunda yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi intelektual Islam Nusantara, tetapi penting dalam rangka menjelaskan kreatifitas orang Sunda dalam mempertemukan tradisi tafsir dengan latar bahasa dan budayanya. Kajian ini signifikan untuk menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak lagi sekedar di permukaan sebagaimana diasumsikan Geertz dan Wessing, tetapi sudah merasuk ke dalam dan menjadi bagian dari identitas Islam di tatar Sunda. Ekspresi lokalitas tafsir Sunda kiranya menjadi bagian dari pengukuhan identitas Islam lokal itu sebagai warisan peradaban Islam Nusantara. Kata kunci: tafsir Sunda, bahasa, Islam lokal
A. Pendahuluan Dalam sejarah kajian Al-Qur’an di Nusantara, studi terhadap tafsir Melayu-Indonesia cenderung menjadi trend di kalangan para sarjana setidaknya sejak seperempat akhir abad ke-20. Ini misalnya tampak pada studi Johns, Feener, Harun, dan Riddell tentang tafsir Melayu klasik,
~ 1612 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1613
Tarjumân al-Mustafid.1 Begitupun Federspiel, Yusuf, Gusmian dan Baidan yang mereview perkembangan tafsir di era modern Indonesia.2 Besarnya minat akan studi tafsir Melayu-Indonesia bisa dipahami mengingat masuknya Islam ke Nusantara melalui kawasan ini. Terlebih bahasa Melayu saat itu menjadi lingua franca dan termasuk salah satu bahasa yang paling luas pemakaiannya. Namun secara akademis, kajian tersebut terlalu memperhatikan kajian Al-Qur’an yang muncul di permukaan dengan jangkauan luas dan tidak melirik tafsir dengan publikasi relatif kecil dan terbatas. Sejumlah tafsir berbahasa Sunda misalnya, beredar di era kolonial dan cukup berpengaruh pada masanya luput dari perhatian. Padahal ia sangat signifikan dalam menggambarkan besarnya pengaruh jaringan Islam di Nusantara.3 Ia tidak hanya menunjukkan kesinambungan jaringan keilmuan yang menurut Millie semakin mempertegas serat halus di wilayah yang seringkali disebut pinggiran.4 Tetapi juga menunjukkan kreatifitas ekspresi bahasa lokal di dalamnya yang lahir dari pluralitas latar penafsiran yang membentuk horison teks dan pemahaman di sekitar Kitab Suci. Selain itu, perkembangan kajian Al-Qur’an di tatar Sunda (Jawa Barat) mencerminkan semangat orang Sunda dalam menerima Islam. Sejauh mana sumber utama Islam itu dapat diapresiasi melalui vernakularisasi.5 Inilah yang disebut Haji Hasan Mustapa (1852-1930) sebagai ngarabkeun Sunda tina basa Arab, meng(arab/Islam)kan Sunda dari
A.H. Johns, “Quranic Exegesis in the Malay World: In Search of Profile,” dalam Andrew Rippin (ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur`ân, Oxford: Clarendon Press, 1988; Salman Harun, Hakikat Tafsîr Tarjumân Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Singkel, Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988; R. Michael Feener, “Notes Towards the History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia”, Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998: 47-76; Peter G. Riddell, Transferring Tradition: ‘Abd Al-Rauf AlSingkili’s Rendering into Malay of the Jalalyn Comentary, Barkeley: University of California, 1990. 2 Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, Ithaca, New York: Cornel Modern Indonesia Project, 1994; Yunan Yusuf, “Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Pesantren, Vol. 8, No. 1, 1991; Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002; Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai, 2003. 3 Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the seventeenth and eighteenth centuries, Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai’i Press, 2004. 4 Julian Patrick Millie, Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java, Disertasi, Leiden University, 2006, hlm. 193-194. 5 A.H. Johns, "She Desired Him and He Desired Her" (Qur'an 12:24): 'Abd al-Ra'ûf’s Treatment of An Episode of the Joseph Story in Tarjumân al-Mustafid,” Archipel. Vol. 57, 1999: 109; Farid F. Saenong, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Interview dengan Prof. A.H. Johns, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, hlm. 579. 1
1614 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization bahasa Arab (Al-Qur’an).6 Baginya, menyundakan Al-Qur’an menjadi jalan bagi pencerahan spiritual yang lebih mengena ke dalam hati (keuna kana haté).7 Karenanya kajian para sarjana di atas dianggap belum sepenuhnya menggambarkan perkembangan kajian Al-Qur’an di Nusantara. Ibarat merekonstruksi puzzle yang baru separuh wajah, tafsir lokal bisa mempertegas wajah asli dari perkembangan tersebut. Para sarjana seperti Federspiel, sebenarnya bukan tidak tahu soal tafsir lokal ini, meski sebagian demikian adanya.8 Umumnya ketidaktertarikan lebih didasarkan pada anggapan yang kurang tepat tentang formatnya yang dianggap tidak jauh berbeda dengan tafsir MelayuIndonesia.9 Inilah kiranya yang menyebabkan hampir tak ada perhatian memadai terhadap tafsir lokal Nusantara, seperti tafsir berbahasa Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya. Kajian ini berusaha memberikan sedikit gambaran tentang kontribusi tafsir lokal di tatar Sunda sebagai warisan khasanah Islam Nusantara. Uraian berikut berusaha menunjukkan bahwa karakter lokal dalam tafsir Sunda merupakan bagian dari upaya kreatifitas orang Sunda dalam mengapresiasi narasi besar tafsir. Ia memiliki peran besar dalam mengadaptasikan ajaran Al-Qur’an dalam masyarakat lokal. Ia merupakan sisi lain dari warisan khazanah tafsir di Nusantara. B. Perkembangan Tafsir Sunda Inti penggalian kehidupan keagamaan dan budaya kaum Muslim di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari proses vernakularisasi. Ia merupakan upaya pembahasalokalan ajaran Islam (Al-Qur’an) ke dalam bahasa dan aksara lokal (jawi, pégon). Ini dilakukan melalui penerjemahan lisan kutipan pendek Al-Qur’an, pengadaptasian tulisan Arab dalam terjemah antar baris atau catatan pinggir, hingga penulisan literatur berbahasa Arab oleh penulis lokal disertai terjemahan dalam bahasa lokal (Arabisasi bahasa lokal).10 Di tatar Sunda, vernakularisasi awal setidaknya tampak pada beberapa kosakata Arab yang mempengaruhi bahasa Sunda
6 Haji Hasan Mustapa, Qur’anul Adhimi Adji Wiwitan Qur’an Sutji, kenging ngumpulkeun Wangsaatmadja, Bandung 7 Juli 1920, hlm. 3. 7 Mikihiro Moriyama, “Bahasa Sunda dan Islam: Suatu Potret 2010,” Makalah Workshop Internasional Islam dan Kedaerahan di Jawa Barat: Potret 2010, UIN BandungMonash University, 14 Oktober 2010, hlm. 6. 8 Tentang kajian Al-Qur’an di tatar Sunda, Feener misalnya hanya menyebut AlAmin Tardjamah Juz ‘Amma. Lihat R. Michael Feener, “Southeast Asian Qurānic Literature” dalam Jane D. McAullife (Gen. Ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, Vol. 5, Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001, hlm. 98-102. 9 Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, hlm. 3 & 137. 10 A.H. Johns, “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir (ed.), Sadur, hlm. 51-53.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1615
seperti pada naskah Carita Parahiyangan dan Sri Ajnyana dari abad ke-16.11 Ini terjadi seiring dengan semakin kuatnya pengaruh Islam pasca runtuhnya Kerajaan Sunda pada 1579.12 Vernakularisasi Al-Qur’an baik lisan maupun tulisan kiranya berkembang di hampir semua kawasan di Nusantara jauh sebelum abad ke16.13 Upaya ini tidak berarti menafikan tradisi pengkajian Al-Qur’an Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab. Selain lokalitas bahasa, kajian lokal Al-Qur’an juga melahirkan kreatifitas ragam aksara. Misalnya aksara jawi (Melayu-Jawi) yang merupakan bentuk tulisan Arab untuk bahasa Melayu dan pégon untuk Jawa atau Sunda. Selain itu digunakan pula aksara lokal seperti cacarakan (Jawa) dan lontara (Bugis), sebelum kemudian digeser oleh aksara roman/latin di era kolonial. Secara umum, tidak diketahui siapa yang pertama kali melakukan kajian Al-Qur’an dalam bahasa Sunda. Tetapi dari usaha katalogisasi naskah Sunda, diketahui hanya sedikit yang berkaitan dengan tema kajian AlQur’an. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara misalnya, mencatat dua puluh naskah bertemakan Al-Qur’an, dua di antaranya berupa terjemah AlQur’an berbahasa Sunda.14 Kajian lainnya juga dilakukan Puslitbang Lektur Keagamaan Kemenag yang melakukan penelitian naskah dari abad ke-18 dan 19 di daerah Cianjur. Dari 73 naskah yang dikaji hanya lima naskah terkait dengan kajian Al-Qur’an.15 Di sini bisa diketahui bahwa perhatian orang Sunda terhadap kajian Al-Qur’an sudah berkembang jauh sebelum abad ke-18.16 Di abad ke-19 seiring dengan digunakannya mesin cetak, publikasi kajian Al-Qur’an mulai bermunculan. R.H. Muhamad Musa (1822-1886), Hoofd Penghulu Limbangan (Garut), ulama, sastrawan Sunda pertama yang berkat persahabatannya dengan K.F. Holle (1829-1896), penasehat Belanda, mencetak karya sastra Sunda berupa wawacan dan kemudian diikuti oleh
11 Ajip Rosidi (ed.), Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 620; J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, terj. Hawe Setiawan, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hlm. 168. 12 Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hlm. 142. 13 Farid F. Saenong, “Vernacularization of the Qur’an”, hlm. 579. 14 Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat; Koleksi Lima Lembaga, Jakarta: YOI dan EFEO, 1999, hlm. 235-236; Ajip Rosidi (ed.), Ensiklopedi Sunda, hlm. 434. 15 Asep Saefullah, Laporan Hasil Penelitian Kodikologi Naskah Naskah Keagamaan Jawa Barat: Studi Kasus Tradisi Produksi Naskah Keagamaan di Cianjur, Jakarta: Balitbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009, hlm. 102. 16 Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe, Jakarta: Ushul Press, 2009, hlm. 163-165.
1616 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization kalangan ménak selanjutnya.17 Selain itu, Musa juga dilaporkan menerjemahkan Al-Qur’an dari bahasa Belanda.18 Kemudian yang paling populer adalah Haji Hasan Mustapa (18521930), Hoofd Penghulu Bandung. Ia adalah seorang sastrawan ménak yang menulis dangding sufistik Sunda.19 Mustapa dikenal sebagai sastrawan Sunda dan ahli tasawuf. Ia pernah tinggal bertahun-tahun di Mekah, mengajar lusinan murid dan berceramah di Masjid Al-Haram tentang penafsiran Al-Qur’an.20 Ia juga menafsirkan 105 ayat Al-Qur’an yang dianggap penting dan relevan bagi kehidupan orang Sunda dalam karyanya, Qur’anul Adhimi (1921-1922). Karya ini pernah beredar terbatas dalam bentuk stensil tahun 1930-an.21 Setelah era Mustapa, kajian Al-Qur’an berbahasa Sunda semakin berkembang. Bahkan pada pertengahan abad ke20, era di mana kajian para sarjana lebih terfokus pada tafsir MelayuIndonesia, publikasinya lebih banyak lagi. Berikut data sementara yang diidentifikasi dari berbagai sumber:22 N o 1
Penulis
Karya
Thn
Kategori
Quranul Adhimi
1921
Tafsir
2
Haji Hasan Mustapa Muhammad Kurdi
1927
Terjemah
3
A. Hassan
Al-Qur’an Sundawiyah (Penerbitan Percetakan TB. Sitti Syamsiyah Solo) Tafsir Al-Foerqan Basa Sunda terj. Djoeragan Mh. Anwar Sanuci jeung Djoeragan Mh. Doenaedi
1929
4
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950)
Pengadjaran dengan Bahasa Soenda atau Malja’ al-Thâlibîn fì Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, Kasyf alAuhâm wa al-Zhunûn fî Bayân Qaulih
1930an
Terjemah dari Tafsir Melayu Tafsir
17 Tentang Musa dan Holle, lihat Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, terj. Suryadi, Jakarta: KPG, 2005, hlm. 176. 18 Nina H. Lubis dkk., Sejarah Tatar Sunda, Jilid 2, Bandung: Satya Historika, 2003, hlm. 131. 19 Jahroni, Jajang. “The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (18521930).” Thesis Leiden University. 1999. 20 Snouck C. Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, trans. J.H. Monahan with an introduction by Jan Just Witkam, Leiden: Brill, 2007, hlm. 287. 21 Haji Hasan Mustapa, Qur’anul Adhimi Adji Wiwitan Qur’an Sutji (1920). Lihat juga Ajip Rosidi, Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, (Bandung: Pustaka, 1989), hlm. 389-433. 22 Lihat Benjamin G. Zimmer, “Al-‘Arabiyyah and Basa Sunda: Ideologies of Translation and Interpretation among the Muslims of West Java”, Studia Islamika, Vol. 7, No. 3, 2000: 31-65; Ajip Rosidi (ed.), Ensiklopedi Sunda, hlm. 702-703; Qamaruddin Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Yus Rusamsi, Al-Amin Al-Qur’an Tarjamah Sunda, Bandung: CV. Diponegoro, 1971, bagian Daftar Bacaan, hlm. 11; Hawe Setiawan, “Al-Qur’an dan Tafsir Sunda”, Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 September 2006; Usep Romli H.M., “Tarjamah Qur’an Basa Sunda ti Jaman ka Jaman,” Makalah Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Bandung 1923 Desember 2011, dll.
The Heritage of Islamic History for Civilization
5
6 7
8 9 10
11 12
R.A.A. Wiranatakoesoema h & R.A.A. Soeriamihardja Kol. Isa Idris Adjengan H.Mhd. Romli
H. Mhd. Romli dan H.N.S. Midjaja K.H. Qamaruddin Shaleh K.H. Qamaruddin Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Yus Rusamsi K.H. Mhd. Romli
Ta’âlâ lâ yamassuh illâ alMuthahharûn, Raudhat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân, Hidâyat al-Qulûb fî Fadhl Sûrat Tabârak al-Mulk min alQur’ân, Tafrih Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimat Sûrat Yâsîn, Kanz alRahmat wa al-Luthf fî Tafsîr Sûrat alKahf, Tanbîh al-Hairân fî Tafsîr Sûrat al-Dukhân, Kasyf al-Sa’âdah fî Tafsîr Sûrat Wâqi’at, Silâh al-‘Irfân dll. Tafsir Surah Al-Baqarah
1949
Terjemah Dangding
Tafsir Hibarna (Juz Amma) Qoeran Tardjamah Soenda, 3 Jilid (Bandung: Poestaka Islam, t.th.), cet.ke-1. Qur’an Tarjamah Sunda (Penjiar Islam Yogyakarta, 1955), cet. ke-3. Nurul-Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda, 3 Jilid Tarjamah Juz ‘Amma Basa Sunda Muqaddam Al-Qur’an Tardjamah Sunda Al-Amin : Al-Qur’an Tarjamah Sunda
1951 1950
Tafsir Terjemah
1960
1971
Tafsir s.d. Juz 3 Terjemah Terj. Juz 1 Terjemah
Al-Kitabul Mubin: Tafsir Basa Sunda, 2 Jilid Tarjamah Al-Qur’an Bahasa Sunda, 3 Jilid Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Bahasa Sunda Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda 6 Jilid
1974
Tafsir
1974
Terjemah
1978
Tafsir
1981
Tafsir
Ayat Suci Lenyepaneun, 30 Jilid Tafsir Rahmat Basa Sunda, terj. H.M. Sulaeman
1984 1986
Tafsir Terjemah dari Tafsir Terjemah dari Tafsir Arab Terjemah Pupuh Terjemah Puisi Terjemah Perkata Terjemah
1965 1969
15 16
Depag-Pemprov Jabar Depag-Pemprov Jabar Depag-Pemprov Jabar Moh. E. Hasim H. Oemar Bakry
17
K.H. Ahmad Makki
Tarjamah Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm li Jalâluddîn Al-Suyûthî wa Jalâluddîn Al-Mahallî 6 Jilid
1989
18
H.R. Hidayat Suryalaga
19801998 2001
19 . 20
Anwar Huda
Nur Hidayah: Saritilawah Basa Sunda, Al-Qur’an 30 Juz Winangan Pupuh Nadoman Nurul Hikmah Al-Qur’an 30 Juz Qomus Al-Qur’an Basa Sunda 30 Juz
Panitia Tarjamah
Kitab Suci Al-Qur’an Tarjamah Sunda,
1998
13 14
~ 1617
1995
1618 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization
21 22 23 24 25
26 27
Al-Qur’an Sunda Jamaah Ahmadiyah Indonesia Depag-Pemprov Jabar Depag-Pemprov Jabar M. Djawad Dahlan Kiai Miftahur Rahman Muhammad Abdullah bin AlHasan Caringin Sukabumi Mariyah Maryati Sastrawijaya Uus Suhendar
3 Jilid Al-Qur’an Mushaf Sundawi
2000
Mushaf
Al-Qur’an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda Al-Munir: Al-Qur’an Tarjamah Basa Sunda Al-Huda: Al-Qur’an Tarjamah ku Basa Sunda (Transliterasi) 30 Juz Sa’âdat Al-Darayn fî Tarjamat Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm li Jalâluddîn AlSuyûíî wa Jalâluddîn Al-Mahallî
2002
Terjemah
2005
Terjemah
2009
Al-Hikmah Tarjamah Al-Qur’an Basa Sunda Juz Ka-1 Tafsir Al-Razi, Tafsir Juz ‘Amma Basa Sunda
2009
Terj + Translit. Terjemah dari Tafsir Arab Terjemah
2011
Tafsir
2000
Dari tabel tersebut, tampak pasca era Mustapa hingga sekarang, kajian Al-Qur’an di tatar Sunda lebih didominasi terjemah. Terdapat belasan tafsir Sunda yang pernah dipublikasikan. Ia umumnya ditulis dan diajarkan dengan beragam bahasa. Tafsir berbahasa Arab banyak beredar di pesantren. Ia termasuk ke dalam elemen inti kurikulum.23 Tafsir Sunda beraksara pégon juga masih digunakan, meski terbatas di pesantren tradisional. Meski pesantren Sunda banyak menggunakan tafsir Arab, seperti Al-Jalâlayn, tetapi bahasa pengantarnya masih menggunakan bahasa lokal (Sunda atau Jawa).24 Setelah era Mustapa, Ahmad Sanusi, seorang ulama pesantren yang kontroversial, diketahui sangat produktif menulis tafsir Sunda, di antaranya: Malja’ al-Thâlibîn dan Rawdhat al-‘Irfân.25 Malja’ al-Thâlibîn merupakan tafsir Sunda beraksara pégon yang ditulis sampai Juz 9 (AlA’râf/7) dalam 28 jilid tipis. Sedang Rawdhat al-‘Irfân juga beraksara pégon ditulis dengan sistem terjemah antar baris (interliner, logat gantung). Tafsirannya diletakkan di bagian pinggir. Terdiri dari dua jilid (Juz 1 s/d 15 dan Juz 16 s/d 30). Tidak seperti tafsirnya yang berbahasa Melayu dan memicu polemik (Tamsjijjatoel-Moeslimien), tafsir ini disambut baik para 23 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1981, hlm. 20. 24 Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning; Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (1990), No. 2/3, Leiden, hlm. 227. 25 Ahmad Sanusi, Malja’ al-Thâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, Pangadjaran Basa Soenda), Batavia Centrum, Kantor Cetak Al-Ittihad, 1931/1349 H.; Ahmad Sanusi, Rawdhat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân, Sukabumi: Pesantrén Gunung Puyuh, t.th.; Tentang Sanusi, lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1619
ulama pesantrén dan masyarakat Priangan. Tafsir ini bahkan telah mengalami puluhan kali cetak ulang sampai lebih dari 50.000 eksemplar.26 Van Bruinessen mencatat bahwa hingga 1990-an, Rawdhat al-‘Irfân masih menjadi salah satu kitab pegangan sejumlah pesantrén di Jawa Barat.27 Selanjutnya, kalangan Islam modernis juga mempublikasikan Tafsir Al-Foerqan bahasa Sunda karya A. Hassan, guru utama Persatuan Islam (Pérsis), sebanyak tiga jilid sekitar 1920-an.28 Penerjemahnya adalah Djoeragan Mh. Anwar Sanuci dan Djoeragan Mh. Djoenaédi dari Garut. Kemungkinan ini dilakukan karena banyaknya permintaan jama’ah Pérsis yang belum terbiasa berbahasa Melayu. Saat itu Persis memang sedang giat-giatnya memperluas pengaruh terutama melalui publikasi sejumlah karya Tuan Hassan. Selanjutnya pasca kemerdekaan, publikasi tafsir Sunda semakin banyak, baik karya individu, kelompok maupun proyek pemerintah, tetapi umumnya ditulis oleh kalangan Islam modernis. Mhd. Romli dan H.N.S. Midjaja (Nénéng Sastramidjaja [laki-laki]) menerbitkan Nurul-Bajan tahun 1960. Karya ini ditulis dengan ejaan lama dan hanya sampai juz ketiga (Surah Àli ‘Imràn/3: 91). Beberapa sumber tafsir modern seperti Al-Manâr dan Al-Marâghî cenderung mempengaruhi tafsir ini.29 Romli juga kemudian menerbitkan Al-Kitabul Mubin tahun 1974. Berbeda dengan Nurul-Bajan, tafsir ini sudah menggunakan EYD. Ia disusun dalam dua jilid lengkap 30 Juz dengan 160 catatan kaki berisi penjelasan ayat. Tafsir ini memiliki perbedaan terutama dari sisi terjemah dan penjelasan singkat di bagian akhir. Kiranya tafsir ini merupakan modifikasi Romli atas karyanya sendiri Qoeran Terdjemah Soenda yang terbit tahun 1950-an.30 Pada 1978, Pemprov dan Kanwil Depag Jawa Barat menerbitkan Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Bahasa Sunda. “Tafsir Sunda Proyek” ini disusun oleh K.H. Anwar Musaddad dkk setelah sebelumnya menerbitkan Terjemah Al-Qur’an Bahasa Sunda yang merupakan proyek PELITA 19741979. Tafsir versi pemerintah ini kemudian disempurnakan kembali pada 1981/1982, hasilnya adalah Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda sebanyak 6 Jilid. Dilihat dari sistematikanya, tafsir ini merupakan versi Sunda dari proyek tafsir berbahasa Indonesia. Tafsir ini disusun cukup lama sekitar 15 tahun (1974-1991), dari era Gubernur Aang Kunaepi hingga Yogie S.M. Nama K.H. A. Musaddad dan K.H. Mhd. Romli tercatat sebagai tim ahli tafsir. 26 Fadlil Munawar Manshur, Rawdhat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi: Analisis Semiotik dan Resepsi, Tesis, Yogyakarta: PPs UGM, 1992, hlm. 120. 27 Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning,” hlm. 254. 28 A. Hassan, Tafsir Al-Foerqan Tafsir Qer’an Basa Soenda, Bandung: Taman Poestaka Persatoean Islam, Januari 1929. 29 Mhd. Romli dan H.N.S. Midjaja, Nurul-Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda, Jilid 1, N.V. Perboe, 1966, cet. ke-2, hlm. viii. 30 Muhammad Romli, Al-Kitabul Mubin Tafsir Basa Sunda, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1991, halaman terakhir Jilid 2.
1620 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Romli kiranya cukup menonjol karena sudah beberapa kali mempublikasikan terjemah dan tafsir Sunda jauh sebelumnya.31 Konon sejak 2011, Pemprov sedang mempersiapkan penyusunan kembali tafsir Sunda.32 Pada 1984, muncul tafsir Ayat Suci Lenyepaneun karya Moh. E. Hasim (1916-2009).33 Ia seorang guru, aktifis Muhammadiyah yang memperdalam agama secara otodidak. ASL merupakan tafsir Sunda yang terbit secara lengkap dengan aksara Roman. Dibanding Nurul-Bajan, Al-Kitabul Mubin, atau Tafsir Sunda Proyek yang memberikan penjelasan normatif dari kitabkitab tafsir standar (mu’tabar), ASL cenderung didominasi penafsiran yang dihubungkan dengan suasana aktual pada masanya dengan sudut pandang modernis. Kelebihannya terdapat pada penggunaan bahasa Sunda lancaran yang enak dibaca dan kaya ungkapan tradisional. Salah satu sumber bacaannya dalam menulis tafsir adalah Tafsir al-Azhar karya Hamka. Sampai 2012, tafsir ini sudah mencapai cetakan ke-7, terutama jilid 1 dan 30. Ia kemudian mencoba mempublikasikan versi bahasa Indonesianya, Ayat Suci dalam Renungan (1998), meski tidak sesukses ASL. Atas jasa-jasanya dalam melestarikan bahasa Sunda terutama melalui tafsir ASL, Hasim mendapatkan Penghargaan Sastra Rancagé tahun 2001. Baru-baru ini kalangan modernis lain, Uus Suhendar juga menulis Tafsir Al-Razi: Tafsir Juz ‘Amma Basa Sunda (2011). Latar belakang sebagai guru bahasa Arab dan aktifis Persatuan Islam kiranya melanjutkan tradisi tafsir Sunda modernis yang sudah dirintis oleh A. Hassan, Mhd. Romli maupun Hasim. Selanjutnya, belakangan muncul kembali kecenderungan tafsir Sunda yang merupakan terjemah dari tafsir berbahasa Indonesia atau Arab. Bila dahulu di era tahun 20-an muncul Tafsir Al-Foerqan Basa Sunda, kini muncul hal serupa. Misalnya karya H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat Basa Sunda (1986, 2002)34 terjemah dari Tafsir Rahmat (1983) bahasa Indonesia. Terjemah Sunda dilakukan oleh H.M. Soelaeman, seorang dosen ITB. Secara rasa bahasa, tafsir semacam ini umumnya tidak menunjukkan karakter bahasa Sunda yang sebenarnya. Selain itu, di beberapa pesantrén, setelah Sanusi di tahun 1930-an, kini muncul kembali upaya penerbitan lokal pesantrén yang secara independen menerbitkan terjemah kitab kuning berbahasa Sunda. Publikasinya menggunakan terjemah antar baris beraksara pégon. Ini misalnya dilakukan K.H. Ahmad Makki dari Pesantrén Assalafiyah 31 Anwar Musaddad dkk., Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda, Juz 1-5, Bandung: Proyek Penerbitan Kitab Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda Jawa Barat dicetak CV. Angkasa, 1991, Jilid 1, cet. ke-2, hlm. vii. 32 Lihat “Diterbitkan, Tafsir Alquran Berbahasa Sunda”, Pikiran Rakyat, 23 Mei 2009. 33 Moh. E. Hasim, Ayat Suci Lenyepaneun, Bandung: Pustaka, 1994. 34 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat Basa Sunda, terj. H.M. Soelaeman, Bandung: CV. Angkasa, 2002, cet. ke-2.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1621
Babakantipar Sukabumi sejak 1989. Selain kitab-kitab ilmu alat, fiqih, dan hadis (70 judul), ia juga menerjemah Tafsir Al-Jalâlayn ke dalam bahasa Sunda sebanyak 6 jilid.35 Hal yang sama juga dilakukan Muhammad Abdullah bin Al-Hasan dari Pesantrén Caringin Sukabumi yang menerbitkan Sa’âdat Al-Darayn.36 Adanya terjemah antar baris ini menunjukkan pentingnya otentisitas dan orisinalitas yang lebih terjamin dan otoritatif sebagai sumber yang digunakan pembacanya. Selain itu, terjemah antar baris digunakan pembaca untuk sekaligus belajar bahasa Arab secara efektif melalui bahasa lokal.37 Karenanya teks terjemah antar baris atas tafsir Al-Jalâlayn menjadi salah satu sumber penting dalam pengajaran agama di pesantren Sunda. Uraian di atas menunjukkan bahwa tafsir Sunda sudah cukup lama berkembang dan terus diproduksi hingga sekarang. Secara kuantitatif jumlahnya cukup banyak dibanding tafsir lokal lainnya di Indonesia. Ini mencerminkan semangat dan keseriusan orang Sunda untuk terus mengapresiasi Al-Qur’an dan menjaga kesinambungan dialognya dengan bahasa ibunya. C. Bahasa Sunda dalam Tafsir Tafsir sebagai mekanisme sekaligus produk budaya, lahir dari proses dialektika antara penafsir dengan realitas budaya di satu pihak dan dialognya dengan Al-Qur’an di pihak lain. Dalam konteks tafsir Sunda, realitas budaya Sunda kiranya memiliki pengaruh kuat terhadap penulis dan karya tafsir. Ini misalnya tampak pada pengaruh unsur bahasa dalam penafsiran. Bahasa merupakan ciri utama etnis yang merepresentasikan budaya. Ia mengekspresikan, membentuk dan menyimbolkan realitas budaya.38 Karenanya bahasa bagi orang Sunda, menjadi media artikulasi simbol nilai budaya dan pandangan hidupnya.39 Bahasa Sunda ketika digunakan sebagai instrumen penafsiran, tidak saja mempermudah pemahaman atas ajaran Al-Qur’an, tetapi sekaligus juga memuluskan jalan bagi masuknya pengaruh nilai budaya dan pandangan hidup Sunda ke 35 Ahmad Makki bin KH. Abdullah Mahfudz, Tarjamah Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm li Jalâluddîn Al-Suyûthî wa Jalâluddîn Al-Mahallî, Jilid 1, Sukabumi: Percetakan Al-Salafiyah, tt., hlm. ii. 36 Muhammad ‘Abdullah bin Al-Hasan Caringin Sukabumi, Sa’âdat Al-Darayn fî Tarjamat Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm li Jalâluddîn Al-Suyûthî wa Jalâluddîn Al-Mahallî, Jakarta: Maktabah Dar Al-Hikmah, t.th. 37 Azyumardi Azra, “Naskah Terjemahan Antar Baris: Kontribusi Kreatif Dunia Islam Melayu-Indonesia,” dalam Henri Chambert-Loir (ed.), Sadur, hlm. 440. 38 Mikihiro Moriyama, Semangat Baru, hlm. 13; F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009), hlm. 77. 39 Tentang pandangan hidup orang Sunda, lihat Suwarsih Warnaen dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1987).
1622 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization dalam karya tafsir. Pengaruh tersebut sedikitnya tampak pada tatakrama bahasa dan ungkapan tradisional Sunda. Tatakrama Bahasa Tatakrama basa atau undak usuk basa (tingkatan bahasa/speech levels) merupakan sistem tingkatan tutur dalam bahasa Sunda menyangkut perbedaan-perbedaan yang harus digunakan dalam hal usia, kedudukan, pangkat, tingkat keakraban serta situasi di antara yang disapa dan yang menyapa, atau antara pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan.40 Tatakrama bahasa semula berasal dari tradisi budaya Jawa-Mataram yang kemudian berpengaruh ke dalam bahasa Sunda.41 Ia menunjukkan kuatnya prinsip hormat dalam etika Jawa.42 Sebagaimana bahasa Jawa, penggunaan tatakrama bahasa Sunda tercermin pada pembedaan ekspresi ragam bahasa antara ragam bahasa hormat (halus) dan ragam bahasa loma (kurang hormat/cenderung kasar).43 Dalam tafsir Sunda, tatakrama bahasa misalnya tampak pada terjemah QS. Thaha [20]: 92-93: Musa nyarita (ka Harun dina nalika dongkapna ti gunung Thur): “He Harun! Naon nu janten pamengan ka anjeun nalika anjeun ningali ka maranehna parantos sarasab (malusyrik)”. “Bet ngantep henteu tumut kana conto kang rai (dina ambek
karana Alloh sareng merangan jalmi-jalmi nu kupur ka Mantenna)?, atanapi memang kang raka ngahaja doraka kana parentahan kang rai?” 44 Musa nyarita, “He Harun naon nu ngahalangan ka anjeun, waktu anjeun mireungeuh maranehna geus sarasab?(Nepi ka) anjeun henteu nurut ka kaula? Naha anjeun ngahaja
wangkelang kana parentah kaula?” 45
Musa nyarita: “Yeuh Harun, naon nu jadi halangan pikeun hidep basa hidep ngajeueung kasasar lampah? Ku naon teu nurut ka kami? Naha hidep geus ngalawan kana
parentah kami?” 46
Ayat tersebut berbicara tentang Musa yang menegur kakaknya sendiri, Nabi Harun, sepulangnya dari gunung Thursina. Musa marah 40 Undak usuk basa (undak = tahap, usuk = kayu yang biasanya digunakan sebagai penyangga atap rumah). Lihat Ajip Rosidi, “Ngabina jeung Ngamekarkeun Kabudayaan Sunda”, dalam Ajip Rosidi dkk., Polémik Undak Usuk Basa Sunda (Bandung: PT. Mangle Panglipur, 1987), hlm. 19-24; Edmund A. Anderson, “Speech Levels: The Case of Sundanese,” Pragmatics, 3: 2, International Pragmatics Association, n.d., hlm. 107. 41 Ayatrohaédi, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon, Disertasi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1978), hlm. 11. 42 Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia, 1991), hlm. 60. 43 Terdapat enam bentuk dalam kedua ragam bahasa ini, yaitu basa kasar, basa sedeng, basa lemes, basa lemes pisan, basa kasar pisan, dan basa panengah. Budi Rahayu Tamsyah, Kamus Undak Usuk Basa Sunda (Bandung: Geger Sunten, 2006), cet. ke-7, hlm. 9; Karna Yudibrata dkk., Bagbagan Makéna Basa Sunda (Bandung: Rahmat Cijulang, 1990), hlm. 46-47. 44 Mhd. Romli, Alkitabul Mubin, Jilid 2, hlm. 674-675. 45 Anwar Musaddad dkk., Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda, Jilid 4, hlm. 299. 46 Moh. E. Hasim, Ayat Suci Lenyepaneun, Jilid 16, hlm. 248-250. Artinya: “Berkata Musa: ‘Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?."
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1623
karena kaum Bani Israil yang ditinggalkan dan dititipkan pada Harun selama 40 hari itu malah melakukan kemusyrikan dengan menyembah anak sapi. Dialog di antara kedua Nabi/Rasul bersaudara itu diceritakan dalam tafsir Sunda dengan menggunakan ragam bahasa hormat (halus) meski dengan diksi yang berbeda-beda (anjeun, kang rai, hidep). Tatakrama bahasa ini terasa berbeda, misalnya ketika menggambarkan dialog Allah dengan iblis dalam QS. Al-A’raf [7]: 12:
Maka mariksa Allah naon anu nyegah ka manéh iblis kana heunteu daék sujud manéh ka Nabi Adam, waktu maréntah Aing ka manéh. Ngajawab iblis, ari abdi eta leuwih hade tibatan Nabi Adam karana geus ngadamel Gusti ka abdi tina seuneu jeung ngadamel Gusti ka Nabi Adam tina taneuh.47
Penggunaan ragam bahasa kurang hormat (kasar) tampak pada penggunaan kata ganti orang kedua manéh (kamu) yang digunakan Allah sebagai orang pertama (O1) menunjukkan kedudukan rendah Iblis di hadapan-Nya. Sebaliknya ketika Iblis menjadi O1, maka ragam bahasa pun berubah menjadi ragam hormat (abdi, Gusti). Sapaan Gusti untuk Allah pada ayat di atas, merupakan bagian dari bentuk ragam hormat dalam menyapa Allah oleh makhluk-Nya, karena Allah memiliki kedudukan paling tinggi. Semula istilah Gusti atau Pangeran bermakna sosiologis yang digunakan untuk menyapa orang yang dihormati seperti raja atau keluarga kerajaan.48 Dengan demikian, tatakrama bahasa Sunda yang bermuatan prinsip hormat sangat mempengaruhi ekspresi penggambaran ayat Al-Qur’an. Penafsir menyadari bahwa latar belakang budaya dirinya dan pembacanya sebagai orang Sunda menuntut penggunaan tatakrama bahasa Sunda secara tepat. Ungkapan Tradisional Selain tatakrama bahasa, berbagai ungkapan tradisional Sunda (babasan, paribasa (peribahasa) dan kecap-kecapan) juga berpengaruh pada tafsir Sunda.49 Ia merupakan kekayaan batin budaya Sunda yang 47 Ahmad Sanusi, Rawdhat al-‘Irfân, Jilid 1, hlm. 269-270. Artinya: “Maka Allah memeriksa, apa yang mencegah kamu iblis untuk tidak mau sujud pada Nabi Adam, ketika Aku memerintahmu. Iblis menjawab, saya lebih baik daripada Nabi Adam karena Gusti sudah menciptakan saya dari api dan Gusti menciptakan Adam dari tanah.” 48 Saleh Danasasmita dkk., Sewaka Darma, Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud Bandung, 1987), hlm. 78, 100, dan 142; Jonathan Rigg, A Dictionary of The Sunda Language of Java, Kamus Sunda-Inggris, (Batavia: Lange & Co., 1862), hlm. 137; Tentang Gusti dan Pangeran di Jawa, lihat Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal, Disertasi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 156. 49 Babasan berarti ucapan tertentu yang digunakan dalam arti kiasan, biasanya merupakan kalimat tidak sempurna; Paribasa (Ind.: peribahasa) berarti ucapan tertentu, sedikit tapi tepat, berupa perumpamaan dalam menjalani kehidupan, biasanya merupakan kalimat sempurna. Kecap-kecapan adalah ucapan yang sudah tetap untuk menyampaikan perasaan dengan bahasa yang rasanya bisa menggambarkan maksud penuturnya secara tepat dan mantap. Semua diungkapkan secara estetis, mengandung unsur irama dan kekuatan bunyi. Momon Wirakusumah dan Buldan Djajawiguna, Kandaga Tata Basa Sunda (Bandung:
1624 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization mengandung nasehat, prinsip hidup dan aturan tingkah laku.50 Penggunaannya dalam tafsir Sunda membuatnya cenderung lebih bermakna Islami karena diselaraskan dengan nilai ajaran Islam.51 Sebagai contoh di sini disebutkan penjelasan tafsir Ayat Suci Lenyepaneun tentang penyakit hati yang dimiliki orang munafik dalam QS. Al-Baqarah [2]: 10: Panyakit nu ngancik dina ati téh mimitina mah mencenit leutik siga pisirungeun dina tunggul, lila-lila ngagedéan, asa mokaha mirucaan ceceremed mipit teu amit ngala teu ménta, lila-lila jadi ngabaju, beuki dieu beuki ludeung nepi ka ahirna lébér wawanén jadi bangsa gerot. Waktu masih jadi bawahan geus mirucaan daek nampa suap jeung ngajilat malar naék pangkat, lila-lila suap jeung pungli jadi ngadaki, ari geus jadi patinggi mah ningkat kawani, teu kapalang belang pindah pileumpangan sakalian jadi koruptor kelas kakap. Sirik pidik ka nu leutik, belang bayah ka sasama jeung sawenang-wenang ka cacah kuricakan geus teu aya nu dipantrang. Gedé hulu siga jojodog unggah ka salu jeung kadedemes kawas nu kokoro manggih mulud puasa manggih lebaran. Galak jeung campelak sahaok kadua gaplok, tapi ana patepung jeung nu jangkung gedé, nu kumisna baplang godégna ngejejembrung, poyongkod baé siga teu daya teu upaya, batan ngalawan mah kalah ka serah bongkokan.52
Kalimat yang ditebalkan di atas merupakan ungkapan tradisional berupa babasan, peribahasa dan kecap-kecapan yang menjadi kekayaan pandangan hidup Sunda. Dalam tafsir Sunda, ungkapan tradisional kiranya digunakan untuk memperkuat makna agar mudah dipahami dan meresap ke dalam pikiran dan perasaan pembacanya. Ungkapan tradisional lainnya, pondok jodo panjang baraya (pendek jodoh panjang saudara) misalnya digunakan untuk memperkuat makna persaudaraan dalam Al-Qur’an. Mustapa misalnya menyebutkannya ketika menafsirkan QS. Al-Balad [90]: 10-20: Mipir bukit palasari, tanjakan maraga cinta. Sundana: apik ka ati nyaah ka tanaga, udaran cangreud tina beuheung, tina cangreud loba biheung. Jeung sasama silih papatahan silih
Ganaco, 1957), hlm. 58; Abdurrachman dkk., Ungkapan Tradisional Daerah Jawa Barat (Jakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984); Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS), Kamus Umum Basa Sunda, (Bandung: Tarate, 1985), hlm. xiii dan 43-44. 50 Ajip Rosidi, Ajip Rosidi, Babasan & Paribasa: Kabeungharan Basa Sunda, Jilid I (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005), hlm. 6-7. 51 Ajip Rosidi, “Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Nampak dalam Peribahasa”, dalam Cik Hasan Bisri dkk., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda (Bandung: Kaki Langit, 2005), hlm. 4-8. 52 Moh. E. Hasim, Ayat Suci Lenyepaneun, Jilid 1, hlm. 36-37. Artinya: Penyakit hati itu mulanya kecil layaknya tunas pohon, semakin lama semakin membesar, makin menjadi, makin mengganggu, mulanya mencuri, lalu terbiasa, makin berani hingga akhirnya menjadi raja pencuri. Ketika masih menjadi bawahan sudah coba-coba menerima suap dan menjilat agar naik jabatan, semakin lama suap dan pungli menjadi kebiasaan. Ketika menjadi pejabat meningkat pula keberanian, tidak tanggung-tanggung pidah arah hidup sekalian saja menjadi koruptor kelas kakap. Iri pada orang kecil, munafik pada sesama dan sewenangwenang pada rakyat kecil, semua tidak dipantang. Sombong, tamak, pemarah. Tetapi ketika bertemu orang tinggi besar, berkumis, berjambang, maka ia pun menciut tiada daya, daripada melawan malah menyerah saja.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1625
pikaheman. Nu matak sok pedor jodo panjang duriat, jodo meunang jodo, jadi opat modalna kasukaan, jadi kalimana.53
Kata ’aqabah (tanjakan) merupakan inti ayat ini, yakni bahwa untuk menempuh jalan kebaikan tidaklah mudah.54 Ayat ini menjelaskan beberapa jalan mendaki dalam kebaikan itu. Salah satunya saling bersabar saling berkasih-sayang. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Nu matak sok pedar jodo panjang duriat, jodo meunang jodo. Ungkapan tersebut merupakan tafsir singkat Mustapa atas kalimat watawâshaw bi al-marhamah (ayat 17). Mustapa menekankan arti saling menyayangi tersebut dengan mencontohkannya pada ungkapan bahwa siapapun yang berpisah di tengah jalan (bercerai) setelah sekian lama berumah tangga (bercerai), seyogyanya bisa tetap saling menyayangi, saling bersaudara, tidak putus tali silaturahmi. Di sini ia menarik ungkapan tersebut ke dalam wacana AlQur’an tentang makna saling berkasih-sayang. Ia berhasil mempertemukan prinsip kerukunan hidup orang Sunda dengan ajaran Al-Qur’an. Ia mengikat dua nilai kearifan itu dalam tafsirnya. Penggunaan bahasa Sunda dalam tafsir Al-Qur’an menjadi semacam kontak budaya sekaligus media sosialisasi ajaran Al-Qur’an dalam bingkai kekayaan bahasa dan budaya Sunda. D. Nuansa Alam Kesundaan Ekspresi lokalitas tafsir Sunda lainnya berkaitan dengan nuansa alam kesundaan. Berbagai metafor alam Priangan digunakan penafsir untuk menjangkau kedalaman rasa dan pikiran orang Sunda. Tafsir Quranul Adhimi karya Haji Hasan Mustapa misalnya, menggunakan metafor alam kesundaan seperti susukan (sungai) ketika menjelaskan Surah Al-Baqarah [2]: 256: lâ ikrâh fi al-dîn. “Taya paksa dina agama. Asalna ogé susukan palid sorangan, laku lampah asalna suka sorangan, nu matak ditotondénan dina sagala lampahing lampah agama, maké basa lillahi ta’ala, hartina lampah sukana sorangan, lain hayang diburuhan.”55 53 Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, (Bandung: Pustaka, 1989), hlm. 422. Artinya: Mendaki bukit Palasari, tanjakan Margacinta. Artinya (ayat itu), meraba hati menghemat tenaga, lepas ikatan di leher, karena dalam ikatan itu banyak kemungkinan. Dengan sesama saling menasehati, saling menyayangi. Karenanya ketika pendek jodoh, tetapi tetap panjang persaudaraan, jodoh ketemu jodoh, jadi empat modal rasa suka dan pepatah ini yang kelimanya. 54 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsîr Al-Marâghî, Juz 3 (Al-Maktabah AlShâmilah), hlm. 148. والمراد بها مجاهدة اإلنسان نفسه وهواه ومن يسو لو لوه فعول، الطريق الوعرة فى الجبل يصعب سلوكها: والعقبة الشر من شياطين اإلنس والجن 55 Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan, hlm. 10; Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa, hlm. 399. Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama. Sungai asalnya juga mengalir sendiri, berbuat asalnya karena dorongan sendiri, karenanya diberikan tanda peringatan dalam semua amalan agama, (untuk) menggunakan bahasa lillâhi ta’âlá, artinya berbuat karena dorongan diri sendiri, bukan ingin dapat upah.
1626 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Ungkapan susukan palid sorangan merupakan metafor untuk menggambarkan ketulusan beragama yang tanpa paksaan. Baginya beragama harus disertai kesadaran yang muncul dari perasaannya sendiri. Ibarat aliran sungai yang asalnya sejak dahulu mengalir sendiri, tanpa diatur untuk dialirkan seperti sekarang (irigasi). Beragamalah sebagaimana aliran sungai itu. Itulah makna beragama karena Allah (lillâhi ta’âlâ), tanpa pamrih, bukan karena ingin mendapat upah. Metafor lainnya adalah cau (pisang) ketika menafsirkan Surah AnNahl/16: 98, menggambarkan bahwa mengkaji Al-Qur’an tidak sekedar mengeja dan membacanya saja, tetapi harus sampai ke jantungnya. Faidzâ qara’ta al-Qur’ân fasta’id billâh...“Kakara hatam qulhuna, kakarana hatam Qur’anna, lain ku éjah tarabas, masih tepi ka ngarasa, teu nyaho mana kararas, kararasa ku maranéhna, lain ngaguru ka jantung, ngeunah ka jantung, ngeunah cauna sotéh geus moréat turuyan sikatan. Owérna mah kakuwar-kowér, kararasna karasa badan asa pasiksak; kajeun da geus dipulangkeun, enggeus heubeul diinjeumkeun wisaya pulang ka purba.”56
Mustapa menyebutkan bahwa khatam Al-Qur’an itu bukan sekedar mereka bacaan, tapi harus sampai di rasa. Jangan sampai tak tahu mana kararas (daun pisang yang menua dan kering). Metafor pembacaan mendalam dan tuntas yang memerlukan waktu lama untuk sampai ke ujungnya. “Coba pula berguru pada jantung pisang,” kata Mustapa. Metafor proses belajar secara bertahap ke arah kemajuan. Ibarat jantung pisang yang semakin lama semakin bergeser dengan pisang yang bertambah besar dan membuahkan hasil. Mustapa menyadari, meskipun badan terasa sakit ibarat kararas yang menggantung dan terombang-ambing ke sana-ke mari, namun itu semua sudah dibalas dengan kenikmatan. Sebuah metafor cantik untuk menggambarkan pentingnya proses belajar secara matang dengan meminjam metafor alam kesundaan. Di tempat lainnya, Mustapa juga menggunakan ungkapan bahasa pantun Sunda untuk menekankan makna berbakti kepada orang tua dalam QS. Al-Ahqaf [46]: 15: Nya munjung kudu ka indung, indung nu teu muguran; nya muja kudu ka bapa, bapa nu teu ngarangrangan. Indung nurunkeun wawatek pepek, bapa nurunkeun napsu pangala. Karek pantes boga rasa tuang ibu tuang rama. Hartina tuang ibu perwatek jalma, tuang rama perwatek napsu manusa. Duanana tedak ti indung ti bapa, pendekna indung tuang bapa tuang, nu ngahuapkeun putrana.57 56 Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan, hlm. 18-19; Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa, hlm, 406-407. Artinya: Barusan saja khatam qulhu-nya. Barusan saja khatam Al-Qur’an-nya. Bukan mengeja dibaca langsung. Sekalipun sampai bisa merasa, tetapi tidak tahu makna kararas (daun pisang yang kering). Karasa-karasa (tahu-tahu terasa) oleh mereka juga. Coba saja berguru ke jantung (pisang). Enak pisangnya itu ketika sudah moréat (tampak) turuy dan sikat-nya (sejumlah pisang). Ujung daun pisang itu terombang-ambing. Kararas-nya terasa badan agak sakit. Biar saja, kan sudah dikembalikan. Setelah lama dipinjamkan rasa sakit, kembali ke Yang Kuasa. 57 Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa, hlm. 412. Artinya: Memohonlah pada ibu, (kasih sayang)-nya tidak pernah berguguran; memintalah pada ayah, (kasih sayang)-nya tiada pernah mengering. Ibu menurunkan watak kecukupan, ayah menurunkan nafsu mencari
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1627
Ungkapan diksi berirama seperti muguran dan ngarangrangan merupakan metafor betapa kasih sayang ibu bapak tidak akan berguguran dan mengering. Sebuah metafor yang memperkaya horizon penafsiran yang disenyawakan dengan suasana alam Sunda. Ia mencoba menempatkan tafsir dalam lingkungan alam budaya Sunda. Ini menunjukkan keterikatannya sebagai orang Sunda yang hidup dengan lingkungan alam Sunda. Sebuah alam yang ditemuinya dengan kekayaan flora dan fauna di tengah alam yang subur. Masa kecil Mustapa dihabiskan di alam pegunungan Cikajang dengan hutan, kebun, aliran sungai dan kolam. Alam Sunda yang dalam bahasa Wittfogel (1936) disebut sebagai tempat tinggal hydrolic society, sehingga kerap menjadikan “air” (cai, ci) sebagai nama tempat.58 Karena kesuburannya itu pula, Brouwer, seorang rohaniwan Katolik, menyebut tatar Sunda terjadi ketika Tuhan tersenyum.59 Uraian tersebut menunjukkan bahwa tafsir Sunda dengan segala kekhasannya merupakan khazanah penafsiran Al-Qur’an di Nusantara. Meski beredar di wilayah yang terbatas, tetapi kehadirannya mempertegas kedalaman proses penyerapan nilai keagamaan ke dalam identitas budaya Islam Sunda. Tidak ada dikotomi agama dan budaya di sini sebagaimana diasumsikan Wessing.60 Tidak ada pula makna sinkretik ala Geertzian di sini.61 Meski secara bahasa terjadi apa yang disebut diglosia bahasa Arab dan Sunda yang berdampak pada hirarki otoritas tafsir,62 tetapi hal itu juga tidak berarti menafikan adanya saling pengaruh antara nilai-nilai Islam dan budaya Sunda. Keduanya cenderung saling beradaptasi karena identitas Sunda tetap dipertahankan sejauh diselaraskan dengan Islam. Tradisi pengkajian Al-Qur’an di tatar Sunda semakin meneguhkan identitas Islam lokal yang ternyata jauh dari makna sinkretik dan sekedar di permukaan. E. Penutup Tafsir Sunda tidak bisa diabaikan dalam diskursus kajian Al-Qur’an di Nusantara. Signifikansinya tidak hanya terletak pada kesinambungan jaringan tradisi keilmuan Islam Nusantara, tetapi juga dalam kreatifitas ekspresi bahasa Sunda yang lahir dari pluralitas latar budaya yang nafkah. Maka baru pantas memiliki ibu dan ayah. Artinya ibu menjadi watak manusia, ayah watak nafsu manusia. Keduanya asli keturunan ibu dan ayah. Pendeknya, ibu makan, ayah makan dan yang memakannya anaknya. 58 Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia, 1986, hlm. 87. 59 M.A.W. Brouwer, Perjalanan Spiritual dari Gumujeng Sunda, Eksistensi Tuhan, sampai Siberia, (Jakarta: KPG, 2003), hlm. 1. 60 Robert Wessing, Cosmology and Social Behavior in A West Javanese Settlement, Disertasi, the University of Illinois at Urbana-Champaign, 1974, hlm. 286. 61 Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glincoe CollierMacmillan Limited, 1960. 62 Benjamin G. Zimmer, “Al-‘Arabiyyah and Basa Sunda,” hlm. 38-39.
1628 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization membentuk horison teks dan pemahaman di sekitar Kitab Suci. Kehadirannya tidak saja berkontribusi dalam menghidupkan bahasa Sunda, tetapi juga mempertegas pengaruh latar budaya dalam proses indigenisasi Islam di tatar Sunda. Tatakrama bahasa, ungkapan tradisional dan nuansa alam kesundaan merupakan sebagian dari cermin kuatnya pengaruh latar budaya Sunda tersebut. Terjadi pertemuan antara prinsip dan nilai budaya Sunda dengan ajaran Al-Qur’an. Semua diadaptasikan dalam kerangka ajaran Al-Qur’an yang dijejakkan dalam bingkai budaya masyarakatnya. Sebuah upaya indigenisasi Islam dan peneguhan identitas Islam lokal yang tidak terjebak pada aspek formalitas-simbolik dibanding jiwa kesundaan. Baginya, identitas Islam sejatinya tetap berpijak pada kekayaan bahasa dan budaya masyarakatnya. Daftar Pustaka ‘Abdullah bin Al-Hasan Caringin Sukabumi, Muhammad, Sa’âdat Al-Darayn fî Tarjamat Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm li Jalâluddîn Al-Suyûthî wa Jalâluddîn Al-Mahallî, Jakarta: Maktabah Dar Al-Hikmah, t.th. Abdurrachman dkk., Ungkapan Tradisional Daerah Jawa Barat (Jakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984). Anderson, Edmund A., “Speech Levels: The Case of Sundanese,” Pragmatics, 3: 2, International Pragmatics Association, n.d. Ayatrohaédi, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon, Disertasi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1978). Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the seventeenth and eighteenth centuries. Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai’i Press, 2004. -------, “Naskah Terjemahan Antar Baris: Kontribusi Kreatif Dunia Islam Melayu-Indonesia,” Henri Chambert-Loir (peny.), Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG, 2009. Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai, 2003. Bakry, H. Oemar, Tafsir Rahmat Basa Sunda, terj. H.M. Soelaeman. Bandung: CV. Angkasa, 2002, cet. ke-2. Brouwer, M.A.W., Perjalanan Spiritual dari Gumujeng Sunda, Eksistensi Tuhan, sampai Siberia. Jakarta: KPG, 2003. Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan (Bandung:
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1629
Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud Bandung, 1987). Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994. Ekadjati, Edi S., Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2005, cet. ke-2. Ekadjati, Edi S., dan Undang A. Darsa, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara: Jawa Barat; Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI dan EFEO, 1999. Federspiel, Howard M., Popular Indonesian Literature of the Qur’an. Ithaca, New York: Cornel Modern Indonesia Project, 1994. Feener, R. Michael, “Notes Towards the History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia”, Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998: 47-76. -------, “Southeast Asian Qurānic Literature” dalam Jane Dammen McAullife (General Editor), Encyclopaedia of the Qur’an, Vol. 5, (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001). Geertz, Clifford, The Religion of Java, London: The Free Press of Glincoe Collier-Macmillan Limited, 1960. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002. Harun, Salman, Hakikat Tafsîr Tarjumân Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Singkel. Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988. Hasim, Moh. E., Ayat Suci Lenyepaneun. Bandung: Pustaka, 1994. Hassan, A., Tafsir Al-Foerqan Tafsir Qer’an Basa Soenda. Bandung: Taman Poestaka Persatoean Islam, Januari 1929. Hurgronje, C. Snouck. Mekka in the Latter Part of the 19th Century, tranlated by J.H. Monahan with an introduction by Jan Just Witkam. Leiden: Brill, 2007. Iskandar, Mohammad, Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001. Jahroni, Jajang. “The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis Leiden University. 1999. Johns, A.H., “Quranic Exegesis in the Malay World: In Search of Profile,” Andrew Rippin (ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur`ân. Oxford: Clarendon Press, 1988. -------, "She desired him and he desired her" (Qur'an 12:24): 'Abd al-Ra'ûf’s treatment of an episode of the Joseph story in Tarjumân al-Mustafid”, Archipel. Volume 57, 1999.
1630 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization -------, “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir (peny.), Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG, 2009. Kunto, Haryoto, Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Granesia, 1986. Lubis, Nina H., dkk., Sejarah Tatar Sunda, Jilid 2, Bandung: Satya Historika, 2003. Magnis-Suseno, Frans, Etika Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia, 1991). Makki, Ahmad, bin KH. Abdullah Mahfudz, Tarjamah Tafsîr Al-Qur’ân Al‘Azhîm li Jalâluddîn Al-Suyûthî wa Jalâluddîn Al-Mahallî, Jilid 1, Sukabumi: Percetakan Al-Salafiyah, tt. Manshur, Fadlil Munawar, Rawdhatul ‘Irfân fî Ma’rifatil Qur’ân Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi: Analisis Semiotik dan Resepsi. Tesis PPs UGM Yogyakarta, 1992. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsîr Al-Marâghî, Juz 3 (Al-Maktabah AlShâmilah) Millie, Julian Patrick, Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java. Diss. Leiden University, 2006. Moriyama, Mikihiro, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, terj. Suryadi, Jakarta: KPG, 2005. -------, “Bahasa Sunda dan Islam: Suatu Potret 2010,” Makalah Workshop Internasional Islam dan Kedaerahan di Jawa Barat: Potret 2010, UIN Bandung-Monash University, 14 Oktober 2010. Muhsin, Imam, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal, Disertasi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008). Musaddad, KH. Anwar, dkk., Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda. Bandung: Proyek Penerbitan Kitab Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda Jawa Barat dicetak CV. Angkasa, 1991. Mustapa, Haji Hasan, Aji Wiwitan Qur’an Sutji, kenging ngumpulkeun Wangsaatmadja, Bandung 7 Juli 1920. Noorduyn, J., dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, terj. Hawe Setiawan, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009. Nurtawab, Ervan, Tafsir Al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe. Jakarta: Ushul Press, 2009. Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS), Kamus Umum Basa Sunda, (Bandung: Tarate, 1985). Pikiran Rakyat, “Diterbitkan, Tafsir Alquran Berbahasa Sunda.” 23 Mei 2009.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1631
Rahyono, F.X., Kearifan Budaya dalam Kata (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009). Riddell, Peter G., Transferring Tradition: ‘Abd Al-Rauf Al-Singkili’s Rendering into Malay of the Jalalyn Comentary. Barkeley: University of California, 1990. Rigg, Jonathan, A Dictionary of the Sunda Langage of Java. Batavia: Lange & Co., 1862. Romli H.M., Usep, “Tarjamah Qur’an Basa Sunda ti Jaman ka Jaman,” Makalah Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Bandung 19-23 Desember 2011. Romli, H. Mhd., & H.N.S. Midjaja, Nurul-Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda. N.V. Perboe, 1966, cet. ke-2. Romli, K.H. Muhammad, Al-Kitabul Mubin Tafsir Basa Sunda. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1991. Rosidi, Ajip, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana. Bandung: Pustaka, 1989. ------- (ed.), Ensiklopedi Sunda, Alam, Budaya, dan Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. -------, Ajip Rosidi, Babasan & Paribasa: Kabeungharan Basa Sunda, Jilid I (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005). -------, “Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Nampak dalam Peribahasa”, dalam Cik Hasan Bisri dkk., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda (Bandung: Kaki Langit, 2005). -------, “Ngabina jeung Ngamekarkeun Kabudayaan Sunda”, dalam Ajip Rosidi dkk., Polémik Undak Usuk Basa Sunda (Bandung: PT. Mangle Panglipur, 1987). Saefullah, Asep, Laporan Hasil Penelitian Kodikologi Naskah Naskah Keagamaan Jawa Barat: Studi Kasus Tradisi Produksi Naskah Keagamaan di Cianjur. Jakarta: Departemen Agama RI Balitbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009. Saenong, Farid F., “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Interview dengan Prof. A.H. Johns, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006. Sanusi, K.H. Ahmad, Malja’ al-Thâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, (Pangadjaran Basa Soenda). Batavia Centrum, Kantor Cetak AlIttihad, 1931/1349 H. -------, Rawdhat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân. Sukabumi: Pesantrén Gunung Puyuh, t.th.
1632 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Setiawan, Hawe, “Al-Qur’an dan Tafsir Sunda”, Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 September 2006. Shaleh, K.H. Qamaruddin, H.A.A. Dahlan, dan Yus Rusamsi, Al-Amin AlQur’an Tarjamah Sunda. Bandung: CV. Diponegoro, 1971. Tamsyah, Budi Rahayu, Kamus Undak Usuk Basa Sunda (Bandung: Geger Sunten, 2006), cet. ke-7. van Bruinessen, Martin, “Kitab kuning; Books in Arabic script used in the Pesantren milieu; Comments on a new collection in the KITLV Library.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (1990), no: 2/3, Leiden. Warnaen, Suwarsih, dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1987). Wessing, Robert, Cosmology and Social Behavior in A West Javanese Settlement, Disertasi, the University of Illinois at Urbana-Champaign, 1974. Wirakusumah, Momon dan Buldan Djajawiguna, Kandaga Tata Basa Sunda (Bandung: Ganaco, 1957). Yudibrata, Karna, dkk., Bagbagan Makéna Basa Sunda (Bandung: Rahmat Cijulang, 1990). Yusuf, Yunan, “Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia,” Jurnal Pesantren, Vol. VIII, No. 1, 1991. Zimmer, Benjamin G., “Al-‘Arabiyyah and Basa Sunda: Ideologies of Translation and Interpretation among the Muslims of West Java”, Studia Islamika, 7 (3): 2000: 31-65.
Bhinneka Tunggal Ika: The Contribution of Indonesian Islam to the Development of Common Ground in Interfaith Dialogue Abdulloh Fuadi, MA Lecturer of IAIN Mataram Abstract: Interfaith dialogue is a complicated effort requiring a paradigmatic explanation in order to maintain its benefits for human life. Postmodern consciousness about the dominance of diversity in human perspectives and worldviews should be considered. In postmodernism, there is no universal perspective covering all filters. There is no common ground that is free from cultures in which all different religions agree on truth and resolve their dissimilarities. Diversity, thus, cannot be reduced to one foundation. Therefore, any effort to create a common ground is a-history. Nevertheless, I believe that there is a bond that encourages people with various perspectives to live in peace and respect each other. As an Indonesian Muslim, I propose Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) and ukhuwwah Islamiyyah (Islamic brotherhood) as a bond that ties all people from different religions in the development of common ground in interfaith dialogue. I also propose the fifth C (connection) complementing the previous four Cs (compassion, conversion, collaboration and comprehension) in a hermeneutical circle of interfaith dialogue. I respond to postmodern consciousness and propose the idea of bounce back movement, a possibility of renewal and reconstruction of religious perspectives. Experiences such as interfaith dialogue may form and determine religious consciousness. Interfaith dialogue is not simply about an exchange of information between two or more people from different religions. A dialogue particularly about fundamental values such as a religion is a complex action that involves many perspectives. An interfaith dialogue may run effectively that a collective commitment can be made1. Otherwise, an interfaith 1 A well-known world commitment among people from different religions is Global Ethic. It was established in 1993 by the Parliament of the World’s Religions. To know more
~ 1633 ~
1634 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization dialogue may result in a polemical discussion.2 An interfaith dialogue is, therefore, a complicated effort requiring a paradigmatic explanation in order to maintain its benefits for human life. Postmodern consciousness about the dominance of diversity in human perspectives and worldviews should be considered. Recognizing complexity of worldviews, agreement on a matter between two or more people from different religions does not necessarily show that they are in the same boat. When participants of an interfaith dialogue state “yes”, they are not directly unified under one flag. Their worldviews that consist of many instruments are not suddenly changed into the same color. I explain more about postmodern consciousness in the first part of this paper. In the second part of this article, I address the nature of common ground proposed by proponents of interfaith dialogue. Common ground is a bridge that connects various perspectives among different religions. In this part, as an Indonesian Muslim, I propose Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) as a bond that ties all people from different religions in the development of common ground in interfaith dialogue. The third part of this article discusses a hermeneutical circle in interfaith dialogue, a paradigmatic explanation elaborating wheels or spokes passed by every participant in interfaith dialogue. There are four spokes in the hermeneutical circle, which are abbreviated as 4 Cs: compassion, conversion, collaboration, and comprehension. Reflecting on this hermeneutical circle, I add the fifth C, which is connection. In the last part of this article, I respond to postmodern consciousness and explain more about a bounce back movement, which is not realized by the postmodernists, especially in religious insights. The postmodernists do not anticipate the possibility of renewal and reconstruction of religious perspectives. In this part, I fill a knowledge gap left by postmodernists. Postmodern Perspective: The Dominance of Diversity There are many critiques against pluralists who propose interreligious dialogue. The critiques seem to have a common tone: proponents of interfaith dialogue ignore the diversity of religions. The pluralists do not really understand plurality of religions and deny differences of religions. The pluralists do not consider uniqueness of every religion because they are too passionate about interfaith dialogue. They are overwhelmed by the beauty of harmony and at the same time overlook the about this issue, see: Hans Kung, Global Responsibility – In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991). Hans Kung (ed.), Yes to a Global Ethic (London: SCM Press LTD, 1996). Summer B. Twiss and Bruce Grelle (edt.), Explorations in Global Ethics – Comparative Religious Ethics and interreligious Dialogue (USA: Westview Press, 2000). 2 Djam’annuri, Studi Agama-Agama: Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003), p. 254.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1635
distinctiveness of every color and shape of a religion. In other words, pluralist scholars are criticized for not being real pluralists. Pluralists insist on the values of diversity and propose a need of involvement of people from different religions in authentic dialogue. Nonetheless, authentic dialogue is actually not practiced properly. Roots of those critique and warning are called postmodern consciousness. Postmodernism is a term referring to awareness about limitations of modernity. Postmodernism goes beyond the limitation of the Enlightenment that produces contemporary modern world. Several modern values criticized by this postmodern consciousness are excessive confidence in reason, authoritative consideration for empirical data, refusal to mystical possibility in achieving authentic knowledge, and insincere supports to universal truth and methods. The last value is the core critique of postmodernists against proponents of interfaith dialogue. The central pillar of this postmodern criticism is its determination on the dominance of diversity. There are two reasons supporting the postmodernists’ claims: 1) all human experiences and knowledge are filtered; and 2) the filters are absolutely various and diverse. Postmodernists assert that all people are veiled by their historical consciousness, which is definitely time-bound. One’s worldview is always a result of constructed filters3 in which he/she experiences and comprehends the world. People are historical beings that they only look at the world from a particular perspective. They absolutely cannot understand the world as it is, but they understand it only through a particular historical filter. There are many thinkers in postmodernism. Nietzsche asserts that all of our expressions and opinions about truth are not really derived from what we see and experience but from what we have previously created and imposed. He believes that we are never able to get the objective reality measuring our truth. What religious people say about God, Ultimate Reality and Truth is beyond their perspective and therefore non-exist. Heidegger deepens this consciousness with his insistence on historical filter. Human’s ‘being-ness’ (Dasein) is actually a ‘thrown-ness’ (Geworfensein) into the tight and firm net of their historical situation. Wittgenstein continues the discussion by bringing these historical filters to linguistic filters. Language limits human’s ability to understand the world. Language is not only a tool to speak about what we know, but also an 3 Roger Timm reminds us about the complexity of worldview, “Motivations for human behavior are many and varied, and assessing the impact of religious beliefs on behavior, especially in the past, can be highly speculative…...The consequence of such beliefs in the present may be even more difficult to detect, for influences on decision and actions in contemporary religious communities may be quite complex.” See: Roger E. Timm, “The Ecological Fallout of Islamic Creation Theology”, in Mary Evelyn Tucker and John A. Grim, Worldviews and Ecology – Religion, Philosophy and the Environment (Maryknoll New York: Orbis Book, 1994), p. 90-91.
1636 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization instrument that determines and limits what we can speak and know about the world. We are trapped in our ‘language game’, which enables us to enjoy the game but reminds us that it is only one game of many others.4 Philosophers remind us that we always use our own historical glasses and can never experience the world without them. With the same consciousness, cultural anthropologists describe that there are many glasses across the world and each of them works. Every society has its own worldview and filter. Sometimes we assess that the glasses used by a society are irrational compared to our own. However, the glasses actually work in that society. Every filter should be judged within its own context and assessed within its own situation. We are not allowed to use the filter of one culture to evaluate another culture. Therefore, the diversity of filters should be a main consideration over the possibility of a universal filter.5 The postmodern consciousness now seems to point its gun to natural sciences, the biggest outcome of the Enlightenment. Scientific methods are well understood as rigid methods beyond cultural-historical filters. However, contemporary philosophers of sciences show that scientific methods are bias. The works of Khun, Polanyi and Popper are effective in demonstrating potential diversities in scientific paradigms.6 Feyerabend asserts further that scientific methods applied today have been governed by hidden imperialism.7 Philosophers argue that scientists work under their own chosen filter or given perspective.8 If we ask philosophers about a possibility to build a common foundation for all houses, a possible common ground that enables various perspectives to communicate each other in security without bias, they will answer “no”. They insist that there is no foundation, expression or criterion of truth, which is given to us from outside the diversity of historical filters. There is no universal perspective covering all of these filters. There is no common ground that is free from history or cultures in which all different religions can meet to agree on truth and resolve their dissimilarities. Diversity, thus, cannot be reduced to one foundation. Therefore, any effort to create a common ground is a-history. Such universal foundation should be deconstructed due to the limitation of all perspectives including the perspective of a universal foundation itself. Postmodern consciousness has further dramatic implication. There is not only an incorrigible diversity, but also a tough incommensurability 4 Paul F. Knitter, One Earth Many Religions – Multifaith Dialogue and Global Responsibility (New York, Maryknoll: Orbis Books, 1995), p. 39-40. 5 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), p. 3. 6 M. Amin Abdullah, Studi Agama – Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), p. 123 7 Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1978). 8 William Placher, Unapologetic Theology: A Christian Voice in a Pluralistic Conversation (Louisville Westminster, 1989), p. 33
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1637
among cultures and religions in the world. This is a challenge for any dialogue of religions as described here: we are limited by historical glasses by which we view the world and God; we cannot really know and evaluate another religion unless we use its glasses (it means that we have to put off our own or use two pairs of glasses at the same time); there is no possibility to get one prescription for a set of glasses that we all need and wear. In line with postmodern sensitivities, Lindbeck uses a culturallinguistic approach to religion, which raises serious problems for proponents of interfaith dialogue. Lindbeck insists that religions are more like languages that form and determine experiences than experiences in search of language. Understanding religions as filters that determine experiences rather than as pictures that express experiences, Lindbeck has a conclusion that there is absolutely no inner experience of God that is common to all human beings and all religions. There is no experiential core because it is as varied as the form of religions. People from various religions cannot have similar experiences, rather they have different experiences.9 Referring to the postmodern awareness as described above, proponents of interfaith dialogue have to ask themselves whether they adequately consider the diversity of religions and the uniqueness of every perspective. The postmodernists argue that the way pluralists call all these various religions is similar to trainers who call participants around the world to form an international union. The trainers impose not only their own rules and definitions but also their own game. They are not aware and do not respect the genuine diversity and incommensurability of religions. At this point, pluralists become imperialists. There are two general ways in which pluralists may become dangerous imperialists: 1) They too quickly presuppose or describe common ground that establishes unity among religions; and 2) they too easily draw up common guidelines for dialogue between religions.10 The critiques go further: are proponents of interfaith dialogue aware of how much their understanding of dialogue is filtered through their own worldview, their own philosophical conviction and their own religion’s agenda? Placher reminds proponents of interfaith dialogue that: by insisting on non-absolute positions, they can become quite absolutist; by insisting on all-inclusion they can be exclusive. Are supporters of interfaith dialogue not worried that the grand vision of a universal pluralistic dialogue among religions turns to become a club of intellectuals? They claim that they want to foster a universal religious dialogue, but it excludes the evangelical Christians, Hasidic Jews or fundamentalist Muslims because
9 George Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age (Philadelphia: Westminster Press, 1984), p. 40. 10 Paul F. Knitter, One Earth Many Religions…… p. 44.
1638 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization they do not accept the proposed rules of the game, rules that seem to emerge from a modern, Western and academic tradition.11 These are serious warnings. If proponents of interfaith dialogue do not acknowledge the diversity of religious convictions and perspectives and do not recognize their own restricted perspectives and universal projects, they can be half-baked pluralists and anonymous imperialists.
Bhinneka Tunggal Ika: The Effort to Create A Bond
The problems of interfaith dialogue showed by postmodernists are real, which have to be considered seriously by anyone who tries to promote interfaith dialogue. However, we have to place the warnings of postmodern consciousness in their appropriate box. It seems to me that the warnings are like a road sign of danger ahead. The road is not totally blocked. The dangers are real but they can be avoided sometimes by careful plotting and sometimes by detours. If the road to authentic dialogue between different cultures and religions is really blocked, the future of human civilization is really in danger. The world today is at a crossroad. If we do not care about it, we will fall together to the depth of horrible life. The globalization has two opposite faces: its promises bring human civilization to the top of life, while its perils push it to the lowest level of life. These two faces have to be managed well in a just and reasonable consideration. One is sometimes more aware to perils of globalization rather than to its promises. However, we should be wary of promises of globalization. One of those promises is an advanced use of information technology. An example of the contemporary trend is surfing a popular video website, YouTube. Many YouTube users seem to promote suspicion, conflict and discord among people from different religions. Pihlaja studied this phenomenon using a discourse dynamic analysis. Focus of his analysis is on how metaphor is produced dynamically in interaction and what this interaction may tell us about how misunderstanding occurs among users. Pihlaja shows that understanding of specific metaphors seems to differ depending on who produces and interprets a given metaphor.12 Discussing about perils of globalization, many writers warn us about its implication to both human and ecology. Kennedy states: “After nearly five decades of unprecedented global economic growth, the world heads toward the twenty-first century with more than a billion people in
William Placher, Unapologetic Theology……p. 146. Stephen Pihlaja, The Pope of YouTube: Metaphor and Misunderstanding in Atheist – Theist YouTube Dialogue (The Journal of Inter-Religious Dialogue, Issue 3: www.irdialogue.org), p. 25-35. 11 12
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1639
poverty”.13 Amid all the progress we have made in this technologically marvelous century, the human family has grown poorer. Concerning the environmental crises, Pallmeyer says: “In the 37.4 million acres of forests that are destroyed every year, in the 13 million acres of land that yearly lose their productive topsoil and are turned into wasteland, we are both killing the actual life that moves within it and, more frighteningly, depleting to the point of destroying the ability of this system to produce and sustain future life”.14 At national level, many reports explain about the current situation needed for serious anticipation. Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Gadjah Mada University has produced five annual reports on religious life in Indonesia since 2008. The reports described about numerous problems concerning religious life in Indonesia. The reports focused on several issues, which are religion and public policy, relation of inter and inner-faith communities, places of worship, religion disgracing, conflict and violence related to religious matters and religion in general election. The reports proposed several recommendations for public policy makers.15 All of those aforementioned facts are real and thus cannot be ignored. This is a starting point of our discussion with postmodern awareness. On one hand, postmodernists claim that there will be no common ground for intercultural discourse, universal truth and meta-narratives; there are only diverse perspectives, individual constructs and ad hoc themes for conversation. On the other hand, today world is in situation that calls for a global and coordinated action based on common values and truth. The postmodern awareness cannot be put together with the reality of the world. The postmodern warnings should not be hurdles in bringing cooperative and coordinated responses from many nations and religions to the reality of human and ecology. The obsession of many contemporaries with preservation of diversities at all costs without any imposition of a universal agenda or universal criteria by which we can decide what is true or false, right or wrong can easily lead to what Krieger calls a ‘relativist agonistics’. What Kriger means is simple but serious: if we have no common agenda, if there are no common criteria to be discovered or fashioned by nonviolent consensus, then ultimately what is ‘true’ will be decided by power – by who has the money or the guns.16 Spretnak makes the same point: The 13 Paul Kennedy, Preparing for the Twenty-First Century (New York: Random House, 1993), p. 49. 14 Jack Nelson-Pallmeyer, Brave New World Order (Maryknoll: Orbis Books, 1992), p. 96. 15 www.crcs.ugm.ac.id/annualreport 16 David Krieger, Conversation: On the Possibility of Global Thinking in an Age of Particularism (Journal of the American Academy of Religion 58, 1990), p. 227.
1640 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization aggressive surge of denial called for by deconstructionism leads to a flattened valuelessness in which nothing is left but the will to power. The preference of an individual or group can then carry the day through political manipulations and displays of power, control and forceful domination. Hence some observers conclude that the extreme relativism of deconstructive postmodernism leads to a societal model of ruthless power plays and perhaps fascism.17 As we know today, power is not shared equally in the world. Nations and races that possess more power than the others will decide the criteria for truth and value. To avoid making pursuit of truth as pursuit of power, we must be able to agree among ourselves that there is common ground on which we can come to common convictions, criteria and action. Proponents of interfaith dialogue then should explain in detail what they mean by common ground. Although there is no similarity among many perspectives, with regard to postmodern consciousness, I believe that there is a bond or tie among them. It is the bond that makes different perspectives can live and grow in peace and respect each other. It is the bond that makes human life harmonious although there are many colors representing numerous perspectives. It is a garden with many flowers or a group of butterflies with various colors of wings. They are in peaceful coexistence. They are beautiful just exactly because of their variety. The difference among flowers in a garden or colors in rainbow is a beautiful unification. They are not similar but tied in a bond. Common ground proposed by proponents of interfaith dialogue, in my view, is a bond. We do not intend to unify numerous perspectives from many religions. It is impossible to do that. We remain in our convictions with our own unique perspectives, but at the same time we can come, talk, discuss and act about a similar matter. We want to look for a bond among various perspectives. The bond is not conviction itself. It may or may not influence the conviction of each religion (I will explain more about it in the last part of this paper). The bond is not intended to replace any religious value. We let all perspectives with their own uniqueness. What we do is forging ties among these various perspectives. The objective of the bond is to adjust steps as well as movements in efforts to foster the betterment of human civilization. Harmony among different perspectives is represented by nondiscriminative assessments, respectful attitudes and, in practice, cooperative and correlative actions. Now, I propose my opinion concerning the bond that should be able to tie various perspectives in many religions. As postmodernists assert that no one can put off his/her historical-cultural glasses, my historical 17 Charlene Spretnak, States of Grace: The Recovery of Meaning in the Postmodern Age (San Francisco: Harper, 1991), p. 260.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1641
background influences me. As an Indonesian Muslim, I have seen and reflected the journey of this nation. Indonesia is not first constructed 68 years ago as the founding fathers proclaimed its independence day. Indonesia (or Archipelago) has started its journey through hundreds of years. Although this nation is now well known as home for the biggest Muslim population in the world, its first inhabitants were Hindus and Buddhist with their great cultural and philosophical heritages. Indonesian Muslims respect and preserve the whole nation’s legacies and do not put them at the edge. The national motto of Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), is a proof. It is a quotation from an old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular during the reign of the Majapahit Empire in the 14th century. This poem was notable as it promoted tolerance between Hindus and Buddhists. This quotation comes from canto 139, stanza 5. The full stanza is as follows: Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa (It is said that the wellknown Buddha and Shiva are two different substances), Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (They are indeed different, yet how is it possible to recognize their difference in a glance), Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal (since the truth of Jina-Buddha and the truth of Shiva is one), Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth).18 The motto of Bhinneka Tunggal Ika is really a great example from Indonesia how people from different communities, ethnic groups, cultures and religions are able to unite, communicate and act together to create a better life. In my view, Bhinneka Tunggal Ika is the bond of Indonesian people. Although we come from different perspectives, we can live under the same umbrella. Indonesian Muslims, Hindus, Buddhist, Christians and many other spiritual sects are tied together. It is interesting to know that there is a national organization established by Indonesian Muslim Scholars under the name of Gerakan Bhinneka Tunggal Ika (Movement of Unity in Diversity). The founders of this organization are Abdurrahman Wahid, Achmad Mustofa Bisri and Ahmad Syafii Maarif.19 The objective of this movement is to acknowledge and appreciate diversity of traditions, cultures and beliefs. Although Gerakan Bhinneka Tunggal Ika was established by Muslims, the motto is not derived from Arabic term. In my view, it is the uniqueness of Indonesian Muslims. The motto inspired by the ancient Javanese heritage, Serat Jongko Joyoboyo: Queen of the human body but must be God armed Trisula Wedha (true, net-holy-straight, and honest); Obedient to the sage who hold Trisula Wedha, and serve subjects. 18 19
http://en.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika http://www.bhinnekatunggalika.org/tentang-kami.html
1642 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Gerakan Bhinneka Tunggal Ika is certainly fortified by Islamic values. The following Qur’anic verses affirm that diversity is the will of Allah: O mankind! We created you from a single (pair) of a male and a female, and made you into nations and tribes, that ye may know each other (not that ye may despise each other). Verily the most honoured of you in the sight of God is (he who is) the most righteous of you. And God has full knowledge and is well-acquainted (with all things) - Al-Hujurat 13. If it had been thy Lord’s Will, they would all have believed, all who are on earth! Wilt thou then compel mankind, against their will, to believe! - Yunus 99. If God had so willed, He would have made you a single people, but (His plan is) to test you in what He hath given you: so strive as in a race in all virtues 20 - Al-Maidah 48.
Gerakan Bhinneka Tunggal Ika encourages the establishment of a society that acknowledges diversities, loves traditions and cultures of the nation, in order to embody religious people without losing national identity. What Gerakan Bhinneka Tunggal Ika proposes is a great example on how Indonesian Muslims are tied together with people from different religions. It is obviously clear that there is a bond among various perspectives. Addressing the bond that ties many perspectives in different religions, I argue that all religious adherents are actually brothers. Although, surely, they were born from different parents, but they are from the same “mother” that is life. It is life that provides humans an opportunity to take part and play role in service for all creatures. Brothers, even twins, have different perspectives, but they are tied in the same bond. I have to admit that this idea emerges from my religious consciousness. As postmodernists warn about impossibility to leave historical filters, I construct the idea from Islamic values. Nevertheless, I believe that all religious people will acknowledge my “limited” horizon and respect it. I do not impose the idea to influence their religious convictions. I let them to assess the idea referring to their own religious perspectives. I get the word “brother” when I review my religious teaching: ukhuwwah (brotherhood). The term ukhuwwah is well-known in its full phrase: ukhuwwah Islamiyyah. This term should be understood appropriately to avoid confusion and contamination. The term of ukhuwwah Islamiyah should be reviewed from linguistic perspective. Some people understand the term as brotherhood among Muslims. The word “Islamiyyah” is comprehended as an actor, in this case is Muslim. Such comprehension is inappropriate. The word “Islamiyyah” that is combined by the previous word “ukhuwwah” should be recognized as an adjective. Therefore, the term ukhuwwah Islamiyyah means Islamic brotherhood, brotherhood that is built on Islamic 20 All English translated verses derived from: Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an – Original Arabic Text with English Translation & Selected Commentaries (Malaysia: Saba Islamic Media, 2001).
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1643
values. Ukhuwwah Islamiyyah is not only brotherhood among Muslims but also among people from different religions, races, cultures and nations. There are two reasons supporting this meaning: 1) Al-Qur’an and Hadith introduce and recognize numerous and various brotherhood; 2) in Arabic grammar, an adjective should be in accordance with the previous specified word. If the word is in definitive or feminine form, the adjective should follow it. This is why we call the term: ukhuwwah Islamiyyah or al-ukhuwwah al-Islamiyyah. In the Qur’an, the world akh (brother) with singular form is mentioned 52 times. Meanwhile, its plural form is in two words: 1) ikhwan is mentioned 22 times; 2) ikhwat is mentioned 7 times.21 All these words have various meanings. Shihab proposes four types of brotherhood after reviewing all qur’anic verses containing this unique word: 1) ukhuwwah ‘ubudiyyah, brotherhood built on submission to God; 2) ukhuwwah insaniyyah or basyariyyah meaning that all humans are brothers; 3) ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, brotherhood based on descent and nationality; 4) ukhuwwah fi din al-Islam, brotherhood among Muslims.22 Referring to the above explanation, I determine that common ground forged by proponents of interfaith dialogue is a bound that ties people from different religions under one flag because they are brothers. All religious adherents may and should forge common ground under the bond of ukhuwwah Islamiyyah in three types: ukhuwwah ‘ubudiyyah because of their submission to the Ultimate Reality; ukhuwwah insaniyyah or basyariyyah because of their destiny as human beings; and ukhuwwah wathaniyyah wa annasab because of their same descent and nationality. In practice, those types of bond can overlap and are not exclusive in one type of interfaith dialogue. There are at least four types of interfaith dialogues that may be undertaken by people from different religions: dialogue of everyday life; dialogue of action; dialogue of theological exchange; and dialogue of religious experiences. I explore these four types of interfaith dialogues in the last part of this paper. I expect that the idea of two bonds (Bhinneka Tunggal Ika and ukhuwwah Islamiyyah) can build a bridge to connect various perspectives within many religions in the world, with respectful recognition to the warnings from postmodernists. Hermeneutical Circle in Interfaith Dialogue A paradigmatic explanation is needed to describe steps or movements that should be experienced by every participant of interfaith dialogue. The 21 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-Karim (Dar al-Fikr, 1981), p. 23-24. 22 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran – Tafsir Mudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), p. 489-490.
1644 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization steps are the process that we move out from our limited horizons to understand or interpret a text, a person or a culture that has not been within the horizon of our comprehension (such texts can be those of our own culture and religion). Knitter proposes a hermeneutical wheel turns on four spokes or four movements that constantly support and call for each other: 1. Compassion is the first movement when people from different religious communities meet. All participants come with their own perspectives and they are varied. They have to place compassion, which is usually derived from spiritual consciousness, in the front line of interfaith dialogue. Every participant will find that he/she is linked by two directions: the theme of dialogue and the others who have similar compassion. The compassion makes all participants brothers and sisters to each other. 2. Conversion: whatever the theme of interfaith dialogue should touch sensibilities. It calls for further responses. To feel compassion is to be converted; our life is turned around and changed. Compassion makes demands. We cannot live in the old way we did before we felt this compassion. We want to join others who also have experienced such conversion. There is no conversation yet about what to do or of any common plans and projects. There is merely common conversion, common call to do something that brings us together. Thus, in the first meeting of interfaith dialogue, persons of different faith communities will talk about how they have felt compassion and how they feel changed. It is a meeting of minds and hearts. 3. Collaboration: compassion and conversion naturally and necessarily lead to action. Having been called by a similar concern, members of different religious communities will be encouraged to act together in doing something. Here we arrive at the core of practice. There will be diversity of opinions. All efforts to listen to each other’s analyses will be rooted in and nurtured by compassion. The dominant concern that guides the discussions is, therefore, not the desire to promote one’s own agenda or religious convictions. 4. Comprehension: such practical-personal togetherness opens doors to religious togetherness. Having compassion and coming together in response or conversion, having collective collaboration, participants of an interfaith dialogue may begin a task of comprehending or understanding each other. Under the natural movement of praxis, the hermeneutical circle now moves to reflection, discussion, study, prayer and meditation. They will now reflect and talk together about their religious convictions and motivations. Now they will attempt to ‘rehear’ or ‘review’ their scriptures and beliefs and stories and explain not only to themselves but also to others what it is that animates and
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1645
guides and sustains their compassion, their conversion, and their collaboration.23 5. Connection: this is what I propose and add to Knitter’s idea about a hermeneutical circle in interfaith dialogue. It is the fifth C complementing the previous four Cs. Comprehension, in my view, is not the last spoke. It suggests people from different religions to review their scriptures without stressing on the movement of forging ties with other people from different religions. Connection is an important part to maintain that all engaged participants of an interfaith dialogue still keep in touch. Connection brings them to long-life interaction. It is really urgent to foster better understanding among them in efforts of respecting rights and dignity of every person. This last C comes to me after I reflect the function of bond explained in the second part of this paper. The bond of Bhinneka Tunggal Ika and ukhuwwah Islamiyyah ensures that all people from different religions are still tied together although they have returned home and steeped again in daily activities. The bond calls them to contact each other and subsequently undertake conversations and discussions on various topics and themes. The conversations will enrich insight of religious people although the theme is not related to religious convictions. However, as I have stated in the first part of this paper, whatever people think, assess, treat and act is based on their worldview, while religious convictions have part in designing one’s worldview. What is the next step after connection? As the nature of circle, the last spoke will bring a participant of interfaith dialogue to continue his or her journey to the beginning, which is compassion. However, the level of second compassion is definitely different from the first compassion. These five spokes or movements (compassion – conversion – collaboration – comprehension – connection) will support participants of interfaith dialogue to deepen their understanding about religious teachings and sharpen their awareness to others as well as improving their roles in society. Bounce Back Movement: The Response to Postmodernism The effect of five spokes in hermeneutical circle is concrete. New experiences of interaction between people from different religions raise new perspectives and assessments. Whatever the grade of the assessments (low or high), the experiences should encourage people from different religions to review their religious convictions. Such review subsequently motivates people from different religions to renew and reconstruct their religious consciousness. Actions of review, renewal and reconstruction of religious convictions are what I call a bounce back movement. 23
Paul F. Knitter, One Earth Many Religions…… p. 140-144.
1646 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization The bounce back movement raises a new perspective in a religion. The perspective may differ from previous one. Variety of perspectives in religious teachings is accepted by all religious people. Islam also has many perspectives since its first spread in the time of Muhammad. Many have discussed about the idea that Islam is absolutely true revelation that is immortal and perfect must be differentiated from Islam that is formulated by Muslim scholars (ulama). The latter has relative truth, keeps changing and developing and differs in time and space.24 The most important thing is not debating whether the religious teachings are absolutely right, perfect and immortal; rather, they must focus on how to use religious teachings to solve problems faced by mankind in the world. Problems do not lie on whether or not God’s revelations are absolutely right, perfect and immortal, but on how the revelations are comprehended by faithful people and can be proven in the history that they are applicable and beneficial for daily activities.25 Islam formulated by Muslim scholars (ulama) that is taken by Muslims is the result of bounce back movement. Ulama always strive to make Islamic teachings compatible with any situation in different time and space. Arguments of contemporary ulama’ are sometimes different from those of classical ulama’. It is why there is a term qaul qadim (old opinion), which is replaced by qaul jaded (new opinion). The reason of these differences is differences in opportunities and challenges faced by ulama’. As I stated above, actions of review, renewal and reconstruction of religious convictions are what I call a bounce back movement. Postmodernists are not aware of bounce back movement. They argue that the pluralists’ efforts to forge common ground in interfaith dialogue are impossible due to the dominance of diversity. They state that religions are more like languages that form and determine experiences than experiences in search of language. They understand religions as filters that determine experiences rather than as pictures that express experiences. What postmodernists say is true when participants of an interfaith dialogue come to a venue of dialogue at the first time before they conduct conversation with other people from different religions. They come to the venue bringing their own religious experiences and perspectives, and possibly a hidden agenda. It is natural. However, after walking on the wheels of hermeneutical circle in an interfaith dialogue, the participants will
24 Charles Kurzman, Liberal Islam: a Sourcebook, (New York: Oxford University Press, 1998), p. 6; Leonard Binder, Islamic Liberalism, (Chicago: University of Chicago Press, 1988), p. 2. 25 Abdul Munir Mulkhan, Islamic Education and Da’wah Liberalization: Investigating Kiai Achmad Dachlan’s Ideas (Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Volume 46, No. 2, 2008 M/1429 H), p. 404.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1647
get a new experience. The experience may or may not change their religious perspectives. Changes in religious perspectives, as I have stated above, are possible and accepted. Participants of an interfaith dialogue should not be worried that their new religious perspectives are different from their previous ones. They are allowed to do that. In this article, I do not discuss about how new perspectives will not collide with the fundamental tenets of religious convictions. It is not the objective of this paper because it needs discussion case by case. This paper shows that there is a possibility to raise new religious perspectives, which are different from previous ones. This possibility is exactly the implication of a bounce back movement. At this point, I argue that experience may form and determine religious consciousness. It is my response to postmodernists’ opinions. Postmodernists neglect the possibility of emerging new perspectives as the impact of bounce back movement, and the new religious perspectives are accepted. Many Muslims have done this bounce back movement and now they are well recognized as Muslim thinkers. One of them is Farid Esack. Reading his work, Qur’an, Liberation and Pluralism, especially the first part (introduction), one should realize and recognize the impact of bounce back movement after conducting interfaith dialogue.26 There are many types of interfaith dialogues, which are not mutually exclusive and actually overlap in practice. In every type of interfaith dialogues, there are several suggestions to the first step of dialogue in order to forge ties among religious people. 1. Dialogue of everyday life in which people strive to live in an open and neighborly spirit, share their joys and sorrows, their human problems and preoccupations and develop individual friendships based on mutual trust which can lead to sharing their religious beliefs and experiences. Suggestions: Invite your neighbor who believes in different faiths to come to your home. Organize community activities such as picnics. Arrange school visits. Promote involvement in an interfaith group. Send greeting on occasions of major feasts of other religious groups in your area.
26 Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
1648 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization 2. Dialogue of action in which people from different religions collaborate for the good of the earth and for the integral development and liberation of humans. Suggestions: Take part in interfaith activities coordinated by local interfaith networks. Arrange neighborhood gatherings to address issues such as drug addiction or youth unemployment. Defend each other in cases of vilification or harassment. Set up an interfaith committee to work with other faith communities and represent your community on the local interfaith network. 3. Dialogue of theological exchange in which dialogue partners seek to deepen their understanding of their respective religious heritages and to appreciate other’s spiritual beliefs and values. Suggestions: Set up local interfaith study-circle such as book discussion. Attend and promote the increasing number of interfaith conferences, discussions, public lectures and workshops on interfaith topics. Convene interfaith discussion groups on topics of mutual interests. 4. Dialogue of religious experience in which people, grounded in their own religious traditions, share their spiritual richness, for instance prayer and contemplation, ceremonies and places or worships. Suggestions: Visit other’s places of worship. Attend ceremonies in mosques, churches or temples, when you are invited.27 BIBLIOGRAPHY Abdullah, M. Amin. Studi Agama – Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1981. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an – Original Arabic Text with English Translation & Selected Commentaries. Malaysia: Saba Islamic Media, 2001. 27 Derived from the brochure of Ecumenical & Interfaith Commission (EIC), East Melbourne, Victoria. http://eic.cam.org.au
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1649
Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago: University of Chicago Press, 1988. Djam’annuri. Studi Agama-Agama: Sejarah dan Pemikiran. Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003. Esack, Farid. Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997. Feyerabend, Paul. Against Method. London: Verso, 1978. Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973. Kennedy, Paul. Preparing for the Twenty-First Century. New York: Random House, 1993. Knitter, Paul F. One Earth Many Religions – Multifaith Dialogue and Global Responsibility. New York, Maryknoll: Orbis Books, 1995. Krieger, David. Conversation: On the Possibility of Global Thinking in an Age of Particularism. Journal of the American Academy of Religion, 58, 1990. Kung, Hans (edt.). Yes to a Global Ethic. London: SCM Press LTD, 1996. Kung, Hans. Global Responsibility – In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad, 1991. Kurzman, Charles. Liberal Islam: a Sourcebook. New York: Oxford University Press, 1998. Lindbeck, George. The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age. Philadelphia: Westminster Press, 1984. Mulkhan, Abdul Munir. Islamic Education and Da’wah Liberalization: Investigating Kiai Achmad Dachlan’s Ideas. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 46 (2), 2008. Pallmeyer, Jack Nelson. Brave New World Order. Maryknoll: Orbis Books, 1992. Pihlaja, Stephen. The Pope of YouTube: Metaphor and Misunderstanding in Atheist – Theist YouTube Dialogue. The Journal of Inter-Religious Dialogue, 3. Retrieved from www.irdialogue.org). Placher, William. Unapologetic Theology: A Christian Voice in a Pluralistic Conversation. Louisville Westminster, 1989. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran – Tafsir Mudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 1996. Spretnak, Charlene. States of Grace: The Recovery of Meaning in the Postmodern Age. San Francisco: Harper, 1991. Timm, Roger E. The Ecological Fallout of Islamic Creation Theology. In Mary Evelyn Tucker and John A. Grim, Worldviews and Ecology – Religion, Philosophy and the Environment. Maryknoll New York: Orbis Book, 1994. Twiss, Summer B. & Grelle, Bruce (eds.). Explorations in Global Ethics – Comparative Religious Ethics and interreligious Dialogue. USA: Westview Press, 2000.
Perubahan Ekonomi dan Perkembangan Peradaban Islam di Palembang Abad XVII - XVIII (Telaah Atas Naskah-Naskah Kontrak Sultan Palembang) Endang Rochmiatun *1
Abstrac: This paper concerns on the relationship between the changing and development of economy during the Palembang’s Sultanate, especially in the era of Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757) and the development of Islamic civilization. The objectives of this essay are to answer these questions; what economic sectors are that give benefits to the Sultan, so that he was able to expand the civilization? How are the Sultan of Palembang’s strategies to make economic advancement which affected to the development of Islamic civilization in Palembang. Finding of this research shows that the “pepper” from the headwaters area was an important commodity that played as the main source of income for sultanate. Another primary source of revenue came from “tin” which was from its colony named Bangka. Sultan of Palembang operated two contradict businesses at the same time; the first, he did a legal business with his protector namely VOC. On the other hand, he also traded tin in the black market in order to gain the redemption benefits. Furthermore, he also sold other goods which were actually prohibited by VOC, this aimed to finance the tin mining. The profits of trading on tin brought prosperity to Palembang Sultanate and advancement in civilization, for instance Sultan build vehicle and several Islamic institutions.
Pengantar Studi Meilink Roelofsz yang sangat berpengaruh dalam penulisan Sejarah Indonesia pada masa VOC, menyebutkan bahwa sistem monopoli perdagangan pada masa tersebut dikuti dengan kekerasan fisik, perang antar kedua belah pihak,2 serta memganggap bahwa selama ini raja-raja Melayu khususnya Sultan Palembang selalu dipandang sebagai bawahan atau ‘sub-ordinate’ dari VOC,yang lemah, tidak berdaya dan selalu tunduk pada sistem dagang VOC yang monopolistic dengan aturan aturan kontrak yang dikeluarkan VOC. Hal tersebut ternyata dapat terbantahkan. Kajian terhadap manuskrip (naskah kuno) yang berisi nota kesepahaman atau kontrak-kotrak antara Sultan-Sultan Palembang dengan pihak VOC setelah 1 Dosen Sejarah Pada Jurusan SKI Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang, Mahasiswa S3 Pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Jakarta. 2 M.A.P Meilink-Roelofsz (ed.)(1998), Dutch author on Asian History : selection of Dutch Historiography on the Verenigde Oostindische Compagnie. Dordrecht [etc]. foris Publications
~ 1650 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1651
dianalisa ternyata bisa menepis anggapan tersebut. Sultan Palembang terutama Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757) telah membuktikan bagaimana cara memenuhi politik monopoli perdagangan VOC di satu pihak, dan pada pihak lain membuktikan bagaimana cara untuk memperoleh keuntungan dengan negosiasi-negosiasi yang menjurus pada perbaikan harga komoditi yang dimonopoli VOC pada masa itu. Sebagaimana diketahui, Kesultanan Palembang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang dan Martaram. Setelah Kerajaan Sriwijaya lemah dan dikalahkan Majapahit, maka daerah berada di bawah kekuasaan (protektorat) kerajaan Majapahit . Dalam sejarah tutur Palembang, Adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Ario Damar (1455-1486 M). Ia adalah putra Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya. Setelah wafatnya Ario Damar, maka penguasa Palembang adalah pangeran sedo Ing lautan (1547-1552 M)3. Jika diamati antara wafatnya Ario Damar pada tahun 1486 M dan berkuasanya pangeran sedo Ing Lautan pada tahun 1547 M, maka terjadi masa kekosongan selama 61 tahun Hal tersebut diatas jika dikaji ternyata pada tahun 1478 M Kerajaan Demak telah berdiri dibawah kekuasaan Raden Fatah (anak tiri Ario Damar) dan Majapahit telah dikalahkan oleh Kerajaan Demak. Hal tersebut berarti di masa akhir kekuasaan Ario Damar di Palembang sebenarnya sudah tidak lagi dibawah protektorat kerajaan Majapahit, akan tetapi beralih ke kerajaan Demak. Oleh karena kerajaan Demak situasi ketika itu masih disibukkan oleh adanya pembinaan di dalam sehingga belum menjangkau daerah luar seperti Palembang, sehingga wajar apabila pengganti Damar tidak ditetapkan secara formal oleh pusat kerajaan Setelah Majapahit ditaklukan Demak situasi dan kondisi Palembang seperti negara tak bertuan, karena tidak adanya penegasan dari Demak. Namun demikian, barulah pada tahun 1547 M seorang pangeran dari Surabaya yakni Pangeran Sedo ing Lautan sebagai salah seorang keturunan Raden Fatah ditunjuk menjadi wakil penguasa Demak di Palembang. Hal tersebut merupakan bentuk peralihan kekuasaan protektorat secara formal atas Palembang dari Majapahit kepada Demak Pada saat terjadi huru hara antara Demak dan Pajang, serombongan priyayi meninggalkan Demak menuju Palembang. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro tuo. Ia merupakan putra dari pangeran Sedo Ing Lautan. Dalam sejarah tutur Palembang Ki Gde Ing Suro Tuo dianggap raja pertama Palembang. Hal tersebut dihubungkan dengan kepergiannya ke Palembang dalam suasana pengambilan kekuasaan Demak oleh Pajang. Pendirian kerajaan Palembang tersebut dimaksudkan untuk
3 Ali Amin Sejarah Kesultanan Palembang dan Bebarapa aspek Hukumnya dalam K.H.O Gadjah Nata dan Sri-Edi Swasono (Ed) Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera selatan (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 74
1652 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization menunjukkan kesetiaan terhadap Demak yang dikalahkan.4 Pada saat Palembang di bawah kekuasaan Demak, hubungan dengan pusat pemerintaha dapat berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih berlangsunya penyampaian upeti ke pusat pemerintahan di Demak. Hubungan tersebut menjadi kurang setelah pusat kerajaan dialihkan ke Mataram. Seperti halnya ketika Pangeran Sedo Ing Kenaya milir sebo5 pada tahun 1642 M dan tahun 1644 M ke Mataram namun kurang diterima dengan baik serta ditolak oleh Sultan Amangkurat I. Hal ini juga dialami oleh penguasa Palembang selanjutnya yakni, Pangeran Sedo ing Rajek maupun Ki mas Endi, perlakuan dan sikap Sultan Mataram tersebut menyebabkan ki mas endi (1659-1706) kemudian melepaskan ikatan dengan Mataram dan selanjutnya menyatakan bahwa Palembang sebagai Kesultanan yang berdiri sendiri. Ki mas Endi juga menggunakan gelar Sultan untuk pertama kalinya dalam kekuasaan di Palembang yakni dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam. Dengan demikian dialah yang mengubah tradisi dalam pemakaian gelar nama-nama penguasa dengan corak Islam. Sejak itu pemerintahan yang bercorak Islam terbentuk yakni Kesultanan Palembang Dengan demikian selama kira-kira dua abad Palembang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di jawa. Setelah resmi menjadi Kesultanan yang berdiri dikarenakan melepaskan diri dari protektorat kerajaan Mataram, setelah itu Kesultanan Palembang semakin meningkatkan usaha menerapkan hukum Islam. Struktur Kesultanan Palembang juga terus disesuaikan dengan ketentuan ajaran Islam. Salah satu warisan sejarah peradaban Islam yang ada di Palembang danmerupakan salah satu bentuk institusi keislaman yakni berupa ”Masjid Agung Palembang” Masjid ini terletak diwilayah kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang dan tidak jauh dari benteng Kuto Besak serta tidak jauh dengan Sungai Musi. Masjid ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB I) pada tahun 1738 M dan diresmikan penggunaannya pada tahun 1748 M. Denah masjid adalah bujur sangkar, serta beratap tumpang dua. Masjid ini menandai puncaknya kemajuan peradaban Islam pada Masa Kesultanan Palembang. 4 Adapaun penguasa Palembang berturut-turut sebelum Sultan pertama (Kesultanan Palembang) adalah : 1. Ario Dillah (Ario Damar) (145-1486), 2. Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552), 3. Ki Gede Ing Suro Tuo (1552-1573), 4. Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1590), 5. Ki Mas Adipati (1590-1595), 6. Pangeran Madi Ing Angkoso (1595-1629), 7. Pangeran Madi Alit (1629-1630), 8. Pangeran Sedo Ing Puro (1630-1639), 9. Pangeran Sedo Ing Kenayan (1639-1650), 10. Pangeran Sedo Ing Pasarean (1651-1652), 11. Pangran Sedo Ing Rajek (1652-1659). Adapun setelah tahun 1659 yang berkuasa adalah Ki Mas endi, dan dialah yang mengkukuhkan sebagai Sultan pertama Kesultanan di Palembang serta Islam menjadi agama resmi Kesultanan. Ibid hlm 73. 5 Milir Sebo adalah upacara menghadap Sultan dengan membawa barang persembahan (upeti) sebagai persyaratan tunduk. Acara ini biasanya diadakan dalam waktuwaktu tertentu
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1653
Bahkan seorang Residen Inggris M.H Court yang berkedudukan di Mentok mengakui bahwa Masjid Agung Palembang adalah sebagai masjid terbesar di Nusantara pada saat itu , dan menurut seorang pejabat VOC Hemmij bahkan menghitung kekayaan Sultan yang berkuasa pada masa itu sekitar 60 juta real spanyol.6 William Marsden yang mengelilingi Sumatra dan singgah ke Palembang juga mengatakan bahwa negeri ini pada masa itu telah melimpah kekayaannya dan memiliki mata uang sendiri yang terbuat dari timah. Mata uang tersebut dikenal dengan sebutan ”pitis”.7 Artikel ini adalah suatu usaha untuk melihat keterkaitan antara perubahan dan kemajuan ekonomi pada pada masa Kesultanan Palembang, terutama pada periode Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757) dengan adanya kemajuan peradaban Islam yang dibangun oleh Sultan Palembang. Pertanyaan awal yang diajukan antara lain adalah ; keuntungan dari bidang apa sehingga Sultan Palembang bisa membangun peradaban yang maju pada zamannya, Bagaimana strategi Sultan Palembang sehingga dapat mewujudkan kemajuan ekonomi sehingga berdampak pada kemajuan peradaban Islam di Palembang. Artikel ini merupakan hasil sebagian bacaan dari sumber manuskrip. Sumber tersebut berupa manuskrip (naskah kuno) masa VOC yang tersimpan di Asip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yakni berupa ‘Naskah Kontrak-Kontrak antara Sultan Palembang dengan VOC”. Diantara manuskrip tersebut antara lain adalah : Renovatie de Contracten met de Koningen van Palembang Dee 1622, 1678, 1679 en 1684 Det 25 Januari 1691 M, Renovatie de Contracten met Sulthan Seri Ratu ..Palembang 2 Juni 1722 Contract Palembang 10 September 1755, Renovatie der Contracten Tirs schen den Koming van Palembang En Comp 15 Juni 1763, Contract met Palembang 25 Desember , Original Acte van Renovatie der voorige Contracten met de Koningen van Palembang, Met den Paduka Seri Sulthan Ratu Muhammad Baha’uddin, en den kroon prins Pangeran Ratu, Op den 31 Agustus 1791 en 28 November 1891, Qaull al- Haq Wakalamah al- Shadiq, Contract met Palembangd.d 18 Agustus 1823, dll
Sebagaimana diketahui, bahwa arsip merupakan salah satu dokumen tertulis yang dapat berfungsi sebagai pembuka pintu gerbang masa lalu. Dengan arsip kita bisa memetik kearifan dari apa yang telah terjadi di masa lampau sebagai suri tauladan dan kita bisa membandingkan dengan peristiwa yang tengah berlangsung pada masa sekarang. Bisnis Lada dan Timah Sultan Palembang ; Antara Monopoli dan Negosiasi Seperti diketahui, pada awal abad XVIII permintaan timah di pasar 6 Reinout vos (1993). Gentle Janus, merchant Prince : The VOC and The Tightrope of diplomacy in the malay Word, 1740-1800. Leiden : KITLV Press, hlm. 7-8. 7 William Marsden, The History of Sumatra. (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1975 ), hlm. 361
1654 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization internasional mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan meningkatnya perdagangan baik di kawasan Asia Tenggara maupun antara Eropa dan Asia (Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur). Sehingga tidaklah mengherankan jika usaha-usaha yang dilakukan oleh VOC ke daerahdaerah baru juga semakin meningkat. VOC yang pada abad XVII telah menampung timah di Malaka kelihatan semakin giat memonopoli perdagangan timah melalui daerah-daerah yang dipipinpin oleh para Sultan Melayu. Sejak timah di Bangka diperkirakan ditemukan pada kira-kira tahun 1710, sekitar 12 tahun sesudah itu (1722) Badan Dagang Belanda (VOC) berhasil mengadakan kontrak monopoli perdagangan timah dengan Sultan Palembang, yang mana pulau Bangka adalah merupakan daerah taklukan Kesultanan Palembang Sebagaimana bunyi dalam perjanjian Renovatie de Contracten met Sulthan Seri Ratu ..Palembang 2 Juni 1722 Perkara yang ketujuh ….Bahwa perjanjian Seri Sulthon Ratu segala (………..) yang dikumpulkan di dalam pulau atau tanah Bangka itu seri sulthon ratu suruh bawa timbang maka dijual atau dihantarkan kedalam gudang kompeni maka supaya begitu lama (………….) itu bergaun kepada kompeni atau suka menerima oleh harganya seperti yang dahulu itu sepuluh(…..) tua sepikul dari seratus dua puluh lima pintu wilanduwia maka hendaklah bersih baikbaik timah putih itu dan jangan dilancang maka hendaklah dibuat tampang pesegi empat baratnya kurang atau lebih sedikit dari dua pintu wilanduwia atau sikit lebih kehendak kompeni dibelah tampang itu karena hendak diperiksa (……..) tidaknya…..
Perkara yang kedelapan Bahwa sekali-kali tidak dapat seseorang juapun membawa jenis perniagaan atas ingin dalam kerajaan Palembang melainkan kompeni sendiri jua akan tetapi barang siapa ada beroleh izin dengan surat cap perlayaran daripada Palembang maka dapat beroleh membawa barang dagangan dan berjual beli dalam kerajaan Palembang yaitu seperti (..apin) dan segala jenis warna kain-kain dari (bangka…….mandad surati) dan (tetu……..) hanya apabila tiada ada surat capnya daripada kompeni maka yaitu atas denda di hukum beserta dari (……) segala arta isi muatan perahunya itu dibagi dua setengah akan perolehan raja dan setengah perolehan kompeni maka atas perihal itu hendaklah seyogianya melarangkan dan menegahkan pula atas orang-orang yang bersembunyi menggeluarkan lada maka pada pihak kompeni akan ditaruh perahu atau rumah jaga-jaga baik didarat atau di rakit dari segala teluk rantau seru-serukan dan segala (………) sungai Palembang supaya dapat (menpahas) perahu yang hilir mudik kalau-kalau ada barang dagangan lada dengan dimuatnya dalam perahu itu maka atas permintaan kapiten kompeni di Palembang itu hendaklah ditolong dengan seboleh-boleh barang kuasa Syahbandar kepada kapiten kompeni supaya segala lada atau (apin) atau barang kain dagangan yang didapatnya itu akan meerampas semuanya atas perolehan kedua pihak demikian lagi akan perihal itu sekalian atau untuk dagang orang-orang asing yang duduk dalam kerajaan Palembang itu bahwa tiada sekalli-kali beroleh akan (………..) dengan perahunya sendiri barang dimana tempat-tempat negeri melainkan hendaklah seogianya minta surat cap berlayar kepada kapiten kompeni supaya dapat ia menunjuk manakala ia bertemu (……) dengan kapal berjaga-jaga atau perahu (……) kompeni maka (…………….) dan orang-orang kompeni itu dapatlah memandang dengan kenyataan bahwa bukan orang penyamun dan tiadalah barang hianat aniaya atas hartanya melainkan ia datanng kembali menyuruh berlayar dengan sejahteranya akan tetapi manakala ia datang kembali kenegerinya maka hendaklah (……….) itu
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1655
mengantarkan kembali surat cap itu kepada kapiten kompeni pada tiap-tiap masa ketikanya maka kapiten kompeni akan boleh menyuruh periksai perahu itu karena bahwasanya surat cap itu tedapat tiada diberi jauh pergi berlayar melainkan pada pihak arah keselatan negeri Palembang pada ke Batawiah/Batavia bahwa tiada boleh singgah kebantan hanya pihak sebelah timur batawiah/Batavia sepanjang pantai luar tanah jawa singgahnya dan lagi pada pihak sebelah barat tanah Palembang lalu kembali lagi tetapi manakala hendak pergi berlayar kepada barang ditempat negeri lain maka yaitu adalah patut memberi maklum dahulu meminta izin kita lalu kepada gubernur (……………..) pun India supaya (……………..) seperti mana patut atas (………….)
Perkara yang kesembilan Apabila Seri Sulthon Ratu mengendaki barang jenis kain atau barang-barang benda yang lain-lain akan pakaian atau pekerjaan jua maka yaitu Seri Sulthon Ratu dan telah (muhtar) menuntut dan beroleh (………) kapiten kompeni Palembang itu jikalu ada kain atau barang benda lain-lain yang dapat teradakan dalam pemeganggannya itu dan jikalau tiada maka hendaklah ia menyuruh mempunyakan atau menghasilkan ke Batawiah/Batavia kemudian dibayar harganya sekain mana yang telah tentukan pada melepaskan barang benda itu atau seperti kompeni sudah memutuskan harganya itu juga…41.7
Dalam perjanjian kesepakatan itu juga disebutkan bahwa tidak diizinkan bagi bangsa bangsa lain untuk berdagang timah di Bangka dan Palembang. Dari sumber beberapa naskah kontrak-kontrak antara Sultan Palembang dengan VOC tersebut dapat diketahui bahwa, “lada” merupakan komoditas penting sebagai sumber pendapatan Kesultanan yang diperoleh dari wilayah atau daerah ‘hulu’ dan ‘timah’ merupakan komoditas penting sebagai sumber pendapatan Kesultanan yang diperoleh dari wilayah atau daerah taklukannya yakni Pulau Bangka. Sepertihalnya dalam “Contract Palembang 10 September 1755” yang isinya merupakan kesepakatan-kesepakatan masalah kebijakan perdagangan lada dan timah. Perkara Yang Kedua ……Bahwa oleh orang-orang Kompeni atau Residenti Kompeni yang tiba ditulis hatinya kepada Kompeni boleh dikira-kirakan Residenti Kompeni amat menyuruh pula orang-orang Paduka Seri Sultan Ratu yang membuat kerugian kepada Kompeni, daripada mencuri lada, timah itulah sebab Kompeni kurang mendapat beroleh lada dengan timah sampai beberapa tahun // yang Kepala Kompeni tiyada berisi dengan patutnya dari karena itulah Kompeni terkejut mendengar butir lada dan timah dicuri sini dibawa ke Negeri Cina ….melainkan sekarang dijanjikan oleh Paduka Seri Sultan Ratu dengan hati suci hendak menjagai jangan boleh orang mencuri lada dengan timah, barang siapa melakukan seperti yang demikian itu yaitu dihukumkan dengan hukum ..ngadat tahta kerajaan di dalam negeri Palembang dari karena yang Paduka Seri Sultan Ratu boleh menurut seperti permintaan yang tersebut di dalam (surat) ini….8
Namun demikian. Timah rupanya telah menggantikan komoditas lada yang mengalami penurunnan dalam produknya sejak tahun 1720. Kontrak perjajnjian yang ditandatangani antara Sultan Palembang pada 8
ANRI.Jakarta. Contract Palembang 10 September 1755. Dalam Arsip VOC , No. 41.8.
1656 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization tahun 1722 mengindikasikan bahwa adanya semangat perdagangan yang tinggi. Timah sepertinya adalah sebagai komoditas perdagangan yang diunggulkan oleh Sultan Palembang, sehingga dapat dikatakan bahwa komoditas lada telah tergantikan oleh komoditas timah. Namun demikian rupanya VOC memainkan politik monopoli perdagangan atas produk timah yakni seluruh timah yang ada di Bangka harus diserahkan seluruhnya kepada fihak VOC dan VOC juga sebagai penetu harga yang diberlakukan. Selain itu dalam perjanjian itu juga disepakati bahwa bangsa lain tidak diizinkan untuk berdagang timah di Bangka dan Palembang. Adapun dari sumber lain menginformasikan tentang adanya seorang “Tiko” yang berarti saudara tua atau berarti juga ‘Tauke”. Istilah ‘Tauke” ini adalah jabatan yang disandang pertama kali oleh seorang Cina Muslim bernama Lim Tau Kian (Wan Abdul Hayat) yang berhubungan erat dengan Sultan Johor untuk membuka tambang timah di Mentok. Tiko ini dimanfaatkan oleh Sultan Palembang pada masa itu oleh karena Sultan Palembang merasa menyadari kurangnya pengetahuan mengenai teknologi penambangan dan juga oleh karena kurangnya tenaga kerja. Maka dari itu Sultan Palembang bekerjasama dengan orang Cina yang memiliki pengetahuan dalam teknologi penambangan dengan menempatkan Tiko.9 Sistem tersebut yakni pengelolaan Tiko ini, kemudian diikuti pula oleh para tiko lainnya yang rata rata mereka adalah peranakan Cina Palembang, orang-orang Arab dan juga Bangsawan Palembang yang bergelar Kimas. Tiko mempunyai tugas membiayai operasi penambangan dan biaya hidup sehari hari para penambang. Kemudian para tiko memperoleh timah untuk kemudian dijual kepada Sultan Palembang dengan harga yang telah ditetapkan oleh VOC. Untuk mengontrol wilayah penambangan dan penyerahan timah kepada Sultan, Sultan Palembang menempatkan para wakilnya di setiap distrik tambang di pulau Bangka. Dalam laporan Residen Inggris ,Court pada awal abad XVIII yang bermukim di Mentok, menyebutkan bahwa para tiko-tiko tersebut telah memiliki kavling tambang masing masing Ketersediaan tenaga yang memadai rupanya membawa dampak positif terhadap produksi timah di Bangka. Mulai dari tahun 1740 sampai 1750 merupakan periode meningkatnya penyerahan timah dari Palembang ke VOC.10 Hal ini menimbulkan pertanyaan ‘apa dan bagaimana dibalik peningkatan drastis produk timah tersebut?’ Pertanyaan ini terjawab dari adanya isi kontrak-kontrak atau nota kesepahaaman antara Sultan Mahmud Badaruddin I dengan pihak VOC. Dalam kontrak-kontrak tersebut 9 Sutedjo Sujitno, Legenda dalam sejarah Bangka : Mencermati Kontribusi legenda Dalam Penyusunan sejarah Bangka .Jakarta : Cempaka Publising, 2011 10 Reinout vos (1993). Gentle Janus, merchant Prince : The VOC…….Appendix II,C , hlm 218. Palembang telah menjual timahnya ke VOC dari 4.704 pikul dalam tahun 1740, kemudian naik drastis menjadi 18.483 pikul dalam tahun 1748.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1657
nampaknya Sultan Palembang memperlihatkan kebijakan ekonominya yang cooperative dalam menghadapi VOC. Sultan Palembang memperlihatkan bagaimana cara menggunakan taktik tersebut dalam rangka memenuhi politik monopoli perdagangan VOC di satu pihak, dan pada pihak lain adalah bagaimana cara untuk memperoleh keuntungan dengan negosisasinegosiasi yang menjurus pada perbaikan harga komoditi yang dimonopoli VOC. Taktik dan strategi Sulltan Mahmud badaruddin I sepertinya tidaklah menjurus kepada perang fisik yang dapat membawa dampak kehancuran pada kedua belah pihak, akan tetapi justru kelihatan bahwa ia cenderung masuk dalam orbit VOC dengan status secara resmi sebagai “bawahan” namun dalam kenyataannya lebih cenderung memposisikan sebagai hubungan pertemanan dengan VOC. Praktek hubungan antara Sultan Palembang dengan VOC ini menepis anggapan bahwa selama ini raja-raja melayu khususnya Sultan Palembang selalu dipandang sebagai bawahan atau ‘sub-ordinate’ dari VOC, yang lemah, tidak berdaya dan selalu tunduk pada sistem dagang VOC yang monopolistic dengan aturan aturan kontrak yang dikeluarkan VOC. Kasus perdagangan timah Sultan Palembang ini bisa menyanggah studi Meilink Roelofsz yang sangat berpengaruh dalam penulisan sejarah Indonesia pada masa VOC, yakni bahwa sistem monopoli perdagangan pada masa tersebut dikuti dengan kekerasan fisik, perang antar kedua belah pihak.11 Dengan adanya revisi , pembaruan dll dalam kontrak kontrak antara Sultan Palembang dengan VOC membuktikan dan kelihatan adanya kekuatan tawar menawar yang kuat dalam kasus perdagangan timah maupun lada. VOC dianggapnya tidak saja sebagai aliansi atau sekutu yang berperan sebagai protector yang akan melindunginya ketika berhadapan dengan pihak oposisi kerajaan, tetapi juga dianggapnya sebagai mitra dagang yang sejajar yang harus selalu meninjau kembali ‘kesepakatankesepakatan’ dagang yang telah dibuat sebelumnya. Tahun 1740-1750 yang merupakan periode meningkatnya komoditas timah yang diperdagangkan dengan VOC nampaknya berkaitan erat dengan adanya proses nogosisasi Sultan Palembang dengan VOC. Negosiasi tersebut diantaranya yang pertama adalah menyangkut masalah perbedaan kebijakan antara mereka. Di satu pihak yakni VOC, dalam rangka memuluskan politik monopoli perdagangannya VOC melarang kapal-kapal asing yang masuk ke perairan Palembang atau juga melintasi sungai musi, terutama kapal-kapal Inggris, Macao-Portugia, Jung-Jung dari Kamboja, Siam dan Cina.
11 M.A.P Meilink-Roelofsz (ed.)(1998), Dutch author on Asian History : selection of Dutch Historiography on the Verenigde Oostindische Compagnie. Dordrecht [etc]. foris Publications
1658 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Perkara yang kesepuluh …… Bahwa hendaklah ditentukan oleh Paduka Sri Sultan atau segala timah yang ada di Pulau Bangka atau di Belitung yaitu jangan sekali-kali serahkan kepada tangan lain bangsa melainkan diserahkan kepada Kompeni asal tiada kurang real// 10.Pasal yang kesembilan Bahwa segala perlayaran dari Palembang (ke Siam) dan dari negeri Cina ke-Palembang adalah tinggal tertegah maka paduka Seri Sulthon Ratu dan Pangeran Ratu tiada saja berjanji dengan seperti kuasa melarang dan mendahului perlayaran itu dan lagi setelah sampai (jung/=kapal kecil) Cina ke-Palembang pada berdaganng maka dari pasukan perahu itu dan lagi rakyat-rakyat paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu apabila hendak pergi dari Palembang dan Bangka serta Belitung kenegeri Cina akan dihukum yang pedih seperti dalam penjara dan syuhadan jikalau paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu (…..khobar) yang (rasidunti) kompeni atau orang-orang kompeni yang lain padahal mencuri lada dengan timah hendaklah paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu sukar nyuruh orang memberi tanah kepada gurundur jenderal dan segala (raad van) India supaya kompeni boleh sekira-kira perahu mengusir kepada orang yang empunya pekerjaan itu adanya 11.Pasal yang kesepuluh Bahwa paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu berjanji pada melawan dengan seperti kuasa segala perampok di laut Bangka dan di laut Belitung dan siapa-siapanya ada begitu kelakuannya jangan paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu bertinggal dalam negeri atau jajahan yang takluk padanya dan pada siapa yang datang sebagai pencuri dan perampok melainkan disuruh berdenda jua paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu lagi pada menyampaikan maksud itu melarang rakyat-rakyat barang suatu apa-apa atau (laskar) jangan membeli kepadannya atau bermuafaqat baranng sesuatunya maka apabila paduka seri sulthon ratu dan pangeran ratu mengetahui yang rakyat-rakyat melaluli perintah itu maka dihukum dengan yang pedih seperti mana isti’ādat kerajaan negeri Palembang maka kompeni berjanji yang orang-orangnya tiada boleh sekali-kali padahal (mengharu biru) atau mangku rakyat-rakyat dalam negeri Palembang atau di Selat Bangka atau disungai Palembang atau baranng tempat yang jauh barang sesuatu salah maka Kompeni hukum dengan yang amat pedih seperti mana paduka Seri Sulthon Ratu dan pangeran ratu jua berjanji apabila ada begitu keadaannya tedapat tiada dihukum seperti mana menyertai dengan salahnya
Oleh Karena itu VOC mengadakan pengawasan yang ketat terhadap kapal-kapal asing tersebut, termasuk jung-jung atau perahu-perahu kecil penduduk yang berniaga di sepanjang sungai musi. Dari salah satu sumber12 diketahui bahwa ternyata kapal kapal dan jung-jung yang berisi timah tersebut telah dibawa langsung ke Cina lewat Siam dan Kamboja. Adapun larangan keras VOC di bawah Residen Gerard Pan yakni berisi kebijakan yang akan menutup perairan Palembang dan Bangka di sepanjang Sungai Musi untuk kapal-kapal dan jung-jung milik Siam dan Kamboja. Namun demikian ternyata kebijakan VOC ini tidak begitu saja bisa diterima Kesultanan Palembang yang dalam statusnya sebagai ‘subordinat’ VOC. Meski dalam posisi sub-ordinat dan mengharap proteksi dari VOC dalam menghadapi pihak-pihak oposisi, namun demikian masalah 12 ARA-Den Haag, Surat dari Sultan Palembang ke Batavia, 13 Mared 1747 dalam arsip VOC no 2699. F. 49
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1659
‘perdagangan timah’ yang jika kebijakan VOC tersebut disepakati maka akan berdampak melumpuhkan ekonomi dan dapat menyengsarakan rakyat dianggap Sultan perlu diutamakan. Sehingga Sultan Palembang akhirnya tidak menyetujui kebijakan VOC tersebut, yakni dengan alasan bahwa jika rute perdagangan dengan Siam dan Kamboja tersebut ditutup maka Palembang bisa dipastikan tidak akan mendapatkan suplai beras dari kedua darerah tersebut. Sehingga Sultan beranggapan justru hal tersebut sebenarnya akan merugikan juga pihak VOC karena akan mengakibatkan pihak VOC tidak bisa mendapat suplai timah dan lada dalam jumlah yang besar, dikarenakan para petani lada di daerah hulu Palembang akan menggantikan tanaman lada tersebut dengan padi sebagai bahan makanan pokok mereka apabila mereka sampai terjadi kekurangan pangan. Di samping itu juga, para penambang pun akan mogok kerja jika terjadi kekurangan pangan dikarenakan tidak adanya beras. Sementara itu pada masa tersebut harga beras di Jawa jauh lebih mahal harganya jika dibanding denga harga beras yang berasal dari Siam dan Kamboja. Sultan beranggapan jika VOC membuka kembali rute perdagangan tersebut dan membiarkan kapal-kapal dan jung-jung dari Siam dan Kamboja memasuki perairan Palembang maka VOC tidak perlu khawatir akan kekurangan suplai lada dan Timah. Inilah bentuk negosiasi yang sangat nyata yang dilakukan oleh Sultan Palembang dalam menerapkan kebijakan ekonomi di wilayahnya. Adapun bentuk negosiasi yang kedua adalah mengenai ketidaksepahaman antara Sultan Palembang dengan VOC terhadap kontrol mereka atas perahu-perahu kecil yang berlalu lalang untuk keperluan berdagang dalam partai kecil di sekitar perairan Palembang. Menurut Sultan bahwa keberadaan perahu-perahu kecil tersebut tidaklah perlu untuk diawasi. Sedangkan negosiasi yang ketiga yakni mengenai Protes Sultan Palembang terhadap perilaku Residen VOC yang nampak tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya berkaitan dengan perdagangan timah, maka seyogyanya perlu diganti. Disinilah kelihatan bahwa pihak VOC ternyata juga ingin mengambil upaya mendapat ‘keuntungan diam’ dengan cara diam diam berjualan dengan pihak-pihak lain. Ternyata ketiga negosiasi tersebut di atas akhirnya dikabulkan pihak VOC dengan membuka kembali jalur perdagangan yang lama antara Palembang – Kamboja dan Siam, kemudian juga VOC tidak lagi mengawasi keberadaan perahu-perahu yang berlalu lalang dalam aktivitas berdagang serta penggantian Residen VOC yang lama. Dari sumber yang ada dapat diketahui bahwa dampak adanya negosiasi tersebut rupanya membawa kearah yang positif atau menguntungkan bagi pihak Sultan Palembang. Dengan dikabulkanya negosiasi tersebut akhirnya Sultan Palembang memenuhi kewajibannya
1660 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization untuk menyerahkan timah dalam jumlah yang lebih besar lagi. Dari beberapa sumber naskah kontrak-kontrak dagang13 antara Sultan Palembang dan pihak VOC antara periode tahun 1740-1800 diketahui bahwa telah terjadi berkali kali dibuat kesepakatan-kesepakatan baru dalam rangka membahas harga monopoli VOC dengan harga premi, terutama jika timah berkurang masuk ke loji Belanda di Palembang untuk kemudian dikirim ke kantor pusat VOC di Batavia. Bagi Sultan keluhan VOC tentang menurunnya penyerahan timah selalu diberinya alasan seperti halnya “semakin berkurangnya deposit timah jika hanya digali dangkal” Penggalian yang lebih dalam dengan waktu kerja yang lebih lama memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi daripada masa sebelumnya. Ataupun juga dengan menemukan deposit-deposit timah yang kaya didaerah lain pada wilayah Bangka. Adapun hasil negosiasi-negosiasi tersebut nampaknya berhasil, hal ini terbukti bahwa pihak VOC kemudian memperbarui kontrak lamanya dengan kesepakatan-kesepakatan yang baru pula. Dari uraian di atas tampak bahwa secara resmi memang Sultan Palembang adalah sebagai “bawahan” VOC yang harus taat dan patuh terhadap protektornya, serta harus menjalankan aturan-aturan yang telah dibuat yang menyertai monopoli perdagangan. Sultan Palembang telah mematuhi kontrak-kontrak yang ada dengan menyerahkan timah kepada VOC, akan tetapi seberapa besar timah yang diserahkan tidaklah menjadi pertimbangan. Meskipun secara resmi Sultan Palembang adalah berstatus ‘bawahan’ VOC, namun demikian dalam prakteknya terlihat adanya kesejajaran dalam perundingan-perundingan berkenaan dengan ‘penentuan harga, premi, dan juga hal hubungan dagang dengan bangsa lain’. Dalam hal ini proses negosiasi Sultan dengan VOC yang berlangsung merupakan realitas historis yang perlu dimaknai. Apa yang telah dilakukan oleh Sultan Palembang berkenaan dengan perdagangan timah dan lada merupakan “strategi perang timah dan lada” dengan VOC. Oleh karena keterlibatan Sultan dalam perdagangan timah dengan kelompok dagang ‘non-VOC’ menurut VOC adalah illegal, namun menurut pandangan Sultan tentu itu bukan illegal atau selundupan. Dalam istilah local hal ini biasa disebut dengan istilah “ sembunyi berdagang untuk mencari keuntungan diam”. Dalam kalkulasi ekonomi, Sultan maupun pedagang pribumi nampaknya sadar benar akan dampak yang ditimbulkan jika perdagangan timah dan lada dipasarkan ke pasar bebas. Lalu bagaimana dampak yang dihasilkan dari adanya “strategi perang timah dan lada” antara Sultan Palembang dengan VOC. Beberapa indikasi dapat membuktikan bahwa strategi tersebut ternyata berdampak positif bagi Sultan Palembang sendiri maupun juga bagi perkembangan ekonomi negeri Palembang pada masa itu. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis 13
ANRI.Jakarta. Contract Palembang. Dalam Arsip VOC
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1661
timah dan lada tersebut telah membuat Sultan Palembang dapat membiayai proyek-proyek besar untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya. Diantaranya adalah pembangunan sarana prasaran berupa ‘Masjid’ yang besar dan megah yang dilalukan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Selain itu juga pembangunan Istana yang megah. Bahkan William Marsden yang mengelilingi Sumatra dan singgah di Palembang mengatakan bahwa di negeri ini kondisinya; melimpah kekayaannya, negeri ini mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari timah yang dikenal dengan sebutan ‘pitis’.14 Sepertinya timah dan lada merupakan sumber utama Kesultanan Palembang dan telah membawa negeri ini pada masa itu menjadi negeri yang kaya raya. Warisan Sejarah Peradaban Islam di Palembang Berbagai realitas historis telah membuktikan bahwa perkembangan Islam tidak lepas dari adanya aktivitas ekonomi. Terbukti memang jika sampai abad XVII keberadaan agama Islam tidak merubah secara structural struktur dan perilaku ekonomi setempat, yang mana aktivitas ekonomi masih terpusat pada penguasa dan Negara. Meski demikian, Sultan Mahmud Badaruddin I sebagai salah satu penguasa di Palembang telah memperlihatkan bagaimana kebijakan ekonominya mempunyai dampak positif bagi perkembangan peradaban Islam di Kesultanan Palembang. Perkembangan peradaban Islam di Palembang dapat dibuktikan dengan dibangunnya sarana prasarana sebagai institusi keislaman seperti : Masjid Agung yang besar dan megah yang dilalukan Sultan Mahmud Badaruddin I, selain itu juga pembangunan Istana yang megah. Masjid Agung Palembang ini mempunyai arsitektur yang khas yaitu atapnya berbentuk limas yang bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Arsitek pembangunan masjid ini adalah orang Eropa, dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari Eropa. Jadi arsitektur bangunan masjid ini merupakan perpaduan arsitektur Eropa dan Cina. Masjid Agung Palembang sebagai salah satu institusi keislaman menandakan perkembangan Islam di Palembang. Adapun pembangunan Istana yang megah oleh Sultan Mahmud Badaruddin I tentunya sebagai representasi atas hegemoninya, namun demikian yang paling penting untuk dicatat bahwa istana adalah juga sebagai pusat intelektual Islam di Palembang pada masa tersebut. Pada masa SMB I kegiatan Intelektual yang dilakukan oleh para Ulama sangat didukung oleh Sultan, sehingga banyak kegiatan penyalinan kitab-kitab keagamaan bahkan juga banyak ulama yang menghasilkan karya intelektual baik di bidang Fiqh, Tauhid maupun tasawuf. Bahkan Palembang dikenal 14 William Marsden, The History of Sumatra, (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1975 ), hlm.361
1662 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization sebagai salah satu skriptorium terbesar pada masa itu. Kebangkitan intelektual yang dilakukan oleh para ulama Palembang tentunya. Disamping itu koleksi besar karya-karya keagamaan para ulama setempat banyak disimpan di istana Kesultanan Palembang ini. Sehingga dalam konteks keilmuan Islam di dunia Melayu, Palembang tercatat menjadi salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai pengetahuan, baik yang berkaitan dengan sastra maupun agama. Di antara bukti yang mengindikasikan hal tersebut adalah dapat dijumpainya berbagai naskah keagamaan, yang asal-usulnya merujuk ke wilayah ini, baik karena penulis atau penerjemahnya berasal dari Palembang, maupun karena semata-mata ditulis atau diterjemahkan di Palembang. Umumnya, berbagai karangan dan terjemahan yang dijumpai tersebut berasal dari periode pertengahan abad 18 hingga awal abad 19. Dapat dipastikan bahwa bangkitnya Palembang sebagai salah satu “kubu Islam” di dunia Melayu ini tidak bisa lepas dari munculnya Kesultanan Palembang pada awal abad XVII, di mana sejak awal para Sultannya telah mulai menunjukkan minat yang khusus pada bidang keagamaan, dan senantiasa mendorong tumbuhnya pengetahuan dan iklim keilmuan di bawah patronase mereka. Munculnya apa yang biasa disebut sebagai “minat khusus” para Sultan itu sendiri, tampaknya juga terkait dengan kenyataan bahwa sejak awal berdirinya, Palembang sudah banyak berinteraksi dengan para ulama Arab yang, menjelang pertengahan abad XVII, beberapa di antaranya berhasil mencapai kedudukan menonjol di istana Kesultanan Palembang 15 Dalam konteks tradisi kekuasaan Islam Melayu, fenomena para Sultan Palembang yang banyak menjadikan tokoh-tokoh agama sebagai patron keilmuan mereka, memang merupakan gejala umum yang biasa terjadi. Di Aceh pada masa keemasan Kesultanannya misalnya, muncul ulama-ulama yang bertindak sebagai “patron keilmuan” penguasa. Demikian halnya di Palembang, sejak awal para Sultan yang berkuasa telah memberikan kontribusi atas terciptanya atmosfir keilmuan di wilayah ini. Para Sultan Palembang periode awal, misalnya, sangat proaktif melakukan usaha-usaha untuk menarik perhatian sejumlah ulama Arab agar mau berkunjung dan tinggal di wilayahnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh para Sultan Palembang untuk menarik minat para migran Arab agar datang ke Palembang adalah melalui kerjasama ekonomi. Hasilnya, para migran Arab, terutama dari Hadhramaut, mulai berdatangan ke Palembang dalam jumlah yang semakin besar sejak abad XVII, bahkan sebagian di antara mereka memilih untuk menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan, dan akhirnya tinggal dan menetap di Palembang. 15 Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Prenada Media Group. Hlm. 304
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1663
Upaya-upaya para Sultan Palembang seperti ini sebenarnya tidak hanya dilakukan terhadap para ulama Arab, tetapi juga terhadap etnis lain, seperti Cina misalnya, sehingga Kesultanan Palembang pada masa itu menjadi sangat kosmopolit Adapun menjelang pertengahan abad XVIII di Kesultanan Palembang telah muncul beberapa ulama Arab yang belakangan memainkan peranan penting dalam pertumbuhan tradisi keilmuan Islam di wilayah ini 16. Lebih dari itu, para ulama Arab tersebut banyak memberikan kontribusi terhadap keberadaan istana di Palembang sebagai pusat pengetahuan yang mana koleksi besar karya-karya keagamaan para ulama setempat banyak disimpan di istana tersebut. Hal ini, pada akhirnya juga lebih menegaskan tesis tentang Islam sebagai fenomena istana, yang menempati posisi strategis dalam wacana keilmuan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia. Dengan latar belakang sosial-politik demikian, tidak heran kemudian jika pada periode-periode berikutnya, terutama antara abad 18 dan 19, Palembang telah melahirkan sejumlah ulama penting yang tergolong produktif di zamannya, seperti Shihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyiddin, Kemas Muhammad bin Ahmad, dan yang paling menonjol serta paling berpengaruh di antaranya, Shaikh Abdussamad al-Palimbani. Mereka semua telah memberikan kontribusi penting terhadap munculnya tradisi keilmuan Islam di Palembang khususnya dan di Melayu-Indonesia pada umumnya, dengan mengarang dan menerjemahkan kitab-kitab keagamaan, sehingga masyarakat Muslim di wilayah ini bisa mengakses berbagai pengetahuan keislaman. Setidaknya ada dua faktor utama yang melatarbelakangi munculnya Palembang sebagai pusat keilmuan Islam, termasuk di dalamnya tradisi menulis dan menerjemahkan kitab-kitab keagamaan. Pertama, karena situasi sosial politik Kesultanan Palembang yang sangat kondusif untuk pengembangan iklim keilmuan, di mana ulama sering menjadi patron keilmuan para Sultan. “Kemesraan” antara ulama dan Sultan Palembang terutama terjadi pada masa Kemas Fakhruddin, yang menjadi ulama istana saat Sultan Ahmad Najamuddin menjadi penguasa hingga tahun 1774, dan berlanjut pada masa Sultan berikutnya, yakni Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1804). Tidak heran kemudian, jika umumnya, karya-karya terjemahan Kemas Fakhruddin merupakan pesanan dari Sang Sultan . Faktor kedua yang melatarbelakangi munculnya tradisi menulis dan menerjemahkan kitab-kitab keagamaan di Palembang adalah, karena adanya kontak intelektual, dan kemudian transmisi keilmuan, yang terjadi antara para ulama Melayu-Indonesia (yang kemudian dikenal sebagai “ulama Jawi”) termasuk para ulama Palembang di dalamnya, dengan para 16
Ibid. 305
1664 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization ulama di pusat dunia Islam, khususnya Makkah dan Madinah (Haramayn). Kemampuan para ulama Palembang menulis dan menerjemahkan berbagai kitab keagamaan, setidaknya mengisyaratkan kepada kita betapa mereka tergolong mumpuni dan menguasai bahasa Arab dengan sangat baik. Sayangnya, hingga kini, biografi lengkap dari Shihabuddin bin Abdullah Muhammad belum banyak diketahui , kendati rasanya sulit untuk tidak menduga bahwa Shihabuddin pernah belajar di Tanah Arab, atau setidaknya melakukan kontak intelektual meskipun tidak langsung secara intens dengan ulama-ulama di berbagai pusat keilmuan Islam, terutama di Haramayn, mengingat kemampuan menerjemahkan, apalagi mengarang, teks-teks berbahasa Arab membutuhkan penguasaan atas bahasa tersebut secara aktif dan optimal. Peranan orang Arab memang sangat penting di Palembang pada masa Kesultanan, diantara mereka selain dipercaya sebagai ulama istana yang tugasnya sebagai penasehat Sultan, namun mereka ini juga sebagai elit ekonomi yang bergerak di sektor transportasi laut. Hal ini terbukti dari kepemilikan 10 kapal milik pedagang arab pada tahun 1759, meningkat menjadi 40an kapal pada periode 1795-1796. Dari salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa 50 % aktivitas pelayaran di pelabuhan Semarang dikuasai oleh Arab-Palembang. Oleh karena dari periode 1795-1796 sejumlah 20 dari 36 kapal yang meninggalkan Palembang untuk rute Malaka adalah milik Arab-Paembang keturunan Hadramaut.17 Kesimpulan Perdagangan timah dan lada Sultan-Sultan Palembang dibawah monopoli VOC sepertinya tidak bisa begitu saja diartikan sebagai bisnis yang lemah dibawah kendali pihak monopoli dengan balasan berupa proteksi. Oleh karena dalam prakteknya, sistem monopoli perdagangan timah dan lada mengalami proses negosiasi yang diinisiatifkan oleh Sultan Palembang. Proses negosiasi tersebut diantaranya berkenaan dengan masalah peningkatan harga komoditi, premi yang diperoleh. Proses negosiasi yang dilakukan Sultan ini ternyata memiliki kekuatan yang yang cukup kuat, hal ini salah satunya dapat dibuktikan dengan adanya beberapa dari isi kontrak-kontrak yang terlarang tersebut kemudian bisa mendapatkan izin, antara lain adalah berkenaan dengan membuka hubungan dagang dengan Siam dan Kamboja serta Tidak terganggunya kondisi keamanan bagi Sultan Palembang dan para pedagang-pedagang melayu lainnya ketika berdagang dengan para pedagang non-VOC seperti pedagang dari Macao, Portugal, Perancis, Inggris, dan Cina. VOC memang secara resmi memiliki kuasa tertinggi di Palembang, akan tetapi dalam prakteknya kedaulatan tetap berada di tangan Sultan Palembang, karena 17 Barbara Watson Andaya.To Live as Brothers ; Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth (Honolulu : Univ.of Hawaii Press, 1993), hlm. 221
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1665
VOC tidak pernah diizinkan untuk masuk ke wilayah pedalaman. Sultan Palembang ternyata dalam hal perdagangan timah telah memanfaatkan kesempatan yang bertolak belakang pada waktu yang sama. Oleh karena di satu pihak Sultan berbisnis resmi (legal) dengan protektornya yakni VOC. Namun pada pihak lain Sultan juga melakukan bisnis timah yang tersenbunyi di pasar gelap untuk menghasilkan keuntungan diam. Pada kelanjutannya Sultan Palembang juga menfaatkan kesempatan memperdagangkan produk-produk lain yang terlarang menurut versi VOC bagi keperluan penambang Timah. Ternyata hasil dari bisnis timah telah membawa kemakmuran bagi Kesultanan Palembang dan membawa kemajuan peradaban dengan membangun sarana transportasi, maupun membangun institusi institusi keislaman lainnya. Melalui pemahaman bahwa sejarah adalah sejarah masyarakat, maka dalam berbagai aspek sosial dari aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan Islam bisa diungkap. Perkembangan peradaban Islam di Palembang abad XVII-awal abad XIX ternyata tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan aktivitas ekonomi penguasa dan masyarakat tentunya. Daftar Pustaka Manuskrip ANRI : Katalog Palembang. No. 41.6 Renovasi de Contracten met de Koningen van PalembangDee 1622, 1678, 1679 en 1684 Det 25 Januari 1691 M. ANRI : Katalog Palembang. No. 41.8 Contract Palembang 10 September 1755. ANRI : Katalog Palembang 41.9 Renovatie der Contracten Tirs schen den Koming van Palembang En Comp 15 Juni 1763. ANRI : Katalog : Palembang 41. 10 Contract met Palembang 25 Desember 1775 . ANRI : Katalog Palembang 41.7 Renovatie de Contracten met Sulthan Seri Ratu ..Palembang 2 Juni 1722 ANRI : Katalog Palembang 41/11, Original Acte van Renovatie der
voorige Contracten met de Koningen van Palembang, Met den Paduka Seri Sulthan Ratu Muhammad Baha’uddin, en den kroon prins Pangeran Ratu, Op den 31 Agustus 1791 en 28 November 1791 ANRI : Katalog Palembang, 66/9 Qaull al- Haq Wakalamah al- Shadiq ANRI : Katalog Palembang 15 DV-16 Contract met Palembangd.d 18 Agustus 1823 M ANRI : Surat-Surat Sultan Palembang ( SSSP)
1666 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization ARA-Den Haag, Surat dari Sultan Palembang ke Batavia, 13 Mared 1747 dalam arsip VOC no 2699. F. 49 Buku-Buku Ali Amin, “Sejarah Kesultanan Palembang dan Bebarapa aspek Hukumnya” dalam K.H.O Gadjah Nata dan Sri-Edi Swasono (Ed) Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (Jakarta : UI Press, 1986), Andaya, Barbara Watson.To Live as Brothers ; Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth (Honolulu : Univ.of Hawaii Press, 1993) Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Prenada Media Group Marsden, William . The History of Sumatra, (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1975 ) M.A.P Meilink-Roelofsz (ed.)(1998), Dutch author on Asian History : selection of Dutch Historiography on the Verenigde Oostindische Compagnie. Dordrecht [etc]. foris Publications Sutedjo Sujitno, Legenda dalam Sejarah Bangka : Mencermati Kontribusi Legenda Dalam Penyusunan Sejarah Bangka .Jakarta : Cempaka Publising, 2011 Reinout vos (1993). Gentle Janus, Merchant Prince : The VOC and The Tightrope of diplomacy in the malay Word, 1740-1800. Leiden : KITLV Press,
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1667
ISLAM PEDALAMAN (Mengurai Harmoni Islam Dan Agama Slam Sunda Wiwitan Pada Komunitas Suku Baduy Banten) Kiki Muhamad Hakiki1
Abstrak: Fokus penelitian ini adalah mengungkap bagaimana relasi Islam dan agama lokal sunda wiwitan di komunitas Baduy. Tema ini penting diungkap karena sampai saat ini belum pernah terjadi adanya konflik atas nama agama pada komunitas Suku Baduy. Dari pengamatan dengan pendekatan historis dan fenomenologis ditemukan beberapa temuan; Pertama, Prilaku santun dan jujur yang dimiliki oleh Orang Baduy semata-mata disebabkan oleh kuatnya mereka dalam mematuhi adat kepercayaan yang diajarkan oleh agama mereka. Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya pikukuh yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Kedua, Meskipun masyarkat Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat dan selalu memegang teguh adat kepercayaannya dengan konsep ajaran hidup "tanpa perubahan apapun", akan tetapi faktanya saat ini banyak Orang Baduy yang sudah mengalami perubahan. Ketiga, Sampai saat ini, tidak ditemukan sedikikitpun data terkait adanya konflik antara Orang Baduy dan Baduy Muslim yang dilatarbelakangi oleh motif agama. Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Keempat, Banyaknya fenomena pindah agama yang terjadi pada komunitas Baduy disebabkan beberapa faktor, diantaranya; Pertama, faktor sejarah, faktor perubahan status dan faktor sosial. Kata Kunci: Islam Pedalaman, Islam, Slam Sunda Wiwitan, Suku Baduy
A. Pendahuluan Komunitas Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat kepada kepercayaannya. Akan tetapi faktanya, banyak juga di antara mereka yang melakukan pindah kepercayaan atau agama menjadi penganut agama Islam. Perpindahan agama ini bagi orang Baduy mengandung resiko yang sangat Barat. Mereka tidak hanya harus terusir dari kependudukan Baduy Dalam, melainkan juga tidak diakui sebagai penduduk Baduy Luar. Komunitas Baduy Muslim ini-lah yang kemudian dikenal sebagai Baduy Dangka. Keberadaan masyarakat kampung Baduy Dangka berdampingan dengan 1 Staf Pengajar Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. Menyelesaikan studi S3 Program Religious Studies di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
~ 1668 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1669
masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakaian, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya. Masyarakat Dangka kini sudah banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainnya. Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral. Kehidupan di Baduy Dangka secara adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping, keberadaan masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas. Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat.2 Meskipun begitu, warga Dangka masih diperbolehkan kembali menjadi warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat. Dalam penelitian ini, objek yang akan dijadikan penelitian adalah wilayah kampung Cicakal Girang. Pemilihan tempat ini didasari oleh beberapa alasan; Pertama, sejak tahun 1975, atas kebijakan lembaga adat Baduy, warga Cicakal Girang yang kini sudah berjumlah 324 jiwa (158 lakilaki, 166 perempuan) tersebut bebas membangun rumahnya terbuat dari bahan semen, pasir dan batu/bata, memiliki lantai keramik, genting dan sebagainya yang tidak boleh terlalu mewah. Disana juga terdapat tanaman cengkeh, kerbau peliharaan, sawah, kolam ikan (yang kesemuanya merupakan pantangan adat Baduy). Kedua, di Cicakal Girang, alat penerangan pun sudah memanfaatkan listrik bertenaga surya.Cara berpakaian dan pola perilaku mereka juga jauh berbeda dengan warga Baduy. Ketiga, di kampung Cicakal Girang hampir seluruhnya sudah beragama Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah; 1). Apa makna agama bagi komunitas Baduy ? 2). Bagaimana persepsi orang Baduy terhadap mereka yang beragama di luar kepercayaan yang dianutnya ? 3). Bagaimana persepsi orang Baduy yang sudah beragama Islam memandang orang Baduy yang belum beragama Islam ? 4). Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi orang Baduy pindah agama ?. Untuk mencapai hasil penelitian yang sistematis dan maksimal, penelitian ini menggunakan beberapa metode analisa data; historis dan fenomenologis dan diuraikan secara deskriptif analitis. Pendekatan historis digunakan sebagai alat untuk dapat memahami sejarah komunitas muslim Baduy, proses prubahannnya. Sedangkan pendekatan fenomenologis 2Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda; Suatu Pendekatan Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 3, 2009Ibid., hlm. 69.
1670 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization digunakan untuk melihat berbagai fenomena dilapangan, baik itu pada prilaku, persepsi, perubahan persepsi yang terjadi pada masyarakat baduy atau mereka yang sudah menjadi Muslim B. Landasan Teori William James mengungkapkan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain :3 Pertama, Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap. Kedua, Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses). Ketiga, Konversi agama dapat terjadi oleh 2 faktor; intern dan faktor ekstern. Pertama, Faktor Intern; 1). Kepribadian. W. James menemukan bahwa, tipe melankolis yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya; 2). Pembawaan. Ada semacam kecendrungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama, ini dapat dilihat urutan kelahiran. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stres jiwa. Kondisi tersebut juga bisa mempengaruhi terjadinya konversi agama. Kedua, Faktor Ekstern; 1). Keluarga. Terjadinya ketidakserasian, keretakan keluarga, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, tidak harmonisnya keluarga serta kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat kondisi tersebut bisa saja menyebabkan seseorang mengalami tekanan batin sehingga terjadi konversi agama dalam usahanya untuk mencari hal-hal baru dalam rangka meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya; 2). Lingkungan. Seseorang yang tinggal di suatu tempat dan merasa tersingkir dari kehidupan di suatu tempat dan merasa hidup sebatang kara. Pada saat ini dia mendambakan ketenangan batin dan tempat untuk bergantung agar kegelisahan batinnya bisa hilang; 3). Perubahan Status. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan itu terjadi secara mendadak. Seperti perceraian atau kawin dengan orang yang berlainan agama; 4). Kemiskinan. Masyarakat yang awam cenderung untuk memeluk agama yang menjanjikan kehidupan dunia yang lebih baik. Menurut Jalaluddin setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya konversi agama, yaitu :4 Pertama, Petunjuk Ilahi/hidayah. Adanya petunjuk dari yang Maha Kuasa terhadap seseorang sehingga individu menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa 3 William James, The Varietes of Religious Experience; Perjumpaan dengan Tuhan— Ragam Pengalaman Religius Manusia. Penerjemah: Admiranto, Gunaean. Bandung : Mizan Media Utama, 2004. 4 Jalaluddin, Psikologi Agam…..,hlm. 261-265.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1671
sepenuhnya. Kedua, Faktor sosial. Beberapa faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya konversi agama antara lain : 1) Pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan); 2) Pengaruh kebiasaan-kebiasaan yang bersifat ritual, misalnya mengahdairi upacara keagamaan; 3) Pengaruh ajakan dan persuasi dari orang-orang yang dekat, misalnya keluarga, sahabat; 4) Pengaruh pemimpin agama; 5) Pengaruh komunitas atau perkumpulan sosial yang diikuti; 6) Pengaruh kekuasaan negara/ hukum: Penduduk suatu negara mempunyai kecenderungan untuk mengikuti agama yang menjadi agama negara. Ketiga, Faktor Psikologis. Adanya kebingungan, tekanan, dan perasaan putus asa yang menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan bagi individu sehingga mendorongnya untuk mencari perlindungan ke kekuatan lain yang dianggap mampu memberinya jawaban, ketenangan dan ketentraman jiwa. C. Gambaran Objek Penelitian Dilihat dari letak geografisnya, Baduy terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT5 dan masuk dalam wilayah wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Banten merupakan salah satu wilayah yang yang cukup luas terutama areal perhutannya yakni Jumlah luas hutan sendiri sekitar 282,105, 64 ha. Luas hutan itu meliputi hutan lindung 8%, hutan produksi 27% dan hutan konservasi 65%. Provinsi yang pada awalnya merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat ini mempunyai kandungan alam terbilang cukup kaya.6 Luas areal suku Baduy sekarang telah mengalami penyempitan seiring dengan adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan sebagian areal hutan Baduy menjadi hutan produksi dengan ditanami pohon Sawit dan Karet. Dalam catatan yang ditulis oleh A.J. Spaan pada tahun 1867 dan B. Van Tricht tahun 1929 bahwa pada abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari Kecamatan Leuwidamar sampai ke Pantai Selatan. Sedangkan dalam catatan Judhistira Garna, berdasarkan adanya kesamaan kepercayaan sunda lama dan adanya pertalian kerabat masyarakat, maka 5 Johan Iskandar, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus Dari Daerah Baduy, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 21. Atau lihat, R Cecep Eka Permana, Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari Inti Jagat; Sebuah Kajian Antropologis, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998, hlm. 10. 6 Banten merupakan provinsi yang berdiri berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2000 secara administratif, terbagi atas 4 Kabupaten dan 2 Kota yaitu : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon, dengan luas 8.651,20 Km 2. Letak geografis Provinsi Banten pada batas Astronomi 105º1'11² - 106º7'12² BT dan 5º7'50² - 7º1'1² LS, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2006 sebesar 9.308.944 Jiwa. (Sumber : Dokumen RPJM Prov. Banten Tahun 2007 - 2012).
1672 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization wilayah Baduy meliputi beberapa kecamatan yakni; Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik dan Leuwidamar. Terjadinya penyempitan wilayah Baduy pada fase kemudian disebabkan adanya kebijakan Sultan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam.7 Mengurai benang kusut terkait dengan sejarah Baduy memang cukup rumit. Kerumitan itu muncul karena ada beberapa versi yang masingmasing saling bertentangan. Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan beberapa versi yang berbeda, di antara versi tersebut; a. Perspektif Masyarakat Baduy Penyebutan mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy sebagaimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar atau peneliti sebenarnya tidak-lah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti; Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu, Urang Panamping. Lalu pertanyaannya dari mana penyebutan istilah Baduy itu berasal?. Menurut Hoevell bahwa penyematan mereka dengan sebutan Baduy pertama kali dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Baduy yang sudah memeluk agama Islam. Penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitif, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka di samakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin yang ada di daerah Arab.8 Dengan alasan ini-lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri. Begitu populernya istilah ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy membuat beberapa masyarakat di luar Baduy memberikan nama-nama kandungan alam dengan Istilah Baduy, seperti penyebutan Gunung yang ada diwilayah Baduy dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal juga Sungai Baduy.9 Bahkan menurut Pleyte, kata ”Baduy” sendiri mempunyai ciri yang khas sebagai kata dalam bahasa sunda seperti; tuluy, aduy, uruy.10 Dalam sumber yang lain, penyebutan mereka dengan istilah Baduy, pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika 7 Judhistira Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Kerjasama Gramedia dan Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, 1993, hlm. 124-135. 8 WR. Van Hoevell, Bijdragen tot de Kennis der Badoeinen in het Zuiden der Residentie Bantam, (TNI, 7, IV, 1845), hlm. 360-361. 9 Pleyte, “Badoejsche Geesteskinderen”, (TBG, 54, afl.3-4, 1912), hlm. 218-219. Atau lihat, Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Depdikbud, 1986), hlm.1. atau lihat Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda; Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 3, 2009), hlm. 46. 10 Pleyte, Ibid., hlm. 217-218.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1673
melakukan penjajahan di Indonesia. Orang Belanda biasa menyebut mereka dengan sebutan badoe’i, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Urang Rawayan.11 Penyebutan istilah di atas didasari oleh beberapa alasan; Pertama, istilah Baduy muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi tempat huniannya. Alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung menjadi gunung Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan tersebut untuk dijadikan pemukiman. Kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha yang kemudian berubah menjadi Baduy. Ketiga, Ada juga yang mengatakan bahwa istilah Baduy berasal dari kata “Baduyut” kerena di tempat ini-lah banyak ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin. Keempat, pendapat yang lain juga muncul bahwa penyebutan Baduy di ambil dari bahasa Arab Badui yang berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya lautan pasir.12 Alasan ini menurut saya kurang tepat. Penyamaan istilah Baduy dengan keberadaan suku yang ada di Arab bukanlah berdasarkan kesamaan definisi istilah, akan tetapi berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat persediaan kebutuhan hidup dalam hal ini keberadaan pangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kokolot adat (tokoh adat) dan masyarakat Baduy, terkait dengan sejarah asal usul masyarakat suku Baduy, mereka meyakini bahwa asal masyarakat Baduy berasal dari keturunan Batara Cikal yang merupakan salah satu dari tujuh Dewa atau Batara yang diutus untuk datang dan memelihara bumi.13 Yang menarik dari kepercayaan masyarakat Baduy ketika penelitian ini dilakukan adalah adanya kepercayaan bahwa asal usul-nya terkait atau berhubungan dengan Nabi Adam yang diyakini oleh mereka sebagai nenek moyang pertama. b.
Perspektif Ahli Sejarah Berbeda dengan kepercayaan masyarakat Baduy tentang sejarah asalusul mereka. Para ahli sejarah mempunyai pandangan yang ternyata juga berbeda versi prihal sejarah awal Baduy. Versi pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Padjajaran sebagaimana tertera dalam catatan pertama tahun 1822 mengenai suku Baduy yang ditulis oleh ahli botani bernama C.L. Blumen. Menurut sejarah, pada sekitar abad ke-12 dan ke-13 M, kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan meliputi Banten, Bogor, Priangan 11Judhistira Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, hlm. 120 12 Djuwisno MS, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, (Jakarta: Khas Studio, 1986), hlm. 5 13 Wawancara dengan salah satu kokolot Baduy bernama Ayah Mursid pada tanggal 28 Oktober 2010
1674 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization sampai ke wilayah Cirebon. Saat itu kerajaan Padjajaran dikuasai oleh Raja bernama Prabu Bramaiya Maisatandraman atau yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Ketika terjadi pertempuran sekitar abad ke-17 M antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda, kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak.14 Karena itu-lah Sang Parbu Pucuk Umun dengan beberapa punggawanya melarikan diri ke daerah hutan pedalaman. Dari sini-lah kemudian mereka hidup menetap dan berkembangbiak menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku Baduy.15 Pendapat ini jika kita bandingkan dengan beberapa bait pantun yang kerap dinyayikan oleh masyarakat Baduy ketika hendak melakukan upacara ritual, nampaknya mempunyai nilai pembenarannya. Pantun tersebut berbunyi: “Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju (Jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan” Keturunan ini-lah yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Tangtu) dengan ciri-ciri; berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi ramah, kuat terhadap hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana. Versi kedua, berbeda dengan pendapat pertama di atas, pendapat kedua ini muncul dari Van Tricht yang merupakan seorang dokter yang pernah melakukan riset di Baduy pada tahun 1928. Menurutnya, komunitas Baduy bukanlah berasal dari sisa-sia kerajaan Padjajaran yang melarikan diri, melainkan penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar.16 Pendapat Van Tricht ini hampir sama dengan pendapat yang diyakini oleh masyarakat Baduy sendiri yang mengatakan bahwa mereka adalah masyarakat terpilih yang diberikan tugas oleh raja17 untuk melakukan mandala (kawasan yang suci) di daerah
Judistira Garna, Orang Baduy di Jawa, hlm. 144. Djuwisno MS, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, hlm. 1-2. 16 Judistira Garna, Orang Baduy di Jawa, hlm. 146 17 Danasasmita dan Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, (Bandung: Bagian Proyek Penelitian Kebudayaan Sunda (sundanologi), 1986, hlm. 4-5. Pendapat senada pun 14 15
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1675
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang) Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan, yang kini di diami oleh masyarakat Baduy. Versi ketiga, jika kita coba komparasikan antara keyakinan sejarah masyarakat Baduy dengan penemuan para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan sejarawan) terlihat perbedaan yang kontras bahkan bertolak belakang. Menurut catatan sejarah, berdasarkan proses sintesis dari penemuan prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Menurut catatan para ahli sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Hasanuddin yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan salah satu bagian terpenting dari Kerajaan Sunda. Wilayah Banten pada saat itu adalah merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar yakni Pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung yang berhulu di areal wilayah Baduy dan melewati Kabupaten Lebak dan Serang dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan sangat ramai digunakan sebagai alat transportasi untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Banten. Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut (Banten Selatan) yakni Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Dengan alasan itu-lah, maka kemudian ia memerintahkan pasukan khusus kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut membuat mereka harus menetap dengan waktu yang cukup lama. Dengan alasan ini, maka para ahli sejarah menetapkan bahwa asal mula masyarakat suku Baduy yang sampai sekarang eksis masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut berasal.18 Adanya perpedaan pendapat tersebut membuat sebagian pengamat suku Baduy menduga bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, sebagai alasan untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Padjajaran dan Banten. Ketiga pendapat ini memang sulit untuk dipadukan karena masingmasing (masyarakat Baduy dan ahli sejarah) mempunyai alasan tersendiri— yang satu sama lainnya menganggap benar. Karena itu, langkah yang bijak adalah membiarkan perbedaan pendapat itu sebagai sebuah realita sejarah yang menarik dan unik.
diungkapkan oleh R. Cecep Eka Permana dalam bukunya, “Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari “Inti Jagat”, hlm. 19. 18 Kusnaka Adimihardja, Dinamika Budaya Lokal, (Bandung: Pusat Kajian LBPB, 2008), hlm. 123.
1676 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization D. Klasifikasi Komunitas Suku Baduy 1. Baduy Tangtu Pemukiman Baduy Tangtu (Baduy Dalam) atau bagi masyarakat Baduy sendiri biasanya menyebutnya dengan sebutan Urang Tangtu, Urang Girang atau Urang Kejeroan yang berada di bagian selatan. Masyarakat Baduy Tangtu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan nama kampung tempat tinggalnya, yaitu Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyangan, Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung dan Kampung Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang. Keseluruhan wilayah kampung Baduy Tangtu ini disebut dengan Telu Tangtu (Tiga Tangtu). Jumlah penduduk masyarakat Baduy Tangtu kini diperkirakan berjumlah 800 orang. Penyebutan Baduy Tangtu atau Baduy Dalam secara bahasa di ambil dari bahasa Sansekerta. Kata “tangtu” merupakan kata benda yang bermakna; benang, silsilah, cikal bakal. Dalam Kamus Bahasa Sunda Kuno, istilah “tangtu” berarti tempat atau kata sifat; pasti. Menurut kepercayaan masyarakat Baduy sendiri, istilah “tangtu” bermakna sebagai tempat dan sekaligus pendahulu atau cikal bakal—baik dalam arti pangkal keturunan maupun pendiri pemukiman.19 Penyebutan istilah “telu tangtu” ternyata sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Sunda. Dalam Kropak 360 disebutkan adanya “tri tangtu” yang dijadikan sebagai peneguh dunia dan dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa, rama sebagai sumber ucapan yang benar, dan resi sebagai sumber tekad yang baik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dunia bimbingan di bawah sang rama, dunia kesejahteraan berada di tangan sang resi, dan dunia pertahanan di bawah kendali sang raja.20 Di setiap tangtu yang ada di Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun yang tugasnya mengurusi masalah kerohanian bukan keduniawian. Meskipun begitu, para Puun yang ada diwilayah Baduy Tangtu mempunyai wewenang yang lebih spesifik yakni Puun Tangtu Cibeo sebagai Sang Prabu, Puun Tangtu Cikeusik sebagai Sang Rama, dan puun Tangtu Cikartawana sebagai Sang Resi. 2. Baduy Panamping Baduy Panamping atau juga disebut dengan Baduy Luar secara kuantitas penduduk merupakan kelompok terbesar. Baduy Luar atau mereka menyebutnya dengan sebutan Urang Panamping atau Urang Kaluaran menghuni areal sebelah utara Baduy. Saat ini, masyarakat Baduy 19
hlm. 21.
Danasasmita dan Djatisunda, Ibid., hlm. 11-12. Atau R. Cecep Eka Permana, Ibid.,
20 Atja dan Saleh Danasasmita, Amanat dari Galunggung, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981), hlm. 30. Atau juga lihat Atja dan Saleh Danasasmita, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981), hlm. 22. Atau juga lihat, Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda; Sebuah Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, Jilid. 1, Cet. 3, 2009), hlm. 69.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1677
Luar tersebar di 26 kampung yakni Kampung Kaduketug, Cihulu, Sorokokod, Cigula, Karahkal, Gajeboh, Kaduketer, Cibongkok, Cicatang, Cicakal Muara, Cikopeng, Cicakal Girang, Cipaler, Cipiit, Cisagu, Babakan Ciranji, Cikadu, Cipeucang, Cijanar, Batubeulah, Cipokol, Pamoean, Kadukohak, Cisaban, dan Batara. Di setiap kampung yang ada di Baduy Panamping ini dimpimpin oleh seorang kokolot lembur (sesepuh kampung). Menurut Edi S Ekadjati, pada awalnya jumlah suku Baduy panamping memiliki 30 kampung dan ditambah 3 kampung yang ada di Baduy Dalam. Karena itu dalam istilah Baduy ada yang dinamakan Nusa Telupuluhtelu ( Nusa 33).21 Keberadaan penduduk Penamping menurut sejarahnya ada yang secara turun temurun menetap di situ, ada juga masyarakat pendatang atau pindahan dari wilayah Baduy Tangtu. Adanya migrasi ini disebabkan dua faktor; pertama, pindah atas kemauan sendiri disebabkan sudah tidak sanggup lagi hidup dilingkungan masyarakat Tangtu. Perpindahan model ini bagi masyarakat Baduy disebut dengan undur rahayu (pindah secara baik-baik). Kedua, pindah karena diusir dari wilayah Tangtu sebab telah melanggar adat.22 Meskipun begitu, antara warga Tangtu dan Panamping secara hubungan kekerabatan mereka tidak terputus walaupun berbeda status kewargaannya. Mereka tetap sesekali melakukan kunjungan satu sama lainnya demi membina keutuhan hubungan kekeluargaan. 3. Baduy Dangka Keberadaan masyarakat kampung Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakaian, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya. Masyarakat Dangka pun kini sudah banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainnya. Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral. Kehidupan di Baduy Dangka secara adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping, keberadaan masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas. Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat.23 Meskipun begitu, warga Dangka masih diperbolehkan kembali menjadi warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat. Meskipun Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda, hlm. 68. Ibid., hlm. 68. 23 Ibid., hlm. 69. 21 22
1678 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization masyarakat Baduy secara tingkatan kewargaan terbagi atas tiga lapisan; Tangtu, Panamping dan Dangka. Akan tetapi status hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama lainnya tidak terputus. Orang Tangtu masih menganggap keluarga kepada anggota keluargannya meskipun mereka ada diwilayah Panamping atau Dangka sekalipun, begitu sebaliknya. Prinsip hidup seperti ini-lah yang membuat keutuhan masyarakat Baduy sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Akan tetapi, perbedaan kewarganegaraan akan berpengaruh hanya dalam hal-hal tertentu seperti pernikahan, pengangkatan jabatan struktur pemerintahan. E. Temuan dan Analisa Data 1. Sunda Wiwitan dan Makna Agama Bagi Orang Baduy Ketika untuk pertama kali menginjakan kaki di wilayah Baduy. Kesan pertama yang dirasakan adalah bahwa Baduy adalah sebuah masyarakat yang memperaktekkan inti semua ajaran agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau agama apa pun) yaitu mencintai sesama makhluk (manusia dan alam) dan Sang Pencipta. Tetapi kenapa masyarakat luar Baduy memberikan identitas pada mereka sebagai masyarakat penganut agama sunda wiwitan?. Lalu dari mana penamaan agama itu muncul ?. ini-lah yang akan menjadi fokus kajian pada bagian ini. Nama Sunda Wiwitan yang berarti “sunda mula-mula” adalah merupakan penyebutan untuk nama identitas agama orang Baduy. Penamaan ini muncul untuk menggambarkan bagaimana keyakinan itu adalah yang paling awal dari masyarakat Sunda. Dalam literatur Sunda kuno, Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa Pajajaran. Jika dilihat dari sejarahnya, penamaan agama Baduy menjadi sunda wiwitan bermula pada ritual pemujaan mereka yang disimbolkan dengan Arca Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk mensejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Adanya kekuasaan tertinggi itu sampai saat ini masyarakat suku Baduy mempercayai bahwa arwah nenek moyang jika dirawat akan memberikan kekuatan baik lahir maupun batin kepada keturunannya. Karena alasan itu-lah, orang Baduy sampai saat ini begitu menganggap sakral pemujaan kepada nenek moyangnya atau mereka menyebutnya para karuhun. Bagi masyarakat Baduy, mereka meyakini bahwa Orang Baduy berasal dari khirarki tua, sedangkan dunia yang berada di luar Baduy
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1679
berasal dari turunannya. Karena alasan itu-lah maka orang Baduy meyakini bahwa Nabi Adam sebagai manusia yang pertama di bumi berasal dari Baduy. Kepercayaan khirarki tua atau pertama ini membuat mereka merasa bertanggungjawab atas keutuhan alam dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Karena itu, Orang Baduy harus selalu melakukan tapa agar keberadaan bumi ini selalu terjaga. Seluruh keyakinan itu mereka namakan dengan sebutan ”Agama Slam Sunda Wiwitan”. Dalam kepercayaan Orang Baduy, Agama Slam Sunda Wiwitan merupakan agama khusus yang diperuntukkan untuk komunitas Baduy dan tidak disebarkan kepada masyarakat luar Baduy. Jika dilihat secara sederhana, kepercayaan Orang Baduy tersebut cukup dekat dengan Islam. Bahkan penyebutan kata ”Slam” hampir mirip dengan kata ”Islam”. Kesamaan lainnya juga terlihat dari kepercayaan Orang Baduy yang hanya mempercayai satu Tuhan yang mereka sebut Gusti nu Maha Agung, Gusti nu Maha Suci atau Sang Hyang Tunggal, namun dalam hal kenabian mereka hanya percaya kepada Nabi Adam. Menurut salah seorang tokoh adat Baduy mengatakan bahwa "Nabi Adam adalah junjungan orang Baduy, kami berasal dari Adam," Terkait dengan posisi Nabi Muhammad Saw yang depercayai oleh umat Islam sebagai Nabi dan panutan tertinggi, justru Orang Baduy pun sebenarnya mengakui kenabian Muhammad, akan tetapi mereka menempatkan posisi Nabi Muhammad dalam posisi sebagai saudara Nabi Adam. Bahkan entah dari mana sumbernya, sampai saat ini Orang Baduy percaya bahwa Nabi Muhammad adalah adik Nabi Adam. Faktor lain yang menunjukan kedekatan ajaran Baduy dengan Islam, adanya buyut atau pantangan minum arak (khmar) dan memakan anjing.24 Dalam kepercayaan Agama Slam Sunda Wiwitan tidak dikenal adanya perintah sholat sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam. Orang Baduy pun tidak memiliki kitab suci layaknya agama-agama lain. Bagi masyarakat Baduy, pengenalan dan pemahaman Agama Slam Sunda Wiwitan cukup dikenalkan hanya dengan lisan, penuturan, dan percontohan.25 Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan akan pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk selalu dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini-lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh: “buyut nu dititipkeun ka puun 24 Wawancara dengan H. Hassan Alaydrus, ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Lebak, yang telah puluhan tahun menjadi pimpinan dari Lembaga Dakwah Khusus Muhammadiyah pada masyarakat Baduy 25 Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 139.
1680 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization nagara satelung puluh telu bangsawan sawidak lima pancer salawe nagara gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang dirusak larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pendek teu meunang disambung nu lain kudu dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun Artinya: “buyut yang dititipkan kepada puun negara tigapuluhtiga sungai enampuluhlima pusat duapuluhlima Negara gunung tidak bolehdihancurkan lembah tidak boleh dirusak larangan tidak boleh dilanggar buyut tidak boleh diubah panjang tidak boleh dipotong pendek tidak boleh disambung yang bukan harus ditiadakan yang lain harus dilainkan yang benar harus dibenarkan” Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki oleh agama Orang Baduy membuat mereka secara berhati-hati dan patuh dalam menjalankan berbagai pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh salah seorang pemangku adat Baduy bernama Ayah Mursid.26 Menurutnya; “Agama nu diagem ku masyarakat Baduy ngarana Agama Slam Sunda Wiwitan, nabina Adam Tunggal. Dina keyakinan Sunda Wiwitan kami mah teu kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna memelihara keseimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna da ajarana neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur urang Baduy”. Kedekatan agama Orang Baduy dengan Islam semakin terasa dan terlihat dari syahadat yang mereka gunakan. Dalam kepercayaan adat
26 Posisi Ayah Mursid dalam hirarkhi pemerintahan adat Baduy menempati posisi sebagai wakil jaro tangtu Cibeo.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1681
Baduy, ada dua macam jenis sahadat; syahadat Baduy Dalam dan Syahadat Baduy Luar.27 Syahadat Baduy Dalam; “asyhadu syahadat Sunda jaman Allah ngan sorangan kaduanana Gusti Rosul ka tilu Nabi Muhammad ka opat umat Muhammad nu cicing di bumi angaricing nu calik di alam keueung”. ngacacang di alam mokaha salamet umat Muhammad”
(asyhadu syahadat Sunda Allah hanya satu kedua para Rasul ketiga Nabi Muhammad keempat umat Muhammad yang tinggal di dunia ramai yang duduk di alam takut menjelajah di alam nafsu selamat umat Muhammad
Syahadat Baduy Luar; “asyhadu Alla ilaha illalah wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah isun netepkeun ku ati yen taya deui Allah di dunya ieu iwal ti Pangeran Gusti Allah jeung taya deui iwal ti Nabi Muhammad utusan Allah”.
(Asyhadu Alla ilaha illalah wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah aku menetapkan dalam hati bahwa tiada lagi Tuhan di dunia ini selain Pangeran Gusti Allah dan tiada lagi selain Nabi Muhammad utusan Allah)
Dalam penggunaannya, syahadat Baduy Dalam atau disebut juga syahadat sunda wiwitan disampaikan kepada Puun sebagai ungkapan janji ikrar akan kesetiaan kepada aturan adat Baduy. Atau sebagaimana umat Islam ketika mereka berikrar memeluk agama Islam. Sedangkan syahadat Baduy luar digunakan oleh Orang Baduy ketika mereka hendak melangsungkan pernikahan menurut tata cara Islam. Jika diperhatikan redaksi kedua syahadat di atas, jelas terlihat bahwa Orang Baduy sendiri mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Lalu mengapa tata cara ibadah Orang Baduy berbeda dengan umat Islam pada umumnya?. Menurut penganut agama sunda wiwitan, dikatakan bahwa “kami mah ngan kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Artinya bahwa mereka hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan rukun-rukun Islam lainnya termasuk didalamnya berbagai jenis ibadah ritual dalam agama Islam tidak pernah diperoleh.28 Dari uraian di atas jelas terlihat 27 Masykur Wahid, Sunda Wiwitan Baduy; Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasiona Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke – 10 di Banjarmasin, 1 – 4 November 2010, hlm. 100-101. 28 Ibid.
1682 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization bahwa agama Sunda Wiwitan merupakan agama sinkretisme Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat Baduy. Keimanannya kepada Allah hanya terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat, namun mereka melakukan praktik ritual keagamaan dengan berpedoman pada pikukuh, aturan adat sendiri yang mirip dengan tradisi agama Hindu yaitu melakukan pemujaan terhadap para dewa-dewa dan para leluhur di tempat suci bernama Sasaka Domas. 2. Dangka; Kampung Muslim Baduy Di antara kampung Baduy yang masuk wilayah Dangka adalah kampung Cicakal Girang. Secara letak geografis, Cicakal Girang berada di ujung barat Desa Kanekes yang berbatasan langsung dengan Desa Keboncau Kecamatan Bojong Manik. Seiring dengan perkembangannya, Cicakal Girang kini sudah berkembang menjadi dua kampung baru yang setiap kampungnya sudah memiliki musholla sebagai sarana ibadah. Berdasarkan sejarah kemunculan, komunitas Baduy Muslim Cicakal Girang, ada beberapa versi sejarah yang berbeda-beda. Menurut penuturan lisan yang dikemukakan oleh salah seorang warga Baduy Muslim bernama Ustd. Abdul Rasyid (Tokoh Muslim Cicakal Girang) mengatakan bahwa sejarah berdirinya Cicakal Girang diakibatkan oleh jauhnya jarak yang harus ditempuh oleh Orang Baduy yang akan melakukan pencatatan pernikahan. Karena alasan itu-lah, maka kemudian lembaga adat Baduy mengajukan permohonan kepada Sultan Banten untuk menempatkan seorang warganya yang Muslim untuk ditugaskan diwilayah Kanekes. Permintaan lembaga adat tersebut kemudian direspon oleh pihak Kesultanan Banten, maka dikirimlah satu keluarga muslim untuk membantu lembaga adat Baduy dalam mengurusi administrasi pernikahan warga Baduy serta membantu merawat jenazah warga Baduy yang meninggal dunia. Mengenai kapan hal itu terjadi, sampai saat ini belum ditemukan data yang jelas. Adapaun mengenaik orang yang pertama kali ditugaskan oleh Sultan, menurut serita warga Baduy adalah bernama Ki Sahum. Dalam versi yang lain diceritakan bahwa keberadaan Kampung Cicakal Girang menurut sejarahnya merupakan areal perkampungan yang sudah dipersiapkan sejak awal oleh orang Baduy sebagai tempat bermukimnya warga Baduy yang sudah melanggar ketentuan adat Baduy. Keberadaan kampung ini juga bisa dijadikan sebagai pembuktian dan bantahan pandangan masyarakat luar Baduy yang beranggapan bahwa Baduy sangat kaku, menutup diri, tidak bisa menerima adanya perubahan dan sulit untuk diajak kerjasama. Dengan adanya komunitas Baduy Cicakal Girang yang kehidupannya sama dengan masyarakat luar Baduy, membuktikan bahwa Baduy sama dengan masyarakat-masyarakat lainnya. Saat saya untuk pertama kali berkunjung ke wilayah Cicakal Girang, maka saya menyimpulkan bahwa heterogenitas yang biasanya tidak
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1683
terlihat pada komunitas Baduy Dalam, di Cicakal Girang-lah terasa suasana yang berbeda. Pola kehidupan masyarakat Cicakal Girang sangat heterogen, karena itu mereka tidak jauh berbeda dengan komunitas masyarakat di luar Baduy, baik itu dari cara berpakaian, sampai ke masalah keyakinan. Di kampung Cicakal Girang-lah berbagai fenomena yang biasanya tabu dan dilarang bagi komunitas Baduy bermunculan. Di Cicakal Girang saat ini sudah berdiri sekolah formal Madrasah Ibtidaiyah Masyarikul Huda, Masjid, perumahan yang sudah permanen, cara berpakaian yang sudah tidak lagi terikat dengan aturan adat Baduy. Meskipun jelas sekali perbedaannya dengan karakterisatik masyarakat Baduy Dalam, akan tetapi kampung Cicakal Girang dijadikan oleh Orang Baduy sebagai kampung khusus yang direstui perbedaannya oleh tokohtokoh adat Baduy. Ada sekitar 11.000 jiwa lebih penghuni kampung Cicakal Girang. Meskipun penduduk Baduy Cicakal Girang sudah banyak berbeda dengan komunitas Baduy pedalaman, akan tetapi, pola hidup mereka masih tetap sederhana. Kehidupan yang selalu dekat dengan alam masih tetap melekat dalam pola berfikir dan kehidupan mereka. Meskipun sampai saat ini sudah banyak kita jumpai rumah-rumah Orang Baduy yang sudah permanen, akan tetapi tak sedikit juga dapat kita jumpai tipe rumah yang masih sederhana. Rumah yang hanya berupa gubuk (anyaman bambu) beratap daun kirai (rumbia) ditambah injuk masih menjadi pemandangan yang khas di kampung Cicakal Girang. Pakaian yang khas dan amat sederhana, seperti berbaju komprang tak berkerah yang dipadukan celana pendek atau kain sarung sebatas dengkul ditambah ikat kepala, masih menjadi pakaian yang sering dipakai oleh laki-laki Baduy Cicakal Girang. Jika dilihat dari kehidupannnya, masyarakat Baduy Cicakal Girang sudah lebih modern dibandingkan masyarakat Baduy pedalaman. Meskipun begitu, sampai saat ini, orang luar Baduy masih menganggap mereka sebagai masyarakat yang masih kolot dan tertinggal. Bahkan, tak sedikit orang luar Baduy mengklaim mereka sebagai masyarakat yang bodoh dan tidak beradab. Penilaian yang berbeda justru datang dari seorang juru dakwah di kampung Cicakal Girang bernama H. Hassan Alaydrus. Ia justru memandang Orang Baduy sebagai masyarakat yang cerdas dan selalu berpikir penuh siasat. Sifat beradab yang dimiliki oleh Orang Baduy menurutnya karena mereka adalah keturunan raja dan punggawa kerajaan zaman dulu, yang sifat dan tradisi politiknya terwariskan sampai sekarang. Masyarakat kampung Cicakal Girang kini sudah banyak yang menganut agama Islam. Secara bertahap masyarakat mulai mengenal Islam dan kemudian secara resmi memeluk agama Islam dan meninggalkan keyakinan mereka. Bahkan, kini di Desa ini sudah berdiri sebuah pondok pesantren sebagai tempat para anak-anak Baduy Muslim belajar agama. Mereka biasa disebut Baduy Pemukiman atau Baduy Muslim. Menurut Jaro Desa Kanekes yakni Jaro Daenah, saat ini, ada sekitar 4.000 masyarakat Baduy Pemukiman yang keseluruhannya tinggal di 13
1684 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization kampung yang berada di luar Desa Kanekes. Menurut Jaro Daenah, mereka sebetulnya enggan menyebut dirinya sebagai orang Baduy. Sebab, kehidupan mereka tak ubahnya seperti masyarakat di luar Baduy. Meskipun begitu, keberadaan komunitas Baduy Pemukiman adalah tetap merupakan bagian dari masyarakat Baduy Luar. Hanya saja selama ini, mereka dianggap tak sanggup menjaga kesucian wilayah Baduy Dalam. Mereka tetap berpakaian warna hitam, memperlihatkan ketidaksucian. Namun begitu, sebagai masyarakat yang masih memakai identitas Baduy, mereka tetap harus taat pada fatwa para Puun. Hanya pantangan yang mereka yakini berlaku lebih ringan ketimbang masyarakat Baduy Dalam. Menurut Djatisunda, salah seorang antropolog yang meneliti masalah etnis Sunda, mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.29 Meskipun orang Baduy Cicakal Girang sudah beragama Islam akan tetapi masih saja mereka dianggap keberislamannya kurang sempurna karena masih tercampurnya keyakinan mereka dengan keyakinan nenek moyangnya (sunda wiwitan). Karena itu, mereka kerap kali dianggap sebagai penganut Islam baru. 3. Baduy Sunda Wiwitan dan Baduy Muslim a. Persepsi Orang Baduy Terhadap Orang Islam Sesuai dengan sejarah awal kampung Cicakal Girang sebagai kampung bentukan para leluhur adat Baduy yang dijadikan tempat khusus pemukiman warga Baduy yang sudah mengalami perubahan akibat melanggar ketentuan adat. Maka suasana dikampung ini terasa harmonis. Dengan keberadaan kampung ini, nampaknya komunitas Baduy ingin menampilkan sebagai komunitas adat yang mencintai kedamaian, hal ini sebagaimana tertera dalam prinsip hidup Orang Baduy yakni ”Ngasuh Ratu Nyayak Menak”. Ketika berdialog dengan beberapa penganut agama Islam yang ada di Cicakal Girang, di temuka fenomena yang menarik dan sedikit tersentak kaget. Kendati mereka dengan bangga mengaku sebagai pemeluk Islam, akan tetapi, ada yang aneh dari pembicaraan mereka. Saya pun kemudian mengorek lebih jauh dengan dialog lebih intens. Pada akhirnya, mereka pun kemudian berterusterang dan berkata bahwa ketika mereka pindah kepercayaan menjadi penganut agama Islam, maka secara otomatis berlaku aturan dari Puun bahwa orang Baduy yang masuk Islam harus keluar dari kampung Baduy dan konsekuensinya mereka harus megeluarkan uang dalam jumlah tertentu kepada Puun sebagai tanda uang denda karena ia 29
Djatisunda dalam. www.majalahfurqon.com
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1685
masuk Islam. Istilah ini menurut mereka disebut dengan ”ngebokor”. Adanya ketentuan adat yang harus dipenuhi tersebut kemudian dinegosiasikan oleh beberapa juru dakwah Islam di tempat itu, dan pada akhirnya kebijakan itu oleh pemangku adat Baduy diminimalisir meskipun tidak secara jelas dihilangkan. Bukti keberhasilan negosiasi itu terlihat dari adanya satu keluarga yakni keluarga Muhammad Sadi, dari kampung Gerendeng, yang dapat bertahan di kampungnya meski sudah menjadi muslim, karena selama ini Sadi menjadi salah seorang tokoh desa. Usaha dakwah Islam yang dilakukan oleh para juru dakwah masih banyak mengalami kesulitan, bahkan tingkat kesulitan itu membuat para da'i pemula ragu berjuang di Baduy. Di antara rintangan yang terberat yang dihadapi oleh juru dakwah dan komunitas Baduy Muslim adalah masih melakatnya mitos orang Baduy bahwa mereka masih dalam kondisi gencatan senjata melawan pasukan tentara Islam dari Banten. Hal ini disampaikan sendiri oleh salah seorang juru dakwah Islam bernama H. Zainudin Amir. Menurutnya ketika ia baru bertugas di Leuwidamar, ia hampir mundur dari medan jihad (dakwah) lantaran mengetahui Puun telah menginstruksikan warganya bersiaga berperang melawan kekuatan Islam. Menurutnya saat itu, Puun sudah menyuruh warganya mengisi penuh lumbung padi mereka, sebagai persiapan perang. Jika dibandingkan dari pernyataan para juru dakwah Islam yang saya temui di atas dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan dan dialog dengan warga Baduy, justru ditemukan fakta yang berbeda. Orang Baduy justru sangat menghormati eksistensi Orang Baduy Muslim. Dalam kepercayaan Orang Baduy semua manusia pada dasarnya berasal dari satu keturunan yang kemudian berpencar dan mengalami perubahan identitas-identitas, termasuk di dalamnya identitas keagamaan. b. Persepsi Orang Islam Terhadap Orang Baduy Sampai saat penelitian ini dilakukan, saya tidak menemukan sedikikitpun data terkait adanya konflik antara Orang Baduy dan Baduy Muslim yang dilatarbelakangi oleh motif agama. Jikalau ada konflik, hal itu terkait dengan sengketa pengolahan areal perladangan yang ada disekitar wilayah Baduy. Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Karena itu, meskipun mereka berbeda kepercayaan, mereka tetaplah satu keluarga yang utuh. Ada banyak bukti yang bisa diperlihatkan bagaimana kerukunan di antara mereka tetaplah utuh. Pertama, prinsip gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas terlihat dalam komunitas Baduy. Siapa pun dia, apa pun agamanya, tidak begitu penting. Ketika tetangganya membutuhkan bantuan, mereka secara sukarela saling membantu, misalnya; dalam membangun pemukiman, Orang Baduy secara bersama-sama secara
1686 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization sukarela saling bergotong royong. Kedua, dalam hal ritual keagamaan. Meskipun kepercayaan mereka sudah berbeda, akan tetapi warga Baduy Muslim kerapkali mengikuti tradisi-tradisi atau ritual yang sudah diberlakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Misalnya dalam tradisi Seba. Warga Baduy Muslim kerap kali memperingatinya secara meriah. Hal ini menurut kepercayaan mereka merupakan tradisi yang harus terus dilestarikan sampai kapan pun sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugrah Tuhan yang telah diberikan kepada mereka. Ketiga, meskipun identitas keagamaan mereka bukan lagi sebagai penganut agama sunda wiwitan, akan tetapi hal itu tidak membuat hubungan kekerabatan mereka terputus. Identitas agama bagi kepercayaan Orang Baduy bukan sebagai penghalang bagi mereka untuk memutuskan tali silaturrahmi di antara mereka. Bahkan dalam kepercayaan Orang Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran adat atau pikukuh Baduy, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka tetaplah satu kasatuan yang utuh. Orang Baduy masih meyakini bahwa mereka adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah hanya karena berbeda status atau kepercayaan. Bukti dari adanya kepercayaan ini terlihat dari upacara Seba yang selalu dilakukan oleh Orang Baduy setiap tahun sekali sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pengakuan terhadap mereka yang berbeda. Dalam wawancara dengan salah satu warga Baduy bernama H. Media yang sudah menjadi muslim dijelaskan bahwa kekerabatan mereka tetaplah terikat meskipun kepercayaan yang dianutnya berbeda. Sesekali ia mengunjungi sanak keluarganya di Baduy Dalam dan Baduy Luar yang masih menganut agama Sunda Wiwitan. Dalam kepercayaan Orang Baduy, saudara tetaplah saudara dan tidak akan berubah dan terputus sampai kapanpun meskipun meraka mengalami perubahan termasuk dalam hal kepercayaan beragama. Hal ini dipercayai oleh Orang Baduy karena mereka masih memegang prinsip bahwa Orang Baduy berasal dari satu keluarga. c. Status Muslim Baduy Pada masyarakat Baduy Tangtu perkawinan hanya dilakukan secara adat Baduy saja. Berbeda dengan Baduy Panamping, biasanya setelah kawin adat selesai dilakukan, maka mempelai laki-laki dengan ditemani salah seorang kerabatnya pergi ke amil dikampung Cicakalgirang. Di kampung Cicakalgirang ini-lah satu-satunya kampung Baduy yang sebagian besar penduduknya sudah beragama Islam. Keberadaan kampung Islam di Baduy ini, bagi masyarakat Baduy dianggap perlu sebagai salah satu bentuk pengesahan perkawinan yang telah dilakukan. Proses ini menarik untuk diamati, masyarakat Baduy yang kepercayaannya berbeda dengan umat Islam umumnya, tetapi dalam tradisi perkawinan ia tetap mengacu kepada aturan yang diterapkan oleh agama Islam.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1687
Jika dilihat dari ketentuan adat ini, maka ada beberapa pesan yang bisa ditemukan; Pertama, masyarakat Baduy merasa penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak hanya menurut adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum negara.Kedua, pola pernikahan seperti ini dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang pernah menjadi raja (penguasa) di tanah Banten yang beragama Islam termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan adat yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum Islam. Khusus bagi masyarakat Baduy Panamping (Luar), sebelum proses pernikahan di mulai, mempelai laki-laki mengucapkan ikrar (syahadat) dengan bahasa sunda kuno. Syahadat itu hampir mirip dengan kalimat sahadat yang dipakai dalam Islam. Sedangkan dalam proses ritual perkawinan, di masyarakat Baduy Tangtu (Dalam) yang disebut dengan kawin batih (kawin kekal) dihadapan Puun, kedua mempelai dan orang tuanya mengucapkan sadat tangtu, yang berbeda isinya dengan syahadat Panamping. 4. Konversi Agama Bagi Orang Baduy Kedekatan Orang Baduy terhadap agama Islam bukanlah hal yang baru. Islam dan Baduy dalam catatan sejarah ternyata mempunyai hubungan yang kuat dan lama. Di antara data sejarah yang menguatkan hal tersebut adalah salah satu cerita yang menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ada seorang pangeran yang cukup terkenal karena kesaktiannya. Pangeran itu dikenal dengan nama Pangeran Astapati atau disebut dengan nama lain Pangeran Mulyasmara. Menurut ceritanya, pangeran ini tidak hanya dikenal karena kesaktiannya, akan tetapi juga dikagumi akan kedalaman ilmunya. Menurut riwayatnya, Pangeran ini diperkirakan berasal dari masyarakat Baduy yang masuk Islam dan mengabdikan dirinya kepada kesultanan Banten. Makam beliau terletak di desa Kasunyatan Kecamatan Kasemen Kota Serang. Dalam sumber yang lain, Islam pertama dikenal oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang lebih 300 tahun silam atau kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di kampung Cikakal Girang.30 Dalam kehidupan keseharian Orang Baduy, meskipun secara identitas keagamaan mereka sudah berubah, akan tetapi terkadang dalam prilaku sehari-hari; baik itu cara berpakaian, bekerja, bahkan beribadah pun identitas ke-Baduy-an mereka tidak hilang. Orang Baduy Muslim pun dalam hal adat masih tetap mereka ikuti, karena mereka menganggap sebagai warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya. Jika mengacu pada kriteria konversi agama yang dikemukakan oleh Schwartz, maka konversi agama yang dilakukan oleh orang Baduy masuk katagori konversi 30
Masykur Wahid, Sunda Wiwitan Baduy……., hlm. 98.
1688 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization yang berlangsung melalui proses bertahap sesuai dengan perubahan ‘diri’ yang berkesinambungan. 31 William James mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain32 disebabkan karena faktor perubahan status. Perubahan status yang terjadi dalam diri seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan itu terjadi secara mendadak. Seperti perceraian atau kawin dengan orang yang berlainan agama. Kondisi demikian juga terjadi pada beberapa orang Baduy. Meskipun dahulu adat Baduy melarang warganya untuk melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy. Akan tetapi saat ini sudah berubah. Orang Baduy mulai sadar bahwa perubahan akan tetap terjadi meskipun aturan adat sudah jelas melarang dengan ketat. Saat ini sudah dibentuk aturan adat (pikukuh) Baduy terkait dengan hukum pernikahan warga Baduy dengan warga non Baduy. Dalam aturan adat itu dijelaskan bahwa jika ada salah seorang warga Baduy yang melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy, maka ia secara otomatis tidak diakui lagi sebagai warga Baduy. Identitas ke-Baduyyannya di cabut. Dari penelusuran dilapangan, saat ini sudah banyak warga Baduy yang berpindah agama menjadi Islam disebabkan karena mereka menikah dengan warga Baduy yang sudah beragama Islam atau warga non Baduy yang beragama Islam. Ketika penelitian ini dilakukan, saya tidak menemukan data adanya warga Baduy yang berpindah agama menjadi penganut agama Kristen baik karena faktor perkawinan atau yang lainnya. Jika mengamati sejarah suku Baduy dan perkembangannya sampai hari ini terutama terkait dengan keagamaannya sangatlah unik dan menarik. Ketika masa Orde Lama dan Orde Baru dengan kekuatan hegemoni Negara melakukan intervensi terhadap praktek pengamalan keagamaan masyarakat dengan memilah agama resmi dan agama tidak resmi. Pendefinisian agama resmi oleh Negara yang mengacu pada kepentingan agama “resmi” dan yang membatasi diri pada formulasi agama semitis (agama langit), dalam kenyataannya telah membawa implikasi yang serius dalam pelanggaran hak berkeyakinan terutama bagi mereka penganut kepercayaan lokal seperti komunitas suku Baduy. Bahkan diskriminasi tersebut juga terjadi sampai hari ini. Masalah kebebasan mengekspresikan keyakinan agama terutama bagi kepercayaan-kepercayaan lokal—termasuk di dalamnya agama Orang Baduy—masih sangat memprihatinkan. Para penganut kepercayaan tersebut dianggap tidak
Ibid. William James, The Varietes of Religious Experience; Perjumpaan dengan Tuhan— Ragam Pengalaman Religius Manusia. Penerjemah: Admiranto, Gunaean. Bandung : Mizan Media Utama, 2004. 31 32
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1689
beragama sebelum masuk kedalam salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Wujud adanya hegemoni Negara atas komunitas adat membuat mereka secara terpaksa melakukan pindah agama dengan memilih agama resmi yang sudah ditentukan oleh Negara. Jika tidak demikian, identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh Negara. Bahkan dalam komunitas Baduy juga bisa dilihat bagaimana mereka secara berpura-pura memeluk agama Islam, akan tetapi sebenarnya mereka tidak beragama Islam. KeIslam-an hanya sebagai sarana pengakuan atau mencari legalitas saja. Misalnya, dalam praktek perkawinan Baduy. Meskipun mereka tetap mengakui sebagai penganut agama “Sunda Wiwitan” akan tetapi dalam aturan adat, pasangan suami istri yang sudah disahkan secara adat, diwajibkan menikah secara hukum Islam. Hal ini harus dilakukan karena mereka menyadari bahwa komunitas Baduy adalah bagian dari warga Negara Indonesia. Karena itu, Orang Baduy harus tunduk dan patuh dengan berbagai aturan yang sudah ditetapkan termasuk dalam hal tatacara perkawinan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan Negara Republik Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan masyarakat Baduy, proses Islamisasi dilakukan dilakukan secara berangsur-angsur dengan membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses tersebut berlangsung secara alami sehingga individu tidak menyadari kapan keyakinan dan kepercayaan terbentuk dalam dirinya. Tidak ada peristiwa dramatis yang menyertai proses ini, karena proses ini lebih merupakan proses belajar sosial.Yang menariknya, meskipun masyarakat Baduy mengatakan bahwa mereka juga termasuk beragama Islam, akan tetapi faktanya keagamaan mereka masih bercampur dengan tradisi kepercayaan leluhur mereka. Karena alasan itu, maka wajar jika mereka masih tetap dianggap sebagai bukan penganut agama Islam yang sebenarnya, identitas keislaman mereka masih tetap diragukan atau tidak sempurna. Dari beberapa kasus keluarga yang melakukan konversi agama menjadi penganut agama Islam, hampir semuanya mengatakan bahwa alasan mereka masuk Islam karena tertarik dengan ajaran Islam itu sendiri yang disampaikan oleh para juru dakwah Islam di daerah mereka. Alasan mereka memilih Islam sebagai agama pilihan karena mereka menganggap bahwa antara Orang Baduy dan agama Islam mempunyai hubungan yang lama dan erat. Bukti kedekatan itu misalnya terlihat dari penyebutan identitas agama mereka dengan sebutan ”Slam Sunda Wiwitan”. F. Kesimpulan Dalam penelitian ini disimpulkan: Pertama, Prilaku santun dan jujur yang dimiliki oleh Orang Baduy semata-mata disebabkan oleh kuatnya mereka dalam mematuhi adat kepercayaan yang diajarkan oleh agama mereka. Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya
1690 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization kepercayaan akan pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk selalu dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini-lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki oleh agama Orang Baduy membuat mereka secara berhati-hati dan patuh dalam menjalankan berbagai pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Meskipun masyarkat Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat dan selalu memegang teguh adat kepercayaannya dengan konsep ajaran hidup "tanpa perubahan apapun", akan tetapi faktanya saat ini banyak Orang Baduy yang sudah mengalami perubahan. Ketiga, Sampai saat penelitian ini dilakukan, tidak ditemukan sedikikitpun data terkait adanya konflik antara Orang Baduy dan Baduy Muslim yang dilatarbelakangi oleh motif agama. Jikalau ada konflik, hal itu terkait dengan sengketa pengolahan areal perladangan yang ada disekitar wilayah Baduy. Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Keempat, Banyaknya fenomena pindah agama yang terjadi pada komunitas Baduy disebabkan beberapa faktor, diantaranya; faktor sejarah, faktor perubahan status dan faktor sosial.[ ] Daftar Pustaka Ardan, R., Afinitas Antara Orang Baduy dan Sunda Sekitarnya Berdasarkan Ciri Morfologi Pada Gigi dan Pada Muka, (Disertasi, Bandung, Univeristas Padjadjaran, 1993). Clark, Walter Houston, The Religion of Childhood. Avaliable FTP : 2004.http://www.philosophy.org/handout/religious.htm. Danasasmita, S; Djatisunda, A; Djunaedi, U, Masyarakat Kanakes, (Bandung, Bappeda D.T. I Jabar, 1983). Danasasmita, S: dan Djatisunda A, Kehidupan Masyarakat Kenekes, (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Sundanologi Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1986). Geise, NJ., Baduys en Moslim in Lebak Parahiang Zuid Banten, (Lieden, N.V. Grafisch Bedrijf en Uitgeferij de Jong, 1952). Garna, JK, Masyarakat dan Kebudayaan Baduy I, (Bandung: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Unpad, 1974) __________ , Pengkajian Masyarakat Terasing Dalam Konteks Masyarakat Indonesia, (Bandung, Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia-Universitas Padjadjaran, 1987).
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1691
__________ , Orang Baduy, Bangi, Selangor, Malaysia, (Penerbit University Kebangsaan, 1987). __________ , Tangtu Telu Jaro Tujuh : Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan Jawa Barat, (Malaysia, Thesis Ph. D, 1988). Geertz, Clifford, Religion an a Cultural System, A Reader in Cimparative Religion An Antropological Approach (William A Lessa and Evon Z Voght eds, New York: Harper and Row Publisher,1972). Heirich, Max, Change of Heart: A Test of Some Widely Held Theories about Religious Concersion, (American Journal of Sociologi, Vol. 83., No. 3., 1976) Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1984) Iskandar, J. Ekologi Perladangan di Indonesia, Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992) Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001). James, William, The Varietes of Religious Experience; Perjumpaan dengan Tuhan—Ragam Pengalaman Religius Manusia. Penerjemah: Admiranto, Gunaean, (Bandung : Mizan Media Utama, 2004). K. Muhamad Hakiki, Kesadaran Berkesetaraan Gender; Mengurai Kearifan Lokal Model Perkawinan Masyarakat Suku Baduy Banten, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasiona Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke – 11 di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011. Kurnia, Asep, Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) Paloutzian, Raymond F., Invitation to the Psychology of Religion, (London : Allyn and Bacon, 1996) Pargament, K. I., The Psychology of Religion and Coping, (New York: The Guilford Press., 1997) Permana, R Cecep Eka, Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari Inti Jagat; Sebuah Kajian Antropologis, (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998). Schwartz, Arthur J., 2000. The Nature of Spiritual Transformation; A Review of the Literature. Available FTP : http: // www.metanexus.Net /spiritual_transformation/research/pdf/STSRP_Literature2-7.htm Subandi, SA,; Abdurrachman; Zarkasih;, R., Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat, (Bandung: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, 1973). Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Terjemahan Tim Penerjemah Yogosama, (Jakarta: Rajawali Press, 1987). Wahid, Masykur, Sunda Wiwitan Baduy; Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten, Makalah disampaikan dalam Seminar Internasiona Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke – 10 di Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
MUSHAF AL-QUR’AN KUNO DI MALUKU UTARA ; PENINGGALAN HERITAGE ISLAM M. Bunyamin Yusuf Surur
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penulisan Mushaf al-Qur’an dalam Islam telah dimulai sejak abad pertama sejarahnya. Lima salinan pertama Mushaf pada masa Khalifah Utsman bin Affan (tahun 650 M), yang dikirim ke beberapa wilayah Islam, selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan al-Qur’an—disebut Rasm Utsmani. Sejak itulah kegiatan penyalinan al-Qur’an tidak pernah terhenti. Mula-mula ditulis dalam gaya Kufi yang berkarakter kaku, kemudian dalam gaya kursif Naskhi yang dipelopori oleh Ibn Bawwab di Baghdad (w. 1022 M), Muhaqqaq, Tsuluts, dan gaya-gaya kursif lain. Penyalinan al-Qur’an berlangsung di seluruh wilayah Islam, sejalan dengan penaklukanpenaklukan wilayah baru. Sebagai kitab suci yang menjadi bukti Islam sebagai agama wahyu (revealed religion), kemurnian dan keautentikan alQur’an sangat terjaga. Di Indonesia, sepanjang yang diketahui, penulisan Mushaf al-Qur’an telah dimulai sejak 5 abad yang lalu. Mushaf tersebut ditulis oleh seorang ulama al-Faqih ash-Shalih Afifuddin Abdul Baqri bin Abdullah al-Admi yang diselesaikan tahun 1585 M, tepatnya 7 Dzulqaidah 1005 H, di Pulau Ambon (Mahmud Buchari, 1999:12). Lima tahun kemudian (tahun 1590 M), seorang gadis bernama Nur Cahya menyelesaikan penulisan Mushaf alQur’an di Pegunungan Wawane, Ambon (Rosehan Anwar, 1999: 191). Berdasarkan naskah Mushaf al-Qur’an tersebut, diperkirakan bahwa akhir abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan Mushaf alQur’an di Indonesia yang ditulis oleh ulama-ulama Pulau Ambon. Tetapi, di penghujung abad ke-19 M minat penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia semakin berkurang. Malahan, menurut pakar illuminasi al-Qur’an Mahmud Buchari (1999:3), pembuatan seni Mushaf al-Qur’an di Nusantara mulai terhenti di awal abad ke-19 itu. Kenyataan ini merupakan akibat dari penjajahan yang berkepanjangan sehingga menghambat penyalinan dan penyebaran al-Qur’an, dan belum ada kemajuan dalam teknologi percetakan yang dapat memproduk Mushaf secara cepat dalam jumlah banyak. Pada tahun 2005, Puslitbang Lektur keagamaan Kementerian Agama menerbitkan buku hasil penelitian tentang mushaf kuno dengan judul
~ 1692 ~
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1693
“Mushaf-mushaf kuno Indonesia”. Buku ini berisi dokumentasi dan kajian singkat tentang mushaf kuno yang ada di Nusantara. Penulisan Mushaf al-Qur’an, dalam sejarah, lazimnya disponsori oleh salah satu dari tiga pihak sebagai berikut: kerajaan, pesantren dan elite sosial. Pada zaman dahulu banyak Mushaf al-Qur’an ditulis oleh para ulama atau seniman atas perintah raja-raja atau sultan di suatu tempat. Mushafmushaf kuno yang ada di bekas pusat-pusat kerajaan lama membuktikan hal tersebut. Di samping itu, pesantren, yang merupakan pusat pendidikan Islam tradisional sejak berabad lalu, juga diduga memegang peranan penting dalam penulisan al-Qur’an. Pihak lain yang merupakan sponsor penulisan Mushaf adalah elite sosial, mereka yang sejahtera secara sosialekonomi. Ini terjadi pada zaman dahulu, dan sekarang, seperti Mushaf Ibnu Sutowo, dan terakhir Mushaf at-Tin atas perintah HM Soeharto. B. Pengertian, Batasan, dan Ruang Lingkup Mushaf (jamak masahif) secara bahasa berarti kitab atau buku. Secara istilah, dalam pemakaian sehari-hari, kata “mushaf” lazimnya dimengerti sebagai Kitab al-Qur’an, sehingga sering disebut al-Mushaf asy-Syarif yang berarti al-Qur’an yang Mulia. Dalam konteks penelitian ini, pengertian Mushaf adalah salinan wahyu Allah (al-Qur’an) dalam bentuk lembaran-lembaran naskah tulis. Dalam kenyataannya, ia dapat saja berupa lembaran-lembaran tidak lengkap—karena hilang atau rusak—yang merupakan bagian dari sebuah Mushaf lengkap. Termasuk dalam pengertian Mushaf adalah Mushaf yang dilengkapi catatan-catatan tambahan berupa arti atau tajwid di sekitar teks utama. Adapun diangap kuno jika sudah berusia lebih dari 50 tahun. Namun, kitab-kitab tafsir tidak termasuk dalam pengertian Mushaf, dan tidak tercakup dalam penelitian ini. Meskipun demikian, informasi tambahan dari naskah tafsir dan naskah-naskah lain tetap diperlukan untuk mendukung penelitian ini. Adapun lingkup pengertian mushaf kuno dalam penelitian ini adalah salinan al-Qur’an secara keseluruhan, yang mencakup teks (nash) al-Qur’an, iluminasi (hiasan sekitar teks), maupun aspek fisik yang lain seperti jenis kertas dan tinta yang dipakai, ukuran naskah, jenis sampul, penjilidan, dan lain-lain. Keseluruhan aspek fisik Mushaf perlu diteliti secara detil. Di samping itu, aspek historis juga akan dikaji secara seksama untuk mendapatkan gambaran historis perkembangan penulisan Mushaf di Indonesia. Penelitian ini berfokus pada sejarah perkembangan penulisan Mushaf di Indonesia. Meskipun demikian, untuk memperoleh gambaran lebih luas mengenai latar belakangnya, penelitian ini dimulai sejak awal kodifikasi alQur’an, perkembangan singkat di berbagai negeri Islam di Timur Tengah,
1694 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization sampai perkembangan mutakhirnya di Indonesia, yakni Mushaf at-Tin, yang didedikasikan untuk Ibu Tien Soeharto. Materi yang dikaji mencakup Mushaf sepanjang sejarah, baik manuskrip maupun cetak, rasm Utsmani maupun Imla’i. Sedangkan Mushaf Elektronik yang berupa CD (compact disk) tidak termasuk dalam penelitian ini, meskipun perlu pula disinggung dalam bagian akhir laporan, sebagai perkembangan mutakhir Mushaf al-Qur’an. Secara rinci, masalah yang akan dikaji mencakup: 1. Aspek Visual a) Teks al-Qur’an; menyangkut rasm, tanda baca, catatan pinggir, jumlah baris, dan gaya tulisan, dan siapa penulisnya. b) Iluminasi; menyangkut jenis motif dan simbol-simbol visual yang dipakai, jenis tinta, cara pelukisannya, kerapian penggarapannya, dan siapa pelukisnya (bisa saja lain dengan penulis teks al-Qur’annya). 2. Aspek Fisik Aspek-aspek fisik menyangkut jenis kertas dan tinta yang dipakai, ukuran sampul dan halaman, kondisi naskah, jenis sampul, dan penjilidan. 3. Aspek Historis Aspek historis mencakup asal Mushaf, pemilik, tempat dan tahun penulisan, pemrakarsa (sponsor), tempat penyimpanan, dan kaitannya dengan Mushaf atau naskah yang lain. Keterangan dari aspek historis ini sangat diperlukan untuk penyusunan laporan akhir yang akan merekonstruksi peta sejarah penulisan Mushaf di Indonesia. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini, maka tujuan utama dari penelitian ini meliputi tiga hal: 1. Teridentifikasi dan terinventarisasinya mushaf kuno yang ada di Indonesia 2. Terdokumentasinya mushaf kuno yang ada di Indonesia 3. Tersedia dan bertambahnya naskah dan atau kajian mushaf kuno di BQMI D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian ini menggunakan dua teori pendekatan yaitu: Pertama, penelaahan terhadap naskah manuskrip Mushaf al-Qur’an di berbagai tempat (museum, perpustakaan, organisasi keagamaan, pesantren, masjid atau perorangan) yang memiliki naskah asli mushaf al-Qur’an. Kedua, menggunakan teori pendekatan sejarah (historical approach), untuk memperoleh data yang jelas tentang alur sejarah dan perkembangan
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1695
penulisan Mushaf al-Qur’an. Dengan menggunakan kedua teori pendekatan ini diharapkan masalah dan tujuan penelitian dapat terjawab. 2. Teknik Pengumpulan Data a) Eksplorasi; yaitu mencari dan mengumpulkan Mushaf sebanyakbanyaknya, baik yang manuskrip maupun cetak, yang terdapat di berbagai tempat (museum, perpustakaan, organisasi keagamaan, pesantren, masjid atau perorangan). Untuk memudahkan eksplorasi dapat melalui Kanwil, ataupun buku-buku, seperti katalog Naskah dan Buku Festival Istiqlal I (1991) yang memuat 48 Mushaf manuskrip dari berbagai daerah, katalog Festival Istiqlal II (1995) yang memuat 18 naskah, buku Khazanah Naskah dan buku seri Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara (5 jilid). b) Studi Kepustakaan; yaitu meneliti secara seksama baik aspek visual, fisik maupun historis Mushaf-mushaf yang ditemukan, yang merupakan data primer penelitian ini. Karena keterbatasan waktu, penelitian naskah secara tuntas tidak mungkin dilakukan di tempat keberadaan naskah. Maka dokumentasi berupa foto naskah mutlak diperlukan. Sebuah naskah minimal difoto 5 kali, yaitu pada bagian UmmulQur’an, Nishful-Qur’an, Khatmul-Qur’an, dan dua halaman biasa. Studi kepustakaan ini juga mencakup data sekunder yang diambil dari buku-buku dan monografi yang membahas sejarah perkembangan Mushaf, untuk lebih memperkaya data primer yang ada. c) Wawancara; yaitu menggali informasi sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak, dalam suatu produksi Mushaf. Mereka mencakup pemilik, pemrakarsa (sponsor), kolektor, penjaga museum, filolog, para ahli naskah kuno dan ahli alQur’an. Materi wawancara terutama berkaitan dengan aspek-aspek historis Mushaf, yaitu asal muasal naskah, tahun penulisan, gaya tulisan, motif iluminasi, dan lain-lain, untuk memperkaya hasil temuan yang lain. d) Pengolahan dan Analisis Data Dalam pengolahan data dilakukan klasifikasi, cek ulang, dan penggabungan data untuk memperoleh gambaran umum. Mengingat bahwa pengolahan dan analisa data memerlukan keleluasaan waktu dan ruang, kegiatan tersebut harus dilakukan di kantor Litbang, dan tidak dapat dilakukan di tempat keberadaan naskah. Untuk itu, dokumentasi naskah berupa foto mutlak diperlukan. Dokumentasi tersebut merupakan data primer yang kemudian digabungkan dengan data-data sekunder, untuk kemudian dilakukan analisis yang bersifat kualitatif. Analisis ini termasuk kemungkinan ada-tidaknya kaitan antara penulisan Mushaf al-Qur’an di berbagai tempat di Indonesia dengan perkembangan penulisan Mushaf di belahan lain dunia. E. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian Propinsi Maluku Utara
1696 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN IDENTIFIKASI A. Latar Belakang Historis. Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara mencapai 140.255,32 km². Sebagian besar merupakan wilayah perairan laut, yaitu seluas 106.977,32 km² (76,27%). Sisanya seluas 33.278 km² (23,73%) adalah daratan. Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Pulau yang dihuni sebanyak 64 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 331 buah, antara lain ; Pulau Halmahera (18.000 km²), Pulau Cibi (3.900 km²), Pulau Taliabu (3.195 km²), Pulau Bacan (2.878 km²), Pulau Morotai (2.325 km²),Pulau Ternate, Tidore, Makian, Kayoa dan Pulau Gebe. 1. SejarahSebelum Penjajahan Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku), yaitu: a) Kesultanan Bacan b) Kesultanan Jailolo c) Kesultanan Tidore d) Kesultanan Ternate. Pendudukan Militer Jepang ; Pada era ini, Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik. 2. Zaman Kemerdekaan Untuk zaman ini terbagi ketiga periode, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. a. Orde Lama Pada era ini, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan, kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi ke dalam beberapa Daerah Tingkat II (kabupaten). Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta. Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespons upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang konkrit.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1697
b. Orde Baru Pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota administratif. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku. c. Orde Reformasi Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan di beberapa wilayah potensial dengan membentuk provinsi-provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi. Atas dasar itu, pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.[4] Dengan demikian provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku dengan wilayah administrasi terdiri atas Kabupaten Maluku Utara, Kota Ternate dan Kabupaten Maluku Utara. Selanjutnya dibentuk lagi beberapa daerah otonom baru melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara,ibukota Tobelo, Kabupaten Halmahera Timur, ibukota Taba, Kabupaten Halmahera Selatan, ibukota Labuha, Kabupaten Kepulauan Sula, ibukota Sanana, Kota ternate dan Kota Tidore. B. Masuknya Islam Di Ternate Ternate dan Tidore merupakan dua gunung merapi yang menyembul dari dasar laut hingga ketinggian lebih dari satu mil di atas permukaan air laut. Secara alamiah kedua pulau ini pada awalnya merupakan penghasil cengkeh dunia. Dengan demikian, popularitas Maluku pada masa itu disebabkan hasil rempah-rempahnya seperti cengkeh, pala, dan fuli yang cukup berlimpah, dan (ini yang terpenting) tidak dijumpai di tempat lain. Dan rempah-rempah ini pula yang mengundang saudagar dari berbagai negri datang ke tempat ini dan menjadi pintu masuk bagi hadirnya Islam. Berkaitan dengan masuknya Islam ke wilayah ini, tidak ada sumber pasti dan otoritatif yang menjelaskan penetrasi Islam di wilayah ini. Syafii Maarif, dalam salah satu tulisannya, menjelaskan, bahwa agama Islam bertapak di sana sejak abad ke-14. Agama ini pulalah, menurutnya, yang membentengi Maluku dari serbuatn dan imperialsme Eropa, Portugis (abad
1698 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization ke-16) dan VOC Belanda (abad ke-17).1 Keterangan lain menyebutkan, bahwa sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15. Kesultanan Ternate sendiri mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 14-16. Saat itu ternate menjadi kerajaan yang masyhur dan disegani baik oleh lawan maupun kawan. Dalam sejarahnya, kesultanan ini penuh gejolak heroisme dalam menentang imperialisme Portugis, Spanyol dan Belanda. Seiring bergulirnya waktu, ketenaran Kesultanan Ternate berangsur surut pasca wafatnya Sultan Babullah (1570-1583 M). Akhir abad ke-16 merupakan kemunduran Kesultanan Ternate dari puncak kejayaannya. Sultan-sultan berikurnya hanya menjadi simbol kekuasaan masa lampau2 yang tidak memiliki peran politik dan kekuasaan yang penting. C. Penulisan Al-Qur’an Kerajaan Ternate pada mulanya bukan Kesultanan yang menganut agama Islam. Ia adalah kerajaan yang dipimpim oleh raja yang belum jelas diketahui agama dan kepercayaan yang dianut sebelumnya. Sebagian menduga, bahwa mereka memiliki kepercayaan animisme berkaitan dengan keberadaan Gunung Gamalama yang bediri kokoh di pulau ini. Terjadinya penetrasi Islam berawal dari hubungan ekonomi dan perdagangan melalui sejumlah saudagar Melayu, Gujarat, Arab (Hadramaut) yang datang ke pulau tersebut. Hubungan itu kemudian meningkat menjadi hubungan sosial politik serta intelektual yang berujung pada masuknya Islam. Manifestasi dari hubungan keagamaan adalah terjadinya proses islamisasi dan konversi agama masyarakat setempat. Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari proses islamisasi adalah terwujudnya intensifikasi kesadaran keislaman para sultan yang kemudian diiukuti oleh rakyatnya. Pada tahap akhir inilah hubungan intelektual keagamaan semakin marak, dan hal ini diawali oleh Sultan Zainal Abidin (1500-1522 M). Dengan 1 Ada dua tujuan yang hendak diraih Eropa di Maluku: berdagang dan menyiarkan agama. Portugis dengan Katoliknya, Belanda dengan Protestannya. Dalam pergumulan antara dua kekuatan Eropa itu, Katolik terdesak, Protestan unggul. Pergumulan yang kemudian berlanjut adalah antara Islam dan Protestan. Syafii Maarif, “Maluku: Tragedi Kemanudiaan dan Jihad” dalam Al-Qur’an dan Realitas Umat, Jakarta: Republika, 2010, hlm. 57. 2 Abdul Hamid Hasan sebagaimana dikutip oleh M. Ishom Yoesqi, “Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Kedaton Kesultanan Ternate”, dalam Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, Bafadhal AR Bafadal (ed.), Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, 2005, hlm. 260.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1699
belajar Islam ke Jawa. Kepulangan Sultan Zainal Abidin dari ‘Ngangsu Kawruh’ (menuntut ilmu) akhirnya berimbas pada akselerasi penyebaran Islam pada abad ke-16. Intensifikasi penyebaran Islam ini terus berlanjut pada masa Sultan Khairun (1536-1570 M) dan Sultan Babullah (1570-1583 M).3 Di antara ketiga sultan ini, Sultan Khairullah yang menjadi pemrakarsa penulisan mushaf Al-Qur’an berserta dengan duplikatnya, hingga mencapai 8 buah. D. Inventarisasi dan Deksripsi Naskah Dari 9 naskah yang berhasil dihimpun terdapat di empat tempat, yaitu 3 naskah di Kesultanan Ternate, 2 naskah di Masjid Kesultanan Ternate, 1 naskah di kesultanan Tidore dan 3 Naskah di Masjid Jim, Kampung Makassar. Kesembilan naskah tersebut, 4 naskah yang masih utuh, selebihnya yaitu 5 naskah sudah tidak utuh lagi. Halaman-halaman awalnya sudah hilang, terkadang halaman belakangnya sudah tidak ada, sebagian halaman sobek, dan hancur karena dimakan oleh tinta dan usia naskah yang sudah tua. I. Museum Kesultanan Ternate Mushaf 1. Mushaf ini berukuran 27 X 47 X 9 cm, sementara bidang teksnya berukuran, 20 X 33 cm. Jumlah halaman perjuz terdiri antara 10 hingga 12 lembar. Keadaan mushaf ini masih cukup terawat, lengkap, dari Surah al-Fatihah hingga surah anNas. Sampul depan belakang pun masih cukup terawat. Setiap halamannya terdiri dari 15 baris. Tinta yang digunakan untuk bagian dalam ada tiga, merah dan hitam. Tinta hitam untuk tulisan teks Al-Qur’an, sementara tinta merah digunakan untuk menandai hukum mad wajib dan mad jaiz, sementara warna kuning untuk membuat bulatan penanda ayat. Pada bagian ilumunasi bagian depan, yakni surah al-Fathah dan awal surah al-Baqarah terdapat warna lain selain tiga warna di atas, yaitu warna biru. Iluminasi ini mengambil bentuk flora dengan motif buah cengkeh dan pala; dua buah yang menjadi ciri utama Kota Ternate dan sekitarnya. Sementara rasm yang digunakan adalah rasm imlai. Namun, penggunaan rasm ini tidak konsisten diterapkan, sebab pada penulisan lafaz tertentu seperti salat, yang digunakan adalah rasm usmani, demikian halnya dengan lafaz-lafaz serupa.(Gambar 1)
3
Ibid, Abd.Hamid Hasan , hlm. 270.
1700 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Mushaf 2. Sama dengan mushaf pertama, mushaf kedua ini disimpan di museum Kesultanan Ternate. Mushaf ini berukuran 19 X 32 X 12 cm, dengan ukuran bidang 12 X 22 cm. Jumlah halaman perjuz antara 18 – 19 halaman. Setiap halaman terdiri dari 7 baris. Keadaannya masih utuh, lengkap dari Surah al-Fatihah hingga surah an-Nas. Demikian halnya dengan sampul depan dan belakang. Tinta yang digunakan untuk tulisan mushaf adalah hitam dan merah, sementara untuk iluminasi, seperti iluminasi awal surah dan akhir surah, ada tambahahan warna biru. Untuk bagian tulisan, tinta hitam digunakan untuk menulis tulisan ayat, sementara tinta merah untuk penandaan ayat, hukum tajwid seperti mad jaiz dan mad wajib, serta tanda waqaf. Tulisan mushaf ini menggunakan rasm imlai. Namun, penggunaan rasm ini tidak konsisten diterapkan, sebab pada penulisan lafaz tertentu seperti salat, yang digunakan adalah rasm usmani, demikian halnya dengan lafaz-lafaz serupa. Iluminasi bisa dijumpai pada pembukaan surah al-Fatihah dan Awal surah al-Baqarah, dan juga terdapat di penghujung surah, al-‘Falaq dan an-Nas. Sama dengan sebelumnya, iluminas ini bermotif flora, namun hiasan pada iluminasi ini lebih padat dan rumit ketimbang mushaf yang pertama. Meskipun lengkap, tidak ditemukan didalamnya kolopon, sehingga tidak ada keterangan lebih detil berkenaan dengan mushaf ini. (Gambar 2) Mushaf 3. Di antara mushaf yang disimpan di Museum Kesultanan Ternate, muhaf ketiga inilah yang paling tebal. Selain itu, tidak sebagaimana dua mushaf sebelumnya yang dipamerkan di ruang musem, mushaf ketiga ini disimpan secara khusus oleh pihak keraton, karena merupakan mushaf utama dan yang paling lengkap. Mushaf ketiga ini dibungkus dengan kain putih, dibawa oleh dua orang abdi keraton, dan diperlakukan dengan sangat hormat. Mushaf ketiga ini berukuran 32 X 20 X 10 cm, dengan ukuran bidang teks 22 X 13 cm. Mushaf ini masih dilengkapi dengan kolopon, dan dijelaskan di dalamnya, bahwa penulis mushaf ini adalah al-Faqih as-Shalih Abdul Bakri
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1701
bin Abdullah al-Adami tahun 1005 H, atau 1597 M pada tanggal 7 Dzulkaidah. Mushaf ini masih utuh, lengkap dari Surah al-Fatihah hingga surah an-Nas. Bukan hanya itu, pada bagian pembuka, sebelum masuk pada tulisan surah, terdapat beberapa halaman yang memuat tulisan tentang Ilmu Rasm, Ilmu al-Waqfu wal-Ibtida’, Ilmu Makki Madani, hingga hadishadis tentang keutaman membaca Al-Qur’an dan surah-surah tertentu di dalam kitab suci ini. Berkaitan dengan tulisan, mushaf ini terdiri dari 13 baris pada setiap halamannya, dan karena itu setiap juznya terdir dari 20 -21 halaman. Tinta yang digunakan untuk tulisan mushaf adalah hitam dan merah, sementara untuk iluminasi, seperti iluminasi awal surah dan akhir surah, ada tambahahan warna biru. Untuk bagian tulisan, tinta hitam digunakan untuk menulis tulisan ayat, sementara tinta merah untuk penandaan ayat, hukum tajwid seperti mad jaiz dan mad wajib, serta tanda waqaf. Tulisan mushaf ini menggunakan rasm imlai. Namun, penggunaan rasm ini tidak konsisten diterapkan, sebab pada penulisan lafaz tertentu seperti salat, yang digunakan adalah rasm usmani, demikian halnya dengan lafaz-lafaz serupa. Iluminasi bisa dijumpai pada pembukaan surah al-Fatihah dan Awal surah al-Baqarah, dan juga terdapat di penghujung surah, al-‘Falaq dan an-Nas. Tidak sebagaimana mushaf sebelumnya yang tidak memiliki kolopon, bagian akhir mushaf ini memiliki kolopon yang menjelaskan tentang nama penulis berikut tanggal dan tahun penulisan mushaf. Pada kolopon tertera, bahwa mushaf ini selesai ditulis pada hari senin tgl 7 Dzulkaidah 1005 H, yang jika dikonversikan pada masehi jatuh pada tgl 22 Juni tahun 1597 M. Kecuali itu, pada halaman berikutnya, setelah kolopon juga terdapat keterangan dalam bentuk seperti pohon yang memuat keterangan tentang jumlah jumlah surah, jumlah ayat, jumlah kalimat, jumlah keseluruhan huruf dalam Al-Qur’an, hingga jumlah masing-masing huruf hijaiah dalam Mushaf Al-Qur’an, dan sejumlah keterangan lainnya. (Gambar 3) II. Mushaf 4.
Masjid Kesultanan Ternate Tidak seperti mushaf lainnya, mushaf ini sudah tidak utuh lagi. Mushaf yang berada di Masjid Kesultanan Ternate yang tidak jauh dari Keraton Kesultanan Ternate. Mushaf ini disimpan di ruang pengimaman masjid, dan tidak sembarang dikeluarkan. Ukuran mushaf ini adalah 43 X 28 X 8 cm, dengan ukuran bidang teks 16 X 31 cm. Jumlah baris untuk setiap halaman
1702 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization adalah 15 baris, dan satu juz terdiri 12 lembar. Tinta yang digunakan untuk tulisan mushaf adalah hitam dan merah, sementara untuk iluminasi, seperti iluminasi awal surah dan akhir surah, ada tambahahan warna biru. Untuk bagian tulisan, tinta hitam digunakan untuk menulis tulisan ayat, sementara tinta merah untuk penandaan ayat, hukum tajwid seperti mad jaiz dan mad wajib, serta tanda waqaf. Tulisan mushaf ini menggunakan rasm imlai. Namun, penggunaan rasm ini tidak konsisten diterapkan, sebab pada penulisan lafaz tertentu seperti salat, yang digunakan adalah rasm usmani, demikian halnya dengan lafaz-lafaz serupa. Iluminasi bisa dijumpai pada surah al-Kahf di bagian tengah. Motif yang digunakan adalah motif flora, kembang-kembang. Selain itu, pada mushaf ini juga terdapat tanda juz, manzil, dan maqra. Dengan demikian, terdapat sejumlah kemiripan antara mushaf ini dengan mushaf sebelumnya. (Gambar 4) Mushaf 5 (Gambar 5) Asal mushaf dari Keraton Kesultanan Ternate, kemudian atas perintah Sultan di wakafkan ke Masjid Sultan. Penulis Mushaf tidak diketahui, begitu juga tahun penulisan Mushaf. Namun diperkirakan 3 abad yang lalu. Jenis kertasnya dari Eropa. Mushaf ini berukuran 43x27 cm , dengan tebal 8 cm, ukuran dalam teks tulisan 32x17 cm, dalam satu juz terdiri dari 20 halaman atau 10 lembar, terdiri dari 15 baris , bentuk tulisannya imlai dan sebagian usmani. Jenis Qiraat Hafs bin ‘Ashim. Warna tulisan hitam,dan merah, kecuali nomor ayat mempergunakan bundar warna kuning. Motif illuminasi berbentuk floran, ada tanda baca seperti mad wajib dan jaiz, tidak ada kolofon. Tanda juz, manzil, maqra’ rubu dan tsumun ada, begitu juga terdapat tanda wakaf dalam mushaf ini. Sedang pemilik naskah sekaligus sposnosr adalah Sultan Ternate.
The Heritage of Islamic History for Civilization
III.
~ 1703
Masjid Jim, Kampung Makassar
Mushaf 6 (Gambar 6) Asal mushaf dari Keraton Kesultanan Ternate, tidak diketahui penulis Mushaf begitu juga tahun penulisan, diperkiranakan 300 tahun yang lalu. Jenis kertas dari Eropa.Sudah tidak lengkap. Ukuran Mushaf 29x23 cm dengan tebal 6 cm. Ukuran bidang teks 12x23 cm. Jumlah perjuz 20 halaman atau 10 lembar. Keadaan fisik tidak utuh lagi, tidak ada sampul. Jenis rasm Usmani. Jumlah baris 15 baris dengan Qiraat Hafs bin ‘Ashim. Warna dan jenis tinta hitam dan merah. Ada tanda baca dan tanda wakaf ; Mad jaiz dan mad wajib, Motif iluminasi, tidak ada (di al-Kahfi juga tidak ada). Sponsor (Pemrakarsa) : Kesultanan Ternate. Sedang Pemilik naskah H. Mahmud bin H. Kasim Bopeng (Berdsarkan informasi dan wacanara dengan Pengurus Masjid, dan ahli waris dari Bapak H.Mahmud bin Bopeng). Tempat penyimpanan di Perpustakaan Masjid Jim (Kampung Makasar). Mushaf 7 ( Gambar 7) Asal muasal mushaf dari Keraton Kesultanan Ternate, penulis mushaf tidak diketahui, begitu juga tahun penulisannya, karena tidak diketemukan kolofon. Namun diperkirakan 300 tahun yang lalu. Jenis kertas Eropa sudah tidak lengkap namun kulit sampul masioh ada. Ukuran mushaf 32x22 cm dengan tebal 8 cm , ukuran bidang teks 12x18 cm, setiap juz 20 halaman atau 10 lembar, keadaan fisik tidak utuh lagi sampul masih ada. Terdiri dari 13 baris, qiraat Hafs bin ‘Ashim, warna tulisan hitam dan merah. Tanda baca dan tanda wakaf ada, begitu juga dipinggir naskah ada tulisan juz, nsif, rubu dan tsumun. Iluminasi dengan motif cengkeh dan pala terdapat di surah al-Kahf. Pemilik Naskah H.Mahmud bin Bopeng, tempat penympanan di Perpustakaan Masjid Jim Kampung Makassar.
1704 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Mushaf 8 (Gambar 8) Asal muasal mushaf ini dari nenek moyang H. Mahmud bin Bopeng, tidak diketahui penulis dan tahunnya penulisannya , karena tidak ada kolofon.diperkirakan 300 tahun yang lalu. Jenis kerta dari Eropa, sudah tidak lengkap, hanya terdapat 21 juz, masing-masing 1, 2, 7, 8, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30), semuanya masih menggunakan sampul . Ukuran mushaf : 16 x 20 , tebal 1 cm, Ukuran bidang teks: 12 x 13 cm. Jumlah halaman perjuz : 17 lembar. Tanda baca dan wakaf, ada. Keadaan fisik: tidak utuh, ada sampul. Jenis Rasm: imlai, dan beberapa bagian usmani. Jumlah baris, 9 baris Qiraat yang digunakan, Hafs an ‘Asim, Warna dan jenis tinta: hitam , tidak ada motif iluminasi hanya garis biasa saja dipinngir yang terdiridari hitam dan merah. Sponsor (Pemrakarsa) tidak diketahui, sedang Pemilik naskah: H. Mahmud bin H. Kasim Bopeng. Tempat penyimpanan mushaf ini di Masjid Jim (Kampung Makasar)
IV. Kesultanan Tidore Mushaf 9 (Gambar 9) Asal muasal mushaf dari Keraton Kesultanan Tidore. Tidak diketahui Penulis mushaf, namun tahun penulisannnya tercatat 1323 H ( 111 tahun lalu). Jenis kertas Eropa , sudah tidak lengkap,namun kulit sampul masih ada. Ukuran mushaf : 28 x 19, dengan tebal 6 cm. Ukuran bidang teks: 18 x 11 cm Jumlah halaman perjuz20 halaman atau 10 lembar. Keadaan fisik sudah tidak utuh, ada sampul. Jenis Rasm imlai, dan beberapa bagian usmani. Jumlah baris 15 baris. Qiraat yang digunakan,Hafs bin ‘Asim. Warna dan jenis tinta, hitam, merah, kuning keemasan. Masih lengkap tanda baca, tanda tajwid dan tanda wakaf, kolofon ada. Cap kertas yaitu cap Propatria. Model mushaf al-Qur’am pojok, dilengkapi dengan doa khatmul Qur’an. Motif iluminasi ada motif flora dan khat Arab. Sponsor (Pemrakarsa), Kesultanan Tidore. Pemilik naskah Kesultanan Tidore. Masih tersimpan rapih di Museum Kesultanan Tidore.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1705
ANALISIS DAN KAJIAN NASKAH Dalam bab ini akan dibahas empat naskah saja, masing-masing ; naskah kedua di Meseum Kesultanan, naskah keempat di Masjid kesultanan, naskah keenam di Masjid Jim, Kampung Makassar, kemudian terakhir dianalisis yaitu naskah kesembilan, di Meseum Kesultanan Tidore. Berikut ini, analisis dan kajian secara rinci dari keempat naskah tersebut.
A. Naskah Kedua
Ketebelan lebih 10 cm
Tulisan yang ada di halaman dalam
1. Aspek Rasam Al-Qur’an Naskah Al-Qur’an tersebut ditulis dengan khat Naskhi berdasarkan kaidah penulisan Rasm Imlai’ atau Rasm Qiyasi. Tetapi pada lafal-lafal tertentu tetap mengacu kepada rasm Usmani, seperti lafal ; ،الصلوة ، الزكوة، الحيوةdan sebagainya.Tulisannya indah, jelas dapat terbaca dengan terang, dengan tinta hitam, dipinggir halaman luar, diberi tanda tulisan merah menunjukan kepada juz, nisf, rubu’ dan tsumun, dalam bingkai iluminasi berupa bunga. 2. Tanda Baca Harakat yang digunakan dalam naskah ini, seperti fathah da kasrah hanya menggunakan harakat dan kasrah miring saja, tidak mengenal harakat berdiri, seperti di lafal Allah tetap ditulis dengan harakat miring, bukan harakat berdiri ( )هللاtidak ada tanda madnya, baik yang tabii, mad wajib apalagi yang mad jaiz, semuanya pakai harakat biasa, tidak ada perbedaanya antara yang dibaca pendek maupun yang panjang (mad wajib). Tiap akhir ayat diakhiri dengan tanda bundar, garis hitam dengan warna kuning didalamnya.Namun tidak ada nomor ayatnya. 3. Tajwid Di dalam naskah tidak dijumpai tanda-tanda tajwid; seperti lambang,atau huruf kecil izhar, ikhfa, idgam bigunnah dengan bila gunnah, iqlab, atau nun kecil pada tanwin.
1706 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization 4. Qiraat Dalam naskah ini dijumpai dipinggir halaman, catatan Qiraat sab’ah, yang bisanya di tulis dipinggir halaman dengan tulisan miring, warna merah berikut, harakat dari qiraat yang bermacam-macam. 5. Pembagian teks Untuk pembagian teks, tidak begitu lengkap, namun dijumpai ada tanda juz, nisf, ruku’ dan tsumun. Sedang ruku’dan manzil tidak ada. 6. Kritik Teks Al-Qur’an Dalam naskah ini, terdiri dari 15 baris. Teks Tambahan 1. Teks sebelum Al-Qur’an ada, ( tanda wakaf, doa, ulum Al-Qur’an, dan lain-lain) 2. Teks sesudah Al-Qur’an dijumpai (doa khatam Al-Qur’an), namun tidak dijumpai kolofon. 3. Teks tambahan lainnya, tidak diketemukan, seperti terjemahan antar baris, hadis yang menerangkan fadhail suwar dsb. Aspek Perwajahan 1. Kaligrafi Kaligrafi dalam naskah ini, hanya dijumpai dipinggir halaman, seperti tulisan al-Juz, nisf,rubu’ dan tsumun. Tulisannya, naskhi rapih dan jelas dibingkai dengan gambar bunga. 2. Iluminasi Ada beberapa halaman yang diberi iluminasi, yaitu halaman awal, pertengahan dan akhir. Untuk halaman awal, yaitu; surah al-Fatihah, awal surah al-Baqarah. Pertengahan,yaitu, surah al-Kahf, dimulai dengan juz 16, alam aqul. Kemudian halaman akhir surah al-falaq dan surah an-Nas, diberi kaligrafi yang indah dengan kombinasi warna hitam, merah, dan kuning. Hiasan luar, seperti tulisan: al-Juz,nisf, rubu dan tsumun, dibuatkan ilmunasi yang menarik dan indah, berbentuk bundar, lalu dihiasi pinggirnya dengan tangkai bunga-bunga dan berwarna.
Iluminasi awal halaman
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1707
B. Naskah Keempat
Sampul dan kulit
Tulisan halaman dalam
1. Rasm yang digunakan Naskah Al-Qur’an tersebut ditulis dengan khat Naskhi berdasarkan kaidah penulisan Rasm Imlai’ atau Rasm Qiyasi. Tetapi pada lafal-lafal tertentu tetap mengacukepada rasm Usmani, seperti lafal ; ، الزكوة، الحيوة، الصلوةdan sebagainya.Tulisannya indah, jelas dapat terbaca dengan terang, dengan tinta hitam, dipinggir halaman luar, diberi tanda tulisan merah menunjukan kepada juz, nisf, rubu’ dan tsumun. 2. Tanda Baca Harakat yang digunakan dalam naskah ini, seperti fathah dan kasrah hanya menggunakan harakat da kasrah miring saja, tidak mengenal harakat berdiri, seperti di lafal Allah tetap ditulis dengan harakat miring, bukan harakat berdiri ( )هللاtidak ada tanda madnya, baik yang tabii, mad wajib apalagi yang mad jaiz, semuanya pakai harakat biasa, tidak ada perbedaanya antara yang dibaca pendek maupun yang panjang (Mad wajib). Tiap akhir ayat diakhiri dengan tanda bundar, garis hitam dengan warna kuning didalamnya. 3. Tanda Tajwid Di dalam naskah tidak dijumpai tanda-tanda tajwid; seperti lambang,atau huruf kecil izhar, ikhfa, idgam bigunnah dengan bila gunnah, iqlab, atau nun kecil pada tanwin. 4. Qiraat Dalam naskah ini, juga dijumpai dipinggir halaman, catatan Qiraat sab’ah, yang bisanya di tulis dipinggir halaman dengan tulisan miring, wana merah berikut, harakat dari qiraat yang bermacam-macam. 5. Pembagian teks Untuk pembagian teks, tidak begitu lengkap, namun dijumpai ada tanda juz, nisf, ruu’ dan sumun. Sedang ruku’dan manzil tidak ada.
1708 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization 6. Kritik Teks Al-Qur’an Dalam naskah ini, terdiri dari 14 baris,sedang untuk halaman tertentu seperti pada halaman awal untuk surah al-fatihah dan al-Baqarah, hanya 7 baris, tidak ada tanda-tanda bundar di akhir ayat, ditulis bersambung saja. Khusus disurah al-fatihah, lafal amin juga ditulis diakhir ayat, padahal lafal amin itu sendiri, bukan termasuk ayat, hanya sebagai doa saja, yang dibaca oleh makmun ketika Imam selesai membaca al-fatihah. Sulit juga menilai bilangan ayat surah al-fatihah, karena tidak ada tanda akhir ayat. Bersambung saja terus. Teks Tambahan 1. Teks sebelum Al-Qur’an ada, ( tanda wakaf, doa, ulum Al-Qur’an, dan lain-lain) 2. Teks sesudah Al-Qur’an dijumpai ( doa khatam Al-Qur’an), namun tidak dijumpai kolofon. 3. Teks tambahan lainnya, tidak diketemukan, seperti terjemahan antar baris, hadis yang menerangkan fadail suwar dsb. Aspek Perwajahan 1. Kaligrafi Kaligrafi dalam naskah ini, hanya dijumpai dipinggir halaman, seperti tulisan al-Juz, nisf,rubu’ dan sumun. Namun tulisannya, naskhi rapih dan jelas.Kombinasi warna tepat. 2. Iluminasi Ada beberapa halaman yag diberi iluminasi, yaitu alaman awal, pertengahan dan akhir. Untuk halaman awal, surah al-Fatihah, awal surah al-Baqarah. Pertengahan,yaitu, surah al-Kahf, dimulai dengan juz 16, alam aqul. Kemudian halaman akhir surah al-falaq dan surah an-Nas, diberi kaligrafi yang indah dengan kombinasi warna hitam, merah, dan kuning. Hiasan luar, seperti tulisan: al-Juz,nisf, rubu dan tsumun, dibuatkan iluminasi yang menarik dan indah, berbentuk bundar, lalu dihiasi pinggirnya dengan tangkai bungabunga dan berwarna.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1709
C. Naskah Kedelapan
Sampul dan Kulit Mushaf
Halaman awal
1. Rasm yang digunakan Naskah Al-Qur’an tersebut ditulis dengan khat Naskhi berdasarkan kaidah penulisan Rasm Imlai’ atau Rasm Qiyasi. Tetapi pada lafal-lafal tertentu tetap mengacukepada rasm Usmani, seperti lafal ; ،الصلوة ، الزكوة، الحيوةdan sebagainya.Tulisannya indah, jelas dapat terbaca dengan terang, dengan tinta hitam, dipinggir halaman luar, diberi tanda tulisan merah menunjukan kepada juz, nisf, rubu’ dan tsumun. 2. Tanda Baca Harakat yang digunakan dalam naskah ini, seperti fathah da kasrah hanya menggunakan harakat da kasrah miring saja, tidak mengenal harakat berdiri, seperti di lafal Allah tetap ditulis dengan harakat miring, bukan harakat berdiri ( )هللاtidak ada tanda madnya, baik yang tabii, mad wajib apalagi yang mad jaiz, semuanya pakai harakat biasa, tidak ada perbedaanya antara yang dibaca pendek maupun yang panjang (Mad wajib). Tiap akhir ayat diakhiri dengan tanda bundar, garis hitam dengan warna kuning didalamnya. 3. Tanda Tajwid Di dalam naskah tidak dijumpai tanda-tanda tajwid; seperti lambang,atau huruf kecil izhar, ikhfa, idgam bigunnah dengan bila gunnah, iqlab, atau nun kecil pada tanwin. 4. Qiraat Dalam naskah ini, juga dijumpai dipinggir halaman, catatan Qiraat sab’ah, yang bisanya di tulis dipinggir halaman dengan tulisan miring, wana merah berikut, harakat dari qiraat yang bermacam-macam. 5. Pembagian teks Untuk pembagian teks, tidak begitu lengkap, namun dijumpai ada tanda juz, nisf, ruu’ dan sumun. Sedang ruku’dan manzil tidak ada.
1710 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Teks Tambahan 1. Teks sebelum Al-Qur’an ada, ( tanda wakaf, doa, ulum Al-Qur’an, dan lain-lain) 2. Teks sesudah Al-Qur’an dijumpai ( doa khatam Al-Qur’an), namun tidak dijumpai kolofon. 3. Teks tambahan lainnya, tidak diketemukan, seperti terjemahan antar baris, hadis yang menerangkan fadail suwar dsb. Aspek Perwajahan 1. Kaligrafi Kaligrafi dalam naskah ini, hanya dijumpai dipinggir halaman, seperti tulisan al-Juz, nisf,rubu’ dan sumun. Namun tulisannya, naskhi rapih dan jelas. 2. Iluminasi Ada beberapa halaman yag diberi iluminasi, yaitu alaman awal, pertengahan dan akhir. Untuk halaman awal, surah al-Fatihah, awal surah al-Baqarah. Pertengahan,yaitu, surah al-Kahf, dimulai dengan juz 16, alam aqul. Kemudian halaman akhir surah al-falaq dan surah an-Nas, diberi kaligrafi yang indah dengan kombinasi warna hitam, merah, dan kuning. Hiasan luar, seperti tulisan : al-Juz,nisf, rubu dan tsumun, dibuatkan ilmuasi yang menarik dan indah, berbentuk bundar, lalu dihiasi pinggirnya dengan tangkai bunga-bunga dan berwarna.
Halaman dalam Mushaf D. Naskah Kesembilan
Iluminasi halaman dalam
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1711
Naskah Al-Qur’an Kuno, di simpan di Museum Kesultanan Tidore, Malut (Juli2012) Bentuk tulisan Naskah Al-Quran Kuno, di Kesultanan Tidore, Maluku Utara ( Juli 2012)
1. Rasm yang digunakan Naskah Al-Qur’an tersebut ditulis dengan khat Naskhi berdasarkan kaidah penulisan Rasm Imlai’ atau Rasm Qiyasi. Tetapi pada lafal-lafal tertentu tetap mengacukepada rasm Usmani, seperti lafal ; ،الصلوة ، الزكوة، الحيوةdan sebagainya.Tulisannya indah, jelas dapat terbaca dengan terang, dengan tinta hitam, dipinggir halaman luar, diberi tanda tulisan merah menunjukan kepada juz, nisf, rubu’ dan tsumun, dalam bingkai iluminasi berupa bunga. Tanda Baca dan Harakat yang digunakan dalam naskah ini, seperti fathah da kasrah hanya menggunakan harakat dan kasrah miring saja, tidak mengenal harakat berdiri, seperti di lafal Allah tetap ditulis dengan harakat miring, bukan harakat berdiri ( )هللاtidak ada tanda madnya, baik yang tabii, mad wajib apalagi yang mad jaiz, semuanya pakai harakat biasa, tidak ada perbedaanya antara yang dibaca pendek maupun yang panjang (mad wajib). Tiap akhir ayat diakhiri dengan tanda bundar, garis hitam dengan warna kuning didalamnya. Tanda Tajwid Di dalam naskah tidak dijumpai tanda-tanda tajwid; seperti lambang,atau huruf kecil izhar, ikhfa, idgam bigunnah dengan bila gunnah, iqlab, atau nun kecil pada tanwin. 2. Pembagian teks Untuk pembagian teks, tidak begitu lengkap, namun dijumpai ada tanda juz, nisf, ruu’ dan sumun. Sedang ruku’dan manzil tidak ada. Teks Tambahan 1. Teks sebelum Al-Qur’an ada, ( tanda wakaf, doa, ulum Al-Qur’an, dan lain-lain) 2. Teks sesudah Al-Qur’an dijumpai (doa khatam Al-Qur’an), namun tidak dijumpai kolofon. 3. Teks tambahan lainnya, tidak diketemukan, seperti terjemahan antar baris, hadis yang menerangkan fadail suwar dsb. Aspek Perwajahan 1. Kaligrafi Kaligrafi dalam naskah ini, hanya dijumpai dipinggir halaman, seperti tulisan al-Juz, nisf,rubu’ dan sumun. Tulisannya, naskhi rapih dan jelas dibingkai dengan gambar bunga. 2. Iluminasi
1712 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Ada beberapa halaman yag diberi iluminasi, yaitu halaman awal, pertengahan dan akhir. Untuk halaman awal, yaitu; surah al-Fatihah, awal surah al-Baqarah. Pertengahan,yaitu, surah al-Kahf, dimulai dengan juz 16, alam aqul. Kemudian halaman akhir surah al-falaq dan surah an-Nas, diberi kaligrafi yang indah dengan kombinasi warna hitam, merah, dan kuning. Hiasan luar, seperti tulisan: al-Juz,nisf, rubu dan tsumun, dibuatkan ilmunasi yang menarik dan indah, berbentuk bundar, lalu dihiasi pinggirnya dengan tangkai bunga-bunga dan berwarna.
Iluminasi pada halaman awal surah al-Fatihah dan awal surah alBaqarah Bentuk tulisan Imla’i, iluminasi pinggir dan aljuz’u pada halaman dalam Mushaf Kuno Ternate
PENUTUP A. KESIMPULAN Penelitian Naskah Al-Qur’an Kuno di Maluku Utara, termasuk kaya dengan naskah, sebanyak 9 naskah yang diketemukan yang tersimpan di tiga lembaga, Museum Kesultanan Ternate, Mesuem Kesultatanan Tidore, Masijid Kesultanana Ternate, dan Masjid Jim, di Kampung Bugis. Naskah tersebut sudah tersimpan rapih, dipelihara, dan dirawat sesuai dengan pengetahuan pemeliharaan naskah kuno. Cuma yang di Masjid terlihat tidak dirawat dengan baik. Karena tidak ada jamaah yang mengerti bagaimana cara memelihara naskah kuno. Hanya tradisional saja, di simpan di lemari perpustakaan masjid. B. SARAN Naskah yang di masyarakat, masih perlu ketekunan peneliti untuk menelusuri naskah tersebut, sekalipun jauh dari kota Ternate, seperti yang ada dikota-kota lain seperti, Sofifi, Bacan dan lain-lain.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1713
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, ( Jakarta; Antara Pustaka Utama, cet 1, 2001). Ahmad Hamid, “Mushaf Al-Qur’an Kuno Asli Indonesia “ (Koran Pelita, 11 Nopember 1991) Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz 1,( Mesir ; Isa Bab al-Halaby, t.th) Ali Akbar, (editor), Khazanah Mushaf Al-Qur’an Kuno, Maluku, Lajnah Pentahsihan Mushaf Al-Qur’an, Balitbang dan Diklat , Kemenag RI, Tahun 2012 Akbar (Editor), Mushaf-mushaf Al-Qur’an Istana Nusantara, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Balitbang dan Diklat, Kemenag RI, Tahun 2012. Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, Juz I ( Beirut, Dar elfikr, Libanon 1998) Azyumradi Azra, Jaringan Ulama ( Bandung, Mizan, 1995) Bunyamin Yusuf Surur M, Mushaf Kuno di Kalimantan Timur, Laporan Penelitian, Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang Agama, 2004) David James, “ Qur’an of the Mamluks , ( London ; Alexandria Prss, 1988) David James, Anna Cntadini dan Manijeh Bayani , The Docorated Word : Quran’s of the 17 to 19 Centuries ( London, Alexandria Press, 1988) David James, The Master Scribes ; Qur’ans of the 11 th to 14 th Centuries. ( London, Alexandria Peress, 1998) Fadhal AR Bafadhal & Rosehan Anwar (ed), Mushaf –Mushaf Kuno di Indonesia, Puslitbang Lektur Keagamaan, Depag RI, Tahun 2005. Hasan K.Habash al-Bayati; Rihlah al-Mushaf asy-Syarif min al-Jarid ila atTajlid ( Beiurt, Darulaqalam, 1993) Leirissa R.Z. Sumber-sumber Sejarah Maluku, ( Jakarta, Lembaga Penelitian Maluku, 1975) Lings, Martin ; The Qur’anic Arts of Calighraphy and Illumination, ( London, Wrld of Islam Festival Trust, 1976) Luhulima, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, ( Jakarta, Lembaga Sejarah Fakultyas Sastra UI, 1972) M.Ghazali, Ornamen Nusantara ; Studi Tentang Ornamen Mushaf Istqilal, Jakarta ; (DFisertasi IAIN Jakarta, 1998) Majma al-Buhus al-Islamiyah ; Buhus Qur’aniyah ( Mesir; al-Syarikah alMisriyah, 1971)
1714 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Ridwan Dero ( Qadhi Kesultanan Ternate ) Sejarah masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Ternate ) Makalah,2002. Rosehan Anwar ,’ Katalog Naskah Kuno “, (Jakarta badan Litbang Agama, 1991) Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate ; Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik ( Yogyakarta, Ombak, 2004) Syamsuddin H. T ; Masuknya Islam di Maluku ( Pusat Lektur Keagamaan, Badan Litbang Agama, 1983) Tawainella Muhammd Nour ‘ Catatan Penting Perjuangan dan Perkembangan Islam Maluku ( Arsip Depag Propinsi Maluku ,t.th) W.M.Watt & R.Bell; Introduction to the Qur’an ( Edinburg University press, 1970) Wilard A.Hanna dan Des Alwi ; Ternate dan Tidore; masa Lalu Penuh Gejolak, ( Jakarta. PT Pustaka Sinar Harapan, 1996) Yasin Hamid Safadi dan Martin Lings, The Qur’an ( London : Worl of Islam Festival Trust, 1976)
PAHAM WUJÛDIYAH SYAIKH ABDUS SHAMAD AL-PALEMBANI DALAM NASKAH ZÂD AL-
MUTTAQIN
Dr. Idrus Al-Kaf, MA Abstrak: Kajian ini difokuskan pada upaya memahami naskah Zâd al-Mutaqqîn fi Tauhîd Rabb al-`Âlamîn, sebuah manuskrip karya Syaikh Abdus Shamad alPalembani, tokoh sufi Nusantara abad ke 18 Masehi. Karya ini memuat pemikiran al-Palembani tentang ajaran Wihdat al-wujûd. Pemikiran al-Palembani tentang masalah ini memang bukanlah hal yang baru. Namun menariknya, karya ini memuat ajaran Wihdat al-wujud itu dalam sebuah kitab secara utuh. Melalui pendekatan filologi dan content analysis, penulis akhirnya menyimpulkan bahwa karya ini ditulis pada masa al-Palembani telah mencapai tingkat intlekual dan spiritualnya yang sudah matang. Karya ini mengajarkan dasar-dasar tauhîd dan kemudian membangun doktrin Wihdat al-wujûd yang didasarkan pada pengalaman batin sang sufi, bukan hasil kontemplasi filosofis yang cenderung mengarah pada ajaran tauhîd yang Panteistik., sebagaimana yang telah banyak berkembang di Nusantara, khususnya di wilayah Sumatera selatan pada waktu itu. Dalam konteks perkembangan pengamalan keagamaan ini, doktrin Wihdat alwujûd yang dikemukakan al-Palembani ini dapat dilihat sebagai upayanya untuk meluruskan praktek-praktek pengamalan keagamaan yang dianggapnya menyimpang pada waktu itu. Oleh karena itu, adalah wajar jika kemudian karya ini, sebagaimana disebutkannya sendiri dalam karya Sair as-Sâlikîn, diperuntukkan hanya bagi kelompok muntahî, atau pengamal tasawuf tingkat tinggi. Key word : Zâd al-Muttaqîn, Abdus Shamad al-Palembani, Wihdat al-wujûd
Pendahuluan Syaikh Abdus Shamad al-Palembani adalah sorang sufi besar asal Sumatera Selatan yang lair pada tahun 1704 M. Nama lengkapnya adalah Syaikh Abdus Shamad bin Abd. Al-Jalil al-Mahdani al-Palembani. Ayahnya adalah seorang ulama sufi dari San’a Yaman selatan, dan pernah menjabat sebagai Mufti besar di negeri Kedah, sebelum ia singgah di Palembang dan menikah dengan seorang wanita negeri ini, Raden Ranti. Dari hasil perkawinan ini lahirlah Syaikh Abdus Shamad al-Palembani.1 Al-Palembani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah. Hal ini terbukti dengan temuan Azyumardi Azra tentang biografi al-Palembani
1Chatib Quzwain, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh AbdusShamad al-Palimbani, Ulama Palembang Abad ke-18 Masehi, (Jakarta: Bulang bintang: 1985, h. 41
~ 1715 ~
1716 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization dalam kitab-kitab biografi Arab yang sebelumnya tidak pernah ditemukan.2 Nama harumnya ini, tidak terlepas dari kreatifitas lentik jari tangannya dalam mengalirkan tinta-tinta intelektualnya, baik berkenaan dengan masalah tauhid, jihad, wirit/ratib dan terlebih lagi dalam bidang tasawuf, yang memang merupakan spesialisasinya. Drewes melaporkan, ada tujuh buah karya tulis al-Palembani; dua buah sudah di cetak, empat buah masih dalam bentuk naskah dan sebuah baru dikenal namanya saja. Disamping itu, al-Palembani menyebut pula sebuah tulisannya yang lain (Zâd al-Mutaqqîn), sehingga karya tulisnya berjumlah delapan buah. Karya-karya tersebut adalah Zahrat al-Murîd fi Bayân Kalimât at-Tauhîd (manuskrip), Nashîhat al-Muslimîn (manuskrip), Tuhfat ar-Râghibîn (manuskrip), al-`Urwat al-Wutsqâ, Râtib Abdus Shamad, Hidâyat as-Sâlikîn (sudah di cetak), Sair as-Sâlikîn (sudah di cetak), dan Zâd al-Mutaqqîn fi Tauhîd Rabb al-`Alamîn. Karya yang disebut terakhir ini, sebagaimana yang dilaporkan oleh Abd. Rahim Yunus, di dalam tulisannya Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, tidak terdapat di dalam katalog-katalog naskah Arab dan Melayu di Nusantara, namun tersimpan secara perorangan di dua tempat, yaitu di Palembang (oleh Bapak Kms. Andi Syarifuddin), dan di Kesultanan Buton. Yunus menambahkan bahwa kitab tersebut menjadi pegangan bagi guru-guru tarekat di dalam mengajarkan tasawuf pada murid-murid mereka.3 Dari keterangan beberapa sumber yang dapat dipercaya, naskah yang ada di Kesultanan Buton sudah tidak lengkap lagi jumlah halamannya. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menjadikan naskah Palembang sebagai objek kajian di dalam penelitian ini, karen jumlah halamannya masih utus dan lengkap. Naskah yang selesai disalin pada tahun 1284 H ini masih tersimpan dalam keadaan baik. Pada sampul depan tidak tercantum judul kitab. Namun dapat di pastikan bahwa karya tersebut adalah karya al-Palembani yang berjudul Zâd al-Mutaqqîn, dengan melihat pada pendahuluan kitab tersebut. Karena di dalam karyanya Sair as-Sâlikîn (yaitu pada akhir pasal 2, bab II, bagian ketiga), al-Palembani mengatakan bahwa ia telah menulis sebuah karya yang berjudul Zâd al-Mutaqqîn yang pendahuluannya berbunyi:
2Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), h. 248-249. 3Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, (Jakarta: INIS, 1995), h. 65. Penulis kemudian mengidentifikasikan kedua naskah tersebut dengan Naskah Palembang dan Naskah Buton.
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1717
ل ححل ت هتئ ر ي ا لثحمتتهث ر دلث ُتتث ه دلث ُ تتثس لت ترا رئعه ها ُ ت وتئ د لت لثرت ر د تتبر ر ح ح ه ح ر دحت حمت هتئ حلتهتتال و ُد ه متته وثحذ ت ل ت ُ وه ح تتمهيهعه ل ح ا ت دمثيهعتته ل حلحخ ت ه. و ح م ت ح تهق لثحمتته ري ه ر ر ر ر تهق دضتتا ه لثلُهتت ر ه ح ت لثُزمت ر ر يل ل ر حرتتث عتتتهس م حاث تته ح ه ا حتته حثعتتز ولي د ه 4 دًرخ ه ها ُ ٌئ لحأ هئ لثحك رعحر لث ُ ر َ. و رم ح.هق لثح ئرينُّ ومئعه ل ه ر ئ رس ر حه حه ح
Karya tersebut merupakan ringkasan dari ajaran tauhid yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad as-Samman di Madinah, yang menurutnya mengandung ajaran Wihdat al-wujûd. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan sendiri oleh beliau dalam kitabnya Sair as-Sâlikîn, yaitu pada bab X, bagian ketiga, di akhir penjelasannya mengenai kitabkitab tasawuf yang menurutnya hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat penghabisan (al-Muntahi). Ia mengatakan: Dan demikian lagi seperti risalah yang hamba himpunkan dia daripada perkataan… Muhammad ibn Abd. al-Karim as-Samman al-Madani, yaitu permulaan yang diajarkannya akan hamba, yaitu pada bicara Wihdat al-Wujûd yang dinamai akan dia oleh… Siddiq ibn Umar al-Khan, murid as-Syaikh Muhammad as-Samman itu dengan Zâd al-Mutaqqîn fi Tauhîd Rabb al-`Alamîn.”5
Uniknya, dari keterangan di atas kita mendapat sebuah kesimpulan bahwa kitab Zâd al-Mutaqqîn ini ditulis jauh sebelum ditulisnya kitab Sair as-Sâlikîn, sebuah karya yang merupakan kitab yang diperuntukkan bagi kalangan menengah (al-Mutawashshith). Hal ini menunjukkan bahwa Syaikh Abdus Shamad telah mencapai derajat kewalian dan intelektualitas yang tinggi jauh sebelum ia menulis karyanya tersebut. Berdasarkan fakta inilah, penulis kemudian tertarik untuk meneliti naskah tersebut. Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, disamping untuk memperkenalkan karya Syaikh Abdus Shamad yang hampir belum diketahui oleh masyarakat muslim Indonesia, juga untuk melihat bagaimana alur pemikiran sufistiknya dalam karya tersebut, terutama jika dikaitkan dengan pemikiran dalam karya-karya sebelum dan sesudahnya. Deskripsi Naskah Naskah ini tersimpan secara perorangan di dua tempat, yaitu di Palembang oleh Bapak Kms Andi Syarifuddin, Salah seorang cucu keempat dari penyalin naskah tersebut, H. Ma`ruf bin Haji Muhammad Hasyim, yang merupakan murid langsung Syaikh Abdus Shamad al-Palembani. Sedangkan yang kedua terdapat di Kesultanan Buton, dan menjadi pegangan bagi guru-guru tarekat di dalam mengajarkan tasawuf kepada murid-murid mereka. h. 198
4Syaikh 5Ibid
Abdus Shamad al-Palimbani, Sair as-Sâlikîn, Juz III, Bab X, (Kairo: tp, 1953),
1718 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Adapun yang menjadi objek kajian di dalam penelitian ini adalah naskah Palembang, yang selesai disalin pada tahun 1284 H, atau bertepatan dengan tahun 1868 M. Naskah setebal 17 halaman ini masih tersimpan dalam keadaan baik. Walaupun jilidannya sudah mulai lepas, tapi jumlah halamannya masih lengkap dan tidak ada halaman yang hilang. Nomor halaman ditulis dengan huruf latin di bagian tengah atas dengan pena. Nomor halaman tersebu agaknya dibubuhkan setelah dikoleksi. Teks ditulis dengan bahasa Arab dan bahasa melayu. Kertas yang digunakan adalah kerta Eropa dengan tanda air (watermark) berupa lambang perisai dan sebuah kampak. Sampulnya terbuat dari kertas tebal. Ukuran kertasnya 22 cm x 18 cm, sedangkan ukuran tulisan 16 cm x 12 cm. Teks ditulis dengan huruf naskh yang jelas dan kecil, pada setiap halaman terdapat 22-28 baris teks. Teks ditulis dengan menggunakan tinta warna hitam. Pada sampul depan tersebut tidak tercantum judul kitab. Namun dapat di pastikan bahwa karya tersebut adalah karya al-Palembani yang berjudul Zâd al-Mutaqqîn dengan melihat pada pendahuluan kitab tersebut. Karena di dalam Sair as-Sâlikîn (yaitu pada akhir pasal 2, bab II, bagian ketiga), al-Palembani mengatakan bahwa ia telah menulis sebuah karya yang berjudul Zâd al-Mutaqqîn. Naskah ini terdiri dari empat teks. Teks pertama di tulis dalam bahasa Arab sebanyak dua halaman setengah, yaitu dari halaman pertama hingga halaman tiga. Teks ini berbicara tentang maqam Fanâ dan baqâ, kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan tentang wujud Tuhan. Teks kedua ditulis dalam bahasa Melayu (huruf pegon) sebanyak satu halaman setengah. Teks ini juga berbicara tentang ajaran Wihdat al-wujûd. Teks ketiga terdiri dari tiga halaman penuh, yaitu dari halaman 5 sampai halaman tujuh. Teks yang ditulis dalam bahasa Arab ini, berbicara tentang fadhilah kalimat Lâ ilâha Illa Allah, tapi kemudian dikaitkan dengan ilmua Tauhid dan Tasawuf. Teks keempat, ditulis dalam bahasa melayu (huruf pegon), setebal 10 halaman, dan berbicara tentang ilmu tauhid dan hakikat Tasawuf. Dari kajian penulis terhadap naskah tersebut, terdapat beberapa fakta yang perlu untuk diungkapkan : 1. Walaupun naskah ini tidak mempunyai halaman judul, namun dapat dipastikan bahwa karya tersebut adalah karya asli Syaikh Abdus Shamad al-Palembani. Hal ini didasarkan pada keterangan yang berikan langsung oleh al-Palembani dalam karya Sair as-Sâlikîn-nya tentang karya ini. 2. Meskipun tidak terdapat keterangan tentang tahun penulisannya, namun dapat dipastikan pula, bahwa karya tersebut ditulis sebelum
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1719
tahun 1779 M, karena pada tahun tersebut al-Palembani mulai menulis karya terakhirnya, Sair as-Sâlikîn, yang berakhir pada tahun 1788 M. 3. Naskah palembang, yang menjadi objek kajian peneliti, adalah naskah salinan. Penyalinannya dilakukan pada tahun 1868 M, oleh H. Ma`ruf bin Haji Muhammad Hasyim. Menurut cucu penyalin, H. Ma`ruf ini merupakan murid langsung dari al-Palembani. Namun peneliti meragukan keterangan ini, mengingat jarak antara tahun penyalinan (1868 M) dengan tahun wafatnya al-Palembani 1788 M adalah 80 tahun. Fakta ini tentunya sangat tidak meyakinkan, karena jika saja penyalin mulai belajar pada al-Palembani pada usia 20 tahun, maka ia sudah berusia 100 tahun pada saat menyalin naskah ini. Pada usia yang tidak lagi muda ini tentunya tidak mudah bagi seseorang untuk melakukan hal tersebut. Kemungkinan yang lebih masuk akal adalah penyalin (H. Ma`ruf) ini adalah murid dari muridnya al-Palembani, apalagi fakta ini tidak didukung oleh adanya keterangan, termasuk dari cucunya sendiri, tentang di mana H. Ma`ruf ini belajar dan menetap selama hidupnya. 4. Naskah ini terdiri dari empat fasal, namun sistematika pembahsan antara fasal pertama, kedua dan seterusnya tidak seperti lazimnya urutan-urutan pembahasan dalam kitab-kitab tasawuf. Kondisi ini tentunya dapat dimengerti, mengingat naskah tersebut adalah catatan pelajaran yang didapatkan oleh al-Palembani dan gurunya Syaikh Muhammad Sammân. Hanya saja, nanti di dalam sub bab analisis, penulis akan berupaya mensistematiskan pembahasannya, tentunya dengan tetap mengacu pada isi karya tersebut. 5. Dari telaahan peneliti, terlihat bahwa penyalinan naskah ini dilakukan dengan kurang teliti dan terkesan terburu-buru. Hal ini nampak pada: a. Terdapat penomoran ganda, yaitu pada halaman 12, sehingga naskah yang seharusnya berjumlah 17 halaman, hanya tertulis 16 halaman. b. Terdapat banyak sekali kekeliruan tulis dan gramatikal, baik dari segi ilmu Nahwu maupun ilmu Sharaf, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalin kurang begitu memahami dengan baik gramatikal bahasa Arab. Kandungan Zâd al-Muttaqîn
Tauhîd dan Tingkatan-tingkatannya
al-Palembani, di dalam Zâd al-Muttaqîn, menyebut ilmu tauhîd sebagai ilmu yang ter-afdhal (ilmu yang paling utama), ilmu yang wajib dipahami dan dihayati karena menjadi dasar fondasi yang kuat bagi seorang muslim untuk beribadah kepada Allah. Hanya dengan merealisasikan tauhîd
1720 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization secara benarlah seseorang dapat mencapai kebahagiaan yang sebenarnya dan terhindar dari kehinaan di dunia dan akhirat.6 Merealisasikan tauhîd secara benar berarti menunaikan dua kalimat syahadat, membersihkannya dan memurnikannya dari campuran syirik khafî dan syirik jalî. Dengan penghayatan tauhîd yang benar, lanjutnya, seseorang akan terhindar dari bahaya syirik khafî dan syirik jalî, yang menyesatkan dan dapat merusak perjalanan seseorang untuk menuju Allah.7 Syirik khafî akan memalingkan seseorang dari Allah, karena hati seseorang yang telah terjangkiti syirik jenis ini akan selalu tertuju kepada segala sesuatu selain Allah, dari pada kenikmatan dunia dan akhirat, sehingga ia tidak dapat mengkonsentrasikan hatinya kepada Allah. Sedangkan syirik jalî akan menggiring nafs al-ammârah seseorang kepada perbuatan menentang Allah, dan perbuatan mungkar yang dapat menjatuhkan derajat kemanusiaannya kepada derajat yang rendah. 8 Syirik khafî, jelas al-Palembani, akan menjadi hijâb (dinding) yang menghalangi seorang hamba untuk memasuki hadhirat Allah, sehingga orang yang masih menyimpan syirik ini di dalam hatinya, selama-lamanya ia tidak akan sampai kepada Allah. Hanya satu cara untuk menghilangkannya, yaitu dengan melaksanakan tauhîd melalui penghayatan kalimat tauhîd “lâ ilâha lla Allâh”.9 Al-Palembani kemudian menerangkan bahwa perjalanan seorang sâlik menapaki tauhîd ini, paralel dengan tingkatan maqâmât dan ahwâl, serta pencapaian ma`rifat seseorang. Untuk itu, ia membagi tauhîd pada tiga tingkatan, yaitu; tauhîd al-af`âl, tauhîd ash-shifât, dan tauhîd adz-dzât Tauhîd al-af`âl, merupakan penegasan terhadap keesaan Allah dari segi perbuatan, meyakini dengan sepenuhnya dan menyaksikan dengan hati (musyâhadah) bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini berasal dari Allah. Tauhîd ash-shifât, adalah pengesaan Allah dari segala sifat, yaitu dengan memandang dan me-musyâdah-kan, serta meyakini bahwa segala sifat yang ada pada Dzât Allah, seperti qudrah (kuasa), irâdah (kehendak), `ilm (mengetahui), hayah (hidup), samâ` (mendengar), bashar (melihat), dan kalâm (berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allahlah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang terdapat pada makhluk harus dipandang metaforis, bukan sesungguhnya, hanya pinjaman dari Allah.10 Sedangkan tauhîd adz-dzât adalah mengesakan Allah pada Dzât. Maqâm tauhîd adz-dzât, menurut al-Palembani, merupakan maqâm 6Al-Palembani, 7ibid.,
h. 8
8ibid. 9ibid.,
h. 9 h. 11
10Ibid.,
Zâd al-Muttaqîn, h. 12
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1721
tertinggi dan merupakan terminal terakhir dari musyâhadah seorang sâlik. Adapun cara mengesakan Allah pada dzat adalah dengan memandang mata hati (musyâhadah) bahwa tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah Semata. Tauhîd al-af`âl, pada pengertian al-Palembani, akan banyak berbicara tentang kehendak Allah yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinu ruang-waktu relatif.11 Di kalangan sufi dan penganut tarekat, perjalanan seorang sâlik menapaki jalan tauhîd ini paralel dengan tingkat pencapaian mistiknya. Kalimat tauhîd (lâ ilâha lla Allâh), dikalangan sufi, mendapatkan pemaknaan yang beragam, disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan maqâm dan ahwâlnya, dan disesuaikan pula dengan tingkat penghayatan serta pencapaian ma`rifat-nya. Sebagian dari mereka memaknainya dengan ”lâ mathlûba wa lâ maqshûda illa Allâh” (Tiada yang dituju selain Allah), sebagian lagi memaknainya dengan; “lâ hâdhira wa lâ masyhûda illa Allâh” (Tiada yang hadir dan tiada yang disaksikan selain Allah), sebagian lagi memaknainya dengan; “lâ fâ`ila illa Allâh” (Tiada ada yang melakukan sesuatu selain Allah), “lâ hayya illa Allâh” (Tiada yang hidup selain Allah), dan sebagian lagi memaknainya dengan, “lâ maujûda illa Allâh” (Tiada wujud selain Allah), dan lain-lain.12 Pemaknaan atas kalimat tauhîd seperti di atas, tidak dapat dilakukan oleh orang awam, atau mereka yang masih dalam tingkatan mubtadi dalam perjalanan sulûk-nya, karena mereka belum mencapai tingkatan penghayatan ma`rifat yang benar, masih rendah tingkat mujâhadah-nya, belum dapat mengendalikan godaan hawa nafsu, dan masih mempunyai sifat-sifat yang tercela (madzmûmah). Dengan kata lain, mereka masih memiliki penyakit syirik khafî dan syirik jalî, sehingga belum memiliki penghayatan tauhîd yang murni. Kalaupun dipaksakan, maka dikhawatirkan akan membawa mereka kepada kesyirikan dan kekufuran.13
Fanâ dan Baqâ
Pembicaraan tentang fanâ dan baqâ merupakan pembahasan pertama dalam Zâd al-Muttaqîn. Al-Palembani mengatakan; “Perkataan yang disampaikan kepadaku ada lima kalimat dan dengan lima kalimat tersebut dengan fadl (kemurahan) Allah kita bisa mendapatkan anugrah ketuhanan. 11ibid.,
h. 12 h. 9 13ibid., h. 9-10 12ibid.,
1722 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization Nabi shallallâhu `alaihi wa sallam bersabda, "Satu tarikan dari tarikantarikan Allah itu akan menyamai derajat kemuliaan amal perbuatan baik penduduk langit dan bumi, tiga yang berkenaan dengan fanâ dan dua yang berkenaan dengan baqâ.” Inilah yang dikehendaki oleh orang-orang sufi dengan Wihdat al-wujûd (kesatuan wujud). Adapun tiga hal yang berkenaan dengan fanâ itu, yang pertama adalah fanâ al-af`âl, fanâ ash-shifât, dan fanâ adz-dzât. fanâ al-af`âl adalah karamnya sufi dalam syuhûd-nya bahwa semua perbuatan yang terjadi di alam semesta ini, baik itu perbuatan taat ataupun maksiat, baik dan buruk, perbuatan langsung (pekerjaan yang timbul dari gerak dan ikhtiar seseorang) ataupun tidak langsung, adalah semata-mata perbuatan Allah. Hal semacam ini diibaratkan dengan tauhîd al-af`âl.14 Musyâhadah tersebut haruslah sampai pada tingkat haqq al-yaqîn, dengan menghayati makna kalimat syahâdat lâ ilâha illa Allah, bahwa hanya Allah lah yang mempunyai perbuatan, barulah orang itu mencapai ma`rifat wahdat al-af`al dan baru mampu mem-fanâ-kan sekalian af`âl makhluk kepada af`âl Allah. Dengan cara demikian, seseorang baru bisa terbebas dari syirik khafi, `ujub, riyâ, sum`ah dan segala macam sifat tercela lainnya.15 Tingkatan-tingkatan fanâ dan baqâ dalam sistem tasawuf alPalembani agaknya paralel dengan tingkatan-tingkatan nafsu yang harus ditapaki oleh seorang sâlik dalam upaya pendakiannya (taraqqi) menuju Tuhannya. Seorang yang telah mendapatkan fanâ al-af`âl, menurut alPalembani, ia sudah mencapai tingkat nafs al-mulhamah. Pada tingkatan ini sorang sâlik sudah mampu memandang bahwa segala perbuatan yang ada di alam semesta ini sebagai perbuatan Allah, sehingga orang yang telah mencapai tingkat ini berlapang dada menerima segala perlakuan terhadap dirinya dan memaafkan segala kesalahan orang lain. Tapi, tingkat ma`rifat yang dicapainya belum merupakan ma`rifat yang tertinggi, karena ia belum dapat memandang Tuhan sebagai esensi mutlak tanpa nama dan sifat, baru sebatas perbuatan-perbuatan-Nya (af`âl-Nya).16 Fanâ ash-shifât adalah karamnya sufi dalam syuhûd-nya bahwa tidak adanya sifat kita dan sifat-sifat seluruh makhluk di dalam sifat Allah. Menurut Syaikh Muhammad as-Sammân,17 maksudnya adalah bahwa tidak ada pendengaran kecuali pendengaran Allah, tidak ada penglihatan selain penglihatan Allah, tidak ada ilmu melainkan ilmu Allah dan tidak ada
14ibid
h. 1 h. 1-2 16Sair a-Sâlikin, Op cit, h. 17Dalam teks asli hanya disebut Syaikh Muhammad. Tapi yang dimaksud alPalembani di sini adalah Syaikh Muhammad as-Sammân, karena memang karya ini, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, merupakan catatan pelajaran yang diperoleh dari al-Palembani dari Syaikh Samman selama ia belajar di Madinah. 15ibid.,
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1723
kehidupan kecuali hanya kehidupan Allah dan seterusnya dari sifat-sifat yang ada.18 Musyâhadah terhadap hal-hal yang tersebut haruslah sampai pada tingkat haqq al-yaqîn, dengan menghayati makna kalimat syahadat lâ ilâha illa Allah, bahwa hanya Allah lah yang yang pada hakikatnya Allah saja yang mempunyai sifat, sehingga ia dapat mencapai mencapai ma`rifat wahdat ash-shifât (mem-fanâ-kan sekalian sifat makhluk kepada sifat Allah). dan Allah akan membukakan rahasia sifat-Nya yang mulia kepada-Nya. Pada tingkatan fanâ ini, seorang sufi telah mencapai fanâ pada tingkat nafs al-muthma’innah, karena ia telah mampu memusatkan pandangan batinnya kepada ilmu atau sifat-sifat Tuhan yang Qadîm, sehingga segala sifat yang terlihat di alam semesta ini tidak lagi dipandang sebagai milik makhluk, karena semuanya itu adalah pengejawantahan dari ilmu atau sifat Tuhan yang Qadîm.19 Tingkatan fanâ yang ke tiga adalah fanâ adz-dzât, yaitu karamnya sufi dalam dengan syuhûd-nya bahwa tidak ada satu dzat pun di alam semesta ini di dalam Dzat-Nya Allah. Dilihat dari segi bahwasanya tidak ada sesuatu yang wujud kecuali Allah. Sebab semua makhluk selain Allah itu berada di dalam ketiadaan, karena wujud mereka itu ada tidak dengan sendirinya, melainkan Allah yang mewujudkannya, bahkan wujud mereka adalah hayalan dan prasangka belaka, juga suatu yang bâthil, bila dinisbatkan kepada wujud Allah. Dan Allah-lah Dzat Yang Haqq dinisbatkan kepada sesuatu apapun.20 Kesimpulannya adalah bahwa sesungguhnya wujud segala sesuatu jika dinisbatkan kepada wujud Allah itu adalah hayalan, prasangka dan bathil belaka, juga bukan wujud yang sebenarnya, karena wujud di antara dua ketiadaan (ketiadaan sebelum ada dan ketiadaan setelah ada) itu adalah tidak ada. Dan tidak ada wujud yang real dengan swa-ada kecuali karena wujud Allah subhânahu wa ta`âla. Dan wujud yang hakiki (real) hanyalah wujudnya Allah subhânahu wa ta`âla yang meliputi segala sesuatu. Pada tingkatan fanâ ini, seorang sufi telah mencapai fanâ pada tingkat nafs ar-râdhiyah, karena pandangan batinnya sudah terpusat kepada esensi Allah Yang Mutlak, sehingga ia tidak lagi menyadari adanya wujud yang lain, termasuk wujudnya sendiri. Perjalanannya telah memasuki alam lahût, atau martabat ahadiyah, yang disebut juga dengan fanâ’ fî at-tauhîd.21 Menurut al-Palembani, semua keyakinan itu haruslah dalam pandangan dzauqiyah (perasaan), bukan pandangan qauli dan lafzi, dengan
18Al-Palembani,
Zâd al-Muttaqîn, h. 2 h. 20al- Palimbani, Zâd al-Muttaqîn, h. 2 21Sair, Loc cit. 19Sair,
1724 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization penyaksian yang bisa dirasa bukan penyaksian secara qaul, karena keduanya ini tidak berfaidah.22 Namun demikian, menurut al-Palembani, orang yang sudah mencapai tingkatan tingkatan fanâ ini belumlah sampai pada tingkatan tauhîd tertinggi, atau tingkat insân kâmil, karena setelah itu, ia masih harus menapaki dua maqâm baqâ lagi. Maqam fanâ baru menyampaikannya pada gerbang maqam baqâ, yang menurut al-Palembani, terdiri dari dua tingkatan, yaitu tingkatan syuhûd al-katsrah fi al-wihdah dan tingkatan syuhûd al-wihdah fi al-katsrah. Syuhûd al-katsrah fi al-wihdah, yang berarti penyaksian bahwasanya wujud makhluk itu disebabkan karena wujudnya Allah dan wujud Allah itu ada di dalam segala sesuatu yang wujud. Sedangkan syuhûd al-wihdah fi al-katsrah berarti adalah penyaksian akan kediaan-Nya (huwiyyah), qayyûmiyah-Nya, dan kemuliaan-Nya, tapi tidak dengan makna hulûl dan ittihâd dan tidak dengan `ain Dzât-Nya.23 Al-Palembani mengatakan bahwa pada tingkatan ini, seorang sufi telah mencapai martabat nafs al-mardhiyah dan nafs al-kâmilah. Orang yang telah mencapai tingkat sufi yang terkahir dan dianggap telah kembali dari perjalanan kepada Allah, untuk membimbing manusia ke jalannya. Jadi yang dimaksud dengan maqam baqâ itu, dengan demikian, adalah keadaan sadar yang dicapai setelah melewati keadaan fanâ itu.24 Menurut al-Palembani, keadaan sadar yang disebut baqâ dengan Allah (al-baqâ billah) itu masih dimiliki juga oleh orang yang sudah sampai pada tingkat nafs al-kâmilah, sebagai tingkatan yang tertinggi atau tingkat insân kâmil. Ma`rifat orang yang sudah mencapai tingkat ini agaknya tidak sama dengan ma`rifat yang dicapai pada tingkat nafs ar-râdhiyah tadi, karena nafs al-kâmilah itu dikatakan telah dapat memandang keberbilangan di dalam keesaan dan memandang keesaan di dalam keberbilangan. Jika pada tingkat nafs ar-râdhiyah orang arif memandang esensi Tuhan yang mutlak itu secara langsung, maka pada tingkatan nafs alkâmilah ini, ia memandang hakikat Yang Esa itu dalam keberbilangan dan keaneka-ragaman yang memenuhi fenomena alam semesta ini, yang menurut ibn `Arabi, merupakan penampakan lahir-Nya, dan memandang yang terakhir ini di dalam-Nya dalam keadaan sadar, bukan pandangan batin orang yang sedang berada dalam keadaan fanâ, yang mengandung arti ketidaksadaran kepada selain Allah itu.25
Tingkatan-tingkatan Yaqin
Maqam yaqîn adalah suatu tingkatan dimana seseorang tidak lagi memiliki keraguan, wahm (angan-angan) dan khayal dalam meyakini 22ibid. 23al-
Palimbani, Zâd al-Muttaqîn, h. 2 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, h. 112 25ibid. 24
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1725
hukum-hukum dan akidah Islam. untuk mencapai kesempurnaan perjalanannya, seorang sâlik diharuskan mencapai peringkat dimana dia tidak lagi meragukan, tapi meyakini sepenuhnya akan kebenaran syariat Islam yang suci. Menurut al-Palembani, yaqîn tidaklah bisa didapatkan melalui belajar atau diskusi, tetapi merupakan cahaya dan anugerah langsung dari Allah. Sedangkan jalannya adalah dengan dzikir dan tafakkur.26. Ia membagi yaqîn ini pada tiga tingkatan yaitu; pertama `ilm alyaqîn, `ain al-yaqîn, dan haqq al- al-yaqîn.. `Ilm al-yaqîn adalah tingkatan keyakinan seseorang yang berasal dari pengetahuan yang disertai dengan nazhr (teori) dan istidlâl (tanda). Seperti seseorang yang memiliki pengetahuan tentang api dengan melihat adanya asap. Asap dalam hal ini merupakan tanda yang menunjukkan adanya api yang menyebabkan munculnya asap tersebut.27 Demikianlah juga keyakinan seorang mukmin akan keberadaan Allah berdasar ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau melalui hukum kausalita, seperti keyakinan dari para ahli ilmu kalam. Misalnya apa saja yang ada di alam semesta ini adalah sebagai akibat dari sebab yang telah ada sebelumnya. Sedangkan sebab yang telah ada sebelumnya yang juga merupakan akibat dari sebab yang sebelumnya lagi, sehingga sampai pada satu sebab yang tidak diakibatkan oleh sesuatu sebab, yang disebabkan penyebab pertama atau causa prima. Dan itulah Tuhan. `Ain al-yaqîn adalah tingkatan keyakinan seseorang yang telah menyaksikan sendiri (musyâhadah dan mu`âyanah) apa yang sudah ia yakini melalui ilmunya, seperti seseorang yang melihat api dari kejauhan, padahal ia telah mengetahui sebelumnya, dengan melihat asap yang tertiup angin, bahwa ada api di tempat tersebut.28 Keyakinan ini didapakan setelah melewati tahap pertama (`ain al-yaqîn), sehingga setiap kali ia melihat sesuatu kejadian, tanpa melalui proses sebab akibat lagi, dia langsung meyakini akan wujud Allah. Hal ini, menurut al-Palembani, merupakan cerminan dari ungkapan para sufi, seperti; “apabila kelihatan akan makhluk maka kelihatan akan Khâliq.” “Apabila kelihatan akan makhluk serta kelihatan akan Khâliq.” “Kelihatan akan khâliq dahulu maka kelihatan akan makhluk.” 29 Sedangkan haqq al-yaqîn adalah tingkatan keyakinan seseorang yang telah merasakan secara langsung (mubâsyarah) sesuatu yang telah ia yakini sebelumnya. Seperti orang merasakan langsung panasnya api setelah ia membuktikan keberadaannya dengan tangannya.30 Tingkatan ini dicapai ketika seseorang sudah dapat merasakan kehadiran Allah yang selama ini ia 26al-
Palimbani, Zâd al-Muttaqîn, h. 12 14 28ibid. 29ibid.,h. 12 30Ibid., h. 14 27ibid.,h.
1726 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization yakini. Inilah pencapaian keyakinan yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seseorang yang melakukan perjalanan mistis dengan terus menerus menyalakan cahaya yaqîn yang dapat mengalahkan kegelapan hijâb, hingga meeka dapat mempersaksikan hakikat, hingga berakhir kepada kefanaan dan kebersamaan (baqâ) dengan Allah. Ketiga tingkatan yaqîn ini menjadi sarana bagi seseorang dalam upayanya merealisasikan tauhîd, yang merupakan langkah awal dan akhir dari tujuan yang ingin dicapai oleh seorang sâlik dalam perjalanan mereka menuju Allah. Dengan demikian, yaqîn merupakan aspek batin (tarekat) dari pengamalan ibadah lahir. Karena memang, syariat dan tarekat adalah laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menurut al-Palembani, ketiga tingkatan yaqîn ini dapat menunjukkan kedudukan dan maqâm seseorang di dalam Islam. Ia dapat menjadi tolok ukur bagi tingkatan-tingkatan pengamalan syariat. Seseorang yang mengamalkan ajaran Islam masih sebatas tingkatan syariat, tanpa menyertainya dengan pengamalan tarekat, maka ia baru menduduki tingkatan `ilm al-yaqîn. Orang yang telah mengamalkan syariat dan tarekat secara bersamaan, ia telah mencapai derajat `ain al-yaqîn, sedangkan orang yang telah mencapai maqam haqîqah, maka ia telah memiliki tingkatan keyakinan haqq al-yaqîn.31
Ajaran Ontologi Wujud al-Palembani Doktrin Wihdat al-wujûd sering dihubungkan dengan seorang sufi yang disebut-sebut sebagai pendirinya, yaitu ibn `Arabi. Ia adalah seorang tokoh sufi termasyhur yang lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 560 H, dan wafat pada tahun 638 H. Walaupun demikian, istilah Wihdat al-wujûd secara terminologis tidak dimunculkan oleh ibn `Arabi sendiri. Menurut W.C. Chittic, orang yang pertama kali menggunakan istilah Wihdat alwujûd adalah Sadr ad-Dîn al-Qunâwi (w. 673 H), murid ibn `Arabi.32 Di samping itu, ada yang menyebutkan bahwa istilah Wihdat al-wujûd ini berasal dari ibn Taimiyah (w. 728 H). Teori ini dikemukakan oleh Ibrahim Madkour dan Su`âd Hakîm. Tema sentral ajaran ini adalah tentang tauhîd, yaitu tauhîd yang tidak hanya mengesakan Allah, tapi lebih dari itu, mengesakan wujud. Dalam paham tauhîdnya, bukan hanya diakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, melainkan juga tidak ada wujud selain Allah. Ungkapan ibn `Arabi “Ia maujûd illa Allah”, tidak ada wujud kecuali Allah, dipandang sebagai ungkapan syahadat ibn `Arabi. Untuk sampai pada pemikiran al-Palembani tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam semesta ini, dapat dipelajari dari karya 31ibid.,h.
15 Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Wahdat al-Wujûd Ensiklopedia Tasawuf, (Bandung:Penerbit Angkasa, 2008), h. 1408 32Tim
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1727
Zâd al-Muttaqîn ini, yang menurutnya, merupakan sebuah karya yang memang diperuntukkan bagi kelompok mutawashshith dan muntahi, karena memuat tentang ajaran Wihdat al-wujûd yang cukup rumit dipahami oleh orang awam itu. Menurut al-Palembani, wujud hakiki itu hanya satu, yaitu wujud Tuhan. Ia menampakkan diri dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam, sehingga Tuhan dan alam adalah satu realitas (haqîqah) dengan dua wajah dan aspek, yang satu dan yan banyak, yang esa dan yang Aneka. Aspek pertama, merupakan esensi Tuhan yang Esa dan tidak berbilang, sedangkan yang aspek kedua, adalah aspek tajalli dan ta`ayyun-Nya (entifikasi-entifikasi-nya) dalam bentuk ciptaan yang beragam. Tuhan merupakan hakikat segala sesuatu di alam semesta yang beragam ini, baik berupa substansi, maupun accidentia. Mengutip pemikiran Syaikh Nuruddin al-Jâmi`, dalam karyanya Lawâ’ih, al-Palembani mengatakan: “Kata Syaikh Nuruddin Abdurrahman al-Jâmi` qaddasallâhu israhu, di dalam kitab Lawâ'ih, bahwasanya haqîqah al-haqâiq itu iaitu wujûd al-Haqq ialah haqîqah segala asyâ'. Maka adalah ia pada hadd dzât-Nya asas segala-gala tiada berbilang, tetapi pada i`tibâr segala tajalli-Nya dan ta`yîn jua berbilang martabatnya, yakni tajalliyât-nya dan ta`ayyunât jua yang berbilang, iaitu daripada segala jawâhir yang muthba` dan segala a`râdh yang tâbi`. Maka Dzat Haqq ta`âla itu Esa jua, sekali-kali tiada berbanyak dan berbilang, hanyasanya yang berbanyak dan berbilang itu segala jawâhir dan a`râdh jua, ialah yang kelihatan”. 33
Jadi, dalam pandangan al-Palembani, dalam wujud hanya ada satu realitas. Segala sesuatu itu sebenarnya tidak memiliki wujud. Semuanya kembali pada satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Realitas wujud yang satu itu dapat dipandang dari dua aspek yang berbeda. Dipandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut Yang Benar, Pelaku dan Pencipta. Dipandang dari aspek lain, ia disebut ciptaan, dan makhluk. Tapi keduanya adalah dua aspek bagi wujud yang satu atau realitas yang satu. Menurut ibn `Arabi, wujud Tuhan, haruslah dilihat dengan dua cara, yaitu tanzîh dan tasybîh. Dilihat dari segi Dzat-Nya, Tuhan adalah munazzah, bersih dari, dan tidak mungkin dapat diserupakan dengan alam dan ketidaksempurnaannya, jauh dari di atas segala sifat dan segala keterbatasan dan keterikatan. Dalam pengertian in, Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui, tidak dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dilukiskan. Dia adalah transensden. Satu-satunya sifat yang berlaku bagi-Nya adalah “kemutlakan.”34 Dari segi nama-nama-Na, sifat-sifat, dan penampakan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam, Tuhan adalah musyabbah, serupa dengan makhlukmakhluk-Nya pada tingkat tertentu. Tuhan adalah yang “menampakkan 33al-
Palimbani, Zâd al-Muttaqîn, h. 3. Azhari Noer, Ibn Arabi, Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1993), h. 88. yang dimaksud dengan ta`ayyunât adalah entifikasi-entifikasi dari penampakan Tuhan, berupa segala sesuatu selain Tuhan 34Kautsar
1728 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization diri”(mutajalli) dan “yang menampakkan diri” memiliki keserupaan, walaupun dalam kadar yang paling kecil, dengan ‘lokus penampakan diriNya’. Dapat dikatakan pula bahwa alam adalah bentuk penampakan diri Tuhan dari segi Nama Yang Tampak. Jika dikatakan bahwa Tuhan “mendengar” dan “melihat” itu berarti bahwa Tuhan, dengan “menampakkan diri-Nya” dalam alam, “mendengar” dan “melihat” dalam bentuk setiap siapa dan apa yag mendengar dan melihat. Dan dengan kata lain, Tuhan adalah “substansi” (jauhar) atau “ke-Dia-an” (huwiyyah) setiap apa yang mendengar dan melihat.35 Selanjutnya a-Palimbani mengatakan: “Maka Dzat Allah yang Esa itu daripada pihak i`tibâr tajarrud dan ithlâq daripada ta`ayyunât dan taqayyudât itu dinamai Khâlik jua. Dan dari pihak i`tibâr berbilang dan banyak mazhhar dan ta`ayyunât-nya yang kelihatan dinamai Khâlik dan `âlam.”36 Jadi, menurut al-Palembani, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khâlik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khâlik dan makhluk) dari segi hakikat. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khâlik dan wujud baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara `âbid (menyembah) dan ma`bûd (yang disembah), dan antara al-khalq dan alHaqq. Walaupun demikian, jelas al-Palembani, alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, karena alam hanya merupakan bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Ia mengatakan: “Maka nyatalah pada haqâqah haqq ta`âla jua Yang Esa lagi wujud hakiki, dan segala mâ siwallâh itu sekali-kali tiada maujûd haqîqi, hanya wujud majâzi dan zhill jua.”.37 Di dalam kutipan ini, al-Palembani ingin menegaskan transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam, termasuk manusia di dalamnya, dengan demikian, tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan. Kehadiran bayangan itu sangat tergantung pada ada dan tidaknya sumber bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut. Dengan pandangannya bahwa alam adalah bayangan Allah semata, berarti ia menegaskan bahwa alam bukan Dzât al-Haqq secara mutlak, karena anggapan tersebut akan membatalkan status al-Haqq sebagai Pencipta. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman yang benar tentang wujud jika dilihat hanya dari segi kesatuannya saja tidak mencukupi. Pemahaman yang benar tentang wujud harus mencakup bukan 35ibid.h.
88-89 Palimbani, Zâd al-Muttaqîn, h. 3 37ibid. 36al-
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1729
hanya kesatuannya, tetapi juga keanaekaannya, karena wujud adalah esa dan aneka, satu dan banyak sekaligus. Keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatauan kontradiksi-kontradiksi ontologis, yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Kontradiksi-kontradiksi itu bukan dua realitas yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi satu realitas dengan dua aspek yang berbeda. Salah satu bentuk kontradiksi-kontradiksi itu adalah azh-Zhâhir dan al-Bâthin. Aspek Tuhan yang tampak (azh-Zhâhir) dan aspek yang tidak tampak (al-Bâthin). Aspek yang tampak ialah aspek penampakan atau manifestasi (zhuhûr) nama-nama dan sifat-sifat tuhan yang menampakkan diri dalam alam. Alam adalah tempat penampakan (mazhhar) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dalam konteks ini, zuhûr adalah sinonim untuk tajalli, yang keduanya berarti “penampakan diri” atau “manifestasi,” sedangkan mazhar adalah sinonim untuk majlâ, yang keduanya berarti “tempat penampakan diri” atau “tempat manisfestasi”, yaitu alam. Ini adalah aspek tasybîh. Adapun aspek yang tampak adalah aspek “Ketersembunyian”-Nya, yaitu Dzat-Nya, yang disebut secara simbolis dengan kanz makhfi (harta simpanan tesembunyi). Tuhan dari segi Dzat-Nya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Dia tetap tersembunyi. Dari segi ini, tuhan adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya, Yang Ghaib dan Transenden. Ini adalah aspek tanzîh.38 Dari pemikirannya di atas, nampak jelas al-Palembani, sangat berhathati untuk tidak mengaitkan ajaran Wihdat al-wujûd dengan doktrin yang menekankan kesatuan Tuhan dan alam. Menurutnya, alam memang merupakan bayangan dari wujud Tuhan, namun betapapun miripnya suatu bayangan dengan benda aslinya, ia tetap berbeda dengan benda tersebut. Artinya, betapapun alam adalah bayangan Tuhan, ia tetap bukan Dzat Tuhan itu sendiri. Untuk menyederhanakan Wihdat al-wujûd ini agar dapat diterima oleh orang awam, dan untuk menjaga transendensi Tuhan dari ciptaanNya, al-Palembani mengemukakan ajaran Martabat tujuh, yang menurut pengakuannya sendiri, dipelajarinya dari karya Tuhfah al-Mursalah, karya Syaikh Fadhlullah al-Burhanfuri. Ajaran, yang merupakan intisari dari tauhîd tertinggi itu, menganggap bahwa wujud Allah yang wâjib al-wujûd dapat dikenal dengan tujuh martabat. Inti dari ajaran martabat tujuh ini adalah bahwa ruh manusia adalah diferensiasi dari Nûr Muhammad yang merupakan percikan dari Nûr Allah, dan kemudian memanifestasi dalam bentuk alam semesta melalui tujuh tingkatan. Ruh manusia, karena berasal dari ruh Allah, maka ruh manusia itu suci, dan telah mengenal Tuhan secara langsung sebelum ia dilahirkan ke 38Kautsar,
h. 67
1730 ~ The Heritage of Islamic History for Civilization dunia. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan primordialnya tentang Tuhan, seseorang harus berjuang mengembalikan kesuciannya, dengan menaklukkan tuntutan hawa nafsu yang menariknya ke arah yang berlawanan dengan tabiat keruhaniannya itu. Ia harus kembali menapaki perjalanannya melalui tanazzulât Ilâhi dalam martabat tujuh, yaitu dari tingkat yang terendah dan konkret, menuju tingkat tertinggi dan paling abstrak. Ketujuh hawa nafsu tersebut adalah; nafs al-ammârah, nafs allawwâmah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthma’innah, nafs ar-râdhiyah, nafs almardhiyah dan nafs al-kâmilah. Kesimpulan Zâd al-Muttaqîn fi Tauhîd Rabb al-`Alamîn adalah salah satu karya alPalembani yang mengajarkan dasar-dasar tauhîd dan kemudian membangun doktrin Wihdat al-wujûd yang didasarkan pada pengalaman batin sang sufi, bukan hasil kontemplasi filosofis yang cenderung mengarah pada ajaran tauhîd yang Panteistik, sebagaimana yang telah banyak berkembang di Nusantara, khususnya di wilayah Sumatera selatan pada waktu itu. Dalam teks ini, pandangan al-Palembani tentang doktrin Wihdat alwujûd, terlihat sangat menekankan aspek tanzîh (transendensi) Tuhan dan mempertahankan dualitas antara Tuhan dan hamba-Nya. Sebagaimana ibn `Arabi, doktrin Wihdat al-wujûd al-Palembani berangkat dari dua konsep yang kemudian digabungkannya, yaitu al-faidh (emanasi) dan al-zhill (bayangan). Menurutnya, meskipun alam merupakan emanasi (pancaran) dari wujud Muthlak, ia tetap berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti hubungan antara benda dengan bayangannya. Meski benda tersebut hampir tidak dapat dibedakan dengan bayangannya, keduanya tetap berbeda. Dalam konteks perkembangan pengamalan keagamaan, terutama ajaran-ajaran sufistik, di Nusantara pada waktu itu. Doktrin Wihdat alwujûd yang dikemukakan al-Palembani ini dapat dilihat sebagai upayanya untuk meluruskan praktek-praktek pengamalan keagamaan yang dianggapnya menyimpang pada waktu itu. Oleh karena itu, adalah wajar jika kemudian karya ini, sebagaimana disebutkannya sendiri dalam karya Sair as-Sâlikîn, diperuntukkan hanya bagi kelompok muntahî, atau pengamal tasawuf tingkat tinggi. Kesimpulan tentang ajaran Wihdat al-wujûd al-Palembani di atas bukanlah hal baru, karena sudah pernah diungkapkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Akan tetapi, kajian langsung yang disertai dengan suntingan terhadap teks karya al-Palembani, sebagai bukti otentik atas pemikirannya, agaknya masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, kajian ini mencoba melengkapi khazanah pengetahuan tentang peikirannya dengan mendasarkan kajiannya pada salah satu naskah karangannya yang ditulis
The Heritage of Islamic History for Civilization
~ 1731
pada abad ke-18 M ini. Kajian ini akan terasa lebih bermakna jika dikaitkan dengan masih langkanya kajian filologis terhadap naskah-naskah keagamaan (khususnya naskah tasawuf) di Indonesia. Menarik untuk dicatat, bahwa pendekatan yang dilakukan oleh alPalembani dalam melakukan interpretasi terhadap ajaran Wihdat al-wujûd adalah dengan menggabungkan pendapat tokoh-tokoh dari dua aliran tasawuf, tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, ibn `Arabi dan Abdurrahman Jami dapat diangap sebagai dua tokoh sufi falsafi yang pandanganpandangannya dikutip oleh al-Palembani, sedangkan al-Ghazali, al-Junaid, asy-Sya`rani, dan ibn Ruslan adalah tokoh-tokoh tasawuf sunni yang juga menjadi sumber inspirasinya. Di samping tentang doktrin Wihdat al-wujûd, dalam Zâd alMuttaqîn, al-Palembani juga mengemukakan pandangan-pandangannya tentang ilmu tauhîd, tentang tingkatan-tingkatan fanâ dan baqâ, tentang tingkatan-tingkatan yaqîn dan dzikir. Ia juga sangat menekankan pentingnya tetap berpegang teguh pada syariat Islam, karena pengamalan syariat Islam secara utuh ini merupakan ukuran keabsahan pengamalan tasawuf. Bibliography Azra,Azyumardi., Jaringan Ulma Timur Tentah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995 Baried, Siti Baroroh, dkk., Pengantar Teori Filologi, Yogyakarta : Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, 1994 Daudi, Ahmad., “Tinjauan atas al-Fath al-Mubîn `la al-Mulhidîn Karya Syaikh Nuruddin ar-Raniri, dalam Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1990 Johns, A.H., Sufism as a Category in Indonesia Literatur and History, JSEAH, 2,II, 1961 Quzwain, Chatib., Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani, Ulama Palembang Abad ke-18 Masehi, Jakarta, Bulang bintang: 1985 Robson, S.O., Prinsip-prinsip Filologi Indonesia, Jakarta: Kerjasama antara Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Universitas Leiden, 1994 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Wahdat al-Wujûd Ensiklopedia Tasawuf, Bandung:Penerbit Angkasa, 2008. Yunus, Abd. Rahim., Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, Jakarta: INIS, 1995