BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER DAN BAHAN AJAR
HUKUM INVESTASI HKU526 Pengampu: M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D
Bagian Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2004
KATA PENGANTAR Walaupun perkembangan nilai modal asing yang masuk ke Indonesia dewasa ini kurang baik. Hukum Penanaman Modal Asing (PMA) tetap merupakan suatu topik yang penting dalam bidang hukum bisnis. Hal ini karena lancarnya arus modal asing ke negara ini tetap diharapkan guna mendukung pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Diskusi tentang peranan Hukum PMA dalam mendorong investasi asing di Indonesia justru akan terus berlanjut dalam situasi di negeri ini yang kurang kondusif bagi investasi asing. Buku RPKPS ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan mahasiswa Fakultas Universitas Gadjah Mada. Materi yang terkandung di dalam bahan kuliah ini terdiri karangan penyusun sendiri dan karangan beberapa penulis lain. Secara garis besar, materi terdiri dan pengertian PMA secara umum, manfaat dan dampak negative PMA, kebijakan PMA di Indonesia, implikasi Perjanjian TRIMs terhadap kebijakan PMA di lndonesia, joint venture dan penyelesaian sengketa di bidang PMA. Buku RPKPS ini sangat jauh dan sempurna. Oleh karena itu, Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan buku RPKPS ini. Yogyakarta, 24 Mei 2004 Penyusun M. Hawin
BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR HUKUM INVESTASI 1.
Nama Matakuliah
: Hukum Investasi
2.
Kode/SKS
: HKU 526
3.
Prasarat
: ---
4.
Status Matakuliah
: Pilihan
5.
Deskripsi singkat
:
Kuliah Hukum Investasi ini memberikan kepada mahasiswa pengertian tentang manfaat penanaman modal khususnya modal asing dan dampak negatifnya bagi suatu negara dan fungsi hukum untuk memaksimalkan manfaat modal asing dan meminimalkan dampak negatifnya. Selanjutnya, kuliah ini membahas insentif dan sarana-sarana kontrol yang diterapkan oleh negara penerima modal asing (host country). Kuliah ini membandingkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967 dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994. Dalam kuliah ini, dibahas juga implikasi ketentuan dalam Perjanjian Trade-Related Investment Measures (TRIMs) terhadap kebijakan penanaman modal asing di Indonesia. Selanjutnya, dibahas penyelesaian sengketa dalam penanaman modal asing. Untuk ini, penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dan beberapa ketentuan dalam ICSID dan the New York Convention 1958. Beberapa kasus dianalisa untuk memberikan gambaran yang jelas kepada mahasiswa tentang upaya-upaya penyelesaian sengketa tersebut. 6. Tujuan Pembelajaran Kuliah ini bertujuan agar mahasiswa mempunyai kemampuan untuk memahami teori dan tata cara penanaman modal asing khususnya di Indonesia. Sebagai orang hukum, setelah menyelesaikan kuliah ini, diharapkan dapat memberikan penjelasan dan nasehat hukum kepada calon investor tentang seluk beluk dan tata cara penanaman modal asing di Indonesia. Mengingat adanya kemungkinan bahwa lulusan Fakultas Hukum UGM menjadi pejabat yang penting dalam pengambilan keputusan di
negeri ini, diharapkan lulusan yang mengikuti kuliah ini dapat mendesain suatu kebijakan investasi yang menguntungkan bagi bangsa dan negara Indonesia dan tidak merugikan investor asing. 7. Materi Pembahasan No. Topik (Pokok Bahasan)
Sub Pokok Bahasan
1.
a. Mengapa suatu perusahaan di suatu
Manfaat dan Dampak Negatif Investasi Asing
Negara menanamkan modalnya di Negara lain; b. Mengapa suatu Negara membutuhkan modal asing; c. Dampak apa saja yang diakibatkan oleh penanaman modal asing.
2.
Fungsi Pengaturan Penanaman Modal Asing (PMA)
a. Pengaturan PMA memaksimalkan benefit dan meminimalkan risks;III b. Untuk mendorong PMA; c. Untuk mengontrol PMA;
3.
Pengaturan PMA di Indonesia
a. Undang – Undang No. 1 Tahun 1967; b. Peraturan Pemerintah No. 20 1994; c. Perbandingan antara UU No. 1/ 1967 dan PP. 20/ 1994.
4.
Bentuk – bentuk PMA yang
a. Proyek – proyek yang diperbolehkan;
diperbolehkan diprioritaskan
b. Proyek – proyek yang diprioritaskan; c. Proyek – proyek yang diperbolehkan 100% modal asing; d. Proyek – proyek yang tertutup.
5.
Insentif PMA
a. Insentif yang menambah keuntungan investor; b. Insentif yang mengurangi risiko bagi investor.
6.
Kontrol terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia
a. Mengapa dan bagaimana melakukan control terhadap PMA; b. Usaha- usaha control terhadap PMA.
7.
Aggrement of Trade – Related
a. Prinsip-prinsip nondiskriminasi dalam
Investment Measres (TRIMs)
Perjanjian TRIMs; b. Konsekwensi Perjanjian TRIMs terhadap kebijakan PMA di Indonesia.
8.
Joint Venture
a. Manfaat joint venture bagi host country; b. Variasi- variasi joint venture; c. Pemilikan saham 100% dan Joint Venture di Indonesia.
9.
Penyelesaian sengketa dalam PMA.
a. International Centre for the Settlement of Investment Disputer (ICSID); b. The New York Convention 1958; c. Pembahasan beberapa kasus dalam PMA.
8. Outcome Pembelajaran: Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu: 1. mengenal, mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penanaman modal asing; 2. menjelaskan peran penanaman modal asing bagi pembangunan suatu negara khususnya Indonesia; 3. menjelaskan kebijakan pemberian insentif untuk mendorong modal asing; 4. menjelaskan kebijakan kontrol terhadap modal asing; 5. menjelaskan peranan pangaturan penanaman modal asing; 6. menjelaskan hubungan dan konsekuensi Perjanjian TRIMs terhadap kebijakan PMA di Indonesia; 7. mengetahui masalah-masalah yang berhubungan dengan Joint venture; 8. menjelaskan bagaimana upaya-upaya yang diambil dalam rangka penyelesaian sengketa di bidang PMA. 9. Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan Kuliah akan diselenggarakan selama 12 minggu. Oleh karena itu, pokok-pokok bahasan yang tersebut di atas akan dialokasikan kedalam 12 minggu. Dosen akan
memberikan kesempatan kepada mahasiswa 1 minggu untuk melakukan review sebelum ujian mid semester dan 1 minggu sebelum ujian akhir semester. Sehingga diharapkan
siswa sempat membaca ulang semua materi yang telah dibahas dan
dianalisa selama kuliah berlangsung dan siap untuk mengerjakan ujian baik mid semester maupun akhir semester. Topik & Substansi Bahasan
Metode Pembelajaran
Minggu ke 1.
Manfaat dan Dampak Negatif Investasi
Ceramah dan diskusi
Asing
dengan memakai power
a. Mengapa suatu perusahaan di suatu
point dan LCD
Negara menanamkan modalnya di begara lain; b.
Mengapa suatu Negara membutuhkan modal asing;
c. Dampak apa saja yang diakibatkan oleh penanaman modal asing. 2.
Fungsi Pengaturan Penanaman Modal
Ceramah dan diskusi
Asing (PMA) :
dengan memakai power
a. Pengaturan PMA memaksimalkan
point dan LCD
benefit dan meminimalkan risks; b. Untuk mendorong PMA; c. Untuk mengontrol PMA. 3 dan 4
Pengaturan PMA di Indonesia
Ceramah dan diskusi
a. Undang- Undang No. 1 Tahun 1967;
dengan memakai power
b. Peraturan Pemerintah No. 20 1994;
point dan LCD
c. Perbandingan antara UU No. 1/1967 dan PP. 20/1994. 5.
Bentuk – bentuk PMA yang diperbolehkan /
Ceramah dan diskusi
diprioritaskan :
dengan memakai power
a. Proyek – proyek yang diperbolehkan; b. Proyek - proyek yang diprioritaskan;
point dan LCD
c. Proyek – proyek yang diperbolehkan 100% modal asing; d. Proyek – proyek yang tertutup 6.
Insenif PMA : a. Insentif yang menambah keuntungan investor;
Ceramah dan diskusi dengan memakai power point dan LCD
b. Insentif yang mengurangi risiko bagi investor. 7 dan 8
Kontrol terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia; a. Mengapa dan bagaimana melakukan control terhadap PMA; b. Usaha-usaha control terhadap PMA.
9.
Agreement on Trade-Related Investment
Ceramah dan diskusi
Measures (TRIMs):
dengan memakai power
a. Prinsip-prinsip nondiskriminasi
point dan LCD
dalam Perjanjian TRIMs; b. Konsekwensi Perjanjian TRIMs terhadap kebijakan PMA di Indonesia. 10.
Joint venture: a. Manfaat joint venture bagi host country;
Ceramah dan diskusi dengan memakai power point dan LCD
b. Variasi-variasi joint venture; c. Pemilikan saham 100% dan Joint Venture di Indonesia. 11 dan 12
Penyelesaian sengketa dalam PMA: a. International Centre for the Sattlement of Investment Disputes (ICSID); b. The New York Convention 1958; c. Pembahasan beberapa kasus dalam PMA.
Ceramah dan diskusi dengan memakai power point dan LCD
10. Bentuk Evaluasi: Untuk mengevaluasi kuliah ini, mahasiswa akan melakukan ujian mid semester dan
ujian akhir semester. Ujian akan berbentuk tertulis. Ini dilakukan untuk
mengetahui kemampuan daya serap mahasiswa terhadap materi yang diberikan selama berlangsungnya kuliah. Ujian mid semester berbobot 50%, sedangkan ujian akhir semester juga berbobot 50%. Juga dimungkinkan bahwa ujian mid semester diganti tugas membuat paper dengan topik yang dipilih oleh mahasiswa sendiri namun harus berkaitan dengan hukum penanaman modal asing. 11. Bahan, Sumber Informasi, dan Referensi : a.
Bahan: 1). Dokumen-dokumen hukum primer berupa peraturan perundang-undangan; 2). Dokumen sekunder berupa copy putusan pengadilan, keputusan arbitrase, jurnal-jurnal hukum, buku-buku tentang investasi dan lain sebagainya.
b.
Sumber informasi: Websites internet yang berkaitan dengan materi kuliah. Untuk peraturan investasi
di Indonesia, bisa ditemukan dalam website, misalnya, www.hukurnonline.com. “Pelaksanaan PP No. 20 Tahun 1994 dan SK Meninves No. 15 Tahun 1994”, Jakarta, 9 Desember 1994. c.
Referensi Buku : Folsom RH et aT, Internastional Business Transactions (USA: West Publishing Co., 1995); Gilpin R, The Political Economy of International Relations (New Jersey: Princeton University Press, 1987); Himawan C, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: PT. Gunung Agung, 1980);
Jackson JW, The World Trading System, Law and Policy of International Economic Relations (London: the Massachusetts Institute of Technology Press, 1994); Pearson M, Joint Ventures in the People’s Republic of China (New Jersey: Princeton University Press, 1991); Rajagukguk E, Indonesianisasi Saham (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985); Weiss J, Industry in Developing Countries, Theory, Policy and Evidence (London: Routledge, 1990) Jurnal/Paper: Napitupulu RP , Hubungan GATT 1994, APEC dan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor
20
Tahun
1994,
Makalah
Seminar
tentang
“Pelaksanaan PP No. 20 Tahun 1994 dan SK Meninves No. 15 Tahun 1994”, Jakarta, 9 Desember 1994; Pangestu M, Perjanjian Internasional Mengenai Investasi: GATT 1994/WTO dan APEC, Makalah Seminar tentang “Pelaksanaan PP No. 20 Tahun 1994 dan SK Meninves No. 15 Tahun 1994”, Jakarta, 9 Desember 1994; Soebijanto, Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Sebagai Langkah Strategis Paska GATT 1994 dan APEC Bogor, Makalah Seminar tentang
BAHAN AJAR HUKUM INVESTASI (HUKUM PENANAMAN MODAL ASING) A. UMUM 1. Manfaat Investasi Asing Beberapa negara memandang proyek investasi asing sebagai suatu hal yang baik mendatangkan akibat-akibat yang bagus kepada ekonomi mereka. Investasi asing memberikan keuntungan yang tidak terbatas kepada negara tuan rumah tanpa harus membayar. Secara rinci manfaat investasi asing adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan devisa (foreign exchange) dan hasil penjualan ekspor; b. Meningkatkan jumlah lowongan kerja untuk penduduk lokal; c. Kemungkinan adanya transfer of technology; d. Meningkatkan penghasilan publik melalui perpajakan; e. Meningkatkanlmenciptakan hubungan-hubungan pada pasar internasional; f.
Pembangunan local resources;
g. Memperkuat industri lokal. Negara-negara tuan rumah tidak punya tujuan dan prioritas yang sama di dalam penanaman modal asing (PMA). Mungkin suatu negara memprioritaskan perolehan devisa dalam kebijakan investasinya. Negara lain mungkin memprioritaskan perolehan teknologi yang baru. 2. Dampak Negatif PMA Negara-negara tuan rumah melihat bahwa PMA juga mengakibatkan adanya negatif. Dampak negatif PMA meliputi: a. Dominasi asing atas ekonomi dan campur tangan dalam masalah-masalah politik negara tuan rumah; b. Industri lokal yang baru dapat mati; c. Pengenalan teknologi yang tidak cocok kepada negara tuan rumah; d. Kerusakan lingkungan negara tuan rumah; e. Dampak negatif terhadap cadangan devisa dan balance of payment; f. Berkurangnya resouce lokal;
g. Efek negatif sosial. Misalnya dengan pengenalan pola-pola konsumsi dan tingkah laku yang tidak baik. 3. Fungsi Peraturan PMA PMA dapat mendatangkan manfaat dan dampak negatif. Oleh karena itu kebanyakan negara berkembang mengeluarkan peraturan-peraturan PMA yang fungsi ianya adalah untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan dampak negatif. Dengan kata lain Hukum investasi di negara-negara tersebut adalah untuk mengontrol bentuk dan operasi proyek PMA. Negara-negara tuan rumah menyadari bahwa kondisi mereka mungkin tidak kondusif terhadap PMA. Selain itu, mereka sering harus bersaing antara satu sama lain dalam hal menarik PMA. Oleh karena itu, fungsi kedua dan peraturan PMA adalah untuk mendorong modal asing datang ke negara-negara tersebut. Dalam rangka ini mereka asanya memberikan berbagai macam insentif. Jadi, peraturan PMA di kebanyakan negara cenderung untuk mempunyai dua fungsi yang saling berlawanan: mengontrol dan mendorong PMA. Di negara-negara yang sangat aktif dalam mencari modal asing, peraturan PMA cenderung untuk menekankan Kenaaa fungsi mendorong PMA, sedangkan di negara-negara yang sudah cukup PMA nva. peraturan PMA nya cenderung untuk menekankan pada fungsi mengontrol. Namun, banyak juga negara yang peraturan PMA nya berfungsi mengontrol dan mendorong PMA secara seimbang. Peraturan PMA di seluruh dunia cenderung berbeda-beda. Oleb karena itu, akan sangat sulit untuk mengeneralisasikan tentang isi dan aplikasi peraturan PMA mereka. Tetapi kebanyakan peraturan PMA berisi hal-hal sebagai berikut: a. Bentuk-bentuk proyek investasi yang diperbolehkan atau diprioritaskan; b. Bentuk-bentuk insentif yang ditawarkan; c. Joint venture; d. Bentuk-bentuk kontrol yang berlaku; dan e. Sistem pengadministrasian peraturan PMA. 4. Bentuk – Bentuk PMA Yang Diperbolehkan/Diprioritaskan Peraturan PMA biasanya menentukan proyek-proyek investasi yang dibolehkan prioritaskan dan yang dilarang. Tidak ada negara yang membolehkan warga negara
untuk menanamkan modalnya di semua aktivitas/bidang ekonomi. Biasanya, bidang – bidang tertentu akan tertutup bagi PMA karena alasan-alasan, misalnya: Keamanan negara, pertahanan, pertimbangan strategis dan ekonomis (misalnya: Lunikasi. air, listrik, jalan, dll). Tujuan negara melarang pihak asing untuk masuk proyek-proyek tertentu adalah untuk mencegah dominasi asing dalam negara tersebut. Dalam menentukan proyek-proyek mana yang diboiehkan/diprioritaskan, negara rumah mempertimbangkan beberapa faktor termasuk sektor-sektor ekonomi yang layak, siapa-siapa yang akan terlibat, modal yang diinvestasikan dan kontribusi proyek tersebut kepada pembangunan ekonomi lokal. 4.1.
Sektor- sektor ekonomi
Untuk mengatur calon investor, peraturan PMA suatu negara sering menentukan bidang-bidang aktivitas ekonomi yang dapat dimasuki oleh modal asing. Sering bahwa peraturan tersebut menentukan bidang-bidang yang diperbolehkan dalam istilah yang samar-samar: “foreign capital shall be permitted to invest in industrialization, miring, energy, tourism, transportation, and other fields.”1 Karena ketentuan yang sangat umum tersebut hanya memberikan petunjuk yang terbatas kepada calon investor, banyak negara berkembang menformulasikan suatu daftar aktivitas – aktivitas tertentu yang dibolehkan untuk diambil dalam sektorsektor ekonomi tertentu. Sebagian negara mungkin menyiapkan proposal-proposal proyek tertentu untuk dikerjakan oleh investor asing. Akibatnya, hukum investasi itu sendiri hanya merupakan sebuah kerangka acuan yang umum di mana aktivitasaktivitas proyek tertentu ditentukan. Investor harus memperoleh tambahan petunjuk dan peraturan-peraturan yang peraturan pemerintah, rencana-rencana pembangunan nasional dan diskusi dengan rapa pejabat negara tuan rumah. 4.2.
Faktor-faktor yang lain
Selain bidang aktivitas ekonomi, hukum investasi mungkin menentukan investasi- investasi yang diperbolehkan berdasarkan faktor-faktor yang lain. Karena negara tuan rumah tidak hanya tertarik kepada sifat investasi saja, tetapi juga memikirkan kontribusinya kepada ekonomi lokal, penentuan joint venture yang diperbolehkan mungkin didasarkan atas kontribusi yang bagus kepada penciptaan 1 Egypt’s Law no. 43 of 1974
lowongan kerja, tambahan pendapatan ekspor, devisa yang bisa ditabung, dan transfer teknologi yang berguna. Faktor-faktor semacam itu disebut “performance requirement.” Negara tuan rumah selalu meningkatkan performance requirement kepada investor asing. OIeh karena peraturan investasi mungkin menentukan bidang-bidang investasi yang memperbolehkan dengan melihat sampai sejauh mana proyek-proyek tersebut mempunyai potensi yang riil untuk memberikan kontribusi kepada ekonomi negara tersebut. 5. Joint Venture Peraturan investasi di banyak negara mendorong atau bahkan mengharuskan perusahaan PMA berupa joint venture dengan investor lokal swasta atau pemerintah. Secara hukum, joint venture itu bisa berbadan hukum atau bukan badan hukum. Joint Indonesia harus berbentuk badan hukum karena harus berbentuk Perseroan (P.T.). 5.1.
Tujuan dibentuknya joint venture
Negara tuan rumah mengharuskan joint venture untuk mencapai tujuan-tujuan Misalnya: Lebih mudah terjadinya transfer teknologi dan management skills Berkurangnya risiko dominasi asing Lebih mudah terintigrasi ke dalam ekonomi lokal. Lebih memungkinkan bagi host country untuk mengambil alih seluruh proyek Menfasilitasi akses kepada jaringan pasar internasional partner asing Lebih responsive kepada kebijakan-kebijakan pemerintah dan lebih bisa beroperasi kepentingan local 5.2.
Variasi – variasi syarat joint venture
Syarat joint venture di berbagai negara berbeda-beda. Di sebagian negara, adalah mutlak untuk semua bidang investasi dan selanjutnya menetapkan pihak asing hanya dapat memiliki 49% modal. Di negara-negara yang lain, kebijakannya mungkin lebih fleksibel. Mungkin, jumlah maksimal equity asing akan tergantung kepada sektor ekonomi yang terlibat. Misalnya, untuk sektor-sektor tertentu, maksimal partisipasi asing adalah 40% sedangkan untuk sektor-sektor yang lain, maksimal 60%. Juga, mungkin, sektor-sektor tertentu tertutup bagi PMA.
6. Modal Yang Diinvestasikan Beberapa peraturan PMA menetapkan proyek-proyek investasi dengan cara an bentuk/sifat modal dan teknologi yang diinvestasikan. Untuk menjamin masuknya sumber asing yang baru ke negara tuan rumah, peraturan tersebut mengharuskan bahwa setiap modal yang ditanam berasal dan sumber asing atau terdiri dari uang asing yang bisa ditukar. Peraturan
investasi
juga
mungkin
berisi
ketentuan-ketentuan
tentang
sifat/bentuk teknologi yang akan diperkenalkan. Misalnya, peraturan PMA Mesir menyatakan bahwa proyek - proyek yang disetujui hanya boleh menggunakan mesin dan peralatan yang “ compatible with modern technological developments and that have not been previously used …” Ketentuan semacam mi mungkin dapat mengakibatkan perusahaan multinasional tidak akan mentransfer mesin dan peralatan yang sudah pernah dipakai oleh anak-anak perusahaannya di negara-negara industri lain. Padahal, sebenarya, bagi negara berkembang teknologi yang paling cocok adalah teknologi yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, terlepas apakah teknologi itu baru atau lama. 7. Lokasi Investasi Peraturan PMA suatu Negara mungkin mengharuskan PMA dilakukan di daerah di negara tersebut. Untuk dapat menyebarkan investasi secara merata di seluruh regional negara tersebut atau untuk mengatasi ketidak seimbangan pembangunan regional, pemerintah dapat mengharuskan proyek-proyek PMA ditempatkan di daerah terpencil. Untuk itu, biasanya ada beberapa insentif. Namun, bisa saja terjadi bahwa biaya operasi yang dikeluarkan investor di daerah tersebut melebihi keuntungan yang diperoleh dari insentif yang ditawarkan. 8. Performance Requirements Peraturan PMA suatu negara tidak hanya menetapkan jenis-jenis proyek yang disetujui
tetapi
juga
menentukan
syarat-syarat
pelaksanaan
(performance
requirements) proyek tersebut. Syarat-syarat pelaksanaan yang meliputi jumlah minimal local content dalam produksi atau jumlah minimal produksi yang harus diekspor mungkin tidak sebutkan dalam peraturan PMA tersebut tetapi tertulis dalam suratpersetujuan investasi bagai hasil negosiasi antara para pihak di dalam joint venture dan pemerintah. Peraturan PMA mungkin dibuat untuk mendorong proyek investasi dilakukan dengan syarat pelaksanaan tertentu. Misalnya, peraturan tersebut
menyatakan bahwa, berkenaan dengan alokasi devisa, investor hanya boleh merepatriasi keuntungan maksimal sampai hasil ekspor yang diperoleh oleh proyek tersebut. Agar proyek mendapatkan devisa yang diperlukan, banyak peraturan PMA mengharuskan proyek investasi yang “export oriented”. Peraturan tersebut melarang penjualan produk di pasar local. Permasalahan apakah proyek investai harus bersifat “export oriented’ atau untuk memenuhi kebutuhan pasar local (“import substitution”) sering menyebabkan kontroversi antara investor asing dan pejabat negara tuan rumah. 9. Syarat Jumlah Minimal Modal Asing Negara tuan rumah mungkin menetapkan jumlah minimal modal asing untuk proyek -proyek tertentu. PMA dengan modal di bawah jumlah minimal tidak akan mendapatkan pelayanan yang baik atau tidak akan disetujui sama sekali. Jadi, peraturan PMA dapat menetapkan kiasifikasi proyek-proyek PMA berdasarkan jumlah minimal yang diinvestasikan. Semakin besar jumlah modal yang diinvestasikan, negara tuan rumah akan semakin besar memberikan insentif. 10. Insentif PMA Insentif dalam PMA terbagi dalam dua kategori. Pertama, insentif yang memberikan tambahan keuntungan kepada investor. Kedua, insentif yang dapat mengurangi risiko investasi. 10.1. Insentif Yang menambah keuntungan investor: -
Pembebasan/keringanan pajak
-
Subsidi langsung
-
Grants
-
Pembebasan/keringanan bea masuk
-
perjanjian untuk membeli produk pada harga minimal tertentu.
10.2. Yang mengurangi risiko bagi investor: - Jaminan tidak akan ada nasionalisasi kecuali dengan kompensasi yang prompt, adequate and effective. - Jaminan untuk bisa menggunakan forum intemasional dalam penyelesaian sengketa. Misal ICSID (international Center for the Settlement of investment Disputes)
- Proteksi pasar untuk investor (dengan quata atau tarif bea masuk yg tinggi bagi competing products). B. SEKILAS TENTANG PERATURAN PMA DI INDONESIA Ketentuan mengenai investasi asing di Indonesia secara umum diatur oleh Undang - Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang dirubah oleh Undang No. 11 tahun 1970. Ketentuan lain yang penting bagi perkembangan investasi di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahan yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Sedangkan bagi investasi dalam negeri, ketentuan yang berlaku adalah Undang – Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketentuan terbaru bagi kedua jenis investasi, yaitu investasi asing dan investasi dalam negeri kini berpatokan pada Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Koordinasi Penanaman Modal Nomor 38/SKJ1999, yaitu Pedoman dan Tatacara Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan 2
Weiss J, Industry in Developing Countries, Theory, Policy and Evidence (London: Routledge, I 990), hal 145.
3
Gilpin R, The Political Economy of international Relations (New Jersey: Princeton University Press, 97L hal 24.
4
Weiss J, Industry in Developing countries, Theory, Policy and Evidence (London: Routledge, 1990), hal 146.
5
Himawan C, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: PT. Gunung Agung, 1980), hal 226.
6
Weiss J, Industry in Developing Countries, Theory, Policy and Evidence (London: Routledge, 1990), hal 147.
Penanaman Modal Asing.
Permohonan baru bagi investasi asing dapat diajukan oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan/atau perusahaan PMA; atau warga negara asing dan/atau badan hukum asing dan/atau badan hukum Indonesia. Permohonan penanaman modal baru diajukan kepada : a. Meninves/Kepala BKPM b. Kepala Perwakilan RI setempat C. Ketua BKPMD setempat. Persetujuan permohonan investasi luar negeri diterbitkan selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak permohonan yang telah lengkap dan benar diterima. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung sejak tanggal persetujuan dikeluarkan tidak ada realisasi proyek dalarn bentuk kegiatan nyata, maka persetujuan itu akan batal dengan sendirinya.
7
Lihat ketentuan dalam Pasal 6 UUPMA.
8
Lihat Pasal 6 ayat (2) UUPMA.
9
Pasal 9, 10 dan I I UUPMA.
10
Pasal I I UUPMA
11
Pasal 12 UUPMA.
12
Himawan C, the Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: PT. Gunung Agung, I 980), hal 272.
13
National Assembly, Socialist Republic of Vietnam, the Law of Foreign investment in Vietnam (Vietnam: Nhaxuatban T.P. Ho Chi Mirth, 1993), hal 7 dan 55.
14
Himawari C, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: PT. Gunung Agung, I 980), hal 288.
15
Rajagukguk E, Indonesianisasi Saham (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hal 63.
16
Soebijanto, Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Sebagai Langkah Strategis Paska GATT 1994 dan APEC Bogor, Makalah Seminar tentang “Pelaksanaan PP No. 20 Tahuri I 994 dan SK Meninves No. 15 Tahun 1994”, Jakarta, 9 Desember 1994, hal 3.
17 18
The Jakarta Post, l5 Juli,hal 8. Napitupulu RP, Hubungan GATT 1994, APEC dan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, Makalah Seminar tentang “Pelaksanaan PP No. 20 Tahun I 994 dan SK Meninves No. I5 Tahun 1994”, Jakarta, 9 Desember 1994, hal 3.
19
Pangestu M, Perjanjian Internasional Mengenai Investasi : GATT 1994/WTO dan APEC, Makalah Seminar tentang “Pelaksanaan PP No. 20 Tahun 1994 dan SK Meninves No. I 5 Tahun I 994”, Jakarta, 9 Desember 1994, hal 8.
C. KONTROL PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA Telah banyak hal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memacu perkembangan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Dikeluarkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang PMA mulai dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 (UUPMA) sampai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 telah cukup membuktikan betapa Pemerintah telah gigih dalam usahanya untuk menarik modal asing. Pengundangan kedua peraturan tersebut menunjukkan tindakan yang cukup berani dan Pemerintah dan hal-hal yang diatur di dalamnya merupakan terobosan yang cukup besar terhadap hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Misalnya, peserta asing dapat memiliki saham
100% di semua sektor yang terkait dengan
kepentingan umurn dengan syarat-syarat yang lebih ringan, kewajiban divestasi yang diperlonggar, batas minimum investasi ditiadakan dan lain sebagainya. Namun, ternyata Pemerintah Indonesia tetap melakukan control terhadap modal asing. Hal ini wajar karena walaupun modal asing jelas dapat memberikan keuntungan ekonorni, namun dapat pula mendatangkan dampak negatif, dan semakin bebasnya iklim investasi di suatu negara, terutama negara berkembang, dapat memungkinkan semakin kompleksnya persoalan-persoalan yang hams dihadapi dalam kaitannya dengan masalah kepentingan nasional negara tersebut. Diperbolehkannya pemilikan I 00% oleh investor asing dengan syarat-syarat yang lebih ringan, diperpanjangnya jangka waktu investasi dapat berarti berkurangnya porsi nasional; begitu pula dihilangkannya syarat jumlah minirnurn investasi akan memperbesar risiko nasional. Pada tahun 1994, telah disyahkan Perjanjian tentang Trade-Related Investment Measures (TRIMs) dalam GATT. Perjanjian mi menganut prinsip “National Treatment” yang mempunyai arti bahwa Indonesia harus memberikan perlakuan yang sama antara investor asing dan investor domestik. ini berarti bahwa usaha-usaha kontrol terhadap penanaman modal asing yang selama mi dilakukan oleh Pemerintah akan mengalami perubahan.
1. Mengapa Perlu Dilakukan Kontrol terhadap Penanaman Modal Asing? Bagi negara tuan rumah, investasi asing disamping dapat mendatangkan manfaat ekonomi, seperti arus masuk modal, teknologi, management skill, dan penciptaan nilai seperti pendapatan (revenue), profit dan lain sebagainya, dapat pula mendatangkan hal-hal yang tidak menguntungkan. Para
investor
asing
yang
biasanya
berupa
perusahaan-perusahaan
multinasional telah “menghabiskan” surplus negara-negara berkembang dengan bermacam-macam cara, seperti: repatriasi keuntungan, pembayaran royalty, biaya manajemen dan jasa-jasa yang lain.
2
Bahkan, dapat pula dengan cara yang tidak jujur
sepeti transfer pricing, atau umumkan laba atau keuntungan yang rendah agar dapat menghindari pajak yang tinggi. Perusahaan-perusahaan multinasional biasanya tidak menginginkan bahwa anak perusahaannya yang ada di dalam suatu negara tuan rumah memproduksi barang-barang yang dapat menyaingi produk-produk induknya. Ini berarti bahwa dengan investasi perusahaan multinasional telah sengaja mendirikan anak-anak perusahaan yang tidak efisien yang tidak bisa tumbuh dengan sendirinya, tetapi tergantung pada perusahaan induknya.3 Perusahaan induk biasanya memberikan batasan-batasan tertentu kepada ahaan anak, seperti pembatasan atas ekspor atau pembatasan pasar tertentu. Dalam bidang teknologinya dengan cara mensentralisir kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi pada tempat-tempat tertentu dan tidak memperbolehkan perusahaan anak (yang kebanyakan berupa joint venture) di beberapa negara tuan rumah untuk melakukan eksperimen dengan modifikasi dan adaptasi terhadap teknologi intinya.4 Di samping itu, alih teknologi tidak bisa dilakukan tanpa pernbayaran yang mahal dan teknologi tersebut sering tidak sesuai dengan situasi negara tuan rumah karena ia, misalnya, tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Di Indonesia, pada zaman Hindia Belanda dahulu, modal asing telah menjadikan negara ini di bawah kontrol orang asing melalui industri processing untuk ekspor. Hal ini menjauhkan negara kita dari kemungkinan untuk mendapatkan mata uang asing yang memadai. Para investor asing juga melakukan kontrol terhadap beberapa industri inufaktur yang penting, seperti: perusahaan tekstil, penggilingan padi yang menghasilkan kebutuhan pokok masyarakat. Modal asing telah membuat para
pengusaha lokal hanya bergerak dalam industri kerajinan kecil remeh, dan menghambat mereka untuk memasuki bisnis yang lebih besar. 5 Fenomena seperti ini tetap terjadi di Indonesia dewasa ini. Para investor asing membatasi ekspor dan pembelian produk manufaktur lokal. Mereka lebih suka mengimpor barang-barang yang diperlukan dengan alasan kualitas atau untuk tujuan mencari keuntungan global -- karena barang-barang impor tersebut berasal dari cabang-cabang perusahaannya yang berada di negara-negara lain. Di beberapa negara Amerika Latin, perusahaan-perusahaan multinasional telah melakukan investasi dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan domestik. Ini terjadi pada industri farmasi, automobil dan barang-barang elektronik. Denasionalisasi ini menyebabkan beberapa perusahaan industri penting tersebut dimiliki secara keseluruhan oleh perusahaan-perusahaan asing. Di samping itu, perusahaanperusahaan multinasional telah menggunakan berbagai cara untuk memperlemah posisi kompetitif perusahaan-perusahaan domestik.6 Dengan adanya efek-efek negative dan investasi asing tersebut di atas, maka muncul upaya untuk mengontrol penanaman modal asing. Tujuannya adalah agar kepentingan nasional negara tuan rumah dapat terlindungi. 2. Usaha-Usaha Kontrol terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia Berikut ini dikemukakan beberapa contoh usaha untuk mengontrol penanaman modal asing yang selama ini dilakukan di Indonesia: a. Penetapan Negative List Dalam Penjelasan Umum UUPMA dinyatakan dengan tegas bahwa walaupun mengundang modal asing, namun kepentingan ekonomi nasional harus tetap diprioritaskan. Oleh karena itu, ada beberapa bidang usaha yang tertutup secara pengusahaan penuh dan beberapa bidang usaha yang tertutup sama sekali bagi penanaman modal asing. Bidang-bidang usaha yang tertutup bagi modal asing secara pengusahaan penuh artinya bidang-bidang yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak, pelabuhan-pelabuhan, produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik
untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom dan mass media.7 Istilah “tertutup bagi modal asing secara pengusahaan penuh” dijelaskan oleh Pasal
2 No. 20/ 1994 yaitu bahwa modal asing boleh masuk namun harus
berpatungan dengan modal yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Penjelasan oleh PP tersebut penting sekali mengingat banyak orang yang sebelumnya rnengetahui mengenai hal ini. Ini terbukti dengan pernah terjadinya protes dari masyarakat tentang diperbolehkannya modal asing masuk ke dalam usaha mass media. Bukankah persoalan yang sebenarnya adalah mengapa antara UUPMA dengan UUPers (UU No. 21/1982) saling bertentangan dalam soal ini? Mengapa tidak sejak dulu hal ini “dipersoalkan? Bidang-bidang yang tertutup sama sekali bagi modal asing adalah bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan negara. Misalnya: produksi senjata, mesin, alat-alat peledak dan peralatan perang.8 Ini tercantum dalam Pasal 6 UUPMA. Di samping itu, menurut Pasal 7 UUPMA, Pemerintah masih dapat menetapkan negative list selain yang ditetapkan dalam Pasal 6 tersebut di atas. Penetapan negative list oleh Pemerintah sangat bermanfaat demi kepentingan nasional. Artinya, diharapkan bahwa bidang-bidang yang tertutup bagi modal asing dapat ditangani dan atau dikuasai modal nasional. Untuk itu, Pemerintah tidak boleh menganaktirikan penanaman modal dalam negeri. Pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih baik dari yang selama ini diberikan kepada investor dalam negeri. Negative list sekarang ini telah disusun secara lebih rinci dan diperbaiki setiap waktu sesuai dengan kebutuhan nasional. Penyusunan daftar ini biasanya dibarengi dengan penyusunan Daftar Skala Prioritas (DSP) bagi penanaman modal asing dan modal dalam negeri. Dengan Paket Mei 1995, beberapa bidang usaha telah dihapus dan negative list Pada tahun 2000, Pemerintah mengeluarkan negative list berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 96 Tahun 2000 dan kemudian dirubah dengan Keputusan Presiden No.18 Tahun 2000.
b. Partsipasi tenaga kerja (Quantity Participation) Agar dapat mengambil manfaat dan kehadiran modal asing di Indonesia dan untuk mencegah dorninasi modal asing yang pernah dialami oleh Indonesia selama masa jajatian, Pemerintah mewajibkan para investor asing untuk mernpekerjakan sebanyak mungkin tenaga kerja nasional Indonesia.9 Bagi para investor asing, sebenarnya tidaklah sulit bahkan mereka mungkin senang untuk memperbanyak tenaga kerja warga negara Indonesia karena alasan upah yang relative rendah. Alasan upah yang rendah inilah yang sebenarnya menyakitkan hati kita karena ini sebenarnya menunjukkan bahwa investor asing itu kurang menghargai Indonesia. C. Partisipasi modal (Equity Participation) Telah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal partisipasi modal. Sebelum ada PP No. 20/1994, partisipasi modal nasional di dalam perusahaan penanaman modal asing (baik joint venture atau perusahaan yang 100% dimiliki oleh orang/badan hukum asing) harus sampai berjumlah minimal 51% dari keseluruhan modal dalam jangka waktu paling lama 20 tahun setelah perusahaan beroperasi secara komersial. Sekarang ini, dengan adanya peraturan tersebut, partisipasi modal semacam itu sudah tidak ada lagi. Menurut Pasal 6 dan 7 PP No. 20/1994 dan Pasal 8 dan 11 SK Meninves No. 15/ 1994, jumlah partisipasi modal nasional tidak disyaratkan harus mencapai 51%, tetapi ditentukan sesuai dengan kesepakatan para pihak, dan partisipasi modal nasional (dalam jumlah minimum) dalam perusahaan yang 100% dimiliki oleh orang atau badan hukurn diharapkan baru mulam ada 1 5 tahun setelah perusahaan tersebut beroperasi secara sial. Jadi, sekarang ini, istilah “Indonesianisasi Saham” sudah tidak ada lagi. Yang menarik adalah partisipasi modal nasional dalam joint venture yang melakukan usaha yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak, seperti pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media. Dikatakan dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 20/1994 bahwa saham peserta Indonesia dalam perusahaan joint venture tersebut dapat hanya berjumlah 5% dari keseluruhan modal yang disetor. Jumlah ini adalah sangat kecil mengingat ini menyangkut nasib negara dan seluruh rakyat Indonesia. Dapat
dibayangkan akibatnya hal ini betul-betul terjadi; tentu peserta domestik tidak dapat banyak berperan dalam hal manajemen perusahaan tersebut. Oleh karena itu, wajar bila banyak kalangan gatakan bahwa PP 20/1994 telah menjual negara Indonesia kepada orang asing. d. Partisipasi kemampuan (Quality Participation) Investor boleh membawa tenaga ahli warga negara asing’° namun keahlian yang dibawa dari luar negeri itu harus ditransfer kepada warga negara Indonesia.
11
Ini
berarti, melaIui investasi, Indonesia hendak meningkatkan ekononomi nasional dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah mengambil langkah ini agar pengalaman pahit selama masa penjajahan Yang lalu - - - di mana para investor asing yang mendominasi perekonomian Indonesia tidak memikirkan pendidikan orang – orang Indonesia sama sekali - - - tidak terulang lagi. 12 Penjelasan Pasal 12 UUPMA menyebutkan secara khusus macam keahlian yang ditransfer oleh investor asing kepada warga negara Indonesia, yakni bidang teknik, bidang pemasaran dalam negeri dan luar negeri. Masalah yang kemudian muncul adalah bahwa transfer keahlian tersebut ternyata harus dibayar mahal oleh peserta lokal, teknologi yang akan ditransfer sering tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia atau tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan Indonesia belum mempunyai infrastruktur yang cukup untuk menopang teknologi dan luar. e. Penetapan prosedur tertentu untukpermohonan penanaman modal Untuk mengontrol penanaman modal asing, Pemerintah mengharuskan kepada calon vestor asing untuk mengajukan permohonan penanaman modal kepada Badan oordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kontrol melalui cara mi telah mengalarni ibahan. Kalau dulu, sebelum tahun 1977, prosedur permohonan penanarnan modal elalui BKPM mi sangat rumit sehingga tidak disukai oleh calon investor asing, mulai in 1977 (dengan Keppres No. 54/1977) sampai sekarang, prosedur mi bisa dikatakan nudah karena memakai cara “one-stop service”. Mayoritas izin sudah ditangani oleh BKPM
sendiri (atas nama departemen-departemen tertentu) kecuali izin-izin seperti: izin lokasi, izin bangunan dan izin HO. Sekarang ini, tata cara dan syarat-syarat permohonan penanaman modal diatur dalam Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Koordinasi Penanaman Modal Nomor 38/SK/1999, tentang Pedoman dan Tatacara Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh calon investor dapat dikatakan tidak mudah. Kalau tidak ada penyelewengan dari oknum-oknum tertentu, dapatlah dikatakan bahwa syarat-syarat tersebut merupakan
kontrol yang baik terhadap penanaman modal
asing. Ada yang perlu dicatat di sini, yakni diperbolehkannya investor asing perseorangan PP No.20/1994). Mungkin perlu dipertanyakan sampai sejauh mana keyakinan Pemerintah
terhadap kemampuan, kebonafidan dan kejujuran investor
perseorangan asing, sarana-sarana apa sajakah yang dapat dipergunakan untuk menyelidiki semua itu, atau apakan Pemerintah tidak mau tahu tentang semua itu dan menyerahkannya kepada investor lokal (dalam hal joint venture). Memang benar apabila yang didirikan adalah joint venture, para pihak (investor lokal) harus menyelidiki betul-betul kebonafidan masing-masing pihak. Namun perlu dicatat bahwa penanaman modal asing selalu melibatkan dua atau lebih warga negara yang berbeda, sehingga penyelesaian masalah —masalah yang mungkin di kemudian hari mungkin akan sulit. Di samping itu, penanaman modal asing, lebih-lebih yang menyangkut bidang usaha yang penting bagi negara dan rnenguasai hidup orang banyak adalah tumpuan harapan ekonomis bangsa dan negara Indonesia. Jadi, menurut penulis, Pemerintah perlu membuat peraturan yang baik dalam hal penilaian kebonafidan calon investor asing perorangan. Memang ketentuan dalam PP. No.20/1994 yang membolehkan perorangan asing investor tersebut boleh dikatakan mengikuti trend negara-negara lain. Negara-negara berkembang lain, seperti: Israel, Cina dan Vietnam telah mengikuti trend ini sebelumnya. Negara Vietnam, misalnya, melalui Undang-Undang Penanaman Modal 1987, telah membolehkan perorangan asing untuk menjadi investor. Namun,
dibandingkan dengan peraturan di Indonesia, peraturan di Vietnam tersebut ternyata lebih rinci dalam menetapkan syarat-syarat bagi perorangan asing yang ingin menjadi investor. 13 f.
Penetapan Perseroan Terbatas sebagai bentuk usaha penanaman modal
Ketentuan yang tegas mengenai hal mi adalah Pasal 3 UUPMA. Istilah yang dipakai daIam Pasal ini adalah Badan Hukum menurut hukum Indonesia. Namun jelas maksudnya di sini adalah Perseroan Terbatas. Penjelasan dari Pasal ini menjelaskan annya, yakni untuk menciptakan kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan kesulitan terutama di dalam lalu lintas hukum internasional. Adapun arti “menurut hukum Indonesia” adalah bahwa PT tersebut didirikan menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No. 1/1995=UUPT). Himawan14 melihat alasan praktis untuk hal ini, yakni agar Pemerintah lebih mudah mengontrol penanaman modal asing. Orang-orang di departemen-departemen tertentu relative mengenal organisasi perusahaan menurut UUPT. Dengan ini pula, mereka akan terhindar dari kesulitan untuk mengidentifikasi pertanggungjawaban pengurus perusahaan penanaman modal asing. Mereka tentu kurang atau bahkan tidak mengenal hukum asing. Perlu dicatat bahwa UUPMA tidak mengatakan bahwa PT Penanaman Modal Asing (PT PMA) harus berupa PT Joint Venture. Dengan kata lain, sebetulnya UU ini telah memperbolehkan investasi 100% (straight investment) oleh investor asing. Namun, mulai tanggal 22 Januari 1 974 (setelah peristiwa Malari) dengan Keputusan Sidang Dewan Stabilisasi Ekonorni Nasional pada tanggal tersebut, PT PMA harus berupa joint venture, artinya investor asing harus bekerja sama dengan investor lokal.15 ini merupakan contoh peraturan yang lebih rendah dapat mengalahkan peraturan yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan kesan ketidakbecusan hukum di Indonesia kepada para investor asing. Kewajiban untuk membentuk joint venture berlangsung ampai tanggal 16 April 1992, saat rnulai berlakunya PP No. 17/1992. Mulai saat itu investor asing dapat rnemiliki 100% saham pada proyek yang terletak di daerah-daerah terpencil. Kemudian, dengan PP. No. 20/1994, kebijaksanaan investasi kembali ke UUPMA
(1967), yakni bahwa penanarnan modal asing 100% dapat dilakukan kecuali pada sektor-sektor Infrastuktur. Dengan kata lain, bentuk joint venture hanya diwajibkan pada sektor. tersebut. Memang diakui bahwa bentuk joint venture merupakan sarana kontrol yang baik. Dengan bentuk ini lebih mudah dilakukan transfer teknologi, partisipasi tenaga kerja atau manajemen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa banyak negara berkembang menawarkan beberapa insentif tertentu bagi penanaman modal asing yang berbentuk joint venture. Kewajiban untuk mendirikan PT bagi penanaman modal asing pernah ditakuti oleh para investor asing, yakni sebelum diadakannya perubahan Pasal 54 Kitab Undang Hukurn Dagang (KUHD) yang mengatur tentang sistem hak suara terbatas Kapat Umurn Pemegang Saham (RUPS). Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Gangkan UU No. 4/1971 yang merubah Pasal 54 tersebut sehingga memungkinkan pemakaian sistem hak suara “one share one vote”. Kernudian, sistem hak suara yang terakhir ini juga dianut oleh Pasal 72 UUPT. g. Persyaratan kandungan lokal Persyaratan penggunaan barang jadi, bahan baku, bahan setengah jadi, komponen parts buatan dalam negeri Indonesia masih diberlakukan dalam industri kendaraan bermotor roda 2 dan 4 dan beberapa peralatan mesin tertentu.16 Dalam praktek, tingkat local content dalam industri bermotor ini sangat rendah - - - jauh di bawah 40%.17 Nampaknya, di samping disebabkan oleh belum tingginya kemampuan anak-anak Indonesia, hal ini mungkin juga disebabkan pula oleh adanya kendalakendala dalarn transfer teknologi. Demikianlah contoh-contoh usaha kontrol terhadap penanaman modal asing yang sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia. Tentu masih ada beberapa usaha lain, seperti: penetapan jangka waktu izin penanaman modal, jangka waktu izin pemakaian tanah dan lain sebagainya yang tidak bisa penulis sampaikan dalam tulisan yang pendek ini.
3. Konsekuensi Perjanjian TRIMs terhadap Usaha Kontrol Penanaman Modal Asing di Indonesia Inti dan Perjanjian TRIMs adalah upaya untuk menghapus semua ketentuan atau peraturan di bidang investasi yang dapat mengganggu dan atau menghambat terlaksananya perdagangan bebas.18 Pasal 2 ayat (1) Perjanjian ini menyatakan bahwa anggota tidak boleh menerapkan suatu peraturan di bidang investasi yang bertentangan dengan ketentuan “national treatment” atau ketentuan tentang kewajiban ghapusan hambatan-hambatan kuantitatif. Adapun peraturan di bidang investasi yang bertentangan dengan keharusan menerapkan prinsip “national treatment” (tercantum dalam Illustrative List pada Annex Perjanjian TRIMs) adalah peraturan yang mewajibkan atau mensyaratkan: 1). Pembelian atau penggunaan bahan baku, bahan penolong, komponen dan suku cadang yang berasal dan dalam negeri (in-house) atau dan sumber dalam negeri lainnya (out-house) oleh suatu perusahaan. 2). Pembelian atau penggunaan produk-produk (bahan-bahan) impor oleh suatu perusahaan dibatasi sampai jumlah atau senilai produk lokal yang akan diekspor. Peraturan di bidang investasi yang tidak sejalan dengan kewajiban penghapusan harnbatan-hambatan kuantitatif (tercantum juga dalam Illustrative List pada Annex Perjanjian TRIMs) adalah peraturan yang membatasi: 1). Impor produk-produk oleh suatu perusahaan yang digunakan atau berkaitan dengan produksi lokal secara umum atau sampai sejumlah atau senilai yang terkait dengan produksi lokal yang diekspor oleh perusahaan tersebut; 2). Impor produk-produk oleh suatu perusahaan yang digunakan atau berkaitan dengan produksi lokal dengan cara membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai sejumlah yang terkait dengan devisa luar negeri yang dimasukkan oleh perusahaan tersebut; 3). Ekspor atau penjualan untuk ekspor produk-produk oleh suatu perusahaan baik yang dirinci menurut produk-produk khusus, jumlah atau nilai produk atau menurut perbandingan jumlah atau nilai produksi lokal perusahaan tersebut.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara andatangan Perjanjian TRIMs tidak boleh membuat peraturan di bidang investasi yang rnensyaratkan penggunaan kandungan local (local content requirement), yang mensyaratkan keseimbangan perdagangan (trade balancing requirement) atau yang membatasi ekspor (export restriction). Dengan ini, dapat dikatakan bahwa Perjanjian TRIMs tersebut tidak mempunyai banyak pengaruh terhadap usaha-usaha kontrol penanaman modal asing di Indonesia Karena masih terbatasnya cakupan Perjanjian tersebut. Bagi Indonesia, hanya ada satu kebijaksanaan yang harus dihapus dengan adanya Perjanjian ini, yakni kebijaksanaan tentang persyaratan kandungan local (local content) yang saat ini masih diberlakukan terhadap industri kendaraan bermotor roda dua dan empat, serta pembuatan beberapa mesin dan peralatan. Walaupun saat ini Perjanjian TRIMs hanya menyangkut hal-hal yang terbatas, namun kemungkinan di masa mendatang akan mencakup hal-hal yang Iebih luas lagi seperti “provision on investment policy and competition policy yang diusulkan oleh beberapa negara berkembang,19 sehingga mungkin untuk masa mendatang Indonesia harus pula menghapus kebijaksanaan-kebijaksanaan kontrol yang lain. Namun, Indonesia tidak akan begitu saja dipusingkan mengingat Indonesia telah mempunyai PP No. 20/1994 yang dapat dikatakan merupakan usaha perombakan yang sangat berarti terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan sebelumnya, seperti dalam persyaratan partisipasi modal nasional dan penanaman modal asing 100% (straight investment)