BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang
: a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 Qanun Kabupaten Aceh Timur Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak–Pajak Daerah, telah menetapkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah; b. bahwa untuk menjamin pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dimaksud, perlu dilakukan pengaturan tentang sistem dan prosedur pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3236) sebagaimana telah diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 368) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 1298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987); 6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893); 8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4180); 9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 10.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 11.Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 12.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 13.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
14.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633); 15.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); 16.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 17.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258); 18.Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4051); 19.Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 20.Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587); 21.Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 22.Peraturan Pemerintahan Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Yang Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153); 23.Qanun Kabupaten Aceh Timur Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak-Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur Nomor 43); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Kabupaten adalah Kabupaten Aceh Timur. 2. Pemerintah Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Pemerintah Kabupaten adalah unsur Penyelenggara Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang terdiri atas Bupati dan perangkat daerah Kabupaten Aceh Timur 3. Bupati adalah Bupati Aceh Timur. 4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Dinas Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah yang selanjutnya disebut Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diberikan tugas dan wewenang memungut Pajak Daerah. 6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah. 7. Kas Daerah adalah Bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten untuk memegang Kas Daerah. 8. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya. 9. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. 10.Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kota. 11.Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pendalaman dan/atau laut. 12.Objek Pajak PBB-P2, yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. 13.Nomor Objek Pajak yang selanjutnya NOP adalah nomor identitas objek Pajak PBB-P2. 14.Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disebut dengan NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 15.Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 16.Subjek Pajak PBB-P2 yang selanjutnya disebut Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. 17.Wajib Pajak PBB-P2 yang selanjutnya disebut dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan dan dikenakan kewajiban membayar pajak. 18.Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. 19.Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah. 20.Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat LSPOP adalah lampiran surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan merupakan lampiran tidak terpisahkan dari bagian SPOP. 21.Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat SPPT PBB-P2 adalah surat yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. 22.Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 23.Surat Tanda Terima Setoran yang selanjutnya disingkat STTS adalah bukti pelunasan PBB-P2. 24.Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang. 25.Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
26.Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Rangkaian kegiatan pemungutan PBB-P2 dalam Peraturan ini meliputi: a. pendaftaran objek pajak; b. pendataan dan penilaian objek pajak; c. penerbitan SPPT PBB-P2; d. penentuan tanggal jatuh tempo pajak terutang PBB-P2; e. pembayaran dan penyetoran pajak terhutang PBB-P2; f. pemutasian objek dan subjek pajak; g. pengajuan dan penyelesaian keberatan dan banding atas SPPT/SKPD PBB-P2; h. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pembetulan atau pembatalan SPPT/SKPD PBB-P2 dan STPD PBB-P2 yang tidak benar; i. pengembalian kelebihan pembayaran dan kompensasi PBB-P2; j. pengurangan atau penghapusan pajak terhutang PBB-P2; k. penagihan PBB-P2; l. pengawasan Pembayaran dan Penyetoran pajak terhutang PBB-P2; dan m. penyuluhan dan pemberian informasi PBB-P2. (2) Rangkaian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan sistem dan prosedur pelaksanaannya. BAB III TATA CARA PEMUNGUTAN PBB-P2 Bagian Pertama Tata Cara Pendaftaran Objek Pajak PBB-P2 Pasal 3 (1) Objek pajak yang diserahkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama Langsa secara massal dinyatakan dan ditetapkan sebagai objek pajak Kabupaten. (2) Pendaftaran objek pajak baru, dilakukan oleh subjek pajak atau wajib pajak dengan persyaratan sebagai berikut: a. mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia yang ditujukan kepada Bupati melalui Dinas; b. mengisi SPOP termasuk LSPOP dengan jelas, benar dan lengkap; c. formulir SPOP disediakan dan dapat diperoleh dengan cuma-cuma pada dinas;
d. wajib pajak yang memiliki NPWPD mencantumkan NPWPD dalam kolom yang tersedia dalam SPOP; e. surat permohonan dan SPOP termasuk LSPOP sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, ditandatangani oleh subjek pajak atau wajib pajak dan dalam hal ditandatangani oleh bukan subjek pajak atau wajib pajak harus dilampiri dengan surat kuasa; f. surat permohonan dan SPOP termasuk LSPOP disampaikan kepada Bupati selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya SPOP oleh subjek pajak atau kuasanya; g. melampirkan dokumen pendukung sebagai berikut: 1) fotocopy KTP atau identitas diri lainnya; 2) fotocopy bukti kepemilikan/penguasaan/ pemanfaatan tanah (sertifikat/AJB/Girik/dokumen lain yang sejenis); 3) surat keterangan tanah dari Keuchik yang diketahui oleh Camat setempat. 4) fotocopy Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi yang memiliki bangunan; 5) fotocopy NPWPD (bagi yang memiliki NPWPD); dan 6) fotocopy SSB/SSPD BPHTB. (3) Prosedur lebih rinci mengenai pendaftaran objek pajak sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan lampiran II dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Bagian Kedua Tata Cara Pendataan dan Penilaian Objek PBB-P2 Paragraf 1 Tata Cara Pendataan Objek dan Subjek PBB-P2 Pasal 4 (1) Pendataan objek dan subjek PBB-P2 dilakukan oleh Dinas dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP. (2) Pendataan objek dan subjek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. penyampaian dan pemantauan pengembalian SPOP; b. penyebaran SPOP kolektif; c. identifikasi, verifikasi, dan pengukuran bidang objek pajak; dan d. pemanfaatan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. (3) Prosedur lebih rinci mengenai pendataan objek pajak sebagaimana tercantum dalam lampiran II dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Paragraf 2 Tata Cara Penilaian Objek PBB Pasal 5 (1) Penilaian objek pajak dilakukan oleh Dinas baik secara massal maupun secara individual dengan menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan.
(2) Hasil penilaian objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penentuan (NJOP). (3) Standar penilaian objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar Nilai Zona Tanah (NZT) dan daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). (4) Penilaian objek pajak secara individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena alasan dan pertimbangan tertentu. (5) Penilaian objek pajak secara massal dilakukan berdasarkan karakteristik tertentu atas objek-objek pajak. Pasal 6 Penilaian secara individual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat berupa: a. penilaian individual untuk objek pajak berupa bumi dengan pendekatan data pasar; b. penilaian individual baik untuk tanah maupun bangunan dengan pendekatan biaya; dan c. penilaian individual untuk objek pajak bangunan dengan pendekatan kapitalisasi pendapatan. Pasal 7 (1) Penilaian secara massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat berupa: a. penilaian massal tanah; b. penilaian massal bangunan dengan menyusun DBKB objek pajak standar; dan c. penilaian massal bangunan dengan menyusun DBKB objek pajak non standar. (2) Prosedur Tetap (Standar Operating Procedure) mengenai pendataan objek pajak sebagaimana tercantum dalam lampiran II dan III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Bagian Ketiga Tata Cara Penerbitan SPPT PBB-P2 Pasal 8 (1) SPPT PBB-P2 dimaksudkan sebagai pemberitahuan besarnya pajak terhutang PBB-P2 kepada wajib pajak. (2) SPPT PBB-P2 diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk memudahkan wajib pajak, SPPT PBB-P2 diterbitkan berdasarkan data objek dan subjek pajak yang tersedia pada Dinas. (3) SPPT PBB-P2 ditetapkan, diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk. (4) Dalam rangka meningkatkan efisiensi pelaksanaan tugas, khususnya yang terkait dengan penandatanganan SPPT PBB-P2, maka penandatanganan SPPT PBB-P2 dapat dilakukan dengan ketentuan: a. cap dan tanda tangan basah, untuk ketetapan pajak diatas Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); dan
b. cap dan cetakan tanda tangan, untuk ketetapan pajak dibawah Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). (5) SPPT PBB-P2 dapat diterbitkan melalui: a. pencetakan massal; b. pencetakan dalam rangka: 1) pembuatan salinan SPPT PBB-P2; 2) tindak lanjut pendataan dan penilaian objek pajak; 3) tindak lanjut atas keputusan keberatan, pengurangan atau pembetulan; 4) tindak lanjut pendaftaran objek pajak baru; dan 5) mutasi objek dan/atau subjek pajak. (6) Formulir SPPT PBB-P2 sekurang-kurangnya berisi informasi sebagai berikut: a. Halaman depan: 1) nomor seri formulir; 2) nama dinas; 3) informasi berupa tulisan “SPPT PBB-P2 bukan bukti kepemilikan hak”; 4) tahun pajak; 5) NOP; 6) letak objek pajak; 7) nama dan alamat wajib pajak; 8) NPWPD; 9) luas bumi dan/atau bangunan; 10) kelas bumi dan/atau bangunan; 11) NJOP per m2 bumi dan/atau bangunan; 12) total NJOP bumi dan/atau bangunan; 13) NJOP sebagai dasar pengenaan pajak; 14) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP); 15) NJOP untuk perhitungan PBB-P2; 16) Nilai Jual Kena Pajak (NJKP); 17) PBB-P2 yang terhutang; 18) PBB-P2 yang harus dibayar; 19) tanggal jatuh tempo; dan 20) tempat pembayaran; b. Halaman belakang: 1) nama petugas penyampai SPPT PBB-2; 2) tanggal penyampaian; 3) tanda tangan petugas; dan 4) informasi lainnya. (7) Atas dasar belum diterimanya SPPT PBB-P2 atau sebab lain, wajib Pajak/Keuchik dapat mengajukan permohonan penerbitan salinan SPPT PBB-P2 secara perorangan ataupun secara kolektif ke Dinas. (8) Kelengkapan persyaratan pengajuan penerbitan SPPT PBB-P2, antara lain: a. surat permohonan; b. surat pengantar dari keuchik, dalam hal bersifat massal; c. STTS lunas PBB-P2 Tahun sebelumnya atau tahun berjalan; d. kartu tanda identitas pemohon KTP/SIM; dan e. surat kuasa (apabila dikuasakan).
Bagian Keempat Tata Cara Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pajak Terutang PBB-P2 Pasal 9 (1) Penetapan tanggal jatuh tempo pajak terhutang selambatlambatnya tanggal 30 Nopember tahun pajak berkenaan dengan memperhitungkan terpenuhinya jangka waktu pembayaran PBB-P2 selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkan SPPT PBB-P2. (2) Dalam hal keputusan atas permohonan pengurangan atau pembetulan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 yang tidak benar menyebabkan perubahan data dalam SPPT/SKPD/STPD PBB-P2, tanpa mengubah saat jatuh tempo pembayaran. (3) Penentuan kembali tanggal jatuh tempo hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: a. terjadi karena keterlambatan massal penyampaian SPPT PBB-2 kepada wajib pajak/penanggung pajak atau kuasanya atau perangkat gampong dimana objek pajak berada; dan b. terdapat pendaftaran objek pajak baru. (4) Penentuan kembali tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, hanya dapat dilakukan berdasarkan permohonan perpanjangan jatuh tempo yang diajukan oleh Keuchik Gampong bersangkutan. (5) Penentuan kembali tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, berdasarkan data-data pendaftaran objek pajak baru. Bagian Keempat Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak Terhutang PBB-P2 Pasal 10 (1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT PBB-P2 harus dibayar dan disetor selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB-P2 oleh wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya atau petugas Perangkat Gampong dimana objek pajak berada. (2) Setelah jatuh tempo pembayaran pajak terhutang PBB-P2 berdasarkan SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar dan disetor oleh wajib pajak/ penanggung pajak/kuasanya, maka diterbitkan STPD. (3) Dalam hal wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya tidak membayar dan menyetor PBB-P2 berdasarkan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak jatuh tempo. (4) Dalam hal terpenuhi ketentuan Pasal 23 Qanun Kabupaten Aceh Timur Nomor 10 Tahun 2011, Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD, dengan mengenakan sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya dengan jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(5) Dalam hal wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya tetap tidak membayar dan menyetor pajak terutang PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka akan ditagih dengan surat paksa melalui penagihan seketika dan sekaligus sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus. Pasal 11 (1) wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak terhutang berdasarkan SPPT PBB-P2 atau ketetapan pajak terutang lainnya kepada Dinas, dengan menyebutkan alasan permohonan dan dengan dokumen pendukungnya. (2) Dalam hal permohonan wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya disetujui oleh Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk, maka atas pajak terutang yang kurang bayar akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 10. (3) Tata cara pembayaran dan penyetoran angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang diatur dalam Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 12 (1) Pajak terutang dapat dibayar melalui Bendahara Penerimaan Dinas atau Petugas Pemungut atau Bank atau Tempat lainnya yang ditunjuk oleh Bupati. (2) Atas pembayaran pajak terutang PBB-P2 diberikan STTS yang telah mendapat pengesahan dari petugas Bank atau Tempat Lainnya atau Bendahara Penerimaan Dinas. (3) Bank atau tempat lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan pembayaran dan penyetoran PBB-P2 kepada Dinas. Pasal 13 Pembayaran melalui petugas pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. pembayaran PBB-P2 oleh wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya melalui petugas pemungut harus segera disetor ke bank atau tempat lain selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam, kecuali untuk daerah atau gampong tertentu; b. bukti penyetoran oleh petugas pemungut ke bank atau tempat lainnya berupa STTS harus disampaikan kepada wajib pajak/penanggung pajak/kuasanya; dan c. STTS sebagaimana dimaksud pada huruf b merupakan bukti pembayaran yang sah.
Bagian Kelima Tata Cara Pemutasian Objek dan/atau Subjek PBB-P2 Pasal 14 (1) Atas dasar pengalihan objek pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan mutasi sebagian/seluruhnya objek dan subjek PBB-P2. (2) Kelengkapan permohonan mutasi objek dan subjek PBBP2, meliputi: a. surat permohonan mutasi; b. bukti perolehan/pengalihan objek pajak; c. bukti lunas PBB-P2 tahun sebelumnya; d. mengisi SPOP dan LSPOP; e. fotocopy SSB/SSPD Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); f. fotocopy identitas kepemilikan KTP/SIM; g. fotocopy bukti kepemilikan/penguasaan/pemanfaatan tanah (sertifikat/AJB/Girik/dokumen lain yang sejenis); dan h. surat Kuasa (apabila dikuasakan). (3) Penyelesaian mutasi sebagian/seluruh objek dan subjek PBB-P2 melalui penelitian kantor/lapangan dan melalui proses penuangan dalam Berita Acara pemutakhiran data Geografis/Bidang. Bagian Keenam Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dan Banding atas SPPT atau SKPD PBB-P2 Pasal 15 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dinas atas SPPT/SKPD PBB-P2. (2) Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan dalam hal: a. wajib pajak berpendapat bahwa luas objek pajak bumi dan/atau bangunan atau nilai jual objek pajak bumi dan/atau bangunan tidak sebagaimana mestinya; dan/atau; b. terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundangundangan PBB-P2. (3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara: a. perseorangan atau kolektif untuk SPPT PBB-P2; atau b. perseorangan untuk SKPD PBB-P2. Pasal 16 Pengajuan Keberatan secara perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) harus memenuhi persyaratan: a. satu surat keberatan untuk 1 (satu) SPPT/SKPD PBB-P2; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; c. diajukan kepada Bupati/PPKD/Kepala Dinas;
d. dilampiri asli SPPT/SKPD PBB-P2 yang diajukan keberatan; e. dikemukakan jumlah PBB-P2 yang terutang menurut penghitungan wajib pajak disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan keberatannya; f. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT/SKPD PBB-P2, kecuali apabila wajib pajak atau kuasanya dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya; dan g. surat keberatan ditandatangani oleh wajib pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan wajib pajak, maka: 1) harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk wajib pajak orang pribadi dengan PBB-P2 yang terutang lebih banyak dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau wajib pajak badan; atau 2) harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk wajib pajak orang pribadi dengan PBB-P2 yang terutang paling banyak Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 17 Pengajuan Keberatan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) harus memenuhi persyaratan: a. satu pengajuan untuk beberapa SPPT Tahun Pajak yang sama; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; c. PBB yang terutang untuk setiap SPPT paling banyak Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah); d. diajukan kepada Bupati/PPKD/Kepala Dinas; e. diajukan melalui Keuchik setempat; f. dilampiri asli SPPT yang diajukan Keberatan; g. mengemukakan jumlah PBB-P2 yang terutang menurut penghitungan wajib pajak disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan keberatannya; dan h. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT, kecuali apabila wajib pajak melalui Keuchik setempat dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. Pasal 18 Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c dan Pasal 17 huruf d, ditujukan kepada: a. Kepala Dinas untuk pajak terutang PBB-P2 paling banyak Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah); b. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah melalui Kepala Dinas untuk pajak terutang PBB-P2 lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan c. Bupati melalui Kepala Dinas untuk pajak terutang PBB-P2 lebih dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 19 Tanggal penerimaan surat keberatan yang dijadikan dasar untuk memproses surat keberatan adalah: a. tanggal terima surat keberatan, dalam hal disampaikan secara langsung oleh wajib pajak atau kuasanya kepada petugas dinas atau petugas yang ditunjuk; atau b. tanggal tanda pengiriman surat keberatan, dalam hal disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat. Pasal 20 (1) Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, dianggap bukan sebagai surat keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan. (2) Dalam hal pengajuan keberatan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, harus memberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari kepada: a. wajib pajak atau kuasanya dalam hal pengajuan keberatan secara perseorangan; atau b. keuchik setempat dalam hal pengajuan keberatan secara kolektif. (3) Dalam hal pengajuan keberatan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib pajak masih dapat mengajukan keberatan kembali sepanjang memenuhi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf f dan Pasal 17 huruf h. (4) Prosedur tetap tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan PBB-P2 sebagaimana tercantum dalam lampiran IV peraturan ini. Bagian Ketujuh Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi PBB dan Pengurangan atau Pembatalan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 yang tidak benar Pasal 21 Bupati atau Pejabat yang ditunjuk karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi PBB-P2 yang dikenakan karena kekhilafan; dan b. mengurangkan atau membatalkan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 yang tidak benar. Pasal 22 Pengurangan SKPD/STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat dilakukan dalam hal terdapat ketidakbenaran atas: a. luas objek pajak bumi dan/atau bangunan; b. NJOP bumi dan/atau bangunan; dan/atau; c. penafsiran peraturan perundang-undangan PBB-P2.
Pasal 23 (1) Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a harus memenuhi persyaratan: a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SKPD/STPD PBB-P2; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya sanksi administrasi yang dimohonkan pengurangan atau penghapusan disertai alasan yang mendukung permohonannya; c. diajukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; d. dilampiri fotocopi SKPD/STPD PBB-P2, yang dimohonkan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; e. wajib pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan namun tidak dapat dipertimbangkan atau mengajukan keberatan kemudian mencabut keberatannya atas SKPD PBB-P2, dalam hal yang diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan adalah sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD PBB-P2; f. wajib pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan namun tidak dapat dipertimbangkan atau mengajukan keberatan kemudian mencabut keberatannya atas SPPT/SKPD PBB-P2 yang terkait dengan STPD PBB-P2, dalam hal yang diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan adalah sanksi administrasi yang tercantum dalam STPD PBB-P2; g. wajib pajak telah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD/ STPD PBB-P2; dan h. surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan wajib pajak berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus untuk: a) wajib pajak badan; atau b) wajib pajak orang pribadi dengan pajak yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan sanksi administrasi lebih dari Rp 2.000.000 (dua juta rupiah); dan 2) harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk wajib pajak orang pribadi dengan pajak yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan sanksi administrasi paling banyak Rp 2.000.000 (dua juta rupiah). (2) Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada wajib pajak atau kuasanya
diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. Pasal 24 (1) Permohonan pengurangan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b harus memenuhi persyaratan: a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT/SKPD/ STPD PBB-P2, kecuali atas SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya ketetapan yang dimohonkan pengurangan disertai alasan yang mendukung permohonannya; c. diajukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada Pasal 21; d. dilampiri asli SPPT/SKPD/STPD PBB-P2, yang dimohonkan pengurangan; e. wajib pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan namun tidak dapat dipertimbangkan, atas SPPT/SKPD PBB-P2 dalam hal yang diajukan permohonan pengurangan adalah SPPT/SKPD PBB-P2; f. wajib pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan namun tidak dapat dipertimbangkan atas SPPT/SKPD PBB-P2 yang terkait dengan STPD PBB-P2, dalam hal yang diajukan permohonan pengurangan adalah STPD PBB-P2; dan g. surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan wajib pajak berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus untuk: a) wajib pajak badan; atau b) wajib pajak orang pribadi dengan pajak yang masih harus dibayar lebih banyak dari Rp 2.000.000 (dua juta rupiah); dan 2) surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk wajib pajak orang pribadi dengan pajak yang masih harus dibayar paling banyak Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). (2) Wajib pajak yang mengajukan keberatan kemudian mencabut keberatannya tersebut, tidak termasuk pengertian wajib pajak yang tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f. (3) Permohonan pengurangan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada wajib pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima.
Pasal 25 (1) Permohonan pembatalan SPPT/SKPD/STP PBB-P2, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b diajukan secara perseorangan, kecuali untuk SPPT dapat juga diajukan secara kolektif. (2) Permohonan pembatalan yang diajukan secara perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT/SKPD/STP PBB-P2; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan alasan yang mendukung permohonannya; c. diajukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; d. dilampiri asli SPPT/SKPD/STPD PBB-P2, yang dimohonkan pembatalan; dan e. surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan wajib pajak berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus untuk: a) wajib pajak badan; atau b) wajib pajak orang pribadi dengan pajak yang masih harus dibayar lebih banyak dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah); dan 2) surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk wajib pajak orang pribadi dengan pajak yang masih harus dibayar paling banyak Rp 2.000.000 (dua juta rupiah). (3) Permohonan pembatalan untuk SPPT PBB-P2 yang diajukan secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. 1 (satu) permohonan untuk beberapa SPPT Tahun Pajak yang sama dengan pajak yang terutang untuk setiap SPPT paling banyak Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah); b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan alasan yang mendukung permohonannya; c. diajukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; d. dilampiri asli SPPT-P2 yang dimohonkan pembatalan; dan e. diajukan melalui Keuchik setempat. (4) Permohonan pembatalan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 secara perseorangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada wajib pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima.
(5) Permohonan pembatalan SPPT PBB-P2 secara kolektif yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada Keuchik setempat diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. Pasal 26 Pembetulan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2, dapat dilakukan karena: a. kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundangundangan perpajakan yang terdapat dalam SPPT/SKPD/ STPD PBB-P2 dapat dibetulkan, baik atas permintaan wajib pajak maupun tidak atas permintaan wajib pajak (secara jabatan); b. dapat mengakibatkan pajak terhutang menjadi sama, lebih kecil, atau lebih besar dari ketetapan semula; c. dapat dilakukan tanpa batas waktu, tetapi apabila pembetulan tersebut mengakibatkan jumlah pajak yang terhutang menjadi lebih besar dari semula, pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan sepanjang hak untuk menetapkan pajak belum kadaluwarsa. Pasal 27 Yang termasuk dalam pengertian kesalahan tulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a adalah: a) kesalahan dalam penulisan nama subjek pajak, wajib pajak, alamat (baik subjek pajak maupun obyek pajak), NOP, nomor SPPT/SKPD/STPD PBB-P2, tahun pajak, tanggal jatuh tempo dan lain-lain sejenisnya; dan b) SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 untuk objek pajak dan tahun pajak yang sama diterbitkan lebih dari satu (ganda). Pasal 28 Yang dimaksud dengan kesalahan hitung adalah kesalahan dalam penambahan/pengurangan dan perkalian/pembagian (arithmetic fault), kesalahan penerapan tarif, kesalahan penerapan klasifikasi objek, penetapan jumlah batas nilai bangunan tidak kena pajak dan kesalahan lain sejenisnya. Pasal 29 Yang termasuk dalam pengertian salah/keliru dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah kekeliruan dalam penerapan ketentuan undangundang beserta peraturan pelaksanaannya terhadap fakta atau kenyataan objek pajak dan subjek pajak yang sudah jelas/benar.
Pasal 30 (1) Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dan permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT/SKPD/STPD PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dapat diajukan oleh wajib pajak paling banyak 2 (dua) kali. (2) Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat keputusan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atas permohonan yang pertama. (3) Permohonan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (2) atau ayat (3). (4) Permohonan kedua yang diajukan melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada wajib pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. Pasal 31 (1) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi suatu keputusan atas permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan dan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan wajib pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir. Pasal 32 (1) Keputusan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikeluarkan atas dasar: a. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a; dan b. permohonan pengurangan SPPT/SKPD/STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya atau menolak permohonan wajib pajak. (2) Keputusan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atas permohonan pembatalan SPPT/SKPD/ STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dapat berupa mengabulkan atau menolak permohonan wajib pajak.
(3) Atas permintaan tertulis dari wajib pajak, Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 33 Untuk mendukung permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, permohonan dilampiri dengan: a. fotocopy identitas wajib pajak, dan fotocopy identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan; b. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa denda administrasi dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahan wajib pajak; c. fotocopy surat pemberitahuan pengajuan keberatan PBB-P2 tidak dapat dipertimbangkan, dalam hal wajib pajak pernah mengajukan keberatan atas SPPT atau SKPD PBB-P2; dan/atau d. dokumen pendukung lainnya. Pasal 34 Untuk mendukung permohonan pengurangan SPPT/SKPD/ STPD PBB-P2, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, permohonan dimaksud dilampiri dengan: a. fotocopy identitas wajib pajak, dan fotocopy identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan; b. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa SPPT/SKPD atau STPD PBB-P2, tidak benar; c. fotocopy surat pemberitahuan pengajuan keberatan PBB tidak dapat dipertimbangkan, dalam hal wajib pajak pernah mengajukan keberatan atas SPPT atau SKPD PBBP2; dan/atau d. dokumen pendukung lainnya. Pasal 35 Tanggal penerimaan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dan surat permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT/SKPD/atau STPD PBB-P2, yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah: a. tanggal terima surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan secara langsung oleh wajib pajak atau kuasanya kepada petugas Dinas atau petugas yang ditunjuk; atau b. tanggal tanda pengiriman surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
Pasal 36 (1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) ditetapkan berdasarkan hasil penelitian di kantor, dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian. (3) Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendah-rendahnya setingkat Eselon III pada Dinas terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada wajib pajak atau kuasanya. Pasal 37 (1) Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada PPKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, Kepala Dinas meneruskan berkas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD atau STPD PBB-P2, atau berkas permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT/SKPD atau STPD PBB-P2, yang tidak benar kepada PPKD dalam jangka waktu paling lama: a. 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat permohonan, dalam hal permohonan diajukan secara perseorangan; atau b. 2 (dua) bulan sejak tanggal penerimaan surat permohonan pembatalan SPPT PBB-P2 yang diajukan secara kolektif, disertai dengan laporan hasil penelitian atas permohonan dimaksud. (2) Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Kepala Dinas meneruskan berkas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD atau STPD PBB-P2 kepada Bupati dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. (3) Untuk mencegah tercecernya dokumen yang diteruskan kepada Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dinas terlebih dahulu membuat salinan permohonan wajib pajak beserta dokumen pendukungnya sebagai arsip/pertinggal. Pasal 38 (1) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, harus memberi surat keputusan atas permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Keputusan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD atau STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya atau menolak permohonan wajib pajak. (3) Keputusan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atas permohonan pengurangan SPPT/SKPD atau STPD PBB-P2, yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan wajib pajak. (4) Keputusan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atas permohonan pembatalan SPPT/SKPD atau STPD PBB-P2, yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dapat berupa mengabulkan atau menolak permohonan wajib pajak. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan dan Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan wajib pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir. (6) Atas permintaan tertulis dari wajib pajak, Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) atau menolak permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Dalam hal keputusan atas permohonan pengurangan SPPT/SKPD atau STPD PBB-P2 yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b menyebabkan terjadinya perubahan data dalam SPPT/ SKPD atau STPD PBB-P2, Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPPT/SKPD atau STPD PBB-P2 baru berdasarkan keputusan dimaksud tanpa mengubah saat jatuh tempo pembayaran, dan atas SPPT atau SKPD PBB-P2 baru tersebut tidak dapat diajukan keberatan. Bagian Kedelapan Tata Cara Penentuan Kembali Tanggal Jatuh Tempo Pasal 39 (1) Atas dasar keterlambatan diterimanya SPPT/SKPD PBB-P2 tahun berjalan wajib pajak dapat mengajukan permohonan penentuan kembali tanggal jatuh tempo. (2) Permohonan penentuan kembali tanggal jatuh tempo diajukan dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. SPPT/SKPD PBB-P2 yang sudah diterima dan dilengkapi dengan tanggal bukti penerimaan;
b. surat kuasa (apabila dikuasakan); dan c. fotocopy identitas wajib pajak atau fotocopy identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan. (3) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ayat (2) dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada wajib pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. Pasal 40 (1) Apabila wajib pajak sudah terlanjur membayar pokok pajak berikut denda administrasinya dan wajib pajak menginginkan perhitungan/pengembalian atas kelebihan pembayaran denda administrasi tersebut, yang bersangkutan harus mengajukan permohonan restitusi/kompensasi. (2) Atas permohonan restitusi/kompensasi sebagaimana ayat (1), Dinas harus segera memproses dengan berpedoman pada ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan perhitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran PBB-P2. Bagian Kesembilan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran dan Kompensasi PBB-P2 dan Denda Administasinya Pasal 41 (1) Kelebihan pembayaran PBB-P2 terjadi apabila: a. PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang; dan b. dilakukan pembayaran PBB-P2 yang tidak seharusnya terutang. (2) Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam SKPD atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Pasal 42 (1) Untuk memperoleh pengembalian pembayaran PBB-P2 dan denda administrasinya dan kompensasi, wajib pajak mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa indonesia yang jelas kepada Dinas. (2) Tanda penerimaan surat permohonan yang diberikan oleh Pejabat Dinas yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat permohonan melalui pos tercatat, menjadi tanda bukti penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alasan yang jelas dan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. STTS asli dan STTS fotocopy; b. bukti lunas PBB tahun sebelumnya; c. surat kuasa (apabila dikuasakan); d. fotocopy identitas wajib pajak atau fotocopy identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan; dan e. nomor rekening atas nama wajib pajak. (4) Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari wajib pajak untuk pajak terhutang dan pajak tahun berjalan dengan dilengkapi: a. STTS asli dan STTS fotocopy; b. surat kuasa (apabila dikuasakan); c. fotocopy identitas wajib pajak atau fotocopy identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan; dan d. surat permohonan kompensasi. Pasal 43 (1) Berdasarkan hasil penelitian atau pemeriksaan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan wajib pajak secara lengkap, Kepala Dinas menerbitkan: a. surat keputusan kelebihan pembayaran PBB-P2 (SKKP PBB-P2), apabila jumlah PBB-P2 yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang; b. Surat Pemberitahuan (SPb), apabila jumlah PBB-P2 yang dibayar sama dengan jumlah PBB-P2 yang seharusnya terutang; dan c. SKPD, apabila jumlah PBB-P2 yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB-P2 yang seharusnya terutang. (2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Dinas tidak memberikan keputusan, dalam waktu 1 (satu) bulan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut, Kepala Dinas menerbitkan SKKP PBB-P2. Pasal 44 (1) Kelebihan pembayaran pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak lainnya atau utang retribusi daerah lainnya. (2) Atas dasar persetujuan wajib pajak yang berhak atas kelebihan pembayaran pajak, kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama wajib pajak lain dan dengan retribusi daerah yang akan terutang atau dengan utang retribusi atas nama wajib pajak lain. (3) Perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pemindahbukuan.
Pasal 45 (1) Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a dikembalikan dalam jangka waktu (1) satu bulan sejak diterbitkannya SKKP PBB-P2 berdasarkan hasil penelitian atau pemeriksaan Kepala Dinas. (2) Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran PBB-P2 (SPMKP PBB-P2). Pasal 46 (1) Penganggaran pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten pada Pos Anggaran Belanja Tak Terduga. (2) Mekanisme pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Pasal 47 Prosedur tetap (standart operating procedure) mengenai Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran PBB-P2 sebagaimana tercantum dalam lampiran V merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Bagian Kesepuluh Tata Cara Pengurangan PBB Pasal 48 Atas PBB-P2 yang terutang dapat diberikan pengurangan dalam hal sebagai berikut: a. kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; dan b. objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. Pasal 49 (1) Untuk memperoleh pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, wajib pajak mengajukan permohonan kepada Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPPT PBB-P2. (2) Apabila dipandang perlu permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan surat keterangan dari Keuchik dimana objek pajak berada dan Keuchik dimana subjek pajak berada. Pasal 50 Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 meneliti permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 51 (1) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan pajak, harus memberikan keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya, sebagian atau menolak. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan keputusan belum diberikan, maka permohonan pengurangan pajak dianggap diterima. Pasal 52 (1) kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a adalah sebagai berikut: a. Untuk wajib pajak orang pribadi, meliputi: 1) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai anggota veteran pejuang kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya/janda atau dudanya, mantan Bupati dan Wakil Bupati; 2) Objek pajak berupa lahan pertanian/perikanan dengan luas kurang 400 m2 (empat ratus meter persegi); 3) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai pensiunan PNS/TNI/Polri yang tidak mempunyai penghasilan lain dan terbatas; 4) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai masyarakat tidak mampu; 5) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai wajib pajak yang penghasilannya rendah yang nilai jual objek pajaknya permeter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan; dan 6) Objek pajak unit rumah susun yang luas lantainya tidak lebih dari 54 meter persegi dan biaya pembangunannya tidak lebih dari Rp. 275.000,(dua ratus tujuh puluh lima ribu) per meter; b. Untuk wajib pajak badan meliputi: 1) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada tahun sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya; 2) Objek pajak yang digunakan untuk Rumah Sakit Swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM) yang 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien tidak mampu dan sisa hasil usahanya direinvestasi untuk pengembangan rumah sakit; 3) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan 4) Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan yang dikelola swasta.
(2) Objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b adalah sebagai berikut: a. objek pajak yang terkena bencana alam berupa gempa bumi, banjir, tanah longsor dan lain sebagainya; dan b. sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit, hama tanaman dan lain sebagainya. Pasal 53 (1) Besarnya pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) adalah sebagai berikut: a. untuk wajib pajak orang pribadi yaitu: 1) objek pajak yang dimiliki/dikuasai anggota veteran pejuang kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya/janda atau dudanya, mantan Bupati dan Wakil Bupati paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak terutang; 2) objek pajak berupa lahan pertanian/perikanan dengan luas kurang 400 m2 (empat ratus meter persegi), paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen) dari pajak terutang; 3) Objek pajak yang dimiliki/dikuasai pensiunan PNS/TNI/Polri yang tidak mempunyai penghasilan lain dan terbatas, paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen) dari pajak terutang; 4) objek pajak yang dimiliki/dikuasai masyarakat tidak mampu, paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen) dari pajak terutang; 5) objek pajak yang dimiliki/dikuasai wajib pajak yang penghasilannya rendah yang nilai jual objek pajaknya permeter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan, paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen) dari pajak terutang; dan 6) objek pajak unit rumah susun yang luas lantainya tidak lebih dari 54 m2 (lima puluh empat meter persegi) dan biaya pembangunannya tidak lebih dari Rp. 275.000,- (dua ratus tujuh puluh lima ribu) per meter, paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen) dari pajak terutang; b. Untuk wajib pajak badan meliputi: 1) objek pajak yang dimiliki/dikuasai badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada tahun sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang; 2) objek pajak yang digunakan untuk Rumah Sakit Swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM) yang 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien tidak mampu dan sisa hasil usahanya direinvestasi untuk pengembangan rumah sakit, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang;
3) objek pajak yang dimiliki/dikuasai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola angkutan umum, air bersih, pupuk, listrik, paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak terutang; 4) objek pajak yang dimiliki/dikuasai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola telekomunikasi atas objek pajak pada daerah-daerah terpencil yang belum memiliki sarana komunikasi, paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak terutang; 5) objek pajak yang digunakan untuk lembaga swasta yang mengelola pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan sekolah menengah umum atau sederajat, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang; dan 6) objek pajak yang digunakan untuk Lembaga swasta yang mengelola pendidikan tinggi yang memenuhi salah satu kriteria tertentu, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang. (2) Kriteria tertentu perguruan tinggi swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.6) adalah sebagai berikut: a. sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan pungutan lainnya dengan nama apapun kurang dari atau sama dengan Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) per tahun; b. luas bangunan kurang dari atau sama dengan 2.000 m2 (dua ribu meter persegi); c. luas tanah kurang dari atau sama dengan 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi); dan d. Jumlah mahasiswa kurang dari atau sama dengan 3.000 (tiga ribu) orang. (3) Besarnya pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari pajak terutang. Pasal 54 (1) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diberikan kepada wajib pajak atas pajak terutang yang tercantum dalam SPPT/SKPD PBB-P2. (2) Pajak yang terutang dan tercantum dalam SKPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi. (3) SKPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diberikan pengurangan tidak dapat dimintakan pengurangan denda administrasinya. Pasal 55 (1) Pengurangan PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 berdasarkan permohonan wajib pajak. (2) Permohonan pengurangan PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan oleh masingmasing wajib pajak atau kolektif.
(3) Permohonan pengurangan secara kolektif diberikan bagi wajib pajak orang pribadi yang mengalami kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dengan batas maksimal PBB-P2 terutang keseluruhannya paling tinggi sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). (4) Permohonan pengurangan secara kolektif diberikan bagi wajib pajak orang pribadi yang mengalami kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b. (5) Untuk wajib pajak berbentuk badan hukum yang mengalami kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b.1) dengan ketentuan: a. untuk usaha kecil dengan batasan kerugian keuangan atau likuiditas keuangan diatas Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah); b. untuk usaha menengah dengan batasan kerugian keuangan atau likuiditas keuangan diatas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); dan c. untuk usaha besar dengan batasan kerugian keuangan atau likuiditas keuangan diatas Rp. 150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 56 Permohonan pengurangan yang diajukan secara perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 harus memenuhi persyaratan: a. satu permohonan untuk satu SPPT/SKPD PBB-P2; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia dengan mencantumkan besarnya permohonan pengurangan; c. diajukan kepada Kepala Dinas; d. dilampirkan fotocopy SPPT/SKPD PBB yang dimohon pengurangan; e. permohonan ditandatangani oleh wajib pajak, dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh kuasa wajib pajak dilampiri dengan surat kuasa; f. diajukan dalam waktu: 1) 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT; 2) 1 (satu) bulan sejak diterimanya SKPD PBB; 3) 1 (satu) bulan terhitung sejak diterimanya keputusan permohonan keberatan; 4) 3 (tiga) bulan terhitung sejak terjadinya bencana alam; dan 5) 3 (tiga) bulan terhitung sejak terjadinya kejadian luar biasa. g. tidak mempunyai tunggakan atas tunggakan pajak tahun sebelumnya. Pasal 57 Permohonan pengurangan secara kolektif dapat diajukan dengan persyaratan: a. satu permohonan untuk beberapa objek pajak dalam tahun yang sama; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia dengan besaran persentase pengurangan yang dimohonkan kepada Kepala Dinas;
c. diajukan melalui Keuchik atau pengurus legiun veteran atau organisasi terkait lainnya yang diketahui oleh Keuchik setempat; d. dilampiri fotocopy SPPT yang dimohon pengurangan; e. diajukan dalam jangka waktu: 1) 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT; dan 2) 3 (tiga) bulan sejak terjadinya bencana alam atau kejadian luar biasa. f. tidak memiliki tunggakan PBB tahun sebelumnya sejak dimohonkan pengurangan kecuali dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan g. tidak sedang diajukan permohonan keberatan atas SPPT yang dimohon pengurangan. Pasal 58 (1) Permohonan pengurangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57, dianggap bukan sebagai permohonan pengurangan sehingga tidak dapat dipertimbangkan. (2) Dalam hal permohonan pengurangan tidak dapat dipertimbangkan, Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari itu diterima harus kerja sejak permohonan memberitahukan secara tertulis dengan alasan yang mendasari kepada: a. wajib pajak atau kuasanya dalam hal permohonan diajukan secara perseorangan; dan b. pengurus legiun veteran atau organisasi terkait lainnya dalam hal permohonan diajukan secara kolektif. (3) Dalam hal permohonan pengurangan tidak mendapatkan pertimbangan wajib pajak dapat mengajukan kembali sepanjang persyaratan telah terpenuhinya. Pasal 59 (1) Keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dapat berupa mengabulkan seluruhnya, sebagian atau menolak permohonan wajib pajak. (2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan hasil penelitian. (3) Wajib pajak yang sudah diberikan suatu keputusan pengurangan tidak dapat lagi mengajukan permohonan pengurangan untuk SPPT/SKPD PBB-P2 yang sama. (4) Pemberian pengurangan diberikan atas suatu objek PBB yang dimiliki dan ditempati. Pasal 60 Prosedur tetap (standart operating procedure) mengenai tata cara penyelesaian permohonan pengurangan PBB-P2 sebagaimana tercantum dalam lampiran VI dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Bagian Kesebelas Tata Cara Penagihan PBB Pasal 61 (1) Pajak yang terhutang berdasarkan SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus dilunasi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB-P2 oleh wajib pajak. (2) Pajak yang terhutang berdasarkan SKPD PBB-P2 harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKPD PBB-P2 oleh wajib pajak. (3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan. (4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan STPD PBB-P2 yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STPD PBB-P2 oleh wajib pajak. (5) Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Bupati/Kepala Dinas. Pasal 62 (1) SKPD/STPD PBB-P2 sebagai dasar penagihan PBB-P2. (2) Bupati menunjuk dinas untuk melakukan penagihan PBB-P2. (3) Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang menerbitkan: a. surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis; b. surat perintah penagihan seketika dan sekaligus; c. surat paksa; d. surat perintah melaksanakan penyitaan; e. surat pencabutan sita; f. pengumuman lelang; g. surat penentuan harga limit; h. pembatalan lelang; dan i. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak. (4) Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. (5) Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
Pasal 63 (1) Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Surat Paksa diterbitkan apabila: a. penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis; b. terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau c. penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Pasal 64 Prosedur tetap (standart operating procedure) mengenai Tata Cara Penagihan PBB-P2 sebagaimana tercantum dalam lampiran VII dan merupakan bagian tidak terpisahkan dar Peraturan ini. Bagian Kedua belas Tata Cara Pemberian Informasi PBB Pasal 65 (1) Atas dasar kebutuhan informasi wajib pajak melalui fungsi pelayanan dapat meminta informasi kewajiban perpajakannya. (2) kewajiban perpajakannya meliputi print lunas tunggakan dan surat keterangan atas NJOP Bumi dan Bangunan. BAB IV FASILITASI Pasal 66 (1) PPKD melakukan fasilitas pelaksanaan Peraturan ini. (2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup mengkoordinasikan, menyempurnakan lampiran–lampiran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, melaksanakan sosialisasi, super visi dan bimbingan teknis serta memberikan asistensi untuk kelancaran penerapan Peraturan ini. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Setelah berlakunya Peraturan ini, maka segala Peraturan PBB-P2 yang bertentangan dengan Peraturan ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 68 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Aceh Timur. Ditetapkan di Idi pada tanggal 30 Mei 30 Rajab
2014 M 1435 H
BUPATI ACEH TIMUR, ttd HASBALLAH BIN M. THAIB Diundangkan di Idi pada tanggal 30 Mei 30 Rajab
2014 M 1435 H
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN ACEH TIMUR, ttd M. IKHSAN AHYAT BERITA DAERAH KABUPATEN ACEH TIMUR TAHUN 2014 NOMOR 18
Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN HUKUM SETDAKAB. ACEH TIMUR,
ISKANDAR, SH Pembina (IV/a) Nip. 19720909 200212 1 009