Juni EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Agnes Ratih Ari Indrayani
81
Vol. I, No. 1, Juni 2010, 81 - 87
KETAHANAN PANGAN NASIONAL DAN TEORI “POPULATION TRAP” Agnes Ratih Ari Indrayani Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra
ABSTRAKS Konsep ketahanan pangan adalah lebih luas dibandingkan dengan konsep swasembada pangan, yang hanya berorientasi pada aspek fisik kecukupan produksi bahan pangan. Situasi pangan nasional yang dihadapkan pada 3 (tiga) parameter ketahanan pangan, yaitu tingkat aksesabilitas, kestabilan harga komoditas dan tingkat kecukupan (produksi), masih dalam masalah besar. Ketiganya saling berinteraksi, dan usaha mengatasi ketiganya harus secara simultan. Ketidakseimbangan yang terjadi antara supply dan demand memunculkan kekhawatiran terbuktinya prediksi Thomas Robert Malthus (1766-1834) dalam teorinya “Population Trap”. Kata kunci: ketahanan pangan, population trap theory
PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya tidak dapat ditunda-tunda. Karenanya usaha mengatasai masalah pangan menempati perhatian khusus dalam pembangunan ekonomi setiap negara. Salah satu tugas utama sektor pertanian dalam pembangunan suatu perekonomian adalah untuk menghasilkan bahan pangan bagi penduduk, di samping perannya dalam menyediakan bahan baku bagi industri, dan menghasilkan devisa bagi negara, serta menyerap lebih dari 50% tenaga kerja. Dengan demikian pangan bukan saja penting bagi pemenuhan konsumsi, tetapi juga bagi sumber penghidupan bagi masyarakat. Kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga tercermin dari (1) tersedianya pangan secara cukup baik dalam arti kuantitas maupun kualitas, (2) aman (3) merata (4) terjangkau. Keempat unsur tersebut merupakan penjabaran dari tiga sub sistem yaitu produksi, konsumsi dan distribusi. Ketiga subsistem ini saling berinteraksi dan usaha membangun ketiganya harus dilakukan secara simultan dan harmonis. Tiga subsistem
tersebut membentuk satu sistem yang disebut dengan ketahanan pangan. Perhatian pemerintah selama beberapa dekade ini lebih ditekankan pada segi pengadaan daripada produksi, hingga impor beras mengalami kenaikan setiap tahunnya. Bahkan Indonesia sempat menduduki predikat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Berbicara masalah pangan selalu menyangkut dua sisi, sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply). Kesenjangan antara supply dan demand akan membawa masalah besar seperti yang dikemukakan oleh Thomas Robert Malthus (1766-1834) dengan teori “Population Trap”nya. Tulisan ini akan membahas situasi pangan nasional dihadapkan pada konsep ketahanan pangan dan Teori “Population Trap” tersebut.
KAJIAN PUSTAKA 1.
Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan nasional merupakan isu strategis bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi pangan
82
EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
mempunyai dimensi sangat luas dan terkait dengan dimensi social, ekonomi dan politik. Konsep ketahanan pangan lebih luas dibandingkan dengan konsep swasembada pangan, yang hanya berorientasi pada aspek fisik kecukupan produksi bahan pangan. Para ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung unsur pokok, yaitu ketersediaan, aksesabilitas masyarakat dan stabilitas harga pangan. Salah satu dari unsur di atas tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Aspek distribusi bahan pangan sampai ke pelosok rumah tangga pedesaan, yang tentunya mencakup fungsi tempat, ruang dan waktu, juga tidak kalah pentingnya dalam upaya memperkuat strategi ketahanan pangan. Usaha pemenuhan kebutuhan beras Indonesia harus dipenuhi dengan impor karena Indonesia menghadapi permasalahan pola distribusi beras di pasar domestik yang cukup kompleks. Dalam dimensi yang lebih makro, eksternal, strategis dan politis, ketahanan pangan dapat menjelma menjadi keberdaulatan pangan (food reliance) yang merujuk pada suatu ancaman berat bagi keberdaulatan suatu bangsa yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan domestiknya. Ketergantungan yang begitu tinggi terhadap pangan impor adalah salah satu indikasi dari kebersaulatan pangan. Bentuk paling ,menakutkan dari buruknya keberdaulatan pangan adalah keterjebakan pangan (food trap). Negara hanya menggantungkan sepenuhnya pada pasokan pangan negara lain, sementara cadangan devisanya dan neraca pembayaran di dalam negerinya sangat buruk. Berkaitan dengan kondisi tersebut, aspek kemeratan harus memperoleh perhatian yang
Juni
lebih serius. Pemerataan dalam sistem pangan memiliki dimensi yang luas; pertama, pemerataan kesempatan untuk memperbaiki pendapatan petani; kedua, pemerataan kecukupan pangan antar daerah; ketiga, pemerataan kecukupan pangan antar musim; dan keempat, pemerataan insentif untuk mendorong produksi berbagai kondisi pangan. Disebabkan oleh satu atau lebih kondisi ketidakmerataan tersebut di atas akan berakibat pada kondisi kelangkaan yang kemudian diindikasikan dengan terjadinya peningkatan harga dan atau berakibat pada penurunan daya beli konsumen. 2.
Teori “Population Trap”.
Dua abad lalu Thomas Robert Malthus melontarkan kerisauannya apakah produksi pertanian dunia mampu memenuhi permintaan pangan penduduk? Pada 1798 Thomas Robert Malthus menulis buku “Essay on the Principle of Population” yang menganalisis tendensi universal penduduk suatu negara untuk berkembang secara deret ukur (geometris) dengan berlipat-dua setiap 30 sampai 40 tahun, kecuali jika dicegah dengan mengecilnya bahan makanan. Pada waktu yang sama karena menurunnya kenaikan hasil (diminishing return) atas faktor produksi tetap yaitu tanah, bahan makan hanya akan bertambah secara deret hitung (aritmatis). Bahkan, karena setiap anggota penduduk mengerjakan tanah yang semakin sempit, maka kontribusi marjinalnya terhadap produksi makanan menurun. Oleh karena pertumbuhan bahan makanan tidak dapat mengimbangi membengkaknya penduduk, produksi makanan per kapita cenderung turun begitu rendah sehingga menimbulkan jumlah penduduk yang hidup pada/ atau sedikit di atas tingkat subsisten. Karena itu Malthus berpendapat bahwa hanya dengan cara meningkatkan derajat hidup atau mencegah kemiskinan absolut, penduduk dapat melakukan “pengendalian moral” dan membatasi keturunan. Analisis Malthus atas penduduk yang
Juni
Agnes Ratih Ari Indrayani
terpaksa hidup pada tingkat penghasilan subsisten sebagai “perangkap penduduk tingkat keseimbangan rendah” (low level equilibrium population trap) atau perangkap penduduk Malthus. Model Malthus dapat dijelaskan dengan membandingkan bentuk dan posisi kurva tingkat pertumbuhan penduduk dan tingkat penghasilan aggregate sebagai berikut:
83
Bagian lain teori Malthus menyangkut hubungan antara tingkat pertumbuhan penghasilan aggregate dan tingkat penghasilan per kapita. Jika penghasilan agregat naik dengan cepat, penghasilan per kapita otomatis juga naik. Namun jika jumlah penduduk naik /tumbuh lebih cepat daripada penghasilan agregat maka penghasilan perkaita akan menurun.
5 4
persentase tingkat pertumbuhan
3 2
kurva pertambahan populasi (P) kurva pertambahan pendapatan (Y)
1 0 -1
YO Y1
Y2
Y3 Y4 Y5 pendapatan per kapita (Y/P)
Kurva terputus-putus menggambarkan hubungan antara tingkat pertumbuhan penduduk (pada sumbu vertikal) dan tingkat penghasilan per kapita Y/P pada sumbu horisontal) Pada tingkat penghasilan per kapita yang sangat rendah Yo, tidak ada perubahan pennduduk, terjadi stabilitas penduduk, kemiskinan absolut, tingkat kelahiran dan kematian sama. Pada tingkat penghasilan perkapita di atas Yo, jumlah penduduk akan naik karena turunnya angka kematian. Penghasilan yang lebih tinggi akan menurunkan kelaparan dan penyakit. Dengan angka kelahiran yang tetap pada tingkat biologis maksimum, kira-kira 3,3% pada tingkat penghasilan per kapita Y2. pada tingkat ini penghasilan akan konstan sampai tingkat penghasilan per kapita yang tinggi Y5. sesuai tahap III, di atas Y5, angka kelahiran akan menurun dan kurva tingkat pertumbuhan penduduk mengalami penurunan.
Pada awalnya, tingkat pertumbuhan penghasilan aggregate naik dengan kenaikan tingkat penghasilan per kapita. Sesuai model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, kenaikan penghasilan per kapita menyebabkan kenaikan tingkat tabungan, dan kenaikan investasi sehingga mengakibatkan kenaikan pertumbuhan produksi dan penghasilan aggregat. Namun setelah titik penghasilan perkapita tertentu (Y3), kurva tingkat pertumbuhan penghasilan mulai turun, karena investasi baru dan penduduk yang lebih banyak harus bekerja dengan faktor produksi tetap, yaitu tanah dan sumber daya alam tertentu. Dalam keadaan demikian maka terjadi penuruan hasil produksi (diminishing returns) dalam model Malthus ini. Kedua kurva (tingkat pertumbuhan penduduk dan tingkat pertumbuhan penghasilan) berpotongan pada tiga titik A, B, dan C. Titik A menunjukkan tingkat penghasilan per kapita (Y1)
84
EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
perangkap penduduk Malthus tercapai. Tingkat itu merupakan titik keseimbangan yang stabil, yaitu setiap pergeseran ke kiri atau ke kanan dari titik A akan menyebabkan titik keseimbangan penghasilan per kapita itu kembali ke Y1. Misalnya, penghasilan per kapita naik ke Y2, maka tingkat pertumbuhan penduduk melebihi tingkat pertumbuhan penghasilan aggregate (kurva P lebih tinggi daripada kurve Y) sehingga mengakibatkan penghasilan per kapita turun lagi ke tingkat Y1. Sebaliknya pergeseran ke kiri dari titik A, penghasilan tumbuh lebih cepat daripada penduduk, yang menyebabkan penghasilan per kapita naik ke Y1. Pernyataan Malthus bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, (geometric progression, dari 2 ke 4, 8, 16, 32 dan seterusnya), sedangkan pertumbuhan produksi pangan hanya mengikuti deret hitung (arithmetic progression, dari 2 ke 4, 6, 8 dan seterusnya.), hingga saat ini masih menjadi polemik antara para ahli yang kemudian melahirkan dua kelompok, yaitu kelompok yang pesimis dan kelompok yang optimis. Menurut kelompok pesimis ada tandatanda yang menunjukkan bahwa tekanan terhadap lingkungan semakin berat yang menyebabkan menurunnya produksi pertanian. Produksi pangan, telah lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan penduduk dunia. Malthus menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah populasi pada suatu waktu, semakin banyak bayi yang dilahirkan dan mengakibatkan jumlah populasi pada generasi selanjutnya makin tinggi. Pertumbuhan populasi dunia akan semakin cepat mengikuti pertumbuhan eksponensial, sementara daya dukung lingkungan seperti ketersediaan lahan dan air bertambah mengikuti deret aritmatika. Pada suatu waktu, jumlah populasi akan melebihi ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan. Dengan dasar pendirian tersebut, dengan sangat yakin, Malthus memaparkan postulat-nya yang terkenal bahwa kekuatan pertumbuhan penduduk nyata sekali lebih besar dari kekuatan
Juni
dunia untuk menghasilkan nafkah bagi manusia. Jumlah penduduk jika tidak dikendalikan akan berlipat ganda menurut perbandingan geometri. Jika diperhatikan angka-angka yang ada mengenai ini maka akan nyata, bahwa kekuatan yang pertama jauh lebih besar dari kekuatan yang kedua. Dari teorinya itu, Malthus memberikan kesimpulan dan solusinya dengan dua hal utama, pertama pembukaan tanah lebih banyak dan dengan menganjurkan pertanian sebesarbesarnya, kemudian jika cara ini dipandang masih belum efektif dalam mengatasi kerawanan pangan, maka yang kedua adalah dengan pengendalian pertumbuhan penduduk. Pengendalian inilah yang sering disebut Malthus dengan “pengendalian langsung” yang ditujukan kepada “golongan positif” seperti pekerjaanpekerjaan yang yang tak sehat, kerja yang berat, kemelaratan yang teramat sangat, penyakit, perawatan anak-anak yang tak baik, kota-kota besar, pes, epidemi; serta “golongan preventif”, yaitu pengekangan moral dan adanya cacat jasmani.
PEMBAHASAN Situasi Pangan Dunia dan Nasional Data FAO menunjukkan terdapat laju kenaikan produksi pangan yang telah lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan penduduk dunia. Pada periode 1990-1996, produktivitas hanya naik sebesar 3 persen atau sekitar 0.5 persen per tahun, yang jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan penduduk dunia yang mencapai 1.6 persen per tahun (Arifin, 2004). FAO memprediksi produksi serealia dunia turun akibat penurunan luas tanam dan kekeringan tahun 2009. Hal ini antara lain disebbabkan Negara-negara China, Australia, Negara-negara Amerika Latin, dan AS, penyumbang dua pertiga produksi pertanian dunia sedang mengalami kekeringan yang menurunkan produksi pertaniannya. The International Grain Council (IGC) juga memperkirakan produksi
Juni
Agnes Ratih Ari Indrayani
serealia dunia turun 3,4 persen (2009-20010) dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan stok pangan dunia pada periode itu juga turun 4,3 persen. Dari sisi permintaan terjadi situasi yang berlawanan. Kebutuhan pangan mengalami peningkatan 0,8 persen. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, harga komoditas akan naik. Selama beberapa bulan terakhir situasi demikian telah terlihat. Harga komoditas pertanian yaitu kedelai,jagung dan gandum cenderung terus mengalami kenaikan. Disebutkan jika kondisi memburuk, krisis pangan global kedua (di mana krisis pangan global pertama terjadi pada akhir 2007-Mei 2008) tidak mustahil terjadi. Kesenjangan ketersediaan pangan melanda dunia. Menurut FAO pada tahun 2002, 815 juta penduduk di dunia menghadapi kelaparan dan kekurangan pangan kronis. Di antaranya, 777 juta penduduk bermukim di negara berkembang. Satu manusia meninggal setiap empat detik sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari kekurangan pangan. Lima puluh lima persen dari 12 juta anak-anak yang meninggal setiap tahun diakibatkan oleh kekurang pangan. Dalam lingkup kelaparan kronis di dunia, kekurangan pangan massal terjadi di daerah Sahara Afrika, di mana 12.8 juta orang di enam negara menghadapi risiko kematian dari kekurangan pangan karena busung-lapar, kekeringan dan kebanjiran. Populasi dunia tercatat mencapai angka 5,77 miliar pada tahun 1996 dan para ahli memperkirakan jumlah ini akan terus bertambah dan mencapai 6 miliar pada tahun 1999. Katakanlah, setiap orang membutuhkan energi sebesar 3000 kkal perhari, maka setiap harinya diperlukan energi makanan sebesar 18 trilyun kkal. Jika jumlah energi dalam 100 gr beras giling sebesar 178 kkal, jagung giling sebesar 361 kkal, kentang 83 kkal dan tepung terigu 365 kkal, maka sebenarnya, kebutuhan pokok makanan penduduk dunia per hari sebesar 10 juta ton beras giling,
85
atau 4 juta ton jagung giling, atau 25 juta ton kentang, atau 4 juta ton tepung terigu. Pertemuan KTT Pangan FAO yang terakhir diselenggarakan pada tahun 1996, dan diakhiri dengan suatu pernyataan untuk mengurangi hingga 50% kelaparan di dunia pada tahun 2015. Kini, sepertiga jalan menuju tahun 2015, angkaangka resmi menunjukan hampir tidak ada kemajuan yang telah tercapai. Beberapa pejabat menyatakan bahwa dengan tercatatnya penurunan jumlah manusia yang menderita kekurangan pangan dan kelaparan sebesar enam juta jiwa pertahun dalam enam tahun yang lalu, mencerminkan suatu kemajuan. Angka ini harus meningkat ke 22 juta jiwa pertahun, bila target tujuan awal FAO ingin terpenuhi. Dengan keadaan seperti kini, pada tahun 2015, 122 juta manusia akan meninggal dari kelaparan dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengannya. Pada sebagian besar dunia, termasuk lebih dari dua pertiga dari negara Dunia Ketiga, data FAO menunjukkan akan peningkatan dari kelaparan dalam dekade terakhir. Kekurangan pangan telah meningkat di Congo, India, Tanzania, Korea Utara, Bangladesh, Afghanistan, Venezuela, Kenya dan Iraq. Bila Cina tidak diperhitungkan, kekurangan pangan di dunia telah meningkat semenjak 1996. Keadaannya lebih parah di negara-negara seperti Malawi, Swaziland, Zambia, Zimbabwe dan Lesotho, di mana kelaparan bagi jutaan manusia adalah sebuah kepastian. Di Zambia, ada sekitar 2,3 juta manusia yang membutuhkan bantuan pangan antara kini sampai dengan Maret 2003. Sebuah laporan FAO menyatakan sudah tampak semua dasar tanda-tanda tekanan sosial di negara tersebut. Para penduduk mengambil langkahlangkah drastis, termasuk memakan makanan liar yang berpotensi beracun, mencuri hasil panen dan pelacuran, untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Di Malawi, lebih dari 70 persen penduduknya tidak dapat memperoleh cukup pangan. Sedangkan di Indonesia, sejak awal
86
EfEktif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
akhir 1980an dan awal 1990an, laju produksi pangan dan pertanian secara umum telah mengalami perlambatan yang sangat signifikan. Pada periode 1985-1996, sector pertanian memang mengalami kontraksi tingkat pertumbuhan di bawah 3,4 persen per tahun, amat kontras dengan periode sebelumnya (1978-1985) yang mengalami pertumbuhan produksi hampir 6 persen per tahun (Arifin, 2004). Pada periode tersebut subsektor tanaman pangan hanya tumbuh 1.9 persen per tahun. Periode itu merupakan suatu rekor terburuk sepanjang sejarah pertanian moderen Indonesia. Periode krusial awal 1990an tersebut sering disebut fase dekonstruksi karena sektor pertanian mengalamin fase pengacuhan oleh para perumus kebijakan. Dengan kata lain, pertumbuhan produksi telah mencapai pada peningkatan (pertambahan hasil) yang menurun (diminishing return). Akibat penurunan produksi, jumlah pangan yang diperdagangkan akan turun, dan ini akan memicu kenaikan harga. Negara pengimpor pangan tahun 2008, Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar kedua dunia dengan impor 7.729.000 ton, akan mengalami dampak serius karena pada saat bersamaan produksi domestik turun. Apabila tidak terjadi lagi penemuan teknologi baru di bidang pertanian, keberlanjutan produksi pangan dunia jelas akan terancam, dan perangkap argument yang dikemukakan Thomas Robert Malthus akan berulang kembali. Kemungkinan terbesar penyebab menurunnya produktivitas adalah bahwa pertumbuhan produksi yang terlalu mengandalkan pertambahan luas panen dan aspek fisik lain telah terlalu jenuh (exhausted) (Arifin, 2005). Apalagi jika melihat realita petani di Indonesia dengan rata-rata lahan pangan per kapita 359 meter persegi , dibandingkan dengan petani Thailand 5.226 meter persegi, hal ini tentu suatu masalah besar yang membutuhkan peran serta barbagai pihak.
Juni
Publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi beras sebagai produk pangan yang paling strategis, tahun 2005 mencapai 52,1 juta ton gabah kering giling atau setara 32,8 juta ton beras. Demikian pula, perkiraan resmi tentang produksi angka ramalan II per juni 2004 menunjukkan produksi tahun ini mencapai 53,0 juta ton gabah kering giling atau setara 33,5 juta ton beras, suatu rekor angka produksi yang mungkin terlalu optimistis. Sementara itu angka perkiraan konsumsi beras rumah tangga diperkirakan terus menurun dan hanya mencapai 115,5 kilogram perkapita per tahun, yang juga merupakan angka rekor terendah sepanjang dasawarsa terakhir mengingat Indonesia adalah konsumen pemakan beras terbesar di dunia. Perkiraan kebutuhan beras total domestic sekitas 29 juta ton, dari total konsumsi masyarakat, konsumsi industri, kebutuhan untuk benih dan kebutuhan lain. Apabila semua perkiraan dan data tersebut akurat, maka Indonesia seharusnya telah mencapai swasembada beras karena jumlah total produksi melebihi jumlah total konsumsi beras di dalam negeri. Namun demikian aplikasi pemahaman swasembada beras jelas tidak sesederhana atau se-linier seperti angka neraca perhitungan tingkat makro tersebut. Sekitar 60 persen produksi beras di Indonesia terjadi pada saat musin panen raya pada bulan Februari-Mei yang menghasilkan surplus beras karena produksi jauh melebihi konsumsi. Sedangkan pada delapan bulan berikutnya, produksi beras Indonesia berada di bawah tingkat konsumsi secara nasional, bahkan harus dipenuhi beras impor karena Indonesia menghadapi permasalahan pola distribusi beras di pasar domestik yang cukup kompleks. Indonesia masih perlu berusaha keras mencapai swasembada beras yang sebenarnya, atau usaha untuk mencapai kondisi ketahanan pangan dari aspek asesabilitas dan stabilitas harga masih harus menempuh jalan panjang.
Juni
Agnes Ratih Ari Indrayani
SIMPULAN Ketahanan pangan mengandung 3 unsur pokok, ketersediaan pangan, aksesabilitas masyarakat dan stabilitas harga pangan. Salah satu dari unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Indonesia belum memiliki ketahanan pangan yang baik. Aspek aksesabilitas dan kestabilan harga masih menjadi masalah pokok, selain aspek ketersediaan. Untuk masalah ketersediaan, perlu sungguh-sungguh diantisipasi terjadinya “population trap” seperti yang dikemukakan oleh Malthus. Dari situasi pangan dunia, karena perkembangan produksi pangan yang terlalu mengandalkan pertambahan luas lahan dan aspek fisik lain telah terlalu jenuh, maka apabila tidak terjadi lagi penemuan teknologi di bidang pertanian, keberlangsungan produksi pangan dunia akan terancam, dan perangkap argumen yang dikemukan Thomas Robert Malthus akan berulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA Agnes Ratih Ari. Lahan Pangan: Bayang-Bayang Teori Malthus? Harian Kedaulatan Rakyat, Pebruari 2004. Arifin, Bustanul, 2004. Formasi Strategi MakroMikro Ekonomi Indonesia. Jakarta:Ghalia Indonesia. Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini, 2001. Ekonomi Politik dan kebijakan Publik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
87
Arnon, I., Modernization of Agriculture in developing Countries: resources, Potentials and Problem, John Wiley & Son, 1991. Asian Development Bank.2004. Agriculture and Rural Development Strategy Study:Draft Report. ADB TA Np. 3843INO for the Government of IndonesiaMinistry of Agriculture. Bogor: Seameo Searca, Crescent and IFPRI. Badan Pusat Statistik. Statistic Indonesia. Jakarta. BPS. Meier, Gerald M. & Baldwin, R.E., Economic Development: Theory, History and Policy, Jhon Wiley, 1960. Tim INDEF. 2004. Laporan Studi Evaluasi Program Raskin: Upaya Perumusan Exit Strategy- Jakarta: Kerjasama INDEF dan Badan Dinas Ketahanan Pangan. Soentoro dkk. Tim INDEF. 2005. “Prospek Ekonomi dan Bisnis 2005: Ilusi Stabilitas Ekonomi Makro”. Jakarta:Pustaka Indef. Timmer C. Peter.2000. “The Macro Dimension of Food Security: Economic Growth, Equitable Distribution and Food Price Stability”. Food Policy. Vol.25. Todaro, Michael P., 2008. Pembangunan Ekonomi Di Dunia ke 3 Jakarta: Erlangga.