19
TINJAUAN PUSTAKA Surat Kabar Media massa sebagai saluran informasi berperan untuk menumbuhkan dan memperkuat dukungan
masyarakat berupa partisipasi di dalam proses
pembangunan. Media massa memiliki kemampuan besar dalam menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepada khalayak yang tinggal secara terpisah dengan serempak dan dengan ketepatan yang tinggi (Jahi, 1993).
Pesan-pesan yang
disajikan oleh media massa baik berupa tulisan atau pun gambar, mampu memainkan berbagai peranan dalam pembangunan nasional. Hal ini mengingat bahwa fungsi media massa (pers nasional) sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU Pokok Pers No. 40/1999 adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Media massa sebagai saluran informasi berperan untuk menumbuhkan dan memperkuat dukungan
masyarakat berupa partisipasi di dalam proses
pembangunan. Katz, Gurevitch dan Hass (dalam Tan, 1981) mendefinisikan penggunaan media massa meliputi (1) isi media, (2) jenis media, dan (3) terpaan media dan situasinya. Isi surat kabar terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum (Effendi, 2000). Uraian tersebut berkaitan dengan apa yang ditulis Atmadi (1986) yaitu: “Pers Indonesia merupakan pers pembangunan, maka sudah logis kalau masyarakat mengharapkan bentuk dan isi pers Indonesia mencerminkan pembangunan.” Dengan demikian hal ini selaras dengan anggapan Yusuf (1987), bahwa apa pun corak pers nasional yang kita lihat sekarang adalah cermin kehidupan masyarakat kita sendiri. Pada pencapaian komunikasi yang efektif perlu memperhitungkan hal-hal seperti isi pesan tertentu, disalurkan melalui media tertentu dan ditujukan kepada sasaran tertentu, merupakan hal yang ditentukan (Rusadi, 1994). Media massa khususnya media jurnalisme menurut Siregar dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (2000), berfungsi bagi person pada tataran institusional, yaitu melayani warga masyarakat dalam keberadaannya sebagai bagian dari suatu institusi sosial (politik, ekonomi dan kultural). Fungsi utama
20
media pers yaitu untuk menyediakan informasi bagi person yang secara aktual berada dalam berbagai institusi sosial.
Dalam menyediakan informasi ini
disajikan pula bentuk informasi berupa foto berita yang berguna pula sebagai penarik minat baca khalayak dan memudahkan dalam memahami sebuah peristiwa atau berita. Berbicara mengenai media massa, terdapat istilah lain, yaitu Pers yang menurut Effendi (2000) mempunyai dua pengertian, yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas. Pers dalam arti sempit adalah media massa cetak seperti surat kabar, majalah, mingguan tabloid dan sebagainya.
Sedangkan pers dalam
arti luas meliputi media massa elektronik, antara lain radio dan televisi. Pers adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan sub sistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beroperasi bersama-sama dengan sistem lainnya (Effendi, 2000). Beroperasinya sebuah institusi pers yang harus memiliki kinerja profesional tentu perlu memiliki dasar yang kuat agar tidak tergerus atau tergusur jaman. Menurut Sumadiria (2005), ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling menopang, tritunggal. Ketiga pilar pers itu ialah: 1) idealisme; 2) komersialisme; 3) profesionalisme. Selain itu lebih lanjut menurut Sumadiria terdapat pula 6 (enam) landasan yang harus dianut dan dimiliki oleh wadah pers nasional yaitu landasan: 1) idiil; 2) konstitusional; 3) yuridis formal; 4) strategis operasional; 5) sosiologis kultural; 6) etis profesional. Membahas idealisme pers tentu akan berkaitan dengan isi serta kinerja media, dan sesuai pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999 ditulis bahwa pers nasional memiliki 5 (lima) peranan. Kelima peranan pers tersebut adalah: 1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta menghormati kebhinnekaan; 3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; 4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan 5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dengan demikian, secara jelas dan tegas, maknanya adalah pers harus memiliki dan mengemban idealisme. Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus
21
dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara (Sumadiria, 2005). Meski sisi idealisme penting, namun pers tidak hanya harus punya cita-cita ideal. Pers sendiri harus memiliki kekuatan dan keseimbangan. Hal ini diperoleh pers melalui segi komersial sesuai pasal 3 ayat (2) UU Pokok Pers No. 40/1999 yang menegaskan bahwa pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, menurut Sumadiria (2005) penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas.
Dengan berpijak pada segi komersial inilah lembaga pers dapat
mencapai cita-citanya yang ideal , karena pada dasarnya sebuah idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Hal lain dalam berbagai uraian di atas yang perlu dicermati adalah landasan keempat dan kelima dari pers nasional, yaitu landasan strategis operasional dan landasan sosiologis kultural. Menurut Sumadiria (2005) bahwa landasan keempat mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional. Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofi, visi, misi, orientasi, kebijakan, dan kepentingan komersial. Garis haluan redaksional mengatur tentang kebijakan pemberitaan atau sesuatu yang menyangkut materi isi serta kemasan penerbitan media pers. Pada penerapan landasan inilah tampak jelas beda antara media yang satu dengan media yang lainnya dan ini menjadi ciri khas masing-masing media. Sedangkan landasan kelima pers nasional menurut Sumadiria (2005) berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku pada dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
Ditegaskan bahwa pers kita adalah pers
nasional yang sarat dimuati nilai serta tanggung jawab sosial. Peran media massa atau pers dalam arti luas tampak jelas pada berbagai uraian di atas. Hal ini juga tampak dan diterapkan pada media tertua dalam sejarah pers yaitu surat kabar. Surat kabar merupakan sebuah media yang paling banyak dan luas penyebarannya, disertai penyajian yang dalam untuk daya kemampuannya merekam kejadian sehari-hari sepanjang sejarah di negara mana pun di dunia. Sebagai media massa tertua, tentu peran surat kabar telah banyak di
22
kehidupan masyarakat, antara lain mendorong terjadinya pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat istilah “Jurnalisme Pembangunan” yang pertama kali muncul sekitar tahun 1967. Ditulis Kusumaningrat (2005), bahwa gagasan utama tentang jurnalisme pembangunan tersebut secara ringkas adalah bahwa
“pemberitaan
mengenai
peristiwa-peristiwa
nasional
maupun
internasional haruslah memberikan kontribusi yang positif kepada negeri yang bersangkutan”.
Hal ini banyak diterapkan di dalam negara-negara berkembang
untuk membendung model jurnalisme Barat yang dianggap berperspektif individualistik. Meski tampak sisi positif pers cetak di atas, surat kabar sebagai pers cetak tentu memiliki kelemahan dalam penyebaran pesannya, terutama karena bentuknya yang tercetak sehingga hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang dapat membaca atau tidak buta huruf.
Hal ini sejalan dengan anggapan
Rachmadi (1990), bahwa pertumbuhan pers berhubungan erat dengan berbagai faktor, seperti: tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, urbanisasi, dan pendapatan per kapita yang di negara-negara berkembang merupakan tantangan yang harus dihadapi. Kendala ini cukup mengganggu di lingkungan negara-negara berkembang yang masih banyak memiliki penduduk buta huruf. Kendala ini dapat dikurangi dengan ditampilkannya berita berupa foto-foto peristiwa yang lebih mudah ditangkap oleh khalayak pembaca. Tampilan foto berita/jurnalistik menjadikan surat kabar menjadi lebih menarik pula untuk dilihat. Meski surat kabar memiliki kekurangan, masih banyak kelebihan surat kabar yang menepis gangguan tersebut, seperti kemudahan pembaca dalam mencari surat kabar.
Selain itu, informasi di dalam surat kabar yang tercetak tadi dapat
didokumentasi dengan mudah oleh pembaca. Isinya pun dapat dibaca berulangulang sesuai keinginan pembaca. Menurut Cangara (1998) media cetak seperti surat kabar, buku-buku, dan majalah mampu memberikan pemahaman yang tinggi kepada pembacanya, karena ia sarat dengan analisis yang lebih mendalam dibandingkan dengan media lain. Dalam mengakses surat kabar, pembaca tidak terikat waktu karena kapan dan bagaimana pembaca ingin membaca surat kabar dapat ditentukan sendiri olehnya. Apakah pembaca akan membaca informasi tersebut secara cepat atau lambat, di mulai dari halaman depan, tengah atau
23
belakang terlebih dahulu, apakah akan mengulang bacaan, bukan merupakan masalah baginya. Surat kabar sebagai salah satu bentuk dari komunikasi massa merupakan media yang cukup efektif menyebarkan dan menyampaikan pesan-pesan ke masyarakat. Menurut Effendy (1989) surat kabar merupakan lembaran tercetak yang memuat laporan yang terjadi di masyarakat, dengan ciri-ciri: terbit secara periodik, bersifat umum, isinya termasa atau aktual, mengenai apa saja dan dari mana saja di seluruh dunia, yang mengandung nilai untuk diketahui khalayak pembaca. Ciri surat kabar yang terbit secara periodik dapat dibedakan atas dua macam, yakni harian dan mingguan. Sedangkan dilihat dari formatnya (Pasaribu & Siregar, 2000), surat kabar menggunakan kertas koran, sampul dan halaman dalam sama, jenis kertasnya tidak dijilid. Tiap halaman bisa terdiri dari beberapa item tulisan sehingga penataannya agak lebih sulit agar tampilam lebih menarik dan mudah dibaca. Ukuran kertas yang digunakan adalah Broudsheet ( ½ plano). Pada dasarnya isi surat kabar yang merupakan salah satu bentuk pers cetak terdiri dari: berita tulis dan foto, tulisan pandangan/pendapat/opini, dan periklanan.
Produk penerbitan pers ini mempunyai misi: ikut mencerdaskan
masyarakat, menegakkan keadilan dan memberantas kebatilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Effendy (2000) bahwa komunikasi massa memiliki fungsi mendidik yang berarti berkaitan dengan proses penyampaian pesan informatif. Berkaitan dengan itu, McQuail (1996) menulis bahwa media paling baik digunakan
secara
terencana
untuk
menimbulkan
perubahan
dengan
menerapkannya dalam program pembangunan berskala besar. Ia juga mengatakan, media massa merupakan sumber kekuatan-alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Berkaitan dengan hal itu Nasution (2000) beranggapan bahwa media
massa
diketahui
memiliki
kekuatan
mengendalikan
pengetahuan
khalayaknya melalui apa-apa yang disiarkan dan tidak disiarkannya. Karena itu dengan mengorganisir sedemikian rupa isi pesan yang disampaikan, media massa pada dasarnya dapat membantu masyarakat memusatkan perhatian pada masalahmasalah pembangunan. Hal ini tentu tidak lepas dari peran gatekeepers suatu media dalam menyuguhkan topik-topik yang harus dipikirkan.
24
Secara selektif “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan (Nurudin, 2003). Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada surat kabar, frekuensi pemuatan, posisi dalam surat kabar).
Hal ini dapat membantu mengarahkan
peranan media massa dalam pembangunan nasional, sebagai agen pembaharu. Letak peranannya adalah dalam hal membantu mempercepat proses peralihan masyarakat dari yang tradisional menjadi masyarakat yang modern. Khususnya peralihan dari kebiasaan yang menghambat pembangunan ke arah sikap baru yang tanggap terhadap pembaharuan, demi pembangunan (Depari & MacAndrews, 1995). Disini tampak media sebagai motor perubahan. Wright (1985) tentang fungsi pengawasan menulis bahwa selama kesejahteraan perorangan terkait dengan kesejahteraan sosial, maka peringatan dan fungsi-fungsi berita juga berguna bagi individu. Menurut Inayatullah (dalam Nasution, 1996), pembangunan adalah perubahan menuju pola-pola masyarakat yang memungkinkan realisasi yang lebih baik dari nilai-nilai kemanusiaan, yang memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih terhadap diri mereka sendiri. Dalam bukunya, Jahi (1993) menulis bahwa dalam sebuah kampanye komunikasi pembangunan, efek yang sangat dikehendaki ialah yang bertalian dengan belajar, sikap dan perilaku. Surat kabar sebagai media yang akurat dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan secara aktual mampu membawa dirinya sebagai media penyebar informasi kepada massa (Muhsin, 1998).
Ditinjau dari sudut jurnalistik,
pembangunan adalah suatu proses, yang dalam kelangsungannya untuk mencapai sasaran yang dituju, yakni tingkat hidup kemasyarakatan yang lebih tinggi dan merata
dibanding
dengan
sebelumnya,
memperlancar dan menghambatnya.
menjumpai
faktor-faktor
yang
Fungsi jurnalistik pembangunan adalah
untuk menunjang berlangsungnya pembangunan, dalam arti untuk membantu memperlancar dan menghilangkan hambatan-hambatan. Pembangunan tidak akan mencapai tujuan dengan segera, apabila faktor-faktor yang menghambat tidak segera dihilangkan (Effendi, 2000).
25
Uraian di atas bersinggungan dengan fungsi penentuan agenda media yang menurut Severin dan Tankard (2005) mengacu pada kemampuan media, dengan liputan berita yang diulang-ulang, untuk mengangkat pentingnya sebuah isu dalam benak publik. Anggapan Nurudin (2003) juga selaras dalam hal ini yaitu bahwa media massa selalu mengarahkan pada kita apa yang harus kita lakukan. Lebih lanjut dikatakan bahwa asumsinya adalah media punya kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Hal ini didukung anggapan Rakhmat (2004) bahwa media massa tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat atau tokoh siapa yang harus kita dukung. Dengan kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya. Lebih lanjut Zucker dalam Severin dan Tankard (2005) menyatakan bahwa menonjolnya isu mungkin menjadi faktor yang penting dalam apakah terjadi penentuan agenda atau tidak. Zucker menyatakan bahwa semakin kurang pengalaman langsung yang dimiliki publik berkenaan dengan bidang isu tertentu, semakin besar publik harus bergantung pada media berita untuk informasi tentang bidang itu. Menurut Kertapati (1986), sebuah komunikasi yang efektif pertama-tama harus dapat menarik perhatian komunikan dan untuk dapat menarik perhatiannya itu tidaklah tergantung kepada bentuknya semata-mata akan tetapi juga kepada isinya. Menurut Nurudin (2003), setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada surat kabar, frekuensi pemuatan, posisi dalam surat kabar).
Dengan demikian panjang penyajian dan
cara penonjolan foto berita tentu berkaitan dengan bobot berita itu sendiri. Disini tiap surat kabar mempunyai kebijaksanaan redaksional yang antara lain ditentukan oleh pertimbangan pokok mengenai kepentingan pembaca (Oetama, 1989). Untuk itu, seperti yang diungkapkan Manangka dalam Flournoy (1989), salah satu cara untuk memperbaiki mutu surat kabar dan meningkatkan readership, ialah dengan menggunakan foto-foto yang serasi dengan selera dan kepentingan masyarakat.
26
Foto Berita Fotografi kini merupakan bagian vital dari penerbitan pers dan tak bisa ditinggalkan (Junaedhie, 1991). Misal, dikenal adanya foto berita dan majalah berita bergambar.
Pada media massa cetak, wartawan foto menyampaikan
perasaannya atau apa yang dilihatnya secara visual agar terjadi komunikasi dengan jalan pintas. Foto adalah puisi tanpa kata-kata, sarana komunikasi yang cepat serta efektif dan efisien menurut Yurnaldi (1992a).
Hal ini diperkuat
Rothstein (1974) yang mengatakan bahwa gambar berbicara langsung dengan jiwa kita dan mengungguli rintangan-rintangan bahasa dan nasionalitas. Sebenarnya, foto berita tak lebih dari foto biasa, yaitu foto yang mendokumentasikan suatu peristiwa atau kejadian. Istimewanya, peristiwa atau kejadian yang didokumentasikan tersebut mengandung sesuatu yang ingin diketahui banyak orang, kemudian disiarkan secara luas ke berbagai media cetak. Oleh karena inilah sebuah foto bisa disebut foto berita/jurnalistik. Dapat dikatakan bahwa foto berita atau foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa pada masyarakat seluasluasnya, bahkan hingga kerak di balik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dikutip Kusmiati (1999) dari harian Kompas, foto berita pada hakekatnya adalah rekaman visual suatu peristiwa yang diambil dengan kamera dan berlangsung secara cepat dan tepat. Lanjutnya, tema peristiwa bisa bermacam-macam dan hasilnya harus mampu menyampaikan pesan atau kesan khusus bagi pemirsanya. Suhandang (2004) menulis bahwa berbagai ragam bentuk dalam pembuatan berita tiada lain untuk bisa menarik perhatian orang banyak. Sebab, tujuan utama dari pemberitaan adalah dibaca, dilihat, didengar atau ditonton khalayaknya. Khusus bagi surat kabar, anggapan Dr. K. Baschwitz yang dikutip Suhandang (2004) mensyaratkan harus adanya lapangan pembaca. Dalam bukunya, Rivers et al. (2004) menulis bahwa bagi pembaca 60 tahun ke atas, surat pembaca justru hal nomor dua yang paling digemari setelah foto-foto berita. Dalam tahun 1947, Woodburn dalam Flournoy (1989) menandaskan bahwa “foto-foto dalam surat kabar menyetop pembaca dan bahwa tingkat readership foto adalah tinggi
27
dibandingkan unsur-unsur surat kabar lainnya”. Ditulis Yurnaldi (1992a), dalam dunia persuratkabaran foto-foto jurnalistik sangat penting dan perlu. Lanjutnya, foto membuat segar halaman surat kabar, menolong mata pembaca untuk melihat hal-hal yang menarik, memisahkan dua berita agar tidak monoton. Sebuah foto jurnalistik juga berfungsi sebagai headline (judul berita). Oleh karena itu, sajian foto berita dalam hal ini memang sebisa mungkin ditampilkan untuk mengejar kriteria tersebut. Perlu dicatat, The United Press Association, dalam buku pedoman bagi korespondennya menerangkan bahwa berita adalah segala sesuatu dan apa saja yang menimbulkan minat akan kehidupan dan barang-barang dalam segala manifestasinya. Niel McNeil dalam bukunya yang berjudul ”Without Fear or Favor” menulis bahwa berita adalah kompilasi fakta dari peristiwa yang menarik perhatian atau penting bagi para pembaca surat kabar yang memuatnya (Bond, 1961). Ditulis Suhandang (2004), rupanya satu-satunya sifat utama dari berita adalah menarik perhatian orang banyak. Menarik perhatian karena peristiwanya maupun karena penyajiannya. Hal ini tentu menjadi acuan pula dalam penyajian foto berita. Berkaitan dengan uraian di atas, Suhandang (2004) juga mengutip The American Weekly yang mencatat 12 hal yang digunakan khalayak sebagai potensi untuk meminati suatu informasi. Keduabelas hal tersebut adalah: 1)hasil suatu usaha; 2)kebudayaan; 3)kepercayaan; 4)tragedi; 5)kesehatan; 6)kepahlawanan; 7)misteri; 8)perbaikan diri; 9)rekreasi; 10)roman; 11)ilmu pengetahuan, dan 12)keamanan. Dengan demikian tema-tema di atas dapat dijadikan bahan masukan redaksi dalam melakukan pemilahan terhadap foto berita yang akan dimuat. Hal ini akan berkaitan dengan jumlah atau banyaknya ragam foto berita mana yang lebih sering atau lebih banyak disajikan oleh surat kabar. Namun demikian hal ini tentu akan berkaitan pula dengan kebijakan redaksi masingmasing media. Memandang foto jurnalistik sebagai suatu kajian artinya memasuki matra yang memiliki tradisi kuat tentang proses “sesuatu” yang dikomunikasikan dalam hal ini yang bernilai berita kepada orang banyak atau khalayak lain dalam masyarakat.
Seperti telah diuraikan di atas, foto berita tidak melulu
28
mengedepankan masalah perang, huru-hara, demonstrasi; semua menggambarkan tingkah manusia tetapi juga bisa mengabadikan sesuatu yang berkaitan dengan benda, bahan dan situasi kehidupan. Selama segala sesuatu yang diabadikan pemotret dapat menarik perhatian umum sehingga menimbulkan keingintahuan orang banyak, tidak ada salahnya foto tersebut dipublikasikan. Fokus dalam foto junalistik adalah kehidupan umat manusia. Bukan berlebihan jika disebutkan kehidupan adalah suatu cita-cita universal bagaimanapun dasyatnya perang dan bentuk kekejaman lainnya, foto jurnalistik wajib menghantar citra tersebut untuk membuatnya kekal. Ditulis oleh Yurnaldi (1992b), bahwa nilai sebuah foto jurnalistik sama halnya dengan sebuah berita (tulisan). Sugiarto (2004), menandaskan bahwa foto jurnalistik yang baik seharusnya mengandung unsur 5W+1H. Nilai sebuah foto jurnalistik—foto sebuah berita yang mengungkapkan dan melaporkan semua aspek dari suatu kenyataan dengan menyiratkan rumus 5W+1H, yaitu: what, who, why, where, when, dan how—dapat mewakili ribuan kata atau kalimat. Foto berita/jurnalistik sangat menunjang penampilan sebuah media cetak seperti surat kabar, majalah, atau pun tabloid, bahkan sudah menjadi prasyarat bahwa keberadaannya menjadi suatu keharusan. Ditampilkannya foto membantu khalayak mengetahui informasi tercetak dengan cepat dan akurat. Sebuah berita foto memiliki kelebihan dari berita tulis. Yurnaldi (1992a) mengungkapkan: “Dibanding berita tulis, berita foto dapat dibuat dengan mudah dan cepat; daya rekam yang akurat (asal tidak dimanipulasi); unggul dalam menyajikan kejadian-kejadian yang bersifat fisik; dapat mengejar jangka waktu; tidak memerlukan penerjemahan di dalam pemberitaan lintas negara; lebih kompak dibanding berita tulis untuk menjelaskan esensi suatu berita; efek dari suatu berita foto lebih besar daripada berita tulis karena respons perasaan manusia lewat indera penglihatan lebih cepat dan langsung mengenai pikiran-perasaan pembaca.” Selain itu, Alwi (2005) juga menulis bahwa tema foto berita umumnya adalah politik, kriminal, olah raga dan ekonomi, yang selalu ingin diketahui perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca. Sedangkan foto features temanya kebanyakan lebih kepada masalah ringan yang menghibur dan tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi pembacanya serta mudah dicerna. Pernyataan lain tentang foto berita ditulis Sugiarto (2004), bahwa kendati hasilnya
29
tidak terlalu artistik, spot news—yaitu foto yang menampilkan suatu peristiwa/kejadian yang tidak terencana—amat layak dipublikasikan. Alasannya, akibat yang ditimbulkannya dapat memberikan dampak yang luas.
Selain itu,
foto ini juga dapat menyedot keingintahuan masyarakat umum. Foto berita yang akan diteliti merujuk pada hal-hal apa saja yang terkait/terdapat dalam bentukan sebuah foto yang dapat menjelaskan gambaran foto yang disajikan oleh surat kabar. Foto berita di sini melihat konsep-konsep pembagian foto jurnalistik serta berita tulis dan akan disusun menjadi kategori foto berita keras atau dalam istilah berita tulis disebut hard news (berita keras) dan foto berita lunak atau dalam istilah berita tulis disebut soft news (berita lunak). Momen “as it happens” yang berhasil ditampilkan pemotret tentunya patut dihargai, sebab hal ini menunjukkan kesigapan dan kecepatan dalam bertindak, tepatnya pada saat melihat sesuatu yang dianggap menarik. Sama halnya dengan berita tulis, dalam berita foto terdapat jenis yang disebut dengan spot news (foto berita) dan foto features. Alwi (2005) mengatakan bahwa: “Apa itu foto berita dan foto features agak sulit menjelaskannya. Tetapi keduanya bisa dibedakan antara lain dari segi bobot dan waktu penyiarannya. Yaitu foto berita umumnya segera disiarkan, sementara foto features bisa ditunda kapan saja. Hal ini bersinggungan dengan jenis tulisan berita lunak (soft news) yang dalam penyajiannya tidak terlalu terikat atau dikejar oleh waktu seperti halnya berita keras. Jenis tulisan berita lunak ini memiliki nilai berita lebih rendah dibandingkan berita keras yang harus segera diketahui oleh pembaca. Berkaitan dengan analisa foto berita keras dan foto berita lunak yang akan digunakan dalam studi ini maka kategorisasi yang akan dibuat mengacu pada studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya. Diantara kategori-kategori yang banyak digunakan dalam penelitian analisis isi adalah kategori-kategori Deutschmann. Kategori Deutschman ini terdiri dari: (1) perang, pertahanan dan diplomasi; (2) politik dan pemerintah; (3) kegiatan-kegiatan perekonomian; (4) kejahatan; (5) kesehatan dan kesejahteraan rakyat; (6) human interest; (7) ilmu dan penemuan; (8) masalah-masalah moral masyarakat; (9) kecelakaan dan bencana; (10) pendidikan dan seni klasik; (11) hiburan rakyat. Kategori tersebut
30
digunakan Deutschmann dalam studinya tahun 1959 tentang “Isi Halaman Berita dari Duabelas Harian Metropolitan”.
Foto Berita Keras Kategori-kategori perihal gambar dalam surat kabar juga digunakan oleh Fosdick dalam studinya tahun 1968 yang dikutip Flournoy (1989). Kategori ini adalah: (a)Persengketaan bersenjata: gambar-gambar tentang operasi militer, perang gerilya dan kegiatan-kegiatan teroris di luar masalah-masalah hubungan luar negeri; (b)Pertikaian sosial dan politik: huru-hara, pemogokan, demonstrasidemonstrasi, kejahatan dan perkara-perkara pengadilan yang sensasional; (c)Bencana-bencana: kecelakaan, denda, kekacauan alamiah, bunuh diri; (d)Berita-berita keras lainnya: politik, pemerintah, pertahanan tanpa senjata, sidang-sidang pengadilan yang lebih lancar ekonomi, pendidikan, ilmu, agama, kebudayaan. Studi Manangka yang dikutip Flournoy (1989), berisi tentang “Analisa Isi Sumber Foto Empat Harian Terkemuka Indonesia” dalam tahun 1982. Kategorisasi yang digunakan Manangka adalah sebagai berikut: (1) kategori isi gambar: a)berita-berita keras; b)berita-berita lunak; (2) kategori gambar orang atau non orang; (3) kategori sumber gambar: a)staf lokal; b)foto kantor berita; c)lain-lain. Manangka dalam studinya ini membagi kategori isi gambar untuk beritaberita keras menjadi: 1) persengketaan bersenjata; 2) pertikaian sosial dan politik; 3) bencana-bencana; 4) lain-lain berita keras. Kategorisasi Manangka secara lengkap yaitu: 1) Persengketaan Bersenjata: dalam golongan ini termasuk gambar-gambar yang bertalian dengan persengketaan bersenjata antara dua atau lebih negara. Juga termasuk dalam golongan ini adalah gambar-gambar yang berhubungan dengan masalah-masalah dan kegiatan-kegiatan angkatan bersenjata nasional, dan pertahanan negara. Gambar-gambar tentang kegiatan resmi dari duta besar dan pejabat-pejabat diplomatik lainnya juga ditempatkan dalam
31
golongan ini. Gambar-gambar tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kegiatan-kegiatan badan ini juga dimasukkan disini. 2) Pertikaian Sosial dan Politik: kategori ini berkaitan dengan masalah kejahatan dan moral masyarakat, terutama sekali yang berkaitan dengan pelanggaran dan penegakkan hukum. Gambar-gambar tentang kenakalan remaja dan perbuatanperbuatan kriminal lainnya juga digolongkan dalam kategori ini. Gambargambar tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat tentang hak-hak asasi dan tanggung jawab etik perorangan juga masuk dalam golongan ini. Gambar-gambar tentang gerakan-gerakan hak sipil, begitu juga kegiatankegiatan di pengadilan dianggap sebagai masalah-masalah moral masyarakat. Gambar-gambar yang berkaitan dengan tanggung jawab dari organisasiorganisasi keagamaan terhadap masyarakat juga dimasukkan kategori ini. 3) Bencana-bencana: kategori ini terdiri dari gambar-gambar yang berkaitan dengan kecelakaan dan bencana, terutama sekali yang berkaitan dengan penghancuran kehidupan dan/atau harta benda, baik yang bersifat alamiah maupun yang tidak alamiah, seperti banjir, angin topan atau konstruksi bangunan yang salah. Kecelakaan lalu lintas juga dimasukkan dalam kategori ini. 4) Lain-lain Berita Keras: dalam kategori ini termasuk gambar-gambar tentang politik, pemerintah, pertahanan tak bersenjata, persidangan-persidangan pengadilan yang lebih lancar ekonomi, pendidikan, ilmu, penemuanpenemuan, agama, kebudayaan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Kategori ini terdiri dari semua gambar berita keras kecuali yang termasuk dalam tiga kategori tersebut di atas (1, 2, 3). Dengan melihat dan mempelajari berbagai studi terdahulu maka pada penelitian ini kategori foto berita keras dibagi menjadi: 1)Pertahanan Bersenjata dan Diplomasi; 2)Aktivitas dan Masalah Sosial Politik; 3)Bencana dan Musibah; 4)Lain-Lain.
32
Foto Berita Lunak Seperti telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, bahwa kategori-kategori perihal gambar dalam surat kabar juga digunakan oleh Fosdick dalam studinya tahun 1968. Ia membagi kategori berita-berita lunak menjadi: olah raga, peristiwaperistiwa sosial yang beraneka macam, human interest. Selain itu, penelitian ini berkaca pada studi Manangka tentang “Analisa Isi Sumber Foto Empat Harian Terkemuka Indonesia” dalam tahun 1982. Kategorisasi untuk berita-berita lunak yang digunakan Manangka dalam studinya adalah sebagai berikut: 1) olah raga; 2) peristiwa-peristiwa sosial; 3) human interest. Dengan melihat dan mempelajari berbagai studi terdahulu maka penelitian foto berita ini akan membagi kategori foto berita lunak menjadi: 1) Olah raga; 2) Peristiwa-peristiwa Umum; 3) Human Interest.
Lingkup Foto Lingkup foto berarti menjawab tempat/lokasi pengambilan gambar/ informasi/fakta/ peristiwa yang disampaikan sebagai gejala yang teramati. Menurut Spielberger dan Fisher (1986), tempat (lokus) komunikasi berada di dalam individu, persepsi dan kognisinya. Dengan demikian, tempat peristiwa yang menjadi lingkup saat mengabadikan foto itu merupakan hal yang penting karena mempengaruhi persepsi empiris dan perilaku orang yang menerimanya. Senada dengan ini, Mc.Quail (1996) mengemukakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi suatu pilihan, antara lain adalah aspek manusia, lokasi, dan waktu; mengenai lokasi terutama ditentukan oleh jarak fisik. Informasi mengenai suatu peristiwa, menurut Galtung dalam Mc.Quail (1996) haruslah antara lain secara budaya dekat (akrab) dengan publik sasaran. Dengan demikian dalam menyeleksi pesan berupa foto dalam surat kabar akan mempertimbangkan pula mengenai kedekatan fisik peristiwa tersebut terjadi dengan khalayak pembacanya. Douglas Wood Miller dalam tulisannya ”The News Slant and the Reporter” yang dikutip Suhandang (2004) mengemukakan tiga unsur dari berita yang bisa
33
membangkitkan minat pembaca untuk menikmatinya, yaitu: waktu, tempat, dan isinya. Terhadap tempat kejadian suatu peristiwa, orang umumnya lebih tertarik pada tempat-tempat yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Artinya kejadian tersebut lebih dianggap penting bila berada/terjadi di lingkungan sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Soehoet (2003) bahwa ada empat faktor yang menentukan nilai berita bagi seseorang, yakni: 1)kegunaan berita; 2)aktualitas; 3)hubungan pembaca dengan peristiwa; 4)kelengkapan berita. Berkaitan dengan unsur hubungan pembaca dengan peristiwa antara lain yang menentukan nilai berita bagi pembaca adalah jarak tempat tinggal pembaca dengan tempat peristiwa terjadi. Faktor ini disebut juga dengan proximity. Dengan demikian, proximity atau proksimitas sebagai jarak fisik pembaca dengan tempat kejadian memang ikut menentukan dalam menariknya sebuah berita yang dalam hal ini berupa sajian foto berita. Dalam studi tentang “Proksimitas dalam Relevansinya Dengan Proses Surat Kabar Indonesia” pada tahun 1995, Ecip. S. yang dikutip Sifak (2001) mensinyalir bahwa proksimitas belum diperhatikan benar di Indonesia. Berita penting yang dekat dengan pembaca tidak semuanya dimuat surat kabar. Dalam hal ini terdapat kendala yang mempengaruhi penerapan proksimitas dan nilai-nilai berita lainnya. Namun demikian, unsur kedekatan atau proximity dalam sajian media massa tetap menjadi acuan bagi sebagian pengelola pers, meski terdapat keterbatasan tempat/kolom untuk produk yang dihasilkan, entah berupa tulisan atau gambar. Dalam penelitiannya, Sifak (2001) membagi kategori tempat peristiwa (lokasi dimana peristiwa/fakta dan atau pendapat diperoleh atau terjadi) menjadi Jakarta, Jawa dan luar Jawa, serta gabungan antara Jakarta, Jawa dan luar Jawa. Menurut kategori Deutschmann yang digunakan oleh Tobing dalam studinya tentang isi lima suratkabar Medan selama tahun 1981, dikutip Flournoy (1989: 48), berita dapat digolongkan menurut cakupan wilayah. Tobing membagi kategori ini menjadi: 1)lokal: berita-berita dari kota Medan dan dari Sumatera Utara; 2)nasional: berita-berita tentang kepentingan, kebijaksanaan atau kejadian nasional yang menimbulkan reaksi di kalangan warga negara Indonesia; 3)internasional: berita-berita yang tidak dianggap berita lokal atau nasional, yang penting tentang negeri-negeri lain atau organisasi-organisasi internasional.
34
Merujuk pada penjelasan kategori Deutschmann yang dikutip Rahman (1993), berita lokal adalah berita tentang kota atau daerah kita, berita nasional adalah berita tentang negara kita, dan berita internasional adalah segala yang menarik perhatian negara lain. Dengan demikian yang menjadi kriteria di sini adalah lingkup wilayah audiens yang diharapkan tertarik pada berita tersebut. Alat ukur yang tepat dalam menentukan pembagian berita menurut cakupan wilayah, menurut Rahman (1993) adalah: hubungan antara tempat tinggal pembaca dengan asal berita (proximity), dan hubungan pembaca dengan unsurunsur yang terdapat dalam peristiwa atau orang yang mengemukakan pendapat yang diberitakan. Berdasarkan hal itu Rahman membagi kategori penggolongan berita menurut cakupan wilayah menjadi: 1) berita daerah; 2) berita nasional; 3) berita internasional. Berdasarkan uraian di atas dengan berbagai studi para pendahulu maka penelitian ini akan menggunakan sistem penyusunan sendiri yang sesuai dengan isi materi studi. Penggolongan kategori lingkup foto akan dibagi menjadi: 1) Lokal; 2) Nasional/Daerah; 3) Internasional.
Sumber Foto Dalam ilmu komunikasi, sumber komunikasi disebut dengan komunikator. Kedudukan dan fungsi komunikator dalam upaya menciptakan efektivitas komunikasi adalah penting sekali, karena efektif tidaknya pesan-pesan yang disampaikan berada di tangannya. Oleh karena itu, komunikator yang berbeda, dengan membawa pesan yang sama pada khalayak yang sama dalam suasana yang sama pula, dapat menimbulkan efek yang berbeda. Artinya, tidak semua komunikator mempunyai daya tarik yang sama. Khalayak mempunyai komunikator kesayangan dan kepercayaan. Bahkan unsur komunikator terkadang lebih kuat pengaruhnya daripada pesan yang disampaikan.
Khalayak sangat
menghargai komunikator yang kompeten, yang dikenal, dikagumi, dan disegani masyarakat.
Komunikator harus mempunyai syarat-syarat tertentu, terutama
adalah kredibilitas. Ruben (dalam Munthe, 1993), komunikator jelas tidak akan sama bobotnya bagi setiap orang, karena dipengaruhi jarak kedekatan, daya tarik,
35
baik fisik ataupun sosial, kesamaan latar belakang pendidikan, agama, budaya, kredibilitas, dan otoritas, motif, dan minat, cara penyampaian, status, kekuatan otoritas seseorang berbeda. Melangkah pada konsep sumber foto akan berkaitan dengan pengertian sumber berita. Definisi sumber berita dalam Junaedhi (1991) yaitu orang atau lembaga yang memberi informasi mengenai bahan penulisan berita.
Dengan
demikian, dalam pesan yang berupa foto jurnalistik, yang dimaksud sumber foto ini juga bisa berasal dari orang atau lembaga. Istilah “sumber” menunjuk pada asal gambar atau pun siapa yang mengambil/memiliki hak atas gambar, seperti para staf redaksi, kantor-kantor berita, kantor-kantor hubungan masyarakat (humas), dan wartawan-wartawan penerbitan lain, wartawan-wartawan free-lance, perpustakaan-perpustakaan dan sebagainya. Studi dari Fosdick tahun 1968 yang dikutip Flournoy (1989) menggunakan tiga kategori sumber gambar, yaitu: staf lokal, foto-foto kantor berita dan lain sebagainya (gambar-gambar dari kantor hubungan masyarakat; wartawanwartawan lokal, wartawan-wartawan free lance atau perpustakaan). Trayers dalam Flournoy (1989), melakukan studi tentang tekanan gambar dalam edisi-edisi akhir dari 16 harian dalam tahun 1977. Kategori-kategori yang digunakan dalam studi ini adalah: (1) jumlah gambar yang diterbitkan; (2) penempatan foto (halaman muka atau halaman dalam); (3) sumber foto (staf, Associated Press, United Press International, dan lain-lain, atau tanpa sebutan sumber); (4) foto orang atau foto tanpa orang; (5) seks sebagai subyek pokok atau subyek-subyek dalam masingmasing gambar. Studi Manangka yang dikutip Flournoy (1989), membagi kategori sumber gambar menjadi tiga, yaitu: a)staf lokal; b)foto kantor berita; c)lain-lain. Kategori sumber gambar dari studi Manangka di atas secara jelas adalah: a)staf lokal: setiap gambar yang dihasilkan oleh staf lokal (juru foto, wartawan foto, dan lain-lain) dari koran-koran yang sedang dipelajari dimasukkan dalam kategori ini; b)foto kantor berita: meliputi sumber-sumber gambar dari kantor-kantor berita Indonesia (ANTARA, KNI, IPPHOS) dan kantor-kantor berita luar negeri; c)Lain-lain: dalam kategori ini termasuk sumber gambar selain dari dua kategori tersebut di
36
atas, seperti kantor-kantor hubungan masyarakat, wartawan-wartawan lokal, wartawan-wartawan free lance dan perpustakaan-perpustakaan). Berdasarkan uraian di atas dan kondisi materi penelitian maka studi ini akan menggunakan sistem penyusunan tersendiri dengan membagi kategorisasi untuk sumber foto menjadi: 1) Staf Redaksi; 2) Kantor Berita; 3) Lain-Lain
Penempatan Foto Kata “penempatan”, merujuk pada suatu tempat atau posisi, letak, keberadaan dari suatu objek. Hal ini berkaitan dengan bagaimana atau di mana seorang layouter akan menempatkan suatu objek. Dengan demikian, tentu secara teori hal ini juga berkaitan dengan proses desain dari media cetak terkait. Kategori penempatan dalam penelitian berkaitan dengan letak dari foto berita yang disajikan dalam surat kabar yang diteliti. Secara teori, dari bentuk dan macamnya, setiap halaman cetak pada dasarnya mempunyai bagian-bagian tertentu yang dapat menunjang efektivitas dari halaman sebagai media komunikasi, jika dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan demikian, untuk melihat bagian mana dari halaman yang mempunyai efektivitas dari proses pertama kali halaman itu dilihat, akan mengacu pada bagaimana umumnya orang melihat halaman pertama kali. Menurut Priyo et al. (1994), biasanya proses membaca dimulai dari bagian atas sebelah kiri suatu halaman. Hal ini memang sudah merupakan sikap yang terlatih sejak kecil dimana mata manusia mulai membaca dari bagian atas sebelah kiri, kecuali naskah bahasa tertentu (bahasa Arab).
Walaupun demikian asumsi tersebut belum dapat
dijadikan dasar yang kuat dan masih perlu dibuktikan melalui riset. Dikutip Priyo et al. (1994) bahwa menurut hasil penelitian di Amerika, ditemukan bahwa 1/3 bagian dari atas dan 1/3 bagian ke dalam dari sisi kiri halaman merupakan daerah yang paling efektif dari suatu halaman. Lanjutnya lagi, berdasarkan hal itu, terdapat suatu istilah yang dikenal dengan the rule of third. Istilah itu berhubungan dengan tata letak yang mengharuskan elemen grafis mempertimbangkan bagian-bagian tersebut.
Dengan demikian, pemanfaatan
bagian-bagian tertentu dari halaman, sebenarnya bertujuan untuk mengarahkan
37
gerak mata ketika mulai memasuki halaman sampai akhirnya meninggalkan halaman. Memilih foto mana yang dapat menangkap suasana atau mood yang tepat untuk suatu tulisan sangatlah sulit menurut Kusmiati et al. (1999). Ada proses pentapisan informasi berupa foto berita yang dilakukan dalam kondisi seperti ini. Saat meneliti foto, menurut Kusmiati et al. (1999) tentukan arah pandang subjek dalam menatap pembaca, karena mata pembaca biasanya bergerak pada arah yang sama.
Menurutnya lagi, tempatkan wajah foto di sebelah kanan, bila ingin
mengajak pembaca membaca dari suatu sampul ke lembaran isi.
Hindari
menempatkan foto wajah seseorang dengan arah pandang ke kiri pada margin sebelah kiri, karena peletakkan foto seperti ini akan membawa pembaca keluar dari lembar tulisan. Berbicara mengenai teks dan ilustrasi atau foto maka akan bersinggungan dengan apa yang disebut dengan halaman dalam media cetak. Halaman dari suatu dokumen atau publikasi merupakan kertas putih pada awalnya. Setelah melalui tahapan yang dimulai dari desain sampai dengan berakhir di pencetakan, barulah kita dapat melihat suatu teks dan ilustrasi sebagai suatu pesan atau informasi. Secara teori, halaman di setiap publikasi atau dokumen mempunyai nama dan fungsi tertentu sesuai dengan jenis media cetak dan di mana halaman akan ditempatkan. Menurut Priyo et al. (1994) jika halaman ditempatkan di bagian muka dengan formasi susunan huruf cetak tertentu dan disertai ilustrasi, maka halaman tersebut mempunyai nama sebagai halaman muka (title page). Maksud halaman muka di sini adalah halaman dengan nomor halaman atau nomor urut 1 (satu) atau untuk media cetak majalah disebut dengan istilah cover depan. Ditulis Pasaribu dan Siregar (2000) bahwa desain sampul depan (cover) berperan penting dalam memikat pembaca ketika pertama kali menerima suatu media cetak. Dijelaskan lagi bahwa sampul depan yang menarik dan komunikatif dapat menggerakkan mata pembaca untuk membuka halaman berikutnya, untuk menyimak isi. Dalam hal ini penempatan foto atau gambar sebagai latar belakang sampul depan perlu dipertimbangkan secara matang. Foto atau gambar, apabila ditampilkan pada sampul depan, lebih memikat mata dibanding unsur desain lainnya, misalnya huruf (Pasaribu & Siregar, 2000).
38
Seperti telah dikemukakan di atas, Trayers (dalam Flournoy, 1989), melakukan studi tentang tekanan gambar dalam edisi-edisi akhir dari 16 harian dalam tahun 1977. Kategori-kategori yang digunakan dalam studi ini antara lain adalah: (1)Jumlah gambar yang diterbitkan; (2)Penempatan foto (halaman muka atau halaman dalam). Meski jika berbicara letak foto akan bersinggungan dengan banyak teori desain grafis, namun untuk kategorisasi penempatan foto dalam penelitian ini dibatasi sesuai dengan kategori Trayers, menjadi: 1)halaman muka; dan 2)halaman dalam.
Keterkaitan Dengan Penelitian Lain Studi ini banyak berkaca dari penelitian-penelitian sebelumnya di bidang analisis isi media massa. Definisi analisis isi menurut Berelson (1966) adalah teknik riset untuk mendeskripsikan isi komunikasi tersurat (manifest) secara objektif, sistematis,dan kuantitatif. Objektif artinya kategori-kategorinya didefinisi sedemikian rupa sehingga dapat digunakan peneliti lain untuk meneliti bahan yang sama dengan hasil yang sama pula. Sistematis, artinya semua isi dianalisis dengan cara yang sama, dan semua isi yang relevan dapat dianalisis dan digolongkan ke dalam kategori yang ada. Sedangkan kuantitatif berarti hanya mencatat nilai-nilai (bilangan) untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan. Untuk itu akan diuraikan bagaimana keterkaitan studi ini dengan penelitian-penelitian lainnya di bidang analisis isi media massa. Penelitian Manangka (1982) tentang “Analisa Isi Sumber Foto Empat Harian Terkemuka Indonesia” menjadi sumber acuan pertama studi ini. Seperti telah dikemukakan di atas, studi ini juga terkait dengan riset dari Fosdick (1968) dan Trayers (1977) yang juga menganalisis sajian foto berita pada surat kabar. Manangka dalam studinya menggunakan empat surat kabar nasional terkemuka saat itu, yaitu: Kompas, Sinar Harapan, Merdeka dan Suara Karya. Hasil studi ini antara lain bahwa keempat surat kabar tersebut menggunakan lebih banyak gambar berita keras dari pada gambar berita lunak dengan pemberian tekanan pada masing-masing gambar di tiap surat kabar adalah sama. Pada keempat bahan
39
studi itu juga lebih banyak menggunakan gambar orang daripada non orang. Dan untuk asal gambar, tidak semua koran tersebut bergantung pada staf lokal, yaitu untuk surat kabar Merdeka hanya menggunakan asal gambar 25% dari staf lokal, sedangkan tiga koran lainnya asal gambar lebih banyak dari staf lokal. Selain itu, ternyata keempat bahan studi itu menggunakan lebih dari separuh jumlah ruangnya untuk keperluan pemberitaan. Khasanah studi di program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), yaitu penelitian Jumroni tentang “Profil Rubrik Hikmah Dalam Surat Kabar Harian Republika” mengawali penelitian bidang komunikasi dari program Pascasarjana IPB yang dilakukan di surat kabar Republika. Hasil studi Jumroni menggambarkan bahwa Republika memiliki komitmen dalam menjalankan misi pers cetak. Simpulan studi mengungkapkan bahwa sebagian besar rubrik hikmah berisi bidang masalah tentang akhlak dengan sifat tulisan yang informatif. Sebelum itu di lingkungan program Pascasarjana IPB, A. Rahman dalam risetnya tahun 1993 juga melakukan studi analisis isi tentang “Profil Lima Surat Kabar Harian di Sumatera”. Hasil penelitian Rahman mengungkapkan bahwa bidang masalah yang diprioritaskan surat kabar studinya adalah politik dan pemerintah, olahraga dan pertahanan keamanan. Dua surat kabar studinya; Sinar Indonesia Baru dan Lampung Post memiliki kesamaan dalam pemilahan berita dari cakupan wilayah sedangkan yang lainnya; Serambi Indonesia, Sriwijaya Post dan Haluan, berbeda. Sifak (2001) dengan mengambil media Televisi sebagai bahan studi pada program Pascasarjana IPB, juga menggunakan metode analisis isi untuk menterjemahkan “Perubahan Kebijakan Pemberitaan TVRI di Era Reformasi” dengan membatasi studi kasus untuk siaran berita pukul 19.00 WIB. Dalam risetnya ia menyimpulkan bahwa pada era Orde baru (Orba), transisi dan era persatuan, penonjolan berita lebih banyak mementingkan misi pemerintah daripada nilai berita dengan sedikitnya jumlah berita yang mengungkapkan kritik atau evaluasi. Hal ini berbanding lurus pula dengan sumber berita yang sebagian besar berasal dari lingkup pemerintah. Hasil penelitian Sifak ini dapat dijadikan masukan bagi pengembangan kebijakan stasiun televisi terkait mengingat
40
kompetisi media yang semakin marak sekarang ini dan sifat khalayak yang cenderung lebih aktif dalam menanggapi pesan media. Penelitian berjudul “Kontrol Pers Terhadap Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Lampung (Analisis Isi Harian Umum Kompas dan Surat Kabar Radar Lampung)” telah dilakukan oleh Heri Budianto di lingkup program Pascasarjana IPB pada tahun 2003. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kedua harian yang diteliti melaksanakan kontrol sosial lewat sajian pemberitaan yang cenderung lebih banyak menyajikan jenis berita langsung/berita keras. Dengan demikian ini juga berkaitan dengan asumsi studi foto berita bahwa foto berita keras lebih banyak disajikan dari foto berita lunak. Melihat berbagai uraian di atas, dapat diketahui bahwa penelitian analisis isi media massa ini memang telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu, termasuk di lingkup program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Berkaca dari para pendahulu maka penelitian ini dapat memperoleh masukan terutama berkaitan dengan pengembangan pembahasan hasil penelitian.
Telah banyak
penelitian lain yang terkait yang pernah dilakukan dan menjadi masukan positif bagi pengembangan tesis ini.