BIOAVAILABILITAS KALSIUM (Ca) DAN ZAT BESI (Fe) SECARA IN VITRO PADA BEBERAPA PRODUK KOMERSIAL SUSU IBU HAMIL
TITIEN DWI ARIYANTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
70
BIOAVAILABILITAS KALSIUM (Ca) DAN ZAT BESI (Fe) SECARA IN VITRO PADA BEBERAPA PRODUK KOMERSIAL SUSU IBU HAMIL
TITIEN DWI ARIYANTI
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
71
Judul
: Bioavailabilitas Kalsium (Ca) dan Zat Besi (Fe) secara In Vitro pada Beberapa Prdouk Komersial Susu Ibu Hamil
Nama
: Titien Dwi Ariyanti
NIM
: I14070002
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Rimbawan NIP. 19620406 198603 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
72
ABSTRACT Titien Dwi Ariyanti. In Vitro BioavailabilityCalcium (Ca) and Iron (Fe) in Commercial Maternal Milk Products. Under the guidance of Rimbawan
Milk is one of animal foodstuffs that commonly consumed by human, because of its complete and higly nutritious substance, including calcium and iron. Mineral deficiencies, such as calcium and iron, remain a major problem in many developing countries including Indonesia especially for pregnant women. Commercial maternal milk product is a sourceof calcium and iron that is potential to be consumed. Some commercial maternal milk products in market offerhigh calcium and iron product. This study used four commercial maternal milk products as samples. The sampleswere selected based on the content of calcium, iron, dietary fiberand prebiotic (FOS and GOS) that are listed on the nutrition fact. Investigation of in vitro bioavailability for calcium and iron was the major objective of this study because the high calcium and iron content in food does not always describe whether the absorbed calcium and iron was also high. The moisture, ashes, protein, calcium, iron, phosphor, dietary fiber, zinc, available total calcium and available total iron contents among the milk product used in this study were significantly different (p<0,05). However, there is no significant relationship between type of product with bioavailability of calcium and bioavailability of iron (p>0,05). Futhermore there is no significant relationship between nutrients contents (fiber, phosphor, zinc, FOS and GOS) and the bioavailability calcium and biovailability iron on the samples. According to this study catogory of bioavailability of calcium and iron in commercial maternal milk productswas high. Keyword: bioavailability, calcium, iron, milk, pregnant
73
RINGKASAN Titien Dwi Ariyanti “BIOAVAILABILITAS KALSIUM (Ca) DAN ZAT BESI (Fe) SECARAIN VITRO PADA BEBERAPA PRODUK KOMERSIAL SUSU IBU HAMIL” di bawah bimbingan Dr. Rimbawan Susu merupakan salah satu pangan hewani yang sangat penting bagi manusia karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan lengkap. Susu mengandung kalsium, fosfor, zat besi dan protein yang tinggi.Pertumbuhan produsen susu di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data BPOM tahun 2001-2005 telah terdaftar sebanyak 56 produk minuman susu ibu hamil dan atau menyusui (BPOM 2005). Masalah gizi yang sering dialami ibu hamil adalah anemia dan pengeroposan tulang. Menurut data Worldwide Prevalence of Anemia tahun 1993-2005 yang dikeluarkan WHO pada tahun 2008, Indonesia termasuk dalam prevalensi anemia berat untuk golongan anak-anak usia pra-sekolah dan wanita hamil dengan jumlah penderita 44,5% dan 44,3%. Kalsium sangat penting selama kehamilan. Apabila tidak cukup mengkonsumsi pangan sumber kalsium, maka bayi akan mengambil kebutuhan kalsium dari tubuh ibunya, sehingga ibu mempunyai risiko mengalami pengeroposan tulang. Kadar kalsium dalam darah wanita hamil menurun sampai 5% dibandingkan wanita tidak hamil (Arisman 2007). Salah satu sumber kalsium dan zat besi yang baik dikonsumsi oleh ibu hamil yaitu susu khusus ibu hamil. Beberapa keunggulan yang ditawakan hampir semua produsen susu ibu hamil adalah susu dengan klaim tinggi kalsium dan zat besi. Akan tetapi tingginya kandungan kalsium dan zat besi yang terdapat dalam makanan tidak selalu dapat diserap tubuh secara maksimal. Berkaitan dengan hal di atas, perlu adanya penelitian mengenai bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada beberapa produk komersial susu ibu hamil. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) secara in vitro pada beberapa produk komersial susu ibu hamil. Tujuan khusus adalah 1) Menganalisis kadar kalsium dan zat besi, air, abu, protein, fosfor, seng dan serat pangan (larut, tidak larut, total) pada produk komersial susu ibu hamil. 2) Mempelajari bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) pada produk komersial susu ibu hamil. 3) Mempelajari kemungkinan adanya pengaruh serat pangan, fosfor dan seng tersedia terhadap bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) pada produk komersial susu ibu hamil.4) Menganalisis total kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) tersedia di dalam produk komersial susu ibu hamil. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Kimia dan Pangan Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Juli 2011. Penelitian ini dilakukan melalui 3 tahap yaitu 1) Survei pasar terhadap produk komersial yang akan diteliti. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive dengan kriteria inklusi. Secara umum produk susu yang diuji adalah produk komersial dengan klaim tinggi kalsium dan zat besi. Secara khusus yaitu produk komersial susu ibu hamil yang mencantumkan a) kandungan serat, FOS dan GOS pada nutrition fact; b) kandungan FOS dan serat pangan pada nutrition fact; c) kandungan serat pangan pada nutrition fact. d) tidak mencantumkan kandungan FOS, GOS ataupun serat pangan pada nutrition fact. 2) Analisis zat gizi yang terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, protein, kalsium, zat besi, fosfor, seng, serat pangan. 3) Analisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi secara in vitro.
74
Hasil analisis zat gizi dihitung secara manual menggunakan MicrosoftExcellfor Windows kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS versi 16.0 for Windows. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok (RAL) dengan 3 kali ulangan. Pengaruh jenis susu terhadap peubah respon dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan dan dilanjutkan dengan uji korelasi Pearson. Kadar air sampel berkisar antara 2,85% sampai dengan 3,53% (bb). Nilai tersebut sudah sesuai dengan SNI 01-7148-2005yang menetapkan kadar air susu bubuk maksimal 4%(bb). Kadar air pada sampel susu tergolong rendah. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar airnya (p<0,05). Kadar abu sampel susu berkisar antara 4,55% sampai dengan 7,51% (bb) atau4,72% sampai dengan 7,78% (bk). Apabila dibandingkan dengan SNI SNI 01-7148-2005, kadar abu tertinggi (sampel susu B) melebihi kadar abu SNI. Syarat kadar abu SNI untuk susu bubuk maksimal 6%. Berdasarkan hasil sidik ragam, produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar abu (p<0,05). Kadar protein sampel susu hasil analisis berkisar antara 13,89% sampai dengan 19,60% (bb) atau 16,13% sampai dengan 24,38% (bk). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh terhadap kadar protein susu (p<0,05). Kadar protein hasil analisis sampel susu B, C dan D tidak memenuhi SNI 01-7148-2005yaitu 18-25%. Berdasarkan nutrition fact hanya sampel susu A dan D yang memenuhi SNI 01-7148-2005untuk protein. Kadar kalsium sampel susu berkisar antara 538,11 mg/100 g sampai dengan 975,88 mg/100g (bb) atau 544,82 mg/100 g sampai dengan 987,75 mg/100 g (bk).Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium (p<0,05). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu B (120%) dan D (105%) dapat memenuhi AKG kalsium untuk ibu hamil selama sehari. Kadar zat besi sampel susu berkisar antara 9,08 mg/100 g sampai dengan 17,04 mg/100g (bb) atau 9,81 mg/100 g sampai dengan 17,21 mg/100 g (bk). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar zat besi (p<0,05). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu B (60%), C (50%) dan D (60%) sudah dapat memenuhi 50% dari AKG zat besi untuk ibu hamil selama sehari. Kadar fosfor pada sampel berkisar antara 130,92 mg/100g sampai dengan 237,79 mg/100g (bb) atau 132,24 sampai dengan 150,92 mg/100 g (bk). Berdasarkan hasil sidik ragam, produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar fosfornya (p<0,05). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu C (133%) dan D (130%) sudah dapat memenuhi AKG fosfor ibu hamil selama sehari. Kadar seng pada sampel susu berkisar antara 4,39 mg/100 g sampai dengan 10,92 mg/100g (bb) atau 4,44 mg/100 g sampai dengan 11,03 mg/100 g (bk). Hasil sidik ragam menunjukkan, produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar seng (p<0,05). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu B (50%), C (70%) dan D (75%) sudah dapat memenuhi 50% dari AKG seng untuk ibu hamil selama sehari. Kadar serat pangan yang dihitung meliputi serat tidak larut, serat larut dan total serat pangan. Hasil analisis kadar total serat pangan berkisar antara 2,14%6,55% (bk), kadar serat tidak larut berkisar antara 0,77%-2,72% (bk) dan kadar serat larut berkisar antara 1,36%-4,58% (bk). Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui, produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar total serat, serat larut dan serat tidak larut (p<0,05).
75
Bioavailabilitas kalsium susu berkisar antara 36,64% sampai dengan 41,05%. Berdasarkan hasil sidik ragam, tidak ada pengaruh nyata antara produk susu dengan bioavailabilitas kalsium (p>0,05). Kamchan (2003) mengelompokkan bioavailabilitas kalsium menjadi tiga yaitu tinggi (≥20%), sedang (10% – 19%), dan rendah (≤10%). Tidak ada hubungan signifikan antara zat gizi lain (serat pangan, fosfor, seng, FOS dan GOS) terhadap bioavailabilitas kalsium pada sampel uji. Total kalsium tersedia untuk sampel susu berkisar antara 212,07 mg/100 g sampai dengan 355,83 mg/100 g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap total kalsium tersedia (p<0,05). Bioavailabilitas zat besi berkisar antara 17,89% sampai dengan 27,58%. Bioavailabilitas zat besi paling tinggi terdapat pada sampel susu C dan paling rendah pada sampel susu D. Analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh nyata antara produk susu dengan bioavailabilitas zat besi (p>0,05). Menurut Kartono & Soekarti (2004) Penyerapan besi tinggi sebesar 15%, sedang sebesar 10% dan rendah sebesar 5%. Tidak ada hubungan signifikan antara zat gizi lain (serat pangan, fosfor, seng, FOS dan GOS) terhadap bioavailabilitas zat besi pada sampel. Total zat besi tersedia untuk sampel susu berkisar antara 1,71 mg/100 g sampai dengan 4,65 mg/100 g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap total zat besi tersedia (p<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada semua sampel termasuk dalam kategori tinggi.
76
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa , tapi penpenulis haturkan shalawat dan salam kepada junjungan besar nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan panutan. Atas semangat, dorongan dan kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ―Bioavailabilitas Kalsium (Ca) dan Zat Besi (Fe) secara In Vitropada Beberapa Produk Komersial Susu Ibu Hamil” yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Banyak pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan ini, karena itu pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Rimbawan, selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan dan motivasi kepada Penulis. 2. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS. selaku dosen penguji sekaligus dosen pemandu seminar atas masukan dan sarannya demi kesempurnaan skripsi ini. 3. Kepada Alm. Waluyo (Ayah) yang mampu menjadi motivasi yang sustainable. Kepada mama Asmawati atas doa, waktu, kesabaran, semangat, masukan dan dukungan secara mental maupun material serta kepada kakak-kakak tersayang Susanti Wulandari dan Fitrat Firmansyah atas doa dan semangatnya. 4. Bapak Mashudi, selaku teknisi dan pembimbing laboratorium atas masukan dan bimbingannya yang sangat membantu. 5. Ibu Titi M. Biomed, Ibu Nina dan Bapak Basri selaku laboran atas bantuan dan masukannya yang sangat berarti. 6. Teman-teman Koplag Jilid 2 (Lina, Rahmi, Mahmud, Panji, Cia, Killa, Tina, Icha, Debby dll) atas kerjasamanya, bantuan, saran serta motivasi kepada Penulis. 7. Teman-teman sebimbingan Fatma Silviani, Imas Septiyani, Caesar Laini Anggi, Ima Karimah dan Waldemar Sebastian atas dukungan dan semangatnya yang sangat berarti kepada Penulis. 8. Teman-teman terbaik Imam Saloso, M Renandra Ichsansyah, Panji Azahari Tahudi, Saskia Piscesa, Novrianti Puspita Wardani, Syifa Aulia, Aomi Hazelia Dewi, Atika Primadala Amrin, Adiarti Nursasanti, Fatma
77
Silviani atas kebersamaan, kekompakan, kenyamanan, konflik, saran, semangat, motivasi dan dukungannya kepada Penulis. 9. Teman-teman se-Internship Dietetic (Stefany Pasanea, Nadia Svenskarin, Novi Lusiana, Dida Hanifah Rahman) yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis. 10. Teman-teman Wisma Firas (Putri Pinilih, Inayah Nurmalasari, Eny Rohmayani, Anisa Tridiyani, Nurul Fitria, Hanna Widiastuti) atas semangat dan kebersamaannya yang hangat. 11. Kepada sahabat-sahabat (Dwi Marjoko, Shincia Purnamasari, Alia Issyaputri dan Eddie Setiyawan) yang selalu memberikan semangat, motivasi kepercayaan serta doa selama ini kepada Penulis. 12. Teman-teman Luminaire (GM 44) atas dukungan dan semangatnya selama ini, kepada adik-adik GM 45 dan semua pihak yang turut membantu. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Februari 2012 Penulis
78
RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Sumbawa Besar, 13 Januari 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Alm Waluyo dan Asmawati. Penulis menamatkan pendidikan formal di SDN Kerato, Sumbawa Besar pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Sumbawa Besar pada tahun 2001 sampai 2004. Tahun 2004 Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Sumbawa Besar sampai tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Institiut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2007. Selama Penulis mengikuti pendidikan di IPB, Penulis aktif di BEM FEMA sebagai staf Divisi dan Komunikasi pada periode kepengurusan 2008/2009. Penulis juga bergabung dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) sebagai staf Informasi dan Komunikasi pada periode kepengurusan 2009/2010. Selain berorganisasi Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti kegiatan Nutrtion Fair, Bonjour, Senzasional 2010. Tahun 2010 Penulis menerima hibah untuk Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) dengan judul ―Reeksekusi Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di Indonesia‖. Pada tahun yang sama Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Kerinci Kota, Kecamatan pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Pada tahun 2011, Penulis melaksanakan Internship Dietetic di RSAB Harapan Kita Jakarta. Pada tahun yang sama Penulis menerima dana hibah untuk Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP) dengan judul ―Chocolat Petillant Jinten Hitam (Nigella sativa L) sebagai Pangan Alternatif Tinggi Kalium‖.Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi (2009 dan 2011). Selama Penulis mengikuti pendidikan di IPB, Penulis merupakan penerima Beasiswa Emas dari PT. Newmont Nusa Tenggara.
79
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ............................................................................................. i RIWAYAT HIDUP ................................................................................. ii DAFTAR ISI .......................................................................................... iii DAFTAR TABEL .................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... vi PENDAHULUAN .................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan
....................................................................................... 3
Tujuan Umum ......................................................................... 3 Tujuan Khusus ........................................................................ 3 Kegunaan Penelitian ........................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4 Susu ................................................................................................. 4 Kalsium ............................................................................................ 7 Kebutuhan Kalsium .................................................................... 7 Kekurangan dan Kelebihan Kalsium ........................................... 8 Bioavailabilitas Kalsium .................................................................... 10 Zat Besi ............................................................................................ 17 Kebutuhan Zat Besi .................................................................... 17 Metabolisme Zat Besi ................................................................. 18 Kekurangan dan Kelebihan Zat Besi .......................................... 20 Bioavailabilitas Zat Besi ................................................................... 20 METODOLOGI ..................................................................................... 23 Waktu dan Tempat ........................................................................... 23 Bahan dan Alat ................................................................................. 23 Tahapan Penelitian .......................................................................... 23 Rancangan Percobaan ..................................................................... 29 Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 29 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 30 Karakteristik Produk Komersial Susu Ibu Hamil ................................ 30 Kadar Air .......................................................................................... 32 Kadar Abu ........................................................................................ 33
80
Kadar Protein ................................................................................... 34 Kadar Fosfor .................................................................................... 36 Kadar Kalsium .................................................................................. 37 Kadar Zat Besi ................................................................................. 39 Kadar Seng (Zn) ............................................................................... 41 Kadar Serat Pangan ......................................................................... 42 Ketersediaan Biolagis (Bioavailabilitas) Kalsium .............................. 44 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Kalsium .............. 47 Total kalsium Tersedia ..................................................................... 51 Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Zat Besi .............................. 52 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Zat Besi ............. 53 Total Zat Besi Tersedia .................................................................... 57 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 60 Kesimpulan ...................................................................................... 60 Saran ............................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 62 LAMPIRAN ........................................................................................... 69
81
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Prosedur pencernaan kalsium dan zat besi secara in vitro dalam analisis ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium dan zat besi dengan metode dialisis (Roig et al. 1999) ......................... 27 2. Prosedur pengabuan basah dalam analisis total kalsium Dan zat besi dalam dialisat maupun pada produk komersial susu ibu hamil dengan metode AAS................................................ 28 3. Rata-rata kandungan protein produk komersial susu ibu hamil per saji (g/gelas) ............................................................. 36 4. Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisi kantung dialisis dalam larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis dalam suspensi sampel (b) .......................... 44 5. Inkubasi sampel untuk menentukan bioavailabilitas kalsium in vitro Dalam penangas air bergoyang (Shaker Water Bath) ......... 45 6. Bioavailabilitas kalsium produk komersial susu ibu hamil ......................................................................................... 46 7. Bioavailabilitas zat besi produk komersial susu ibu hamil ......................................................................................... 53 8. Kurva kalibrasi P2O5 ....................................................................... 72 9. Kurva kalibrasi kalsium
......................................................... 73
10. Kurva kalibrasi zat besi .................................................................. 74 11. Kurva kalibrasi seng ....................................................................... 77
82
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kandungan nutrisi dalam segelas susu sapi (200g) ....................... 5 2. Rata-rata kandungan mineral dalam susu dan abu ........................ 5 3. Spesifikasi mutu susu bubuk (SNI 01-2970-2006) .......................... 6 4. Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan ...................... 8 5. Angka kecukupan rata-rata zat besi yang dianjurkan ..................... 17 6. Informasi produk komersial susu ibu hamil yang diuji ..................... 30 7. Kandungan Ca dan Fe produk komersial susu ibu hamil ................ 31 8. Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................................ 33 9. Hasil analisis rata-rata kadar abu (%) pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................................ 34 10. Hasil analisis rata-rata kadar protein (%) pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................ 34 11. Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100 g) pada poduk komersial susu ibu hamil ..................................................... 37 12. Hasil analisis rata-rata kadar kalsium (mg/100g) pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................ 38 13. Hasil analisis rata-rata kadar zat besi (mg/100g) pada produk komersial susu ibu hamil .................................................... 40 14. Hasil analisis rata-rata kadar seng (mg/100g) pada produk komersial susu ibu hamil .................................................... 41 15. Hasil analisis rata-rata serat pangan (%) pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................ 43 16. Rata-rata total kalsium tersedia pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................................ 51 17. Rata-rata total zat besi tersedia pada produk komersial susu ibu hamil ................................................................................ 57 18. Analisis harga per satuan zat gizi (Rp/mg) ..................................... 58 19. Kadar air produk komersial susu ibu hamil ..................................... 71 20. Kadar protein produk komersial susu ibu hamil .............................. 72 21. Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi fosfor standar ............. 73 22. Kadar fosfor produk komersial susu ibu hamil ............................... 73 23. Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi kalsium standar .......... 74
83
24. Kadar kalsium produk komersial susu ibu hamil ............................. 75 25. Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi zat besi standar .......... 76 26. Kadar zat besi produk komersial susu ibu hamil ............................. 76 27. Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi seng standar............... 77 28. Kadar seng produk komersial susu ibu hamil ................................. 78 29. One way ANOVA kandungan gizi produk komersial susu ibu Hamil .............................................................................................. 80 30. Uji lanjut Duncan kadar air ............................................................. 81 31. Uji lanjut Duncan kadar abu ........................................................... 81 32. Uji lanjut Duncan kadar protein ...................................................... 82 33. Uji lanjut Duncan kadar fosfor ........................................................ 82 34. Uji lanjut Duncan kadar kalsium ..................................................... 82 35. Uji lanjut Duncan kadar zat besi ..................................................... 82 36. Uji lanjut Duncan kadar seng .......................................................... 83 37. Uji lanjut Duncan kadar serat tak larut ............................................ 83 38. Ui lanjut Duncan kadar serat larut .................................................. 83 39. Uji lanjut Duncan kadar total serat pangan ..................................... 83 40. Uji lanjut Duncan bioavailabilitas kalsium ....................................... 84 41. Uji lanjut Duncan bioavailabilitas zat besi ....................................... 84 42. Uji lanjut Duncan total kalsium tersedia .......................................... 84 43. Uji lanjut Duncan total zat besi tersedia .......................................... 84 44. Hasil uji korelasi Pearson ............................................................... 85
84
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989) ............................... 66 2. Analisis Protein Metode Semi Kjeldahl (Sulaeman et al. 1994) ........ 68 3. Perhitungan Analisis Kadar Air Produk Komersial Susu Ibu Hamil
............................................................................................ 69
4. Perhitungan Analisis kadar Protein Produk Komersial Susu Ibu Hamil .............................................................................................. 70 5. Perhitungan Analisis Kadar Fosfor Produk Komersial Susu Ibu Hamil
............................................................................................ 71
6. Perhitungan Analisis kadar Kalsium Produk Komersial Susu Ibu Hamil
............................................................................................ 72
7. Perhitungan Analisis Kadar Zat Besi Produk Komersial Susu Ibu Hamil .............................................................................................. 74 8. Perhitungan Analisis Kadar Seng Produk Komersial Susu Ibu Hamil .............................................................................................. 75 9. Hasil Sidik Ragam (One Way ANOVA) Ca, Fe, Air, Abu, Protein, Serat Pangan, P, Zn, Bioavailabilitas Ca dan Fe, Total Ca dan Fe Tersedia ............................................................................... 78 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Ca, Fe, Air, Abu, Protein, Serat Pangan P, Zn, Bioavailabilitas Ca dan Fe, Total Ca dan Fe Tersedia ............ 79 11. Hasil Uji Korelasi Pearson
.......................................................... 83
85
PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan salah satu pangan hewani yang sangat penting bagi manusia karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan lengkap. Susu mengandung kalsium, fosfor, zat besi dan protein yang tinggi. Selain itu, susu juga mengandung sejumlah vitamin, di antaranya vitamin A dan D. Menurut Khomsan (2005) konsumsi susu sangat penting pada setiap golongan usia baik anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Di negara berkembang, termasuk Indonesia susu masih dianggap sebagai pangan yang mewah oleh sebagian besar masyarakatnya. Anwar & Khomsan (2009) menyebutkan, kontribusi susu dapat memenuhi asupan kalsium orang Indonesia rata-rata hanya 23 mg/hari. Akan tetapi pertumbuhan produk susu terus berkembang. Salah satunya yaitu jenis produk susu berkebutuhan khusus seperti susu ibu hamil. Konsusmsi susu jenis khusus, yang termasuk didalamnya adalah susu ibu hamil mencapai 11.505 ton di tahun 2002 dan bergerak menjadi 14.311 ton di tahun 2002 (BPS 2003). Berdasarkan data BPOM tahun 2001-2005 telah terdaftar sebanyak 56 produk minuman susu ibu hamil dan atau menyusui (BPOM 2005). Kehamilan merupakan bagian dari reproduksi wanita yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan yang terjadi secara alami. Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu membutuhkan makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda. Beberapa masalah gizi yang dialami ibu hamil adalah kurangnya asupan zat besi dan kalsium. Rata-rata konsumsi protein, kalsium, besi, dan vitamin A ibu hamil lebih rendah dibandingkan rata-rata angka kecukupannya (Septiyani 2008). Zat besi merupakan elemen kunci dalam proses metabolisme hampir semua organisme hidup. Jumlah zat besi dalam tubuh bervariasi, tergantung pada usia, jenis kelamin, kehamilan dan pertumbuhan. Anemia gizi karena kekurangan zat besi masih menjadi masalah di negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Prevalensi anemia di Indonesia mencapai 40% pada tahun 2001 (Depkes 2001). Menurut data Worldwide Prevalence of Anemia tahun 1993-2005 yang dikeluarkan WHO pada tahun 2008, Indonesia termasuk dalam prevalensi anemia berat untuk golongan anak-anak usia pra-sekolah dan wanita hamil dengan jumlah penderita 44,5% dan 44,3%. Amiruddin dan Wahyuddin (2007) menyatakan bahwa hasil penelitian pada 128 wanita hamil di Bantimurung
86
diperoleh sekitar 83,6 % mengalami anemia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk zat besi pada wanita normal yaitu 26 mg/hari. Kebutuhan zat besi pada wanita hamil meningkat 9 mg/hari dari AKG pada trimester II dan meningkat 13 mg/hari dari AKG pada trimester III (WNPG 2004). Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, kontraksi otot, metabolisme sel, dan mengirimkan isyarat saraf ke sel (Bredbenner et al. 2007). Kalsium sangat penting selama kehamilan. Bukan hanya untuk bayi, tetapi juga untuk ibu dalam mempertahankan kalsiumnya sendiri. Apabila ibu tidak cukup mengkonsumsi pangan sumber kalsium, maka bayi akan mengambil kebutuhan kalsium dari tubuh ibunya, sehingga ibu mempunyai risiko mengalami pengeroposan tulang. Angka Kecukupan Gizi (AKG) kalsium untuk wanita normal sebesar 800 mg/hari. Kebutuhan kalsium pada wanita hamil meningkat 150 mg/hari dari AKG pada trimester I, II, III masa kehamilan. Kadar kalsium dalam darah wanita hamil menurun sampai 5% dibandingkan wanita tidak hamil (Arisman 2007). Salah satu sumber kalsium dan zat besi yang baik dikonsumsi ibu hamil untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan zat besi yaitu susu. Beberapa keunggulan yang ditawakan hampir semua produsen susu komersial ibu hamil adalah susu dengan klaim tinggi kalsium dan zat besi. Hal ini dimaksudkan agar dapat memenuhi kebutuhan gizinya. Akan tetapi penambahan kalsium dan zat besi dalam produk komersial susu ibu hamil harus disertai dengan pengetahuan akan ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Hal ini disebabkan total mineral yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin tingginya jumlah mineral yang diserap oleh tubuh. Bioavailabilitas dapat diartikan sebagai jumlah mineral dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium dan zat besi, baik faktor pendorong maupun faktor penghambat. Komposisi dan zat gizi lain yang terdapat di dalam susu juga dapat memberikan pengaruh pada bioavailabilitas kalsium dan zat besi (serat pangan, fosfor, seng dan prebiotik). Bioavailabilitas kalsium dan zat besi dapat dianalisis dengan metode in vivo maupun in vitro. Namun, metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008).
87
Berkaitan dengan hal di atas, perlu adanya penelitian mengenai bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada beberapa produk komersial susu ibu hamil. Hal ini penting dilakukan agar para konsumen mendapat informasi mengenai bioavailabilitas kalsium dan zat besi dari produk komersial susu ibu hamil untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih produk susu yang sesuai dalam rangka memenuhi kebutuhan kalsium dan zat besi ibu hamil. Tujuan Tujuan umum : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) secara in vitro pada beberapa produk komersial susu ibu hamil.
Tujuan khusus : Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kadar kalsium dan zat besi, air, abu, protein, serat pangan (larut, tidak larut, total), kadar fosfor dan kadar seng pada produk komersial susu ibu hamil.
2. Mempelajari bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) pada produk komersial susu ibu hamil.
3. Mempelajari kemungkinan adanya pengaruh serat pangan, fosfor dan Zn tersedia terhadap bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) pada produk komersial susu ibu hamil.
4. Menganalisis total kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) tersedia di dalam produk komersial susu ibu hamil. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terutama ibu hamil mengenai bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) pada beberapa produk komersial susu ibu hamil yang beredar di pasaran. Informasi ini dapat berguna sebagai pertimbangan ibu hamil dalam memilih produk susu yang sesuai dengan kebutuhan gizinya.
88
TINJAUAN PUSTAKA Susu Susu didefinisikan sebagai produk kelenjar susu (mamary gland) atau sekresi dari kelenjar susu binatang menyusui. Hewan penghasil susu adalah hewan mamalia seperti sapi, kerbau, domba, kambing, onta, zebra dan sebagainya (Marliyati, Sulaeman & Anwar 1992). Sebagaian besar susu yang diproduksi adalah susu berasal dari sapi, baik yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun digunakan sebagai bahan baku dalam memproduksi berbagai susu olahan. Secara kimia, susu adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Komponen utama susu adalah air, lemak, protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu) dan abu. Komponen susu selain air merupakan Total Solid (TS) dan total solid tanpa komponen lemak (Solid Non Fat). Beberapa istilah lain yang biasa digunakan sehubungan dengan komponen utama susu ini adalah plasma susu atau susu skim. Susu skim yaitu bagian susu yang mengandung semua komponen kecuali lemak dan serum susu atau biasa disebut whei. Whey yaitu bagian susu yang mengandung semua komponen susu kecuali lemak dan kasein (Rahman et al. 1992). Susu memiliki kandungan gizi yang baik dan bervariasi. Menurut Rahman et al. (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi komponenkomponen dalam susu adalah mastitis, tahapan dalam periode laktasi, musin dan keadaan makanan. Secara umum komposisi zat gizi dalam susu dapat dilihat di Tabel 1. Mengkonsumsi susu memberikan banyak manfaat. Towers et al. (1997) menjelaskan bahwa susu mengandung komposisi zat gzi makro (protein, lemak dan krabohidrat) yang seimbang dan memiliki kualitas protein yang tinggi karena asam amino esensial yang lengkap dan rasio asam amino yang mendekati jumlah yang dibutuhkan tubuh. Susu juga mengandung vitamin yang paling banyak jumlahnya dan mempunyai biovailabilitas yang tinggi.
89
Tabel 1 Kandungan zat gizi dalam segelas susu sapi (200 g) Full Cream Zat Gizi Energi (KJ) 282 Protein (g) 3,4 Karbohidrat (g) 4,7 Lemak (g) 4 Tiamin (mg) 0,03 Riboflavin (mg) 0,24 Niasin (mg) 0,2 Vitamin B6 (mg) 0,06 Vitamin B12 (μg) 0,9 Vitamin C (mg) 2 Vitamin D (μg) Sedikit Vitamin E (mg) 0,08 Natrium (mg) 44 Kalium (mg) 160 Kalsium (mg) 122 Magnesium (mg) 11 Fosfor (mg) 96 Zat besi (mg) 0,03 Seng (mg) 0,4 Selenium (mg) 1 Sumber: Woods et al. 2007
Semi Skim 201 3,6 4,8 1,8 0,03 0,25 0,1 0,06 0,9 2 Sedikit 0,04 44 161 124 11 97 0,02 0,4 1
Skim 148 3,6 4,9 0,3 0,03 0,23 0,1 0,06 0,8 1 Sedikit Sedikit 45 167 129 11 99 0,03 0,5 1
Selanjutnya Buckle et al. (1987) menjelaskan bahwa air susu dihilangkan dengan penguapan dan sisa yang kering dibakar pada panas rendah akan memperoleh sisa abu putih yang berisi bahan-bahan mineral. Unsur-unsur mineral yang paling utama dapat dilihat di tabel 2. Kalsium dan fosfor dari susu mempunyai nilai gizi yang penting. Kalsium fosfat merupakan bagian dari partikel kasein dan mempengaruhi sifat partikel ini terhadap penggumpalan oleh renin, panas dan asam. Kandungan mineral dari susu agak bersifat konsisten dan tidak dipengaruhi oleh makanan ternak kecuali kandungan iodiumnya. Tabel 2 Rata-rata kandungan mineral dalam susu dan abu No Unsur 1 Kalium 2 Kalsium 3 Klorin 4 Fosfor 5 Natrium 6 Magnesium 7 Sulfur Sumber: Buckle et al (1987)
Dalam susu (%) 0,140 0,125 0,103 0,096 0,056 0,012 0,025
Dalam abu (%) 20,0 17,4 14,5 13,3 7,8 1,4 3,6
Ressang dan Nasution (1987) menjelaskan bahwa susu bubuk dibuat dengan menguapkan semua air yang ada di dalam susu. Pengeringan susu pada susu bubuk dilakukan menurut prinsip pengeringan dengan penggilingan (drum drier) dan penyemprotan (spray drier). Lebih lanjut Sediaoetama (1999) menjelaskan bahwa susu bubuk dibuat dengan mengeringkan susu sehingga tertinggal komponen padat dari susu tersebut. Komposisi padat ini merupakan
90
sekitar 14% dari susu aslinya, maka rekonstitusi menjadi susu cair kembali dilakukan dengan menambah air matang sebanyak 7 kali sebanyak susu bubuknya (100/14 bagian). Selama proses pengeringan ini terjadi perubahan atau kerusakan pada beberapa komponen zat gizi diantaranya vitamin A dan vitamin B kompleks. Oleh karena itu pada susu bubuk ditambahkan berbagai zat gizi yang rusak atau berkurang. Zat gizi yang terkandung dalam susu meliputi makro nutrien dan mikro nutrien. Kadar makro nutrien (protein, lemak dan karbohidrat) susu umumnya stabil setelah mengalami proses pengolahan, sedangkan mikro nutrien (vitamin dan mineral) susu umumnya mengalami kerusakan setelah proses pengolahan (khususnya vitamin). Badan Standarisasi Nasional (BSN) menyatakan minuman khusus ibu hamil dan atau ibu menyusui adalah produk berbentuk bubuk ataupun cair, khusus ibu hamil atau menyusui, mengandung energi, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral yang diperhitungkan berdasarkan tambahan kecukupan gizi yang dianjurkan untuk kelompok tersebu, dengan atau tanpa penambahan komponen bioaktif dan atau bahan tambahan pangan yang diijinkan.Syarat mutu produk susu bubuk di Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Adapun spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 3 Spesifikasi mutu susu bubuk ibu hamil dan atau menyusui (SNI 01-7148-2005) Zat Gizi Energi Protein Lemak Karbohdirat Air Abu Kalsium Zat besi Seng Vitamin A Vitamin B1 (Thiamin) Vitamin B2 (Ribiflavin) Vitamin B3 (Niasin) vitamin B6 (Piridoksin) Vitamin B9 (Asam Folat) Vitamin B12 Vitamin C
Satuan kkal G G G G G mg mg mg mg mg mg mg mcg mcg mg Mg
Persyaratan Berbentuk Bubuk Berbentuk Cair (per 100 g) (per 100 ml) Min 370 Min 65 18-25 3,2 – 4,4 Min 3,5 Min 0,6 Max 65 Max 11,4 Max 4 Max 6 Max 1,1 200-800 35-140 Min 10 Min 1,8 Min 5 Min 0,9 300-500 53-88 0,5-1,0 0,1-0,2 0,5-1,1 0,1-0,2 14 1,1-2,5 0,6-1,3 0,1-0,2 285-400 49-70 0,3-2,4 0,1-0,4 1,4-7,5 2,5-13,2
91
Kalsium Mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia adalah kalsium, yaitu sebanyak 1,5 sampai 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam tubuh (Berdanier 1998). Kalsium berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma (darah) pada konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau 9-10,4 mg/100 ml. Kadar kalsium dalam konsentrasi darah cenderung konstan dan jika bervariasi tidak sampai 10% (Almatsier 2006). Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 1000-1300 g kalsium yang kurang dari 2% berat tubuh. Kandungan normal kalsium darah adalah 9-11 mg per 100 ml. Sekitar 48% serum kalsium adalah ionik dimana 46% dalam senyawa protein darah. Sisanya dalam bentuk senyawa kompleks yang mudah berdifusi, seperti dalam bentuk sitrat (Soekatri & Kartono 2004). Berdasarkan Almatsier (2006), kalsium mempunyai fungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, katalisator reaksi-reaksi biologik, dan kontraksi otot. Pada pembentukan tulang, kalsium di dalam tulang mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bagian integral dari struktur tulang dan sebagai tempat menyimpan kalsium. Selain itu, beberapa reaksi biologik yang menggunakan kalsium sebagai katalisator adalah absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, aktivasi lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, dan proses pemecahan serta pembentukan asetilkolin. Kebutuhan Kalsium Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium di dalam tubuh biasanya dihitung berdasarkan keseimbangan kalsium dimana cara perhitungannya hampir sama dengan cara menghitung keseimbangan nitrogen. Meskipun demikian menurut Muhilal, Jalal & Hardinsyah (1998), kecukupan kalsium untuk Indonesia lebih rendah daripada yang dianjurkan di berbagai negara industri, dengan pertimbangan bahwa perbandingan Ca dan P hidangan serta konsumsi protein umumnya rendah. Berdasarkan WNPG (2004) ditetapkan angka kecukupan kalsium untuk masing-masing umur dan golongan (Tabel 4).
92
Tabel 4 Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan Kelompok Bayi (bulan) 0-6 7-11 Anak-anak (tahun) 1-3 4-6 7-9 Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + Wanita (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + Ibu Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Ibu Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua Sumber : WNPG (2004)
Kecukupan Kalsium (mg/hari) 200 400 500 500 600 1000 1000 1000 800 800 800 800 1000 1000 1000 800 800 800 800 + 150 + 150 + 150 + 150 + 150
Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju. Selain itu, sumber kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995) beberapa pangan sumber kalsium antara lain sayuran hijau, lobak hijau, kubis, kerang, salmon dan sardine. Kekurangan dan Kelebihan Kalsium Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. banyak faktor yang menjadi indikator defisiensi kalsium yaitu status vitamin D, penyakit tulang dan ketidakseimbangan hormon. Defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan kejadian kejang (tetani),
93
hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih. Riketsia terjadi pada anak-anak ketika penambahan jumlah kalsium per unit matriks tulang defisien sehingga mineralisasi tulang terganggu (Gropper et al. 2005). Osteoporosis merupakan gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi (Soekarti & Kartono 2004). Bredbenner et al. (2007) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi untuk mempertahankan massa tulang yang cukup mula-mula akan mengarah pada osteopenia yaitu massa tulang rendah. Osteoporosis didiagnosa ketika kehilangan massa dan penurunan kekuatan tulang signifikan sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteopenia dan osteoporosis didefinisikan berdasarkan kriteria WHO (World Health Organization), dimana densitas massa tulang 0.759 sampai 0.909 g/cm2 disebut osteopenia sedangkan densitas massa tulang di bawah 0.759 g/cm2 disebut osteoporosis. Level ion Ca2+ bebas yang rendah dalam darah (hipokalemia) diduga dapat menyebabkan kejang (tetani) yaitu kondisi yang dicirikan oleh kontraksi otot yang gagal untuk melakukan relaksasi, khususnya pada otot pergelangan tangan dan kaki (organ pergerakan). Kalsium dapat menurunkan resiko kanker kolon melalui kemampuannya mengikat asam empedu dan asam lemak bebas yang keberadaannya dapat memicu terjadinya kanker melalui hiperproliferasi kolon (Gropper et al. 2005). Sirkulasi level vitamin D yang merupakan respon terhadap rendahnya asupan kalsium menyebabkan jalur kalsium terbuka pada membran di sel-sel tertentu (contohnya otot halus dan adiposit). Hal tersebut memiliki konsekuensi terjadinya aktivasi respon spesifik dari berbagai jaringan seperti kontraksi otot halus pada arteri, peningkatan sintesis lemak dan penurunan lipolisis pada adiposit. Mekanisme tersebut merupakan dampak kurangnya asupan kalsium terhadap berkembangnya hipertensi dan obesitas (Weaver & Heaney 2008). Kelebihan kalsium dapat berpengaruh negatif terhadap penyerapan seng, zat besi dan mangan. Disamping itu, gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat kelebihan kalsium adalah pembentukan batu ginjal dan gejala hiperkalsemia (Soekatri & Kartono 2004). Hiperkalsemia dapat terjadi apabila mengkonsumsi kalsium lebih dari 2500 mg sehari dan dapat berlanjut menjadi hiperkalsuria (kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari).
94
Hiperkalsuria dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Disamping itu dapat juga menyebabkan konstipasi (kesulitan buang air besar). kelebihan kalsium
jarang
terjadi
akibat
makanan
alami.
Umunya
terjadi
karena
mengkonsumsi suplemen kalsium secara terus menerus (Almatsier 2006). Bioavailabilitas Kalsium Bioavailabilitas dapat diartikan sebagai jumlah kalsium yang tersedia dalam
bahan
pangan
yang
dapat
diserap
dan
dimanfaatkan
tubuh.
Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Semakin tingggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan absorpsi kalsium yang efisien (Almatsier 2006). Kalsium
membutuhkan
lingkungan
yang
asam
agar
dapat
mempertahankan kalsium dalam bentuk ionik yang mudah diabsorpsi. Absorpsi terutama terjadi pada bagian atas usus halus dan berkurang di bagian bawah usus halus yang berbatasan dengan usus besar. Dalam aliran darah, kalsium ditransportasikan dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein, dimana konsentrasinya diregulasi secara ketat oleh kontrol hormon. Ketika konsentrasi kalsium dalam darah rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Peran hormon paratiroid dalam peningkatan kalsium darah dilakukan melalui tiga jalur yaitu 1). menstimulasi perombakan kalsium dari tulang, 2). meningkatkan retensi kalsium di ginjal, dan 3). mengaktifkan vitamin D yang kemudian vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3) akan merangsang peningkatan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Namun jika konsentrasi kalsium darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan calcitonin yang kemudian akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam range normal dengan jalan mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal (Bredbenner et al. 2007). Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium. Metode tersebut antara lain metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Kedua metode pengukuran tersebut biasanya dilakukan secara in vivo yaitu mengukur absorpsi pada manusia atau hewan. Metode keseimbangan kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan lewat feses. Absorpsi nyata kalsium berkisar antara 20% sampai 40%. Keseimbangan kalsium diperoleh ketika asupan kalsium cukup untuk mengcover kehilangan
95
kalsium lewat urin, feses dan keringat. Keseimbangan kalsium positif dibutuhkan pada saat pertumbuhan, kehamilan, dan laktasi. Ketidakakuratan pengukuran dengan metode ini akan terjadi apabila pengumpulan sampel feses tidak tepat dan adanya perubahan efiisensi absorpsi yang disebabkan oleh adaptasi tubuh terhadap level asupan kalsium yang berubah. Dengan prinsip yang hampir sama dengan metode keseimbangan kalsium, pada metode isotop kalsium dilakukan dengan menginjeksikan isotop kalsium baik yang bersifat radioaktif maupun yang stabil lewat intravena (Allen 1982). Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas kalsium juga dapat dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen makanan yang mempengaruhi absorpsi kalsium Berdasarkan Allen (1982) komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al. (2005) menambahkan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Penjelasan dari masing-masing masing-masing faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium adalah sebagai berikut: Fosfor. Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet, dan 2). secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). Berdasarkan Linder (2006), konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5 mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi
96
tulang. Hasil penelitian Bernhart et al. tahun 1969 dalam Brody (1999) pada sejumlah tikus membuktikan bahwa diet yang mengandung cukup kalsium dengan jumlah fosfor yang sedikit lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari kalsium dapat mendukung tingkat pertumbuhan yang hampir maksimal dan pembentukan tulang. Perbandingan kalsium dan fosfor terbaik dalam penelitian tersebut adalah 1:0,6, 1:0,9, dan 1:1,4. Protein. Protein harian berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Brody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney (2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Asupan kalsium harian yang rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah. Komponen tumbuhan. Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005). Ada dua golongan serat yaitu yang tidak larut dalam air dan yang dapat larut dalam air. Serat yang dapat larut dalam air adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, mukilase, glukan dan algal (Almatsier 2006). Serat yang tidak larut dalam air (insoluble fibers) didefinisikan sebagai serat yang tidak dapat dilarutkan dalam air dan tidak dapat dicerna oleh bakteri di dalam usus besar. sedangkan serat yang laurt dalam air
97
(soluble fibers) adalah serat yang dapat dilarutkan dalam air dan dapat dicerna (difermentasi) oleh bakteri di dalam usus besar (Wardlaw 1999). Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005). Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Brody 1999). Sama halnya dengan oksalat dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan kalsium (Bredbenner et al. 2007). Laktosa. Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) dalam Bodwell dan Erdman (1988) menjelaskan bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan meningkatkan absorpsi kalsium. Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Kabayashi et al. tahun 1975 memperlihatkan bahwa hidrolisis laktosa oleh enzim laktase menjadi galaktosa dan glukosa lebih efektif dalam meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982). Lemak. Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks
98
asam lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982). Kation divalen. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium. Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia. Status vitamin D. Vitamin D dalam bentuk aktif atau biasa disebut calcitriol akan meningkat jika sekresi hormon paratiroid tinggi, asupan kalsium harian rendah, dan dalam kondisi hamil dan menyusui (Allen 1982). Calcitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (CaBP/Calcium binding protein) yang juga biasa disebut calbindin D9k (Gropper et al. 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan sintesis CaBP lebih lama yaitu sekitar 6 – 8 hari yang kemudian akan menghambat penyerapan kalsium (Allen 1982). Defisiensi vitamin D jangka panjang akan menyebabkan riketsia pada anak-anak dan osteomalsia pada dewasa, sedangkan kelebihan vitamin D akan menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menimbulkan kalsifikasi (pengerasan) pada jaringan lunak (calcinosis) seperti pada ginjal, hati, paru-paru dan pembuluh darah (Gropper et al. 2005). Defisiensi kalsium dan fosfor. Kebiasaan asupan kalsium harian baik rendah maupun tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi absorpsi kalsium melalui mekanisme adaptasi. Jika terjadi defisiensi kalsium, efisensi absorpsi kalsium akan meningkat dengan jalan meningkatkan transpor kalsium yang dibantu vitamin D. Penelitian pada tikus memperlihatkan peningkatan absorpsi kalsium di duodenum dan ileum berturut-turut yaitu 200%
99
dan 400%. Tingginya absorpsi kalsium di usus disertai peningkatan asupan kalsium harian akan mengurangi demineralisasi tulang dan akan mengembalikan keseimbangan kalsium menjadi positif (Allen 1982). Namun, jika asupan kalsium tidak ditingkatkan, absorpsi kalsium akan menurun karena jumlah kalsium yang dapat diserap bekurang (Almatsier 2006). Defisiensi fosfor juga akan meningkatkan absorpsi kalsium. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976 menunjukan bahwa defisiensi fosfor
meningkatkan
produksi
1,25-(OH)2-vit
D3
yang
kemudian
akan
meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982). Daur kehidupan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Younoszai tahun 1981 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier antara konsumsi dan absorpsi kalsium pada bayi. Pada asupan kalsium yang rendah, efisiensi absorpsi kalsium pada bayi berkurang daripada dewasa. Hal ini disebabkan karena mekanisme adaptasi tubuh terhadap asupan kalsium yang rendah tidak terjadi dan transpor kalsium biasanya hanya terjadi lewat difusi. Beberapa susu formula yang mengandung cukup kalsium dapat diabsorpsi 30%, sedangkan asupan 239 mg/kg/hari kalsium dari susu formula yang mengandung vitamin D dan trigliserida dapat diabsorpsi sebanyak 73% (Allen 1982). Kemampuan untuk absorpsi kalsium lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan
menurun
pada proses
penuaan.
Kebutuhan
kalsium
pada
masa
pertumbuhan lebih tinggi karena itu secara alamiah tubuh akan menyerap lebih banyak kalsium. Remaja cenderung menyerap kalsium lebih banyak daripada orang lanjut usia (Almatsier 2006). Linder (2006) dan Almatsier (2006) menyebutkan bahwa pada dewasa normal absorpsi kalsium berada dalam kisaran 30% - 50%. Namun menurut Bredbenner et al. (2007), tubuh manusia (dewasa) menyerap sekitar 25% hingga 30% kalsium dari makanan yang dikonsumsi, akan tetapi apabila tubuh membutuhkan kalsium dalam jumlah ekstra tinggi seperti pada tahap pertumbuhan, bayi dan ibu hamil, absorpsi meningkat mencapai 75%. Pada wanita menopause, penurunan sekresi hormon esterogen akan menyebabkan demineralisasi tulang (Linder 2006). Terapi esterogen selama 6 bulan dapat meningkatkan level calcitriol serum
sebesar 40%. Peningkatan
calcitriol serum tersebut meningkatkan absorpsi kalsium sebesar 20% dan reabsorpsi kalsium di renal ginjal. Absorpsi kalsium pada lansia dengan diet
100
kalsium 2000 mg/hr yaitu sekitar 20% sedangkan pada diet kalsium 300 mg/hr, absorpsi kalsium meningkat menjadi 40% (Allen 1982). Bioavailabilitas berbagai garam kalsium Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk garam kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium karbonat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat. Garam kalsium akan bersifat bioavailable dalam bentuk terlarut. Kalsium karbonat umumnya terdapat dalam bahan pangan dalam jumlah yang tinggi namun kelarutannya rendah (Muchtadi 2008). Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga rendah (5,5%). Sementara itu, beberapa macam garam kalsium yang mempunyai sifat kelarutan yang baik, misalnya kalsium glukonat, kalsium laktat. Kalsium laktat yang tersedia dalam bentuk pentahidrat (5H2O), mengandung 13% kalsium. Garam kalsium ini mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9,3 g/l), sehingga paling banyak digunakan dalam industri minuman, sedangkan kalsium glukonat memiliki kelarutan sebesar 3,5 g/l (Muchtadi 2008). Selanjutnya Muchtadi (2008) menjelaskan bahwa trikalsium sitrat memberikan kombinasi yang baik. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk tetrahidrat (4H2O), dengan kadar kalsium yang cukup tinggi (21%) dan kelarutan yang moderat (0,9 g/l). Sifat kelarutan garam kalsium dalam air sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) larutan, di mana kelarutan garam kalsium akan meningkat dengan meningkatnya keasaman (menurunnya pH). Trikalsium sitrat menunjukkan kelarutan yang lebih baik pada pH lebih rendah dari 4,5. Berbeda dengan garam kalsium lain, trikalsium sitrat lebih mudah larut pada suhu rendah. Baker (1991) menambahkan bahwa kelompok sumber kalsium organik seperti dari tepung tulang, bentuk dikalsium fosfat, trikalsium fosfat, dan kalsium sulfat memiliki ketersediaan yang tinggi. Fortifikasi kalsium juga terkadang menggunakan gabungan dari dua garam organik seperti kalsium laktat glukonat, kalsium laktat malat, dan kalsium laktat sitrat. Kalsium laktat glukonat merupakan garam kalsium yang sangat mudah larut dalam air (45 - 50 g/l) (Muchtadi 2008).
101
Zat Besi Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom, dan enzim katalase serta peroksidase. Lebih dari 65% zat besi dalam tubuh ditemukan dalam bentuk hemoglobin dan lebih dari 10% ditemukan dalam bentuk mioglobin, 1% sampai 5% ditemukan dalam bentuk bagian dari enzim dan menjaga zat besi dalam darah atau cadangan zat besi dalam tubuh (Gropper et al. 2005). Di samping itu berbagai jenis enzim memerlukan besi sebagai faktor penguat. Di dalam tubuh sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri (Sediaoetama 1991). Dalam tubuh senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot dan dalam sel. Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim (Gibson 1999 dalam Soekatri & Kartono 2004). Kebutuhan Zat Besi Faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat besi adalah keasaman lambung
dan
bioavailabilitas
termasuk
penghambat
maupun
pemacu
penyerapan besi nonheme. Zat besi pada wanita sangat diperlukan, terutama karena adanya kehilangan besi selama menstruasi. Menurut WNPG (2004), kecukupan zat besi untuk masing-masing kelompok umur disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Angka kecukupan rata-rata zat besi yang dianjurkan Kelompok Bayi (bulan) 0-6 7-11 Anak-anak (tahun) 1-3 4-6 7-9 Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 +
Kecukupan Zat Besi (mg/hari) 0.5 7
8 9 10 13 19 15 13 13 13 13
102
Kelompok Kecukupan Zat Besi (mg/hari) Wanita (tahun) 10-12 20 13-15 20 16-18 26 19-29 26 30-49 26 50-64 12 65 + 12 Ibu Hamil Trimester 1 +0 Trimester 2 +9 Trimester 3 + 13 Ibu Menyusui 6 bulan pertama +6 6 bulan kedua +6 Sumber : WNPG (2004)
Menurut British Nutrition Foundation (1995) berdasarkan kandungan besinya makanan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu makanan dengan kandungan besi rendah yaitu kurang dari 0.7 mg (besi/1000 Kal), makanan dengan kandungan besi sedang yaitu antara 0.7-19 mg (besi/1000 Kal) dan makanan dengan kandungan besi tinggi yaitu lebih dari 2.0 mg (besi/1000 Kal). Besi yang berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam badan dan besi yang diserap dari saluran pencernaan. Besi hasil hemolisis merupakan besi sumber utama. Pada manusia yang normal kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Winarno 1997). Metabolisme Zat Besi Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus. Pada kondisi besi yang baik, hanya sekitar 10 persen dari besi yang terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut (Sediaoetama 1991). Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk
103
masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1988). Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan atau cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom dan beberapa besi lainnya yang berkaitan dengan protein termasuk dalam kelompok utama. Senyawa tersebut berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi serta penyimpanan dan penggunaan oksigen. Tergantung pada tingkat status besi seseorang, jumlah senyawa ini berskisar antara 25-55 mg/kg berat badan dan lebih dari 80% diantaranya berbentuk hemoglobin. Senyawa zat besi dalam bentuk cadangan berkisar antara 5-25 mg/kg berat badan, terutama sebagai feritin dan hemosiderin. Senyawa zat besi dalam bentuk cadangan tidak mempunyai fungsi fisiologis selain sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi jika dibutuhkan untuk kompartemen fungsional. Apabila za besi cukup dalam bentuk simpanan maka kebutuhan akan hemopoesis (pembentukan sel-sel darah merah) dan sumsum tulang akan terpenuhi (Wilson et al. 1979). Besi heme harus dihidrolisis dari bentuk globin hemoglobin atau mioglobin sebelum diserap. Pencernaan dilakukan oleh protease di dalam lambung dan usus halus
menghasilkan besi heme. Penyerapan besi dapat
terjadi di sepanjang usus halus akan tetapi penyerapan paling efisien terjadi pada bagian atas duodenum. Pengeluaran besi kemungkinan berikatan dengan protein dalam bentuk kompleks paraferitin dan dapat digunakan pada sel mukosa intestinal (Gropper et al. 2005). Ikatan besi nonheme pada komponen makanan harus dilepaskan secara enzimatis pada saluran pencernaan agar absorbsi terjadi. Sekresi getah lambung termasuk asam asam hidroklorat dan enzim proteasepepsin pada perut dan protease usus halus, membantu untuk mengeluarkan zat besi nonheme dari komponen makanan. Apabila zat besi nonheme keluar dari komponen makanan akan berbentuk sebagai besi ferri. Sisa besi ferri akan larut selama pH lingkungan dalam keadaan asam. Beberapa dari besi ferri akan berkurang dan membentuk besi ferro. Apabila besi ferri mampu melewati lambung menuju distal duodenum dan jejenum, besi ferri bercampur dengan
getah alkaline yang
104
disekresikan usus halus menuju pankreas. Pada lingkungan yang lebih alkali, besi ferri akan kompleks memproduksi hidroksi ferri (Fe(OH) 3), senyawa yang relatif tidak larut dalam jumlah yang besar dan mengendap, menyebabkan berkurangnya penyerapan zat besi (Gropper et al. 2005). Kekurangan dan Kelebihan Zat Besi Defisiensi zat besi biasanya terjadi pada 4 golongan yaitu: 1) bayi dan anak kecil (6 bulan sampai dengan 4 tahun), karena kurangnya kadar zat besi pada susu dan makanan yang dikonsumsi, pertumbuhan yang pesat dan rendahnya cadangan zat besi yang dibutuhkan, 2) dewasa muda, karena terjadi pertumbuhan yang pesat dan membutuhkan sel darah merah yang lebih banyak, 3) wanita subur karena kehilangan zat besi selama mentruasi, 4) wanita hamil karena volume darah mengembang akibat adanya fetus dan plasenta, dan terjadinya kehilangan darah ketika melahirkan (Gropper et al. 2005). Defisiensi zat besi pada anak-anak akan mengakibatkan keabnormalan perkembangan
psikomotornya.
Keabnormalan
ini
akan
muncul
sebagai
konsekuensi dari berubahnya metabolisme dopamine. Defiisiensi zat besi menjadi penyebab dari menurunnya kehamilan, dimana tingginya angka kematian dan prematur bayi. Merusaknya respon imun, abnormalitas saluran pencernaan, perubahan epidermal anggota tubuh, perubahan metabolisme tiroid dan perubahan catecholamine (Stipanuk 2001). Defisiensi menyebabkan anemia. Pada penderita anemia, jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia. Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992). Bioavailabilitas Zat Besi Bioavailabilitas zat besi diartikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah untuk digunakan dalam proses metabolisme (Latunde & Neale 1986). Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorbsi zat besi dalam usus halus (duodenum) sehingga istilah bioavailabilitas zat besi dapat disamakan dengan absorbsinya dalam usus. Secara umum faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan).
105
Faktor eksogen yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan. Kandungan Zat Besi.
Weaver dan Heaney (2008) menyatakan bahwa
frkasi zat besi yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan asupannya. Efisiensi absorbsi zat besi memang berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Yeung & laquarta 2003). Bentuk Zat Besi. Bentuk zat besi yang terkandung dalam makanan juga menentukan ketersediaannya untuk diserap karena kelarutan zat besi dalam medium intralumenal saluran pencernaan merupakan prasyarat bagi absorbsi. Garam ferro sederhana lebih mudah diserap daripada garam kompleks dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan yang lebih tinggi karena memiliki kelarutan lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Sedangkan besi ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3,5 sehingga berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar daripada besi ferri (Rofles & Whitney 2008). Selain itu bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan gizi seseorang, kecukupan sekresi enzim-enzim pencernaan dan berbagai macam komponen bahan pangan. Untuk faktor yang terakhir ini dapat berupa faktor pendorong atau faktor penghambat absorpsi, juga kandungan zat besi dan bentuk kimianya. Faktor-faktor yang mendorong penyerapan zat besi di dalam tubuh yaitu asam (asam askorbat, asam sitrat, asam laktat dan tartarat), gula, protein, dan musin. Faktor penghambat penyerapan zat besi yaitu polifenol (tanin), asa oksalat, fitat, fosvitin dan zat gizi seperti kalsium, fosfat, seng, magnesium dan nikel. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa beberapa komponen makanan dapat menghambat penyerapan zat besi. Komponen tersebut membentuk kelat dengan besi yang tidak larut. Namun, hal tersebut kadang-kadang menunjukkan hasil yang berlainan, misalnya oksalat pertama kali dilaporkan berpotensi menghambat penyerapan besi, tetapi penelitian selanjutnya menunjukkan hasil
106
yang netral dalam hal penyerapan besi pada manusia dan efek positif pada tikus percobaan. Serat dan komponennya menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda pada
ketersediaan
biologis
zat
besi.
Apabila
hemiselulosa
dan
lignin
menghambat penyerapan besi pada manusia maka selulosa dan pektin menunjukkan pengaruh yang berlawanan. Bagaimanapun beberapa faktor dapat menyebabkan hasil penelitian menjadi tidak konsisten yaitu diantaranya penggunaan komponen yang berbeda, pengaruh pH dan ada tidaknya pengkelatan (Latunde & Neale 1986). Ada
beberapa
cara
yang
dapat
digunakan
untuk
mengukur
bioavailabilitas zat besi diantaranya dengan metode in vivo dan in vitro. Metode in vitro mengukur bioavailabilitas zat besi dengan menentukan jumlah zat besi dan makanan dengan asam lemak atau memisahkan besi ion dari makanan dengan pengikat logam. Metode ini didasarkan pada simulasi pencernaan makanan atau tes makanan dengan pepsin, asam hidroklorida dan enzim-enzim pencernaan yang diikuti pemisahan diasilat atau besi yang larut. Pengukuran ketersediaan biologis zat besi secara in vitro ini secara umum memberikan nilai yang sama dengan manusia, meskipun underestimate pada absorpsi komponenkomponen yang ketersediaan biologisnya rendah. Variasi yang besar pada ketersediaan biologis zat besi secara in vitro boleh jadi tidak sebesar variasi pada in vivo (Allen & Ahluwalia 1997). Menurut Muchtadi, Palupi dan Astawan (1992) metode in vitro memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan metode lainnya yaitu dapat dikerjakan dengan cepat, dapat mengurangi keragaman yang terjadi dalam penetuan secara in vivo misal: (keragaman yang disebabkan karena perbedaan status zat besi pada hewan percobaan yang digunakan). Selain itu, dapat dilakukan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian.
107
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011. Analisis kimia produk komersial susu ibu hamil dan bioavailabilitas kalsium dan zat besi dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia dan Pangan Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat jenis produk komersil susu ibu hamil . Sampel diberi kode sebagai sampel susu A, B, C dan D. Selain itu, bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah bahan untuk analisis kimia yang meliputi analisis kadar protein, total kalsium, total zat besi, bioavailabilitas kalsium dan bioavailabilitas zat besi. Bahan-bahan tersebut adalah air destilata, asam sulfat (H2SO4), asam nitrat, selenium mix, HCl, asam borat (H3BO3), kalium hidroksida (KOH), air bebas ion, enzim pepsin (Merck dari porsin), pankreatin (Sigma P-170), ekstrak empedu (Sigma B-8631), dan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3). Alat-alat lain yang digunakan adalah alat untuk analisis kimia yang meliputi kadar protein, total kalsium, total zat besi, bioavailabilitas zat besi dan bioavailabilitas kalsium. Alat-alat tersebut terdiri dari erlenmeyer, labu takar, magnetic stirrer, labu destilasi, labu Kjehdahl, buret, gelas piala, neraca analitik, pH meter, pipet mohr, pipet tetes, pipet volumetrik, tabung reaksi, aspirator (bulb), corong, spatula, botol semprot, plastik, gunting, karet gelang, kertas saring Whatman no.42, kantung dialisis (Spectrapor I, MWCO 6000-8000, dia: 32,8 mm, flat width: 50 mm, vol/length: 8 ml/cm), penangas air bergoyang, Spectrophotometre double beam Optima SP-300, dan AAS (Atomic Absorption Specthrophotometre) Hitachi 170-30. Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap sebagai berikut : 1. Survei produk komersial susu ibu hamil yang dijual di Hyper market Giant, Supermarket Giant, Indomaret dan Alfa Mart yang terdapat di Bogor. 2. Analisis kadar air, protein, serat pangan, fosfor, seng, total zat besi dan total kalsium pada keempat produk komersial susu ibu hamil. 3. Analisis bioavailabilitas in vitro kalsium dan zat besi pada keempat produk komersial susu ibu hamil.
108
Tahap 1. Survei Produk Komersial Susu Ibu Hamil Sampel dipilih berdasarkan hasil survei pasar yang dilakukan di beberapa tempat perbelanjaan. Tempat perbelanjaan yang dipilih yaitu Hypermarket Giant Botani Square dan Yasmin, Supermarket Giant Sindang Barang serta Alfamart, Alfamidi dan Indomaret yang terdapat di Dramaga Bogor. Tempat perbelanjaan yang dipilih didasarkan pada banyaknya pengunjung dan merek susu ibu hamil yang dijual. Survei pasar dilakukan untuk mendapatkan data mengenai merek produk komersial susu ibu hamil yang dijual serta data mengenai kandungan zat gizi yang tercantum di dalam nutrition fact masing-masing produk. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat jenis produk komersil susu ibu hamil yang dipilih secara purposive. Kriteria umum yang digunakan dalam pemilihan sampel yaitu secara komposisi keempat sampel susu uji mengandung kalsium dan zat besi yang tinggi. Secara khusus sampel dipilih dengan kriteria tertentu yaitu: 1) Produk komersial susu ibu hamil yang mencantumkan serat pangan, FOS dan GOS pada nutrition fact; 2) Produk komersial susu ibu hamil yang mencantumkan serat pangan dan FOS pada nutrition fact; 3) Produk komersial susu ibu hamil yang hanya mencantumkan serat pangan pada nutrition fact; 4) Produk komersial susu ibu hamil yang tidak mencantumkan serat pangan, FOS dan GOS pada nutrition fact. Tahap 2. Analisis kadar air, protein, fosfor, total zat besi dan total kalsium pada ketiga produk susu ibu hamil Produk komersial susu ibu hamil dianalisis sifat kimianya meliputi analisis kadar air, kadar abu, protein, fosfor, total kalsium, total zat besi, total seng dan serat pangan. Analisa Fosfor Metode Vanadat-Molibdat (Sulaeman et al. 1994) a. Persiapan pereaksi Vanadat-Molibdat Sebanyak 20 gram ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat kemudian didinginkan. Ditimbang 1,0 gram vanadat dilarutkan ke dalam 300 ml akuades mendidih. Setelah dingin, ditambahkan asam nitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat, diaduk lalu diencerkan hingga volume 1 liter. b. Persiapan larutan fosfat standar Sebanyak 3,834 gram potassium dihidrogen fosfat kering dilarutkan di dalam akuades dan diencerkan hingga volume 1 liter. Sebanyak 25 ml larutan
109
tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera ( 1 ml = 0,2 P2O5). c. Pembuatan kurva standar Larutan fosfat standar diambil sebanyak 0; 0,025; 0,050; 0,100; 0,125; 0,150; dan 0,200 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 100 ml. Masing-masing ditambah 25 ml pereaksi vanadat-molibdat kemudian ditera. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm. d. Penetapan sampel Sampel yang telah dipreparasi dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ditambahkan 25 pereaksi vanadat-molibdat pada masingmasing labu takar dan diencerkan sampai tanda tera. Setelah didiamkan sampel diukur panjang absorbannya pada panjang gelombang 400 nm. Konsentrasi fosfor dapat diketahui melalui kurva standar berdasarkan absorbans yang terbaca. Tahap 3. Analisis Bioavailabilitas in vitro kalsium Susu Ibu Hamil metode Dialisis (Roig et al. 1999) a. Bahan dan Alat Semua peralatan gelas dicuci, direndam dalam larutan HNO3 10% (v/v) selama 24 jam dan dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. Bahan dan alat meliputi : 1. HCl 37% 2. Suspensi Pepsin : Sebanyak 1,6 g pepsin didispersikan ke dalam 0,1 M HCl dan ditepatkan volumenya menjadi 10 ml. Suspensi ini dibuat sewaktu akan digunakan. 3. Campurkan pankreatin : Sebanyak 1 g pankreatin dan 6,25 g ekstrak empedu didispersikan dalam 0,1 M NaHCO3 dan ditepatkan volumenya menjadi 250 ml. Campuran ini dibuat sewaktu akan digunakan. 4. Kantung Dialisis : Kantung dialisis dipotong dengan panjang 20 cm dan kemudian direndam dalam air bebas ion sampai akan digunakan. 5. Botol-botol gelas : Botol-botol gelas dengan ukuran yang sesuai dan mencukupi, digunakan untuk tempat sampel dan kantung dialisis.
110
b. Persiapan sampel Susu ibu hamil disiapkan
Ditimbang setara 2 gram protein
Analisis ketersediaaan kalsium dan zat besi c. Prinsip analisis Kalsium dan zat besi sampel dihirolisis dari ikatannya dengan protein menggunakan enzim-enzim pencernaan yang terdapat di lambung dan usus halus. Kalsium dan zat besi bebas yang terdapat dalam larutan sampel akan berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam kantung dialisis yang berisi buffer NaHCO3. Kalsium dan zat besi dalam dialisat menunjukkan jumlah kalsium dan zat besi yang diserap tubuh.
111
d. Pencernaan in vitro kalsium dan zat besi pada susu ibu hamil (Gambar Sampel 1) Ditambahkan H20 bebas ion 100 ml pH diatur menjadi 2,0 dengan HCl 4N
Gelas piala ditimbang bersama sampel (A)
Ditimbang 20 g (T1)
Ditimbang 20 g (T2)
Ditambahkan suspensi Pepsin 1 ml
1,6 g pepsin dilarutkan dalam 10 ml HCl 0,1 N
0
0
Diinkubasi dalam shaker 37 C 120 mnt skala kec 5 Dimasukkan ke dalam freezer 0
Di-thawing dalam shaker 37 C
Kantung dialisis dimasukkan
Dipotong kantung ± 12 cm, direndam dlm air bebas ion lalu diikat salah satu ujungnya dan diisi dengan 20 ml larutan NaHCO3 hasil perhitungan
0
Di-thawing dalam shaker 37 C
Ditambahkan 5 ml pancreatin bile Dititrasi dgn KOH standar sampai pH 7
0
Pankreatin Bile 0 Diinkubasi 37 C 2 jam kec 5
Diinkubasi dalam shaker 37 C 120 mnt kec 5 Dimasukkan ke dalam freezer
Diinkubasi dalam shaker 37 C 30 menit skala kec 5 Ditambahkan 5 ml pancreatin bile
Ditambahkan suspensi Pepsin 1 ml
1 gr pankreatin (sigma p 170) + 6,23 ekstrak empedu (sigma B-8631) dilarutkan dalam 250 ml NaHCO3 0,1 N
Dihitung kebutuhan NaHCO3
Pankreatin Bile Kantung dialisis diangkat Pankreatin Bile Dicuci dengan air bebas ion Pankreatin Bile Ditimbang dialisatnya Gambar 1 Prosedur pencernaan kalsium dan zat besi secara in vitro dalam analisis ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium dan zat besi dengan metode dialisis (Roig et al. 1999)
112
e. Pengabuan basah untuk analisis kandungan kalsium dan zat besi pada dialisat dan Susu ibu hamil
Ditimbang ± 2 gr dialisat Pankreatin Bile Ditambahkan H2SO4 pekat 10 ml Ditambahkan 10 ml HNO3 pekat Pankreatin Bile Didiamkan semalam Pankreatin Bile Ditambahkan H2O bebas ion Dipanaskan sampai jernih
Diencerkan dalam labu 50 ml
Disaring dengan kertas saring whatman 42
Dibaca absorban dengan AAS pada λ = 422,7 dan 248.3 nm Gambar 2 Prosedur pengabuan basah dalam analisis total kalsium dan zat besi dalam dialisat maupun pada susu ibu hamil dengan metode AAS.
f. Perhitungan 1. Berat setara 2 gram protein = {(2/kadar protein sampel) x100}/5 2. Kadar Ca (mg/100g) = (tinggi puncak sampel x fp)- tinggi puncak blanko) -b/a) x (aliquot/1000)x (100/berat sampel) 3. Kadar Fe (mg/100g) = (tinggi puncak sampel x fp)- tinggi puncak blanko) -b/a) x (aliquot/1000)x (100/berat sampel) 4. Kebutuhan NaHCO3
5. Bioavailabilitas kalsium (%)
113
6. Bioavailabilitas zat besi (%) ket; fp = faktor pengenceran (1 dan 10) 7. Total Ca tersedia (mg/100g) = Ca sampel (mg/100 g) x (% Bioavailabilitas) 8. Total Fetersedia (mg/100g) = Fe sampel (mg/100 g) x (% Bioavailabilitas). Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dan 3 kali ulangan. Banyaknya ulangan ditentukan oleh kode produksi masing-masing produk susu yang diuji. Bentuk umum dari rancangan tersebut adalah: Yij=
+ Ai + Aij + ij
Keterangan: Yij
= nilai pengamatan bioavailabilitas kalsium atau zat besi ke-i dari produk komersial susu ibu hamil pada ulangan ke-j. = nilai rata-rata umum bioavailabilitas kalsium atau zat besi
Ai
= Jenis susu ibu hamil ke-i dengan bioavailabilitas kalsium atau zat besi
Aij
= interaksi antara pengaruh perlakuan Ai dan Aj
ij
= Kesalahan penelitian karena pengaruh bioavailabilitas ke-i produk susu ibu hamil dengan pengulangan ke-j
i
= Banyaknya produk susu ibu hamil (W, X, Y dan Z)
j
= banyaknya ulangan (k= 1,2,3) yang ditentukan oleh kode produksi masing-masing produk susu. Pengolahan dan Analisis Data Perhitungan kadar air, kadar abu, protein, fosfor, total kalsium, total zat
besi, total seng, serat pangan, bioavailabilitas kalsium, dan bioavailabilitas zat besi pada penelitian ini dilakukan secara manual menggunakan software Microsoft Excell for
Windows. Analisis data statistik dilakukan menggunakan
software SPSS versi 16 for Windows melalui uji ANOVA dan uji lanjut Duncan. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat perbedaan pada setiap sampel uji. Dilanjutkan dengan uji korelasi menggunakan uji Correlation Pearson Bivariat.
114
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Produk Komersial Susu Ibu Hamil Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 69/1999 tentang label dan iklan, yang dimaksud dengan label pangan adalah setiap keterangan pangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempel pada, atau merupakan bagian kemasan pangan (BPOM 2007). Label pangan berfungsi memberikan informasi kepada konsumen dan produsen mengenai produk pangannya. Penelitian ini digunakan empat (4) produk komersial susu ibu hamil. Berikut ini informasi produk susu komersial ibu hamil yang diuji (Tabel 6). Tabel 6 Informasi produk komersial susu ibu hamil yang diuji Keterangan produk dan klaim gizi pada label Zat gizi Berat Tinggi kalsium 875 mg/100 g Zat besi 12,5 mg/100 g 1 A Protein 25 g/100 g Vit B6 12,5 mg/100 g Asam folat 750 µg/100g Tinggi kalsium 1429 mg/100 g Zat besi 24,85 mg/100 g Rendah lemak 2,8 g/100 g 2 B Asam folat 350 µg/saji Kolin 50 mg/saji Vit E 6 mg/saji Omega 3 180 mg/100g Omega 6 1800 mg/100g Zat besi 25 mg/100 g 3 C Prebiotik FOS 5,4 mg/100g Asam folat 830 µg/100g Kolin 91 mg/100 g Klaim Tinggi kalsium 656 mg/100 g Klaim Tinggi zat besi 12 mg/100 g Klaim Tinggi asam 4 D 300 mcg/saji folat FOS 1,8 g/saji GOS 0,20 g/saji * SZ = Serving Size ** Pemilihan sampel secara purposive No
Sampel
Berat kemasan (g)
SZ*
Ket**
200
40
-
180
35
Serat
150
35
Serat FOS
200
50
Serat FOS GOS
Kandungan zat gizi produk komersial susu ibu hamil yang tercantum di dalam label adalah kandungan dalam basis basah. Basis basah merupakan informasi zat gizi dalam produk yang siap dikonsumsi. Cara menghitung kandungan zat gizi produk komersial susu ibu hamil per gelas siap saji (dalam
115
bentuk cair) digunakan pendekatan kandungan zat gizi dalam bubuk susu yang jumlahnya sesuai dengan saran penyajian untuk 1 gelas susu (takaran saji). Keterangan dan klaim gizi yang terdapat pada label sampel susu menjadi pertimbangan dalam memilih sampel. Sampel susu yang diuji menawarkan keunggulan berbeda dari segi gizinya. Sampel susu A, B dan D mencantumkan klaim tinggi kalsium pada labelnya. Sampel susu C dan D mencantumkan klaim tinggi zat besi. Menurut Widiyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) suatu produk makanan dapat dikatakan kaya akan suatu kandungan zat gizi apabila dalam setiap satuan zat gizi harus mengandung sekurang-kurangnya 20% Acuan Label Gizi (ALG). Menurut surat keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2007), Acuan Label Gizi terhadap kandungan kalsium dan zat besi untuk ibu hamil masing-masing sebesar 950 mg/100g dan 33 mg/100g. Berdasarkan ketentuan tersebut, kandungan kalsium dan zat besi minimal yang harus terkandung dalam produk susu dengan klaim tinggi kalsium dan zat besi masing-masing sebesar 190 mg dan 6,6 mg. Berdasarkan nutrition fact, kandungan kalsium dan zat besi sampel susu lebih dari 20% Acuan Label Gizi (Tabel 8). Oleh karena itu, sampel susu yang digunakan pada penelitian ini merupakan produk susu yang mengandung kalsium dan zat besi yang tinggi. Tabel 7 Kandungan Ca dan Fe produk komersial susu ibu hamil Sampel A B C D
Nutrition Fact (mg/100 g) Kalsium Zat besi 875 12,5 1429 24,85 900 25 656 12
20% ALG (mg/100) Kalsium Zat besi 190
6,6
Selain itu, pemilihan sampel secara khusus juga didasarkan pada kandungan serat pangan dan prebiotik (FOS dan GOS) yang dicantumkan pada nutrition fact. Berdasarkan nutrition fact, sampel susu A tidak mencantumkan kadar serat pangannya, sampel susu B mencantumkan kandungan serat pangan, sampel susu C mencantumkan kandungan serat pangan dan penambahan FOS, dan sampel susu D mencantumkan kandungan serat pangan, FOS dan GOS. Kriteria khusus yang membandingkan kandungan serat pangan pada penelitian ini didasarkan pada pengaruh serat pangan terhadap biovailabilitas mineral kalsium dan zat besi. Menurut Wardlaw (1999) asupan serat pangan dapat mengikat mineral. Berikatannya serat pangan dengan mineral dapat
116
menurunkan tingkat kelarutan mineral sehingga mungkin akan menurunkan bioavailabilitasnya. Akan tetapi menurut hasil penelitian yang dilakukan Miller (2001) menyatakan bahwa mengkonsumsi 5-15 g serat sehari tidak memberikan efek pada penyerapak mineral kalsium. Ditambahkan oleh Ink (1988) yang menyatakan serat tidak larut akan berpengaruh negatif terhadap penyerapan mineral kalsium jika berada pada rentang 20-25 g/hari, sedangkan serat larut hanya memberikan pengaruh yang kecil. Kriteria khusus yang juga digunakan yaitu membandingkan kandungan prebiotik FOS dan GOS yang tercantum dalam nutrition fact terhadap bioavailabilitas mineral. Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang mempunyai pengaruh baik terhadap host dengan memicu aktivitas, pertumbuhan yang selektif, atau keduanya terhadap satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon. Prebiotik pada umumnya adalah karbohidrat yang tidak dicerna dan tidak diserap (Cashman 2003). Menurut Huertas (2006) beberapa strategi yang dianjurkan untuk meningkatkan absorbsi kalsium yaitu melalui penambahan komposisi makanan dengan memasukkan fructo-oligosaccharides (FOS) dan caseinophosphopeptides (CPPs) yang bertujuan untuk meningkatkan absorbsi kalsium dari susu ataupun makanan lain. Sejalan dengan pernyataan Cashman (2003) yang menyebutkan salah satu pengaruh prebiotik seperti FOS dan GOS yaitu melawan bakteri patogen, perbaikan fungsi usus, anti kanker kolon dan memperbaiki bioavailabilitas kalsium. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemungkinan adanya pengaruh keberadaan serat pangan, FOS, GOS serta zat gizi lain (fosfor, seng) terhadap bioavailabilitas kalsium dan bioavailabilitas zat besi. Keragaan Kadar Air, Abu, Protein, Fosfor, Total Kalsium, Total Zat Besi, Total Zn dan Serat Pangan pada Produk Komersial Susu Ibu Hamil Kadar Air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Selain itu, kandungan air juga menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan bahan (Winarno 2008). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar zat gizi dalam basis basah dan kering. Hasil analisis kadar air dapat dilihat pada Tabel 8.
117
Tabel 8 Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk komersial susu ibu hamil
Ket:
No Sampel Kadar air (bb) * b 1 A 3,38±0,2 b 2 B 3,41±0,1 a 3 C 2,85±0,2 b 4 D 3,5±0,05 * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), dan n=3
Berdasarkan Tabel 8, kadar air sampel berkisar antara 2,85% sampai dengan 3,5% (bb). Nilai tersebut sudah sesuai dengan SNI 01-7148-2005 yang menyatakan bahwa syarat kadar air susu bubuk ibu hamil dan atau menyusui maksimal 4 g per 100 gram bahan atau setara dengan 4% basis basah. Kadar air pada sampel susu tergolong rendah. Menurut Deman (1997), penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi dapat dipengaruhi oleh kadar air. Beberapa kerusakan seperti pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan dan hidrolisis lemak disebabkan oleh kadar air yang tinggi. Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar airnya (p<0,05). Berdasarkan nutrition fact hanya sampel susu A dan B yang mencantumkan kadar air produknya. Kadar air sampel susu A dan B berturut-turut yaitu 1,2 g dan 1,4 g. Tingginya kadar air hasil analisis diduga karena lamanya penyimpanan sampel selama penelitian sehingga mempengaruhi kadar air sampel. Uji lanjut Duncan (Lampiran 10a) menunjukkan sampel susu C lebih rendah secara nyata dengan sampel susu yang lain. Kadar air terbesar terdapat pada sampel susu D dan terendah pada sampel susu C. Kadar air suatu bahan pangan perlu diketahui untuk menentukan total padatan dan juga persentase zat gizi secara keseluruhan. Apabila diketahui kadar airnya maka dapat diketahui berat kering dari bahan tersebut. Berat kering tersebut kemudian digunakan dalam menghitung kandungan gizi lainnya dalam basis kering. Kadar Abu Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik didestruksi (Sulaeman et al 1995). Hasil analisis kadar abu yang terdapat pada Tabel 8 menunjukkan kadar abu sampel susu berkisar antara 4,55% sampai dengan 7,51% (bb) atau antara 4,72% sampai dengan 7,78% (bk). Kadar abu tertinggi terdapat pada sampel susu B dan terendah pada sampel susu D. Badan Standarisasi Nasional (2005) dalam SNI 01-7148-2005 menetapkan kadar abu untuk susu bubuk maksimal 6%. Hal
118
ini menunjukkan kadar abu untuk sampel susu B belum memenuhi syarat SNI 01-7148-2005. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9) diketahui bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar abu (p<0,05). Pada Tabel 10 dapat dianalisis bahwa kadar abu tertinggi pada sampel susu B dan terendah pada sampel susu D. Uji lanjut Duncan (Lampiran 10b) menunjukkan sampel susu D lebih rendah secara nyata dengan yang lain. Demikian juga untuk sampe A, sedangkan sampel B dan C tidak berbeda nyata antar keduanya. Tabel 9 Hasil analisis rata-rata kadar abu (%) pada produk komersial susu ibu hamil Kadar Abu Basis Basah (%)* Basis Kering (%)* b A 5,35±0,3 5,55±0,3 c B 7,51±0,1 7,78±0.1 b C 5,00±0,15 5,15±0,2 a D 4,55±0,2 4,72±0,2 * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), dan n=3 Sampel
Ket:
Kadar Protein Protein merupakan bagian dari semua sel hidup yang terbentuk dari asam-asam amino dalam jumlah besar setelah air, yaitu seperlima bagian tubuh. Protein terdapat pada otot, tulang, kulit, dan jaringan lain serta cairan tubuh berupa enzim, hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan sebagainya. Protein berfungsi sebagai sumber energi, zat pembangun dan zat pengatur (Almatsier 2006). Pada penelitian ini, analisis kadar protein bertujuan untuk mendapatkan berat sampel setara 2 g protein yang akan digunakan untuk analisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi. Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui bahwa kadar rata-rata protein sampel susu hasil analisis berkisar antara 13,89% sampai dengan 19,60% (bb), sedangkan kadar protein berdasarkan nutrition fact (bb) berkisar antara 17,14% sampai 25%. Kadar protein dalam basis kering berkisar antara 16,13% sampai dengan 24,38%. Tabel 10 Hasil analisis rata-rata kadar protein (%) pada produk komersial susu ibu hamil Basis basah (%) Basis kering (%)* Hasil analisis Nutrition Fact Hasil analisis c A 19,60±0,07 25 24,38±0,07 a B 14,64±0,9 17,14 17,16±0,8 a C 13,89±1,0 17,14 16,13±1,0 b D 16,09±0,4 22 19,17±0,4 Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3 Sampel
119
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar protein susu tersebut (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10c), kadar protein sampel susu A lebih tinggi secara nyata dari ketiga produk susu lainnya. Sampel susu D juga menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar protein ketiga sampel susu, sedangkan untuk sampel susu B dan C tidak berbeda nyata antar keduanya. Standar mutu produk susu bubuk telah diatur dalam SNI 01-7148-2005 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). BSN melalui SNI mengatur kandungan zat gizi yang tercantum dalam kemasan produk susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu 18-23%. Kadar protein hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sampel susu A yang memenuhi syarat tersebut, sedangkan kadar protein untuk sampel susu yang lain masih berada di bawah kisaran 18-25%. Berdasarkan nutrition fact, hanya sampel susu A dan D yang memenuhi syarat SNI 01-7148-2005. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) suatu produk makanan dapat dikatakan tinggi dalam setiap satuan zat gizi harus mengandung zat gizi tersebut sekurang-kurangnya 20% Acuan Label Gizi (ALG). Menurut surat keputusan kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2007), Acuan Label Gizi terhadap kandungan protein untuk ibu hamil sebesar 81 gram. Berdasarkan ketentuan di atas, kadar protein minimal yang terkandung dalam produk susu ibu hamil dengan klaim tinggi protein adalah sebesar 16,2 gram per 100 gram produk atau setara 16,2%. Kadar protein sampel susu yang terdapat di nutrition fact dan hasil analisis basis kering sudah memenuhi ketentuan tersebut. Kadar protein produk susu per saji (1 gelas) dapat dilihat pada gambar 3. Ukuran per saji (1 gelas) kadar protein tertinggi terdapat pada susu D (11 gram) dan terendah pada susu B dan C (6 gram). Kadar protein hasil analisis cenderung lebih rendah daripada kadar protein yang tertera pada nutrition fact, dengan kisaran 4,85 – 8,04 gram.
120
Rata-rata Kandungan Protein per Saji analisis (g/gls) 7,84
nutrition fact (g/gls)
10
A
5,12
B
6
4,85
6
C
8,04
11
D
Gambar 3 Rata-rata kandungan protein produk komersial susu ibu hamil per saji (g/gelas)
Protein yang terkandung dalam susu menjadi sangat penting karena berikatan dengan kalsium. Kandungan protein dalam susu diduga dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium dari susu tersebut. Menurut Buckle et al (1987) protein susu terbagi menjadi 2 kelompok yaitu: (a) kasein, yang dapat diendapkan oleh asam atau enzin renin; dan (b) whey, yang dapat mengalami denaturasi oleh panas pada suhu kira-kira 650C. Kasein adalah protein utama susu yang jumlahnya mencapai kira-kira 80% dari total protein dan terdapat dalam bentuk kalsium kaseinat (Rahman et al. 1992). Kadar Fosfor Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah kalsium. Fosfor dalam tubuh mempunyai peran struktural dan fungsional. Secara struktural sebagian besar (85%) fosfor bersama-sama kalsium berada dalam tulang rangka dan gigi (Soekatri & Kartono 2004), sedangkan secara fungsional fosfor berperan untuk: (1) mengatur pelepasan energi selama pembakaran atau oksidasi hidrat arang, lemak, dan protein (2) fosforilasi monosakarida dan lemak untuk memfasilitasi jalan ke sel membran, (3) penyerapan dan transportasi zat gizi, (4) mengatur keseimbangan asam basa, dan (5) merupakan bagian DNA dan RNA (Linder 2006). Hasil analisis pada
Tabel 12 menunjukkan bahwa kadar fosfor pada
sampel berkisar antara 130,93 mg/100g sampai dengan 237,79 mg/100g (bb) atau 132,25 sampai dengan 150,92 mg/100 g (bk). Kadar fosfor berdasarkan nutrition fact (bb) berkisar antara 240 mg/100 g sampai dengan 400 mg/100 g. Terdapat perbedaan nilai untuk kadar fosfor hasil analisis dengan nutrition fact. Hal ini diduga karena perbedaan metode analisis yang digunakan.
121
Tabel 11 Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk komersial susu ibu hamil Total Fosfor (mg/100 g) Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)* c A 171,94±8,7 240 174,03±8,9 d B 237,79±2,4 288 240,68±2,3 a C 130,93±7,4 400 132,25±7,5 b D 149,06±2,9 260 150,92±3,0 Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n = 3 Sampel
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9) diketahui bahwa produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar fosfornya (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10d) menunjukkan kadar fosfor masing-masing sampel susu berbeda nyata. Sampel susu B lebih tinggi secara nyata daripada sampel susu lain (p<0,05). Fosfor bersama dengan kalsium merupakan mineral penting yang biasanya dipertimbangkan kombinasinya dalam fungsinya untuk pembentukan tulang, dan penyerapan kalsium yang optimal. Rasio optimal fosfor:kalsium adalah 1:1 sampai 1:2 (Berdanier 1998). Akan tetapi rasio fosfor dan kalsium pada hasil penelitian ini tidak memenuhi rasio optimal. Rasio fosfor:kalsium pada hasil penelitian ini adalah 1,18:4,8 sampai dengan 1,71:7,03. Fosfor tidak selalu ditemukan dalam bentuk bebas di alam. Fosfor yang dikonsumsi biasanya ditemukan dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk organik, fosfor berikatan dengan beberapa senyawa seperti protein, gula dan lemak. Berdasarkan label pangan, saran penyajian sehari untuk sampel susu A, B dan C yaitu sebanyak 2 gelas sehari. Konsumsi sesuai saran penyajian mampu memenuhi fosfor sebesar 80%, 96% dan 133% AKG. Saran penyajian untuk sampel susu D yaitu sebanyak 3 gelas sehari memenuhi 130% AKG fosfor selama sehari. Mengkonsumsi susu C dan D sesuai saran penyajian sudah mampu memenuhi kebutuhan fosfor ibu hamil untuk sehari. Kadar Kalsium Kalsium terkandung dalam tubuh kita dalam jumlah lebih banyak dari mineral lainnya. Diperkirakan 1,5% sampai 2% berat badan orang dewasa dan 39% dari total mineral tubuh. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam darah dan cairan ekstraseluler (Gropper et al. 2005).
122
Kadar kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Tabel 12 menyajikan hasil analisis total kalsium sampel susu. Tabel 12 Hasil analisis rata-rata kadar kalsium (mg/100g) pada sampel susu komersial Total kalsium (mg/100 g) Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)* a A 703,61±103.2 875 712,18±103,2 b B 975,88±99,4 1429 987,75±99,4 a C 572,00±69.8 900 577,76±69,8 a D 538,11±61,6 656 544,82±61,6 Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3 Sampel
Berdasarkan Tabel 12, kadar kalsium sampel susu berkisar antara 538,11 mg/100 g sampai dengan 975,88 mg/100g (bb) atau 544,82 mg/100 g sampai dengan 987,75 mg/100 g (bk). Kadar kalsium pada nutrition fact berkisar antara 656 mg/100 g sampai dengan 1429 mg/100 g. Terdapat perbedaan kadar kalsium hasil analisis dengan nutrition fact sampel susu. Menurut ketetapan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 017148-2005 salah satu kandungan mineral yang wajib tercantum dalam produk komersial susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu kalsium dengan kadar 200-800 mg/100 g. Kadar kalsium hasil analisis untuk sampel susu A, C dan D berada pada rentang 200-800 mg/100 g, sedangkan untuk sampel susu B, kadar kalsiumnya sebesar 975,88 mg/100 g. Berdasarkan nutrition fact menunjukkan kadar kalsium sampel susu A, B dan C lebih tinggi dari batas maksimal ketetapan SNI 01-7148-2005 yaitu 800 g/100 g. Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10e) diketahui kadar kalsium sampel A, C dan D tidak berbeda nyata, sedangkan sampel B berbeda nyata dengan sampel yang lain. kadar kalsium terbanyak terdapat pada sampel susu B dan terendah pada sampel susu D. Adanya variasi kadar kalsium pada masing-masing sampel uji diduga karena jumlah penambahan kalsium yang berbeda oleh masing-masing produsen. Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Berdasarkan komposisinya, hanya sampel susu A dan B yang mencantumkan jenis kalsium yang digunakan yaitu kalsium kaseinat.
123
Pertimbangan kadar kalsium pada masing-masing produk dihitung berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) kalsium sehari untuk ibu hamil. Pemenuhan AKG kalsium dari masing-masing produk ditentukan oleh takaran saji dan saran penyajian sehari. Saran penyajian yang tercantum pada label pangan untuk sampel susu A, B dan C sebanyak 2 gelas sehari. Konsumsi susu sesusai saran penyajian secara berturut-turut mampu memenuhi 70%, 120% dan 70% AKG kalsium ibu hamil selama sehari. Saran penyajian sampel susu D, sebanyak 3 gelas sehari. Konsumsi susu sesuai saran penyajian sudah mampu memenuhi 105% AKG kalsium ibu hamil selama sehari. Kadar kalsium sampel uji lebih tinggi dibandingkan dengan kadar kalsium pada ikan salmon yaitu sebesar 182,42 mg/100 g (Mahan & Stump 2008). Kadar kalsium yang terdapat pada susu bubuk penuh dalam 100 gram yaitu sebesar 119 mg (Berdanier 1998) lebih rendah dibandingkan kadar kalsium hasil analisis dan nutrition fact pada penelitian ini. Keju sebanyak 100 gram mengandung sekitar 719,60 mg (Mahan & Stump 2008). Kandungan kalsium pada sampel uji untuk hasil analisis sudah mendekati kadar kalsium pada keju untuk sampel susu A dan B. Berdasarkan nutrition fact, kadar kalsium sampel susu A, B dan C lebih tinggi dibandingkan kadar kalsium pada keju. Kadar kalsium sampel susu yang terdapat di nutrition fact dan hasil analisis sudah memenuhi ketentuan WNPG (2004) dan BPOM (2007), sehingga produk susu yang diuji merupakan produk susu tinggi kalsium (190 mg). Kadar Zat Besi Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom, enzim katalase dan peroksidase. Zat besi termasuk salah satu mikromineral karena dibutuhkan kurang dari 0,01% berat badan total (Gropper et al. 2005). Meskipun demikian prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil mencapai 44,3% di Indonesia (WHO 2008). Kadar zat besi menunjukkan jumlah zat besi yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kadar zat besi pada penelitian ini adalah analisis kadar zat besi metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Tabel 13 menyajikan hasil analisis kadar zat besi sampel susu.
124
Tabel 13 Hasil analisis rata-rata kadar zat besi (mg/100g) pada sampel susu komersial Total Fe (mg/100 g) Basis kering (%) Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)* a A 10,21±0,8 12,5 10,34±0,8 b B 15,33±4,0 24,857 15,52±4,0 b C 17,04±2,2 25 17,21±2,2 a D 9,08±0,8 12 9,81±0,8 Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3 Sampel
Berdasarkan Tabel 13, kadar zat besi sampel susu berkisar antara 9,08 mg/100 g sampai dengan 17,04 mg/100g (bb) atau 9,81 mg/100 g sampai dengan 17,21 mg/100 g (bk). Kadar zat besi pada nutrition fact berkisar antara 12 mg/100 g sampai dengan 25 mg/100 g. Terdapat perbedaan kadar zat besi hasil analisis dengan nutrition fact sampel susu. Menurut ketetapan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-7148-2005 salah satu kandungan mineral yang wajib tercantum dalam produk komersial susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu zat besi dengan kadar minimal 10 mg/100 g. Kadar zat besi hasil analisis dan nutrition fact sudah sesuai dengan ketetapan SNI 01-7148-2005. Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar zat besi (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10f) diketahui kadar zat besi sampel A dan D tidak berbeda nyata antar keduanya. Demikian juga dengan sampel B dan C. Kadar zat besi tertinggi terdapat pada sampel susu C dan terendah pada sampel susu A. Sampel susu C merupakan produk susu yang mencantumkan klaim tinggi zat besi
pada
labelnya. Kontribusi zat besi berdasarkan saran penyajian 2 gelas sehari untuk sampel susu A, B dan C secara berturut-turut yaitu 30%, 60% dan 50% AKG. Saran penyajian untuk sampel susu D sebanyak 3 gelas sehari mampu memenuhi 60% AKG. Jumlah zat besi yang dikonsumsi berdasarkan saran penyajian pada sampel susu B, C dan D sudah memenuhi setengah dari kebutuhan zat besi untuk ibu hamil selama sehari ( 35 mg/hari). Kadar zat besi sampel susu uji lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar zat besi pada pangan lain seperti susu coklat (0,24 mg/100 g), telur utuh mentah (1,84 mg/100 g), daging ayam masak (1,43 mg/100 g) dan ikan salmon kaleng (0,84 mg/100 g) (USDA 2008). Menurut surat keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2007) dan Widiyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) kadar zat besi minimal yang terkandung dalam produk susu ibu hamil dengan klaim tinggi zat
125
besi sebesar 6,6 mg. Kadar zat besi sampel susu yang terdapat di nutrition fact dan hasil analisis sudah memenuhi ketentuan tersebut. Produk susu yang diuji merupakan produk susu tinggi zat besi. Kadar Seng (Zn) Seng (Zn) memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Seng berperan pada kegiatan lebih dari 200 enzim serta dalam berbagai aspek metabolisme seperti reaksi yang berikatan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat (Almatsier 2006). Tubuh manusia mengandung 1,5 sampai dengan 2,5 gram seng. Seng ditemukan pada semua organ, jaringan dan cairan tubuh. Seng adalah salah satu mineral yang tersedia dalam beberapa valensi yang berbeda tetapi hampir semuanya ditemukan sebagai ion divalen (Zn2+) (Gropper et al. 2005). Kadar seng menunjukkan jumlah seng yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kadar seng pada penelitian ini adalah analisis kadar seng metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Tabel 14 menyajikan hasil analisis kadar seng sampel susu. Tabel 14 Hasil analisis rata-rata kadar seng (mg/100g) pada sampel susu komersial Total Zn (mg/100 g) Hasil analisis (bb) Nutrition Fact (bb) Hasil analisis (bk)* a A 4,39±0,1 6,25 4,44±0.1 c B 6,55±0,1 9,142 6,63±0.1 d C 10,92±0,2 13,5 11,03±0.2 b D 5,12±0,3 7 5,18±0.3 Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3 Sampel
Berdasarkan Tabel 14, kadar seng pada sampel susu berkisar antara 4,39 mg/100 g sampai dengan 10,92 mg/100g (bb) atau 4,44 mg/100 g sampai dengan 11,03 mg/100 g (bk). Kadar seng pada nutrition fact berkisar antara 6,25 mg/100 g sampai dengan 13,5 mg/100 g. Kadar seng hasil analisis lebih kecil jika dibandingkan dengan kadar seng yang terdapat pada nutrition fact. Berdasarkan hasil analisis dan nutrition fact kadar seng terbesar terdapat pada sampel susu C sedangkan kadar seng terkecil terdapat pada sampel susu A. Menurut ketetapan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 017148-2005 salah satu kandungan mineral yang wajib tercantum dalam produk komersial susu ibu hamil dan atau menyusui yaitu seng dengan kadar minimal 5
126
mg/100 g. Kadar seng hasil analisis dan nutrition fact sudah sesuai dengan ketetapan SNI 01-7148-2005. Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan produk susu berpengaruh nyata terhadap kadar seng (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10g) diketahui kadar seng semua sampel susu berbeda nyata terhadap sampel yang lain. Perbedaan kadar seng tiap sampel susu uji diduga adanya fortifikasi kadar seng yang berbeda masing-masing sampel susu. Berdasarkan label pangan, saran penyajian sehari untuk sampel susu A, B dan C yaitu sebanyak 2 gelas sehari. Konsumsi susu sesuai saran penyajian untuk sampel susu A, B dan C mampu memenuhi kebutuhan seng secara berturut-turut yaitu 30%, 50% dan 70% AKG. Saran penyajian untuk sampel susu D yaitu sebanyak 3 gelas sehari sehingga mampu memenuhi 75% AKG zat besi. Mengkonsumsi susu B, C dan D sesuai saran penyajian sudah mampu memenuhi 50% kebutuhan seng ibu hamil untuk sehari. Kadar Serat Pangan Menurut Muchtadi (2010) serat pangan (dietary fiber) adalah salah satu bagian dari makanan yang tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Serat pangan didefinisikan sebagai sisa-sisa skeletal selsel tanaman yang tahan terhadap hidrolisa oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Serat pangan sering juga disebut sebagai ‖unavailable carbohydrate‖ sedangkan yang tergolong sebagai ‖available carbohydrate‖ adalah gula, pati dan dekstrin. Serat pangan sebagian besar terdiri dari pektin, selulosa dan hemiselulosa serta lignin. Kadar serat pangan yang dianalisis meliputi serat tidak larut, serat larut dan total serat pangan yang dianalisis menggunakan metode enzimatis. Hasil analisis total serat pangan basis kering pada produk komersial susu ibu hamil berkisar antara 2,14%-6,55%, kadar serat tidak larut berkisar antara 0,77%2,72% dan kadar serat larut berkisar antara 1,37%-4,59%. Terdapat perbedaan kadar serat total hasil analisis dengan nutrition fact dari setiap sampel susu. Menurut Puspita (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi analisis serat pangan. Faktor pertama adalah perbedaan metode analisis serat yang digunakan. Analisis yang digunakan untuk penentuan kadar serat pangan di dalam label diduga menggunakan metode serat kasar. Berbeda dengan metode enzimatis yang dapat mengukur kadar serat pangan larut dan tidak larut. Metode serat kasar hanya dapat menganalisis serat pangan tak larut
127
saja sehingga jumlah yang tertera pada label lebih kecil. Faktor lainnya adalah kelemahan dari analisis serat pangan metode enzimatis dimana perhitungan serat pangan baik larut maupun tidak larut hanya berdasarkan berat kertas saring (gravimetri). Hal ini menyebabkan bahan yang bukan termasuk ke dalam serat pangan yang ikut tersaring di dalam kertas saring akan terhitung sebagai serat pangan. Faktor ketiga adalah jenis serat pangan yang berbeda. Jumlah serat pangan yang tertera pada label mungkin merupakan jumlah serat pangan tertentu yang sengaja ditambahkan (fortifikasi) pada produk seperti oligofruktosa dan inulin sehingga jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan hasil analisis. Tabel 15 Hasil analisis rata-rata serat pangan (%) pada produk komersial susu ibu hamil Sampel
A B C D Ket
Serat tidak larut (bk)*
Serat larut (bk)*
Total serat (bk)*
Serat Makanan /100 g (Nutrition Fact) Serat FOS GOS a a a 0,77 1,37 2,14 b b b 1,61 3,53 5,14 5,7 c a b 2,73 3,09 5,82 5,7 5,4 bc b b 1,97 4,59 6,55 4 3,6 0,4 : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), n=3 ** (-) : tidak tercantum
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9) diketahui bahwa jenis susu berpengaruh nyata terhadap kadar total serat, serat larut dan serat tidak larut (p<0,05). Uji lanjut Duncan (Lampiran 10h) menunjukkan serat tidak larut sampel susu berbeda nyata terhadap sampel susu yang lain. Serat tidak larut menunjukkan pola yang berbeda yaitu sampel susu A dan C berbeda nyata dengan sampel susu B dan D. Akan tetapi kedua sampel tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain. Total serat pangan pada sampel A berbeda nyata dengan sampel susu yang lain sedangkan untuk ketiga sampel yang lain tidak berbeda nyata satu sama lain. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa total serat, serat larut dan tidak larut paling tinggi yaitu pada sampel susu D. Sampel susu D merupakan susu yang difortifikasi dengan FOS dan GOS. Kandungan serat paling rendah yaitu sampel susu A. Berdasarkan nutrition fact sampel susu A tidak mencantumkan kandungan seratnya.
128
Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi serta Total Kalsium Tersedia dan Total Zat Besi Tersedia pada Produk Komersial Susu Ibu Hamil Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium Kalsium dalam suatu bahan pangan tidak semua dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Berdanier (1998) mendefinisikan bioavailabilitas sebagai persentase mineral konsumsi yang dapat diabsorbsi oleh sel enterocyte di saluran pencernaan dan digunakan sesuai dengan fungsinya. Penelitian ini menggunakan metode in vitro dalam menentukan bioavailabilitas produk susu yang uji. Bioavailabilitas kalsium dianalisis dengan menggunakan metode in vitro yang merupakan simulasi dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal (Roig et al. 1999). Rajagukguk (2004) menyatakan pengujian bioavailabilitas secara in vitro hanya menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap dan tidak sampai tahap utility (penggunaan) karena metode ini merupakan simulasi dari keadaan sistem pencernaan di lambung dan usus halus saja, tidak sampai peredaran darah. Pengujian ini dilakukan melalui teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Bisswanger (2008) menjelaskan bahwa prinsip teknik dialisis yaitu memisahkan makromolekul terlarut dari larutan terluarnya melalui membran semipermeabel yang memungkinkan terjadinya difusi senyawa yang memiliki berat molekul yang rendah, tetapi bukan makromolekulnya. Sementara itu, kantung dialisis dimana proses dialisis berlangsung disimulasikan sebagai usus halus.
Kantung(a) dialisis
(a)
(b)
Gambar 4 Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisis kantung dialisis dalam larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis dalam suspensi sampel (b)
129
Pengaturan pH sampel menjadi 2 bertujuan agar kalsium dapat larut dan terbebas dari ikatan garamnya. Gropper et al. (2005) menyatakan bahwa kalsium dalam pangan dan suplemen berada dalam bentuk garam yang relatif tidak larut, sedangkan kalsium hanya diabsorpsi dalam bentuk terionisasi (Ca2+) sehingga agar dapat diserap kalsium harus dilepaskan dari bentuk garamnya. Kalsium dalam lambung dapat larut dari berbagai garam kalsium sekitar satu jam pada kondisi pH asam. Hasil penelitian Kaya et al. (2007) memperlihatkan bahwa solubilitas (kelarutan) kalsium biskuit terbaik dihasilkan pada pH 2. Kalsium bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk terlarut (soluble) (Miller 1996). Selain itu, pada pH tersebut sejumlah enzim-enzim pencernaan dapat aktif. Di samping pada pH 2, berdasarkan deskripsi produk, pepsin aktif pada suhu 370C. Hal ini sejalan dengan Bisswanger (2008) yang menyatakan bahwa sebagian besar enzim aktif pada suhu fisiologis (37oC). Kondisi selama inkubasi (Gambar
5)
merupakan
simulasi
dari
kondisi
tubuh
saat
pencernaan
gastrointestinal terjadi (Puspita 2003). Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian pada produk
crackers menunjukkan bahwa penambahan enzim
pepsin dan pancreatin bile berperan dalam pemecahan protein sehingga kalsium dapat lepas dari bentuk ikatan kalsium-protein (Roig et al. 1999). Menurut Linder (2006), pemecahan protein dimulai dari lambung (denaturasi dengan HCl dan proteolitis dari pepsin). Pencernaan yang lebih banyak selanjutnya terjadi di bagian usus halus, dibantu oleh berbagai ekso dan endopeptidase dalam pankreas dan cairan intestinal. Hasil penelitian Macus dan Lengemann (1962) menyatakan persentasi absorbsi kalsium pada setiap segmennya yaitu usus besar 0%, duodenum 15%, jejenum 23% dan ileum 62%. Enzim pankreatin bile yang digunakan memberikan aksi yang optimal pada pH 5 (Kamchan 2003).
Gambar 5 Inkubasi sampel untuk penentuan bioavailabilitas kalsium dan zat besi in vitro dalam penangas air bergoyang (shaker water bath)
130
Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium susu berkisar antara 36,64% sampai dengan 41,05%. Bioavailabilitas tertinggi terdapat pada sampel susu A dan terendah terdapat pada sampel susu B. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 10), tidak ada pengaruh nyata antara produk susu dengan bioavailabilitas kalsium (p>0,05).
Bioavailabilitas Kalsium Bio Ca (%) 41,05
A
40,95 36,64
37,31
B
C
D
Gambar 6 Bioavailabilitas kalsium produk komersial susu ibu hamil
Kamchan (2003) mengelompokan bioavailabilitas kalsium menjadi tiga yaitu tinggi (≥20%), sedang (10% – 19%), dan rendah (≤10%). Berdasarkan pengelompokkan tersebut, bioavailabilitas kalsium keempat sampel susu berada pada kategori tinggi. Tingginya bioavailabilitas kalsium pada penelitian ini sejalan dengan pernyataan Rofles & Whitney (2008) yaitu ketersediaan kalsium pada susu memang relatif tinggi dibandingkan jenis pangan lainnya. Lebih lanjut Wardlaw (1999) menyatakan produk susu menyediakan kalsium yang tinggi penyerapannya dan memenuhi hampir setengah dari kebutuhan kalsium orang dewasa. Berdanier (1998) menambahkan susu dan produk susu merupakan sumber kalsium yang penyerapannya juga sangat baik. Hasil penelitian Rajagukguk (2004) membuktikan, penambahan susu pada saat mengkonsumsi sereal sarapan dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium. Faktor lain, diduga karena kandungan laktosa dalam susu. Menurut Allen (1982) interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Selain itu, menurut Wardlaw (1999) salah satu alasannya karena jenis protein yang terkandung di dalam susu. Damodaran (1996) menyebutkan bahwa protein memiliki berat molekul berkisar antara 20.000 sampai 100.000 dalton. Protein utama di dalam susu merupakan protein yang berat molekulnya relatif kecil (23.000 Da) memiliki banyak residu serin
131
terforforilasi. Residu ini bermuatan negatif sehingga memungkinkan protein untuk mengikat ion kalsium. Bioavailabilitas kalsium sampel susu yang diuji pada penelitian ini cukup berbeda dengan bioavailabilitas bahan pangan lain seperti cookies pati garut dengan penambahan torbangun pada berbagai minuman yang berkisar antara 0,76 – 11,46% (Muflihah 2011). Demikian juga dengan bioavailabilitas kalsium sayuran hijau dan hasil olahannya yang berkisar antara 0,69% sampai dengan 8,76% (Safitri 2003). Bioavailabilitas kalsium pada beberapa produk komersial susu ibu hamil ini lebih tinggi (36,64% - 41,05%). Hal ini sejalan dengan pernyataan Heaney (1988) yang menyatakan bioavailabilitas kalsium lebih tinggi pada susu dan olahan susu daripada pangan lainnya. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Roig et al. (1999) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium pada susu sapi sebesar 20%±0,9. Penelitian Heavey et al. (1988) dalam Heaney dan Weaver (1999) menunjukkan penyerapan kalsium pada susu sapi sebesar 27%. Demikian juga dengan hasil analisis bioavailabilitas susu bubuk komersial tinggi kalsium yang memiliki bioavailabilitas antara 6,40% - 9,60% (Puspita 2003) dan produk sereal sarapan yang memiliki bioavailabilitas antara 2,69% - 33,46% (Rajagukguk 2004). Dibandingkan dengan penelitian ini, hasil bioavailabilitas kalsium pada produk komersial susu ibu hamil (36,64% - 41,05%) masih tinggi dari literatur. Sebaliknya, secara umum bioavailabilitas kalsium pada beberapa produk komersial susu ibu hamil lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan
oleh
Weaver
&
Heaney
(2002)
menunjukkan
bahwa
bioavailabilitas kalsium susu sapi yang dikonsumsi oleh wanita kaukasia sebesar 54,8% dari 250 mg kalsium. Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa bioavailabilitas kalsium susu sapi sebesar 53% dan bioavailabilitas kalsium susu yang diuji pada mahasiswa Universitas Purdue sebesar 44% dari 250 mg kalsium. Menurut Latunde dan Neale (1986) hasil bioavailabilitas mineral yang bervariasi pada suatu jenis pangan juga dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi pengolahan serta metode dan parameter yang digunakan yang mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilias Kalsium Bioavailabilitas kalsium dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik sebagai faktor pendorong maupun penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu
132
faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al. (2005) menambahkan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Weaver & Heaney (2008) menjelaskan absorbsi kalsium dapat terjadi melalui dua jalur, (a) transelular; melalui transfer aktif yang melibatkan protein pengikat kalsium, calbindin D9k dan (b) paraselular; melalui difusi pasif kalsium. kedua jalur tersebut melibatkan protein dengan mekanisme berbeda. Calcitriol mempengaruhi penyerapan kalsium dengan stimulasi protein pengikat kalsium (calbindin) ( Gropper at al. 2005). Satu molekul calbindin mengikat dua atau lebih ion kalsium. Kemudian penyerapan kalsium terjadi melalui tiga langkah, yaitu melalui membran brush border, pergerakan intraseluler, dan ekstrusi melalui membran basolateral. (Gropper et al. 2005). Sementara itu, pada difusi pasif, konsentrasi makromolekul seperti protein berperan dalam
menimbulkan
perbedaan tekanan osmotik di kompartemen luar sehingga ion kalsium dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Bisswanger 2008). Winarno (2008) menyebutkan bahwa berat molekul protein sangat besar sehingga bila dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal. Weaver dan Heaney (2008) menyatakan bahwa fraksi kalsium yang diserap umumnya bervariasi dan ratarata akan berkebalikan dengan intiknya.
Lebih lanjut Trilaksani et al. (2006)
menambahkan nilai penyerapan kalsium akan meningkat sejalan dengan penurunan level kalsium yang dalam hal ini dianggap sama dengan asupan kalsium. Peran positif protein pada kedua jalur penyerapan kalsium dapat menunjukkan bahwa peningkatan protein memberikan pengaruh yang baik bagi penyerapan kalsium dalam tubuh. Namun, di sisi lain intik protein yang berlebihan juga tidak dianjurkan karena hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Brody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Allen (1982) menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena reabsorpsi kalsium di ginjal menurun karena peningkatan glomerolus filtration rate (GFR). Akan tetapi intake protein tidak mempengaruhi absorbsi kalsium dalam rentang konsumsi kalsium harian. Lebih lanjut Fairweather dan Teucher (2002) menyatakan hubungan negatif antara
133
protein dan penyerapan kalsium hanya signifikan jika asupan kalsium rendah dan adanya pengaruh dari zat lain seperti kalium dan fosfor. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti seng dan besi dapat mempengaruhi absorbsi kalsium ketika mineral tersebut berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena mineral tersebut akan saling berkompetisi untuk diserap di usus. Etcheverry et al. (2004) menjelaskan bahwa afinitas mineral-mineral tersebut untuk membentuk kompleks mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan afinitas mineral dengan reseptor pada sel usus. Hal ini menyebabkan kegagalan transfer kalsium ke dalam sel serta kegagalan aksi enzim proteolitis untuk melepaskan kalsium menjadi ion bebas. Meskipun demikian korelasi kandungan besi dan seng pada susu komersial memiliki korelasi yang lemah terhadap bioavailabilitas kalsium. Kalsium dan fosfor mempunya hubungan yang erat dalam proses absorbsi kalsium. Menurut Berdanier (1998) rasio kalsium dan fosfor antara 1:1 dan 1:2 untuk utilisasi terbaik untuk kalsium. Secara teori kandungan fosfor berkorelasi negatif dengan bioavailabilitas kalsium karena kedua mineral tersebut berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus (Purwawinangsih 2011). Pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1) secara langsung mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet yaitu pembentukan komplek kalsium fosfat yang relatif tak larut, dan 2) secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. (1976) menunjukan bahwa defisiensi fosfor meningkatkan produksi 1,25(OH)2-vit D3 yang kemudian akan meningkatkan absorpsi kalsium begitu pula sebaliknya (Allen 1982). Akan tetapi menurut Mellander (1950) dalam Roig et al. (1999) kasein yang terdapat dalam susu mempunyai pengaruh yang baik dalam penyerapan kalsium yaitu dapat menghambat presipitasi kalsium oleh fosfat dalam lumen interstinal melalui kerja fosfopeptida yang berasal dari hidrolisis enzimatik kasein yang menjaga kalsium tetap dalam keadaan terlarut dan dapat diserap. Asupan serat pangan dalam jumlah banyak dapat mengikat kalsium (Wardlaw 1999). Berikatannya serat pangan dengan mineral ini menurunkan tingkat
kelarutan
mineral
sehingga
mungkin
akan
menurunkan
bioavailabilitasnya. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh
134
nyata terhadap kadar serat hasil uji ataupun perbedaan kadar FOS dan GOS yang tercantum pada label. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rajagukguk (2004) yang menyatakan serat pangan (tidak larut, larut dan total) di dalam susu tidak berpengaruh nyata terhadap bioavailabilitas kalsium. Lebih lanjut Miller (2001) menyatakan bahwa mengkonsumsi 5 sampai 15 g serat sehari tidak memberikan efek pada penyerapan kalsium. Ditambahkan oleh Ink (1988) yaitu konsumsi serat panga sebanyak 20-25 g/hari tidak mempengaruhi keseimbangan kalsium. Sumber serat pangan yang sebagian besar terdiri dari serat larut hanya memberikan pengaruh yang kecil pada keseimbangan kalsium dalam tubuh. Serat
tidak
larut
memberikan
efek
negatif
yang
signifikan
terhadap
keseimbangan kalsium jika berapa pada rentang 20-25 g/hari. Akan tetapi serat larut hanya memberikan pengaruh yang kecil. Cashman
(2002)
menyatakan
oligosakarida
dapat
memperbaiki
penyerapan kalsium pada remaja dan dewasa. Coudrat et al (1997) dalam Cashman (2002) menyatakan bahwa penyerapan kalsium pada 9 orang wanita sehat yang diberikan diet disuplementasi dengan 40 gram inulin selama 26 hari meningkat secara signifikan dari 21,3% menjadi 33,7%. Akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Huertas (2006) yang menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan antara susu kontrol dan susu dengan fortifikasi kalsium atau fortifikasi FOS. Menurut Puspita (2003) pengaruh prebiotik seperti FOS dan GOS terhadap biovailabilitas kalsium tampaknya hanya akan terlihat dengan menggunakan metode in vivo karena mekanismenya melibatkan bakteri kolon, asam empedu serta proses metabolisme yang hanya terjadi di dalam tubuh makhluk hidup. Mekanisme pengaruh FOS pada metode in vivo menurut Greger et al. (1999) yaitu FOS merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna sehingga difermentasi oleh mikroba usus di dalam usus besar. Proses fermentasi akan menurunkan pH lumen usus sehingga melarutkan garam-garam kalsium yang semula belum terlarut. Selain itu asam lemak rantai pendek yang diproduksi dalam proses fermentasi membantu penyerapan kalsium melalui pertukaran ion H+ dalam cairan intraseluler dengan ion Ca2+ yang terdapat di dalam lumen usus. Peningkatan konsentrasi asam empedu, asam lemak rantai pendek dan fraksi kalsium akibat proses fermentasi FOS inilah yang akan meningkatkan bioavailabilitas kalsium. Penelitian ini menggunakan metode in vitro dimana
135
proses penyerapan yang diamati hanya pada bagian usus halus, sehingga metabolisme FOS dan GOS tidak dapat diamati. Total Kalsium Tersedia Total kalsium tersedia merupakan jumlah kalsium yang dapat diserap oleh
tubuh
dan
dipengaruhi
oleh
total
kalsium
bahan
pangan
dan
bioavailabilitasnya (Rajagukguk 2004). Total kalsium ini berkaitan erat dengan bioavailabilitas kalsium bahan pangan. Menurut Safitri (2003) apabila total kalsium suatu bahan pangan tinggi tetapi bioavailabilitasnya rendah maka total kalsium tersedia pun menjadi rendah dan sebaliknya. Total kalsium tersedia diperoleh dari perhitungan total kalsium sampel dikali dengan persen bioavailbalitas kalsium. Berikut ini merupakan total kalsium tersedia sampel susu yang diuji. Tabel 16 Rata-rata total kalsium tersedia produk komersial susu ibu hamil Sampe l
Total Bioavailabilitas SZ** Saran Total Kalsium Tersedia Kalsium Kalsium (%) Penyajian (mg/100g) (mg/hari (mg/100g) ) b A 703,61 41,05 40 2 282,34±40,2 225,87 c B 975,88 36,64 35 2 355,83±40,2 249,44 a C 572,00 37,31 35 2 212,07±9,5 148,44 a D 538,11 40,95 50 3 213,89±5,9 320,83 Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) ** Serving Size
Berdasarkan Tabel 16, total kalsium tersedia untuk sampel susu berkisar antara 212,07 mg/100 g sampai dengan 355,83 mg/100 g. Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis sampel susu berpengaruh nyata terhadap total kalsium tersedia (p<0,05). Uji lanjut Duncan (Lampiran 11m) menunjukkan total kalsium sampel susu B dan A berbeda nyata dengan sampel susu lainnya sedangkan sampel susu C dan D tidak saling berbeda nyata. Hal ini karena kadar kalsium sampel susu B paling tinggi dibandingkan sampel lainnya yaitu sebesar 975,89 mg/100 g meskipun bioavailabilitas kalsiumnya bukan yang paling tinggi (36,64%). Berdanier (1998) menyatakan bahwa total kalsium tersedia tidak hanya dipengaruhi oleh bioavailabilitasnya tetapi juga oleh total kalsiumnya. Berdasarkan saran penyajian sehari yang terdapat di label pangan, total kalsium tersedia untuk sehari saran penyajian tertinggi terdapat pada sampel susu D dan terendah pada sampel susu C. Tingginya total kalsium tersedia selama sehari pada sampel susu D disebabkan oleh saran penyajian yang lebih
136
banyak dibandingkan sampel susu lain yaitu sebanyak 3 gelas sehari dengan serving size sekali minum yaitu 50 g. Apabila dibandingkan dengan total kalsium tersedia dari produk susu yaitu produk sereal sarapan komersial yang ditambah susu total dengan total kalsium tersedia sebesar 109,30 sampai dengan 243,10 mg/100 g (Rajagukguk 2004) dan produk susu komersial tinggi kalsium dengan kadar 92,36 sampai dengan 226,37 mg/100 g (Puspita 2003), total kalsium tersedia penelitian ini masih tinggi meskipun tidak berbeda terlalu tinggi. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Zat Besi Tingginya kadar zat besi dalam suatu bahan pangan tidak selalu diikuti dengan tingginya penyerapan dalam tubuh. Hal ini tergantung pada daya cerna (bioavailabilitas) zat besi tersebut. Latunde & Naele (1986) mendefinisikan bioavailabilitas zat besi sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Tidak semua zat besi dalam produk pangan dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Hal ini tergantung pada bioavailabilitasnya (Muflihah 2011). Metode yang digunakan dalam pengukuran bioavailabilitas zat besi sama seperti analisis bioavailabilitas kalsium. Pengukuran bioavailabilitas zat besi menggunakan metode in vitro dengan prinsip dialisis. Teknik dialisis melibatkan pemasukan larutan cair berisi molekul-molekul makro dan mikro ke dalam kantong dialisis (Sudharma 1995). Apabila dalam suatu bagian larutan terdapat zat terlarut dengan konsentrasi yang lebih tinggi maka akan terjadi difusi artinya partikel zat terlarut akan pindah dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah (Gaman & Sherrington 1992). Rata-rata bioavailabilitas zat besi berkisar antara 17,89% sampai dengan 27,58%. Bioavailabilitas zat besi paling tinggi terdapat pada sampel susu C dan paling rendah pada sampel susu D. Analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan
jenis
susu
tidak
berpengaruh
nyata
(p>0,05)
terhadap
bioavailabilitas zat besi. Berdasarkan uji lanjut Ducan (Lampiran 11l) diketahui bioavailabilitas zat besi semua sampel tidak berbeda signifikan.
137
Bioavailabilitas Zat Besi bio Fe (%) 26,28
27,58
18,49
A
17,89
B
C
D
Gambar 7 Bioavailabilitas kalsium produk komersial susu ibu hamil
Hasil bioavailabilitas zat besi pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan bioavailabilitas zat besi beberapa hasil penelitian lain. Hasil penelitian Puspitasari (2003) menunjukkan bahwa bioavailabilitas zat besi daun torbangun segar yang berkisar antara 2,67% sampai dengan 6,61%, sedangkan bioavailabilitas zat besi cookies pati garut dengan penambahan torbangun pada berbagai minuman yang berkisar antara 0,91%-5,95% (Muflihah 2011). Hasil penelitian Turnlund et al. (1990) menunjukkan bioavailabilitas zat besi pada sereal sarapan sebesar 8,04% dan meningkat menjadi 8,97% setelah ditambahkan susu. Berdasarkan hasil penelitian Davidson (1994) dalam Etchevery et al. (2004) menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi ASI lebih rendah daripada susu sapi, dimana bioavailabilitas untuk ASI sebesar 11,8%. Penelitian Alferez et al. (2005) yang membandingkan bioavailabilitas zat besi untuk susu kambing dan susu sapi pada dua kelompok yaitu kontrol dan anemia menunjukkan adanya peningkatan bioavailabilitas zat besi pada kelompok anemia serta peningkatan bioavailabilitas pada sampel susu kambing. Bioavailabilitas zat besi susu sapi pada kelompok kontrol sebesar 29,2% dan meningkat menjadi 43,4% pada kelompok anemia. Bioavailabilitas zat besi susu kambing pada kontrol sebesar 36,2% dan meningkat menjadi 51,5% pada kelompok anemia. Menurut perhitungan perkiraan penyerapan zat besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu: i) penyerapan besi tinggi (15%), ii) penyerapan besi sedang (10%) dan iii) penyerapan besi rendah (5%) (Kartono & Soekarti 2004). Berdasarkan pengelompokan tersebut bioavailabilitas zat besi pada semua produk yang diteliti termasuk dalam kategori tinggi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Zat Besi Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi dapat dibagi ke dalam 3 bagian yaitu keadaan tubuh, sekresi saluran pencernaan dan komponen makanan. Komponen makanan terdiri dari faktor pendorong dan penghambat.
138
Faktor pendorong terdiri dari vitamin C, protein, karbohidrat dan alkohol. Fitat, serat makanan, tanin dan oksalat termasuk ke dalam faktor penghambat (Latunde & Neale 1986). Tingginya bioavailabilitas zat besi serta dipengaruhi oleh beberapa faktor. Produk komersial susu ibu hamil yang diuji merupakan produk susu yang diuji secara tunggal tanpa tambahan pangan lain sehingga tidak ada interaksi zat gizi dari pangan lain. Susu merupakan salah satu sumber besi nonheme yang tidak mengandung fitat dan oksalat. Menurut Muflihah (2011) fitat dan oksalat umum dikenal sebagai penghambat bioavailabilitas zat besi. Fitat tersebar luas pada berbagai sayuran dan serealia. Wiliam et al. (1995) menyatakan zat besi dalam bahan pangan terdapat dalam dua bentuk, heme dan nonheme. Zat besi heme berhubungan dengan hemoglobin dan myoglobin sehingga dapat ditemukan pada pangan hewani seperti daging, ayam dan ikan. Zat besi nonheme ditemukan baik pada pangan hewani maupun pangan nabati. Susu merupakan salah satu sumber zat besi hewani dalam bentuk nonheme. Zat besi nonheme terikat pada komponen bahan pangan seperti protein fitat dan sebagainya (Primasari 2011). Menurut Brody (1999) bioavailabilitas zat besi pada pangan nabati berkisar antara 1-10%, sedangkan bioavailabilitas besi heme pada ikan, daging, ayam dan hati sekitar 20%. Hasil penelitian menunjukkan serat pangan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bioavailabilitas zat besi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Marliyati (1995) yaitu serat pangan dan komponennya menunjukkan pengaruh yang bervariasi terhadap ketersediaan zat besi. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kemampuannya dalam mengkelat zat besi. Bagaimanapun beberapa faktor dapat menyebabkan hasil penelitian menjadi tidak konsisten yaitu diantaranya penggunaan komponen yang berbeda, pengaruh pH dan ada tidaknya pengkelatan (Latunde & Neale 1986). Diperkuat dengan hasil penelitian Thomson
(1988)
yang
menyatakan
beberapa
penelitian
bahkan
tidak
menunjukkan adanya pengaruh serat pangan dalam keseimbangan zat besi. Konsumsi serat sebanyak 20-25 gram/hari tidak berpengaruh negatif pada keseimbangan zat besi (Boldwell & Erdman 1988). Hal lain yang diduga menjadi faktor tingginya bioavailabilitas zat besi pada penelitian ini adalah kandungan protein dalam susu. Dugaan ini diperkuat oleh pernyataan Linder (1992), asam amino pada makanan juga dapat bersifat
139
iron chelating agent, yang menyebabkan zat besi tersebut dalam keadaan larut dan dengan mudah diserap oleh brush border intestin. Sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat dalam bentuk ferro (Fe2+) atau ferri (Fe3+) di dalam tubuh. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri. Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus (Sediaoetama 1991). Selain itu susu juga tidak mengandung zat anti gizi yang dapat menghambat bioavailabilitas zat besi. Fortifikasi zat besi pada produk diduga menjadi faktor tingginya bioavailabilitas
pada
produk.
Jenis
zat
besi
yang
difortifikasi
dapat
mempengaruhi kemudahan penyerapan zat besi dalam tubuh. Hurrel (1997) membagi zat besi ke dalam empat golongan. Pertama, zat besi yang sangat larut air, contohnya fero sulfat, fero glukonat, fero laktat, feri amonium sitrat. Kedua, zat besi yang tidak terlalu larut di air tetapi larut di dalam asam encer seperti cairan lambung, contohnya fero fumarat, fero suksinat, feri sakarat. Ketiga, zat besi yang tidak larut air, tetapi sedikit larut dalam asam encer contohnya feri ortofosfat, feri amonium ortofosfat, feri pirofosfat dan bubuk besi elemental. Keempat adalah senyawa besi yang dilindungi contohnya Fe-EDTA dan hemoglobin. Kesuksesan program fortifikasi tergantung pada beberapa hal antara lain jenis senyawa sebagai sumber zat besi yang difortifikasi (fortificant) dan bahan pangan bawaannya (food vehicle). Hasil penelitian Primasari (2011) menyatakan bahwa ukuran partikel dari fero fumarat yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan fero sulfat juga mempengaruhi penyerapannya. Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga telah diketahui bahwa ukuran partikel fortifikan mempengaruhi penyerapan zat besi (Fidler et al. 2004; Haro-Vicente et al. 2006). Akan tetapi sampel susu yang diuji tidak mencantumkan jenis garam besi yang difortifikasi. Fortifikasi zat gizi biasanya dalam bentuk mikroenkapsulasi. Menurut Olivares (2002) fortifikasi zat besi secara mikroenkapsulasi pada susu sapi baik cair maupun bubuk dapat mengurangi pengaruh ligan yang dapat menghambat penyerapan dan memiliki sifat rendah prooksidan. Fortifikasi secara mikroenkapsulasi dapat mengurangi efek inhibitor terhadap bioavailabilitas karena zat besi yang difortifikasi dilindungi oleh solut. Menurut penelitian Baccio et al. (1996) dalam Olivares (2002) absorbsi zat besi sulfat mikroenkapsulasi yang difortifikasi pada susu dan diukur pada tikus mempunyai nilai lebih tinggi 1,5
140
sampai dengan 1,6 kali lipat dibandingkan bioavailabilitas zat besi pada susu yang difortifikasi zat besi sulfat. Zat besi nonheme dari pangan hewani ditemukan dalam banyak bentuk. Terdiri dari feritin dan hemosiderin pada produk daging. Zat besi dengan ikatan fosfoprotein dan fosfovitin pada kuning telur dan zat besi yang berikatan dengan lactoferin pada susu atau bergabung dengan membran lemak globular dan senyawa berberat molekul rendah seperti sitrat (Stipanuk 2001). Ikatan besi nonheme pada komponen makanan harus dilepaskan secara enzimatis pada saluran pencernaan agar absorbsi terjadi. Sekresi getah lambung termasuk asam asam hidroklorat dan enzim proteasepepsin pada perut dan protease usus halus, membantu untuk mengeluarkan zat besi nonheme dari komponen makanan. Apabila zat besi nonheme keluar dari komponen makanan akan berbentuk sebagai besi ferri. Sisa besi ferri akan larut selama pH lingkungan dalam keadaan asam. Beberapa dari besi ferri akan berkurang dan membentuk besi ferro. Apabila besi ferri mampu melewati lambung menuju distal duodenum dan jejenum, besi ferri bercampur dengan getah alkaline yang disekresikan usus halus menuju pankreas. Pada lingkungan yang lebih alkali, besi ferri akan kompleks memproduksi hidroksi ferri (Fe(OH)3), senyawa yang relatif tidak larut dalam jumlah yang besar dan mengendap, menyebabkan berkurangnya penyerapan zat besi (Gropper et al. 2005). Analisis bioavailabilitas metode in vitro memiliki beberapa keterbatasan, antara lain adalah enzim yang digunakan hanya dua jenis, yaitu pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantong dialisis. Proses yang terjadi pada pencernaan manusia, tidak hanya terdapat dua enzim, dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mneral, serat pangan dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro (Wilson et al. 1979). Meskipun demikian metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Metode in vitro juga memungkinkan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Sudharma 1995).
141
Kebutuhan akan zat gizi pada ibu hamil mulai meningkat pada awal kehamilan (trimester I). Peningkatan kebutuhan zat gizi dipengaruhi oleh perubahan tubuh baik secara anatomis, fisiologis maupun biokimiawi yang terjadi selama kehamilan. Menurut Arisman (2007) terjadi pembesaran pada kelenjar paratiroid yang menyebabkan kebutuhan akan vitamin D dan kalsium meningkat. Kelenjar hipofisis dan tiroid juga sedikit membesar sehingga laju metabolisme basal meningkat (akibat peningkatan konsumsi oksigen serta luas permukaan tubuh ibu dan bayi) sebanyak 25% (Jensen, Benson & Bobak 1981 dalam Arisman 2007). Volume darah mulai meningkat pada trimester I yang kemudian mengalami percepatan selama trimester II, untuk selanjutnya melambat pada trimester III. Kadar hemoglobin dan besi menurun, termasuk pula persentase kejenuhan transferin serta serum feritin (Arisman 2007). Selain itu, kondisi kehamilan juga berdampak pada kebutuhan zat gizi lain seperti asam folat, protein, iodium dan vitamin. Pemenuhan kebutuhan zat gizi ibu hamil sebaiknya dilakukan sebelum masa kehamilan. Hal ini didasarkan pada kebutuhan zat gizi yang meningkat pada awal kehamilan. Akan tetapi, diagnosis kehamilan dengan penentuan kadar HCG (Human Chorionic Gonadotropin) di dalam urin baru dapat dideteksi setelah 4 minggu sesudah HTTP (hari pertama haid terakhir) atau sekitar 2 minggu setelah pembuahan. Oleh karena itu, salah satu cara memenuhi kebutuhan zat gizi ibu hamil yaitu dengan mengkonsumsi susu selama perencanaan kehamilan. Total Zat Besi Tersedia Prinsip perhitungan untuk total zat besi tersedia sama seperti perhitungan total kalsium tersedia. Total zat besi tersedia diperoleh dari perhitungan total zat besi sampel dikali dengan persen bioavailbalitas zat besi. Berikut ini merupakan total zat besi tersedia dari empat sampel susu yang diuji (Tabel 17). Tabel 17 Rata-rata total zat besi tersedia pada produk komersial susu ibu hamil Sampel
Total Zat Bioavailabilit SZ** Saran Total Zat Besi Tersedia Besi as Zat Besi Penyajian (mg/100g) (mg/hari) (mg/100g) (%) A 10,21 18,49 40 2 1,48 1,85±0,38a B 15,33 26,28 35 2 2,70 3,86±0,54 b C 17,04 27,56 35 2 3,25 4,65±1,15 b D 9,08 17,89 50 3 2,56 1,71±0,16 a Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) ** Serving Size
142
Berdasarkan Tabel 17, total zat tersedia untuk sampel susu berkisar antara 1,71 mg/100 g sampai dengan 4,65 mg/100 g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis sampel susu berbeda nyata terhadap total zat besi tersedia (p<0,05) (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan (Lampiran 11n) menunjukkan total zat besi tersedia untuk sampel susu A dan D berbeda nyata terhadap sampel susu B dan C. Meskipun demikian kedua sampel tersebut tidak saling berbeda nyata. Total zat besi tersedia dalam 100 gram bahan tertinggi yaitu terdapat pada sampel susu C sedangkan terendah yaitu sampel susu D. Pola ini sesuai dengan kadar zat besi dan bioavailabilitas zat besi pada sampel susu. Berdasarkan saran penyajian sehari yang terdapat di label pangan, total zat besi tersedia untuk sehari sesuai saran penyajian tertinggi terdapat pada sampel susu C dan terendah pada sampel susu A. Tingginya total zat besi tersedia selama sehari pada sampel susu C disebabkan oleh tinggi total zat besi dan bioavailabilitasnya. Demikian juga dengan sampel susu A, rendahnya total zat besi tersedia karena rendahnya total zat besi dan bioavailabilitasnya. Total zat besi tersedia juga sama halnya dengan kalsium dimana Berdanier (1998) menyatakan bahwa total kalsium tersedia tidak hanya dipengaruhi oleh bioavailabilitasnya tetapi juga oleh total kalsiumnya. Yeung dan Laquarta (2003) menambahkan, total zat besi tersedia akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan total zat besi. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan produk komersial susu ibu hamil adalah klaim dan kandungan gizi masing-masing produk. Selain itu, pemilihan produk juga ditentukan oleh harga masing-masing produk di pasaran. Berikut ini merupakan analisis harga kalsium dan zat besi masing-masing sampel susu uji (Tabel 18). Tabel 18 Analisis harga per satuan zat gizi (Rp/mg) Kandungan zat gizi per SZ zat Kalsium besi (mg) (mg) 350 5
Kandungan zat gizi per A Zat Kalsium besi (mg) (mg) 1750 25
Sampel
Harga (Rp)
Netto (g)
SZ* (g)
Netto per SZ (A)
A
34990
200
40
5
B
27690
180
35
6
500
8,7
3000
52,2
C
11590
150
35
6
315
8,75
1890
D
28000
200
50
4
328
6
1312
Keterangan *SZ : Serving Size
Harga per satuan zat gizi Kalsium (Rp/mg)
Zat besi (Rp/mg)
19,99
1399,6
9,23
530,45
52,2
6,13
220,76
24
21,34
1166,66
143
Berdasarkan Tabel 18, harga produk susu tertinggi terdapat pada sampel susu A (Rp 34990) dan terendah pada sampel susu C (Rp 11590). Akan tetapi berdasarkan harga per satuan zat gizi, untuk kalsium (Rp/mg) tertinggi terdapat pada sampel susu D yaitu Rp 21,34/mg dan terendah pada sampel susu C yaitu Rp 6,13/mg. Harga per satuan zat gizi untuk zat besi tertinggi terdapat pada sampel susu A (Rp 1399,6/mg) dan terendah pada sampel susu C (Rp 220, 76/mg). Harga per satuan zat gizi ditentukan oleh netto atau berat per kemasan, serving size dan kandungan zat gizi masing-masing produk.
144
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis kadar air untuk produk komersial susu ibu hamil sudah memenuhi SNI 01-7148-2005 yaitu minimal 4% (bb). Kadar abu sampel susu B (7,51%) tidak memenuhi SNI 01-7148-2005 yaitu maksimal 6% (bb). Kadar protein untuk hasil analisis sampel susu
B, C dan D belum
memenuhi SNI 01-7148-2005 yaitu 18-23%. Berdasarkan nutrition fact hanya sampel susu A dan D yang memenuhi ketetapan SNI 01-7148-2005 untuk protein. Berdasarkan WNPG (2004) dan BPOM (2007) kadar protein yang tercantum dalam nutrition fact menunjukkan bahwa produk susu merupakan produk tinggi protein. Kadar kalsium berkisar antara 524,62 - 967,82 mg/100 g (bk). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu B dan D dapat memenuhi kebutuhan kalsium ibu hamil selama sehari. Kadar zat besi berkisar antara 8,9716,35 mg/100 g (bk). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu B, C dan D sudah dapat memenuhi 50% dari kebutuhan zat besi untuk ibu hamil selama sehari. Kadar fosfor berkisar antara 132,24 - 240,68 mg/100 g (bk). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu C dan D dapat memenuhi kebutuhan fosfor ibu hamil selama sehari. Kadar seng berkisar antara 2,148-8,75 mg/100 g (bk). Konsumsi susu sesuai saran penyajian pada sampel susu B, C dan D sudah dapat memenuhi 50% dari kebutuhan seng ibu hamil selama sehari. Hasil analisis kadar total serat pangan basis kering berkisar antara 2,14%-6,55%, serat tidak larut berkisar antara 0,77%-2,72% dan serat larut berkisar antara 1,36%-4,58%. Rata-rata bioavailabilitas kalsium pada sampe susu berada pada kisaran 36,64%-41,05%. Berdasarkan hasil sidik ragam, tidak ada pengaruh nyata antara produk susu dengan bioavailabilitas kalsium (P>0.05). Sampel susu B menyediakan total kalsium yang dapat diserap lebih tinggi dibandingkan sampel susu yang lain tiap100 gram susu. Rata-rata bioavailabilitas zat besi berada pada rentang18,49%-27,58%. Berdasarkan hasil sidik ragam, tidak ada pengaruh nyata antara produk susu dengan bioavailabilitas zat besi (P>0.05). Sampel susu C menyediakan total zat besi yang dapat diserap lebih tinggi dibadingkan sampe susu yang lain tiap 100 gram susu.
145
Bioavailabilitas kalsium dan bioavailabilitas zat besi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap zat gizi lain (serat pangan, fosfor, seng, FOS dan GOS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada semua sampel termasuk dalam kategori tinggi. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang bisa diberikan yaitu perlu adanya tinjauan ulang antara kesesuaian SNI 01-7148-2005 tentang susu bubuk dengan izin edar produksi terutama pada kadar protein. Untuk pelabelan sebaiknya perlu disebutkan sumber zat gizi yang menyusun komposisi
produk.
Selain itu, konsumen perlu mempertimbangkan konsumsi susu dengan pangan lain, agar tidak terjadi interaksi yang dapat menurunkan bioavalilabilitas.
146
DAFTAR PUSTAKA
Alferez MJM et al. 2005. Dietary goat milk improves iron bioavailability in rats with induced ferropenic anaemia in comparison with cow milk. International Diary journal16 (2006) 813–821. Allen LH. 1982. Calcium bioavailability and absorption: A review. Am J Clin Nutr ;35:738-808. _____ . 1997. Improving iron status through diet. OMNI Amerika. Allen LH, Ahluwalia N. 1997. Improving iron status through die: the application of knowledge concerning dietary iron bioavailability in human population. http://www.mostproject.org/toc.htm. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anwar F, Khomsan A. 2009. Makanan tepat, Badan Sehat. Jakarta: PT Mizan Publika Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC Baker DH. 1991. Bioavailability of minerals and vitamins. Di dalam : Miller ER, Ullrey DE, Lewis AJ, editor. Swine Nutrition. Boston: ButterworthHeinemann. Hlm 341-359. Benois B, Mclean E, Egl I, Cogwell M. 2008. Worldwide Prevalence of Anemia 1993-2005: WHO Global Database on Anemia. Geneva: World Health Organization and Centre for Disease Control and Prevention. [terhubung berkala]. http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657_eng.pdf.[3 Berdanier CD. 1998. Advaced Nutrition Micronutrients. Florida : CRC Press. Bisswanger H. 2008. Enzyme Kinetics; Principles and Methods. Weinheim : Wiley-VCH. Bodwell CE, Erdman JW. 1988. Nutrient Interaction. New York: Marcel Dekker, Inc. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Pentingnya sebuah standar untuk minuman khusus ibu hamil dan atau menyusui. www.pom.go.id. [18 Januari 2011] . 2007. Acuan Label Gizi. Direktorat Standardisasi Produk Pangan. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Konsumsi susu Indonesia. www.bps.go.id [ 21 Februari 2011]
147
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2005. Standar Nasional Indonesia. SNI 017148-2005. Susu Bubuk Ibu Hamil dan atau Menyusui. Jakarta: Badan Standar Nasional. Bredbenner CB, Beshgetoor D, Moe G, Berning J, editor. 2007. Wardlaw’s Perspective in Nutrition. Ed ke-8. New York: McGraw & Hill. British
Nutrition Foundation. 1995. Iron: Nutritional Significance. Champman & Hall: London.
and
Physiological
Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry. New York: Academic Press. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH & Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. H. Purnomo, Adiono, Penerjemah. Jakarta: UI Press. Cashman KD. 2002. Calcium intake, calcium bioavailability and bone health. British Journal of Nutrition, 87(2): 169-177. Damayanthi E, Rimbawan. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Nilai Gizi. [diktat] Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor. Deman JM. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan. Etcheverry F, Dennis D, Miller, Glanhn RP. 2004. A low moleculer weight factor in human milk whey promoted iron uptake by Caco-2 cells. Am J Clin Nurt 2004. Faitweather-Tait SJ, B Teucher. 2002. Calcium bioavailability in relation bone health. Int. J. Vit. Nutr.Res, 72 (1): 13-18. Fidler MC et al. 2004. A micronised, dispersible, ferric pyrophosphate wit high relative bioavailability in man. Biritish Journal of Nutrition. 91: 107-112. Gaman P, Sherrington KB. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Greger JL. 1999. Nondigestible carbohydrates and mineral bioavailability. Journal of Nutrition, 129, 1434-1435. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism 4th edition. USA: Wadsworth. Heaney RP. 2002. Protein and calcium: antagonists or synergists?. Am J Clin Nutr ;75:609–10. Huertas EL et al. 2006. Absorption of calcium from milk enriched with fructooligosaccharides, caseinophosphopeptides, tricalcium phosphate, and milk solid. Am J Clin Nutr. 83:310-6.
148
Hurrel RF. 1997. Preventing iron deficiency though food fortification. Nutrition Review. 55(6): 210-222. Ink SL.1988. Fiber-Mineral and Fiber-Vitamin Interactions. Di dalam: Bodwell CE, Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 253-255. Kamchan A. 2003. In vitro bioavailability of calcium and the presence of some inhibitory factors in vegetables, legumes, and seeds. [tesis]. Bangkok; Madihol University. Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng, Mangan, Selenium. Dalam Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi WNPG VIII 2004. Jakarta: LIPI. Kaya AOW, Santoso J, Salamah E. 2007. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangaus sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit. Ichthyos 7: 9-14 Kressel G, Wolters M, Hahn A. 2010. Bioavailability and solubility of different calcium-salts as a basis for calcium enrichment of beverage. Food & Nut Sci 1:53-58. Latunde-Dada GO, Neale RJ. 1986. Review: availability from iron from foods. Journal of Food Technology, 21, 255-268. Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminnudin Parakkasi, penerjemah. Jakarta: UI press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Mahan K. Stump SE. 2008. Krause’s Food Nutrition and Diet Therapy. USA : Saunders. Marliyati S A, A Sulaeman, F Anwar. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Marliyati SA. 1995. Pengaruh pengeringan terhadap kadar senyawa antinutrisi yang mempengaruhi ketersediaan zat besi serta fortifikasi zat besi pada rempah-rempah. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miller DD, Judith KJ, McBean LD. 2001. The importance of meeting calcium needs with food. Journal of the American College of Nutrition, Vol 20, No. 2, 168S-185S. . 1996. Minerals. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York : Macel Dekker, Inc. Hlm 617 – 649. Muchtadi D, Palupi N.S & Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi : Sumber, Fungsi dan Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
149
Muchtadi. 2008. Memilih kalsium untuk fortifikasi. www.foodreview.biz. [22 Juni 2010]. Muchtadi D, Astawan M, Palupi NS. 2006. Metabolisme zat gizi pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka . 2010. Serat Makanan: Faktor penting yang hampir dilupakan [diktat]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Muflihah A. 2011. Bioavailabilitas kalsium dan zat besi in vitro cookies pati garut (Maranta arundinaceaea L) dengan penambahan torbangun (Coleus amboinicus Lour) pada berbagai minuman. [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Muhilal, Jalal F, & Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Didalam: Prosiding Widya Karya Pangan dan Gizi VI. Jakarta: LIPI. Hlm. 95-962. Nur MA, Adijuwana HA & Kosasih. 1992. Tehnik Laboratorium. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Olivares M. 2002. Bioavailability of microencapsulated ferrous sulfate in milk. Nutrition 18: 285-286 Potter NN, Hotchkiss JH. 1995. Food Science (5th ed.) . Chapman and Hall, New York. Primasari A. 2011. Stabilitas dan bioavailabilitas in vitro zat besi sebagai fortifikasi dalam bumbu instan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut pertanian Bogor. Purwawinangsih EF. 2011. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium secara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Puspita ID. 2003. Bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada susu bubuk yang diberi klaim high calsium dengan penambahan serat dan tanpa penambahan serat yang beredar di pasaran. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspitasari Meyliana. 2008. Persepsi khalayak sasaran. [skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Rahman A, Fardiaz S, Rahaju WP, Suliantri, Nurwitri CC. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Rajagukguk LM. 2004. Bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada produk sereal sarapan komersial yang difortifikasi kalsium. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
150
Ranhotra GS. 1987. Bioavailability of Calcium and Osteoporosis. Dalam M. Abdulla H, Dashti, B Sarkar, H Al-Sayer & N Al-Naqeeb (eds.), Proceedings of the International Symposium: Metabolism of Mineral and Trace Element in Human Disease (hlm. 17-21). September, New Delhi, Aligahr/Kashmir, India. Ressang AA, Nasution AM. 1987. Pedoman Mata Pelajaran Ilmu Kesehatan Susu (Milk Hygiene). [diktat] Bogor: Jurusan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Rofles SR, Whitney E. 2008. Understanding Nutrition 11th Ed. Belmont USA: Thomas Higher Educaton Learning Inc. Roig MJ, Alegria A, Barbera R, Farre R, Lagarda MJ. 1999. Calcium bioavailability in human milk, cow milk and infant formulas—comparison between dialysis and solubility methods. Food Chem 65: 353 - 357 Safitri RN. 2003. Bioavailabilitas mineral kalsium (Ca) secara in vitro pada beberapa sayuran hijau dan hasil olahannya. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sediaoetama AD. 1999. Ilmu Gizi (Untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia). Jilid 2. Jakarta: Dian rakyat. Septiyani E. 2008. Studi perencanaan konsumsi pangan bagi ibu hamil dengan metode goal programming. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekatri M, Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17 – 19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm 375 - 385 Stipanuk MH. 1995. Biochemical and Physiological Aspect of Human Nutrition. USA: W.B. Saunders Company. Sudharma E. 1995. Evaluasi ketersediaan mineral besi dan seng iodium serta vitamin B12 dalam produk fermentasi susu kacang merah (Phaseolus Vulgaris L.) dan kacang tolo (Vigna Unguiculata L.). [skripsi]. Bogor. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suhardjo, Kusharto CM. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyati SA. 1994. Metode penetapan zat gizi. [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 1995. Metode Penetapan Zat Gizi. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
151
Suryani Y. 2001. Profil pelabelan dan analisis kebenaran klaim gizi produk pangan. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Thomson DB. 1988. Dalam Smith KT. Trace Mineral in Food. New York: Marcel Dekker, Inc. Towers PA, Harden TJ, Nichol AW, Halley S. 1997. The role of milk in human health (an australian perspective). Nutrition Today: 32 Trilaksani W, Salamah E, Nabil M, 2006. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp.) sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein. Buletin Teknologi Hasil Perairan vol IX : 2 Turnlund JR, Smith RG, Kretsch MJ, Keyes WR, Shah AG. 1990. Milk’s effect on bioavailability of iron from cereal based-diets in young women by use of in vitro and in vivo methods. Am J Clin Nutr 1990;52:373-8. [USDA] United State Department of Agriculture. 2008. National Nutrient database for Standar Reference, Release 21. Iron Content of Selected Foods per Common Measure http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/Data/pdf. [11 Januari 2012]. Wardlaw GN. 1999. Perspective in Nutrition (4td ed.) New York: John Wiley & Sons. Weaver CM et al. 2002. Bioavailability of calcium from tofu as compared with milk in premenopausal women. Journal of Food Science 2002:67. Weaver CM, RP Heaney. 1999. Calcium. Di dalam : Shils EM, Olson JA, editor. Modern Nutrition in Health and Diseases. New York: Lippincott Williams and Wilkins. hlm 141-155. .2008. Calcium. Di dalam: Shils EM, Olson JA, editor. Modern Nutrition in Health and Diseases. New York: Lippincott Williams and Wilkins. hlm 194210. Whitney EN, Cataldo CB, Rofles SR. 1998. Understanding Normal and Clinical Nutrition (5th ed.). New York: International Thomson Publishing. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi . Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan. William MH. 1995. Nutrition for Fitness and Sport (4th Edition). USA : Brown & Benchmark Publisher. Wilson, Eva D, Fisher HK, Garcia PA. 1979. Principle of Nutrition.New York: John Wiley & Sons. Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta . 2008. Kimia Pangan. Jakarta: Gramedia
152
Wirakusumah E.M. 1988. Kebutuhan dan Kecukupan Pangan dan Gizi. Makalah Disampaikan dalam Workshop on Forfified Wheat Flour and Cooking Oil. 20 Maret. Jakarta. Woods VB, Mckervey Z, Fearon AM. 2007. Benefical nutrien in bovine milk for human health. Agri Food and Biosciences Institiut. Vol 6. Yeung DL. 1998. Iron and micronutrients. Food and Nutrition Bulletin, 19 (2): 3-6.
153
LAMPIRAN
154
Lampiran 1 Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram). Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram). Kadar air (basis kering) =
Keterangan
b – (c-a) x 100 % c-a
:
b= bobot sampel (g) c= bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g) a= bobot cawan kosong (g)
Lampiran 2 Analisa Protein Metode Semi Mikro Kjeldahl (Sulaeman et al. 1994) Bahan yang ditimbang kira-kira 0,5 – 1 g. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 0,5 g selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat. Sampel kemudian didestruksi sampai larutan yang berwarna jernih kehijauan dan uap SO2 hilang. Kemudian hasil destruksi ditambah akuades dan dimasukkan ke dalam labu destilasi. NaOH 33% ditambahkan ke dalam labu destilasi dan kemudian dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3% lalu dititrasi dengan HCl standar (indikator metil merah).
% Kadar Protein = (ml titrasi x 14 x N HCl x fk x 100)/ mg sampel
fk = faktor koreksi
155
Lampiran 3 Perhitungan Analisis Kadar Air Produk Komersial Susu Ibu Hamil Tabel 19 Kadar air produk komersial susu ibu hamil
Jenis
A
A
B
B
C
C
D
D
Ulang an
Berat sampe l (g)
Berat cawan (g)
1
3,019
5,486
Cawan + sampel sebelum di oven (a) 8,505
2
3,083
5,536
3
3,129
1
Cawan + sampel setelah di oven (b)
Kadar air (%)
8,387
3,92
8,620
8,544
2,45
5,558
8,688
8,564
3,95
3,048
6,101
9,149
9,043
3,48
2
3,134
5,648
8,776
8,659
3,72
3
3,104
6,123
9,228
9,142
2,76
1
3,065
5,63
8,704
8,594
3,58
2
3,092
5,985
9,077
8,973
3,37
3
3,069
5,686
8,755
8,641
3,71
1
3,206
5,984
9,191
9,085
3,28
2
3,144
6,327
9,472
9,357
3,62
3
3,147
5,613
8,761
8,670
2,88
1
3,076
6,818
9,895
9,806
2,89
2
3,158
5,946
9,104
9,021
2,62
3
3,281
5,658
8,940
8,834
3,23
1
3,159
5,513
8,673
8,579
2,98
2
3,044
5,704
8,748
8,662
2,83
3
3,092
6,102
9,195
9,117
2,53
1
3,012
5,395
8,407
8,296
3,70
2
3,041
6,367
9,409
9,305
3,40
3
3,110
6,065
9,176
9,058
3,78
1
3,195
5,820
9,015
8,914
3,15
2
3,046
5,667
8,713
8,595
3,86
3
3,061
5,826
8,887
8,787
3,26
Contoh Perhitungan: % kadar air
= ((a – b)/ berat sampel) x 100% = ((8,505 – 8,387)/3,0197x 100% = 3,927%
Rata-rata kadar air (%)
3,38
3,41
2,85
3,53
156
Lampiran 4 Perhitungan Analisis Kadar Protein Produk Komersial Susu Ibu Hamil Jenis
A
A
B
B
C
C
D
D
Tabel 20 Kadar protein produk komersial susu ibu hamil kadar bobotsampel ml kadar rata-rata Ulangan protein (mg) titrasi protein ulangan sampel 1 417,5 12,8 19,83808 19,64 2 485,5 14,6 19,45852 3
415,8
13,25
20,61948
1
502,2
14,3
18,42492
2
126,2
3,8
19,48366
3
137,3
4,2
19,79361
1
458,2
10,1
14,26305
2
430,2
9
13,53687
3
464,8
10,95
15,24383
1
439,9
11,05
16,25379
2
101,2
2,5
15,98475
3
132,2
2,57
12,57905
1
556,9
12,3
14,29138
2
437,3
9,5
14,05693
3
458
9
12,7152
1
442,8
8,75
12,78635
2
129,7
3,2
15,96453
3
131,6
2,75
13,52144
1
449
11,4
16,42876
2
522
11,9
14,75104
3
441,6
10,6
15,53184
1
435,4
11,3
16,79331
2
128,3
3
15,13007
3
126,5
3,5
17,90292
19,52
19,60
19,638 13,89 15,74
14,64
14,28 14,17 12,75
13,88
14,74 15,58 16,16
16,08
16,51
Contoh perhitungan : Kadar Protein = ((ml titrasi sampel x 14 x NHCl x fp x 100 x 6,25 sampel (mg) = 12,8 x 14 x 0,07395 x 100 x 1 x 6,25 417,5 = 19,838 % Ket : N HCl = 0,015789, faktor konversi (fk) = 6,25, dan MR nitrogen = 14
157
Lampiran 5 Perhitungan Analisis Kadar Fosfor Produk Komersial Susu Ibu Hamil Tabel 21 Nila absorbansi pada berbagai konsentrasi fosfor standar Absorbansi
0,000
0,000
0,025
0,067
0,050
0,119
0,100
0,209
0,125
0,262
0,150
0,319
0,200
0,422
Kurva kalibrasi P2O5 Absorbansi (nm)
Konsentrasi P2O5 (ppm)
0,6 0,4
y = 2,0623x + 0,0082 R² = 0,9983
0,2 0 0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
Konsentrasi (ppm)
n = 1 ulangan Gambar 8 Kurva kalibrasi P2O5 Tabel 22 Kadar fosfor produk komersial susu ibu hamil sampel
A
B
C
D
Ulangan
Berat sampel
Abs sampel
Kadar P2O5 (mg/100g)
kadar P
1
0,504
2
0,541
0,452
427,23
174,26
0,499
439,49
179,26
3
0,582
0,486
397,82
162,27
1
0,573
0,696
582,29
237,51
2
0,585
0,705
577,41
235,52
3
0,550
0,677
589,25
240,35
1
0,551
0,265
225,95
123,00
2
0,560
0,382
323,48
131,94
3
0,518
0,369
337,91
137,83
1
0,625
0,47
358,31
146,15
2
0,568
0,436
365,23
148,97
3
0,504
0,396
372,75
152,04
A
2,062
B
0,008
rata-rata (basis basah) 171,93
237,79
130,92
149,05
Contoh perhitungan kadar fosfor sampel: Berdasarkan kurva standar P2O5 di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar fosfor sampel adalah Y = aX + b
dimana
= 2.062X + 0.008
Y = absorbansi X = konsentrasi P2O5 (mg) a = slope b = intercept
Jika absorbansi sampel dengan berat 0.504 g dalam 100 ml aliquot adalah 0.452, maka kadar P2O5 adalah:
158
Jawab :
Y = 2.062X + 0.008 X = Y – 0,008 = 0.452– 0,008 a
= 0.2153 mg
2,062
Karena X (mg) merupakan konsentrasi P2O5 sampel per 50 ml aliquot maka kadar P2O5 sampel (mg/100g) dalam 0.504 g sampel, dan faktor pengenceran 10 adalah: Kadar P2O5
=X
x
fp = 0.2153 mg x 10 = 4,271 mg/g = 427,182 mg/100g
g sampel
0.504 g
karena dalam molekul P2O5 terdapat 2 atom P, maka : Kadar P
= berat atom P x 2 x kadar P2O5 berat molekul P2O5 = 31 x 2 x 427,182 mg/100g = 174,245 mg/100g 152
Lampiran 6 Perhitungan Analisis Kadar Kalsium Produk Komersial Susu Ibu Hamil Tabel 23 Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi kalsium standar Tinggi puncak (kotak) Konsentrasi kalsium satandar (ppm) 0,0000
0,0
2,0000
6,0
4,0000
10,3
6,0000
15,0
8,0000
22,1
10,0000 26,2 Ket: tinggi kotak dihitung berdasarkan jumlah kotak pada kertas milimeter blok yang dilewati garis merah pada saat pembacaan menggunakan AAS (n = 1 ulangan).
Berdasarkan data standar kalsium tersebut maka persamaan linier yang dapat digunakan untuk perhitungan kadar kalsium pada sampel susu uji seperti
Absorbansi (nm)
pada gambar berikut:
Kurva kalibrasi Ca 30 20 10 0 0
2
4 6 Konsentrasi (ppm)
8
Gambar 9 Kurva kalibrasi kalsium
10
12
159
Jenis
Tabel 24 kadar kalsium produk komersial susu ibu hamil Kadar Berat sampel Peak Rata-rata kadar Ulangan mineral (g) sampel Ca (mg/100g) (mg/100g) 1 0,5044 21 787,47
A
B
C
D
2
0,5418
21
733,11
3
0,5827
18,2
590,23
1
0,5730
31,1
1028,55
2
0,5854
32
1036,02
3
0,5506
25,1
863,07
1
0,5516
18,8
644,21
2
0,5607
16,8
565,89
3
0,5181
13,9
505,92
1
0,6253
16,1
486,12
2
0,5683
18,2
605,19
3
0,5048
14
523,02
Blanko
703,61
975,88
572,00
538,11
0,7
Contoh perhitungan kadar kalsium sampel: Berdasarkan kurva standar kalsium di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar Ca sampel adalah Y = aX + b = 2,628x + 0,123
dimana
Y = Peak standar atau sampel X = konsentrasi kalsium (ppm) a = slope b = intercept
Jika tinggi puncak sampel dengan berat 0,5044 g dalam 50ml aliquot adalah 21 kotak, faktor pengenceran 1 dan tinggi puncak blanko 0.7 kotak, maka kadar kalsium adalah: Jawab : Kadar kalsium (mg/100g) = (tinggi puncak sampel x fp)- tinggi puncak blanko) -b/a) x (aliquot/1000) x (100/berat sampel) = (21 x 1) – 0.7) – 0.123/2.628) x (50/1000) x (100/0.5044) = 787.476 mg/100 g
160
Lampiran 7 Perhitungan Analisis Kadar Zat Besi Produk Komersial Susu Ibu Hamil
Tabel 25 Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi zat besi standar Konsentrasi zat besi satandar (ppm)
Tinggi puncak (kotak)
0,0000
0,0
0,5000
4,5
1,0000
8,2
2,0000
17,1
3,0000
25,93
4,0000 34,5 Ket: tinggi kotak dihitung berdasarkan jumlah kotak pada kertas milimeter blok yang dilewati garis merah pada saat pembacaan menggunakan AAS (n = 1 ulangan).
Berdasarkan data standar zat besi tersebut maka persamaan linier yang dapat digunakan untuk perhitungan kadar zat besi pada sampel susu uji seperti
Absorbansi (nm)
pada gambar berikut
Kurva kalibrasi Fe
40 20 0
0
2
0,5 1
0
1
2
4; 34,5
3
3
4
5
Konsentrasi (ppm) Gambar 10 Kurva kalibrasi zat besi
Jenis A
B
C
D
Tabel 26 Kadar zat besi produk komersial susu ibu hamil Berat sampel Peak Kadar Fe Ulangan Rata-Rata Fe (g) Sampel (mg/100 g) 1 0,5044 8,9 11,19406 2
0,5418
8,1
9,566256
3
0,5827
9,1
9,888628
1
0,5730
10
10,96562
2
0,5854
15,5
16,17421
3
0,5506
17,1
18,87931
1
0,5516
13,5
15,06557
2
0,5607
18
19,46878
3
0,5181
14
16,59858
1
0,6253
8,6
8,75188
2
0,5683
8,9
9,93539
3
0,5048
8,2
10,38215
Blanko
0,8
10,21
15,33
17,04
9,08
161
Contoh perhitungan kadar kalsium sampel: Berdasarkan kurva standar kalsium di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar Fe sampel adalah Y = aX + b
dimana
= 8,634x – 0,072
Y = Peak standar atau sampel X = konsentrasi kalsium (ppm) a = slope b = intercept
Jika tinggi puncak sampel dengan berat 0,5044 g dalam 50ml aliquot adalah 8,9 kotak, faktor pengenceran 1 dan tinggi puncak blanko 0.8 kotak, maka kadar zat besi adalah: Kadar zat besi (mg/100g) = (tinggi puncak sampel x fp)- tinggi puncak blanko) -b/a) x (aliquot/1000) x (100/berat sampel) = (8,9 x 1) – 0.8) – 0.123/2.628) x (50/1000) x (100/0.5044) = 11,19406 mg/100 g
Lampiran 8 Perhitungan Analisis Kadar Seng Produk Komersial Susu Ibu Hamil Tabel 27 Nilai absorbansi pada berbagai konsentrasi seng standar Konsentrasi seng satandar (ppm)
Tinggi puncak (kotak)
0,0000
0,0
0,250000
8,5
0,5000
16
0,75000
27,5
2,0000 73,5 Ket: tinggi kotak dihitung berdasarkan jumlah kotak pada kertas milimeter blok yang dilewati garis merah pada saat pembacaan menggunakan AAS (n = 1 ulangan).
Berdasarkan data standar seng tersebut maka persamaan linier yang dapat digunakan untuk perhitungan kadar seng pada samepl susu uji seperti pada gambar berikut
162
Absorbansi (nm)
Kurva kalibrasi seng 80 60 40 20 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
Konsentrasi (ppm) Gambar 11 kurva kalibrasi seng Tabel 28 Kadar seng produk komersial susu ibu hamil Jenis
Berat sampel (g)
Peak
1
0,5044
17,5
4,536823
2
0,5418
17,5
4,22365
3
0,5827
19,6
4,413285
1
0,5730
27,9
6,441754
2
0,5854
28,9
6,53571
3
0,5506
27,8
6,679326
1
0,5516
44,5
10,75078
2
0,5607
45,6
10,84091
3
0,5181
43,5
11,18559
1
0,6253
22,8
4,802874
2
0,5683
22
5,094727
3
0,5048
21
Ulangan
A
B
C
D
Blanko
Kadar Seng (mg/100 g)
Rata-rata kadar seng (mg/100g) 4,3912
6,55
10,92
5,122
5,46841 9,1
Contoh perhitungan kadar kalsium sampel: Berdasarkan kurva standar kalsium di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar Ca sampel adalah Y = aX + b = 37,07x – 0,850
dimana
Y = Peak standar atau sampel X = konsentrasi kalsium (ppm) a = slope b = intercept
Jika tinggi puncak sampel dengan berat 0,5044 g dalam 50 ml aliquot adalah 17,5 kotak, faktor pengenceran 1 dan tinggi puncak blanko 9,1 kotak, maka kadar seng adalah: Jawab: Kadar seng (mg/100g) = (tinggi puncak sampel x fp)- tinggi puncak blanko)
163
-b/a) x (aliquot/1000) x (100/berat sampel) = (17,5 x 1) – 9,1) + 0,850/37,07) x (50/1000) x (100/0.5044) = 4,536823 mg/10
164
Lampiran 9 Hasil Sidik Ragam (One Way ANOVA) Kadar Kalsium, Zat Besi, Air,
Protein,
Fosfor,
Seng,
Bioavailabilitas
Kalsium,
Bioavailabilitas Zat Besi, Serat Pangan, Total Kalsium Tersedia dan Total Zat Besi Tersedia Tabel 29 One way ANOVA kandungan gizi produk komersial susu ibu hamil Jumlah Kuadrat Df Kuadrat tengah F hitung Sig. Protein
MinCa
MinFe
MinZn
Perlakuan
57.814
3
19.271
Galat
4.458
8
.557
Total
62.272
11
356067.477
3
118689.159
Galat
56921.153
8
7115.144
Total
412988.630
11
121.598
3
40.533
Galat
45.191
8
5.649
Total
166.789
11
77.129
3
25.710
Galat
.415
8
.052
Total
77.544
11
19625.308
3
6541.769
Galat
293.165
8
36.646
Total
19918.473
11
Perlakuan
Perlakuan
Perlakuan
Minfosfor Perlakuan
BioCa
BioFe
STL
Perlakuan
40.188
3
13.396
Galat
298.567
8
37.321
Total
338.755
11
Perlakuan
232.513
3
77.504
Galat
273.689
8
34.211
Total
506.202
11
Perlakuan
5.909
3
1.970
Galat
1.449
8
.181
Total SL
TSM
Air
Abu
7.359
11
16.188
3
5.396
Galat
8.974
8
1.122
Total
25.162
11
Perlakuan
33.783
3
11.261
Galat
9.791
8
1.224
Total
43.574
11
.823
3
.274 .040
Perlakuan
Perlakuan Galat
.318
8
Total
1.141
11
Perlakuan
15.502
3
5.167
Galat
.351
8
.044
Total
15.854
11
34.584
.000
16.681
.001
7.175
.012
495.927
.000
178.514
.000
.359
.784
2.265
.158
10.874
.003
4.810
.034
9.201
.006
6.902
.013
117.756
.000
165
Jumlah Kuadrat Catersedi Perlakuan a Galat
Df
Kuadrat tengah
41879.139
3
13959.713
6725.518
8
840.690
48604.657
11
19.337
3
6.446
Galat
3.603
8
.450
Total
22.940
11
Total Fetersedia Perlakuan
F hitung
Sig.
16.605
.001
14.311
.001
*signifikansi lebih kecil dari =0,05 berbeda nyata
Lampiran 10 Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Kadar Air, Protein, Fosfor, Seng,
Kalsium,
Zat
Besi,
Bioavailabilitas
Kalsium,
Bioavailabilitas Zat Besi, Serat Pangan, Total Kalsium Tersedia dan Total Zat Besi Tersedia a. Kadar air Tabel 30 Uji lanjut Duncan kadar air Jenis C A B D
Subset for alpha = 0.05
N
1
3 3 3 3
2 2.8513 3.3853 3.4127 3.5305
Sig.
1.000
.417
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
b. Kadar abu Tabel 31 Uji lanjut Duncan kadar abu Jenis D C A B Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4.5552 5.0001 5.3580 7.5125 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
.070
1.000
166
c. Kadar Protein Tabel 32 Uji lanjut Duncan kadar protein Subset for alpha = 0.05
N
Jenis C B D A
1
3 3 3 3
2
3
13.89 14.64 16.09 19.60
Sig.
.251
1.000
1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
d. Kadar Fosfor Tabel 33 Uji lanjut Duncan kadar fosfor N
Jenis C D A B
3 3 3 3
Sig.
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4
130.93 149.06 171.94 237.80 1.000
1.000
1.000
1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
e. Kadar Kalsium Tabel 34 Uji lanjut Duncan kadar kalsium Subset for alpha = 0.05
N
Jenis D C A B
1
3 3 3 3
2 518.15 551.35 682.88 956.19
Sig.
.050
1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
f.
Kadar Zat Besi Tabel 35 Uji lanjut Duncan kadar zat besi Jenis D A B C Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = 0.05 1
2 8.86 9.36 14.52 16.19 .793
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
.405
167
g. Kadar Seng Tabel 36 Uji lanjut Duncan kadar seng Subset for alpha = 0.05
N
Jenis A D B C
1
3 3 3 3
2
3
4
2.12 2.93 4.39 8.66
Sig.
1.000
1.000
1.000
1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
h. Kadar Serat Tak Larut Tabel 37 Uji lanjut Duncan kadar serat tak larut Subset for alpha = 0.05
N
Jenis A B D C
1
3 3 3 3
2
3
.7753 1.6113 1.9670
Sig.
1.000
1.9670 2.7273
.336
.060
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
i.
Kadar Serat larut Tabel 38 Uji lanjut Duncan kadar serat larut Jenis A C B D
N
Subset for alpha = 0.05 1
3 3 3 3
2 1.3660 3.0980
Sig.
3.0980 3.5317 4.5870
.080
.137
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
j.
Kadar Total Seat Pangan Tabel 39 Uji lanjut Duncan kadar total serat pangan Jenis A B C D Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = 0.05 1
2 2.1413 5.1430 5.8257 6.5540 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
.172
168
k. Bioavailabilitas Ca Tabel 40 Uji lanjut Duncan bioavailabilitas kalsium Subset for alpha = 0.05
N
Jenis B C D A
1
3 3 3 3
36.64 37.31 40.01 41.05
Sig.
.428
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
l.
Bioavailabilitas Fe Tabel 41 Uji lanjut Duncan bioavailabilitas zat besi Subset for alpha = 0.05
N
Jenis D A B C
1
3 3 3 3
17.89 18.49 26.28 27.58
Sig.
.093
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
m. Total Ca Tersedia Tabel 42 Uji lanjut Duncan total kalsium tersedia Subset for alpha = 0.05
N
Jenis C D A B
1
3 3 3 3
2
3
2.1207E2 2.1389E2 2.8233E2 3.5583E2
Sig.
.940
1.000
1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
n. Total Fe Tersedia Tabel 43 Uji lanjut Duncan total zat besi tersedia Jenis D A B C Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = 0.05 1
2 1.7133 1.8583 3.8600 4.6500 .798
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
.187
169
Lampiran 11 Hasil Uji Korelasi Pearson Tabel 44 Hasil uji korelasi Pearson
Protein Korelasi Pearson
Ca 1
Sig. (2-tailed) N Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N
Fe
Seng *
Bioavailabilit Bioavailabilit as Ca as Fe
Fosfor **
-.012
.311
-.048
Serat **
-.051
-.653
.874
.021
.005
.970
.326
.883
.007
12
12
12
12
12
12
12
.171
-.179
**
-.471
-.520
-.429
.595
.578
.000
.122
.083
.164
12
12
12
12
12
12
1
**
.123
-.164
-.137
.615
.004
.703
.610
.670
.033 12
12 -.051
1
.874 12
12
*
-.653
.171
.021
.595
12
-.750
Serat tidak larut
.763
.899
-.729
*
12
12
12
12
12
12
**
-.179
**
1
-.345
-.211
.385
.005
.578
.004
.272
.511
.216
.003
12
12
12
12
12
12
12
12
-.012
**
.123
-.345
1
-.194
-.527
-.385
.970
.000
.703
.272
.546
.078
.216
12
12
12
12
12
12
12
12
Korelasi Pearson
.311
-.471
-.164
-.211
-.194
1
.222
-.048
Sig. (2-tailed)
.326
.122
.610
.511
.546
.488
.883
12
12
12
12
12
12
12
Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N
N
-.750
Protein Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N
.899
Ca
.763
Fe
Seng
12
Bioavailabilit Bioavailabilit as Ca as Fe
Fosfor
-.048
-.520
-.137
.385
-.527
.222
.883
.083
.670
.216
.078
.488
12
12
12
12
12
12
1
**
.777
Serat tidak larut .410 .185
12
12
Serat