BAB IV Partai Komunis Indonesia Dalam Surat Kabar Kompas dan Republika
A. Komunisme Dalam Panggung Politik Indonesia 1. Lahirnya Komunisme Ketika membahas komunisme, kita tidak bisa lepas dari seorang tokoh yang punya pengaruh penting dalam ilmu sosial, Karl Marx (1818-1883). Analisisnya yang tajam dalam membongkar bentuk penindasan terhadap kaum proletar dalam masyarakat kapital tak diragukan lagi, kajian ekonomi politiknya tentang peran penting bidang ekonomi dalam memahami struktur kekuasaan juga masih relevan. Karl Marx hidup dalam masyarakat kapitalisme awal yang ditandai dengan bangkitnya teknologi di mana pabrik memproduksi barang-barang secara massal. Di tengah kemajuan tersebut, kondisi kaum buruh justru semakin tertindas oleh sistem kapital. Marx ingin mengubah kondisi kaum buruh yang teralienasi, terperosok dalam kemelaratan, dan tidak bisa ikut menikmati hasil dari barangbarang yang dibuat sendiri. Menurut Eric Fromm, cita-cita Marx adalah membebaskan manusia dari rantai ketergantungan, alienasi, dan perbudakan ekonomi.118 Syarat pembebasannya adalah dengan penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi.119 Marx mengklaim bahwa ajarannya bukan sekedar kerinduan etis maupun tuntutan moral, tapi berdasarkan analisis hukum perkembangan masyarakat, 118
Sosialisme Religius, Suatu Jalan Keempat? Muhiddin M. Dahlan, yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000, hal: xii. 119 Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta: Gramedia, 1992, hal 63.
83
ajarannya disebut Sosialisme Ilmiah. Berdasarkan analisis menggunakan metode dialektika Hegelian, Marx berpendapat bahwa masyarakat berubah melalui kontradiksi-kontradiksi tertentu. Di zaman perbudakan, konflik terjadi antara “tuan” dengan “budak”, pertentangan ini selesai dengan munculnya zaman feodalisme. Masa ini tidak lagi mengenal perbudakan tapi muncul konflik kelas baru antara “tuan tanah” dan “penggarap tanah”. Feodalisme diselesaikan dengan munculnya masyarakat perkotaan yang tidak lagi terkonsentrasi pada pertanian tapi beralih pada mesin-mesin industri, di sini muncul pertentangan kelas antara kaum pemilik modal atau kapitalis dengan kaum proletar yaitu buruh. Sintesis dari pertentangan ini menurut Marx adalah hancurnya kapitalisme dan munculnya komunisme.120 Tatanan masyarakat kapitalis akan runtuh dengan sendirinya karena kontradiksi yang terjadi dalam sistem tersebut. Marx melihat faktor ekonomi sebagai struktur dasar (Basic Structure) perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis, kontradiksi terjadi antara kaum buruh dengan pemilik alat produksi. Pertentangan ini memuncak karena kompetisi yang terjadi antar pemilik modal menyebabkan semakin tajamnya eksploitasi terhadap buruh. Karena merasa semakin ditindas, buruh bersatu melawan majikannya dan menguasai pabrikpabrik dijadikan milik bersama. Revolusi total itu juga merebut kekuasaan negara yang sebelumnya dikuasai dan menjadi alat kekuasaan kaum borjuis. Maka terbentuklah masyarakat tanpa kelas, yaitu masyarakat komunis.
120
Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosisalis, Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 1999, hal: 62-63.
84
Pemikiran Karl Marx dikembangkan oleh Vladimir Ilych Lenin, seorang pemikir sekaligus organisatoris asal Rusia. Jika Marxisme percaya pada dinamika perkembangan masyarakat terjadi lewat kemajuan ekonomi yang menimbulkan pertentangan kelas, dalam pandangan Lenin hal itu tidak cukup. Sebuah revolusi tidak akan muncul dengan sendirinya tapi harus digerakkan oleh elit revolusioner, yaitu partai komunis yang memegang monopoli kekuasaan. Lenin mempunyai beberapa perbedaan pemikiran dengan Marx, antara lain karena perbedaan latar belakang. Marx seorang sarjana dan ahli polemik sedangkan Lenin ahli organisasi dan praktisi politik. Karl Marx percaya pada keunggulan ekonomi terhadap politik sedangkan Lenin percaya pada keunggulan Politik atas ekonomi. Jika Marx menganut keyakinan bahwa semua negara pasti akan melalui tahapan-tahapan kapitalisme sebelum menjadi matang untuk revolusi komunis, Lenin berpandangan revolusi komunis harus dilakukan oleh pimpinan komunis dan kaum revolusioner profesional dengan cara menyerang serta menghancurkan sistem sosial dan politik dalam kondisinya yang paling lemah dalam negara-negara yang perekonomiannya belum maju, tanpa harus menunggu kapitalisme menjadi matang. Jika Marx mengharapkan revolusi komunis akan memunculkan diktator proletariat yang bersifat sementara, terdiri berbagai partai dan berfungsi menghancurkan sisa-sisa terakhir kapitalisme, maka diktator dalam konsep Lenin adalah diktator yang bersifat politik, Diktator Proletariat, diktator partai komunis atas kaum proletar.121
121
William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-Isme Dewasa Ini, Jakarta: Erlangga, 1987, hal: 25-27.
85
Dalam buku “Negara dan Revolusi”, Lenin menyatakan bahwa Diktator Proletariat bukan berarti meniadakan lembaga perwakilan maupun prosedurprosedur pemilihan yang bebas dan demokratis. Yang ditentang oleh Lenin adalah kekuasaan atau kediktatoran borjuis yang hanya menjadikan parlemen sebagai tempat untuk membengkakkan birokrasi negara borjuis dan ajang manipulasi para politisi elite.122 Bentuk diktator proletariat yang jadi acuan adalah Komune Paris tahun 1817. Meskipun hanya bertahan sebentar karena ditumbangkan oleh kaum borjuis, Komune Paris menjadi model ideal di mana kaum buruh memegang kekuasaan dengan didukung oleh kaum borjuis kecil. Komune Paris adalah sebuah milisi rakyat yang dipimpin oleh pejabat-pejabat yang dipilih dari jajaran kelas pekerja sendiri dan diawasi oleh sebuah sistem tersentralisir, terdiri atas wakil-wakil rakyat terpilih. Komune Paris menyatukan fungsi legislatif dan eksekutif. Wakil tersebut siap di recall oleh rakyat pemilihnya dan mendapat gaji tidak lebih besar dari gaji seorang buruh terampil. Kekuasaan dijalankan secara langsung oleh rakyat melalui pertemuan-pertemuan di tempat kerja maupun di tempat tinggal.123 Menjelang akhir Perang Dunia I, tepatnya bulan Maret 1917 rezim Tsar disingkirkan melalui revolusi tak berdarah dan dibentuk pemerintahan sementara dipimpin Alexander Kerensky. Namun Kerensky dinilai tidak mampu memahami hakekat komunisme dan gagal dalam menjalankan pemerintahan barunya. Pada bulan April 1917 Kaum Bolshevik yang dipimpin Lenin dan Trotsky menjatuhkan pemerintahan sementara dan berhasil merebut kekuasaan pada bulan November 122
Budiman Sudjatmiko, pengantar dalam Edi Haryadi, Lenin, Pikiran, Tindakan dan Ucapan,: Komunitas Studi Untuk Perubahan, 2000, hal: xv. 123 Budiman Sudjatmiko, Ibid, hal: xvii
86
1917. Setahun kemudian Bolshevik ganti nama menjadi Partai Komunis dan pada tahun 1922 Republik Soviet non Rusia seperti Polandia, Hongaria, Cekoslovakia, Bulgaria dan Rumania bergabung dalam kesatuan Serikat Republik-Republik Soviet Sosialis (Uni Soviet). Pada tahun 1923 Soviet dipimpin oleh Stalin. Untuk mengokohkan mental anggota partai, Stalin merumuskan sebuah ideologi yang disebut MarxismeLeninisme. Ideologi ini terdiri dari tiga bagian: filsafat; ekonomi politik; strategi dan taktik perjuangan sosialis. Bagian filsafat berisi dua point, Materialisme Dialektis yang menyatakan seluruh realitas adalah hasil perkembangan materi menurut hukum dialektika dan tidak ada tuhan, sedang yang kedua Materialisme Historis berisi ajaran tentang hukum perkembangan masyarakat sebagaimana ajaran Marx-Engels. Ajaran ekonomi politiknya juga diambil dari kritik Marx terhadap kapitalisme, sedangkan strategi dan taktik perjuangannya berisi ajaran Lenin tentang perjuangan partai dan revolusi.124 Sebagai ideologi, pemikiran-pemikiran Marx dan Lenin disederhanakan, diringkas, direduksi dan menuntut kepatuhan. Menurut Engels, istilah komunisme sebenarnya dipakai untuk menamakan pemikiran mereka tentang bagaimana membebaskan kaum tertindas dan untuk membedakan dari jenis sosialisme lainnya. Tapi komunisme yang dikenal kemudian adalah ajaran yang sepenuhnya bersifat ideologis, berfungsi sebagai “alat perang” untuk mencapai kemenangan. Semakin lama idologi makin mengeras dan sulit dikoreksi, penganutnya semakin
124
Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta: Gramedia, 1992, hal: 53
87
buta, menyederhanakan realitas dan lama-kelamaan kehilangan akal pikirannya sendiri.125 Pada awal tahun 90-an komunisme hancur, ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, robohnya patung-patung Lenin di seluruh penjuru Rusia dan satu persatu negara-negara yang tergabung dalam Uni Soviet memisahkan diri. Komunisme runtuh antara lain karena kegagalan sistem ekonomi sosialis yang dijalankannya gagal mewujudkan cita-citanya untuk mensejahterakan rakyat dan kurangnya penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam sistem sosialisme total, ekonomi perencanaan bersifat terpusat dan tidak ada kontrol yang demokratis sehingga menghasilkan inefisiensi, salah arus, sikap acuh tak acuh, malas, tidak mempunyai motivasi, terjadi hambatan birokratis, dan korupsi yang semakin melumpuhkan perekonomian.126 Sebab lain keruntuhan komunis adalah gagalnya implementasi diktator proletariat dalam bentuk partai tunggal. Sebenarnya diktator proletariat merupakan bentuk transisi dari penghilangan semua kelas sosial sehingga tercipta masyarakat tanpa kelas, partai inilah yang menentukan arah gerak masyarakat selanjutnya. Namun yang muncul kemudian adalah kelas sosial baru, yaitu kelas birokrat yang menjadikan negara sebagai perusahaan raksasa (Corporate State).
125
Bonnie Setiawan, Menyusuri Paradigma Alternatif Pasca Kapitalisme, Menimbang Tradisi Kiri, dalam Muhidin M Dahlan (ed), “Sosialisme Religius, Suatu Jalan Keempat?,” Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000, hal: 49 126 Franz Magnis-Suseno, Op. Cit, hal: 54
88
Intinya, komunisme hancur dalam perjalannya karena mengalami kontradiksi secara internal.127
2. Masuknya Komunisme di Indonesia Ideologi Komunis masuk ke Indonesia tahun 1913 dibawa oleh seorang tokoh Belanda bernama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, lahir di Rotterdam pada 13 Mei 1883. Sejak tahun 1902 ia telah aktif dalam partai politik, bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (SDAP) di Nederland sampai 1909. Setelah keluar, Sneevliet aktif dalam dunia perdagangan yang membawanya masuk ke wilayah Indonesia. Di Indonesia, Sneevliet tidak hanya menyebarkan ideologi komunis terbatas pada orang Belanda tapi juga kepada orang Indonesia.
Pada Tahun 1914 Sneevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) di kota Semarang, sebuah organisasi politik yang bertujuan mengembangkan gerakan komunis di Indonesia. Beberapa tokoh Belanda yang membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker, sedangkan di kalangan pemuda Indonesia ada Semaun, Alimin dan Darsono, mereka terdaftar sebagai anggota Central Sarekat Islam (CSI) Surabaya sejak 1915.128 Awalnya Semaun, Darsono dan Alimin adalah anak buah HOS Tjokroaminoto di dalam Sarekat Islam (SI), namun Sneevliet masuk ke dalam SI
127
M. Ihsan Abdullah, Sosial Demokrasi Kerakyatan: Jalan Menuju Revolusi Sejati, dalam Muhidin M Dahlan (ed), “Sosialisme Religius, Suatu Jalan Keempat?,” Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000, hal: 39 128 Jatuh Bangun Komunis di Indonesia, Bagian I (1902-1926): Lahirnya Partai Komunis Indonesia, Tempo Interaktif edisi 03-04-2000 / 23:40 WIB diambil dari http://www.tempo.co.id.
89
dengan membuat strategi memperbolehkan anggota SI masuk dalam ISDV tanpa harus menanggalkan keanggotaannya di SI dan sebaliknya anggota ISDV bisa masuk ke dalam SI.129 Kedekatan Semaun dan kawan-kawannya dengan Sneevliet membuat ketiganya memutuskan pindah ke Semarang dan mereka menjadi pimpinan SI Semarang. Semaun baru berusia sembilan belas tahun ketika naik menjadi ketua SI Semarang pada Mei 1917 menggantikan Moehammad Joesoef. Tampilnya Semaun ternyata merubah peta struktur dan pendukung SI Semarang, jika sebelumnya anggota SI didukung oleh kaum menengah dan pegawai negeri, di bawah pimpinan Semaun SI menjadi organisasi kaum buruh dan rakyat kecil, dan SI Semarang menjadi semakin radikal.
Menurut Soe Hok Gie, ada beberapa faktor yang menyebabkan radikalisasi massa SI Semarang. Pertama karena semakin melaratnya kehidupan rakyat akibat penjajahan Belanda, di mana para pemilik modal asing masuk ke Indonesia, membeli dan menyewa tanah dan sawah penduduk, sementara penduduk hanya menjadi kuli secara massal. Kedua, semakin meluasnya areal perkebunan tebu untuk mendukung industri gula menyebabkan areal persawahan semakin sempit. Akibatnya produksi beras yang menjadi makanan pokok penduduk jawa semakin berkurang. Ketiga, kaum pergerakan kecewa terhadap kebijakan Gubernur van Limburg Stirum karena “Dewan Rakyat” (Volksraad) yang dibentuknya hanya
129
Markonina Hartisekar dan Akrin Isjani Abadi, Mewaspadai Kuda Troya Komuisme di Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Sarana Kajian, 2001, hal: 73
90
berfungsi sebagai “penasehat kekuasaan”, bukan sebagai dewan legislatif seperti yang diharapkan.130
Kedekatannya dengan Sneevliet membuat sikap dan prinsip anggota SI Semarang makin condong ke kiri dan radikal sehingga menyebabkan hubungan mereka dengan anggota SI lainnya mulai renggang. Saat kongres SI ketiga di Bandung, Semaun menentang agama sebagai dasar pergerakan SI, akibatnya SI pecah menjadi SI Merah dan SI Putih. SI Putih dipimpin HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Muis, sedangkan SI Merah dikepalai Semaun dan temantemannya.
Pemerintah Hindia Belanda melihat ISDV semakin radikal dan akhirnya menangkap serta mengusir Sneevliet dari Indonesia. Peristiwa ini awalnya dipicu oleh artikel Sneevliet dalam koran De Indier tentang revolusi Rusia yang berhasil menggulingkan kekuasaan Tsar. Isi artikel tersebut dianggap menghasut rakyat dan mendiskreditkan pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah yang sewenang-wenang. Akhirnya Sneevliet diajukan ke pengadilan dan divonis bersalah sehingga harus dibuang.131 Setelah pemimpin-pemimpin ISDV diusir dari Indonesia, Semaun mengambil alih pucuk pimpinan. Dari pembuangannya Sneevliet menganjurkan agar ISDV menjadi anggota Komintern (komunisme Internasional) dengan syarat antara lain secara terang-terangan memakai nama partai komunis dan menyebut nama negara. Pada 23 Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, partai ini 130
dalam Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosisalis, Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 1999, hal: 90-92. 131 Ibid, hal: 94
91
mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaun masih menjabat sebagai ketua. 132
Tokoh lain yang tak kalah perannya adalah Tan Malaka. Saat usia 16 tahun, Tan dikirim ke Nederland dan kembali ke Indonesia Tahun 1919 lantas bekerja sebagai guru pada sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah yang dilihatnya di perkebunan menimbulkan semangat radikal pada diri Tan muda. Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu Semaun. Oleh Semaun, ia diserahi tugas membina dan mengajari generasi muda setempat dengan paham komunisme di sebuah sekolah yang di kemudian hari diberi nama 'Sekolah Tan Malaka'. Saat kongres PKI tanggal 24-25 Desember 1921 Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai, dan Januari 1922 ditangkap lantas dibuang ke Kupang. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia lantas mengembara ke Berlin, Moskow dan Nederland.
Pada masa selanjutnya radikalisasi PKI makin tampak. Pada tahun 1926, PKI yang dipimpin Muso melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda dengan cara mendatangi rumah-rumah penduduk, lalu pemilik rumah disuruh membeli karcis. Mereka yang memegang karcis ditunjuk untuk melakukan huruhara pada tanggal 12-13 November 1926 antara lain menyerang Penjara Glodok dan Salemba serta rumah Gubernur Jenderal Van Limburg. Peristiwa sejenis juga terjadi di tempat lain seperti Banten, Bandung dan Kediri. Tapi gerakan mereka di Banyumas, Pekalongan dan Kedu tidak terlaksana. Pemerintah Hindia Belanda
132
Ibid, hal: 96
92
langsung mengambil tindakan tegas, pada tanggal 1 Desember 1926 para pemegang karcis merah dari Tanah Abang dan Karet yang berjumlah 106 orang digiring ke kantor Kabupaten di Gambir. Muso sendiri lari ke Rusia setelah sebelumnya berada di Singapura bersama Alimin.133
Ada versi lain mengenai pemberontakan PKI tahun 1926 yang sampaikan oleh Bung Hatta. Menurutnya rencana pemberontakan itu sempat diperdebatkan di kalangan pengurus PKI, semua yang hadir setuju kecuali Tan Malaka. Akhirnya, diutus Alimin dan Muso untuk minta pendapat ke Moskow. Bukannya mendapat persetujuan, Stalin malah memaki dan bilang, "Dasar kamu orang gila. Cepat pulang ke Indonesia dan batalkan rencana pemberontakan itu." Belum sampai kedua orang utusan tadi di Indonesia, pemberontakan sudah meletus.134
3. Kondisi Sosial Politik Sebelum Gerakan 30 September
3.1. Peristiwa Madiun 1948
Sebelum peristiwa G30S tahun 1965, PKI menjadi sorotan karena kaitannya dalam Peristiwa Madiun 1948. Dalam buku putih yang terbitkan Sekretariat Negara tahun 1994 disebutkan bahwa peristiwa Madiun adalah pemberontakan PKI.135 Peristiwa Madiun dipicu oleh kebijakan kabinet Hatta yang akan
133
Jatuh Bangun Komunis di Indonesia, Bagian I (1902-1926): Lahirnya Partai Komunis Indonesia, Tempo Interaktif edisi 03-04-2000 / 23:40 WIB diambil dari http://www.tempo.co.id. 134 Ibid. 135 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 19-20
93
melakukan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Perang (Re-Ra), tujuannya adalah membersihkan unsur komunis dari tubuh Angkatan perang. Maka PKI menentang kebijakan tersebut dan berusaha keras menggagalkannya.
Dalam versi Orde Baru sebagaimana ditulis dalam buku putih, disebutkan bahwa PKI menghimpun seluruh golongan kiri yang menentang Re-Ra seperti Partai Sosialis Sayap Kiri, Partai Buruh, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam wadah Front Demokrasi Rakyat (FDR). Tokoh-tokoh kumunis kemudian mengadakan aksi di Yogyakarta, Solo, Sragen dan Madiun berupa pidato-pidato yang membakar emosi massa, menghasut dan mengumbar janji muluk-muluk. PKI juga melakukan aksi kerusuhan, kekerasan dan teror bersenjata. Dalam versi ini disebutkan, Panglima Divisi IV/ Panembahan Senopati Kolonel Soetarto dibunuh oleh kaum komunis karena tidak setuju dengan rencana peberontakan PKI, dan pembunuhan lain juga terjadi pada dr. Muwardi, pimpinan Barisan Banteng.136
Pada tanggal 17 September 1948 pasukan yang menentang Re-Ra karena hasutan PKI mulai melakukan serangan terbuka terhadap posisi TNI. Keesokan harinya ketika semua perhatian tertuju ke Solo, di Madiun meletus tiga kali tembakan sebagai tanda dimulainya pemberontakan PKI. Dengan didukung oleh satu brigade FDR/PKI di bawah pimpinan Sumarsono dan Kolonel Djojosujono, kaum komunis merebut kekuasaan di Madiun dan memproklamasikan berdirinya
136
Ibid, hal: 21
94
“Soviet Republik Indonesia”.137 Pasukan PKI lantas merebut obyek-obyek vital seperti kantor-kantor pemerintah, markas polisi milter, bank, serta kantor pos dan telepon. Dalam versi ini juga disebutkan bahwa PKI juga melalukan penyiksaan dan pembunuhan secara kejam diluar batas kemanusiaan terhadap pejabat, tokoh dan warga setempat yang anti PKI.
Tapi ada pandangan lain mengenai peristiwa Madiun, misalnya ilmuan barat bernama Wertheim. Ilmuan ini melihat peristiwa Madiun lebih sebagai konflik internal Angkatan Darat. Dalam kesimpulannya, Wertheim menilai apa yang dinamakan pemberontakan Madiun itu mungkin sekali telah diprovokasi oleh unsur-unsur anti komunis. Peristiwa Madiun mungkin merupakan sebagian dari gejala adanya gerakan umum dan luas oleh pemerintah yang bertujuan untuk membabat kekuatan militer PKI.138 Sebab Jawa Timur dan Jawa tengah adalah basis massa PKI, di kedua daerah ini PKI mempunyai pengikut yang tidak kecil, baik di kalangan massa rakyat maupun dalam kesatuan-kesatuan bersenjata, khususnya TNI. Bahkan Wertheim, Kahin dan David Anderson menyimpulkan bahwa peristiwa Madiun bukan merupakan suatu percobaan golongan kiri untuk menciptakan revolusi total di Indonesia, tapi sebagai bagian dari perjuangan antara kesatuan pedesaan Jawa yang bertekad mempertahankan suatu tentara massa rakyat dan komando tinggi juga menentukan unit-unit lapangan di bawah kendali pusat yang lebih besar.139
137
Ibid, hal: 21-22 Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Sukarno, Yogyakarta: Lembaga Analisis Informasi, 2003, hal: 22 139 Ibid. 138
95
Menurut M.R Siregar, peristiwa Madiun dipicu oleh dua hal, rasionalisasi pemerintah terhadap jumlah tentara dan instruksi-instruksi rahasia pemerintah Amerika Serikat.140 Tujuan rasionalisasi adalah membentuk tentara profesional, berjumlah kecil dan mempunyai disiplin tinggi, tujuan lainnya adalah mengurangi jumlah pengeluaran akibat devisit anggaran yang dialami pemerintah.141 Rencana pemerintah Hatta ini sejalan dengan rencana pemerintah Amerika Serikat yang ingin melikuidasi kaum komunis di Indonesia. Dalam pertemuan Sarangan 21 Juli 1948 yang dihadiri Gerald Hopkins, Merle Cochran (pihak AS) dan Soekarno, Hatta, Natsir, Sukiman, Soekamto dan Mohamad Roem (pihak Indonesia), salah satu hasilnya adalah usulan AS untuk mengeliminasi anasir-anasir komunis dari tubuh militer. Kabarnya Pemerintah Indonesia menerima bantuan 10 juta Dollar untuk melaksanakan usulan itu.142
Salah satu bentuk implementasinya adalah membebastugaskan Kolonel Soetarto, seorang simpatisan PKI dari Divisi IV dan anak buahnya diperintahkan untuk melaporkan diri ke Mabes TNI Yogyakarta. Namun Kolonel Sutarto menolak keputusan tersebut dan tanggal 2 Juli dia ditemukan tewas tertembak. Pada tanggal 1 September 1948 dua orang kader PKI juga diculik. Untuk mengusut peristiwa ini, Kepala Staf divisi IV mengutus lima orang tentara simpatisan PKI, namun kelima tentara dan satu orang lainnya tidak kembali. Pihak yang dicurigai sebagai penculik adalah Divisi Siliwangi karena sepeda dari
140
M.R. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, kasus Indonesia, Sebuah Holokaus yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, England: TAPOL, hal: 26. 141 Ibid. Hal: 27 142 Tim ISAI, Bayang-Bayang PKI, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1995 hal: 56
96
salah satu orang yang hilang ditemukan di Srambatan, Markas Besar Siliwangi.143 Pada tanggal 13 September, PKI memberi dead line hingga pukul 14.00 untuk memperoleh kepastian di mana anggotanya yang hilang berada.
Situasi selanjutnya menjadi semakin tegang, konflik bersenjata antara pasukan dari Divisi IV yang mayoritas simpatisan PKI dan Divisi Siliwangi tak terelakkan. Saat situasi tegang tersebut Samadikun sebagai Residen Madiun tidak ada di tempat sedangkan Walikota Madiun sedang sakit. Apalagi saat itu beredar isu bahwa pasukan Siliwangi yang di Solo juga menuju Madiun untuk menyerang Divisi IV yang tidak mentaati kebijakan pemerintah tentang ‘rasionalisasi’ jumlah tentara.144 Berdasarkan penilaian terhadap situasi provokatif tersebut, Muso dan Amir Syarifuddin mengumumkan pengangkatan Wakil Walikota Madiun Supardi yang merupakan orang FDR/PKI sebagai Wakil Residen sementara Madiun untuk mengatasi situasi yang semakin tidak menentu.145 Namun pemerintah pusat melihat apa yang terjadi di Madiun secara berbeda. Presiden Soekarno pada tanggal 19 September mengumumkan bahwa di Madiun telah berdiri sebuah pemerintahan model Soviet di bawah pimpinan Muso. Hal ini merupakan pembenaran
bagi
kekuatan
pemerintahan
Hatta
untuk
mendeklarasikan
pemadaman pemberontakan terhadap pemerintah yang sah.146
Goerge Mc Kahin menyatakan bahwa peristiwa Madiun telah memotong habis unsur komunis dari tubuh militer sebagaimana yang diinginkan pihak AS.
143
M.R. Siregar, Op Cit, hal: 30. Ibid. Hal: 36. 145 Tim ISAI, Op Cit, hal:57. 146 Ibid. 144
97
Berdasarkan penelusuran terhadap bukti yang ada, Malcom Caldwell dan Ernst Utrech menyatakan tidak menemukan bukti maupun dokumen tertulis atau risalah rapat-rapat tentang adanya rencana kudeta oleh para pemimpin komunis meskipun seandainya pengadilan membuktikan adanya rencana tersebut.147 Menurut M.R. Siregar, berita tentang pengibaran bendera Soviet dan penurunan bendera merah putih sebenarnya tidak terjadi, korban yang meninggal juga hanya beberapa orang dan tidak ada tahanan baru akibat peristiwa madiun sebagaimana diberitakan oleh pemerintah.148
1.0. Kebangkitan PKI
Setelah runtuh dan menjadi partai terlarang akibat peristiwa Madiun, PKI muncul kembali dalam pentas politik nasional atas izin pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 berdasarkan surat keputusan tertanggal 4 Februari 1950. PKI menjelma menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan sebab dalam waktu singkat telah mempunyai jumlah pengikut yang besar sebagaimana tergambar dari perolehan suara dalam pemilu tahun 50-an, yakni masuk dalam empat partai besar. Hal yang menarik untuk dikaji adalah kenapa dalam waktu sebentar PKI telah bangkit kembali, bahkan menjadi lebih besar dibandingkan pada masa 1948. Jika partai besar lainnya mengalami penurunan jumlah suara, PKI justru mengalami peningkatan dalam pemilu 1955 dan 1957. Di
147 148
Ibid, hal:58 M. R. Siregar, Op Cit. Hal: 39.
98
Jawa Timur dan Jawa Tengah, PKI menerima tambahan 404.925 dan 680.757 suara.149
Belajar dari kegagalan tahun 1948, PKI melakukan beberapa pembenahan. Pertama melaksanakan taktik jalan damai dengan membentuk Front Nasional di mana PKI bekerjasama dengan kelompok lain yang sejalan atau minimal tidak memusuhinya secara terbuka. Jalan kedua adalah dengan memenangkan pemilu, di mana PKI menggalang massa sebanyak-banyaknya terutama kaum petani dan buruh, Petani menjadi kunci utama PKI dalam menggalang massa.150 Arbi Sanit mencatat beberapa strategi yang dipakai PKI sehingga mampu menggalang massa dan muncul sebagai partai besar.151 Pertama, perombakan status tanah. Melihat kondisi masyarakat setempat yang kekurangan lahan pertanian, PKI lantas mengeksploitir kondisi tersebut. Pada tahun 1953 PKI tampil dengan slogan “tanah buat petani dan petani memiliki tanah sendiri”. Kampanye ini diikuti dengan tindakan-tindakan nyata yang menguntungkan petani seperti menguasai tanah perkebunan dan hutan-hutan reboisasi, PKI juga berusaha mempertahankan tanah-tanah yang sudah diserobot petani. Usaha ini juga ditindaklanjuti dengan mengorganisir petani, membagikan pupuk, bibit dan alat yang murah, perbaikan saluran air dan lainnya.
149
Arbi Sanit, Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan Politik PKI Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal: 72-73. 150 Aidit mengatakan: “Tanpa partisipasi petani, Front Persatuan Nasional organ PKI dalam fase Revolusi Nasional Demokratis, sebelum meningkat kepada Revolusi Rakyat Demokratis tidak mungkin kuat dan berkuasa. Tanpa partisipasi petani, Front Persatuan paling-paling hanya dapat menarik 20 sampai 30 persen rakyat … karena itu Front Persatuan Nasional yang kuat berkuasa adalah Front Nasioanl yang mendasarkan kekuatannya kepada kerjasama antara buruh dan petani.” Dalam Arbi Sanit, Ibid, hal: 71 151 Ibid, hal: 130-146.
99
Kedua, perbaikan upah buruh. Selain petani miskin, di desa juga banyak petani yang tidak mempunyai lahan sendiri dan bekerja dan menggantungkan diri pada pemilik tanah perorangan. Persoalan yang dihadapi golongan ini adalah rendahnya upah kerja karena banyaknya jumlah buruh tani, padahal mereka sangat tergantung pada upah tersebut. PKI menarik simpati buruh dengan menjanjikan peningkatan upah dan kesejateraan bagi mereka. Petani digerakkan melalui aksi mogok dan aksi sepihak, petani juga dianjurkan untuk tidak menyetorkan hasil pertanian kepada pemilik tanah.
Ketiga, pembagian hasil yang menguntungkan. Pada Konferensi Nasional Tani PKI pada bulan April 1958, Njoto menuntut dilaksanakannya gerakan 6:4, jika hasil pertanian mencapai 10 kwintal, maka 6 kwintal menjadi hak pemilik lahan sedang penggarap mendapat bagian 4 kwintal. Pada tahun 1960 pemerintah mengesahkan Udang-Undang Pokok Agraria, salah satu isinya adalah menyangkut pembagian hasil. Maka undang-undang ini menjadi dasar legalisasi PKI untuk melaksanakan kampanye pembagian hasil pertanian, namun tidak lagi 6:4 tapi pembagian yang sama antara petani dan buruh, yakni 1:1. PKI juga meyakinkan petani untuk tidak takut menuntut hak-haknya.
Keempat, gerakan koperasi di kalangan petani. Melalui koperasi produksi, petani dapat menyalurkan hasil produksi yang akan dijual ke kota. Dengan koperasi ini maka petani terhindar dari tengkulak dan tukang ijon. Melalui koperasi petani juga bisa memperoleh pupuk, alat pertanian, bibit dan kebutuhan
100
pertanian lainnya dengan harga pantas. Selain itu, koperasi yang dibentuk oleh PKI juga menyediakan kredit bagi kebutuhan sehari-hari petani.
3.3. Konflik Pada Tingkat Elite Politik Demokrasi parlementer yang diterapkan pada tahun 1950-an merangsang munculnya berbagai partai dengan beragam ideologi serta aspirasi yang dibawa masing-masing kelompok. Namun iklim kebebasan yang ada saat itu juga merangsang konflik dalam parlemen untuk berebut pengaruh dalam kabinet. Masing-masing kelompok saling berebut untuk masuk dalam struktur kabinet, hal ini ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet pemerintahan karena persaingan yang ketat dalam parlemen. Tak kalah menarik adalah peran militer dalam panggung politik Indonesia saat itu. sebenarnya peran politik TNI sudah ada pada masa perang kemerdekaan, di mana tentara bersama rakyat bergerilya melawan penjajah. Setelah merdeka, peran tentara masih dibutuhkan karena kondisi keamanan belum stabil dan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI) dari pemberontakan di beberapa daerah. Kondisi ini pada akhirnya membuat militer enggan untuk meninggalkan wilayah politik seutuhnya, sebab militer merasa ikut bertanggung jawab terhadap kondisi sosial politik negeri ini. Sebagai pembenar campur tangan militer dalam politik, Letjen A.H. Nasution yang saat itu menjabat KASAD merumuskan konsep “Jalan Tengah”, di mana militer tidak akan mencari kesempatan untuk mengambil alih pemerintahan, namun juga tidak akan bersikap acuh tak acuh terhadap politik. Selain itu, tentara
101
juga menuntut hak mereka untuk tetap duduk dalam pemerintahan, lembaga perwakilan serta administrsi.152 Lambat laun keterlibatan militer dalam politik semakin intensif, bahkan militer juga merambah dunia ekonomi dengan masuk dalam jajaran pimpinan perusahaan milik negara. Ketika demokrasi parlementer memunculkan berbagai partai, tentara juga ikut bersaing menuju puncak kekuasaan, atau minimal duduk sejajar dengan Bung Karno dengan merebut pengaruhnya. Penerapan sistem demokrasi liberal saat itu dianggap gagal sebab tidak satu partai pun yang bisa bertahan lama dalam pemerintahan, salah satu penyebabnya adalah tidak ada partai mayoritas dalam parlemen. Empat partai besar yakni Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai kursi yang hampir sama dalam parlemen.153 Presiden Soeakarno mengganti sistem tersebut dengan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sistem ini berpusat pada Soekarno dan berlandaskan dua pilar utama: Angkatan Darat dan PKI, dan Soekarno harus terus menjaga keseimbangan kekuasaan dua pilar tersebut.154 Namun perimbangan kekuatan ini bukannya tanpa masalah sebab ada perbedaan pandangan antara Soekarno dengan Angkatan Darat (AD). Soekarno merasa terancam dengan sikap AD yang tidak menyukai PKI, sebaliknya Soekarno tidak melihat PKI sebagai ancaman tapi sebagai kawan, sebab Bung Karno butuh kekuatan untuk mengimbangi kekuatan Angkatan Darat. PKI berhasil mendekati
152
Harold Crouch, Mliter & Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1999, hal: 21. Hermawan Sulistyo, Palu arit di Ladang Tebu, Jakarta: Gramedia 2001, hal: 15 154 Ibid. 153
102
Bung Karno karena dinilai bisa menafsirkan slogan revolusionernya dan sebaliknya Bung Karno juga butuh pendukung.155 Usaha untuk mengembangkan kekuasaan dan perhitungan kekuatan antara AD dan PKI terus berlangsung sepanjang masa tersebut. Konflik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia membuka peluang bagi TNI (terutama AD) untuk menanamkan kekuasaan melalui undang-undang darurat perang. Melalui undangundang tersebut militer mempunyai kekuasaan penuh di beberapa daerah untuk menetapkan situasi darurat dan mempunyai kekuasaan yang hampir tanpa batas untuk melakukan tindakan “pengamanan”.156 Kedudukan Angakatan Darat makin diperkuat dengan suksesnya pembebasan Irian Barat. Keberhasilan tersebut menambah kekuatan politik tentara, ini tercermin dari lembaga-lembaga yang didirikan dan semakin banyak anggota dari Angkatan Darat masuk dalam kabinet. Hampir sepertiga dari keseluruhan jumlah menteri saat itu berasal dari Angkatan Darat. Militer juga mempunyai wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Sementara yang baru dibentuk, dan pada tahun 1960 sebanyak lima orang dari militer menjabat sebagai gubernur daerah. Pada sisi lain, karena tidak memungkinkan untuk merebut kekuasaan secara langsung, PKI memperkuat posisinya dengan menempuh jalan parlementer dan menyesuaikan organisasinya dengan segala bentuk permainan yang ada saat itu, yakni dengan menekankan pada kuantitas basis massa, bukan kualitasnya.157 PKI
155
Nazaruddin Syamsuddin, Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan, Jakarta:CV.Radjawali, 1988, hal:26 156 Harold Crouch, Op. Cit, hal: 48-49 157 Ibid. Hal: 51
103
menjadi partai dengan jumlah pengikut cukup besar dan mempunyai perwakilan di badan-badan penting negara serta mempunyai hubungan dekat dengan presiden. Untuk mengimbangi Angkatan Darat, PKI mengusulkan dibentuknya Angakatan Kelima yang terdiri dari golongan buruh dan petani. Meskipun secara tidak langsung Bung Karno menyetujui usulan ini, Angkatan Darat menolak usulan ini secara terang-terangan, sebab angkatan baru tersebut akan menyaingi kekuatan tentara dan mengurangi dominasi persenjataanya. Pada sisi lain TNI juga khawatir Angkatan Kelima akan semakin memperkuat posisi PKI, sebab Buruh dan petani adalah basis massa PKI. Pada akhirnya angkatan kelima itu memang tak pernah terbentuk.
3.4. Konflik Sosial Dalam Land Reform Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 Rancangan Undang-Undang Agraria yang telah disetujui DPR-GR disahkan menjadi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pelaksanaannya dikenal dengan istilah Land Reform. Program ini menyangkut beberapa pihak: pertama, negara sebagai institusi pemegang mandat pembaharuan agraria dan sekaligus sebagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber-sumber agraria. Kedua, petani dan buruh tani, para penggarap yang tidak memiliki tanah atau menguasai tanah dalam jumlah kecil. Ketiga, golongan tuan tanah atau pemilik tanah dalam jumlah besar yang di antaranya
104
adalah golongan agama. Keempat, kekuatan politik baik yang menerima maupun menolak Land Reform.158 Tujuan Land Reform adalah mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil, dengan cara merombak struktur pertanahan secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial. Tujuan lainnya adalah untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan penguasaan tanah secara besar-besaran dan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk setiap keluarga. Dengan demikian, UUPA berusaha mengikis sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.159 Pada sisi lain, setelah peristiwa Madiun 1948, PKI mengalami perubahan orientasi dengan menggalang massa dari kaum petani. Jika sebelumnya partai tersebut memfokuskan diri pada kaum buruh, maka dalam Kongres Nasional V PKI melihat pentingnya aliansi antara buruh dengan petani dalam revolusi sosialis. Partai tersebut mengubah orientasi gerakan yang semula difokuskan pada kaum buruh menjadi lebih difokuskan pada kaum tani. Berdasarkan rekomendasi Kongres, PKI berkepentingan untuk menggarap bidang agraria. Revolusi agraria merupakan inti dari revolusi demokratik rakyat Indonesia.160
158
Dadang Juliantara, Teologi Agraria, Etika dan Politik bagi Jalan Keadilan Agraria, dalam Muhidin M Dahlan, Sosialisme Religius, Suatu Jalan Keempat? Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000, Hal: 74 159 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Ansist, Konsorsium Pembaruan Agraria & Pustaka Pelajar, 1999, hal: 75-76. 160 Ibid, hal: 134
105
Pelaksanaan Land Reform berjalan lambat karena pelaksanaan administrasi yang buruk, korupsi dan oposisi dari pihak tuan tanah dalam bentuk manipulasi.161 Lambatnya realisasi UUPA menimbulkan ketegangan pada level bawah. Sebagai pendukung UUPA, PKI menjadikan undang-undang tersebut sebagai alat politik untuk menggalang kekuatan dari golongan petani dan buruh tani. PKI menilai pelaksanaan program tersebut terlalu lambat, dan PKI bersama Barisan Tani Indonesia (BTI) mengambil inisiatif untuk melaksanakan pembagian tanah sesuai dengan undang-undang. Peristiwa ini dikenal dengan Aksi Sepihak yang ditujukan kepada pihak-pihak yang menentang pelaksanaan UUPA. Konflik di tingkat bawah terjadi antara buruh tani yang menghendaki distribusi tanah secepatnya seperti diatur oleh undang-undang dengan pemilik tanah yang berusaha mempertahankan kepemilikan tanahnya. Persoalan menjadi lebih rumit karena Land Reform menjadi propaganda PKI untuk menggalang massa petani sebanyak-banyaknya berhadapan dengan pemilik tanah. Peta konfik saat itu cukup rumit sebab ada beberapa pemilik tanah tersebut (terutama di Jawa Timur) adalah para kiai, dan tanah merupakan aset penting bagi pesantren.162 Konflik yang terjadi selanjutnya bukan semata konflik kelas antara tuan tanah dengan buruh tani, tapi melebar menjadi konflik horisontal antara petani yang menuntut pembagian tanah dan para santri pengikut kiai yang berusaha mempertahankan tanahnya untuk pesantren. Konflik dalam Land Reform di Jawa Timur terjadi karena tanah yang dimiliki oleh kiai masuk dalam daftar tanah yang harus didistribusikan. Banyak 161 162
Ibid, hal: 123 Hermawan Sulistyo, Op.cit, hal: 145.
106
kiai yang sekaligus sebagai pemilik tanah yang kaya, di lain pihak, tanah adalah aset pesantren. Ini salah satu sumber permasalahan dalam Land Reform sebab dalam UUPA tanah yang dimiliki oleh lembaga agama seperti pesantren dan masjid terbebas dari program Land Reform. Karena kiai adalah pusat kehidupan dalam pesantern, maka sulit memisahkan antara aset pesantren dengan kekayaan pribadi kiai. Dalam banyak kasus, kiai maupun donatur dari luar pesantren menyumbangkan tanahnya sebagai aset pesantren, tanah tersebut disebut tanah wakaf.163 Namun dalam prakteknya sulit membedakan antara tanah pribadi milik kiai dengan tanah wakaf. Menurut Hermawan Sulistyo, banyak kiai yang mengalihkan status tanah pribadi milik mereka menjadi tanah wakaf masjid dan pesantren sebagai strategi untuk menghindari Land Reform. Cara lain adalah dengan membagikan sebagian tanah pribadi mereka kepada anggota keluarga dan kerabat.164 Masalah ini sebenarnya jauh lebih rumit. Secara kelembagaan, kekayaan kiai tidak dapat dipisahkan dari pesantrennya. Seringkali terjadi jika seseorang menyumbangkan tanah kepada pesantren, tanah wakaf tersebut dikuasai sepenuhnya oleh kiai sebagai pemilik pesantren dan kiai yang menentukan pengelolahannya. Dalam banyak kasus, kiai juga menggunakan tanah pribadi miliknya untuk membantu pesantren. Pada beberapa pesantren, para santri menggarap tanah kiai dengan suka rela sebagai pengganti biaya pendidikannya. Hubungan antara kiai dengan santri melebihi hubungan patron-client biasa. Santri mempunyai kepatuhan luar biasa
163 164
Ibid, hal:145 Ibid, hal:146
107
terhadap kiai, sebuah kepatuhan tanpa syarat, bahkan rela berkorban nyawanya demi membela kiai. Di lain pihak, dalam analisisnya PKI menempatkan tuan tanah sebagai salah satu dari “Tujuh Setan Desa”. Karena banyak kiai mempunyai tanah yang luas, maka secara implisit para kiai masuk dalam kategori tersebut. Ini merupakan tantangan secara langsung terhadap komunitas santri dan petani yang mempunyai hubungan langsung maupun tak langsung dengan kiai dan pesantren. Dalam kesadaran masyarakat seperti ini, konflik yang terjadi bukan konflik vertikal antara tuan tanah dengan kaum buruh tani sebagaimana diharapkan PKI, tapi konflik horisontal dalam satu kategori kelas yang sama, antara buruh tani dengan pengikut kiai yang mempunyai kepatuhan tinggi (taqlid) terhadap kiai pimpinan mereka.165 Menurut Rex Mortimer, masalah ini menyebabkan masuknya semangat agama dalam konflik tanah. Misalnya kelompok NU menuduh PKI dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum muslim dituduh menggerakkan pengikutnya untuk mengganyang “kaum atheis” dan mempertahankan milik mereka atas nama Allah.166 Konflik-konflik disertai kekerasan banyak terjadi akibat Aksi Sepihak yang dilakukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut secepatnya. Misalnya di daerah Kediri Jawa timur pada bulan Agustus 1965 seorang guru sekolah dasar yang bernama Giat memimpin aksi sepihak di desa Adan-Adan, keesokan harinya ribuan anggota NU dan Ansor dengan bersepeda serta bersenjata tajam menyerbu 165 166
Ibid, hal:147 Ibid
108
desa tersebut dan keributan baru berakhir keesokan harinya. Mereka membakar rumah Giat serta rumah anggota PKI lainnya.
2. Gerakan 30 September dan Beberapa Implikasinya 4.1. Gerakan 30 September dan TAP Nomor XXV/MPRS/1966 Puncak ketegangan terjadi ketika beberapa Jenderal dari Angkatan Darat tewas akibat sebuah aksi yang menamakan diri “Gerakan 30 September” (G30S). Pada 1 Oktoeber 1965 gerakan tersebut mengadakan siaran lewat RRI yang telah dikuasai dan menyatakan bahwa gerakan tersebut ditujukan kepada para jenderal yang menjadi anggota Dewan Jenderal dan akan merebut kekuasaan Bung Karno. Lalu G30S mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai sumber segala kekuasaan dalam negara RI. Akibat penculikan tersebut pimpinan Angkatan Darat menjadi lowong dan diambil alih oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto. Karena Presiden Soekarno berada di Halim yang dikuasai G30S, Soeharto tidak bisa minta petunjuk darinya. Lantas Soeharto memutuskan untuk segera menumpas gerakan tersebut. Setelah keadaan berhasil dikuasai kembali, pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang langsung oleh Presiden Soekarno dan pelaksanaan sehari-hari dipercayakan kepada Mayjen Pranoto Reksosamudro, sementara Mayjen Soeharto diangkat menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dalam Sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965, presiden tidak membenarkan G30S dan pembentukan Dewan Jenderal. Presiden Soekarno juga
109
menyatakan bahwa hal semacam itu biasa terjadi dalam revolusi. Lebih lanjut presiden membuat kebijakan bahwa aspek politik kejadian tersebut diselesaikan sendiri oleh Bung Karno sedang aspek militer diserahkan kepada Mayjen Pranoto. Dalam versi Orde Baru dan diterima secara luas, dalang G30S adalah PKI. Karena penyelesaian politik sebagaimana dijanjikan Bung Karno tidak terwujud, muncul aksi demonstrasi yang menuntut agar PKI dibubarkan. Aksi tersebut menimbulkan konflik antara pendukung PKI dan demonstran. Maraknya tuntutan pembubaran PKI dan pada sisi lain kondisi ekonomi yang semakin merosot membuat situasi keamanan dan ketertiban semakin gawat. Untuk mengatasinya Presiden Soekarno membuat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberi mandat kepada kepada Soeharto, tujuannya adalah untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam menstabilkan keamanan dan ketertiban. Berdasarkan Supersemar, tanggal 12 Maret 1966 Soeharto membubarkan PKI dan semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Alasannya, PKI telah melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman, bahkan telah dua kali melakukan penghianatan terhadap negara dan rakyat Indonesia. Dalam Sidang Umum MPRS tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 dihasilkan beberapa ketetapan, antara lain TAP Nomor IX/MPRS/1966 tentang pengukuhan Supersemar sehingga tidak bisa dicabut oleh presiden. Ketetapan lainnya adalah TAP Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta larangan untuk penyebaran ideologi komunis di seluruh wilayah Indoensia. Sejak dikeluarkannya Supersemar, kekuasaan Bung Karno terus melemah sampai akhirnya pada tahun 1967 MPRS mengeluarkan Tap Nomor XXXIII/MPRS/1967
110
tentang pencabutan kekuasaan Bung Karno dan menetapkan Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
4.2. Dalang Gerakan 30 September Masalah yang oleh beberapa kalangan dianggap belum terungkap secara tuntas sampai sekarang adalah siapa sebenarnya yang ada di balik Gerakan 30 September (G30S). Dalam versi resmi pemerintah Orde Baru, dalangnya adalah PKI. Di luar wacana resmi produk Orde Baru, ada beberapa tesis mengenai siapa yang terlibat dan menjadi dalang G30S.167 Pertama, PKI sebagai dalang. Versi ini merupakan sejarah resmi yang dibangun berdasarkan alasan-alasan yang mudah dilihat. Berdasarkan sejarah tahun 1948 mengenai pemberontakan di Madiun, versi ini berpendapat bahwa PKI secara sistematis telah membangun kekuatannya dengan cara imfiltrasi dan indoktrinasi terhadap kekuatan militer pro komunis untuk memberontak. Fakta pendukungnya adalah PKI telah membentuk Biro Khusus (tokoh kuncinya adalah Sjam) sebagai penghubung antara Comite Central (CC-PKI) dengan kalangan militer yang terlibat dalam peristiwa G30S. Menurut Harold Crouch versi ini tidak sepenuhnya salah. Paling tidak, ada beberapa pemimpin PKI memang terlibat dalam peristiwa tersebut namun derajat keterlibatan serta motivasinya masih bisa dipertanyakan.
167
Disarikan dari Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Jakarta: Gramedia 2001, hal: 4761 dan Tim ISAI, Bayang-Bayang PKI, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1995 hal: 17-38. dan Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal: 112-134.
111
Kedua, G30S merupakan masalah internal AD. Versi ini berdasarkan fakta bahwa mereka yang menculik dan yang diculik adalah adalah personel AD, tidak ada orang sipil yang terlibat dalam peristiwa ini. Dari hasil Mahmillub ada indikasi bahwa gagasan untuk menyingkirkan pemimpin puncak AD datang dari kalangan “perwira progresif”. Bahkan pada akhir 1968 ketika banyak prajurit ditangkap dari seluruh angkatan, ternyata jumlah prajurit AD yang terlibat lebih besar dibanding perkiraan semula. Asumsi lain adalah tidak mungkin PKI menyingkirkan para jenderal dengan cara kekerasan, sebab partai tersebut menikmati kekuasaan yang sangat menguntungkan dari kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Ketiga, Soekarno yang bertanggung jawab. Peran Soekarno dalam peristiwa ini mendapat perhatian antara lain karena kemunculannya di Pangkalan Udara Halim, pembicaraannya dengan komplotan pelaku kudeta, perlindungannya terhadap beberapa pemimpin PKI serta kegagalannya untuk menunjukkan simpati atas terbunuhnya para jenderal. Menurut versi ini, Soekarno memprakarsai kudeta dengan tujuan mempertahankan kekuatan kontrolnya. Keempat, Soeharto di balik G30S. Sebagai Pangkostrad yang mewakili Panglima Angkatan Darat bila sedang berhalangan atau ke luar negeri, Soeharto adalah tokoh penting yang tidak tercantum dalam daftar penculikan. Selain itu, bersama Panglima Kodam Jakarta, Mayjen Umar Wirahadikusumah, Soeharto menguasai pasukan yang sebenarnya dapat dipergunakan untuk menggagalkan percobaan kudeta. Asumsi versi ini adalah Soeharto mungkin bersekutu dengan komplotan tersebut karena tidak puas terhadap pemimpin AD yang gagal
112
memenuhi tantangan komunis dan memanfaatkan G30S sebagai sarana untuk melibatkan PKI dalam suatu aksi yang dapat dijadikan dalih AD untuk melawan partai tersebut. Dalam versi ini, Sjam dianggap sebagai agen Soeharto yang disusupkan ke tubuh PKI dan bukan sebagai orang PKI yang menjadi informan dalam tubuh AD. Meskipun lemah, fakta lain menunjukkan Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira penting Angkatan Darat yang terlibat peristiwa tersebut. Soeharto, Oentoeng, Latief dan Supardjo berasal dari Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Apalagi pada 30 September malam saat mengunjungi anaknya di rumah sakit, Soeharto bertemu dengan Latief dan menanyakan kondisi anaknya. Kelima, Jaringan Intelijen Angkatan Darat dan Intelijen Asing. Menurut versi ini intelijen Angkatan Darat yang melakukan kudeta, baik atas prakarsa sendiri maupun dengan bantuan intelijen asing khususnya Amerika dan China. Versi ini berdasarkan kesimpulan bahwa PKI maupun pemimpinnya D.N. Aidit tidak pernah membuat perjanjian politik apapun dengan gerakan tersebut maupun dengan anggota dan pemimpin gerakan. Versi ini menganggap kelompok Pringgodani yang dipimpin Sujono serta Sjam menjerumuskan PKI melalui jalan yang berliku. Intelijen Cina diduga ikut mendukung kudeta berdasarkan fakta bahwa sehari setelah kudeta, dua belas delegasi Indonesia yang dipimpin Wakil Perdana Menteri Saleh dan Kepala Unit Pertahanan Nasional berada di Cina pada saat kudeta, bertepatan dengan Hari Nasional Cina (1 Oktober). Belakangan juga diketahui bahwa Cina Peking telah memiliki daftar lengkap nama-nama jenderal yang terbunuh sebelum nama-nama tersebut diumumkan di Jakarta. Daftar yang diterima Cina juga mencantumkan nama Nasution yang luput dari pembunuhan,
113
ini menunjukkan bahwa Peking mendapatkan salinan awal daftar target sebelum operasi G30S dilaksanakan. Amerika juga diduga terlibat sebab mempunyai “daftar lengkap” anggota PKI, tujuannya adalah membantu militer membersihkan anggota PKI dan simpatisannya. Keenam, Tidak Ada Pelaku Tunggal. Penganut versi ini adalah Bung Karno sebagaimana dikemukakannya dalam Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara, Manai Sophian dan Oie Tjoe Tat. Menurut versi ini, G30S adalah sebuah konspirasi di mana unsur-unsur Nekolim berusaha mengagalkan jalannya revolusi Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena ditunjang adanya pimpinan PKI yang kebelinger dan oknum-oknum AD yang tidak benar.
4.3. Pembunuhan Pasca Gerakan 30 September
Setelah mayat para jenderal korban penculikan G30S ditemukan di lubang buaya, suasana kian memanas. Ada dugaan evakuasi jenazah para jenderal dieksploitasi oleh Angkatan Darat untuk memancing emosi rakyat. Kampanye penggayangan PKI dilakukan dengan cara mengambarkan orang-orang PKI sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan, mahluk kejam, asusila dan ateis. Identifikasi kebengisan, kelicikan dan kebiadaban PKI dilakukan dengan merujuk kepada Polisi Rahasia Nazi-Jerman, Gestapo. PKI digambarkan sebagai penculik serta pembunuh enam jendral Angkatan Darat yang kejam, bahkan menyebabkan meninggalnya anak perempuan Jenderal AH Nasution. Pada tanggal 4 Oktober 1965, peristiwa pengangkatan jenazah para jenderal dari sumur mati di Lubang Buaya dilakukan di bawah liputan wartawan dan sorotan televisi dan radio.
114
Evakuasi disaksikan oleh para jenderal dan diisi dengan pidato Soeharto yang menyinggung keterlibatan Angkatan Udara dan komunis dalam pembunuhan para jenderal.168
Pada hari berikutnya beredar isu tentang bagaimana para jenderal disiksa sebelum dibunuh, disayat dan organ kelaminnya dipotong. Berdasarkan laporan Pemeriksaan Bedah Mayat (Visum et Repertum) yang dilakukan oleh lima dokter ahli ilmu dokter kehakiman tertanggal 5 Oktober 1965, dibentuk atas perintah Presiden Soekarno dan di bawah sumpah. Laporan ini disampaikan kepada Jenderal Suharto dan Presiden Soekarno pada 9 Oktober 1965, tetapi tidak pernah disiarkan oleh pemerintah dan media massa. Hasil Visum et Repertum ini menjelaskan secara terinci kondisi jenazah dan tidak menemukan adanya lukaluka karena sayatan atau pencongkelan mata dan laporan itu juga menyebut tentang keutuhan alat kelamin para korban.169
Para pemimpin AD menghubungi partai-partai dan organisasi anti komunis untuk membentuk suatu front guna membubarkan PKI. Pada tanggal 2 Oktober terbentuk Kesatuan Aksi Pengganyang Gestapu (KAP-Gestapu) dipimpin oleh Subchan Z.E. dari Nahdlatul Ulama dan Harry Tjan dari Partai Katolik, dan dengan dorongan Angkatan Darat mereka mengadakan demonstrasi pada tanggal 4 Oktober diikuti oleh sekitar seribu demonstran. Setelah mendengarkan pidato yang menyerang PKI, mereka lantas keliling kota dan beberapa diantaranya sambil merusak dan membakar markas PKI. Serangan terhadap PKI juga terjadi 168
Harold Crouch, Militer & Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal: 154 Wijanto, Peristiwa G30S Dalam Tinjauan Ulang (hasil Sarasehan Leuven Belgia), diambil dari http://arus.kerjabudaya.org
169
115
berbagai daerah tanpa ada upaya penghentian oleh aparat pemerintah, termasuk Angkatan Darat. Soeharto tidak mengeluarkan kebijakan secara jelas bagaimana harus menindak PKI, sebagai gantinya adalah pesan secara tidak resmi bahwa PKI harus dihancurkan dan membiarkan komandan setempat memutuskan sendiri cara apa yang akan digunakan.170 Akibat tidak adanya perintah secara jelas, maka tindakan terhadap PKI berbeda-beda di setiap daerah. Pada bulan November, Angkataan Darat di Jakarta menahan 2.200 anggota PKI dan organisasi massanya. Di Jawa Barat pencidukan terhadap para pemimpin dan aktivis partai mencapai 10.000 orang. Pembunuhan massal terhadap pendukung PKI juga terjadi di Aceh pada paruh pertama bulan Oktober. Para pemimpin Islam di daerah tersebut melihat PKI sebagai ancaman dan pembasmian terhadap kaum komunis dilihat sebagai perang sabil. Sebenarnya Pangdam Aceh Ishak Djuarsa berusaha membatasi pembunuhan hanya kepada kader-kadernya saja, namun karena banyak tentara mempunyai pandangan yang sama seperti pemimpin Islam di sana, pembunuhan melebar pada seluruh keluarga bahkan sampai pembantu-pembantunya.171 Pada bulan Desember Ishak Djuarsa menyatakan Aceh sebagai daerah yang bebas dari unsur-unsur PKI secara fisik. Di Jawa Timur, para pemimpin Angkatan Darat ragu-ragu untuk menindak PKI tanpa adanya perintah yang jelas dari Jakarta, justru yang lebih berperan adalah Gerakan Pemuda Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama. Menyusul konflik yang sudah terjadi pada bulan-bulan sebelumnya antara kelompok Islam dan PKI, pada tanggal 12 Oktober diadakan rapat umum di beberapa kota seperti 170 171
Harold Crouch, Op. Cit, hal: 158. Ibid, hal: 159
116
Kediri, Blitar, Trenggalek dan kota lain setelah terlebih dulu memberitahu para perwira Angkatan Darat setempat yang dianggap bersimpati. Acara tersebut berlanjut dengan penyerangan terhadap kantor PKI serta pembunuhan terhadap pendukung partai tersebut.172 Di Kediri, 11 orang dibunuh karena berusaha mempertahankan kantor PKI, di Banyuwangi ditemukan 35 mayat setelah terjadi bentrok besar antara pendukung PKI dengan pemuda Ansor dibantu oleh pemuda Marhaen dari PNI, beberapa hari kemudian beberapa ribu orang pendukung PKI juga terbunuh di Banyuwangi selatan. Setelah serangan pertama di Kediri, dua hari berikutnya militer setempat menahan 40.000 orang yang dituduh PKI dan sebanyak 25.000 orang yang dianggap bersih segera dibebaskan. Namun komandan Kodim kesulitan memberi makan pada sisa tawanan yang berjumlah 15.000 orang. Setelah berembug dengan salah satu ketua NU setempat dan tidak menemukan jalan keluar, akhirnya diputuskan untuk membunuh tawanan tersebut. Selain itu masih ada operasi lain dengan korban sekitar 5000 orang.173 Pembunuhan terus berlangsung sampai bulan Agustus 1966. Pembantaian ini dibagi dalam dua periode, besar dan kecil. Periode pertama ditandai dengan operasi yang intens dan jumlah korban yang besar, sedangkan periode kedua lebih bersifat kecil dan sporadis. Pembantaian juga terjadi di daerah lain seperti Jawa Tengah, Sumatra Utara dan Bali. Di pulau dewata, hanya dalam waktu semalam, tiga puluh keluarga dibakar hidup-hidup di dalam rumahnya. Setelah itu huru-hara ditenangkan, namun kejadian serupa masih menjalar ke wilayah timur pulau Bali. Kejadian di 172 173
Ibid, hal: 163 Hermawan Sulistyo, Op Cit, hal: 172-173.
117
Bali berlangsung selama kira-kira lima bulan dan korban yang jatuh antara seperempat sampai setengah juta orang.174 Jumlah korban secara keseluruhan tidak diketahuinya secara pasti, dari beberapa sumber yang ada, masing-masing mempunyai perhitungan berbeda mengenai jumlah korban. Menurut John Hughes jumlah korban sekitar 78.000 orang, sedangkan menurut Robert Cribb jumlah korban pembantaian mencapai 500.000-1.000.000 orang.175 Mengenai alasan pembunuhan, menurut Hermawan Sulistyo, ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan kenapa pembunuhan terjadi pasca G30S.176 Masingmasing faktor tidak saling terpisah tapi berjalin kelindan sejalan dengan kondisi masing-masing daerah: Pertama, Amok. Masyarakat saat itu mengalami amok kolektif berupa kegilaan mendadak dan menyebabkan orang menjadi haus darah, membunuh tanpa perasaan. Hermawan Sulistyo menemukan karakteristik amok dalam satu peristiwa pembunuhan Kediri, di mana seorang algojo kehilangan kontrol diri dan membunuh para korbannya setelah menyuruh mereka berjajar di jalanan. Kegilaan lain yang cocok dengan karakterstik amok adalah kebanggaan ketika berhasil memotong bagian tubuh korban. Namun amok tidak dapat digeneralisasikan untuk semua pembunuhan yang terjadi, pada peristiwa lain pembunuhan dilakukan secara terencana berdasarkan daftar korban yang dibuat, atau dengan persiapan mental tertentu untuk memperoleh ilmu kekebalan.
174
Clifford Geertz, After The Fact, Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog, Yogyakarta: LKiS, 1999, hal: 12 175 Berdasarkan tabel jumlah korban dalam Hermawan Sulistyo, Op. Cit, hal: 44-45. 176 Disarikan dari Hermawan Sulistyo, Ibid, hal: 231-243.
118
Kedua, Provokasi PKI. Pembunuhan terjadi akibat ulah PKI sendiri karena sebelum terjadi peristiwa G30S, partai tersebut gencar melakukan kampanye Land Reform dan bagi hasil. Program tersebut pada kenyataannya membuahkan banyak insiden dan kekerasan. Ketika mendapat kesempatan, kelompok yang sebelumnya dirugikan PKI pun membalasnya. Ketiga, konflik agama dan perang suci Islam. Konflik agama dianggap sebagai variabel utama dan menjadi alasan paling poluler untuk menjelaskan pembantaian. Asumsi ini muncul karena sebagian besar algojo adalah pemuda muslim yang taat beragama sedangkan para korban kebanyakan sebagai islam nominal yang kurang taat beragama. Namun asumsi ini tidak begitu tepat sebab ternyata banyak korban yang juga menjalankan rukun Islam misalnya shalat. Sudut pandang konflik agama juga kurang cocok untuk menjelaskan pembunuhan yang terjadi di Bali, sebab korban dan pelaku pembunuhan sama-sama beragama Hindu. Keempat, peran tentara. Banyak pengamat Indonesia yang melihat pembantaian pasca G30S diatur oleh AD sebagai balas dendam atas terbunuhnya para jenderal. Menurut Hermawan Sulistyo, sebenarnya tidak ada pola tunggal dalam pembantaian yang bisa diterapkan di semua daerah. Di Jawa Tengah pembantaian terjadi bukan karena konflik sosial tapi akibat operasi militer. Di Bali akibat operasi gabungan antara militer dengan kelompok-kelompok pemuda setempat. Di Jawa timur peran tentara cenderung pasif, hanya menyediakan arena pertarungan bagi kaum kaum protagonis untuk menyelesaikan konflik yang sudah lama terjadi dengan cara kekerasan.
119
4.4. Gerakan 30 September Sebagai Alat Politik Orde Baru Mitos mengenai kudeta komunis menjadi kunci legitimasi rejim Orde Baru. Siapapun yang dituduh sebagai simpatisan sayap kiri berada dalam bahaya hukum politis. Semua teks yang dianggap berbau Komunisme/Marxisme-Leninisme dilarang terbit. Hampir sepanjang masa kekuasaan Soeharto ancaman tentang bahaya laten komunis menjadi alat pembenar untuk menekan lawan-lawannya, melanggar hak asasi manusia dan menindas semua yang tidak sependapat. Setelah Orde Baru berkuasa, peristiwa pembunuhan yang terjadi pasca G30S hanya menjadi serpihan sejarah yang hampir dilupakan. Pada sisi lain, penyingkiran terhadap orang-orang yang dituduh PKI maupun sebagai simpatisan masih dilakukan. Mereka yang dituduh komunis ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Meski sudah dilepaskan dari tahanan, hak-hak mereka masih dibatasi, tidak dapat menggunakan hak pilihnya, tidak bisa menjadi pegawai negeri, selalu dicurigai, kena wajib lapor, sulit mendapat pekerjaan, dan pada KTP mereka diberi kode Eks Tapol (ET).177 Jumlah Orang-orang yang mendapat cap sebagai bekas komunis atau pendukung komunis sekitar 12 persen dari seluruh penduduk Indonesia.178
Peristiwa politik tahun 1965 juga membuat banyak orang trauma dan bahkan terbuang. Ada ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri tidak bisa pulang, padahal banyak di antara mereka tidak tahu apa-apa tentang kesalahan yang ditimpakan pada mereka. Mereka ada yang sedang tugas belajar, menjadi
177 178
Franz Magnis-Suseno, Mencari Makna Kebangsaan, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal: 97 Cliffort Geertz, Op. Cit, hal: 16
120
mahasiswa, bekerja, menjadi duta besar dan keperluan-keperluan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan politik. Menurut data Ditjen Imigrasi tahun 1995, ada ribuan WNI yang terhalang pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka berada di Belanda (sekitar 400 orang), Jerman (500 orang), Perancis (100 orang), dan beberapa negara lainnya.179 Sampai kini masih ada sekitar 600 orang WNI yang terhalang pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka berwarga negara Eropa dan ada satu orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan.
Sebagai penguasa yang lahir dari peristiwa G30S, Orde Baru memanfaatkan moment tersebut sebagai alat politik untuk mengukuhkan kekuasaan. Dalam wacana Orde Baru, komunisme adalah musuh utama, kekuatan jahat yang berbahaya dan harus selalu diwaspadai. Elite politik memproduksi istilah-istilah dan menggembar-gemborkan masalah tersebut setiap waktu tanpa melihat apakah bahaya tersebut masih relevan. Menurut Ariel Heryanto, cap bahaya komunisme adalah wacana politik paling penting dalam retorika Orde Baru.180 Bahaya Komunisme terus didengungkan setiap saat sehingga menjadi mitos tanpa melihat apakah komunisme memang menjadi ancaman atau tidak. Bahaya komunisme terus diawetkan sebab mitos tersebut dapat mengukuhkan kekuasaan Orde Baru. Dalam wacana Orde Baru, PKI adalah bahaya laten yang merembes diamdiam dan harus selalu diwaspadai. Dalam berbagai kesempatan, bahaya itu disampaikan dengan istilah dan ciri yang berbeda-beda. Pada tahun 80-an, bahaya infiltrasi komunis digambarkan sebagai Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang 179
Berita dalam Tempo Interaktif “Mereka yang Terbuang dan Belum Pulang” Di ambil dari http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2/2,1,6,id.html 180 Dalam Eriyanto, Kekuasaan Otoriter,Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik hegemoni, Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto, Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 2000, hal: 66
121
menyusup ke dalam masyarakat sipil, lalu kampanye “bersih lingkungan” diluncurkan. Hasilnya adalah beberapa nama pegawai dan politisi pemerintah yang diduga “tidak bersih” dari jaringan politis (komunis maupun Islam Radikal) pun beredar.181 Ketakutan akan ancaman komunis itu bekerja ampuh mengingatkan kegelapan masa lampau sekaligus untuk memaksakan kembali dimensi hukum dan ketertiban dalam hegemoni negara Orde Baru. Liputan media massa secara luas mengenai isu tirani dan infiltrasi komunis menyentakkan memori masyarakat akan hari-hari gelap tersebut. Target khususnya adalah generasi baru yang tidak mengalami kejadian traumatik tersebut dan dengan demikian kekuasaan Orde Baru bisa lebih dimapankan. Pada tahun 1996, sebutan OTB dilemparkan kembali kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang gemar mengkritik pemerintah. Lalu muncul juga istilah “Komunisme Gaya Baru” yang dicurigai masuk ke dalam kalangan mahasiswa dan LSM. Sempat pula muncul istilah “Kiri Baru” yang ditujukan kepada gerakan yang terus menerus mengkritik pemerintah. Semua mempunyai tujuan sama, mengasosiasikan gerakan melawan pemerintah dengan peristiwa G30S.182 Tujuannya adalah agar pemerintah mendapat legitimasi dalam menindak perlawanan kaum oposan. Dengan dalih bahaya komunisme dan merujuk pada kejadian traumatik tahun 1965, tidak akan ada yang memprotes tindakan tersebut.
181
Michael van Langenberg, Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, Hegemoni, dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Politik Orde Baru,” Bandung: Mizan, 1996. hal: 231 182 Eriyanto, Op. Cit, dalam catatan kaki nomor 10, hal: 79.
122