C. Wacana Tentang Partai Komunis Indonesia Dalam Surat Kabar Kompas dan Republika 1. Wacana tentang Partai Komunis Indonesia dalam Berita Mengenai Usulan Pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966 Pasca reformasi, wacana seputar masalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan komunisme lebih berpeluang untuk menjadi konsumsi publik sebab tidak ada lagi rezim yang mengahalangi perbincangan seputar masalah itu, dan yang lebih penting adalah munculnya harapan agar iklim reformasi bisa memunculkan wacana alternatif yang bisa memberi penjelasan dan gambaran lebih gamblang tentang Partai Komunis Indonesia, apa yang sebenarnya terjadi dalam Gerakan 30 September 1965 serta siapa yang sesungguhnya ada di balik peristiwa tersebut. Pasca reformasi ada moment penting yang mengangkat masalah PKI menjadi perbincangan publik, yakni ketika Presiden Abdurrahman Wahid dalam sebuah acara dialog yang disiarkan langsung oleh TVRI pada pertengahan Maret tahun 2000 menyatakan minta maaf pada orang yang telah dituduh sebagai PKI dan telah dibatasi hak-haknya. Dalam kesempatan berikutnya Abdurrahman Wahid juga mengusulkan agar TAP MPRS Nomor XXV/1966 yang berisi pelarangan terhadap PKI dan Komunisme agar dicabut. Usulan Abdurrahman Wahid dinilai sebagai gebrakan luar biasa terhadap sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu. Usulan tersebut membuka wacana lain tentang kepedihan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh orang-orang yang dituduh sebagai PKI, keluarga dan keturunannya. Namun pada sisi lain usulan Abdurrrahman Wahid juga mengundang reaksi keras dari pihak-pihak yang mengangap usulan
140
Abdurrrahman Wahid bisa memberi peluang pada orang-orang komunis setiap saat bisa bangkit kembali. Pihak yang tidak setuju dengan usulan tersebut menganggap Abdurrahman Wahid tidak melihat sejarah masa lalu, dimana PKI telah memberobtak dan bersikap kejam pada rakyat. Bagaimana wacana tentang Partai Komunis Indonesia yang muncul dalam Kompas dan Republika ketika menurunkan berita tentang Usulan Pencabutan TAP dan Caleg Eks PKI? Untuk membongkar wacana yang ada di balik kedua media, penelitian ini menggunakan analisis wacana model van Dijk yang dibagi dalam beberapa elemen wacana dan masing-masing elemen saling mendukung. Berikut ini beberapa judul berita dari Kompas dan Republika: Tabel 4 Daftar Judul Berita mengenai Usulan Pencabutan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dalam Kompas dan Republika Berita mengenai Usulan Pencabutan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Kompas 1. PRO-KONTRA PENGHAPUSAN TAP XXV/1966 (Kompas, 03 April 2000) 2. TNI SEDANG KAJI TAP MPRS XXV/1966 (Kompas, 05 April 2000) 3. Presiden Abdurrahman Wahid: UUD 1945 TIDAK MELARANG SUATU PAHAM (Kompas, 05 April 2000) 4. BENAHI DULU EKONOMI, BARU BICARA TAP MPRS XXV/1966 (Kompas 07 April 2000) 5. Ketetapan Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966 DARI SECANGKIR KOPI KE HAWA NAFSU (Kompas, 14 April 2000) 6. Budiman Sudjatmiko: BONGKAR SEMUA SEJARAH… (Kompas, 14 April 2000) 7. USUL PENCABUTAN TAP
Republika 1. ‘MPR tak akan Cabut Tap MPRS No XXV’ (Republika 5 April 2000) 2. MPR takkan Cabut Tap Komunisme (Republika, 7 April 2000) 3. Demo Besar Tolak Pencabutan Tap tentang PKI (Republika, 8 April 2000) 4. Ide Pencabutan Tap tentang Komunisme tak Populer di MPR (Republika 9 April 2000) 5. Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV (Republika, 10 April 2000) 6. PBNU Tetap tak Setuju Tap MPRS tentang Komunisme Dicabut (Republika, 15 April 2000) 7. Tokoh Politik Surakarta Bentuk Front Anti Komunis. (Republika 18 April 2000)
141
8. ‘Komunisme Bertentangan dengan XXV/MPRS/1966 AKAN UUD ‘45’. (Republika, 29 April DIJELASKAN 20 MEI (Kompas, 2000) Sabtu 22 April 2000) 8. Muktamar I Partai Bulan Bintang, YUSRIL ANCAM MUNDUR DARI KABINET (Kompas, 27 April 2000) Sumber: diolah dari berita-berita dalam Kompas dan Republika
1.1. Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Kompas Kompas dikenal sebagai surat kabar yang bersikap sangat hati-hati dalam pemberitaannya, terutama mengenai masalah yang bersifat kontroversial atau menyangkut isu-isu sensitif. Sikap tersebut juga tampak ketika menurunkan berita tentang usulan Pencabutan TAP MPRS/XXV/1966, Kompas tidak terjebak pada satu pandangan. Salah satu surat kabar terbesar di Indonesia ini mengakomodir pihak yang pro maupun kontra, meletakkan usulan Gus Dur sebagai masalah yang bersifat kontroversial. Sikapnya mengenai usulan pencabutan Tap tercermin dari bagaimana Kompas menggambarkan Partai Komunis Indonesia dalam beritaberita tersebut, baik tentang eksistensi PKI, komunisme maupun seputar sejarah 1965 1.0.0. Tematik Tema atau topik adalah gagasan inti yang menggambarkan apa yang ingin diungkapkan wartawan dalam berita. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral dan paling penting dari teks. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap MPRS/XXV/1966, Kompas melihat masalah tersebut masih bersifat pro-kontra. Ada dua tema utama tentang Partai Komunis Indonesia yang dimunculkan,
142
Pertama, boleh tidaknya ideologi komunis tumbuh kembali di Indonesia dan kedua, tentang keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam G30S. PKI dan komunisme menjadi tema sentral dalam beberapa berita yang diturunkan dan menjadi cerminan bagaimana Kompas menilai peluang untuk mencabut Tap MPRS/XXV/1966 sebagaimana diusulkan oleh Gus Dur. Pada satu sisi, Kompas ingin menyatakan bahwa ideologi komunis masih berpeluang untuk kembali tumbuh di Indonesia. Ada beberapa sub tema yang dipakai untuk mendukung kemungkinan tumbuhnya komunis di Indonesia. Pertama, UUD 1945 tidak melarang suatu paham, termasuk ideologi komunis, dan kedua, pelarangan terhadap sekelompok warga negara untuk menganut sebuah paham adalah perbuatan diskriminatif. Ketiga, pelarangan terhadap suatu paham juga bertentangan dengan demokrasi. Pada sisi lain, Kompas juga mengatakan bahwa kemungkinan untuk menumbuhkan kembali PKI dan komunisme di Indonesia perlu dipikirkan kembali sebab komunisme adalah idelogi yang masih berbahaya dan bisa mengancam bangsa kita. Ada beberapa sub tema yang mendukung penolakan tersebut. Pertama, komunisme anti demokrasi sehingga tidak boleh tumbuh di Indonesia karena akan merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun dan kedua, komunisme bertentangan dengan ajaran Islam. Mengenai eksistensi Partai Komunis Indonesia, Kompas juga tidak hanya terpaku pada satu pandangan. Kompas mengangkat tema tentang kesalahan yang telah dilakukan PKI terhadap bangsa Indonesia, sehingga PKI tidak boleh hidup lagi di bumi pertiwi. Namun pada sisi lain Kompas secara implisit juga berusaha memunculkan kemungkinan adanya pihak-pihak selain PKI yang terlibat dalam
143
G30S. Ada beberapa tema pendukung yang dipakai untuk meyakinkan bahwa PKI tidak boleh hidup lagi. Pertama, PKI telah berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan menggunakan cara kekerasan, kedua, PKI tidak pernah ikut membangun Indonesia dan ketiga, orang-orang PKI suka meneror. Pada sisi lain, Kompas juga ingin menyampaikan bahwa belum tentu PKI yang memberontak. Ada dua sub tema yang diangkat untuk menggugat kembali keterlibatan PKI dalam G30S. Pertama, mengungkap kemungkinan tentang apa dan siapa yang ada di balik G30S. Kompas mengangkat kemungkinan peristiwa G30S terjadi karena konflik internal Angkatan Darat, bahkan ada kemungkinan yang menjadi dalang G30S adalah justru Soeharto sendiri. Karena itu dalam sub tema kedua Kompas mengusulkan agar sejarah Indonesia dibongkar kembali, agar permasalahannya bisa dilihat secara proporsional.
1.1.2. Skematik Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur. Skema tersebut menunjukkan bagaimana bagian teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan arti. Berita umumnya mempunyai dua skema besar, Summary (ringkasan) dan Story (isi berita). Summary ditandai judul dan Lead menunjukkan tema yang ingin ditampilkan dalam berita. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan dari apa yang ingin disampaikan sebelum masuk dalam isi berita secara keseluruhan. Story adalah isi berita secara keseluruhan yang secara hipotetik terbagi dua sub kategori. Pertama berupa gambaran situasi jalannya peristiwa dan yang kedua berupa komentar yang ditampilkan dalam teks.
144
Wacana yang muncul tentang Partai Komunis Indonesia dalam berita tentang Tap MPRS XXV/1966 juga terlihat dari skema yang dibuat. Masalah PKI maupun komunisme tidak pernah secara eksplisit diangkat dalam judul maupun lead berita, Kompas lebih menyoroti usulan pencabutan Tap sebagai masalah yang masih pro-kontra, hal ini ditunjukkan oleh skematik dua buah berita yang dimuat oleh Kompas. Memang sikap Kompas yang menganggap masalah Tap sebagai masalah yang kontroversial tidak tercermin dalam setiap berita. Namun jika dilihat secara keseluruhan sampel berita, kita bisa melihat bahwa pihak yang pro maupun kontra bisa dikatakan mendapat perhatian hampir yang sama dalam pemberitaan. Dari judul berita yang dibuat, bisa ditebak ke mana Kompas mengarahkan publik pembacanya dan betapa koran ini terlihat hati-hati dalam pemberitaannya. Dalam dua beritanya, Kompas memasang judul “Pro-Kontra Penghapusan Tap XXV/1966” (Kompas, 03-03-2000) dan “Ketetapan Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966 Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu” (Kompas, 14-04-2000). Judul pertama mengambarkan, Kompas melihat masalah usulan pencabutan Tap masih bersifat kontroversial dan menimbulkan pro kontra dalam masyarakat. Judul berita kedua lebih mengarah pada bagaimana asal mula kontroversi itu muncul, yakni dari pernyataan Gus Dur di sebuah acara televisi dan mendapat sambutan beragam dari masyarakat. Dalam berita-berita lain, Kompas juga tidak menunjukkan keberpihakan mengenai masalah PKI dan komunisme, hal ini terlihat dari judul berita Kompas yang tidak secara eksplisit menunjukkan bagiamana sikapnya terhadap masalah
145
tersebut. Berita yang menggambarkan penolakan terhadap usulan pencabutan tap dapat dilihat dari judul berita, “Benahi Dulu Ekonomi, Baru Bicara Tap MPRS XXV/1966” (Kompas, 07-04-2004). Secara implisit Kompas ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai masalah, termasuk masalah ekonomi, jika komunisme diijinkan tumbuh kembali di Indonesia, justru akan membahayakan kondisi bangsa. Pada berita lain, Kompas membuat judul “Muktamar I Partai Bulan Bintang Yusril Ancam Mundur dari Kabinet” (Kompas, 27-04-2004). Judul berita tersebut ingin menunjukkan bahwa usulan Gus Dur untuk mencabut Tap mendapat tentangan, bukan hanya dari masyarakat tapi juga dari dalam pemerintahan sendiri, menteri yang seharusnya mendukung kebijakan presiden justru menolak pendapat pemimpinnya. Pada sisi lain, Kompas juga memuat berita yang menggambarkan bagaimana seharusnya bangsa Indonesia menyikapi masalah komunisme. Misalnya Kompas menurunkan berita berjudul “Presiden Abdurrahman Wahid: UUD 1945 Tidak Melarang Suatu Paham” (Kompas, 05-04-2000). Kompas ingin menunjukkan bahwa kita tidak bisa melarang sebuah paham untuk hidup di Indonesia, karena dasar negara kita tidak pernah melarang sebuah paham. Lead berita juga memperlihatkan kecenderungan yang sama, melihat masalah Tap masih kontroversial. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan dari apa yang ingin disampaikan sebelum masuk dalam isi berita secara keseluruhan. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari dua lead berita berikut:
“Bermula dari permintaan maaf atas pembunuhan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa berdarah Gerakan 30 September. Obrolan Gus Dur dalam Secangkir Kopi yang
146
disiarkan langsung TVRI tanggal 14 Maret lalu kemudian memicu pro-kontra pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, yang resminya ditulis Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. (Kompas, 14-04-2000)” “Gagasan pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Marxisme/Leninisme yang diusulkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terus menimbulkan pro dan kontra di antara elite politik. (Kompas, 03-04-2000)” Dari kedua lead berita di atas terlihat bagaimana sikap Kompas. Media ini melihat masalah Partai Komunis Indonesia dan usulan pencabutan Tap sebagai masalah yang kontroversial. Wacana yang dikemukakan oleh Gus Dur tersebut memicu pro-kontra, bukan hanya dalam masyarakat tapi juga di kalangan elite politik. Sikap hati-hati Kompas dalam melihat masalah ini juga terlihat pada lead berita lain tentang bagaimana sikap Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai Institusi yang pada masa lampau terlibat secara langsung dalam konflik dengan PKI, TNI secara diplomatis mengelak untuk melakukan justifikasi atas usulan Gus Dur. “Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) sedang mengkaji Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme. Dari kajian tersebut, TNI baru akan memberikan masukan-masukan kepada DPR.” (Kompas, 05-04-2000b) Lead di atas menggambarkan sikap Kompas dalam menanggapi masalah pencabutan Tap. Kompas seakan ingin mengatakan bahwa kita jangan buru-buru dalam menanggapi suatu masalah, seharusnya kita mempelajari dan mengkaji terlebih dulu semuanya sebelum mengambil sikap, termasuk dalam menanggapi usulan Gus Dur.
147
Namun Kompas juga tidak mengabaikan begitu saja pihak-pihak yang setuju maupun menolak usulan Gus Dur. Kompas memberikan tempat kepada kedua pihak dalam pemberitaannya, sebagaimana terlihat dalam lead berita berikut: “Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan kesungguhannya untuk mengusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar mencabut Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 yang di antaranya berisi larangan terhadap penyebaran ajaran komunisme dan marxisme di Indonesia. Sekalipun menyadari gagasan itu tidak “populer”, namun presiden berkeyakinan bahwa larangan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 tidak melarang suatu paham di Indonesia.” (Kompas, 05-04-2000a) “Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, yang juga Menteri Hukum dan Perundang-undangan, mengancam akan mengundurkan diri dari Kabinet Persatuan Nasional kalau pemerintah tetap mengusulkan pencabutan Ketetapan (Tap) Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan Agustus mendatang.” (Kompas, 27-04-2000) Lead pertama mengambarkan bahwa komunisme boleh hidup di Indonesia karena pada dasarnya kekuatan hukum tertinggi Indonesia yakni UUD 1945 tidak melarang suatu paham, termasuk paham komunis. Meskipun Gus Dur tahu usulan tersebut tidak bisa diterima oleh semua pihak, Gus Dur tetap akan berupaya menggolkannya karena menurut penilaiannya, konstitusi tertinggi Indonesia tidak tidak pernah melarang suatu paham. Dalam lead kedua Kompas mengungkapkan ketidaksetujuan Menkumdang Yusril Ihza Mahendra terhadap usulan Gus Dur. Sebagai orang kepercayaan Gus Dur dalam menangani masalah hukum dan hak asasi manusia, Yusril justru mengancam akan keluar dari tim kabinet Gus Dur jika presiden tetap bersikeras mengusulkan kepada MPR untuk mencabut Tap tentang komunisme.
148
Bagaimana pro-kontra soal Partai Komunis Indonesia muncul dalam berita tentang usulan pencabutan Tap? Hal itu dapat dilihat dari bagaimana Kompas menyusun Story atau isi berita. Story adalah isi berita secara keseluruhan yang biasanya secara hipotetik terbagi dua sub kategori. Pertama berupa gambaran situasi jalannya peristiwa dan yang kedua berupa komentar yang ditampilkan dalam teks. Dalam dua berita yang diturunkan Kompas, pro-kontra soal pencabutan Tap terjalin secara dialogis. Pernyataan dari pihak yang menyetujui maupun menolak usulan pencabutan Tap tentang komunisme disusun secara bergantian layaknya sebuah perdebatan. Dalam berita yang berjudul “Pro-Kontra Penghapusan Tap XXV/1966” (Kompas, 03-04-2000). Peristiwa utama berupa usulan pencabutan Tap oleh Gus Dur yang menjadi latar belakang perdebatan hanya disinggung sekilas dalam lead berita. Isi berita secara keseluruhan berisi tanggapan tentang usulan Gus Dur tersebut. Berita tersebut diawali dengan mengutip pernyataan Taufiqurrahman (PKB) yang setuju dengan usulan Gus Dur dan menyatakan usulan Gus Dur sebagai sebuah bentuk pencerahan politik yang perlu ditanggapi secara dingin dan pemberlakuan Tap tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi. Pendapat Taufiqurrahman lantas disambut oleh pendapat Amin Rais yang tidak setuju dengan usulan Gus Dur dan menyatakan bahwa PKI telah melakukan pemberontakan, jika komunisme dibiarkan bangkit kembali akan membahayakan negara Indonesia. Kedua pendapat di atas disambung dengan pernyataan ketua PRD Budiman Sudjatmiko yang menyatakan bahwa pencabutan tersebut tidak mendesak untuk
149
dilakukan, karena Tap tersebut telah usang dan tidak efektif. Menurutnya, yang paling penting dilakukan sekarang adalah membongkar sejarah Indonesia, termasuk seputar peristiwa 1965 dan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Selanjutnya Kompas mengutip pendapat Frans Seda, sesepuh Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P) tersebut menyatakan sependapat dengan Gus Dur, dalam negara demokratis tidak ada larangan untuk menganut suatu paham. Namun pada sisi lain Frans Seda menolak jika Partai Komunis Indonesia bangkit kembali karena partai tersebut pernah berusaha mengganti falsafah negara dengan menggunakan cara kekerasan. Dalam berita lain yang berjudul “Ketetapan Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966 Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu” (Kompas, 14-04-2000) Kompas juga menggunakan skema serupa. isi berita tersebut secara keseluruhan berasal dari ringkasan-ringkasan berita yang sudah diterbitkan pada edisi sebelumnya, berita yang pro maupun kontra disusun secara dialogis. Pada lead berita disinggung kapan pertama kali Gus Dur meminta maaf kepada orang-orang yang dituduh sebagai PKI dan mengusulkan pencabutan Tap. Kompas kemudian memaparkan peristiwa kedua, yakni acara dialog interaktif yang menghadirkan penyair Taufik Ismail dan Hartono Mardjono (Partai Bulan Bintang). Mereka menolak usulan Gus Dur dan menyatakan komunisme sampai saat sekarang masih terus disebarkan secara diam-diam di kalangan pemuda dan mahasiswa. Pada paragraf berikutnya, Kompas mengutip pernyataan Gus Dur saat berkunjung ke Malang. Gus Dur kembali mengemukakan usulan untuk mencaut Tap dengan alasan Hak Asasi Manusia, bahwa banyak orang-orang yang bukan
150
komunis menjadi korban. Ketua Umum PBNU pun diikutsertakan dalam prokontra dengan menyatakan mendukung permintaan maaf Gus Dur namun menolak penghapusan Tap tersebut. Penolakan juga muncul dari ketua MPR Amin Rais dan mantan Menteri Pertahanan Edi Sudradjat. Kompas tidak lupa mengutip pendapat pengamat politik Mochtar Pabotinggi yang secara implisit juga menyatakan keberatan jika Tap tersebut dicabut saat sekarang. Lantas Kompas memuat pendapat Panglima TNI Widodo AS yang menyatakan bahwa TNI sedang mengkaji masalah tersebut. Dan sebagai penyeimbang koran ini lantas mengutip kembali pernyataan Taufiqurrahman dari PKB yang setuju dengan usulan Gus Dur. Tidak cukup sampai di situ, bagian pertama berita tersebut diakhiri dengan kesimpulan bahwa masalah Tap telah menimbulkan pro-kontra dalam media massa, bahkan dalam masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan ilustrasi bahwa usulan tersebut memicu aksi massa yang turun ke jalan menolak pencabutan Tap tentang komunisme. Bagian kedua berita ini menegaskan kembali bahwa masalah Tap tersebut menimbulkan pro-kontra. Lalu Kompas memaparkan kemungkinan tentang siapa yang mungkin ada di balik G30S, peristiwa yang melahirkan Tap tentang larangan terhadap PKI dan komunisme dan kembali mengangkat usul Budiman Sudjatmiko agar meluruskan kembali sejarah seputar peristiwa tersebut.
1.1.3. Semantik
Dimensi semantik melihat bagaimana makna yang ditunjukkan suatu teks. Makna dalam level semantik ini dapat diamati dari hubungan antar kalimat,
151
proposisi yang membentuk makna tertentu dalam bangunan teks secara keseluruhan. Berita tentang Partai Komunis Indonesia juga menggunakan semantik untuk menekankan makna tertentu misalnya lewat latar, detail, maksud, praanggapan dan nominalisasi. Latar adalah bagian yang dapat mempengaruhi arti yang ingin disampaikan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, Kompas menggunakan beberapa latar tentang Partai Komunis Indonesia maupun komunisme untuk mendukung sikap yang ingin disampaikan, baik yang pro maupun kontra, seperti telihat dalam beberapa kutipan berikut:
“UUD 1945 tidak mengenal istilah “eks tapol”, “orang-orang boleh berbeda pendirian. Apalagi di dalam UUD 1945, sama sekali tidak menyebut ada paham yang dilarang (di Indonesia).” (Kompas, 0504-2000). “Pembatasan atau diskriminasi terhadap sekelompok warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. ..... Dalam negara demokratis tak ada larangan terhadap suatu ideologi untuk diajarkan.” (Kompas, 03-04-2000) “Komunisme sudah tidak laku, di mana saja di dunia, komunisme itu sudah habis. Di negaranya saja sudah ditertawakan orang.” (Kompas, 22-04-2000) “Walaupun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mencoba tiga kali hendak menghancurkan negara, tetapi sejarah membuktikan usaha itu senantiasa gagal. Karena itu, kita tidak perlu mbanyaki (panik)” (Kompas, 05-04-2000) Kontroversi mengenai boleh tidaknya komunisme tumbuh kembali di Indonesia diimplementasikan oleh Kompas dalam latar berita yang diturunkan. Ada beberapa latar yang dipakai untuk mendukung maupun menolak gagasan
152
Gus Dur. Kompas memaparkan, Tap tentang larangan penyebaran komunisme bisa dicabut karena kekuatan hukum tertinggi Indonesia, yakni UUD 1945 tidak pernah melarang sebuah faham, termasuk komunisme, untuk hidup di Indonesia. Pembatasan terhadap warga negara untuk menganut sebuah faham juga dinilai bertentangan dengan demokrasi. Karena itu, sebagai negara yang sedang membangun demokrasi, Indonesia hendaknya memberi kebebasan terhadap semua idelogi untuk tumbuh serta memberi kebebasan kepada warga negara untuk menganutnya.. Pada sisi lain, Tap tersebut juga dinilai sebagai alat untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap sekelompok warga negara, yaitu orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Seperti diketahui secara luas, selama masa Orde Baru orang-orang yang dituduh PKI dibatasi haknya, kartu penduduknya diberi label Organisasi Terlarang (OT) maupun Eks Tapol (ET), tidak bisa bekerja di instansi pemerintah dan sektor formal lainnya serta tidak mempunyai hak suara dalam pemilihan umum. Karena itu, pencabutan Tap dianggap sebagai salah satu jalan keluar agar warga negara yang selama masa Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif bisa mendapatkan haknya kembali, sama dengan warga negara lainnya. Mengenai bahaya komunisme, Kompas membantahnya dengan paparan bahwa ideologi komunis saat ini sudah tidak ada penganutnya, tidak laku, bahkan di negara asalnya pun sudah ditinggalkan. Karena itu tidak perlu takut, meskipun komunisme dibiarkan hidup di Indonesia, belum tentu rakyat Indonesia akan akan tertarik dan berbondong-bondong menganutnya.
153
Bagaimana dengan nasib Partai Komunis Indonesia? Penolakan terhadap partai kiri ini juga dipaparkan lewat latar berita seperti kutipan di bawah. Latar tersebut kembali menegaskan bahwa yang menjadi persoalan bukan masalah ideologi. PKI harus dilarang bukan karena partai tersebut menganut ideologi komunis tapi karena pada masa lalu partai berlambang palu arit tersebut telah melakukan pemberontakan dan berusaha mengganti Pancasila dengan ideologi komunis dengan cara kekerasan. “PKI tak boleh lagi dibentuk di Indonesia. Bukan karena PKI menggunakan paham komunisme, namun karena partai itu telah terbukti dalam sejarah menggunakan kekerasan untuk mengganti falsafah negara.” (Kompas, 03-04-2000) Penekanan terhadap makna yang ingin disampaikan juga dilakukan lewat detil. Detil berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan, informasi yang menguntungkan pihaknya akan diuraikan dan sebaliknya akan menyembunyikan atau meminimalkan informasi yang merugikan.
“Adapun alasannya, mencabut ketetapan yang telah mendiskriminasikan anggota PKI dan keluarganya selama 34 tahun sebagai warga negara berkaitan degan hak asasi manusia. Alasannya, karena terlalu banyak orang-orang yang sebenarnya ndak masuk komunis, lalu masuk daftar. Alasan kedua, ya hak asasi manusia. Mereka tidak bisa lagi diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali.” (Kompas, 14-04-2000) Gambaran tentang bagaimana orang-orang yang dituduh komunis di perlakukan secara diskriminatrif merupakan informasi yang bisa melegitimasi usulan untuk mencabut Tap, karenanya informasi tersebut perlu disampaikan secara agak rinci. Perlakuan diskriminatif selama kurun waktu 34 tahun terhadap orang-orang PKI bukan waktu yang sebentar, mereka telah mendapat perlakuan
154
secara tidak adil sejak Tap tersebut lahir sampai dengan akhir masa kekuasaan Orde Baru, bahkan mungkin sampai sekarang. Lebih parah lagi, diskriminasi tersebut tidak hanya terjadi pada orang-orang PKI, orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu soal PKI pun ikut kena getahnya karena dituduh sebagai PKI, padahal tuduhan itu tidak pernah dibuktikan melalui proses hukum. Perlakuan diskriminatif, apalagi berlangsung dalam kurun waktu lama adalah sebuah bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia, sebab orang-orang tersebut telah dihilangkan hak-haknya untuk hidup secara layak sebagaimana warga negara lain Untuk menolak kembalinya komunisme di Indonesia, detil yang diuraikan adalah komunisme sebagai kekuatan yang anti bahkan mengancam demokrasi, seperti dipaparkan dalam teks di bawah: “Komunisme ditolak oleh PBB, lanjut Yusril, sebab paham itu anti demokrasi. Komunisme dalam teori maupun praktik merupakan golongan yang anti demokrasi. Pada awalnya mereka mungkin saja terkesan mendukung demokrasi. “namun jikalau mereka sudah kuat, golongan lain pasti akan dilindasnya”. (Kompas, 27-04-2000) Komunisme digambarkan sebagai idelogi yang bermuka dua, mulanya komunisme akan bertindak seolah-olah mendukung demokrasi, mau bekerjasama dengan golongan lain agar bisa mencapai kekuasaan. Namun jika telah berkuasa, komunisme akan mengubur demokrasi dengan menyingkirkan para pesaingnya sehingga menjadi penguasa tunggal. Hal itu diyakini pasti akan terjadi karena baik dalam teori maupun praktek, komunisme sebenarnya anti demokrasi, jika komunis menggunakan slogan-slogan demokrasi, hal itu tidak lebih sebagai topeng untuk memuluskan jalan ke puncak kekuasaan.
155
Selain menggunakan detil, teks berita Kompas juga menggunakan elemen maksud, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi. Ketika berbicara tentang peristiwa G30S, Kompas secara eksplisit mengungkapkan kemungkinan tentang siapa yang ada di balik peristiwa tersebut, seperti terlihat dalam kutipan berikut: “paling tidak sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan dua ahli politik Indonesia dari Universitas Cornell setahun setelah tragedi berdarah itu, Benedict R Anderson dan Ruth Mc Vey, berkesimpulan bahwa peristiwa Gerakan 30 September merupakan puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat. ….. Benedict R Anderson dalam artikelnnya di rubrik Iqra majalah Tempo edisi 16 April lalu menulis, “kesimpulan Latief cukup jelas dan sederhana: bukanlah G30S yang melakukan subordinasi berat terencana terhadap Presiden yang berakhir dengan penggulingannya, melainkan seorang anak manusia yang kemudian oleh anak-anak nakal sering dijuluki sang GPK (Gali Pelarian Kemusu) yang melakukan itu semua.” (Kompas, 14-04-2000) Kompas tidak mau terkungkung dalam hegemoni wacana Orde Baru yang menyatakan bahwa dalang G30S adalah PKI. Kompas ingin beranjak lebih jauh, dengan mengutip pendapat dari Bennedict Anderson, koran ini mengungkapkan secara eksplisit tentang apa sesungguhnya yang terjadi dalam G30S dan siapa saja yang kira-kira ada di balik peristiwa kelam itu. Pertama, ada kemungkinan bahwa peristiwa G30S bukan peberontakan yang dilakukan oleh PKI, seperti yang selama ini digembar-bemborkan oleh Orde Baru. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ben Anderson, peristiwa G30S terjadi karena konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat. Asumsi ini berdasarkan temuan yang didapat bahwa sebagian besar tentara yang terlibat dalam G30S berasal dari Angkatan Darat.
156
Tentang dalang G30S, Kompas juga punya asumsi lain. Peristiwa penculikan para jenderal tersebut belum tentu ulah PKI, bisa jadi, dalang di balik peritiwa itu justru Soeharto sendiri. Kompas mengutip label yang dibuat oleh Ben Anderson dengan menyebut Soeharto sebagai GPK (Gali Pelarian Kemusu) yang berarti penjahat yang kabur dari desa kelahirannya. Asumsi keterlibatan Soeharto berdasarkan pledoi Abdul Latief yang menyatakan, sebelum peristiwa G30S terjadi, Soeharto sudah mengetahui akan adanya gerakan tapi tidak mengambil tindakan apapun untuk mencegahnya. Untuk mendukung pendapat yang disampaikan, kita dapat menggunakan praanggapan dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya sehingga tidak perlu dipertanyakana lagi. Kompas juga memakai praanggapan dalam teks berita, seperti terlihat dari beberapa kutipan di bawah:
“Bila Tap itu dicabut maka PKI akan bangkit kembali dan simbol palu arit akan muncul di mana-mana.” (Kompas, 03-04-2000) “Kekhawatiran ajaran komunisme akan bersambut di Indonesia kalau larangan itu dicabut, didasarkannya kepada dua kenyataan yang belum tuntas diatasi pemerintahan Gus Dur: tidak tegaknya hukum dan rakyat yang tidak makmur. Dua hal ini merupakan lahan subur bagi pertumbuhan komunisme di Indonesia.” (Kompas, 14-04-2000) “Seandainya perekonomian membaik, kesejahteraan warga negaranya pun membaik pula. Dengan sendirinya paham komunisme, Marxisme dan Leninisme nantinya akan hilang juga. (Kompas, 07-042000) Salah satu alasan agar tidak mencabut Tap tentang komunisme adalah karena ada kekhawatiran jika PKI dan komunisme dilegalkan kembali, maka rakyat akan menganut paham tersebut. Kekhawatiran tersebut muncul
157
berdasarkan anggapan bahwa komunisme otomatis akan tumbuh subur dalam masyarakat yang masih miskin dan belum terdapat keadilan. Kemiskinan dan belum tegaknya hukum di Indonesia saat ini dilihat sebagai lahan subur bagi perkembangan komunisme. Jika PKI dilegalkan dalam kondisi demikian, maka masyarakat akan diiming-imingi kesejahteraan dan keadilan sehingga mereka bersedia menganut ajaran komunis. Pada sisi lain, ada anggapan bahwa komunis tidak akan tumbuh dalam masyarakat yang sudah makmur. Jika rakyat Indonesia sudah makmur, maka secara otomatis komunisme juga akan “sepi penggemar”. Benarkah demikian? Kita tidak tahu karena komunisme belum bangkit kembali di Indonesia. Jika yang menjadi masalah adalah kemiskinan, Indonesia sebenarnya bukan satu-satunya negara miskin, banyak negara seperti di Afrika yang jauh lebih miskin dari kita, namun mereka tidak menjadi negara komunis, warga negara mereka juga tidak berbondong-bondong menganut komunis. Alasan lain penolakan terhadap komunisme adalah karena takut akan terjadi konflik sosial seperti yang terjadi pada masa lalu. Jika kita perhatikan, meskipun tanpa komunisme, sekarang ini sebagian bangsa kita sedang mengalami konflik, baik konflik agama maupun kesukuan. Ada sebuah tesis menarik yang disampaikan oleh Samuel P. Huntington tentang konflik yang terjadi pada abad XXI. Menurutnya, konflik-konflik yang paling mudah menyebar sangat penting sekaligus paling berbahaya bukan konflik antar kelas sosial, antara kaya dengan miskin atau pun kelompok-kelompok kekuatan ekonomi lainnya, tetapi antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Pertikaian antar suku, antar negara dan antar peradaban yang terjadi dalam masyarakat non-
158
barat diperkirakan akan terus terjadi karena semakin meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri mereka. Masyarakat non barat akan semakin memantapkan nilainilai budaya mereka sendiri.184 Pertikaian di Somalia, Rwanda, Bosnia maupun Kashmir karena alasan itu, demikian juga konflik yang terjadi di Indonesia
1.1.4. Sintaktis Strategi penggunaan kalimat dalam teks berita juga mempengaruhi makna yang ingin disampaikan. Politik penggunaan kalimat atau sintaktis dilakukan lewat koherensi, bentuk kalimat, pengingkaran dan kata ganti. Koherensi menyangkut bagaimana dua fakta digabung atau dipisah untuk menghasilkan makna tertentu. “seseorang yang salah secara politik, hak hukumnya seharusnya tetap, tidak terganggu. Tetapi sekarang kita lihat, anaknya PKI tidak boleh apa-apa, padahal mereka tidak mengenal komunisme sama sekali.” (Kompas, 22-04-2000) Proposisi di atas menjelaskan bahwa indvidu mempunyai beberapa hak, misalnya hak politik dan hak hukum. Jika seseorang melakukan kesalahan, hal itu tidak secara otomatis menghilangkan semua haknya, seseorang bersalah secara politik tidak secara otomatis kehilangan hak-hak lainnya. Proposisi kedua menuturkan bahwa keturunan orang-orang PKI kehilangan haknya, baik hak untuk mengikuti pemilu, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak maupun hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Dengan menggabungkan dua proposisi dengan kata hubung “tetapi”, Kompas hendak menunjukkan sesuatu yang kontras atau terbalik, seharusnya orang yang bersalah secara politik masih berhak 184
Huntington Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2003, hal: 9.
159
mendapatkan hak hukumnya. Orang-orang PKI mungkin telah melakukan kesalahan politik, namun seharusnya mereka tidak kehilangan hak lainnya. Tapi yang terjadi lebih parah, bukan hanya orang PKI, anak keturunannya pun kehilangan hak-haknya. Hal tersebut dipertegas dalam proposisi ketiga, “anak cucu PKI tidak tahu-menahu soal komunisme”. Makna yang ingin disampaikan adalah, kita telah melakukan kesalahan besar karena menghilangkan hak orangorang PKI, bahkan lenbih parah, kita juga telah menghilangkan hak-hak anak cucunya, padahal anak mereka tidak ikut melakukan kesalahan dan tidak tahumenahu kesalahan apa yang telah diperbuat oleh orang tua mereka. Untuk
menolak
kehadiran
PKI
dan
komunisme,
Kompas
juga
menggunakan elemen koherensi pembeda, koherensi penjelas dan koherensi sebab-akibat. Lihat kutipan-kutipan berikut: “NU memiliki hak untuk membendung komunisme di Indonesia, karena selama ini komunis tidak pernah turut membangun bangsa ini.”(Kompas, 07-04-2000) “Penolakan terhadap komunisme itu tak melanggar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), sebab Universal Declaration of Human Rights pun, sebagai imbauan moral tentang hak asasi, memberikan peluang kepada berbagai negara untuk membuat “penyimpangan” selaras dengan kepentingan negara itu.” (Kompas, 27-04-2000) “Taufik Ismail yang mendapat teror pada awal tahun 1960-an dari kalangan sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menolak pencabutan itu karena, menurut pengamatannya, ajaran komunisme sampai sekarang terutama pada tahun 1980-1998 masih disebarkan diam-diam kepada kalangan muda dan mahasiswa di berbagai kelompok diskusi.” (Kompas, 14-04-2000) Salah satu alasan untuk menolak komunisme kembali di Indonesia adalah selama ini orang-orang komunis dianggap tidak pernah ikut membangun bangsa Indonesia. Proposisi pertama menjelaskan bahwa kaum Nahdliyin menolak
160
kehadiran kembali komunisme di Indonesia. Agar penolakannya terlihat legitimate, diperlukan fakta lain untuk memperkuat sikap tersebut, maka dipilihlah fakta tentang ketiadaan peran PKI dalam sejarah pembangunan Indonesia. Kata penghubung “karena” menunjukkan arti “sebab-akibat”, dengan menggunakan kata tersebut, penolakan terhadap PKI dinilai sebagai sesuatu yang sangat wajar sebab PKI tidak pernah berpartisipasi dalam membangun Indonesia. Strategi yang sama juga dipakai dalam kutipan kedua, penolakan terhadap komunisme tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi karena deklarasi HAM internasional pun memperbolehkan suatu negara untuk melakukan pengecualian. Penolakan terhadap komunis juga terlihat ketika mengutip pendapat Taufik Ismail. Sebenarnya, tanpa penjelasan tentang teror PKI, pendapat Taufik Ismail tetap menggambarkan penolakannya terhadap komunisme. Namun dengan menggunaan koherensi penjelas, ditandai dengan penggunaan kata hubung “yang”, penolakannya lebih ditekankan lewat penggambaran perilaku orang-orang PKI dan organisasi underbow-nya, Lekra. Dengan pemakaian koherensi, Kompas hendak menekankan bahwa bahaya dan kekacauan akan timbul jika PKI dilegalkan kembali, sebab orang-orang PKI suka main teror. Penolakan tersebut diperkuat dengan alasan bahwa selama ini komunisme masih disebarkan secara diam-diam di kalangan pemuda dan mahasiswa, tentu dampaknya akan lebih besar lagi jika PKI dilegalkan. Pengingkaran menjelaskan bagaimana komunikator menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara eksplisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu hal, padahal sebenarnya ia tidak setuju, maka
161
komunikator memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuan yang disampaikan sebelumnya. Strategi pengingkaran terdapat dalam berita-berita yang diturunkan Kompas, baik yang mendukung maupun menolak kehadiran kembali PKI dan komunisme. “Kita boleh tidak setuju dengan suatu paham atau ajaran, tetapi kita tidak berhak melarang orang menganut faham atau ajaran tersebut.” (Kompas, 03-April-2000) “Dalam negara demokrasi, semua golongan boleh hidup dan berkembang, kecuali golongan yang anti demokrasi itu sendiri. ….. komunisme ditolak oleh PBB, lanjut Yusril sebab paham itu anti demokrasi. (Kompas, 27-April- 2000) “UUD 1945 tidak pernah melarang komunisme. Tetapi PKI telah melakukan tiga kali pemberontakan.” (Kompas, 22-April-2000) Dengan menggunakan dalil tentang kebebasan, Kompas menyatakan bahwa kita semua berhak mentukan sikap, setuju maupun tidak setuju terhadap suatu masalah, termasuk mengenai ideologi atau faham yang ada dalam negara kita. Namun demikian, jika kita tidak setuju terhadap suatu faham, bukan berarti kita lantas berhak melarangnya, sebab pihak yang setuju maupun tidak setuju mempunyai hak yang sama. Meskipun komunisme dianggap sebagai ideologi yang bertentangan dengan falsafah negara, kita tetap tidak berhak melarang warga negara untuk menganutnya, sebab kita tidak bisa membendung suatu pemikiran maupaun kepercayaan yang ada dalam kepala seseorang. Strategi pengingkaran juga dipakai untuk menolak kembalinya PKI dan komunisme. Tentang komunisme, penolakan dilakukan dengan menggunakan dalil demokrasi, komunisme dilihat sebagai sebuah faham yang bertentangan dengan demokrasi. Pernyataan bahwa semua golongan bisa hidup dan
162
berkembang dalam alam demokrasi terkesan memberi angin segar, seakan-akan semua golongan, termasuk orang komunis bisa hidup bersama di Indonesia. Namun pernyataan tersebut tidak lebih hanya sebagai strategi untuk menolak kehadiran komunisme di Indonesia. Dalam negara demokrasi, semua golongan memang berhak hidup, namun tidak ada peluang bagi golongan yang tidak demokratis. Karena komunisme dinilai sebagai golongan yang anti demokrasi, maka komunisme tidak punya peluang untuk hidup kembali di Indonesia. Demikian juga penolakannya terhadap PKI. Kompas mengutip pernyataan bahwa UUD 1945 memang tidak pernah melarang suatau faham. Proposisi tersebut seakan menyampaikan bahwa semua faham boleh hidup di Indonesia. Namun propsisi selanjutnya membuat pengecualian, memang semua faham boleh hidup, tapi golongan yang telah mencoba merongrong eksistensi negara kita tidak boleh hidup. Karena PKI telah tiga kali berusaha memberontak, maka PKI tidak boleh hidup kembali di Indonesia.
1.1.5. Stilistik Stilistik menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atau leksikon atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas. Kompas menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambarkan tentang PKI, baik yang menedukung maupun memojokkan PKI, seperti terlihat pada kutipan berikut:
163
“adapun alasannya, mencabut ketetapan yang telah mendiskriminasikan anggota PKI dan keluarganya selama 34 tahun sebagai warga negara berkaitan dengan hak asasi manusia” “Mengenai perlakuan terhadap keluarga atau anak-anak dari mereka yang terlibat dalam PKI dan gerakan pemberontakannya, Untung mengatakan bahwa pada dasarnya Islam tidak mengenal dosa warisan.” (Kompas, 07-04-2000) “Musuh Islam paling berbahaya adalah Marxisme yang di Indonesia disebut PKI.” (Kompas, 07-04-2000) “Taufik Ismail yang mendapat teror pada awal tahun 1960-an dari kalangan sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menolak pencabutan itu.” (Kompas, 14-04-2000) Pembelaan terhadap orang-orang PKI dilakukan dengan menggambarkan mereka sebagai kelompok yang selama ini diperlakukan secara diskriminatif oleh Orde Baru. Dengan menggambarkan mereka sebagai pihak yang teraniaya, hal tersebut diharapkan bisa mengundang simpati masyarakat terhadap PKI sehingga masyarakat bisa menerima orang-orang PKI dan memperbolehkan mereka untuk hidup seperti anggota masyarakat lainnya. Sedangkan untuk menolak kembalinya PKI dan komunisme, Kompas menggunakan pilihan kata yang menggambarkan bagaimana karakter orang-orang PKI, misalnya menyebut mereka sebagai pemberontak. Dengan mengingatkan kembali label negatif PKI yang dilekatkan oleh Orde Baru, maka diharapkan masyarakat tidak mendukung upaya penghidupan kembali PKI di Indonesia. Label lain yang sering disematkan kepada orang-orang PKI adalah dengan menuduh mereka sebagai orang yang suka meneror, bahkan budayawan Taufik Ismail pun sering mendapat teror dari budayawan kelompok komunis. Penolakan terhadap PKI bahkan dilakukan dengan menggambarkan mereka secara lebih ekstrim lagi,
164
yakni menggambarkan PKI sebagai musuh Islam paling berbahaya. Dengan penggambaran seperti itu, diharapkan mayoritas umat Islam akan menolak kembalinya komunisme dan PKI ke bumi Indonesia.
1.1.6. Retoris Dimensi Retoris berhubungan dengan pertanyaan bagaimana cara komunikator menyampaikan pendapat, terutama untuk memberikan tekanan tertentu terhadap isi teks. Dimensi retoris antara lain dapat dilihat dari penggunaan elemen metafora, yakni pemakaian ungkapan atau kiasan yang dipakai dalam teks. Kompas memakai ungkapan-ungkapan yang bernuansa agama dalam berita yang menggambarkan PKI dan komunisme. “Mengenai perlakuan terhadap keluarga atau anak-anak dari mereka yang terlibat dalam PKI dan gerakan pemberontakannya, Untung mengatakan bahwa pada dasarnya Islam tidak mengenal dosa warisan. ……… Kalau larangan penyebaran komunisme dicabut, kata Taufik, “mari kita hadapi dengan semangat jihad seperti menghadapi narkoba dan seks bebas.” (Kompas, 07-04-2000) Proses delegitimasi terhadap PKI dilakukan dengan menggambarkannya secara negatif, merujuk pada istilah-istilah yang biasa dipakai dalam agama. Untuk menggambarkan kesalahan yang dilakukan PKI pada masa lalu, Kompas menyebut pemberontakan yang dilakukan sebagai sebuah dosa. Dosa adalah perbuatan yang dilakukan oleh hamba tuhan yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh tuhan. Dengan memakai kata “dosa”, berarti PKI dinilai telah melanggar aturan yang sudah mutlak tetapkan, PKI bersalah karena dinilai
165
melakukan pemberontakan dan berusaha mengganti falsafah hidup bangsa Indonesia yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa ini. Kutipan
kedua
juga
sejalan
dengan
paparan
sebelumnya,
usaha
membendung penyebaran komunisme diidentikkan sebagai perjuangan di jalan tuhan, membela agama. Dalam agama Islam, kata “Jihad” berkenaan dengan usaha atau perjuangan bahkan peperangan secara fisik yang dilakukan untuk membela agama, untuk menegakkan kebenaran sesuai dangan ajaran agama. Dengan memakai simbol atau kiasan yang bernuansa Islam, maka PKI diposisikan sebagai musuh Islam, dan dengan demikian diharapkan umat Islam bersatu menolak komunisme kembali ke Indonesia.
2.0. Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Republika Sebagai surat kabar yang menyatakan diri sebagai representasi umat Islam, Republika mempunyai pandangan yang berbeda mengenai masalah PKI dan komunisme, sebagaimana tercermin dari berita-berita yang diturunkan dalam menyikapi usulan Gus Dur untuk mencabut Tap tentang komunisme.
1.2.1. Tematik
Dalam berita tentang Tap MPRS/XXV/1966, Republika menggunakan tema-tema yang menggambarkan PKI dan komunisme secara negatif untuk menolak usulan pencabutan Tap tersebut. Tema utama yang diangkat adalah sejarah masa lalu PKI yang dinilai bertentangan dengan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Dikatakan bertentangan dengan demokrasi karena komunisme yang
166
dianut PKI dinilai sebagai faham yang anti agama dan anti tuhan. Karena anti agama, berarti komunisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa. UUD 1945 menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai penjabaran dari Pancasila, yang menjadi falsafah dan pegangan hidup bangsa serta telah disepakati bersama. Dengan demikian, PKI dan komunisme bertentangan dengan demokrasi karena tidak mengakui Pancasila yang telah disepakati oleh rakyat Indonesia sebagai landasan hidup bersama dalam berbangsa dan negara. Tema kedua menggambarkan PKI sebagai kelompok yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Rujukan yang diambil juga sejarah masa lalu, sepak terjang PKI ketika hidup pada tahun 50-an. PKI pada masa lalu digambarkan sering bertindak kejam dan brutal kepada pihak-pihak yang dianggap menghalangi tujuannya. Kekejaman PKI sampai sekarang tidak bisa dilupakan oleh orangorang yang menjadi korbannya dan masih hidup sampai sekarang, bahkan meninggalkan trauma mendalam. Dari tema-tema yang dikembangkan, Republika bermuara pada satu sikap tegas dalam menganggapi usulan pencabutan Tap yang diusulkan Gus Dur, menolak.
1.2.2. Skematik Skema menyangkut bagaimana bagian-bagian berita seperti judul, lead, dan story atau isi berita disusun sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tema yang ditetapkan. Beberapa judul berita Republika secara tegas menggambarkan bagaimana penolakannya terhadap PKI dan komunisme serta memetakan betapa
167
kecil peluang bagi PKI untuk kembali hidup di Indonesia. Misalnya Republika memasang judul “Komunisme Bertentangan dengan Demokrasi” (Republika, 0704-2000) dan “Komunisme Bertentangan dengan UUD ‘45” (Republika, 29-042000). Judul tersebut hendak menyatakan bahwa komunisme tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan landasan hidup bangsa dan karena itu tidak layak hidup di Indonesia. Dari judul lain yang dipasang, surat kabar ini juga menegaskan bahwa PKI dan komunisme tidak akan punya kesempatan untuk kembali ke Indonesia sebab lembaga legislatif maupun organisasi massa sebesar NU juga menolak pencabutan Tap tentang komunisme, seperti terlihat pada judul “Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV” (Republika, 10-04-2000) dan “MPR takkan Cabut Tap Komunisme” (Republika, 07-04-2000). Meski pihak pemerintah minta pencabutan Tap, tapi jika parlemen yang mempunyai hak pencabutan tidak menghendakinya, maka sulit sekali keinginan pemerintah akan terlaksana. Sejalan dengan judul yang dipakai, Lead yang berfungsi sebagai ringkasan atau tema pokok yang diuraikan dalam berita juga menggambarkan bagaimana sikap Repubika dalam menyikapi soal PKI dan komunisme. Sikap tersebut tercermin dalam dua lead berikut:
“Penolakan atas pencabutan Tap MPRS No XXV tahun 1966, menurut Prof Yusril Ihza Mahendra, bukanlah pelanggaran hak asasi manusia. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini menyatakan penolakan keinginan Presiden KH Abdurrrhaman Wahid untuk mencabut Tap tentang larangan partai komunis berkembang di Indonesia karena ideologi partai itu bertentangan dengan asas demokrasi” (Republika, 07-04-2000)
168
“Argumentasi Gus Dur bahwa faham Komunisme, Leninisme, dan Marxisme tak bertentangan dengan UUD 1945, dinilai keblinger. Pakar hukum politik UII Yogyakarta Prof Dr Moh Mahfud menilai, alasan yang dikemukakan Gus Dur berkaitan dengan usulannya mengenai pencabutan Tap MPRS No XXV/1966 sama sekali tidak benar.” (Republika, 29-04- 2000) Lead pertama berisi penolakan terhadap komunisme. Republika menolak usulan Gus Dur untuk mencabut Tap tentang komunisme karena ideologi tersebut bertentangan dengan asas demokrasi. Agar terlihat legitimate, Republika menyatakan sikapnya berdasarkan pernyataan Yusril Ihza Mahendra. Dalam berita tersebut, Yusril berbicara sebagai ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dan nama Yusril juga ditulis secara lengkap dengan gelarnya. Partai Bulan Bintang adalah parpol yang didirikan oleh Yusril dan mempunyai basis massa cukup kuat yang mayoritas berasal dari kelompok Islam kelas menengah, hal ini terbukti dalam pemilu 1999 di mana PBB masuk dalam lima parpol peraih suara terbesar. Selain itu, nama Yusril juga ditulis dengan gelar Profesor yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas keilmuan Yusril tak perlu dipertanyakan lagi. Implikasi dari pemberian predikat semacam itu adalah, Yusril bisa dianggap mewakili sebagian dari umat Islam, dan kapasitas keilmuan Yusril juga mumpuni, maka pendapat yang disampaikannya perlu mendapat perhatian dan layak dipercaya. Strategi yang hampir sama juga dipakai dalam lead kedua. Republika menolak komunisme karena faham yang dianut oleh PKI tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sikap tersebut diperkuat oleh pernyataan pakar hukum politik dari UII, Prof Dr Moh. Mahfud. Dengan lead berita semacam itu, Republika seakan menyatakan bahwa penolakannya terhadap PKI dan komunisme tidak
169
sendirian, para pakar hukum dan politik pun tidak setuju jika komunisme kembali hidup di Indonesia. Ada satu hal yang menarik untuk dicermati, selain penggambaran terhadap PKI atau komunisme secara negatif, lead berita kedua Republika juga men-delegitimasi-kan Gus Dur dengan menyebutnya sebagai orang yang keblinger. Orang keblinger bisa berarti orang yang melakukan kesalahan, namun tidak menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Dengan menganggap Gus Dur sebagai orang yang keblinger, maka usulan Gus Dur juga berarti salah dan mungkin sekali Gus Dur tidak merasa bahwa usulan tersebut salah, karenanya usulan tersebut tidak perlu ditanggapi secara serius. Story atau isi berita terdiri atas dua bagian, peristiwa utama dan peristiwa pendukung atau komentar atas peristiwa utama. Masalah komunisme muncul pertama kali saat Gus Dur menyatakan minta maaf kepada orang-orang yang dituduh sebagai PKI dan mengusulkan pencabutan Tap tentang komunisme. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, Republika jarang menurunkan pernyataan Gus Dur sebagai peristiwa utama, koran ini malah lebih banyak memuat pihak yang mengomentari usulan Gus Dur sebagai peristiwa utama sedangkan pernyataan Gus Dur hanya disisipkan dalam ukuran kecil. Dengan menjadikan pernyataan Gus Dur hanya sebagai sisipan, maka alasan atau latar belakang usulan Gus Dur menjadi kurang tereksplorasi secara maskimal. Dari beberapa sampel berita yang didapat, hanya ada satu berita yang memuat pernyataan Gus Dur dengan agak panjang, yakni ketika berdialog dengan masyarakat Kedungombo (Republika, 05-04-2000). Namun pernyataan Gus Dur itu juga hanya menjadi latar pendukung, yang menjadi peristiwa utama justru
170
pernyataan Amin Rais yang menyatakan MPR tidak akan mencabut Tap tentang komunisme sebagaimana diusulkan Gus Dur. Pada berita lain, penggambaran terhadap usulan Gus Dur hanya sampaikan dalam satu paragraf, menjelaskan bahwa Gus Dur telah lima kali melontarkan usulan untuk mencabut Tap, dan selebihnya berisi tanggapan beberapa pihak terhadap usulan Gus Dur. Mayoritas berita yang diturunkan Republika untuk menyikapi usulan pencabutan Tap berisi gambaran negatif tentang PKI dan komunisme. Sedangkan sumber berita yang dikutip kebanyakan dari kelompok Islam, terutama kelompok poros tengah seperti Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra. Secara garis besar, skema atau alur pemberitaan Republika hanya berjalan satu arah, yakni berisi komentar-komentar tokoh yang tidak setuju dengan pencabutan Tap dan memberi gambaran negatif soal PKI dan komunisme. Bahkan tiga berita Republika hanya berisi satu narasumber, antara lain Prof Dr Moh Mahfud yang menyatakan komunisme bertentangan dengan UUD 1945 (Republika, 29-04-2000), Prof Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan komunisme bertentangan dengan demokrasi (Republika, 07-04-2000) dan KH Hasyim Muzadi yang menceritakan tentang kebrutalan PKI (Republika, 15-042000). Dalam berita lain yang berjudul “Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV” (Republika, 10-04-2000), koran ini memakai tiga sumber berita, dan tetap menggambarkan PKI dan komunisme secara negatif. Narasumber pertama yang dikutip adalah KH Cholil Bisri, sesepuh Nahdlatul Ulama, menyatakan bahwa belum saatnya mencabut Tap tentang komunisme karena
171
masih banyak korban kekejaman PKI yang masih hidup dan trauma dengan kejadian masa lalu tersebut. Namun, kiai asal Rembang ini setuju untuk tidak memperlakukan anak cucu orang PKI secara diskriminatif. Pernyataan sesepuh NU tersebut lantas diselingi uraian singkat -hanya dalam satu paragraf- yang menggambarkan bahwa Gus Dur dalam beberapa kesempatan mengusulkan pencabutan Tap tentang PKI, dan usulan tersebut menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Setelah itu Republika mengutip pendapat Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yang menyatakan bahwa sangat riskan jika membiarkan ajaran komunis berkembang di Indonesia. Pernyataan Soetardjo lantas diperkuat dengan uraian Amin Rais yang menyatakan bahwa ditinjau dari segi falsafah maupun konstitusi Indonesia, komunisme adalah ajaran yang anti tuhan, karena itu tidak boleh hidup di Indonesia.
1.2.3. Semantik Dimensi semantik beroperasi pada level makna, berusaha menggali makna yang ingin ditekankan dalam teks lewat penggunaan elemen-elemen wacana seperti Latar, Detail, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi. Pengorganisasian teks berita yang dilakukan Republika mengarah pada sebuah makna global, yakni penggambaran PKI dan komunisme secara negatif. Lewat elemen latar, Republika menggambarkan PKI sebagai orang-orang yang brutal dan kejam, karena itu Republika menolak pencabutan Tap tentang komunisme. Contoh penggunaan elemen latar dapat dilihat pada beberapa kutipan berikut:
172
“…sejarah masa lalu kebrutalan PKI justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Itu tidak akan mudah dilupakan umat Islam, termasuk warga NU.” (Republika, 15-04-2000) “Masih banyak korban kekejaman PKI yang masih hidup dan mereka masih trauma atas peristiwa masa lalu itu. Orang yang pernah ‘dikerjai’ PKI itu masih banyak yang hidup.” (Republika, 09-042000) Alasan yang paling mudah untuk diterima adalah menggambarkan PKI sebagai orang-orang yang kejam dan brutal. Label tersebut mudah diterima masyarakat sebab Orde Baru berhasil meciptakan konstruksi tentang orang-orang komunis melalui berbagai wadah. Dalam wacana Orde Baru, PKI pada masa lalu digambarkan tidak segan menghabisi siapa saja yang dianggap menghalangi tujuannya. Peristiwa-peristiwa semacam ‘Aksi Sepihak’ mewakili gambaran bagaimana perilaku orang-orang komunis, di mana orang-orang PKI merampas tanah orang lain. Kaum Nahdliyin termasuk kelompok yang ikut merasakan akibat dari Aksi Sepihak yang dilakukan oleh orang-orang komunis. Kaum Nahdliyin menolak menyerahkan tanah yang menjadi miliknya, sementara PKI bersikeras merampas tanah rakyat sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sikap masing-masing kelompok yang sama-sama kukuh menyebabkan konflik dan tindak kekerasan tak terhindarkan lagi. Jika PKI dilegalkan lagi, tidak tertutup kemungkinan PKI akan melakukan tindak kekerasan bahkan kekejaman seperti yang terjadi pada masa lalu. Apalagi masih banyak orang-orang Islam, termasuk orang NU yang dahulu merasakan kebrutalan orang-orang PKI masih hidup sampai saat ini, mereka tentu akan ketakutan karena terbayang suasana traumatik yang terjadi pada masa lalu. Karena itu, lebih baik tidak usah melegalkan PKI kembali.
173
Penekanan terhadap makna yang ingin disampaikan juga dilakukan lewat detil. Detil berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan, informasi yang menguntungkan pihaknya akan diuraikan dan sebaliknya akan menyembunyikan atau meminimalkan informasi yang merugikan. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, informasi keburukan PKI disampaikan dalam detil yang panjang. Dalam berita “PBNU Tetap tak setuju Tap MPRS tentang Komunisme Dicabut” (15-04-2000), Republika menguraikan sepak terjang PKI pada masa lalu dalam empat paragraf. Pada paragraf pertama berisi pernyataan bahwa pada masa lalu kebrutalan PKI bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Paragraf kedua mengutip pernyataan Hasyim Muzadi yang menjelaskan bahwa perilaku PKI tersebut tidak akan mudah dilupakan oleh umat Islam, termasuk warga NU. Pada paragraf selanjutnya, Republika menegaskan kembali bahwa sebetulnya banyak sekali warga NU yang jadi korban, bahkan Hasyim Muzadi dan para kiai sepuh NU juga turut menjadi korban gerakan komunis. Dalam berita lain yang berjudul “Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV” (Republika, 10-04-2000), uraian negatif tentang PKI dan komunisme mendominasi sebagian besar teks berita tersebut. Paragraf kedua menjelaskan PKI sebagai pihak yang kejam, dan perbuatan PKI tersebut meninggalkan trauma bagi para korban yang sampai saat sekarang masih hidup. Sedangkan usulan Gus Dur untuk mencabut Tap hanya disampaikan secara singkat dalam satu paragraf. Isi berita dalam paragraf ketiga tidak menjelaskan apa alasan Gus Dur, yang diungkapkan justru dampak dari usulan Gus Dur yang melahirkan pro-kontra dalam masyarakat. Dua paragraf berikutnya menjelaskan
174
bagaimana kedudukan sikap PKb dalam menanggapi usulan Gus Dur. Penjelasan tentang anak keturunan PKI yang diperlakukan secara diskriminatif sebenarnya juga disinggung, namun dalam uraian yang singkat di sela-sela penggambaran negatif tentang PKI. Selebihnya teks berita menjelaskan bahwa membiarkan komunisme hidup di Indonesia sangat riskan, sebab masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius. Empat paragraf terakhir juga menguraikan bahwa, sebagai faham yang anti tuhan dan anti agama, komunisme bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana terlihat dalam kutipan di bawah: “Paling tidak, ada empat alasan, pertama kita harus ingat bahwa komunisme ini memang tidak ada tempat di negeri Indonesia karena dasarnya adalah atheisme-anti-Tuhan, padahal falsafah kita Pancasila di mana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, dalam salah satu pasal di UUD ’45, disebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan kepada ketuuhanan Yang Maha esa. Ketiga, di berbagai negara komunis, gerakan anti agama itu dilindungi oleh negara karena agama dianggap perusak rakyat sehingga harus dibasmi. Keempat, komunisme tidak boleh lagi bangkit karena merupakan sebuah agama semu yang dari segi moral atau pegangan moralnya adalah “menghalalkan segala cara”. (Republika, 09-04-2000) Selain lewat detil, Republika juga menggunakan elemen maksud untuk menjelaskan sikapnya terhadap PKI dan komunisme. Elemen Maksud melihat informasi yang menguntungkan akan diuraikan secara eksplisit, jelas dan dengan kata-kata yang tegas.
“Menkumdang yang mengaku banyak memperlajari mengenai komunisme baik dari segi filsafat, sejarah dan prakteknya mengakui komunisme itu jelas-jelas kekuatan anti demokrasi. ….. Ideologi komunisme benar-benar anti tuhan, bahkan mereka pernah mengatakan bahwa agama itu candu bagi rakyat. “Ini kan bertentangan dengan akidah Islam.” (Republika, 07-04-2000)
175
Penolakan Republika terhadap PKI dan komunisme secara eksplisit terlihat dalam kutipan di atas. Dengan mengutp pendapat Yusrill Ihza Mahendra dan Husain Umar (DDII), Republika secara tegas menolak pencabutan tap tentang komunisme karena komunisme jelas-jelas faham yang anti demokrasi, jika komuisme dilegalkan, maka akan merusak tatanan demokrasi yang sedang di bangun. Bahkan mungkin sekali komunisme akan merusak ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, sebab komunisme juga merupakan ideologi yang anti tuhan. “Senjata” yang sering dipakai untuk menyerang komunisme adalah komunisme menganggap agama sebagai candu bagi rakyat. Slogan tersebut menimbulkan praanggapan bahwa, jika komunisme tumbuh subur di tanah air, maka ideologi tersebut akan merusak kehidupan beragama bangsa Indonesia. Dan yang lebih penting lagi, jika komunisme anti tuhan, maka hal itu bertentangan dengan agama Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia, sebab agama Islam menganut prinsip monotheisme yang mengakui Ketuhananan Yang Maha Esa. Salah satu strategi yang mudah diterima dalam menolak kmunisme adalah dengan menggunakan praanggapan. Praanggapan adalah suatu pernyataan yang dianggap benar, padahal belum terjadi.
“Jika partai komunis dilegalkan kembali dalam kondisi sekarang ini, peristiwa pengkomunisan masyarakat Indonesia bisa terulang” (Republika, 07-04-2000) “Bila paham itu dibebaskan kembali -dengan alasan supaya falsafah hidup Pancasila yang sarat dengan muatan ajaran agama mempunyai saingan- maka terbuka kemungkinan komunisme yang akan berkembang subur karena banyak rakyat Indonesia yang masih miskin.” (Republika, 09-04-2000)
176
Salah satu strategi agar praanggapan terlihat sahih adalah dengan cara merujuk pada masa lalu. Sebagaimana terlihat pada kutipan pertama, jika PKI dihidupkan saat sekarang, maka mayoritas rakyat Indonesia akan menganut faham tersebut. Alasannya, kemiskinan adalah lahan subur bagi PKI untuk tumbuh, sebab rakyat yang miskin akan mudah diiming-imingi impian kemakmuran. Jika dilegalkan kembali pada masa krisis seperti sekarang, PKI akan menawarkan impian kemakmuran seperti yang dilakukannya pada masa lalu sehingga banyak rakyat kecil yang terperdaya dan ikut bergabung dengan PKI. Benarkah demikian? Kita tidak tahu sebab PKI belum dilegalkan sampai sekarang. Namun kita juga tahu bahwa kemiskinan yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan yang terjadi saat ini, dan konteks persaingan antara ideologi komunis dengan non komunis juga tidak seperti yang terjadi pada masa lalu, sebab pasca perang dingin, komunisme menjadi ideologi yang tidak laku, semakin berkurang peminatnya. Dengan perbedaan konteks yang demikian, benarkah komunisme akan kembali tumbuh subur di Indonesia? namun hal itu tetap dipakai sebagai strategi untuk menolak PKI dan komunisme sebab hal itu akan merujuk pada memori traumatik yang terjadi pada masa lalu, dengan harapan agar PKI tidak diberi kesempatan untuk hidup lagi. Strategi level semantik yang dilakukan untuk menggambarkan PKI juga menggunakan elemen nominalisasi. Nominalisasi dapat memberi sugesti akan adanya generalilasi, bagaiamana memandang sebuah fakta, apakah sebagai sesuatu yang berdiri sendiri atau sebagai komunitas.
177
“Karena sejarah masa lalu kebrutalan PKI justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM Itu tidak akan mudah dilupakan umat Islam,….. banyak sekali warga NU yang telah menjadi korban dalam tragedi tersebut” (Republika, 15-04-2000)
Label atau karakteristik negatif seperti “kebrutalan” kerap dilekatkan kepada orang-orang PKI. Namun yang perlu cermati di sini adalah, label tersebut dilekatkan kepada PKI secara komunal. Dengan hanya menyebut “PKI”, maka makna yang muncul adalah, semua anggota PKI tanpa terkecuali, mempunyai sikap brutal, semua anggota PKI yang pada tahun 60-an berjumlah jutaan, semuanya mempunyai karakter yang sama, yaitu brutal. Dengan menggunakan generalisasi semacam itu, maka pengucilan, diskriminasi dan perlakuan buruk lainnya terhadap seluruh anggotat PKI adalah sah, sebab seluruh anggota PKI adalah orang-orang yang buruk. Strategi Generalisasi juga dipakai untuk menggambarkan para korban. Jika pada kalimat sebelumnya disebutkan bahwa PKI berlaku brutal, maka pada kalimat selanjutnya dinyatakan bahwa yang menjadi korban adalah umat Islam. Dalam kalimat tersebut tidak disebutkan, umat Islam mana yang menjadi korban? Sehingga makna yang muncul adalah seluruh umat Islam yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, telah menjadi korban kekejaman PKI. Pada kalimat selanjutnya juga dinyatakan bahwa banyak sekali warga NU yang menjadi korban. Memang dengan menggunakan kata “banyak sekali” tidak membuat generalisasi, tapi kata tersebut juga menyiratkan makna bahwa sebagian besar warga NU telah menjadi korban kekejaman PKI. Makna yang tersirat dari teks semacam itu adalah,
178
Republika melihat sejarah tentang PKI yang terjadi pada masa lalu sebagai konflik besar antara orang-orang komunis dengan umat Islam secara keseluruhan.
1.2.4. Sintaktis Struktur sintaktis berkaitan dengan bagaimana bentuk kalimat yang dipilih menghasilkan makna tertentu. Strategi sintaktis dapat diamati lewat penggunaan Koherensi, pengingkaran, Bentuk Kalimat, dan Kata ganti. Koherensi menyangkut bagaimana dua fakta disusun dalam kalimat, penggabungan atau pemisahan fakta menghasilkan makna tertentu. Salah satu jenis koherensi yang dipakai adalah koherensi sebab-akibat, melihat bagaimana suatu fakta dilihat sebagai penyebab atau mengakibatkan timbulnya fakta lain. Republika menggunakan koherensi sebab-akibat untuk menggambarkan keadaan jika komunisme dilegalkan kembali di Indonesia.
“Bila paham itu dibebaskan kembali -dengan alasan supaya falsafah hidup Pancasila yang sarat dengan muatan ajaran agama mempunyai saingan- maka terbuka kemungkinan komunisme yang akan berkembang subur karena banyak rakyat Indonesia yang masih miskin” (Republika, 09-04-2000) Kutipan di atas berkisah tentang kemiskinan yang masih diderita rakyat Indonesia, dan pada sisi lain membahas kemungkinan dilegalkannya kembali komunisme di Indonesia. Kedua fakta tersebut digabung dalam jalinan sebabakibat, kemiskinan yang dialami rakyat akan menyebabkan komunisme tumbuh subur di Indonesia. Proposisi tersebut paralel dengan wacana lain yang sudah terbentuk tentang PKI, yakni komunisme menawarkan impian. Kemiskinan dilihat sebagai lahan subur bagi tumbuhnya komunisme sebab orang-orang komunis
179
menawarkan impian berupa kesejahteraan dan kehidupan yang mapan jika mereka tergabung dalam barisan komunis, membentuk masyarakat yang sama rata, sama rasa. Jika kutipan di atas hanya menjelaskan kemungkinan berkembangnya komunisme di Indonesia, kutipan berikut menggunakan koherensi penjelas untuk memaparkan bagaimana dampaknya bila faham tersebut dilegalkan.
“Sangat riskan dan beresiko jika pemerintah membiarkan ajaran komunis –sebagai suatu filosofi dan ideologi- berkembang di Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat religius.” (Republika, 10-04-2000) Republika memposisikan masalah komunisme berhadap-hadapan dengan agama. Komunisme dan agama adalah dua hal yang saling bertolak belakang dan tidak mungkin disandingkan dalam satu wadah. Kutipan di atas mengidentifikasi komunisme sebagai sumber masalah. Proposisi pertama menjelaskan bahwa komunisme tidak boleh hidup kembali di Indonesia sebab akan menimbulkan kekacauan bahkan konflik sosial maupun politik, karena itu menghidupkan kembali komunisme adalah pekerjaan yang beresiko. Jika pada proposisi pertama menjelaskan komunisme sebagai masalah, dalam proposisi selanjutnya lebih ditekankan lagi di mana letak masalahnya. Dalam proposisi kedua dijelaskan, bangsa kita akan mengalami masalah besar jika komunisme dilegalkan kembali, sebab bangsa kita adalah bangsa yang religius, taat beragama. Jika dikaitkan dengan wacana dominan yang telah dikembangkan oleh Orde Baru: komunisme dicirikan sebagai pihak yang selalu memusuhi orang-orang yang taat beragama, maka makna yang muncul dari teks di atas adalah: masyarakat kita yang religius
180
tidak akan bisa hidup tenang jika komunisme hidup di Indonesia sebab komunisme akan selalu memusuhi orang-orang yang beragama. Strategi sintaktis lain yang dipakai dalam menolak PKI dan komunisme adalah dengan menggunakan elemen pengingkaran, yakni mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap PKI secara implisit. “….. dalam alam demokrasi, semua partai boleh lahir dan berkembang, kecuali partai yang bertentangan dengan asas demokrasi itu sendiri, seperti partai komunis (Republika, 07-042000) Strategi yang dipakai dalam elemen wacana ini adalah, Republika seakan setuju jika komunisme dihidupkan kembali di Indonesia, tapi karena pada dasarnya koran ini tidak setuju dengan komunisme, maka dicari alasan lain yang dinilai lebih kuat untuk bisa menghalangi kembalinya ideologi komunis ke Indonesia. Misalnya dalam kutipan pertama dijelaskan, di alam demokrasi semua partai dan ideologi bisa hidup bebas. Sebagai negara yang sedang membangun demokrasi, berarti semua partai bisa hidup di Indonesia tanpa terkecuali, termasuk PKI. Namun proposisi kedua memberikan pengecualian, memang semua partai boleh hidup di Indonesia asalkan partai tersebut berwatak demokrasi, jika suatu partai tidak menganut faham demokrasi, maka partai tersebut tidak boleh hidup. Karena PKI menganut faham komunis, maka PKI tidak boleh hidup di Indonesia, sebab komunisme bertentangan dengan sistem demokrasi. Pengingkaran serupa juga dipakai dalam teks lain, tetapi menggunakan premis agama yakni masalah ketuhanan, ideologi komunis seakan-akan boleh hidup di Indonesia jika aturan tentang kehidupan beragama diubah. Lihat kutipan berikut: “jika TAP itu hendak dicabut, maka harus didahului pencabutan Sila
181
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa” (Republika, 07-04-2000). Asumsi dasar yang dipakai dalam kutipan tersebut juga sama, komunisme bertentangan dengan agama, komunisme tidak bisa hidup di Indonesia karena rakyat Indonesia adalah masyarakat yang agamis, bangsa yang menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Kutipan di atas seakan menggambarkan, komunisme bisa hidup di Indonesia jika Tap yang berisi larangan terhadap komunisme dicabut, dan hal itu mungkin sekali terjadi jika MPR menyepakati. Namun teks tersebut juga menegaskan, permasalahan sebenarnya bukan terletak pada Tap, tapi pada Pancasila, komunisme adalah ideologi yang anti tuhan dan karena itu bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna yang muncul dari kutipan di atas adalah, komunisme tetap tidak bisa hidup di Indonesia. Meskipun Tap tentang komunisme bisa dicabut, susah sekali untuk mengubah Pancasila, komunisme tetap tidak bisa kembali ke Indonesia sebab ideologi tersebut bertentangan dengan Pancasila. Produksi makna juga bisa dilakukan lewat penggunaan Bentuk Kalimat, susunan yang ada dalam kalimat menghasilkan makna tertentu, sepreti terlihat pada kutipan berikut; “…. jika PKI (Partai Komunis Indonesia) bangkit kembali akan membahayakan”(Republika, 05-04-2000). Kalimat singkat ini memberikan gambaran tentang betapa “penting” PKI di Indonesia. PKI ditempatkan sebagai subyek atau aktor dari predikat “membahayakan”. Kalimat tersebut memang tidak menyebutkan obyeknya, apa atau siapa yang dibahayakan oleh PKI tidak dicantumkan, tapi kita bisa asumsikan bahwa yang dibahayakan oleh komunisme adalah Indonesia, baik sebagai bangsa maupun negara. Yang perlu dikritisi adalah,
182
kenapa subyek yang membahayakan adalah komunisme, bukan yang lain? Benarkan jika komunisme dihidupkan kembali Indonesia akan berbahaya. Pada saat sekarang, apakah komunisme masih menjadi ideologi yang berbahaya? lebih bahaya mana jika dibandingkan dengan masalah korupsi yang jelas-jelas telah menggerogoti Idonesiaatau masalah terorisme yang mengancam semua negara? Kita tidak tahu karena komunisme belum dilegalkan kembali.
1.2.5. Stilistik Republika menggunakan pilihan kata atau leksikon tertentu untuk menggambarkan sikapnya terhadap masalah PKI dan komunisme. Sejalan dengan elemen lainnya, Republika juga menggunakan leksikon yang menggambarkan PKI secara negatif, seperti terlihat dalam kutipan berikut:
“Abdurrahman Wahid tidak mengetahui persis bagaimana rasanya sakitnya sengatan bahaya komunis.” (Republika, 05-04-2000) “Masih banyak korban kekejaman PKI yang masih hidup dan mereka masih trauma atas peristiwa masa lalu itu. …. komunisme tidak boleh lagi bangkit karena merupakan sebuah agama semu yang dari segi moral atau pegangan moralnya adalah “menghalalkan segala cara”. (Republika, 09-04-2000) “…. secara individu seringkali menghadapi teror dari gerakan PKI” (Republika, 15-04-2000) “…. mereka mencoba menyusup ke berbagai lini dan komponen masyarakat” (Republika, 18-04-2000) Pilihan
kata
yang
dipakai
Republika
menggambarkan
bagaimana
karakteristik negatif PKI, seperti terlihat dalam kutipan di atas. Misalnya PKI diidentikkan dengan binatang berbisa. “Sengatan” adalah kata yang lazim dipakai
183
untuk menggambarkan binatang yang berbahaya, orang yang disengat oleh binatang berbisa akan merasakan sakit, bahkan bisa menyebabkan kematian. Dengan menyebut perilaku PKI sebagai sengatan, apa yang dilakukan oleh orang komunis pada masa lalu adalah sangat berbahaya, menyakitkan, bahkan mungkin menyebabkan kematian bagi orang lain. Gambaran lain yang paralel dengan wacana yang dikembangkan Orde Baru adalah, PKI menganut prinsip “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.” Jika PKI mempunyai kehendak, segala cara akan ditempuh untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya, meskipun itu melanggar hak-hak orang lain. Prinsip “menghalalkan segala cara” diimplementasikan dalam berbagai perilaku negatif seperti berlaku kejam, meneror dan menyusup. Untuk mendapatkan keinginannya, PKI tidak segan-segan bertindak kejam terhadap siapa saja yang menghalangi. Selain secara fisik, PKI juga berusaha menjatuhkan mental lawan-lawannya dengan meneror mereka. Apabila musuh tidak bisa dihadapi secara frontal, PKI tetap akan berusaha menghancurkannya dari dalam, orang-orang PKI akan menyusup ke berbagai kalangan untuk memperlancar tujuannya. Penyusupan juga dilakukan ke dalam golongan atau kelompok lain agar orang-orang komunis masih bisa tetap eksis, meskipun wadah resmi semacam PKI telah hancur.
1.2.6. Retoris Retoris mengamati dengan cara apa pendapat disampaikan. Republika menyampaikan pendapatnya lewat penggunaan metafora, yaitu pemakaian ungkapan atau kiasan sebagai landasan pikir atau pembenar pendapat yang
184
disampaikan. Seperti terlihat pada kutipan di bawah, koran ini menggambarkan pemberontakan yang dituduhkan kepada PKI sebagai sebuah pelanggaran yang “maha” hebat. Label “maha” sebenarnya lazim dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang sangat baik dan agung, biasanya disandangkan kepada tuhan, seperti maha kuasa, maha pengasih dan seterusnya. Namun Republika menggunakan kata “maha” untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat negatif. Jika disetarakan dengan penggunaan dalam arti positif, “maha hebat” di sini berarti pemberontakan yang dilakukan oleh PKI adalah sesuatu yang sangat luar biasa buruk, luar biasa jahat dan seterusnya.
“Dalam sejarahnya PKI sebagai pembawa ajaran Marxisme dan Leninisme bahkan telah melakukan pelanggaran maha hebat sebelum dibubarkan.” (Republika, 07-04-2000) “Pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 pada saat ini ibaratnya seperti mengeluarkan isi kandungan yang belum genap berusia sembilan bulan 10 hari .“ (Republika, 09-04-2000) Penolakan terhadap kehadiran kembali komunisme di Indonesia juga dilakukan dengan menggunakan kiasan lain. Mencabut Tap pada saat sekarang diibaratkan dengan orang yang melahirkan anak sebelum waktunya. Melahirkan anak sebelum genap usia kehamilannya dapat menimbulkan resiko tinggi dan bisa berakibat fatal bagi anak maupun ibunya. Jika Tap dicabut dan komunisme lahir kembali, sementara kondisi Indonesia yang diibaratkan sebagai sang ibu masih miskin, banyak terjadi konflik dan belum siap menerima kelahiran ideologi komunis, dikhawatirkan akan semakin mengancam kehidupan bangsa Indonesia.
185
2.
Wacana tentang Partai Komunis Indonesia dalam Berita tantang Caleg Eks PKI Moment kedua yang mengangkat wacana seputar Partai Komunis Indonesia
adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 yang memperbolehkan orang-orang eks PKI untuk menjadi calon anggota legislatif. Menjelang Pemilihan Umum tahun 2004, DPR mengesahkan Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 yang mengatur tata cara pelaksanaan pemilu. Salah satu pasalnya mengatur batasan tentang siapa saja yang berhak menjadi calon anggota legislatif, antara lain bukan orang-orang eks PKI. Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 pasal 60 huruf g menyebutkan, “calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten /kota harus memenuhi syarat: bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau bukan organisasi yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.” Ada dua kelompok yang keberatan terhadap materi undang-undang tersebut dan mengajukan permohonan judicial review (uji materi) kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu Deliar Noer dkk dan Lembaga Perjuangan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB), mereka mengajukan legal standing mewakili orang-orang eks PKI. Pasal tersebut dianggap melanggar hak dan kewenangan konstitusi orang-orang eks PKI dan dinilai sebagai bentuk perlakuan diskriminatif pemerintah RI terhadap orang-orang eks PKI. Setelah melalui beberapa persidangan, Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 pasal 60 huruf g telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keinginan politiknya dan bertentangan dengan
186
hak asasi manusia yang telah dijamin dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam keputusan akhirnya menyatakan bahwa pasal tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sebagai konsekuensinya, bekas tahanan pilitik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia berhak dipilih dalam pemilu. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat, pasal ini tidak relevan dengan rekonsiliasi yang menjadi tekad nasional bangsa Indonesia. Dilihat dari jumlah berita yang diturunkan, kedua peristiwa ini mendapat tanggapan yang berbeda dari Kompas dan Republika. Liputan tentang usulan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 mendapat porsi pemberitaan yang lebih besar dibandingkan berita tentang caleg eks PKI. Ini terjadi karena perbedaan karakter peristiwa dan juga konteks yang melatarbelakanginya. Usulan pencabutan TAP mendapat porsi pemberitaan cukup besar karena pencetus ide pencabutan adalah Abdurrahman wahid, orang nomor satu dalam pemerintahan saat itu. Apalagi mantan ketua PBNU tersebut mengemukakan usulannya secara berulang-ulang di beberapa tempat dalam kunjungan kerjanya. Sedangkan porsi berita tentang caleg eks PKI lebih kecil karena perhatian media massa lebih tersita pada persiapan pemilu 2004. Berita tentang eks PKI harus “berbagi tempat” dengan berita-berita lain misalnya persiapan logistik pemilu, kampanye dan liputan tentang parpol peserta pemilu serta berita tentang lain yang berkaitan dengan pemilu. Bagaimana wacana tentang Partai Komunis Indonesia yang muncul dalam Kompas dan Republika ketika menurunkan berita tentang Usulan Pencabutan TAP dan Caleg Eks PKI? Untuk membongkar wacana yang ada di balik kedua media, penelitian ini menggunakan analisis wacana model van Dijk yang dibagi
187
dalam beberapa elemen wacana dan masing-masing elemen saling mendukung. Berikut ini beberapa judul berita dari Kompas dan Republika.
Tabel 5 Berita mengenai caleg Eks PKI Tahun 2004 dalam Kompas dan Republika
Berita mengenai caleg Eks PKI Tahun 2004 Kompas 1. Putusan Mahkamah Konstitusi soal Eks PKI, Terobosan buat Bangsa (Kompas, 26 Februari 2004) 2. Pascaputusan MK soal Eks Anggota PKI, Perjalanan Masih Panjang (Kompas, 01 Maret 2004) 3. Penghapusan Pasal diskriminasi Beri Peluang pelurusan Sejarah (Kompas, 02 Maret 2004)
Republika 1. ‘Komunisme Masih Membahayakan’ (Republika, 26 Februari 2004) 2. ‘Tak Perlu Apriori dengan Caleg Eks-PK’ (Republika, 27 Februari 2004)
Sumber: diolah dari berita-berita dalam surat kabar Kompas dan Republika
2.1. Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Kompas Wacana tentang Partai Komunis Indonesia kembali mengemuka menjelang pemilu legislatif tahun 2004, ketika Mahkamah Konstitusi menganulir UndangUndang pemilu yang melarang mantan anggota PKI untuk menjadi calon legislatif. Berbeda dengan saat Gus Dur mengusulkan pencabutan tap tentang komunisme, Kompas menurunkan jumlah berita relatif kecil dibandingkan dengan berita tentang usulan pencabutan Tap. Strategi wacana yang dikembangkan pun terlihat cukup menarik, Kompas melegitimasi PKI sebagai pihak yang menjadi korban, sedangkan wacana-wacana produk Orde Baru yang mendelegitimasi PKI menjadi wacana pinggiran, hanya disinggung sekilas dalam berita. Kompas juga
188
menyoal bangunan wacana tentang PKI dan komunisme yang dikembangkan oleh Orde Baru.
2.1.1. Tematik Dalam berita tentang caleg eks PKI, ada dua tema utama yang diturunkan oleh Kompas, tentang perlakuan diskriminatif terhadap PKI dan mengenai peluang untuk meluruskan sejarah bangsa Indonesia, terutama menyangkut peristiwa yang terjadi pada tahun 1965. Tema diskriminasi disusun dari beberapa sub tema yang mendukung, misalnya tentang orang-orang PKI yang dikekang oleh berbagai peraturan dari tingkat pusat sampai daerah, dirampas haknya, PKI juga digambarkan sebagai pihak yang dimarjinalkan. Mengenai tema pelurusan sejarah, Kompas menjelaskan bahwa kampanye anti PKI yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tidak lebih sebagai alat politik Soeharto untuk menyingkirkan lawan politiknya, termasuk para pendukung Soekarno. Kompas juga menjelaskan posisi ideologi komunis dengan menyatakan bahwa sebagai ideologi, komunisme telah bangkrut dan tidak punya daya tawar lagi sehingga tidak perlu ditakuti.
2.1.2. Skematik Dari segi skematik, Kompas menyusun bagian berita -judul, lead dan story- sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tema utama yang ingin disampaikan, yakni menggambarkan PKI secara legitimate. Dari judul yang digunakan, Kompas menyambut positif keputusan Mahkamah Konstitusi dan melihat implikasi positif keputusan itu bagi bangsa Indonesia. Hal itu bisa dilihat
189
dari tiga judul berita yang dipakai; “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Eks PKI Terobosan buat Bangsa” (Kompas, 26-02-2004), Pascaputusan MK soal Eks Anggota PKI Perjalanan Masih Panjang” (Kompas, 01-03-2004) dan “Penghapusan Pasal Diskriminasi Beri Peluang Pelurusan Sejarah” (Kompas, 0203-2004). Kompas menilai putusan MK sebagai terobosan bagi bangsa, terutama mengenai pihak-pihak yang selama ini diperlakukan secara diskriminatif, dengan adanya putusan tersebut, diharapkan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang PKI bisa dihilangkan. Namun dalam judul berita kedua Kompas menjelaskan, perjuangan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap orang-orang PKI masih butuh waktu dan perjuangan lagi, sebab masih ada beberapa undang-undang yang melarang orang-orang PKI masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah, termasuk pemilihan kepala daerah. Dalam berita ketiga Kompas menegaskan, selain menghapuskan diskriminasi, keputusan MK juga bisa menjadi peluang untuk meluruskan sejarah bangsa, terutama yang terjadi pada tahun 1965. Judul berita di atas dijabarkan lagi dalam lead berita, tentunya Lead yang digunakan Kompas juga sejalan dengan tema utama. Idealnya, lead adalah sebuah ringkasan yang menggambarkan isi berita secara keseluruhan.
“Bisa diduga, putusan Mahkamah Konstitusi mengembalikan hak konstitusional eks anggota Partai Komunis Indonesia untuk menjadi calon anggota legislatif langsung mengundang reaksi pro kontra. Pemimpin Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyatakan, putusan itu merupakan terobosan untuk menghilangkan diskriminasi. Masyarakat tak perlu khawatir atas bangkitnya komunisme yang tak populer dan tak punya daya tawar lagi.” (Kompas, 26-02-2004) “Banyak orang kaget dan terkejut ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan berani mencabut larangan eks anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi terlarang lainnya untuk menjadi
190
calon anggota legislatif. Dalam satu kali putusan MK –yang usianya belum sampai satu tahun- menampilkan diri menjadi lembaga yang sangat determinan menentukan wajah politik Indonesia. MK mampu membuat terobosan atas sebuah masalah yang sudah beberapa tahun diperjuangkan secara politik dan tak kunjung selesai.” (Kompas, 0103-2004) Pada lead pertama, kita melihat Kompas seakan-akan memposisikan diri sebagai sebagai pihak netral, dengan menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai sesuatu yang pro-kontra, sebuah sikap yang lazim dilakukan Kompas ketika menghadapi suatu masalah yang berbau kontroversi. Namun dalam lead tersebut Kompas hanya menampilkan berita yang setuju dengan keputusan MK, yakni pendapat pimpinan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang menyatakan bahwa keputusan MK bisa menghapuskan diskriminasi terhadap orang-orang PKI. Dalam lead tersebut juga diungkapkan bahwa kita tidak perlu takut dengan kebangkitan kembali komunisme, sebab ideologi tersebut sudah tidak punya daya tawar lagi. Sedangkan pendapat pihak yang kontra dengan putusan MK sama sekali tidak dicantumkan dalam lead berita. Dengan hanya menampilkan pihak yang setuju dengan putusan MK, makna yang kemudian muncul adalah, secara implisit Kompas sebenarnya mendukung keputusan MK yang membolehkan eks anggota PKI menjadi calon legislatif dalam pemilu mendatang dan kita tidak perlu takut dengan ideologi komunis. Pada lead kedua, Kompas tidak lagi berkutat pada pro-kontra mengenai keputusan MK, tapi lebih terfokus pada implikasi positif dari diperbolehkannya orang-orang eks PKI menjadi caleg. Keputusan MK dinilai bisa mengubah wajah politik Indonesia, sebagai titik tolak bagi proses komprehensif dalam mencapai rekonsiliasi atas suatu periode penting sejarah Indonesia. Orang-orang PKI atau
191
yang dituduh sebagai PKI, maupun pihak lain yang terlibat dalam konflik tahun 1965 diharapkan duduk bersama sebagai warga bangsa. Putusan MK juga dilihat sebagai titik terang dari usaha yang selama ini dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap orang-orang PKI. Pada lead lain, Kompas kembali menegaskan bahwa keputusan MK bisa mengubah nasib dan masa depan bangsa. Bahkan koran ini menyatakan bahwa keputusan MK bisa dijadikan momentum untuk membuka kembali sejarah penggulingan Presiden Soekarno, lihat kutipan berikut:
“Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mencabut larangan bagi eks PKI sebagai calon legislatif adalah sebuah terobosan spektakuler yang dapat mengubah wajah dan nasib masa depan bangsa. Keputusan ini seharusnya dijadikan peluang bagi para pemimpin untuk meluruskan sejarah bangsa, terutama sejarah seputar penggulingan rezim Soekarno tahun 1965.” (Kompas, 02-032004) Dalam lead di atas, Kompas menekankan perhatian pada peluang untuk meluruskan sejarah bangsa. Jika kita tengok kembali Peristiwa G30S, implikasi kejadian tersebut menyentuh beberapa kelompok, antara lain PKI, Presiden Soekarno, Soeharto dan Angkatan Darat. Mengenai peristiwa G30S, Kompas tidak lagi terpaku pada wacana dominan yang telah disebarkan oleh Orde Baru, yakni PKI sebagai aktor. Kompas justru melihat pada aspek kepemimpinan Bung Karno. Bung Karno diturunkan dari jabatan presiden RI karena -menurut wacana Orde Baru- diindikasikan terlibat, baik secara langsung maupun tak langsung dalam G30S. Pasca G30S, Kekuasaan Bung Karno perlahan-lahan digerogoti oleh cikal bakal Orde Baru, misalnya lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan ketetapan-ketetapan MPRS. Kompas melihat proses turunnya Bung Karno dan
192
naiknya Soeharto menggantikan Bung Karno masih terselubung misteri, karenanya masalah terebut perlu ditelusuri kembali. Dalam uraian teks berita secara keseluruhan, Story atau isi berita Kompas secara dominan berisi sambutan positif terhadap keputusan MK soal caleg eks PKI, sedangkan komentar tentang kekhawatiran terhadap PKI dan komunisme hanya sedikit dibahas. Story atau isi berita biasanya terdiri dari dua bagian, peristiwa utama menjelaskan proses kejadian peristiwa dan latar pendukungnya serta komentar atau tanggapan terhadap peristiwa tersebut. Pada berita “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Eks PKI Terobosan buat Bangsa” (Kompas, 26-022004), meskipun dalam lead berita dinyatakan bahwa putusan MK bersifat prokontra, secara keseluruhan teks berita tersebut cenderung positif. Peristiwa utama tentang putusan MK diuraikan dalam paragraf ketiga secara singkat, dan paragraf lainnya berisi komentar tentang putusan MK. Meskipun dalam lead berita Kompas menyatakan bahwa putusan MK menimbulkan pro-kontra, Kompas tidak bersungguh-sungguh melihatnya sebagai sesuatu yang kontroversial. Kompas melihatnya sebagai sesuatu yang positif, hal ini bisa dilihat dari judulnya yang menyambut putusan MK sebagai terobosan buat bangsa. Dari segi penyusunan teks berita juga memperlihatkan kecenderungan serupa, Kompas tidak menyusun berita secara dialogis atau saling menanggapi antara pendapat yang menerima dan menolak, sebagaimana dilakukan Kompas saat memberitakan usulan Gus Dur untuk mencabut Tap tentang komunisme. Dalam berita tentang putusan MK, Kompas menggunakan beberapa nara sumber, baik yang setuju maupun tidak dan menempatkan pendapat yang setuju dan tidak setuju secara terpisah. Dari dua
193
puluh lima paragraf secara keseluruhan, Kompas memaparkan pendapat pihak yang tidak setuju hanya dalam enam paragraf. Pada paragraf pertama, Kompas mengutip pendapat ketua umum PBNU Hasyim Muzadi yang setuju jika orang-orang eks PKI menjadi caleg, dan tidak boleh ada warga negara yang diperlakukan secara diskriminatif. Pendapat tersebut didukung oleh Solahuddin Wahid dan ketua PP Muhammadiyah Syafii Ma’arif yang menyatakan bahwa semua warga negara, termasuk mantan tahanan politik, memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Mereka juga menghimbau agar tidak takut terhadap komunisme sebab komunisme sudah tidak punya daya tawar lagi, dan jika komunisme datang lagi, maka akan dihadapi secara baik dengan cara menghilangkan kondisi yang menyuburkan komunisme. Syafii menambahkan, semua pihak hendaknya berterus terang mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu, sehingga dendam dan konflik politik seperti yang terjadi pada masa lalu tidak terulang lagi. Pada paragraf berikutnya Kompas memuat pernyataan Wapres Hamzah Haz dan ketua umum DPP Golkar Akbar Tandjung, keduanya menyatakan bahwa sebenarnya tidak setuju dengan keputusan MK, namun karena sudah berupa keputusan final, keduanya menyatakan menerima putusan tersebut. Bahkan Akbar tandjung menyatakan, keputusan MK harus menjadi dasar dari penyusunan undang-undang berikutnya agar tidak lagi membatasi orang-orang eks PKI. Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK ditampilkan dalam teks berita dengan memberinya sub judul “Yang terkejut dan kecewa”, nara sumber yang dipakai adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
194
anggota DPR. Panglima TNI Jenderal Edriyatono Sutarto menyatakan terkejut dengan keputusan MK sebab pada masa lalu PKI telah berkali-kali melakukan penghianatan terhadap bangsa Indonesia. Ketua Komisi I DPR RI, Ibrahim Ambong juga menghawatirkan keputusan MK, sebab ideologi komunis memperbolehkan pertentangan kelas, jika hal itu diterapkan oleh orang-orang PKI di Indonesia, hal itu akan sangat berbahaya. Ketua Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) Hamdan Zoelva juga berpendapat serupa, keputusan MK dinilai tidak mengacu pada pengalaman sejarah dan akan menimbulkan gejolak baru dalam masyarakat. Bagian akhir teks berita (edisi 26-02-2004) ini kembali menegaskan bahwa keputusan MK sebagai sesuatu yang layak disambut secara positif, Kompas menampilkannya dengan sub judul “Terobosan Spektakuler”. Nara sumber bagian ini antara lain anggota KPU Hamid Awaluddin yang menyatakan, keputusan MK merupakan terobosan spektakuler, bernilai komprehensif dan membawa implikasi positif sebab telah mengembalikan hak-hak politik warga negara berdasarkan prinsip kesamaan. Menurutnya, putusan MK bisa memutuskan mata rantai kesewenang-wenangan rezim otoriter, yang dengan gampang menuduh seseorang dengan label tidak bersih lingkungan. Dengan demikian, MK juga telah berusaha menghentikan terakumulasinya kebenaran sepihak oleh institusi tertentu. Aswi Marwan Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan bahwa sudah waktunya bagi kita untuk menyingkirkan diskriminasi terhadap bekas anggota PKI dan keluarganya.
195
Kompas memang menampilkan pihak-pihak yang tidak setuju dengan putusan MK dan menyatakan hal itu menimbulkan pro-kontra. Namun jika dilihat dari skema penyusunan berita secara keseluruhan, baik dari judul maupun lead berita, sebenarnya Kompas setuju dengan putusan MK yang mengakhiri diskriminasi terhadap orang-orang PKI. Apalagi jika dilihat dari sudut penempatan pendapat dan sumber berita, Kompas mengapit pendapat pihak-pihak yang tidak setuju dengan pendapat yang setuju dengan putusan MK, sehingga pernyataan pihak yang tidak setuju terlihat sebagai pendapat yang terkucilkan atau minoritas. Strategi skematik yang hampir sama juga dipakai dalam berita lain, “Pasca putusan MK soal Eks Anggota PKI, Perjalanan Masih Panjang” (kompas, 01-032004). Kompas menyatakan bahwa putusan MK menimbulkan pro-kontra, namun pernyataan pihak yang tidak setuju hanya dinyatakan dalam satu paragraf, yakni pernyataan Hamdan Zoelva. Selebihnya, berita tersebut mengerucut pada satu tema, hendaknya putusan MK bisa menjadi “sapu jagat” yang menganulir aturan atau undang-undang lain yang masih mendiskriminasikan orang-orang PKI. Pada berita lain, skema berita yang diturunkan juga menggambarkan dukungan putusan MK, dan berharap putusan tersebut bisa dijadikan peluang untuk meluruskan sejarah seputar penggulingan Presiden Soekarno tahun 1965. Bagian pertama teks berita berisi dua narasumber, yakni Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dan anggota KPU Hamid Awaluddin. Asvi Warman menyatakan, masyarakat Indonesia tidak perlu takut dengan komuisme, sebab ideologi tersebut telah bangkrut, tidak ada lagi negara yang menggunakan ideologi komunis dan negara-negara komunis pun telah bubar berantakan. Sejarawan LIPI tersebut
196
menambahkan, kampanye anti PKI yang dilakukan oleh Orde Baru bukan karena alasan ideologis tapi untuk menyingkirkan pendukung Soekarno. Bagian kedua teks berita berisi pernyataan Amin Rais yang menerima putusan MK dan menganjurkan, putusan tersebut harus disosialisasikan agar bisa diterima semua lapisan masyarakat.
2.1.3. Semantik Struktur semantik dalam analisis wacana berusaha menelisik makna yang ingin disampaikan dalam teks, antara lain melalui elemen Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi. Pada level ini, Kompas berusaha menggambarkan orang-orang PKI sebagai korban yang diperlakukan secara diskriminatif, dan ideologi komunis juga dilihat sebagai ideologi yang sudah tidak laku. Misalnya dari penggunaan elemen latar, Kompas menyatakan bahwa selama ini orangorang eks PKI telah diperlakukan secara diskriminatif, dikekang dengan berbagai peraturan dari tingkat pusat sampai daerah, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut:
“…. Keputusan MK tersebut telah mengembalikan peran negara secara proporsional, yang selama ini peran tersebut telah dimonopoli untuk memarjinalkan sekelompok warga negara. ….. Sebelum ada putusan MK ini, para eks PKI dilarang dengan berbagai peraturan mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.” (Kompas, 02-03-2004) “Sebab, dari sejarah kita bisa melihat bahwa kampanye anti PKI ini adalah upaya untuk menyingkirkan kelompok-kelompok pendukung Soekarno.” (Kompas, 02-03-2004)
197
Untuk mendukung putusan MK soal caleg eks PKI, Kompas menggunakan latar berupa kondisi orang-orang eks PKI yang selama ini diperlakukan secara diskriminatif, perlakuan terhadap mereka dibedakan dari warna negara umumnya, dikekang dengan berbagai peraturan yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut terlembagakan dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, misalnya orang-orang PKI tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak bisa menjadi anggota polisi dan tentara serta perlakuan diskriminatif lainnya. Ada satu hal menarik dalam pemberitaan Kompas terkait masalah PKI dan komunisme. Kompas melihat masalah komunisme yang terjadi pada masa lalu bukan sebagai konflik ideologi tapi sebagai konflik yang lebih bersifat politis. Kompas tidak hanyut dalam arus utama soal PKI yang hanya menyoroti bahaya laten maupun kekejaman PKI, koran ini justru melihat label-label yang diberikan Orde Baru kepada PKI sebagai bagian dari kampanye anti PKI yang dikobarkan oleh Orde Baru. Kampanye anti PKI yang dilakukan Orde Baru bukan karena alasan ideologis tapi semata untuk menyingkirkan kelompok pendukung Soekarno. Kompas juga menyoroti perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang PKI dalam detil yang cukup panjang, bahkan disertai tabel data tentang berbagai undang-undang yang mengekang partisipasi orang-orang PKI. Undang-undang yang menghalangi partisipasi orang-orang PKI dan masih berlaku sampai sekarang antara lain, orang-orang PKI tidak boleh mengikuti referendum, tidak boleh menjadi Mahkamah Agung, jaksa, hakim dalam peradilan umum maupun
198
tata usaha negara. Orang-orang PKI juga tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Untuk menolak kekhawatiran atas kebangkitan kembali komunisme di Indonesia, Kompas menggunakan elemen Maksud, dengan menyampaikan secara eksplisit peristiwa atau fakta yang mendukung sikap media tersebut. Sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut:
“Masyarakat Indonesia tak perlu takut sebab sebagai sebuah ideologi, ideologi komunisme ini telah bangkrut .” (Kompas, 02-03-2004) “Kalau kita mau obyektif, Marxisme, Komunisme dan Leninisme tidak lagi punya daya tawar, terutama setelah Uni Soviet jatuh, Tembok Berlin runtuh, dan beberapa kejadian lain di Eropa Timur. …… Sudah waktunya kita menyingkirkan diskriminasi terhadap bekas anggota PKI dan partai terlarang lain dan keluarganya.” (Kompas, 26-02-2004) Dukungan Kompas terhadap putusan MK yang memperbolehkan eks anggota PKI menjadi caleg diwujudkan antara lain dengan menggambarkan kondisi ideologi komunis saat ini. Secara eksplisit Kompas mengimbau kepada rakyat Indonesia agar tidak perlu merasa takut terhadap komunisme, sebab ideologi yang berjaya pada era perang dingin tersebut saat ini telah hancur. Ketakutan secara berlebihan terhadap komunisme seharusnya tidak perlu terjadi, sebab jika dilihat secara obyektif, ideologi komunis sudah tidak punya daya tawar, tidak mampu menarik perhatian dan ditinggalkan oleh para pendukungnya. Bahkan di negara tempat kelahiran komunis dan negara-negara yang dahulu menganut komunisme pun saat ini sudah meninggalkan faham Marxisme-
199
Leninisme tersebut. Karena itu, kita tidak perlu takut ideologi tersebut akan berkembang kembali di Indonesia, sebab di tempat lain pun sudah tidak laku. Pada bagian lain, sejalan dengan penggambaran tentang kehancuran ideologi komunis, dan untuk mendukung putusan MK, Kompas secara tegas menyatakan bahwa sudah seharusnya kita mengakhiri tindakan diskrimatif yang ditimpakan kepada orang-orang yang dituduh sebagai PKI maupun partai terlarang lain serta keluarganya. Melalui elemen praanggapan, Kompas mengukuhkan kembali simpatinya terhadap orang-orang PKI. Elemen praanggapan biasanya dipakai untuk menolak suatu rencana atau usulan karena dikhawatirkan akan menimbulkan masalah jika usulan tersebut diujudkan. Namun dalam kutipan berikut, Kompas justru memakai strategi praanggapan untuk mendukung putusan MK soal caleg eks PKI.
“Mencabut larangan bagi eks PKI sebagai calon legislatif adalah sebuah terobosan spektakuler yang dapat mengubah wajah dan nasib masa depan bangsa.” (Kompas, 02-03-2004) Kompas tidak melihat kehadiran kembali orang-orang komunis dalam pentas politik nasional sebagai bahaya. Malah sebaliknya, kemunculan kembali orang-orang yang selama ini diperlakukan secara diskriminatif dinilai akan mengubah wajah politik dan masa depan bangsa Indonesia. Bagi Kompas, perbaikan kondisi bangsa tidak hanya dilakukan dengan memperbaiki sektor ekonomi semata, rekonsiliasi antar elemen bangsa, antara lain diwujudkan dengan kehadiran kembali orang-orang eks komunis dalam panggung politik Indonesia, juga dinilai akan turut memperbaiki kondisi bangsa ini ke depan.
200
2.1.4. Sintaktis Pada level sintaktis, makna yang muncul dari bentuk atau susunan kalimat yang dipilih oleh Kompas menunjukkan pembelaan terhadap orang-orang PKI. Seperti terlihat dari bentuk kalimat yang dipakai, kompas menjelaskan peran Soeharto dalam kampanye anti PKI yang terjadi selama ini.
“….. Soeharto menggunakan kampanye anti-PKI ini bukan karena alasan ideologis, tetapi semata-mata hanya untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan yang mendukung Soekarno.” (Kompas, 02-032004) Elemen bentuk kalimat melihat bagaimana susunan bagian-bagian kalimat seperti Subyek-Predikat-Obyek dalam kalimat atau frase, dan susunan tersebut menunjukkan siapa atau apa yang ditonjolkan. Pada kutipan di atas, susunan yang dipakai adalah kalimat aktif, “Soeharto” diletakkan sebagai subyek, predikatnya adalah “melenyapkan”, pihak yang dijadikan sebagai obyek adalah “kekuatankekuatan yang mendukung Soekarno” dan Soeharto diberi keterangan tambahan “kampanye anti PKI bukan karena alasan ideologis”. Dari susunan kalimat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji. Pertama, sikap anti PKI yang tumbuh dalam masyarakat kita selama ini bukan sebagai sesuatu yang apa adanya atau memang seharusnya demikian, kebencian itu tumbuh karena ada upaya secara sengaja dari pihak tertentu untuk menanamkan kebencian dalam masyarakat dan dengan tujuan tertentu pula. Kedua, Soeharto diposisikan sebagai subyek dan ditempatkan pada awal kalimat. Dengan menempatkannya di awal, yang ditonjolkan dalam kampanye anti PKI adalah figur Soeharto, sebagai tokoh utama yang berkepentingan dalam masalah
201
tersebut. Ketiga, yang menjadi korban atau obyek dari tindakan Soeharto adalah para pendukung Soekarno. Saat berkuasa, Soekarno didukung oleh beberapa kekuatan seperti militer, PKI dan kelompok lainnya. Jika Soeharto menggunakan kampanye anti PKI untuk menyingkirkan pendukung Soekarno, maka yang disingkirkan oleh Soeharto bukan hanya PKI tapi juga kelompok lain, sebab kekuatan-kekuatan yang mendukung Seokarno bukan hanya orang-orang PKI. Jika ditelusuri lagi, beberapa atau sebagian dari orang-orang yang dipenjara dan didiskriminasikan oleh Orde Baru ternyata bukan anggota maupun simpatisan PKI. Label PKI juga diberikan kepada orang-oarang yang dianggap kritis terhadap penguasa Orde Baru. Dengan demikian, kampanye anti PKI yang terjadi selama ini memang bukan karena alasan ideologis atau perbedaan paham, tapi semata karena kepentingan politik kekuasaan. Apalagi jika kita telusuri lagi sejarah masa lalu, Soeharto pada masa muda ternyata dekat dengan tokoh-tokoh PKI. Tema mengenai peran soeharto dalam kampanye anti PKI juga dipakai dalam elemen koherensi, yakni strategi penggabungan atau pemisahan dua fakta sehingga menimbulkan makna tertentu.
“G30S dan kampanye anti PKI adalah dua hal yang berbeda yang dilakukan Soeharto. Oleh karena itu, perlu ada upaya pelurusan sejarah.” (Kompas, 02-03-2004) Pada kalimat pertama, Kompas menggunakan koherensi kondisional untuk menjelaskan peran Soeharto. Meskipun tanpa tambahan anak kalimat, sebenarnya kalimat utama yang berbunyi “G30S dan kampanye anti PKI adalah dua hal yang berbeda” sudah dapat dimengerti. Namun dengan menambahkan kalimat penjelas “yang dilakukan Soeharto”, Kompas kembali menyoroti peran Soeharto sebagai
202
dalang atau otak yang ada di balik kampanye anti PKI yang terjadi selama ini. Sebagaimana terungkap dalam wacana mengenai G30S di luar wacana yang dikembangkan oleh Orde Baru, peran PKI dalam peristiwa itu ternyata tidak sebesar seperti yang digembar-gemborkan oleh Orde Baru. Namun dengan memanfaatkan pengalaman masyarakat yang pernah terlibat konflik dengan PKI, Orde Baru berhasil membentuk dan mengukuhkan wacana tentang karakter negatif PKI lewat berbagai medium. Ketika Orde Baru berhasil menjabarkan karakter negatif PKI, maka Orde Baru dapat menyingkirkan mereka tanpa ada protes dari masyarakat, bahkan cenderung mendukung langkah-langkah yang diambil oleh Orde Baru. Dalam kalimat kedua, Kompas menyatakan perlunya diadakan pelurusan sejarah mengenai peristiwa G30S. Berdasarkan uraian pada kalimat pertama, kampanye anti PKI yang dilakukan oleh Soeharto dilihat sebagai bentuk penyimpangan terhadap sejarah, sebab apa yang disampaikan oleh Soeharto tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan, peran PKI dalam G30S tidak seperti apa yang digambarkan oleh Orde Baru, ada beberapa tesis lain yang menjelaskan keterlibatan pihak selain PKI dalam peristiwa G30S. karena itu, Kompas mengusulkan perlunya upaya pelurusan sejarah, agar masalah tersebut bisa dilihat secara lebih jelas dan proporsional. Kompas juga menggunakan strategi pengingkaran untuk mendukung orang-orang eks PKI maju sebagai calon anggota legislatif. Lewat pernyataan Akbar Tandjung, Kompas seakan tidak setuju jika orang-orang komunis kembali ke panggung politik Indonesia, namun pada akhir kalimat dinyatakan bahwa
203
kemunculan kembali orang-orang eks PKI tidak merisaukannya, seperti terlihat dalam kutipan berikut: “Akbar Tandjung menyatakan, secara pribadi, dia tidak setuju kalau anggota PKI diperbolehkan menjadi caleg. Selaku ketua umum Partai Golkar, partainya memiliki ideologi pancasila. “Tidak ada kompromi dengan PKI, ujarnya. Kendati demikian, Akbar Tandjung memandang pencabutan larangan PKI tidak merisaukannya. Alasannya, dari sisi teknis, peristiwa Gerakan 30 September sudah berlalu cukup lama. (Kompas, 26-02-2004) Kompas mengutip pernyataan Akbar Tandjung yang menyatakan tidak setuju jika orang-orang PKI diperbolehkan menjadi caleg karena komunisme bertentangan dengan Pancasila, karena itu, tidak ada kompromi dengan mereka. Pernyataan ini seakan sebuah harga mati, tidak boleh ditawar-tawar lagi, sebab secara prinsip ideologi komunis bertolak belakang dengan Pancasila. Namun asumsi tersebut dimentahkan oleh kalimat berikutnya yang menyatakan tidak khawatir dengan kehadiran kembali orang-orang komunis, sebab peristiwa G30S yang melibatkan orang-orang komunis telah berlangsung cukup lama. Pernyataan Akbar Tandjung yang dikutip Kompas merupakan strategi wacana yang cukup halus. Dengan menggunakan dalih yang masuk akal dan mudah diterima, Akbar seakan tidak setuju dengan kehadiran orang komunis, namun sebenarnya hal itu tidak lebih sebagai basa-basi atau pemanis dari sikap yang sesungguhnya, yakni menerima kehadiran orang-orang komunis dalam panggung politik Indonesia. Bahkan Akbar juga mengusulkan agar setiap rancangan undang-undang yang akan dibuat pada masa mendatang tidak usah lagi mencantumkan larangan terhadap orang-orang eks PKI.
204
2.1.5. Stilistik Pada level stilistik, pilihan kata atau leksikon yang dipakai oleh Kompas juga menunjukkan empati terhadap orang-orang eks PKI. surat kabar terbesar ini menggambarkan mereka sebagai oarng-orang yang diperlakukan tidak adil.
“Keputusan MK tersebut telah mengembalikan peran negara secara proporsional, yang selama ini peran tersebut telah dimonopoli untuk memarjinalkan sekelompok warga.“(Kompas, 02-03-2004) “Sudah saatnya kita menyingkirkan diskriminasi terhadap bekas anggota PKI dan partai terlarang lain dan keluarganya.” (Kompas, 26-02-2004) Pembelaan tersebut dinyatakan dengan melihat orang-orang komunis sebagai pihak yang dipinggirkan atau termarjinalkan dan diperlakukan secara diskriminatif. Selama ini orang-orang yang dituduh sebagai PKI ditahan tanpa proses pengadilan, dikucilkan dari pergaulan masyarakat secara umum, pada KTP diberi label OT atau ET. Orang-orang PKI juga tidak pernah diikutsertakan dalam kehidupan berbangsa, mereka tidak boleh ikut pemilu, tidak bisa menjadi pegawai negeri, tidak bisa masuk militer serta institusi pemerintah lainnya. Dengan diperbolehkannya orang-orang eks PKI menjadi caleg lewat putusan MK, berarti tindakan diskrimnatif yang terjadi selama ini telah dihilangkan atau minimal dikurangi.
2.1.6. Retoris Elemen retoris melihat dengan cara apa pendapat disampaikan. Kompas menyatakan pendapatnya antara lain lewat metafora, yaitu pemakaian ungkapan
205
atau kiasan sebagai landasan pikir atau pembenar pendapat yang disampaikan, sebagaimana terlihat dari kutipan berikut: “MK telah menyampaikan pesan moral yang edukatif, mendidik bangsa untuk bisa hidup co-exist tanpa prejudice dan segregasi karena stereotip sosiologis politik. Keputusam itu ibarat a light at the end of the tunnel,”(Kompas, 26-02-2004) Keputusan MK yang memperbolehkan orang-orang eks PKI untuk menjadi caleg diibaratkan sebagai cahaya yang ada di ujung terowongan (a light at the end of the tunnel). Kondisi yang dialami oleh orang-orang eks PKI selama ini digambarkan sebagai perjalanan panjang melewati terowongan gelap, perlakuan diskriminatif dan serta marjinalisasi yang diterima menyebabkan mereka diliputi ketidakpastian akan nasib dan masa depannya. Usaha dari beberapa pihak untuk mengembalikan harkat dan derajat hidup mereka selama masa Orde Baru juga seakan tanpa ada titik terang. Namun kegelapan yang menyelimuti perjalanan mereka selama ini seakan sirna saat MK memutuskan orang-orang eks PKI boleh menjadi caleg, putusan MK seakan menjadi cahaya bagi orang-orang eks PKI untuk bisa kembali menatap kehidupan secara lebih baik, sejajar dengan warga negara Indonesia lainnya.
2.2. Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Republika Meskipun dalam jumlah kecil, Republika tetap menaruh perhatian terhadap keputusan MK yang menganulir salah satu pasal dalam Undang-Undang Pemilu tentang larangan terhadap keikutsertaan orang-orang eks PKI sebagai caleg. Sikap Republika terhadap masalah Partai Komunis Indonesia dan komunisme yang
206
tergambar dalam dua berita yang diturunkan hampir sama dengan sikapnya ketika memberitakan masalah usulan pencabutan Tap MPRS tentang larangan terhadap komunisme.
2.2.1. Tematik Tema atau topik menentukan makna teks secara keseluruhan dan informasi apa yang dianggap paling penting. Dalam berita tentang caleg eks PKI, Republika melihat komunisme sebagai masalah serius. Tema utama yang diangkat Republika adalah komunisme sebagai ideologi yang berbahaya. Tema tersebut ditopang oleh sub tema sebagai pendukung, antara lain Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila. Komunisme dinilai berbahaya karena pada dasarnya ideologi komunis yang menganut atheisme bertentangan dengan Pancasila yang mengakui ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mendukung tema utama tentang bahaya komunisme, Republika juga menggunakan sub tema lain yang memperkuat, yakni wacana tentang sejarah pemberontakan PKI sebagaimana definisi Orde Baru. Orang-orang komunis pada masa lalu telah mencoba melakukan penghianatan terhadap bangsa Indonesia, berusaha memberontak dan mengganti Pancasila yang menjadi dasar kehidupan bangsa Indonesia dengan ideologi komunis. Tema tentang sejarah buruk PKI lantas diparalelkan dengan sub tema lain, yakni bahaya laten PKI. Apa yang dilakukan orang-orang komunis pada masa lalu dianggap masih bisa terulang pada masa sekarang, pemberontakan PKI dilihat sebagai bahaya laten yang bisa muncul kembali sewaktu-waktu. Semua sub tema tersebut di atas mengarah pada satu
207
tema utama, yakni komunisme masih menjadi ideologi yang membahayakan keamanan negara.
2.2.2. Skematik Skematik berkaitan dengan penyusunan bagian-bagian berita seperti judul, lead dan story atau isi berita agar selaras dengan tema yang hendak disampaikan. Secara garis besar, skema atau alur berita tentang caleg eks PKI sejalan dengan tema utama yang dikembangkan oleh Republika. Summary atau ringkasan berita yang terdiri dari judul dan lead berita secara tegas menggambarkan bagaimana resistensi surat kabar ini terhadap masalah komunisme. Republika memasang judul ‘Komunisme Masih membahayakan’ (Republika, 26-02-2004), judul tersebut seakan hendak memperingatkan bahwa kita harus tetap waspada dan hatihati terhadap masalah komunisme. Hari berikutnya, Republika juga menurunkan berita tentang caleg eks PKI berjudul ‘tak Perlu Apriori dengan Caleg Eks-PKI’ (Republika, 27-02-2004). Judul berita kedua ini terkesan lebih netral, Republika menerima dengan baik jika orang-orang eks PKI menjadi calon anggota legislatif. Namun di bawah judul berita terebut terdapat caption “Orang yang bersalah boleh dimaafkan, tapi PKI tidak boleh tumbuh”. Kedua judul tersebut menegaskan sikap Republika bahwa orang-orang eks PKI boleh menjadi calon anggota legislatif, namun PKI dan ideologi komunis tetap tidak boleh hidup kembali di Indonesia. Sikapnya mengenai masalah PKI dan komunisme ditegaskan kembali oleh Republika dalam lead berita:
208
“Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mengingatkan semua pihak agar tidak apriori terhadap calon legislatif (caleg) eks Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut dia, siapapun warga negara Indonesia itu mempunyai hak untuk mengajukan dirinya menjadi caleg. Yang terpenting, menurut dia, memenuhi persyaratan secara administratif.” (Republika, 27-02-2004) “Panglima TNI Endriartono Sutarto masih melihat komunisme sebagai ideologi yang membahayakan keamanan negara. Penegasan ini diutarakan seusai rapat kerja dengan Komisi I DPR, di Gedung DPR, Rabu (25/2). Penegasan ini diutarakan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/2) yang mengembalikan hak konstitusional eks anggota PKI untuk menjadi caleg” (Republika, 2602-2004) Lead pertama menjelaskan bahwa semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali, termasuk orang-orang eks PKI, boleh menjadi calon anggota legislatif, asalkan memenuhi persyaratan administratif. Koran Islam ini tidak keberatan jika orang-orang eks PKI menjadi calon anggota legislatif. Dalam kutipan kedua, Republika mejadikan pernyataan Endriartono Sutarto sebagai lead berita. Petinggi TNI tersebut menilai komunisme sebagai ideologi yang membahayakan keamanan negara. Panglima TNI adalah pejabat yang menangani masalah kemanan dan pertahanan negara, tentu sangat legitimate untuk bicara soal keamanan. Dengan menjadikan Panglima TNI sebagai sumber berita, Republika seakan mengajak pembaca untuk waspada terhadap bahaya komunisme terkait dengan legalisasi orang-orang eks PKI menjadi caleg. Sinyal bahaya tersebut bukan omong kosong karena yang menyampaikan hal itu adalah panglima TNI, pejabat tertinggi yang menanganai masalah keamanan negara. Secara garis besar, kedua lead tersebut menegaskan bahwa orang-orang eks PKI boleh menjadi caleg, namun Partai Komunis Indonesia serta ideologi komunis yang dibawanya tidak boleh hidup.
209
Dalam story atau isi berita, Republika menghadirkan peristiwa utama serta komentar terhadap masalah tersebut. Sehari setelah putusan MK, Republika menurunkan berita tentang putusan MK yang menganulir salah satu pasal tentang caleg eks PKI dengan judul ‘Komunisme Masih membahayakan’ (Republika, 2602-2004). Secara garis besar, skema berita ini bernada negatif dalam menanggapi putusan MK. Memang Republika mengutip pendapat dari beberapa kalangan agar berita tersebut terlihat obyektif atau berimbang, namun strategi penyusunan berita yang dipakai cenderung menunjukkan penolakan terhadap PKI dan komunisme. Setelah lead berita diisi dengan pendapat Panglima TNI Endriartono Sutarto, tiga paragraf berikutnya Republika menjelaskan soal Judicial Review yang diajukan oleh kelompok Deliar Noer dkk dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru terhadap pasal 60 huruf g Undang-Undang nomor12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. MK memutuskan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mengenal diskriminasi. Paragraf berikutnya, Republika mengutip pernyataan Ibrahim Ambong dalam rapat kerja dengan pimpinan TNI. Atas nama Komisi I DPR RI, Ambong merasa keberatan dengan putusan MK karena putusan itu dinilai bertentangan dengan Tap MPRS Nomor 25/1966. Teks berita selanjutnya mengutip pendapat Wapres RI Hamzah Haz yang menyatakan tidak keberatan jika orang-orang eks PKI menjadi caleg, aslakan mereka bisa melakukan perubahan. Pernyataan pimpinan organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah disampaikan dalam tiga paragraf berikutnya. Salahuddin Wahid dan Syafii Maarif
210
menghimbau agar tidak perlu khawatir terhadap bahaya laten PKI, dan KH Hasyim Muzadi juga menghimbau agar warga NU tidak khawatir PKI akan bangkit kembali. Namun pernyataan ketiga tokoh ormas tersebut disusul dengan pernyataan beberapa kalangan yang kecewa dengan putusan MK. Yang dimaksud beberapa kalangan oleh Republika adalah anggota Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) Hamdan Zoelva dan anggota fraksi TNI Slamet Supriadi. Zoelva merasa kecewa dengan putusan MK karena menurutnya, putusan MK tidak mengacu pada pengalaman sejarah dan akan menimbulkan masalah baru. Sedangkan Supriadi menyatakan, putusan MK kental nuansa politisnya dan kemungkinan karena ada tekanan dari pihak tertentu. Berita tersebut ditutup dengan pernyataan ketua Badan Intelijen Nasional (BNI) AM Hendropriyono yang berpendapat keputusan MK sebagai sesuatu yang wajar. Namun, kepala BIN melanjutkan, kewajaran tersebut karena orang-orang eks PKI sudah tua dan tidak mungkin lagi untuk menjadi calon anggota legislatif. Susunan berita secara utuh menggambarkan bagaimana sikap Republika yang negatif terhadap masalah PKI dan komunisme. Teks berita tersebut masih mengambarkan komunisme sebagai ideologi yang membahayakan keamanan negara. Sedangkan pernyataan pihak yang setuju dengan putusan MK menjadi pendapat yang termarjinalkan karena disampaikan dalam jumlah kecil dan diapit dengan oleh pernyataan yang menolak putusan MK. Dalam berita lain yang berjudul ‘Tak Perlu Apriori dengan Caleg Eks-PKI’ (Republika, 27-02-2004) story atau isi berita secara keseluruhan berisi komentar soal putusan MK. Isi berita tersebut berusaha memberikan kesan positif dengan
211
memuat pernyataan yang memaafkan dan menerima kehadiran kembali orangorang eks PKI dalam pentas politik Indonesia. Namun, ketika bicara tentang komunisme, Republika tetap pada sikap awal, menolak. Skema berita secara garis besar terbagi dalam dua bagian, bagian awal berisi sambutan baik dan memaafkan orang-orang eks PKI, dan bagian terakhir berisi penolakan terhadap komunisme. Paragraf awal berisi pernyataan KH Hasyim Muzadi yang berpendapat keturunan eks anggota PKI harus diberi hak yang sama untuk menjadi caleg. Paragraf berikutnya mengangkat pendapat ketua Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan (PNBK) Eros Djarot yang menyatakan ideologi komunis tidak bisa digenetikkan kepada keturunan eks anggota PKI. teks selanjutnya berisi pendapat mantan Menteri Agama Tarmizi Taher yang menyatakan sudah saatnya bangsa Indonesia memaafkan komunis karena pelarangan itu sudah berlangsung selama 40 tahun. Bagian teks berikutnya berisi pernyataan Akbar Tandjung dan Umar Shihab yang menolak kembalinya komunisme. Republika mengutip pendapat ketua DPR RI periode 1999-2004 yang mengingatkan semua elemen bangsa Indonesia agar mewaspadai bahaya laten komunisme. Pernyataan tersebut didukung oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Sihab yang menyatakan, walaupun eks PKI boleh menjadi caleg, namun ideologi komunis tetap tidak boleh berkembang di Indonesia.
2.2.3. Semantik Dimensi semantik mencoba menggali makna yang ada di balik teks berita. Sikap Republika mengenai masalah PKI dan komunisme bisa dilihat dari elemen-
212
elemen berita seperti latar, detil, maksud, praanggapan. Beberapa elemen tersebut dipakai ketika menurunkan berita soal caleg eks PKI. Elemen Latar yang dipakai Republika mengarah pada penggambaran PKI secara negatif, sebagaimana terlihat pada kutipan berikut:
“Namun beberapa kalangan mengaku sangat kecewa dengan keputusan MK. Hal ini dikarenakan keputusan itu tidak mengacu pada pengalaman sejarah…. Karena bagaimanapun para bekas anggota PKI dan partai terlarang lainnya telah melakukan penghianatan terhadap bangsa dan negara Indonesia.” (Republika, 26-02-2004)
Alasan yang paling sering dipakai dalam menanggapi masalah PKI dan komunisme adalah alasan atau latar sejarah. Dalam buku-buku sejarah yang dibuat oleh Orde Baru, orang-orang komunis digambarkan sebagai penghianat, beberapa kali mencoba melakukan pemberontakan, mencoba mengganti Pancasila dengan ideologi lain, bahkan membunuh tujuh orang jenderal dalam peristiwa Gerakan 30 September. Karena itu PKI dilarang hidup di Indonesia, sebab kehadiran mereka hanya menimbulkan masalah bagi bangsa. Jika keputusan Mahkamah Konstitusi ternyata membolehkan orang-orang eks PKI menjadi caleg, maka kehadiran kembali orang-orang PKI dalam panggung politik Indonesia dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lagi. Dari kutipan di atas, Republika seakan menyatakan lebih baik orang-orang PKI tidak usah ikut dalam pentas politik Indonesia, jika dibiarkan hidup kembali, tidak tertutup kemungkinan mereka akan melakukan pemberontakan lagi dan akan semakin menambah masalah bagi bangsa Indonesia. Sikap Republika juga tercermin dari elemen Detil. Penolakannya terhadap kehadiran kembali orang-orang PKI dinyatakan lewat uraian tentang pengalaman
213
buruk dengan partai partai komunis dan kejanggalan keputusan MK soal caleg eks PKI. Dalam empat paragraf Republika menjabarkan, keputusan MK tentang caleg eks PKI tidak sesuai dengan Tap MPRS No 25/1966. Tap MPRS yang berisi larangan terhadap PKI dan penyebaran ajaran Marxisme/Leninisme itu masih berlaku sampai sekarang, jika Mahkamah Konstitusi melegalkan orang-orang eks PKI menjadi caleg, hal itu dinilai bertentangan dengan Tap. Republika juga menyampaikan pendapat yang menyatakan bahwa keputusan MK lebih banyak nuansa politiknya, putusan MK tersebut dinilai karena ada tekanan dari pihak tertentu. Penolakan juga dilakukan dengan menyinggung PKI sebagai penghianat bangsa. Ketika memuat pendapat yang positif terhadap komunisme, Republika justru menurunkan teks dalam detil yang sedikit. Pendapat yang menyerukan agar tidak perlu khawatir dengan bahaya laten komunisme disampaikan hanya dalam satu paragraf. Elemen Maksud melihat bagaimana pendapat yang menguntungkan akan disampaikan secara eksplisit dan jelas sedangkan peristiwa yang merugikan akan ditampilkan secara tersamar.
“Komisi I DPR menyatakan keberatan dengan terhadap pemulihan hak politik anggota PKI. Dalam rapat kerja dengan pimpinan TNI, Komisi I menyatakan keberatannya terhadap keputusan tersebut.” (Republika, 26-02-2004)
Untuk mendukung sikapnya mengenai masalah PKI, Republika memuat pernyataan Komisi I DPR RI yang secara tegas merasa keberatan jika orang-orang eks PKI diperbolehkan menjadi caleg. Lewat teks tersebut, sebagaimana terlihat
214
dalam bagian teks lain, Republika keberatan jika orang-orang komunis kembali ke tengah-tengan panggung politik Indonesia. Salah satu strategi yang paling mudah untuk mendapat dukungan dari pendapat yang disampaikan adalah dengan menggunakan praanggapan. Elemen praanggapan melihat bagaimana komunikator menggunakan pernyataan yang dipercaya dan mudah diterima, padahal belum terjadi. Penolakan Republika terhadap PKI dan komunisme juga dilakukan dengan mengutip pernyataan yang belum terjadi tapi dinilai masuk akal dan mudah diterima, seperti kutipan berikut:
“Namun beberapa kalangan mengaku sangat kecewa dengan keputusan MK. Hal ini dikarenakan keputusan itu tidak mengacu pada pengalaman sejarah dan akan menimbulkan gejolak baru dalam masyarakat.” (Republika, 26-02-2004) Dalam salah satu bagian sejarah Indonesia, PKI pada masa Orde Lama digambarkan kelompok yang suka main teror dan bahkan sebagai pemberontak. Ruwetnya kondisi sosial politik pada masa Orde Lama, salah satunya disebabkan oleh sepak terjang orang-orang komunis pada masa itu. Jika PKI dihidupkan kembali pada masa sekarang, maka meraka akan kembali mengacau seperti yang mereka lakukan pada masa lalu dan akan semakin menambah masalah bagi bangsa kita yang saat ini sudah dibebani dengan bermacam-macam persoalan. Benarkah jika PKI dan komunisme akan menjadi masalah jika dihidupkan kembali? Kita tidak tahu sebab belum terjadi. Namun kondisi sekarang berbeda dengan kondisi zaman Orde Lama, konteks dan permasalahan sosial politik masa lalu juga berbeda dengan yang terjadi pada masa sekarang, hal ini tentu akan membawa implikasi yang berbeda. Namun praanggapan semacam itu sering kali
215
dipakai karena hal itu terlihat logis dan mudah diingat, karena menyangkut memori kolektif masyarakat, baik yang mengalami sendiri kejadian masa lalu maupun dari tahu dari gambaran yang dicekokkan oleh penguasa.
2.2.4. Sintaktis Struktur sintaktis mengamati bagaimana pendapat disampaikan lewat susunan kalimat yang dipilih dan apa makna yang ada di balik susunan tersebut. Elemen-elemen wacana yang biasa dipakai dalam struktur sintaktis antara lain berupa Bentuk Kalimat, Koherensi dan pengingkaran. Perhatian serius Republika terhadap masalah komunisme juga jabarkan lewat bentuk kalimat. Bentuk kalimat meneliti bagaimana susunan bagian-bagian atau komponen penyusun kalimat diatur. Republika menggunakan bentuk kalimat aktif untuk menggambarkan bahaya komunisme, sebagaimana terlihat dalam kutipan teks berita; “Komunisme sebagai ideologi yang membahayakan keamanan negara” (Republika, 26-02-2004). Pada kalimat tersebut, komunisme ditempatkan sebagai subyek dan dalam bentuk kalimat aktif, yang dijadikan predikat adalah “membahayakan” dan obyeknya adalah “keamanan negara”. Dengan penempatan seperti itu, Republika melihat masalah komunisme sebagai isu sentral dan sangat penting. Komunisme adalah ancaman yang sangat serius bagi keamanan negara. Bagi Republika, masalah komunisme lebih mengancam jika dibandingkan masalah terorisme maupaun korupsi yang menggerogoti uang negara. Ledakan bom, ketakutan dan kematian yang diakibatkan oleh terorirme tidak lebih penting jika dibandingkan dengan bahaya komunisme. Implikasi kalimat tersebut adalah,
216
komunisme tidak boleh tumbuh di Indonesia karena bahaya yang ditimbulkannya melebihi bahaya lainnya. Koherensi melihat bagaimana dua kalimat atau fakta dikaitkan, apakah saling berhubungan, saling terpisah atau justru sebagai sebab-akibat. Republika juga menggunakan koherensi untuk menyatakan sikpanya terhadap komunisme. “…. Semua orang yang bersalah bisa dimaafkan namun paham komunis harus tetap dilarang. Apalagi, katanya, paham komunis tidak dibenarkan dalam negara Pancasila.” (Republika, 27-02-2004)
Kutipan di atas tersusun dari dua kalimat. Bagian pertama bercerita tentang pemberian maaf kepada orang-orang eks PKI sesuai dengan keputusan MK yang memperbolehkan eks PKI menjadi caleg. Tapi teks tersebut juga menjelaskan bahwa pemberian maaf bukan berarti memperbolehkan ideologi komunis boleh berkembang. Sebenarnya, meskipun tanpa dikuti kalimat kedua, kalimat pertama tentang pemberian maaf dan larangan terhadap komunisme sudah bisa difahami. Namun dengan menambahkan kalimat kedua yang menyatakan komunisme tidak dibenarkan dalam negara Pancasila, Republika berusaha menjelaskan kenapa komunis harus tetap dilarang. Komunisme tidak boleh hidup di Indonesia karena ideologi tersebut bertenangan dengan ideologi Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia. Penolakan Republika terhadap idelogi komunis juga diungkapkan lewat elemen pengingkaran. Pengingkaran melihat bagaimana sikap dukungan atau penolakan disampaikan secara implisit atau tidak langsung. “Ketua DPR Akbar Tandjung juga menilai keputusan MK tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Kendati begitu menurutnya
217
bahaya laten komunisme tetap harus diwaspadai seluruh elemen bangsa Indonesia. …. walaupun eks PKI boleh menjadi caleg, namun paham komunis harus tidak boleh berkembang di Indonesia (Republika, 27-02-2004)
Republika menggunakan pernyataan Akbar Tandjung untuk menyatakan pendapatnya. Akbar menyatakan tidak khawatir dengan keputusan MK, orangorang eks PKI boleh menjadi caleg. Namun, penerimaan terhadap orang-orang eks PKI bukan berarti secara otomatis menerima juga ideologi komunis yang dibawa. Komunisme masih dilihat sebagai ideologi yang berbahaya, sewaktu-waktu dapat mengancam eksistensi bangsa Indonesia. Karena itu komunisme tetap tidak boleh hidup di Indonesia.
2.2.5. Stilistik stilistik atau leksikon melihat penggunaan kata tertentu yang dipakai dan makna yang muncul dari pilihan kata tersebut. Republika menggunakan kata-kata yang berkonotasi negatif dalam menggambarkan PKI dan komunisme, seperti terlihat pada kutipan berikut:
“PKI dan partai terlarang lainnya telah melakukan penghianatan terhadap bangsa dan negara Indonesia.“ (Republika, 26-02-2004) “….. bahaya laten komunisme tetap harus diwaspadai seluruh elemen bangsa Indonesia.” (Republika, 27-02-2004) Dengan merujuk pada sejarah tahun 60-an, Republika menyebut orangorang PKI sebagai penghianat. Pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan PKI pada masa lalu dinilai telah menghianati keprcayaan bangsa Indonesia yang
218
diberikan kepada mereka. Usaha untuk menganti falsafah hidup bangsa dengan ideologi lain adalah perbuatan yang menyakitkan dan tidak mudah untuk dilipakan. Sejalan dengan leksikon dalam kutipan pertama, Republika menggunakan label “bahaya laten” untuk menjelaskan karakter ideologi komunis. Meskipun saat ini komunisme belum dilegalkan dan belum tampil ke permukaan, ideologi tersebut harus tetap diwaspadai sebab sewaktu-waktu bisa mengancam. Jika dilihat dalam dimensi wacana tentang komunisme yang lebih luas sebagaimana diproduksi oleh Orde Baru, bahaya laten terkait erat dengan karakter PKI lainnya yakni ‘penyusup’. PKI dilihat sebagai organisasi yang ulet dan susuah untuk benar-benar dihancurkan. Meskipun wadah resmmi PKI telah hancur, sel-sel PKI dinilai masih terus hidup saampai sekarang dan menyusup ke berbagai elemen lain. Karena itu komuisme harus tetap diwaspadai sebab sel-sel tersebut suatu saat bisa tumbuh besar dan kembali mengancam bangsa Indonesia.
2.2.6. Retoris Struktur retoris dala analisis wacana berusaha mengamati dengan cara apa pendapat disampaikan atau bagaimana penekanan dilakukan, misalnya lewat Metafora. Republika menggunakan metafora atau pemkaian ungkapan sebagai landasan berpikir dan pembenar dari pendapat yang disampaikan. “…., karena tidak ada dosa keturunannya. “Kok dianggap turun-temurun itu. Mengapa ditanggungkan pada anak atau (Republika, 27-02-2004)
yang harus dibebankan kepada seperti apa saja. Tidak ada dosa dosa orang lain, kok harus keturunanannya. Tidak tepat itu.”
219
Jika dilihat sepintas, tidak ada yang salah dengan kutipan di atas. Bahkan teks tersebut terlihat positif karena berisi pernyataan yang menyetujui jika orangorang eks PKI menjadi caleg, bahkan keturunan eks PKI juga harus diberi hak yang sama. Yang menjadi masalah adalah penggunaan kata “dosa” yang pakai dalam kalimat tersebut. Kata “dosa” biasa dipakai dalam masalah keagamaan, dosa berarti sebuah perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat mutlak dan telah ditetapkan oleh tuhan. Kutipan di atas memang menyatakan keturunan orang PKI tidak ikut menanggung dosa, namun hal itu juga berarti orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan dosa. Anak keturunan PKI memang tidak melakukan kesalahan, namun orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan. Dengan menyatakan PKI telah melakukan perbuatan dosa, secara tidak langsung Republika melihat pemberontakan yang terjadi pada tahun 1965 benar-benar dilakukan oleh PKI dan memang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Kepastian tentang keterlibatan PKI dalam pemberontakan seakan menafikan wacana lain yang mengungkapkan keterlibatan kelompok lain dalam peristiwa G30S. bagi Republika, PKI dan komunisme dilihat sebagai pihak yang bersalah tetap harus diwaspadai.
3. Analisis Sosial Dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana dominan, sedangkan wacana lain menjadi wacana alternatif yang terpendam atau
220