KARTUN POLITIK PADA SURAT KABAR SULUH INDONESIA (1956-1958) Hafsari Amini Sarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai dinamika kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia yang menggambarkan situasi politik di Indonesia pada tahun 1956-1958, khususnya yang bertemakan pemerintahan, aksi subversif, dan hubungan Indonesia – Belanda pasca kedaulatan RI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia yang merupakan surat kabar partisan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) sering digunakan sebagai media kritik bagi partai atau golongan politik yang tidak sejalan. Selain itu surat kabar ini juga digunakan sebagai media penyebar pengaruh dan pujian kepada partainya sendiri.
Political Cartoons on Suluh Indonesia (1956-1958)
Abstract The focus of this study is explain about political cartoons dynamics on Suluh Indonesia which describe political situation in Indonesia (1956-1958), especially government, subversive action, and relation between Indonesia – Netherland after Indonesia’s independence. The research using historical methods which is consist of four steps, heuristic, critic, interpretation, and historiography. The result of this research shows the the political cartoons on Suluh Indonesia which had been a part of Partai Nasional Indonesia used as media critic from the opposite party and political groups, and also as complimentary media for own party. Keywords : Democracy Parliamentary, Pers, Political Cartoon, Suluh Indonesia,
1. Pendahuluan Masa Demokrasi Parlementer atau biasa disebut Demokrasi Liberal, merupakan masa dimana bangsa dan negara kita mengalami suasana kebebasan yang luar biasa dan hampir tidak terkendali. Selain itu muncul berbagai masalah seperti perpecahan antar golongan, kesatuan wilayah negara yang terancam, dan keadilan sosial yang belum tercapai. Masa demokrasi ini dimulai sejak dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sebelumnya berbentuk negara federal, Republik Indonesia Serikat (RIS).
(parlemen). Dalam sistem demokrasi parlementer ini kedaulatan rakyat disalurkan melalui partai-partai politik; partai-partai politik inilah yang memerintah berdasarkan perbandingan kekuatan dalam parlemen. Jadi negara dengan sistem demokrasi parlementer itu dalam prakteknya adalah negara yang dikuasai oleh partai-partai politik (Rachmat, et.al., 1992 :1). Persaingan antar berbagai kekuatan politik melalui sistem parlemen menyebabkan suasana tidak stabil. Seringkali kabinet jatuh oleh mosi tidak percaya. Hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanankan programnya. Selain itu,
Demokrasi Parlementer adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri dengan dibantu para menteri yang terdapat di dalam kabinet
1
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
konsensus nasional sulit dicapai, karena kepentingan nasional biasanya dikalahkan oleh kepentingan partai atau golongan (Alfian, 1991:30).
Indonesia. Surat kabar ini merupakan partisan Partai Nasional Indonesia (PNI), selalu membela apapun yang dilakukan tokoh-tokoh PNI dan kadang mencela apapun yang dilakukan lawan politiknya. Suluh Indonesia menggunakan kartun sebagai media menyebar pujian kepada program pemerintah. Selain itu, kartun pada Suluh Indonesia juga dimanfaatkan untuk dukungan dalam pemilihan umum.
Pada masa Demokrasi Parlementer ini masih terjadi ketidakharmonisan hubungan antara Indonesia dengan Belanda pasca kedaulatan RI. Ketidakharmonisan itu menyangkut status Irian Barat. Selain itu juga timbul pemberontakan dari berbagai daerah, seperti PRRIPERMESTA. Pemberontakan tersebut dikarenakan ketidakpuasan daerah terhadap pusat. Berbagai masalah yang ada pada saat itu diperkeruh lagi dengan adanya persaingan antar surat kabar, yang merupakan surat kabar partisan suatu partai. Partai - partai oposisi yang berada di luar pemerintahan dengan menggunakan surat kabarnya untuk melemparkan rasa ketidakpuasannya kepada pemerintah. Sikap sinis publik terhadap pemerintah dibeberkan melalui surat kabar (Marwati Djoened Poesponegoro, et.al., (ed), 1993: 206).
Pasca Pemilihan Umum I tahun 1955, dimana PNI yang keluar menjadi pemenang dalam Pemilu tersebut dan mayoritas menduduki kursi parlemen, kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia juga masih menjadi salah satu media kritik terhadap partai politik atau golongan yang tidak sejalan dengan PNI. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II inilah, situasi pemerintahan ”memanas”, dengan adanya pemberontakan di daerah-daerah, dan pasang surutnya hubungan Indonesia – Belanda, yang membawa persoalan Irian Barat ke PBB. Pembahasan mengenai kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia tersebutlah yang akan di bahas dalam skripsi yang berjudul, Kartun Politik pada Surat Kabar Suluh Indonesia (1956-1958).
Berbagai partai saat itu saling menjatuhkan lawan politiknya melalui surat kabar partisannya. Hal ini terlihat dalam penulisan berita, tajuk rencana, pojok, dan iklan kampanye. Pada masa ini pula, kartun politik mendapat kebebasan tinggi dalam berkreativitas. Kartun politik adalah gambar lucu yang mengandung sindiran atau kritik dengan titik berat sasarannya masalah atau peristiwa politik. Kartun atau cartoon dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Italia cartone yang artinya kertas. Pada mulanya kartun adalah penamaan bagi sketsa pada kertas alot (stout paper) sebagai rancangan atau desain untuk lukisan kanvas atau lukisan dinding, gambar arsitektur, atau untuk gambar pada mozaik pada zaman Renaissans (Antariksa, et.al., 1990 : 201).
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah bagaimana dinamika kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia yang menggambarkan situasi politik di Indonesia pada tahun 1956-1958. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan serangkaian pertanyaan sebagai berikut : 1. 2.
Didalam masyarakat selama ini, karikatur sering disalah artikan seolah-olah mencakup seluruh kartun yang bersifat dan bertujuan mengkritik atau menyindir. Sementara pengertian kartun sering dibatasi hanya pada gambar-gambar yang bermuatan humor. Sebenarnya karikatur hanyalah bagian dari kartun dengan ciri deformasi atau distorsi wajah, biasanya wajah manusia (tokoh) yang dijadikan sasarannya (Wijaya, 2004 : 7). Karikatur itu sendiri atau caricature dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa italia caricature, dari kata caricare yang artinya berlebih-lebihan, memberi muatan atau memberi beban tambahan. Dalam karikatur yang dijadikan sasaran agresi digambarkan secara berlebihan, terutama wajah, disamping bagianbagian tubuh lainnya. (Antariksa, 1990 : 202)
3.
Bagaimana perkembangan pers di Indonesia ? Bagaimana perkembangan kartun politik di Indonesia? Bagaimana kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia menggambarkan kondisi Indonesia tahun 1956-1958, khususnya yang bertemakan pemerintahan, aksi subversif, dan hubungan Indonesia – Belanda pasca kedaulatan RI ?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kartun politik pada surat kabar Suluh Indonesia tahun 1956 hingga 1958 dan analisisnya mengenai situasi politik dan pemerintahan pada saat itu. Selain itu, penelitian ini dibuat juga untuk melengkapi tulisan-tulisan mengenai perkembangan kartun politik dan pers di Indonesia.
Pada Demokrasi Parlementer, kartun politik menjadi salah satu alat politik untuk menjungkal lawan dengan humor - humor yang sinis (Pranowo, 2009 : 55). Salah satu surat kabar yang sering melakukan kritik pada lawan politiknya dengan kartun politik yaitu Suluh
Penelitian ini dimulai tahun 1956 dan diakhiri tahun 1958. Tahun 1956 diambil sebagai awal penelitian, yaitu pasca Pemilihan Umum I, pada saat itu Republik Indonesia menghadapi banyak persoalan, seperti
2
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
terjadinya pergolakan politik, kemerosotan ekonomi, disintegerasi sosial dan memburuknya hubungan antara Indonesia dan Belanda akibat permasalahan Irian Barat.
Demokrasi Terpimpin sampai Akhir Kekuasaan Presiden Soekarno (1959-1967). Karya ini berbeda baik dari segi kurun waktu pembahasan maupun permasalahan. Karya ini membahas mengenai karikatur Soekarno pada Surat Kabar terkemuka di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.
Penelitian ini diakhiri pada tahun 1958. Dengan adanya pembreidelean pers yang dilakukan oleh penguasa militer pada tahun 1957 dan adanya kewajiban memperoleh surat izin terbit bagi pers pada tanggal 1 Oktober 1958. Sesudah keluarnya peraturan tersebut, surat kabar – surat kabar Indonesia lebih berhati-hati lagi dalam memuat berita dan kartun politik dalam halaman surat kabarnya. Salah satunya Suluh Indonesia, surat kabar tersebut yang sebelumnya secara terang-terangan sering memuat kartun politik untuk mengkritik secara sinis lawan-lawan politknya, kini sudah tidak memuat kartun politik untuk mengkritik lawan-lawan politknya lagi.
Sementara itu juga terdapat skripsi yang ditulis oleh Devi Yulia, yang berjudul Perkembangan Kartun Politik di Australia dan Analisisnya Terhadap Hubungan Australia – Indonesia Terkait Isu Timor Timur 1974 – 2002. Skripsi ini membahas kartun politik di Australia yang merupakan salah satu senjata untuk mengkritisi kebijakan pemerintah Australia yang terkait dengan isu Timor Timur. Karya ini berbeda dari segi permasalahan maupun kurun waktu.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa data yang didapat melalui penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh terdiri dari dua jenis, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang diperoleh berupa surat kabar Suluh Indonesia yang didapatkan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah, yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Tahap pertama dari metode penelitian sejarah adalah heuristik, yaitu pencaharian sumber-sumber yang terkait dengan penelitian, baik sumber primer maupun sekunder. Sumber primer didapatkan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berupa surat kabar Suluh Indonesia dari tahun 1956 hingga tahun 1958. Dalam mencari informasi berupa kartun yang dimuat pada surat kabar tersebut penulis mengalami kendala karena kondisi surat kabar Suluh Indonesia tersebut sudah tidak lengkap dan gambarnya ada yang tidak jelas. Surat kabar Suluh Indonesia tahun 1956 tidak lengkap, hanya ditemukan dari bulan Januari – Februari dan Agustus sampai Desember dan kondisinya juga sudah mulai rusak.
Untuk sumber sekunder meliputi buku-buku dan artikel majalah yang terkait dengan topik penelitian, baik yang terkait secara luas maupun secara spesifik. Yang penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Daerah Jakarta. Buku-buku tersebut di antaranya, Nasionalisme Mencari Ideologi : Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965 (J.Elisio Rocamora); Pers dan Dinamika Politik (Anwar Arifin); Kartun, Studi tentang Permainan Bahasa ( I Dewa Putu Wijana); Pemilihan Umum 1955 di Indonesia; dan PRRI-Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (R.Z. Leirissa).
Sumber lain yang diperoleh berupa sumber sekunder seperti buku dan artikel majalah yang terkait dengan pers, kartun politik dan kondisi Indonesia tahun 19561958. Melalui karya-karya tersebut, dapat diperoleh tambahan data untuk menganalisis permasalahan yang diajukan. Data-data ini penulis dapatkan di Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan Daerah Jakarta, serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Karya terdahulu yang mendekati dengan tema penulis, antara lain disertasi yang dibuat oleh Priyanto Sunarto yang berjudul, Metafora Visual Kartun Editorial di Surat Kabar Jakarta 1950-1957. Tahun pembahasan karya ini hampir sama dengan tema penulis, akan tetapi karya ini menitik beratkan pada penelitian seni rupa, yang berfokus pada pengungkapan metafora visual dalam kartun editorial beberapa surat kabar terkemuka yang ada di Jakarta. Sedangkan peneliti lebih spesifik membahas kartun politik pada satu surat kabar saja yaitu Suluh Indonesia, yang berkaitan dengan politik nasional, aksi subversif, dan hubungan Indonesia – Belanda pasca kedaulatan RI.
Sumber-sumber yang telah diperoleh dalam tahapan heuristik selanjutnya harus melalui tahapan kritik sejarah, untuk melihat kredibilitas dan keontektikan sebagai sumber sejarah. Tahap kritik merupakan tahap pengujian dan penilaian yang dilakukan untuk memperoleh fakta sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Tahap kritik terbagi menjadi dua macam, yaitu : kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal atau otentitas dilakukan dengan cara meneliti bentuk fisik sumber-sumber data yang telah
Karya kedua ialah disertasi yang dibuat oleh Wagiono Sunarto yang berjudul, Pemitosan dan Perombakan Mitos Soekarno dan Ideologinya dalam Karikatur Politik di Surat Kabar Indonesia pada Masa
3
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
diperoleh, sehingga dapat diketahui apakah sumbersumber tersebut palsu atau sejati. Sementara kritik internal dilakukan dengen cara memberi penilaian terhadap sumber-sumber data, dan membandingkan kesaksian dari berbagai sumber sehingga dapat diperoleh fakta sejarah yang terpercaya dan dapat digunakan dalam penelitian. Dalam tahap ini dipilih 15 kartun pada setiap pembahasan. Pemilihan ini lebih didasarkan pada kartun-kartun yang sesuai dengan topik dan ditemukan dalam surat kabar.
memperhatikan kepentingan khalayak pembaca (Arifin, 2010 : 51). Partai – partai politik yang pada saat itu memiliki surat kabar partisannya, seperti : Masyumi memiliki Abadi, Partai Nasional Indonesia (PNI) memiliki Suluh Indonesia, Partai Nahdatul Ulama (NU) memiliki Duta Masyarakat, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki Harian Rakyat. Keempat partai besar tersebut menggunakan surat kabar partisannya untuk mengkritik dan saling menjatuhkan lawan politiknya, terutama lawan politik yang terdapat dalam pemerintahan. Kritikan – kritikan mereka tercermin dari isi berita, tajuk rencana, iklan kampanye dan kartun politik pada surat kabar-surat kabar tersebut.
Tahap selanjutnya setelah melalui proses kritisasi adalah interpretasi, yaitu membuat penafsiran dan analisa fakta – fakta yang ada dengan memberikan pemaknaan terhadap fakta yang ada. Tahap terakhir dalam metode sejarah historiografi, yaitu melakukan penulisan sejarah yang bertujuan untuk merangkaikan fakta-fakta menjadi kisah sejarah.
Beberapa surat kabar lain yang muncul pada saat itu antara lain adalah Merdeka dan Indonesia Raya. Surat kabar-surat kabar tersebut lebih independen dibandingkan surat kabar partai. Surat kabar independen bersikap lebih bebas dalam memberikan komentar atas berbagai peristiwa tanpa keberpihakannya pada partai tertentu. Namun sifat keindependenannya tidak 100%, karena garis kebijakannya sering tampak memihak pada golongan tertentu. Hal tersebut bisa terjadi secara tidak resmi melalui orang-orang yang bekerja dalam pers. Pemimpin surat kabar yang merangkap sebagai pemimpin atau aktivis partai dengan sendirinya mampu mengendalikan isi surat kabar sesuai dengan kepentingan politik dan ideologi partai (Arifin, 2010 : 51-52)
3. Hasil dan Pembahasan Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir, dan digantikan oleh pemerintah militer Jepang, semua media pers berada di bawah pengawasan pemerintah militer dan dipergunakan sebagai alat propaganda perang oleh Jepang melawan sekutu. Demi mendukung upaya tersebut, semua surat kabar- surat kabar Belanda dan Cina diambil alih oleh Jepang (Pranowo, 2009 : 54). Beberapa penerbitan pers Indonesia masih bisa berjalan, akan tetapi dibawah pengawasan ketat militer Jepang.
Sementara yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah surat kabar Suluh Indonesia. Suluh Indonesia merupakan surat kabar yang terbit di Jakarta sejak tanggal 1 Oktober 1953. Surat kabar ini sering dikenal dengan singkatan Sulindo. Pendiri pertama Suluh Indonesia adalah Mohammad Tabrani. Redaktur pertamanya Sayuti Melik, kemudian digantikan oleh Manai Sophiaan pada pertengahan Desember 1953. Sebelum suluh Indonesia didirikan, satu-satu koran Jakarta yang mewakili pandangan PNI adalah Merdeka. Nama Suluh Indonesia diambil dari organ PNI sebelum perang, Suluh Indonesia Muda (Rocamora, 1991 : 119). Surat kabar ini terbit dari hari Senin hingga Sabtu, sementara pada hari Minggu tidak terbit. Tag-line surat kabar ini yang dalam setiap penerbitan di tampilkan di bawah nama surat kabar ini adalah “Untuk Kesatuan Rakyat dan Bangsa”.
Sementara pada masa Revolusi, surat kabar berguna untuk menyebarkan proklamasi kemerdekaan seluasluasnya. Keadaan ekonomi yang sangat parah tidak mengecilkan keinginan untuk menerbitkan surat kabar. Bahkan pada masa ini banyak surat kabar yang dicetak seadanya dengan kertas stensil dengan biaya yang sangat minim, karena kegiatan periklanan di surat kabar belum berjalan (Sunarto, 2005 : 97). Pada umumnya perusahaan – perusahaan penerbit surat kabar pada masa itu tidak menitik beratkan usahanya pada mencari keuntungan. Pada masa Demokrasi Parlementer, ditandai dengan munculnya partai-partai politik. Dalam kondisi seperti ini kebebasan berpolitik, liberalisasi ekonomi dan kebebasan pers dimanfaatkan partai politik untuk mempengaruhi masyarakat melalui surat kabar yang diterbitkannya. Adanya surat kabar partai atau surat kabar partisan tidak jarang memicu timbulnya polemik antar kelompok (Sunarto, 2005 : 98). Pada umumnya surat kabar partai memperoleh modal dan subsidi dana dari partai atau orang-orang tertentu yang aktif dalam partai politik yang menguasai surat kabar tersebut. Itulah sebabnya pers partai dapat lebih leluasa menyuarakan kepentingan partai dibanding
Sebagai surat kabar partisan PNI, Suluh Indonesia selalu membela apapun yang dilakukan tokoh-tokoh PNI dan mencela apapun yang dilakukan lawan politiknya. Setelah NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, PNI menjadi partai yang terkuat. Meskipun Soekarno menanggalkan keanggotaan dalam PNI karena menjadi presiden,
4
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
simpatinya pada PNI tak bisa dirahasiakan. Kepercayaan diri ini membuat Suluh Indonesia lebih berani terbuka mengkritik lawan politiknya (Sunarto, 2005: 198).
membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah maupun sebagai alat kritik. Selama berlangsung perlawanan terhadap Belanda, kartun muncul bukan hanya di media pers tetapi juga dalam bentuk poster, spanduk, pamphlet, serta coretan di dinding (Antariksa, et.al., 1990 : 204)
Selain memberikan berita yang informatif, surat kabar juga memberikan opini kepada masyarakat dalam menanggapi suatu peristiwa atau persoalan yang dianggap penting pada zamannya, antara lain melalui kartun politik. Kartun politik pertama kali muncul di Eropa, di Indonesia kartun politik diperkirakan mulai tumbuh antara tahun 1920-an dan 1930-an. Pendidikan yang digalang oleh Pemerintah Kolonial di era politik etis, membuat orang-orang yang mengenyamnya mulai paham kondisi perpolitikan di Hindia Belanda. Pada saat itu tekanan dari Pemerintahan Kolonial membuat kondisi masyarakat semakin sulit. Apalagi pemerintah memang mengkondisikan cara memerintah searah, dari atas kebawah, sehingga aspirasi dari bawah ke atas jelas tersendat. Para tokoh pergerakan, sebagai agen intelektual yang melek baca tulis, yang sadar politik, mulai bersuara, dengan mengkritik pemerintah. Sarana tulisan pun dipilih sebagai mediator penyampai aspirasi dan kritik seiring tumbuh kembangnya surat kabar zaman pergerakan. Selain tulisan, ada pula kartun politik yang fungsinya tidak jauh berbeda (Pranowo, 2009 : 53).
Memasuki masa demokrasi parlementer, kartun seringkali secara agresif dipakai sebagai alat bertikai antara golongan politik. Dalam posisi ini kartun dimanfaatkan oleh partai-partai politik sebagai media kritik terhadap kebijakan maupun ideologi yang tak sepaham, atau pihak lawan poltik yang sedang berkuasa. Fungsi kartun pada masa ini merupakan kombinasi antara editorial atau opini media yang bersangkutan. Pada masa ini, kartun poitik mendapat kebebasan yang tinggi dalam berkreativitas. Masa itu trial by the press seakan hal lumrah. Lelucon politik lewat kartun dieksplorasi dengan penuh semangat. Berkias lewat gambar yang umumnya dipercaya sebagai upaya menghaluskan ungkapan, malah sering dipakai untuk memperkerasnya menjadi kasar. Suasana kritik terbuka ini tak lepas dari peran partai-partai dan ideologi yang setelah usai perang kemerdekaan berebut pengaruh menentukan jalannya haluan negara. Baik nasionalis, sosialis, komunis, maupun golongan agama merasa punya hak sama dalam mengisi kemerdekaan. Partai politik berebut posisi untuk duduk dalam kabinet. Koalisi antar partai dan golongan dilakukan untuk menjatuhkan kabinet. Untuk bersaing merebut opini, setiap golongan memanfaatkan surat kabar sebagai media menyebarkan paham dan pendapat. Melalui surat kabarlah kartun politik berkiprah mengomentari berbagai kejadian, sesuai dengan misi dan ideologi redaksi (Sunarto, Tempo, 17 Agustus 2007 : 104).
Memasuki tahun 1930-an, kartun-kartun politik mulai sering muncul di surat kabar. Contoh surat kabar yang secara teratur memuat kartun politik ialah majalah Fikiran Ra’jat (1932-1933) --organisasi Partindo. Kartun-kartun yang muncul pada majalah tersebut biasanya disertai tulisan komentar singkat yang mengejek perpecahan nasional, perbedaan ideologi, dan Pemerintahan Kolonial Belanda. Nama kartunis terkenalnya ialah Ir. Soekarno dengan nama samarannya Soemini. Kartun-kartun yang dibuatnya biasanya diarahkan terhadap kaum penjajah sebagai sasaran agresi para pemimpin pergerakan. Biasanya tokoh pergerakan digambarkan sebagai pemuda berdada busung dan berlengan-baju tergulung, mengenakan pici dan tampil dengan gagah berani. Sedangkan pihak lawan – kaum imprealis, kolonialis dan kapitalis – ditampilkan sebagai setan besar yang bertaring (Antariksa. et.al.,1990: 203)
Kartun politik pada masa demokrasi parlementer memiliki kekhasan yang berbeda dari kartun-kartun politk sebelumnya. Saat itu umumnya para kartunis mendesain tiap-tiap golongan diperlambangkan sebagai binatang yang mencerminkan kepribadian golongan tersebut. Golongan Islam dilambangkan sebagai unta, nasionalis sebagai banteng, dan golongan komunis sebagai beruang. Selain itu mereka juga mendesain para tokoh politik dengan kiasan binatang (Sunarto, Tempo, 17 Agustus 2007 : 106). Mengkiaskan seseorang dengan binatang merupakan suatu penghinaan dalam budaya Indonesia. Akan tetapi, saling tuding menuding dan menghina pada waktu itu bukan merupakan hal yang tabu.
Selama pendudukan militer Jepang, kartun di Indonesia kesempatan untuk berkembang, tetapi sebagai media komunikasi politik bagi kepentingan propaganda Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa penjajahan Jepang kartun tidak lagi diperuntukan bagi golongan tertentu saja melainkan dijadikan alat untuk berkomunikasi dengan massa karena kartun mudah dipahami dan sering kali berpenampilan lucu. Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, kartun memperoleh perhatian yang khusus, baik untuk
5
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
Gambar 1 : “Dasar Kalong, sih…”
Ia tidak setuju terhadap sejumlah kebijakan ekonomi yang diajukan Masyumi, salah satunya mengenai meningkatkan penanaman modal asing. Meskipun Soekarno tidak pernah menyerang kabinet secara langsung, namun sebagian besar pidatonya sepanjang tahun 1956 turut memperlemah dasar kelembagaan pemerintahan kabinet secara keseluruhan (Rocamora, 1991 : 207). Pada peringatan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1956 di depan pertemuan wakil-wakil pemuda dari semua partai pada tanggal 30 Oktober 1956 di depan Kongres Persatuan Guru, Presiden Soekarno dalam pidatonya menyarankan untuk membubarkan partai – partai yang ada. Presiden Soekarno mengatakan perpecahan yang terjadi pada saat itu disebabkan karena “penyakit kepartaian”, yaitu banyaknya partaipartai yang ada dan saling bersaing. Selain itu, pada pidato tersebut untuk pertama kalinya Presiden Soekarno mengajukan suatu sistem baru yang diidamkannya, yaitu Demokrasi Terpimpin, bukan Demokrasi Liberal atau Parlementer yang berasal dari Eropa Barat yang selama ini dijalankan (Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), 1988 : 63-64).
(Sumber : Suluh Indonesia, 9 Februari 1956)
Kartun tersebut merupakan salah satu kartun politik yang terdapat pada Suluh Indonesia. Pada kartun tersebut terdapat seekor kalong besar yang sedang bergelantungan di pohon, dibagian dadanya terlihat lubang luka dan mengucurkan darah yang diakibatkan dari tembakan dua orang yang terdapat dibawahnya. Tertulis pada badan kalong tersebut inisial B.H. Penggambaran disini memang terlihat tidak sopan, karena seseorang dikhiaskan dengan binatang. Sementara kalong itu sendiri merupakan binatang pemakan buah yang sering merugikan masyarakat, karena dianggap sebagai hama perkebunan. Dalam Suluh Indonesia, selain nama Burhanudin Harahap tokoh Masyumi lainnya juga sering dijadikan ejekan pada kartun politiknya. Hal tersebut dikarenakan Suluh Indonesia merupakan corong Partai Nasional Indonesia. Gagasan-gagasan dan pemikiran PNI seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sering tidak sejalan dan bertentangan dengan Masyumi. Sehingga PNI sering melakukan kritikan atau bahkan ejekan terhadap lawan poitiknya tersebut melalui surat kabar Suluh Indonesia, salah satunya melalui kartun.
Pada tanggal 1 Desember 1956, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran ini sebagai reaksi atas ketidakcocokannya dengan Presiden Soekarno atas pidato-pidato dan pemikirannya tersebut. Hatta sebagai seorang demokrat masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan banyak partai. Sementara bagi Soekarno, sistem demokrasi yang sangat didambakan oleh Hatta tersebut merupakan rumusan yang tidak cocok untuk bangsa Indonesia (Anhar Gonggong dan Musa Asy’arie (ed.), 50-51). Perpecahan dwitunggal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi bangsa Indonesia, sehingga timbulah perlawanan di daerah-daerah yang semakin membangkitkan serangan oposisi terhadap kabinet. Beberapa surat kabar yang ada di Jakarta yang mendukung PSI dan Masyumi mengatakan bahwa Kabinet Ali harus mengembalikan mandatnya karena tidak sanggup memecahkan masalah kedaerahan. Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir, mengatakan bahwa Hatta-lah yang merupakan satu-satunya orang yang mempunyai cukup pengaruh untuk memecahkan masalah kedaerahan. Sementara PNI menolak usul Natsir tersebut dan mendapat dukungan dari NU dalam mendesak agar kabinet tetap berlanjut. Sementara Masyumi pada akhirnya menarik menteri-menterinya pada minggu pertama Januari 1957 ( Rocamora, 1991 : 207).
Di dalam penelitian ini akan dibahas tiga tema kartun, yaitu: a. Pemerintahan. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini berbagai macam masalah harus dihadapi, masalah yang paling penting yaitu pergolakan yang terjadi di berbagai daerah. Masalah tersebut terlalu berat untuk ditanggulangi oleh kabinet. Apalagi partai - partai politik pendukung kabinet pada akhirnya mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda satu sama lainnya dalam menghadapi berbagai macam masalah tersebut (Irsyam, 1985 : 29). Presiden Soekarno juga sebenarnya tidak menyukai Kabinet Ali sejak dibentuk.
6
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
Gambar 2 : “Turun Disini Saja..”
golongan fungsional dan dibentuknya Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat, yang terdiri dari wakil/ golongan buruh, tani, pengusaha nasional, Pendeta Protestan, Khatolik, dan Ulama Islam, wakil/golongan wanita, wakil Angkatan 45, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Wakil Kepolisian, Jaksa Agung, dan menteri-menteri. Fungsi Dewan Nasional ini adalah memberi nasehat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak (Suluh Indonesia, 22 Februari 1957). Gambar 3 : “Jalan Sukarno Atau Jalan Kacau…”
( Sumber: Suluh Indonesia, 11 Januari 1957)
Gambar kartun politik diatas merupakan sindiran terhadap Masyumi yang pada saat itu menarik menterimenterinya dari kabinet. Pada kartun tersebut, terlihat sebuah kereta yang diibaratkan sebagai pemerintahan atau kabinet. Kemudian ada seorang penumpang (Masyumi) yang ingin turun dan dipersilahkan oleh sang masinis kereta tersebut (Ali Sastroamidjojo). Konflik-konflik politik yang terjadi didalam pemerintahan semakin menajam, ditambah lagi dengan semakin meluasnya pergolakan-pergolakan yang dilakukan daerah-daerah. Sehingga membuat keadaan negara menjadi kritis dan mengarah kepada perpecahan kesatuan dan persatuan negara. Presiden Soekarno sebagai pemimpin rakyat dan bangsa merasa mempunyai tanggung jawab serta berusaha untuk ikut mengatasi kekacauan – kekacauan politik agar tidak menimbulkan konflik yang mendalam (Siswantari, 1995:17).
(Sumber : Suluh Indonesia, 22 Februari 1957)
Konsepsi Presiden Sukarno tersebut menimbulkan pro dan kontra dari partai-partai politik. PNI yang merupakan partai pendukung Soekarno menyatakan dukungannya terhadap konsepsi tersebut. Hal ini terlihat dari kartun Suluh Indonesia yang muncul pada tanggal 22 Februari 1957 (Gambar 3). Pada kartun tersebut digambarkan jika bersama-sama melalui jalan Gotong Royong atau sama saja dengan mendukung Konsepsi Presiden, maka akan menuju kemakmuran. Sementara jika memilih melalui jalan Gotong Rongrong atau sama dengan tidak mendukung Konsepsi Presiden tersebut, maka akan terjadi kekacauan, perpecahan, dan menuju kehancuran. Selain PNI, konsepsi tersebut juga didukung oleh PKI, Murba dan Persatuan Pegawai - pegawai Kepolisian Negara. Sementara Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik Indonesia, PSI, dan IPKI menolak konsepsi tersebut dengan alasan bahwa mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan adalah wewenang Konstituante, apalagi dengan dibentuknya Dewan Nasional, karena lembaga ini tidak dikenal dalam UUDS 1950. Selain itu, Masyumi merupakan partai yang paling tidak setuju dengan konsepsi tersebut karena tidak menginginkan PKI ikut serta dalam kabinet (Anhar Gonggong dan Musa Asy’arie (ed.), 53 -54).
Berkaitan dengan hal tersebut, pada tanggal 27 Januari 1957 dalam sebuah rapat umum “Merah-Putih” di Bandung, Presiden Sukarno mengungkapkan keinginannya untuk turut serta mencampuri urusan pemerintahan dengan mencetuskan konsepsinya. Presiden Soekarno kemudian memanggil para pemimpin partai – partai pemerintahan ke Istana Bogor pada tanggal 16 Februari 1957 dan mengatakan perlu dibentuknya suatu Dewan Nasional yang akan bertugas memberi nasihat kepada cabinet (Siswantari, 1995 : 17). Pada tanggal 21 Februari 1957 di Istana Negara, Presiden Soekarno kembali mengundang para tokoh tokoh partai, baik yang berasal dari pusat maupun daerah, selain itu hadir juga tokoh - tokoh militer. Mereka diundang untuk mendengarkan pidato Presiden yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden. Dalam Konsepsi tersebut Presiden Soekarno menyarankan agar dibentuknya Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari wakil-wakil semua partai ditambah dengan
Di daerah ternyata Konsepsi Presiden memperoleh tanggapan yang baik dari politisi sipil maupun militer
7
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
yang memegang peranan dalam pergolakan daerah. Pada umumnya menyetujui dibentuknya Dewan Nasional tetapi menolak Kabinet Gotong Royong yang akan memasukkan PKI kedalamnya. Oleh karena itu tuntutan yang diajukan ialah memulihkan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta untuk bertugas memegang kendali politik dan pemerintahan. Soekarno menyetujui tuntutan yang menghendaki besarnya wakil daerah dalam Dewan Nasional. Akan tetapi tuntutan untuk mengembalikan Soekarno-Hatta kedalam dwi-tunggal, ditolak oleh Soekarno (Irsyam, 1985 : 33).
dari Kelompok sosial radikal seperti Cherul Saleh, Prof DR Prijono (Irsyam, 1985 : 34). Program pertama direalisasikan melalui pembentukan Dewan Nasional. Tajamnya kritik kepada pembentukkan Kabinet Karya menyulitkan Presiden dan Dewan Menteri untuk membentuk Dewan Nasional sebagai programnya. Akan tetapi sesuai dengan pasal 96 UUDS tentang hak pemerintah untuk membuat Undang-Undang Darurat dan adanya pengakuan bahwa situasi negara sedang dalam keadaan darurat, maka argumentasi kedaruratan itu pun digunakan sebagai alasan untuk membentuk Dewan Nasional. Dengan demikian keluarlah UU Darurat No. 7 tentang pembentukan Dewan Nasional (Ghazali, et.al., 1989 : 43).
Adanya pertentangan – pertentangan yang tersebut, Kabinet Ali sastroamidjojo II tidak mampu lagi menghadapi tantangan yang berupa tuntutan-tuntutan terebut. Selain itu, Jenderal Nasution sebagai KSAD juga tidak berhasil mengkompromikan daerah dengan pusat. Ia kemudian mendesak Presiden Soekarno agar menyatakan seluruh wilayah Negara Indonesia diberlakukannya keadaan darurat perang, maka Presiden pun mendesak Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk menyetujui peraturan Negara dalam keadaan darurat perang (Muhaimin, 2002 : 101).
Dengan Undang – Undang Darurat, pada tanggal 6 Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasioanl. Selama dua bulan lebih, yaitu sejak 6 Mei sampai 11 Juli 1957, Presiden, Kabinet, DPR dan tokoh masyarakat, bersama-sama membicarakan tentang susunan anggota, struktur lembaga, personalia yang menjadi anggota Dewan Nasional, hubungan kerja dengan kabinet, anggaran biaya, tata tertib, kewenangan, dan lain sebagainya (Ghazali,et.al., 1989 : 43). Pada tanggal 11 Juli 1957, Dewan Nasional mulai berfungsi dan diketuai oleh Presiden Soekarno.
Pada tanggal 14 Maret 1957 di Istana Negara, sebelum Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Wakil Perdana Menteri Idham Chalid menyerahkan mandatnya, Presiden Soekarno mengumumkan Negara dalam keadaaan darurat perang atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg), berhubung dengan keadaan keamanan dan ketertiban umum di wilayah Indonesia pada saat itu (Suluh Indonesia, 15 Maret 1957). SOB inilah yang memberikan dasar hukum legitimasi kepada militer untuk melakukan tindakan-tindakan non-militer, terutama dalam hal ini adalah melakukan peranan politik (Muhaimin, 2002 : 101).
Walaupun Dewan Nasional sebagai dewan penasehat sudah terbentuk, Akan tetapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemerintah masih belum teratasi. Masalah daerah-daerah yang timbul di Sumatera dan Sulawesi menyebabkan hubungan pusat dan daerah terganggu. Masalah daerah juga membawa pengaruh di bidang ekonomi dan pembangunan, sehingga pemerintah sulit untuk melaksankan program-programnya. Untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, maka akan diadakan Musyawarah Nasional (Marwati Djoened Poesponegoro, et.al., (ed), 100).
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II menyerahkan kembali mandatnya, Presiden menunjuk Suwiryo dari PNI sebagai formatur untuk menyusun kabinet baru. Akan tetapi, Suwiryo tidak berhasil membentuk kabinet tersebut, sehingga dengan menggunakan alasan keadaan darurat perang (SOB), presiden menunjuk dirinya sendiri sebagai warga negara Soekarno menjadi formatur guna membentuk suatu kabinet darurat ekstra parlementer.
Musyawarah ini dilaksanakan dari tanggal 10 hingga tanggal 14 September 1957, yang dihadiri oleh tokohtokoh nasional baik Pusat maupun Daerah. Musyawarah ini diadakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda. Di dalam musyawarah ini dibicarakan masalah-masalah pemerintahan, mengenai persoalan daerah, ekonomi, keuangan, Angkatan Perang, kepartaian serta masalah yang menyangkut dwi-tunggal Soekarno-Hatta (Marwati Djoened Poesponegoro, et.al., (ed.), 278).
Maka dihasilkanlah Kabinet Gotong Royong atau disebut Kabinet Karya. Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang resmi terbentuk pada tanggal 9 April 1957. Kabinet ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya kabinet berkaki empat sebab menteri yang mewakili PKI tidak langsung berasal dari PKI melainkan dari organisasi yang berorientasi pada PKI. Kursi PKI ditempati oleh Mr. Sadjarwo (Menteri Pertanian) dan AM Hanafi (Menteri Pengerahan Tenaga Rakyat dan Pembangunan). Beberapa menteri yang lain berasal
b. Aksi Subversif Pasca diadakannya Pemilihan Umum I diharapkan situasi di Indonesia dapat membaik. Akan tetapi
8
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
pemerintah Indonesia harus menghadapi pergolakan lagi yang terjadi di daerah-daerah, hal ini disebabkan oleh hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, seperti yang terjadi di Sumatera dan Sulawesi. Pemerintah daerah merasa tidak puas dengan alokasi biaya yang diterima dari pusat, selain itu mereka juga tidak menaruh kepercayaan lagi kepada pemerintah pusat.
Rakyat Indonesia sebenarnya tetap mendukung dan menghendaki Soekarno-Hatta sebagai pemimpin bangsa Indonesia sekaligus penyalur semangat rakyat dalam perjuangan menghadapi berbagai tantangan dan rongrongan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Soekarno yang kharismatik dianggap pemimpin nomor satu dan Hatta dianggap sebagai penghubung dan pengatur keseimbangan yang menjembatani kepentingan pusat dan daerah. Kegagalan segala usaha untuk mengutuhkan kembali dwi-tunggal memang berdampak luas. Salah satunya adalah timbulnya gerakan-gerakan kesukuan dan daerah sebagai akibat rasa ketidakpuasan politik (Rachmat, et.al., 7-9).
Pergolakan-pergolakan yang terjadi didaerah-daerah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor : Pertama, Isu Sentralisme. Isu sentral yang berkembang di sekitar hubungan pusat dan daerah adalah tuntutan otonomi yang lebih luas dan efektif bagi daerah. Dirasakan penyelenggaraan pemerintah terlalu terpusat, sehingga daerah lebih sering mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Bangun, 1996:184). Hubungan pusat dan daerah di Indonesia menjadi pelik oleh kenyataan bahwa pusat itu berkedudukan di, dan sering disamakan dengan Pulau Jawa. Pulau yang terpadat penduduknya dari pulau-pulau di Indonesia, dan tempat tinggal suku bangsa Jawa, yang jumlahnya dominan (Harvey, 1984:11).
Menjelang pembentukkan RIS pada tahun 1949, keadaan di Sumatera Tengah mengalami perubahan, salah satunya adalah pada bulan Oktober 1949 terjadi penciutan Divisi Banteng menjadi satu brigade (Brigade EE Banteng). Akibat penciutan ini sejumlah prajurit terpaksa harus kembali ke kampung halaman. Hal tersebut menimbulkan kekecewaan, Banyak dari para prajurit tersebut merantau meninggalkan daerah mereka untuk mengadu nasib. Sebagian mereka menghadapi kenyataan bahwa perjuangan hidup dikota-kota besar di Jawa ternyata lebih keras daripada yang dirasakan di daerah mereka sendiri. Hal ini disebabkan karena tidak semua memiliki latar belakang pendidikan atau keterampilan yang memadai, banyak pula yang tidak berhasil mendapat pekerjaan, sehingga pengangguran merajalela (Leirissa, 1997 : 37).
Kedua, faktor ekonomi. Setelah pengakuan kedaulatan, situasi sosial ekonomi Indonesia tidak lebih baik dari masa sebelumnya. Kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat Indonesia pada masa perang kemerdekaan tidak mudah untuk diatasi. Hal ini merupakan dampak langsung dari kesulitan yang dialami pemerintah terutama di bidang moneter (Rachmat, et.al., 1992 : 19-20). Keadaan ekonomi yang sulit ini sangat dirasakan oleh berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Salah satu golongan yang mengalami kesulitan akibat masalah ini adalah prajurit. Tindakantindakan pemerintah dalam masalah ekonomi, seperti penyalahgunanaan sumber devisa, pemberi izin istimewa kepada anggota partai penyokongnya, serta birokrasi perizinan yang sangat berbelit-belit itu, menghambat para pedagang. Kalangan pimpinan pasukan di berbagai wilayah pun kesal, karena alokasi keuangan bagi operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit tidak terlaksanan dengan semestinya. Maka mereka mencari cara sendiri dalam menghimpun dana dengan kegiatan tersembunyi. Cara yang di tempuh, antara lain, mengekspor sendiri hasil produksi pertanian lokal tanpa melalui prosedur administrasi di Jakarta dengan cara barter (Rachmat, et.al., 1992 : 13).
Keadaan para tentara dan perekonomian negara yang jauh dari memuaskan pada saat itulah menjadi perhatian sekelompok anggota Divisi Banteng, baik yang masih aktif dalam ketentaraan maupun yang sudah tidak aktif. Sebagai langkah pertama diadakanlah reuni eks Divisi Banteng (Rachmat, et.al.,1992: 42). Pada tanggal 20 sampai 24 November 1956, diadakanlah suatu pertemuan reuni para perwira eks Divisi Banteng di Balai Prajurit Padang yang dihadiri sebanyak 612 anggota. Mereka berdatangan dari Sumatera Tengah, Jakarta, Aceh, Medan, Palembang, dan daerah lainnya (Muhaimin, 2002 : 93-94). Pertemuan Dewan Banteng dan pemerintah pusat pada mulanya berasal dari soal perbedaan kepentingan, prinsip desentralisasi, akan tetapi berkembang menjadi radikal dan revolusioner akibat pemerintah lambat dan tidak konsisten dalam memahami keinginan daerah. Ketidakmampuan pusat mengatasi krisis kenegaraan menimbulkan krisis kepercayaan pada kepemimpinan pusat. Kekecewaan meluas, dan pada 20 Desember 1956, Kamis malam, dihadiri 38 orang pemuka rakyat dari kepartaian, ketentaraan, kepolisian, kepamongprajaan, bertempat di gedung Tamu Agung, Bukittinggi, melalui Dewan Banteng pimpinan Ahmad Husein mulai mengambil alih kekuasaan daerah dari
Faktor yang ketiga, yaitu politik. Pecahnya dwi-tunggal Soekarno – Hatta merupakan faktor penting dalam memperburuk krisis politik di Indonesia. Pada tanggal 1 Desember 1956 Mohammad Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatannya sebagai wakil presiden. Alasan yang dikemukakan antara lain karena ia tidak cocok dengan kebijaksanaan politik Soekarno.
9
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
Gubernur Ruslan Muljohardjo (Rachmat, et.al., 1992 : 46).
Letnan Kolonel Ahmad Husein, dan Kolonel. Z Lubis, dan beberapa tokoh partai lainnya dari Jakarta (Suluh Indonesia, 14 Januari 1958).
Selain di Sumatera, perolakan ini juga meluas ke wilayah Indonesia bagian Timur, pada tanggal 2 Maret 1957, Panglima TT VII, Letnan Kolonel Sumual, menyatakan wilayahnya dalam keadaan darurat perang dan mengangkat dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Dalam waktu yang bersamaan, kepala stafnya, Letkol Saleh Lahade, melalui radio Makasar, membacakan naskah “Piagam Perjuangan Permesta” yang telah disepekati oleh para perwira puncak di wilayah itu, tokoh-tokoh politik setempat, dan pemimpin-pemimpin pemuda Indonesia bagian Timur. Piagam tersebut menuntut agar keempat provinsi yang termasuk dalam TT VII (Sulawesi Selatan-Tenggara, Sulawesi Utara-Tengah, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil) diberi otonom keuangan yang luas. Sentralisme harus dihapuskan karena sistem itu telah menimbulkan korupsi dan stagnasi di daerah-daerah.Kabinet atau Dewan Nasional harus dipimpin oleh dwitunggal Soekarno-Hatta (Sundhaussen, 1986 : 190).
Pertemuan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan utama, yaitu melancarkan suatu aksi sesegera mungkin terhadap Jakarta. Untuk dapat mewujudkan tindakan ini, mereka memutuskan akan mengambil empat langkah. Pertama, mendirikan sebuah “Dewan Perjuangan” yang akan dipimpin oleh Ahmad Hussein. Kedua, merumuskan suatu ultimatum yang akan disampaikan kepada Pemerintah Pusat pada bulan Februari 1958. Ketiga, merencanakan untuk membentuk sebuah pemerintahan tandingan bilamana ultimatum mereka ditolak oleh pemerintah. Keempat, akan melakukan perlawanan apabila Pemerintah Pusat mengambil langkah-langkah militer (Sjamsuddin, 1989:62). Desas-desus tentang akan segera berkobarnya pemberontakan mencapai Jakarta. Masyumi dan PSI mengirim delegasi ke Sumatera dalam usaha membujuk kaum pemberontak supaya tidak melakukan rencana apa pun membentuk pemerintahan tandingan. Hatta juga terkejut ketika mendengar usul pembangkangan terhadap Pemerintah Pusat. Ia mengirim sebuah pesan penting melalui kepala kepolisian di Padang supaya menunda rencana tersebut, memperingatkan Hussein dan kawan-kawan, bahwa pemberontakan akan menghancurkan daerahnya. Panglima Angkata Darat wilayah Jawa ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap teman-teman perwira mereka di Sumatera maupun Sulawesi. Akan tetapi pembentukan pemerintah kaum pemberontakan meningkatkan pertikaian sampai pada masalah penghianatan dan keamanan nasional (Rose, 1991 : 330).
Sebagai reaksi terhadap perkembangan daerah itu pemerintah pusat RI akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk membicarakan bagaimana sebaiknya mengatasi rasa ketidakpuasan daerah, yang diselenggarakan dari tanggal 10 sampai 14 September 1957. Musyawarah Nasional tersebut mendapat tanggapan dari para pemimpin militer daerah. Pada tanggal 20 September 1957, diadakan pertemuan rahasia yang bertempat di Padang. Para pewira yang hadir pada saat itu yaitu Ahmad Husein, Kolonel Simbolon, Letnan Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Zulkifli Lubis, dan Letnan Barlian, selain itu juga hadir tokoh penting lain, diantaranya Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Pembicaraan berlangsung sekitar hasil Musyawarah Nasional yang seolah-olah berhasil menampung masalah pembangunan daerah, akan tetapi Presiden Soekarno mengesampingkan masalah masalah yang penting, yaitu soal bahaya komunisme, penggantian Kepala Staf Angkatan Darat dan ketidakseimbangan pendapatan daerah. Para pembicara sepakat untuk mengambil alih sumber-sumber ekonomi, agar dengan demikian mereka bisa membiayai angkatan perang lebih baik, dan memperkembangkan kehidupan ekonomi (Sundhaussen, 1986 : 200).
Pemberontakan dimulai ketika pada tanggal 10 Februari 1958. Dewan Perjuangan yang diketuai oleh Letnan Kolonel Ahmad Hussein memberikan ultimatum kepada pemerintah pusat dengan tuntutan antara lain sebagai berikut: (1) Supaya dalam waktu 5x24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden. (2) supaya Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX ditunjuk sebagai formatur kabinet. (3) Supaya Hatta – Hamengkubuwono jangan menolak. (4) supaya DPR memungkinkan Hatta – Hamengkubuwono membentuk satu zaken kabinet nasional yang diberi mandat untuk terus bekerja sampai pemilihan umum yang akan datang. (5) supaya Presiden Soekarno bersedia kembali pada kedudukannya yang konstitusionil, dan memberikan kesempatan sepenuhnya serta bantuannya menurut konstitusi kepada zaken kabinet nasional Hatta – Hamengkubuwono sampai pemilihan umum yang akan datang. (6) Apabila tuntutan menurut angka 1 dan 2
Ketika Soekarno sedang dalam perjalanan ke luar negeri, para panglima pemberontak Sumatera, bersama dengan Sumual dari Sulawesi, dan tokoh-tokoh penting lainnya, bertemu antara tanggal 9 dan 13 Januari 1958 di Sungai Dareh, kota kecil di dekat perbatasan Sumatera Barat-Jambi (Rose, 1991 : 330). Tokohtokoh yang hadir pada saat itu antarai lain Syafruudin Prawiranegara (Masyumi), Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (PSI), Kolonel Mauludin Simbolon,
10
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
tidak dipenuhi, maka akan diambil kebijaksanaan sendiri (Kabinet Karya, Tanpa Tahun :46).
Lintang, Saladin Sarumpet dan Abdulgani Usman diberi waktu 3 x 24 jam untuk menyatakan sikap yang tegas, apakah akan menerima penunjukan dalam Kabinet PRRI ataukah tidak. Tanggal 17 Februari, Letnan Kolonel D.J. Somba atas nama rakyat Sulawesi Utara Tengah menyatakan mendukung penuh PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah Kabinet Karya (Rosidi, 1986 : 213-214). Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 18 Februari 1958, pemerintah menggeluarkan perintah pembekuan sementara Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, dan perintah penagkapan terhadap D.J. Somba, D. Runturambi, H. D. Manoppo, Jan A. Toran. Selain itu, dikeluarkannya larangan adanya organisasi-organisasi yang dinamakan “Dewan Banteng”, “Dewan Garuda”, Perjuangan Semesta ( Permesta) termasuk cabangcabang/bagian-bagiannya (Kabinet Karya, Tanpa Tahun : 49-50).
Pada tanggal 11 Februari 1958, pemerintah menyelanggarakan rapat membahas untuk ultimatum tersebut, dan sepakat menolaknya. Gambar 4 : “Sejarah Tahun 1948 Terulang Lagi..!”
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, Pemerintah Pusat mengambil tindakan militer,walaupun banyak pemimpin politik menganjurkan pemerintah agar menghindari penggunaan kekerasan. Setelah satu minggu pembentukan PRRI, pemerintah telah menyerang pemancar radio PRRI di Padang dan Bukittinggi. Akan tetapi penyerbuan secara besarbesaran terhadap Padang tidak dilakukan sampai pertengahan April. Sebelum menguasai Padang, pemerintah ingin terlebih dahulu menguasai Riau untuk memutuskan hubungan PRRI dengan luar negeri. Setelah Riau dikuasai dengan baik, barulah seranganserangan dipusatkan terhadap basis PRRI di Sumatera Barat (Sjamsuddin, 1989 : 63).
(Sumber : Suluh Indonesia, 13 Februari 1958)
Pada kartun Suluh Indonesia tersebut digambarkan bagaimana Hussein dan kawan-kawan “menusuk” dari belakang Pemerintah Indonesia, sementara pemerintah Indonesia sendiri sedang mengalami kesulitan mengahadapi pihak Belanda yang tetap pada pendiriannya ingin mengakui kedaulatan Irian Barat. Hal tersebut seperti yang terjadi pada tahun 1948, yaitu penghianatan PKI di Madiun, ketika Indonesia sedang menghadapi Agresi militer Belanda, PKI melakukan pemberontakan melawan Pemerintah dan TNI.
Gambar. 5 : “Rusaknya Jembatan Kabinet Revolusioner..”
Ultimatum dari Dewan Perjuangan ditolak keras, maka pada hari ke 5 sesudah ultimatum tersebut dikeluarkan, Dewan Perjuangan mengambil tindakan terakhir, yaitu tepat pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan tersebut mengumumkan “proklamasi” pemerintah tandingan yang mereka namakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Sejak saat itu, Dewan Perjuangan menggangap diri mereka terlepas dari kewajiban untuk mentaati Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan membentuk sebuah kabinet baru, yaitu Kabinet PRRI (Mestika, et.al, 1998:147). Pada tanggal 16 Februari 1958 , Presiden Sukarno kembali dari tetirahnya di luar negeri dan pada hari itu juga dikeluarkan perintah penangkapan dan penahanan terhadap Mr. Sjarifuddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, Dr. Soemitro Djojohadikusumo dan Mohammad Sjafe’i. Sementara kepada Kolonel J.F. Warouw, Letnan Kolonel Saleh Lahade, Mochtar
(Sumber : Suluh Indonesia, 22 Februari 1958)
Kartun Suluh Indonesia tersebut menggambarkan kegagalan para tokoh-tokoh PRRI antara lain ; Safrudin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Sumitro, Simbolon, dan Dahlan Djambek yang gagal dalam
11
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
membentuk “Kabinet Revolusioner” yang diibaratkan sebagai jembatan di Sungai Dareh (Bukittinggi). Hal ini disebabkan karena sikap Pemerintah yang tegas dalam mengahadapi “Pemerintahan tandingan” tersebut.
c. Hubungan Indonesia Kedaulatan RI
–
Belanda
menghasilkan apa-apa selain kegagalan-kegagalan, karena itu pada tahun 1953 Indonesia mencoba meminta perhatian dunia internasional mengenai masalah Irian Barat dengan mengajukannya ke forum PBB. Usaha melalui forum PBB ini mulai diadakan pada tahun 1954 pada masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Dalam bulan Agustus 1954, Wakil Tetap Indonesia di PBB, Mr. Sudjarwo Tjondronegoro telah mengajukan masalah Irian Barat untuk menjadi salah satu acara pada sidang umum PBB ke -9 yang akan dilangsungkan pada 21 September 1954. Delegasi Republik Indonesia dipimpin Menteri Luar Negeri Mr. Sunario yang tiba di New York pada pertengahan bulan September dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa masalah Irian Barat hanya dicantumkan pada pasal 7 dalam acara tambahan sidang umum ke-9 tersebut (Leirissa (ed.), 1992:18).
Pasca
Setelah melalui proses yang panjang, pada akhirnya kedaulatan Negara Republik Indonesia diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, masih ada permasalahan yang belum terselesaikan, yaitu mengenai Irian Barat. Pihak Belanda masih tetap ingin mempertahankan Irian Barat dalam wilayah kedaulatannya. Pada waktu dibicarakan masalah Irian Barat dalam KMB, Belanda sengaja menempatkan masalah ini pada agenda akhir pembicaraan konferensi. Pembicaraan mengenai Irian Barat baru dimulai tanggal 30 Oktober 1949, dua hari sebelum konferensi ini berakhir. Delegasi Belanda berpendapat, bahwa masalah Irian Barat perlu mendapat status khusus. Dalam bidang ekonomi, wilayah Irian Barat dianggap tidak mempunyai hubungan dengan wilayah-wilayah Indonesia. Dengan demikian Irian Barat harus ada di luar Republik Indonesia Serikat (RIS) nantinya, sebaliknya Irian Barat mempunyai hubungan politik yang khususnya dengan kerajaan Belanda, yang akan diperintah sesuai dengan Piagam PBB dengan mengusahakan kemajuan melalui pendidikan rakyatnya serta memperkembangkan ekonominya. Sementara itu delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat harus tetap diserahkan kepada RIS dengan alasan, bahwa selama ini terjalin hubungan suku bangsa, ekonomi, dan agama (Djamhari, et.al., 1995:506).
Pada tanggal 10 Desember 1955 diselenggarakankanlah perundingan Indonesia dan Belanda yang dibuka di Den Haag dan dilanjutkan di Jenewa, Swiss. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ide Anak Agung Gede Agung dan didampingi oleh beberapa orang anggota yang terdiri atas: Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Ekonomi I.J Kasimo, Menteri Kesehatan Dr. Leimena, Mr. Mohammad Roem, Arudji Kartawinata dan sejumlah pakar, dan Duta Besar untuk Belanda Mr. Oetoyo Ramelan. Perundingan dibuka secara resmi oleh Perdana Menteri Belanda Dress di Den Haag (Djamhari, et.al., 1995 : 20-21). Perundingan tersebut berkisar pada dua masalah, yakni keinginan Indonesia untuk membubarkan Uni Indonesia-Belanda sehingga Indonesia tidak lagi dibebani dengan kewajibankewajiban ekonomi dan keuangan sebagaimana ditentukan pasda konferensi Meja Bundar (KMB), dan juga perihal permasalahan Irian Barat (Leifer, 1989:62).
Sejak tahun 1950 kedua negara melakukan perundingan-perundingan baik secara resmi maupun tidak resmi untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat, akan tetapi usaha-usaha tersebut menemui kegagalan. Awal tahun 1953, hubungan Indonesia – Belanda semakin tegang. Hal ini disebabkan karena keterangan pemerintah Belanda di parlemen yang tidak menginginkan penyelesaian masalah Irian Barat dan melakukan mobilisasi para pemuda untuk mendaftarkan diri memasuki dinas militer untuk Irian Barat. Tindakan yang dilakukan oleh Belanda tersebut mendapat reaksi dari kalangan politisi Indonesia, baik didalam parlemen maupun di luar parlemen. Kalangan politisi mendesak pemerintah agar membubarkan UNI, bersiap-siap untuk menjawab tindakan Belanda di bidang militer serta memutuskan hubungan diplomatik dengan kerajaan Belanda (Djamhari, et.al,1995:14).
Sementara perundingan Indonesia Belanda berlangsung, pada tanggal 12 Desember 1955 sidang Majelis Umum PBB melalui Panitia Politik menerima baik secara bulat sebuah resolusi sebagai berikut: “mengharapkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara damai”. Pada tanggal 7 Januari 1956 berakhirlah perundingan tahap pertama, dimana delegasi Indonesia membicarakan masalah Irian Barat. Menanggapi usul Indonesia, delegasi Belanda tetap tidak bersedia membicarakan masalah tersebut. Namun, dalam nota politik yang disampaikan oleh delegasi Belanda menyebutkan bahwa masalah Irian Barat tetap merupakan sengketa. Akibat terjadinya perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak terutama mengenai protocol Uni dan masalah Irian Barat, menyebabkan perundingan menemui jalan buntu (Djamhari, et.al., 1995 : 20-21).
Pembicaraan-pembicaraan melalui perundingan bilateral dalam ikatan Uni Indonesia-Belanda tidak
12
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
Setelah delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Anak Agung Gde Agung kembali, kegagalan pada perundingan tersebut merupakan alasan dan kesempatan yang cukup baik bagi Indonesia untuk mebatalkan perjanjian KMB. Kabinet Burhanuddin Harahap pun segera mempersiapkan rancangan undang-undang pembatalan perjanjian KMB secara sepihak. Hal ini diterima oleh parlemen tanggal 28 Februari 1956 dengan 108;80 suara; akan tetapi sebelum pemungutan suara, Sartono (PNI), Ketua Parlemen, serta Arudji Kartawinata (PSII) menolaknya dengan mengatakan bahwa tata tertib parlemen telah dilanggar. Mereka berdua serta merta menyatakan diri berhenti sebagai Ketua dan Wakil Ketua II Parlemen. Pemungutan suara sidang parlemen dipimpin oleh Wakil Ketua I Tambunan. Presiden Soekarno juga tidak mau mengesahkan Rancangan Undang-undang tersebut. Beliau meminta pandapat Mahkamah Agung dalah hal ini, khususnya apakah sidang parlemen tersebut sah atau tidak. Kemudian Mahkamah Agung dengan suratnya tanggal 8 Maret 1956, member penilaian bahwa sidang DPR tersebut sah. Ini berarti DPR telah sah menyetujui pembatalan ikatan Uni. Akan tetapi Presiden Soekarno tetap tidak juga menandatangani RUU tersebut dengan alasan “demi kepentingan Negara (Noer, 1990:472-473).
wilayah kedaulatan RI adalah bagian mutlak dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Dirdjosuparto, 1998:246). Gambar 6 : “Dukungan Negara-negara Asia-Afrika..”
(Sumber : Suluh Indonesia, 20 Oktober 1956)
Pemerintah Indonesia secara tahap demi tahap mulai mengambil langkah-langkah konkrit. Pada tanggal 4 Agustus 1956, kabinet Ali secara sepihak menolak mengakui hutang negara sebesar 3.661 milyar Gulden di bawah persetujuan Konferensi Meja Bundar, 85 % dari jumlah yang disepakati pada tahun 1949, atas dasar pemikiran bahwa hutang tersebut merupakan biaya perang Belanda untuk melawan Revolusi (Ricklefs, 2005 : 498). Selain itu, Pada tanggal 17 Agustus 1956, Presiden Soekarno mengumandangkan pembentukan propinsi Irian Barat dengan Ibukotanya Soasiu di Tidore yang meliputi wilayah yang diduduki Belanda, serta daerah tidore, Oba, Weda, Petani dan Wasile. Gubernur Propinsi tersebut ialah Zainal Abidin Syah yang berasal dari keturunan bangsawan Tidore. Kemudian dibentuk Partai Persatuan Rakyat Cendrawasih dengan tujuan untuk dapat segera menggabungkan wilayah Irian Barat ke dalam Republik Indonesia (Djamhari, et.al, 1995 : 23-24).
Pada gambar 4.3 kartun politik Suluh Indonesia tersebut menggambarkan dukungan yang dilakukan oleh negara-negara Asia-Afrika bekerja sama dalam membantu Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan Irian Barat dengan mengajukannya ke dalam sidang PBB. Pada tanggal 15 Februari 1957 Parlemen Indonesia mengadakan sidang dengan suara bulat menerima usul resolusi yang diajukan oleh Mr. Imron Rosjadi dan kawan-kawan tentang dibicarakannya soal Irian Barat di PBB. Isi dari usul resolusi tersebut pada intinya menyerukan kepada anggota-anggota PBB untuk memperhatikan sepenuhnya terhadap masalah Irian Barat yang merupakan persengketaan sengit antara Indonesia-Belanda. Mengharap dengan sangat agar sidang umum PBB sebagai lembaga perdamaian untuk dapat membantu menjelaskan sengketa politik yang telah lama itu secepat-cepatnya sesuai dengan dasar dan semangat piagam PBB. Usul resolusi tersebut ditandatangani oleh 23 anggota baik dari fraksi Pemerintahan maupun dari fraksi-fraksi oposisi. Dengan demikian meskipun suasana politik agak tegang antara partai-partai penyokong Pemerintah dengan oposisi dalam perdebatan tentang keterangan pemerintah mengenai peristiwa Sumatera, akan tetapi dalam menghadapi soal Irian Barat seluruh fraksifraksi dalam Parlemen bulat pendapatnya memperjuangkan kembalinya Irian Barat kedalam wilayah RI ( Suluh Indonesia, 16 Februari 1957).
Tindakan-tindakan Pemerintah Indonesia tersebut menimbulkan reaksi-reaksi yang kurang menguntungkan bagi Indonesia, reaksi tersebut terutama datang dari negara-negara Barat. Belanda segera melakukan tindakan-tindakan balasan melalui kegiatan diplomatik untuk menyudutkan dan menjelekjelekkan nama Indonesia di forum internasional. Akan tetapi, usaha Belanda tersebut tidak berhasil karena Indonesia sebelumnya telah berhasil meyakinkan negara-negara Asia-Afrika melalui KAA I di Bandung, bahwa perjuangan untuk memasukkan Irian Barat ke
13
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
alihan milik Belanda, seperti perkebunan, pabrik, perusahaan, bank, rumah kediaman, dan sebagainya (Djamin (ed.), 2001: 133-134).
Gambar 7 : “Perjuangan Indonesia untuk Pembebasan Irian Barat Melalui PBB”
Akibat tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, Pemerintah Belanda mengeluarkan protes, dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak menyelesaikan masalah dan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Internasional. Protes pemerintahan Belanda tersebut dijawab oleh pemerintah Indonesia, bahwa tindakan nasionalisasi adalah akibat dari sikap Belanda yang tidak bersedia menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai, oleh sebab itu pemerintah Indonesia melakukan tindakan demikian (Djamhari, et.al, 1995 : 25). Sementara itu pasca pengambilalihan perusahaanperusahaan Belanda, terdengar suara-suara untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda. Selain itu, sejak gagalnya rancangan resolusi yang diajukan pada Sidang Umum PBB yang XII tahun 1957, pada tahun 1958 masalah Irian Barat tidak dicantumkan lagi dalam acara sidang. Sejak saat itu Indonesia lebih menitik beratkan usahanya untuk menyelesaikan masalah Irian Barat melalui caranya sendiri, yaitu tindakan pengambilalihan perusahaanperusahaan milik Belanda di Indonesia (Djamhari, et.al, 1995 : 25).
(Sumber : Suluh Indonesia, 16 Februari 1957)
Pada kartun politik diatas (gambar 7), menggambarkan pemerintah Indonesia tetap berjuang dan bertahan pada pendiriannya dalam memperjuangkan kedaulatan Irian Barat dari Belanda. Salah satu jalan yang terus dilakukan untuk memperjuangkan Irian Barat tersebut yaitu dengan mengajukan terus menerus permasalahan ini dalam sidang PBB. Pada bulan November 1957 masalah Irian Barat diperdebatkan lagi di forum PBB. Perdebatan ini telah didahului dengan agitasi selama seminggu di Indonesia pada saat perusahaan-perusahaan Belanda diboikot dan warga negara Belanda menjadi sasaran intimidasi. Pada saat itu, kabinet ekstra-parlementer yang diatasnya Presiden Soekarno melaksanakan dominasi politik, telah menempatkan kepercayaan umum yang begitu besar terhadap penerimaan resolusi yang dibicarakan oleh Majelis Umum PBB. Presiden Soekarno memperingatkan bahwa apabila resolusi tersebut gagal disetujui, maka “kita akan menggunakan cara baru dalam perjuangan kita yang akan mengejutkan bangsabangsa dunia”. Pada tanggal 29 November 1957, resolusi tersebut gagal mendapatkan dukungan mayoritas dua pertiga (Leifer, 1989 : 68-69).
4. Kesimpulan Pada masa Demokrasi Parlementer, ditandai dengan munculnya partai-partai politik. Dalam kondisi seperti ini kebebasan berpolitik, liberalisasi ekonomi dan kebebasan pers dimanfaatkan partai politik untuk mempengaruhi masyarakat melalui surat kabar yang diterbitkannya. Adanya surat kabar partai atau surat kabar partisan tidak jarang memicu timbulnya polemik antar kelompok. Surat kabar partisan yang muncul pada saat itu antara lain : Abadi (Masyumi), Duta Masyarakat (NU), Harian Rakyat (PKI), dan Suluh Indonesia (PNI). Keempat partai besar tersebut menggunakan surat kabar partisannya untuk mengkritik dan saling menjatuhkan lawan politiknya, terutama lawan politik yang terdapat dalam pemerintahan. Kritikan – kritikan mereka tercermin dari isi berita, tajuk rencana, iklan kampanye dan kartun politik pada surat kabar-surat kabar tersebut. Kritik yang dilakukan pada waktu itu jarang sekali yang bersifat membangun, kebanyakan kritikan atau komentar-komentar tersebut bersifat sinisme. Hal ini sangat berbeda sekali dengan pers pada masa awal revolusi, para jurnalis Indonesia dengan semangat dan kerja keras yang tinggi, berusaha untuk mempengaruhi dan mengajak masyarakat agar mereka mau bersama-sama membela negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Jalan damai yang telah ditempuh selama kurang lebih satu dasawarsa tidak berhasil mengembalikan Irian Jaya, maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Dalam rangka itulah pada tahun 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat diseluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambilalihan milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan (Marwati Djoened Poesponegoro, et.al., (ed.), 1993 : 332). Terjadi gerakan-gerakan bersifat anarki. Kaum buruh pelayaran merebut Kantor Pusat Koninlijke Paketvaart Maatschappij (KPM) di Jakarta. Hari-hari berikutnya di seluruh Indonesia terjadi demonstrasi dan pengambil
14
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
Selain memuat berita, surat kabar juga memuat kartun sebagai tanggapan suatu peristiwa yang penting pada saat itu. Selama pendudukan militer Jepang, kartun di Indonesia kesempatan untuk berkembang, tetapi sebagai media komunikasi politik bagi kepentingan propaganda Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa penjajahan Jepang kartun tidak lagi diperuntukan bagi golongan tertentu saja melainkan dijadikan alat untuk berkomunikasi dengan massa karena kartun mudah dipahami dan sering kali berpenampilan lucu. Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, kartun memperoleh perhatian yang khusus, baik untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah maupun sebagai alat kritik. Selama berlangsung perlawanan terhadap Belanda, kartun muncul bukan hanya di media pers tetapi juga dalam bentuk poster, spanduk, pamphlet, serta coretan di dinding.
lawan politiknya yang berada pada oposisi. Sementara untuk tema aksi subversif, Suluh Indonesia sering sekali memuat kartun politik yang menggambarkan para pemimpin militer daerah dan tokoh-tokoh Masyumi yang pada saat itu terlibat pemberontakan PRRI-Permesta. Suluh Indonesia juga sering memuat kartun politik yang bertemakan hubungan IndonesiaBelanda yang pada saat itu masih mempermasalahkan Irian Barat pasca Konferensi Meja Bundar. Kartun politik yang dimuat ditujukan untuk mengkritik pihak Belanda.
Memasuki masa demokrasi parlementer, kartun seringkali secara agresif dipakai sebagai alat bertikai antara golongan politik. Kartun dimanfaatkan oleh partai-partai politik sebagai media kritik terhadap kebijakan maupun ideologi yang tak sepaham, atau pihak lawan poltik yang sedang berkuasa. Fungsi kartun pada masa ini merupakan kombinasi antara editorial atau opini media yang bersangkutan. Kartun politik pada masa demokrasi parlementer memiliki kekhasan yang berbeda dari kartun-kartun politk sebelumnya. Saat itu umumnya para kartunis mendesain tiap-tiap golongan diperlambangkan sebagai binatang yang mencerminkan kepribadian golongan tersebut. Golongan Islam dilambangkan sebagai unta, nasionalis sebagai banteng, dan golongan komunis sebagai beruang. Selain itu mereka juga mendesain para tokoh politik dengan kiasan binatang. Mengkiaskan seseorang dengan binatang merupakan suatu penghinaan dalam budaya Indonesia. Akan tetapi, saling tuding menuding dan menghina pada waktu itu bukan merupakan hal yang tabu.
“Seluruh Indonesia Dalam Keadaan Perang”, Suluh Indonesia, 15 Maret 1957.
Daftar Acuan “Bung Karno akan Memimpin Dewan Nasional”, Suluh Indonesia, 22 Februari 1957. “Perjuangan untuk Irian Barat. DPR Bulat Dukung Delegasi di PBB”, Suluh Indonesia, 16 Fbruari 1957.
“Tokoh-tokoh Penting Berkumpul di Padang”, Suluh Indonesia 14Januari 1958. Lilih Prilian Ari Pranowo : “Meneropong Indonesia Lewat Editorial Kartun (1919-2008)”, Basis, Nomor 01-02, th. 58, Januari-Februari 2009. Priyanto Sunarto,”Kartun : Roh Demokrasi Liberal”, Tempo, 17 Agustus 2007. Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 1991. Antariksa, G.P. et. al. “Kartun”. Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 8. Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka. 1990. Arifin, Anwar. Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta : Yarsif Watampone. 2010.
Pada surat kabar Suluh Indonesia, kartun-kartun politiknya kebanyakan digunakan untuk memuji tokohtokoh PNI atau memuji program pemerintahan yang pada saat itu dipegang oleh PNI. Selain itu kartun politiknya juga digunakan untuk mengkritik lawanlawan politiknya yang tidak sejalan. Hal ini terlihat dari kartun-kartunnya yang dibahas dalam skripsi ini, khususnya yang bertemakan pemerintahan, aksi subversif, dan hubungan Indonesia –Belanda pasca kedaulatan RI.
Dirdjosuparto, Susanto. Sukarno Membangun Bangsa : Dalam Kemelut Perang Dingin Sampai Trikora. Jakarta : Badan Kerjasama Yayasan Pembinaan Universitas 17 Agustus 1945. 1998. Djamhari, Saleh A. et.al. Tri Komando Rakyat (Trikomando): Pembebasan Irian Barat. Jakarta : Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. 1995. Djamin, Awaloedin (ed.). Ir. H. Djuanda : Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. 2001.
Pada tema pemerintahan, kartun politik Suluh Indonesia sering mengkritik dengan sinis lawan politiknya yang tidak sejalan, terutama yang pada saat itu sedang menduduki pemerintahan. Apabila PNI yang berada di pemerintahan, kartun politiknya mengkritik
Feith, Herbert & Lance Castles (ed.). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta : LP3ES. 1988.
15
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013
Ghazali, Zulfikar. et. al. Sejarah Politik Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikin dan Kebudayaan. 1989.
Sunarto, Priyanto. Metafora Visual Kartun Editorial di Surat Kabar Jakarta 1950-1957. Disertasi S3. Fakultas Seni Rupa. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 2005.
Gonggong, Anhar dan Musa Asy’arie (ed.). Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. 2005.
Siswantari. Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 dan Pandangan Partai Islam. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra. Universitas Indonesia. Depok. 1995.
Harvey, Barbara Sillars. Permesta : Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta : Grafiti Pers. 1984. Irsyam, Mahrus. Sejarah Kepartaian di Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Leifer, Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta : Gramedia. 1989. Leirissa, R.Z. PRRI-PERMESTA : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. 1997 ___________(ed.). Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Mestika, et. al. Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1998. Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2002. Poesponegoro, Marwati Djoened, et.al., (ed.). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka. 1993. Rachmat, Redi, et. al. Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa : Kasus PRRI. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta. 2005. Rocamora, J. Eliseo. Nasionalisme Mencari Ideologi : Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. 1991. Rosidi, Ajip. Sjafruddin Prawiranegara : Lebih Takut Kepada Allah SWT. Jakarta : Inti Idayu Press. 1986. Rose, Melvis. Indonesia Merdeka: Biografi Politik Muhammad Hatta. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 1991. Sjamsuddin, Nazaruddin. Integrasi Indonesia. Jakarta : Gramedia. 1989.
Politik
di
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta : LP3ES. 1986.
16
Kartun politik …, Hafsari Amini, FIB UI, 2013