CAPTER 2 ISLAMIC EDUCATION PREDICAMENTS AND PROMISES
CHARACTER-BASED CURRICULUM; PSYCHOLOGICAL STUDY OF THE ISLAMIC EDUCATION IN SLTA Muhmidayeli Abstract: This paper focuses on the conceptual of character-based curriculum in the Islamic Education in SLTA. The essence of education is "a value-infused enterprise". The quality of man as a changed agent is determined by the educational system. The character education has been a gaining momentum among politicians and educators in Indonesia since 2010. In the psychology approach, it also includes the spiritual and religious aspects. So that, character-based curriculum must be interrelated with values, virtues and conduct that guide decisions and behaviors to right and wrong ones which correspond to Religious Education. At present, the character-based curriculum provides little domain for training in the character education. The larger question is how to develop character-based curriculum. Character-based curriculum must be developed on the context of the large curriculum's offering, the routes that are followed in curriculum development can divert to a great extent. Key words: character-based curriculum; character education; Islamic education
A. Latar Belakang Pendidikan Agama dan Pendidikan karakter adalah dua kembaran yang menjadi motor penggerak ragam perubahan sebagai lambang adanya suatu kehidupan. Bahkan dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa inti pendidikan agama adalah pendidikan karakter yang baik secara esensial maupun eksistensial, merupakan sumber perbaikan taraf hidup manusia. Kritik tajam terhadap dunia pendidikan pada beberapa dekade terakhir ini adalah karena adanya asumsi, bahwa usaha pendidikan di sekolah sebagai wahana bagi pendidikan karakter anak dianggap telah mengabur dan bahkan menjauh dari berbagai aktivitasnya. Gerakan memperbaiki system pendidikan memang telah dilakukan sejak lama, seperti gerakan pemberantasan buta aksara, gerakan Iptek dan Imtaq, gerakan membaca, gerakan menumbuhkan pojok masyarakat membaca sampai pada gerakan pembangunan pendidikan karakter yang dicanangkan pada 2010. Bangunan karakter seseorang sangat menentukan bagi kualitas dirinya dalam mengadakan perubahan-perubahan taraf hidup. Hal ini semakin bermakna jika dihubungkan dengan sasaran fundamental aspek relijius yang bersentuhan langsung dengan persoalan pengembangan karakter seseorang baik dalam hal agama, etika maupun estetika. Bahkan
~ 277 ~
278 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Islam sendiri mengandaikan bahwa tugas pokok kenabian tidak lain adalah memperbaiki dan menyempurnakan moral manusia. Misi Islam sedemikian, bertumpu pada bagaimana pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilaksanakan dengan penuh makna yang memungkinkan untuk tumbuh kembangnya karakter insaniah dalam keseluruhan realitas pendidikan sekolah. Khusus untuk Indonesia, hal ini merupakan tuntutan undangundang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang memang menekankan pembentukan karakter bangsa. Kebermaknaan dan kehendak di atas tentu sangat tergantung pada kurikulum yang digunakan, tidak saja dalam tataran konseptual, tetapi juga mencakup bagaimana dengan kurikulum itu, nilai-nilai keagamaan tampil dalam bangunan karakter bangsa yang mumpuni. Dalam bagian rasional kurikulum 2004 disebutkan, bahwa kelemahan kurikulum pendidikan agama Islam adalah dalam hal materi yang lebih terfokus pada pengayaan kognitif dan minim dalam pembentukan afektif serta psikomotorik. Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan Agama dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua.1 Siswa pada tingkat sekolah menengah atas berada pada usia-usia kritis dengan daya nalar yang tinggi, namun mereka belum stabil dalam emosi, moral, agama dan pandangan sosial. Oleh karena itu, untuk membangun karakter mereka pada masa ini diperlukan penataan pendidikan yang akomodatif dengan tingkat perkembangan mereka, baik dalam hal kecerdasan kecerdasan intelegensi, emosi, moral, spiritual, linguistik, bodi kinestik, dan interpersonal, kecerdasan sosial.2 Dan memang hasil penelitian menunjukkan, bahwa keberhasilan seseorang ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh aspek kecerdasan emosi dan spiritual (80 %) dari pada aspek kecerdasan intelektual yang hanya 20%.3 Penelitian ini berfokus untuk menjawab persoalan apakah kurikulum Pendidikan Agama Islam SLTA di Indonesia telah disusun berdasarkan pada pengembangan potensi yang sesuai dengan kondisi perkembangan psikis mereka? Untuk itu maka perhatian serius diberikan untuk mengetahui sejauhmana relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat IQ, perkembangan keberagamaan, moral dan emosi siswanya. Dengan terjawabnya permasalahan ini diharapkan dapat memberikan 1 Kurikulum 2004; Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah , Departemen Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Tahun 2003, hlm. 7 2 Wahab (Sumber: Republika Online Collected By pararmuslim.com. 3 (http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg20773.html).
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 279
memberikan solusi terhadap persoalan bangsa yang secara structural berhubungan langsung dengan bangunan pendidikan karakter, terutama yang berkenaan dengan pematangan IQ, nilai keberagamaan, moral dan emosi ini. B. Kerangka Pikir Upaya pembangunan karakter mesti pula menjadi bagian sentral dalam setiap gerak usaha kependidikan Islam yang secara struktural-formal tidak hanya tercantum dalam tujuan pendidikan, tetapi juga mesti terjalin erat dalam setiap denyut nadi aktivitasnya. Adanya fenomena yang berlangsung pada dunia pendidikan selama ini yang menjadikan perilaku moral hanya sebatas dalam tataran idealitas tujuan pendidikannya saja, sementara pada tataran paraxis-metodologis pembelajaran nyaris tidak tersentuh, bahkan mungkin terlupakan, memunculkan keprihatian banyak pihak. Pada hal dalam konteks yang terakhir inilah sesungguhnya upaya pendidikan itu mesti dilangsungkan secara sistematis dan rasional. Kehidupan manusia saat ini yang semakin plural, termasuk di dalamnya kehidupan bermoral dan beragama, memunculkan problem dalam membangun pandangan hidup dalam masyarakat, di mana hampir setiap saat orang dihadapkan pada berbagai orang dengan beraneka ragam suku, bangsa, budaya, daerah, ideologi dan agama. Konsekuensinya, orang dihadapkan pada aneka ragam persoalan moral yang muncul dari adanya perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan dalam pandangan hidup. . Hal ini bahkan berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat yang dulunya memiliki jati diri yang kokoh dengan budaya dan ideologinya sendiri secara berangsur-angsur ditinggalkan atau setidaknya dipertanyakan. Keyakinan akan suatu norma atau ajaran moral yang selama ini berdasarkan pada agama atau budaya tertentu mau tidak mau terkena desakan arus modernisasi yang oleh sebahagian ahli dinilai sebagai perusak tatanan nilai kehidupan yang telah ada4. Dalam kondisi ini diperlukan bangunan karakter yang kukuh dalam menata diri dan social agar agama sebagai lambang fundamental masyarakat Indonesia tidak terisolasi dari kehidupan masyarakat. Problem di atas meniscayakan pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah harus benar-benar ditata dan dikembangkan sesuai dengan identitas subjek didik yang mesti dibimbing sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangan psikis mereka, baik intelegensi, agama, moral dan social maupun emosi mereka. Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah upaya aplikatif dunia pendidikan yang diarahkan untuk membentuk pribadi bermoral yang dapat 4 Bertrand Russell, Pergolakan Pemikiran (kumpulan karangan), Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia, Jakarta, 1988, h. 224-225.
280 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies menghayati eksistensi dirinya sebagai pemilik kebebasan dan tanggung jawab dalam relasinya dengan orang lain, dunianya dan Tuhan di dalam komunitas pendidikan yang tentu akan terimplikasi pula dalam tindakan sosial dan pengembangan kualitas diri di mana pun ia berada. Menurut Foerster (1869-1966), ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu: Pertama, memberikan kedalaman budi di mana setiap tindakan yang dilakukan dapat diukur berdasarkan pada hierarki nilai. Di sini pendidikan karakter menempatkan nilai sebagai pedoman normatif dalam setiap tindakan. Kedua, Melatih keberanian berbuat dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini pendidikan karakter mesti menjadikan seseorang itu teguh pada pendirian, tidak mudah terombangambing pada situasi baru dan atau takut pada risiko. Ketiga, otonomi. Dalam konteks ini, pendidikan karaktek mesti diarahkan pada upaya agar seseorang dapat mengidentifikasi dan menginternalisasikan beragam aturan eksternal menjadi nilai-nilai yang mengkristal dalam dirinya sehingga benar-benar mempribadi. Pendidikan karakter dalam domain ini meniscayakan pendidikan berdimensikan kekuatan nilai yang datang dari diri sendiri, bukan karena terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Kematangan keempat karakter ini, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.5 Suatu keyakinan akan suatu nilai moral dan agama yang kemudian menjadi karakter bagi seseorang sangat tergantung pada bagaimana seseorang itu bersikap terhadap realitas dirinya dalam lingkup lingkungannya dan keyakinannya akan nilai-nilai relijius, maka tentulah nilai tidak mungkin tampil dalam sikap dan tingkah laku tanpa adanya upaya pembentukan nilai melalui dunia pembelajaran. Persoalan ini membutuhkan penelaahan menyeluruh dalam keseluruhan varian yang terkait dengannya, baik dalam konteks individu dan sosial, maupun dalam hubungannya dengan aspek pembentukan sistem yang mendorong percepatan tumbuh kembangnya nilai sesuai dengan kebutuhan manusia dalam menata kehidupannhya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan yang menjadi perhatian seseorang, sehingga ketika seseorang sedang memikirkan sesuatu nilai, pada dasarnya ia telah mengusahakan nilai-nilai tersebut dapat dilakukan untuk dirinya. Sebagai bagian yang berkenaan dengan nilai dan feeling, maka pendidikan karakter pun dipengaruhi oleh kondisi dan iklim yang 5 Foerster dalam hal ini menyebutkan bahwa personalitas tidaklah sama dengan individualitas,karena yang satu bersifat rohani sedang yang lain lebih dalam konteks natural belaka. Yang satu beifat interior sedangkan yang lain bersifat independensi eksterior.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 281
berlangsung pada saat pembelajaran terjadi karena kondisi ini biasanya tidak terencanakan, namun mereka sering menghasilkan pembelajaran yang negatif, atau pembelajaran yang tidak konsisten apa yang sedang diajarkan. Sebagai bagian dari pendidikan nilai, maka pendidikan karakter pun terkait dengan pendidikan perasaan termasuk pada social learning atau belajar melalui identifikasi atau dengan imitasi atau membentuk emosi terhadap sistuasi pengalaman.6 Secara praktis, nilai menjadi standar perilaku yang menjadikan orang berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakininya. Sedemikian rupa, sehingga menjadikan semua orang memiliki nilai, sekalipun ditemukan sebagian orang tidak selamanya menyadari nilai yang dimilikinya. Sebagai standar perilaku, nilai membantu kita menentukan pengertian sederhana terhadap sesuatu realitas. Dalam pengertian lebih kompleks nilai membantu kita menentukan apakah sesuatu itu perlu atau tidak perlu, benar atau salah, baik atau buruk dan maupun cantik atau jelek. Dalam konteks ini pendidikan karakter mesti didahului oleh pendidikan rasio yang akan membangun cara pandang. Dalam konteks sekolah, nilai itu paling tidak dikelompokkan dalam dua bagian, yakni ektrinsik dan intrinsik. Yang pertama disebut juga dengan nilai instrumental, yakni adalah nilai yang ditetapkan good lantaran bermakna bagi sesuatu. Nilainya tergantung dari konsekuensinya ketika dipakai untuk meraih nilai yang lain. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa nilai ekstrinsik ini bersifat subjektif dalam karakternya dan relatif bagi orang dan situasinya. Sedangkan yang ke dua, yakni nilai intrinsik adalah nilai yang diputuskan good-nya bukan karena sesuatu yang lain tetapi berada di dalam nilai itu sendiri. Nilainya tidak tergantung pada nilai lain atau yang melampaui dirinya, tetapi nilainya merupakan inheren dan self-contained dari nilai itu sendiri.7 Dalam hal pendidikan karakter adalah bagaimana memanipulasi nilai ekstrinsik itu menjadi nilai intrinsik. Kecuali itu, nilai sangat berkaitan dengan aktivitas seseorang. Ini bukan berarti bahwa nilai berbeda dengan tindakan. Pada prinsipnya nilai agama dan moral itu merupakan tindakan agama dan moral itu sendiri begitu pula sebaliknya. Tegasnya nilai agama ataupun moral dan tindakan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, bahkan nama dari perilaku yang tampil itu sendiri adalah nilai agama ataupun moral itu sendiri, misalnya berperilaku sopan, jujur, adil dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan umpamanya jujur tidak hanya dipahami sebagai 6 Hilda Taba; Curriculum Development; Theory and Practice, Harcout, Brace & World, Inc, new York, 1962, h. 158 7 Untuk keterangan lebih lanjut tentang pembagian nilai seperti ini lihat lebih lanjut umpamanya W.F.R. Hardie, Aristotle`s Ethical Theory, Clarendon Press, Oxford, 1980. h. 6162..
282 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies nilai saja, tetapi juga nama dari suatu perbuatan. Jadi nilai jujur dan perbuatan jujur merupakan satu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Upaya penumbuh-kembangan perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual melalui tangan manusia, pada dasarnya hampir diterima oleh seluruh filsuf Muslim klasik, bahkan sampai sekarang. Sebut saja contohnya al-Farabi (w. 950 M), seorang filsuf Islam terbesar, menyebutkan, bahwa manusia sejak lahirnya telah dianugarehi perilaku moral potensial baik dan tidak baik. Perwujudannya ke dalam perilaku nyata sangat ditentukan oleh usaha manusia itu sendiri, terutama dalam mempersiapkan kondisi dan situasi yang kondusif yang dapat memungkinkan tampilnya perilaku moral aktual.8 Hal yang sama juga diungkap oleh Raghib al-Isfahani yang menyebutkan bahwa kata akhlak sebagai sebutan untuk moral ini merupakan plural dari kata khuluq yang ditujukan kepada ciptaan Tuhan yang bermuatan daya yang dapat disempurnakan melalui tangan-tangan manusia.9 Di dalam berperilaku, faktor terpenting adalah bagaimana daya-daya jiwa manusia berperan menurut proporsi masing-masing melalui pemberdayaan peran akal semaksimal mungkin. Hanya akal yang sempurna aktivitasnyalah yang dapat menjaga keselarasan dan keharmonisan hubungan daya-daya jiwa ini.10 Sedangkan untuk memungkinkan manusia menyukai dan melakukan perbuatan moral, perlu adanya kesadaran diri. Akal, hati nurani dan kesadaran diri memang merupakan segi-segi eksistensi original manusia yang memilki peranan penting dalam perwujudan perilaku moral.11 Jadi, pendidikan karakter menyangkut pendidikan yang melibatkan kemampuan intelegensi, tingkat perkembangan keagamaan, sosial, moral dan emosi subjek didik dan karenanya pendidikan karakter mesti pula dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini. Dengan demikian pendidikan akal, hati nurani dan kesadaran diri merupakan segi-segi eksistensi original manusia yang memilki peranan penting dalam perwujudan perilaku moral.12 I.R.Poudjawijatna13 mengatakan bahwa kesadaran moral berarti kesadaran manusia untuk selalu berbuat baik. Oleh karena itu, moral dapat menjadi tuntunan atau 8Al-Farabi, “Fuzul Mumtaza`ah fi `Ilm al-Akhlaq” dalam Majid Fakhry, al-Fikr alIslam fi al-`Arabiy, juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1980, h. 9Al-Isfahani, Raghib, Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur`an, Ed. Nadim Mar`asyliy, Dar al-Katib al-`arabiy, t.tp., t.t, h.344. 10Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Hasan Tamir, Mahdawi, Bairut, 1398 H, h. 10, 63, 69, 71 dan 81-82. 11Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, Clarendon Press, Oxford, 1968, h. 133-134. 12Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, Clarendon Press, Oxford, 1968, h. 133-134. 13I.R.Poudjawijatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bintang Obor, Jakarta, 1982, h. 10.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 283
pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya, di samping juga menjadi pengarah bagi manusia dalam menentukan perbuatan moralnya. Moral dapat mengarahkan manusia untuk bertingkah laku baik, karena memang manusia itu sendiri pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan selalu ingin mempertahankan kebaikan itu selalu hadir dalam dirinya. Manusia yang sadar selalu cenderung untuk memilih perilaku yang baik, karena memang ia yakin bahwa yang dipilihnya itu adalah baik. Manusia yang sadar tidak akan melakukan suatu nilai dalam kehidupan hanya karena ikut-ikutan. Muhammad Iqbal14 mengatakan: “kesadaran merupakan intisari bagi terlaksananya suatu kegiatan, termasuk di dalamnya moral”. Kesadaran merupakan satu-satunya jalan menuju realisasi diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan kesadaran merupakan persyaratan mutlak bagi pendidikan karakter. Merealisasikan perilaku dalam bentuk aktual, ditentukan oleh faktor kebebasan dan kesempatan. J.J.Rousseau15 mengatakan, kebebasan adalah unsur esensial manusia dalam pembentukan perilaku moral, sebab dengannya orang dapat berpikir jernih. Moralitas tanpa kebebasan adalah omong kosong, karena moralitas itu sendiri adalah bukti bagi kebebasan manusia itu sendiri. Sedangkan faktor kesempatan merupakan faktor yang turut menentukan hidup suburnya perilaku moral di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu aplikasi nilai-nilai moral pun terkait erat dengan masalah keadilan. Keadilan adalah suatu sikap orang yang berkuasa dalam memberikan kesempatan merata bagi semua orang untuk menentukan dirinya.16 Mengingat pendidikan karakter menyangkut pembelajaran emosi maka prosesnya tentu berbeda dengan proses menguasai pengetahuan dan skill biasa. Pendidikan karakter menuntut pengggunaan konten dan pengalaman belajar yang berbeda. Tidak dapat dibuktikan dengan fakta bahwa merubah feeling dan emosi atau mencegah penggunaannya merupakan produk belajar tidak langsung. Belajar berdimensi karakter dalam hal ini adalah hidup itu sendiri.17 Jadi, pendidikan karakter adalah pembelajaran yang melibatkan kesluruhan dimensi manusia dalam hidup, sehingga dengan demikian akan memperluas sensitivtas feeling bahkan memperluasnya dalam dimensi lain. Tidak ada aktivitas manusia yang terbebas dari reaksi emosi. Oleh karena itu, pelibatan emosi dalam pengembangan konsep dan konseptualisdasi diri perlu mendapat perhatian dalam penyusunan 14Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan OSLTAn Raliby, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 151-152. 15J.J.Rousseau, Du Contrat Social, Extraits par Madeleine Le Bras, Libraire Larousse, Sarbonne, 1973, h. 24. 16Ibid., h. 374. 17 Hilda Taba, Op. Cit., h. 159-160
284 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies kurikulum. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa belajar itu beragam, baik yang terkait tidak positif tapi juga yang produktif, maka perlu melakukan control terhadap fokus pembelajaran dan terhadap apa yang mengikuti suatu pembelajaran,18 maka pembuat kurikulum mesti juga mempertimbangkan relasi materi yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hubungannya dengan realitas diri dan kepribadian siswa. C. Gambaran Umum Kurikulum PAI untuk SLTA Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk SLTA19, tercantum bahwa Pendidikan Agama Islam di SLTA berfungsi untuk: 1. Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; 2. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; 3. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam; 4. Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; 5. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan di hadapinya sehari-hari; 6. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir -nyata), sistem dan fungsionalnya; 7. Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.20 Ketujuh fungsi pendidikan agama Islam seperti tertera di atas, mencerminkan bahwa pendidikan agama Islam tidak lain adalah wahana dasar bagi pengembangan karakter pokok subjek didik di sekolah. Sebagai contoh ketika disebutkan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai pengembangan keimanan, ini berarti bahwa pendidikan agama Islam untuk tingkat SLTA ini menempatkan subjek didiknya sebagai orang yang telah memiliki potensi untuk dapat dikembangkan nilai keyakinannya akan halhal yang bersifat abstrak, tatapi pasti. Pemahaman ini diperkukuh dengan fungsi pendidikan agama Islam pada poin 6 (enam). Masalah keimanan adalah masalah keyakinan yang berkenaan aspek kesadaran diri yang dalam keseluruhan dimensinya terkait dengan hukum Ibid., h. 159 Tidak ada perbedaan tujuan, sasaran dan standar kompetensi Pendidikan Agama Islam pada kurikulum KBK dan KTSP. Hanya saja pada KTSP telah memberi kesempatan yang luas pada guru untuk melakukan kreativitas dalam membuat silabus dan mengembangkan materi pembelajaran yang bersifat kontekstual dengan melihat ragam kebutuhan dan konteks empiris siswa. 20 Ibid., hlm. 9 18 19
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 285
dasar kemanusiaan yang berhubungan langsung dengan fungsionalisasi potensi ruhaniah yang dalam aktivitasnya terkait satu sama lain. Kesadaran diri memiliki keterkaitan dengan fungsionalitas akal, hati dan syahwat yang merupakan lambang ruhaniah manusia yang menghendaki adanya unsur kebebasan dalam upaya mengaktualisasiannya, maka potensi ruhaniah ini pun meniscyakan adanya kebebasan manusia dalam bertindak, sehingga keputusan-keputusan dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya dari adaptasinya dengan berbagai realitas di dunia benar-benar dari diri manusia yang sejati, bukan atas pengaruh orang lain di luar dirinya.21 Dapat dikatakan, bahwa pendidikan agama berfungsi mengembangkan potensi akal, hati dan syahwat sebagai tiga kekuatan jiwa dalam diri subjek didik yang mensti menjadi dasar pertimbangan dalam kegiatannya di sekolah. Hal ini penting, mengingat hati sebagai unsur jiwa manusia yang berfungsi untuk memberikan pengukuhan dan istiqamah terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang telah ditemukan oleh akal. Pembinaan yang berorientasi pada pengembangan akal tanpa mengikutsertakan pembinaan hati, maka memunculkan kesukaran dalam self-actualization sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam pemunculan kepribadian yang kukuh dalam menjalankan apa saja yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Pendidikan akal dan hati memerlukan pendidikan emosi agar memiliki daya juang yang tinggi agar jiwa tetap berada pada jalur natural, sedemikian sehingga ia pun dapat menemukan kesimpulan yang baik dan benar, dan dapat pula mengaktualisasikannya dalam bentuk tindakan nyata.22 Dengan tindakan penekanan nafsu ini dapat memberikan konsekuensi logis pada kematangan emosional manusia dalam menjalankan tugasnya di dunia seperti terlihat pada diri seseorang itu sifat sabar, hatihati, teliti, tidak ceroboh, pemaaf, tidak mudah cemas dan marah, tawadhdhu`, tawakkal dan lain sebagainya yang memang sangat dibutuhkan manusia dalam mengisi kehidupannya di dunia. Pendidikan Agama Islam untuk SLTA bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa 21 Penjelasan lebih lanjut tentang manusia dan kebebasan ini dapat dilihat pada Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, PPs UIN Suska Press, Pekanbaru, 2007. 22 Firman Allah SWT dalam surah al-Zumr ayat 18 memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah SWT itu sesungguhnya adalah orang-orang yang mau berpikir sehingga dalam pemikirannya ia mendapatkan kesimpulan dan keputusan yang kemudian ia tidak menyia-nyiakannya, ia ambil hikmahnya dan ia pun mengikuti nilai kebaikan yang terkandung dalamnya.
286 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.23 Dari sini, terlihat bahwa ada beberapa variabel yang berkenaan dengannya, yaitu: 1. Bahwa pendidikan agama Islam mesti diarahkan untuk peningkatan keimanan siswa terhadap Allah SWT 2. Bahwa keyakinan yang dalam akan eksistensi Tuhan dilakukan dengan pemberian ilmu pengetahuan yang dapat mengukuhkan rasa percaya subjek didik terhadap segala hal yang menyangkut ke ilahian 3. Bahwa pendidikan agama Islam mesti dengan menghubungkan materi pelajaran dengan realitas empiris keseharian subjek didik 4. Bahwa pendidikan agama Islam mesti berdimensi pemberian pengamalan dan pembiasaan dalam tingkah laku. Kompetensi Bahan Kajian Pendidikan Agama adalah Siswa beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya; serta mampu menghormati agama lain dalam kerangka kerukunan antar umat beragama.24 Secara spesifik, kompetensi Pendidikan Agama Islam untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas adalah bahwa dengan landasan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw; siswa beriman dan bertaqwa kepada Allah swt; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al Qur’an; mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.25 Adapun standar kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan agama Islam meliputi sederetan kemampuan minimal yang harus dikuasai subjek didik selama menempuh pendidikan di SLTA. Kompetensi ini berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Islam. Kemampuankemampuan yang tercantum dalam komponen Kemampuan Dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus dicapai di SLTA, yaitu: a. Beriman kepada Allah SWT dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. b. Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat Al Qur’an serta mengetahui hukum bacaannya dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. 23Depertemen
Ibid 25 Ibid 24
Pendidikan NasionalIbid., hlm. 9
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 287
c. Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari’at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. d. Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat, dan tabi’in serta mampu mengambil hikmah dari sejarah perkembangan Islam untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan. e. Mampu mengamalkan sistem mu’amalat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.26 Ruang lingkup pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam hal ini meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara: hubungan manusia dengan Allah SWT; Hubungan manusia sesama manusia; dan hubungan manusia dengan makhluk lain (selain manusia) dan lingkungan.27 Ketiga dimensi ini tercermin dalam pembidangan yang berfokus pada aspek, yaitu Al Quran/Al Hadits, keimanan, Syari’ah, Akhlak dan Tarikh. D. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan Intelegensi siswa pada tingkat tingkat SLTA Ciri pokok yang menonjol dalam perkembangan intelektual subjek didik Sekolah Menengah Tingkat Atas adalah bahwa mereka telah berada pada tahap berpikir operasional-formal yang ditandai dengan kemampuan berpikir dalam bentuk deduktif-hipotesis yang lebih kompleks. Ini berarti bahwa siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang berada pada usia 15-18 tahun tentu dapat diajak berpikir analisis sintesis dalam hal mengukuhkan dirinya dalam meyakini nilai-nilai yang bersifat abstrak, termasuk nilai agama, moral, individual dan sosial. Mengingat intelegensi mereka memiliki nuansa komponen non intelektual seperti self-convidence dan stabilitas emosi, yang akan memancarkan dunia intelektualnya dalam kemampuan berpikir dan bertindak,28 maka dalam melatih kemampuan intelektual mereka mesti dengan mengikutsertakan dimensi praktis dalam dunia empiris secara berbaringan. Menurut Jean Piaget,29 jika pada masa konkrit-operasional, seorang remaja telah memiliki kemampuan untuk berpikir logis meskipun sistematisasinya baru terhadap hal-hal yang konkret, maka pada masa formal operasional ini seorang remaja telah mampu berpikir secara sistematis terhadap hal-hal yang abstrak dan hipotetis melalui upaya menghubungkan antar teori dan pemikiran yang berkembang menuju
Ibid., hlm. 10 Ibid., hlm. 9 28 N.L. Gage and David C. Berliner, Educational Psychology, Third Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1984, hlm. 72-74 29 Piaget seperti yang dikutip oleh Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, 1983, h. 273-274 26 27
288 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies munculnya gagasan dan ide baru yang berguna bagi pemecahan masalah yang tengah dihadapi. Lebih lanjut Piaget30 mengatakan, bahwa pola pikir anak pada masa remaja ini, seorang anak sudah dapat berpikir secara kritis. Mereka telah memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir mereka telah berkembang pesat, sehingga mereka dengan mudah dapat mencarikan alternatif pemecahan suatu masalah, bahkan telah dapat pula memikirkan hal-hal yang mungkin akan menjadi konsekuensi atas apa yang telah mereka putuskan. Kapasitas berpikir logis dan abstrak yang telah berkembang sedemikian rupa, menjadikan mereka dapat berpikir multi-dimensi seperti yang dilakukan oleh saintis. Hukum perkembangan ini menjadikan seseorang anak itu tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan menganalisis ragam informasi itu dan berupaya menghubungkannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu menghubungkan pengalaman masa lalu dengan sekarang untuk ditransformasikan menjadi suatu kesimpulan atau keputusan, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar. Dengan kemampuannya ini pula, anak remaja tidak akan mudah menerima begitu saja setiap pendapat yang dikemukakan oleh orang-orang yang usianya lebih tua tanpa argumentasi yang memuaskannya. Kondisi intelektual mereka seperti ini meniscayakan kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan karakter subjek didik mesti pula disusun atas dasar pertimbangan kebutuhan pengembangan intelektual mereka. Sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Tingkat Atas benar-benar sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual subjek didiknya. Kebiasaan siswa yang selalu meragukan berbagai prinsip kehidupan merupakan sebuah pengantar untuk memperluas dan memperdalam prinsip-prinsip tersebut ke arah penguatan kecerdasan di bidang Agama dalam makna yang luas. Hal ini mereka butuhkan agar dapat memahami jati diri mereka dengan benar dan dapat menemukan kemampuan dan kecenderungan dirinya yang hakiki tercerahkan dalam sistem pendidikan yang tepat melalui proses pembelajaran yang tepat guna dan berhasil guna sesuai dengan tingkat perkembangan intelegensi mereka. Apabila ditelaah kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, terlihat bahwa 5 (lima) komponen tujuan Pendidikan Agama Islam yang secara esensial dan eksistensial meniscayakan pembelajarannya melibatkan pengembangan watak 30
Ibid.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 289
intelegensi subjek didik agar berkembang dan mampu melihat realitas Agama sebagai suatu kebutuhan mereka dalam menjalani kehidupan. Ini berarti bahwa pengembangan karakter siswa dalam konteks ini mesti tergambar dalam terma dan isi pembelajarannya. Tujuan Pendidikan Agama Islam di SLTA seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya dengan Kompetensi utama agar Siswa beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya; serta mampu menghormati agama lain dalam kerangka kerukunan antar umat beragama,31 dapat dijabarkan dalam kemampuan dasar berikut: a. Beriman kepada Allah SWT dan limabagai ber rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. b. Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat Al Qur’an serta mengetahui hukum bacaannya dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari’at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. d. Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat, dan tabi’in serta mampu mengambil hikmah dari sejarah perkembangan Islam untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan. e. Mampu mengamalkan sistem mu’amalat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.32 Apa yang tertuang sebagai kemampuan dasar ini terlihat bahwa karakter yang akan dibangun melalui Pendidikan Agama Islam di SLTA merupakan suatu bangunan yang memang dibutuhkan oleh setiap orang dalam realitas kehidupannya. Namun apabila ditelaah lebih lanjut tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang merupakan dasar penjabaran lebih lanjut bagi guru untuk mengembangkan silabus pembelajaran, terlihat adanya reduksi nilai-nilai yang akan ditanamkan dalam bentuk karakter pada keterampilan bahagian tertentu saja dan mengabaikan unsur lain yang sesungguhnya adalah menjadi kebutuhan pokok subjek didik SLTA untuk mengembangkan nilai relijusitasnya yang bersesuaian dengan tingkat perkembangan intelektual mereka yang bersifat operasional-formal seperti yang telah dikemukakan di atas. Sebagai contoh dapat dilihat umpamanya standar kompetensi dan kompetensi dasar PAI SLTA pada kelas X semester I terlihat dalam bidang al-Qur’an/Hadits dengan kompetensi mengenal diri dan juga pada materi 31 32
Ibid Ibid., h. 10
290 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies lainnya sejumlah 22 ayat firman Allah SWT33, terlihat secara nyata bahwa dalam bidang al-Qur’an/Hadits, memiliki konten lebih pada membaca dalam konteks yang sederhana, bukan membaca dalam makna menelaah dan menghubungkannya dengan realitas empiris siswa. Sedemikian rupa sehingga potensi intelektual siswa dalam konten ini kurang mendapat perhatian secara seksama. Jika dilihat pada kompetensi dasar yang diinginkan, sesungguhnya nuansa pengembangan karakter subjek didik dalam hal persoalaan keagamaan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan keseharian mereka telah termaktub secara baik, karena telah memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber pembenaran. Hal ini terlihat nyata dengan mengaksentuasikan nilai seperti mengenal diri, demokrasi, keikhlasan dan bahkan tentang tasamuh. Namun, dalam kompetensi dasar pembelajaran justru cenderung hanya dalam konteks keterampilan membaca al-Qur’an dalam makna yang sederhana, sehingga pembentukan karakter yang diinginkan tidak mendapat perhatian utama. Khusus untuk domain al-Qur’an/Hadits ini, didominasi oleh al-Qur’an dan boleh dikatakan ruang untuk Hadits tidak mendapat sentuhan. Dalam materi keimanan tampaknya memiliki konten yang jauh lebih sedikit dibandingkan materi untuk al-Qur’an/Hadits. Pembelajaran keimanan untuk siswa SLTA diarahkan agar siswa dapat mengamalkan keimanan dalam kehidupan seharihari yang berfokus pada pembentukan keimanan kepada; 1) Allah dan menghayati sifat-sifat-Nya. 2) malaikat dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 3) rasul-rasul Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 4) kitab-kitab Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 5) hari akhir dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari. 6) qadha dan qadar dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari.34 Seolah-olah tidak banyak perbedaan mendasar antara kompetensi yang dituntut pada siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang memberikan pengetahuan dan keyakinan akan rukun iman. Yang membedakannya terletak pada pengembangan materinya. Dalam kurikulum KTSP, pengembangan materi adalah upaya kreativitas guru menghubungkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai dengan konteksnya. Dalam hal pengembangan rasa keimanan pada seseorang terhadap suatu ajaran agama bukanlah semata-mata persoalan pengajaran, tetapi bagaimana meyakinkan subjek didik bahwa mereka semestinya memiliki keyakinan yang sama dengan pendidiknya. Hal ini tentu melibatkan pengembangan rasio dan pengamatan dunia empiris. Walaupun pada KTSP, guru memiliki hak otonom mengembangkan silabus 33 34
Dapat dilihat kurikulum 2004 dan KTSP 2006. Kurikulum PAI untuk SLTA, h. 10
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 291
dan materi pembelajaran, namun setelah dilihat sampel buku-buku ajar yang menjadi pegangan kebanyakan guru, belum mencerminkan kalimatkalimat argumentatif yang dapat menggiring terbentuknya keyakinan itu. Begitu pula jika dilihat pada sektor syari’ah, akhlak dan sejarah Islam, kesemuanya lebih bersifat dogmatik dari pada argumentatif. E. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan keagamaan siswa pada tingkat tingkat SLTA? Zakiah Daradjat35 dalam bukunya psikologi agama menyebutkan, bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan remaja dapat di bagi dalam tiga tahapan yang pada masing-masingnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. 1. Fase Pueral Pada masa ini anak remaja tidak mau lagi jika dikatakan anak- anak, tetapi mereka juga belum siap untuk menyandang prediket dewasa. Biasanya priode ini anak remaja selalu merasa gelisah, cemas dan berada pada posisi yang tidak nyaman. Pada priode ini, anak remaja selalu bimbang menerima tetapi juga tidak mampu untuk menolak suatu norma yang diajukan dalam agama. 2. Fase negatif. Pada fase ini anak remaja menunjukkan sikap kritis, menentang dan bahkan bisa saja menolak suatu ajaran yang disokong oleh agama. Reaksi yang ditonjolkan remaja dalam banyak hal tergantung pada fenomena perilaku keagamaan yang ada di lingkungan masyarakatnya. Nalar mereka yang bersifat formal operasional menjadikan mereka melihat Agama hanya sebatas symbol belaka, bukan sebagai sesuatu yang mesti diaktualisasikan jika mereka melihat adanya perilaku orang-orang beragama di sekitarnya tidak selaras antara pengakuan dan ucapan mereka dengan apa yang mereka lakukan. Pada fase ini anak remaja sulit untuk dapat menerima perbedaan paham dan adanya aliran-aliran dalam agama yang dapat menjadikan mereka bimbang menentukan nilai yang mesti mereka ambil dari agama. Dalam hal ini mereka cenderung bersikap skeptis dan bahkan mungkin menolak ajaran agama, sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual keagamaan walaupun selama masa anak-anak mereka lakukan dengan penuh kepatuhan. 3. Fase positif Fase positif ini merupakan suatu tahapan perkembangan keagamaan yang biasanya muncul seiring dengan munculnya kematangan intelektual mereka. Sikap negatif yang selama ini tampil dalam sikap keagamaan mereka mulai bergerak ke arah yang lebih positif. Mereka telah dapat 35
Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1976, hlm. .
292 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies menerima kenapa adanya perbedaan pemahaman dan cara pengalaman orang berbeda-beda dan bahkan mungkin ada yang bertentangan. Sikap ini muncul dalam beberapa indikasi, seperti menjadikan agama sebagai pegangan hidupnya, sehingga ia pun telah mulai memandang nilai-nilai agama dalam konteks agama yang dianutnya. Dalam tahapan perkembangan ini, seseorang telah dapat membedakan antara agama sebagai doktrin dan manusia sebagai subjek yang menganutnya. Pada priode ini, banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan perkembangan moral, emosi dan intelektual mereka. Para remaja ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Pada prinsipnya anak remaja mempertanyakan agama bukan karena mereka ingin menantang atau mungkin menolaknya, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan intelektual dan emosial mereka.36 Keyakinan akan agama mereka merupakan produk interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam konteks sosial.37 Tesis ini meniscayakan pembelajaran Agama pada tahap ini mesti dengan melibatkan intelektual, emosi dan mereka. Dengan demikian, pembelajaran Agama mestilah dengan mengikutsertakan system berpikir ilmu pengetahuan yang dapat meyakinkan mereka bahwa Agama itu memang mereka butuhkan. Sesungguhnya materi Pendidikan Agama Islam telah menyentuh kebutuhan siswa SLTA, terutama dalam kompetensi standar untuk alQur’an/Hadits seperti tentang pengenalan diri, baik mengenai tugas dan fungsi manusia, keikhlasan dan sebagainya, begitu juga dalam bidang aqidah, fiqh, akhlak dan tarikh. Dalam hal pelaksanaan pembelajarannya, ada beberapa fenomena beragama remaja yang mesti menjadi bahan pertimbangan bagi guru dalam menentukan silabus mata pelajaran seperti berikut: 1. bahwa remaja cenderung beragama hanya karena untuk mengatasi kecemasan dan rasa frustasi dalam menghadapi berbagai problem hidup termasuk kematian. Akibatnya, memunculkan sikap beragama mereka yang hanya karena ikut-ikutan. 2. bahwa remaja beragama didorong oleh keinginan mereka menjaga norma kesusilaan dan tata tertib yang terdapat dalam masyarakat, sehingga dengan demikian sikap beragama yang semata karena menjaga atau memelihara tata hubungan sesama.
36 David P. Ausubel, M.D., Ph.D., Theory and problems of Adolescen development, Grune & Stratton, New York, 1954, 269-270 37 Ibid.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 293
3. bahwa remaja beragama karena ingin memuaskan dorongan intelektual mereka. Hal ini berdampak pada munculnya kesadaran akan nilai-nilai agama38 Sikap kepercayaan pada tuhan memiliki hubungan signifikan dengan pendidikan dan kebiasaan anak di masa kecil. Ketika anak tidak pernah dikenalkan dengan nilai agama sejak dini dan tidak terbiasa hidup dalam tatanan keteraturan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai, maka seiring dengan berkembangnya intelektual, emosi, dan sosial mereka, mereka pun merasakan kehadiran agama hanya mengganggu kebebasan dan kesenangan mereka. Hal ini bila didukung pula dengan situasi tekanan hubungan orang tua dan lingkungan yang tidak sehat, maka mereka melihat norma sebagai pembatas dan penekan kebahagiaan mereka saja. Kondisi ini pemicu utama lahirnya sikap menolak dan ketidak percayaan pada nilai. Dalam konteks ini sekolah mesti memiliki catatan pribadi anak agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memberikan kondisi yang cocok bagi pembinaan dan pembentukan karakter mereka. F. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan moral siswa pada tingkat tingkat SLTA? Perkembangan moral umum remaja bersifat altruistik, suatu kecenderungan berperilaku moral atas dasar apa yang disukai dan diakui oleh kelompoknya. Kendatipun anak remaja telah memiliki perkembangan intelektual yang cukup tinggi, namun mengingat dalam mengekspresikan pengetahuan moralnya dipengaruhi oleh perkembangan psikis yang lain seperti sosial dan emosi, maka perilaku moral anak remaja belum bersifat otonom secara penuh. Mereka dibatasi oleh kecenderungan sikap solidaritas dan keinginan diterima dalam group mereka yang kuat, menjadikan remaja lebih memilih perilaku moral yang didasarkan atas pertimbangan groupnya.39 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kohlberg40 pada tahun 1963, perkembangan moral dapat dibagi ke dalam beberapa level, yaitu pra konvensional; Konvensional; dan post konvensional.
38 Uraian ini dapat dilihat lebih lanjut Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, hal 9 39 Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, 1983, h. 334-335. 40 Dapat dilihat umpamanya N.L. Gage and David C. Berliner., Educational Psychology, Third Edition, Houghton Mifleflin Company, Boston, 1984, hlm 170-174. Hal yang sama juga dikutip oleh Elizabeth Hall. Op. Cit., h. 334-335. Lihat pula Gerhard Portele, “Moral Development and Education” dalam Bert Musschenga and David Gosling (eds), Science Education and Ethical Values; Introducting Ethics and religion into the Science Classroom and Laboratory, Georgetown University Press, Washington DC, USA, 1983, hlm., 31-32.
294 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 1. Tingkat Pra Konvensional Pada level ini, anak memberikan putusan moralnya atas dasar pemberian nilai dari kekuatan otoritas orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga anak pada tingkat ini terlihat tanggap dengan aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini semata-mata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan. Tingkatan putusan moral ini dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu Tahap putusan moral yang berorientasi pada hukuman dan kepatuhan dan Tahap putusan moral yang berorientasi pada Relativis-instrumental. Nilai moral pada level ini lebih ditentukan oleh konsekuensi psiologis dari perilaku itu. Di sini anak berbuat baik semata-mata dengan pertimbangan perlindungan fisik, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari konsekuensi perilaku moral itu. Pendeknya pada tahap perkembangan ini, nilai moral anak hanya semata-mata karena ingin menghindar dari hukuman dan atau dorongan ketundukannya pada otoritas, belum karena memang menyadari bahwa perilaku itu memang baik untuk dirinya. Walaupun anak telah tekun melakukan nilai-nilai kebaikan, tetapi hal itu semata-mata bukan karena mereka menilai bahwa tindakannya itu bernilai untuk dirinya sendiri dan bukan pula karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi tetapi semata-mata karena didorong oleh rasa takut akan hukuman dan otoritas orang di sekitarnya. Berbeda dengan tahap pertama, maka pada tingkat Orientasi Relativis-instrumental, perbuatan yang baik bagi anak adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan. 2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakatnya. Di sini anak hanya memandang bahwa mengikuti sesuatu tatanan sosial itu bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa perlu mempertimbangkan akibat yang segera dan nyata, sehingga pada level ini, terlihat sikap loyal seseorang untuk kelompoknya. Bahkan secara aktif senantiasa mempertahankan, mendukung dan atau membenarkan normanorma sosial yang berlaku. Tingkatan konvensional ini dalam prosesnya Bandingkan pula dengan Henry Clay Lindgren, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxford University Press, New York, 1980, hlm. 164.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 295
melalui dua tahap perkembangan, yaitu tahap berusaha menyenangkan orang-orang terdekat dengan dirinya, sehingga dalam hal berbuat baik selalu atas dasar pertimbangan sosial (social justice),41 di satu sisi dan dibangun di atas kepatuhan atas otoritas dan tatanan sosial. 3. Tingkat Pasca-Konvensional Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang memiliki landasan moral yang kukuh untuk diterapkan dalam kehidupan. Pada tingkat ini, seseorang berperilaku moral tidak lagi karena desakan sosial, tetapi lebih atas dasar kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai moral. Dikatakan, bahwa pada level ini, terdapat dua tahapan, yaitu tahap penerapan konsensus bersama atas nilai moral. Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diterima sebagai nilai yang dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat. Pada level berikutnya, seorang anak justru berada pada perbuatan moral yang berorientasi pada hukum moral universal. Untuk yang terakhir ini, hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis umum. Bangunan pendidikan akhlak SLTA diarahkan pada: 1. Pembiasaan berperilaku terpuji dan menghindari yang tercela dengan kategori pembiasaan husnuzzhan terhadap Allah; 2. Pembiasaan bersikap gigih, berinisiatif dan rela berkorban; 3. Pembiasaan bersikap benar terhadap lingkungan; 4. Pembiasaan diri menghindari sifat hasad, ria dan aniaya; 5. Menerapkan tata kerama dalam perkaian, berhias dan bertamu; 6. Membiasakan bertaubat 7. Bersikap raja’ 8. Menghindari perbuatan merampok, membunuh, a susila, pelanggaran HAM 9. Membiasakan siswa berbuat baik terhadap kaum lemah 10. Menghargai karya orang lain 11. Mengamalkan perilaku ridha, produktif, efisien, adil dan bijaksana 12. Menghindari perbuatan riddah 13. Menghindari perbuatan berlebih-lebihan, sifat pengunjing, pengadu domba, sifat penyebar fitnah 14. Menerapkan perilaku tasamuh dengan menjaga kerukunan dan persatuan 15. Mampu bersikap positif terhadap ilmu pengetahuan42
41 Dapat dilihat lebih lanjut Norman A. Sprinthall., “Moral and Psychological Development: A Curriculum for Secondary Schools” dalam Thomas C. Hennessy, S.J. (Ed.),, Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976, hlm., 44-45 42 Dapat dilihat lebih lanjut pada kurikulum PAI SLTA tahun 2004 dan atau 2006
296 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Kompetensi dasar ini terlihat menjadikan pendidikan moral dalam konteks dogmatis. Siswa diminta untuk menjalankan norma yang sudah disediakan tanpa memberi kesempatan kepada mereka sebagai remaja untuk secara mandiri menentukan dirinya. Padadal pada usia SLTA ini siswa telah dapat dituntutn akalnya untuk mampu membuat putusan-puutusan moral bagi dirinya. Hal ini diperkuat oleh hasil riset Kohlberg maupun Piaget yang menunjukkan, bahwa semua orang, anak-anak, remaja bahkan orang dewasa pada prinsipnya adalah pemikir moral dalam tatanan system berpikir yang berbeda-beda, sesuai dengan system kognisinya.43 Bahkan menurutnya, alasan moral itu tergantung pada alasan logisnya. 44 Hal ini dikuatkan pula oleh hasil riset Harry B. Kavanagh45 yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan putusan moral pada anak yang berintelegensi tinggi, sedang ataupun rendah. Kecuali itu, mengingat karakter seseorang ditentukan oleh fungsi personality dan lingkungannya, sedangkan fungsi personality itu selalu dibangun atas tiga system, yaitu system motivasi, kognisi dan moral, maka kurikulum Pendidikan Agama Islam juga diarahkan pada pembangunan kognisi yang ditopang dengan tindakan motivasi moral dan pembiasaan sebagai suatu yang tidak terlepaskan. Hal ini sesuai dengan tingkat perkembangan seusia siswa SLTA yang menjadikan moralitasnya tergantung pada: 1. Tipe personal dalam melihat baik buruknya suatu tindakan yang dalam banyak hal tergantung pada pengalaman hidup dan pembiasaan. 2. Tahap kematangan pola pikir dan kesadaran moral 3. Pembiasaan nilai moral dari orang tua, guru dan masyarakat 4. Lingkungan hidup di mana nilai-nilai moral itu dikembangkan 5. Faktor sosial ekonomi yang berdampak pada pola dan gaya hidup46 G. Relevansi Isi Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan Tingkat Perkembangan Sosial Siswa pada Tingkat Tingkat SLTA Perkembangan sosial siswa SLTA merupakan suatu perkembangan psikologis yang beriringan dengan dorongan perkembangan moral dalam dirinya. Perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan Ibid., hlm. 45. Kohlberg seperti dikutip oleh Gerhard Portele, “Moral Development and Education”, dalam Bert Musschenga and David Gosling (eds), Science Education and Ethical Values; Introducting Ethics and religion into the Science Classroom and Laboratory, Georgetown University Press, Washington DC, USA, 1983, hlm., 31 45 Harry B. Kavanagh, “Moral Development in a High School program” dalam Thomas C. Hennessy, S.J., (Ed)., Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976, hlm. 133. 46 Dirangkum dari David P. Ausubel, M.D., Ph.D., Theory and Problem of Adolecent Development, Grune & Stratton, New York, 1954, hlm., 255-262 43 44
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 297
antar manusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup bersama sesama manusia. Dalam konteks ini perhatian mereka mulai tertuju pada pergaulan di dalam masyarakat dan mereka membutuhkan pemahaman tentang norma kehidupan yang lebih kompleks. Pergaulan mereka banyak diwujudkan dalam bentuk kehidupan berkelompok terutama dengan kelompok sebaya. Di sini mereka mempelajari banyak hal, baik yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, maupun adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat dan mencoba mempelajari pentingnya norma-norma itu bagi diri mereka.47 Sebagai anak remaja, siswa SLTA bersosialisasi secara baik dengan teman sebayanya. Mereka dalam hal ini cenderung lebih agresif dalam membangun pola interaksi dengan teman sebaya mereka, bahkan melampaui hubungan sosialnya dengan orang dewasa lain di masyarakat sekitarnya.48 Diakui memang bahwa kompetensi sosial anak ini memiliki hubungan signifikan dengan perkembangan kognitif anak seperti berpikir, mengingat, persepsi dan atau problem solving sebagai kegiatan intelektual.49 Oleh karena itu, dalam membangun karakter mereka, diperlukan adanya upaya pengembangan intelektual mereka dengan juga memperhatikan tingkat perkembangan sosialnya. Bila diperhatikan kurikulum PAI untuk SLTA, ada banyak dimensi standar kompetensi yang dapat dicapai dengan pelibatan siswa dalam konteks kelompok yang akan mencerdaskan mereka dalam menata hubungan sosial antara sesama mereka. Sebagai contoh dapat kemukakan standar-standar kompetensi sebagai berikut: 1. Mengenal manusia sebagai khalifah 2. Menerapkan perilaku demokrasi dalam kehidupan sehari-hari 3. Membiasakan perilaku terpuji 4. Memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Makkah 5. Menjelaskan pengertian adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan atau menerima tamu. 6. Menjelaskan pengertian hasad, riya, aniaya dan diskriminasiMenyebutkan contoh perilaku hasad, riya, aniaya dan diskriminasi 7. Menghindari hasad, riya, aniaya dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari 8. Memahami hukum Islam tentang zakat, haji dan wakaf 47 Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, hlm. 331. 48 Elizabeth Hall, Ibid., h. 332-334 49 Henry Clay Lindgren, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxporrd University Press, New York, 1980, h. 101.
298 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 9. Memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Madinah 10. Membiasakan kompetisi dalam kebaikan 11. Menyantuni kaum Dhu’afa 12. Memahami hukum Islam tentang Mu’amalah. 13. Memahami perkembangan Islam pada abad pertengahan (1250 – 1800) 14. Menghargai karya orang lain 15. Menghindari perbuatan dosa besar 16. Bertoleransi antar sesama umat beragama 17. Membiasakan perilaku adil, ridha dan amal shaleh 18. Memahami Hukum Islam tentang Hukum Keluarga 19. Memahami perkembangan Islam di Indonesia 20. Memahami dan mengambil hikmah perkembangan Islam di dunia 21. Membiasakan memupuk persatuan dan kerukunan 22. Memahami Hukum Islam tentang Waris50 Kecerdasan sosial sebagai kapasitas psikologis siswa dalam berkarya dan berhubungan dengan sesama manusia, mendapat porsi yang lebih banyak dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Hal ini sangat refresentatif untuk pendidikan karakter, karena memang sebahagian besar potensi psikis manusia ditentukan oleh kecerdasan sosialnya. Dan dalam Islam pun terlihat bahwa hampir kesemua nuansa peribadatan individual sekalipun bermuara pada dimensi sosial. H. Relevansi isi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas dengan tingkat perkembangan kecerdasan Emosi siswa SLTA Emosi adalah corak afektif yang kuat dalam diri seseorang dan biasanya ditandai dengan adanya perubahan fisik. Umumnya, pola emosi remaja masih sama dengan pola ekspresi emosi mereka pada masa anakanak, seperti perasaan cinta, gembira, cemas, marah, takut, gelisah dan sedih yang kesemuanya juga mereka alami saat masa anak-anak. Perbedaannya hanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan cara pengendaliannya. Emosi adalah gambaran pengalaman afektif yang merupakan asimilasi keadaan mental dan fisik yang berwujud suatu tingkah laku yang terlihat dari perubahan-perubahan pada fisik, seperti memerahnya wajah, gemetaran, pucat basi, jantung berdebar, pegal-pegal dan lain sebagainya. Eksistensi emosi ini sangat memegang arti yang tinggi bagi kesuksesan seseorang. Anak-anak umpamanya tidak akan dapat belajar sepanjang mereka mengadakan penolakan untuk belajar. Bahkan efektivitas
50 Lihat lebih lanjut kurikulum Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , 2004 dan 2006.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 299
pembelajaran di kelas adalah ketika guru mampu mengarahkan emosi siswanya untuk bersemangat untuk itu.51 Piaget dan Freud menekankan bahwa ada hubungan yang tidak terelakkan antara perkembangan emosi dan kognitif. Seseorang tidak dapat berpikir dengan baik jika berada dalam suasana emosi yang tidak stabil.52 Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut : a. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap) c. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan. Emosi sensoris merupakan suatu jenis emosi yang muncul akibat adanya rangsangan dari luar terhadap tubuh seseorang, sehingga memunculkan suatu tekanan yang berlebih atau berkurang dalam diri, seperti rasa sakit, segar, lelah, lapar, kenyang dan sebagainya. Sedangkan emosi kejiwaan lebih berupa keseluruhan dorongan kuat dalam diri yang menjadikan seseorang bertindak atas dasar kehendak jiwanya, seperti sedih, cemas, amarah, senang, bahagia, dan lain sebagainya yang berupa segala tindakan yang didesak oleh tekanan kejiwaan. Emosi dibutuhkan oleh manusia untuk memperkukuh kehendak diri untuk melakukan aktivitasnya. Jika seseorang itu merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapainya, maka ia akan menunjukkan emosi senang dan bahagia dan ini akan mempertinggi semangat hidupnya untuk berbuat yang pada akhirnya mempertinggi daya kreativitas dan daya juangnya. Sebaliknya, apabila emosi seseorang tampil dalam rupa rasa kecewa atas hasil yang ia kerjakan, maka semangatnya akan melemahkan dan keadaan ini akan memunculkan rasa putus asa dalam diri. Ketegangan emosi pada anak remaja, dapat menghambat atau mengganggu konsentrsi belajarnya, bahkan mungkin menimbulkan sikap gugup, gerogi dan ataupun gagap dalam berbicara. Emosi berperan dalam mengarahkan aksi dan tingkah laku remaja, sehingga memungkinkan dirinya mengontrol tingkah lakunya. Sedemikian rupa eksistensinya dapat pula memberi arti terhadap pengalaman belajar remaja dalam keseluruhan aktivitas berpikir seperti menyimpan, mengorganisasi dan mengingat kembali pengalaman; menggagas pengalaman baru; memecahkan masalah; berpikir kreatif, selektif, logis, dapat memahami kalimat lisan maupun tulisan, memahami konsep kuantitas, waktu, ruang, sebab-akibat yang bersifat relatif dan sebagainya. Kecuali itu, kecerdasan emosional ini dapat pula membentuk konsep diri, 51 Henry Clay Lingdgron, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxpord University, New York, 1980, hlm. 108. 52 Ibid., hlm 108
300 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies pengertian atas diri memisahkan realitas dan fantasi mengendalikan tingkatan perkembangan emosi, sosial dan intelektual. Kecerdasan emosi merupakan suatu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi diri sendiri. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dapat merasakan, memahami, dan secara selektif dapat mengoptimalkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Singkatnya, kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi ini dapat dikembangkan dengan menggunakan beberapa cara, seperti: 1. Menempatkan siswa sebagai siswa. Emosi anak berbeda dengan perkembangan emosi orang dewasa dan karenanya mengenali perasaan anak sewaktu perasaan yang dirasakan terjadi merupakan dasar bagi kecerdassan emosional. Oleh karena itu, upaya memantau perasaan anak dari waktu kewaktu merupakan hal penting bagi pemahahaman diri mereka. 2. Mengelola emosi sebagai kekuatan mental. Menangani perasan anak agar dapat terungkap dengan tepat seperti kemampuan untuk menghibur anak, melepaskan kecemasan kemurungan atau ketersinggungan, atau akibat yang muncul karena kegagalan dan mengubahnya menjadi suatu kekuatan anak dalam menghadapi problem, penting bagi pendidikan karakter. Penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi perhatian dan kasih sayang untuk memotivasi anak dalam melakukan kreasi secara bebas. Di sini perlu ada hubungan harmonis dan terbuka antara pendidik dan subjek didik. Memenej emosi menjadi kekuatan dapat dilakukan dengan mengatur pola komunikasi. Berkomunikasi dan atau melayani dengan hati diharapkan mampu membedakan antara apa yang dilakukan atau yang dikatakan anak dengan reaksi atau penilaian. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain kematangan psikis dan belajar serta kondisi-kondisi kehidupan atau kultur. Emosi mempengaruhi tingkah laku, misalnya rasa takut menyebabkan seseorang gemetar, sulit bicara, malas, tindak kekerasan dan lain sebagainya. Emosi dapat pula karena pengaruh kondisi fisik, taraf kemampuan intelektual, dan kondisi lingkungan. Biasanya, emosi pada masa remaja meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kalenjar. sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Rangsangan pembelajaran yang menghasilkan perasaan menyenangkan akan mempermudah siswa dalam belajar. Sebaliknya, rangsangan pembelajaran yang menhasilkan perasaan tidak menyenangkan
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 301
akan mengganggu semangat siswa dalam mengikuri proses pembelajaran. Intelegensi tinggi memang diperlukan seseorang untuk memampukan dirinya mengendalikan diri sendiri dan orang lain, namun dalam banyak hal, keberhasilan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh intelegensi. Ada unsur lain yang yang justru banyak mengambil peran, yaitu faktor emosi. kecerdasan emosi diperlukan seseorang untuk menyokong kesuksesan dalam hidup. Aspek ini memungkinkan orang menghidupkan segala kemampuan yang dimilikinya serta mengembangkannya dalam bentuk perilaku nyata. Bahkan kecerdasan emosi ini pun dapat membangun kecerdasan lain seperti kecerdasan sosial, moral dan agama. Sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosi dapat membangun konsep diri dan kepribadian subjek didik.53 Tujuan pengembangan kecerdasan emosional adalah agar seseorang itu memiliki kompetensi emosional. Kompetensi emosional meliputi kompetensi individual dan sosial. Kompetensi sosial yaitu kemampuan berelasi, berempati terhadap yang lain. Bahkan menurut Elizabeth B. Hurlock,54 pengaruh lingkungan sosial terhadap perubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal mereka. Yang menjadi persoalan adalah karena mengingat, kematangan sosial anak usia siswa SLTA menjadikan mereka menentukan nilai berdasarkan nilai dari teman sebaya yang didukung pula dengan perkembangan emosi mereka yang belum stabil. Kondisi ini menjadikan percaya akan Tuhan pada masa ini tidak tetap, eksistensinya tergantung pada siapa yang menjadi teman mereka di samping kondisi emosi mereka. Dikatakan, bahwa biasanya anak remaja akan merasa butuh terhadap agama ketika mereka tengah menghadapi masalah dan dilemma hidup, terutama saat-saat mereka dalam kondisi gelisah, cemas dan mengalami kegagalan dalam hidupnya. Untuk kepentingan ini, pendidikan agama Islam perlu ditata dalam tatanan membangkitkan semangat memperbaiki diri, semangat dalam beragama, membantu sesama, dan sikap-sikap lain yang berkenaan dengan nilai keagamaan, moral dan sosial. Hampir semua isi kurikulum pendidikan Agama Islam untuk SLTA menyentuh pendidikan emosi, baik bidang al-Qur’an/Hadits, Aqidah, Syari’ah, Akhlak maupun Tarikh. Namun mengingat pencerdasan emosi terkait dengan reaksi psikis terhadap perlakuan yang diberikan, maka pendidikan karakter yang terkait dengan pencerdasan emosi agar subjek didik memiliki kemampuan pengendalian diri, sikap sabar dan tekun dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran maka diperlukan keterampilan pendidik mengatur situasi pembelajaran yang membangkitkan Bandingkan dengan (http://multiply.com/user/join?connect=jovandc) Hurlock, Elizabeth B., Adolescent Development, Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., Tokyo, 1973, Lihat juga Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random Hous, New York, 1983, hlm. 334-335. 53 54
302 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies semangat berbuat, berkarya, saling menghargai dan memperhatikan sesama. H. Penutup Walaupun dalam banyak hal riset ini belum mencerminkan keseluruhan isi temuan dalam penelitian yang dilakukan, semoga dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan masa depan pendidikan. Penulis senantiasa membuka diri untuk semua masukan dan kritikan, karena hanya dengan cara demikian tulisan ini akan bermakna bagi pengembangan dunia keilmuan. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis bertawakkal Sang Pemilik Kebenaran sejati. Refrensi Al-Farabi, “Fuzul Mumtaza`ah fi `Ilm al-Akhlaq” dalam Majid Fakhry, alFikr al-Islam fi al-`Arabiy, juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1980. Al-Isfahani, Raghib, Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur`an, Ed. Nadim Mar`asyliy, Dar al-Katib al-`arabiy, t.tp., t.t. Bertrand Russell, Pergolakan Pemikiran (kumpulan karangan), Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia, Jakarta, 1988. Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1976. David P. Ausubel, M.D., Ph.D., Theory and problems of Adolescen development, Grune & Stratton, New York, 1954. Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random House, New York, 1983. Gerhard Portele, “Moral Development and Education” dalam Bert Musschenga and David Gosling (eds), Science Education and Ethical Values; Introducting Ethics and religion into the Science Classroom and Laboratory, Georgetown University Press, Washington DC, USA, 1983. Harry B. Kavanagh, “Moral Development in a High School program” dalam Thomas C. Hennessy, S.J., (Ed)., Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976. Henry Clay Lindgren, Educational in the Psychology Classroom, Sixth Edition, Oxford University Press, New York, 1980. Hilda Taba; Curriculum Development; Theory and Practice, Harcout, Brace & World, Inc, new York, 1962. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg20773.html. http://multiply.com/user/join?connect=jovandc
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 303
Hurlock, Elizabeth B., Adolescent Development, Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., Tokyo, 1973, Lihat juga Elizabeth Hall, Psychology Today An Introduction, Fifth Edition, Random Hous, New York, 1983. Ibn Miskawaih, Tahz¯ib al-Akhl¯aq, ed. Hasan Tamir, Mahdawi, Bairut, 1398 H. I.R.Poudjawijatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bintang Obor, Jakarta, 1982. Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan OSLTAn Raliby, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. J.J.Rousseau, Du Contrat Social, Extraits par Madeleine Le Bras, Libraire Larousse, Sarbonne, 1973 Kurikulum 2004; Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah , Departemen Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Tahun 2003. Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Rafika Aditama, Bandung, 2011. Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, PPs UIN Suska Press, Pekanbaru, 2007. N.L. Gage and David C. Berliner, Educational Psychology, Third Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1984. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta Norman A. Sprinthall., “Moral and Psychological Development: A Curriculum for Secondary Schools” dalam Thomas C. Hennessy, S.J. (Ed.),, Values and Moral Development, Paulist Press, New York, 1976. Ronald Grimsley, Rousseau and The Religious Quest, Clarendon Press, Oxford, 1968. Wahab (Sumber: Republika Online Collected By pararmuslim.com. W.F.R. Hardie, Aristotle`s Ethical Theory, Clarendon Press, Oxford, 1980.
THE CORRELATION BETWEEN CHARACTER BUILDING AND PEACEFUL THINKING OF STUDENTS AT DARUSSALAM ISLAMIC BOARDING SCHOOL IN EAST JAVA Reza Fahmi Haji Abdurracim Abstract: Sudah sejak beberapa tahun yang lalu sikap radikal dan militan dari kelompok yang “seolah-olah”sebagai kelompok Islam, mereka telah menekan pemerintah (termasuk didalamnya adalah pemerintah Indonesia) dan dunia internasional mengakui keberadaan mereka. Malangnya, Pondok Pesantren selalunya dihubungkan dengan redikalisme, seperti: Pondok Pesantren Ngruki (Jawa Tengah) Lebih jauh penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara pembangunan karakter dengan pemikiran tentang kedamaian para santri pomdok pesantren Darussalam di Ponorogo, Jawa Timur. Pembangunan karakter adalah bagian fundamental dari pendidikan Islam dan menjadi perhatian utama dalam proses pembelajaran bagi para santri di Pondok Pesantren Moderen Darussalam, seperti : Keikhlasan, Kesederhanaan, Berdikari, Ukuwah Islamiah dan Kebebasan. Penelitian berbasis pada pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah 400 orang santri, tetapi hanya 200 orang santri yang dilibatkan sebagai responden dalam penelitian ini. Santri yang dilibatkan dalam penelitian ini dipilih secara simple random sampling atau acak sederhana. Lokasi penelitian ini adalah Pondok Pesantren Modern Darussalam di Ponorogo, Jawa Timur. Skala psikologi dan observasi digunakan sebagai teknik pengumpulan data. The Statistical Packgae for Social Science (SPSS) digunakan untuk membantu proses penganalisaan data. Pearson correlation digunakan untuk menganalisa hubungan antara masing-masing variabel. Hasil penelitian ini mendapati adanya hubungan antara pembangunan karakter dengan pemikiran tentang kedamaian dari para santri. The r skor = 0,511 and r tabel = 1,64 dan p = 0.00 < 0.05. Ini bermakna, Ho ditolak and H1 diterima. Dengan demikian ada hubungan antara pembangunan karakter dengan pemikiran tentang kedamaian dari para santri. Key Words : The Character Building, Islamic Boarding School, Peaceful Thinking.
INTRODUCTION Actually, Islam teaches us that diversity is a fact of nature and it makes the nature beautiful. Allah SWT has created this whole universe with diversity. Allah SWT says in the Qur’an “ ...See you not that Allah sends down rain from the sky? With it We then bring out produce of various colors. And in the mountains are tracts white and red, of various shades of color, and black intense in hue. And so amongst men and crawling creatures and cattle, are they of various colors. Those truly fear Allah, among His Servants, who have knowledge: for Allah is Exalted in
~ 304 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 305
Might, Oft-Forgiving1. There is diversity among human beings. They have variety of genders, colors and languages and multiplicity of races and tribes. These diversities are considered natural and are called “God’s signs” in the Qur’an2. They are indicative of God’s creative power and wisdom and are good and healthy since they endow human life with richness and beauty. Allah SWT wants human beings to derive benefit from this diversity and not to allow it to generate unhealthy schisms and divisions in their ranks. Allah SWT says in the Qur’an: “....And from amongst His signs is this that He created you from dust; and then behold you are humans scattered far and wide. Among His signs is this that He created for you mates from among yourselves that you may dwell in tranquility with them, and He has put love and mercy between you. Verily in that are signs for those who reflect. And among His signs is the creation of the heavens and the earth and the variations in your languages and colors; verily in that are signs for those who know. And among His signs is the sleep that you take by night and by day, and the quest that you make for livelihood out of His bounty; verily in that are signs for those who hearken... “ 3. The diversities of races, families and tribes also have a healthy and constructive purpose, viz. that “you may know each other”. In the words of the Qur’an: “....O people, We have created you from a male and a female and made you into races and tribes so that you may know each other. Surely the most honored of you in the sight of Allah SWT is the one who is the most righteous of you...” 4. Instead of enabling human beings to know each other better, there is no reason why these diversities should create barriers, or cause animosities among human beings. In addition to these natural diversities there are others that are part of the human societies and cultures. There are diversities of viewpoints. The Qur’an recognizes the individuality of each human being as well as the individuality of their groups and communities. “…To each among you have We prescribed a Law and an Open Way. If Allah had so willed, He would have made you a single People, but (His plan is) to test you in what He has given you; so strive as in a race in all virtues. The goal of you all is to Allah; it is He that will show you the truth of the matters in which ye dispute”5. Islam does not consider all viewpoints correct or of equal value. However, it is also the fact well recognized in Islam that very often the differences of opinions (ikhtilaf) are also a token of God’s mercy. If Allah SWT had so willed, says the Qur’an, He could have forced people to come together to one point, but he did not do so. Allah SWT did send His Al Qur’an,: Fatir 35:27-28 Al Qur’an : 30:20-22 3 Al Qur’an , 30:20-23. 4 Al Qu’an, 49:13 5 Al Qur’an, al-Ma’idah 5:48 1 2
306 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Prophets and Messengers from time to time so that the right path might be made clear through them. As regards the final judgment as to who followed the truth and who did not, that will be made known on the Day of Judgment by Allah SWT Himself. In keeping with this principle, Allah SWT forbade His Prophets and the believers from having recourse to coercion in religion. “There is no compulsion in religion”, said the Qur’an6. Otherwise, terrorism in Indonesia refer to acts of terrorism that take place within Indonesia or attacks on Indonesian people or interests aboard. These acts of terrorism often target the government of the Republic of Indonesia or foreigners in Indonesia, most notably Western visitors, especially those from the United States and Australia7. Traditionally the militias that politically opposed to Indonesian government interest were held responsible for series of terrorism attack in Indonesia. Separatist movements operating in Indonesia, such as the Darul Islam (Indonesia), Fretilin (East Timorese independence militia during Indonesian occupation of East Timor), Gerakan Aceh Merdeka, and Organisasi Papua Merdeka are often held responsible on terrorist attacks, such as bombings and shootings, in Indonesia. Recent terrorism in Indonesia can in part be attributed to the al-Qaeda-affiliated Jemaah Islamiyah Islamist terror group. Unfortunoutly, some of Islamic organizations were blamed as terrorist groups. It will spoilt an Islam as a religion and also many kind of Islamic organizations; Islamic party, Islamic banking, Islamic social-organization (like; Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah or Indonesian Mujahedeen Council or IMM which leading by Abu Bakar Bashir8), Islamic school and including Islamic Boarding Al Qur’an , 2:256 Number of cases about the terrorism in Indonesia likes; Borobudur 1985 Jakarta Stock Exchange 2000 Philippine consulate 2000 Christmas Eve 2000 Bali 2002 Marriott Hotel 2003 Aceh 2003 Palopo 2004 Australian Embassy 2004 Poso 2004 Tentena 2005 Bali 2005 Palu 2005 Jakarta 2009 Cirebon 2011. 8 Abu Bakar Bashir is a school teacher. He has white hair, a reedy voice, gold-rimmed glasse and assuming grow with number of close colleagues in foreign jails. Those colleagues, say officials in Singapore, Malaysia, and the Philippines, are part of a sprawling international terrorist conspiracy with links to Al Qaeda led by Mr. Bashir. Bashir, however, remains free to run his Al-Mukmin Islamic boarding school because Indonesia officials say they have insufficient evidence to arrest him. He also asseme runs a growing organization, the Indonesian Mujahidin Council (MMI), which is lobbying to convert Indonesia into an Islamic state. Foreign officials worry that this sends a message to Al Qaeda that Indonesia is a good place to hide. The Islamic movement here is running on parallel tracks political and militant. It has funded paramilitary groups that have ignited sectarian conflicts, conducted vigilante raids on bars and brothels, and burned churches. Bashir has ties to most of these groups through the MMI. Bashir isn't the only militant leader who has been able to make an impact on Indonesia's stability. Last week, the paramilitary group Laskar Jihad ignited another wave of killing in Maluku province, where thousands have been killed in sectarian violence since 1999. Indonesian officials had hoped that a three-month lull in the violence and a peace agreement signed in February meant the worst was over. But militants such as 6 7
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 307
School9. So, Islam and Muslims are still the target of stereotyping and misrepresentations. The United Nations’ Commission on Human Rights has aadopted a resolution expressing its deep concern regarding the stereotyping of religion, particularly Islam, as a faith that has been “wrongly associated with human-rights violations and with terrorism.”10 Although the language of the draft resolution appeared unthreatening as it used such general terms as “human rights, social harmony, and religious and cultural diversity,” the measure narrowly passed with 15 members choosing to vote against it, and 9 others abstaining. Moreover, this reserch did not want to put inside at the conflict of interest, weather Islamic Boarding School had any connection with terrorism or not. But, the reserach wanted to be explained about the correlation between character building in Islamic Boarding School and Peaceful Thinking of students at the Darussalam Islamic Boarding School (Gontor) in Ponorogi, East Java. THE RESEARCH PROBLEMS There were three reserach purposed that tried to find the answer : (1) Describing about the character building in Islamic Boarding School? (2) Describing about the peaceful thinking of students at the Islamic Boarding School. (3) Describing about the correlation between character building in Islamic Boarding School and peaceful tthinking of students at Darussalam Islamic Boarding School (Gontor) in Ponorogo, East Java.
Bashir and Laskar Jihad leader Jaffar Umar Thalib had attacked the peace deal and vowed to bring it down. http://www.csmonitor.com/ 01/09/2012. .....During President of Indonesia Suharto's New Order, Bashir and Sungkar were arrested for a number of reasons, firstly for actively supporting Sharia, the non-recognition of the Indonesian national ideology Pancasila which in part promotes religious pluralism. Secondly, the refusal of their school to salute the Indonesian flag which signified Bashir's continual refusal to recognise the authority of a secular Indonesian state. Bashir appealed but was subsequently imprisoned without trial from 1978 to 1982. ....Soon after his release, Bashir was convicted on similar charges; he was also linked to the bomb attack on the Buddhist monument Borobudur in 1985 but fled to Malaysia. (www.cfr.org/ Diakses 01/09/2012) During his years in exile Bashir undertook religious teachings in both Malaysia and Singapore. The United States government alleged that during this period he became involved with Jamaah Islamiyah, an alleged militant Islamist group (Australian Department of Foreign Affairs and Trade in http://wikipedia.org/ 01/09/2012) Bashir remained in exile until Indonesian President Suharto's fall in 1998.( Lee hudson Teslik in. http://wikipedia.org/ 01/09/2012) Bashir returned to Indonesia in 1999 and became a cleric, renewing his call for Sharia law. 9 Amid widespread prejudice, which relates their school to terrorism, students of AlMukmin Islamic Boarding School in Ngruki, Sukoharjo, Central Java. www. Thejakartapost.com. Wednesday, August 11 2010. 10 Muzammil H. Siddiqi. Unity and Diversity. In http://www.islamfortoday.com 01/09/2012.
308 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies THE RESEARCH OF SIGNIFICANCE There were two kinds of research significance in this research: (1) Theoritical significance, the research hopefully could be developed the theoritical background and supporting the wider of social-psychology knowledge it self. (2) The practical significance, the reseach could be given benefit to the Kyai and Ustandz and also students (santri) at the Islamic Boarding School (especially Darussalam Islamic Boarding school / Gontor), Beside that, it will be benefit to the society (steakholders) which connected with the Darussalam Islamic Boarding School. Then, the research would be benefit to the government for making policy about the Islamic Boarding School. THE THEORITICAL BACKGROUND Good character11 is when your head, heart, soul and hands agree to do the right thing, in the right way, for the right reasons and the combined effort gets the right results in the midst of the most adverse of conditions” William Cottringer12. Character building has emerged as a hot topic in schools (including at the Islamic Boarding School). Considering this, it can be rightly said that nothing can be more important than character building. If you want to go for a good character building then make sure you: (1) Follow the right ethical and moral values (2) Help others without expecting anything in return (3) Opt for the challenging jobs as they are sure to help you with positive results in the days to come (4) Avoid saying something negative or derogatory about someone (5) Avoid falling prey into your retaliation or obsessing desires even if you have been abused by your classmates or humiliated by your teachers (6) Face challenges rather than stepping back because of the fear of failure. There are quite a few personal values that help a child to develop a good character. These personal values or rather the building blocks of character building include: (1) Compassion. (2) Dependability. (3) Optimism. (4) Cooperation. (5) Diligence. (6) Patience. (7) Commitment. (8) Fairness. (9) Perseverance. (10) Courage. (11) Friendship. (12) Productivity. (13) Courtesy. (14) Generosity. (15) Respect. (16) Cleanliness. (17) Kindness. (18) Tolerance. (19) Creativity. (20) Loyalty. (21) Truthfulness. 11 Abraham Lincoln said, “Reputation is the shadow. Character is the tree.” Our character is not just what we try to display for others to see, it is who we are even when no one is watching. .....Good character is doing the right thing because it is right to do what is right. The dictionary definitions said character is a “complex of mental and ethical traits” and that those traits, or qualities, are “built into an individual’s life.” It is those character qualities, those character traits, that determine a person’s response in any given situation. For example, a person in with a strong character quality of truthfulness is much more likely to accurately report the facts in a given situation than a person who is not a truthful person. http://www.character-training.com/ (02/09/2012). 12 http://www.isnare.com (01/09/2012).
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 309
(22) Citizenship. (23) Moderation. (24) Trustworthiness. You can also draw inspiration from good quotes as well as motivational stories with good morals and values. Good character building is of utmost importance as it helps in all spheres of your life. We all know that the main aim of our lives is to learn, develop as well as enhance in the journey of our life for becoming an ideal person and character building is sure to help us in this venture13. The peaceful in Islamic perspective is a basic concept in Islamic thought. The Arabic term "Islam" itself ( )إسالمis usually translated as "submission"; submission of desires to the will of God. It comes from the term aslama, which means "to surrender" or "resign oneself".14 The Arabic word salaam ("( )سالمpeace") has the same root as the word Islam. One Islamic interpretation is that individual personal peace is attained by utterly submitting to Allah. The greeting "As-Salaamu alaykum", favoured by Muslims, has the literal meaning "Peace be upon you".Muhammad is reported to have said once, "Mankind are the dependents, or family of God, and the most beloved of them to God are those who are the most excellent to His dependents." "Not one of you believes until he loves for his brother what he loves for himself." Great Muslim scholars of prophetic tradition such as Ibn Hajar al-Asqalani and Sharafuddin al Nawawi have said that the words ‘his brother’ mean any person irrespective of faith. Islam is a monotheistic religion and according to the Quran all people are children of Adam. Satan is considered the enemy of humanity, causing enmity among all people. The series of prophets and messengers coming from God throughout the ages is to call the people again towards their innate identity of love and friendship. The good life according to Islam is in submitting to God and in worshiping Him as The Creator and The Master and to recognize the innate nature of man. The individual who will recognize his true nature on which every person is created will be able to live together in society with peace and affection to each other. Islamic tradition dictates that prophets were sent by God to every nation. In Islam, only (Muhammad) was sent finally to convey God's message to the whole 13 The list of character traits that I like to use is the list identified by the Character Training Institute of Oklahoma City, Oklahoma. The Character Training Institute list breaks “character” down into forty-nine specific, definite, character qualities, or traits. (click here to view a list of character traits). Having such a list of character traits allows us to focus on specific qualities in order to build “good character” into our lives. By breaking character down into its basic elements in this way, we are better able to focus on building specific qualities into our lives. As we work on strengthening specific good character qualities, our overall character is improved. For example, “honesty” really consists of several more basic qualities – truthfulness, dependability, diligence, etc. Therefore, when I work on becoming more honest, I do so by becoming more truthful, more dependable, more diligent, etc. 14 L. Gardet; J. Jomier. "Islam". Encyclopaedia of Islam Online.; "Lane's lexicon" in. http://www.wikipedia.org (01/09/2012).
310 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies world, whereas other prophets were sent to convey their messages to a specific group of people or nation. So the ideal nationhood in Islam is beyond all boundaries and differences. Prophet Muhammad is the final messenger according to Islam and his nation or ummah is called Ummatu Muhammad (nation of Muhammad). Data from the Department of Religious Affairs shows a steady increase in the number of pesantren and students enrolled in them. In 1977, there were 4,195 pesantren with 677,384 students. This number skyrocketed in 1981 with pesantren numbering 5,661 with a total of 938,397 students. In 1985, this number increased to 6,239 pesantren with 1,084,801 students. In 1997, the Department reported 9,388 pesantren a total of 1,770,768 students. And finally, 2003-04, the number of pesantren reached 14,647. A similar trend is also evident with madrasah. These data raise some important questions concerning the development and survival of Islamic educational institutions, as well as their changing roles amid transitions taking place in the Muslim community. Islamic educational institutions face complex challenges. They not only strive to educate Muslims in religious knowledge, but are also expected to participate in creating a new socio-cultural and political system of Indonesia. Based on the characteristics of Islamic educational institutions, there are at least four types of Islamic educational institutions: (1) NU-based Islamic boarding schools15, (2) modern Islamic boarding 15 Strong waves of Islamic education reform, which occurred along with Islamic reformism, touched pesantren. While maintaining the traditional aspects of the education system, a number of pesantren in Java have, at the same time, begun to adopt the madrasah system. The experience of Pesantren Tebuireng Jombang East Java is important to note. Founded by a charismatic and outstanding ulama of the 20th century, Kyai Hasyim Asy’ari (1871–1947), Pesantren Tebuireng set the model for pesantren and ulama, especially in Java. Almost all of the important pesantren in Java have been founded by disciples of Kyai Hasim Asy’ari, therefore following the Tebuireng model. Together with the NU, which he founded in 1926, Kyai Hasyim had a central and strategic position in the legacies of ulama in Java. As such, he is known as the Hadratus Syaikh (Big Master) for ulama in Java. Attempts to reform the educational system of pesantren began during the 1930s. The NU-based pesantren adopted the madrasah system by opening a six-grade system consisting of a preparatory grade for one year followed by a madrasah grade for six additional years. Furthermore the pesantren also included non-Islamic sciences in its curriculum such as Dutch language, history, geography, and math. This process continued as the pesantren was managed by his son Kyai Abdul Wahid Hasyim (1914– 53), whose concerns were to bring the legacies of pesantren into modernity. During the 1950s, he made madrasah system the main model of education in Tebuireng. Tebuireng was not the only pesantren to make changes to its system. Pesantren Krapyak of Yogyakarta also became part of the reformist movement in the early 20th century. Kyai Ali Maksum (1915–89), the founder and the pesantren leader of Krapyak was recognized as a figure with a “modernist spirit.” Like Kyai Wahid Hasyim of Tebuireng, he also combined the madrasah into pesantren systems. In addition, Pesantren Tambak Beras and Pesantren Rejoso, both in Jombang, also adopted reformist agenda by implementing the madrasah system by introducing non-Islamic knowledge into their curriculum. It can be concluded that, along with socio-religious
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 311
schools whose orientation are Islamic reformism, (3) independent pesantrens, and (4) Islamic schools. All pesantren are led by a group of teachers and religious leaders known as Kyai. The Kyai is respected as teacher and devout man. Kyai also play important roles in the community as a religious leader and in recent years as a political figure. There are Kyai families that have a long history of serving in this role. Some contemporary Kyai are the grandsons and great-grandsons of famous historical figures who established well known pesantren16. THE RESEARCH FINDING AND DISCUSSION There were two kinds of research finding in this research : (1) Descriptive analysis of respondent and spreading of mean data of variables. (2) The quanitiative analysis and testing of the hypotesis. The Descriptive Analysis of Respendent Table 1.1 : The Descriptive Analysis of Respondent The Categories Frequency Thee Education level 1 Junior high scool 109 2 Senior high school 91 Sum 200 Ages 1 12 – 14 years old 115
Percentage 54.50 45.50 100.00 57.50
changes following modernization and Islamic reformism, the transformation of Islamic education became a part of general discourse within Indonesian Islam at the beginning of the 20th century. The pesantren ulama, strictly holding the traditional legacies of Islam, gradually transformed the educational sytem by adopting the modern system of madrasahs. In addition, the main orientation of pesantren also changed form a focus on producing ulama. Instead, like other modern Muslim groups, the learning system of Pesantren Tebuireng is directed toward a larger agenda, “to educate students to be able to develop themselves to be ‘intellectual ulama’ (ulama mastering secular knowledge) and ‘ulama intellectual’ (scholars mastering secular as well as religious knowledge.” This type of pesantren, culturally based on the NU tradition, has been growing steadily and can be found in almost every city in Java. In West Sumatra, this type of pesantren is affiliated with Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), a kaum tua-affiliated organization like the NU in Java. In Lombok, West Nusa Tenggara, the position of NU is assumed by the local Nahdhatul Watan (NW). Like NU and Perti, NW has become the cultural bases for traditional Islamic education institutions in Lombok as well as religious bases in the region. Similarly, As’adiyah in South Sulawesi has also played an important role like that of NU in Java, NW in NTB, and Perti in West Sumatra. 16 Ronald Lukens-Bull 2005 A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java. New York: Palgrave McMillian. Pp. 91-117. See also Zamakhsyari Dhofier The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java Tempe, AZ: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies Monograph Series.
312 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 2 1 2
3
15 -17 years old Sum The economic background High class level of economic background (family income > Rp 10.000.000 / month) Medium class level of economic background (family income Rp 5000.000 – Rp 10.000.000 / month)
Lower class level of economic background (family income < Rp 5000.000 / month) Sum The parents employee 1 Civil servent 2 Teachers / Lecturer 3 Enterprenour / private sector 4 Public service Sum The family social-organization background 1 Nahdlatul Ulama 2 Muhammadiyah 3 Persis Sum Source s: The reserach reports 2012.
85 200
42.50 100.00
32
16.00
89
44.50
79
39.50
200
100.00
52 38 95 15 200
26.00 19.00 47.50 7.50 100.00
112 78 10 200
56.00 39.00 5.00 100
According to Table 1.1 we found that most of the respondents at the Darussalam Islamic Boarding School (Gontor) studied at the junior high school level. Then, most of the ages of respondents at the Darussalam Islamic Boarding school (Gontor) between 12 – 14 years old. This research found that most of the respondents were coming from medium class level of economic background. Beside that, the research also found that most of the parents employees were enterprenour or private sector. After that, most of family social-organizational background was Nahdlatul Ulama. Table 1.2 The mean spreading, frequency and percentage of character building The Categories Frequency Percentages High 138 69.00
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
Low 62 Sum 200 Sources : The research reports, 2012.
~ 313
31.00 100.00
According to the Table 1.2 above, most of mean spreading were locating at the high level. It means that the character building which implemented in Darussalam Islamic Boarding School (Gontor) had internelized in their students bevahior, especially about their five spirits : Sincerity, simplicity, self-sufficiently, Islamic brotherhood, and freedom. Table 1.3 The mean spreading, frequency and percentage of peaceful thinking The Categories Frequency Percentages High 182 91.00 Low 18 9.00 Sum 200 100.00 Sources : The research reports, 2012. According to the Table 1.3 above, most of mean spreading were locating at the high level. It means that most of the studnets at the Darussalam Islamic Boarding School (Gontor) had a peaceful thinking; they never wanted to involved with any kinds of violence (bullying, crime activities, etc). Beside that, the Darussalam Islamic Boarding School (Gontor) never tolerate with many kinds of violence. So, they never thought about the violence activities. They always try to make confortable condition to study and playing. Table 1.4 The Hypotesis Analysis Character Building
Peaceful Thinking
Character Building
Pearson 1 .951(**) Correlation Sig. (2-tailed) .000 N 200 200 Peaceful Pearson .951(**) 1 Thinking Correlation Sig. (2-tailed) .000 N 200 200 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). According to The table 1.4 above, we got information that r score = 0.951. Then the table score = 1,64 and p = 0.000 < 0.05. It means Ho was rejected and recieved H1. So, there were any correlation between character
314 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies building and peaceful thinking of students at Darussalam Islamic Boarding School. The Discussion As far as the history of Islamic education in Indonesia is concerned, modern pesantren can be regarded as new genre of pesantren. The Pesantren Darussalam of Gontor, Ponorogo, was established in 20 September 1926 by three brothers — KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fannani, and KH. Imam Zarkasyi. This pesantren is also called pondok modern (modern pesantren), in a sense that it not only adopts madrasah system, but also teaches Arabic and English to the students intensively and practically. In daily conversation among the students within the pesantren, all santris are obliged to speak Arabic or English — they are not allowed to speak Indonesian. In addition, unlike the majority of other pesantrens, pondok modern Darussalam, Gontor includes the works of reformist Muslim thinkers in its curriculum. The works of Abduh, for instance, are placed as important subject matters in the pesantren. The objective of Pesantren Gontor, as mentioned is to produce kader Muslim (Muslim cadres) by combining the excellences of both traditional and modern pesantren education systems. In addition to secular subjects, the pesantren also urges the santris about the significance of art. Accordingly, music, sport and other extra-curricular activities are among the concerns of pesantren’s leaders. The pesantren is also intended to provide education capable of responding to Muslim challenges amid the socio-cultural life of Indonesian society which begin to enter modern world. It is important to mention that Pesantren Gontor was established in the crucial period of Islamic development in Indonesia. Following the ethical politics implemented by the Dutch colonial administration, coupled with the establishment of international network with the center of Islamic reform in Cairo, Egypt, the Islamic education in Indonesia went through fundamental changes. This was marked by the establishment of new Islamic educational institutions, which adopt modern education system, instead of traditional education system of pesantren. The modern Islamic education institution — well-known as madrasah — then became an important part of Islamic reform movement during the early decades of 20th century. Accordingly, in addition to introduce new system and instructional methods — ranging from adopting grading model with class division, employing text books as learning tools, to accommodating secular subjects in the curriculum — madrasah functioned also as a media for the dissemination of Islamic reform ideas. It became the basis to prepare new Muslim generations who are familiar with the spirit of modernism, an issue that at that time was an overwhelming discourse in Indonesia which started to enter modern world. Accordingly, kader Muslims to be produced by
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 315
Pesantren Gontor are those who are frequently identified as “Muslim intellectuals”. The self-definition of Pesantren Gontor as a modern pesantren, as has been mentioned, is basically aimed at attempting itself to be in contrast to traditional pesantren, which is to some extent identical to stagnancy of thought, and to ineffective as well as inefficient managerial system of education. Imam Zarkasyi, one of the founding fathers of Pesantren Gontor, is of the opinion that a modern pesantren should implement freedom of thought, effective and efficient management, and introduce santri toward modernity. Parallel to other reformist Muslim, he also invites Muslims not to be too fanatical towards a certain madhhab, since this would lead to the absence of the freedom of thought. Indeed, with regard to religious ritual practices, Pesantren Gontor is not fanatical to a certain madhhab. The manifestation of modern education of Pesantren Gontor can be seen from KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah) system, i.e. a six-year secondary level of education (equal to SMP and SMA). In this respect, KMI constitutes a combination between madrasah and pesantren system. The decision to adopt this kind of education system was influenced by the school experiences of Imam Zarkasyi, from a pesantren in Solo, Thawalib of Padang Panjang in Sumatra, and Normal Islam School or also called Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah. In addition, it is also important to note here his experience in establishing and being the director of Muhammadiyah Kweekschool in Padang Sidempuan. With all those experiences, Imam Zarkasyi then tried to combine pesantren and modern school. The KMI is a madrasah plus pesantren. Thus, the concept of modern pesantren introduced by Imam Zarkasyi has become a blueprint and genre for the development of the next modern pesantren. Zarkasyi’s students who are now spreading all over Archipelago establish a number of similar pesantren pioneered by the kyai. During the period of 1970-80s, a couple of Gontor alumni established pesantrens in their own region. In Banten, Pesantren Daar El-Qalam was established in Gintung Balaraja; in Madura Pesantren Al-Amin was established in Prenduan Sumenep; in Central Java Pesantren Pabelan was established in Pabelan; Pesantren Modern Assalaam was established in Solo; and many others. Those pesantrens are frequently called pesantren alumni (meaning the alumni of Gontor), the second generation which have influenced the model of other modern pesantrens in their later development. It should be noted that in the course of its development, pesantren alumni are not always implementing the standardized model of Pesantren Gontor. The Modern Pesantren Assalaam, for example, has developed a different model. The full name of this pesantren is Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam, located in Pabelan, Kartasura Sukoharjo, Central Java. At the outset, Pesantren Assalaam is a branch of Pesantren Ngruki, which will be discussed exclusively in this paper. In the beginning of 1980s, when
316 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Pesantren Ngruki began to operate, the capacity of the pesantren could not accommodate all the registered students because of an overwhelming interest of parents to send their children to Pesantren Ngruki. Consequently, a decision was made to find another location to accommodate the students. A spot in Pabelan village located in Kartasura was eventually chosen as location to establish a pesantren. The new pesantren was named Assalam. As a branch of Pesantren Ngruki, Pesantren Assalam received supports from Ngruki, including teaching staff. Even though some of pesantren alumni have not been adopting Gontor curriculum anymore, few of them are still implementing the Gontor standardized model. Accordingly, there emerge terms: pure Gontor and non-pure Gontor. The pure Gontor is a term addressed to pesantrens which follow Gontor tradition per se. Meanwhile non-pure Gontor are those which, in addition to adopt Gontor’s curriculum, implement national and local curriculum. The emergence of terms pure Gontor and non-pure Gontor do not merely show the two variants of pondok modern, but sometimes they provoke conflict between pesantren alumni and Pesantren Gontor itself. Gontor desires pesantren alumni to imitate its model. Meanwhile, the later want to make modification and adjustment in line with community interests. Sometimes the conflict is more complex than merely a matter of curriculum and grading system, let alone pertaining social recognition and influence. Pesantren Al-Zaitun, located in Indramayu, West JAva, can be categorized as pesantren alumni. Panji Gumilang AS was the student of K.H. Imam Zarkasyi. Although Pesantren Zaitun was established few years ego, it has been going through so amazing development that provoked bad news and jealousy from other pesantren. It is informed that there is unharmonious relationship between Gontor and Zaitun, since they compete to gain influence and recognition from society. There is another modification carried out by pesantren alumni, especially regarding Islamic ‘Aqidah course. Pesantren Gontor is considered not so strong enough in teaching ‘Aqidah that makes its alumni have various religious-ideologies. The Gontor alumni vary, ranging from a reformist Nurcholish Madjid, an intellectual who brought forth Islamic reform, to a conservative such as Kyai Khalil Ridwan, the leader of Pondok Pesantren Al-Husnayain. This phenomenon, according to Khalil Ridwan himself, who also the leader of BKSPP (Badan Kerjasama antar Pondok Pesantren) — a forum for Gontor alumni — is resulting from limited education of ‘Aqidah in Gontor so that santri experience ideological disorientation. One thing to be kept in mind in discussing Pesantren Gontor and pesantren alumni is their contribution in establishing new foundation for the development of pesantren in Indonesia. Moreover, the modern education system of Gontor at the same time also introduced santri towards some principles of modernity. Besides various facilities, there are a number of significant aspects which can be regarded as being supportive to
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 317
the implementation of modern principles, which can be taken from the courses in pesantren, especially fiqh, usul al-fiqh, al-adyan (comparative religion), and Civics. These courses are potential to socialize the values of pluralism, because they admit diversity both in the idea and practical levels. It is the recognition of the existing different opinion that in turn leads the santris to have tolerant attitude, one of the significant values of modernity. THE CONCLUSION Darussalam Islamic Boarding School to promote unity in diversity: (1) As the Islamic Boarding School Darussalam (gontor) thought that the other cultures and religions should not be misrepresented. Educational institutions and media outlets should be held responsible not to propagate or perpetuate hate against any group of people and their recognized faiths and values. (2) Tolerance must be practiced on all levels: individual, groups and states. It should be a political and legal requirement. Tolerance is the responsibility that upholds human rights, pluralism (including cultural pluralism), democracy and the rule of law. (3) There are several levels of tolerance. But we can emphasize two levels here in: (a) Tolerance between the members of the same community and same religion. As we are aware people of the same religion have differences of interpretation and understanding. Although they have common sources, common principles but they do vary in their interpretation due to various reasons. Here we need inter-community dialogues and building of relations to minimize contradictions and inconsistencies in our thinking or behavior. (b) Tolerance between the people of different faiths and cultures. Here we need interfaith relations and dialogues. Of course we have core differences in our religions but we must try to understand each other. As we learn about our own faith traditions and communities, we should also learn about others. Someone rightly said, “Understanding others changes us.” By understanding we learn the areas of commonalities as well as differences. We can learn the nature of differences and the extent of differences. We must look what kind dialogues could be of value, and what issues are most in need of respectful dialogue in these times. What concerns for the wellbeing of others should drive our efforts to reach common ground for action. Each group must encourage and facilitate shared responsibility to create a more sensitive and welcoming environment for our diverse groups. REFERENCES Abaza, Mona, Islamic Education, Perceptions and Exchanges: Indonesian Students in Cairo, (Paris: Cahier de Archipel, 1994).
318 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Al Chaedar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam, (Jakarta: Darul falah, 1999). Al Chaedar, Sepak Terjang KW IX: Abu Toto Syekli AS Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca SM Kartosuwirjo, (Jakarta: Madani Press, 2000). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Pendidikan AlMukmin Surakarta, (Surakarta: YPIA, 1992). Awwas, Irfan S. (ed.), Mengenal Majelis Mujahidin: Untuk Penegakan Syariah Islam, (Yogyakarta: Markaz Pusat Majelis Mujahidin) Azra, Azyumardi, “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle-eastern and Malay-Indonesian “Ulama” in the Seventeenth and Eighteenth”, Ph.D dissertation, Colombia University, New York, 1992. Bidang Tarbiyah PP Persis. Pedoman Sistem Pendidikan Persatuan Islam. (Bandung: PP Persatuan Islam, 1996). Dhofier, Zamakhsari, Tradition & Change In Indonesian Islamic Education, (Jakarta: MORA, 1995) Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta: LP3ES, 1984). Direktori Pondok Pesantren Proyek Peningkatan Pondok Pesantren, Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2000. Effendy, Bahtiar, Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia, (Michigan: UMI Dissertation Services, 1994) Encyclopaedia Britannica Deluxe Edition CD-ROM. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Departemen Agama, 1992/1993. Federspiel, Howard M. Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia. (New York: Cornell University, 1970). Feisal, Yusuf Amir. “Pesantren Gaya Baru, Sebuah Usulan.” Risalah, No. 7/Nopember 1993, h. 16-17. Gamma: Indonesian Digital news, 03 Februari 2002 Geertz, Clifford, “The Javanese Kijaji: the Changing Role of a Cultural Broker”, CSSH, vol. 2, 1960, pp. 228-249. Geertz, Clifford, The Religion of Java, (New York: The Free Press, 1960). Hadi, Noor (ed.), Mengenal Sekilas Pondok Pesantren Islam “Al-Mukmin” Ngruki Surakarta, (Solo: Litbang PP Islam Al-Mukmin, tt.).
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 319
Hamid, Hamdani. Usaha Pembaharuan Pendidikan: Perubahan Kurikulum Pesantren Persatuan Islam. (Bandung: CV. Dasita, 1993). Hamzah, Abu Bakar, Al-Imam: Its Role in Malay Society 1906-1908, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1981). Horikoshi, Hiroko, Kiyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987). International Crisis Group (ICG), Al-Qaeda in the Soutbeas Asia: The case of the “Ngruki Network” in Indonesia, www.crisisweb.org Joan V. Bondurant, Conquest of Violence: The Gandhian Philosophy of Conflict (Princeton: Princeton University Press, 1988) Johns, A.H., , From Coastal Settlements to Sekolah Islam and City: Islamization in Sumatra, the Malay Penensula and Java”, dalam, Indonesia: The Making of A Culture, (Canbera: Research School for Pacific Studies, 1980). John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies (Washington: US Institute of Peace, 1997) Karim, M. Rusli, Dinamika Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, (Yogyakarta: Hanindita, 1985). Kartodirdjo, Sartono, The Peasant Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Courses, and Sequel, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1966). Laporan Akhir Akreditas KMI, PPIM UIN Jakarta, 2004. Laporan Akhir Studi Pengembangan Sub-Sektor Pendidikan Madrasah pada Proyek Peningkatan Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah ADB Loan 1519-INO, Jakarta: PT Amythas Experts and Associates, 2003. Manguluang, Hamzah, Riwayatku dan Riwayat Guru Besar Kyai H.M. As’ad. Sengkang (terbitan sendiri); Matheson, Virginia dan M.B. Hooker, “Jawi Literature in Patani: the Maintenance of an Islamic Tradition”, JMBRAS, vol. 16, I (1988), hal. 1-86. Nagazumi, Akira, The dawn of Indonesian nationalism: The early years of Budi Utomo, 1908–1918, (Tokyo: Institute for Developing Economies, 1972). Nurmawan. “Quovadis Persatuan Islam?.” Risalah. No. 5 Th. XXXV, Juli 1997. Nursalim, Muh, Faksi Abdullah Sungkar dalam Gerakan NII Era Orde Baru, (Thesis pada Program Magister Islamic Studies di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001)
320 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Othman, Mohammad R., “The Middle Eastern Influence on the Development of Reli-gious and Political Thought in Malay Society, 1880-1940”, (dissertasi Ph.D., University of Edinburgh, 1994). Rahman, Ahmad, Guruta H. Muhammad As’ad Al-Buqisiy (Pelopor Pendidikan di Sulawesi Selatan), Seminar Hasil Penelitian Rutin (tidak diterbitkan), Badan Litbang Agama, Balai Penelitian Lektur Keagamaan Ujung Pandang, 1996. Risalah, “Menuju Pesantren Mumpuni.” No. 7/Nopember 1993, h. 14-15). Risalah. “Pesantren Persis Pajagalan.” No. 1, Th. XXIII, Jumadits Tsaniyah 1405 H/Maret 1985, h. 26-27. Ristiyanto, Sugeng, A Study on Management Perspective in Relation to the Existance of Islamic Institution: Pesantren Islam AI-Mukmin Ngruki Sukoharjo, (Thesis pada Program magister Islamic Studies di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2000) Ronald Alan Lukens-Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction, PhD Dissertation, Arizona State University, 1997. Santosa, June Chandra, Modernization, Utopia and the Rise of Islamic Radicalism in Indonesia, (Dissertation in Boston University, 1996). Setiawan, Aking. “mencari Rumusan Tujuan Pendidikan Pesantren.” Risalah, No.3, Th.XXIII Sya’ban-Ramadhan 1405 H/Mei 1985. Statistik Madrasah Indonesia 2002-2003, Depag. Statistik Pondok Pesantren Indonesia 2002-2003, Depag Tapol, Indonesia: Muslims on Trial, (London: Tapol, 1987). Turmudi, Endang (1995), “The Charismatic Leadership of The Kyai in Contemporary East Java: Field Notes from Jombang”, dalam Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, year XXII nomor 2, Jakarta: LIPI. Umam, Saiful dan Azyumardi Azra, Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial-Intelektual. Jakarta: Badan Litbang Agama, Departemen Agama, 1998. Wahid, Abdurrahman, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974). Wijoyo, Alex Soesilo, “Shaykh Nawawi of Banten: Texts, Authority, and the Gloss Tradition”, (Ph. D. Dissertation, Colomnia University, New York, 1997).
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL SUKU BADUY BANTEN1 Amirulloh Syarbini2 UIN Sunan Gunung Djati, Bandung (
[email protected]) Abstrak: Ada banyak masyarakat adat di Indonesia yang sampai saat ini masih memelihara kearifan lokalnya dan terbukti ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan yang disebut sebagai pendidikan tradisi, termasuk pendidikan budi pekerti atau karakter secara baik. Salah satu masyarakat adat dimaksud adalah Suku Baduy yang ada di daerah Lebak, Banten. Penelitian ini bertujuan menggali, menemukan, dan merekonstruksi nilai-nilai luhur yang terdapat dalam masyarakat adat Suku Baduy Banten yang nantinya dapat diterapkan dalam pengembangan pendidikan karakter di Indonesia. Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah: Nilai-nilai luhur apa saja yang terdapat pada masyarakat adat Suku Baduy dan bagaimana mereka menanamkan serta mewariskan nilai-nilai luhur tersebut kepada anak cucu keturunannya? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptifanalitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Analisis datanya melalui: reduksi data, penyajian data, verifikasi data dan penarikan simpulan. Hasil penelitian ini adalah: Suku Baduy merupakan salah satu kelompok masyarakat yang unik, spesifik, serta memiliki ciri khas yang berbeda dengan suku-suku lain yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku Baduy adalah masyarakat yang patuh serta taat dalam melaksanakan amanat leluhurnya, kehidupan sehari-harinya amat sangat kental dengan berbagai penerapan hukum adat yang memerintahkan mereka selalu memelihara dan menjaga alam dengan tidak mengubah, apalagi merusaknya. Keyakinan kebenaran mereka terhadap hukum adat benar-benar telah teruji sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang, mereka begitu ikhlas menerima keberadaan dan tugas kesukuannya dengan segala konsekuensinya, mereka tidak pernah berontak dengan kesederhanaan hidupnya, mereka selalu membudayakan hidup bergotong royong, tolong menolong dan juga mentradisikan musyawarah dalam kesehariannya. Waktunya mereka habiskan untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai cara sesuai kemampuannya. Mereka tidak pernah mengganggu orang lain, apalagi sampai merugikan orang lain. Refleksi perilaku yang mereka tampilkan bukan mengada-ada atau semata-mata penampilan belaka, tetapi itu semua merupakan bentuk karakter yang ditanamkan secara terus menerus pada setiap anak cucu keturunan mereka melalui proses pendidikan 1 Makalah ini diajukan untuk mengikuti Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke- 13 di Mataram tanggal 18-21 November 2013. 2 H. Amirulloh Syarbini, M. Ag., lahir di Cilegon, 13 Juni 1980. Menyelesaikan S2 di Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2006), dengan predikat cumlaude. Sehari-hari beraktivitas sebagai dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, mengampu matakuliah Pemikiran Pendidikan Islam, Sejarah Pendidikan Islam dan Etika Bisnis dalam Islam.
~ 321 ~
322 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies yang panjang dan telah terbukti keampuhannya meskipun zaman terus berganti dan tantangan dari luar terus menyerang. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Kearifan Lokal, Suku Baduy.
A. Pendahuluan Bangsa Indonesia saat ini diyakini sedang mengalami kerusakan moral/akhlak hampir pada semua segmen kehidupan3 dan seluruh lapisan masyarakat.4 Banyak bukti yang menjelaskan terjadinya kerusakan moral di masyarakat tersebut. Pada tingkat elit (pemimpin), rusaknya moral bangsa ini ditandai dengan maraknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada semua instansi pemerintahan.5 Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), praktik KKN di Indonesia tahun 2012 naik menjadi 2,8% dari 2,6% pada tahun 2011. Dengan skor ini, peringkat korupsi Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni sebagai negara yang paling korup pertama dari 12 negara di Asia dan berada di urutan ketiga dari 180 negara di dunia berdasarkan hasil penilaian lembaga penelitian internasional, seperti Political and Economic Rich Consultancy di Hongkong dan Transparancy Global Index di Jerman.6 Sementara itu, pada tingkat bawahnya (rakyat), hancurnya moral bangsa ini ditunjukkan dengan merajalelanya berbagai tindakan kejahatan dan kriminal di tengah-tengah masyarakat seperti penipuan, pencopetan, pencurian, perampokan, perkosaan, pembunuhan, dan termasuk juga tindakan kekerasan, baik atas nama ras, suku, budaya, dan agama.7 3 Sunatra, “Internalisasi Karakter Bangsa Perkokoh Kepribadian dan Identitas Nasional”, dalam Dasim Budimansyah dan Kokom Komalasari (ed.), Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa, (Bandung: Widya Aksara Press & Laboratorium PKn UPI, 2011), cet. ke-1, hlm. 151. 4 Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), cet. ke-4, hlm. 1. 5 KKN di Indonesia adalah fakta dan ironi. Fakta, karena tidak ada yang dapat menyangkal keberadaan kejahatan KKN yang telah dan tengah bekerja secara masif, sistemik, dan terstruktur pada sistem politik, sosial, dan kemasyarakan. Ironi, karena dampak KKN tidak sekedar menimbulkan kerugian keuangan negara yang mencapai angka triliunan rupiah, tetapi menghancurkan sumber daya terkait dengan kemanusiaan, sosial, dan alam. Bahkan KKN dapat merusak sistem demokrasi, mendelegitimasi terwujudnya supremasi hukum, dan mendegradasi pembangunan berkelanjutan. Lihat, Bambang Widjoyanto, et al., Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, (Bandung: Mizan, 2010), cet. ke-2, hlm. ix. 6 Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, (Jakarta: Aditya Media, 2012), cet. ke-3, hlm. 10. 7 Kekerasan di negeri Indonesia tak pernah berujung. Kekerasan seolah-olah menjadi fenomena eksesif yang berlangsung di hampir semua ranah kehidupan. Dari kaum elite sampai rakyat tak sepi dari kekerasan. Demikian pula kekerasan mengatasnamakan agama. Lihat Amirulloh Syarbini, et al., Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Jakarta: Quanta, 2011), cet. ke-1, hlm. 1.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 323
Kerusakan moral juga terjadi di kalangan pelajar dan remaja. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas, penyalahgunaan narkoba, peredaran foto dan video porno, serta tawuran pada kalangan pelajar dan remaja. Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi BKKBN, M. Masri Muadz, mengatakan bahwa 63% remaja Indonesia pernah melakukan seks bebas. Sedangkan remaja korban narkoba di Indonesia ada 1,1 juta orang atau 3,9% dari total jumlah korban. Selain itu, berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,8% atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.645.835 siswa di DKI Jakarta.8 Data lain menunjukkan, dari 385 remaja kita, 18,4%-nya menyatakan telah melakukan intercouse before married (sex pra nikah). Lebih parah lagi, 53,5% menyatakan motivasinya adalah sekedar coba-coba. Sedangkan yang disebabkan oleh cinta 23,9% dan karena desakan kebutuhan biologis sebesar 14,1%. Lalu, selepas melakukannya mereka menyatakan puas/senang (53,5%), merasa biasa saja (36,6%) dan yang menyesal hanya 9,9%. Dengan siapa mereka melakukan perzinahan itu? Jawabannya, dengan pacar (70,4%), dengan WTS (11,3%), dengan teman (9,9%), dan lain-lain (8,4%). Lalu, di mana mereka melakukan perzinahan? Mereka menjawab, di hotel (43,7%), di rumah sendiri (23,9%), di mobil (22,5%), dan lain-lain (8,13%).9 Berbagai kerusakan moral di atas mengindikasikan telah hilangnya nilai-nilai karakter (nirkarakter) yang melekat pada bangsa kita sebelumnya, seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan, rasa malu, tanggung jawab, kepedulian sosial, dan sebagainya. Kondisi ini pasti menjadi keprihatinan kita bersama. Untuk itu, perlu dan harus ada usaha untuk menjadikan nilai-nilai itu kembali menjadi budaya dan karakter bangsa yang bisa kita banggakan di hadapan bangsa lain. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan memperbaiki model pembangunan kita, yaitu lebih menitikberatkan pada pembangunan karakter. Pembangunan karakter bangsa sebenarnya merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa. Untuk mendukung perwujudan cita-cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah 8 Dharma Kesuma, et al., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), cet. ke-1, hlm. 2-3. 9 M. Susanto, “Kenakalan Remaja Indonesia”, Deteksi, (Jakarta), 18 Maret 2000, hlm. 2.
324 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 20052015, yang menempatkan pendidikan karakter sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.” Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”10 Fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita, seperti diamanatkan oleh UUSPN di atas, intinya adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan atau pembangunan karakter (character building) peserta didik ke arah yang lebih baik. Membangun karakter peserta didik membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Pemerintah kita, yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tiada henti-hentinya melakukan upaya-upaya untuk perbaikan karakter peserta didik. Salah satu upaya untuk mewujudkan pelaksanaan pendidikan karakter tersebut, Kemendiknas menyusun berbagai buku pedoman mengenai pendidikan karakter dan membuat sekolah rintisan (school piloting) yang mengimplementasikan pendidikan karakter (best practice) di semua jenjangnya. Prosedur pengembangan pendidikan karakter di sekolah dilakukan melalui tahap: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengkondisian, dan (4) penilaian dan tindak lanjut. Sedangkan strategi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah merupakan satu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap sekolah. Strategi tersebut dapat dilakukan pada ranah: (1) kegiatan pembelajaran, (2) pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, (3) kegiatan kokurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler, dan (4) kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat.
10 Anonim, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3” dalam Kompilasi Perundangan Bidang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), cet. ke-1, hlm. 101.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 325
Adapun nilai-nilai karakter yang hendak dikembangkan di sekolah adalah: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri (8) demokratis (9) rasa ingin tahu (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.11 Delapan belas nilai tersebut sesungguhnya bersumber dari agama, falsafah, dan budaya bangsa. Oleh karena itu, untuk mengembangkan pendidikan karakter semestinya selain memperhatikan nilai-nilai luhur agama dan falsafah negara, juga penting untuk menggali nilai-nilai luhur budaya yang terdapat dalam kelompok masyarakat Indonesia. Nilai-nilai luhur yang dimiliki kelompok masyarakat Indonesia ini sudah merupakan milik bangsa sebagai potensi yang tak ternilai harganya, terutama untuk pembentukan karakter bangsa. Dalam konteks itulah, masyarakat adat yang masih tetap eksis dan memelihara local wisdom-nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pendidikan karakter. Menurut Alwasilah, ada banyak masyarakat adat di Indonesia yang sampai saat ini masih memelihara kearifan lokalnya dan terbukti ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan yang disebut sebagai pendidikan tradisi, termasuk pendidikan budi pekerti atau karakter secara baik.12 Salah satu masyarakat adat dimaksud adalah Suku Baduy yang ada di daerah Lebak, Banten. Berpijak dari pemikiran di atas, maka penelitian ini bermaksud menggali, menemukan, dan merekonstruksi nilai-nilai luhur yang terdapat dalam masyarakat adat Suku Baduy yang nantinya dapat diterapkan dalam pengembangan pendidikan karakter di Indonesia. Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah, nilai-nilai luhur apa saja yang terdapat pada masyarakat adat Suku Baduy dan bagaimana mereka menanamkan serta mewariskan nilai-nilai tersebut kepada anak cucu keturunannya? B. Konsep Karakter dan Pendidikan Karakter Apa itu pendidikan karakter? Sebelum dijelaskan makna dari pendidikan karakter, terlebih dahulu akan diuraikan definisi dari karakter. Secara etimologis, kata karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.13 Dalam bahasa Inggris, karakter (character) diberi arti a distinctive 11 Anonim, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011), cet. ke-1, hlm. 3. 12 Chaidar Alwasilah, dkk, Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, (Bandung: Kiblat, 2009), cet. ke-1, hlm. 50. 13 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet.ke-14, hlm. 521.
326 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies differentiating mark, tanda atau sifat yang membedakan seseorang dengan orang lain.14 Sedangkan secara terminologis, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai karakter. Doni Koesoema menjelaskan bahwa istilah karakter sama dengan kepribadian, yaitu ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.15 Menurut Endang Sumantri, kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein dan kharax, yang maknanya tools for making, to engrave, dan pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Prancis “caracter” pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” sebelum akhirnya menjadi Bahasa Indonesia “karakter” yang berarti sifat yang tidak berubah-ubah.16 Wynne menjelaskan bahwa kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu, orang yang berprilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Lebih jauh Alport, seorang tokoh psikologi dari Amerika yang mengembangkan teori kepribadian, mendefinisikan karakter sebagai penentu bahwa seseorang sebagai pribadi (character is personality evaluated). Menurut Frued, character is striving system wich underly behavior. Menurut Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Ahmad Tafsir menganggap bahwa karaker lebih dekat atau sama dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.17 Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter adalah suatu sifat yang mantap, stabil dan khusus yang melekat dalam pribadi seseorang yang membuatnya bersikap dan bertindak secara 14 Martin H. Manser, Oxford Learner Pocket Dictionary, (USA: Oxford University Press, 1995), cet. ke-6, hlm. 218. 15 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Gramedia, 2007), cet. ke-2, hlm. 80. 16 Endang Somantri, Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa, (Bandung: Laboratorium PKn UPI, 2011), cet. ke-1, hlm. 151. 17 Amirulloh Syarbini, Buku Pintar Pendidikan Karakter, (Jakarta: Asaprima Pustaka, 2012), cet. ke-1, hlm. 7.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 327
spontan, tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan dan tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Dari konsep karakter ini muncul istilah pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991). Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Sedangkan di Indonesia sendiri, istilah pendidikan karakter mulai diperkenalkan sekitar tahun 2005-an. Hal itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter (character education) ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.” Lalu, apa itu pendidikan karakter? Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah “pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan akhlak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.” Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotorik). Dengan kata lain, pendidikan karakter harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan. Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.18 Definisi yang lain dikemukakan oleh Fakry Gaffar19, pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk 18 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa, (Bogor: IHF, 2004), cet. ke-1, hlm. 95. 19 Dharma Kesuma, et. al., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), cet. ke-1, hlm. 8.
328 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah bukan jenis mata pelajaran seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau lainnya, tapi merupakan proses internalisasi atau penanaman nilai-nilai positif kepada peserta didik agar mereka memiliki karakter yang baik (good character) sesuai dengan nilai-nilai yang dirujuk, baik dari agama, budaya, maupun falsafah bangsa. C. Kearifan Lokal (Local Wisdom) sebagai Basis Pendidikan Karakter Supaya tidak terkesan just naming (bermain-main kata untuk sebuah nama), penulis perlu menyinggung pengertian “kearifan lokal” terlebih dahulu. Secara harfiah, kearifan lokal memiliki basis teoritis secara geneologis dengan teori-teori lain yang mendahuluinya, terutama teori antropologi dan pendidikan. Dalam perspektif antropologi, Indonesia terdiri dari ratusan suku. Dalam suku bangsa Indonesia ini memiliki kebudayaan sendiri, memiliki nilai-nilai luhur sendiri, dan memiliki keunggulan lokal atau kearifan lokal (local wisdom) sendiri. Sedangkan dalam perspektif pendidikan dikatakan bahwa pendidikan merupakan transformasi sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain dalam suatu prosess masyarakat. Tilaar menjelaskan bahwa pendidikan merupakan “proses pembudayaan”20. Dengan kata lain, pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika berbicara tentang pendidikan, maka kebudayaan pun ikut serta di dalamnya. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula praksis pendidikan selalu berada dalam lingkup kebudayaan. Dalam konteks itulah, menurut Alwasilah lahir pendidikan bermakna deliberatif, yaitu “setiap masyarakat berusaha mentransmisikan gagasan fundamental yang berkenaan dengan hakikat dunia, pengetahuan, dan nilainilai yang dianutnya.”21 Hal inilah yang kemudian melahirkan istilah Etnopedagogi, yaitu praktik pendidikan berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilainilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal, berupa tradisi, petatah-petitih, dan semboyan hidup. Pengertian kearifan lokal jika dilihat dari segi bahasa Inggris, terdiri dari 2 kata, yaitu local dan wisdom. Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain, kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat 20 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet. ke-1, hlm. 56. 21 Chaidar Alwasilah, Etnopedagogi..., hlm. 16.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 329
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.22 Dengan demikian yang dimaksud pendidikan karakter berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan kepada peserta didik untuk selalu dekat dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah model pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup dengan berpijak pada potensi lokal atau nilai-nilai luhur yang terdapat pada tiap-tiap daerah. Karena potensi lokal tiap daerah di Indonesia sangat banyak dan berbeda-beda, maka tentu saja nilai-nilai luhur yang berkembang pun berbeda. Di sinilah diperlukan kecerdasan pendidik (guru) dalam memilih nilai lokal mana yang mesti dikembangkan, direkonstruksi dan ditransmisikan kepada peserta didik. Sebaliknya, potensi lokal mana yang perlu diabaikan, di-delete, dan dijauhkan dari peserta didik. D. Mengenal Lanskap Sosio-Kultural Suku Baduy Mendengar nama atau istilah Baduy bukanlah hal yang asing. Ketika nama ini disebut, maka masyarakat langsung mengatakan bahwa Baduy adalah nama sebuah suku yang bagi masyarakat luar Baduy –sampai saat ini- masih menganggap mereka sebagai sebuah masyarakat yang primitif, tertinggal, kolot, tradisional, menolak kemodernan, atau istilah serupa lainnya. Jika dilihat dari letak kondisi geografis dan demografisnya, maka penyebutan di atas, terkesan mendapatkan pembenaran. Karena memang, dilihat kondisi geografisnya, suku Baduy berada di wilayah yang sangat jauh dari areal perkotaan dan jauh dari dunia komedernan. Lebih tepatnya, masyarakat Baduy tinggal di lereng pegunungan Kendeng, yakni 900 meter di atas permukaan laut. Daerah Baduy masuk wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, dan berjarak sekitar 50 km dari Kota Rangkasbitung dan menghuni sekitar 5000 hektar areal hutan.23 Penyebutan mereka dengan sebutan suku Baduy atau Urang Baduy sebagaimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar sebenarnya tidaklah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti; Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu, dan Urang Panamping. 22 Retno Susanti, “Membangun Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Kearifan Lokal”, Makalah disampaikan pada Persidangan Dwitahunan FSUA-PPIK pada tanggal 26 s/d 27 Oktober 2011 di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. 23 Muhammad Hakiki, “Mengurai Kearifan Lokal Model Perkawinan Masyarakat Baduy Banten”, dalam Anonim, Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa, (Jakarta: Direktorat Perguruann Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2011), cet. ke-1, hlm. 386.
330 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Lalu pertanyaannya, dari mana penyebutan istilah Baduy itu berasal? Istilah atau kata Baduy itu sendiri ada yang menduga berasal dari kata “Badawi”, yakni suatu julukan bagi orang-orang yang bertempat tinggal tidak tetap yang hidup di sekitar jazirah Arab. Pendapat ini didasarkan pada kesamaan perilaku orang Badawi dengan kehidupan sehari-hari mereka yang selalu sibuk beraktivitas dari tempat yang satu ke tempat lainnya, dari satu kegiatan ke kegiatan berikutnya, tiada hari tanpa bergerak untuk berladang dan setiap tahun tempat berladang selalu berpindah-pindah (nomaden). Namun, pendapat ini sangat ditentang oleh kesukuan mereka sendiri terutama tokoh adat dan para pemangku adat.24 Mereka menjelaskan bahwa istilah Baduy sebenarnya adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu Sungai Cibaduy yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka, juga berdasarkan nama salah satu bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka, yaitu Bukit Baduy.25 Masyarakat Suku Baduy adalah salah satu masyarakat yang unik. Keunikan itu tampak dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari rumah tempat tinggal mereka yang seragam arah dan bentuknya, yaitu nyulah nyanda menghadap arah Utara-Selatan; bentuk warna pakaian yang khas, yaitu hanya dua warna, putih dan hitam; keseragaman dalam bercocok tanam, yaitu hanya berladang (ngahuma); dan yang tak kalah pentingnya tentang kepatuhan dan ketaatan mereka pada suatu keyakinan, yaitu yakin pada agama Sunda Wiwitan, dan keyakinan itu tidak untuk disebarluaskan kepada masyarakat luar komunitas adat Baduy. Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya sangat kuat, ketat, serta tegas, tetapi tidak ada sifat pemaksaan kehendak. Ini terbukti dengan filosofi hidup yang begitu arif dan berwawasan ke depan serta sikap waspada yang luar biasa dari para leluhur mereka. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan mereka sekaligus dengan aturan hukum adatnya masingmasing yang sarat dengan ciri khas perbedaan, namun mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh. Pertama, komunitas yang menamakan dirinya Suku Baduy Dalam (Tangtu) atau disebut Baduy asli, di mana pola kehidupan sehari-harinya benar-benar sangat kuat memegang hukum adat serta kukuh pengkuh dalam melaksanakan amanat leluhurnya. Suku Baduy Dalam lebih menunjukkan pada replika Baduy masa lalu. Kedua, komunitas yang menamakan dirinya Suku Baduy Luar (Panamping) 24 Para pemangku adat masyarakat Baduy menolak nama Baduy diambil dari istilah “Badawi” yang ada di daerah Arab. Menurut mereka, istilah Badawi, Badui, atau Beduoin merupakan penyebutan yang dilakukan oleh orang Belanda terhadap mereka dengan tujuan untuk merendahkan mereka sebagai orang bodoh dan terbelakang. Lihat Judhistira Garma, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1993), cet. ke-1, hlm. 120. 25 Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. ke-1, hlm. 16.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 331
yang pada kegiatan kehidupan sehari-harinya mereka itu diberi suatu kebijakan atau kelonggaran dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan adat, tetapi ada batas-batas tertentu yang tetap mengikat mereka sebagai suatu komunitas adat khas Suku Baduy. Pola hidup masyarakat Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar secara umum sama, namun pada hal-hal tertentu adanya perbedaan yang cukup mencolok. Di Baduy Dalam sangat dilarang memiliki dan menggunakan barang-barang elektronik, alat makan dan minum yang terbuat dari gelas, plastik dan barang-barang rumah tangga lainnya yang berasal dari luar. Rumah tidak boleh pakai paku, yakni hanya menggunakan pasak dan tali dari rotan dan hanya memiliki satu pintu. Mereka juga dilarang menggunakan alas kaki, baik sandal apalagi sepatu, bepergian dilarang menggunakan kendaraan jenis apa pun, dan dilarang menggunakan pakaian seperti orang luar Baduy. Pendek kata, segala bentuk perilaku dan pola hidup yang berbau “modern” serta bertentangan dengan pikukuh karuhun mereka tolak dan bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi hukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Sedangkan masyarakat Baduy Luar, pola hidup mereka sudah mulai longgar dan terbuka karena memang aturan adatnya memberikan kelonggaran bila dibandingkan dengan hukum adat bagi masyarakat Baduy Dalam. Mereka sudah banyak mengadopsi pola hidup atau gaya hidup masyarakat non-Baduy ke dalam pola hidup mereka sehari-hari walaupun mereka selalu tetap menampilkan ciri khas kesukuan mereka. Desain dan tata ruang rumah sudah bervariasi termasuk jumlah ruangan, jumlah pintu, corak bilik dan jendela, dan diperbolehkan menggunakan paku. Mereka juga diperbolehkan bepergian menggunakan jasa transportasi kendaraan bermotor, baik roda dua ataupun roda empat bahkan beberapa warga sudah memiliki kendaraan, banyak warga memiliki dan menggunakan handphone sebagai alat komunikasi. Alhasil, pola hidup masyarakat Baduy Luar sudah mulai bergeser dan menerima sedikit demi sedikit perubahan sesuai dengan kebutuhan, karena memang filosofi pokok hidup mereka adalah tidak boleh mengubah dan merusak alam.26 E. Nilai-nilai Karakter dalam Kearifan Lokal Suku Baduy Sejarah menunjukkan bahwa masing-masing suku di Indonesia memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, Sunda identik dengan kesopanan, Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta merta, tapi berproses panjang sehingga 26
Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara..., hlm. 94-95.
332 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujian dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya. Dalam bingkai kearifan lokal inilah, masyarakat bereksistensi dan berkoeksistensi antara satu dan lainnya. Hal demikian terjadi pula pada kearifan lokal Suku Baduy. Di samping berfungsi sebagai pembentuk dan penguat identitas kesukuan, kearifan lokal Baduy juga bisa digunakan sebagai penyaring bagi nilai-nilai yang berasal dari luar, dan dapat juga dijadikan pijakan dalam pengembangan nilai-nilai luhur yang hendak diinternalisasikan dalam pendidikan karakter. Lalu pertanyaannya, nilai apa sajakah yang dapat digali dari kearifan lokal Suku Baduy? Berdasarkan hasil penelitian penulis ditemukan beberapa nilai-nilai karakter luhur dalam kearifan lokal Baduy yang dapat ditransmisikan kepada peserta didik/siswa dalam rangka membentuk karakternya. Nilainilai tersebut antara lain: Pertama, peduli lingkungan. Masyarakat Baduy adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi selalu kukuh pengkuh terhadap amanat leluhurnya, terutama dalam memelihara keharmonisan dan keseimbangan alam semesta. Mereka memandang bahwa tugas utama mereka dilahirkan ke dunia ini adalah untuk bertapa. Yang dimaksud bertapa di sini bukan berarti tidak makan, tidak minum, atau tidak tidur, tetapi bertapa dalam bentuk tidak mengubah dan merusak alam agar tetap terjaga keseimbangan fungsi dan manfaatnya demi kesejahteraan dan keharmonisan kehidupan seluruh manusia. Menurut keyakinan mereka, menjaga dan memelihara alam adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika kewajiban itu tidak dipatuhi maka mereka akan dicap sebagai makhluk pendosa karena sudah melanggar petuah leluhur dan juga ajaran Sunda Wiwitan.27 Kepedulian masyarakat Baduy dalam menjaga kelestarian alam terlihat jelas dalam Amanat Buyut berikut, “Buyut nu nitipkeun ka puun, nagara satelung puluh telu, bangan sawidak lima, pancer salawe nagara, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun.” Artinya, buyut yang titipkan ke puun, negara tiga puluh tiga, sungai enam puluh lima, pusat dua puluh lima, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh
27
2013.
Ayah Mursid Cibeo, Tokoh Adat Muda Baduy Dalam, Wawancara, Lebak, 25 Juni
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 333
disambung, yang bukan harus ditiadakan, yang jangan harus dinafikan, dan yang benar harus dibenarkan. Dalam analisa Fathuddin, “Amanat Buyut” tersebut memiliki pola triadic yang menarik. Ketiganya membentuk formasi prinsip, kesungguhan, dan ketegasan dalam berinteraksi dengan tempat tinggal masyarakat Baduy. Ketiga pola tersebut adalah; Pertama, semangat kontinuitas gerakan. Pola pertama ini dapat dibaca pada kalimat “buyut nu nitipkeun ka puun” dan kalimat “buyut teu meunang dirobah.” Kalimat tersebut menunjukkan betapa masyarakat Baduy telah dipersiapkan oleh para pendahulunya sebagai pribadi yang siap melanjutkan segala perjuangan tatakelola kehidupan secara simultan. Ada otoritas yang diberikan pada pemimpin (buyut nu nitipkeun ka puun), namun pada saat yang sama ada nilai yang harus tetap dipertahankan kelestariannya (buyut teu meunang dirobah). Dua kalimat ini laksana konfigurasi pesan senada dengan kaidah hukum Islam “almuhâfazhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih” pada “buyut teu meunang dirobah”, dan “al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh” dengan memberi ruang otoritas pada “buyut nu nitipkeun ka puun.” Kedua, pola yang menunjukkan komitmen prinsip equilibrium (keseimbangan alam). Pola ini nampak pada eksplisitnya jumlah angka yang disebutkan pada kalimat “nagara satelung puluh tilu, bangan sawidak lima dan pancer salawe nagara.” Kemudian selain komitmen pada jumlah hitungan matematis, prinsip keseimbangan dinyatakan secara bernas dalam cara bertindak, seperti pada kalimat, “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang dirempak, lojor teu meunang dipotong, dan pondok teu meunang disambung.” Ketiga, pola yang menunjukkan ketegasan dan kejujuran dalam bersikap dan mengambil keputusan. Pola ini tampak pada kalimat, “nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, dan nu enya kudu dienyakeun.” Ketiga pola di atas merupakan aset yang sangat berharga bagi kesinambungan kehidupan masyarakat Baduy ketika berhadapan dengan alam sekitarnya. Bukan saja bagi masyarakat Baduy secara khusus, namun juga bagi masyarakat Lebak, Banten, dan Indonesia, bahkan dunia.28 Kedua, suka bekerjasama. Tolong menolong atau kerjasama adalah bagian yang tak terpisahkan dari ciri khas masyarakat Baduy. Hampir di setiap kegiatan kemasyarakatan atau kebutuhan individu selalu dikerjakan dengan semangat gotong royong saling membantu, yang dalam bahasa mereka diistilahkan rereongan. Misalnya pada saat pembuatan rumah, saat nyacar huma serang, saat menanam padi (ngaseuk), acara sunatan, pembuatan dan perbaikan jalan atau jembatan dan sebagainya. Dan uniknya adalah tidak mengenal klasifikasi kedudukan atau jabatan ataupun status ekonomi, mereka bersatu padu antara pimpinan adat dengan anggota masyarakat, 28 Ucup Fathuddin, “Ekologi Badawi: Fiqih Lingkungan Baduy” dalam Ahmad Tholabi Kharlie (ed.), Mutiara Al-Qur’an dari Tangsel, (Tangerang Selatan: LPTQ, 2011), cet. ke-1, hlm. 36-37.
334 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies laki-laki dan perempuan semua berpartisipasi secara bersama-sama dan kompak. Ketiga, ketaatan pada hukum. Keikhlasan dan ketaatan masyarakat Baduy dalam menerapkan hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya betul-betul telah mengakar dan mengikat batinnya, sehingga hukum adat bagi mereka bukanlah suatu teori atau pendapat untuk diperdebatkan. Namun, hukum merupakan aturan hidup yang harus ditaati dan sekaligus untuk diaplikasikan dalam setiap aspek kehidupan mereka sehingga hukum adat merupakan hiasan dan pakaian yang melekat erat dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa terkecuali. Singkat kata, mereka sangat meyakini bahwa hukum adat harus ditaati dan dilaksanakan, apalagi hukum itu dilanggar mereka akan mendapatkan kutukan dari Sang Pencipta dan guriang leluhur, dan akibatnya mereka akan hidup dalam kenestapaan. Keempat, kesederhanaan dan kemandirian. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang menganut pola hidup sederhana yang secara mandiri berusaha memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kebutuhan pangan mereka penuhi dengan 2 cara. Pertama, dengan menanam padi di ladang (huma) setahun sekali, hasilnya tidak untuk diperjualbelikan, tetapi disimpan di Leuit (lumbung padi) masing-masing sebagai cadangan atau persiapan bila bila suatu saat terjadi bencana alam yang mengakibatkan kekurangan pangan. Kedua, untuk memenuhi kebutuhan pangan/makan sehari-hari, mereka berusaha sekuat tenaga membeli beras dan kebutuhan lainnya dari para pedagang di sekitar pemukiman mereka. Kesederhanaan mereka lebih lanjut dapat dilihat dari pola hidup mereka terutama dalam hal pakaian dan rumah. Sedangkan kemandirian mereka lebih tampak dari cara mereka menyikapi sesuatu dari “luar” dan memberdayakan apa yang ada di “dalam”. Masyarakat Baduy tidak pernah meminta-minta apalagi sampai mengajukan proposal ke Pemerintah Lebak atau lainnnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal itu pantang mereka lakukan. Namun demikian, mereka tidak pernah menolak bantuan pembangunan dari pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja bagi mereka, hidup sudah cukup dengan mensyukuri yang ada dan menjalani hidup apa adanya, yang terpenting bagi mereka Tuhan ridha, semesta terpelihara, dan leluhur bahagia.29 Kelima, demokratis. Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya (ngamumule pikukuh karuhun) sangat kuat, ketat, serta tegas, tetapi tidak sifat pemaksaan kehendak (bernuansa demokrasi). Ini terbukti dengan filosofi hidup yang begitu arif bijaksana dan berwawasan jauh ke depan serta sikap waspada yang luar biasa (waspada pemana tinggal) dari para leluhur mereka. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan mereka sekaligus 29
2013.
Ayah Mursid Cibeo, Tokoh Adat Muda Baduy Dalam, Wawancara, Lebak, 25 Juni
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 335
aturan hukum adatnya masing-masing yang sarat dengan ciri khas dan perbedaan, namun mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh. Nuansa demokratis di masyarakat Baduy akan lebih tampak lagi dari cara mereka mentradisikan bermusyawarah dalam kehidupan sehari-hari seperti pada saat menentukan pemimpin/tokoh adat suku Baduy. Intisari proses dan pelaksanaan pemilihan tokoh adat atau pemimpin adat di Suku Baduy, diawali dengan pemenuhan syarat-syarat/kriteria pemimpin secara lahiriah dan diakhiri dengan tata cara pemilihan secara batiniah dengan proses tertentu yang dilaksanakan melalui musyawarah lembaga adat tangtu tilu jaro tujuh dengan tahapan-tahapan sidang sampai pada sidang pleno sampai akhirnya tokoh adat dapat terpilih. Keenam, pekerja keras. Masyarakat Baduy dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Hari-harinya mereka lalui dengan berbagai aktivitas yang super padat, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Di sana, kita tidak akan menemukan pemuda Baduy yang nganggur dan remaja Baduy yang hobi nongkrong. Semua berjibaku memenuhi kehidupan hidup dengan bekerja keras. Di pagi hari sampai sore hari mereka mayoritas pergi ke ladang untuk bercocok tanam (ngahuma). Ternyata, perilaku kerja keras juga terlihat ketika mereka melakukan aktivitas di rumah. Sambil duduk di serambi rumah, para perempuan Baduy melakukan aktivitas menenun dengan menggunakan alat tenun seadanya dan juga membuat kerajinan tangan lainnya. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh para laki-laki Baduy adalah membuat gula aren. Selain berhuma (berladang), aktivitas lainnya yang juga biasa mereka lakukan adalah berjualan. Mereka terkadang membawa berbagai hasil bumi dan berbagai kerajinan tangan yang dibuatnya untuk dijual, baik kepada masyarakat Baduy Panamping yang membutuhkan maupun kepada masyarakat luar Baduy. Masyarakat Baduy termasuk masyarakat yang produktif, dalam arti selalu memanfaatkan waktu dengan diisi oleh kegiatan-kegiatan yang menghasilkan dan bermanfaat, apalagi setelah dibuka program Wisata Budaya Baduy. Kegiatan warga lebih intensif termasuk kaum perempuannya, di saat waktu senggang tidak ke ladang mereka menenun berbagai jenis pakaian khas Baduy, misalnya selendang, sarung, pakaian adat, dan lainlain. Bagi kaum laki-laki dimanfaatkan dengan membuat kerajinan anyaman, membuat koja, jarog, tas pinggang, topi, tas model anak sekolah, tempat HP, tempat minuman yang terbuat dari kulit pohon teureup serta bentuk-bentuk kerajinan lainnya sebagai cinderamata khusus Baduy. Semua itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk memenuhi kebutuhan pasar, para pengunjung dan pemesan khusus. Belakangan mereka sudah mulai memunculkan produk bari hasil olahan khusus, yaitu gula jahe dan bandrek Baduy. Ketujuh, kejujuran. Bagi masyarakat Baduy kejujuran adalah harga diri. Artinya, seseorang dihargai, dihormati, dan muliakan oleh masyarakat
336 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies karena kejujurannya. Orang yang tidak jujur tidak ada harga dirinya. Oleh karena itu, orang Baduy dalam kehidupan sehari-hari bicara apa adanya, tegas, ringkas, tidak samar-samar, tidak dikurangi dan tidak pula ditambahkan, jujur, dan menghindari konfrontasi dengan siapa pun. Singkat kata, kejujuran telah menjadi semacam penuntun dan pedoman hidup mereka (way of life) dan itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari sejak nenek moyang mereka lahir sampai pada anak cucunya sekarang. Kejujuran lebih lanjut dijadikan persyaratan khusus oleh masyarakat Baduy untuk menjadi pemimpin. Dalam pandangan mereka, orang yang tidak jujur jangan dipilih menjadi pemimpin, dan orang yang telah menjadi pemimping pantang untuk berbohong atau berlaku tidak jujur. Persyaratan tersebut dapat terlihat jelas pada filsafat dan pepatah Suku Baduy berikut, “Jadi pamimpin mah ulah nyaur teu diukur, ulah nyabla teu diungang, ulah ngomong sageto-geto, ulah lemek sadaek-daek, nu enya dienyakeun, nu ulah diulahkeun, ulah gorok ulah linyok. Tapi jadi pamimpin kudu landung tali ayunan, kudu laer tali aisan, kudu nulung kanu butuh, nalang kanu susah, kudu nganter kanu sieun, ngoboran kanu poekeun.” Artinya, jadi pemimpin itu jangan berbicara tidak terukur, jangan bicara tanpa dipikir terlebih dahulu, jangan berkata seenaknya, yang benar katakan benar, yang dilarang katakan dilarang, jangan menipu dan jangan bohong, tapi jadi pemimpin itu harus bijaksana dalam memutuskan, harus memiliki sifat toleran, harus menolong kepada yang membutuhkan, memberi kepada yang kesusahan, harus memandu kepada yang ketakutan, dan menerangi kepada yang kebingungan (kegelapan).” F. Penutup Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, Suku Baduy adalah satu kelompok masyarakat yang unik, spesifik, serta memiliki ciri khas yang berbeda dengan suku-suku lain yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang patuh serta taat dalam melaksanakan amanat leluhurnya, kehidupan sehari-harinya amat sangat kental dengan berbagai penerapan hukum adat yang memerintahkan mereka selalu memelihara dan menjaga alam dengan tidak mengubah, apalagi merusaknya. Keyakinan kebenaran mereka terhadap hukum adat benar-benar telah teruji sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang, mereka begitu ikhlas menerima keberadaan dan tugas kesukuannya dengan segala konsekuensinya, mereka tidak pernah berontak dengan kesederhanaan hidupnya, mereka selalu membudayakan hidup bergotong royong, tolong menolong dan juga mentradisikan musyawarah dalam kesehariannya. Waktunya mereka habiskan untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai cara sesuai kemampuannya. Mereka tidak pernah mengganggu orang lain, apalagi sampai merugikan orang lain. Refleksi perilaku yang mereka tampilkan
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 337
bukan mengada-ada atau semata-mata penampilan belaka, tetapi itu semua merupakan bentuk karakter yang ditanamkan secara terus menerus pada setiap anak cucu keturunan mereka melalui proses pendidikan yang panjang dan telah terbukti keampuhannya meskipun zaman terus berganti dan tantangan dari luar terus menyerang.*** Daftar Pustaka: Amirulloh Syarbini, Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta: Quanta, 2011. -----------, Buku Pintar Pendidikan Karakter, Jakarta: Asaprima Pustaka, 2012. Anonim, Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa, Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2011. Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Bambang Widjoyanto, et. al., Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, Jakarta: Mizan Publika, 2010. Chaidar Alwasilah, dkk, Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru, Bandung: Kiblat, 2009. Dharma Kesuma, et. al., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Gramedia, 2007. Edy Suandi Hamid & Muhammad Sayuti, Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Jakarta: Aditya Media, 2012. Endang Somantri, Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa, Bandung: Laboratorium PKn UPI, 2011. H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1993. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor: IHF, 2004.
مس تقبل الرتبية الإسالمية بني التحدايت والتوقعات وفرصة العمل) اخلرجيني بني مدى املالءمة (دراسة 1
أسيب أمحد فتح الرمحن: بقمل
Abstract: Relevance of graduates with jobs is very important, because it is an advanced program and parents ambition after graduating. For getting a job or entrepreneurship is one indicator of educational success. The graduates who are working has a positive value, because of avoid unemployment would be lead to economic inequality, poverty, health problems and crime. Therefore, it is the duty of the government to set the rules and infrastructure that supports the relevance. So also with analyzing and identifying needs of the industrial world through observation, surveys and interviews. Increase quantity the vocational schools, changes curriculum, a large budget is some indicator for the relevance reinforcement. But if it did not cooperate and integrate with relevant ministries, the private sector and foreign investors, much of vocational high school (SMK) will not mean anything. Keyword: The future of Islamic education, predicaments, promises, graduate, jobs
خلفية البحث ق مقةدم ) تكون أساسا ومبادئا ملفتاح العلوم والثقافةة واضاةارو والة...اكنت لكمة (اإقرأ بل رب مسمل ومسلمة مالها وملفظه رمز وإاشارو جمرد لسان فصةيح وصةوت بليةق وقلبةه،المم ومفوقها . ذلكل مالومه مالوو ظةاهرو ليسةت طنةةة،مؤجدب وبور من مامون التالوو واضمكة والفوائد البليغة :واحذروا قول رسول هللا صىل هللا عليه وسمل لهذا الةعت نعتا خطريا عن الةة صةىل هللا عليةه و سةمل قةال ( سةر: عن أيب سعيد اخلدري ريض هللا عةه من قبل املرشق ويقرؤون القرأن ل جياوز تراقهيم ميرقون من ادلين كام ميرق السةهم مةن الرميةة
حماضر التفسري الرتبوي وعلم الرتبية يف اجلامعة اإلسالمية "نوسانرتا" باندونج جاوى الغربية1
~ 338 ~
~ 339
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
مث ل يعودون فيه حىت يعود السهم اإىل فوقةه ) .قيةل مةا سة ق ل قةال ( سة ق التحلية أو 2 قال التسبيد ) رواه البخاري دل هذا اضديث عىل ذم من قرأ القرأن ولكن معهل وأخالقه خبالف ما ماله من القرأن الكةر عىل الرمغ ليس معةاه مقلّل جمةرد القةارل لن القةرأن هةو املتع ّبةد بتالومةه فهةل مةن مزيةد مةق القةراءو تكون من قول ومصدي ومعل .وملا اكن أحدهام ذاهبا فيكةون أفال وأحىل حالوو التالوو لن الإميان ّ فاسقا مكؤمن عاص أم منافقا لتعارض القول والتصدي ،يؤكد ذكل عىل وقاية القول والتصدي والعمةل معا بتقوية العوامل ادلاخلية واخلارجية والهداية من نور هللا .نسمع كثةريا مةن املسةلمني عةةدما يصةلون وق يقولون "اللهم اي مقلب القلوب ثبت قل عىل ديةك وناعتك واس تقامتك" مسة القلةب لعةيعة مقلبه. أما مقوية العوامل ادلاخليةة تكةون طإمةالء املةل والعقةل والقلةب طلعلةوم ومغليةب الةةفس عةىل العمةل الصةاي يرفعةه ،ومةن ذكل دوام الصةلوات امخلسةةة جامعةة خالصةا ا معةاىل هةو بو املقبةةول. ومةاول العلوم يكون ّ طلتعمل وادلرو والبحوث وقيعة الانالع عىل جديةد الصةلح وافافظةة عةىل قد الصاي ،هذه من موقف العامل العارف طا معاىل. ونشأ هذا ّ التعمل من اخلطوو الوىل و القراءو ال تزيد املعرفة والاس تطاعة واخلربو ،و ّ اضةث عىل الرغبة يف القراءو هو من العوامل ادلاخلية الة ل بة ّد أن ميلكهةا الطالةب وادلار والباحةث ،ول يكفى هذا اضث جملرد رغبة القةراءو ،هةةاا اناةباو ل بةد أن يطبقةه الطالةب يف حيامةه اليوميةة حةىت يكةةون عةةادو الةةةفس يخيشةةأ وسةةر بةةدون الت طةةي والمةةر لنةةه مالصةةقه كةةام يقةةول أهةةل التقانةةة هةةو يك". "أومومات ّ ونشةةأت هةةذه الرغبةةة لشة ياء جمتذبةةة القلةةب والةةةفس حةةىت سةةاقت لةةرتو القلةةب والةةةفس، فوسائل الرتو الفهم اإىل الهدف والغاية من الإدراا ،مك من نالةب رغةب عةن نلةب العةمل لعةدم عمل الهدف والغاية من نلبه فاجتةب منه وبق حيامه مةن الكسةاىل بةدون اإبةداع وابةتلر والتةا اكن من امجلود والتخلف. قسم ادلكتور حسن الرشقاوى أهداف الرتبية الاسالمية اىل ثالثة فصول ،الفصل الاول هةو عدم الرشا ،اإقامة الصالو ،المر طملعروف والهني عن املةكر ،والفصل الثاين هو الثقة طا ،الصةرب، التواضةةع ،اليقةةني ،الاعتةةدال ،الايثةةار ،والفصةةل الثالةةث هةةو الإحسةةان ،الوفةةاء ،ال هةةد ،الطاعةةة 3 والقنوت. 2حممد بن إمساعيل أبو عبداهلل البخاري اجلعفي ،اجلاام الحاحيا امختحار ،قييا د م محا في ااب البغاا االيماماة -باريو:د ار ابان كثري 1987\ 1407،م) طمالثالثة ،جم ،6صم2748 3حسن الشرقاوى ،حنو الرتبية االسالمية ،ااالسكندراةد مؤسسة ثياب اجلامعة 1983 ،ه) ،صم81م
340 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
غرست هذه الهداف من حية العقائد أول مث معليّا اثنيا لتشكيل الةفس املطمئةةة املسة تعدو الىت مواجه اضياو الشديدو بلك أنواع الغرور واملكيدو ال مصعد الةا أثةاء نريقه اليومية إاما ىف بيئة الوادلين أم ىف املدرسة أم ىف بيئة اللعبة مع زمالئه املراه الىت مالت اىل معامل رذيل غةري ّ معةمل لكغةة فظّ وكذب وقعود أمام الطري وحمادثة ما ل يعةيه بل أذى اإىل العدوو بسبب الاس هتزاء حىت يوشةك اإىل التةازع طلرضب واحدا فواحدا مث نرش بني فرقة وفرقة بسبب اسة تفزاز وأييةة أخةرى ديةةا اكن أم س ياس يا اكن أم اإقتصاداي اكن أم حزط وغريها. وأهداف الرتبية ليست جمرد املعريف بل أوسةع مةن ذكل و الوجةدان واضةرز .وزن الةةا أن أهداف الرتبية لةيل العمل بسهوةل مثل أن يكون عامال أو موظف اضكومة بأجرو اثبتة ىف لك شهر أو ىف الرشاكت املتعددو اجلخيس يات بأجرو كبريو حىت لةوا حيةاو نيبةة بقةدرو باء البيةت وأاثثةه والس يارو ،واملزرعة وغري ذكل .لقد أشار القرأن لهذه الصفات: ُ(زِّي ّ َن ِّللةَّا ِّ ُح ُّب الشَّ ه ََو ِّات ِّم َن ال ِّخي ّ َسا ِّء َوالْ َب ِّة َني َوالْقَنَا ِّن ِّري الْ ُمقَ ْن َط َر ِّو ِّم َن ا َّذله َِّب َوالْ ِّفاَّ ِّة َوالْ َ ْيةلِّ اَّلل ِّع ْةدَ ُه ُح ْس ُن الْ َمأَ ِّب) سةورو أل معةرأن: الْ ُم َس َّو َم ِّة َو ْالن َعا ِّم َوالْ َح ْر ِّث َذ ِّ َكل َمتَا ُع الْ َح َيا ِّو ادلُّ نْ َيا َو َّ ُ .41 هكذا ىف اضياو الواقع ّيةة أن مقةدار الةحةاح ىف نلةب العةمل هةو العمةل ونيةل املةواد الاة مة، ولكن ىف املثاىل ليس هو فقة بةل طلعةمل يةةال املوفة الصةاي والصةحة والسةوذ املسة تقبل والهةدف والسالم حىت يكون حيامه ذا بركة ومنفعة وكذكل التقدم والتفوق اذلى هةو حاةارو مثاليةة ىف الع ة اضديث ،هذا لنةا أ اليوم ورجال الغد ،فالعمل واملس تقبل هام ثقافةة حاةارو سة تطيع مواهجةة أ ّي حتدايت الع وحتقي التوقعات. هةةذه اخللفيةةة سةةاق الباحةةث لبحةةث مسة تقبل الرتبيةةة الاسةةالمية بةةني التحةةدايت والتوقعةةات بتحليل دراسة اخلةرجيني وفرصةة العمةل ،ويكةون هةذا املوضةوع مةن القاةااي والاشةاعات اضديثةة ىف الرتبية والتعلمي. مشلكة البحث صيق ادلكتور سعيد اإسامعيل عةىل أن للش صةية مسة توايت ثالثةة مهنةا املسة توى الاول هةو مسة توى الةةوع والادراا املعةةريف ،واملسة توى الثةةاى هةةو مسة توى العانفةةة والوجةةدان ،واملس ة توى الثالث هو مس توى اضركة والزنوع واملهارو 4.لهذه املس توايت واخللفيةة املةذكورو ميكةن نةرح السةؤال لبحث دقي ومعي ومطوير أثةاء املةاقشة وما بعدها ،مهنا:
4سعيد إمساعيل علي ،فلسفا :تربواة معاصرة ،االكواتد عامل امعرفة 1995 ،ها) ،صم18م
~ 341
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
.4كيةةف اس ة تعداد اضكومةةة (وزارو الرتبيةةة والثقافةةة) للمةةهن أو املقةةرر 3142املسةةمى طملةةهن املوضوعى املتلمل املامون بثالثة همارات (الوجدان ،املعريف ،واضريك)ل .3ما س ياسة ومةظمي قوانني اضكومة لس تعداد البخيية التحتية حىت يكون هةاا عالقة بةني اخلرجيني وفرصة العملل .2كيف يكون دلي املتعلمةني هلةم روح الاعة د عةىل أنفسةهم وروح املبةادرو بةأ م ليسةوا مةن العمالء بل ليفتحوا فرصة العملل .1كيف يكون التعلمي املتلمل واملتوازن والشامل بأنةدما التعلةمي الةظةا ) (formalوغةري الةظا داخل بيئة البيت وخارجه informal)،(non formalل فوائد البحث .4ملعرفةة اسة تعداد اضكومةةة (وزارو الرتبيةةة والثقافةةة) للمةةهن أو املقةةرر 3142املسةةمى طملةةهن املوضوعى املتلمل املامون بثالثة همارات (املعريف ،الوجدأن ،واضريك). .3ملعرفة س ياسة ومةظمي قوانني اضكومة لس تعداد البخيية التحتية حىت يكون هةاا عالقة بةني اخلرجيني وفرصة والعمل. .2ملعرفة نريقة روح الاع د عىل أنفس املتعلمني وروح املبادرو بةأ م ليسةوا مةن العمةالء بةل ليفتحوا فرصة العمل. .1ملعرفة التعلمي املتلمل واملتوازن والشامل طندما التعلمي الةظا ) (formalوغري الةظةا داخل بيئة البيت وخارجه . informal)،(non formal الإنار الفكري 5 لكمة الرتبية والتعلمي ىف اللغة الاجنلزيية ) ،(educationصار هةذا املصةطلح مةن الييةة لن من الغلب كثري مةن املت صصةني ق يرجعةون اإىل مصةادر الرتبيةة والتعلةمي املتعلقةة طملصةطلحات اضديثة اإليه. ل يمت مطهري اجملمتعات طلترشيع والعقوبة وحدهام ،وميكن املوازنة بني جممتع حديث مكجمتع أمةريل وبني اجملمتع املديةة ،ف ستص بتحر امخلر ،حىت ميكن أن نلمس الفارق الا م بني اجملمتعةات ،وحةىت ميكن أن نتصور القمة العالية الىت وصل اإلهيا جممتع املديةة برتبية القرأن 6.أشارت هذه املوازنةة اإىل الصةة واملةاس بة بني املهن أو املقرر و برام اضكومة من حية ،وبةني حاجةة فرصةة العمةل (حاجةة الةةا ) يوميا ومس تقبهل من حية أخرى كام ىف اجلدول الىت: اجلدول 4 5حممد علي اخلويل ،قاموس الرتبىيد انكليزي-عريب ،ابريو:د ار العلم للمالاني1981 ،م) ،طم ،1صم143م 6حممد شداد ،منهج اليرآن ىف الرتبية ،اميدان سيدة زانبد بدون الناشر والسنة امنتجة) ،صم12م
342 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
الصة بني املهن وحاجة فرصة العمل الربامج احلكومية
المثالية والواقعية
امناهج الوطنية
حاجة فرصة العمل
تلملت هذه الصة اإذا اكن هةاا املةاس بة بني الةظري والتطبيق للقوانني ومعليتةه ىف امليةدان أي يراد به ىف املعاهد واملدار والفصول والبيوت ولك بيئة بدن مؤهالت وكفاءو املدرسني ورئيسةهم وكذكل طملواد واملوارد الااكدميية. اإذا انقطع أحدها فانقطعت الصةة وانقطعةت الهةداف ونشةأت املشةلكة ونرشةت البطةاةل اى الالمعل وموجد اجلرمية بسببه ل م اإنسان يكون هلم حاجة املالبس والغةذاء واملةأوى وال يةني كةام الن صار زمان الاس هتالكية ومتعية ،فكيف حية بةدون العمةل اإذا اكن هلةم الاسة تطاعة ولكةن العمةل غةري موجود لعدم املصانع املؤيد هل. مفن الاه م من هذه القاااي واملشالكت وجود الةفس والةروح هل خالقةة ومبتكةرو ومسة تقة مع القوية العقلية ،فانتهبوا قول رسول هللا صىل هللا عليه وسمل الىت: عن أيب هريرو يبلق به الة صىل هللا عليةه و سةمل قةال ( :املةؤمن القةوي أحةب اإىل هللا مةن املؤمن الاعيف ولك عىل خري احرص عىل ما يةفعك ول معجز فان غلبةك ءء فقةل :قةدر 7 هللا وما شاء وإاايا واللو فاإن اللو مفتح معل الش يطان ) رواه ابن حبان هذه القوو ش متل عىل قوية اجلسم والعقل والروح واملال واملعةرف والوجةدان واضةرز وغريهةا من اضاجلة املاسة يتحه الفرد املثاىل كام هو الهدف ضقيقة املؤمن عةد هللا معاىل حىت موحد بةني القةول والقلب والعمل معا مع الاه م طلخرين طإقامة المر طملعروف والهني عن املةكر. ومدن هذه القوو الةاحجة طملهن املةاسب للك فةرد لنةةا نعةرف الفةروق الفرديةة مةن سة ةة هللا معاىل ولها ممزيات ساق الفريدو بطريقة خمتلفة مطابقة حسب اخملانب .وهذا اضديث يشري اإليه: 7حممد بن حبان بن أمحد أبو حامت التميمي البسيت ،صحيا ابن حباان برتتياب ابان بلباان ،اباريو:د مؤسساة الرساالة 1993 ،ه) ،طم،2 جم ،13صم28محي شعيب األرنؤوط إسنا ه حسنم
~ 343
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
عن سعيد بن املسيب ،عن الةة صةىل هللا عليةه وسةمل قةال « :إا معةاب النبيةاء كةذكل 8 أمر أن نلكم الةا بقدر عقوهلم » وقد يكون املهن واقعيا ،وقد يكون مثاليا ،وىف اضةالتني يسة متد وجةوده مةن اجملمتةع .فةاملهن الواقعى وهو ما يدر طلفعل ،يس تقى كيانةه مةن اجملمتةع القةا ،أمةا املةهن املثةاىل ،فهةو مةا يطالةب بةه 9 املفكرون واملصلحون ويال صورو اجملمتع املثالية الىت يت يلها هؤلء املفكرون ىف مد م الفاضة. اإذا من هذا املةطل ،فالطريقةة أق مةن املةادو ،ولكةن اكن املةدر أق مةن الطريقةة ،فتطةوير وجتديد العلوم للك املدرسني من الواجبات والال امات خاصة للحكومة. القاااي وإاشاعات الرتبية نرح ادلكتور أمحد شويق السؤال هو ملاذا يساق العمل ىف انراد مقدم املتقدمني ومنو الةةامنيل ...فأجاب بأن العمل طعتباره من أق أدوات التغيري الاج عة ،ل ميكةن أن يقةوم بةدوره بكفةاءو اإل اإذا حتول اإىل مكون عاوى من مكو ت ثقافة اجملمتع 10.اإذ العمل هو مفتاح لرتقية ثقافة اجملمتةع حةىت تكةون حاةةارو نبةةية وهلةةم القةةدرو والاسة تطاعة لمبةةاع مسةةابقات عامليةةة وذكل اإذ العةةامل كقريةةة صةةغريو بتقةةدم التكنولوجيا وجاء الع الرمق إازاء العوملة والثورو الثالثة. كام س ب الواقع فال بد أن حنلل عوامل التقدم والتفوق بوسائل الرتبية ،ذلا اكنةت مةن القاةااي وإاشةةاعات الرتبيةةة يف بةةالد الندونيس ة ية بخيس ة بة املةةتعمل و التعلةةمي الإل ةزا والامتحةةان الةةون ، واشتبااكت الطالب ،وحرية التعامل ،وغريها. أما بخيس بة املعمل و شهادو املعمل ،ومؤهالت املعلمني وكفاءهتم .وأما بخيسة بة اإقتصةادية التعلةمي و متويل التعلمي أكرث من عرشين يف املائة دون أجرو املوظفني واملدرسةني كةام قةرر قةانون الرتبيةة ر 31سة ةة 3112م مث نلةةع قةانون املدرسةةني وافةةا ين ر 41سة ةة 3112م ،ومؤكةةده طإنشةةاء مةظةةمي املقرر و التغيريات يف املةاجه ادلراس ية مةن عهةد الوزير الرتبية والثقافة الخرى .أما بخيس بة املةاجه أو ّ ،3119 ،3111 ،4444 ،4441 ،4411 ،4492 ،4491 ،4422 ،4412والن املقةةةةةةةرر سةةةةةةة ةة ،3142أما بخيس بة ّفن التدريس والتعلمي لقد مطور نظرايت علةوم الرتبيةة ووسةائلها تكنولوجياهتةا حةىت يخيشةأ معلةمي مةع بعةد ) (distance learningبوسة ية الشة بكة الإنرتنةت والقةرص وفةالؤم املؤكةدو طضاسةةوب املسة تخدمة الةةىت التكنولوجيةةا العاليةةة .وكةةذكل مطةةورت املةواد التعل يةةة ل يق ة مةةن
8خيثمة بن سليمان بن حيدرة أبو احلسن األطرابلسي ،من حداث خيثمة بان ساليمان اليرشاي األطرابلساي ،اباريو:د ار الكتااب العاريب، 1400ه) ،جم ،1صم 75م 9أمحد فؤا األهواىن ،الرتبية ىف االسالم ،االياهرةد ار امعارف ،بدون السنة امنتجة) ،صم160م 10أمحد شوقي ،العلم مممثيافة امستيبل ،االياهرةد مكتبة األسرة2001 ،ها) ،صم11
344 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
الكتب املطبوعة بل يتحه اإىل الثةورو الثةاةل و الع ة الرمقة ،وهةذه الثةورو مةن املكتبةة عةىل معة املب يتغري اإىل امللمب اضاسوبية مهنا: • املكتبة الاكرتونية ))Electronic Library • املكتبة املهجةة )(Hybrid Library • املكتبة الافرتاضية )(Virtual Library • املكتبة املس تقبل ((Library of Future • املكتبة الرمقية ))Digital Library • املكتبة بدون جدرأن (With Out Wall،(Lib • البواطتCyber Library) ،(Portal نتا للع وميكن القول بأن هذا الع يخيتقل اإىل املرحة اضالية (أو الثورو الثالثة) وال الإلكرتوين الرمق وما يقدمه مةن مقةا ت :اضواسةب ،وسةائل المصةالت ومةا سة تخدمه مةن مقةا ت اللياف الب ية و المقار الصةعية ،وسائل ختزين املعلومات ،الشة بلت حةول العةامل وخاصةة الشة بكة العةكبومية (الإنرتنت) ،اللمريات الفيديوية الرمقية وغريها من الوسائل. هةةو عةةامل مةةلء طملعلومةةات (الصةةةور والصةةوت) واض أن عامل اليوم اذلى نسكن فيه عرب الوسائل اخملتلفة ،وميكن وصف الثقافة املعارصو بأ ا ثقافة القراءو – الكتابةة عةن نرية الوسةائ . ويلي ة أن نطةةرح الس ةؤال الةاقةةد هةةو :هةةل ميكةةن لنفةةال وش ة باب اليةةوم أن يكون ةوا فةةاعلني يف عةةامل املس تقبل اإذا ملقوا عةمل البارحةةل وهةل بوسةع السةامذو أن يتحةاهلوا الدوات املتةوفرو الة يسة تعملها املهةيون الخرونل. مفن املس تحيل ترا هذه الوسائل الةىت تكةون أمةام الةةا وحيمةل أيةن ذهةب وىف أي مةلن اكن ،صار هذا من واجبات وال امات مع املعرفة بفوائد اس تخدام مكتب الرمقية مهنا: • مطبي مبدأ الفعالية والكفاءو • سهيل لتجميع املعلومات واملراجع اخلاصة والعامة • ميكن أنتقال من أي لغة بوس ية ترمجة "جوجل" • ختزين الوف الكتب يف القرص الواحد و فالؤم القرص • دوام اضاجة اإىل التعلمي و التدريب و ذكل بسبب التطور يف خمتلف اجملالت العلوم.
~ 345
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
• اضاجةةة املاسةةة اإىل التعلةةمي و التةةدريب يف الوقةةت املةاسةةب و املةةمن املةاسةةب عةةىل مةةدار الساعة. • اجلدوى الاقتصادية من اس تخدام مقنية التعلمي الإلكةرتوين الة سةاق يف ختفةيل تلليةف التعلمي و التدريب للموظفني أو ادلارسني املةترشين حول العامل. ولكن هةاا أيية مشلكة من الةواىح املذكورو و بطاةل اخلرجيني بسبب اخنفةاض القةدرو أو الاس تطاعة ول عالقة بني اخلرجيني مع فرصة العمل .وذكل يعةود اىل املقةرر اذلى ل يصةلح مةع حاجةة عامل الصةاعة بسبب عةدم وجةود البخييةة التحتيةة املسة تعدو الةىت مةن واجبةات اضكومةة عةىل الةرمغ أسست اضكومة املدار املهةية اجلديدو ) (SMKبةدن مةا مةن التعلةمي أكةرب مةن املدرسةة الثانويةة ).(SMA ذلكل ل بد أن حتق التوازن بني احتياجات التعلمي واملهارات الاكدميية دلخول سةوق العمةل . التعلمي يف السع اإىل التعلمي العا الاكدميية حفسب ،ولكن أياا "همةة" .التعلمي هو القدرو عةىل اإعةداد اجليل املس تقبل يف التفكري الةقدي والتحليل ،والإبداع .ويخيبغ للتعلمي الرتكزي عىل الشة ياء الة مفيدو. الاجتاهات الرتبوية ىف العصور اضديثة صيق محمد منةري مةرالا الاجتاهةات الرتبويةة ىف العصةور اضديثةة و اقتبةا الةةظم التعل يةة اضديثةة ،مطةوير التعلةةمي ادلية ،ظهةور حركةةة الرتبيةة اضديثةة ،اسة تخدام اخلةرباء الجانةب ،الاهة م طإعةداد املعلمةةني ،اإنشةةاء اجلامعةةات ،ظهةةور الاجتاهةةات التعل يةةة املمتةةزيو ،واجتةةاه الة أو س ياسةةة املةةاء 11 والهواء (نه حسني) ،واجتاه الكيف أو معلمي الصفوو (اسامعيل القباى). متأثر هذه الإجتاهات من أنواع الفكرو والثورو الصةاعية ىف أورط خاصة ىف فرنسا مثةل جامعةة "سوربون" ،وكثري من علامء الرشق الوس يطلبون العمل فيه ،وكذكل مت رجون مةن بةرام الطلبةة الوافدين التعلمي ىف ولية املتحدو المريكية .ومرت الزمنة ومغريت العصةور ومطةور ومنةا منةوذ الفكةرو حسب حواجئهم الواقعية ورأهيم املثالية فنظرية الرتبوية تكون متغريو ومتبادةل بةظرية وشلكة جديدو. وملا رفل علامء الةفس عن مفسري السلوا بلغة الغرائز وادلوافع اضيوانيةة ،وأمنةوا – بةدل مةن ذكل -طلقمي الخالقية وامجلالية ،واجلوانب الروحية والفكرية ،وأمام هذه الصحوو الروحية واخللقية الىت 12 بدأ يصحوها الامري العامل ،طستيقاظ الفطرو ادليخيية عةد البرشية... خالصة البحث ونتيجته 11حممد منري مرسي ،الرتبية االسالميةد أصوهلا وت ورها ىف البال العربية ،االياهرةد عامل الكتب ،)1977 ،صم 169بتغريا: 12عبد الرمحن النحالوي ،الرتبية بالعربة ،ا مش د ار الفكر 2002 ،ها) ،صم 7-6م
346 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
.4كيف اس تعداد اضكومة (وزارو الرتبية والثقافة) للمهن أو املقرر 3142املسمى طملهن املوضوعى املتلمل املامون بثالثة همارات (الوجدان ،املعريف ،واضريك)ل اس تعدت اضكومة (وزارو الرتبية والثقافة) للمهن أو املقرر 3142وقد مت مةفيذ هةذا املةهن يف بدل فنلةدا والملانية والفرنس ية .عىل الرمغ أن هةذا املةهن ل يةفةذه لك املةدار ،أعلةةت اضكومةة بةأن مةفيذه س يكون مدرجييا أول من املدار اضكومية (العامة) مث املدار املت صصة .وبدأ التدريب لهةذا املهن اجلديد ىف أحناء القالمي يف الإندونيس يا.من اضسن معرفة الفةرق بةني املةةاجه السةابقة واضةا كةام ىف هذا اجلدوال التاىل: اجلدول 3 اختصار اختالف املهن س ةة 3119 ،3111و 3142 الر
KTSP KBK 3119 3111 معايري الكفاءو املس متدو من معايري افتوى
.3
معايري افتوى املس متدو من معايري الكفاءو املوضوعات
.2
الفصل بني موضوع شةكيل املواقةف وتكةوين املهةارات واملعارف املكونة
.1 .2
الكفاءات املس متدو من املوضوعات املوضوعات فصلها عن بعاها البعل ،مثل مجموعة مةن املوضوعات املةفصة
.9
مطةوير املةةاجه ادلراسة ية مطةوير املةةاجه ادلراسة ية ل لكفاءات الساس ية للمقرر الطبقات املواضةيعية 4و الطبقةةةةات املواضةةةةيعية ( 4،3،2يف اشةةةارو اىل ( 3يف اشةةةارو اىل املوضوع) املوضوع)
.4
.9
3142 (املوضوعى املتلمل معةةايري الكفةةاءو املس ة متدو مةةن احتياجات اجملمتع معايري افتوى املس متدو من معايري الكفاءو يخيبغ ة مجليةةع امل ةواد ادلراس ة ية املسةاية يف شةكيل املواقةف واملهارات واملعارف املوضوعات املس متدو من الكفاءو ل بةةةةد أن يكةةةةون مجيةةةةع املةةةةواد ادلراس ة ية مةةن قبةةل الكفةةاءات الساس ية (للك فصل) مطوير املةاجه ادلراس ية يف الكتاب املدريس ودليل املعمل الطبقات املواضيعية تلملية ) 9-4 يف اشارو اىل الكفاءو)
~ 347
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
يلكف هذا املرشةوع (املةهن )3142مائةة واحةد وسة بعون ألةف مليةار روبيةة مقةديرا .وهةذا التلكيف أكرب تلكيف من اترخي مغريات املةاجه منذ الاس تقالل .وهةةاا رفاةاء لهةذه املةهن اذلى أدى وظيفة زائدو للمدرسني ،بل املشلكة تكون ىف املصطلحات والشلك اجلديد للوجةه املةهن بتغةري املةواد والكتب ادلراس ية ،وكثري من املدرسني ل يفهمون املهن قبهل ( )3119مث جاء املةهن اجلديةد ()3142 وهذا اندهش املدرسون ويقلقه مع الرأي بأن هذا املرشةوع إاقاف ول ميةق فعاليةة وكفةاءو .وإاذا اكن هذا املرشوع يس تخدم لبةاء ألوف املدار ىف أنراف الريف وشانئ البحر أفال وأنفع. ورو ،لنه نريقةة لإجابةة حتةدايت عىل رمغ ذكل اكنت حاجة لتغيري يف املةاجه ادلراس ية الزمان ،وهذه التحدايت حاجة الةا املادية واجلسمية والةفسيىة والروحيةة .وحتقية لهةذه اضاجةة التغيري ،حيب أم يكره ،ويخيبغ أن يكون ل يزال عىل اس تعداد لقبول ولتةفيةذ هةذا املةهن اجلديةد. ومةفيذ هذا املةهن حيتةا اإىل وقةت نويةل وصةرب وفةري وهجةد كبةري لتحصةيل افصةول ونيةل الةتيحةة الالمعة. .3ما س ياسة ومةظمي قوانني اضكومة لس تعداد البخييةة التحتيةة حةىت يكةون هةةاا عالقةة بةني اخلرجيني وفرصة العملل بدأ ال امات التعلمي سعة س ةوات منذ اترخي 3مايو س ةة 4411م ،ويةظم قوانينه ر 3سة ةة 4414حتت القانون عىل نظم التعلمي الونةية ،وأوسةعه وأسة بغه بقةأنون عةىل نظةم التعلةمي الونةيةة ر 31س ةة .3112حسب البيا ت من الوزارو الرتبيةة الونةيةة هةةاا 2،2مليةون مت ةرا املدرسةة الاعداديةةة يعةةادل بةةة ) (SMP/MTsمل يلتح ة اإىل املةةرحة التاليةةة اي املدرسةةة الثانويةةة يعةةادل بةةة ) ،(SMA/MA/MAK/SMKوهذا دليل عىل نقص املوارد البرشية يف جمةال التعلةمي اذلى يةؤدى اإىل نوعية رديئة ونقص التةافس ىف نيل الوظائف ونةيا اكن أو دوليا. صاضت اضكومة من زايدو متويل التعلمي يف عام 3142اإىل رائةدو يف التعلةمي الإلةزا ملةدو 43 س ةة .وحتقيقا لهذه الهةداف ،بةدأت اضكومةة يف التعلةمي الثةانوي للجميةع جلعةل مسة توى التعلةمي مةن املدرسة الثانوية ) (SMA/MA/MAK/SMKمصبح أكرث يعا .ويبقةى التعلةمي الولةوي خمصصةات املزيانية ملواصة مقد املساعدو التشغيلية للمدرسة ) (BOSملدو 12مليون نالب ونالبةة يف املةرحة الابتدائيةةةةةةة .يف عةةةةةةام ،3142مةةةةةةوفر التعلةةةةةةمي الثةةةةةةانوي اإىل 4.9مليةةةةةةون نالةةةةةةب ).(SMA/MA/MAK/SMK .2كيف يكون دلي املتعلمني هلم روح الاع د عىل أنفسهم وروح املبادرو بأ م ليسوا من العمالء بل ليفتحوا فرصة العملل يكون روح الاعة د والةوع مةن أنفةس املتعلمةني ف تلفةة الطريقةة الةىت مةاسةب فةا فيةه مةن أنفسهم املطمئةة البعيدو من اللوامة والمارو ،وذكل بتلق الفهام والعرفةان لةيس لعقةوهلم قة بةل نفةذا
348 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
اإىل قلوهبم وأروامهم .فطريقة التعود والتدريب أن يل موا ال اما يوميا ويكةو سة ةة مةن سةن اضسة ةة الىت أدت اإىل الوع ىف أنفسهم. حبيث تكتسب الطلبة ادلافعيةة للةتعمل ،مث التحفةزي املطلةوب .هةةاا نوعةان مةن العوامةل الة جتعل الش ص ميكن أن يكون ادلافع للتعمل ،و :أول ،ادلافع للتعمل مأيت من عوامل داخلية .شةلكت ادلافع لهذا الةوع اذلايت يف فهةم مةدى أييةة الةتعمل لتطةوير أنفسةهم وجمهةزو للتعامةل مةع اضيةاو .اثنيةا، وادلافع للتعمل من العوامل اخلارجية ،وال قد شمل التحفةزي مةن أشةخاص أخةرين ،أو البيئةة افيطةة ال ميكن أن مؤثر عىل نفس ية الش ص املع . قدم "أبرق ماسلو"املفهوم الول للتسلسل الهةرم لالحتياجةات يف كتابةه سة ةة 4412م مةن ورقة حتت موضوع " نظرية ادلافع الإنسان " وكتابه اضافز والش صية الالحقة .يويح هذا التسلسةل الهرم أن الةا دلهيم حافز لتلبية الاحتياجات الساس ية قبل الانتقال اإىل غريها من الاحتياجةات، أكرث مقدما .غالبا ما يمت عرض هذا التسلسةل الهةرم طعتبةاره الهةرم مصةةوعة مةن أدى مسة توايت الهةرم يتكةون مةن الاحتياجةات الساسة ية ،بيةا مقةع احتياجةات أكةرث معقيةدا يف أعةىل الهةرم. الاحتياجات يف اجلزء السفل من الهرم املتطلبات املادية الساس ية فا يف مق اضاجة اإىل الغذاء واملاء ،والةوم ،وادلفء .مرو واحدو وقد متت ملبية هذه الاحتياجات عىل مس توى أدى ،ميكن للةا للسةالمة والمةن .ويكةون ذكل الةوع الانتقةال اإىل املسة توى التةا مةن الاحتياجةات ،والة ف تلف اضاجة وأس بابه عةد "أبرق مسلو" كام ىف اجلدول الىت:
~ 349
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
• اختالفةةات الفس ة يولوجية (اضاجةةات الفس ة يولوجية) ،مثةةل اجلةةوع ،والعطةةش ،والرغبةةة اجلخيس ة ية. • اختالفةةات الشةةعور طلمةةن (احتياجةةات السةةالمة) ،عةةىل حةةد س ةواء عقليةةا وجسةةداي وفكةةراي. • الاختالفةةةةةةةةات مةةةةةةةةن اضةةةةةةةةب أو املةةةةةةةةودو (احتياجةةةةةةةةات اضةةةةةةةةب) الةةةةةةةة يتلقاهةةةةةةةةا. • الاخةةةتالف يف مقةةةدير اذلات (احتياجةةةات احةةةرتام اذلات) ،اإذا اكن كل سةةة يارو أو مةةةزنل ةةةم، وامللمةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةب ،وغريهةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةا. • الاختالفات يف حتقي اذلات (اذلات) ،وموافر الفرص لش ص مةا لتطةوير اإممنيةات أن هةةاا يف هل ال حتولت اإىل القدرو اضقيقية. .1كيف يكون التعلمي املتلمل واملتوازن والشامل بدم التعلمي الةظةا ) (formalوغةري الةظةا داخل بيئة البيت وخارجه informal)،(non formalل فاجلواب ذلكل السؤال يرجع اإىل الفهم والعرفان دلهيم ،وق املدرسون ىف املةدار وافةا ون ىف اجلامعةةة والش ة يوا ىف املسةةاجد واملربةةون ىف الشةةقة وال ةوادلون ىف البيةةوت والرؤوسةةاء ىف الةةوزارو واملديرات ىف الادارو وغةريق مةن املسة تخدمني ىف لك أنةواع املهةةة حةىت تكةون معليةة الرتبيةة داخةل الفصل وخارجه وكذكل تكون القراءو لفظية وغري لفظية .ومن ّمث تكون مطبيقةة نظريةة العلةوم واملعرفةة ىف حياهتم اليومية وهذه التطبيقة ال ساقت اإىل مقدم المم ومفوقها. واس تخدم الرموز والشلل ذو الرتبية والتعلمي أمام الطرق والشوارع واض واملةطقةة واملبةاين، ذلكل اكنت وظيفة اضكومة اإعالنة هةذه املهمةة ورسةاةل الرتبيةة اإىل الةةا مجيعةا مةع دن القةوانني الةىت مؤيدها ومؤكدها ،وكذكل وضعت اضكومة رموزا وأشلل وجداول ىف لك لوح ممكن يةظر الةةا إاليةه وغةةريه مةةن الوسةةائل املعلومةةات والمصةةالت والتكنولوجيةةا اكلإذاعةةة والتلفةةاز واجملةةة واجلرائةةد وشة بكة العةكبوت ولك الربام املتساهة الىت أدت اإليه. ومراقبة الةا واضكومة لهذه العملية تكون مداومة واس مترت ىف لك العصور مع التغري أصةلح قبهل وحاسب للك فرتو وزمان حىت تكون عةادو وثقافةة ونشةأ مهنةا حاةارو جديةدو مةع املصةلحة وأنفةع للةا والبيئة الىت تكون الةا فهيا. حتدايت الرتبية بواي من أبواب ش ىت ،فالش باب يعانون من ختطي ماكر وغةزو المة الإسالمية مواجه حتد ًاي تر ا مدبر ،وكةذكل الرجةال والخيسةاء ،والصةغري والكبةري بةل حةىت الطفةل املسةمل مُعةد هل أفةال تم وتُكتةب هل قصص وجم ّالت يقصد مهنا تربيته تربية حترفه عن املهن الرشع .وحياو الةا يف عقيدمةهم ،وحيامةةهم ت الاقتصةةادية والاج عيةةة والس ياسة ية فهيةةا حتةةدايتج فةةنحن نواجةةه حتةةد ًاي شةةام ًال ،حتةةد ًاي مةةتلم ًال يف جوانب اضياو لكها ،خللع المةة عةن ديهنةا مث تربيهتةا عةىل غةري بع هللا -عةز وجةل –ج فالرتبيةة الة
350 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
مةهدف اإىل أنقاذ جيل المة ،والوقوف يف وجه هذا التيار الوافةد مةا مل تكةن أخةذ ًو طلتلمةل والتةوازن فاإنةها حيةئ ٍذ لن تكون مؤهة للمواهجة ،ولن تكون مؤهة لصة ّد هةذا السة يل اجلةارف مةن الغةزو اذلي موا َجه به المة. وذكر مةظمي من وزير الرتبية والتعلمي والثقافة ر 91س ةة 3142تسيةة عقالنيةة املةةاجه .3142 اكن مهن 3142وضعت استنادا اإىل عوامل التحدايت داخليا وخارجيا مثل ما يل: أ .التحدايت ادلاخلية ،من بني أمور أخرى ،متعل حباةل من التعلمي اذلي يةرمب مةع املطالةب والتعلمي ،واذلي يشري اإىل مثانية معايري التعلمي الون ال شمل معايري افتوى ومعايري معلية ومعايري الكفةاءو ،ومعةايري مةدريس ومعلةمي املةوظفني واملرافة ومعةايري البخييةة التحتيةة ،ومعةايري الإدارو ومعايري المتويل ،ومعايري التقيمي الرتبوي .التحدايت ادلاخلية الخرى املرمبطة مع مطةور السةلن يف أندونيسة يا يةظةر تزايةد عةدد السةلن مةن ألةوف العمريةة املةتحةة .حاليةا سةلن أندونيس يا من العمر الانتاا 91-42س ةة )من العمر ل أكرث انتاجية( النفال اذلين مرتاوح أعامرق بني 41-1س ةة وأولياء أمورق اذلين مرتاوح أعامرق بني 92سة ةة ومةا فةوق .سةلن يف سن منتحة اذلروو يف 3122-3131عةدما وصل الةر 91ىف املائةة .وذلكل فةاإن التحةدي الرئييس هو كيفية السع لة كن أن متحةول املةوارد العمريةة املةتحةة وفةريو الانسةان يف املةوارد البرشية مع الكفاءو واملهارات من خالل التعلمي حىت ل تكون عبئا. .3ترمب التحدايت اخلارجيةة للعوملةة والقاةااي املتصةة طلقاةااي البيةيةة ،والسةلف تكنولوجيةا املعلومةةات ،وصةةعود للصةةةاعات الإبداعيةةة والثقافيةةة ،ومط ةوير التعلةةمي عةةىل مس ة توى دوليا .اكنت العوملة حتول من أسةلوب حيةاو اجملمتةع الزراعة والتحةارو التقليديةة والتحةارو اإىل اجملمتةع الصةةاع اضةديي كةام ميكةن أن يةرى يف منظمةة التحةارو العامليةة ) ،(WTOومجعيةة دول جنةوب بق أسة يا( أسة يان )امجلاعةة ،التعةاون الاقتصةادي لسة يا وافةي الهةادل )(APECومنطقة التحارو اضةرو للسة يان .تةرمب التحةدايت اخلارجيةة أياةا مةع التحةول يف القوو الاقتصادية العاملية والةفوذ والتأثري والاستامثر والتحةول التعل يةة .مشةاركة اإندونيسة يا يف ادلراسةة :الاجتاهةات ادلوليةة يف الرايضةيات ادلوليةة ودراسةة العلةوم ) (TIMSSوبةر م ادلو لتقيمي الطلبة ) (PISAيف عام 4444أظهرت أياا أن حتقي النفال الندونيسة يني ل ممت يف مقرير صدر عدو مرات TIMSSو PISA.ويرجع ذكل ،من بني أمةور أخةرى ،ل يةمت ماةمني عةدد مةن مةادو الاختبةار يف سةؤال يف TIMSSو PISAيف املةةاجه ادلراسة ية يف أندونيس يا.
~ 351
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
موقعات الرتبية ل مقال التوقعات أي ا متةيات لهذه الرتبية جناح ادلنيا والخةرو بخييةل اضسة ةة والسةعادو فةهيام. فالول يتعل بزاد اكف من اللت والوسائل املتعلقة طلقدرو والإس تطاعة دلي الطلبةة حبيةث أصةبحوا ش بان اليوم ورجال الغد اذلى ساقوا هذا البدل أين ذهبوا وماذا فعلوا وكيف بةوا وملاذال والثاين يتعلة حبقيقة الهداف وحتقيقه اإىل حياو أبدية يف جنات الةعمي ،دعواق فهيا س بحانك اللهم وحتيهتم فهيا سالم وأخر دعواق أن امحلد ا رب العاملني. *** املراجع أمحد فؤادالهوأى ،الرتبية ىف الاسالم( ،القاهرو :دار املعارف ،بدون الس ةة املةتحة) أمحد شوىق ،العمل ...ثقافة املس تقبل( ،القاهرو :مكتبة القو3114 ،هة) محمد بن اإسامعيل أبو عبدهللا البخةاري اجلعفة ،اجلةامع الصةحيح اخملت ة ،حتقية :د .مصةطفى ديةب البغا (ال مة -بريوت :دار ابن كثري 4419\ 4119،م) محمد عل اخلو ،قامو الرتبىي :أنلكزيي-عريب( ،بريوت :دار العمل للماليني4414 ،م) محمد شديد ،مهن القرأن ىف الرتبية( ،ميدأن س يدو زيخيب :بدون الةاب والس ةة املةتحة) محمد بن حبأن بن أمحد أبو حامت المت البس ،يحيح ابن حبأن برتميب ابن بلبأن( ،بريوت :مؤسسة الرساةل 4442 ،ه) محمةةد منةةري مةةرالا ،الرتبيةةة الاسةةالمية :أصةولها ومطورهةةا ىف الةةبالد العربيةةة( ،القةةاهرو :عةةامل الكتةةب، )4499 حسن الرشقاوى ،حنو الرتبية الاسالمية( ،الاسكندرية :مؤسسة ثياب اجلامعة 4412 ،ه) خيمثةةة بةةن سةةل أن بةةن حيةةدرو أبةةو اضسةةن النرابليسةة ،مةةن حةةديث خيمثةةة بةةن سةةل أن القةةرء النرابليس( ،بريوت :دار الكتاب العريب4111 ،ه) سعيد اإسامعيل عىل ،فلسفات تربوية معارصو( ،الكويت :عامل املعرفة 4442 ،هة) عبد الرمحن الةحالوي ،الرتبية طلعربو( ،دمش :دار الفكر 3113 ،هة).
PROPHETIC CHARACTER TRANSFORMATION FOR DEVELOPMENT OF PEACE CULTURE IN SCHOOL1 Prof. Dr. Tobroni, M.Si. Guru Besar Ilmu-ilmu Filsafat Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Malang (
[email protected]) Abstrak: Model pendidikan di sekolah yang formalisme, pragmatisme dan transaksionalisme terbukti kurang efektif bagi pembentukan karakter bangsa yang kuat dan bermartabat. Banyak perilaku yang kurang terpuji yang ditunjukkan para peserta didik kita maupun perilaku masyarakat kita dalam berbagai level maupun profesinya. Sebagai bangsa muslim terbesar di dunia dan dikenal religious, Bangsa Indonesia seharusnya memiliki karakter kuat baik soft skill maupun life skillnya sebagaimana karakter Nabi Muhammad SAW yaitu siddiq (jujur), amanah (bertanggungjawab), fathanah (cerdas) dan tabligh (integritas). Karakter utama Nabi Muhammad itu harus dijadikan sebagai nilai-nilai yang hidup di sekolah dan dijadikan sebagai missionfocused, vision-directed, Philosophy- Driven dan Value-Based Institution dalam program dan proses pendidikan. Tulisan yang berbasis penelitian ini bertujuan untuk pengembangan program pendidikan dan pembelajaran yang menjadikan sifat-sifat utama Rasul sebagai nilai-nilai yang hidup dalam keseharian (living values everyday) terutama dalam mengembangkan budaya damai di sekolah.
Preface. As the final Prophet and Messenger of Allah and the final of the Prophet's, it should prophet Muhammad SAW is the most perfect human being: moral greatness, faith, and successfully of its struggle. Muhammad is the most phenomenal human beings in the history of mankind (Hart, 1992), he is one man from the human could mi’raj by God to Sidrotul Muntaha (QS. Al-Isra’: 1). Muhammad, however, remains as a human being, not a demigod or God incarnate (QS. Al-Kahfi: 110, Asy-Syarqawi, 2010). Remarkable achievement was not merely a gift but an achievement of a long and uphill battle. This statement is important in order to inspire and be a role model and the personality of the people in the fight of his life on earth. Study of Muhammad as a human struggle that became amazingly still very limited One of them is the work of Martin Link (2011) and 1 Presented Paper on Annual International Conference on Islamic Studies 13 th at IAIN Mataram Indonesia 15-18 Nopember 2013.
~ 352 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 353
Abdurrahman Asy Sarqowi (2010). Mindset of Indonesian Muslims including in understanding Muhammad more theological truth that is in the context of the prophetic and apostolic. Regardless of the Prophet is considered as a gift of God, part of God's revelation and in scenario. Such mindset is not wrong but it is also not entirely true, because it does not consider Muhammad SAW are like puppets or actors in the soap opera that is set by the mastermind or director. Theological views like this can give rise to a cult-like attitude to the Prophet Muhammad and Prophet are considered as being able to provide aid in the world and on the Day of Resurrection. Recognized that the theological mindset of the Prophet Muhammad has spawned tremendous religious fervor in the form of birthday assemblies, assemblies diba ', of pilgrims prayers, and so forth, but on the other hand has the disadvantage because it only as ceremonial and ritual. Not able to understand deeply, imitating and transforming properties of Muhammad in shaping morality of Muslims to be a wonderful role model for all human. Faith, love and respect Muslims to Muhammad is not directly proportional to the morals of the Muslims. From a psychological perspective, the pattern of religious understanding as this tends to result in emotional reactive stance when there are different understandings of the prophet Muhammad, as the case of loading of caricatures of the Prophet Muhammad in the mass media. Reactive and emotional attitude usually less sympathetic action, it can drop the moral grandeur of the Prophet, because in fact the Prophet is a very noble and tolerant. From the perspective of philosophical, theological and normative views about the Prophet only able to form individual ethics like courtesy and manners in the association, but is not functional in public spaces such as justice, honesty, responsibility, compassion for others, hard work, and filantropisme. Riaz Hassan Studies (2006) illustrate that Indonesian Muslims had the highest score among the nations of the world in terms of ritual practice (individual ethics), while in obedience to the public ethics get low scores. This illustrates that the practice of religion merely ceremonial, oriented to the satisfaction of the individual and no implications on public ethics. In the 2013 curriculum, religious education subjects combined with moral lessons to be religious and moral education. This illustrates the importance of noble character components (akhlakul karimah), as the main mission of the Prophet of Muhammad SAW. 'I was sent only to perfect noble character " (HR. Imam Bukhori dalam Kitab Adab). Character emphasis in religious education is motivated by the moral condition of the nation is still far from the morals of the prophet SAW with a very exalted and sanctified it. The problem is, how the moral lessons that not only teach individual and normative ethics, and morals are memorized but not functional in the
354 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies public domain? This is where the need to study social ethics with a multidimensional approach and the important thing is how the transformation process to the students. Renewal of the Public Morals in a system of Islamic Doctrine Discussion of morality in relation to Islamic religious education is really very classic but very important for being the primary mission of the religion of Islam, as well as very fundamental in human life. Problems of moral education is very often we hear from parents to their children, from religious leaders to his people, from teachers to students, from the wise men and teachers nation to nation citizens. Moral education is also often obtained from reading books and discussed in daily life. Re-appointed moral issues (actualization) as very important, it can save lives, determines the success of a person's life or a nation, and can make life happier. As known, the main mission of the Prophet Muhammad was sent by God is to enhance moral glory (HR. Imam Bukhori). Prophet Muhammad was a man of moral glory. “And thou art virtuous character truly great (QS. Al-Qalam:4), “Has existed in the (self) that the Messenger of Allah a good example for you” (QS. Al-Ahzab:21). Prophet was not sent by God but a mercy for all the worlds, “And not We sent thee (Muhammad), but for mercy for all creatures (QS. Al-Anbiya: 107). God's grace will not be created if there is not a noble character. Ahmad Syauki said: “true glory of a nation depends on moral, morals if they are damaged, then Destroyed the nation. Morals are absolute requirement or absolutely necessary for the realization of the mission of Islam is rahmatan lil'alamin. Morals in Islam it is objective and universal, not symbolic. A person is not necessarily a noble simply because wearing the robe, skull cap or symbols of other religions greatness. A person is also not necessarily be concerned noble because his beard long, his forehead singed former prostration or as diligent to places of worship. Moral behavior is good or noble character who can be rated and enjoyed by everyone without being bound by religious and cultural Prophet morality is objective morality, recognized and admired by everyone both fellow Muslims and non-Muslims, friends and foes alike. Morals Prophet summed up in four (4) or the nature of the main character siddiq (trust), amanah (responsibility), fathanah (diligent) and tabligh (open). The fourth trait or character is a unity and mutual animates. Honest in running trustworthy, honest and truthful in fathanah in a mission that carry out the functions and duties assigned. In short it is not only the four properties at the level of individual morality, but also of social morality. Four properties of the four main characters or the Prophet was not easy to find at the time of the Prophet called ignorance or contemporary era called globalization era and the era of good communication as a whole let alone one. For example, the first character, siddiq (honest). Now it is getting
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 355
difficult to find an honest person, especially one who can behave honestly in relation to another character that is amanah, fathanah and tabligh. Maybe a lot of people are honest, but he does not have a amanah, honest because no fathanah, and to be honest because no tabligh (no running task to bear in an honest, trustworthy and intelligent). Short said the four properties owned by the Prophet not only his personal character, but also social ethic or public morals. If the mission of Islam is a mercy for all the worlds, the main task of the Prophet Muhammad is the perfect noble character, and the Prophet himself was a man of moral grandeur, then it should Muslims are a people of the most glorious the most exalted in moral. Noble character or a strong character is supposed to be a trade mark or branded a Muslim. Being a Muslim is always aligned or identical with moral grandeur. become Muslims always bless anyone, anytime and anywhere. In the Qur'an it is often said that heaven was obtained because of the social morals and good human relations. In a hadith it is said that one of the Muslim mission is: afsussalam (create wealth), sillul Arham (ropes connect love), and ath'imuttha'am (feed). Noble obligation for a Muslim is also manifested by the whole doctrine of Islam: Shahada, prayer, alms, fasting and pilgrimage. In doctrine creed, there is only a belief and submission to Allah and recognition of Muhammad as his messenger. Through this creed expected woke basic beliefs and core values that form the basis for thinking and behaving. Through confession of faith or allegiance of a Muslim is a believer, as the noble character of God, and the Prophet's morals. The second pillar of Islam is prayer. Prayers are held five times a day and there are still added to the sunnah prayers. one of its main objectives is that Muslims have the commitment and ability to prevent indecency and evil. "actually praying it can prevent from indecency and evil" (QS.AL-Ankabut: 45). Said "the prayer can prevent" means to pray not automatically be prevented from indecency and evil, but there are requirements that must be met, namely discipline and humility. (QS. al-Mukminun:2) The third pillar of Islam is zakat. Charity also aims to command a noble character. The Word of God: "Take alms of their wealth to charity that you cleanse and purify them (QS. Ath-Taubah: 103). The meaning and purpose is to clean and purify, cleanse the heart disease and social pathology in relation to wealth, position, status and worldly pleasures. Heart disease associated with treasures such as: jealousy, envy, greed (greedy), and arrogant. While the social pathologies associated with the property include: poverty, social inequality, vagrants and beggars (flat) etc. The issue is whether zakat which is a real manifestation of the soul filantropisme social morals have gotten adequate attention? The third pillar of Islam is as miserable with the fifth principle of Pancasila, namely social justice.
356 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies The fourth pillar of Islam is fasting Ramadan. The month of Ramadan is a spiritual school to turn to conscience and self-control and lust. The main purpose of fasting is to form the apex of the pyramid of human muttaqin glory of man. “O ye who believe have been obliged upon you fasting as required to the people-the people who were before you may you be the ones who fear Him ". (Surah Al-Baqarah:183). Hajj is the fifth pillar of Islam. Allah says: " Who set the intention in that month for the pilgrimage should not be doing dirty, wicked act or arguing during Hajj" (QS. al-Baqarah: 197). The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam also said: "Whoever does not perform Haj while he rafats and wicked act, then he comes back as the day he was born his mother" [HR. Bukhari]. So it is clear that the Hajj is a vehicle towards forging a noble character. If the aim of Islam is a mercy for all the worlds, Muhammad's prophetic mission is complete moral grandeur and glory, Prophet Muhammad is the model that has the character and grandeur throughout the Islamic doctrine is the process towards a noble character, then the problem is whether the moral grandeur is a trade mark or branded morals of the Muslims? Is Islamic can always aligned with moral glory? Muslims who love Allah and the Prophet would crave moral grandeur. With exemplary morals Prophet, Muslims are expected to be the most noble moral people so that it can be an example to other people. To the nature of the main character Messenger: siddiq, trustworthy, fathanah, dan tabligh need re-actualization. The main character of the Prophet needs to be internalized in the personality of students so that students have a great personality, progressive and successful in work and achievement. The main character of the prophet should be realized in everyday cultural life family so the family became quiet, and full of compassion, my heaven my home and can give birth to pious generations. The main character of the prophet should be realized within the organization or institution, that institution was to be developed and provide a medium for developing prosperity and goodness. The main character of the Prophet needs to be realized in the social life of the nation so that Indonesia is a good country in the protection and forgiveness of God. All that can be as good as the noble character actualized and transformed through the school. Main Character of the Prophet and Cultural of peace in schools. According to research by the author previously (2008 and 2010) the phenomenon of conflict and violence are still common in the school environment. Conflict is defined here is a difference or conflict of interest that led to tensions communication, mutual cornering, mutual hatred and attack on each other but still be covered. Conflict in the school setting usually occurs between teachers and teachers, teachers with principals,
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 357
teachers and students, principals and students, students with students in a school, between schools and between pupils. Conflict is reciprocal. While violence by Panggabean (2008) is a unilateral action against another that is not balanced and there is no resistance. Violence can be in the form of words, physical violence and sexual assault. In the school environment, it is usually carried out acts of violence against the student teacher, student-student, student-teacher and student-school. examples of student violence against teachers is, teachers punishing students seem excessive and inhumane. Examples of violence against school pupil is, students who do not pass the national exam and then destroying school. While the fight was an open conflict between the two sides are relatively balanced usually occur between fellow students in a school or between schools. In Indonesia, conflict and violence and fights are still common, there is even a tendency to increase acceleration. On that basis, the social ethics of brotherhood and peace is an urgent need to be included in the school program. Some school programs to develop a culture of peace, according to research such as: First, social ethics education fraternity and peace can be done formally by entering into the curriculum of Islamic education and other subjects, although there should be a stand-alone subject. Social ethics of brotherhood and peace should be one of spirit from each subject. Each subject, especially for humanities and social subjects of religion must contain moral messages and the social ethics of brotherhood and peace. Ethical and moral essence of brotherhood and peace in concrete should be developed in schools, especially primary and secondary schools. The goal is for students to understand the reality of the differences in various aspects of life, provides an opportunity for different groups to live peacefully, respecting differences between them, and that difference is a universal necessity or a sunnatullah (natural law). With enough knowledge about the reality of life is very important, to be expected when living in the community, with the knowledge can be very enlightening, inspiring and motivation to create a life together with the atmosphere of brotherhood and peace. Atmosphere like this that can prevent potential social envy, social prejudice and conflict due to differences in socio-economic class, race, ethnicity, religion, or group. Second, the social ethics of brotherhood and peace religion can be a media "discussion of life 'in schools in areas such conflicts led Sampit in Central Kalimantan, Ketapang in West Kalimantan, Ambon and Poso, Central Sulawesi, Nusa Tenggara Barat or parties who are not able to be at peace with the environment such as terrorists and adherents of the doctrine of radicalism. Students with different ethnic and religious groups sit together and discuss the intersection of the differences. However, efforts to do the healing of the wounds caused by the conflict in a way to build mutual understanding, mutual understanding and knit brotherhood and peace that had torn the new should not be forced, but in
358 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies order to create an atmosphere that flowing and natural. "Discussion of life", or a dialogue is a way of creating a new way of thinking, a new way of being in the world and see and reflect on its meaning, in order to affirm the difference. The goal is to ensure that the parties engage in an open dialogue to learn from others, so that they can be changed without coercion and growing towards respect for diversity are more positive. Learning social ethic of brotherhood and peace is only a small example of the effort to build the entrance to the differences in order to bring a peace that sublime harmony in life. There are many other entrance, there are many other ways. Hopefully, through this method will give birth to a new generation that is able to positively affirm differences and see each other as egalitarian. Third, the social ethics of brotherhood and peace developed in extracurricular activities for example in the form of camp or outbound with the theme of "Brotherly Camping Peace" or "Climbing Towards Beautiful Fraternity" for students with religious backgrounds, ethnic and educational backgrounds are diverse. Through these activities students can practice brotherhood and peace in the form of cooperation, conflict resolution, respect and appreciate each other despite different backgrounds. In addition to outbound activities, also can be designed "joint action" as sympathize the poor and orphans, providing assistance to disaster victims or victims of the conflict, and so forth. This kind of activity in a small cedar, allowing the students to interact more strong solidarity and childbirth. Fourth, ethics training programs of social brotherhood and peace. Samsu Rizal Panggabean (2008) suggests, peace education programs that include conflict resolution, violence prevention, peace education and educational development of non-violence, peace education worldwide or global, and innovative school-based peace education. (1) conflict resolution program. This type of education focused on many topics. Notable among them is how to resolve interpersonal conflicts in constructive ways through negotiation mechanism, peer mediation, empathy, and alternative dispute resolution methods such as through the judicial process. (2) violence prevention programs, violence prevention related to dealing with violent behavior such as fighting among students and youth. School student delinquency, street crime, sexual assault, prejudice and negative stereotypes. (3) education for peace and development. This model departs from the root and source of peace and structural violence. The theme of structural violence, poverty, social institutions are not fair, domination and oppression, as well as consumerism is based on the exploitation of natural resources. Include human rights education and the environment. (4) nonviolence education. Focusing on learning activities and non-violence peace positive image for children and students. It can help fight the culture of violence in the media, entertainment industry, schools, communities, and local traditions. Examples of these activities in the form of comics and radio drama in non-violence. (5) global peace education which emphasizes the
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 359
need to learn about the international system that gave rise to the war. Addressing the issue of global and international peace and violence ranging from the economy, globalization, issues debt, military spending, and global civil society. (6) school-based conflict management program. School is where students and teachers meet and interact. All events can occur during the two interact, including conflict. Conflict will not indiscriminately include involving teachers and students. Conflicts must be managed so that the situation is better. "But education in schools has been designed only to teach skills in academic areas so that any issues outside of the academic is not a part of the evaluation. Curriculum on social ethics and life skills that should be applied even less attention should be. Fifth, conflict resolution techniques. Kris, observer of social conflicts in some of his writings suggests there are at least six tips for resolving conflicts: (1) Limit problem. Often the parties to the conflict do not know exactly, the problem is the source of conflict. As a result, the conflict was widened everywhere. That is why the problem needs to be defined and limited the source of conflict and then how to focus on solutions. (2) Give it a fair chance to speak. Each group involved in the conflict are given equal opportunity to express their opinions. Other parties should not be interrupted. (3) Active listening. Each group was not talking, it is advisable to listen actively. Meaning he earnestly listen what others say, instead of thinking of words that will be used to refute or attack others. (4) Dig all possible solutions. Use a brainstorming technique. Each group presents their ideas freely. Other groups should not be cynical, judgmental or denounce the idea. All ideas are considered right and good. Write down all the ideas into a list of ideas. (5) Select the best solution. Consider the list of ideas acquired. Assess the strengths and weaknesses of each idea, and then select the best ideas as solutions to problems. (6) Bring in prayer. Ask God to give strength to run the solution. Ask God for forgiveness if there is sin that occurred during the conflict. Sixth, strategies to manage conflict. Conflicts in human life can not be avoided, because of a conflict is an integral part of human dialectic with itself and with its environment in order to achieve goals or meet their interests. The good life is not that there is no conflict, but rather how the conflict was resolved with the best extent possible by applying the principle of win-win solution. However, if the win-win solution can not be achieved, other means necessary. According to Kris, a person's behavior in the face of conflict there are four categories, namely (1) those who need performance, but do not care about the relationship, then he tried to win the conflict, (2) if the person does not care about them (relationship or achievement), typically she will avoid conflict, (3) a person who is very concerned with relationships and need achievement, trying to resolve conflicts without confrontation, and (4) if it was not so require achievement, then he will not want to budge because of the fuss.
360 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Resolving conflict means objectives can be achieved and maintained social relationships. More than that, people are able to resolve the conflict meant to create a sense of mutual understanding and mutual care, creating new patterns of balance and the maturation process. Because the learning strategies taught conflict resolution is very important to the students. In the context of religious education, for the religious life in Indonesia can not be separated from the conflict, which includes internal conflicts Muslims, Muslims and other people, and Muslims by the government. The issue of disagreement (khilafiah), political party differences, and disagreements over government policies are often not resolved wisely and win-win solution but rather a conflict and even violence. This shows insight and conflict solving skills and the ability to develop brotherhood and peace among people is very weak. Conflict resolution should also be seen from a contributing factor. The religious people in general have the mindset that it is a single truth that there is a tendency to blame and even infidel people who disagree with him. When in fact, not a single truth in religion, especially the verse or doctrine that multiple interpretations. Form of settlement in this matter is not uniform or coercion understanding, but agree in dis-agreement. This is where the importance of religious pluralism and multiculturalism. In the global era, as now, required a new attitude of looking at diversity, including respect for diversity. Respect for diversity requires understanding. Meanwhile, understanding requires effort to learn from others. Religion has actually been providing solutions in the form of consultation and dialogue. Through consultation and dialogue can provide enough space for a process of mutual learning, mutual understanding, and mutual respect. Through consultation and dialogue is brotherhood and peace can be realized even in an atmosphere of diversity. Meanwhile Panggabean (2008) argues, the conflict order does not interfere with the students both physically and psychologically, the conflict must be managed appropriately and well. School-based conflict management, abbreviated MKBS, is an approach that needs to be done in school. MKBS already used in many countries. Some schools were studied in Indonesia, although not formally designated school-based conflict management, there are many schools that use the innovative teaching and learning. Such innovations include methods of collaborative learning, transformative learning, classroom management that involves students, senior students are mandated to foster the junior students, learning through outbound, etc. MKBS very relevant and directly related to the essential elements of the child's education, the social skills and life skills. MKBS One important goal is to ensure that every student is physically and psychologically feel free from threats and danger. Safe educational environment that allows students to learn and work together toward a common goal. Another goal of conflict management in
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 361
schools is in order to appreciate, even if the need to celebrate diversity and difference in schools. If the conflict can be managed well not necessarily escalate into open conflict. Differences among students who come from backgrounds diversity can actually be part of a learning and growing experience. Of course, so that schools can implement MKBS, the following points need to be considered by students, teachers, and principals. First, how to design learning processes that are not fixated on academic skills, in order to pursue the target of teaching materials. Another component of the curriculum is also important social skills and life skills. The above consideration is one more than the value MKBS approach. Social skills and life skills are essential components for student ability in dealing with problems and manage conflict. This includes the ability of students to manage conflict constructively, to solve problems in interpersonal relationships, and establish dialogue and communication with others. Results of this study indicate that social skills and life skills to students who successfully implanted will be able to empower them cognitively and emotionally. Students to be independent, have strong leadership, and responsibility when faced with a problem. In contrast, traditional practices of repression and control approach to solve the problem, is not good for students' cognition and emotion. Another consideration is how to introduce MKBS in the school environment. Study of school experiences, there are several ways to do. One of them is by giving special time to teach the basic skills and principles of problem solving in subjects during a semester. Other way, not through separate subjects, but through a series of workshop meetings or workshops outside the study subjects. Principles and conflict management skills can also be incorporated into lesson plans and structured into a series of activities, such as simulations, role-plays, discussions and learning activities together. This includes all the way through the process approach to the curriculum. Another way is to build a peaceful classroom. That is, teachers integrate knowledge and skills into the atmosphere of conflict management and classroom activities. Through classroom activities, students are trained to solve problems, resolve conflicts between students, and learning through shared learning methods and scientific discussions. In other words, teachers create an atmosphere that allows students to develop positive social behavior, cooperation, effective communication, expressing emotions and feelings, appreciation of diversity, and conflict resolution. Another way is by organizing school leadership training, and outbound on conflict resolution and peace specifically for members of intra-school student organization (OSIS). Finally, schools may also introduce a mediation program. According Panggabean (1999), mediation, in simple terms, is the process of resolving conflicts through the help of a third party. In this regard, a number of students trained in the basic principles and skills of mediation process. In
362 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies the history of modern education, mediation in the school environment is one of the alternative approaches to traditional practices such as suspension and corporal punishment for students who are faced with problems and conflicts. Peer mediation is part of the implementation of mediation within the school. In this case, both the conflict and the arbitrator or mediator is a student. For example, two students discuss the conflict resolution of their conflict with the help of one or two other students as a mediator. They had reached an agreement through the process can be written. Of course, students need to be trained how to be a mediator of the brief. Some of the above can be used, either separately or combined. MKBS application process can also be gradual, not necessarily uniform, and does not have to be formal. Most strategic capital in the form of creative teachers and students in response to the phenomenon of conflict and the high cost of a peace and brotherhood. Students should grow into citizens who have life skills, academic, and social. Rujukan: Hart, Michael H. 1992. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. New York: Carol Publishing Group/Citadel Press. Hassan, Riaz. 2002. Faithlines: Muslim Conception of Islam and Society. Oxford University Press. Kristanto, Purnawan. Strategi Mengelola Konflik. http://www.sabdaspace.org. Lings, Martin. 2011. Muhammad. Jakarta: Serambi. Panggabean, Samsu Rizal. 2 Juni 2008. Manajemen Konflik Berbasis sekolah, Media Indonesia. Panggabean, Samsu Rizal. 30 Juni 2008. Membawa Pendidikan Perdamaian di sekolah, Media Indonesia. Inside News Letter, Vol. III No. 1. 2005. Peace Education for Kids in Poso. Tobroni. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: UMM Press Tobroni. 2012. Relasi Kemanusiaan dalam Keberagamaan: Mengembangkan Etika Sosial melalui Pendidikan. Bandung: Karya Putra Dewanti. Asy-Syarqawi, Abdurrahman. 2010. Muhammad The Messenger. Jakarta: Sigma.
The Guardian of Tolerant Islam A Study on Understanding of Islam for Islamic Religious Education (IRE) Course Teachers at the Diponegoro University (UNDIP), Semarang, Central Java1 Zaenal Abidin Eko Putro2 Jakarta State Politechnic University
Introduction Diponegoro University is a state university that came into being in 1950s in Semarang, the capital city of Central Java Province of Indonesia. It is the first state university, which was built in the city. Currently, they have 45.387 students, ranging from Diploma III level to PhD level. This paper tries to portray the Islamic Religious Education course (IRE) or Pendidikan Agama Islam (PAI) at this campus. Diploma III student and S1 (BA) student are obliged to take the course. Since its beginning, teachers of IRE are mostly graduating from Walisongo State Islamic Institute of Semarang. Right now, there are five teachers appointed by this university as permanent teacher staff and got a civil servant status, whereas the remaining one is as a part time teacher staff. Generally, IRE course in Diponegoro University is fully supported. The university does not only support IRE course, but also Islamic religious learning in wide sense. Since 1980s, the university has been introducing a religious learning assistance outside the classroom that called a mentoring program to help student to understand more about their own religion. This paper aims to describe the IRE course in this campus and trays to explore the IRE teachers’ understanding about Islam and its contemporary issues. Any obstacles that they have been facing so far are
1 This paper is based on the data that collected from a field research exploring about understanding of Islam for Islamic Religious Education (IRE) course teachers at Diponegoro University of Semarang, from July 22 to August 2, 2013. This research was organized by the Centre for Research and Development of Religious Education and Religion of the Bureau for Research and Development and Education and Training of the Ministry of Religious Affair of Indonesia of which the author got involved. The author thanks to Dr. Qowaid bin Mahuri for his gracious support during the field research. 2 Zaenal Abidin Eko Putro has gained his master degree in Sociology from University of Indonesia.
~ 363 ~
364 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies also important thing to be discovered. In the later part of this paper, the student’ response on IRE course will be highlighted. A Glance of Diponegoro University (Undip), Semarang According to 2012 Undip’ profile, it is said that this university was initially called Semarang University. Established in 1956, this campus was initially led by Prof. Imam Bardjo. Then, President the Republic of Indonesia Soekarno changed the name of the university becoming Diponegoro University when he had attended the third anniversary event of this campus on January 9, 1960. Diponegoro is a national hero of Indonesia who fought in Java war against the colonial Dutch between 1925 and 1930. It is also said that the replacement of Semarang University becoming Dipenogoro University recognized by the State with Government Regulation No. 7 Year 1961 and the Ministry of Education, Teaching and Culture’ Letter of Decision No. 101247/UU dated December 3, 1960. The state recognition of this campus to become the state university was granted on October 15, 1960. The motto in Sanskrit of this campus is “Wiyata Hangreksa Gapuraning Negara” which means Diponegoro University provides higher education for guarding nation image purposes. Moderate and Radical Traits in Islam This paper stands on argument brought by some scholars who tries to make any distinction between moderate Muslim and radical Muslim. Saikal (2003 p. 19) makes a clear definition of what does the moderate Muslim means. He argues that moderate Islamists are those who uphold Islam as a dynamic ideology of political and social transformation, and a meaningful ideology of opposition to authoritarian regimes at home, but reject any form of violence as a means of achieving such objectives, unless their religion, life and liberty either at individual or societal level are seriously threatened or invaded. Although they come in various forms, on the whole they subscribe to what has been termed ‘Islamic liberalism’ and adhere strictly to the Islamic command, as enshrined in the Qur’an, that there is no compulsion in religion. In addition, they operate mainly within loose organizations, informal small groups or at individual levels. They include the Iranian Islamic reformists, led by President Mohammed Khatami, the Indonesian Nahdatul Ulama (the Awakening of Ulama) organization and the now defunct Refah Partisi (Welfare Party) in Turkey, led by Necmettin Erbakan in the 1990s. Most Muslim intellectuals and informed Muslims fall into this category. Apart from that above mentioned, the radical group stands in opposition to the moderate one. Referring to his analyzes on Talibanization of Southeast Asia, Singh (2007 p. ix) outlines that the radical group
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 365
involves the adoption of Islamist doctrines, ideologies, and values that are largely militant in character, which for some groups includes the adoption of violence to achieve their goals. He adds the term ‘‘Islamist’’ referring to what is the use of ‘‘Islam’’ for specific purposes. Many political actors have often tried to justify their actions on grounds that these are ‘‘Islamic,’’ when indeed they are not. To that extent, ‘‘Islamists’’ usually manipulate and distort what is ‘‘Islamic’’ to achieve political goals. While ‘‘radical piety’’ is fast becoming a fact of life in the region, what is most dangerous is its abuse and manipulation to achieve the political goals of Islamists (p. x). To describe the moderate type of Islam for IRE course teachers in Undip, this paper tends to follow Saikal assertion about moderate Islamist. The moderation of the IRE course teachers in Undip in understanding Islam is portrayed from their statement collected from in-depth interview, which can be reached at the following part of this paper. A Brief of IRE Course in Undip IRE course in this university is offered to the undergraduate student at first semester. This course has two credits, which is lesser than other specific course. In this regards, student must be completed the course in one semester only. Historically, this course was coordinated by the rectorate for several decades. However, since the 2009, this course has been coordinating by each faculty in conjunction with the faculty autonomous plea. Being under rectorate supervision, IRE course teachers could make a direct contact with the rectorate. In contrast, they did not get promotion in terms of teacher rank. As lecturer, they did not have an opportunity to develop their career such as being supervisor for student thesis, being supervisor of student internship program, being examiner of student thesis examination, and doing research. Their main duty was teaching only. After adjusted as faculty member, they could be able to do these things.3 To date, six people teach IRE course in this campus having either full time staff status or part time status staff. The academic bureau attached to rectorate distributes them to all faculties in odd semester. It is because of teaching in one semester only; they are very busy to teach IRE course in weekdays. IRE course teachers in this university can be distinguished into two categories. Firstly, teachers who are granted a permanent staff status as civil servant or Pegawai Negeri Sipil (PNS). They used to be the teachers who were being coordinated by the rectorate in the Unit Mata Kuliah Umum 3 Almost all IRE teachers by which the author interviewed with from July 23 to August 1, 2013 stated this information.
366 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies (MKU) or Universal Courses Unite. Secondly, teachers who are appointed as a part timer teacher and not the member of former MKU unit. For full time staff of IRE course, five teachers are now joining a certain faculty. Four of them joined the Law Faculty, whereas the rest joined the Psychology Faculty. Here are the teacher who joining the Law Faculty; Agus Sarono, Islamiyati, Mas’ut and Muhyiddin. Besides, the remaining teacher is joining Psychology Faculty. His name is Suparno. All of them were graduated from Walisongo state Islamic Institute of Semarang. Although they are no longer under coordination of the rectorate, they still maintain their close relationship by building good communication to one another as for example using of shared syllabus and allocating working time of each teacher. Its aim is to avoid unfair working time and misunderstanding of each teacher. Most importantly, it is also to avoid other teachers who teaches IRE course but without having got permission from IRE course teachers. Education System of IRE Course at Undip
Syllabus and Teaching Method of IRE Course
Every teacher of IRE course is trying to follow the material teaching guidance that provided by Ministry of Religious Affair as the shared material teaching to the student. For syllabus and teaching guidance book, they refer to IRE course book that has written by Mastuhu at all and published by Ministry of Religious Affair for Perguruan Tinggi Umum (Public Higher Education) in 2002.4 In short, it is said that there are at least three basic teachings in IRE course, i.e. theology, Islamic Syariah Law, and Character Building. For the first meeting in the class, teacher usually begins with God and Universe theme. At the following class, they teach about the existence of human beings, Islamic ethic/moral, as well as well manner behavior (akhlaq). Basically, student is encouraged to understand her/himself as what a Hadist says, Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu that means whoever knows about her/himself, he/she knows his/her God. At the following weeks, student of different faculty are taught with the issues regarding with their specific course of faculty. For those who student at Health Faculty, they are being taught IRE course according to health issues. In this regards, Boma Wikan Tyoso, a former rector of Gadjah Mada University of Yogyakarta says that this type of IRE shows 4 These textbook are provided at the Centre Library of Diponegoro University at Graha Vidya Puraya Building. There are at least five books highlighting about IRE curse in public university. All these book looked fade. Some of them were being customized in order to make them in properly form. Almost of them were pulished by the Ministry of Religious Affair in the year 2002 consist of some topics such as Human Being and religion, Islamic Religion, The source of Islamic Religion, Islamic Religion Framework, Theology, Syariah Law, etc.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 367
that it is not only emphasizing on the context of justification, but also stressing on the context of discovery, that is a shared of religious vision to science and technology.5 Agus Sarono, one of IRE course teacher admits that he had experienced to teach student of Faculty of Health and found that the student of Faculty of Health pay much higher than any other faculty student. Thereafter, he found himself in difficult situation about how to persuade the student for not to distinguish between the rich patient and the poor patient. It is a matter of make sense if student takes much money from patient when later, they serve a medical treatment. He then gives advice to his student of Faculty of health that it is important to observe human values.6 The teaching method utilized in class is mainly the Student Centered Learning (SCL) system. IRE course teachers are urged to make any innovation including theme and method during IRE course class. For that reasons, they introduce Islam with its compatibility with the current issues such as Human Rights, democracy, gender and other similar things. Teaching method such as oral, discussions, as well as take home test are also common in IRE course at this campus. The SCL is deemed as a suitable method since the student had studied Islam before enrolling to this campus.7 Understanding Islam of IRE Course Teachers Generally, it can be said that almost of all IRE course teachers have similar tone in understanding Islam. They acknowledge the primary position of being tolerant in the nation state such like Indonesia whose aim is to create the student for being nationalist and being religious at the same time. It sounds a shared common value among IRE teachers. Agus Sarono, one of IRE teacher who have been worked for more than twenty years in this campus says that IRE curse teachers are working as like as a team. Previously, they were being supervised by the rectorate, but since the year of 2000, they moved to become the faculty staff member. As a team, every teacher assures to one another about having the similar tone in understanding Islam that is Islam that compatible with the nation state of Indonesia. Thus, if there is a teacher who probably has a thought on Islam that discomfort with IRE course teacher team, he or she will not be allowed to teach IRE course in this campus anymore.8 Sarono’ understanding on Islam is shared to his student, especially the compatibility of Islam to the Five Principle (Pancasila). Boma Wikan Tyoso, Ibid. p. 202. Interview by the author with Agus Sarono dated July 24, 2013. 7 Interview by the author with Islamiyati dated July 30, 2013. 8 Agus Sarono, Ibid. 5 6
368 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies “For being Oneness God’ man means one should reflect the attitude of wholehearted and uphold the value of humanity. Not everything can be quantified by money. This is as like as a final bastion. If everything measured by material thing, and it comes forward, it will jeopardize of the existence of nationhood. As a result, poor people will not access medical health service.”9 Sarono, who once have joined a short course at the Institute for National Defense (Lemhanas), feels that he is urged to share about this issue. In his thought, universal concept like for example Human Rights cannot totally be applied in Indonesia as like as in some of the Western countries. He asks a question about a certain case like same sex marriage. Does it sound good for Muslim? He adds another example that it has been achieved in health realm like a test tube baby. Does it suit for Islamic law? “In the West, Human Rights issues pretend that everything can be done. But, in Indonesia that has the Five Pillar, the application of HR is different. If we look at liberal countries, the religion is no longer significant. To my student, I tell them if it (the same sex marriage) is allowed, it will demise of generation. While in Islam, there is a hifdun nasli, a concept of right to have descent. It will also break the innate task of human being for sustaining generation.”10 With regard to the relation between state and religion, he put emphasize the primary position of Islam on state. According to him, Indonesia follows the monotheist religion model, so that if State manages the citizen faith it is a correct one. It is because of the Pillar First of the Five Pillar outlining about Oneness of God. In this regards, government should not allow the defiant sects that break of monotheist principle. It State allows them; it means that State does not respect to the First Pillar of the Five Pillars. State should interfere in the context of to manage the citizen faith, but not intend to break the human principles. “Well, if there are people set their own court to punish a culprit, it is not allowed. It is also as if for example if there is a restaurant provides food in the noon of Ramadhan fasting month. It is not allowed for someone who forces it to shut. Anyhow, people with different faith need to eat. If we force a restaurant to closed, it is of us not to be tolerant. It breaks the verse Lakum dinukum waliyadin.”11 Islamiyati, the only women who teach IRE course in this campus, has agreed with Agus Sarono’s thought in understanding about Human Rights in Islam. In her view, Human Right in Western countries and Islamic (majority) countries should be distinguished. Human Right in Western Agus Sarono, Ibid. Agus Sarono, Ibid. 11 Agus Sarono, Ibid. 9
10
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 369
countries tends to be liberal, whereas Human Right in Islamic (majority) countries regards the God’ spirit (ilahiyah). In classroom, she always discusses this issue by opening a dialog to her student. “It is allowed to voice Human Rights, but do not tend to be liberal. Prophet Muhammad had spoken about Human Right when he performed a farewell haj (haj wada’) by saying that women should be respected. Another example is Madinah treaty and also a lesson learnt from Prophet Nuh who didn’t force his fellow to worship to Allah and he only asked them instead.”12 When she met the author, her style is casual; wearing a short hijab, a blouse, and a trouser. She argues that this style makes her feel comfortable to deal with her busy time. She is always moving on from one place to another place. Using such kind of dress is helping her to do her business effectively. It will also protect her for being safety riding on her motorcycle. When the author asked her view about the case of the relation between man and women, she says that the position of both is the same in Islam, for example with regard of the command to require of knowledge. However, in society itself, the position of man and women are unequal and it seems even placed man higher than women do. She admits that in society, it is a kind of culture problem instead of religious problem. Another one thing is that she sees polygamy is important issue the student to discuss. She opens debate about it. “Polygamy is allowed in Islam with a certain requisites. In nature, women are not giving her husband practicing polygamy. But, let’s look at the blessing in disguise behind the verse of polygamy in the Quran. We need also look at the marriage right in Indonesia. When it comes to critical and debate, I end the debate by saying the condition of pro and contra about polygamy. All in all, it is all my student’ choices and I let them where they stand for.”13 Selecting women as a leader, she agrees with some notes, however. The main aspect of women working in public is first when her family is being properly managed. In the outside home, women are allowed to be everything what she want, but in household, man should be the leader. It refers to al Quran verse 4 Surah Annisa. When she delivers an Islamic concept to her student, she tends to try to connect the current situation with religious’ concept. It is including the concept of democracy with Islam. Is democracy compatible with Islam? She says yes it is. Democracy is not quite different with the tenet of musyawarah or discussion in Islam.
12 13
Islamiyati, Ibid. Islamiyati, Ibid.
370 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Miftah Ahmad Fathoni, another IRE course teacher at Undip who have been teaching for more than 30 years, sees when there are so many new school of thoughts coming to the student, he put emphasize toleration to his student. He remarks that ijtihad that he defined it as thinking is very important in Islam because ijtihad is relying on reason or ro’yu. But, reason is relative in nature. Thus, the conclusion of ijtihad is not absolute. For this reason, we are not allowed to be fanatic and stand in one tenet only. A tenet is right when it refers to al Quran and Hadits. 14 Then, the author asked him a question about the tenet of Ahmadiyah and Syiite. He explains that Ahmadiyah group convinces Tazkirah as their holy book and Mirza Ghulam Ahmad as their prophet. The problem with Shiite is that some of their members insulting the Prophet Muhammad’ companion. These two group’ tenets inevitably irritate some Islamic basic tenets that to be believed by majority Muslim in Indonesia. However, he tells his student to pay respect to these groups. In comparing the student group that had threatened the nation state in the past few decades, he sees currently such groups decreased. It is a matter of fact that in 1980s, there was a bomb blast destroying Borubudur temple as well as bomb blast at some church in Malang, East Java. At that time, it was an accusation that some Undip’ student were involved in the bombing. He argues that it was an effect of mentoring on Islamic teaching activity conducted outside campus at that time. From 1980s to 1990s, Ramadhan in Campus program offered by inviting some critical orators from other universities such as Gadjah Mada University, Bandung Institute of Technology, Airlangga University, and other similar campus. To deal with this problem, the mentoring activity subsequently was decided to move on to inside campus. Being arranged in inside campus, lectures had guided the student. In his view, the existence of student whose radical thought is slightly decline in line with the political regime changing and the teaching of toleration guided by IRE course teachers. He recollects his memory in 1980s when a critical student group had accused an IRE teacher as being infidel. It was a problem with wearing a veil/hijab for female student. At that time, unveil female student was much higher in number than veil female student one. Then, a book was published with a shocking title, presumably Big Sins Disobeyed by Muslim. The book itself discussed about hijab/veil. Teachers who had let the student for being unveil being accused as having a big sin. In addition, it also went to parent and husband who had permitted their children and his wife being unveiled. Hijab issues overwhelmed religious discourse at that time. In contrast, the veil female students are much higher than unveil female students in current time. 14
Interview by the author with Miftah Ahmad Fathoni dated July 25, 2013.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 371
To seek the type of understanding Islam for student, it is important to do it by investigating the student religious’ background. Another IRE course teacher, Muhyiddin, who have been teaching IRE since 2003, admits it. According to him, student that joins a group of Islamic activist is usually bring about Syariah Islamic law and Political Islam. The common question coming from student is whether Islamic Syariah law applied in Indonesia. Thus, he answered the student question by saying that Islamic Syariah Law is not merely to be applied, but we need to make a preparation of everything first, including its foundation (qowaid). Precondition on building a common understanding and goal before applying Islamic Syariah law is needed. Off course, it will bring a polemic in society. He adds that most of the students in line with this question are coming from public school background. They understand Islam textually. But, he feels that the student who asking a question like this slightly declined in these days. If the student is not an activist of Islamic student group, he usually asks about the daily course and more practical worship problem. For example, he asks about the law and the teaching of fasting.15 Obstacles of IRE in Undip As outlined above, the background of IRE course teachers is similar, namely graduated from Walisongo State Islamic Institute of Semarang. Besides, they active in selecting and controlling the quality of IRE course teacher internally. If we look at their differences, probably we will find very little like for example their mass Islamic organization background that IRE course teachers aimed at. For example, some teacher have involved at the Movement of Muslim Student of Indonesia (PMII) that belong to NU, Muslim Student Union (HMI) that was assumed to close link with Muhammadiyah, and Muhammadiyah Student Union (IMM) that is under Muhammadiyah direct’ coordination. Although they have been being together in promoting and protecting the moderation of Islam, it is the fact that they find some problem in IRE course teaching so far. Problems are varied. Firstly, there is an IRE course teacher in Faculty of Psychology who are not allowed to become the examiner in thesis defendant meeting.16 Secondly, IRE course teachers are unable to access in managing the Islamic Spirituality Student Activity Unit namely Insani of Undip. The head of Insani board is now a teacher who holds academic degree from natural science faculty. One of course IRE course teachers told the author that this policy issued by the rectorate to give an equal opportunity to other teacher in this campus. In line with this,
Interview by the author with Muhyiddin dated July 27, 2013. One of the IRE teachers who join the Faculty of Psychology of Undip dated July 29, 2013 conveyed this information. 15 16
372 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies IRE course teachers operate in classroom, whereas other non-IRE course teachers with strong religious commitment deal with outside classroom.17 It is in Insani by which some students who accused to be the member of radical Muslim student group. Joining this student activity group, they have been inclined to be an exclusive Muslim student. It is not uncommon in some University’ mosques of Indonesia that it is become a home base for some exclusive and radical Muslim students. However, an IRE course teacher notes that as long as they do not aggravating others by forcing their ideology for instance, their existence is allowed.18 The Islamic Student Activity Unit Insani is regarded as the most representative Muslim student in this university. It has also a strategic position where student can come and join it under coordination of the rectorate. Annually, the campus subsidizes Insani a grant in amount 8 billion rupiahs. The Insani head is chosen annually as like as other student activity groups. During Ramadhan fasting month in 2013, its board invited some Muslim figures either from abroad and home country to perform worship in the mosque. For example, a Palestinian imam was invited to lead Tarawih praying in this campus’ mosque. There was also a Rohingya Muslim shared his experience of being threatened during the conflict with his Buddhist neighbors. When the author contacted Insani board supervisor head, Mohammad Nur via emailed interview, he admits that he is appointed officially by the campus to supervise Insani, though he has never learnt Islamic Education formally. He added that Insani is designed for helping students, who cannot be able to read al Quran and Islamic praying (sholat) for instance, by an intensive approach called mentoring program. IRE course teachers assist this mentoring program. 19 Muhyiddin, another IRE course teacher said that IRE course teachers in this campus have been became the target of accusation for being liberal. This accusation is proclaimed by non-IRE course teachers whose their understanding on Islam is more radical that seen by IRE course teachers. However, this group of teacher do not invite student to join their group so far, so that their influence on Islamic thought to the students could be minimized. In addition, they are not allowed to be become the IRE course teacher in this campus as long as the requirement of IRE course teacher is confirmed. The main condition to become the IRE course teacher is he or she must graduate from a formal education on Islamic studies.20 Another obstacle is about the schedule of IRE course. This course is offered by campus to their new student, so that the students in Semester 1 Most IRE teachers have never been taking a part to the Insani activities. Interview by the author with Mas’ut dated August 1, 2012. 19 This data based on the emailed interview dated July 23, 2013. 20 Muhyiddin, Ibid. 17 18
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 373
are obliged to take this course. Off course, this makes a hectic situation for IRE course teacher during Semester 1 because she or he has to teach until 20 credits in a week. The reason offering IRE course to the Semester 1 students is because of the basic foundation of the course before student entering to the continues courses. Student’ Response to IRE Course To seek the feedback from student about IRE course, the author thereafter interviewed some student at Undip campus’ mosque of Tembalang. Lukas Santoro, the head of Insani said that by only two credits, IRE course is less enough to upgrade student understanding about Islam. Therefore, they need to deepen their knowledge about Islam by joining mentoring program. Insani is the student activity unit that purported to provide mentoring program for those students who need to upgrade their knowledge about Islam.21 Another student named Yofi says that religion course should not teach its theory only, but it should show its practical of daily worship. According to him, religion is not enough if we study its theory only. IRE course that only one time in a week is sought to be far from enough. He sees that IRE course teachers in his campus are qualified enough. The solely problem is about the less in time.22 He also admits that IRE course teachers have been a very minimum joining the mosque’ activity. They only teach IRE course in classroom. In fact, student needs to know more about al Quran and Hadits, problem on contemporary science, and others alike. For the most part, the mentor for jurisprudence in Islam (fiqh) class refers to the mainstream fiqh book such as Bulughul Maram and Riyadussalihin. It is also discussed about al Quran and its compatibility with modern sciences.23 Although the participation of IRE course teachers is very less in campus’ mosque, the activity of student in this campus’ mosque is dynamic. For example, in the Ramadhan 2013, there were a number of activities provided by the student activist in the campus’ mosque. There is not only student accessing the programs in Ramadhan in this campus’ mosque, but also its neighboring society. Conclusion Generally, IRE course teachers of Undip have a similar tone in understanding Islamic teaching. They bring a common value to teach student to become a nationalist-religious person as like as the goal of other 21 22
Interview by the author with Lukas, the head of Insani dated July 22, 2013. Interview by the author with Yofi, one of the Islamic tutors in Insani dated July
22, 2013. 23
Lukas, Ibid.
374 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies courses offered to the student. They ask their student not to belong to the narrow minded in understanding the diversity of Islamic teaching. It seems that all IRE teachers in this campus tend to be a moderate Muslim. They try to avoid participating in any teacher group who belong to radical Muslim. Also, IRE course teachers are accused to be defendant of liberal Islam. Although they do not take a part of campus mosque’ board, they convince to spread moderate Islam through their IRE course teaching process in classroom. Reference Boma Wikan Tyoso, Masalah Dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas Gadjah Mada, in Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Logos. 2002. Mastuhu, dkk. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Departemen Agama RI, 2002. Profile Undip tahun 2012, Semarang : Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi ((BAPSI) Universitas Diponegoro, 2012. Saikal, Amin. Islam and the West. Conflict or Cooperation? New York: Palgrave Macmillan. 2003. Singh, Bilveer. The Talibanization of Southeast Asia : losing the war on terror to Islamist extremists. Connecticut & London: Praeger Security International. 2007. Informant List 1. Agus Sarono, interview July 24, 2013. 2. Miftah Ahmad Fatoni, interview July 25, 2013. 3. Suparno, interview July 26, 2013. 4. Islamiyati, interview July 30, 2013. 5. Mas’ut, interview August 1, 2013. 6. Muhyiddin, interview July 27, 2013. 7. Lukas Santoro, interview July 22, 2013. 8. Yofi, interview July 22, 2013. 9. Mohammad Nur, emailed interview July 26, 2013.
تكوين بيئة اللغة العربية لرتقية همارو الالكم (دراسة وصفية مقوميية يف معهد دار السعادو فالن ) عيدرو حمسن بن عقيل املاجس تري مدر لكية الداب جامعة سونن أمبيل الإسالمية اضكومية سوراطاي – اإندونيس يا
مس تخلص البحث عيدرو حمسن بن عقيل ،تكوين بيئة اللغة العربيةة لرتقيةة همةارو الةالكم (دراسةة وصةفية مقومييةة يف
معهد دار السعادو فالن ) بيئة اللغة العربية ،همارو الالكم. اللكامت الساس ية : أن ترقية همارات الطالب الربع (الاس ع ،والالكم ،والقةراءو ،والكتابةة) حتتةا اإىل بيئةة عربية سةاعدها ول تكفة سةاعة أو سةاعتني داخةل الفصةل يف السة بوع الواحةد .ومةن املعاهةد الة قامت بتكوين بيئة اللغةة العربيةة معهةد دار السةعادو فةالن .وأسة ئة البحةث )4( ،مةا دور البيئةة اللغوية يف ترقية همارو الالكم يف معهد دار السعادو فالن ل و( )3كيف تكون بيئةة اللغةة العربيةة فعهةد دار السعادو فالن ل و( )2كيف يمت حتسني البيئة اللغوية فعهد دار السعادو فالن ل .اإن مةدخل هةذا البحث هو املدخل الكيف ،وهو حبث للحصول عىل الةتاجئ أو الكشةف عةام ل ميكةن حصةوهل بطريقةة الإحصائية أو املهن المكة .واسة تخدم الباحةث املةهن الوصةف التقةومي .وأمةا نتةاجئ البحةث ،أن دور البيئة العربية يف ترقية همارو الالكم ل جيري كام يرام .وأن البيئة تكون اصطةاعية .وأن تمتة حتسني بيئةة اللغة العربية يف معهد دار السعادو متبلور عىل النشطة اللغوية يف الفصل وخارجه. مقدمة : امحلد ا رب العاملني والصالو والسالم عىل س يد محمد وعىل أهل ويحبه أمجعني أما بعد : مؤثر البيئة اللغوية عىل استيعاب همةارات اللغةة الربةع .فقةد ذكةر يف عةدو حبةوث ودراسةات اللغة أن النفال اذلين يعيشون يف بيئة نيبة س يكونون أقع وأكةرث دقةة مةن غةريق .اكن العةرب يف املايض يرسلون أولدق اإىل البادية لكتساب اللغة اجليدو ،عىل الةرمغ مةن فهةم وقةدرو أط ةم يف اللغةة العربية حتداث ومعل ولةحابة الولد ليكونوا فصحاء أذكياء أقوايء ،ل م يشرتكون بأنشطهتم. فتعمل اللغة العربية ومعل ها ليس أمرا سهال طلخيس بة للبةاء الةاش ئني غري الةانقني هبا .حيتةا لك متعمل و معمل اإىل الوسائل املتةوعة للوصول اإىل الغراض الةاحجةة والبيئةة اللغويةة املمتةازو لن اللغةة ~ ~ 375
376 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
والبيئة شيئان متالزمان متالصةقان .اإذا تلكمةةا عةن اللغةة لةزم عليةةا أن نةتلكم عةن بيةهتةا اللغويةة ل ةا أصبحت وس ية حيوية لتحقي جناح معمل اللغة و معل ها دلى الطةالب .والبيئةة التعل يةة والتعلميةة لكية من العةارص ال حيشدها املريب أو املعمل من الكتاب املةدريس ونريقةة الةتعمل والنشةطة الرتبويةة أثةاء الفصل ادلرايس وقةبهل وبعةده والة هتةدف لكهةا اإىل اسةرتاميجية تربويةة واحةدو شةلك اسة تحابة املتعمل طلشلك املرغوب فيه.1 ويرى بشريي أن تسية همةارات الطةالب اللغويةة الربةع حتتةا اإىل بيئةة عربيةة سةاعدها ول تكف الساعة أو الساعتني داخل الفصل يف الس بوع الواحد ،وروي عن أيب هريرو ريض هللا عةه أن الة صىل هللا عليه وسمل يقول" :لك مولود يودل عىل الفطرو فأبواه هيودانه أو ية ةانه أو ميجسةانه".2 لو اكن للبيئة مأثري قوي و كبري يف ترس يل وتركزي الداين يف نفو الإنسان ،مفا طل مأثريهةا يف سةلوا الإنسان اللغوي ،فاإنه ل ستلف فيه اثةان يف أن للبيئة مأثريا قواي وجليا لتكوين لغة الإنسان.3 مفعهد دار السعادو من املعاهد ال مقوم بتكوين البيئة اللغة العربية لجل استيعاب الطالب املهارات اللغوية هلم خاصة يف همارو الالكم .فهيئي بيئة اللغة العربية حةىت سةاعد عةىل ترقيهتةا .مةع ذكل جند بعاهم ل يس توعبون كثريا همارو الةالكم .ومةن املالحةظ أن البيئةة مل مقةم كةام هةو املطلةوب ،جنةد هةاا مشلكة يف هتيةهتا واكتساب اللغة العربية . من هذه القاااي هيمت الباحث لتحليل املشالكت املوجودو طلبحث العلم وبذكل يقدر عةىل اإصالمها وموظيفها لرتقية همارو الالكم .جفعل الباحث موضوعه " تكوين بيئة اللغة العربيةة لرتقيةة همةارو الالكم ". املبحث الول :بيئة اللغة العربية مفهوم البيئة اللغوية البيئة يف اللغة مش تقة من فعل (بوأ) ،و هل معان عدو ،فبوأه مزنل :نزل به اإىل س ةد جبةل، وب ةوأه هل وب ةوأه فيةةه :هيةةأه هل وأنةةزهل ومكةةن هل فيةةه ،و(مب ةوأ) نةةزل وأقةةام ،ومنةةه يف الق ةرأن الكةةر ( 1صالح عبد اجمليد العريب ،تعلم اللغا :احلية و تعليمها ،االياهرةد مكتبة لبنان1981 ،م) صد11 2صحيا البخاري ،اجلزء د ،2كتابد اجلنائز ،رقمد 1296 3حليمي زهدي ،البيئة اللغواةد تكوانها و ورها يف اكتساب العربية ،اماالن د مكتبة جامعة موالنا مالك إبراهيم )2009 ،صد7
~ 377
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
4 أى ) اختذوا ،والامس البيئة فع املةزنل ،وقةد ذكةر ابةن منظةور للكمةة (مبةوأ) معةيةني قةريبني مةن بعاةهام، الول :فع اإصالح امللن وهتيةته للمبيت فيه والثاين :الزنول والإقامة.5 وأما معريف البيئة اصطالحا فقد معددت معريفات العلةامء لهةا ،وسةبب ذكل أن لفةظ البيئةة شائع الاس تخدام ونذكر بعاا من هذه التعريفات و كام يل: -1يرى بشريي أن البيئة الوس أو امللن اذلي متوافر فيه العوامل املةاسة بة ملعيشةة اكئةن يح أو مجموعة اكئةات حية خاصة ،ولها عوامل وقوي خارجية مؤثر يف الإنسان وسلوكه.6 -2مرزويق يقول أن البيئة مجيةع الشة ياء و العوامةل املاديةة و املعةويةة الة مةن شةأ ا أن مؤثر يف معلية التعلمي و ترغب الطالب يف ترقية اللغة العربيةة و مةدفعهم و شةجعهم عةىل مطبيقهةا يف واقع حياهتم اليومية.7 -3محمد جامل يقول أن البيئة لك املؤثرات والإمل ت والقوي افيطة طلفرد ،و الة ميكهنةا أن مؤثر عىل هجوده للحصول عىل الاس تقرار الةفيس والبدين يف معيش ته.8 -4وأما البيئة اللغوية كام رأى هيدي دولي فهي لك ما يسمعه املتعمل ومةا يشةاهده ممةا يتعلة طللغة الثانية املدروسة وأما ما ش متهل البيئةة اللغويةة الحةوال يف املقصةف أو ادلاكن ،افةاورو مةع الصدقاء و حني مشاهدو التلفاز ،و حني قراءو اجلريةدو ،الحةوال حةني معليةة الةتعمل يف الفصةل ،و حني قراءو ادلرو و غريها.9
أما التعريفات ال قد ذكر سابقا مف تلفة يف ألفاظها ولكن مرتكز عىل هدف واحد وهةو أن البيئة لك املؤثرات والإمل ت والقوي افيطة طلفرد ،والة ميكهنةا أن مةؤثر عةىل هجةوده للحصةول عىل الاس تقرار الةفيس والبدين. أما البيئة الة قصةدها الباحةث هةةا بيئةة اللغةة العربيةة ،اإذن البيئةة هةةا مجيةع الشة ياء والعوامل املادية واملعةويةة الة مةن شةأ ا أن مةؤثر يف معليةة التعلةمي وترغةب الطةالب يف ترقيةة اللغةة 4سورة اونس د87 5ابن منظور ،لسان العرب ،ال بعة السا سة ابريو:د ار صا ر1997،م) باب اهلمزة ،فحل الباء 6بشاريي ،2001،تكاوان بيئاة امسااعدة وت وارهااا يف تعلايم اللغاة العربياة ماااالن ااميالاة الايت ألياهاا يف الاادورة التدرابياة معلماي اللغاة العربيااة جاوى-بايل) 7 مرزقي ،2001 ،البيئة التعليمية للغة العربية ،يف ميالته اليت ألياها يف اجلامعة اإلسالمية احلكومية ماالن د ماالن م 8مجال الدان حمفوظ ،الرتبية اإلسالمية لل فل وامراه ،امحرد ار االعتحام) صد 180 9حليمي زهدي ،البيئة اللغواةد تكوانها و ورها يف اكتساب العربية ،اماالن د مكتبة جامعة موالنا مالك إبراهيم )2009 ،صد 39
378 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
العربية مدفعهم و شجعهم عىل مطبيقها يف واقع حياهتم اليومية أو لك ما يسمعه املتعمل وما يشةاهده من املؤثرات املهيئة والإمل ت افيطة به املتعلقة طللغةة العربيةة املدروسةة ،و الة ميكهنةا أن مةؤثر يف هجوده للحصول عىل الةحاح يف معمل و معلمي اللغة العربية. أقسام البيئة اللغوية هةاا قسامن للبيئة اللغوية ،وهام كام يل: -1البيئة اللغوية الطبيعية يقصد طلبيئة اللغوية الطبيعية اس تخدام اللغة بغرض التفاق ونقل املعلومةات ،أي مةع الرتكةزي عىل افتوى .وهذا مةا نفعةهل عةةدما نتحةدث مسة تخدمني اللغةة الوىل أو اللغةة الثانيةة يف الشةارع أو امللعب مث ًال .ويف املقابل ،عةدما يس تخدم املعمل اللغة الثانية يف غرفة الصةف يف مةدريب لغةوي ،فةال شك أ ّن الرتكزي هةاا ل يكون عىل افتوى ،بةل عةىل الصةيق اللغويةة .فيصةبح هةدف اللغةة يف هةذه اضاةل اللغة ذاهتا .مثل هذه البيئة اللغوية ندعوها بيئة شلكية أو اصطةاعية. ولقةد دلةةت البحةةوث أ ّن البيئةةة الطبيعيةةة مةؤدي اإىل اكتسةةاب أقع للغةةة الثانيةةة مةةن البيئةةة الاصطةاعية .ولكام زاد زمن التعرض للغة الثانية بصةورهتا الطبيعيةة ،حتسةن مسة توى اكتسةاب اللغةة الثانية ،وأن ّه اإذا ساوى الزمن ،فا ّإن البيئة الطبيعية معط نتاجئ أفاةل مةن البيئةة الاصةطةاعية ،الةىت ىه بيئة غرفة الصف .وهةذا يعة أ ّن معةمل اللغةة الثانيةة يف مونهنةا الصةل أفاةل مةن معلمهةا لكغةة أجنبية يف قاعة ادلراسة خار مونهنا الصل. واملهارو اللغوية يف اللغة الثانية متقدم بشلك أفاةل اإذا اسة تخدمت اللغةة الثانيةة لكغةة معلةمي ،Medium of Instructionأي اسةةة تخدمت يف مةةةدريس املةةةواد الخةةةرى مثةةةل العلةةةوم والاج عيات ،مقارنة طس تخدام اللغة الثانية لكغة فق . -2البيئة اللغوية الاصطةاعية هةةاا نةةوعني مةن الثةائيةةة اللغويةةة :الثةائيةة الطبيعيةةة Natural Bilingualismوالثةائيةةة الاصطةاعية .Artificial Bilingualismويف الواقع ،ا ّإن هذين الةةوعني مةن الثةائيةة يتةوازاين مةع الةوعني من البيةتني اللغويتني :البيئة الطبيعية والبيئة الاصطةاعية .والبيئة اللغويةة الاصةطةاعية ،ىه بيئة معمل اللغة الثانية يف الصف .وىه سبيل لكتساب اللغة الثانية .ورمغ أ ّن هذه البيئة حمةدودو الثةر يف تكوين همارات امصالية فعاةل ،إالّ أ ّن لها فوائد ل ميكن اإنلرها .فاملدرسة مقدّم ح ًال واقع ًيةا ملاليةني الطةةالب اذليةةن ل ميكةةهنم أن يةةذهبوا اإىل مةةونن اللغةةة الثانيةةة ليسةةمعوها هةةةاا ويكتسة بوها يف بيئةةة نبيعية ،اإذ مقوم املدرسة طإحاار اللغة الثانية اإلهيم .كام أ ّن املدرسة قد هتة ّمت بعةرض الحةلم الةحويةة
~ 379
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
للغة الثانية ،وهذا قد يتناسب مع سن بعل املتعلّمني اذلين يرغبون يف اكتشةاف أقار اللغةة الثانيةة عن نري اس تقراء القوانني (من خالل مقد أمثة عديةدو سةابقة) أو عةن نرية اسة تخيباو القةوانني (مطبيقها عىل أمثة عديدو لحقة) .اإضافة اإىل هذا ،ا ّإن القةوانني اللغويةة قةد سةاعد يف مراقبةة املةتعمل لةفسه وهو يكتب اللغة الثانية أو يتلكم هبا .كام أ ا ساعده يف مصحيح نفسه اإذا أخطأ. ويف الواقةةع ،ا ّإن مةةدى فعاليةةة معرفةةة الق ةوانني اللغويةةة يف جمةةال تك ةوين املهةةارات اللغويةةة أمةةر مشةةكوا فيةةه .فهةةةاا املاليةةني مةةن الةةةا يف لك مةةلن يتلكمةةون اللغةةة الوىل أو اللغةةة الثانيةةة وق ليعرفون القوانني اللغوية الىت حت اللغة الىت يتلكمون هبا .وهةةاا أياً ةا املاليةني مةن النفةال اذليةن يتلكمون اللغة الوىل طإمقان يف لك ملن قبل أن يذهبوا اإىل املدار وقبل أن يتعلموا أي ءء عن قوانني اللغة الوىل .هذا يثبةت أ ّن اإدراا قةوانني اللغةة لةيس ً بنةا يف اإمقا ةا .ولكةن طلطبةع هةذا ل يثبت أ ّن معمل قوانني اللغة ل يفيد يف اكتساهبا.10 وطلشلك التفصيل يف س ياق تسية البيئة العربية ،هةاا مخسة أقسا ٍم من البيئةة اللغويةة الةىت حتتا اإىل املالحظة القوية من أ ّي هجات ،وىه اكلتا : .4البيئة املرئية ،مكثةل :الصةور ،والإعالمةات ،و ّ اجملةة اضائطيةة الةىت اكنةت لكّهةا كتبةت طخلة العريب. .3البيئةةة السةةمعية واملرئيةةة ،الةةىت متكةةون مةةن املةةلن لس ة ع اخلطبةةة ،وال شة يد ،والإذاعةةة (الراديو) ،والتلفزيون العربية. .2بيئة املعامة أو معلية التعلمي و ّ التعمل طس تخدام اللغة العربية. .1بيئة نظام املدرسةة ،وىه مةن نظةام املدرسةة ليوجةب لك سةلن املدرسةة طسة تخدام اللغةة العربية يف الايم اخملصوصة. 11 .2البيئة الةفس ية الفعاةل ،وىه تكوين صورو اإجيابية للغة العربية . كيف تكون بيئة اللغة العربية جيدو املهن واملعمل والبيئة التعل ية والنشطة غري الصةفية و جوانةب ل ميكةن الفصةل فة بيهنةا اإذا ما أرد مطوير ًا حقيقي ًا وعلمي ًا حيث أن من سامت التطوير العلم أن يكون شام ًال ل جزئي ًا خاصة يف معلمي ومعمل اللغة العربية .والبيئة التعلمية " :مجة مةن الظةروف املاديةة والتدريسة ية والتسة يريية ومتعل طلظروف املادية :بتصممي امللن اذلي يشغهل الصف واملبة املةدريس ،ونةوع املةواد والهجةزو 10حممد علي اخلويل ،احلياة م لغتنيد الثنائية اللغواة االرااضد م اب الفرز ق التجاراة1988 ،م) ،ص66-65م Mahyudin Ritonga, Lingkungan Bahasa dan Kemahiran Berbahasa, diposkan tanggal 11 9 Desember 2011, diakses dari: Mahyudinritonga1.Blogspot.Com/Lingkungan-Bahasa-DanKemahiran..pada tanggal 8 April 2013 pukul 11.00.
380 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
والتقنيات واملصادر التعل ية املتوافرو ،وطملتغريات الطبيعية ال يتصف هبا الصف :مةن درجةة حةرارو وإاضاءو ورنوبة وما اإىل ذكل.12 أما الظروف التدريسة ية فتشةمل أفعةال املعلمةني ونشةانهم التعل ة داخةل غرفةة الصةف، سواء مامعل مهنا بتحديد الهةداف التدريسة ية ،أو بأسةاليب التةدريس أو طلتقةو ،ويف الغالةب مثةة مواف اإىل حد كبري بني مصممي امللن وبني الظروف التدريس ية السائدو فيةه ،فة الظةروف التسة يريية متعل طلقواعد واملعايري ال يعمل هبا يف البيئةة التعل يةة لاةب سةلوا املتعلة ن ،أو للمحافظةة عةىل انتظاهمم يف متابعة معلمهم .وذلا يتوقف جناح أي معلمي عىل البيئة التعل ية ال حيدث فهيةا ذكل الةتعمل، فالبيئة التعل ية ملعب دور ًا همامً يف حتقية أهةداف التعلةمي جنبة ًا إا جنةب مةع املةهن واملعةمل ونةرق التدريس اضديثة ال مُفعل دور املتعمل وجتعهل يف قلب العملية التعلمية ،وليك متحق أهةدف التعلةمي، لبد أن تكون البيئة التعل ية جاذبة ومشوقة ،يشعر فهيا املتعلمون طلراحة والمن والتحةدي وحتفةزق عىل التعمل .13ومن هذا املةطل اهمت الرتبويون طلبيئة التعل ية الة جيةري فهيةا معةمل الطلبةة ،ويةمت فهيةا مخيشةهتم الاج عية والثقافية ،ويتحقي فهيا منوق ،وقةد يتسةاءل الةبعل عةن موجبةات هةذا الاهة م امل ايد طلبيئات التعل يةة ،وميكةن الإجابةة عةل ذكل بةأن معةمل الطلبةة يةرمب ار ً مبانةا وثيقة ًا خبصةائص البيئات التعل ية ال يمت فهيا معلمهةم ،فاة ًال عةن انتشةار ظةاهرو العةةف يف املةدر ونفةور كثةري مةن الطلبة من التعلمي طملدار . الاسرتاميجية لتكوين البيئة يف معلمي اللغة العربية ويرى بشريي أن تكون البيئة اللغوية حيتا إا اإسرتاميجيات و كام يىل : -4اإنشاء سكن الطالب ،وذكل ليكون الطالب مركزين يف ملن واحد ويسهل عىل املرشفني واملدرسني مراعاهتم وإارشادق وإاقامة النشطة العربية خار وقت ادلراسة. معيني الماكن افظةورو فهيةا التحةدث والةالكم بغةري اللغةة العربيةة مثةل املقصةف وملمةب -3 املدرسة. -2عقةةد لقةةاءات عربيةةة حيةةث متةةاح للطةةالب املةاقشةةة حةةول املوضةةوع املةةدريس والاج عة والس يايس. 14
12متاايم اهلل ،البيئااة العربيااة و ورهااا يف ترقيااة مهااارو االسااتماد والكااالم اعهااد السااالم راجاصااا بنتااور ماااالن ،رسااالة ماجسااتري نااري منشااورة، ماالن د كلية تعليم اللغة العربية ،جامعة موالنا مالك إبرهيم2012 ،مم صد29 13متيم اهلل ،امرج الساب ،صد 30 14بشريي ،2001 ،تكوان بيئة امساعدة وت وارها يف تعليم اللغة العربية ماالن ااميالة اليت ألياهاا يف الادورة التدرابياة معلماي اللغاة العربياة جاوى-بايل)
~ 381
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
اإقامة دورو معلمي اللغة العربية خار اضصة ادلراس ية الاصطةاعية وذكل لسد ثغةرات مجةة -1 عن قة زمن حصة العربية داخل الفصل ادلرايس. -2اإقامة أنشطة عربية يف يوم معني من أايم الس بوع حبيث أن يقةوم الطالةب فيةوهلم الةفسة ية والفنية من معحية وخطاطت ومبارايت ولك هذه النشطة جتةري حتةت ضةوء اللغةة العربيةة وحتةت رعاية وإارشاد املرشفني واملدرسني يف اللغة العربية. مدريب الطالب عىل اللقاء اخلطابة طلعربية يف افا و الوجزيو بعد صالو امجلاعة. -9 هتييئةة عةةدد كبةري مةةن الكتةب العربيةةة حبيةث ملةةس حاجةات ادلارسةةني حسةب مسة توايهتم -9 العلمية ويقوم املدرسون بتشجيع ادلارسني ودعوهتم اإىل القراءو وختصيص أوقات خاصةة خةار وقةت ادلراسة لقراءو الكتب العربية يف املكتبةة (أو اإقامةة الخيشةاو املكتة ) .ومعويةدق عةىل قةراءو اجملةالت وادلورية واجلرائد العربية. اإصةةدار اجملةةالت أو املخيشةةورات الطالبيةةة يطبةةع فهيةةا كتةةاطت الطةةالب مةةن الانطباعةةات -1 والتعبريات الكتابية عن الفلر املتبادرو عىل أذها م. -4اإصدار الإعال ت واملعلومات من قبل املدرسني طلعربية وكذكل كتابة اللوحات املدرس ية -41معويد الطالب عىل اس ع ومتابعة برام اللغة الفصيحة الإذاعية ونرشات الخبةار العربيةة واس ع افا ات والحاديث الطوية من العرب أنفسهم وذكل طلتعةاون مةع سةفارات ادلول العربيةة طع د وزارو الشؤون ادليخيية أو الطري الرمس الخر والتعاون مع مدريس مةواد العلةوم ادليخييةة عةىل أن تكون املواد ادليخيية املدروسة طللغة العربية سهة العبارات. اسرتاجتيات البيئة يف ترقية معلمي اللغة العربية من املعلوم أنه ليس للك مدرسة من املدار الإسالمية عوامل البيئةة املاديةة واملعةويةة .ذلا لبد عىل املدر أن يسة تفيد مةن عوامةل البيئةة املوجةودو يف مدرسة ته أحسةن وأقاة مةا ميكةن مةع افاوةل ادلامئة لزايدهتا كام ونوعا.15 خط مرزويق كيفية الاس تفادو من البيئة يف ترقية وحتسني معلمي اللغة العربية:16 -4اجعل معل ك جذاط ومشوقا ومظهرا مجيال والكمك فصيحا مؤدط ليةا. -3ال م بدوام اس تخدام اللغة العربيةة مةع نالبةك فتكةون أسةوو حسة ةة هلةم ذا هيبةة يف أعيهنم. 15حليمي زهدي ،امرج الساب ،صد 64 16مرزوقي ،ور البيئة اللغواة يف ترقية اللغة العربية ،يف ميالتته اليت الياها يف اجلامعة اإلسالمية احلكومية ماالنج 2011مم
382 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
-2لمرتا الطالب يعرفون عيوبك وقصورا لغة وعلام وهمةة فتكون ساقطا أماهمم مل يكةن دليك هيبة وطلتا فهم لهيمتون بتدريسك بل بةفسك أياا. -1قلل من الرشح والبيةان وأكةرث بةدل مةن ذكل التةدريب والتطبية .فهةذا طلخيسة بة اإىل اكتساب همارو اللغة أكرث فعالية من نريقة الرشح والبيان. -2اجعةةل عالقتةةك هبةةم عالقةةة اإنسةانية حبيةةث يقةةع بينةةك وبيةةهنم اضةةب والرمحةةة والرعايةةة والاه م ،وعاملهم معاملتك لولدا حبيث تكةون قريبةا منةه حةىت ل يشةعر بوحشةة وخشونة وبعيدا عهنم أياا. -9حاول أن تكون اللكامت واملفردات يف الس بورو أو يف الكتب املدرسة ية واةةة سةهة بس يطة يك ليشعر بصعوبة اللغة العربية فيكرهوا ويةفروا عهنا. -9حفز شجيع الطالب عىل معمل ومدرب ومطبي اللغة .وذكل عن نري معريفهم أييهتةا ديخييا وعلميا ودنيواي ومقد الهدااي واجلوائز للمتفوقني والخذ بأيدي اخملالفني. -1كون ف بيهنم روح التةافس عن نري املسابقات. -4أكد أن لطةالب اللغةة العربيةة موقعةات ونموحةات مسة تقبة نيبةة سةواء يف الةاحيةة ادليخيية أو العلمية أو الس ياس ية والاقتصادية أو غريها. -41حةةاول أن تكةةون الإعالمةةات واملعةةامل والشةةعارات والنظمةةة املدرس ة ية مكتوبةةة طللغةةة العربية. -44أع الطالب فرصة وجمال للتدريب عىل اللغة العربية. 17 ضع معهم القوانني والنظمة ال مةظم الطالب يف اس تعامل ومطبي اللغة يوميا . املبحث الثاين :همارو الالكم مفهوم همارو الالكم الالكم يف أصل اللغة هو ا إلطنة والإفصاح عام جيول يف خانر الإنسان من أفلره ومشةاعره من حيث يفهمه الخرون.18 والةةالكم اصةةطالحا هةةو فةةن نقةةل املعتقةةدات واملشةةاعر والحاسةةيس واملعلومةةات واملعةةارف واخلربات والفلر والراء من خشص اإىل أخةرين نقةال يقةع مةن املسة متع أواملسة تقبل أو اخملانةب موقةع القبول والفهم والتفاعل والاس تحابة.19 17متيم اهلل ،امرج الساب ،صد37 18علي حسني الدالمي ،ال رائ العلمية يف تدراس اللغة ،اعمان-أر ند ار الشروق2003 ،م) صد 200 19مىن إبرهيم اللبو ي ،احلوار فنياته واسرتاجتياته وأساليب تعليمية ،االياهرةد مكتبة وهبة )2003 ،صد 10
~ 383
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
أيية همارو الالكم الالكم ليس فرعا لغواي معزول عن طىق فروع اللغة العربية ،بل هةو الغايةة مةن درا سةة لك فروع اللغة العربية .أما أيية الالكم مفهنا:20 -4الالكم وس ية اإفهام س ب الكتابة ىف الوجود. -3التدريب عىل الالكم يعود الإنسان الطالقة يف التعبري عن أفلر. -2نشاو اإنساين يقوم به الصغري والكبري ،واملتعمل واجلاهل ،واذلكر والنة ،،حيةث يتةيح للفرد فرصة أكرث يف التعامل مع اضياو ،والتعبري عن مطالبه الرضورية. -1اضياو املعارصو فا فهيةا مةن حريةة وثقافةة ،يف حاجةة ماسةة اإىل املةاقشةة وإابةداء الةرأي والإقنةةاع ،ولسةةبيل اإىل ذكل اإل طلتةةدريب الواسةةع عةةىل التحةةدث اذلي سة يؤدي اإىل التعبري الواحض عام يف الةفس. -2الةالكم مةؤب صةادق ة اإىل حةد مةا ة للحة عةىل املةتلكم ،ومعرفةة مسة تواه الثقةاىف، ونبقته الاج عية ،وهمةته أو حرفته ،ذكل لن املتلكمني عىل اخةتالف أنةواعهم ،اإمنةا يس تخدمون اصطالحات لغوية مخيئب عن معلهم. أهداف معلمي الالكم أق أهداف معلمي الالكم : -4أن يةط املتعمل أصةوات اللغةة العربيةة وأن يةؤدي أنةواع الةةرب والتةغةمي اخملتلفةة وذكل بطريقة مقبوةل من أبةاء العربية. -3أن يةط الصوات املتحاورو واملتشاهبة. -2أن يدرا الفرق يف الةط بني اضراكت القصريو واضراكت الطوية. -1أن يعرب عن أفلره مس تخدما الصيق الةحوية املةاس بة. -2أن يعرب عن أفلره مس تخدما الةظام الصحيح لرتكيب اللكمة يف العربية خاصةة يف لغةة الالكم. -9أن يس تخدم بعل خصائص اللغة يف التعبري الشفوي مثةل التةذكري والتأنيةث ومتيةزي العدد واضال ونظام الفعل وأزمنته وغري ذكل مما يلزم املتلكم العربية. 21
20أمحد فؤا عليان ،امهارا :اللغواة ماهيتهاوطرائ تدراسها ،االرااضد ارامسلم1992،م)،صد 87ا 88 21حممو كامل الناقة ورشدي أمحد طعيمة ،طرائ تدراس اللغوااة العربياة لغاري النااطيني اا،اإاسيسكودمنشاورا :امنظماة اإلسالمساة للرتبياة والعلوم والثيافة2003 ،م) صد130
384 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
-9أن يكتسةةب ثةةروو لفظيةةة الكميةةة مناس ة بة لعمةةره ومس ة توى ناةةحه وقدرامةةه ،وأن يس تخدم هذه الرثوو يف اإمتام معلية امصال وع ية. -1أن يس تخدم بعل أشلل الثقافة العربية املقبوةل واملةاس بة لعمةره ومسة تواه الاج عة ونبيعة معهل ،وأن يكتسب بعل املعلومات السا عن الرتاث العريب والإسال . -4أن يعرب عن نفسه معبريا واةا ومفهوما يف مواقف اضديث البس يطة أن يمتكن من التفكري طللغة العربية والتحدث هبا بشلك متصل ومرتاب لفرتات زمنية مقبوةل. نرق معلمي همارو الالكم السلوب املـباب -4 وهو من الساليب الشائعة الاس تخدام يف معلمي ومعمل اللغات الثانية ،ولعل هذا السلوب هو ما شاع سميته طلطريقة املبابو .والفكرو الساس ية ال يقوم علهيا هذا السلوب رب اللكامت طلشة ياء ادلاةل علهيةا ،مث ربة الشة ياء طلسة ياق ،مث رب السة ياق طلتعبةري يف اللغةة املتعلمةة ،وفةا أن السة ياق قةد يكةون فكةرو أو حةديثا حيواي اكمال ،فاإنه يأيت بعد ذكل رب الس ياق هبذا املع طخلربو اضقيقيةة الة أعطةت الفكرو بخيباها اضقيق .22 -3سلسة العامل واضراكت المتثيلية ومن ممزيات هذا الس أنه يقدم لدلارسني ممارسة لغوية عىل درجة كبريو مةن الصحة فالخطاء عادو ما تكةون قلةية لن سلسةل الحةداث حية التعبةري ويوهجةه، فلك مجة مؤدي للجمة التالية ،وهذا املةط والتسلسل جيعةل الطةالب قةادرين عةىل اإدراا اخلطأ والتصحيح لبعاهم البعل. وكذكل أنه ميكن ادلار من الس يطرو عىل معاين اللكامت بسهوةل ووضوح لرمباو اللكمة فعةاها مبابو اإما يف شةلك الءةء ادلاةل عليةه ،وهةذا يسةاعد ادلار أياا عىل أن يذكر اللغةة يف مواقةف الةالكم اجلديةدو بشةلك أسةهل ممةا لةو قةدمت هل معاين اللكامت يف مجل منفصة أو يف مفردات منعزةل.23 الس ئة والجوبة -2 معترب هذه الطريقة من أنسب الطرق وأبسطها وأكرثها فعالية يف مدريس افادثة طللغة العربية ،وعةادو ما يبدأ املعمل اس تخدام هذا السلوب بأس ئة وإاجاطت قصريو ومع منو قدرو ادلارسني عىل الاسة تحابة 22حممو كامل الناقة ورشدي أمحد طعيمة ،اجمل الساب ،صد 136 23امرج نفسه ،صد 139-138
~ 385
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
للمواقف الشفوية يخيتقل املعمل اإىل مراحل أكرث مقدما ،فيتقةدم مةن السةهل اإىل املعقةد ،ومةن املواقةف الصغريو اإىل مواقف جوهرية س تغرق عدو دقائ .24 املبحث الثالث :بيئة اللغة العربية يف معهد دار السعادو البيئة العربية يف معهد دار السعادو الإنار اذلي يعيش فيه السامذو والطةالب فةا ياةم من ظواهر لغوية عربية نبيعية ،يتأثرون هبا ويؤثرن فهيةا ،وحيصةلون عةىل مقومةات حيةاهتم مةن لغةة 25 عربية ،وميارسون فيه عالقاهتم مع أقرا م داخل الفصل أو خارجه. الحوال يف الفصل أ- يقدم الباحث هةا عن املواد ادلراس ية العربية فعهد دار السعادو .واضة أن املةواد ادلراسة ية يف هةذا املعهةةد لمةح ة عةةىل املةواد العربيةةة حفسةةب ،ولكةةن يكتفة الباحةةث بعةةرض املةواد ادلرسة ية وادليخيية يك ليتسةع البحةث ويطةول .ومةق املةواد مةا يةل :معةمل اللغةة العربيةة ،والإمةالء ،والإسة ع، والكتابة ،وهمةارو الةالكم (التعبةري الشةفوي) ،وفهةم املقةروء ،والإنشةاء (التعبةري التحريةري) ،والرتمجةة، ودراسة القواعد الةحوية ،ودراسة القواعد ال فية ،وتزيد املفردات ،ودر القرأن.26 ب -الحوال خار الفصل يقدم الباحث هةا عن الحوال ادلراسة ية العربيةة خةار الفصةل املتعلقةة طملةواد ادلراسة ية ومطبيقهةا يف معهد دار السعادو نفسه :
-4 -3 -2 -1 -2
تكوين اجملة اضائطية التشجيع املسابقة اللغوية (اخلطابة /مقدم الربام واجملة اضائطية) التسميع نرش املفردات
24امرج نفسه ،صد 140-139 25اميابلة م مدار امعهد يف 1مااو 2013م 26اميابلة م مدار امعهد ومدرسي اللغة العربية يف 1مااو 2013م
386 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
كيفية دور البيئة العربية يف معهد دار السعادو يف ترقية همارو الالكم وقد بني الباحث ف س ب عن البيئة اللغوية العربية فعهد دار السعادو ،و ما يتعل هبةا ،يف هذاالبحث ،س يفعة البيةا ت السةابقة عةن دور البيئةة العربيةة يف ترقيةة همةارو الةالكم .مةع السةف الشديد ،أن دور البيئة العربية يف هذا املعهد ل جيري كام يرام ،وذكل للس باب التالية: أ -عدم الوسائل التعل ية اضديثة ب -قة املعلمني املت صصني يف اللغة العريب ت -قة دوافع الطلبة وانقطاع الصة بيهنم واملعمل ث -الاس تحياء وخوف الوقوع يف اخلطأ املبحث الرابع :مقو ومفسري نتاجئ البحث أ -البيئة العربية يف معهد دار السعادو نرجع اإىل معريف بلومةك ( )plotnikبقوهل :أن اللغة شلك من أشلل التواصل ،نةتعمل منةه شلك رموزا (لكامت أو اإشةارات)ّ ، اس تعامل قوانني معقدو ّ مةودل بةدورها عةددا غةري حمةدود مةن مجةل ذات مع .أما طي ( )pieفيعرفها بقوهل :اللغة نريقة امصال بني أعااء مجموعة من الةا عن نرية الصةوات ،معمةةل مةةن خةةالل عاةةوي الةطة ،و ذكل طسة تعامل رمةةوز صةومية حتمةةل معةةاين معيةةةة، ويعرف ويدون ( )weedonاللغة بقوهل :اللغة امللن اضقيق و املعقول لشلل الةظام الاج عة وما يرتمةب علهيةا مةن أمةور اج عيةة وس ياسة ية حمةددو ،ولكهنةا أياةا مةلن لحاسيسة ةا اذلاميةة الة بةيناها.27 من هذه التعريفات مدل عىل أن اللغة ل تسو اإل بوجود البيئة ال حتيطها والبيئةة العربيةة يف معهد دار السعادو ال قصدها مرشف ذكل املعهد يف ما ذكر ،مواف ما قال بعل العلةامء – سةابقا – أ ا بيئة مش يدو :ومتكون من البخييةة الساسة ية املاديةة الة شة يدها الإنسةان ومةن الة ُة ُظم الاج عيةة واملؤسسات ال أقاهما ،ومن مث ميكن الةظةر اإىل البيئةة املشة يدو مةن خةالل الطريقةة الة نظمةت هبةا اجملمتعةةات حياهتةةا ،والة غةةريت البيئةةة الطبيعيةةة خلدمةةة اضاجةةات البرشةةية ،و شةةمل البيئةةة املشة يدو اس تعاملت الرايض للزراعة واملةان السكنية والتةقيب فهيا عةن الةرثوات الطبيعيةة وكةذكل املةةان الصةاعية واملراكز التحارية واملدار و املعاهد و الطرق وهمل جر.28 27موس ا ا ا ا ااي رش ا ا ا ا اادي حتامل ا ا ا ا ااة ،نظراا ا ا ا ااا :اكتسا ا ا ا اااب اللغا ا ا ا ااة الثانيا ا ا ا ااة وت بييا ا ا ا ا ااا الرتبواا ا ا ا ااة ،كلي ا ا ا ا ااة الدراس ا ا ا ا ااة العربي ا ا ا ا ااة واإلس ا ا ا ا ااالميةم http://www.majma.org.jo/majma/index.php/2009-02-10-09-36-00/311-69-3.html (diakses 15 Mei 2013)www.wildlife-pal.org/environment.htm 28
~ 387
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
اإضافة اإىل ذكل ،أن تمتة البيئة العربيةة فعهةد دار السةعادو متبلةور عةىل النشةطة اللغويةة يف الفصل وخارجه .والنشطة اللغوية يف الفصل متحق عىل معمل اللغة العربية طلصفة املش متة عةىل نةوايح املهةةارات الربةةع ،والإمةةالء ،والاسة ع ،والكتابةةة ،وهمةةارو الةةالكم (التعبةةري الشةةفهي ) ،وفهةةم املقةةروء، والإنشاء (التعبري التحريري) ،والرتمجة ،ودراسة القواعةد الةحويةة ،ودراسةة القواعةد ال ةفية ،وتزويةد املفةةردات ،دراسةةة القةةرأن .والنشةةطة اللغويةةة خةةار الفصةةل متاةةح يف :تكةةوين اجملةةة اضائطيةةة، والتشجيعية ،واملسابقة اللغوية ،والتسميع ،و نرش املفردات. وهذه تمتة البيئة العربية فعهد دار السعادو مواف فهن الةظرية السلوكية .والبيئة اللغوية مخيشةأ ومتطور مضن حميطهةا وبيةهتةا الاج عيةة ،وحةني موجةد مةؤثرات خارجيةة حيصةل التفاعةل ويةؤدي اإىل شكيل سق لغوي يدفع اإىل الةتعمل ،وأبةرز مؤيةدي هةذه الةظريةة أيحةاب املدرسةة السةلوكية .ويةرى أمباع هذه الةظرية أن معلية اكتساب اللغةة ل ختتلةف عةن أي نةوع مةن أنةواع الةتعمل الخةر ،كةام أ ةا ختاع للقوانني ومبادل ذاهتا ال ختاع لها أنواع التعلمي اكفةة ،اكفةااكو والثةواب والعقةاب والتعزيةز .رمغ ذكل فقد انتقد ماكةيل ( )Mc Nailأيحاب الةظرية البيئةة ،ل ةم مةن وهجةة نظةره فشةلوا يف مفسةري ظاهرو الابتلر اللغوي متبدَّى عةد الطفل ف بني الثانية واخلامسة مةن معةره ،والة متكنةه مةن اإنتةا عبارات مل يسمعها يف بيةته.29 ووانسةةون ( )watsonوهةةو مؤسةةس املةةذهب السةةلويك والرائةةد يف جمةةال عةةمل الةةةفس التطبيق وعمل نفس السو ،وثورنةدايك ( )thorndikeاذلي موصةل يف ايةة جتاربةه اإىل ثالثةة قةوانني رئيس ية و -4 :قانون الثر ( -3 )law of effectقةانون التةدريب ( -2 )law of exerciseقةانون الاس تعداد ( .)law of readinessويعترب السلوكيون اللغة جزءا من السلوا الإنسةاين ،وقةد أجةروا الكثري من بقصد شكيل نظرية متعل طكتساب اللغةة الوىل .والطريقةة السةلوكية تركةز عةىل السةلوا اللغوي اذلي يتحدد عن نري اس تحاطت ميكن مالحظهتا بشةلك حيسة وعالقةة هةذه الاسة تحاطت يف العامل افي هبا .ولقد سة يطرت هةذه املدرسةة يف جمةال عةمل الةةفس يف امخلسة يخييات واسة مترت اإىل الس بعيخييات من القرن املايض .واكن لها مأثري قوي عةىل مجيةع ُ الةةظم التعل يةة وعةىل مجيةع املت صصةني والعةةاملني يف امليةةدان الرتبةةوي .وميكةةن اإجيةةاز التطبيقةةات الرتبويةةة املتعلقةةة بةظريةةة الةةتعمل الرشةةن الالكس ييك فا يأيت:30 -4اإمقان ما معلمه -3التكرار والمترين 29موسااي رشاادي حتاملااة ،امرج ا الساااب مhttp://www.majma.org.jo/majma/index.php/2009-02- 10-09-36-00/311-69-3.html 30امرج نفسه ،صد 107-105
388 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
-2اس مترار وجود ادلوافع -1ضب عةارص املوقف التعل وحتديدها ب -كيفية اكتساب الطلبة همارو الالكم يف اللغة العربية يف معهد دار السعادو من البيا ت السابقة حول هذه الكيفيةة ،خلةص الباحةث عةىل أن كيفيةة اكتسةاب الطةالب همارو الالكم فعهد دار السعادو معود اإىل س ببني :الول،السبب ادلاخل والسبب اخلارا .والول هو التشةةجيعية ،واملوهبةةة واذلاكء .والثةةاين ،هةةو البيئةةة العربيةةة نفسةةها ،واملعةةمل والتصةةحيحات ،واملةةواد ادلراس ية ،واضفظ والتقليد والوظيفة ،واضوافز ،والمتريةات ،والوسائل التعل ية. رأى ابن خدلون يف معلمي اللغة ،فقد قةال يف معةرض الكمةه عةن انتقةال اللسةن واللغةات من جيل اإىل جيل ،وذكل يف فصل عةوانه" :اإن اللغة ملكة صةاعية" :فاملتلكم من العرب حيث اكنت ملكة اللغةة العربيةة موجةودو فةهيم يسةمع الكم أهةل جةيهل وأسةاليهبم يف خمةانبهتم وكيفيةة معبةريق عةن مقاصدق كام يسمع الص اس تعامل املفةردات يف معانهيةا فيلقهنةا أول ،مث يسةمع الرتاكيةب بعةدها فيلقهنةا كذكل ،مث ل يزال سامعه ذكل يتحدد يف لك ضظة ومن لك متلكم واس تعامهل يتكرر اإىل أن يصري ذكل ملكة وصفية راخسة ويكون كحدق ،هكذا مصريت اللسن اللغات من جيةل اإىل جيةل ومعلمهةا العجةم والنفال .وهذا هو مع ما مقول العامة مةن أن اللغةة للعةرب طلطبةع أي طمللكةة الوىل الة أخةذت عهنم ومل يأخذوها عن غريق .مث اإنه ملا فسدت هذه امللكة ملرض فخالطاهتم العامج وسةبب فسةادق أن الةاشئ من اجليل صار يسمع يف العبارو عن املقاصد كيفيات أخرى .31وما وقع فعهةد دار السةعادو عةن كيفية اكتساب همارو الالكم قد واف ما قال ابن خدلون يف معلمي اللغةة العربيةة اذلي يتاةمن مةن ذكل القول عدو الس باب ال معترب أسس معمل اللغة و : السبب الول :التكرار وهو همم يف اكتساب اللغة وفهم تراكيهبم ومفرداهتا .وجيةب أن يةمت التكةراريف موقف نبيعية ،وأن يب عىل الفهةم والإدراا للعالقةات والةتةاجئ وإال أصةبح مةن دون الفهةم همارو ألية ل ساعد صاحهبا عىل مواهجة املواقف اجلديدو السبب الثاين :البيئة الصاضة لتعمل لغة ما ،البيئة الطبيعية أي الاختالو بأيحاب مةق اللغةةالفصيحة حىت يس تقمي اللسان. السبب الثالث :الاختالو طلعامج يفسد اللغةة ،ذلكل اشةرتو ابةن خةدلون أخةذ اللغةة طلعة دعىل الرتاث اللغوي والاختالو بأهل اللغة واكن يقصد العرب الفصحاء. 31ابن خلدون ،اميدمة ،اتونسد ار امعارف1991 ،م) ،صد320
~ 389
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
السبب الرابع :وجوب التقليد والاقتبا يف بداايت معمل اللغة ،مث مةأيت مةرحة الاعة د عةىل مةا وعةاهوحفظه واس تعامهل يف مواقف جديدو.32 ويف الةةص الثةاين يقةةرر ابةن خةةدلون حقيقةة علميةةة أخةرى ،و أن اللغةةة يصةيهبا التغيةةري، ومتبدل ومتطور مبدل اللئن اض ومطوره سلبا وإاجياط ،وأن العوامل الاج عية متةأثر طلبيئةة وطلتةا تكون عامال من عوامل ال اع بني اللغة وحميطها فاإما أن مخيت اللغة أو نهتزم.33 34
ت -كيفية دور البيئة العربية يف معهد دار السعادو يف ترقية همارو الالكم بني الباحث ف س ب عن البيئة اللغوية العربية فعهد دار السعادو ،ومةا يتعلة بةه ،يف هةذا البحث س يفع البيا ت السابقة عن دور البيئة العربية يف ترقية همارو الالكم ولكن دور البيئةة العربيةة يف هذا املعهد ل جيري كام يرام .عرفنا أن البيئة العربيةة فعهةد دار السةعادو ل متاةمن خصةائص البيئةة التعل ية اجليدو ،و : -4أن تكون البيئة املادية مرحيةة وجذابةة وجمهةزو طلهجةزو والتقنيةات واملصةادر واملةواد التعل ية الالزمة ،ومنظمة عىل حنو يتيح للطالب فرص التعلةمي الفةردي والتعلةمي يف مجموعات. -3وجود رساةل واةة للبيئة ،مُظهر جبالء ما تركز عليه املدرسة وما سعى اإىل اجنازه وما هتةمت بةه ومقدره ،فيكون للعاملني فهيا من اإداريني ومعلمني ولطلبهتا وجملمتعهةا موقعةات واةةة عةن الدوار ال علهيم مأديهتا. -2أن تكون بيئة أمنة ل حيس فهيا املتعمل طخلوف أو القل أو الهتديد. -1أن تكون بيئة ترعى املتعمل وحترص عىل معلمه ومنائه ،و س تحثه عىل بذل لك هجد مسة تطاع يف الةةتعمل ،وحتةةاول اإشةةغاهل طلةةتعمل وا امكةةه فيةةه وصةةربه عليةةه ،وبةةذل أقاة ناقتةةه لتحصةةيل العةةمل واملعرفة. -2أن يتسم البيئه طلتشاركية ويقصد بةذكل أن تكةون معليةة الةتعمل فهيةا معليةة شةاركية يسةهم فهيةا املعلمون والطلبة مع ًا ،ويكون دور املعمل فهيا دور املرشد وليس دور املصدر للمعلومات. وقوم أن ادلور البيئةة يف معهةد دار من هذه الإسرتاميجيات البيئوية العربية ،لحظ الباحث ّ السعادو مل يزل بعيدا من املس توى املطلوب وحيتا اإىل الإصالح والتحسني حىت يصل اإىل ما يرام. 32موسااي رشاادي حتاملااة ،امرج ا الساااب مhttp://www.majma.org.jo/majma/index.php/2009-02- 10-09-36-00/311-69-3.html 33امرج الساب ،صد 120
390 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
الةتاجئ يرام. أن دور البيئة العربية يف ترقية همارو الالكم يف معهد دار السعادو ل جيري كام -4 وذكل لس باب ،و :عدم الوسائل التعل يةة اضديثةة ،وقةة املعلمةني املت صصةني يف اللغةة العربيةة، وعدم وجود قسم اإحياء اللغة يف املعهد ،وقة دوافع الطلبة وانقطاع الصةة بيةهنم واملعةمل ،والاسة تحياء وخوف الوقوع يف اخلطأ. أن بيئة اللغة العربية فعهد دار السعادو الإنار اذلي يعةيش فيةه السةامذو والطةالب فةا -3 يام من ظواهر لغوية عربية نبيعية ،يتأثرون هبا ويؤثرن علهيةا ،وحيصةلون عةىل مقومةات حيةاهتم مةن لغة عربية ،وميارسون فيه عالقاهتم مع أقرا م داخل الفصل أو خارجه. اإن تمتة بيئة اللغة العربية يف معهد دار السعادو متحق عىل معمل اللغة العربية طلصفة املشة متة -2 عىل لك نوايح املهارات الربةع ،والإمةالء ،والاسة ع ،والكتابةة ،وهمةارو الةالكم (التعبةري الشةفوي)، وفهةةم املقةةروء ،والإنشةةاء (التعبةةري التحريةةر) ،والرتجةةة ،ودراسةةة القواعةةد الةحويةةة وال ةةفية ،وتزويةةد املفةةردات ،ودراسةةة الق ةرأن .والنشةةطة اللغويةةة خةةار الفصةةل متاةةح عةةىل :كتابةةة اجملةةة اضائطيةةة، والتشجيعات ،واملسابقة اللغوية ،والتسميع ،ونرش املفردات. املصادر واملراجع أ -املصادر -4القرأن الكر -3يحيح البخاري -2ابن منظور ،لسان العرب ،الطبعة السادسة (بريوت :دار صادر4449،م) ب -املراجع العربية كتب -4ابن خدلون ،املقدمة( ،مونس :دار املعارف4444 ،م) -3جامل ادلين حمفوظ ،الرتبية الإسالمية للطفل واملراه ( ،م :دار الاعتصام) -2حل زهدي ،البيئة اللغوية :تكويهنا ودورها يف اكتساب العربية( ،مالن :مكتبةة جامعةة مةول ماكل اإبراهمي)3114 ، -1صالح عبد اجمليد العريب ،معمل اللغات اضية و معل ها( ،القاهرو :مكتبة لبةان4414 ،م) -2عل حسني ادليلم ،الطرائ العلمية يف مدريس اللغة( ،عامن-أردن :دار الرشوق3112 ،م)
~ 391
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
-9محمد عل اخلو ،اضياو مع لغتني :الثةائية اللغوية (الرايض :مطابع الفرزدق التحارية4411 ،م) -9محموداكمةةةل الةاقةةةة ورشةةةدي أمحةةةد نع ةةةة ،نرائةةة مةةةدريس اللغويةةةة العربيةةةة لغةةةري الةةةةانقني هبا(،اإيسيسكو:مخيشورات املةظمة الإسالمسة للرتبية والعلوم والثقافة3112 ،م) -1م إابرهمي اللبودي ،اضوار فنيامه واسرتاجتيامه وأساليب معل ية( ،القاهرو :مكتبة وهبة)3112 ، حبوث ونرشات -4بشريي ،3114،تكوين بيئة املساعدو ومطويرها يف معلمي اللغة العربية مالن (املقاةل ال ألقاهةا يف ادلورو التدريبية ملعلم اللغة العربية جاوى-ط ) -41متمي هللا ،البيئة العربية ودورها يف ترقيةة همةاريت الاسة ع والةالكم فعهةد السةالم راجاصةا بخيتةور مالن ،رساةل ماجسة تري غةري مخيشةورو ،مةالن :لكيةة معلةمي اللغةة العربيةة ،جامعةة مةول مةاكل اإبرهمي3143 ،م -44مرزيق ،3114 ،البيئة التعل ية للغة العربية ،يف مقالته ال ألقاها يف اجلامعة الإسةالمية اضكوميةة مالن :مالن . -43مويس رشدي حتامة ،نظرايت اكتساب اللغة الثانيةة ومطبيقاهتةا الرتبويةة ،لكيةة ادلراسةة العربيةة والإسةةةةةةالميةhttp://www.majma.org.jo/majma/index.php/2009-02-10-09- . 36-00/311-69-3.html
MODEL MANAJEMEN KELAS BERBASIS
CHARACTER BUILDING
(Studi Kasus di Jurusan Matematika Fak. Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram) Syamsul Arifin Abstrak: Semakin merosotnya kualitas moralitas bangsa Indonesia hingga detik ini di antaranya sebagai dampak dari melemahnya fungsi vital pendidikan, yakni pembentukan karakter. Pembelajaran di kelas sebagai inti dan bentuk nyata dalam pendidikan formal menjadi poros persoalan utamanya, terutama dari aspek manajemen yang tidak berpijak secara kokoh di atas nilai-moral ideal. Penelitian kualitatif ini mengunakan pendekatan fenomenologi didukung oleh analisis teori pendidikan nilai (value education). Studi kasus di jurusan Matematika Ilmu fakultas. Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram ini menemukan terjadinya pelemahan fungsi pendidikan disebabkan oleh persoalan yang sangat kompleks menyangkut sistem dan manajamen pendidikan di tingkat mikro dan makro, reduksi konsep kelas dengan segala unsurnya, dan praktik manajemen kelas yang ‘liberal’, miskin pesan dan makna serta tanpa visi lembaga sebagai leading sector-nya. Untuk memaksimalkan fungsi vital pendidikan, perbaikan sistem pendidikan mutlak dilakukan dengan manajemen yang handal dan adanya desain model manajemen kelas yang dipandang efektif mengembangkan karakter peserta didik dengan unsur-unsur sebagai berikut: (1) Agama (baca Islam), ideologi Pancasila, dan budaya lokal menjadi sumber nilai-moral; (2) UU Sisdiknas menjadi landasan pendidikan karakter; (3) komitmen lembaga terhadap pengembangan karakter yang tertuang dalam visi dan misi, program dan kebijakan pimpinan, kurikulum dan silabus; (4) pendidik sebagai live model dan agent attitude change menggunakan pendekatan sosial emotional climate di nama sifat ramah, rendah hati, peduli, pemaaf, disiplin, dan bertanggung jawab lebih ditampakkan secara dominan dalam proses pembelajaran; (5) sejumlah nilai-moral tercantum dalam persiapan pembelajaran; (6) proses pembelajaran bukan hanya sekedar tranformation of knowledge event, tetapi juga emoting, spritualizing, dan valuing melalui eksplorasi dan pendayagunaan potensi nilai-moral yang terdapat dalam diri pendidik, peserta didik, materi, metode dalam desain pembelajaran yang menyenangkan dan didukung oleh tata ruang yang memadai; (7) habituasi nilai-moral di dalam dan di luar kelas dalam lingkungan kampus. Kata kunci: Manajemen Kelas, Pembentukan dan pengembangan Karakter, nilai-moral.
PENDAHULUAN Secara moral, dunia pendidikan dipandang sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas semakin keroposnya moralitas bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Sebab, wujud suatu masyarakat adalah produk
~ 392 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 393
riil pendidikan. Ryan & Bohlin mengatakan terdapat kaitan langsung sebagai hubungan sebab akibat antara sistem pendidikan suatu bangsa dengan maju dan mundurnya bangsa tersebut. 1 Karenanya, penting mengkaji ulang sistem pendidikan yang ada kerena sudah terbukti tidak efektif membangun karakter bangsa, bahkan boleh jadi ia menjadi bagian dari proses pembusukan karakater itu sendiri. Dalam konteks pendidikan formal, proses pembelajaran dalam kelas merupakan inti dan bentuk nyata kegiatan pendidikan. Karenanya, tujuan pendidikan dapat terwujud jika berkesesuaian dengan kegiatan yang terjadi di dalam kelas. Sementara, keberhasilan aktivitas kelas tersebut bergantung kepada dua hal, yakni masalah pengajaran dan manajemen kelas. Mulyadi menegaskan ada dua unsur utama yang menentukan berhasil tidaknya suatu kegiatan proses belajar mengajar, yaitu masalah pengajaran (intructional problem) dan manajemen kelas (classroom management)2. Sampai pada titik ini, dapat ditegaskan bahwa selain pengajaran, manajemen kelas menjadi faktor vital dalam pencapai tujuan pembelajaran dan kompetensi yang diharapkan. Dalam konteks yang lebih luas, manajemen kelas menjadi salah satu faktor penentu bagi ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas 20 tahun 2003 bab 2, pasal 3 tentang tujuan pendidikan berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dann membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Secara umum, tujuan pendidikan nasional di atas adalah pembentukan karakter. Karakater yang dimaksud dalam pengertian watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk sebagai hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan yang dimaksud terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, mandiri, bertanggung jawab, toleran, dan kreatif.3 Idealnya, sejumlah nilai, moral, dan norma di atas terinternasilasi di antaranya melalui manajemen kelas. Karena pembentukan karakter menjadi 1Ryan, Kevi & Bohlin, K.E., Building Character in School. Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Francisco, Jossey-Bass: 1999) hal. 89-90 2Mulyadi, Classroom Management Mewujudkan Suasana Kelas yang menyenangkan bagi Peserta didik (Malang, UIN Malang Press: 2009), hal. 1 3 Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Pedoman Sekolah, Pengedi mbangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: 2010, hlm, 3
394 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies tujuan pendidikan nasional, maka sudah semestinya pengelolaan kelas diarahkan pada pembentukan karakter. Manajemen kelas yang berbasis character building ditandai oleh adanya sejumlah peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran di kelas penuh makna (maening full) dan sarat pesan (message full). Pesan dan makna tersebut bukanlah sesuatu yang berasal luar, tetapi menyatu padu dengan semua hal ada di dalam kelas. Bahkan sesungguhnya ruang kelas itu adalah rumah nilai (house of values). Selama peserta didik atau mahasiswa berada di dalam kelas selama itu pula ia dilingkupi sejumlah nilai-moral ideal yang sebagian besar masih bersifat laten. Nilai-moral ideal tersebut hanya akan terinternalisasi pada mereka tergantung pada kamampuan pendidik dalam mengeksplorasi (istimbath) dan meng-eksternalisasikannya dari tempat “persembunyiannya”. Dalam kemestian normatif, dosen-dosen di jurusan Matematika fakultas Tarbiyah IAIN Mataram memiliki pengetahuan dan skill yang memadai dalam mengelola kelas, khususnya yang berbasis pada pembentukan karakter sebagaimana terjabar di atas. Namun, ternyata tidak setiap dosen di jurusan tersebut memiliki kemampuan dalam mengelola kelas yang berorientasi dan berbasis pada character building. Ada dugaan kuat, belum meningkatnya kualitas kedisiplinan, kreatif dan gemar membaca, – sebagai contoh persoalan karakter -- sebagian mahasiswa di jurusan tersebut berkait kalindan dengan kemampuan dosen dalam manajamen kelas yang berbasis character building. Sementara rendahnya mutu manajemen kelas yang dimaksud disebabkan belumnya adanya suatu model yang telah teruji secara ilmiah tentang manajemen kelas yang berbasis character building yang dapat dijadikan pijakan oleh stike holder, khususnya para pendidik dalam mengelola kelas. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana model manajemen kelas yang efektif dalam membangun karakter. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut: (1) adanya wawasan baru dan solusi alternatif bagi pemegang kebijakan, praktisi, dan stakeholder pendidikan dalam membangun karakter mahasiswa, (2) adanya model alternatif tentang manajemen kelas yang berbasis character building sebagai rujukan para praktisi pendidikan, khususnya di lingkungan jurusan Matematika fakultas Tarbiyah IAIN Mataram. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang bermakna dari fenomena yang terekam. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Menurut Alwasilah4, makna tersebut 4A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, (Jakarta, Dunia Pustaka Jaya-Pusat Studi Sunda: 2003) hal. 107-110
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 395
merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa yang tercakup dalam istilah perspektif partisipan. Dalam menggali makna, peneliti lebih fokus untuk memahami proses kegiatan yang diamati, yaitu proses yang membantu perwujudan fenomena, bukan fenomena itu sendiri. Adapun makna yang disingkap melalui penelitian ini adalah manajemen kelas yang berbasis character building. Penyingkapan makna dari fenomena yang hadir dipandang sebagai gambaran yang tersirat di dalamnya. Pemaknaan terhadap fenomea dilakukan dengan pendekatan fenomenologi. Dalam perspektif penelitian kualitatif-naturalistik, pemaknaan secara gramatikal (atau makna literal) dinamakan deskripsi data, pemaknaan secara kontekstual subyektif dinamakan interpretasi data, dan pemaknaan secara general (struktur dasar atau essensi) yang merupakan hasil penelitian dinamakan reduksi editik.5 Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi partisipatif, wawancara, dan didukung oleh teknik dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif naturalistik, pengambilan sampel dilakukan secara purposive dengan tujuan dapat diperoleh informasi yang dibutuhkan secara akurat dan mendalam.6 Untuk mencapai tujuan tersebut, penentuan sampel didasarkan pada pertimbangan posisi seseorang dalam struktur organisasi, penguasaan terhadap informasi yang dibutuhkan, dan menjadi aktor dalam objek yang diteliti7 Maka dalam penelitian ini yang dijadikan nara sumber adalah Dekan fakultas Tarbiyah, ketua jurusan Matematika, dosen dan mahasiswa jurusan Matematika dan pegawai (staf administrasi, petugas kebersihan, dan petugas keamanan di lingkungan Tarbiyah). Sementara instrumen penelitian dalam menelitian kualitatif adalah peneliti sendiri8 HASIL DAN PEMBAHASAN Sekilas Jurusan Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram Jurusan Matematika menjadi salah satu lembaga kebanggaan fakultas Tarbiyah. Meskipun terbilang muda baru berusia 15 tahun, lembaga ini memiliki daya magnetik tersendiri. Terbukti, sekarang terdapat sekitar 630 mahasiswa aktif mengenyam pendidikan di jurusan tersebut. Bersinerjinya Jurusan matematika dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan membuat unit pendidikan ini hidup dengan berbagai aktivitas adakemik dan nonakademik.
Ibid., hal 37 Noeng Mujahir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV (Yogyakarta, Rake Sarasin: 2000), hal. 149 7Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung, Alfabeta: 2009), hal. 228-229 8Ibid., hal. 223 5 6
396 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Sebagai jurusan yang dihuni mahasiswa dengan tingkat kecerdasan matematis yang relatif unggul ada harapan besar, unit ini bisa menggapai lompatan prestasi yang lebih maksimal dan pembangun karakter masyarakatnya akan mencapai keunggulan kompetitif jika lembaga ini dapat mendayagunakan segala potensi akademik yang dimiliki, baik potensi intelektual maupun potensi moral dan didukung oleh sistem manajerial yang lebih memadai dan profesional di tingkat institut, fakultas dan jurusan. Visi dan Misi Lembaga Jurusan Matematika berinduk pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram. Visi fakultas ini berbunyi “Terkemuka dalam pengembangan pendidikan berbasis keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan”. Visi tersebut di antaranya menegaskan bahwa civitas akademika fakultas Tarbiyah berkeinginan kuat atas terwujudnya Tarbiyah tampil sebagai lembaga yang kokoh dan konsistem dalam mewujudkan, mengimplementasikan, dan mempublikasikan nilai-moral universal yang bersumber dari agama, ideologi, dan budaya Indonesia. Dalam misinya, obsesi mewujudkan nilai-moral tersebut terdapat pada point satu yang berbunyi “Menyelenggarakan pendidikan berbasis keislaman, IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni), dan keindonesiaan”. Kemudian secara jelas misi tersebut dijabarkan dalam tujuan yang berbunyi “ Tujuan Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram ialah menghasilkan tenaga pendidik dan kependidikan yang beriman dan bertakwa, memiliki kemampuan akademik, profesional, dan kompeten dalam bidang pendidikan, serta mampu menggali dan memecahkan problem-problem pendidikan melalui penelitian.. Tujuan tersebut dibajarkan dalam Kompetensi Dasar Lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram point 5 (lima), yaitu “Memiliki komitmen ke-Islaman, keIndonesiaan, dan keilmuan” Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Tarbiyah dalam mewujudkan visi dan misinya di atas pada tataran konseptual adalah membuat rumusan ideal tentang budaya akademik (academic culture) yang tercermin dalam kebiasaan dan perilaku (pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan) kehidupan praktis sehari-hari civitas akademika fakultas Tarbiyah IAIN Mataram sebagai upaya menjalankan Islam secara. Iklim akademisnya dinamis, modern, serta kokoh secara moral dengan dilandasi nilai-nilai spritual karena dihuni orang-orang terpilih. Untuk mewujudkan budaya akademik di atas, profil mahasiswa fakultas Tarbiyah IAIN Mataram yang diharapkan sebagai berikut: (a) Menyiapkan diri menjadi calon pemimpin umat dengan membiasakan diri pada kesederhanaan, kerapian, kesopanan, dan penuh percaya diri; (b) Berdedikasi tinggi dalam belajar dan bekerja; (c) Mencintai ilmu pengetahuan dan menghormati orang yang berilmu; (d) Memiliki keberanian, kebebasan, dan keterbukaan yang disertai rasa tanggungjawab;
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 397
(e) Kreatif, inovatif, dan berpandangan jauh ke depan; (f) Peka terhadap persoalan lingkungan sekitarnya; (g) Cakap, terampil dan cepat dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi; (h) Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia luar baik di tingkat nasional maupun global; (i) Memiliki aqidah yang mantap, spiritualitas yang mendalam, budi pekerti yang luhur, dan profesionalitas yang matang; dan (j) Berupaya semaksimal mungkin untuk memanfaatkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan nyata dan berusaha untuk mengembangkannya. Sampai pada titik ini, dalam perspektif teori manajemen, sebenarnya langkah-langkah yang dilakukan oleh fakultas Tarbiyah dapat mendorong adanya ekspektasi lanjutan yang rasionable dan lebih membumi. Namun, pada tataran praksis, implementasi konsep normatif tersebut belum diketahui jejaknya secara jelas. Pertanyaan besar yang belum ditemukan jawabannya di ranah program salah satunya adalah bagaimana cara mewujudkan profil civitas akademika fakultas Tarbiyah, termasuk di jurusan Matematika sebagai bagian dari upaya merealisasikan visi sebagaimana dijabarkan dalam profil Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram di atas? Terkait dengan upaya mewujudkan visi di atas, John L. Daniel dan N. Caroline Daniel menyatakan bahwa visi (clarify of vision) diperoleh melalui tiga fase proses; discovery, visualization, dan actualization. Discovery berarti validasi, internalisasi, dan justifikasi. Visualisasi adalah penjelasan konsepkonsep. Sedangkan aktualisasi adalah perumusan visi dan sosialisasi keluar organisasi9. Dalam setiap fase dari ketiga fase yang disebutkan oleh Daniel, visi Fakultas ILmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN sudah diupayakan langkah-langkah merealisasikannya dengan tingkat maksimal yang relatif. Namun, dengan dinamika internal dan ekaternal kampus yang terjadi hampir setiap waktu dewasa ini, sangat penting dan mendesak adanya peningkatan upaya-upaya yang terukur pada setiap fase dari tiga fase dalam spirit mewujudkan visi dan misi sebagai leading sector bagi semua kegiiatan kampus. Selanjutnya, menurut Gaffar, untuk mewujudkan visi diperlukan kebijaksanaan yang merupakan guideline atau pedoman, untuk menjadikan visi tersebut menjadi sebuah kenyataan. Kebijaksanaan ini mempunyai tiga dimensi utama: kebijaksanaan dalam tingkat kelembagaan, kebijaksanaan pada tingkat nasional yang menyangkut keseluruhan, dan kebijaksanaan yang bersifat global yang berhubungan dengan kepentingan internasional.10 Merujuk pada pandangan Gaffar di atas, penjabaran visi dan misi, terutama yang terdapat dalam profil fakultas Tarbiyah, belum terlacak secara detail dalam kebijaksanaan di tingkat nasional dan global.
9
Sofyan Sauri, Bahasa Santun, (Bandung: Rosda Karya, 25) h. 13 h. 13
10Ibid,
398 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Dalam pesepektif pengembangan karakater, penentuan nilai-moral unggulan juga belum tampak jelas dalam ketiga tingkatan kebijakan tersebut, yang semestinya harus ada dalam salah satu point di misi, atau tujuan, atau sasaran program. Hal ini sesuai dengan pandangan Sudarwan dan Yunan Damin, untuk mewujudkan suatu visi dan misi dibutuhkan unsur-unsur penting lainnya, yaitu tujuan, sasaran, rencana dan sasaran serta program-program berikut dengan indikator-indikatornya.11 Artinya, nilai-moral yang tersirat dalam visi dan misi perlu dijelaskan di dalam unsur-unsur berikutnya sebagai langkah mewujudkan visi menjadi suatu kenyataan. Menurut Tilaar, pada tangkatan realisasi, visi dan misi diterjemahkan dalam bentuk program-program dan kegiatan-kegiatan yang nyata, terukur dan sesuai dengan sasaran tidak hanya dalam kegiatan reguler akademis, sebagai yang utama, tetapi juga dalam domain pengembangan kampus yang lebih luas. Semuanya itu bergerak secara dinamis sehingga perlu adanya kontrol dan evaluasi yang menyeluruh dan mendasar secara berkala untuk memastikan bahwa semua yang dilakukan berada dalam koridor visi dan misi kampus.12 Beranjak dari nalar Tilaar ini, tampak bahwa visi dan misi kampus belum berperan secara lebih maksimal sebagai leading sector, khususnya dalam praktik pembelajaran dan menajemen kelas. Hal ini dapat dibuktikan dengan belum adanya rumusan standar kompetensi sebagai blue print untuk setiap mata kuliah, khususnya di tingkat institut dan fakultas. Evaluasi total sebagai salah satu pilar utama manajemen penjamin mutu secara rasional akan menjadi skala prioritas bagi para pimpinan kampus Tarbiyah, termasuk di jurusan Matematika dalam rangka merevitalisasi dan mensinergikan semua unit dalam suatu sistem makro kampus. Dengan langkah seperti ini, gambaran kampus ke depan akan terbaca bahwa koordinasi antar lembaga dan lembaga dengan dosen pada semua unit dan tingkatan berjalan secara linier dengan visi dan misi kampus. Sehingga dampak lanjutan yang akan terwujud adalah proses pembelajaran di dalam kelas sejalan dengan visi dan misi lembaga dalam berbagai sisi, terutama isi, proses, dan kompetensi. Sistem manajemen kampus dengan menempatkan visi dan misi lembaga secara kokoh dan konsisten sebagai leading sector tidak akan membatasi kreativitas dosen dalam menjalankan tugas pendidikannya. Kreativitas personal yang tampak menonjol dalam sistem manajemen kampus, khususnya dalam pembelajaran di kelas, yang belum terbarukan selama ini lebih strategik ditempatkan sebagai sebuah kekuatan lembaga dalam mewujudkan visi. 11Op.Cit.,
h. 29-32 Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. (Magelang: Indonesiatera, 2003)h. 13 12
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 399
Praktik Manajemen Kelas Berbasis Character Building Tidak ada pola yang baku dalam praktik manajemen kelas, lebih-lebih yang berorientasi pada pembentukan karakter, di jurusan Matematika fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram. Hampir setiap dosen memiliki pola sendiri-sendiri. Beberapa unsur penting yang ada di kelas dengan segala karakteristiknya yang distingtif, seperti karakter dosen, sifat khusus yang menyatu dengan setiap mata kuliah, situasi kelas, tingkat heterogenitas-homogenitas kelas dalam berbagai aspek yang lekat dengan individu-individu peserta didik, lingkungan fisik, letak giografis kelas, dan lingkungan makro kampus, serta beberapa faktor x lainnya berpengaruh terhadap dosen dalam menentukan langkah-langkah apa tepat dilakukan berkaitan dengan pengelolaan kelas. Adanya distingsi-distingsi kelas di atas adalah suatu kesniscayaaan yang berada dalam pemahaman utuh dosen tentang sebuah kelas menjadi basic capital yang berharga guna mencapai peng-organisasian yang maksimal. Namun, problemnya tidak ada jaminan bahwa di jurusan Matematika semua dosen memiliki pemahaman yang utuh tentang kelas berikut dengan karakteristiknya yang distingtif dan konsep yang disertai dengan skill manajemen yang memadai. Pemahaman konsep kelas yang berdimensi kognitif semata menjadi hambatan mendasar bagi pengembangan karakter subjek binaan. Inilah salah satu penyebab belum maksimalnya proses aktulisasi potensi-potensi afeksi peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Reduksi ontologi kelas pada tataran konsepsi yang berjalan selama ini dapat dikatakan belum sepenuhnya disadari oleh dosen dan lepas dari perhatian pembuat kebijakan. Sebenarnya hakekat kelas adalah sejumlah potensi edukatif yang bersifat kompleks dan setumpuk nilai-nilai moral yang tersembunyi dalam komponen manusia dan non-manusia atau eko-edukatif system yang diaktualisasi dan dieksplorasi secara kreatif dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam pengertian seperti ini, kelas memiliki unsur-unusr yang sangat kompleks melebihi kompleksitas manusia sebagai individu. Sampai pada titik ini dapat ditegaskan bahwa kelas adalah rumah nilai-moral (House of velues-moral). Penegasan ini di samping karena semua unsur yang ada di kelas penyatu padu (inherent) dengan nilai, juga disebabkan keberadaan kelas sebagai tempat pendidikan dan pendidikan tidak dipisahkan dari nilai. Hubungan pendidikan dan nilai bagaikan gula dan manisnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Kark Halstead bahwa‘tidak ada yang meragukan bahwa pendidikan adalah suatu aktivitas
400 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies yang dibebani oleh nilai13. Menurutnya sekurang-kurang ada dua alasan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai14, yaitu: First, all educational decisions without exception depend on some underlying framework of values, ... are all based on value judgements. Second, education always involves imparting values to others, though again this may be tacit or overt. When teachers praise children’s efforts, or condemn bullying, or encourage initiative and imagination, they are implicitly or explicitly transmitting values. Dua hal yang membuat nilai menyatu dengan pendidikan; pertama, semua keputusan pendidikan tanpa terkecuali bergantung pada semua yang mendasari wilayah kerja nilai; Kedua, pendidikan selalu menyampaikan nilai kepada yang lain baik secara tersembunyi ataupu terbuka. Dalam pengertian kelas sebagai rumah nilai, pengelolaan kelas yang berbasis character building dipahami sebagai suatu tindakan yang terencana dan terukur dalam mengorganisasikan, mendayagunakan, dan mengekplorasi nilai-nilai moral semua unsur-unsur kelas sehingga terjadi proses internalisasi dan personalisasi nilai-nilai moral yang dimaksud pada peserta didik untuk mencapai terbentuknya karakter pada diri mereka. Unsur-unsur kelas yang dikelola adalah manusia dan non-manusia. Manusia terdiri dari pendidik dan subjek didik, sedangkan unsur kelas non manusia meliputi kurikukulum, silabus dan atau Ranangan Persiapan Pembelajaran (RPP), materi, media, metode, proses pembelajaran, evaluasi, tujuan pembelajaran, tata ruang kelas, dan segala bentuk sarana serta benda-benda lainnya yang berada di dalam kelas. Semua nilai dan nilaimoral pda unsur-unsur kelas tersebut semestinya tereksplorasi secara maksimal selama proses pembelajaran di kelas melalui manajemen kelas. Misalnya, peserta didik yang memiliki keunggulan moral tertentu dapat diekspos melalui rekaraya pembelajaran dengan menjadikannya sebagai live model. Namun, berdasarkan pengamatan, realitas yang tersaksikan menggambarkan adanya kecenderungan kuat bahwa pada umumnya dalam mengelola kelas dosen terpaku pada dirinya sebagai live model – dalam ketidakmaksimalan relatif -- dan sedikit sekali – mungkin dalam beberapa kasus bahkan hampir sama sekali tidak – melakukan ekspolari nilai-moral terhadap materi yang sedang dipelajari dan dikaji, apalagi terhadap unusrunusr kelas lainnya, selain unsur peserta didik. Sementara, unsur yang disebut terakhir ini sering menjadi objek eksplorasi dan internalisasi nilai13 Kluckhohn, C.. Values and Value-Orientations In The Theory of Action: An Exploration In Definition and Classification. Dalam T. Person & E.A. Shits (Eds). Toward A General Theory of Action. Cambridge: Harvard University Press., 1951), h. 41 14Ibid., h. 42
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 401
moral dalam banyak mata kuliah meskipun seringkali diluar kesadaran dosen. Nilai-Moral yang sering terekspolarasi dan terinternalisasi secara personal antara lain: nilai tanggung jawab, kemandirian, percaya diri, kerja sama, dan rasa ingin tahu. Sedangkan nilai-moral yang tergali dan tertanam secara komunal melalui dosen sebagai live model antara lain: nilai ramah, bertangung jawab, bersahabat, dan peduli lingkungan. Keterbatasan beberapa dosen di jurusan Tadris Matematika dalam menggali dan mempersonalisasikan nilai-moral yang terpendam dalam beberapa unsur-unsur kelas disebabkan beberapa faktor; pertama, sedikit pilihan strategi, pendekatan, dan metode yang dapat dilakukan; kedua, keterbatasan pengetahuan beberapa dosen tentang nilai-nilai yang terkandung pada unsur-unsur kelas, termasuk dalam mata mata kuliah dan teknik penggaliannya; ketiga, fokus dan berorientasi pada penguasaan materi atau proses pembelajaran yang beraras subjet matter oriented: dan keempat, merasa nyaman dengan metode konvensional meskipun belum teruji betul tingkat efektivitasannya. Selanjutnya, secara umum manajemen kelas dilakukan dalam empat tahapan kegiatan, yaitu: pertama, persiapan pembelajaran. Kegiatan ini memperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Wujud persiapan dilakukan dalam bentuk perencanaan. Kedua, pendayagunaan potensi kelas, baik fisik maupun non fisik (peserta didik). Ketiga, pengaturan ruangan. Keempat, mewujudkan situasi dan kondisi proses pembelajaran yang menyenangkan. Persiapan Pembelajaran Di antara tugas utama pendidik adalah membuat rencana pembelajaran. Semua pendidik dalam menjalankan tugas pendidikan wajib membuat perencanaan pembelajaran.15 Perencanaan pembelajaran adalah proses penyusunan materi ajar, penggunaan media, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran dan penilaian dalam akolasi waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan;16 Pada umumnya dosen di jurusan Tadris Matematika mengetahui bahwa pembuatan perencanaan pembelajaran bagian dari tugas yang wajib dilakukan. Namun, tidak setiap dosen dalam setiap semester membuat perencanaan pembelajaran, dalam bentuk SAP, apalagi berbentuk Rancangan Persiapan Pembelajaran (RPP) untuk mata kuliah yang diampunya. Bagi dosen yang tidak membuat SAP, beralasan bahwa dia sudah membuatnya dua atau tiga tahun sebelumnya, karena mata kuliah yang diampunya sama sehingga dipandang tidak perlu lagi yang baru, apalagi yang ada masih dirasakan efektif. Baginya, 15Abdul Majid, Perencanaan pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 90 16Ibid., h. 17
402 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies perencanaan yang tertulis diakui semestinya akan menjadi modal kekuatan untuk menciptakan pengelolaan kelas yang lebih baik. Tetapi, justru terbalik dengan dialaminya selama ini. Ketika membuat perencaaan yang detail justru perencaan itu menjadi “penjara” bagi dirinya selama proses pembelajaran sehingga dia tidak dapat menjalankan tugas pendidikan secara maksimal. Sebaliknya, kegiatan mengajar dapat melampui tujuan ketika tanpa dibebani seperangkat perencaan yang mesti harus dilakukan. Situasi psikologi seperti ini terjadi dalam tiga domain pendidikan. Memang, dalam konteks pembentukan karakter, tindakan by accident lebih efektif daripada by designed. Rohmat Mulyana menyatakan dalam pendidikan nilai tampak efektif dikembangkan dalam bingkai hidden Curriculum.17 Pandangan ini sama sekali tidak menolak atas pentingnya perencanaan dalam pembentukan karakter. Perencanaan sebagai unsur vital dalam menejemen, termasuk dalam manajemen kelas merupakan kebutuhan mutlak pendidikan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Gagne menegaskan sebuah kesalahan serius bagi seorang pendidik jika tidak membuat perencanaan dalam pembelajaran. Dikatakannya, mengajar memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan dialektis secara bersamaan, serta berkembang secara dinamis. Perencanaan pembelajaran berfungsi untuk memastikan dan mengarahkan bahwa kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam arti yang sangat kompleks.18 Mengikuti nalar Gagne ini, bahwa tidak ada alasan apa pun bagi seorang pendidik untuk tidak membuat perencanaan pembelajaran sebagai suatu tahapan penting yang memberikan jaminan bahwa kompleksitas kegiatan pendidikan dengan segala dinamikanya yang terjadi setiap saat akan tercover dalam kegiatan pembelajaran. Di sini, esensi perencanaan pembelajaran adalah bagaimana dosen dapat mewujudkan dirinya sebagai pendidik yang profesional dengan memiliki kompetensi-kompetensi yang memadai, yakni kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Dengan pemahaman seperti ini, dapat ditegaskan bahwa standar seseorang pendidik telah membuat perencanaan pembelajaran adalah kesiapan dirinya dalam menjalankan tugas pendidikan dan didukung oleh adanya perencanaan yang tertulis. bukan sekedar ada atau tidak adanya konsep tertulis perencanaan tersebut. Oleh karena itu, secara fungsional seorang pendidik yang telah membuat perencanaan tetapi dirinya tidak dapat mengimplementasikannya dan atau tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik dapat dikategorikan belum membuat perencanaan. Sebaliknya, seorang pendidik yang mampu menciptakan proses pembelajaran dengan baik dapat dipastikan dirinya
h. 215
17Rohmat 18Gadne.
45
Mulyana, Mengaktualisasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004),
R.M. Condition of Learning (New York: Holt Rinehart and Winson: 1970:
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 403
telah melakukan persiapan dengan cara yang unik dan personal. Namun, jika persiapan itu tidak terkonsepsi secara tertulis, bagaimana cara memastikan bahwa suatu proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga. Hakekat perencanaan bukanlah daftar tindakan yang harus dilakukan, tetapi lebih ditekankan pada daftar tindakan yang mampu dan bisa dilakukan dalam pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu. Karenanya perencanaan pembelajaran yang disusun tertulis penuh dengan idealita, tetapi tidak sesuai dengan kemampuan diri pendidik akan menjadi masalah baru dalam pendidikan. Sebaliknya, perencanaan pembelajaran yang dikuasai secara utuh meskipun sederhana akan menjadi kekuatan dalam pembelajaran. Beberapa perencanaan pembelajaran baik Silabus maupun RPP yang telah disusun sebagian dosen jurusan Tadris Matematika rata-rata mencantumkan tujuh unsur pembelajaran, yaitu: (1) identitas mata pelajaran; (2) Kompetensi dasar; (3) materi pokok; (4) strategi pembelejaran; (5) media; (6) penilaian dan tindak lanjut; (7) sumber bahan. Sementara unsur nilai-moral yang menjadi hal penting dalam perencanaan pembetukan karakter tidak tampak dalam dokumen tersebut. Berdasarkan wawancara, ada enam langkah persiapan pembelajaran yang berbasis charakter building yang bersifat implementatif, efektif dan sesuai kebutuhan peserta didik, tetapi belum dilakukan secara maksimal oleh dosen-dosen di jurusan Matematika, yaitu: pertama, mendiagnosa kebutuhan peserta didik. Di sini pendidik dituntut untuk mengetahui secara lebih pasti tentang nilai-moral yang dibutuhkan dan mampu dilakukan oleh peserta didik; kedua, memilih isi dan menentukan sasaran. Selanjutnya, pendidik merumuskan sasaran reaksi subjek didik terhadap nilai yang sudah digali. Dalam pendidikan nilai terdapat sebuah pandangan bahwa semua materi ajar, termasuk matematika mengadung nilai-moral yang tak terbatas. Di samping itu, semua mata kuliah atau materi ajar berfungsi sebagai media. Tetapi persoalannya adalah masih terbatasnya kemampuan dosen dalam mengeksplorasi nilai-moral yang terkandung di dalam setiap matari ajar diampunya.; ketiga, menentukan teknik-kenik menginternalisasikan nilai-moral dalam pembelajaran; keempat, merencanakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan terjadinya proses internalisasi nilai-moral dalam proses pembelajaran; kelima, mempersiapkan teknik motivasi bagaimana nilai-moral yang ditentukan dapat dipraktikkan oleh peseta didik dalam kehidupan sehari-hari; keenam, perencanaan pengukuran dan evaluasi tentang nilai-moral. Instrumen apakah yang akan digunakan oleh pendidik dalam mengukur dan mengevaluasi praktik nilaimoral peserta didik.
404 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Pelaksanaan Pembelajaran Tidak ada kesepatakan di kalangan para pakar pendidikan tentang apa langkah awal yang harus dilakukan oleh pendidik dalam mengelola kelas. Tidak satu pun dari mereka yang menyebutkan jenis atau nama kegiatan tertentu kecuali sikap, strategi, dan prosedur yang ditempuh. Namun, dari hasil pengamatan, untuk pendidikan orang dewasa dengan konsep andargogik ada langkah awal yang bersifat strategis yang ditempuh sebelum melakukan kegatan pembelajaran lebih jauh, yakni orientasi kuliah dan kontrak belajar. Orientasi kuliah adalah kegiatan kuliah perdana dimana dosen menjelaskan mata kuliah yang diampunya, mulai deskripsi mata kuliah, tujuan mata kuliah, kompetensi-kopentensi yang diharapkan, pokok-pokok pembahasan, sumber bacaan, dan sistem evaluasi. Sedangkan kontrak belajar adalah suatu kegiatan musyawarah kelas yang dipandu oleh dosen untuk membangun kesepahaman tentang tata laksana (rule of game) kuliah selama satu semester. Pada umumnya, dosen di jurusan Matematika mengisi kuliah perdana dengan dua jenis kegiatan tersebut. Namun, sedikit sekali dosen dalam kegiatan orientasi kuliah menjelaskan nilai-moral tertentu dalam semua komponen kuliah atas. Hal ini terjadi karena sebagian dari mereka masih beranggapan bahwa nilai-moral menyatu dengan mata kuliah tertentu, yakni mata kuliah agama, khususnya akhlak. Sementara sebagian dosen yang lain meyakini bahwa dalam setiap mata kuliah memuat nilaimoral tertentu, tetapi mereka memiliki pemahaman yang terbatas tentang nilai-moral yang dimaksud. Dalam persepktif pendidikan nilai, semua materi ajar tanpa terkecuali merupakan wadah nilai-nilai moral dalam jumlah yang tak terbatas. Dengan menempatkan materi ajar dalam posisi seperti itu, maka hakekat pembelajaran bukanlah transformasi ilmu pengetahuan, tetapi menyampaikan pesan nilai-moral yang tersebunyi di dalam materi ajar. Immanuel Kant menegaskan “the essence of knowing is the imposition of the meaning and order on information gathered by the senses”.19 AlQur’an sendiri telah memberikan isyarat yang kuat bahwa semua disiplin ilmu pengetahuan dapat menjadi “kendaran” untuk dapat muwajahah dengan Allah.20 Secara tidak langsung Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam setiap disiplin ilmu terdapat nilai-nilai ilahi dan jika nilai-nilai itu mengkarakter pada individu, maka ia akan berperilaku ideal. Dengan nalar logik ini, semestinya, dalam kegiatan orientasi kuliah, dosen perlu menyertakan seperangkat nilai-moral sebagai bagian dari kompetensi afektif yang notabene menjadi tujuan utama pendidikan. Sebab, jika penjelasan seperti ini tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah sejumlah nilai-moral yang tersembunyi di dalam matari ajar semakin 19 Kneller, George F. (1971). Introduction to The Philosophy of Education. (New York: John Wiley & Sons, Inc, 1971: 32 20Simak Q.S. Al-Baqarah/2: 115.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 405
terkubur dan terpisah dari proses pembelajaran, dan akhirnya lenyap dari kurikulum. Inilah yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini. Realitas pendidikan seperti ini di tingkat internasional menjadi pembenar bagi Hill untuk mengatakan ‘Values education is the poor cousin of other core areas in the curriculum..’21. Pembiaran realitas materi pembelajaran yang kering nilai-moral semakin memperkokoh hegemoni domain kognitif dalam sistem pendidikan yang berakibat semakin tersendatnya pengembangan karakter peserta didik. Berbeda dengan orientasi kuliah di atas, kegiatan kontrak belajar dalam kuliah perdana hampir rata-rata dosen menyertakan sejumlah nilaimoral, baik dalam proses menyusun kontrak, maupun isi kontrak belajar. Sejumlah nilai-moral yang tergali dan kemudian menjadi komitmen bersama adalah demokrasi, disiplin, tanggung jawab, terbuka, kebersamaan, dan keadilan. Dalam kajian manajemen kelas, kontrak balajar merupakan langkah preventif (pencegahan) yang dilakukan oleh dosen untuk menghindar atau mengurangi terjadinya persoalan-persoalan yang dapat menggangu dan menurunkan kualitas pembelajaran. Mulyadi mengatakan bahwa dimensi prefentif dalam manajemen kelas bertujuan menghindar atau mengurangi masalah-masalah manajemen, baik yang sifatnya individual maupun kelompok22. Komitmen terhadap isi kontrak belajar di atas pada tingkatan tertentu menjadi suatu kekuatan bagi pengembangan karakter peserta didik jika dijalani tanpa disertai sikap otoriter pendidik yang bertumpu pada sikap disiplin. Sebab, meskipun tujuannya baik sikap yang kurang bersahabat ini hampir dalam banyak kasus kontraproduktif dengan tujuan yang diinginkan. Di jurusan Matematika, dosen-dosen yang dipandang terbaik oleh mahasiswa di antaranya adalah sosok yang memiliki sifat pemaaf dan bersahaja. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada umumnya peserta didik menghendaki sosok pendidik yang humanis dan penyayang. Oleh karena itu, menurut E. Mulyasa, untuk mewujudkan kontrak belajar tersebut di atas diupayakan dengan cara antara lain (1) analisis transaksional (transactional analysis) disarankan pendidik bersikap dewasa, terutama menghadapi peserta didik yang menghadapi masalah; (2) menegakkan kedisplinan yang berbasis kasih sayang.23 Di antara langkah yang harus dilakukan terhadap perilaku peserta didik yang menyimpang dari kontrak belajar adalah klarifikasi nilai (value clarification). Langkah ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya
21
h. 3
Hill, B.V. (1991). Values Education in Australian Schools (Melboume: ACER, 1991)
Op.Cit., h. 20 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran yang kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Rosda, 2007), h. 170 22
23
406 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies sendiri tentang nilai-nilai dan bentuk sistem nilainya sendiri.24 Jika langkah ini tidak efektif, maka perlu dosen memberikan hukuman secara bijaksana sesuai kebutuhan dan hati-hati agar terhindar munculnya persepsi yang salah dari peserta didik.25 Langkah yang disebut terakhir tetap dipandang sesuatu yang harus dihindarkan karena bersifat gembling, prosentasenya sama-masa besar antara berhasil dan gagal. Manajemen Kelas Berbasis Character Building Dalam Pembelajaran a. Pendayagunaan Potensi Kelas Sebagaimana dikemukan pada prmbahasan sebelumnya, bahwa kelas adalah kumpulan potensi-potensi dalam jumlah yang terhitung dan sekaligus sebagai rumah nilai-nilai moral (house of values). Semua itu akan mengalami meaningless kecuali didayagunakan secara tepat. Namun, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dapat mengelola potensi-potensi tersebut menjadi hal-hal bersifat aktual. Untuk dapat mengaktualisasikannya secara maksimal dibutuhkan sejumlah keahlian, pengalaman, dan kepribadian yang selaras. Mencari pendidik dengan kualifikasi seperti itu tidak cukup banyak ditemukan. Hampir semua pakar manajemen kelas, seperti Mulyadi, E. Mulyasa, Gagne, Sudarman Danim menyatakan tidak mudah menjalankan tugas sebagai manajer kelas. Di jurusan Matematika fakultas Tarbiyah, hanya ada sedikit dosen yang mendekati beberapa kualifikasi sebagai manajer kelas. Ada beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh seorang pendidik dalam dalam pengelola potensi kelas, termasuk potensi afektif dalam membangun karakter peserta didik sebagaimana diuraikan berikut ini: a.
Menciptakan Prakondisi dan iklim Pembelajaran Bahwa suatu kegiatan pembelajaran akan berjalan efektif bila semua unsur yang ada dalam kegiatan tersebut, terutama unsur manusia, baik fisik maupun mental betul-betul dalam keadaan siap (ready) mengikuti kegiatan. Salah satu indikasi bahwa situasi kelas seperti ini telah tercipta adalah adanya penerimaan peserta didik terhadap kehadiran pendidik (dosen) di tengah-tengah mereka. Dalam proses pembentukan karakter, receiving suatu persyaratan yang tidak bisa diabaikan. Bloom menegaskan bahwa receiving adalah taksonomi pertama dalam proses pembentukan domaian afektif.26 Untuk menumbuhkan penerimaan, langkah yang dilakukan adalah memberikan perhatian kepada peserta didik, seperti mengucapkan salam, menanyakan keadaan mereka dan keluarga serta berdoa bersama. Dalam Ibid., h. 172 Mulyadi, Op.cit., h. 41 26Bloom, Benjamin S. Et. al.. Taxonomy of Education Objective Book 2 Affective Domain, (New York: David Mckay Company. Inc, 1971), h. 95. 24 25
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 407
pespektif Al-Qur’an, salam bukan hanya suatu etika memasuki suatu ruang dan sebagai perkataan pembuka, tetapi salam adalah doa, kepedulian dan jaminan terwujudnya suasana aman bagi siapa saja yang mendengarnya.27 Jika semua pesan salam tersebut didasari penuh oleh penyebarnya, maka salam sangat efektif menciptakan prakondisi pembelajaran. Namun, praktik salam yang berlangsung di jujusan matematika tidak selalu mengandung pesan-pesan tersebut. Justru kesan kuat menunjukkan bahwa “afsy al-salâm” lebih sebagai budaya dalam ranah etika. Karenanya, salam tidak cukup menciptakan prakondisi pembelajaran, perlu disertai dengan sapaan, dan doa. Bahwa sikap penerimaan peserta didik terhadap kehadiran pendidik sebagai live model akan tampak dengan munculnya kesadaran dalam diri mereka bahwa kehadiran pendidik betul-betul dibutuhkan, sehingga mereka bersedia bersama dengannya dan berkomitmen mengikuti proses pembelajaran. Dalam iklim yang terbentuk ini, pendidik akan menjadi fokus pembelajaran dalam pembentukan karakter. Pada titik ini, menurut Carl A. Rogers, pendidik menampilkan diri apa adanya, sikap penerimaan dan pengertian yang penuh simpati. Untuk dapat bersikap seperti itu, pendidik perlu mengenal lebih baik tentang dirinya, termasuk kadar emosi dan intelektualitasnya.28 Dengan kata lain, ketika pendidik sudah ditempatkan sebagai dititik fokus pembelajaran, hendaknya dia menampakkan diri sebagai sosok yang rendah hati, pemaaf, disiplin, peduli, dan humanis. Profil dosen seperti ini disukai oleh hampir sebagian besar mahasiswa di jurusan Matematika. Adalah Lalu Sucipto M.Pd. yang hampir mendekati beberapa bagian dari profil tersebut. Dia terpilih sebagai dosen favorit di jurusan ini pada tahun 2012.29 Dengan profilnya yang sederhana, ramah, pemaaf, relatif disiplin, dan penguasaannya terhadap matari ajar serta kompetensi profesional dalam mengajar sehingga mahasiswa mudah memahami materi, mendorong hampir semua peserta didik larut dalam proses pembelajaran dan berusaha untuk memahami materi. Pendekatan yang digunakan oleh Lalu sucipto dalam mengelola kelas dapat disebut pendekatan sosio emosional climate approach. Menurut Mulyadi, manajemen kelas dengan pendekatan seperti ini menekankan pada hubungan inter personal yang humanis dan iklim sosial terbentuk atas usaha pendidik.30 Pada tahapan ini, dapat ditegaskan bahwa kepribadian yang humanis menjadi key word dalam manajemen kelas berbasis character building.
27Al-Qur’an,
surat Al-Nuur: 27; Surat Yunus;10; surat al-Nisa’: 94; Al-Ahzab: 56 Mulyadi. Op.cit, h. 47 29 Hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa jurusan Matematika fakultas Tarbiyah dan hasil polling HMJ Jurusan Matematika 2012. 30Mulyadi. Op.cit., h. 46 28
408 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Pembelajaran sebagai proses emoting, spiritualizing dan valuing Bahwa peserta didik merupakan manusia yang memiliki potensipotensi qudrati yang mencakup intektual, afektual, emosional, dan spiritual. Idealnya proses pembelajaran adalah proses stimulasi dan aktualisasi berbagai potensi tersebut. Dalam upaya pengembangan karakter, proses pendidikan menggali keempat potensi tersebut dalam pronsip equalibiriun (keseimbangan)31. Namun, dalam kenyataan yang ditemukan di lapangan, proses pembelajaran terjadi proses reduksi humanitas karena terjebak pada hegemoni ranah kognitif, stimulasi intelektual hampir mendominasi – untuk tidak mengatakan menguasai -- semua proses pembelajaran, lebihlebih jika dosen menggunakan metode ceramah. Sementara pendayagunaan potensi-potensi lainnya sangat jarang terjadi, jika kalau terjadi bukan by desaigned, tetapi by accident. Hal ini bisa terjadi jika value bases dan norm reference tidak memiliki posisi yang kokoh dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain, pendidik sebagai agent of attitude change tidak mempersiapkan seperangkat nilai-moral tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan pendidikan. Meskipun pembelajaran dilakukan dalam lembaga Islam belum ada jaminan bahwa terjadi personalisasi nilai-moral Islam dalam pembelajaran. Di sinilah arti penting adanya kejelasan value bases dan norm reference. Merujuk pada pendapat Gagne bahwa dalam mendayagunakan berbagai potensi kelas ditempuh beberapa fase, yaitu fase menaruh perhatian, fase motivasi, fase pengolahan, fase umpan balik dan reinforcement. 32 Semua fase tersebut dilakukan oleh beberapa dosen dalam konteks pengembangan kognitif, hampir jarang terjadi penggunakan salah fase dalam upaya pengembangkan karakter. Misalnya, dosen-dosen dalam rumpun ilmu Matematika, melakukan rekaya pembelajaran untuk menumbuhkan perhatian pada nilai-moral tertentu dengan analogi sumbu X sebagai garis vertikal ilahiyah dan sumbu Y sebagai garis horizontal insaniyah kemudian dikaitkan dengan ayat tentang hablun min Allah wa hablun nin nas. Namun, sayang, rata-rata kemampuan eksplorasi mereka belum dikembangkan lebih luas lagi karena keterbatasan mereka dalam menggali nilai-moral pada setiap materi yang diajarkan. Evaluasi baik dalam jenis tes maupun non-tes merupakan fase atau even strategis dalam pengembangan karakter. Tapi hanya sedikit dosen yang mampu memanfaatkan momentun ini untuk menanamkan nilai-moral tertentu. Di antaranya adalah Syamsul Arifin (Peneliti) sebagai dosen Matrikulasi Bahasa Arab. Ia menyusun soal UAS bahasa Arab dalam format value education dimana dimana semua butir-butir soal meransang keterlibatan spritualitas, emosi, dan intelektual peserta tes. b.
31Kokasih 32Abdul
Djahiri, Op.cit., h. 37 Majid, Op.Cit., h. 69-70
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
c.
~ 409
Pengaturan Ruang Kelas Kelas merupakan tempat interaksi antar personal, baik sesama peserta didik, maupun peserta didik dengan pendidik. Di samping itu, kelas juga menjadi tempat interaksi antara individu dengan benda-benda yang berada di dalam kelas. Tingkat kenyamanan dan kualitas interaksi-interaksi ini salah satunya ditentukan tata ruang kelas. Ruang yang tertata rapi dan bersih memungkinkan bagi setiap individu melakukan interaksi yang lebih berkualitas dan bermakna. Sebaiknya, tata ruang yang tidak berkonsep, bahkan berantakan menimbulkan keengganan bagi seseorang untuk melakukan interaksi. Jika proses pembelajaran dipahami sebagai kegiatan interaksi antar personal, maka tata ruang yang tidak berkonsep akan menghambat proses pembelajaran. Sudarwan dan Yunan Danim menegaskan bahwa inti manajemen kelas dan proses pembelajaran adalah komunikasi interaktif antara guru dan siswa.33 Komunikasi interaktif yang dimaksud dapat berjalan dengan baik disamping ditentukan oleh faktor kepribadian pendidik, juga tata ruang kelas yang nyaman.34 Namun, berdasarkan pengamatan Penulis, di jujusan matematika fakaultas Tarbiyah, arti penting tata ruang yang baik menjadi faktor yang menentukan bagi kualitas kumunikasi interaksi antar personal di kelas kurang mendapat perhatian yang memadai, baik oleh penyelenggara maupun pendidik. Hal ini tercermin dalam beberapa ruang kelas dimana keberadaan kursi-kursi kuliah tidak tertata rapi, baik pada saat kegiatan akan dimulai, maupun sesuai kegiatan pembelajaran. Hampir sebagian dosen menerima keberadaan formasi kursi dalam posisi berderet atau shaf. Di samping itu, inovasi perubahan formasi tempat duduk hampir jarang dilakukan kecuali oleh dosen yang mempraktikkan metode-metode tertentu, seperti metode belajar kelompok. Itu pun formasi kursi yang susun terkesan asal sehingga komunikasi interaktif antar personal dalam kelompok jauh dari maksimal. Mestinya, formasi kursi yang ideal sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Menurut Everton dan Emmer, ada empat kunci pengaturan ruang baik; (1) pastikan wilayah lalu lintas tinggi bebas dari macet; (2) para siswa dapat dipantau dengan mudah oleh guru; (3) semua sarana dan benda yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran mudah diakses; (4) pastikan siswa dengan leluasa dapat melihat dengan mudah presentasi dan tampilan seisi kelas. Di samping itu, unsur lainnya yang harus diperhatikan adalah letak dan posisi mendorong terjadinya interaksi produktif antar-peserta didik dan peserta didik dengan dosen Merujuk pada pendapat Everton dan Emmer di atas, tata ruang yang mendukung terhadap terjadinya pengembangan karakter dilakukan langkah-langkah di antaranya sebagai berikut; (1) tata ruang kelas, termasuk formasi tempat duduk peserta didik didesain berdasarkan 33Sudarwan 34Caronlyn
dan Yunan Damin, Op.cit., h. 233 M. Evertson dan Edmund T. Emmer, Op,cit., h. 4
410 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies lancarnya arus lalu lintas manusia yang berada di dalam kelas. pesan moral yang disampaikan antara lain bersih, rapi, indah, dan aman; (2) formasi tempat duduk yang menjamin terjadinya komunikasi interaktif antar personal, baik sesama peserta didik, maupun pendidik dengan peserta didik pada tingkatan jasadiyah, aqliyah, dan ruhiyah. Dalam formasi seperti ini akan terjadi sikap saling menghargai karena dalam kesederajatan posisi dan terjadi proses internalisasi nilai melalui live model baik by disaign maupun by accident. d.
Mewujudkan Situasi Pembelajaran Yang Menyenangkan. Situasi pembelajaran yang menyenangkan bagian dari syarat yang harus terpenuhi untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Yang dimaksud “menyenangkan dalam konteks pendidikan adalah pembelajaran yang menarik, memuaskan dan menyenangkan hati peserta didik. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan usaha membangun pengalaman belajar peserta didik dengan berbagai keterampilan proses untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, melalui penciptaan kegiatan belajar yang beragam dan mengkondisikan suasana belajar sehingga mampu memberikan pelayanan pada berbagai tingkat kemampuan dan gaya belajar mereka, serta mengarahkan perhatian mereka lebih terpusat secara penuh. Dalam upaya pembentukan karakter, pembelajaran yang menyenangkan berbasis pada nilai-moral tertentu sesuai dengan terbentuknya karakter yang diharapkan. Praktik pembelajaran seperti ini yang ditemukan di jurusan Tadris Matematika fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram menggambarkan bahwa model pembelajaran yang menyenangkan meliputi: (1) pembelajaran yang menarik minat peserta didik dan menantang untuk menguji kemampuan mereka; (2) pembelajaran variatif-inovatif yang mencakup materi, metode, strategi, suasana kelas, tugas terstruktur, tata ruang atau formasi tempat duduk; (3) pembelajaran yang melahirkan kepuasan peserta didik karena mereka mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru sesuai keinginan. Berdasarkan hasil pengamatan dijurusan Matematika, ketiga unsur pembelajaran yang menyenangkan di atas jarang terpenuhi secara bersamaan dalam satu kegiatan pembelajaran. Sifat, hasrat, harapan, dan kepribadian peserta didik yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu lainnya menjadi persoalan yang tidak mudah dicari jalan keluarnya. Model Manajemen Kelas Berbasis Character Building Berdasarkan uraian panjang di atas, penulis mendesain suatu model manajemen kelas berbasis character building di fakultas Tarbiyah IAIN Mataram – bahkan mungkin juga dapat diimplementasikan pada semua
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 411
fakultas di lingkungan IAIN Mataramn -- dengan penjelasan sebagai berikut: pertama, bahwa pembentukan dan pengembangan karakter hendaknya berdasarkan pada sumber-sumber nilai-moral yang disepakati oleh komunitas pengembang karakter. Dalam konteks masyarakat IAIN, sumber nilai-moral yang utama adalah agama, yakni Al-Qur’an dan Hadits, ideologi negara, Pancasila, dan budaya (urf); kedua, sumber nilai-moral tersebut hendaknya didukung oleh kekuatan hukum yang pasti, berupa regulasi tentang pembentukan karakter. Untuk kepentingan ini, UU pendidikan nasional hendaknya diberlakukan sebagai amanat nasional yang harus diimplementasikan oleh setiap penyelenggara pendidikan dalam dunia pendidikan; ketiga, pengembangan karakter menjadi bagian dari visi dan misi lembaga penyelenggara pendidikan yang tertulis secara jelas dan mendapatkan justifikasi dari komunitas kampus; keempat, sebagai leading sectors, visi dan misi diterjemahkan dalam berbagai program dan kebijakan yang di dalamnya terdapat pengembangan karakter-karakter tertentu. Di samping itu, visi dan misi juga diterjemahkan ke dalam kurikulum dan silabus sebagai instrumen pengembangan karakter; kelima, dosen (pendidik) sebagai live model dan agent of attitude change memiliki skill untuk mengeksplorasi dan mengaktualisasikan nilai-moral yang memenuhi ruang kelas, baik yang terdapat dalam dirinya, peserta didik, materi ajar, metode, media pembelajaran, alat evaluasi dan unsur evaluasi yang menyatu dengan kegiatan pembelajaran; keenam, tata ruang kelas merupakan wujud fisik yang mencerminkan nilai-moral tertentu; tujuh, habituasi nilai-nilai moral baik di dalam kelas maupun di luar kelas dalam lingkungan kampus. Lebih jelasnya, lihat gambar 1: Model manajemen kelas berbasis character building di Jurasan Matematika fakultas Tarbiyah IAIN Mataram.
Habituasi Nilai-Moral
MATERI
Eksplorasi Dan Internalisasi Nilai-Moral
KBM
KBM
Live Mod el
D 0 S E N Kebijakan & program Lembaga
V is i & M is I
Kurikulum
KARAKTER
S I L A B U S
Lingkungan Budaya Kampus
Tata Ruang kelas
MEDIA METODE
Tata Ruang Kelas
Lingkungan Budaya Kampus
KBM
EVALUASI
M h s. KBM
Habi tuasi NilaiMor al
Hab itua si Nilai Mor al
Out Put: Mhs . BerKarakter.
Live Model
Habituasi Nilai-Moral
412 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
Panca sila B u d a y a
Sumber Nilai – Moral; AlQur’an Hadits
Tujuan Pend. Nas.
Gambar 1: Model Manajemen Kelas Berbasis Karakter di Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 413
KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Bahwa manajemen kelas berbasis chracter building merupakan serangkaian tindakan kelas bersifat multidimensional, dan unik, serta meaningfull and messagefull. Tindakan ini relatif tidak mudah dilakukan secara memadai oleh sebagian dosen di jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram karena beberapa faktor; (1) visi dan misi lembaga sebagai leadline dan leading sector belum maksimal dilakukan dalam tiga fase, yakni discovery, visualization, dan actualization; (2) kelas sebagai ruang pembelajaran yang bersifat kompleks dan unik dalam berbagai sisinya sekaligus menjadi rumah nilai-moral (house of value-moral) belum dipahami secara utuh dan konsisten oleh sebagian dosen; (3) Peserta didik sebagai unsur utama kelas memiliki potensi-potensi pendidikan yang sangat banyak, termasuk potensi-potensi afektual yang bersifat heterogen, baik kualitas maupun kuantitas belum tereksplorasi dan teraktualisasi secara maksimal. Hal ini terjadi karena masih berkembangnya pemahaman konvensional yang cenderung memisahkan ketiga domain, yakni afektif, kognitif psikomotorik dalam posisi yang sederajat, bahkan khirarkis, dan dalam waktu yang bersamaan ada kecenderungan materi ajar diperlakukan sebagai tujuan akhir pendidikan sehingga ia kering makna dan pesan. Akibatnya, manajemen kelas tidak memiliki kekuatan untuk mengembangkan karakter peserta didik. Kelas sebagai medan terdepan pendidikan formal tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan karakter mahasiswa sebagaimana tergambar di atas. Justru atmosfer akademis-religius jurusan Matematika yang terwujud melalui program jurusan dan Himpunan Mahasiswa jurusan berkontribusi bagi perkembangan karakter mahasiswa. Faktor dominan bagi pembentukan karakter mereka adalah satuan pendidikan yang telah dan atau sedang ditempuh, seperti SMA, MA dan pesanteren. Sesungguhnya, fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan Tadris Matematika, berpeluang besar untuk mengembangkan karakter mahasiswa secara lebih maksimal melalui manajemen kelas jika sumber daya pendidikan yang ada didayagunakan secara terpadu dan berkesinambungan serta didukung oleh komitmen dosen yang lebih memadai dalam koridor visi dan misi lembaga. Adapun desain model manajemen kelas yang dipandang efektif mengembangkan karakter peserta didik sebagai berikut: (1) Agama (baca Islam), ideologi Pancasila, dan budaya lokal menjadi sumber nilai-moral; (2) UU Sisdiknas landasan pendidikan karakter; (3) komitmen lembaga terhadap pengembangan karakter yang tertuang dalam visi dan misi, program dan kebijakan pimpinan, kurikulum dan silabus; (4) pendidik
414 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies sebagai live model dan agent attitude change menggunakan pendekatan sosial emotional climate di nama sifat ramah, rendah hati, peduli, pemaaf, disiplin, dan bertanggung jawab lebih ditampakkan secara dominan dalam proses pembelajaran; (5) sejumlah nilai-moral tercantum dalam persiapan pembelajaran; (6) proses pembelajaran bukan hanya sekedar tranformation of knowledge event, tetapi juga emoting, spritualizing, dan valuing melalui eksplorasi dan pendayagunaan potensi nilai-moral yang terdapat dalam diri pendidik, peserta didik, materi, metode dalam desain pembelajaran yang menyenangkan dan didukung oleh tata ruang yang memadai; (7) habituasi nilai-moral di dalam dan di luar kelas dalam lingkungan kampus. Daftar Pustaka A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, (Jakarta, Dunia Pustaka Jaya-Pusat Studi Sunda: 2003) Abdul Majid, Perencanaan pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008) Bloom, Benjamin S. Et. al.. Taxonomy of Education Objective Book 2 Affective Domain, (New York: David Mckay Company. Inc, 1971) E. Mulyana, Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran yang kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Rosda, 2007) Gadne. R.M. Condition of Learning (New York: Holt Rinehart and Winson: 1970) Hill, B.V. (1991). Values Education in Australian Schools (Melboume: ACER, 1991) Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Pedoman Sekolah, Pengedi mbangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: 2010) Kluckhohn, C.. Values and Value-Orientations In The Theory of Action: An Exploration In Definition and Classification. Dalam T. Person & E.A. Shits (Eds). Toward A General Theory of Action. Cambridge: Harvard University Press., 1951) Kneller, George F. (1971). Introduction to The Philosophy of Education. (New York: John Wiley & Sons, Inc, 1971) Mulyadi, Classroom Management Mewujudkan Suasana Kelas yang menyenangkan bagi Peserta didik (Malang, UIN Malang Press: 2009)
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 415
Noeng Mujahir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV (Yogyakarta, Rake Sarasin: 2000) Rohmat Mulyana, Mengaktualisasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004) Ryan, Kevi & Bohlin, K.E., Building Character in School. Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Francisco, Jossey-Bass: 1999) Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung, Alfabeta: 2009) Thomas Lickona, Education For Character (New York, Bantam Books: 1991) Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. (Magelang: Indonesiatera, 2003)
Mengawal Pendidikan Karater Melalui Implementasi Kurikulum 2013 Dr. Evi Fatimatur Rusydiyah, M.Ag A. Pengantar Penyempurnaan kurikulum 2006 ke dalam kurikulum 2013 (K13) membawa angin segar dalam dunia pendidikan. Angin segar tersebut dapat dicermati melalui salah satu kekuatan kurikulum 2013 yang menekankan pada penguatan standar proses. Proses pembelajaran dilakukan dengan pendekatan scientific. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan strategi project based learning, problem based learning, inquiry, dan discovery learning. Strategi-strategi tersebut merupakan strategi yang melibatkan siswa harus memiliki ketrampilan akademis dan sosial. Tugas pendidikan sesungguhnya adalah mengantarkan pada dua ketrampilan tersebut. Habituasi-habituasi dalam proses pembelajaran K 13 melalui pendekatan scientific akan mengantarkan siswa-siswi memiliki sikap peduli lingkungan, cermat, germar membaca, berani, percaya diri, dan cinta terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Semangat K13 mencerminkan kecerdasan intelektual tanpa diikuti dengan karakter atau akhlak yang mulia kepada Khalik dan sesama maka tidak akan ada artinya. Karakter atau akhlak adalah sesuatu yang sangat mendasar dan saling melengkapi dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki siswa. Karakter atau akhlak mulia harus dibangun. Membangun akhlak mulia adalah melalui pendidikan, baik pendidikan di rumah (keluarga), di sekolah, maupun di masyarakat. Untuk membentuk karakter atau akhlak mulia memerlukan pendidikan karakter dan pendidikan agama. Oleh karena itu proses pembentukan karakter melalui desain dan proses pembelajaran yang diimplementasikan dalam perwujudan KI 1, KI 2, KI 3, dan KI 4 akan menjadi fokus kajian dalam makalah ini. B. Pendidikan Karakter Kata Pendidikan dalam bahasa Yunani dikenal dengan nama paedagoso yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi dikenal dengan aducare artinya membawa keluar. Bahasa belanda menyebutkan istilah pendidikan dengan nama opvoeden yang berarti membesarkan atau mendewasakan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
~ 416 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 417
aducate/aducating yang berarti to give intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.1 Dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan demikian pendidikan dalam pengertian secara umum dapat diartikan sebagai proses transmisi pengetahuan dan nilai dari satu orang kepada orang lainnya atau dari satu generasi ke generasi lainnya. Proses itu dapat berlangsung seumur hidup, selama manusia masih berada di muka bumi ini. Selain pengertian di atas ada beberapa pengertian mengenai pendidikan dalam arti sempit. Pengertian dalam arti sempit ialah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak atau remaja yang diserahkan kepadanya, agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh tentang hubungan-hubungan dan tugas sosial. Sementara pengertian dalam arti agak luas ialah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang berlangsung disekolah dan luar sekolah untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan secara tepat dalam berbagai lingkungan hidup. Sementara pengertian dalam arti sangat luas ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan hidup dan sepanjang hidup.2 John Dewey menyatakan pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam sesama manusia.3 Beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dilakuan oleh pendidik kepada perserta didik untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dengan cara pembelajaran, bimbingan, pelatihan dan semua itu berlangsung seumur hidup. Definisi karakter dalam prinsip etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave”. Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, 1 Muhammad Ismail Yusanto. Menggagas Pendidikan Islam. (Jakarta: Al Azhar Press.2004). Hal 28 2 Hamid Hamdani.Perbandingan Filsafat Pendidikan. (Bandung: Sega Arsy, 2010). Hal 23 3 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy . (New York: American Book Company, 1951). Hal 123
418 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies memahatkan, atau menggoreskan.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain dan watak. Dalam pusat bahasa Depdiknas sebagaimana dikutip Marzuki, karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. 5 Nilai-nilai tersebut dirumuskan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas adalah sebagai berikut.6 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu 4 Marzuki. Prinsip Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam. Makalah di presentasikan pada seminar Nasional Pendidikan Karakter di UIN Syarif Hidayatullah. tt. Hal 4 5 Setiawan Ebt. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ofline Versi 1.4 dengan mengacu pada data dari KBBI Daring (edisi III) . 2012. Hal 682 6 Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.( Kementrian Pendidikan Nasional: Jakarta, 2010). Hal. 25
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 419
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian karakter juga dapat diartikan sebagai kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik atau sifat khas dalam diri seseorang. Karakter bisa terbentuk melalui lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil ataupun bawaan dari lahir. Ada yang berpendapat baik dan buruknya karakter manusia memanglah bawaan dari lahir. Jika jiwa bawaannya baik, maka manusia itu akan berkarakter baik.
420 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Tetapi pendapat itu bisa saja salah. Jika pendapat itu benar, maka pendidikan karakter tidak ada gunanya, karena tidak akan mungkin merubah karakter orang. C. Kajian Pendidikan Karakter dalam Islam Dalam perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Ibarat bangunan, karakter atau akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat.7 Tidak mungkin karakter atau akhlak mulia akan terwujud pada diri seseorang apabila ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang benar. Seorang Muslim yang memiliki aqidah atau iman yang benar pasti akan terwujud pada sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasari oleh imannya. Sebagai contoh, orang yang memiliki iman yang baik dan benar kepada Allah SWT ia akan selalu mentaati dan melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi seluruh larangan-larangan-Nya. Maka dari itu, ia akan selalu berbuat yang baik dan menjauhi hal-hal yang dilarang (buruk). Iman bukan saja hanya kepada Allah SWT tetapi juga kepada malaikat, kitab, Rasul dan seterusnya akan menjadikan sikap dan perilakunya terarah dan terkendali, sehingga akan mewujudkan akhlak atau karakter mulia. Hal yang sama juga terjadi dalam hal pelaksanaan syariah. Semua ketentuan syariah Islam bermuara pada terwujudnya akhlak atau karakter mulia. Seorang yang melaksanakan shalat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, pasti dia akan terhindar dan tidak akan melakukan perbuatan yang keji dan munkar serta ia akan selalu melakukan perbuatan yang baik dan terpuji. Seperti dalam firman Allah SWT:
الص َةال َو تَهنْ َةيى َع ِّةن الْ َف ْحشَ ةاء َوالْ ُمة َكة ِّر َو َ ِّذل ْكة ُر َّ الص َةال َو ا َّن َّ ويح ال َ ْي َك ِّم َن الْ ِّكتَ ِّاب َو َأ ِّق ِّم َ ِّ امْ ُل َما ُأ ِ ِ ِّ َّ ون ُ َّ اَّلل َأ ْك َ ُرب َو َ اَّلل ي َ ْع َ ُمل َما م َْصةَ ُع
Artinya: “Bacalah Kitab (al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Ankabut: 45). Ketentuan syariat seperti shalat tersebut bukan saja hanya pada shalat tetapi juga pada syariat-syariat lain seperti zakat, puasa dan lain sebagainya. Dalam pendidikan karakter yang terpenting bukan hanya sebatas mengkaji dan mendalami konsep akhlak, tetapi sarana dan proses untuk mencapainya juga sangat penting sehingga seseorang dapat bersikap 7 Marzuki.
Prinsip Pendidikan Karakter dalam….Hal 5
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 421
dan berperilaku mulia seperti yang dipesankan oleh Nabi SAW. Dengan konsep akhlak dan proses tersebut akan mengarahkan pada tingkah laku sehari-hari, sehingga sesorang dapat memahami yang dilakukannya baik dan benar ataupun buruk dan salah, termasuk karakter mulia (akhlaq mahmudah) atau karakter tercela (akhlaq madzmumah). Baik dan buruk karakter manusia sangat tergantung pada tata nilai yang dijadikan pijakannya. Abul A’la al-Maududi sebagaimana dikutip Marzuki membagi sistem moralitas menjadi dua. Pertama, sistem moral yang berdasar kepada kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati. Kedua, sistem moral yang tidak mempercayai Tuhan dan timbul dari sumber-sumber sekuler. Sistem moralitas yang pertama sering juga disebut dengan moral agama, sedang sistem moralitas yang kedua sering disebut moral sekuler.8 Sistem moralitas yang pertama (moral agama) dapat ditemukan pada sistem moralitas Islam (akhlak Islam). Hal ini karena Islam menghendaki dikembangkannya al-Akhlaq al-Karimah yang pola perilakunya dilandasi dan untuk mewujudkan nilai Iman, Islam dan Ihsan. Sedangkan sistem moralitas yang kedua menurut (moral sekuler) menurut Faisal Ismail adalah sistem yang dibuat atau sebagai hasil pemikiran manusia (secular moral philosophies) dengan mendasarkan pada sumber-sumber sekuler, baik murni dari hukum yang ada dalam kehidupan, intuisi manusia, pengalaman, maupun karakter manusia). Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al- wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77; QS. al-Baqarah [2]: 177; QS. al-Muminun (23): 1–11; QS. al-Nur [24]: 37; QS. al-Furqan [25]: 35–37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134). Ayat-ayat ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya. Keharusan menjunjung tinggi karakter mulia (akhlaq karimah) lebih dipertegas lagi oleh Nabi Saw. dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya …” (HR. al-Tirmidzi). Dalam hadis yang lain Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik akhlaknya di antara kamu sekalian ...” (HR. al-Tirmidzi). Dijelaskan juga dalam hadis yang lain, ketika Nabi Saw ditanya: “Apa yang terbanyak membawa orang 8
Marzuki. Prinsip Pendidikan Karakter dalam….Hal 6
422 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies masuk ke dalam surga?” Nabi Saw. menjawab: “Takwa kepada Allah dan berakhlak baik.” (HR. al-Tirmidzi). Menurut Ainain sebagimana dikuti Marzuki, dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa, realitas dan tujuan yang digariskan oleh akhlaq qur’aniah. Dengan demikian, karakter mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan hadis.9 Namun demikian, kewajiban yang dibebankan kepada manusia bukanlah kewajiban yang tanpa makna dan keluar dari dasar fungsi penciptaan manusia. Al-Quran telah menjelaskan masalah kehidupan dengan penjelasan yang realistis, luas dan juga telah menetapkan pandangan yang luas pada kebaikan manusia dan zatnya. Makna penjelasan itu bertujuan agar manusia terpelihara kemanusiaannya dengan senantiasa dididik akhlaknya, diperlakukan dengan pembinaan yang baik bagi hidupnya, serta dikembangkan perasaan kemanusiaan dan sumber kehalusan budinya. Dengan demikian, menurut al-Bahi sebagaiman dikutip Marzuki, karakter telah melekat dalam diri manusia secara fitriah. Dengan kemampuan fitriah ini ternyata manusia mampu membedakan batas kebaikan dan keburukan, dan mampu membedakan mana yang tidak bermanfaat dan mana yang tidak berbahaya.10 Sebenarnya pembawaan fitrah manusia ini tidak serta merta menjadikan karakter manusia bisa terjaga dan berkembang sesuai dengan fitrah tersebut. Fakta membuktikan bahwa pengalaman yang dihadapi masing-masing orang menjadi faktor yang sangat dominan dalam pembentukan dan pengamalan karakternya. Disinilah pendidikan karakter mempunyai peran yang penting dan strategis bagi manusia dalam rangka melalukan proses internalisasi dan pengamalan nilai-nilai karakter mulia di masyarakat. Tujuan dari pendidikan karakter menurut Islam adalah menjadikan manusia yang berakhlak mulia. Dalam hal ini yang menjadi tolok ukur adalah akhlak Nabi Muhammad SAW dan yang menjadi dasar pembentukan karakter adalah al-Quran. Tetapi kita kita harus menyadari tidak ada manusia yang menyamai akhlaknya dengan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana seperti dalam hadis riwayat Muttafaq ‘alaih, berikut:
اكن رسةول هللا صةىل هللا عةل وسةمل احسةن الةةا خلقةا: وعن انس ريض هللا عةةه قةال )(متف عليه Artinya: “Anas ra. Berkata, “Rasulullah Saw. adalah orang yang paling baik budi 9 Marzuki. 10 Ibid.
Prinsip Pendidikan Karakter dalam….Hal 8 Hal 9
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 423
pekertinya””. (Muttafaq ‘alaih).11 Dari hadis tersebut bahwa, sangat jelas akhlak Rasulullah adalah bukti bahwa akhlak beliau sangat sempurna. Dalam hadis ini juga memperkuat pendapat Bambang Q-Anees bahwa Nabi Muhammad Saw adalah al-Quran berjalan, karena dalam diri Rasulullah terdapat al-Quran tersebut dan beliau tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan yang menyimpang dan melenceng dari akhlak mulia.12 Al-Quran adalah petunjuk bagi umat Islam. Seperti yang telah disinggung di atas bila kita hendak mengarahkan pendidikan kita dan menumbuhkan karakter yang kuat pada anak didik, kita harus mencontoh karakter Nabi Muhammad SAW yang memiliki karakter yang sempurna. Firman Allah SWT. Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. al-Qalam : 4) Dalam pendidikan karakter yang berorientasi pada akhlak mulia kita wajib untuk berbuat baik dan saling membantu serta dilatih untuk selalu sabar, menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain sebagaimana firman Allah SWT. Artinya: “...... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S. al-Imran: 134) Dari uraian di atas maka tujuan pendidikan karakter menurut Islam adalah membentuk pribadi yang berakhlak mulia, karena Akhlak mulia adalah pangkal kebaikan. Orang yang berakhlak mulia akan segera melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Di tengah peradaban zaman modernisasi yang serba instan dan semakin populer, kaum Islam sekarang lebih memfokuskan diri untuk mendapatkan kesenangan duniawi dibanding mengedepankan nilai agama sebagai kekuatan iman untuk mendapat rakhmat Allah SWT. Tidak jarang sebagaimana kita ketahui kehidupan generasi muda muslim dimasa sekarang menunjukan seakan-akan akhlak itu tak penting. Walaupun dari segi sarana pendidikan, media cetak dan elektronik, busana, masjid, kuantitas ahli agama bahkan kegiatan dakwah sekalipun yang 11 Said al-Khim Mustofa. Imam Nawawi (Syarah & Terjemahan Riyadhus Shalihin, Jilid 1). (Jakarta:Al-I’tishom, 2012). Hal 695 12 Q-Anees Bambang dan Hambali Adang..Pendidikan Karakter Berbasis al-Quran. (Bandung:Simbiosa Rekatama Media 2009). Hal 6
424 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies semakin maju dan berkembang, justru perkembangan itu sebagian besar dipengaruhi oleh modernisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) ala Barat. Sering kita jumpai, corak budaya remaja Islam masa kini, walaupun banyak remaja muslimah yang berbusana panjang tertutup jilbab namun model busana yang dicapai tidak semata-mata diniatkan untuk menutup aurat malah mereka hanya mengikuti trend fasion yang aneh-aneh agar bertujuan terlihat menarik, gaul dan exis bagi orang lain khususnya lawan jenis. Sementara itu, ada juga yang berpendapat karakter itu bisa dibentuk dan diupayakan. Dalam pendapat ini mengandung makna bahwa pendidikan karakter sangat berguna untuk merubah manusia menjadi manusia yang berkarakter baik. Sebenarnya karakter juga bisa diartikan sebagai tabiat, yang bermaknakan perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan atau bisa diartikan sebagai watak, yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku atau kepribadian. Orang yang berlaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.13 Dalam al-Quran, manusia adalah makhluk dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar manusia mempunyai dua karakter yang saling berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk. Sebagaimana firman Allah dalam surat asySyam ayat 8-10. Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy-Syam: 8-10). Karakter dapat diartikan juga dengan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan yang berlandaskan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan secara terminology, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona sebagaimana yang dikutip Marzuki, yang mengemukakan bahwa karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so 13 Syarbin Amirulloh. Buku Pintar Pendidikan Karakter. (Jakarta:As@-Pima Pustaka. 2012). Hal 15
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 425
conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior”. Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling) dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes) dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).14 Dari beberapa pengertian di atas maka, karakter tersebut sangat identik dengan akhlak, sehingga karakter dapat diartikan sebagai perwujudan dari nilai-nilai perilaku manusia yang universal serta meliputi seluruh aktivitas manusia, baik hubungan antar manusia dengan tuhan (hablumminallah), hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas) serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa karakter identik dengan akhlak. Maka dalam perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan suatu hasil yang dihasilkan dari proses penerapan syariat (Ibadan dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh dan bersandar pada al-Quran dan as-Sunah (hadis). Dari konsep karakter dan pendidikan maka muncul yang namanya pendidikan karakter (character education). Terminology pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1990an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika bukunya yang berjudul The Return of Character Education kemudian disusul bukunya Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991). Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingya pendidikan karakter. Sedangkan di Idonesia sendiri, istilah pendidikan karakter mulai diperkenalkan sekitar tahun 2005-an. Hal itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembanguna Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila”.15 Pada penjelasan di atas disinggung masalah pendidikan karater yang identik dengan akhlak. Maka kita perlu tahu apa hubungan pendidikan karakter dengan akhlak secara lebih dalam. Seperti yang telah dijelaskan di atas, pendidikan akhlak dan pendidikan karakter adalah sama, yaitu samasama pembentukan karakter. Perbedaannya adalah jika pendidikan akhlak terkesan ketimur-timuran dan Islami, sedangkan pendidikan karakter terkesan kebarat-baratan dan sekuler, semua itu bukanlah alasan untuk diperdebatkan dan dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki 14 Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. (New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991). Hal 51 15 Syarbin Amirulloh. Buku Pintar ...............Hal 16
426 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antar karakter dan spiritual.16 Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional yang meliputi metode, strategi dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak syarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka dari itu jika keduanya dipadukan akan sempurna dalam pembentukan karakter manusia. Hal ini sekaligus dapat menjadi nilai plus bahwa karakter meliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama. Menurut terminology Islam, pengertian karakter ,memiliki kedekatan pengertian dengan pengertian akhlak. Menurut etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab )(اخالق, bentuk jamak dari mufradnya khuluq )(خلق, yang berarti “budi pekerti”. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral juga berasal dari bahasa latin juga, mores yang berarti kebiasaannya. Dalam kalimat khuluq mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalakun ))خلق yang berarti kejadian, serta erat hubungannya khalik ) )خلقyang berarti penciptaan dan makhluk ( )مخلوقyang berarti diciptakan.17 Menurut Abd. Hamid sebagaimana dikutip Zubaedi menyatakan bahwa:18 االنسان االء ابية:االء خل هي صفا. Artinya: “Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik”. Memahami pernyataan tersebut dapat dimengerti bahwa sifat atau potensi yang dibawa manusia sejak lahir, maksudnya potensi ini sangat tergantung bagaimana cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya positif, maka sama seperti pendidikan karakter, pendidikan akhlak juga outputnya adalah akhlak mulia dan sebaliknya apabila pembinaannya negatif, yang terbentuk adalah akhlak mazmuniah. Maka dari itu al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut: اخلل عبارة عن هيئة ىف النفس راسخة عنها تحدر االء فعال اسهولة واسر من نري حجة اىل فكرورواة Artinya: “Akhlaq adalah suatu perangai (watak/tabiat) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya”. 19 16 Zubaedi. Isu-Isu Baru Dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam Dan Kapita Selekta Pendidikan Islam.(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012) .Hal 65 17 Ibid. Hal 66 18 Ibid. Hal 68 19 Ibid.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 427
Dari beberapa pengertian pendidikan dan karakter di atas maka dapat diambil kesimpulan, pendidikan karakter adalah usaha sadar yang dilakukan pendidik kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian peserta didik yang mengajarkan dan membentuk moral, etika, dan rasa berbudaya yang baik serta berakhlak mulia yang menumbuhkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik dan buruk serta mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan cara melakukan pendidikan, pengajaran, bimbingan dan pelatihan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan karakter adalah bukan jenis mata pelajaran seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau lainnya, tetapi proses internalisasi atau penanaman nilai-nilai positif kepada peserta didik agar mereka memiliki karakter yang baik (good character) sesuai dengan nilai-nilai yang dirujuk, baik dari agama, budaya, maupun falsafah Negara. 20
Dengan demikian, pendidikan karakter menurut pandangan Islam adalah usaha sadar yang dilakukan pendidik kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian peserta didik yang mengajarkan dan membentuk moral, etika, dan rasa berbudaya yang baik serta berakhlak mulia yang menumbuhkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik dan buruk serta mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan cara melakukan pendidikan, pengajaran, bimbingan dan pelatihan yang berpedoman pada al-Quran dan as-Sunah. D. Nilai Karakter dalam Kurikulum 2013 Salah satu elemen perubahan yang penting adalah standar proses. Standar proses didesain dalam rangka ketercapaian Kompetensi Inti 1 tentang aspek spiritual, Kompetensi Inti 2 tentang aspek sosial, Kompetensi Inti 3 tentang pengetahuan, dan Kompetensi Inti 3 tentang aspek ketrampilan. Khusus untuk kompetensi Inti 1 dan 2 dibelajarkan dalam bentuk prose pembelajaran, sehingga tidak memunculkan indikator. Dengan kata lain bahwa pengetahuan dan ketrampilan sebagai implikasi KI 3 dan 4 memiliki efek domino di dalam mencapai KI 1 dan 2. Standar Proses dengan pendekatan scientific memberikan angin segar terhadap wajah dunia pendidikan. Guru memiliki panduan bagaimana membelajarkan dengan pola-pola induktif, karena selama ini guru masih banyak yang melakukan pola deduktif dalam pembelajarannya. Dalam pendekatan scientific memiliki sintaks sebagai berikut : 21 1. Mengamati yaitu dilakukan dengan cara melihat, membaca, mendengar, mencermati, memperhatikan tayangan, menyimak (Tanpa dan dengan Alat). Pada kegiatan ini, jika para guru benar-benar 20 Syarbin
Amirulloh. Buku Pintar........................Hal 18 No 65 Thun 2013 tentang Standar Proses
21 Permendikbud,
428 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
2. 3.
4. 5.
melakukan kegiatan ini dengan baik, maka sesungguhnya guru telah mengantarkan pada ketercapaian KI 1 dan KI 2 pada aspek spiritual dan sosial. Melalui pengamatan video, film, dan gambar-gambar yang di konfrontasi diawal pembelajaran, guru menyajikan kejadian, baik berupa nikmat musibah dan nikmat keindahan yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Dengan demikian karakter yang dibangun adalah sikap religius, peka terhadap lingkungan, suka mensyukuri nikmat yang dikaruniakan kepada kita, dan gemar membaca. Menanya yaitu dilakukan dengan cara menanya, memberi umpan balik, mengungkapkan. Karakter yang dibangun pada proses ini adalah karakter kritis, mandiri, dan rasa ingin tahu. Eksplorasi, yaitu dilakukan dengan cara berpikir kritis, mendiskusikan, mengeksperimen . karakter yang dibangun pada proses ini adalah demokratis, menghargai pendapat orang lain, kreatif, berfikir kritis, dan tanggung jawab. Mengasosiasi, yaitu menghubungkan dengan materi lain, dengan kehidupan nyata, dan membuat rumusan. Karakter yang dibangun pada roses ini adalah berfikir kritis, kreatif, dan peduli sosial. Mengkomunikasikan, yaitu mempresentasikan, mendialogkan, menyimpulkan. Karakter yang dibangun dalam proses ini adalah karakter percaya diri, kreatif, dan inovatif.
Pada hakikatnya, sebuah proses pembelajaran yang dilakukan di kelas-kelas bisa kita samakan sebagai sebuah proses ilmiah. Oleh sebab itulah, dalam Kurikulum 2013 diamanatkan tentang apa sebenarnya esensi dari pendekatan scientific pada kegiatan pembelajaran. Banyak survey membuktikan bahwa pendekatan ilmiah merupakan sebentuk titian emas perkembangan dan pengembangan sikap (ranah afektif), keterampilan (ranah psikomotorik), dan pengetahuan (ranah kognitif) siswa.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 429
Penalaran induktif dan penalaran deduktif Pada suatu pendekatan yang dilakukan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para saintis lebih mementingkan penggunaan pelararan induktif (inductive reasoning) daripada penggunaan penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif adalah bentuk penalaran yang mencoba melihat fenomena-fenomena umum untuk kemudian membuat sebuah simpulan yang khusus. Penalaran induktif (inductive reasoning) adalah kebalikannya. Penalaran induktif justru memandang fenomena-fenomena atau situasi-situasi yang khusus lalu berikutnya membuat sebuah simpulan secara keseluruhan (umum). Esensinya, pada penggunaan penalaran induktif, bukti-bukti khusus (spesifik) ditempatkan ke dalam suatu relasi (hubungan) gagasan/ide yang lebih luas (umum). Sedangkan metode ilmiah pada umumnya meletakkan fenomenafenomena unik dengan kajian khusus/spesifik dan detail lalu setelah itu kemudian merumuskan sebuah simpulan yang bersifat umum.22 Metode ilmiah adalah sebuah metode yang merujuk pada teknikteknik penyelidikan terhadap suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Agar dapat dikatakan sebagai metode yang bersifat ilmiah, maka sebuah metode penyelidikan/inkuiri/pencarian (method of inquiry) haruslah didasarkan pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Oleh sebab itulah metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau
22 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951). Hal 54
430 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.23 Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah mempunyai hasil yang lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan pembelajaran dengan pendekatan tradisional. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen.24 Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Sebuah proses pembelajaran yang dikelola oleh seorang guru di kelasnya akan dapat disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria berikut ini : 25 1. Substansi atau materi pembelajaran benar-benar berdasarkan fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. 2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif gurupeserta didik harus terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. 3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. 4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik (membuat dugaan) dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
23 Ibid.
Hal. 67 Ardhana, W.I. Kaluge, L. & Purwanto. 2003. Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam belajar matematika dan sains di SD, SLTP, dan SMU. Laporan Penelitian Depdiknas. Hal 21 25 Arends, R.I.. Learning to Teach. Sixth Edition. (New York: McGrw-Hill, 2004). Hal. 60 24
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 431
5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran. 6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan. 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya. Kemudian, sebuah proses pembelajaran harus terhindar dari sifatsifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, penggunaan akal sehat yang keliru, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis. 26 1. Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik. 2. Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. 3. Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik. 26
Ibid. Hal 89
432 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 4. Penemuan coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tibatiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala. 5. Berpikir kritis. Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata E. Penutup Dari paparan diatas, pembelajaran melalui pendekatan scientific dengan berbagai macam pendekatan dan alasan perlu dikawal dalam segala lini, baik sebagai akademisi maupun praktis, karena karakter yang akan dibentuk dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan Kurikulum 2013 tidaklah mudah untuk dipraktikkan oleh guru dalam waktu yang dekat. Meskipun diskursus pendidikan karakter ini memberikan pesan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan karakter. Moral dan nilai spiritual sangat fundamental dalam membangun kesejahteraan organisasi sosial manapun. Tanpa keduanya maka elemen vital yang mengikat khidupan masyarakat dapat lenyap. Guru harus disadarkan pada pentingnya pendidikan karakter melalui integrasi penyempurnaan kurikulum 2013 melalui standar proses ini.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 433
DAFTAR PUSTAKA Anggota IKAPI. 2010.Undang-Undang SISDIKNAS. Bandung:Fokusmedia Ardhana, W.I. Kaluge, L. & Purwanto. 2003. Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam belajar matematika dan sains di SD, SLTP, dan SMU. Laporan Penelitian Depdiknas. Arends, R.I. 2004. Learning to teach. Sixth Edition. New York: McGrw-Hill. Frederick Mayer,1951. A History of Modern Philosophy New York: American Book Company. Hamid Hamdani. 2010.Perbandingan Filsafat Pendidikan. Bandung:SEGA ARSY Kevin Ryan & Karen E. Bohlin. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass. Kirschenbaum, Howard. 1995. 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings. Massachusetts: Allyn & Bacon. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books. Marzuki. tt. Prinsip Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam. Makalah di Presentasikan Pada Seminar Nasional Pendidikan Karakter di UIN Syarif Hidayatullah. Q-Anees Bambang dan Hambali Adang. 2009. Pendidikan Karakter Berbasis al-Quran. Bandung:Simbiosa Rekatama Media Roqib. Moh.2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta Said al-Khim Musto. 2012. Imam Nawawi (Syarah & Terjemahan Riyadhus Shalihin, Jilid 1).Jakarta:Al-I’tishom Setiawan Ebta. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ofline Versi 1.4 dengan mengacu pada data dari KBBI Daring (edisi III) Supriyadi Dedi. 2010.Pengantar Filsafat Islam (lanjutan) Teori dan Praktik.Bandung:CV PUSTAKA SETIA Syarbin Amirulloh. 2012. Buku Pintar Pendidikan Karakter. Jakarta:as@prima pustaka Yusanto, Muhammad Ismail. 2004. Menggagas Pendidikan Islam. Al Azhar Press Zubaedi. 2012. Isu-Isu Baru Dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam Dan Kapita Selekta Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar.
NEW PARADIGM OF ISLAMIC EDUCATION WITH CONCENTRATION ON LEARNING PROGRAM DEVELOPMENT Dr. Hj. HURIYAH SALEH, M.Pd Tarbiyah Faculty, State Institute For Islamic Studies, Syekh Nurjati Cirebon, Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon E-Mail:
[email protected]
Abstract: Islamic education is an effort to educate learner in order to the learner be able to change character and behavior. Through islamic education, learner hoped to be able to understand whole islamic teachings and comprehend fully the aim of the islamic education. Islamic subject Learning system has to be planned systematically and has to refer to the learning components which have oriented to the new paradigm and the application of contectual teaching and learning approach, the class condition will be condusive and easy for learner to be motivated to learn islamic subject. Through contectual teaching and learning approach be able to direct the process of islamic teaching and learning for growing learner good behavior, character building, and moral values that will become human who has good responsibility, emotional, intelectual, and human who has mutual empathy (emotional intellegence) in developing the learner potency in applying of islamic educational function, i.e., making good relation between God with human being and doing whole islamic teachings as future hope. Islamic education does not discuss about how the learner knows about islamic teachings, but it discusses about what has been known and realized by learner after learning. Learner hoped to be able to have strong desire and high commitment to realize and apply the islamic teachings as the creation of God.
I. Introduction The future of Islamic education is in our hand, because we are together as determiner of the future. Islamic education is apart of National Education. From now, we begin to put Islamic education to the exact direction with our hope as stated in five basic principles of Republic of Indonesia and constitution. To put Islamic Education for the future of people, we need to discuss a main topic or subject. The base of carrying out of Islamic education is derived from the five basic principles in one God AlMighty, the state guaranteed free for every inhabitant to embrace religion and worship according to her/his religion and belief. The commitment of people on the application of the content of the five basic principles is not suitable with the fact. It needs to be corrected.
~ 434 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 435
Appearance of multi dimension crisis is because of educational failure in the past and present period. One of the problems involved with the application of essential of education, more particularly in Islamic education. For example according to Tilaar, there are decreasing of learner character and moral value, opportunity of learning, and human resource which are not professional.1 Islamic education only emphasizes on memorization not practice. In reality, Islam has many values that should be practiced. Islamic education more emphasizes on formal relation between human and God. Full religious values experience does not get attention.2 Based on above explanation, there are problems in learning process. The problems will be explained as follows: Firstly, learning and evaluation process in education, more particularly, in Islamic education more emphasizes on limited instructional aspect, namely the content mastery. In other word, it more emphasizes on cognitive aspect. So, it ignores other important side, namely character building and forming of Islamic value that become main function and main objective of Islamic education. Secondly, class management is not able to create conducive situation to develop learner learning experience as foundation to develop intellectual capability. Learning process that has one direction and passive both in or out of classroom, it will not give outcome of meaningful learning experience in the process of character building and forming of learner behavior. It is important for us as teachers to develop learning models, more particularly in Islamic education to create the process of enjoyable learning. In teaching and learning Islamic subject, the teacher should allow the learners to learn with playing, asking, discussing, doing the meaningful something and motivating them to become learning activity to be enjoyable experience. Relation to this, Hutchinson and Walters (1994) said that learner wants to learn if learner sees learning as an enjoyable experience.3 If the learners are asked to answer the questions, discussion, or observation, learners brain will work better, so, the process of teaching and learning can be better too.4 If the teacher asks questions to the learners or order them to discuss the material which has just explained, it will be able to increase learners evaluation score significantly. Finally, carrying out of extra curriculum activity as an instrument of socio pedagogy through usefulness of hands on experience, it also has not been developed yet, so it cannot give meaningful 1 HAR, Tilaar, Managemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT. Rosdakarya), p.102 2 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi : Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004), p.78 3 Hutchinson & Walters, English for Specific Purpose, (Great Britain: Cambridge University Press, 1994), p. 225 4 Mel Silberman, Active Learning : 101 Strategies to Teach any Subject, (USA: Allyn and Bacon, 1996), p.1
436 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies contribution in balancing out between theoretical mastery with behavior construction, more particularly, it has relation with the life habit in Islamic environment. Based on above explanation indicates that is important if there are changes in learning of Islamic education to the new paradigm. The effort to build learner character, learner Islamic behavior, and moral value needed to educate the future of learner through Islamic teachings. Tilaar states that thefuture human is human who has “imtaq”, without having “imtaq”, human will fall into the intellectual arrogance.5 II. Discussion A. The Nature of Islamic Education Education is a process of preparing young people to live out and fulfill her/his destiny in a more effective and efficient.6 In this regard, Langgulung (1980:33) stated that understanding of Islamic education as a process of preparing the younger generation to fill the role, transfer the knowledge and Islamic values are aligned with function of man to do good in the world and reap benefits in the after life.7 In line with what was stated by Yusuf al-Qardhawi, that Islamic education is the education of the whole person, mind and heart, spiritual and physical, character and skill. Therefore, Islamic education is to prepare people for life in a state of either peace or war, and prepare to face the public will all the good and evil, sweet and bitter.8 Meanwhile al-Attas (1997) stated that the meaning of Islamic education consists of three terms, namely tarbiyah, ta’lim and ta’dib.9According to the Islamic context, the totality of the tree must be understood together. The third term implies profound concerning man’s relationship to society and the environment in relation to God are related to each other. Based on above explanation of the meaning of Islamic education is essentially the formation of the learners behavior changes which include the changes of cognitive, affective, and psychomotor aspects with moving and sinking the learners learning experience about beliefs, Islamic values and character. So that, after completing Islamic education,learners are expected to be able to practice and apply the teachings of Islam according to al-Qur’an and al-Hadits in real life. 5 HAR Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad ke 21, (Jakarta: Penerbit Tira Indonesia, 1998), p.85 6 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2012), p. 4 7 Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1980), p. 33 8 Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah, Hasan al-Banna, Terj. Prof. H.Bustomi A.Gani dan Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), p. 85 9 Sayyed Naquib, Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1997), p. 85
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 437
Meanwhile, the meaning of Islamic education according to Zakiyah Darajat is an effort to build and educate learner in order to be able to understand whole Islamic teachings. Learners have to comprehend fully of the aim of Islamic education and be able to apply the teachings of Islam and become Islamic religion as a way of life.10 The objective of Islamic education is to grow and increase human belief to God through giving knowledge, understanding fully, application of teachings of Islam until become a Moslem and be able to study at the higher education level.11 Based on above explanation, it can be summarized that commitment of people on the content of the aim of Islamic education is not suitable with the fact of human life. In reality, Islamic education has not given meaningful yet for development of learner behavior and a ware of meaning of life nature. Relation to this, Soedijarto stated that education is not able to develop religious Indonesian people, patriotic, and people who have noble character.12 Teaching and learning character building and Islamic value are not given in the form of exercises of experience to be a design of every day life. This condition resulted in education graduate had less sensitivity to build the bonds of friendship, tolerance and equality in the social life. B. New Paradigm of Islamic Education with Concentration on Learning Program Development The effort to form and change learner behavior, character building, and Islamic value needed to make socialization of new paradigm of Islamic education with concentration on learning program development with paying attention and applying of four learning principles. The four principles of learning as UNESCO showed are as follows: namely learning to know, learning to do, learning to live together and learning to be.13 Learning to know, is learning process that enables learner to master the way of knowledge inquiry as Philip Phoenix stated, learning to know is learning process to master ways of knowing or mode of inquiry Through learning to know, enables learner to continue to study and to be able to get new knowledge. In Scheffler language in Soedijarto, this principle basically has correlation with epistemology relevance that gives
10 Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: PT.Gunung Agung, 1987, p.7 11 Kurkulum Pendidikan Agama Islam, Tahun 2002 12 Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Transformasi Budaya yang Relevan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), p. 85 13 Jacques Delors, Education for the Twenty First Century, (France: UNESCO Publishing, 1998), p. 86
438 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies priority to the process of doing research.14 In whitehead language in Soedijarto, through learning to know, learner hoped to be human, as “the child should make them his own, and should understand their application here and now in the circumstances of his actual life” from the very beginning of his education, the child should have experience the joy of discovery.15 Learning to do, is learning to do something in concrete situation, it is not only limited to master mechanical skill, but it also hoped to master communication, work together with other people, management and problem solving. Through learning to do, means that learning is to develop thinking capability that is an active learning process. So that, learning that does not enable learner be able to learn actively and solve the problem that are not a quality learning process. Learning to do is not only meant as learning, involved learner psychomotorically, but it also as thinking activity and doing an imagination emotionally. Learning to live together, is supplying learner ability to live together with other people who has different faith with tolerance and mutual understanding without prejudice. Relation to this, the principle of social and moral relevance as Israel Scheffler stated, it is conducive, the principle needs to the learning situation inherently that consist of tolerance values, work together and thoughtful. Learning to be has three principles, namely, learning to know, learning to do, and learning to live together. Through this learning hoped to be able to create learner be able to look for information and find out knowledge that be able to solve problem, work together, thoughtful, and tolerance on the difference. If the three principles are success will grow the sense of self confidence for learner. So that, learner will become human who knows him/her self, human who has responsibility, emotional, intellectual, and human who has mutual empathy (emotional intelligence). In development of Islamic learning program refers to the instructional system. In planning of instructional system used the system approach, this approach consists of (1) determining what should be known by learner after learning; (2) the effort that there is relation between both components; and (3) doing empirical process and can be repeated.16 In system approach should be done by some steps, namely step of identification, step of development, and step of evaluation. In the step of identification consists of (a) identifying instructional need and formulating learning general objective; (b) doing instructional analysis; and (c) 14 Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa, (Jakarta: Penerbit CINAPS, 2002), p. 117 15 Soedijarto, Ibid, p. 118 16 Dick and Carey, The Systematic Design of Instructional, (USA: Hoper Collins, 1985), p. 105
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 439
identifying first ability and learner characteristic. In the step of development consist of (a) formulating specific learning objective; (b) composition of test; (c) choosing learning strategy; and (d) developing learning material. While in the step of evaluation consists of (a) planning formative test; (b) doing revise; (c) doing summative test. Usman stated that ability refers to an individual ability to do task in a work.17 Ability in generally believed refers to potential capacity or power to do something, physical or mental. A similar the definition of ability is also proposed by Semiawan, et.al (2002:11), that ability is capability to do an activity as result of heredity or learning.18 This definition is further supported by Ilzamudin that the ability constitutes capability of perform an activity as the result of heredity and training. 19 Ability is rational behavior to achieve the goal that should be suitable with hoped condition. Rational behavior is shape of person ability. It means a person who has ability in her/his field, it is recognized by “professional” terminology. Islamic professional teacher should have ability in giving motivation in order to the learner become happy in the classroom, so, this condition will build psychological condition of self confidence and self adequacy. Relation to this, Semiawan (2002:123) states that learner will become human who has responsibility in taking his decision.20 Smith (1986:12) states that there are four fields of teacher ability in order to be effective in achieving learning outcome, namely: (1) having knowledge of learning and human behavior; (2) showing attitude that will push learning and having good relation with people; (3) mastering knowledge of learning material that will be taught; and (4) mastering the teaching skill that will make easy for learner.21 While the professional ability that should be owned by teacher consists of (1) mastering the material; (2) managing the program of teaching and learning; (3) managing the classroom; (4) applying media as source of learning; 5) mastering education bases; 6) managing the interaction of teaching and learning; (7) evaluating learning achievement for teaching need; (8) recognizing and carrying out of school
17 Usman &Lilis, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Rosda Karya, 1993), p. 82 18 Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam Tahap Usia Dini, (Jakarta: PT.Prenhallindo, 2002), p. 11 19 Ilzamudin Ma’mur, The Ability to Translate Informative Text From Indonesian into English (Dissertation Synopsis), (Jakarta: State University of Jakarta, 208), p.7 20 Semiawan, Opcit, p. 123 21 Smith, BO, Classroom Teaching Skills, (Boston: D.C. Health and Company, 1986), p. 12
440 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies administration; and (9) understanding principles of educational research product.22 Ideally, a professional teacher is a person who is able to demonstrate its accountable in implementing the service in total, because a professional teacher will be rewarded equal. A professional teacher has a personal accountability of social, intellectual, moral, and spiritually. The accountability of an independent person be able to understand, control, respect, and develop themselves. According to the law, No. 14/2005 on teachers and lecturers of article 1, paragraph 1, states that teachers are professional educators with the primary task of educating, teaching, guiding, directing, coaching, assessing, and evaluating students on early childhood education, primary education, formal education and secondary education. Some criteria for a professional teacher mandated by the law are as follows: (1) having the talent, interest, call the soul, and idealism; (2) having commitment to improve educational quality of faith, piety and noble character; (3) having academic qualifications and educational background in accordance with its assignment; and (4) having the competence. Competencies that must be owned by a professional teacher according to ministerial regulation of National education. Number 16, 2007 are as follows:23 1. Pedagogy competence is the ability to manage learners included an understanding of learners, planning and implementation of learning outcomes. 2. Social competence is the social ability reacted because the teacher is as a member of the community, then the teacher has to be able to communicate and interact effectively with students, parents, and surrounding community. 3. Personality competence is the ability of good personality, stable, adult, wise and become good model for learners. 4. Professional competence, is a mastery of material widely, deeply, and allow guiding learners meet the competency standards set out in the national education standards. The scope of professional competence will be explained as follows: (1) understand and be able to implement good educational grounding philosophy, psychology, and sociology; (2) understand and be able to handle and develop the flied of study to its responsibilities; (3) understand and be able to apply a variety of learning methods; (4) understand and be able to develop and use a variety of tools, media, and learning resources; (5) understand and be able to organize and implement the learning 22 Wijaya & Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Kaya, 1991), p. 24-30 23 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, (Jakarta: Mendiknas, 2007). P.2
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 441
program; (6) understand and be able to carry out evaluation of students learning outcomes; and (7) understand and be able to develop personality of students. In Islamic teaching and learning, it will be better if teacher uses learning strategy/approach. Dick and Carey (1985) stated that learning strategy explains general components of the set of instructional material and procedures that will be used with materials together to produce certain learning outcome for learner.24 He stated that there are five general components in instructional strategy as follows: (1) pre-instructional activity; (2) information explanation; (3) learner participation; (4) test; (5) follow up. While Gagne ad Briggs 1989) named with a set of instructional activity, namely: (1)giving motivation; 2) mention instructional objective to the learner; (3) memorizing pre-requisite competence; (4) giving stimulus; (5) giving learning method (how to learn); (6) growing learner performance; (7) giving feed back; (8) evaluating performance; and (9) concluding. C. The Application of Contextual Teaching and Learning Approach The application in the classroom, Islamic subjects have important role in applying of contextual teaching and learning. Contextual Teaching and Learning (CTL) is a concept that helps teachers relate subject matter to real world situation.25 While Bearns and Erickson give definition of contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teacher relates subject matter content to real world situations, and motivates students to make connection between knowledge and its application to their lives as family members citizens and work that leaving requires.26Relation to this, Johnson gives the meaning of Contextual teaching and learning is holistic system that helps students see meaning in the academic material, they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives.27 Contextual teaching and learning basically can be concluded into three words, namely meaning, having meaning, and meaningfulness. Johnson proposed that every material has quality meaning. The quality meaning is contextual meaning, i.e., by relation to the material with the learner social
Dick and Carey, Op Cit, p. 106 Susan, Sears, Contextual Teaching and Learning. A primer for Effective Instruction, (USA: Phidelta Kappa Educational Foundation Bloomington, Indiana, 2002), p. 5 26 Robert, G. Bearns and Erickson, Patricia M., Contextual Teaching and Learning : Preparing Students for The New Economy, (New Jersey: Prentice Hall, 2001), p. 9 27 Johnson, Donna Elaine, Contextual Teaching and Learning, (Thousand Oaks California: Corwin Press, 2002), p. 3 24 25
442 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies environment.28 There are seven principles of contextual teaching and learning that is important to be applied by Islamic teacher.29 1. Constructivism Constructivism is philosophy thinking based on contextual teaching and learning, i.e., that knowledge built by human being little by little, its result expanded through limited context and it is not incidentally. Knowledge is not a set of fact, concept, or norm that is ready to be taken and memorized. Human has to construct the knowledge and to give meaningful through real experience. Learner needs to be accustomed to solve problem, to find out useful something for her/him self, and wrestle with ideas. Facilitator is not able to give all of knowledge for learner. Learner has to construct knowledge in her/his thought. The Essential and theoretical constructivism is idea that learner has to find out and transform complex information into other situation, and if it is desired, the information becomes her/his own. With the base, learning has to be packed to become process of ‘constructing’ not receiving of knowledge. In the process of learning, learner builds her/his knowledge actively in the process of teaching and learning. Learner becomes activity center, not facilitator becomes activity center. Constructivism thinking base differs from the view of objectivism, it emphasizes on learning outcome. In the view of constructivism, the strategy gets more comparing than the learner memorizes the knowledge. In this case, the task of facilitator is facility of above process as follows: 1) Becoming knowledge has meaningful and relevant for learner, 2) giving opportunity for learner to find out and apply her/his idea, and (3) a ware of learner in order to apply her/his strategy in learning, knowledge grows up through experience. Understanding will develop deeply and strongly if it is always tested with new experience. 2. Inquiry Inquiry is main part of contextual teaching and learning. Knowledge and skill that found by learner are not only as memorization product of set of fact, but they are also as the product of her/his inquiry. Facilitator has to always control activity that refers to the inquiry activity about material has been taught. The inquiry cycles consist of (1) observation; (2) questioning; (3) hypothesis (4) data gathering, and conclusion. While the steps of inquiry consist of (1) formulating of problem; (2) doing observation; (3) analyzing, and explaining the product in writing, picture, report, draft, table and other works; (4) communicating or presenting of result of work for reader, colleague friends, facilitator, or other audience. 28 29
Johnson, Ibid, p.3 Depdiknas, Ditjen DikDasmen, 2003, p. 12-20
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 443
3. Questioning Knowledge that owned by a person always begins from ‘questioning’. Questioning is main strategy in contextual teaching and learning. Questioning in learning is considered as facilitator activity to push, to guide and to evaluate the learner thinking ability. For learner, questioning activity is important part in inquiry based learning, i.e., digging of information, conforming what has been known, and paying attention to the unknown aspect. In productive learning, questioning activity has useful to: (1) dig information; both administration or academic; (2) check learner comprehension; (3) raise learner response; (4) know the knowlegde that has been known by learner; (5) focus on learner attention at something that facilitator desired; (6) raise many questions from learner; and (7) to refresh the learner knowledge. 4. Learning Community The concept of learning community advices in order to the learning outcome found from together work with other person. When a child begins to learn to sharpen a pencil from electronic shaped, she/he asks for her/his friend “How is the way? Help me”/ then her/his friend shows the way to use the tool. So, the two children have formed learning community. Learning outcome found from “sharing” between friend, group, between known and unknown. In this room, class, environment, and also persons who are outside, all are the members of learning community. “Learning Community” can occur if there is a process of two communication directions. A facilitator teaches her/his learner “is not the example of learning community because communication occurs only one direction, i.e., information comes from learner not from facilitator. In learning community, two or more groups involved in learning community occurs mutual learning. A person who involved in learning community activity gives information that needed by her/his speaking friend and also asks for information that needed from her/his learning friend. The activity of mutual learning can occur if there is no dominant outsider in communication, there is no outsider who has respect to ask, there is no outsider who feels having more knowledge, all of outsiders want to be mutual listening. Every outsider has to feel that every other person has knowledge, experience, or different skill needed to be learned. If every person wants to learn from other person, so every other person can be learning source, and it has meaningful for every person who has rich knowledge and experience. Learning method with technique of “learning community” can help the process of learning in
444 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies the classroom. The techniques will be explained as follows: 1) forming small group; (2) forming big group; (3) call for the expert to the class; (4) working with level class, (5) group working with high class; and (6) working with community. 5. Modeling Learning of certain skill or knowledge, there is a model can be imitated. The model can be a way to operate something, the way to make a territory budged estimate, and the way to solve social conflict. A part of facilitator gives example about the way of working, before learner does task. For example, the way of finding out of key word of reading. In learning, facilitator demonstrates the way of inquiry of key word in reading text rapidly with using of eyes movement. When facilitator demonstrates the way of reading rapidly, learner watches facilitator who is reading and opening the text. Facilitator eyes movement in reading text becomes main attention for learner, with the example, learner knows how is effective eyes movement in scanning reading. The key word found by facilitator explained to the learner as outcome of learning activity to find out key word rapidly, this activity is called modeling. It means, there is a model can be imitated and watched by learner, before learner practice to find out key word. In the case, facilitator becomes a model. 6. Reflection Reflection is also an important part of contextual teaching and learning. Reflection is the way of thinking about what has been learned or thought, what has been done in last time. Learner placed what has been learnt by her/himself as structure of new knowledge. Reflection is response on event, activity, or new knowledge has been received. For example, the learning ending, learner thinks that if I do like this, the way to put file is wrong, I should put it by using new way that has been learnt, then my computer file has good arrangement. 7. Authentic Assessment Assessment is a process of data collection can be given the description about learner learning development. The description about learner learning development needs to be known by facilitator. In order to be able to confirm if there is progressive. Learning progressive is needed in learning process, so assessment does not do in the end of learning, but it separates and integrates from learning activity. The data has been collected through assessment, it is not data to look for information about learner learning. The correct learning should be emphasized on the effort of helping learner/learning how to learn, it is not emphasized on getting of many information in the end of learning.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 445
Assessment emphasizes on learning process so the data has been collected should be got out of real activity is done by learner at the moment of learning process. Learning progressive is evaluated from process not from outcome. The characteristics of authentic assessment consists of: (1) assessment is carried out of process and after learning process takes place; (2) assessment can be used for formative and summative test; (3) assessment measures performance and skill, it doesnot memorize the fact; (4) persistence; (5) integrated; and (6) assessment can be used as feedback.30 The elements can be used as basic to evaluate learner achievement consist of: project (student report), homework, quiz, student work, and presentation. Based on above explanation; Islamic education should be begun to be educational program which has harmony relation between approach of content-related, processed and value based, it means, it minimizes didactic transmission modus and optimalizes the application of participative and interactive principle. To facility the paradigmatic change from minimal category to the modern category needed some elements, like curriculum of character-building base which has orientation to develop intelligence, participation, and responsibility in the context of student Islamic life. III. Closing Learning system has to be planned systematically and has to refer to the learning components that have oriented to the new paradigm of Islamic education. Relation to this, Islamic education may not be confused, teaching and learning approach that planned and applied is an approach that is able to grow learner reasoning power, creativity, imagination, and intelligence (multiple intelligence). So that, learner will be able to have sensitivity on social environment where they live. The approach that needs to be got attention and to be applied is contextual teaching and learning approach. Through contextual teaching and learning approach be able to direct to the Islamic teaching and learning process as a tool for growing good learner behavior, character building and moral values that will be responsibility human, emotional, intellectual, and human who has mutual empathy (emotional intelligence) and culture in developing learner potency in applying of Islamic educational function, namely making relation between God with human being and doing whole Islamic teachings as future hope. 30 Johnson, Donna Elaine, Contextual Teaching and Learning, (California: Corwin Press, 2002), p. 98
446 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Islamic education does not discuss about ‘how the learner knows’ about Islamic teachings, but discuss about what has been known and realized by learner after learning. Besides that, learner also be able to have strong desire and high commitment to realize and apply the Islamic teachings as the creation of God. BIBLIOGRAPHY Al-Attas, Sayyed Naquib. 1977. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III. Jakarta: Penerbit Kencana Bearns Rabert G & Patricia, Erickson. 2001. Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for the New Economy. New Jersey: Prentice Hall Dick, Walter & Carey, Low. 1990. The Systematic Design of Instructional. USA: Hoper Collins Hutchison & Walters. 1994. English for Specific Purpose. Great Britain: Cambridge University Press Johnson, Donna Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press Langgulung, Hassan. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Maarif Majid, Abdul & Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Krikulum 2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ma’mur, Ilzamudin. 2008. The Ability to Translate Informative Text From Indonesian into English (Dissertation Synopsis), Jakarta: State University of Jakarta Semiawan, Conny, R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini. Jakarta: PT. Prenhallindo Silberman, Mel.Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. USA: Allin & Bacon Soedijanto. 2003. Pendidikan Nasional sebagai Transformasi Budaya yang Relevan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka ________. 2002. Pendidikan Nasional sebagai Wahana untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa. Jakarta: Penerbit CINAPS
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 447
Smith, B.O. 1986. Classroom Teaching Skills. Boston: D.C. Health and Company Susan, Sears. 2002. Contextual Teaching and Learning: A Primer for Effective Instruction. USA: Phidelta Kappa Educational Foundation Bloomington, Indiana Qardhawi, Yusuf al. 1991. Pendidikan Islam dan Madrasah Hassan Al-Banna, Terj. Prof H. Bustami, A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang Tillar, HAR. 1995. Managemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya _________. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad Ke 21. Jakarta: Penerbit Tira Indonesia Usman, Moh. Uzer & Lilis Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: PT. Rosda Karya. Wijaya, Cece & A. Tabrawi Rusyan. 1991. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Zakiyah, Darajat. 1987. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Tahun 2002 Depdiknas, Ditjen, Dikdasmen, 2003 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Mendiknas, 2007
CHARACTER AND MORAL EDUCATION BASED PSYCHOLOGY OF RELIGION IN ISLAMIC RELIGIOUS EDUCATION (Case Study In Secondary School Dlingo 2 Bantul Yogyakarta And State Islamic Institute of Raden Patah Palembang) Isep Ali Sandi1; Rohmalina Wahab2 Abstract: Islamic religious education over the years, always requires students to learn a lot of knowledge about the cognitive basis of religion, so that the quality of graduates over tends weak in terms of affective and psychomotor. For those reasons, the paradigm shift in the learning process needs to be done with a variety of approaches, one of which is the cultivation of the values and moral character based on the psychology of religion. Development of this model of learning, is a concrete effort to address the challenges of globalization and technological advances that greatly simplify the learners to access a variety of information on his life skills. Development of a learning model based on the psychology of religion to promote moral values and character is nothing new in the system of learning that takes place in Indonesia. So for that, this model of learning, can be a solution for educational institutions to inculcate habituation-habituation for learners that have good character values in life and understand the moral values of the religion as a way of everyday life. Research conducted by the authors, with the title character and moral education based on the psychology of religion in Islamic religious education, research methods, descriptive qualitative analysis, using the techniques of interview and observation research as a primary ingredient. As for the secondary materials are journals, books, and any records that support the research conducted. So that the research process is done by studying various scientific approaches developed in the learning process. The results obtained from this study, including: 1. Education learning model based on the psychology of religion is a new learning model, the integration program of education to the affective and cognitive psikomorik. 2. This learning model has been able to contribute for learners to perform habituation habituation-positive character values and religious morality boost. 3. Psychology of religion-based learning to support students to develop a good personality to benefit the surrounding community. Keywords: Character, Moral, Education, Psychology of Religion, Islamic Education 1 Assistant Lecturer at Islamic Collage School of Al-Masudiyah Sukabumi. E-mail:
[email protected] / +62 816 46920930 2 Lecturer at Institute Islamic Religious State (IAIN) of Raden Fatah Palembang.
~ 448 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 449
A. INTRODUCTION Religious education is one important aspect that needs to be taught to students in schools. No wonder if these subjects were then given since I was in elementary school until high school graduation. From there, students are expected to master, understand and can implement diversity of life harmonious, dynamic, prosperous, and peaceful. Skills such as reading, listening, writing, speaking, and moral behavior so as to form a good character. Then when the Junior High and High School and college, students also began to be introduced to the world the values of solidarity, tolerance, mutual respect, and strengthen the religious faith of each according to his belief. The main focus of religious education focused on beliefs, attitudes, moral and religious ceremonial ritual forms that exist. Logically, they have 12 years experience of teaching and learning in schools. During that study subjects were never absent accompany them. as it is known, that education is essentially a conscious and deliberate activity full responsibility of adults to children is done so that the resulting interaction of the two so that the child reaches adulthood he aspired sustainable conducted gradually in all environments co-exist (home household, school, community) social element is the individual aspect of human nature that existed since the birth. Langeveld said "every child born in blessed with sociality potential or ability to get along, communicate with each other which in essence is the element of mutual giving and receiving.3 Social activity is reflected in daily life, when there is social interaction between the individuals with each other or with a group of individuals, as well as between groups. This interaction in the interplay existing linkages4. Therefore, the role of the Qur'an in Islamic education as a branch of science assessment against all sources of human knowledge need to be discussed, studied and developed holistically, especially with the approach of psychology because in this way we will be able to create a new energy in building a civilization which has a strong component of both the ideological and discourse. During this time, the condition of primary education, secondary, and higher education in Indonesia, especially in junior high school 2 Dlingo Bantul Yogyakarta, and the State Islamic Institute Raden Patah Palembang, still experiencing problems related to cultivation of the values of habituation to behave in accordance with the teachings of the religion taught the religion of Islam. For that research conducted by the two researchers to analyze phenomena which take place in the education system. Thus able to take 3 Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan [Edisi Revisi], (Rineka Cipta, Jakarta, 2005), pp 18. 4 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), pp 13
450 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies more concrete recommendations applicable to the implementation of the learning process that takes place, so the researchers in this study to formulate the problem with the title character and moral education based on the psychology of religion in Islamic religious education is carried out in Junior High School 2 Dlingo Bantul Yogyakarta, and the State Islamic Institute Raden Patah Palembang. B. FORMULATION RESEARCH As for the assessment and formulation of the research in this study are: 1. What is the character and moral education based on the psychology of religion in Islamic religious education? 2. How the role of moral education and character-based psychology of religion in Islamic religious education to improve the quality of student habituation? 3. What are the benefits of character education and moral psychologybased religion in Islamic religious education for students and the surrounding community? C. METHODOLOGY RESEARCH FRAMEWORK Research conducted by the authors, with the title character and moral education based on the psychology of religion in Islamic religious education, research methods, descriptive qualitative analysis, using the techniques of interview and observation research as a primary ingredient. As for the secondary materials are reviewing books, journals, opinions newspapers, magazines, any records that support the research and interviews relating to the problems. Besides, the data was also obtained by taking other sources that if it can support in this study. So that the research process is done by studying various scientific approaches developed in the learning process. D. REVIEW OF LITERATURE 1. Education Developing lesson plans of human is a challenging task. This activity is challenging teachers to incorporate educational tools that are standard with the application of the concepts of human development in practice, and provides a new dimension in discussing subjects-subjects in the school curriculum.5 There are two factors that affect the quality of education, especially in Indonesia, namely:
5 Pusat Kurikulum Depdiknas, Rencana Pelajaran Hak Asasi Manusia untuk SekolahSekolah Asia Tenggara, (Jakarta: PT Kreasindo Utama, 2004),pp,37.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 451
a. Internal factors, including the ranks of the world's educational department of Education, Department of Education district, and also schools that are in line depan.Dalam this case, the interference from related parties is needed for education always is always maintained. b. External factors, is a society in general. Where, public education is an icon and is the aim of the education is as an object of study.6 Human of education can simply be defined as educating each individual to be able to fight for their rights as well as to be able to respect the rights of others. The individual is expected to build a 'human rights culture' and concerned with social development, culture, politics and society, as well as directing the development is in the direction of justice. Then, referring to critical pedagogy, educational or learning goals of human rights is the social transformation of both the individual and group level. Transformation encompasses changes in aspects of (1) knowledge (knowledge) (2) skills (skills) (3) attitude (attitude) (4) perspective (perspective), and (5) self-awareness (self-awareness). Then, in an educational / learning human rights, values and underlying principles are: equality (equality), justice (justice), freedom (freedom), human dignity (dignity), universality (Universality), inalienability (non-excludability) , indivisibility (inseparable) and non-discrimination (non-discriminative).7 2. Character Education Kusuma Argues that "The character means a person who has the character, personality, character, or morals. With such a significant meaning identical character with a personality or character. Personality is a trait or characteristic or characteristics of a person who comes from formations received from the environment, such as family in childhood, as well as innate. "8 The Marzuki, M. Murdiono, and Samsuri argued that “Character is identical to the character, so the character of the values of universal human behavior that covers all human activities, both in order to relate with God, with himself, with others, as well as with the environment, which manifests itself in the mind , attitudes, feelings, words, and actions based on religious norms, laws, manners,
6 http://dqromario.blogspot.com/2012/03/makalah-hak-asasi-manusia.html accessible pada 11 November 2012. 7http://herususetyo.multiply.com/journal/item/6/PENDIDIKAN-BERBASISHAK-ASASI-MANUSIA-?&show-interstitial-1&u-%2Fjournal%2Fitem accessible pada 11 November 2012. 8 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, Cet. I, 2007, p 80.
452 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies culture, and customs. character concept comes from the concept of character education (character education).”9 Therefore, do not just teach character education where is right and what is wrong to the child, but more than that character education inculcate the habit (habituation) of the well so that students understand, able to feel, and want to do good. character education is a mission similar to moral education or moral education.10 In addition, James Julian M and John Alfred states that "a key aspect of human character simply refers to a kind of intrinsic qualities of honesty, kindness, calmness, loyalty, industry (in the form of willingness to work hard, active and continuous) integrity, and like ".11 Although it is still in them some negative elements. So instead the authors argue that character education is a process undertaken to establish the personality of students to print out certain behaviors to the expectations of educational goals that each learner has a formed habits become ingrained behavior in life. Terminology character education began to be introduced since the 1900's. Thomas Lickona considered who carried, he western world aware of the importance of character education. According to character education, Ryan and Bohlin, contains three main elements, namely knowing the good (knowing the good), loving kindness (loving the good), and do good (doing the good).12 3. Religious Education In Rebublik Indonesian Government Regulation No. 55 of 2007 concerning religious education and religious education religious education in Article 1 stated as follows: Religious education is education that provides the knowledge and shape attitudes, personality, and skills of learners in the practice of their religion, which held at least through the subjects / courses in all lines, levels and types of education.13 The purpose of conducting religious education explained that. “Religious education aims to develop the capacity of students to 9 http://www.google.co.id/ pendidikan-karakter-agama. http://staff.uny.ac.id./penelitian-Marzuki-Dr.--M.Ag./Pembinaan--Karakter--SiswaBerbasis--Pendidikan--Agama-di--Sekolah--Dasar--dan--Sekolah--Menengah--Pertama-di-Daerah.pdf. download until 22 Oktober 2012 10 Ibid, 2. 11 James Julian M and Jhon Alfred, The Accelerated Learning for Personality: The Way to Self Actualization, Source Book, 2007, p 115. 12 Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991, p 51 13 Rebublik Indonesian Government Regulation No. 55 of 2007.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 453
understand, appreciate, and practice the religious values that harmonize mastery in science, technology and art.”14 Because today's moral development and behavior was determined by the rest of his life and will be greatly influenced by the educational process experienced by a person. In connection with the issue, according Koentjaraningrat institution paced, self-powered or contain social norms and regulate any behavior organized citizens. One of the many social institutions that are religious institutions. Religion as social institutions play a very important role in influencing the behavior of its adherents in their daily lives.15 Therefore, Risnawaty explains and confirms when the inaugural professor who bears the moral decay that has occurred is happening at the top, middle, down to the lower strata of society. The decline can be observed from the media reports, among others: a. human arbitrariness (eg through the use of large industrial machines) to the environment,16 b. the rising divorce rates, c. fighting spirit of young people are getting lost and a tendency to the bandwagon lifestyle and the pleasure without having to think about yesterday and tomorrow, d. teen crime rate increased, e. tendency to fad and freedom even sex trade that runs along the anesthetic drug and HIV infected, f. corruption are paralyzing the increasingly prevalent even become a way of life, g. Moral decay also lead to problems-economic-political-legal (on the one hand the economic and moral crisis, the monetary result, but on the other hand is a moral crisis is one factor contributing to the economic and monetary)17 So to that religious education is necessary to be carried out in accordance with aspired in eraser religious groups and development programs that have been designed and built continues at both the micro (village) and the macro-scale (international).
Ibid. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1979; bnd. Herwanto Aryo Manggolo, “Pranata Sosial”, dalam J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, p. 215-226 16 N.Daldjoeni, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Bandung, Penerbit Alumni, 1989, p. 3-38. 17 Risnawaty Sinnulingga, Pendidikan Agama Pada Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Masalah Etis dan Moral di Era Global dan Teknik Informasi, USU, 2008, p 10. You can visit and download at http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_Risnawati.pdf. 14 15
454 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies E. CONDITIONS OF THE STUDY 1. Secondary School Dlingo 2 Bantul Yogyakarta Yogyakarta is located in the south-central part of the island of Java, is geographically located at 7o3'-8o12 'south latitude and 110o00'-110o50' east longitude. Yogyakarta as an object of research, education, and tourism.18 Special Region of Yogyakarta Special Region level are the provinces in Indonesia which is a fusion of the Sultanate of Yogyakarta State and Country Duchy Paku Alaman. Yogyakarta Special Region is located in the south central part of Java Island and bordering Central Java province and the Indian Ocean. Special Region which has an area of 3185.80 km2 consists of one city and four counties, which are subdivided into 78 districts and 438 villages / wards. According to the 2010 population census had a population of 3,452,390 inhabitants with the proportion of 1,705,404 men and 1,746,986 women, and has a population density of 1,084 people per km219. SMP Negeri 2 Dlingo established since 1999 under the name Preparation Dlingo SMP. This school is a continuation of the establishment SMPN1 Dlingo to answer a number of community needs for basic education for local people Mangunan Village, the Village and Village Eggplant muntuk for easier access to quality education and better. Therefore, if only relying SMPN1 Dlingo having considerable distance certainly less effective and efficient for both educators and learners. SMP Negeri 2 Dlingo Kanigoro addressed in Dusun, Village Mangunan, Dlingo District, Bantul Regency of Yogyakarta Special Province or at the East Imogiri Dlingo Road. Currently the school has a land area of 4,000 m2 and a building area of 949 m2 has as many as 133 students with 74 students and 59 classification of students spread across as many as 41 people class VII, class VIII as many as 42 people and as many as 53 people class IX. Schools are listed in Bantul District Education Office and the national with NPSN 20400358, now led by Drs. SOKIRAN, M. Pd as Principal. With the number of teacher educators or as many as 36 people in accordance with and subject area competence. SMP 2 Dlingo even this was often students get award from the championships he participated in both the sub-district, district, provincial and national level, which is proof that this school has a qualified educational qualifications and are able to meet their needs20. The 18 RPJMD 2009-2013 Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta Special Region gubernatorial No. 11 of 2009) and the description of the Sultan in front of the House of Representatives Commission II at the moment bill Privileges DIY RDP, can be seen in http://id.wikipedia.org/wiki/ Daerah_Istimewa_Yogyakarta. 19 ILPPD provincial government of Yogyakarta in 2010, or can be viewed on the website or in http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta http://www.jogjaprov.go.id/ 20 According to interviews with the Administration SMP 2 Dlingo on May 1, 2013 and access http://refsp.data.kemdikbud.go.id/ref_data/tabs.php?npsn=20400358 accessed
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 455
majority of graduates from Junior High School 2 Dlingo Bantul are continuing their education to a higher level that is high school around Yogyakarta Special Region. So outpun education of SMP 2 Dlingo be said to be very competitive and constantly strive to advance the region, especially in Sub Dlingo as having the potential of diversity ranging from craft or handy scraf, forest waste processing, tourism and agriculture. 2. State Islamic Institute of Raden Patah Palembang Palembang is the capital city of South Sumatra province. Palembang is the second-largest city in Sumatra after Medan. Palembang city has an area of 358.55 km ² which is inhabited by 1.7 million people with a density of 4,800 inhabitants per km ². This city will be under consideration will be the capital of Indonesia. Predicted in 2030 this city will be inhabited by 2.5 million people. History of Palembang which was once the capital of the Buddhist kingdom of maritime Southeast Asia's largest at the time, the kingdom of Srivijaya, which dominates the archipelago and the Malay Peninsula in the 9th century also made the city known as the "Earth Sriwijaya". Based on the inscriptions found in Bukit Kedukan Siguntang Hill west of Palembang, which states that the establishment of a Wanua interpreted as a city on June 16, 682 AD, making it the oldest city of Palembang in Indonesia. In the Western world, the city of Palembang also nicknamed Venice of the East (the "Venice of the East")21. State Islamic Institute ( IAIN ) Raden Fatah Palembang was inaugurated on 13 November 1964. in the House of Representatives of South Sumatra Province . By the Decree of the Minister of Religious Affairs No. 7 of 1964 dated October 22, 1964 . Origin - the origin of IAIN Raden Fatah establishment is closely related to the existence of the institution the Islamic religious institutions of higher education that is in South Sumatera with IAIN Sunan Kalidjaga in Yogyakarta and IAIN Syarif Hidayatullah in Jakarta . IAIN forerunner was originally conceived by three scholars , the CRC Rashid prints , K.H. Husin Abdul Mu'in and K.H. Adim Siddik at se Indonesian Ulama conference took place in Palembang in 1957. The idea gained widespread acclaim from both the government and the congress participants . On the last day of the conference , dated 11 September 1957 was the inauguration of the establishment of the Faculty of Islamic Law and Society , chaired by knowledge KH A. Muchtar Sindang Effendi Gani as Secretary . A year later formed the Islamic Foundation of Higher Education South Sumatra ( No. Notary . 49 Date July 16, 1958 ) is
on May 21, 2013. and http://lpmpjogja.org/map/gk.php?run=detail&kab=BANTUL&id=821 accessed on May 21, 2013. 21 http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palembang
456 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies commite / officer consisting of Government officials , scholars and public figures22. . F. ANALYSIS OF THE RESEARCH RESULTS 1. The Results of Interviews a. Junior High School 2 Dlingo Bantul Yogyakarta The learning process is a communicative process . Therefore , in order that the communication process can run smoothly , it is necessary to have the right way to convey the material in the learning process . Way in question is the method used by teachers . Because, basically, methods and materials have a very close relationship . As a matter or content of the message to be delivered and the method is a means of delivering the material . Method can be interpreted as a way of learning that is used in establishing relations with learners during the learning process23. Based on the results of in-depth interviews to the two teachers who administer Islamic Education subject Mr Nur Sugianto, S.Ag and observations during the study obtained information that the learning methods used in the PAI in SMP N 2 Dlingo generate the data as follow: 1. Method of lectures 2. Method of debriefing 3. Method of assignment 4. Method of exemplary 5. Method of drill 6. Methods story 7. Method of demonstration In the face of a diversity of students teachers select appropriate teaching methods in the learning process according the following24: a. Method is adapted to the learning materials to be delivered . b. The method is adapted to the learning objectives to be achieved . c. Methods and means adapted to existing facilities . d. The method according to the conditions of students , both quality and quantity . Based on these considerations considerations teachers have chosen the method to be used . 1. Method of lectures Lecture method is illumination and narrative orally by the teacher in the classroom25. This method is widely used and most http://radenfatah.ac.id/statis-2-sejarah.html Ramayulis, Metode Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam mulia, 2005), Hal. 3 24 Results interview on May 6, 2013 25 Ramayulis, Metode Pendidikan...., hal. 233. 22 23
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 457
frequently used in learning PAI . The reason for choosing this method is the easiest as well as penggunakannya according to the learning situation PAI in SMP N 2 Dlingo As described by Mr. Nur Sugianto26: lecture method is a method frequently used in learning , because the students in SMP N 2 Dlingo largely do not have textbooks , because most of its students from the middle class down . So that the lecture method most used in learning " Method use of lectures in the classroom when the teacher opened the travel lessons to repeat the material being studied . In the next stage the teacher will explain the material to be presented to the student with this method . In observational research , the use of this method is the right method to deliver material that is not known in detail students' students , in addition to the teacher uses speech to convey information . 2. Method of debriefing Question and answer method is the message penyapaian learning by asking questions and students give answers , or vice versa , and students are given the opportunity to ask the teacher to give an answer . With this method of questioning the courage to train students and keep ongoing educational interaction . Application of the method implemented teacher questioning when opening lesson , lessons , and when closing the core subjects . At the time of opening the lesson the teacher asked the students have learned about meteri or material will be studied . While the mid- teacher learning lessons allow students ask clarity material being submitted by teachers . Manun fact students in SMP N 2 Dlingo less active in a question -and-answer in class . 3. Method of assignment PAI teacher assignment method is called as a method of homework, because students are given special assignments outside of instructional hours . This method is done so that the knowledge which a student to be more active in learning the lessons that have been learned previously . As well as providing the questions that should be done or make a summary of the material students have learned. 4 ) Methods Practice Method is practice one of the methods that teachers and students to engage in activities that exist in the lesson . Like the 26
The interview with the MR Nur Sugianto, as teachers PAI on May 6, 2013.
458 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies example of the material alms . Teachers encourage students to set aside snack to give to the poor and to social funds are given to students who are stricken. As has been describe by cpc . Nur Sugianto: the material directly alms students are invited to practice every Friday at the request of students set aside allowance 500 dollars to give to the poor , but lately this activity due to less walking alone buy their textbooks there are some students who find it difficult " . 5. Exemplary Method There are two kinds of teachers implemented exemplary PAI namely : a) Intentionally do to consciously imitated by learners b) b ) Behave in accordance with the values and norms that will be embedded on the learner so accidentally perseta a role model for students and other teachers . In this case the teacher PAI always show discipline and good morals . Then he uses clothes neatly and behave in accordance with Islamic law . in providing the materials he looks forward to the many learners who are loath to look at him . 6. Methods story Method is to take a lesson or story i'tibar through real stories that exist . In this case an- nahlawi said : "by taking lessons or i'tibar through these stories will foster Islamic morals and feelings of self- divinity on students". This narrative method often used by teachers SMP N 2 Dlingo , to clarify certain material . This method is used to intersperse teacher lecturing while students are getting bored , the students sometimes are asked to talk to his teacher . And enthusiastic students and a passion for listening to stories or stories that have been presented by the teacher. Similarly, a number of methods used in conducting PAI teacher learning . So that students are not bored and fed up with the method varies. The difficulties faced by teachers are as follows : 1. Inventory textbooks and supporting materials are very limited . 2. The ability of students with other students of different 3. There are some girls who drop out of school half way through because the parents want their children to get married . 4. There are still many found the students who have not been perfect in praying five times .
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 459
b. State Islamic Institute Raden Patah Palembang Research conducted with respondents at the State Islamic Institute Raden Patah Palembang conducted on 20 final-year students, said they generally tell you that to this day have never heard of the psychology of religion-based learning program. For those reasons, researchers provide an overview of related education and moral character based on the psychology of religion in Islamic religious education to the students in order to improve the quality of habituation has perlalu good, high moral religion with a number of instruments that have been made. Given this study using random sampling approach to psychology, then the ability of respondents menjaadi pendalam very important in the assessment of respondents' expectations and role in the psychology of religion-based education programs, especially with regard to penenaman values and moral character of religion. For each respondent was given a questionnaire also not shown in this study, because given the method of writing for this paper uses a qualitative analysis of the data, as for the purpose of research is to facilitate the use of questionnaires measuring related curiosity and critical view of whether or not the character education and religion-based moral psychology religion of Islam. But to give you an idea on the related answers uttered by the respondent, to get answers directly or interviews, conducted for 30 days in a row, from the month of May 15, 2013 until June 14, 2013, as follows: "The phenomenon of anarchism which frequently appears on television, the number of students who lack respect for older people within the community, and the number of fights and violence as clashes between students into the problems faced by educational institutions today. To that end, offer educational programs based on the psychology of religion became part alternative scoring students who have a strong national character and inculcate moral values of religion are high so as to improve the quality of education that have experienced social degradation"27. The conclusion of an answer, the researchers also quoted one respondent Arif28 which states that: "The conduct of religion for students to be part of a much-needed, so that the process needs to be done with a special program that can instill moral values because I observed during this study for Islamic religious education is still
27 Interviews were conducted with students in the classroom / campus State Islamic Institute Raden Patah Palembang is made directly to the 20 respondents who performed for 2 hours starting from May 15, 2013, until June 14, 2013. 28 Students of State Islamic Institute Raden Patah Palembang.
460 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies struggling in rituals and religious issues have not been able to contribute to the cultivation of moral values and character29". From the explanations presented by the respondents, they also offered to the psychology of religion-based education program for Islamic religious education lessons starting from institutions of higher education or university. Therefore, universities, institutes, colleges, and academy, the institution that can create or form the man who is a professional. Every race or nation that embraces a certain ideology, certainly pay great attention to their younger generation. Therefore, the younger generation that will preserve the underlying ideology of the whole way of life (way of life) present and future generations to come. According to the respondents to date, the policy in the education system that she bore was not clear where the direction desired by the actual state. It can be seen from the alternation of educational programs (at all levels) that is trial and error. Ranging from curriculum, the concept of final exams, accreditation standards, quality assurance system that is applied, to shape the institution itself experienced repeated changes but does not correlate with significant achievements in the quality of education. 2. Analysis of The Objective Conditions Develop education with global competitiveness, it is the policy of education. However, students create a smart, competitive, high quality and meet the needs of the local community, an urgent need now. Education policy should be directed to achieve educational equity, so that all layers of the community can enjoy it. Necessary expansion of access to education, which allows marginal communities education. This does not mean that education can be hosted for free30. National education aims at educating the nation and developed a complete Indonesian man, the man who is faithful and devoted to God Almighty, noble character, knowledge and skills, physical and spiritual health, stable and independent personality and a sense of civic responsibility and national31 . National goals as the ideological foundation of our society and nation animate the formation of modern industrial society, ideology and political development of national education. Science, technology and information are very defined, therefore it needs to be known by the 29 Interviews were conducted when the respondents investigators went to the house on June 10, 2013. 30 http://djohar1962.blogspot.com/2008/02/isu-politik-dalam-kebijakanpendidikan.html diakses pada 20 Oktober 2012. 31 Act No. 20 of 2003 on National Education System.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 461
public as well as the development of democratic life. So modern democracy requires that in addition to sensible people it is also tempered nationalist democrat. Better understand the nature of nationalism and democrats not grow their own, but must be done through a variety of things including penenman values of human rights to economic, social, political and cultural as well as women and children, as Yeng contained in international covenants ratified by Indonesian unitary republic. Seeing the condition that the Indonesian education system of religious education is part of the sub-systems within the national education system, then religious education is an integral part in building a civilization for the people of Indonesia. For that there are a number of critical remarks which led to the advancement of education that takes place, as contained in the texts state that the reference implementation of education disebuah region. Religious education are associated with a number of important references are: a. Religious Education in the days of the Dutch colonial government b. Religious Education in the days of Japanese colonial government c. Religious Education in the early days of independence. d. Religious Education in the No. UURI. 4 Th. 1950. e. Religious Education in TAP MPRS No.. II/MPRS/1960. f. Religious Education in TAP MPRS No.. XXVII/MPRS/1966. g. Religious Education in the Guidelines 1873, 1978, 1983 and h. Religious Education in the No. UURI. 2 of 1989. i. Religious Education in the Republic Act no. 20 of 200332. j. Religious education in Law No. 14 of 2005. k. Religious Education in Law No. 12 of 2012. On the crucial issue seems to be resolved by the enactment Act Republic Indonesia No: 20 of 2003 on National Education System. In this law the existence of Religious Education appears to be more powerful than the previous law. As in Chapter IV Article 12 stated that: "Each of the students at any educational institution entitled Religious Education in accordance with their religion and taught by educators who coreligionists". Later in the explanation section of article 12 stated that educators and / or religious teacher correligionists learners facilitated and / or provided by the government or the local government unit needs education. With the chapter 12 then every student will get a religious education in accordance with their religion and given by the Religious Teachers according to their religion, regardless of where or foundation managers, 32 http://mangunbudiyanto.wordpress.com/2010/06/20/intervensi-politik-dalampendidikan-agama-di-sekolah-umum/ diakses pada 28 oktober 2012.
462 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies both public and private, both school-based characteristic of a particular religion or not . However, to implement Islamic religious education in the psychology of religion-based learning process as part of the national education subsystem in Indonesia can not be implemented fully. For those reasons, instilling moral values and character development, and behavioral habituation to the religious life becomes very important. so that the implementation of the psychology of religion-based education in instilling moral values of religion and good character into a very important requirement for the implementation of Islamic religious education lessons. G. CONCLUSION The researchers of this study, related question-and get answers that have been proposed, as described as follows: 1. Educators in junior high school 2 Dlingo, and the State Islamic Institute Student Raden Patah Palembang, not knowing what is meant by the concept of character and moral education based psychology of religion in Islamic religious education 2. Role-based character education and moral psychology of religion in Islamic religious education to improve the quality of habituation students get enough answers appreciated by the respondents. So that the learning-based implementation for the psychology of religion is very important in the study of religion both in madrasas and at school. 3. Benefits based character education and moral psychology of religion in Islamic religious education for students and the surrounding community is great because once ask respondents and informal discussion with researchers cukuplama get an idea that if the implementation of the character education program based on the psychology of religion and morality in religious education would be enormous petrified to instill character values in accordance with the curriculum in 2013 so as to provide cultivation of moral values.
BIBLIOGRAPHY Abu Ahmadi, 2003,Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta. Act No. 20 of 2003 on National Education System. Doni Koesoema A, 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Cet. I). Jakarta: Grasindo, Cet. I.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 463
ILPPD provincial government of Yogyakarta in 2010, or can be viewed on the website or in http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta http://www.jogjaprov.go.id/ James Julian M and Jhon Alfred, 2007. The Accelerated Learning for Personality: The Way to Self Actualization, Source Book. Koentjaraningrat, 2006, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1979; bnd. Herwanto Aryo Manggolo, “Pranata Sosial”, dalam J. Dwi Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books. Narwoko-Bagong Suyanto (ed.), 2009, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. N.Daldjoeni, 1989,Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Bandung, Penerbit Alumni. Pusat Kurikulum Depdiknas, 2004, Rencana Pelajaran Hak Asasi Manusia untuk Sekolah-Sekolah Asia Tenggara, Jakarta: PT Kreasindo Utama. Ramayulis, 2005, Metode Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam mulia, 2005. Rebublik Indonesian Government Regulation No. 55 of 2007. Risnawaty Sinnulingga, Pendidikan Agama Pada Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Masalah Etis dan Moral di Era Global dan Teknik Informasi, USU, 2008, p 10. You can visit and download at http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_Risna wati.pdf. Umar Tirtarahardja, 2005, Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.RPJMD 2009-2013 Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta Special Region gubernatorial No. 11 of 2009) and the description of the Sultan in front of the House of Representatives Commission II at the moment bill Privileges DIY RDP, can be seen in http://id.wikipedia.org/wiki/ Daerah_Istimewa_Yogyakarta. LIST OF WEBSITE LINKS: http://dqromario.blogspot.com/2012/03/makalah-hak-asasi-manusia.html accessible pada 11 November 2012. http://herususetyo.multiply.com/journal/item/6/PENDIDIKANBERBASIS-HAK-ASASI-MANUSIA-?&show-interstitial-1&u%2Fjournal%2Fitem accessible pada 11 November 2012.
464 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies ttp://www.google.co.id/ pendidikan-karakter-agama. http://staff.uny.ac.id./penelitian-Marzuki-Dr.--M.Ag./Pembinaan-Karakter--Siswa-Berbasis--Pendidikan--Agama-di--Sekolah--Dasar-dan--Sekolah--Menengah--Pertama-di--Daerah.pdf. download until 22 Oktober 2012 http://refsp.data.kemdikbud.go.id/ref_data/tabs.php?npsn=20400358 accessed on May 21, 2013. http://lpmpjogja.org/map/gk.php?run=detail&kab=BANTUL&id=821 accessed on May 21, 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palembang accessed on May 20, 2013. http://radenfatah.ac.id/statis-2-sejarah.html accessed on May 20, 2013. http://djohar1962.blogspot.com/2008/02/isu-politik-dalam-kebijakanpendidikan.html accessed on 22 October 2012. http://mangunbudiyanto.wordpress.com/2010/06/20/intervensi-politikdalam-pendidikan-agama-di-sekolah-umum/ accessed on 28 October 2012. LIST OF INTERVIEWS: According to interviews with the Administration SMP 2 Dlingo on May 1, 2013 and access Results interview on May 8, 2013 The interview with the MR Nur Sugianto, as teachers PAI on May 6, 2013. Interviews were conducted with students in the classroom / campus State Islamic Institute Raden Patah Palembang is made directly to the 20 respondents who performed for 2 hours starting from May 15, 2013, until June 14, 2013. Interviews were conducted when the respondents investigators went to the house on June 10, 2013.
APAKAH RELIGIUSITAS BERPENGARUH TERHADAP KESUKSESAN AKADEMIK? STUDI META ANALISIS M. Nur Ghufron
1
STAIN Kudus Abstract: This Study was meta-analysis of the relationship between religiosity and academic success. The quantitative review includes 7 studies from 7 articles that contained a combined sample of approximately 24114. This analysis extends previous work by directly correcting error of sampling and measurements. Summary analysis provided support that religiosity has a correlation on academic success. The result showed religiosity have been identified as predictors and academic success. Keywords: religiosity, academic success. and meta- analysis
Para Psikolog telah lama tertarik pada peran bahwa, religiusitas memainkan peran dalam interpretasi dan respon terhadap peristiwa kehidupan dan bagaimana hal tersebut memanifestasikan dirinya secara psikologis sehari-hari. Ellis2 mengklaim bahwa religiusitas merupakan sesuatu yang irasional serta terlembagakan dan merusak fungsi psikologis. Psikolog lain3 (misalnya, Jung 1933; Allport, 1950) melihat religiusitas sebagai sumber makna dan stabilitas ketidakpastian di dunia yang positif serta kondusif untuk kesehatan psikologis manusia. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai peran religiusitas terhadap aspek-aspek kehidupan manusia dan hasilnya telah bervariasi. Misalnya hasil penelitian Koenig dan Larson4 serta hasil penelitian Gartner, Larson, dan Allen5 yang telah menemukan bahwa religiusitas berkorelasi positif dengan penyesuaian, beberapa penelitian juga telah menemukan bahwa religiusitas berkorelasi negatif dengan penyesuaian, misalnya hasil
1Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi:
[email protected] 2 Hackney, C.H dan Sanders, G.S. Religiosity and Mental Health: A Meta-Analysis of Recent Studies. Journal for the Scientific Study of Religion 42, 1, 2003, hal 43 3 Hackney, C.H dan Sanders, G.S. Op.Cit., hal 43 4 Koenig, H. G. dan Larson, D., B. Religion and mental health: Evidence for an association. International Review of Psychiatry 13, 2001, hal 67-78 5 Gartner, J., D., B., Larson, dan Allen, G. D., Religious commitment and mental health: A review of the empirical literature. Journal of Psychology and Theology 19, 1991, hal 6-25
~ 465 ~
466 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies penelitian Schaefer6. Sementara hasil penelitian Lewis, Lanigan, Joseph dan de Fockert7 justru tidak menemukan hubungan yang signifikan sama sekali. Bergin8 melakukan penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dan kesehatan mental secara meta analisis dan menemukan hubungan antara religiusitas dengan kesehatan mental sebesar 0,09 dan menyimpulkan bahwa hasil penelitian masih ambigu untuk hubungan positif antara religiusitas dan fungsi psikologis. Donahue9 juga telah melakukan penelitian secara meta analisis mengenai konseptualisasi orientasi religiusitas intrinsic yang dibandingkan dengan orientasi religiusitas ekstrinsiknya Gordon Allport tahun 1950. Hasil penelitian secara meta analisis tersebut menunjukkan beberapa temuan, termasuk hubungan antara orientasi ekstrinsik dengan dua karakteristik negatif ("prasangka" dan "takut mati"), yang rata-rata berkorelasi positif dan kurangnya hubungan antara Orientasi intrinsik dengan karakteristik yang sama . Bergin10 melakukan penelitian secara empiris mengenai hubungan antara religiusitas dengan kesehatan mental yang menunjukkan bukti bahwa "pengaruh religiusitas rata-rata menghasilkan hubungan yang positif, meskipun tidak dramatis". Hasil penelitian ini menunjukkan sejumlah korelasi antara afiliasi terhadap religiusitas dengan fungsi psikologis yang positif. Hasil penelitian Payne, Bergin, Bielema dan Jenkins11 menemukan bahwa religiusitas berhubungan positif dengan sejumlah aspek pada kesejahteraan psikologis. Namun, tidak ada bukti secara keseluruhan ditemukan pada hubungan antara religiusitas dan pencegahan gangguan klinis. Para penulis menyimpulkan bahwa temuan ambigu disebabkan oleh segi sifat religiusitas, dan bahwa upaya untuk mempertimbangkan religiusitas sebagai kekuatan yang secara keseluruhan positif, negatif, atau netral dalam kehidupan masyarakat didasarkan pada perbedaan konseptualisasi mengenai religiusitas. Sehingga, beberapa saran dituangkan bukan pada klaim kereligiusitasan seseorang akan tetapi lebih untuk memeriksa cara seseorang berreligiusitas. 6 Schaefer, W. E. Religiosity, spirituality, and personal distress among college students. Journal of College Student Development 38, 1997, hal 633-44. 7 Lewis, C, A,, C, Lanigan, S, Joseph, dan J, de Fockert. Religiosity and happiness: No evidence for an association among undergraduates. Personality and Individual Differences 22, 1997, hal 119-21 8 Bergin, Values and religious issues in psychotheropy and mental health. American Psychologist 46, 1991, hal 394-403. 9 Donahue, M. J., Intrinsic and extrinsic religiousness: Review and meta-analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 40,1983, hal 0-19. 10 Bergin, Op.Cit, hal 394 11 Payne I., R., A., E. Bergin, K., A., Bielema, dan Jenkins, H., P., Review of religion and mental health: Prevention and the enhancement of psychosocial functioning. Prevention in Human Services, 9, 1991, 11-40
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 467
Gartner, Larson, dan Allen12 mengkaji sekitar 200 penelitian menunjukkan sejumlah temuan. Di antaranya ada hubungan yang bermanfaat antara religiusitas dan fungsi positif ditunjukkan di sejumlah daerah. Namun, hasil keseluruhan ditemukan secara ambigu di hubungan antara religiusitas dengan kecemasan, gangguan seksual, psikosis, prasangka, harga diri, dan kecerdasan. Religiusitas juga ditemukan sedikit terkait dengan beberapa indikator kesehatan mental. Sependapat dengan Payne13, Hackney dan Sanders14 menyimpulkan bahwa temuan yang bersifat ambigu pada penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para psikolog mengenai religiusitas karena dimungkinkan sifat segi atau konstruk religiusitas, sehingga perlunya penekanan tentang bagaimana psikolog mengoperasionalkan dengan baik mengenai religiusitas dan aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia. Berdasarkan perdebatan atau perbedaan hasil temuan penelitian tersebut, perlu kiranya untuk mempertanyakan kembali mengenai apakah religiusitas menguntungkan, merugikan, atau netral dalam aspek psikologis kehidupan manusia sehari-hari atau yang dalam penelitian ini apakah religiusitas berpengaruh terhadap kesuksesan akademik?. Hubungan Antara Religiusitas dengan Kesuksesan Akademik Menurut Boadella15 Religiusitas berasal dari kata Latin yaitu religere, yang berarti berhubungan kembali dengan sumber yang lebih dalam. Sementara Gazalba16 berpendapat bahwa Religiusitas berasal dari kata religi bahasa latin”religio” yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat. Pengertian ini mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Paragment membedakan religiusitas dan spiritualitas. Paragment menggambarkan religiusitas sebagai sesuatu yang tradisional dan melembaga, sementara spiritualitas dianggap nontradisional dan individualistis. Paragment melihat konstruk religiusitas sebagai sesuatu yag berubah, misalnya, "kehilangan kekayaannya, keluasan dan potensi". 12 Gartner, J., D., B., Larson, dan Allen, G. D., Religious commitment and mental health: A review of the empirical literature. Journal of Psychology and Theology, 19, 1991, 6-25 13 Payne, Op. Cit, hal 11-40 14 Hackney dan Sanders, Op.Cit, hal 45 15 Dalam Reyes, G.,M., Spirituality and Religiosity; They Relation to academic achievement of undergraduate College Students, Dissertation, Northern Arizona University, 2006, hal 12 16 Ghufron, M. N., Psikologi Epistemologis: Kepercayaan tentang Hakekat Pengetahuan dan bagaimana Mengetahui Perspektif Psikologi, Yogyakarta: Penerbit Idea Press, 2012, hal 57
468 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Paragment melihat pergeseran persepsi dengan spiritualitas yang dilihat dari sisi yang positif, sedangkan religiusitas dipandang lebih negatif17. Dalam pengertian yang paling sederhana, agama berarti, menguasai, menundukkan, patuh, balasan, kebiasaan, cara yang ditempuh. Atau aturan dan tata cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan dunia dan akhirat18. Ensiklopedi Indonesia menjelaskan pengertian agama dari berbagai sudut pandang. Pertama, agama dalam arti godsdienst atau religi. Yaitu hubungan antara manusia dan sesuatu kekuasaan luar yang lain dan lebih dari pada apa yang dialami oleh manusia. Agama dianggap suci yang mendatangkan rasa tunduk manusia kepada-Nya, dan memperlakukannya dengan penuh khidmat, yang sebaliknya menarik manusia kepada-Nya dan manusia itu mencintai-Nya dan mempercayainya serta meminta perlindungan kepada-Nya. Kedua, agama dalam perspektif Hindu-Budha. Yaitu istilah untuk menyebutkan kelompok kepercayaan berdasarkan wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab siciNya. Ketiga, agama dalam pengertian kebiasaan-kebiasaan, tradisi, berdasarkan ajaran kitab suci. Himpunan peraturan keagamaan yang dipergunakan sebagai pedoman hidup dalam masyarakat, berguna untuk peningkatan kerohanian dan mencapai kesempurnaan19. Najati20 menyatakan bahwa dzikir dan do’a merupakan cara pelegaan batin yang akan mengembalikan pada ketenangan dan ketentraman. Membaca dan mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an akan memiliki dampak positif, tidak hanya membebaskan manusia dari rasa kegelisahan dan kecemasan, bahkan hubungan rohaniah antara manusia dan Tuhannya selama proses membaca Al-Qur’an, memberi harapan, menguatkan kemauan, dan membekali kekuatan yang luar biasa sehingga memungkinkan manusia untuk dapat mengahadapi segala permasalahan dan melaksanakan tugas dengan baik, bahwa inti dari kesehatan mental adalah iman dan taqwa kepada Tuhan. Sementara kesuksesan akademik dalam penelitian ini merupakan keberhasilan individu yang setalah menjalani serangkaian kegiatan belajar, dengan demikian kesuksesan akademik dapat pula dikatakan sebagai tolok ukur berhasil atau tidaknya proses belajar. Kesuksesan akademik dapat yang dinyatakan dalam bentuk aspek kualitatif seperti mempunyai kepribadian, motivasi belajar, kepercayaan diri, penyesuaian diri, integritas 17 Paragement, K.I., The Psychology of religion and spirituality? Yes and No. The International Journal for the Psychology of Religion, 9, 1999, hal 15 18 Abdul Azis Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid 1, hal 32 19 Tim Penulis Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar BaruVan Hoeve, T. Th., Jilid 1, hal 104 – 105 20 Najati, U., Al-Qur,an dan Ilmu Jiwa. Terj. Rofiq Usmani. Bandung: Pustaka, 1997, hal 283
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 469
yang baik. Sementara dalam bentuk aspek kuantitaif seperti mendapat hasil nilai pelajaran, rapor, ujian nasional atau indeks prestasi kumulatif yang tinggi. Di penghujung abad 20, kajian tentang hubungan antara religiusitas dengan berbagai aspek dalam pendidikan seperti motivasi belajar dan hasil belajar telah banyak dilakukan21, meskipun sejak saat itu menurut Holdcroft22 beberapa penelitian mencoba menguji peran religiusitas terhadap motivasi belajar pada siswa. Religiusitas atau agama adalah suatu konsep yang kompleks dan mempunyai berbagai vareasi aspek mengenai kepercayaan, perilaku dan kecerdasan. Poulson, Eppler, Satterwhite, Wuensch dan Bass23 telah menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat tinggi religiusitasnya cenderung terlibat dalam perilaku berisiko dibandingkan orang yang memiliki tingkat rendah religiusitas. Siswa yang terlibat dalam perilaku berisiko sering tidak memiliki tingkat yang sama pada prestasi akademik siswa yang tidak terlibat dalam perilaku berisiko. Hal ini dapat disebabkan oleh fakta bahwa ketika seorang siswa terlibat dalam perilaku berisiko, seperti penggunaan narkoba, hal itu dapat mempengaruhi waktu dan konsentrasi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Religiusitas juga telah secara langsung terkait dengan prestasi akademik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Oh24 menemukan bahwa siswa Sekolah Menengah Atas yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih cenderung memiliki hasil belajar lebih tinggi daripada siswa nonreligius. Jeynes25 melaporkan bahwa sekolah berbasis agama dan komitmen religiusitas mempunyai pengaruh yang positif terhadap motivasi belajar dan perilaku yang baik. Jeynes26 juga menemukan bahwa siswa sekolah menengah atas yang berbasis religiusitas yang ada di kota mempunyai hasil belajar yang tinggi pada bidang pelajaran membaca dan tes matematika. 21 Trusty, J., & Watts, R.E., Relationship of high school seniors’ religious perceptions and behaviors to school, career, and leisure variables. Counseling and Values, 44, 1999, hal 30-39 22 Reichard, J.D., Individual Religious Commitment and Interdisciplinary Academic Achievement: Student Religiosity as a Factor in a National Academic Competition. Christian Perspectives in Education, 4 (2), 2011, hal 1-24 23 Poulson, R. L., Eppler, M.A., Satterwhite, T.N., Wuensch, K.L., & Bass, L.A., Alcohol consumption, strength of religious beliefs, and risky sexual behavior in college students. Journal of American College Health, 46(5), 1998, hal 227-232 24 Oh, D.M., Evidence on the correlation between religiosity and social/psychological behavior and the resulting impact on student performance. (High school students, adolescents). Dissertation Abstracts International Section A: Humanities & Social Sciences, 59(11-A), 1999, hal 4102 25 Jeynes, W. H., Why religious schools positively impact the academic achievement of children. International Journal of Education and Religion, 3, 2002, hal 16-32 26 Jeynes, W.H., The Effects Of Religious Commitment On The Academic Achievement Of Urban And Other Children. Education And Urban Society, Vol. 36 No. 1, November, 2000, hal 44-62
470 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Regenerus & Elder27 juga menemukan bahwa religiusitas yang tinggi pada siswa mempunyai hubungan dengan hasil tes membaca dan matematika yang tinggi pula dibandingkan siswa yang dilaporkan mempunyai komitmen berreligiusitas yang rendah. Lebih lanjut, Loury28 menemukan bahwa siswa yang mempunyai komitmen berreligiusitas dengan baik mempunyai hasil akademik yang baik pula. Begitu pula sebaliknya. Sementara itu, Nyborg29 menunjukkan bahwa IQ mempunyai hubungan yang negative dengan laporan keikutsertaan siswa dalam kegiatan keagamaan. Beberapa hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa religiusitas dan motivasi belajar mempunyai hubungan yang positif. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Zern30 serta Walker & Dixon31 menunjukkan bahwa religiusitas berhubungan positif dengan hasil nilai Indeks Prestasi Akademik (IPK). Tujuan Penelitian Walaupun telah ada satu dasar teori yang cukup serta hasil penelitian bahkan secara meta analisis mengenai pengaruh religiusitas terhadap berbagai aspek kehidupan secara umum, namun yang secara spesifik berkaitan kesuksesan akademik masih langka atau bahkan belum ada. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji beberapa penelitian di luar Indonesia mengenai pengaruh religiusitas terhadap kesuksesan akademik secara meta analisis32. 27 Regenerus, M. & Elder, G., Staying on track in school: Religious influences in high- and low-risk settings. Journal for the Scientific Study of Religion, 42, 2003, hal 633-659 28 Loury, L., Does Church Attendance Really Increase Schooling? Journal for the Scientific Study of Religion, 43, 2004, hal 119-127 29 Dalam Reichard, J.D., 2011, Op.Cit, hal1-24 30 Zern, D., Some connections between increasing religiousness and academic accomplishment in a college population. Adolescence, 93, 1989, hal 141-154 31 Walker, K. & Dixon, V., Spirituality and academic performance among African.American college students. Journal of Black Psychology, 28, 1989 hal 107-121 32 Penelitian ilmiah berkembang secara eksplosif di mana para peneliti di berbagai bidang kajian memproduksi serta mengunggulkan hasil dari studi empirisnya mengenai hubungan antara variabel yang menjadi ketertarikannya. Banyaknya informasi hasil penelitian seringkali membuat tidak mungkin bagi para peneliti dan sarjana untuk memiliki gambaran tentang pengembangan dan kesatuan yang berkontribusi terhadap gambaran keseluruhan dari penelitian lapangan. Selanjutnya, temuan sering bertentangan dan menyebabkan kebingungan di kalangan peneliti ketika berusaha untuk menarik kesimpulan umum dari penelitian sebelumnya. Sebuah metode untuk sintesis kuantitatif temuan penelitian adalah meta-analisis, yang menerapkan teknik statistik untuk meringkas bagian data empiris dalam domain penelitian. Pendekatan meta-analisis telah berkembang dalam popularitas selama dekade terakhir dan dianggap sebagai gelombang masa depan dalam menangani sintesis temuan penelitian (Kock, A., A Guideline To Meta-Analysis, Lehrstuhl für Technologie- und Innovationsmanagement, Technische Universität Berlin, 2009, hal 2). Lebih lengkap bisa di lihat juga di Hunter, J.E., & Schmidt, F.L., Methods of Meta Analysis, Correcting Error and Bias Research Findings. London; Sage Publications, 1990
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 471
METODE 1. Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari, Ebsco, Proquest, Dissertation Abstract dan Dissertation Abstract International antara tahun 2003 sampai tahun 2013. Kata kunci yang digunakan adalah “religious”, “spirituaility”, “Academic success”, “Academic performance” “Academic achievement”. Oleh karena penelitian ini untuk melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan metaanalisis secara kuantitatif, maka data yang digunakan adalah: (a) jumlah Subjek (N), (b) salah satu dari nilai korelasi r, F, atau t, (c) bila item b tidak disertakan, maka naskah harus mencantumkan rerata skor (M) dan standar deviasi (SD). Berdasarkan langkah-langkah tersebut diperoleh sejumlah 7 naskah. 2. Metode Analisa Data Analisis data penelitian dilakukan melalui empat tahap: pertama, Manajemen data. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan religiusitas dengan kesuksesan akademik tidak hanya menguji satu dimensi religiusitas saja atau satu kesuksesan akademik saja. Ada beberapa dimensi yang diukur, dan terkadang ada pula dimensinya yang berbeda antara penelitian yang satu dengan lainnya walaupun nama variabelnya sama, bahkan ada pula sebaliknya variabelnya berbeda tapi maknanya bisa dikategorikan sama sehingga perlu dilakukan pengkodean. Kedua, pengkodean dilakukan dengan mengkelompokkan variabel yang kurang lebih maknanya mendekati religiusitas dan kesuksesan akademik. Ketiga, untuk data yang masih mengandung nilai F, t, atau d dikonversikan terlebih dahulu ke nilai r sehingga siap diperbandingkan. Keempat, dengan mengikuti pendapat Hunter & Schmidt33 bahwa kesalahan sampling ini memberikan dampak tidak terstruktur dan sangat dipengaruhi besarnya sampel dan koreksi kesalahan pengukuran, sehingga dalam penelitian ini selanjutnya menggunakan dua koreksi terhadap data yang diperoleh berupa koreksi kesalahan pengambilan sampel dengan alasan kesalahan pengambilan sampel (sampling error) adalah artefak yang paling banyak mencemari hasil penelitian. Menurut Sugiyanto34, langkah-langkah dalam melakukan koreksi kesalahan pengambilan sampel bisa dilakukan dengan mencari estimasi r populasi, varian r populasi terbobot, varian r populasi kesalahan
33 Hunter, J. E., Schmidt, F. L., Methods of Meta-Analysis : Correcting Error and Bias in Research Findings. Sage: Thousand Oaks, CA. 2004, hal 80 34 Sugiyanto, Metaanalisis korelasi, Bahan perkuliahan Metode Kuantitatif Program Doktor Psikologi UGM (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2008, hal 1-8
472 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies pengambilan sampel dan estimasi varian r populasi. Langkah yang ditempuh dalam melakukan koreksi kesalahan pengukuran dengan menentukan kesalahan pengukuran pada salah satu variabel atau dua variabel sekaligus, mencari reliabilitas intstrumen, koreksi kesalahan pengukuran x dan y, rerata kesalahan pengukuran pada x dan y sampai akhirnya estimasi r populasi. HASIL Hasil seleksi terhadap data terdiri dari 7 variabel bebas dan 7 variabel tergantung dengan 7 studi. Data-data yang memenuhi syarat untuk dianalisis dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Tabulasi data penelitian yang memenuhi syarat untuk dianalisis N V. Penelitian V. Bebas N rxy A B o Tergantung 1 Ibrahim35 Religion in Matriculatio 471 0.64 0.66 the Muslim n students’ achievemen t strivings 2 Irvin, Church Academic 280 0.26 0.69 Farmer, religious achievement Thompson activity dan Hutchins36 3 Schubmehl, Effect of Grade Point 247 0.49 Cubbellotti spirituaility Averages dan Van (GPA) Omum37
35 Ibrahim M. Scholastic Incentives and Educational Perceived Value; the Role of Religion in Muslim Students’ Achievement Strivings. A Rasch Model Analysis. International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 12, 2012, hal 113-124 36 Irvin, M., Farmer, T., Leung, M., Thompson, J., & Hutchins, B., School, community, and church activities: Relationship to academic achievement of low-income African American early adolescents in the rural Deep South. Journal of Research in Rural Education, 25(4), 2010 hal 1-2 37 Schubmehl, J., Cubbellotti, C dan Van Omum, W., The Effect Of Spirituality And Campus Ministry On Academic Accomplishment In College Students. Adolescence, Vol. 44, No. 174, 2009, hal 499-502
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
4 5
McKune dan Hoffmann38 jeynes39
6
Boone40
7
Reyes41
Religion Religious commitme nt Religious Behavior Religiosity
Academic Achievemen t Academic achievement
4051
0.20
1872 8
0.06
Academic Success for English Learners Academic achievement
126
0.22
211
0.17
~ 473
0.67
0.7 5
0.94
Berikut ini, hasil koreksi kesalahan pengambilan sampel dan kesalahan pengukuran yang menguji hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik. 1. Koreksi kesalahan pengambilan sampel untuk menguji hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik Analisis perhitungan koreksi terhadap kesalahan pengambilan sampel didapatkan 7 studi, dengan melibatkan total subjek 24114 orang. Angka korelasi yang dilaporkan arahnya positif. Hasil koreksi terhadap kesalahan pengambilan sample diperoleh estimasi r populasi (rerata r) = 0,103 dengan varian korelasi populasi terbobot Sr² = 0,01058, varian korelasi kesalahan pengambilan sampel Se²= 0,0007311 dan estimasi varian korelasi populasi r² =0,00985. Adapun dampak kesalahan pengambilan sampel sebesar 7,42%. Hasil perhitungan koreksi artefak kesalahan pengambilan sampel hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik dapat dilihat pada tabel 2.
38 McKune, B dan Hoffmann, J.P., Religion and Academic Achievement Among Adolescents. Interdisciplinary Journal of Research on Religion, 5, 2009, hal 1-21 39 Jeynes, W.H., The Effects Of Religious Commitment On The Academic Achievement Of Urban And Other Children. Education And Urban Society, Vol. 36 No. 1, November, 2003, hal 44-62 40 Boone, J. H., Does Religious Behavior Predict Academic Success for English Learner?. Education and Human Development, 1, 2, 2007, hal 1-12 41 Reyes, G. M., Spirituality and Religiosity: Their Relation to Academic Achievement of Undergraduate College Students. Dissertation. Arizona: Northern Arizona University, 2006, hal 89
474 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Tabel. 2. Rangkuman data perhitungan koreksi artefak kesalahan pengambilan sampel hubungan religiusitas dengan kesuksesan akademik. Keterangan Hasil Jumlah Sampel (N) 24114 Total r 2.04 0.103 estimasi r populasi atau rerata r (ŕ) varian korelasi populasi terbobot (Sr²) 0.01058 varian korelasi kesalahan pengambilan sampel (Se²) 0.0007311 estimasi varian korelasi populasi ( r²) 0.00985 dampak kesalahan pengambilan sampel sebesar 7.42% Adapun dengan dampak kesalahan pengambilan sampel sebesar 7,42%, persentase yang kecil ini menunjukkan kemungkinan bias kesalahan karena kekeliruan dalam pengambilan sampel adalah kecil. 2. Koreksi kesalahan pengukuran untuk menguji hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik Hasil rincian koreksi terhadap artefak pengukuran, diperoleh rerata kesalahan pengukuran A sebesar 0,528197382, sedangkan estimasi korelasi populasi () sebesar 0,195709308, jumlah koefisien kuadrat variasi (V) sebesar 0,518327446, varian yang mengacu variasi artefak ( ²2) sebesar 0,005538851, varians korelasi populasi sesungguhnya Var ( ) sebesar 0,015448939, dan interval kepercayaan (r sebesar 0,1190896. Adapun dampak variasi reliabilitas 9,11%. Hasil perhitungan koreksi artefak kesalahan pengukuran untuk menguji hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik, dapat di lihat pada tabel Tabel. 3 Rangkuman data perhitungan koreksi artefak kesalahan pengukuran untuk menguji hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik. Keterangan Hasil Jumlah Sampel (N) 24114 Jumlah Studi 7 rerata kesalahan pengukuran (A) 0.528197382 0.195709308 estimasi korelasi populasi (ρ) Jumlah koefisien Kuadrat variasi (V) 0.518327446 Varian yang mengacu variasi artefak ( ²2) 0.005538851
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
Varians korelasi populasi sesungguhnya Var ( ) interval kepercayaan (r ) Dampak variasi reliabilitas
~ 475
0.015448939 0.1190896 9.11%
Berdasarkan analisis dampak kesalahan pengambilan sampel sebesar 7,42%, sedangkan dampak variasi reliabilitas sebesar 9,11%. Prosentase yang kecil dampak kesalahan pengambilan sampel ini menunjukkan kemungkinan adanya kesalahan pengambilan sampel pada penelitian tersebut juga kecil. DISKUSI Hasil meta analisis dampak kesalahan pengambilan sampel hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik sebesar 7,42%, maka dapat disimpulkan prosentase faktor lain yang belum teridentifikasi sebesar 92,58%, sedangkan untuk pengukuran mempunyai dampak reliabilitas 9,11%. Adapun dampak keseluruhan kesalahan sampel dan kesalahan pengukuran sebesar 83,47%. Selanjutnya, temuan dari meta analisis kini mengungkapkan kemungkinan bias dampak variasi reliabilitas adalah lebih besar. Dengan melakukan spesifikasi riset dalam menguji pengaruh religiusitas pada kesuksesan akademik, didapatkan bahwa hipotesis yang mengatakan bahwa ada hubungan antara religiusitas dengan kesuksesan akademik dapat diterima. Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, kesuksesan akademik dalam penelitian ini merupakan keberhasilan individu yang setalah menjalani serangkaian kegiatan belajar, dengan demikian prestasi akademik dapat pula dikatakan sebagai tolok ukur berhasil atau tidaknya proses belajar. Kesuksesan akademik dapat yang dinyatakan dalam bentuk aspek kualitatif seperti mempunyai kepribadian, motivasi belajar, kepercayaan diri, penyesuaian diri, integritas yang baik. Sementara dalam bentuk aspek kuantitaif seperti mendapat hasil nilai pelajaran, rapor, ujian nasional atau indeks prestasi kumulatif yang tinggi. Mendapatkan kesuksesan akademik yang baik merupakan suatu dambaan setiap siswa, mahasiswa, orangtua dan pendidik setelah menjalai proses pembelajaran. Namun, menentukan apa saja yang menyebabkan siswa atau mahasiswa bisa mencapainya bukanlah tugas yang mudah untuk dilakukan. Beberapa ahli psikologi dan pendidikan mencoba mengemukakan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan akademik. Winkel42 mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar, antara lain: 1) karakteristik individu, mencakup karakteristik psikis 42
Winkel, W.S., Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo, 1996, hal 226
476 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies dan fisik; 2) pengajaran, mencakup materi pelajaran dan keterampilan mengajar; 3) bahan atau materi yang akan dipelajari, mencakup jenis materi, tingkat kesukaran dan kompleksitas; 4) media pengajaran, mencakup jenis media yang dipakai dan penggunaannya; 5) karakteristik sekolah, gedung dan fasilitas belajar; dan 6) lingkungan dan situasi, meliputi lingkungan alam seperti suhu, musim dan iklim. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni; a) faktor internal, yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani individu, dan b) faktor eksternal, yakni kondisi lingkungan di sekitar individu. Hasil penelitian ini memang khusus meneliti pengaruh religiusitas terhadap kesuksesan akademik. Religi atau agama sebagai kebutuhan paling mendasar bagi setiap manusia, mempunyai fungsi dan pengaruh yang kuat bagi diri individu untuk mengatasi dan menyikapi berbagai permasalan yang sukar, menekan dan mengganggu ketahanan mental individu. Melalui kegiatan religiusitas akan memiliki dampak positif, tidak hanya membebaskan manusia dari rasa kegelisahan dan kecemasan, bahkan hubungan rohaniah antara manusia dan Tuhannya, memberi harapan, menguatkan kemauan, dan membekali kekuatan yang luar biasa sehingga memungkinkan manusia untuk dapat mengahadapi segala permasalahan dan melaksanakan tugas dengan baik. Melalui kenyakinan akan kemampuan berpengaruh besar terhadap kemampuan itu. Seseorang yang berusaha mendapatkan sesuatu sesuai dengan harapan dan kenyakinannya akan meningkatkan kematangan diri sehingga dapat semakin berhasil dan mendapatkan harapannya seperti nilai pelajaran, indeks prestasi yang tinggi. Hasil secara keseluruhan studi meta analisis ini memperkuat landasan teori yang dipakai dalam studi meta analisis ini. Bahwa religiusitas mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan akademik. Individu yang mempunyai religiusitas yang tinggi akan mempunyai kesuksesan akademik yang tinggi pula. Oleh karena individu-individu dengan religiusitas yang tinggi lebih efektif dan gigih dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan kegagalan terutama yang berkaitan dengan menghadapi pemecahan masalah kehidupan khususnya dalam dunia pendidikan, mereka lebih mungkin untuk mencapai hasil yang bernilai dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Hasil penelitian meta-analisis ini sebagaimana hasil penelitian meta analisis lainnya mempunyai beberapa keterbatasan. Pertama, penemuan meta-analisis adalah korelasi secara alami dan, oleh karena itu, tidak bisa menjamin kesimpulan-kesimpulan yang kuat. Kedua, keseluruhan penemuan dari meta-analisis sering dibatasi oleh mutu studi-studi utama. Ketiga, pengaruh budaya, termasuk berbagai latar belakang etnis terabaikan. Khusus ketika melakukan penelitian di Indonesia karena kebanyakan
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 477
bahkan semua hasil penelitian yang digunakan dalam studi ini berasal dari luar negeri (luar Indonesia), dan mungkin masih banyak pertimbangan bila disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Penelitian masa depan diharapkan dapat meliputi kriteria-kriteria yang lebih ketat untuk memastikan bahwa beberapa faktor lain bisa dimasukkan seperti dengan melihat spesifikasi alat ukur religiusitas yang digunakan, gender, budaya atau diperluas kriterianya guna menguji pengaruhnya terhadap alat ukur kesuksesan akademik yang spesifik pula. Demikian ini, hasil penelitian ini dapat menjadi petunjuk yang lebih spesifik bagi penelitian selanjutnya. Bahwa religiusitasi mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan akademik. Untuk penelitian lainnya diharapkan mampu bersikap lebih kritis dalam memandang suatu hasil penelitian. Suatu hasil penelitian tidak dapat dipercaya secara penuh mengingat adanya artefak atau kesalahan yang dilakukan peneliti. DAFTAR PUSTAKA Yang Bertanda bintang (*) adalah jurnal yang digunakan metaanalisis.
dalam
Bergin, A, E. (1983), Religiosity and mental health: A critical reevaluation and meta-analysis. Professional Psychology: Research and Practice 14, 170-84, Bergin. (1991). Values and religious issues in psychotheropy and mental health. American Psychologist, 46, 394-403. *Boone, J. H. (2007). Does Religious Behavior Predict Academic Success for English Learner?. Education and Human Development, 1, 2, 1-12 Donahue, M. J. (1985). Intrinsic and extrinsic religiousness: Review and meta-analysis. Journal of Personality and Social Psychology,
(40), 0-19.
Gartner, J., D., B., Larson, dan Allen, G. D. (1991). Religious commitment and mental health: A review of the empirical literature. Journal of Psychology and Theology 19, 6-25, Ghufron, M. N., (2012), Psikologi Epistemologis: Kepercayaan tentang Hakekat Pengetahuan dan bagaimana Mengetahui Perspektif Psikologi, Yogyakarta: Penerbit Idea Press Hackney, C.H dan Sanders, G.S (2003) Religiosity and Mental Health: A Meta-Analysis of Recent Studies. Journal for the Scientific Study of Religion 42, (1 ) 43-55
478 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Hunter, J. E., Schmidt, F. L., (2004), Methods of Meta-Analysis : Correcting Error and Bias in Research Findings. Sage: Thousand Oaks, CA. Hunter, J.E., & Schmidt, F.L. (1990). Methods of Meta Analysis, Correcting Error and Bias Research Findings. London; Sage Publications *Ibrahim M (2012). Scholastic Incentives and Educational Perceived Value; the Role of Religion in Muslim Students’ Achievement Strivings. A Rasch Model Analysis. International Journal of
Humanities and Social Science Vol. 2 No. 12 113-124
*Irvin, M., Farmer, T., Leung, M., Thompson, J., & Hutchins, B. (2010). School, community, and church activities: Relationship to academic achievement of low-income African American early adolescents in the rural Deep South. Journal of Research in Rural Education, 25(4), 1-2 Jeynes, W. H. (2002). Why religious schools positively impact the academic achievement of children. International Journal of Education and Religion, 3, 16-32. *Jeynes, W.H. (2003). The Effects Of Religious Commitment On The Academic Achievement Of Urban And Other Children. Education And Urban Society, 3, (1), 44-62 Koenig, H. G. dan Larson, D., B. (2001). Religion and mental health: Evidence for an association. International Review of Psychiatry 13, 67-78 Lewis, C, A,, C, Lanigan, S, Joseph, dan J, de Fockert. (1997). Religiosity and happiness: No evidence for an association among undergraduates. Personality and Individual Differences 22, 11921, Loury, L. (2004). Does Church Attendance Really Increase Schooling? Journal for the Scientific Study of Religion, 43. 119-127. *McKune, B dan Hoffmann, J.P. (2009). Religion and Academic Achievement Among Adolescents. Interdisciplinary Journal of
Research on Religion, 5, 1-21
Najati, U. (1997). Al-Qur,an dan Ilmu Jiwa. Terj. Rofiq Usmani. Bandung: Pustaka Oh, D.M. (1999). Evidence on the correlation between religiosity and social/psychological behavior and the resulting impact on student performance. (High school students, adolescents). Dissertation Abstracts International Section A: Humanities & Social Sciences, 59(11-A), 4102.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 479
Paragement, K.I., (1999), The Psychology of religion and spirituality? Yes and No. The International Journal for the Psychology of Religion, 9, 3-16 Payne I., R., A., E. Bergin, K., A., Bielema, dan Jenkins, H., P. (1991). Review of religion and mental health: Prevention and the enhancement of psychosocial functioning. Prevention in Human Services 9, 11—40, Poulson, R. L., Eppler, M.A., Satterwhite, T.N., Wuensch, K.L., & Bass, L.A. (1998). Alcohol consumption, strength of religious beliefs, and risky sexual behavior in college students. Journal of American College Health, 46(5), 227-232. Regenerus, M. & Elder, G. (2003). Staying on track in school: Religious influences in high- and low-risk settings. Journal for the Scientific Study of Religion, 42. 633-659. Reichard, J.D (2011) Individual Religious Commitment and Interdisciplinary Academic Achievement: Student Religiosity as a Factor in a National Academic Competition. Christian Perspectives in Education, 4 (2), 1-24 *Reyes, G. M. (2006). Spirituality and Religiosity: Their Relation to Academic Achievement of Undergraduate College Students. Dissertation. Arizona: Northern Arizona University Schaefer, W. E. (1997). Religiosity, spirituality, and personal distress among college students. Journal of College Student Development 38, 633-44. *Schubmehl, J., Cubbellotti, C dan Van Omum, W. (2009). The Effect Of Spirituality And Campus Ministry On Academic Accomplishment In College Students. Adolescence, 44, (174) 499-502 Sugiyanto (2008). Metaanalisis korelasi, Bahan perkuliahan Metode Kuantitatif Program Doktor Psikologi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, hal 1-8 Tim Ensiklopedi, (1996), editor bahasa Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Baru van Hoeve. Tim Penulis Ensiklopedi Indonesia, (T.Th), Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve Trusty, J., & Watts, R.E. (1999). Relationship of high school seniors’ religious perceptions and behaviors to school, career, and leisure variables. Counseling and Values, 44, 30-39. Walker, K. & Dixon, V. (1989). Spirituality and academic performance among African American college students. Journal of Black Psychology, 28. 107-121.
480 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo. Zern, D. (1989). Some connections between increasing religiousness and academic accomplishment in a college population. Adolescence, 93. 141-154.
Deradikalisasi Pendidikan Islam dan Tantangannya di Indonesia Andik Wahyun Muqoyyidin Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum (Unipdu) Jombang Abstrak: Radikalisme faham keberagamaan tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan yang bersifat anarkis. Dalam realita memang dapat ditemui bahwa sebagian kelompok gerakan radikal keagamaan hanya terbatas pada pemikiran dan ideologi, dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam melaksanakan faham ajarannya, tetapi sebagian kelompok radikal yang lain menghalalkan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan faham keagamaannya. Karena itu, gerakan radikalisme keagamaan tidak selalu ditandai dengan anarkisme atau terorisme. Tindakan preventif atau pencegahan tentu menjadi cara yang baik di tengah usaha untuk membersihkan Indonesia dari kasus-kasus terorisme yang terus berkembang. Oleh karena itu, berbagai pendekatan penanganan terorisme dan radikalisme Islam lainnya harus pula senantiasa diupayakan. Salah satunya adalah dengan program deradikalisasi pendidikan Islam bernuansa inklusif-multikultural. Tantangan deradikalisasi pendidikan Islam bukan hanya dari mahasiswa yang sudah menjadi eksponen gerakan Islam radikal, akan tetapi juga dosendosen. Dan untuk itu sangat diperlukan gerakan review kurikulum di berbagai tingkatan pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan anti radikalisasi agama ini. Abstract: Schools of religious radicalism isn’t always marked by acts of violence that are anarchists. In reality it may be found that some groups of radical religious movements confined to the thinking and ideology, and doesn’t use violent means to carry out the teaching schools, but most other radical groups that justify violent means in the fight for religious schools. Therefore, religious radicalism isn’t always marked with anarchism or terrorism. Preventive or precautionary measures would be a good way in the effort to rid Indonesia of terrorism cases that continue to evolve. Therefore, various approaches of handling terrorism and Islamic radicalism must also be constantly pursued. One is the de-radicalization program of Islamic education nuanced multicultural inclusiveness. Challenges not only the deradicalization of the Islamic education of students who have become exponents of a radical Islamic movement, but also lecturers. And it’s necessary to review the curriculum movement at various levels of education to develop the knowledge, attitudes and actions of the anti-religious radicalization. Keywords: De-radicalization, Islamic education, radicalism, inclusiveness, multicultural.
Pendahuluan Eskalasi kekerasan dengan mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, ditengarai masih marak di tanah air. Betapa tidak, dalam kurun waktu tidak lebih dari satu dekade
~ 481 ~
482 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies pasca tumbangnya rezim Orde Baru, bom silih berganti mengguncang republik pluralis ini. Sebut saja misalnya bom Bali I, bom Bali II, bom Kedutaan Besar Australia, bom Hotel JW Marriot I, bom Hotel JW Marriot II, bom Hotel Ritz Carlton, “bom buku” yang ditujukan ke sejumlah tokoh, “bom Jum’at” di masjid Mapolres Cirebon, dan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo.1 Yang paling baru adalah ledakan bom di Vihara Ekayana, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, beberapa bulan lalu pada saat acara kebaktian tengah berlangsung.2 Selain aksi terorisme, radikalisme Islam juga merebak di mana-mana seperti penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten serta penyerangan pondok pesantren yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan Sampang, Jawa Timur.3 Menjadi menarik untuk menganalisis keterlibatan fundamentalisme agama ketika Indonesia dihadapkan pada sebuah fenomena munculnya gerakan terorisme transnasional yang beberapa waktu lalu melakukan pengeboman di beberapa tempat. Dari pemberitaan media, tertangkap bahwa seakan-akan para pengebom Bali adalah mereka yang terdoktrinasi untuk menghalalkan segala cara dalam memenuhi tuntutan ideologis mereka.4 Seiring dengan bergulirnya era Reformasi menyadarkan kalangan elit intelektual akan perlunya bergegas menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah terpuruk akibat terjadinya pelbagai “salah-urus” pada masa Orde Baru. Atas dasar itu, pada tahun 2000 silam, sekitar empat ratus ilmuwan independen, yang diprakarsai oleh Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan lain-lain berkumpul di Bali untuk mencari solusi terhadap keterpurukan total negara kita. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut adalah pentingnya pendidikan multikultural. Paling tidak ada dua hal yang patut digarisbawahi terkait dengan rekomendasi itu. Pertama, mereka sepakat bahwa carut-marut kehidupan masyarakat yang majemuk ini dalam berbangsa dan bernegara ikut diperparah oleh munculnya eskalasi konflik, baik secara vertikal maupun horisontal. Dalam kaitan ini, eskalasi konflik dinilai sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan integrasi nasional di bawah naungan NKRI. Kedua, 1 Indriyani Ma’rifah, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,” Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel Surabaya 5-8 November 2012: 225 2 Kompas Newsroom. “Bom Meledak di Vihara Ekayana Kebon Jeruk.” Minggu, 4 Agustus 2013. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/04/2314032/Bom.Meledak.di.Vihara.Ekaya na.Kebon.Jeruk [ 5 September 2013] 3 Ma’rifah, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam,” hlm. 225 4 Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, No. 2 (November 2010), hlm. 170
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 483
sistem pendidikan yang berjalan selama ini, termasuk pendidikan agama, dianggap belum berhasil memerankan fungsinya membina kearifan tunastunas bangsa akan kebhinekaan dan penghargaan mereka terhadap perbedaan sebagai dasar semangat kebangsaan terhimpit oleh desakan yang kian merangsek dari kepentingan primordialistik, semisal sektarianisme dan provinsialisme.5 Ironinya selang beberapa dekade kemudian, kondisi negara kita belum beranjak dari jurang keterpurukan akibat permasalahanpermasalahan di atas. Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusif, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis.6 Oleh karena itu, dalam pandangan penulis, deradikalisasi pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan. Upaya deradikalisasi pendidikan Islam dalam rangka membangun kesadaran inklusif-multikultural untuk meminimalisir radikalisme Islam perlu menjadi kajian yang mendalam bagi para ahli dan praktisi pendidikan Islam di Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Nur Syam, menyatakan bahwa jalan yang terbaik ke depan untuk mengusung deradikalisasi adalah dengan membangun deradikalisasi agama melalui lembaga pendidikan. Dan untuk itu sangat diperlukan gerakan review kurikulum di berbagai tingkatan pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan anti radikalisasi agama ini.7 Dalam forum Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), pada 7 April 2011, Nur Syam mengemukakan bahwa melakukan tindakan preventif terhadap gerakan radikalisme akan jauh lebih baik daripada tindakan kuratif lainnya, misalnya memerangi atau menghakimi. Tindakan preventif atau pencegahan tentu menjadi cara yang baik di tengah usaha untuk membersihkan Indonesia dari kasus-kasus terorisme yang terus berkembang.8 Beliau pun mengakui untuk mengembangkan gerakan deradikalisasi di kalangan perguruan tinggi tentunya akan sangat rumit. Tantangannya bukan hanya dari mahasiswa yang sudah menjadi eksponen gerakan Islam 5 Mahmud Arif, “Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol. I, No. 1 (Juni 2012), hlm. 2 6 Nursisto, Membumikan Pembelajaran Agama Islam (Yogyakarta: AdiCita, 2008), hlm. 138 7 Nur Syam, “Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan,” IAIN Sunan Ampel website: http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2566 (12 September 2013). 8 Ibid.
484 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies radikal, akan tetapi juga dosen-dosen di PT. Sebagaimana diketahui bahwa ideologi radikalisme ini merupakan ideologi yang sangat kuat tertanam di dalam diri seseorang. Ketika seseorang sudah masuk di dalamnya, maka akan sangat sulit keluar. Yang mungkin adalah menjadi semakin kuat dan bertambah kuat.9 Menelisik Akar Radikalisme Islam di Indonesia Perkataan radikal berasal dari bahasa latin “radix” yang artinya akar. Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental. Sedangkan radicalism artinya doktrin atau praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim.10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme diartikan sebagai “paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis.” 11 Sementara Sartono Kartodirdjo mengartikan radikalisme sebagai “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.”12 Dengan demikian, radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakantindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.13 Radikalisme keagamaan (Islam) dalam tulisan ini penulis definisikan sebagai pengimplementasian faham dan nilai ajaran agama (Islam) dengan cara radikal (keras), fanatik, ekstrim atau mendasar. Namun perlu dicatat juga bahwa radikalisme faham keberagamaan tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan yang bersifat anarkis. Dalam realita memang dapat ditemui bahwa sebagian kelompok gerakan radikal keagamaan hanya terbatas pada pemikiran dan ideologi, dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam melaksanakan faham ajarannya, tetapi sebagian kelompok radikal yang lain menghalalkan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan faham keagamaannya. Karena itu, gerakan radikalisme keagamaan tidak selalu ditandai dengan anarkisme atau terorisme.
9 Nur Syam, “Deradikalisasi Melalui Pendidikan Tinggi,” IAIN Sunan Ampel website: http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2571 (12 September 2013). 10 Nuhrison M. Nuh, “Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam Radikal di Indonesia”, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, VIII (31) JuliSeptember 2009: 36 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 719 12 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 38 13 Mohammad Kosim, “Pesantren dan Wacana Radikalisme”, KARSA, IX (1) April 2006: 844
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 485
Lebih detil, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya―di Timur Tengah―secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Qur’an dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadits. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.14 Terkadang, radikalisme juga diidentikkan dengan problem terorisme. Sehingga, tuduhan pelaku teror kepada warga Negara sering ditujukan kepada mereka yang dianggap radikal. Padahal, secara konseptual hal tersebut masih berada dalam perdebatan. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo (21/3/2011), Ansyaad Mbai menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme.15 Menurut Kepala Badan Penanggulan Teroris (BNPT) ini, ideologi radikal adalah penyebab dari maraknya aksi teror di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme harus diikuti oleh pemberantasan radikalisme. Secara spesifik, Mbai melihat adanya ideologi tersebut dalam perilaku teror di masyarakat sejak tahun 2000-an. Sebetulnya ada beberapa cara pandang sebagai alat untuk melacak akar radikalisme Islam di Indonesia. Cara pandang paling khas ditunjukkan oleh Samuel Huntington (1997) dengan tesis Clash of Civilization yang melihat terorisme sebagai implikasi dari benturan dua peradaban utama di dunia: Islam vis-a-vis Barat. Logika Huntington bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik dunia sebagai struggle for power ― perebutan kekuasaan. Bedanya dari pemikir realis klasik seperti Morgenthau yang menempatkan negara dalam posisi sentral, atau Waltz yang lebih menempatkan kekuasaan (power) dalam perspektif yang material, 14 A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010), hlm. 63 15 Pada wawancara itu, ia menyatakan bahwa ada ideologi yang terstruktur di balik pelaku teror. Selama radikalisme tidak dibendung, terorisme tetap akan marak. Ia menyatakan hal ini ketika mengomentari teror bom buku sebagaimana sudah disinggung penulis pada uraian sebelumnya. Lihat wawancara Majalah Tempo, 21/3/2011 via Dimas. “Ansyaad Mbai: Dari Penjara, Mereka Bisa Kendalikan Aksi Teror.” Tempo.co. Senin, 21 Maret 2011. http://www.tempo.co/read/news/2011/03/21/078321584/Ansyaad-MbaiDari-Penjara-Mereka-Bisa-Kendalikan-Aksi-Teror [14 September 2013]
486 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Huntington berangkat dari pembagian dunia atas apa yang ia sebut sebagai “peradaban.”16 Huntington menganggap dunia sebagai sebuah perpaduan antarperadaban yang bersifat multipolar, oleh karena itu ia membagi dunia menjadi delapan peradaban besar. Prinsip realisme yang memosisikan interest dalam konteks power memberi basis logika kedua: persaingan antarperadaban menghasilkan konflik dan pertentangan. Jika logika tersebut digunakan sebagai pisau untuk menafsirkan radikalisme di Indonesia, kita akan sampai pada sebuah titik kesimpulan: terorisme adalah ekses dari tidak kompatibelnya peradaban Islam dan Barat. Hal ini dipertegas oleh atribut yang dikenakan oleh pelaku teror, dengan memberi warna Islam sebagai argumen.17 Beberapa penulis yang dianggap “moderat”, seperti Mujani (2007) atau van Bruinessen (2002) mencoba melacak akar genealogis dari Islam Radikal dalam berbagai sudut pandang yang linier dengan teori Huntington di atas.18 Mujani yang menganalisis keterkaitan Islam dan demokrasi di Indonesia menilai, keberadaan Islam Radikal bukan fenomena yang genuine lahir di Indonesia. Mereka kental dengan pengaruh-pengaruh eksternal dari Timur Tengah. Keberadaan gagasan “Islamisme” yang mereka bawa pun tidak sepenuhnya mencerminkan ke-Indonesia-an. Sehingga, ada dua hal yang bisa kita baca sebagai penyebab radikalisme. Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual dengan rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada beberapa fragmen sejarah, khususnya Orde Baru. Kelompok yang termarjinalkan secara historis tersebut, dengan kesadaran sejarah, mencoba mengembalikan posisi politik Islam dengan jalan-jalan non-negara dan struktural. Dalam konteks global, adanya marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni dalam politik internasional (Amerika Serikat) menyebabkan adanya kesadaran untuk mengembalikan daulat politik Islam. Transnasionalisme membawa kesadaran tersebut ke Indonesia dalam bentuk gerakan-gerakan politik Islam. Kedua, fenomena ekonomi-politik. Selain adanya penindasan politik, argumen kedua adalah adanya penindasan ekonomi-politik. Dengan argumen ini, radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang menciptakan mereka tak memiliki akses pada sumber-sumber modal. Dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal dengan “pendekatan kelas”. Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respons kelas untuk Umar, “Melacak Akar Radikalisme”, hlm. 171 Ibid. 18 Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007) serta Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia”, South East Asia Research, 10 (2) 2002: 117-154 16 17
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 487
melawan hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara. Dengan demikian, radikalisme dibaca sebagai potret kesadaran sejarah yang berpadu dengan kesadaran kelas.19 Perspektif berbeda dikemukakan oleh A. Safril Mubah. Menurut peneliti masalah terorisme dan globalisasi pada Cakra Studi Global Strategis (CSGS) Surabaya ini, di Indonesia, akar aksi teror seringkali diarahkan pada radikalisme agama. Publik seolah menutup mata bahwa radikalisme itu juga disebabkan oleh proses globalisasi yang dialami pelaku teror. Hampir semua kajian di Indonesia mengaitkan terorisme dengan radikalisme. Sangat jarang ditemukan kajian yang menghubungkan terorisme dengan globalisasi.20 Berawal dari rentetan peledakan bom sepanjang 2002-2009, Safril menemukan bukti bahwa target serangan-serangan terorisme itu merupakan kepentingan strategis Amerika yang dipandang sebagai ikon globalisasi. Artinya, apabila terorisme dan globalisasi disintesiskan, maka muncul sebuah relasi simbiotik di antara dua konsep besar itu. Di satu sisi globalisasi telah mendorong peningkatan aktivitas terorisme. Di sisi lain, teroris memanfaatkan instrumen globalisasi seperti internet untuk menyebarkan ancaman ketakutan secara meluas.21 Menelisik akar penyebab radikalisme dengan faktor di luar agama sebagai pemicunya sebagaimana uraian di atas memang sangat mungkin, tapi berusaha mengelak untuk tidak mengaitkan radikalisme dengan agama―sebagaimana dipahami pemeluknya―bukan hal yang mudah, karena dalam realitas fenomena tersebut mudah dijumpai. Yang jelas, radikalisme agama tidak pernah terjadi di ruang hampa atau dalam situasi vakum, selalu ada sebab dan sasaran.22 Tantangan Deradikalisasi Pendidikan Islam Menanggulangi terorisme dan radikalisme Islam bukanlah perkara yang mudah. Sebab, terorisme dan radikalisme Islam bukan semata-mata gerakan sosial belaka, namun juga merupakan ideologi. Ideologi tidak mungkin dapat dibasmi hanya dengan pendekatan militer/keamanan saja. Masih banyaknya aksi terorisme di bumi Indonesia merupakan bukti konkrit betapa penggunaan pendekatan militer/keamanan saja tidak cukup efektif untuk membasmi terorisme dan radikalisme Islam hingga akarakarnya.23 Oleh karena itu, berbagai pendekatan penanganan terorisme dan radikalisme Islam lainnya harus pula senantiasa diupayakan. Salah satunya Umar, “Melacak Akar Radikalisme”, hlm. 172 A. Safril Mubah, Teroris versus Globalisasi: Perlawanan Jaringan Jamaah Islamiyah terhadap Hegemoni Amerika (Surabaya: Cakra Studi Global Strategis, 2012), hlm. viii 21 Ibid., hlm. 4 22 Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 30 23 Ma’rifah, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam,” hlm. 225 19 20
488 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies adalah dengan program deradikalisasi melalui pendidikan Islam bernuansa inklusif-multikultural. Deradikalisasi adalah upaya sistematis untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa fanatisme sempit, fundamentalisme, dan radikalisme berpotensi membangkitkan terorisme.24 Deradikalisasi dapat pula dipahami sebagai segala upaya untuk menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti agama, psikologi, hukum serta sosiologi, yang ditujukan bagi mereka yang dipengaruhi faham radikal.25 Sebagai rangkaian program yang berkelanjutan, deradikalisasi ini meliputi banyak program yang terdiri dari reorientasi motivasi, reedukasi, resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang terlibat dengan tindak pidana terorisme (para terpidana tindak pidana terorisme).26 Azra mengatakan bahwa anak-anak sekolah menjadi target khusus rekrutmen kelompok teroris dan radikalis. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini mengemukakan bahwa beberapa penelitian membuktikan adanya upaya rekrutmen ke sekolah-sekolah, dengan melakukan “cuci otak” terhadap pelajar, yang selanjutnya diisi dengan ideologi radikal tertentu.27 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta sungguh mengejutkan. Penelitian yang dilakukan antara Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan siswa (SMP dan SMA) di Jabodetabek menunjukkan bahwa 49% siswa setuju dengan aksi radikalisme demi agama.28 Di beberapa kampus perguruan tinggi umum, kecenderungan mahasiswa untuk mendukung tindakan radikalisme juga sangat tinggi. Hal ini terungkap dalam penelitian tentang Islam Kampus yang melibatkan 2466 sampel mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ketika para mahasiswa ditanya tentang pelaksanaan amar makruf nahi munkar dalam bentuk sweeping tempat-tempat yang dianggap sumber maksiat, mereka menjawab sebagai berikut: sekitar 65% (1594 responden) mendukung dilaksanakannya sweeping kemaksiatan, 18% (446 responden) mendukung sekaligus berpartisipasi aktif dalam kegiatan sweeping. Sekitar 24 Nasir Abbas, “Berdayakan Potensi Masyarakat dalam Pemberantasan Terorisme”, Komunika, 12 (VII) Juli 2011: 5 25 Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan dalam Program Deradikalisasi Terorisme di Indonesia: Kajian Putusan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel”, Yudisial, III (2) Agustus 2010: 110 26 Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009), hlm. 63 27 Azyumardi Azra. “Rekrutmen Anak Sekolah.” UIN Jakarta. Kamis, 28 April 2011. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1912--rekrutmen-anaksekolah.html [14 September 2013] 28 Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”, Walisongo, 20 (1) Mei 2012: 81
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 489
11% (268 responden) menyatakan tidak mendukung sweeping, dan sisanya, 6% (158 responden) tidak memberikan jawabannya. Selanjutnya, mereka yang mendukung sweeping beralasan bahwa kegiatan sweeping tersebut sebagai bagian dari perintah agama (88%), mendukung sweeping karena berpendapat bahwa aparat keamanan tidak mampu menegakkan hukum (4%), dan karena alasan dekadensi moral (8%).29 Meskipun faktor kemunculan terorisme dan juga radikalisme Islam sangatlah kompleks, namun merebaknya fenomena tersebut dapat menjadi cermin PAI di negeri ini. Harus diakui bahwa praktik pendidikan agama (Islam) selama ini lebih bercorak eksklusivistik ketimbang inklusivistik. Artinya, pengajaran pendidikan agama (Islam) lebih menonjolkan pada klaim kebenaran agama sendiri dan menganggap agamanya sebagai satusatunya jalan keselamatan (salvation and truth claim) serta menganggap agama orang lain keliru dan menganggapnya tidak akan selamat.30 Filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, perlu dikritisi untuk selanjutnya dibenahi dan dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim non-muslim, dan truth claim yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat pada agama lain, semestinya “dibongkar” agar umat tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan bukan jalan memperoleh keselamatan. Jika ini yang terjadi, tanpa ragu lagi dan pasti akan merusak harmonisasi agama dan menghilangkan sikap saling menghargai, sehingga pada gilirannya sangat rentan konflik.31 Sejalan dengan tanggungjawab tersebut, Abdullah menggarisbawahi lima tugas utama pendidikan (agama) Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dalam menghadapi keragaman agama, yaitu (1) mengenalkan isu-isu kontemporer yang dihadapi umat Islam, bersamaan dengan upaya menjelaskan ajaran Islam klasik, (2) mengarahkan tujuan utama Islam pada pemecahan permasalahan mengenai hubungan antar manusia, (3) mengkontekstualisasikan Islam, (4) mengkritisi penekanan pendidikan agama hanya pada domain kognitif, dan (5) mendedikasikan Islam tidak semata-mata untuk pengembangan moralitas individu, melainkan juga moralitas publik.32 Salah satu sasaran tujuan dari tugas utama tersebut adalah pendidikan agama bisa membekali peserta didik kecakapan hidup (life skill) berupa kemampuan untuk menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi 29 Abdullah Fadjar dkk., Laporan Penelitian Islam Kampus (Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas, 2007), hlm. 35 30 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 31 31 Edi Susanto, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural (Upaya Strategis Menghindari Radikalisme”, KARSA, IX (1) April 2006: 786 32 M. Amin Abdullah, Membangun Perguruan Tinggi Islam Unggul dan Terkemuka (Yogyakarta: Suka Press, 2010), hlm. 139-140
490 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies dalam sepanjang kehidupannya di tengah realitas masyarakat yang plural. Konsekuensinya, pendidikan agama perlu menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching about religion) yang melibatkan pendekatan kesejarahan dan pendekatan perbandingan.33 Hal ini bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik mengenai aspek universal dan partikular ajaran agamanya. Disamping itu, pendekatan tersebut bermanfaat juga untuk mengatasi kurangnya perhatian selama ini terhadap upaya mempelajari agama-agama lain dan kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar umat beragama lantaran sikap overprotective sehingga kecurigaan tetap mewarnai cara pandang antar penganut agama.34 Dengan perspektif ini, maka kini kita mesti melakukan pembebasan terhadap pendidikan agama yang selama ini dilakukan, dengan memberi warna yang lebih menekankan dimensi inklusivitas. Dalam kondisi demikian, yang perlu dilakukan adalah melakukan reorientasi visi pendidikan agama (Islam) yang berbasis eksklusif-monolitis ke arah penguatan visi inklusif-multikulturalis. Hal ini dilakukan karena telah terjadi kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralitas dalam pendidikan agama, yang pada gilirannya telah menumbuhsuburkan gerakan radikalisme agama. Hal inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar agama.35 Format Deradikalisasi Berbasis Pendidikan Islam InklusifMultikultural Sebagaimana diketahui bahwa praktik dan proses pendidikan terutama yang berlangsung di lembaga pendidikan mempunyai peran dalam membentuk watak dan perilaku setiap peserta didik. Karena itu, setiap proses pembelajaran, terlebih pendidikan agama (Islam) seharusnya mempertimbangkan perlunya meng-insert civic values dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu mencetak output yang mempunyai kesadaran multikultural dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah faktor kurikulum, pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik. Ini bukan berarti bahwa faktor lain kurang penting, namun ketiga hal tersebut yang agaknya menempati prioritas.36 Baidhawy, Pendidikan Agama, hlm. 102 Arif, “Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural”, hlm. 12 35 Susanto, “Pendidikan Agama”, hlm. 787 36 Muqowim, “Mencari Pola Pendidikan Agama Dalam Perspektif Multikultural”, Jurnal MDC Jatim, I (3) Tahun II, Oktober 2004: 8 33 34
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 491
Perumusan kurikulum pendidikan Islam yang bermuatan toleransi merupakan langkah mendesak yang harus dilakukan. Sebab, dewasa ini eskalasi kekerasan berbasis agama kian meningkat. Keberadaan kurikulum pendidikan Islam bermuatan nilai-nilai toleransi menjadi komponen yang penting lantaran menjadi pedoman bagi para pendidik dalam menyampaikan materi-materi tentang ajaran Islam yang menghargai keragaman dan perbedaan.37 Bertolak dari perspektif tersebut, maka dari segi kurikulum, sejak dini peserta didik harus diajarkan dan dibiasakan tidak hanya dengan materi pelajaran yang bersifat normatif-doktrinal-deduktif yang tidak ada hubungannya dengan konteks budaya, namun juga materi yang bersifat historis-empiris-induktif.38 Hal ini mengindikasikan perlunya perimbangan antara materi yang berupa teks dan konteks. Bahwa teks berisi ajaran normatif yang masih bersifat umum, sementara konteks berupa realitas empirik-faktual yang bersifat partikular. Persoalan seringkali muncul justru ketika teks berhadapan dengan realitas partikular yang heterogen tersebut. Karena itu, materi pelajaran justru harus berisi realitas yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, meskipun materi yang diberikan memuat teks-teks normatif, namun ia juga harus berisikan kasus-kasus konkrit di masyarakat sehingga anak sadar bahwa ia hidup dalam situasi nyata yang penuh perbedaan. Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain: Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu 1) Materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Q.S. Al-Baqarah [2]: 148). 2) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 8-9). 3) Materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (Q.S. An-Nisa’ [4]: 135). Kedua, materi fikih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman Nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Ma’rifah, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam,” hlm. 229 Perlunya mempertimbangkan aspek budaya dalam membuat kurikulum ini ditegaskan oleh Peshkin. Lebih jauh lihat Alan Peshkin, “The Relationship Between Culture and Curriculum: A Many Fitting Thing”, dalam Philip W. Jackson, ed., Handbook of Research on Curriculum (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996), hlm. 248-267 37 38
492 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multietnis, multikultur, dan multiagama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multietnis, multikultur, dan multiagama. Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendisendi moral. Agar pendidikan agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton, dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan. Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleransi.39 Dalam konteks inilah, di sekolah misalnya, siswa diusahakan secara gradual untuk dibebaskan dari sekat-sekat primordial dengan menekankan pendidikan agama yang berbasis pada pluralitas dan kebersamaan, sehingga metode pembelajaran yang dikembangkan bukan lagi indoktrinasi melainkan suasana dialogis. Siswa diajak “berekreasi” terhadap realitas pluralitas sekaligus sekaligus menggali nilai humanitas serta ditradisikan membangun kebersamaan dengan sesama. Dengan kata lain, kurikulum pendidikan agama Islam mesti digagas dengan frame inklusivisme, yakni―meminjam bahasa Amin Abdullah―memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan dalam pendidikan agama.40 Pendidikan agama berbasis inklusivistikmultikultural mesti hijrah dari moralitas individual ke moralitas publik; berusaha memutasikan Tuhan dari konsep utopis-metafisis menuju landing to the earth dan berusaha melakukan lokalisasi akidah dan desentralisasi fikih.41 Dengan demikian, penonjolan segi-segi persamaan dalam setiap agama, pengubahan orientasi pendidikan agama dari yang menekankan 39 Erlan Muliadi, “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, I (1) Juni 2012: 65 40 M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), hlm. 138 41 Susanto, “Pendidikan Agama”, hlm. 788 Bahasan lebih elaboratif tentang ini periksa Muhammad Azhar, “Otonomi Keberagamaan di Era Multikultural”, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi, ed., Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: Pusat Studi Bahasa dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), hlm. 109114
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 493
aspek sektoral fiqhiyah ke arah orientasi pengembangan aspek universalrabbaniyah, penekanan atensi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tanpa memandang atribut-atribut sosio-religius serta ikhtiar menghindari sikap egoisme dalam beragama sehingga tidak terjadi klaim diri sebagai yang paling benar42 merupakan karakteristik substantif pendidikan Islam berbasis inklusif-multikultural. Setelah aspek kurikulum, sosok pendidik yang berparadigma inklusifmultikultural juga perlu ditekankan dalam proses pembelajaran agama di sekolah. Sebab, sebaik apa pun materi yang telah diprogramkan dalam kurikulum, jika tidak dipahami dan disampaikan oleh pendidik yang kompeten, maka tidak akan fungsional. Untuk itu, penyiapan tenaga kependidikan, dalam hal ini guru pendidikan agama, yang mempunyai paradigma pendidikan inklusif-multikultural harus dilakukan. Dalam perspektif Ahmad Asroni, ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menghasilkan pendidik yang inklusif-multikulturalis. Pertama, menyelenggarakan berbagai training, workshop, seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berwawasan multikultural kepada para pendidik. Kedua, menyelenggarakan dialog keagamaan dengan pendidik agama, pemuka, atau umat beragama lainnya. Dengan demikian, para pendidik agama Islam dan pendidik agama lainnya dapat berbaur dan mengenal satu sama lain, sehingga pada gilirannya akan melahirkan sikap apresiatif dan toleransi terhadap agama lain. Ketiga, memperkenalkan bacaan-bacaan atau berbagai referensi yang bernuansa pendidikan multikultural sejak dini kepada para pendidik.43 Guru dan sekolah memegang peranan penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan moderat di sekolah. Apabila guru mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat, maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah.44 Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan 42
151-152
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
43 Ahmad Asroni, “Membendung Radikalisme, Merajut Kerukunan Umat Beragama: Sebuah Upaya Rekonstruktif terhadap Pengajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Penamas, XXIV (1) 2011: 126 44 Husniyatus Salamah Zainiyati, “Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah”, ISLAMICA, I (2) Maret 2007: 141
494 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Lombok-NTB dan kekerasan pada jamaah Syiah di Sampang Madura barubaru ini tidak perlu terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen masyarakat termasuk peserta didik.45 Akhirnya, strategi pembelajaran yang digunakan guru mempunyai peran penting dalam membentuk sikap dan perilaku peserta didik dalam konteks inklusif-multikultural. Tanpa adanya metode dan media yang bagus, materi pembelajaran sebagus apapun akan sulit dicerna dengan baik oleh peserta didik. Pendidik dapat membuat metode dan media pembelajaran pendidikan agama Islam sesuai dengan kebutuhan serta kondisi objektif peserta didiknya. Dalam konteks ini, pendidik dituntut sekreatif mungkin untuk mendesain serta menggunakan metode dan media pembelajaran yang tepat, sehingga dapat memotivasi peserta didik untuk menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai toleransi ke dalam kehidupan konkrit sehari-hari.46 Pendidik agama Islam tidak boleh terpaku pada satu metode saja, namun harus dapat mengelaborasi berbagai metode seperti ceramah, diskusi, field trip atau studi banding, dan lain-lain. Peserta didik misalnya dapat diajak mengunjungi rumah ibadah dan berdialog dengan pengurus rumah ibadah atau jemaat. Pendidik (dan lembaga pendidikan) juga dapat mengagendakan untuk mengundang seorang atau kelompok minoritas agama untuk memberikan ceramah dan berdiskusi dengan peserta didik. Dengan begitu, peserta didik mendengar, berdiskusi, dan sharing pengalaman tentang apa saja yang mereka rasakan selama ini sebagai kaum minoritas. Pasca mendengar testimoni kaum minoritas, dalam diri peserta didik diharapkan tumbuh sikap apresiatif dan empatik terhadap kaum minoritas, sehingga mereka dapat menerima serta menempatkan kaum minoritas secara terhormat dan sederajat seperti halnya kelompok masyarakat yang lain.47 Sementara terkait media pembelajaran, pendidik agama Islam misalnya dapat memutar film dan membuat gambar, poster, komik, dan sebagainya yang memuat nilai-nilai toleransi beragama. Di era teknologi informasi yang berkembang sangat pesat belakangan ini, kiranya tidak sulit bagi pendidik agama Islam untuk mencari dan membuat media bermuatan nilai-nilai toleransi yang bagus dan menarik. Ibid., hlm. 141-142. Lihat juga Muliadi, “Urgensi Pembelajaran”, hlm. 63 Asroni, “Membendung Radikalisme”, hlm. 129 47 Ma’rifah, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam,” hlm. 236 45 46
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 495
Kesimpulan Mengembangkan gerakan deradikalisasi di kalangan perguruan tinggi tentunya akan sangat rumit. Tantangannya bukan hanya dari mahasiswa yang sudah menjadi eksponen gerakan Islam radikal, akan tetapi juga dosen-dosen di PT. Sebagaimana diketahui bahwa ideologi radikalisme ini merupakan ideologi yang sangat kuat tertanam di dalam diri seseorang. Ketika seseorang sudah masuk di dalamnya, maka akan sangat sulit keluar. Yang mungkin adalah menjadi semakin kuat dan bertambah kuat. Dalam pandangan penulis, upaya deradikalisasi pendidikan Islam dalam rangka membangun kesadaran inklusif-multikultural untuk meminimalisir radikalisme Islam perlu menjadi kajian yang mendalam bagi para ahli dan praktisi pendidikan Islam di Indonesia. Dan untuk itu sangat diperlukan gerakan review kurikulum di berbagai tingkatan pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan anti radikalisasi agama ini. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah faktor kurikulum, pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik. Ini bukan berarti bahwa faktor lain kurang penting, namun ketiga hal tersebut yang agaknya menempati prioritas. Daftar Pustaka Abbas, Nasir, “Berdayakan Potensi Masyarakat dalam Pemberantasan Terorisme”, Komunika, 12 (VII) Juli 2011: 5 Abdullah, M. Amin, Membangun Perguruan Tinggi Islam Unggul dan Terkemuka. Yogyakarta: Suka Press, 2010. Abdullah, M. Amin, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005. Arif, Mahmud, “Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural”, Jurnal Pendidikan Islam, I (1) Juni 2012: 2&12 A. Sirry, Mun’im, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003. Asroni, Ahmad, “Membendung Radikalisme, Merajut Kerukunan Umat Beragama: Sebuah Upaya Rekonstruktif terhadap Pengajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Penamas, XXIV (1) 2011: 126-129 Azhar, Muhammad, “Otonomi Keberagamaan di Era Multikultural”, dalam Baidhawy, Zakiyuddin dan M. Thoyibi, ed., Reinvensi Islam
496 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Multikultural. Surakarta: Pusat Studi Bahasa dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005. Azra, Azyumardi. “Rekrutmen Anak Sekolah.” UIN Jakarta. Kamis, 28 April 2011. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28artikel/1912--rekrutmen-anak-sekolah.html [14 September 2013] Baidhawy, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga, 2005. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Dimas. “Ansyaad Mbai: Dari Penjara, Mereka Bisa Kendalikan Aksi Teror.” Tempo.co. Senin, 21 Maret 2011. http://www.tempo.co/read/news/2011/03/21/078321584/Ansyaad -Mbai-Dari-Penjara-Mereka-Bisa-Kendalikan-Aksi-Teror [14 September 2013] Fadjar, Abdullah dkk., Laporan Penelitian Islam Kampus. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas, 2007. Golose, Petrus Reinhard, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009. Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1985. Kosim, Mohammad, “Pesantren dan Wacana Radikalisme”, KARSA, IX (1) April 2006: 844 Ma’rifah, Indriyani, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,” Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel Surabaya 5-8 November 2012: 225-236 M. Nuh, Nuhrison, “Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam Radikal di Indonesia”, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, VIII (31) Juli-September 2009: 36 Mubah, A. Safril, Teroris versus Globalisasi: Perlawanan Jaringan Jamaah Islamiyah terhadap Hegemoni Amerika. Surabaya: Cakra Studi Global Strategis, 2012. Mubarok, Husni, “Memahami Kembali Arti Keragaman: Dimensi Eksistensial, Sosial dan Institusional”, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, IX (35) Juli-September 2010: 33 Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2007.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 497
Muliadi, Erlan, “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, I (1) Juni 2012: 63-65 Muqowim, “Mencari Pola Pendidikan Agama Dalam Perspektif Multikultural”, Jurnal MDC Jatim, I (3) Tahun II, Oktober 2004: 8 Newsroom, Kompas. “Bom Meledak di Vihara Ekayana Kebon Jeruk.” Minggu, 4 Agustus 2013. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/04/2314032/Bom. Meledak.di.Vihara.Ekayana.Kebon.Jeruk [ 5 September 2013] Nursisto, Membumikan Pembelajaran Agama Islam. Yogyakarta: AdiCita, 2008. Peshkin, Alan, “The Relationship Between Culture and Curriculum: A Many Fitting Thing”, dalam Jackson, Philip W. ed., Handbook of Research on Curriculum. New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996. Rokhmad, Abu, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”, Walisongo, 20 (1) Mei 2012: 81 Rubaidi, A, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010. Susanto, Edi, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural (Upaya Strategis Menghindari Radikalisme”, KARSA, IX (1) April 2006: 786-788 Syam, Nur. “Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan.” IAIN Sunan Ampel. http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2566 [12 September 2013] Syam, Nur. “Deradikalisasi Melalui Pendidikan Tinggi.” IAIN Sunan Ampel. http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2571 [12 September 2013] Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah, “Melacak Akar Radikalisme di Indonesia”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 14 (2) November 2010: 170-172 van Bruinessen, Martin, “Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia”, South East Asia Research, 10 (2) 2002: 117-154 Wijaya, Endra, “Peranan Putusan Pengadilan dalam Program Deradikalisasi Terorisme di Indonesia: Kajian Putusan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel”, Yudisial, III (2) Agustus 2010: 110 Zainiyati, Husniyatus Salamah, “Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah”, ISLAMICA, I (2) Maret 2007: 141-142
PELAKSANAAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS BUDAYA LOKAL KEINDONESIAAN (Studi Terhadap Suku Bajo Yang Berorientasi Hidup Di Laut Kabupaten Bone) Abdullah K.1 Pola hidup yang berorientasi di laut menjadi suatu fenomena yang unik dan menarik, bagi orang yang hidup di darat, karena dengan berorientasi di laut mereka seperti mengisolir diri, lambat beradaptasi, suka berpindah dan menjadikan Suku Bajo lebih dekat dengan kemiskinan. Dari kronologis keberadaan Suku Bajo di Kabupaten Bone menunjukkan tenggang waktu yang cukup lama, terutama setelah tinggal secara permanen dalam sebuah perkampungan yang dijadikan pemukiman dari tahun 1973 hingga 2013, tetapi dalam penampilannya belum memperlihatkan perhatian yang memadai terhadap pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, Bertolak dari fenomena tersebut, sehingga penulis tertarik meneliti judul: Pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo yang berorientasi hidup di laut (studi pada Suku Bajo di Kabupaten Bone). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran yang tepat mengenai pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaen Bone, yang berorientasi hidup di Laut serta merumuskan faktor pendukung, penghambat, dan solusi pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo bertumpu pada tripusat pendidikan Islam, berlangsung secara alami, tumbuh secara pelan dengan faktor pendukungnya: seratus persen suku Bajo mengaku beragama Islam, tidak reaksioner, sebagian besar orang tua Bajo sudah menetap, dan sebagian kecil orang tua pernah sekolah di MIS (madrasah Ibtida. Adapun Faktor penghambat pendidikan Islam adalah: budaya hidup yang berkonsentrasi di laut, anak usia lima belas tahun ke atas diikutkan mencari rezeki di laut, masih kurang sosialisasi tentang pentingnya ipteks, lamban dalam berbaur, sebagian masih miskin dan belum ada kesadaran untuk berubah kepada kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu solusinya adalah: orientasi hidup jangan hanya dilakukan di laut melainkan juga di darat, anak usia sekolah jangan diikutkan ke laut agar dapat bersekolah, masih perlu lebih banyak sosialisasi pentingnya ipteks, penciptaan iklim yang meningkatkan penghasilan dan kesadaran untuk berubah kepada kehidupan yang lebih baik. Implikasi penelitian menunjukkan perlunya pola hidup tidak sepenuhnya fokus di laut, tetapi secara pelan perlu juga ada perhatian di darat dengan meningkatkan sistem pembauran yang lebih mantap, perlunya daya rangsang yang kuat dan dahsyat dari pemerintah secara kontinue dan terpadu, sebagai langkah strategis merubah kebiasaan dan persepsi Suku Bajo secara positif terhadap pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Sungguh sangat diperlukan layanan dan pembinaan secara mantap dan berkesinambungan sesuai latar belakang dan 1
Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Watampone Kabupaten Bone
~ 498 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 499
orientasi hidup Suku Bajo, serta perlunya dipelihara dan dipertahankan faktor pendukung agar Suku Bajo semakin intens menunjukkan perhatiannya terhadap pendidikan Islam, sementara faktor penghambat dilakukan solusi dengan setting pendidikan yang menerapkan berbagai kebijakan secara bertahap hingga suatu saat Suku Bajo dapat eksis dan setara dengan Suku Bugis yang sudah maju. Kata Kunci: Pendidikan Islam, Suku Bajo, dan Pola hidup di laut
PENDAHULUAN Hidup pada dasarnya adalah pilihan, boleh di darat ataupun di laut, namun dalam realitasnya, Suku Bajo2 di Kabupaten Bone berfokus mencari rezeki di laut dengan tumpuan mendapatkan ikan atau hasil laut lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhannya.3 Sebab, menurut pandangan Suku Bajo dunia ini dibedakan atas dua yaitu laut untuk orang Bajo dan darat untuk orang lain (bagai). Suku Bajo menolak cara hidup di darat seperti bertani, berkebun, dan berternak dengan alasan psikologis, ekonomis, keterampilan, dan mitos kepercayaan dari nenek moyang mereka. Suku Bajo tidak dapat menunggu hasil usahanya dalam waktu yang cukup lama, karena bagi Suku Bajo, berusaha hari ini untuk dinikmati hasilnya pada hari ini juga. Dari segi pengetahuan dan keterampilan untuk berusaha di darat belum diketahui, sehingga Suku Bajo lebih betah dan lebih senang dengan cara hidup di laut atau di atas air. Pola hidup di laut itulah yang menjadi perhatian penulis yang diperhadapkan dengan pendidikan Islam yang tempatnya di darat. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan lokasi penelitian: Kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang dalam upaya 2 Nama Suku Bajo diberikan oleh orang Bugis, yang asal katanya tabbajo-bajo, berarti terbayang-bayang pada sore hari dari kejauhan di Pantai Teluk Bone sewaktu masih tinggal di perahu, sekitar Abad ke 17. Orang Smatera menamai Suku Bajo sebagai orang yang suka merantau, sementara orang Lamaholot menggelarnya sebagai orang yang kerjanya mendayung perahu dan ada juga yang menyebutnya sebagai Suku Terasing. Suku Bajo di Kab. Bone untuk pertama kalinya datang dari daerah Usu’ Kec. Malili Kab. Luwu. Suku Bajo punya bahasa sendiri yang disebut bahasa Bajo atau bahasa Samal (Sama). 3 Gambaran pola dan orientasi hidup di laut pada Suku Bajo di Kabupaten Bone, dalam artian lahir, hidup dan terkadang matinya di laut, karena laut adalah lumbung makanan, obat, lalulintas, tempat menguatkan badan, tempat tinggal, sahabat dan tempat bersemayam roh nenek moyangnya. Satu-satunya sumber rezeki hanya di laut dengan pola pencarian yang dinamakan pallibu, papongka, sakai dan lame dengan menggunakan perahu, perahu motor, kapal sehingga terkenallah Suku Bajo sebagai pengelana laut yang unggul/ulung, sea nomaden, sea gypisies, mempunyai budaya kemaritiman atau aqua culture.
500 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies memperoleh data empiris, peneliti menggunakan seperangkat instrumen dalam bentuk pedoman interviu, kamera dan catatan lapangan dengan sasaran penelitian adalah anak-anak, orang tua dan Lolo Bajo, perangkat kelurahan, tokoh masyarakat, para pembina/ madrasah dan sekolah.Dalam mengumpulkan data pustaka dan lapangan digunakan pendekatan edukatif dan psikologis dengan sentuhan: teologis deskriptif, filosofis, sosiologis, antropologis, dan historis. Selanjutnya, data diolah dan dianalisis secara deskriptif, dan dilakukan trianggulasi. HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone. Ruang lingkup dan arena pendidikan Islam bertumpu pada tri pusat pendidikan yaitu: rumah tangga (pendidikan informal), sekolah (pendidikan formal) dan masyarakat (pendidikan non formal). 1. Pelaksanaan Pendidikan Islam Secara Informal pada Suku Bajo di Kab.Bone. Suku Bajo mengakui bahwa pada lingkungan pendidikan informal, kedua orang tua menjadi pendidik utama dan pertama dalam membentuk karakter seseorang anak, baik pada pra-kelahiran maupun pasca-kelahiran. Lingkungan keluarga adalah awal kehidupan bagi setiap manusia, sehingga menjadi tempat anak-anak dibesarkan dalam asuhan orang tuanya yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam. Persoalan pendidikan tidak menjadi beban pikiran bagi Suku Bajo, sehingga pendidikan tidak mendapatkan perhatian secara serius. Namun, pada dasarnya pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo secara informal, dilakukan di rumah dan di perahu. Orang tua Bajo dalam mendidik anak-anaknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan melaut dilaksanakan di rumah oleh sang ayah pada waktu kembali dari melaut dengan memberi nasehat, peringatan, keteladanan dan kisah mengenai pengalaman masa lalu untuk dijadikan pengalaman dan pegangan hidup di masa kini dan di masa mendatang. Terkait dengan pelaksanaan pendidikan Islam di rumah, Buba mengemukakan bahwa: Anak usia tiga hingga enam tahun pada Suku Bajo pada umumnya hanya tinggal di rumah bersama ibunya, yang sepanjang hari kebanyakan bermain di tanggul dan mandi di pinggir laut sambil menunggui orang tuanya kembali dari melaut. Anak-anak Suku Bajo pada umunya pandai berenang sejak umur lima tahun sehingga anak laki-laki dapat membantu mengangkat ikan dari perahu atau kapal ke
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 501
darat atau ke tanggul, sambil mengumpulkan hasil mabbebenya4 untuk dikonsumsi atau dijual.5 Orang tua Bajo tidak mempunyai berbagai tuntutan yang harus dilakukan secara informal oleh anak-anaknya, seperti menghafal surah-surah pendek Al-Qur’an, menghafal doa-doa yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau menyampaikan kisah-kisah kenabian dan sejarah perjuangan para sahabat Nabi atau pembela tanah air. Hal tersebut terjadi karena, para ibu tidak mempunyai wawasan seperti itu dan pada umumnya kaum ibu tidak tamat SD sehingga pengetahuan dan pengalamannya sangat terbatas untuk memberikan pembinaan secara memadai. Orang tua Bajo lebih membiarkan anaknya tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, tanpa terlalu banyak mencampuri dan menuntut berbagai kewajiban. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan Islam secara informal bagi orang tua Bajo lebih cenderung ke aliran naturalisme yang berpandangan bahwa semua anak dilahirkan berpembawaan baik, dan anak akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan. Pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa dapat merusak pembawaan anak yang baik, sehingga pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa tidak dapat dipaksakan, dan pendidik harus membiarkan perumbuhan anak pada alam.6 Anak laki-laki Suku Bajo yang berumur lima belas tahun ke atas yang tidak bersekolah dilibatkan melaut menemani bapaknya mencari rezeki, sehingga waktunya lebih banyak di atas air daripada di darat atau lebih dominan di dalam perahu daripada di rumah. Oleh karena itu, belajar secara informal yang banyak mereka dapatkan di laut (di atas perahu). Sang ayah menanamkan nilai-nilai akidah, ibadah dan akhlak di laut di atas perahu dengan menjadi idola yang ditiru secara alami oleh anaknya. Terkait dengan pendidikan Islam yang dilaksanakan di perahu. Dengan demikian penanaman nilai-nilai akidah, ibadah dan akhlak serta pewarisan pengetahuan melaut secara praktis dan langsung dilakukan di atas laut. 2. Pelaksanaan Pendidikan Islam Secara Formal pada Suku Bajo di Kab.Bone. Pendidikan Islam secara formal pada dasarnya merupakan proses pendidikan yang diorganisasikan secara resmi berdasarkan struktur hirarkis dan kronologis dari jenjang PAUD, madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi. Lingkungan sekolah sangat berpengaruh terhadap pendidikan Islam. 4
Mabbebe artinya memperkenankan anak-anak mengambil ikan para nelayan Bajo beberapa ekor sebagai sumber penghasilan, baik untuk dikonsumsi ataupun dijual sebagai uang jajan. 5 Buba, Suku Bajo, Wawancara, Bajoe, tanggal 27 Januari 2012. 6 Lihat Uyoh Sadullah dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), (Cet. I, Bandung: Alfabeta, 2010), h. 65.
502 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies a. Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini (Paud) pada Suku Bajo Anwar dan Arsyad Ahmad mengemukakan bahwa ada empat pertimbangan pokok tentang pentingnya pendidikan anak usia dini yaitu: “1) menyiapkan tenaga kerja manusia yang berkualitas, 2) mendorong percepatan perputaran ekonomi, 3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat, 4) menolong para orang tua dan anak.”7 Pendidikan anak usia dini menjadi penting dan paling mendasar untuk dilakukan, karena pada saat bayi dilahirkan sudah dibekali Tuhan dengan berbagai struktur otak yang lengkap dan memiliki neuron milyaran, yang jika tidak distimuli dan diberdayakan sejak dini hingga usia lima sampai enam tahun, maka neuron tadi akan mati dengan sendirinya. Sebaliknya jika mendapat sambutan yang positif akan tumbuh dan berkembang secara sempurna di masa berikutnya, sehingga kelihatan kecerdasan, kepintaran dan keterampilannya sesuai dengan rangsangan yang diberikan sebelumnya pada waktu bayi.8 Pada umumnya lembaga pembinaan usia dini di Kelurahan Bajoe dekat dari pemukiman Bajo, bahkan empat diantaranya terletak di kampung Bajo yaitu: Kelompok Bermain Bahari di jalan Cekalang, TK PADU Manurungge dan RA/TPA di Jalan Tanggul sebelah timur perkampungan Bajo, RA Ami>r al-Jannah di Jalan Yos Sudarso Lingkungan Apasareng, dan RA Nur al-Huda>. di Jalan Yos Sudarso. Dua di antaranya didirikan di Lingkungan Bajo yaitu Kelompok Bermain Bahari dan TK PADU Manurungge, sehingga angka partisipasi mencapai 91 % yaitu 67 anak dari sejumlah 75 orang, yang selebihnya 9% dengan alasan belum siap antar jemput dari rumah ke lokasi PAUD. Animo orang tua Bajo terhadap pendidikan anak usia dini atau pada tiga tahun terakhir, mulai tumbuh kalau dibanding masa sebelumnya, hal tersebut dipicu oleh beberapa faktor yaitu: 1) Lokasi pembinaan PAUD dibangun di lingkungan Bajo, terutama TK PADU terletak di tanggul yang menjadi lokasi bermain anak-anak suku Bajo di pagi hari dan sore hari, karena di dalam perkampungan tidak ada tempat bermain, hanya ada jalan setapak dan bangunan rumah yang cukup padat. 2) Adanya proaktif dari pengasuh, tutor atau pembina untuk mengajak orang tua Bajo memasukkan anaknya di lembaga pembinaan PAUD. 3) Anak usia di bawah sepuluh tahun belum mampu membantu orang tua mencari rezeki di laut. 4) PAUD diselenggarakan secara gratis sehingga cukup merangsang orang tua Bajo untuk mengawasi dan memotivasi anaknya untuk ikut serta dalam pembinaan PAUD. 7
Anwar dan Arsyad Ahmad, Pendidikan Anak Dini Usia Panduan Praktis bagi Ibu dan Calon Ibu (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 2. 8 Lihat Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 28. Lihat pula Anwar dan Arsyad Ahmad, op. cit., h. 7.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 503
Orang tua yang tertarik memasukkan anaknya di lembaga PAUD pada umumnya adalah keluarga yang berasal dari perkawinan campuran antara Bugis dengan Bajo dan anak dari orang tuanya pernah sekolah. b. Pelaksanaan Pendidikan Suku Bajo di Madrasah Ibtidaiyah Di kelurahan Bajoe terdapat tujuh SD yaitu: a) SD N0. 18 b) SD Inpres 3/77 dan c) SD Inpres 4/82 ketiganya terletak di Lingkungan Rompe. d) SD Inpres 3/77 di Lingkungan Pao, e) SD Inpres 5/81, f) SD Inpres 10/73 dan g) SD 17. Ketiganya sekolah tersebut terletak di Lingkungan Appasareng, dan hanya ada satu Madrasah Ibtidaiyah yang terletak di Lingkungan Bajo. Walaupun demikian, hanya ada satu pilihan bagi Suku Bajo dalam menyekolahkan anaknya yaitu MIS, karena yang terdekat di kampung Bajo. Anak-anak Suku Bajo mendominasi MIS Bajoe tiga tahun terakhir dari 167 siswa, terdiri 133 siswa dari Suku Bajo (80%), selebihnya: 34 siswa dari Suku Bugis (20%). karena MIS satu-satunya madrasah yang sangat dekat dengan perkampungan Suku Bajo. Selain di MIS tidak ditemukan anak-anak Suku Bajo yang sekolah di SD. Sebaliknya Suku Bugis hanya 20%.di MIS, tetapi 100 % di berbagai SD yang ada di Kelurahan Bajoe. Demikian juga yang tamat tiga tahun terakhir mencapai 75% dari siswa Suku Bajo. Menurut Hj. ST. Narwiah bahwa munculnya animo yang tinggi bagi Suku Bajo dalam menyekolahkan anaknya di MIS belakangan ini adalah dipicu: 1) Adanya proaktif dari guru. 2) MIS berada di dekat perkampungan Bajo. 3) Adanya dana gratis, dana BOS serta dana lainnya yang cukup merangsang orang tua Bajo dalam mengikutkan dan mengawasi anakanaknya dalam bersekolah.9 Sebagian anak-anak suku Bajo usia SD belum sempat memasuki sekolah, bahkan ada diantara mereka yang sedang bersekolah berhenti sebelum tamat karena membantu orang tuanya mencari rezeki di laut. Hal tersebut menurut Hamzah terjadi karena beberapa faktor yaitu: 1) Suku Bajo mampunyai pandangan tersendiri tentang pendidikan yang sangat berbeda dengan orang lain. Yakni lebih mengutamakan pendidikan keterampilan dari pada pendidikan formal. 2) Suku Bajo mempunyai pola mencari nafkah dengan mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya dalam jangka waktu tertentu pada salah satu kawasan yang dianggap strategis untuk penangkapan ikan. 9
Hj. ST. Narwiah, Kepala MIS Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal, 17 Januari 2012.
504 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 3) Anak-anak suku Bajo yang usianya sepuluh tahun ke atas dilibatkan mencari nafkah (menangkap ikan) untuk membantu orang tuanya dalam menanggulangi kebutuhan konsumsi rumah tangga.10 Dewasa ini animo orang tua Bajo untuk menyekolahkan anaknya di MIS mulai tumbuh, demikian juga pendidikan keagamaan dalam rumah tangga khususnya mengaji mulai menjadi perhatian mereka, yang dilakukan di sore hari sesudah salat Asar dan di malam hari sesudah salat Magrib setiap hari atau setiap malam kecuali hari/malam minggu. Guru mengaji tersedia di dalam perkampungan suku Bajo seperti yang diasuh oleh Manniaga, Yasirah, Hj. Dg. Nitirrang dan H. Sarkawi, dengan menggunakan metode Bugda>diyah sementara di Mesjid Ami>r Ilham dan Mesjid Azzaharatuddi>n menggunakan metode Iqra’. Menurut data sensus Kelurahan Bajoe jumlah anak usia SD pada suku Bajo di Kab. Bone tahun 2011 cukup potensial yaitu: 80 orang, walaupun yang terdaftar hanya 50 orang=62,5%, yang terdiri dari 18 lakilaki dan 32 orang perempuan. Sekitar 30 orang=37,5% yang belum sekolah yang pada umumnya bekerja membantu orang tua mencari rezeki di laut. Berhenti sebelum tamat menurut Hj. ST Narwiah menjadi kebiasaan anak-anak Suku Bajo sekian lama, yang dipentingkan adalah mampu membaca, menulis dan berhitung sudah cukup baginya, karena mereka tidak berharap lebih dari itu, di samping alasan tidak punya biaya, juga desakan orang tua agar anak-anak segera meringankan beban mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Setelah digulirkannya pendidikan gratis dan hadirnya dana BOS Suku Bajo mulai terangsang, sehingga droup out menurun secara drastis. Pada Tahun ajaran 2008/2009 jumlah anak-anak Suku Bajo di MIs kelas III sebanyak 22 orang, tamat 17 orang, droup out 5 orang. Pada tahun Ajaran 2009/2010 jumlah anak Suku Bajo kelas III sebanyak 22 orng, tamat 16 orang dan DO 6 orang, dan tahun ajaran 2010/2011 jumlah kelas III sebanyak 25 orang, tamat 19 orang dan DO 6 orang.11 Setiap tahun selalu ada yang droup out namun kelihatan menurun dari tahun ke tahun. Dan yang droup out pada umumya laki-laki karena ikut membantu orang tuanya mencari kayu bakar atau mencari ikan di laut. Pendidikan formal yang diminati oleh anak-anak Suku Bajo lebih memilih MIS, daripada SD karena MIS lebih dekat pada kampung Bajo. c. Pelaksanaan Pendidikan Suku Bajo di Madrasah Tsanawiyah.
10
Hamzah, Wakil Kepala MIS Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 17 Januari 2012. Hj. ST. Narwiah, Kepala MIS Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 17 Januari 2012.
11
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 505
Kondisi dan fasilitas lembaga pendidikan formal tingkat SLTP cukup tersedia dan tidak begitu jauh dari perkampungan Bajo. SMPN 7 Bajoe, MTs al-Nurain Lonrae, dan MTs al-Ami>r fi> al-Jannah masingmasing berjarak satu kilometer dari perkampungan Bajo. Jumlah usia SLTP pada anak Suku Bajo adalah 191 orang, namun yang sekolah sebanyak 54 orang=28,3%, dengan rincian 4 orang di MTs AlNurain, 38 orang di MTs Amir Fil-Jannah dan 12 orang di SMPN 7 Bajoe. Tidak sekolah sebanyak 137 orang=71,7%. Kurangnya animo Suku Bajo memasukkan anak-anaknya di SLTP adalah dengan alasan: 1) tempatnya jauh, 2) belum dikenal, 3) belum ada kesadaran sebagian orang tua Bajo. Dari situ dilihat bahwa anak-anak Suku Bajo pada usia SLTP lebih cenderung ke MTs ketimbang pada SMP dan pada umumnya yang memilih SMP adalah berasal dari keluarga perkawinan campuran. d. Pelaksanaan Pendidikan di Madrasah Aliyah Kondisi dan fasilitas lembaga pendidikan formal tingkat SLTA tidak begitu jauh, karena hanya sekitar enam ratus meter dari perkampungan Bajo ke arah Barat terdapat Madrasah Aliyah al-Ami>r fi> al-Jannah satu lokasi dengan Madrasah Tsanawiyah al-Ami>r fi> al-Jannah yang terletak di Jalan Kesehatan Lingkungan Appasareng, kemudian jarak satu kilometer dari perkampungan Bajo terdapat SMK Pelayaran Baruna Jaya yang terletak di Jalan Yos Sudarso, selanjutnya Balai Latihan Kerja (BLK) hanya sekitar dua kilometer dari perkampungan Bajo, sekitar dua kilometer kearah utara terdapat SMA 6 Bajoe dan sekitar lima kilometer ke Ibukota Watampone terdapat Madrasah Aliyah II yang terletak poros jalanan Yos Sudarso dapat dijangkau dengan naik sepeda, becak, ojek dan mobil angkutan umum. Sepertinya tidak ada hambatan bagi Suku Bajo untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan formal, kecuali alasan mitos dan tradisional yang menjadi pertanda tentang lemahnya aspirasi orang tua terhadap pendidikan dan rendahnya animo anak-anak Suku Bajo mengenai belajar. Dari 68 orang peserta didik MA al-Amir fi al-Jannah hanya 6 orang di antaranya Suku Bajo 3 orang dikelas I dan 3 orang di kelas III, padahal yang tamat di Madrasah Tsanawiyah Amir fi al-Jannah selama tiga tahun terakhir adalah sebanyak 9 orang. Demikian juga, di MAN II Watampone dengan jumlah peserta didik 360 orang 11 di antaranya anak-anak Suku Bajo, SMA 5 Bajoe dengan jumlah peserta didik 662 orang hanya 17 orang Suku Bajo=2,56%. Jumlah usia SMA/MA pada Suku Bajo adalah 196 orang, namun yang memberikan partisipasinya sebanyak 34 orang, yang tidak sekolah 162 orang karena menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari rezeki di laut. Pemahaman Suku Bajo tentang urgensi pendidikan dalam kehidupan belum terwujud. Kalaupun ada orang tua yang menyekolahkan anaknya
506 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies hanya karena mendapat ajakan dari sesama orang tua yang lebih dahulu menyekolahkan anaknya pada madrasah atau sekolah tertentu. e.Pelaksanaan Pendidikan Suku Bajo pada Perguruan Tinggi Agama Islam Ada berbagai perguruan tinggi di Kota Watampone, yang masingmasing mempunyai spesifikasi tersendiri: 1) Universitas Negeri Makassar, 2) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pengayoman, 3) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YAPI, 4) Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Puang Rimaggalatung, 5) Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah, 6) Akademi Keperawatan (AKPER) dan Akademi Kebidanan (AKBID) Bataritoja, 7) Akademi Keperawatan (AKPER) dan Akademi Kebidanan (AKBID) Lapatau Matannatikka, 8) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) alGazali Bone, 9) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Dari kesembilan perguruan tinggi tersebut hanya STAI al-Gazali dan STAIN Watampone yang tergolong perguruan tinggi Agama. STAI alGazali Bone mempunyai program studi Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Guru Raud}ah al-At}fa>l, sedangkan STAIN Watampone mempunyai Jurusan Tarbiyah dengan program studi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Pendidikan Bahasa Inggris dan Manajemen Pendidikan Islam. Hanya ada satu orang Suku Bajo yang pernah kuliah di STAI al-Gazali tetapi setelah semester satu berhenti, demikian juga di STAIN Watampone baru satu orang Suku Bajo yang kuliah sementara di semester empat program studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Dari kesembilan perguruan tinggi tersebut belum didapati generasi Suku Bajo yang memperdalam pengetahuannya pada perguran tinggi umum maupun secara khusus terhadap Perguruan Tinggi Agama Islam. Problema pendidikan Islam secara formal bagi Suku Bajo dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya: a) faktor peserta didik, yang menjadi penghambat adalah seringnya dilibatkan anak usia sekolah mencari rezki di laut serta kurang pedulinya sebagian orang tua terhadap pendidikan anakanaknya. b) faktor pendidik, yang menjadi problema adalah belum adanya Suku Bajo yang menjadi guru bagi sukunya sendiri, Tentu dari Suku Bajolah yang dapat memahami karakter sukunya serta merasakan kepentingannya terhadap pendidikan. c) faktor tujuan, bagi Suku Bajo belum memiliki tujuan yang jelas dalam belajar dan bersekolah, karena dari mereka belum ada yang dapat dijadikan rujukan yang mempunyai kemampuan financial yang handal lebih dari cukup baik sebagai PNS, polisi ataupun tentara, karena memang belum pernah ada yang diangkat seperti itu. d) faktor alat/media pendidikan, belum tersedianya alat/media pendidikan yang dibutuhkan oleh Suku Bajo yang sesuai alamnya yang terkait dengan kelautan dan perikanan. e) faktor lingkungan pendidikan, belum pernah diwujudkan sekolah di atas laut, pasar terapung, pelayanan kesehatan di atas air, bank perkreditan atau koperasi di
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 507
atas air atau sarana dan prasarana yang sesuai dengan dunia Suku Bajo. Bahkan fasilitas lembaga pendidikan sama sekali belum ada di lingkungan pemukiman Suku Bajo, kecuali PADU dan MIS yang terletak disekitar tanggul kampung Bajo. f) dari segi jadwal belajar yang mungkin dapat disesuaikan waktu senggang anak-anak Suku Bajo pada umumnya. g) dari segi materi/muatan kurikulum lebih ditonjolkan IPA ketimbang IPS dan sebagainya. 3. Pelaksanaan Pendidikan Islam secara Nonformal pada Suku Bajo di Kabupaten Bone Perhatian Suku Bajo terhadap pendidikan non formal terutama pendidikan Islam baru bertumpu pada pengajian Al-Qur’an karena hadirnya mesjid Amirul Ilham di perkampungan Bajo pada Jalan Cakalang dan mesjid Azzahratuddin di bagian selatan tanggul Jalan H. Tonggo yang menyelenggarakan TPA dengan sistim iqra’ dan pengajian Al-Qur’an dengan sistim bugdadadiyah yang diselenggaran oleh orang tua Bajo, sehingga anak-anak Suku Bajo secara pelan dapat membaca Al-Qur’an secara tartil. Majelis taklim mulai terlaksana di Kampung Bajo setelah terbangunnya Mesjid Azzahratuddin dan Mesjid Amir Ilham hanya saja masih terbatasnya nara sumber yang dapat memberikan pengajian secara rutin, sehingga Suku Bajo hanya mendapat siraman rohani pada setiap hari Jumat, majelis taklim sekali sebulan dan ceramah Ramadan setiap tahun yang dibina oleh pesantren al-Ami>r fi> al-Jannah. Demikian pula mengenai remaja mesjid anak-anak Suku Bajo belum mampu memberikan partisipasinya secara riil karena mereka belum punya keterampilan dan pengalaman untuk melakukan tugas itu, bahkan mereka masih tampak sangat minder dalam bergaul. Untuk sementara waktu pengurus mesjid Amir Ilham masih didominasi oleh orang Bugis. Lolo Bajo sebagai pemimpin informal, belum memperlihatkan keunggulan yang dapat mempercepat kemajuan bagi suku Bajo secara menyeluruh karena tidak adanya lolo Bajo yang pernah belajar secara permanen, apalagi untuk berfungsi sebagai kyai atau usta>z\ yang setiap saat dapat memberikan wejangan. Rustan Talibbe mengatakan bahwa: Lolo Bajo sebagai pemimpin nonformal sangat dihormati ketimbang pemimpin formal. Dalam artian orang tua Bajo sangat patuh dan hormat pada Lolo Bajo, tetapi sering acuh terhadap anjuran dan himbauan aparat pemerintah, oleh karena itu dibutuhkan Lolo Bajo yang mempunyai kemampuan dan kapasitas yang dapat mengeluarkan Suku Bajo dari cengkeraman
508 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies budaya yang membelenggu agar Suku Bajo dapat setara dengan Suku Bugis yang telah maju.12 Orang Bugis melihat bahwa untuk meningkatkan taraf pendidikan Suku Bajo haruslah dibimbing dan dididik dari sukunya sendiri. Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah kongkrit untuk membina dan mewujudkan kader baik sebagai calon guru, muballig, perawat maupun kepentingan tenaga lainnya. Demikian juga pengadaan fasilitas sarana dan prasarana diupayakan agar dibangun di tengah-tengah atau di lingkungan pemukiman Suku Bajo. Problema pendidikan Islam secara non formal bagi Suku Bajo adalah belum adanya wadah atau organisasi yang dapat menggiring Suku Bajo dan generasinya dalam meningkatkan wawasan pengetahuan agama Islam serta tidak adanya orang tua yang mempunyai pengetahuan yang memadai tentang agama Islam terutama dari golongan Lolo Bajo yang selalu diikuti sepak terjangnya dan didengar nasehatnya. B. Faktor Pendukung, Penghambat dan Solusi Pelaksanaan Pendidikan Islam bagi Suku Bajo di Kabupaten Bone 1. Faktor Pendukung Pelaksanaan Pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone. Ada berbagai faktor pendukung dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone yaitu: a. Suku Bajo seratus persen mengaku beragama Islam Pengakuan Suku Bajo terhadap agama Islam sebagai agamanya menjadi modal dasar dalam pengembangan pendidikan Islam, walaupun dalam realitasnya menurut H. Abdul Jabbar masih ada Suku Bajo yang belum mampu melafazkan dua kalimat syahadat dengan sempurna secara pasih, belum mampu mendirikan salat lima waktu secara disiplin, belum mampu puasa Ramadan secara sempurna, tidak pernah mengeluarkan zakat dan masih langkah yang menunaikan ibadah haji.13 Menjadikan agama Islam sebagai satu-satunya pilihan bagi Suku Bajo akan menjadi secercah harapan dalam memberikan nasehat, siraman rohani (dakwah) dan pendidikan untuk menumbuhkan keislaman, keimanan dan ketakwaan mereka. Motivasi nilai-nilai agama pada Suku Bajo mulai mendapatkan perhatian seperti tidak turun di laut pada hari Jum’at agar tidak alpa pada salat Jum’at, dan beberapa orang di antaranya telah menunaikan ibadah haji.
12
Rustan Talibbe, Kepala Kelurahan Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 7 Januari
2012. 13
H. Abdul Jabbar, Imam Kelurahan Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 11 Januari
2012.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 509
Pengakuan Suku Bajo di Bone terhadap agama Islam sebagai pilihan bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi melalui suatu proses yang sangat permanen, sebagaimana diungkapkan oleh H. Lolo bahwa: Ketika Raja Gowa mengajak Raja Bone memeluk Islam dan penaklukan Bone oleh Belanda Suku Bajo menjadi sasaran di Teluk Bone. Dan ketika Raja Bone menerima Islam maka seluruh masyarakatnya juga menerima Islam termasuk Suku Bajo yang sangat hormat pada Raja Bone karena perlakuan dan penghargaan khusus raja Bone kepada Suku Bajo begitu berkesan sehingga betah tinggal dan mempertahankan kerajaan Bone dari serangan arah laut. Penerimaan agama Islam oleh leluhur Bajo di Bajoe diwarisi secara turun-temurun oleh generasi Suku Bajo di Kabupaten Bone hingga kini.14 Dari pengakuan Suku Bajo terhadap agama Islam tersebut menjadi faktor pendukung dalam terlaksananya pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone. b. Suku Bajo tidak reaksioner Suku Bajo dikenal sebagai suku yang damai, ramah, bersahabat dan tidak suka menantang, memiliki semangat yang handal, tetapi tidak agresif dan tidak iri hati dalam menghadapi persaingan baik sesama Suku Bajo maupun terhadap suku lain, sehingga begitu merasa diganggu, dihina dan dibentak maka mereka pergi meninggalkan suatu tempat ke tempat yang lain yang dianggap aman dan dimana orang Bajo berada, karena mereka mempunyai perahu sebagai alat transportasi dan rumah mereka sebagian sifatnya masih darurat dan sangat sederhana, sehingga tidak merasa berat hati untuk meninggalkannya. Kondisi yang demikian menjadikan persepsi orang tua mengenai belajar semakin tidak jelas dan cenderung diabaikan apalagi semasa mereka tinggal di perahu begitu cepat mereka dapat pergi jika merasa terganggu. Berkat adanya himbauan dari Lolo Bajo, proaktif dari kepala sekolah dan guru serta rangsangan dana bantuan dan ajakan dari pemerintah dan pembauran dengan masyarakat Bugis, maka secara pelan Suku Bajo menjadi faktor pendukung dalam menyambuti pelaksanaan pendidikan Islam di Kabupaten Bone. c. Sebagian besar orang tua Suku Bajo sudah menetap di pemukiman Setelah orang tua Bajo ditempatkan dalam suatu pemukiman maka secara pelan anak-anak Suku Bajo telah berbaur dan menjalin hubungan dengan Suku Bugis, sehingga mereka mulai membuka diri dan mulai berkenalan dengan pendidikan formal. Sebagian kecil orang tua Bajo mengikutsertakan anak-anak mereka ke sekolah sehingga secara pelan-pelan 14
H. Lolo, Tokoh Masyarakat Kelurahan Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 14 Januari 2012.
510 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies melupakan aktivitas hidup di laut. Apalagi setelah terjadi pemilikan tanah dan pembangunan rumah permanen pasti berat hati untuk selalu pindah, sehingga lebih betah dan lebih bertahan lama, yang membuat anak-anaknya bisa berbaur dan bersekolah. Terkait dengan itu Ambo menjelaskan bahwa: Sejak tahun 1976 setelah dimukimkan dalam sebuah perkampungan khusus yang disebut perkampungan suku Bajo di Bajoe, maka mulai terjadi pembauran bagi anak-anak mereka dalam persekolahan.15 Pembangunan rumah di lingkungan pemukiman Bajo menempati areal pantai seluas dua hektaare yang terletak di sebelah selatan pelabuhan penyeberangan Bajoe-Kolaka. Rumah-rumah Suku Bajo tertata secara memanjang dan berjejer mengikuti jalan setapak secara berhadap-hadapan yang jumlahnya 221 buah, terdiri dari 116 rumah panggung dan 5 buah rumah permanen. Pada tahun 1982 dibangun tanggul melingkari perkampungan orang Bajo, sehingga kesan antara laut dengan perkampungan terpisah adanya, hanya perahu kecil yang dapat ditambatkan di samping rumah, sedangkan untuk perahu ukuran besar harus ditambatkan sepanjang tanggul di tepi pantai. Kondisi demikian menjadikan kesan hidup di atas air dapat bergeser hidup di darat, demikian juga orientasi hidup menjadi tidak sepenuhnya di laut membuat anak-anak suku Bajo mempunyai peluang untuk berbaur dengan anak-anak Bugis, sehingga pelan-pelan minatnya terhadap pendidikan dan gairahnya untuk bersekolah terbangun terhadap pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. d. Sebagian kecil orang tua Suku Bajo pernah sekolah di SD Orang tua Suku Bajo yang pernah sekolah menjadi motivator agar anak-anaknya dapat bersekolah karena mereka merasa sedikit lebih maju daripada orang tua yang tidak pernah sekolah, sudah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang sungguh sangat positif jika dibandingkan dengan orang tua yang tidak pernah sekolah sama sekali. Kondisi yang demikian berpengaruh terhadap perubahan dan perkembangan anak-anak Suku Bajo dalam pendidikan formal sekaligus membangun animo anak-anak Suku Bajo untuk bersekolah. Pada tahun dua ribuan sudah terjadi regenerasi yang mempunyai zaman yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga dengan perubahan dan pembauran maka kondisi dan prestasi pembelajar mulai menunjukkan hasil yang lebih positif, terutama yang orang tuanya pernah menikmati pendidikan di sekolah dasar. Dengan demikian nampak bahwa orang tua Bajo yang pernah sekolah mempunyai pikiran maju ketimbang orang tua yang tidak pernah 15
Ambo, Mantan Sekertaris Kelurahan Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 13 Januari
2012.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 511
sekolah, karena orang tua Bajo yang pernah sekolah berusaha menggiring anak-anaknya untuk bersekolah, karena tidak mau lagi anaknya menjadi tertinggal (tidak bersekolah). C. Faktor Penghambat dan Solusi Pelaksanaan Pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone 1. Faktor Penghambat Pelaksanaan Pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone Pada dasarnya yang menjadi faktor penghambat bagi terlaksananya pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone adalah: 1) budaya Suku Bajo yang masih cenderung berkonsentrasi mencari rezeki di laut, 2) anak usia sekolah diikutkan membantu mencari rezeki di laut, 3) masih kurangnya sosialisasi tentang pentingnya iptek, 4) lamban dalam bergaul dengan lingkungannya, 5) hampir seluruh fasilitas pendidikan, kesehatan dan sebagainya berada di luar perkampungan Suku Bajo, 6) masih dilingkupi kemiskinan, dan 7) belum tumbuhnya kesadaran untuk berubah kepada kehidupan yang lebih baik. 2. Solusi dari Faktor Penghambat Pelaksanaan Pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone Adapun solusi dalam mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo di Kabupaten Bone yaitu: 1) Orientasi hidup jangan hanya dilakukan di laut, tetapi juga di darat. Terkait dengan itu Rustan Talibbe mengemukakan bahwa: Suku Bajo perlu usaha sambilan di darat walaupun kesan orientasi laut tetap menjadi bagian dari hidupnya, seperti menjual ikan di pasar, menggandeng ikan, membuat ikan asap, ikan asing dan abon-abon ikan cakalang, membuka kios sembako, membuat jajanan kue, atau menjadi buruh pelabuhan, menjadi tukang batu, tukang kayu, membuka perbengkelan dan sebagainya, sehingga pelan-pelan orientasi hidup di laut bergeser di darat, agar anak-anaknyapun dapat berbaur dan bersekolah di darat.16
2) Anak usia sekolah jangan diikutkan melaut supaya dapat ikut bersekolah. Secara pelan menggeser sebagian waktunya agar tidak seluruh waktunya digunakan di laut, tetapi sebagiannya digunakan di darat bersosialisasi dan bersekolah. Dalam kaitan itu Hj. ST. Narwiah mengemukakan bahwa: Tiga tahun terakhir ini perhatian dan rangsangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Suku Bajo melalui lembaga pendidikan MIS Bajoe cukup bermakna, karena mampu meningkatkan perhatian dan partisipasi Suku Bajo terhadap pendidikan, utamanya pendidikan Islam. Bantuan
16
Rustan Talibbe, Kepala Kelurahan Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 7 Januari
2012.
512 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies tersebut ada yang berasal dari dana gratis, dana BOS, dana langsung tunai dan bantuan lainnya.17
Dapat ditegaskan bahwa setelah Suku Bajo tinggal secara permanen di perkampungan Bajo, maka lambat laun menggiring anak perempuan ditinggal di rumah untuk membantu ibunya mengurusi rumah tangga, menjual ikan di pasar Bajoe, mengelola pengasingan ikan, ikan asap dan abon-abon ikan cakalang, membuat jajanan kue, sehingga pelan-pelan menjadi betah hidup di darat, walaupun aktivitasnya di darat masih terkait dengan orientasi laut. 3) Perlu diperbanyak sosialisasi tentang pentingnya iptek, Islam menganjurkan umatnya untuk belajar dalam arti seluas-luasnya hingga akhir hayat, mengharuskan seseorang bekerja dengan dukungan ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan. Setelah ilmu dikuasai diwajibkan mengamalkan, mengajarkan kepada orang lain, agar memberantas kebodohan dan kemiskinan. Menurut H. Mudding bahwa: Dengan dibangunnya berbagai lembaga pendidikan mulai dari Paud hingga perguruan tinggi, baik dibangun di dekat kampung Bajo, maupun sekitarnya adalah menjadi sosialisasi iptek bagi Suku Bajo khususnya dan suku lain pada umumnya, bahkan dengan dibangunnya Mesjid Azzahratuddin dan Mesjid Amir Ilham yang terletak di Kampung Bajo telah menjadi sarana sosialisasi ilmu pengetahuan yang diperuntukkan khusus bagi Suku Bajo, hanya saja ke depan dibutuhkan Kiyai atau Ustaz yang selalu siap membimbing Suku Bajo di pemukimannya. Demikian juga pemagangan orang Bajo terhadap Suku Bugis dalam pencarian ikan (pakkaja) dalam kelompok pallambik, pattabere, paccampau, papanah, pannombak, palinta dan pemboman adalah bentuk pengalihan ketrampilan teknologi dari orang Bugis kepada orang Bajo, sehingga pelan-pelan Suku Bajo dapat mandiri.18
4) Pembauran dengan lingkungan sekitar, Pembauran suku Bajo secara mantap bersama dengan suku Bugis dapat dilakukan dalam hal, perbaikan pemukiman, perbaikan mata pencaharian sebagai nelayan, pembauran dalam perkawinan dan pembauran dalam pendidikan agar suku Bajo dapat meniru dan menyamai suku Bugis yang sudah maju, sehingga secara pelan-pelan bisa setara dan diperlakukan secara sederajat dengan suku Bugis. 5) Pengadaan fasilitas pendidikan kesehatan dan sabagainya di perkampungan Suku Bajo, Melakukan pembangunan sesuai dunia dan kepentingan Suku Bajo di Kabupaten Bone tentu tidak mudah dan memerlukan sikap dan komitmen yang tinggi dan partisipasi
17
Hj. ST. Narwiah, Kepala MIS Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 17 Januari 2012. H. Mudding, Tokoh Masyarakat Kelurahan Bajoe sekaligus sebagai pengusaha ikan, Wawancara, Bajoe, tanggal 8 Maret 2012. 18
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 513
dari berbagai pihak terutama dari pihak pemerintah dan sumbangsih dari masyarakat. Hingga di Abad millinium ini, baru sebagian kecil pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan Suku Bajo seperti pasar terapung di samping tanggul, pembangunan mesjid di Perkampungan Bajo dan Sarana dan prasarana lembaga pendidikan Paud di perkampungan Bajo serta MIS di dekat perkampungan Bajo. 6) Penciptaan iklim dalam upaya meningkatkan penghasilan Suku Bajo. Dalam usaha untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi para nelayan Suku Bajo menurut Andi Edy Masserang: Perlu mengkombinasikan berbagai faktor yaitu: (a) penguasaan sumber daya, (b) kemudahan mendapatkan tenaga manusia dan kerja terampil, (c) kemudahan memperoleh modal usaha, (d) kemudahan memasarkan hasilhasil produksi dengan harga yang wajar. Pada aspek lain, pemberdayaan masyarakat nelayan Suku Bajo dapat dilakukan dengan dukungan oleh berbagai kelembagaan, baik oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan ataupun lembaga swasta dalam peningkatan kuantitas dan kualitas, perbaikan sistem pengolahan dan pemasaran untuk mendapatkan nilai jual yang layak dengan pembayaran tunai, kepastian akan jaminan pendidikan dan kesehatan serta mendapatkan santunan terhadap musibah dan jaminan hari tua melalui sistem tabungan dan asuransi dan prosedur mudah. Upaya lain dalam memberdayakan nelayan Suku Bajo, yaitu sistem perekonomian yang berbasis kepada kerakyatan dengan pemberian fasilitas kredit perbankan secara langsung kepada nelayan maupun melalui kegiatan koperasi dengan bunga yang dapat dijangkau. Bantuan peralatan teknologi dari pihak pemerintah pada masyarakat nelayan Suku Bajo.19
Penerapan sejumlah strategi di atas adalah menjadi iklim alternatif dalam mengatasi kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat nelayan Suku Bajo agar dapat hidup lebih baik, sehingga boleh jadi dengan akumulasi cara dan strategi yang ditempuh dapat meningkatkan kesejahteraan hidup yang tentu sangat berpengaruh terhadap perhatian dan pelaksanaan pendidikan Islam. 7) Kesadaran Suku Bajo untuk berubah kepada kehidupan yang lebih baik, yaitu dengan jalan merubah paradigm kehidupan secara positif, melakukan orientasi bisnis serta pemberdayaan zakat. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pelaksanaan pendidikan Islam pada Suku Bajo bertumpu pada tripusat pendidikan yaitu pendidikan informal, formal dan pendidikan nonformal. Pada pendidikan PAUD dan MIS mulai mendapat 19
Andi Edy Masserang, S.Sos., S.Pd., Seksi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Bajoe, Wawancara, Bajoe, tanggal 8 Januari 2012.
514 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies perhatian, sedangkan pada tingkat Tsanawiyah dan Aliyah masih kurang. Yang menjadi faktor pendukungnya adalah Suku Bajo seratus persen mengaku beragama Islam sehingga menjadi dasar pembinaan, dibarengi sikap Suku Bajo yang tidak reaksioner sehingga aman untuk didekati dan diajak terlibat dalam pendidikan Islam, demikian juga sebagian besar orang tua Bajo sudah menetap sehingga dapat berbaur dengan Suku Bugis, dan sebagian kecil orang tua pernah sekolah di MIS, yang membuat mereka lebih maju dari Suku Bajo lainnya yang tidak pernah sekolah. Faktor penghambatnya adalah: budaya yang berkonsentrasi di laut, anak usia lima belas tahun ke atas diikutkan ke laut, masih kurangnya sosialisasi tentang pentingnya IPTEKS, lamban dalam berbaur, sebagian masih miskin dan belum ada kesadaran untuk berubah. 2. Solusi mengatasi faktor penghambat dalam pendidikan Islam bagi Suku Bajo adalah perlunya dijabarkan orientasi hidup tidak hanya di laut tetapi juga di darat, anak usia sekolah tidak mesti diikutkan ke laut agar dapat bersekolah, masih perlu lebih banyak sosialisasi pentingnya IPTEKS, pemantapan pembauran, penciptaan iklim yang meningkatkan penghasilan dan dibutuhkannya kesadaran untuk berubah kepada kehidupan yang lebih baik. B. Implikasi Penelitian 1. Pelaksanaan pendidikan Islam baru berkisar pada pendidikan informal dan formal, sedangkan pendidikan nonformal belum banyak mendapatkan pelayanan dan bimbingan oleh karena itu diperlukan suatu tim yang dapat memberikan pelayanan dan pembinaan secara fleksibel dan berkesinambungan sesuai latar belakang dan orientasi hidup Suku Bajo di laut dengan mempertimbangkan berbagai faktor, unsur, sarana dan prasarana pendidikan. 2. Pola dan orientasi hidup di laut perlu digeser secara pelan dengan pola hidup di darat dengan meningkatkan sistim pembauran yang lebih mantap. Perlu daya rangsang yang dahsyat dan berkelanjutan yang dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak untuk merubah persepsi Suku Bajo secara positif mengenai pendidikan. Faktor pendukung perlu dipelihara dan dipertahankan agar Suku Bajo semakin intens dalam menunjukkan perhatiannya terhadap pendidikan Islam, sedangkan faktor penghambat perlu solusi dengan menerapkan berbagai kebijakan secara bertahap hingga suatu saat Suku Bajo dapat eksis dan bisa setara dengan Suku Bugis yang sudah maju.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 515
DAFTAR PUSTAKA Ali, Mukti. Suatu Etnografi Suku Bajo. Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2010. Anwar dan Arsyad Ahmad, Pendidikan Anak Dini Usia Panduan Praktis bagi Ibu dan Calon Ibu. Bandung: Alfabeta, 2007. Bahri, Syamsul. “Adaptasi Sosial Komunitas Bajo (Proses Belajar Kolektif dan Inklusivitas Sosial dalam Interaksi dengan Masyarakat Bugis di Bone Sulawesi Selatan)”. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Makassar, 2010. Battignalo, Bruno. Celebrations With The Sun: An Overview Of Relegius Phenomena Among The Badjaos. Manila: Atinco De Manila University Press, 1995. Dick, Robert-Read. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, Bandung: PT. Pustaka, 2008. Francois Zacot. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Pengalaman Seorang Antropolog. Jakarta: KPG, 2008. Katutu, Abdullah. “Persepsi Orang Tua mengenai Belajar dan Pengaruhnya terhadap Program Wajar Dikdas 9 Tahun (Studi Kasus pada Suku Bajo di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan”. Laporan Hasil Penelitian Individual Watampone: STAIN Watampone, 2000. Kesuma, Andi Ima. Aqua Culture Suatu Transformasi Nilai Orang Laut (Orang Bajau). Makalah, Dipaparkan pada dialog budaya “Festival Masyarakat Bajo Nusantara 2011” di Hotel Coklat Makassar tanggal 23 Desember 2011. Mansur. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Natasha, Stacey. Bajo Satlement History. Australia: Charles Darwin University, 2007. Sadullah, Uyoh dkk. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Cet.1, Bandung: Alfabeta, 2010. Sawe, Dahlan dkk. “Profil Masyarakat Bajo Desa Bajoe Kabupaten Bone”. Laporan Penelitian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. 1985. Syam, Syahriana. “Kajian Eksistensi Lingkungan Pemukiman Suku Bajo terhadap Perubahan Habitat (Studi Kasus Kelurahan Bajoe Kabupaten
516 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Bone Sulawesi Selatan)”. Tesis, Magister Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2003. Wakia, Nurul. “Apresiasi Orang Tua terhadao Eksistensi Lembaga Pendidikan Islam Tingkat Lanjutan (Studi Kasus Respon Masyarakat Suku Bajo Terhadap Eksistensi MTs dan MAN)”. Skripsi, S1 Jurusan Tarbiyah STAIN Watampone, 2008.
IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 DI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Dr. HASYIM ASY’ARI, M.Pd Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
ISO Quality Management System (QMS) is an international standard for quality system that uses certain clauses to give excellent services through continuous quality improvement resulting from self-learning processes in institutional management. This research focuses on analysis of the effectiveness of the implementation of QMS policy at UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki)Malang. This research uses a qualitative approach, with interview, documentation and observation techniques to invent and collect data. The unit analysis of this research is UIN Maliki Malang as an institution.The result of this research shows that the UIN leaders and internal stakeholders attempt to realize the clauses of QMS as shown at high SPM achievement during 2008-2010. Benefits of QMS implementation are inter alia job activities are planned and well organized; the institution has a systematic SOP; to induce lecturers and staff to perform more discipline and responsible; to facilitate accreditation process; readier documentation. The impact of the QMS implementation is the improvement in individual and institutional performance; cultural change in students’ learning, lecture’s teaching, staff working, and research.This research recommends that the leaders need to redesign SPM based on core duty and function, strategic vision and SPMPT to become the “center of excellence” and World Class University; to make extraordinary policy regarding human resource and budget availability; civitas academica should show continuous commitment and support to QMS implementation. Keywords: Policy Implementation, Quality Assurance, ISO QMS. Abstrak: Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO merupakan standar internasional yang menggunakan persyaratan tertentu untuk memberikan layanan terbaik sebagai hasil proses pembelajaran diri dalam mengelola institusi. Riset ini difokuskan pada analisis efektivitas kebijakan implementasi SMM ISO di UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang.Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, studi dokumen dan observasi.Unit analisispenelitian adalah UIN Maliki Malang. Hasil penelitian memberikan gambaran antara lain bahwa pimpinan dan stakeholder internal UIN telah berupaya menerapkan klausul-klausul SMM secara benar dan konsisten dalam bentuk pencapaian Standar Pelayanan Mutu (SPM) tahun 2008-2010 yang relatiftinggi. Manfaat penerapan SMM di UIN antara lain adalah aktivitas pekerjaan menjadi lebih tertata dan lebih teratur; institusi memiliki
~ 517 ~
518 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies prosedur yang sistematis; mendorong para dosen dan karyawan bekerja lebih disiplin dan bertanggung jawab; memudahkan proses akreditasi; dokumentasi kegiatan lebih siap;. Sedangkan dampak penerapan SMM antara lain adalah meningkatnya kinerja individu dan institusi; meningkatnya rasa percaya diri dosen; meningkatnya kepuasan mahasiswa; terjadinya perubahan budaya belajar, mengajar, kerja staf dan penelitian. Sebagai rekomendasi dalam hal ini adalah pimpinan UIN Maliki Malang perlu menyusun kembaliStandar Pelayanan Minimal (SPM) atas dasar pendekatan tupoksi, visi strategis dan SPMPT untuk menjadi “center of excellence” dan“World Class University”; Perlu kebijakan khusus terkait penyediaan SDM dan anggaran yang memadai; sivitas akademika perlu terus menunjukkan komitmen dan dukungan terkait implementasi SMM untuk memperbaiki mutu pembelajaran dan mutu institusi. Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Penjaminan Mutu, SMM ISO.
PENDAHULUAN Latar Belakang Arus globalisasi yang telah bergulir di semua sektor kehidupan selama ini telah banyak mengubah paradigma berpikir sebagian besar masyarakat. Hal ini tentunya akan membawa peningkatan harapan dan kebutuhan di semua sektor kehidupan. Salah satu yang diinginkan oleh masyarakat adalah produk dan layanan yang berkualitas, tidak terkecuali pendidikan tinggi. Bagi pimpinan Perguruan Tinggi pengaruh globalisasi merupakan tantangan sekaligus peluang untuk membenahi institusi serta menunjukkan kapasitasnya untuk mampu menjawab kebutuhan masyarakat tersebut. Pada kenyataannya pemerintah dan Perguruan Tinggi diperhadapkan dengan sejumlah permasalahan yang sangat kompleks yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan secara tuntas. Permasalahan dimaksud dan terus menjadi agenda utama kebijakan pendidikan tinggi adalah mutu Perguruan Tinggi (PT), relevansi, daya saing dan jumlah sarjana yang menganggur sebagai ekses negatif sistem PT. Akibat dari kompleksitas permasalahan tersebut PT dinilai belum mampu menghasilkan output sesuai tuntutan customer, dan belum mampu memberikan kontribusi maksimal dalam pembangunan bangsa dalam berbagai bidang, termasuk menghadapi kompetisi global (HELTS Depdiknas, 2003/2010). Hal senada juga dinyatakan oleh Dirjen Pendidikan Islam Kemenag bahwa permasalahan mendasar yang dihadapi antara lain adalah belum adanya master plan (HELTS PTI), kualitas SDM, mutu kurikulum, kuantitas dan kualitas penelitian (Renstra Ditjen Pendidikan Islam 20042009; 2007:58,59,78). Terdapat 3 Agenda penting yang menjadi fokus kebijakan Ditjen Pendidikan Islam yaitu peningkatan dan pemerataan akses
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 519
pendidikan; peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan peningkatan tata kelola pemerintahan (governance), akuntabilitas dan pencitraan; termasuk dalam hal ini target 13 PTAIN pada tahun 2014 sudah memenuhi standar ISO 9001 (Perencanaan Pembangunan Pendidikan Islam, Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, 2010:16-20). Dalam Renstra Depdiknas 20102014 (2009:86) juga dinyatakan secara tegas terkait pentingnya penerapan SMM ISO di lingkungan PT dengan menyebutkan target 300 PTN dan 200 PTS pada tahun 2012. Permasalahan mendasar sebagaimana menjadi fokus kebijakan tersebut sudah seharusnya menjadi pusat perhatian bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, sehingga PT bisa menjadi lebih mudah dalam mengatasi masalah internal yang krusial sekaligus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai tuntutan yang berkembang di masyarakat. Indikator lain terkait mutu PT khususnya PTAI bisa dilihat dari hasil akreditasi BAN PT terhadap prodi-prodi PTAI sebagaimana data berikut: Tabel 1.1 Prosentase Akreditasi Prodi PTAIN (Data Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Tahun 2010) Terakreditasi Lemba ga PTAI N
Juml ah Prod i
Kedaluwa rsa
Berlaku
Belum Terakredit asi
A
B
C
J ml
%
Jml
%
Jm l
%
UIN
293
3 7
10 5
70
21 2
72. 35
21
7.1 7
60
20.4 8
IAIN
361
2 1
18 4
76
28 1
77. 84
17
4.7 1
71
19.6 7
STAIN
277
3
11 2
75
19 0
68. 59
10
3.6 1
77
27.8
JUML AH
931
6 1
40 1
22 1
68 3
73. 36
48
5.1 6
208
22.3 4
520 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Dari data di atas dapat diketahui jumlah prodi PTAIN yang sudah diakreditasi 683 dari 931 atau sekitar 73.36%, kedaluarsa 48 prodi (5,6%) dan belum terakreditasi 208 prodi (22.34%). Jumlah prodi yang mendapat akreditasi A hanya 61 prodi (atau berkisar 6,55%), mendapat nilai B 401 prodi (43.07%) dan nilai C 221 prodi (23.73%). Penyebaran nilai akreditasi tersebut menunjukkan perlunya pemerintah dalam hal ini Direktorat Pendidikan Tinggi Islamdan pimpinan kampus untuk terus mengupayakan pembenahan mutu institusi secara konsisten, sehingga pencapaian nilai akreditasi maksimal bisa diraih. Perhatian serupa juga harus diberikan untuk pembenahan mutu kampus PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah dengan kompleksitas problem yang mereka hadapi, sehingga tidak terjadi diskriminasi sebagai target kebijakan. Peran pemerintah masih sangat dibutuhkan untuk mendorong dan menggerakkan perubahan PTAIS. Penyebaran hasil akreditasi PTAIS dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1.2 Prosentase Akreditasi PRODI PTAIS Terakreditasi Lembag a PTAIS
Juml ah Prod i
Kedaluwa rsa
Berlaku
Belum Terakredi tasi
A
B
C
J ml
%
Jm l
%
Jm l
%
INSTIT UT
143
4
58
33
95
66. 43
12
8.39
36
25.1 7
STAIS
878
1
13 7
33 5
47 3
53. 87
36
4.1
367
41.8
FAI
291
1 6
93
63
17 2
59. 11
37
12.7 1
81
27.8 4
JUMLA H
1312
2 1
28 8
43 1
74 0
56. 4
85
6.48
484
36.8 9
Data di atas menunjukkan problem mutu PTAIS yang sangat mendasar. Jumlah prodi PTAIS yang sudah diakreditasi sebanyak 740 dari 1312 atau hanya 56.4%, kedaluarsa 85 prodi (6,48%) dan belum terakreditasi 569 prodi (43.37%). Jumlah prodi yang mendapat akreditasi A hanya 21 prodi (atau hanya 1.6%), mendapat nilai B sebanyak 288 prodi (21.95%) dan nilai C 431 prodi (32.85%). Penyebaran prosentase akreditasi
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 521
PTAIS tersebut lebih rendah di banding angka yang diperoleh PTAIN. Data tersebut bisa menjadi kunci masuk bagi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan pimpinan PTAIS untuk melakukan pembenahan lebih serius dengan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong semangat perubahan di dalam PTAIS. Minimal dalam hal ini pemerintah memperhatikan aspek SDM dan fasilitas yang dibutuhkan PTAIS, jangan sampai mutu PTAIS tertinggal jauh dibanding PTAIN apalagi dibanding PTUN. Terkait uraian di atas, pimpinan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang telah berusaha secara maksimal untuk meningkatkan mutu institusi dengan cara menerapkan SMM ISO, yang persiapannya sudah dilakukan sejak April tahun 2008. Implementasi SMM ISO merupakan kebijakan pimpinan UIN untuk mewujudkan visi yang sudah dicanangkan. Penerapan SMM ISO sekaligus menjadi sistem penjaminan mutu institusi sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Maliki Malang Nomor: UN.3/PP.00.11/017/2008 dan dalam pelaksanaannya dikelola oleh unit Kantor Jaminan Mutu (KJM) Universitas dan Komite Jaminan Mutu (KJM) Fakultas. Penerapan SMM ISO di UIN Maliki Malang merupakan satu-satunya model manajemen mutu yang diberlakukan di institusi tersebut, dengan harapan mampu memberikan layanan dan produk PT yang terbaik bagi customer. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian Mengacu pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan mutu Perguruan Tinggi mengandung banyak problematika baik konseptual maupun praktek. Oleh karena itu pembenahan mutu PT perlu mempertimbangkan berbagai faktor terkait. Permasalahan mendasar PT sebagaimana diuraikan di atas yakni mutu, relevansi dan daya saing yang rendah yang berimbas pada banyaknya jumlah pengangguran sarjana mendorong perlunya pemerintah dan para pimpinan PT untuk serius menangani problem tersebut. Dalam konteks institusional pimpinan UIN Maliki Malang telah mengambil kebijakan penting yakni penerapan SMM ISOsebagai sistem penjaminan mutu institusi untuk meningkatkan mutu layanan dan mutu institusi sekaligus untuk menjamin kepuasan customer. Penelitian ini difokuskan pada efektivitas implementasi SMM ISO yang mengacu pada penerapan klausulSMM, realisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM), manfaat serta dampaknya bagi UIN Maliki Malang. Masalah utama yang menjadi fokus dalam penelitian adalah ”bagaimana efektivitas implementasi Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 di UIN Maliki Malang.” Adapun pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan adalah: 1. Bagaimana efektivitas implementasi SMM ISO di UIN Maliki Malang dilihat dari pertimbanngan filosofis, penerapan klausul dan realisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM)?
522 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 2. Apa saja manfaat dan dampak implementasi SMM ISO bagi sivitas akademika dan institusi UIN Maliki Malang? 3. Faktor-faktor strategis apa saja yang mempengaruhi efektivitas implementasi SMM ISO di UIN Maliki Malang? 4. Apa saja permasalahan dalam implementasi SMM ISO dan solusi efektif apa saja yang seharusnya bisa diambil oleh para pimpinan UIN Maliki Malang untuk mempercepat pencapaian peningkatan mutu institusi? 5. Bagaimana model hipotetik efektivitas implementasi SMM di PTAI? Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. mendeskripsikan efektivitas implementasi SMM ISO di UIN Maliki Malang dilihat dari penerapan klausul dan realisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM); 2. mendeskripsikan apa saja manfaat dan dampak implementasi SMM ISO bagi sivitas akademika dan institusi UIN Maliki Malang; 3. menganalisis faktor-faktor strategis apa saja yang mempengaruhi efektivitas implementasi SMM ISO di UIN Maliki Malang; 4. menganalisis permasalahan dalam implementasi SMM ISO dan memberikan solusi efektif sebagai strategi efektif peningkatan mutu UIN Maliki Malang; dan 5. menemukan model hipotetikefektivitas implementasi SMM yang sesuai dengan ciri khas PTAI. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki dua manfaat: 1. Teoritis; menjadi input pengembangan ilmu manajemen pendidikan yang dapat digunakan sebagai referensi untuk masalah-masalah organisasional sekaligus referensi untuk penelitian lebih lanjut pada ruang lingkup kajian yang lebih spesifik terkait esensi penjaminan mutu dan SMM. 2. Praktis; dapat dijadikan acuan bagi para pengambil kebijakan khususnya para pimpinan lembaga pendidikan, para pejabat lingkungan pendidikan sebagai informasi awal untuk melakukan kajian dan pengembangan mutu institusi dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan customer. Informasi-informasi penting yang bisa diambil antara lain perlunya pertimbangan yang matang untuk menerapkan SMM ISO, pentingnya perhatian pada klausul SMM ISO, perlunya komitmen dan konsistensi penerapan SMM ISO sehingga perubahan
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 523
yang diharapkan benar-benar menyentuh pada pembenahan mutu institusi bukan labelisasi. TINJAUAN TEORITIS Pengertian Analisis Kebijakan Kebijakan pendidikan merupakan keputusan-keputusan strategis untuk menangani permasalahan mendasar di bidang pendidikan. Kompleksitas permasalahan pendidikan perlu diatasi secara hati-hati dengan membuat kebijakan atas dasar data dan informasi yang akurat sehingga hasilnya tepat sasaran. Problem krusial pendidikan yang dipahami masyarakat umum antara lain adalah rendahnya mutu pendidikan yang berdampak multi aspek bahkan bersifat struktural seperti bertambahnya jumlah pengangguran usia produktif. Kebijakan sebagaimana dinyatakan Anderson berfungsi sebagai arah tindakan dalam mengatasi masalah tertentu (Winarno, 2007:18). Hal terpenting yang perlu dipahami adalah bahwa tidak semua kebijakan pendidikan yang telah dibuat oleh para pimpinan dapat efektif dan berdampak signifikan untuk perubahan dunia pendidikan. Bahkan yang sering terjadi adalah inefisiensi dan inefektivitas sebagai akibat kebijakan pendidikan yang kurang matang. Oleh karena itu analisis atau evaluasi kebijakan sangat urgen dilakukan untuk setiap kebijakan yang telah diputuskan. Analisis kebijakan dimaksudkan untuk mencari informasiinformasi penting terkait tingkat efektivitas kebijakan dan seberapa besar pengaruh kebijakan pendidikan terhadap perubahan-perubahan yang diinginkan untuk menjawab kebutuhancustomer. Analisis kebijakan merupakan eksaminasi dan deskripsi sebab dan konsekuensi kebijakan publik yang meliputi analisis formasi, konten dan dampak kebijakan tertentu (Anderson, 1984:7). Istilah eksaminasi dalam kebijakan merupakan kajian kebijakan untuk menilai aspek-aspek positif dan negatif suatu kebijakan, termasuk kekuatan dan kelemahan yang ada di dalamnya. Eksaminasi juga dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan yang sudah diterapkan. Pada sisi lain proses eksaminasi juga dimaksudkan untuk menghasilkan informasi-informasi penting terkait baik draf, pelaksanaan maupun dampak kebijakan. Sedangkan deskripsi sebab akibat kebijakan merupakan bentuk penjelasan atau uraian terkait kenapa kebijakan diambil dan bagaimana akibat bagi pihak penerima kebijakan. Munculnya masalah-masalah serius institusi PT seperti persoalan mutu multidimensi memerlukan penanganan khusus yaitu dengan berbagai kebijakan yang bisa diambil oleh pimpinan institusi. Satu hal yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang akan diambil tersebut dapat menyelesaikan masalah atau minimal mengurangi gap yang terjadi. Oleh karena itu melalui analisis kebijakan diharapkan akan
524 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies diperoleh data dan informasi implementasi kebijakan yang akurat dan valid sehingga hasil kajian bisa dijadikan sebagai dasar penyelesaian masalah terkait kebijakan yang sedang dijalankan. Mutu Pendidikan Tinggi Dalam satu dekade terakhir mutu pendidikan tinggi menjadi wacana publik dan menjadi konsern pemerintah.Kebijakan-kebijakan pemerintah dan institusi pendidikan diarahkan pada pembenahan mutu secara menyeluruh sebagaimana dinyatakan dalam dokumen RENSTRA baik Kemendiknas tahun2003-2010 maupun Kemenag tahun 20092014.Mutu menjadi agenda penting dalam upaya memperbaiki kondisi institusi pendidikan yang ada saat ini.Mutu PT berkaitan erat dengan kemampuan institusi untuk menghadapi tantangan nasional dan global, termasuk membantu masyarakat dalam menangani problem kehidupan mereka.Mutu PT juga yang menunjukkan dan menentukan kemampuan kompetisi antar institusi pendidikan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Mutu PT itu sendiri merupakan kemampuanmenghasilkan layanan dan produk institusi dalam batas maksimal. Penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bermutu dicirikan dengan antara lainkemampuannya dalam menghasilkan SDM yang memiliki karakter dan jatidiri bangsa yangberintegritas tinggi; menghasilkan SDM yang bermutu tinggi; meningkatkan kemampuan penelitian; menghasilkan lulusan dan insan peneliti yang secara berkelanjutanberhasil meningkatkan kesehatan masyarakat, kemakmuran,keamanan, dan kesejahteraan umum (HELTS 2003-2010: 49). Sisi penting lain adalah terkait apa yang diminta stakeholder, terutama mahasiswa umumnya berharap output pendidikan yang benarbenar mengacu pada standar yang dipandang ideal, termasuk kompetitif.Salah satu tantangan pendidikan tinggi adalah kompetisi yang berkembang di antara universitas(Apps, 1988:35). Saat ini kompetisi universitas bukan lagi pada level lokal dan nasional akan tetapi sudah menjangkau dimensi global. Kompetisi pada semua level tersebut dapat memacu usaha-usaha perbaikan mutupendidikan tinggi. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pimpinan dan sivitas akademika kampus mampu menyediakan program dan layanan yang bermutu sehingga mendorong pada peningkatan pemanfaatan output PT.Faktor kunci untuk dapat memenangkan kompetisi dimaksud adalah keseriusan pimpinan dan stakeholder terkait untuk membenahi problematika institusioanal dan personal kampus dalam kerangka mendorong terwujudnya layanan yang bermutu. Pandangan tentang mutu sangat bervariasi dan pada prinsipnya mengacu pada karakteritik produk dan layanan yang memiliki keunggulan tertentu.Mutu berkaitan erat dengan keunggulan produk dan layanan yang
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 525
dirasakan memuaskan customer.Juran mendefinisikan mutu sebagai “fitnes for uses”. Kano mendefinisikan mutu terkait produk atau layanan yang dapat memenuhi harapan customer (Konting, et al., 2009:25). Harvey dan Green memaknai mutu sebagai hasil yang sempurna, kinerja luar biasa, kemampuan merubah pengetahuan dan pengembangan kepribadian mahasiswa, kemampuan untuk memberi nilai efisiensi dan efektivitas dan dapat dipertangungjawabkan, kesesuaian produk dan layanan dengan tujuan (David Lim, 2001:14). Mutu menjadi sangat penting, karena akan membentuk fanatisme customer terhadap produk dan layanan. Produk dan layanan yang tidak mampu memenuhi harapan customer biasanya akan tergusur dengan sendirinya yang secara otomatis akan berdampak terhadap kinerja penjualan serta berakibat fatal seperti bangkrutnya perusahaan atau minimal kemunduran institusi. Pemikiran ini identik dengan pendapat Garvin (Schuller dan Harris, 1992:32) “quality means delivering product or services that will generate intense customer loyalty and premium returns for the producer and service provider.” Mutu PT terkait dengan keistimewaan dan keunggulan layanan dengan menggunakan standar yang tinggi untuk memberi nilai tambah bagi mahasiswa dan stakeholder yang lain. Mutu merupakan sesuatu yang dipandang istimewa atau luar biasa, multidimensi dan tidak ada ukuran tunggal yang sesuai untuk semua institusi. Hal ini berarti mutu memiliki keunikan dan variasi tertentu tergantung pada kapasitas, lingkungan dan penafsiran stakeholder institusi. Pada umumnya mutu PT terkait langsung antaralain dengan aspek pengelolaanprogram pengajaran, riset, mahasiswa, infrastruktur, dan lingkungan institusi. Mutu berkaitan erat dengan kemampuan institusi dalam membangun aliansi dengan stakeholder termasuk dunia industri dalam upaya pengembangan riset dan transformasi ilmu serta informasi lain (Rao, 2003:160-162). Mutu PT tergantung pada program yang diberikan institusi yang berdampak positif bagi perkembangan potensi manusia baik dalam bentuk sikap, pengetahuan, maupun keterampilan (Konting, et al., 2009:25). Pandangan tersebut menekankan pembangunan mutu pada seluruh komponen dan seluruh aktifitas yang dapat mempengaruhi keberadaan dan mutu institusi PT. Isu manajemen yang baik dan penyiapan sumber daya yang memadai dalam institusi merupakan faktor krusial yang dapat mempengaruhi mutu PT. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab pimpinan institusi PT untuk selalu konsern dengan permasalahan tersebut dan melakukan pembenahan-pembenahan yang memadai untuk memastikan layanan pendidikan yang bermutu. Mutu sebenarnya merupakan ciri khusus produk atau layanan yang dinilai memuaskan.Jika dilihat dari pendekatan sistem mutu dihasilkan dari sebuah mata rantai anasir institusi sebagai sistem.Maka semua atribut
526 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies terkait yang dapat mempengaruhi mutu produk dan layanan bisa dikategorikan sebagai bagian dalam upaya memperbaiki mutu. Dengan demikian mutu terkait dengan atribut input, proses dan output serta outcome institusi PT. Prinsip penting adalah mutu melekat di dalam produkbukan pada proses. Mutu lahir dari sistem yang memproduksinya (Hoy et al., 2000:3) Terkait pemikiran di atas mutu PT lahir dari proses dan produk berpikir dan semuanya tergantung pada kemampuan sivitas akademika dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Hoy et al. (2000:4) menekankan hal ini sebagai bagian sangat penting dalam melihat mutu: “quality depend on intelligent, questioning workforce at every level.”Kecenderungan lahirnya mutu institusi PT adalah akibat dari motivasi untuk berkembang dan ketrampilan sivitas akademika dalam mengelola institusi, maka aspek kompetensi sivitas akademika menjadi sangat urgen. Pandangan terkait konsep mutu PT di atas sangatlah beragam meskipun banyak kesamaan. Mutu PT mencakup input, proses, output, outcome, dan nilai tambah pendidikan. Mutu input mengacu pada tingkat bahwa masukan pendidikan tinggi memenuhi standar atau tujuan yang ditetapkan sebelumnya; Mutu proses mengacu pada tingkat bahwa proses seperti belajar mengajar dan manajemen memenuhi persyaratan; Mutu keluaran mengacu pada tingkat bahwa hasil-hasil dari sistem pendidikan tinggi (lulusan, hasil penelitian dan pelayanan) dibandingkan dengan seperangkat standar yang ditentukan sebelumnya adalah memuaskan; Mutu hasil mengacu pada tingkat bahwa status pekerjaan lulusan dianggap memuaskan; dan nilai tambah mutu mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan lulusan saat ini (Kevin et al., 1999:66). Dimensi mutu versi Owlia dan Aspinwall’s mencakup sumber daya akademik, kompetensi, sikap, konten pembelajaran, reliabilitas dan responsifitas, kepastian dan empati (Khodayari, 2011:39). Mutu PT juga harus dilihat dari dimensi internasional seperti proyekproyek kerjasama antar Negara antara lain pertukaran pengetahuan, jaringan interaktif, mobilitas dosen dan mahasiswa dan proyek-proyek penelitian internasional, termasuk publikasi hasil riset dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai budaya nasional dan lingkungan. Dimensi internasional menjadi salah satu ukuran penting jika institusi PT ingin berkiprah di tingkat global. PT seperti ini tidak lagi unggul di dalam negeri akan tetapi unggul dan akan menjadi referensi pengembangan keilmuan serta aspek-aspek terkait dalam perspektif dunia (Rao, 2003:25). Wacher (Damme, 2001:417) menyebut dimensi internasional PT sebagai proses integrasi sistematis dimensi-dimensi internasional ke dalam bentuk pengajaran, riset, dan layanan publik PT. Jika konsep ini diterapkan PT maka akan lahir PT yang berkelas global dengan aktivitas akademik, fungsi-fungsi lain yang ideal serta segudang prestasi sesuai perkembangan
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 527
dan tuntutan masyarakat global. Sebagai contoh integrasi kurikulum nasional dan kurikulum global, teknik pengajaran, sumber daya dan IT yang berkelas dunia. Jika ini menjadi acuan, maka tidak ada lagi PT yang minus fasilitas, minus kreativitas dan minus prestasi serta minus lapangan kerja bagi alumninya. Brennan dan Shah (2000:14) mengkalisifikasi “Values of quality” ke dalam bentuk akademik, manajerial, pedagogis, dan pekerjaan.Sedangkan Ruben (2004:104) mengidentifikasi beberapa dimensi keunggulan institusi mencakup mutu program, layanan dan aktivitas, iklim organisasi, kepuasan kerja, dan dimensi efisiensi serta efektivitas operasional dan aspek finansial.BAN PT (2004:28) merumuskan indikator mutu Perguruan Tinggi dengan sebutan RAISE-LE (relevance, academic atmosphere, internal management, sustainability, efficiency, leadership, and equity).Indikator-indikator dimaksud merupakan acuan penilaian untuk mengukur kinerja Perguruan Tinggi dan menjadi tolok ukur dalam upaya-upaya perbaikan yang dilakukan. Pencapaian mutu merupakan hasil proses pembelajaran. Hal ini penting dipahami karena mutu tidak terbentuk secara alamiah, akan tetapi perlu disain dan perlu konsistensi seeta komitmen yang kuat terhadap pelaksanaan disain dimaksud. Institusi pendidikan tinggi merupakan institusi di mana salah satu fokusnya adalah pada pembelajaran dan selalu berbenah diri untuk perbaikan pembelajaran bahkan institusi pendidikan itu sendiri dianggap sebagai institusi pembelajar. Di sinilah letaknya mutu pendidikan. Mutu merupakan praktek terbaik dan bagaimana ia dapat ditingkatkan. Mutu dipahami sebagai mutu tinggi dan keunggulan; dan mutu merupakan proses peningkatan dalam pendidikan di mana tingkat keunggulan yang tinggi dicapai (Hoy et al., 2000:11 dan 13). Dengan demikian mutu merupakan sebuah perjalanan panjang bukan sebuah tujuan akhir. Kebijakan pendidikan tinggi seharusnya terus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mahasiswa. Sebagai contoh dalam hal ini adalah model pembelajaran, kurikulum dan semua jenis kegiatan serta fasilitas pendukung. Termasuk dalam kaitan ini adalah perlunya pelibatan mahasiswa sebagai stakeholder utama dalam pengambilan keputusan institusional (Rao, 2003:24).Esensi pandangan tersebut menekankan peran penting mahasiswa dalam berbagai sektor kehidupan. Mahasiswa perlu diberikan tanggung jawab dan otoritas yang cukup memadai sehingga mampu memberikan kontribusi maksimal untuk masyarakat pada lingkup lokal dan nasional. Peran-peran tersebut bisa dimainkan dengan baik oleh sivitas akademika jika Negara dalam hal ini memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan PT. Upaya pemerintah membangun kemandirian kampus tidaklah salah, akan tetapi membiarkan kampus tidak maju lebih cepat ini yang menjadi masalah. Oleh
528 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies karena itu seharusnya ada upaya-upaya pemerintah untuk memberikan fasilitas yang memadai terkait pengembangan fungsi-fungsi Tri Dharma PT. Sisi lain perlu juga disiapkan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu dalam berbagai aspek institusi dengan menyediakan program pelatihan untuk mendukung strategi mutu yang sudah dirancang. Hal ini sebagaimana dinyatakan Rao (2003:25) dan Schuller dan Harris (1992:9) yang pada intinya menekankan berpendapat perlunya rekruitmen, pelatihan dan pengembangan staf terus-menerus terkait proses mutu. Hal ini penting dilakukan untuk menyiapkan tenaga yang professional dalam menjalankan proyek peningkatan mutu.Perbaikan mutu membutuhkan dukungan kompetensi pada semua lapisan staf dan dosen termasuk pemahaman serta kesadaran mahasiswa, termasuk perubahan kebijakan dan alokasi sumber daya. Pandangan-pandangan terkait filosofi mutu PT di atas memberikan gambaran bahwa mutu PT merupakan kemampuan institusi untuk memberikan layanan dan output terbaik yang dapat menjamin kepuasan seluruh customer dan stakeholder institusi. Filosofi mutu berkembang mengikuti pemikiran dan harapan ideal masyarakat serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.Untuk mencapai idealisme tersebut maka dibutuhkan manajemen yang benar dalam arti efisien dan efektif, juga dibutuhkan tipe kepemimpinan yang visioner. Di sinilah letak pentingnya penerapan SMM ISO dalam membantu pengelolaan mutu institusi yang ideal. Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO Penerapan SMM ISO merupakan trend yang berkembang dalam dunia industri dan sudah merambah ke dunia pendidikan. Banyaknya lembaga pendidikan yang berusaha untuk mendapatkan sertifikasi ISO tidak terlepas dari adanya keinginan untuk berkiprah di kancah nasional bahkan internasional. Menang dalam kompetisi dan memiliki reputasi yang membanggakan merupakan bagian penting untuk mempertahankan eksistensi institusi. Pemikiran seperti ini tidak salah mengingat tantangan global perlu diantisipasi secara cepat dan tepat. SMM ISO bisa menjadi salah satu pilihan untuk membangun institusi pendidikan yang kuat dan adaptif terhadap perubahan. Meskipun demikian memperoleh sertifikat ISO bukanlah langkah akhir dan tidak secara otomatis institusi menjadi bermutu. Penerpan SMM ISO merupakan pintu masuk untuk penerapan manajemen mutu terpadu (TQM) yang tujuan akhirnya adalah untuk memberikan kepuasan terhadap customer, dengan cara melakukan perbaikan mutu berkelanjutan pada semua aspek dan semua aktivitas institusi.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 529
ISO (international Organization for Standardization) didirikan di Geneva Switzerland pada tahun 1946. Istilah ISO berasal dari bahasa Mesir yakni isos yang berarti Oneness,merupakan standar penjaminan mutu dan manajemen mutu internasional (Nikels, et al., 2010:251). SMM ISO sudah digunakan oleh beberapa negara dan sudah menjadi persyaratan untuk industri dan sebagian institusi nonprofit. Istilah SMM ISO 9000 di Amerika disebut dengan seri Q90 ANSI (American Nation Standards Institute) /ASQC (American Society for Quality Control), di Inggris disebut BS 5750. SMM ISO merupakan standar internasional terkini bagi manajemen mutu untuk sertifikasi sistem mutu. (Peterson, 2010:3). ISO 9001 menyiapkan kerangka kerja untuk membangun praktek yang konsisten, berisi standar yang mengkafer desain produk, pengembangan, produksi, instalasi, dan servis. ISO 9000 menggabungkan siklus perbaikan berkelanjutan sebagaimana dapat dilihat dari klausul-klausul review manajemen, internal audit dan tindakan korektif (Aksoy dan Schaedel, 1997:85). SMM ISO menurut Kadir membantu institusi dalam membuat perencanaan, managemen, produksi dan pengembangan sumber daya manusia untuk menyediakan layanan dan produk sesuai pemintaan customer (Daudet al., 2010:552). Teow Ek dan Cheng (1995:29) berpendapat ISO merupakan standar internasional manajemen mutu yang bisa digunakan untuksertifikasi sistem mutu: “ISO 9000 adalah standar internasional terkini untuk manajemen mutu (untuk sertifikasi sistem mutu). Ia juga membantu menyeleksi dan menggunakan standar yang layak untuk tujuan penilaian penjaminan mutu eksternal.”ISO 9000 merupakan ketentuan-ketentuan universal bagi sistem mutu. Memiliki sertifikat ISO 9000 menurut Peterson (2010:5) berarti “memberitahukan kepada pelanggan bahwa anda melakukan sesuatu yang anda katakan dan anda mendokumentasikan hal itu, tidak lebih tidak kurang.” SMM ISO memuat standar internasional untuk memastikan supplier dalam hal ini adalah organisasi menggunakan metode yang tepat dalam mengelola mutu produk dan layanan.Tujuan SMM ISO 9001:2000 adalah untuk menetapkan bisnis dengan sebuah model untuk tumbuh secara sistematik dan pada saat yang sama untuk memastikan mutu produk. Model ISO 9001 mengacu pada identifikasi, desain, implementasi, pemeliharaan dan peningkatan SMM (Aldowaisan & Youssef, 2004:231-232). Gaspersz (2005:284-285) mengelompokkan 20 elemen standar mutu (klausul) menjadi suatu model proses yang terdiri atas management responsibility, resource management, product realization (good, service), dan measurement, analysis serta improvement sebagaimana gambar berikut:
530 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
Quality Management System Continual Improvement Management Responsibility
Cus to mer
Resource Management
Measurement, Analysis and Improvement
Cus to mer
Product Realization Gambar 1.Model Proses SMM ISO (good, service)
Re 1) qu 2) ire 3) ment
4)
5)
Struktur klausulSMM ISO 9001 mencakup: Satisf Sistem Manajemen Mutu; terdiri atas persyaratan umum dan ac dokumentasi. Tanggung jawab manajemen; yang terdiri atas komitmen manajemen, ti fokus customer, kebijakan mutu, perencanaan mutu, review manajemen. Manajemen sumber daya mencakup penyediaan sumber daya, SDM, on fasilitas, lingkungan kerja. Realisasi produk (good, service); mencakup perencanan proses realisasi, proses terkait customer, design dan pengembangan, pembelian, pelaksanaan produksi dan service, serta pengendalian. Pengukuran, analisis dan perbaikan mencakup perencanaan, pengukuran dan monitoring, pengendalian ketidaksesuaian, analisis data dan perbaikan (Gaspersz, 2005:286).
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 531
Persyaratan Sistem / Struktur Standar 4 Sistem Manajemen Mutu
Persyaratan Umum Persyaratan Dokumentasi
5 Tanggung Jawab Manajemen
Komitmen Manajemen
Fokus Pelanggan
6 Manajemen Sumber Daya
7 Realisasi Produk/jasa
Penetapan Sumber Daya
Perencanaan
Sumber Daya Manusia
Proses berhubungan dengan Pelanggan
8 Pengukuran Analisis & Perbaikan
Pengawasan dan Pangukuran
Kebijakan Kualitas Infrastruktur Perencanaan Lingkungan Kerja Tanggung jawab, otoritas & komunikasi
Review manajemen
Desain & Pengembangan
Pengelolaan
Analisis Data Pembelian Perbaikan Penetapan produksi dan pelayanan
Gambar 2. Struktur SMM ISO METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang diartikan sebagai prosedur penelitian untuk menghasilkan data deskriptif berupa pernyataan lisan, tulisan, pandangan serta perilaku nara sumber(Bogdan dan Taylor, 1975:4). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Miles dan Huberman (1992:15) bahwa data penelitian kualitatif adalah katakata dan bukan rangkaian angka. Esensi pandangan di atas adalah bahwa penelitian kualitatif menghasilkan data dan informasi berupa pernyataan kalimat sesuai realitas yang terjadi. Hal penting dalam penelitian kualitatif adalah usaha-usaha peneliti untuk mendapatkan gambaran riil tentang keterkaitan pandangan, sikap, perilaku, dan aktivitas subjek penelitian terkait implementasi kebijakan SMM ISO di lingkungan UIN Maliki Malang. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus di mana strategi ini lebih tepat untuk penelitian di mana pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”. Studi kasus banyak
532 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies digunakan antara lain untuk penelitian kebijakan, organisasi dan manajemen dan sosiologi. Studi kasus merupakan inkuiri empiris untuk menyelidiki fenomena dalam kehidupan nyata dengan memanfaatkan bukti multi sumber yakni dokumentasi, wawancara dan observasi (Yin, 2003: 1,2,18,103). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, observasi, dan wawancara. Miles dan Huberman (1992:15) menyebutkan teknik pengumpulan data penelitian kualitiatif dapat dilakukan melalui observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman yang diproses melalui pencatatan, pengetikan, dan penyuntingan. Penggunaan teknik dokumentasi dalam penelitian inimerupakan langkah awal yang peneliti lakukan untuk melihat dan mengkaji dokumen terkait implementasi SMM ISO antara lain manual mutu, SOP, laporan realisasi sasaran mutu (sarmut) atau Standar Pelayanan Minimal Realisasi sasaran mutu (SPM). Dokumendokumen tersebut memberikan gambaran terkait kesiapan, ketercapaian penerapan SMM dan peningkatankinerja institusi UIN Maliki Malang. Peneliti dalam hal ini mempelajari dokumen-dokumen penting terkait implementasi SMM ISO dan melakukan kajian serta membandingkan perkembangan atau peningkatan realisasi pencapaian sasaran mutu yang terdapat dalam SMM ISO UIN Maliki Malang selama 3 tahun terakhir, yakni dari tahun 2008-2010. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pertimbangan Filosofis Implementasi SMM ISO
Beberapa alasan yang mendasari penerapan SMM ISO; pertama,Penerapan SMM ISO membantu banyak hal terutama pembenahan manajerial PT. Hal ini perlu dilakukan karena transformasi UIN membutuhkan dukungan yang kuat terutama aspek manajemen. Karena transformasi ini pulalah yang membuka peluang perubahan-perubahan besar lain yang mengikuti sampai saat ini. Kedua,Tuntutan dan harapan masyarakat terhadap mutu lulusan; Tantangan dunia pendidikan tinggi apalagi yang berlabel agama memang sangat berat. Idealisme untuk menghasilkan output yang bermutupatutlah mendapat dukungan semua pihak. Penerapan SMM ISO bagi UIN dalam kaitan ini merupakan salah satu solusi untuk membenahi mutu input, proses dan output pendidikan. Penerapan SMM ISO mendorong pimpinan untuk konsisten dengan klausul dan mekanisme PDCA sehingga institusi memahami apa yang seharusnya dilakukan. Ketiga,Untuk meningkatkan kinerja UIN Maliki Malang.Peningkatan kinerja kampus bagi pimpinan UIN sangat penting. Kinerja menjadi kata kunci untuk melihat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Data dalam SPM menunjukkan telah terjadi peningkatan kinerja para dosen, kinerja semua unit, kinerja semua fakultas. Inilah dampak yang diharapkan dari
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 533
penerapan SMM ISO. Kita ambil contoh, SPM kehadiran dosen untuk fakultas psikologi rata-rata 84,56% dan Fakultas Ekonomi 93,4%, dan ratarata semua fakultas 89,26%.Demikian halnya dengan indeks kepuasan mahasiswa yang mencapai rata-rata 3,52, tentunya ini juga menjadi sebuah prestasi yang patut terus ditingkatkan. Pencapaian kehadiran yang maksimal merupakan kunci utama untuk memberikan layanan pembelajaran yang baik dan tingkat kepuasan yang tinggi yang ditunjukkan oleh data dalam SPM merupakan indikator kinerja kampus yang luar biasa. Keempat,Universitas Islam Negeri Maliki Malang memiliki tekad yang kuat untuk membangun integrasi SMM ISO dengan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPMPT).Penerapan SMM ISO mendorong para pimpinan, sivitas akademikauntuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu. SMM ISO memberikan kesempatan belajar lebih leluasa secara mandiri untuk memperbaiki kelemahan internal institusi. Penerapan SMM ISO adalah untuk membangun kemandirian dalam hal menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi program sehingga memberikan ruang untuk memahami dan memperbaiki kekurangan yang dimiliki institusi. Penggunaan pendekatan SPM dalam menjabarkan SMM ISO memudahkan pencapaian mutu institusi. Hanya saja yang jadi masalah SPM masih disusun berdasarkan kegiatan yaitu sebagian tupoksi unit kerja dan tupoksi individu. Ke depan kemungkinan pendekatan SPM dianggap kurang mewakili seluruh pekerjaan institusi, sehingga perlu diubah. Seharusnya penerapan SMM ISO mengacu pada tupoksi secara utuh dan mengkaitkannya dengan visi, misi, serta tantangan eksternal termasuk kebutuhan SPM-PT, dan tantangan global institusi. Cara sederhana dalam menerjemahkan mata rantai aktivitas institusi adalah berangkat dari visi, misi, program kerja serta tuntutan eksternal institusi seperti BAN-PT. Oleh karena itu, pendekatan yang lazimnya digunakan untuk memaksimalkan kinerja institusi adalah penyusunan program strategis berbasis unit kerja dan jurusan/prodi. Penyusunan program melalui pendekatan ini merupakan bentuk otonomi dan pemberdayaan sekaligus menjadi kekuatan internal. Partisipasi stakeholder yang maksimal menjadi daya dorong untuk mengembangkan institusi. Kelima,Membangun citra positif institusi UIN Malang. Penerapan SMM ISO mampu membangun citra positif UIN Maliki Malang di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 1) meningkatnya peminat yang masuk ke UIN. Dari data yang ada hampir tiap tahun mengalami peningkatan yang tajam bahkan pada tahun 2011 jumlah pendaftar mencapai angka 12.094 calon mahasiswa pada hal yang diterima hanya 2.500 mahasiswa. Kondisi ini berbeda jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Keberhasilan UIN Maliki Malang dalam membangun citra ini sebenarnya tidak hanya karena penerapan SMM ISO akan tetapi terdapat faktor lain yang memperkuat seperti berubahnya status dari institut
534 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies menjadi Universitas dan kepemimpinan rektor yang kuat; 2) Banyaknya pihak eksternal yang melakukan kunjungan ke UIN dalam rangka mencari bencmark penerapan SMM ISO dan mempelajari pesatnya perkembangan UIN; 3) Termotivasinya sivitas akademika untuk belajar lebih banyak untuk mengembangkan kompetensi, kemandirian, dan produktivitas; 4) Keberhasilan pimpinan UIN untuk meletakkan fondasi integrasi model pendidikan dalam satu wadah yaitu UIN. Keinginan membangun pendidikan agama secara terintegrasi meskipun masih perlu proses panjang patutlah direspon secara positif oleh semua kalangan. Pendidikan model pesantren dan pendidikan tinggi merupakan jawaban yang ditunggu masyarakat di tengah situasi krisis nilai, krisis budaya dan krisis moral.
Penerapan Klausul SMM ISO
Secara garis besar Klausul-Klausul SMM ISO yang diterapkan oleh UIN Malang mencakup persyaratan umum dan dokumen; management responsibility, resource management, product realization (good, service), dan measurement, analysis and improvement.Penerapan klausul-klausul tersebutmerupakan fakta empirik dan menjadi satu mata rantai sekaligus menjadi satu kesatuan untuk upaya-upaya peningkatan mutu institusi sebagaimana pendapat Gaspersz dan Peterson yang telah diuraikan sebelumnya. Penerapan sebagian klausul tersebut diuraikan sebagai berikut: Klausul 4: Sistem Manajemen Mutu; Klausul 4 terdiri atas klausul 4.1:Persyaratan Umum dan Klausul 4.2:Persyaratan Dokumen. UIN Maliki Malang dalam hal ini telah berusaha untuk memenuhi klausul 4 tersebut dengan menyiapkan seluruh persyaratan kelengkapan dokumen berupa kebijakan mutu, sasaran mutu, manual mutu, dokumen hasil analisis jabatan, job description, dan SOP seluruh aktivitas institusi. Hal ini sebagaimana dimuat dalam manual mutu dan dokumen terkait lain. Kesungguhan para pimpinan dan staf KJM untuk memenuhi persyaratan ini patut dihargai, karena jika klausul 4 ini tidak lengkap maka akan menghambat proses registrasi sertifikasi SMM ISO. Proses ini sebenarnya merupakan aspek kritis karena terkait dengan analisis sistem organisasi secara riil terutama terkait struktur organisasi dan aspek manajerial. Analisis tersebut juga menghasilkan data dan informasi untuk membuat SOP masing-masing unit dan aktivitas inti UIN Maliki Malang. Analisis pekerjaan dan sistem tersebut merupakan instrumen untuk membenahi disain pekerjaan sehingga lebih efisien dan efektif. Sebagai contoh kejelasan job descriptionakan memudahkan para pejabat, dosen, dan karyawan untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Oleh karena itu pemahaman terhadap disain pekerjaan menjadi sangat penting, karena berpengaruh pada tingkat motivasi, kinerja dan kepuasan
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 535
individu secara keseluruhan yang secara otomatis berdampak pada eksistensi institusi. Klausul 5:Tanggung Jawab Managemen; Klausul 5.1:Komitmen Manajemen; Klausul 5.2:Focus pada Pelanggan; Klausul 5.3:Kebijakan Mutu; Klausul 5.4:Perencanaan Kualitas, dan Klausul 5.5:Review Manajemen. Semua klausul tersebut pada prinsipnya dapat diimplementasikan secara baik oleh UIN Maliki Malang. Sebagai contoh Klausul 5.1:Komitmen Manajemen dalam menjalankan SMM ISO. Hasil wawancara, observasi dan kajian dokumen menunjukkan adanya komitmen yang kuat para pimpinan untuk menjalankan SMM ISO di UIN Maliki Malang.Para pimpinan UIN Maliki Malang terus berusaha konsisten untuk menerapkan SMM dengan memberikan dukungan yang maksimal terhadap pemenuhan seluruh kebutuhan terkait pencapaian efektivitas SMM ISO. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain pembenahan struktur, penambahan fasilitas, peningkatan mutu SDM baik lewat pelatihan maupun program S3 dan penambahan lembaga penunjang institusi serta empowering para dosen dengan cara memberikan jabatan bagidosen yang potensial. Kebijakan yang kontroversial adalah keharusan dosen untuk masuk kerja meskipun tidak ada jam ngajar. Kesemuanya diarahkan untuk memberikan layanan terbaik bagi customer. Bukti lain terkait komitmen pimpinan adalah adanya tingkat kepuasan mahasiswa terhadap layanan belajar. Hal ini juga didukung oleh realisasi SPM tingkat kepuasan mahasiswa rata-rata 3,52 dan kepuasan terkait fasilitas perpustakaan dengan nilai rata-rata 2,9 < 3,4 interval 1-4. Meskipun angka tersebut belum mencapai sasaran mutu SPM, pimpinan perpustakaan tetap berupaya untuk terus membenahi mutu layanan antara lain dengan menyiapkan fasilitas digital, dan hotspot. Sisi penting lain adalah penyediaan fasilitas internet, LCD, dan tingkat kehadiran dosen yang tinggi merupakan ukuran yang objektif untuk melihat komitmen para pimpinan UIN dalam melaksanakan SMM ISO. Komitmen pimpinan UIN menjadi faktor kunci keberhasilan penerapan SMM ISO. Kesungguhan para pimpinan dalam membenahi seluruh aspek yang menjadi kelemahan institusi dan meningkatkan potensi-potensi yang dimiliki merupakan keniscayaan. Tanpa komitmen yang kuat maka SMM ISO hanya akan menjadi formalitas dan tidak akan menyentuh perubahan budaya kerja. Komitmen pimpinan memiliki makna dan pengaruh besar terhadap kinerja individu dan institusi.Dalam kaitan ini komitmen menurutGarry John (1996:288) mempengaruhi kinerja individu.Komitmen pimpinan dapat diartikan sebagai bentuk kesungguhan dan tanggung jawab untuk membangun kebersamaan dalam mencapai tujuan ideal institusi.Komitmen pimpinan UIN ditunjukkan dalam bentuk penyediaan fasilitas dan kesungguhan untuk merealisasikan SPM secara maksimal. Komitmen yang kuat menjadi sumber keteladanan yang benar
536 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies dan tepat sehingga dapat ditiru para anggota dalam menjalankan sebuah kebijakan. Sisi lain komitmen pimpinan dapat meningkatkan motivasi kerja, dan memperkuat loyalitas para staf. Klausul 5.2:Fokus pada Pelanggan. Inti dari klausul ini adalah adanya perhatian yang serius terkait pemenuhan kepuasan pelanggan. Para pimpinan, dosen dan staf UIN Maliki Malang dalam hal ini selalu berusaha memberikan layanan terbaik untuk customer dengan menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran seperti LCD, hotspot/internet, layanan online, ruang kerja untuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), pendidikan model ma’had, pembenahan struktur serta penyediaan SDM yang memadai. Hal ini penting dilakukan dalam kerangka membangun motivasi belajar, motivasi berprestasi dan kinerja civitas akademika baik akademik maupun non akademik. Fokus pada pelanggan merupakan kunci dalam membangun loyalitas mahasiswa dan masyarakat serta stakeholder lain. Fokus pada pelanggan juga berdampak pada terbentuknya citra kampus yang positif sekaligus untuk membangun dukungan untuk menuju World Class University. Salah satu hal yang menarik di UIN Maliki Malang adalah tradisi pemanfaatan taman sebagai tempat belajar yang mungkin bagi kampus lain merupakan hal aneh. Tradisi ini bermakna positif untuk menghilangkan kejenuhan mahasiswa dalam proses pembelajaran, sekaligus efisiensi tempat. Yang terpenting adalah tradisi ini tidak mengurangi makna belajar bagi mahasiswa. Kajian terhadap hasil wawancara dengan informan bahwa hampir seluruh kegiatan pembelajaran berjalan sesuai kontrak perkuliahan, indek kehadiran dosen yang mencapai angka 89,26%, serta Indek kepuasan mahasiswa rata-rata 3.5 sebagaimana data SPM merupakan prestasi luar biasa yang patut dipertahankan dan terus ditingkatkan. Demikian halnya dengan pemberdayaan mahasiswa dalam kegiatan pengawasan dan pengendalian proses pembelajaran seperti mengatur jurnal merupakan usaha untuk menumbuhkan budaya kritis mahasiswa, memperbaiki kualitas, membangun rasa memiliki dan peduli pada prestasi. Tingkat kepuasan mahasiswa yang tinggi sangat penting karena dapat melahirkan loyalitas dan fanatisme yang kuat terhadap institusi. Loyalitas dan fanatisme terhadap institusi memudahkan institusi untuk meningkatkan daya saing, memperoleh pasokan input, dan membangun pangsa pasar khususnya penyerapan alumni. Uraian di atas juga menjadi bukti pemenuhan klausul 5.3 kebijakan mutu yakni komitmen yang kuat untuk memuaskan kebutuhan semua stakeholder dengan mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000, melalui perbaikan berlanjut.Usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh pimpinan UIN Maliki Malang dalam merealisasikan kebijakan mutu tersebut sudah banyak membuahkan hasil. Keberhasilan tersebut bisa dilihat dari aspek akademik dan non akademik antara lain meningkatnya indek prestasi mahasiswa,
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 537
meningkatnya jumlah calon mahasiswa yang mendaftar, meningkatnya jumlah program riset, meningkatnya jumlah program pengabdian masyarakat, meningkatnya daya serap alumni, meningkatnya daya saing institusi, dan citra kampus.
Realisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Penerapan SMM ISO mampu merubah dan mendorong kinerja institusi UIN Maliki Malang sebagaimana data realisasi SPM tahun 2008-2010. Salah satu contoh dalam hal ini adalah Realisasi Tingkat Kehadiran Dosen. Indeks rata-rata kehadiran dosen fakultas ekonomi tahun 2008 mencapai angka 96,18%, tahun 2009 91% sedangkan tahun 1010 mencapai angka 93%. Meskipun indeks kehadiran dosen tersebut mengalami penurunan akan tetapi masih melebihi sasaran mutu yang sudah dibuat yakni 80% untuk tahun 2008 dan 2009 dan 90% untuk tahun 2010. Ratarata kehadiran dosen seluruhnya adalah 93,39% > 83,33%. Pencapaian angka tersebut sangat tinggi jika dikaitkan dengan jumlah pertemuan kelas yakni 16 kali. Hal ini berarti rata-rata dosen hadir 14,94 atau 15 kali pertemuan dari 16 kali yang direncanakan. Tingginya angka kehadiran tersebut merupakan bentuk kesadaran bersama untuk membangun kedisiplinan perkuliahan sebagaimana dinyatakan oleh Ketua KJM Fakultas Ekonomi. Prestasi tersebut patut mendapat pujian karena hal ini tidaklah mudah dicapai. Pencapaian SPM Kehadiran Dosen
100 80 60 40
2008 20 0
2009 2010 Fak. Ekono mi 96,185
Fak. Saintek
2008
Fak. Psikolo gi 82,5
Fak. Syari'a h
Fak. Tarbiy ah
91,01
Fak. Humb ud 84
2009
85,1
91
2010
86,1
93
96,94
81,6
92
83
83
78,5
98
90
88,5
95
86,5
89,26878
rata-rata 84,56667 93,395 90,31667 81,36667
rata2
90,39833 88,908
rata-rata
538 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Diagram di atas memberi beberapa gambaran penting terkait tingkat kehadiran dosen dalam mengajar. Pertama, Fakultas Psikologi, Syariah dan Tarbiyah mengalami peningkatan bertahap. Fakultas Ekonomi mengalami pencapaian yang signifikan sejak tahun 2008 dan ini melebihi sasaran mutu dalam SPM, yakni rata-rata 93,395% dari sasaran mutu 2010 yakni 90%. Kedua, Indeks rata-rata kehadiran dosen fakultas psikologi 84,56%, fakultas syariah 95% dan tarbiyah 86,5%. Ketiga, terjadi penurunan pencapaian di fakultas Humbud meskipun masih dalam batas wajar dibanding SPM yang ada. Keempat, indeks rata-rata kehadiran dosen tertinggi tiap tahun adalah fakultas syari’ah yakni 95%. Sedangkan prestasi tertinggi dicapai oleh fakultas ekonomi dengan indeks 93,39 dan bertahan sampai tahun 2010. Sedangkan Fakultas Saintek sedikit mengalami penurunan pada tahun 2010 yakni pada angka 83%. Kelima, rata-rata kehadiran dosen pertahun untuk semua fakultas menunjukkan angka yang tinggi yakni 90,39% tahun 2008, 88,9% tahun 2009, dan 88,5% untuk tahun 2010. Dilihat dari angka tersebut terjadi penurunan meskipun tidak signifikan karena rata-rata masih di atas sasaran mutu SPM kecuali di tahun 2010 yakni selisih angka 1,5% dari target sasaran mutu 90%. Keenam, dari diagram tersebut dapat diketahui juga ratarata kehadiran dosen dalam mengajar untuk semua fakultas adalah 89,26%. Angka tersebut relatif tinggi jika dibanding rata-rata SPM 2008-2010yakni 83,33% kehadiran. Hal ini artinya realisasi SPM melebihi target yang ada yakni 5,93% di atas angka rata-rata SPM (89,26% > 83,33%). Angka ini juga menunjukkan jumlah rata-rata kehadiran seluruh dosen dalam perkuliahan 14,28 kali pertemuan. Hal ini berarti ada 2 kali pertemuan yang tidak diisi langsung oleh dosen dengan berbagai kemungkinan alasan. Jika pada tahun 2011 pimpinan UIN Maliki Malang mencanangkan program “zero absent” untuk semua dosen, maka pencapaian tahun 2010 dapat dijadikan dasar yang kuat untuk mewujudkan keinginan tersebut. Ketujuh, penyebaran angka kehadiran dosen di atas untuk semua fakultas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antar fakultas. Hal ini berarti kinerja dosen khususnya aspek kedisiplinan menggambarkan adanya prestasi yang membanggakan. Sedikit terjadi penurunan angka kehadiran dosen di fakultas Humaniora dan Budayapada tahun 2010. Sebaliknya untuk 4 fakultas lain mengalami peningkatan angka kedisiplinan dosen. Jika dibuat rata-rata maka sebenarnya tingkat kehadiran dosen tersebut melebihi target SPM yang sudah dibuat setiap tahun kecuali Fakultas Humaniora dan Budaya yakni 1,96% kurang dari rata-rata Sasaran Mutu (81.37% < 83.33%).
Manfaat dan Dampak Implementasi SMM
ImplementasiSMM ISO telah membawa banyak manfaat bagi insitusi dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab individu UIN
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 539
Maliki Malang khususnya terkait pentingnya peningkatan efisiensi, efektivitas dan kinerja. Bentuk nyata manfaat dimaksud adalah aktivitas pekerjaan menjadi lebih mudah, lebih teratur, lebih terukur dan lebih tertata; institusi memiliki prosedur yang sistematis; sistem dokumentasi kegiatan (data dan informasi) lebih baik; memudahkan proses pemantauan, evaluasi dan perbaikan; memudahkan proses akreditasi; mendorong para dosen lebih disiplin dan bertanggung jawab dalam mengajar; menumbuhkan kesadaran terhadap aspek-aspek lain seperti penataan ruang, kebersihan dan keindahan; mendorong kesadaran perlunya peningkatan berkelanjutan; memudahkan pencapaian tujuan institusi baik jangka pendek maupun jangka panjang; dan menjadi fondasi penerapan TQM. Sedangkan dampak implementasi SMM ISO adalah meningkatnya kinerja individu dan institusi; meningkatnya rasa percaya diri sivitas akademika; meningkatnya kepuasan mahasiswa, membaiknya budaya belajar, budaya kerja dosen dan staf; meningkatnya inovasi dan kreativitas institusi; serta meningkatnya citra dan daya saing institusi. KESIMPULAN Berdasar pada paparan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi SMM ISO di UIN Maliki Malang secara umum telah berjalan efektif. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aspek terkait seperti dasar hukum, dasar pemikiran, tahapan, penerapan klausul, realisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan output kebijakan yang relatif signifikan bagi seluruh sivitas akademika serta insitusi UIN Maliki Malang. Keterkaitan semua aspek tersebut dan perhatian serius dalam bentuk komitmen dan konsistensi yang kuat terhadap implementasi SMM menjadi kunci penting efektivitas kebijakan dimaksud. Kebijakan implementasi SMM ISO di UIN telah berdampak strategis yakni menjadi instrumen perbaikan mutu sekaligus manajemen perubahan baik institusional maupun personal. Perubahan-perubahan yang telah terjadi sebagai akibat kebijakan implementasi SMM ISO sudah dirasakan dan terus dikelola secara baik oleh sivitas akademika UIN untuk mengantarkan institusi menjadi “Center Of Excellence dan Center Of Islamic Civilization”menuju “World Class University”. Sivitas akademikaUIN Maliki Malang telah mampu menampilkan diri dengan praktek-praktek nilai positif yakni sikap dan perilaku yang berorientasi “best practice, customer satisfaction, excellence services, dan continual quality improvement”. Nilai-nilai positif dan idealisme tersebut diarahkan untuk mewujudkan 4 kekuatan sivitas akademika yakni memiliki kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional serta menjadikan keempat nilai tersebut sebagai model budaya kampus yang kuat (strong culture model). Kesemua nilai-nilai inilah yang menjadi kunci perubahan, dan kunci penting
540 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies keberhasilan institusi UIN dalam menata dan mengembangkan mutu institusi sesuai tuntutan customer. DAFTAR PUSTAKA . Aksoy, Yasemin & Schadel, Peter (2011). ETC Measures the Impact of ISO 9002 on CorporateQuality. Inform (online), 10 halaman. Tersedia: http://www.jstor.org/stable/25062299 (06/09/2011). Aldowaisan, Tariq & Youssef, Ashraf (2004). An ISO 9001:2000-based framework for realizing quality in small businesses. Elsevier, 5 halaman. Tersedia: www.ScienDirect.com. Anderson, James E. (1984). Public Policy-Making.New York: CBS College Publishing. Apps, Jerold W (1988).Higher Education in a learning society. London: Jossey-Bass. Bogdan, Robert C. dan Taylor, Steven J. (1975).Introduction toQualitativeResearch methods. New York: John Wiley & Sons. Daud, Sity et al. (2010). A Perception on The Effectiveness of Undergraduate and graduate Programmes Management through an ISO Certication Scope Merger. Elsevier(Online), 9halaman.Tersedia: www.ScienDirect.com. Departemen Agama, (2007).Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2004-2009. Jakarta:Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Departemen Agama (2009). Rencana Strategik Pembangunan Pendidikan Islam 2010-2014. Jakarta: Depag. Departemen Pendidikan Nasional (2004). Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (HELTS) 2003 - 2010. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional (2009). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014. Jakarta: Depdiknas. Gaspersz, Vincent (2005). Total Quality Management. Jakarta: Gramedia. Kevin (1999). Quality Assurance for Higher Education in Asia and The Pacific. Khodayari (2011). Servis Quality in Higher Education. Interdisiplinary Journal of Research in Business (Online), Vol. 1, 9 halaman.Tersedia: http://www.jstor.org/(05/09/2011). Konting, Majid et al. (2009). Quality Assurance in Higher Education Institution: Exist Survey among University Putra Malaysia Graduating Student. International Educational Studies (online),
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 541
Vol.2. Tersedia: http://www.cosenet.org/journal/htm/(05/09/2011). Lim, David (2001). Quality Assurance in Higher Education. Sydney, Ashgate. Miles, Mattew B. dan Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press. Peterson, James G. (2010). ISO 9000: Standar Kualitas Seluruh Dunia. Jakarta: Indeks, penerj. Marianto Samosir. Rao, Digumarti Bhaskara (2003). Higher Education in The 21st Century (Vision and Action). New Delhi: Discovery Publisihing House. Schuller, Randall S. dan Drew L. Harris (1992).Managing Quality. New York: Addison-Wesley Publishing Company. Teow Ek, Lim dan Cheng, Niew Bock (1995). Quality Management System. New York: Prentice-Hall. Winarno, Budi (2007). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta, Media Pressindo. Yin, Robert K. (2003). Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Penerjemah M. Djauzi Mudzakir.
PENDIDIKAN KESETARAAN GENDER: ANALISIS PADA BUKU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH DASAR Noblana Adib. M.Pd.I, MA Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Abstrak: Penelitian ini berusaha melihat kesetaraan gender pada buku Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah Dasar kelas 1-IV. Dua belas
buku teks dianalisis dalam penelitian ini yaitu terbitan Yudistira dan Erlangga. Berdasarkan hasil analisis pada buku teks PAI diketahui bahwa pada posisi anak laki-laki digambarkan mengerjakan pekerjaan ibu yaitu memberi makan ternak, mengepel, menyapu, mencuci piring, dan membersihkan tempat tidur. Point pentingnya adalah bahwa pendidikan kesetaraan gender mulai diajarkan pada anak lakilaki generasi ini. Analisis selanjutnya menemukan bahwa posisi Ayah masih digambarkan bekerja di kebun, di kantor, ayah tidak pernah digambarkan atau disebutkan bekerja di dapur seperti: memasak, mencuci, mengepel, atau menyapu rumah. Namun kompromi terhadap isu pendidikan kesetaraan gender yang di ada pada kebijakan pendidikan di Indonesia telah menggambarkan dan menyebutkaan Ayah mengasuh anakanak dan Ayah membantu bersih-bersih. Kemudian untuk posisi Ibu dan anak perempuan tetap pada tempatnya yaitu digambarkan dan disebutkan di dapur seperti: memasak, mengepel, mencuci, menyapu dan memberi makan ternak. Berdasarkan temuan ini dipahami bahwa dari waktu-ke waktu Indonesia semakin sadar bahwa kedudukan pria dan wanita semakin equal dan ini menjamin bahwa pendidikan setara gender ke depan di Indonesia bukanlah sekedar mimpi khususnya pada mata pelajaran (Pendidikan Agama Islam) PAI.
A. Pendahuluan Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki melainkan sesuatu yang kita lakukan.1 1 Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2007, hlm., 4.
~ 542 ~
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 543
Gender adalah pengaturan sosial. Maksudnya adalah gender menancap di setiap aspek masyarakat, institusi, dan wilayah publik. Gender juga terpatri dalam keluarga. Gender ada pada cara berjalan, cara makan dan cara memakai toilet. Konsep gender adalah yang mengacu pada perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang tersetruktur. Intinya bahwa secara terminologi gender merupakan konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi sosial bukan biologis.2 Ideologi tersebut dipertahankan, dilanggengkan, disosialisasikan melalui berbagai pranata seperti: keluarga, media massa, politik Negara, agama dan terakhir dilanggengkan oleh pendidikan. Di sekolah pada awal tahun ajaran baru guru diberikan kurikulum sebagai panduannya untuk mengajar, kurikulum tersebut mengharuskan guru mencapai tujuan pendidikan yang telah ditargetkan oleh pemerintah, atau yang disebut standar minimal dan standar isi. Kemudian guru juga diberikan buku yang wajib ia pakai untuk proses pengajaranya di kelas.3 Maka, yang terjadi adalah 90% dari proses pembelajaran di kelas menggunakan buku teks tersebut.4 Buku adalah sumber belajar yang terintegrasi dengan kurikulum. Sesungguhnya buku adalah alat yang sangat berguna dalam menyampaikan dan mengembangakan suatu ideologi pada siswa.5 Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran tetapi adalah instrument penanaman ideologi. Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan untuk menjelaskan, menerangkan dan membenarkan tingkah laku orang lain.6 Buku teks menjadi sangat penting kedudukannya dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Karena itu, bagaimana buku teks digunakan dan diajarkan di kelas sangat penting dalam menjelaskan issu kesetaraan gender. Masalah yang terpenting adalah para guru tidak pernah menanyakan kevaliditasan data dan isi pada buku teks yang mereka gunakan sebagai sumber belajar. Tahun 2008, Siti Azizah dan Colleen Vale menulis dalam laporan penelitiannya yang berjudul Gender Mainstreaming in Islamic Primary Schools In south Sulawesi Indonesia: a Teksbook Analysis, mengemukakan bahwa female students’ mainstreaming dalam buku yang digunakan masih sangat rendah jumlahnya dari pada male student. Penelitian ini mereka lakukan dengan the 2 Muawanah, Elfi, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, Teras, Yokyakarta, 2009, hlm., 2. 3 Donna M. Gollnick and Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society, macMilan, The United State of Amerika, 1990, hlm., 273. 4 Ibid., hlm., 274. 5 Reyes-Carrasquillo, Angela, ‘Multiculture Education Practices: Practical Applications,’ In: Multicultural Handbook of School Psychology an Interdisciplinary Perspective, Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey, 2007, hlm., 184. 6 Sugihastuti dan Saptiawan, Itsna Hadi, Gender & Inferioritas ……, hlm., 49.
544 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies visibility technique. Cara kerja tehnik ini adalah melihat apakah murid lakilaki digambarkan secara bersamaan dengan murid perempuan atau sebaliknya, atau mereka muncul sendiri-sendiri atau kemunculan murid perempuan tidak ada sama sekali. Tahun 2009, Elfi Muawanah, Dosen STAIN Tulungagung dan juga sangat concern di bidang perkembangan gender di Indonesia, mengemukakan dalam bukunya, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, bahwa prakek pendidikan di Indonesia masih bias gender. Bias gender dapat dilihat dalam buku teks wajib di sekolah, yang sebagian besar mentransfer nilai atau norma gender yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat. Artinya sistem nilai gender akan berpengaruh pada kehidupan sistem sosial di sekolah. Sebagai contoh adalah dalam buku ajar telah dikontruksi peran gender perempuan dan laki-laki secara segregasi, Ayah/laki-laki digambarkan bekerja di kantor, di kebun, dan sejenisnya (sektor publik), sementara perempuan/ibu digambarkan di dapur memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya (domestik).7 Lebih lanjut Muawanah menjelaskan bahwa prilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun di luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung maupun istirahat akan menampakkan kontruksi gender yang terbangun selama ini, yaitu bias gender. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam pemberian kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah terutama dipengaruhi kurikulum dan buku-buku pelajaran yang belum berlandaskan pada peran gender yang seimbang terlebih para penulis sebagaian besar laki-laki yang menyebabkan bias laki-laki. Untuk itu diperlukan tindakan yang tepat untuk membangun kesetaraan gender juga melalui para penulis buku 8 Kedua hasil penelitian 2008 dan 2009 menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia masih bias gender, namun upaya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia terus meningkat dan mengalami perkembangan dengan diresmikannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) No 20/2003 adalah bentuk awal dari kebijakan Negara yang mendukung upaya kesetaraan gender.9 Pemerintah Indonesia berargumen bahwa SISDIKNAS No 20/2003 telah memiliki kesetaraan gender. Lebih lanjut Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) juga mengeluarkan beberapa undang-undang pendidikan Ibid., hlm., 54. Ibid., hlm., 55. 9 Ibid., hlm., 10. 7 8
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 545
untuk mendukung apa yang tercantum pada SISDIKNAS No. 20/2003 mengenai kesetaraan gender. Kemudian berdasarkan pada undang-undang pendidikan yang dikeluarkan, KEMDIKBUD menetapkan Standar nasional untuk buku teks yang digunakan di seluruh Indonesia. Penelitian ini berusaha melihat Pendidikan kesetaraan gender pada buku Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas I-VI SD. Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan Kualitatif library reserch.12 buku teks dianalisis dalam penelitian ini yaitu terbitan Yudistira Kelas I-VI: penulisnya adalah Achmad Farichi dan Kawan-Kawan, (dkk), dan semua diterbitkan pada tahun 2007. Kemudian Terbitan Erlangga kelas I-VI: penulisnya Masrun dan kawan-kawan, (dkk) dan diterbitkan tahun 2007. Penelitian ini juga menggunakan tehnik yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizah dan Vale yaitu the Visibility Thenique. Penelitian ini ingin melihat bagaimana perkembangan pendidikan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dasar dan dari sini kita bisa melihat bagaimana pendidikan kesetaraan gender yang sedang di rintis pemerintah dan pendidik dan pemikir pendidikan di Indonesia. Dan bagaimana perkembangan pendidikan kesetaraan gender di Indonesia di masa yang akan datang. B. Fakta Mengenai Perempuan dan Statusnya sebagai: Anak, Ibu, Ibu Rumah Tangga dan Istri Begitu lahir kita langsung mempelajari, menjalani peran gender kita yang dilabelkan oleh keluarga dan masyarakat, disekitar kita. Sejak kita sebagai bayi hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan memperaktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Soosamma meringgis sekali lagi, sekali dorongan lagi, dan bayinya lahir kedunia; sempurna, mungil dan bergetar. Dukun beranak desa mengangkat bayi itu menelitinya dan mengumumkan, perempuan. “perempuan lagi”. Anak perempuan kedua Soosamma. Hanya seorang anak perempuan lagi. Jika saja bayinya seorang laki-laki, beritanya akan diumumkan dengan gembira; akan ada hadiah, perayaan dan Soosamma akan dibanjiri pujian. Tetapi seorang anak perempuan kedua berarti kekecewaan kedua, bahkan bagi si dukun beranak. Ia hanya mendapatkan Rs10 untuk bantuannya atas persalinan itu dan bukan Rs20 yang biasa diperolehnya setelah membantu persalinan bayi laki-laki, sebagaimana ia menggerutu, “keduanya membutuhkan beban kerja yang sama”10 Maksudnya menjadi laki-laki atau perempuan bukan pilihan tetapi aturan yang telah ada, yang dibentuk generasi terdahulu. Anak perempuan
10
hlm.,1.
Mosse, Julia Cleves, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2007,
546 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies lahir mengecewakan, akan berbeda jika yang lahir anak laki-laki karena peran laki-laki di dalam masyarakat adalah sebagai pemimpin. Selanjutnya, menjadi ibu perempuan ditakdirkan untuk melahirkan anak; hanya perempuan yang bisa mengandung, memiliki anak dan menyusuinya. Bahkan pandangan agama juga makin memperkuat, seperti agama Islam, agama Katolik memiliki perawan Maria sebagai panutan, ibu yang mengorbankan dirinya. Jadi menjadi ibu adalah pekerjaan perempuan yang ditakdirkan secara biologis.11 Namun, karena kehamilan, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak dilihat sebagai hal yan alami, maka semua kegiatan itu juga tidak benar-benar berkualitas kerja. Begitu pula, bila diperluas semua tugas produktif lainnya yang dilakukan perempuan di dalam dan sekitar rumah tangga mereka untuk keuntungan anggota keluarga dianggap bukan kualitas kerja yang sesungguhnya. Didefinisikan sebagai bukan kerja, konsekuensi lainnya, bahwa tanggung jawab mengasuh anak, bahkan setelah anak-anak berhenti menyusui dilihat sebagai tugas utama perempuan.12 Ibu rumah tangga di seluruh dunia melakukan berbagai macam tugas yang memiliki satu kesamaan –mata rantai rumah dengan penghuninya. Mereka merawat anak, memenuhi suplai pangan keluarga, baik dari ladang keluarga atau pasar swalayan setempat. Mereka mencuci pakaian: di sungai atau mesin cuci. Mereka ikut memberi sedikit penghasilan bagi keluarga melalui pekerjaan paruh waktu dengan upah rendah yang tidak membahayakan pekerjaan utamanya yakni mengurus rumah dan keluarga. Namun, hal terpenting mengenai ibu tumah tangga, yang mempertautkan mereka di seluruh dunia, bukanlah apa yang dilakukan mereka; melainkan keadaan dan hubungan di mana mereka melakukannya. Pekerjaan rumah tangga adalah satu aspek pembagian kerja berdasarkan gender di mana laki-laki cenderung melakukan pekerjaan yang dibayar dan perempuan mengerjakan pekerjaan yang tidak dibayar.13 Hasil dari kondisi semacam ini adalah laki-laki punya akses terhadap uang, sedang perempuan tidak. Dengan kata lain, kita sedang membatasi ibu rumah tangga dalam pengertian akses mereka terhadap uang dan sumber daya. Dalam perekonomian modern, uang dan barang maupun jasa yang dapat dibeli dengan uang menjadi ukuran status dan jabatan. Karenanya masalah bagi ibu rumah tangga bukanlah sifat aktual pekerjaan yang dilakukannya kendati membosankan dan bersifat ulangan tetapi kenyataanya pekerjaan aktual yang dilakukan perempuan tidak
Ibid., hlm., 38-39. Ibid., hlm., 39. 13 Ibid., hlm., 44-45. 11 12
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 547
dibayar dan tidak ada status yang dilekatkan kepadanya, kecuali ibu rumah tangga yang baik.14 Dalam kenyatannya, seorang istri tinggal di rumah dan pencari nafkah adalah laki-laki. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang perempuan telah keluar rumah, bekerja, karena suami tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ketika keluarga makin miskin tekanan terhadap perempuan untuk mencari uang semakin intensif. Dikarenakan keterbatasan waktu dan mobilitasnya, kaum perempuan dipaksa menyiapkan dirinya memperoleh upah yang amat murah, baik dalam pertanian, pabrik atau sebagai pekerja rumah. Pembagian kerja secara seksual mengandung makna bahwa perempuan kerap dipandang sebagai pencari nafkah sekunder dalam keluarga, sedangkan laki-laki penyedia nafkah utama, tampa memandang faktanya apakah memang demikian. Dalam kenyataanya, kerja yang dilakukkan oleh sebagain besar perempuan yang memungkinkan keluarga mereka tetap bertahan hidup; semakin miskin suatu keluarga, keluarga itu semakin bergantung kepada produktivitas ekonomi seorang perempuan. Sebagian besar perempuan tidak berhasil mendapatkan pekerjaan dalam sektor formal; bekerja dengan upah, pensiun, kondisi pekerjaan yang teratur dan buruh yang terorganisir. Tanggung jawab atas anak-anaknya dan atas penyedian pangan bagi keluarga memaksa jutaan perempuan melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan uang tunai; pekerjaan sebagai pedagang kecil, di toko-toko yang memeras keringatnya, sebagai pembantu rumah tangga (domestic servants). Di lokasi-lokasi pembangunan; sebagai kuli pembuat jalan, penyapu jalan, pelacur dan banyak pekerjaan berupah rendah lainnya dalam sektor informal.15 Sebagian besar perempuan di Dunia Ketiga bekerja sangat keras, tetapi ironi keadaan mereka diringkas dengan sangat bagus seperti; sejak bangun tidur perempuan disibukkan dengan pekerjaan, tetapi di penghujung hari, apakah pekerjaan mereka di perhitungkan? jawabnya tidak, tergambar melalui kutipan di bawah ini: “..Pembantu yang bekerja sebagai tukang masak di rumah orang yang mempekerjakannya untuk mendapat upah, secara ekonomis dianggap aktif. Tetapi sekalipun bekerja jauh lebih banyak di banding seorang pembantu yang mendapat bayaran seorang ibu rumah tangga yang memasak untuk keluarga atau mengurus rumah tangga tidak dipandang aktif dari sisi ekonomi…”16 Pandangan semacam ini berdampak serius bagi perempuan. Pekerjaan mereka diabaikan oleh setiap orang, oleh pemerintah, oleh suami, dan keluarga. Perempuan menderita karena laki-laki tidak menghargai kerja Ibid., hlm., 46. Ibid., hlm., 46-47. 16 Ibid., hlm., 47. 14 15
548 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies yang dilakukannya. Menurut definisi kerja yang sesungguhnya adalah apa yang dilakukan laki-laki; di belakang alat bajak, di pabrik, atau di kantor. Berikut adalah kisah seorang perempuan India, Zubeida “memasak roti, dan merebus, mengumpulkan makanan ternak, dan memotongmotongnya, membuang kotoran, ternak, dan membuat bahan bakar dari kotoran sapi, menyapu.. cukup! Saya bekerja sepanjang hari- kendati demikian suami ku tetap berkata “apa yang kamu lakukan dengan dirimu sepanjang hari?”17 Atau cerita berikut dari perempuan Indonesia yang mempunyai anak berusia 40 hari, bangun jam 04.00; merendam pakaian, mencuci menggunakan mesin cuci, dibilas lalu dijemur, kemudian sholat subuh, setelahnya memasak air, menyiapkan kopi untuk suami dan untuk mandi bayi, memasak nasi dan lauk. Jam 06.00 menyusui bayi, membangunkan suami, menyiapkan keperluannya untuk pergi kekantor. Kemudian, istri memandikan bayi, sementara suami minum kopi, makan pagi, mandi dan bersiap kerja. Suami siap, bayi juga telah siap, kemudian suami mengendong bayi sebentar, sementara istri mandi dan makan dalam waktu 5 menit. Setelah beres bayi diberikan kembali kepada istri, sang suami berangkat kerja, sepanjang hari sang istri; menjaga bayi, menyusui bayi dan menganti popoknya dan menidurkannya. Jam 10.00 istri kembali memasak, untuk makan siang. Jam 12.00 istri makan siang kemudian kembali; mengasuh bayi, mengganti popok, menyusui, menggendong dan menidurkan bayi. Kemudian jam 14.00 mengangkat jemuran, melipat popok-popok bayi, dan menyetrika pakaian. Jam 16.00 memandikan bayi, masak untuk makan malam. Jam 17.00 suami pulang kerja. Suami datang langsung makan dan mandi menyalakan TV, menonton. Sang istri masih menyusui bayinya, karena lelahnya dia bekerja, dia menyusui bayi sambil tertidur. Tengah malamnya tidak terhitung kalinya dia bangun untuk menyusui bayinya dan mengganti popok, sementara suami masih nonton TV kemudian tidur. Setiap hari dia melakukan ini, kendati demikian sang suami berkata “kamu enak di rumah saja bersama sang bayi, enak bisa tidur siang, istirahat sepuasnya, sedangkan aku bekerja dari pagi sampai malam, kemudian uangnya juga buat kamu padahal aku yang kerja” Untuk menggambarkan bermacam-macam tugas yang dijalani kaum perempuan, marilah kita melihat pekerjaan sehari-hari perempuan di Nepal: Bangun pagi pukul 04.00 Merapikan tempat tidur Menyiapkan teh Menyapu rumah dan halaman Menyiapkan sarapan pagi Mengolah susu menjadi yoghurt, dadih dan ghee 17
Ibid., hlm., 347-48.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 549
Menampih beras, menanak nasi, dahls, mengiling bumbu Mengambil bahan bakar dan air Mencuci pakaian Memberi makan memandikan, dan membersihkan anak-anak Mencuci dan memperbaiki pakaian Membentang tempat tidur malam Memperbaiki rumah Mengurus sapi, ayam dan keledai Ini semua memakan waktu 12-16 jam kerja sehari.18 Kerja yang dilakukan perempuan kadang-kadang dilukiskan sebagai “tidak tampak” karena kerja itu tidak terekam secara statistik. Kerja perempuan lebih dipandang sebagai menghidupi ketimbang mendapatkan penghasilan. C. Kesetaraan gender Muawanah mengemukakan bahwa konsep gender adalah yang mengacu pada perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang tersetruktur. Intinya bahwa secara terminologi gender merupakan konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi sosial bukan biologis.19 Lebih lanjut Muawanah mengemukakan bahwa Tuhan menciptakan jenis kelamin, sementara manusialah yang menciptakan perbedaan gender bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki, adapun manusia bersama masyarakat menciptakan peran gender, lebih lanjut Negara dan manusia menciptakan diskriminasi.20 Untuk menjelaskan teorinya lebih lanjut menurut Muawanah ada beberapa miss-understanding tentang isu gender 1. Gender tidak usah diotak atik 2. Gender bertentangan dengan agama 3. Gender sama dengan Barat 4. Gender sama dengan alat pemberontakan kaum perempuan 5. Gender sama dengan merubah peran perempuan Menurut Muawanah lebih jelas lagi dia mengemukakan teorinya bahwa sex tidak dapat diubah sudah dari sang pencipta menjadi perempuan atau menjadi laki-laki. Sementara menjadi perempuan atribut yang melekat padanya adalah melahirkan, menyusui, menstruasi. Intinya sex role perempuan berbeda dengan laki-laki.21 18 Sugihastuti dan Saptiawan, Itsna Hadi, Gender & Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, yokyakarta, 2007, hlm., 48. 19 Muawanah, Elfi, Pendidikan Gender……, hlm., 2. 20 Ibid., hlm., 2. 21 Ibid., hlm.,4.
550 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Muawanah menjelaskan ketidaksetaraan gender merupakan ketimpangan yang terjadi sehingga mengakibatkan salah satu gender mengalami diskriminasi. Bentuk-bentuk diskriminasi adalah 1. Kekerasan 2. Beban ganda 3. Stereotype 4. Subordinasi 5. Marginalisasi22 Mansour Fakih, seorang scholar di bidang gender di Indonesia, menjelaskan konsep seks dan konsep gender. Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis kelamin secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentutan Tuhan atau kodrat. Berbeda dengan seks, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun Negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah baik dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke ketampat lain maupun dari satu kelas ke kelas lainnya23 Fakih lebih lanjut menjelaskan ketidaksetaraan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.24 Hal yang sama mengenai pengertian gender dikemukakan oleh Julia Cleves Mosse bahwa menurutnya secara mendasar gender berbeda dari jenis kelamin biologis, jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Tetapi jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminism adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita25 Ketika seorang anak dilahirkan, maka pada saat itu anak sudah dapat dikenali, apakah seorang anak laki-laki atau perempuan berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya. Jika anak itu mempunyai alat kelamin lakiIbid., hlm.,5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm., 7-9. 24 Ibid., hlm., 12-13. 25 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2007, hlm., 2. 22 23
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 551
laki maka ia dikonsepsikan sebagai anak laki-laki dan jika mempunyai alat kelamin perempuan maka ia dikonsepsikan sebagai anak perempuan, begitu seorang anak dilahirkan maka pada saat yang sama ia memperoleh tugas dan beban gender dari lingkungan budaya masyarakatnya. Beban gender seseorang akan sangat bergantung dengan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakatnya. Pada masyarakat yang sistem patrilinial dan adrosentris, maka sejak awal beban gender seorang anak laki-laki lebih dominan di banding anak perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gender merupakan konsep sosial yang harus diperankan oleh kaum laki-laki atau perempuan sesuai dengan ekspetasiekpetasi sosio kultural yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang kemudian melahirkan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai peran gender. 26 Jadi Kesetaran gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.27 D. Kebijakan Pendidikan Nasional Mengenai Issu Gender Pendidikan diyakini sebagai promotor utama untuk perubahan yang signifikan dalam isu-isu komunal yang muncul di Indonesia.28 Sebelumnya, SISDIKNAS Indonesia mengunakan Undang-Undang (UU) No. 2/1989 karena UU ini tidak lagi memadai dan perlu diganti dan disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Nasional. Maka Pemerintah menetapkan UU SISDIKNAS No 20/2003 sebagai penganti UU No.2/1989. Pemerintah berargument UU SISDIKNAS No. 20/2003 memuat pendidikan setara gender. Berikut beberapa pasal dalam UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS yang memuat pendidikan kesetaran gender: 1. Pada BAB III: Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 4 No.1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkesetaraan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. 2. BAB IV Bagian Kesatu: Hak dan kewajiban warga Negara, Pasal 5 No. 1: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
26 Ridwan, Kekerasan Berbasis gender, Pusat studi Gender STAIN Purwokerto, 2006, hlm., 18-19. 27 Muawanah, Elfi, Pendidikan Gender …………., hlm.,18. 28 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme Tatangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Tranformasi Pendidikan, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm., 184.
552 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies 3. BAB IV Bagian Kesatu: Hak dan kewajiban warga Negara, Pasal 5 No. 2: Setiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut, bab X disebutkan bahwa dalam Pasal 36 No.1 dikatakan bahwa (1) pengembangan kurikulum dilakukan mengacu pada standar nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Tujuannya adalah untuk "pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan, untuk membentuk karakter dan peradaban bangsa dengan martabat dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik, untuk menjadi manusia beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, mulia, sehat, berilmu, kompeten, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara demokratis dan bertanggung jawab. 29 (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan (3) kurikulum disusun sesuai dengan tingkat pendidikan dalam kerangka kesatuan Republik Indonesia mengenai isu-isu seperti agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilai-nilai nasional. 30 Lebih lanjut Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) juga mengeluarkan beberapa undang-undang pendidikan untuk mendukung apa yang tercantum pada SISDIKNAS No. 20/2003 mengenai kesetaraan gender. Kemudian berdasarkan pada undang-undang pendidikan yang dikeluarkan, KEMDIKBUD menetapkan Standar nasional untuk buku teks yang digunakan di seluruh Indonesia yaitu yang diatur dalam; PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, Permendiknas No. 22/2006 Tentang Setandar Isi, Permendiknas No. 23 / 2006 tentang Standar lulusan, Permendiknas No 24/2006 tentang Pelaksanaan Pemendiknas No 22/206 dan No 23/2006 dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar lulusan terdiri dari 17 point dan point keempat khusus menunjukkan bahwa siswa diharapkan untuk menghormati aspek multi-budaya Indonesia dan kesetaraan gender. Selain itu Permendiknas No. 23/2006 juga menyebutkan standar minimal kelompok mata pelajaran pendidikan agama untuk sekolah dasar; Issu kesetaraan gender disebutkan secara jelas dalam No 3 bahwa siswa diharapkan untuk diajarkan mengenai ideologi kesetaraan gender di Indonesia. Kemudian konsep-konsep gender yang telah diatur dalam kebijakan pendidikan nasional ini diatur secara mendetail pada KTSP. Kemudian, 29 Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Sinar Grafika, Jakarta. 2007, hlm., 5. 30 Redaksi Sinar Grafika ................hlm.,18-19.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 553
KTSP menjadi standar acuan bagi pengarang buku teks dan penerbit menerbitkan buku mereka. Tujuan KTSP adalah untuk memberikan fleksibilitas kepada guru dan sekolah dalam mengembangkan kurikulum. Guru dan sekolah bebas untuk berkreasi dengan KTSP dalam pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. 31 Prinsip dasar dari KTSP adalah kurikulum menghormati karakteristik siswa dan perbedaan budaya mereka seperti agama, etnis, kelas, jenis kelamin, dan bahasa. Memahami perbedaan budaya siswa merupakan keuntungan ketika menghormati keragaman di Indonesia. 32 D. Issu Gender dalam Buku Teks PAI: Penerbit Erlangga dan Yudistira kelas I-VI Pada Buku kelas satu PAI Erlangga pada halaman depan tampak berjalan beriringan jumlah anak perempuan dan laki-laki; perempuan berjalan di depan membawa al-Quran dan laki-laki di belakang juga membawa al-Quran.33 Nilai kesetaraan gender yang ingin ditunjukkan adalah semua anak laki-laki atau perempuan semuanya beribadah dan ke Masjid. Hak ini dimiliki oleh laki-laki dan perempuan secara equal.34
Gambar I Perempuan dan laki-laki memeliki hak yang setara dalam beribadah35 Kemudian pada bab beribadah kepada Allah mengexplore anak perempuan dan laki-laki digambarkan sebagai dua orang yang equal dalam posisinya sebagai anak yang saleh. Anak laki-laki dan perempuan dalam beribadah mempunyai kewajiban yang sama, tidak hanya anak laki-laki saja Ibid., hlm., V. Sutiah Muhaimin and Sugeng Listiyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah dan Madrasah, Raja Grafindo Persada, 2008, hlm., 146. 33 Masrun dan kawan-kawan, dkk., Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Erlangga, Jakarta, 2007, hlm., i. 34 Ibid., hlm., 2. 35 Ibid., hlm., 2. 31 32
554 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies atau anak perempuan saja. Penyebutan satu kali untuk laki-laki dan satu kali untuk perempuan yang diwakilkan Iman dan Aminah, adalah penggambaran kesetaraan gender. Pada halaman selanjutnya, cerita tentang peran orang tua di dalam keluarga, Ayah digambarkan satu-satunya pencari nafkah dan Ibu yang melahirkan anak. Kedua orangtua; Ayah dan Ibu secara bersama-sama merawat anaknya. Berikut kutipan teksnya: Orang tua adalah Ayah dan Ibu Yang merawat kita Dari kecil hingga dewasa Ibu mengandung dengan susah payah Dan Ayah mencari nafkah Orangtua membimbing Dan menyayangi dengan ikhlas Allah memerintahkan kita Selalu hormat pada orangtua Dan berbuat baik pada mereka Hormat kepada orangtua Tidak membantah bila dinasihati Rajin membantu Berpamitan ketika berangkat sekolah dan tidak pernah lupa Mendoakan orang tua.36 Penjelasan mengenai konsep kesetaraan gender sudah jelas tercantum pada point ini, namun tetap tidak bisa menghilangkan kewajaran dalam suporitas kedudukan laki-laki di dalam keluarga (patriarki), Ayah pencari nafkah. Walau begitu sudah sangat berusaha berkompromi, bahwa Ayah turut serta dalam mengasuh, merawat, membimbing, menyayangi anak. Kemudian, pada halaman selanjutnya digambarkan anak laki-laki membantu Ibunya mencuci piring: “Selesai makan jangan lupa membantu Ibu membersihkan dan merapikan peralatan makan.”37
Gambar 2 Anak laki-laki mencuci piring 36 37
Ibid., hlm., 94. Ibid., hlm., 96.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 555
Pada gambar di atas ideologi kesetaraan gender, sudah mulai diajarkan pada generasi selanjutnya yaitu anak, bahwa mencuci piring bukan lagi pekerjaan anak perempuan, tapi juga bisa dilakukan anak laki-laki, dan membantu Ibu dalam pekerjaan rumah tangga adalah perbuatan yang terpuji. Jadi, pada buku kelas I PAI meng-explore kesetaraan gender ketika itu pada tataran anak-anak dan mulai menanamkan ideologi bahwa anak laki-laki sudah harus membantu orang tua dalam hal ini Ibu dalam pekerjaan utamanya di rumah. Namun tetap saja Ayah adalah pencari nafkah utama dan tidak melakukan pekerjaan rumah, tapi kemajuan terbesar bahwa Ayah sudah ikut andil mengasuh anak-anak. Terlihat bahwa, pendidikan kesetaraan gender mulai diajarkan pada generasi ini. Pada Buku teks PAI di Kelas II, juga banyak mencantumkan gambar-gambar kesetaraan gender, yaitu penyebutan yang sama atas anak laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama banyak. Berikut beberapa gambar di bawah ini ingin menggambarkan bahwa dalam hal bermain dan belajar, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama38
Gambar 3 Bermain dan belajar adalah hak anak laki-laki dan perempuan Walau tidak banyak memuat gambar-gambar yang berbeda dari buku kelas I dan II Kesetaraan gender juga termuat pada buku kelas III PAI terbitan Erlangga yang tergambar pada ibadah sehari-hari yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan; Gambar lain dalam buku kelas III sama dengan gambar yang ada di atas, seperti ibadah sholat berjamaah dalam satu keluarga, anak-anak belajar bersama di kelas dan bermain bersama39. 38 Masrun dkk., Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 2 Erlangga, Jakarta, 2007, hlm., 94. 39 Masrun dkk., Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 3, Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.,i
556 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Sama seperti pada buku teks kelas I, II, dan III, buku teks kelas IV PAI terbitan Erlangga juga memuat issu kesetaraan gender dimulai dari halaman sampul buku berbeda gambar dari buku kelas I, II dan III tapi tetap mengusung issu kesetaraan gender.
Gambar 4 Anak laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan belajar yang sama Selanjutnya sama dengan gambar pada buku kelas III buku kelas IV anak laki-laki dan perempuan harus beribadah. Terlihat pada buku terbitan Erlangga tidak banyak gambar yang baru, hampir intinya sama menunjukkan jumlah yang setara dalam penyebutan laki-laki dan perempuan. Hal ini juga tidak jauh berbeda pada buku kelas V dan VI. Buku kelas satu PAI Yudhistira, juga mengexplore penjelasan mengenai issu gender hal ini tampak pada buku kelas 1: Pada halaman satu ada gambar anak laki-laki dan perempuan melaksanakan ibadah sholat dan juga gambar ini dijelaskan dengan cerita di bawahnya, berikut ceritanya: Agis sedang mendirikan sholat Saat sholat, Agis membaca surat al-Fatihah Anis akan berangkat ke sekolah sebelum berangkat Anis berdoa Sebelum berdoa, Anis membaca surat al-Fatihah40 Pada halaman selanjutnya dikemukakan mengenai Prilaku hidup bersih41 yang juga menggambarkan issu gender Oni anak sehat Oni tidak takut air Oni selalu menjaga kebersihan setelah bersih dan rapi 40Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 1, Kelas 1 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007, hlm., 1. 41 Ibid., hlm., 31.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 557
Oni, Ida, Ayah dan Ibu mendirikan sholat Subuh berjamah Setelah sholat subuh Oni merapikan tempat tidur dan meja belajar Oni dibantu Ida
Gambar 5 Anak perempan mencuci dan membersihkan tempat tidur dibantu anak laki-laki Anak laki-laki, Oni harus menjaga kebersihan seperti merapikan tempat tidur. Walau begitu harus tetap dibantu oleh anak perempuan, Ida. Terlihat pada gambar Ida membantu merapikan tempat tidur Oni, kemudian Ida mencuci pakaian. Pada gambar ini tampak jelas memang pekerjaan rumah adalah pekerjaan utama perempuan, dan laki-laki hanya membantu. Tapi ada hal Positif pada pendidikan kesetaraan gender adalah bahwa anak lakilaki juga sudah mulai bekerja pada tataran domestik. Selanjutnya, masih mengenai prilaku hidup bersih, issu gender juga termuat dalam hal ini, berikut penjelesan pada buku: Selesai buang air Evi segera membersihkan kubul dan duburnya dengan air agar tidak ada sisa kotoran yang menempel. Evi membersihkannya hingga bersih dan suci. Evi juga menyiram kamar mandi hingga bersih dan tidak berbau. Setelah bersih, Evi keluar dari kamar mandi, Evi keluar kamar mandi mendahulukan kaki kanan sambil berdoa Anto menginjak kotoran ayam Anto tahu kalau kotoran ayam itu najis Anto segera mencuci kakinya dengan sabun dan air Anto menggunakan air bersih yang mengalir agar kakinya menjadi bersih dan suci Anto selalu menjaga kebersihan Susi bermain karet Susi tidak memakai sandal ketika hendak masuk rumah Susi mencuci kakinya Susi menggunakan sabun Susi mengunakan air mengalir
558 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Suci mencuci kakinya Karena takut kena najis Apabila mencuci anggota badan yang kena najis Gunakan air bersih dan suci air tersebut harus mengalir Seperti air keran dan air sumur.42 Issu gender terlihat dalam cerita di atas penyebutan anak perempuan dan laki-laki disebutkan dengan jumlah yang sama banyak. Dalam cerita ini digambarkan kebersihan harus dijaga oleh semua anak baik itu laki-laki atau perempuan. Berikut kembali kegiatan hidup bersih dan memuat Issu gender, cerita tentang Jani dan Mila yang mengerjakan pekerjaan rumah membantu kedua orang tuanya. Cerita ini mengusung issu kesetaraan gender, membersihkan rumah adalah pekerjaan Ibu, tetapi disini membersihkan rumah adalah tanggung jawab semua keluarga. Jani dan Mila anak yang rajin. Jani dan Mila rajin membantu orang tuanya. Mila menyapu lantai. Jani mengepel lantai. Jika libur sekolah Jani, Mila, Ayah dan Ibu bekerja bakti membersihkan halaman rumah. Rumah mereka pun tampak bersih dan indah punya rumah bersih dan indah sangat menyenangkan.43
Gambar 6 Mila menyapu dan Jani mengepel
Gambar 7 Keluarga Membersihkan rumah 42 43
Ibid., hlm., 48. Ibid., hlm., 101.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 559
Lebih lanjut cerita tentang menjaga kebersihan ini, juga menjadi kewajiban seluruh anak laki-laki dan perempuan di sekolah: Selain rajin bekerja di rumah Jani dan Mila rajin bekerja di sekolah apabila ada kerja bakti di sekolah Jani dan Mila selalu ikut. Masih pada buku kelas 1 penerbit Yuditira, kembali Cerita di bawah ini yang memuat issu gender: Ninis dan Diwa dua bersaudara mereka sangat mentaati dan menghormati orang tuanya. Orang tualah yang telah merawat dan mendidik mereka Ibu hamil Sembilan bulan ibu kemudian melahirkan dengan susah payah. Ayah bekerja keras mencari nafkah. Oleh karena itu Ninis dan Diwa sangat menyanyangi kedua orang tuanya Orangtuanya juga menyanyangi mereka. Mereka selalu menuruti nasihat orang tua. Sebelum berangkat mereka pamit dengan mencium tangan orangtuanya. mereka juga mengucapkan salam. Jika libur sekolah Ninis dan Diwa membantu orang tua mereka berbagi tugas. Ninis menyapu lantai, sedangkan Diwa mengepel. Ibu memasak di dapur sedangkan Ayah membersihkan halaman rumah dan taman. Jika waktu shalat tiba mereka mendirikan sholat berjamah, setelah sholat mereka berzikir dan berdoa bersama. 44 Cerita ini juga didukung dengan beberapa gambar yang memperlihatkan pekerjaan Ninis mengepel dan menyapu, Ibu memasak dan Ayah berada di kebun, kemudian mereka satu keluarga sholat berjamah. Cerita di atas, kembali memperkokoh kewajaran Ayah yang selalu dalam posisi di kebun, di kantor, di sawah sedang Ibu selalu dalam posisi di dapur.
44
Ibid., hlm., 104
560 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
Gambar 8 Penggolongan Pekerjaan Perempuan dan Laki-laki Ideologi ini tertanam menjadi suatu kewajaran yaitu pekerjaan rumah tangga adalah tangung jawab perempuan. Point positif bagi pendidikan kesetaraan gender adalah anak laki-laki tidak berprilaku seperti Ayahnya, dia mengepel membersihkan rumah setara dengan anak perempuan. Kemudian gambar diteruskan dengan menampilkan anak perempuan yang mencuci piring.
Gambar 9 Kebersihan di rumah menjadi tugas perempuan Selesai makan kita harus mencuci tangan Peralatan makan seperti piring dan gelas harus dicuci Meja makan harus dibersihkan.45 Pada buku teks kelas II PAI, kembali gambar anak laki-laki dan perempuan bermain bersama, kalau diperhatikan ada dua anak perempuan dan dua anak laki-laki, ini adalah jumlah yang sama banyak. Kembali memberikan makna bahwa anak perempuan punya kesempatan yang sama dalam bermain.46 Tidak jauh berbeda dari buku sebelumnya buku kelas III Pendidikan Agama Islam penerbit Yudistira juga memberikan informasi yang sama bahwa dalam masalah pendidikan perempuan mendapatkan hak
Ibid., hlm., 112. Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 2, Kelas 2 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007, hlm., 2 45 46
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 561
yang sama dengan laki-laki.47 Kembali pada buku kelas IV memperkokoh hal yang penulis kemukakan di atas bahwa dalam pendidikan setara gender telah teraplikasi ditandai dengan perlakuan atas hak dan kewajiban yang sama terhadap anak laki-laki dan perempuan pada buku teks PAI.
Gambar 11 Perempuan dan laki-laki wajib beribadah48 Pengertian qada adalah ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Sebelum menciptakan makhluk nya. Qadar adalah ketentuan atau ketetapan allah SWT yang telah terjadi pada diri makhluknya Cobalah perhatikan keadaan sekelilingmu ada manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Semua yang ada di dunia ini sesungguhnya sudah diatur Allah SWT. Jadi segala yang terjadi di muka bumi ini adalah karena kuasa dan kehendaknya49
Gambar 10 Laki-laki dan Perempuan adalah ciptaan Allah
47 Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 3, Kelas 3 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007, hlm., 1. 48 Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 4, Kelas 4 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007, hlm., 31- 47. 49 Ibid., hlm., 116.
562 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Pada buku kelas V, masih gambar-gambar yang bermakna sama seperti sebelumnya seperti anak perempuan dan laki-laki belajar bersama, bermain bersama, berdoa bersama, sholat bersama. Namun, pada halaman selanjutnya menunjukkan anak laki-laki membantu ibunya memberi makan ternak. Berikut gambarnya: Pada buku kelas lima, menunjukkan anak laki-laki membantu ibunya memberi makan ternak. Berikut gambarnya: Agis sedang membantu Ibunya memberi makan ayam Agis bertanggungjawab atas hewan peliharaanya 50.
Gambar 9 Anak laki-laki membantu Ibu Gambar ini memberikan gambaran pada ide yang sudah penulis kemukakan bahwa ideologi kesataraan gender diajarkan kepada generasi sekarang. Ini tercermin dari hanya anak-anak yang mulai membantu ibunya mengerjakan pekerjaan domestik. Kembali menguatkan gambar sebelumnya, buku kelas VI Pendidikan agama Islam juga menceritakan yang sama berikut penjelasannya: Pengertian qada adalah ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Sebelum menciptakan makhluk nya. Qadar adalah ketentuan atau ketetapan Allah SWT yang telah terjadi pada diri makhluknya Cobalah perhatikan keadaan sekelilingmu ada manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Semua yang ada di dunia ini sesungguhnya sudah diatur Allah SWT. Jadi segala yang terjadi di muka bumi ini adalah karena kuasa dan kehendaknya
50
Ibid., hlm., 107.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 563
Gambar 10 Laki-laki dan Perempuan adalah ciptaan Allah Hidup rukun saling menghormati menjadi dambaan umat Islam. Lihatlah suasana persahabatan yang ditunjukkan Agis dan teman-temannya di sekolah. Mereka meneladani kebersamaan yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Ansar.51
Gambar 11 Kebersamaan Jadi Buku teks PAI memuat gambar, dan cerita; prilaku yang dilakukan anak perempuan dan laki-laki secara bersama-sama dan dalam jumlah penyebutan yang sama banyak. Namun, untuk pekerjaan domestik masih tetap tugas utama Ibu. Sedangkan Ayah adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Jadi pekerjaan mencuci, memasak tetap menjadi tugas pokok Ibu dan anak perempuan. Walaupun demikian, pada anak laki-laki mulai diajarkan untuk membantu mencuci piring, membantu mengepel, dan membantu memberi makan ternak. 51 Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 6, Kelas 6 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007, hlm., 96.
564 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Walau dua belas buku teks ini berusaha keras memberikan gambargambar dan cerita yang mengusung kesetaraan gender namun tetap tidak bisa menghilangkan kewajaran dalam superioritas kedudukan laki-laki di dalam keluarga (patriarki), Walau begitu sudah sangat berusaha berkompromi, bahwa Ayah turut serta dalam mengasuh, merawat, membimbing, menyayangi anak. Jadi kedua belas buku teks ini mempunyai kontribusi nyata pada issu kesetaraan gender bahwa anak laki-laki tidak berprilaku seperti Ayahnya, dia membantu ibunya. E. Kesimpulan Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamanaan maupun Negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat di pertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah baik dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya. UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS, PP. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No.22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan Nasional, Permendiknas No. 23 / 2006 tentang Standar Nasional lulusan, dan Permendiknas No.24/2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No.22/2006, 23/2006 dan KTSP adalah kebijakan pendidikan baru di Indonesia adalah kebijakan pemerintah dalam memberlakukan pendidikan kesetaran dan setara gender pada proses pendidikan di kelas-kelas. Berdasarkan hasil analisis pada buku teks PAI diketahui bahwa pada posisi anak laki-laki digambarkan mengerjakan pekerjaan ibu yaitu memberi makan ternak, mengepel, menyapu, mencuci piring, dan membersihkan tempat tidur. Point pentingnya adalah bahwa pendidikan setara gender mulai diajarkan pada anak laki-laki generasi ini. Analisis selanjutnya menemukan bahwa posisi Ayah masih digambarkan bekerja di kebun, di kantor, ayah tidak pernah digambarkan atau disebutkan bekerja di dapur seperti: memasak, mencuci, mengepel, atau menyapu rumah. Namun kompromi terhadap issu gender telah menggambarkan dan menyebutkaan Ayah mengasuh anak-anak dan Ayah membantu bersih-bersih. Kemudian untuk posisi Ibu dan anak perempuan tetap pada tempatnya yaitu digambarkan dan disebutkan di dapur seperti: memasak, mengepel, mencuci, menyapu dan memberi makan ternak. Berdasarkan temuan ini dipahami bahwa dari waktu-ke waktu Indonesia semakin sadar bahwa kedudukan pria dan wanita semakin equal dan ini menjamin bahwa pendidikan setara gender ke depan di Indonesia bukanlah sekedar mimpi khususnya pada mata pelajaran PAI.
Religion & Science: Integration Through Islamic Studies
~ 565
Jadi pandangan atau ideology yang mengatakan bahwa pekerjaan domestik adalah tugas, tanggung jawab dan kewajaran bagi perempuan sedikit demi sedikit akan terkikis dengan pendidikan setara gender yang ada di dalam buku teks di sekolah, khususnya buku PAI terbitan Erlangga dan Yudistira. DAFTAR PUSTAKA Donna M. Gollnick and Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society, macMilan, The United State of Amerika, 1990 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme Tatangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Tranformasi Pendidikan, Grasindo, Jakarta, 2004 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2007 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997 Muawanah, Elfi, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, Teras, Yokyakarta, 2009 Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Sinar Grafika, Jakarta. 2007 Reyes-Carrasquillo, Angela, ‘Multiculture Education Practices: Practical Applications,’ In: Multicultural Handbook of School Psychology an Interdisciplinary Perspective, Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey, 2007 Ridwan, Kekerasan Berbasis gender, Pusat studi Gender STAIN Purwokerto, 2006 Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2007 Sutiah Muhaimin and Sugeng Listiyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah dan Madrasah, Raja Grafindo Persada, 2008 Buku Teks Pendidikan Agama Islam Masrun dan kawan-kawan, dkk. Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Erlangga, Jakarta, 2007. Masrun dkk. Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 2, Erlangga, Jakarta, 2007. Masrun dkk. Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 3, Erlangga, Jakarta, 2007.
566 ~ Religion & Science: Integration Through Islamic Studies Masrun dkk. Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 4, Erlangga, Jakarta, 2007. Masrun dkk. Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 5, Erlangga, Jakarta, 2007. Masrun dkk. Senang Belajar Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas 6, Erlangga, Jakarta, 2007. Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 1, Kelas 1 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007. Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 2, Kelas 2 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007. Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 3, Kelas 3 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007. Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 4, Kelas 4 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007 Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 5, Kelas 5 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007 Ahmad Farichi dkk, Khazanah Pendidikan Agama Islam 6, Kelas 6 Sekolah Dasar, Yudhistira, Bogor, 2007.