[67] RUU Intelijen, Bentuk Arogansi Penguasa Wednesday, 07 December 2011 17:01
Muhammad Mahendradatta, Ketua Dewan Pembina TPM
Menurut Pakar dan Praktisi Hukum Mahendradatta, intelijen itu harus bekerja secara cerdas dan tidak perlu payung hukum. Tetapi kasus bom Solo lalu malah dijadikan pemerintah sebagai prakondisi pengesahaan RUU Intelijen menjadi UU Intelijen. Mengapa pemerintah begitu ngotot ingin membuat UU Intelijen? Ada apa di balik itu semua? Temukan jawabannya dalam perbincangan Wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim ini. Berikut petikannya.
Bom Solo sebagai bentuk pengalihan isu yang mendera partai berkuasa?
Kalau disebut pengalihan kesannya disengaja. Tetapi kalau disebut menguntungkan, sangat menguntungkan.
Sebagai bentuk prakondisi pengesahan RUU Intelijen?
Bahkan ini juga sangat suportif terhadap RUU Intelijen. Jadi ini seperti pepatah, buruk muka cermin dibelah Mukanya yang salah, terus dia menyalahkan undang-undang.
Yang namanya intelijen itu justru kalau dikasih undang-undang aktivitasnya malah terbatas. Namanya juga intelijen, intel itu artinya smart (cerdas). Maka bekerjanya harus dengan smart dong ,
1/6
.
[67] RUU Intelijen, Bentuk Arogansi Penguasa Wednesday, 07 December 2011 17:01
jangan dengan payung hukum.
Jadi tidak perlu ada undang-undang yang memberikan intel wewenang untuk menangkap, menyadap atau membunuh, namanya juga orang yang kerjanya tidak ketahuan, mau apa saja kan bisa.
Intel di mana-mana di seluruh dunia itu kalangan yang aksinya rahasia. Bila sampai ketahuan maka itu kebodohan intelijen. Kita lihat di film-filmnya, kita lihat juga di sejarah-sejarah intelijen negara, justru intel itu kalau ketahuan kalah dia.
Bahkan ada satu negara yang menyatakan, “kalau kamu sampai ketahuan maka negara akan menolak keterlibatan di dalam operasi kamu.” Ini intel sejati. Kerja seperti siluman. Lha, ini malah mau pamer diundang-undangkan.
Mengapa kok malah pamer dengan membuat undang-undang segala?
Ini masalah proyek saja.
Proyek apa?
Ya, semua kegiatan pemerintah kan ada duitnya. Semua kegiatan negara itu ada anggarannya. Kalau tidak ada tidak bisa jalan. Makanya disebut proyek.
Bagaimana dengan usulan Kepala BIN agar informasi intelijen bisa dijadikan alat bukti?
Dari dulu juga sudah dijadikan alat bukti! Nah, ini yang disebut dengan pencitraan. Pemerintah itu ngerti bahwa Indonesia ini bangsa yang pelupa jadi dia ngomong begitu.
2/6
[67] RUU Intelijen, Bentuk Arogansi Penguasa Wednesday, 07 December 2011 17:01
Padahal yang namanya informasi intelijen itu bisa menjadi alat bukti dan faktanya sudah menjadi alat bukti dengan cukup disahkan oleh ketua pengadilan negeri.
Sudah itu?
Iya, sejak lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Terorisme pada tahun 2002. Jadi kalau Sutanto itu ngomong begitu itu kalau karena tidak lupa berarti memang mau membodohi masyarakat Indonesia.
Coba baca lagi itu UU Terorisme, tidak ada lagi UU yang lebih keras melebihi UU tersebut saat ini. Pasalnya pun pasal karet lagi, sehingga Ust Abu Bakar Baasyir bisa kena. Udah enak betul itu pemerintah kalau sudah menggunakan UU Terorisme itu, main comot sana-sini semau-maunya.
Tapi setelah Ust Abu Bakar Baasyir ditangkap tetap saja bom marak di mana-mana. Jadi apa gunanya juga Ust Abu Bakar Baasyir ditangkap sekarang. Katanya dituduh sebagai otaknya ka n?
Padahal?
Kalau otak sudah diikat, dicekik, kan seharusnya selesai ya? Tapi jalan sendiri tuh! Coba perhatikan. Justru kalau mau dilihat, pengeboman itu banyak terjadi di saat Ust Abu Bakar Baasyir di dalam tahanan. Mulai dari penangkapan dan penahanan yang pertama, kedua, dan ketiga sekarang ini.
Kan aneh. Sebagai contoh, dulu Ust ABB dituduh sebagai otaknya bom Bali. Begitu Ust ABB ditangkap bukannya pemboman selesai tetapi malah ulang tahun kan? Tiap tahun ada kan ? Begitu coba.
3/6
[67] RUU Intelijen, Bentuk Arogansi Penguasa Wednesday, 07 December 2011 17:01
Bahayanya apa sih kalau usulan Kepala BIN ini disahkan?
Jadi semua orang juga bisa menangkap. Jadi intinya memang pengen menyiksa rakyat saja itu. Kalau tidak mengapa tidak membiarkan polisi saja yang menangkap?
Iya, mengapa tidak polisi saja?
Tidak tahu. Masalah anggaran kali? Tadi sudah saya katakan setiap kegiatan pemerintah pasti ada anggarannya bukan? Tidak mungkin ada kegiatan pemerintahan tidak pakai anggaran. Mau pakai uang siapa? Malah berbahaya kalau tidak pakai anggaran, bisa peras sana-sini. Jadi ya yang paling terlihat adalah rebutan anggaran saja.
Cuma itu. Jadi kan aneh, katanya mereka mau demokrasi, demokrasi bukan kayak gitu! Isi RUU Intelijen itu tidak mencerminkan negara yang demokratis.
Memang bagaimana penilaian Anda terhadap isi draf RUU itu?
Isinya tumpang tindih. Ini merupakan bentuk arogansi dan akan menciptakan kekuasaan tanpa batas yang justru bertentangan dengan omongannya sendiri yang namanya demokrasi. RUU Intelijen itu ya RUU yang paling tidak demokratis.
Saya sih minta konsistensi dari omongannya mereka yang mengagung-agungkan demokrasi saja. Katanya demokrasi, tetapi malah membuat UU yang membolehkan menangkap orang tanpa pengadilan.
Ciri-ciri negara demokrasi kan tegaknya hukum negara dan pengadilan yang indipenden. Tapi dalam RUU ini pengadilannya ditutup, orang bisa menangkap siapa saja tanpa pengadilan. Ini artinya, demokrasi yang mereka agung-agungkan itu cuma omong kosong ( lips service ).
4/6
[67] RUU Intelijen, Bentuk Arogansi Penguasa Wednesday, 07 December 2011 17:01
RUU itu sebagai salah satu upaya mencegah aspirasi rakyat yang menginginkan tegaknya syariah Islam?
Iya, kalau syariah Islam diterapkan, kan kekuasaannya akan dibatasi oleh kekuasaan Allah SWT. Allah SWT kan mewajibkan mereka untuk amanah dan lain sebagainya, kan banyak kewajiban penguasa ( ulil amri ) itu. Kalau dalam syariah Islam kan sangat jelas kewajiban ulil amri itu. Bahkan dalam syariah Islam itu penguasa zalim dan sudah tidak shalat itu sudah tidak boleh lagi dituruti. Jadi sebenarnya ini cuma menutupi kekurangan mereka yang merasa terancam dengan syariah Islam.
Syariah Islam tegak kepentingan mereka dan asing terancam?
Ya, kalau asing itu apa pun ya asal bisa menekan umat Islam pasti senang saja, apa pun proyeknya. Asing itu jangan disalahkan, memang tujuannya untuk menjajah Indonesia kok. Yang harus disalahkan itu adalah adanya pengkhianat-pengkhianat bangsa.
Siapa mereka?
Yang menjual tanah airnya untuk kepentingan asing. Saya tidak ‘benci’ kok kepada Amerika, karena mereka menjajah Indonesia itu memang untuk kepentingan negaranya. Yang tidak boleh itu ada antek-antek Amerika tapi dia orang Indonesia yang menjual bangsanya ini. Begitu lho!
Mengapa tidak boleh?
5/6
[67] RUU Intelijen, Bentuk Arogansi Penguasa Wednesday, 07 December 2011 17:01
Itu namanya pengkhianatan, tidak amanah. []
Sekilas Sang Pembela Muslim di Meja Hijau Nama lengkapnya Muhammad Mahendradatta SH, MH, PhD. Ia adalah seorang pakar dan praktisi hukum yang lahir di Jakarta 11 Januari 1962. Saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM). Gelar sarjana hukumnya diraih dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1988. Kemudian, pada 2002, memperoleh gelar Magister Hukum Bisnis dari Universitas yang sama. Sebelumnya ia sempat menyelesaikan pendidikan khusus American Litigation di School of Law-University of California at Los Angeles (UCLA) yang dipersamakan dengan gelar Master of Arts, pada tahun 1994.
Ia berprofesi sebagai pengacara dan mulai mencuat namanya dan dikenal publik setelah memegang jabatan sebagai Ketua Tim Pembela Muslim (TPM)—sekarang Tim Pengaca Muslim. Berbagai kasus pernah ditanganinya. Namanya dikenal publik sejak menjadi pengacara Ustadz Jafar Umar Thalib, Panglima Laskar Jihad Ahlus'sunnah Wal Jamaah (Aswaja) saat itu yang terjerat kasus pidana rajam dan penghinaan terhadap kepala negara saat itu Megawati Soekarnoputri.
Nama Mahendradatta pun melambung dikenal di dunia internasional karena keteguhan dan keberaniannya dalam membela Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, juga beberapa terdakwa kasus terorisme besar seperti Amrozi, Imam Samudera dan Ali Ghufron. Terakhir ia mendapat gelar PhD di salah satu universitas terkenal di Amerika, sebelumnya menjadi kuasa hukum ormas-ormas Islam dalam judicial review yang diajukan kelompok-kelompok liberal.[]joy
6/6