Juara 3 Lomba Menulis Esai Perum BULOG dalam Rangka HUT Kemerdekaan RI ke-63
BULOG 2008: LAHIR DEMI MELAHIRKAN SISTEM KETAHANAN PANGAN NASIONAL Nurul Fitriandari
Usia Bumi Nusantara telah genap menjadi 63 tahun. Tidak terasa sudah terlalu lama bangsa ini mencoba merangkak keluar demi segelintir pengakuan atas identitas kebanggaan yang telah diperjuangkan. Kebanggaan sebagai negara yang merdeka tidak lagi akan bermakna jika tidak ada kekuatan untuk mempertahankannya. Wajar saja jika pemerintahan di Indonesia kerap mengalami perubahan, baik dalam sistem maupun para pelakunya. Deretan perubahan yang tercipta semata-mata karena adanya hasrat akan kehidupan yang lebih baik. Namun, tampaknya perubahan itu belum juga mampu mengantarkan Indonesia menjadi sosok bangsa yang mapan di usia yang kian matang. Nayatanya hingga kini badge ‘Negara Berkembang’ tetap tersemat rapi di bahu Ibu Pertiwi. Buah Simalakama Negara Berkembang Gelar Negara berkembang menandakan bahwa Negara tersebut memiliki pendapatan per kapita riil yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Negara berkembang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, tingkat kesehatan yang rendah, dan kualitas pendidikan yang masih rendah. Secara konkret dapat digambarkan dengan masih banyak penduduk yang menderita penyakit akibat kekurangan gizi dan bermukim di perumahan-perumahan sederhana. Hal ini terjadi karena struktur ekonomi di negara-negara berkembang cenderung terpusat pada kegiatan di sektor pertanian, sedangkan di negara-negara maju terpusat pada kegiatan di sektor industri dan jasa.
1
Sadono Sukirno dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Pembangunan (1982: 154) menguraikan bahwa “Terlalu terpusatnya kegiatan ekonomi negaranegara berkembang di sektor pertanian merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan mereka mempunyai tingkat pendapatan yang sangat rendah”. Masyarakat pertanian umumnya sangat rentan dengan budaya tradisional. Anggota-anggotanya masih mempertahankan nilai-nilai yang diwarisi secara turun-temurun. Akibatnya, mereka memiliki pola pikir yang statis dan membatasi kemampuan mereka untuk mengadakan percobaan-percobaan guna melahirkan inovasi dalam kegiatan pertanian. Mereka tidak menyadari tentang cara bercocok tanam yang lebih baik dengan memanfaatkan perkembangan teknologi pertanian. Minimnya tingkat pengetahuan di kalangan para petani ini menjadi penyebab rendahnya tingkat produktivitas kerja mereka. Sebenarnya kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang dengan berporoskan di bidang agraris, bukanlah suatu hal yang memalukan. Terlebih lagi mengingat keistimewan “gemah ripah loh jinawi” yang dimiliki Indonesia. Tanah subur yang kaya akan potensi alam merupakan kunci keberuntungan Indonesia, sebagai modal awal untuk menjadi negara berpotensi tinggi. Sejarah pun
telah
mencatat
kredibilitas
Indonesia
dalam
pemanfaatan
kunci
keberuntungannya, yakni saat Indonesia berhasil mendapat penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) sebagai satu-satunya negara berkembang di dunia yang mampu mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Menilik keadaan di atas, rasa-rasanya amat disayangkan jika Indonesia harus meninggalkan pola kehidupan agraris dan beralih pada ekspansi perindustrian demi mengejar status negara maju. Ibarat memakan buah simalakama. Akan tetapi, saat pola hidup agraris mengakibatkan pembangunan ekonomi Indonesia menjadi terbelakang maka perlu ada pembenahan di dalamnya. Kelahiran BULOG BULOG (Badan Urusan Logistik) merupakan suatu lembaga pangan di Indonesia yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan pendistribusian bahan pangan bagi masyarakat di seluruh daerah dengan harga yang
2
terjangkau, serta mengendalikan harga bahan pangan baik di tingkat produsen maupun konsumen. Sebagai lembaga pangan, BULOG lahir pertama kali di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan nama Voeding Middelen Fonds (VMF) pada tanggal 25 April 1939. Hingga akhirnya, tepat di tahun 1967 nama BULOG lahir ke permukaan yang dibentuk berdasarkan KEPPRES No. 114/KEP 1967. Semula, tugas utama BULOG yaitu membantu Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan dan mengelola persedian beras, gula, tepung terigu, kedelai, dan bahan pangan lainnya (berdasarkan KEPPRES RI No. 5/1995). Namun dalam perkembangannya, sesuai KEPPRES RI No. 19/1998 tugas utama BULOG dipersempit menjadi suatu lembaga yang hanya mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras saja. Tugas dan struktur perum logistik ini kian mengalami perubahan, hingga KEPPRES No. 29/2000 tanggal 26 Februari 2000 dikeluarkan dan menyatakan bahwa tugas BULOG adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akhirnya, KEPPRES No. 103/2001 tanggal 13 September 2001 memberikan keputusan final mengenai tugas dan fungsi BULOG. Tugasnya yakni melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan kedudukan sebagai lembaga pemerintahan non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. (www.bulog.co.id) Kini hampir di penghujung tahun 2008, BULOG cenderung lebih identik dengan lembaga yang mengatur kesejahteraan pangan rakyat miskin. Lembaga ini memiliki peran penting dalam pendistribusian raskin (beras miskin) secara efektif dan efisien. Efektif (do the right thing) artinya BULOG diharuskan untuk mampu mendistribusikan raskin dengan sasaran dan proporsi yang tepat, tanpa meminimalisir kualitas bahannya. Sedangkan efisien (do the thing right) artinya BULOG dalam aktivitas pendistribusiannya tetap perlu adanya perencanaan secara matang mengenai waktu pendistribusian agar bahannya dapat tiba di sasaran secara cepat. Melalui BULOG, Pemerintah berharap produktivitas Indonesia dalam menciptakan sistem ketahanan pangan nasional semakin
3
meningkat demi menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia dalam pemenuhan kuantitas dan kualitas bahan pangannya. Terlebih lagi semenjak tragedi krisis ekonomi melanda negeri ini. Keberadaan Raskin dan Rakyat Miskin Raskin atau beras untuk masyarakat miskin mulai menjadi topik utama pembahasan di agenda pemerintahan sejak tingkat kemiskinan di Indonesia membengkak parah. Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup dratis. Jumlah penduduk miskin pada bulan Februari 2005 sebesar 35,10 juta orang, sedangkan pada bulan Maret 2006 meningkat menjadi 39,30 juta orang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), peningkatan jumlah penduduk miskin ini terjadi karena adanya kenaikan harga BBM yang menyebabkan naiknya harga berbagai barang sehingga inflasi mencapai 17, 95 persen selama periode Februari 2005-Maret 2006 pun tidak dapat terelakkan. Berdasarkan pemaparan pada Berita Resmi Statistik No. 37/07/Th. XI, tanggal 1 Juli 2008 bahwa : “Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta orang.” Data di atas seolah-olah menyatakan bahwa pemerintahan Indonesia di tahun 2008 mengalami peningkatan kinerja, karena telah berhasil menurunkan persentase jumlah masyarakat miskin. Namun faktanya justru memeruncing pada keadaan yang berbanding terbalik dengan segepok data di atas. Potret kemelaratan hidup masyarakat Indonesia kini bukanlah tontonan yang langka. Wabah penyakit kian menjamur akibat kualitas makanan dan lingkungan yang buruk, ditambah lagi maraknya kasus bunuh diri karena putus asa oleh himpitan ekonomi. Bencana kelaparan dan kekurangan gizi di Kabupaten Yakuhimo, Papua telah mengakibatkan 55 orang meninggal dan 112 orang sakit parah. Belum lagi bencana busung lapar di NTB. Mozaik-mozaik pilu serupa tragedi Ethiopia di tahun 1984 satu per satu tampak mulai menyatu. Lalu, apakah
4
masih kurang bukti bahwa penduduk miskin di Indonesia kian meningkat di tahun 2008 ini? Sistem Ketahanan Pangan Nasional Pasti Mampu Terlahir Kenaikan tarif BBM yang diputuskan sejak tanggal 24 Mei 2008 telah menorehkan kekhawatiran di setiap hati rakyat Indonesia. Perasaan khawatir jikalau mereka tidak mampu melawan arus evolusi yang kemungkinan besar akan mematikan langkah hidupnya kelak. Lagi-lagi, rakyat miskin dipaksa untuk kembali merasakan keresahan mendalam. Dampak dari kenaikan BBM akibat dari kelangkaan bahan bakar, mengakibatkan tingkat inflasi relatif lebih tinggi. Akibat terburuknya, daya beli rakyat kecil kian menurun. Harga bahan-bahan makanan dan barang lainnya terus meroket dan tak mampu tersentuh kantung rakyat-rakyat kecil. Secara global, rantai keadaan ini mendorong terciptanya tingkat kemiskinan yang tak berujung. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dicanangkan Pemerintah sebagai solusi menghadapi ketidakstabilan harga di Indonesia saat ini. Namun, dana BLT tersebut hanya mampu menutupi sebagian kecil saja dari kebutuhan masyarakat. Apalagi dana BLT yang diberikan terkesan tidak mampu mendorong masyarakat menjadi lebih produktif. Masyarakat kecil menjadi terbiasa menggantungkan bantuan dari Pemeritah daripada berusaha untuk mencukupi kebutuhannya dengan bekerja secara mandiri. Artinya, BLT pun tidak mampu meminimalisir tingkat kemiskinan di Indonesia. Sesungguhnya kenaikan BBM dan kasus BLT bukanlah tugas utama BULOG. Namun, tidak menutup kemungkinan akan diperlukannya peran BULOG dalam menghadapi masalah kelabilan situasi perekonomian Indonesia saat ini. BULOG memiliki peran utama untuk menciptakan sistem ketahanan pangan nasional. Dimana saat ketahanan pangan nasional tercipta, secara tidak langsung akan mempengaruhi pula terciptanya ketahanan perekonomian nasional. Adapun langkah pertama untuk menciptakan ketahanan pangan nasional yakni dengan meminimalisir kebijakan impor beras, jika perlu kebijakan ini dihilangkan sekaligus. Upaya penghapusan impor beras diimbangi dengan
5
peningkatan kualitas pertanian dalam negeri. Berkaca pada masa swasembada pangan di Indonesia, dimana Presiden Soeharto merealisasikan programnya ke dalam dua tahap. Tahap pertama, Inmas atau Intensifikasi Massal. Upaya untuk menaikkan produktivitas pertanian, terutama produktivitas tanaman padi pada areal-areal yang telah ada. Petani merupakan penghuni terbesar dalam golongan masyarakat miskin, baik miskin harta maupun miskin pengetahuan. Sehingga perlu adanya bantuan produktif untuk kaum petani berupa modal untuk membeli pupuk, bibit-bibit unggul, obat-obatan hama, maupun peralatan berteknologi modern. Pemberian bantuan modal ini tidak akan berjalan lancar jika tidak diimbangi dengan bekal pengetahuan secara luas kepada para petani. Karenanya dibutuhkan upaya pada tahap kedua, yakni Bimas atau Bimbingan Massal. Bimbingan-bimbingan yang diberikan tidak hanya berupa anjuran dan uraian belaka, melainkan perlu diberikannya bukti dan praktek secara langsung demi pemahaman secara mendalam. Misalnya dengan pembangunan lahanlahan percontohan, serta pengadaan tenaga-tenaga penyuluhan pertanian. Kedua tahapan ini dapat diupayakan oleh BULOG dengan bekerjasama pada pihak Departemen Pertanian demi meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian di Indonesia. Hasil pertanian dengan kualitas yang memadai akan memberikan asupan gizi yang optimal pada masyarakat Indonesia secara keseluruhan, khususnya bagi generasi-generasi muda bangsa yang akan tumbuh dan berkembang. Sedangkan kuantitas hasil pertanian yang meningkat akan memperkecil kemungkinan adanya kekurangan pendistribusian bahan makanan ke seluruh wilayah Indonesia. Sehingga tidak perlu lagi upaya mengimpor beras akibat produksi beras yang dinilai berada di bawah standar. Kebijakan impor beras sebenarnya tidak memberikan kontribusi nyata bagi rakyat Indonesia. Berkembangnya beras-beras impor di pasaran mengakibatkan harga beras dalam negeri menjadi murah dan petani Indonesia menjadi merugi. Sementara itu, harga beras-beras impor tetap tinggi dengan dalih kualitas produk mereka yang lebih baik dibandingkan produk dalam negeri. Kesenjangan pun tercipta, dimana kaum borjuis hidup sejahtera dalam kenikmatan sementara kaum proletar lelah dalam kekurangan dan terkunci mati
6
oleh perasaan ketakutan. Maka, dimanakah ketahanan pangan nasional yang digembargemborkan akan tercipta jika kebijakan impor beras telah terlaksana? Selanjutnya langkah kedua untuk menciptakan ketahanan pangan nasional yaitu melalui pemanfaatan berbagai bahan makanan pokok sebagai substitusi dari beras. Bangsa Indonesia telah terbiasa menjadikan beras sebagai bahan makanan utama. Bahkan beras pun terkadang dijadikan sebagai tolak ukur tingkat perekonomian seseorang. Dibandingkan jagung, ketela, ubiubian, sagu maupun gandum, beras cenderung memiliki kadar karbohidrat yang relatif lebih tinggi. Hal inilah yang menjadi alasan utama beras lebih banyak disukai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Padahal jika masyarakat Indonesia berminat untuk mengkonversikan 10% saja dari total konsumsi beras setiap harinya dengan bahan-bahan makanan pokok yang lain, maka bencana kekurangan gizi maupun kelaparan tidak akan terjadi. Artinya, sumber makanan pokoknya tetap lebih dititikberatkan pada konsumsi beras dengan jagung (misalnya) sebagai kombinasinya. Dengan demikian, diharapkan kedua langkah di atas mampu melahirkan sistem ketahanan pangan nasional di Indonesia. Tampaknya ironis, Negara Indonesia yang kaya akan potensi alam (flora, fauna, dan migas) justru tidak mampu menciptakan kesejahteraan bagi negaranya sendiri. Negara yang telah diberi kepercayaan oleh Sang Pencipta untuk mengelola beribu-ribu kekayaan kini harus mengemis kekurangan. Bulan delapan menuju penghujung tahun 2008, saat tepat bagi Indonesia untuk bangkit menghancurkan segala belenggu kemiskinan. Dan, BULOG edisi 2008 pasti mampu menjadi promotor utama sebagai lembaga yang melahirkan sistem ketahanan pangan nasional.
Daftar Pustaka Sadono, Sukirno. 1982. Ekonomi Pembanguan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta: Bina Grafika.
7
Badan Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik, No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008: Profil
Kemiskinan
di
Indonesia
Maret
2008.
(www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01jul08.pdf, diakses tanggal 13 Agustus 2008). Badan
Usaha
Logistik.
Sejarah:
BULOG
Sebelum
Menjadi
Perum.
(www.bulog.co.id/sejarah.php, diakses tanggal 13 Agustus 2008).
8